Anda di halaman 1dari 4

REFLEKSI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH REFORMASI yang bergulir sepuluh tahun yang lalu mengamanatkan adanya perubahan yang

mendasar dalam penyelenggaraan negara, termasuk penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Tonggak baru penyelenggaraan pemerintahan daerah diawali dengan lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang membawa pola baru pemerintahan daerah setelah kurang lebih 24 tahun menggunakan konsep pemerintahan daerah warisan orde baru. Namun keberlakuan UU No.22 Th 1999 ini tidak panjang. Kurang lebih lima tahun berlakunya, UU ini harus direvisi kembali karena diangggap membawa instabilitas penyelenggaraan pemerintahan di daerah, karena peran DPRD yang begitu besar ketika itu. Akhirnya, tahun 2004 lahir kembali undangundang tentang pemerintahan daerah yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. UU No.32 Tahun 2004 ini kembali menawarkan angin segar dalam tatanan pemerintahan daerah. Hal-hal yang mendasar dalam peneyelenggaraan otonomi daerah diatur dalam UU ini, seperti hubungan antara Kepala Daerah dengan DPRD, pemilihan kepala daerah secara langsung, dan pembentukan daerah baru (baca:pemekaran daerah). Perubahan yang luas dalam prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan otonomi daerah yang diatur dalam UU tersebut tentu saja membawa berbagai dampak dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Tentu saja kita harus melihat pula sejauh mana keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan otonomi daerah menurut UU No.32 Tahun 2004 tersebut dalam empat tahun perjalanannya. Walaupun tidak secara komprehensif dan detail bisa dievaluasi, paling tidak tulisan ini memberikan refleksi sederhana kepada pembaca sekalian. Refleksi ini tentu saja dari hasil pengamatan di lapangan seacara terbatas dan dari berbagai realita pemerintahan yang kita lihat dan baca melalui media massa. Sejak pelaksanaan otonomi luas di Indonesia, beberapa daerah telah mampu menunjukkan kemandiriannya. Daerah-daerah tersebut sudah dianggap mampu menjalankan otonomi sesuai harapan pemerintah. Pelayanan publik semakin ditingkatkan, efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan berhasil dilaksanakan. Beberapa daerah bahkan mampu mengembangkan potensi lokal yang dimiliki, daerah juga semakin giat menyelenggarakan best practise yang menjadi unggulan dan ciri khas daerah bersangkutan. Beberapa daerah yang berhasil dalam menyelenggarakan pelayanan publik dan telah memiliki best practise sebagai

unggulan daerah antara lain Provinsi Gorontalo, Kab.Jambrana, Kab.Sragen, Kab.Solok, Kab. Musi Banyuasin, Kab. Kebumen, Kota Yogyakarta, dan beberapa daerah yang lain. Sungguh sebuah prestasi yang belum pernah tercapai selama orde baru. Kendati demikian masih banyak pula daerah yang masih belum mampu melaksanakan otonomi dengan baik. Semangat masyarakat dalam melaksanakan otonomi dibuktikan dengan semakin bertambahnya jumlah daerah otonom di tanah air. Terlepas dari adanya kepentingan elite dibalik pemekaran daerah, pembentukan (pemekaran) daerah (pada awalnya) dianggap sebagai sebuah upaya meningkatkan dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Dengan terbentuknya daerah otonom baru maka pelayanan pemerintah kepada masyarakatnya semakin dekat, sehingga pelayanan publik lebih terasa dan lebih efektif dan efisien. Tetapi bila kita lihat, tidak semua daerah baru mampu memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakatnya. Kesejahteraan masyarakat di sejumlah daerah di tanah air masih jauh dari harapan. Penyakit busung lapar, kurang gizi, angka putus sekolah, dan jumlah pengangguran masih sangat tinggi. Birokrasi juga masih menerapkan pola-pola lama yang menghambat proses pelayanan masyarakat. Hal itu menandakan bahwa tujuan awal pembentukan daerah baru belum sepenuhnya tercapai. Kesejahteraan dalam wadah pemekaran daerah masih sebatas impian. Bahkan justru dengan pembentukan daerah baru ini banyak dana negara dan daerah yang harus dikeluarkan. Organisasi yang menampung birokrasi membengkak, memaksa daerah untuk mengeluarkan anggaran lebih besar lagi baik untuk gaji pegawai maupun untuk biaya operasional organisasi. Walaupun UU No.32 Tahun 2004 memberikan kemungkinan untuk menghapus daerah otonom bila tidak sanggup lagi menjalankan otonomi, tetapi sampai saat ini belum ada daerah yangg dilebur atau dihapus karena dianggap gagal menjalankan otonomi. Pelaksanaan otonomi daerah perlu didukung dengan adanya perangkat daerah sebagai perpanjangan tangan pemerintah daerah dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pembentukan organisasi perangkat daerah (OPD) menyesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan daerah. Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang organisasi perangkat daerah yang terbaru (PP No.41 Tahun 2007) telah pula memberikan batasan jumlah OPD yang diijinkan dengan kriteria yang sudah pula ditentukan. Namun, di sejumlah daerah masih ada kepala daerah yang membentuk OPD seenaknya saja, tanpa memperhatikan kriteria yang ditetapkan pemerintah, hanya memenuhi kepentingan pejabat birokrasinya yang tidak mau

di-nonjob-kan. Akibatnya, organisasi menjadi bengkak, anggaran terbuang percuma, dan pelayanan kepada masyarakatpun tidak maksimal. Hubungan antara Kepala Daerah dengan DPRD pasca pemberlakuan UU Nomor 32 Tahun 2004 menjadi semakin harmonis. Berbeda dengan ketika masa UU No.22 tahun 1999, dimana DPRD seolah-olah menjadi hakim atas semua kebijakan Kepala Daerah. DPRD juga berperan sebagai atasan dari kepala daerah. Akibatnya, jalannya pemerintahan menjadi tidak stabil karena terjadi jatuh bangun Kepala Daerah. Hubungan Kepala Daerah dengan DPRD dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah sejajar dan sama-sama bermitra dalam kerja, tidak ada yang saling menjatuhkan, tidak pula dalam hubungan hierarki. Dengan demikian pemerintahan relatif lebih stabil. Fungsi kontrol DPRD tetap dipertahankan sebagai bagian dari proses demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Daerah. Baik DPRD maupun Kepala Daerah saling bekerja sama dalam menentukan arah kebijakan di daerah. Pola hubungan seperti ini dirasa cukup efektif dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di daerah dan dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. Desa sebagai bagian dari masyarakat tradisional masih diberikan hak-haknya sesuai dengan susunan asli masyarakat adatnya. Nomenklatur desa juga tidak harus sama, nama dari kesatuan masyarakat hukum tersebut bisa saja berbeda sesuai dengan susunan asli masyarakat setempat. Namun perubahan Badan Perwakilan Desa menjadi Badan Permusyawaratan Desa dalam UU No.32 Tahun 2004 memberikan kesan kemunduran demokrasi. Memang, dari sisi efisiensi, penentuan anggota Badan Permusyawaratan Desa jauh lebih efisien daripada pemilihan anggota Badan Perwakilan Desa menurut UU No.22 Tahun 1999. Tetapi bila kita lihat dari sudut demokrasi, pemilihan BPD menurut UU No.22 tahun 1999 ini jauh dianggap lebih demokratis dan mencerminkan aspirasi dan kehendak masyarakat secara langsung. Hal yang paling banyak disoroti dalam pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 adalah pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung. Hampir di setiap daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang menyelenggarakan Pilkada selalu diwarnai dengan isu-isu kecurangan, intimidasi warga, money politics, pertentangan masyarakat, bahkan tak jarang terjadi konflik yang berkepanjangan. Konsep awal memang baik, yaitu untuk menciptakan demokrasi dalam tatanan masyarakat daerah. Tetapi fakta berbicara lain. Pilkada Maluku Utara menjadi contoh. Betapa para elite selalu memanfaatkan rakyat untuk mati-matian merebut

kekuasaan tanpa peduli dampaknya pada masyarakat luas. Pilkada Sulawesi Selatan juga menyisakan kisah tersendiri, Pilkada Kota Makasar baru saja diputus MK atas adanya kecurangan dalam pesta demokrasi tersebut. Terakhir, Pilkada Jatim harus diulang di empat kabupaten karena dianggap ada kecurangan dalam Pilkada tersebut. Tidak itu saja, mundur atau tidaknya calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berstatus incumbent juga menjadi pertentangan yang panjang, sehingga MK memutuskan bahwa calon incumbent tidak harus mundur dalam pilkada. Dalam seminar sehari yang dilaksanakan oleh Fakultas Politik Pemerintahan IPDN beberapa waktu lalu, salah satu pembicara yaitu Gubernur Sumatera Barat, H.Gamawan Fauzi,S.H.,M.M., melontarkan suatu wacana agar pilkada kembali dilakukan oleh DPRD. Pendapat tersebut sahsah saja. Dilihat dari konstitusi pun tidak ada yang dilanggar, dimana konstitusi mengamanatkan bahwa kepala daerah dan wakilnya dipilih secara demokratis. Bila sudah muncul wacana seperti itu, berarti ada hal yang harus dikoreksi terkait dengan pilkada langsung tersebut. Walaupun demikian, bukan berarti pilkada langsung tersebut harus diganti dengan pilkada oleh DPRD, kan? Bukan subastansi demokrasi yang harus dikurangi, tetapi sistem dan pendidikan politik rakyat yang harus diperbaiki. Dalam perjalanannya, UU No.32 Th 2004 ini telah mengalami dua kali perubahan. Pertama diubah dengan UU No.8 Th 2005 dan yang kedua diubah dengan UU No.12 Th 2008. Dua kali perubahan (perbaikan) tersebut menunjukkan sulitnya mencari suatu peraturan perundangundangan yang mendekati sempurna, karena memang kondisi sosial masyarakat yang sangat dinamis. Itu artinya bahwa dalam menyempurnakan sistem dan pola penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu waktu yang lama dan harus menyesuaikan dengan kondisi masyarakat yang hidup pada saat itu.***NYOMAN AGUS

Anda mungkin juga menyukai