Anda di halaman 1dari 11

TINDAKAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE JENEWA

OLEH PENGADILAN INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Umumnya, traksaksi bisnis didasarkan kepada kepercayaan (trust) antara para


pihak yang berkaitan dengan transaksi tersebut, meski demikian, tidak tertutup
kemungkinan timbul suatu perselisihan antara para pihak.
Dikaitkan dengan upaya penyelesaian atas perselisihan, dewasa ini pelaku bisnis
cenderung lebih menyukai proses penyelesaian melalui lembaga arbitrase, terutama
arbitrase luar negeri karena dinilai lebih profesional dan lebih efisien ketimbang
penyelesaian melalui jalur pengadilan di Indonesia, karena baik bagi para penaman modal
maupun bagi warga biasa yang mencari keadilan, sistem pengadilan di Indonesia sudah
terkenal tidak konsisten dan keputusannya sangat mudah dipengaruhi.

Kecenderungan para pelaku bisnis yang memilih arbitrase sebagai media


penyelesaian, antara lain dapat dilihat dari kasus privatisasi PT Semen Gresik (Persero)
yang berujung di arbitrase internasional, yaitu di International Centre for Settlement of
Investment Disputes (ICSID) yang berkedudukan di Washington DC, Amerika Serikat,
berdasarkan tuntutan diajukan oleh salah satu pemegang saham PT Semen Gresik
(Persero) Tbk, yaitu Cemex Asia Holdings Ltd pada tanggal 10 Desember 2003,
kemudian, dalam hal penyelesaian tunggakan utang Bakrie Nirwana Resort (BNR) pada
Hutama Karya (HK)-Sagita Dumez yang diupayakan penyelesaiannya melalui Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

Dikaitkan dengan upaya penyelesaian melalui lembaga arbitrase yang kemudian


berakhir dengan putusan arbitrase yang memenangkan salah satu pihak, tidak jarang
pihak yang kalah cenderung mencari cara dan upaya untuk menghindari putusan dengan
mencoba mengajukan upaya banding ke pengadilan, padahal jelas hal ini tidak dapat
dilakukan mengingat putusan arbitrase bersifat final dan tidak dapat dilakukan upaya
banding, kasasi maupun peninjauan kembali, sebagaimana hal ini diatur secara tegas
dalam Pasal 60 UU No. 30/1999 tentang Arbitrase, yang menyebutkan bahwa “Putusan
Arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak”.
Upaya lain yang juga sering dilakukan, adalah dengan meminta pembatalan atas
putusan arbitrase kepada pengadilan, dan seringkali permohonan pembatalan ini
dikabulkan oleh Pengadilan di Indonesia, seperti dapat dilihat dari beberapa kasus,
diantaranya Pengadilan Negeri Kudus melalui Putusan No.30/Pdt.P/2002 tanggal 29
Agustus 2002, yang membatalkan Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
No.147/V/ARB/BANI/2001 berkenaan dengan sengketa yang terjadi antara Perusahaan
Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (PERURI) lawan PT Pura Barutama,
kemudian Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang telah menganulir keputusan Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) atas perkara antara Bakrie Nirwana Resort (BNR)
dengan Hutama Karya (HK)-Sagita Dumez.
Salah satu tindakan pembatalan yang dilakukan oleh pengadilan Indonesia yang
cukup menarik perhatian publik internasional adalah pembatalan terhadap Putusan
Arbitrase Internasional Jenewa, Swiss atas perselisihan yang terjadi antara Karaha Bodas
Company (KBC) dan Pertamina, yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
melalui Putusan Nomor 86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST. Pembatalan inilah yang Penulis
kaji dan analisis lebih mendalam dalam makalah ini.

II. Rumusan Permasalahan

Dalam makalah ini, terdapat beberapa hal yang akan menjadi pembahasan
Penulis, yaitu :
1. ketentuan apa saja yang mendasari pengadilan untuk dapat membatalkan putusan
arbitrase ?
2. Apakah pengadilan Indonesia memiliki kewenangan untuk membatalkan Putusan
Arbitrase Internasional ?
3. Dampak dari pembatalan Putusan Arbitrase Jenewa terhadap KBC sebagai investor
asing yang telah menanamkan modalnya di Indonesia.
III. Jenis Data dan Upaya Memperoleh Data

a. jenis data

Data yang akan dipergunakan Penulis dalam penelitian adalah data kualitatif
yang diperoleh dari sumber data sekunder, antara lain diperoleh dari berbagai aturan di
bidang arbitrase, buku-buku, serta dari berbagai makalah maupun artikel di media massa.

b. upaya memperoleh data

Dalam memperoleh data-data yang akan dipergunakan di dalam penelitian,


Penulis akan menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research method),
dengan cara menelusuri, menelaah serta menganalisis berbagai literatur yang
berhubungan dengan ruang lingkup penelitian, baik literatur pokok maupun literatur yang
sifatnya menunjang.

V. Lokasi Penelitian

Penelitian lebih dititikberatkan kepada penelitian kepustakaan (library research),


oleh karena itu lokasi penelitian lebih banyak di perpustakaan, serta tidak menutup
kemungkinan pula untuk melakukan kunjungan kepada instansi terkait.

VI. Analisis Data

Analisa data akan Penulis lakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif,
dimana berdasarkan data-data yang telah terhimpun tersebut, Penulis akan berupaya
untuk menemukan kebenaran dengan cara berpikir deduktif dan menggunakan kriteria
kebenaran koheren, dimana kebenaran atas penelitian sudah dinyatakan reliable tanpa
harus melalui proses pengujian atau verifikasi terlebih dahulu terhadap fakta.
BAB II
PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE JENEWA OLEH PENGADILAN
INDONESIA

I. Kasus Posisi Perselisihan Antara Pertamina dan Karaha Bodas Company

Sengketa yang terjadi antara Pertamina dengan Karaha Bodas Company (KBC),
berawal dari perjanjian Joint Operation Contract (JOC) yang dilakukan pada tanggal 28
November 1994. KBC yang dikontrol oleh FPL Group Florida dan Caithness Energy
New York setuju untuk membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi di Karaha
bodas, Jawa Barat.
Dalam perjalanannya, ketika kondisi proyek masih berada pada tahap
pengembangan dan belum memulai konstruksi, terjadi krisis keuangan Asia 1997 yang
mengakibatkan terbebaninya ekonomi dan anggaran Pemerintah Indonesia, hingga
akhirnya pada tahun 1998, Pemerintah Indonesia menunda proyek tersebut dan proyek-
proyek lainnya sebagai bagian dari rencana mengatasi krisis ekonomi bersama-sama
International Monetary Fund (IMF).
Menanggapi hal ini, KBC berupaya meyakinkan Kongres AS untuk
mengintervensi IMF. Namun ketika upaya tersebut tidak berhasil, KBC mengajukan
tuntutan ke arbitrase Internasional di Jenewa, Swiss, dan pada tahun 2000 arbitrase di
Jenewa, Swiss memenangkan tuntutan KBC sebesar US$ 261 juta dari Pertamina atas
biaya-biaya yang telah dikeluarkan dan potensi kehilangan keuntungan dimasa depan.

Atas Putusan Arbitrase tersebut, pemerintah Indonesia telah melakukan upaya


hukum yakni dengan meminta pengadilan di Swiss untuk membatalkan Putusan Arbitrase
tersebut. Namun, upaya hukum ini tidak dilanjutkan, karena Pertamina tidak memenuhi
pembayaran uang deposit sebagaimana disyaratkan oleh Swiss Federal Suppreme Court.

Sebenarnya, Pertamina telah menawarkan untuk penyelesaian perselisihan secara


jujur proyek panas bumi ini. Akan tetapi, KBC menolak tawaran tersebut dan tetap
meminta pembayaran untuk pekerjaan yang belum selesai dan keuntungan masa depan.
yang sangat spekulatif dan meragukan.
Disamping itu, KBC juga telah melakukan upaya hukum dengan meminta
permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase tersebut di beberapa negara dimana aset dan
barang Pertamina berada, di antaranya, pada tahun 2001, KBC mengajukan permohonan
pada pengadilan di Amerika agar mau melaksakan Putusan Arbitrase Jenewa, Swiss.
Kemudian dilanjutkan kepada pengadilan di Singapura, Hong Kong.
Untuk menghadapi KBC, kembali Pertamina mengupayakan pembatalan atas
Putusan Arbitrase, hanya saja, upaya hukum ini tidak dilaksanakan di Swiss melainkan
diajukan kepada Pengadilan di Indonesia, yakni melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Hingga akhirnya melalui Putusan Nomor 86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST. Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat membatalkan Putusan Arbitrase Jenewa atas perkara antara KBC
dan Pertamina.

II. Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional Ditinjau Dari Peraturan


Perundang-Undangan Indonesia

UU Nomor 30/1999 Tentang Arbitrase (UU Arbitrase) memang memberikan


peluang bagi para pihak untuk mengajukan permohonan pembatalan atas suatu putusan
arbitrase, sebagaimana hal ini diatur dalam Pasal 70 UU Arbitrase, yang isinya :

“Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan


apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan,
diakui palsu atau dinyatakan palsu.
2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang
disembunyikan oleh pihak lawan.

3. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukaan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan sengketa.”

Yang kemudian, ketentuan di atas diperjelas kembali dalam Penjelasan Pasal 70


menyebutkan bahwa:

“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah
didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam
pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan
bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti maka putusan pengadilan ini
dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau
menolak permohonan.”
Dari Pasal 70 di atas, dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya UU Arbitrase membuka
kemungkinan bagi para pihak untuk meminta pembatalan atas suatu putusan arbitrse,
namun tindakan pembatalan putusan arbitrase oleh pengadilan tidaklah mudah,
melainkan harus didasarkan kepada adanya unsur-unsur pidana dalam putusan arbitrase
tersebut, seperti antara lain adanya dokumen-dokumen palsu atau adanya unsur tipu
muslihat, yang mana unsur pidana tersebut juga mesti dibuktikan terlebih dahulu dalam
sebuah putusan pengadilan.

Dikaitkan dengan perkara yang terjadi antara Pertamina dengan KBC, ketentuan
mengenai pembatalan Putusan Arbitrase dalam UU Arbitrase di atas, tidak dapat
diterapkan begitu saja, melainkan harus memperhatikan kepada kaidah-kaidah dalam
hukum Internasional, mengingat bahwa di dalam perkara antara KBC dan Pertamina
mengandung unsur asing/internasional.

III. Kewenangan Pengadilan Indonesia untuk Membatalkan Putusan Arbitrase


Jenewa

Sebelum masuk kepada pembahasan mengenai berwenang atau tidaknya


Pengadilan Indonesia untuk membatalkan Putusan Arbitrase asing tersebut, Penulis
hendak menjabarkan mengenai hukum yang terkait dengan proses arbitrase. Menurut
Pendapat Prof. Hikmahanto Juwana, setidaknya di dalam proses arbitrase terdapat tiga
jenis hukum yang berlaku 1.

Pertama, hukum materiil (Substantive law) yang digunakan untuk memutus


perkara oleh arbiter, yang biasanya ditentukan oleh para pihak yang bersengketa, atau
apabila tidak terdapat kesepakatan, akan ditentukan oleh arbiter

Kedua adalah hukum acara (procedural law) yang mengikat bagi arbiter dan para
pihak dalam proses pemeriksaan hingga adanya putusan.

1
Hikmahanto Juwana,“Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional oleh Pengadilan Nasional”, Jurnal
Hukum Bisnis, Volume21, Tahun 2001
Ketiga, yaitu hukum dari suatu negara yang mendasari penyelesaian sengketa
melalui arbitrase, yang dikenal dengan istilah Lex Arbitri. Umumnya Lex Arbitri
dianggap sebagai kaidah yang memaksa dari negara dimana proses arbitrase tersebut
dilangsungkan, dan dalam hal terjadi suatu pembatalan atas Putusan Arbitrase, maka hal
ini akan sangat tergantung kepada kaidah memaksa dari negara dimana arbitrase tersebut
dilangsungkan.

Di dalam menentukan apakah pengadilan suatu negara dapat melakukan


pembatalan atas Putusan Arbitrase Internasional, maka terdapat 2 faktor yang perlu
diperhatikan, yang pertama adalah unsur “negara tempat dilangsungkannya arbitrase”
(seat) dan yang kedua adalah Lex Arbitri. Kedua hal ini merupakan faktor penentu bagi
pengadilan yang memiliki wewenang untuk melakukan pembatalan atas Putusan
Arbitrase Internasional. Dalam kaitannya dengan Lex Arbitri, masing-masing negara
memiliki Lex Arbitri. Misalkan di Swiss, Lex Arbitri diatur dalam International
Arbitration Convention, di Malaysia diatur dalam Arbitration act 1952, sedangkan di
Indonesia Lex Arbitri diatur dalam UU Arbitrase2.

Kembali kepada permasalahan tentang tindakan pembatalan Putusan Arbitrase


Jenewa, bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memiliki kewenangan
untuk memeriksa dan melakukan pembatalan atas Putusan Arbitrase Jenewa antara
Pertamina dan KBC.

Bahwa sebagaimana telah diperjanjikan Perjanjian Joint Operation Contract,


Pertamina dan KBC telah sepakat untuk memilih Jenewa sebagai tempat
dilangsungkannya arbitrase, sehingga konsekuensinya, Lex Arbitri yang berlaku adalah
Pengadilan Swiss. Oleh karena itu, pengadilan yang lebih berwenang untuk membatalkan
Putusan Arbitrase Jenewa tersebut adalah pengadilan di Jenewa, yaitu Swiss Federal
Supreme Court.

Penafsiran Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas ketentuan dalam
pembatalan putusan arbitrase yang diatur UU Arbitrase, di dalam menentukan
kewenangannya, patut dipertanyakan.
2
Op. cit 1
Menurut pendapat Penulis, pembatalan putusan arbitrase sebagaimana diatur
dalam UU Arbitrase hanyalah dapat dilakukan terhadap putusan arbitrase yang dibuat di
Indonesia.

Jika kita melihat kepada substansi dari UU Arbitrase, tidak terdapat ketentuan
dalam UU Arbitrase yang memberikan peluang bagi pengadilan Indonesia untuk
membatalkan putusan arbitrase internasional. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan istilah
di dalam UU Arbitrase, yang mana dalam Pasal 70 s/d 72 hanya menyebutkan ‘Putusan
Arbitrase” dan bukan “Putusan Arbitrase Internasional”.

Dengan demikian, mengacu kepada ketentuan UU Arbitrase dapat disimpulkan


bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan
Putusan Arbitrase Jenewa. Konsekuensi dari hal ini, maka patut dipertanyakan bagaimana
dengan tanggapan pengadilan negara lain terhadap putusan pembatalan tersebut. Apakah
pengadilan negara lain mau memperhatikan dan mengakui putusan pembatalan tersebut
atau tidak.

Mengingat bahwa pembatalan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat secara teori
tidak dapat dilakukan, maka adalah wajar bila pengadilan negara lain dapat saja
menyatakan pihaknya tidak mengakui dan tidak merasa terikat dengan putusan
pembatalan oleh pengadilan di Indonesia tersebut.

III.Dampak dari Tindakan Pengadilan Indonesia Terhadap Karaha Bodas


Company selaku Investor Asing Di Indonesia

Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional yang dilakukan oleh Pengadilan


Indonesia, jelas-jelas menarik perhatian, tidak hanya dari kalangan nasional namun juga
masyarakat internasional.

Pembatalan Putusan Arbitrase Jenewa oleh Pengadilan Negeri Jakarta, jelas


memberikan dampak negatif bagi KBC selaku investor asing yang telah menanamkan
modalnya di Indonesia. Persepsi dan kepercayaan KBC terhadap sistem hukum Indonesia
jelas akan semakin kurang, dan tidak menutup kemungkinan pula kepada pandangan
masyarakat internasional.
Kondisi ini tentu saja akan semakin menguatkan pendapat Political and Economic
Risk Conscultancy Ltd, yang berdasarkan kepada hasil penelitiannya, menyatakan bahwa
Indonesia merupakan negara yang menempati posisi terburuk dalam hal sistem hukum di
Asia.3

Padahal faktor penting yang patut diperhatikan adalah sistem hukum yang solid
dan kepastian hukum merupakan faktor penentu bagi para pengusaha asing dalam
mempertimbangkan dan memutuskan tindakannya untuk menanamkan modalnya di
Indonesia.

Dengan adanya kejadian semacam ini, tentunya bukanlah sesuatu yang


mengherankan jika KBC maupun investor asing lainnya, mengalihkan investasinya ke
negara lain, yang dinilai memiliki sistem hukum yang mampu mendukung dan
melindungi kegiatan bisnis investor asing.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

Dengan mengacu UU Arbitrase dan didukung pula dengan kaidah internasional,


dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Indonesia tidak mempunyai kewenangan untuk
membatalkan Putusan Arbitrase Jenewa antara KBC dengan Pertamina.

3
Kompas, 17 September 2002.
Tindakan pembatalan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut menunjukkan
bahwa pengadilan indonesia telah bertindak sendiri tanpa memperhatikan dan
mempertimbangkan hal-hal lain, apalagi, jika melihat kepada UU Arbitrase yang pada
dasarnya tidak memberikan peluang bagi pengadilan Indonesia untuk membatalkan suatu
putusan arbitrase internasional, melainkan hanya dapat membatalkan suatu putusan
arbitrase yang dibuat di Indonesia, itupun hanya dapat dilakukan, jika terdapat unsur-
unsur sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 70 UU Arbitrase, yang pada hakikatnya lebih
mengarah kepada unsur-unsur pidana.
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan :
1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa Umum;

Buku-buku :
1. Ilmar, Aminuddin, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Cetakan Pertama,
Kencana, Jakarta, 2004;
2. Mahkamah Agung RI, Kapita Selekta Arbitrase dan Permasalahannya, 2003;
3. Rajagukguk, Erman, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Cetakan Pertama,
Chandra Pratama, 2000;

Makalah / artikel :
1. Faizal, Elly Burhaini, “Menyoal Gugatan Cemex CA de CV (1), Soal Arbitrase, Laks
Pesimis”;
2. Juwana, Hikmahanto, “Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional oleh Pengadilan
Nasional”; Jurnal Hukum Bisnis, Volume 21, Tahun 2001;
3. Memi, Cut, “Pilihan Hukum dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional”,
Jurnal Era Hukum, No. 2, Tahun 1, Oktober 1994;
4. Panggabean, H.P.,”Efektifitas Eksekusi Putusan Arbitrase Dalam Sistem Hukum
Indonesia”; Jurnal Hukum Bisnis, Volume 21, Tahun 2001;

Anda mungkin juga menyukai