KEMENTERIAN KESEHATAN
SEKRETARIS JENDERAL
PUSAT PENANGGULANGAN KRISIS KESEHATAN
2015
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 1
UCAPAN TERIMA KASIH
Dokumen ini merupakan buah koordinasi, kerjasama, integrasi dan sinergi para pihak terutama dalam
bidang penanggulangan bencana di Indonesia yang berkontribusi sejak awal tahun 2015, antara lain:
World Health Organization;
United Nations Office for Coordination of Humanitarian Affairs;
UNICEF
UNFPA
Medicins Sans Frontiere;
Kementerian Sosial Republik Indonesia;
Badan Nasional Penanggulangan Bencana Republik Indonesia;
Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan Republik Indonesia/BASARNAS;
Pusat Kedokteran dan Kesehatan Kepolisian Republik Indonesia;
Pusat Kesehatan Tentara Nasional Indonesia;
Direktorat-Direktorat di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;
Dinas-dinas Kesehatan Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota;
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota;
Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI);
Palang Merah Indonesia (PMI);
Muhammadiyah Disaster Management Centre (MDMC);
Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU);
YAKKUM Emergency Unit (YEU);
Yayasan Buddha Tzu Chi;
Yayasan Pulih;
Humanitarian Forum Indonesia (HFI);
Dompet Dhuafa;
MER-C;
PERDHAKI;
Co-Share
PERSI
IDI
Fakultas Kedokteran, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Totalitas
PERDHAKI
PKBI
Forum Pengurangan Risiko Bencana Provinsi Sumatera Barat
Klaster Nasional Pengungsian dan Perlindungan
Klaster Nasional Pencarian dan Penyelamatan
Klaster Nasional Logistik
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 2
KATA PENGANTAR
Pada tahun 2006 dilakukan reformasi kemanusiaan yang berbasis pada 3 pilar untuk memastikan
efektifitas dan efisiensi aksi-aksi kemanusiaan. Salah satu dari 3 pilar itu adalah pendekatan klaster.
Pendekatan klaster adalah salah satu pendekatan koordinatif yang menyatukan semua pihak terkait baik
pemerintah maupun non pemerintah dalam penanganan bencana. Dalam Standar Kemanusiaan Inti
salah satu dari 9 komitmen para pihak yang terlibat dalam aksi kemanusiaan berkomitmen adalah
menyampaikan respons kemanusiaan yang terkoordinir dan saling melengkapi. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) yang bertugas mengelola bencana secara nasional melalui SK 173
tahun 2014 telah menetapkan berlakunya pendekatan klaster dalam penanggulangan bencana di
Indonesia. Melalui rangkaian pertemuan konsultatif para pemangku kepentingan, baik di sektor
kesehatan, maupun antar klaster sejak awal tahun 2015 telah disusun Pedoman Implementasi Klaster
Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana.
Para pemangku kepentingan dalam penanggulangan bencana telah menyusun sistem dan prosedur
koordinasi, kolaborasi, integrasi agar pengelolaan kesehatan pada saat terjadi krisis agar bisa optimal.
Koordinasi kolaborasi dan integrasi perlu disiapkan. Agar siap perlu dilatihkan. Agar bisa dilatihkan perlu
ada pedoman. Dengan membuat pedoman bersama, disepakati bersama, ini akan menjadi rujukan
latihan bersama. Dengan latihan bersama kita bisa siap melakukan aksi kemanusiaan yang efektif dan
efisien. Bilamana diperlukan semua pihak yang terlibat dalam bidang kesehatan mampu berkoordinasi,
kolaborasi dan integrasi.
Secara internal telah dibicarakan tentang klaster kesehatan, juga subklaster kesehatan. Dalam pedoman
ini juga disampaikan peran klaster kesehatan, tanggungjawab dan kewenangan klaster kesehatan. Dalam
proses penyusunan pedoman Klaster Kesehatan telah kami mengundang Klaster Pencarian dan
Penyelamatan dan Klaster Perlindungan dan Pengungsian agar bisa berkomunikasi dan berkoordinasi
sejak awal. Titik singgung yang telah disepakati selama rapat koordinasi, adalah pendekatan klaster tidak
berarti pendekatan penanggulangan bencana yang terfragmentasi, melainkan kesadaran dan komitmen
kegiatan yang saling bersinggungan dan bekerjasama.
Misalnya dalam penanganan pengungsi, ada hal yang berkaitan dengan kesehatan, air, rawan gizi,
kesehatan jiwa, kekerasan berbasis gender, kelompok penyakit tertentu, ini merupakan domain klaster
kesehatan untuk bekerjasama dengan Klaster Pengungsian dan Perlindungan. Pusat Penanggulangan
Krisis Kesehatan telah mengundang para pihak agar mampu mengenali titik tumpang tindih layanan dan
menyepakati mekanisme koordinasi dan kerjasama.
Adanya Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana ini semoga menjadi
tanda jejak jaman baru penanggulangan bencana di Indonesia yang semakin efektif, efisien dan
bertanggunggugat.
Jakarta, 2015
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 3
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 8
I.1 Latar Belakang ...................................................................................................................... 8
I.2 Landasan Hukum .................................................................................................................. 8
I.3 Maksud dan Tujuan .............................................................................................................. 9
I.4 Ruang Lingkup ...................................................................................................................... 9
I.5 Prinsip-prinsip ...................................................................................................................... 9
A. Prinsip-prinsip Bantuan Kemanusiaan ........................................................................................................... 10
B. Prinsip-prinsip kemitraan ........................................................................................................................... 11
C. Sistem Kesehatan Nasional ........................................................................................................................ 11
D. Visi Pembangunan Kesehatan Nasional ...................................................................................................... 11
I.6 Daftar Istilah Utama ........................................................................................................... 12
BAB II STRUKTUR KLASTER KESEHATAN ............................................................. 18
II.1 PENDEKATAN KLASTER ...................................................................................................... 18
II.2 Struktur Klaster Kesehatan ................................................................................................ 21
II.3 Koordinasi Klaster Kesehatan ............................................................................................ 23
II.4 Tanggung Jawab Koordinator Klaster Kesehatan Secara Umum ......................................... 23
II.5 Manajemen Informasi Klaster Kesehatan........................................................................... 24
II. 6 Klaster Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota .................................................................... 25
Bab III Aktivasi dan Pelaksanaan Klaster Kesehatan ..................................................... 26
III. 1 Pengkajian Situasi Kesehatan .......................................................................................... 26
III.2 Menganalisis dan Prioritas ............................................................................................... 35
III.2 Mengembangkan suatu Strategi Bersama: Perencanaan Bersama .................................... 39
III. 4 Memastikan Standar Melalui Monitoring, Evaluasi dan Pembelajaran ............................. 51
BAB IV SUMBER DAYA ................................................................................................. 57
IV.1 Penggalangan Sumber ...................................................................................................... 57
IV.2 Permintaan Bantuan ....................................................................................................... 58
IV.3 Menyiapkan Penerapan CERF dalam Bidang Kesehatan .................................................... 59
IV.4 Menyiapkan, Memantau dan Mengulas suatu “Permintaan Bantuan Bersama”................ 60
IV.5 Bekerja dengan Donor; Mengakses Dana dari Sumber Lain .............................................. 61
IV. 6 Pembiayaan.................................................................................................................... 62
BAB V MONITORING, EVALUASI, PEMBELAJARAN DAN PELAPORAN ........... 63
V.1 Memantau Kinerja Klaster: Pembelajaran.......................................................................... 63
V.2 Memantau Pelaksanaan Tanggap Darurat Bidang Kesehatan............................................. 63
V.3 Mengorganisir Evaluasi dan Pembelajaran ........................................................................ 64
V. 4 Layanan Standar dan Daftar Indikator.............................................................................. 65
Daftar rujukan ................................................................................................................... 71
Rujukan berbahasa Indonesia.................................................................................................. 71
Rujukan berbahasa Inggris: ..................................................................................................... 74
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 4
Tujuan Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana bertujuan untuk menanggulangi krisis kesehatan secara cepat, tepat,
menyeluruh dan terkoordinasi melalui kesiapsiagaan sumberdaya di bidang kesehatan.
(disesuaikan dengan Revisi PERMENKES No. 64 Tahun 2013
Klaster Kesehatan merupakan salah satu pendekatan koordinatif yang bertujuan untuk mengefektifkan
dan meningkatkan kualitas koordinasi pada saat tanggap darurat dalam rangka mendukung tujuan
penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana. Kegiatannya meliputi :
Memperkuat koordinasi sektor kesehatan yang melibatkan pemerintah, lembaga- Lihat Bab
lembaga PBB, LSM, otoritas kesehatan, dunia usaha, donor dan anggota masyarakat, 2
termasuk antara pusat dan daerah, dan dengan sektor/klaster lainnya
Menyediakan pemetaan terkini mengenai para pelaku yang terlibat dalampelayanan
kesehatan serta kegiatan yang dilakukan
Menyepakati risiko dan masalah kesehatan yang menjadi prioritas pada saat tanggap Lihat Bab
darurat berdasarkan Penilaian Cepat Kesehatan 3
Menyediakan informasi mengenai kebutuhan dan situasi kesehatan terkini yang dapat
diakses oleh semua pemangku kepentingan;
Menyediakan data dan informasi terkini secara berkala mengenai perkembangan
situasi di lapangan serta permasalahan kesehatan yang ada
Menyusun Rencana operasi bersama untuk tanggap darurat kesehatan yang selalu Lihat Bab
diperbaharui 3
Menyusun rencana pemulihan dini bersama
Menyusun Rencana kontinjensi bersama untuk tanggap darurat terhadap bencana
susulan/sekunder yang dapat berdampak pada kesehatan penduduk.
Membagi tanggungjawab diantara mitra berdasarkan pada kapasitasnya masing-
masing.
Menyusun Standar, protokol dan Pedoman yang disepakati untuk penyediaan Lihat Bab
perawatan kesehatan dasar, format standar untuk pelaporan 3
Menyusun materi pelatihan dan kesempatan bagi semua mitra untuk meningkatkan
ketrampilan dan standar pelayanan, jika diperlukan
Menyepakati sumber-sumber pembiayaan dan penerapan Dana Siap Pakai Lihat Bab
Menyusun Rencana dan strategi advokasi bersama 4
Melakukan Kunjungan Lapangan Bersama untuk melakukan penilaian awal dan lanjut Lihat Bab
saat tanggap darurat serta monitoring; pembelajaran dan evaluasi bersama saat pasca 5
bencana
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 5
Daftar Singkatan
1
IASC mencakup OCHA, UNICEF, UNHCR, WFP, UNDP, UNFPA, FAO dan WHO. Lembaga lain yang diundang ICRC,
IFRC, IOM, ICVA (International Council of Voluntary Agencies), Inter-Action, SCHR (Steering Committee for Humanitarian
Response), RSGIDP (Perwakilan dari Sekretariat Jenderal Internally Displaced Persons), UNHCHR dan Bank Dunia.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 6
U5MR Under five mortality rate, Angka Kematian Balita
WASH Water, sanitation and hygiene, Air, Sanitasi dan Kebersihan
WHO World Health Organization
3W Who is where doing what Siapa di mana melakukan apa (dulu: Siapa berbuat apa, di mana)
4W who is where, when, doing what, Siapa di mana, kapan, melakukan apa
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 7
BAB IPENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) tahun 2013 menyatakan adanya 205 juta jiwa penduduk
terpapar risiko bencana tinggi, baik bencana akibat fenomena alam, non-alam, dan sosial. Ada 64 persen
dari total 614 kabupaten/kota di Indonesia2 berisiko tinggi bencana. Pada tahun 2014, data Kementerian
Kesehatan menunjukkan bahwa telah terjadi krisis kesehatan sebanyak 456 kali kejadian, yang
mengakibatkan korban meninggal 953 orang, korban lukaberat/rawat inap 1.932 orang, luka
ringan/rawat jalan 683.472 orang, korban hilang 391 orang dan pengungsi 985.895 orang.
Tantangan penanggulangan krisis kesehatan di Indonesia semakin meningkat. Hal ini antara lain
disebabkan oleh perubahan iklim dan bertambahnya jumlah penduduk.. Menyadari besarnya tantangan
dan pentingnya kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan dalam penanggulangan krisis
kesehatan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kementerian/Lembaga terkait
mengadopsi pendekatan klaster. Pendekatan klaster ini sudah digunakan dalam upaya tanggap darurat
dan pemulihan dampak gempa bumi di Yogyakarta tahun 2006 dan Sumatera Barat 2009. Pembelajaran
penggunaan pendekatan klaster ini menunjukkan kegiatan yang lebih terkoordinir dan efektif.
Pada bulan Oktober 2014 diadakan pertemuan Klaster Kesehatan dan disepakati sub-klaster-
subklasternya. Klaster Kesehatan merupakan satuan tugas/sekelompok dari pemerintah, non
pemerintah dan lembaga internasional untuk memenuhi kebutuhan sektor kesehatan dalam
penanggulangan bencana. Sub-klaster yang disepakati terdiri dari:
a. Pelayanan Kesehatan
b. Pencegahan dan pengendalian penyakit
c. Penyehatan lingkungan
d. Pelayanan gizi
e. Pengelolaan obat bencana
f. Kesehatan Reproduksi
g. Penanganan kesehatan jiwa
h. Penatalaksanaan korban mati3
Klaster Kesehatan - melalui Koordinator Sub-Klaster - bekerja dalam upaya-upaya pengurangan risiko
krisis kesehatan, memobilisasi sumber daya pada saat kedaruratan secara strategis maupun operasional,
serta mengkoordinasikan upaya-upaya pemulihan dini secara koheren dan efektif. Untuk memastikan
berbagai kegiatan yang dilakukan lebih selaras dan efektif, diperlukan koordinasi dan kolaborasi sumber-
sumber daya dalam berbagai fase penanggulangan krisis kesehatan.
2
Sampai tahun 2015 tercatat ada 34 Provinsi, 416 Kabupaten, 98 Kota, 7130 kecamatan, 8430 Kelurahan dan 74.754 Desa di
seluruh Indonesia (PERMENDAGRI RI Nomor 56 Tahun 2015 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintah)
3
DVI direncanakan mau dimasukkan ke pelayanan kesehatan. Sementara penatalaksanaan korban mati pemularasaan
(penguburan) diadvokasikan untuk ditangani oleh Kementerian/Dinas sosial. Batasan penatalaksanaannya sampai di mana?
Sampai identifikasi saja? Penguburannya belum jelas
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 8
7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
9. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik sosial
11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
12. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
13. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2014 tentang Pencarian dan Pertolongan
14. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah, Kabupaten/Kota
15. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana
16. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan Penanggulangan
Bencana
17. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu
Eksklusif
18. Peraturan PemerintahRepublik Indonesia No 66/2014 tentang Kesehatan Lingkungan
19. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial
20. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2007 tentang Badan SAR Nasional
21. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional
22. Peraturan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2013 tentang Penanggulangan
Krisis
23. Peraturan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2014 tentang Sistem Informasi
Penanggulangan Krisis Kesehatan
24. Peraturan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2014 tentang PUSKESMAS
25. Peraturan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 tentang Penilaian
Kerusakan dan Kerugian Bidang Kesehatan
26. SK MENKES Republik Indonesia Nomor 059/MENKES/SK/I/2011 Tahun 2011 Tentang Pedoman
Pengelolaan Obat dan Perbekalan Kesehatan Pada Penanggulangan Bencana
27. PERKA BNPB Nomor 173 Tahun 2015 tentang Klaster Penanggulangan Bencana
28. PERKA BNPB Nomor 6a Tahun 2008 tentang Dana Siap Pakai
29. PERKA BNPB Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pedoman Komando Tanggap Darurat
Untuk memberikan acuan hukum bagi institusi/organisasi anggota klaster kesehatan dalam
penanggulangan bencana, baik dari pemerintah, lembaga internasional, masyarakat, serta lembaga
usaha, dalam melakukan koordinasi, kerja sama, integrasi, dan sinergi yang efektif dan efisien.
2. Tujuan
memastikan kecukupan, keselarasan dan efektivitas upaya penanggulangan bencana bidang
kesehatan secara menyeluruh dan dapat dipertanggungjawabkan.
I.5 Prinsip-prinsip
Klaster dibentuk berdasarkan prinsip bantuan kemanusiaan dan prinsip kemitraan yang disepakati
dalam Global Humanitarian Platform4.
4
Global Humanitarian Platform (GHP) merupakan forum yang diluncurkan pada bulan Juli 2006 untuk menyatukan langkah tiga
keluarga besar bantuan kemanusiaan yang lebih luas:lembaga swadaya masyarakat; Palang Merah dan Bulan Sabit Merah dan
PBB serta organisasi internasional terkait lainnya untuk meningkatkan efektivitas tindak kemanusiaan.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 9
A. Prinsip-prinsip Bantuan Kemanusiaan
Sesuai dengan Resolusi SU PBB No 46/182 (19 Desember 1991), bantuan kemanusiaan harus diberikan
sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, netralitas dan ketidakberpihakan. Kepatuhan terhadap
prinsip ini merupakan cerminan akuntabilitas masyarakat pemberi bantuan kemanusiaan.
Kemanusiaan: Penderitaan manusia harus ditangani di manapun dia terjadi, dengan perhatian
khusus kepada anggota masyarakat yang paling rentan, seperti anak-anak, perempuan,
penyandang disabilitas dan warga lanjut usia. Harga diri dan hak-hak korban harus dihargai dan
dilindungi.
Netralitas: Bantuan kemanusiaan harus diberikan tanpa melibatkan kekerasan atau keberpihakan
dalam kontroversi yang bersifat politik, agama atau ideologi.
Ketidakberpihakan: Bantuan kemanusiaan harus diberikan tanpa membedakan asal suku, jenis
kelamin, kewarganegaraan, pandangan politik, ras atau agama. Bantuan untuk meringankan
penderitaan harus diberikan semata-mata karena kebutuhan dan prioritas harus diberikan pada
kasus bencana terkini.
Seluruh prinsip di atas diadopsi oleh Pemerintah Indonesia. Indonesia mempunyai 8 (delapan) asas dalam
penanggulangan bencana, seperti tercantum pada Pasal 3 ayat 2 Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yaitu:
a. Kemanusiaan – memberikan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia, harkat dan
martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional;
b. Keadilan – setiap materi muatan dalam penanggulangan bencana harus mencerminkan keadilan
secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali;
c. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan – materi muatan ketentuan dalam
penanggulangan bencana tidak boleh berisi hal-hal yang membedakan latarbelakang, antara lain,
agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial;
d. Keseimbangan , keselarasan, dan keserasian – keseimbangan – materi muatan ketentuan dalam
penanggulangan bencana mencerminkan keseimbangan kehidupan sosial dan lingkungan;
keselarasan – materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan
keselarasan tata kehidupan dan lingkungan; keserasian – materi muatan ketentuan dalam
penanggulangan bencana mencerminkan keserasian lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat;
e. Ketertiban dan kepastian hukum – materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana
harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui adanya kepastian hukum;
f. Kebersamaan – penanggulangan bencana pada dasarnya menjadi tugas dan tanggungjawab
bersama Pemerintah dan masyarakat yang dilakukan secara gotong royong;
g. Kelestarian lingkungan hidup – materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana
mencerminkan kelestarian lingkungan untuk generasi sekarang dan untuk generasi yang akan
datang demi kepentingan bangsa dan negara; dan
h. Ilmu pengetahuan dan teknologi – dalam penanggulangan bencana harus memanfaatkan
pengetahuan dan teknologi secara optimal, sehingga mempermudah dan mempercepat proses
penanggulangan bencana, baik pada tahap pencegahan, pada saat terjadi bencana, maupun pada
tahap pascabencana.
Indonesia juga mempunyai 9 (sembilan) prinsip-prinsip penanggulangan bencana, seperti tercantum pada
Pasal 3 ayat 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, yaitu:
a. Cepat dan tepat – penanggulangan bencana harus dilaksanakan secara cepat dan tepat sesuai
dengan tuntutan keadaan;
b. Prioritas – apabila tejadi bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat prioritas dan
diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia;
c. Koordinasi dan keterpaduan – koordinasi – penanggulangan bencana didasarkan pada koordinasi
yang baik dan saling mendukung; keterpaduan – penanguglangan bencana dilakukan oleh berbagai
sektor secara terpadu yang didasarkan pada kerjasama yang baik dan saling mendukung;
d. Berdaya guna dan berhasil guna – berdaya guna – dalam mengatasi kesulitan masyarakat
dilakukan dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan; berhasil guna –
kegiatan penanggulangan bencana harus berhasil guna, khususnya dalam mengatasi kesulitan
masyarakat dengan tidak membuang waktu, tenaga dan biaya yang berlebihan;
e. Transparansi dan akuntabilitas – transparansi - penanggulangan bencana dilakukan secara
terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan; akuntabilitas – penanggulangan bencana dilakukan
secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 10
f. Kemitraan – hubungan setara, terbuka, berbagi tanggungjawab, saling melengkapi antara para
pihak untuk tujuan dan sasaran bersama.
g. Pemberdayaan - segala upaya fasilitasi yang bersifat non-instruktif, guna meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan masyarakat, agar mampu mengidentifikasi masalah yang dihadapi,
potensi yang dimiliki, merencanakan dan melakukan penyelesaiannya dengan memanfaatkan
potensi setempat.
h. Nondiskriminatif – negara dalam penanggulangan bencana tidak memberikan perlakuan yang
berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras, dan aliran politik apapun; dan
i. Nonproselitisi – dilarang menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat
bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana.
B. Prinsip-prinsip kemitraan
Dalam berkoordinasi, kolaborasi dan bersinergi, anggota klaster/sub-klaster mengacu pada prinsip-
prinsip kemitraan di bawah ini:
Kesetaraan: semua anggota usaha saling menghargai mitra mereka, tanpa melihat ukuran dan
kekuatannya. Mitra saling menghargai mandat, tanggung jawab dan posisi masing-masing serta
mengakui keterbatasan dan komitmen semua pihak. Sikap saling menghargai ini memampukan
semua organisasi yang terlibat untuk menjalankan peran meskipun berbeda pandangan.
Transparansi: anggota saling terbuka berbagi informasi melalui dialog sejak pertemuan awal,
termasuk transparansi keuangan dapat meningkatkan tingkat kepercayaan antar organisasi.
Pendekatan berorientasi hasil: Bantuan kemanusiaan didasari atas kenyataan lapangan dan
berorientasi tindakan. Ini membutuhkan koordinasi yang berorientasi pada hasil berdasarkan
kemampuan yang ada.
Tanggung Jawab: organisasi bantuan kemanusiaan memiliki tanggung jawab etis untuk
melaksanakan tugas mereka secara bertanggung jawab, integritas, dengan cara yang relevan,
wajar dan baik. Mereka harus memastikan bahwa mereka hanya melakukan berbagai kegiatan
ketika mereka tahu apa yang mereka lakukan, memiliki kompetensi, keterampilan, dan kapasitas
untuk memberikan komitmen mereka. Organisasi melakukan pencegahan penyalahgunaan
bantuan kemanusiaan.
Saling melengkapi: Tingginya keragaman masyarakat pemberi bantuan kemanusiaan justru
merupakan modal dasar jika kita ingin memanfaatkan keunggulan komparatif dan mampu saling
melengkapi peran satu sama lain. Kapasitas setempat merupakan salah satu aset utama untuk
meningkatkan dan landasan pembangunan. Sekiranya memungkinkan, organisasi bantuan
kemanusiaan harus berjuang untuk menjadi satu bagian integral dari tanggap darurat. Hambatan
bahasa dan budaya harus dapat diatasi.
1. Upaya kesehatan
2. Penelitian dan pengembangan kesehatan
3. Pembiayaan kesehatan
4. Sumberdaya manusia kesehatan
5. Sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan
6. Manajemen, informasi, dan regulasi kesehatan
7. Pemberdayaan masyarakat
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 11
Dalam rangka mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, Pemerintah Indonesia telah
menetapkan tujuan pembangunan kesehatan, yang dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya dengan memberdayakan dan mendorong peran aktif masyarakat dalam segala
bentuk upaya kesehatan. Tujuan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan Republik
Indonesia Tahun 2005-2025 adalah “Indonesia Sehat 2025”. Disebutkan bahwa perilaku masyarakat
yang diharapkan dalam Indonesia Sehat 2025 adalah perilaku proaktif untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan; mencegah risiko terjadinya penyakit; melindungi diri dari ancaman penyakit
dan masalah kesehatan lainnya; sadar hukum; serta berpartisipasi aktif dalam gerakan kesehatan
masyarakat, termasuk menyelenggarakan masyarakat sehat dan aman.
Analisa Pengujian secara mendetil, metodis atas berbagai elemen pembentuk, struktur dan
saling keterhubungan.
Analisa Gender Proses yang dibangun secara sistematik untuk mengidentifikasi dan memahami
pembagian kerja/peran laki-laki dan perempuan, akses dan kontrol terhadap
sumber-sumber daya pembangunan, partisipasi dalam proses pembangunan dan
manfaat yang mereka nikmati, pola hubungan antara laki-laki dan perempuan yang
timpang, yang didalam pelaksanaannya memperhatikan faktor-faktor lainnya seperti
kelas sosial, ras, dan suku bangsa (INPRES RI Nomor 9 Tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional).
Analisa Pemangku Analisa kepentingan dan pengaruh relatif dari berbagai pemangku kepentingan yang
Kepentingan terlibat di dalamnya
Bantuan darurat Upaya memberikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan dasar pada saatkeadaan
bencana darurat. (UU RI No. 24 Th. 2007 tentang PB, Pasal 1:18)
Bencana Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan
dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban
jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
(UU Nomor 24 Tahun 2007)
Dampak Pengaruh terhadap populasi terdampak (misal penurunan insiden cacar air)
Efisiensi Kemampuan untuk menjalankan tugas dengan baik dan tepat dengan tidak
membuang waktu, tenaga maupun biaya
Evaluasi Penilaian, yang dilakukan secara sistematis dan seobyektif mungkin, atas suatu
proyek yang sedang berlangsung atau yang telah selesai, program atau kebijakan,
rancangannya, implementasi serta hasilnya.
Pengujian yang dilakukan secara sistematis dan tidak memihak (atas suatu tindak
bantuan kemanusiaan) dimaksudkan untuk menarik pelajaran untuk meningkatkan
kebijakan dan praktik untuk meningkatkan akuntabilitas
Evaluasi menjawab pertanyaan: Apakah kita telah mencapai apa yang kita tetapkan?
Jika tidak, mengapa demikian, dan apa yang perlu kita ubah?
Kesetaraan Kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan
Gender hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam
kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional, dan
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 12
kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. (INPRES RI Nomor 9
Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional).
Kemitraan Konsep “kemitraan” berarti tujuan bersama, tanggung jawab bersama atas capaian,
akuntabilitas terpisah dan saling menjalankan kewajiban masing-masing.
Klaster Sekelompok badan, organisasi, dan/atau lembaga yang bekerja sama untuk
mencapai tujuan bersama – untuk mengatasi kebutuhan pada sektor tertentu
(seperti kesehatan).
Salah satu pendekatan koordinasi yang mengampu semua pihak terkait baik
pemerintahan maupun non pemerintahan dalam penanganan bencana
Klaster Kesehatan Satuan tugas atau sekelompok satuan tugas untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
kesehatan dalam penanganan bencana
Koordinasi Proses (serangkaian kegiatan) yang menyatukan berbagai elemen berbeda dalam
satu harmoni atau hubungan yang efisien.
…Proses proaktif di mana alokasi material, tenaga, keuangan, dan sumber daya
teknis dibuat agar lebih efisien dan efektif
Korban bencana Orang atau sekelompok orang yang menderita atau meninggal dunia akibat
bencana. (UU RI No. 24 Th. 2007 tentang PB, Pasal 1:22)
Krisis Kesehatan Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam kesehatan individu atau
masyarakat yang disebabkan oleh bencana dan/atau berpotensi bencana.
(PERMENKES No. 77 Tahun 2014 tentang Sistem Informasi Krisis Kesehatan)
Lembaga Organisasi yang berada dalam lingkup struktur organisasi Perserikatan Bangsa-
internasional Bangsa atau yang menjalankan tugas mewakili Perserikatan Bangsa-Bangsa atau
organisasi internasional lainnya danlembaga asing nonpemerintah dari negara lain
di luar Perserikatan Bangsa-Bangsa. (UU RI No. 24 Th. 2007 tentang PB, Pasal 1:26)
Lembaga Usaha Setiap badan hukum yang dapat berbentuk badan usaha milik negara, badan usaha
milik daerah, koperasi, atau swasta yang didirikan sesuai denganketentuan
peraturan perundang-undangan yangmenjalankan jenis usaha tetap dan terus
menerus yangbekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara KesatuanRepublik
Indonesia. (UU RI No. 24 Th. 2007 tentang PB, Pasal 1:25)
Manajemen Proses menerima dan dan menyimpan data dengan cara sedemikian rupa sehingga
informasi data dapat diambil dengan cepat ketika dibutuhkan, dan dipilah secara sistematis
dan dianalisa untuk menghasilkan informasi bagi peringatan dini, perencanaan
program, pengelolaan, evaluasi, dan kepentingan advokasi.
Mitigasi Serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan
fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman
bencana. (UU Nomor 24 Tahun 2007)
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 13
Mitra Individu dan organisasi yang bekerja sama untuk mencapai sasaran yang telah
disepakati bersama.
Output Penyelesaian kegiatan pada waktu tertentu oleh suatu proyek (misal 10 000 anak
divaksinasi)
Pelaku Kesehatan Organisasi dan individu yang terlibat, baik secaralangsung maupun tidak langsung,
dalam pemberian layanan kesehatan.
Pemangku Lembaga, organisasi, kelompok atau individu yang memiliki kepentingan baik
Kepentingan langsung maupun tidak langsung atas suatu kegiatan tertentu, atau evaluasinya.
(Catatan: untuk kesehatan, ini biasanya kelompok yang lebih besar daripada
“pelaku kesehatan”.)
Pemantauan Pengumpulan, analisa dan penafsiran data secara sistematis, untuk merencanakan,
mengimplementasikan, dan mengevaluasi intervensi kesehatan masyarakat
Pemetaan atau Informasi Prakrisis Kesehatan berisi tentang gambaran keadaan kondisi wilayah,
Profil sumber daya serta upaya yang dilakukan. (PERMENKES Nomor 77 Tahun 2014
Penanggulangan tentang Sistem Informasi Krisis Kesehatan)
Krisis Kesehatan
Penanggulangan Upaya menanggulangan krisis kesehatan secara cepat, tepat, menyeluruh dan
krisis kesehatan terkoordinasi melalui kesiapsiagaan sumberdaya di bidang kesehatan.
Pendekatan Pendekatan Klaster merupakan cara untuk mengatur koordinasi dan kerja sama
Klaster antara para aktor bantuan kemanusiaan untuk memfasilitasi perencanaan strategi
bersaama.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 14
Pada tingkat nasional, pendekatan klaster:
(i) mengembangkan sistem kepemimpinan dan akuntabilitas bagi tanggap darurat
internasional di tiap sektor, di bawah satu kepemimpinan koordinator bantuan
kemanusiaan; dan
(ii) memberi kerangka kerja bagi kemitraan yang efektif di antara berbagai aktor
bantuan kemanusiaan internasional dan nasional di tiap sektor.
Pengkajian Serangkaian berbagai kegiatan yang dianggap perlu untuk memahami situasi
tertentu, meliputi pengumpulan, perbaruan dan analisa data terkait untuk
kepentingan populasi (kebutuhan, kemampuan, sumber daya, dll), serta kondisi
infrastruktur dan sosial ekonomi secara umum pada suatu lokasi/wilayah tertentu.
Proses yang terstruktur dalam pengumpulan dan analisa data untuk mengukur
dampak krisis, dan memberikan pemahaman atas situasi dan ancaman terkait,
untuk menentukan apakah dibutuhkan suatu respon tertentu dan, bila memang
demikian, bagaimana sifatnya. Pengkajian merupakan kegiatan yang terbatas waktu
yang menghasilkan laporan atau rekomendasi untuk menentukan pengambilan
keputusan pada suatu titik waktu tertentu.
Pengungsi Orang atau kelompok orang yang terpaksa atau dipaksa keluar dari tempat
tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk
bencana. (UU RI No. 24 Th. 2007 tentang PB, Pasal 1:20)
Peringatan dini Serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat
tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang
berwenang. (UU RI Nomor 24 Tahun 2007)
Prakrisis Serangkaian kegiatan yang dilakukan pada situasi tidak terjadi bencana atau situasi
kesehatan terdapat potensi terjadinya bencana yang meliputi kegiatan perencanaan
penanggulangan krisis kesehatan, pengurangan risiko krisis kesehatan, pendidikan
dan pelatihan, penetapan persyaratan standar teknis dan analisis penanggulangan
krisis kesehatan, kesiapsiagaan, dan mitigasi kesehatan. (PERMENKES No. 77
Tahun 2014 tentang Sistem Informasi Krisis Kesehatan)
Reformasi Proses yang diluncurkan oleh komunitas bantuan kemanusiaan internasional pada
Bantuan 2005 yang dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas tanggap darurat bantuan
Kemanusiaan kemanusiaan melalui usaha memperbesar kepastian, akuntabilitas dan kemitraan.
Elemen-elemen utamanya adalah: (1) pendekatan klaster; (2) penguatan sistem
Koordinator Bantuan Kemanusiaan; (3) pembiayaan bantuan kemanusiaan yang
lebih tepat waktu, fleksibel dan efektif; dan (4) pengembangan kemitraan yang kuat
antara aktor PBB dan non-PBB.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 15
Rehabilitasi Perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai
tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk
normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan
kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. (UU Nomor 24 Tahun 2007)
Risiko bencana Potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun
waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwaterancam, hilangnya
rasa aman, mengungsi, kerusakan ataukehilangan harta, dan gangguan kegiatan
masyarakat. (UU RI No. 24 Th. 2007 tentang PB, pasal 1:17)
Sektor Bagian terpisah dari suatu ekonomi, masyarakat atau lingkup suatu kegiatan.
Sistem Informasi Serangkaian kegiatan dan prosedur yang berupa pengumpulan, pemrosesan,
Kesehatan analisa, penyebaran, pencatatan dan penyimpanan data dari berbagai sumber
primer dan sekunder dan mengubah berbagai data tersebut menjadi informasi yang
berguna untuk mendukung pengambilan keputusan pada sektor kesehatan.
Sistem Informasi Seperangkat tatanan yang meliputi data, informasi, indikator, prosedur, perangkat,
Penanggulangan teknologi, dan sumber daya manusia yang saling berkaitan dan dikelola secara
Krisis Kesehatan terpadu untuk mengarahkan tindakan atau keputusan yang berguna dalam
mendukung penanggulangan krisis kesehatan
Sistem Kesehatan Keseluruhan organisasi, lembaga dan sumber daya yang ditujukan untuk
melakukan berbagai aksi kesehatan.
Status keadaan Suatu keadaan yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk jangka waktutertentu atas
darurat bencana dasar rekomendasi Badan yang diberi tugasuntuk menanggulangi bencana. (UU RI
No. 24 Th. 2007 tentang PB, Pasal 1:19)
Strategi Pendekatan yang akan digunakan untuk mencapai satu atau lebih sasaran yang
telah ditetapkan.
Survei sampel Metode pengumpulan informasi mengenai suatu masalah yang terstruktur dan
dapat dianalisa dan diperbandingkan secara statistik. Metode ini memberikan
gambaran atas suatu situasi dan sudut pandang responden pada saat data
dikumpulkan.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 16
Tanggap darurat Serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana
bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan
penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar,
perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana
dan sarana. (UU Nomor 24 Tahun 2007)
Tanggap Darurat Serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian akibat
Krisis kesehatan bencana untuk menangani dampak kesehatan yang ditimbulkan, yang meliputi
kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, pemenuhan kebutuhan dasar,
perlindungan dan pemulihan korban, prasarana serta fasilitas pelayanan kesehatan.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 17
BAB IISTRUKTUR KLASTER KESEHATAN
II.1 PENDEKATAN KLASTER
Beberapa Catatan Penting :
Klaster berperan sebagai mekanisme untuk mengkoordinasikan, bekerjasama, mengintegrasikan, dan
mensinergikan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
Klaster melibatkan berbagai organisasi yang terlibat untuk berkoordinasi, dan berkolaborasi dengan
aparat kesehatan setempat, dalam rangka menyelaraskan usaha, dan memanfaatkan sumber daya
yang ada secara efisien dan efektif berdasarkan kerangka kerja, sasaran, prioritas dan strategi yang
telah disepakati bersama.
Berbagai organisasi yang turut serta diharapkan sejauh mungkin dapat menjadi mitra yang proaktif
dalam kegiatan-kegiatan klaster kesehatan dan mematuhi standar yang telah disetujui bersama.
Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan sebagai pemimpin Klaster
Kesehatan Nasional bertanggung jawab kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana untuk
memastikan pelaksanaan fungsi klaster yang optimal, efektif dan efisien
Di tingkat Nasional, Menteri Kesehatan menunjuk seorang koordinator klaster kesehatan yang
bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas administrasi dan layanan pendukung lainnya agar
klaster dapat berfungsi secara efisien dan efektif. Di tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota, Kepala Dinas
Kesehatan menunjuk seorang Koordinator Klaster Kesehatan tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota.
Koordinator Klaster Kesehatan memfasilitasi dan memimpin kerja klaster, dan menjamin koordinasi
dengan klaster lain sehubungan dengan kegiatan terkait kesehatan masyarakat serta berbagai isu
terkait
Koordinator Klaster Kesehatan mempertimbangkan seluruh isu terkait kesehatan untuk
menghindari munculnya berbagai kelompok terpisah .
Di tingkat dunia, terdapat Klaster Kesehatan Global yang dipimpin oleh WHO. Klaster Kesehatan Global
memperkuat kapasitas nasional untuk memastikan adanya respon internasional yang efisien dan efektif .
Tugas utamanya adalah untuk membangun kapasitas global terkait tanggap darurat kemanusiaan
melalui tiga cara, yaitu:
(1) memberikan panduan, instrumen, standar dan kebijakan;
(2) mengembangkan sistem dan prosedur untuk mobilisasi para pakar dan pasokan bantuan secara
cepat;
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 18
(3) membangun kemitraan secara global untuk mengimplementasikan dan mempromosikan upaya
tanggap darurat kemanusiaan
Klaster Kesehatan Global tidak memberikan dukungan secara langsung kepada klaster nasional, namun
sekretariat Klaster Kesehatan Global dapat membantu menghubungkan Koordinator Klaster Kesehatan
Nasional dengan berbagai sumber terkait untuk bantuan teknis, bila dibutuhkan.
Klaster Kesehatan Nasional mendukung Klaster Provinsi dengan berbagai sumber terkait bantuan teknis
ketika diperlukan. Klaster Kesehatan Provinsi mendukung Klaster Kabupaten/Kota dengan berbagai
sumber terkait bantuan teknis ketika diperlukan.
Dasar
Mengapa pendekatan klaster?
Sebuah kajian independen yang dilaksanakan oleh UN Emergency Relief Coordinator pada 2005
mendapati adanya kesenjangan dalam upaya tanggap darurat bantuan kemanusiaan. Pada tahun yang
sama, IASC menggunakan pendekatan klaster untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas tanggap
darurat bantuan kemanusiaan dalam menghadapi krisis. Pendekatan klaster juga bertujuan untuk
meningkatkan kepastian dan akuntabilitas bagi seluruh pelaku utama dalam upaya tanggap darurat
bantuan kemanusiaan internasional. Pendekatan klaster merupakan salah satu dari tiga pilar utama
reformasi bantuan kemanusiaan, sementara dua lainnya adalah penguatan sistem Koordinator Bantuan
Kemanusiaan serta penguatan pembiayaan tanggap darurat kemanusiaan.
Di Indonesia pendekatan klaster dimulai pada tahun 2006 pada tanggap darurat dan pemulihan dampak
gempa Yogya 2006 dilanjutkan pada tanggap darurat dan pemulihan dampak gempa Sumatera Barat
2009. Cikal bakal pendekatan klaster sudah dilakukan dalam upaya tanggap darurat dan pemulihan
dampak gempa dan tsunami di Aceh, yaitu kelompok kerja organisasi-organisasi yang bekerja di sektor
yang sama, misalnya kesehatan, hunian sementara, perlindungan, kesehatan reproduksi, dan
perlindungan anak.
Klaster merupakan sekelompok badan, organisasi, dan/atau lembaga yang bekerja sama untuk mencapai
tujuan bersama – untuk mengatasi kebutuhan pada sektor tertentu (seperti kesehatan).
Pendekatan klaster merupakan cara untuk mengelola koordinasi, kerja sama, integrasi dan sinergi di
antara berbagai aktor bantuan kemanusiaan untuk memfasilitasi perencanaan strategis bersama.
Pendekatan klaster ini:
(i) Membangun sistem kepemimpinan dan akuntabilitas yang jelas pada tiap sektor, di bawah
kepemimpinan BNPB; dan
(ii) Memberikan kerangka kerja kemitraan yang efektif di antara berbagai aktor bantuan kemanusiaan
internasional, nasional, provinsi, dan kabupaten/kota pada tiap sektor.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 19
Pendekatan klaster memperkuat – bukan menggantikan - mekanisme koordinasi yang telah ada.
Hal ini ditujukan untuk memastikan bahwa bantuan internasional sejalan dengan struktur nasional dan
lokal dan untuk memfasilitasi hubungan yang erat di antara lembaga internasional, pemerintah,
masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya.
Selaras dengan itu, ini juga merupakan upaya memastikan bantuan nasional sejalan dengan struktur
daerah.
Tingkat Ketua
Dunia/Global UNOCHA
Nasional BNPB
Provinsi BPBD Provinsi
Kabupaten/Kota BPBD Kabupaten/Kota
Pada saat tidak ada bencana, anggota klaster atau subklaster bertemu untuk berkenalan, berbagi
informasi mutakhir temuan masing-masing, berbagi hasil kajian risiko bencana, berbagi rencana
pengurangan risiko bencana, dan bila memungkinkan bekerjasama di wilayah yang sama atau
melakukan hal sama di tempat yang berbeda, sesuai wilayah dampingan. Ketika ada indikasi potensi
bencana, anggota klaster atau subklaster bertemu untuk menyusun rencana kontinjensi. Pada saat
kejadian bencana, atau fase tanggap darurat, anggota klaster atau subklaster bertemu dan bekerjasama
untuk melakukan pengkajian lapangan bersama, merancang kegiatan bersama, melaksanakan kegiatan
sesuai kesepakatan wilayah dan peran, memantau, mengevaluasi, dan memetik pembelajaran dari upaya
kolaboratif klaster/subklaster.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 20
e. Melakukan kerjasama dengan klaster terkait bidang kesehatan
f. Mengkoordinir subklaster
g. Memastikan kegiatan penanggulangan bencana yang dilakukan anggota klaster kesehatan sesuai
dengan standar yang berlaku.
Dalam Surat Keputusan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana nomor 173 Tahun 2014
tentang Klaster Nasional, bidang tugas Klaster Kesehatan adalah:
1. Pelayanan kesehatan
2. Pengendalian penyakit
3. Penyehatan lingkungan
4. Penyiapan air bersih dan sanitasi yang berkualitas
5. Pelayanan gizi
6. Pengelolaan obat bencana
7. Penyiapan kesehatan reproduksi dalam situasi bencana
8. Penanganan kesehatan jiwa
9. Penatalaksanaan korban mati
10. Pengelolaan informasi bidang kesehatan.
Sepuluh bidang tugas Klaster Kesehatan di atas diorganisir dan dijadikan sub-klaster Kesehatan dengan
penyesuaian sesuai tugas-tugas dalam bidang kesehatan. Di setiap klaster ada sekretariat klaster yang
mengumpulkan, mengelola dan menyebarluaskan informasi kepada anggota klaster.
F.
G. Aktivasi Klaster Kesehatan
Penanganan bencana berdasarkan pada rencana kontinjensi yang telah disusun. Pendekatan klaster
merupakan bagian dari rencana kontinjensi yang diaktifkan bila terjadi bencana. Penetapan bencana
dilakukan oleh Kepala daerah/presiden sesuai dengan kewenangannya sebagaimana peraturan
perundangan yang berlaku.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 21
Hasil Rapat Koordinasi Klaster Kesehatan Oktober 2015, menyepakati bahwa Klaster Kesehatan
Nasional terdiri dari 8 sub-klaster dan koordinatornya, yaitu:
1. Sub Klaster Pelayanan Kesehatan
2. Sub Klaster Pengendalian Penyakit
3. Sub Klaster Penyehatan Lingkungan
4. Sub Klaster Pelayanan Gizi
5. Sub Klaster Pengelolaan Obat dan Perbekalan Kesehatan
6. Sub Klaster Kesehatan Reproduksi
7. Sub Klaster Kesehatan Jiwa
8. Sub Klaster Penatalaksanaan Korban Mati
Penambahan atau perubahan struktur dan nama sub-klaster dapat dilakukan jika dibutuhkan. Tiap
sub-klaster memilih koordinatornya dan juga sekretariat sub-klaster.
5
Ada wacana menjadi Subklaster Obat dan Logistik Kesehatan menjadi Bagian Umum, bukan menjadi subklaster.
6
Ada wacana menjadikan Subklaster Informasi Kesehatan menjadi Bagian dari Sekretariat Klaster Kesehatan (untuk
diputuskan oleh Kepala PPKK)
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 22
II.3 Koordinasi Klaster Kesehatan
Dalam hal penanggulangan krisis kesehatan berskala besar yang membutuhkan sumber daya
internasional, maka Koordinator Klaster Kesehatan Nasional berkoordinasi dengan Koordinator Klaster
Kesehatan Global yaitu World Health Organization (WHO). Pengerahan sumber daya diatur oleh
Koordinator Klaster Kesehatan sesuai dengan kewenangannya.
Bila krisis kesehatan yang terjadi skalanya melampaui kemampuan sumberdaya kesehatan provinsi,
maka Klaster Kesehatan Provinsi berkoordinasi dengan Koordinator Kesehatan Nasional untuk
pengerahan sumber daya tambahan yang diperlukan.
Bila krisis kesehatan yang terjadi skalanya melampaui kemampuan sumberdaya kesehatan
Kabupaten/Kota untuk menanganinya, maka Klaster Kesehatan Kabupaten/Kota berkoordinasi dengan
Koordinator Klaster Provinsi untuk pengerahan sumber daya tambahan yang diperlukan.
Agar koordinasi anggota subklaster kesehatan dapat berjalan efektif dan efisien, maka perlu:
1. Pertemuan rutin saat pra-bencana
2. Ada kesempatan mengembangkan kemampuan bersama: pelatihan bersama, latihan
bersama, gladi bersama, table top bersama;
3. Ada anggota dan “alternate” anggota
4. Ada sekretariat yang diberi Surat Keputusan
5. Ada media komunikasi di setiap sub-klaster, bisa melalui media sosial dan forum
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 23
2. Melibatkan perwakilan masyarakat secara aktif dalam pengkajian, analisis, perencanaan, respons,
pemantauan dan evaluasi.
3. Memberikan perhatian yang cukup terhadap isu-isu prioritas lintas sektoral yaitu dengan :
• Mengintegrasikan isu-isu prioritas lintas sektoral ke dalam perencanaan maupun kegiatan
klaster kesehatan, misalnya : lingkungan, gender, HIV / AIDS dan hak asasi manusia. Contoh :
isu mengenai gender yaitu dengan memastikan program sensitif gender dan mempromosikan
kesetaraan gender
berkontribusi pada pengembangan strategi yang tepat untuk mengatasi masalah terkait isu-isu
lintas sektoral;
4. Mengkoordinasi pengkajian cepat dan analisis kebutuhan dengan melibatkan semua mitra yang
relevan
Koordinator Klaster Kesehatan Nasional menangani manajemen informasi Klaster Kesehatan secara
keseluruhan yaitu pada pra bencana dan saat tanggap darurat
Informasi ini disimpan di sekretariat yang dapat diakses oleh setiap anggota klaster dan subklaster.
Informasi umum disampaikan oleh klaster atau sub-klaster kepada masyarakat melalui media yang
tepat, misalnya papan pengumuman, siaran radio, surat kabar setempat atau dipaparkan di media
sosial, sesuai keterjangkauan masyarakat dan para anggota klaster dan anggota sub-klaster.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 24
Informasi juga dibagikan dalam pertemuan klaster/sub-klaster secara reguler.
Selanjutnya menyangkut manajemen informasi secara lebih rinci dapat ditemukan di Bab 3.
Contoh formulir Informasi sumber daya kesehatan pada saat tanggap darurat :
No Nama Sub-klaster Jenis Lokasi Jumlah dan Jumlah dan jenis Lama
institusi pelayanan pelayanan jenis tenaga logistik serta penugasan
infrastruktur yang
dimiliki
1. PMI Pelayanan Pos Pos Pengungsi Dokter 1 Ambusan GADAR 1 9 s/d 19
kesehatan kesehatan Balai Desa A Perawat 1 Emergency kit 1 September
Supir Obat-obatan untuk
ambulans 1 1000 orang
Radio Komunikasi
2. PKBI Kesehatan Pos Kecamatan A Dokter 1 Kendaraan roda 11 s/d 20
reproduksi kesehatan Spesialis empat 1 September
keliling Obsgin 1 PPAM Kit 1000 buah
Psikolog 1 Alat penyuluh 4 set
Perawat 2
Bidan 2
Supir 1
3. Dit Kesehatan Pos Kecamatan B Dokter 1 Kendaraan roda 4 1 11 s/d 20
Kesehatan Reproduksi kesehatan Tenaga PPAM kit 1000 buah September
Ibu keliling penyluh 2 Alat penyuluh 5 unit
Psikolog 1
Bidan 2
Supir 1
Klaster Kesehatan Provinsi dibentuk oleh Kepala Dinas Kesehatan Tingkat Provinsi. Klaster
Kesehatan Kabupaten/Kota dibentuk oleh Kepala Dinas Kesehatan Tingkat Kabupaten/Kota.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 25
Bab III Aktivasi dan Pelaksanaan Klaster Kesehatan
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya , bahwa pada saat tanggap darurat, Kepala
Dinas Kesehatan kabupaten/Kota/Provinsi/Menteri Kesehatan dapat mengaktivasi klaster
kesehatan berdasarkan syarat-syarat :
a. Dampak krisis kesehatan yang luas
b. Potensi krisis kesehatan yang luas.
c. Aktivasi 1 atau lebih sub klaster kesehatan.
Hal tersebut di atas didapat berdasarkan hasil penilaian cepat kesehatan awal (initial rapid health
assessment)
7
Biasanya, informasi konteks tersebut harus tersedia dari Koordinator Kemanusiaan/OCHA dan sumber-sumber lain, sehingga
tim kesehatan tidak perlu menginvestasikan waktu dan usaha untuk mengumpulkan informasi tersebut.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 26
Penilaian dan Pemantauan Situasi
Penilaian dan pemantauan situasi yang sedang berlangsung bertujuan untuk :
(i) mengidentifikasi situasi dan kemungkinan untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan yang ada,
dan
(ii) () mempercepat pemulihan segera [pelayanan kesehatan yang dapat diakses secara adil oleh
masyarakat termasuk oleh kelompok rentan dan penyandang disabilitas. .
Penilaian merupakan kegiatan waktu terbatas yang memberikan informasi tentang situasi pada titik
tertentu dengan lebih cepat dan bagaimana tim penilaian memperkirakan situasi berkembang, dan
risiko yang mungkin dihadapi.
Pemantauan situasi merupakan kegiatan berkelanjutan yang memberikan informasi secara teratur
untuk memperbarui analisis situasi yang disediakan oleh penilaian terakhir, mengidentifikasi
kecenderungan dan mendeteksi perubahan-perubahan yang signifikan atau ancaman-ancaman baru
, yang dapat mempengaruhi kesehatan dan risiko kesehatan.
Anggota klaster perlu menyepakati sejumlah kegiatan penilaian dan pemantauan situasi yang koheren
dan terkoordinasi yang disesuaikan dengan konteks lokal dalam rangka mengidentifikasi prioritas dan
menyediakan informasi yang tepat waktu bagi para pengambil keputusan dalam kaitannya dengan
kemanusiaan maupun kebutuhan pemulihan dini.
Format pelaporan, perangkat yang digunakan, sistem pelaporan sesuai dengan PERMENKES Nomor 77
Tahun 2015 tentang Sistem Informasi Penanggulangan Krisis Kesehatan.
Kebutuhan Informasi
Data harus dikumpulkan dan dianalisis secara sistematis pada tiga aspek utama:
Status dan Risiko Kesehatan Ketersediaan Sumber Daya Kinerja Sistem Kesehatan
dan Layanan Kesehatan
Status kesehatan kelompok Fokus awal pada: fasilitas, Cakupan dan kualitas
populasi yang terkena dampak personil, logistik dan layanan (efektivitas) layanan yang tersedia
(misalnya, angka kematian, dari pemerintah pusat/daerah, saat ini;
kesakitan dan penyebab para pelaku non pemerintahan ,
utamanya a) dan risiko masyarakat dan mitra-mitra Akses (akses fisik dan sementara)
kesehatan (misalnya potensi internasional. yang dimiliki kelompok rentan
wabah atau gangguan lebih dan penyandang disabilitas baik
lanjut terhadap layanan atau Selanjutnya, setelah fase awal laki-laki, perempuan, dan
program pengendalian penyakit dan akut berakhir dan terutama pemanfaatannya oleh mereka.
utama). ketika mencoba untuk
mempromosikan pemulihan:
komponen di atas ditambah
komponen sistem kesehatan
lainnya (sistem manajemen,
pembiayaan, dll.)
Gambar 3a (di halaman 28) menunjukkan contoh perangkat untuk pengumpulan, pemeriksaan dan
analisis data tentang aspek- aspek inti ini dan bagaimana - melalui perbandingan dengan tolok ukur yang
ditetapkan - prioritas dan kesenjangan diidentifikasi dan strategi respons ditetapkan. Pemantauan dan
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 27
evaluasi berkelanjutan memberikan umpan balik agar informasi dapat diperbarui dan rencana dapat
disesuaikan. Dalam melakukan analisis dibutuhkan pemahaman tentang Situasi pra-krisis, untuk
memahami perubahan yang telah terjadi akibat bencana,.
Selain ketiga aspek utama tersebut, informasi tambahan lainnya yang dibutuhkan yaitu :
gambaran umum meliputi kondisi geografis, politik, sosial, ekonomi dan keamanan, dll. - untuk
menginformasikan rekomendasi tindakan untuk menyelesaikan masalah kesehatan prioritas dan
kesenjangan layanan;
pembelajaran dari respons terhadap krisis terdahulu di wilayah tersebut, atau di wilayah terdekat
lainnya, agar dapat membangun keberhasilan dan menghindari kesalahan terulang.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 28
Mengatur penilaian cepat bersama (dengan menggunakan penilaian awal cepat atau yang serupa)
setelah terjadi perubahan yang signifikan pada situasi atau ketika daerah yang sebelumnya tidak
dapat diakses menjadi dapat diakses.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 29
mewawancarai kelompok masyarakat dan rumah tangga.
Gambar 3e menunjukkan hasil utama yang diharapkan dari penilaian cepat awal. Hasil ini ini harus
terus diingat oleh semua pihak terkait ketika merencanakan dan melakukan penilaian cepat awal dan
menyiapkan laporan.
Gambar 3e Hasil yang diharapkan dari Penilaian Cepat Awal dalam kaitannya dengan kesehatan,
termasuk variasi di antara wilayah geografis atau kelompok penduduk.
Status dan risiko kesehatan Sumber daya kesehatan yang Kinerja sistem kesehatan
tersedia*
Petunjuk dari: Fasilitas kesehatan yang Petunjuk dari:
penyebab utama kematian berfungsi Akses masyarakat pada
dan kesakitan termasuk Sumber daya manusia yang fasilitas dan pelayanan
perubahan dari kondisi tersedia kesehatan
sebelum terjadi bencana Perlengkapan dan peralatan Penggunaan layanan
sumber potensial kesakitan yang tersedia kesehatan oleh masyarakat
dan kematian mendatang Pelaku kemanusiaan mana Perubahan jumlah konsultasi
ketersediaan sistem yang melakukan apa, dan per hari
peringatan dini yang sejak kapan Perubahan kegiatan
berfungsi untuk penyakit Tingkat perawatan dan perawatan pencegahan
rawan epidemi layanan kesehatan yang Keseluruhan fungsi subsistem
Cakupan vaksinasi campak disediakan - situasi saat ini kesehatan
untuk balita dan apa perubahannya
Program pengendalian
penyakit - situasi saat ini dan
perubahan yang terjadi
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 30
- Menyesuaikan format pengumpulan data penilaian cepat awal standar dengan konteks lokal, jika
perlu, dan menentukan bagaimana setiap data tambahan akan dimasukkan dan dianalisis.
- Mencari saran tentang gender dan isu-isu lintas sektoral lainnya yang mungkin penting dalam
konteks lokal.
Meninjau dengan cepat data sekunder yang berhubungan dengan kesehatan yang tersedia
Selanjutnya, bersama-sama dengan klaster lainnya:
- Membentuk tim penilai lapangan multi-disiplin. Untuk tim penilaian cepat kesehatan sekurang-
kurangnya terdiri dari 1 dokter umum, 1 epidemiolog dan 1 sanitarian. Pastikan mereka seimbang
dalam hal jenis kelamin,
- Memilih wilayah yang akan dikunjungi. Gunakan pengambilan contoh berjenjang untuk memilih
bukan hanya daerah yang diyakini sangat parah terdampak melainkan juga wilayah yang
mencakup berbagai kondisi yang berlainan dan kelompok- kelompok masyarakat yang mungkin
mengalami dampak berbeda dan menghadapi berbagai masalah dan risiko kesehatan - lihat
catatan panduan penilaian cepat awal.
- Menetapkan kriteria dan prosedur yang harus diterapkan oleh tim penilai dalam memilih situs -
situs individu untuk dikunjungi di wilayah yang dipilih.
- Menentukan data tentang sektor- sektor lain yang harus dikumpulkan anggota tim penilaian
kesehatan tanpa kehadiran anggota tim sektor- sektor lain, dan sebaliknya.
- Memberikan catatan panduan (termasuk definisi kasus) dan mengatur pelatihan cepat - dan
pengarahan keamanan, jika diperlukan - untuk semua tim penilaian lapangan.
- Menyediakan tim lapangan dengan data sekunder yang tersedia mengenai di daerah yang akan
mereka kunjungi sebelum mereka memulai kunjungan lapangan, sehingga wawancara dan
pengumpulan data primer dapat terfokus dengan tepat.
- Merencanakan logistik dengan teliti dan memastikan semua tim memiliki izin yang dibutuhkan
(jika diperlukan), transportasi (termasuk bahan bakar, dll.), komunikasi (radio dan/atau akses ke
telepon), GPS (dan terlatih dalam penggunaannya), dan akses akomodasi (peralatan berkemah, jika
perlu), air dan makanan.
- Membuat pengaturan untuk menerima serta menyusun dan menganalisis dengan cepat laporan
yang masuk dari tim penilai, fasilitas kesehatan, tim bantuan dan sumber lainnya. (Pengaturan ini
harus dibuat terlebih dahulu, sebagai bagian dari perencanaan untuk penilaian
- Menyiapkan anggaran yang realistis untuk seluruh proses penilaian - termasuk perjalanan
lapangan dan analisis data - dan menjamin ketersediaan aman.
Memastikan pemantauan konstan dan dukungan bagi tim penilai lapangan selama pekerjaan
lapangan.
Memastikan pengaturan untuk penerimaan laporan yang aman dari tim lapangan dan entri data yang
cepat ke dalam alat analisis penilaian cepat awal Mengatur pemimpin tim penilai untuk meninjau
laporan dan memasukkan komentar dan interpretasi mereka sendiri, sebagai bagian dari proses
analisa.
Mengatur penyelesaian secara cepat seluruh laporan dan menyebarkannya segera ke semua pelaku
kesehatan, donor dan pemangku kepentingan lainnya dengan menggunakan email, situs web, dan
bahan cetak.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 31
Komponen sistem kesehatan lainnya: kebijakan, infrastruktur, pembiayaan, persediaan dan
manajemen.
Semua penilaian dan survei lanjutan membutuhkan perencanaan matang. Survei membutuhkan sumber
daya besar (manusia, keuangan dan logistik) supaya hasilnya dapat diandalkan dan bermanfaat. Hasilnya
terkadang sensitif secara politis dan membutuhkan penanganan yang hati-hati. Kehati-hatian harus
diterapkan untuk mencegah survei kelebihan muatan (over-loading) dengan mencoba merespons terlalu
banyak tuntutan yang berbeda untuk data!
8
Daftar yang lebih lengkap sedang disusun oleh Global Health Cluster pada 2009.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 32
Epidemiolog berpengalaman harus memimpin dalam memilih sejumlah kecil kondisi (maks. 10) yang
akan dimonitor. Ini mungkin termasuk gizi buruk akut dan keracunan.
Informasi harus dikumpulkan dari berbagai sumber termasuk media massa dan sumber-sumber
informal. Rumor harus diselidiki dan ditangani baik atau ditolak.
Unsur-Unsur Penting dari Sistem Peringatan Dini dan Respons yang Efektif
Konsensus di antara para pelaku kesehatan mengenai daftar singkat kondisi prioritas yang harus
dimonitor, dan format pelaporan standar,.
Cara komunikasi yang dapat diandalkan dan cepat.
Pedoman unit-unit lapangan termasuk kriteria atau batasan di mana mereka harus membuat
peringatan dan melakukan tindakan-tindakan tertentu.
Pelatihan pekerja klinis di tingkat perawatan primer dan sekunder dalam pengoperasian sistem.
Kapasitas dukungan laboratorium dan prosedur yang jelas untuk mengambil dan mengirimkan
sampel biologis, dan memberikan umpan balik kepada unit pelaporan.
Persediaan sampling kit, obat-obatan dan vaksin.
Rencana kontijensi untuk respons yang komprehensif terhadap epidemi, termasuk rencana untuk
bangsal isolasi di rumah sakit.
Informasi terbaru dibutuhkan secara terus menerus sepanjang krisis untuk menginformasikan
keputusan tentang tindakan respons, memonitor efek intervensi kesehatan dan memungkinkan
dilakukan penyesuaian jika diperlukan, dan untuk mendukung upaya-upaya mobilisasi sumber daya.
Sistem Informasi Kesehatan Nasional yang tepat harus dibentuk kembali secara berkelanjutan dan
secepat mungkin.
Satu organisasi – mitra klaster lainnya - harus bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan sistem
pemantauan dan memimpin upaya internasional untuk membangun (kembali) Sistem Informasi
Kesehatan yang, jika diperlukan.
Sering terjadi, terutama di tempat yang telah berulang kali mengalami bencana bencana dan periode
pemulihan yang tidak memadai, kapasitas Sistem Informasi Kesehatan nasional terbatas. Dukungan bagi
pembentukan kembali Sistem Informasi Kesehatan yang sesuai selanjutnya merupakan komponen
penting dari strategi respons krisis kesehatan.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 33
Upaya Klaster Kesehatan
Bekerja sama dengan mitra klaster, sebagaimana mestinya, untuk:
Menyepakati sejumlah indikator utama yang sensitif gender yang disesuaikan dengan situasi dan
kapasitas lokal, dan bagaimana, dari mana dan pada frekuensi berapa informasi akan dikumpulkan.
Secara teratur menyusun dan menganalisis informasi dari semua sumber mengenai situasi
kesehatan, faktor-faktor penentu kesehatan, dan kinerja layanan kesehatan, dan selanjutnya
mengidentifikasi masalah-masalah yang muncul, kesenjangan kritis atau daerah yang
membutuhkanintervensi.
Menyepakati strategi untuk terus meningkatkan cakupan dan muatan laporan dari fasilitas
kesehatan, tim kesehatan dan para pelaku kesehatan lainnya, dan memperkuat atau membangun
kembali sistem informasi kesehatan nasional.
Memastikan bahwa temuan-temuan pemantauan dipublikasikan segera dan dikirimkan secara
teratur kepada para pengambil sesuai dengan PERMENKES No. 77 / 2014.
Titik fokus klaster kesehatan wilayah yang didukung oleh ahli epidemiologi atau analis data yang
berpengalaman lainnya, jika tersedia, harus memastikan analisis lokal yang cepat bekerja sama dengan
pejabat kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota dan para pemangku kepentingan lainnya. Ini harus
mengidentifikasi prioritas untuk tindakan segera dan memberikan interpretasi lokal bersama-sama
dengan data mentah kepada Koordinator Klaster Kesehatan dan anggotanya.
Masalah-masalah umum yang patut ditangani berhubungan dengan pemantauan ketersediaan layanan
utama dan cakupannya. Kotak di bawah ini menyajikan panduan tentang menghitung cakupan. Adanya
perubahan pada cakupan merupakan indikato penting untuk menilai efektivitas respons kesehatan
secara keseluruhan dan juga proyek pemberian layanan individu.
Jika kekerasan seksual dan berbasis gender menjadi perhatian utama, ada baiknya untuk menyertakan
informasi tentang cakupan pelayanan medis bagi korban perkosaan dan sistem rujukan untuk layanan
hukum, perlindungan dan psikososial.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 34
Memperkirakan Cakupan
Cakupan untuk tujuan epidemiologis, adalah “suatu ukuran jangkauan sejauh mana layanan yang
diberikan mencakup kebutuhan potensial layanan-layanan ini di dalam suatu masyarakat. Ukuran ini
dinyatakan dalam % di mana numerator adalah jumlah layanan yang diberikan dan denominator adalah
jumlah contoh di mana layanan harus diberikan [Last JM. A Dictionary of Epidemiology. Oxford University
Press, 2001].
Dalam suatu krisis kemanusiaan, cakupan bisa dihitung berhubungan dengan total penduduk yang
terpengaruh, total penduduk yang terpengaruh yang bisa dijangkau, atau, untuk intervensi target, jumlah
penduduk target.
Perubahan cakupan dapat digunakan untuk memantau sejauh mana suatu program bekerja dalam
mencapai populasi target. Untuk tujuan evaluasi, perubahan cakupan merupakan suatu ukuran
sederhana dari perbedaan antara tingkat cakupan pada titik-titik waktu yang berbeda:
Untuk perbandingan antara perkiraan yang sah, tingkat cakupan harus diestimasi dengan menggunakan
metodologi standar yang sama di setiap titik waktu.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 35
III.2.1 Identifikasi dan analisis masalah, risiko dan kesenjangan
Analisis tujuan perencanaan melibatkan dua langkah:
1. Analisis kesenjangan termasuk identifikasi masalah-masalah kesehatan, risiko dan kesenjangan
dalam layanan serta prioritas layanan atas dasar risiko kesehatan yang ditimbulkan - jumlah orang
(perempuan, laki-laki,kelompok rentan dan penyandang disabilitas).
2. Analisis pilihan yang tersedia (layak dan dapat diterima) untuk mengatasi kesenjangan/masalah-
masalah prioritas dan prioritasasi tindakan kesehatan dengan memperhitungkan sumber daya yang
akan diperlukan dan manfaat kesehatan yang bisa diharapkan dalam konteks lokal yang berlaku
termasuk kondisi keamanan, hambatan-hambatan operasional dan faktor-faktor kontekstual lainnya.
Ini sering melibatkan unsur pertimbangan subyektif dan profesional.
Proses mengidentifikasi dan memprioritaskan masalah dan tindakan harus transparan. Kriteria prioritas
harus dicatat secara eksplisit. Analisis harus mempertimbangkan ke-3 aspek kunci akan tetapi juga
konteks dan pelajaran dari pengalaman sebelumnya, seperti yang dijelaskan pada Gambar 4a.
Seperti halnya unsur-unsur lain dari proses kajian dan respons, identifikasi dan prioritas masalah, risiko
dan kesenjangan, dan analisis penyebab, merupakan proses kontinyu dan berulang:
Sebuah analisis pendahuluan - definisi skenario awal - dalam 24-72 jam pertama menginformasikan
tindakan respon selama beberapa hari pertama.
Analisis awal dalam konteks kajian cepat awal yang diselesaikan dalam waktu 10 sampai 15 hari
menjadi dasar dalam keputusan perencanaan awal yang lebih besar. Ini bermanfaat untuk
menyarikan analisis dalam “skenario perencanaan awal”.
Analisis situasi dan skenario perencanaan yang diperbarui setiap kali diperlukan, terutama setelah suatu
tindakan review berkala atau kajian ulang setelah perubahan besar pada situasi keseluruhan.
variasi musiman).
Pertimbangan bagaimana situasi ini diharapkan berkembang dan peristiwa-
peristiwa tertentu (kontinjensi) yang bisa mengubah konteks.
Identifikasi masalah & risiko kesehatan prioritas, dan pemberian kesenjangan kritis
dalam layanan kesehatan (sumber daya, cakupan, kualitas, penggunaan, dll.)
Analisis penyebab langsung dan dasar masalah-masalah kesehatan dan kesenjangan dalam ketersediaan
dan pemanfaatan layanan kesehatan.
Identifikasi pilihan respons yang mungkin; analisis kelayakan dan dampak kesehatan yang mungkin.
Area-area prioritas yang direkomendasikan, tujuan, strategi dan tindakan prioritas ... (... untuk
mengatasi masalah prioritas dan mengisi kesenjangan kritis).
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 36
kesenjangan dalam ketersediaan layanan kesehatan bagi penduduk yang terpengaruh oleh krisis
kemanusiaan dan cakupan layanan kualitas prioritas;
setiap kesenjangan penting dalam informasi kesehatan; dan
isu-isu lintas sektor yang akan mempengaruhi prioritas dan perencanaan serta pelaksanaan respon
(gender, usia, HIV/AIDS, dll.)
Setelah tahap darurat akut awal berakhir, analisis harus mempertimbangkan masalah-masalah yang
berkaitan dengan unsur-unsur tertentu dari sistem kesehatan termasuk kebijakan, infrastruktur
kesehatan, sumber daya manusia, pembiayaan kesehatan, obat-obatan dan manajemen, dan pemberian
layanan kesehatan. Pohon masalah dapat membantu dalam mengidentifikasi hierarki masalah dan
penyebabnya. Pohon masalah ini dapat membantu untuk mengidentifikasi masalah yang akan
difokuskan untuk mendapatkan manfaat kesehatan terbesar.
Analisis konteks
Analisis konteks harus mencakup analisis:
faktor-faktor politik, sosial dan budaya (termasuk namun tidak terbatas pada pertimbangan gender)
mempengaruhi – secara positif atau negatif - status kesehatan, layanan perawatan kesehatan, dan
kelayakan intervensi perawatan kesehatan;
situasi keamanan yang mencakup penyebab konflik dan implikasinya untuk tindakan kesehatan;
sumber daya dan kapasitas yang tersedia, dan apa yang diperkirakan akan dimobilisasi;
peran dan pengaruh setiap pelaku atau pemangku kepentingan kesehatan yang baru (misalnya
militer, bandan non-negara);
peluang yang tersedia untuk perbaikan atau inovasi dalam perilaku terkait kesehatan atau
pemberian layanan kesehatan;
hambatan-hambatan terhadap tindakan kesehatan, termasuk hambatan logistik, operasional,
administratif dan budaya; dan
evolusi yang diharapkan dari seluruh situasi dan implikasi untuk pemberian dan akses layanan
kesehatan dan kesehatan.
Yang juga berguna adalah mereview pelajaran dari pengalaman terdahulu di daerah tersebut dan situasi
serupa di daerah lainnya dan mempertimbangkan relevansi potensialnya pada situasi saat ini.
9
Analisis konflik adalah studi sistematis tentang profil, penyebab, aktor, dan dinamika konflik. Analisis ini membantu organisasi
pengembangan, kemanusiaan dan pembangunan perdamaian untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang konteks area
mereka bekerja dan peran mereka dalam konteks itu.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 37
Memastikan analisis berbasis bukti dan menyeluruh:
- Dengan jelas menunjukkan adanya ekstrapolasi dan asumsi;
- Triangulasi data dari sumber-sumber yang berbeda dan mempertimbangkan (mengevaluasi)
keandalan dari berbagai data dan sumber;
- Mempertimbangkan masalah-masalah gender, perlindungan dan hak asasi manusia, dampak
HIV/AIDS, kondisi keamanan, dan setiap hambatan akses; dan
- Mengidentifikasi - mencari - perbedaan antar daerah dan kelompok masyarakat yang berbeda,
dan perbedaan terkait usia dan gender (pertimbangkan perbedaan situasi dan kebutuhan laki-
laki dan perempuan, anak perempuan dan anak laki-laki).
Memeriksa dengan teliti setiap perbedaan informasi, atau contoh-contoh dimana temuan-temuan
yang dilaporkan berbeda dari apa yang mungkin diharapkan.
Mencari sumber-sumber kesalahan atau bias yang mungkin dalam data yang dilaporkan.
Memastikan bahwa kebutuhan-kebutuhan area yang terisolasi (yang mengganggu komunikasi) tidak
dipandang remeh atau diabaikan, dan kebutuhan tidak dilebihkan dengan konsentrasi pada data dari
area-area yang terdampak paling parah.
Mengidentifikasi topik, area, atau kelompok populasi yang kekurangan informasi atau informasinya
sangat tidak bisa diandalkan. Mengapa informasi kurang atau tidak bisa diandalkan? Apakah arti
pentingnya? Mana yang merupakan kesenjangan informasi paling penting? Apa yang bisa dilakukan
untuk mengisinya, kapan dan oleh siapa?
Data yang dipisahkan menurut jenis kelamin dan usia serta area geografis dibutuhkan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini. Langkah selanjutnya adalah menjawab pertanyaan: pilihan apa yang tersedia
untuk mengatasi masalah-masalah ini, sumber-sumber apa yang dibutuhkan, dan apa dampak yang
diharapkan?
Fokus pada identifikasi dan penanganan ancaman- ancaman langsung terhadap kehidupan dan risiko
kesehatan masyarakat yang paling mendesak terlebih dahulu. Kumpulkan data yang dapat dipercaya dan
memadai, serta lakukan analisis mendalam tentang situasi, risiko dan masalah-masalah keberlanjutan
sebelum mengusulkan program baru.
Format pada Gambar 4b dapat berfungsi sebagai lembar kerja dan catatan alasan pembuatan keputusan.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 38
Penyebab mendasar; hubungan ke faktor-faktor lain.
Kelayakan dalam menangani dan memiliki dampak terukur
dalam jangka pendek.2
Kontribusi tindakan untuk membangun kembali sistem
kesehatan dan melindungi kesehatan public.3
Berdasarkan di atas; prioritas untuk tindakan
kemanusiaan/pemulihan dini (1-5)1
Kesepakatan tentang strategi respons sektor kesehatan, termasuk tujuan - tujuan khusus dan
strategi tingkat kegiatan, adalah penting bagi tindakan kesehatan kemanusiaan yang terkoordinasi
dan Terpadu. Semua pelaku kesehatan utama harus terlibat dalam menentukan unsur-unsur ini
dan mereka harus dipahami oleh semua pemangku kepentingan..
Kajian, analisis, pengembangan strategi dan perencanaan merupakan proses berulang. Pernyataan
strategi respons, yang menyediakan landasan untuk semua kegiatan klaster, harus dikembangkan
dan disempurnakan secara progresif:
- Suatu uraian strategi respons awal harus disiapkan di awal, dalam beberapa hari pertama, dan
menyediakan landasan bagi respons awal oleh mitra- mitra klaster dan paket proposal untuk
pengajuan Dana Siap Pakai serta bila perlu kerangka kerja bagi Permintaan Bantuan (Flash Appeal)
.10
- Pernyataan strategi respons sektor kesehatan yang lebih terperinci dan pertama harus disusun
berdasarkan temuan- temuan dari kajian cepat awal. Pernyataan ini harus dihubungkan dengan
pengembangan Permintaan Bantuan revisi dan kemudian Rencana Aksi Bersama yang diperlukan
untuk banding konsolidasi pertama, jika ada, biasanya setelah dalam waktu 2 bulan dari permulaan.
Strategi harus diperbarui jika diperlukan berdasarkan pada informasi terbaru dan pemantauan situasi,
setelah terjadi suatu perubahan besar pada situasi tersebut, dan sebelum penyusunan Rencana Aksi
Bersama yang baru.
Strategi keseluruhan, tujuan dan strategi tingkat kegiatan individu harus ditinjau dan diperbaharui
saat dan ketika dibutuhkan.
Koordinator Klaster Kesehatan harus membimbing mitra dalam memilih wilayarah kerja dan kegiatan
yang diprioritaskan, dan setiap sumber daya terkumpul yang tersedia pada Klaster harus digunakan
untuk mengisi kesenjangan yang paling penting.
Rencana darurat harus disusun untuk menghadapi ancaman yang akan datang pada pelayanan
kesehatan atau kesehatan.
10
“Skenario kerja” awal dapat membantu dalam menyiapkan suatu strategi garis besar awal – lihat bagian 3.3 dan Lampiran B8
pada Managing WHO Humanitarian Response in the Field, Geneva: World Health Organization, 2008.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 39
Hasil Klaster Kesehatan yang diharapkan
Suatu strategi respons krisis kesehatan yang diperbaharui regular dan bersama dengan prioritas dan
tujuan yang jelas untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan prioritas, risiko, dan kesenjangan
dengan cara yang wajar dan mempromosikan pemulihan dini (termasuk membangun kapasitas).
Distribusi tanggung jawab di antara mitra berdasarkan kapasitas untuk melaksanakannya di
lapangan.
Rencana kontinjensi bersama untuk respons pada peristiwa-peristiwa mendatang yang dapat
berdampak pada kesehatan populasi atau aktifitas respons mitra.
Strategi perorangan merupakan pendekatan yang diadopsi untuk menyelesaikan tujuan-tujuan khusus
(seperti mencegah – atau mengurangi risiko – wabah campak, memastikan pasokan berkesinambungan
obat-obatan atau menetapkan kembali dan meningkatkan sistem informasi kesehatan) dalam periode
waktu yang ditetapkan.
Dalam suatu krisis, perencanaan cenderung dibatasi kontrak dan ruang lingkup berkurang menjadi
proyek. Hasilnya adalah fragmentasi, dengan berkembangnya unit-unit perencanaan khusus yang
bekerjasendiri-sendiri. Strategi yang sudah disepakati, dan pengembangan rencana- makro keseluruhan,
dapat membantu mengurangi fragmentasi.
Memilih strategi tingkat kegiatan adalah memutuskan bagaimana mengatasi masalah dan risiko prioritas
tertentu untuk mencapai tujuan dan menghindari setiap efek negatif yang potensial. Sebagai contoh:
Untuk membatasi risiko wabah campak, satu pilihan adalah kampanye imunisasi campak massal.
Tapi, jika Anda menganggap cakupan saat ini cukup baik, mungkin lebih baik untuk memperkuat
sistem imunisasi rutin sambil memfokuskan upaya dan sumber daya pada prioritas kesehatan
lainnya.
Jika ada kekurangan obat, pilihannya bisa mengimpor obat dalam jumlah besar, mengimpor kotak
obat, atau membeli obat-obatan di pasar lokal. Pilihan harus dibuat dengan mempertimbangkan
berbagai faktor termasuk kecepatan pengiriman dan dampak yang mungkin ditimbulkan terhadap
pengaturan suplai obat dalam jangka menengah.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 40
Harus ada hubungan yang jelas dan terlihat di antara (i) masalah-masalah prioritas, risiko dan
kesenjangan prioritas yang teridentifikasi, dan (ii) tujuan spesifik dan strategi yang dipilih. Pilihan
alternatif untuk mengatasi masalah-masalah prioritas harus diperiksa dan alasan pilihan strategi
tertentu dijelaskan dalam dokumen strategi.
Variasi musiman dan efeknya yang biasa pada pola penyakit serta pemberian layanan dan akses,
harus diperhitungkan. Ini termasuk musim hujan dan kemarau, dan kenaikan kekerasan musiman
pada beberapa keadaan darurat yang kompleks.
Strategi respons krisis harus mencakup pentahapan untuk memastikan cakupan pelayanan awal
minimal yang efektif sebelum menyediakan layanan penting yang lebih luas. Strategi ini harus
mengatasi semua aspek: sumber daya manusia, fasilitas, peralatan dan suplai.
Pemulihan harus dipromosikan dari momen sedini mungkin, dengan menyiratkan pemikiran jangka
panjang dalam perencanaan. Upaya-upaya harus dilakukan untuk menggunakan dan memperkuat
struktur yang ada dan membangun kembali kapasitas lokal, jika memungkinkan. Efek potensi negatif
harus dipertimbangkan dan diminimalkan.
Kekhawatiran lintas sektor seperti gender, HIV/AIDS, lingkungan dan perlindungan harus
diintegrasikan ke dalam proses perencanaan.
Langkah-langkah dalam mengembangkan strategi respons sektor kesehatan dalam situasi krisis
Proses pengembangan strategi respons sektor kesehatan berdasarkan analisis situasi secara skematis
diperlihatkan pada Gambar 5a.
Analisis konteks, termasuk masalah kapasitas, sumber daya dan hambatan, sangat penting bagi
penetapan tujuan (yang harus realistis), analisis pilihan respons dan pemilihan strategi tingkat-aktifitas
(yang harus sesuai dan layak), dan penyusunan strategi respons sektor kesehatan secara keseluruhan
(yang juga harus realistis).
Untungnya, ketika menetapkan area-area dan strategi prioritas tidak selalu harus dimulai dari serpihan.
Respons tertentu bisa “diberikan” dalam banyak konteks berdasarkan pengalaman panjang dalam banyak
krisis dan keputusan manajerial yang diperlukan adalah jelas. Misalnya, kampanye imunisasi campak
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 41
sering merupakan respons yang tepat di tempat-tempat dengan sistem rutin telah terganggu. Kebutuhan
yang mungkin untuk respons semacam itu harus dikenali dan dianalisis. Ini penting, terutama saat fase
respons akut pertama, ketika waktu diutamakan. Namun, secara umum, tujuan khusus harus
ditetapkan dan strategi tingkat aktifitas dipilih berdasarkan temuan kajian dan prioritas-yang teliti
untuk mencapai manfaat kesehatan yang maksimal dengan sumber daya yang diharapkan tersedia
selama periode perencanaan tertentu.
Menetapkan prioritas
Tetapkan wilayah geografis yang terkena dampak dalam kaitannya dengan masalah dan risiko
prioritas kesehatan. Masalah dan risiko ini harus fokus pada penanganan sebab-sebab utama
kematian dan penyakit dalam konteks lokal dan hambatan-hambatan utama dalam pemberian dan
akses layanan kesehatan.
Awalnya, fokusnya adalah memastikan bahwa kebutuhan kemanusiaan yang mengancam jiwa terpenuhi,
sementara selalu mencari kesempatan untuk mempromosikan pemulihan dan membangun kembali
sistem yang lebih baik. Begitu kebutuhan yang mengancam jiwa terpenuhi, fokus harus bergeser semakin
ke arah membangun kembali kapasitas dan sistem nasional yang lebih baik sambil memastikan bahwa
setiap kebutuhan kemanusiaan yang tersisa terpenuhi.
Menetapkan Tujuan
Pastikan bahwa tujuan mengangkat secara langsung masalah- masalah prioritas dan risiko yang
teridentifikasi dalam kajian disesuaikan untuk fase spesifik respons dengan mempertimbangkan:
- Konteksnya, kapasitas dan sumber daya yang tersedia;
- Variasi musiman dan evolusi yang diharapkan dari keseluruhan situasi; dan
- Perlindungan dan isu hak asasi manusia, dampak HIV/AIDS, kondisi keamanan, keterbatasan
akses, dan hambatan-hambatan lain pada orang-orang dan pemberian layanan, dan membedakan
antara laki-laki dan perempuan, anak perempuan dan anak laki-laki.
Tujuan juga mungkin harus mempertimbangkan keperluan yang harus dipenuhi - kebijakan dan nilai-
nilai dari beragam pemangku kepentingan yang akan mempengaruhi evolusi seluruh situasi keseluruhan
dan pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan kesehatan. Tujuan-tujuan khusus dapat mencakup
peningkatan informasi dan penguatan sistem serta mencapai hasil kesehatan langsung.
Mengidentifikasi dan memilih di antara pilihan respons alternatif mengharuskan analisis konteks serta
informasi sektor kesehatan yang relevan. Ini juga menuntut kemampuan untuk membandingkan situasi
saat ini dengan yang lain, konteks yang sama, untuk belajar dari masa lalu, dan untuk terlibat dengan
berbagai pemangku kepentingan yang mungkin termasuk para pemain baru (masyarakat sipil, para
pelaku non-negara, dan lain-lain.) yang sesuai dan relevan. Ini juga melibatkan pertimbangan nilai dan
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 42
membutuhkan diplomasi dan kebijaksanaan politik untuk memastikan bahwa perspektif semua
pemangku kepentingan utama diakui dalam proses analisis dan diperhitungkan dalam strategi akhir.
Matriks seperti di bawah ini mungkin dapat membantu untuk memetakan dan mencatat isu-isu/masalah
utama dan pilihan respons.
1: 1: 1:
2: 2: 2:
1: 1: 1:
2: 2: 2:
Memastikan bahwa tujuan awal realistis dan fokus pada kebutuhan kemanusiaan yang mengancam jiwa
sambil memanfaatkan setiap peluang yang mungkin ada untuk memulai pemulihan segera.
Fokus pada mengisi kesenjangan dalam layanan yang mendukung kehidupan kritis di daerah-daerah di
mana banyak orang diketahui, atau diyakini, akan terkena dampak serius, dan mengisi kesenjangan
informasi yang sangat penting untuk menentukan kebutuhan dan perencanaan respons yang tepat.
Cobalah untuk memastikan setiap organisasi yang memikul tanggung jawab untuk wilayah atau kegiatan
tertentu memiliki, atau akan memiliki, kapasitas dan sistem untuk mendukung kegiatan lapangan yang
direncanakan.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 43
Strategi yang diarahkan pada tujuan kemanusiaan untuk mengurangi kelebihan kematian [yang dapat
dihindari], misalnya, bisa menjadi tidak sesuai dalam konteks pemulihan atau transisi ketika kelebihan
kematian terkendali dan tujuan telah bergeser pada aktivasi ulang layanan kesehatan yang penting.
Strategi tingkat aktifitas dapat, dan harus diubah jika terbukti tidak efektif untuk mencapai
tujuan/sasaran yang ditetapkan. Jika perlu, tujuan mungkin perlu disesuaikan kembali, sering dengan
mengurangi ambisi dan ruang lingkunya.
Apa Yang Harus Dimasukkan Dalam Dokumen Strategi Respons Sektor Kesehatan:
Dokumen harus menyajikan area prioritas, tujuan dan strategi respons (tingkat kegiatan) dan dasar
pemikiran. Dasar pemikiran harus menjelaskan, ringkas, alasan - pembenaran - untuk prioritas dan
strategi yang dipilih. Ini akan sangat ringkas untuk dokumen strategi permulaan, yang lebih terperinci
untuk dokumen berikutnya. Dokumen harus:
menyediakan analisis ringkas dari situasi termasuk daftar prioritas masalah utama dan
penyebabnya, dan menjelaskan pilihan prioritas;
menyajikan tujuan untuk setiap wilayah utama intervensi (misalnya pencegahan dan pengendalian
penyakit menular, rehabilitasi cedera, pengawasan, manajemen persediaan obat) dan strategi yang
diusulkan untuk mencapai tujuan, yang menunjukkan bagaimana tujuan dan strategi diturunkan
dari temuan kajian dan analisis situasi; dan menyoroti hambatan-hambatan operasional dan
masalah-masalah silang antar-sektoral yang telah diidentifikasi sebagai sangat penting bagi
kesehatan pada situasi saat ini dan menjelaskan bagaimana hambatan dan masalah tersebut
diperhitungkan, dan menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip pemrograman umum darurat
diterapkan.
Dalam banyak peristiwa, terutama ketika terdapat perspektif dan tekanan yang saling bertentangan,
adalah penting mengadopsi pendekatan tambahan dan melanjutkan secara bertahap ke arah tujuan yang
ditetapkan, dengan memperhitungkan resistensi dan peluang yang muncul selama proses tersebut. Ini
termasuk mendapatkan konsensus mengenai tujuan lanjutan, mencapai tujuan tersebut, dan selanjutnya
bergerak ke sasaran yang lebih tinggi begitu konteks tersebut kondusif. Pemantauan yang baik, dan
mungkin, evaluasi waktu riil, sangat penting untuk menelusuri hasil lanjutan dan memfasilitasi
kesepakatan pada fase lanjutan berikutnya.
III.3.2 Menyiapkan Komponen Kesehatan Dalam Suatu Rencana Aksi Kemanusiaan Bersama
Rencana Aksi Bersama merupakan rencana strategis menyeluruh untuk respons kemanusiaan yang
mencakup semua sektor yang relevan. Rencana kerja ini merupakan inti dari pengajuan terkonsolidasi
akan tetapi bisa juga menjadi suatu referensi bagi organisasi yang memutuskan untuk tidak
berpartisipasi dalam pengajuan tersebut. RAB meliputi:
analisis konteks dan konsekuensi kemanusiaan (kebutuhan dan risiko kemanusiaan dengan
mempertimbangkan kapasitas dan kerentanan kelompok- kelompok penduduk yang terkena dampak
berlainan);
skenario - skenario terbaik, terburuk, dan paling mungkin;
prioritas strategis termasuk pernyataan yang jelas tentang tujuan dan sasaran jangka panjang; dan
rencana yang diprioritaskan untuk setiap sektor (yang salah satunya adalah kesehatan).
Di tingkat nasional RAB disusun oleh BNPB didukung oleh BAPPENAS dan K/L. Anggota non-IASC,
seperti LSM nasional, dapat disertakan. Para pemangku kepentingan lainnya dalam aksi kemanusiaan
harus dikonsultasikan, khususnya pemerintah tuan rumah dan donor. Di tingkat
Provinsi/Kabupaten/Kota, RAB disusun oleh BPBD didukung oleh BAPPEDA dan SKPD terkait.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 44
Upaya Klaster Kesehatan
Kontribusi pada unsur-unsur lintas sektoral keseluruhan
Koordinator Klaster Kesehatan memimpin diskusi di antara mitra klaster kesehatan dan berkonsultasi
dengan BNPB dan BAPPENAS /BPBD dan BAPPEDA untuk mengembangkan: (i) bagian dari konteks
keseluruhan dan konsekuensi kemanusiaan; (ii) prioritas strategis untuk operasi kemanusiaan secara
keseluruhan, dan (iii) kriteria umum untuk memilih dan memprioritaskan proyek.
Perhatikan bahwa dukungan apapun yang diperlukan untuk menjamin fungsi efektif klaster kesehatan,
dan kemampuan badan dan koordinator pemimpin klaster untuk memenuhi tanggung jawab mereka,
harus disertakan dalam paket tersebut. Garis anggaran mungkin dibutuhkan untuk, misalnya
manajemen informasi, komunikasi, dan evaluasi.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 45
penjelasan singkat tentang bagaimana kelompok klaster/sektor akan memantau pelaksanaan dan
pencapaian tujuan;
implikasi jika strategi kesehatan tidak dilaksanakan.
Strategi harus berdasarkan bukti dan terhubung jelas dengan satu atau beberapa prioritas kemanusiaan
strategis keseluruhan yang disepakati, dan termasuk organisasi-organisasi utama yang bekerja di sektor
kesehatan.
Masing-masing proyek harus ditinjau dan disetujui oleh klaster kesehatan/kelompok sektor dan
mendukung strategi penanggulangan kesehatan yang ditetapkan (lihat boks berikutnya di bawah).
Setelah krisis berkepanjangan, atau menjelang berakhirnya suatu krisis, pemulihan merupakan proses
yang kompleks dan panjang. Mitra internal dan eksternal harus bekerja sama untuk membangun kembali
kapasitas negara untuk memberikan layanan kesehatan dan layanan penting lainnya dan di saat yang
sama juga membangun kembali kegiatan ekonomi. Perencanaan pemulihan sistem kesehatan harus
dimulai sejak dini. Merumuskan kebijakan yang kuat, strategi yang tepat dan rencana yang fleksibel,
merupakan langkah-langkah penting untuk menyediakan kerangka kerja untuk aksi dalam lingkungan
yang sangat terfragmentasi.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 46
Prinsip-prinsip panduan
Perhatikan bahwa efisiensi kadang-kadang harus diabaikan untuk mencapai keadilan, misalnya,
dengan menggunakan unit bergerak untuk mengirimkan layanan di daerah terpencil dan tidak
terlayani.
11
Sebagai contoh: unit kesehatan bisa dibangun atau diperluas di kota-kota atau daerah- daerah yang lebih aman dan menjadi
mubazir ketika situasi kembali normal; pekerja kesehatan tingkat rendah dapat diberikan pelatihan singkat ad hoc, yang mengarah
pada harapan terintegrasi dalam sistem kesehatan; saluran suplai obat yang beragam dapat digunakan sebagai pengganti saluran
yang resmi; sistem informasi yang beragam dapat diterapkan sehingga mengurangi fungsi saluran informasi yang seragam, dll
12
Ada kebutuhan bagi suatu rencana yang didorong secara nasional dan menyeluruh dan disetujui semua donor, dengan "pelaku
utama" yang menyediakan dan berbagi visi yang jelas, mengilhami dan mengawasi kajian bersama, dan menysiapkan kebijakan,
strategi dan rencana yang luas. KEMENKES biasanya menjadi "pelaku utama" akan tetapi, jika KEMENKES masih tidak
memiliki kapasitas yang sesuai, badan internasional terkemuka bisa menjalankan peran ini melalui suatu perjanjian dengan
pemerintah.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 47
Upaya Klaster Kesehatan
Bekerja bersama-sama dan bersama dengan KEMENKES/Dinas Kesehatan, jika sesuai, untuk
memastikan bahwa semua program dan kegiatan kesehatan darurat dirancang dan dilaksanakan
dengan cara-cara yang berkontribusi terhadap pembangunan kembali kapasitas lokal. Coba,
khususnya, untuk memastikan bahwa:
- Fasilitas dan sistem yang ada digunakan, diaktifkan kembali dan diperbaiki, jika memungkinkan
- dan sistem paralel dan baru dihindari kecuali benar-benar diperlukan;
- Kompetensi dalam negeri yang sudah ada diidentifikasi dan digunakan sebanyak mungkin;
- Personil lokal terlibat dalam semua kegiatan kajian , perencanaan dan respons;
- Kebutuhan pelatihan ulang diidentifikasi dan pelatihan yang berorientasi tugas dan sesuai
diberikan sedini mungkin;
- Ada kesetaraan kesempatan dalam partisipasi dan pelatihan bagi perempuan dan laki-laki.
Cobalah untuk mendapatkan kesepakatan di antara semua pelaku kesehatan utama:
- Pentingnya menjaga dan, jika memungkinkan, memperkuat struktur kesehatan tingkat Pusat dan
daerah; dan
- Cara menghindari kelumpuhan struktur ini. (Kemungkinan bisa termasuk membayar insentif
kepada staf KEMENKES/Dinas Kesehatan untuk menginap di pos mereka. Gunakan imajinasi
untuk menemukan cara, bersama-sama dengan mitra.)
Mencegah semua pelaku kesehatan untuk menciptakan sistem paralel yang baru, kecuali benar-
benar diperlukan.
Memfasilitasi kemitraan internasional/nasional dengan dan di antara LSM untuk membantu
membangun kapasitas lokal.
Mempromosikan Prinsip-prinsip Kemitraan yang sudah dicantumkan di bab 2
Sambil menjamin aksi kesehatan masyarakat untuk melindungi jiwa dan mengurangi penyakit yang
dapat dihindari dan kecacatan, tingkatkan perhatian pada pemulihan dengan memperhitungkan
seluruh kondisi sosial ekonomi, kapasitas kelembagaan para pelaku pemerintah dan non-negara dan
sifat krisis, dan perbedaan di antara wilayah geografis yang berbeda.
Bekerjasama dalam kajian kerusakan, kerugian dan kebutuhan – yang biasanya dipimpin oleh BNPB
dan BAPPENAS di tingkat nasional atau BPBD dan BAPPEDA di tingkat Provinsi/Kabupaten/kota
dan dilaksanakan melalui konsultasi erat dengan K/L di tingkat Nasional atau SKPD di tingkat
Provinsi/Kabupaten/Kota- dan kajian antar-lembaga, berorientasi pemulihan, pasca krisis lainnya
seperti misi kajian bersama dan kajian kebutuhan pasca bencana.
Sambil menggunakan Rencana Aksi Bersama untuk mengerahkan sumber daya bagi beberapa
kegiatan pemulihan dini awal, ketika sepakat dengan Klaster Kesehatan dan tim negara
kemanusiaan, menggali kemungkinan untuk mendanai kegiatan terkait pemulihan yang lebih besar
melalui kesepakatan bilateral atau multilateral termasuk dana hibah multi donor (multi-donor trust
funds/MDTF) dan mencakup kegiatan- kegiatan prioritas dalam Kerangka Kerja Bantuan Nasional
PBB (UN Country Assistance Framework /CAF).
Mempercepat pembangunan kapasitas pada lembaga-lembaga nasional sehingga mereka, dan
perusahaan-perusahaan nasional, dapat memimpin dalam pembangunan kembali fasilitas serta
layanan dan dengan demikian mempercepat proses kepemilikan nasional proses dan hasil.
(Menunjukkan keberadaan dan kesediaan lembaga nasional untuk memikul peran signifikan dalam
proses pemulihan, dan dengan demikian mempercepat peralihan dari ketergantungan kepada
sumber-sumber eksternal menjadi pada diri sendiri.)
Mengidentifikasi lembaga dan perusahaan lokal yang berfungsi baik yang dapat menjadi model atau
mendukung kerusakan fasilitas atau layanan kesehatan.
Ketika keadaan darurat berlalu dan banyak pelaku kesehatan eksternal pergi, serah terima layanan
kesehatan kepada pemerintah harus direncanakan dengan matang - diurutkan secara progresif, langkah-
demi-langkah selama jangka waktu tertentu.
Mempromosikan/mendukung pemetaan/kebutuhan tenaga kesehatan dengan mempertimbangkan
analisis kesenjangan sektor kesehatan.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 48
Mempromosikan (mendukung KEMENKES/Dinkes Prov/Kab/Kota) dalam pemetaan dan pelacakan
investasi/kontribusi finansial pada sektor kesehatan.
Mendorong semua pemangku kepentingan sektor kesehatan untuk membuat komitmen keuangan
dan rencana pemulihan berdasarkan pada bukti-bukti dari analisis sektor kesehatan terbaru dan
terutama data Sistem Pemetaan dan Ketersediaan Sumberdaya Kesehatan sebagai dasar untuk
memperkirakan obat dan kebutuhan bahan lainnya.
Mendukung KEMENKES/Dinkes Prov/Kab/Kota dan para pelaku kesehatan lainnya untuk
mengembangkan upaya berbasis bukti yang jelas berdasarkan retribusi pengguna (termasuk
identifikasi/pengamanan pendanaan alternatif di mana retribusi pengguna dihapuskan atau
dikurangi secara signifikan).
Pemulihan Kesehatan merujuk Sistem Kesehatan Nasional (2012) seperti sudah dicantumkan pada bab I,
yang terdiri dari 7 sub-sistem, yaitu:
1. Upaya kesehatan
2. Penelitian dan pengembangan kesehatan
3. Pembiayaan kesehatan
4. Sumberdaya manusia kesehatan
5. Sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan
6. Manajemen, informasi, dan regulasi kesehatan
7. Pemberdayaan masyarakat
Seluruh kegiatan yang direncanakan harus mempertimbangkan pemenuhan hak-hak asasi manusia,
gender, keprihatinan dan risiko lingkungan dan hambatan yang terkait dengan HIV/AIDS.
Gender:
o Apakah strategi dan cara pelaksanaan mempromosikan kesetaraan gender dan mengurangi risiko
tindak kekerasan seksual dan berbasis gender?
o Apakah kegiatan akan meningkatkan ketidaksetaraan yang sudah ada?
o Dapatkah kegiatan atau cara kegiatan disesuaikan untuk mempromosikan kesetaraan gender yang
lebih baik?
HIV/AIDS:
o Apakah strategi sudah menimbang prevalensi HIV/AIDS dan mengurangi risiko penularan yang cocok
secara budaya?
o Dapatkah kegiatan atau cara pelaksanaan disesuaikan agar lebih cocok untuk orang dengan
HIV/AIDS dan mengurangi risiko penularan?
o Apakah standar kehati-hatian telah dilaksanakan secara efektif di seluruh bidang (prioritas pertama
sebelum menimbang kegiatan lain)?
o Apakah pengaturan tempat memastikan kesinambungan pengobatan untuk pasien yang sudah
mendapatkan terapi anti retroviral?
o Apakah strategi pencegahan yang sudah ada sebelum krisis dipertahankan?
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 49
Lingkungan:
o Apakah strategi dan cara pelaksanan yang diusulkan sudah memastikan perlindungan lingkungan
dan sumber daya alam?
o Apakah mungkin kegiatan tidak menghasilkan sampah yang tidak perlu?
o Dapatkah kegiatan atau cara pelaksanaan disesuaikan agar lebih melindungi lingkungan?
Dukungan psikososial:
o Apakah strategi yang diusulkan melibatkan suatu layanan yang terkoordinasi dan terpadu yang
mencakup pemberian dukungan psikososial dasar kepada masyarakat terdampak?
o Apakah strategi yang diusulkan memungkinkan pengerahan, kepemilikan, pengendalian,
kemandirian, dan dukungan komunitas serta praktik penyembuhan budaya?
o Apakah strategi dan cara pelaksanaan yang diusulkan sudah mempertimbangkan pertimbangan
sosial (bantuan untuk semua yang menghargai martabat, pertimbangkan praktik budaya dan
sumberdaya komunitas yang ada)?
CATATAN: Variasi musiman seperti musim hujan dan musim kemarau, dan efeknya terhadap pola
penyakit serta pemberian dan akses layanan, juga harus diperhitungkan, akan tetapi ini harus
iintegrasikan ke dalam strategi respons krisis kesehatan dasar. Rencana darurat harus mencakup
peristiwa yang lebih luar biasa lainnya.
Bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan dan para pemangku kepentingan lainnya:
Mengidentifikasi dan memprioritaskan kemungkinan kontinjensi yang, pada bulan-bulan mendatang,
bisa berdampak terhadap:
- Kesehatan penduduk; atau
- Operasi bantuan kemanusiaan yang sedang berlangsung di sector kesehatan.
Menentukan di dalam klaster, berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan dan para pelaku
kesehatan utama lainnya, bagaimana peristiwa tersebut akan dikelola - bagaimana kebutuhan
kesehatan baru akan direspons dan bagaimana dukungan dan layanan operasional akan
dipertahankan jika/ketika peristiwa tersebut terjadi.
Memperkirakan sumber daya tambahan - manusia, material, keuangan - yang mungkin diperlukan
untuk menanggapi situasi baru, menentukan bagaimana hal tersebut dimobilisasi dan tempat untuk
menempatkan persediaan.
Memastikan pemantauan rutin persediaan cadangan dan penggantiannya setiap kali dibutuhkan.
Menyusun rencana kontinjensi klaster kesehatan bersama yang menggambarkan skenario yang
diantisipasi, menentukan pengaturan untuk kajian dan perencanaan bersama segera, menguraikan
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 50
strategi respons, tindakan dan sumber daya yang mungkin akan dibutuhkan, dan memberikan peran
dan tanggung jawab khusus untuk aksi jika/ketika peristiwa tersebut terjadi dan langkah-langkah
kesiapsiagaan segera.
Menyebarkan rencana kepada semua pemangku kepentingan dan memastikan bahwa semua mitra
klaster melakukan tindakan yang diperlukan secara internal supaya siap dalam memenuhi
peran/tanggung jawab mereka jika/ketika peristiwa tersebut terjadi. Jika dibutuhkan, siapkan
proyek-proyek khusus untuk meningkatkan kesiapan dan berupaya untuk memobilisasi sumber-
sumber yang diperlukan dari donor.
Secara reguler mereview (i) daftar kontijensi dan skenario yang mungkin, dan (ii) rencana kontijensi.
Memperbaruinya ketika diperlukan.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 51
wabah. Waktu respon yang lambat (lebih dari 48 nasional, internasional) untuk konfirmasi.
jam). Pembangunan secepatnya sistem Peringatan Dini
dan Tanggap Darurat. Membangun stok pasokan
kontingensi untuk tanggap darurat.
Malaria Mengembangkan dan menyebarluaskan standar
Kurang adanya pencegahan dan pengobatan dan panduan operasional, advokasi untuk Panduan
malaria yang terstandar, sesuai dengan pengaturan pengobatan berbasis bukti, dan rencana dukungan
epidemiologi dan fasa respon, dan untuk kelompok tambahan untuk pasokan obat-obatan dan bahan
khusus seperti penderita gizi buruk parah. yang diperlukan.
HIV/AIDS & Infeksi Menular Seksual (IMS) Menginisiasi paket layanan minimum berbasis
Layanan untuk pencegahan dan perawatan Masyarakat untuk pencegahan IMS dan HIV, yang
HIV/AIDS diabaikan, tidak memadai, dan tidak sensitif gender dan umur.
terintegrasi ke dalam pelayanan kesehatan.
Kurangnya pencegahan dan pengobatan yang Memberikan pasokan yang memadai untuk
sesuai usia dan gender untuk IMS dan HIV/AIDS, pencegahan, diagnosa dan pengobatan, termasuk
yang terkoordinasi dengan sektor-sektor lainnya. obat-obatan antiretroviral bila perlu.
Pembuangan limbah tidak selalu aman.
Memberikan kondom secara tepat melalui berbagai
Transfusi darah tidak selalu aman. saluran untuk memastikan akses universal.
Mengembangkan dan menyebarluaskan standar
dan Panduan operasional untuk implementasi dan
memonitor pembuangan limbah dan transfusi
darah yang aman.
Dukungan psikososial dan Kesehatan Jiwa Berkolaborasi dengan Klaster Perlindungan dan
Perencanaan khusus tahapan untuk dukungan mendefinisikan “kerangka kerja lokal” untuk
psiko-sosial dan kesehatan jiwa yang tidak teratur bantuan psiko-sosial dan kesehatan mental dini
atau tidak ada, terutama untuk pengelolaan dalam tanggap darurat. Dalam fasa darurat,
ketergantungan alkohol. Kurangnya pendekatan tindakan terutama harus bersifat sosial, dengan
berbasis Masyarakat terhadap kesehatan mental. pekerja Masyarakat menggalang bantuan sosial dan
memberikan pertolongan pertama psikologis,
sekaligus melindungi penderita gangguan jiwa
parah.
Penatalaksanaan Jenazah (forensik) Menyebarluaskan standar dan Panduan
Pemakaman jenazah yang tidak pantas secara operasional.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 52
sosial dan budaya, kuburan massal.
Mengadvokasi dengan otoritas nasional untuk
pemakaman yang layak secara budaya sesuai
dengan yang diindikasikan.
Untuk keperluan Klaster, Standar Nasional Indonesia Nomor 7937 Tahun 2013 tentang Layanan
Kemanusiaan dalam Bencana yang sudah mengadopsi Piagam Kemanusiaan dan Standar Minimal dalam
Respons Kemanusiaan dari Proyek Sphere (2011, Bab 4 tentang Kesehatan) merupakan referensi kunci
tetapi bukan satu-satunya. Yang lainnya diindikasikan dalam tabel di bawah ini.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 53
internasional dan menyarankan apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan standar. Memastikan
bahwa indikator-indikator tersebut sensitif gender.
Mengatur briefing untuk organisasi baru yang baru tiba di negara tersebut untuk bekerja di sektor
kesehatan; jika diperlukan, membantu Kementerian Kesehatan untuk mengatur briefing tersebut. Ini
mungkin termasuk:
– Profil epidemiologi negara, program dan kebijakan kesehatan nasional, dan cakupan pelayanan
kesehatan sebelum situasi-darurat;
– Ahli internasional dan nasional yang tersedia (misalnya penyakit tropis khusus negara yang
mungkin diluar pengalaman beberapa LSM asing);
– Struktur Kementerian Kesehatan dan daftar poin-poin focal kesehatan dalam organisasi lain;
– Rincian pengaturan untuk koordinasi kesehatan darurat.
Koordinator Klaster kesehatan dapat memberikan saran kepada tim bantuan asing yang baru di
Indonesia tentang langkah-langkah perlindungan kesehatan mereka sendiri dan mencoba memastikan
bahwa mereka mempunyai pengaturan untuk evakuasi medis darurat.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 54
Memulai PMTCT dalam keadaan dimana HIV/AIDS merupakan penyebab utama dari
kematian (misalnya sub-Sahara Africa).
Kesehatan Paket layanan awal minimal (PPAM).
Ibu dan bayi Ketentuan dari peralatan persalinan yang bersih untuk perempuan hamil dengan
baru lahir konseling mengenai bagaimana menggunakan peralatan tersebut dan rencana
kesiapsiagaan kelahiran.
Perawatan segera pasca melahirkan (ibu& bayi) dalam 24-48 jam sesudah melahirkan
oleh tenaga medis (atau pekerja kesehatan masyarakat yang terlatih).
Ketentuan dari fungsi sinyal PONEK pada tingkat pusat kesehatan.
Ketersediaan mekanisme rujukan, dengan perhatian khusus pada PONEK.
Bahan resusitasi bayi baru lahir dan staf terlatih yang cukup memadai di semua
bagian persalinan layanan kesehatan dan staf terlatih pada perawatan bayi baru
lahir termasuk resusitasi bayi baru lahir.
Bertujuan untuk meningkatkan proporsi persalinan pada tingkat fasilitas
Kekerasan Tenaga medis mempunyai ketrampilan untuk secara medis mengurus kasus-kasus
Seksual kekerasan seksual.
PEP untuk HIV/AIDS, pengobatan IMS, vaksin hepatitis B, kontrasepsi darurat –
tersedia dari level unit kesehatan dasar dengan tanpa stock-out.
Ketentuan dari, atau program yang terhubung dengan, bantuan psiko-sosial.
Penyakit Tidak Penyelamatan dan evakuasi, pertolongan pertama, dan kebutuhan perawatan bedah
Menular, segera tersedia setelah bencana alam seperti gempa bumi.
Cedera dan Re-stocking pasokan untuk penyakit kronis dalam keadaan dimana beban penyakit
Kesehatan kronis tinggi.
Mental Melindungi dan merawat orang-orang dengan gangguan mental dan yang lainnya di
dalam lembaga-lembaga.
Kesehatan Sistem pembuangan limbah medis dan aman dan tepat pada tempatnya di semua
Lingkungan fasilitas.
Staf terlatih fasilitas kesehatan pada tindakan pencegahan standar.
Pelatihan untuk pekerja kesehatan dan pembantu yang lain sering kali perlu meningkatkan standar
terutama selama situasi krisis yang berkepanjangan. Kegiatan peningkatan kapasitas termasuk
pengembangan kebijakan dan sistem dan peningkatan peralatan sering kali diperlukan untuk
memfasilitasi pemulihan terutama pada situasi kritis yang kompleks (terkait konflik).
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 55
Mengkoordinasikan perencanaan dan implementasi kegiatan pelatihan di antara mitra dan
memfasilitasi acara-acara pelatihan bersama jika memungkinkan.
Menjaga informasi tetap mutakhir dalam kegiatan pelatihan yang terus berlangsung atau terencana,
atau sudah selesai.
Mengidentifikasikan peningkatan kapasitas yang lain yang diperlukan untuk memfasilitasi pemulihan
awal; mengkoordinasikan perencanaan dan implementasi dari kegiatan seperti ini di antara para
mitra untuk memaksimalkan penyelesaian.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 56
BAB IV SUMBER DAYA
Sumberdaya dalam klaster kesehatan adalah orang, dana, waktu, metoda kerja atau mekanisme kerja,
dan peralatan.
Sumberdaya klaster dapat berasal dari beragam sumber, antara lain dari internasional, pemerintah,
dunia usaha dan masyarakat.
Untuk tingkat nasional, Permintaan Bantuan (Flash appeal )merupakan alat tanggap kemanusiaan
terkoordinasi untuk jangka tiga sampai enam bulan pertama situasi darurat dan memobilisasi sumber
daya yang diperlukan dari donor. BNPB mencetuskan permintaan bantuan dalam konsultasi dengan
semua pemangku kepentingan dan mendefinisikan kerangka waktu untuk persiapan.
Biasanya, BNPB dan UNOCHA harus menyelesaikan satu rancangan dalam waktu 5 sampai 7 hari dari
sejak timbulnya krisis. Pengajuan tersebut kemudian disampaikan oleh OCHA di Geneva sekitar 48 jam
kemudian. Biasanya, terdapat revisi terjadwal sekitar sebulan kemudian berdasarkan pada informasi
tambahan dan termasuk proyek-proyek pemulihan lebih dini. (Flash appeal dapat dikembangkan menjadi
pengajuan terkonsolidasi jika tanggap darurat lintas lembaga diperlukan dalam kurun waktu 6 bulan)
Bila terjadi bencana tingkat nasional, rancangan sektor kesehatan harus diserahkan ke BNPB dalam
waktu 3 atau 4 hari.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 58
Kegiatan Syarat/Kondisi
Kriteria: Kegiatan yang mempunyai dampak cepat terhadap kesehatan penduduk yang terkena kondisi
darurat.
Koordinasi aspek-aspek kesehatan dalam konteks bencana Sebagai bagian dari inisiatif yang lebih
alam dan situasi darurat yang kompleks. luas (ini bisa dimasukkan dalam
keseluruhan koordinasi lintas sektoral).
Pengawasan penyakit dan penyebarluasan informasi Tindakan deteksi kasus dan pengawasan
kesehatan kritis dan dan reagen kesehatan untuk diagnosa epidemiologi melalui sistem peringatan
dini dini yang sudah ada.
Memastikan akses yang tepat waktu dan adil untuk fasilitas
pelayanan kesehatan Darurat, termasuk: pembangunan
fasilitas dan sistem bantuan, staf kesehatan inti, obat-obatan
pelengkap, peralatan dasar, biaya yang dan rujukan individu
untuk perawatan kesehatan sekunder.
Dana tersebut dimaksudkan untuk mendukung tanggap darurat pada umumnya tetapi LSM-LSM tidak
memenuhi syarat untuk mengakses dana CERF secara langsung. Hanya lembaga-lembaga PBB yang
dapat mengajukan permohonan dana CERF. BNPB (atau lembaga PBB yang terkait jika Koordinator
Klaster Nasional-nya bukan lembaga PBB) dapat– dan harus– mengumpulkan dan mengajukan proposal
yang menggabungkan kebutuhan pendanaan proyek dari lain, mitra klaster non-PBB.
Lembaga PBB kemudian bertanggungjawab untuk memastikan bahwa dana CERF dialokasikan ke
proyek-proyek LSM yang melewati LSM yang bersangkutan.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 59
Menyerahkan paket kesehatan kepada HC untuk dimasukkan dalam keseluruhan permohonan CERF.
FTS merupakan database nyata, online, global dari kontribusi dan kebutuhan dana kemanusiaan. Ini
menyediakan serangkaian tabel analisis yang menunjukkan aliran bantuan kemanusiaan untuk krisis
tertentu dan memungkinkan users untuk membuat tabel custom berdasar permintaan.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 60
Melakukan Pemantauan Tengah -Tahun
Mengkaji sektor kesehatan berdasarkan informasi mutakhir dari penilaian dan monitoring, dan
mengajukan penyesuaian jika diperlukan.
Mengkaji semua proyek yang diajukan dalam RAB dan memvalidasi bahwa masing-masing tetap
relevan (belum menjadi tidak mubazir), layak, dan dianggarkan secara ekonomi. Proposal proyek yang
tidak sesuai dengan persyaratan ini harus dihapuskan, atau direvisi oleh organisasi yang mengajukan.
Memprioritaskan proyek yang belum didanai dan masih kekurangan dana dengan menggunakan
paling sedikit sistem two-tier (prioritas teratas dan prioritas menengah).
Memastikan bahwa semua proyek dan proposal yang relevan dipertimbangkan (termasuk proposal LSM
yang relevan meskipun tidak ditunjukkan dalam dokumen pengajuan asli).13
Lembaga-lembaga individu harus memberikan kantor pusat mereka tampilan awal proyek mereka yang
baru atau yang sudah direvisi selama proses pemantauan tengah tahun, untuk mengurangi
kesalahpahaman dan perubahan di menit terakhir.
Pimpinan Klaster, atas nama klaster dan sektor kesehatan secara keseluruhan, harus:
Mengambil inisiatif untuk menghubungi perwakilan donor lokal, yayasan dan donor sektor swasta
yang berpotensi yang diwakili di negara tersebut untuk menjelaskan prioritas sektor kesehatan dan
kebutuhan sumber daya. Memetakan kepentingan khusus mereka dan terus memberikan informasi
kepada mereka secara teratur.
Mendorong donor yang berpotensi untuk berpartisipasi dalam briefing dan pertemuan koordinasi
klaster.
Mengundang donor untuk mengikuti misi penilaian dan kunjungan lokasi proyek. Mendukung misi
pencarian fakta dari donor bersama.
Mempersiapkan materi presentasi dan briefing yang singkat, “donor-friendly”, termasuk grafik.
Mempersiapkan dan memberikan presentasi dan materi tehnis terperinci hanya jika diminta oleh donor
tertentu.
Menghubungkan donor-donor potensial dengan mitra klaster tertentu, jika layak.
Membuat sistem untuk mencatat kontak dengan donor (proposal yang diberikan, indikasi ketertarikan
yang diterima).
Idealnya, perencanaan bersama dan implementasi terkoordinasi dari kegiatan yang telah disepakat akan
diikuti dengan pelaporan bersama ke donor - persiapan dari laporan narasi bersama harus disampaikan
ke semua donor bersama-sama dengan laporan keuangan terpisah dari setiap organisasi ke setiap donor.
BNPB dan koordinator klaster harus mengajukan ini ke mitra klaster dan donor dan, jika disepakati,
memimpin persiapan keseluruhan laporan narasi berdasarkan pada strategi dan hasil yang diharapkan
yang dipresentasikan dalam pengajuan kilat atau terkonsolidasi.
Untuk kegiatan pemulihan, pendanaan dapat diperoleh melalui mekanisme United Nations Development
Assistance Framework (UNDAF).
13
Proyek-proyek yang sudah didanai tetapi belum dihitung dalam RAB harus diperhitungkan sebagai bagian dari pemantauan tengah tahun
selama mereka konsisten dengan RAB, agar dapat mengukur pendanaan secara akurat terhadap kebutuhan
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 61
Ketika sumber daya “yang terkumpul” tersedia untuk kerja kesehatan:
Menyepakati di dalam klaster– dalam pertemuan klaster– mengenai kriteria pemilihan kegiatan proyek
di wilayah prioritas dan alokasi sumber daya pada lembaga-lembaga individu;
Mengundang lembaga-lembaga untuk mengajukan proposal (misalnya dengan menggunakan format
aplikasi) terkait dengan kriteria yang disepakati;
Membentuk kelompok penilaian proyek termasuk perwakilan dari setiap kelompok pemangku
kepentingan utama (misalnya pemerintah, INGO besar, NNGO besar, INGO kecil, NNGO Kecil, lembaga
nasional lainnya dan donor) untuk mengkaji proposal dan memilih proyek untuk didanai.14
Memastikan bahwa prosedur untuk mentransfer dana (misalnya dari CERF) ke organisasi pelaksana
yang dimaksud jelas dan dipahami oleh semua yang dimaksud.15
IV. 6 Pembiayaan
Biaya kegiatan Klaster Kesehatan dan Sub-klaster kesehatan diperoleh dari anggaran setiap anggota
klaster/sub-klaster pada masing-masing tahapan, pra, saat, dan pasca bencana.
Pembiayaan upaya tanggap darurat bersumber dari pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Untuk
bencana berskala nasional, dana multi donor dan dana bantuan bilateral dari negara-negara sahabat
merupakan sumber pendanaan. Dari Dunia Usaha ada dana CSR (tanggungjawab sosial) atau dana
solidaritas yang digalang oleh perusahaan dari karyawannya atau dari publik, terutama pada perusahaan
media. Dana dari pemerintah berasal dari Dana Siap Pakai (DSP) yang sudah diatur pengelolaannya
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan
Bencana. Bila bencana timbul akibat konflik sosial, maka di Pusat dana bersumber dari APBN yang
sudah dialokasikan oleh Kementerian/Lembaga terkait. Di tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota, pembiayaan
upaya tanggap darurat dapat bersumber dari APBD yang dialokasikan oleh SKPD terkait dan dari dana
belanja tidak terduga pada pos APBD. Dari masyarakat, dana dapat berasal dari dana simpanan
masyarakat atau hasil penggalangan dana aksi kesetiakawanan.
14
Kelompok appraisal yang sama juga bisa menyaring dan memilih proposal untuk dimasukkan ke dalam Flash Appeal atau CAP, dan aplikasi
untuk Dana CERF.
15
Contohnya, ketika WHO menjadi pimpinan klaster, dana CERF akan ditransfer pada awalnya ke WHO/HAC di Genewa dan dari sana ke
kantor pusat organisasi yang dimaksud sesudah penandatanganan kesepakatan terkait. (Ini normalnya memungkinkan organisasi tersebut untuk
memulai operasi lebih cepat daripada jika dana tersebut ditransfer langsung ke satu account di negara tempat operasi tersebut.)
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 62
BAB V MONITORING, EVALUASI, PEMBELAJARAN DAN PELAPORAN
V.1 Memantau Kinerja Klaster: Pembelajaran
16
Manual Project Cycle Management, Juni 2005, Komisi Eropa, ECHO
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 63
Kerja Klaster Kesehatan
Status kegiatan yang diperbarui – dan siapa-apa-di mana peta pelaku – di setiap pertemuan koordinasi
dengan meminta mitra memasukkan informasi baru ke dalam format yang disediakan (bukan pernyataan
panjang di pleno!)
Mengorganisir pemantauan tengah tahun pada jadwal yang diminta,
Evaluasi harus memberikan informasi yang dapat dipercaya dan bermanfaat, memungkinkan penggabungan
pembelajaran ke dalam proses pembuatan keputusan dari penerima dan donor 30. Sebuah evaluasi dapat
dilakukan selama pelaksanaan (“jangka menengah”), pada akhirnya (“evaluasi akhir”) atau sesudahnya (“eks
pasca evaluasi”), untuk membantu mengarahkan proyek atau menarik pelajaran untuk proyek masa depan dan
pemrograman.17
Definisi OECD (the Organization for Economic Co-operation and Development) yang diterima secara luas
menetapkan lima kriteria evaluasi dasar: relevansi dan pemenuhan tujuan; efisiensi; efektifitas; dampak; dan
keberlanjutan. ALNAP18 telah menyarankan tiga evaluasi bagi kerja kemanusiaan yaitu : keterkaitan, koherensi
dan keterjangkauan.
Berhati-hati dalam memastikan bahwa “efektifitas” dan “efisiensi” dibedakan secara sepantasnya, dan diuji
secara terpisah:
Efektifitas adalah pengukuran sejauh mana hasil yang diinginkan dari sebuah intervensi (tujuan
khususnya) telah tercapai.
Efisiensi merupakan pengukuran dari hubungan antar output (produk yang diproduksi atau layanan yang
diberikan oleh sebuah intervensi) dan input (sumber daya yang digunakan).
17
Manual Project Cycle Management, June 2005, Komisi Eropa, ECHO
18
ALNAP merupakan Jaringan Belajar Aktif untuk Akuntabilitas dan Kinerja dalam Kerja Kemanusiaan (ALNAP) yang didirikan
pada tahun 1997, setelah evaluasi multi-lembaga terhadap genosida Rwanda. Lihat http://www.alnap.org/
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 64
Upaya Klaster Kesehatan
Menentukan waktu yang tepat untuk evaluasi bersama atau latihan pembelajaran, dan mendapatkan
dukungan untuk proposalnya dari pemangku kepentingan utama.
Mengorganisir proses konsultatif untuk: (i) mengidentifikasikan isu-isu (wilayah luas yang perlu dijangkau)
dan pertanyaan khusus yang perlu dijawab; dan (ii) menyepakati kerangka acuan dan rencana.
Memastikan penyebutan manager evaluasi dan mendukungnya jika diperlukan.
Berhati-hati dalam mengkombinasikan – tujuan akuntabilitas dan pembelajaran dalam evaluasi tunggal –
isunya dan pengguna yang diinginkan berbeda dan ini bisa berakibat ambiguitas dalam penekanan dan
pendekatan.
Kerangka Acuan Kerja (KAK) penting untuk tim internal dan tim eksternal. Biasanya tim eksternal
(internasional) memerlukankonteks latar belakang, audiens dan penggunaan yang dimaksud yang lebih rinci.
Untuk evaluasi bersifat sektoral, KAK harus disepakati di antara para pemangku kepentingan. Metodologi dan
alatnya harus digunakan untuk diadaptasi dan dikembangkan dan dijadikan percontohan selama fase
rancangan awal.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 65
Menindaklanjuti anak-anak yang terdaftar dalam pemberian makanan
suplemen/terapis (melacak defaulter)
Kesehatan Anak EPI: imunisasi rutin terhadap semua penyakit sasaran nasional dan
terdapat kondisi dingin yang cukup
Dibawah 5 klinik yang dilakukan oleh staf kesehatan IMCI yang terlatih
Penyaringan kekurangan gizi / gizi buruk (pemantauan pertumbuhan
atau MUAC atau W/H, H/A)
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 66
Tingkat Sub-Klaster Pelayanan Kesehatan
Perawatan
Perawat Gizi Pengelolaan Gizi Buruk akut sedang
Dasar Pengelolaan Gizi Buruk Akut Parah
Penyakit Tempat Penjagaan sistem peringatan dini dari penyakit epidemi rawan,
Menular tanggap darurat wabah
Diagnosa dan Pengobatan malaria
Diagnosa dan Pengobatan TB
Penyakit Menular Lokal yang Relevan lainnya (misalnya penyakit tidur)
Pengelolaan Sindrom Penyakit Infeksi Menular Seksual
Kesehatan Tindakan Pencegahan Standar: Jarum & jarum suntik sekali pakai, kontainer
Reproduksi pembuangan yang sangat aman, Alat Pelindung Diri (APD), sterilizer, P 91
Ketersediaan Kondom gratis
Prophylaxis dan pengobatan infeksi oportunistik
Pencegahan penularan HIV dari Ibu ke Anak
Pengobatan Antiretroviral (ART )
Keluarga Berencana
Kesehatan Perawatan Antenatal: menguji kehamilan,
Reproduksi Kelahiran dan rencana darurat, menanggapi permasalahan (yang diamati
dan/atau dilaporkan), saran/nasihat mengenai gizi dan menyusui, perawatan
diri dan keluarga berencana, pengobatan preventif yang sesuai
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 67
Layanan Klinis Umum Bedah Elektif dan Darurat
Layanan Laboratorium (termasuk laboratorium kesehatan publik)
Layanan Bank Darah
Layanan X-Ray
Kesehatan Anak Pengelolaan anak-anak yang diklasifikasikan dengan penyakit
parah atau sangat parah (cairan parenteral dan obat-obatan, O2)
Kesehatan Ibu dan Bayi Perawatan Darurat Obstetrik yang Komprehensif: (PONEK) + bagian
yang baru lahir Operasi Caesar + transfusi darah yang aman
Penyakit Tidak Menular, Rehabilitasi Disabilitas dan cedera
Cedera dan Kesehatan Perawatan psikiatrik Pasien Rawat Jalan
mental Unit psikiatrik pasien rawat inap akut
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 68
unit administrasi Peringatan Dini dan
Respons
# dari konsultasi per dokter per hari, Sistem Informasi Kurang dari 50/ hari per
berdasarkan unit administrasi Kesehatan dokter
Cakupan vaksinasi campak Sistem Informasi > 95% di kamp-kamp atau
(6 bulan -15 tahun) Kesehatan, survei daerah perkotaan > 90% di
Cakupan daerah pedesaan
Layanan Cakupan DPT3 dalam > 95%
Kesehatan < 1 tahun, berdasarkan unit
administrasi
% kelahiran dibantu oleh petugas > 90%
terampil
% Penyediaan yang diharapkan oleh Pengawasan berbasis >= 5% dan <= 15%
bagian Operasi Caesar, berdasarkan FASKES prospektif
unit administrasi
Faktor Risiko # dari angka kasus atau insiden Sistem Peringatan Dini Tren Pengukuran
untuk penyakit yang dipilih yang dan Respons,
relevan dengan konteks lokal (kolera, Penilaian Cepat Awal,
campak, meningitis akut, lainnya) Pengawasan berbasis
FASKES yang prospektif,
Survei
# dari kasus atau insiden kekerasan Pengawasan berbasis Tren Pengukuran
seksual FASKES yang prospektif,
survei
CFR untuk sebagian besar penyakit Pengawasan berbasis Tren Pengukuran
umum FASKES prospektif
Kematian Proporsional Tren Pengukuran
# dari penerimaan ke SFT dan TFC Tren Pengukuran
Angka/Proporsi dari kasus BALITA Tren Pengukuran
Gizi Buruk dan Kurang Gizi Berat
Yang terdekteksi pada Unit Rawat
Jalan/Unit Rawat Inap
Proporsi orang dengan <15L air/hari
Hasil AKK >=2x base rate atau
Kesehatan >1/10 000 per hari*
AKB Survei Rumah Tangga O.2 AKB >=2x angka dasar
atau
>2/10 000 per hari*
% dari populasi dalam kuintil terburuk dari Survei Keluarga* Ambang batas harus
fungsi, termasuk mereka yang mengalami ditentukan menurut konteks
kesulitan parah atau ekstrim dalam fungsi lokal dan sifat krisis.
Tren Pengukuran
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 69
CATATAN: Dalam banyak situasi, hanya perkiraan kasar yang tersedia untuk total penduduk dan mungkin
ada perpindahan penduduk yang terus berlangsung dengan tingkat perpindahan keluar dan masuk yang
tinggi. Denominator kemudian menjadi tidak pasti dan berubah. Dalam kasus seperti ini, menghitung angka
kematian dengan menggunakan rata-rata (aritmatika mean) dari perkiraan penduduk selama periode waktu
yang bersangkutan.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 70
Daftar rujukan
Rujukan berbahasa Indonesia
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polisi
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
8. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
9. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif
10. Peraturan Pemerintah No 66/2014 tentang Kesehatan Lingkungan
11. Peraturan Kementerian Kesehatan Nomor 64 Tahun 2013 tentang Penanggulangan Krisis
12. Peraturan Kementerian Kesehatan Nomor 77 Tahun 2014 tentang Sistem Informasi Penanggulangan Krisis
Kesehatan
13. Peraturan Kementerian Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang PUSKESMAS
14. Peraturan Kementerian Kesehatan Nomor 36 Tahun 2014 tentang Penilaian Kerusakan dan Kerugian Bidang
Kesehatan
15. SK Menkes Nomor 059/MENKES/SK/I/2011 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pengelolaan Obat dan Perbekalan
Kesehatan Pada Penanggulangan Bencana
16. Standar Nasional Indonesia Nomor 7937:2013 tentang Layanan Kemanusiaan dalam Bencana
17. Kerangka Aksi Sendai tentang Pengurangan Risiko Bencana 2015-2030
18. Sasaran Pembangunan Berkelanjutan 2015-2030
2. TAHUN 1991
a. PP RI No. 40 tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular
3. TAHUN 1997
b. UU RI No. 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran
4. TAHUN 1999
1. Rapid Health Assessment Protocols for Emergencies (WHO)
2. TAHUN 2000
a. Pedoman Penanggulangan Medik pada Kecelakaan Radiasi
b. Pedoman Umum Pengamanan Dampak Radiasi
c. Penatalaksanaan Korban Massal
3. TAHUN 2001
a. KEPMENKES RI No.14/Menkes/SK/I/2002 tentang Pedoman Penanggulangan Masalah Kesehatan
Akibat Kedaruratan Kompleks.
b. KEPMENKES RI No. 1361/Menkes/SK/XII/2001 tentang Pedoman Sistem Peringatan Dini pada Daerah
Potensi Bencana
c. KEPMENKES RI No. 1217/Menkes/SK/XI/2001 tentang Pedoman Pengamanan Dampak Radiasi.
d. KEPMENKES RI No. 1357/Menkes/SK/XII/2001 tentang Standar Minimal Penanggulangan Masalah
Kesehatan Akibat Bencana dan Penanganan Pengungsi
4. TAHUN 2002
a. PP RI Nomor 27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif
b. PP RI Nomor 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif
c. KEPMENKES RI No. 12/Menkes/SK/I/2002 tentang Pedoman Koordinasi Penanggulangan Bencana di
Lapangan.
d. KEPMENKES RI No. 462/Menkes/SK/V/2002 tentang “Safe Community” (Masyarakat Hidup Sehat dan
Aman).
e. KEPMENKES RI No. 852/Menkes/SK/VII/2002 tentang Brigade Siaga Bencana Pusat.
5. TAHUN 2003
a. KEPMENKES RI No. 289/Menkes/SK/III/2003 tentang Prosedur Pengendalian Dampak Pencemaran
Udara akibat Kebakaran Hutan terhadap Kesehatan.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 71
b. KEPMENKES RI No.1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans
Epidemiologi Kesehatan.
6. TAHUN 2004
a. KEPMENKES RI No. 106/Menkes/SK/I/2004 tentang Tim Pengembangan Sistem Penanggulangan
Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) dan Pelatihan Penanggulangan Penderita Gawat Darurat (PPGD) /
General Emergency Life Support (GELS) Tingkat Pusat.
b. PERMENKES RI No. 949/Menkes/SK/VIII/2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan
Dini Kejadian Luar Biasa.
c. Standar Kamar Jenazah (DITJEN YANMEDIK)
d. Keputusan Bersama MENKES RI dan KAPOLRI No. 1087/menkes/SKB/IX/2004 No.pol.
Kep./40/IX/2004 tentang Pedoman Penatalaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bencana Massal .
7. TAHUN 2005
a. Buku Saku Penilaian Cepat Masalah Kesehatan pada Kejadian Bencana (September 2005, tanda tangan
SEKJEN KEMKES).
b. KEPMENKES RI No. 1653/Menkes/SK/XII/2005 tentang Pedoman Penanganan Bencana Bidang
Kesehatan. direvisi Kepmenkes 145/2007
c. KEPMENKES RI No. 1786/Menkes/SK/XII/2005 tentang Pedoman Penanganan Masalah Kesehatan pada
Bencana Gempa Bumi
8. TAHUN 2006
a. KEPMENKES RI No. 048/Menkes/SK/I/2006 tentang Pedoman Penanggulangan Masalah Kesehatan
Jiwa dan Psikososial pada Masyarakat akibat Bencana dan Konflik.
b. KEPMENKES RI No. 064/Menkes/SK/II/2006 tentang Pedoman Sistem Informasi Penanggulangan Krisis
Akibat Bencana.
c. KEPMENKES RI No. 066/Menkes/SK/II/2006 tentang Pedoman Manajemen Sumber Daya Manusia
(SDM) Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana.
d. KEPMENKES RI No. 783/Menkes/SK/X/2006 tentang Regionalisasi Pusat Bantuan Penanganan Krisis
Kesehatan Akibat Bencana
e. KEPMENKES RI No. 876/Menkes/SK/XI/2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Penanganan
Krisis dan Masalah Kesehatan Lain.
f. Pedoman Operasional Perahu Karet sebagai Sarana Evakuasi dan Pelayanan Kesehatan bagi Korban
Bencana (29 Desember 2006, tanda tangan KAPUS).
9. TAHUN 2007
a. Undang-undang RI No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
b. KEPMENKES RI No. 042/Menkes/SK/I/2007 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan
Dini (SKD) dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) Malaria.
c. KEPMENKES RI No. 145/Menkes/SK/I/2007 tentang Pedoman Penanggulangan Bencana Bidang
Kesehatan.
d. PERKA BAPETEN Nomor 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber
Radioaktif
e. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana (Februari 2007, tanda tangan
MENKES).
f. Kurikulum Peningkatan Kapasitas Petugas Teknis Penanggulangan Bencana (April 2007, tanda tangan
KAPUS).
g. KEPMENKES RI No. 424/Menkes/SK/IV/2007 tentang Pedoman Upaya Pelayanan Kesehatan dalam
Rangka Karantina Kesehatan.
h. KEPMENKES RI No. 425/Menkes/SK/IV/2007 tentang Pedoman Penyelenggaraan Karantina Kesehatan
di Kantor Kesehatan Pelabuhan.
i. KEPMENKES RI No. 431/Menkes/SK/IV/2007 tentang Pedoman Tekns Pengendalian Risiko Kesehatan
Lingkungan di Pelabuhan/Bandara/Pos Lintas Batas dalam rangka Karantina Kesehatan.
j. KEPMENKES RI No. 679/Menkes/SK/VI/2007 tentang Organisasi Pusat Penanggulangan Krisis
Kesheatan Regional
k. KEPMENKES RI No. 1105/Menkes/SK/IX/2007 tentang Pedomanan Penanganan Medis Korban Massal
Akibat Bencana Kimia.
l. Pedoman Umum Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana Kimia (November 2007, tanda tangan
MENKES).
m. KEPMENKES RI No. 1227/Menkes/SK/XI/2007 tentang Perubahan Atas Keputusan Menkes RI No.
679/Menkes/SK/VI/2007 tentang Organisasi Pusat Penanggulangan Krisis Regional
n. KEPMENKES RI No. 1228/Menkes/SK/XI/2007 tentang Perubahan Atas Keputusan Menkes RI No.
783/Menkes/SK/XI/2006 tentang Regionalisasi Pusat Bantuan Penanganan Krisis Kesehatan Akibat
Bencana.
o. KEPMENKES RI No. 414/Menkes/SK/IV/2007 tentang Penetapan RS Rujukan Penanggulangan Flu
Burung (Avian Influenza)
10. TAHUN 2008
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 72
a. Undang-Undang RI No. 9 Tahun 2008 tentang Penggunaan Bahan Kimia dan Larangan Penggunaan
Bahan Kimia sebagai Senjata Kimia.
b. Undang-Undang RI No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
c. Peraturan Pemerintah RI No. 8 tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
d. Peraturan Pemerintah RI No. 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.
e. Peraturan Pemerintah RI No. 22 tahun 2008 tentang Pendanaan Penanggulangan Bencana.
f. Peraturan Pemerintah RI No. 23 tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga
Asing Non Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana.
g. KEPMENKES RI No. 116/Menkes/SK/II/2008 tentang Tim Pembina Dewan Kesehatan Rakyat.
h. KEPMENKES RI No. 406/Menkes/SK/IV/2008 tentang Pembentukan Pemuda Siaga Peduli Bencana
(DASIPENA).
i. KEPMENKES RI No. 459/Menkes/SK/V/2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelatihan Internasional
Pengurangan Risiko Bencana.
j. Pedoman Pos Informasi Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana (Juni 2008, tanda tangan
KAPUS).
k. Pedoman Penyusunan Peta Jalur Evakuasi Bidang Kesehatan pada Bencana Gunung Api (Oktober 2008,
tanda tangan SEKJEN)
l. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 10 tahun 2008 tentang Pedoman
Komando Tanggap Darurat.
m. Pedoman Kesehatan Jiwa pada Situasi Emergency (DIRJEN YANMEDIK, 2008)
n. KEPMENKES RI No. 129 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit
o. PERKA BNPB No. 7 tahun 2008 tentang Tata Cara Pemberian Bantuan Pemenuhan Kebutuhan Dasar
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 73
b. Revisi Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana
c. PERKA BNPB No. 8 tahun 2011 tentang Standarisasi Data Kebencanaan
14. TAHUN 2012
a. UU No 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik sosial
b. PP No 54 tentang Keselamatan dan Keamanan Instalasi Nuklir
c. Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Keselamatan Radiasi
Dalam Kedokteran Nuklir
d. PERKA BNPB No 15/2012 tentang Pusdalops-PB
e. KEPMENKES RI No. 301/Menkes/SK/VIII/2012 tentang Tim Pengembangan Safe Community dan
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Tingkat Pusat
f. Pedoman Teknis Bangunan RS yang Aman dalam Situasi darurat dan Bencana
g. PERKA BNPB No. 4 Tahun 2012 tentang Pedoman Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana
15. TAHUN 2013
a. PERMENKES RI no. 64 tahun 2013 tentang Penanggulangan Krisis Kesehatan
16. TAHUN 2014
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
b. PERMENKES RI No. 36 tahun 2014 tentang Penilaian Kerusakan, Kerugian dan Kebutuhan Bidang
Kesehatan Pasca Bencana
c. PERMENKES RI Nomor 45 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan
d. PERMENKES RI No. 75 tahun 2014 tentang PUSKESMAS
e. PERMENKES RI No. 77 tahun 2014 tentang Sistem Informasi Penanggulangan Krisis Kesehatan
17. TAHUN 2015
a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial
Istilah
Sebagai contoh atas berbagai istilah yang lebih luas terkait daftar istilah yang berhubungan dengan tindakan
bantuan kemanusiaan dan kesehatan, lihat:
http://www.reliefweb.int/glossary/
Pendekatan Klaster
Panduan Tambahan
Dokumen inti pada pendekatan klaster, yang dikembangkan setelah adanya konsultasi secara erat dengan berbagai
lembaga pada tingkat internasional dan didukung oleh prinsipal IASC adalah:
IASC. Guidance note on using the cluster approach to strengthen humanitarian response. Inter-Agency Standing
Committee, 24 November 2006. Lampiran I menampilkan berbagai istilah umum sebagai rujukan bagi
sektor/klaster di tingkat pusat.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 74
IASC. Operational guidance for cluster lead agencies on working with national authorities. Inter-Agency Standing
Committee, Desember 2008 (rancangan awal).
IASC. Operational guidance on designating sector/cluster leads in major new emergencies. Inter-Agency
Standing Committee, 23 Mei 2007.
IASC. Operational guidance on designating sector/cluster leads in ongo¬ing emergencies. Inter-Agency Standing
Committee, 23 Mei 2007.
Rome statement on cluster roll-out. Kelompok Kerja Inter-Agency Standing Committee, 5-7 November
2007.
Strengthening NGOs participation in the IASC, a discussion paper. Inter-Agency Standing Committee, 24
April 2006.
Principles of partnership, a statement of commitment, disepakati oleh Global Humanitarian Platform, 12 Juli
2007.
o Beck T (2006). Evaluating humanitarian action using the OEDC-DAC criteria. An ALNAP guide for humanitarian
agencies.
o CDC, WFP (2005). A manual: measuring and interpreting mortality and malnutrition.
o CEPALC (2003). Handbook for estimating the socio-economic and environmental effects of disasters.
o CERF Application Template 2009.
o Checchi F, Roberts L (2005). Interpreting and using mortality data in humanitarian emergencies. HPN Network
Paper No.52.
o Cluster Working Group on Early Recovery, UNDG-ECHA Working Group on Transition (2008). Guidance note on
early recovery.
o Darcy J, Hofmann C-A (2003). According to need? Needs assessment and decision-making in the humanitarian
sector. HPG Report # 15.
o Development Initiatives (2006). Review of trust fund mechanisms for transition financing. Phase 2 report.
o ECHO (2005). Manual Project Cycle Management.
o FEWER, International Alert and Saferworld (2004). Conflict-sensitive approaches to development, humanitarian
assistance and peace-building: A resource pack.
o Global Humanitarian Platform (2007). Principles of partnership, a statement of commitment.
o Global WASH Cluster Coordination Project (2009). WASH Cluster Coordinator Handbook.
o Griekspoor A, Loretti A et Colombo A (2005). Tracking the performance of essential health and nutrition services in
humanitarian responses.
o IASC (1999). Reproductive health in refugee situations: an inter-agency field manual.
o IASC (2003). Guidelines for HIV/AIDS interventions in emergency settings.
o IASC (2004). Guidance for CAP project selection and prioritization.
o IASC (2006). Strengthening NGOs participation in the IASC. A discussion paper.
o IASC (2006). Women, girls, boys and men, different needs, equal opportunities. Gender handbook in humanitarian
action.
o IASC (2007). Advocating with national authorities, Building and managing Consensus, Contingency planning,
Information Management, Leadership in Cluster, Shared assessment & analysis, Smarter Coordination Meetings.
Cluster-Sector Leadership Training Tip Sheets.
o IASC (2007). CERF life-saving criteria and sectoral activities guidelines.
o IASC (2007). Guidelines for gender-based violence interventions in humanitarian settings focusing on prevention of
and response to sexual violence in emergencies.
o IASC (2007). Guidelines on mental health and psychosocial support in emergency settings.
o IASC (2007). Inter-agency contingency planning guidelines.
o IASC (2007). Need Analysis Framework, strengthening the analysis and presentation of humanitarian needs in the
CAP.
o IASC (2007). Rome statement on cluster roll-out, 5-7 November 2007.
o IASC, Global Health cluster (2008). Health Cluster guidance note on health recovery (final version due 2010).
o IAWG, UNHCR (1999). Reproductive health in refugee situations: an inter-agency field manual.
o Inter-Agency Health and Nutrition Evaluations in Humanitarian Crisis (IHE) Initiative (2007). Guidelines for
implementing interagency health and nutrition evaluations in humanitarian crises.
o Islam, M ed. (2007). Health systems assessment approach: A how-to manual. USAID, Health Systems 20/20,
Partners for Health Reformplus, Quality Assurance Project, Rational Pharmaceutical Management Plus, Management
Sciences for Health.
o Moss WJ et al. Child health in complex emergencies. Bulletin of the World Health Organization 2006: 84(1).
o MSF (1996). Management of a measles epidemic.
o MSF (1997). Refugee health. An approach to emergency situations.
o MSF (2007). Obstetrics in remote settings: a guide for non-specialized health care.
o MSF (2008). Management of epidemic meningococcal meningitis.
o MSF (2010). Clinical guidelines: diagnosis and treatment manual.
o OCHA (2007). Consolidated appeal 2007 for Liberia.
o OCHA (2009). Consolidated appeal 2009: guidelines.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 75
o OCHA (2009). Guidelines for mid-year review.
o OCHA (2009). Revised flash appeal guidance.
o OCHA. OCHA field offices and the FTS.
o PAHO (1982). Epidemiological surveillance after a natural disaster.
o Pavignani E, Colombo A (2009). Analysing disrupted health sectors. A modular manual.
o ReliefWeb (2008). Glossary of humanitarian terms.
o Seeds for change. Consensus decision-making.
o Seeds for change. Consensus in large groups.
o SMART (2006). Measuring mortality, nutritional status, and food security in crisis situations.
o Smith J (2005). Guide to health workforce development in post-conflict environments.
o Smith JH, Kolehmainen-Aitken RL (2006). Establishing human resource systems for health during post-conflict
reconstruction.
o SPHERE Project (2004). Humanitarian charter and principles of humanitarian response.
o Stoddard A, Salomons D, Haver K et Harmer A (2006). Common funds for humanitarian action in Sudan and the
Democratic Republic of Congo: monitoring and evaluation study.
o Turner R, Baker J, Zaw M O, Naing S A (2008). Inter-agency real time evaluation of the response to Cyclone Nargis.
o UNDG, ECHA (2005). Transitional strategy guidance note.
o UNDG, UNDP, World Bank (2004). Practical guide to multilateral needs assessments in post-conflict situations.
o UNDG, World Bank (2005). An operational note on transitional results matrices.
o UNDP (2007). Memorandum of Understanding regarding operational aspects of the peacebuilding funds.
o UNHCR (2006). Tool for participatory assessment in operations.
o UNHCR (2008). Public health facility toolkit.
o UNICEF, UNFPA, WHO (1997) Guidelines for monitoring the availability and use of obstetric services.
o United Nations (1991). UN General Assembly Resolution 46/182 of 19 December 1991 on the strengthening of the
coordination of emergency humanitarian assistance.
o United Nations (2006). Integrated mission planning process guidelines.
o United Nations (2008). “Dos and don’ts” – Reporting and interpreting data on sexual violence from conflict-affected
countries. Fact sheets Stop Rape Now, UN Action against Sexual Violence in Conflicts.
o USAID, CDC (2007). Reproductive health assessment toolkit for conflict-affected women.
o Valid International and Concern Worldwide (2006). Community-based therapeutic care: a field manual.
o WHO (1999). Management of severe malnutrition: a manual for physicians and senior health workers.
o WHO (1999). Rapid health assessment protocols for emergencies.
o WHO (2001). Safe motherhood needs assessment.
o WHO (2003). Health facility survey: tool to evaluate the quality of care delivered to sick children attending
outpatients facilities.
o WHO (2004). Cholera outbreak: assessing the outbreak response and improving preparedness.
o WHO (2004). Practical guidelines for infection control in health care facilities.
o WHO (2005). Communicable disease control in emergencies – A field manual.
o WHO (2005). Malaria control in complex emergencies. An inter-agency field handbook.
o WHO (2005). Sexually transmitted and other reproductive tract infections.
o WHO (2007). Setting priorities in communicable disease surveillance.
o WHO (2007). Strengthening health systems to improve health outcomes. WHO’s framework for action.
o WHO (2007). Towards a framework for health recovery in transition situations. Global Consultation on Health
Recovery in transition situations. Montreux (Switzerland), 4-6 December 2007.
o WHO (2007). WHO Ethical and safety recommendations for researching, documenting and monitoring sexual
violence in emergencies.
o WHO (2008). Health Cluster bulletin (Mozambique). 10-22 February 2008.
o WHO (2008). Managing WHO humanitarian response in the field.
o WHO (2009). Child health in complex emergencies.
o WHO (2009). HeRAMS. Health Resources Availability Mapping System.
o WHO, PAHO (2000). Natural disasters – protecting the public’s health.
o WHO, PAHO (2003). Guidelines for the use of foreign field hospitals in the aftermath of sudden impact disasters.
o WHO, UNAIDS (2000). WHO recommended surveillance standards.
o WHO, UNFPA, UNHCR (2001). Inter-agency field manual for reproductive health in refugee situations.
o WHO, UNFPA, UNICEF, World Bank (2009). Integrated management of pregnancy, childbirth, and newborn care.
o WHO, UNHCR (2005). Clinical management of rape survivors.
o Women’s Commission. Minimum initial service package for reproductive health in crisis situations.
Rujukan Umum:
1. Resolusi SU PBB No 46/182 (19 Desember 1991) tentang bantuan kemanusiaan
2. SNI Nomor 7937 tentang Standar Minimum Pelayanan Kemanusiaan
3. Proyek Sphere - Piagam Kemanusian dan Standar Minimum dalam Respons Bencana
4. IASC Health Cluster Guide, 2009
5. IASC Inter-Agency Contingency Planning Guidelines for Humanitarian Assistance (edition 2013)
6. Sendai Framework for Action on Disaster Risk Reduction 2015-2030
7. Sustainable Development Goals 2015-2030
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 76
Rujukan untuk indikator:
Checchi F, Roberts L. Interpreting and using mortality data in humanitarian emergencies. HPN Network Paper No.
52, Sept. 2005.
SMART. Measuring mortality, nutritional status, and food security in crisis situations: SMART methodology.
Version 1 April 2006.
CDC, WFP. A manual: measuring and interpreting mortality and malnutrition. Centers for Diseases Control and
Prevention, World Food Programme, 2005.
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 77
Lampiran 1: Rencana Kontinjensi Bencana..... di ..... Tahun ....
PPKK (2015): Pedoman Implementasi Klaster Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Halaman 78