Anda di halaman 1dari 6

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI

Nama: Christopher Simanjuntak, Russal Reindy Neonufa, Yohanes Ali Sandro


Mata Kuliah: Gereja Menafsir Alkitab
Dosen Pengampu: Agustinus Setiawidi, D.Th. dan Yusak Soleiman, Ph.D.

Agustinus dari Hippo dan Kitab Suci

Latar Belakang Tokoh


Aurelius Agustinus adalah seorang uskup dari Hippo yang mencetuskan banyak ide-
ide dan salah satu yang terkenal dari karyanya adalah Confessiones1. Dia lahir pada tanggal
13 November 354 di Thagaste. Sebelum menjadi seorang uskup, Agustinus tidak hidup dari
keluarga yang tidak sepenuhnya Kristen2 dan pernah menganut aliran Manikheisme3
(Agustinus 1997, 18). Dalam melakukan penelitian, Agustinus tidak pernah menggunakan
kitab berbahasa Yunani atau Ibrani karena dia enggan mempelajarainya, sehingga dia hanya
menggunakan kitab berbahasa Latin (Agustinus 1997, 16). Titik balik iman Agustinus terjadi
ketika dia menjadi seorang guru pidato di Milano dan berkenalan dengan seorang uskup yang
bernama Ambrosius yang mengubah pandangannya terhadap kitab Perjanjian Lama
(Agustinus 1997, 18).
Kehidupan Agustinus dipenuhi dengan semangat untuk memperluas pengetahuannya.
Ia terus berusaha untuk mengetahui tentang kebenaran sejati. Pada tahun 383, ia berangkat ke
Roma dengan harapan dapat bekerja dengan lebih tenang. Di Roma, ia terpengaruh aliran
Akademi yang meragukan kemungkinan menemukan kebenaran yang mutlak; manusia harus
berpuas diri dengan meyakini sesuatu karena tampaknya masuk akal. Penelusuran mengenai
kebenaran ini diakhiri dengan kesimpulan bahwa bukan kebenaran tak dapat ditemukan,
tetapi bahwa jalan menuju kebenaran itulah yang belum tampak di depan matanya. Agustinus
merasa bahwa jalan itu tak terbuka bagi akal, tetapi harus dibuka oleh petunjuk ilahi. Dalam
hal ini, ia tidak menemukan lagi petunjuk dari kepercayaan kaum Manikheis. Akan tetapi,
1
Buku Confessiones Agustinus telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan Judul Pengakuan-
Pengakuan. Buku tersebut mencatat refleksi Augustinus terhadap perjalanan hidupnya.
2
Patricius termasuk warga kota yang bisa dikatakan terpandang, dan Monika adalah seorang perempuan
Kristen yang saleh. Keduanya merupakan nama dari orangtua Augustinus. Berdasarkan tulisan Gerald Bonner,
Monika selalu mengajarkan Augustinus untuk berdoa dan taat kepada Kristus. Hal tersebutlah yang akhirnya
membentuk pandangan Augustinus terhadap Alkitab (Agustinus 1997, 15-6 dan Bonner 2008, 542).
3
Pandangan Manikheisme tentang Alkitab adalah Alkitab telah dipalsukan dan di dalamnya tidak ditemukan
kebenaran, terlebih lagi kitab Perjanjian Lama yang dianggap tidak relevan (Agustinus 1997, 80 dan McGrath
2017, 79).
Kitab Suci Kristen pun dianggapnya tidak memadai, sebab tampaknya Kitab itu mengandung
begitu banyak perkara yang tidak masuk akal (Agustinus 1997, 18).

Agustinus dan Manikheisme


Salah satu aspek lain yang memengaruhi metode penafsiran Agustinus adalah
persinggungannya dengan agama Manikheisme. Manikheisme adalah agama sinkretisme4
yang ditemukan oleh Mani. Manikheisme percaya pada dualisme antara zat kebaikan dan zat
kejahatan yang saling perang dan hasil dari perang tersebut adalah peleburan zat kebaikan
dan zat kejahatan yang akhirnya menjadi sebuah ciptaan (Agustinus 1997, 80 dan New
Advent website 2020).
Berdasarkan tulisan Gerald Bonner, penyebab Agustinus masuk ke dalam pengajaran
Manikheisme adalah dengan membaca karya Cicero yang berjudul Hortensius, sehingga
membuat Agustinus “meragukan” wibawa Alkitab (Bonner 2008, 542). Manikheisme
mempertanyakan relevansi Perjanjian Lama, dan menurut McGrath Manikheisme menyoroti
bahwa Hukum – dengan merujuk kepada Perjanjian Lama – sudah tidak berlaku lagi karena
Kristus:
They pay attention where it is said that those who are under the Law are in bondage, and
brandish this decisive passage above all others: “You who are justified by the Law are
banished from Christ. You have fallen from grace” (Galatians 5: 4). (McGrath 2017, 79)
Dapat telihat bahwa Manikheisme menafsirkan Alkitab secara literal. Oleh karena Agustinus
sempat masuk ke dalam ajaran Manikheisme, maka Agustinus menggunakan metode tafsir
secara literal. Pada saat itu Agustinus merasa puas dengan penjelasan Manikheisme,
meskipun Manikheisme tidak bisa menyajikan bentuk Alkitab yang tidak dikorupsi dan
ditambah-tambahkan5 (Bonner 2008, 543).
Titik balik pandangan Agustinus terhadap Alkitab dimulai ketika dia pergi ke
Milano6. Secara perlahan Ambrosius membuka sudut pandang baru dalam menafsir Alkitab
sehingga Agustinus meninggalkan ajaran Manekheisme.

Agustinus dan Ambrosius


4
Dikatakan Sinkretisme karena Manikheisme mengadopsi pemahaman Zoroastrianisme, agama Babilonia,
etika Budha, dan sedikit banyak pengajaran Kekristenan.
http://www.newadvent.org/cathen/09591a.htm
5
Dalam terjemahan bahasa Indonesia confessiones, dituliskan bahwa kaum Manekheisme hanya
menyampaikan bahwa Kitab Suci orang Kristen dipalsukan dan tidak bisa memberikan bukti. Mereka selalu
berdalih bahwa jika mereka membuktikan bahwa Kitab Suci orang Kristen dipalsukan, maka mereka akan
dipandang sebagai orang yang memalsukannya (Agustinus 1997, 144).
6
Waktu itu kota Milano membutuhkan seorang guru besar ilmu retorika, dan akhirnya Agustinus diutus ke
Milano (Agustinus 1997, 145)..
Ambrosius merupakan usukup kota Milano yang membantu Agustinus untuk
meneguhkan hatinya yang ragu-ragu terhadap Alkitab. Agustinus mengakui bahwa maksud
awal dia mendengar pengajaran Ambrosius adalah untuk melihat kefasihan berbahasa yang
dimiliki oleh Ambrosius, akan tetapi perlahan hatinya juga tersentuh dengan khotbah
Ambrosius:
“... perkara-perkara yang tidak kuperhatikan itu masuk jugalah ke dalam batinku. Bersama
kata-kata yang menjadi pokok perhatianku ... Sementara hatiku kubuka untuk menangkap
betapa fasih ujarannya, sekaligus masuk pulalah dalam diriku betapa benar ujarannya, tentu
secara bertahap. (Agustinus 1997, 147)

Tentu saja Agustinus masih terbayang ajaran Manekheisme, akan tetapi Ambrosius bisa
menjawab kegundahan hati Agustinus. Ambrosius menggunakan pendekatan alegori untuk
menafsir kitab Perjanjian Lama, yang selama ini dianggap tidak relevan oleh kaum
Manekheisme (Bonner 2008, 543).

Cara Menafsir Agustinus


Metode penafsiran yang dilakukan oleh Agustinus setelah dirinya keluar dari
kelompok Manikheisme terinspirasi dari metode yang dilakukan Ambrosius. Berdasarkan
New Advent, metode penafsiran yang dilakukan oleh Ambrosius adalah “Allegorico-
mystical”7. Hal ini sangat tercermin di dalam surat Amb 63:13: 
“Wherefore also the Lord Jesus, wishing to make us more strong against the
temptations of the devil, fasted when about to contend with him, that we might know
that we can in no other way overcome the enticements of evil. Further, the devil
himself hurled the first dart of his temptations from the quiver of pleasure, saying: If
You be the Son of God, command that these stones become bread. Matthew 4:3
After which the Lord said: Man does not live by bread alone, but by every word of
God; Matthew 4:4 and would not do it, although He could, in order to teach us by a
salutary precept to attend rather to the pursuit of reading than to pleasure. And
since they say that we ought not to fast, let them prove for what cause Christ fasted,
unless it were that His fast might be an example to us. Lastly, in His later words He
taught us that evil cannot be easily overcome except by our fasting, saying: This
kind of devils is not cast out but by prayer and fasting. Matthew 17:21” (New
Advent website)

Metode Alegori sangatlah nampak dalam tafsiran Ambrosius terhadap teks


yang memuat kisah Yesus dicobai iblis pada saat berpuasa dalam Injil Matius. Tanpa
menjelaskan latar belakang atau konteks pada teks tersebut, Ambrosius langsung
mengatakan bahwa Yesus juga menginginkan jemaatnya untuk berpuasa untuk

7
Allegorico-mystical merupakan metode tafsir yang terus mencari makna mistik yang lebih dalam pada suatu
teks, dan kemudian diolah menjadi petunjuk praktis bagi kehidupan orang-orang Kristen.
 http://www.newadvent.org/fathers/340963.htm
melawan cobaan dari iblis. Sehingga, dalam kata lain, ia juga hendak mengajak
jemaatnya untuk berpuasa.

Oleh karena Ambrosius menggunakan metode Alegori, Agustinus akhirnya dapat


melihat hal lain dan dapat menjawab kegelisahan hatinya selama ini ketika mengikuti
Manikheisme. Dalam tulisan McGrath, salah satu ayat yang dikritisi dan menjadi pembukti
bahwa Hukum – merujuk pada Perjanjian Lama – sudah tidak relevan karena kehadiran
Yesus adalah teks Galatia 5:4 “Kamu lepas dari Kristus, jikalau kamu mengharapkan
kebenaran oleh Hukum Taurat; kamu hidup di luar kasih Karunia”. Teks tersebut digunakan
oleh kaum Manikheisme untuk menunjukkan bahwa Perjanjian Lama tidak ada korelasinya
dengan Perjanjian Baru (McGrath 2017, 79).
Sesudah dia bertobat dari ajaran Manikheisme, Agustinus berhasil menunjukkan
korelasi antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dengan menggunakan metode alegori.
Memang jika menggunakan metode literal, tidak salah ketika Manikheisme menyatakan
pandangan tersebut. Akan tetapi ketika menggunakan metode alegori Agustinus
menunjukkan bahwa saat kasih karunia Kristus membebaskan manusia dari penderitaan,
bukan berarti menghapuskan Hukum Taurat, melainkan mengundang manusia untuk masuk
ke dalam kasih-Nya dan tidak menaati Hukum Taurat karena ketakutan:
God thus gave humanity a pedagogue whom they might fear, and later gave them a master
whom they might love. (McGrath 2017, 79)

Konklusi dan Refleksi

Mempelajari sejarah kehidupan Agustinus dalam kaitannya dengan Kitab Suci


memberikan sebuah refleksi bagi kelompok bahwa metode penafsiran merupakan hal yang
penting. Ketika membaca teks Kitab Suci, perlu dipahami terlebih dahulu model tafsir yang
baik untuk digunakan. Sebab, jika penafsir salah memilih model tafsir yang tepat maka hasil
tafsiran yang diperoleh pun tentu keliru. Salah satu model tafsir yang populer pada waktu itu
ialah penafsiran alegoris. Penafsiran alegoris dapat digunakan untuk menemukan makna-
makna tersembunyi dibalik kata-kata yang tertulis dalam teks. Model penafsiran seperti ini
dapat digunakan dalam menafsirkan teks-teks yang tampaknya tidak dapat ditafsirkan secara
literer. 
Bagi kami, model penafsiran alegoris merupakan salah satu alternatif yang baik untuk
digunakan dalam penafsiran teks Kitab Suci hingga saat ini. Melalui dinamika konteks akibat
perkembangan zaman, metode penafsiran teks Kitab Suci perlu disesuaikan kembali agar
relevan dengan konteks masa kini. Kami menilai bahwa metode penafsiran alegoris yang
populer pada abad-abad pertama dan pertengahan cukup relevan jika digunakan juga pada
konteks masa kini.
Daftar Acuan
Agustinus. 1997. Pengakuan-pengakuan. Terj, Winarsih Arifin dan Th. van den End. Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
Bonner, Gerald. 2008. Augustine as biblical scholar in The Cambridge history of the Bible:
From begining to Jerome. Cambridge: Cambridge Univertsity Press. Volume 1.
McGrath, Alister E. 2017. The Christian theology reader. West Sussex: Wiley Blackwell.
Fifth edition.

Website
New Advent website. Ambrose.  http://www.newadvent.org/fathers/340963.htm (dilihat 17
Febuari 2020).
New Advent website. Manichaesim. http://www.newadvent.org/cathen/09591a.htm (dilihat
17 Febuari 2020).

Anda mungkin juga menyukai