Anda di halaman 1dari 4

AKAD NIKAH DIANA

Oleh: Roshinta Dewi Aryani

Pria itu menggenggam tangannya, menatapnya dalam. Setelah sekian tahun


mereka lalui bersama, kini dia yakin menginginkan gadis itu menjadi pendampingnya.
“Maaf, perlu waktu lama. Maukah kau menikah denganku?” ucap pria itu.
Sang gadis yang bernama Diana memandangnya, air mata bahagia menggenang
di pelupuk. Kekasihnya itu selalu menunda pernikahan karena masih ingin menabung untuk
membahagiakan orang tuanya. Ingin membeli rumah untuk keluarganya nanti. Dia hanyalah
pegawai biasa dengan gaji sedikit di atas UMR. Perlu waktu bertahun-tahun baginya hingga
siap berumah tangga.
“Tentu, Fadli aku mau. Tak perlu mas kawin mewah, tak perlu pesta mewah.
Akad nikahpun sudah cukup bagiku,” sahut Diana.
“Oke, minggu depan aku ke rumahmu ya. Kita minta izin bapak dan ibumu.”

Diana memacu sepeda motor dengan senyuman di wajahnya. Beruntung dia


bertemu pria pekerja keras yang berbakti kepada orang tuanya seperti Fadli, terlebih dia
sangat menghargai wanita. Diana bekerja sebagai staf administrasi sebuah perusahaan
garmen, pekerjaan yang cukup baik mengingat dia hanya lulusan SMK. Suatu hari Fadli
mendatangi perusahaan tempat Diana bekerja, sebagai perwakilan supplier. Merasa saling
cocok dan akhirnya menjalin hubungan.
Minggu pagi, terdengar suara sepeda motor berhenti di depan rumahnya. Diana
sudah memberi tahu bapak dan ibunya kalau Fadli mau datang ke rumah.
“Jadi begini Pak, Bu, saya berniat meminang Diana untuk menjadi istri saya.
Kami mohon restu dari bapak dan ibu,” ucap Fadli meminta izin.
“Alkhamdulillah, Insya Allah ibu dan bapak sangat setuju nak Fadli. Apa sudah
ditentukan tanggal pernikahannya?” sahut ibu Diana.
“Insya Allah nanti keluarga saya akan datang kemari Bu, untuk membicarakan
terkait tanggal dan pesta pernikahan.”
Waktu berlalu begitu cepat, satu per satu persiapan pernikahan telah
dilaksanakan. Resepsi sederhana dengan adat Jawa Tengah akan diadakan di rumah Diana.
Undangan mulai dipesan, sewa baju pengantin dan make up, studio foto, tenda dan lainnya.
Diana termenung di kamar, berdiri dan berjalan menuju laci meja. Mengambil
sebuah buku tebal bersampul hitam. Membuka setengah halaman buku dan menemukan yang
dicarinya. Sebuah foto. Foto itu sudah lusuh, warnanya mulai memudar. Ada sosok laki-laki,
perempuan, dan seorang gadis kecil, mungkin usianya 4 atau 5 tahun.
“Ayah di mana? Aku mau nikah.” Diana memandang foto itu sambil menangis
tersedu. Memendam kerinduan pada sosok ayah yang sudah lama tak dijumpainya.
Ibu Diana berada di dapur, ketika Diana datang menghampiri. Ragu menyelimuti
pikirannya, tetapi dia memberanikan diri bertanya.
“Bu, soal akad nikahku. Mungkinkah ayah bisa menikahkanku? Aku tak mau
dinikahkan oleh wali hakim, kan ayah kandungku masih hidup.”
Ibunya mendongak dengan kaget, menatap Diana lekat-lekat dan berkata, “Siapa
yang kau sebut ayah? Pria yang sudah meninggalkan anak istrinya tanpa nafkah, bertahun-
tahun merantau tak pulang-pulang tak pantas dipanggil ayah. Ibu tidak mau lagi mendengar
kamu membahas hal ini. Bapakmu akan sangat marah jika tau kamu ingin pria itu datang ke
akad nikahmu.”
Hari bahagia tinggal satu bulan lagi, tetapi senyum tak nampak di wajah Diana.
Setiap hari dia muram, dan Diana jatuh sakit. Demam berhari-hari tak kunjung turun. Diana
dirawat di rumah sakit, berbagai tes dijalaninya, namun dokter tak menemukan penyakitnya.
“Kamu sakit apa? Tanggal pernikahan kita sebentar lagi. Ayo, kamu harus sehat,”
ujar Fadli menguatkan Diana.
“Ada satu hal yang belum kamu ketahui tentang keluargaku. Bapak yang selama
ini kau kenal, bukanlah ayah kandungku. Orangtuaku bercerai ketika aku berumur 10 tahun,”
jelas diana sambil terisak.
“Aku tahu, ibumu sudah memberitahuku ketika aku melamarmu.”
“Aku ingin bertemu ayahku, aku sangat merindukannya. Aku ingin ayah
menikahkanku. Tolong aku Fadli, cari ayahku!” Diana memohon sambil menangis tersedu-
sedu.
Fadli menemui bapak tiri Diana, dia bertekad mencari ayah kandung Diana untuk
menghadiri akad nikah mereka.
“Pak, saya mohon maaf sebelumnya. Ini tentang ayah kandung Diana. Sepertinya
dia sakit karena sangat merindukan ayahnya,” ujarnya.
“Nak Fadli, bapak juga tidak tahu di mana ayah kandung Diana. Bapak bertemu
Ibu Diana bertahun-tahun setelah mereka bercerai. Kalau tidak salah, keluarganya dahulu
tinggal di desa Mantingan, sekitar satu jam perjalanan dari sini. Coba nak Fadli tanya ke sana,
namanya Pak Sayudi,” jawab bapak Diana.
Berbekal aplikasi peta online, sepeda motor fulltank, Fadli bersama salah satu
temannya berangkat menuju desa Mantingan, di kabupaten Jepara. Tak perlu waktu lama
untuk menemukan rumah kepala desa. Asal tanya saja pada salah satu warga desa, maka
mereka akan menunjukkannya.
“Tujuan kedatangan saya kemari, untuk menanyakan tentang salah satu warga
desa ini Pak. Namanya Pak Sayudi. Beliau sekeluarga tinggal di desa ini sekitar 15 tahun
yang lalu,” ucap Fadli setelah sedikit berbasa-basi.
“Waduh, mohon maaf mas. Saya baru menjabat, dan baru 10 tahun tinggal di sini.
Jadi tidak keal dengan Pak Sayudi,” jelas kepala desa. “saya coba tanyakan kepada pak carik
lama ya, beliau lahir dan besar di sini.”
Kepala desa segera menelepon pak carik, yang memberinya nomor telepon
seorang pria. Setelah berbicara beberapa saat, dia segera mengajak Fadli ke rumah orang
tersebut yang ternyata dahulu menjadil ketua RT di tempat tinggal Pak Sayudi dan
keluarganya.
“Memang benar Pak Sayudi pernah tinggal di sini, tetapi sudah lama sekali.
Terakhir bertemu sekitar 7 tahun lalu ketika ibunya meninggal. Setelah itu rumah lama
keluarga mereka dijual.”
“Apa tidak ada saudara yang masih hidup pak?” tanya Fadli.
“Ada satu adik perempuan, sudah menikah dan tinggal bersama suaminya, jika
memang penting sekali mari saya antar ke rumahnya. Hanya berbeda desa saja,” ujar bapak
tua yang sudah bisa disebut kakek tersebut.
Fadli berhasil menemui adik perempuan dari Pak Sayudi dan memperoleh nomor
teleponnya. Pak Sayudi tinggal di Jakarta, mereka juga sudah sangat jarang bertemu. Hanya
sesekali saling menelepon bertanya kabar.
“Assalamu’alaikum, halo. Ayah, ini Diana anak ayah.” Hening, tak terdengar
jawaban.
“Diana?” Suara di seberang telepon terdengar kaget.
“Diana mau menikah dua minggu lagi yah, ayah dateng ya ke akad nikah. Tolong
nikahkan Diana.”

Hari akad nikah.


Rumah sederhana itu sudah dilengkapi dengan tenda berwarna-warni. Para
tetangga telah berkumpul sejak dua hari sebelumnya, membantu persiapan acara dan
memasak hidangan pesta.
“Bu, ayah mana Bu. Penghulu sudah datang,” ucap Diana hampir menangis,
pakaian pengantin sudah dikenakannya, lengkap dengan riasan wajah dan aksesoris pengantin
Jawa Tengah.
Penghulu mulai tidak sabar menunggu, ada empat pengantin lain yang harus
dinikahkannya hari itu.

Satu jam kemudian.


“Ayah belum terlambat kan?”

***

Tentang Penulis

Roshinta Dewi Aryani, lahir di kota Sragen. Seorang ibu yang juga menjadi kontributor buku
antologi baik fiksi maupun non fiksi. Aktif di beberapa komunitas dan event kepenulisan.
Jejaknya bisa dilacak di akun facebook; Roshinta Dewi Aryani, instagram;
@roshinta_dewi_aryani, dan tulisannya tertuang di blog bungakubisbiru.blogspot.com.
Carilah bahagiamu, di dalam cara berpikirmu!

Anda mungkin juga menyukai