Anda di halaman 1dari 13

PENGAKUAN PARA

PIHAK
KELOMPOK 4
KELOMPOK 4
01 I MADE SURYA PUTRA WINATA (1459)

02 NI KOMANG NOVIOLA PUTRI ARTA RAHAYU (1465)

03 NI PUTU REGINA JULIANSAFA (1470)

04 I GUSTI NGURAH DEVANTARA RAJENDRA (1472)

05 CAROLYN VANIAKANA SINDINAWA SOWOLINO (1474)

06 NI MADE WULAN PUSPITA MAHAYANI (1476)

07 ANAK AGUNG ISTRI DEBBY MIRA SAPUTRA (1477)

08 IDA BAGUS BIMA ADI PRANAWA (1478)

09 NI KADEK VIRA INDRANI DEWI (1480)


LATAR BELAKANG MASALAH
Pembuktian dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara dikenal dengan Sistem
Pembuktian Bebas. Pembuktian bebas mengandung beberapa arti, yang di antaranya
adalah berarti hakim bebas (vrij) dalam menentukan beban pembuktian kepada para
pihak, bebas menilai alat bukti, dengan tujuan memberikan keleluasaan hakim untuk
menemukan kebenaran materiil. Kebebasan ini sebagaimana diatur Pasal 107 Undang-
Undang Peradilan Tata Usaha Negara sebagai berikut: “Hakim menentukan apa yang
harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya
pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan
Hakim”. Hal ini cukup unik mengingat dalam diskursus hukum acara perdata
penggunaan Pengakuan Para Pihak sebagai alat bukti pun mendapat kritik dari para
ahli. Salah satu alasannya adalah apa-apa yang diakui para pihak dalam persidangan
belum tentu mencerminkan kebenaran, tetapi lebih kepada pernyataan kehendak
(wilsverklaring) untuk menyelesaikan sengketa. Keberadaan alat bukti pengakuan juga
terdapat di dalam Pasal 164 HIR/284 RBg dan Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata mendapat banyak pertentangan dari para sarjana. Alat bukti pengakuan yang
diberikan di luar persidangan hanya dapat diberikan dengan cara lisan, namun dalam
praktek juga dikenal suatu pengakuan di luar persidangan yang dilakukan secara
tertulis. Oleh karena itu, kriteria agar pengakuan diterima sebagai alat bukti yang sah
pun diserahkan sepenuhnya kepada hakim. Dengan demikian dalam penulisan ini
pentingnya untuk mengetahui alat bukti pengakuan para pihak dalam peradilan tata
usaha negara.
01 02 03 04

Definisi Alat Kekuatan Penerapan Perbedaan


Bukti Pembuktian Penggunaan Penerapan
Pengakuan Alat Bukti Alat Bukti Terhadap
Para Pihak dan Pengakuan Pengakuan Pengadilan
Jenis-Jenisnya Para Pihak Para Pihak Lainnya
dalam dalam PTUN
Peradilan Tata
Usaha Negara
DEFINISI PENGAKUAN PARA PIHAK

PASAL 105 UU PERATUN


"Pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu
pihak dalam suatu perkara, dimana ia mengakui apa
yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari
apa yang dikemukakan oleh pihak lawan"

"pengakuan merupakan pernyataan kehendak dari suatu Martiman


pihak untuk mengakui dalil yang diajukan oleh pihak Prodjohamidjojo
lawannya untuk memberikan suatu kepastian kepada
hakim akan kebenaran suatu peristiwa".
JENIS-JENIS PENGAKUAN PARA PIHAK

Martiman
Pengakuan Secara Tegas dan Secara Diam-Diam
Prodjohamidjojo
Pengakuan di Dalam Persidangan dan di Luar
Persidangan
Pengakuan Secara Murni dan Bersyarat

Sudikno
Pengakuan murni dan bulat Mertokusumo
Pengakuan berkualifikasi
Pengakuan berklausula
KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI PENGAKUAN PARA PIHAK
DALAM PERADILAN TATA USAHA NEGARA
metode penafsiran
interdisipliner
Interpretasi Interdisipliner merupakan metode penafsiran
yang dilakukan oleh hakim apabila ia menghadapi kasus yang
melibatkan berbagai macam disiplin ilmu hukum. Dalam hal ini
karena hukum acara peradilan TUN tidak menjelaskan
mengenai alat bukti Pengakuan maka dapat menggunakan
penafsiran kepada kaidah hukum lain yakni hukum acara
perdata yang juga mengatur Pengakuan sebagai alat bukti.

Kekuatan bukti
Pengakuan / bekentenis

Pasal 174 Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) atau Pasal


311 Reglement op de Buitengewesten (RBg) merupakan
volledig bewijs atau bukti yang sempurna sehingga mengikat
Selain itu, menurut Pasal 107
bagi yang pihak menyatakannya dan ia pun bersifat dwingen Undang-Undang No. 5 Tahun
bewijs atau bukti yang memaksa sehingga pihak lawan tidak 1986 tentang Peradilan Tata
dapat mengajukan pembuktian sebaliknya. Usaha Negara hakim dalam
Sedangkan, Pasal 105 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sengketa tata usaha Negara
tentang Peradilan Tata Usaha Negara tidak menjelaskan bebas menentukan nilai
pembuktian dari suatu alat
bahwa pengakuan mengikat sehingga ketentuan di HIR/RBg
bukti.
yang menyatakan bahwa bukti pengakuan mengikat bagi yang
memberikannya tidak serta merta berlaku di Peradilan Tata
Usaha Negara.
Hanya pengakuan di muka hakim saja baik lisan maupun
tertulis saja yang dapat diterima sebagai alat bukti yang sah
sehingga tidak semua pengakuan dapat diterima oleh hakim
tata usaha negara.

Alat bukti pengakuan tidak boleh berdiri sendiri melainkan harus


didukung alat bukti yang lainnya dalam konteks kebenaran
materil karena pengakuan tidak selalu mencerminkan
kebenaran.

kekuatan pembuktian alat bukti pengakuan yang


diberikan di luar persidangan diatur dalam Pasal 1928
KUH Perdata dan Pasal 175 HIR.

Terkait suatu pengakuan lisan yang diberikan di luar persidangan tidak dapat dipakai, selain dalam
hal-hal dimana diizinkan pembuktian dengan saksi-saksi, hal ini tercantum di dalam Pasal 1927 KUH
Perdata sedangkan tentang kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim.
Artinya nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada pengakuan lisan itu tidak mempunyai nilai
kekuatan mengikat tetapi hanya merupakan bukti bebas. Pengakuan yang diberikan di luar
persidangan dengan cara tertulis dapat bernilai sebagai alat bukti tertulis, apabila pengakuan
ditandatangani pihak yang membuat pengakuan. Oleh karena itu, apabila pengakuan tertulis di luar
persidangan dapat diajukan dalam persidangan dan sangat beralasan memberi daya pembuktian
bebas kepadanya.
PENERAPAN PENGGUNAAN ALAT BUKTI
PENGAKUAN PARA PIHAK DALAM PTUN
PUTUSAN PTUN BANDUNG NOMOR 39/G/2023/PTUN.BDG

Dijelaskan pada putusan ini bahwa Pengakuan para pihak ini tidak
penggugat membuat pengakuan dilampirkan seperti alat bukti yang
pada positanya di halaman 6 (enam) lainnya melainkan bersifat “spontan”
angka 3 (tiga) yang menyatakan sehingga para majelis hakim yang
orang tua Penggugat telah 2 (dua) dapat menggunakan logikanya untuk
kali meninggalkan tanah yang menilai apakah suatu pernyataan baik
diatasnya terbit Sertipikat Hak Milik lisan maupun tertulis tersebut
objek perkara yakni pada tahun 1958 merupakan pengakuan atau tidak.
dan tahun 1961, yang kemudian
penguasaan atas tanah tersebut
dilanjutkan oleh orang lain.
PUTUSAN PTUN BANDUNG NOMOR
39/G/2023/PTUN.BDG
PERBEDAAN PENERAPAN TERHADAP
PENGADILAN LAINNYA

Hanya pengakuan di Pengakuan merupakan bukti yang Hanya alat-alat bukti yang
muka sempurna sehingga mengikat bagi sah menurut UU yang dapat
hakim saja baik lisan yang pihak menyatakannya dan ia pun dipergunakan untuk
maupun tertulis saja bersifat dwingen bewijs atau bukti yang pembuktian.(berhubungan
yang dapat diterima memaksa sehingga pihak lawan tidak dengan suatu
sebagai dapat mengajukan pembuktian tindak pidana menimbulkan
alat bukti yang sah. sebaliknya keyakinan bagi hakim)

PTUN HAPER HAPID


Pasal 100 & Pasal 107 UU 5/1986 Pasal 174 HIR/Pasal 311 RBg Pasal 184 (1) UU 1/1981
KESIMPULAN
Pengakuan para pihak dalam peradilan tata usaha negara merupakan pernyataan kehendak dari
suatu pihak untuk mengakui dalil yang diajukan oleh pihak lawannya, bertujuan memberikan
kepastian kepada hakim mengenai kebenaran suatu peristiwa. Pengakuan ini, seperti yang dijelaskan
dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Pasal 105 menyatakan bahwa, pengakuan para pihak tidak
dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim.
Pengakuan yang diberikan di depan persidangan memiliki kekuatan bukti yang kuat, sedangkan yang
diberikan di luar persidangan merupakan alat bukti bebas yang tergantung pada pertimbangan
hakim. Terdapat beragam klasifikasi dalam pengakuan sebagai alat bukti, termasuk pengakuan tegas
dan diam-diam, di dalam persidangan dan di luar persidangan, serta pengakuan murni dan bersyarat.

Dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PERATUN) tidak memberikan rincian
mengenai klasifikasi pengakuan para pihak. Oleh karena itu, dalam kasus-kasus yang melibatkan
pengakuan, pengadilan dapat menggunakan metode penafsiran interdisipliner dengan merujuk
kepada Hukum Acara Perdata yang juga mengatur pengakuan sebagai alat bukti. Meskipun UU
PERATUN hanya menjelaskan bahwa pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali dengan
alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim, metode penafsiran ini memungkinkan penggunaan
kaidah hukum lain untuk memberikan kejelasan dalam penilaian pengakuan dalam konteks peradilan
tata usaha negara.
TERIMA
KASIH

Anda mungkin juga menyukai