Anda di halaman 1dari 2

Hubungan Pemilih-Politisi

Suatu aspek kunci dalam pengalaman masyarakat terhadap politik biasa disebut dengan
keterkaitan antara politisi serta pemilih. Saat kegiatan kampanye pemilu berlangsung, partai
politik maupun kadidat menjangkau para pemilih dengan tujuan agar bisa mengerahkan
dukungan untuk mengajak memelih mereka. Menurut penjelasan dari Fossati, Simanjuntak,
serta Fionna (2016) bahwasannya pada analisis awal kegiatan kampanye pemilu terpilih
dalam gelombang pilkada serentak baru-baru ini, terdapat bahwa beberapa kandidat di pemilu
lokal kerap kali menekankan berbagai karakteristik pada dirinya yang meliputi kompetensi,
kepemimpinan, serta integritas agar dapat memenangkan suara, meski biasanya rencana yang
terprogram melakukan peranan yang penting.

Di Kota Medan, kunjungan ke rumah mereka sejauh ini bisa dikatakan sebagai suatu
strategi komunikasi yang paling umum selama kegiatan kampanye pemilihan berlangsung
sehingga 57% responden yang yang dihubungi menyebutkan cara komunikasi ini, diikuti
dengan panggilan telepon berjumalah 14% hanya dalam hitungan detik. Di Kota Samarinda
pun, sebagian besar responden (64%) menyampaikan bahwa telah dihubungi di rumah, akan
tetapi panggilan telepon jauh lebih umum di sini (39%) daripada di 2 lokasi lainnya. Terakhir,
responden di Kota Surabaya sebagian besar dihubungi di rumah dengan total 30 persen,
melalui telepon (23%), dan di berbagai acara di lingkungan mereka (23%).

Strategi relasi yang sering kali diperbincangkan di antara pemilih serta politisi ialah
suatu kegiatan pembelian suara yang sifatnya merusak, di mana pemilih mempunyai suatu
komitmen agar bisa memberikan dukungan kepada kandidat dengan timbal balik berupa
sebuah hadiah materi contohnya dengan memeberikan sejumlah nominal uang tunai.

Sekitar 13% dari sampel (berjumlah 155 responden), dengan sedikit variasi di seluruh
lokasi lapangan, melaporkan menerima tawaran keuntungan materi sebagai timbal balik atas
suara mereka. Hasil ini menunjukakan bahwa pembelian suara masih terjadi, sampai tingkat
tertentu, dalam pemilihan kepala daerah. Tetapi, penelitian tambahan diperlukan agar dapat
memastikan kejadian serta efektivitas strategi pemilu ini, sekaligus bagaimana perihal itu
berkembang saat diperkenalkannya pilkada langsung pada tahun 2005.

Meskipun data yang dikumpulkan tak cukup untuk analisis lengkap mengenai
pembelian suara di Indonesia, data tersebut bisa menyediakan suatu wawasan yang berkaitan
dengan motivasi serta strategi mereka yang terlibat dalam pendekatan semacam itu. Lebih
tepatnya, kita bisa menelaah apakah bagian populasi tertentu lebih mungkin dibandingkan
yang lain untuk ditargetkan oleh perantara pembelian suara.

Berdasarkan anggapan dari Stokes (2005) bahwa hipotesis kunci yang disarankan oleh
literatur mengenai masalah ini ialah pembeli suara secara tidak proposional menargetkan
pemilih berpenghasilan rendah, dikarenakan mereka merupakan kelompok yang amat
responsive terhadap insentif moneter. Hanya 12% pemilih mempunyai penghasilan rendah
yang dilaporkan sudah ditawari keuntungan finansial sebagai timbal balik atas suara mereka,
sebuah angka yang lebih rendah dari rata-rata. Pemilih dalam kategori berpenghasilan
menengah, sedikit lebih mungkin menjadi samenjadi sasaran 14%, sementara pemilih yang
mempunyai penghasilan tinggi cenderung tak mengalami kontak dengan pembeli suara (9%).

Beberapa angka ini menonjolkan bahwa alasan utama untuk melakukan distribusi
hadiah uang maupun materi saat kampanye pemilu berlangsung bukanlah pembelian suara
semata, karena bagian pemilih yang seharusnya lebih rentan terhadap beberapa tawaran
pemberian semacam itu tak ditargetkan secara lebih agresif.

Politik uang di Indonesia mungkin lebih baik di anggap sebagai “Tiket Masuk.” Yang
dibeli untuk lebih bisa dimaati oleh pemilih. Karena pemilih juga masih akan mengevaluasi
calon kandidat dengan kepribadian, pengalaman, dan proposal kebijakan para calon kandidat

Anda mungkin juga menyukai