Anda di halaman 1dari 4

EKSPLORASI ETNOMATEMATIKA TERHADAP

PEMBUATAN PEMPEK KHAS PALEMBANG

M. Imron Rusyadi Simangunsong1


e-mail : rusadi0506@gmail.com1
Penddidikan Matematika,Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan,
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
Jl.Wiliam Iskandar Ps. V,Medan Estate, Kec. Percut Sei Tuan,Kabupaten Deli
Serdang,Sumatera Utara 20371

Abstrak :

Kata-kata kunci :

PENDAHULUAN

Matematika memiliki peran sentral dalam dunia pendidikan, dianggap sebagai landasan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan lainnya (Putra & Andriani, 2021). Matematika dianggap dasar untuk
berbagai disiplin ilmu karena hampir setiap ilmu mencakup unsur matematika (Luritawaty, 2019). Selain
itu, matematika memiliki berbagai aplikasi dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam bidang
ekonomi dan bidang lainnya (Putra & Andriani, 2021).
Dalam konteks pembelajaran matematika, guru umumnya menggunakan masalah kontekstual
sebagai awal pembelajaran (Fadilah & Afriansyah, 2021). Namun, terdapat kecenderungan di mana
konteks yang digunakan tidak selalu terkait dengan lingkungan siswa. Hal ini dapat disebabkan oleh
pengambilan konteks dari buku teks matematika sehingga siswa kesulitan membayangkan atau
memahami konteks yang diajarkan. Padahal, nilai-nilai budaya dan sosial yang ada di masyarakat dapat
efektif membantu siswa memahami pengetahuan matematika (Supriadi, Dahlan, Sari & Madio, 2021).
Konteks kehidupan nyata dianggap penting dalam pembelajaran matematika karena banyak siswa
mengalami kesulitan mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari (Nurkamilah &
Afrainsyah, 2021). Sayangnya, seringkali pembelajaran matematika hanya dianggap sebagai tempat
untuk mengaplikasikan konsep, bukan sebagai alat dan sumber pengetahuan matematika itu sendiri. Hal
ini dapat membuat matematika dianggap kurang bermakna oleh siswa (Dahlan, 2018). Untuk mengatasi
hal ini, Zeichner merekomendasikan guru untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip kebudayaan dalam
kegiatan pembelajaran, baik sebagai bahasa pengantar maupun melalui aktivitas sosial masyarakat
(Dahlan, 2018; Gustiani & Puspitasari, 2021).
Indonesia, sebagai negara kepulauan, ditandai oleh keberagaman budaya yang kaya dan berbagai
suku bangsa. Keberagaman ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk lokasi geografis, pola gaya
hidup, keyakinan keagamaan, dan mata pencaharian lokal. Faktor-faktor ini berkontribusi pada
kekayaan praktik budaya, suku bangsa, tradisi, rumah tradisional, bahasa daerah, pakaian tradisional,
serta berbagai makanan atau jajanan tradisional yang tersedia di pasar tradisional. Menurut Marwanti
(2011), makanan tradisional adalah bahan pokok yang dikonsumsi setiap hari, baik sebagai hidangan
reguler maupun hidangan istimewa, dan telah diwariskan turun-temurun. Jajanan pasar tradisional
mencerminkan keberagaman budaya yang terwujud dalam bentuk, rasa, warna, dan aroma mereka.
Bishop menekankan pentingnya integrasi nilai-nilai budaya masyarakat dalam pembelajaran
matematika, karena hal ini dapat memengaruhi perilaku individu dan berkontribusi pada perkembangan
pemahaman individu terhadap matematika (Dahlan, 2018). Oleh karena itu, Zhang & Zhang berpendapat
bahwa proses internalisasi ethnomatematika diperlukan dalam kegiatan pembelajaran matematika
(Dahlan, 2018; Arofah & Noordyana, 2021).
Etnomatematika merupakan konsep matematika yang terkait dengan suatu budaya (Nursyeli &
Puspitasari, 2021), yang dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pemahaman dalam
pembelajaran matematika (Faqih, Nurdiawan, & Setiawan, 2021). Secara etimologis, istilah
etnomatematika berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari tiga kata: "Ethno," "Mathema," dan "Tics"
(Fitriyah & Syafi’I, 2022). "Ethno" merujuk pada konteks sosial budaya, termasuk adat, kebiasaan, budaya
masyarakat, mitos, dan simbol-simbol dalam masyarakat (Mulyani & Natalliasari, 2020). Sementara itu,
"Mathema" diartikan sebagai menjelaskan, mengetahui, melakukan kegiatan, mengukur, dan
menyimpulkan. Kata "Tics" berasal dari kata "techne," yang berarti Teknik. Dalam konteks istilah,
etnomatematika dianggap sebagai antropologi budaya pada matematika dan pendidikan matematika
(Turmudi, 2007; Puspasari, Rinawati, & Pujisaputra, 2021).
Matematika masih sering dianggap sebagai subjek yang sulit, menakutkan, dan membosankan bagi
sebagian siswa. Beberapa orang berpendapat bahwa matematika hanya sebatas hiburan dan terbatas
pada serangkaian perhitungan, permainan, dan persamaan yang dapat membuat siswa merasa bingung
(Febriyanti, 2019). Meskipun banyak yang menganggap matematika hanya relevan untuk dipelajari di
lingkungan sekolah, faktanya banyak orang tidak menyadari bahwa mereka secara aktif menggunakan
konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam berdagang, membangun rumah atau
gedung, dan bahkan dalam proses memasak.
Dalam realitasnya, konsep matematika yang diajarkan di sekolah dapat berbeda dengan
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Dwidayanti (2018) menekankan bahwa penting untuk
mengaitkan pembelajaran matematika dengan situasi kehidupan sehari-hari. Perbedaan persepsi ini
menunjukkan bahwa manusia perlu memahami dan mengenali relevansi matematika dalam konteks
kehidupan sehari-hari. Dengan menghubungkan keduanya, pembelajaran matematika dapat menjadi
lebih bermakna dan membantu siswa dalam memahami konsep secara lebih baik. Dengan demikian,
pembelajaran matematika dapat menjadi lebih mudah dipahami oleh siswa jika dikaitkan dengan
aplikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Matematika sering dianggap jauh dari realitas kehidupan sehari-hari karena lebih banyak
menggunakan konsep dan teori (Masfufah & Afriansyah, 2021). Oleh karena itu, penting untuk
mengintegrasikan unsur budaya masyarakat ke dalam pembelajaran matematika, yang dikenal sebagai
etnomatematika. Tujuan utama etnomatematika adalah mengakui variasi cara pandang dalam
matematika dengan mempertimbangkan pengetahuan matematika yang dikembangkan oleh budaya
masyarakat. Dengan etnomatematika, matematika dapat didekati dengan konteks budaya, karena
budaya pada dasarnya mengandung unsur-unsur matematika. Selain itu, tujuan pembelajaran
matematika berbasis etnomatematika adalah membantu peserta didik mentransformasikan nilai-nilai
budaya untuk membangun karakter bangsa (Romadoni, 2017; Rhamdania & Basuki, 2021).
Proses pembelajaran etnomatematika dilakukan dalam lingkup masyarakat setempat, dan hubungan
antara pembelajaran dan kebudayaan masyarakat sangat erat (Nurfadilah & Afriansyah, 2022). Oleh
karena itu, etnomatematika dianggap sebagai solusi yang sangat tepat untuk diintegrasikan dalam proses
pembelajaran.Dalam konteks efektivitas Etnomatematika dalam pembelajaran matematika, integrasi
budaya dalam pembelajaran matematika memberikan dampak positif terhadap pemahaman siswa
terhadap materi pembelajaran. Pembelajaran berbasis Etnomatematika tidak hanya berfungsi untuk
meningkatkan pemahaman matematika, tetapi juga dapat menanamkan nilai-nilai karakter dan
menghidupkan rasa cinta serta pengetahuan terhadap budaya Indonesia yang mungkin terabaikan akibat
kemajuan teknologi. Menurut Rosa & Oray serta Brandit & Chernoff, pendekatan Etnomatematika sangat
sesuai dengan teori konstruktivisme yang membantu siswa mengaitkan mata pelajaran sekolah dengan
pengalaman dan pengetahuan sebelumnya, sehingga dapat meningkatkan pemahaman dan pengetahuan
matematika siswa (Fauzi & Lu’luilmaknun, 2019). Salah satu kuliner di Indonesia pada proses
pembuatannya yang memiliki konsep pembelajaran matematika yaitu Pempek khas Palembang.
Kuliner merupakan bagian integral dari kearifan lokal dan mencerminkan identitas budaya yang
mudah dikenali oleh masyarakat. Kuliner tidak hanya sekadar makanan, melainkan juga merupakan
aspek dari budaya yang menunjukkan keterkaitan sosial. Konsumsi makanan, termasuk siapa
yang ]menyajikannya, memiliki peran penting dalam membentuk makna relasi sosial (Sri, 2018). Di
Indonesia, berbagai kuliner menjadi identitas budaya, salah satunya adalah kuliner khas kota Palembang,
Sumatera Selatan, yaitu pempek, sebuah makanan yang terbuat dari campuran tepung sagu dan ikan
giling.
Menurut buku "Pempek Palembang Makanan Tradisional dari Kota Palembang Provinsi Sumatera
Selatan," pempek pertama kali ditemukan pada zaman Kerajaan Sriwijaya, sekitar abad ke-7 Masehi,
sebagaimana terungkap dalam temuan Prasasti Talang Tuo yang menyebutkan bahwa tanaman sagu
sudah ada pada periode tersebut.
Namun, berdasarkan buku "Teks Bacaan Berbasis Budaya Lokal Sumatera Selatan Bagi Siswa
Sekolah Menengah Kejuruan" (2022) karya Rita Inderawati dkk., pempek mulai dikenal di Palembang
seiring dengan kedatangan perantau Tionghoa di kota tersebut, terutama pada abad ke-16 saat masa
pemerintahan Sultan Badaruddin II dari Kerajaan Palembang Darussalam. Pada masa ini, makanan ini
disebut 'kelesan' dan merupakan bagian dari acara adat di dalam Rumah Limas.
Awalnya, pempek dibuat oleh orang asli Palembang dan kemudian dititipkan kepada orang
Tionghoa untuk dijual. Pada tahun 1916, pempek mulai dijual secara berkeliling oleh orang-orang China
yang menjajakannya dari kampung ke kampung dengan berjalan kaki. Lokasi penjualan utama pada saat
itu adalah kawasan keraton, yang kini menjadi kawasan Masjid Agung dan Masjid Lama Palembang.
Nama "pempek" sendiri berasal dari panggilan oleh pembeli kepada penjual kelesan yang disebut
'empek' atau 'apek' dalam bahasa China, yang artinya "paman." Para pembeli biasanya memanggil
penjual kelesan dengan memanggil 'Pek, empek,' dan dari situlah muncul nama "pempek" yang terus
digunakan hingga sekarang.
Sejarah kemunculan pempek di Palembang dapat ditelusuri hingga abad ke-VII, pada masa kerajaan
Sriwijaya. Pada prasasti Talang Tuo, dapat diidentifikasi bahwa tanaman sagu sudah dikenal oleh
masyarakat Palembang pada abad tersebut. Prasasti ini juga mencatat bahwa pada saat itu, penduduk
Palembang sudah familiar dengan makanan berbahan dasar sagu yang dicampur dengan ikan
(Syarifuddin, 2020). Temuan arkeologis dari Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi Palembang,
khususnya di lokasi penemuan prasasti Talang Tuo, menunjukkan sisa-sisa tanaman seperti bambu dan
pohon palem. Di antara tanaman-tanaman tersebut, pohon sagu atau yang dikenal sebagai Rembia atau
Rembia oleh masyarakat Palembang tumbuh subur, sesuai dengan pengetahuan dalam prasasti tersebut
(Efrianto, 2014).
Kemudian menurut Sejarawan Palembang, Amin, menyatakan bahwa kuliner pempek mengalami
perkembangan yang signifikan pada tahun 1980 (Amin, 06/09/2021). Pada periode yang sama, data
menunjukkan bahwa persentase hotel dan restoran di Palembang yang menyajikan pempek berkisar
antara 44,4% hingga 66,7% (Astawan, 2010). Peningkatan minat terhadap kuliner pempek juga terlihat
menjelang Hari Raya, seperti yang terlihat dari pengiriman kargo dari Bandara Internasional Sultan
Mahmud Badaruddin II berupa paket makanan pempek. Ribuan butir pempek dikirimkan kepada warga
asli Palembang yang berada di perantauan, bahkan mencatat rekor pengiriman terbanyak mencapai 7 ton
per hari (Anita, 2014). Fenomena ini membuat kuliner pempek sangat diminati oleh berbagai lapisan
masyarakat di Sumatera Selatan, Indonesia, bahkan hingga ke luar negeri. Di tengah kota Palembang,
terdapat pusat penjualan kuliner pempek yang dikenal sebagai Kampung Pempek 26 Ilir.
Banyak penelitian etnomatematika yang telah dilakukan untuk mengeksplorasi konsep matematika.
Beberapa penelitian tersebut mencakup: (1) Julia Astuti (2023) dengan judul pengembangan instrumen
evaluasi literasi matematis berdasarkan perspektif multiple intelligence berbasis etnomatematika pada
budaya palembang. (2) Muhammad Yusril (2023) Mahendra mengenai etnomatematika terhadap proses
pembuatan. (3) Lusiana Harahap (2022) meneliti tentang Eksplorasi etnomatematika pada motif batik
medan
Meskipun penelitian-penelitian tersebut telah menggunakan konsep etnomatematika,perbedaannya
terletak pada objek yang diteliti. Oleh karena itu, penulis merasa sangat tertarik untuk melanjutkan
penelitian tentang eksplorasi etnomatematika terhadap pembuatan pempek khas palembang. Penelitian
khususnya terhadap proses pembuatan pempek khas palembang dianggap sebagai hal yang baru dan
belum banyak diteliti pada tahun ini, dan judul ini dianggap sebagai langkah awal dalam penelitian
tersebut. sehingga jurnal ini dapat dijadikan sebagai menambah wawasan dalam penelitian
etnomatematika terhadap pembuatan pempek khas Palembang
Penelitian ini bertujuan untuk lebih mendalami konsep etnomatematika, khususnya terkait dengan
proses pembuatan pempek khas palembang. Fokus penelitian bukan hanya pada produk akhir,
melainkan pada konsep-konsep matematika yang terkandung dalam proses pembuatannya. Penelitian
ini diharapkan dapat menghasilkan wawasan yang dapat digunakan sebagai media pembelajaran di
lingkungan sekolah. Dengan demikian, konsep-konsep etnomatematika yang teridentifikasi dalam proses
pembuatan pempek khas palembang dapat diaplikasikan untuk mendukung pembelajaran matematika
di sekolah.

METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, metode yang diterapkan adalah etnografi, di mana peneliti melakukan
observasi melalui dokumentasi, wawancara, dan studi literatur yang terkait dengan etnomatematika
pada proses pembuatan Pempek Khas Palembang. Penelitian ini bersifat kualitatif, yang bertujuan untuk
mendeskripsikan konsep matematika yang muncul dalam proses pembuatan Pempek khas Palembang,
sehingga dapat dijadikan sebagai media pembelajaran di sekolah.
Lokasi penelitian dilakukan di Pempek Sentosa yang berlokasi di Jl. Garu II B, Kecamatan Medan
Amplas,Kota Medan,Sumatera Utara. Objek penelitian adalah konsep-konsep matematika yang terdapat
dalam proses pembuatan pempek khas Palembang. Subjek penelitian adalah pedagang Pempek dari
Restoran Pempek Sentosa, yang juga berfungsi sebagai tempat observasi. Teknik analisis data mengikuti
pendekatan Miles dan Huberman, yang mencakup reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan (Ulya & Rahayu, 2020). Reduksi data dilakukan untuk menentukan bagian dari proses
pembuatan Pempek khas Palembang yang terkait dengan konsep matematika. Penyajian data digunakan
untuk memberikan gambaran keseluruhan terkait konsep-konsep matematika yang ditemukan dalam
proses pembuatan Pempek khas Palembang. Kesimpulan kemudian ditarik terkait dengan
etnomatematika dalam pembuatan Pempek khas palembang dan kontribusinya terhadap pembelajaran
matematika.

Anda mungkin juga menyukai