Anda di halaman 1dari 16

AGAMA DAN BUDAYA DALAM PRESPEKTIF EMILE DURKHEIM

Mata Kuliah : Antropologi Agama

Dosen Pengampu : Prof. H.Dr. KunawiBasyir, M.Ag

Di susun oleh kelompok 3:

1. Erwan Tri Cahyono (07020222028)


2. Fadilla Sovia Dwi Pratiwi (07020222029)
3. Haena Mawarda Emha (07020222030)
4. Ihda Safira Anastasya (07020222031)

PRODI STUDI AGAMA AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2023
A. Pendahuluan
Agama adalah sesuatu hal yang sangat penting dalam sebuah Masyarakat.
Dalam beberapa sumber, “agama” diberi arti tidak kacau atau teratur. Dengan
memiliki agama, kehidupan seorang individu dan para anggota Masyarakat
lainnya, diharapkan akan dapat hidup lebih tertib dan lebih teratur karena telah
memiliki sebuah pedoman hidup. Oleh karena itu, agama tidak bisa dilepaskan
dari Masyarakat. Karena agama dikonstruksi oleh Masyarakat sehingga dapat
tumbuh dan berkembang di dalam beragam relasi sosial antar anggota
Masyarakat.
Dalam kehidupan sehari-hari, kerkadang kita sulit membedakan antara
segala sesuatu dan bentuk aktivitas yang berasal dari agama langsung dan segala
sesuatu yang berasal dari interpretasi masyarakat yang mengacu kepada agama.
Membicarakan agama sama halnya dengan berbicara tentang keyakinan, baik itu
kepada Tuhan, roh atau sesuatu yang diyakini oleh masyarakat dalam bentuk
apapun. Keyakinan terhadap agama akan mensugesti spiritual seseorang untuk
mempercayai kemurnian agama. Kepercayaan tersebut akan mengakar kuat dan
menjadi budaya dimasyarakat.
Akulturasi agama dan budaya terkadang memberikan kesulitan kepada
masyarakat dalam memahami mana yang bersumber dari kemurnian agama dan
mana yang bersumber dari interpretasi agama. Seorang sosiolog agama bernama
Emile Durkheim kemudian mengungkapkan pandangannya tentang konsep
sosiologi agama. Ia mendefinisikan bahwasannya agama adalah sesuatu yang
memiliki dua kategori, yaitu sacral dan profane. Klaim ini kemudian diperkuat
dengan pernyataan bahwa agama bisa dipahami dengan adanya sistem sosial yang
bisa menyatukan masyarakat yang disandarkan terhadap bentuk ritual dan
kepercayaan yang sama.1

1
Bryan S. Turner, Relasi Agama & Teori Sosial Kontemporer, (Yogyakarta: IRCiSod, 2012), hlm. 33.
Berdasarkan pemikiran Comte, Durkheim kemudian berpendapat bahwa
kebutuhan utama manusia akan selalu terikat terhadap kelompok atau
komunitas.2Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka penulis
menemukan beberapa pertanyaan perihal apa yang dimaksud dengan kerangka
konsep dan hakikat Agama? Kemudian bagaimana fungsi sosial agama terhadap
masyarakat menurut Emile Durkheim? Dalam kerangka pemikirannya, Durkheim
membagi pemahaman agama kedalam dua aspek yaitu sakral dan profan.
Kemudian Ia juga mengaitkan antara agama dan totemisme. Lalu, ia juga
mengungkapkan fungsi sosial agama terhadap masyarakat. Dengan mengamati
dan memahami lensa sosial mengenai perbuatan manusia, Durkheim membawa
kita untuk melihat lebih dalam perilaku masyarakat yang membentuk aturan
hukum, agama, moralitas, seni, keluarga dan kepribadian. Manusia bukan hanya
tentang individu, namun manusia dimiliki juga oleh sesuatu yang lain.4 Pemikiran
Durkheim inilah yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian
terhadap kesakralan masyarakat.

B. Biografi Emile Durkheim


Durkheim dilahirkan pada tahun 1858 di kota Epinal, dekat Strasbourg,
daerah timur laut Perancis. Ayahnya adalah seorang Rabbi Yahudi. Sebagai
seorang pemudi, ia sangat dipengaruhi oleh guru sekolah-nya yang beragama
Katolik Roma. Mungkin inilah menambah ketertarikannya terhadap masalah-
masalah agama, meskipun guru-guru tidak dapat menjadikannya seorang yang
beriman (beragama), sebab sejak muda dia telah menyatakan diri sebagai seorang
agnostic.3
Di saat dia menempuh Pendidikan di sekolah menengah, Durkheim adalah
seorang siswa yang cerdas. Pada usia 21 tahun (setelah gagal dua kali dalam tes
2
Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, penerjemah; Inyiak Ridwan Muzir (Yogyakarta:
IRCoSod, 2012), hlm. 134.
3
Ibid, 131
masuk), ia dinyatakan diterima di Ecole Normale Superiure, salah satu pusat
Pendidikan terbaik di Perancis. Di sini dia mengambil studi Sejarah dan filsafat.
Pengalamannya selama belajar disini tidak selalu menyenangkan, karena pada
dasarnya dia tidak suka program Pendidikan yang kaku. Namun caranya dalam
menanggapi masalah ini dengan menunjukkan tempramen aslinya tidak bertujuan
untuk menarik perhatian atau mengeluh. Ia memiliki perhatian yang besar
terhadap masalah dan struktur-struktur sosial serta ingin melepaskannya dari
institusi, karena pribadinya yang tidak cocok dengan aturan norma-norma. Setelah
menyelesaikan studinya dan menulis dua disertasi yang disyaratkan bagi seluruh
mahasiswa Ecole, Durkheim mengajar di beberapa sekolah menengah yang ada di
sekitar Paris. Dia juga belajar ke Jerman selama satu tahun untuk mendalami
psikologi kepada Wilhem Wundt. Pada tahun 1887, dia menikahi Louise Dreyfus,
seorang Wanita yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk karir Durkheim.
Mereka dikaruniai dua orang anak. Di tahun yang sama, dia juga diangkat sebagai
professor di Universitas Bordeaux, yang memberinya posisi baru bagi ilmu sosial
dan Pendidikan, terutama dalam riset sosialnya.4
Selama lima belas tahun berikutnya, sambil bekerja di Bordeaux, Durkheim
tetap menyempatkan diri untuk melakukan riset sosial dan terus mengeluarkan
ide-ide barunya. Buku pertamanya The Division of Labour, diterbitkan tahun
1893, kemudian diikuti dengan The Rule of Sociological Metbod (1895), sebuah
karya teoritis yang banyak menyulut perdebatan. Ia juga menerbitkan satu kajian
penting lainnya, Suicide (1897), yang meneliti faktor sosial di balik tindakan
bunuh diri, perilaku yang selama ini dianggap oleh Masyarakat umum sebagai
bentuk dari keputusan. Pada saat yang sama, ia dan beberapa sarjana lainnya
menerbitkan L’Annee Sociologique, sebuah jurnal akademis baru yang
menerbitkan artikel-artikel sosial lainnya. Jurnal yang kemudian terkenal ke
seluruh Perancis ini, dan bahkan ke seluruh dunia, sama pengaruhnya dengan
buku-buku Durkheim yang lain dalam memperkenalkan sosiologi.
4
Ibid, 132
Sarjana-sarjana lain yang ikut menyumbangkan pemikiran dan tulisannya
dalam jurnal ini dan dalam proses perkembangan perspektif Durkheim, secara
tidak langsung telah membuat satu “mazhab pemikiran”. Tidaklah mengherankan
kiranya bila dengan prestasi yang menakjubkan ini (juga dengan bantuan-bantuan
pemerintah secara politis) Durkheim akhirnya mendapatkan gelar Profesor dari
Universitas Paris. Pada usia 44 tahun, dia telah mencapai puncak karir
akademisnya di seluruh dunia Perancis.
Di Paris, selama bertahun-tahun Durkheim melewati masa jaya-nya dan
sekaligus masa-masa tragis dalam hidupnya. Pada saat tinggak di Boerdeaux,
ketertarikannya terhadap pengaruh agama dalam kehidupan sosial semakin
menjadi-jadi, tapi setelah kepindahannya, tanggung jawab dan tugas-tugas baru
telah menghambat riset-riset tersebut. Walaupun demikian, ia tetap pada
rencananya semula, sehingga satu decade kemudian terbitlah bukunya ynag
berjudul The Elementary of Religius Life (1912), buku paling penting dan paling
terkenal.
Klaim utama Durkheim tentang arti penting teori agama dan pengaruh utama
klaim ini pada pemikir-pemikir lainnya secara Panjang lebar tertuang dalam studi
ini, yang akan kita bicarakan sebentar lagi. Sebagaimana yang tertulis
didalamnya, buku ini terbit tepat dua tahun sebelum pecahnya Perang dunia I.
Bencana perang ini sangat terasa di Belgia dan Perancis, karena dua negara inilah
yang paling merasakan akibatnya. Dan tentu saja bencana ini meninggalkan bekas
yang mendalam pada diri Durkheim, seperti juga dialami oleh orang lain pada
saat itu. Meskipun ia percaya bahwa sarjana harus mempertahankan objektivitas
ilmiah dengan menghindari komentar tentang buruknya keadaan yang terjadi, dia
tetap membuat pengecualian selama peperangan berlangsung, yaiti dengan
berbicara lantang perihal perang antara Perancis dan Jerman.5
Kemudia di awal tahun 1918, ia mendengar kabar bahwa anak satu-satunya,
seorang cendikiawan muda yang punya masa depan cerah, meninggal terbunuh
5
Ibid, 133
dalam satu kampanye militer di Siberia. Walaupun dirundung duka seperti ini,
Durkheim tetap memaksakan diri bekerja dan menulis sampai terserang stroke
sebulan setelah kematian anaknya. Durkheim meninggal setahun kemudian dalam
usia yang masih relative muda, 56 tahun.
C. Agama Dan Budaya
Dialektika agama dan budaya di mata masyarakat muslim secara
umum banyak melahirkan penilaian subjektif-pejoratif. Sebagian bersemangat
untuk menseterilkan agama dari kemungkinan akulturasi budaya setempat,
sementara yang lain sibuk membangun pola dialektika antar keduanya.
Keadaan demikian berjalan secara pereodik, dari masa ke masa. Terlepas
bagaimana keyakinan masing-masing pemahaman, yang jelas potret
keberagamaan yang terjadi semakin menunjukkan suburnya pola akulturasi,
bahkan sinkretisasi lintas agama. Indikasi terjadinya proses dialektika antara
agama dan budaya itu, dalam Islam terlihat pada fenomena perubahan pola
pemahaman keagamaan dan perilaku keberagamaan 6 dari tradisi Islam murni
(high tradition) misalnya, melahirkan berbagai corak Islam lokal, antara lain
Islam Sunni, Islam Shi'i, Islam Mulazili, dan isi iniwan (lote tradition).
Dari tradisi Islam Sunni ala Indonesia a Sunni Persisi Muhammadiyah,
Jalan Susi dalam Summi allama Islam Sistim Surin Nur Islam Sunni al-
Waliyah Leban menyempit lagi dari Salam NU SNU memanifestasi menjadi
ah. Lebih NU-Abangan, Islamimpi dan Islam Sunni-NU-Priyayi Tak menutup
kemungkinan akan bukti berbagai corak keberagam baru yang lainnya, yaitu
islam ortodoks, Islam moderat, dan liberal. Warna-warni ekspresi
keberagamya sebagaimana dilihat di atas mengindikasikan bahwa sedemikian
kuatnya tradisi lokal (low tradition) mempengaruhi karakter asli agama
formalnya (high tradition), demikian juga sebaliknya Saling mempengerahui

6
Amin Abdullah, dalam Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama (Jakarta: Muhammadiyah
Universitt Press,2001), iii.
itulah dalam bahasa antropo-sosiologinya dikenal dengan istilah proses
dialektika agama dan budaya.
Perubahan perilaku sosial keberagamaan di atas, di mata para ilmuwan
antropologi dianggap sebagai proses eksternalisasi, objektivasi, maupun
internalisasi. Siapa membentuk apa, sebaliknya apa mempengaruhi siapa.
Bagaimana masyarakat memahami agama hingga bagaimana peran-peran
lokal mempengaruhi perilaku sosial keberagamaan mereka.7 Dengan begitu,
mengkaji, meneliti, maupun menelaah secara empirik fenomena tersebut, jauh
lebih penting dan punya kontribusi akademis dari pada hanya melakukan
penilaian-penilaian normatif- teologis semata.
Fenomena dialektika di atas secara empirik dapat diamati secara riil
dalam tradisi keberagamaan masyarakat muslim misalnya, pada pola relasi
para peziarah Muslim Kejawen dengan cultural space (medan budaya) makam
yang ada di wisata ritual tertentu. Dari proses dialektika itu secara umum
dapat diketahui bahwa karakteristik peziarah Muslim Kejawen memiliki
banyak keunikan dan daya tarik tersendiri. Unik dalam arti adanya
kompleksitas dan pluralitas ekspresi keberagamaan yang bernuansa mitis, baik
dari cara pemahaman keagamaan maupun perilaku keberagamaannya.
Misalnya dengan mendatangi medan budaya tertentu yang dianggap sakral,
keramat maupun suci, dan meyakini bahwa tempat tersebut berpotensi
memberikan berkah kepada siapa saja yang berniat mencari keutamaan dari
tempat tersebut. Selain itu keunikan juga muncul ketika keberadaannya
menjadi sebab munculnya subjektivitas penilaian keagamaan yang plural dari
kalangan masyarakat muslim secara umum, dan para pemerhati maupun
pengamat Islam yang datang dari luar komunitasnya. Dua keunikan inilah
yang dianggap sebagai permasalahan menarik untuk dikaji. Inilah fakta
empirik potret keberagamaan Islam, yang tanpa disadari terbagi menjadi dua

7
Dr. H. Roibin, M. Hi, Relasi Agama Dan Budaya Masyarakat Kontemporer (Malang; UIN-Malang
Press,2009) 71.
kecenderungan. Kecenderungan pertama lebih menggambarkan sebagai
agama yang ada di masyarakat dan kecenderungan kedua, menggambarkan
sebagai agama di dalam teks.
Keragaman ekspresi keberagamaan di atas, baik yang muncul dari
komunitas masyarakat Muslim Kejawen itu sendiri maupun dari subjektifias
penilaian keagamaan yang datang dari luar komunitasnya, pada hakikatnya
menunjukkan adanya perbedaan cara pandang tentang tarik menarik pola
relasi agama dan budaya dimaksud. Melalui cara ini, sebagian di antara
mereka optimis bahwa Islam akan lebih berkembang secara efektif. Sementara
yang lainnya justru sebaliknya. Islam akan terkontaminasi dengan keruhnya
budaya luar, dan secara perlahan akan menggeser keaslian Islam itu sendiri.
D. Ide-Ide dan Pengaruhnya
Durkheim bukanlah orang pertama yang tertarik pada masalah-masalah
Masyarakat. Saat ia berbicara tentang Masyarakat, beberapa pemikir sebelumnya
juga telah memiliki ketertarikannya yang sama. Ide-ide Durkheim sebenarnya
adalah pengembangan dari pikiran-pikiran mereka ini.8 Salah satu disertai
Durkheim membahas pemikiran Baron de Montesqueieu, seorang filosof Perancis
abad ke-18 yang mengamati dan menganalisa budaya dan institusi politik Eropa
dengan cermat. Karya Motensqueieu membuktikan bahwa struktur sosial bisa
diamati dengan metode kritik ilmiah. Durkheim juga membaca tulisan-tulisan
Saint Simon, seorang pemikir sosialis awal abad ke 18, yang berpendirian bahwa
semua milik pribadi harus diserahkan kepada negara. Durkheim juga sangat
terkesan dengan Auguste Comte (1798-1857), pemikir Perancis yang
memperkenalkan pola umum evalusi peradaban manusia, mirip denga apa yang
ditawarkan Taylor dan Frazer. Dalam pola ini, pemikiran manusia pertama kali
dikendalikan oleh teologi, kemudian oleh ide-ide abstrak para filosof dan
akhirnya disempurnakan oleh era posivistik atai saintifik sekarang ini, dimana

8
Emile Durkheim: morality and society, hlm.3-22.
hanya kajian dan pengamatan mendalam terhadap fakta yang jadi kunci semua
pengetahuan.
Maka, semenjak era ilmu pengetahuan ini, humanitas telah menggantikan
agama, dan filsafat masa lalu telah dikesampingkan. Dari pemikiran Comte,
Durkheim akhirnya menyadari bahwa kebutuhan utama manusia akan selalu
terikat kepada satu komunitas. Pemikiran Comte telah menumbuhkan komitmen
pada diri Durkheim untuk selalu menganalisa seluruh fenomena sosial secara
ilmiah. Walaupun komitmen ini hanya sebatas metode-metode umum dan agak
samar tentang kemajuan evolusi sosial.
Selain dua orang tokoh itu, kita juga tidak bisa melupakan dua orang ilmuwan
termuka Perancis lain yang hidup pada waktu Durkheim masih muda, yaitu Ernest
Renan, seorang kritikus Bibel yang juga sangat tertarik dengan masalah sosial
kemasyarakatan, baik pada zaman Yahudi Kuno maupun Masyarakat Kristen
kontemporer. Ilmuwan kedua adalah seorang sejarawan klasik yang pernah
memberikan kuliah Sejarah kepada Dukheim yang sangat disegani di Universitas
Ecole. Ilmuwan tersebut adalah Nuna Denys Fustel de Coulanges, pengarang
buku The Ancient City (1864), sebuah studi klasik tentang kehidupan sosial kuno.
Dalam karya besar ini, Coulage menampilkan kepada pembaca suatu Analisa
sosial mendalam tentang negara kota Yunani dan Romawi. Dia tidak hanya
memaparkan kehidupan sehari-hari yang mengakar dalam nilai-nilai moral
imperative dan diatur oleh tradisi-tradisi luhur yang digunakan Masyarakat kala
itu, tapi juga menjelaskan bagaimana tradisi dan nilai tersebut benar-benar ditaati
berdasarkan kepercayaan agama politeisme klasik.9
Secara alami, Durkheim membangun kerangka bepikirnya berdasarkan ide-ide
para pemikir diatas.10 Namun demikian, situasi dan kondisi Perancis modern juga
sangar berpengaruh. Sebagaimana akan kita lihat nanti, pada akhir tahun 1800 an,
Perancis dan Eropa telah mengalami revolusi besar. Awalnya adalah revolusi

9
Ibid,134.
10
Nisbet, Sociology of Durkheim, hlm.24-30.
industry (ekonomi), dan kemudian revolusi politik di Perancis dengan beberapa
kali suksesi kepemimpinan. Menurut Durkheim, kedua peristiwa ini telah
merubah perdaban barat secara permanen. Stabilitas Eropa masa lalu di bentuk
berdasarkan kehidupan Masyarakat petani, sistem pembagian dikelas sosial yang
mapan, kepemilikan berdasarkan aristokrasi dan monarki, serta ikatan yang kuat
antara Masyarakat kota dan desa, ditambah dengan lingkungan kepercayaan,
tradisi, dan struktur gereja Kristen. Dua revolusi tersebut kemudian mengguncang
kemapanan Masyarakat barat yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Peradaban
yang telah di ubah dengan jalan revolusi seperti ini tidak akan pernah lagi sama
dengan sebelumnya.
Berbagai jenis perubahan muncul dari dalam dan sekeliling mereka.
Perubahan-perubahan tersebut sama sekali baru dan berbeda, yang menyebabkan
perpindahan Masyarakat ke daerah pabrik dan kota-kota, bergesernya kekayaan
dari tangan para bangsawan ke tangan para pedagang dan pengusaha, kekuasaan
beralih dari hak istimewa kelas-kelas lama kepada gerakan radikal atau peristiwa-
peristiwa mendadak. Agama Masyarakat menjadi kacau, keterangan-
keterangannya mulai tidak dipercayai dan tidak diacuhkan. Dalam ungkapan yang
agak spesifik , Durkheim membagi kondisi saat itu menjadi empat pola yaitu:
Pertama, tatanan sosial Masyarakat Eropa tradisional yang dulu terikat
dengan tali kekeluargaan, komunitas dan agama, sekarang telah digantikan oleh
munculnya “kontrak sosial” baru, dimana individu alisme dan kepentingan
pragmatis (uang) kelihatan lebih berkuasa.
Kedua, dalam hal perilaku dan moral, nilai-nilai sakral dan keyakinan
keagamaan yang disetujui oleh gereja, sekarang ditentang oleh kepercayaan baru
yang lebih menekankan rasionalitas. Hasrat untuk hidup Bahagia di dunia lebih
tinggi daripada keinginan masuk surga dan bebas dari siksa neraka di akhirat
kelak.
Ketiga, di bidang politik, munculnya masa demokratis dalam Masyarakat arus
bawah dan pusat kekuasaan yang kuat di arus atas telah mengubah control sosial
alami Masyarakat. Hubungan individu telah terputus dengan tuntutan moral lama
keluarga, kampung halaman dan gereja dan dibiarkan memilih partai politik,
pergerakan masa dan gereja sebagai tuntutan yang baru.
Keempat, dalam urusan pribadi, kebebasan individual yang terlepas dari
paradigma lama telah menjanjikan kesempatan besar dengan resiko yang tidak
ringan untuk mewujudkan kemakmuran dan aktualisasi diri, meskipun juga selalu
dibayangi oleh ancaman serius yaitu, perasaan kesepian dan terisolasi.

E. Masyarakat dan Agama


Pusat dari seluruh pandangan Durkheim berada dalam kalimnya bahwa
“agama adalah sesuatu yang amat bersifat sosial”. Dia menegaskan bahwa sebagai
seorang individu memiliki pilihan-pilihan dalam hidup ini, namun pilihan itu
tetap berada dalam kerangka sosial, sesuatu yang “given” sedari kita lahir dulu.
Kita berbicara bukan dengan Bahasa yang kita buat sendiri, kita tidak
mempergunakan perkakas yang kita rancang sendiri, kita menurut hak yang tidak
kita temukan sendiri, dan ilmu pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke
generasi tidak digali oleh setiap generasu secara sendiri-sendiri. Dalam setiap
kebudayaan, agama adalah bagian yang paling berharga dari seluruh kehidupan
sosial. Dia melayani Masyarakat dengan menyediakan ide, ritual, dan perasaan-
perasaan yang akan menuntun seseorang dalam hidup bermasyarakat.
Untuk melihat keistimewaan perspektif Durkheim ini, kita harus mengingat
kembali tulisan Tylor tentang agama yang ditulis setengah abad sebelum
Durkheim. Ketika Tylor membicarakan agama Masyarakat primitive, dia
menganggap agama tersebut hanyalah buah pikiran dari filosof-filosof “liar” yang
menemukan ide-ide tentang roh dan dewa-dewa begitu dengan Freud. Walaupun
Freud menelaah pentingnya keluarga dan Masyarakat, namun titik tekan yang dia
lakukan adalah kepribadian individu-individu.11

11
Ibid,164.
Pandang Durkheim sangat berbeda dengan mereka. Dia memang bukan orang
pertama dan bukan pula satu-satunya yang memperhatikan kekuatan sosial dalam
kehidupan sosial dalam kehidupan sosial manusia, tapi keunikannya terletak pada
pemahamannya terhadap arti penting kekuatan sosial tersebut dan penekanan
yang dia berikan bahwa perspekstif ini harus diterapkan dalam studi-studi di masa
yang akan datang.

F. Ritual dan Kepercayaan


Jalan yang ditempuh Durkheim juga berbeda dari Tylor dan Frezer dalam
masalah hubungan antara keyakinan dan ritual keagamaan. Pendekatan
“intelektualisme” Tylor dan Frezer menganggap keyakinan dan ide tentang dunia
adalah elemen paling penting dalam kehidupan beragama. Praktek-praktek
agama, kebiasaan dan ritual-ritual agama dipandang sebagai hal sekunder, karena
muncul dari bergantung kepeda keyakinan. Berdasarkan pandangan inilah, kenapa
prosesi penguburan seorang budak bersama penguburan mayat raja dilakukan.
Sebab mereka menyakini bahwa setelah kehidupannya di dunia ini, roh seorang
raja masih membutuhkan seorang pelayan yang akan membantunnya di akhirat.
Secara logis, keyakinan muncul lebih dahulu daripada ritual, ide lebih dahulu dari
praktek.12
Durkheim memiliki pemikiran yang berlawanan dengan ini. Baginya, ritual
keagamaan lebih utama, sebab ritual inilah yang lebih fundamental dan yang
melahirkan keyakinan. Jika memang ada sesuatu yang “abadi” dalam agama,
maka kebutuhan Masyarakat akan ritual-ritual itulah hal yang abadi, berupa
upacara-upacara peneguhan kembali dedikasi setiap anggota Masyarakat
diingatkan kembali bahwa kepentingan kelompok lebih utama ketimbang
keinginan pribadi. Sebaliknya, keyakinan bukanlah sesuatu yang abadi. Fungsi
sosial dari ritual-ritual keagamaan akan selalu konstan, sebaliknya muatan
12
Ibid,166.
intelektual agama akan selalu mengalami perubahan. keyakinan adalah “sisi
spekulatif” agama. Keyakinan Kristen bisa saja berbeda dari keyakinan yahudi
atau hindu, tapi dalam ide-ide yang sifatnya particular, perbedaan yang terjadi
tidak begitu besar. Perbedaan ide-ide akan selalu didapati dalam agama-agama
yang ada didunia ini, bahkan masa ke masa pun ide-ide dalam satu agama juga
akan selalu berbeda. Tapi kebutuhan untuk mengadakan upacara-upacara akan
selalu ada, karena merupakan sumber sebenarnya dari kesatuam sosial dan tali
pengikat utama seluruh anggota Masyarakat. Ritual-ritual keagamaan ini akhirnya
dapat menyingkap arti agama yang sesungguhnya.

G. Penjelasan Fungsional
Arti penting ritual keagamaan akan membawa kita ke jantung teori Durkheim,
yaitu penjelasan fungsional tentang agama. Sama dengan Freud, Durkheim
menganggap dirinya telah melontarkan teori yang tidak saja berbeda dalam segi
“jenis” teori itu sendiri. Tylor dan Frazer mencoba menjelaskan agama
sebagaimana adanya, dengan mengumpulkan nilai-nilai kepercayaan seseorang
pada taraf permukaan, kemudian mempertanyakan bagaimana kepercayaan ini
memberi penjelasan kepada penganutnya tentang makna kehidupan. Dalam
pendekatan intelektualis, keyakinan dan ide-ide yang disebut Durkheim sebagai
sisi spekulatif agama adalah kata kunci umtuk menjelaskan kebudayaan-
kebudayaan lain. Dalam pandangan Tylor, kita akan memahami arti sebuah ritual
keagamaan ketika, seorang pawang hujan dalam suku Indian menyakini tiruan
petir akan menurunkan hujan yang akan menyirami tanaman mereka. Prinsip-
prinsip magis imitarif barangkali bagi kita adalah sesuatu absurd, tapi tidak
demikian halnya bagi mereka, karena magi situ menjelaskan kenapa mereka
melakukan perbuatan aneh tersebut.13 Tapi Durkheim ingin menjawab pertanyaan
tentang masalah lain. Jika kita sepakat bahwa perbuatan-perbuatan seperti ini
memang absurd, lantas kenapa Masyarakat masih melakukannya? Jika memang
13
Lukes, Emile Durkheim, hlm.136.
ide-ide ini penuh tahayul, lalu kenapa tidak hilang dengan mudah? Kenapa masih
dapat bertahan hingga sekarang?
Bagi Durkheim, jawaban pertanyaan ini hanya bisa ditemukan di satu tempat,
yaitu pada fungsi sosialnya pada perbuatan mereka itu sendiri, bukan pada muatan
keimanan atau apa yang mereka Yakini tentang tuhan dan dunia, seorang hidup
dalam kubangan perilaku-perilaku Masyarakat. Hakikat agama tidak akan
ditemukan di permukaannya, tapi di dalam dasar agama tersebut. Dan telah
diperlihatkan dalam kasus agama tetonisme Australia, arti penting agama terletak
pada upacara-upacara yang dapat memberikan semangat baru kepada individu-
individu kelompok mereka. Ritual-ritual ini kemudian menciptakan kebutuhan
akan adanya satu simbol yang menggambarkan ide-ide tentang roh-roh leluhur
dan dewa-dewa
Lebih jauh, jika memang Masyarakat memerlukan ritual-ritual tertentu agar
tetap eksis, maka konsekuensinya adalah bahwa tidak akan ada satu Masyarakat
yang tidak memiliki sebuah agama atau sesuatu yang berfungsi sama dengan
agama. Walaupun ide-ide agama dianggap salah dan absurd oleh Sebagian
kalangan, namun perilaku keagamaan akan selalu ada dalam setiap Masyarakat,
karena memberikan kekuatan kepada Masyarakat. Ide-ide keagamaan bisa saja di
perdebatkan, bamun ritual-ritual atau bentuk lain yang berfungsi sama akan selalu
dipertahankan. Masyarakat tidak akan eksis tanpa adanya upacara-upacara, dan
dengan begitu, agama pun akan selalu ada. Ada juga kritikan Durkheim mengenai
bukti.

Kesimpulan
Durkheim menegaskan bahwa tidak akan ada bedanya dari sudut manapun
kita memandang apa yang menimbulkan suatu agama, bahkan setiap agama, karena
pasti terpulang kembali pada aspek sosial masyarakat pemeluknya. Walaupun
memang akan sulit mengetahuinya dalam agama- agama besar dunia, tapi jelas dia
akan menampilkan diri dalam masyarakat yang kompleks sama persis ketika dia
tampak dalam masyarakat totenisme yang sangat sederhana. Di timur dan di barat,
masyarakat modern atau purba, kepercayaan dan ritual keagamaan selalu
mengekspresikan kebutuhan masyarakat, yaitu menuntut setiap anggotanya untuk
lebih memikirkan kelompok ketimbang diri pribadi, merasakan arti penting dan
kekuatan yang dimiliki masyarakat yang mau mengorbakan kepentingan pribadinya
demi masyarakat.

Daftar Pustaka

Pals, Daniel I, (2012). Seven Theories of Religion. Penerjemah; Inyiak Ridwan Muzir,
Yogyakarta; IRCiSOD.
Durkheim, Emile, (1992). The Elementary Forms of The Religion Life. New York;
Free Press.
Tuner, Bryan S. 2012. Relasi Agama & Teori Sosial Kontemporer, Yogyakarta;
IRCiSOD.
Abdullah, Amin, (2001). Dalam Pendekatan Kajian Islam Dalam Studi Agama,
Jakarta; Muhammadiyah Universitt Press.

Anda mungkin juga menyukai