Anda di halaman 1dari 12

SEJARAH BAPTIS (BAPTIST'S HISTORY)

Setelah Tuhan Yesus menyelesaikan pekerjaan di atas bumi dan sebelum terangkat ke dalam kemuliaan,
Ia memberikan amanat kepada murid-muridNya sebagai berikut: "KepadaKu telah diberikan segala
kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah
mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang
telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir
zaman." (Mat. 28: 18-20). Sehubungan dengan amanat ini Yesus memberikan otoritas kepada jemaatNya
untuk memberitakan Injil ke seluruh dunia.

Sebuah jemaat Perjanjian Baru adalah sekelompok orang percaya yang sudah dibaptis yang secara
sukarela menggabungkan diri bersama untuk memelihara (mempertahankan) ordinansi dan
pemberitaan Injil Yesus Kristus.

Karakteristik istimewa jemaat ini jelas membekas di dalam Perjanjian Baru.

Jemaat tersebut merupakan sebuah perkumpulan sukarela dan independen di antara jemaat-jemaat
(gereja-gereja) lainnya. Jemaat tersebut bisa saja, dan dimungkinkan untuk berafiliasi dengan jemaat-
jemaat lain di dalam hubungan persaudaraan; tetapi ia harus tetap independen dari segala campur-
tangan luar, dan hanya bertanggungjawab kepada Kristus, yang adalah pemberi hukum tertinggi dan
sumber dari segala otoritas. Dari sejak awal para pengajar dan para jemaat secara bersama-sama
melaksanakan urusan gereja.

Dalam pengertian Perjanjian Baru, tidak ada organisasi yang merupakan sebuah Gereja (Jemaat) Umum
atau Nasional, yang meliputi sebuah wilayah negara yang luas, yang terdiri atas sejumlah besar
organisasi setempat (lokal). Jemaat (gereja) dalam pengertian alkitabiah selalu merupakan sebuah
organisasi yang independen dan lokal. Gereja-gereja (jemaat-jemaat) yang bersaudara "dipersatukan
hanya karena ikatan iman dan belas kasih. Independensi dan persamaan membentuk tubuh internal
mereka" (Edward Gibbon, The History of the Decline and Fall of the Roman Empire, I, 554, Boston, 1854).
Gibbon, yang selalu artistik dalam melakukan pembahasan, melanjutkan: "Begitulah lembutnya dan
sama kedudukannya dimana orang Kristen diperintah lebih dari seratus tahun setelah wafatnya para
rasul. Setiap kumpulan membentuk sendiri sebuah kelompok terpisah dan independen yang berasal
dari, untuk dan kepada kepentingan mereka sendiri; dan bahkan bagian dari kelompok yang paling jauh
inipun mempertahankan hubungan yang akrab, mutual (saling menguntungkan), mengadakan
hubungan surat-menyurat dan utusan-utusan, kalangan Kristen belum berhubungan dengan kumpulan
legislatif atau atasan apapun" (Ibid., 558).

Para pejabat gereja yang pertama, adalah para gembala, yang biasa disebut penatua (elder) atau penilik
(bishop), dan kedua, para diaken. Mereka adalah para pelayan yang terhormat yang merupakan orang
yang merdeka. Para gembala tidak memiliki otoritas yang lebih tinggi dari saudara-saudara yang lain,
dan hanya karena pelayananlah, mereka memperoleh tingkat kehormatan yang baik.

Para penulis Episkopal yang kemudian, seperti Jacob dan Hatch, tidak mengambil sistim dari bentuk
kepemerintahan alkitabiah yang mula-mula, namun selalu menyatakan bentuk kepemerintahan jemaat
(yang mereka anut berasal dari jemaat) yang mula-mula, dan mengatakan bahwa episkopasi
(kepenatuan/kepenilikan) adalah perkembangan yang kemudian. Di dalam Perjanjian Baru, penatua
dan penilik merupakan nama berbeda untuk menggambarkan jabatan yang sama. Dr. Lightfoot, Penilik
dari Durham, di dalam sebuah diskusi yang sangat melelahkan membahas tentang masalah ini,
mengatakan:

1
Jelas, bahwa pada akhir Masa Kerasulan, dua golongan yang lebih rendah dari ketiga lapisan
pelayanan tersebut benar-benar tidak dapat dipungkiri dan tersebar luas; namun bekas atau
jejak episkopasi, demikian sebutan yang lebih pantas, sangat sedikit dan tidak jelas... Episkopasi
dibentuk oleh golongan presbyterian untuk meninggikan posisi; dan gelar tersebut, yang
tadinya biasa bagi semua orang, menjadi sebuah gelar

yang bergengsi yang lebih tepat dikatakan sebagai pemimpin mereka (Lightfoot, Commentary on
Philippians, 180-276).

Dean Stanley menggambarkan pandangan yang serupa. Ia mengatakan :

Sesuai ketentuan jemaat (gereja) yang tegas yang berasal dari jemaat mula-mula, hanya
terdapat dua golongan, yakni penilik dan diaken (Stanley, Christian Institutions, 210).

Richard B. Rackham (The Acts of the Apostles cii), AD. 1912, berpendapat mengenai kata 'penilik'
(episcopos):

Kita bisa langsung mengatakan bahwa belum diperoleh pengertian yang pasti seperti yang
tercantum di dalam surat Ignatius (tahun 115 AD), maupun pada masa kini, yakni mengenai
patokan tunggal mengenai kepenilikan. Dari Kis. 20: 28, Tit. 1: 6-7, dan dibandingkan dengan 1
Tim. 3: 2f, dapat kita simpulkan bahwa episcopos (penilik) jelas adalah sebuah sinonim dari
kata presbyter (penatua), dan bahwa kedua jabatan tersebut adalah identik (sama).

Knowling (The Expositors Greek Testament, II, 435-437) meninjau tulisan semua ahli, Hatch (Smith and
Cheetham, Dictionary of Christian Antiquities, II, 1700), Harnack (Gebhardt and Harnack, Clement of
Rome, edisi revisi, 5), Steinmetz, dsb., menyimpulkan sebagai berikut:

Perikop yang satu ini (Kis. 20: 28) juga sudah cukup untuk menunjukkan bahwa 'presbyter' dan
'bishop' pada mulanya secara praktis adalah identik (sama).

Jerome, pada akhir abad keempat, mengingatkan para penilik bahwa mereka menerima posisi yang
lebih tinggi di atas para penatua, bukan karena institusi dari Allah seperti halnya dengan penggunaan
posisi tersebut di dalam jemaat; karena sebelum pecah kontroversi di dalam gereja, tidak didapati
adanya perbedaan di antara keduanya, kecuali bahwa presbyter (penatua) merupakan istilah yang
berkenaan dengan usia, dan bishop (episcopos = penilik) merupakan istilah yang berkenaan dengan
status (martabat) resminya; namun ketika manusia terdorong oleh Setan untuk mendirikan kelompok
dan sekte dan bukannya hanya mengikut Kristus, kita sebut saja mereka kelompok Paulus, kelompok
Apolos, atau kelompok Kefas, yang sepakat mengangkat salah seorang dari para penatua sebagai
pimpinan dari penatua-penatua lainnya, sehingga di bawah pengawasan universalnya terhadap gereja-
gereja, ia boleh membunuh benih-benih yang ingin memisahkan diri (Hieron. Comm. ad Tit. 1: 7). Para
penulis agung dari Gereja Yunani setuju dengan Jerome di dalam mempertahankan identitas asli para
penilik dan penatua seperti di dalam Perjanjian Baru. Mereka antara lain adalah Chrysostom
(Hom.i. Ef. ad Fil. 1: 11); Theodoret (ad Fil. 1: 1); Ambrosiaster (ad Ef. 4: 11); dan kaum pseudo-
Augustinian (Questions V et NT. qu. 101).

Terdapat dua ordinansi di dalam gereja yang sederhana pada masa itu,
yakni Baptisan dan PerjamuanTuhan. Baptisan merupakan pengakuan iman di dalam Kristus dari segi
luarnya. Karena baptisan menyatakan sebuah kepercayaan di dalam kematian, penguburan dan
kebangkitan Yesus Kristus, yang diikuti oleh kebangkitan semua orang percaya melalui Roh yang kekal.

2
Hanya orang percaya saja yang boleh dibaptis dan melalui sebuah pengakuan iman di dalam Yesus
Kristus. Gereja/Jemaat terdiri atas orang-orang percaya atau orang-orang kudus. Di dalam Perjanjian
Baru para anggota disebut sebagai "dikasihi Allah, yang dipanggil untuk menjadi orang-orang kudus";
dikuduskan di dalam Yesus Kristus"; "setia di dalam Kristus"; "dipilih Allah, kudus, dan dikasihi ." Syarat
keanggotaan tersebut adalah pertobatan, iman, benar, dan diawali dengan baptisan yang melambangkan
perubahan hidup.

Sehubungan dengan hal ini, menarik untuk dicatat bahwa semua Pengakuan Iman Pedobaptis (gereja
yang melaksanakan baptisan bayi/kanak-kanak) hanya memasukkan orang-orang percaya di dalam
definisi anggota jemaat yang sebenarnya. Definisi jemaat berikut ini dikutip dari Pengakuan Iman
Augsburg dari Gereja Lutheran. Ia boleh dikatakan hampir mewakili yang lainnya. Pengakuan itu
berbunyi:

Berbicara yang sebenarnya, bahwa gereja Kristus adalah sebuah jemaat anggota Kristus; yaitu
orang-orang kudus, yang sungguh-sungguh percaya dan taat kepada Kristus sebagaimana
mestinya.

Sedemikian universalnya definisi gereja ini di dalam semua Pengakuan Iman sehingga Kostlin, seorang
Profesor Theologi di Halle mengatakan: "Pengakuan Reformed menggambarkan Gereja sebagai
persekutuan orang-orang yang percaya atau orang-orang kudus, dan memelihara keberadaannya diatas
pengajaran Firman yang murni" (Kostlin, Schaff-Herzog Religious Encyclopedia, I, 474).

Definisi di atas, diterapkan secara konsisten, tidak termasuk baptisan bayi, karena bayi belum bisa
percaya, yang di dalam Perjanjian Baru selalu merupakan sebuah prasyarat untuk dibaptis. Pengajaran
Perjanjian Baru sangat jelas mengenai masalah ini. Yohanes Pembaptis memberi syarat kepada mereka
yang akan dibaptis agar sudah bertobat, beriman, melakukan pengakuan dosa dan hidup di dalam
kehidupan yang benar (Mat. 3: 2; Kis. 19: 4). Yesus melakukan pemuridan terlebih dahulu dan kemudian
membaptis mereka (Yoh. 4: 1), dan memberikan perintah khusus bahwa pengajaran harus mendahului
baptisan (Mat. 28: 19). Di dalam pengajaran para rasul, pertobatan mendahului baptisan (Kis. 2: 38);
para petobat dipenuhi dengan sukacita, dan hanya orang dewasa saja (laki-laki maupun wanita) yang
dibaptis (Kis. 8: 6, 8, 12). Tidak ada catatan atau kesimpulan yang mengimplikasikan bahwa baptisan
bayi dilakukan oleh Yesus maupun rasul-rasulnya.

Ini secara umum diakui oleh para ahli.

Dollinger, seorang ahli Katolik, Profesor di bidang Sejarah Gereja di Universitas Munich, mengatakan:
"Tidak ada bukti atau tanda-tanda di dalam Perjanjian Baru bahwa para rasul membaptis bayi atau
memerintahkan bayi-bayi dibaptis" (John Joseph Ignatius Dollinger, The First Age of the Church, II, 184).

Dr. Edmund de Pressence, seorang Senator Perancis dan Protestan mengatakan: "Tidak ada fakta positif
yang mendukung praktek (baptisan bayi) yang dapat dikemukakan dari Perjanjian baru; bukti-bukti
sejarah yang dinyatakan tidak meyakinkan" (Pressence, Early Years of Christianity, 376, London, 1870).

Banyak penulis buku yang membahas baptisan bayi akan langsung menegaskan bahwa hal tersebut
tidak disebutkan di dalam Perjanjian Baru. Disini hanya akan dikutip salah satu penulis tersebut. Joh.
W.F. Hofling, seorang Profesor Theologi Lutheran di Erlangen mengatakan: "Kitab Suci tidak
memberikan bukti sejarah bahwa kanak-kanak dibaptis oleh para rasul" (Hofling, Das Sakrament der
Taufe, 99, Erlangen, 1846, 2 vol.).

Sedikit sekali ahli pada masa kini yang akan keliru mengenai masalah ini. "Encyclopedia of Religion and
Ethics" yang diedit oleh Profesor James Hastings dan Profesor Kirsopp Lake dari Universitas Leyden
mengatakan: "Tidak ada indikasi baptisan bayi di dalam Perjanjian Baru".

3
"Real Encyklopadia fur Protestantiche Theologie und Kirche" (XIX, 403, edisi ketiga), ensiklopedi Jerman
yang hebat, mengatakan:

Praktek baptisan bayi tidak dapat dibuktikan pada masa kerasulan dan sesudah kerasulan. Kita
memang sering mendengar tentang baptisan seisi rumah, seperti di dalam Kis. 16: 34; 18: 8; 1
Kor. 1: 16. Namun perikop terakhir yang dikutip, 1 Kor. 7: 14, tidak mendukung anggapan
bahwa baptisan bayi adalah suatu

kebiasaan pada masa itu. Karena jika memang demikian tidak mungkin Paulus kemudian
menulis "Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak cemar".

Kepala Sekolah Robert Rainy, New College, Edinburgh, seorang Presbyterian, mengatakan:

Baptisan mensyaratkan beberapa perintah Kristen, dan didahului dengan puasa. Ia menandakan
pengampunan dosa masa lalu, dan merupakan titik balik kehidupan baru di dalam Kekristenan
dan dengan inspirasi tujuan dan maksud Kristen. Ia merupakan 'meterai' seseorang yang tidak
akan diganggu-gugat (Rainy, Ancient Catholic Church, 75).

Bentuk baptisan adalah masuk ke dalam air, atau menyelam ke dalam air. Yohanes membaptis di sungai
Yordan (Mrk. 1: 5); dan ia membaptis di Ainon, dekat Salim "sebab disitu banyak air" (Yoh. 3: 23). Yesus
dibaptis di sungai Yordan (Mrk. 1: 9), dan Ia "masuk ke dalam air" dan "keluar dari air" (Mat. 3: 16).
Perikop-perikop simbolis (Rom. 6: 3, 4; Kol. 2: 12), yang menggambarkan baptisan sebagai sebuah
penguburan dan kebangkitan yang dengan jelas menyatakan bahwa cara selam merupakan pelaksanaan
baptisan Perjanjian Baru.

Istilah ini memang merupakan makna perkataan Yunani baptizein. Perkataan tersebut didefinisikan oleh
Liddell dan Scott, yakni kosa kata sekuler Yunani yang digunakan di semua sekolah tinggi dan
universitas, sebagai "menyelam atau di bawah air". Seluruh pakar menyetujui pandangan ini. Prof. R.C.
Jebb, Litt. D., University of Cambridge, mengatakan: "Saya tidak tahu apakah ada yang mempunyai
wewenang dalam kosa kata Yunani-Inggris yang mengubah kata tersebut menjadi bermakna 'memercik'
atau 'menetes/mencurah/menuang'. Saya hanya bisa mengatakan bahwa pengertian tersebut bukan
berasal dari kata tersebut di dalam kesusasteraan Yunani" (Letter to the Author, 23 September, 1898).
Dr. Adolf Harnack, University of Berlin, mengatakan: "Tidak diragukan bahwa baptisan berarti selam.
Tidak ditemukan bukti bahwa kata tersebut mempunyai arti yang lain di dalam Perjanjian Baru dan di
dalam kepustakaan Kristen yang paling lamapun" (Schaff, The Teaching of the Twelve, 50).

Dr. Dosker, Profesor Sejarah Gereja dari Presbyterian Theological Seminary, Louisville, mengatakan:

Setiap sejarawan yang tulus akan mengakui bahwa kaum Baptis memiliki argumentasi yang
lebih bagus, baik secara ketatabahasaan maupun sejarah mengenai bentuk baptisan yang
berlaku. Kata baptizo berarti menyelam, baik di dalam kesusasteraan Yunani maupun dalam
Alkitab bahasa Yunani, kecuali jika secara nyata menunjukkan pemakaian yang berubah makna
(Dosker, The Dutch Anabaptists, 176, Philadelphia, 1921).

Tidak ada yang lebih pasti daripada jemaat-jemaat Perjanjian Baru yang secara seragam melaksanakan
cara selam.

4
Dasar Alkitab tentang baptisan anak-anak. 

Dapat dikatakan bahwa dalam Alkitab tidak ada perintah yang eksplisit mengenai baptisan anak-
anak. Juga tidak pernah kita lihat satu contoh pun dalam Alkitab mengenai peristiwa anak-anak
yang dibaptis. Tetapi hal ini tidak harus menjadikan kita menganggap baptisan anak-anak sebagai
sesuatu haram. Gereja mempunyai otoritas menetapkan Tradisi, sepanjang Tradisi itu tidak
mencederai Alkitab. Dapat pula dicarikan dasar Alkitab untuk baptisan anak-anak, yang dapat kita
jumpai dalam data berikut:

(1) Perjanjian yang dibuat dengan Abraham adalah suatu perjanjian spiritual, walaupun perjanjian
itu juga mengandung aspek nasional. Bagi perjanjian spiritual ini sunat adalah lambang dan
materainya. Orang Baptis, yang memisahkan perjanjian ini menjadi dua dari tiga perjanjian yang
ada, sesunguhnya tidak sesuai dengan Alkitab. Alkitab menyebut perjanjian dengan abraham
beberapa kali tetapi selalu dalam bentuk tunggal (Kel 2:24; Im 26:42; 2 Raj 13:23; 1 Taw 16:16;
Mzm 105:9). Tidak ada perkecualian satu pun dalam ayat-ayat itu. Sifat spiritual dari perjanjian ini
dibuktikan dengan cara dimana janji-janjinya ditafsirkan dalam perjanjian baru (Rom 4:16-18; 2
Kor 6:16-18; Gal 3:8,9; Ibr 8:10; 11:9,10,13). Juga kita lihat bahwa kenyataan bahwa sunat adlaah
sebuah ritual yang memiliki arti penting spiritual (Ul 10:16; 30:6; Yer 4:4; 9:25,26; Kis 5:1; Rom
2:26-29; 4:11; Flp 3:2). Juga kita lihat dari kenyataan bahwa perjanjian itu disebut "Injil" dalam Gal
3:8.

(2) Perjanjian ini masih berlaku dan secara esensial sama dengan "perjanjian ynag baru" pada masa
sekarang. Kesatuan dan kesinambungan dari perjanjian baik dalam masa Perjanjian Lama maupun
masa Perjanjian Baru keluar dari kenyataan bahwa Sang Pengantara tetaplah sama (Kis 4:12;
10:43; 15;10,11; Gal 3:16; 1 Tim 2:5,6; 1 Pet 1:9-12). Syaratnya juga masih tetap sama yaitu iman
(Kej 15:6; Rom 4:3,; Ibr 2:4 dst). Berkat dari perjanjian itu masih sama yaitu pembenaran (MZm
32:1,2,5 ; Yes 1:18; Rom 4:9; Gal 3:6), kelahiran kembali (Ul 30:6; Mzm 51:10), karunia rohani (Yo
2:28,32; Kis 2:17-21; Yes 40:31) dan hidup yang kekal (Kel 3:6; Ibr 4:9; 11:10). Pada hari
Pentakosta Petrus memberikan jaminan janji itu kepada mereka beserta dengan keturunan mereka
(Kis 2:39). Dalam Rom 4:13-18 dan Gal 3:13-18, Paulus membicarakan bahwa hukum tidak
menjadikan janji yang diberikan menjadi sia-sia, jadi dalam Perjanjian Baru itu tetap mengikat.
Penulis surat Ibrani menunjuk bahwa janji kepada Abraham diteguhkan dengan sumpah, sehingga
orang percaya Perjanjian Baru mendapatkan penghiburan dari ketidak-berubahan janji itu (Ibr
6:13-18).

(3) Oleh penunjukan Tuhan sendiri anak-anak juga mendapatkan keuntungan dari perjanjian itu
dan dengan demikian mereka menerima sunat sebagai lambang dan materai. Menurut Alkitab
perjanjian itu jelas merupakan sebuah konsep organik, dan pelaksanaannya bergerak sepanjang

5
garis sejarah dan organik. Ada umat atau bangsa kepunyaan Allah, dan ini merupakan sebuah
kesatuan organik yang hanya mungkin dibentuk dalam keluarga. Pengertian tentang suatu bangsa
ini sangat menonjol dalam Perjanjian Lama. Tetapi pengertian itu tidak lenyap ketika bangsa Israel
telah mencapai tujuannya. Pengertian bangsa ini dirohanikan dan terus dibawa masuk kedalam
Perjanjian Baru, sehingga umat Allah Perjanjian Baru juga disebut sebagai satu bangsa, Mat 21:42;
Rom 9:25,26 (cf. Hos 2:23); 2 Kor 6:16; Tit 2:14; 1 Ptr 2:9. anak-anak dan bayi juga diperhitungkan
selama jaman perjanjian lama sebagai suatu bagian integral dari Israel sebagai umat Allah. Anak-
anak itu ada ketika perjanjian diperbaharui (Ul 29:10-13; Yos 8:35; 2 Taw 20:13). Anak-anak juga
memiliki kedudukan dalam jemaat Israel dan karena itu juga hadir dalam pertemuan-pertemuan
religius mereka (2 Taw 20:13; Yoel 2:16). Kalau kita memandang janji-janji ynag luar biasa itu
seperti dalam Yes 54:13; Yer 31:34; Yo 2:28, maka kita tentunya tidak akan berharap jika hak
khusus yang juga dimiliki anak-anak itu kemudian dikurangi dalam Perjanjian Baru. Kita juga tidak
akan menyingkirkan anak-anak dari Gereja. Yesus dan para rasul tidak menyingkarkan anak-anak,
maka tentunya akan ada pernyataan eksplisit tentangnya, tetapi kenyataannya tidak demikian.

(4) Pada jaman Perjanjian baru, baptisan oleh Otoritas Ilahi mnggantikan sunat sebagai lambang
dan materai pentahbisan dari perjanjian anugerah. Alkitab dengan tegas menekankan bahwa sunat
sudah tidak bisa lagi berfungsi sebagai lambang dan materai pentahbisan Kis 15:1,2; 21:21; Gal 2:3-
5; 6:12,13,15. Jika baptisan tidak menggantikan kedudukan sunat, maka Perjanjian baru tidak
memiliki ritual pentahbisan. Tetapi jelas bahwa Kristus menggantikan sunat itu dengan bsptisan,
Mat 28:19,20; Mrk 16:15,16. Baptisan sesuai dengan sunat dalam pengertian spiritual.
Sebagaimana sunat menunjuk kepada pengeratan atas dosa dan perubahan dalam hati, Ul 10:16;
30:6; Yes 4:4; 9:25,26; Yes 44:7,9, seperti itu pulalah baptisan menunjuk kepada pembasuhan dosa,
Kis 238; 1 Ptr 3:21; Tit 3:5, selain juga menunjuk kepada pembaharuan spiritual, Rom 6:4; Kol
2:11,12. Ayat yang terakhir ini dengan jelas menunjukan kaitan antara baptisan dengan sunat. Ayat
itu juga mengajarkan kepada kita tentang sunat didalam hati yang ditandai oleh pembaptisan (cf.
Gal 3:27,29). Tetapi jjika anak-anak menerima materai dan lambang itu dari Perjanjian Lama yang
lama, maka tentunya anak-anak itu juga mempunyai hak untuk menerima materai dan lambang itu
dalam perjanjian ynag baru, yang melaluinya orang saleh dalam perjanjian lama diajar untuk
melihat ke depan kepada jaman yang lebih penuh dan kaya. Jika mereka tidak menerima hal ini,
maka haruslah mereka mendapatkan pernyataan yang tidak samar tentang hal ini, tetapi kenyataan
yang ada justru sebaliknya , Mat 19:4; Kis 2:39; 1 Kor:7:14.

(5) Sebagaimana yang dibicarakan dalam bagian sebelumnya, Perjanjian Baru tidak memberikan
bukti langsung mengenai baptisan anak-anak pada jaman para rasul. Setelah mempertimbangkan
semua bukti yang mungkin, Lambert mengemukakan keseimpulannya sebagai berikut: "Jadi, bukti
Perjanjian Baru tampaknya menunjuk pada kesimpulan bahwa baptisan anak-anak bukanlah
kebiasaan yang umum dilakukan pada jaman rasul."(The Sacraments in the New Testament hlm.
204). Tetapi kita tidak perlu terkejut jika baptisan anak-anak tidak disebutkan, sebab pada jaman
pekabaran Injil seperti pada jaman para rasul itu tekanan akan jatuh pada baptisan dewasa. Lebih
dari itu, keadaan tidak selalu menunjang bagi baptisan anak-anak. Orang yang bertobat akan segera
memiliki konsep yang tepat tentang tugas-tugas perjanjian serta tanggung jawabnya. Kadang-
kadang hanya salah satu dari orang tua saja yang bertobat, dan wajar saja jika orangtua yang belom

6
bertobat menentang baptisan untuk anak-anaknya. Seringkali tidak ada jaminan bahwa orang tua
akan mendidik anaknya secara religius dan karenanya jaminan seperti itu diperlukan. Pada saat
yang sama, istilah yang dipakai dalam Perjanjian Baru sangat kosisten dengan kesinambungan
pelaksanaan organis dari Perjanjian itu yang menuntuk sunat bagi anak-anak Mat 19:14; Mrk
10:13-16: Kis 2:39; 1Kor 7:14. Perjanjian Baru berulang kali berbicara tentang baprisan bagi
seluruh keluarga dan tidak memberikan indikasi bahwa hal ini dilakukan keluar dari kebiasaan,
tetapi lebih menunjuk sebagai sesuatu yang biasa (Kis 16:15,33; 1Kor 1:16). Sangat mungkin, tetapi
tidak terlalu pasti, bahwa tidak satupun dari anggota keluarga itu berisi anak-anak. Dan jika
seandainya ada bayi disana, secara moral pastilah bayi itu juga dibaptiskan bersama orang tuanya.
Perjanjian Baru pastilah tidak akan berisi bukti bahwa pribadi-pribadi yang lahir dan dibesarkan
dalam keluarga kristen tidak dibaptiskan sampai usia akil balik dan telah menyatakan pengakuan
iman mereka dalam Kristus. Tidak ada petunjuk ke arah itu.

(6) Wall dalam bagian pendahuluan bukunya yang berjudul History of Infant


Baptism menunjukan bahwa dalam baptisan anak proselit dari orang tua proselit, mereka sering
dibaptiskan bersama dengan orang tua mereka. Edersheim dalam bukunya Life and Times of
Jesus the Messiah mengatakan bahwa sesungguhnya ada perbedaan pandangan tentang hal ini.
Sesungguhnya, bahkan jika hal seperti ini terjadi, hal itu tidak membuktikan apa-apa sejauh
baptisan kristen terkait. Sebaliknya, akan menunjukan bahwa sesungguhnya tidak ada satupun
yang aneh dalam prosedurnya. Rujukan sejarah paling awal mengenai baptisan anak-anak kita
temukan dalam tulisan diparuh kedua abad kedua. Didache membicarakan tentang baptisan
dewasa, bukan baptisan anak-anak. Justin menyebutkan perempuan-perempuan yang menjadi
murid Kristus sejak masa anak-anak (ek paidon). Bagian itu memang tidak membicarakan tentang
baptisan, dan kalimat ek paidon tidak harus menunjuk bayi. Irenius ketika membicarakan tentang
Kristus menyatakan: "Ia datang untuk menyelamatkan manusia melalui diri-Nya sendiri. Mereka
yang diselamatkan melalui Dia dilahirkan baru kepada Allah, baik bayi maupum anak kecil, anak²
yang sudah agak besar, para pemuda dan orang tua." Perkataan ini walaupun tidak eksplisit
menyebutkan soal baptisan, namun pada umumnya dianggap sebagai rujukan paling awal bagi
baptisan anak-anak. Karena Bapak-Bapak Gereja sangat mengaitkan baptisan dan kelahiran
kembali, maka mereka memakai istilah "kelahiran kembali" untuk menunjuk "baptisan". Pada
paruh kedua abad kedua, baptisan anak-anak telah biasa dilakukan dan ini terlihat dari tulisan
Tertullian, meskipun ia sendiri menganggap baptisan itu agak ditunda (De Baptismoa,c, XVIII).
Origen menyyebutnya sebagai tradisi para rasul. Ia berkata "Gereja mendapatkan dari tradisi para
rasul untuk membaptiskan, bahkan anak-anak juga"(Comm. In Epsit. Ad Romanos, Lib V.) Konsili
Kartago (A.D. 253) tidak mempersoalkan baptisan anak-anak dan hanya menanyakan apakah anak-
anak perlu dibaptis sebelum berusia 8 hari. Sejak abad ke dua dan selanjutnya , baptisan anak-anak
secara teratur dilakukan walaupun kadang-kadang dalam pelaksanaanya ada juga yang
mengabaikannya. Augustinus mengambil dari kenyataan bahwa baptisan anak-anak pada
umumnya dilakukan Gereja diseluruh dunia walaupun tidak ditetapkan didalam Konsili. Hal seperti
ini mungkin terjadi, tentunya karena sudah ditetapkan oleh otoritas para rasul. Manfaat dari
baptisan anak-anak ini tidak pernah disangkal sampai pada jaman Reformasi ketika Anabaptis
menyerangnya.

7
KEBERATAN-KEBERATAN ATAS BAPTISAN ANAK-ANAK.

Sebagian pendapat yang tidak dapat menerima baptisan anak-anak akan dibicarakan secara singkat
disini:

(1) Sunat hanyalah sebuah peraturan jasmaniah belaka dan peraturan seperti itu akan berlalu. Jika
kita menggantikan sunat dengan baptisan, maka berarti kita melanjutkan peraturan yang sifatnya
hanya jasmaniah saja. Peraturan jasmaniah seperti itu tidak memiliki tempat yang penting dalam
Perjanjian Baru. Pada jaman sekarang keberatan ini dikemukakan oleh sebagian kaum
dispensasionalis seperti Bullinger dan O'Hair yang mengklaim bahwa baptisan yang ditetapkan
oleh Yesus dikaitkan dengan kerajaan Allah dan hanya baptisan Roh saja yang mempunyai
kedudukan yang tepat dalam Gereja. Kisah Para Rasul menandai transisi dari baptisan air menuju
baptisan roh. Tentu saja argumen ini akan menyebabkan semua baptisan baik orang dewasa
maupun anak-anak menjadi tidak berharga. Dalam pembicaraan mengenai persoalan ini, jaman
orang yahudi dan jaman kekristenan diletakkan secara bertentangan sebagai suatu yang jasmaniah
dan rohaniah. Sunat dikatakan menjadi bagian peraturan yang jasmaniah itu dalam hukum Musa.
Bannerman berkata: "Sunat tidak terikat baik pada bagian awal maupun akhir hukum Musa. Sunat
tentunya akan terus menjadi peraturan awal agar seseorang dapat masuk kedalam Gereja Tuhan
sebagai materai perjanjian anugerah jika baptisan tidak secara nyata menjadi ganti dari sunat itu
(The Church of Christ II, Hlm. 98). Harus diakui memang sunat memiliki arti penting tipikal pada
jaman Musa, tetapi sesungguhnya sunat itu yang terutama merupakan lambang dan materai dari
perjanjian yang telah dibuat dengan Abraham. Sejauh sunat itu merupakan model, maka model itu
akan segera berhenti jika yang aslinya sudah ada. Bahkan juga sebagai bahan materai dari
perjanjian, sunat itu membuka jalan bagi sebuah sakramen tanpa pencurahan darah yang secara
jelas diumumkan oleh Kristus bagi Gereja dan hal ini dimengerti benar oleh para rasul. Kristus telah
mengakhiri segala sesuatu dengan pencurahan darah-Nya dalam kaitannya dengan karya
penebusan. Dalam terang Alkitab pandangan bahwa baptisan harus dikaitkan dengan kerajaan dan
bukannya dengan gereja tidak dapat dibenarkan. Kalimat yang dipakai untuk menetapkan baptisan
itu sendiri menunjukan bahwa pada saat lahirnya Gereja Perjanjian Baru, Petrus menuntut agar
orang-orang itu dibaptiskan. Dan jika kita katakan bahwa Petrus yang adalah orang yahudi yang
tetap mengikuti contoh Yohanes Pembaptis, maka dapat pula dikatakan bahwa Paulus yang
merupakan rasul kepada orang kafir, juga menuntut agar orang bertobat dibaptiskan (Kis 16:15,33;
18:8; 1Kor 1:16).

(2) Tidak ada perintah eksplisit bahwa anak-anak harus dibaptis. Pernyataan ini memang benar,
tetapi tidak berarti bisa membatalkan validitas baptisan anak-anak. Harus diteliti bahwa keberatan
ini didasarkan pada satu tafsiran yang terhadapnya kaum Baptis sendiri tidak benar, yaitu ketika
mereka berpendapat bahwa orang kristen berkewajiban merayakan hari pertama setiap minggu
sebagai Sabat mereka, dan bahwa perempuan juga harus ambil bagian dalam Perjamuan Kudus.
Hal-hal seperti ini sesungguhnya tidak diperintahkan secara eksplisit. Alkitab tidak mengatakan
apa-apa tentang baptisan anak-anak, tetapi bolehkah kediaman ini dianggap melarang baptisan
anak-anak? Selama dua puluh abad, anak-anak telah diterima masuk dalam Gereja dan Perjanjian

8
Baru tidak berkata bahwa hal ini harus berhenti sekarang, walaupun benar bahwa Alkitab
mengajarkan bahwa sunat sudah tidak lagi mencapai maksud ini. Tuhan sendiri mengumumkan
satu ritual yang lain dan pada hari Pentakosta Petrus mengatakan kepada mereka yang masuk
bergabung dalam Gereja bahwa janji yang diberikan adalah bagi mereka dan bagi anak-anak
mereka dan juga sebanyak yang dipanggil Tuhan sendiri. Pernyataan Petrus ini paling tidak
membuktikan bahwa ia masih memegang konsep organik tentang perjanjian dalam hatinya. Ada
pertanyaan yang dapat diajukan kepada kaum Baptis, yaitu bagaimana mereka sendiri dapat
membuktikan kebenaran dari pendapat mereka melalui suatu perintah yang ada dalam Alkitab.
Apakah Alkitab memerintahkan bahwa semua yang dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga
kristen harus menyatakan pengakuan imannya sebelum mereka dibaptiskan? jelas tidak ada
perintah seperti itu.

(3) Suatu keberadaan yang sangat dekat dengan keberatan diatas adalah, tidak adanya contoh
mengenai baptisan anak-anak dalam Perjanjian Baru. Memang benar bahwa Alkitab tidak secara
eksplisit mengatakan bahwa anak-anak harus dibaptiskan, walaupun Alkitab jelas menunjukan
kepada kita bahwa ritual Pembaptisan diberikan untuk seluruh anggota keluarga. Tidak adanya
petunjuk yang tertentu untuk baptisan anak-anak, secara luas dapat dijelaskan berdasarkan
kenyataan bahwa Alkitab memberikan kepada kita catatan sejarah tentang pemberitaan Injil yang
dilakukan oleh para rasul, tetapi tidak ada catatan seperti itu yang dilaksanakan dalam Gereja yang
terorganisir. Dan disini juga persoalannya dapat kita kembalikan kepada kaum Baptis. Apakah
mereka dapat menunjukan kepada kita satu contoh dari baptisan orang dewasa yang dilahirkan
dalam keluarga kristen? Tidak akan mungkin.

(4) Keberatan yang paling penting mengenai baptisan anak-anak yang dikemukakan kaum Baptis,
yaitu menurut Alkitab baptisan mempunyai syarat yaitu iman yang aktif mengungkapkan diri
dalam pengakuan yang dapat diterima. Memang benar bahwa Alkitab menunjuk iman sebagai
prasyarat untuk baptisan, Mrk 16:16; Kis 10:44-48; 16:14,15,31,34, sehingga jika ini berarti bahwa
penerima baptisan harus senantiasa menyatakan manifestasi iman yang aktif sebelum baptisan,
maka anak-anak akan segera tersingkir. Tetapi meskipun Alkitab dengan jelas menunjukan bahwa
hanya orang dewasa yang dibaptiskan , Alkitab tidak pernah memberikan peraturan bahwa iman
yang aktif mutlak diperlukan untuk menerima baptisan. Orang Baptis menunjukan Amanat Agung
sebagai jawaban mereka sebagaimana yang diungkapkan dalam Mrk 16:15,16. Berdasarkan
kenyataan bahwa Amanat Agung adalah perintah untuk mengabarkan Injil, kita boleh beranggapan
bahwa Tuhan bermaksud menunjuk iman yang aktif dalam perkataan itu. Walaupun tidak
dikemukakan secara eksplisit, nyata sekali bahwa Ia melihat iman sebagai pra syarat bagi baptisan
dari orang yang dimaksudkan. Tetapi, siapakah mereka? Jelas mereka adalah orang dewasa
diantara bangsa-bangsa yang menerima pekabaran Injil itu dan dengan demikian orang Baptis
tidak bisa memakainya sebagai suatu argumen untuk menentang baptisan anak-anak. Jika mereka
tetap menekankan untuk melakukannya, maka susunan kalimat itu akan menekankan untuk
melakukannya, maka susunan kalimat itu akan membuktikan terlalu banyak bahkan bagi mereka
sendiri, sehingga dengan demikian tidak membuktikan apa-apa. Perkataan Tuhan Yesus itu

9
bermaksud mengatakan bahwa iman adalah pra syarat untuk baptisan dari mereka yang melalui
pekabaran Injil yang dilakukan Gereja akan dibawa datang kepada Kristus, dan tidak bermaksud
untuk mengatakan bahwa iman juga pra syarat bagi baptisan anak-anak. Orang Baptis
menggeneralisasikan perkataan Tuhan Yesus dengan cara mengajarkan bahwa baptisan tergantung
dari iman aktif penerimanya. Mereka melanjutkan argumentasinya dengan berkata: Iman yang aktif
adalah pra syarat dari baptisan. Anak-anak kecil dan bayi tidak dapat menunjukan imannya. Karena
itu anak-anak dan bayi tidak boleh dibaptis. Tetapi kalau demikian, maka pernyataan itu juga akan
menyerang keselamatan untuk anak-anak dan bayi, sebab mereka bukan sekedar bermaksud tetapi
dengan jelas menyatakanbahwa iman ( iman aktif ) adalah syarat untuk keselamatan. Supaya bisa
tetap konsisten, orang Baptis merasa terbeban untuk mengemukakan silogisme berikut: Iman
adalah conditio sine qua non bagi keselamatan. anak-anak belum bisa mengemukakan imannya,
karena itu mereka tidak dapat diselamatkan. Kesimpulan ini sebenarnya sudah ditarik mundur oleh
orang baptis sendiri.

Baptisan telah menjadi pengganti sunat sebab sunat telah digenapi oleh Kristus. Di dalam
Perjanjian Lama, sunat menjadi tanda perjanjian Allah dengan umat-Nya, sebagaimana baptisan
juga menjadi tanda perjanjian Allah dengan umat-Nya di dalam Perjanjian Baru.

Sekalipun demikian banyak orang yang tidak menyetujui anak-anak orang beriman dibaptiskan
karena di dalam Alkitab tidak ada perintah mengenai hal itu.

* Markus 16:16, 
LAI TB, Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan
dihukum.
KJV, He that believeth and is baptized shall be saved; but he that believeth not shall be damned.
TR, ο πιστευσας και βαπτισθεις σωθησεται ο δε απιστησας κατακριθησεται 
Translit, ho pisteusas kai baptistheis sô thêsetai ho de apistêsas katakrithêsetai

Ayat di atas dengan jelas menyebutkan, bahwa yang dibaptiskan adalah orang yang percaya
padahal tidak dapat ditentukan, apakah anak-anak orang beriman juga orang-orang yang percaya.
Gereja adalah persekutuan orang beriman.

Ada juga yang mengajukan alasan, bahwa apa yang terjadi di dalam Perjanjian Lama tidak dapat
diterapkan di dalam Perjanjian Baru, sebab yang ditekankan di dalam Perjanjian Lama adalah
keturunan lahiriah, karena Israel masih harus melahirkan sang Mesias. Padahal di dalam Perjanjian
Baru yang ditekankan adalah hal yang rohani, yaitu iman. Umat Allah di dalam Perjanjian Baru
bukan terdiri dari orang-orang yang dilahirkan dari daging dan darah, melainkan yang dilahirkan
dari atas, yang dilahirkan kembali.

Jadi tiada dasar untuk membaptiskan anak-anak orang beriman. Bagi anak-anak orang beriman,

10
cukuplah kiranya jikalau diadakan upacara penyerahan anak-anak itu kepada Kristus. Di dalam
upacara itu Gereja dapat melayankan berkat serta janji-janji Allah yang berhubungan dengan hidup
kekristenan.

Harus diakui, bahwa tiada nas di dalam Perjanjian Baru yang dengan jelas memerintahkan baptisan
anak. Namun, yang menjadi dasar baptisan anak memang "bukanlah beberapa ayat dari Perjanjian
Baru", juga "bukan iman anak" yang dibaptis, melainkan ajaran tentang "perjanjian Allah" yang
diberikan kepada orang tua dan kepada anak-anaknya.

Sunat yang menjadi tanda perjanjian Allah di dalam Perjanjian Lama telah diganti dengan baptisan.
Penggantian ini harus dilihat dari sejarah penyelamatan Allah. Di dalam sejarah penyelamatan ini,
Yesus Kristus menjadi pemenuhan hukuman Allah. Ia telah juga memenuhi peraturan sunat dengan
korban-Nya di kayu salib. Oleh karena itu Ia berhak mengganti sunat dengan baptisan, sebagai
tanda perjanjian Allah dalam Perjanjian Baru.

Pada hari raya Pentakosta, rasul Petrus berkata, supaya orang bertobat dan dibaptis. Sebagai alasan
dikemukakan, "Sebab bagi kamulah janji itu dan bagi anak-anakmu" (Kisah Para Rasul 2:38-39).
Ayat ini memang tidak mengatakan, bahwa anak-anak harus dibaptiskan. Yang dikatakan ialah,
bahwa anak-anak termasuk juga di dalam perjanjian Allah. Hal ini bukan hanya berlaku di dalam
Perjanjian Lama, tetapi juga di dalam Perjanjian Baru. Oleh karena di dalam Perjanjian Lama anak-
anak Israel juga menerima tanda perjanjian, maka anak-anak orang beriman di dalam Perjanjian
Baru, yang juga termasuk ke dalam perjanjian Allah, harus menerima tanda perjanjian itu, yaitu
dibaptiskan. Yang dipentingkan di sini adalah: perjanjian Allah. Arti baptisan bagi para anak orang
beriman sama dengan arti sunat bagi anak-anak Israel.

Hubungan Allah dengan umat-Nya di dalam Perjanjian Baru sama dengan hubungan Allah dengan
umat-Nya di dalam Perjanjian Lam, yaitu bahwa hubungan itu pertama-tama bukan bersifat
perorangan, melainkan bersifat menyeluruh, artinya: Allah pertama-tama berhubungan dengan
umat Allah seutuhnya. Padahal sejak hari Pentakosta telah ada sabda, "Bagi kamu dan bagi anak-
anakmu." Oleh karena itu maka berkat perjanjian Allah di dalam Perjanjian Baru juga diperluas
hingga kepada keturunan orang beriman.

Berdasarkan hal itu, maka anak-anak orang beriman juga turut mendapat peringatan-peringatan,
bersamaan dengan orang tua mereka. Dalam Efesus 6:1, rasul Paulus berkata, "Hak anak-anak,
taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian." Bagaimana rasul Paulus dapat
berkata, "taatilah di dalam Tuhan", seandainya anak-anak tidak termasuk perjanjian Allah?

Sekalipun di dalam Alkitab tiada satu nas pun yang menunjukkan dengan jelas adanya anak yang
dibaptis, akan tetapi Perjanjian Baru menunjukkan adanya orang-orang yang dibaptis dengan seisi
rumahnya.

Sekalipun alasan pokok di dalam baptisan anak bukanlah soal iman, namun di dalam baptisan anak
soal iman juga diperhatikan. Dengan baptisannya jalan iman terbuka lebar bagi anak-anak orang

11
beriman. Karena baptisannya hidup anak-anak itu harus ditandai oleh ketaatan di dalam iman.
Memang harus diakui, bahwa yang menghubungkan anak itu dengan baptisannya bukan imannya
sendiri, melainkan iman orang tuanya. Karena iman orang tuanya maka anak-anak dihubungkan
dengan perjanjian Allah dan dengan tanda perjanjian-Nya. Para anak ditanamkan kepada Kristus,
karena orang tuanya ditanamkan kepada Kristus. Hal yang demikian tidak bertentangan dengan
kehendak Allah.

12

Anda mungkin juga menyukai