Extra Chapter - Bandara
Extra Chapter - Bandara
ADA sebuah ritme yang terdengar setiap kali ujung sol sepatu Kai mengetuk
permukaan lantai bandar udara. Ritme yang akan membuat orang lain
menyimpulkan gadis itu sedang gugup menanti kedatangan seseorang.
Kalau boleh jujur, Kai tidak ingin siapapun datang. Akan menyenangkan
kalau ternyata dia salah lihat tanggal dan hari ini bukan hari itu. Bukan hari
keberangkatan pesawat Garuda Indonesia tujuan Singapura.
“Lo udah siap?”
Kai baru mendongak ketika laki-laki yang duduk di sebelahnya bertanya.
Bandara pukul empat pagi dingin. Kai merapatkan jaketnya.
“Siap apa? Kan, bukan gue yang berangkat.”
1
“Justru itu. Lo udah siap ngeliat dia berangkat?”
“KAN! DI SANA! APA GUE BILANG?! COBA KALAU GUE NGIKUTIN
KATA LO TADI, UDAH NYASAR KITA!”
Belum sempat Kai menjawab, keributan dari arah lain sudah membuat
atensinya teralih. Io yang tadi bertanya, mendengkus geli. Mungkin karena
laki-laki itu tidak pernah terbiasa dengan betapa ajaib teman-teman Kai.
Ale dan Kenan melangkah mendekat sembari terus berdebat—yang
satu ngomel-ngomel dan yang satu lagi ngotot mempertahankan argumen.
Keduanya baru berhenti ketika sampai di hadapan Io dan Kai.
“Eh, gue taruhan ceban sama Kenan,” cengir Ale sembari duduk di sebelah
Kai.
Gadis yang diajak bicara mengerutkan kening. “Taruhan apa?”
“Taruhan hari ini lo nangis atau nggak.”
Io tergelak. Kenan nyengir bersalah. Kai merengut.
“Dia belum dateng?”
Pertanyaan Kenan ditanggapi gelengan.
“Aurora mana?” Ganti Ale yang bertanya, spesifik pada Io.
Io mengerjap. “Nggak tahu. Di jalan, kayaknya.”
Ale menyipitkan mata. “Kenapa nggak lo jemput, Bang?”
Io menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kai mengulum senyum,
sebelum akhirnya memutuskan untuk menyeletuk, “Soalnya tadi pagi Io mau
ambil cincin.”
“AMBIL APA?!” Kenan dan Ale mengulang kaget bersamaan.
“Dih. Cepu lo,” protes Io pada Kai sebelum merogoh saku jeans dan
mengeluarkan kotak beludru warna putih.
“ANJ—”
“SSSTTT!” Kenan membekap mulut Ale sebelum gadis itu sempat
mengumpat keras-keras. Keduanya terpana. “Lo mau ngelamar, Bang? HAH?
Serius, nih?”
“Kenapa lo berdua yang heboh, deh?” tawa Io. “Nggak ngelamar. Ngasih
doang.”
Alis Ale melonjak tinggi. “Maksud lo?”
“Maksudnya biar ntar Aurora nggak pacaran sama bule, lah. Lemot,”
seloroh Kenan.
Ale menoleh dan mencebik, sebelum kembali menatap kotak beludru itu.
Senyumnya sedikit terangkat. “Mau liat dong, Bang.”
“Enak aja. Nggak ada, nggak ada.” Io kembali menyelusupkannya ke
kantong, membuat Ale merengut.
“Gue aja nggak boleh liat,” dengkus Kai sebal. “Katanya yang boleh liat
cuma tuan putrinya.”
“Ya emang.”
“Bucin lo.”
“Siapa yang bucin?”
Keempat orang yang duduk berjajar itu refleks menegakkan tubuh begitu
mendengar suara dari belakang. Io menelan ludah waktu mendapati Aurora
yang berdiri di sana, kedua lengan terlipat di depan dada.
“Eh, sejak kapan lo berdiri di situ, Ra?” tawa Io gugup.
“Sejak lo ngomongin soal bucin.”
“Itu si Kenan!” sambar Ale. “Bucin banget dia, nih!”
“Iya, iya, gue bucin parah!” timpal Kenan otomatis. “Gila!”
Kai berusaha menahan tawa sementara alis Aurora terangkat sebelah.
“Bucin sama siapa? Emangnya kalian berdua udah jadian?”
“Udah.”
“Belum.”
“Hah?”
“Hah? Apa?”
Ale melempar tatap tidak setuju pada Kenan. “Kok lo bilang kita jadian?!”
“Lah?” Kenan bingung. “Emangnya nggak?”
“Lo aja nggak nembak gue!”
“Oh, lo mau ditembak?”
“APAAN, SIH, KEN!?”
“LAH, KAN LO YANG BILANG—”
“DIEM.”
“Ya udah, Le, lo mau nggak, jadi—”
“GUE BILANG DIEEEMMM!”
Tawa Aurora, Kai, dan Io segera saja pecah. Kenan nyengir dan merangkul
leher Ale, meski gadis itu memberontak kesal. Aurora akhirnya duduk di spasi
kosong sebelah Io. Kai, Ale, dan Kenan bertukar pandang penuh arti.
“Eh, Al, anterin gue ke toilet, yuk.” Kai berdiri dan menarik tangan Ale.
“Gue juga sekalian, deh.” Kenan mengikuti.
Ketiganya berjalan menjauh di belakang punggung Aurora dan mengangkat
kepalan tangan ke atas dengan gestur ‘SEMANGAT!’ ke arah Io. Laki-laki itu
melempar tatap maut. Setelah beberapa meter, tiga remaja itu akhirnya tertawa
setengah puas setengah cemas. Gila, Aurora yang mau diberi cincin, mereka
yang ikut dag-dig-dug sendiri.
Jujur saja, Kai tidak pernah terpikir Io—si playboy cap kodok itu—pada
3
akhirnya akan melabuhkan hati dengan serius. Apalagi pada Aurora. Balerina
yang akan berangkat ke New York esok pagi. Tapi, sepertinya hidup ini
memang penuh kejutan. Termasuk ketika seorang laki-laki dengan dua koper
muncul dari tikungan.
Tatap mereka berjumpa di udara.
Kai sudah menyiapkan dirinya semalaman untuk momen ini, tapi rasanya
dia tidak akan pernah siap. Ini konyol, karena Jakarta-Singapura cuma berjarak
dua jam naik pesawat. Selisih waktunya saja hanya satu jam. Kai juga tahu
mereka berdua bisa memanfaatkan sejuta teknologi untuk bertukar kabar—tapi
tetap saja, tetap saja…
“Hai.”
…Re mau pergi.
Kai menelan ludah, tidak mampu mengeluarkan barang sepatah dua patah
kata dari tenggorokan untuk balas menyapa. Justru Ale dan Kenan yang
berbasa-basi sebentar, memastikan tidak ada barang yang tertinggal, bergurau
soal Io-Aurora yang saat ini mungkin sedang ada di tengah adegan romantis
dan Re sebaiknya tidak menginterupsi. Beberapa menit berlalu, sampai
akhirnya mereka menyadari Kai masih diam saja. Ale dan Kenan memberi kode
lewat tatapan mata.
“Eh, Ken, kayaknya HP gue ketinggalan di mobil.”
“Oh, ya udah gue anterin ambil. Bentar, yak.”
Ketika Ale dan Kenan akhirnya menjauh, menyisakan Kai dan Re sendirian
di lorong bandara, rasa menyesakkan di dada Kai malah semakin nyata.
“S-sorry.” Gadis itu menggeleng, berusaha menjernihkan pikiran.
Re tidak menjawab. Hanya jemarinya yang bergerak menyentuh dagu Kai,
menengadahkan kepala gadis itu yang tadinya menunduk. Netra cokelat gelap
menubruk hitam. Kai segera mengalihkan wajah. Dia tidak bisa menatap Re.
Dia tidak bisa menatap alisnya yang tebal, matanya yang tajam, hidungnya
yang mancung, rahangnya yang tegas, dan senyumnya yang selalu terkesan
arogan.
“Kai…”
Air mata Kai resmi merebak waktu Re menariknya ke dalam pelukan.
Lengan Kai bergerak melingkari pinggang Re dengan erat, seolah dia tidak
akan pernah rela melepaskannya. Seolah dia ingin menahan kepergian Re
lebih lama, seolah dia ingin menyuruh laki-laki itu tetap di sini saja. Jangan ke
mana-mana. Jangan pergi lagi.
Tapi, sekarang Kai sudah belajar bagaimana dunia tidak berputar di
sekelilingnya. Sekarang Kai sudah belajar bagaimana cara menjadi manusia
4
yang lebih—kalau tidak dewasa, maka setidaknya bijaksana. Jadi, gadis itu hanya
menangis, menangis karena kata Mama itu salah satu hal yang memanusiakan.
“Prolaktin.” Kai melonggarkan pelukannya dan mengusap air mata. “Gue
nangis karena hormon prolaktin cewek lebih banyak enam puluh persen dari
cowok, jadi—”
Re tertawa. Tawanya terdengar begitu ringan, tanpa beban, dan hangat. Kai
ingin selamanya mendengar tawa itu.
“Jadi lo nggak cengeng,” angguk Re, tersenyum dan menyisipkan anak
rambut Kai yang lolos ke belakang telinga. “Itu cuma efek hormonal.”
Dialog-dialog kecil mereka tidak akan pernah lekang dari ingatan, Kai
yakin. Sejauh apa pun jaraknya, selama apa pun jangka waktunya, malam di
atap rumah sakit itu tidak akan pernah terlupakan. Begitu pula dengan dialog-
dialog kecil di halte, di parkiran, di sofa ruang tamu, di lobi kantor polisi, di
seluruh sudut Jakarta yang nantinya akan Kai kunjungi sendiri karena Re tidak
ada di sini.
“Gue sayang sama lo.”
Kali ini, Re yang mengatakannya.
Dan mungkin, karena Kai rasa (dan percaya) mereka memang ditakdirkan
untuk satu sama lain, gadis itu berjinjit, mengalungkan kedua lengan di
sekeliling leher Re, dan berhenti persis satu senti di depan wajah laki-laki itu,
tersenyum dengan cara yang dia tahu akan membuat Re gila—
“Balikan, yuk.”
Sekali ini, Re membendung seluruh oksitosin dalam aliran darahnya dan
mengangkat sudut bibir. “Lo mau gue jawab, atau gue cium?”
Kai menantang. “Dua-duanya.”
“Gue yakin gue menang, sih. Nggak mungkin Kai nggak nangis.”
“Ck, jahat bener, sih, lo,” tawa Kenan. “Gue kalau jadi dia juga nangis, kali.”
Ale mengangkat alis. “Berarti kalau gue berangkat nanti, lo juga bakal
nangis?”
Kenan tersenyum simpul. Keduanya kini sedang berdiri di sisi lain bandara,
mengawasi lapangan udara dari balik dinding kaca. Mereka sepakat memberi
waktu Kai dan Re bicara empat mata, begitu pula Io dan Aurora.
“Nggak, lah. Ngapain gue nangis,” balas Kenan asal, memicu kerucut di
bibir Ale. “Kan, gue juga berangkat.”
Ale menoleh cepat. “Gimana?”
“Lo udah tahu SNMPTN gue ditolak, kan?” Kenan mengangkat bahu.
“Dan karena gue dapet beasiswa tahunan Bina Indonesia, gue jadi mikir-mikir
kampus luar negeri mana yang bagus, terus—”
“Stop.” Ale mundur. “Stop, stop di situ.”
Kenan tertawa. “Terus Teknik Kimia SNU masuk top 5 Asia—”
“TAPI LO BISA MILIH KAMPUS YANG LEBIH BAGUS LAGI!”
“Tapi nggak ada lo, Ale. Gue nggak bisa kalau nggak ada lo.”
Ale membisikkan sederet sumpah serapah persis ketika air matanya jatuh
dan gadis itu menghambur memeluk Kenan. Kenan tersenyum lebar. Tidak
ada yang mengatakannya, tapi laki-laki itu tahu seberat apa perasaan Ale
ketika menyadari dia harus berpisah dengan Kenan demi mengejar mimpi. Ale
memang tidak pernah bilang, tapi Kenan paham.
“Lo masih mau gue tembak, nggak?”
Ale tertawa konyol dalam pelukannya. “Bego.”
“Mau, nggaaak?”
“Nggak usah.”
“Yakin?” ledek Kenan lagi.
Gadis rambut ungu itu mengangguk, sebelum mundur dan menatap
Kenan. “Apa yang lo lakuin buat gue selalu lebih berarti daripada kata-kata.”
Senyumnya terulas. “Makasih, Ken.”
Kenan balas tersenyum. “Tapi ada syaratnya.”
Kening Ale berkerut. “Apa?”
“Mulai sekarang lo panggil gue Kenan-oppa.”
Tawa Ale sekali lagi pecah ketika dia berjinjit untuk kembali memeluk
Kenan. “Dasar aneh.”
“Aneh tapi lo sayang?”
“Aneh tapi gue sayang.”
Butuh waktu cukup lama untuk Kenan menyadari bahwa dia jatuh cinta
pada tetangga delapan belas tahunnya, dan butuh waktu lebih lama lagi
untuk membuatnya berani melepaskan label sahabat yang sejak dulu tertera.
Bukannya laki-laki itu takut jarak dan waktu akan mengubah perasaan mereka,
tapi persetan, Kenan akan mengejar ke mana pun kaki Ale berjalan. Karena asal
mereka berdua bersama-sama, Kenan lebih dari tahu bahwa segalanya akan
baik-baik saja.
Ya, kan?
10