Anda di halaman 1dari 2

Tiktok Sebagai Social Commerce Resmi Dilarang, Tepat kah?

Penulis ; Azhar Muttaqin (Dosen Universitas Muhammadiyah Malang)

Akhirnya spekulasi ketegasan pemerintah dalam menata ulang aplikasi tiktok terjawab sudah,
Tiktok akhirnya resmi menutup atau menonaktifkan Tiktok Shopnya per 4 oktober kemarin.
Secara serentak mulai pukul 17.00 fasilitas Tiktok Shop dalam platform itu menghilang.
Demikian juga dengan tautan keranjang kuning yang selama ini dijadikan sarana para affiliator
atau seller untuk menjual produk yang mereka promosikan.
Sebelumnya di akhir September lalu Kementrian Perdagangan, bersama dengan Kemenkop
UKM dan Kemenkominfo menyepakati akan melakukan pendisiplinan dan pengaturan
perdagangan berbasis online. Peraturan yang diputuskan akan menjadi revisi Permendag No. 50
tahun 2020 dan berubah menjadi Permendag No. 31 tahun 2023. Persoalan yang paling disorot
dan yang paling diatur dari Tiktok adalah pemisahan antara sosial media dan e commerce yang
memang paling fenomenal belakangan ini.
Tiktok memang makin diminati sejak pertama kali rilisnya di Indonesia sejak tahun 2017 oleh
masyarakat di Indonesia. Tercatat ada 112,97 juta pengguna Tiktok di Indonesia, terbesar kedua
setelah Negeri Paman Sam yang berjumlah 116,49 juta pengguna, atau selisih 3,52 juta
pengguna. Awalnya, Tiktok hanya dikenal sebagai platform media sosial yang sangat menarik.
Isinya tidak hanya yang bersifat hiburan, tetapi juga banyak konten yang bersifat edukasi,
informasi, dan ragam konten yang menjadikan peminat Tiktok semakin berkembang dengan
jenis khalayak yang juga makin beragam.
Keberadaan Tiktok menjadi sangat fenomenal sejak resmi pada tahun 2021 merilis fasilitas e
commerce yang bernama Tiktok Shop. Berbeda dengan platform e commerce yang lain, Tiktok
Shop menjadi bagian dari Tiktok sebagai aplikasi media sosial, sehingga memunculkan istilah
social commerce. Dengan fasilitas ini pengguna Tiktok bisa menjalankan dua hal dalam satu
platform, yaitu membuat konten berbasis sosial media sekaligus bisa menjalankan bisnis online,
baik sebagai seller maupun sebagai affiliator. Maka bag cendawan di musim hujan, sejak tahun
2021 hingga 2023 ada lebih dari 8 juta seller dan affiliator yang menfaatkan fasilitas itu.

Melindungi UMKM?
Seiring dengan berkembangnya tranksaksi bisnis online melalui platform Tiktok ini, keberadaan
pedagang di pasar-pasar grosiran seperti Tanah Abang dan tempat-tempat yang lain sangat
memprihatinkan. Sepi pengunjung dan omset penjualan menurun drastis hingga banyak yang
harus gulung tikar karena tidak kuat menanggung biaya operasional sewa, kebersihan, keamanan,
gaji karyawan dan lain-lain. Pelaku UMKM pun juga tidak bisa berkembang karena tidak
mampu bersaing dengan pasar online. Pemerintah pun menyimpulkan semua itu disebabkan
maraknya bisnis online yang melakukan persaingan pasar secara tidak pair, khususnya Tiktok,
walaupun pemerintah tidak secara spesifik menyebutkan merk paltformnya.
UMKM tidak mampu bersaing diakibatkan bisnis online melakukan dua hal yang paling
berpengaruh; yang pertama menggunakan strategi predatory pricing, yaitu strategi penjualan
harga di bawah standard pasar, bahkan di bawah standard modal demi menggaet palanggan
sebesar-besarnya. Strategi ini cukup besar pengaruhnya untuk menarik minat belanja masyarakat
secara online, namun berdampak besar pada stabilitas harga di pasaran. Kedua, pasar online
dibanjiri oleh produk-produk impor dari Cina yang kualitas barangnya sama atau lebih baik tapi
harganya jauh di bawah produk-produk lokal.
Selain dua hal tadi, pemerintah juga menilai, dengan Tiktok menjalankan Social Commerce,
telah terjadi monopoli pasar besar-besaran, karena algoritma Tiktok hanya cenderung
mengangkat produk-produk tertentu dengan metode FYP (For You Page), dan ditenggarai
produk-produk itu adalah impor dari Cina, atau setidaknya telah menjalankan strategi pasar yang
tidak pair. Belum lagi, menurut beberapa pengamat, Tiktok terindikasi menjalankan project S,
yaitu memasarkan produk-produk lokal yang trend di pasaran, namun ditiru dan diproduksi di
Cina dan memboosting marketnya di Tiktok Shop melalui algoritma FYP nya itu. Tentu semua
itu sangat mengancam esksitensi perdagangan lokal dan nasional.
Namun keputusan pemerintah yang melarang Tiktok sebagai Social Commerce ini mendapat
respon berbeda dan kritik tajam dari berbagai kalangan. Karena sejatinya bukan seperti itu cara
menyelesaikan masalahnya. Termasuk dari tubuh pemerintahan sendiri, seperti yang
disampaikan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, yang tidak setuju
pemerintah memblokir aplikasi tiktok shop itu, tapi cukup membuat regulasi yang bisa
melindungi dan mampu memberdayakan UMKM.
Respon ketidaksetujuan atas keputusan pemerintah itu juga disampaikan oleh Pengamat Hukum
Ekonomi dari Surabaya, Agung Satryo Wibowo yang menganggap kebijakan pemerintah itu
tidak tepat. Menurut dia, perubahan teknologi digital tidak bisa dihindari, sehingga masyarakat
sudah memanfaatkan media sosial untuk transaksi ekonomi karena dianggap mudah dan murah.
Masyarakat umumnya selalu berpikir sangat sederhana, mencari biaya belanja semurah mungkin
dan mendapatkan barang dengan kualitas yang bagus. Dan itu semua bisa didapatkan melalui
belanja online.
Transformasi gaya belanja masyarakat ini juga dimanfaatkan oleh banyak UMKM dengan
menjual produknya melalui platform e commerce. Tiktok Shop menjadi pilihan utama karena
para seller tidak membutuhkan cost yang besar, juga berpeluang untuk berinteraksi dengan
konsumen yang lebih luas, baik dengan hanya membuat konten yang ada keranjang kuningnya
maupun pada saat live streaming. Belum lagi banyak para konten kreator yang mencari
penghasilan tambahan dengan menjadi affiliator produk-produk berdasarkan kekhasan masing-
masing (niche).
Karena hal ini lah banyak kalangan menganggap keputusan pemerintah menutup tiktok shop saat
ini atau memisahkannya sebagai kebijakan yang tidak tepat. Bukannya segera menyelesaikan
masalah, tapi malah menimbulkan masalah baru, dengan terhentinya semua pemasaran melalui
media itu, yang juga termasuk di dalamnya para UMKM. Seharusnya pemerintah lebih fokus
menerbitkan regulasi yang melindungi serbuan produk impor ilegal, termasuk mengatur agar
platform Tiktok untuk tidak melakukan predatory pricing, project S, dan monopoli pasar hanya
untuk produk-produk tertentu.

Anda mungkin juga menyukai