2023
A. Pendahuluan
Agama adalah sesuatu hal yang sangat penting dalam sebuah Masyarakat.
Dalam beberapa sumber, “agama” diberi arti tidak kacau atau teratur. Dengan
memiliki agama, kehidupan seorang individu dan para anggota Masyarakat
lainnya, diharapkan akan dapat hidup lebih tertib dan lebih teratur karena telah
memiliki sebuah pedoman hidup. Oleh karena itu, agama tidak bisa dilepaskan
dari Masyarakat. Karena agama dikonstruksi oleh Masyarakat sehingga dapat
tumbuh dan berkembang di dalam beragam relasi sosial antar anggota
Masyarakat.
Dalam kehidupan sehari-hari, kerkadang kita sulit membedakan antara
segala sesuatu dan bentuk aktivitas yang berasal dari agama langsung dan segala
sesuatu yang berasal dari interpretasi masyarakat yang mengacu kepada agama.
Membicarakan agama sama halnya dengan berbicara tentang keyakinan, baik itu
kepada Tuhan, roh atau sesuatu yang diyakini oleh masyarakat dalam bentuk
apapun. Keyakinan terhadap agama akan mensugesti spiritual seseorang untuk
mempercayai kemurnian agama. Kepercayaan tersebut akan mengakar kuat dan
menjadi budaya dimasyarakat.
Akulturasi agama dan budaya terkadang memberikan kesulitan kepada
masyarakat dalam memahami mana yang bersumber dari kemurnian agama dan
mana yang bersumber dari interpretasi agama. Seorang sosiolog agama bernama
Emile Durkheim kemudian mengungkapkan pandangannya tentang konsep
sosiologi agama. Ia mendefinisikan bahwasannya agama adalah sesuatu yang
memiliki dua kategori, yaitu sacral dan profane. Klaim ini kemudian diperkuat
dengan pernyataan bahwa agama bisa dipahami dengan adanya sistem sosial yang
bisa menyatukan masyarakat yang disandarkan terhadap bentuk ritual dan
kepercayaan yang sama.1
1
Bryan S. Turner, Relasi Agama & Teori Sosial Kontemporer, (Yogyakarta: IRCiSod, 2012), hlm. 33.
Berdasarkan pemikiran Comte, Durkheim kemudian berpendapat bahwa
kebutuhan utama manusia akan selalu terikat terhadap kelompok atau
komunitas.2Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka penulis
menemukan beberapa pertanyaan perihal apa yang dimaksud dengan kerangka
konsep dan hakikat Agama? Kemudian bagaimana fungsi sosial agama terhadap
masyarakat menurut Emile Durkheim? Dalam kerangka pemikirannya, Durkheim
membagi pemahaman agama kedalam dua aspek yaitu sakral dan profan.
Kemudian Ia juga mengaitkan antara agama dan totemisme. Lalu, ia juga
mengungkapkan fungsi sosial agama terhadap masyarakat. Dengan mengamati
dan memahami lensa sosial mengenai perbuatan manusia, Durkheim membawa
kita untuk melihat lebih dalam perilaku masyarakat yang membentuk aturan
hukum, agama, moralitas, seni, keluarga dan kepribadian. Manusia bukan hanya
tentang individu, namun manusia dimiliki juga oleh sesuatu yang lain.4 Pemikiran
Durkheim inilah yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian
terhadap kesakralan masyarakat.
6
Amin Abdullah, dalam Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama (Jakarta: Muhammadiyah
Universitt Press,2001), iii.
itulah dalam bahasa antropo-sosiologinya dikenal dengan istilah proses
dialektika agama dan budaya.
Perubahan perilaku sosial keberagamaan di atas, di mata para ilmuwan
antropologi dianggap sebagai proses eksternalisasi, objektivasi, maupun
internalisasi. Siapa membentuk apa, sebaliknya apa mempengaruhi siapa.
Bagaimana masyarakat memahami agama hingga bagaimana peran-peran
lokal mempengaruhi perilaku sosial keberagamaan mereka.7 Dengan begitu,
mengkaji, meneliti, maupun menelaah secara empirik fenomena tersebut, jauh
lebih penting dan punya kontribusi akademis dari pada hanya melakukan
penilaian-penilaian normatif- teologis semata.
Fenomena dialektika di atas secara empirik dapat diamati secara riil
dalam tradisi keberagamaan masyarakat muslim misalnya, pada pola relasi
para peziarah Muslim Kejawen dengan cultural space (medan budaya) makam
yang ada di wisata ritual tertentu. Dari proses dialektika itu secara umum
dapat diketahui bahwa karakteristik peziarah Muslim Kejawen memiliki
banyak keunikan dan daya tarik tersendiri. Unik dalam arti adanya
kompleksitas dan pluralitas ekspresi keberagamaan yang bernuansa mitis, baik
dari cara pemahaman keagamaan maupun perilaku keberagamaannya.
Misalnya dengan mendatangi medan budaya tertentu yang dianggap sakral,
keramat maupun suci, dan meyakini bahwa tempat tersebut berpotensi
memberikan berkah kepada siapa saja yang berniat mencari keutamaan dari
tempat tersebut. Selain itu keunikan juga muncul ketika keberadaannya
menjadi sebab munculnya subjektivitas penilaian keagamaan yang plural dari
kalangan masyarakat muslim secara umum, dan para pemerhati maupun
pengamat Islam yang datang dari luar komunitasnya. Dua keunikan inilah
yang dianggap sebagai permasalahan menarik untuk dikaji. Inilah fakta
empirik potret keberagamaan Islam, yang tanpa disadari terbagi menjadi dua
7
Dr. H. Roibin, M. Hi, Relasi Agama Dan Budaya Masyarakat Kontemporer (Malang; UIN-Malang
Press,2009) 71.
kecenderungan. Kecenderungan pertama lebih menggambarkan sebagai
agama yang ada di masyarakat dan kecenderungan kedua, menggambarkan
sebagai agama di dalam teks.
Keragaman ekspresi keberagamaan di atas, baik yang muncul dari
komunitas masyarakat Muslim Kejawen itu sendiri maupun dari subjektifias
penilaian keagamaan yang datang dari luar komunitasnya, pada hakikatnya
menunjukkan adanya perbedaan cara pandang tentang tarik menarik pola
relasi agama dan budaya dimaksud. Melalui cara ini, sebagian di antara
mereka optimis bahwa Islam akan lebih berkembang secara efektif. Sementara
yang lainnya justru sebaliknya. Islam akan terkontaminasi dengan keruhnya
budaya luar, dan secara perlahan akan menggeser keaslian Islam itu sendiri.
D. Ide-Ide dan Pengaruhnya
Durkheim bukanlah orang pertama yang tertarik pada masalah-masalah
Masyarakat. Saat ia berbicara tentang Masyarakat, beberapa pemikir sebelumnya
juga telah memiliki ketertarikannya yang sama. Ide-ide Durkheim sebenarnya
adalah pengembangan dari pikiran-pikiran mereka ini.8 Salah satu disertai
Durkheim membahas pemikiran Baron de Montesqueieu, seorang filosof Perancis
abad ke-18 yang mengamati dan menganalisa budaya dan institusi politik Eropa
dengan cermat. Karya Motensqueieu membuktikan bahwa struktur sosial bisa
diamati dengan metode kritik ilmiah. Durkheim juga membaca tulisan-tulisan
Saint Simon, seorang pemikir sosialis awal abad ke 18, yang berpendirian bahwa
semua milik pribadi harus diserahkan kepada negara. Durkheim juga sangat
terkesan dengan Auguste Comte (1798-1857), pemikir Perancis yang
memperkenalkan pola umum evalusi peradaban manusia, mirip denga apa yang
ditawarkan Taylor dan Frazer. Dalam pola ini, pemikiran manusia pertama kali
dikendalikan oleh teologi, kemudian oleh ide-ide abstrak para filosof dan
akhirnya disempurnakan oleh era posivistik atai saintifik sekarang ini, dimana
8
Emile Durkheim: morality and society, hlm.3-22.
hanya kajian dan pengamatan mendalam terhadap fakta yang jadi kunci semua
pengetahuan.
Maka, semenjak era ilmu pengetahuan ini, humanitas telah menggantikan
agama, dan filsafat masa lalu telah dikesampingkan. Dari pemikiran Comte,
Durkheim akhirnya menyadari bahwa kebutuhan utama manusia akan selalu
terikat kepada satu komunitas. Pemikiran Comte telah menumbuhkan komitmen
pada diri Durkheim untuk selalu menganalisa seluruh fenomena sosial secara
ilmiah. Walaupun komitmen ini hanya sebatas metode-metode umum dan agak
samar tentang kemajuan evolusi sosial.
Selain dua orang tokoh itu, kita juga tidak bisa melupakan dua orang ilmuwan
termuka Perancis lain yang hidup pada waktu Durkheim masih muda, yaitu Ernest
Renan, seorang kritikus Bibel yang juga sangat tertarik dengan masalah sosial
kemasyarakatan, baik pada zaman Yahudi Kuno maupun Masyarakat Kristen
kontemporer. Ilmuwan kedua adalah seorang sejarawan klasik yang pernah
memberikan kuliah Sejarah kepada Dukheim yang sangat disegani di Universitas
Ecole. Ilmuwan tersebut adalah Nuna Denys Fustel de Coulanges, pengarang
buku The Ancient City (1864), sebuah studi klasik tentang kehidupan sosial kuno.
Dalam karya besar ini, Coulage menampilkan kepada pembaca suatu Analisa
sosial mendalam tentang negara kota Yunani dan Romawi. Dia tidak hanya
memaparkan kehidupan sehari-hari yang mengakar dalam nilai-nilai moral
imperative dan diatur oleh tradisi-tradisi luhur yang digunakan Masyarakat kala
itu, tapi juga menjelaskan bagaimana tradisi dan nilai tersebut benar-benar ditaati
berdasarkan kepercayaan agama politeisme klasik.9
Secara alami, Durkheim membangun kerangka bepikirnya berdasarkan ide-ide
para pemikir diatas.10 Namun demikian, situasi dan kondisi Perancis modern juga
sangar berpengaruh. Sebagaimana akan kita lihat nanti, pada akhir tahun 1800 an,
Perancis dan Eropa telah mengalami revolusi besar. Awalnya adalah revolusi
9
Ibid,134.
10
Nisbet, Sociology of Durkheim, hlm.24-30.
industry (ekonomi), dan kemudian revolusi politik di Perancis dengan beberapa
kali suksesi kepemimpinan. Menurut Durkheim, kedua peristiwa ini telah
merubah perdaban barat secara permanen. Stabilitas Eropa masa lalu di bentuk
berdasarkan kehidupan Masyarakat petani, sistem pembagian dikelas sosial yang
mapan, kepemilikan berdasarkan aristokrasi dan monarki, serta ikatan yang kuat
antara Masyarakat kota dan desa, ditambah dengan lingkungan kepercayaan,
tradisi, dan struktur gereja Kristen. Dua revolusi tersebut kemudian mengguncang
kemapanan Masyarakat barat yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Peradaban
yang telah di ubah dengan jalan revolusi seperti ini tidak akan pernah lagi sama
dengan sebelumnya.
Berbagai jenis perubahan muncul dari dalam dan sekeliling mereka.
Perubahan-perubahan tersebut sama sekali baru dan berbeda, yang menyebabkan
perpindahan Masyarakat ke daerah pabrik dan kota-kota, bergesernya kekayaan
dari tangan para bangsawan ke tangan para pedagang dan pengusaha, kekuasaan
beralih dari hak istimewa kelas-kelas lama kepada gerakan radikal atau peristiwa-
peristiwa mendadak. Agama Masyarakat menjadi kacau, keterangan-
keterangannya mulai tidak dipercayai dan tidak diacuhkan. Dalam ungkapan yang
agak spesifik , Durkheim membagi kondisi saat itu menjadi empat pola yaitu:
Pertama, tatanan sosial Masyarakat Eropa tradisional yang dulu terikat
dengan tali kekeluargaan, komunitas dan agama, sekarang telah digantikan oleh
munculnya “kontrak sosial” baru, dimana individu alisme dan kepentingan
pragmatis (uang) kelihatan lebih berkuasa.
Kedua, dalam hal perilaku dan moral, nilai-nilai sakral dan keyakinan
keagamaan yang disetujui oleh gereja, sekarang ditentang oleh kepercayaan baru
yang lebih menekankan rasionalitas. Hasrat untuk hidup Bahagia di dunia lebih
tinggi daripada keinginan masuk surga dan bebas dari siksa neraka di akhirat
kelak.
Ketiga, di bidang politik, munculnya masa demokratis dalam Masyarakat arus
bawah dan pusat kekuasaan yang kuat di arus atas telah mengubah control sosial
alami Masyarakat. Hubungan individu telah terputus dengan tuntutan moral lama
keluarga, kampung halaman dan gereja dan dibiarkan memilih partai politik,
pergerakan masa dan gereja sebagai tuntutan yang baru.
Keempat, dalam urusan pribadi, kebebasan individual yang terlepas dari
paradigma lama telah menjanjikan kesempatan besar dengan resiko yang tidak
ringan untuk mewujudkan kemakmuran dan aktualisasi diri, meskipun juga selalu
dibayangi oleh ancaman serius yaitu, perasaan kesepian dan terisolasi.
11
Ibid,164.
Pandang Durkheim sangat berbeda dengan mereka. Dia memang bukan orang
pertama dan bukan pula satu-satunya yang memperhatikan kekuatan sosial dalam
kehidupan sosial dalam kehidupan sosial manusia, tapi keunikannya terletak pada
pemahamannya terhadap arti penting kekuatan sosial tersebut dan penekanan
yang dia berikan bahwa perspekstif ini harus diterapkan dalam studi-studi di masa
yang akan datang.
G. Penjelasan Fungsional
Arti penting ritual keagamaan akan membawa kita ke jantung teori Durkheim,
yaitu penjelasan fungsional tentang agama. Sama dengan Freud, Durkheim
menganggap dirinya telah melontarkan teori yang tidak saja berbeda dalam segi
“jenis” teori itu sendiri. Tylor dan Frazer mencoba menjelaskan agama
sebagaimana adanya, dengan mengumpulkan nilai-nilai kepercayaan seseorang
pada taraf permukaan, kemudian mempertanyakan bagaimana kepercayaan ini
memberi penjelasan kepada penganutnya tentang makna kehidupan. Dalam
pendekatan intelektualis, keyakinan dan ide-ide yang disebut Durkheim sebagai
sisi spekulatif agama adalah kata kunci umtuk menjelaskan kebudayaan-
kebudayaan lain. Dalam pandangan Tylor, kita akan memahami arti sebuah ritual
keagamaan ketika, seorang pawang hujan dalam suku Indian menyakini tiruan
petir akan menurunkan hujan yang akan menyirami tanaman mereka. Prinsip-
prinsip magis imitarif barangkali bagi kita adalah sesuatu absurd, tapi tidak
demikian halnya bagi mereka, karena magi situ menjelaskan kenapa mereka
melakukan perbuatan aneh tersebut.13 Tapi Durkheim ingin menjawab pertanyaan
tentang masalah lain. Jika kita sepakat bahwa perbuatan-perbuatan seperti ini
memang absurd, lantas kenapa Masyarakat masih melakukannya? Jika memang
13
Lukes, Emile Durkheim, hlm.136.
ide-ide ini penuh tahayul, lalu kenapa tidak hilang dengan mudah? Kenapa masih
dapat bertahan hingga sekarang?
Bagi Durkheim, jawaban pertanyaan ini hanya bisa ditemukan di satu tempat,
yaitu pada fungsi sosialnya pada perbuatan mereka itu sendiri, bukan pada muatan
keimanan atau apa yang mereka Yakini tentang tuhan dan dunia, seorang hidup
dalam kubangan perilaku-perilaku Masyarakat. Hakikat agama tidak akan
ditemukan di permukaannya, tapi di dalam dasar agama tersebut. Dan telah
diperlihatkan dalam kasus agama tetonisme Australia, arti penting agama terletak
pada upacara-upacara yang dapat memberikan semangat baru kepada individu-
individu kelompok mereka. Ritual-ritual ini kemudian menciptakan kebutuhan
akan adanya satu simbol yang menggambarkan ide-ide tentang roh-roh leluhur
dan dewa-dewa
Lebih jauh, jika memang Masyarakat memerlukan ritual-ritual tertentu agar
tetap eksis, maka konsekuensinya adalah bahwa tidak akan ada satu Masyarakat
yang tidak memiliki sebuah agama atau sesuatu yang berfungsi sama dengan
agama. Walaupun ide-ide agama dianggap salah dan absurd oleh Sebagian
kalangan, namun perilaku keagamaan akan selalu ada dalam setiap Masyarakat,
karena memberikan kekuatan kepada Masyarakat. Ide-ide keagamaan bisa saja di
perdebatkan, bamun ritual-ritual atau bentuk lain yang berfungsi sama akan selalu
dipertahankan. Masyarakat tidak akan eksis tanpa adanya upacara-upacara, dan
dengan begitu, agama pun akan selalu ada. Ada juga kritikan Durkheim mengenai
bukti.
Kesimpulan
Durkheim menegaskan bahwa tidak akan ada bedanya dari sudut manapun
kita memandang apa yang menimbulkan suatu agama, bahkan setiap agama, karena
pasti terpulang kembali pada aspek sosial masyarakat pemeluknya. Walaupun
memang akan sulit mengetahuinya dalam agama- agama besar dunia, tapi jelas dia
akan menampilkan diri dalam masyarakat yang kompleks sama persis ketika dia
tampak dalam masyarakat totenisme yang sangat sederhana. Di timur dan di barat,
masyarakat modern atau purba, kepercayaan dan ritual keagamaan selalu
mengekspresikan kebutuhan masyarakat, yaitu menuntut setiap anggotanya untuk
lebih memikirkan kelompok ketimbang diri pribadi, merasakan arti penting dan
kekuatan yang dimiliki masyarakat yang mau mengorbakan kepentingan pribadinya
demi masyarakat.
Daftar Pustaka
Pals, Daniel I, (2012). Seven Theories of Religion. Penerjemah; Inyiak Ridwan Muzir,
Yogyakarta; IRCiSOD.
Durkheim, Emile, (1992). The Elementary Forms of The Religion Life. New York;
Free Press.
Tuner, Bryan S. 2012. Relasi Agama & Teori Sosial Kontemporer, Yogyakarta;
IRCiSOD.
Abdullah, Amin, (2001). Dalam Pendekatan Kajian Islam Dalam Studi Agama,
Jakarta; Muhammadiyah Universitt Press.