Anda di halaman 1dari 2

Menurut tinjauan hukum Islam (baca: fiqih), ada konsekuensi hukum yang sangat tegas terkait orang

yang meninggalkan shalat sebagaimana dijelaskan oleh Imam Zakaria al-Anshari dalam Fathul Wahab bi
Syarhi Minhaj al-Thalab (Beirut: Dar al-Fikr), juz I, hal. 102:

" ‫َمْن َأْخ َر َج " من امللكفني " مكتوبة َكَس اًل َو َلْو ُمُج َع ًة " َو ْن َقاَل ُأَص ِّلَهيا ُظ ْهًر ا " َع ْن َأْو َقاَهِتا‬
‫ِإ‬
‫ِّلُك َها " ُقِتَل َح ًّدا" اَل ُكْفًر ا‬
“Seorang mukallaf yang tidak mengerjakan shalat tepat waktu karena alasan malas, termasuk shalat
Jumat meski ia beralasan akan melaksanakan shalat dhuhur, maka ia layak menerima hukuman mati
sebagai hadd, bukan karena alasan kekufuran.”

Pernyataan Syekh Zakaria tentang hukuman mati bagi orang yang meninggalkan shalat tersebut
berdasarkan pada hadits nomor 25 riwayat Imam Bukhari bahwasanya Nabi bersabda:

‫ُأِم ْر ت َأْن ُأَقاِتَل الَّناَس َح ىَّت َيْش َهُد وا َأْن اَل إَهَل إ اَّل اُهَّلل َو َأَّن ُم َح َّم ًد ا َر ُس وُل اِهَّلل َو ُيِقُميوا‬
‫الَّص اَل َة‬... “
Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan
Muhammad utusan Allah, dan mendirikan shalat,…”

Mengenai status bahwa orang yang meninggalkan shalat tersebut belum bisa dihukumi kafir,
berdasarkan pada hadits nomor 1420 riwayat Abu Dawud:

،‫ شئ استخفافًا حبقهن‬،‫ مل يضع مهنن‬،‫ مفن جاء هبن‬،‫مخس صلوات كتهبن هللا عىل العباد‬
‫ إن شاء‬،‫ ومن مل يأيت هبن فليس هل عند هللا عهد‬،‫اكن هل عند هللا عهد أن يدخهل اجلنة‬
‫ وإ ن شاء أدخهل اجلنة‬،‫عذبه‬
“Shalat lima waktu telah difardhukan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya. Barangsiapa yang
mengerjakannya, dengan tidak menyia-nyiakan hak-hak shalat sedikitpun, maka Allah berjanji akan
memasukkannya ke dalam surga, dan barangsiapa yang tidak mengerjakannya maka tidak ada janji Allah
baginya. Jika Allah berkehendak maka Dia akan menyiksanya, dan jika Allah berkehendak maka Dia akan
memasukkannya ke surga”.

Secara terperinci, Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha, Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhabi Imam al-
Syafi’i (Surabaya: Al-Fithrah, 2000), juz I, hal. 103 memerinci kategori orang yang meninggalkan shalat
sebagai berikut:
‫ فأما‬:‫ أو استخفًا هبا‬،‫ أو تركها حجودًا لها‬،‫اترك الصالة إما أن يكون قد تركها كسًال وهتاوًان‬
‫ فيجب عىل‬،‫ فإنه يكفر بذكل ويرتد عن اإلسالم‬،‫ أو مسهتزئًا هبا‬،‫من تركها جاحدًا لوجوهبا‬
‫ وال جيوز‬،‫ وإ ال قبل عىل أنه مرتد‬،‫ فإن اتب وأقام الصالة فذاك‬،‫احلامك أن يأمره ابلتوبة‬
‫ وأما‬.‫ ألنه ليس مهنم‬،‫ كام ال جيوز دفنه يف مقابر املسلمني‬،‫غسهل وال تكفينه وال الصالة عليه‬
‫ فإنه يلكف من قبل احلامك بقضاهئا والتوبة عن معصية‬،‫ وهو يعتقد وجوهبا‬،‫إن تركها كسًال‬
‫ … يعترب مسلًام‬،‫ فإن مل يهنض إىل قضاهئا وجب قتهل حدًا‬.‫الرتك‬.
“Orang yang meninggalkan shalat, ada kalanya karena ia malas dan berleha-leha, ada kalanya karena ia
membangkang dan menyepelekan. Orang yang meninggalkan shalat karena membangkang tentang
kewajiban shalat atau menyepelekannya, maka ia dihukumi kafir dan keluar dari Islam, dalam hal ini,
Hakim wajib memerintahkannya untuk tobat, jika ia tobat dan mendirikan shalat, maka masalah selesai,
jika tidak maka ia dihukum mati dengan alasan murtad, dan tidak boleh dimandikan, dikafani, dishalati,
dan tidak boleh juga dikuburkan di pekuburan Muslim karena ia tidaklah Muslim lagi. Sementara orang
yang meninggalkan shalat karena malas, namun ia tetap meyakini akan kewajiban shalat, maka hakim
wajib menyuruhnya untuk mengqadla shalat dan bertobat. Jika ia tetap enggan, maka ia dihukum mati
sebagai bentuk hadd …namun statusnya masih tetap Muslim”.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa jika seseorang yang meninggalkan shalat karena malas, ia tetap
dihukumi Muslim meskipun ia layak mendapatkan hukuman seberat apa pun. Namun sebagai warga
negara, kita haram gegabah membunuhi mereka yang tidak shalat. Hukuman mati bagi orang yang
meninggalkan shalat tidak boleh dilakukan sembarangan karena itu merupakan wewenang hakim, bukan
wewenang perseorangan warga negara, juga dilakukan dalam konteks negara Islam yang mengakui
konstitusi semacam itu berlaku. Dari beban sanksi yang demikian berat setidaknya kita bisa mengambil
pelajaran bahwa betapa tingginya nilai shalat. Kewajibannya tak bisa ditawar-tawar selama akal masih
sehat. Islam memberikan keringanan (rukhsah) atas sejumlah kendala dalam pelaksanaan shalat, tapi
tidak dengan cara meninggalkannya sama sekali. Demikian pemaparan kali ini, semoga bermanfaat dan
menjadi peringatan bagi kita untuk tidak sembarangan meninggalkan shalat. Wallahu a’lam bi shawab.
(Muhammad Ibnu Sahroji)

Anda mungkin juga menyukai