Anda di halaman 1dari 7

Bahan Ajar 13 Februari 2023

Tujuan:
1. Memahami gagasan Patristik yang merupakan awal terbentuknya model berpikir
eklesiastik.
2. Memahami Cara berpikir Patristik lewat Agustinus
3. Memahami pola filsafat dan gagasan Agustinus berkaitan dengan hubungan Tuhan
dan manusia
Materi:

3.3 Pokok Pikiran Patristik: St. Agustinus 354 – 430 Iman dan Pengetahuan

3.3.1 Hidup St Agustinus


Agustinus merupakan anak tertua dari Santa Monika. Ia dilahirkan pada 354 di
Tagaste, sebuah kota di Algeria Afrika utara yang merupakan wilayah Romawi saat itu. Pada
masa mudanya, Agustinus hidup dengan gaya hedonistik untuk sementara waktu. Pendidikan
dan karier awalnya ditempuhnya dalam filsafat dan retorika, seni persuasi dan bicara di depan
publik. Ia mengajar di Tagaste dan Karthago, namun ia ingin pergi ke Roma karena yakin
bahwa di sanalah para ahli retorika yang terbaik dan paling cerdas berlatih. Namun demikian
Agustinus kemudian kecewa dengan sekolah-sekolah di Roma, yang dirasakannya
menyedihkan. Sahabat-sahabatnya yang mengikuti ajaran Manikeisme memperkenalkannya
kepada kepala kota Roma, Simakhus, yang telah diminta untuk menyediakan seorang dosen
retorika untuk istana kerajaan di Milano.
Uskup Milano, Ambrosius, yang mempunyai pengaruh yang paling mendalam
terhadap hidup Agustinus. Ambrosius adalah seorang jagoan retorika seperti Agustinus
sendiri, namun lebih tua dan lebih berpengalaman. Sebagian karena khotbah-khotbah
Ambrosius, dan studi-studinya yang lain, termasuk suatu pertemuan yang mengecewakannya
dengan seorang tokoh teologi Manikean, Agustinus beralih dari Manikeanisme. Namun
bukannya menjadi Katolik seperti Ambrosius, ia malah mengambil pendekatan
Neoplatonisme kafir terhadap kebenaran, dan mengatakan bahwa selama beberapa waktu ia
merasakan bahwa ia benar-benar mengalami kemajuan di dalam pencariannya, meskipun
pada akhirnya ia justru menjadi seorang skeptis.

1
Pada musim panas tahun 386, setelah membaca kitab Roma yang sangat
memukaunya, Agustinus mengalami suatu krisis pribadi yang mendalam dan memutuskan
untuk menjadi seorang Kristen. Ia meninggalkan kariernya dalam retorika, melepaskan
jabatannya sebagai seorang profesor di Milano, dan gagasannya untuk menikah (hal ini
menyebabkan ibunya sangat terperanjat), dan mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk
melayani Allah sebagai imam, termasuk selibat.
Pengajaran St. Agustinus dipengaruhi oleh semangat pertobatannya. Hal ini bertolak
dari pengalaman di taman kota Milan Sebuah pengalaman penting yang memengaruhi
pertobatannya ini adalah suara yang didengarnya pada suatu hari menyampaikan pesan
kepadanya melalui sebuah nyanyian kecil untuk "Mengambil dan membaca" Alkitab. Pada
saat itu ia membuka Alkitab dengan sembarangan dan menemukan sebuah ayat dari Paulus.
Ia menceritakan perjalanan rohaninya dalam bukunya yang terkenal Pengakuan-pengakuan
Agustinus yang kemudian menjadi sebuah buku klasik dalam teologi Kristen maupun sastra
dunia.
Bagian pertobatan dari Agustinus mengungkapkan bahwa:
– Bertolak dari Confessiones yang mengungkapkan perjalanan pengenalan St
Agustinus akan Logos
– Menggambarkan perjalanan akan rahmat yang menyangkut ruang dan waktu

3.3.2 Gagasan-gagasan pemikiran St Agustinus


Pikiran Agustinus berorientasi antara filsafat antik dan kekristenan, antara filsafat dan
agama, antara filsafat dan teologi. Ia mengungkapkan persoalan-persoalan yang terkait
dengan cara istilah-istilah yang berbeda, dalam arti lewat pencerahan penjelasan yang baru.
Pengajarannya terkait pada tradisi pewahyuan, dan ia menambahkan lagi sesuatu yang lain
yakni bersandar pada pengalaman hidup dan pengalaman intelektual. Artinya bahwa ia
menunjukkan kapasitasnya untuk menghidupkan kembali pengalaman hidupnya melalui
pembacaan kembali kehidupannya dalam terang pewahyuan. Filsafat sedemikian ini
mengedepankan dimensi eksistensial dalam pengalaman rohani Agustinus sendiri, itulah
pengalaman iman1.
Agustinus juga menekankan pentingnya pemahaman hubungan antara iman dan akal
budi. Akal budi mempunyai kepentingannya sendiri di mana keabsahannya tanpa batas. Akal

1 Pengakuan-pengakuan, buku XI.

2
budi memiliki otonominya dalam menyatakan sebuah kebenaran yang sah. Di lain pihak, iman
berhubungan dengan pewahyuan yang mana bagi orang percaya hal ini lebih dekat pada
kebenaran yang mana akal budi perlu tunjukkan kepada orang percaya. Sebab sumber
pewahyuan adalah Tuhan sendiri.

3.3.3 Pola filsafat St Agustinus Skema/Paradigma yang nampak

Agustinus tetap merupakan seorang figur pusat, baik dalam Kristen maupun dalam
sejarah pemikiran Barat. Dalam argumen filsafat dan teologinya, dia banyak dipengaruhi oleh
Platonisme dan Neoplatonisme, terutama oleh karya Plotinos, penulis Enneads, kemungkinan
melalui perantaraan Porphyrus dan Victorinus. Pandangannya yang umumnya positif
terhadap pemikiran Neoplatonik ikut menolong "dibaptiskannya" pemikiran Yunani dan
masuknya ke dalam tradisi Kristen dan kemudian tradisi intelektual Eropa. Tulisan awalnya
yang berpengaruh tentang kehendak manusia, sebuah topik sentral dalam etika, kelak
menjadi fokus bagi para filsuf berikutnya seperti Arthur Schopenhauer dan Friedrich
Nietzsche.

3.3.3.1 Fides quaerens intellectum


Sistim filsafat Agustinus bertolak dari ungkapan Fides Quaerens Intellectum. Gagasan
dasar dari ungkapan ini adalah : dengan bantuan akal budi akan memperkaya iman, dan bisa
sampai pada kebenaran, dimana Tuhan adalah kebenaran itu
• Iman mendahului pengertian sendiri. Pengetahuan sendiri diperoleh berdasarkan
pewahyuan KS. jdi pengetahuan dan iman memiliki hubungan
• Iman mencari pengertian yg erat.

• Iman adalah kondisi mutlak dari pengertian


Hal ini berarti bahwa kita hanya dapat mencapai hal esensial lewat bantuan dari satu
akal budi. Agar supaya akal budi dapat mencapai sasarannya maka perlulah untuk
memperkaya iman. Pada dirinya sendiri iman tidak dapat mencapainya.
Di sini tampak bahwa Agustinus menempatkan unsur pengetahuan dalam konteks
pengajaran yang berkaitan dengan iman/pewahyuan. Ia tidak mempertentangkan keduanya
melainkan menempatkan pengetahuan sebagai langkah menuju pada pemahaman atas iman.

3.3.3.2 Metode absurd


Dalam pemikiran Agustinus, absurd memainkan peranan penting. Hal ini tampak
dalam ungkapan : “Saya percaya bahwa absurd” hal ini menunjukkan :Semua yang taat pada
aturan-aturan dari logika kita adalah pertama-tama manusiawi. Sebaliknya apa yang Ilahi,

3
yang terdapat di atas dari tata manusiawi, tidak membiarkan diri direduksikan pada yang
manusia atas cara apa pun.
Dengan demikian apa artinya tanda Ilahi ketika manusia mencoba memikirkannya.
Itulah kegagalan penggunaan logika; dengan kata lain yang Ilahi hanya dapat dipikirkan
melalui kontradiksi-kontradiksi, dalam bentuk absurd. Absurd menjadi tanda Ilahi. Namun
harus diperhatikan bahwa absurd hanya dikenal secara demikian dan hanya mendapatkan
pengertiannya bagi pemikiran yang tunduk pada logika. Kontradiksi hanya berdaya guna dan
mempunyai realitasnya melalui pemahaman dan akal budi yang memahaminya dan
menolaknya.

3.3.4 Gagasan-gagasan St Agustinus

Dalam bagian ini akan dibahas beberapa gagasan St Agustinus yang dipandang sebagai
gagasan dasar dalam kekristenan. Tema-tema yang diangkat di sini dipandang
menggambarkan orisinalitas pemikirannya. Namun di sini tidaklah dibahas isi konsep-
konsepnya, melainkan lebih untuk melihat proses pemikirannya berkaitan dengan kebutuhan
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan pendasaran pertobatan
dalam kekristenan. Cara pandang sedemikian sungguh merupakan ciri khasnya yang juga
menjadi cara pandang kekristenan atas paskah Kristus.

3.3.4.1 Penciptaan: Creatio ex nihilo


Gagasan penciptaan menurut Agustinus bertolak dari ungkapan : creatio ex nihilo.
Dijelaskan bahwa segala hal yang tercipta itu berasal dari ketiadaan (In principo erat
Verbum).2 Penciptaan di sini dilihat sebagai gagasan yang berkaitan dengan asal-usul dunia
realitas. Dalam penjelasannya, ia menekankan bahwa penciptaan merupakan tindakan
keilahian murni yang bertolak dari ketiadaan.
Konsep sedemikian adalah hal baru dalam konteks pemikiran pada waktu itu. Sebab
jika bertolak dari konteks pemikiran Yunani maka konsep sedemikian tidaklah dikenal.
Pemikiran Yunani hanya berbicara tentang kisah Demiurgos, yakni sang tukang yang membuat
dunia realitas. Oleh Agustinus, gagasan sedemikian diubah menjadi sebuah proses keilahian
yang bertolak dari Sabda yang adalah Logos.

2 Bdk. Pembukaan Injil Yohanes.

4
Konsep ini merupakan permenungan atas kisah penciptaan yang termuat dalam Kitab
Perjanjian Lama: Genesis (Γένεσις). Di dalamnya, termuat gagasan tentang menghadirkan
sesuatu. Secara istimewa terdapat tempat bagi Logos/Sabda dalam proses ini.
Di lain pihak, konsep penciptaan asali ini mengungkapkan bahwa terdapat proses
masuk dalam dunia dan dunia ciptaan itu dihasilkan di luar dari waktu itu sendiri. Dalam
konsep ini melahirkan apa yang kenal sebagai problem ruang dan waktu, yang menyangkut
soal kekekalan dan ketidakkekalan

3.3.4.2 Problem waktu dan kekekalan


Masalah waktu dan kekekalan menjadi konsekuensi dari creatio ex nihilo. Waktu itu
muncul karena adanya penciptaan. Dengan demikian penciptaan menempati ruang dan
waktu dunia ini. Dan kekekalan itu berada di luar dari ruang dan waktu. Penciptaan
melahirkan ruang dan waktu sehubungan dengan apa yang di sebut awal dan akhir. Maka
semua ciptaan disebut terbatas justru karena adanya awal dan akhir ini.

3.3.4.3 Rahmat dan kejahatan : Kebebasan


Problem rahmat dan kejahatan yang dijelaskan oleh Agustinus merujuk pada
pandangan yang berkaitan dengan asal-usulnya. Bertolak konfrontasinya dengan kaum
Manikheisme, Agustinus lebih menunjukkan bahwa pengenalan Tuhan adalah yang terutama,
dan hal inilah yang membawa rahmat datang ke dalam dunia. Adanya kejahatan adalah
problem dari kebebasan manusia untuk mengenal akan pengenalan Tuhan tersebut. Dan
dalam kebebasannya manusia bisa memilih yang baik pun yang jahat. Memilih yang baik akan
mendatangkan rahmat, dan pilihan yang lain membawa kejahatan. Kemungkinan untuk
memilih ini adalah karena manusia adalah makhluk-makhluk yang tak sempurna, ditandai
dengan kekurangan-kekurangannya. Sehingga untuk menutup kekurangan sedemikian itu
maka hadirlah pilihan-pilihan3.

3.3.4.4 Dosa dan kedagingan


Gagasan yang menjelaskan dosa asal. Bagi Agustinus dunia adalah baik jika kita
merenungkannya perspektif Allah, tetapi manusia jatuh ke dalam dosa ketika ia melihatnya

3 Jeanne Hersch. L’étonnement philosophique, une histoire de la philosphie, Folio Essais, Gallimard :
1981.

5
dari perspektif manusia. Cinta dunia membawa manusia indrawi ke dalam nafsu dan
membawa manusia ke dalam kecintaan akan dunia sebagai makhluk ciptaan.
Di sinilah dosa bagi Agustinus sebagai kesombongan (Superbia) di mana manusia ingin
menjadi sama dengan Allah, menjadi pencipta seperti Tuhan, sehingga mengubah
(perversitas) « makna asalinya sebagai keberadaan yang diciptakan, yang datang dari luar
dunia ini ».
Dalam bukunya Ad Simplicianum Agustinus mulai mengembangkan gagasannya
tentang dosa asal dan perlunya Rahmat. Bagi Agustinus, kesombonganlah membuat Adam
berdosa dan membawa masuk dosa asal
Di sini bukan mau menekankan soal asal-usul dari dosa, tetapi hendak menekankan
kesalahan yang merusak keaslian (orisinalitas) sebagai makhluk ciptaan.

3.3.4.5 Tuhan
Bertolak dari pandangan tentang penciptaan maka ajaran tentang Tuhan
mengungkapkan beberapa aspek yang menunjuk keberadaan-Nya. Pertama-tama, Tuhan ada
sebelum dunia; sebelum waktu, karena keberadaannya dalam kekekalan dan dialah sang
pencipta, sehingga Tuhan tidak termasuk dalam ciptaannya. Dengan demikian kekekalannya
mempunyai makna dalam perbandingan dengan realitas ciptaan yang memiliki awal dan
akhirnya.
Tuhan adalah transenden. Bertolak dari gagasan platonician dan aristotelesian,
Agustinus menekankan Tuhan yang tak dapat dicapai oleh manusia. Tuhanlah yang menuju
pada manusia. Tuhan adalah misteri dan keberadaan Ilahi. Bagi Agustinus, berlawan dengan
gagasan platonisian tentang Tuhan impersonal, ia menekankan Tuhan yang menjadi daging,
dalam Yesus. Dengan demikian dimensi transenden mempunyai makna ganda, yakni Allah
yang interior dan sekaligus eksterior.
St. Agustinus juga mengedepankan pandangan tentang Trinitas. Pandangan ini
bertolak dari pandangan bahwa Tuhan yang menyejarah. Dalam arti Allah masuk dalam
sejarah menunjuk kepada Allah yang masuk dalam ruang dan waktu. Secara istimewa hal ini
ditunjukkan lewat peristiwa inkarnasi sang Logos Itu sendiri.

3.3.5 Filsafat Patristik = Filsafat Kekristenan ?


Kita dapat menemukan beberapa pokok pikiran filsafat filsafati dalam masa Patristik
ini yang berkembang dalam konteks kekristenan, antara lain :

6
Tuhan: Bertolak dari pandangan tentang penciptaan maka ajaran tentang Tuhan bahwa Ia
sebagai prinsip asali, ada sebelum dunia dan sebelum waktu. Dengan demikian keberadaan
Tuhan adalah transenden
Pandangan tentang Trinitas: Pandangan ini bertolak dari pandangan mengenai Tuhan
yang menyejarah. Lewat kehadiran Yesus maka dikatakan Tuhan masuk dalam sejarah
manusia, karena Ia mengambil bagian dalam ciptaan. Namun Tuhan dalam tradisi Yunani lebih
dilihat dalam konteks bahwa Tuhan adalah substansi atau sebagai Actus Purus adalah kekal
dan tidak mempunyai sejarahnya. Tuhan dalam pandang yudaisme kristiani Terdapat sejarah
surnatural. Sejarah ini mulai dengan penciptaan dunia.

Bahan Bacaan

1. Alain de Libera, La philosophie Médieval, PUF, 2006.


2. Battista Monding. A History of Mediaeval Philosophy, Rome: Urbaniana Univ. Press,
1991.
3. Jeanne Hersch, L’etonement Philosophique, Gallimard, 1993.
4. Maurice, Frederick Denison. Filsafat Abad Pertengahan. Terj. Suprianto Abdullah.
Indoliterasi, Yogyakarta, 2021
5. Pierre Hadot, La philosophie comme manière de vivre, Albin Michel, 2001.
6. Bertrand. Sejarah Filsafat Barat. Kaitannya dengan kondisi sosio politk zaman kuno
hingga sekarang. Terj. Sigit Jatmiko, Agung Prihaatoro, Imam Muttaquiem, Imam
Baihaqi, Muhammad Sodiq. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.

Anda mungkin juga menyukai