Anda di halaman 1dari 7

HUBUNGAN ILMU PENGETAHUAN DAN AGAMA

DI ERA POST TRUTH

Paper UAS Filsafat Agama

Oleh:

Ahmad Musyaddad

18/433009/PFI/00438

FAKULTAS FILSAFAT

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2019
PENDAHULUAN

Ilmu pengetahuan dan agama berangkat dari dua kutub yang berbeda. Ilmu
berangkat dari akal dan fakta empiris, sedangkan agama berangkat dari keyakinan.
Dua tema ini adalah tema abadi yang tidak akan selesai dijawab hingga kapan
pun. Ilmuwan dan agamawan bertolak belakang dalam memandang berbagai hal
yang terjadi di dunia ini. Ilmuwan memberikan penyelesaian atas dasar logis dan
sistematis, sedangkan agamawan mengajak untuk menuju kepada Tuhan sebagai
sebab segala sesuatu yang terjadi di dunia.

Kajian filsafati terhadap hubungan ilmu pengetahuan dan agama selalu


menarik untuk diulas. Terlebih apabila dikaitkan pada era post truth di masa kini,
sebenarnya seperti apa hubungan antara keduanya, mengingat di era post truth
pikiran manusia berpihak atas apa yang diyakininya secara emosional, bukan
berdasar atas hal yang rasional. Penulis menyusun paper ini untuk menemukan
bagaimana hubungan keduanya dan bagaimana seharusnya manusia menyikapi
ilmu pengetahuan dan agama di era post truth.

HUBUNGAN ILMU PENGETAHUAN DAN AGAMA

Hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama merupakan tema yang selalu
didiskusikan sepanjang masa. Sebab dua hal ini merupakan sumber pengetahuan
yang akan mengarahkan jalan hidup manusia. Manusia dalam hidupnya mencari
keberadaan Tuhan. Mereka yang percaya terhadap kitab suci akan mengafirmasi
bahwa Tuhan ada dan menguasai alam semesta ini. Sedangkan mereka yang
memepercayai kemampuan akalnya akan berusaha mencari keberadaan Tuhan,
membangun argumentasi secara sistematis tentang keberadaan atau
ketidakberadaan Tuhan.

Ilmu pengetahuan menurut Arthur Thomson adalah pelukisan fakta-fakta


pengalaman secara lengkap dan konsisten dalam istilah-istilah sesederhana
mungkin (Gazalba, 1990: 41). Ilmu pengetahuan menggali fakta-fakta lalu
merumuskannya ke dalam bentuk teori atau hukum.
Nuraini (2016: 118) menyebutkan bahwa fakta yang belum ditafsirkan
bersifat murni dan disebut data. Data inilah yang nantinya akan dihimpun oleh
riset atau eksperimen. Indera menangkap fakta-fakta menjadi data, lalu akal
mengolahnya ke dalam bentuk teori atau hukum. Dengan demikian, ilmu
pengetahuan melibatkan kerja panca indera dan akal.

Ilmu pengetahuan berangkat dari keingintahuan manusia untuk menggali


jawaban atas sesuatu. Manusia yang secara kodrati memiliki rasa ingin tahu selalu
bertanya sekaligus mencari jawaban dari pertanyaan itu. melalui rasa
keingintahuan manusia inilah ilmu berkembang pesat seperti sekarang ini.

Agama di sisi lain diambil dari kata Sansekerta, yakni “a” yang berarti
tidak, dan “gam” yang berarti pergi, tetap ditempat, diwarisi turun-temurun dalam
kehidupan manusia. Agama selalu menjadi jalan hidup bagi pemeluknya (Nuraini,
2016: 114). Agama didefinisikan sebagai kumpulan tata cara mengabdi kepada
Tuhan. Agama dibawa oleh seorang nabi atau utusan dengan membawa kitab suci
sebagai firman dari Tuhan. Kitab suci ini memuat aturan-aturan dan hukum-hukun
yang ditetapkan Tuhan untuk diataati oleh semua manusia.

Pengertian agama menunjuk pada jalan atau cara yang ditempuh untuk
mencari keridhoan Tuhan. Tuhan dalam konteks agama dipercaya sebagai dzat
yang paling berkuasa dan sebagai pemilik alam semesta ini. Dasar manusia
memeluk agama adalah keimanan atau keyakinan kepada Tuhan.

Kajian agama dan ilmu pengetahuan menurut Greg Soetomo (1995: 128)
setidaknya memuat tiga hal besar. Pertama, perkembangan ilmu pengetahuan
mampu memberikan bukti empiris dan matematis untuk menyempitkan bahkan
menghilangkan religiusitas manusia, walaupun sebenarnya hal ini bukan
wewenang ilmu pengetahuan. Kedua, adanya kurun waktu yang mana justru
menerangi dimensi religiusitas, walaupun persoalan iman, wahyu, Tuhan, dan
dimensi religiusitas lainnya dianggap selesai. Ketiga, kemajuan ilmu dan
pengetahuan ternyata memberikan tugas kepada agama untuk mengungkap
problem filosofis tentang iman, wahyu, Tuhan, dan sebagainya.
Sejalan dengan yang disampaikan Soetomo, Louis Leahy (2006: 19)
menitikberatkan agar mendorong terjadinya kolaborasi antar disiplin ilmu
pengetahuan dan agama untuk menciptakan kedamaian di pihak intelektual dan
religiusitas. Hasil diskusi antara ilmu pengetahuan dan agama selanjutnya
dihimpun dalam satu visi yang selalu relevan untuk generasi berikutnya.

Ian G. Barbour (2002: 3) memetakan perkembangan hubungan antara ilmu


pengetahuan dan agama. Pada abad ke-17 mayoritas penggagas revolusi ilmiah
adalah orang-orang Kirsten taat yang memiliki keyakinan bahwa tujuan kerja
ilmiah pada hakikatnya adalah mempelajari ciptaan Tuhan. Perkembangan abad
ke-18 diwarnai dengan munculnya beberapa ilmuwan yang berkeyakinan bahwa
Tuhan yang menciptakan alam semesta bukanlah Tuhan yang personal, yang aktif
terlibat dalam kehidupan manusia dan alam semesta.

Barbour melanjutkan bahwa pada abad ke-19 mulai bermunculan ilmuwan


yang mengabaikan pentingnya agama. Walaupun Darwin sebagai penggagas teori
evolusi yang berdampak pada krisisnya kepercayaan masyarakat pada entitas
agama dan Tuhan, masih tetap berkeyakinan bahwa proses evolusi adalah kehenda
Tuhan. Akibatnya pada abad ke-20 interaksi antara ilmu pengetahuan dan agama
secara perlahan mengalami keragaman bentuk secara dinamis.

Temuan-temuan baru para ilmuwan mengundang respon kalangan


agamawan yang tetap berusaha mempertahankan gagasan-gagasan keagamaan
klasik. Sebagai bentuk respon itu, sebagian agamawan tetap berpegang teguh pada
gagasan-gagasan tradisional, sebagian yang lain mulai berani meinggalkan tradisi
lama, sedangkan sebagian yang lain berinisiatif merumuskan kembali konsep
keagamaannya secara ilmiah. Barbour selanjutnya merumuskan hubungan ilmu
pengetahuan dan agama ke dalam empat model, yakni konflik, independensi,
dialog, dan integrasi.
REFLEKSI ATAS ILMU PENGETAHUAN DAN AGAMA DI ERA POST
TRUTH

Pada tahun 2016, Oxford menjadikan kata post truth sebagai “Word of the
Year”. Jumlah penggunaan istilah post truth di tahun 2016 meningkat 2000 persen
bila dibandingkan dengan tahun 2015. Ada alasan mengapa mengapa kurva
penggunaan kata post-truth melambung tinggi di tahun 2016. Sebagian besar
penggunaan kata ini, hampir selalu disematkan pada dua momen politik paling
berpengaruh di tahun 2016; yakni keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit)
serta terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat (Syuhada,
2017: 76).

Kamus Oxford sendiri mendefinisikan istilah post-truth sebagai kondisi di


mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding
emosi dan keyakinan personal (Syuhada, 2017: 77). Post-truth menurut J.A.
Liorente adalah iklim sosial dimana objektivitas dan rasionalitas membiarkan
emosi/hasrat memihak pada keyakinan, meskipun fakta memperlihatkan hal yang
berbeda. Dalam era post-truth, keyakinan pribadi memiliki kekuatan yang lebih
besar dibanding logika dan fakta. Post-truth berkembang pesat di masyarakat
informasi yang mengalami ketidakpuasan dan kekecewaan terhadap politik. Apa
yang terjadi dalam post-truth adalah relativisasi kebenaran dengan objektivitas
data, dramatisasi pesan jauh lebih penting daripada isi pesan itu sendiri (Sandiata,
2018).

Post truth dari pemaparan di atas selalu berkaitan dengan sektor politik, di
mana fakta-fakta diabaikan dan subjek lebih memihak pada keyakinan personal.
Berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan agama, fenomena post truth sangat
menarik untuk dikaji. Fenomena post truth mencapai puncaknya di tengah
pesatnya perkembangan teknologi informasi. Pesatnya teknologi internet
membuat masyarakat mendapatkan informasi yang berlimpah sehingga sangat
sulit untuk memilah antara informasi yang valid atau tidak.

Penulis menemukan contoh yang sangat relevan untuk menjelaskan kondisi


ini, yakni ketika terjadi bencana alam di tanah air. Sebagian pihak berpendapat
bahwa bencana alam terjadi karena aktivitas alam, sebagian yang lain berpendapat
bahwa bencana alam adalah kehendak Tuhan, sedangkan sebagian lain yang lebih
moderat menyampaikan bahwa bancana alam terjadi tidak semata-mata aktivitas
alam.

Sikap atas bencana alam di tengah perkembangan teknologi yang pesat ini
beraneka ragam. Sebab pesatnya teknologi, manusia seakan mengarah kepada
sekulerisasi. Mereka percaya bahwa bencana adalah murni aktivitas alam dan
tidak ada campur tangan Tuhan. Berbeda dengan hal itu, sebagian kelompok
agamawan ekstrim mengatakan bahwa bencana alam adalah akibat perbuatan
manusia yang tidak menjalankan perintah-perintah Tuhan. Tuhan murka dengan
memberikan azab kepada manusia. Mereka mengabaikan temuan-temuan fakta
ilmiah yang dikumpulkan oleh ilmuwan dan para pakar terkait aktivitas alam yang
menyebabkan bencana.

Dua pendapat ini berdiri pada kubu masing-masing. Penulis tidak ingin
berkomentar tentang validitas keduanya, melainkan ingin mengingatkan bahwa
keduanya harus berdiri pada porsi yang tepat, terutama kubu agamawan ekstrim.
Tentu tidak pantas apabila di tengah musibah berkata tentang dosa-dosa manusia.
Hal ini akan menyinggung perasaan korban bencana dan justru akan memicu
konflik. Padahal dalam ajaran agama sekalipun, menyebutkan bahwa terkadang
bencana dijatuhkan kepada orang-orang yang bersalah saja, melainkan juga orang-
orang tidak bersalah yang ada di sekitarnya.

Penulis lebih memilih pendapat Barbour tentang dialog antara ilmu


pengetahuan dan agama. Dialog antara keduanya akan menciptakan kedamaian di
antara masyarakat meskipun tidak ada titik temu dan tetap berdiri di kubunya
masing-masing. Setidaknya dengan adanya dialog akan ada bentuk penghormatan
terhadap satu gagasan dengan gagasan lain dengan tidak menyinggung salah
satunya. Akankah lebih baik lagi apabila keduanya mencapai titik temu sehingga
antara ilmu pengetahuan dan agama bisa diintegrasikan.
KESIMPULAN

Hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama dimulai pada abad ke-17
dimana para penggagas revolusi ilmiah adalah penganut agama yang percaya
bahwa kerja ilmiah adalah dalam rangka mempelajari ciptaan Tuhan. Hubungan
ini terus berkambang hingga di masa sekarang yang sangat dinamis. Temuan-
temuan baru para ilmuan mengundang respon dari kalangan agamawan.

Fenomena yang terjadi di era post truth adalah keberpihakan subjek kepada
keyakinan personal dan mengabaikan fakta-fakta yang terjadi. Kalangan pemeluk
agama ekstrim mengabaikan temuan-temuan fakta-fakta dan bersikeras
menyuarakan gagasan tradisionalnya. Seharusnya kedua kubu saling berdialog
untuk menciptakan suasana yang damai, bahkan keduanya bisa bisa mencapai titik
temu untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan agama.

DAFTAR PUSTAKA

Gazalba, Sidi. 1990. Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang.


Leahy, Louis. 2006. “Sains dan Agama dalam Perdebatan”, dalam Zainal Abidin
Bagir, Lik Wilardjo, Arqom Kuswanjono, dan Muhammad Yusuf (eds.),
Ilmu, Etika, Dan Agama, Menyingkap Tabir Alam dan Manusia.
Yogyakarta: CRCS UGM. hal. 19-33
Nuraini. 2016. Mengintegrasikan Agama, Filsafat, dan Sains. Ponorogo: Jurnal
Universitas Muhammadiyah Ponorogo Vol. 2, No. 1.
Soetomo, Greg. 1995. Sains & Problem Ketuhanan. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Syuhada, Kharisma Dhimas. 2017. Etika Media di Era Post Truth. Jakarta: Jurnal
Komunikasi Indonesia Vol. 5 No. 1.

Anda mungkin juga menyukai