Anda di halaman 1dari 11

TANGGAPAN KUASA PEMBAPTISAN PRO-NIKEA DARI

AGUSTINUS TERHADAP PEMBAPTISAN DARI KAUM DONATIS


“Paper ini dibuat untuk memenuhi UAS mata kuliah Sakramentologi 2”

Dosen Pengampu:
Heribertus Winarto, Lic. Theol.

PETER HERMAWAN
700121007

INSTITUTUM THEOLOGICUM IOANNIS MARIAE VIANNEY


SURABAYANUM
2023
PENDAHULUAN
Dalam pertentangannya dengan kaum Donatis tentang hakikat pembaptisan, Agustinus
berkali-kali mengatakan bahwa pelayan utama Sakramen adalah Kristus yang selalu
memberikan Roh Kudus dan bukan seorang uskup. Oleh karena itu, kesucian atau kesalehan
atau keberadaan Roh Kudus dari seorang uskup yang melaksanakan pembaptisan tidak
mempengaruhi valid atau tidaknya baptisan seseorang. Selama baptisan itu, dilakukan dalam
nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus tidak meniadakan kebenaran dari Sakramen Baptis itu.
Bahkan jika pelaksanaan baptisan itu dilakukan di luar Gereja yang benar, juga tidak
meniadakan kebenaran baptisan itu. Agustinus berpendapat bahwa dalam ritual baptis Kristus-
lah yang membaptis dengan Roh Kudus. Hal ini cenderung tidak mengakui pandangan
tradisional teologi Afrika Utara tentang baptisan ulang dan merusak pemahaman kaum Donatis
tentang kemurnian sakramen dan persekutuan gereja.1
Tulisan ini akan fokus kepada potestas (kuasa) pembaptisan menurut Agustinus dalam
Tract. eu. Io. 5. Untuk menafsirkan potestas pembaptisan ini akan digunakan dua tradisi teologi
sakramen yang berbeda. Yang pertama adalah teologi sakramen dari Siprianus dan kaum
Donatis. Yang kedua adalah teologi Pro-Nikea dari Gereja Latin. Kemudian yang terakhir
penulis akan menjelaskan kesatuan potestas pembaptisan dari Kristus dengan Roh Kudus.

TRACT. EU. IO. 5: POTESTAS (KUASA) PEMBAPTISAN DARI KRISTUS


Dalam Tractates on the Gospel of John. 5 (Tract. Eu. Io.5) dijelaskan bahwa Kristus-lah
yang memberikan Roh Kudus dalam baptisan. Hal ini merupakan tafsiran khas dari Agustinus
atas ayat Yohanes 1 :33 yang menentang pemikiran kaum Donatis. Baptisan Kristus disebut
demikian karena potestas (kuasa) pembaptisan itu ada di dalam Kristus dan tidak pernah beralih
pada orang lain. Ayat Yohanes 1 :33 ini cukup untuk mengilustrasikan prinsip-prinsip dari
penggunaan postestas yang dipakai oleh Agustinus dalam karyanya ini :

Karakteristik kuasa baptisan seperti dari mana baptisan itu berasal dan bukan seperti
karakteristik dari seseorang yang memberikan pelayanan baptisan itu. Karakteristik
baptisan Yoahnes berasal dari Yohanes yang hanyalah seorang manusia….Namun, baptisan
Tuhan adalah memiliki karakteristik seperti Tuhan sendiri. Oleh karena itu, baptisan Tuhan
bersifat ilahi, karena Tuhan adalah Allah.2

Dalam pemikiran kaum Donatis, orang yang berdosa tidak dapat menganugerahkan
ketidakberdosaan. Akan tetapi, Agustinus mengamati cara di mana pembaptisan dari Kristus
merupakan suatu hubungan yang bersifat ilahi. Pemakaian kata potestas ini memungkinkan
Agustinus untuk memperkuat reorientasi baptisan dari kemurnian historis Gereja dan mengarah
pada karya abadi dari Allah.3
Penekanan potestas ini adalah perkembangan yang cukup baru dalam teologi baptisan
anti-Donatis dari Agustinus. Di dalam Tract. Eu. Io.5 dijelaskan dengan detail konsep tentang
potestas ini. Sebelum kotbahnya pada Tract. Eu. Io.5, ada dua pemakaian istilah yang
menentang kaum Donatis yang menunjukkan perkembangan teologi baptisan potestas yang
dikembangkan oleh Agustinus. Misalnya, yang pertama adalah sebuah komentar singkat
risalahnya On Baptism (De Baptismo). Seperti halnya Tract. Eu. Io.5, bagian ini berkaitan

1
Bdk. Adam D. Ployd, “The Power of Baptism: Augustine's Pro-Nicene Response to the Donatist,” JECS 22, no.
4 (2014): 521-522.
2
Augustine, Tract. eu. Io., diakses Desember 12, 2023, New Advent.org, Chapter 5.6.
3
Bdk. Adam D. Ployd, “The Power of Baptism,” 529.
1|Page
dengan Yohanes 1:33. Apa yang Yohanes pelajari dari burung merpati yang turun adalah bahwa
Kristus akan mempertahankan potestas baptisan. Inilah yang membedakan antara baptisan
Yohanes dan baptisan Kristus. Baptisan Yohanes adalah baptisannya sendiri karena berasal dari
potestas-nya sendiri (meskipun hal ini, menurut Agustinus, adalah rahmat dari Allah).4 Tema
potestas ini akan diulang secara panjang lebar oleh Agustinus dalam Tract. Eu. Io.5.
Sebuah pembahansan yang lebih substansial tentang masalah ini timbul dalam risalah
Agustinus On the Agreement among the Evangelists (De Consensu Evangelistarum) yang
kemungkinan ditulis sebelum Tract. Eu. Io.5.5 Di sini Agustinus menekankan bahwa apa yang
Yohanes pelajari dari turunnya Roh Kudus adalah Kristus yang membaptis dengan Roh Kudus
berdasarkan potestas ilahi yang sesuai dengan diri-Nya sendiri.6 Ada dua hal yang perlu
diperhatikan dalam pernyataan ini. Pertama, Agustinus secara eksplisit mengidentifikasi kuasa
tersebut sebagai “yang ilahi.” Kedua, kuasa ilahi ini adalah proprium (karakteristik) dari
Kristus. Proprium kuasa Kristus di sini bukanlah proprium yang membedakan Dia dari dua
pribadi ilahi lainnya seperti halnya cinta kasih adalah proprium Roh Kudus. Sebaliknya, ini
adalah yang memisahkan Kristus dari pribadi-pribadi manusia lainnya.7 Dengan demikian, De
Consensu Evangelistarum mengambil permulaan pemahaman Agustinus tentang potestas
baptisan dari On Baptism (De Baptismo) dan menyoroti bahwa masalah potestas baptisan
berkaitan dengan keilahian Kristus. Hubungan antara potestas, Yohanes 1:33, dan institusi
baptisan Kristus ini baru sepenuhnya berkembang di dalam Tract. Eu. Io.5.

POTESTAS PEMBAPTISAN DALAM TEOLOGI AFRIKA UTARA


Kotbah Agustinus tentang potestas (kuasa) pembaptisan Kristus dalam Tract. Eu. Io.5.
melanjutkan proyeknya untuk memisahkan keabsahan baptisan dari kekhususan historis gereja
dan para pelayannya. Hal ini dilakukan dengan mendasarkan baptisan pada tindakan dan kuasa
Kristus. Penekanan pada istilah potestas ini bukanlah suatu pilihan yang sembarangan. Dengan
berfokus pada istilah ini, Agustinus mengarah pada bahasa teknis dari teologi baptisan Afrika
Utara sebelumnya. Bagi teologi sakramen Afrika Utara dari Siprianus dan kaum Donatis,
potestas adalah apa yang mendasari legitimasi baptisan. Perhatian terhadap potestas
pembaptisan ini adalah sesuatu yang penting bagi perlawanan Siprianus terhadap kaum
Novatian. Para uskup membaptis melalui potestas tertentu yang menghasilkan pengampunan
dosa. Misalnya, di dalam suratnya kepada Magnus, Siprianus menjelaskan, “Hanya gereja yang
memiliki air sebagai materi utama dan potestatem (kuasa) untuk membaptis dan membasuh
manusia. Oleh karena itu, barangsiapa yang mengatakan bahwa baptisan kaum Novatian adalah
sah hendaknya terlebih dahulu membuktikan bahwa kaum Novatian ada di dalam Gereja atau
memimpin Gereja. Karena Gereja adalah satu, maka tidak mungkin ada di dalam dan di luar
Gereja.”8 Di sini, potestas yang membuat baptisan sejati didefinisikan lewat kesatuan dan sifat
tunggal dari Gereja. Siprianus tidak berbeda dengan Agustinus mengenai baptisan yang sah dan
yang efektif. Oleh karena itu, seseorang yang berada di luar persekutuan yang satu tidak dapat
dibaptis sama sekali. Dengan memisahkan diri dari Gereja yang satu, para uskup skismatik
meninggalkan potestas yang memberi pengaruh penghapusan dosa dalam sakramen. Inilah

4
Bdk. Augustine, On Baptism, diakses Desember 12, 2023, New Advent.org, Chapter 5.13.15.
5
Bdk. Pierre-Marie Hombert, Nouvelles recherches de chronologie augustinienne (Paris: Études Augustiniennes,
2000), 80–87.
6
Bdk. Augustine, Harmony of the Gospels, diakses Desember 12, 2023, New Advent.org, Chapter 2.15.32.
7
Bdk. Ployd, “The Power of Baptism,” 530.
8
Cyprian, Epistle, diakses Desember 12, 2023, New Advent.org, Chapter 69.3.1.
2|Page
sebabnya mengapa mereka yang meninggalkan persekutuan Novatian dan yang masuk ke
dalam persekutuan Siprianus harus dibaptis. Hal ini bukanlah pembaptisan ulang karena
sakramen yang tidak asli dari kaum skismatik tidak memiliki potestas yang menentukan dan
berdaya guna. Demikian juga termasuk sikap umum dari para uskup Afrika Utara lainnya dalam
Konsili Kartago di tahun 256. Fortunatus dari Thuccabori, Priviatianus dari Sufetula,
Pomponius dari Diosiana, dan Clarus dari Mascula membuat klaim-klaim yang serupa,9
mengidentifikasi kaum skismatik sebagai bidaah yang tidak memiliki akses pada potestas
baptisan.10
Teologi Siprianus tentang sifat sakramental potestas muncul kembali dalam keberatan-
keberatan kaum Donatis terhadap baptisan Katolik atau dalam perspektif baptisan para traditor
atau penghianat. Keberdosaan dari baptisan traditores atau para penghianat tidak sesuai dengan
potestas baptisan yaitu kehadiran Roh Kudus. Dengan demikian, persekutuan apa pun yang
dibangun oleh para uskup yang tidak memiliki kuasa seperti itu tidak dapat menuntut memiliki
potestas yang bersifat sakramental. Petilianus memberikan suatu contoh dari argumen semacam
ini dalam suratnya kepada Agustinus : “Karena semua potestas berasal dari Allah...sama seperti
Yesus Kristus menjawab kepada Pilatus, ‘Engkau tidak mempunyai kuasa (potestas) apa pun
terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas’” (Yoh 19 :11). Kemudian,
seperti yang dikatakan Yohanes, “Tidak ada seorang pun yang dapat mengambil sesuatu bagi
dirinya, kalau tidak dikaruniakan kepadanya dari sorga.” (Yoh 3 :27). Oleh karena itu,
“perlihatkanlah wahai para penghianat ketika Engkau menerima potestas untuk menunjukkan
misteri-misteri.”11 Petilianus menjelaskan lebih dalam bahwa potestas yang digunakan oleh
para uskup untuk membaptis berasal dari Allah. Tetapi tidak terbayangkan olehnya bahwa
potestas itu dapat diberikan kepada para penghianat, seperti yang disebutkan oleh Agustinus.
Sebagaimana pandangan Siprianus tentang kaum Novatian, Petillianus melihat Agustinus dan
gereja para penghianat memiliki potestas ilahi dan oleh karena itu tidak dapat melakukan
pembaptisan yang benar. Meskipun Siprianus menekankan cara di mana potestas beroperasi
dalam kesatuan Gereja. Petilianus menekankan bahwa kondisi berdosa, terlebih dosa para
penghianat, sepenuhnya meniadakan akses seseorang pada kuasa tersebut. Pemikiran Petilianus
dan Siprianus sangat berkaitan erat, karena Petilianus memakai kondisi dosa yang sangat berat
dan akibatnya kehilangan potestas ilahi dan Roh Kudus sebagai kriteria untuk menentukan
persekutuan di mana melindungi dan memperoleh manfaat dari potestas sakramental, yaitu
Gereja Siprianus yang tunggal. 12
Kotbah Agustinus tentang potestas baptisan Kristus dalam Tract. Eu. Io.5. harus dibaca
dalam terang tradisi Siprianus-Donatis ini. Dengan menegaskan bahwa Kristus, bukan pelayan
manusia, yang memegang potestas, Agustinus meruntuhkan pemahaman apa pun mengenai
baptisan yang menempatkannya hanya dalam batas-batas Gereja. Bagi Siprianus, Konsili
Kartago pada tahun 256, dan kaum Donatis, potestas tampaknya tidak memiliki makna teknis
apa pun di luar makna politis yang umum, seperti otoritas dan kemampuan. Namun, dengan
mengarahkan kembali potestas kepada Kristus, penggunaan poetstas oleh Agustinus ini

9
Bdk. Carlos Garcia Mac Gaw, LeProblème du baptême dans le schisme donatiste, (Paris: De Boccard, 2008),
163–170.
10
Bdk. Ployd, “The Power of Baptism,” 530.
11
Augustine, Answer to Petilian the Donatist, diakses Desember 12, 2023, New Advent.org, Chapter 2.31.70.
12
Bdk. Ployd, “The Power of Baptism,” 532.

3|Page
menunjukkan pemahaman yang lebih teknis tentang potestas yang digunakan dalam
perdebatan-perdebatan pasca Nikea tentang kuasa Allah. 13

POTESTAS DALAM TEOLOGI NIKEA DAN PRO-NIKEA


Tradisi baptisan potestas (kuasa) di Afrika Utara menghadirkan konteks langsung bagi
pendefinisian ulang dari Agustinus atas istilah ini. Maka, sumber pemahamannya tentang
potestas dan implikasinya terhadap teologi baptisan anti-Donatisnya terdapat dalam tradisi
diskurus Trinitaris yang dimediasi oleh Ambrosius kepada Agustinus. 14 Komponen penting
dari teologi Pro-Nikea yang berkembang dari polemik-polemik abad keempat adalah hubungan
intrinsik antara kodrat dan kuasa. Hubungan ini diperoleh dari pengertian teknis tentang kuasa
di mana derajat dan jenis kesatuan yang diperoleh dalam suatu eksistensi antara yang mengada
dan yang mengada sebagaimana dia mampu mempengaruhi dan dipengaruhi sejauh eksistensi
itu nyata atau ada.15 Perkembangan teologi “kuasa” pada abad keempat terpusat pada tafsiran 1
Korintus 1 :24, di mana Paulus menggambarkan Kristus sebagai “kuasa dan hikmat Allah.”
Para teolog yang menentang Konsili Nikea (Arius, Asterius dan Eusebius dari Nikomedia dan
Kaisarea) memakai berbagai macam tafsiran untuk argumen tentang subordinasi Putra kepada
Bapa, dan ada tiga cara untuk memahami frasa “kuasa Allah.” Cara pertama adalah dengan
membedakan kuasa Bapa dari kuasa-kuasa lain, seperti kuasa Putra.16 Dengan demikian, ada
perbedaan ontologis antara kuasa yang dimiliki Bapa dengan kuasa-kuasa lainnya. Dua
pengertian lainnya tentang kuasa yang muncul dalam karya-karya penentang Konsili Nikea
mula-mula berkaitan dengan bagaimana Putra dipahami sebagai kuasa yang lebih rendah yang
masih merupakan “kuasa Allah.” Salah satu pilihannya adalah menggambarkan Putra sebagai
kepala di antara kuasa-kuasa yang bertindak sebagai para pelayan Allah.17 Pilihan lainnya
adalah menggambarkan Putra sebagai kuasa Allah dalam pengertian turunan. Ini diperoleh
dengan memakai pemikiran yang menjadikan Putra sebagai gambaran dari kuasa yang hanya
dapat secara sempurna dalam kodrat Bapa.18 Hal ini menghubungkan kuasa Putra dengan
pengertian yang lebih teknis tentang kuasa Bapa, tetapi tetap menjadikan kuasa Putra sebagai
sesuatu yang berbeda, yang diturunkan, dan karena itu bersifat subordinat.19
Pada akhirnya, pemahaman yang lebih teknis tentang kekuasaan menjadi suatu definisi
aspek teologi Pro-Nikea pada paruh kedua abad keempat.20 Para teolog Pro-Nikea mencakup
pemahaman teknis yang penuh tentang kuasa sebagai manifestasi intrinsik dari kodrat yang
diberikan. Hal ini pada akhirrnya menciptakan pemikiran “satu kuasa, satu kodrat” di mana
menjadi ciri khas teologi kuasa Pro-Nikea. Hanya ada satu kuasa dalam Trinitas. Namun, ini
adalah hasil dari cara di mana kuasa secara intrinsik terkait dengan kodrat. Penamaan Kristus
sebagai “kuasa Allah” memeprlihatkan bahwa Sang Putra memiliki bagian dalam kodrat ikahi
dan kuasa Allah secara penuh.21

13
Bdk. Ployd, “The Power of Baptism,” 532.
14
Bdk. Ployd, “The Power of Baptism,” 532.
15
Bdk. Michel René Barnes, The Power of God: Δύναμις in Gregory of Nyssa’s Trinitarian Theology
(Washington, DC: Catholic Univ. of America Press, 2001), 126-127
16
Bdk. Barnes, Power of God, 126–127.
17
Bdk. Barnes, Power of God, 126–127.
18
Bdk. Barnes, Power of God, 129–135.
19
Bdk. Ployd, “The Power of Baptism,” 532.
20
Bdk. Barnes, Power of God, 129-135.
21
Bdk. Barnes, Power of God, 152.
4|Page
Agustinus tidak mengetahui pemikiran teknis yang lengkap dari teologi kuasa Pro -Nikea
sebagai cara untuk membaca 1 Kor 1:24.22Akan tetapi, Agustinus mengetahui bahwa hanya ada
satu kuasa di dalam Allah dan bahwa kekuatan ini adalah umum dan tidak terpisahkan dari
ketiga pribadi itu.23 Ketidaktepatan Agustinus ini dapat dijelaskan dengan mengikuti suatu
tardisi penafsiran yang terkait. Penafsiran Yohanes 10:30 di dalam Pro -Nikea dari Gereja Latin
kerap kali tidak memiliki pemikiran kodrat atau kekuatan yang tepat meskipun keesaan Bapa
dan Anak digambarkan dalam kerangka kuasa mereka yang sama. Hal ini paling sering muncul
dalam berbagai argumen dari operasi-operasi umum yang bergantung pada kuasa di dalam
Trinitas. Bahasa kuasa yang lebih umum inilah, yang dikaitkan dengan Yohanes 10:30, yang
diambil oleh Agustinus dari bahasa Latin Pro -Nikea.24
Marinus, Victorius, mislanya, mengutip Yohanes 10:30 untuk menunjukkan bahwa
“Bapa dan Putra berasal dari substansi dan kuasa yang sama.”25 Untuk memperjelas apa yang
dia maksud dengan kata “berasal,” Victorius kembali ke Yohanes 10:30. Hal ini adalah untuk
menjelaskan bahwa kesatuan Putra dengan Bapa disebabkan Putra memiliki substansi dan
kuasa yang berasal dari Bapa, yang diperanakkan dari segala sesuatu.26 Dengan demikian,
meskipun Victorius menghubungkan kuasa dan substansi dari apa yang dibaca olehnya dalam
Yohanes 10:30, dia tidak merujuk pada hubungan teknis di antara keduanya yang akan
dikembangkan oleh pengarang Pro -Nikea berikutnya. Sebalikanya, Victorius merefleksikan
pemahaman anakronistik tentang kuasa yang lebih sesuai dengan teologi kuasa yang berlipat-
lipat dan pemikiran Asterius dan Esebius, meskipun Victorius memakai bahasa ini untuk
membuktikan keilahian Anak secara penuh.27
Di sisi lain, Hillarius menjelaskan Yohanes 10:30 dalam perpektif kuasa dan substansi
ilahi yang lebih mengarah pada pandangan Pro-Nikea tentang kesatuan istilah dan kesatuan
argumen dari operasi umum. Hilarius membaca Yohanes 10:30 dengan Yohanes 10:37:
“Jikalau Aku tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapa-Ku, janganlah percaya kepada-Ku.”
Untuk menghubungkan antara kodrat dengan kuasa, Sang Putra memanifestasikan keilahian-
Nya dengan melakukan pekekerjaan-pekerjaan yang konsisten dengan kuasa ilahi. Kemudian
hubungan kodrat dan kuasa ini, mendasari suatu argumen tentang opreasi yang umum. Akan
tetapi, yang lebih penting, Hilarius mengutamakan Putra yang diperanak oleh Bapa sebagai
sumber kuasa ilahi dari Putra, tetapi hal ini tidak mengarah pada kuasa yang berlipat-lipat: “Apa
yang dapat melakukan pekerjaan Bapa sendiri tidak berada di luar Bapa. Namun, hal ini adalah
pemenuhan dari martabat-Nya bahwa Dia mampu melahirkan kuasa tanpa mengasingkan
substanis-Nya.28 Prinsipnya adalah Bapa memang memperanakkan Putra sebagai Kuasa, tetapi
hal ini tidak menghasilkan kuasa yang berlipat-lipat karena kodratnya tidak terpisah antara Bapa
dan Putra. 29
Hillarius menekankan kembali kesatuan kuasa kodrati ini ketika dia mengacu kembali ke
Yohanes 10:30 di akhir Trin. 7. Di sini, Hillarius ingin menepis kecurigaan bahwa karya Putra

22
Bdk. Michel Barnes, “De Trinitate VI and VII: Augustine and the Limits of Nicene Orthodoxy,” AugSt 38:1
(2007): 189–202
23
Bdk. Ployd, “The Power of Baptism,” 534.
24
Bdk. Ployd, “The Power of Baptism,” 535.
25
Bdk. Marius Victorinus, Ar. 1A.8 (CSEL 83.1:66)
26
Bdk. Marius Victorinus, Ar. 1A.9 (CSEL 83.1:66)
27
Bdk. Barnes, Power of God, 156.
28
Bdk. Hilary, On the Trinity, diakses Desember 12, 2023, New Advent.org, Chapter 7.26
29
Bdk. Ployd, “The Power of Baptism,” 536.
5|Page
sebenarnya adalah kuasa Bapa yang bekerja di dalam diri Putra sebagai sarana. Sebaliknya,
Hillarius menegaskan, Putra melakukan pekerjaan Bapa melalui kuasa yang menjadi hak-Nya
melalui kelahiran ilahi-Nya. Namun, kuasa Putra ini adalah kuasa Bapa yang satu dan sama
dengan kuasa Bapa karena kodrat keduanya yang satu: “Karena oleh kuasa kodrat (nature
virtue) masing-masing ada di dalam yang lain.”30 Istilah “kuasa kodrat” inilah yang mendukung
argumen Hillarius dari operasi-operasi yang umum untuk membuktikan bahwa Putra dan Bapa
adalah Allah yang esa dengan kodrat satu karena kuasa keduanya yang satu. 31
Dengan mengacu pada Yohanes 10:30, Ambrosius dalam On the Christian Faith (Fid.)
1.1 menjelaskan bahwa Bapa dan Putra adalah satu kesatuan agar tidak ada pemisahan kuasa.32
Ambrosius menyimpulkan bagaimana Yohanes 10:30 dibaca secara tepat untuk menyangkal
kaum penganut Arianisme. Hal ini dilakukan dengan menunjukkan Trinitas sebagai “yang
sempurna baik dalam kepenuhan ilahi dan kesatuan kuasa.”33 Hal ini mewakili pemahaman
implisit tentang hubungan antara satu kodrat dan satu kuasa Allah.34
Dalam On the Holy Spirit (Spir.) 3.16, Ambrosius melihat Yohanes 10:30 sebagai suatu
penjelasan dari kesatuan dari kuasa ilahi.35 Kuasa ilahi yang satu ini adalah kuasa yang
dengannya Bapa, Putra, dan Roh Kudus bekerja secara bersama-sama, yang memperlihatkan
sifat yang sama dari ketiga pribadi itu. Ayat ini tidak secara eksplisit menghubungkan kesatuan
kuasa dengan pemhamanan teknis tentang bagaimana kuasa berhubungan dengan suatu kodrat.
Namaun, hal ini membuktikan pemahaman yang lebih mendasar bahwa kesatuan Bapa, Putra,
dan Roh Kudus ada pada tingkat kuasa dan bahwa operasi atau tindakan bersama dari ketiga
pribadi itu menyatakan kesatuan. 36
Oleh karena itu, ada suatu prinsip yang lebih umum mengenai kesatuan dan ketunggalan
kuasa ilahi yang pasti telah diketahui oleh para pendahulunya yang Pro-Nikea dari Gereja
Latin.37 Pemahaman tentang potestas ilahi inilah yang dibawa oleh Agustinus ke dalam teologi
tradisional Afrika Utara mengenai potestas baptisan. 38

KESATUAN POTESTAS PEMBAPTISAN DARI KRISTUS DENGAN ROH KUDUS


Dalam Tract. Eu. Io.5, Agustinus memakai kata potestas (kuasa) untuk menerangkan
bahwa pelaksana atau agen baptisan dari Kristus adalah Kristus sendiri. Hal ini merupakan
adaptasi dari teologi Latin Pro-Nikea tentang kuasa ilahi yang menumbangkan pemahaman
tradisional Afrika Utara tentang potestas baptisan, kesatuan Gereja dan ketidakberdosaan
uskup. Ada dua tradisi kuasa yang dikenal oleh Agustinus, yaitu tradisi Afrika Utara dan tradisi
Pro-Nikea. Akan tetapi, meskipun penekanan Agustinus pada potestas ilahi Kristus dalam
baptisan mengisyaratkan penggunaan istilah Tritunggal, ada kemungkinan bahwa paralelisme
ini hanyalah suatu kebetulan.39
Namun, ada bagian yang mencolok di awal Tract. Eu. Io.5 yang merujuk langsung pada
tradisi kuasa dari Pro-Nikea. Bagian ini adalah suatu argumen untuk operasi yang tidak

30
Bdk. Hilary, On the Trinity, Chapter 7.41.
31
Bdk. Ployd, “The Power of Baptism,” 536.
32
Bdk. Ambrose, Exposition of the Christian Faith, diakses Desember 12, 2023, New Advent.org, Chapter 1.1.9
33
Bdk. Ambrose, Exposition of the Christian Faith, Chapter 1.1.10
34
Bdk. Barnes, Power of God, 165.
35
Bdk. Ambrose, On the Holy Spirit, diakses Desember 12, 2023, New Advent.org, Chapter 3.16.114.
36
Bdk. Ployd, “The Power of Baptism,” 537.
37
Bdk. Barnes, “De Trinitate VI and VII,” 189
38
Bdk. Ployd, “The Power of Baptism,” 537.
39
Bdk. Ployd, “The Power of Baptism,” 537.
6|Page
terpisahkan yang menghubungkan dua tradisi potestas dalam teologi baptisan Agustinus yang
anti-Donatisme. Agustinus, dalam mendiskusikan perutusan Yohanes Pembaptis, menjelaskan,

“Jika Kebenaran telah mengutus Yohanes, maka Kristus juga telah mengutus dia. Dan apa
yang dikerjakan Kristus oleh Bapa, Bapa juga mengerjakannya; dan apa yang dikerjakan
Bapa oleh Kristus, Kristus juga menggerjakannya. Bapa tidak melakukan apa pun secara
terpisah tanpa Putra; dan Putra tidak melakukan apa pun secara terpisah tanpa Bapa; cinta
kasih yang tidak terpisahkan, kesatuan yang tidak terpisahkan, keagungan yang tak
terpisahkan, potestas yang tidak terpisahkan, sesuai dengan perkataan yang Dia sendiri
kemukakan, “Aku dan Bapa adalah satu” (Yohanes 10:30). Oleh karena itu, siapakah yang
mengutus Yohanes? Jika kita berkata, “Bapa,” kita mengatakan yang sebenarnya; jika kita
berkata “Putra,” kita mengatakan yang sebenarnya. Namun, agar lebih jelas, marilah kita
katakan, “Bapa dan Anak.” Namun, Allah yang esa telah mengutus Dia yang Bapa dan
Putra utus, karena Putra berkata, “Aku dan Bapa adalah satu.”40

Artikulasi tentang operasi-operasi yang tidak terpisahkan dari Bapa dan Putra ini adalah
pengembangan argumen-argumen dari operasi-operasi umum dari Hillarius dan Ambrosius.
Seperti kedua pendahulunya, Agustinus menafsirkan unum (kesatuan) dari Yohanes 10:30
sebagai sebuah kesatuan dari kuasa di antara sifat-sifat ilahi yang esensial. Penekanan
Agustinus pada ketidakterpisahan dari tindakan-tindakan menempatkan argumen bukan pada
bagaimana tindakan-tindakan itu menunjukkan kuasa tunggal dari kodrat ilahi yang sama. Akan
tetapi, penekanan Agustinus itu menempatkan argumen pada tindakan-tindakan yang bersifat
misi dari pribadi-pribadi Tritunggal itu konsisten dengan kuasa tungga; dari kodrat ketiganya.
Oleh karena itu, suatu tindakan ilahi tidak dapat didasarkan kepada salah satu pribadi tanpa
melalui pendasaran kepada kedua pribadi lainnya. Argumen ini terletak di awal kotbah Tract.
Eu. Io.5. Argumen ini menekankan potesta baptisan dari Kristus yang terjadi secara kekal. Dari
sini dapat dilihat bahwa Agustinus memahami potestas sebagai kuasa ilahi yang sama dengan
pribadi-pribadi Tritunggal yang tidak terpisahkan. 41
Ada dua bukti lain yang mendukung pemahaman Agustinus tentang potestas baptisan
Kristus dalam konteks teologi kuasa Pro-Nikea dari Gereja Latin. Pertama, fokus Agustinus
pada tindakan ilahi untuk mengutus juga menunjukkan akar dari argumen-argumen Pro-Nikea
tentang operasi-operasi umum. Di sini terdapat pertanyaan: siapakah yang mengutus Yohanes
Pembaptis? Jawabannya adalah Bapa dan Putra, yang bekerja secara tidak terpisahkan. Untuk
mengilustrasikan bahwa ketiga pribadi ilahi bekerja di dalam pengutusan Putra dan Roh Kudus,
Ambrosius menggabungkan baptisan Kristus dalam Yoh 1:33 dengan kehadiran Roh Kudus
atas Kristus dalam Luk 4:18, janji Kristus bahwa Bapa akan mengutus Penghibur dalam
Yohanes 14:26, dan janji bahwa Dia sendiri akan mengirim Roh Kudus dalam Yohanes 15:26.42
Pengutusan bersama dari Trinitas merupakan suatu manifestasi dari kuasa yang dimiliki oleh
pribadi-pribadi Tritunggal di dalam satu kodrat ilahi. Pemahaman Pro-Nikea tentang kuasa ilahi
yang tunggal yang bekerja dalam perutusan adalah prinsip yang sama yang digunakan
Agustinus dalam menjelaskan perutusan Yohanes.43
Ada suatu singgungan lain terhadap teologi kuasa Pro-Nikea dalam pembedaan yang
dibuat oleh Agustinus antara potestas Kristus dan ministrium para uskup yang membaptis.
Agustinus mengulangi pembedaan ini dalam Tract. Eu. Io.5. 6-11 untuk menjelaskan bahwa

40
Augustine, Tract. eu. Io., Chapter 5.1.
41
Bdk. Ployd, “The Power of Baptism,” 538.
42
Bdk. Ambrose, On the Holy Spirit, Chapter 3.1.7–8.
43
Bdk. Ployd, “The Power of Baptism,” 539.
7|Page
pelayanan para uskup yang berdosa tidak mengancam keutuhan pembaptisan karena Kristus
selalu memegang potestas pembaptisan. Pembedaan ini digunakan oleh Ambrosius dalam Spir.
3.18 untuk mendukung keilahian Roh Kudus dalam argumen tentang operasi-operasi yang
umum. Ayat yang dia gunakan untuk membuktikan hal ini adalah Yohanes 20:22-23:

“Sekarang lihatlah apakah Roh Kudus mengampuni dosa. Tetapi di sini tidak ada keraguan,
karena Tuhan sendiri berkata, ‘Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa
orang, dosanya diampuni,’ Perhatikanlah bahwa dosa-dosa diampuni melalui Roh Kudus.
Manusia menunjukkan pelayanan mereka dalam pengampunan dosa, tetapi mereka tidak
menggunakan hak suatu kuasa (ius alicuius potestatis). Sebab mereka mengampuni dosa
bukan atas nama mereka sendiri, melainkan atas nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus.
Mereka meminta, keilahian mengampuni; ketaatan adalah manusiawi, tetapi
kemahakuasaan adalah kuasa surgawi.”44

Ambrosius tidak peduli untuk menjelaskan lebih dalam suatu teologi baptisan itu sendiri.
Sebaliknya, dia membangun suatu teologi baptisan yang dia terima begitu saja untuk
menunjukkan kesatuan Roh Kudus di dalam operasi yang unik bagi keallahan. Akan tetapi,
istilah yang dia gunakan membedakan antara apa yang dilakukan oleh para pelayan manusia
dan apa yang dilakukan oleh Allah. Potestas yang bekerja dalam pengampunan dosa secara
definitif bersifat ilahi, dan Roh Kudus digambarkan sebagai agen langsung dari potestas itu.
Akan tetapi, manusia hanya menjalankan suatu pelayanan dan potestas bukanlah milik mereka.
Apa yang dilakukan oleh para pelayan bergantung pada potestas ilahi yang hanya dimiliki oleh
Allah. Bagi Ambrosius, perbedaan ini menjelaskan bahwa Roh Kudus haruslah benar-benar
Allah. Namun, bagi Agustinus, pemahaman tentang potestas ilahi ini memungkinkan untuk
meruntuhkan pemahaman tradisional Afrika Utara tentang kuasa pembaptisan yang bergantung
pada keutuhan komunitas historis yang konkrit. 45
Di dalam Tract. Eu. Io.5, bahwa Kristus mempertahankan potestas baptisan harus
dimengerti dengan argumen-argumen Tritunggal dari teologi Pro-Nikea. Potestas yang
digunakan Kristus dalam setiap pembaptisan adalah potestas umum dari Allah Tritunggal. Hal
ini adalah yang mempengaruhi pemahaman Agustinus tentang sah atau tidaknya suatu baptisan.
Keabsahan dari setiap baptisan dijamin oleh potestas yang dimiliki oleh Kristus. Potestas ini
adalah suatu kekuatan dari suatu sifat ilahi yang menjadi karakteristik dari argumen-argumen
pemikiran Pro-Nikea tentang operasi-operasi umum yang tidak terpisahkan. Oleh karena itu,
tema potestas Kristus disatukan dengan penekanan Agustinus yang lain dalam Yohanes 1:33,
yaitu Kristuslah yang dengan kekekalan memberikan Roh Kudus. Hal ini saling berkaitan
karena karya Roh Kudus dalam baptisan tidak dapat terpisah dari penganugerahan Roh Kudus
oleh Putra. Operasi yang sama dan tidak terpisahkan ini adalah manifestasi dari potestas tunggal
yang diperoleh dalam sifat ilahi yang tunggal dari Tritunggal.46

PENUTUP
Dalam teologi sakramen baptis, Agustinus, lewat Tractates on the Gospel of John. 5
(Tract. Eu. Io.5), menjelaskan bahwa pembatisan dari Kristus ada di dalam Kristus dan tidak
pernah berpindah pada orang lain. Baptisan yang bersal dari Kristus berisfat ilahi dan potestas-
nya dari Allah Tritunggal. Pelaksana atau agen dari baptisan dari Kristus adalah Kristus sendiri

44
Bdk. Ambrose, On the Holy Spirit, Chapter 3.18.137.
45
Bdk. Ployd, “The Power of Baptism,” 540.
46
Bdk. Ployd, “The Power of Baptism,” 540.
8|Page
dan tidak ada pengaruh dari kondisi berdosa atau tidaknya uskup. Dalam baptisan Kristus,
Yesus membaptis dengan Roh Kudus. Tradisi potestas (kuasa) baptisan dari Agustinus
diadaptasi dari teologi Latin Pro-Nikea tentang kuasa ilahi. Hal ini tentuanya bertentangan
dengan teologi Afrika Utara tentang potestas baptisan, kesatuan Gereja, dan kondisi berdosa
atau tidaknya seorang uskup yang membaptis.

9|Page
DAFTAR PUSTAKA

Ambrose. Exposition of the Christian Faith. Diakses Desember 12, 2023. New Advent.org.

Ambrose. On the Holy Spirit, Diakses Desember 12, 2023. New Advent.org.

Augustine. Answer to Petilian the Donatist. Diakses Desember 12, 2023, New Advent.org.

Augustine. Harmony of the Gospels. Diakses Desember 12, 2023, New Advent.org.

Augustine. On Baptism. Diakses Desember 12, 2023, New Advent.org.

Augustine. Tract. eu. Io. Diakses Desember 12, 2023. New Advent.org.

Barnes, Michel René. The Power of God: Δύναμις in Gregory of Nyssa’s Trinitarian Theology.
Washington, DC: Catholic Univ. of America Press, 2001.

Barnes, Michel. “De Trinitate VI and VII: Augustine and the Limits of Nicene Orthodoxy.”
AugSt 38:1 (2007).

Cyprian. Epistle. Diakses Desember 12, 2023, New Advent.org.

Hilary, On the Trinity. Diakses Desember 12, 2023, New Advent.org.

Hombert, Pierre-Marie. Nouvelles recherches de chronologie augustinienne. Paris: Études


Augustiniennes, 2000.

Mac Gaw, Carlos Garcia, Le Problème du baptêmedans le schisme donatiste, Paris: De


Boccard, 2008.

Ployd, Adam D. “The Power of Baptism: Augustine's Pro-Nicene Response to the Donatist.”
JECS 22, no. 4 (2014): 521-522.

Victorinus, Marius, Ar. 1A.8 (CSEL 83.1:66)

10 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai