Anda di halaman 1dari 5

SOLA SCRIPTURA

Alkitab merupakan asas tunggal hidup menggereja karena berisi semua kebenaran yang
diwahyukan Allah. Dengan kata lain, selain Alkitab, tidak ada sumber-sumber keselamatan,
termasuk tradisi kristiani sekalipun. Baginya, tradisi kristiani hanyalah ciptaan manusia yang
tidak dapat dijadikan sumber keselamatan. Semua yang dapat diketahui tentang Allah dan
hubungan antara manusia dengan Allah sudah difirmankan dalam Alkitab secara terbuka.
Dengan demikian, segala macam ajaran Gereja, Filsafat-Teologi dan Hukum Kanonik Gereja
ditolak dan dipandang lebih mengaburkan daripada menguatkan cahaya Injil yang dipancarkan
Allah kepada orang beriman melalui Alkitab. Oleh sebab itu, Luther mengganti struktur hierarki
Gereja dengan menonjolkan peranan jemaat awam dan fungsi imamat semua orang beriman
dalam kehidupan Gereja. Dengan demikian, hanya Alkitab saja yang memiliki otoritas infalibel
(tidak dapat sesat).

Sola Scriptura artinya hanya berdasarkan Alkitab saja. 1 Istilah "sola" (kata sifat)
"scriptura" (kata benda) adalah kasus ablative lebih dari kasus normative, yang berarti
menegaskan bahwa Kitab Suci bukan berdiri sendiri, terpisah dari Allah, melainkan sebagai
instrumen Allah, yang olehnya Ia menyatakan dirinya dan keselamatan bagi manusia melalui
iman kepada Tuhan Yesus Kristus saja sebagai formal principle dari reformasi, karena Kitab
Suci adalah sumber dan ukuran dari semua keyakinan theologis yang mendasari semua
pemikiran dan perbuatan.2 Prinsip sola Scriptura merupakan sebuah prinsip yang menjadikan 66
Kitab yang terdiri dari 39 Kitab PL dan 27 Kitab PB dalam Alkitab sebagai Firman Allah yang
menjadi dasar kebenaran. Jadi prinsip sola Scriptura adalah prinsip yang menjadikan Alkitab
Firman Allah sebagai pusat satu-satunya instrumen Allah untuk memahami dan memberitakan
kebenaran Pribadi dan Karya Allah.

Sola Scriptura,yaitu bahwa Alkitab adalah satu‐satunya standar hidup orang percaya,
bukan tradisi‐tradisi, termasuk tradisi gereja sekalipun. .Jadi segala pengajaran dan praktek
kehidupan bergereja harus dievaluasi kembali berdasarkan kebenaran Kitab Suci. Bagi Luther,
peran para hierarki Gereja Katolik justru dapat menghalangi manusia menghalangi Alkitab
1
Henk ten Napel, Kamus Teologi (Jakarta, PT. BPK Gunung Mulia, 2012), hlm.293
2
Stevri I. Lumintang, Theologia Reformasi Abad XXI, Gereja Menjadi Serupa Dunia (Jakarta: IThI, 2017), hlm.87
secara benar, Maka dari itu, Luther menghendaki supaya Alkitab dapat dipahami oleh semua
orang. Untuk mencapai tujuan tersebut, ia menerjemahkan Alkitab ke dalam Bahasa Jerman,
karena Alkitab berbahasa Latin (Vulgata) tidak dapat dipahami oleh semua orang, kecuali para
klerus, biarawan dan biarawati. Melalui Alkitab yang dianggap sebagai satu-satunya sumber
kebenaran itu, Luther berusaha mencari alasan yang tepat mengenai yustifikasi iman dengan
tujuan untuk memberi dasar yang kokoh pada ajaran dan doktrinnya.3

“Unless I am convinced by Sacred Scripture or by evident reason, I will not recant. My


conscience is held captive by the Word of God and to act against conscience is neither right nor
safe.” Kata-kata ini diucapkan oleh Martin Luther pada 18 April 1521 ketika ia dihadapkan
dengan sidang kekaisaran di kota Worms di hadapan kaisar Charles V yang menjadi penguasa
Jerman (dan beberapa bagian Eropa lainnya) pada saat itu, serta di hadapan para pemimpin
gerejawi. Luther dipanggil ke kota ini dengan tujuan supaya ia menarik kembali perkataan dan
pengajarannya. Ia diminta untuk mengaku salah di depan publik mengenai apa yang ia tuliskan
dan ajarkan tentang injil, keselamatan melalui iman, dan hakikat gereja. Tetapi Luther tidak
bersedia mengaku salah dan menarik pengajarannya.4

Di sinilah kita melihat sikap Reformasi terhadap Alkitab. Prinsip penting yang
ditegakkan dalam gerakan Reformasi adalah Sola Scriptura (hanya percaya kepada apa yang
dikatakan oleh Alkitab yang adalah firman Tuhan, karena hanya Alkitab yang memiliki otoritas
tertinggi). Kita tahu bahwa dua ungkapan yang mewakili gerakan Reformasi adalah Sola Fide
dan Sola Scriptura. Sering dikatakan bahwa Sola Fide adalah prinsip material dari pengajaran
Reformasi, sedangkan Sola Scriptura adalah prinsip formalnya.5 Kalau ditelusuri lebih dalam
lagi maka jelaslah bahwa prinsip Sola Scriptura ada di balik semua perdebatan mengenai
pembenaran melalui iman, karena Luther yakin sekali bahwa kebenaran ini diajarkan di dalam
Alkitab.6

Prinsip ini bukanlah hal yang baru, tetapi prinsip ini secara konseptual sudah ada dan
diterapkan dalam tokoh-tokoh Alkitab, pada permulaan penciptaan manusia, Tuhan sudah
memberikan prinsip agar Adam dan Hawa mendengarkan firman Tuhan (Lih. Kej. 2:16),

3
Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam, 56-57. Bdk. Simon Lili Tjahjadi, hlm.6.
4
Earle E. Cairns, Christianity Through the Centuries (Edisi ketiga; Grand Rapids: Zondervan, 1996) hlm.284.
5
Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi (Jakarta: Gunung Mulia, 1999) hlm.174.
6
R. C. Sproul, Grace Unknown: The Heart of Reformed Theology (Grand Rapids: Baker, 1997) hlm.42.
memang belum ada Firman Tuhan yang tertulis tetapi secara konsep pemikiran untuk berpusat
pada firman Tuhan telah muncul pada permulaan kehidupan manusia. Prinsip tersebut semakin
terang dinyatakan dalam kehidupan umat Israel dalam PL. Hal tersebut dapat kita lihat dari
pemberian kesepuluh hukum Allah kepada Musa di Gunung Sinai menunjukkan bahwa Allah
ingin umat Israel hidup sesuai dengan hukum-Nya.

Selanjutnya dalam PB prinsip untuk berpusat pada Alkitab semakin diterangkan oleh
Tuhan Yesus saat "mengalami pencobaan" Ia yang menyatakan "manusia bukan hidup dari roti
saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah" (Mat. 4:4). Paulus dalam Nasehatnya
kepada Timotius menyatakan bahwa pembacaan Kita Suci sangat penting agar dapat mengawasi
diri dan ajaran (NIV: watch your life and doctrine closely (Lih. 1Tim. 4:13, 16)) dan Paulus
menyatakan sangat penting menjadikan firman Allah sebagai sumber dan bahan untuk mengajar,
menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan dan mendidik orang dalam kebenaran (2Tim.
3:16).

Prinsip berpusat pada Alkitab (sola scriptura) adalah prinsip yang Alkitabiah yang telah
muncul dalam kehidupan tokoh-tokoh Alkitab dan Allah sendirilah yang menjadi inisiator agar
manusia menerapkan prinsip sola scriptura (Lih. Yoh. 8:51; 14:23). Setelah firman Allah yang
dinyatakan telah tercatat lengkap yaitu dalam Alkitab yang terdiri dari 66 Kitab, yaitu 39 Kitab
PL dan 27 Kitab PB, Allah menghendaki kita berpusat pada Alkitab. Sehingga para Teolog jika
ingin berkhotbah wajib dan harus berkhotbah berdasarkan Alkitab Firman Allah. Dari fakta-fakta
Alkitab tersebut menunjukkan bahwa prinsip Sola Scriptura adalah prinsip yang Alkitabiah. Para
tokoh reformator hanyalah salah-satu alat Tuhan untuk menggembakan kembali prinsip tersbut.

Prinsip Sola Scriptura dengan jelas mendobrak tirani dari suatu hierarki gerejawi yang
sudah “corrupt” karena gereja menempatkan dirinya lebih tinggi daripada firman Tuhan.
Berdasarkan Efesus 2:20 dapat dikatakan bahwa otoritas Alkitab sudah lebih dulu ada sebelum
gereja berdiri karena gereja didirikan di atas dasar pengajaran para rasul dan para nabi.
Pengajaran para rasul dan nabi adalah pengajaran firman Tuhan, dan jelas bukan hanya lebih tua
tetapi lebih tinggi daripada pengajaran gereja. Alkitab mampu memberikan penilaian atas gereja
dan juga memberikan model bagi gereja yang benar.
Prinsip Sola Scriptura juga tidak dapat dilepaskan dengan permasalahan kanon Alkitab.
Istilah “kanon” (aturan, norma) dipergunakan untuk merujuk pada kitab-kitab yang oleh gereja
dianggap otentik. Bagi teolog-teolog abad pertengahan dan gereja Roma Katolik, yang
dimaksud dengan Alkitab adalah karya-karya yang tercakup dalam Vulgata. Di dalamnya
terdapat tambahan kitab-kitab tertentu, yang sering kali disebut sebagai kitab-kitab Apokrifa,
yang tidak terdapat di dalam Perjanjian Lama dalam bahasa Ibrani. Para Reformator tidak setuju
dengan adanya tambahan kitab-kitab tersebut, oleh sebab itu mereka merasa berwenang untuk
mempersoalkan penilaian ini. Mereka berpendapat bahwa tulisan-tulisan Perjanjian Lama yang
dapat diakui untuk masuk dalam kanon Alkitab hanyalah yang asli terdapat dalam Alkitab
Ibrani.7 Kitab-kitab Apokrifa tersebut merupakan bacaan yang berguna, tetapi tidak dapat
dipergunakan sebagai dasar ajaran. Penegasan Sola Scriptura mengakibatkan para Reformator
menyingkirkan semua kitab di luar keenam puluh enam kitab dalam Alkitab. Perbedaan ini tetap
ada sampai sekarang.

Mengapa para Reformator sangat menjunjung tinggi otoritas Alkitab? Jawabannya


sederhana sekali: karena Alkitab adalah firman Tuhan, maka Alkitab dengan sendirinya memiliki
kewibawaan atau otoritas. Luther berkata, “The Scriptures, although they also were written by
men, are not of men nor from men, but from God.” Sedangkan menurut Calvin, The Scriptures
are the only records in which God has been pleased to consign his truth to perpetual
rememberance, the full authority which they ought to possess with the faithful is not recognized,
unless they are believed to have come from heaven, as directly as if God had been heard giving
utterance to them

Jadi ada konsensus bahwa Alkitab harus diterima seakan-akan Allah sendirilah yang
sedang berbicara bahwa otoritas Alkitab berakar dan berdasarkan suatu fakta bahwa Alkitab ini
diberikan melalui inspirasi Allah sendiri (2Tim. 3:16). Inspirasi adalah suatu cara di mana Allah
memampukan penulis-penulis manusia dari Alkitab untuk menuliskan semua perkataan di bawah
pengawasan Allah sendiri. Kepribadian dan kemanusiawian dari para penulis Alkitab diakui
aktif dalam proses di mana Roh Allah memimpin mereka dalam proses inspirasi tersebut.
Karena itu apa yang dituliskan bukanlah semata-mata tulisan mereka sendiri tetapi firman Allah
yang sejati.

7
McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi hlm.182-183.
Sola Scriptura masih masih merupakan salah satu doktrin yang relevan untuk
dipertahankan. Melihat situasi yang dihadapi saat ini maka penegasan doktrin yang mendasar ini
masih sangat penting. Kita sekarang hidup pada zaman yang sering kali disebut sebagai zaman
posmodernisme. Apa yang menjadi mentalitas zaman ini? William Edgar mengemukakan, “at
the heart of the postmodern mentality is a culture of extreme skepticism . . . . According to many
postmodernists, knowledge is no longer objective—nor even useful—and ethics is not
universal.”8 Inilah dunia yang tidak kompatibel dengan kebenaran injil, dan di dalam dunia yang
seperti ini Tuhan memanggil kita untuk mempertahankan kebenaran firman-Nya.

8
Reasons of the Heart: Recovering Christian Persuasion (Grand Rapids: Baker, 1996) hlm.25.

Anda mungkin juga menyukai