Anda di halaman 1dari 78

PEDOMAN IMPLEMENTASI KLASTER KESEHATAN

DALAM PENANGGULANGAN BENCANA


Edisi Finalisasi Versi 10 November 2015

KEMENTERIAN KESEHATAN
SEKRETARIS JENDERAL
PUSAT PENANGGULANGAN KRISIS KESEHATAN
2015

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 1
UCAPAN TERIMA KASIH

Dokumen ini merupakan buah koordinasi, kerjasama, integrasi dan sinergi para pihak terutama dalam
bidang penanggulangan bencana di Indonesia yang berkontribusi sejak awal tahun 2015, antara lain:
 World Health Organization;
 United Nations Office for Coordination of Humanitarian Affairs;
 UNICEF
 UNFPA
 Medicins Sans Frontiere;
 Kementerian Sosial Republik Indonesia;
 Badan Nasional Penanggulangan Bencana Republik Indonesia;
 Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan Republik Indonesia/BASARNAS;
 Pusat Kedokteran dan Kesehatan Kepolisian Republik Indonesia;
 Pusat Kesehatan Tentara Nasional Indonesia;
 Direktorat-Direktorat di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;
 Dinas-dinas Kesehatan Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota;
 Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota;
 Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI);
 Palang Merah Indonesia (PMI);
 Muhammadiyah Disaster Management Centre (MDMC);
 Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU);
 YAKKUM Emergency Unit (YEU);
 Yayasan Buddha Tzu Chi;
 Yayasan Pulih;
 Humanitarian Forum Indonesia (HFI);
 Dompet Dhuafa;
 MER-C;
 PERDHAKI;
 Co-Share
 PERSI
 IDI
 Fakultas Kedokteran, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
 Totalitas
 PERDHAKI
 PKBI
 Forum Pengurangan Risiko Bencana Provinsi Sumatera Barat
 Klaster Nasional Pengungsian dan Perlindungan
 Klaster Nasional Pencarian dan Penyelamatan
 Klaster Nasional Logistik

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 2
KATA PENGANTAR

Pada tahun 2006 dilakukan reformasi kemanusiaan yang berbasis pada 3 pilar untuk memastikan
efektifitas dan efisiensi aksi-aksi kemanusiaan. Salah satu dari 3 pilar itu adalah pendekatan klaster.
Pendekatan klaster adalah salah satu pendekatan koordinatif yang menyatukan semua pihak terkait baik
pemerintah maupun non pemerintah dalam penanganan bencana. Dalam Standar Kemanusiaan Inti
salah satu dari 9 komitmen para pihak yang terlibat dalam aksi kemanusiaan berkomitmen adalah
menyampaikan respons kemanusiaan yang terkoordinir dan saling melengkapi. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) yang bertugas mengelola bencana secara nasional melalui SK 173
tahun 2014 telah menetapkan berlakunya pendekatan klaster dalam penanggulangan bencana di
Indonesia. Melalui rangkaian pertemuan konsultatif para pemangku kepentingan, baik di sektor
kesehatan, maupun antar klaster sejak awal tahun 2015 telah disusun Pedoman Implementasi Klaster
Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana.

Para pemangku kepentingan dalam penanggulangan bencana telah menyusun sistem dan prosedur
koordinasi, kolaborasi, integrasi agar pengelolaan kesehatan pada saat terjadi krisis agar bisa optimal.
Koordinasi kolaborasi dan integrasi perlu disiapkan. Agar siap perlu dilatihkan. Agar bisa dilatihkan perlu
ada pedoman. Dengan membuat pedoman bersama, disepakati bersama, ini akan menjadi rujukan
latihan bersama. Dengan latihan bersama kita bisa siap melakukan aksi kemanusiaan yang efektif dan
efisien. Bilamana diperlukan semua pihak yang terlibat dalam bidang kesehatan mampu berkoordinasi,
kolaborasi dan integrasi.

Secara internal telah dibicarakan tentang klaster kesehatan, juga subklaster kesehatan. Dalam pedoman
ini juga disampaikan peran klaster kesehatan, tanggungjawab dan kewenangan klaster kesehatan. Dalam
proses penyusunan pedoman Klaster Kesehatan telah kami mengundang Klaster Pencarian dan
Penyelamatan dan Klaster Perlindungan dan Pengungsian agar bisa berkomunikasi dan berkoordinasi
sejak awal. Titik singgung yang telah disepakati selama rapat koordinasi, adalah pendekatan klaster tidak
berarti pendekatan penanggulangan bencana yang terfragmentasi, melainkan kesadaran dan komitmen
kegiatan yang saling bersinggungan dan bekerjasama.

Misalnya dalam penanganan pengungsi, ada hal yang berkaitan dengan kesehatan, air, rawan gizi,
kesehatan jiwa, kekerasan berbasis gender, kelompok penyakit tertentu, ini merupakan domain klaster
kesehatan untuk bekerjasama dengan Klaster Pengungsian dan Perlindungan. Pusat Penanggulangan
Krisis Kesehatan telah mengundang para pihak agar mampu mengenali titik tumpang tindih layanan dan
menyepakati mekanisme koordinasi dan kerjasama.

Adanya Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana ini semoga menjadi
tanda jejak jaman baru penanggulangan bencana di Indonesia yang semakin efektif, efisien dan
bertanggunggugat.

Jakarta, 2015

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 3
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 8
I.1 Latar Belakang ...................................................................................................................... 8
I.2 Landasan Hukum .................................................................................................................. 8
I.3 Maksud dan Tujuan .............................................................................................................. 9
I.4 Ruang Lingkup ...................................................................................................................... 9
I.5 Prinsip-prinsip ...................................................................................................................... 9
A. Prinsip-prinsip Bantuan Kemanusiaan ........................................................................................................... 10
B. Prinsip-prinsip kemitraan ........................................................................................................................... 11
C. Sistem Kesehatan Nasional ........................................................................................................................ 11
D. Visi Pembangunan Kesehatan Nasional ...................................................................................................... 11
I.6 Daftar Istilah Utama ........................................................................................................... 12
BAB II STRUKTUR KLASTER KESEHATAN ............................................................. 18
II.1 PENDEKATAN KLASTER ...................................................................................................... 18
II.2 Struktur Klaster Kesehatan ................................................................................................ 21
II.3 Koordinasi Klaster Kesehatan ............................................................................................ 23
II.4 Tanggung Jawab Koordinator Klaster Kesehatan Secara Umum ......................................... 23
II.5 Manajemen Informasi Klaster Kesehatan........................................................................... 24
II. 6 Klaster Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota .................................................................... 25
Bab III Aktivasi dan Pelaksanaan Klaster Kesehatan ..................................................... 26
III. 1 Pengkajian Situasi Kesehatan .......................................................................................... 26
III.2 Menganalisis dan Prioritas ............................................................................................... 35
III.2 Mengembangkan suatu Strategi Bersama: Perencanaan Bersama .................................... 39
III. 4 Memastikan Standar Melalui Monitoring, Evaluasi dan Pembelajaran ............................. 51
BAB IV SUMBER DAYA ................................................................................................. 57
IV.1 Penggalangan Sumber ...................................................................................................... 57
IV.2 Permintaan Bantuan ....................................................................................................... 58
IV.3 Menyiapkan Penerapan CERF dalam Bidang Kesehatan .................................................... 59
IV.4 Menyiapkan, Memantau dan Mengulas suatu “Permintaan Bantuan Bersama”................ 60
IV.5 Bekerja dengan Donor; Mengakses Dana dari Sumber Lain .............................................. 61
IV. 6 Pembiayaan.................................................................................................................... 62
BAB V MONITORING, EVALUASI, PEMBELAJARAN DAN PELAPORAN ........... 63
V.1 Memantau Kinerja Klaster: Pembelajaran.......................................................................... 63
V.2 Memantau Pelaksanaan Tanggap Darurat Bidang Kesehatan............................................. 63
V.3 Mengorganisir Evaluasi dan Pembelajaran ........................................................................ 64
V. 4 Layanan Standar dan Daftar Indikator.............................................................................. 65
Daftar rujukan ................................................................................................................... 71
Rujukan berbahasa Indonesia.................................................................................................. 71
Rujukan berbahasa Inggris: ..................................................................................................... 74

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 4
Tujuan Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana bertujuan untuk menanggulangi krisis kesehatan secara cepat, tepat,
menyeluruh dan terkoordinasi melalui kesiapsiagaan sumberdaya di bidang kesehatan.
(disesuaikan dengan Revisi PERMENKES No. 64 Tahun 2013
Klaster Kesehatan merupakan salah satu pendekatan koordinatif yang bertujuan untuk mengefektifkan
dan meningkatkan kualitas koordinasi pada saat tanggap darurat dalam rangka mendukung tujuan
penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana. Kegiatannya meliputi :
 Memperkuat koordinasi sektor kesehatan yang melibatkan pemerintah, lembaga- Lihat Bab
lembaga PBB, LSM, otoritas kesehatan, dunia usaha, donor dan anggota masyarakat, 2
termasuk antara pusat dan daerah, dan dengan sektor/klaster lainnya
 Menyediakan pemetaan terkini mengenai para pelaku yang terlibat dalampelayanan
kesehatan serta kegiatan yang dilakukan
 Menyepakati risiko dan masalah kesehatan yang menjadi prioritas pada saat tanggap Lihat Bab
darurat berdasarkan Penilaian Cepat Kesehatan 3
 Menyediakan informasi mengenai kebutuhan dan situasi kesehatan terkini yang dapat
diakses oleh semua pemangku kepentingan;
 Menyediakan data dan informasi terkini secara berkala mengenai perkembangan
situasi di lapangan serta permasalahan kesehatan yang ada
 Menyusun Rencana operasi bersama untuk tanggap darurat kesehatan yang selalu Lihat Bab
diperbaharui 3
 Menyusun rencana pemulihan dini bersama
 Menyusun Rencana kontinjensi bersama untuk tanggap darurat terhadap bencana
susulan/sekunder yang dapat berdampak pada kesehatan penduduk.
 Membagi tanggungjawab diantara mitra berdasarkan pada kapasitasnya masing-
masing.
 Menyusun Standar, protokol dan Pedoman yang disepakati untuk penyediaan Lihat Bab
perawatan kesehatan dasar, format standar untuk pelaporan 3
 Menyusun materi pelatihan dan kesempatan bagi semua mitra untuk meningkatkan
ketrampilan dan standar pelayanan, jika diperlukan
 Menyepakati sumber-sumber pembiayaan dan penerapan Dana Siap Pakai Lihat Bab
 Menyusun Rencana dan strategi advokasi bersama 4

 Melakukan Kunjungan Lapangan Bersama untuk melakukan penilaian awal dan lanjut Lihat Bab
saat tanggap darurat serta monitoring; pembelajaran dan evaluasi bersama saat pasca 5
bencana

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 5
Daftar Singkatan

AKA Angka Kematian Anak


AKB Angka Kematian Balita
AKI Angka Kematian Ibu
AKK Angka Kematian Kasar
APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
BAPPENAS Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BNPB Badan Nasional Penanggulangan Bencana
BPBD Badan Penanggulangan Bencana Daerah
BULOG Badan Urusan Logistik
CERF Central Emergency Response Fund, Dana Tanggap Darurat Nasional
DINKES Dinas Kesehatan
DINSOS Dinas Sosial
DSP Dana Siap Pakai
DVI Disaster Victim Identification – Identifikasi Korban Bencana

IASC Inter-Agency Standing Comittee, Komisi Antar Lembaga1


IFRC International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies, Federasi Palang Merah
Internasional dan Bulan Sabit Merah
IOM International Organization for Migration, Organisasi Migrasi Internasional
INGO International Non –Governmental Organization, Organisasi Non-Pemerintah Internasional
KAK Kerangka Acuan Kegiatan
KB Keluarga Berencana
KEMENKES Kementerian Kesehatan
KESPRO Kesehatan Reproduksi
K/L Kementerian/Lembaga
LSM Lembaga swadaya masyarakat
M&E Monitoring and Evaluation, Monitoring dan Evaluasi
MDGs Millennium Development Goals (Tujuan Pembangunan Milenium)
MDTF Multi Donor Trust Fund, Dana Hibah Multi Donor
MONEV Monitoring dan Evaluasi
OCHA Office for Coordination of Humanitarian Affairs, Kantor untuk Koordinasi Urusan
Kemanusiaan
PIBK Pusat Informasi Bantuan Kemanusiaan Humanitarian Information Centre (HIC),
POLRI Kepolisian Negara Republik Indonesia
PMI Palang Merah Indonesia
PONED Perawatan Obstetri Neonatal Dasar
PONEK Perawatan Obstetri Neonatal Komprehensif,
PROTAP Prosedur Tetap
RAN Rencana Aksi Nasional
RENKON Rencana Kontinjensi
RENSTRA Rencana Strategis
SKPD Satuan Kerja Pemerintah Daerah
SOP Standard Operational Procedure, Prosedur Tetap
ToR Terms of reference (Kerangka Acuan Kegiatan)
TNI Tentara Nasional Indonesia
UNDAC United Nations Disaster Assessment and Coordination
UNDAF United Nations Development Assistance Framework
UNDP United Nations Development Programme
UNFPA United Nations Population Fund
UNHCR United Nations High Commissioner for Refugees
UNICEF United Nations International Children’s Emergency Fund
URJ Unit Rawat Jalan, Outpatient Department (OPD)
USAID United States Agency for International Development

1
IASC mencakup OCHA, UNICEF, UNHCR, WFP, UNDP, UNFPA, FAO dan WHO. Lembaga lain yang diundang ICRC,
IFRC, IOM, ICVA (International Council of Voluntary Agencies), Inter-Action, SCHR (Steering Committee for Humanitarian
Response), RSGIDP (Perwakilan dari Sekretariat Jenderal Internally Displaced Persons), UNHCHR dan Bank Dunia.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 6
U5MR Under five mortality rate, Angka Kematian Balita
WASH Water, sanitation and hygiene, Air, Sanitasi dan Kebersihan
WHO World Health Organization
3W Who is where doing what Siapa di mana melakukan apa (dulu: Siapa berbuat apa, di mana)
4W who is where, when, doing what, Siapa di mana, kapan, melakukan apa

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 7
BAB IPENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) tahun 2013 menyatakan adanya 205 juta jiwa penduduk
terpapar risiko bencana tinggi, baik bencana akibat fenomena alam, non-alam, dan sosial. Ada 64 persen
dari total 614 kabupaten/kota di Indonesia2 berisiko tinggi bencana. Pada tahun 2014, data Kementerian
Kesehatan menunjukkan bahwa telah terjadi krisis kesehatan sebanyak 456 kali kejadian, yang
mengakibatkan korban meninggal 953 orang, korban lukaberat/rawat inap 1.932 orang, luka
ringan/rawat jalan 683.472 orang, korban hilang 391 orang dan pengungsi 985.895 orang.

Tantangan penanggulangan krisis kesehatan di Indonesia semakin meningkat. Hal ini antara lain
disebabkan oleh perubahan iklim dan bertambahnya jumlah penduduk.. Menyadari besarnya tantangan
dan pentingnya kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan dalam penanggulangan krisis
kesehatan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kementerian/Lembaga terkait
mengadopsi pendekatan klaster. Pendekatan klaster ini sudah digunakan dalam upaya tanggap darurat
dan pemulihan dampak gempa bumi di Yogyakarta tahun 2006 dan Sumatera Barat 2009. Pembelajaran
penggunaan pendekatan klaster ini menunjukkan kegiatan yang lebih terkoordinir dan efektif.

Pendekatan klaster dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas penanggulangan bencana melalui


kemitraan dengan berbagai pihak baik Pemerintah, Dunia Usaha maupun Masyarakat dalam koordinasi
BNPB dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). BNPB bersama Kementerian/Lembaga
terkait telah melaksanakan lokakarya penyelarasan klaster pada tanggal 15 Januari 2014 dan 26
Februari 2014 yang menyepakati terbentuknya Klaster Nasional dengan mengadaptasi pendekatan
klaster untuk upaya koordinasi berbagai pemangku kepentingan dalam penanggulangan krisis kesehatan
di Indonesia. Delapan Klaster Nasional telah dibentuk, yaitu: Kesehatan, Pendidikan, Pengungsian dan
Perlindungan, Sarana dan Prasarana, Pemulihan Dini, Ekonomi, Logistik, Pencarian dan Penyelamatan.

Pada bulan Oktober 2014 diadakan pertemuan Klaster Kesehatan dan disepakati sub-klaster-
subklasternya. Klaster Kesehatan merupakan satuan tugas/sekelompok dari pemerintah, non
pemerintah dan lembaga internasional untuk memenuhi kebutuhan sektor kesehatan dalam
penanggulangan bencana. Sub-klaster yang disepakati terdiri dari:
a. Pelayanan Kesehatan
b. Pencegahan dan pengendalian penyakit
c. Penyehatan lingkungan
d. Pelayanan gizi
e. Pengelolaan obat bencana
f. Kesehatan Reproduksi
g. Penanganan kesehatan jiwa
h. Penatalaksanaan korban mati3

Klaster Kesehatan - melalui Koordinator Sub-Klaster - bekerja dalam upaya-upaya pengurangan risiko
krisis kesehatan, memobilisasi sumber daya pada saat kedaruratan secara strategis maupun operasional,
serta mengkoordinasikan upaya-upaya pemulihan dini secara koheren dan efektif. Untuk memastikan
berbagai kegiatan yang dilakukan lebih selaras dan efektif, diperlukan koordinasi dan kolaborasi sumber-
sumber daya dalam berbagai fase penanggulangan krisis kesehatan.

I.2 Landasan Hukum


1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
2. Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia (POLRI)
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik

2
Sampai tahun 2015 tercatat ada 34 Provinsi, 416 Kabupaten, 98 Kota, 7130 kecamatan, 8430 Kelurahan dan 74.754 Desa di
seluruh Indonesia (PERMENDAGRI RI Nomor 56 Tahun 2015 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintah)
3
DVI direncanakan mau dimasukkan ke pelayanan kesehatan. Sementara penatalaksanaan korban mati  pemularasaan
(penguburan) diadvokasikan untuk ditangani oleh Kementerian/Dinas sosial. Batasan penatalaksanaannya sampai di mana?
Sampai identifikasi saja? Penguburannya belum jelas
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 8
7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
9. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik sosial
11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
12. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
13. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2014 tentang Pencarian dan Pertolongan
14. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah, Kabupaten/Kota
15. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana
16. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan Penanggulangan
Bencana
17. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu
Eksklusif
18. Peraturan PemerintahRepublik Indonesia No 66/2014 tentang Kesehatan Lingkungan
19. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial
20. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2007 tentang Badan SAR Nasional
21. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional
22. Peraturan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2013 tentang Penanggulangan
Krisis
23. Peraturan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2014 tentang Sistem Informasi
Penanggulangan Krisis Kesehatan
24. Peraturan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2014 tentang PUSKESMAS
25. Peraturan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 tentang Penilaian
Kerusakan dan Kerugian Bidang Kesehatan
26. SK MENKES Republik Indonesia Nomor 059/MENKES/SK/I/2011 Tahun 2011 Tentang Pedoman
Pengelolaan Obat dan Perbekalan Kesehatan Pada Penanggulangan Bencana
27. PERKA BNPB Nomor 173 Tahun 2015 tentang Klaster Penanggulangan Bencana
28. PERKA BNPB Nomor 6a Tahun 2008 tentang Dana Siap Pakai
29. PERKA BNPB Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pedoman Komando Tanggap Darurat

I.3 Maksud dan Tujuan


1. Maksud

Untuk memberikan acuan hukum bagi institusi/organisasi anggota klaster kesehatan dalam
penanggulangan bencana, baik dari pemerintah, lembaga internasional, masyarakat, serta lembaga
usaha, dalam melakukan koordinasi, kerja sama, integrasi, dan sinergi yang efektif dan efisien.

2. Tujuan
memastikan kecukupan, keselarasan dan efektivitas upaya penanggulangan bencana bidang
kesehatan secara menyeluruh dan dapat dipertanggungjawabkan.

I.4 Ruang Lingkup


Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan ini mencakup seluruh upaya penanggulangan bencana pada
saat prabencana, tanggap darurat/ saat bencana, dan pemulihan dini (early recovery) di bidang
kesehatan oleh anggota Klaster Kesehatan yang terlibat dalam kebencanaan.

I.5 Prinsip-prinsip
Klaster dibentuk berdasarkan prinsip bantuan kemanusiaan dan prinsip kemitraan yang disepakati
dalam Global Humanitarian Platform4.

4
Global Humanitarian Platform (GHP) merupakan forum yang diluncurkan pada bulan Juli 2006 untuk menyatukan langkah tiga
keluarga besar bantuan kemanusiaan yang lebih luas:lembaga swadaya masyarakat; Palang Merah dan Bulan Sabit Merah dan
PBB serta organisasi internasional terkait lainnya untuk meningkatkan efektivitas tindak kemanusiaan.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 9
A. Prinsip-prinsip Bantuan Kemanusiaan
Sesuai dengan Resolusi SU PBB No 46/182 (19 Desember 1991), bantuan kemanusiaan harus diberikan
sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, netralitas dan ketidakberpihakan. Kepatuhan terhadap
prinsip ini merupakan cerminan akuntabilitas masyarakat pemberi bantuan kemanusiaan.
 Kemanusiaan: Penderitaan manusia harus ditangani di manapun dia terjadi, dengan perhatian
khusus kepada anggota masyarakat yang paling rentan, seperti anak-anak, perempuan,
penyandang disabilitas dan warga lanjut usia. Harga diri dan hak-hak korban harus dihargai dan
dilindungi.
 Netralitas: Bantuan kemanusiaan harus diberikan tanpa melibatkan kekerasan atau keberpihakan
dalam kontroversi yang bersifat politik, agama atau ideologi.
 Ketidakberpihakan: Bantuan kemanusiaan harus diberikan tanpa membedakan asal suku, jenis
kelamin, kewarganegaraan, pandangan politik, ras atau agama. Bantuan untuk meringankan
penderitaan harus diberikan semata-mata karena kebutuhan dan prioritas harus diberikan pada
kasus bencana terkini.

Seluruh prinsip di atas diadopsi oleh Pemerintah Indonesia. Indonesia mempunyai 8 (delapan) asas dalam
penanggulangan bencana, seperti tercantum pada Pasal 3 ayat 2 Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yaitu:
a. Kemanusiaan – memberikan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia, harkat dan
martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional;
b. Keadilan – setiap materi muatan dalam penanggulangan bencana harus mencerminkan keadilan
secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali;
c. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan – materi muatan ketentuan dalam
penanggulangan bencana tidak boleh berisi hal-hal yang membedakan latarbelakang, antara lain,
agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial;
d. Keseimbangan , keselarasan, dan keserasian – keseimbangan – materi muatan ketentuan dalam
penanggulangan bencana mencerminkan keseimbangan kehidupan sosial dan lingkungan;
keselarasan – materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan
keselarasan tata kehidupan dan lingkungan; keserasian – materi muatan ketentuan dalam
penanggulangan bencana mencerminkan keserasian lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat;
e. Ketertiban dan kepastian hukum – materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana
harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui adanya kepastian hukum;
f. Kebersamaan – penanggulangan bencana pada dasarnya menjadi tugas dan tanggungjawab
bersama Pemerintah dan masyarakat yang dilakukan secara gotong royong;
g. Kelestarian lingkungan hidup – materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana
mencerminkan kelestarian lingkungan untuk generasi sekarang dan untuk generasi yang akan
datang demi kepentingan bangsa dan negara; dan
h. Ilmu pengetahuan dan teknologi – dalam penanggulangan bencana harus memanfaatkan
pengetahuan dan teknologi secara optimal, sehingga mempermudah dan mempercepat proses
penanggulangan bencana, baik pada tahap pencegahan, pada saat terjadi bencana, maupun pada
tahap pascabencana.

Indonesia juga mempunyai 9 (sembilan) prinsip-prinsip penanggulangan bencana, seperti tercantum pada
Pasal 3 ayat 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, yaitu:
a. Cepat dan tepat – penanggulangan bencana harus dilaksanakan secara cepat dan tepat sesuai
dengan tuntutan keadaan;
b. Prioritas – apabila tejadi bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat prioritas dan
diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia;
c. Koordinasi dan keterpaduan – koordinasi – penanggulangan bencana didasarkan pada koordinasi
yang baik dan saling mendukung; keterpaduan – penanguglangan bencana dilakukan oleh berbagai
sektor secara terpadu yang didasarkan pada kerjasama yang baik dan saling mendukung;
d. Berdaya guna dan berhasil guna – berdaya guna – dalam mengatasi kesulitan masyarakat
dilakukan dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan; berhasil guna –
kegiatan penanggulangan bencana harus berhasil guna, khususnya dalam mengatasi kesulitan
masyarakat dengan tidak membuang waktu, tenaga dan biaya yang berlebihan;
e. Transparansi dan akuntabilitas – transparansi - penanggulangan bencana dilakukan secara
terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan; akuntabilitas – penanggulangan bencana dilakukan
secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 10
f. Kemitraan – hubungan setara, terbuka, berbagi tanggungjawab, saling melengkapi antara para
pihak untuk tujuan dan sasaran bersama.
g. Pemberdayaan - segala upaya fasilitasi yang bersifat non-instruktif, guna meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan masyarakat, agar mampu mengidentifikasi masalah yang dihadapi,
potensi yang dimiliki, merencanakan dan melakukan penyelesaiannya dengan memanfaatkan
potensi setempat.
h. Nondiskriminatif – negara dalam penanggulangan bencana tidak memberikan perlakuan yang
berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras, dan aliran politik apapun; dan
i. Nonproselitisi – dilarang menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat
bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana.

B. Prinsip-prinsip kemitraan
Dalam berkoordinasi, kolaborasi dan bersinergi, anggota klaster/sub-klaster mengacu pada prinsip-
prinsip kemitraan di bawah ini:
 Kesetaraan: semua anggota usaha saling menghargai mitra mereka, tanpa melihat ukuran dan
kekuatannya. Mitra saling menghargai mandat, tanggung jawab dan posisi masing-masing serta
mengakui keterbatasan dan komitmen semua pihak. Sikap saling menghargai ini memampukan
semua organisasi yang terlibat untuk menjalankan peran meskipun berbeda pandangan.
 Transparansi: anggota saling terbuka berbagi informasi melalui dialog sejak pertemuan awal,
termasuk transparansi keuangan dapat meningkatkan tingkat kepercayaan antar organisasi.
 Pendekatan berorientasi hasil: Bantuan kemanusiaan didasari atas kenyataan lapangan dan
berorientasi tindakan. Ini membutuhkan koordinasi yang berorientasi pada hasil berdasarkan
kemampuan yang ada.
 Tanggung Jawab: organisasi bantuan kemanusiaan memiliki tanggung jawab etis untuk
melaksanakan tugas mereka secara bertanggung jawab, integritas, dengan cara yang relevan,
wajar dan baik. Mereka harus memastikan bahwa mereka hanya melakukan berbagai kegiatan
ketika mereka tahu apa yang mereka lakukan, memiliki kompetensi, keterampilan, dan kapasitas
untuk memberikan komitmen mereka. Organisasi melakukan pencegahan penyalahgunaan
bantuan kemanusiaan.
 Saling melengkapi: Tingginya keragaman masyarakat pemberi bantuan kemanusiaan justru
merupakan modal dasar jika kita ingin memanfaatkan keunggulan komparatif dan mampu saling
melengkapi peran satu sama lain. Kapasitas setempat merupakan salah satu aset utama untuk
meningkatkan dan landasan pembangunan. Sekiranya memungkinkan, organisasi bantuan
kemanusiaan harus berjuang untuk menjadi satu bagian integral dari tanggap darurat. Hambatan
bahasa dan budaya harus dapat diatasi.

C. Sistem Kesehatan Nasional


Bila terjadi bencana, maka umumnya sistem kesehatan akan terdampak,., Untuk mengantisipasi hal
tersebut, saat pra-bencana, perlu dipastikan sistem dan sub-sistem kesehatan sudah mengurangi
risiko bencana dan memastikan ketangguhan sistem. Pada saat bencana, perlu diperiksa berfungsinya
atau terdampaknya sistem dan sub-sistem kesehatan. Pada pasca-bencana perlu dipastikan pulih dan
berfungsinya seluruh sub-sistem kesehatan untuk memastikan Indonesia sehat. Sistem Kesehatan
Nasional (2012), terdiri dari 7 subsistem Kesehatan Nasional, yaitu:

1. Upaya kesehatan
2. Penelitian dan pengembangan kesehatan
3. Pembiayaan kesehatan
4. Sumberdaya manusia kesehatan
5. Sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan
6. Manajemen, informasi, dan regulasi kesehatan
7. Pemberdayaan masyarakat

D. Visi Pembangunan Kesehatan Nasional


Visi pembangunan nasional, yaitu “Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur” sebagaimana
ditetapkan dalam Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pembangunan Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005-2025. Salah satu yang harus dipenuhi adalah menjadi bangsa yang makmur.
Salah satu unsur penting bagi pembangunan sumber daya manusia adalah derajat kesehatan dan
keamanan.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 11
Dalam rangka mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, Pemerintah Indonesia telah
menetapkan tujuan pembangunan kesehatan, yang dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya dengan memberdayakan dan mendorong peran aktif masyarakat dalam segala
bentuk upaya kesehatan. Tujuan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan Republik
Indonesia Tahun 2005-2025 adalah “Indonesia Sehat 2025”. Disebutkan bahwa perilaku masyarakat
yang diharapkan dalam Indonesia Sehat 2025 adalah perilaku proaktif untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan; mencegah risiko terjadinya penyakit; melindungi diri dari ancaman penyakit
dan masalah kesehatan lainnya; sadar hukum; serta berpartisipasi aktif dalam gerakan kesehatan
masyarakat, termasuk menyelenggarakan masyarakat sehat dan aman.

I.6 Daftar Istilah Utama

Analisa Pengujian secara mendetil, metodis atas berbagai elemen pembentuk, struktur dan
saling keterhubungan.

Analisa Gender Proses yang dibangun secara sistematik untuk mengidentifikasi dan memahami
pembagian kerja/peran laki-laki dan perempuan, akses dan kontrol terhadap
sumber-sumber daya pembangunan, partisipasi dalam proses pembangunan dan
manfaat yang mereka nikmati, pola hubungan antara laki-laki dan perempuan yang
timpang, yang didalam pelaksanaannya memperhatikan faktor-faktor lainnya seperti
kelas sosial, ras, dan suku bangsa (INPRES RI Nomor 9 Tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional).

Analisa Pemangku Analisa kepentingan dan pengaruh relatif dari berbagai pemangku kepentingan yang
Kepentingan terlibat di dalamnya

Bantuan darurat Upaya memberikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan dasar pada saatkeadaan
bencana darurat. (UU RI No. 24 Th. 2007 tentang PB, Pasal 1:18)

Bencana Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan
dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban
jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
(UU Nomor 24 Tahun 2007)

Dampak Pengaruh terhadap populasi terdampak (misal penurunan insiden cacar air)

Efektivitas Kemampuan untuk menghasillkan keluaran/hasil yang diinginkan.

Efisiensi Kemampuan untuk menjalankan tugas dengan baik dan tepat dengan tidak
membuang waktu, tenaga maupun biaya

Evaluasi Penilaian, yang dilakukan secara sistematis dan seobyektif mungkin, atas suatu
proyek yang sedang berlangsung atau yang telah selesai, program atau kebijakan,
rancangannya, implementasi serta hasilnya.

Pengujian yang dilakukan secara sistematis dan tidak memihak (atas suatu tindak
bantuan kemanusiaan) dimaksudkan untuk menarik pelajaran untuk meningkatkan
kebijakan dan praktik untuk meningkatkan akuntabilitas

Evaluasi menjawab pertanyaan: Apakah kita telah mencapai apa yang kita tetapkan?
Jika tidak, mengapa demikian, dan apa yang perlu kita ubah?

Kesetaraan Kualitas untuk menjadi adil dan tidak memihak.

Kesetaraan Kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan
Gender hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam
kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional, dan

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 12
kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. (INPRES RI Nomor 9
Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional).
Kemitraan Konsep “kemitraan” berarti tujuan bersama, tanggung jawab bersama atas capaian,
akuntabilitas terpisah dan saling menjalankan kewajiban masing-masing.

Mitra mencakup pemerintah, masyarakat madani, lembaga PBB, organisasi non


pemerintah, universitas, profesional dan asosiasi usaha, organisasi multi-lateral,
perusahaan swasta, dll. [WFP Programme Guidance Manual]

Kesiapsiagaan Serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui


pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. (UU
Nomor 24 Tahun 2007)

Klaster Sekelompok badan, organisasi, dan/atau lembaga yang bekerja sama untuk
mencapai tujuan bersama – untuk mengatasi kebutuhan pada sektor tertentu
(seperti kesehatan).

Salah satu pendekatan koordinasi yang mengampu semua pihak terkait baik
pemerintahan maupun non pemerintahan dalam penanganan bencana

Klaster Kesehatan Satuan tugas atau sekelompok satuan tugas untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
kesehatan dalam penanganan bencana
Koordinasi Proses (serangkaian kegiatan) yang menyatukan berbagai elemen berbeda dalam
satu harmoni atau hubungan yang efisien.

Dalam konteks tanggap darurat bantuan kemanusiaan, koordinasi bertujuan untuk


membuat segenap organisasi yang turut serta bekerja sama dalam kemitraan untuk
menghasilkan kegiatan yang selaras dan memanfaatkan sumber daya secara efisien
dalam kerja kerja sasaran, prioritas dan strategi yang telah disepakati, untuk
kemaslahatan warga yang terdampak.

…Proses proaktif di mana alokasi material, tenaga, keuangan, dan sumber daya
teknis dibuat agar lebih efisien dan efektif

Korban bencana Orang atau sekelompok orang yang menderita atau meninggal dunia akibat
bencana. (UU RI No. 24 Th. 2007 tentang PB, Pasal 1:22)

Krisis Kesehatan Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam kesehatan individu atau
masyarakat yang disebabkan oleh bencana dan/atau berpotensi bencana.
(PERMENKES No. 77 Tahun 2014 tentang Sistem Informasi Krisis Kesehatan)

Lembaga Organisasi yang berada dalam lingkup struktur organisasi Perserikatan Bangsa-
internasional Bangsa atau yang menjalankan tugas mewakili Perserikatan Bangsa-Bangsa atau
organisasi internasional lainnya danlembaga asing nonpemerintah dari negara lain
di luar Perserikatan Bangsa-Bangsa. (UU RI No. 24 Th. 2007 tentang PB, Pasal 1:26)

Lembaga Usaha Setiap badan hukum yang dapat berbentuk badan usaha milik negara, badan usaha
milik daerah, koperasi, atau swasta yang didirikan sesuai denganketentuan
peraturan perundang-undangan yangmenjalankan jenis usaha tetap dan terus
menerus yangbekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara KesatuanRepublik
Indonesia. (UU RI No. 24 Th. 2007 tentang PB, Pasal 1:25)

Manajemen Proses menerima dan dan menyimpan data dengan cara sedemikian rupa sehingga
informasi data dapat diambil dengan cepat ketika dibutuhkan, dan dipilah secara sistematis
dan dianalisa untuk menghasilkan informasi bagi peringatan dini, perencanaan
program, pengelolaan, evaluasi, dan kepentingan advokasi.

Mitigasi Serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan
fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman
bencana. (UU Nomor 24 Tahun 2007)

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 13
Mitra Individu dan organisasi yang bekerja sama untuk mencapai sasaran yang telah
disepakati bersama.

Monitoring Proses/kegiatan mengamati dan memeriksa selama kurun waktu tertentu;


mempertahankan pengamatan teratur atas suatu hal.

Dalam konteks kegiatan aksi kemanusiaan, dibedakan dua bentuk monitoring:


(i) Monitoring (pengamatan) atas situasi – pengumpulan dan analisa data secara
rutin mengenai kondisi kesehatan, risiko, akses atas pelayanan dll. untuk
mendeteksi dan mengukur perubahan.
(ii) Monitoring atas implementasi dan program serta proyek – pengumpulan dan
analisa data terkait input dan keluaran proyek untuk menjawab pertanyaan:
Apakah kita telah melakukan hal-hal yang ingin kita lakukan? Jika belum,
mengapa belum, dan apa yang perlu diubah?

Output Penyelesaian kegiatan pada waktu tertentu oleh suatu proyek (misal 10 000 anak
divaksinasi)

Pasca bencana Masa setelah terjadi peristiwa bencana

Pelaku Kesehatan Organisasi dan individu yang terlibat, baik secaralangsung maupun tidak langsung,
dalam pemberian layanan kesehatan.

Pemangku Lembaga, organisasi, kelompok atau individu yang memiliki kepentingan baik
Kepentingan langsung maupun tidak langsung atas suatu kegiatan tertentu, atau evaluasinya.
(Catatan: untuk kesehatan, ini biasanya kelompok yang lebih besar daripada
“pelaku kesehatan”.)

Pascakrisis Serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera untuk memperbaiki,


Kesehatan memulihkan, dan/atau membangun kembali prasarana dan fasilitas pelayanan
kesehatan. (PERMENKES Nomor 77 Tahun 2014 tentang Sistem Informasi Krisis
Kesehatan)

Pemantauan Pengumpulan, analisa dan penafsiran data secara sistematis, untuk merencanakan,
mengimplementasikan, dan mengevaluasi intervensi kesehatan masyarakat

Pemerintah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintah Negara


Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UU RI No. 24 Th. 2007 tentang PB, Pasal
1:23)

Pemerintah Gubernur, Bupati/Walikota, atau perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara


Daerah pemerintah daerah ((UU RI No. 24 Th. 2007 tentang PB, Pasal 1:24)

Pemetaan atau Informasi Prakrisis Kesehatan berisi tentang gambaran keadaan kondisi wilayah,
Profil sumber daya serta upaya yang dilakukan. (PERMENKES Nomor 77 Tahun 2014
Penanggulangan tentang Sistem Informasi Krisis Kesehatan)
Krisis Kesehatan

Penanggulangan Upaya menanggulangan krisis kesehatan secara cepat, tepat, menyeluruh dan
krisis kesehatan terkoordinasi melalui kesiapsiagaan sumberdaya di bidang kesehatan.

Pencegahan Serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan


bencana dan/atau mengurangi ancaman bencana. (UU Nomor 24 Tahun 2007)

Pendekatan Pendekatan Klaster merupakan cara untuk mengatur koordinasi dan kerja sama
Klaster antara para aktor bantuan kemanusiaan untuk memfasilitasi perencanaan strategi
bersaama.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 14
Pada tingkat nasional, pendekatan klaster:
(i) mengembangkan sistem kepemimpinan dan akuntabilitas bagi tanggap darurat
internasional di tiap sektor, di bawah satu kepemimpinan koordinator bantuan
kemanusiaan; dan
(ii) memberi kerangka kerja bagi kemitraan yang efektif di antara berbagai aktor
bantuan kemanusiaan internasional dan nasional di tiap sektor.

Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa bantuan internasional sejalan dengan


struktur nasional dan untuk memfasilitasi hubungan yang erat antara organisasi
nasional, pemerintah yang berwenang, masyarakat madani dan berbagai pemangku
kepentingan lainnya.

Pengkajian Serangkaian berbagai kegiatan yang dianggap perlu untuk memahami situasi
tertentu, meliputi pengumpulan, perbaruan dan analisa data terkait untuk
kepentingan populasi (kebutuhan, kemampuan, sumber daya, dll), serta kondisi
infrastruktur dan sosial ekonomi secara umum pada suatu lokasi/wilayah tertentu.

Proses yang terstruktur dalam pengumpulan dan analisa data untuk mengukur
dampak krisis, dan memberikan pemahaman atas situasi dan ancaman terkait,
untuk menentukan apakah dibutuhkan suatu respon tertentu dan, bila memang
demikian, bagaimana sifatnya. Pengkajian merupakan kegiatan yang terbatas waktu
yang menghasilkan laporan atau rekomendasi untuk menentukan pengambilan
keputusan pada suatu titik waktu tertentu.

Pengungsi Orang atau kelompok orang yang terpaksa atau dipaksa keluar dari tempat
tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk
bencana. (UU RI No. 24 Th. 2007 tentang PB, Pasal 1:20)

Peringatan dini Serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat
tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang
berwenang. (UU RI Nomor 24 Tahun 2007)

Pimpinan Klaster Lembaga/organisasi yang secara resmi menjalankan tampuk kepemimpinan di


dalam komunitas bantuan kemanusiaan internasional dalam suatu lingkup kegiatan
sektor/wilayah tertentu, untuk menjamin adanya respon yang memadai dan dapat
diprediksi, akuntabel, bermitra, serta untuk menjadi harapan terakhir bila
dibutuhkan.

Pra-bencana Masa sebelum terjadinya kejadian bencana

Prakrisis Serangkaian kegiatan yang dilakukan pada situasi tidak terjadi bencana atau situasi
kesehatan terdapat potensi terjadinya bencana yang meliputi kegiatan perencanaan
penanggulangan krisis kesehatan, pengurangan risiko krisis kesehatan, pendidikan
dan pelatihan, penetapan persyaratan standar teknis dan analisis penanggulangan
krisis kesehatan, kesiapsiagaan, dan mitigasi kesehatan. (PERMENKES No. 77
Tahun 2014 tentang Sistem Informasi Krisis Kesehatan)

Pusat Unsur pendukung pelaksanaan tugas Kementerian Kesehatan di bidang


Penanggulangan penanggulangan krisis kesehatanyang berada di bawah dan bertanggung jawab
Krisis Kesehatan kepada Menteri Kesehatan melalui Sekretaris Jenderal. (PERMENKES Nomor 77
Kementerian Tahun 2014 tentang Sistem Informasi Krisis Kesehatan)
Kesehatan – PPKK

Reformasi Proses yang diluncurkan oleh komunitas bantuan kemanusiaan internasional pada
Bantuan 2005 yang dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas tanggap darurat bantuan
Kemanusiaan kemanusiaan melalui usaha memperbesar kepastian, akuntabilitas dan kemitraan.
Elemen-elemen utamanya adalah: (1) pendekatan klaster; (2) penguatan sistem
Koordinator Bantuan Kemanusiaan; (3) pembiayaan bantuan kemanusiaan yang
lebih tepat waktu, fleksibel dan efektif; dan (4) pengembangan kemitraan yang kuat
antara aktor PBB dan non-PBB.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 15
Rehabilitasi Perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai
tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk
normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan
kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. (UU Nomor 24 Tahun 2007)

Rekonstruksi Pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada


wilayahpascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan
sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan
budaya,tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat
dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana. (UU
Nomor 24 Tahun 2007)

Risiko bencana Potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun
waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwaterancam, hilangnya
rasa aman, mengungsi, kerusakan ataukehilangan harta, dan gangguan kegiatan
masyarakat. (UU RI No. 24 Th. 2007 tentang PB, pasal 1:17)

Sasaran Kondisi yang dingin dicapai – keluaran yang diinginkan.

Sasaran ditentukan pada berbagai tingkatan yang berbeda: sasaran secara


keseluruhan (atau “tujuan”) dari program tanggap darurat, dan sasaran khusus
(atau “manfaat”) dari masing-masing proyek yang turut serta dalam mencapai tujuan
yang lebih tinggi.

Sasaran harus “SMART” – Specific (Khusus), Measurable (Terukur), Accurate (Tepat),


Realistic (Dapat Dicapai) and Time-bound (Berbatas waktu).

Sektor Bagian terpisah dari suatu ekonomi, masyarakat atau lingkup suatu kegiatan.

Dalam konteks tanggap bantuan kemanusiaan, sektor utamanya adalah: pertanian;


pangan; kesehatan; gizi; perlindungan; papan; air, dll.
Lihat juga “klaster”.

Sistem Informasi Serangkaian kegiatan dan prosedur yang berupa pengumpulan, pemrosesan,
Kesehatan analisa, penyebaran, pencatatan dan penyimpanan data dari berbagai sumber
primer dan sekunder dan mengubah berbagai data tersebut menjadi informasi yang
berguna untuk mendukung pengambilan keputusan pada sektor kesehatan.

Sistem Informasi Seperangkat tatanan yang meliputi data, informasi, indikator, prosedur, perangkat,
Penanggulangan teknologi, dan sumber daya manusia yang saling berkaitan dan dikelola secara
Krisis Kesehatan terpadu untuk mengarahkan tindakan atau keputusan yang berguna dalam
mendukung penanggulangan krisis kesehatan

Sistem Kesehatan Keseluruhan organisasi, lembaga dan sumber daya yang ditujukan untuk
melakukan berbagai aksi kesehatan.

Status keadaan Suatu keadaan yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk jangka waktutertentu atas
darurat bencana dasar rekomendasi Badan yang diberi tugasuntuk menanggulangi bencana. (UU RI
No. 24 Th. 2007 tentang PB, Pasal 1:19)

Strategi Pendekatan yang akan digunakan untuk mencapai satu atau lebih sasaran yang
telah ditetapkan.

Sub-klaster Bagian dari klaster tertentu.

Survei sampel Metode pengumpulan informasi mengenai suatu masalah yang terstruktur dan
dapat dianalisa dan diperbandingkan secara statistik. Metode ini memberikan
gambaran atas suatu situasi dan sudut pandang responden pada saat data
dikumpulkan.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 16
Tanggap darurat Serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana
bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan
penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar,
perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana
dan sarana. (UU Nomor 24 Tahun 2007)

Tanggap Darurat Serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian akibat
Krisis kesehatan bencana untuk menangani dampak kesehatan yang ditimbulkan, yang meliputi
kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, pemenuhan kebutuhan dasar,
perlindungan dan pemulihan korban, prasarana serta fasilitas pelayanan kesehatan.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 17
BAB IISTRUKTUR KLASTER KESEHATAN
II.1 PENDEKATAN KLASTER
Beberapa Catatan Penting :
Klaster berperan sebagai mekanisme untuk mengkoordinasikan, bekerjasama, mengintegrasikan, dan
mensinergikan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

KEGIATAN PRA BENCANA SAAT TANGGAP PASCA BENCANA


DARURAT
Pengkajian situasi a. Berbagi hasil kajian risiko Melakukan kaji
kesehatan bencana cepat kesehatan
b. Pemetaan sumber daya bersama
bersama
c. Berbagi informasi peringatan
dini
Perencanaan a. berbagi rencana pengurangan Menyusun Rencana
risiko bencana, operasi dan rencana
b. Ketika ada potensi bencana, pemulihan dini
menyusun Rencana bersama
Kontinjensi bidang kesehatan
bersama
Pelaksanaan Bila memungkinkan melakukan Pelaksanaan sesuai
kegiatan bersama seperti rencana yang
penyusunan pedoman atau ditetapkan
prosedur tetap/SOP,
peningkatan kapasitas, gladi .
Monitoring, Monev implementasi dan Monev, Monev dan
evaluasi, dampak, pelaporan pembelajaran hasil pembelajaran upaya
pembelajaran dan implementasi dan klaster pada saat
dampak, pelaporan tanggap darurat,
pelaporan
pelaporan berjenjang

 Klaster melibatkan berbagai organisasi yang terlibat untuk berkoordinasi, dan berkolaborasi dengan
aparat kesehatan setempat, dalam rangka menyelaraskan usaha, dan memanfaatkan sumber daya
yang ada secara efisien dan efektif berdasarkan kerangka kerja, sasaran, prioritas dan strategi yang
telah disepakati bersama.
 Berbagai organisasi yang turut serta diharapkan sejauh mungkin dapat menjadi mitra yang proaktif
dalam kegiatan-kegiatan klaster kesehatan dan mematuhi standar yang telah disetujui bersama.
 Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan sebagai pemimpin Klaster
Kesehatan Nasional bertanggung jawab kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana untuk
memastikan pelaksanaan fungsi klaster yang optimal, efektif dan efisien
 Di tingkat Nasional, Menteri Kesehatan menunjuk seorang koordinator klaster kesehatan yang
bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas administrasi dan layanan pendukung lainnya agar
klaster dapat berfungsi secara efisien dan efektif. Di tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota, Kepala Dinas
Kesehatan menunjuk seorang Koordinator Klaster Kesehatan tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota.
 Koordinator Klaster Kesehatan memfasilitasi dan memimpin kerja klaster, dan menjamin koordinasi
dengan klaster lain sehubungan dengan kegiatan terkait kesehatan masyarakat serta berbagai isu
terkait
 Koordinator Klaster Kesehatan mempertimbangkan seluruh isu terkait kesehatan untuk
menghindari munculnya berbagai kelompok terpisah .

Di tingkat dunia, terdapat Klaster Kesehatan Global yang dipimpin oleh WHO. Klaster Kesehatan Global
memperkuat kapasitas nasional untuk memastikan adanya respon internasional yang efisien dan efektif .
Tugas utamanya adalah untuk membangun kapasitas global terkait tanggap darurat kemanusiaan
melalui tiga cara, yaitu:
(1) memberikan panduan, instrumen, standar dan kebijakan;
(2) mengembangkan sistem dan prosedur untuk mobilisasi para pakar dan pasokan bantuan secara
cepat;

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 18
(3) membangun kemitraan secara global untuk mengimplementasikan dan mempromosikan upaya
tanggap darurat kemanusiaan

Klaster Kesehatan Global tidak memberikan dukungan secara langsung kepada klaster nasional, namun
sekretariat Klaster Kesehatan Global dapat membantu menghubungkan Koordinator Klaster Kesehatan
Nasional dengan berbagai sumber terkait untuk bantuan teknis, bila dibutuhkan.

Klaster Kesehatan Nasional mendukung Klaster Provinsi dengan berbagai sumber terkait bantuan teknis
ketika diperlukan. Klaster Kesehatan Provinsi mendukung Klaster Kabupaten/Kota dengan berbagai
sumber terkait bantuan teknis ketika diperlukan.

Dasar
Mengapa pendekatan klaster?
Sebuah kajian independen yang dilaksanakan oleh UN Emergency Relief Coordinator pada 2005
mendapati adanya kesenjangan dalam upaya tanggap darurat bantuan kemanusiaan. Pada tahun yang
sama, IASC menggunakan pendekatan klaster untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas tanggap
darurat bantuan kemanusiaan dalam menghadapi krisis. Pendekatan klaster juga bertujuan untuk
meningkatkan kepastian dan akuntabilitas bagi seluruh pelaku utama dalam upaya tanggap darurat
bantuan kemanusiaan internasional. Pendekatan klaster merupakan salah satu dari tiga pilar utama
reformasi bantuan kemanusiaan, sementara dua lainnya adalah penguatan sistem Koordinator Bantuan
Kemanusiaan serta penguatan pembiayaan tanggap darurat kemanusiaan.

Di Indonesia pendekatan klaster dimulai pada tahun 2006 pada tanggap darurat dan pemulihan dampak
gempa Yogya 2006 dilanjutkan pada tanggap darurat dan pemulihan dampak gempa Sumatera Barat
2009. Cikal bakal pendekatan klaster sudah dilakukan dalam upaya tanggap darurat dan pemulihan
dampak gempa dan tsunami di Aceh, yaitu kelompok kerja organisasi-organisasi yang bekerja di sektor
yang sama, misalnya kesehatan, hunian sementara, perlindungan, kesehatan reproduksi, dan
perlindungan anak.

Apa yang dimaksud dengan pendekatan klaster?

Klaster merupakan sekelompok badan, organisasi, dan/atau lembaga yang bekerja sama untuk mencapai
tujuan bersama – untuk mengatasi kebutuhan pada sektor tertentu (seperti kesehatan).

Pendekatan klaster merupakan cara untuk mengelola koordinasi, kerja sama, integrasi dan sinergi di
antara berbagai aktor bantuan kemanusiaan untuk memfasilitasi perencanaan strategis bersama.
Pendekatan klaster ini:
(i) Membangun sistem kepemimpinan dan akuntabilitas yang jelas pada tiap sektor, di bawah
kepemimpinan BNPB; dan
(ii) Memberikan kerangka kerja kemitraan yang efektif di antara berbagai aktor bantuan kemanusiaan
internasional, nasional, provinsi, dan kabupaten/kota pada tiap sektor.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 19
Pendekatan klaster memperkuat – bukan menggantikan - mekanisme koordinasi yang telah ada.

Hal ini ditujukan untuk memastikan bahwa bantuan internasional sejalan dengan struktur nasional dan
lokal dan untuk memfasilitasi hubungan yang erat di antara lembaga internasional, pemerintah,
masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya.
Selaras dengan itu, ini juga merupakan upaya memastikan bantuan nasional sejalan dengan struktur
daerah.

Kapan hal ini dapat digunakan?


Pendekatan klaster Biasanya diaktivasi pada saat terjadi bencana. Di Indonesia, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana melalui Surat Keputusannya Nomor 173 Tahun 2014 telah membentuk Klaster
Nasional Penanggulangan Bencana. Di tingkat nasional BNPB mengetuai Klaster Nasional. Di tingkat
Provinsi/Kabupaten/Kota, BPBD mengetuai Klaster Provinsi/Kabupaten/Kota.

Tabel 1 : Klaster dan Ketuanya

Tingkat Ketua
Dunia/Global UNOCHA
Nasional BNPB
Provinsi BPBD Provinsi
Kabupaten/Kota BPBD Kabupaten/Kota

Pada saat tidak ada bencana, anggota klaster atau subklaster bertemu untuk berkenalan, berbagi
informasi mutakhir temuan masing-masing, berbagi hasil kajian risiko bencana, berbagi rencana
pengurangan risiko bencana, dan bila memungkinkan bekerjasama di wilayah yang sama atau
melakukan hal sama di tempat yang berbeda, sesuai wilayah dampingan. Ketika ada indikasi potensi
bencana, anggota klaster atau subklaster bertemu untuk menyusun rencana kontinjensi. Pada saat
kejadian bencana, atau fase tanggap darurat, anggota klaster atau subklaster bertemu dan bekerjasama
untuk melakukan pengkajian lapangan bersama, merancang kegiatan bersama, melaksanakan kegiatan
sesuai kesepakatan wilayah dan peran, memantau, mengevaluasi, dan memetik pembelajaran dari upaya
kolaboratif klaster/subklaster.

Tugas dan peran Klaster Kesehatan


E. Secara umum setiap klaster berfungsi:
a. Mengidentifikasi para pelaku di bidang kesehatan dan memetakan sumber daya serta wilayah
kerjanya.
b. Menyusun perencanaan, menginformasikan hasil kajian, pelaksanaan, monitoring, evaluasi dan
pembelajaran sektor kesehatan kepada koordinator klaster nasional;
c. Menjadi penghubung antara subklaster kesehatan dengan koordinator klaster nasional.
d. Memastikan terjadinya koordinasi antar klaster

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 20
e. Melakukan kerjasama dengan klaster terkait bidang kesehatan
f. Mengkoordinir subklaster
g. Memastikan kegiatan penanggulangan bencana yang dilakukan anggota klaster kesehatan sesuai
dengan standar yang berlaku.

Dalam Surat Keputusan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana nomor 173 Tahun 2014
tentang Klaster Nasional, bidang tugas Klaster Kesehatan adalah:
1. Pelayanan kesehatan
2. Pengendalian penyakit
3. Penyehatan lingkungan
4. Penyiapan air bersih dan sanitasi yang berkualitas
5. Pelayanan gizi
6. Pengelolaan obat bencana
7. Penyiapan kesehatan reproduksi dalam situasi bencana
8. Penanganan kesehatan jiwa
9. Penatalaksanaan korban mati
10. Pengelolaan informasi bidang kesehatan.

Sepuluh bidang tugas Klaster Kesehatan di atas diorganisir dan dijadikan sub-klaster Kesehatan dengan
penyesuaian sesuai tugas-tugas dalam bidang kesehatan. Di setiap klaster ada sekretariat klaster yang
mengumpulkan, mengelola dan menyebarluaskan informasi kepada anggota klaster.
F.
G. Aktivasi Klaster Kesehatan

Penanganan bencana berdasarkan pada rencana kontinjensi yang telah disusun. Pendekatan klaster
merupakan bagian dari rencana kontinjensi yang diaktifkan bila terjadi bencana. Penetapan bencana
dilakukan oleh Kepala daerah/presiden sesuai dengan kewenangannya sebagaimana peraturan
perundangan yang berlaku.

Yang mengaktivasi klaster kesehatan:


Di tingkat global/dunia : WHO
Di tingkat nasional : Menteri Kesehatan
Di tingkat Provinsi, : Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
Di tingkat Kabupaten/Kota: : Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

Aktivasi klaster kesehatan dilakukan apabila


1. Dampak krisis kesehatan yang luas;
2. Potensi krisis kesehatan yang luas;
3. Aktivasi 1 atau lebih sub klaster kesehatan

Aktivasi sub-klaster kesehatan dilakukan, apabila:


1. Klaster sudah diaktifkan
2. Subklaster yang diaktifkan sesuai dengan indikasi di lapangan, hasil dari kajian cepat bidang
kesehatan dan karakteristik bencana.

Klaster dideaktivasi setelah masa tanggap darurat berakhir.


Masa tanggap darurat sesuai dengan masa tanggap darurat yang ditetapkan oleh Kepala Daerah.

II.2 Struktur Klaster Kesehatan


Klaster Kesehatan Nasional
Dalam Surat Keputusan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 173 Tahun 2014,
diputuskan bahwa :
1. Ketua Klaster Kesehatan Nasional adalah Kementerian Kesehatan dalam hal ini Kepala Pusat
Penanggulangan Krisis Kesehatan
2. Wakil Ketua Klaster Kesehatan Nasional adalah Pusat Kedokteran dan Kesehatan Kepolisian
Republik Indonesia.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 21
Hasil Rapat Koordinasi Klaster Kesehatan Oktober 2015, menyepakati bahwa Klaster Kesehatan
Nasional terdiri dari 8 sub-klaster dan koordinatornya, yaitu:
1. Sub Klaster Pelayanan Kesehatan
2. Sub Klaster Pengendalian Penyakit
3. Sub Klaster Penyehatan Lingkungan
4. Sub Klaster Pelayanan Gizi
5. Sub Klaster Pengelolaan Obat dan Perbekalan Kesehatan
6. Sub Klaster Kesehatan Reproduksi
7. Sub Klaster Kesehatan Jiwa
8. Sub Klaster Penatalaksanaan Korban Mati

Tugas Klaster Pelaksana Subklaster Koordinator Co-Koordinator


Pelayanan kesehatan Subklaster pelayanan Direktorat BUKR Hope Worldwide
kesehatan
Pengendalian penyakit Subklaster pengendalian Direktorat UNICEF
penyakit SIMKARKESMA
Penyehatan lingkungan Subklaster penyehatan Direktorat PL UNICEF
Penyiapan air bersih dan lingkungan dan
sanitasi yang berkualitas penyehatan air dan
sanitasi
Pelayanan kesehatan gizi Subklaster layanan gizi Direktorat Gizi UNICEF
Pengelolaan obat bencana Subklaster Logistik Direktorat Obat Publik WHO
Kesehatan5
Penyiapan kesehatan Subklaster Kesehatan Ibu, Direktorat Kesehatan Ibu UNFPA, Dompet
reproduksi dalam situasi Anak dan Reproduksi Dhuafa
bencana
Penanganan kesehatan jiwa Subklaster Kesehatan Direktorat KESWA
Yayasan Pulih,
Jiwa Pusat Krisis UI
Penatalaksanaan korban Subklaster DVI PUSDOKKES POLRI FKUI Departemen
mati Kedokteran
Forensik
Pengelolaan informasi pengelolaan informasi kesehatan menjadi bagian dari tugas umum
kesehatan sekretariat Klaster Kesehatan6

Penambahan atau perubahan struktur dan nama sub-klaster dapat dilakukan jika dibutuhkan. Tiap
sub-klaster memilih koordinatornya dan juga sekretariat sub-klaster.

Klaster Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota


Ketua Klaster Provinsi/Kabupaten/Kota adalah Kepala Dinas Provinsi/Kabupaten/Kota. Koordinator
subklaster ditunjuk oleh KADINKES selaku ketua Klaster. Perlu dipastikan keterlibatan Asosiasi
Profesi (misalnya IDI, IBI, PNNI, IAKMI, dll), perguruan tinggi kesehatan (fakultas kedokteran,
fakultas keperawatan, fakultas kebidanan, dll), lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang bergerak
dalam bidang kesehatan dilibatkan dalam klaster (misalnya Perkumpulan Keluarga Berencana
Indonesia, Palang Merah Indonesia, dll)

5
Ada wacana menjadi Subklaster Obat dan Logistik Kesehatan menjadi Bagian Umum, bukan menjadi subklaster.
6
Ada wacana menjadikan Subklaster Informasi Kesehatan menjadi Bagian dari Sekretariat Klaster Kesehatan (untuk
diputuskan oleh Kepala PPKK)
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 22
II.3 Koordinasi Klaster Kesehatan

Dalam hal penanggulangan krisis kesehatan berskala besar yang membutuhkan sumber daya
internasional, maka Koordinator Klaster Kesehatan Nasional berkoordinasi dengan Koordinator Klaster
Kesehatan Global yaitu World Health Organization (WHO). Pengerahan sumber daya diatur oleh
Koordinator Klaster Kesehatan sesuai dengan kewenangannya.

Bila krisis kesehatan yang terjadi skalanya melampaui kemampuan sumberdaya kesehatan provinsi,
maka Klaster Kesehatan Provinsi berkoordinasi dengan Koordinator Kesehatan Nasional untuk
pengerahan sumber daya tambahan yang diperlukan.

Bila krisis kesehatan yang terjadi skalanya melampaui kemampuan sumberdaya kesehatan
Kabupaten/Kota untuk menanganinya, maka Klaster Kesehatan Kabupaten/Kota berkoordinasi dengan
Koordinator Klaster Provinsi untuk pengerahan sumber daya tambahan yang diperlukan.

Yang dikoordinasi dalam subklaster kesehatan adalah:


1. Identifikasi sumber daya
2. Pembagian peran sesuai dengan spesialisasi organisasi, termasuk sistem penugasan
3. Perencanaan kegiatan
4. Mekanisme koordinasi dan komunikasi
5. Pelaporan
6. Monitoring, evaluasi dan pembelajaran

Agar koordinasi anggota subklaster kesehatan dapat berjalan efektif dan efisien, maka perlu:
1. Pertemuan rutin saat pra-bencana
2. Ada kesempatan mengembangkan kemampuan bersama: pelatihan bersama, latihan
bersama, gladi bersama, table top bersama;
3. Ada anggota dan “alternate” anggota
4. Ada sekretariat yang diberi Surat Keputusan
5. Ada media komunikasi di setiap sub-klaster, bisa melalui media sosial dan forum

II.4 Tanggung Jawab Koordinator Klaster Kesehatan Secara Umum


1. Membentuk dan memelihara mekanisme koordinasi dalam hal penanggulangan krisis kesehatan
pada fase pra bencana, saat tanggap darurat, dan pemulihan darurat bencana dengan:
 Memastikan koordinasi melalui Koordinator Sub-Klaster, melalui pembentukan/ pemeliharaan
mekanisme koordinasi kelompok kerja yang tepat, baik di Pusat maupun daerah.
 Membuat komitmen dengan para pelaku kesehatan dalam pemenuhan kebutuhan dan
mengatasi kesenjangan, serta memastikan pembagian tanggung jawab yang jelas dan tepat;
 Memastikan hubungan yang efektif dengan klaster-klaster lainnya.
 Memastikan efektivitas mekanisme koordinasi internal dan antar klaster yang selalu dipantau
dan dievaluasi pengimplementasiannya.
 Mewakili kepentingan kelompok klaster dalam diskusi dengan BNPB/BPBD dan pemangku
kepentingan lainnya.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 23
2. Melibatkan perwakilan masyarakat secara aktif dalam pengkajian, analisis, perencanaan, respons,
pemantauan dan evaluasi.

3. Memberikan perhatian yang cukup terhadap isu-isu prioritas lintas sektoral yaitu dengan :
• Mengintegrasikan isu-isu prioritas lintas sektoral ke dalam perencanaan maupun kegiatan
klaster kesehatan, misalnya : lingkungan, gender, HIV / AIDS dan hak asasi manusia. Contoh :
 isu mengenai gender yaitu dengan memastikan program sensitif gender dan mempromosikan
kesetaraan gender
 berkontribusi pada pengembangan strategi yang tepat untuk mengatasi masalah terkait isu-isu
lintas sektoral;

4. Mengkoordinasi pengkajian cepat dan analisis kebutuhan dengan melibatkan semua mitra yang
relevan

5. Menerapkan standar-standar dan melakukan adaptasi berdasarkan situasi lokal


• Memastikan bahwa anggota Klaster Kesehatan memahami pedoman/standar teknis yang
ditetapkan Pemerintah dan komitmen yang relevan serta merujuk referensi-referensi yang ada.
• Memastikan kegiatan penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana sesuai dengan
pedoman/ standar teknis yang ditetapkan Pemerintah dan komitmen yang relevan serta
merujuk referensi-referensi yang ada.

6. Advokasi dan Sosialisasi


• Memastikan pemahaman Klaster Kesehatan Nasional di tingkat nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota.
• Mendorong implementasi Klaster Kesehatan Nasional, termasuk dalam hal penanggulangan
krisis kesehatan yang membutuhkan sumber daya internasional.
• Mendorong keterlibatan berbagai pihak termasuk lembaga pendidikan, donor dan lembaga
usaha dalam upaya penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana.

7. Pengembangan kapasitas nasional dan lokal


• Mempromosikan/mendukung peningkatan kapasitas yang terkoordinasi dan
terstandarisasi.

8. Pemantauan, evaluasi, pelaporan dan pembelajaran


• Memastikan berfungsinya mekanisme pemantauan yang memadai;
• Memastikan pelaporan dan diseminasi informasi yang efektif dengan memperhatikan data
terpilah.
Dalam melakukan fungsi-fungsi koordinatorat klaster, koordinator klaster kesehatan membentuk
sekretariat klaster untuk memudahkan pelaksanaan tugasnya.

II.5 Manajemen Informasi Klaster Kesehatan

Koordinator Klaster Kesehatan Nasional menangani manajemen informasi Klaster Kesehatan secara
keseluruhan yaitu pada pra bencana dan saat tanggap darurat

Pada pra bencana, Informasi-informasi yang dikelola, antara lain:


1. Profil anggota
2. Kemampuan anggota
3. Wilayah kerja anggota
4. Hasil kajian
5. Rencana kerja anggota
6. Rencana kerja bersama
7. Laporan pelaksanaan kerja anggota
8. Laporan pemantauan, evaluasi dan pembelajaran anggota

Informasi ini disimpan di sekretariat yang dapat diakses oleh setiap anggota klaster dan subklaster.
Informasi umum disampaikan oleh klaster atau sub-klaster kepada masyarakat melalui media yang
tepat, misalnya papan pengumuman, siaran radio, surat kabar setempat atau dipaparkan di media
sosial, sesuai keterjangkauan masyarakat dan para anggota klaster dan anggota sub-klaster.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 24
Informasi juga dibagikan dalam pertemuan klaster/sub-klaster secara reguler.

Selanjutnya menyangkut manajemen informasi secara lebih rinci dapat ditemukan di Bab 3.

Contoh formulir Informasi sumber daya kesehatan pada saat tanggap darurat :
No Nama Sub-klaster Jenis Lokasi Jumlah dan Jumlah dan jenis Lama
institusi pelayanan pelayanan jenis tenaga logistik serta penugasan
infrastruktur yang
dimiliki
1. PMI Pelayanan Pos Pos Pengungsi Dokter 1 Ambusan GADAR 1 9 s/d 19
kesehatan kesehatan Balai Desa A Perawat 1 Emergency kit 1 September
Supir Obat-obatan untuk
ambulans 1 1000 orang
Radio Komunikasi
2. PKBI Kesehatan Pos Kecamatan A Dokter 1 Kendaraan roda 11 s/d 20
reproduksi kesehatan Spesialis empat 1 September
keliling Obsgin 1 PPAM Kit 1000 buah
Psikolog 1 Alat penyuluh 4 set
Perawat 2
Bidan 2
Supir 1
3. Dit Kesehatan Pos Kecamatan B Dokter 1 Kendaraan roda 4 1 11 s/d 20
Kesehatan Reproduksi kesehatan Tenaga PPAM kit 1000 buah September
Ibu keliling penyluh 2 Alat penyuluh 5 unit
Psikolog 1
Bidan 2
Supir 1

II. 6 Klaster Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota

Klaster Kesehatan Provinsi dibentuk oleh Kepala Dinas Kesehatan Tingkat Provinsi. Klaster
Kesehatan Kabupaten/Kota dibentuk oleh Kepala Dinas Kesehatan Tingkat Kabupaten/Kota.

Klaster Kesehatan di Provinsi, Kabupaten/Kota berkoordinasi dengan klaster-klaster lainnya sesuai


tingkatannya. Bilamana diperlukan dengan menimbang situasi, Klaster Kesehatan di Provinsi,
Kabupaten/Kota dapat memulai proses koordinasi antar klaster bila terjadi situasi darurat.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 25
Bab III Aktivasi dan Pelaksanaan Klaster Kesehatan
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya , bahwa pada saat tanggap darurat, Kepala
Dinas Kesehatan kabupaten/Kota/Provinsi/Menteri Kesehatan dapat mengaktivasi klaster
kesehatan berdasarkan syarat-syarat :
a. Dampak krisis kesehatan yang luas
b. Potensi krisis kesehatan yang luas.
c. Aktivasi 1 atau lebih sub klaster kesehatan.

Hal tersebut di atas didapat berdasarkan hasil penilaian cepat kesehatan awal (initial rapid health
assessment)

Klaster kesehatan melaksanakan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :


1. Pengkajian situasi kesehatan dengan melakukan kaji cepat kesehatan bersama
2. Penyusunan strategi dan perencanaan bersama melalui Penyusunan rencana operasi
tanggap darurat dan pemulihan dini bersama
3. Memastikan pelaksanaan standar melalui MONEV

III. 1 Pengkajian Situasi Kesehatan

Hal-hal yang perlu diperhatikan:


 Penanggung jawab kegiatan ini adalah Kepala Dinas Kesehatan kabupaten/kota/provinsi/Menteri
Kesehatan sesuai dengan skala bencana.
 Informasi yang dibutuhkan antara lain status dan risiko kesehatan, ketersediaan sumber daya
kesehatan (termasuk pelayanan), dan kinerja sistem kesehatan.
 Analisis situasi yang dilakukan harus diperbarui secara teratur berdasarkan informasi dari
pemantauan situasi yang sedang berlangsung dan informasi peringatan dini terhadap ancaman
sekunder.
 informasi dikelola dan disebarkan dengan keterlibatan otoritas kesehatan tingkat nasional dan
daerah semaksimal mungkin serta mitra-mitra lainnya. Semua harus menggunakan indikator,
standar, protokol dan definisi kasus yang umum dan sensitif gender.
 Informasi dan pengetahuan yang dihasilkan harus disebarluaskan, pada waktunya untuk
menginformasikan keputusan-keputusan tentang perencanaan dan pengelolaan kegiatan respons.
 Data harus dipisahkan antara lain berdasarkan wilayah geografis, kelompok penduduk, usia dan
jenis kelamin,

Hasil Klaster Kesehatan yang Diharapkan


 Penilaian kebutuhan bersama.
 Penilaian perkembangan situasi bersama.

Data dan informasi yang paling utama dibutuhkan yaitu :


 Data sekunder pra-krisis kesehatan yang baik termasuk profil tingkat daerah (misalnya kabupaten);
 Penilaian kesehatan yang berkualitas diselesaikan secara tepat waktu di awal krisis dan selalu
diperbarui setiap kali diperlukan selama krisis berlangsung meliputi antara lain :
- status kesehatan kelompok penduduk yang terdampak, dan risiko kesehatan;
- akses layanan kesehatan terhadap kelompok penduduk yang berbeda (termasuk analisis gender);
- kapasitas dan fungsi sistem dan layanan kesehatan; dan
- informasi tentang konteks sosial, ekonomi, keamanan dan kemanusiaan keseluruhan yang harus
diperhitungkan dalam analisis situasi kesehatan;7
 Sistem peringatan dini dan respons yang tepat untuk penyakit-penyakit rawan epidemi dan kondisi-
kondisi kritis lainnya;Sistem pemantauan/pengawasan pelayanan kesehatan menggunakan indikator-
indikator antara lain angka kematian, kesakitan, pengobatan cedera dan rehabilitasi cedera, risiko
kesehatan potensial, kinerja layanan kesehatan, dan perubahan dalam konteks keseluruhan yang
dapat mempengaruhi kesehatan atau layanan kesehatan

7
Biasanya, informasi konteks tersebut harus tersedia dari Koordinator Kemanusiaan/OCHA dan sumber-sumber lain, sehingga
tim kesehatan tidak perlu menginvestasikan waktu dan usaha untuk mengumpulkan informasi tersebut.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 26
Penilaian dan Pemantauan Situasi
Penilaian dan pemantauan situasi yang sedang berlangsung bertujuan untuk :
(i) mengidentifikasi situasi dan kemungkinan untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan yang ada,
dan
(ii) () mempercepat pemulihan segera [pelayanan kesehatan yang dapat diakses secara adil oleh
masyarakat termasuk oleh kelompok rentan dan penyandang disabilitas. .

 Penilaian merupakan kegiatan waktu terbatas yang memberikan informasi tentang situasi pada titik
tertentu dengan lebih cepat dan bagaimana tim penilaian memperkirakan situasi berkembang, dan
risiko yang mungkin dihadapi.

 Pemantauan situasi merupakan kegiatan berkelanjutan yang memberikan informasi secara teratur
untuk memperbarui analisis situasi yang disediakan oleh penilaian terakhir, mengidentifikasi
kecenderungan dan mendeteksi perubahan-perubahan yang signifikan atau ancaman-ancaman baru
, yang dapat mempengaruhi kesehatan dan risiko kesehatan.

Anggota klaster perlu menyepakati sejumlah kegiatan penilaian dan pemantauan situasi yang koheren
dan terkoordinasi yang disesuaikan dengan konteks lokal dalam rangka mengidentifikasi prioritas dan
menyediakan informasi yang tepat waktu bagi para pengambil keputusan dalam kaitannya dengan
kemanusiaan maupun kebutuhan pemulihan dini.

III.1. 1 Proses Pengolahan Data dan Informasi Kesehatan

Beberapa prinsip dasar


 Data harus dikumpulkan dan dianalisis – dan informasi yang dihasilkan serta rekomendasi diberikan
kepada para pembuat keputusan – secara tepat waktu.
 Data sekunder yang digunakan, baik pada saat situasi saat ini atau saat pra-krisis, harus direview
kehandalannya dan dilakukan check and re-check.
 Data harus dipilahkan menurutwilayah geografis, usia dan jenis kelamin,
 Melibatkan tenaga profesional lokal yang mengetahui konteks untuk berkontribusi dalam proses
penilaian dan analisis.

Format pelaporan, perangkat yang digunakan, sistem pelaporan sesuai dengan PERMENKES Nomor 77
Tahun 2015 tentang Sistem Informasi Penanggulangan Krisis Kesehatan.

Kebutuhan Informasi
Data harus dikumpulkan dan dianalisis secara sistematis pada tiga aspek utama:

Status dan Risiko Kesehatan Ketersediaan Sumber Daya Kinerja Sistem Kesehatan
dan Layanan Kesehatan
Status kesehatan kelompok Fokus awal pada: fasilitas, Cakupan dan kualitas
populasi yang terkena dampak personil, logistik dan layanan (efektivitas) layanan yang tersedia
(misalnya, angka kematian, dari pemerintah pusat/daerah, saat ini;
kesakitan dan penyebab para pelaku non pemerintahan ,
utamanya a) dan risiko masyarakat dan mitra-mitra Akses (akses fisik dan sementara)
kesehatan (misalnya potensi internasional. yang dimiliki kelompok rentan
wabah atau gangguan lebih dan penyandang disabilitas baik
lanjut terhadap layanan atau Selanjutnya, setelah fase awal laki-laki, perempuan, dan
program pengendalian penyakit dan akut berakhir dan terutama pemanfaatannya oleh mereka.
utama). ketika mencoba untuk
mempromosikan pemulihan:
komponen di atas ditambah
komponen sistem kesehatan
lainnya (sistem manajemen,
pembiayaan, dll.)

Gambar 3a (di halaman 28) menunjukkan contoh perangkat untuk pengumpulan, pemeriksaan dan
analisis data tentang aspek- aspek inti ini dan bagaimana - melalui perbandingan dengan tolok ukur yang
ditetapkan - prioritas dan kesenjangan diidentifikasi dan strategi respons ditetapkan. Pemantauan dan

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 27
evaluasi berkelanjutan memberikan umpan balik agar informasi dapat diperbarui dan rencana dapat
disesuaikan. Dalam melakukan analisis dibutuhkan pemahaman tentang Situasi pra-krisis, untuk
memahami perubahan yang telah terjadi akibat bencana,.

Selain ketiga aspek utama tersebut, informasi tambahan lainnya yang dibutuhkan yaitu :
 gambaran umum meliputi kondisi geografis, politik, sosial, ekonomi dan keamanan, dll. - untuk
menginformasikan rekomendasi tindakan untuk menyelesaikan masalah kesehatan prioritas dan
kesenjangan layanan;
 pembelajaran dari respons terhadap krisis terdahulu di wilayah tersebut, atau di wilayah terdekat
lainnya, agar dapat membangun keberhasilan dan menghindari kesalahan terulang.

Tindakan Klaster Kesehatan


Pada awal krisis
 Menetapkan sistem pemetaan dan ketersediaan sumber daya kesehatan dasar pada permulaan krisis.
Mengembangkannya hingga lengkap sesegera mungkin.
 Bekerja dengan klaster-klaster terkait lainnya untuk melakukan penilaian cepat awal untuk untuk
menghasilkan prioritas, risiko dan kesenjangan.

Selanjutnya dan selama krisis berlangsung


 Terus memperbarui sistem pemetaan dan ketersediaan sumber daya kesehatan
 Bekerja sama dalam penilaian pada aspek-aspek prioritas yang diidentifikasi berdasarkan penilaian
cepat awal Bersama-sama memantau situasi secara terus-menerus.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 28
 Mengatur penilaian cepat bersama (dengan menggunakan penilaian awal cepat atau yang serupa)
setelah terjadi perubahan yang signifikan pada situasi atau ketika daerah yang sebelumnya tidak
dapat diakses menjadi dapat diakses.

III.1.3 Mengorganisasi Kajian Cepat Awal


Perangkat penilaian cepat awal berdasarkan PERMENKES No. 77/2014 tentang Sistem Informasi
Penanggulangan Krisis Kesehatan. Penilaian ini berfungsi untuk mengumpulkan, menyusun dan
menganalisis informasi mengenai status kesehatan penduduk, faktor-faktor penentu kesehatan (gizi,
pasokan air bersih, sanitasi, dll.), dan karakteristik layanan kesehatan saat ini (cakupan, sumber daya,
layanan yang tersedia, akses, dll.). Perangkat ini meliputi pedoman, formulir pengumpulan data standar
sarana dan prasarana untuk tim lapangan, dan olah data dan format analisis dan piranti lunak. Ini
dirancang untuk memberikan, deskripsi awal yang cepat mengenai situasi saat ini dan mengidentifikasi
masalah kesehatan masyarakat prioritas, risiko dan kesenjangan dalam penyediaan layanan.

Beberapa prinsip dasar


 Penilaian cepat awal kesehatan biasanya dimulai dalam waktu 2 sampai 4 hari sejak permulaan
krisis/bencana dan dilakukan bersama-sama klaster/sektor terkait lainnya. Hasil penilaian
dilaporkan secepatnya pada para pengambil kebijakan. Penilaian cepat awal juga dapat dilakukan
setiap saat ketika suatu daerah yang sebelumnya tidak dapat diakses dapat dicapai atau ketika
penilaian ulang diperlukan menyusul perubahan signifikan dalam seluruh konteks kemanusiaan.
 Isi formulir penilaian cepat awal dapat disesuaikan dengan kebutuhan suatu daerah atau sutau
kejadian krisis/bencana. .
 Keberhasilan suatu penilaian cepat awal dan nilai laporan sangat ditentukan oleh kualitas
perencanaan yang dilakukan sebelum kunjungan lapangan. Ini difasilitasi oleh perencanaan
kontinjensi antar-lembaga di permulaan krisis.

Gambar 3d Langkah-langkah utama dalam mengatur dan melakukan penilaian cepat

(1) Keputusan awal Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota/Provinsi/Menteri Kesehatan


sesuai dengan kewenangannya bahwa penilaian diperlukan.

Pertemuan perencanaan setengah hari dan pekerjaan tindak lanjut oleh individu
(2) Merencanakan dan sub-kelompok untuk:
penilaian 1. menyusun data yang tersedia (sekunder) dan menyetujui suatu skenario kerja;
2. menyepakati tujuan, lingkup pekerjaan dan jangka waktu (tanggal) untuk
penilaian, dan hubungannya dengan kegiatan penilaian lainnya;
3. menyepakati kebutuhan informasi, metode pengumpulan data, dan kriteria
untuk memutuskan tempat untuk dituju (prosedur pemilihan lokasi) dan orang
yang akan diajak bicara;
4. mendesain/menyesuaikan formulir penilaian cepat kesehatan awal dan
menerjemahkannya ke dalam bahasa lokal jika diperlukan; menyiapkan
pedoman wawancara terkait; mengadaptasi pertanyaan- pertanyaan sensitif
terhadap konteks lokal, mengidentifikasi pengamatan pertanyaan tambahan
yang pada akhirnya harus ditambahkan;
5. mengidentifikasi personil (dan juru bahasa, jika diperlukan) untuk kerja
lapangan;
6. menyiapkan peta, perlengkapan, peralatan (termasuk tenda, makanan, jika
perlu) dan kotak informasi latar belakang untuk tim lapangan;
7. menyusun dan melatih tim lapangan;
8. mengatur pengangkutan (termasuk bahan bakar), keamanan dan komunikasi
untuk tim;
9. menginformasikan tokoh-tokoh kunci (KEMENKES dan lain-lain) di daerah yang
akan dikunjungi; dan
10. rencana (mengatur) pengolahan dan analisis data selama dan setelah kerja
lapangan.

(3) Kerja lapangan Kunjungan oleh tim ke daerah/tempat yang sengaja dipilih untuk:
 mewawancarai dan mengumpulkan data dari para pejabat dan informan-
informan kunci lainnya di pusat-pusat administratif dan fasilitas kesehatan;
dan

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 29
 mewawancarai kelompok masyarakat dan rumah tangga.

(4)  Pengolahan dan analisis data (primer dan sekunder)


Analisis dan  Identifikasi masalah prioritas, kebutuhan, risiko dan kesenjangan
pelaporan  Analisis kemungkinan strategi dan pengembangan rekomendasi
 Menyiapkan laporan
 Menyebarluaskan laporan

Gambar 3e menunjukkan hasil utama yang diharapkan dari penilaian cepat awal. Hasil ini ini harus
terus diingat oleh semua pihak terkait ketika merencanakan dan melakukan penilaian cepat awal dan
menyiapkan laporan.

Gambar 3e Hasil yang diharapkan dari Penilaian Cepat Awal dalam kaitannya dengan kesehatan,
termasuk variasi di antara wilayah geografis atau kelompok penduduk.

Status dan risiko kesehatan Sumber daya kesehatan yang Kinerja sistem kesehatan
tersedia*
Petunjuk dari:  Fasilitas kesehatan yang Petunjuk dari:
 penyebab utama kematian berfungsi  Akses masyarakat pada
dan kesakitan termasuk  Sumber daya manusia yang fasilitas dan pelayanan
perubahan dari kondisi tersedia kesehatan
sebelum terjadi bencana  Perlengkapan dan peralatan  Penggunaan layanan
 sumber potensial kesakitan yang tersedia kesehatan oleh masyarakat
dan kematian mendatang  Pelaku kemanusiaan mana  Perubahan jumlah konsultasi
 ketersediaan sistem yang melakukan apa, dan per hari
peringatan dini yang sejak kapan  Perubahan kegiatan
berfungsi untuk penyakit  Tingkat perawatan dan perawatan pencegahan
rawan epidemi layanan kesehatan yang  Keseluruhan fungsi subsistem
 Cakupan vaksinasi campak disediakan - situasi saat ini kesehatan
untuk balita dan apa perubahannya
 Program pengendalian
penyakit - situasi saat ini dan
perubahan yang terjadi

* Mencakup data Sistem


Pemetaan dan Ketersediaan
Sumberdaya Kesehatan Awal
Kesimpulan dan rekomendasi
➞ Masalah-masalah kesehatan prioritas (termasuk setiap perbedaan gender)
➞ Risiko kesehatan utama yang akan datang
➞ Kesenjangan kritis dalam layanan kesehatan (kesenjangan dalam cakupan geografis atau sub-sektor
tertentu)
➞ Faktor-faktor kontekstual yang mempengaruhi status kesehatan, layanan kesehatan dan kemungkinan
tindakan kesehatan kemanusiaan
➞ Rekomendasi-rekomendasi khusus untuk tindakan respons kesehatan awal
➞ Rekomendasi khusus untuk, penilaian atau survai sub-sektor yang lebih rinci dan selanjutnya

Upaya Klaster Kesehatan


 Secepatnya setelah krisis terjadi, membahas dalam Pertemuan Antar Klaster, dan mengkonsultasikan
Kementerian/lembaga dan/atau organisasi non-pemerintah terkait, untuk menyepakati pengaturan
penilaian cepat kesehatan awal
 Mengajak sebanyak mungkin para pelaku kesehatan utama untuk menghadiri pertemuan
perencanaan bersama-sama dengan para pelaku utama dari sektor lain, pada hari pertama jika
mungkin:
- Menyepakati sasaran/tujuan dan kerangka waktu penilaian.
- Menentukan tanggung jawab dan kerangka waktu untuk semua tindakan persiapan.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 30
- Menyesuaikan format pengumpulan data penilaian cepat awal standar dengan konteks lokal, jika
perlu, dan menentukan bagaimana setiap data tambahan akan dimasukkan dan dianalisis.
- Mencari saran tentang gender dan isu-isu lintas sektoral lainnya yang mungkin penting dalam
konteks lokal.

 Meninjau dengan cepat data sekunder yang berhubungan dengan kesehatan yang tersedia
 Selanjutnya, bersama-sama dengan klaster lainnya:
- Membentuk tim penilai lapangan multi-disiplin. Untuk tim penilaian cepat kesehatan sekurang-
kurangnya terdiri dari 1 dokter umum, 1 epidemiolog dan 1 sanitarian. Pastikan mereka seimbang
dalam hal jenis kelamin,
- Memilih wilayah yang akan dikunjungi. Gunakan pengambilan contoh berjenjang untuk memilih
bukan hanya daerah yang diyakini sangat parah terdampak melainkan juga wilayah yang
mencakup berbagai kondisi yang berlainan dan kelompok- kelompok masyarakat yang mungkin
mengalami dampak berbeda dan menghadapi berbagai masalah dan risiko kesehatan - lihat
catatan panduan penilaian cepat awal.
- Menetapkan kriteria dan prosedur yang harus diterapkan oleh tim penilai dalam memilih situs -
situs individu untuk dikunjungi di wilayah yang dipilih.
- Menentukan data tentang sektor- sektor lain yang harus dikumpulkan anggota tim penilaian
kesehatan tanpa kehadiran anggota tim sektor- sektor lain, dan sebaliknya.
- Memberikan catatan panduan (termasuk definisi kasus) dan mengatur pelatihan cepat - dan
pengarahan keamanan, jika diperlukan - untuk semua tim penilaian lapangan.
- Menyediakan tim lapangan dengan data sekunder yang tersedia mengenai di daerah yang akan
mereka kunjungi sebelum mereka memulai kunjungan lapangan, sehingga wawancara dan
pengumpulan data primer dapat terfokus dengan tepat.
- Merencanakan logistik dengan teliti dan memastikan semua tim memiliki izin yang dibutuhkan
(jika diperlukan), transportasi (termasuk bahan bakar, dll.), komunikasi (radio dan/atau akses ke
telepon), GPS (dan terlatih dalam penggunaannya), dan akses akomodasi (peralatan berkemah, jika
perlu), air dan makanan.
- Membuat pengaturan untuk menerima serta menyusun dan menganalisis dengan cepat laporan
yang masuk dari tim penilai, fasilitas kesehatan, tim bantuan dan sumber lainnya. (Pengaturan ini
harus dibuat terlebih dahulu, sebagai bagian dari perencanaan untuk penilaian
- Menyiapkan anggaran yang realistis untuk seluruh proses penilaian - termasuk perjalanan
lapangan dan analisis data - dan menjamin ketersediaan aman.

 Memastikan pemantauan konstan dan dukungan bagi tim penilai lapangan selama pekerjaan
lapangan.
 Memastikan pengaturan untuk penerimaan laporan yang aman dari tim lapangan dan entri data yang
cepat ke dalam alat analisis penilaian cepat awal Mengatur pemimpin tim penilai untuk meninjau
laporan dan memasukkan komentar dan interpretasi mereka sendiri, sebagai bagian dari proses
analisa.
 Mengatur penyelesaian secara cepat seluruh laporan dan menyebarkannya segera ke semua pelaku
kesehatan, donor dan pemangku kepentingan lainnya dengan menggunakan email, situs web, dan
bahan cetak.

III.1.4 Mengorganisasi Kajian dan Survai Lanjut


Tergantung pada hasil penilaian awal, konteks dan jenis krisis, penilaian lanjutan terperinci atau survei
sampel mungkin perlu dilakukan di daerah-daerah tertentu dalam kaitannya dengan beberapa atau
semua hal berikut:
 Tingkat Kematian (AKK dan AKB) dan tingkat kesakitan.
 Penyebab utama kematian, cedera dan penyakit dan distribusinya di antara kelompok penduduk
yang berbeda (dipisahkan menurut usia, jenis kelamin, wilayah geografis dan karakteristik lain yang
relevan secara lokal).
 Dampak psikologis terhadap penduduk dan tenaga kesehatan dan bantuan.
 Dampak terhadap vektor penyakit dan program pengendalian vektor.
 Dampak pada kemampuan pria, wanita, anak laki-laki dan perempuan untuk mengakses layanan
kesehatan.
 Kerusakan fasilitas kesehatan - survei terperinci oleh teknisi dan insinyur yang berkompeten untuk
menyusun rencana dan perkiraan biaya khusus untuk perbaikan/rekonstruksi.
 Sumber daya manusia dan lainnya dan kapasitas untuk menjamin layanan kesehatan dalam jangka
menengah.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 31
 Komponen sistem kesehatan lainnya: kebijakan, infrastruktur, pembiayaan, persediaan dan
manajemen.

Semua penilaian dan survei lanjutan membutuhkan perencanaan matang. Survei membutuhkan sumber
daya besar (manusia, keuangan dan logistik) supaya hasilnya dapat diandalkan dan bermanfaat. Hasilnya
terkadang sensitif secara politis dan membutuhkan penanganan yang hati-hati. Kehati-hatian harus
diterapkan untuk mencegah survei kelebihan muatan (over-loading) dengan mencoba merespons terlalu
banyak tuntutan yang berbeda untuk data!

Upaya Klaster Kesehatan


Ketika merencanakan atau berkontribusi terhadap penilaian atau survei lanjutan:
 Menentukan tujuan dan ruang lingkup dengan seksama, dan menyusun rencana analisis.
 Memobilisasi keahlian khusus yang relevan serta mitra klaster.
 Meninjau data sekunder yang tersedia secara menyeluruh sebelum menetapkan persyaratan
pengumpulan data primer.
 Menguji lebih dahulu format perekaman data dan panduan wawancara sebelum melatih tim
lapangan.
 Menentukan dengan jelas prosedur pengambilan sampel dan ukuran sampel (untuk survei populasi
dan fasilitas).8

Contoh rujukan penilaian:


1. KEPMENKES No. 1116/MEN3ES/SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans
Epidemiologi Kesehatan
2. PERMENKES no. 949/MENKES/SK/VIII/2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kewaspadaan Dini
KLB
3. Keputusan Bersama MENKES RI dan KAPOLRI nomor 1087/MENKES/SKB/IX/2004, No. Pol
Kep/40/IX/2004 tentang Pedoman Penatalaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bencana Massal
4. KEMENKES (2005): Buku saku Penilaian Cepat Masalah Kesehatan pada Kejadian Bencana
5. KEPMENKES No.064/MENKES/SK/II/2006 tentang Pedoman Sistem Informasi Penanggulangan
Krisis Akibat Bencana
6. KEMENKES (2010): Pedoman Penyusunan Profil Krisis kesehatan Akibat Bencana untuk
kabupaten/Kota
7. PERKA BNPB Nomor 8 Tahun 2011 tentang Standarisasi Data Kebencanaan
8. PERMENKES No. 36 Tahun 2014 tentang Penilaian Kerusakan, Kerugian dan Kebutuhan Bidang
Kesehatan Pasca Bencana
9. PERMENKES Nomor 77 Tahun 2014 tentang Sistem Informasi Penanggulangan Krisis Kesehatan
10. UNHCR. Public health facility toolkit (Perangkat untuk evaluasi fasilitas kesehatan publik). Januari
2008.
11. WHO. Health facility survey (Perangkat untuk mengevaluasi kualitan perawatan yang diberikan untuk
menarik anak-anak agar terus menghadiri fasilitas rawat jalan ). 2003.
12. UNICEF, WHO, UNFPA. Guidelines for monitoring the availability and use
of obstetric services. 1997.
13. OMS. Safe motherhood needs assessment. 2001.
14. USAID, CDC. Reproductive health assessment toolkit for conflictaffected women (Perangkat penilaian
kesehatan reproduksi untuk perempuan korban konflik). 2007.

III.1.5 Memastikan Peringatan Dini dan Tanggap Darurat:


Dalam suatu situasi krisis - terutama keadaan darurat yang berlarut-larut - sistem yang sangat responsif
diperlukan untuk mendeteksi dengan cepat kondisi rawan epidemi penyakit tertentu dan menerapkan
langkah-langkah pengendalian wabah secepatnya, jika diperlukan. Suatu sistem peringatan dini dan
respons dibutuhkan dengan pelaporan rutin mingguan dan laporan langsung tentang kondisi kritis yang
ditentukan oleh fasilitas kesehatan regular dan semua tim bantuan kesehatan dan medis (jaringan
peringatan dan respons dini).

Beberapa prinsip dasar


 Partisipasi aktif dari semua pelaku kesehatan kemanusiaan adalah penting.

8
Daftar yang lebih lengkap sedang disusun oleh Global Health Cluster pada 2009.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 32
 Epidemiolog berpengalaman harus memimpin dalam memilih sejumlah kecil kondisi (maks. 10) yang
akan dimonitor. Ini mungkin termasuk gizi buruk akut dan keracunan.
 Informasi harus dikumpulkan dari berbagai sumber termasuk media massa dan sumber-sumber
informal. Rumor harus diselidiki dan ditangani baik atau ditolak.

Upaya Klaster Kesehatan


 Mereview prosedur pemantauan pra-krisis dan menyetujui pengaturan yang tepat untuk peringatan
dini dan respons di daerah-daerah yang terkena dampak krisis.
 Memastikan bahwa satu tim Sistem Peringatan Dini dan Respons sentral ditempatkan - dengan tugas
dan tanggung jawab yang benar dan di lokasi yang tepat - dalam beberapa hari pertama krisis.
 Memastikan bahwa semua unsur penting dari sistem peringatan dini dan respon yang efektif
terpenuhi.
 Memastikan pemasukan, dan pelaporan yang cepat dari, semua mitra klaster. Memastikan bahwa
informasi dikirimkan kembali ke unit- unit pelaporan dan disebarluaskan kepada semua pihak yang
berkepentingan lainnya dalam beberapa jam saat terjadi wabah (atau peristiwa lain yang
membutuhkan respons segera).

Unsur-Unsur Penting dari Sistem Peringatan Dini dan Respons yang Efektif
 Konsensus di antara para pelaku kesehatan mengenai daftar singkat kondisi prioritas yang harus
dimonitor, dan format pelaporan standar,.
 Cara komunikasi yang dapat diandalkan dan cepat.
 Pedoman unit-unit lapangan termasuk kriteria atau batasan di mana mereka harus membuat
peringatan dan melakukan tindakan-tindakan tertentu.
 Pelatihan pekerja klinis di tingkat perawatan primer dan sekunder dalam pengoperasian sistem.
 Kapasitas dukungan laboratorium dan prosedur yang jelas untuk mengambil dan mengirimkan
sampel biologis, dan memberikan umpan balik kepada unit pelaporan.
 Persediaan sampling kit, obat-obatan dan vaksin.
Rencana kontijensi untuk respons yang komprehensif terhadap epidemi, termasuk rencana untuk
bangsal isolasi di rumah sakit.

III.1.6 Pemantauan Situasi Kesehatan: memantapkan Sistem Informasi Kesehatan

Informasi terbaru dibutuhkan secara terus menerus sepanjang krisis untuk menginformasikan
keputusan tentang tindakan respons, memonitor efek intervensi kesehatan dan memungkinkan
dilakukan penyesuaian jika diperlukan, dan untuk mendukung upaya-upaya mobilisasi sumber daya.

Beberapa prinsip dasar


 Pemantauan selama krisis harus berdasarkan pada sistem pengawasan penyakit yang sudah ada,
jika memungkinkan, akan tetapi dapat disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan krisis dan
mencakup:
- Situasi kesehatan secara keseluruhan;
- Sosial (termasuk gender dan usia) dan faktor ekonomi kesehatan masyarakat;
- Kinerja sistem kesehatan (termasuk respons, kualitas dan akses yang adil); dan
- Kemajuan dan output dari kegiatan kesehatan (dan pemulihan awal) kemanusiaan.

 Informasi paling baik dikumpulkan melalui kombinasi dari:


- laporan reguler dari fasilitas kesehatan dan tim lapangan - survei sampel adhoc atau berkala,
- pelaporan regular dari masyarakat ("pengawasan berbasis masyarakat").

 Sistem Informasi Kesehatan Nasional yang tepat harus dibentuk kembali secara berkelanjutan dan
secepat mungkin.
 Satu organisasi – mitra klaster lainnya - harus bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan sistem
pemantauan dan memimpin upaya internasional untuk membangun (kembali) Sistem Informasi
Kesehatan yang, jika diperlukan.

Sering terjadi, terutama di tempat yang telah berulang kali mengalami bencana bencana dan periode
pemulihan yang tidak memadai, kapasitas Sistem Informasi Kesehatan nasional terbatas. Dukungan bagi
pembentukan kembali Sistem Informasi Kesehatan yang sesuai selanjutnya merupakan komponen
penting dari strategi respons krisis kesehatan.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 33
Upaya Klaster Kesehatan
Bekerja sama dengan mitra klaster, sebagaimana mestinya, untuk:
 Menyepakati sejumlah indikator utama yang sensitif gender yang disesuaikan dengan situasi dan
kapasitas lokal, dan bagaimana, dari mana dan pada frekuensi berapa informasi akan dikumpulkan.
 Secara teratur menyusun dan menganalisis informasi dari semua sumber mengenai situasi
kesehatan, faktor-faktor penentu kesehatan, dan kinerja layanan kesehatan, dan selanjutnya
mengidentifikasi masalah-masalah yang muncul, kesenjangan kritis atau daerah yang
membutuhkanintervensi.
 Menyepakati strategi untuk terus meningkatkan cakupan dan muatan laporan dari fasilitas
kesehatan, tim kesehatan dan para pelaku kesehatan lainnya, dan memperkuat atau membangun
kembali sistem informasi kesehatan nasional.
 Memastikan bahwa temuan-temuan pemantauan dipublikasikan segera dan dikirimkan secara
teratur kepada para pengambil sesuai dengan PERMENKES No. 77 / 2014.

Titik fokus klaster kesehatan wilayah yang didukung oleh ahli epidemiologi atau analis data yang
berpengalaman lainnya, jika tersedia, harus memastikan analisis lokal yang cepat bekerja sama dengan
pejabat kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota dan para pemangku kepentingan lainnya. Ini harus
mengidentifikasi prioritas untuk tindakan segera dan memberikan interpretasi lokal bersama-sama
dengan data mentah kepada Koordinator Klaster Kesehatan dan anggotanya.

III.1.7 Memantau Kinerja Layanan Kesehatan

Beberapa prinsip dasar


 Pemantauan kinerja harus fokus pada layanan yang merupakan hal paling penting dalam situasi
yang berlaku.
 Satu atau dua indikator yang peka gender harus dipilih dan dilacak untuk setiap layanan yang
penting.

Masalah-masalah umum yang patut ditangani berhubungan dengan pemantauan ketersediaan layanan
utama dan cakupannya. Kotak di bawah ini menyajikan panduan tentang menghitung cakupan. Adanya
perubahan pada cakupan merupakan indikato penting untuk menilai efektivitas respons kesehatan
secara keseluruhan dan juga proyek pemberian layanan individu.

Jika kekerasan seksual dan berbasis gender menjadi perhatian utama, ada baiknya untuk menyertakan
informasi tentang cakupan pelayanan medis bagi korban perkosaan dan sistem rujukan untuk layanan
hukum, perlindungan dan psikososial.

Upaya Klaster Kesehatan


 Mengidentifikasi jumlah minimal indikator kinerja yang berhubungan dengan situasi wilayah terkait,
termasuk indicator-indikator peka gender, melalui suatu proses konsultasi (misalnya kelompok M&E,
lokakarya).
 Memastikan penyertaan indikator-indikator ini (atau data terkait) dalam standar tersebut.
 Memastikan penyertaan indikator-indikator ini (atau data yang relevan) dalam format pelaporan
standar.
 Memastikan semua mitra klaster – dan para pelaku kesehatan lainnya sebanyak mungkin –
memahami indicator-indikator tersebut dan melaporkan data yang relevan secara reguler.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 34
Memperkirakan Cakupan
Cakupan untuk tujuan epidemiologis, adalah “suatu ukuran jangkauan sejauh mana layanan yang
diberikan mencakup kebutuhan potensial layanan-layanan ini di dalam suatu masyarakat. Ukuran ini
dinyatakan dalam % di mana numerator adalah jumlah layanan yang diberikan dan denominator adalah
jumlah contoh di mana layanan harus diberikan [Last JM. A Dictionary of Epidemiology. Oxford University
Press, 2001].

Perkiraan Cakupan biasanya dihitung sebagai suatu persentse:

Jumlah orang yang memiliki akses layanan × 100


Cakupan penduduk (%) = ----------------------------------------------------------------
Jumlah populasi yang terkena (N)

Dalam suatu krisis kemanusiaan, cakupan bisa dihitung berhubungan dengan total penduduk yang
terpengaruh, total penduduk yang terpengaruh yang bisa dijangkau, atau, untuk intervensi target, jumlah
penduduk target.

Tingkat cakupan yang berbeda ini bisa dinyatakan sebagai:

 Cakupan kemanusiaan potensial, dengan N = Jumlah populasi terpengaruh.


 Cakupan kemanusiaan operasional, dengan N = Jumlah populasi terpengaruh yang dapat
dijangkau.
 Cakupan populasi target, dengan N = Jumlah populasi target

Perubahan cakupan dapat digunakan untuk memantau sejauh mana suatu program bekerja dalam
mencapai populasi target. Untuk tujuan evaluasi, perubahan cakupan merupakan suatu ukuran
sederhana dari perbedaan antara tingkat cakupan pada titik-titik waktu yang berbeda:

Cakupan pada Waktu2– Cakupan pada Waktu1 × 100


% Perubahan dalam cakupan = ----------------------------------------------------------
Cakupan pada Waktu 1

Untuk perbandingan antara perkiraan yang sah, tingkat cakupan harus diestimasi dengan menggunakan
metodologi standar yang sama di setiap titik waktu.

III.2 Menganalisis dan Prioritas


Hal-hal yang perlu diperhatikan:
 Data hanya berguna jika dianalisis dan ditafsirkan sesuai konteks.
 Analisis dan interpretasi membutuhkan kombinasi keahlian teknis dan pengetahuan lokal.
 Tim kajian lapangan (pengumpulan data) itu sendiri harus dilibatkan dalam analisis awal.
 Data harus diperiksa dari perspektif yang berbeda dan dalam kombinasi yang berlainan untuk
melihat apa yang mereka ungkapkan.
 Selain analisis dan interpretasi, presentasi juga penting. Penggunaan yang imajinatif dan tepat harus
terdiri dari tabel, diagram, peta, jadwal dan kombinasi data dari sejumlah data yang berbeda. Kajian
umumnya menyediakan informasi singkat; adalah penting untuk menemukan cara untuk menyajikan
perubahan dan tren secara visual.
 Analisis situasi yang disediakan oleh suatu kajian harus diperbarui secara teratur berdasarkan
informasi dari pemantauan situasi yang sedang berlangsung dan laporan sistem peringatan dini.
Variasi musiman seperti musim hujan dan kemarau - dan peningkatan musiman dalam kekerasan di
beberapa keadaan darurat yang kompleks - dan efeknya pada pola penyakit dan pemberian dan akses
layanan, harus diperhitungkan.

Hasil Koordinasi Klaster Kesehatan yang Diharapkan


Analisis situasi sektor kesehatan bersama; kesepakatan tentang masalah- masalah kesehatan prioritas
dan risiko yang harus ditangani oleh mitra Klaster Kesehatan.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 35
III.2.1 Identifikasi dan analisis masalah, risiko dan kesenjangan
Analisis tujuan perencanaan melibatkan dua langkah:
1. Analisis kesenjangan termasuk identifikasi masalah-masalah kesehatan, risiko dan kesenjangan
dalam layanan serta prioritas layanan atas dasar risiko kesehatan yang ditimbulkan - jumlah orang
(perempuan, laki-laki,kelompok rentan dan penyandang disabilitas).
2. Analisis pilihan yang tersedia (layak dan dapat diterima) untuk mengatasi kesenjangan/masalah-
masalah prioritas dan prioritasasi tindakan kesehatan dengan memperhitungkan sumber daya yang
akan diperlukan dan manfaat kesehatan yang bisa diharapkan dalam konteks lokal yang berlaku
termasuk kondisi keamanan, hambatan-hambatan operasional dan faktor-faktor kontekstual lainnya.
Ini sering melibatkan unsur pertimbangan subyektif dan profesional.

Proses mengidentifikasi dan memprioritaskan masalah dan tindakan harus transparan. Kriteria prioritas
harus dicatat secara eksplisit. Analisis harus mempertimbangkan ke-3 aspek kunci akan tetapi juga
konteks dan pelajaran dari pengalaman sebelumnya, seperti yang dijelaskan pada Gambar 4a.

Seperti halnya unsur-unsur lain dari proses kajian dan respons, identifikasi dan prioritas masalah, risiko
dan kesenjangan, dan analisis penyebab, merupakan proses kontinyu dan berulang:

 Sebuah analisis pendahuluan - definisi skenario awal - dalam 24-72 jam pertama menginformasikan
tindakan respon selama beberapa hari pertama.
 Analisis awal dalam konteks kajian cepat awal yang diselesaikan dalam waktu 10 sampai 15 hari
menjadi dasar dalam keputusan perencanaan awal yang lebih besar. Ini bermanfaat untuk
menyarikan analisis dalam “skenario perencanaan awal”.
Analisis situasi dan skenario perencanaan yang diperbarui setiap kali diperlukan, terutama setelah suatu
tindakan review berkala atau kajian ulang setelah perubahan besar pada situasi keseluruhan.

Gambar 4a Kerangka untuk menganalisis situasi kesehatan


KEBUTUHAN INFORMASI PENTING
Konteks (politik, Status Kesehatan, Ketersediaan Kinerja sistem Pelajaran dari
keamanan, dll.) dan risiko untuk, sumber daya kesehatan pengalaman
dari OCHA/BNPB penduduk yang kesehatan (cakupan, kualitas, sebelumnya
terpengaruh aksesibilitas,
penggunaan)
Perbandingan dengan target dan indikator yang telah ditetapkan (dengan
Kesenjangan

mempertimbangkan standar internasional dan situasi pra-krisis lokal termasuk


Analisis

variasi musiman).
Pertimbangan bagaimana situasi ini diharapkan berkembang dan peristiwa-
peristiwa tertentu (kontinjensi) yang bisa mengubah konteks.
Identifikasi masalah & risiko kesehatan prioritas, dan pemberian kesenjangan kritis
dalam layanan kesehatan (sumber daya, cakupan, kualitas, penggunaan, dll.)
Analisis penyebab langsung dan dasar masalah-masalah kesehatan dan kesenjangan dalam ketersediaan
dan pemanfaatan layanan kesehatan.
Identifikasi pilihan respons yang mungkin; analisis kelayakan dan dampak kesehatan yang mungkin.
Area-area prioritas yang direkomendasikan, tujuan, strategi dan tindakan prioritas ... (... untuk
mengatasi masalah prioritas dan mengisi kesenjangan kritis).

Analisis masalah dan kesenjangan


Analisis masalah merupakan langkah pertama yang penting. Analisis ini harus mengidentifikasi:
 tingkat kematian dan kesakitan dan perubahan-perubahannya dibandingkan dengan kondisi
normal/sebelum bencana untuk musim tersebut;
 penyebab langsung kematian dan kesakitan yang dapat dihindari (mungkin luka-luka, penyakit
menular, gizi buruk, dan lain-lain) dan jumlah orang yang berisiko (yang dipisahkan menurut usia
dan jenis kelamin sejauh mungkin);
 penyebab yang mendasari (akar) masalah langsung tertentu - misalnya sanitasi yang buruk, air
tercemar, kurangnya akses ke atau kekurangan layanan medis dan perawatan kesehatan, kerawanan
pangan, kebiasaan makan yang buruk, dll. di antara kelompok yang berbeda;
 ancaman kesehatan tambahan yang dapat diantisipasi termasuk risiko musiman dan luar biasa, dan
jumlah orang yang berisiko (dipisahkan menurut usia dan jenis kelamin sejauh mungkin);

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 36
 kesenjangan dalam ketersediaan layanan kesehatan bagi penduduk yang terpengaruh oleh krisis
kemanusiaan dan cakupan layanan kualitas prioritas;
 setiap kesenjangan penting dalam informasi kesehatan; dan
 isu-isu lintas sektor yang akan mempengaruhi prioritas dan perencanaan serta pelaksanaan respon
(gender, usia, HIV/AIDS, dll.)

Setelah tahap darurat akut awal berakhir, analisis harus mempertimbangkan masalah-masalah yang
berkaitan dengan unsur-unsur tertentu dari sistem kesehatan termasuk kebijakan, infrastruktur
kesehatan, sumber daya manusia, pembiayaan kesehatan, obat-obatan dan manajemen, dan pemberian
layanan kesehatan. Pohon masalah dapat membantu dalam mengidentifikasi hierarki masalah dan
penyebabnya. Pohon masalah ini dapat membantu untuk mengidentifikasi masalah yang akan
difokuskan untuk mendapatkan manfaat kesehatan terbesar.

Analisis konteks
Analisis konteks harus mencakup analisis:
 faktor-faktor politik, sosial dan budaya (termasuk namun tidak terbatas pada pertimbangan gender)
mempengaruhi – secara positif atau negatif - status kesehatan, layanan perawatan kesehatan, dan
kelayakan intervensi perawatan kesehatan;
 situasi keamanan yang mencakup penyebab konflik dan implikasinya untuk tindakan kesehatan;
 sumber daya dan kapasitas yang tersedia, dan apa yang diperkirakan akan dimobilisasi;
 peran dan pengaruh setiap pelaku atau pemangku kepentingan kesehatan yang baru (misalnya
militer, bandan non-negara);
 peluang yang tersedia untuk perbaikan atau inovasi dalam perilaku terkait kesehatan atau
pemberian layanan kesehatan;
 hambatan-hambatan terhadap tindakan kesehatan, termasuk hambatan logistik, operasional,
administratif dan budaya; dan
 evolusi yang diharapkan dari seluruh situasi dan implikasi untuk pemberian dan akses layanan
kesehatan dan kesehatan.

Alat analisis yang dapat bermanfaat meliputi:


 analisis pemangku kepentingan (penting di semua kasus) untuk mengidentifikasi kepentingan semua
"pemangku kepentingan" yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh situasi kesehatan dan
tindakan respons kesehatan - lihat lampiran E;
 Analisis SWOT (kekuatan-kelemahan-peluang-ancaman); analisis kekuatan lapangan (memeriksa
kekuatan untuk dan melawan keputusan tertentu atau sejumlah tindakan); analisis dampak
(mengantisipasi konsekuensi penuh dari perubahan yang diusulkan dalam suatu sistem);
 analisis konflik dan analisis "Do No Harm (jangan merugikan)" dalam suatu situasi konflik atau
represi.9

Yang juga berguna adalah mereview pelajaran dari pengalaman terdahulu di daerah tersebut dan situasi
serupa di daerah lainnya dan mempertimbangkan relevansi potensialnya pada situasi saat ini.

Upaya Klaster Kesehatan


 Bekerja sama dengan para pelaku kesehatan nasional dan lokal serta pemangku kepentingan
(stakeholder) lainnya, yang sesuai, di semua tahap kajian dan respons untuk menyepakati analisis
masalah dan faktor-faktor kontekstual yang relevan pada setiap tahap kajian dan respons. Ini
termasuk mendapatkan kesepakatan tentang:
- Dampak spesifik krisis terhadap status, sistem dan petugas kesehatan;
- Masalah kesehatan yang paling penting, kesenjangan dan risiko pada setiap tahap;
- Kriteria untuk memprioritaskan masalah kesehatan dan memastikan bahwa kriteria tersebut
dicatat dan dipahami oleh semua orang;
- Daftar prioritas masalah (termasuk kesenjangan dan risiko) yang diperbarui setiap kali diperlukan;
dan
- Peluang dan hambatan khusus yang mempengaruhi status kesehatan dan pemberian layanan
kesehatan dengan mempertimbangkan bagaimana keseluruhan situasi diperkirakan akan
berkembang.

9
Analisis konflik adalah studi sistematis tentang profil, penyebab, aktor, dan dinamika konflik. Analisis ini membantu organisasi
pengembangan, kemanusiaan dan pembangunan perdamaian untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang konteks area
mereka bekerja dan peran mereka dalam konteks itu.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 37
 Memastikan analisis berbasis bukti dan menyeluruh:
- Dengan jelas menunjukkan adanya ekstrapolasi dan asumsi;
- Triangulasi data dari sumber-sumber yang berbeda dan mempertimbangkan (mengevaluasi)
keandalan dari berbagai data dan sumber;
- Mempertimbangkan masalah-masalah gender, perlindungan dan hak asasi manusia, dampak
HIV/AIDS, kondisi keamanan, dan setiap hambatan akses; dan
- Mengidentifikasi - mencari - perbedaan antar daerah dan kelompok masyarakat yang berbeda,
dan perbedaan terkait usia dan gender (pertimbangkan perbedaan situasi dan kebutuhan laki-
laki dan perempuan, anak perempuan dan anak laki-laki).

 Memeriksa dengan teliti setiap perbedaan informasi, atau contoh-contoh dimana temuan-temuan
yang dilaporkan berbeda dari apa yang mungkin diharapkan.
 Mencari sumber-sumber kesalahan atau bias yang mungkin dalam data yang dilaporkan.
Memastikan bahwa kebutuhan-kebutuhan area yang terisolasi (yang mengganggu komunikasi) tidak
dipandang remeh atau diabaikan, dan kebutuhan tidak dilebihkan dengan konsentrasi pada data dari
area-area yang terdampak paling parah.
 Mengidentifikasi topik, area, atau kelompok populasi yang kekurangan informasi atau informasinya
sangat tidak bisa diandalkan. Mengapa informasi kurang atau tidak bisa diandalkan? Apakah arti
pentingnya? Mana yang merupakan kesenjangan informasi paling penting? Apa yang bisa dilakukan
untuk mengisinya, kapan dan oleh siapa?

III.2.2 Memprioritaskan masalah dan aksi tanggap darurat

Berikut ini adalah pertanyaan-pertanyaan penting yang harus dijawab:


 Apakah sebab utama kematian yang dapat dihindari saat ini?
 Apakah sebab utama kesakitan dan kecacatan yang dapat dihindari saat ini?
 Apakah risiko kesehatan utama dalam beberapa bulan mendatang?
 Mana dari masalah ini yang paling banyak mempengaruhi orang?

Data yang dipisahkan menurut jenis kelamin dan usia serta area geografis dibutuhkan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini. Langkah selanjutnya adalah menjawab pertanyaan: pilihan apa yang tersedia
untuk mengatasi masalah-masalah ini, sumber-sumber apa yang dibutuhkan, dan apa dampak yang
diharapkan?

Upaya Klaster Kesehatan


Mengajak semua mitra klaster untuk berpartisipasi dalam proses memprioritaskan masalah dan tindakan
respons untuk mencapai konsensus seluas mungkin dan kepemilikan kesimpulan.

Fokus pada identifikasi dan penanganan ancaman- ancaman langsung terhadap kehidupan dan risiko
kesehatan masyarakat yang paling mendesak terlebih dahulu. Kumpulkan data yang dapat dipercaya dan
memadai, serta lakukan analisis mendalam tentang situasi, risiko dan masalah-masalah keberlanjutan
sebelum mengusulkan program baru.

Format pada Gambar 4b dapat berfungsi sebagai lembar kerja dan catatan alasan pembuatan keputusan.

Gambar 4b Lembar kerja contoh untuk mengidentifikasi prioritas


Masalah yang Dikhawatirkan
Masalah Masalah #2 Masalah #3
#1
Ukuran dan tren saat ini.
Perbandingan dengan tolok ukur internasional (misalnya
SPHERE atau standar lain) [% deviasi?]
Perbandingan dengan situasi pra-krisis [% deviasi?) atau
tingkat kab/kota/provinsi lainnya
Risiko kematian, kesakitan atau kecacatan.1
Kegentingan - kedekatan risiko [tingkat 1-5]1
Jumlah orang yang berisiko langsung.
Berdasarkan di atas: masalah dan risiko prioritas kesehatan
(tingkat 1-5).1

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 38
Penyebab mendasar; hubungan ke faktor-faktor lain.
Kelayakan dalam menangani dan memiliki dampak terukur
dalam jangka pendek.2
Kontribusi tindakan untuk membangun kembali sistem
kesehatan dan melindungi kesehatan public.3
Berdasarkan di atas; prioritas untuk tindakan
kemanusiaan/pemulihan dini (1-5)1

1. Peringkat Risiko/Urgensi/Prioritas: 1 = sangat rendah; 5 = sangat tinggi (berdasarkan kajian


profesional).
2. Kelayakan meliputi aksesibilitas (keamanan, logistik, dll.), penerimaan tindakan yang mungkin
(budaya, sejarah, dll.) dan kapasitas yang tersedia, atau diharapkan tersedia, untuk melaksanakan
tindakan-tindakan dalam periode perencanaan (keterampilan dan jumlah tenaga kesehatan, fasilitas,
rantai dingin, dll.).
3. Pada beberapa kasus, juga mungkin tepat untuk memprioritaskan sesuatu yang merupakan "hal
yang benar untuk dikerjakan". Sebagai contoh, limbah beracun yang dibuang di sebuah wilayah yang
terdampak krisis mungkin bukan masalah kesehatan yang paling langsung akan tetapi mungkin
tepat untuk memprioritaskan tindakan untuk menangani keluhan kolektif dan meredakan
kekhawatiran publik.

III.2 Mengembangkan suatu Strategi Bersama: Perencanaan Bersama

Hal yang perlu diperhatikan:

 Kesepakatan tentang strategi respons sektor kesehatan, termasuk tujuan - tujuan khusus dan
strategi tingkat kegiatan, adalah penting bagi tindakan kesehatan kemanusiaan yang terkoordinasi
dan Terpadu. Semua pelaku kesehatan utama harus terlibat dalam menentukan unsur-unsur ini
dan mereka harus dipahami oleh semua pemangku kepentingan..
 Kajian, analisis, pengembangan strategi dan perencanaan merupakan proses berulang. Pernyataan
strategi respons, yang menyediakan landasan untuk semua kegiatan klaster, harus dikembangkan
dan disempurnakan secara progresif:
- Suatu uraian strategi respons awal harus disiapkan di awal, dalam beberapa hari pertama, dan
menyediakan landasan bagi respons awal oleh mitra- mitra klaster dan paket proposal untuk
pengajuan Dana Siap Pakai serta bila perlu kerangka kerja bagi Permintaan Bantuan (Flash Appeal)
.10
- Pernyataan strategi respons sektor kesehatan yang lebih terperinci dan pertama harus disusun
berdasarkan temuan- temuan dari kajian cepat awal. Pernyataan ini harus dihubungkan dengan
pengembangan Permintaan Bantuan revisi dan kemudian Rencana Aksi Bersama yang diperlukan
untuk banding konsolidasi pertama, jika ada, biasanya setelah dalam waktu 2 bulan dari permulaan.

Strategi harus diperbarui jika diperlukan berdasarkan pada informasi terbaru dan pemantauan situasi,
setelah terjadi suatu perubahan besar pada situasi tersebut, dan sebelum penyusunan Rencana Aksi
Bersama yang baru.

 Strategi keseluruhan, tujuan dan strategi tingkat kegiatan individu harus ditinjau dan diperbaharui
saat dan ketika dibutuhkan.
 Koordinator Klaster Kesehatan harus membimbing mitra dalam memilih wilayarah kerja dan kegiatan
yang diprioritaskan, dan setiap sumber daya terkumpul yang tersedia pada Klaster harus digunakan
untuk mengisi kesenjangan yang paling penting.
 Rencana darurat harus disusun untuk menghadapi ancaman yang akan datang pada pelayanan
kesehatan atau kesehatan.

10
“Skenario kerja” awal dapat membantu dalam menyiapkan suatu strategi garis besar awal – lihat bagian 3.3 dan Lampiran B8
pada Managing WHO Humanitarian Response in the Field, Geneva: World Health Organization, 2008.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 39
Hasil Klaster Kesehatan yang diharapkan
 Suatu strategi respons krisis kesehatan yang diperbaharui regular dan bersama dengan prioritas dan
tujuan yang jelas untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan prioritas, risiko, dan kesenjangan
dengan cara yang wajar dan mempromosikan pemulihan dini (termasuk membangun kapasitas).
 Distribusi tanggung jawab di antara mitra berdasarkan kapasitas untuk melaksanakannya di
lapangan.
 Rencana kontinjensi bersama untuk respons pada peristiwa-peristiwa mendatang yang dapat
berdampak pada kesehatan populasi atau aktifitas respons mitra.

“Strategi Respons Krisis Kesehatan” dan “Strategi Tingkat Kegiatan”


Strategi respons kesehatan adalah pernyataan ringkas tentang keseluruhan pendekatan yang mitra-mitra
Klaster harus memberikan kontribusinya dengan tujuan untuk mengurangi kematian yang dapat
dihindari, kesakitan dan kecacatan serta mengembalikan pengiriman dan akses yang wajar pada,
perawatan kesehatan penyembuhan dasar dan pencegahan secepat mungkin dan dengan cara yang benar-
benar berkelanjutan. Strategi ini harus menetapkan prioritas yang harus diatasi selama periode waktu
yang diberikan, tujuan khusus Klaster/sektor, dan pendekatan-pendekatan yang diadopsi untuk
menyelesaikan sasaran tersebut dalam periode itu.

Strategi perorangan merupakan pendekatan yang diadopsi untuk menyelesaikan tujuan-tujuan khusus
(seperti mencegah – atau mengurangi risiko – wabah campak, memastikan pasokan berkesinambungan
obat-obatan atau menetapkan kembali dan meningkatkan sistem informasi kesehatan) dalam periode
waktu yang ditetapkan.

Dalam suatu krisis, perencanaan cenderung dibatasi kontrak dan ruang lingkup berkurang menjadi
proyek. Hasilnya adalah fragmentasi, dengan berkembangnya unit-unit perencanaan khusus yang
bekerjasendiri-sendiri. Strategi yang sudah disepakati, dan pengembangan rencana- makro keseluruhan,
dapat membantu mengurangi fragmentasi.

Memilih strategi tingkat kegiatan adalah memutuskan bagaimana mengatasi masalah dan risiko prioritas
tertentu untuk mencapai tujuan dan menghindari setiap efek negatif yang potensial. Sebagai contoh:
 Untuk membatasi risiko wabah campak, satu pilihan adalah kampanye imunisasi campak massal.
Tapi, jika Anda menganggap cakupan saat ini cukup baik, mungkin lebih baik untuk memperkuat
sistem imunisasi rutin sambil memfokuskan upaya dan sumber daya pada prioritas kesehatan
lainnya.
 Jika ada kekurangan obat, pilihannya bisa mengimpor obat dalam jumlah besar, mengimpor kotak
obat, atau membeli obat-obatan di pasar lokal. Pilihan harus dibuat dengan mempertimbangkan
berbagai faktor termasuk kecepatan pengiriman dan dampak yang mungkin ditimbulkan terhadap
pengaturan suplai obat dalam jangka menengah.

III.3.1 Mengembangkan Suatu Strategi Bersama Bidang Kesehatan


Strategi respons sektor kesehatan dalam krisis merupakan alat utama untuk memastikan bahwa
tindakan dari semua pelaku kesehatan terkoordinasi dan, terutama, tindakan-tindakan para pelaku
kesehatan eksternal dikoordinasikan dengan baik dengan, dan mendukung dengan semestinya, strategi
dari otoritas kesehatan nasional dan lokal dan para pelaku setempat lainnya. Strategi ini menyediakan
kerangka kerja untuk perencanaan respons kesehatan di seluruh daerah yang terdampak, termasuk
alokasi sumber daya di antara daerah.

Beberapa prinsip dasar


 Fokus untuk memastikan pemberian layanan prioritas; perluasan ruang lingkup hanya ketika
layanan prioritas telah terjamin. Meningkatkan penyediaan perawatan kesehatan adalah jauh lebih
mudah dari pada menurunkannya.
 Ketika sumber daya tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan - seperti yang hampir selalu
terjadi – konsentrasikan upaya dan sumber daya pada upaya dan sumber daya yang bisa membuat
perbedaan. Menggabungkan sumber daya yang langka di seluruhnya bisa tidak efektif.
 Menghasilkan strategi awal dengan cepat dan memperbaikinya dan menjadikannya lebih spesifik
ketika informasi yang lebih lengkap dan terpadu tersedia, konsensus dengan para pemangku
kepentingan tercapai dan sumber daya terwujud. Jangan membuang waktu untuk menyiapkan
rencana yang sangat rinci dan komprehensif yang dengan cepat bisa menjadi tidak relevan.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 40
 Harus ada hubungan yang jelas dan terlihat di antara (i) masalah-masalah prioritas, risiko dan
kesenjangan prioritas yang teridentifikasi, dan (ii) tujuan spesifik dan strategi yang dipilih. Pilihan
alternatif untuk mengatasi masalah-masalah prioritas harus diperiksa dan alasan pilihan strategi
tertentu dijelaskan dalam dokumen strategi.
 Variasi musiman dan efeknya yang biasa pada pola penyakit serta pemberian layanan dan akses,
harus diperhitungkan. Ini termasuk musim hujan dan kemarau, dan kenaikan kekerasan musiman
pada beberapa keadaan darurat yang kompleks.
 Strategi respons krisis harus mencakup pentahapan untuk memastikan cakupan pelayanan awal
minimal yang efektif sebelum menyediakan layanan penting yang lebih luas. Strategi ini harus
mengatasi semua aspek: sumber daya manusia, fasilitas, peralatan dan suplai.
 Pemulihan harus dipromosikan dari momen sedini mungkin, dengan menyiratkan pemikiran jangka
panjang dalam perencanaan. Upaya-upaya harus dilakukan untuk menggunakan dan memperkuat
struktur yang ada dan membangun kembali kapasitas lokal, jika memungkinkan. Efek potensi negatif
harus dipertimbangkan dan diminimalkan.
 Kekhawatiran lintas sektor seperti gender, HIV/AIDS, lingkungan dan perlindungan harus
diintegrasikan ke dalam proses perencanaan.

Langkah-langkah dalam mengembangkan strategi respons sektor kesehatan dalam situasi krisis

Proses pengembangan strategi respons sektor kesehatan berdasarkan analisis situasi secara skematis
diperlihatkan pada Gambar 5a.

Analisis konteks, termasuk masalah kapasitas, sumber daya dan hambatan, sangat penting bagi
penetapan tujuan (yang harus realistis), analisis pilihan respons dan pemilihan strategi tingkat-aktifitas
(yang harus sesuai dan layak), dan penyusunan strategi respons sektor kesehatan secara keseluruhan
(yang juga harus realistis).

Untungnya, ketika menetapkan area-area dan strategi prioritas tidak selalu harus dimulai dari serpihan.
Respons tertentu bisa “diberikan” dalam banyak konteks berdasarkan pengalaman panjang dalam banyak
krisis dan keputusan manajerial yang diperlukan adalah jelas. Misalnya, kampanye imunisasi campak

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 41
sering merupakan respons yang tepat di tempat-tempat dengan sistem rutin telah terganggu. Kebutuhan
yang mungkin untuk respons semacam itu harus dikenali dan dianalisis. Ini penting, terutama saat fase
respons akut pertama, ketika waktu diutamakan. Namun, secara umum, tujuan khusus harus
ditetapkan dan strategi tingkat aktifitas dipilih berdasarkan temuan kajian dan prioritas-yang teliti
untuk mencapai manfaat kesehatan yang maksimal dengan sumber daya yang diharapkan tersedia
selama periode perencanaan tertentu.

Menetapkan prioritas

 Tetapkan wilayah geografis yang terkena dampak dalam kaitannya dengan masalah dan risiko
prioritas kesehatan. Masalah dan risiko ini harus fokus pada penanganan sebab-sebab utama
kematian dan penyakit dalam konteks lokal dan hambatan-hambatan utama dalam pemberian dan
akses layanan kesehatan.

Awalnya, fokusnya adalah memastikan bahwa kebutuhan kemanusiaan yang mengancam jiwa terpenuhi,
sementara selalu mencari kesempatan untuk mempromosikan pemulihan dan membangun kembali
sistem yang lebih baik. Begitu kebutuhan yang mengancam jiwa terpenuhi, fokus harus bergeser semakin
ke arah membangun kembali kapasitas dan sistem nasional yang lebih baik sambil memastikan bahwa
setiap kebutuhan kemanusiaan yang tersisa terpenuhi.

Menetapkan Tujuan
 Pastikan bahwa tujuan mengangkat secara langsung masalah- masalah prioritas dan risiko yang
teridentifikasi dalam kajian disesuaikan untuk fase spesifik respons dengan mempertimbangkan:
- Konteksnya, kapasitas dan sumber daya yang tersedia;
- Variasi musiman dan evolusi yang diharapkan dari keseluruhan situasi; dan
- Perlindungan dan isu hak asasi manusia, dampak HIV/AIDS, kondisi keamanan, keterbatasan
akses, dan hambatan-hambatan lain pada orang-orang dan pemberian layanan, dan membedakan
antara laki-laki dan perempuan, anak perempuan dan anak laki-laki.

Tujuan juga mungkin harus mempertimbangkan keperluan yang harus dipenuhi - kebijakan dan nilai-
nilai dari beragam pemangku kepentingan yang akan mempengaruhi evolusi seluruh situasi keseluruhan
dan pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan kesehatan. Tujuan-tujuan khusus dapat mencakup
peningkatan informasi dan penguatan sistem serta mencapai hasil kesehatan langsung.

Memilih strategi tingkat aktifitas


Strategi respons harus sesuai - mengatasi masalah-masalah dan risiko-risiko prioritas secara efektif,
koheren dan efisien dengan cara yang sesuai dengan konteks lokal, dan layak - dapat diterapkan dalam
konteks lokal dan dengan sumber daya yang diharapkan akan tersedia. Sedapat mungkin, strategi
respons harus berkontribusi untuk "membangun-kembali yang lebih baik".
 Pilih strategi atas dasar analisis tercatat yang eksplisit, dari keuntungan dan kerugian dari pilihan
respons yang tersedia – cara-cara alternatif yang mungkin dalam mengatasi masalah-masalah
tertentu dan mencapai tujuan tertentu.
 Menganalisis pilihan dengan hati-hati untuk mengidentifikasi strategi yang paling tepat – strategi
yang akan mencapai tujuan yang ditetapkan sambil meminimalkan setiap efek negatif yang potensial
(terutama dalam situasi konflik). Catat bahwa tindakan jangka pendek yang dilakukan untuk
mengatasi masalah sistemik langsung dalam pemberian layanan mungkin memiliki efek distorsi yang
signifikan pada seluruh sistem kesehatan dalam jangka panjang
 Menguraikan pengalaman pada krisis sebelumnya di area yang sama atau di antara populasi serupa
di negara-negara tetangga. Jika tindakan diusulkan atas dasar pengalaman lapangan lebih jauh,
pastikan analisis yang mendalam tentang perbedaan dan persamaan di antara dua konteks tersebut.
Apa yang berfungsi (atau gagal) dalam satu konteks tidak selalu berfungsi (atau gagal) di konteks
lain!

Mengidentifikasi dan memilih di antara pilihan respons alternatif mengharuskan analisis konteks serta
informasi sektor kesehatan yang relevan. Ini juga menuntut kemampuan untuk membandingkan situasi
saat ini dengan yang lain, konteks yang sama, untuk belajar dari masa lalu, dan untuk terlibat dengan
berbagai pemangku kepentingan yang mungkin termasuk para pemain baru (masyarakat sipil, para
pelaku non-negara, dan lain-lain.) yang sesuai dan relevan. Ini juga melibatkan pertimbangan nilai dan

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 42
membutuhkan diplomasi dan kebijaksanaan politik untuk memastikan bahwa perspektif semua
pemangku kepentingan utama diakui dalam proses analisis dan diperhitungkan dalam strategi akhir.

Matriks seperti di bawah ini mungkin dapat membantu untuk memetakan dan mencatat isu-isu/masalah
utama dan pilihan respons.

Masalah/ Poin-poin Tujuan Pilihan Keuntungan Kerugian Pengalaman


risiko/ isu analisis khusus respons relevan dari
situasi konteks
utama serupa

1: 1: 1:
2: 2: 2:
1: 1: 1:
2: 2: 2:

Upaya Klaster Kesehatan

Selama beberapa hari pertama


 Jika rencana kontinjensi antar-badan/sektor kesehatan tersedia untuk jenis krisis terkait, tinjau
tujuan dan strategi yang diuraikan dalam rencana itu dan sesuaikan dengan skenario kerja awal saat
ini. Jika rencana kontinjensi relevan tersedia, kembangkan tujuan dan strategi awal dari serpihan
berdasarkan skenario kerja awal.
 Siapkan pernyataan yang sangat ringkas dari tujuan keseluruhan respons kesehatan, masalah
prioritas yang harus ditangani selama periode rencana awal (mungkin 1 bulan), tujuan spesifik untuk
periode itu, strategi utama yang akan diterapkan, siapa yang akan melakukan apa di mana, dan
kesenjangan utama (kebutuhan / kegiatan prioritas ditemukan).

Memastikan bahwa tujuan awal realistis dan fokus pada kebutuhan kemanusiaan yang mengancam jiwa
sambil memanfaatkan setiap peluang yang mungkin ada untuk memulai pemulihan segera.

Fokus pada mengisi kesenjangan dalam layanan yang mendukung kehidupan kritis di daerah-daerah di
mana banyak orang diketahui, atau diyakini, akan terkena dampak serius, dan mengisi kesenjangan
informasi yang sangat penting untuk menentukan kebutuhan dan perencanaan respons yang tepat.

Cobalah untuk memastikan setiap organisasi yang memikul tanggung jawab untuk wilayah atau kegiatan
tertentu memiliki, atau akan memiliki, kapasitas dan sistem untuk mendukung kegiatan lapangan yang
direncanakan.

Setelah kajian awal dilakukan


 Menguraikan tujuan untuk 6 sampai 12 bulan mendatang berdasarkan kajian cepat awal dan ketika
informasi yang baru telah tersedia. Menyertakan respons kemanusiaan kontinyu dan fokus yang
terus meningkat terhadap pemulihan. Mempertimbangkan variasi musiman yang akan datang dan
evolusi yang diperkirakan dari situasi keseluruhan.
 Menyertakan proyek/kegiatan untuk mengonsolidasikan atau meningkatkan, jika diperlukan,
kapasitas, menjamin dan mengelola informasi kesehatan dan memfasilitasi koordinasi sambil bekerja
untuk terus mengurangi ketergantungan pada bantuan luar, ketika dan jika memungkinkan.
 Memeriksa kembali tujuan dan strategi yang ditetapkan secara berkala dalam konteks tinjauan
kemajuan berkala. Periksa apakah tujuan dan strategi tersebut masih layak dan realistis.
Merevisi/memperbaiki tujuan dan strategi tersebut jika dan ketika diperlukan sesuai dengan
kesepakatan dengan semua pemangku kepentingan.
 Menyiapkan rencana kontinjensi untuk peristiwa-peristiwa (kontinjensi) yang bisa berdampak pada
kesehatan penduduk dan/atau operasi bantuan kemanusiaan yang sedang berlangsung dari para
pelaku kesehatan selama bulan-bulan mendatang. Lihat bagian 5.5.

Secara berkala atau setelah perubahan besar-besaran pada situasi keseluruhan


 Meninjau strategi dan dampak dari kegiatan yang dilaksanakan, dan melakukan penyesuaian yang
diperlukan, dengan memastikan bahwa penyesuaian itu diterapkan pada konteks sesuai
perkembangan.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 43
Strategi yang diarahkan pada tujuan kemanusiaan untuk mengurangi kelebihan kematian [yang dapat
dihindari], misalnya, bisa menjadi tidak sesuai dalam konteks pemulihan atau transisi ketika kelebihan
kematian terkendali dan tujuan telah bergeser pada aktivasi ulang layanan kesehatan yang penting.
Strategi tingkat aktifitas dapat, dan harus diubah jika terbukti tidak efektif untuk mencapai
tujuan/sasaran yang ditetapkan. Jika perlu, tujuan mungkin perlu disesuaikan kembali, sering dengan
mengurangi ambisi dan ruang lingkunya.

Apa Yang Harus Dimasukkan Dalam Dokumen Strategi Respons Sektor Kesehatan:
Dokumen harus menyajikan area prioritas, tujuan dan strategi respons (tingkat kegiatan) dan dasar
pemikiran. Dasar pemikiran harus menjelaskan, ringkas, alasan - pembenaran - untuk prioritas dan
strategi yang dipilih. Ini akan sangat ringkas untuk dokumen strategi permulaan, yang lebih terperinci
untuk dokumen berikutnya. Dokumen harus:
 menyediakan analisis ringkas dari situasi termasuk daftar prioritas masalah utama dan
penyebabnya, dan menjelaskan pilihan prioritas;
 menyajikan tujuan untuk setiap wilayah utama intervensi (misalnya pencegahan dan pengendalian
penyakit menular, rehabilitasi cedera, pengawasan, manajemen persediaan obat) dan strategi yang
diusulkan untuk mencapai tujuan, yang menunjukkan bagaimana tujuan dan strategi diturunkan
dari temuan kajian dan analisis situasi; dan menyoroti hambatan-hambatan operasional dan
masalah-masalah silang antar-sektoral yang telah diidentifikasi sebagai sangat penting bagi
kesehatan pada situasi saat ini dan menjelaskan bagaimana hambatan dan masalah tersebut
diperhitungkan, dan menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip pemrograman umum darurat
diterapkan.

Rencana Bertahap dan Pendekatan Tambahan


Pada banyak situasi rencana bertahap bisa ditetapkan – disetujui – sejak permulaan untuk mengatasi
masalah tertentu. Misalnya: “Dalam konteks pemulihan tertentu, terdapat ketimpangan tenaga kerja yang
besar, misalnya tenaga bidan sangat kurang terutama di kawasan perdesaan. Investasi yang besar
dibutuhkan untuk mempercepat pelatihan staf baru di kategori ini. Sementara itu, paket insentif
disiapkan untuk bidan yang bersedia untuk pindah ke kawasan yang tidak dilayani selama 3 tahun
berikutnya, ketika bidan yang baru telah terlatih. Rencana pengembangan sumber daya yang
komprehensif untuk 10 tahun mendatang akan diluncurkan dengan bantuan teknis yang disediakan oleh
donor X”.

Dalam banyak peristiwa, terutama ketika terdapat perspektif dan tekanan yang saling bertentangan,
adalah penting mengadopsi pendekatan tambahan dan melanjutkan secara bertahap ke arah tujuan yang
ditetapkan, dengan memperhitungkan resistensi dan peluang yang muncul selama proses tersebut. Ini
termasuk mendapatkan konsensus mengenai tujuan lanjutan, mencapai tujuan tersebut, dan selanjutnya
bergerak ke sasaran yang lebih tinggi begitu konteks tersebut kondusif. Pemantauan yang baik, dan
mungkin, evaluasi waktu riil, sangat penting untuk menelusuri hasil lanjutan dan memfasilitasi
kesepakatan pada fase lanjutan berikutnya.

III.3.2 Menyiapkan Komponen Kesehatan Dalam Suatu Rencana Aksi Kemanusiaan Bersama
Rencana Aksi Bersama merupakan rencana strategis menyeluruh untuk respons kemanusiaan yang
mencakup semua sektor yang relevan. Rencana kerja ini merupakan inti dari pengajuan terkonsolidasi
akan tetapi bisa juga menjadi suatu referensi bagi organisasi yang memutuskan untuk tidak
berpartisipasi dalam pengajuan tersebut. RAB meliputi:
 analisis konteks dan konsekuensi kemanusiaan (kebutuhan dan risiko kemanusiaan dengan
mempertimbangkan kapasitas dan kerentanan kelompok- kelompok penduduk yang terkena dampak
berlainan);
 skenario - skenario terbaik, terburuk, dan paling mungkin;
 prioritas strategis termasuk pernyataan yang jelas tentang tujuan dan sasaran jangka panjang; dan
 rencana yang diprioritaskan untuk setiap sektor (yang salah satunya adalah kesehatan).

Di tingkat nasional RAB disusun oleh BNPB didukung oleh BAPPENAS dan K/L. Anggota non-IASC,
seperti LSM nasional, dapat disertakan. Para pemangku kepentingan lainnya dalam aksi kemanusiaan
harus dikonsultasikan, khususnya pemerintah tuan rumah dan donor. Di tingkat
Provinsi/Kabupaten/Kota, RAB disusun oleh BPBD didukung oleh BAPPEDA dan SKPD terkait.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 44
Upaya Klaster Kesehatan
Kontribusi pada unsur-unsur lintas sektoral keseluruhan
Koordinator Klaster Kesehatan memimpin diskusi di antara mitra klaster kesehatan dan berkonsultasi
dengan BNPB dan BAPPENAS /BPBD dan BAPPEDA untuk mengembangkan: (i) bagian dari konteks
keseluruhan dan konsekuensi kemanusiaan; (ii) prioritas strategis untuk operasi kemanusiaan secara
keseluruhan, dan (iii) kriteria umum untuk memilih dan memprioritaskan proyek.

Dalam melakukannya, harus dipastikan bahwa:


 semua konsekuensi kesehatan dan potensial saat ini diperhitungkan dengan semestinya;
 antar-hubungan di antara kebutuhan yang terkait kesehatan dan risiko publik diakui dengan jelas;
dan
 situasi dan kerentanan semua subkelompok populasi yang berbeda diperhitungkan (tergantung pada
konteks, subkelompok mungkin berdasarkan etnik, kecacatan, gender, usia, HIV/AIDS, dan lain-
lain).

Menyusun strategi kesehatan Rencana Aksi Bersama


 Klaster harus menyepakati strategi dua halaman untuk sektor kesehatan (termasuk kebutuhan
psiko-sosial). Ringkasan dari laporan Kerangka Analisis Kebutuhan sektor kesehatan dapat
digunakan atau informasi dari analisis respons dan kebutuhan antarbadan berbasis bukti alternatif.
 Proyek untuk mendukung unsur-unsur sistem kesehatan kritis dan koordinasi kesehatan harus
disertakan, jika diperlukan, serta proyek-proyek untuk pengiriman persediaan dan layanan. Semua
harus mempertimbangkan isu-isu lintas sektoral (pertimbangan perlindungan, gender dan usia, dan
lain-lain.)

Memilih dan memprioritaskan proyek :


 Mengatur pertemuan khusus untuk memilih dan memprioritaskan proyek untuk dimasukkan dalam
Rencana Aksi Bersama dan pengajuan terkonsolidasi. Jika klaster besar, membentuk kelompok kerja
teknis untuk tujuan ini termasuk perwakilan setiap kelompok utama pemangku kepentingan,
misalnya pemerintah, Dunia Usaha, LSM internasional besar, LSM lokal besar, LSM Internasional
kecil, LSM lokal kecil, lembaga nasional lainnya, dan donor. Memilih ketua dan wakil ketua
setidaknya salah satunya dari LSM atau Palang Merah/Bulan Sabit.
 Mereview kriteria yang ditetapkan oleh BNPB untuk pemilihan dan penentuan prioritas proyek pada
umumnya dan menyepakati kriteria tertentu yang akan digunakan untuk proyek-proyek kesehatan.
 Meminta organisasi yang berpartisipasi alam klaster untuk menyiapkan lembar proyek 1-halaman
setelah panduan teknis Rencana Aksi Bersama dan menyerahkannya kepada ketua dan wakil ketua.
Menekankan bahwa proyek harus menangani kebutuhan prioritas yang disepakat idan mendukung
implementasi strategi sector kesehatan yang disepakati.
 Meninjau proposal - pembahasan yang difasilitasi oleh ketua dan wakil ketua yang diangkat.
Mengirim kembali ke organisasi berasal proposal yang tidak memenuhi kriteria yang telah disepakati.
 Menyerahkan Rencana Aksi Bersama kepada BNPB. Ketua dan wakil ketua harus berpartisipasi
dalam peer review (antarklaster) untuk memastikan konsistensi keseluruhan dalam proposal untuk
berbagai sektor.

BNPB/BPBD membuat keputusan akhir dan bertanggung jawab kepada


Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota untuk memastikan bahwa proyek-proyek yang termasuk dalam
pengajuan sesuai dengan kebutuhan kemanusiaan dan prioritas strategis keseluruhan yang disepakati.

Perhatikan bahwa dukungan apapun yang diperlukan untuk menjamin fungsi efektif klaster kesehatan,
dan kemampuan badan dan koordinator pemimpin klaster untuk memenuhi tanggung jawab mereka,
harus disertakan dalam paket tersebut. Garis anggaran mungkin dibutuhkan untuk, misalnya
manajemen informasi, komunikasi, dan evaluasi.

Hal Yang Harus Dimasukkan Dalam Strategi Kesehatan Untuk RAB


RAB - biasanya harus mencakup:
 kebutuhan dan risiko kesehatan prioritas;
 strategi kesehatan yang sesuai dengan tidak lebih dari lima tujuan untuk sektor kesehatan dan tidak
lebih dari lima indikator kesehatan utama untuk mengukur kemajuan menuju tujuan;
 daftar organisasi yang akan berkontribusi pada strategi kesehatan ini, dan uraian atau grafik yang
menunjukkan saling melengkapi antara kegiatan yang diusulkan;

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 45
 penjelasan singkat tentang bagaimana kelompok klaster/sektor akan memantau pelaksanaan dan
pencapaian tujuan;
 implikasi jika strategi kesehatan tidak dilaksanakan.

Strategi harus berdasarkan bukti dan terhubung jelas dengan satu atau beberapa prioritas kemanusiaan
strategis keseluruhan yang disepakati, dan termasuk organisasi-organisasi utama yang bekerja di sektor
kesehatan.

Masing-masing proyek harus ditinjau dan disetujui oleh klaster kesehatan/kelompok sektor dan
mendukung strategi penanggulangan kesehatan yang ditetapkan (lihat boks berikutnya di bawah).

Kriteria Contoh Untuk Pemilihan/Prioritas Proyek


 Strategi: proyek menangani wilayah prioritas dalam strategi respons krisis kesehatan yang disepakati
dan akan membantu mencapai tujuan yang disepakati khusus dengan menggunakan strategi tingkat
aktifitas yang disepakati.
 Kapasitas organisasi: organisasi pengajuan memiliki keahlian teknis di negara, kapasitas dan mandat
untuk melaksanakan proyek, atau bisa memobilisasi kapasitas operasional ini sebagaimana
dibutuhkan.
 Penduduk: proyek menyasar satu atau beberapa kelompok populasi rentang prioritas yang
diidentifikasi oleh BNPB.
 Wilayah geografis: proyek akan diimplementasikan di suatu wilayah yang dianggap menjadi prioritas
bagi aksi kesehatan kemanusiaan.
 Pengaturan waktu: proyek bisa membuat dampak terukur dalam kerangka waktu pengajuan
(biasanya satu tahun).
Kriteria khusus konteks lainnya: misalnya proyek-proyek yang mempromosikan kesetaraan gender,
termasuk fokus pada HIV/AIDS (di mana ini merupakan masalah utama) dan/atau membantu
membangun kapasitas lokal.

III.3.3 Mendukung Pemulihan Sistem Kesehatan


Setelah bencana yang dimulai secara mendadak, penguatan/pembangunan kembali sistem dan kapasitas
kesehatan lokal bisa dimulai dari hari-1 dengan menetapkan dan mengimplementasikan semua program
dan aktifitas kesehatan darurat dalam cara-cara yang berkontribusi pada obyektif itu. Fase pemulihan
setelah bencana menyediakan jendela kesempatan untuk “membangun kembali dengan lebih baik” – yang
memastikan sistem kesehatan yang sesuai dan berkelanjutan, membangun sistem kesiapan dan
kapasitas untuk menangani krisis di masa mendatang, dan memulai tindakan-tindakan untuk
mengurangi kerentanan.

Setelah krisis berkepanjangan, atau menjelang berakhirnya suatu krisis, pemulihan merupakan proses
yang kompleks dan panjang. Mitra internal dan eksternal harus bekerja sama untuk membangun kembali
kapasitas negara untuk memberikan layanan kesehatan dan layanan penting lainnya dan di saat yang
sama juga membangun kembali kegiatan ekonomi. Perencanaan pemulihan sistem kesehatan harus
dimulai sejak dini. Merumuskan kebijakan yang kuat, strategi yang tepat dan rencana yang fleksibel,
merupakan langkah-langkah penting untuk menyediakan kerangka kerja untuk aksi dalam lingkungan
yang sangat terfragmentasi.

Periode pascabencana atau pascakrisis menawarkan kesempatan penting. Antusiasme untuk


rekonstruksi mungkin tinggi, para donor sangat bermurah hati, dan resistensi terhadap perubahan
berkurang. Peran dan tanggung jawab gender mungkin telah berubah selama krisis berkepanjangan dan
peluang untuk pemberdayaan perempuan dan perbaikan tingkat kesetaraan gender terbuka. Jika sistem
kesehatan sebelum krisis mengandung (sebagaimana yang sering terjadi) distorsi dan ketidakadilan,
tahap pemulihan bisa menawarkan peluang untuk menjadi landasan perbaikan. Peluang ini harus
ditangkap.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 46
Prinsip-prinsip panduan

Berikut ini adalah beberapa prinsip dasar:


 Berpikir jangka panjang: menyadari bahwa keputusan dan investasi yang dibuat pada tahap awal
krisis mungkin memiliki konsekuensi yang merugikan dalam jangka panjang yang melampaui fase
pemulihan dan rekonstruksi.11
 Mengadopsi pendekatan sistem pendekatan: mengakui bahwa ada banyak komponen saling terkait
yang berkontribusi terhadap pemberian perawatan kesehatan dan tindakan yang mempengaruhi satu
komponen dapat mempengaruhi komponen lain semuanya. Analisis dan pemahaman mengenai
semua komponen sistem kesehatan dan interaksinya merupakan dasar yang diperlukan bagi
intervensi yang kuat dan tidak merusak. Pengetahuan dan pemahaman tentang latar belakang
sejarah, politik, ekonomi dan sosial secara signifikan memperkuat analisis sistem kesehatan dan,
pada akibatnya, efektivitas intervensi. Kotak di akhir bagian ini menguraikan beberapa isu kunci
dalam kaitannya dengan enam blok bangunan inti pada sistem kesehatan nasional, seperti yang
ditetapkan Berdasarkan Peraturan Presiden.
 Fokus pada tujuan dan hasil: memberikan perhatian pada kualitas, cakupan, akses dan keamanan
layanan untuk memastikan bahwa semuanya responsif dan efisien dan menghasilkan perbaikan
kesehatan untuk semua (keadilan).
 Mempromosikan – dan memberi wewenang - kepemimpinan nasional: perencanaan dan
pelaksanaan kegiatan pemulihan harus dipimpin oleh otoritas nasional yang relevan dan lembaga-
lembaga di tingkat pusat dan daerah. Membangun (kembali) kapasitas lembaga-lembaga tersebut,
sesuai kebutuhan, dengan mempertimbangkan perubahan konstitusional yang memungkinkan
desentralisasi yang lebih besar dibandingkan sebelum krisis itu.12
 Bekerja sama dengan para pelaku baru/mitra: mengembangkan hubungan kerja dengan lembaga
keuangan internasional dan lembaga yang berorientasi pembangunan lainnya.
 Memastikan koordinasi dengan sektor-sektor lain: upaya kebutuhan kesehatan (dan layanan
sosial dasar lainnya) perlu direncanakan dan dilaksanakan secara paralel dengan kegiatan- kegiatan
untuk mencapai tata kelola pemerintahan yang baik dan pemulihan masyarakat.
 Menggunakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2015-2030 untuk kesehatan sebagai sasaran
untuk memfokuskan kegiatan pemulihan setelah krisis berkepanjangan. Dalam kasus tersebut,
sangat jarang terjadi layanan kesehatan dapat dibangun kembali seperti sebelumnya. Reformasi yang
lebih mahal atau lebih murah selalu dibutuhkan. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dapat
memberikan sebuah rujukan yang berguna untuk menilai strategi dan program selama pemulihan.
 Bekerja sama dengan dan memperkuat kapasitas mitra lokal dan masyarakat sipil, termasuk dari
mitra dan masyarakat dari kelompok-kelompok miskin dan terpinggirkan, untuk terlibat dalam
manajemen pemberian pelayanan kesehatan, pemantauan dan pengembangan mekanisme
akuntabilitas.
 Mempromosikan reformasi yang didorong dan dimiliki lokal dan agenda perubahan.
 Memastikan pentahapan yang sesuai: reformasi kebijakan dan sektor tidak boleh membebani
lembaga yang rapuh atau membanjiri kapasitas lemah yang ada.
 Menyelaraskan kegiatan yang didukung donor dengan strategi, kebijakan dan sistem
pemerintah. Jika ini tidak mungkin, donor harus menyelaraskan pendekatan mereka dengan
penekanan pada pengembangan mekanisme yang akan meningkatkan bukan melemahkan peran
pemerintah dalam pengelolaan sektor kesehatan.

Perhatikan bahwa efisiensi kadang-kadang harus diabaikan untuk mencapai keadilan, misalnya,
dengan menggunakan unit bergerak untuk mengirimkan layanan di daerah terpencil dan tidak
terlayani.

11
Sebagai contoh: unit kesehatan bisa dibangun atau diperluas di kota-kota atau daerah- daerah yang lebih aman dan menjadi
mubazir ketika situasi kembali normal; pekerja kesehatan tingkat rendah dapat diberikan pelatihan singkat ad hoc, yang mengarah
pada harapan terintegrasi dalam sistem kesehatan; saluran suplai obat yang beragam dapat digunakan sebagai pengganti saluran
yang resmi; sistem informasi yang beragam dapat diterapkan sehingga mengurangi fungsi saluran informasi yang seragam, dll
12
Ada kebutuhan bagi suatu rencana yang didorong secara nasional dan menyeluruh dan disetujui semua donor, dengan "pelaku
utama" yang menyediakan dan berbagi visi yang jelas, mengilhami dan mengawasi kajian bersama, dan menysiapkan kebijakan,
strategi dan rencana yang luas. KEMENKES biasanya menjadi "pelaku utama" akan tetapi, jika KEMENKES masih tidak
memiliki kapasitas yang sesuai, badan internasional terkemuka bisa menjalankan peran ini melalui suatu perjanjian dengan
pemerintah.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 47
Upaya Klaster Kesehatan

Melindungi dan memperkuat kapasitas lokal dari awal

 Bekerja bersama-sama dan bersama dengan KEMENKES/Dinas Kesehatan, jika sesuai, untuk
memastikan bahwa semua program dan kegiatan kesehatan darurat dirancang dan dilaksanakan
dengan cara-cara yang berkontribusi terhadap pembangunan kembali kapasitas lokal. Coba,
khususnya, untuk memastikan bahwa:
- Fasilitas dan sistem yang ada digunakan, diaktifkan kembali dan diperbaiki, jika memungkinkan
- dan sistem paralel dan baru dihindari kecuali benar-benar diperlukan;
- Kompetensi dalam negeri yang sudah ada diidentifikasi dan digunakan sebanyak mungkin;
- Personil lokal terlibat dalam semua kegiatan kajian , perencanaan dan respons;
- Kebutuhan pelatihan ulang diidentifikasi dan pelatihan yang berorientasi tugas dan sesuai
diberikan sedini mungkin;
- Ada kesetaraan kesempatan dalam partisipasi dan pelatihan bagi perempuan dan laki-laki.
 Cobalah untuk mendapatkan kesepakatan di antara semua pelaku kesehatan utama:
- Pentingnya menjaga dan, jika memungkinkan, memperkuat struktur kesehatan tingkat Pusat dan
daerah; dan
- Cara menghindari kelumpuhan struktur ini. (Kemungkinan bisa termasuk membayar insentif
kepada staf KEMENKES/Dinas Kesehatan untuk menginap di pos mereka. Gunakan imajinasi
untuk menemukan cara, bersama-sama dengan mitra.)
 Mencegah semua pelaku kesehatan untuk menciptakan sistem paralel yang baru, kecuali benar-
benar diperlukan.
 Memfasilitasi kemitraan internasional/nasional dengan dan di antara LSM untuk membantu
membangun kapasitas lokal.
 Mempromosikan Prinsip-prinsip Kemitraan yang sudah dicantumkan di bab 2

Mempromosikan pemulihan dini sistem kesehatan

 Sambil menjamin aksi kesehatan masyarakat untuk melindungi jiwa dan mengurangi penyakit yang
dapat dihindari dan kecacatan, tingkatkan perhatian pada pemulihan dengan memperhitungkan
seluruh kondisi sosial ekonomi, kapasitas kelembagaan para pelaku pemerintah dan non-negara dan
sifat krisis, dan perbedaan di antara wilayah geografis yang berbeda.
 Bekerjasama dalam kajian kerusakan, kerugian dan kebutuhan – yang biasanya dipimpin oleh BNPB
dan BAPPENAS di tingkat nasional atau BPBD dan BAPPEDA di tingkat Provinsi/Kabupaten/kota
dan dilaksanakan melalui konsultasi erat dengan K/L di tingkat Nasional atau SKPD di tingkat
Provinsi/Kabupaten/Kota- dan kajian antar-lembaga, berorientasi pemulihan, pasca krisis lainnya
seperti misi kajian bersama dan kajian kebutuhan pasca bencana.
 Sambil menggunakan Rencana Aksi Bersama untuk mengerahkan sumber daya bagi beberapa
kegiatan pemulihan dini awal, ketika sepakat dengan Klaster Kesehatan dan tim negara
kemanusiaan, menggali kemungkinan untuk mendanai kegiatan terkait pemulihan yang lebih besar
melalui kesepakatan bilateral atau multilateral termasuk dana hibah multi donor (multi-donor trust
funds/MDTF) dan mencakup kegiatan- kegiatan prioritas dalam Kerangka Kerja Bantuan Nasional
PBB (UN Country Assistance Framework /CAF).
 Mempercepat pembangunan kapasitas pada lembaga-lembaga nasional sehingga mereka, dan
perusahaan-perusahaan nasional, dapat memimpin dalam pembangunan kembali fasilitas serta
layanan dan dengan demikian mempercepat proses kepemilikan nasional proses dan hasil.
(Menunjukkan keberadaan dan kesediaan lembaga nasional untuk memikul peran signifikan dalam
proses pemulihan, dan dengan demikian mempercepat peralihan dari ketergantungan kepada
sumber-sumber eksternal menjadi pada diri sendiri.)
 Mengidentifikasi lembaga dan perusahaan lokal yang berfungsi baik yang dapat menjadi model atau
mendukung kerusakan fasilitas atau layanan kesehatan.

Ketika keadaan darurat berlalu dan banyak pelaku kesehatan eksternal pergi, serah terima layanan
kesehatan kepada pemerintah harus direncanakan dengan matang - diurutkan secara progresif, langkah-
demi-langkah selama jangka waktu tertentu.
 Mempromosikan/mendukung pemetaan/kebutuhan tenaga kesehatan dengan mempertimbangkan
analisis kesenjangan sektor kesehatan.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 48
 Mempromosikan (mendukung KEMENKES/Dinkes Prov/Kab/Kota) dalam pemetaan dan pelacakan
investasi/kontribusi finansial pada sektor kesehatan.
 Mendorong semua pemangku kepentingan sektor kesehatan untuk membuat komitmen keuangan
dan rencana pemulihan berdasarkan pada bukti-bukti dari analisis sektor kesehatan terbaru dan
terutama data Sistem Pemetaan dan Ketersediaan Sumberdaya Kesehatan sebagai dasar untuk
memperkirakan obat dan kebutuhan bahan lainnya.
 Mendukung KEMENKES/Dinkes Prov/Kab/Kota dan para pelaku kesehatan lainnya untuk
mengembangkan upaya berbasis bukti yang jelas berdasarkan retribusi pengguna (termasuk
identifikasi/pengamanan pendanaan alternatif di mana retribusi pengguna dihapuskan atau
dikurangi secara signifikan).

Pemulihan Kesehatan merujuk Sistem Kesehatan Nasional (2012) seperti sudah dicantumkan pada bab I,
yang terdiri dari 7 sub-sistem, yaitu:
1. Upaya kesehatan
2. Penelitian dan pengembangan kesehatan
3. Pembiayaan kesehatan
4. Sumberdaya manusia kesehatan
5. Sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan
6. Manajemen, informasi, dan regulasi kesehatan
7. Pemberdayaan masyarakat

III.3.4 Mempertimbangkan Agenda Lintas Sektor

Seluruh kegiatan yang direncanakan harus mempertimbangkan pemenuhan hak-hak asasi manusia,
gender, keprihatinan dan risiko lingkungan dan hambatan yang terkait dengan HIV/AIDS.

Daftar periksa agenda lintas sektor:

Hak asasi manusia dan perlindungan:


o Apakah strategi dan pelaksanaan yang memastikan kesetaraan akses terhadap bantuan, layanan dan
perlindungan yang memadai kepada semua kelompok, baik terhadap penerima bantuan dan pekerja
kemanusiaan?
o Apakah bantuan menguatkan pola diskriminasi yang sudah ada atau meningkatkan risiko?
o Apakah kegiatan atau cara pelaksanaan dapat disesuaikan untuk memastikan penghargaan hak
asasi manusia dan perlindungan, khususnya kelompok rentan, misalnya perempuan kepala keluarga,
perempuan dan laki-laki yang berkebutuhan khusus, orang yang hidup dengan HIV/AIDS, remaja
laki-laki?
o Adakah kerjasama efektif antara klaster kesehatan dan perlindungan untuk memastikan
perlindungan, dukungan dan terapi psikososial untuk kelompok berisiko di atas, anak yang terpisah
dari keluarga, dan penyintas tindak kekerasan seksual dan berbasis gender?

Gender:
o Apakah strategi dan cara pelaksanaan mempromosikan kesetaraan gender dan mengurangi risiko
tindak kekerasan seksual dan berbasis gender?
o Apakah kegiatan akan meningkatkan ketidaksetaraan yang sudah ada?
o Dapatkah kegiatan atau cara kegiatan disesuaikan untuk mempromosikan kesetaraan gender yang
lebih baik?

HIV/AIDS:
o Apakah strategi sudah menimbang prevalensi HIV/AIDS dan mengurangi risiko penularan yang cocok
secara budaya?
o Dapatkah kegiatan atau cara pelaksanaan disesuaikan agar lebih cocok untuk orang dengan
HIV/AIDS dan mengurangi risiko penularan?
o Apakah standar kehati-hatian telah dilaksanakan secara efektif di seluruh bidang (prioritas pertama
sebelum menimbang kegiatan lain)?
o Apakah pengaturan tempat memastikan kesinambungan pengobatan untuk pasien yang sudah
mendapatkan terapi anti retroviral?
o Apakah strategi pencegahan yang sudah ada sebelum krisis dipertahankan?

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 49
Lingkungan:
o Apakah strategi dan cara pelaksanan yang diusulkan sudah memastikan perlindungan lingkungan
dan sumber daya alam?
o Apakah mungkin kegiatan tidak menghasilkan sampah yang tidak perlu?
o Dapatkah kegiatan atau cara pelaksanaan disesuaikan agar lebih melindungi lingkungan?

Dukungan psikososial:
o Apakah strategi yang diusulkan melibatkan suatu layanan yang terkoordinasi dan terpadu yang
mencakup pemberian dukungan psikososial dasar kepada masyarakat terdampak?
o Apakah strategi yang diusulkan memungkinkan pengerahan, kepemilikan, pengendalian,
kemandirian, dan dukungan komunitas serta praktik penyembuhan budaya?
o Apakah strategi dan cara pelaksanaan yang diusulkan sudah mempertimbangkan pertimbangan
sosial (bantuan untuk semua yang menghargai martabat, pertimbangkan praktik budaya dan
sumberdaya komunitas yang ada)?

III.3.5 Mengembangkan (dalam situasi krisis) Rencana Kontinjensi


Rencana kontijensi yang disebut di sini adalah rencana kontijensi “saat-krisis” yang disiapkan untuk
menangani peristiwa-peristiwa mendatang yang dapat terjadi (“kontinjensi”) yang bisa semakin
memperumit situasi saat ini.

Beberapa prinsip dasar


 Peristiwa-peristiwa yang berdampak lebih jauh terhadap kesehatan penduduk atau pada operasi
bantuan kemanusiaan yang sedang berlangsung pada bulan-bulan mendatang harus diantisipasi.
 Rencana kontijensi harus disiapkan untuk merespons ancaman kesehatan baru yang mungkin dan
untuk memastikan sebanyak mungkin, kontinyuitas layanan dan bantuan kemanusiaan kepada
penduduk sasaran. Rencana tersebut harus disertakan sebagai tambahan pada strategi respons
krisis kesehatan.

Peristiwa-peristiwa (kontijensi) yang mungkin harus diantisipasi termasuk, misalnya:


 bencana sekunder: kejadian ulang bahaya primer dan fenomena sekunder seperti epidemic penyakit
menular atau musim siklon mendatang;
 situasi keamanan yang memburuk, terutama kemungkinan konflik baru dapat mempengaruhi
fasilitas kesehatan tertentu, menyebabkan pengungsian penduduk (lebih jauh), atau mengganggu
koridor suplai;
 kehancuran rantai suplai dalam negeri akibat layanan provinsi yang berlebihan.

CATATAN: Variasi musiman seperti musim hujan dan musim kemarau, dan efeknya terhadap pola
penyakit serta pemberian dan akses layanan, juga harus diperhitungkan, akan tetapi ini harus
iintegrasikan ke dalam strategi respons krisis kesehatan dasar. Rencana darurat harus mencakup
peristiwa yang lebih luar biasa lainnya.

Upaya Klaster Kesehatan

Bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan dan para pemangku kepentingan lainnya:
 Mengidentifikasi dan memprioritaskan kemungkinan kontinjensi yang, pada bulan-bulan mendatang,
bisa berdampak terhadap:
- Kesehatan penduduk; atau
- Operasi bantuan kemanusiaan yang sedang berlangsung di sector kesehatan.
 Menentukan di dalam klaster, berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan dan para pelaku
kesehatan utama lainnya, bagaimana peristiwa tersebut akan dikelola - bagaimana kebutuhan
kesehatan baru akan direspons dan bagaimana dukungan dan layanan operasional akan
dipertahankan jika/ketika peristiwa tersebut terjadi.
 Memperkirakan sumber daya tambahan - manusia, material, keuangan - yang mungkin diperlukan
untuk menanggapi situasi baru, menentukan bagaimana hal tersebut dimobilisasi dan tempat untuk
menempatkan persediaan.
 Memastikan pemantauan rutin persediaan cadangan dan penggantiannya setiap kali dibutuhkan.
 Menyusun rencana kontinjensi klaster kesehatan bersama yang menggambarkan skenario yang
diantisipasi, menentukan pengaturan untuk kajian dan perencanaan bersama segera, menguraikan

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 50
strategi respons, tindakan dan sumber daya yang mungkin akan dibutuhkan, dan memberikan peran
dan tanggung jawab khusus untuk aksi jika/ketika peristiwa tersebut terjadi dan langkah-langkah
kesiapsiagaan segera.
 Menyebarkan rencana kepada semua pemangku kepentingan dan memastikan bahwa semua mitra
klaster melakukan tindakan yang diperlukan secara internal supaya siap dalam memenuhi
peran/tanggung jawab mereka jika/ketika peristiwa tersebut terjadi. Jika dibutuhkan, siapkan
proyek-proyek khusus untuk meningkatkan kesiapan dan berupaya untuk memobilisasi sumber-
sumber yang diperlukan dari donor.
 Secara reguler mereview (i) daftar kontijensi dan skenario yang mungkin, dan (ii) rencana kontijensi.
Memperbaruinya ketika diperlukan.

III. 4 Memastikan Standar Melalui Monitoring, Evaluasi dan Pembelajaran

Hal-hal yang perlu diperhatikan:


 Bertujuan untuk cakupan yang berkualitas tinggi.
 Membangun konsensus mengenai penerapan praktik terbaik.
 Memonitor penerapan/implementasi dari intervensi berbasis bukti.Mempromosikan lingkungan yang
memungkinkan untuk implementasi/penerapan praktik berbasis bukti.

Hasil Klaster Kesehatan yang Diharapkan


 Standar, protokol, dan panduan yang disepakati untuk penyediaan perawatan kesehatan dasar;
format standar untuk pelaporan.
 Bahan Pelatihan dan Kesempatan yang tersedia untuk semua mitra untuk meningkatkan ketrampilan
dan standar penyediaan pelayanan, sesuai kebutuhan.

“Kesenjangan” Umum dalam kaitannya dengan standar penyediaan Layanan kesehatan


Temuan dari studi kasus 10 negara (2004-07)
Contoh-Contoh Langkah yang Diusulkan
Gizi Buruk Menciptakan keterkaitan antara sektor kesehatan
Gizi buruk akut global di antara anak-anak usia 6- dan mekanisme koordinasi gizi.
59 bulan sering berlebihan, bahkan dalam keadaan Memastikan data yang memadai untuk pembuatan
darurat yang sangat lama dan situasi pemulihan keputusan mengenai kelaziman gizi buruk.
awal. Menyebarkan panduan operasional kepada para
Perawatan kesehatan untuk penderita kekurangan mitra, bersama dengan mitra gizi, dengan berfokus
gizi tidak selalu sesuai dengan standar pada perawatan berbasis masyarakat (termasuk
internasional, khususnya pengobatan malaria rutin perawatan terapis berbasis masyarakat dan
di pusat-pusat pemberian makanan terapis. promosi menyusui).
Sebagai contoh, kematian karena malaria sangat
tinggi di satu pusat terapi pemberian makanan.
Promosi untuk menyusui masih kurang memadai.
Penyakit yang Ditularkan melalui Air Menciptakan keterkaitan antara sektor kesehatan
Kurangnya pencegahan, promosi kebersihan, dan dan mekanisme koordinasi Air, Sanitasi dan
pengelolaan klinis yang terstandar dari diare, Kebersihan (WASH) untuk memastikan akses
dengan keterkaitan pada kegiatan-kegiatan WASH. terhadap air memenuhi standar minimum
Akses yang kurang memadai untuk kuantitas air internasional, dan untuk mengembangkan dan
yang aman di banyak rangkaian. menyebarluaskan standar dan Panduan
operasional promosi kebersihan dan pengelolaan
diare.
Campak Mengorganisir vaksinasi campak masal yang
Cakupan vaksinasi campak tidak sesuai dengan dimonitor dengan baik bersama-sama dengan
standar internasional, terutama dalam situasi lembaga-lembaga dan otoritas nasional dimana
bukan di kamp. ditemukan indikasinya. Memperkuat program
vaksinasi rutin sebagaimana diindikasikan oleh
fasa tanggap darurat.
Wabah Menunjuk satu lembaga untuk mengkoordinasikan
Pelaporan yang tidak standar dan definisi kasus, pengawasan penyakit, deteksi wabah dan tanggap
tidak ada analisa nyata dan feedback yang lambat. darurat. Membuat perencanaan untuk respon
Konfirmasi laboratorium yang lambat mengenai wabah, termasuk identifikasi laboratorium (lokal,

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 51
wabah. Waktu respon yang lambat (lebih dari 48 nasional, internasional) untuk konfirmasi.
jam). Pembangunan secepatnya sistem Peringatan Dini
dan Tanggap Darurat. Membangun stok pasokan
kontingensi untuk tanggap darurat.
Malaria Mengembangkan dan menyebarluaskan standar
Kurang adanya pencegahan dan pengobatan dan panduan operasional, advokasi untuk Panduan
malaria yang terstandar, sesuai dengan pengaturan pengobatan berbasis bukti, dan rencana dukungan
epidemiologi dan fasa respon, dan untuk kelompok tambahan untuk pasokan obat-obatan dan bahan
khusus seperti penderita gizi buruk parah. yang diperlukan.

Contoh-contoh Langkah yang Diusulkan


Kesehatan Reproduksi (termasuk obstetri) Menyebarluaskan paket dasar perawatan fasa
Angka kematian ibu yang tinggi dengan akses khusus di antara para mitra (termasuk distribusi
terbatas pada perawatan obstetri darurat dan perlengkapan persalinan yang bersih kepada
perawatan kesehatan reproduksi yang perempuan hamil dalam keadaan darurat akut dan
komprehensif. mempromosikan persalinan di fasilitas kesehatan
dengan praktisi yang terlatih dengan keadaan yang
lebih stabil).
Bentuk Kekerasan Berbasis Gender (GBV) Memastikan bahwa sektor kesehatan berpartisipas
Kurangnya upaya multisektor untuk mencegah dan dalam strategi lintas sektoral untuk mencegah dan
menanggapi GBV (koordinasi lintas sektoral yang menanggapi GBV.
buruk).
Mengembangkan dan menyebarluaskan prosedur
operasi standar (SOP) untuk GBV termasuk
identifikasi peran dan tanggungjawab pelaporan
terstandar, pengelolaan klinis pengelolaan info dan
rujukan

Berkolaborasi dengan Klaster Perlindungan dan


mendefinisikan ‘kerangka kerja lokal’ untuk
langkah-langkah pencegahan dan untuk dukungan
hukum dan psikososial awal dalam tanggap
darurat.

HIV/AIDS & Infeksi Menular Seksual (IMS) Menginisiasi paket layanan minimum berbasis
Layanan untuk pencegahan dan perawatan Masyarakat untuk pencegahan IMS dan HIV, yang
HIV/AIDS diabaikan, tidak memadai, dan tidak sensitif gender dan umur.
terintegrasi ke dalam pelayanan kesehatan.
Kurangnya pencegahan dan pengobatan yang Memberikan pasokan yang memadai untuk
sesuai usia dan gender untuk IMS dan HIV/AIDS, pencegahan, diagnosa dan pengobatan, termasuk
yang terkoordinasi dengan sektor-sektor lainnya. obat-obatan antiretroviral bila perlu.
Pembuangan limbah tidak selalu aman.
Memberikan kondom secara tepat melalui berbagai
Transfusi darah tidak selalu aman. saluran untuk memastikan akses universal.
Mengembangkan dan menyebarluaskan standar
dan Panduan operasional untuk implementasi dan
memonitor pembuangan limbah dan transfusi
darah yang aman.
Dukungan psikososial dan Kesehatan Jiwa Berkolaborasi dengan Klaster Perlindungan dan
Perencanaan khusus tahapan untuk dukungan mendefinisikan “kerangka kerja lokal” untuk
psiko-sosial dan kesehatan jiwa yang tidak teratur bantuan psiko-sosial dan kesehatan mental dini
atau tidak ada, terutama untuk pengelolaan dalam tanggap darurat. Dalam fasa darurat,
ketergantungan alkohol. Kurangnya pendekatan tindakan terutama harus bersifat sosial, dengan
berbasis Masyarakat terhadap kesehatan mental. pekerja Masyarakat menggalang bantuan sosial dan
memberikan pertolongan pertama psikologis,
sekaligus melindungi penderita gangguan jiwa
parah.
Penatalaksanaan Jenazah (forensik) Menyebarluaskan standar dan Panduan
Pemakaman jenazah yang tidak pantas secara operasional.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 52
sosial dan budaya, kuburan massal.
Mengadvokasi dengan otoritas nasional untuk
pemakaman yang layak secara budaya sesuai
dengan yang diindikasikan.

III.4.1 Memastikan standar: promosi praktik baik


Kualitas sangat penting jika respon kesehatan darurat adalah untuk mengurangi angka kematian dan
kesakitan. Contohnya, jika kampanye vaksinasi campak tidak mencapai 95% maka upaya untuk
mencegah risiko wabah campak telah gagal. Kualitas pelayanan juga merupakan penentu kunci dari
manfaat pelayanan kesehatan, yang sangat penting dalam keadaan darurat.

Beberapa prinsip Dasar


 Pelayanan dan Kegiatan dari semua pelaku kesehatan seharusnya sesuai dengan Panduan dan
kebijakan pengobatan nasional tetapi, dimana ini tidak sesuai dengan bukti global terbaru atau
praktik-praktik yang direkomendasikan, BNPB dan Koordinator Klaster Kesehatan harus
memfasilitasi dialog antara para pemangku kepentingan untuk menyepakati penerapan praktik-
praktik terbaik dan meningkatkan Panduan dan kebijakan nasional yang relevan.
 Ketika Panduan dan protokol ada tetapi tidak diimplementasikan, atau dipraktikkan, secara luas di
tingkat fasilitas dan komunitas, upaya harus diarahkan pada peningkatan pengetahuan dan praktik
dan memonitor implementasi standar dan protokol pada tingkat fasilitas dan komunitas.

Untuk keperluan Klaster, Standar Nasional Indonesia Nomor 7937 Tahun 2013 tentang Layanan
Kemanusiaan dalam Bencana yang sudah mengadopsi Piagam Kemanusiaan dan Standar Minimal dalam
Respons Kemanusiaan dari Proyek Sphere (2011, Bab 4 tentang Kesehatan) merupakan referensi kunci
tetapi bukan satu-satunya. Yang lainnya diindikasikan dalam tabel di bawah ini.

Upaya Klaster Kesehatan


 Memastikan bahwa panduan nasional diketahui oleh semua pelaku kesehatan.
 Menyepakati standar dan praktik terbaik untuk diaplikasikan jika panduan dan kebijakan nasional
tidak sesuai dengan bukti global terbaru atau praktik yang direkomendasikan.
 Memastikan lingkungan yang memungkinkan untuk pelaksanaan praktik kesehatan publik dan klinik
terbaik. Memfasilitasi dan mempromosikan praktik terbaik dan standar perawatan.
 Mengatur persiapan dan penyebarluasan panduan tehnis dan mengorganisir pelatihan bersama, jika
diperlukan.
 Memastikan bahwa sistem pemantauan dan pengawasan mengumpulkan dan menyusun data yang
diperlukan untuk memonitor penerapan standar.
 Bersama-sama memonitor implementasi standar yang disepakati/nasional dan membagi pengalaman
dengan maksud untuk mencapai standar pelayanan tinggi secara konsisten untuk semua komunitas.
Jika dianggap berguna, para ahli yang relevan dengan isu-isu krisis/penanggulangan bencana bisa
diundang untuk memberikan bantuan yang tepat untuk integrasi yang efektif dari masalah tersebut
dalam semua kegiatan klaster kesehatan.

Aksi Sub-Klaster Kesehatan


 Memastikan semua mitra menyadari prioritas dan kebijakan kesehatan nasional, praktik terbaik dan
protokol internasional, dan relevansinya dalam situasi yang berlaku. Mendorong mereka untuk
menghargai kebijakan dan protokol itu dan untuk menjaga dan memperkuat kapasitas lokal dengan
maksud untuk mengembangkan pelayanan (termasuk informasi kesehatan/sistem peringatan dan
fasilitas kesehatan) yang berkelanjutan dalam jangka panjang.
 Mencegah organisasi apapun dari tindakan yang tidak konsisten dengan standar yang sudah
ditetapkan.
 Jika terjadi ketidaksepakatan tentang standar perawatan, memfasilitasi dialog dengan tujuan
memastikan bahwa perawatan “terbaik” tersedia secara adil untuk semua komunitas.
 Memastikan bahwa data tersebut secara sistematis didasarkan pada jenis kelamin dan umur dan
bahwa mitra kesehatan dibantu dalam pengumpulan data, jika diperlukan.
 Menciptakan kesempatan untuk membagi pembelajaran dan data analisa bersama tentang kinerja
pelayanan.
 Memonitor indikator-indikator status kesehatan dan ketentuan pelayanan kesehatan publik dan, jika
diperlukan, menarik perhatian pada perbedaan dari standar nasional dan praktik terbaik

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 53
internasional dan menyarankan apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan standar. Memastikan
bahwa indikator-indikator tersebut sensitif gender.
 Mengatur briefing untuk organisasi baru yang baru tiba di negara tersebut untuk bekerja di sektor
kesehatan; jika diperlukan, membantu Kementerian Kesehatan untuk mengatur briefing tersebut. Ini
mungkin termasuk:
– Profil epidemiologi negara, program dan kebijakan kesehatan nasional, dan cakupan pelayanan
kesehatan sebelum situasi-darurat;
– Ahli internasional dan nasional yang tersedia (misalnya penyakit tropis khusus negara yang
mungkin diluar pengalaman beberapa LSM asing);
– Struktur Kementerian Kesehatan dan daftar poin-poin focal kesehatan dalam organisasi lain;
– Rincian pengaturan untuk koordinasi kesehatan darurat.

Koordinator Klaster kesehatan dapat memberikan saran kepada tim bantuan asing yang baru di
Indonesia tentang langkah-langkah perlindungan kesehatan mereka sendiri dan mencoba memastikan
bahwa mereka mempunyai pengaturan untuk evakuasi medis darurat.

Tabel di bawah ini merangkum beberapa praktik terbaik.

Praktik Baik yang Direkomendasikan oleh sub-klaster


Pelayanan  Paling tidak 1 unit kesehatan dasar per 10 000 jiwa.
Kesehatan  Pelayanan Obstetri Dasar (PONED), menyediakan 6 fungsi sinyal, tersedia pada
Umum level Pusat Kesehatan, berjumlah 1/30 000 jiwa.
 Standar yang direkomendasikan adalah dari 1 layanan yang menyediakan
Pelayanan Obstetri Komprehensif (PONEK) dan 4 layanan yang menyediakan
PONEK untuk 500 000 jiwa tetapi, dalam keadaan konflik, layanan harus tersedia
sedekat mungkin dengan penduduk karena rujukan bisa jadi tidak mungkin.
 Peran praktisi medis level-menengah (perawat, bidan, petugas kesehatan)dalam
ketentuan pelayanan kesehatan kuratif ditingkatkan.
 Peran Kader Kesehatan dalam ketentuan perawatan kuratif untuk penyakit pada
anak-anak misalnya pengelolaan kasus-masyarakat untuk pneumonia di tempat
terpencil, strategi potensial untuk mencapai masyarakat yang tersebar di daerah
terpencil dan kamp-kamp pengungsian yang tidak terjangkau.
 Pengujian risiko untuk wabah penyakit.
Kesehatan  Anak-anak dengan pneumonia mempunyai akses yang cukup pada pengobatan
Anak-anak dalam 24-48 jam gejala.
 Suplemen Zinc untuk pengobatan diare pada anak-anak.
 Suplemen Vitamin A untuk semua anak di bawah 5 tahun.
 Garam rehidrasi oral tersedia di rumah-rumah.
 Pengobatan Malaria– terapi kombinasi berbasis artemisin (ACT) direkomendasikan,
dengan tes diagnosa cepat atau diagnosa mikroskopik.
Gizi  Pengelolaan kasus dengan kasus gizi buruk akut parah di tingkat pusat kesehatan
(puskesmas).
 Jika tingkat gizi buruk akut di atas standar nasional atau >10 GAM dan >1 SAM –
berkoordinasi dengan Klaster Gizi untuk inisiasi pengelolaan kasus Masyarakat
yang memungkinkan untuk gizi buruk akut.

Sub-sektor Praktik yang Baik


Penyakit  Sistem Peringatan Dini dan Respons dibangun, termasuk pengumpulan data dari
Menular penyedia layanan kesehatan, analisa data dan penyebarluasan.
 Respon wabah dimulai dalam 24-48 jam dari pelaporan kasus.
 Angka fatalitas kasus selama wabah kolera dan campak <1%.
 Kampanye vaksinasi campak dilakukan dengan tujuan untuk mencapai >95%
jangkauan di antara anak-anak berusia 6 sampai 59 bulan.
IMS &  Tindak Pencegahan Standar pada level fasilitas.
HIV/AIDS  Kesinambungan ART untuk mereka yang dalam pengobatan (restocking).
 Transfusi darah yang aman.
 Kondom gratis tersedia dan dapat diakses oleh masyarakat.
 Manajemen kasus Sindromik dari Infeksi Menular Seksual (IMS).
 Tes cepat untuk sifilis sebagai bagian dari ANC terfokus.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 54
 Memulai PMTCT dalam keadaan dimana HIV/AIDS merupakan penyebab utama dari
kematian (misalnya sub-Sahara Africa).
Kesehatan  Paket layanan awal minimal (PPAM).
Ibu dan bayi  Ketentuan dari peralatan persalinan yang bersih untuk perempuan hamil dengan
baru lahir konseling mengenai bagaimana menggunakan peralatan tersebut dan rencana
kesiapsiagaan kelahiran.
 Perawatan segera pasca melahirkan (ibu& bayi) dalam 24-48 jam sesudah melahirkan
oleh tenaga medis (atau pekerja kesehatan masyarakat yang terlatih).
 Ketentuan dari fungsi sinyal PONEK pada tingkat pusat kesehatan.
 Ketersediaan mekanisme rujukan, dengan perhatian khusus pada PONEK.
 Bahan resusitasi bayi baru lahir dan staf terlatih yang cukup memadai di semua
bagian persalinan layanan kesehatan dan staf terlatih pada perawatan bayi baru
lahir termasuk resusitasi bayi baru lahir.
 Bertujuan untuk meningkatkan proporsi persalinan pada tingkat fasilitas

Sub-sektor Praktik Baik yang Direkomendasi

Kekerasan  Tenaga medis mempunyai ketrampilan untuk secara medis mengurus kasus-kasus
Seksual kekerasan seksual.
 PEP untuk HIV/AIDS, pengobatan IMS, vaksin hepatitis B, kontrasepsi darurat –
tersedia dari level unit kesehatan dasar dengan tanpa stock-out.
 Ketentuan dari, atau program yang terhubung dengan, bantuan psiko-sosial.
Penyakit Tidak  Penyelamatan dan evakuasi, pertolongan pertama, dan kebutuhan perawatan bedah
Menular, segera tersedia setelah bencana alam seperti gempa bumi.
Cedera dan  Re-stocking pasokan untuk penyakit kronis dalam keadaan dimana beban penyakit
Kesehatan kronis tinggi.
Mental  Melindungi dan merawat orang-orang dengan gangguan mental dan yang lainnya di
dalam lembaga-lembaga.
Kesehatan  Sistem pembuangan limbah medis dan aman dan tepat pada tempatnya di semua
Lingkungan fasilitas.
 Staf terlatih fasilitas kesehatan pada tindakan pencegahan standar.

III.4.2 Mendefinisikan dan memenuhi kebutuhan pelatihan: pengembangan kapasitas

Pelatihan untuk pekerja kesehatan dan pembantu yang lain sering kali perlu meningkatkan standar
terutama selama situasi krisis yang berkepanjangan. Kegiatan peningkatan kapasitas termasuk
pengembangan kebijakan dan sistem dan peningkatan peralatan sering kali diperlukan untuk
memfasilitasi pemulihan terutama pada situasi kritis yang kompleks (terkait konflik).

Beberapa Prinsip Dasar


 Semua pelatihan harus dirancang untuk memenuhi kesenjangan tertentu dalam kinerja atau
ketentuan layanan dan didasarkan pada penilaian kebutuhan pelatihan.
 Standar, norma, kurikulum, dan bahan pelatihan nasional harus digunakan sebagai platform awal
dan diperbarui, diintegrasikan atau disederhanakan dalam konsultasi dengan otoritas kesehatan
lokal/nasional.
 Pelatihan harus dikoordinasikan di antara pelaku kesehatan untuk memastikan konsistensi yang
masuk akal dalam isi dan standarnya.
 Selama periode respon awal, berfokus mendukung implementasi prioritas seperti Paket Pelayanan
Awal Minimal Kesehatan Reproduksi dan peringatan dini termasuk definisi kasus standar) dan
pelatihan sambil bekerja pada isu-isu kunci di mana terdapat masalah yang tiba-tiba.

Upaya Klaster Kesehatan


 Mengidentifikasikan kebutuhan pelatihan prioritas untuk personel sektor kesehatan lokal
Kementerian Kesehatan dan mitra klaster berdasarkan pada kesenjangan yang teridentifikasikan
dalam kapasitas penyediaan pelayanan dan pelayanan. Termasuk pelatihan untuk penyediaan
pelayanan dan penggunaan peralatan klaster, sesuai kebutuhan.
 Mengkoordinasikan pengembangan (atau pembaruan/penyesuaian) bahan pelatihan berdasarkan
sebanyak mungkin pada kurikulum dan standar nasional dan membuat mereka tersedia untuk
digunakan oleh semua mitra klaster.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 55
 Mengkoordinasikan perencanaan dan implementasi kegiatan pelatihan di antara mitra dan
memfasilitasi acara-acara pelatihan bersama jika memungkinkan.
 Menjaga informasi tetap mutakhir dalam kegiatan pelatihan yang terus berlangsung atau terencana,
atau sudah selesai.
 Mengidentifikasikan peningkatan kapasitas yang lain yang diperlukan untuk memfasilitasi pemulihan
awal; mengkoordinasikan perencanaan dan implementasi dari kegiatan seperti ini di antara para
mitra untuk memaksimalkan penyelesaian.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 56
BAB IV SUMBER DAYA
Sumberdaya dalam klaster kesehatan adalah orang, dana, waktu, metoda kerja atau mekanisme kerja,
dan peralatan.

Sumberdaya klaster dapat berasal dari beragam sumber, antara lain dari internasional, pemerintah,
dunia usaha dan masyarakat.

IV.1 Penggalangan Sumber

Hal yang perlu diperhatikan:


 BNPB/BPBD dan Koordinator Klaster Kesehatan Nasional/Provinsi/Kabupaten/Kota harus
mengadvokasi keseluruhan prioritas dan kebutuhan sektor kesehatan yang tertulis dalam rencana
bersama, dengan menggunakan semua kesempatan yang ada termasuk pertemuan dengan dunia
usaha, masyarakat maupun donor internasional . Hal tersebut dilakukan dengan menekankan
situasi, kesenjangan dan kebutuhan kesehatanyang telah disepakati di dalam kerangka kerja dari
strategi tanggap krisis kesehatan.
 Pengajuan kebutuhan dana bersamadisiapkan melalui proses yang konsultatif, dipimpin oleh
Koordinator Klaster Kesehatan dengan melibatkan sebanyak mungkin anggota Klaster kesehatan.
 Semua mitra klaster kesehatan harus mengadvokasi untuk pemenuhan prioritas sektor kesehatan
yang telah disepakati Bila negara tidak sanggup menangani bencana, maka BNPB harus meminta
Koordinator Kemanusiaan (UNOCHA) untuk mengaktifkan pintu tanggap cepat CERF jika/ketika
indikatornya menunjukkan bahwa situasi kesehatan makin memburuk dan ada kebutuhan untuk
intervensi darurat segera; sedangkan tidak ada sumber lain yang dapat dimobilisasi dengan cepat.
 Bila kesenjangan kritis terus bertahan meskipun ada upaya-upaya bersama untuk mengatasinya,
BNPB bertanggungjawab untuk bekerja sama dengan otoritas nasional, Koordinator Kemanusiaan dan
para donor untuk mengadvokasi aksi yang tepat untuk diambil oleh pihak-pihak terkait dan untuk
memobilisasi sumber daya yang diperlukan untuk tanggap darurat yang tepat dan memadai.

Hasil Klaster Kesehatan yang Diharapkan


 Pengerahan sumberdaya sektor kesehatan yang disepakati
 Rencana dan Strategi Advokasi Bersama
“Kesenjangan” Umum dalam Kaitan dengan Sumber Daya
Temuan dari studi kasus 10 negara (2004-07)
Contoh-contoh Langkah yang Diusulkan
Sumber daya yang tidak memadai untuk Advokasi donor dan Pemerintah dan Pemerintah
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 57
mengimplementasikan aksi penting untuk Daerah untuk alokasi sumber daya yang lebih
meminimalisir kesakitan dan kematian yang dapat transparan dan lebih besar. Meningkatkan basis
dihindari. bukti untuk advokasi seperti melalui penilaian atau
Dalam fasa akut, diperparah oleh evaluasi bersama, dan penyebarluasan hasilnya.
ketidakfleksibelan dana darurat, dan kurangnya Mendorong liputan media populer, termasuk oleh
transparansi dalam penyaluran ke LSM. tokoh-tokoh seperti ‘duta keliling’.
Kesenjangan Sumber Daya sering dilaporkan
ketika bergerak dari situasi darurat ke tahap awal Menghindari penggunaan user-fee, yang di
pemulihan. kebanyakan keadaan tidak akan mengeluarkan dana
yang cukup untuk meningkatkan kualitas dan
jangkauan dan akan mempengaruhi masyarakat
miskin secara proporsional.

IV.2 Permintaan Bantuan

Untuk tingkat nasional, Permintaan Bantuan (Flash appeal )merupakan alat tanggap kemanusiaan
terkoordinasi untuk jangka tiga sampai enam bulan pertama situasi darurat dan memobilisasi sumber
daya yang diperlukan dari donor. BNPB mencetuskan permintaan bantuan dalam konsultasi dengan
semua pemangku kepentingan dan mendefinisikan kerangka waktu untuk persiapan.

Biasanya, BNPB dan UNOCHA harus menyelesaikan satu rancangan dalam waktu 5 sampai 7 hari dari
sejak timbulnya krisis. Pengajuan tersebut kemudian disampaikan oleh OCHA di Geneva sekitar 48 jam
kemudian. Biasanya, terdapat revisi terjadwal sekitar sebulan kemudian berdasarkan pada informasi
tambahan dan termasuk proyek-proyek pemulihan lebih dini. (Flash appeal dapat dikembangkan menjadi
pengajuan terkonsolidasi jika tanggap darurat lintas lembaga diperlukan dalam kurun waktu 6 bulan)

Di tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota, pengajuan permintaan bantuan disampaikan oleh Kepala BPBD


Provinsi/Kabupaten/Kota setelah berkonsultasi dengan para pemangku kepentingan di
Provinsi/Kabupaten/Kota. Prosesnya sudah diatur oleh BNPB dalam PERKA BNPB.

Beberapa Prinsip Dasar


 Di tingkat nasional, Koordinator Klaster Kesehatan menyerahkan rencana tanggap darurat awal sektor
kesehatan kepada UNOCHA melalui WHO
 Di tingkat Provinsi/ Kabupaten/ Kota, Koordinator Klaster Kesehatan menyampaikan rencana tanggap
daruruat awal sektor kesehatan kepada BPBD Provinsi/Kabuapten/Kota. ,
 Rencana tanggap darurat harus mencakup strategi tanggap krisis kesehatan awal, pernyataan
mengenai peran dan tanggungjawab, dan garis besar proyek yang diusulkan secara khusus– semua
berdasarkan pada informasi yang tersedia, perkiraan awal dan prediksi-prediksi terbaik.
 Rencana tanggap darurat awal harus fokus pada kebutuhan penyelamatan mendesak ditambah
dengan proyek pemulihan awal apapun yang dapat diindentifikasi, direncanakan dan
diimplementasikan pada beberapa bulan pertama.

Upaya Klaster Kesehatan


Koordinator Klaster Kesehatan harus :

 Mengajak seluruh pelaku kesehatan dan memfasilitasi proses untuk:


- Menganalisa informasi penilaian yang ada dan menyepakati strategi tanggap darurat awal ;
- Memeriksa proyek-proyek yang diajukan oleh organisasi-organisasi individu; dan
- Membangun konsensus pada proyek-proyek yang akan dimasukkan dalam proposal pengajuan
pendanaan, untuk memastikan bahwa mereka seluruhnya relevan, prioritas tinggi, terkoordinasi
dan layak.
 Menulis rencana dalam format dokumen pengajuan yang diminta.
 Berhubungan dengan klaster lain– untuk memastikan bahwa semua kegiatan yang berhubungan
dengan kesehatan saling melengkapi dan mengatasi masalah prioritas secara tepat.

Bila terjadi bencana tingkat nasional, rancangan sektor kesehatan harus diserahkan ke BNPB dalam
waktu 3 atau 4 hari.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 58
Kegiatan Syarat/Kondisi
Kriteria: Kegiatan yang mempunyai dampak cepat terhadap kesehatan penduduk yang terkena kondisi
darurat.
Koordinasi aspek-aspek kesehatan dalam konteks bencana Sebagai bagian dari inisiatif yang lebih
alam dan situasi darurat yang kompleks. luas (ini bisa dimasukkan dalam
keseluruhan koordinasi lintas sektoral).
Pengawasan penyakit dan penyebarluasan informasi Tindakan deteksi kasus dan pengawasan
kesehatan kritis dan dan reagen kesehatan untuk diagnosa epidemiologi melalui sistem peringatan
dini dini yang sudah ada.
Memastikan akses yang tepat waktu dan adil untuk fasilitas
pelayanan kesehatan Darurat, termasuk: pembangunan
fasilitas dan sistem bantuan, staf kesehatan inti, obat-obatan
pelengkap, peralatan dasar, biaya yang dan rujukan individu
untuk perawatan kesehatan sekunder.

Penyediaan, distribusi, dan penambahan stok darurat yang


mempunyai perputaran cepat. Semua ini dalam keadaan tanggap
Dukungan psiko-sosial dan obat-obatan untuk korban darurat khusus.
perkosaan. Termasuk alat-alat PEP dan kontrasepsi darurat.
Manajemen Korban Massal.
Mengatasi kondisi yang mengancam nyawa berhubungan
dengan penyakit menular (imunisasi, pengendalian wabah).
Risiko Ibu dan bayi yang baru lahir, intervensi darurat
terhadap kesehatan reproduksi (termasuk penyediaan alat-
alat kesehatan reproduksi berdasarkan pada Paket Pelayanan
Awal Minimum).
Perawatan Kesehatan Tingkat Sekunder Dalam basis kasus-per-kasus
Bantuan Psikososial untuk korban keadaan darurat. Dalam basis kasus-per-kasus
Kesadaran Kondisi Darurat HIV/AIDS dan penyediaan bahan Dalam basis kasus-per-kasus dan hanya
pendidikan/kondom. dalam keadaan bencana alam atau
Konseling, Pengetesan, dan Pengobatan HIV untuk kelompok keadaan darurat yang kompleks.
rentan.

IV.3 Menyiapkan Penerapan CERF dalam Bidang Kesehatan


Pusat Dana Tanggap Darurat (CERF) merupakan dana siap pakai PBB untuk memungkinkan bantuan
kemanusiaan yang adil, bisa diandalkan, dan lebih tepat waktu bagi korban bencana alam dan jenis
keadaan darurat lainnya. Ini dimaksudkan untuk melengkapi – bukan menggantikan– pengajuan
terkonsolidasi dan flash appeal. Terdapat dua pintu pendanaan:
 Tanggap Cepat– CERF bisa menyediakan dana benih untuk memulai dengan cepat operasi kritis.
 Keadaan Darurat yang Kekurangan Dana – CERF dapat mendanai proyek-proyek penyelamatan
nyawa dalam situasi darurat yang sedang berlangsung yang kekurangan dana (proyek-proyek
prioritas yang belum tercakup oleh donor-donor lain).

Dana tersebut dimaksudkan untuk mendukung tanggap darurat pada umumnya tetapi LSM-LSM tidak
memenuhi syarat untuk mengakses dana CERF secara langsung. Hanya lembaga-lembaga PBB yang
dapat mengajukan permohonan dana CERF. BNPB (atau lembaga PBB yang terkait jika Koordinator
Klaster Nasional-nya bukan lembaga PBB) dapat– dan harus– mengumpulkan dan mengajukan proposal
yang menggabungkan kebutuhan pendanaan proyek dari lain, mitra klaster non-PBB.

Lembaga PBB kemudian bertanggungjawab untuk memastikan bahwa dana CERF dialokasikan ke
proyek-proyek LSM yang melewati LSM yang bersangkutan.

Upaya Klaster Kesehatan


 Membuat pengajuan CERF sejalan dengan flash appeal tersebut. Pengajuan tersebut berfungsi
sebagai analisa kontekstual untuk aplikasi CERF.
 Memilih dari flash appeal proyek dengan prioritas tinggi yang belum menerima indikasi jelas bantuan
donor: organisasi yang bersangkutan kemudian harus mempersiapkan rangkuman singkat proyek
tersebut dalam format CERF.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 59
 Menyerahkan paket kesehatan kepada HC untuk dimasukkan dalam keseluruhan permohonan CERF.

IV.4 Menyiapkan, Memantau dan Mengulas suatu “Permintaan Bantuan Bersama”


Pengajuan terkonsolidasi lebih dari dokumen pengumpulan dana. Ini juga dimaksudkan sebagai alat
untuk merencanakan, mengkoordinasikan, mengimplementasikan, dan memonitor kegiatan bantuan
kemanusiaan sebagai tanggapan terhadap bencana alam atau keadaan darurat kompleks atau besar.
Pengajuan terkonsolidasi dipersiapkan ketika Koordinator Bantuan Darurat (ERC) dan IASC
memutuskan, dengan berkonsultasi dengan Koordinator Bantuan Kemanusiaan dan Tim Nasional IASC
bahwa pendekatan terkonsolidasi untuk mobilisasi sumber daya diperlukan.

Beberapa Prinsip Dasar

 Pengajuan Konsolidasi dikembangkan di antara lembaga-lembaga di lapangan, dipimpin oleh Klaster


Kesehatan. Proses ini biasanya memakan waktu sekitar satu bulan.

Koordinator Klaster Kesehatan dan Mitra klaster kesehatan:


 Berkontribusi pada pengembangan (oleh BNPB dan OCHA) dari keseluruhan prioritas lintas sektoral
dan strategi tanggap darurat;
 Mempersiapkan bagian kesehatan dan rencana aksi bersama dan mengajukan serangkaian proyek
yang sesuai dengan prioritas dan stategi yang telah disepakati;
 Memonitor kontribusi terhadap unsur-unsur kesehatan dari pengajuan tersebut dan melakukan kajian
tengah tahun.

Pemantauan tengah-tahun harus:


 mengukur kemajuan yang dibuat dalam mencapai tujuan dan sasaran Rencana Aksi Bersama dan
melaporkan temuan kepada pemangku kepentingan;
 menentukan apakah strategi yang disepakati memberikan dampak yang diinginkan atau tidak, dan jika
perlu mengubah strategi untuk menyesuaikan dengan kondisi baru;
 memperbarui portfolio proyek;
 memprioritas ulang proyek dan kegiatan tanggap kemanusiaan;
 menganalisa pendanaan dan, dengan dasar itu, mengadvokasi bantuan donor.

Upaya Klaster Kesehatan


Mempersiapkan Pengajuan Terkonsolidasi
 Mengadakan pertemuan perencanaan klaster kesehatan– atau membentuk kelompok perencanaan–
untuk mempersiapkan proposal khusus. Pertemuan/Kelompok tersebut harus diketuai oleh satu
lembaga PBB dan satu LSM.
 Mempersiapkan bagian kesehatan dari Rencana Aksi Bersama
 Menyepakati kriteria yang jelas untuk pemilihan proyek untuk dimasukkan dalam pengajuan tersebut.
 Organisasi yang berpartisipasi dalam pengajuan tersebut mempersiapkan satu halaman Lembar Proyek
sesuai dengan Panduan Tehnis Rencana Aksi Bersama dan menyerahkannya kepada Ketua dan Wakil
Ketua Pertemuan/Kelompok Perencanaan. Proyek tersebut harus membahas prioritas yang telah
disepakati dan berkontribusi dalam mencapai sasaran tertentu dalam strategi tanggap krisis
kesehatan.
 Menyepakati proyek tersebut untuk dimasukkan dalam pengajuan tersebut berdasarkan pada kriteria
yang sudah disepakati sebelumnya.
 Berhubungan dengan klaster lain untuk memastikan bahwa seluruh kegiatan yang berhubungan
dengan kesehatan publik saling melengkapi dan mengatasi problem prioritas dengan tepat.

Melacak Kontribusi Terhadap Sebuah Pengajuan (Monitoring)


 Menggunakan database Financial Tracking Service (FTS) untuk melacak kontribusi terhadap unsur-
unsur kesehatan dari pengajuan tersebut.

FTS merupakan database nyata, online, global dari kontribusi dan kebutuhan dana kemanusiaan. Ini
menyediakan serangkaian tabel analisis yang menunjukkan aliran bantuan kemanusiaan untuk krisis
tertentu dan memungkinkan users untuk membuat tabel custom berdasar permintaan.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 60
Melakukan Pemantauan Tengah -Tahun
 Mengkaji sektor kesehatan berdasarkan informasi mutakhir dari penilaian dan monitoring, dan
mengajukan penyesuaian jika diperlukan.
 Mengkaji semua proyek yang diajukan dalam RAB dan memvalidasi bahwa masing-masing tetap
relevan (belum menjadi tidak mubazir), layak, dan dianggarkan secara ekonomi. Proposal proyek yang
tidak sesuai dengan persyaratan ini harus dihapuskan, atau direvisi oleh organisasi yang mengajukan.
 Memprioritaskan proyek yang belum didanai dan masih kekurangan dana dengan menggunakan
paling sedikit sistem two-tier (prioritas teratas dan prioritas menengah).
 Memastikan bahwa semua proyek dan proposal yang relevan dipertimbangkan (termasuk proposal LSM
yang relevan meskipun tidak ditunjukkan dalam dokumen pengajuan asli).13

Lembaga-lembaga individu harus memberikan kantor pusat mereka tampilan awal proyek mereka yang
baru atau yang sudah direvisi selama proses pemantauan tengah tahun, untuk mengurangi
kesalahpahaman dan perubahan di menit terakhir.

IV.5 Bekerja dengan Donor; Mengakses Dana dari Sumber Lain

Bekerja sama dengan Donor

Pimpinan Klaster, atas nama klaster dan sektor kesehatan secara keseluruhan, harus:
 Mengambil inisiatif untuk menghubungi perwakilan donor lokal, yayasan dan donor sektor swasta
yang berpotensi yang diwakili di negara tersebut untuk menjelaskan prioritas sektor kesehatan dan
kebutuhan sumber daya. Memetakan kepentingan khusus mereka dan terus memberikan informasi
kepada mereka secara teratur.
 Mendorong donor yang berpotensi untuk berpartisipasi dalam briefing dan pertemuan koordinasi
klaster.
 Mengundang donor untuk mengikuti misi penilaian dan kunjungan lokasi proyek. Mendukung misi
pencarian fakta dari donor bersama.
 Mempersiapkan materi presentasi dan briefing yang singkat, “donor-friendly”, termasuk grafik.
Mempersiapkan dan memberikan presentasi dan materi tehnis terperinci hanya jika diminta oleh donor
tertentu.
 Menghubungkan donor-donor potensial dengan mitra klaster tertentu, jika layak.
 Membuat sistem untuk mencatat kontak dengan donor (proposal yang diberikan, indikasi ketertarikan
yang diterima).

Idealnya, perencanaan bersama dan implementasi terkoordinasi dari kegiatan yang telah disepakat akan
diikuti dengan pelaporan bersama ke donor - persiapan dari laporan narasi bersama harus disampaikan
ke semua donor bersama-sama dengan laporan keuangan terpisah dari setiap organisasi ke setiap donor.
BNPB dan koordinator klaster harus mengajukan ini ke mitra klaster dan donor dan, jika disepakati,
memimpin persiapan keseluruhan laporan narasi berdasarkan pada strategi dan hasil yang diharapkan
yang dipresentasikan dalam pengajuan kilat atau terkonsolidasi.

Mengakses Dana dari Sumber Lain (non-tradisional)


Di dalam keadaan tertentu, dana untuk kemanusiaan dan/atau kegiatan pemulihan awal dapat diperoleh
dari:
 Dana Kemanusiaan Umum (didirikan untuk negara-negara tertentu)
 Dana Hibah Multi Donor
 Dana Stabilitas dan Perdamaian Masyarakat

Untuk kegiatan pemulihan, pendanaan dapat diperoleh melalui mekanisme United Nations Development
Assistance Framework (UNDAF).

Dana juga bisa diperoleh dari yayasan dan sektor swasta.

Pembagian Sumber Daya

13
Proyek-proyek yang sudah didanai tetapi belum dihitung dalam RAB harus diperhitungkan sebagai bagian dari pemantauan tengah tahun
selama mereka konsisten dengan RAB, agar dapat mengukur pendanaan secara akurat terhadap kebutuhan
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 61
Ketika sumber daya “yang terkumpul” tersedia untuk kerja kesehatan:

 Menyepakati di dalam klaster– dalam pertemuan klaster– mengenai kriteria pemilihan kegiatan proyek
di wilayah prioritas dan alokasi sumber daya pada lembaga-lembaga individu;
 Mengundang lembaga-lembaga untuk mengajukan proposal (misalnya dengan menggunakan format
aplikasi) terkait dengan kriteria yang disepakati;
 Membentuk kelompok penilaian proyek termasuk perwakilan dari setiap kelompok pemangku
kepentingan utama (misalnya pemerintah, INGO besar, NNGO besar, INGO kecil, NNGO Kecil, lembaga
nasional lainnya dan donor) untuk mengkaji proposal dan memilih proyek untuk didanai.14
 Memastikan bahwa prosedur untuk mentransfer dana (misalnya dari CERF) ke organisasi pelaksana
yang dimaksud jelas dan dipahami oleh semua yang dimaksud.15

IV. 6 Pembiayaan

Biaya kegiatan Klaster Kesehatan dan Sub-klaster kesehatan diperoleh dari anggaran setiap anggota
klaster/sub-klaster pada masing-masing tahapan, pra, saat, dan pasca bencana.

Pembiayaan upaya tanggap darurat bersumber dari pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Untuk
bencana berskala nasional, dana multi donor dan dana bantuan bilateral dari negara-negara sahabat
merupakan sumber pendanaan. Dari Dunia Usaha ada dana CSR (tanggungjawab sosial) atau dana
solidaritas yang digalang oleh perusahaan dari karyawannya atau dari publik, terutama pada perusahaan
media. Dana dari pemerintah berasal dari Dana Siap Pakai (DSP) yang sudah diatur pengelolaannya
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan
Bencana. Bila bencana timbul akibat konflik sosial, maka di Pusat dana bersumber dari APBN yang
sudah dialokasikan oleh Kementerian/Lembaga terkait. Di tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota, pembiayaan
upaya tanggap darurat dapat bersumber dari APBD yang dialokasikan oleh SKPD terkait dan dari dana
belanja tidak terduga pada pos APBD. Dari masyarakat, dana dapat berasal dari dana simpanan
masyarakat atau hasil penggalangan dana aksi kesetiakawanan.

14
Kelompok appraisal yang sama juga bisa menyaring dan memilih proposal untuk dimasukkan ke dalam Flash Appeal atau CAP, dan aplikasi
untuk Dana CERF.
15
Contohnya, ketika WHO menjadi pimpinan klaster, dana CERF akan ditransfer pada awalnya ke WHO/HAC di Genewa dan dari sana ke
kantor pusat organisasi yang dimaksud sesudah penandatanganan kesepakatan terkait. (Ini normalnya memungkinkan organisasi tersebut untuk
memulai operasi lebih cepat daripada jika dana tersebut ditransfer langsung ke satu account di negara tempat operasi tersebut.)
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 62
BAB V MONITORING, EVALUASI, PEMBELAJARAN DAN PELAPORAN
V.1 Memantau Kinerja Klaster: Pembelajaran

Hal-hal yang perlu diperhatikan:


 Monitoring dan Evaluasi harus menjadi bagian tak terpisahkan dalam strategi tanggap darurat.
 Mitra klaster kesehatan harus secara kolektif memonitor implementasi dari keseluruhan strategi tanggap
krisis kesehatan dan memastikan evaluasi dari keseluruhan tanggap darurat oleh klaster kesehatan.
 Ketika Pendekatan Klaster sudah sepenuhnya dilaksanakan dan pelaku kesehatan yang berpartisipasi
bekerja bersama dalam kemitraan, klaster tersebut juga dapat mengorganisir monitoring dan evaluasi
bersama untuk proyek individu.
 Monitoring dan evaluasi harus peka gender dan mempertimbangkan masalah-masalah lain yang relevan
secara lokal dan saling beririsan. Monitoring dan Evaluasi harus bersifat partisipasi, sebanyak mungkin.
Semakin kegiatan itu partisipasif, maka akan semakin menunjukkan situasi yang sebenarnya dengan
mengakomodir pendapat pemangku kepentingan dari sektor kesehatan termasuk komunitas lokal.
 Monitoring harus dimulai dari tanggap darurat tahap awal dan berfokus pada beberapa indikator kunci. Ini
bisa dijelaskan dan diperluas nantinya. Permulaannya harus tidak ditunda sementara menunggu sistem
monitoring yang canggih dikembangkan.
 Perawatan harus selalu dilakukan untuk mengumpulkan lebih banyak data dari yang sebenarnya
digunakan.
 Evaluasi nyata dapat digunakan pada tahap awal tanggap darurat dan klaster kesehatan harus siap
mengorganisirnya atau, lebih baik untuk, berpartisipasi dalam evaluasi nyata lintas sektor.

Hasil Klaster Kesehatan yang Diharapkan


 Kunjungan Lapangan Bersama untuk monitoring; evaluasi bersama dan pembelajaran.

“Kesenjangan” Umum dalam hal monitoring dan evaluasi


Temuan dari studi kasus 10 negara (2004-07)
Contoh-contoh Langkah yang diusulkan
Monitoring Memformalkan tanggungjawab untuk memonitor
Kurangnya pemantauan kualitas, output atau pengendalian kualitas ke satu lembaga. Memastikan
dampak. Ketika ada monitoring, fokusnya adalah monitoring memasukkan akses oleh kelompok rentan
jangkauan dan masukan (terutama promosi dan dalam basis gender dan usia.
kesehatan), dan tidak dikaitkan dengan mekanisme Mempublikasikan keluaran dan kegiatan lembaga
tindak-lanjut. dengan menggunakan indikator standar per kuartal
(untuk keadaan darurat yang berlangsung lama).
Menghubungkan mekanisme pendanaan dengan
kinerja.
Evaluasi Melakukan Evaluasi Kesehatan Antar Lembaga.
Tidak ada evaluasi tentang dampak luas sektor
layanan kesehatan kemanusiaan dilihat dari
perspektif kependudukan.

V.2 Memantau Pelaksanaan Tanggap Darurat Bidang Kesehatan

Beberapa pertanyaan dapat ditujukan selama Monitoring dan Pengkajian16


 Apa kegiatan yang sedang dilakukan? Apa kemajuan yang sudah dicapai?
 Pada tingkat apa sumber daya digunakan dan bagaimana penggunaannya dibandingkan dengan
kemajuannya dalam pelaksanaannya? Bagaimana biaya yang timbul dibandingkan dengan anggarannya?
[efisiensi]
 Apakah hasil yang diinginkan tercapai (misalnya update per kuartal)? [efektifitas]
 Sejauh mana hasil ini mengarahkan pencapaian strategi kesehatan (misalnya analisa per tengah tahun)?
 Perubahan apa yang terjadi dalam konteks keseluruhan? Apakah asumsi asli yang dipercayai benar?
 Apakah kegiatan tanggap darurat telah cukup diperbaiki dan diadaptasi berdasarkan informasi yang baru?
[responsif]
 Bagaimana klaster kesehatan itu sendiri berfungsi? Bagaimana mutu hubungan antar mitra tersebut?
 Seberapa efektif bekerja dengan klaster lain?

16
Manual Project Cycle Management, Juni 2005, Komisi Eropa, ECHO
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 63
Kerja Klaster Kesehatan
 Status kegiatan yang diperbarui – dan siapa-apa-di mana peta pelaku – di setiap pertemuan koordinasi
dengan meminta mitra memasukkan informasi baru ke dalam format yang disediakan (bukan pernyataan
panjang di pleno!)
 Mengorganisir pemantauan tengah tahun pada jadwal yang diminta,

V.3 Mengorganisir Evaluasi dan Pembelajaran

Evaluasi harus memberikan informasi yang dapat dipercaya dan bermanfaat, memungkinkan penggabungan
pembelajaran ke dalam proses pembuatan keputusan dari penerima dan donor 30. Sebuah evaluasi dapat
dilakukan selama pelaksanaan (“jangka menengah”), pada akhirnya (“evaluasi akhir”) atau sesudahnya (“eks
pasca evaluasi”), untuk membantu mengarahkan proyek atau menarik pelajaran untuk proyek masa depan dan
pemrograman.17

Definisi OECD (the Organization for Economic Co-operation and Development) yang diterima secara luas
menetapkan lima kriteria evaluasi dasar: relevansi dan pemenuhan tujuan; efisiensi; efektifitas; dampak; dan
keberlanjutan. ALNAP18 telah menyarankan tiga evaluasi bagi kerja kemanusiaan yaitu : keterkaitan, koherensi
dan keterjangkauan.

Prinsip-prinsip Kunci untuk Evaluasi dan Latihan Pembelajaran


 Evaluasi bersama atau latihan pembelajaran harus diorganisir –pada waktu-waktu yang tepat. Mereka
harus diorganisir pada satu waktu ketika layak untuk menghasilkan informasi yang akurat, terpercaya, dan
bermanfaat.
 Mereka dapat diorganisir pada tingkat nasional, daerah atau dalam zona operasional tertentu. Mereka harus
mengidentifikasikan isu-isu operasional dan kesehatan yang kritis dan menyempurnakan strategi-strategi
untuk mengatasinya. Hal-hal yang menjadi kelemahan harus diidentifikasi sehingga dapat ditentukan
langkah-langkah untuk memperbaikinya. Temuannya harus mengarah pada kebijakan, rekomendasi teknis
dan operasional.
 Evaluasi selama tahapan awal dari upaya tanggap darurat bidang kesehatan. bertujuan untuk membantu
memastikan keluaran terbaik yang memungkinkan untuk dicapai bagi penduduk yang terkena bencana.
Hal ini dilakukan dengan mengidentifikasi –– semua masalah dalam koordinasi, perencanaan dan
manajemen tanggap darurat, dan memastikan akuntabilitas serta memberikan solusi/saran.
 Untuk setiap krisis besar, latihan pembelajaran akhir harus dilakukan tidak kurang dari satu bulan
sesudah berakhirnya tanggap darurat. Ini harus mencakup aspek operasional dan program..
 Tujuan dari setiap evaluasi atau latihan belajar harus secara jelas didefinisikan, ketentuan kerangka acuan
yang disusun dengan hati-hati lihat kotak di bawah – anggaran yang mencukupi telah ditentukan.
 Evaluasi dan latihan belajar harus mengkaji kinerja tidak hanya terhadap strategi tanggap darurat krisis
kesehatan yang didefinisikan tetapi juga terhadap tujuan mengurangi angka kematian, kesakitan dan
kecacatan yang dapat dihindari, dan memulihkan kembali penyediaan, dan akses yang adil, perawatan
kesehatan kuratif dan preventif, dan daya respon terhadap perubahan dalam situasi krisis/ bencana.
 Faktor kunci keberhasilan dalam evaluasi program sektor adalah keterlibatan dari semuaanggota klaster,
dalam perencanaan evaluasi untuk memastikan kepemilikan mereka terhadap hasil.
 Manager evaluasi harus dirancang untuk setiap evaluasi atau latihan belajar. Dia harus dapat
mencurahkan cukup waktu untuk mengelola proses tersebut. Tim evaluasi harus memasukkan campuran
dari ketrampilan dan pengalaman yang relevan, dan harus seimbang gender.
 laporan, temuan dan rekomendasi harus secepatnya disebarluaskan kepada semua pihak dan harus
diperhatikan oleh para manager yang perlu mengetahui dan mengambil tindakan.
 Sebuah rencana kerja dikembangkan untuk menindaklanjuti rekomendasi. Rencana tersebut secara jelas
menentukan tanggungjawab untuk menindaklanjuti dan implementasinya dimonitor.

Berhati-hati dalam memastikan bahwa “efektifitas” dan “efisiensi” dibedakan secara sepantasnya, dan diuji
secara terpisah:
 Efektifitas adalah pengukuran sejauh mana hasil yang diinginkan dari sebuah intervensi (tujuan
khususnya) telah tercapai.
 Efisiensi merupakan pengukuran dari hubungan antar output (produk yang diproduksi atau layanan yang
diberikan oleh sebuah intervensi) dan input (sumber daya yang digunakan).

17
Manual Project Cycle Management, June 2005, Komisi Eropa, ECHO
18
ALNAP merupakan Jaringan Belajar Aktif untuk Akuntabilitas dan Kinerja dalam Kerja Kemanusiaan (ALNAP) yang didirikan
pada tahun 1997, setelah evaluasi multi-lembaga terhadap genosida Rwanda. Lihat http://www.alnap.org/
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 64
Upaya Klaster Kesehatan
 Menentukan waktu yang tepat untuk evaluasi bersama atau latihan pembelajaran, dan mendapatkan
dukungan untuk proposalnya dari pemangku kepentingan utama.
 Mengorganisir proses konsultatif untuk: (i) mengidentifikasikan isu-isu (wilayah luas yang perlu dijangkau)
dan pertanyaan khusus yang perlu dijawab; dan (ii) menyepakati kerangka acuan dan rencana.
 Memastikan penyebutan manager evaluasi dan mendukungnya jika diperlukan.

MENYUSUN KERANGKA ACUAN UNTUK EVALUASI ATAU LATIHAN PEMBELAJARAN


Apapun tujuan dan pendekatannya, kerangka acuan yang dipikirkan dengan baik itu penting. Mereka harus
relevan secara langsung pada keputusan yang diambil oleh user yang diinginkan. Waktu dan upaya yang
ditemukan dalam mempersiapkan ToR yang baik akan terbayarkan dengan hasil kualitas, relevansi, dan
kemanfaatannya yang besar.
 Kerangka acuan tersebut harus menyebutkan sasaran (tujuan) dari latihan tersebut, metodologi yang
digunakan, langkah-langkah yang diambil, dan peran dan tanggungjawab dari semua pihak terkait.
 Membatasi pertanyaan pada isu-isu paling penting dan yang dapat dijawab secara realistis dalam kondisi
umum.

 Berhati-hati dalam mengkombinasikan – tujuan akuntabilitas dan pembelajaran dalam evaluasi tunggal –
isunya dan pengguna yang diinginkan berbeda dan ini bisa berakibat ambiguitas dalam penekanan dan
pendekatan.

Kerangka Acuan Kerja (KAK) penting untuk tim internal dan tim eksternal. Biasanya tim eksternal
(internasional) memerlukankonteks latar belakang, audiens dan penggunaan yang dimaksud yang lebih rinci.
Untuk evaluasi bersifat sektoral, KAK harus disepakati di antara para pemangku kepentingan. Metodologi dan
alatnya harus digunakan untuk diadaptasi dan dikembangkan dan dijadikan percontohan selama fase
rancangan awal.

PERAN DARI MANAGER EVALUASI


Manager evaluasi merupakan bagian dari tim evaluasiDia harus, diantaranya:
 Memastikan persiapan logistik dan keuangan: penganggaran yang hati-hati dan persiapan logistik yang
cermat penting – jangan meremehkan ongkos, waktu dan sumber daya yang diperlukan, terutama unsur
evaluasi kerja lapangan
 Mencurahkan cukup waktu untuk proses tersebut, menjadi sistematis (dalam perencanaan dan pengawasan),
peka (pada kebutuhan tim dan yang terlibat lainnya), dan berorientasi pada penyelesaian (mengantisipasi
dan merespon secara tepat pada masalah-masalah yang tidak terelakkan akan muncul)
 Memastikan bahwa waktu yang cukup telah diberikan untuk membangun tingkat interaksi yang tepat dan
pelaporan yang terus menerus antara tim evaluasi, manager evaluasi, personel operasional dan pemangku
kepentingan yang lain.
 Memastikan tindak lanjut – bahwa laporan/temuan dan rekomendasi disebarluaskan dengan cepat ke semua
pihak terkait dan diinformasikan kepada para manager yang perlu mengetahui dan melakukan tindakan.

V. 4 Layanan Standar dan Daftar Indikator

V.4.1 Tingkat Layanan Kesehatan, Sub-klaster dan Layanan


Daftar standar sub-klaster dan layanan kesehatan berikut digunakan untuk semua pengumpulan data, tujuan
analisa dan pencatatan termasuk Sistem Informasi Penanggulangan Krisis Kesehatan, Penilaian Cepat Awal
dan penilaian lainnya, dan untuk identifikasi kesenjangan dan perencanaan.

Tingkat Sub-sektor Layanan Kesehatan


perawatan
Perawatan Kumpulan Kematian dan Kelahiran
Masyarakat Statistik Vital Lain-lain: misalnya perpindahan penduduk; pendaftaran wanita hamil,
anak-anak yang baru lahir
Kesehatan Anak Komponen Masyarakat IMCI: KIE dari perawat anak + temuan kasus
aktif
Pengobatan berbasis rumah tangga dari: demam/malaria, Infeksi
Saluran Napas Akut/pneumonia, dehidrasi karena diare akut
Mobilisasi Masyarakat untuk dan bantuan pada kampanye vaksinasi
massal dan/atau pengobatan/administrasi obat-obatan massal
Gizi Penyaringan untuk gizi buruk akut (MUAC)

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 65
Menindaklanjuti anak-anak yang terdaftar dalam pemberian makanan
suplemen/terapis (melacak defaulter)

Perawatan Terapis Masyarakat dari gizi buruk akut


Penyakit Kontrol Vektor (KIE + Kelambu Tempat Tidur yang meresap +
Menular penyemprotan nyamuk di luar/dalam ruang
Mobilisasi Masyarakat untuk dan bantuan untuk vaksinasi massal dan
/atau pengobatan / pemberian obat-obatan.
KIE pada penyakit prioritas lokal (misalnya, TB Rujukan sendiri, malaria
rujukan sendiri, lain-lain)
IMS & HIV/ Advokasi ke Tokoh Masyarakat tentang IMS/HIV
AIDS KIE pada pencegahan infeksi IMS/HIV dan komunikasi perubahan
tingkah laku
Memastikan akses terhadap kondom gratis

Tingkat Sub-sektor Pelayanan Kesehatan


Perawatan
Perawatan Kesehatan Ibu dan Penyediaan Rumah Bersih, termasuk
Masyarakat Bayi yang Baru Distribusi peralatan persalinan yang bersih untuk perempuan-
Lahir perempuan yang jelas hamil, KIE dan komunikasi perubahan tingkah
laku, pengetahuan tanda-tanda bahaya dan di mana/kapan mencari
bantuan, bantuan menyusui
Penyakit Tidak Mempromosikan perawatan pribadi, menyediakan perawatan kesehatan
Menular, Cedera, dasar dan dukungan psikososial, mengidentifikasi dan merujuk kasus-
dan Kesehatan kasus parah untuk pengobatan, menyediakan tindak lanjut yang
Mental dibutuhkan untuk orang-orang yang dilepas dengan kesehatan berbasis
fasilitas dan layanan sosial untuk orang-orang dengan kondisi kesehatan
kronis, disabilitas, dan masalah kesehatan mental.
Kesehatan KIE pada promosi kesehatan dan air dan sanitasi, mobilisasi masyarakat
Lingkungan untuk kampanye bersih-bersih dan/atau kegiatan sanitasi lainnya
Perawatan Layanan Klinis Layanan Pasien Rawat Jalan
Dasar Umum
Laboratorium Dasar
Kapasitas Perawatan Rumah Sakit Kecil(5-6 tempat tidur)
Kapasitas Rujukan: Prosedur rujukan, sarana komunikasi, transportasi

Kesehatan Anak EPI: imunisasi rutin terhadap semua penyakit sasaran nasional dan
terdapat kondisi dingin yang cukup
Dibawah 5 klinik yang dilakukan oleh staf kesehatan IMCI yang terlatih
Penyaringan kekurangan gizi / gizi buruk (pemantauan pertumbuhan
atau MUAC atau W/H, H/A)

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 66
Tingkat Sub-Klaster Pelayanan Kesehatan
Perawatan
Perawat Gizi Pengelolaan Gizi Buruk akut sedang
Dasar Pengelolaan Gizi Buruk Akut Parah
Penyakit Tempat Penjagaan sistem peringatan dini dari penyakit epidemi rawan,
Menular tanggap darurat wabah
Diagnosa dan Pengobatan malaria
Diagnosa dan Pengobatan TB
Penyakit Menular Lokal yang Relevan lainnya (misalnya penyakit tidur)
Pengelolaan Sindrom Penyakit Infeksi Menular Seksual
Kesehatan Tindakan Pencegahan Standar: Jarum & jarum suntik sekali pakai, kontainer
Reproduksi pembuangan yang sangat aman, Alat Pelindung Diri (APD), sterilizer, P 91
Ketersediaan Kondom gratis
Prophylaxis dan pengobatan infeksi oportunistik
Pencegahan penularan HIV dari Ibu ke Anak
Pengobatan Antiretroviral (ART )
Keluarga Berencana
Kesehatan Perawatan Antenatal: menguji kehamilan,
Reproduksi Kelahiran dan rencana darurat, menanggapi permasalahan (yang diamati
dan/atau dilaporkan), saran/nasihat mengenai gizi dan menyusui, perawatan
diri dan keluarga berencana, pengobatan preventif yang sesuai

Tingkat Sub-klaster Layanan kesehatan


Perawatan Bidang Perawatan yang terampil selama kelahiran bayi untuk persalinan normal
Dasar Kesehatan yang aman dan bersih
Reproduksi dan Perawatan Bayi baru lahir yang penting: resusitasi dasar bayi baru lahir +
Seksual kehangatan (metode yang direkomendasikan: Kangaroo Mother Care – KMC)
+ eye prophylaxis + perawatan tali pusar yang bersih + menyusui dini dan
ekslusif
Perawatan Darurat Obstetrik Dasar (PONED): antibiotik parenteral +obat-
obatan oxytocic/obat anti kejang + pemindahan plasenta secara manual +
pemindahan produk-produk yag dipertahankan dengan manual vacuum
aspiration (MVA) + persalinan vaginal dengan bantuan 24/24 & 7/7)
Perawatan Post partum: pemeriksaan ibu dan bayi yang baru lahir (di atas 6
bulan), merespon tanda-tanda yang diamati, membantu menyusui,
mempromosiakan keluarga berencana
Perawatan Aborsi secara komprehensif: Aborsi dengan induksi yang aman
untuk semua indikasi hukum, evakuasi uterus dengan menggunakan
metode medis atau
MVA, antibiotic prophylaxis, pengobatan atas komplikasi aborsi, konseling
untuk aborsi dan kontrasepsi pasca aborsi
Pengelolaan Klinis Korban Pemerkosaan (termasuk dukungan psikologis)
Kontrasepsi Darurat
Post-exposure prophylaxis (PEP)
Untuk infeksi HIV & IMS

Tingkat Sub-klaster Layanan Kesehatan


Dasar Penyakit tidak menular, Perawatan Cedera dan Pengelolaan Korban Masal
Cedera dan Kesehatan Pengobatan Hipertensi
Mental Pengobatan Diabetes
Perawatan kesehatan Mental: bantuan untuk kecemasan dan stress
akut, pengelolaan garis depan gangguan mental biasa dan parah
Kesehatan Lingkungan Pengelolaan dan Pembuangan Limbah Fasilitas Kesehatan yang
aman
Sekunder dan Layanan Rawat Inap (bangsal medis, pediatrik, dan obstetrik dan
Tersier ginekologi)

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 67
Layanan Klinis Umum Bedah Elektif dan Darurat
Layanan Laboratorium (termasuk laboratorium kesehatan publik)
Layanan Bank Darah
Layanan X-Ray
Kesehatan Anak Pengelolaan anak-anak yang diklasifikasikan dengan penyakit
parah atau sangat parah (cairan parenteral dan obat-obatan, O2)
Kesehatan Ibu dan Bayi Perawatan Darurat Obstetrik yang Komprehensif: (PONEK) + bagian
yang baru lahir Operasi Caesar + transfusi darah yang aman
Penyakit Tidak Menular, Rehabilitasi Disabilitas dan cedera
Cedera dan Kesehatan Perawatan psikiatrik Pasien Rawat Jalan
mental Unit psikiatrik pasien rawat inap akut

V.B.2 Indikator dan tolok ukur


Tabel di bawah ini menunjukkan beberapa indikator yang biasa digunakan bersama dengan tolok ukur terkait
yang telah diterima secara luas. Tabel di bawah menyediakan panduan dalam hubungannya dengan perkiraan
angka kematian.

Kategori Nama Indikator Metode Tolok Ukur


Pengumpulan Data
Ketersediaan Rata-rata penduduk yang Sistem Pemetaan Standar SPHERE:
Sumber Daya dicakup oleh Fasilitas Kesehatan dan Ketersediaan 10.000 orang untuk 1 Unit
Kesehatan yang berfungsi, Sumberdaya Kesehatan, 50 000 untuk 1
Berdasarkan jenis FASKES dan Kesehatan Pusat Kesehatan, 250 000 orang
unit administratif untuk 1 Rumah Sakit
Kabupaten/Kota
# FASKES dengan Perawatan Sistem Pemetaan >= 4 PONEK /500 000
Darurat Obstetrik Dasar dan Ketersediaan
/ 500 000 penduduk, Sumberdaya
berdasarkan unit administrasi Kesehatan
# FASKES dan Perawatan Sistem Pemetaan >= 1 PONEK /500 000
Darurat Obstetrik yang dan Ketersediaan
Komprehensif / 500 000 Sumberdaya
penduduk, berdasarkan unit Kesehatan
administrasi
% dari FASKES tanpa stok obat- Penilaian Cepat 100%
obatan penting yang dipilih Awal
dalam 4 kelompok obat, berdasar
unit administrasi
# dari tempat tidur rumah sakit Sistem Pemetaan  10
per 10 000 penduduk dan Ketersediaan
(pasien rawat inap & ibu Sumberdaya
melahirkan), berdasarkan unit Kesehatan
administrasi
% dari FASKES dengan Sistem Pemetaan 100%
ketersediaan pengelolaan klinis dan Ketersediaan
dari korban pemerkosaan + Sumberdaya
Kontrasepsi darurat + PEP Kesehatan
tersedia
# dari tenaga kesehatan Sistem Pemetaan >22
(dokter+perawat+ibu rumah dan Ketersediaan
tangga) per 10 000 penduduk, Sumberdaya
berdasarkan unit administrasi Kesehatan
(%m/KK)
# dari Kader Kesehatan per 10 Sistem Pemetaan >=10
000, dan Ketersediaan
berdasarkan unit administrasi Sumberdaya
Kesehatan

Kategori Nama Indikator Metode Pengumpulan Tolok Ukur


Data
# dari konsultasi pasien rawat jalan Sistem Informasi > = 1 orang/kunjungan
per orang per tahun, berdasarkan kesehatan/Sistem baru per tahun

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 68
unit administrasi Peringatan Dini dan
Respons
# dari konsultasi per dokter per hari, Sistem Informasi Kurang dari 50/ hari per
berdasarkan unit administrasi Kesehatan dokter
Cakupan vaksinasi campak Sistem Informasi > 95% di kamp-kamp atau
(6 bulan -15 tahun) Kesehatan, survei daerah perkotaan > 90% di
Cakupan daerah pedesaan
Layanan Cakupan DPT3 dalam > 95%
Kesehatan < 1 tahun, berdasarkan unit
administrasi
% kelahiran dibantu oleh petugas > 90%
terampil
% Penyediaan yang diharapkan oleh Pengawasan berbasis >= 5% dan <= 15%
bagian Operasi Caesar, berdasarkan FASKES prospektif
unit administrasi
Faktor Risiko # dari angka kasus atau insiden Sistem Peringatan Dini Tren Pengukuran
untuk penyakit yang dipilih yang dan Respons,
relevan dengan konteks lokal (kolera, Penilaian Cepat Awal,
campak, meningitis akut, lainnya) Pengawasan berbasis
FASKES yang prospektif,
Survei
# dari kasus atau insiden kekerasan Pengawasan berbasis Tren Pengukuran
seksual FASKES yang prospektif,
survei
CFR untuk sebagian besar penyakit Pengawasan berbasis Tren Pengukuran
umum FASKES prospektif
Kematian Proporsional Tren Pengukuran
# dari penerimaan ke SFT dan TFC Tren Pengukuran
Angka/Proporsi dari kasus BALITA Tren Pengukuran
Gizi Buruk dan Kurang Gizi Berat
Yang terdekteksi pada Unit Rawat
Jalan/Unit Rawat Inap
Proporsi orang dengan <15L air/hari
Hasil AKK >=2x base rate atau
Kesehatan >1/10 000 per hari*
AKB Survei Rumah Tangga O.2 AKB >=2x angka dasar
atau
>2/10 000 per hari*

Kategori Nama Indikator Metode Tolok Ukur


Pengumpulan
Data
Hasil Prevalensi gizi buruk Survei Rumah < 10%, Tren Pengukuran
Kesehatan Tangga
Prevalensi Kurang gizi berat akut Tren Pengukuran

% dari populasi dalam kuintil terburuk dari Survei Keluarga* Ambang batas harus
fungsi, termasuk mereka yang mengalami ditentukan menurut konteks
kesulitan parah atau ekstrim dalam fungsi lokal dan sifat krisis.
Tren Pengukuran

Memperkirakan Angka Kematian


Mampu membandingkan angka kematian dari waktu ke waktu dalam populasi yang sama, atau di antara
populasi yang berbeda, ‘jumlah kematian’ harus diubah ke dalam angka dengan menggunakan denominator
populasi standar dan periode waktu standar. Angka kematian nyata dalam satu dari dua cara, tergantung pada
situasinya:

Situasi Frekuensi Biasa Pengumpulan Data Rumus Angka Kematian


Periode darurat akut Setiap hari, atau setiap beberapa hari Kematian/10 000/hari
Ketika situasi kesehatan sudah Sekali sebulan Kematian/1000/bulan
stabil

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 69
CATATAN: Dalam banyak situasi, hanya perkiraan kasar yang tersedia untuk total penduduk dan mungkin
ada perpindahan penduduk yang terus berlangsung dengan tingkat perpindahan keluar dan masuk yang
tinggi. Denominator kemudian menjadi tidak pasti dan berubah. Dalam kasus seperti ini, menghitung angka
kematian dengan menggunakan rata-rata (aritmatika mean) dari perkiraan penduduk selama periode waktu
yang bersangkutan.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 70
Daftar rujukan
Rujukan berbahasa Indonesia
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polisi
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
8. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
9. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif
10. Peraturan Pemerintah No 66/2014 tentang Kesehatan Lingkungan
11. Peraturan Kementerian Kesehatan Nomor 64 Tahun 2013 tentang Penanggulangan Krisis
12. Peraturan Kementerian Kesehatan Nomor 77 Tahun 2014 tentang Sistem Informasi Penanggulangan Krisis
Kesehatan
13. Peraturan Kementerian Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang PUSKESMAS
14. Peraturan Kementerian Kesehatan Nomor 36 Tahun 2014 tentang Penilaian Kerusakan dan Kerugian Bidang
Kesehatan
15. SK Menkes Nomor 059/MENKES/SK/I/2011 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pengelolaan Obat dan Perbekalan
Kesehatan Pada Penanggulangan Bencana
16. Standar Nasional Indonesia Nomor 7937:2013 tentang Layanan Kemanusiaan dalam Bencana
17. Kerangka Aksi Sendai tentang Pengurangan Risiko Bencana 2015-2030
18. Sasaran Pembangunan Berkelanjutan 2015-2030

PEDOMAN-PEDOMAN DAN KEBIJAKAN


TERKAIT PENANGGULANGAN KRISIS KESEHATAN
1. TAHUN 1984
a. UU RI No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular

2. TAHUN 1991
a. PP RI No. 40 tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular

3. TAHUN 1997
b. UU RI No. 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran

4. TAHUN 1999
1. Rapid Health Assessment Protocols for Emergencies (WHO)

2. TAHUN 2000
a. Pedoman Penanggulangan Medik pada Kecelakaan Radiasi
b. Pedoman Umum Pengamanan Dampak Radiasi
c. Penatalaksanaan Korban Massal

3. TAHUN 2001
a. KEPMENKES RI No.14/Menkes/SK/I/2002 tentang Pedoman Penanggulangan Masalah Kesehatan
Akibat Kedaruratan Kompleks.
b. KEPMENKES RI No. 1361/Menkes/SK/XII/2001 tentang Pedoman Sistem Peringatan Dini pada Daerah
Potensi Bencana
c. KEPMENKES RI No. 1217/Menkes/SK/XI/2001 tentang Pedoman Pengamanan Dampak Radiasi.
d. KEPMENKES RI No. 1357/Menkes/SK/XII/2001 tentang Standar Minimal Penanggulangan Masalah
Kesehatan Akibat Bencana dan Penanganan Pengungsi

4. TAHUN 2002
a. PP RI Nomor 27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif
b. PP RI Nomor 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif
c. KEPMENKES RI No. 12/Menkes/SK/I/2002 tentang Pedoman Koordinasi Penanggulangan Bencana di
Lapangan.
d. KEPMENKES RI No. 462/Menkes/SK/V/2002 tentang “Safe Community” (Masyarakat Hidup Sehat dan
Aman).
e. KEPMENKES RI No. 852/Menkes/SK/VII/2002 tentang Brigade Siaga Bencana Pusat.

5. TAHUN 2003
a. KEPMENKES RI No. 289/Menkes/SK/III/2003 tentang Prosedur Pengendalian Dampak Pencemaran
Udara akibat Kebakaran Hutan terhadap Kesehatan.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 71
b. KEPMENKES RI No.1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans
Epidemiologi Kesehatan.

6. TAHUN 2004
a. KEPMENKES RI No. 106/Menkes/SK/I/2004 tentang Tim Pengembangan Sistem Penanggulangan
Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) dan Pelatihan Penanggulangan Penderita Gawat Darurat (PPGD) /
General Emergency Life Support (GELS) Tingkat Pusat.
b. PERMENKES RI No. 949/Menkes/SK/VIII/2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan
Dini Kejadian Luar Biasa.
c. Standar Kamar Jenazah (DITJEN YANMEDIK)
d. Keputusan Bersama MENKES RI dan KAPOLRI No. 1087/menkes/SKB/IX/2004 No.pol.
Kep./40/IX/2004 tentang Pedoman Penatalaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bencana Massal .

7. TAHUN 2005
a. Buku Saku Penilaian Cepat Masalah Kesehatan pada Kejadian Bencana (September 2005, tanda tangan
SEKJEN KEMKES).
b. KEPMENKES RI No. 1653/Menkes/SK/XII/2005 tentang Pedoman Penanganan Bencana Bidang
Kesehatan.  direvisi Kepmenkes 145/2007
c. KEPMENKES RI No. 1786/Menkes/SK/XII/2005 tentang Pedoman Penanganan Masalah Kesehatan pada
Bencana Gempa Bumi

8. TAHUN 2006
a. KEPMENKES RI No. 048/Menkes/SK/I/2006 tentang Pedoman Penanggulangan Masalah Kesehatan
Jiwa dan Psikososial pada Masyarakat akibat Bencana dan Konflik.
b. KEPMENKES RI No. 064/Menkes/SK/II/2006 tentang Pedoman Sistem Informasi Penanggulangan Krisis
Akibat Bencana.
c. KEPMENKES RI No. 066/Menkes/SK/II/2006 tentang Pedoman Manajemen Sumber Daya Manusia
(SDM) Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana.
d. KEPMENKES RI No. 783/Menkes/SK/X/2006 tentang Regionalisasi Pusat Bantuan Penanganan Krisis
Kesehatan Akibat Bencana
e. KEPMENKES RI No. 876/Menkes/SK/XI/2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Penanganan
Krisis dan Masalah Kesehatan Lain.
f. Pedoman Operasional Perahu Karet sebagai Sarana Evakuasi dan Pelayanan Kesehatan bagi Korban
Bencana (29 Desember 2006, tanda tangan KAPUS).
9. TAHUN 2007
a. Undang-undang RI No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
b. KEPMENKES RI No. 042/Menkes/SK/I/2007 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan
Dini (SKD) dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) Malaria.
c. KEPMENKES RI No. 145/Menkes/SK/I/2007 tentang Pedoman Penanggulangan Bencana Bidang
Kesehatan.
d. PERKA BAPETEN Nomor 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber
Radioaktif
e. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana (Februari 2007, tanda tangan
MENKES).
f. Kurikulum Peningkatan Kapasitas Petugas Teknis Penanggulangan Bencana (April 2007, tanda tangan
KAPUS).
g. KEPMENKES RI No. 424/Menkes/SK/IV/2007 tentang Pedoman Upaya Pelayanan Kesehatan dalam
Rangka Karantina Kesehatan.
h. KEPMENKES RI No. 425/Menkes/SK/IV/2007 tentang Pedoman Penyelenggaraan Karantina Kesehatan
di Kantor Kesehatan Pelabuhan.
i. KEPMENKES RI No. 431/Menkes/SK/IV/2007 tentang Pedoman Tekns Pengendalian Risiko Kesehatan
Lingkungan di Pelabuhan/Bandara/Pos Lintas Batas dalam rangka Karantina Kesehatan.
j. KEPMENKES RI No. 679/Menkes/SK/VI/2007 tentang Organisasi Pusat Penanggulangan Krisis
Kesheatan Regional
k. KEPMENKES RI No. 1105/Menkes/SK/IX/2007 tentang Pedomanan Penanganan Medis Korban Massal
Akibat Bencana Kimia.
l. Pedoman Umum Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana Kimia (November 2007, tanda tangan
MENKES).
m. KEPMENKES RI No. 1227/Menkes/SK/XI/2007 tentang Perubahan Atas Keputusan Menkes RI No.
679/Menkes/SK/VI/2007 tentang Organisasi Pusat Penanggulangan Krisis Regional
n. KEPMENKES RI No. 1228/Menkes/SK/XI/2007 tentang Perubahan Atas Keputusan Menkes RI No.
783/Menkes/SK/XI/2006 tentang Regionalisasi Pusat Bantuan Penanganan Krisis Kesehatan Akibat
Bencana.
o. KEPMENKES RI No. 414/Menkes/SK/IV/2007 tentang Penetapan RS Rujukan Penanggulangan Flu
Burung (Avian Influenza)
10. TAHUN 2008

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 72
a. Undang-Undang RI No. 9 Tahun 2008 tentang Penggunaan Bahan Kimia dan Larangan Penggunaan
Bahan Kimia sebagai Senjata Kimia.
b. Undang-Undang RI No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
c. Peraturan Pemerintah RI No. 8 tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
d. Peraturan Pemerintah RI No. 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.
e. Peraturan Pemerintah RI No. 22 tahun 2008 tentang Pendanaan Penanggulangan Bencana.
f. Peraturan Pemerintah RI No. 23 tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga
Asing Non Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana.
g. KEPMENKES RI No. 116/Menkes/SK/II/2008 tentang Tim Pembina Dewan Kesehatan Rakyat.
h. KEPMENKES RI No. 406/Menkes/SK/IV/2008 tentang Pembentukan Pemuda Siaga Peduli Bencana
(DASIPENA).
i. KEPMENKES RI No. 459/Menkes/SK/V/2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelatihan Internasional
Pengurangan Risiko Bencana.
j. Pedoman Pos Informasi Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana (Juni 2008, tanda tangan
KAPUS).
k. Pedoman Penyusunan Peta Jalur Evakuasi Bidang Kesehatan pada Bencana Gunung Api (Oktober 2008,
tanda tangan SEKJEN)
l. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 10 tahun 2008 tentang Pedoman
Komando Tanggap Darurat.
m. Pedoman Kesehatan Jiwa pada Situasi Emergency (DIRJEN YANMEDIK, 2008)
n. KEPMENKES RI No. 129 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit
o. PERKA BNPB No. 7 tahun 2008 tentang Tata Cara Pemberian Bantuan Pemenuhan Kebutuhan Dasar

11. TAHUN 2009


a. Undang-Undang RI No. 36 tentang Kesehatan pasal 46-47 dan 82-85
b. KEPMENKES RI No. 1132/Menkes/SK/XI/2009 tentang Penetapan Peningkatan Kemampuan 100
Rumah Sakit dalam Penanggulangan Bencana dan Krisis Kesehatan.
c. KEPMENKES RI No. 1259/Menkes/SK/XII/2009 tentang Petunjuk Teknis Pelayanan Jamkesmas bagi
Masyarakat Miskin akibat Bencana, Masyarakat Miskin Penghuni Panti Sosial dan Masyarakat Miskin
Penghuni Lembaga Pemasyarakatan serta Rumah Tahanan Negara.
d. Pedoman Operasionalisasi dan Pemeliharaan Standar Pen unjang UpayTanggap Darurat Penanggulangan
Krisis kesehatan
e. KEPMENKES RI No. 856/Menkes/SK/IX/2009 tentang standard IGD RS
f. Pedoman Perencanaan Penyiagaan Bencana Bagi RS

12. TAHUN 2010


a. Pedoman Penyusunan Profil Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana untuk Kabupaten/Kota.
b. Pedoman Pelaksanaan Penanganan Gizi dalam Situasi Darurat
c. Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga nuklir Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pemantauan Kesehatan
untuk Pekerja Radiasi
d. Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nomor 1 Tahun 2010 tentang Kesiapsiagaan dan
Penanggulangan Kedaruratan Nuklir
e. Modul Peralatan RS Lapangan
f. KEPMENKES RI No. 1529 tahun 2010 tentang Pedoman Umum Pengembangan Desa dan Kelurahan
Siaga Aktif
g. PMK No. 492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum
h. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan RI 2010-2014 ; Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
HK.03.01/60.I/2010
i. PERMENKES RI No. 1501/Menkes/Per/X/2010 Tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat
Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan
j. PERKA BNPB No. 17 tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan rehabilitasi dan Rekonstruksi
Pasca bencana (menggantikan Perka BNPB No. 11/2008)
k. PERMENKES RI No. 147 tahun 2010 tentang Perizinan RS
l. KEPMENKES RI No. 1087/MENKES/SK/VIII/2010 Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja di RS
m. PERMENKES RI Nomor 1501 Tahun 2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu yang Dapat
Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangannya.

13. TAHUN 2011


a. Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nomor 9 Tahun 2011 tentang Uji Kesesuaian Pesawat
Sinar-X Radiologi Diagnostik
b. Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nomor 8 Tahun 2011 tentang Keselamatan Radiasi
Dalam Penggunaan Pesawat Sinar X Radiologi Diagnostik dan Intervensional
c. PERMENKES RI No. 1949/MENKES/PER/IX/2011 tentang Pedoman Teknis Geladi Penanggulangan
Krisis Kesehatan
d. PERKA BNPB No. 8 tahun 2011 tentang Standarisasi Data Kebencanaan
a. PERMENKES RI No. 1538 Tahun 2011 tentang Pedoman Tata naskah Dinas di Lingkungan Kementerian
Kesehatan

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 73
b. Revisi Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana
c. PERKA BNPB No. 8 tahun 2011 tentang Standarisasi Data Kebencanaan
14. TAHUN 2012
a. UU No 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik sosial
b. PP No 54 tentang Keselamatan dan Keamanan Instalasi Nuklir
c. Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Keselamatan Radiasi
Dalam Kedokteran Nuklir
d. PERKA BNPB No 15/2012 tentang Pusdalops-PB
e. KEPMENKES RI No. 301/Menkes/SK/VIII/2012 tentang Tim Pengembangan Safe Community dan
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Tingkat Pusat
f. Pedoman Teknis Bangunan RS yang Aman dalam Situasi darurat dan Bencana
g. PERKA BNPB No. 4 Tahun 2012 tentang Pedoman Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana
15. TAHUN 2013
a. PERMENKES RI no. 64 tahun 2013 tentang Penanggulangan Krisis Kesehatan
16. TAHUN 2014
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
b. PERMENKES RI No. 36 tahun 2014 tentang Penilaian Kerusakan, Kerugian dan Kebutuhan Bidang
Kesehatan Pasca Bencana
c. PERMENKES RI Nomor 45 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan
d. PERMENKES RI No. 75 tahun 2014 tentang PUSKESMAS
e. PERMENKES RI No. 77 tahun 2014 tentang Sistem Informasi Penanggulangan Krisis Kesehatan
17. TAHUN 2015
a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial

Rujukan dari Palang Merah Indonesia:


1. Petunjuk Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Saat Darurat
2. Petunjuk Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Saat Non-Darurat
3. Petunjuk Pelaksanaan Pelayanan Sosial
4. Petunjuk Teknis Pertolongan Pertama Ambulans MAT
5. Petunjuk Teknis Perawatan Kedaruratan di Rumah Sakit
6. Petunjuk Teknis Air, Sanitasi dan Promosi Kesehatan
7. Petunjuk Teknis Penanganan Wabah
8. Petunjuk Teknik Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan
9. Petunjuk Teknis Program HIV dan AIDS
10. Petunjuk Teknis Program Dukungan Psikososial
11. Petunjuk Teknis Pelayanan Sosial Lanjut Usia
12. Panduan Pelayanan Ambulans
13. Modul Relawan PMI
14. Panduan Fasilitator

Rujukan berbahasa Inggris:

Istilah
Sebagai contoh atas berbagai istilah yang lebih luas terkait daftar istilah yang berhubungan dengan tindakan
bantuan kemanusiaan dan kesehatan, lihat:

 http://www.reliefweb.int/glossary/

Klaster Kesehatan Global (GHC)


Untuk informasi mengenai peran, kegiatan dan produk dari GHC, silahkan lihat:

International Health Regulation (2005)

Pendekatan Klaster

Panduan Tambahan
Dokumen inti pada pendekatan klaster, yang dikembangkan setelah adanya konsultasi secara erat dengan berbagai
lembaga pada tingkat internasional dan didukung oleh prinsipal IASC adalah:
 IASC. Guidance note on using the cluster approach to strengthen humanitarian response. Inter-Agency Standing
Committee, 24 November 2006. Lampiran I menampilkan berbagai istilah umum sebagai rujukan bagi
sektor/klaster di tingkat pusat.

Untuk informasi tambahan, silahkan baca:

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 74
 IASC. Operational guidance for cluster lead agencies on working with national authorities. Inter-Agency Standing
Committee, Desember 2008 (rancangan awal).
 IASC. Operational guidance on designating sector/cluster leads in major new emergencies. Inter-Agency
Standing Committee, 23 Mei 2007.
 IASC. Operational guidance on designating sector/cluster leads in ongo¬ing emergencies. Inter-Agency Standing
Committee, 23 Mei 2007.
 Rome statement on cluster roll-out. Kelompok Kerja Inter-Agency Standing Committee, 5-7 November
2007.
 Strengthening NGOs participation in the IASC, a discussion paper. Inter-Agency Standing Committee, 24
April 2006.
 Principles of partnership, a statement of commitment, disepakati oleh Global Humanitarian Platform, 12 Juli
2007.

Untuk informasi mengenai reformasi bantuan kemanusiaan, silahkan kunjungi:


o Beck T (2006). Evaluating humanitarian action using the OEDC-DAC criteria. An ALNAP guide for humanitarian
agencies.
o CDC, WFP (2005). A manual: measuring and interpreting mortality and malnutrition.
o CEPALC (2003). Handbook for estimating the socio-economic and environmental effects of disasters.
o CERF Application Template 2009.
o Checchi F, Roberts L (2005). Interpreting and using mortality data in humanitarian emergencies. HPN Network
Paper No.52.
o Cluster Working Group on Early Recovery, UNDG-ECHA Working Group on Transition (2008). Guidance note on
early recovery.
o Darcy J, Hofmann C-A (2003). According to need? Needs assessment and decision-making in the humanitarian
sector. HPG Report # 15.
o Development Initiatives (2006). Review of trust fund mechanisms for transition financing. Phase 2 report.
o ECHO (2005). Manual Project Cycle Management.
o FEWER, International Alert and Saferworld (2004). Conflict-sensitive approaches to development, humanitarian
assistance and peace-building: A resource pack.
o Global Humanitarian Platform (2007). Principles of partnership, a statement of commitment.
o Global WASH Cluster Coordination Project (2009). WASH Cluster Coordinator Handbook.
o Griekspoor A, Loretti A et Colombo A (2005). Tracking the performance of essential health and nutrition services in
humanitarian responses.
o IASC (1999). Reproductive health in refugee situations: an inter-agency field manual.
o IASC (2003). Guidelines for HIV/AIDS interventions in emergency settings.
o IASC (2004). Guidance for CAP project selection and prioritization.
o IASC (2006). Strengthening NGOs participation in the IASC. A discussion paper.
o IASC (2006). Women, girls, boys and men, different needs, equal opportunities. Gender handbook in humanitarian
action.
o IASC (2007). Advocating with national authorities, Building and managing Consensus, Contingency planning,
Information Management, Leadership in Cluster, Shared assessment & analysis, Smarter Coordination Meetings.
Cluster-Sector Leadership Training Tip Sheets.
o IASC (2007). CERF life-saving criteria and sectoral activities guidelines.
o IASC (2007). Guidelines for gender-based violence interventions in humanitarian settings focusing on prevention of
and response to sexual violence in emergencies.
o IASC (2007). Guidelines on mental health and psychosocial support in emergency settings.
o IASC (2007). Inter-agency contingency planning guidelines.
o IASC (2007). Need Analysis Framework, strengthening the analysis and presentation of humanitarian needs in the
CAP.
o IASC (2007). Rome statement on cluster roll-out, 5-7 November 2007.
o IASC, Global Health cluster (2008). Health Cluster guidance note on health recovery (final version due 2010).
o IAWG, UNHCR (1999). Reproductive health in refugee situations: an inter-agency field manual.
o Inter-Agency Health and Nutrition Evaluations in Humanitarian Crisis (IHE) Initiative (2007). Guidelines for
implementing interagency health and nutrition evaluations in humanitarian crises.
o Islam, M ed. (2007). Health systems assessment approach: A how-to manual. USAID, Health Systems 20/20,
Partners for Health Reformplus, Quality Assurance Project, Rational Pharmaceutical Management Plus, Management
Sciences for Health.
o Moss WJ et al. Child health in complex emergencies. Bulletin of the World Health Organization 2006: 84(1).
o MSF (1996). Management of a measles epidemic.
o MSF (1997). Refugee health. An approach to emergency situations.
o MSF (2007). Obstetrics in remote settings: a guide for non-specialized health care.
o MSF (2008). Management of epidemic meningococcal meningitis.
o MSF (2010). Clinical guidelines: diagnosis and treatment manual.
o OCHA (2007). Consolidated appeal 2007 for Liberia.
o OCHA (2009). Consolidated appeal 2009: guidelines.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 75
o OCHA (2009). Guidelines for mid-year review.
o OCHA (2009). Revised flash appeal guidance.
o OCHA. OCHA field offices and the FTS.
o PAHO (1982). Epidemiological surveillance after a natural disaster.
o Pavignani E, Colombo A (2009). Analysing disrupted health sectors. A modular manual.
o ReliefWeb (2008). Glossary of humanitarian terms.
o Seeds for change. Consensus decision-making.
o Seeds for change. Consensus in large groups.
o SMART (2006). Measuring mortality, nutritional status, and food security in crisis situations.
o Smith J (2005). Guide to health workforce development in post-conflict environments.
o Smith JH, Kolehmainen-Aitken RL (2006). Establishing human resource systems for health during post-conflict
reconstruction.
o SPHERE Project (2004). Humanitarian charter and principles of humanitarian response.
o Stoddard A, Salomons D, Haver K et Harmer A (2006). Common funds for humanitarian action in Sudan and the
Democratic Republic of Congo: monitoring and evaluation study.
o Turner R, Baker J, Zaw M O, Naing S A (2008). Inter-agency real time evaluation of the response to Cyclone Nargis.
o UNDG, ECHA (2005). Transitional strategy guidance note.
o UNDG, UNDP, World Bank (2004). Practical guide to multilateral needs assessments in post-conflict situations.
o UNDG, World Bank (2005). An operational note on transitional results matrices.
o UNDP (2007). Memorandum of Understanding regarding operational aspects of the peacebuilding funds.
o UNHCR (2006). Tool for participatory assessment in operations.
o UNHCR (2008). Public health facility toolkit.
o UNICEF, UNFPA, WHO (1997) Guidelines for monitoring the availability and use of obstetric services.
o United Nations (1991). UN General Assembly Resolution 46/182 of 19 December 1991 on the strengthening of the
coordination of emergency humanitarian assistance.
o United Nations (2006). Integrated mission planning process guidelines.
o United Nations (2008). “Dos and don’ts” – Reporting and interpreting data on sexual violence from conflict-affected
countries. Fact sheets Stop Rape Now, UN Action against Sexual Violence in Conflicts.
o USAID, CDC (2007). Reproductive health assessment toolkit for conflict-affected women.
o Valid International and Concern Worldwide (2006). Community-based therapeutic care: a field manual.
o WHO (1999). Management of severe malnutrition: a manual for physicians and senior health workers.
o WHO (1999). Rapid health assessment protocols for emergencies.
o WHO (2001). Safe motherhood needs assessment.
o WHO (2003). Health facility survey: tool to evaluate the quality of care delivered to sick children attending
outpatients facilities.
o WHO (2004). Cholera outbreak: assessing the outbreak response and improving preparedness.
o WHO (2004). Practical guidelines for infection control in health care facilities.
o WHO (2005). Communicable disease control in emergencies – A field manual.
o WHO (2005). Malaria control in complex emergencies. An inter-agency field handbook.
o WHO (2005). Sexually transmitted and other reproductive tract infections.
o WHO (2007). Setting priorities in communicable disease surveillance.
o WHO (2007). Strengthening health systems to improve health outcomes. WHO’s framework for action.
o WHO (2007). Towards a framework for health recovery in transition situations. Global Consultation on Health
Recovery in transition situations. Montreux (Switzerland), 4-6 December 2007.
o WHO (2007). WHO Ethical and safety recommendations for researching, documenting and monitoring sexual
violence in emergencies.
o WHO (2008). Health Cluster bulletin (Mozambique). 10-22 February 2008.
o WHO (2008). Managing WHO humanitarian response in the field.
o WHO (2009). Child health in complex emergencies.
o WHO (2009). HeRAMS. Health Resources Availability Mapping System.
o WHO, PAHO (2000). Natural disasters – protecting the public’s health.
o WHO, PAHO (2003). Guidelines for the use of foreign field hospitals in the aftermath of sudden impact disasters.
o WHO, UNAIDS (2000). WHO recommended surveillance standards.
o WHO, UNFPA, UNHCR (2001). Inter-agency field manual for reproductive health in refugee situations.
o WHO, UNFPA, UNICEF, World Bank (2009). Integrated management of pregnancy, childbirth, and newborn care.
o WHO, UNHCR (2005). Clinical management of rape survivors.
o Women’s Commission. Minimum initial service package for reproductive health in crisis situations.

Rujukan Umum:
1. Resolusi SU PBB No 46/182 (19 Desember 1991) tentang bantuan kemanusiaan
2. SNI Nomor 7937 tentang Standar Minimum Pelayanan Kemanusiaan
3. Proyek Sphere - Piagam Kemanusian dan Standar Minimum dalam Respons Bencana
4. IASC Health Cluster Guide, 2009
5. IASC Inter-Agency Contingency Planning Guidelines for Humanitarian Assistance (edition 2013)
6. Sendai Framework for Action on Disaster Risk Reduction 2015-2030
7. Sustainable Development Goals 2015-2030

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 76
Rujukan untuk indikator:
 Checchi F, Roberts L. Interpreting and using mortality data in humanitarian emergencies. HPN Network Paper No.
52, Sept. 2005.
 SMART. Measuring mortality, nutritional status, and food security in crisis situations: SMART methodology.
Version 1 April 2006.
 CDC, WFP. A manual: measuring and interpreting mortality and malnutrition. Centers for Diseases Control and
Prevention, World Food Programme, 2005.

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 77
Lampiran 1: Rencana Kontinjensi Bencana..... di ..... Tahun ....

Lampiran 2: Rencana Sub-klaster Pelayanan Kesehatan

Lampiran 3: Rencana Sub-klaster Kesehatan Reproduksi, Kesehatan Ibu dan Anak

Lampiran 4 : Rencana Sub-klaster Kesehatan Jiwa

Lampiran 5: Rencana Sub-klaster Layanan Gizi

Lampiran 6: Rencana Sub-klaster Penyehatan Lingkungan, Sanitasi dan Air Minum

Lampiran 7: Rencana Sub-klaster Pengendalian Penyakit

Lampiran 8: Rencana Sub-klaster Logistik Obat dan Alat Kesehatan

Lampiran 9: Rencana Sub-klaster DVI

PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 78

Anda mungkin juga menyukai