Anda di halaman 1dari 318

BUKU PEGANGAN

HASIL HUTAN BUKAN KAYU


Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002
tentang HAK CIPTA

Pasal 2
(1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu
ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Pasal 72
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-
masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Hasil Hutan Bukan Kayu 2


BUKU PEGANGAN
HASIL HUTAN BUKAN KAYU

WAHYUDI

Editor
Wasrin Syafii

Perbanyakan dan distribusi buku ini sebagian dibiayai oleh International Tropical Timber Organization (ITTO)
126/12A
BUKU PEGANGAN
HASIL HUTAN BUKAN KAYU
Oleh: Wahyudi

© PENERBIT POHON CAHAYA


Jl. Tirtodipuran 8 Yogyakarta 55142
Telp./ Fax.: (0274) 379109
E-mail: pohoncahaya@pohoncahaya.com
Website: www.pohoncahaya.com

Cetakan ke-1 : Mei 2013

Perancang Sampul : Sigit Supradah


Penata Letak : Hendra Prabawa
Editor : Wasrin Syafii
Penyelaras : Hendra Prabawa

Perpustakaan Nasional RI: ISBN/


Katalog Dalam Terbitan (KDT)

BUKU PEGANGAN
HASIL HUTAN BUKAN KAYU
Yogyakarta: Pohon Cahaya, 2013.
318 hlm.; 15x23 cm
ISBN: …

Hak cipta dilindungi Undang-Undang.


Dilarang mengutip dan mempublikasikan
sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin dari Penerbit

Dicetak oleh:
PERCETAKAN POHON CAHAYA

Hasil Hutan Bukan Kayu 4


Dengan mengucapkan
Alhamdulillah,
buku ini dapat terbit berkat motivasi dari
Bunda Ranti, Ananda Uda, dan Owi

Hasil Hutan Bukan Kayu 5


(halaman kosong)

Hasil Hutan Bukan Kayu 6


PENGANTAR PEMBACA

Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas pentunjuk dan karunia-Nya,
buku Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) ini dapat diselesaikan. Buku ini ditulis dengan tujuan untuk
memberikan bahan bacaan kepada mahasiswa Kehutanan pada umumnya. Secara khusus, buku ini
ditujukkan kepada mahasiswa jurusan Teknologi Hasil Hutan yang mengambil mata kuliah Hasil
Hutan Bukan Kayu, di mana mereka sering mengeluhkan keterbatasan akan bahan bacaan atau
referensi yang menyeluruh tentang hasil hutan bukan kayu (Non-Timber Forest Products/NTFPs), dan
beberapa pembaca yang tertarik atau berkecimpung dengan hasil hutan bukan kayu
Buku ini juga sangat informatif bagi para pembaca maupun pihak lain yang berkepentingan
dengan keanekaragaman hayati hutan tropis, khusunya keterikatan atau interaksi antara masyarakat
lokal/hutan (forest people) dengan sumber daya hutan yang mereka miliki, yang selanjutnya
diistilahkan dengan kearifan lokal (Indigenous knowledge)
Buku, bahan bacaan, dan referensi tentang hasil hutan bukan kayu, sebenarnya sangat banyak dan
beragam, dari yang bersifat pengetahuan populer, kajian ilmiah, hasil penelitian, baik dalam bentuk
laporan maupun proseding symposium, baik lokal maupun international. Akan tetapi kebanyakan
bahan bacaan tersebut tersedia dalam bahasa Inggris. Beberapa buku referensi tentang HHBK dalam
bahasa Indonesia masih kurang, bahkan belum ada. Jikalaupun ada, kebanyakan disajikan dalam
ruang lingkup yang terbatas, yaitu hanya membahas satu komoditas HHBK saja.
Karena keberagaman sumber referensi tersebut, sehingga banyak informasi tentang hasil hutan
bukan kayu yang terkesan kurang dipadukan menjadi buku yang akan memberikan wawasan yang
menyeluruh dan lengkap. Sehingga sangat diharapkan dengan membaca buku ini, pemahaman dan
penguasaan tentang komoditas hasil hutan bukan kayu dapat diperoleh oleh mahasiswa, dan pembaca
secara lengkap, objektif dan menyeluruh.
Keunikan atau kekhasan hasil hutan bukan kayu adalah ruang lingkupnya yang sangat luas, dan
kontribusinya langsung kepada masyarakat hutan serta berkaitan langsung dengan aspek kearifan
masyarakat lokal terhadap kelestarian sumber daya hutan/alam mereka. Ini yang menjadikan
komoditas HHBK menjadi bahan kajian dan perhatian utama dari beberapa negara maju dan lembaga-
lembaga keuangan dan konservasi internasional untuk berperan dalam mengoptimalkan pengelolaan
nya untuk masyarakat lokal.
Pada awalnya, buku ini merupakan hasil kumpulan materi-materi mata kuliah hasil hutan bukan
kayu yang penulis siapkan dari tahun 2001, kemudian dikemas dalam buku ajar. Dengan penambahan
beberapa referensi, pengetahuan popular, dan hasil-hasil penelitian, maka buku ini kemudian
disempurnakan untuk menjadi buku tek atau referensi untuk mahasiswa kehutanan, dan berbagai
disiplin ilmu lainnya, serta pembaca tentang universalitas komoditas HHBK.
Buku ini dirancang dengan menggunakan pendekatan yang menyeluruh tentang HHBK, sehingga
pokok pokok bahasan disusun ke dalam bentuk bab-bab yang saling berurutan. Susunan bab tersebut
sengaja dimunculkan agar setiap pembaca, dan khusunya mahasiswa memiliki pengetahuan tentang
tujuan dan harapan pembelajaran dari masing-masing pokok bahasan. Dengan demikian, mahasiswa
dapat menemukan proses pembelajaran yang optimum sesuai dengan kebutuhan mahasiswa, sesuai
dengan kurikullum yang berbasis kompetensi.
Kiranya buku ini dapat memberikan manfaat kepada mahasiswa dan pembaca pada umumnya,
segala masukan dan kritikan serta saran demi kelengkapan dan keakuratan informasi dalam buku ini,
senantiasa penulis harapkan.

Manokwari, West Papua, Mei 2013

Penulis

Hasil Hutan Bukan Kayu 7


UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi –tingginya kepada para
mahasiswa bimbingan yang dengan sukarela memberikan koleksi foto-foto hasil penelitiannya untuk
mendukung illustrasi pada buku ini. Semua kontribusi kalian akan memberikan bekal pengetahuan
kepada adik-adik kalian dan mengilhami mereka untuk berbuat lebih-baik dan lebih baik lagi untuk
masa depan hutan kita bersama. Pernhargaan yang sama juga, penulis berikan kepada para mahasiswa,
temen-temen kolega dan fihak lain yang turut berperan dalam menunjang penulisan buku ini.
Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Wasrin
Syafii, M.Agr.Sc atas kesediaanya menjadi editor tunggal buku ini.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada International Tropical Timber Organization
(ITTO), yang telah bersedia mendanai untuk publikasi dan distribusi buku ini kepada beberapa
institusi kehutanan di beberapa wilayah Indonesia.

Hasil Hutan Bukan Kayu 8


PRAKATA

Assalamu’ alaikum Wr. Wb,


Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) atau ada sebagian yang menyebutnya Hasil Hutan Non Kayu,
yang dalam bahasa Inggrisnya adalah Non-Wood Forest Products (NWFP`s) atau lembaga lain
menyebutnya sebagai Non-Timber Forest Products (NTFP`s) adalah salah satu mata kuliah wajib bagi
mahasiswa kehutanan, khususnya pada jurusan/program studi teknologi hasil hutan.
Beberapa alasan yang mendasar kenapa buku ini ditulis, kenapa hanya mahasiswa jurusan
teknologi hasil hutan yang memperoleh mata kuliah ini. Mengingat ruang kajian dari hasil hutan
bukan kayu itu sangat luas, baik menyangkut aspek biologi, taxonomy, pengolahan, analisis
laboratorium, dan bahkan keadaaan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya, maka seyogianya program
studi lain di lingkungan Fakultas Kehutanan, seperti Konservasi dan Manajemen hutan juga
memperoleh mata kuliah ini. Hal ini terkait dengan fakta bahwa komponen ekosistem hutan atau
tegakan terdiri atas pohon, anakan, tumbuhan bawah, semak belukar, mikroba dan berbagai jenis
mikro flora dan fauna lainnya. Asosiasi dan ketergantungan antara tumbuhan tingkat tinggi dan
rendah, hewan bersel tunggal dan majemuk, sangat menentukan kerberlangsungan proses biologi dan
kimiawi dalam tegakan tersebut untuk tetap eksis dan berfungsi. Sehingga kajian pengetahuan yang
hanya menfokuskan pada tumbuhan yang bernilai ekonomi, seperti pohon, akan memberikan
pemahaman yang kurang menyeluruh terhadap ekosistem tegakan hutan itu sendiri.
Dengan biodiversiti yang sangat tinggi dan tingkat ketergantungan masyarakat hutan terhadap
hutan miliknya, atau di sekelilingnya, maka pembangunan dan pemberdayaan masyarakat hutan dan
juga pembangunan kehutanan dan atau pemanenan hasil hutan tidak dapat dipungkiri lagi harus
melibatkan peran serta komoditas hasil hutan bukan kayu. Hal ini yang kemudian memunculkan
paradigma baru pengelolaan hutan tropis di dunia, yaitu dari yang berorientasi pengambilan hasil
hutan utama atau kayu dengan orientasi bisnis, kepada paradigma baru yang diwujudkan dengan
pengikutsertaan peran masyarakat hutan, yang kemudian dikenal dengan pengelolaan hutan berbasis
masyarakat. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini yang diyakini dapat menyelamatkan hutan
sekaligus memberdayakan dan membangun masyarakat hutan, dan paradigma baru ini yang dikenal
dengan Commnuity-based Forest Management.
Alasan yang ketiga adalah karena jenis dan ragam hasil hutan bukan kayu itu sangat beragam
(diverse), maka penulis mencoba untuk merangkumnya, dalam bentuk buku teks ini dengan harapan
memudahkan kepada para mahasiswa dan pembaca untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh
tentang produk-produk hasil hutan bukan kayu. Hal ini dilakukan karena bahan-bahan kajian referensi
kebanyakan disajikan dalam bahasa Inggris. Sementara referensi yang tersedia dalam bahasa
Indonesia, lebih banyak kepada kegiatan atau hasil penelitian tentang hasil hutan bukan kayu, yang
masih bersifat perjenis atau komoditas. Untuk memenuhi ketidaksinergisan tersebut, maka buku teks
ini dibuat, dengan harapan beberapa pandangan tentang hasil hutan bukan kayu itu dapat dipahami
dan dimengerti dengan objektif. Ada anggapan bahwa hasil hutan bukan kayu itu hanya rotan, damar,
arang, sagu, dan gondorukem, padahal hasil hutan bukan kayu bukan itu saja. Bahkan penulis sangat
percaya bahwa masa depan dan keberlanjutan potensi sumber daya hutan Indonesia terletak pada hasil
hutan bukan kayu.
Buku teks ini disusun dengan format mengikuti sistem kompentensi, yaitu setiap bab menyajikan
satu pokok bahasan dan dilengkapi dengan harapan-harapan setelah menyelesaikan pokok bahasan
tersebut. Pada setiap akhir pokok bahasan disertai dengan bahan bacaan atau referensi, yang bertujuan
untuk melatih para anak didik untuk mencari dan menggali informasi-informasi yang diperlukan dari
sumber-sumber pustaka primer yang direkomendasikan.
Buku teks ini terdiri atas 26 pokok bahasan, yang disusun berdasarkan keterkaitan topik
pembelajaran dan logika pemahaman topik. Pengertian, definisi dan alasan belajar hasil hutan bukan

Hasil Hutan Bukan Kayu 9


kayu disajikan pada bab 1, alasan-alasan pengelompokan atau penggolongan hasil hutan menurut
instansi yang mengelolanya disajikan pada bab 2. Kajian pengelolaan dan karakteristik dari hasil
hutan bukan kayu dari berbagai perpektif disajikan pada bab 3, dan bab 4 membahas tentang potensi,
produksi ddan realitas ekspor komoditas hasil hutan bukan kayu. Pada bab 5 memberikan ilustrasi
tentang pola produksi, sistem pasar dan kelembagaan pemasaran komoditas hasil hutan bukan kayu
sedangkan bab 6 mengkritisi tentang beberapa perangkat perundang-undangan tentang hasil hutan
bukan kayu, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah.
Bab 1 – 6 tersebut secara umum membahas tenang gambaran dan analisis permasalahan, tentang
jumlah dan jenis hasil hutan bukan kayu yang telah ditetapkan, dibandingkan dengan kenyataan
bahwa data tentang produksi dan ekspor atau nilau jual (kontribusi) hasil hutan bukan kayu yang
begitu kecil. Kekurangakuratan data dan informasi, antara jumlah komoditas, produksi dan penjualan
hasil hutan bukan kayu, menimbulkan berbagai pertanyaan, dari ketidaktersedianya data, baik di
tingkat daerah sampai depertemen kehutanan, aktivitas perdagangan hasil hutan bukan kayu yang
tidak termonitor oleh dinas terkait, sampai kepada belum adanya atau rendahnya pemahaman aparat
dan pelaku usaha hasil hutan bukan kayu tentang regulasi dan standarisasi hasil hutan bukan kayu.
Bab 7 sampai 24, membahas tentang jenis-jenis hasil hutan bukan kayu, baik bersifat komoditas
tunggal, seperti rotan, sagu, aren dan bambu, maupun dalam kelompok seperti produk turunan kayu
yaitu arang, briket arang dan atap sirap, yang disajikan pada bab 11. Bab 12 membahas tentang
tumbuhan penghasil warna alami, dan diikuti oleh tumbuhan obat pada bab 13. Komoditas getah-
getahan disajikan pada bab 14 sedangkan kelompok minyak atsiri juga dibahas dalam modul
tersendiri yaitu modul bab 15. Pada bab 16 pokok bahasannya adalah komia bahan alami, diikuti oleh
komoditas Buah merah pada bab berikutnya yaitu bab 17. Gaharu dibahas dalam bab 18, dan hasil
hutan bukan kayu kelompok Nabati dan hewani lainnya dibahas dalam bab 19, 20 dan 21 secara
berurutan. Sedangkan pokok bahasan tentang produk jasa dari hutan (services of forests) disajikan
pada bab 22, 23 dan 24. Produk jasa (forest services) dari hutan bibahas pada bab 22, dan ekowisata
yang merupakan potensi hasil hutan bukan kayu yang menggabungkan antara keunikan potensi
ekologi, sosial dan budaya masyarakat lokal atau suatu kawasan tertentu dibahas pada bab ke-23.
Perdagangan karbon dibahas pada bab 24. Pada akhir buku teks ini yaitu bab 25 dan 26, dilengkapi
beberapa topik penelitian dari HHBK dan beberapa judul penelitian mahasiswa strata satu (S1) berikut
tujuan dan variabel penelitiannya, dengan tujuan para mahasiswa dapat mempelajarinya dan
memahaminya. Pada bab terahir, 26, dibahas dengan singkat berbagai peluang usaha dalam bidang
HHBK, baik kewirausahaan skala rumah tangga, usaha kecil dan menegnah dan perusahaan besar.
Diharapakan setelah membaca dua pokok bahasan terakhir ini, peserta didik memiliki wawasan yang
luas, objektif dan kritis dalam merencanakan, menyusun dan mengembangkan potensi dirinya,
khususnya sebagai enterpreneurship yang baru.
Buku teks ini memimilki kelebihan-kelebihan yaitu mencoba menyajikan informasi yang
menyeluruh (komprehensif), disertai ilustrasi gambar yang jelas, karena belum tentu semua
mahasiswa atau pembaca, mengetahui sayur katok, buah pinang, aren maupun buah merah, dan
disajikan dengan pola pikir yang mengikuti kaidah logika pembelajaran, baik dalam tata bahasanya
maupun urutan pokok bahasannya. Kekurangan buku teks ini adalah ada pokok bahasannya yang
terlalu banyak, tetapi ada juga yang terlalu sedikit dan terdapat tabel-tabel yang terlalu menyita
halaman. Kekurangan lainnya adalah dalam memberikan ilustrasi gambar, atau kasus, hanya yang
terjadi di Papua, dan khusunya Manokwari.
Mengutip ungkapan moto dari Pemerintah Provinsi Papua Barat, yaitu kalau bukan kita siapa
lagi, dan kalau bukan sekarang kapan lagi, penulis membuat buku teks hasil hutan bukan kayu ini,
guna membantu mendokumentasikan kekayaan alam tropis Indonesia yang begitu kaya ini.
Terlepas dari segala kekurangan dan kelebihan yang telah diutarakan di atas, kiranya buku teks
ini dapat menjadi satu bahan bacaan wajib khususnya bagi mahasiswa kehutanan, farmasi, ilmu
lingkungan dan berbagai jenis latar belakang disiplin ilmu lainnya. Buku teks ini juga sangat berguna

Hasil Hutan Bukan Kayu 10


bagi para seluruh stakeholders yang berkepentingan dengan hasil hutan bukan kayu, khusunya di
Indonesia.
Dengan segala kerendahan hati, semoga buku teks ini dapat memenuhi apa yang para mahasiswa
harapkan dan pembaca inginkan. Salam Rimbawan. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr Wb.

Salam Hormat,

Wahyudi Sayuti Pono

Hasil Hutan Bukan Kayu 11


(halaman kosong)

Hasil Hutan Bukan Kayu 12


DAFTAR ISI

PENGANTAR PEMBACA ……………………………………………………………….. 7


UCAPAN TERIMA KASIH ………………………………………………………………… 8
PRAKATA ………………………………………………………………………………….. 9
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………….. 13
DAFTAR TABEL …………………………………………………………………………… 20
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………………… 22
BAB 1. PENGERTIAN HASIL HUTAN …………………………………………………… 25
1.1. Pendahuluan ……………………………………………………………………. 25
1.2. Hutan Tropis Indonesia …………………………………………………………….. 26
1.3. Paradigma Baru dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan yang Berkelanjutan …… 28
1.4. Pengertian Hasil Hutan Bukan Kayu ……………………………………………… 32
1.5. Peluang Produk Minor Penggantikan Produk Major di Masa Mendatang ………… 33
1.6. Pustaka ……………………………………………………………………………. 35
BAB 2. PENGGOLONGAN PRODUK HASIL HUTAN ………………………………… 36
2.1 Pendahuluan ……………………………………………………………………. 36
2.2. Penggolongan Menurut Undang-Undang Pokok Kehutanan ……………………. 36
2.3. Penggolongan Menurut Undang-Undang Kehutanan …………………………….. 37
2.4. Penggolongan Menurut Standar Nasional Indonesia ……………………………… 38
2.5. Penggolongan Hasil Hutan Menurut Sumber Lain ……………………………… 47
2.6. Pustaka ……………………………………………………………………………. 48
BAB 3. KAJIAN PENGELOLAAN DAN KARAKTERISTIK
HASIL HUTAN BUKAN KAYU ………………………………………………. 49
3.1. Pendahuluan ………………………………………………………………………. 49
3.2. Fungsi dan Manfaat Penting Hutan bagi Masyarakat Hutan (Forest People) ………. 49
3.3. Permasalahan-Permasalahan Penting dari Hasil Hutan Bukan Kayu
dan Kemungkinan Pemecahannya, FAO (1998) ………………………………….. 53
3.4. Pustaka …………………………………………………………………………… 58
BAB 4. POTENSI, PRODUKSI, DAN EKSPOR KOMODITAS
HASIL HUTAN BUKAN KAYU ……………………………………………….. 59
4.1. Pendahuluan ............................................................................................................. 59
4.2. Potensi …………………………………………………………………………… 59
4.3. Keanekaragaman Produk …………………………………………………………. 61

Hasil Hutan Bukan Kayu 13


4.4. Produksi dan Ekspor ………………………………………………………………. 62
4.5. Pustaka …………………………………………………………………………… 68
BAB 5. POLA PRODUKSI, SISTEM PASAR DAN KELEMBAGAAN PEMASARAN ….. 69
5.1. Pendahuluan ………………………………………………………………………. 69
5.2. Pola Produksi ………………………………………………………………………. 69
5.3. Rantai Pemasaran (Maket Chain) ………………………………………………… 72
5.4. Kelembagaan Pemasaran ………………………………………………………. 74
5.5. Produksi, Permintaan, dan Perdagangan ………………………………………….. 77
5.6. Pustaka …………………………………………………………………………… 78
BAB 6. PERANGKAT PERUNDANG-UNDANGAN DAN KEBIJAKAN
HASIL HUTAN BUKAN KAYU ……………………………………………….. 79
6.1. Pendahuluan ………………………………………………………………………. 79
6.2. Perundang-undangan ……………………………………………………………….. 79
6.3. Pemanfaatan dan Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu ………………………… 81
6.4. Izin Pemanfaatan dan Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu …………………….. 82
6.5. Pemberian Izin …………………………………………………………………… 82
6.6. Pemberian Izin di Daerah Kabupaten/Kota ………………………………………… 83
6.7. Daftar Pustaka ……………………………………………………………………. 89
BAB 7. ROTAN (RATTAN) ……………………………………………………………….. 90
7.1. Pendahuluan …………………………………………………………………….. 90
7.2. Botani Rotan ……………………………………………………………………… 90
7.3. Pemanenan dan Pengolahan Rotan ………………………………………………… 94
7.4. Pengujian Kualitas Rotan ………………………………………………………… 96
7.5. Beberapa Catatan Penting tentang Perkembangan
Komoditas Rotan dan Industri Rotan ………………………………………………. 97
7.6. Permasalahan Komoditas Rotan di Masa Mendatang …………………………….. 98
7.7. Pustaka ……………………………………………………………………………. 101
BAB 8. SAGU (METROXYLONSPP) ……………………………………………………… 103
8.1. Pendahuluan ……………………………………………………………………….. 103
8.2. Botani Sagu (Metroxylon spp) …………………………………………………….. 103
8.3. Potensi Sagu ………………………………………………………………………. 104
8.4. Ciri Fisik Sagu Siap Panen ……………………………………………………….. 106
8.5. Pengertian Aci Sagu ……………………………………………………………… 108
8.6. Pemanenan Sagu ………………………………………………………………….. 108

Hasil Hutan Bukan Kayu 14


8.7. Penghancuran Empulur (Menokok) dan Ekstraksi Aci Sagu ………………………. 110
8.8. Metode Tradisional ……………………………………………………………….. 110
8.9. Metode Semi Mekanis ……………………………………………………………… 114
8.10. Metode Mekanis Penuh ……………………………………………………………. 115
8.11. Pemanfaatan Pohon Sagu ………………………………………………………….. 116
8.12. Pustaka ………………………………………………………………………… 119
BAB 9. AREN (ARENGA PINNATA MERR) ……………………………………………… 120
9.1. Pendahuluan ……………………………………………………………………….. 120
9.2. Botani Pohon Aren ………………………………………………………………. 120
9.3. Pemanfaatan Aren untuk Berbagai Produk ………………………………………… 123
9.4. Pembuatan Gula Merah Aren ……………………………………………………. 127
9.5. Pemanfaatan Tumbuhan Aren sebagai Bahan Bakar Nabati ……………………….. 129
9.6. Pustaka ………………………………………………………………………….. 131
BAB 10. BAMBU …………………………………………………………………………… 132
10.1. Pendahuluan …………………………………………………………………… 132
10.2. Botani Bambu …………………………………………………………………….. 132
10.3. Keanekaragaman Bambu pada Beberapa Daerah ………………………………… 134
10.4. Kenapa Bambu Begitu Spesial ……………………………………………………. 135
10.5. Sifat-Sifat Dasar dari Bambu ……………………………………………………. 137
10.6. Produk-Produk dari Bambu …………………………………………………….. 138
10.7. Penggunaan Bambu di Pedesaan …………………………………………………. 140
10.8. Perkembangan Teknologi Bambu ………………………………………………… 143
10.9. Lembaga Penelitian Bambu dan Rotan ………………………………………….. 143
10.10. Pustaka ……………………………………………………………………………… 143
BAB 11. PRODUK TURUNAN KAYU …………………………………………………….. 145
11.1. Pendahuluan ………………………………………………………………………. 145
11.2. Arang (Charcoal) ………………………………………………………………….. 145
11.3. Arang Aktif (Activated Carbon) ………………………………………………….. 149
11.4. Briket Arang (Briquette) …………………………………………………………… 153
11.5. Sirap ………………………………………………………………………………. 154
11.6. Pustaka ………………………………………………………………………….. 157
BAB 12. TUMBUHAN PENGHASIL PEWARNA ALAMI (NATURAL DYE) ……………….. 158
12.1. Pendahuluan ……………………………………………………………………….. 158
12.2. Pengertian Pewarna Alami ……………………………………………………….. 158

Hasil Hutan Bukan Kayu 15


12.3. Penggunaan Pewarna Alami untuk Produk Tekstil seperti Batik ………………….. 160
12.4. Pengunaan Pewarna Alami pada Industri Makanan dan Minuman …………….... 164
12.5. Tanin ………………………………………………………………………………. 165
12.6. Pewarna Alami untuk Berbagai Produk Tradisional Lainnya …………………….. 165
12.6. Pustaka ................................................................................................................... 171
BAB 13. TUMBUHAN OBAT (MEDICINAL PLANTS) …………………………………… 172
13.1. Pendahuluan ……………………………………………………………………….. 172
13.2. Tumbuhan Obat (Medicinal Plants) ……………………………………………… 172
13.3. Tumbuhan Obat di Papua ………………………………………………………… 176
13.4. Pustaka …………………………………………………………………………… 179
BAB 14. RESIN DAN GETAH-GETAHAN ……………………………………………….. 180
14.1. Pendahuuan …………………………………………………………………… 180
14.2. Istilah Umum ……………………………………………………………………. 180
14.3. Getah Perca ……………………………………………………………………… 181
14.4. Getah Jelutung ………………………………………………………………….. 182
14.5. Kopal …………………………………………………………………………….. 184
14.6. Damar …………………………………………………………………………….. 186
14.7. Getah Tusam ……………………………………………………………………… 187
14.8. Jernang ……………………………………………………………………………. 189
14.9. Kemenyan ……………………………………………………………………….. 190
14.10. Pustaka …………………………………………………………………………. 191
BAB 15. MINYAK ATSIRI (ESSENTIAL OIL) …………………………………………….. 193
15.1. Pendahuluan …………………………………………………………………….. 193
15.2. Potensi …………………………………………………………………………….. 193
15.3. Pengertian …………………………………………………………………………. 195
15.4. Sifat Fisiko-Kimia ………………………………………………………………… 196
15.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mutu Minyak Atsiri …………………………. 196
15.6. Proses Mendapatkan Minyak Atsiri ……………………………………………… 197
15.7. Pemisahan Minyak Atsiri dari Air dan Lemak ……………………………… 200
15.8. Pengemasan dan Penyimpanan …………………………………………………… 201
15. 9. Pemanfaatan Minyak Atsiri ……………………………………………………… 201
15.10. Beberapa Penelitian Minyak Atsiri ……………………………………………… 201
15.11. Pustaka ……………………………………………………………………………. 208

Hasil Hutan Bukan Kayu 16


BAB 16. KIMIA BAHAN ALAM (NATURAL PRODUCTS OF CHEMISTRY) ………….. 210
16.1. Pendahuluan ……………………………………………………………………… 210
16.2. Ethnobotani, Ethnopharmakologi, dan Kearifan Lokal (Indigenous Knowledge) ….. 210
16.3. Kimia Tumbuhan (Phytochemistry) ………………………………………………. 212
16.4. Kimia Senyawa Aktif Biologis Tumbuhan ……………………………………….. 213
16.5. Keanekaragaman Hayati Tanaman Obat-obatan …………………………………. 213
16.6. Bahan Obat-obatan dari Tumbuhan Tropis ………………………………………. 214
16.7. Grup Metabolit Sekunder ………………………………………………………… 214
16.8. Pustaka ……………………………………………………………………………. 216
BAB 17. BUAH MERAH (PANDANUSCONODIEUSLAMK) …………………………. 217
17.1. Pendahuluan ……………………………………………………………………….. 217
17.2. Botani Buah Merah (Pandanus conoideus L.) …………………………………….. 217
17.3. Budi Daya Buah Merah …………………………………………………………. 218
17.4. Pemanfaatan Buah Merah secara Tradisional ……………………………………. 219
17.5. Karakteristik dan Komposisi Asam Lemak Buah Merah ………………………….. 220
17.6. Uji Biologi dan Pharmacologi dari Ekstrak Buah Merah ………………………… 222
17.7. Pengolahan Buah Merah ………………………………………………………….. 222
17.8. Diversifikasi Produk-Produk Buah Merah ……………………………………… 222
17.9. Pustaka ……………………………………………………………………………. 223
BAB 18. GAHARU (AGARWOOD) ………………………………………………………… 225
18.1. Pendahuluan ……………………………………………………………………….. 225
18.2. Botani Gaharu …………………………………………………………………… 225
18.3. Potensi Gaharu …………………………………………………………………… 227
18.4. Pengertian Gaharu ……………………………………………………………….. 227
18.5. Pemanfaatan dan Komponen Kimia Minyak Atsiri dan Ektrak Gaharu ………….. 228
18.6. Perdagangan Gaharu ……………………………………………………………… 229
18.7. Pengujian dan Kualitas Gaharu …………………………………………………. 230
18.8. Pustaka ………………………………………………………………………….. 234
BAB 19. PRODUK-PRODUK NABATI LAINNYA ……………………………………… 236
19.1. Pendahuluan ……………………………………………………………………… 236
19.2. Anggrek (Dendrobium spp) ……………………………………………………………… 236
19.3. Buah Mangrove …………………………………………………………………… 238
19.4. Daun Pandan (Pandanus spp) ……………………………………………………… 240
19.5. Nipah (Nypafruticans Wurmb) ……………………………………………………. 241

Hasil Hutan Bukan Kayu 17


19.6. Pala (Myristica spp) …………………………………………………………………………. 243
19.7. Pustaka …………………………………………………………………………….. 245
BAB 20. MIKROBA ENDOPIT DAN JAMUR (EDIBLEMUSHROOM) …………………. 247
20.1. Pendahuluan ………………………………………………………………………. 247
20.2. Mikroba Endofit …………………………………………………………………. 247
20.3. Jamur yang Dapat Dikonsumsi (Edible Mushroom) ………………………………. 249
20.4. Nilai Nutrisi dan Bahan Aktif pada Jamur Konsumsi …………………………….. 257
20.5. Usaha Budi Daya Jamur dan Pemberdayaan Masyarakat Lokal ………………… 258
20.6. Pustaka …………………………………………………………………………….. 260
BAB 21. KELOMPOK HEWANI ………………………………………………………….. 262
21.1. Pendahuluan …………………………………………………………………….. 262
21.2. Buaya dan Kulit Buaya ……………………………………………………………. 262
21.3. Rusa (Cervus spp) …………………………………………………………………. 263
21.4. Sarang Burung Walet ……………………………………………………………… 264
21.5. Kutu Lak (Sherlac) ………………………………………………………………… 265
21.6. Lebah Madu ……………………………………………………………………… 266
21.7. Ulat Sagu ………………………………………………………………………... 267
21.8. Kupu-Kupu ………………………………………………………………………. 267
21.9. Burung ……………………………………………………………………………. 269
21.10. Kanguru Pohon Cenderawasih (Dendrogilus ursinus) …………………………… 270
21.11. Pustaka ……………………………………………………………………………. 271
BAB 22. PRODUK JASA DARI HUTAN(FOREST SERVICES) ………………………………. 273
22.1 Pendahuluan ……………………………………………………………………….. 273
22.2. Produk Jasa dari Sumber Daya Hutan (Services of Forests) ……………………….. 273
22.3. Jasa Hutan dan Pohon pada Pertanian (Agricultural Services of Forests and Trees) … 274
22.4. Jasa Hutan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) (Watershed Services of Forests) …… 275
22.5. Pabrik Karbon (Carbon Sequestration/Carbon Sink) ………………………………….. 275
22.6. Konservasi Habitat Satwa Liar dan Nilai Keanekaragaman Hayati
(Conservation of Wildlife Habitats and Biological Diversity Values) …………….. 276
22.7. Pustaka ……………………………………………………………………………. 276
BAB 23. EKOWISATA (ECOTOURISM) ……………………………………………….. 277
23.1. Pendahuluan ……………………………………………………………………… 277
23.2. Pengertian ………………………………………………………………………… 277
23.3. Ekowisata dan Kawasan Konservasi …………………………………………….. 278

Hasil Hutan Bukan Kayu 18


23.4. Potensi Lokal dari Ekowisata …………………………………………………….. 279
23.5. Pustaka ……………………………………………………………………………… 282
BAB 24. PERDAGANGAN KARBON (CARBONTRADE) ………………………………. 283
24.1. Pendahuluan ……………………………………………………………………… 283
24.2. Hutan Tropis Dunia (World Tropical Rain Forest) ……………………………….. 283
24.3. Konvensi International tentang Perubahan Iklim Global ………………………….. 284
24.4. Protokol Kyoto ……………………………………………………………………. 284
24.5. Efek Rumahkaca dan Gas Rumah Kaca (Green House Gases) ………………….. 285
24.6. Mekanisme Perdagangan Karbon Melalui Skema REDD
bagi Negara-Negara Berkembang Pemiliki Hutan Tropis ………………………… 286
25.7. Pustaka …………………………………………………………………………….. 289
BAB 25. PENELITIAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU ………………………………… 290
25.1. Pendahululan ………………………………………………………………………. 290
25.2. Penelitian Hasil Hutan Bukan Kayu Berdasarkan
Urutan Pengembangan Komoditas Unggulan …………………………………….. 290
25.3. Beberapa Contoh Penelitian Hasil Hutan Bukan Kayu
di Fakultas Kehutanan UNIPA …………………………………………………….. 293
25.4. Pustaka …………………………………………………………………………… 293
BAB 26. PELUANG USAHA KOMODITAS HASIL BUTAN BUKAN KAYU …………. 299
26.1. Pendahuluan ……………………………………………………………………… 299
26.2. Komoditas Unggulan Hasil Hutan Bukan Kayu Daerah dan Nasional ………… 299
26.3. Peluang Usaha Komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu …………………………… 300
GLOSARIUM ………………………………………………………………………………. 305
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………… 313

Hasil Hutan Bukan Kayu 19


DAFTAR TABEL

2.1 Jenis-jenis komoditas hasil hutan kayu kelompok batang dan turunannya
2.2 Beberapa komoditas hasil hutan bukan kayu kelompok minyak atsiri
2.3 Beberapa komoditas hasil hutan bukan kayu kelompok minyak lemak
2.4 Kelompok hasil hutan bukan kayu kelompok bunga, buah, biji dan daun
2.5 Beberapa hasil hutan buan kayu kelompok kulit dan babakan
2.6 Hasil hutan bukan kayu kelompok getah-getahan
2.7 Hasil hutan bukan kayu kelompok resin
2.8 Hasil hutan bukan kayu kelompok aneka nabati
2.9 Hasil hutan bukan kayu kelompok aneka umbi
2.10 Hasil hutan bukan kayu kelompok hewani dan turunannya
2.11 Penggolongan jenis dan golongan hasil hutan bukan kayu
3.1 Karakteritik hasil hutan bukan kayu berdasarkan penggunaan akhir
3.2 Penggolongan hasil hutan bukan kayu berdasarkan kepentingan analisis ekonomi, skala
kegunaan dan pemasaran
3.3 Perbandingan karakteristik pengelolaan, pemanenan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
dibandingkan hasil hutan kayu
4.1 Potensi hasil hutan bukan kayu di Irian Jaya/Papua
4.2 Produksi hasil hutan bukan kayu sepuluh tahun terakhir
4.3 Total ekspor komoditas hasil hutan bukan kayu 5 tahun terakhir
4.4 Realisasi ekspor komoditas gaharu dari hutan per juli 2007
4.5 Realisasi ekspor satwa liar per juli 2007 yang diambil dari hutan belantara
5.1 Ringkasan nilai ekspor komoditas hasil hutan bukan kayu utama wilyah Asia pasifik
6.1 Identifikasi beberapa jenis perizinan pemanfaatan hasil hutan pada hutan lindung
6.2 Ringkasan hasil identifikasi berbagai hal berkenaan dengan izin pemanfaatan jasa lingkungan
6.3 Ringkasan hasil identifikasi oleh dinas kehutanan kab. Bulungan tentang berbagai aspek izin
pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung
6.4 Ringkasan hasil identifikasi beberapa aspek tentang izin usaha pemanfaatan kawasan pada
hutan produksi
6.5 Ringaksan identifikasi berbagai aspek pemberian izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan
pada kawasan hutan produksi
6.6 Ringkasan identifikasi berbagai aspek izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada
hutan produksi
6.7 Ringkasan identifikasi berbagai aspek izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada
hutan tanaman

Hasil Hutan Bukan Kayu 20


6.8 Ringkasan identifikasi berbagai aspek perizinan usaha pemugutan hasil hutan bukan kayu dari
hutan alam
7.1 Ringkasan dari permasalahan yang telah diidentifikasi dan teknologi yang diperlukan guna
keberlanjutan perkembangan komoditas rotan di negara-negara Asia Tenggara
8.1 Estimasi luas tumbuhan sagu di Indonesia, Papua New Guinea, Malaysia, Thailand dan
Filipina
8.2 Luas dan penyebaran Sagu di Irian Jaya (Papua)
9.1 Luas areal tanaman aren dan perkiraan produksi gula yang dihasilkan
9.2 Perkembangan areal tanaman aren dan produksinya dari tahun 1992-2003
9.3 Skenario pencapaian swasembada gula konsumsi 2005-2009
12.1 Jenis-jenis tumbuhan penghasil warna alami dan warna yang dihasilkan
12.2 Jenis-jenis tumbuhan penghasil warna alami, warna yang dihasilkan, metode ekstraksinya dan
penggunaan warna alami oleh suku Arfak di Kampung Mbenti Distrik Manyambou Kab
Manokwari
13.1 Jenis-jenis tumbuhan obat, bagian yang dimanfaatkan dan khasiatnya yang dapat
dikembangkan dalam rangka pengembangan hutan tanaman
13.2 Beberapa jenis tumbuhan berkayu yang dihasilkan dari hutan yang berpotensi untuk dijadikan
tumbuhan obat
15.1 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas minyak atsiri
15.2 Pengaruh bentuk daun terhadap persentase komposisi minyak atsiri pada minyak kayu putih
15.3 Pengaruh penyimpanan terhadap rendemen dan kadar sineol dari minyak kayu putih
15.4 Variabel dan persyaratan minyak kayu putih di Indonesia
15.5 Karakteristik dan syarat mutu kayu putih berdasarkan the Essential oil association of USA
15.6 Komponen bioaktif minyak kayu putih dan rumus molekulnya serta titik didihnya
16.1 Beberapa senyawa bio-aktif tumbuhan hutan tropis, sumber tumbuhan penghasilnya dan
kategori terapinya
17.1 Karakteristik buah merah (Pandanus coneideus L)
17.2 Sifat fisiko-kimia buah Merah (Pandanus coneideus L)
17.3 Kandungan gizi buah merah (Pandanus coneideus L)
17.4 Diversifikasi produk-produk sampingan dari sari buah merah
17.5 Pemanfaatan lain dari tanaman buah merah
18.1 Jenis-jenis pohon penghasil gaharu di Indonesia dan daerah penyebarannya
18.2 Klasifikasi kualitas gaharu menurut ASGARIN

Hasil Hutan Bukan Kayu 21


DAFTAR GAMBAR

4.1 Profil tukang kayu lokal di teluk Wondama, Papua Barat


4.2 Produk Mebel yang diperuntukkan untuk bangku siswa sekolah dasar (SD)
5.1 Tumang sagu yang berasal dari daerah Sentani Jayapura
5.2 Diagram bagan pemasaran rotan dengan metode PCS
5.3 Bagan alir jaringa pemasaran minyak lawang di Kab. Teluk Wondama
5.4 Bagan alir jaringa pemasaran kulit kayu masohi di Kab. Teluk Wondama
7.1 Rumpun Rotan di dekat Pemukiman/persawahan penduduk di SP V distrik Masni Kabupaten
Manowari dan mahasiswa Sesmester VI program studi teknologi Hasil Hutan yang lagi
memanen rotan
7.2 Duri rotan dari jenis Calamus spp yang tumbuh di daerah SP V distrik Masni Kabupaten
Manokwari
7.3 Rotan yang telah masak tebang di hutan Werianggi, kabupaten teluk Wondama
7.4 Pengeringan rotan asalan secara sederhana di sentra industri rotan Nabire-Papua
7.5 Kursi biasa rotan yang diproduksi salah satu pelaku kerajinan rotan di Kota Nabire-Papua
5.4. Sepasang kursi sofa (jenis deluxe) yang diproduksi oleh salah satu pelaku kerajinan rotan di
kota Nabire- Papua
8.1 Anakan pohon sagu di alam dan tegakan/dusun sagu
8.2 Proses penghancuran empulur sagu
8.3 Gambaran umum proses pemanenan sagu
8.4 Dua bentuk ala tokok sagu
8.5 Penggunaan alat tokok dalam menokok sagu
8.6 Hasil proses penghancuran/tokok empulur sagu
8.7 Dua gambaran metode ekstraksi serat empulur sagu
8.8 Berbagai bentuk tumang sagu di Irian Jaya
8.9 Alat pearut empulur sagu semi mekanis
8.10 Mesin pemarut empulur sagu modifikasi aci sagu (pati sagu) yang dijual di pasar tradisional
di Kota Manokwari
8.11 Bagan proses pengolahan sagu menjadi tepung di PT Sagindo Sari Lestari
8.12 Pemanfaatan daun sagu yang telah dijepit untuk atap dan dinding rumah masyarakat lokal di
Supriori-Biak
8.13 Sagu lempeng yang dijual di pasal lokal Manokawari
8.14 Ulat sagu dari kumbang Rizhophorus spp
8.15 Diagram pemanfaatan sagu skala industri
9.1 Pohon aren yang telah dewasa

Hasil Hutan Bukan Kayu 22


9.2 Tandan (bunch) buah aren yang masih muda dan yang sudah siap panen
9.3 Bagan proses pembuatan gula aren merah
9.4 Bagan proses pembuatan gula semut atau gula kristal dari gulaaren merah
10.1 Salah satu jenis bambu yang tumbuh di salah satu desa di kab. Magetan Jawa Timur
10.2 Rumpun bambu yang tumbuh di sekitar pekarangan penduduk di Kota Manokwari
10.3 Penggunaan bambu utuh/solid dari jenis scrambling atau climbing untuk dinding rumah
penduduk
10.4 Penggunaan anyaman ruas bambu (gedhek) untuk dinding rumah penduduk di distrik Pantai
Utara Manokwari
10.5 Penggunaan bambu solid sebagai lantai/jembatan pada rumah panggung di Supriori Biak -
Papua
10.6 Penggunaan bambo solid untuk pagar kebun penduduk lokal di daerah Distrik Pantai Utara
Manokwari
12.1 Daun katuk yang sangat kaya akan klorofil dan bermanfaat untuk memperlancar produksi ASI
ibu yang lagi menyusui
12.2 Penggunaan warna merah pada tikar tradisional yang terbuat dari daun pandan (Pandanus
spp)
12.3 Hasil Kerajinan tas tradisional yang terbuat dari daun pandan yang menggunakan warna dan
tas tradisional yang terbuat dari serat kulit kayu yang tidak menggunakan pewarna
12.4 Pohon Pinang dewasa, buah pinang dan tandan buah pinang yang telah masak di pohon
13.1 Tumbuhan sirih (Piper spp) yang tumbuh merambat pada pohon Lamtorogung
13.1 Buah sirih yang pada tanaman sirih yang telah siap panen
13.3 Gambar akar atau tali kuning (Tinospera spp)
15.1 Gambar komponen aktif dari minyak sereh dan jeruk
15.2 Bagan umum proses ektraksi minyak astiri dari bagian tumbuhan
15.3 Metode distilasi dengan air/perebusan
15.4 Metode distilasi kombinasi air dan uap
15.5 Metod distilasi dengan uap
15.6 Bagan atau alur penyulingan minyak atsiri untuk memperoleh komponen yang tidak mudah
menguap
15.7 Diagram atau bagan pemisahan minyak atsiri dan lemak pada hasil ekstrak minyak atsiri
15.8 Pohon Lawang yang tumbuh di pekarangan rumah penduduk di Distrik Windesi Kabupaten
Teluk Wondama
15.9 Bekas ketel alat penyuling di Kampung Werianggi distrik Windesi Teluk Wondama - Papua
Barat
17.1 Tegakan buah merah (Pandanus coneideus L) dan posisi/letak buah merah pada batang pohon
berdiri

Hasil Hutan Bukan Kayu 23


17.2 Anakan buah merah yang siap tanam dan tanaman buah merah yang berumur 2 tahun
17.3 Buah merah yang dijual di pasal Lokal di Manokwari
18.1 Komoditas gaharu kualitas lokal dari Werianggi di Manokwari
19.1 Karakteristik anggrek tipe monopodial yang tumbuh di pekarangan rumah penduduk lokal di
Manokwari
19.2 Tipe pertumbuhan anggrek sympodial yang tumbuh kurang terawat di kebun penduduk lokal
di Manokwari
19.3 Tanaman anggrek yang dijual oleh penduduk lokal di Papua
19.4 Proses pengupasan kulit biji mangrove jenis tumuk (Bruguiera spp) di desa Sowek distrik
Supriori selatan
19.5 Hasil kupasan buah mangrove jenis Tumuk (Bruguiera spp) yang siap direbus
19.6 Pandan yang berbuah seperti durian di hutan primer Kampung Nusaulan Distrik Buruway
kab. Kaimana
19.7 Tumbuhan pandan (Pandanus tectorius) untuk bahan baku tikar pandan
19.8 Tikar dari daun pandan di kampung Nusaulan Buruway Kaimana
19.9 Penyebaran nipah di sepanjang pinggiran sungai Buruway Kaimana
19.10 Tandan buah nipah yang telah mekar
19.11 Areal tegakan pohon pala di salah satu kampung di Kaimana
19.12 Tiga jenis komoditas yang dihasilkan oleh pohon Pala
20.1 Anak buaya yang ditangkap oleh penduduk lokal di kampung Esania distrik Buruway kab.
Kaimana
20.2 Bagian tubuh rusa, tanduk, yang ditinggalkan oleh pemburu di Kaimana
20.3 Ulat sagu sebagai sumber protein hewani alternatif di Irian Jaya
20.4 Beberapa jenis Kupu-kupu yang terdapat di Irian Jaya
20.5 Burung Cenderawasih (Paradisaea minor)
20.6 Habitat Kangoru Pohon Cenderaasih (Dendrogilus spp)
20.7 Kanguru Pohon cenderawasih yang ditangkap oleh masyarakat lokal
23.1 Objek wisata pemanggilan ikan di desa Bakaro kab. Manokwari
23.2 Pantai pasir putih (pasir panjang) di kampung Nusaulan distrik Buruway Kab, Kaimana
23.3 Perpaduan ukiran batu karang (mozaik) yang dipadukan dengan kejernihan air laut di
kampung Nusaulan distrik Buruway kab. Kaimana

Hasil Hutan Bukan Kayu 24


BAB 1

PENGERTIAN HASIL HUTAN

1.1. Pendahuluan

Secara kosa kata hasil hutan diterjemahkan sebagai seluruh hasil (produk-produk) yang
dihasilkan dari Hutan. Sedangkan hutan secara sederhana dapat diartikan sebagai sekumpulan pohon-
pohon, tumbuhan dan hewan serta penyusun ekosistem lainnya yang satu sama lain tidak terpisahkan
dan ditetapkan oleh undang-undang sebagai hutan. Sehingga, hasil hutan adalah seluruh produk-
produk yang dihasilkan dari hutan, meliputi produk-produk dari pohon, tumbuhan, hewan dan
organisme penyusun ekosistem hutan lainnya. Hasil hutan yang telah disebutkan tadi, adalah hasil
hutan yang dapat ditentutan atau dihitung nilainya, bagaimana dengan produk-produk yang tidak
dapat dihitung nilainya, seperti hutan berfungsi menghasilkan udara yang bersih dan segar, hutan
mampu menampung resapan air hujan dan selanjutnya mengeluarkan air ke sungai atau mata air,
pancuran, juga fungsi lainnya seperti rekreasi, pariwisata, tempat penelitian, perlindungan satwa, dan
sebagainya.
Setelah kita cermati, ternyata hasil hutan itu memiliki pengertian dan dimensi yang sangat luas,
dan menyeluruh. Belajar dan mempelajari hasil hutan, juga perlu melibatkan berbagai disiplin ilmu,
tidak hanya ilmu-ilmu dasar, seperti biologi, fisika, kimia, dan matematika. Akan tetapi, peran ilmu-
ilmu terapan seperti kehutanan, hidrologi, klimatologi, pertanian, sosiologi, peternakan, perikanan,
dan yang lainnya, juga tidak kalah pentingnya.
Setelah mengetahui ruang lingkup hasil hutan tersebut, pertanyaan yang muncul selanjutnya
adalah kenapa hasil hutan yang sering disebut-sebut di berbagai media massa, diskusi-diskusi,
seminar, penelitian, dan juga symposium hanya hasil hutan kayu? Bagaimana dengan hasil hutan yang
lainnya, yaitu selain kayu?
Hutan tropis Indonesia menghasilkan produk berbagai jenis kayu, sehingga kayu sering disebut
sebagai hasil hutan utama sedangkan produk hutan lainnya seperti rotan, kayu lawang, gaharu dan
tanaman obat serta beberapa produk hutan lainnya disebut dengan hasil hutan bukan kayu. Pernyataan
di atas menimbulkan pertanyaan, dan pertanyaannya adalah kenapa kayu lawang termasuk dalam
kelompok hasil hutan bukan kayu?. Karena pohon lawang juga menghasilkan kayu? Jawabannya
adalah bahwa kulit pohon lawang tersebut menghasilkan bahan kimia yang dapat diekstrak, diolah
dan kemudian kita kenal dengan minyak lawang. Produk minyak dari kulit lawang inilah yang
kemudian disebut sebagai produk bukan kayu dari kayu lawang.
Penjelasan singkat tersebut, mudah-mudahan dapat membantu mahasiswa dan pembaca, untuk
lebih memahami, arah dan topik bahasan yang akan disajikan dan dibahas pada buku hasil hutan
bukan kayu, atau khususnya pada bagian pertama ini. Bab pertama ini dirancang untuk membahas
tentang definisi atau pengertian dari hasil hutan secara umum, kemudian pengelompokan produk-
produk hasil hutan, yang selanjutnya dinamakan dengan komoditas hasil hutan, pengertian hasil hutan
bukan kayu dan jenis-jenis komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang paling dominan atau
berperan penting di Indonesia.Hal ini berkaitan dengan potensi hutan tropis Indonesia yang
menghasilkan beragam produk hasil hutan bukan kayu, baik yang berupa produk barang dan jasa.
Karena keberagamannya tersebut, banyak pengertian atau istilah yang digunakan untuk
mengambarkan komoditas HHBK. Pemberian istilah ini, pada dasarnya adalah untuk dapat
mengakomodasi seluruh produk HHBK dalam suatu pengertian yang komprehensif.
Setelah menyelesaikan pelajaran pada bab pertama ini, para mahasiswa diharapkan memiliki
kemampuan untuk:
mendefinisikan pengertian hasil hutan bukan kayu secara luas;

Hasil Hutan Bukan Kayu 25


memahami alasan pengelompokkan hasil hutan;
mengelompokkan hasil hutan bukan kayu berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan
kehutanan, teknologi hasil hutan dan paradigma baru dalam pengelolaan sumber daya hutan yang
berkembang saat ini;
mengidentifikasi berapa hasil hutan bukan kayu khususnya di Indonesia dan mengelompokkanya
berdasarkan klasifikasi yang telah dibuatnya sendiri.

1.2. Hutan Tropis Indonesia

Hutan hujan tropis Indonesia adalah salah satu dari tiga kelompok hutan hujan tropis dunia
(world tropical rain forest), yaitu kelompok hutan Amazon di Amerika selatan (Amazon basin of
South America), kelompok hutan di Semenanjung Zaire (the Zaire basin) of Africa, dan kelompok
Pasific dan Indomalaya (the Islands and peninsulas of South-east Asia). Hutan tropis dunia terletak
pada garis lintang dan garis bujur antara 10° lintang utara and 10° bujur selatan. Khusus untuk
kelompok Pasifik dan Indo-Malaya, hutan tropis basah ini tersebar pada beberapa negara, meliputi
India, Bangladesh, Sri Lanka, Malaysia, Brunei, Indonesia, Burma dan Papua New Guinea.
Khusus di Indonesia, dengan mempertimbangkan kemudahan pemahaman, dan kesederhanaan
pengucapan, hutan tropis basah selanjutnya dapat disebut sebagai hutan tropis Indonesia. Istilah ini
yang banyak dipergunakan dalam bahasa sehari-hari, baik di lingkungan akademis maupun pragmatis
lapangan. Tetapi apabila kita mempelajari tentang tipe-tipe hutan atau formasi hutan di dunia atau
Indonesia, istilah hutan hujan tropis masih banyak dipergunakan, khususnya bila mengacu kepada
referensi beberapa tektbook dari negara-negara Eropa dan Amerika.
Hutan hujan tropis (tropical rain forest) Indonesia dikenal karena memiliki keanekaragaman
hayati yang tinggi, baik dari jumlah jenis pohon, serangga, tumbuhan berbunga, dan hewan vetebrata
dan beberapa hewan melata lainnya. Hal tersebut belum termasuk beberapa ciri khas dari hutan tropis,
seperti tanaman anggrek, buah-buahaan, tanaman hias dan beberapa jenis mikroflora dan mikrofauna
yang belum terindentifikasi. Kekayaan keanekaragaman hayati (biodiversity) tersebut telah
memunculkan satu ciri khas yang sangat menonjol dari vegetasi hutan tropis, yaitu heterogenitas atau
keberagaman jenis yang tinggi dari penyusun ekosistemnya. Hal ini meliputi keanekaragaman
makhluk hidup yang berhabitat di dalam tanah hutan, di lantai hutan, dalam serasah, kulit pohon, di
tajuk pohon sampai pada makhluk hidup yang hidup di cabang dan puncak pohon (crown).
Menurut The Indonesian Biodiversity Foundation (KEHATI) luas daratan Indonesia itu hanya
sebesar 1,3% dari luasan permukaan bumi, tetapi keanekaragaman hayati Indonesia mewakili 17%
dari keanekaragaman hayati dunia. Rincian dari keanekaragaman hayati tersebut dapat diringkas dan
disajikan pada Gambar 1.1 berikut ini.

121 Kupu kupu (Butterfiles)


480
Hewan tidak bertulang
belakang (invertebrates)
1400 Species langka (rare species)
2827
Hewan melata (Reptil)
515 Burung (Birds)

Amphibi (Amphibian)
270 Mamalia (Mammals)
1531 511
240 Ikan (fresh water fishes)

Terumbu karang (Coral reefs)

Hasil Hutan Bukan Kayu 26


Gambar 1.1. Keanekaragaman hayati Indonesia berdasarkan jumlah spesies pada tiap kelompok
organisme

Dari gambar 1.1 tersebut, dapat dijelaskan bahwa Indonesia memiliki keberagaman jenis ikan,
burung, dan invertebrata ribuan species. Kemungkinan ditemukannya species-species yang lain, atau
yang baru, masih sangat terbuka atau memungkinkan. Mengingkat beberapa hutan tropis Indonesia
pada beberapa daerah utamanya Papua, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, belum semuanya diteliti
baik oleh peneliti kita, maupun oleh peneliti lainnya. Demikian juga dengan species-species ikan,
wilayah perairan kita sangat luas, ditambah dengan beberapa sungai-sungai besar yang belum
sepenuhnya diteliti, seperti sungai Mamberamo di Papua.
Apabila keanekaragaman hayati Indonesia tersebut direpresentasikan dalam keanekaragaman
hayati dunia, maka posisi keanekaragaman hayati yang kita miliki dapat diringkas pada Gambar 1.2.

Species langka
(urutan
Reptil (urutan
pertama)
ke empat)
Burung (urutan
ke lima)
Amphibi
Terumbu (urutan ke
karang (60 % enam)
dari terumbu
karang Dunia)
Mamalia
(urutan ke
dua)

Gambar 1.2. Posisi keanekaragaman hayati Indonesia berdasarkan urutan keanekaragaman hayati
dunia

Gambar 1.2 di atas menjelaskan bahwa species langka, baik itu dari keompok hewan maupun
tumbuhan, Indonesia menempati urutan pertama di dunia. Sedangkan untuk golongan mamalia,
Indonesia menempati urutan kedua dunia, selanjutnya keberagaman jenis reptil, burung, dan hewan
amphibi, secara berurutan Indonesia berada pada posisi ke-empat, lima dan ke-enam. Untuk terumbu
karang, sekitar 60% dari populasi terumbu karang di dunia, terdapat di Indonesia.
Kedua gambar tersebut di atas, memperlihatkan betapa kayanya negara kita, potensi
keanekaragaman hayati, baik yang berada di hutan, dan lautan, merupakan asset yang tidak ternilai
harganya. Dari segi pendidikan dan penelitian, potensi keanearagaman hayati ini sudah seharusnya
memotivasi kita untuk meneliti, dan memanfaatkan untuk tujuan pendidikan, penelitian, dan
kesejahteraan rakyat dalam arti yang sangat luas.
Kita kembali ke topik bahasan hasil hutan, heterogenitas struktur vegetasi penyusun hutan hujan
tropis tersebut memberikan manfaat atau fungsi hutan hujan tropis yang sangat kompleks dan

Hasil Hutan Bukan Kayu 27


menghasilkan multi manfaat. Fungsi dan manfaat tersebut dapat diwujudkan sebagai produk-produk
yang dhasilkan dari hutan hujan tropis, yaitu produk utama (major products) sebagai kelompok kayu,
dan produk sampingan atau ikutan (minor products) yang kemudian dikelompokkan ke dalam hasil
hutan bukan kayu (HHBK). Karena kedua pengelompokkan produk tersebut di atas maka munculah
dikotomi hasil hutan utama dan hasil hutan ikutan.
Hasil hutan utama dari hutan hujan tropis masih didominasi oleh kayu atau masih berwujud dan
berbentuk kayu, baik kayu utuh atau solid (solid wood), maupun produk yang telah mengalami proses
pengolahan atau konversi awal yang kemudian dikenal dan digolongkan ke dalam produk kayu olahan
primer (primary wood processing). Produk-produk kayu olahan primer ini seperti kayu gergajian
(sawn timber) dan kayu lapis (plywood). Hasil hutan utama tersebut juga dapat berupa produk-produk
kayu olahan sekunder (secondary processed solid wood/SPWP), yang menurut Johnson (2000) dapat
terdiri atas berbagai jenis-jenis perabotan (furniture), produk moulding seperti sambungan dan sistem
knock down (joinery), jendela dan pintu (window/doors), kayu untuk tujuan pengepakan/pengemasan
(packaging) dan produk-produk kerajinan dan hiasan kayu lainnya (wood ornament).
Sedangkan hasil hutan ikutan, atau lebih sering disebut sebagai HHBK meliputi produk-produk
turunan kayu, seperti arang, arang aktif, atap sirap. Juga produk-produk nabati dan hewani yang
diperoleh dari hutan yang potensinya cukup melimpah, seperti seperti rotan, biji tengkawang,
golongan minyak atsiri, lebah madu, tanaman obat, tanaman hias, gaharu, sagu, hewan buruan, kupu-
kupu dan lain sebagainya.
Untuk kepentingan analysis ekonomi sumber daya hutan, misanya, produk hasil hutan juga dapat
dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu yang berupa produk barang (forest products) dan
produk jasa (forest services). Secara ringkas, kedua produk hutan tersebut diuraikan secara ringkas
sebagai berikut:
Produk yang dapat dihitung nilainya (tangible products) seperti kayu dan produk turunannya
(wood and its derivatived products), panel-panel kayu (reconstituted wood-products), seperti
biokomposit, papan partikel dan papan serat, serta termasuk di dalamnya beberapa komoditas
hasil hutan bukan kayu.
Produk yang tidak dapat dihitung/ditentukan nilainya (intangible products) seperti fungsi hutan
dalam menjaga sumber mata air (water hydrology), penyimpan dan penyerap karbon (carbon
sink), gas rumah kaca (green house gases), pariwisata dan ekowisata (ecotourims), serta
penelitian dan pengembangan ilmu.

1.3. Paradigma Baru dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan yang Berkelanjutan

Tuntutan perkembangan teknologi dan keterkaitan antar disiplin ilmu, diversifikasi pemanfaatan
sumber daya hutan, kecenderungan gaya hidup untuk kembali ke alam (back to nature), tuntutan
produk yang ramah lingkungan (friendly environmental products), permintaan produk yang dapat
didaur ulang secara biologis (biodegradable materials), dan permintaan obat-obatan yang berasal dari
bahan organik tumbuhan (herbal products) dan hewan telah memperlebar ruang lingkup pengertian
dari hasil hutan bukan kayu. Oleh karenanya, komoditas hasil hutan bukan kayu telah menjadi bahan
kajian and objek penelitian dari multi disiplin ilmu, mulai dar biologi, kimia, biokimia, kedokteran,
farmasi dan bahkan sosiologi, utamanya yang berkaitan dengan ethnobotany dan ethnopharmacology.
Dengan perkembangan persepsi di atas maka pengertian, ruang lingkup dan wawasan dari hasil
hutan bukan kayu berubah dari wawasan yang sebelumnya hanya fokus pada beberapa produk, seperti
rotan, sagu dan minyak atsiri, menjadi segala jenis produk yang dapat dihasilkan, diperoleh, dan
diolah dari suatu tegakan hutan, baik yang dapat dinilai dengan uang (tangible products) maupun
yang tidak dapat dinilai dengan uang (intangilbe products).
Dari dua pengelompokaan tersebut, muncullah apa yang kemudian dianamakan dengan produk
jasa dari hutan, seperti fungsi hutan tropis sebagai paru-paru dunia (carbon sink), fungsi penyeimbang

Hasil Hutan Bukan Kayu 28


iklim dunia dan beberapa fungsi lainnya. Karena kemultifungsian dari hasil hutan bukan kayu
tersebut, maka topik bahasannya dari hasil hutan bukan kayu melibatkan berbagai latar belakang
disiplin ilmu, baik ilmu dasar seperti kimia, biologi, biokimia, mikrobiologi (natural science), ilmu
sosial, ilmu terapan seperti kehutanan, pertanian, klimatologi, hidrologi dan beberapa disiplin ilmu
lainnya.
Pertanyaan selanjutnya adalah kenapa hasil hutan bukan kayu begitu penting untuk dipelajari
oleh kebanyakan orang yang berkecimpung dalam bidang kehutanan, perhutanan sosial dan
pengembangan masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan hutan? Dalam paradigma baru
pembangunan bidang kehutanan, khususnya pada negara-negara yang sedang berkembang
(developingcountries) kekayaan sumber daya hutan tropis sudah selayaknya dipanen, diolah, dan
dimanfaatkan untuk tujuan pembangunan, dan peningkatan kesejahteraan atau kualitas hidup
masyarakat, utamanya masyarakat pemilik hutan atau yang berdomisili di sekitar hutan (forest
people). Keberadaan dan keberlansungan hutan hujan tropis mutlak diperlukan untuk menjaga
keseimbangan iklim di planet ini. Fakta inilah yang mendasari kenapa beberapa lembaga keuangan
international, seperti bank dunia (world bank), bank pembangunan asia (Asian development bank),
UNESCO, dan yang lainnya, dalam memberikan dana hibahnya selalu menekankan pembangunan
kehutanan yang berkelanjutan dengan melibatkan partiipasi aktif masyarakat hutan. Paradigma baru
inilah yang lebih menitikberatkan kepada peran aktif dari masyarakat hutan dalam manejemen
kehutanan berkelanjutan yang berbasis kepada masyarakat hutan (Community Based Forest
Mangement).Hal tersebut terjadi dikarenakan adanya kesalahan konsep dalam mengelola, memanen,
dan mengolah hutan hujan tropis tanpa melibatkan masyarakat hutan.
Paradigma lama dalam memanen dan mengelola hutan hanya menekankan atau
mempertimbangkan untuk mengambil kayu sebanyak-banyaknya, tanpa melibatkan masyarakat
pemilik hutan secara aktif, teknik pembalakan yang tidak proposional, tenaga kerja yang kurang
terlatih dan yang lebih menyedihkan adalah terabaikannya beberapa tumbuhan bawah atau
assosiasinya, yang kebanyakan kita kenal dengan komoditas hasil hutan bukan kayu, yang notabene
adalah penyumbang terbesar dalam kestabilan ekosistem hutan tropis.
Partisipasi masyarakat lokal pemilik hutan atau dikenal dengan istilah masyarakat
hutan/masyarakat adat (forestpeople) terhadap pengelolaan hutan juga sangat rendah. Mereka merasa
tidak dilibatkan dalam mengelola hutan tersebut, padahal penduduk lokal telah mengelola hutan
tersebut secara turun temurun. Bagi penduduk sekitar hutan, hutan bukan hanya sekedar kumpulan
pohon-pohon dan assosiasinya yang dapat diperlakukan semena-mena, tetapi merupakan bagian dari
kelangsungan kehidupan mereka, nenek moyangnya dan warisan leluhur yang harus dijaga dan yang
tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Hutan sebagai sumber penghidupan dan penghasilan, sumber
inspirasi, sumber makanan, tempat berlindung, sumber spiritual dan tempat bermain yang tak
tergantikan oleh apa pun. Kerusakan terhadap hutan, berarti ancaman terhadap kelangsungan hidup
masyarakat hutan.
Hutan adalah sumber makanan yang tidak tergantikan dan saling melengkapi dengan yang
diperoleh penduduk dari kegiatan bercocok tanam. Hutan juga berfungsi sebagai sumber obat-obatan
yang murah, terjangkau dan terpercaya. Bagi masyarakat lokal, hutan juga berfungsi sebagai sumber
produk nabati dan hewani, sumber vitamin, mineral dan protein hewani, yang berperan dalam
menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh mereka. Hutan juga berfungsi sebagai sumber energi
utamanya sebagai sumber kayu bakar, dan berperan dalam meningkatkan gizi melalui ketersediaan
bahan makan yang bergizi berdasarkan skala lokal tersebut. Secara keseluruhan dapat disimpulkan
bahwa pengambilan, pengumpulan dan penjualan komoditas hasil hutan bukan kayu tersebut
merupakan sumber penghidupan dan pendapatan keluarga bagi masyarakat sekitar hutan. Oleh
karenanya, karena keberlangsungan hidup dan kehidupan mereka sangat tergantungkan dari
keberadaan hutan tersebut.

Hasil Hutan Bukan Kayu 29


Hasil hutan bukan kayu biasanya juga dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan tambahan
selama musim tertentu dan guna mencukupi kebutuhan gizi makanan untuk jangka pendek pada
musim-musim tertentu (kemarau). Pada musim ini, pada beberapa daerah yang mengalami
kekeringan, para petani mengalami krisis pangan dan pendapatan, sehingga mereka mencari makanan
dan pendapatan alternatif dari komoditas hasil hutan bukan kayu. Hal ini dapat dilihat di pulau Jawa,
seperti daerah utara Jawa Tengah dan Timur, yaitu adanya pekerja musiman pada perum perhutani
pada waktu-waktu tertentu, juga masyarakat lokal yang menjual daun jati, dan ranting-ranting pohon
jati sebagai kayu bakar.
Akhir akhir ini para pemangku kepentingan (stakeholders) yang tertarik dan terlibat dalam
pembangunan dan pengembangan masyarakat hutan (Community Forest Developmernt) dan
pembangunan hutan yang berkelanjutan (Sustainable ForestDevelopment) lebih memfokuskan pada
komoditas hasil hutan bukan kayu, dibandingkan komoditas kayu. Alasan utamanya adalah bahwa
membangun kawasan hutan akan sulit untuk berhasil, apabila tidak melibatkan masyarakat pemilik
atau yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan tersebut. Dengan mengambangkan komoditas
hasil hutan bukan kayu secara tidak langsung akan ikut memberdayakan dan membangun masyarakat
hutan tersebut.
Alasan yang telah disebutkan di atas, adalah satu dari beberapa alasan yang mendasari kenapa
berbagai organisasi swadaya masyarakat (LSM), perorangan, lembaga pemerintah dan lembaga
penyandang dana atau donor berkepentingan mengembangkan potensi hasil hutan bukan kayu. Pada
dasarnya semuanya pemangku kepentingan terseubt memiliki persamaan dalam persepsi dan cara
pandang dalam memberdayakan masyarakat hutan (forest people). Masyarakat hutan adalah
masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan (people living in and adjanten to the forest) dan
menggantungkan hidup dan kehidupannya kepada hutan di sekitarnya. Karena peran dan fungsi hutan
yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat hutan, kesejahteraan dan keberlangsungan
kehidupan masyarakat hutan, maka komoditas hasil hutan bukan kayu harus diprioritaskan untuk
digarap. Untuk itulah, maka kerja sama, kajian, dan penelitian oleh beberpa instansti dan lembaga
dengan berbagai disiplin ilmu dan latar belakang mutlak diperlukan.
Paradigma baru dalam bidang kehutanan telah mengalihkan pendapat dan sudut pandang dari
hutan sebagai sumber penghasil kayu, kepada pandangan yang memandang hutan sebagai sumber
daya alam yang bersifat multi fungsi (multiple function), multi guna (multiple benefit) dan memuat
multi kepentingan (multiple stakeholders) yang pemanfaatannya diarahkan untuk terwujudnya
kemakmuran rakyat. Paradigma ini makin menyadarkan kita bahwa potensi dan produk hasil hutan
bukan kayu merupakan salah satu sumber daya hutan yang memiliki keunggulan komparatif dan
berhubungan langsung dengan masyarakat sekitar hutan. Hasil hutan bukan kayu terbukti dapat
memberikan dampak pada peningkatan penghasilan masyarakat sekitar hutan dan memberikan
kontribusi yang berarti bagi penambahan devisa negara, Sumadiwangsa dan Setyawan (2001).
Untuk menjawab paradigma baru sektor kehutanan, isu strategis, tantangan dan peluang bagi
pembangunan sumber daya yang tersedia; perlu dibuat suatu konsepsi/inovasi strategi penelitian
HHBK Indonesia. Bagi keperluan dunia penelitian dan pengambil keputusan konsepsi ini dapat
dimanfaatkan dalam rangka penyusunan rencana jangka pendek, menengah dan panjang
pembangunan produk HHBK Indonesia. Tujuannya adalah pemberdayaan dan peningkatan sumber
daya hutan, ekonomi rakyat dan peningkatan devisa bagi negara.
Beberapa alasan kenapa komoditas hasil hutan bukan kayu begitu banyak diminati oleh berbagai
pemangku kepentingan, dengan berbagai latar belakang kepentingan, dan memegang peranan penting
dalam menjaga kestabilan ekosistem hutan tropis basah di antaranya dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Masyarakat sekitar hutan memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap komoditas hasil
hutan bukan kayu, yang mana hutan dimanfaatkan sebagai sumber makanan keluarga untuk
pemenuhan unsur karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan unsur nutrisi lainnya. Hutan
juga sekaligus dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan keluarga.

Hasil Hutan Bukan Kayu 30


b. Adanya ikatan emosional dan spiritual yang sangat kuat, dan telah berlangsung turun-temurun
antara hutandengan masyarakat sekitar hutan, khususnya komoditas hasil hutan bukan kayu.
c. Secara langsung, komoditas hasil hutan bukan kayu memiliki multi manfaat dan nilai terhadap
masyarakat sekitar hutan, dari nilai sosial, ekologi dan finansial/ekonomi. Nilai sosial dapat
dilihat dari proses interaksi sosial yang terjadi dalam pemanenan, pengolahan dan penjualan
komoditas hasil hutan bukan kayu. Interaksi dan kebersamaan tersebut juga terlihat pada proses
pengelolaan hasil hutan bukan kayu tersebut. Untuk nilai ekonomi atau finansialnya, pada
kebanyakan komoditas hasil hutan bukan kayu dapat langsung di jual atau dibarter dengan
barang lain, tanpa perlu adanya pengolahan atau tahapan proses pengolahan untuk dijual dan
menghasilkan uang, sehingga masyarakat dapat merasakan langsung manfaatnya. Secara
ekologis, masyarakat hutan mengerti dan memahami bahwa komoditas hasil hutan bukan kayu
adalah merupakan bagian dari ekosistem hutan yang memiliki fungsi penting, tidak hanya bagi
hutan tetapi juga bagi masyarakat. Sehingga mereka memiliki kemauan dan tekad untuk
memelihara kelangsungan hidup, produksi dan regenerasi dari komoditas hasil hutan bukan kayu
tersebut.
d. Dari sudut pandang ilmu ekology dan penyusun ekosistem, komoditas hasil hutan bukan kayu
kebanyakan berada pada stratum bawah (lantai hutan/forest floor) sehingga sangat berperan
dalam menyeimbangkan ekosistem suatu tegakan hutan. Hal ini tentunya akan berpengaruh
terhadap iklim mikro (microclimate) dalam lantai hutan tersebut. Pengaruh pemanenan
komoditas hasil hutan bukan kayu ditinjau dari aspek ekologis juga lebih kecil dampaknya
terhadap ekosistem hutan, bila dibandingkan dengan pemanenan pohon atau penebangan pohon
hutan.
e. Komoditas hasil hutan bukan kayu adalah mega diversity (kekayaan keanekaragaman hayati)
yang tidak ternilai harganya dan merupakan penciri utama dari hutan alam tropis Indonesia
(Indonesiannatural tropical rain forest). Disinilah potensi dan kekayaan dari plasma nutfah
genetic dari hutan kita.

Alasan lain yang lebih rinci dan mendasar diuraikan oleh Arnorld dan Perez (1998) yang dikutip
oleh CIFOR (1998), tentang beberapa faktor akan pentingnya pengelolaan, pemanfaatan dan
pengolahan komoditas hasil hutan bukan kayu untuk berbagai tujuan, di antaranya adalah:
a) Nilai komoditas hasil hutan bukan kayu memiliki kelebihan dibandingkan dengan nilai hasil
hutan utama (perkayuan), di mana komoditas hasil hutan bukan kayu memberikan kontribusi
terhadap kelangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat yang hidup dan tinggal di dalam dan
sekitar wilayah hutan tesebut. Hasil hutan bukan kayu (HHBK) dapat memberikan manfaat
sebagai bahan makanan, obat-obatan dan bahan baku lainnya, sumber pendapatan membuat
kerajinan tangan dan pekerjaan.
b) Eksploitasi dari hasil hutan bukan kayu menimbulkan kerusakan tegakan tinggal (impact
logging) yang minimal/sedikit dibandingkan dengan pemanenan atau eksploitasi kayu, sehingga
eksploitasi hasil hutan bukan kayu dapat dipandang sebagai cara eksploitasi yang dapat
menjamin pelaksaaan pengelolaan hutan yang berkelanjutan.
c) Pemanfaatan komoditas hasil hutan bukan kayu dapat meningkatkan nilai tambah (added value)
dari hutan tropis, baik secara lokal dan nasional dengan cara memanfaatkan komoditas hasil
hutan yang belum dikelola secara maksium, bila dibandingkan dengan mengubahnya menjadi
lahan pertanian dan perkebunan yang intensif.
d) Pemanfaatan dari komoditas hasil hutan bukan kayu sangat berhubungan erat dengan usaha-
usaha pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.

Hasil Hutan Bukan Kayu 31


Nilai tegakan hutan alam tropis basah diterjemahkan oleh Peter et al. (1989b) seperti yang
dikutip oleh Arnorld dan Perez (1998), bahwa dengan sistem pengelolaan hasil hutan bukan kayu
yang berkesinambungan, maka potensi ekonomi dari tegakan hutan akan lebih tinggi dari komoditas
kayu. Demikia juga, bila dibandingkan dengan income dari areal hutan yang dikonversi untuk
pertanian dan perkebunan. Hal tersebut diharapkan akan memacu dan membuka pasar komoditas hasil
hutan bukan kayu ini secara luas dan menyeluruh.
Pada beberapa kasus di berbagai tempat, pengelolaan hutan tropis sering melibatkan konflik
kepentingan antara pengelola, masyarakat lokal, pemerintah dan pemerhati konservasi terutama
pengelolaan hutan tropis dengan tujuan utama adalah pengambilan potensi hasil hutan utama (kayu),
pengkonversian lahan hutan untuk tujuan lain dan pengalihan fungsi hutan. Hal ini terjadi karena
adanya perbedaan pandang dan persepsi, baik antar lembaga pemerintah, lembaga donor, LSM dan
bahkan masyarakat pemilik hutan itu sendiri. Hal ini diperburuk dengan masih sedikitnya perusahaan-
perusahaan skala besar yang mau berinvestasi dan fokus dalam pengelolaan komoditas hasil hutan
bukan kayu.
Pemerintah pusat dan daerah juga belum sepenuhnya mendukung pemanfaatan komoditas ini.
Belum tersedianya payung hukum adalah salah satu contoh minimnya kontribusi dari pemerintah.
Kepastian payung hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan akan dapat mendorong
terciptanya iklim usaha yang dapat menjamin keberhasilan pengelolaam hasil hutan bukan kayu
tersebut. Pengelolaan komoditas hasil hutan bukan kayu yang dilaksanakan secara professional
berdasarkan payung hukum berpotensi untuk meningkatkan derajat hidup masyarakat hutan, turut
meminimalkan potensi konflik terutama antara pengusaha, pemerintah dan penduduk lokal serta
pemerhati konservasi.

1.4. Pengertian Hasil Hutan Bukan Kayu

Hasil hutan bukan kayu (HHBK) memiliki pengertian yang beragam, hal ini tergantung dari
mana kita ingin menerjemahkannya. Pada paradigma lama, hasil hutan bukan kayu hanya
didefinisikan sebagai hasil hutan ikutan atau sampingan sehingga memberikan kesan bahwa nilai dari
komoditas hasil hutan bukan kayu itu sangat kecil, cenderung terabaikan dan bahkan termajinalkan.
Pada kasus di Jawa, misalnya, pendapatan Perum Perhutani, lebih didominasi oleh komoditas hasil
hutan bukan kayu, dibandingkan dengan komoditas kayunya sendiri, (komunikasi pribadidengan Prof.
Wasrin Safii, IPB).
Dua produk perundang-undangan dibidang kehutanan yaitu UU No 5 Tahun 1968 tentang
Undang Undang Pokok Kehutanan, dan Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, belum
secara spesifk memuat pengertian atau definisi dari hasil hutan bukan kayu. Definisi dan pengertian
yang cukup jelas dari kedua produk undang-undang tersebut hanya meliputi pengertian dan penjelasan
dari Hasil Hutan, yang selengkapnya disajikan pada pokok bahasan atau bab kedua. Selanjutnya,
Vademecum kehutanan Indonesia tahun 1976 juga tidak menyebutkan dengan jelas pengertian dan
definisi dari hasil hutan bukan kayu. Pengertian yang definitif dan jelas tentang hasil hutan bukan
kayu diberikan oleh Pemerintah Kota Pagar Alam, seperti tercantum pada Bab I pasal 1 ayat 7. Hasil
hutan bukan kayu didefiniskan sebagai segala sesuatu yang bersifat material (bukan kayu) yang dapat
dimanfaatkan dari keberadaan hutan, seperti rotan, damar, getah-getahan, kulit kayu, arang bambu,
kayu bakar dan sebagainya.
Perkembangan selanjutnya, dengan memperhatikan penyusun ekosistem hutan tropis Indonesia,
hasil hutan bukan kayu dapat didefinisikan sebagai seluruh produk biologi yang dapat diperoleh dan
dipanen dari kawasan hutan. Karena cakupannya adalah seluruh produk biologi dari hutan, maka
komoditas hasil bukan kayu meliputi produk dari berbagai tumbuhan (nabati/flora), baik yang berupa
tumbuhan tingkat tinggi maupun tumbuhan tingkat rendah, dan berbagai jenis hewan (hewani/fauna),
baik hewan yang bertipe prokariota maupun hewan yang bersel sempurna jenis eukariota.

Hasil Hutan Bukan Kayu 32


Paradigma baru dalam bidang kehutanan, khususnya hutan hujan tropis, dengan
mempertimbangkan keberadaan dan partisipasi aktif dari masyarakat hutan, maka pengertian hasil
hutan bukan kayu didefinisikan seluruh produk biologi yang dapat diperoleh dari hutan, fungsi sosial
dari hutan, fungsi ekologi dari hutan, dan produk jasa dari hutan. Produk hutan yang terakhir ini
kemudian dikenal dengan sebutan forest services.
Keberagaman fungsi hutan tropis sebagai penghasil kayu dan bukan kayu tersebut, membuat
beberapa lembaga international kemudian mengistilahkan hasil hutan bukan kayu ke dalam dua
istilah. Organisasi pertanian perserikatan bangsa bangsa pangan yaitu Food and Agriculture
Organization (FAO) menamakan hasil hutan bukan kayu sebagai non-wood forest products
(NWFP’s). Sedangkan lembaga lain International Tropical Timber Organization (ITTO) dan Center
for International Forestry Research (CIFOR) menggunakan sebutan non-timber forest products
(NTFP’s) untuk menyebut komoditas hasil hutan bukan kayu. Pada prinsipnya kedua istilah tersebut
mengacu kepada objek dan maksud yang sama. Selanjutnya, FAO (1998) mendefinisikan hasil hutan
bukan kayu sebagai semua benda/produk biologi yang masih asli, selain kayu, yang diambil dari
hutan dan lahan lain yang masih berasosiasi (Non-wood forest products are defined as all goods of
biological origin, other than wood, that are derived from the forests and associated land uses.)
Pengertian kayu (wood) lebih memfokuskan kepada setiap tumbuhan berkayu, baik itu berupa
pohon maupun bukan pohon berkayu. Sedangkan pengertian timber, yang apabila diterjemahkan ke
bahasa Indonesia menjadi kayu olahan, adalah kayu yang dihasilkan oleh tumbuhan berkayu yang
telah mengalami proses pengolahan atau pengkonversian. Definisi hasil hutan bukan kayuyang sangat
beragam tersebut dimungkinkan karena banyaknya objek dan kajian dari komoditas HHBK untuk
dipelajari, termasuk produk jasa dari hutan yang nota bene rumit untuk diukur dan ditentukan
nilainya.
Pengertian hasil hutan yang dikeluarkan oleh SNI 01-5010.4-202 tentang tata nama hasil hutan,
menyebutkan bahwa hasil hutan adalah benda-benda hayati, non hayati dan turunannya serta jasa yang
berasal dari hutan. Apabila dipisahkan ke dalam penggolongan hasil hutan kayu dan bukan kayu,
maka pengertian dari hasil hutan kayu adalah semua jenis kayu baik kayu komersial maupun kayu
bakar. Sedangkan hasil hutan bukan kayu adalah semua jenis hasil hutan baik hayati (selain kayu)
maupun non hayati (sumber air, udara bersih, barang tambang dll.) termasuk jasa parawisata.
Dari pengertian tersebut bahwa, definisi hasil hutan bukan kayu mencerminkan adanya beberapa
hasil hutan lainnya, yang belum terakomodir dalam produk jasa dari hutan, seperti fungsi perlidungan,
pendidikan dan ilmu pengetahuan. Kerancuan juga muncul dalam memasukkan barang tambang
sebagai hasil hutan bukan kayu.

1.5. Peluang Produk Minor Penggantikan Produk Major di Masa Mendatang

Selama ini, hasil hutan kayu dan produk-produk turunan dari kayu adalah produk hasil hutan
yang sangat dominan, baik sebagai penghasil devisa negara, penyerapan tenaga kerja, dan beberapa
multi manfaat langsung, dan tidak langsung dari pengolahan hasil hutan kayu tersebut. Karena
permintaan akan produk-produk hasil hutan yang berbasis kayu semakin lama semakin meningkat,
pemanenan kayu dari hutan juga terus mengalami penignkatan, degnan jumlah yang significant.
Bahkan pada beberapa kasus, boleh dikatakan pemanenan hasil hutan kayu terlalu berlebihan,
sehingga tidak lagi mempertimbangkan asas-asas pengelolaan hutan secara lestari. Luasan hutan
hujan tropis di berbagai negara, juga mengalami penurunan yang dramatis, sebagai akibat dari
pembangunan, pengkonversian lahan untuk perkebunan, pertambangan, industri dan keperluan
lainnya.
Pada akhir-akhir ini, permintaan produk-produk hasil hutan selain kayu, juga menunjukkan
peningkatan. Produk-produk mebel dari rotan, beberapa minyak atsiri, kayu gaharu, tepung sagu, dan
lainnya juga mulai diekspor. Hal ini belum termasuk beberapa tanaman hias, seperti anggrek, bunga-

Hasil Hutan Bukan Kayu 33


bungaan, ekspor hewan, seperti kera dan buaya hasil penangkaran, juga mulai memiliki pasar yang
menjanjikan.
Dengan gambaran seperti di atas, ke depan peran hasil hutan kayu, berpeluang akan digantikan
oleh hasil hutan bukan kayu. Pertimbangan-pertimbangan yang memperkuat dan mendukung kalimat
tersebut di antaranya adalah:
1. Produktivitas dan luasan hutan hujan tropis untuk menghasilkan kayu dari waktu ke waktu terus
menurun.
2. Pemanenan hasil hutan kayu ssering kali diikuti oleh rusaknya tegakan tinggal, kerusakan
ekosistem lainnya, dan pada akhirnya menurunkan kemampuan regenerasi dari hutan hujan tropis
itu sendiri.
3. Peran hutan hujan tropis sebagai penghasil kayu, akan tergantikan oleh hutan tanaman industri,
yang mampu menghasilkan kayu dalam rotasi lebih pendek. Disisi lain hutan tanaman industri,
kurang mampu menghasilkan hetrogenitas ekosistem selayaknya hutan hujan tropis.
4. Teknologi pengolahan kayu terkini, telah berhasil membuat beberapa material pengganti kayu,
baik yang berasal dari kayu maupun non kayu, melalui proses diversifikasi produk, dan
intensifikasi bahan, termasuk kayu kayu yang kualitas rendah (low-grade) dan kayu kurang
dikenal (lesserknown species).
5. Beberapa study kasus yang menunjukkan bahwa pemanenan hasil hutan kayu hanya
menguntungkan pemerintah dan pengusaha, tetapi tidak memberikan pengaruh yang nyata secara
ekonomi, sosial dan pembangunan kepada penduduk lokal, pemilik hak ulayat hutan tersebut.
Point ini yang patut digaris bawahi, bahwa hutan adalah harta benda yang tidak ternilai harganya
bagi penduduk lokal, pengerusakan dan pengelolaan yang kurang tepat, sama artinya dengan
menghilangkan sumber penghidupan dan pendapatan mereka.
6. Produk-produk hasil hutan bukan kayu, seperti lebah madu, tanaman obat, minyak kayu putih,
minyak lawang, buah-buahan, rotan, dan sagu, ternyata lebih memberikan nilai tambah bagi
penduduk lokal dibandingkan menjual kayu ke pengusaha.
7. Lembaga-lembaga keuagan international, seperti bank dunia, IMF, juga beberapa lembaga
konservasi WWF, Nature conservation, mulai mengkampayekan pengelolaan dan pengolahan
hasil hutan bukan kayu, khususnya untuk masyarakat lokal. Tujuan utamanya tidak hanya untuk
memberdayakan masyarakat lokal, tetapi juga untuk menjamin keberadaan dan kelangsungan
hidup dari hutan hujan tropis tersebut. Tanpa partisipasi aktif dan keterlibatan langsung dari
masyrakat lokal, akan sangat mustahil mempertahankan dan menjaga keaslian dari hutan hujan
tropis tersebut.
8. Produk jasa dari hutan (forest service) yang sangat beragam, seperti fungsi hutan sebagai paru-
paru dunia, penjaga keseimbangan iklim global, warisan nenek moyang yang tidak ternilai
harganya, sampai pada munculnya inisiatif perdagangan carbon (carbontrade). Negara-negara
penghasil gas rumah kaca (utamanya CO2) memberikan kompensasi kepada negara-negara
pengisap CO2, yaitu negara-negara yang memiliki hutan hujan tropis, sebagai upaya kerja sama
untuk menangulangi pemanasan global (global warming) dan membantu pembangunan di
negera-negara berkembang.
9. Produk jasa dari hutan yang lainnya, termasuk keindahan panorama alamnya, ciri khas
ekosistemnya, juga budaya dari masyarakat lokal adalah salah satu modal dasar dalam
pengembangan wisata ekologi (eco tourism). Masyarakat yang sudah jenuh dengan peradaban
modern, ingin menikmati pemandangan dan nuansa yang lebih alami, dengan berwisata dan

Hasil Hutan Bukan Kayu 34


berpetualang ke hutan hujan tropis. Hal tersebut akan lebih terasa manfaatnya apabila
digabungkan dengan beberapa kebudayaan lokal dari masyarakat setempat.
10. Keanekaragaman hayati dari hutan hujan tropis adalah salah satu subjek dan objek penelitian
yang tidak akan habis-hasinya untuk diteliti, baik untuk sumber obat-obatan modern, obat-obatan
herbal, dan rekayasa genetika dan pengembangan rekayasa bioteknologi dalam skala yang sangat
luas.
11. Undang undang kehutanan, UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan, telah mengakomodir dan
mengamanatkan bahwa komoditas HHBK diarahkan menjadi produk hasil hutan utama di masa
mendatang, mengantikan peran kayu sebagai produk hasil utama dari hutan hujan tropis
Indonesia.

Dari sebelas point yang telah diuraikan di atas, optimisme bahwa HHBK akan mengantikan
komoditas kayu adalah suatu tekad yang harus didukung, dilaksanakan dan disukseskan oleh para
pemangku kepentingan, baik pemerintah, swasta, perguruan tinggi, lembaga penelitian dan lembaga
keuangan. Hutan hujan tropis Indonesia, akan memberikan produk jasa yang lebih maksimal
dibandingkan menghasilkan produk kayu, yang suatu saat akan habis, dan perlu puuhan tahun untuk
menumbuhkan tegakan pohon yang siap panen.

1.6. Pustaka

Anonimous (1967). UU No. 5 tahun 1967. Undang-undang Pokok Kehutanan. Direktorat jenderal
Kehutanan, Departemen Pertanian.
Anonimous (1999). UU No. 41 tahun 1999. Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kehutanan.
Departemen Kehutanan.
Arnold and Perez (1998). Income from the Forest. Methods for the Development and Conservation of
Forest Products for Local Community. Edited byWollenberg, E and A.Ingles Center for
International Forestry Research (CIFOR) Bogor.
Asia-Pacific Forestry Commision (1998). Asia-Pacific Forestry Towards 2010. Report of The Asia-
Pacific Forestry Sector Outlook Study. Food and Agriculture Organization of The United
Nation, Rome Italy.
Johnson, S (2000). Secondary Processed Wood Products. Topical Forest Update Vol.7, No.4 1997.pp
5-6.
Khakim, Abdul (2005). Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia. Dalam Era Otonomi Daerah. Citra
Aditya Bakti. Bandung
Peraturan Pemerintah Daerah Kota Pagar Alam No 8 tahun 2004. Izin usaha Penumpukan Kayu dan
Hasil Hutan. www.pagaralam, go.id/new/index. diakses tanggal 8 Oktober 2007.
Standar Nasional Indonesia (2002). SNI 01-5010.4-2002, Tata Nama Hasil Hutan Badan Standarisasi
Nasional.
Sumadiwangsa. S dan Dendi Setyawan (Buletin Vol. 2 No. 2 Th 2001). Konsepsi Strategi Penelitian
Hasil Hutan Bukan Kayu di Indonesia. www. Dephut.go.id., diakses tgl 12 Desember
2006.

Hasil Hutan Bukan Kayu 35


BAB 2

PENGGOLONGAN PRODUK HASIL HUTAN

2.1 Pendahuluan

Pokok bahasan penggolongan hasil hutan bukan kayu ini membahas tentang pengelompok
produk-produk hasil hutan bukan kayu (HHBK), berdasarkan berbagai kategori atau perundangan,
baik yang dibuat oleh instansi pemerintah, kelompok peneliti dan berbagai organisasi internasional
yang bergerak dalam bidang sumber daya alam. Di samping itu, juga diuraikan alasan kenapa produk
HHBK tersebut dinamakan dengan komoditas hasil hutan bukan kayu serta jenis-jenis komoditas hasil
hutan bukan kayu yang paling dominan atau berperan penting bagi Indonesia.
Setelah mempelajari pokok bahasan kedua ini mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan
untuk:
Melakukan penggolongan komoditas hasil hutan bukan kayu secara luas;
Memahami alasan pengelompokkan hasil hutan bukan kayu, ke dalam kelompok-kelompok
tersebut;
Mengelompokan hasil hutan bukan kayu berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan
kehutanan, teknologi hasil hutan, dan paradigma baru dalam pengelolaan sumber daya hutan
yang berkembang saat ini;
Melakukan identifikasi beberapa komoditas hasil hutan bukan kayu di Indonesia dan
mengelompokkannya berdasarkan klasifikasi yang telah dibuatnya sendiri.

2.2. Penggolongan Menurut Undang-Undang Pokok Kehutanan

Menurut Undang Undang No. 5 tahun 1967 tentang Undang Undang Pokok Kehutanan (UUPK)
pada pasal 1 ayat 2, dinyatakan bahwa hasil hutan didefiniskan sebagai benda-benda hayati yang
dihasilkan dari hutan. Penjelasan lebih lanjut dari ayat ini menyebutkan bahwa hasil hutan adalah
hasil-hasil yang diperoleh dari hutan yang berupa: a) hasil-hasil nabati seperti kayu perkakas, kayu
industri, kayu bakar, bambu, rotan, rumput-rumputan, dan lain-lain bagian dari tumbuh-tumbuhan
atau yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan di dalam hutan, termasuk hasil yang berupa minyak; dan
b) hasil hewan seperti satwa buru, satwa elok dan lain-lain hewan serta bagian-bagiannya atau yang
dihasilkannya. UUPK ini belum mencantumkan dengan jelas tentang definisi, dan pengelompokkan
hasil hutan bukan kayu (HHBK). Akan tetapi sebagian dari jenis-jenis HHBK sudah diakomodasi
dalam UUPK terseut.
UUPK tersebut telah mengelompokkan jenis-jenis HHBK ke dalam dua kategori, yaitu hasil
hutan bukan kayu yang berasal dari tumbuha hutan (nabati) dan yang berasal dari hewan (hewani).
Rincian penggolongan secara menyeluruh dari dua kelompok tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Jenis-jenis produk tumbuhan dari hutan


Golongan hasil hutan bukan kayu ini terdiri atas rotan (Callamus spp), sagu (Metroxylon spp),
bambo (Bambosa spp) dan aren (Arenga spp). Juga disertakan produk-produk turunan dari kayu
(derivatived-wood products) seperti bubur kayu (pulp), papan serat (fibreboard), arang
(charcoal), briket arang (briquete) dan atap sirap. Termasuk dalam kelompok ini adalah beberapa
produk yang dihasilkan oleh tumbuhan hutan yang digolongkan dalam kelompok bahan
ekstraktif seperti resin, damar, kopal dan beberapa produk dari minyak atsiri (esssential oils).
Produk-produk bahan ektraktif ini dapat dibedakan lagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok

Hasil Hutan Bukan Kayu 36


getah getahan, seperti resin, kopal, damar, dan kelompok minyak atsiri, seperti minyak biji
tengkawang, minyak lawang, minyak kayu putih, minyak jarak dan sebagainya.

2. Jenis-jenisprodukhewanidarihutan.
Produk hewan yang dihasilkan dari hutan terdiri atas berbagai jenis produk satwa liar antara lain
buaya, komodo, rusa, harimau, gajah, dan burung. Terdapat juga produk-produk yang diperoleh
dari dar bagian-bagian hewan seperti gading, kulit binatang dan tanduk. Juga beberapa contoh
produk hewani yang telah ditangkarkan atau dikelola dengan tujuan ekonomi adalah komoditas
sutera alam, kutu lak, peternakan lebah madu dan sarang burung walet, penangkaran kupu-kupu,
dan penangkaran buaya.
Menurut UUPK No 5 tahun 1967 ini beberapa fungsi sosial ekonomi, jasa dari hutan, konservasi
lingkungan dan penegmbangan masyarakat hutan belum diakomodasi. Tetapi dipihak lain produk
turunan kayu, seperi bubur kertas dan kertas (pulp and paper), papan serat (fiberboards) dan
arang dan briket arang serta sirap malah masuk ke dalam jenis komoditas hasil hutan bukan kayu.
Padahal kenyataan menunjukan bahwa dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
maka hasil hutan turunan kayu tersebut akan masuk dalam kategori hasil hutan utama (major
forest products) bukanya lagi sebagai hasil hutan ikutan (minor forest products)

2.3. Penggolongan Menurut Undang-Undang Kehutanan

Dalam undang-undang tentang kehutanan yang baru yaitu Undang Undang Republik Indonesia
No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, pengertian dan klasifikasi dari hasil bukan kayu telah
mengalami perubahan yang substansial. Misalnya, pada pasal 1 angka 13 dinyatakan bahwa hasil
hutan adalah benda-benda hayati, non hayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan.
Sehingga pengertian hasil hutan memiliki dimensi yang sangat luas, dari seluruh produk biologi
(makhluk hidup) non hayati (benda mati) dan seluruh produk turunan dari benda biologi dan non
biologi yang diambil dari hutan. Hal tersebut masih ditambah lagi dari produk-produk jasa yang
dihasilkan dari hutan.
Selanjutnya pada pasal penjelasan, misalnya pada pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (hutan) adalah semua benda hasil
hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 13. Penjelasan yang lebih rinci tentang hasil hutan
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Hasil nabati beserta turunannya, seperti kayu, bambu, rotan, rumput – rumputan, jamur – jamur,
tanaman obat, getah-getahan dan lain-lain, serta bagian dari tumbuh-tumbuhan atau yang
dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan di dalam hutan;
2. Hasil hewani beserta turunannya, seperti satwa liar dan hasil penangkarannya, satwa buru, satwa
elok, dan lain-lain hewan, serta bagian-bagiannya atau yang dihasilkannya;
3. Benda-benda non hayati yang secara ekologis merupakan satu kesatuan ekosistem dengan benda-
benda hayati penyusun hutan, antara lain berupa sumber air, udara bersih, dan lain-lain yang
tidak termasuk benda-benda tambang;
4. Jasa yang diperoleh dari hutan, antara lain berupa jasa wisata, jasa keindahan dan keunikan, jasa
jasa perburuan dan lain-lain;

Mengingat begitu beragamnya hasil hutan menurut UU no 41 tahun 1999 tersebut, maka cukup
menyulitkan untuk memberikan pengelompokan hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu
tersebut. Akan tetapi kalau kita perhatikan uraian penjelasan dalam UU no 41 di atas, pengertian hasil

Hasil Hutan Bukan Kayu 37


hutan secara keseluruhan dapat disimpulkan sebagai hasil hutan bukan kayu, sedangkan pengertian
hasil hutan kayu, seperti pada UUPK No. 5 tahun 1967, sudah tidak begitu dominan lagi.
Perbedaan yang cukup substansial pada UUPK No. 5 tahun 1967, yang manahasil hutan
Indonesia lebih didominasi oleh produk utama yaitu kayu, sedangkan pada UU No. 41 tahun 1999,
hasil hutan bukan kayu mendapat peran dan pembahasan yang cukup representatif. Dengan kata lain,
komoditas hasil hutan bukan kayu berpeluang untuk dapat memberikan kontribusi yang lebih besar
dan significant daripada komoditas hasil hutan kayu.
Untuk kemudahan penggolongan produk-produk hasil hutan bukan kayu, perhitungan dan
analisis ekonomi, kiranya hasil hutan bukan kayu dapat dikelompokan ke dalam dua kategori, yaitu
hasil hutan bukan kayu yang produknya dapat dinilai dan dihitung dengan uang (tangible products),
dan hasil hutan bukan kayu yang produknya tidak dapat dinilai dengan uang (intangible products).
Produk dari HHBK yang dapat ditentukan nilai nominalnya adalah seluruh produk yang berupa
barang (forest productsor non services), yang sudah tentu melalui proses produksi (sentuhan
teknologi, aktivitas ekonomi), meskipun terkadang tanpa melibatkan suatu proses produksi sedikitpun.
Sedangkan produk HHBK yang tidak dapat dinilai dengan nilai nominal atau uang, adalah seluruh
produk jasa (forest product services) yang dapat dihasilkan dan diperoleh dari hutan tersebut.
Dengan kemajuan dan perkembangan disiplin ilmu, sebenarnya, produk produk yang masuk
dalam kategori intagile products, hal ini bukan tidak dapat ditentukan nilainya, tetapi dari para
pengambil dan pelaku kebijakan hal ini belum menjadikan suatu kebutuhan untuk dikaji lebih
mendalam. Disiplin ilmu ekonomi sumber daya alam, atau khususnya sumber daya hutan dan
ekonomi lingkungan lebih banyak mengkaji produk-produk jasa dari lingkungan. Sebagai contoh,
misalnya study menentukan nilai ekonomi dari suatu kawasan hutan, sehingga nilai jasa dari suatu
kawasan hutan per satuan waktu dapat ditentukan nilainya, bahkan suatu pohon berdiri dapat
ditentukan nilai ekonominya, baik sebagai penghasil kayu, penyerap karbon dioksida,
penghasil/pengkonversi oksigen dan pengikat nitrogen misalnya. Akan tetapi perhitungan, sosialisasi
dan pelkasanaan dari nilai ekonomi dari suatu tegakan hutan ini, tentunya masih memerlukan
sosialisasi yang intensif kepada seluruh pihak yang berkepentingan, khususnya masyarakat hutan.
Karena masyarakat hutan secara umum lebih suka melihat produk HHBK yang dapat segera
menghasilkan uang atau dapat dinilai dengan uang, dalam jangka waktu yang relatif pendek.

2.4. Penggolongan Menurut Standar Nasional Indonesia

Sedangkan pengelompokan hasil hutan bukan menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-
5010.4-2002 tentang tata nama hasil hutan, maka pengelompokan atau pengertian hasil hutan bukan
kayu dapat didefinisikan sebagai semua jenis hasil hutan baik hayati (selain kayu) maupun non hayati
(sumber air, udara bersih, barang tambang, dll.) termasuk dalamnya adalah jasa wisata.
Menurut SNI 01-5010.4-2002 ini tata nama hasil hutan, khususnya kelompok hasil hutan bukan
kayu dikelompokan ke dalam 9 (sembilan) kelompok, mulai dari kelompok batang dan turunannya;
kelompok minyak; kelompok bunga, buah, biji dan daun; kelompok babakan/kulit; kelompok getah;
kelompok resin; kelompok aneka nabati; kelompok aneka umbi; kelompok aneka hewani dan
turunannya. Uraian dan rincian singkat dari masing-masing kelompok hasil hutan bukan kayu tersebut
dapat dilihat pada Tabel 2.1 sampai dengan Tabel 2.9.
Komoditas hasil hutan bukan kayu yang termasuk dalam kelompok batang, misalnya berasal dari
beragam jenis pohon hutan, tumbuhan golongan liana, maupun famili palmae, dan bahkan terdapat
juga produk turunan atau diversifikasi dari bagian pohon atau tumbuhan tersebut, seperti anyaman
rotan, keranjang dan sebagainya. Jenis-jenis komoditas hasil hutan bukan kayu kelompok batang dan
turunannya tersebut, selengkapnya disajikan pada Tabel 2.1 berikut ini.

Hasil Hutan Bukan Kayu 38


Tabel 2.1. Jenis-jenis komoditash hasil hutan kayu kelompok batang dan turuannnya

No Nama Keterangan
1 Aneka Hasil jalinan rotan bulat/rotan belahan/rotan bulat
keranjang rotan kupasan/kulit rotan/hati rotan menjadi aneka bentuk
keranjang
2 Anyaman rotan Hasil anyaman kulit rotan/hati rotan menjadi lembaran-
lembaran anyaman yang dapat dibentuk
3 Bambu Tumbuhan yang tergolong famili Graminae yang umumnya
berumpun dan dapat mencapai ketinggian 40 meter dan
diameter 30 cm, antara lain Bambusa spp., Dendrocalamus
spp., Dinochloa spp., Gigantochloa spp., dan
Schizostachyum spp.
4 Bambu bundar Bagian batang yang dihasilkan dari pohon bambu
5 Bebak Hasil pengolahan pelepah batang pohon Gebang (Corypha
utan)
6 Biga Endapan yang terdapat dalam batang bambu yang
disebabkan oleh faktor genetis
7 Hati Rotan Hasil proses pembelahan hati rotan, ditandai dengan
lembaran-lembaran hati yang berbentuk bulat dan persegi
konsisten sepanjang lembaran
8 Komponen Hasil pembentukan bagian-bagian dari mebel rotan ditandai
mebel terpisah dalam bentuk suku cadang yang diperdagangkan secara
terpisah.
9 Kulit rotan Hasil proses pengulitan rotan bulat W dan Swashed and
surphurized ditandai dengan lembaran kulit yang berukuran
tebal 1,3 mm atau lebih kecil, lebar 8 mm atau lebih kecil
ukuran-ukuran tersebut konsisten sepanjang lembaran.
10 Lampit rotan Suatu lembaran yang berbentuk empat persegi panjang,
bujur sangkar atau bentuk lain, terbuat dari susunan sejajar
hijiran rotan yang telah dilubangi dan disatukan dengan
benang serta sisi sejajar hijirannya diberi watun dan sisi
melintangnya diberi tulang walut.
11 Mebel Rotan Hasil pembentukan dan perakitan rotan bulat W&S/rotan
(Komponen kikis buku/rotan bulat pendek/rotan bulat kupasan/rotan
mebel rotan belahan/hati rotan/kulit rotan/webbing menjadi mebel
terpadu) dan/atau komponen-komponen mebel siap rakit.
12 Mopuk Hasil Pengolahan teras pohon Lontar (Borassusflabelliffer
Linn)
13 Nira Hasil sadapan pohon Nipah (Nipa fritican), Lontar
(Borassusflabelliffer Linn), dan Aren (Arengapinnata)
14 Rotan Tumbuhan yang tergolong dalam famili palmae antara lain
terdiri gari genera Callamus spp., Ceratolobus spp.,
Daemonorops spp., Nyrialepis spp., Plectocomia spp.,
Plectocomiapsis spp dan Korthalsia spp.
15 Rotan Asalan Batang rotan yang telah mengalami pembersihan dan
peruncian tetapi belum mengalami pencucian dan perlakuan
pengolahan lebih lanjut
16 Rotan Belahan Hasil pembelahan dari rotan bulat W & S dengan ukuran

Hasil Hutan Bukan Kayu 39


tebal 1,4 mm atau lebih besar, dan lebar 2,5 mm atau lebih
besar.
17 Rotan Bundar W & Batangan rotan yang telah dibersihkan dan sudah mengalami
S proses pencucian dan pengawetan dengan asap belerang
(washed and surphurized).
18 Rotan Bundar Besar Rotan bulat yang berdiameter 18 mm
atau lebih besar.
19 Rotan Bundar kecil Rotan bulat yang berdiameter kurang dari 18 mm.
20 Rotan Bundar Hasil pengupasan kulit ari rotan bulat W & S sepanjang
Kupasan batang sebagai upaya peningkatan mutu yang ditandai
(Rotan Poles halus) dengan batangan tanpa kulit yang terpoles halus sepanjang
batang.
21 Rotan Bundar Batangan rotan bulat W &S dengan panjang kurang dari 1
Pendek (satu) meter.
22 Rotan KikisBuku Hasil pengikisan buku rotan bulat W & S sedemikian rupa,
(Rotan poleskasar) sehingga ketebalan bukunya sama dengan ketebalan ruas-
ruas yang dihubungkanya.
23 Sagu Hasil pengolahan empulur pohon Arenga spp, Corypha spp,
dan Metroxylon spp.
24 Tikar Rotan Lembaran anyaman keratan rotan secara rapat, berwarna asli
rotan dan diberi pinggiran berbentuk segi empat atau bentuk
lainnya dengan atau tanpa jenis.
25 Topi rotan Hasil jalinan kulit rotan/hati rotan menjadi topi.

Selanjutnya adalah jenis-jenis produk hasil hutan bukan kayu yang termasuk
kelompok minyak atsiri. Minyak atsiri adalah komoditas HHBK yang sangat diandalkan,
karena diversifikasi produknya yang beragam, dari bahan dasar pembuatan parfum, obat
gosok, sampai kepada minyak urut dan seterusnya. Minyak atsiri dicirikan oleh adanya
kandungan bahan yang mudah menguap (volatile matter). Beberapa komoditas HHBK
kelompok minyak atsiriselengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.2 di bawah ini.

Tabel 2.2. Jenis-jenis komoditas hasil hutan bukan kayu kelompok minyak atsiri.

No Nama Keterangan
1 Minyak Cendana Minyak yang dihasilkan dari penyulingan batang, dahan
dan atau akar Cendana (Santalum album Linn).
2 Minyak Euacalyptus Minyak yang dihasilkan dari penyulingan daun
euacalyptus (Eucalyptus spp).
3 Minyak Gandapura Minyak yang dihasilkan dari penyulingan daun Caulsheria
leucocarpha BL).
4 Minyak Kamper Minyak yang dihasilkan dari penyulingan daun dan batang
pohon Kamper (Cinanonum camphora Nees dan E.berm).
5 Minyak kayu manis Minyak yang dihasilkan dari penyulingan kulit pohon
Cassia lignea, Cinnamomum burmanii Bl., Cinnamomum
cassia Bl., Cinnamomumzeylanicum Linn).
6 Minyak kayu Putih Minyak atsiri yang berupa destilat hasil penyulingan daun
kayu putih (Melaleucaleucadendron Linn).
7 Minyak Kenanga Minyak yang dihasilkan dari bunga pohon kenanga

Hasil Hutan Bukan Kayu 40


(Canangium odoratum BAILL).
8 Minyak Keruing Minyak yang dihasilkan dari penyulingan getah dan kayu
Keruing (Dipterocarpus spp).
9 Minyak Kilemo Minyak yang dihasilkan dari penyulingan kulit, daun dan
buah Kileno (Litsea cubeca).
10 Minyak Lawang Minyak yang dihasilkan dari penyulingan pohon kulit
lawang (Cinnamomum cullilawan Bl., dan Cinnamomum
sintok).
11 Minyak Masohi Minyak yang dihasilkan dari penyulingan kulit pohon
Masohi (Cryptocaria masoya).
12 Minyak Nilam Minyak yang dihasilkan dari penyulingan tumbuhan Nilam
(Pogostemon cablin Benth).
13 Minyak Pinus Zat yang mudah menguap yang terdapat di dalam bagian-
bagian yang berbeda dari pohon Pinus spp.
14 Minyak Sereh Minyak yang dihasilkan dari dari penyulingan tanaman
Sereh (Andropogon nardus Linn).
15 Minyak Sindur Minyakyangdihasilkan dari kulitpohon Sindur
(Sindoraspp).
16 Minyak Terpentin Minyakyangdihasilkan dari penyulingangetahpohonPinus
(Pinusspp).
17 Minyak Trawas Minyakyangdihasilkan dari penyulingankulitpohon, daun
danbuah dari pohonLitseaspp.
18 Minyak Tul Minyak yang diperoleh sebagai hasil sampingan dari
pembuatan gondorukem.
19 Minyak Tol Hasil sampingan dari proses pulp sulfat, terutama terdiri
atas asam resin, dan asam lemak dengan sedikit bahan
netral.
20 MinyakYlang-ylang/ Minyak yang dihasilkan
Minyakilang-ilang darihasilpenyulinganpohonCanangiumodoratum BAIL.

Berbeda dengan minyak atsiri yang dicirikan oleh adanya bahan yang mudah menguap, minyak
lemak mengandung komponen yang bersifat seperti lemak, terutama lipid. Golongan minyak ini
termasuk dalam golongan kimia yang tidak mudah menguap (non volatile compounds). Produk-
produk hasil hutan bukan kayu yang berupa minyak lemak dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut ini.

Tabel 2.3.Jenis-jenis komoditas hasil hutan bukan kayu yang termasuk kelompok minyak
lemak.

No Nama Keterangan
1 Minyak Biji Jarak Minyak yang dihasilkan dari buah tanaman Jarak
(Ricinus communis Linn).
2 Minyak Biji Tengkawang Minyak lemak yang dihasilkan dari biji
tengkawang (Isoptera spp dan Shorea spp).
3 Minyak Fuli Minyak yang dihasilkan dari fuli/buah pala hutan
(Myristica spp).
4 Minyak Kemiri Minyak yang dihasilkan dari buah Kemiri
(Aleurites arisperma Blanco., A. fordii Hem., dan
A. molluca Wild).
5 Minyak Kenari Minyakyangdihasilkan dari buahKenari

Hasil Hutan Bukan Kayu 41


(Canariumcommune Linn).
6 Minyak Makadamia Minyak yang dihasilkan dari buah
Makadamiaternifolia.
7 Minyak Mimba Minyak yang dihasilkan dari hasil penyulingan
daun pohon Mimba (Azadiratchta indica A Juss).
8 Minyak Sindur Minyak yang dihasilkan dari kulit Pohon Sindur
(Sindoraspp).

Bagian-bagian dari tumbuhan hutan yang memiliki nilai atau potensi yang tinggi,
baik secara ekonomi, ekologi maupun sosial. Oleh karenanya, bunga, biji, daun, buah serta
akar juga dimasukkan ke dalam produk hasil hutan bukan kayu. Komoditas tersebut
bernilai ekonomi karena bagian tumbuhan tersebut apabila dijual dapat menghasilkan
uang. Bagian-bagian tumbuhan tersebut dijual masih dalam betuk aslinya, maupun yang
telah mengalami proses pengolahan. Manfaat ekologi dari komoditas tersebut, bunga dan
biji misalnya, merupakan bagian dari suatu sistem ekologi dari suatu ekosistem hutan,
terutama dalam hal menjaga keberlanjutan dan keseimbangan ekosistem, melalu
regenerasi Sedangkan manfaat sosialnya adalah rantai produksi dari proses pemanenan,
pengolahan, dan pasca pengolahan, hingga pemasaran hasil akan memberikan manfaat
yang saling berhubungan satu sama lain dan dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat
luas atau masyarakat hutan, khususnya hal menciptakan lapangan kerja dan sebagai
sumber mata pencaharian.
Beberapa jenis hasil hutan bukan kayu yang merupakan bagian dari tumbuhan,
seperti bunga, buah, biji dan daun dapat dilihat pada Tabel 2.4 di bawah ini.

Tabel 2.4. Produk hasil hutan bukan kayu yang berasal dari bagian-bagian tumbuh-
tumbuhan atau kelompok bunga, buah, biji dan daun

No Nama Keterangan
1 Buah Asam Buah hasil pemungutan pohon Asam (Tamarindusindica
Linn).
2 Biji Jenitri Biji hasil pemungutan pohon Ganetri
(Elaeocarpusangustifolius Bl).
3 Biji Jarak Biji hasil pemungutan buah Jarak (Ricinuscommunis Linn).
4 Biji Kemiri Biji hasil pemungutan pohon Kemiri (Aleuritesmolucana
Wild).
5 Biji Kenari Biji hasil pemungutan buah Kenari (Canariumcommune
Linn).
6 Biji Makadamia Biji hasil pemungutan buah makadamia (Makadamia
ternifolia).
7 Biji Mimba Biji hasil Pemungutan buah Azadirachta indica A.Juss)
8 Biji Pala Hutan Biji hasil pemungutan buah Pala Hutan (Myristica spp).
9 Biji Pinang Biji hasil pemnungutan buah Pinang (Arecca spp).
10 Biji Tengkawang Biji hasil pemungutan buah Tengkawang (Shorea spp., dan
Isoptera spp).
11 Daun Pandan Daun hasil pemungutan pohon Pandan (Pandanus spp).

Hasil Hutan Bukan Kayu 42


Kulit (bark) yang merupakan bagian dari pohon hutan, juga berpotensi untuk dapat
diolah dan dimanfaatkan untuk menghasilkan produk yang bernilai ekonomis. Dalam
keseharian kita, mungkin secara tidak sadar, kita menggunakan beberpa produk hasil hutan
bukan kayu yang berasal dari kulit kayu. Beberapa kulit pohon hutan yang masuk dalam
kelompok produk hasil hutan bukan kayu selengkapnya dapat diringkas pada Tabel 2.5
berikut ini.

Tabel 2.5 Beberapa komoditas hasil hutan bukan kayu yang berupa kulit atau
babakan

No Nama Keterangan
1 Kulit Akasia Kulit dari pohon Akasia (Acacia spp).
2 Kulit Bakau Kulit dari Pohon Bakau (Rhizophora spp).
3 Kulit Gelam Kulit dari Pohon Gelam (Melaleuca spp).
4 Kulit Gemor KulitKayudariPohonGemor (Alsodophanespp).
5 Kulit Kayu Manis Kulit dari pohon Kayu manis (Cinnamomum spp., dan
Cassia spp).
6 Kulit kayu Tingi Kulit dari kayupohonTingi (Ceriopsspp).
7 Kulit lawang Kulit dari Pohon Kulilawang (Cinnamomumcullilawan BI.,
dan Cinnamomumsintok).
8 Kulit Malapari Kulit dari Pohon Malapari (Pongamia pinnata Pierre).
9 Kulit Masohi Kulit dari Pohon Masohi (Cryptoria massoi).
10 Kulit Nyirih Kulit dari pohon Nyirih (Xylocarpus spp).
11 Kulit Pulosantan Kulit dari pohonPulosantan (Mesuaspp).
12 Kulit Salampati Kulit dari Pohon Salampati.
13 Kulit Salaro Kulit dari pohon Salaro (Marantha spp).
14 Kulit Soga Kulit dari Pohon Soga (Peltoforum spp).
15 Kulit Suka Kulit dari Pohon Suka (Gnetum spp).
16 Kulit Tancang Kulit dari pohon Bruquiera spp.
17 Kulit Tangir Kulit dari Pohon Tangir (Citrusspp).
18 Kulit Tarok Kulit dari pohon Tarok (Alocasia spp dan
Colocasia spp).

Pohon hutan juga menghasilkan getah. Getah adalah cairan atau koloid yang bersifat cair, kental
yang dikeluarkan oleh bagian tumbuhan/pohon batik dari batang dan/atau daun yang terluka. Dalam
ilmu dendrologi atau ilmu mengenal jenis pohon, getah juga dapat dipergunakan sebagai alat bantu
dalam mengidentifikasi jenis pohon tertentu. Seperti family Myrtaceae umumnya memiliki getah yang
bewarna putih. Pada sisi lain, getah juga dapat diolah dan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan
seperti bahan baku cat, vernis dan politur. Produk getah-getahan yang diperoleh dari pohon hutan
yang termasuk ke dalam hasil hutan bukan kayu, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.6 di bawah
ini.

Tabel 2.6.Hasil hutan bukan kayu yang termasuk kelompok getah-getahan.

No Nama Keterangan
1 Getah Cikel Getah yang disadap dari batang Achras sapata, yang
dipergunakan dalam pembuatan permen karen.
2 Getang Hangkang Getah dari pohon Palaquium leucarpum Burck.,
Palaquium quersifolium Biurck.,

Hasil Hutan Bukan Kayu 43


Palaquiumcalophyllum.
3 Getah Jelutung Getah dari pohonJelutung (Pyeracostulata).
4 Getah Ketiu Getah dari pohon Ketiu (Ganua monthleyana Piere.,
Payena bankensis Burck., dan Synderoxylon
glabrescens Mix).
5 Getah Kumi Getah dari Pohon Balam (Palaquium spp., dan Payena
spp).
6 Getah Merah Getah dariPohonBalam (PalaquiumabovatumEigler).
7 Getah Perca Getah dari Pohon Perca (Palaquium gutta Burck.,
Palaquium hispidium H.J.Lann, Ganua spp., dam
Payena spp).
8 Getah Pinus Getah dari Pohon Pinus (PinusmerkusiiJungh et
dsevriesdanPinusoocarpa).
9 Getah Puan Duyan Getah dari Pohon Balam (Palaquium trubii Burck).
10 Getah Putih Getah dari Pohon Balam dan Nyatoh (Palaqium spp).

Istilah getah yang dipergunakan pada bagian bab ini mengacu kepada getah sebagai hasil dari
proses metabolisme pada tumbuhan. Getah ini karena memiliki kandungan kimia yang beragam, dan
bervariasi, serta berbeda dengan getah pada pahasan berikutnya, maka dinamakan dengan resin atau
damar. Resin merupakan cairan yang dihasilkan dari pembuluh khusus pada tumbuhan. Karena alasan
inilah, beberapa getah pohon hutan dikelompokan tersendiri dalam suatu kelompok yang dinamakan
dengan resin. Jenis-jenis hasil hutan bukan kayu yang termasuk dalam kelompok resin selengkapnya
diringkas pada Tabel 2.7 berikut ini.

Tabel. 2.7 Jenis-jenis hasil hutan bukan kayu yang termasuk kelompok resin

No Nama Keterangan
1 Damar Kelompok resin alami yang didapat dari pohon Meranti
(Shorea spp., dan Hopea spp), seperti damar mata
kucing, damar merah, damar hitam, dan damar batu dan
juga dibuat secara sintetis.
2 Damar mata Kucing Damar yang disadap dari pohon Shorea javanica
K.et.Val).
3 Damar Putih Damar yang dihasilkan dari Pohon Vateria indica.
4 Gaharu Akumulasi damar wangi yang dihasilkan akibat adanya
infeksi jamur (misalnya : Fusarium spp)., bakteri atau
virus tertentu pada pohon Aquilaria spp dan Gyrinops
spp).
5 Gaharu Buaya Akumulasi damar wangi yang dihasilkan akibat adanya
infeksi jamur (misalnya : Fusarium spp)., bakteri atau
virus tertentu pada pohon Aetoxylon sympetalum
(V.Steen & Donke Airy Show) dan dan Gonystylus
spp).
6 Getah Jernang Getah dari Rotan Jernang (Daemonorops draco BI).
7 Getah Kemenyan Getah dari Pohon Kemenyan (Styrax spp).
8 Gondorukem Residu berupa padatan dari hasil penyulingan pohon
Pinus (Pinus merkusii jungh et de Vries).
9 Kamper Zat hablur yang berbau khas, yang diperoleh dari daun
dan kayu Kamper (Cinnamomum camphora) dan juga

Hasil Hutan Bukan Kayu 44


yang disebut sintetis.
10 Kopal Getah dari pohon Agathis spp, yang termasuk kopal
adalah kopal laba, kopal bua, kopal abu dan kopal
melengket.

Vegetasi hutan hujan tropis Indonesia kaya akan jenis tumbuhan dengan berbagai tipe
stratumnya, dan menghasilkan beberapa produk nabati yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai
keperluan, baik sebagai bahan baku industri kimia maupun industri lainnya. Karena keberagaman
produk nabati tersebut, maka dibuatlah kelompok hasil hutan bukan kayu aneka nabati. Komoditas
hasil hutan bukan kayu kelompok aneka nabati tersebut selengkapnya disajikan pada Tabel 2.8 berikut
ini.

Tabel 2.8Jenis-jenis komoditas hasil hutan bukan kayu kelompok aneka nabati.

No Nama Keterangan
1 Gambir Endapan hasil pengolahan daun Gambir (Uncariagambir
Roxb).
2 Gambut Bahan tanah yang sebagian besar terdiri atas bahan organik
yang tidak dirombak atau dirombak sedikit, yang terkumpul
dalam keadaan ketika air berlebihan (melimpah ruah).
3 Ijuk Serat hasil pemungutan dari pohon Aren (Arengapinnata
Roxb).
4 Keluwek Buah yang sudah matang dari Pohon Pangiumedule
5 Kemangi Daun hasil pemungutan dari tumbuhan Kemangi (Ocimum
basilicum Linn. Fa-citratum).
6 Kumis Kucing Daun hasil pemungutan dari tumbuhan Kumis Kucing
(Orthosiphon spp).
7 Mulsa Bahan-bahan organik yang dihamparkan di atas tanah guna
mengurangi penguapan dan pengendalian perekembangan
gulma.
8 Picung Buah yang masih muda dari pohon Pangium edule.
9 Rebung Bambu yang masih muda yang masih dapat
dikonsumsi/dimakan.
10 Sari Mengkudu Sari dari Buah Mengkudu (Morinda spp).

Pada beberapa kondisi tertentu, seperti pada pengelolaan hutan dengan sistem agroforestry
dengan tumpang sarinya, keterlibatan penduduk lokal dalam mengelola hutan dengan menanam
tumbuh-tumbuhan jenis herba (tanaman khusus dimanfaatkan untuk tumbuhan obat-obatan), ataupun
tanaman semusim adalah sangat menguntungkan, baik bagi masyarakat maupun pengelola hutan.
Pada daerah yang padat penduduknya, seperti pulau Jawa, keberadaan industri jamu tradisional,
contohnya, telah ikut meramaikan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu kelompok umbi-umbian, dan
rimpang, seperti kencur, jahe dan temu lawak. Beberapa jenis- umbi-umbianyang termasuk ke dalam
komoditas hasil hutan bukan kayu diringkas dan disajikan pada Tabel 2.9.

Tabel 2.9 Berbagai jenis komoditas hasil hutan bukan kayu kelompok umbi-umbian

No Nama Keterangan
1 Iles-iles Umbi hasil pemungutan dari pohon Iles-iles

Hasil Hutan Bukan Kayu 45


(Amorphopallus spp).
2 Jahe Kering Umbi hasil pemungutan dari tumbuhan Jahe Hutan
(Zingiber spp).
3 Kapulaga Umbi hasil pemungutan dari tumbuhan Kapulaga
(Amomum cardamomum Willd).
4 Kencur Umbi hasil pemungutan dari tumbuhan Kencur (Kaemferia
galanga Linn).
5 Kunyit Umbi hasil pemnungutan dari tumbuhan Kunyit (Curcuma
domestica Val.).
6 Lengkuas Umbi hasil pemungutan dari tumbuhan Lengkuas (Alphina
galanga Sw.).
7 Temu Giring Umbi hasil pemungutan dari tumbuhan Temu Giring
(Curcuma beyneana Val. & V.zyp.).
8 Temu Ireng Umbi hasil pemungutan daari tumbuhan temu Ireng
(Curcuma eruginosa roxb).
9 Temu Lawak Umbi hasil pemungutan dari tumbuhan Temu lawak
(Curcuma xanthorrizha Roxb).

Dari Tabel 2.1 sampai dengan Table 2.9 di atas, membahas komoditas kelompok hasil hutan
bukan kayu yang berasal dari tumbuhan atau nabati. Berikut ini adalah aneka komoditas hasil hutan
bukan kayu yang termasuk dalam kelompok produk-produk aneka hewani dan turunannya. Sebagian
besar referensi atau pustaka acuan, menyebut komoditas hasil hutan bukan kayu ini dengan sebutan
jenis-jenis satwa liar, meskipun berasal dari ada sebagian berasal dari hasil proses penangkaran. Jenis-
jenis komoditas hasil hutan bukan kayuyang termasuk kelompok aneka hewani selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 2.10 di bawah ini.

Tabel 2.10. Jenis-jenis hasil hutan bukan kayu yang termasuk kelompok aneka hewani dan
turunannya

No Nama Keterangan
1 Asalan satwa Benda-benda yang merupakan bagian dari satwa berupa:
tanduk/cula, bulu/rambut/duri, kulit, batok/tempurung, gigi,
taring, gading, kuku/cakar, daging, lemak, otot, kelenjar,
cairan-cairan (darah, bisa), tulang, dan lain-lain.
2 Hasil Olahan Benda-benda hasil proses pengolahan satwa, asalan satwa dan
Satwa hasil satwa berupa minyak, serum (plasma), barang-barang
ukiran dan lain-lain.
3 Hasil Satwa Benda-benda yang dihasilkan dari satwa berupa: sarang, telur,
madu, lilin, lak, kokon sutera, guano (kotoran) dan lain-lain.
4 Satwa Semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat
dan/atau di air, dan/atau di udara.
5 Satwa liar Semua binatang yang hidup di darat, dan/atau di air, dan/atau
di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang
hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.
6 Turunan satwa Benda-benda yang merupakan bagian badan satwa atau yang
dihasilkan satwa atau merupakan hasil olahannya.

Hasil Hutan Bukan Kayu 46


Penggolongan komoditas HHBK yang dibuat oleh SNI memang sangat lengkap, hal ini tentunya
berkenaan dengan segala aspek yang berhubugnan dengan sistem perdagangan, legalitas dan
perpajakan komoditas tersebut.

2.5. Penggolongan Hasil Hutan Menurut Sumber Lain

Penggolongan komoditas hasil hutan yang lebih sederhana dilakukan untuk kepentingan
pembelajaran dan juga untuk kepentingan penelitian. Sumadiwangsa dan Setiawan (2001) seperti
yang termuat dalam Buletin Volume 2 No 2 Tahun 2001, mengelompokan/menggolongkan hasil
hutan bukan kayu ke dalam sembilan kelompok.
Pada penggolongan tersebut, penulis membedakan menjadi dua karakteristik, yaitu jenis dan
golongan hasil hutan bukan kayu. Penggolongan ini lebih sederhana dan mudah dipahami serta
dimengerti. Untuk tujuan pembelajaran penggolongan ini sangat membantu, karena tidak terlalu
mendetail, sehingga memudahkan kita untuk memahami dan menghapalnya berdasarkan karakteristik
produk tersebut. Penggolongan hasil hutan bukan kayu yang dimaksud dapat diringkas seperti
disajikan pada Tabel 2.11.

Tabel 2.11. Penggolongan jenis dan golongan hasil hutan bukan kayu menurut Sumadiwangsa
dan Wirawan (2001)

No Jenis HHBK Golongan HHBK


1 Resin Gondorukem, kopal loba, kopal melengket, damar mata
kucing, d. daging, d. rasak, d. pilau, d. batu, kemenyan,
gaharu, kemedangan, shellak, jernang, frankensence,
kapur barus, biga.
2 Minyak atsiri Minyak cendana, minyak. gaharu, minyak. kayu putih,
minyak keruing, minyak lawang, minyak terpentin,
minyak kenanga, minyak ilang-ilang, minyak eukaliptus,
minyak pinus, kayu manis, vanili, cendana, minyak sereh,
minyak daun cengkeh, minyak pala, minyak kembang
mas, minyak trawas, minyak kilemo.
3 Minyak lemak, - Minyak lemak : tengkawang, kemiri, jarak, wijen, saga
karbohidrat dan pohon, kenari, biji mangga, minyak intaran
buah-buahan - Karbohidrat atau buah-buahan : sagu, aren, nipah, lontar,
asam, matoa, makadamia, duren, duku, nangka, mente,
burahol, mangga, sukun, saga, gadung, iles-iles, talas, ubi,
rebung, jamur, madu, garut, kolang-kaling, suweg.
4 Tanin dan getah - Tanin: akasia, bruguiera, rizophora, pinang, gambir, tingi;
- Getah: jelutung, perca, ketiau, getah merah, balam,
sundik, hangkang, getah karet hutan, getah sundik, gemor.
5 Tanaman obat dan - Tanaman obat : aneka jenis tanaman obat asal hutan;
hias - Tanaman hias : anggrek hutan, palmae, pakis, aneka jenis
pohon indah.
6 Rotan dan bambu Segala jenis rotan, bambu dan nibung.
7 Hasil hewan Sarang burung, sutera alam, shellak, buaya, ular, telur,
daging, ikan, burung, lilin lebah, tandung, tulang, gigi,
kulit, aneka hewan yang tidak dilindungi
8 Jasa hutan Air, udara (oksigen), rekreasi/ekoturime, penyanggah
ekosistem alam.

Hasil Hutan Bukan Kayu 47


9 Lain-lain Balau, kupang, ijuk, lembai, pandan, arang, sirap, ganitri,
gemor, purun, rumput gajah, sintok, biga, kalapari, gelam,
kayu salaro, pohon angin, uyun, rumput kawat.

Apabila kita cermati jenis-jenis komoditas hasil hutan bukan kayu yang telah dijelaskan dan
dicantumkan dari Tabel 2.1 sampai dengan Tabel 2.11, sebenarnya masih banyak produk-produk hasil
hutan bukan kayu, yang belum dimasukan ke dalam rincian tersebut. Contohnya adalah beberapa
produk pewarna alami yang dipergunakan untuk membuat berbagai kerajinan tangan seperti tas noke,
tas dari daun pandan, tanaman buah merah dan sarang semut di Papua, tumbuhan-tumbuhan obat dan
beberapa species tanaman hias, serta beberapa potensi pengetahuan tentang kearifan lokal dari
masyarakat hutan.
Jenis-jenis komoditas hasil hutan bukan kayu yang belum termasuk dalam daftar kelompok
tersebut, merupakan pekerjaan rumah bagi kita semua untuk terus dan terus menelitinya, sehingga
nantinya dapat direkomendasikan untuk dimasukan dalam golongan hasil hutan bukan kayu. Oleh
karenanya, penelitian dan ekplorasi pemanfaatan dari beberapa komoditas hasil hutan bukan kayu,
terutama yang endemik pada suatu daerah sangat penting dilakukan, untuk membukukan komoditas
tersebut.

2.6. Pustaka

Pemerintah Republik Indonesia (1967). UU No. 5 tahun 1967. Undang-undang Pokok Kehutanan.
Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian.

Pemerintah Republik Indonesia (1999). UU No. 41 tahun 1999. Undang-undang Republik Indonesia
tentang Kehutanan. Departemen Kehutanan.

Standar Nasional Indonesia (2002). SNI 01-5010.4-2002, Tata Nama Hasil Hutan. Badan Standarisasi
Nasional
.
Sumadiwangsa, S dan Setiawan, D (2001). Buletin Volume 2. No 2 Tahun 2001. didownload dari
www.dephut.go.id, pada tanggal 20 Maret 2007.

Wollenberg, E and A.Ingles (editors) (1998). Income from the Forest. Methods for thr development
and conservation of forest products for local Community. Center for International Forestry
Research (CIFOR) Bogor.

Khakim, Abdul (2005). Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia. Dalam Era OtonomiDaerah. Citra
Aditya Bakti. Bandung

Hasil Hutan Bukan Kayu 48


BAB 3

KAJIAN PENGELOLAAN DAN KARAKTERISTIK


HASIL HUTAN BUKAN KAYU

3.1. Pendahuluan

Pada pokok bahasan yang ketiga ini, disajikan berbagai permasalahan dan tantangan pengelolaan,
teknologi, dan potensi serta issu-issu penting dari komoditas hasil hutan bukan kayu. Pokok bahasan
tersebut sebagian besar merupakan hasil kajian pustaka dari beberapa kasus, dan studi kasus yang
terjadi pada negara-negara berkembang yang memiliki hutan hujan tropis. Negara-negara berkembang
tersebut umumnya memiliki ciri utama, seperti tinggi penduduk miskin/kesenjangan sosial, populasi
penduduk yang besar dan angka pengangguran yang tinggi, serta dominanya kontribusi sektor
pertanian/kehutanan terhadap penduduk miskin tersebut. Hasil studi pustaka, pemikiran dan penelitian
dari beberapa studi kasus tersebut diringkas dalam materi ketiga ini.
Setelah menyelesaikan pokok bahasan yang ketiga ini mahasiswa diharapkan memiliki
kemampuan untuk:
1. Menjabarkan sistem pengelolaan dan menejemen hasil hutan bukan kayu secara luas, bila
dibandingkan dengan hasil hutan kayu
2. Mampu melakukan identifikasi beberapa kesalahan pengelolaan atau kebijakan dalam mengelola
komoditas hasil hutan bukan kayu dari berbagai perpesktif ilmu pengetahuan
3. Memiliki gambaran dan wawasan yang luas dan menyeluruh tentang kompleksitas komoditas
HHBK

3.2. Fungsi dan Manfaat Penting Hutan bagi Masyarakat Hutan (Forest People)

Penduduk dari negara-negara yang memiliki hutan hujan tropis, seperti Asia Tenggara, Amerika
latin, Asia Selatan, dan Afrika Tengah, sebagian besar masih menggantungkan seluruh kebutuhan
hidup sehari-harinya dari kawasan hutan, baik secara langsung, maupun tidak langsung.
Ketergantungan tersebut khususnya untuk sumber daya hutan terutama hasil hutan bukan kayu
(HHBK), terutama untuk kkebutuhan sehari-hari, seperti kayu bakar, hewan buruan, sayur-sayuran,
dan tumbuhan obat.
Di Indonesia, India, Filipina, Thailand dan beberapa negara Amerika latin lainya, seperti Peru,
Akuador, Bolivia yang sebagian besar wilayahnya masih berhutan tropis, penduduknya boleh
dikatakan bergantung kepada kawasan hutan di sekitarnya. Khusus untuk Indonesia, khususnya di luar
Pulau Jawa, sebagian besar kebutuhan penduduk lokal dari kebutuhan makan, minum, sayuran, buah-
buahan, protein hewani dan bahkan obat-obatan dapat diperoleh dari hutan di sekitarnya. Praktek ini
telah berlangsung dari generasi satu ke generasi berikutnya. Masyarakat lokal memiliki aturan,
batasan-batasan, dan kearifan sendiri, bagaimana mereka memanfaatkan dan mengelola kawasan
hutan miliknya untuk keperluan dan kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Aturan-aturan dan norma-
norma inilah yang kemudian dikenal dengan nama pengetahuan atau kearifan lokal
(indigenousknowledge). Dengan pengetahuan lokal tersebut, sumber daya hutan, khusunya
produktivitas dari komoditas HHBK telah memberikan beragam manfaat dan fungsi bagi penduduk
lokal, seperti sebagai sumber bahan makanan, tempat perlindungan sumber pendapatan keluarga, dan
pekerjaan. Bagi mereka, lapangan pekerjaan ini tidak memerlukan keahlian khusus, yang
menharuskan mereka untuk menempuh pendidikan formal. Tetapi mereka memperoleh keahlian
tersebut secara informal, dari orang tua atau pengalaman yang mengajarkan mereka.

Hasil Hutan Bukan Kayu 49


FAO (1998) mendefinisikan hasil hutan bukan kayu sebagai semua produk biologi yang
dihasilkan dari hutan dan areal atau kawasan di sekitarnya. Khusus untuk wilayah Asia Pasifik,
selanjutnya hasil hutan non kayu sangat beragam, mulai dari palem (palms), grasses, herbs, shrubs,
pepohonan, jenis binatang/hewan (serangga, burung, reptiles, dan hewan besar (gajah, harimau)
termasuk di dalamnya mikroflora dan mikrofauna.
Terdapat beberapa komoditas hasil hutan bukan kayu yang telah dibudidayakan dalam bentuk
monoculture atau pure crops (homogen) dan ada yang dikombinasikan dalam tanaman yang heterogen
dalam sistem agroforestry. Sehingga ada beberapa komoditas hasil hutan bukan kayu yang dikelola
dalam betuk lahan pertanian model hortikultura ataupun masih merupakan produk sampingan dari
hutan.
Komoditas HHBK memiliki karakteristik yang luas dan beragam, baik ditinjau dari aspek
keanekaragaman hayati sumber daya alam, sosial, budaya, ekonomi dan pemberdayaan masyarakat
serta kelangsungan hidup masyarakat sekitar hutan. Untuk mengetahui berbagai karakteristik tersebut
dan kemudahan dalam analisis kebijakkan serta pertimbangan teknis lainnya, beberapa klasifikasi
dibuat berdasarkan tujuan yang ingin dicapai. Seperti untuk kemudahan analisis eknonomi,
kemudahan dalam penggolongan produk yang dapat dikalkulasikan secara sederhana dan sebagainya.
Lembaga pertanian perserikatan bangsa-bangsa yaitu Food Agriculture Organization (FAO)
membuat kajian tentang karakteristik komoditas hasil hutan bukan kayu berdasarkan kepada
penggunaan akhir produk. Dengan kata lain, karakteristik komoditas hasil hutan bukan kayu dibuat
berdasarkan kepada tujuan pemanfaatan akhir produk tersebut. Terdapat beberapa komoditas hasil
hutan bukan kayu, seperti contohnya adalah sayur-sayuran dan buah-buahan dari hutan, yang mana
masyarakat hutan mengambil dan memetik komoditas tersebut hanya bila memang diperlukan, dan
tidak diperjual belikan. Padahal secara teoritis, komoditas teresebut sangat diminati oleh pasar atau
konsumen. Dalam kasus ini, komoditas hsail hutan bukan kayu tersebut hanya untuk konsumsi sendiri
dan bukan komersial.
Beberapa karakteristik hasil hutan bukan kayu yang dibuat oleh FAO (1998) dengan mengacu
kepada penggunaan produk akhir sebagai pokok kajian utamanya disajikan pada Tabel 3.1 berikut ini.

Tabel 3.1. Karakteristik dan klasifikasi Hasil Hutan Bukan Kayu berdasarkan penggunaan
produk Akhir (FAO, 1998).

Penggunaan akhir Contoh


A. Produk makanan dan Daging, kacang-kacangan, buah-buahan, madu, rebung
turunannya bambu (bambooshoot), Sarang burung (birds nest), Minyak
dari biji-bijian (oil seed), jamur (mushroom), Gula dan
Karbohidrat (palm sugar and starch), rempah-rempah
(spices), Culinary herbs, Pewarna makanan (food
colouring), getah-getahan (gum), Serangga melata/ulat-
ulatan (cartepilar), Serangga (insects) dan cendawan
(fungi).
B. Tanaman Hias Anggrek (Wild orchids), bulbs, cycods, Palem paleman
(Ornament plants and (palm), Pakis-pakisan (tree ferns), succulent plants,
parts of plants) carnivorous plants.

Hasil Hutan Bukan Kayu 50


C. Satwa liar dan produk- Plummery pelts, cage birds, Kupu-kupu (butterflies), kutu
produknya lak (lac), cochineal dye, Sutera alam (cocoon),
sarang/rumah lebah madu (beewax), Bisa ular (snake
venom).
D. Bahan konstruksi bukan Bambu (Bamboo), Rotan (rattan), Rumput-rumputan/alang-
kayu (Non Wood alang (grass), Bagian pohon palem-paleman (palms), daun-
contruction materials) daunan (leaves), serat kulit (barkfibers).
E. Komponen Bio-kimia Senyawa fitokimia/kima bahan alam
dari alam (Bio/organic (Phythopharmaceutical), Senyawa aromatik dari (aromatik
chemical) chemical) and Penyedap (flavours), pafum (fragranus)
Pestisida (agrochemical/insecticides), Bahan Bakar Nabati
(biodiesel), tar (tars), bahan pewarna (colour) and pigmen
(dyes).

Karakteristik hasil hutan bukan kayu tersebut dibuat berdasarkan beberapa kenyataan bahwa
konstribusi komoditas HHBK yang begitu besar terhadap kelangsungan hidup masyarakat miskin,
atau masyarakat hutan (forest people) yang kebanyakan tersebar di negara-negara berkembang dan
memiliki hutan hujan tropis.
Lebih lanjut FAO (1998) juga menjelaskan bahwa jumlah hasil hutan bukan kayu yang
diproduksi dan diperdagangkan diwilayah Asia Pasifik, menempati urutan pertama dari seluruh
perdagangan hasil hutan bukan kayu dunia. Beberapa komoditas hasil hutan kayu yang berasal dari
daerah Asia Pasifik tersebut seperti komoditas Rotan dari Kalimantan, tanaman obat-obatan
(medicinal plants) dari Mongolia dan Nepal, Kupu-kupu (Butterflies), Anggrek (Orchids) and Palem-
paleman (Palms) dari New Guinea. Contoh lainnya adalah tanaman obat dari China, yang negeri tirai
bambu ini merupakan pengekspor terbesar bahan obat-obatan tradisional, bahkan beberapa universitas
di China, telah memasukan pengetahuan obat tradisional menjadi basis kurikulum. Di beberapa
universitas ternama di China, pengetahuan tradisional obatan-obatan China telah menjadi cabang
kajian ilmu tersendiri.
Food and Agricuktural Organization (1998) juga membuat penggolongan hasil hutan bukan kayu
untuk kepentingan analisis ekonomi, yang dapat dikelompokkan berdasarkan skala
penggunaan/pemanfaat, kegunaan dan pemasarannya. Penggolongan tersebut selengkapnya dapat
diringkas pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Penggolongan hasil Hutan Bukan Kayu berdasarkan kepentingan analisis ekonomi,
skala kegunaan dan pemasaran, FAO (1998).

1. Subsistance level Yaitu hasil hutan yang langsung dikonsumsi secara langsung
(Skala subsisten) setelah pemanenan dengan sedikit atau tanpa pengolahan
seperti buah, daging satwa liar atau hanya pengolahan
petama seperti rebung bambu (bamboo shoot).
Pada level subsisten ini perdagangan dilakukana biasanya
dengan cara barter atau tukar menukar barang dan
dikerjakan oleh anggota keluarga langsung dari hutan.
2. Local-Used level Pada kategori ini hasil hutan non kayu diolah dalam skala
(Skala penggunaan kecil, tidak terpusat dan bersifat pribadi (usaha sampingan)
lokal) yang kerap kali kurang modal dan teknologi seadanya. Pada
level ini kadang-kadang hasil hutan non kayu dibartrer
dengan atau dijual dipasal lokal (local market) untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Hasil Hutan Bukan Kayu 51


Biasanya pada level ini pengolahan/usaha hasil hutan non
kayu memiliki keterbatasan modal, karena hanya
menjangkau pasar lokal yang relatif kecil dengan
permintaan ang terbatas pula karena keterbatasan
penghasilan masyarakat lokal.
3. Commercial level Pada kategori ini hasil hutan non kayu telah mengalami
(Skala komersial beberapa tahapan proses pengolahan dan melalui beberapa
/diperdagangkan) tahapan transaksi untuk menjadikan produksi tersebut siap
jual dipasaran. Beberapa produk dijual untuk memenuhi
kebutuhan bahan mentah (bulkdemand) seperti rotan, resin
dan produk olahan yang dapat menjangkau pasaran
international seperti madu (honey) dan aromatic chemical.

Iqbal (1997) yang dikutip oleh FAO (1998) mengklasifikasikan hasil hutan bukan kayu dalam
150 (seratus lima puluh) jenis komoditas yang berlaku dalam perdagangan international. Sedangkan
nilai total dari perdagangan hasil hutan non kayu dari tahun ketahun adalah sering berfluktuasi.
Contohnya pada tahun 1990-an, total nilai tahunan dari perdagangan hasil hutan bukan kayu adalah
sebesar 5-11 miliar dollar Amerika Serikat (US $ 5-11 billion). Untuk daerah Asia Fasifik sendiri,
nilai perdagangan ekspornya mencapai 2-4 miliar dollar AS (US $ 2 - 4 billion). Sebagian besar
komoditas hasil hutan bukan kayu diperdagangkan dalam skala kecil, bersifat lokal, dan bahkan
bersifat barter pada beberapa daerah dan kondisi tertentu. Kecuali untuk komoditas yang berorientasi
ekspor, seperti rotan, kacang-kacangan (kacang mete, nuts) diperdagangkan dalam jumlah yang sangat
signifikan.
Pada dekade akhir-akhir ini, dipasar internasional beberapa produk dari hasil hutan non kayu
umumnya mengalami menurun, karena adanya beberapa faktor seperti perkembangan dari teknologi
bahan tiruan (sintetis) seperti plastik, ketidakseninambungan dari stok bahan baku dan produk,
kualitas dan kuantitas yang tidak terjamin (konsisten), dan tidak adanya jaminan dari pasokan bahan
baku. Akan tetapi adanya perkembangan terakhir tentang kesadaran akan penggunaan produk-produk
yang ramah lingkungan, dapat didaur ulang dan gerakan kembali ke alam (back to nature) telah
merangsang kembali akan adanya permintaan produk-produk hasil hutan non kayu, yang boleh
dikatakan lebih ramah lingkungan.
Masa depan hasil hutan bukan kayu sangat terbuka lebar tetapi hal tersebut tergantung kepada
produk yang dipasarkan dan keadaan penggunaanya. Kunci utamanya adalah meningkatkan
komersialisasi dari hasil hutan bukan kayu, termasuk di dalamnya manajemen pengelolaan atau
domestikasi yang dilengkapi dengan analisis permintaan pasar yang akurat, penurunan akses
masyarakat hutan terhadap hasil hutan bukan kayu, perubahan ketergantungan masyarakat sekitar
hutan terhadap hasil hutan bukan kayu dan pengelolaan sumber daya hutan yang berbasis masyarakat
(community based forest manjement).
FAO (1998) juga telah membuat gambaran dari dua keadaan atau kondisi kedepan yang harus
dicermati oleh berbagai kalangan yang berkepentingan dengan komoditas hasil hutan bukan kayu.
Dua kondisi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Secara keseluruhan sumber daya hasil hutan bukan kayu ada kecenderungan mengalami
depresi/penurunan. Hal ini karena kurang adanya perundang- undangan/regulasi tentang tata cara
pemungutan dan adanya tekanan permintaan dari pasar yang luar biasa baik pasar lokal maupun
internasional. Produk-produk hasil hutan bukan kayu tersebut meliputi rotan, resin, damar, kayu
gaharu, bermacam-macam kulit kayu, akar, batang, dan daun sebagai tradisional sumber obat-
obatan tradisional (traditional medicine) dan beberapa species (hewan dan tumbuhan) langka
lainnya seperti ikan.

Hasil Hutan Bukan Kayu 52


b. Adanya kecenderungan penambahan pembudidayaan dari beberapa jenis hasil hutan bukan kayu
(selected non timber forest products) seperti rotan dikembangbiakan dan dibudidayakan di
Indonesia dan Malaysia. Tetapi ini hanya terjadi pada produk yang mempunyai pangsa pasar
yang bagus (superiorproducts), sedangkan produk yang kurang diminati (inferior products)
sepertinya permintaanya menurun, dan tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi yang
meningkat. Sehingga terkesan perkembangan dan pembudidayaan superior produk lebih intensif
dibandingkan inferior produk.

Lebih lanjut FAO (1998) melaporkan, bahwa studi kasus yang telah dilakukan di India,
menyimpulkan bahwa kurang lebih 400 juta penduduknya yang hidup di pedesaan dan sekitar
kawasan hutan sangat menggantungkan hidupnya pada komoditas hasil hutan bukan kay, baik sebagai
pemilik, buruh pemetik ataupun pedagang hasil hutan bukan kayu tersebut. Secara lebih rinci
dikatakan bahwa 30% penduduk pedesaan sangat tergantung kepada hasil hutan bukan kayu, dan
lebih dari 80% penduduk yang tinggal di sekitar kawasan hutan menggantungkan hidupnya pada
komoditas ini.
Selanjutnya, diilaporkan juga bahwa pekerjaan memetik, dan memanen hasil hutan bukan kayu
merupakan sumber pekerjaan atau penghasilan utama dari para buruh di pedesaan, dengan persentase
sekitar 17% dari mereka adalah penduduk yang tidak mempunyai lahan garapan, dan 39% adalah
sebagai pekerjaan sampingan dengan tujuan menambah pendapatan. Di India sendiri, devisa yang
dihasilkan oleh berbagai komoditas hasil hutan bukan kayu rata-rata pertahunnya sebesar 27 miliar
dollar AS (US $ 27 billion). Hasil tersebut jauh lebih besar bila dibandingkan dengan yang diperoleh
dari devisa perdagangan produk-produk hasil hutan utama (kayu, produk kayu olahan dan panel-panel
kayu), yang hanya sekitar 17 miliar dollar AS (US $ 17 billion).
Laporan dari FAO (1998) juga menyebutkan bahwa diperkirakan sebanyak 55% pekerja dibidang
kehutanan di India berkerja pada sektor hasil hutan bukan kayu. Komoditas hasil hutan bukan kayu
yang dihasilkan dari India di antaranya adalah bambu (bamboo), rotan (rattan), dedauan (beedi leaf),
getah-getahan (gums), golongan resin (resin), minyak biji-bijian (oil seeds), minyak atsiri (essential
oil), produk serat (fibers), flosses, kutu lak (lac), dan tumbuhan obat (medicinal plants). India setiap
tahunnya rata-rata memproduksi berbagai jenis komoditas bamboo sebesar 4.5 juta ton, dan
merupakan 50% dari sumber bahan baku industri serat untuk sumber bahan serat dan kertas (pulp and
paper).
Perkembangan terakhir menujukan bahwa stok atau bahan baku dari hasil hutan bukan kayu akan
cenderung menurun dimasa mendatang. Untuk mengatasi masalah tersebut kiranya diperlukan
program-program dan strategi jangka panjang untuk pembudiadayaan dan pengembangan hasil hutan
bukan kayu. Program-program tersebut antara lain adalah penyusunan program kebijakan dan strategi
yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder), dalam bentuk pengelolaan hutan
berbasis masyarakat, perluasan akses perkembangan pasar (pemasaran), domestikasi dan kultivasi
dari hasil hutan bukan kayu (aspek budi daya dan inovasi domestik), promosi komoditas hasil hutan
bukan kayu dalam pasar regional dan internasional (promotion in trade and fair into the world
market).

3.3. Permasalahan-Permasalahan Penting dari Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kemungkinan
Pemecahannya, FAO (1998)

Masalah atau isu yang sangat mendasar dan menarik yang berkaitan dengan hasil hutan bukan
kayu adalah berkaitan dengan orientasi produk yang masih berskala kecil, yaitu bersifat industri
rumah tangga dan bersifat kegiatan sampingan. Permasalahan-permasalahan lainnya seperti
permintaan komoditas hasil hutan bukan kayu yang kurang signifikan dibandingkan dengan produk
perkayuan, dan kurangnya skala prioritas dalam skala industri, rendahnya penelitian dan

Hasil Hutan Bukan Kayu 53


pengembangan, serta kurangnya diversifikasi produk dari hasil hutan bukan kayu, juga turut berperan
dalam rendahnya posisi tawar dari hasil hutan bukan kayu. Kenyataan- kenyatan tersebut yang
menyebabkan belum tertariknya pemerintah, baik pada level pusat maupun daerah, serta departemen
teknis membuat kebijaksan nasional tentang pengelolaan dan pengusahaan komoditas hasil hutan
bukan kayu.
Khusus untuk wilayah Asia Pasifik, beberapa masalah dan isu penting berikut ini kiranya penting
untuk disikapi dan ditindak lanjuti, sehingga hasil hutan bukan kayu dapat memainkan peranan yang
sangat penting di wilayah ini di masa mendatang. Hal tersebut dikarenakan ketersediaan dan
komoditas hasil hutan bukan kayu di wilayah ini cukup melimpah, dan didukung oleh keadaan atau
potensi hutan alam tropisnya yang masih perawan. Serta jumlah populasi penduduk di Asia Pasifik
yang besar dan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru. Hal-hal tersebut menjadikan salah satu
alasan untuk menjadikan kawasan ini menjadi pasar potensial dimasa mendatang.
Permasalahan permasalahan komoditas hasil bukan kayu di kawasan Asia Pasifik tersebut di
antaranya dapat dijabarkan dan dirinci sebagai beikut:
a. Belum adanya program yang terfokus pada pengelolaan hasil hutan bukan kayu (lack of focus in
non timber forest products). Salah satu kunci utama untuk melestarikan potensi ekonomi dari
hasil hutan bukan kayu adalah dengan atau tanpa memberlakukan skala prioritas pada komoditas
hasil hutan bukan kayu, sehingga semua komoditas diperlakukan sama, tidak ada komoditas
unggulan (superior products) ataupun komoditas bukan unggulan (inferior products).
b. Hasil hutan bukan kayu mempunyai nilai aspek sosial yang sangat strategis bagi penduduk yang
tinggal di sekitar kawasan hutan, yang notabene masih sangat miskin. Aspek ini dapat
dikembangkan lebih lanjut untuk dapat lebih menjamin keberlanjutan produktivitas dan potensi
sumber daya hasil hutan bukan kayu.
c. Kurangnya investasi dalam bidang penelitian dan pengembangan dibidang hasil hutan bukan
kayu seperti teknologi pengolahan, sistem dan jaringan pemasaran, standarisasi produk dan
bahan, dan beberapa faktor lainnya. Kebanyakan penelitian pada hasil hutan bukan kayu hanya
berskala kecil sehingga kurang mendapat perhatian yang cukup dari investor. Penelitian tersebut
juga kebanyakan berdasarkan pesanan dari lembaga-lembaga konservasi, bukan investor besar,
seperti lazimnya pada industri perkayuan. Tantangan kedepan adalah bagaimana penelitian dan
pengembangan komoditas ini dapat disinergikan dan bernilai ekonomi, dan layak dijual sehingga
dapat menarik investor untuk berinvestasi dalam sektor hasil huan bukan kayu dalam skala luas.
d. Minimnya kelembagaan-kelembagaan formal dan perangkat peraturan perundangan-undangan
yang belum sepenuhnya mendukung komoditas hasi hutan bukan kayu. Hal ini adalah menjadi
isu utama dari hasil hutan bukan kayu sehingga menyebabkan komoditas hasil hutan bukan kayu
tidak dapat berkembang beriringan dengan industri perkayuan. Hal ini sangat jauh berbeda
dibandingkan pada sektor industri perkayuan yang mempunayi kelembagaan dan peraturan
perudang-undangan yang cukup jelas dan mengikat. Beberapa hal tersebut yang kemudian
mendasari terbentuknya beberapa organisasi profesi international yang memfokuskan
kegiatannya pada komoditas hasil hutan bukan kayu, seperti Intenational society of etnobotany,
International society of Etnopharmacology, International Network on Bamboo and Rattan, dan
sebagainya.
e. Industri yang berskala kecil. Hasil hutan bukan kayu memegang peranan yang begitu penting
dalam skala lokal ataupun yang berskala tradisional dan tidak berskala luas. Ciri-ciri dari
kelompok ini di antaranya adalah transaksi hanya melibatkan antara petani, pengumpul dengan
pedagang atau tengkulak, dan tidak memiliki sistem tataniaga yang jelas atau baku. Bahkan pada
beberapa kasus, tata niaga in hanya bersifat barter. Hal ini menjadi salah satu sebab kenapa
perdagangan hasil hutan bukan kayu tidak dapat terdata dalam laporan statistik kehutanan.

Hasil Hutan Bukan Kayu 54


Karena skalanya kecil, dan lebih bersifat informal, ini menjadi salah satu sebab minimnya
keterlibatan pemerintah, baik dalam perencanaan dan pendanaan, dan pendampingan.
f. Nilai ekonomi hasil hutan bukan kayu tergantung kepada masyarakat sekitar hutan. Komoditas
hasil hutan bukan kayu dikumpulkan oleh masyarakar sekitar hutan yang memiliki pengetahuan
terbatas, tidak memahami harga pasar dan memiliki posisi tawar yang rendah. Petani biasanya
telah memiliki langganan pembeli/tengkulak yang tetap, dan pentani atau pengumpul
memperkejakan tenaga buruh harian dengan sistem borongan. Karena mengggunakan sistem
borongan, maka banyak komoditas hasil hutan bukan kayu yang salah panen atau penanganan.
Sistem in juga berpengaruh terhadap rusaknya potensi sumber daya hasil hutan bukan kayu.
Dalam masalah ini, isu utama dalam produksi dan perdagangan hasil hutan bukan kayu adalah
bagaimana memberdayakan masyarakat sekitar hutan dapat mendapatkan manfaat atau
keuntungan yang maksimal dari komoditas ini. Sehingga akan lebih efisien bila mendirikan
industri hasil hutan bukan kayu yang berlokasi dekat dengan sumber bahan baku. Sebagai
perbandingan, industri hasil hutan bukan kayu memerlukan investasi sekitar 1750 dollar AS (US
$ 1.750) per perkerjaan, dibandingkan dengan industri perminyakan, yang mana memerlukan
26250 dollar AS (US $ 26.250) per pekerjaan.
g. Belum tersedianya informasi tentang potensi hasil hutan bukan kayu (lact ofinventory).
Kurangnya data base tentang potensi, penyebaran dan keberagaman jenis-jenis hasil hutan bukan
kayu pada level nasional dan lokal, sangat menghambat perencanaan dan pengelolaan sumber
daya ini secara terintegrasi. Pada langkah awal, data dan informasi tentang potensi dari masing-
masing komoditas hasil hutan bukan kayu pada areal yang telah ditetapkan, dengan secara lebih
terperinci mutlak untuk dilakukan dandiperlukan.
h. Dominasi dari manajemen, regulasi dan eksploitasi kehutanan yang berorientasi kepada sektor
industri perkayuan. Lebih dari satu abad, perhatian penelitian dan pengembangan sektor
kehutanan dititik beratkan pada sektor perkayuan, seperti bagaimana menghasilkan kayu dengan
riap yang besar dalam waktu yang relatif singkat dengan teknik bioteknologi, kultur jaringan dan
teknik silvikultur. Hal ini sangat bertolak belakang dengan komoditas hasil hutan bekan kayu,
yang dapat dikatakan jalan ditempat. Padahal kenyataanya bahwa hasil hutan bukan kayu
dilapangan sangat berasosiasi sangat erat dengan kayu.
i. Domestikasi hasil hutan bukan kayu. Salah satu isu penting yang dapat dipertimbangkan adalah
pemanfaatan yang optimal melalui domestikasi dan pembudidayaan satu produk yang telah
mendapat tempat di pasar, sehingga dapat digantikan oleh produk yang sama tetapi dari areal
pembudidayaan seperti perkebunan kepala sawit (oil palm), karet (rubber), jambu mete (cashew),
Perkebunan kopi (coffee), coklat (cacao) dan rempah-rempahan jenis lada (pepper).
j. Sistem pemanenan yang tidak konsisten. Pemanenan yang berlebihan, tidak rasional, tanpa
menejemen yang professional, dan kurang adanya peraturan perundang-undangan yang tegas
telah menimbulkan perbedaan pandangan bagi para pengusaha dan pelaku bisnis komoditas ini
dilapangan. Hal ini cukup serius dan akan berdampak kepada kelestarian keanekaragaman hayati
komoditas tersebut. Penelitian di Indonesia menujukkan bahwa pemanenen rotan secara
konvensional dapat menghasilkan limbah sebesar 14-28%, dan limbah selama proses transportasi
dan selama proses penyimpanan sebesar 4–12%. Padahal dengan teknologi yang lebih baik,
limbah tersebut dapat ditekan menjadi lebih minimal, yaitu berkisar dari 4 - 6%.
k. Proses pengolahan yang tidak efisien. Hasil hutan bukan kayu biasanya dihasilkan oleh negara-
negara yang sedang berkembang, dan diolah dengan teknologi yang sederhana (tradisional),
modal terbatas dan keahlian yang rendah serta pemasaran yang terbatas. Karenanya komoditas
yang dihasilkan juga bermutu rendah, dan kebanyakan masih berupa barang setengah jadi. Di
daerah Kaimana dan Fak-fak, provinsi Papua barat, pohon pala adalah hasil hutan bukan kayu

Hasil Hutan Bukan Kayu 55


yang cukup dominan. Tetapi masyarakat lokal hanya mampu mengolah komoditas ini menjadi
tiga produk yaitu biji, bunga dan manisan. Khusus untuk manisan pala, hanya berskala lokal.
Sedangkan bunga dan biji dapat dijual dengan orientasi ekspor. Dengan sentuhan teknologi, biji
dan bunga dapat diolah menjadi komoditas minyak atsiri yang menghasilkan nilai tambah lebih
tinggi tentunya.
l. Tantangan dari bahan sintetik. Perkembangan dan teknologi plastik cukup berperan dalam
mengurangi kompetisi dari produk-produk hasil hutan bukan kayu, tetapi dengan adanya
kesadaran tentang bahan ramah lingkungan dapat memberikan secercah harapan akan tingginya
permintaan komoditas hasil hutan bukan kayu dimasa mendatang.

Untuk perkembangan kedepan, kerja sama pengembangan dan penelitian yang intensif dan
terintegrasi, dengan melibatkan para ahli diberbagai bidang ilmu dari berbagi instanti terkait sangat
diperlukan untuk mengantisipasi tingginya permintaan komoditas hasil hutan bukan kayu di pasaran.
Hal tersebut juga penting dilakukan untuk memanfaat potensi keanekaragman hayati hutan tropis
Indonesia, secara ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi. Contohnya adalah permintaan
berbagai jenis minyak atsiri untuk industri makanan dan minuman, komestik, dan obat-obatan yang
terus meningkat dari waktu ke waktu. Dengan berbagai kegiatan tersebut di atas, kesempatan kerja
dapat diciptakan, kesempatan berusaha juga dapat tercipta dengan sendirinya. Khusus untuk bidang
pendidikan dan penelitian, hal tersebut akan membuat nama peneliti-peneliti dan lembaga penelitian
indonesia akan semakin diakui kontribusinya dan diakui kepakarannya.
Hasil hutan bukan kayu juga memiliki beberapa ciri khusus atau karakteristik yang khas, bila
dibandingkan dengan komoditas hasil hutan utama (industri perkayuan). Beberapa karakteristik dari
hasil hutan bukan kayu tersebut telah diidentifikasi oleh Sumadiwangsa dan Setyawan (2001)
berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditentukan dan dirumuskan. Ringkasan dari karakteristik
komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK) dibandingkan dengan komoditas hasil hutan kayu tersebut
dapat diringkas dan disajikan pada Tabel 3 3.

Tabel 3.3. Perbandingan karakteristik Pengelolaan, pemanenan dan pemanfaatan Hasil Hutan
Bukan Kayu dibandingkan dengan Hasil Hutan Kayu.

No Kriteria Hasil Hutan Kayu Hasil Hutan Bukan Kayu


Bagian
1 pohon Batang Daun, getah, kulit, bunga, biji, kayu,
yang batang, buah, akar atau cabutan
dimanfaatkan Hewan (kulit, tanduk, satwa hidup)
Gabungan hewani dan nabati
Alam, jasa (non komersial,
komersial)
2 Cara pemanenan Penebangan Penyadapan, pemetikan,
pemangkasan, pemungutan,
perabutan, perburuan, penebangan
(pengubakan, isolasi).
Disiplin ilmu Kimia, biologi, fisika/mekanika
Fisika/mekanika
3 Efek pemanenan Merusak sekitar pohon Tanpa/sedikit merusak
4 Umur pohon 10 sampai 100 tahun Bulanan sampai 100 tahun atau
atau lebih lebih
5 Panen/umur Sekali Sekali sampai ratus kali
pohon

Hasil Hutan Bukan Kayu 56


6 Waktu Beberapa menit - jam Beberapa menit - puluhan tahun
panen/pohon
7 Hasil panen Kayu (ligno-selulosa) Komoditas dan jasa komoditas :
Aris (resin), minyak lebak, pati,
minyak atsiri, tanin, kayu, selulosa,
karet, protein, bahan obat, pestisida,
bumbu dapur, pewarna, penyamak
dan bahan industri lain
8 Daur produksi Riap diameter Riap produksi
9 Pasca panen Pengeringan, Pelayuan, pengeringan, perendaman
pengawetan (dalam air, tanah)
10 Pengolahan Penggergajian, Penggorengan, pengeringan,
veneering, chiping, isolasi/ekstraksi, penyulingan,
milling/choping, pembaraan, pengempaan, pelarutan,
panelling bioprosessing, seleksi/grading.
Disiplin ilmu
Fisika/mekanika sedikit Kimia, biologi dan sedikit
kimia dan biologi fisika/mekanika
11 Perubahan Fisik, sedikit kimia Kimia, biologi, fisika
bentuk
12 Areal Luas, modal besar Sempit - luas, modal kecil -
pengusahaan menengah
13 Skala Besar, menengah Kecil, menengah
pengusahaan
14 Peralatan/ Tinggi/menengah Sederhana, menengah
teknologi
15 Tahap pemakai Nasional, internasional Dipakai sendiri, nasional,
internasional
16 Macam Konstruksi (bangunan, Finishing, polishing, isolator,
pemakaian jembatan), mebeler, pangan, obat, kosmetik, pewangi,
kerajinan pewarna, insektida, minuman,
keperluan rumah tangga, bahan
industri, mebeler, kerajinan tangan
dan bahan industri lain
17 Keuntungan Pengusaha, Masyarakat sekitar hutan,
masyarakat, negara pengusaha, negara
18 AMDAL Degradasi lingkungan Tanpa atau sedikit degradasi
(terutama yang lingkungan
mengabaikan
kelestarian hutan dan
lingkungan)

Hasil Hutan Bukan Kayu 57


3.4. Pustaka

Asia-Pacific Forestry Commision (1998). Asia-Pacific Forestry Towards 2010. Report of The Asia-
Pacific Forestry Sector Outlook Study. Food and Agriculture Organization of The United
Nation, Rome Italy.
Asia-Pacific Foresty Commision, (1998). Non-Wood Forests Products Asia-Pacific Forestry Towards
2010. Report of The Asia-Pacific Forestry Sector Outlook Study. Food And Agricultural
Organization of The United Nation, Rome.

Wollenberg, E and A. Ingles (editors) (1998). Income from the Forest (2004). Methods for thr
development and conservation of forest products for local Community.. Center for
International Forestry Research (CIFOR) Bogor

Sumadiwangsa. S dan D. Setyawan (Buletin Vol. 2 No. 2 Th 2001).Konsepsi Strategi Penelitian Hasil
Hutan Bukan Kayu di Indonesia, .
Diakses dari www.dephut.go.id, pada tgl 12 Desember 2006

Hasil Hutan Bukan Kayu 58


BAB 4

POTENSI, PRODUKSI, DAN EKSPOR


KOMODITAS HASIL HUTAN BUKAN KAYU

4.1. Pendahuluan

Pokok bahasan tentang potensi, produksi, dan ekspor hasil hutan bukan kayu ini ditampilkan
dengan tujuan untuk melihat fakta, bagaimana potensi, produksi, peluang dan produk itu saling
berperan dan berkaitan. Apabila mengacu ke belakang pada babpertama tentang definisi hasil hutan
bukan kayu, dan bab kedua tentang penggolongan atau tata nama hasil hutan bukan kayu, kita dapat
melakukan analisis dan kajian berapa besar potensi HHBK yang kita miliki telah dipanen atau
diproduksi, diolah, diteliti, dan dapat menghasilkan nilai tambah yang lebih besar dibanding kalau
menjualnya dalam bentuk barang mentah atau setengah jadi.
Pokok bahasan ini penting karena potensi hasil hutan bukan kayu yang dapat diambil dari hutan
Indonesia sangat banyak atau berlimpah dan dapat diolah menjadi beragam komoditas, baik untuk
pasar lokal maupun ekspor. Tetapi pada kenyataanya, hanya beberapa komoditas hasil hutan kayu
tertentu saja, yang produksi dan perdangangannya didokumentasikan oleh instansi terkait. Sebagai
warga negara Indonesia, kita juga wajib mengenal beragam komoditas hasil hutan bukan kayu
tersebut dan sekaligus ikut memikirkan dan berperan aktif dalam mengelola, mengolah dan
melestarikannya.
Pada akhir pokok bahasan ini, mahasiswa diharapkan untuk memiliki kemampuan untuk dapat
melakukan:
1. Analisis tentang permasalahan dan pemecahan masalah terutama adanya gap atau perbedaan
antara potensi, produksi dan realitas ekspor HHBK
2. Menjabarkan permasalahan dan alternatif pemecahannya sebagai tindak lanjut dari point 1 di atas.
3. Membuat terobosan–terobosan dalam kampanye HHKB, termasuk potensi, produksi dan peluang
ekspornya.

4.2. Potensi

Pada pokok bahasan sebelumnya, yaitu pada bab ketiga, telah disinggung tentang adanya 150
jenis komoditas hasil hutan bukan kayu yang diperdagangkan diseluruh dunia. Sedangkan pada bab
kedua, terutama menurut penggolongan yang dibuat oleh SNI, terdapat kurang lebih sekitar 127 jenis
komoditas yang terbagi ke dalam 9 (sembilan) kelompok. Sehingga apabila dibandingkan, terdapat
sekitar 23 komoditas hasil hutan yang tidak termasuk dalam kelompok yang diperdagangkan didunia,
atau belum didokumentasikan, atau bahkan belum dimasukan ke dalam kelompok komoditas SNI.
Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa masih terdapat begitu banyak komoditas hasil hutan
bukan kayu yang belum kita sadari bahwa produk tersebut layak dan bernilai secara ekonomi.
Kelmopok tersebut terutama beberapa komoditas yang terdapat di luar pulau Jawa, seperti di
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua khusunya, karena mengingat masih luas dan aslinya hutan
alam di daerah tersebut, dan belum seluruh potensinya didata dan didokumentasikan.
Pertanyaanya sangat sederhana, kenapa masih banyak yang belum didata dan didokumentasikan?
Keanekaragaman hayati di Pulau Kalimantan, Sulawesi dan Papua yang tinggi, dan bila dikaitkan
dengan jumlah suku asli atau etnik yang mendiami pulau-pulau trersebut, akan menghasilkan
beberapa komoditas yang tidak ditemukan di Pulau Jawa. Fakta-fakta seperti ini yang menjadikan
komoditas hasil hutan bukan kayu di Indonesia sangat tinggi. Tetapi potensi tersebut masih berupa

Hasil Hutan Bukan Kayu 59


informasi- informasi yang berskala kualitatif, bukan data kuantitatif, seperti berupa luasan sebaran
dari masing-masing komoditas, potensinya per hektar dan standing stok di lapangan.
Permasalahan yang sangat mendasar adalah kegiatan mendokumentasikan, meneliti dan
mengembangkan potensi hasil hutan bukan kayu tersebut. Data tentang hasil hutan bukan kayu
kebanyakan bersifat kualitatif, yaitu banyak, tinggi dan beragam, tetapi belum ada angka yang pasti
berapa jumlah nominal atau pastinya. Diperlukan pengorbanan, biaya, tenaga yang cukup besar untuk
dapat memperoleh potensi hasil hutan bukan kayu yang pasti pada berbagai daerah tersebut.
Penelitian yang intensif, terarah dan berkesinambungan serta terintegrasi kiranya dapat memperoleh
data yang pasti tentang potensi komoditas tersebut di lapangan.
Selain beberapa faktor penghambat di atas, salah satu kendala yang dihadapi dalam melakukan
penelitian untuk memperoleh potensi komoditas hasil hutan bukan kayu adalah karakteristiknya yang
beragam, seperti penyebarannya yang tidak merata, terpencar-pencar, berukuran relatif kecil bila
dibandingkan dengan pohon, memerlukan alokasi waktu yang lebih banyak. Karena variabel
penelitian dari masing-masing komoditas hasil hutan bukan kayu adalah tidak sama, sehingga
diperlukan investasi penelitian yang besar dengan nilai komersiil yang kecil bila dibandingkan dengan
pohon.
Berikut ini adalah potensi beberapa komoditas hasil hutan bukan kayu yang didokumentasikan
oleh Dinas Kehutanan Papua sampai dengan bulan september 2007, yang selengkapnya diringkas
pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Potensi komoditas hasil hutan bukan kayu di provinsi Papua.

No Komoditas/ Potensi
Jenis Luas (ha) Volume Penyebaran

1 Rotan 2.215.625 2.062,22 Kab. Nabire, Manokwari, Jayapura dan


kg/ha Kab. Merauke
2 Sagu 4.769.548 *) 5,67 Kab. Sorong, Manokwari, Jayapura,
14.000**) batang/ha Merauke, dan Yapen Waropen
3 Nipah 1.150.000 na na
4 Kayu na na Kaimana, Fakfak, Sorong, Jayapura,
Lawang Nabire, Merauke dan Manokwari.
5 Kayu Masoi na na Kab. Manokwari, Fakfak, Kaimana,
Jayapura dan Nabire
6 Kayu Putih na na Kab. Merauke
7 Lebah Madu na na Kab. Jayapura, Jayawijaya dan Yapen
waropen
8 Kayu na na Kab. Jayapura, Jayawijaya, Merauke,
Gaharu Nabire, Enarotali dan Manokwari.
9 Buaya na na na
10 Kupu-kupu (65.325 Ha) 70 jenis Peg. Arfak, Manokwari

11 Damar na na Jayapura, Sorong, Biak, Nabie, Serui


dan Manokwari
12 Aves na na na
13 Reptil na na na
14 Insecta na na na
15 Jasa Hutan na na na

Hasil Hutan Bukan Kayu 60


Keterangan : na : not availableSumber: www.kehutanan.papua.go.id, tanggal 24 September 2007

Tabel 4.1 di atas memberikan gambaran bahwa komoditas hasil hutan bukan kayu yang
dihasilkan oleh Papua hanya 15 komoditas. Kelima belas komoditas inipun belum sepenuhnya
didokumentasikan dengan lengkap, menyakut luasnya, standing stok dilapangan, dan juga
produksinya. Informasi yang dimuat pada tabel 4.1 di atas juga kebanyakan masih bersifat kualitatif,
belum berupa data hasil penelitian lapang yang akurat. Lebih lanjut dapat dijelaskan, bahwa
komoditas hasil hutan bukan kayu dari daerah Papua tersebut, sebagian besara adalah masih berupa
bahan mentah atau baku, yang memerlukan pengolahan lebih lanjut.
Kenyataan dilapangan, beberapa komoditas hasil hutan bukan kayu yang lain, seperti tumbuhan
Anggrek, tumbuhan obat, kulit kayu, aren, buah merah, sarang semut, berbagai jenis buah-buahan dari
hutan dan bambu memiliki potensi yang sangat melimpah diPapua. Tetapi kenyataanya, potensi
tersebut belum dimasukkan dalam komoditas hasil hutan bukan kayu oleh dinas kehutanan Papua.
Padahal, komoditas tersebut juga banyak dimanfaatkan oleh penduduk lokal dan beberapa komoditas
memiliki nilai ekonomi yang tinggi.

4.3. Keanekaragaman Produk

Produk komoditas hasil hutan bukan kayu yang memberikan nilai devisa paling besar adalah
yang berasal dari diversifikasi produk-produk rotan, terutama dalam bentuk permebelan (furniture).
Produk-produk mebel ini bukan hanya terbuat dari bahan baku rotan, tetapi juga yang berasal dari
kayu atau mebel dari kayu. Hal ini menjadi alasan karena kayu tropis Indonesia memiliki tingkat
kekerasan yang tinggi, nilai dekoratif yang khas, sehingga menarik untuk dijadikan furniture. Di
samping itu kayu-kayu triopis juga memiliki warna dan karakteristik yang unik.
Data terakhir yang dikutip oleh Hamzirwan (2007) menunjukkan bahwa pada tahun 2005,
realisasi nilai ekspor produk mebel Indonesia mencapai 1,9 miliar dollar AS dengan volume sebesar
800 ton, dan nilai tersebut meningkat menjadi Rp. 2,2 miliar dollar AS pada tahun 2006, atau nilai
ekspor tersebut meningkat sebesar 16% dengan pertumbuhan ekspor sekitar 7 persen per tahun.
Peningkatan ini dikarenakan oleh adanya beberapa dukungan pemerintah seperti penetapan industri
mebel sebagai industri yang berorientasi ekspor dan juga adanya larangan ekspor rotan asalan dan
kayu gelondongan. Oleh karena itu pihak Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia
(ASMINDO) pada tahun 2007 berani menargetkan pertumbuhan ekspor mebel menjadi 10 persen,
dengan total nilai ekspor mencapai Rp. 2,5 miliar dollar AS. Data ASMINDO yang dikutip oleh
Hamzirwan (2007) menunjukkan bahwa ekspor produksi mebel dan kerajinan Indonesia sebanyak
75% adalah berbentuk furnitur kayu, 20 furnitur rotan, dan sisanya sekitar 5% adalah campuran
furnitur dari bambu, metal, plastik dan lainnya.
Asumsi yang dipergunakan untuk mempredikti peningkatan pertumbuhan ekspor mebel tersebut
didasarkan pada beberapa asumsi yaitu keunggulan komperatif yang dimiliki oleh negara kita, yaitu
melimpahnya sumber bahan baku, tenaga kerja yang murah, dibandingkan negara-negara pesaing kita
seperti China, Thailand, Singapura, Malaysia dan negara lainnya. Untuk itu diperlunya usaha-usaha
untuk menjaga hutan kita agar terus tetap berproduksi menghasilkan bakan baku mebel, baik yang
berbahan baku rotan maupun kayu. Dikatakan lebih lanjut bahwa dengan jumlah jenis kayu yang lebih
dari 200 jenis, dandari jumlah tersebut sangat berpotensi untuk dipergunakan sebagai bahan baku
mebel dan kerajinan, sehingga bukan hanya monopoli kayu kayu Jati (Tectona gandiis), atau Mahoni
(Switeniamahagony) saja.Potensi kerajian dan mebel tersebut belum termasuk kayu yang berasal dari
Indonesia timur, seperti Papua, yang telah dimanfaatkan untuk pembuatan mebel-mebel lokal tetapi
berkualitas ekspor. Kayu-kayu tersebut adalah kayu Merbau (Instia spp), Dao (Dracontomellum
edule), Sonokembang (Pterocarpusindicus) dan Matoa (Pometia spp) serta jenis-jenis kayu yang
belum diperkenalkan ke pasaran.

Hasil Hutan Bukan Kayu 61


Industri mebel dan kerajinan kayu juga bersifat padat karya, yang mampu menyerap tenaga kerja
sebanyak 10 juta pekerja, Hamzirwan (2007). Hal tersebut dikarenakan industri mebel dan kerajinan
adalah industri yang saling menunjang, yaitu ada yang khusus membuat kerangka kursi/mebel, ada
yang mengukir, mengamplas, mendempul, mengamplas dan beberapa rangkaian usaha lainnya.
Industri mebel kayu skala lokal, khusus di wilayah Papua, yang diperuntukan untuk memenuhi
kebutuhan lokal seperti kusen, meja dan lemari serta bangku-bangku sekolah.
Gambaran profil industri mebel skala lokal di provinsi Papua disajikan Gambar 4.1 dan Gambar
4.2. berikut ini.

Foto: Wahyudi dan Sineri (2006)


Gambar4.1. Profil tukang kayu lokal di teluk Wondama, Papua Barat.

Foto: Wahyudi dan Sineri (2006)


Gambar 4.2. Produk mebel yang dipruntukkan untuk bangku siswa Sekolah Dasar (SD)

4.4. Produksi dan Ekspor

Departemen kehutanan dalam hal ini, Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan (2004) telah
merangkum data produksi komoditas hasil hutan bukan kayu selama sepuluh tahun terakhir, yaitu dari
tahun 1995 – 2004. Rangkuman tersebut seperti ditampilkan pada Tabel 4.1. Dari tabel tersebut

Hasil Hutan Bukan Kayu 62


terlihat bahwa terdapat beberapa produksi HHBK pada tahun tertentu yang kosong atau tidak tercatat
di departemen kehutanan, seperti Kemendangan, Arang dan Getah pinus yang tidak tercatat dari tahun
1995 - 20002.
Kalau kita melihat ke Bab 2 pada Tabel 2.1 terdapat 126 jenis komoditas Hasil Hutan Bukan
Kayu berdasarkan Standar Nasional Indonesia SNI 01-5010.4-2002. Informasi yang disajikan oleh
Tabel 4.1 yaitu tetang produksi komoditas hasil hutan bukan kayu, di mana hanya tercatat sebanyak
12 jenis komoditas. Kalau dibandingkan dengan jumlah total jenis komoditas HHBK, maka yang
tercatat produksinya hanya sekitar 9.5% . Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan kepada kita,
bagaimana dengan produksi komoditas HHBK yang di luar 12 tersebut atau yang 85% ke mana?.
Apakah tidak ada produksinya, tidak dilaporkan atau memang adanya kekurang tahuan dari pelaku
dilapangan tentang komoditas HHBK tersebut.
Contoh yang mungkin jelas adalah komoditas rotan, yang tercatat dalam dalam produksi adalah
total produksi rotan, sedangkan dalam tata nama hasil hutan, terdapat sekitar 18 turunan produk atau
diversifikasi produk yang dapat diturunkan dari rotan, seperti kulit rotan, hati rotan, rotan bundar
W&S dan produk turunann lainnya.
Hal yang sama juga terjadi pada kelompok minyak atsiri, dari 20 jenis minyak atsiri, yang
dilaporkan produksinya hanya minyak kayu putih. Kenyataan dilapangan menunjukkan banyak
minyak atsiri lainnya yang tidak dilaporkan produksinya, seperti minyak lawang, minyak cendana,
minyak kayu masohi dan sejenisnya.
Informasi mengenai nilai ekspor komoditas hasil hutan bukan kayu dari tahun 2000-2004 yang
tercatat di departemen kehutanan disajikan pada Tabel 4.2. Tabel tersebut menjelaskan bahwa ekspor
komoditas hasil hutan bukan kayu memberikan kontribusi yang relatif kecil, dibandingkan dengan
nilai ekspor dari hasil hutan kayu. Kecilnya nilai kontribusi tersebut juga dapat terlihat dari sedikitnya
jumlah komoditas HHBK yang menembus pasaran ekspor, yaitu hanya 8 komoditas, dibandingkan
dengan jumlah komoditas HHBK yang mencapai 126 jenis. Hal ini hanya sekitar 6% dari keseluruhan
jenis komoditas.
Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak seluruh komoditas HHBK yang diekspor tercatat atau
dilaporkan ke instansi kehutanan, baik pada tingkat lokal dan tingkat nasional. Komoditas seperti kulit
buaya yang pada kenyataanya dilapangan banyak dimanfaatkan untuk bahan baku kerajinan tangan
kulit, seperti tas, sabuk/ikat pinggang, dompet dan sejenisnya tidak tercatat di komoditas HHBK yang
diekspor.
Berikutnya adalah nilai ekspor komoditas Gaharu sampai dengan kondisi tanggal 31 juli 2007,
yang selengkapnya disajikan pada Tabel 4.3. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa komoditas gaharu
yang dipanen seluruhnya diambil dari hutan, bukan dari areal budi daya. Data yang disajikan dalam
tebel tersebut juga sulit untuk dipahakami maksudnya, karena terdapat kuota yang kosong, tetapi
realisasinya tercapai dan sebaliknya. Komoditas gaharu adalah komoditas hasil hutan bukan kayu
yang paling banyak diburu oleh para pengumpul dan pedagang. Khusus di Papua, pencarian
komoditas ini dilakukan dengan menjelajahi hutan belantara, tanpa mempertimbangkan batas wilayah
administrasi, tetapi mempertimbangkan masalah batas adat hutan masyarakat lokal setempat. Pencari
gaharu menghabiskan waktu di hutanselama berbulan-bulan.
Komoditas hasil hutan bukan kayu lainnya yang dapatdiekspor untuk menghasilkan devisa
adalah dari golongan mamalia. Data realisasi ekspor satwa liar, jenis mamalia per 31 Juli 2007
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.4. Hasil hutan bukan kayu dari kelompok satwa liar ini,
khususnya mamalia, masih tebuka lebar. Hal ini ditunjukkan oleh adanya beberap kuota yang belum
terpenuhi, seperti jenis rusa, yang masih kekurangan sebanyak 39 000 ekor dan bajing kelapa
sebanyak 3180 ekor. Potensi ini apabila dapat dimanfaatkan dengan baik, akan membuka banyak
lapangan kerja dan kesempatan berusaha.

Hasil Hutan Bukan Kayu 63


Contoh lain yang juga sedang berkembang di masyarakat, adalah komoditas dari biji jarak, yang
digolongkan dalam kelompok minyak lemak, buah-buahan yang diambil dari hutan, aneka produk dan
olahan satwa belum semuanya dilaporkan nilai perdangangannya.
Produk HHBK lainnya yang sangat berpotensi untukmenghasilkan devisa, dan belum di muat
dalam Tabel 2.1 adalah produk kimia bahan alam (naturalproducts of chemistry), atau yang lebih
populer dengan sebutan senyawa bio-aktif. Beberapa media lokal, nasional dan bahkan internsional
melaporkan bahwa hutan tropis Indonesia, seperti Kalimantan, Sumatra, Sulawesi dan Papua, memilki
keanekaragaman jenis yang tinggi, dan berpotensi untuk dijadikan sebagai surga bagi penelitian obat-
obatan modern, untuk penyakit-penyakit degeneratif seperti kanker, tumor, HIV/IDS dan malaria.
Bahkan organisasi lingkungan dunia WWF, menyebut hutan Kalimantan sebagai harta karun berharga
untuk potensi dan penelitian tanaman obat-obatan, Kompas 27 April 2006.
Kelompok komoditas HHBK lainnya yang memiliki nilai ekonomi yang sangat luar biasa adalah
produk jasa, dan yang mudah untuk ditentukan adalah jasa dari fungsi pariwisata dan hidrologis.
Informasi yang diberikan oleh Tabel 2.1, Tabel 4.1 sampai dengan Tabel 4.4belum memasukkan
produk jasa dari hutan (forest services). Perusahaan-perusahan yang bergerak dibidang pengusahaan
hutan, khusunya BUMN seperti Perhutani, banyak yang mengelola jasa hutan dalam bentuk ekowisata
atau ekoturisme khususnya di pulau Jawa. Kenyataan dilapangan objek-objek ekowisata tersebut
banyak diminati oleh para wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Tetapi nilai produk jasa
dari ekoturisme ini belum dicatatat sebagaimana komoditas HHBK lainnyapada Tabel 4.2.
Khusus untuk produk jasa yang termasuk dalam perdagangan karbon, mungkin untuk saat ini
masih cukup sulit untuk dihitung, diterapkan dan dimasukkan sebagai salah satu komoditas ekspor
yang nilai definitifnya dapat ditentukan. Hal ini terkait dengan mekanisme pengaturannya, juga masih
adanya perbedaan persepsi dan pemahaman di antara negara-negara penandatangan protokol Kyoto
sendiri, baik itu dari negara industri maju, yang menghasilkan emisi, maupun negara-negara
berkembang yang memiliki hutan.
Pelajaran yang dapat kita ambil dari informasi yang disajikan pada Tabel 2.1 tentang tata nama
hasil hutan, khususnya pengelompokan atau komoditas hasil hutan bukan kayu, Tabel 4.1 tentang
produksi komoditas HHBK dan Tabel 4.2 tentang nilai ekport HHKB, bahwa masih banyak
komoditas HHBK yang produksi dan nilai perdagangannya belum dicatat. Hal tersebut dapat
disebabkan oleh berbagai faktor penyebab, bisa dikarenakan kekurang pahaman petugas kehutanan,
produsen, dan eksportir HHBK tentang regulasi, advokasi dan sejenisnya. Keragaman jenis komoditas
HHBK yang sangat beragam, juga berperan dalam mendukung ketidak lengkapan data, karena banyak
instansi dan stakeholder yang terlibat.

Hasil Hutan Bukan Kayu 64


Tabel 4.2. Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu Sepuluh Tahun Terakhir

Jenis Komoditas
No Tahun Rotan Gondorukem Damar Sagu Terpentin Sutera Kopal Getah Arang Kemen M.Kayu Putih
(Year) (Rattan) (Gum resin) (Resin) (Sago) (Turpentin) (Silk) (Copal) Pinus dangan (Conjuputi oil)
(Ton) (Ton) (Ton) (Ton) (Ton) (Kg) (Ton) (Ton) (Ton) (Ton) (liter)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13)
1 1995/96 36.256 47.960 3.859 - 8.975 13.225 816 - - - 235.497
2 1996/97 51.564 53.736 1.556 - 10.294 9.677 821 - - - 469.948
3 1997/98 32.389 69.658 6.423 3.944 13.700 13.440 764 - - - 331.457
4 1998/99 62.644 43.785 7.887 1.479 7.633 13.279 518 - - - 357.035
5 1999/00 38.417 24.025 6.310 585 2.667 1.911 114 - - - 63.465
6 2000 94.752 - 3.342 114 - - 647 - - - -
7 2001 23.836 580 2.291 - - - 428 - - - -
8 2002 17.779 - 1.131 - - - 442 - - - 27.925
9 2003*) 127.295 4.592 4.401 - 544 - 403 84.08 3.261 12 28.138
3
10 2004 1.880.50 38.435 2.722.86 - 7.684 - 318 - - - 31.978
3 6
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan; www.dephut.co.id.

Tabel 4.3. Total nilai ekspor komoditas hasil Hutan bukan kayu selama 5 tahun terakhir

No Jenis Satuan Tahun/Years


Comodities Units 2000 2001 2002 2003 2004
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1 Rotan ton 18.701 24.116 22.999 32.476 31.600
6..1.1. Rattan ribu US$ 11.619,45 13.844,48 13.692,74 20.588,54 20.834,07
2 Arang kayu ton 77..574 54.480 50.319 38.489 73.100

Hasil Hutan Bukan Kayu 65


Wood charcoal ribu US$ 18.439,24 9.970,86 8.526,47 5.883,41 12.172,44
3 Bahan Penyamak/Gambir ton 11. 533 14.231 13.820 8.920 17.478
6..1.2. Tanner/Gambir ribu US$ 14.701,69 18.040,74 15.731,46 9.689,25 18.232,16
4 Minyak Atsiri ton 5.797 7.748 6.809 6.904 6.563
6..1.3. Atsiri oils ribu US$ 55.965,07 72.562,39 71.003,92 66.407,00 71.025,73
5 Sirlak, Getah & Damar ton 2.437 3.232 3.121 4.953 4.139
6..1.4. Varnish, Gum &Resin ribu US$ 1.522,96 1.866,32 1.508,70 2.057,14 2.174,48
6 Terpentin ton 5.587 3.667 5.530 5.495 6.794
6..1.5. Turpentin ribu US$ 1.349,73 1.625,57 2.555,66 2.277,21 3.357,99
7 Bambu ton 2.913 2.621 1.578 4.463 4.847
6..1.6. Bamboo ribu US$ 1.160,12 1.231,51 1.067,65 1.885,93 2.105,04
8 Anyaman Bambu ton 21.368 21.368 22.609 22.682 13.473
6..1.7. Rattan Plaited Goods ribu US$ 53.292,65 53.292,65 53.305,83 45.904,03 30.802,47
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan; www.dephut.co.id/…..

Tabel 4.4. Realisasi ekspor komoditas Gaharu yang langsung diambil dari hutan per Juli 2007

No Nama Kuota Realisasi Sisa kuota


(Kg/s)
Latin Inggris Lokal
1 Aquilaria filaria Agarwood Gaharu Irian 76000 17,800 58200
2 Aquilaria filaria Agarwood Gaharu Irian 0 137,565
3 Aquilaria filaria... (stock) Agarwood Gaharu Irian 0 203,441
4 Aquilaria malacensis Agarwood Gaharu (Gubal &Kemendangan) 30000 9,014 20986
5 Aquilaria malacensis Agarwood Gaharu 0 40,000
6 Aquilaria malacensis.. (stock) Agarwood Gaharu 0 47,010
7 Gyrinops spp Agarwood Gaharu 0 32,500
Sumber: www.dephut.go.id, tanggal 26 September 2007

Hasil Hutan Bukan Kayu 66


Tabel 4.5. Realisasi ekspor satwa liar jenis mamalia per 31 Juli 2007 yang diambil dari hutan belantara (bukan penangkaran)

No Nama Kuota Realisasi Sisa kuota


Latin Inggris Lokal
1 Hylobates moloch Silvery gibbon Owa Jawa 0 5
2 Pongo abelli Sumatran orang utan Orang utan sumatera 0 1
3 Pongo pygmaeus (blood) Orang utan Orang utan 0 45
4 Pongo pygmaeus (feces) Orang utan Orang utan 0 220
5 Pongo pygmaeus (plasm) Orang utan Orang utan 0 45
6 Pongo pygmaeus wumbii (impor) Orang utan Orang utan 0 4
7 Pongo pygmaeus Orang utan Orang utan 0 1
8 Macaca nigra (extract DNA) Black macaques Monyet hitam sulawesi 0 390
9 Macaca nigra (feces) Black monkey Kera hitam 0 1130
10 Pteropus vampirus Common flying fox Kalong kapauk 900 50 850
11 Odobenus rosmarus Walrus Walrus 0 90
12 Callosciurus notatus Plantain squirel Bajing kelapa 4050 870 3180
13 Callosciurus prevostii Propost, s squirel Bajing bergarisp utih 135 67 68
14 Cervus timorences (hom) Deer Rusa timor 52000 13000 39000
15 Dactylopsila trivirgata Common stipped Bajing bergantung bergaris 180 112 68
possum
16 Macropus gigantus Eastern grey kangaroo Kanguru 0 1585
17 Macropus rupus Red kangaroo Kanguru 0 1854
18 Paradoxurus hermaphroditus Common palm Civet Luwak Jawa 180 30 150
19 Petaurus breviceps Sugar gilders Tikus kelapa 900 498 402
20 Sus barbatus Bearded Babi liar 0 11
21 Sus scrota Wild pig celeng 0 2
22 Sus verrucosus Javan warty pig Babi kutil 0 20
23 Vivericula malaccensis Small indian civet Musang rase 113 41 72
24 Viverra tangalunga Malayan civet Tenggalung malaya 90 28 62
Sumber: www.dephut.go.id, tanggal 26 September 2007

Hasil Hutan Bukan Kayu 67


4.5. Pustaka

Hamzirwam (2007). Industri Mebel, jurus baru kuasai pasar Global. Kompas, 23 Februari 2007.
PP 21
Harian Kompas edisi 27 April 2006.Tanaman-tanaman Obat di Kalimantan Terancam Hilang.
Standar Nasional Indonesia (2002). SNI 01-5010.4-2002, Tata Nama Hasil Hutan. Badan
Standarisasi Nasional .
Sumadiwangsa. S dan D. Setyawan (Buletin Vol. 2 No. 2 Th 2001).Konsepsi Strategi
Penelitian Hasil Hutan Bukan Kayu di Indonesia. www.dephut.go.id.
diakses tgl 12 Desember 2006
Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan (2004). Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu
Sepuluh Tahun Terakhir ;www.dephut.co.id. Diakses tanggal 20 Juni 2007
Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan (2004). Total nilai ekport komoditas hasil Hutan
bukan kayu selama 5 tahun terakhir. www.dephut.co.id. Diakses tanggal 20 Juni
2007
Departemen Kehutanan (2007). Realisasi ekspor komoditas Gaharu yang langsung diambil dari
hutan per Juli 2007. www.dephut.go.id, tanggal 26 September 2007
Realisasi ekspor satwa liar jenis mamalia per 31 Juli 2007 yang diambil dari hutan belantara
(bukan penangkaran) . www.dephut.go.id, tanggal 26 September 2007

Hasil Hutan Bukan Kayu 68


BAB 5

POLA PRODUKSI, SISTEM PASAR DAN


KELEMBAGAAN PEMASARAN

5.1. Pendahuluan

Tiga isu yang sangat mendasar dalam komoditas hasil hutan bukan kayu adalah potensinya
yang belum dapat diketahui dengan pasti, teknologi pengolahan yang sederhana, dan
kelembagaan pemasaran yang beragam atau lebih bersifat informal. Potensi hasil hutan bukan
kayu yang ada saat ini masih terbatas kepada asumsi-asumsi yang diperoleh dari kegiatan
survey pendahuluan, informasi dari masyarakat setempat. Inventarisasi yang intensif seperti
layaknya dilakukan terhadap komoditas hasil hutan kayu belum dilaksanakan. Hal ini
dikarenakan sifat komoditas hasil hutan bukan kayu sendiri yang beragam, tersebar tidak
merata, atau hanya terdapat pada daerah-daerah tertentu dengan intensitas atau potensi yang
rendah.
Teknologi pengolahan komoditas hasil hutan bukan kayu juga sangat beragam, teknologi
yang digunakan di daerah satu berbeda dengan daerah lainnya. Hal ini berkenaan dengan sifat
komoditas hasil hutan bukan kayu yang kebanyakan dimanfaatkan oleh penduduk lokal,
terutama untuk keperluan sehari-hari, sehingga cara pengolahan, teknik pengolahan dan tujuan
pengolahannya sangat tergantung kepada kepentingan dan teknologi yang dimiliki oleh
masyarakat tersebut.Proses perencanaan produksi, pengawasan mutu, dan perlakuan paska
produksi, pada kebanyakan juga belum banyak dilakukan oleh pelaku usaha komoditas ini.
Pemasaran komoditas hasil hutan bukan kayu pada beberapa daerah masih menggunakan
sistem barter, penduduk lokal hanya bertugas sebagai pemetik atau pengumpul, sehingga harga
mutlak ditentukan oleh para pembeli atau tengkulak. Penjualan komoditas hasil hutan bukan
kayu juga kebanyakan hanya di pasar-pasar tradisional, sehingga kurang mendapat perhatian
pelaku usaha lainnya.
Pokok bahasan kelima ini, akan membahas beberapa kasus tentang pemasaran atau tata
niaga perdagangan komoditas hasil hutan bukan kayu yang belum memiliki kelembagaan yang
jelas. Pokok bahasan ini tidak berlaku untuk beberapa produk yang telah terbentuk asosiasinya,
seperti Rotan dan bebeapa produk sejenisnya.
Diharapkan setelah menyelesaikan pokok bahasan bab kelima ini mahasiswa mampu
untuk:
Mengambarkan rantai pemasaran berbagai komoditas hasil hutan yang telah memiliki
organisasi atau kelembagaan pemasaran yang ada.
Mengambarkan rantai pemasaran produk HHBK yang belum memiliki kelembagaan.
Membuat kajian rantai pemasaran alternatif, khusunya untuk komoditas HHBK yang
memerlukan teknologi pengolahan yang minimal.

5.2. Pola Produksi

Salah satu karakterisik yang khas dari komoditashasil hutan bukan kayu adalah bahwa
komoditas tersebut dipanen langsung dari hutan alam, kebun tradisional, atau hutan adat dari
masyarakat adat, bukan dari areal budi daya. Karakteristik berikutnya adalah komoditas ini

Hasil Hutan Bukan Kayu 69


dipanen dengan tujuan utama untuk di konsumsi, dan apabila hasil panen melebihi yang
dikonsumsi, baru dijual. Komoditas hasil hutan bukan kayu ini pada kebanyakan hanya dijual
pada pasar lokal, dengan sedikit pengolahan atau bahkan tanpa sentuhan teknologi dan
pengolahan yang minimal. Karekteristik penting lainnya adalah fakta dimasyarakat bahwa
aktivitas pemanenan atau pemunggutan komoditas hasil hutan hutan bukan kayu tersebut
hanyalah pekerjaan sampingan. Pekerjaan sampingan karena, sebagain masyarakat berpendapat
bahwa komoditas hasil hutan bukan kayu tidak dapat dijadikan sebagai pekerjaan utama atau
sebagai sumber penghasilan utama pendapatan.
Masyarakat memerlukan dana yang cepat atau cash, dan caranya adalah menjual komoditas
hasil hutan bukan kayu pada pasar lokal atau para pedangan pengumpul yang mengunjungi
mereka. Karenanya komoditas tersebut kebanyakan memiliki nilai jual yang sangat rendah, dan
bahkan terkadang hal ini yang memungkinkan terjadinya perdangangan barter, baik sesama
petani maupun petani dengan pendagang pengumpul. Khusus perdagangan sistem barter, khusus
di Papua atau Indonesia pada umumnya, hanya ditemukan pada daerah-daerah yang masih
terisolir, seperti pengunungan dan kepulauan terpencil yang memeiliki akses dan frekwensi
interaksi dengan dunia luar yang minim.
Hal ini sangat berbeda dengan komoditas hasil hutan bukan kayu, seperti kayu misalnya,
yang memilki prosedur yang baku yaitu bagaimana bahan baku kayu tersebut harus diolah dan
dijaga kualitasnya. Perlakuan-perlakuan awal setelah penebangan telah dibuat dalam suatu
metode kerja yang telah dibakukan, baik oleh perusahaan dan juga oleh pemerintah. Walaupun
harus berinvestas pada daerah-daerah terpencil atau pegunugan dengan sarana yang minimal,
komoditas hasil hutan kayu masih mampu menarik investor untuk berinvestasi. Karena
komoditas kayu menjanjikan keuntungan yang besar dan modal investasi dapat kembali dalam
waktu relatif singkat. Hal ini berbalik dengan komoditas hasil hutan bukan kayu, yang belum
menarik investor besar untuk berinvestasi.
Produksi komoditas hasil hutan bukan kayu kebanyakan dipanen dari hutan alam, dan
hanya sebagian kecil yang merupakan hasil budi daya atau penangkaran. Apabila ada usaha
budi daya, usaha tersebut juga kebanyakan berlokasi dikawasan hutan atau areal perkebunan
dari masyarakat setempat yang berskala kecil.Kawasan hutan alam tersebut mengacu kepada
kawasan hutan yang dimiliki oleh masyarakat lokal setempat, atau lebih dikenal dengan hutan
masyarakat adat. Karena bersifat hutan masyarakat adat, maka kepemilikan hutan tersebut
adalah komunal, yaitu sebagai milik bersama. Potensi hutan baik kayu maupun hasil bukan
kayu yang di dalamnya adalah milik bersama dan dapat dipanen, diolah maupun dijual dengan
persetujuan bersama pula. Komoditas yang bernilai ekonomi tinggi, seperti kayu, maka
masyarakat lokal memiliki aturan-aturan yang tidak tertulis, baku dan dipatuhi oleh seluruh
anggota masyarakat. Aturan-aturan tersebut yang kemudian kita terjemahkan dengan kearifan
atau pengetahuan lokal (indigenous knowledge). Sedangkan untuk komoditas hasil hutan bukan
kayu, masyarakat biasanya telah membagi daerah-daerah tertentu untuk beberapa marga atau
famili yang ada dalam masyarakat adat tersebut.
Pola rantai produksi komoditas hasil hutan bukan kayu pada kebanyakan adalah pola yang
tersembunyi atau informal. Beberapa pola rantai produksi yang terjadi adalah:
Petani barter dengan petani lainnya. Pada rantai produksi ini petani melakukan barter
dengan penduduk lainnya yang masih berada dalam lingkungannya, karena adanya
kesamaan perasaan dan sosila budaya sesama anggota masyarakat adat dan sumber daya
hutan masyarakat adat yang mereka miliki bersama. Barter komoditas hasil hutan bukan
kayu dapat dilakukan baik sesama komoditas, maupun produk lain yang diinginkannya
sesuai dengan kesepakatan. Jenis-jenis komoditas yang dibarter sesama anggota

Hasil Hutan Bukan Kayu 70


masyarakat adat ini kebanyakan adalah jenis-jenis komoditas untuk tujuan sehari-hari,
seperti bahan makanan, minuman, hewan hasil buruan dan beberapa komoditas lainnya.
Khusus untuk bahan makanan, seperti hasil tokok (ekstrak) sagu, masyarakat melakukan
barternya dalam bentuk sagu mentah dalam ukuran tumang (bahasa lokal). Satu tumang
kira-kira beratnya sekitar 20-30 kg, tergantung besar kecilnya ukuran tumang tersebut.
Salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu, yaitu hasil ekstrak sagu (Tumang) di daerah
Papua dapat dilihat pada Gambar 5.1.

Foto: Istalaksana (2005)


Gambar 5.1. Tumang sagu yang berasal dari daerah Sentani, Jayapura, Papua.

Petani menjual komoditasnya langsung ke pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul


pada saat saat tertentu, musim panen atau perioda tertentu, datang kemasyarakat untuk
membeli komoditas hasil hutan tertentu yang terdapat pada daerah tersebut. Pada saat-saat
tertentu juga dimungkinkan terjadinya barter, yaitu menukar komoditas hasil hutanbukan
kayu dengan pakaian, perkakas rumah tangga atau barang lainnya sesuai dengan
kesepakatan.
Petani menjual komoditasnya langsung ke konsumen ke pasar lokal. Komoditas hasil hutan
bukan kayu tertentu kebanyakan dijual langsung ke pasar lokal (tradisional), baik yang
masih merupakan bahan mentah maupun komoditas yang telah diolah menjadi bahan
setengah jadi. Komoditas yang dijual masih mentah contohnya seperti sayur-sayuran dari
hutan (daun pakis), jamur kayu, buah merah, maupun daging hewan hasil buruan.
Sedangkan yang telah diolah menjadi bahan setengah jadi, seperti sari buah merah, minyak
lawang, biji kolang kaling dan sebagainya.
Petani menjual komoditasnya ke pedagang besar. Komoditas hasil hutan bukan kayu yang
dijual langsung ke pedagang besar, biasanya komoditas yang memiliki nilai jual yang
tinggi, seperti Gaharu. Pola ini terjadi hanya pada beberapa masyarakat adat yang telah
memiliki akses berdomisili didekat daerah perkotaan.

Hasil Hutan Bukan Kayu 71


5.3. Rantai Pemasaran (Maket Chain)

Menurut Lecup dkk (1998) rantai pemasaran (Market chain) adalah urutan tahapan
(sequence of stages) yang mana suatu komoditas dijualdan dibeli. Analisis rantai pemasaran
mengikuti pergerakan komoditas dari petani/pemetik/pemanen (harvestesr), pengolah
(processors), pedagang (traders) sampai kepada konsumen akhir.
Rantai pemasaran atau pergerakan produk dari produsen sampai kepada konsumen sebagai
pengguna akhir produk dapat digambarkan dengan berbagai cara. Khusus untuk komoditas hasil
hutan bukan kayu, metode rantai pemasaran dapat menggunakan metode yang dikembangkan
oleh international network for bamboo and rotan (INBAR) seperti yang dikutip oleh Belcher
(1998). Metode ini dikenal dengan istilah Production to-Consumption System (PCS).
Pengertian dari PCS adalah keseluruhan faktor, material, aktivitas dan lembaga atau
institusi yang terlibat dalam penanaman dan pemanenan bahan baku, pengolahan bahan baku
menjadi produk yang bernilai ekonomi tinggi dan pemasaran produk akhir dari hasil hutan
bukan kayu. Sitim PCS meliputi teknologi yang dipergunakan untuk menanam dan mengolah
bahan baku, dan sekaligus lingkungan institusi, sosial dan ekonomi di mana proses-proses
tersebut berlangsung. Pengalaman PCS pada komoditas bambo dan rotan, maka diharapkan
metode ini juga dapat diterapkan pada komoditas hasil hutan bukan kayu selain bambu dan
rotan.
Belcher (1998) mengemukakan bahwa PCS memiliki tiga dimensi penyusun, yaitu dimensi
vertikal (verticaldimension), horizontal (horizontal dimension) dan intensitas (dimension
ofintensity). Penjelasan dari masing-masing daimensi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
Dimensi vertikal adalah alur atau bagan (flow chart) yang mengambarkan bagaimana alur
bahan baku itu berasal dari produk sistem biologi, melalui berbagai jenis transaksi dan
proses pengolahan, yang pada akhirnya produk tersebut sampai konsumen.
Dimensi horizontal dapat didefinisikan sebagai peranserta, keterlibatan dan interaksi
sekumpulan anggota masyarakat, koperasi maupun lembaga berbadan hukum (firms)
lainnya dalam rantai pemasaran komoditas hasil hutan bukan kayu.
Dimensi intensitas yang diartikan sebagai jumlah kapital dan tenaga kerja yang dicurahkan
untuk suatu aktivitas pada kegiatan tertentu.

Contoh bagan analisis PCS untuk rantai pemasaran komoditas rotan, khusunya dimensi
vertikal, diberikan oleh Belcher (1998) seperti dilukiskan pada Gambar 5.2.Gambar tersebut
mengambarkan rantai pemasaran komoditas rotan, dari masing-masing pelaku pasar. Masing-
masing pelaku pasar melakukan perlakuan aktifitas ekonomi, pengolahan atau sejenisnya, untuk
meningkatkan nilai jual produknya. Dari rantai tersebut terlihat bahwa produk yang dihasilkan
oleh suatu pelaku pasar, akan merupakan bahan baku produk pelaku pasar berikutnya. Rantai ini
akan berjalan dan berakhir pada konsumen yang membeli produk tersebut. Informasi tambahan
lainnya, seperti harga jual, keuntungan dari masing-masing pelaku rantai pemasaran
berdasarkan konstribusinya terhadap pertambahan nilai produk (added value) dapat
ditambahkan. Sehingga analisis keuntungan dari masing-masing pelaku pasar, dan harga jual
produk pada masing-masing level dapat ditentukan dan dihitung. Dimensi vertikal ini
memberikan gambaran tentang keterkaitan dan ketercocokan (link and macth), serta
ketergantungan (dependency) pelaku pasar yang satu dengan yang lainnya dalam menciptakan
suatu produk akhir.

Hasil Hutan Bukan Kayu 72


Sumber :Becher (1998)
Gambar 5.2. Diagram rantaipemasaranrotan dengan metode PCS.

Dimensi horizontal pada pendekatan PCS menekankan adanya hubungan informal dan
berbagi (sharing) beberapa informasi tentang jenis-jenis aktifitas para pelaku kegiatan pada
semua lapisan manajemen. Interaksi, pendampingan, konsolidasi dan penerapan beberapa
praktek menejemen lainnya sangat penting dilakukan pada seluruhbagian dari pelaku pasar
tersebut. Konsolidasi ini memiliki tujuan untuk mencapai sinergi antar bagian yang pada
akhirnya akan tercipta hubungan yang harmonis guna meningkatkan produktifitas dan daya
saing produk.
Dimensi intensitas memahas tentang kuantitas dan kualitas input pada setiap pelaku rantai
pasar. Blacher (1998) menyatakan bahwa ilmu ekonomi membedakan dua aspek hubungan
antara modal (capital) dan tenaga kerja (labor). Dua aspek tersebut pada perkembangan
selanjutnya akan menghasilkan pembangunan/aktivitas perekonomianyang bersifat padat modal
(capital intensity) dan padat karya (labor intensity). Pada perkembangan selanjutnya, masing-
masing aktivitasakan menghasilkan daya saing atau keunggulan yang berbeda. Industri yang
bersifat padat modal akan menghasilkan keunggulan kualitatif. Dilain pihak, industri yang
bersifat padat karya akan menghasilkan keunggulan komparatif, yang mana sebagian besar
dihasilkan dari industri-industri tersebut yang berbasis sumber daya alam (natural based
resourses), investasi yang tidak begitu mahal (low capital investment), dan tenaga kerja kurang
ahli (unskilled labor). Sedangan industri yang memiliki keunggulan kualitatif dicirikan oleh
tingginya modal investasi (highly capital investment), tenaga kerja terdidik/ahli (skilled labor)
dan menggunakan tenknologi mutakhir (fully hightechnology).

Hasil Hutan Bukan Kayu 73


Industri atau aktivitas ekonomi yang berbasiskan komoditas hasil hutan bukan kayu akan
menghasilkan keunggulan komparatif, yaitu menyerap banyak tenaga kerja, memerlukanbahan
baku yang melimpah, tidak memerlukan teknologi pengolahan yang mahal, dan memiliki fungsi
sosial yang berantai. Sehingga dalam aktivitas pengusahaan, pengelolaan dan pemasaran
komoditas hasil hutan bukan kayu, peningkatan kapasitas (capacity building), pemberdayaan
dan penambahan keahlian dalam segala aspek pemasaran dari seluruh level pelaku rantai
pemasaran sangat penting untuk dilakukan.

5.4.Kelembagaan Pemasaran

Kelembagaan pemasaran yang dimaksud dalam pokok bahasan ini adalah wadah-wadah
formal yang terlibat pada produksi, pemasaran, dan perdagangan atau jual beli komoditas hasil
hutan bukan kayu. Wadah formal tersebut meliputi beberapa organisasi, kelompok masyarakat
maupun pelaku usaha lainnya yang tidak memiliki izin atau legalitas. Tetapi lembaga-lembaga
tersebut memiliki kemampuan atau kapabilitas, serta memiliki peran masing-masing dalam
lembaga pemasarantersebut. Aspek kelembagaan yang lainnya adalah belum adanya standar
pengoperasian dan pelayanan (standard operation procedure/SOP), termasuk di dalamnya
adalah jaminan kualitas produk (quality control), tata usaha komoditas atau pendokumentasian
aktivitas, dan perpindahan komoditas dan sebagainya. Hal tersebut sangat bertolak belakang
dengan komoditas kayu, yang mana telah memiliki struktur kelembagaan yang jelas, termasuk
sistem tata usaha kayunya.
Hasil penelitian Madusari (2006), salah mahasiswi jurusan budi daya hutan pada Fakultas
Kehutanan, Universitas Negeri Papua, tentang sistem pemasaran lokal minyak lawang dan kulit
kayu masohi di kabupaten teluk Wondama dan Manokwari menyimpulkan bahwa proses
pemasaran minyak lawang dari produsen ke konsumen melibatkan 3 (tiga) lembaga pemasaran
yaitu pedagang pengumpul lokal (PPL), pedagang penerima (PP) dan pedagang pengecer
(PPR). Pedagang pengumpul lokal ini dibedakan menjadi pedagang pengumpul lokal I (PPL I)
dan PPL II. PPL I berperan dalam menampung minyak lawang dari produsen dan juga bertindak
sebiagai produsen penghasil minyak lawang. Setelah terkumpul, PPL I akan menjual minyak
lawang ke PPL II. Di samping itu PPL II ini juga dapat membeli minyak lawang langsung dari
produsen. PPL II kemudian menjual minyak lawang ke pedagang penerima (PP) di kota
Manokwari. Selanjutnya PP akan menjual produknya ke PPR, yang kemudian akan dilanjutkan
untuk dijual langsung kepada konsumen.
Ketiga lembaga pemasaran minyak lawang tersebut, dalam proses interaksinya
menghasilkan 5 (lima) jaringan pemasaran. Kelima alternatif jaringan pemasaran tersebut oleh
Madusari (2006) diilustrasikan seperti pada Gambar 5.3.

Hasil Hutan Bukan Kayu 74


Keterangan: PPL= pedagang pengolah lokal ; PP= pedagang penerima dan PPR= pedagang
pengecer.

Gambar 5.3. Bagan Alir jaringan pemasaran minyak lawang di kabupaten Teluk Wondama.

Madusari (2006) juga melaporkanlembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran kayu
Masohi. Peneliti ini melaporkan bahwa pemasaran ini melibatkan 2 (dua) lembaga yaitu
pedagang pengumpul lokal (PPL), yaitu PPL I dan PPL II, dan pedagang penerima (PP) dengan
3 (tiga) alternatif jaringan pemasaran. Pedagang pengumpul I adalah pedagang dan sekaligus
bertindak sebagai produsen berdomisili di pusat produksi. Sedangkan PPL II berdomisili di
ibukota distrik. Sedangkan pedagang penerima berperan dalam membeli kulit kayu masohi, baik
yang berasal dari PPL I dan PPL II. Jaringan pemasaran yang terbentuk pada komoditas kulit
kayu masohi dapat dilihat pada Gambar 5.4.

Keterangan : PPL= pedagang pengolah lokal ; PP= pedagang penerima


dan PPR= pedagang pengecer.
Gambar 5.4. Bagan alir jaringan pemasaran kulit kayu masohi di kabupaten Teluk Wondama

Hasil Hutan Bukan Kayu 75


Dari gambar 5.3 dan 5.4 di atas terlihat bahwa jaringan pemasaran komoditas minyak
lawang dan kulit kayu masohi sangat berbeda. Kedua gambar tersebut juga memberikan
gambaran bahwa jaringan pemasaran komoditas hasil hutan bukan kayu ditentukan oleh banyak
faktor, seperti jenis komoditas, tempat asal komoditas (lokasi), sarana transportasi, dan
teknologi/proses pengolahan komoditas serta beberapa faktor lain yang berpengaruh.
Kelembagaan pemasaran untuk komoditas Repong damar di daerah pesisir Krui, provinsi
Lanpung dilaporkan oleh Wijayanto (2002). Seperti dilaporkan oleh peneliti ini, bahwa pada
kampung Krui, komoditas hasil hutan bukan kayu Repong damar telah berperan cukup besar
dalam aspek sosial, ekonomi, dan kemasyarakat dari masyarakat adat setempat. Komoditas ini
adalah warisan dari nenek moyang mereka, dan telah diturunkan ke berbagai generasi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga faktor kenapa komoditas Repong damar berhasil
dipertahankan, dan berperan dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat adat, yaitu faktor
ekologi, ekonomi-bisnis dan sosial budaya. Lebih lanjut dikatakan, bahwa secara ekologis
Repong damar tumbuh dan berkembang dengan subur di wilayah adat mereka, dan dapat
bertumpang sari (bersinergy) dengan tanaman produktif penyusun ekosistem lainnya, seperti
durian, duku, manggis, dan beberapa tanaman budi daya lainnya. Secara ekonomi, komoditas
Repong damar dapat memberikan nilai ekonomi yang signifikan kepada setiap anggota
masyarakat, yang mana anggota masyarakat adat terlibat langsung dalam rantai produksi, baik
sebagai petani, pengumpul, atau hanya sebagai pekerja. Hal ini juga ditunjang oleh tidak adanya
tuntutan keahlian khusus untuk menjadi pelaku dalam rantai produksi ini. Sedangkan faktor
sosial dan budaya dapat terlihat dari kemampuan dan keteguhan dari seluruh anggota
masyarakat adat dalam menjaga warisan Repong damar ini untuk tetap berproduksi,
berkembang dan memberikan manfaat kepada mereka secara komunal. Dilaporkan juga bahwa
bila mereka berperan aktif dalam komoditas Repong damar, akan meningkatkan status sosial
mereka.
Rantai pemasaran Repong damar di wilayah adat Krui tersebut dapat digambarkan dalam
bagan, seperti yang disederhanakan pada Gambar 5.5.

Petani Pedagang pengumpul di tingkat desa Pedagang besar

Industri/Eksportir

Sumber: Wijayanto (2002)


Gambar 5.5 Rantai pemasaran komoditas Repong damar di wilayah Krui, provinsi lampung.

Dari Gambar 5.5 di atas terlihat bahwa kelembagaan informal dari komoditas Repong
damar di wilayah Krui, provinsi Lampung dimulai dari petani pemilik damar tersebut. Petani
menjual Repong damarnya kepada pedagang pengumpul yang berada di tingkat desa.
Pedangang pengumpul di desa ini, dapat berperan sebagai pedagang pengumpul saja, atau juga
dapat berperan sebagai petani. Selanjutnya komoditas Repong damar dijual ke pedagang

Hasil Hutan Bukan Kayu 76


pengumpul yang beromset lebih besar, yaitu pedagang besar. Dari pedagang besar, komoditas
ini dapat dijual langsung ke industri atau ke pedagang lain, yaitu ekportir.

5.5. Produksi, Permintaan, dan Perdagangan

Keberagaman produk hasil hutan bukan kayu dan produk jasa dari hutan membuat
beberapa pemerhati komoditas hasil hutan bukan kayu kesulitan untuk melakukan pengumpulan
data, mendefinisikan dan menghubungkan antara potensi dan pemanfaatannya, FAO
(1998).Permintaan konsumen akan berbagai produk dari hasil hutan bukan kayu tumbuh sangat
pesat pada akhir-akhir ini, tetapi sangat sulit untuk memberikan gambaran yang pasti karena
ketidaktersediaan data, dan pada beberapa kasus pasar komoditas ini adalah pasar yang bersifat
informal (informalised markets), FAO (1998). Tetapi perdagangan komoditas ini tumbuh sangat
pesat, baik pada pasar lokal (domestic markets) maupun internasional (international markets).
Khusus untuk wilayah Asia pasifik, beberapa komditas hasil hutan bukan kayu yang
menjadi andalannya seperti tanaman obat-obatan, minyak atsiri, beberapa jamur dan
sebagainya. Jenis-jenis kmoditas, volume perdagangan, dan nilai perdagangan dari ekspor
komoditas HHBK utama dari Asia pasifik dapat diringkas pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1. Nilai ekspor komoditas HHBK utama dari daerah Asia pasifik 1996, FAO
(1998).

Jenis komoditas HHB K 1996 nilai Eksportir utama


ekspor (US $ 1.000)
(US $
1.000)
Kutu lak, gum alam dan resin 46,428 Indonesia 23,272
(lac, natural gums, resins)
Minyak Atsiri (essential oils) 164,506 China 88,868
Karet alam, balata, getah perca, guayule, chicle 3,924,053 Indonesia 1,920,055
dan beberapa gum alam (natural rubber, balat,
gutta-percha, guayule, chicle and similar
natural gums)
Plaiting and similar products of plaiting 265,476 China 224,132
materials
Madu (honey) 143,667
China 110,665
Edible products of animal origin 66,613
Singapura 28,458
Ambergis, Castoreum, civet and musk etc 8,086
China 4,172
Mushrooms (fresh or chilled) 151,860
China 118,276
Mushroom and truffles (dried) 181,514
Chin 147,827
Walnuts 40,876
China 40,297
Chesnuts 178,741
Rep. 109,022
Korea
Ginseng roots 125,183 Rep. 69,576
Korea
Bambu (Bamboos) 30,719 China 26,414
Rotan (rattans) 57,552 Singapura 35,388
Sources: FAO-extracted from UN COMTRADE Database in FAO (1998)

Hasil Hutan Bukan Kayu 77


Tabel 5.1 menjelaskan bahwa karena jaringan pemasaran dan sistem pasar yang bersifat
infromal, maka untuk mendapatkan informasi dan data yang akuran tentang produksi, ekspor
dan permintaan komoditas HHBK sulit untuk diprediksi atau diperkirakan. Karena sifat-sifat
tersebut, negara seperti Singapura, yang secara fisik tidak memiliki kawasan hutan produksi
alam tropis memiliki kemapuan untuk melakukan ekspor komoditas HHBK, seperti rotan.
Bahkan menurut beberapa sumber, beberapa produk olahan rotan seperti anyam-anyaman dan
diversifikasinya telah dipatenkan oleh beberapa perusahaan di Singapura.
Beberapa produk perkayuan seperti mebel yang berbahan baku kayu juga telah dipatenkan
oleh negara lain. Headline majalah tropical forest update (TFU) dari ITTO menyebutkan buatan
Italia tapi tumbuh di Indonesia (Made in Italy, growing in the tropic). Kenyataan ini
menekankan bahwa beberapa komoditas hasil hutan dari negara-negara berkembang banyak
yang diekspor ke negara maju dengan berbagai cara, baik melalui prodesur yang resmi (legal)
maupun tidak resmi (illegal), akan berganti label atau diputihkan untuk dapat diterima dinegara
maju. Disisi lain, konsumen negara maju menghendaki bahwa produk-produk hasil hutan,
termasuk HHBK, yang ditawarkan ke mereka, wajib disertakan sertifikasi yang menyatakan
bahwa produk tersebut diolah dengan teknologi yang ramah lingkungan dan diproduksi dari
hutan yang dikelola secara berkelanjutan. Kesenjangan informasi ini yang kedepan harus
dipertimbangankan masak-masak oleh perlaku industry dan pemerintah.
Kendala-kendala tersebut di atas yang menyulitkan komoditas HHBK asal Indonesia
mengalami kesulitan untuk menembus pasar internasional, khusunya negara maju. Pemanenan,
pengolahan dan standarisasi kualitas produk HHBK yang diproduksi oleh Indonesia masih
belum memperhatikan aturan-aturan tersebut.

5.6. Pustaka

Belcher, B.M (1998). A production to-Consumption Systems. Approach: Lesson from the
Bamboo and Rattan Sectors in Asia, in Income from the Forest. Method for the
development and conservation of forest products for local communities. Edited by
Eva Wollenberg and Andrew Ingles. Center for International Forestry Research,
Bogor – Indonesia, pp 57-84.
Lecup.I; K. Nicholson; H. Purwandono and S. Karki (1998). Methods for Assessing the
Feasibility Study of Sustainable Non-timber forest Products-based Enterprisesin
Income from the Forest. Method for the development and conservation of forest
products for local communities. Edited by Eva Wollenberg and Andrew Ingles.
Center for International Forestry Research, Bogor – Indonesia, pp 85-106.
Madusari, S (2006). Sistem Pemasaran Lokal Minyak Lawang (Cinnamomumcullilawane) dan
Kulit Kayu masohi (Cryptocaria massoia). Skripsi sarjana kehutanan pada Jurusan
Budi daya huta Fakultas Kehutaan Universitas Negeri Papua Manokwari (tidak
diterbitkan).
Wijayanto, N. 2002. Analisis strategis sistem pengelolaan Damar repong di pesisir Krui,
Lampung. Jurnal Manejemen Hutan Tropika. Vol.7 (1) : 39-49.

Hasil Hutan Bukan Kayu 78


BAB 6

PERANGKAT PERUNDANG-UNDANGAN DAN KEBIJAKAN


HASIL HUTAN BUKAN KAYU

6.1. Pendahuluan

Pokok bahasan yang ke-enam ini membahas tentang berbagai produk perundang-undangan
dan kebijakan yang memiliki keterkaitan dengan komoditas hasil hutan bukan kayu. Produk
perundangan dan kebijakan tersebut beragam, dari produk hukum pemerintah pusat, yaitu
undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan atau peraturan menteri sampai kepada
beberapa produk perundangan pemerintah daerah, yaitu peraturan daerah. Peraturan daerah
(PERDA) dibuat dengan tujuan untuk mengatur segala aspek atau hal yang berkaitan langsung
maupun tidak langsung dengan komoditas hasil hutan bukan kayu.
Undang-undang adalah produk hukum tertinggi yang dijadikan acuan dasar untuk produk
hukum di bawahnya, seperti keputusan menteri dan peraturan daerah. Produk perundangan -
undangyang paling berperan langsung dilapangan adalah yang bersifat petunjuk teknis atau
pelaksanaan. Kedua produk hukum tersebut merupakan petunjuk operasional dilapangan yang
akan membimbing dan mengarahkan para pelaku usaha, petugas dan seluruh pihak yang
berkepentingan dengan hasil hutan bukan kayu. Petunjuk pelaksanaan yang lengkap dan jelas
akan membuat seluruh pelaku komoditas hasil hutan bukan kayu dapat berperan maksimal
sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang dibebankannya.
Setelah mempelajari pokok bahasan yang ke-enam ini, pembacadiharapkan memiliki
kemampuan untuk:
Melakukan analisis atau telaah undang-undang dan kebijakan hasil hutan bukan kayu yang
ada, apakah seluruh aspek komoditas hasil hutan bukan kayu sudah diatur dalam produk
hukum tersebut?
Melakukan kajian ilmiah terhadapperaturan daerah tentang hasil hutan bukan kayu, apakah
secara substansial memberatkan, memudahkan dan merangsang investasi komoditas
HHBK ini?
Membuat daftar saran perbaikan berdasarkan hasil kajian pada poin di atas.

6.2. Perundang-undangan

Undang-undang republik Indonesia Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentua


Pokok Kehutanan (UUPK), pada pasal-pasalnya, baik pasal dalam ketentuan umum maupun
dalam penjelasannya tidak mencamtumkan pengertian hasil hutan bukan kayu. Demikian juga
pada produk undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, pada
pasal-pasalnya, baik dalam ketentuan umum dan penjelasannya tidak mencamtumkan
pengertian hasil hutan bukan kayu. Tetapi kedua produk perundang-undangan tersebut hanya
mencamtumkan pengertian dari hasil hutan.
Uraian atau penjabaran lebih lanjut tentang hasil hutan pada undang-undang no 41 tahun
1999, secara eksplisit mencamtumkan produk-produk hasil hutan bukan kayu, seperti produk

Hasil Hutan Bukan Kayu 79


jasa yang diperoleh dari hutan, hasil nabati dan hewani beserta turunannya dan benda-benda non
hayati yang secara ekologis merupakan kesatuan ekosistem dari hutan.
Latar belakang atau konsideran diterbitkannya kedua produk undang-undang tersebut juga
berbeda. Beberapa substansi pertimbangan-pertimbangan (konsideran) yang menjadi latar
belakang lahirnya UUPK Nomor 5 tahun 1967 adalah bahwa hutan sebagai sumber kekayaan
alam karunia Tuhan Yang Maha Esa harus dilindungi dan dimanfaatkan untuk kemakmuran
rakyat, peraturan-peraturan dalam bidang kehutanan masih merupakan produk pemerinntah
kolonial, maka diperlukan suatu undang-undang yang memuat ketentuan-ketentuan pokok
tentang kehutanan.
Karena dasar pertimbangannya adalah memanfaatkan sumber daya alam (hutan) untuk
menjamin kepentingan rakyat dan negara, maka hasil hutan didefinisikan sebagai hanya benda-
benda hayati yang dihasilkan dari hutan. Dalam UUPK ini kompleksitas pengelolaan hutan,
hak-hak masyarakat lokal dan peran serta masyarakat dalam pembangunan kehutanan belum
mendapat perhatian yang semestinya.
Sehingga menurut UUPK ini hutan didefiniskan sebagai suatu lapangan bertumbuhan
pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta
alam lingkungannya dan ditetapkan pemerintah sebagai hutan.
Hal yang sangat berbeda dapat dilihat pada konsideran yang melatarbelakangi lahirnya
Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Pada undang-undang ini beberapa
substansi konsiderannya antara lain menyebutkan bahwa hutan sebagai karunia dan amanah
Tuhan Yang Maha Esa, wajib disyukuri, diurus, dimanfaatkan serta dijaga kelestariannya, hutan
sebagai penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat harus
dipertahankan dan dijaga daya dukungnya secara lestari dengan akhlak mulia, adil, bijaksana,
profesional dan bertanggung jawab. Substansi konsideran yang lainnya juga menyebutkan
bahwa pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan dunia/global harus menampung
dinamika aspirasi dan peran serta masyrakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat
berdasarkan norma hukum nasional.
Berberda dengan undang-undang sebelumnya, UUPK no 5 tahun 1967, pada UU no 41
tahun 1999 ini hutan dipandang sebagai kesatuan ekosistem penyangga kehidupan, yang di
dalamnya terdapat masyarakat, adat dan budaya, dan seterusnya serta merupakan sumber
kemakmuran rakyat. Kesadaran akan pentingnya interaksi antara kawasan hutan, masyarakat
hutan, tradisi budaya dan adat istiadat sebagai cara tradisional mempertahankan hutan telah
mendapatkan pengakuan yang kuat secara hukum pada undang-undang ini. Sebagai bentuk rasa
syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berlimpahnya potensi hutan Indonesia, maka
undang-undang memberi amanat atau menegaskan bahwahutan sebagai karunia dan amanah
dari Tuhan, harus diurus, dimanfaatkan dan dijaga daya dukungnya, termasuk eksistensinya
untuk kemakmuran rakyat. Bahkan ditegaskan lagi, hutan untuk dikelola dengan akhlak mulia,
adil, bijaksana, profesional dan bertanggung jawab.
Selanjutnya, menurut undang-undang ini, hutan didefinisikan sebagai suatu kesatuan
ekosistem, bukan sekedar lapangan bertumbuhan pohon-pohon, berupa hamparan lahan berisi
sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Definisi ini memberikan
penegasan bahwa kesatuan ekosistem, mengandung makna komponen biotik (benda hidup) dan
abiotik (benda mati). Pengakuan akan peran serta dan eksistensi masyarakat adat diwujudkan
dalam pengakuan hukum tentang adanya hutan adat. Hal ini dimugkinkan karena selama ini
hutan terjaga kelestariannya, salah satunya karena peran serta masyarakat adat. Sehingga hutan
dan masyarakat hutan sebagai suatu ekosistem tidak dapat dipisahkan. Akhirnya pengertian

Hasil Hutan Bukan Kayu 80


hasil hutan menurut undang-undang nomor 41 1999 ini lebih luas dan hasil hutan didefinisikan
sebagai benda-benda hayati, non hayati dan turuannya, serta jasa yang berasal dari hutan.

6.3. Pemanfaatan dan Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu

Beberapa jenis kegiatan atau usaha pemanfaatan hutan dan pemungutan hasil hutan diatur
dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Pada bab 1 pasal 1 ayat 4
disebutkan bahwa yang dimaksud pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan
kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan
kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk
kesejahteraan rakyat dengan tetap menjaga kelestariannya. Pada ayat 5 disebutkan bahwa
pemanfaatan kawasan adalah kegiatan untuk memanfaatkan ruang tumbuh sehingga diperoleh
manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi secara optimal dengan tidak
mengurangi fungsi utamanya. Selanjutnya pada ayat 6 disebutkan bahwa pemanfaatan jasa
lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak
lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya. Khusus untuk pemanfaatan hasil hutan bukan
kayu, diatur pada bab 1 pasal 1 ayat 8, adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan
hasil hutan berupa bukan kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi
pokoknya.
Peraturan Pemerintah ini juga memuat batasan yang jelas tentang kawasan hutan yang
diperbolehkan dan dilarang untuk dimanfaatkan, sebagaimana termuat pada bab IV pasal 18.
Pemanfaatan hutan dapat dilakukan pada seluruh kawasan hutan, yaitu a) hutan konservasi,
kecuali pada cagar alam, zona rimba, dan zona inti dalam taman nasional; b) hutan lindung; dan
c) hutan produksi. Khusus untuk kawasan konservasi, izin pemanfaatan hutan diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang sesuai, seperti tercantum pada pasa 22 bab yang sama.
Selanjutnya jenis-jenis pemanfaatan hutan pada dua kawasan hutan tersebut, yaitu hutan lindung
dan hutan produksi, secara ringkas dapat dilihat pada bab berikutnya, yaitu pada Tabel 6.1
sampai Tabel 6.10.
Peraturan Pemerintah no 6 tahun 2007 ini juga mengatur pemungutan hasil hutan, seperti
yang terdapat pada bab 1 pasal 1 ayat 9.Ayat ini menyebutkan bahwa pemungutan hasil hutan
kayu dan atau bukan kayu adalah kegiatan untuk mengambil hasil hutan baik berupa kayu dan
atau bukan kayu dengan batasan waktu, luas dan atau volume tertentu. Khusus untuk
pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung diatur pada bab IV pasal 26 ayat 1.
Berdasarkan ayat ini komoditas hasil hutan bukan kayu yang dimaksud adalah rotan, madu,
getah, buah, jamur atau sarang burung walet. Karena kawasan ini adalah hutan lindung, maka
pada ayat 2, terdapat ketentuan-ketentuan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan
lindung, yaitu a) hasil hutan bukan kayu yang dipungut harus sudah tersedia secara alami;
b)tidak merusak lingkungan; dan c) tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi
utamanya. Pada ayat 3 dinyatakan bahwa pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan
lindung hanya boleh dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan. Beberapa larangan yang tidak
boleh dilakukan berkenaan dengan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung
yaitu a) memungut hasil hutan bukan kayu yang banyaknya melebihi kemampuan produktifitas
lestarinya, dan b) memungut beberapa jenis hasil hutan yang dilindungi undang-undang.
Larangang-larangan tersebut dimuat pada ayat 4 pada bab IV pasal 26.
Pada peraturan pemerintah no 6 tahun 2007 ini, pihak-pihak yang boleh diberikan izin
pemanfaatan hutan dan pemungutan hasil hutan dijelaskan pada bab IV pasal 67 dari ayat 1

Hasil Hutan Bukan Kayu 81


sampai ayat 10. Pihak-pihak pemegang izin tersebut yang selanjutnya dinamakan dengan subjek
pemegang izin. Secara ringkas menurut pasal 67, subjek pemegang izin tersebut dapat
dikelompokkan menjadi perorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD), dan Badan Usaha Milik Swasta Indonesia (BUMS Indonesia).
Berdasarkan bab 1 pasal 1 ayat 28 yang dimaksud dengan perorangan adalah warga negara
republik Indonesia yang cakap bertindak menurut hukum

6.4. Izin Pemanfaatan dan Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu

Setiap badan usaha, baik perorangan maupun kelompok yang ingin memanfaatkan,
mengambil, mengangkut, mengolah dan mendistribusikan komoditas hasil hutan bukan kayu
wajib mendapatkan izin dari pihak yang berwenang. Prosedur dan persyaratan untuk
mendapatkan izin pemanfaatan hutan dan pemungutan hasil hutan tersebut telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Pada bab 1 pasal 1 ayat 10 izin pemanfaatan hutan
adalah izin yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang yang terdiri atas izin usaha
pemanfaatan kawasan (IUPK), izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL), izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) dan/atau bukan kayu (IUPHHBK), izin usaha
pemungutanhasil hutan kayu (IUPHHK) dan/atau bukan kayu (IUPHHBK) pada areal hutan
yang telah ditentukan.
Khusus mengenai izin pemungutan hasil hutan bukan kayu diatur pada bab 1 pasal 1 ayat
17, yaitu izin untuk mengambil hasil hutan berupa bukan kayu pada hutan lindung dan/atau
hutan produksi antara lain berupa rotan, madu, buah-buahan, getah-getahan, tanaman obat-
obatan, untuk jangka waktu dan volume tertentu. Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2007 ini
juga mengatur tata cara pemberian perizinan, pihak atau pejabat yang berwenang untuk
mengeluarkan izin, subjek pemegang izin dan juga persyaratan administrasi untuk mengajukan
izin, serta volume hasil hutan yang diizinkan dan jangka waktu izin diberikan . Ringkasan dari
jenis-jenis izin pemanfaatan hasil hutan dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu telah
dilakukan oleh Dinas kehutanan kabupaten Bulungan, seperti terdapat pada Tabel 6.1 sampai
Tabel 6.10.
Khusus untuk izin pemungutan hasil hutan pada hutan produksi, sebelumnya telah diatur
dalam surat keputusan menteri (Kepmen) kehutanan, Nomor : 6886/Kpts-II/2002, Tentang
Pedoman dan Tata Cara Pemberian Izin Pemungutan Hasil Hutan (IPHH) Pada Hutan
Produksi.Pada bab 1 pasal 1 ayat 3 dinyatakan bahwa izin pemungutan hasil hutan bukan kayu
(IPHH-BK) adalah izin mengambil hasil hutan bukan kayu antara lain rotan, madu, buah-
buahan, getah-getahan, tanaman obat-obatan dan lain sebagainya di dalam hutan produksi.
Khusus untuk komoditas hasil hutan bukan kayu, pada Bab II pasal 2 ayat 1 dinyatakan
bahwa yang dapat mengajukan permohonan izin pemungutan adalah perorangan dan koperasi.

6.5. Pemberian Izin

Pihak-pihak atau pejabat yang berwenang untuk memberikan izin usaha pemanfaatan hasil
hutah bukan kayu (IUPHHBK) dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu (IPHHBK)
dinyatakan pada bab IV pasal 63 Peraturan Pemerintah no 6 tahun 2007. Pasal 63 menyatakan
bahwa IUPHHBK pada hutan alam diberikan oleh
a. Bupati/walikota, pada areal hutan alam yang berada dalam wilayah kewenangannya,
dengan tembusan kepada menteri, gubernur dan kepala kesatuan pengelolaan hutan (KPH);

Hasil Hutan Bukan Kayu 82


b. Gubernur, pada areal hutan alam lintas kabupaten/kota yang berada dalam wilayah
kewenangannya, dengan tembusan kepada menteri, bupati/walikota dan kepala KPH;atau
c. Menteri, pada areal hutan alam lintas provinsi dengan tembusan kepada Gubernur,
bupati/walikota dan kepala KPH.

Sedangkan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu (IPHHBK) berdasarkan pada bab IV
pasal 65 diberikan oleh:
a. Bupati/walikota, pada areal hutan alam atau hutan tanaman yang berada dalam wilayah
kewenangannya, dengan tembusan kepada menteri, gubernur dan kepala KPH ; atau
b. Gubernur, pada areal hutan alam atau hutan tanaman lintas provinsi yang ada dalam
wilayah kewenangannya, dengan tembusan kepada menteri, bupati/walikota dan kepala
KPH.

Berdasarkan Keputusan menteri kehutanan, Nomor : 6886/Kpts-II/2002, Kuota atau jumlah


hasil hutan bukan kayu yang dapat ddipungut dari hutan produksi tersebut juga telah diatur pada
bab IV pasal 7 ayat 2, yaitu IPHHBK diberikan maksimal 20 (dua puluh) ton untuk jangka
waktu selama –lamanya 1 (satu) tahun dan dapat diberikan kembali setelah mengajukan
permohonan yang dilengkapi persyaratan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Izin
pemungutan IPHHBK dengan kuota tersebut diberikan untuk pemakaian sendiri atau dapat
diperdagangkan, sebagaimana dimuat pada Pasal 7 ayat 2. Sedangkan untuk kuota atau volume
dan lamanya pemberian izin IUPHHBK selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.1 sampai 6.8.

6.6. Pemberian Izin di Daerah Kabupaten/Kota

Proses pemberian izin di tingkat kabupaten/kota, sebagaimana diamanatkan pada pasal 3


ayat 1 di atas, maka bupati atau walikota membuat peraturan daerah yang akan mengatur tata
cara pemberian izin, pemungutan untuk restribusi daerah dan beberapa aspek lainnya. Salah satu
contoh peraturan daerahuntuk izin usaha penumpukan kayu dan hasil hutan adalah peraturan
daerah Kota Pagar Alam, Provinsi Sumatera Selatan, yaitu Perda Nomor 8 tahun 2004, tentang
Izin Usaha Penumpukaan Kayu dan Hasil Hutan.Perda ini juga mengatur tata cara pernerbitan
izin usaha dan persyaratannya, kewajian pemegang izin, pembinaan dan pengawasan, larangan,
ketentuan pidana, Tetapi perda ini hanya mengatur izin usaha penumpukan kayu dan hasil
hutan, dan tetunya hasil hutan bukan kayu juga termasuk. Sedangkan izin pemungutan hasil
hutan bukan kayu, mungkin saja, diterbitkan atau diatur dalam peraturan daerah tersendiri.
Selanjutnya, dalam perda tersebut hasil hutan bukan kayu (HHBK) didefinisikan sebagai segala
sesuatu yang bersifat material (bukan kayu) yang dapat dimanfaatkan dari keberadaan hutan,
seperti rotan, damar, getah-getahn, kulit kayu, arang bambu, kayu bakar dan sebagainya.
Contoh lainnya yang dapat dikemukakan disini adalah ketentuan pemanfaatan hutan yang
telah dibuat oleh Dinas Kehutanan, Pemerintah Daerah Kabupaten Bulungan, provinsi
Kalimantan Timur, yang mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun
2007.Ketentuan-ketentuan tersebut memuat identifikasi terhadap jenis-jenis komoditas hasil
hutan bukan kayu yang menjadi kewenangan dari pemerintah daerah kabupaten/kota dengan
mengacu kepada Peraturan pemerintah No 6 tahun 2007.Ringkasan tersebut dibuat untuk

Hasil Hutan Bukan Kayu 83


memudahkan para pelaku (stakeholder) komoditas hasil hutan bukan kayu dalam merencanakan
kegiatan maupun jenis usahanya.
Ringkasan hasil identifikasi dinas kehutanan kabupaten Bulungan tersebut menghasilkan
beberapa izin usaha pemanfaatan hutan dan izin pemungutan hasil hutan, yang secara garis
besarnya dapat dikelompokan ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu kelompok izin pemanfaatan
dan pemungutan hasil hutan pada hutan lindung, hutan produksi dan hutan alam, yang
selengkapnya disajikan pada Tabel 6.1 sampai pada Tabel 6.8.
Pada kawasan hutan lindung, terdapat 3 (tiga) jenis usaha perizinan, yaitu izin usaha
pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan izin pemungutan hasil hutan
bukan kayu. Seperti pada Tabel 6.1 tentang izin usaha pemanfaatan kawasan, apabila dilihat
dari sunstansi pemegang izinnya, yaitu perorangan dan koperasi, dengan inti usaha budi daya
koomditas HHBK, penangkaran dan rehabilitasi satwa, maka sebagian besar pemberi izin
tersebut adalah bupati atau walikota. Dalam hal ini, kawasan hutan hanya dimanfaatkan sebagai
media atau tempat usaha budi daya tersebut, tentunya dengan tidak merusak, merubah maupun
mengurangi fungsi utamanya.

Tabel 6.1. Identifikasi beberapa jenis perizinan pemanfaatan hasil hutan pada hutan
lindung berdasarkan peraturan pemerintah no 6 tahun 2007.

Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan (IUPK) pada hutan lindung

Pemberi izin 1. : Bupati/walikota (wilayah kewenangan)


2. Gubernur (lintas kabupaten/kota)
3. Menteri Kehutanan (lintas provinsi)
Kegiatan usaha
a. : Budi daya tanaman obat
b. Budi daya tanaman hias
c. Budi daya jamur
d. Budi daya lebah
e. Penangkaran satwa liar
f. Rehabilitasi satwa
g. Budi daya hijauan makanan ternak
Jangka waktu : Paling lama 10 tahun dan dapat diperpanjang setelah
evaluasi setiap 1 tahun
Volume/luas : Paling luas 50 Ha setiap izin (maksimum 2 izin per
kabupaten/kota
Kewajiban : Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)
pembayaran
Pemegang izin : Perorangan, koperasi
Keterangan : Diperbolehkan untuk beberapa kegiatan usaha

Jenis-jenis kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung dan berbagai
aspeknya, berdasarkan Peraturan Pemerintah no 6 tahun 2007, yang diidentifikasi oleh dinas
kehutanan kab Bulungan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.2.

Hasil Hutan Bukan Kayu 84


Tabel 6.2. Ringkasan hasil identifikasi berbagai hal yang berkaitan dengan Izin Usaha
Pemanfaatan Jasa Lingkungan

Pemberi izin 1: Bupati/walikota (wilayah kewenangan)


2 Gubernur (lintas kabupaten/kota)
3 Menteri Kehutanan (lintas provinsi)
Kegiatan usaha a. : Pemanfaatan jasa aliran air (25 tahun)
b. Pemanfaatan Air (10 tahun, 20% dari debit air)
c. Wisata alam (35 tahun, 10% dari blok pemanfaatan)
d. Perlindungan kenaekaragam hayati (50 tahun)
e. Penyelematan dan perlindungan lingkungan
f. Penyerapan dan penyimpanan karbon (30 tahun)
Jangka waktu : Masing-masing dapat diperpanjang setelah evaluasi setiap 1
tahun
Kewajiban : Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)
pembayaran
Pemegang izin : Perorangan, koperasi, BUMS Indonesia, BUMN dan BUMD
Keterangan : Pemegang izin pada kegiatan usaha pemanfaatan jasa aliran
air dan pemanfaatanb air pada hutan membayar kompensasi
pada pemerintah.

Tabel di atas menjelaskan bahwa perizinan untuk usaha pemanfaatan jasa lingkungan
dalam hutan lindung dapat diberikan oleh bupati, gubernur maupun menteri kehutanan
tergantung di mana kawasan hutan tersebut berlokasi. Pemanfaatan jasa aliran air mislnya,
kegiatan usaha yang memungkinkan untuk dilakukan seperti wisata arung jeram, ataupun
bentuk wisata air lainnya. Sedangkan kegiatan pemanfaatan air, contohnya adalah pengambilan
air dari mata air oleh berbagai perusahaan air minum dalam kemasan dan beberapa perusahaan
daerah air minum. Sedangkan kegiatan usaha lainnya, seperti penyerapan dan penyimpanan
karbon, masih harus menunggu petunjuk pelaksanaannya, tentang mekanisme, jenis
kompensasi, luas kawasan dan berbagai aspek lainnya.
Perizinam untuk memungut atau memanen beberapa komoditas hasil hutan bukan kayu
yang berhubungan langsung dengan keberadaan dan aktifitas kehidupan sehari-hari masyarakat
hutan dapat dilihat pada Tabel 6.3 di bawah ini.

Tabel 6.3. Ringkasan hasil identifikasi oleh dinas kehutanan Kabupaten Bulungan tentang
berbagai aspek izin pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung.

Pemberi izin 1: Bupati/walikota (wilayah kewenangan)


2 Gubernur (lintas kabupaten/kota)
Kegiatan usaha a. : Rotan, madu, getah, buah, jamur
b. Sarang burung walet.
Jangka waktu a.: Paling lama 1 tahun dan dapat diperpanjang setelah evaluasi
setiap 6 bulan
b. Paling lama 5 tahun dan dapat diperpanjang setelah evaluasi
setiap 1 tahun
Volume/luas : Tidak melebihi kemampuan produksifitas lestarinya
Kewajiban : Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), kecuali hutan adat,

Hasil Hutan Bukan Kayu 85


pembayaran hutan rakyat yang dipakai sendiri dan tidak diperdagangkan
Pemegang izin : Masyarakat sekitar hutan

Tabel 6.3 menjelaskan bahwa izin pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung
hanya diberikan kepada masyarakat yang ada atau berdomisili di sekitar kawasan hutan
tersebut. Komoditas yang dapat dipanen adalah beberapa komoditas yang berkaitan dengan
keberlangsungan hidup masyarakat sekitarnya.
Berikut ini adalah beberapa izin pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan pada kawasan
hutan produksi seperti pada Peraturan Pemerintah no 6 tahun 2007. Ringkasan hasil identifikasi
dinas kehutanan Kabupaten Bulungan tentang berbagai hal berkaitan dengan izin usaha
pemanfaatan kawasan pada hutan produksi selengkapnya diringkas pada Tabel 6.4.
Tabel 6.4 menyatakan bahwa pemanfaatan kawasan hutan produksi hanya diberikan izin
untuk kegiatan yang bersifat bersifat budi daya tanaman-tanaman obat-obatan dan sejenisnya.
Berbeda dengan hutan lindung, di mana diizinkan untuk budi daya hijaun ternak (Tabel 6.1),
pada hutan produksi kegiatan ini tidak diizinkan.

Tabel 6.4. Ringkasan hasil identifikasi berbagai aspek tentang izin usaha pemanfaatan
kawasan pada kawasan hutan produksi.

Pemberi izin 1: Bupati/walikota (wilayah kewenangan)


2 Gubernur (lintas kabupaten/kota)
3 Menteri Kehutanan (lintas provinsi)
4 Menteri kehutanan (areal IUPHHK restorasi ekosistem hutan
alam yang belum mencapai keseimbangan ekosistem)
Kegiatan usaha a.: Budi daya tanaman obat
b. Budi daya tanaman hias
c. Budi daya jamur
d. Budi daya lebah
e. Penangkaran satwa liar
f. Rehabilitasi satwa
g. Budi daya sarang burung walet
Jangka waktu : Paling lama 5 tahun dan dapat diperpanjang setelah evaluasi
setiap 1 tahun
Volume/luas : Plaing luas 50 Ha setiap izin (maksimum 2 izin per
kabupaten/kota)
Kewajiban : Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)
pembayaran
Pemegang izin : Perorangan, koperasi,

Ringkasan hasil identifikasi oleh dinas kehutanan kabupaten Bulungan, dengan mengacu
kepada Peraturan Pemerintah no 6 tahun 2007 tentang berbagai hal yang berkaitan dengan izin
usaha pemanfaatan jasa lingkungan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.5.
Tabel 6.5 menjelaskan bahwa pada intinya berbagai aspek perizinan usaha pemanfaatan
jasa lingkungan pada hutan produksi sama dengan izin pemanfaatan pada hutan lindung (Tabel
6.2).Perbedaan yang sangat menyolok hanya pada pada pejabat pemberi atau penerbit izin. Pada

Hasil Hutan Bukan Kayu 86


hutan produksi, terdapat pengecualian perizinan pada kawasan hutan produksi hasil restorasi
(pemulihan) yang belum mencapai keseimbangan ekosistem.

Tabel 6.5. Ringkasan identifikasi berbagai aspek pemberian izin usaha pemanfaatan jasa
lingkungan pada kawasan hutan produksi.

Pemberi izin 1 : Bupati/walikota (wilayah kewenangan)


2 Gubernur (lintas kabupaten/kota)
3 Menteri Kehutanan (lintas provinsi)
4 Menteri kehutanan (areal IUPHHK restorasi ekosistem hutan
alam yang belum mencapai keseimbangan ekosistem
Kegiatan usaha a.: Pemanfaatan jasa aliran air (25 tahun, 20% debit air
permukaan)
b. Pemanfaatan Air (10 tahun, 20% dari debit air)
c. Wisata alam (35 tahun, 10% dari blok pemanfaatan)
d. Perlindungan keanekaragam hayati (50 tahun)
e. Penyeleamtan dan perlindungan lingkungan
f. Penyerapan dan penyimpanan karbon (30 tahun)
Jangka waktu : Masing-masing dapat diperpanjang setelah evaluasi setiap 1
tahun
Kewajiban : Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)
pembayaran
Pemegang izin : Perorangan, koperasi, BUMS Indonesia, BUMN dan BUMD
Keterangan : Pemegang izin pada kegiatan usaha pemanfaatan jasa aliran
air dan pemanfaatanb air pada hutan membayar kompensasi
pada pemerintah.

Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2007 memberikan kepastian skala kegiatan yang lebih
luas tentang usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan alam dan hutan tanaman.
Berbagai asek tentang izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu tersebut telah diringkas
oleh dinas kehutanan kabupaten Bulungan, yang selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.6.
Tabel 6.6 menjelaskan bahwa kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada
hutan alam lebih dititik beratkan pada kegiatan usaha yang bersifat profesional, yaitu
menggunakan pendekatan analisis studi kelayakan usaha (feasilitystudies). Hal tersebut dapat
dilihat pada beberapa jenis kegiatan seperti penanaman, pemanenan, pengayaan, pemeliharaan,
pengamanan dan pemasaran hasil.

Tabel 6.6. Ringkasan hasil identifikasi berbagai aspek tentang izin usaha pemanfaatan
hasil hutan bukan kayu pada hutan alam

Pemberi izin 1.:Bupati/walikota (wilayah kewenangan)


2. Gubernur (lintas kabupaten/kota)
3. Menteri Kehutanan (lintas provinsi)
Kegiatan usaha a.:Pemanfaatan rotan, sagu, nipah, bambu, meliputi kegiatan
pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan dan
pemasaran hasil.
b. Pemanfaatan getah, kulit kayu, buah atau biji, gaharu yang

Hasil Hutan Bukan Kayu 87


meliputi kegiatan pemanenan, pengayaan, pemeliharaan,
pengamanan dan pemasaran hasil.
Jangka waktu : 10 tahun dan dapat diperpanjang setelah evaluasi setiap
tahun
Kewajiban : Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)
pembayaran
Pemegang izin : Perorangan, koperasi, BUMS Indonesia, BUMN dan BUMD

Sedangkan ringkasan hasil identifikasi oleh dinak kehutana kabupaten Bulungan untuk izin
pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada kawasan hutan tanaman disajikan pada Tabel 6.7.

Tabel 6.7. Ringkasan identifikasi berbagai aspek tentang izin usaha pemanfaatan hasil
hutan bukan kayu pada hutan tanaman

Pemberi izin : Tidak diatur dalam PP No 6 tahun 2007


Kegiatan usaha a.: Pemanfaatan rotan, sagu, nipah, bambu, meliputi kegiatan
pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan dan
pemasaran hasil.
b. Pemanfaatan getah, kulit kayu, buah atau biji, gaharu yang
meliputi kegiatan pemanenan, pengayaan, pemeliharaan,
pengamanan dan pemasaran hasil.
Jangka waktu : 10 tahun dan dapat diperpanjang setelah evaluasi setiap
tahun
Kewajiban : Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)
pembayaran
Pemegang izin : Perorangan, koperasi, BUMS Indonesia, BUMN dan BUMD

Tabel 6.7 menyelaskan bahwa kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada
kawasan hutan tanaman sama dengan pada hutan alam. Khusus pada kawasann hutan tanaman,
pihak yang berwenang memberikan izin usaha pemungutan, tidak diatur pada Peraturan
Pemerintah nomor 6 tahun 2007.
Ringkasan hasil identifikasi oleh dinas kehutanan kabupaten Bulungan tenang Izin
pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan alam menurut Peraturan Pemerintah nomor 6
tahun 2007, selengkapnya dapat disajikan pada Tabel 6.8 di bawah ini.

Tabel 6.8. Ringkasan hasil identifikasi berbagai aspek tentang izin pemungutan hasil
hutan bukan kayu pada hutan alam

Pemberi izin
1. : Bupati/walikota (wilayah kewenangan)
2. Gubernur (lintas kabupaten/kota)
Kegiatan usaha a.: Pemungutan rotan, madu, getah, buah atau biji, daun,
gaharu, kulit kayu, tanaman obat dan umbi-umbian.
b. Tumbuhan liar dan satwa liar harus sesuai dengan ketentuan
Jangka waktu : 1 tahun dan dapat diperpanjang setelah evaluasi setiap 6
bulan
Volume/lua : 20 ton tiap kepala keluarga (KK)
Kewajiban : Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), kecuali dari hutan

Hasil Hutan Bukan Kayu 88


pembayaran adat, hutan hak rakyat yang dipakai sendiri dan tidak
diperdagangkan.
Pemegang izin : Perorangan, koperasi, BUMS Indonesia, BUMN dan BUMD
Keterangan : Untuk kebutuhan masyarakat setempat dan dapat
diperdagangkan

Tabel 6.8 di atas tersebut menjelaskan bahwa izin pemungutan komoditas hasil hutan
bukan kayu pada hutan alam diberikan oleh kepala daerah setempat, yaitu bupati, walikota dan
atau gubernur. Tabel tersebut juga menggarisbawahi bahwa pemungutan hasil hutan bukan kayu
tersebut dapat dipergunakan untuk keperluan sendiri atau diperdagangkan.
Kesimpulan yang dapat diambil dari Tabel 6.1 sampai dengan Tabel 6.8, bahwa izin
pemungutan lebih merupakan wewenang dari pemerintah daerah, sedangkan izin pemanfaatan
adalah kewenangan dari pemerintah pusat, dalam hal ini menteri kehutanan dan pemerintah
daerah, baik gubernur, bupati dan walikota.

6.7. Daftar Pustaka

http://www.bulungan.go.id/v01/pelayanan-publik/perizinan/pemanfaatan-hutan-lindung.html,
diakses pada tanggal 9 Oktober 2007.
Menteri Kehutanan Republik Indonesia (2002). Keputusan Menteri Kehutanan Nomor :
6886/Kpts-II/2002 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemberian Izin Pemungutan
Hasil Hutan (IPHH) pada Hutan Produksi
Pemerintah Kota Pagar Alam (2004). Peraturan Daerah Kota Pagar Alam No 8 Tahun 2005
tentang Izin Usaha Penumpukan Kayu dan Hasil Hutan
Pemerintah Republik Indonesia (1967). Undang-Undang No 5 tahun 1967 tentang Undang-
undang Pokok Kehutanan.
Pemerintah Republik Indonesia (1999). Undang-undang no 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pemerintah Republik Indonesia (2007). Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.

Hasil Hutan Bukan Kayu 89


BAB 7

ROTAN (RATTAN)

7.1. Pendahuluan

Pokok bahasan atau bab yang ketujuh ini mulai membahas produk-produk hasil hutan
bukan kayu yang sangat penting, dominan dan dihasilkan oleh hutan tropis Indonesia.
Komoditas rotan dibahas pertama karena beberapa pertimbangan seperti Indonesia dikenal
sebagai negara penghasil komoditas rotan terbesar didunia, diversifikasi produk yang beragam
dari rotan dan penyebarannya yang merata hampir diwilayah hutan Indonesia.
Kenapa komoditas rotan penting, karena di samping potensinya yang sangat melimpah,
sehingga negara kita disebut sebagai produsen terbesar rotan dunia. Kelebihan lain dari
komoditas rotan adalah diversifikasi produk rotan yang begitu banyak dan rotan hanya tumbuh
di hutan tropis Asia tenggara. Sisi penting lainnya adalah peran serta produk-produk olahan
rotan merupakan komoditas andalan ekspor Indonesia di luar minyak dan gas bumi, serta
kontribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja dan peluang berusaha.
Setelah mempelajari pokok bahasan rotan ini, para pembaca diharapkan mampu:
Memahami arti komoditas rotan bagi industri kecil dan kontribusi pendapatan rumah
tangga masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan;
Memahami fungsi ekologi rotan bagi keanekaragaman hayati sumber daya hutan dan
peranya terhadap ekosistem;
Mengidentifikasi penggolongan dan penggunaannya rotan secara umum dan ciri-ciri rotan
yang telah masak tebang;
Menggambarkan pengolahan rotan yang baku dan produk-produk yang dapat dihasilkan
dari rotan beserta bagan pengolahannya.

7.2. Botani Rotan

Rotan (Calamus spp) adalah termasuk tumbuhan liana atau merambat, termasuk dalam
divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Monocotiledone, sub kelas
Lepidocarioodae, dan Family Palmae atau Aracaceae. Rotan adalah tumbuhan yang merambat
dan memiliki batang silindris yang terdiri atas berbagai ruas batang serta memiliki duri yang
menutupi hampir pada semua batang, seperti terlihat pada Gambar 7.1 dan 7.2. Salah satu ciri
khas dari tumbuhan rotan adalah adanya sulur atau fagella yang memungkinkan tumbuhan ini
dapat merambat pada pohon atau tumbuhan berkayu lainnya.
Rotan tumbuh secara alami dalam kawasan hutan yang merambat atau melata di atas tanah,
yang secara umum hanya dijumpai pada kawasan hutan tropis basah, bahkan rotan juga banyak
ditemukan di sekitar pemukiman penduduk, dekat kebun maupun ladang, seperti pada daerah
transmigrasi di kabupaten Manokwari, Gambar 7.1.

Hasil Hutan Bukan Kayu 90


Foto : Wayudi (2007)
Gambar 7.1. Rumpun rotan di dekat pemukiman/persawahan penduduk di SP V distrik Masni
Kabupaten Manokwaari (kiri) dan Mahasiswa semester VI Jurusan Teknologi Hasil Hutan yang
akan memanen rotan untuk keperluan pratikum HHBK (kanan)

Foto : Wahyudhi (2007)


Gambar 7.2. Duri Rotan dari Jenis Calamus spp yang tumbuh di daerah SP V distrik Masni
Kab. Manokwari.

Rotan adalah salah satu produk andalan hasil hutan bukan kayu Indonesia. Lapis dkk
(2004) menyatakan bahwa rotan adalah pengertian yang dipergunakan untuk mendiskripsikan
berbagai jenis tanaman merambat yang tumbuh secara alami di hutan tropis Asia. Dikemukakan
juga bahwa terdapat sekitar 600 jenis rotan, dan hanya 10% dari jumlah tersebut yang bernilai
secara komersil, dan dari 600 jenis tersebut, setengahnya tumbuh di Indonesia. Sedangkan
Dransfields dan Manokaran (1996) memperkirakan terdapat sekitar 500 species rotan menyebar
diseluruh dunia . Selanjutnya dikemukanan bahwa jenis rotan yang dominan adalah dari jenis

Hasil Hutan Bukan Kayu 91


Calamusspp (370-400 species), diikuti oleh jenis Daemonoropsspp (115 species), jenis
Korthalsia spp (26 species). Tetapi hanya 20% dari jenis tersebut yang memiliki nilai komersiil.
Indonesia sampai dengan tahun 1977 masih memasok sekitar 90% dari kebutuhan dunia
dan selebihnya diperoleh dari Malaysia. Tetapi dewasa ini potensi rotan Indonesia terus
menurun pada potensi kira-kira 75-80%.

Sumber: Wahyudi dan Sineri (2006)


Gambar 7.3. Rotan yang telah masak tebang di hutan Werianggi, Kabupaten Teluk Wondama

Rotan merupakan hasil hutan bukan kayu yang memiliki nilai strategis baik dari segi
ekonomi dan ekologi. Rotan dapat memberikan pendapatan tambahan bagi penduduk yang
hidup di sekitar hutan, baik sebagai pemetik/pengumpul rotan maupun sebagai pengrajin rotan.
Sedangkan dari segi ekologi, karena memiliki perakaran yang cukup kokoh dan dapat
dibudidayakan oleh masyarakat lokal, maka perlu pembinaan dan partisipasi semua pihak untuk
mendapatkan manfaat ekolohgi dan lingkungan secara keseluruhan.
Pemanfaatan rotan secara tradisional didasarkan pada kenyataanbahwa rotan adalah bahan
baku yang serba guna. Rotan dapat dimanfaatakan untuk membuat berbagai macam produk
kerajinan, dari produk anyaman, perabotan, dan barang turunan lainnya. Beberapa masyarakat
lokal yang tinggal dekat dengan sumber penghasil rotan atau hutan, memanfaatkan rotan untuk
dipergunakan sebagai tali sebagai penganti paku baik untuk membuat rumah, maupun membuat
pagar kebun. Sedangkan untuk penggunaan sebagai pengikat atap dipergunakan untuk atap yang
terbuat dari daun-daunan tumbuhan monokotil, seperti pohon sagu, pandan maupun rumput
alang alang.
Sedangkan pemanfaatan rotan untuk skala industri atau tujuan komersil dapat
dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu :
Industri bahan baku rotan. Industri bahan baku rotan adalah industri yang hanya
mengolah rotan menjadi bahan baku industri rotan. Kegiatan pada industri rotan kelompok
ini terdiri atas memanen, mengumpulkan, membersihkan, mengeringkan dan menguliti.
Sehingga industri ini lebih sering dinamakan dengan industri yang menyiapkan rotan
mentah dan setengah olahan ataupun lebih dikenal dengan nama rotan asalan.

Hasil Hutan Bukan Kayu 92


Industri kerajinan barang jadi rotan.Industri kerajinan rotan adalah industri yang
mengolah rotan menjadi barang kerajinan rotan. Bahanbakuindustri ini dapat berasal dari
industri bahan baku rotan ataupun memperolehnya langsung dari hutan dalam bentuk rotan
mentahan.Produk-produk kerajian yang terbuat dari rotan seperti keranjang, tikar, mebel,
tangkai sapu, pemukul permadani, tongkat, perangkap ikan, perangkap binatang, tirai dan
tali rotan
Tumbuhan rotan dikatakan siap dipanen apabila mengalami masa yang dinamakan masak
tebang. Kriteria rotan yang masak tebang di antaranya adalah rotan memiliki panjang batang
yang bersih dari pelepah daun sepanjang 15 meter lebih, dengan batang berwarna hijau kotor
atau kuning, seperti yang ditampilkan oleh Gambar 7.3.
Departemen Kehutanan (1994) telah mengklasifikasikan rotan berdasarkan kelas diameter
dan panjang rotan, ke dalam tiga kategori yaitu:
Rotan kecil, adalah rotan yang memilikidiameter (ø) kurang dari 0.5 cm dan memiliki
panjang antara 15 sampai 40 meter
Rotan sedang, adalah rotan yang memiliki diameter (ø) antara 0.5 – 1.9 cm dan memiliki
panjang batang antara 15 - 65 meter
Rotan besar adalah rotan yang memiliki diameter (ø) lebih besar dari 2 cm dengan
panjang batang antara 15 – 40 meter.
Koamessakh (1986) yang dikutip Pagapong (2001) mengelompokan komoditas rotan ke
dalam tiga kelompok besar. Hal ini dilakukan untuk kepentingan perhitungan aspek ekonomi
seperti nilai perdagangan, penentuan harga patokan, perpajakkan maupun pemasaran.
Komoditas rotan ini yang selanjutnya disebut dengan sortimen rotan. Pengelompokan
komoditas rotan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Rotan Bahan Mentah. Rotan mentah adalah rotan bahan baku industri rotan, dan
selanjutnya dibedakan menjadi
Rotan Bulat yaitu rotan yang masih mentah atau batang rotan yang merupakan bahan
baku untuk pembuatan barang dari rotan.
Rotan Asalan adalah rotan yang masih baru dipanen sehingga belum mengalami
perlakukan pembersihan dan pengeringan atau pengawetan,
Rotan Olahan yaitu adalah rotan yang telah mengalami proses pencucian, peruntian
(pengupasan kulit), pengasapan dan pemasakan.

2. Rotan barang setengah jadi. Rotan dalam kelompok ini terdiri atas tiga golongan yaitu :
Rotan bulat kupasan, yaitu rotan hasil proses pengupasan kulit rotan bulat W &S
(Wash and Sulfurish) yang bermutu jelek
Kulit Rotan, adalah hasil pengulitan rotan bulat W & S, lapisan kulit rotan hasil dari
proses pengulitan rotan dengan tebal < 1.3 mm dan lebar 8 mm yang memiliki ukuran
lebar yang konsisten sepanjang lembaran.
Hati rotan, adalah hasil pembentukan hati rotan dengan dimensi yang konsisten
sepanjang lembaran

Hasil Hutan Bukan Kayu 93


3. Rotan Barang jadi. Adalah rotan yang telah dirubah menjadi barang jadi (finalproducts)
seperti tikar rotan, lampit rotan, anaeka keranjang dan mebel rotan serta produk anyaman
rotan

7.3. Pemanenan dan Pengolahan Rotan

Pemanenan rotan dilakukan dengan cara manual yaitu dengan cara menebangatau
memotong langsung rotan di kebun atau hutan rotan. Rotan yang dipanen adalah rotan yang
telah masak tebang, yaitu yang memiliki panjang bebas pelepah, atau pelepah kering/busuk
dengan panjang minimal 15 m. Selanjutnya pangkal batang rotan (yang dekat dengan tanah)
dipotong dengan menggunakan benda tajam ataupun gergaji. Selanjutnya dilakukan
pembersihan pelepah dan duri rotan yang masih menempel sebagian dipelepah dan kemudian
ditarik untuk mengeluarkan seluruh panjang rotan. Rotan yang telah ditebang, kemudian
dikumpulkan ditempat terbuka dan dipotong-potong dengan ukuran panjang sekitar 4 m dan
diikat untuk dikeluarkan dari hutan.
Tahap selanjutnya adalah pembersihan rotan dari kotoran-kotoran pelepah yang masih
menempel, mapun tanah dan pasir ataupun kotoran lainnya yang masih menempel, dan
sekaligus dilakukan penyotiran berdasarkan kelas diameter maupun panjang ruas rotan.
Selanjutnya dilakukan penggorengan, untuk mempermudah dan mempercepat proses
pengeringan rotan serta meningkatkan nilai elastisitas dan keawetan alami rotan. Penggorengan
juga untuk memudahkan proses pengupasan pelepah dan lapisan kutikula, silika atau lilin yang
masih lengket pada batang rotan. Rotan yang telah digoreng kemudian dieringkan diudara
terbuka. Pada kebanyakan pengeringan batang rotan masih menggunakan sinar matahari, yaitu
dengan cara menjemur pada sinar matahari, seperti terlihat pada Gambar 7.4.

Sumber : Fugu (1997)


Gambar 7.4. Pengeringan Rotan Asalan secara sederhana di sentra industri rotan Nabire,
provinsi Papua

Pengeringan rotan tersebut juga berfungsi untuk mencegah penyusutan batang rotan
menjadi keriput setelah dibuat menjadi produk rotan. Lamanya proses pengeringan melalui
penjemuran di bawah sinar matahari langsung tersebut sangat bervariasi, tetapi rata-rata antara
14 - 21 hari, seperti dilaporkan oleh Frank (1995) yang dikutip Fugu (1997). Untuk daerah

Hasil Hutan Bukan Kayu 94


Manokwari pada tingkat kadar air kering udara, bahan baku rotan memiliki kadar air sekitar
10%.
Rotan yang telah dikeringkan dan disortir berdasarkan kelas diameter tersebut, kemudian
siap untuk diolah menjadi produk-produk dari rotan. Fugu (1997) melaporkan bahwa proses
pengolahan rotan yang terdapat di Kota Nabire, provinsi Papua yang memfokuskan produknya
pada pembuatan mebel rotan, dapat dibedakan menjadi dua jenis pengolahan, yaitu pengolahan
primer dan sekunder. Pengolahan primer adalah kegiatan-kegiatan yang meliputi pencucian,
pembuangan air rotan yang baru dipotong (penurunan kadar air), sortir rotan asalan,
penggorengan, penjemuran (pengeringan), pembersihan, sortir diameter dan pelurusan batang
rotan. Pengolahan sekunder meliputi kegiatan pengukuran, pemotongan ukuran, permbersihan
ruas, penghalusan (pengamplasan), pembengkokan, pembuatan rangka, pengikatan,
penghalusan, pengecatan/vernis, penjemuran dan pemasangan bantal.
Produk-produk indusrtri kerajinan rotan yang berada di kota Nabire, provinsi Papua,
seperti yang dilaporkan oleh Fugu (1997) berupa kursi-kursi biasa/standard untuk konsumsi
rumah tangga, seperti yang diperlihatkan oleh Gambar 7.5, sedangkan untuk kursi sofa
diperlihatkan oleh Gambar 7.6. Produk-produk lain dari rota yang diproduksi juga meliputi
tempat tidur, rak sudut, meja makan, sofa bulat telur, kursi makan, rak televisi, tempat koran,
box bayi, bufet, dan berbagai jenis sofa lainya.

Sumber : Fugu (1997)


Gambar 7.5. Kursi biasa rotan yang di produksi salah satu pelaku kerajinan rotan di kota Nabire,
provinsi Papua.

Hasil Hutan Bukan Kayu 95


Sumber : Fugu (1997)
Gambar 7. 6. Sepasang Kursi Sofa (jenis deluxe) yang diproduksi oleh salah satu pelaku
kerajinan rotan di Kota Nabire, provinsi Papua.

7.4. Pengujian Kualitas Rotan

Untuk menjamin kualitas bahan baku rotan dan produk-produk rotan, maka diperlukan
pedoman penentukan dan pengujian kualitas bahan baku tersebut. Selanjutnya metode
pengawasan dan pengujian kualitas rotan di Indonesia telah diatur oleh Surat Keputusan
Direktur Jenderal Kehutanan No .204/Kpts/DJ/1980 tanggal 24 November 1980 tentang
peraturan Pengujian Rotan Bulat Indonesia. Peraturan ini mengatur tentang pedoman peraturan
pengujian rotan bulat Indonesia untuk menjamin keseragaman persyaratan dan tata cara
menetapkan kualitas rotan.
Kualitas rotan yang dimaksud pada peraturan ini meliputi panjang batang, diameter batang,
panjang ruas, warna batang, cacat rotan, kesilindrisan batang rotan, elastisitas dan kadar air
rotan. Keseluruhan variabel tersebut nantinyaakan dipergunakan untuk menentukan klasifikasi
mutu rotan.
Variabel-variabel yang dipergunakan untuk penentuan dan pengujian mutu rotan
berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No .204/Kpts/DJ/1980,dapat dilihat
pada beberapa uraikan selanjutnya. Sedangkan mutu rotan dibedakan menjadi dua kelas besar,
yaitu rotan berdiameter besar dan kecil. Uraian selengkapnya diuraikan sebagai berikut:

7.4.1. Rotan Berdiameter Besar

Mutu Utama (P).Memilikiukuran panjang minimal 2,70 meter dan diameter tidak dibatasi,
batang : diluruskan dan keras, warna : cerah merata, dengan cacat-cacat: bercak-bercak

Hasil Hutan Bukan Kayu 96


hitam akibat cendawan blue stain tidak diperkenankan, lubang gerek kecil (pinholes) tidak
diperkenankan dan memiliki mata pecah (Worm holes) pada ruas diperkenankan
maksimum 3buah perbatang.
Mutu Satu (I).Memiliki dimensi ukuranpanjang minimal 2,70 meter dan diameter tidak
dibatasi, batang diluruskan dan keras, warna kurang cerah tetapi merata, cacat bercak –
bercak hitam tidak diperkenankan, lubang gerek kecil (pinholes) tidak diperkenankan,
dengan toleransi mata pecah (worm holes) pada ruas diperkenankan maksimum 10 buah
perbatang.
Mutu Dua (II). Batang rotan dengan ukuran panjang minimal 2,70 meter dan diameter
tidak dibatasi, batang sedikit bengkok dan kurang keras, warna tidak cerah dan tidak
merata, cacat bercak-bercak hitam lubang gerek kecil (pinholes) tidak diperkenankan asal
tidak patah waktu dibengkokkan.

7.4.2. Rotan Berdiameter Kecil

Mutu Utama (P). Bahan baku rotan yang memilikiukuran panjang minimal 3,25 meter dan
diameter minimum 11 milimeter, batang keras/elastis, panjang ruas minimum 25 cm,
perbedaan antara tebal (diameter) ruas dan pangkal dan ujung sepanjang 3 meter,
maksimum 1,5 milimeter, warna cerah merata seluruh batang dan bebas dari cacat-cacat
bintik-bintik hitam.
Mutu Satu (I). Rotan dengan ukuran ukuran panjang minimal 3,25 meter dan diameter
minimum 11 milimeter, batang setengah keras, panjang ruas diperkenankan kurang dari 25
cm, tebal ruas tidak dipersyaratkan, warna kurang cerah dan tidak merata dan
diperkenankan adanya cacat bintik hitam.
Mutu Dua (II). Rotan yang memiliki ukuran panjang minimal 3,25 meter dan diameter
tidak disyaratkan, kekerasan batang tidak dipersyaratkan, panjang dan tebal ruas tidak
dipersyaratkan, warna tidak dipersyaratkan, cacat bintik - bintik hitam diperkenankan, asal
tidak patah waktu dibengkokkan.

7.5. Beberapa Catatan Penting tentang Perkembangan Komoditas Rotan dan Industri
Rotan

Menurut Asia Facific Forest Industries (1989) komoditas rotan adalah salah satu produk
andalan hasil hutan bukan kayu Indonesia, karena 80-90% pasokan rotan dunia dipasok dari
Indonesia, terutama yang berasal dari Pulau Kalimantan, Sumatra dan Sulawesi. Rotan tumbuh
secara alami pada hutan alam dengan luas 9 juta hektar, dan diperkirakan sampai dengan tahun
1984, diperkirakan terdapat sekitar 13 000 ha rotan yang dibudidayakan. Lebih lanjut diuraikan
bahwa Indonesia, mampu memproduksi 600 000 ton rotan segar per tahun, dan hanya 200 000
ton yang dapat diolah setiap tahun, yang diperkirakan memberikan nilai jual sebesar Rp. 1.3
trilyun (US $ 1.3 Billion). Kelebihan potensi rotan segar tersebut diekspor. Masih menurut
sumber yang sama, sampai dengan tahun 1987, ekspor rotan segar (rotan mentah/unprocessed
rattan) Indonesia telah mencapai Rp 210 miliar (US $ 210 milion), dan nilai tersebut naik
menjadi Rp 3030 miliar (US $ 303 million) pada tahun 1988.

Hasil Hutan Bukan Kayu 97


Pada tahun 1979, menteri perdagangan melarang ekspor rotan segar atau rotan mentah dan
juga pada tahun 1986, disyaratkan bahwa rotan yang akan diekspor harus yang sudah diolah
(dibersihkan/fine polishing) atau yang sudah dipersiapkan menjadi komponen mebel rotan.
Dengan kebijakan tersebut memacu tumbuhnya industri primer dan industri sekunder rotan,
terutama pada industri permebelan rotan. Dengan bantuan teknis dan training dari pemerintah,
pada awal 1989 telah berdiri 100 industri rotan dan 150 industri kerajinan tangan rotan. pada
bulan September 1989, dilaporkan telah terdapat 400 industri rotan di Indonesia, yang
seluruhnya adalah industri kecil-menegah dengan nilai asset sekitar Rp. 500 juta - 4 Miliar
(US$0.5-4 Million). Diperkirakan total nilai ekspor yang dapat disumbangkan bernilai Rp. 150
Miliar (US $ 150 million). Industri rotan ini memperkejakan sekitar 200 000 tenaga kerja.
FAO (1998) melaporkan bahwa Indonesia adalah negara pengekspor komoditas rotan
terbesar didunia, yang secara komersial dikumpulkan dari areal seluas 9,7 juta hektar yang
berasal dari hutan alam, lebih dari 300,000 hektar areal tanaman rotan setiap tahun. Indonesia
merencanakan untuk terus mengembangkan untuk menanam rotan hingga mencapai luas 1 juta
hektar. Negara pengekspor rotan terbesar kedua didunia adalah China, yang diperolah dari
30,000 hektar dari hutan alam dan 4,000 hektar tanaman rotan per tahun.

7.6. Permasalahan Komoditas Rotan di Masa Mendatang

Lapis dkk (2004) mengemukakan bahwa keberadaan komoditas rotan untuk berbagai
stakeholders tidak dapat dipungkiri lagi, tetapi pengelolaan dan ketersediaan komoditas
rotansangat diragukan kerbelanjutannya, terutama ketersediaan rotan yang berdiamer besar yang
berasal sangat drastispenurunan produksinya. Untuk mengarahkan kepada keberlanjutan
pengelolaan dan keberadaan rotan, beberapa tantangan yang perlu diperhatikan, di antaranya
adalah:
 Perlunya inventarisasi potensi (better resources inventories);
 Sistem teknik silvikultur baru untuk mempercepat perkecambahan (New nursery technique
for rapid and reliable propagation);
 Perbaikan cara penanamam dan pengolahan (improved plantation and harvesting
practices);
 Perbaikan teknik pengawetan ke arah yang ramah lingkungan (better and more
environmentally friendly preservation technique);
 Pengertian akan peran sosial ekonomi rotan terhadap petani kecil dan masyarakat lainnya
(A greater understanding of the socioeconomic importance of rattan to small-scale farmer
and more).

Ringkasan dari permasalahan-permasalahan yang telah diidentifikasi tersebut, beserta


teknologi yang diperlukan guna keberlanjutan pengembangan komoditas rotan di negara-negara
Asia tenggara dapat diringkas pada Tabel 7.1 berikut ini.

Hasil Hutan Bukan Kayu 98


Tabel 7.1. Ringkasan dari permasalahan yang telah diidentifikasi dan teknology yang
diperlukan guna keberlanjutan pengembangan komoditas rotan di negara-negara Asia
tenggara (Summary of identified and prioritised technology needs for sustainable
development in ASEAN conutries)

Komponen Keperluan
1. Inventarisasi potensi
1.1. Taksonomy a. Petunjuk lapangan;
1.2. Perluasan habitat aslinya/hutan b. Tenaga ahli lapangan untuk memberikan
tanaman petunjuk dan mengecek isi kebenaran informasi
dari petunjuk lapangan;
c. Standar design inventarisasi rotan untuk negara
ASEAN;
d. Pelatihan inventarisasi sebelum restocking
dilaksanaan, terutama pada hutan yang telah
dipanen;
e. ASEAN checklist.
2. Kegiatan Persemaian/Silvikultur
2.1. Perlakuan benih a. Mengembangkan teknologi lanjutan
2.2. Perawatan dan perlakuan Persemaian menggunakan induksi kimia untuk mengontrol
pertumbuhan rumbut, yang mungkin
menganggu pertumbuhan rotan;
b. Pengembangan dan penelitian genetic rotan,
yang mana jenis kelamin rotan diidentifikasi
dengan teknik molekuler menggunakan analisis
Isosom dan DNA;
c. Melakukan study tentang sistem regenerasi
rotan, pada 1) hutan alam- dengan
menggunakan biji untuk sisitm regenerasi untuk
keberlanjutan, 2) hutan tanaman-
pengelompokan atau sistem solitory dengan
dukungan dari pohon sekitarnya;
d. Studi teknik perkecambahan untuk species yang
kurang dimanfaatkan;
e. Studi potensi dari rotan yang kurang
dimanfaatkan, meliputi aspek anatomi, fisiologi
dan analisis kimia.

3. Membuka/membangun hutan a) Studi eko-fisik dan karakteristik tempat tumbuh,


tanaman rotan termasuk pencahayaan, dan pengairan dengan
3.1. Persaratan tempat tumbuh proses intercroping dengan rotan;
3.2. Persiapan tempat tumbuh b) Membukukan study tentang perbandingan
3.3. Perencanaan penanaman antara intercroping rotan dengan pohon lain
3.4. Perawatan dan perlindungan dengan rotan sebagai tanaman utama;
c) Melakukan kajian silvikultur tempat tumbuh
(menghubungkan antara produktivitas dengan

Hasil Hutan Bukan Kayu 99


penggunaan) utamanya potyensi komersialnya,
tetapi tetap berorientasi kepada rotan;
d) Melakukan konservasi ex situ untuk
membangun plasmanufah dan kebun biji, ini
termasuk membuat regulasi dan kebijakan atau
sejenis petunjuk keanekaragaman hayati;
e) Study tentang siklus pemanenan rotan secara
ekonomi menguntungkan, mengintensifkan
species rotan yang lain;
f) Melakukan analisis permintaan terhadap
kertersediaan rotan untuk menjaga
keberlanjutan antara permintaan dan penawaran;
g) Mengembangkan teknologi pembudidayaa
untuk perkecambahan dan keranjang.

4. Sistem pemanenan dan Standar a) Mengembangkan teknologi untuk mengurangi


pengujian limbah pemanenan, alternatif pemanfaatan
limbah rotan di hutan dan di industri;
b) Mengembangkan peralatan yang cocok untuk
pemanenan rotan yang berdiamer kecil dan
besar;
c) Mengembangkan dan melaksanakan ASEAN
standar;
d) Study untuk menentukan waktu/musim panen
yang tepat untuk mengurangi serangan serangan
dan jamur.

5. Aktivitas setelah pemanenan a) Melaksanakan studi banding pengawetan yang


berlaku di negara ASEAN;
b) Melaksanakan teknologi berjalan, baik untuk
training dan pengeringan;
c) Memperbaiki disain produk rotan berdasarakan
permintaan pasar;
d) Mulai berencana mengaplikasikan teknologi
mekanik;
e) Mengembangkan teknology pemutihan yang
ramah lingkungan;
f) Mengembangkan metode pengawetan baru pada
pabriknya;
6. Aspek sosial ekonomi a) Studi aspek sosial dan ekonomi dari rotan,
meliputi analisis finansial, sistem
kearifan/pengetahuan lokal, peranan gender dan
perhitungan contribusi rotan terhadap
pengurangan polusi karbon;
b) Studi model konsumsi dan preferensi pasar;
c) Melakukan kajian atau revies pola pemasaran
yang cocok untuk petani.

Hasil Hutan Bukan Kayu 100


7. Penguatan jaringan kerja sama antar
a) Membangun herbarium rotan pada tiap bagian
negara ASEAN rotan di masing-masing negara;
b) Membangun data base ASEAN;
c) Membangun bank benih dan sumber
plasmanutfah;
d) Mengembangkan sistem sertifikasi untuk
ASEAN dan praktek-praktek perdagangan yang
adil;
e) Membangun jaringan kerja sama rotan ASEAN,
yang dapat berdiskusi dan sumbang saran
kebijakan yang, saling menguatkan, melengkapi
atau mendukung kebijakan projek rotan, seperti
perdaganan lintas batas;
f) Mengkoordinasikan, menyebarkan dokumen
untuk kebersamaan, seperti penyebaran
informasi melalui buletin elektronik dari
lembaga Penelitian Kehutanan, Malaysia.
8. Training Budi daya dan produksi a) Pelatihan produksi benih, perkecambahan,
rotan pembangunan hutan tanaman rotan di tingkat
masyarakat/petani;
b) Pelatihan taksonomy rotan;
c) Pelatihan inventarisai rotan;
d) Pelatihan pemanenan rotan.
9.Pelatihan pengolahan dan a) Pelatihan penggunaan teknologi paska panen;
pemanfatan rotan b) Pelatihan teknologi Pengolahan.

7.7. Pustaka

Anonimus. (1980). Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 204/Kpts/DJ/1980


tentang Peraturan Pengujian Rotan Bulat Indonesia. Jakarta.
Asia-Pacific Forestry Commision (1998). Asia-Pacific Forestry Towards 2010. Report of The
Asia-Pacific Forestry Sector Outlook Study. Food and Agriculture Organization of
The United Nation, Rome Italy
Asia Pacific Forest Industries (1990). The Success of the Rattan Industry in Indonesia. October
1990
Dransfield.J dan N.Manokaran (1996). Rotan. Sumber daya Nabati Asia Tenggara No. 6. Gajah
Mada University Press – Prosea. Yogyakarta
Fugu, T.A (1997). Kajian Tentang Industri Kerajinan Rotan di Kota Nabire. Skripsi Sarjana
Kehutanan pada Fakultas Pertanian, Universitas Cenderawasih Manokwari. Tidak
diterbitkan.

Hasil Hutan Bukan Kayu 101


Lapis, A.; Alvin A.Faraon; Kharina G.Bueser dan Norma R.Pablo (2004). Rattan Reborn. ITTO
Tropical Forest Update No.14/4. PP 12-13
Pagapong, I.I (2001). Pengujian dan Evaluasi Kualitas Rotan Asalan Marga Calamus dan
Korthalasia asal Kebar Kabupaten Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan pada
Fakultas Pertanian, Universitas Cenderawasih Manokwari. Tidak diterbitkan.
Sirait, U (1998). Pengaruh Beberapa Kondisi Penggorengan terhadap kadar air rotan Diameter
Besar asal Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan pada Fakultas Pertanian,
Universitas Cenderawasih Manokwari. Tidak diterbitkan.

Hasil Hutan Bukan Kayu 102


BAB 8

SAGU (METROXYLON SPP)

8.1. Pendahuluan

Sagu adalah tumbuhan yang sangat penting keberadaannya bagi beberapa kelompok
masyarakat adat, khususnya saudara- saudara kita yang berdomisili di Indonesia bagian timur,
seperti sebagain wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua. Sagu dimanfaatkan dan dipergunakan
sebagai tumbuhan sumber penghasil karbohidrat utama (staple food). Masyarakat yang hidup di
daerah pesisir, rawa dan daerah pantai umumnya memanfaatkan sagu sebagai pengganti
karbohidrat, karena sumber karbohidrat yang lain seperti tanaman padi tidak dapat tumbuh
dengan baik, atau masyarakat belum terbiasa dengan bercocok tanam padi. Khusus untuk daerah
Papua, sagu memegang peran yang sangat penting, karena potensinya yang cukup melimpah,
memberikan konstribusi sebagai sumber pendapatan kepada masyarakat lokal dan beberapa
sosial dan ekonomi, ekologi serta beberapa aspek lainnya yang dihasilkan dari tumbuhan sagu.
Setelah mempelajari pokok bahasan ini para mahasiswa diharapkan mampu:
1. Memahami arti penting tumbuhan sagu bagi masyarakat di luar pulau Jawa, Maluku dan
Papua khususnya sebagai sumber utama penghasil karbohidrat;
2. Menjelaskan tentang beberapa fungsi dan manfaat tumbuhan sagu kepada masyarakat, baik
aspek ekologi, sosial dan ekonomi;
3. Mendiskripsikan ciri-ciri pohon sagu yang telah masak tebang (siap panen), teknik
pengambilan tepung (Aci) sagu yang baku;
4. Menjelaskan beberapa produk-produk yang dapat dihasilkan dari Sagu beserta bagan
pengolahannya.

8.2. Botani Sagu (Metroxylon spp)

Tumbuhan Sagu (Metroxylonspp) adalah merupakan salah satu tumbuhan Monokotil dari
genus Metroxylon dan famili Palmae. Nama latin dari tumbuhan Sagu adalah Metroxylon, yang
aslinya berasal dari bahasa latin, yaitu metra dan xylem. Metra berarti empulur (pith) atau isi
dan xylem yang berarti pembuluh kayu, Flach (1977).Sehingga sagu dapat didefinisikan sebagai
jenis tumbuhan monokotil yang pembuluh kayu atau empulurnya berisi.
Berdasarkan karakteristik pembungaannya, tumbuhan sagu dapat dibedakan menjadi dua
keloompok yaitu jenis yang berbunga atau berbuah sekali (Hepaxantic) dan jenis yang berbunga
atau berbuah dua kali atau lebih (Pleonanthic), Soerjono, 1980; Manan, dkk 1984) yang dikutip
oleh Haryanto dan Pangloli (1992). Selanjutnya ditambahkan bahwa jenis hepaxanthic adalah
kelompok sagu yang secara umum memiliki kandungan Aci yang tinggi, sehingga memegang
peranan penting, baik secara ekonomi maupun secara sosial. Sagu jenis hepaxantic di antaranya
adalah Metroxylon rumpii Martius, Metroxylon sagus Rottbol, Metroxylon sylvester Martius,
Metroxylon longispinum Martius dan Metroxylon micronatum Martius. Sedangkan kelompok
yang berbuah dua kali terdiri atas dua jenis yaitu : Metroxylon filarae dan Metroxylon elatum,
yang memiliki ciri yaitu menghasilkan kandungan aci yang rendah.

Hasil Hutan Bukan Kayu 103


Di Irian Jaya, sekarang Papua dan Papua Barat, terdapat lima 5 (lima) varietas penting
yang di budidayakan oleh masyarakat yaitu Sagu Molat (Metroxylon sagus M), Sagu Ihur
(Metroxylon sylvester M), sagu Tuni (Metroxylonrrumphii M), sagu Makanaru (Metroxylon
longispinum M) dan sagu Rotan (Metroxylon micronatum M). Pengelompokkan ke dalam jenis
yang berduri dengan tidak berduri, maka jenis sagu Molat adalah tipesagu yang tidak memiliki
duri di bagian pelepah daunnya, dan sering dinamakan dengan sagu betina, Haryanto dan
Pangloli (1992) . Contoh jenis sagu yang memiliki duri pada pelepahnya dapat dilihat pada
Gambar 8.1
Bagi masyarakat Indonesia bagian timur, khususnya Irian Jaya (Papua) dan Maluku,
tumbuhan sagu memiliki arti yang sangat penting karena sagu dimanfaatkan sebagai sumber
utama karbohidrat terutama bagi mereka yang berdomisili pada daerah dataran rendah/pantai.
Keadaan tersebut sudah berlangsung selama berabad-abad, dari generasi yang satu ke generasi
berikutnya. Sedangkan pada daerah pegunungan atau dataran tinggi di Papua, masyarakat lokal
mengkonsumsi Ubi Jalar (Ipomea Batatas) sebagai sumber karbohidrat. Bila dibandingkan
dengan sumber karbohidrat yang lainnya seperti beras, jagung, ubi kayu, sagu diperkirakan
memililiki kandungan karbohidrat yang lebih tinggi. Gambaran anakan pohon sagu yang
tumbuh di alam dan berumur sekitar 2 tahun dapat dilihat pada Gambar 8.1 (kiri) sedangkan
dusun atau tegakan sagu dapat dilihat pada Gambar 8.1 (kanan).

Foto:Wahyudi (2006) Foto: Istalaksana (2005)


Gambar 8.1. Anakan pohon sagu (Metroxylon spp) yang tumbuh di Alam (kiri) dan dusun atau
tegakan sagu (kanan).

8.3. Potensi Sagu

Secara jujur harus diakui bahwa luas hutan dan potensi tanaman sagu di Indonesia belum
diketahui dengan pasti. Hal tersebut terjadi karena banyaknya data dan informasi yang berbeda,
baik menyangkut luas, potensi dan penyebaranya. Pernyataan ini lebih ditegaskan lagi oleh
Haryanto dan Pangloli (1992), yang menyatakan bahwa luas areal sagu di indonesia belum
diketahui secara pasti. Kedua penulis tersebut mengutip beberapa hasil penelitian tentang
perkiraan luas areal sagu di Indonesia, yaitu 716 000 Ha menurut Soedewo dan Haryanto
(1983), dan 850 000 Ha menurut Soekanto dan Wijandi (1983). Perkiraan luas areal sagu yang
lebih kontroversial yaitu yang dikemukakan oleh Manan dan Supangkat (1986) seperti dikutip
oleh Haryanto dan Pangloli (1993), yaitu luas areal sagu di Irian Jaya seluas 4.183.300 Ha (lihat
Tabel 8.2). Fakta luas areal ini tentu saja sangat mencegangkan dan perlu diteliti

Hasil Hutan Bukan Kayu 104


keakurantannya lagi. Sedangkan perkiraan luas areal sagu dibeberapa negara yang dibuat oleh
Flach (1983) hanya mencamtumkan 2 187 000 Ha.
Luas areal sagu untuk beberapa negara telah diperbaharui oleh Flach pada tahun 1997.
Selanjutnya, luas areal tersebut dikelompokkan mejadi dua kelompok yaitu sagu yang tumbuh
alami (wild stand) dan dibudidayakan (semi-cltivated stands). Ringkasan dari perkiraan luas
areal sagu di beberapa lokasi seperti di di Indonesia, PNG, Malaysia, Thailand, Filipina dan
kepulauan pasifik yang dibuat oleh Flach (1997) selengkapnya diringkas seperti pada Tabel 8.1.
berikut ini.

Tabel 8.1. Estimasi luas tumbuhan Sagu di beberapa lokasi seperti Indonesia, Papua New
Guinea, Malaysia, Thailand dan Filipina

Negara/Daerah Tumbuh liar (ha) Dibudidayakan (ha)


Indonesia 1 250 000 148 000
Irian Jaya, total 1 200 000 14 000
Bintuni 300 000 2 000
Danau Plain (Lake Plain) 400 000 -
Irian Selatan (Southern Irian) 350 000 2 000
Distrik lain (others districs) 150 000 10 000
Maluku 50 000 10 000
Sulawesi - 30 000
Kalimantan - 20 000
Sumatera - 30 000
Kepulauan Riau - 20 000
Kepulauan Mentawai - 10 000
Papua New Guinea 1 000 000 20 000
Provinsi Sepik 500 000 5 000
Provinsi Gulf 400 000 5 000
Provinsi Lain 100 000 10 000
Malaysia 45 000
Sabah - 10 000
Serawak - 30 000
Malaysia Barat - 5 000
Thailand - 3 000
Filipina - 3 000
Negara lainnya - 5 000
Total 2 250 000 224 000
Sumber: Flash (1997)

Dari tabel 8.1. di atas terlihat bahwa potensi sagu di Indonesia adalah sekitar 54% dari total
areal sagu secara keseluruhan. Luasan areal sagu tersebut hampir seluruhnya terdapat di
Indonesia bagian timur, khususnya Irian Jaya dan Maluku.Khusus untuk penyebaran luas areal
sagu di provinsi Irian Jaya dari berbagai sumber telah di ringkas oleh Haryanto dan Pangloli
(1993) disajikan pada Tabel 8.2.

Hasil Hutan Bukan Kayu 105


Tabel 8. 2. Luas Areal sagu di provinsi Irian Jaya dari berbagai sumber

Daerah Luas (ha)


Merauke 3 569530
Fak-fak 389840
Jayapura 36690
Serui 88 020
Sorong 1) 81 810
Sorong 2)
a.Bintuni 50 200
b.S.Kamundan 66 050
c.S.Kais dan Mentawai 94 600
d.Inanwatan 53 050
e. Teminabuan 6 200
270 000
Manokwari 11330
Biak 6 500
Total 4 183300
4371590

. Keterangan : 1). Areal menurut Manan danSupangkat (1986), 2) menurut BPPT teknologi
(1987) khusus meneliti dikecamatan Inanwatan

Populasi tanaman sagu sangat tergantung pada jenis, daerah produksi dan perlakuan yang
diberikan selama massa pertumbuhan. Populasi sagu yang diusahakan atau dibudidayakan
populasinnya lebih padat daripada yang tumbuh secara liar.

8.4. Ciri Fisik Sagu Siap Panen

Istilah tumbuhan sagu siap panen adalah pengertian yang dipergunakan untuk melukiskan
ciri-ciri fisik pohon sagu yang memiliki kandungan aci yang maksium. Siap panen juga sering
dinamakan dengan pohon sagu yang telah masak tebang. Soekarto dan Wijandi (1983) dalam
Haryanto dan Pangloli (1992) menyatakan bahwa ciri-ciri pohon sagu yang siap panen atau
masak tebang adanya perubahan-perubahan yang terjadi pada daun, duri, pucuk dan batang.
Tetapi ciri morphologi yang utama adalah perubahan pada primordia bunga atau kuncup bunga
yang telah keluar, tetapi belum sempat mekar. Masyarakat lokal, seperti di Irian Jaya, Maluku
dan beberapa daerah lainnya di Indonesia, memiliki pengetahuan tersendiri dalam menentukan
tingkat kemasakan pohon sagu. Khusus untuk penduduk di Papua, ada yang memukul-mukul
batang sagu, apabila mengeluarkan bunyi tertentu maka pohon tersebut siap panen. Sebagian
masyarakat juga mengambil contoh empulur pohon sagu, dan apabila dikunyah atau dilarutkan
dalam air, kelihatan keruh berarti kandungan acinya sudah banyak, maka pohon tersebut telah
masak tebang.
Disisi lain, untuk keperluan inventarisasi potensi, jenis dan penyebaran tumbuhan sagu,
Simbolon dkk (1989) telah membuat suatu pedoman Inventarisasi Hutan Sagu. Dalam pedoman
tersebut, khususnya untuk melihat populasi anakan dan fase pertumbuhan, tanaman sagu
dikelompokan ke dalam lima tingkatan pertumbuhan, yaitu tingkat semai (seedling), sagu muda,

Hasil Hutan Bukan Kayu 106


pohon sagu belum masak tebang (BMT), pohon sagu masak tebang (MT) dan pohon sagu telah
lewat masak tebang (LMT).
Tingkat semai adalah sagu yang mempunyai tinggi batang dari permukaan tanah sampai
bebas pelepahnya < 0.5 m. Sagu muda adalah sagu yang mempunyai tinggi bebas pelepah 0.5- 3
m. Pohon sagu adalah adalah tumbuhan sagu yang memiliki tinggi bebas pelepah >3 m.
Khusus untuk fase pertumbuhan pohon, berdasarkan ciri kenampakan morphologis dan
kematangan pohon sagu dalam menghasilkan pati, utamanya pohon sagu yang
memilikikandungan aci yang optimum, dapat dikelompokan kefalam tiga tingkat/fase
pertumbuhan, yaitu pohon sagu Belum Masak Tebang (BMT), pohon sagu Masak Tebang (MT)
dan pohon sagu Lewat Masak Tebang (LMT). Ciri-ciri morphologis dari ketiga fase
pertumbuhan pohon sagu tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Belum Masak Tebang (BMT) dengan ciri-ciri sebagian pelepah daun telah putus dan
deretan duri pada pelepah hilang, daun pada pucuk mulai memendek, mulai keluar jantung,
dan duri dari daun hampir seluruhnya hilang.
2) Masak Tebang (MT) adalah bila seluruh pelepah daun sudah menguning, seluruh jantung
telah keluar tapi belum pecah.
3) Lewat Masak Tebang (LMT) apabila mempunyai ciri-ciri selubung jantung mulai pecah
dan keluar tangkai-tangkai bunga seperti buah sirih dan seluruh tandan bunga kelihatan
seperti tanduk rusa.

Khusus untuk daerah Maluku, seperti diuraikan oleh Pieters (1966) yang dikutip oleh
Haryanto dan Pangloli (1992), berdasarkan kandungan aci pohon sagu masyarakat mengenal
empat tingkat kematangan, yaitu tingkat Wella (putus duri), tingkat Maputih, tingkat Maputih
masa, dan tingkat Siri buah. Diskripsi morphologis yang dapat dilihat dari masing-masing fase
tersebut dapat dibedakan sebagai berikut:
a) Tingkat kematangan Wela atau putus Duri, adalah suatu fase di mana sebagian dari pelepah
daun telah lenyap. Tahap ini belum kematangan sempurna sehingga tingkat acinya masih
rendah. Kandungan aci hanya terdapat pada bagian pangkal batang, sehingga ujungnya
tidak mengandung pati.
b) Tingkat Maputih adalah kematangan yang ditandai dengan menguningnya pelepah daun,
duri yang terdapat pada pelepah daun hampir seluruhnya lenyap, kecuali pada bagian
pengakal pelepah masih tertinggal sedikit. Daun muda yang terbentuk ukurannya kecil dan
pendek. Khusus untuk jenis Metroxylon rumphii MART pada fase ini memiliki kandungan
acinya sangat tinggi, bila lewat fase ini acinya turun dan rasanya tidak enak lagi.
c) Tingkat Maputih Masa atau masa jantung di mana semua pelepah daun telah menguning
dan kuncup bunga sudah mulai muncul. Pada fase ini kandungan acinya telah padat
sehingga semua bagian pohon dari pangkal ke ujung dapat diolah. Tetapi acinya kurang
enak terutama pada M. RumphiiMART, sedangkan pada M sylvesterMART fase ini adalah
fase yang tepat untuk pemanenan.
d) Tingkat siri buah, adalah tingkat kematangan terakhir di mana kuncup bunga sagu telah
mekar dan bercabang menyerupai tanduk rusa dan buahnya mulai terbentuk. Saat ini adalah
fase pada sagu M. LongispinumMART. Sedangkan jenis sagu yang lain, pada fase ini
kandungan acinya sangat rendah karena sudah digunakan untuk produksi bunga dan buah.

Hasil Hutan Bukan Kayu 107


Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (1982a) yang dikutip oleh Haryanto dan
Pangloli (1992) membedakan 4 (empat) fase pertumbuhan sagu, yaitu tingkat semai atau
anakan, tingkat sapihan (Sapling), tingkat tiang (Pole) dan tingkat pohon (tree). Penggolongan
fase pertumbuhan tersebut berdasarkan kepada karakteristik pertumbuhan tinggi batang sagu
yang bebas daun atau pelepah. Tingkat semai adalah anakan sagu yang masih kecil dan
memiliki batang bebas daun 0-0.5 m; tingkat sapihan adalah anakan sagu yang memiliki batang
bebas daun 0.5 – 1.5 m; tingkat tiang adalah anakan sagu dengan batang bebas daun atau
pelepah 1.5 – 5 m; dan tingkat pohon adalah tumbuhan sagu yang memiliki batang bebas daun
atau pelepah di atas 5 m.

8.5. Pengertian Aci Sagu

Terkadang kita dihadapkan kepada dua pengertian yang sangat membingungkan antara
Tepung, Acidan Pati. Keduanya adalah termasuk senyawa karbohidrat yang dibedakan
berdasarkan kehalusan partikelnya. Haryanto dan Pangloli (1992) menyatakan bahwa
karbohidrat atau patiadalah hasil dari proses penghancuran beberapa sumber karbohidrat yang
berupa biji atau proses ekstraksi dari umbi atau empulur dari sehingga membentuk bubuk yang
sangat halus (powder). Sedangkan aci adalah suatu bubuk dari hasil dari proses mengekstraksi
pati dari umbi atau empulur batang. Aci ubi kayu berasal dari hasil ekstrak pati ubi kayu atau
tapioka, aci garut dari umbi garut, aci sagu dari empulur batang sagu dan sebagainya. Lebih
lanjut dikatakan bahwa untuk mendapatkan aci, harus menggunakan media air, sehingga pati
dapat terlepas dari serat-serat kasarnya.
Para ahli pangan mendefinisikan tepung adalah hasil pengolahan lebih lanjut dari aci.
Sehingga dengan kata lainnya tepung adalah pati yang telah dibersihkan, sehingga kandungan
karbohidratnya lebih tinggi. Dalam pati masih dimungkinkan adanya kandungan senyawa lain
selain karbohidrat dalam jumlah yang cukup tinggi, seperti serat, asam-asam maupun lignin atau
tanin.

8.6.Pemanenan Sagu

Pemanenan pohon sagu diawali dengan cara memilih pohon sagu yang telah masak tebang.
Kemudian pembersihan semak-belukar, rumpu dan beberapa tumbuhan bawah lainnya di sekitar
pohon sagu yang akan ditebang. Pembersihan ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan kerja
untuk proses penokokan yang luas, bersih, nyaman dan aman. Karena proses pemanenan sagu,
biasanya dilakukan beramai-ramai, atau melibatkan lebih dari satu keluarga (gotong royong)
seperti terlihat pada Gambar 8.2. Hal ini mengingat volume pohon sagu yang cukup besar dan
proses penokokan yang cukup memakan waktu. Penebangan dilakukan dengan menggunakan
kapak yang tajam. Kapak digunakan mengingat kulit batang pohon memiliki tingkat kekerasan
yang sama atau melebihi kekerasan batang pohon kelapa yang tua. Setelah ditebang, dilakukan
pemotongan setengah diameter batang sejajar serat, dengan panjang sesuai dengan kemampuan
penebang untuk dapat mempermudah proses penokokan atau pemarutan (menghancurkan)
empulurnya

Hasil Hutan Bukan Kayu 108


Foto: Darma (2006)
Gambar 8.2. Proses penokokan sagu (penghancuran empulur) yang dilakukan beramai-ramai
(gotong royong)

Secara umum proses pemanenan sagu di beberapa daerah di provinsi Irian Jaya, dapat
diringkas seperti ditampilkan oleh diagram alir pada Gambar 8.3

Hasil Hutan Bukan Kayu 109


Gambar 8.3. Gambaran umum diagram alir proses pemanenan sagu di beberapa tempat di
provinsi Papua dan Papua barat

8.7. Penghancuran Empulur (Menokok) dan Ekstraksi Aci Sagu

Penghancuran empulur sagu adalah pengertian lain untuk mengambarkan istilah


penokokan sagu. Metode untuk menokok berbeda untuk satu daerah dengan daerah lainnya.
Perbedaan tersebut terdapat dalam cara membelah, alat tokok yang dipergunakan dan cara
menokoknya. Secara umum metode untuk menokok sagu dapat dibedakan menjadi tiga yaitu a)
Tradisional; b) Semi mekanis; dan c) Mekanis penuh.

8.8. Metode Tradisional

Pada metode tradisional, batang sagu yang telah dibelah, dipukul-pukul dengan alat
khusus, untuk menghancurkan empulur batang sagu Umumya alat tokok ini terbuat dari kayu
keras, yang salah satu ujungnya diberi besi untuk menghancurkan empulur. Bentuk alat tokok
ini berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lainnya. Bentuk alat tokok dari daerah Biak
dapat dilihat pada Gambar 8.4 (kiri), sedangkan alat tokok dari daerah Inanwatan, Sorong
Selatan dapat dilihat pada Gambar 8.4 (kanan). Sedangkan penggunaan alat tokok tersebut
dapat diihat pada Gambar 8.5.

Hasil Hutan Bukan Kayu 110


Sedangkan alat tokok yang berupa parut terbuat dari satu lembar papan kayu, dengan
lebar kurang lebih 30 cm dan panjang 1,5 m da tebal 2-3 cm, yang diberi paku atau besi tajam,
menyerupai parut kelapa. Pemarutan dilakuan dengan menggerakan alat parut bergantian arah
dan tegak lurus dengan arah serat atang sagu.

Foto Darma (2006)


Gambar 8.4. Dua bentuk alat tokok sagu dari daerah Biak (kiri) dan Inanwatan- Sorong Selatan
(Kanan)

Foto: Istalaksana (2005) Foto: Darma (2006)

Gambar 8.5. Penggunaan alat tokok dalam menokok sagu, duduk (kiri) dan berdiri (kanan)

Setelah dihancurkan dari empulurnya, Gambar 8.6 (kiri) serat empulur sagu yang telah
terpisah dikumpulkan, ditampung dalam karung plastik atau wadah lainnya, Gambar 8.6

Hasil Hutan Bukan Kayu 111


(kanan), dan siap untuk diekstrak. Serat empulur tersebut biasanya diektrak dekat dengan
sumber mata air, karena proses ekstraksi aci sagu memerlukan banyak persediaan air. Ekstraksi
aci sagu dilakukan dengan cara membuat saluran air, biasanya terbuat dari pelepah daun sagu
yang telah tua. Pelepah ini berfungsi sebagai media penampung serat empulur sagu. Empulur
sagu selanjutnya diberi air secukupnya, diremas-remas dengan kedua tangan untuk
mengeluarkan dan memisahkan aci dari seratnya.

Foto: Darma (2006) Foto : Istalaksana (2005)

Gambar 8.6. Hasil proses penokokan atau penghancuran empulur sagu (atas) dan serat empulur
yang ditampung, siap untuk di ekstrak (bawah)

Untuk mencegah terbawanya serat bersama air perasanmenuju tempat penampungang air
perasan, maka diberi saringan. Saringan iniumumnya terbuat dari kain bersih dengan pori-pori
yang tidak terlalu besar. Pelepah tersebut dibuat dengan konstruksi yang agak miring dan lebih
tinggi dari bak penampung, sehingga air perasan dapat mengalir berdasarkan gaya gravitasi,
seperti terlihat pada Gambar 8.7. Selanjutnya air perasan dibiarkan mengendap dalam bak
penampung selama beberapa jam. Apabila aci yang terlarut pada bak penampung, telah
mengendap, ditunjukkan dengan air yang bening di permukaan bak penampung, maka aci siap
untuk diambil dengan membuang terlebih dahulu airnya. Gambaran proses ekstraksi aci sagu
dapat dilihat pada Gambar 8.7.

Hasil Hutan Bukan Kayu 112


Foto: Istalaksana (2005) Foto: Darma (2006)

Gambar 8.7. Dua gambaran umum metode ektraksi serat empulur sagu untuk mendapatkan aci
di Papua

Metode ektraksi aci sagu di daerah Kalimantan, dilakukan dengan menginjak-injak


empulur sagu yang telah diparut, sambil diberi pencampuran air dengan menggunakan wadah
yang terbuat dari keranjang bambu, sehingga tidak diperlukan lagi saringan.
Aci yang masih basah dapat dimasukkan dalam tumang, ataupun dalam tas-tas kecil untuk
proses penirisan (pengeluaran air). Tumang adalah keranjang yang terbuat dari daun sagu, dan
dipergunakan khusus untuk menampung aci sagu basah. Setelah kering aci tersebut dipindahkan
dalam tumang lain yang lebih tertutup, sehingga mencegah terkontaminasi dengan udara luar
dan memudahkan dalam transportasi maupun distribusinya. Beberapa bentuk kemasan aci sagu
(tumang), di Papua, yang sempat diabadikan oleh Ir. Darma, MSi dari Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian, Universitas Negeri Papua, Manokwari dapat dilihat pada Gambar 8.6. Model
kemasan tumang yang diperlihatkan oleh Gambar 8.6 paling kanan adalah yang saat ini lagi
berkembang di mastyarakat. Model tersebut sangat simpel, ringan dan beukuran kecil, mudah
kering karena wadahnya berpori-pori besar.

Gambar 8.8. Beberapa bentuk kemasan (tumang) aci sagu di Papua

Hasil Hutan Bukan Kayu 113


Rata- rata berat satu tumang sagu basah berkisar antara 20-30 kg Untuk kemudahan
penjualan, tumbang tersebut kemudian dibagi-bagi ke dalam ukuran kecil, kurang lebih 2-3 Kg,
dalam tas plastik untuk dijual di pasar tradisional, Gambar 6.2. Satu plastik pati sagu basah atau
setengah kering, kadar air kurang lebih 30-50%, di pasal tradisional kota Manokwari dijual
dengan harga berkisar antara Rp. 5.000 – 10.000, tergantung kepada musim tokok sagu.

8.9. Metode Semi Mekanis

Ekstraksi sagu secara semi mekanis, pada prinsipnya sama dengan cara tradisional tetapi
pada proses penghancuran empulur bukan dilakukan secara manual tetapi dengan mesin
pemarut atau penghancur. Pemarut terbuat dari besi dari lempengan kayu yang diberi paku dan
lempengan kayu ditempelkan pada bingkai kayu yang berbentuk lingkaran, sehingga apabila
diputar, putaran lempengan kayu tersebut akan memarut empulur sagu. Roda pemarut ini
digerakkan oleh tenaga manusia dengan mengubungkan pemarut dengan rantai ke gigi roda
(seperti sepeda) dengan sistem pedal. Alat pemarut sagu semi mekanis sederhana ini untuk di
Universitas Negeri Papua, Manokwari dimiliki oleh Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, yang
dibuat oleh Ir.Darma, MSi.

Gambar 8.9. Alat pemarut sagu semi mekanis yang dikembangkan oleh UNIPA

Modifikasi alat pemarut empulur sagu sederhana tersebut telah dilakukan melalui
pendanaan dari Penelitian Hibah bersaing untuk perfomance atau kinerjanya padatahun 2005.
Pada prinsipnya roda penggerak yang digerakkan oleh manusi, diganti dengan penggerak dari
generator.kl listrik Sedangkan roda penghancur (crusher) dimodifikasi dengan menggunkaan
lembaran seng atau baja yang didesain sangat asar untuk menghancurkan empulur sagu.
Prototipe dari alat ini sedang di uji coba performance di laboratorium Teknologi Pertanian
Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian Universitas Negeri Papua (UNIPA), seperti
ditampilkan pada Gambar 8.10. Dalam ekstraksi semi mekanis ini pemisahan pencucian dan
penyaringan aci sagu dilakukan dengan metode yang sama dengan pada metode tradisional.

Hasil Hutan Bukan Kayu 114


Gambar 8.10. Mesin pemarut sagu hasi modifikasi yang digerakkan oleh generator

8.10. Metode Mekanis Penuh

Metode ekstraksi sagu secara mekanis penuh yaitu semua proses dilakukan dengan mesin
seperti yang terdapat pada PT. Sagindo Sari Lestari, Arandai Manokwari Irian Jaya, yang
berdiri pada tahun 1989, dengan kapasitas poduksi sebesar 100.000 ton per tahun, dengan jatah
tebang tahunan 2379 ha, dengan menggunakan proses rotary dan hummermill, Supriyadi
(1999). Tetapi sangat disayangkan, industri ini telah kolap.
Supriyadi (1999) secara garis besar melukiskan proses pengolahan sagu di PT. Sagindo
tersebut. Pengolahan sagu diawali dari penebangan pohon sagu, sellanjutnya pohon yang telah
ditebang, dipotong potong sepanjang 1-1.5 M dan kemudian dihanyutkan pada alur-alur sungai
setelah terlebih dahulu di ikat satu sama lain dengan tali agar tidak tenggelan dan mudah dalam
penarikkan. Selanjutnya batang sagu tersebut ditarik dengan speed boat ke lokasi industri.
Batang sagu tersebut kemudian dibersihkan dari kotoran-kotoran yang menempel, seperti
kerikil, tanah maupun pasir. Setelah itu, batang yang bersih dimasukkan ke dalam mesin
pengupas kulit dan mesin penghancur (hummermill). Selanjutnya hasil air dari hummermill
diekstrak oleh ekstraktor. Dengan bantuan sentrifuse, serat dan aci sagu dipisahkan. Aci yang
diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam mesin pemanas (drying blower). Selanjutnya aci sagu
dari pemanas, dikeringkan ke dalam hydrating blower dengan sistem uap panassamapai
kering.Setelah proses berakhir, Aci sagu tersebut sudah keluar dari mesin dalam bentuk tepung
(powder) yang telah dimasukkan dalam karung yang siap disimpan dan dipasarkan. Pengepakan
dilakukan dengan menggunakan karung dengan berat 50 kg per karung. Diagram alir proses
pengolahan sagu menjadi tepung di PT. Sagindo berdasarkan yang dilukiskan oleh Supriyadi
(1999) dapat diringkas dalam Gambar 8.11.

Hasil Hutan Bukan Kayu 115


Penebangan Pohon sagu

Pemotongan Batang sagu menjadi log


(tualan)

Transport ke Logpond dalam bentuk rangkaian tual

Pembersihan

Hidrolic cutting (pembelahan tualan)

Pengupasan kulit (peeler machine dengan sistim Rotary)

Penghancuran empulur
(hammermill dan scraper)

Penampungan dan
penyaringan

Ekstraktor dengan sentrifuse

Pengeringan

Pengemasan

Gambar 8.11. Diagram alir proses pengolahan sagu menjadi tepung di PT. Sagindo berdasarkan
pendapat Supriyadi (1999)

8.11.Pemanfaatan Pohon Sagu

Seluruh bagian tanaman pohon sagu dapat dimanfatakan, pelepah daun sagu, yang dalam
bahasa lokal Papua dinamakan dengan gaba-gaba adalah bahan baku dinding rumah yang murah
dan meriah tetapi berumur panjang, daun sagu yang relatif lebar dapat dipergunakan sebagai
atap rumah maupun dinding rumah (Gambar 8.12). Manfaat utamanya dari pohon sagu adalah
sebagai sumber karbohidrat dan bahan bangunan untuk skala tradisional. Seperti batang luar
sagu dapat dimafaatkan untuk membuat dinding dan lantai rumah kayu, daun sagu untuk
membuat atap dan anyaman sedangkan tulang daun sagu dapat dimanfaatkan untuk membuat
sapu lidi. Sedangkan untuk skala industri sagu diambil acinya untuk membuat tepung roti,
biscuit, mie, bahan kimia, dextrin, alkohol (fermentasi).

Hasil Hutan Bukan Kayu 116


Foto: marty (2005)
Gambar 8.12. Pemanfaatan daun sagu yang telah dijepit untuk atap dan dinding masyarakat
lokal di Supriori – Biak Papua.

Untuk penggunaan skala lokal, sagu banyak dimanfaatkan masyarakat untuk bahan
pembuatan Papeda, makanan khas Papua. Papeda hanya dibuat pada waktu-waktu tertentu,
misalnya perayaan ulang tahun orang dewasa, menghormati tamu, kondisi badan kurang fit dan
lain sebagainya. Untuk keperluan bepergian jauh atau keladang, masyarakat biasanya
membuatnya dalam bentuk sagu kering, dikenal dengan nama sagu lempeng, yang biasanya
dimakan dengan cara mencelupkannya dalam air putih, atau teh bahkan kopi. Contoh sagu
lempeng yang dijual dipasar lokal Manokwari dapat dilihat pada Gambar 8.13. Di daerah
Sulawesi Utara, terdapat salah satu ciri khas makanan dari sagu, yang dikenal dengan nama
Bagea.

Foto: Wahyudi (2007)


Gambar. 8.13. Sagu lempeng yang dijual di Pasar Lokal Manokwari.

Penggunaan sagu untuk produk non pangan misalnya adalah pemanfaatan bagian pohon
sahu untuk bahan bangunan rumah. Hal ini terkait dengan kondisi alam penduduk lokal yang
mengusahakan pohon sagu, yang kemudian dikenal dengan nama peramu sagu, yang tinggal di
daerah rawa sebagaimana habitat pohon sagu, di mana memerlukan konstruksi rumah panggung
yang sebagian besar terbuat dari kayu.

Hasil Hutan Bukan Kayu 117


Ampas atau serat kasar dari sisa pemerasan atau ekstraksi tepung dagu dapat dimanfaatkan
sebagai sagu dimanfaatkan sebagai makanan ternak, media perkembang biakan jamur merang
dan media perkembangbiakan ulat sagu (Rhynchophorus papuanus). Khusus untuk Ulat Sagu
(Gambar 8.14), memiliki kandungan protein hewani yang cukup tinggi, dan hal ini dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat lokal untuk pemenuhan kebutan protein hewani. Pemanfaatan
ulat sagu sebagai sumber alternatif protein Hewani bagi masyarakat lokal Papua, telah
memnagkan Lomba karya Tulis Mahasiswa (LKTM) juara pertama ditingkat Indonesia Timur
dan juara ke empat di tingkat nasional pada tahun 2004, yang kebetulan dibimbing oleh Penulis
sendiri.

Foto: Darma (2006)


Gambar 8.14. Fase Imago dari kumbang Rhynchophorus papuanus (ulat sagu)sebagai sumber
protein hewani alternatif bagi masyarakat lokal

Pemanfaatan tepung atau pati sagu untuk keperluan industri atau yang berskala industri
telah diuraikan secara jelas oleh LITBANG Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999),
seperti disajikan pada diagram pada Gambar 8.15 di bawah ini.

Gambar 8.15. Diagram pemanfaatan pati sagu dalam skala industri

Hasil Hutan Bukan Kayu 118


Pohon Sagu (Metroxylon spp) adalah pohon masa depan, yang dapat difungsikan tidak
hanya sebagai sumber karbohidrat alternatif, tetapi juga sebagai sumber energy alternatif, yaitu
etanol. Bahkan negara Jepang, yang tidak memiliki hutan sagu, memiliki pusat penelitian
tentang sagu, yaitu Palm studies. Dalam berbagai peertemuan internasional, negara dan peneliti
Jepang sangat aktif dalam beberapa pertemuan tentang segala permasalahan sagu.
Symposium internasional mengenai sagu (the International SagoSymposium) sampai
dengan tahun 2005, telah berlangsung selama 8 (delapan) kali. Symposium Sago International
yang ke 8 diadakan di Jayapura pada tanggal 4 – 6 July 2005. Peserta symposium datang dari
Indonesia, Malaysia, Jepang, Filipina, Papua New Guinea dan Tanzania.

8.12. Pustaka

Flach, M.1997. Sago Palm Metroxylon sagu Rottb. Promoting the conservation and use of
underutilized and neglected crops 15. International Pant Genetic Resources
Institute. Rome, Italy.
Haryanto, B dan P. Pangloli.1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius Yogyakarta.
Karafir, Y.P., V.E. Fere., and Y. Toyoda. 2005. (editors). Abstracts of The International Sago
Symposium. The Japan Society for Promotion of Science.
Kaimuna, K., M.Okazaki., Y. Toyoda., and J.E. Cecil. 2002. New Frontier of Sago Palm
Studies. Proceeding of the International Symposium on Sago (SAGO 2001).
Universal Academy Press, Inc. Tokyo Japan.
Rostiwati, T., J. F.Shoon., dan M. Natadiwirya. 1999. Penanaman Sagu (Metroxylonsagu Rottb)
berskala besar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan.
Jakarta.
Simbolon, M dkk. 1989. Pedoman Inventarisai Hutan Sagu. Bagian Proyek Inventarisasi dan
Pengukuhan Hutan, Direktorat Invetarisasi Hutan dan Tata Guna Lahan,
Departemen Kehutanan.
Supriyadi, E.B. 1999. Perbedaan Kandungan Aci bahan Baku Sagu Berduri menurut Waktu
Perendaman dalam kanal pada PT. Sagindo Sari Lestari Kecamatan Arandai
kabupaten Mankwari. Skripsi sarjana kehutanan. Fakultas Pertanian universitas
Cenderawasih (tidakditerbitkan)
Susilo, A.B. 2004. Pemanfaatan Ulat Sagu (Rhynchophorus papuanus) sebagai sumber protein
alternatif bagi penduduk lokal Papua. Makalah yang sisampaikan pada Lomba
Karya Tulis Mahasiswa Tingkat Nasional.

Hasil Hutan Bukan Kayu 119


BAB 9

AREN (ARENGA PINNATA MERR)

9.1. Pendahuluan

Aren (Arenga pinnata) adalah jenis tanaman yang cukup dikenal oleh masyarakat
Indonesia, khusunya di daerah-daerah pedesaan. Tumbuhan Aren memiliki penyebaranyang
cukup luas di Indonesia, baik di daerah pedesaan, kebun-kebun masyarakat dan kawasan hutan
sekitar daerah pemukiman. Khusus di Papua, tanaman aren tumbuh secara liar di hutan dekat
pemukiman dan ada juga yang tumbuh di kebun-kebun masyarakat serta sekitar pekarangan
rumah. Pemanfaatan utama dari tumbuhan aren ini adalah untuk diambil niranya untuk
minuman tradisional yang beralkohol, pembuatan gula aren, pemanfaatan ijuk dan lidinya untuk
bahan kerajinan tangan. Karena potensinya yang melimpah, tetapi pemanfaatannya secara
maksimal belum dilakukan oleh masyarakat, maka komoditas aren perlu diperkenalkan untuk
dijadikan sebagai komoditas yang menjanjikan, terutama untuk meningkatkan pendapatan
masyarakat lokal.
Setelah menyelesaikan pokok bahasan ini, para pembacadiharapkan memiliki kemampuan
untuk:
1. Memahami arti pentingnya tumbuhan aren bagi masyarakat pedesaan, khususnya sebagai
sumber penghasilan tambahan;
2. Mendiskripsikan beberapa fungsi ekologi, sosial dan ekonomi dari tumbuhan aren bagi
masyarakat lokal atau ekonomi daerah secara umum;
3. Menjelaskan beberapa jenis produk yang dapat dihasilkan dari tumbuhan aren dan
mengambarkan proses pengolahan produk-produk tersebut.

9.2. Botani Pohon Aren

Aren (Arenga pinnata Merr) atau yang dalam bahasa lokal Papua lebih terkenal dengan
sebutan Pohon Enau, adalah tumbuhan hutan yang termasuk dalam ordo Carytoid dalam family
Arecaceae atau pinang-pinangan dari divisi Angiospermae. Tanaman ini dicirikan oleh bijinya
yang terbungkus oleh daging buah dan kulit buah, seperti ditunjukkan oleh Gambar 9.1.

Sumber : www.ceritamu.com
Gambar 9.1. Buah aren yang telah mengalami proses pemasakan untuk memisahkan daging dan
kulit buah

Hasil Hutan Bukan Kayu 120


Dalam perdagangan international, tumbuhan Aren lebih dikenal dengan sebutan Sugar
palm. Ini dimugkinkan karena komoditas Aren, ditanam dengan utamanya untuk mendapatkan
gula atau produk-produk turunan dari gula itu sendiri, seperti sirup misalnya. Tumbuhan Aren
dapat diperbanyak dengan menggunakan biji. Biji yang telah diseleksi untuk digunakan sebagai
benih, disemaikan pada wadah perkecambahan dengan media pasir dan pupuk kandang. Daya
kecambah dari biji aren cukup tinggi, bahkan dapat mencapai 90% (Effendi, 2010).
Aren dapat tumbuh pada ketinggian 0-1600 m di atas permukaan laut, (Rumokoi, (2004).
Lebih lanjut dikemukakan bahwa di wilayah Papua, Aren dapat tumbuh di Wamena pada
ketinggian 1600 m dpl, sedangkan di Sulawesi Utara aren diketemukan tumbuh pada ketinggian
1100 m dpl, Akuba (1994) yang dikutip oleh Rumokoi (2004).
Penyebaran tanaman aren di Indonesia terutama di daerah-daerah yang memiliki curah
hujan yang cukup tinggi dan merata sepanjang tahun seperti di Nanggroe Aceh Darusalam,
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat,
Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku
Utara dan Maluku dan Papua. Pohon aren dapat dikenali dari pelepah pohonnya yang kotor,
karena pelepahnya tidak dapat lepas dengan sendirinya karena memiliki serabut yang dikenal
dengan nama ijuk. Sepintas banyak tumbuhan dari jenis paku-pakuan yang biasanya tumbuh
pada batang-batang aren yang telah dewasa. Contoh pohon aren yang telah berproduksi dapat
dilihat pada Gambar 9.2

Foto: Wahyudi (2007)


Gambar 9.2. Pohon Aren yang telah dewasa

Buah aren terbentuk setelah terjadinya proses penyerbukan dengan perantaraan angin atau
serangga, karena pohon aren adalah tipe tanaman yang berumah satu. Buah aren berbentuk bulat
dengan diameter 4-5 cm yang di dalamnya terdapat biji sebanyak 3 (tiga). Buah aren tersebut
bergerombol membentuk untaian tandan yang memanjang sekitar 1.5 – 1.8 meter dan tiap
tandan memiliki sekitar 40 – 50 untaian buah. Contoh tandan atau mayang (bunch) dari pohon
aren yang masih muda dan sudah tua atau siap untuk dipanen dapat dilihat pada Gambar 9.2.

Hasil Hutan Bukan Kayu 121


Foto : Wahyudi (2007)
Gambar 9.3. Tandan (Bunch) buah Aren (Arenga pinnata) yang masih muda (kiri) dan sudah
tua (kanan)

Sunanto (1993) seperti yang dikutip oleh Iswanto (2009) mediskripsikan tiga jenis aren
yang umum dijumpai di Indonesia. Ketiga jenis aren tersebut adalah:
1. Aren (Arenga pinnata) dari suku Aracacea. Aren ini merupakan tumbuhan berbiji tertutup
atau Angiospermae yaitu biji buahnya terbungkus daging buah. Penyebaran aren ini hampir
merata disemua daerah di tanah air.
2. Aren Gelora (Arenga undulatifolia) dari suku Aracacea. Aren jenis ini memiliki batang
agak pendek dan ramping. Pangkal batang bertunas sehingga tanaman ini tampak
berumpun. Daunnya tersusun teratur dalam satu bidang datar, sisi daunnya bercuping
banyak dan bergelombang. Aren gelora ini tumbuh liar di hutan-hutan Kalimantan,
Sulawesi, dan Filipina pada daerah ketinggian 0-900 m di atas permukaan laut.
3. Aren Sagu (Arenga microcarpa) dari suku Aracacea. Aren sagu adalah suatu jenis
tumbuhan aren yang berbatang tinggi, sangat ramping dan berumpun banyak. Di Sangir
Talaud, tepung aren ini dimanfaatkan sebagai makanan utama. Selain itu, tepung ini juga
digunakan sebagai bahan pembuat kue. Aren sagu ini tumbuh liar di hutan-hutan Maluku,
Irian Jaya, dan Papua Nugini pada ketinggian 0-700 m di atas permukaan laut.

Untuk keperluan pemuliaan dan produksi dalam skala yang lebih besar (industri atau
perkebunan), tumbuhan Aren perlu dikembangkan dengan memperhatikan beberapa sifat
genetik keunggulannya. Penyediaan bibit dari beberapa kultivar yang memiliki produktivitas
tinggi, misalnya adalah salah satu prioritas penelitian yang harus dilakukan. Untuk menunjang
tujuan tersebut, ekplorasi plasma genetik dari tumbuhan Aren di berbagai daerah mesti intensif
untuk dilakukan, khusus pada berbagai daerah sentra penghasil komoditas Aren.
Berdasarkan keragaman karakter vegetatif dan generatif, tumbuhan Aren di Desa Kandolo
Kecamatan Teluk Pandan dan di Desa Paridan Kecamatan Sangkuliran, Kabupaten Kutai
Timur, provinsi Kalimantan Timur, dibedakan menjadi dua jenis yaitu Aren Genjah dan Aren
Dalam (Tenda dkk., 2010). Selanjutnya dijelaskan bahwa Aren Genjah memiliki tinggi batang
rata-rata 2.04 m, mampu menghasilkan nira sebanyak 11.9 liter per hari, dengan lama
penyadapan selama 12 bulan per mayang. Sebaliknya, Aren Dalam memiliki batang yan lebih

Hasil Hutan Bukan Kayu 122


tingggi, yaitu 8.43 m, menghasilkan lira sebanyak 18 liter tiap hari, dan setiap mayang dapat
disadap selama 3.5 bulan.

9.3. Pemanfaatan Aren untuk Berbagai Produk

Menteri Pertanian dalam arahannya pada Seminar Nasional Aren 2004 mengatakan bahwa
tanaman Aren adalah tanaman serbaguna (multi usage) karena hampir semua bagiannya bernilai
ekonomi dan tidak memerlukan pemeliharaan yang intensif sehingga cocok ditanam pada lahan-
lahan marginal. Lebih lanjut dikatakan bahwa tanaman Aren memiliki toleransi yang tinggi
dalam pola pertanaman campuran termasuk dengan tanaman berkayu, tumbuh relatif cepat serta
memiliki perakaran dan tajuk yang lebat, sehingga sangat sesuai dengan tujuan konservasi tanah
dan air. Karena berbagai kelebihan tersebut, tanaman Aren disebut juga sebagai“ Wonderful
tree” karena tanaman ini memiliki berbagai fungsi, dari fungsi ekonomi, sosial, budaya, dan
fungsi konservasi, Akuba dkk (2004).
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor : 511/kpts/pd.310/9/2006, tentang
Jenis komoditas tanaman binaan direktorat jenderal
perkebunan, direktorat jenderal tanaman pangan dan direktorat jenderal hortikultura, Aren
(Arengga pinnata Merr) adalah salah satu dari 126 jenis tanaman binaan dari direktorat jenderal
perkebunan. Selama ini tumbuhan Aren hanya diusahakan oleh para petani dalam skala kecil,
dan lebih bersifat sebagai usaha sampingan. Dengan berbagai potensi yang dimiliki, maka
tumbuhan Aren diarahkan untuk dijadikan sebagai komoditas unggulan sektor perkebunan
untuk berbagai tujuan, seperti produksi gula, bahan kerajian tangan, pangan, dan bahkan bahan
bakar nabati (BBN).
Pohon aren adalah pohon multi guna karena hampir seluruh bagian pohon aren dapat
dimanfaatkan seperti halnya tumbuhan sagu. Uraian secara ringkas jenis-jenis produk yang
dapat dihasilkan dari berbagai bagian tanaman aren telah di uraikan dengan jelas oleh Alam dan
Baso (2004), yang selengkapnya dapat diringkas sebagai berikut:
1. Akar pohon aren dapat dimanfaatknan sebagai obat-obatan tradisional untuk penyakit batu
ginjal, dan cambuk.
2. Batang pohon Aren dapat dimanfaatakan untuk bahan bangunan, seperti dinding, lantai dan
bahan baku bilik kamar, serta beberapa produk untuk peralatan memasak (cooking tools).
3. Daun yang masih muda/janur dapat dipergunakan sebagai kertas pembungkus rokok
keretek atau sering disebut rokok klobot, dan pembungkus gula aren, sedangkan daun yang
tua dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku keranjang buah.
4. Daging buah (endosperm) aren dapat diolah menjadi makanan yang lezat yaitu kolang
kaling, sedangkan air nira dari buah aren dapat diolah menjadi gula merah yang memiliki
nilai jual lebih tinggi dibandingkan gula merah dari tebu. Kolang-kaling adalah proses
pengolahan lebih lanjut dari daging buah pohon aren. Pengolahan dilakukan dengan cara
membakar atau merebus buah aren untuk menghilangkan lilin dan melunakan kulit buah.
Setelah lunak, ditiriskan dan buahdibelah dengan mengunakan pisau atau barang tajam
lainnya untuk mengeluarkan daging buah. Setelah dipisahkan dari kulitnya, maka daging
buah di rendam selama beberapa hari untuk menjadikannya masak. Beberapa petani
melakukan perlakuan khusus dengan merendam dengan air kapur untuk tujuan fermentasi.
5. Empulur dari pohon aren yang masak telah tebang juga dapat menghasilkan pati atau
sering dinamakan dengan aci. Satu pohon Aren dewasa menghasilkan kira kira 50-75 kg

Hasil Hutan Bukan Kayu 123


tepung. Jumlah yang jauh lebih sedikit atau hanya 1/5 dari yang dihasilkan oleh tumbuhan
Sagu. Ampasnya dari sisa-sisa ekstraksi aci tersebut dapat dimanfaatkan sebagai media
jamur dan makanan ternak. Tumbuhan Aren yang masih muda, tepung atau aci dapat
diperoleh dengan cara pemarutan empulurnya, diikuti dengan pengendapan dan pemutihan
dengan kaporit. Produk akhir dari tepung Aren ini di antaranya dimanfaatkan sebagai
bahan baku untuk membuat cendol, Soon (bihun), bakmi, tepung kue Hun kwe.
6. Pengambilan pati dari empulur pohon aren ini dapat dilakukan pada pohon aren yang telah
keluar bunga pertamanya, kira-kira umur 10-15 tahun.
7. Ijuk dari tanaman aren adalah bahan baku utama dan memiliki sifat yang kuat untuk
memproduksi barang-barang kerajian rumah tangga, seperti sapu ijuk, talo, sikat, keset,
atap penyaring air, maupun industri lainnya seperti pembungkus kabel listrik dan media
tempat bertelur ikan di kolam.
8. Bunga dari tanaman aren juga merupakan sumber makanan bagi lebah madu, sehingga
sangat cocok bila dikombinasikan dengan budi daya lebah madu.

Masih menurut Alam dan Baso (2004) dikatakan bahwa pohon aren akan mencapai tingkat
kematangan pada umur 6-12 tahun, dan akan ditandai dengan keluarnya mayang pada usia 8-9
tahun. Pada saat keluarnya mayang, kegiatan penyadapan nira mulai dilakukan. Penyadapan
dapat dilakukan dari pohon aren dan dapat berproduksi sampai sekitar 20 tahun. Setiap tandan
dari tanaman aren dapat menghasilkan rata-rata 5 liter nira setiap 24 jam, dan dari 5 liter
tersebut dapat dihasilkan 0.25 kg gula merah aren.
Mengacu kepada Tata nama hasil hutan, maka produk utama dari tumbuhan Aren yang
termasuk dalam komoditas hasil hutan bukan kayu adalah produksi nira. Nira adalah bahan
baku utama gula aren, baik dalam bentuk gula merah dan gula semut. Gula merah adalah gula
hasil pengolahan nira aren yang diuapkan airnya dan dicetak dengan dalam berbagai bentuk
seperti lempengan, balok maupun ukuran tempurung kelapa, Rumoki (2004). Sedangkan gula
semut adalah gula merah yang berbentuk serbuk.
Aspek lain dari tanaman aren ditinjau dari keterkatiannya dengan komoditas hasil hutan
non kayu adalah nilai sosial budaya, ekonomi dan ekologisya terhadap masyarakat sekitar
hutan. Aspek ekonomi bagi masyarakat sekitar hutan (Forest people) dapat dilihat dari adanya
penambahan pendapatan dari tanaman Aren, baik dari penyadapan nira, kulit batang luarnya,
pati dari empulur batang, daun dan buahnya. Ijuk dari pohon aren dapat dimanfaatkan untuk
membuat sapu lantai, sikat kamar mandi, tali pengikat dan beberapa penggunaan lainnya.
Sedangkan nilai sosial budaya dari pohon aren adalah adanya keterikatan emosional masyarakat
lokal terhadap tanaman aren sebagai sumber gula, minuman tradisional, di mana mereka dapat
saling berinteraksi dan bertukar informasi.
Nilai ekologi dari aren adalah karena tanaman aren memiliki sistem perakaran yang kuat
dan banyak, seperti tumbuhan monokotil lainnya, maka tanaman ini cocok ditanam pada lahan-
lahan miringdan kritis, sehingga dapat mencegah terjadinya banjir dan tanah longsor. Pola-pola
tersebut kiranya dapat diwujudkan dalam sistem perhutanan sosial dengan sistem agroforestry.
Setiap tahun Indonesia terus mengimpor gula dari luar negeri, karena adanya perbedaan
produksi dan permintaan/konsumsi gula di dalam negeri. Menurut data dari Ditjenbun (2003)
yang dikutip oleh Rumokoi (2004) menyebutkan bahwa produksi gula nasional hanya 1.755 juta
ton sedangkan konsumsi nasional sebesar 3,2 juta ton, sehingga ada kekurangan pasokan gula
dalam negeri sebesar 1.445 juta ton per tahun. Pertanyaannya adalah dapatkah tanaman aren

Hasil Hutan Bukan Kayu 124


menghasilkan gula sebanyak, atau minimal dapat menyumbang kebutuhan gula nasional
tersebut? Hal ini tentunya memerlukan pemikiran, tindak lanjut dan partisipasi dari seluruh
pihak yang berkepentingan. Kenyataan dilapangan, pemerintah lebih mementingkan komoditas
tebu untuk meningkatkan produksi gula nasional, baik yang dilaksanakan dengan pola
intensifikasi maupun ekstensifikasi.
Untuk daerah di luar pulau Jawa, tanaman tebu belum dibudidayakan secara intensif,
seperti di Jawa. Peningkatan produk gula nasional dari sumber-sumber lain di luar tebu, masihs
dapat ditingkatkan, dan khusus untuk daerah-daerah di luar Pulau Jawa, beberapa komoditas
lokal perlu mendapatkan perhatian yang lebih. Komoditas-komoditas lokal yang berpotensi
untuk dikembangkan menghasilkan gula, seperti aren, kelapa, singkong, pohon lontar dan nipah
dapat terus digalakkan.
Tanaman aren yang diperkirakan memiliki luasan sekitar 60482ha (Tabel 9.1), berpotensi
untuk mengganti sebagian dari kebutuhan gula impor tersebut. Peluang ini cukup terbuka bila
dikaitkan dengan potensi yang dapat dihasilkan dari tanaman aren ini. Hal tersebut karena
tanaman aren belum, dimanfaatkan dan dikelola dengan baik dan profesional. Luas areal
tanaman aren dan perkiraan produksi gula telah diringkas oleh Rumokoi (2004) seperti disajikan
pada Tabel 9.1.

Tabel 9.1. Luas areal tanaman aren dan perkiraan produksi gula yang dapat dihasikan

No Provinsi Perkiraan Total areal Perkiraan Produksi


(ha) (ton/tahun)
1 Nanggroe Aceh Darussalam* 4081 2114
2 Sumatera Utara* 4357 2619
3 Sumatera Barat* 1830 864
4 Bengkulu* 1748 1442
5 Jawa Barat* 131135 6686
6 Banten* 1448 1713
7 Jawa Tengah* 3078 2809
8 Kalimantan Selatan* 1442 1033
9 Sulawesi Utara* 6000 3000
10 Sulawesi Selatan* 7293 3174
11 Sulawesi Tenggara* 3070 1422
12 Maluku** 1000 500
13 Maluku Utara** 2000 1000
14 Papua** 10000 2000
Total 60482 30376
Sumber: Rumokoi (2004). Keterangan: *Ditjenbun (2003)
** Estimasi berdasarkan laju perkembangan areal sejak tahun 1990

Sedangkan perkembangan luasan Areal tanaman aren dan produksinya dari tahun 1992-
2003 dapat diringkas pada Tabel 9.2

Hasil Hutan Bukan Kayu 125


Tabel 9.2. Perkembangan Luas areal tanaman aren dan produksinya dari tahun 1992-
2003

No Tahun Areal Produksi


(ha) (ton)
1 1992 28.612 17.473
2 1993 32.382 19.103
3 1994 32.703 25.996
4 1995 44.825 30.394
5 1996 46.105 25.392
6 1997 45.611 19.067
7 1998 44.857 38.069
8 1999 44.680 36.727
9 2003 49.758 29.174
Sumber :Statistik perkebunan dikutipoleh Ditjen Bina Produksi Perkebunan (2004)

Departemen pertanian menetapkan target areal tanaman tebu adalah seluas 399,692 ha,
dengan target, yaitu mampu menghasilkan produk gula sebesar 31,38 juta ton dan target
produktivitas tanaman tebu sebesar 79,63 ton per ha. Lebih lanjut diasumsikan apabila
rendemen gulanyasebesar 7,79 %, ditarget akan menghasilkan produksi gula nasional sebesar
2,48 juta ton. Tetapi realisasi penanaman tanaman tebu hanya 396,441 ha, dengan total produksi
sebesar 30,2 juta ton dengan produktivitas sebesar 76,3 ton per ha. Dengan rendemen gula
sebesar 7,63 persen, kenyataan tersebut hanya dapat menambah pasokan gula nasional sebesar
3,3%, menyimpang dari target semula yaitu 7,79 %. Untuk memenuhi kekurangan itu maka
pada tahun 2006, negara kita mengimpor gula putih sebesar 250,000 ton dan pada tahun 2007
juga mengimpor gula sebesar 200,000 ton.
Untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi gula nasional maka swasembada gula perlu
dilakukan, terutama adalah perluasan areal tanaman tebu, karena selama ini gula nasional hanya
dipenuhi dari Jawa. Mulai tahun 2008, yang ditargetkan sebagai tahun swasembada gula
nasional, dan tahun 2009 sebagai tahun surplus gula nasional, mudah-mudahan dapat terwujud.
Untuk merealisasikan rencana tersebut maka pemerintah telah membuat beberapa kebijakan
seperti memperluas lahan tanaman tebu ke daerah luar Jawa yaitu, Sulawesi selatan, Maluku
dan Merauke, merevitalisasi dan merelokasi beberapa pabrik gula di Jawa ke daerah luar Jawa.
Departemen pertanian seperti yang dikutip Kompas tanggal 23 Februari 2007), membuat
skenario pencapaian swasembada Gula konsumsi tahun 2005 – 2009, seperti ditampilkan pada
Tabel 9.3.

Tabel 9.3. Skenario departemen pertanian untuk Pencapaian Swasembada Gula


Konsumsi2005-2009

Tahun Luas areal Produktivitas Produksi Gula


(ha) (ton/ha) (juta ton)
2005 381.786 5,81 2,22
2006 396.441 5,82 2,47
2007 400.505 6,65 2,66
2008 405.597 6,75 2,73
2009 407.810 6,99 2,85

Hasil Hutan Bukan Kayu 126


Sumber:Deptan yang dikutip oleh Kompas

9.4. Pembuatan Gula Merah Aren

Maskar dan Sarashutah (2004) mengemukakan bahwa gula aren memiliki kekhasan, yaitu
mudah larut, memiliki aroma yang khas bila dibandingkan dengan gula tebu, dan mengandung
sukrosa 84%. Nira aren mengandung zat gizi yaitu karbohidrat (11,3%), protein (0,2%),
abu/mineral (0,2%), dan air (87,1%) menurut Anomim (1975) yang dikutip oleh kedua peneliti
tersebut.
Gula aren dibuat dari air nira yang diperoleh dari pemotongan tandan pohon
arenmayang/tandan (bunch), yang disebut dengan penyadapan. Penyadapan dilakukan sebelum
tandan atau mayang tersebut mekar. Nira ditampung pada tempat yang terbuat dari bambu, yang
di Jawa dikenal dengan nama Bumbung, dan diikat pada pangkal tandan atau bagian lain pohon
aren. Setelah bumbung terisi penuh dengan nira, bumbung diganti dengan yang masih kosong.
Nira yang sudah terkumpul ditampung dalam dandang atau wajan besar untuk selanjutnya
diolah menjadi gula merah aren.
Gula merah aren diolah dengan menggunakan metode tradisional dan tanpa menggunakan
bahan pengawet, bahan pemutih dan bahan pewarna atau penambahan aroma tertentu. Sehingga
gula merah aren ini aman dikonsumsi oleh kita yang suka kan pola hidup yang sehat alami
bebas bahan pengawet. Afrizon dan Gunawan (2004) mengemukakan bahwa pengolahan atau
pembuatan gula merah aren pada prinsipnya adalah proses pemanasan yang bertujuan untuk
menguapkan kandungan air nira, pengadukan dan pencetakan, dan secara sederhana dapat
dilukiskan dalam diagram Gambar 9.4.

Sumber : . Afrizon dan Gunawan (2004)


Gambar 9.4. Bagan proses pembuatan gula aren merah

Dari gambar di atas terlihat bahwa, dengan menggunakan peralatan yang sangat sederhana
dan minim teknologipun, hasil penyadapan tanaman aren atau nira sudah dapat diolah menjadi

Hasil Hutan Bukan Kayu 127


gula merah aren. Produk alahan sederhanan ini sudah dapat langsung dijual untuk menghasilkan
uang. Gambar 9.4 tersebut juga menjelaskan beberapa peralatan sederhana yang dipergunakan
untuk mengolah nira aren menjadi gula, sperti tungku, wajan, penyaring, kayu bakar/kompor,
sutil atau pengaduk, cetakan, dan kertas atau plastik pembungkus.
Sedangkan poses pengolahan nira aren menjadi gula aren semut (kristal) pada
prinsipnyasama dengan pengolahan gula merah aren.Gula aren semut adalah gula aren yang
dibuat berukuran kecil-kecil, menyerupai semut, dan menggunakan media gula pasir untuk
mengikat gula merahnya dan keseragaman ukuran partikelnya. Proses pembuatan gula aren
semut atau kristal adalah sama seperti pada gula aren, hanya diperlukan campuran gula pasir
untuk mengikat gula aren merah menjadi butiran-butiran atau kristal gula.Proses pembuatan
gula aren semut kira-kira dapat dijelaskan dalam bagan seperti pada Gambar 9.5.

Bagan Proses Pembuatan Gula kristal/semut dari gula aren merah

Gula merah dilarutkan dalam air dengan perbandingan 2:1

Penyaringan larutan gula merah

Tambahkan gula pasir sebanyak 15% dari berat gula merah

Panaskan pada suhu 110oC

Dimasak sampai jenuh

Kristalisasi

Penghalusan/penguseran

Pendinginan

Penyaringan

Penghalusan/penguseran bagi gula kristal yang lolos penyaringan

Pengeringan

Keterangan: Bagan dikembangkan dari Afrizon dan Gunawan (2004)


Gambar 9.5. Bagan proses pembuatan gula semut atau gula kristal dari gula aren merah

Gambar di atas menjelaskan bahwa proses pembuatan gula aren semut, yang berasal dari
gula aren merah, diawali dari:
1. Pelarutan gula merah aren ke dalam air dengan perbandingan 2:1, yaitu 2 (dua) kilogram
gula merah aren ke dalam satu liter air bersih dan sebaiknya gula merah yang dilarutkan
sudah dalam bentuk potongan-potongan kecil, sehingga mempercepat proses pelarutannya.
2. Larutan gula yang diperoleh kemudian disaring dengan kain kasa atau penyaring lainnya,
sehingga diperoleh larutan gula aren merah yang bersih, dan bebas dari kotoran seperti
serat dan sebagainya.
3. Tambahkan gula pasir sebanyak 15% dari total berat gula merah ke dalam larutan gula
merah aren tersebut.

Hasil Hutan Bukan Kayu 128


4. Campuran tersebut kemudian dipanaskan pada suhu 110oC dan disertai dengan
pengadukan. Tujuan dari pemanasan ini adalah untuk menghilangkan air yang ada dalam
campuran tersebut. Seiring bertambahnya waktu dan uap air yang menguap, konsentrasi
gula akan bertambah, sehingga campuran akan menjadi pekat atau lengket.
5. Pemasakan dilakukan sampai jenuh. Tingkat kejenuhan dapat diketahui dengan cara
melarutkan sedikit campuran tersebut yang telah mengkristal ke dalam air, dan apabila
terjadi pembekuan maka campuran tersebut telah jenuh dan pemanasan dapat dihentikan
sambil terus diaduk untuk menghindari pelengketan.
6. Kristalisasi adalah perlakuan pengosokan atau pengerusan campuran yang ada diwajan,
sehingga gula tersebut berbentuk kristal atau butiran-butiran kecil.
7. Tahap berikutnya adalah penghalusan atau pengerusan dari butiran-butiran kristal tersebut
untuk menjadikan butiran yang lebih kecil dengan derajat kehalusan yang seragam.
8. Hasil pengerusan tersebut dipindahkan ke dalam wadah yang lebar, wajan atau tempayan
atau bahan lainnya, dengan tujuan untuk mempercepat proses pendinginan.
9. Penyaringan atau pengayakan dilakukan setelah gula kristal tersebut dingin.
10. Gula kristal yang tidak lolos pada nomor 9 di atas, dilakukan penghalusan/pengerusan
ulang untuk memperhaluskan gula kristal lagi.
11. Selanjutnya adalah pengeringan, dengan tujuan untuk mendapatkan kualitas gula kristal
yang baik. Pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan sinar matahari ataupun
dengan menggunakan oven.

Departemen Pertanian melalui Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) telah banyak
melakukan kajian dan penelitian tentang aren. Beberapa pokok pemikiran dan kajian
pengembangan tanaman Aren (Arenga pinnata Merr) dibahas secara panjang lebar pada
seminar nasional tentang Pengembangan Tanaman Aren yang berlangsung di Tondano, pada
tanggal 9 Juni 2004. Profil komoditas, status teknologi dan kebijakan teknologi tanaman aren,
penelitian dan Kajiannya dibahas secara mendalam dalam Prosiding Seminar Nasional Aren
dengan judul Pengembangan Tanaman Aren yang diterbitkan oleh Balai Penelitian Tanaman
Kelapa dan Palma Lain 2004. Proseeding Pengembangan Tanaman Aren tersebut dapat
diperoleh dengan menghubungi BPTP pertanian Tondano, Sulawesi Utara.

9.5. Pemanfaatan Tumbuhan Aren sebagai Bahan Bakar Nabati

Bahan bakar nabati (BBN) adalah bahan bakar yang berasal dari sumber-sumber nabati
atau tumbuhan, dan bersifat dapat diperbaharui (renewableresources). Menurut Peraturan
Presiden nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, yang dimakasud dengan
energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang secara
alamiah tidak akan habis dan dapat berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain : panas
bumi, biofuel, aliran air sungai, panas surya, angin, biomassa, biogas, ombak laut, dan suhu
kedalaman laut. Karena BBN berasal dari tumbuh-tumbuhan, oleh karenanya bahan bakar ini
sering juga dinamakan sebagai bioenergi. Hal ini sangat berbeda dengan bahan bakar minyak
(BBM) yang bersifat tidak dapat diperbaharui (Non renewable resources). Dalam bidang energi,
bahan bakar nabati sering disebut juga sebagai biofuel, sedangkan bahan bakan minyak disebut
dengan fossil fuel.
Tujuan utama dari Peraturan Presiden no 5 tahun 2006 adalah diversifikasi energi nasional.
Selama ini energi nasional sangat tergantung pada energi BBM (fossil fuel). Karena
ketersediaan BBM ini yang semakin lama semakin menipis, , maka diperlukan strategi jangka

Hasil Hutan Bukan Kayu 129


panjang untuk menggurangi ketergantuan energi nasional kepada BBM. Diamanatkan lebih
lanjut bahwa pada tahun 2025, kontribusi BBN terhadap pasokan energi nasional ditargetkan
minimal 5%. BBN tersebut dapat berupa bioetanol dan biodiesel.
Untuk menunjang keberhasilan tersebut, terbitlah Instruksi Presiden Republik Indonesia
nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (biofuel)
sebagai bahan bakar lain, telah memerintahkah beberapa kementerian terkait, (13 kementrian),
Gubernur dan Bupati/Walikota untuk mengambil langkah-langkah untuk melaksanakan
percepatan penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar
Lain.
Berdasarkan sifat fisik dan kimianya, biofuel secara kasar dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu yang berbasis karbohidrat atau bioetanol, dan yang bebasis lemak atau biodiesel. Beberapa
tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber bioetanol seperti Aren (Arenga pinnata),
Sagu (Metroxylon spp), Tebu (Saccharumofficinarum L), Jagung (Zea may L), Sorgum (Sorgum
bicolor), Ubi kayu (Manihotspp), Ubi jalar (Ipomea batata) dan beberapa tumbuhan berumbi
lainnya. Sedangkan beberapa tumbuhan yang dapat dimanfaatakan sebagai sumber bahan baku
biodiesel antara lain Kelapa (Cocos nucifera), Kelapa sawit (Elaeis guineensis), Jarak pagar
(Jatropa curcas), Biji kapas (Gossypium herbaceum L), Kanola (Brassica spp), dan beberapa
tumbuhan penghasil biji yang mengandung minyak lainnya.
Departemen Pertanian telah menyusun road map untuk menunjang pengembangan
bioenergi tersebut. Mulyani dan Las (2008) mengemukakan bahwa berdasarkan
keanekaragaman karakteristik sumber daya lahan, iklim, dan agroekosistem, maka kawasan
Indonesia Barat yang realtif beriklim basah, sangat cocok untuk pengembangan komoditas
tanaman Kelapa Sawit, Kelapa, dan ubi kayu. Sedangkan kawasan Indonesia Timur sangat
potensial untuk komoditas Tebu, Kapas, dan Jarak pagar. Khusus untuk kawasan Papua dan
Maluku, Sagu adalah komoditas unggulannya. Peta potensi pengembangan komoditas tanaman
untuk bioenergi tersebut pada masing masing provinsi disajikan pada Gambar 9.6 berikut.

Sumber: Mulyani dan Las (2008)


Gambar 9.6. Peta potensi lahan untuk pengembangan komoditas tanaman bioenergi pada
masing-masing provinsi di Indonesia

Hasil Hutan Bukan Kayu 130


9.6. Pustaka

Akuba, R.H .2004. Profil Aren dalamProsiding Seminar Nasional “ Pengembangan Tanaman
Aren”. Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain. Manado. Hal: 1-19
Alam, S., D. Baso. 2004. Peluang Pengembangan dan Pemanfaatan tanaman Aren di Sulawesi
Selatan. dalam Prosiding Seminar Nasional “ Pengembangan Tanaman Aren”.
Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain. Manado. Hal:15-21.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.1999.Penamaman sagu (Metroxylon sago
Rotttb) berskala besar. Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta.
Effendi, D.S. 2010. Prospek Pengembangan Tanaman Aren (Arenga pinnata Merr) Mendukung
Kebutuhan Bioetanol di Indonesia. Perpectif Vol.9 (1) Hal : 36-46.
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Penyediaan dan
Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain.
Iswanto, A.H. 2009. Aren (Arenga pinnata). Karya tulis. Departemen Kehutanan, Fakultas
Pertanian, Universitas Negeri Sumatera Utara.
Maskar., I.G.P. Sarashutah. 2004). Potensi dan Masalah PengembanganTanaman Aren di
Sulawesi Tengah dalam Prosiding Seminar Nasional “ Pengembangan Tanaman
Aren”. Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain. Manado.Hal : 67-76.
Mulyani, A., I. Las. 2008. Potensi Sumber Daya Lahan dan Optimalisasi Pengembangan
Komoditas Pengahasil Bioenergi di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 27 (1) Hal:
31-41.
Peraturan Presiden Republik Rndonesia Nomor 5 tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi
Nasional
Rumokoi, M.M.M. 2004. Aren, Kelapa dan Lontar sebagai Alternatif Pemenuhan Kebutuhan
Gula Nasional dalam Prosiding Seminar Nasional “ Pengembangan Tanaman
Aren”. Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain. Manado.Hal: 22-39.
Tenda, E.T., I. Maskromo., B. Heliyanto. 2010. Eksplorasi Plasma Nutfah Aren (Arenga
pinnata Merr) di Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Buletin Palma 38 Hal :
89-94.
www.kompas.com. Areal Tanaman Tebu 2007 diperluas 1.500 Hektar, diakses pada tanggal 23
Februari 2007.

Hasil Hutan Bukan Kayu 131


BAB 10

BAMBU

10.1. Pendahuluan

Bambu adalah tanaman peradaban, karena penggunaan bambu dalam kehidupan manusia
sudah berlangsung sejak peradaban itu dimulai. Di negara negara Asia, seperti Indonesia, China,
Jepang, Korea dan beberapa negara tropis lainnya, peran bambu sangat dominan dalam segala
aspek kehidupan. Bambu merupakan bahan perumahan yang cukup murah, melimpah dan
mudah tumbuh di tanah-tanah marginal sekalipun. Begitu pentingya nilai komoditas bambu
untuk kehidupan kita ini, maka tidak salah pilih apabila menjadikan bambu sebagai komoditas
hasil hutan bukan kayu unggulan, terutama produk-produk turunannya untuk daerah-daerah
padat penduduk seperti pulau Jawa.
Setelah mempelajari pelajaran bambu ini para pembaca diharapkan memiliki kemampuan
untuk :
5. Memahami arti penting tumbuhan bambu bagi masyarakatkhususnya, sebagai alternatif
utama bahan kontruksi rumah di pedesaan pengganti kayu.
6. Memahami fungsi ekologi, sosial budaya dan ekonomi dari tumbuhan bambu di
masyarakat secara luas.
7. Mendiskripsikan produk-produk yang dapat dihasilkan dari tumbuhan Bambu beserta
bagan pengolahannya.
8. Memahami ciri-ciri tumbuhan bambu yang telah masak tebang dan pemanenan dan
perlakukan sebelum dibuat suatu produk tertentu, seperti anyaman dan sebagainya.

10.2. Botani Bambu

Bambu adalah salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu yang penggunaanya sangat
luas di Indonesia terutama di daerah pedesaan. Tanaman bambu termasuk dalam family
Graminae, suku Bambusease dan sub family Bambusoidae. Tanaman bambu mudah dikenali
dari batangnya yang beruas-ruas, seperti ditunjukkan oleh Gambar 10.1, berlubang pada bagian
tengah batang (hollow clums), tumbuh berumpun, memiliki sistem perakaran akar serabut
komplex (complex rhizome), serta memiliki ranting yang tumbuh pada tiap mata tunas ruas.
Karena ciri-ciri taxonomis tersebut, terutama akar yang lebat dan kuat serta berumpun,
menghijau sepanjang tahun, maka tanaman bambu sangat cocok ditanam pada daerah-daerah
marginal, tandus, pinggir sungai dan tempat-tempat yang sangat rentan terhadap tanah longsor
dan erosi. Daun bambu juga sangat disukai oleh ternak seperti kambing maupun sapi, serta
kelinci. Jenis pakan ini biasanya adalah makan alternatif pada musim kemarau, di mana bambu
masih bertahan hijau pada saat musim kemarau.
Dransfield dan Wijaya (1995) dan Wijaya (2000) mengemukakan bahwa di seluruh dunia
terdapat sekitar 10000 species bambu, terbagi ke dalam 80 genera, dan Asia Tenggara memiliki
sekitar 200 species bambu, yang mana 45 species di antaranya tumbuh dan terdapat di Indonesia
yang terbagi ke dalam 20 genera. Sedangkan Wijaya (2001) menyatakan bahwa di Indonesia
diperkirakan terdapat sekitar 157 jenis bambu, dan merupakan 10% dari jumlah species bambu
dunia. Jumlah species bambu di dunia ini diperkirakan antara 12250-13250 species. Selanjutnya

Hasil Hutan Bukan Kayu 132


dijelaskan bahwa dari jumlah tersebut, khusus untuk Indonesia, diperkirakan 50% adalah jenis
endemik, sedangkan sisanya adalah jenis yang potensial untuk dikembangkan.
Negara China dikenal sebagai negara tirai bambu karena memiliki areal tumbuhan bambu
yang sangat luas, yaitu sekitar 3.8 juta ha. Potensi ini terdiri atas sekitar 500 species bambu
yang terbagi ke dalam 30 genera, jumlah species bambu tersebut adalah sekitar sepertiga dari
jumlah species bambu dunia, Wei dan Chi-son (1997) dan Xinqiang (1997). Dilaporkan lebih
lanjut, bahwa pada tahun 1980 China mampu memproduksi bambu sekitar 304 juta batang,
jumlah ini meningkat menjadi 700 juta batang pada tahun 1996. Sedangkan produksi rebung
bambu mencapai 1.8 juta ton pada tahun 1996, dari produksi semula yang hanya sekitar 390.000
ton pada tahun 1986. Pada tahun 1980-an jumlah ekspor komoditas rebung bambu dalam
kemasan juga meningkat tajam dari sekitar 3.500 to per tahun menjadi 100.000 ton per tahun.
Hal ini ditunjang karena keberadaan ratusan industri pengaalengan rebung bambu di seluruh
wilayah China, Wei dan Chi-son (1997). Ekspor produk kerajian tangan dari China yang
berbahan baku bambu diperkirakan bernilai sekitar 12- 20 juta dollar Amerika Serikat per
tahunnya.

Foto: Wayudi (2007, 2012)


Gambar 10.1. Salah saju jenis bambu yang tumbuh di desa Dukuh – Magetan, Jawa Timur
(kiri), dan di Nankoku, Kochi, Jepang (kanan)

Lebih lanjut dikatakan Oleh Wijaya (2000) bahwa terdapat perbedaan yang significan
tentang penyebaran dan karakteristik bambu yang tumbuh di Indonesia bagian barat dan timur.
Karakteristik tersebut di antaranya bahwa di bagian barat didominasi oleh jenis genera Bambosa
yang dicirikan oleh diameter batang yang sedang sampai besar (lebih dari 5 cm), batang
memiliki dinding yang tebal dan ruas batang yang lurus (erect culm). Pada wilayah barat ini
didominasi oleh genera Giganthochloa dan Dendrocalamus. Bambu yang berdiamter besar ini
kebayakan tumbuh pada daerah dataran rendah, atau hutan pengunungan rendah, hutan
sekunder, hutan primer, kebun, pinggir jalan maupun pinggir-pinggir sungai, bahkan tumbuh
dengan baik di sekitar pemukiman atau kebun penduduk, seperti terlihat pada Gambar 10.2.

Hasil Hutan Bukan Kayu 133


Foto: Wahyudi (2007)
Gambar 10.2. Rumpun bambu yang tumbuh di sekitar pekarangan (belakang rumah) penduduk
di kota Manokwari.

Sementara di Indonesia Timur banyak didomniasi oleh Genera Schizostachyum,


Dinochloa, Nastus dan Racemobambus, dengan ciri khas yaitu memiliki dinding yang tipis,
diameter batang atau ruas bambu kecil serta sebagian besar adalah bambu yang merambat atau
melata di atas tanah (scrambling or climbing bamboo) seperti bambu hias. Bambu genera ini,
bambu yang merambat (climbing bamboo), kebanyakan tumbuh di daerah hutan
primer.Sedangkan bambu yang melata tumbuh di hutan-hutan di pebukitan.

10.3. Keanekaragaman Bambu pada Beberapa Daerah

Keanekaragaman jenis bambu di Indonesia Timur telah dilaporkan oleh beberapa peneliti
dari berbagai institusi, Universitas Negeri Papua (UNIPA), departemen Kehutanan, dan
Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI). Misalnya Susanto dkk (2000) melaporkan bahwa
di daerah Amban Pantai dan sekitarnya, Manokwari ditemukan empat jenis bambu yaitu
Phyllostachys aurea A:& C. Riviera, Schizostachyum zollingeri Kurz, Schizostachyum
bracycladum Kurz, dan Bambosa forbessi.Di kabupaten kabupaten Jayapura, khususnya di
daerah Sentani Barat ditemukan enam jenis bambu, yaitu Bambusa vulgaris Schad.ex Wendl,
Gigantochloa atter (Hassk.) Kurz, Neololeba atra (Steud.) Widjaja, Schizostachyumlima
(Blanco) Merr, Schizostachyum sp, dan Thyrsostachys siamensis Gamble (Langi dkk., 2002).
Jenis bambu di daerah Indonesia Timur lainnya, seperti di pulau
Sumba dilaporkan oleh Wijaya dan Karsono (2004). Dijelaskan lebih lanjut bahwa di pulau
Sumba ditemukan 10 jenis bambu antaralain adalahBambusa blumeana, Bambusa vulgaris,
Dendocalamus asper, Dinochloa kostermansiana, Dinochloa sp, Gigantochloa atter, Nastus
reholtumianus, Phyllostachys aurea, Schisotachyum brachycladum and Schizostachyum lima.
Kesepuluh jenis bamboo tersebut memiliki habitat atau tempat tumbuh yang berlainan.
GenusDinochloa and Nastustumbuh secara liar di hutan-hutan, sedangkan genus lainnya
tumbuh secara liar dan ada yang dibudidayakan di kebun-kebun. Sedangkan bambuyang
merambat hanya ditemukan pada genus Dinochloa. Di antara bambu tersebut, jenisNastus
reholttumianus adalah jenis endemic di pulau Sumba.

Hasil Hutan Bukan Kayu 134


Sedangkan keanekaragaman bambu di kabupaten Sumedang, provinsi Jawa Barat
dilaporkan oleh Irawan dkk (2006). Dilaporkan bahwa di kabupaten Sumedang ditemukan
17jenis bambu, yaitu Bambusa glaucophylla Widjaja; B. vulgaris Schard ex.Wendl. var.vittata
A. riviere;B. vulgaris Schard ex.Wendl. var.vulgaris; B. tudoides Munro; B.multiplex (Lour.)
Raeusc; Dendrocalamus asper (Schult.) Backer ex. Heyne; D. giganteus Munro; Gigantochloa
apus (J.A.&J.H.Schultes) Kurz; G. atter (Hassk.) Kurz; G. atroviolaceae Widjaja; G. kuring
Widjaja; G. pseudoarundinacea (Steud.) Widjaja; Phyllostachys bambusoides Siebold et
Zuccarini; Schyzostachyum brachycladum Kurz; S. Iraten Steud; S. silicatum Widjaja; dan
Thyrsostachys siamensis Gamble.

10.4. Kenapa Bambu Begitu Spesial

Terdapat beberapa alasan kenapa bambu menjadi komoditas yang paling diminati
khususnya di daerah pedesaan. Tanaman bambu dapat tumbuh pada segala jenis tanah,
topograpi, memiliki pertumbuhan yangrelatif cepat, dapat tumbuh dan berkembang sepanjang
tahun (tidak tergantung kepada musim), mudah dipergunakan (hanya memerlukan sedikit
pengolahan/perlakuan), dan memiliki sifat kekuatan dan keawetan yang memadai. Bambu
memiliki sifat mekanika yang sempurna (excellent), kuat, elastis dan jenis cepat tumbuh yang
membuatnya menjadika komoditas hasil hutan bukan kayu yang sangat menjanjikan dimasa
depan. Tetapi disisi lain bambu juga mudah pecah (splitting), terpuntir (twisting) dan degradasi
permukaan karena faktor iklim dan jamur, Xinqiang (1997).
Dransfield dan Wijaya (1995) menguraikan beberapa ragam penggunaan dan pemanfaatan
bambu baik dari zaman peradaban yang dipergunakan untuk bahan kontruksi membuat rumah,
sampai kepada produk-produk lainnya di zaman modern ini seperti bambu lapis (ply-bamboo),
pulp dan kertas (Pulp and paper made of bamboo), papan mosaik (bambooparquet), supit
bambu (bamboo chopping stick) dan beberapa bahan kerajinan tangan (handycraft), perlatan
musik (instrument music), peralatan dapur (Kitchenware) dan sebagainya.
Seperti telah dikemukakan pada bab pendahuluan, bahwa tumbuhan bambu adalah
tumbuhan peradaban. Sehingga pemanfaatan bambu menyesuaikan dengan tingkat teknologi
dan pengetahuan yang berkembang di mana komoditas ini ditanam, diolah dan dimanfaatkan.
Di Papua, misalnya bambu banyak dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari dengan
menggunakan teknologi yang sangat sederhana.Langi dkk (2004) melaporkan bahwa di daerah
Sentani Barat, Jayapurakomoditas bambu dimanfaatkan oleh penduduk asli untuk berbagai
keperluan. Contoh dari pemanfaatan tersebut seperti membuat pagar kebun, perangkap ikan
(rumpon) di sungai, sisir bambu, kandang ayam, peralatan berburu (kalawai untuk ikan), alat
musik (seruling), tali pengikat, ajir atau peyangga tanaman kebun sperti kacang-kacangan, dan
bagian dari kontruksi atap rumah semi permanen masyarakat setempat. Gambaran yang lebih
lengkap dan menyeluruh, tentang beberapa jenis bambu yang tumbuh di berbagai daerah di
Indonesia telah di ringkas oleh Yudobroto (1985), sedangkanbeberapapemanfaatan bambu di
Indonesiadilakukan oleh Wijaya (1980). Informasi-informasi tersebut selengkapnya dapat
diringkas pada Tabel. 10.1.

Hasil Hutan Bukan Kayu 135


Tabel.10.1. Beberapa Jenis bambu yang tumbuh di Indonesia dan pemanfaataanya

Bahan bangunan
Tembakautetembakau
Rumah asap tembakau
Keranjang
ta
Permebelan
Kerajinan tangan
Tangkai pancing
Kayu bakar
Pipa air
Ornamen tradisional
Sayur Rebung
Alat musik
Industri kertas
Obat-oabatan
Tanaman hias

Penyebaran
Species

Arundinaria 1
japonica
Sieb.&Zucc ex
steud
Bambusa 1
arundinacea (Retz)
Wild
Bambusa atra 2,3
Lindl.
Bambusablumeana 1
Bl.ex.Shult.F
Bambusa 1
glaucescens
(Willd.) Sieb. Ex
Munro
B.polymorpha 1
Munro
Bambusa vulgaris 1-5
Schard
Dedrocalamus 1,
asper Backer 3-6
Dinochloa 1
scandens O.K
Gigantochloa apus 1,4
Kurz
Gigantochloa atter 1
(Hassk.) Kurz ex
Munro
Gigantochloa aff.
atter
Gigantochloa 1
verticillata Munro
Nastus 1
elegantissimus
(Hassk.) Holtt.
Phyllostachys 1

Hasil Hutan Bukan Kayu 136


aureaA:& C.
Riviera
Phyllostachys nigra
Schizostachyum 1-3
blumei Nees 5-7
Schizostachyum 1-3
bracycladumKurz 5
Schizostachyum 5
caudatum Backer
Lanjutan Tabel. 10.1
bakau
Tembakautetem
Bahan bangunan
tembakau
Rumah
Keranjang
ta
Permebelan
Kerajinan tangan
Tangkai pancing
Kayu bakar
Pipa air
tradisional
Ornamen
Sayur Rebung
Alat musik
Industri kertas
Obat-oabatan
Tanaman hias

Penyebaran
Species
asap

Schizostachyum 2-3
lima (Bianco) Merr 8
Schizostachyum 1,5
zollingeri Kurz
Thyrsostachys 1
siamensis Gamble

Keterangan: 1: Jawa, 2: Maluku, 3:Sulawesi, 4:Bali, 5:Sumatera, 6:Kalimantan, 7:Nusa


Tenggara Barat, 8: Papua (Wijaya, 1980; Yudodibroto, 1982).

Dari Tabel 10.1 di atas, terlihat bahwa masih penelitian bambu pada berbagai daerah,
khusunya di luar pulau Jawa, masih sangat minim sekali. Begitu juga, dengan pemanfaatan
sumber daya bambu pada beberapa daerah belum seluruhnya dilaksanakan. Hal ini tentunya
akan menjadi pekerjaan rumah kita dimasa mendatang.

10.5. Sifat-Sifat Dasar dari Bambu

Secara anatomi, bambu tersusun dari sel scelenchyma yaitu yang menebal di bawah kulit
terluar dan sel parenchyma yaitu jaringan dasar yang mengelilingi serat, di mana senyawa
karbohidrat disimpan. Sedangkan pada kulit bagian terluar terdapat jaringan parenchymatous
yang dicirikan oleh adanya lapisan yang menebal oleh adanya zat kutin, lemak atau lilin.
Secara anatomi, bambu terseusun dari sel scelenchyma yaitu yang menebal di bawah kulit
terluar dan sel parenchyma yaitu jaringan dasar yang mengelilingi serat, di mana senyawa
karbohidrat disimpan. Sedangkan pada kulit bagian terluar terdapat jaringan parenchymatous
yang dicirikan oleh adanya lapisan yang menebal oleh adanya zat kutin, lemak atau lilin.
Bambo adalah salah satu sumber daya alam di daerah tropis yang memiliki nilai yang
sangat special, dikarenakan distribusikan yang luas, ketersediaan sepanjang waktu, cepat
tumbuh, mudak pengolahan dan penanganannya, memiliki sifat yang dikehendaki oleh
penggunanya, dan memiliki banyak variasi produk, Dransfield dan Wijaya (1999). Sehingga ada

Hasil Hutan Bukan Kayu 137


pendapat yang mengatakan bahwa tidak satupun tanaman tropis yang memberikan manfaat
sedmikian besar kepada kita selaintumbuhan bambu.
Kurz (1876) yang dikutip oleh Dransfield dan Wijaya (1999) mengemukakan bahwa
tumbuhan atau batang bambu memiliki karakterisik yang unik, yaitu memiliki ruas batang yang
sangat kuat, lurus, halus, relatif ringan bila dibandingkan dengan proporsi rongga batang dan
tebal dinding batang, kemudahan dan kestabilan bila dibelah atau disayat (sliced), keberagaman
dalam ukuran, panjang ruas dan tebal dinding batang membuatnya sangat cocok untuk berbagai
penggunaan, bila dibandingkan bahan lain yang memerlukan banyak perlakukan dan
memerlukan banyak sentuhan tenaga kerja. Khusus untuk wilayaha Asia Tenggara, bambu
dimanfaatkan sebagai bahan bangunan/kontruksi dalam skala luas, sayuran, pembuatan kertas,
instrumen musik dan kerajianan tangan. Bahkan akhir-akhir ini bambo telah mampu diolah
menjadi bahan baku kertas (pulp and paper), papan parket (parquet), bambu lapis (plybambo)
dan sayuran bambu dalam kemasan (canned vegetable) yang mendapat sambutan yang sangat
baik di pasar dunia.
Wei dan Chi-son (1997) melaporkan bahwa selama sepuluh tahun terakhir perkembangan
hasil penelitian bambu telah menunjukkan kemajuan yang sangat pesat. Kemajuan tersebut
termasuk dalam bidang budi daya bambu, khususnya untuk produksi rebung bambu secara
masal, pengolahan, dan pemanfaatan bambu dalam scala luas. Ini yang lukiskan bahwa
kemajuan penelitian bambu telah berkembang dari sekedar pemanfaatan ruas bambu sebagai
bahan baku, sampai kepada penelitian sumber daya bambu yang menyeluruh dan terkoordinasi.
Penelitian-penelian tersebut di antaranya seperti untuk pembuatan kayu lapis bambu
(plybamboos), kertas (pulp and paper), rebung bambu dalam kemasan (shoot canned), beberapa
produk makanan lainnya (other food products), minuman (drinks), obat-obatan (medicine) dan
produk kerajinan (handicraft).

10.6. Produk-Produk dari Bambu

Pada sub paragrap sebelumnya, telah disinggung beberapa pemanfaatan bambu, baik dalam
skala tradisional maupun industri. Pada sub paragraph ini, akan disajikan beberapa contoh dari
produk-produk bambu yang sering kita temui sehari-hari. Produk-produk tesebut sangat
beragam, dari sayuran, kerajinan tangan, dan yang lain-lainnya.
Kita sudah terbiasa dengan sayuran rebung bambu, yaitu anakan bambu yang masih muda
(tunas), selanjutnya dikelupas kulitnya, dan dimasak menjadi sayuran. Rebung bambu ini dalam
bahasa Inggris sering disebut sebagai bamboo shoots. Di beberapa negara maju, seperti Jepang,
Korea, dan bahkan China, sayuran ini sangat popular. Di negara Jepang, rebung bambu disebut
dengan Takenoko (Take:bambu, noko: anak), jadi anakan bambu. Salah satu produk dari rebung
bambu yang dijual di supermaket Jepang disajikan pada Gambar 10.3.

Hasil Hutan Bukan Kayu 138


Gambar 10.3. Contoh rebung bambu (takenoko) yang dijual di Jepang

Rebung bambu memiliki kandungan nutrisi yang lengkap. Chongtham dkk (2010)
melaporkan bahwa rebung bambu mengandung asam amino, protein, karbohidrat, lemak, pati,
vitamin C, vitamin E, abu, air dan serat kasar. Sedangkan manfaat rebung bambu bagi kesehatan
kita, yang diringkas dari berbagai sumber, antara lain memiliki sifat antioksidant dan anti
inflammatory, antimicrobial dan antifungal, anticancer, antibacterial and antiviral, bahkan
dilaporkan dapat menurunkan kadar kolesterol.
Produk-produk kerajinan lain dari komoditas bambu, seperti untuk chopstick (supit),
penggulung susi (makanan khas Jepang), tusuk sate (bamboo skewer), dan anyaman keranjang
(basket), dapat dilihat pada Gambar 10.4 di bawah ini.

Gambar 10.4. berbagai produk kerajinan dari komoditas bambu, dari kiri kanan secara berurutan
adalah penggulung susi, tusuk sate, dan anyaman keranjang.

Produk-produk yang telah disebutkan di atas, adalah salah sebagian kecil dari beberapa
produk komoditas lain dari bambu. Produk tersebut dapat dibuat dari bambu-bambu yang
berkualitas rendah, dan dengan menggunakan teknologi yang minimal. Sehingga
pengembangan produk-produk tersebut dapat dilakukan di daerah pedesaan, dengan harapan

Hasil Hutan Bukan Kayu 139


dapat meningkatkan pendapatan dari penduduk setempat, yang seperti kita ketahui sangat
mengantungkan dari usaha pertanian. Usaha pengembangan produk tersebut juga dapat
dimanfaatkan oleh penduduk setempat sebagai usaha sampingan, dan menggunakan waktu-
waktu yang longgar, atau di luar waktu untuk bertani atau berkebun, malam hari misalnya.

10.7. Penggunaan Bambu di Pedesaan

Penggunaan bambu di daerah pedesaan sangat beragam yang mana bambu banyak
digunakan sebagai bahan baku untuk membuat rumah, baik sebagai dinding rumah, rangka
dinding, tiang utama, gelagar dan tiang melintang (trush) dan rangka atas. Khusus untuk
dinding rumah, kontruksi bambu yang dipergunakan berbeda-beda, ada yang menggunakan
bambu utuh (solid) seperti pada Gambar 10.5. Bambu jenis ini adalah bambu yang berdiameter
kecil dan berdinding tipis, sehingga lebih baik dipergunakan secara utuh atau solid.

Foto: Dewi (2002)


Gambar 10.5. Penggunaan bambo utuh/solid dari jenis srambling atau climbing untuk dinding
rumah penduduk

Sedangkan bambu yang besar, biasanya dibelah atau disayat tipis-tipis untuk kemudian
dianyam untuk kemudian dipergunakan sebagai dinding rumah seperti ditampilkan pada
Gambar 10.6.

Foto: Dewi (2002)


Gambar 10.6. Penggunaan anyaman ruas bambu (gedek) untuk dinding rumah penduduk di
distrik Pantai Utara Manokwari.

Hasil Hutan Bukan Kayu 140


Gambar 10.5 dan 10.6. di atas tersebut adalah contoh penggunaan bambu untuk dinding
rumah di Desa Nuni, distrik Manokwari Utara, kabupaten Manokwari Papua Barat, kira-kira 60
menit dengan kendaran dari pusat kota Manokwari.
Khusus untuk anyaman bambu untuk dinding rumah ini ada dua jenis, yang kalau di daerah
Jawa Timur dinamakan gedek, yaitu anyaman bambu yang dibuat dari belahan ruas bambu
dengan tebal setebal dinding ruas bambu, sehingga nampak kasar dan mudah dilintasi udara.
Kelebihan dari gedek adalah kuat, tetapi kekuranganya adalah kurang rapi. Sedangkan yang satu
lagi adalah kepang, ini yang terbuat dari anyaman dari sayatan tipis-tipis ruas bambu (±0.5
mm). Di daerah Pulau Jawa anyaman bambu ini juga dapat dimanfaatkan untuk alas menjemur
padi atau hasil pertanian lainnya. Bahkan pada beberapa daerah, kepang dipergunakan sebagai
dinding rumah penduduk, rumah gazebo pada beberapa tempat peristirahatan, utamanya pada
daerah pegunungan.
Penggunaan bambu yang lain untuk daerah pedesaan, seperti di Pulau Supriori, Biak,
dimanfaatkan sebagai jembatan atau lantai air seperti ditunjukkan oleh Gambar 10.7. Hal
tersebut dikarenakan sebagian besar penduduk di daerah ini adalah nelayan, sehingga rumah
tepat tinggalnya berupa rumah tiang di atas air laut. Pemilihan bambu berdasarkan beberapa
pertimbangan, seperti murah, potensinya melimpah, dan tidak memerlukan banyak biaya.

Foto :Marty (2005)


Gambar 10.7. Penggunaan bambu solid sebagai lantai/jembatan pada rumah panggung di
Supriori Biak - Papua.

Di daerah Pantai utara Manokwari, karena potensi bambu yang melimpah, komoditas ini
dipergunakan sebagai bahan baku membuat pagar kebun penduduk lokal, Gambar 10.8, untuk
mencegah dan melindungi tanaman penduduk dari serangan hama binatang babi atau lainnya.

Hasil Hutan Bukan Kayu 141


Foto: Dewi (2003)
Gambar 10.6. Penggunaan bambo solid untuk pagar kebun penduduk lokal di daerah distrik
Pantai Utara- Manokwari.

Ranting-ranting dari dahan bambu, juga banyak dimanfaatkan oleh para petani, tidak hanya
di Indonesia tapi juga di negara maju seperti Jepang, untuk menjadi penyangga beberapa
tanaman semusim yang memerlukan tiang penyangga, seperti jenis tanaman kacang-kacangan.
Gambaran penggunaan ranting bambu untuk penyangga tanaman semusim di Jepang dapat
dilihat pada Gambar 10.9

Gambar 10.9. Pemanfaatan ranting bambu untuk penyangga tanaman semusim oleh petani di
Jepang

Bambu banyak dipergunakan pada daerah pedesaan dikarenakan sifatnya yang kuat, ulet,
batangnya lurus, keras, mudah dibelah, mudah diawetkan. Selain sifat tersebut, bambu juga
mudah diperoleh, murah dan mudah dikerjakan, ringan mudah diangkut meskipun dengan alat
yang sederhana.

Hasil Hutan Bukan Kayu 142


10.8. Perkembangan Teknologi Bambu

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bambu dapat diolah menjadi veneer yang
selanjutnya dibuat plywood dan laminated veneer bamboo dan pulp. Wei dan Chi-son (1997)
masing-masing dari Universitas Nanjing dan Zhejiang di China, melaporkan bahwa beberapa
jenis papan buatan berbahan dasar bambu telah dapat diproduksi di China. Papan buatan
tersebut seperti bambu berlapis plywood (bamboo timber plywood), plywood bambu (bamboo
sheet plywod), plywood bamboo lebar dan tipis (Bamboomat plywood), papan shaving (shaving
board) dan papan partikel (particleboard). Lebih lanjut dikemukakan bahwa samapai dengan
tahun 1996, di China telah berdiri 25 pabrik plywood bambu dengan kapasitas industri
terpasang mencapai 50.000 meter kubic (m3), hanya mampu berproduks sebesar 30.000 m3.
Kenapa bambu disukai sebagai bahan kontruksi sebagai alternatif pengganti kayu ini
disebabkan antara lain adalah potensinya berlimpah dan mudah didapat/umur pendek,
memerlukan teknologi sederhana dalam pengolahannya (belah, sayat, potong, paku),
diversifikasi produk (kulit, batang, anyam, ), mudah dikerjakan (ringan, lurus), keuletan dan
keawetannya yang tinggi, technological attributes (keras pada lap luarnya, tua makin keras).
Pemungutan dan pemanenan dilakukan dengan memotong batang bambu 30-40 cm di atas tanah
dan memotong 30-40 cm dari ujung batang bambu.
Peningkatan kualitas bambu dapat dilakukan dengan cara pengerigan dan pengawetan.
Secara traditional pengawetan dilakukan dengan perendaman di air mengalir atau sungai dengan
tujuan untuk mencuci atau mengurangi kadar selullosanya. Sedangkan pada dinding rumah
untuk menghindari serangan serangga bubuk/penggerek kayu dilakukan dengan pengecatan atau
pelaburan dengan kapur puti, (dalam bahasa jawa dinamakan gamping). Pengeringan dilakukan
dengan menjemur bambu yang sudah dibelah untuk menghindari serangan jamur perusak kayu
dan meningkatkan stabilitas dimensi dari bambu dan produk turunannya.

10.9. Lembaga Penelitian Bambu dan Rotan

Organisasi non profit internasional yang bersifat mandiri (independent) dan bergerak dalam
penelitian dan pengembangan komoditas bambu dan rotan adalah International Network for
Bamboo and Rattan (INBAR) yang dibentuk di China pada tahun 1997. Organisasi ini
beranggotakan sembilan negara yaitu Banglades, Canada, China, Indonesia, Myanmar, Nepal,
Peru, Filipina dan Tanzania.
INBAR memiliki tugas utama yaitu mengembangkan, memberikan dan mempromosikan
teknologi bambo dan rotan yang tepat beserta aspek-aspek lainnya. Sehingga dapat memberikan
solusi dan manfaat kepada masyarakat lokal dan lingkungannya dengan tujuan utamanya adalah
memajukan kualitas hidup (quality of life) dari orang miskin dan golongan terbelakang lainnya
di negara-negara berkembang. Bidang kajian dari organisasi ini meliputi keakekaragaman
jenis dan genetik sumber daya rotan dan bambu, konservasi, sistem produksi atau pemanenan,
pengolahan, pemanfaatan, sosial ekonomi dan kebijakan.

10.10. Pustaka

Chongtham, N., M. S. Bisht., S. Haorongbam.2011.Nutritional Properties of BambooShoots:


Potential and Prospects forUtilization as a Health Food.Comprehensive Review in
Food Science and Food Safety.Vol.11 Hal:153-169.

Hasil Hutan Bukan Kayu 143


Dewi, F.D. 2004. Pemanfaatan Hasi Hutan Non Kayu oleh masyarakat Kampung Nuni Distrik
Manokwari Kabupaten Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan Fakultas Kehutanan
Universitas Negeri Papua (tidakditerbitkan)
Dransfield, S., E.A. Widjaja (1995). Plant Resources of South East Asia No. 7. Bambo. Prosea
Bogor Indonesia.
Irawan, B. S.R.Rahayuningsih., J. Kusmoro. 2006. Keanekaragaman jenis bambu di kabupaten
Sumedang Jawa Barat.
Langi, L.T., J. Wanggai., H. Remetwa.2005. Jenis-jenis bambu di daerah Sentani Barat
Jayapura. Info Hutan Vol.2 (2) Hal:121-134.
Marty.2006. Pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu Oleh Masyarakat Sowek di Rayori Supriori
Selatan kabupaten Supriori. Skripsi Sarjana Kehutanan Fakultas Kehutanan
Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan)
Prebble, C.1997. Bamboo and Rattan : Resources for the 21st Century?. Tropical Forest Update
Volume 7, No 4, 1997/4.pp 13-14 International Tropical Timber Organization.
Japan.
Susanto, I., A.R.R. Marpaung., S. Bataradewa.2000. Jenis-jenis Bambu di Amban Pantai,
kabupaten Manokwari. Beccarriana Vol.2(1) Hal:13-17.
Xinqiang, H.1997. Modification of Bamboo. Tropical Forest Update Volume 7, No 4,
1997/4.pp 14 International Tropical Timber Organization. Japan
Wei, F., Chao Chi-son.1997. China’s Bamboo Industri. Tropical Forest Update Volume 7, No 4,
1997/4.pp 15. International Tropical Timber Organization. Japan
Widjaja, A.E.2000. Bamboo Diversity and Its Future Prospect in Indonesia. Herbarium
Bogoriense, Botany Division, Research and Development Centre for Biology.
LIPI-Bogor.
Widjaja, A.E. 1980. Status of Bamboo Research Activities in Indonesia dalam Proceeding of
workshop of Bamboo Research in Asia. Editors:GillesLesserd and Amy
Chouinard. Hal.63-68.
Widjaja, A.E., Karsono.2004. KeanekaragamanBambudiPulau Sumbawa.BiodiversitasVol.6(2)
Hal:95-99.
Yudodibroto. H. 1985. Bamboo Research in Indonesia in Recent Reserach on Bamboo.
Proceddingsof the International Bamboo workshop. Hal: 33-44.

Hasil Hutan Bukan Kayu 144


BAB 11

PRODUK TURUNAN KAYU

11.1. Pendahuluan

Komoditas hasil hutan bukan kayu yang dinamakan dengan produk turunan kayu adalah
beberapa produk yang dihasilkan dari proses pengolahan lebih lanjut dari kayu, limbah-limbah
kayu, maupun bahan-bahan berkayu lainnya.Pengolahan lebih lanjut dari produk kayu ini
memang ditujukan untuk utama memanfaat sumber daya hutan secara maksimal (maximum
yields), seperti yang tertuang dalam asas-asas pemanfaatan hutan.
Produk-produk turunan kayu yang dibahas dalam hal ini adalah jenis produk langsung dari
pemanfaatan sisa-sisa kayu atau pemanfaatan langsung dari kayu yang bukan untuk untuk
tujuan kayu gergajian dan olahan lainnya. Termasuk di dalam hal ini adalah kayu-kayu yang
low grade, lesser known species, dan limbah-limbah, baik limbah eksploitasi, limbah industri
dan limbah potensi. Limbah eksploitasi adalah limbah-limbah yang berasal dari kegiatan
pemanenan hutan, seperti cabang, ranting, daun, banir dan sebagainya. Limbah industri adalah
limbah-limbah yang dihasilkan dari proses industri perkayuan, seperti serbuk, kulita, sabetan,
dan lain-lain. Sedangkan limbah potensi adalah beberapa tegakan yang berpotensi untuk
dipanen, tetapi karena berbagai pertimbangan, tegakan tersebut tidak atau belum dimanfaatkan.
Komoditas hasil hutan bukan kayu kelompok turunan kayu ini dapat dibagi ke dalam
produk dari proses pembakaran (karbonisasi), yaitu arang (charcoal), arang katif (activated
charcoal), briket (briquette), dan atap sirap. Sebenarnya masih banyak produk-produk turunan
lainnya.
Setelah menyelesaikan bab ini, diharapkan para pembaca memiliki pengetahuan untuk:
1. Menjelaskan dan mengidentifikasi jenis-jenis hasil hutan bukan kayu yang berupa turunan
kayu, yang telah diolah, dimanfaatkan dan yang belum diolah di sekitas kita.
2. Memahami alasan pengelompokkan komoditas produk turunan kayu tersebut ke dalam
kelompok hasil hutan bukan kayu
3. Menjabarkan kegunaaan dari masing-masing hasil hutan turunan kayu tersebut.

11.2. Arang (Charcoal)

Arang adalah benda padat yang biasanya berwarna gelap dan apabila dibakar akan
menghasilkan panas. Bahan baku arang adalah kayu, limbah-limbah kayu dari proses
pengolahan kayu, oleh karenanya arang sering dikenal dengan nama Bahan Bakar Arang Kayu
atau sering dikenal dengan nama BBAK. Sebaliknya Bahan Bakar Minyak (BBM) adalah
sumber energi yang berasal dari fossil fuel. Perbedaan yang sangat mendasar antara BBAK dan
BBM adalah sumber bahan bakunya. BBAK berasal dari bahan baku yang dapat diperbaharui
(renewable resources) sedangkan BBM berasal dari sumber daya yang tidak dapat diperbaharui
(nonrenewable resources).
Energy alternatif yang cukup melimpah di alam dan sekarang lagi menjadi bahan
pembicaraan diberbagai forum seminar dan kajian ilmiah beberapa ahli adalah enery biomasa
(Biomass energy). Energy biomas adalah energy yang bersumber dari massa penyusun
tumbuhan atau komponen organik tumbuhan. Komponen yang dominan pada massa organik

Hasil Hutan Bukan Kayu 145


tumbuhan adalah senyawa karbon yang berupa karbohidrat, dan makromolekul lainnya. Unsur
penyusun senyawa biomassa didominasi oleh atom karbon (C), Oksigen (O) dan Hidrogen (H).
Sedangkan beberapa atom lainnya seperti Mg, Ca, K, dan Mn serta Pberada dalam jumlah yang
relatif sedikit dibandingkan dengan senyawa karbon. Produk turunan dari energy biomas
tersebut di antaranya yang dikenal dengan Bioetanol, Bioalkohol dan Biodiesel.
Kedepan dengan berbagai kajian dan penelitian yang dilakukan, kemungkinan untuk
mengembangkan energi hidrogen yang diperoleh dari biomassa cukup besar, di samping energi
karbonnya. Selama ini kebanyakan untuk sumber energy carbon, hanya terfokus pada
pemanfaatan minyak bumi (fossil fuel) dan batu bara (coal). Pemanfaatan sumber-sumber
energy alternatif lainnya yang ramah lingkungan dan cukup melimpah potensinya di negara
Indonesia, belum optimal. Sumber energi alternatif tersebut misalnya panas bumi, tenaga surya
(solar cell), gelombang pasang-surut air laut, mikro hidro, dan tenaga angin (win power).
Arang pada prinsipnya adalah sumber energy yang terbarukan dan bersumber dari
pembakaran dari unsur carbon. Pembakaran arang adalah pembakaran carbon, sama dengan
minyak bumi dan batubara. Tetapi kedua bahan bakar berbahan dasar carbon itu adalah
tergolong bahan bakar yang tidak dapat diperbaharui. Sedangkan arang termasuk yang dapat
diperbaharui. Arang atau charcoal adalah sisa atau residu dari proses destiliasi kayu karena
panas dengan tidak melibatkan/pembatasan oksigen yang sebagaian besar komponennya adalah
karbon. Arang biasanya berwarna hitam legam, dan terkadang mengkilap apabila terkena
cahaya yang cukup terang. Gambaran komoditas arang seperti ditunjukkan oleh gambar
7.1.Pembuatan arang dapat dilakukan pada proses pembakaran/pemanasan kayu dalam
timbunan ataupun tanur tanpa atau dengan udara yang terbatas. Proses pembuatan arang dapat
dilakukan dengan berbagai macam cara diantarnaya adalah proses karbonasi, destilasi kering,
destilasi destruktif, peruraian panas dan pirolisis.

Foto: Wahyudi (2012)


Gambar 7.1. Komoditas arang yang dipasarkan di Jepang, produksi Jepang (kiri) dan kemasan
arang asal Indonesia di Jepang (kanan)

Arang sangat digemari sebagai bahan bakar atau sumber energi karena nilai kalornya yang
tinggi (7000-7600 kal), bila dibandingkan dengan nilai kalor batubara (6000-7000 kal). Arang
juga memiliki kadar abunya yang rendah, sangat reaktif dalam reaksi kimia, dan mempunyai
absorbansi yang tinggi terutama dalam bentuk serbuk. Arang dapat dipergunakan sebagai bahan
atau penolong dalam industri makanan kimia, logam, tekstil dan lain lain.

Hasil Hutan Bukan Kayu 146


Arang banyak dimanfaakan untuk berbagai keperluan, dari rumah tangga, industri kecil
(home industri) seperti pandai besi, pedagang makanan kaki lima (kuliner) sampai kepada
industri beskala besar. Berdasarkan pemanfaatannya tersebut, arang dikelompokan ke dalam
tiga kelompok yaitu :
a) Sumber energi dalam rumah tangga seperti memasak, pemanas ruangan, tungku bakar,
tanur pengeringan untuk ikan (azar), tembakau, binatu, dan industri pandai besi atau empu.
b) Industri metalurgi yaitu sebagai bahan bakar dan reduktor dalam atau pengolahan biji
logam dalam tanur, industri aluminium, pelat baja, penyepuhan, kobalt, tembaga, nikel,
besi, serbuk besi dan lain-lain.
c) Industri kimia atau pharmacy, banyak dipergunakan karbon aktif, yang biasanya
dinamakan arang aktif (activated carbon), berfungsi untuk mengabsordi suatu zat racun
atau senyawa polutan dalam suatu larutan atau media, obat – obatan, campuran resin,
katalisator, pupuk, perekat, karbon monooksida dan termsuk di dalamnya industri
elektronika.

Arang kebanyakan dibuat dengan proses karbonisasi, dengan cara membakar bakan
bakunya sampai menghasilkan arang. Berdasarkan proses karbonisasinya, arang dibedakan
menjadi tiga yaitu:
1. Arang hitam yang dibuat pada suhu 400 - 700oC yang diperuntukan untuk pengolahan biji
besi, silikon, titanium, magnesium dan karbon aktif.
2. Arang putih yang dibuat pada suhu karbonisasi di atas 700oC yang diperuntukan dalam
pembuatan carbon bisulfida, natrrium sulfida dan natrium cianida.
3. Serbuk arang yang dibuat untuk tujuan bahan baku briket arang, karbon aktif dan bahan
bakar.

Kualitas arang kayu akan sangat dipengaruhi oleh jenis kayu, cara dan proses pengolahan
arang. Khusus untuk proses karbonisasi pada pembuatan arang banyak ditentukan oleh adanya
kecepatan pemanasan dan tekanan udara dalam tanur, di mana pemansan yang cepat akan
menghasilkan rendemen arang yang rendah karena tahapan karbonisasi sulit untu dikendalikan
dan rendeman arang makin tinggi dengan meningkatnya tekanan dalam tanur arang.
Kualitas arang dapat ditentukan berdasarkan unsur kimia yang terkandung di dalamnya,
sifat fisik dan dibedakan menurut kegunaannya. Untuk pemakaian skala industri, kualitas arang
ditentukan oleh beberapa variabel meliputi: kadar air, abu, nilai kalor, zat yang mudah menguap
(volatile matter), sisa karbon (fixed carbon), nilai kalor, kekerasan, berat jenis dan titik
bakarnya (ignition point).
Secara umum kualias arang yang terbuat dari kayu dapat dibedakan berdasarkan ciri
fisiknya. Ciri-ciri fisik tersebut di antaranya adalah :
1. Memiliki warna hitam mengkilap dan menghasilkan nyala kebiru-biruan apabila dibakar
2. Penampilanya terlihat mengkilap pada pecahan – pecahannya, seperti dapat memantulkan
cahaya.
3. Arang tidak mudah hancur atau terkikis sehingga akan mengkotori tangan apabila dipegang
4. Apabila dibakar tidak banyak mengeluarkan asap (tidak berasap)
5. Tidak memercikkan api (tidak ada percikan api) dan tidak berbau saat dibakar

Hasil Hutan Bukan Kayu 147


6. Arang akan mampu menyala terus saat dibakar walaupun tanpa dikipas
7. Tidak mudah atau cepat terbakar, dalam pengertian cepet menjadi abu
8. Berdering seperti logam bila bergesekan

Bahan baku arang akan sangat menentukan kualitas arang. Untuk membuat arang
diperlukan beberapa persyaratan di antaranya bahwa kayu daun lebar (hardwood) lebih disukai
daripada kayu daun jarum (softwood). Hal tersebut karena kayu daun lebar umunya memiliki
kerapatan atau density dan berat jenis lebih tinggi, dan memiliki kekerasan yang lebih tinggi.
Bahan baku yang berasal dari kayu teras (heartwood) lebih disarankan daripada kayu gubal
(sapwood). Bagian batang kayu menghasilkan arang yang lebih bagus dibandingkan bagian
cabang, sedangkan kayu kering lebih baik untuk bahan baku dibandingkan kayu basah. Hal
tersebut karena kayu basah memerlukan lebih banyak energy untuk menguapkan air
dibandingkan kayu kering.
Di Indonesia, pada kebanyakan kayu yang dipergunakan sebagai bahan baku arang adalah
kayu dengan nilai berat jenis kering udara antara 0.6 - 0.7, dan memiliki kadar air antara 30 - 40
% dengan diameter 10 cm - 20 cm. Kayu dengan berat jenis yang lebih dari 0.6 memerlukan
waktu pengolahan yang lama dibandingkan kayu dengan berat jenis yang rendah.
Proses pembuatan arang melibatkan proses karbonisasi yang bersifat eksoterm. Reaksi
eksoterm berarti bahwa jumlah panas atau energy yang dihasilkan untuk pembakaran lebih
besar dibandingkan jumlah energy atau panas yang diperlukan. Reaksi tersebut akan sangat
terlihat apabila suhu mencapai 300 – 400 oC di mana suhu menlonjakdengan cepat sedangkan
panas yang diberikan tetap. Proses karbonsasi pada kayu terjadi pada selang suhu antara 100 –
1000oC, dan perubahan terbesar pada massa kayu terjadi pada suhu antara 200 – 500oC. Proses
pembuatan arang dilakukan pada suhu di atas 500oC dan bahkan ada yang lebih dari 1000oC.
Sedangkan apabila menghendaki hasil akhir proses pembuatan arang adalah ter atau destilat
maka menggunakan suhu 500oC.
Pada prinsipnya proses karbonisasi dalam pembuatan arang dibagi dalam empat tahapan
proses yang dibedakan dari besarnya suhu pembakaran atau pemanasan, yang selengkapnya
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Suhu 0 – 260oC. Pada tahap awal karbonisasi ini berawal dari saat pemanasan dan
pembakaran kayu yaitu penguapan kadar air kayu, kemudian penguraian selulosa pada
suhu sekitar 200oC. Pada suhu ini juga dihasilkan beberapa destilat yang sebagain besar
mengandung asam- asam dengan sedikit metanol. Pada selang suhu antara 200 – 260 oC
dihasilkan destilat asam cuka dan asam – asam lainnya.
2. Suhu 260 –310oC. Pada tahap ini sebagian komponen selulosa telah terurai menjadi secara
itensif. Juga dihasilkan pirolygneous liquor (cairan lignin) yang berwarna kecoklatan dan
banyak mengandung persenyawaan organik dengan titik didih yang rendah, di antaranya
adalah asam cuka, methanol, dan terlarut. Sedangkan gas yang dihasilkan dari proses
pembakaran pada suhu ini di antaranya adalah gas Karbon dioksida (CO2) dan monooksida
(CO), di mana setiap setiap kilogram kayu kering tanur dihasilkan sekitar 50 liter.
3. Suhu 310 – 500oC. Pada fase suhu ini komponen lignin telah banyak terurai menjadi ter,
sedangkan komposisi prolygneous liquor dan gasnya menurun. Volume gas yang
dihasilkan tiap kilogram bahan mentah juga mengalami penurunan dari 50 liter menjadi
sekitar 30 liter. Gas karbondioksida (CO2) akan menurun, tetapi gas kabon monooksida
(CO), Methane (CH4) dan H2.

Hasil Hutan Bukan Kayu 148


4. Suhu 500 – 1000 oC. Pada fase suhu ini akan diperoleh gas kayu yang sulit untuk
dikondensasikan, terutama untuk gas Hidrogen (H). Fase yang terakhir ini adalah
merupakan fase pemurnian arang.

11.3. Arang Aktif (Activated Carbon)

Arang aktif adalah arang yang telah mengalami proses pemurnian, yaitu konfigurasi atom
karbonnya dibebaskan (dimurnikan) dari ikatan dengan senyawa atau atom-atom lainnya, dan
pori-porinya dibersihkan dari kotoran atau unsur-unsur lain. Sehingga arang aktif memiliki
permukaan yang lebih luas dan pori-pori yang bersih dan lebih besar dibandingkan arang biasa.
Secara umum arang aktif juga sering disebut sebagai arang aktif.
Menurut Harsanti dan Ardiwinata (2011) arang aktif adalah sutau bahan hasil pirolisis
arang pada suhu 600-900oC. Setelah pembuatan arang, proses aktivasi arang aktif dilakukakan
pada suhu antara 800-900oC.Perbedaan yang sangat mendasar antara arang aktif dan arang,
selain pada suhu proses pembuatannya, juga pada karakteristik fisiknya. Pada permukaan arang
masih terdapat senyawa-senyawa hidrocarbon sisa-sisa dari proses pembakaran. Sedangkan
pada arang aktif, permukaan dan pori-porinya nya relatif bebas dari senyawa-senyawa
hidrocarbon. Karenanya, arang aktif memiliki daya serap atau absorpsi yang tinggi terhadap
bahan yang berbentuk larutan atau uap.
Berbagai jenis industri menggunakan dan memanfaatan arang aktif, seperti industri kimia,
makanan dan minuman, farmasi dan obat-obatan, dan bahkan industri pertanian dan kehutanan.
Arang aktif juga dapat dimanfaatkan untuk media penyerap dan pemurni berbagai pollutan, baik
dalam air minum atau tanah yang tekena polusi atau terkontaminasi. Rincian dari pemanfaatan
arang aktif untuk berbagai jenis pemanfaatan dan tujuan penggunaan seperti dilakukan oleh
Alfathoni (2002), dapat diringkas pada Tabel 11.1 berikut ini.

Tabel 11.1. Rincian dari berbagai jenis pemanfaatan dan tujuan pemakaian dari arang
aktif

No Jenis pemanfaatan/Tujuan Pemakaian


1 Industri makanan Menyaring dan menghilangkan bau, warna, dan rasa
tidak enak pada makanan
2 Industri pengolahan Mengihalngkan bau, warna, rasa tidak enak, gas-gas
air minum beracun, zat pencemar air, dan sebagai pelindung resin
pada pembuatan demineralis water.
3 Industri minuman Menghilangkan warna, bau dan rasa tidak enak.
4 Industri obat Menyaring dan menghilangkan warna dan senyawa-
senyawa yang tidak diinginkan.
5 Industri pengolahan Membersihkan air buangan dari pencemar warna, bau,
limbah cair zat beracun, dan logam berat.
6 Pengambil gas Menghilangkan gas beracun, bau busuk, asap, uap air
polutan raksa, uap benzen, dan lain lain.
(pollutanremover)
7 Industri plastik Sebagai katalisator, pengangkut vinil klorida, dan vinil
acetate.
8 Industri gas alam Desulfurisasi, penyaringan berbagai bahan mentah, dan
(LNG) reaksi gas.

Hasil Hutan Bukan Kayu 149


9 Industri rafinery Sebagai zat perantara dan penyaring bahan mentah.
10 Industri pengolahan Permurnian uap, uap merkuri, dan penyerap polutan.
emas dan mineral
11 Mendaur ulangMengambil kembali pelarut, sisa methanol, ethanol, ethyl
pelarut acetate, dan lain-lain.
12 Industri perikanan Pemurnian, menghilangkan bau, dan warna.
13 Industri gula dan Menghilangkan warna, bau, dan rasa tidak enak,
glukosa menyerap nitrogen dan lipophilic kolloids sehingga
membantu penyempurnaan proses penyaringan, dan
mengurangi timbulnya busa pada proses penguapan,
yang akhirnya mempercepat proses kristalisasi.
14 Industry minyak Pencampuran karbon aktif dengan bleaching earth sangat
goreng efektif dan ekonomis yang berguna untuk menghilangkn
peroksida, zat warna, rasa, bau yang tidak enak akibat
proses sponifikasi.
15 Industri karet Karbon aktif yang berasal dari minyak bumi golongan
minyak bakar memiliki ukuran partikel yang sangat halus
dan kandungan carbon bebas radikal, sehingga dapat
dipergunakan untuk menghasilkan polimer karet alam,
dengan keuletan dan kekuatan yang tinggi, sangat cocok
diperuntukkan untuk bahan baku ban mobil, karet seal
dan lain-lain.
16 Industri kimia Dipergunakan dalam pembuatan asam sitrat, cafein,
gliserin, asam laktat, dan lain-lain.

Sumber: Alfathoni (2002)

Arang aktif juga dapat dimanfaat dalam bidang pertanian, seperti untuk memperbaiki sifat
fisik, kimia dan hayati tanah (Harsanti dan Ardiwinata, 2011). Dapat dijelaskan, bahwa arang
aktif dapat meningkatkan agregat tanah dan kemampuan mengikat air, dan pada tanah berliat,
arang aktif dapat membantu menurunkan kekerasan tanah dan meningkatkan kemampuan
pengikatan air tanah. Penambahan arang aktif dalam tanah, juga dapat meningkatkan jumlah
populasi mikroorganisme tanah, misalnya bakteri. Karena pori-pori kecil dari arang aktif
berberan sebagai naungan (shelter) bagi mikroorganisme tersebut. Lebih lanjut dijelaskan,
bahwa penggunaan arang aktif dilahan persawahan dapat meningkatkan bakteri, khususnya
bakteri fiksasi nitrogren (Azotobacter). Kedua peneliti ini memberikan contoh, bahwa
pemberian arang aktif pada lahan pertanian di Jepang dapat meningkatkan frekwensi bakteri
fiksasi nitrogen sebesar 10-15% di wilayah Hokaido dan Tohoku (Jepang Utara), 36-48% di
wilayah Kanto hingga Chugoku, dan 59-66% di daerah Kyusu (Jepang selatan).
Jenis bahan baku arang aktif memiliki pengaruh yang berbeda terhadap kesediaan
mikroorganisme tanah, baik pada lahan pertanian yang sejenis atau beberda komoditasnya.
Contohnya adalah hasil penelitian dari Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian
(Balingtan), Departemen Pertanian.Hasil penelitian menunjukkan bahwa arang aktif yang
terbuat dari tempurung kelapa dan tongkol jagung dapat meningkatkan populasi mikroba tanah
dari jenis Citrobacter sp, Enterobacter sp, dan Azotobacter sp lebih banyak pada lahan padi
dibandingkan dengan arang aktif yang terbuat dari sekam padi dan tandan kosong kelapa sawit.
Tetapi pemberian arang aktif yang dari tongkol jagung pada tanaman Kubis dapat meningkatkan

Hasil Hutan Bukan Kayu 150


populasi mikroba Citrobacter sp, Pseudomonas sp, Serretia sp, Bacillus sp, Azotobacter sp, dan
Azospirrilliumsp. Beberapa bakteri tersebut adalah termasuk bakteri pendegrdasi pestisida dan
pengikat nitrogen. Kedua peneliti tersebut juga menyimpulkan bahwa penggunaan arang aktif
dalam budi daya tanaman pertanian dapat menurunkan pestisida dalam tanah, air dan produk
pertanian. Mereka memberikan contoh bahwa hasil penelitian dari Balingtan tahun 2009
menunjukkan bahwa pemberian arang aktif dari tempurung kelapa pada tanah yang ditanami
kubis dapat menurunkan residu insektisida klorpirifos di air hingga sekitar 50%. Sedangkan
arang aktif dari sekam padi, tempurung kelapa, tempurung kelapa pelapis urea, dan zeolit
ditanah areal pertamanam kubis dapat menurunkan residu lindan di air hingga 50%. Sedangkan
arang aktif dari sekam padi mampu menurunkan residu pestisida dalam tanah hingga 70%.
Karena berbagai alasan tersebut, kenapa kita sering menyaksikan para petani lebih suka
melakukan pembakaran areal persawahannya, terutama untuk membersihkan sisa-sisa panen
seperti rumput, jerami, dan lainnya. Dalam hal ini, pembakaran lahan, tidak hanya dilihat
sebagai salah satu usaha untuk membersihkan lahan, tetapi juga sebagai usaha-usaha secara
tradisional untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologis dari tanah. Dalam masyarakat yang
tradisional pun, perladangan berpindah (shifting cultivation), pembakaran lahan adalah salah
satu alat manajemen tradisional yang sangat berperan dalam mengembalikan kesuburan tanah
ladang.
Bahan baku pembuatan arang aktif dapat berasal dari berbagai jenis bahan alam yang
mengandung lignosellulosa (lignocellulosic material). Artinya bahan-bahan tersebut memiliki
unsur utama perpaduan antara senyawa lignin dan selulosa, atau istilahnya memiliki serat kasar.
Bahan baku tersebut, dapat berupa bahan-bahan yang sengaja ditanam untuk tujuan tersebut,
atau berasal dari limbah-limbah kegiatan lainnya, baik limbah pertanian, perkebunan dan
kehutanan. Bahan baku pembuatan arang tersebut di antaranya adalah limbah pertanian seperti
sekam padi, jerami padi, tongkol jagung, cangkang kelapa sawit, batang jagung, serabut kelapa,
tempurung kelapa dan lain-lainnya. Limbah-limbah kehutanan seperti serpihan-serpihan kayu,
tunas kayu, serbuk kayu gergajian, tempurung biji Nyamplung (Calophyllum inophyllum Linn)
yang merupakan limbah dari pengolahan minyak nyamplung (Wibowo et al., 2011).
Berdasarkan ukuran, bentuk, dan tujuan akhir produk, arang dapat dikelompokkan ke
dalam bentuk serbuk (powder), butiran kecil (granular), pallet (pallets), serat-serat kecil (fiber),
balok, kotak atau balok (carbon blocks), bahkan ada yang bebentuk pasta (paste). Menurut
www.wikipedia.com, arang aktif secara umum dibedakan menurut kelompok penggunaannya
dan karakteristik fisiknya, terutama ukuran partikelnya yaitu:
Berbentuk serbuk (powder activated carbon/PAC) berukuran 1.0 mm dengan diameter
antara 0.15-0.25 mm. Serbuk arang aktif ini biasanya dipergunakan dalam proses penyaringan
bahan baku air minum.

Foto: Wahyudi (2012)


Gambar 7.2. Arang aktif yang beberntuk serbuk (powder)

Hasil Hutan Bukan Kayu 151


Butiran (granular activated carbon/GAC) memiliki ukuran yang bervariasi. Untuk
pengunaan pengolahan limbah air (water treatment), arang aktif yang berukuran 20 x 40
umumnya dipakai untuk proses yang menggunakan larutan (liquid application), sedangkan
yang berukuran 4x6 pada proses dengan menggunakan gas (vapor phase). Ganular ini akan
lolos dalam proses penyaringan dengan menggunakan saringan yang berukuran 20 mesh
(0.84 mm).

Foto: wahyudi (2012)


Gambar 7.3. Arang aktif yang berbentuk butiran (granular)

Pallet (extruded activated carbon/EAC) adalah serbuk arang aktif yang diberi tambahan
perlakuan kimia senyawa pengikat (binder), sehingga dapat dipadatkan dan dicetak dalam
bentuk silinder dengan diameter antara 0.38 -130 mm.
Arang aktif yang di impregnansi (impregnated active carbon/IAC) adalah arang aktif
yang diberi perlakukan tekanan dan vakum yang tinggi untuk diaktivasi/diisi dengan
senyawa kimia tertentu. Biasanya tujuan utamanya adalah untuk menyerap sumber-sumber
polusi yang ada di udara (air pollution).

Di Indonesia, standarisasi dan beberapa acuan baku tentang pembuatan, dan kualitas arang
aktif telah diatur dalam Standar industri indonesia (SII) nomor 0258-79, dan standar nasional
indonesia (SNI) nomor 06-3730-1995. Misalnya, standard industri ndonesia No. 0258-79 telah
menetapkan beberapa persyaratan minimal dari arang aktif, seperti yang ditampilkan pada Tabel
11.2 di bawah ini.

Tabel 11.2. Jenis Uji dan nilai maksimum dari masing-masing variable yang diizinkan
oleh standar industri Indonesia no.0258-79

Jenis Uji Satuan Persyaratan


(%)
1. Bagian yang hilang pada pemanasan 950oC % Maksimum 15
2. Air % Maksimum 10
3. Abu % Maksimum 2.5
4. Bagian yang tidak mengarang % Tidak ternyata
5. Daya serap I2 % Maksimum 20

Hasil Hutan Bukan Kayu 152


Gambar 11.5. Produk arang aktif untuk skala industri atau laboratorium

11.4. Briket Arang (Briquette)

Briket arang (Briquette) adalah produk lanjutan dari arang, yaitu bahan padat (solid) hasil
campuran dari serbuk arang dan perekat yang dipress dengan tekanan yang cukup tinggi dan
kerapatan yang tinggi. Briket digunakan sebagai sumber penghasil energi panas/bakar. Tujuan
dari pembuatan briket arang adalah menghasilkan energi yang maksimum dari arang solid yang
berdimensi minimum. Tujuan lain dari pembuatan briket arang adalah pemanfaatan kayu secara
maksimum dan sumber energi alternatif penganti kayu bakar dari limbah-limbah bahan
berkayu/bahan berlignoselulosa (lignocellulosic materials) dan limbah - limbah pertanian
(agricultural residues).
Bahan baku pembuatan briket arang hampir sama dengan yang digunakan pada arang aktif.
Briket arang memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan arang atau kayu bakar secara
luas yaitu:
briket dapat memperbesar rendemen pembuatan arang, karena serbuk arang yang tidak
dimanfaatkan dalam pembuatan arang dapat dibuat menjadi briket arang;
bentuk briket adalah seragam, lebik kompak (padat) sehingga menghemar biaya transport
dan penyimpanan;
Briket terbuat dari arang yang bermutu rendah sehingg lebih menguntungkan;
Briket arang dapat dibuat dari berbagai jenis kayu sehingga tidak bergantung kepada kayu
tertentu seperti pada arang.

Proses pembuatan briket arang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Pembuatan arang. Proses pembuatan arang telah dibahas pada sub bab sebelumnya.
2. Pembuatan serbuk/penghalusan arang (crushing). Arang yang telah tersedia dihancurkan
atau ditumbuk untuk mendapatkan ukuran butiran yang seragam dan merata. Penghalusan
bertujuan untuk mendapatkan jumlah arang yang maksimal per satuan volume dan
mendapatkan bidang rekat yang maksimal dengan bahan perekat.
3. Penyaringan (screening). Panyaringan dimaksudkan untuk mendapatkan butiran arang
yang seragam. Hal ini akan berpengaruh terhadap kualitas arang secara keseluruhan seperti
nilai kalor, kekerasan dan berat jenis briket arang.
4. Pemberian dan pencampuran bahan perekat (Mixing). Pemberian bahan perekat ditujukan
untuk mendapatkan briket arang yang kompak dan bermutu tinggi. Bahan perekat

Hasil Hutan Bukan Kayu 153


sebaiknya dipergunakan bahan yang ramah lingkungan dan banyak persediannya di sekitar
kita, seperti tepung dan sagu. Perbandingan antara serbuk arang dengan jumlah perekat
diperoleh dari beberapa hasil uji coba, pengalaman ataupun berdasarkan referesi dari
sumber lain.
5. Pengepreasan (pressing). Pengepresan dilakukan utntuk mendapatkan briket arang yang
padat kompak dan memiliki bentuk yang seragam. Dalam pengepresan sebaiknya hanya
menggunakan pres dingin dengan suhu ruangan atau normal.
6. Penyimpanan dan storage. Penyimpanan dilakukan untuk menjamin kualitas briket yang
dihasilkan.

Salah satu produk dari briket arang adalah briket batangan seperti ditampilkan pada
Gambar 11.8.

Sumber gambar:www.indonetwork.co.id
Gambar 11.8. Produk briket arang batangan

11.5. Sirap

Komoditas sirap yang dimaksud dalam sub bab ini adalah atap sirap. Atap sirap adalah atap
rumah adat Kalimantan, yang atapnya terbuat dari Sirap. Sirap adalah irisan tipis kayu dari hasil
penyayatan pada bidang radial yang berbentuk strip atau lembaran tipis, dan digunakan sebagai
atap rumah, khususnya di daerah Kalimantan. Sirap umumnya dibuat dari jenis kayu yang
cukup kuat, seperti kayu Ulin (Eusideroxylon zwageri T &B) yang potensinya cukup melimpah
di Kalimantan. Kayu ini di Kalimantan lebih dikenal dengan nama kayu besi. Untuk di wilayah
Papua, pengertian kayu besi, mengacu kepada jenis kayu Merbau, yaitu Instia bijuga dan Instia
palembanica. Produk sirap dibuat dari kayu Ulin karena kayu keras memiliki sifat yang mudah
terbelah, terutama pada bidang radialnya. Hal ini juga terjadi pasa kayu Merbau di Papua, yang
mudah terbelah pada bidang radialnya, sehingga sel jari-jarinya mudah dikenali. Hal tersebut
kemungkinan dapat dikarenakan kayu-kayu keras memiliki kerapatan yang lebih dari 1 dan
termasuk kayu yang sangat kuat.
Secara tradisional, atap sirap dapat diproduksi dengan dua macam cara., yaitu Sirap rotary
(circle) dan sirap belah. Metode pertama memiliki prinsip kerja yang sama dengan membuat
finir. Pada metode ini bahan baku kayu diputar dan pisau ditempatkan berlawanan dengan arah
perputaran bahan baku kayu. Metode ini biasanya dikerjakan dengan menggunakan mesin.
Sirap yang dihasilkan dari metode ini mempunyai keunggulan pada keseragaman dimensinya.

Hasil Hutan Bukan Kayu 154


Sehingga kerapian setelah pemasangan sangat mudah terlihat. Keunggulan lainnya adalah
kemudahkan dalam pemasangan. Pada metode yang kedua, bahan baku kayu dibelah pada
bidang radialnya degnan menggunakan benda yang tajam (parang, misalnya). Keunggulan sirap
belah adalah pada daya tahannya yang lebih lama dan kenampakkan tekstur alami lebih terlihat.
Lamanya daya tahan sirap belah dibandingkan dengan sirap sircle dikarenakan sel-sel jari-jari
berperan dalam menyalurkan atau mengarahkan air hujan yang jatuh langsung bergerak ke
bawah mengikuti serat alami kayu. Kekurangan dari sirap jenis ini adalah ketebalannya yang
lebih tipis dibandingkan sirap circle.
Secara individu, bentuk sirap secara umum dapat dibedakan menjadi dua yaitu kotak
persegi panjang vertikal dan sirap lancip vertikal.Atap sirap kayu ulin memiliki ukuran tebal
antara 0,4-0,5 cm, lebar: 8 cm, dan panjang 58-60 cm.Secara garis besar pembuatan sirap dapat
diilustrasikan sebagai berikut:
a. Kayu ulin dipotong-potong menjadi balok-balok dengan panjang sekitar 60 cm dan tebal
berkisar antara 8-10 cm, dengan lebar yang kurang dari 20 cm.
b. Balok tersebut dibuat cacahan dengan ketebalan antara 3-3.5 mm dan sekaligus dilakukan
penyobekan untuk membuat sirap.
c. Sehingga diperoleh sirap kayu ulin dengan dimensi ukuran 60 cm x 10 cmx 3- 3.5 mm
yang berbentuk persegi panjang.

Karena memiliki nilai seni yang tinggi, atap sirap biasanya dijual per ikat. Satu ikat sirap
ulin terdiri atas kurang lebih 80 lembar sirap. Gambar 11.6 mengambarkan ikatan atap sirap
yang siap untuk dipasarkan. Penelusuran dari berbagai sumber, harga satu ikat atap sirap ukuran
standar kelas utama sekitar Rp.140 000 (seratus empat puluh ribu rupiah), yang kira-kira untuk
luasan sekitar 1 m2.

Sumber gambar :www.indonetwork.co.id


Gambar 11.8. Ikatan atap sirap yang siap untuk dipasarkan

Penggunaan sirap untuk atap rumah, sirap selain dapat menambah nilai estetika dari
bangunan rumahnya, juga menambah sejuk udara dalam rumah, sehingga sangat cocok untuk
daerah tropis seperti Indonesia. Selain untuk rumah, atap sirap juga banyak dipasang pada

Hasil Hutan Bukan Kayu 155


rumah-rumah peristirahatan (villa), seperti bungalow, gazebo, hotel, restoran dan beberapa
fasilitas umum lainnya. Gazebo yang terbuat dari kayu, dan beratap sirap seperti ditunjukkan
oleh Gambar 11.6 berikut ini.
Teknik pemasangan atap sirap sangat rumit, sehingga sebaiknya dikerjakan oleh tenaga
yang ahli dibifangnya. Secara umum pemasangan atap sirap adalah seperti memasang genteng
tanah, yaitu pemasangan diumulai dari bagian bawah, kemudian ditumpuk dengan yang di
atasnya.
Uraian secara rinci pemasangan atap sirap menurut www.ciputraentrepreneurship.com
adalah sebagai berikut:
1. Untuk menjaga agar tidak renggang, sebelum dipasang, bilah-bilah kayu besi bahan atap
sirap dipotong agar rapi dan benar-benar akurat;
2. Khusus untuk atap sirap expose, bilah kayu besinya harus benar-benar rapi dan rapat. Ini
dikarenakan pada bangunan yang tidak memakai plafon, sirap pada lapisan paling bawah
biasanya akan terlihat;
3. Seperti yang telah disebutkan, bilah-bilah kayu sirap dipasang seperti memasang genteng.
Agar tidak melorot, bilah-bilah ini perlu dipaku. Karena jumlah bilah ini mencapai angka
ribuan, gunakanlah pistol paku untuk memasang paku. Pistol paku bekerja menembakkan
paku dengan tenaga angin dari kompresor, sehingga pekerjaan jadi lebih cepat. Sedapat
mungkin proses ini juga dikerjakan secara bersamaan;
4. Atap sirap biasanya dipasang antara 3 hingga 4 lapis. Secara berurutan dari lapisan paling
bawah, atap sirap yang dipasang yaitu lapisan 1, tripleks, aluminium foil, sirap lapisan 2,
sirap lapisan 3, dan sirap lapisan 4.

Foto: www.sridipta.blogspot.co.id
Gambar 11.9. Rumah singgah (gazebo) yang atapnya menggunakan atap sirap

Hasil Hutan Bukan Kayu 156


11.6.Pustaka

Adan, I.U. 2003. Membuat Briket Bio Arang. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Alfathoni, G. 2002. Rahasia untuk Mendapatkan Mutu Produk Karbon Aktif dengan Serapan
Iodin di atas 1000 mg/g. www.tepatgunatek.com, diaksess pada tanggal 22
Februari 2012.
Harsanti, dan A. Nugraha. 2011. Arang Aktif Meningkatkan Kualitas Lingkungan. Sinartani
No.3400 tahun XLI : 10-13.
Hartoyo. 1983. Pembuatan Arang dan Briket Arang secara Sederhana dari Serbuk Gergaji dan
Limbah Industri Perkayuan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan
(P3HH), Bada Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan,
Bogor.
Wibowo, S., W. Syafii., dan G. Pari. 2011. Karakterisasi Permukaan Arang Aktif Tempurung
Biji Nyamplung. Makara, Teknologi Vol.15 (1) : 17-24.
www.indonetwork.co.id/CVMERPATIPRATAMA/2964351/dijual-briket-arang-kayu-betuk-
persegi.htm, diaksess pada 22 Februari 2012.
www.ciputraentrepreneurship.com/teknik pemasangan atap sirap, diakses pada tanggal 22
Februari 2012.

Hasil Hutan Bukan Kayu 157


BAB 12

TUMBUHAN PENGHASIL PEWARNA ALAMI


(NATURAL DYE)

12.1. Pendahuluan

Pada bab ini pokok bahasanya adalah tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan warna alami
(natural dyes). Dari kehidupan kita sehari-hari membuktikan bahwa hampir seluruh tumbuhan
di sekitar kita menghasilkan warna alami, apakah warna hijau, merah, coklat ataupun warna
lainnya. Yang mungkin perlu dipikirkan lebih lanjut adalah apakah warna alami tersebut dapat
bertahan permanen atau dapat langsung dibersihkan dengan mencuci dengan air. Kalau kita
mengamati praktek-praktek kehidupan baik pribadi maupun masyarakat, banyak yang
menggunakan pewarna alami, baik untuk pewarna bahan makanan, minuman maupun untuk
tujuan lainnya seperti tari-tarian pada upacara keagamaan, pernikahan dan sejenisnya.
Oleh karena itu, pada bab ini poko bahasan tanaman penghasil warna alami, cara
pengambilan warna alami tersebut, berikut cara pemakaiannya untuk berbagai tujuan akan
dibahas, secara garis besarnya, sehingga tidak semuanya dapat dibahas.
Setelah mempelajari pokok bahasan ini para pembaca diharapkan memiliki pengetahuan
tentang:
1. Mengenali beberapa jenis tumbuhan yang menghasilkan warna alami;
2. Memahami metode atau cara mengeluarkan atau ekstraksi warna alami serta perlakuan
untuk membuat warna tersebut permanen dan tidak luntur;
3. Membedakan tumbuhan penghasil warna alami untuk dipergunakan sebagai perwarna
makanan, tektsil maupun untuk tujuan lainnya.

12.2. Pengertian Pewarna Alami

Pewarna alami adalah zat warna alami atau pigmen (pigment) yang diperoleh dari
tumbuhan, hewan, atau dari sumber-sumber mineral dari alam.Khusus pada pokok bahasan ini,
hanya membahas pewarna alami yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Karena pewarna alami
(natural dyes) ini dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan, sehingga dinamakan dengan pewarna
nabati.Pewarna nabati diarenakan dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan yang juga adalah produk
hayati. Istilah pewarna alami mulai dipergunakan setelah timbul berbagai permasalahan
berkenaan dengan penggunaan dan dampka dari bahan pewarna buatan yang dikenal dengan
pewarna sintetis.
Wulijarni-Soetjipto dan Lemmens (1999) mendefinisikan pewarna nabati adalah bahan
pewarna yang berasal dari tumbuhan, dengan jalan fermentasi, direbus atau dihasilkan melalui
proses kimiawi yang lain. Sedangkan metode tradisional yang dipergunakan untuk mengekstrak
pewarna alami adalah dengan merebus, mengosok, merendam dan membakar bagian tumbuhan
atau tumbuhan penghasil pewarna tersebut. Tumbuhan dikatakan menghasilkan pewarna karena
tumbuhan tersebut menghasilkan zat berwarna atau pigment warna.
Masih menurut mereke, pigment warna yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan
tesebutdapat dibedakan berdasarkan komponen struktur kimia utamanya, yang selanjutnya
dikelompokkan ke dalam 4 (empat) golongan utama yaitu: 1) klorofil, 2) karotenoid, 3)
flavanoid, dan 4) kuinon (quinone).

Hasil Hutan Bukan Kayu 158


1. Klorofil. Klorofil adalah istilah generik untuk menggambarkan pigmen tumbuhan yang
berkerabat dekat dan menghasilkan warna hijau yang jumlahnya sangat berlimpah pada
tumbuhan. Pada beberapa disiplin ilmu, seperti biokimia, fisiologi dan biologi, klorofil
umumnya sering dinamakan sebagai pigment hijau tumbuhan, sehingga sering diistilahkan
sebagai tumbuhan berhijau daun. Penggunaan klorofil sebagai pewarna, banyak
dimanfaatan untuk pewarna makanan, minuman, dan bahkan terapi kesehatan.
Penggunaan klorofil untuk bidang kesehatan juga mulai digalakkan sekarang ini. Suatu
terapi kolofil mulai diperkenalkan oleh pemenang hadiah Nobel dari Jerman, Dr Richard
Willstater dan Dr. Hans Fisher, seperti yang dikutip oleh Limantara (2004) yaitu
menemukan penggunaan lain dari klorofil untuk terapi penyakit demam berdarah, di mana
terapi hemoglobin digantikan oleh klorofil. Hal ini berdasarkan suatu asumsi bahwa
struktur dari klorofil adalah menyerupai struktur dari hemoglobin, yang hanya dibedakan
oleh atom pusatnya. Pusat molekul hemoglobin adalah besi (Fe) sedangkan pusat atom
klorofil adalah magnesium (Mg). Sebagaimana diketahui bahwa penyakit demam berdarah
dikarenakan adanya serangan virus dengue yang menyebabkan gangguan pada pembuluh
kapiler dan pada sistem pembekuan darah, sehingga menimbulkan perdarahan. Hal ini akan
diiukuti oleh menurunnya jumlah trombosit dan pengentalan darah.
Diuraikan lebih lanjut bahwa klorofil merupakan nutrisi yang sangat vital bagi tubuh dan
dapat diterima oleh tubuh secara alamiah, karena kesamaanya dengan hemoglobin. Klorofil
juga berfungsi sebagai bahan anti bakteri (disinfectan) antibiotik yang telah berlangsung
lama. Klorofil mampu membersihkan jaringan-jaringan tubuh tubuh dan tempat
pembuangan sisa limbah metabolisme dalam tubuh, sekaligus mengatasi parasit, bakteri
dan virus yang ada dalam tubuh manusia serta menghilangkan senyawa-senyawa kimia
racun dalam tubuh manusia. Ekor atau tail dari klorofil yang bersifat hidrophobic dapat
menggali ke dalam sel atau jaringan dan mengangkat hidrokarbon dari dinding sel tersebut
yang bersifat racun, yang berasal dari pestisida, obat-obatan yang tertimbun dalam tubuh,
bahan pewarna makanan, bahkan bakteri, parasit dan virus.
Limantara (2004) juga mengemukakan bahwa hemoglobin adalah molekul dalam sel darah
merah yang membawa oksigen, dan klorofil adalah pembentuk sel darah merah yang
paling cepat dalam tubuh manusia. Mengkonsumsi klorofil akan meningkatkan jumlah se
darah merah dalam tubuh manusia, sehingga pasokan energy ke dalam tubuh dapat terus
menerus terjamin, karena oksigen dalam sel darah membawa pasokan energy ke tubuh kita.
Menurut Limantara (2004) fungsi klorofil secara umum bagi tubuh manusia dapat
dikatakan sangat lengkap, fungsi-fungsi tersebut di antaranya adalah : 1). Meningkatkan
jumlah sel-sel darah, kususnya meningkatkan produksi hemoglobin dalam darah, 2)
mengatasi anemia, 3) membersihkan jaringan tubuh, 4) membersihkan hati dan fungsi hati,
5) meningkatkan daya tahan tubuh terhadap senyawa asing (virus, bakteri, parasit, dan
sejenisnya), 6) memperkuat sel dan 7) melindungi DNA dari Kerusakan.
Produk-produk klorofil dalam pasaran banyak dijual baik dalam bentuk tablet, bubuk
maupun cairan yang dikemas menarik dan dijual di toko obat, apotik dan berbagai toko
lainnya. Akan tetapi sebenarya sumber klorofil dialam ini sangat melimpah. Salah satu
jenis tumbuhan jenis liana yang cukup melimpah dan mengandung banyak klorofil adalah
tumbuhan Katuk (Sauropus androgynus Merr) Gambar 12.1.

Hasil Hutan Bukan Kayu 159


Foto : Wahyudi (2007)
Gambar 12.1. Daun katuk yang sangat kaya akan klorofil dan bermanfaat untuk memperlancar
ASI ibu menyusui.

2. Karotenoid. Karotenoid adalah istilah umum pigment yang banyak kita temukan pada
sayuran dan buah-buahan. Pigment tersebut umumnya berwarna kuning, jingga, merah dan
lembayung. Pigment karotenoid umumnya dicirikan oleh adanya rantai panjang
polienealifatik yang tersusun atas satuanisoprena.(isoprena).
3. Flavanoid. Flavanoid adalah istilah umum untuk mengambarkan pigment alami yang
memiliki struktur flavon atau flavana. Flavanoid adalah pigment yang biasanya
dimanfaatkan untuk pengharum masak-masakan.
4. Kuinon (Quinones).Kuinonumumnya adalah pigment yang di dalamnya memiliki struktur
kuinon, yang umunya berwarna kuning sampai merah.

12.3. Penggunaan Pewarna Alami untuk Produk Tekstil seperti Batik

Dalam prakteknya pewarna alami banyak dipergunakan sebagai pewarna pada bahan
tekstil, khusus teksil yang berwarna dan bermotif, seperti batik. Wulijarni-Soetjipto dan
Lemmens (1999) mengemukakan bahwa pewarna alami yang banyak dipergunakan dalam
industri tekstil. Khusus untuk industri tekstil, menurut sifat dan pemanfaatnya, pewarna alami
ini dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) tipe, yaitu:
1. Pewarna langsung, yaitu dengan membetuk ikatan hidrogen dengan kelompok hidroksil
(hidroxyl) dari serat kain. Jenis pewarna ini memiliki ciri khas mudah luntur.
2. Pewarna asam dan basa, yang masing-masing berkombinasi dengan kelompok asam dan
basa pada wol dan sutra; sedangkan katun tidak dapat kekal warnanya jika diwarnai,
contohnya adalah pigmen-pigmen flavanoid.
3. Pewarna lemak, yang ditimbulkan kembali pada serat melaui proses redoks, pewarna ini
sering kali memperlihatkan kekekalan yang istimewa terhadap cahaya dan pencucian
(contohnya tarum).

Hasil Hutan Bukan Kayu 160


4. Pewarna mordan, yang dapat mewarnai tekstil yang telah diberi mordan berupa senyawa
metal polivalen; pewarna ini dapat sangat kekal; contohnya alizarin dan morindin.

Menurut penjelasan dari www.batikcintaku.com, pada industri batik tradisional, awalnya


warna batik yang dihasilkan adalah, paduan warna putih, atau satu warna saja.
Misalnyaperpaduan warna merah tua dengan putih atau biru tua dengan putih, yg sangat
terkenal di Jawa Barat. Atau warna cokelat dengan putih untuk batik sogan yg terkenal dari
Yogyakarta dan batik Solo. Sedangkan perpaduan warna hijau dan putih pada motif mega
mendung berasal dari Cirebon.Seiring dengan perkembangan waktu dan kemampuan para
perajin batik, sehelain kain batik terutama yg kain batik pesisir – dibuat dengan motif yang
terdiri atas beberapa paduan warna. Contohnya, adalah batik Solo dan pekalongan, yang sangat
kaya dengan kekhasannya warna cerah, yaitu perpaduan antara warna hijau, kuning, merah dan
ungu.
Warna-warna pada komoditas batik tersebut umumnya dibuat dari bahan pewarna alami,
yang berasal dari tumbuh-tumbuhan di sekitar kita. Karena terbuat dari bahan pewarna alami
dengan metode yang sangat sederhana, pewarna ini relatif tidak seawet pewarna kimia. Hal ini
yang menyebabkan warna batik tersebut cenderung cepat memudar jika dicuci dengan detergen
biasa.
Berikut ini adalah beberapa tumbuh-tumbuhan yang dipergunakan sebagai bahan baku
perwarna alami untuk industri batik.
Indigo (Indigofera tinctoria) tanaman perdu yg menghasilkan warna biru. Bagian tanaman
yg diambil adalah daun/ranting.
Kelapa (Cocos nucifera) bagian yg dijadikan bahan pewarna adalah kulit luar buah yg
berserabut (sabut kelapa), warna yg dihasilkan adalah krem kecoklatan.
Teh (Camelia sinensis) bagian yg diolah menjadi pewarna adalah daun yg telah tua, dan
warna yg dihasilkan adalah cokelat.
Secang (Caesaslpinia Sapapan Lin) jenis tanaman keras yg diambil bagian kayu, utk
menghasilkan warna merah. Warna merah adalah hasil oksidasi, setelah sebelumnya dalam
pencelupan berwarna kuning.
Kunyit (Curcuma domestica val), bagian tanaman yg diambil adalah rimpang, umbi akar,
yg menghasilkan warna kuning.
Bawang Merah (Allium ascalonicium L), bagian bawang merah yg digunakan sebagai
bahan pewarna adalah kulit dan menghasilkan warna jingga kecoklatan.

Jenis-jenis tumbuhan penghasil warna alami yang tumbuh di Indonesia dan warna yang
dihasilkannya telah diringkas oleh Wulijarni-Soetjipto, N dan R.H.M.J Lemmens (1999).
Ringkasan tersebut selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 12.1 berikut ini.

Tabel 12.1. Jenis-jenis tumbuhan penghasil warna alami dan berbagai jenis warna yang
dihasilkan

No Nama Famili Manfaat


Umum Latin
1 Jambu mete Anacardium Anacardiaceae Pepagan dan buahnya

Hasil Hutan Bukan Kayu 161


accidentale dipergunakan untuk membuat
tinta penandaan (marking ink) dan
untuk menghitamkan rambut
2 Akar kuning Arcangelisia Menispemaceae Batangya mengandung berberin,
flava yang dipergunakan untuk
memberi warna kuning pada kain
3 - Archidendron Leguminoseae Pepaganya dipergunakan untuk
pauciflorum memberi warna hitam pada tikar,
dan buahnya untuk memberi
warna lembayung pada sutra.
4 Pinang Areca catechu Palmae Buahnya dipergunakan untuk
memberikan warna katun dan wol
menjadi cokelat- merah dan hitam
5 Nangka Artocarpus Moraceae Kayu terasnya mengandung
heterophyllus morin (morin), dipergunakan
untuk memberi warna kuning
pada katun dan sutera
6 Cempedak Artocarpus Moraceae Kayu terasnya mengandung
integer morin (morin), dipergunakan
untuk memberi warna kuning
pada katun dan sutera
7 Menteng Baccaurea Euphorbiaceae Pepaganya digunakan untuk
javanica memberi warna katun, kain linen,
dan kotak cerutu menjadi merah
kuning atau ungu; juga
dipergunakan sebagai mordan
(mordant)
8 Rambai Baccaurea Euphoriaceae Pepaganya digunakan untuk
montleyana memberi warna katun, kain linen,
dan kotak cerutu menjadi merah
kuning atau ungu; juga
dipergunakan sebagai mordan
(mordant)
9 Kapundung Baccaurea Euphorbiaceae Pepaganya digunakan untuk
racemosa memberi warna katun, kain linen,
dan kotak cerutu menjadi merah
kuning atau ungu; juga
dipergunakan sebagai mordan
(mordant)
10 Sedar merah Bischofia Euphorbiaceae Pepaganya dipergunakan untuk
javanica memberi warna merah atau hitam
pada tikar
11 Safflower Carthamus Compositae Bunganya mengandung kartamin
tinctorius (carthamin), yang digunakan
untuk memberi warna pada sutra,
katun dan kain linen menjadi
merah-kuning.

Hasil Hutan Bukan Kayu 162


12 Kembang Clitoria Leguminosae Bunganya dipergunakan untuk
telang ternatea memberi warna pada makanan,
tikar dan kain menjadi hijau-biru.
13 Kelapa Cocos nucifera Palmae Daging buahnyadipergunakan
untuk memberi warna hijau pada
sutra, sedangkan tangkai buahnya
untuk menghitamkan gigi.
14 Kunyit Curcuma longa Zingiberaceae Rimpanya mengandung
kurkumin, dipergunakan untuk
memberi warna pada makanan,
katun dan kain sutra, tikar dan
bagian-bagian ulit menjadi
cokelat –kuning.
15 Suji Dracaena Liliaceae Daunnya dipergunakan untuk
angustifolia menjadikan makanan berwarna
hijau
16 - Flemingia Leguminoeae Kelenjar pada polongya
grahamiana mengandung flemingin, yang
dipergunakan untuk memberi
warna jingga pada sutra
17 - Flemingia Leguminoeae Kelenjar pada polongya
macrophylla mengandung flemingin, yang
dipergunakan untuk memberi
warna jingga pada sutra
18 - Garcinia Guttiferae Buahnya dipergunakan sebagai
atroviridis mordan dalam pencelupan sutra
19 Mundu Garcinia dulcis Guttiferae Pepaganya digunakan untuk
memberi warna coklat pada kain
dan tikar
20 Manggis Garcinia Guttiferae Kulit buahnya dipergunakan
mangostana untuk mewarnai kain menjadi
berwarna hitam-cokelat,
pepaganya dipergunakan untuk
memberi warna kuning pada kain
21 Kembang Hisbiscus rosa- Malvaceae Bunganya dipergunakan untuk
sepatu sinensis menjadikan makanan berwarna
merah, dan menghitamkan sepatu
serta alis.
22 Mangga Mangifera Anacardiaceae Pepaganya dipergunkan untuk
indica memberi warna kunig pada kaida
tikar
23 Harendong, Melastoma Melastomaceae Akarnya dipergunakan dalam
senduduk malabathricum pemberian warna merah, daunya
dipergunakan dalam pemberian
warna lembayung
24 Melastoma Melastomaceae Penggunaan bagian tumbuhan in
sanguineum sama dengan M. malabathricum

Hasil Hutan Bukan Kayu 163


25 Jambu Biji Psidium Myrtaceae Daunya dipergunakan sebagai
guajava campuran dalam pemberian
warna hitam pada sutra, katun dan
tikar
26 Angsana Pterocarpus Leguminosae Kayunya mengandung santalin
indicus (santalin), yang dipergunakan
untuk memberi warna merah pada
katun, wol, kulit samak, bambu
dan kayu lainnya.
27 - Pterocarpus Leguminosae Kayunya dipergunakan sama
santalinus dengan kayu Pterocarpus indicus
28 Jambu Syzygium spp Myrtaceae Pepaganya dipergunakan untuk
mewarnai katun menjadi
berwarna hitam-cokelat
29 Bunga Tagetes erecta Compositae Bunganya mengandung
tembelekan kuersetagetin (quercetagetin),
yang dipergunakan untuk
memberi warna kuning pada sutra
dan daging ayam
30 Bunga Tagetes patula Compositae Bunganya dipergunakan seperti
tembelekan pada
Tagetes erecta
31 Asam jawa Tamarindus Leguminoseae Daging buahnya dipergunakan
indica sebagai mordan
32 Jati Tectona Verbenaceae Kulit akarnya dan daunnya
grandii dipergunakan untuk mewarnai
tikar menjadi berwrna cokelat-
kuning.

12.4. Pengunaan Pewarna Alami pada Industri Makanan dan Minuman

Negara kita tidak hanya terkenal dari keanekaragaman hayati, keanekaragaman suku
bangsa, bahasannya, tetapi juga terkenal dengan keanekaragaman makanan tradisionalnya.
Keanekaragaman makanan tradisional ini lebih menarik lagi karena memiliki aroma yang
sangat khas, dan warna-warni yang sangat menarik. Makanan-makanan tradisional yang dijual
di pasar-pasar tradisional seperti kue lapis, puding, lupis, gethuk, gethuk lindri dan sebagainya,
diberi warna dengan menggunakan ekstrak dari tumbuh-tumbuhan yang ada diskitar kita. Juga
beberapa minuman tradisional, seperti cendol, es buah, dan lain-lain juga banyak memanfaatkan
pewarna alami. Secara umum, pemberian warna pada makanan atau minuman bertujuan untuk
a) menarik bagi konsumen; b) membuat identitas makanan atau minuman, dan c) memperbaiki
atau menambah aroma dari produk makanan atau minuman tersebut.
Beberapa penggunaan pewarna alami yang cukup sering kita jumpai dalam kehidupan kita
sehari-hari dan telah berlangsung dari generasi ke generasi adalah penggunaan kunyit atau
rimpang (Curcuma longa L) untuk warna kuning, yang biasanya dipergunakan untuk membuat
nasi kuning, daun pandan (Pandanus amaryllfolius Roxb) untuk pigmen warna hijau, sedangkan
untuk warna merah dapat diperoleh dari ekstrak bayam merah, dan buah merah. Gula aren dan

Hasil Hutan Bukan Kayu 164


gula kelapa adalah sumber pigmen untuk warna coklat, yang biasa dipergunakan untuk
membuat kolak maupun membuat dodol dan kue cucur.
Berdasarkan tujuan dan manfaatnya, pigmen-pigmen alami yang dipergunakan untuk
bahan pewarna pada industri makanan atau makanan dikelompokkan menjadi 4 (empat)
golongan utama yaitu:
 Antioksidan (anthocyanins). Antioksidan adalah pigmen yang larut dalam air dan
memberikan warna pekat jingga, merah, biru, biasanya terdiri atas berbagai pigmen (4-6
macam pigmen) dan termasuk ke dalam golongan besar dari flavanoid. Antioksidan banyak
dijumpai pada sayur-mayur dan buah-buahan. Pigmen – pigmen jenis antioksidan dikenal
sebagai pigmen yang sangat mantap dalam keadaan masam, sehingga untuk
penyimpanannya disarankan untuk disimpan pada temapt yang mendekati masam.
 Betanin (betanins). Kelompok betanin membentuk kelompok kecil pigmen merah dan
kuning yang peka terhadap pH, panas dan cahaya.
 Karotenoid (carotenoids). Pigmen pigmen yang berwarna merah, kuning dan jingga, sangat
peka terhadap oksidasi, dan kemantapannya pada makanan dapat dipertahankan dengan
menhindari pencahayaan langsung.
 Klorofil (Chlorophylls). Pigmen hijau daun ini sangat peka terhadap keadaan masam dan
cahaya.

12.5. Tanin

Pewarna alami lainnya yang juga cukup melimpah dialam yang dihasilkan dari tumbuhan
berkayu, jenis hewan dan, umumnya dinamakan dengan tanin. Pigmen jenis tanin ini memiliki
rasa yang pahit, kelat dan terkadang sepat-sepat. Pemakaian tanin secara luas adalah untuk
menyamak kulit, menyamak peralatan menangkap ikan seperti jala, tali, layar agar tahan
terhadap air laut, bahan perekat pada kayu lapis, bahan pewarna dan juga dipergunakan sebagai
mordan.
Pemakaian tanin yang lainnya adalah sebagai obat-obatan tradisional, seperti untuk
penyakit gula (diabetes melitus), obat cacing dan obat anti biotik. Secara tidak sadar kita
mengkonsumsi tanin dalam kehidupan kita sehari-hari, seperti pada minum teh, kopi, anggur,
bir dan berbagai jenis lainnya. Pada makanan dan minnuman, pigmen tanin memberikan aroma
penyedap yang sangat digemari. Tanin juga sangat menentukan mutu kualitas buah. Komponen
kimia dari pigmen tanin adalah gula, asam galat (gallic acid), asam elagat dimer (dimer ellagic
acid), falvanoid, lignan, stillbenoid dan kuinon.

12.6. Pewarna Alami untuk Berbagai Produk Tradisional Lainnya

Pengetahuan pengunaan warna alami oleh masyarakat merupakan bentuk pengalaman yang
telah berlangsung turun temurun sebelum diketemukannya pewarna sintetis. Pada masyarakat
tradisional, penggunaan warna alami umumnya untuk penggunaan produk sehari-hari, dari
pewarna makanan untuk dijual, seperti penggunaan nasi kuning dengan menggunakan kunyit,
warna merah pada sayur gudeg dengan menggunakan pucuk daun muda pohon Jati dan lain
sebagainya.
Triana (2007) melaporkan bahwa penggunaan tumbuhan sebagai pewarna alami untuk
industri batik atau tekstil sangat beragam. Hal ini terlihat pada Museum Tekstil di Jakarta, yang

Hasil Hutan Bukan Kayu 165


memiliki kebun atau Taman Pewarna Alami dengan luas 2000 m2 (meter persegi) yang di
tumbuhi pohon-pohon yang mana daun, batang dan bunganya dapat diolah menjadi pewarna
alami yang tahan lama serta ramah lingkungan (Biodegradable).
Lebih lanjut dikatakan bahwa daun pohon randu disebut juga sebagai pohon kapuk, karena
menghasilkan kapuk untuk bahan bantal, kasur dan guling, adalah sumber warna Abu-abu,
Warna hijau adalah dengan mengolah daun Mangga, bunga pohon ketepeng rebo untuk
menghasilkan warna hijau dan kuning, buah trengguli untuk mendapatkan warna coklat muda
sedangkan warna orange berasal dari bunga pohon kembang Pulu. Masih banyak pohon dan
tumbuhan lain yang dapat diolah menjadi pewarna alami dan hal ini menunjukkan kekayaan
alam Indonesia yang saat ini mulai tergantikan oleh bahan pewarna buatan, yang sebenarya
tidak selalu aman untuk lingkungan.
Pewarna alami dapat diperoleh dengan cara ekstraksi dari tanaman yang banyak terdapat di
sekeliling kita, baik yang bersumber dari daun, kulit kayu, kayu, akar, bunga, biji maupun
getah. Khusus di kalangan masyarakat lokal Papua, pewarna alami dipergunakan untuk pewarna
makanan, pakaian, kosmetika, dan beberapa produk kerajinan tangan, seperti ukir-ukiran,
anyaman, patung, kain tenun dan kosmetika untuk upacara tradisional, seperti rumah adat, dan
upacara adat.
Menurut Husodo (1999) seperti yang dikutip oleh Wibowo (2003) di Indonesia terdapat
sekitar 150 jenis pewarna alami yang telah teridentifikasi dan dipergunakan secara luas dalam
berbagai industri, seperti industri kerajinan anyaman, industri batik, industri makanan dan
tekstil.

Sumber: Marty (2006)


Gambar 12.2. Penggunaan Warna merah pada tikar tradisional yang terbuat dari daun Pandan
(Pandannus spp)

Wibowo (2003) melaporkan bahwa penduduk di desa Mbenti kecamatan Anggi, kabupaten
Manokwari, Papua Barat, menggunakan 14 jenis tumbuhan yang dipergunakan sebagai sumber
pewarna alami, yang terbagi dalam 10 famili. Dari ke 14 jenis tumbuhan tersebut dipergunakan
hanya untuk keperluan-keperluan upacara-upacara adat, seperti perias penari, pewarna alat-alat
tarian, seperti anak panah, busur panah, penghias badan, pewarna rambut dan berbagai warna
pada bahan kerajinan tangan, seperti tas yang terbuat dari daun pandan, tas yang terbuat dari
akar atau kulit pohon yang telah dibuat dalam bentuk serat (defibrinasi) yang dianyam atau
dirajut dankemudian dinamakan dengan istilah lokal yaitu Noken. Juga beberapa tikar yang

Hasil Hutan Bukan Kayu 166


terbuat dari daun pandan seperti pada Gambar 12. 2. Gambar tersebut adalah tikar yang terbuat
dari daun pandan yang telah dikeringkan dan diberi warna.
Wibowo (2003) melaporkan bahwa pada masyarakat yang mendiami kampung Mbenti,
atau suku Arfak pada umumnya, menggunakan warna alami terdiri atas Merah yang dihasilkan
oleh 6 (enam) jenis tumbuhan (lihat pada Tabel 12.2), warna Biru 2 (dua) jenis tumbuhan,
warna Hitam 5 (lima) jenis tumbuhan, dan warna Coklat 1 (satu) jenis tumbuhan. Bagian
tumbuhan yang paling banyak dimanfaatkan untuk menghasilkan bahan pewarna adalah bagian
kulit dan kayu masing-masing 4 (empat) tumbuhan, biji 3 (tiga) jenis tumbuhan dan kayu 2
(dua) jenis tumbuhan serta daun dihasilkan oleh 1 (satu) jenis tmubuhan. Jenis-jenis tumbuhan
penghasil warna alami, warna yang dihasilkan, metode ekstraksinya dan penggunaan warna
alami oleh suku arfak di Kampung Mbenti Kab. Manyambow Manokwari dapat dilihat pada
Tabel 12.2.

Sumber : Marty (2005) Sumber: Dewi (2003)


Gambar 12.3. Hasil kerajinan tas tradisional yang terbuat dari daun pandan (kiri) yang
menggunakan pewarna alami, dan tas tradisional yang terbuat dari serat kulit kayu (kanan)
tanpa mempergunakan pewarna.

Dari Tabel 12.2 bila diperhatikan dan dicermati, maka masyarakat suku Arfak pada
umumnya belum banyak mempergunakan pewarna buatan atau sintetis dalam kehidupannya.
Penggunanaan pewarna alami juga masih menggunakan pewarna standar atau baku, belum
melakukan perpaduan warna, seperti warna biru adalah pencampuran dari warna kuning dan
hijau.
Penggunaan pewarna pada masyarakat Arfak juga masih terbatas pada upacara keagamaan
dan pembuatan barang-barang kerajinan seperti yang telah diperlihatkan pada Gambar 12.2 dan
12.3.Khusu untuk penggunaan warna merah pada makanan, sebenarnya bukan tujuan utamanya
untuk membuat makanan tersebut berwarna merah, sehingga lebih menarik atu bernilai
ekonomis bila dijual, akan tetapi lebih kepada sifat bahan, yaitu bahwa buah merah adalah
sumber lemak atau minyak nabati alami yang potensinya cukup melimpah di daerah
Pegunungan Arfak, tempat di mana suku besar Arfak dan Kampung Mbenti berdomisili.
Ekstraksi lemak atau minyak dari buah merah akan menghasilkan warna merah, dan masyarakat
tradisional/lokal belum dapat memisahkan antara minyak dan ampas dari proses ektraksi
tersebut, sehingga minyaknya masih bercampur dengan ampas dan langsung dikonsumsi.

Hasil Hutan Bukan Kayu 167


Aktivitas memakan biji buah pinangyang dihasilkan dari pohon Pinang(Areca catechu
L)akan menghasilkan warna merah kecoklatan yang permanen. Hal ini akan terlihat apabila
beberapa penduduk lokal dan warga pendatang yang mengkonsumsi pinang, khusunya di Papua
dan Papua Barat. Biasanya biji pinang dikunyah bersamaan dengan biji sirih dan sedikit kapur.
Apabila buah pinang dikunyah, dan dicampur dengan buah sirih dan kapur, maka akan
menghasilkan warna merah yang sangat permanen. Gambar pohon pinang dewasa, buah pinang
dan buah dalam tandan buah, yang sudah dewasa dapat dilihat pada Gambar 12.4.

Foto : Wahyudi (2007)


Gambar 12.4 Pinang(Areca catechu L)dewasa, dan tandan buahnya yang telah masak di pohon

Tumbuhan penghasil warna alami adalah tumbuhan yang seluruh dan atau sebagian
tubuhnya, seperti kulit batang dan buah, umbi, akar, daun, batang, bunga, biji dan daging buah.
Ekstraksi zat warna alami dari tumbuhan dapat dilakukan dengan cara perebusan atau dengan
cara penghancuran seperti penumbukan. Tumbuhan penghasil warna alami tersebut
dimanfaatkan oleh masyarakat Papua untuk berbagai jenis tujuan seperti untuk mewarnai
pakaian, makanan, komestik, barang-barang kerajinan lokal seperti noken, tas, ukiran dan
keperluan upacara-upacara adat/perkawinan.
Zat warna yang dihasilkan oleh tumbuhan biasanya berwarna hijau, biru, merah, kuning
dan oranje. Zat-zat warna tersebut berasal dari pigmen tumbuhan yang terdapat pada tanaman
yaitu klorofil untuk warna hijau daun, karotenoid penghasil warna kuning, oranje dan merah
serta quinone untuk warna merah dan merah.

Hasil Hutan Bukan Kayu 168


Tabel 12.2 Jenis-jenis tumbuhan penghasil warna alami, warna yang dihasilkan, metode ekstraksinya dan penggunaan warna alami oleh suku Arfak di Kampung
Menti, Manyambow, KabManokwari
6..1.8.
No Nama Famili Bagian Warna Ekstraksi Manfaat
Tumbuhan
Lokal/ Ilmiah
Umum
1 Ahonei Ricinus Euphorbiaceace Biji Hitam Biji dibakar, kemudian digosokkan Pewarna tubuh, untuk
tiei/Jarak communis pada permukaan yang akan upacara adat
(batang diwarnai
hijau
keputihan)
2 Ahonei Ricinus Euphorbiaceace Biji Hitam Biji dibakar, kemudian digosokkan Pewarna tubuh, untuk
nguoi/Jarak communis pada permukaan yang akan upacara adat
(Batang diwarnai
merah)
3 Bindap Vaccinium Spp Ericeace Buah Biru Dogosokkan pada permukaan yang Pewarna pada bahan
akan diwarnai kerajinan, pewarna tas
atau noken
4 Bimpas Tristania Myrtaceace Kulit Merah Kulit dikikis, kemudian direndam Pewarna kerajinan
minguoi perruginea C.T. dalam air selama 1-2 hari, seperti tas, tikar dan
White kemudian kulit diperas. noken
5 Bimpas tiei Tristania Myrtaceace Kulit Merah Kulit dikikis, kemudian direndam Pewarna kerajinan
oreophillla Diels dalam air selama 1-2 hari, seperti tas, tikar dan
kemudian kulit diperas. noken
6 Bisuei tiei Alphitonia incana Rhamanacecae Kayu Hitam Kayu dibakar dan arangnya Pewarna tubuh/badan
BL dogosokkan pada bagian atau pada upacara-upacara
permukaan yang akan diwarnai adat, khususnya tari-
tarian
7 Bisueikao Aphitonia Rhamanacecae Kayu Hitam Kayu dibakar dan arangnya Pewarna tubuh/badan
macrocarpa dogosokkan pada bagian atau pada upacara-upacara

Hasil Hutan Bukan Kayu


169
permukaan yang akan diwarnai adat, khususnya tari-
tarian
8 Smer Saurauia spp Actinidaceae Kulit Merah Kulit dikikis, kemudian direndam Pewarna kerajinan
dalam air selama 1-2 hari, dan tradisional seperti tas,
diperas, selanjutnya air perasan tikar dan noken
direbus sampai kental.
9 Uler Decaspermum Myrtaceae Kulit Merah Kulit dikikis, kemudian direndam Pewarna kerajinan
fruticosum dalam air dan selanjutnya diperas. tradisional seperti tas,
tikar dan noken
10 Hibba/ Pandanus Pandanaceae Buah Merah Buah dipotong-potong, Pewarna makanan
buah merah conoideus Lam dihancurkan lalu direbus, kemudian
diperas dan dimasak hingga
mengeluarkan minyak, dan minyak
tersebut dipergunakan sebagai lauk
dan pewarna makanan ubi, nasi dan
kentang
11 Mingoi Melastoma spp Melastomataceae Buah Hitam Digosokkan pada permukaan yang Kosmetik pewarna
akan diwaranai tubuh dan bahan
kerajinan tradisonal
12 Kumorab Bixa orellana L Bixaceae Digosokkan pada permukaan yang Pewarna tubuh (badan
akan diwaranai dan rambut)
13 Jngeibrioi Leea spp Leeaceae Buah Biru Digosokkan pada permukaan yang Pewarna rambut dan
akan diwaranai bahan kerajinan
tradisonal
14 Mahainguoi Celosia spp Daun Coklat Daun diremas-remas hingga halus Pewarna bahan
dan digosokkan kerajinan tradisional
Sumber :Wibowo (2003)

Hasil Hutan Bukan Kayu


170
12.6. Pustaka

Limantara, L (2004). Daya Penyembuhan Klorofil. Harian Kompas edisi 6 April 2004. hal
38.
Triana, N (2007). Melihat Pohon-pohon Pewarna di Museum Tekstil. Harian Kompas, edisi
23 Februari 2007
Wibowo, A (2003). Identifikasi jenis-jenis tumbuhan penghasil warna alami dan
pemanfaatannya dalam kehidupan suku Hatam di kampung Mbenti distrik
Minyambouw Kabupaten Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan. Fakultas
kehutanan Universitas Negeri Papua. (tidakditerbitkan).
Wulijarni-Soetjipto, N dan R.H.M.J Lemmens (1999). Tumbu-tumbuhan Penghasil pewarna
dan tanin. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara. No. 3 PT. Balai Pustaka Jakarta
dan Prosea, Bogor.
www.batikcintaku.com, diakses pada tanggal 28 Februari 2012.

Hasil Hutan Bukan Kayu


171
BAB 13

TUMBUHAN OBAT (MEDICINAL PLANTS)

13.1. Pendahuluan

Pemanfaatan tumbuh-tumbuhan hutan sebagai sumber obat-obatan, sebenarnya telah


berlangsung sejak manusia berada di atas bumi, atau awal dari peradaban itu sendiri. Hal ini
dapat dipahami karena dalam hal ini, tumbuh-tumbuhan dikonsumsi untuk dua tujuan utama,
yaitu sebagai sayuran dan atau makanan, dan sekaligus sebagai obat-obatan tradisional.
Tetapi untuk membedakan perbedaam antara keduanya, adalah cukup sulit dilakukan.
Sebelum ditemukannya beberapa senyawa kimia untuk obat-obatan di laboratorium dan
diproduksi secara besar-besaran seperti sekarang ini. Manusia sangat mengantungkan
kebutuhan obat-obatan tradisional dari tumbuh-tumbuhan yang berada di sekitar
lingkungannya. Penggunaan obat-obatan tradisional dalam kehidupan kita sehari-hari sangat
banyak dari yang sangat sederhana, seperti obat luka, obat batuk, samapai kepada ramuan-
ramuan yang sengaja diracik atau dibuat untuk menyembuhkan berbagai penyakit yang
secara medis sudah tidak dapat disembuhkan lagi. Beberapa kelebihan dari penggunaan obat
dari tumbuh-tumbuhan di antaranya adalah murah, karena cukup tersedia di sekitar kita, tidak
memiliki efek sampingan terhadap tubuh kita dan tidak beracun. Untuk lebih mengenal
tumbuhan obat, maka pada bahasan berikut ini, lebih banyakpokok pembahasannya pada
tumbuhan atau bagian tumbuhan yang dapat dimanfaatakan sebagai sumber obat.
Setelah menyelesaikan pokok bahasan ini, para pembaca diharapkan memiliki
kemampuan untuk :
1. Menjelaskan arti penting tumbuhan obat bagi umat manusia, khususnya masyarakat
yang tinggal di pedesaan atau kawasan hutan;
2. Mendiskripsikan beberapa fungsi ekologi, sosial-budaya, ekonomi, serta kontribusi
tumbuhan obat dalam menunjang industri obat-obatan dan farmasi;
3. Mengidentifikasi ciri-ciri tumbuhan obat dari kandungan bahan aktifnya dan memahami
cara-cara pengolahan atau eksraksi komponen aktif tumbuhan obat secara sederhana.

13.2. Tumbuhan Obat (Medicinal Plants)

Masyarakat Indonesia khususnya yang hidup dan berdomisili di daerah pedesaan


(villager) dan juga masyarakat yang hidup dan berdomisili di dalam dan di sekitar kawasan
hutan (forest people) di sekitar hutan, banyak menggunakan bagian dari tumbuhan untuk
keperluan pengobatan secara tradisional. Berbagai jenis penyakit baik yang ringan sampai
kepada yang agak berat dapat diatasi dengan menggunakan pengobatan dengan bahan baku
tumbuhan, mulai dari rasa pegal, sakit kepala, sakit perut, luka-luka dan bahkan alat
kontrasepsi. Khusus masyarakat Papua, penyakit malaria masih merupakan jenis penyakit
yang menyebabkan angka kematian utama di Tanah Papua, baik bagi orang dewasa, anak-
anak, orang tua dan bahkan anak di bawah usia lima tahun (balita). Masyarakat yang
berdomisili jauh dari pusat layanan kesehatan, menggunakan ramuan obat tradisional untuk
mencegah dan mengobati penyakit malaria tersebut.
Di Papua banyak penduduk lokal yang hidup di sekitar hutan sangat mengantungkan
tumbuhan hutan sebagai sumber obat-obatan. Dewi (2004) melaporkan bahwa masyarakat
yang berdomisili di kampung Nuni dalam kehidupan sehari-hari menggunakan berbagai
tumbuhan untuk mengobati berbagai penyakit ringan. Daun Turi dan Katok hutan banyak
dimanfaatkan untuk obat pada wanita yang sehabis melahirkan, sakit lambung dapat diobati

Hasil Hutan Bukan Kayu


172
dengan tumbuhan Benalu pohon. Sedangkan untuk obat malaria, masyarakat Nuni
mengkonsumsi hasil rebusan kulit kayu Susu (Alstonia scholaris), dan kulit ketapang
(Terminalia cattapa) untuk menghilangkan rasa pegal-pegal dan mengembalikan stamina
tubuh. Masyarakat Papua mengkonsumsi obat tradisional tersebut dengan cara memakan
langsung dan merebus, serta menempelkan pada bagian yang sakit, khususnya untuk luka-
luka, memar dan bengkak.
Berbagai cara persiapan yang dipergunakan untuk meramu tanaman obat secara
tradisional seperti dimasak dengan air, ditumbuk, diparut, dikunyah dan dipanaskan
(layukan). Sedangkan menurut cara pemakaian atau penggunaanya dapat dibedakan menjadi
diminum, dimakan, digosok, dipukul-pukul, dijilat, campur air mandi, membalut dan
mencampurnya dengan makanan.
Menurut Sitepu dan Sutigno (2001), perumusan peranan tumbuhan ke dalam suatu
kebijakan pengembangan obat-obatan tradisional, yang termuat dalam tulisannya yang
berjudul Peranan Tanaman Obat dalam Pengembangan Hutan Tanaman (The Roles of
Medicinal Plants on Plantation Forest Development). Hal ini berkaitan dengan usaha
pengembangan tanaman obat dan pembangunan hutan tanaman yang berbasis masyarakat.
Pembangunan hutan tamanan dengan komoditas tanaman obat diharapkan dapat memperoleh
banyak fungsi bagi para stakeholder, seperti peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat hutan, konservasi sumber daya, pendidikan non formal, keberlanjutan usaha,
penyerapan tenaga kerja dan keamanan atau konflik sosial.
Selanjutnya dikatakan bahwa keuntungan majemuk dari pengembangan tanaman obat
dalam pengembangan hutan tanaman industri adalah : 1). Keberhasilan pengelolaan hutan
tanaman melalui penyediaan sumber pendapatan yang berkelanjutan; 2) penyediaan lapangan
kerja bagi masyarakat yang bekerja pada bidang pertanian, industri rumah tangga, kecil atau
menengah, perdagangan, ; 3) peningkatan pendapatan dan kesejahteraaan; 4) peningkatan
pendapatan asli daerah; dan 5) pengembangan usaha regional.
Sitepu dan Sutigno (2001) juga mengemukakan bahwa jenis-jenis tumbuhan obat yang
ada di Indonesia dapat dikembangkan dalam rangka pengembangan hutan tanaman dengan
melibatkan peran serta masyarakat sekitarnya. Jenis-jenis tumbuhan tersebut beserta khasiat
atau pemanfaatannya dapat diringkas dan disajikan pada Tabel 13.1.

Tabel 13.1. Jenis-jenis tumbuhan obat, bagian yang dimanfaatkan dan khasiatnya yang
dapat dikembangkan dalam rangka pengembangan hutan tanaman

6..1.9. No Tumbuhan Bagian yang Indikasi Khasiat


dipergunakan
Benalu
1 teh (Loranthus spp) Tangkai daun Anti kanker
2 Brotowali (Tinospora crispa L.) Tangkai daun Anti malaria, kencing
manis
3 Bawangputih (Alliumsativum L.) Umbi Anti jamur, penurun
lemak darah
4 Ceguk/wudani (Quisqualis indica L.) Biji Obat cacing
5 Delima putih (Punica granatum L.) Kulit buah Anti kuman
6 Dringo (Acorus calamus L.) Umbi Obat penenag
7 Handeuleum/daunwungu Daun Wasir atau ambeien
(Grapthophyllumpictum Griff.)
8 Ingu (Ruta graveolens L.) Daun Anti kuman, penurun
panas
9 Jahe (Zingiber officinale Rosc.) Rimpang Penghilang nyeri, anti
piretik, anti radang
10 Jeruk nipis (Citrus aurantifolia Buah Obat batuk
Swingk.)

Hasil Hutan Bukan Kayu


173
11 Jati belanda (Guazoma ulmifolia Daun Penurun kadar lemak
Lamk.) darah
12 Jambu biji/klutuk (Psidium guajava Daun Anti diare
L.)
13 Jambu mente (Anacardium Daun Penghilang nyeri
occidentale L.)
14 Kunyit (Curcuma domestica Val.) Rimpang Radang hati, radang
sendi, anti septik
15 Kejibeling (Strobilanthes crispus Bl.) Daun Obat batu ginjal,
pelancar air seni
16 Katuk (Sauropus androgynus Merr.) Daun Pemacu produksi air
susu ibu
17 Kumis kucing (Orthosiphon Daun Pelancar air seni
stamineus Benth.)
18 Legundi (Vitex trifolia L.) Daun Anti kuman
19 Labu merah (Curcubita moschata Biji Obat cacing pita
Duch)
20 Pepaya (Carica papaya L.) Getah, daun, biji Sumber enzim papain,
anti malaria,
kontrasepsi pria
21 Pegagan/kaki kuda (Centella asiatica Daun Pelancar air seni, anti
Urban) kuman, anti tekanan
darah tinggi
22 Pala (Myristica fragrans Houff.) Buah Penenang
23 Pare (Momordica charantia L.) Buah, biji Kencing manis,
kontrasepsi pria
24 Saga telik (Abrus precatorius L.) Daun Sariawan usus
25 Sembung (Blumea balsamifera D.C.) Daun Penghilang nyeri,
penurun panas
26 Sidowayah (Woodfordia floribunda Daun Anti kuman, pelancar
Salisb.) air seni
27 Sambiloto (Andrographis paniculata Seluruh bagian Anti kuman, obat
Ness.) kencing manis
28 Seledri (Alpium graveolens L.) Seluruh bagian Anti tekanan darah
tinggi
29 Sirih (Piper betle L.) Daun Anti kuman
30 Temu lawak (Curcuma xanthorhiza Rimpang Obat radang hati
Roxb.) kronis
31 Tempuyung (Sonchus arvensis L.) Daun Pelancar air seni, obat
penghancur batu ginjal

Sumber : Djiman Sitepu dan Pariboto Sutigno (Buletin Vol. 2 No. 2 Th 2001), diakses lewat.
www.dephut.go.id/

Dari Tabel 13.1 tersebut dapat dijelaskan bahwa ke 31 jenis tumbuhan obat tersebut
adalah jenis herba, bukan yang berasal dari tumbuhan berkayu. Padahal, pada kenyataannya
banyak tumbuhan berkayu yang dimanfaatkan oleh masyarakat lokal untuk sumber obat-
obatan tradisional. Hal ini berkenaan dengan tingkat pengetahun tradisional dan lokal
masyarakat setempat yang dikenal dengan nama kearifan lokal (Indigeneous knowledge). Di
Papua misalnya, masyarakat lokal menggunakan kulit dan getah dari kayu Susu (Alstonia
scholaris) dan kulit dari kayu Kuning (Nauclea orientalis) untuk penyakit malaria.

Hasil Hutan Bukan Kayu


174
Tumbuhan lainnya, seperti Sirih (Piper spp) yang bagian daun dan buah sirih banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat luas sebagai obat antibiotik, seperti obat sakit gigi, sakit mata
dan mimisan (hidung mengeluarkan darah) dan juga untuk obat sakit perut, khususnya mual-
mual (Herman, 2004). Tumbuhan sirih dapat tumbuh dengan mudah dipekarangan, kebun
dan lahan-lahan marginal lainnya. Pengembangbiakannya juga dapat dilakukan dengan
sangat mudah, yaitu stek dari batang dewasa. Tumbuhan sirih dapat tumbuh dengan subur
apabilamendapatkan pohon inang atau tempelan yang cocok. Gambar 13.1 adalah tumbuhan
sirih yang merambat pada pohon Lamtorogung
Di Tanah Papua, sirih, khususnya buah sirih adalah komoditas yang memiliki nilai
historis (sosial dan budaya) tersendiri. Hal in terkait dengan kebiasaan warga asli Papua yang
mengunyah sirih sebagai bagian dari tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Hampir
disetiap pinggir jalan kita dapat menemukan penjual sirih, yang kemudian lebih populer
dengan nama pinang, karena sirih dijual bersamaan dengan biji pinang, dan kapur.

Foto: Wahyudi (2007)


Gambar 13.1. Tumbuhan sirih (Piper spp) yang tumbuh merambat pada pohon Lamtorogung.

Tumbuhan sirih dapat berbuah sepanjang tahun dan satu tanaman sirih dapat
menghasilkan ratusan buah sirih, tergantung kepada lebat tidaknya tumbuhan sirih tersebut,
kesuburan lahan dan kondisi linkungan yang menunjang seperti kelembaban dan naungan.
Gambaran buah sirih yang telah masak dan siap untuk dipanen dapat dilihat pada Gambar
13.2.

Foto: Wahyudi (2007)


Gambar 13.2. Buah sirih yang telah siap panen.

Hasil Hutan Bukan Kayu


175
13.3. Tumbuhan Obat di Papua

Tingkat pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan obat pada masyarakat lokal di


Papua berbeda-beda untuk masing-masing suku ataupun bahkan wilayah. Herman (2004)
melaporkan bahwa pada masyarakat Ambaidiru, kabupaten Yapen Waropen sebanyak 31
jenis tumbuhan dimanfaatkan untuk tumbuhan obat dan memiliki 32 khasiat atau manfaat
yang beragam, dari sakit perut, luka bakar, sakit pinggang, malaria dan berbagai penyakit
lainnya. Suebu (2002) yang meneliti pemanfaatan tumbuhan obat pada suku Wie-Khaya di
Arso Jayapura, melaporkan bahwa terdapat 41 jenis tumbuhan yang terbagai dalam 34 famili,
untuk menyembuhkan 13 jenis penyakit yang sering diderita oleh masyarakat stempat.
Howay (2003) juga melaporkan bahwa untuk suku besar Maibrat, 40 jenis tumbuhan
dimanfaatkan sebagai sumber obat-obatan tradisional, dan tumbuhan tersebut terbagi ke
dalam 30 famili, dengan 25 khasiat, yang mana 24 khasiat untuk manusia dan 1 khasiat untuk
hewan.
Paragrap di atas hanya meringkas tentang pemanfaatan tumbuhan obat pada tiga suku di
Papua, padahal di Papua terdapat sekitar 200-an lebih suku atau etnik group. Maka dapat
dibayangkan betapa kaya potensi tumbuhan obat tradisioanal di Indonesia, dan khususnya di
Papua. Hal tersebut belum termasuk kekayaan pengetahuan lokal/kearifan lokal dari masing-
masing suku tersebut. Sungguh kekayaan dan potensi yang sangat luar biasa. Hal ini sesuai
dengan pendapat dari Padua dkk (1999) yang menyatakan bahwa New Guinea (Papua New
Guinea dan Papua) sangat kaya dalam pengetahuan lokal (kearifan lokal) tentang
pemanfaatan tumbuhan sebagai sumber obat-obatan (There is a rich heritage of tradisional
knowledge on the use of plants as medicine in New Guinea). Pengetahuan yang lengkap
tentang tumbuhan obat telah dibukukan dengan sangat baik oleh PROSEA, yang termuat
dalam dua jilid buku yaitu Medicinal dan Poisonous plants 1 dan 2, atau seri terbitan no 12
(1) dan 12 (2).
Keunggulan komparatif yang kita miliki ini harus dilestarikan dan kembangkan untuk
menunjang pemanfaatan tumbuhan obat secara berhasil dan berdaya guna, dan sekaligus
usaha pelestarian kearifan lokal, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan yang
berbasis masyarakat (community based forest mangement), dan konservasi dan
pemberdayaan masyarakat hutan (forest people).
Sitepu dan Sutigno (2001) meringkas beberapa jenis tumbuham berkayu (pohon hutan)
yang tumbuh di indonesia, dan berpotensi untuk dapat dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat,
seperti tercantum dalam Tabel 13.2 berikut ini.

Tabel 13.2. Beberapa jenis tumbuhan berkayu yang dihasilkan dari hutan yang
berpotensiu untuk dijadikan tumbuhan obat.

Tipe ekosistem hutan Jenis tanaman obat Keterangan


1. Hutan hujan dataran Pasak bumi (Eurycoma < 1000 m dpl;
rendah longifolia), Akar kuning keanekaragaman paling
(Arcangelisia flava), Kamfer tinggi; beriklim basah;
(Dryobalanops aromatica), terutama di Sumatera,
Kepayang (Scaphium Kalimantan, Irian Jaya
macropodum), Tabat barito
(Ficus delteidea), Kemiri
(Aleurites moluccana)
Kedawung (Parkia
roxburghii) dan Gaharu
(Aqularia malaccensis)
2. Hutan pantai Bintangur (Calophyllum Di pantai, tanah kering

Hasil Hutan Bukan Kayu


176
inophylum), Keben berbatu dan regosol; di
(Barringtonia asiatica), Sumatera, Jawa, Bali,
Waru (Hibiscus tilliaceus) Sulawesi
dan Ketapang (Terminalia
catappa)
3. Hutan payau (mangrove) Api-api (Avicennia marina), Di pantai dan tepian
Bogem (Sonneratia ovata) sungai; dipengaruhi
Nyirih agung (Xylocarpus pasang surut air laut;
granatum), Bako rayap terutama di Sumatera,
(Rhizophora apiculata) dan Kalimantan, Sulawesi,
Tumus (Bruguiera Irian Jaya, Jawa
conjugata)
Sumber : Djiman Sitepu dan Pariboto Sutigno (Buletin Vol. 2 No. 2 Th 2001), diakses lewat.
www.dephut.go.id/

Khusus untuk di tanah Papua, beberapa tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh
penduduk lokal dan berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk unggulan di antaranya
adalah Rumput Kebar, Kayu Akway, Daun Gatal, Daun Mayana, Sambiloto, Mahkota Dewa,
Sarang semut, Tali kuning, kayu kuning, Akar kuning, dan masih banyak lagi. Untukitu
kiranya dukungan dana penelitian dan pengkaderan tenaga-tenaga yang kompeten dalam
bidang pengolahan sumber daya alam, khususnya tumbuhan obat harus lebih ditingkatkan ke
depan.
Pasapan (2005) melaporkan bahwa kayu Akway (Drimys beccariana Gibbs)
dimanfaatkan oleh masyarakat Arfak untuk obat stimulan, obat keluarga berencana (KB),
tuber colosis (TBC) dan bronkritis. Bagian yang dimanfaatkan adalah kulit kayu, dengan cara
merebus dalam air samapai mendidihdan setelah air rebusan dingin, kemudian diminum. Air
rebusan tersebut dapat juga dicampur dengan susu maupun teh hangat. Kayu Akway tersebut
ditunjukkan oleh gambar 13.3. Kulit Akway banyak dijual belikan di pasar tradisional
Manokwari, dan dijual dengan harga Rp. 50.000 per kilogramnya.

Gambar 13.3. Kayu Akway (D. beccariana Gibbs) dari Arfak, Manokwari

Dilaporkan lebih lanjut bahwa terdapat empat jenis kayu Akway yang dimanfaatkan
oleh masyarakat Arfak, yaitu Akway Mambri (Drimys piperita), Akway sus
(Drimysbeccariana Gibbs), Akway Athon (Drimys spp) dan Akway Mmengjei (Drimys spp).
Masyarakat lokal umumnya memanen kulit kayu ini dengan cara menebang pohonnya dan

Hasil Hutan Bukan Kayu


177
mengulitinya dirumah. Praktek pemanenan seperti ini bila terus dibiarkan dikuatirkan akan
cepat membuat potensi kayu Akway di alam terus berkurang. Masyarakat juga belum
melakukan usaha budi daya, karena regenerasinya masih bersifat alami.
Khusus untuk pengobatan dan pencegahan penyakit malaria, masyarakat di Papua
memanfaatkan beberapa jenis tumbuhan, baik tumbuhan hutan maupun non hutan. Tumbuh-
tumbuhan tersebut di antaranya adalah kayu Pulai (Alstonia scholaris), kayu Kuning
(Naucleaorientalis), Tali kuning (Tinospora dissitiflora Diels), Akar kuning (Arcanglesia
flaver), Brotowali (Tinospora crispa), Sambiloto (Andrographis paniculata), Daun pohon
Johar (Cassia siamea), Meniran (Phylantus niruri) dan daun dan getah Pepaya (Carica
papaya).
Gambaran tumbuhan obat dari Akar kuning (A. flaver)yang tumbuh di hutan primer
kampung Edor, kecamatan Buruway, kabupaten Kaimana dapat dilihat pada Gambar 13.4.
Sedangkan tumbuhan obat Tali kuning (T. Dissitiflora Diels) yang berasal dari kampung
Assay, Manokwari Utara, disajikan pada Gambar 13.5.

Foto: Wahyudi dkk (2007)


Gambar 13.4. Akar kuning (Arcanglesia flaver) sebagai obat tradisional malaria di Papua,
dicirikan oleh warna batangnya yang berwarna kuning

Suzuki dkk (2008) dan Subeki dkk (2004) melaporkan bahwa senyawa bioaktif dari
Akar kuning (Arcanglesia flaver) yang diperoleh dari Jawa barat dan Kalimantan adalah
quaternary protoberberine alkaloids, seperti berberine, jatrorrhizine, dehydrocorydalmine,
thalifendine, palmatine and columbamine, dan beberapa isoquinoline alkaloid sederhana
(pycnarrhrine), and tertiary bisbenzyl-isoquinoline alkaloids (limacine and homoaromoline).

Foto: Wahyudi (2012)


Gambar 13. 4. Batang (kiri) dan anakan (kanan) dari umbuhan obat Tali kuning (Tinospora
dissitiflora Diels) dari kampung Assay, Manokwari utara

Tali kuning dipergunakan untuk mengobati dan mencegah penyakit malaria pada hampir
seluruh wilayah Papua. Tali kuning diekstrak dengan cara direbus dalam air hingga

Hasil Hutan Bukan Kayu


178
mendidih, dan kemudian air sisa rebusanya diminum. Sebelum direbus, tali kuning yang
masih basah dibersihkan kulitnya, dengan mencuci dan mengerok (menghilangkan lapisan
jamurnya). Setelah itu dijemur dan dipotong-kecil-kecil untuk memudahkan perebusan.
Perebusan ini dapat diulangi berkali-kali, sampai hasil ekstraknya sudah tidak berwarna
kuning lagi (jernih). Menurut pendapat masyarakat, hasil ekstrak tali kuning ini sangat pahit,
menyerupai obat malaria seperti kina dan chloroquin.
Senyawa bioaktif yang dominan pada Tali kuning adalah protoberberine. Khsusus untuk
berberine, konsentrasi berberin pada tali kuning adalah sekitar 12.04%, lebih tinggi dari
tumbuhan yang dikenal sebagai penghasil berberine yaitu kulit Amur corktree, yang hanya
memilili konsentrasi sekitar 8.17% (Wahyudi dkk, 2011).

13.4. Pustaka

De Padua. L.S; N. Bunyapraphatsara dan R.H.M.J. Lemmen (editorr). Medicinal and


poisonous plant 1. Plant Resources of South-East Asia. No. 12 (1). Prosea.
Bogor. Indonesia.
De Padua. L.S; N. Bunyapraphatsara dan R.H.M.J. Lemmen (editorr). Medicinal and
poisonous plant 1. Plant Resources of South-East Asia. No. 12 (2). Prosea.
Bogor. Indonesia.
Herman, D.L.2004. Pemanfaatan Tumbuhan Sebagai Obat Tradisional oleh Masyarakat di
Desa Ambaidiru Kabupaten Yapen Waropen. Skripsi Sarjana Kehutanan,
Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan)
Howay, M.2003. Pemanfaatan Tumbuhan Sebagai Obat Tradisional olehMasyarakat Suku
Maibrat di Kampung Sembaro Distrik Ayamaru Kabapaten Sorong. Skripsi
Sarjana Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua (tidak
diterbitkan)
Pasapan, E.S.2005. Jenis Tanaman Obat-obatan Tradisional oleh Suku Miole di distrik
Minyambaou kabupaten Manokwari. Skripsi Jurusan Budi daya Hutan, fakultas
Kehutanan, Universitas Negeri Papua.Manokwari (tidak diterbitkan)
Sitepu, D dan P. Sutigno.2001. Peranan Tanaman Obat dalam Pengembangan Hutan
Tanaman (The Roles of Medicinal Plants on Plantation Forest Development).
(Buletin Vol. 2 No. 2 Th 2001), diakses lewat. www.dephut.go.id/.
Suebu, J. 2002. Potensi Tumbuhan Berkhasiat Obat pada Masyarakat Suku Wie-Khaya
Kecamatan Arso Kabupaten Jayapura. Skripsi Sarjana Kehutanan, Fakultas
Kehutanan Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan).
Subeki., H. Matsura., K. Takahashi., M. Yamasaki., O. Yamato., Y. Maeda., K. Katakura.,
M. Suzuki., T. Chairul., and T. Yoshihara, 2004. Antibabesial activity of
protoberberine alkaloids and 20-hydroxyecdysone from Arcanglesia flava
against Babesia gibsoni in Culture. Journal of Veterinary medicinal Science 67
(2):223-227.
Suzuki, T., M. Maeda., S. Fuji., T. Katayama., and W. Syafii, 2008. Chemical constituents
from Akar kuning and their Antioxidant and Antifungal Activities. Proceeding
Symposium on Wood Science and Technology, International Association of
Wood products Societies (IAWPS), Habin, P.R. China, September 27-29, 2008,
pp.315-316.
Wahyudi., Y. Ohtani., H.Ichiura.2011. Berberine in the Medicinal Plant Tali Kuning
(Tinospora dissitiflora Diels). Wood Research Journal Vol.2 (2) (in press).

Hasil Hutan Bukan Kayu


179
BAB 14

RESIN DAN GETAH-GETAHAN

14.1. Pendahuuan

Berbagai jenis getah-getahan yang dihasilkan oleh berbagai jenis tumbuhan hutan dari
berbagai famili yang tersebar diseluruh kawasan hutan Indonesia, merupakan komoditas hasil
hutan bukan kayu yang memiliki nilai jual yang tinggi. Bahkan komoditas ini merupakan
komoditas unggulan bagi daerah-daerah tertentu. Istilah yang lebih umum untuk
mengambarkan hasil hutan bukan kayu dari kelompok getah-getahan, yang lebih dikenal
dengan golongan resin, walaupun definisi tersebut tidak selamanya benar. Karena dalam
berbagai kasus, resin lebih banyak dipergunakan untuk mengambarkan getah - getahan yang
telah diolah menjadi bahan perekat atau sejenisnya. Khusus di Indonesia, beberapa
komoditas kelompok ini memiliki beberapa persamaan fisik, tetapi sangat berbeda
bedasarkan asal usul tumbuhan penghasil dan komposisi kimianya. Oleh karenanya beberapa
komoditas kelompok getah-getahan dan atau resin ini terkadang di kelompokan berdasarkan
asal-asul produk tersebut, atau berdasarkan family tumbuhan yang menghasilkan produk
tersebut.
Tumbuhan atau tanaman kehutanan ada yang ditanam dengan tujuan untuk
menghasilkan getah-getahan saja, tetapi banyak juga yang produksi getahnya hanya bersifat
hasil sampingan dari tumbuhan hutan tersebut.
Pada akhir pokok bahasan ini, para pembaca diharapakan memiliki kemampuan untuk:
1. Menjelaskan definisi produk hasil hutan bukan kayu golongan getah-getahan dan resin;
2. Memahami alasan pengelompokkan komoditas getah-getahan tersebut dalam kelompok
hasil hutan bukan kayu;
3. Menjabarkan beberapa manfaat hasil hutan bukan kayu getah-getahan dari perpektif
ilmu ekonomi, ekologi dan lingkungan serta keanekaragaman hayati;
4. Mengidentifikasi beberapa produk lanjutan dari komoditas hasil hasil hutan bukan kayu
getah-getahan tersebut.

14.2. Istilah Umum

Dalam perdagangan international, beberapa istilah yang dipakai untuk mengambarkan


sekresi cairan kental yang dikeluarkan oleh tumbuhan, baik dari bagian batang dan daun,
misalnya gums, resin, kopal dan damar. Istilah-istilah tersebut dipergunakan untuk
mengambarkan perbedaan karakteristik antara masing-masing komoditas, baik bentuk
fisiknya, sifat kelarutannya, dan bahkan kandungan komponen kimianya. Perbedaan dan
persamaan antara gum, resin, dan kopal secara singkat dapat dilihat pada paragrap di bawah
ini (http://www.faculty.ucr.edu/~legneref/botany/gumresin.htm).
Secara umum, getah-getahan atau bahan lain yang disekresikan oleh tanaman atau
tumbuhan hutan, baik yang mendapat perlakuan perlukaan baik disengaja maupun karena
sebab lain dinamakan dengan getah. Getah- getahan tersebut disadap dari batang pohon
dengan melukai kulit kayu, maupun dari bagian tumbuhan yang lain, seperti dari batang rotan
misalnya. Beberapa jenis komoditas getah-getahan yang dihasilkan oleh hutan Indonesia di
antaranya adalah tersebut Getah Perca, Getah Hangkang, Ketiau dan Jelutung.
Golongan getah-getahan tersebut, ada juga yang menggolongkan ke dalam istilah lateks.
Lateks adalah sekresi cairan seperti susu yang berwarna putih atau warna lainnya oleh sel
pembuluh atau sel khuhus pada batang atau daun tumbuhan. Tiga family tumbuhan penghasil
lateks antara lain adalah Moraceae, Sapotaceae dan Apocynaceae.

Hasil Hutan Bukan Kayu


180
Secara umum, getah-getahan ini diolah menjadi beberapa produk industri seperti
insulasi/isolator pada kabel, pembuatan gigi palsu, zat penolak air pada industri permen,
industri cat dan vernis. Produk olahan dari getah-getahan dalam perdagangan internasional
sering dinamakan dengan gums.
Gum adalah hasil dari proses disintegrasi dalam sel tumbuhan, utamanya hasil
decomposisi dari sellulosa yang dinamakan dengan proses gumnosis. Gums mengandung
banyak gula, berhubungan erat dengan pektin. Gums biasanya berbentuk koloid. Untuk sifat
kelarutannyan, larut sedikit atau seluruhnya dalam air, dapat juga hanya mengembang. Tetapi
Gum tidak larut dalam alcohol dan ether. Gums dikeluarkan oleh batang karena proses
perlukaan. Dipasaran gum dijual, dalam bentuk yang telah dikeringkan. Gum biasanya
dihasilkan dari tumbuh tumbuhan yang tumbuh di lahan kering, tandus atau padang pasir.
Gum biasanya dimanfaatkan untuk bahan perekat, industri percetakan, bahan finishing
tekstil, pengisi kertas, industri cat, industri permen, dan sebagai obat. Tiga jenis gum yang
sangat terkenal adalah gum Arabic, gum tragacanth dan karaya gum.
Resin adalah hasil dari proses oksidasi minyak atsiri pada tumbuhan, memiliki struktur
kimia yang sangat kompleks dan bervariasi. Resin disekresikan oleh sel kelejar khusus dan
dikeluarkan melalui kulit tumbuhan/pohon, dan akan mengeras begitu bereaksi dengan udara
luar. Berdasarkan sifat kelarutannya, resin tidak larut dalam air, tetapi hanya larut dalam
ether, alcohol, dan pelarut organik lainnya. Resin dihasilkan oleh beberapa tumbuhan dari
familyAnacardiaceae, Burseraceae, Dipterocarpaceae, Guttiferae, Hammamelidaceae,
Leguminosae, Liliaceae, Pinaceae, Styracaceae dan Umbelliferae.Bagi tumbuhan, resin
berperan dalam melindungi tumbuhan dari jamur, karena sifatnya yang bersifat antiseptic.
Resin juga berfungsi untuk mencegah tumbuhan kehilangan air secara drastis. Berdasarkan
sifat kimianya resin dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu Hard resin,
Oleoresin dan Gum resin.
Hard resin adalah golongan resin padat, realtif transparan dan agak rapuh, tidak berbau
atau beraroma. Resin jenis ini tidak mengandung bahan yang mudah menguap (nonvolatile
compounds) dan memiliki sifat conduktor yang rendah. Resin jenis ini sangat baik untuk
bahan varnish, karena memiliki minyak yang rendah dan mudah dilaritkan dalam alcohol.
Kopal dan damar termasuk dalam kelompok hard resin. Jenis ini sangat cocok untuk produk
cat, tinta, plastik, pengisi, perekat, kembang api and beberapa produk lainnya.Oleoresin
adalah resin berbentuk cairan (liquid) yang sebagian besar mengandung minyak atsiri,
sehingga memiliki aroma dan bau yang khas. Turpentin dan balsam adalah termasuk ke
dalam oleoresin. Gum resin adalah campuran getah-getahan (gums), resin, dan terkadang
mengandung minyak atsiri. Kebanyakan gum resin dihasilkan oleh beberapa tumbuhan yang
hidup di daerah kering (arid regions), seperti Iran dan Afganistan.

14.3. Getah Perca

Getah perca adalah getah hasil sadapan dari batang tumbuhan dan ekstraksidaun family
Sapotaceae, yaitu kulit pohon Nyatoh (Palaquium spp) dan Payena spp. Getah ini termasuk
getah alam yang kurang elastis. Tetapi getah perca yang terbaik dihasilkan oleh Palaquium
gutta (Hk.f.) Bailon. Oleh karenanya getah perca sering disebut juga dengan nama gutta
perca.
Getah perca mempunyai kandungan getah (30%) dan resin (65%). Senyawa utama dari
getah perca adalah golongan terpene, sehingga gutah perca adalah polyterpene, atau polymer
dari isoprene, utamanya adalah trans-1,4-polyisoprene. Alban (C17H28O) dan fluaril
(C40H28O) yang merupakan hasil oksidasi gugus propenennya (C5H8)n adalah dua senyawa
turunan getah perca.
Getah perca dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti sebagai bahan isolasi pada
kabel dan kawat listrik, keperluan membuat master gigi palsu pada oleh mahasiswa

Hasil Hutan Bukan Kayu


181
kedokteran gigi, media penahan air (water proofing agent) dan beberapa pelapis alat mekanis
lainnya. Menurut beberapa sumber, sebelum ditemukan karet sintetis, getah perca
diperuntukkan sebagai bahan baku utama bola golf.
Menurut Pratiwi dan Kalima (2005) yang termasuk ke dalam kelompok getah perca
adalah getah Putih, getah Merah, getah Hengkang dan getah Ketiau. Penyebaran jenis-jenis
pohon penghasil getah perca tersebut telah diringkas oleh kedua penulis tersebut, dan
selengkapnya dapat dilihat pada pustaka, yang disajikan pada akhir pokok bahasan ini.
Selanjutnya, uraian singkat tentang perbedaan dan persamaan antara getah perca, dengan
jenis getah yang lainnya, menurut kedua peneliti di atas dapat diuraikan sebagai berikut:
Getah putih. Getah ini dihasilkan oleh jenis pohon Palaquium trubi Burck.
Getah merah. Getah merah dihasilkan dari pohon jenis Palaquiumobouatum (Griff.)
Engler, P. krantzianum Pierre ex lecomte, dan P. theodeum Elmer.
Getah hengkang. Jenis pohon yang menghasilkan tipe getah ini adalah Palaquium
leiocarpum Boerlage, P. quercifolium Burck, P. callophylum (Teys.et Binn) Pierre.
Getah segar hengkang berwarna putih, tetapi apabila terjadi kontak dengan udara akan
berubah warna menjadi merah jambu atau merah. Getah hengkang bersifat sangat getas,
sehingga mudah patah.Apabila dibakar getah ini tidak mengeluarkan bau yang
merangsang. Komposisi kimia dari getah hengkang adalah kadar air 38%, getah
(13.4%), resin (47.4%) dan bahan lain (0,3%)
Getah ketiau. Getah jenis ini, meskipun terjadi kontak dengan udara tetap berwarna
putih. Tetapi getah ini bersifat mudah rapuh dan hancur (remuk), serta meninggalkan
berkas berupa serat benang bila dibakar. Beberapa jenis pohon yang menghasilkan getah
ketiau antara lain jenis Ganua motleyana (de Vriese) ex Dubard, Peyena dasyphylla
(Miq.) Pierre, P.obscura Burck, P.leerri (Teys& Binn) Kurz, dan P. lucida (G.Don) DC.
Secara kasar, getah ini memiliki komposisi kimia terdiri atas getah (16.27%), resin
(75.43%) dan air (8.30%).

14.4. Getah Jelutung

Getah jelutung adalah getah yang berasal dari sadapan family Apocynaceae, dari jenis
Dyera costulata (Miq.) Hk.f., dan D. polyphylla (Miq.). Pratiwi dan Kalima (2005)
menyebutkan di Indonesia, terdapat tiga jenis getah jelutung, yaitu Jelutung Banjarmasin,
Pontianak dan Palembang. Penggolongan ini hanya lebih kepada asal usul getah jelutung
tersebut, bukan berdasarkan perbedaan kualitas atau komposisi kimianya, misalnya. Getah
jelutung memiliki kandungan air sampai 60% dan bahan menyerupai karet (25%). Getah ini
dimanfaatkan sebagai bahan vernis, cat, dan campuran permen karet.
Pada masa keemasannya, Indonesia dikenal sebagai produsen terbesar getah jelutung di
dunia, tetapi saat ini potensi getah jelutung terus mengalami penurunan. Pratiwi dan Kalima
(2005) menyatakan beberapa faktor yang menyebabkan penurunan produktivitas getah
jelutung antara lain seperti:
Kegiatan penyadapan tidak dilakukan secara kontiyu, atau terus menerus, petani hanya
menyadap getah jelutung pada saat harga sedang naik, atau hanya sebagai usaha
sampingan;
Pohon penghasil Jelutung mengalami kerusahan, karena penebangan pohon-pohon yang
berdiameter besar. Karena rendemen hasil dari pohon berdiameter besar lebih tinggi dari
yang berdiameter kecil;
Teknik penyadapan yang masih sangat sederhana, yaitu dengan menggunakan pisau atau
parang;
Populasi pohon penghasil getah jelutung yang berkurang karena adanya kegiatan
ekploitasi dari HPH atau kegiatan konversi hutan lainnya;

Hasil Hutan Bukan Kayu


182
Lokasi penyadapan yang semaki jauh dari pemukiman warga;
Keterbatasan sarana dan prasarana penyadapan.

Penelitian tentang tiga teknik penyadapan getah Jelutung yaitu teknik spiral kanan-kiri,
teknik V, dan teknik spiral kiri-kanan, di wilayah Jambi dilakukan oleh Wahyudi dkk (2009).
Ketiga teknik penyadapan tersebut di ilustrasikan pada Gambar 14.1 berikut ini.

Sumber: Wahyudi dkk (2009)


Gambar 14.1. Illustrasi tiga teknik penyadapan getah, teknik spiral kanan-kiri (kiri), teknik V
(tengah), dan teknik spiral kiri-kanan (kanan) di provinsi Jambi.

Dari penelitian ketiga teknik penyadapan yang dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan,
dilaporkan bahwa teknik penyadapan setengah spiral kanan-kiri dapat menghasilkan getah
per perlukaan sebanyak 213.45 gram (2561,25 gram dari seluruh perlakuan total), 336,75
gram (4041,00 gram) untuk teknik V, dan 204,65 gram (2455,50 gram) untuk teknik
setengah spiral kiri-kanan. Getah Jelutung hasil sadapan tersebut dapat dilihat pada gambar
14.2.

Sumber: Wahyudi dkk (2009)


Gambar 14.2. Getah Jelutung hasil proses penyadapan yang masih segar

Secara umum kondisi kesehatan pohon yang disadap tersebut dilaporkan relatif baik dan
sehat. Sehingga para peneliti tersebut merekomendasikan untuk menggunakan teknik
penyadapan setengah spiral kanan-kiri, yang mana penyayatan dilakukan dengan sudut
37oterhadapsumbu pohon. Dikatakan lebih lanjut, bahwa metode tersebut sebaiknya
dibandingkan dengan metode lain yang dipergunakan oleh masyarakat lokal secara umum.

Hasil Hutan Bukan Kayu


183
14.5. Kopal

Kopal adalah getah yang disadap dari tanaman Agathis spp dari famili Araucariaceae. Kopal
yang sudah mengeras, karena bereaksi dengan udara, umumnya memiliki warna kuning
bening, transparan atau kuning pucat. Contohnyaadalah kopal yang dihasilkan dari Agathis
dammara(Lamb.)Rich & A.Rich, seperti disajikan pada Gambar 14.3 (kiri). Sedangkan
Gambar 14.3 yang sebelah kanan mengambarkan getah kopal segar yang sedang keluar dari
pohon Agathis spp..

Sumber:www.prota4u.org http://wahyukdephut.files.wordpress.com/

Gambar 14.3. Kopal dari pohon Agathis spp, yang telah mengeras dan kering (kiri) dan
masih segar (kanan).

Karena menghasilkan kopal, yang secara fisik menyerupai damar, maka pohon dari jenis
Agathis spp sering juga disebut sebagai pohon damar. Selain Agathis dammara(Lumb.) Rich
& A.Rich di atas, beberapa jenis pohon Agathis yang menghasilkan kopal di antaranya
adalah Agathis alba, A. latifolia, A.robusta, A. macrofolia, A. australia, A. selebica, dan A.
boornensis. Gambar buah jantan dan betina dari Agathis macrofolia yang dikutip dari
www.traditionaltree.org disajikan pada Gambar 14.5.Khusus di Papua, kopal diperoleh dari
sadapan pohon Agathis labillardieri Warb yang merupakan jenis endemik untuk pulau New
Guinew, yaitu meliputi Papua dan Papua New Guinew. Dua jenis lainnya yang terdapat di
Papua adalah A. cunninghamii.SW dan A. beccarri Warb.

Sumber:www.traditionaltree.org
Gambar 14.5. Cone jantan (kiri) dan betina (kanan) dari Agathis macrophylla.
Produktivitas kopal sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti karakterisitk pohon
Agathis spp itu sendiri, dan lingkungan temat tumbuh, atau habitat tegakan Agathis spp
tersebut. Munajat (2004) yang dikutip oleh Irawan dkk (2007) menjelaskan bahwa produksi
kopal sangat dipengaruhi oleh beberapa variables, seperti kualitas tempat tumbuh, umur
pohon, kerapatan tegakan, sifat genetik, ketinggian tempat di atas permukaan laut, ketebalan

Hasil Hutan Bukan Kayu


184
kulit batang, diameter batang, topograpi, kualitas tegakan, dan arah penyadapan. Penelitian
tentang pendugaan produksi kopal di perum Perhutani di daerah Probolinggo dilakukan oleh
Irawan dkk (2007) dengan menggunakan peubah seperti diameter pohon, ketebalan kulit
batang, kerapatan tegakan, kelerengan dan arah menghadap lereng yang di rancang dengan
pendekatan regresi-korelasi. Dalam penelitian ini metode penyadapan yang digunakan adalah
metode kowakan (quarre), yang berukuran 10 cm x 140 cm, mengacu kepada Surat
Keputusan Direksi Perum Perhutani No.710/KPTS/DIR/1985 tentang pedoman Penyadapan
Getah Damar (Kopal).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi kopal pada sadapan berbeda nyata pada
berbagai arah mata angin (utara, selatan, timur, dan barat). Secara berurutan, arah utara
menghasilkan kopal sebesar 119.12 gram/pohon/9 hari, Selatan (136.77 gram/pohon/9 hari),
Timur (120.78 gram/pohon/9 hari), dan Barat (116.68 gram/pohon/9 hari). Lebih lanjut
disimpulkan, bahwa pada arah kelerengan yang menghadap ke arah selatan, produksi
kopalnya cenderung lebih tinggi. Dijelaskan bahwa, intensitas matahari yang kurang pada
lereng yang menghadap ke selatan, diduga berperan dalam merangsang lebih banyak
produksi kopal. Getah akan terus mengalir, (tidak membeku) karena minimnya intensitas
matahari pada lereng menghadap ke selatan, sehingga penutupan saluran getah oleh
pemadatan getah tidak terjadi. Selanjutnya disimpulkan bahwa bertambahnya diameter
pohon, ketebalan kulit akan meningkatkan produksi kopal. Juga semakin rendah kerapatan
pohon per hektar dan tinggi tingkat kelerengan akan meningkatkan produksi kopal.
Berbagai pola sadap pada penyadapan Kopal dengan metode sayatan di RPH
Sukamantri BKPH Bogor KPH Bogor Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten telah
diteliti oleh Laksono (2004). Dilaporkan bahwa dari empat pola sadap yang diteliti, yaitu
pola lurus, miring, V, and V terbalik, pola sadapan miring memberikan hasil sadapan
tertinggi, yaitu sekitar 3.2 gram/pohon/per hari. Untuk lebih jelasnya, teknik pelaksanaan,
hasil sadapan, dan kesimpulan yang lebih lengkap dapat dilihat pada sumber aslinya, seperti
yang tertulis dalam pustaka di akhir pokok bahasan ini.
Penelitian tentang pengaruh diameter batang dan luas tajuk pohon Agathislabillardieri
Warb pada tiga lokasi yaitu blok hutan Parieri, Soon, dan Saribi, di daerah Biak, provinsi
Papua dilakukan oleh Yusuf (1978). Ringkasan hasil penelitian tersebut diringkas pada Tabel
14.1.

Tabel 14.1. Rata-rata produksi kopal per pohon dari Agathis labillardieri Warb. selama
7 hari penyadapan di tiga blok Hutan, Parieri, Saribi, dan Soon di kabupaten Biak,
Provinsi Papua
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kelompok diameter Produksi getah (gram/7 hari)
--------------------------------------------------------------------
(cm) Parieri Soon Saribi Rata-rata
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
30 - 39 194,5 219,8 214,9 209,7
40 - 49 249,9 277,4 278,0 268,4
50 - 59 306,1 293,9 333,4 311,1
60 - 69 346,2 436,4 414,0 399,1
70 - 79 674,5 504,3 589,5 589,4
80 - 89 648,1 648,2 648,2 646,5
90 - 99 725,4 565,1 711,2 667,2
100 - 109 816,5 735,7 867,8 790,0
110 - 119 875,1 910,1 119,3 896,6

diolah dari Yusuf (1978)

Hasil Hutan Bukan Kayu


185
Dari tabel 14.1 di atas secara sepintas dapat dijelaskan bahwa semakin besar diameter,
produktivitas kopal Agathis labillardieri Warb. pada tiga blok hutan di kabupaten Biak,
provinsi Papua semakin meningkat. Apabila dirata-ratakan ke dalam produktivitas kopal per
pohon, blok Parieri menghasilkan 194,5 – 875,1 gram/pohon/7 hari, blok Soon menghasilkan
219,8 – 910,1 gram/pohon/7 hari, dan blok Saribi menghasilkan 214,9 – 1119,3
gram/pohon/7 hari. Apabila mengesampingkan jenis Agathisspp dan diameter pohonya, baik
di Probolinggo maupun di Biak, maka produktivitas kopal di Biak lebih tinggi dibandingkan
di Probolinggo.
Kopal memiliki susunan kimia yang sangat beragam, tetapi hampir sebagian besar
adalah bahan kimia yang termasuk golongan componen mudah menguap (volatille
compounds). Kandungan kimia tiga jenis kopal dari daerah Amerika latin yaitu kopal
Blanko, Oro, dan Negro diteliti oleh Case dkk (2003). Ketiga kopal tersebut dibedakan
berdasarkan jenis pohon penghasil dan teknik penyadapan. Ketiga jenis kopal tersebut
dihasilkan daripohonBursera, Protium (family Burseraceae), and Hymenaea
(Caesalpiniaceae). Kopal blanco dihasilkan dari cabang, kopal oro dari batang yang telah
dikuliti, dank opal negro dari kulit yang terluka. Analisis kimia menyimpulkan bahwa 68
jenis senyawa kimia terdapat dalam kopal-kopal tersebut, yang sebagian besar adalah
golongan minyak atsiri. Kopal blanco (kemungkinan berasal dari B. bipinnata) didominasi
oleh a-copaene (14.52 1.28%) dan germacrene D (13.75 1.06%). Kopal Oro (kemungkian
berasal dariH. courbaril) mengandung a-pinene (by 21.35 5.96%) dan limonene (26.51
1.22%). Sedangkan kopal Negro (kemungkian berasal dari P. copal) didominasi oleh a-
pinene (17.95 1.35%), sabinene (12.51 0.08%) dan limonene(16.88 2.02%.)
Kopal banyak dimanfaatkan untuk bahan baku industri terutama industri vernis, tinta,
perekat, plastik dan tekstil. Di daerah Amerika Latin, kopal juga dimanfaatkan untuk
berbagai upacara keagamaan (ritual), sumber aroma, obat-obatan traditional, dan beberapa
penggunaan lainnya, yang selengkapnya dapat dilihat pada pustaka aslinya (Case dkk.,
2003).

14.6. Damar

Damar adalah resin yang dihasilkan dari pohon yang termasuk dalam famili
Dipterocarpacea, seperti Shorea spp, Vatica spp dan Dryobalanops spp. Indonesia,
khususnya Pulau Sumatera dan Kalimantan adalah dikenal sebagai daerah penghasil damar di
dunia. Menurut Michon dkk (2000) berdasarkan kenampakan fisiknya, damar dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu damar batu atau hitam dan damar mata kucing.
Damar hitam atau batu adalah yaitu damar bermutu rendahberwarna coklat kehitaman,
karenanya jenis damar ini sering juga disebut dengan damar hitam. Damar ini biasanya
keluar dengan sendirinya dari pohonyang terluka, yang kemudian membentuk
gumpalan-gumpalan besar yang jatuh dari kulit pohon, yang lama kelamaan terkumpul
didekat pangkal pohon. Oleh karena gumpalan tersebut nampak seperti batu, maka
damar ini diistilahkan sebagai damar batu Jenis damar inidapat dikumpulkan dengan
menggali tanah di sekeliling pohon. Pohon-pohon damar yang telah tua, biasanya
menghasilkan banyak damar hitam di sekeliling pangkal pohonnya. Berdasarkan
warnanya damar batu bisa berwarna hitam atau kecoklatan, seperti ditunjukkan oleh
gambar 14.5 berikut.

Hasil Hutan Bukan Kayu


186
www.indonetwork.co.id http://cvsarananusantara.blogspot.com

Gambar 14.5. Damar batu dan Damar hitam

Damar mata kucing adalah jenis damar yang bening, transparan ataukekuningan. Damar
mata kucing adalah damar yang bermutu tinggi, sebanding dengan kopal. Jenis damar
ini dipanendengan cara melukai kulit pohon. Sekitar 40 spesies dari genusShorea spp
danHopeaspp menghasilkan damar mata kucing, di antaranya yang terbaikadalah
Shorea javanica dan Hopea dryobalanoides. Disebut mata kucing karena kualitas kristal
dari damar ini dapat memantulkan cahaya seperti halnya mata kucing. Contoh dari
damar mata kucing dapat dilihat pada Gambar 14.5 di bawah ini.

http://cvsarananusantara.blogspot.com
Gambar 14.5. Damar mata kucing

Sentra produksi damar mata kucing yang cukup terkenal di Indonesia adalah pesisir
Krui, Provinsi Lampung. Pada daerah ini komoditas damar adalah warisan dari nenek
moyang, turun- termurun lebih dari 100 tahun. Dalam bidang kehutanan, segala aktivitas
yang berhubungan dengan penyadapan damar ini lebih dikenal dengan istilah Repong damar.
Hal ini dikarenakan sistem pengelolaan dan pengusahaan komoditas damar ini menggunakan
sistem agroforesty, dan telah menyatu dengan kehidupan sosial, ekonomi, dan adat budaya
dari masyarakat di pesisir Krui- Lampung tersebut.
Damar dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri seperti pembuatan plastik,
plester dan vernis. Jenis damar tertentu bahkan dapat dijadikan obat-obatan.

14.7. Getah Tusam

Resin secara umum banyak dipergunakan untuk mengambarkan hasil getah-getahan dari
famili Pinacea yang kebanyakan dihasilkan oleh pohon Pinusspp. Dibeberapa negara maju,
resin banyak dipergunakan sebagai bahan perekat. Getah sadapan dari pohon pinus, atau di
Indonesia, lebih dikenal dengan nama Tusam (Pinusmerkusi) dapat dihasilkan dua produk

Hasil Hutan Bukan Kayu


187
utama setelah melalui proses penyulingan yaitu produk destilat (Terpentin) dan residu
(Gondorukem).
Proses pemisahan gondorukem dan terpentin dari getah tusam secara sederhana dapat
diuraikan ke dalam 2 (dua) tahapan, yaitu pemurnian getah tusam dari kotoran (daun, pasir,
kulit dsb.), dan pemisahan terpentin dari gondorukem melalui metode destilasi atau
penguapan.
1. Proses pemurnian getah diawali dari pengenceran getah dengan terpentin, kemudian
penyaringan kotoran kasar, pencucian, penyaringan kotoran dan pengendapan.
2. Proses pemisahan gondorukem dari terpentin dengan proses distilasi, dengan pemanasan
langsung atau pemanasan tidak langsung (penguapan).

Uraian yang lengkap tentang prosedure dan tahapan serta variabel pengujian kualitas
getah tusam telah diatur dalam Standar Nasional Indonesia (SNI 01-5009.4-2001). Panduan
teknis pengujian tersebut dapat diakses dalam alamat situs berikut ini:
http://www.dephut.go.id/informasi/SNI/Getah tusam.htm

14.7.1 Gondorukem

Gondorukem adalah hasil padatan atau residu dari proses penyulingan getah pohon
Pinus (Pinus spp). Uraian yang lengkap tentang prosedure dan tahapan serta variabel
pengujian kualitas getah Gondorukem telah dibuat oleh BadanStandarisasi Nasional (BSN)
yang kemudian dipublikasikan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI 01-5009.12-
2001).Informasi tersebut dapat diakses dari situs:
http://www.dephut.go.id/informasi/SNI/Gondorukem.htm. Gondorukem yang dihasilkan oleh
Perum Perhutani dapat dilihat pada Gambar 14.7 di bawah ini.

Sumber: http://beritaenak.wordpress.com
Gambar 14.7. Gondorukem produksi dari Perum Perhutani

14.7.2. Terpentin

Terpentin, yang dalam ejaan Inggrisnya adalah Turpentine (C10H6), adalah hasil dari
proses distilasi (destilat) dari getah tusam. Dalam dunia perdagangan sering dikenal dengan
istilah oil of turpentine atau spirit of turpentine. Terpentin adalah campuran dari senyawa
golongan terpene dan minyak atsiri. Komposisi kandungan kimia dari terpentin akan
bervariasi, tergantung pada faktor geograpi pohon pinus, jenis atau spesies pohon, dan proses
distilasi yang dipergunakan. Di samping gondorukem, terpentin adalah produk andalan dari
perum Perhutani, khususnya dari pohon Pinus di Pulau Jawa. Produk ini bahkan telah
diekspor ke berbagai negara tujuan. Contoh kemasan ekspor terpentin (gum rosin) tersebut
disajikan pada Gambar 14.8.

Hasil Hutan Bukan Kayu


188
Sumber:http://unit3.perumperhutani.com/
Gambar 14.8. Kemasan ekpor komoditas terpentin dari Perum Perhutani

Komponen kimia yang dominan dari terpentin di antaranya α-pinene, β-pinene,


limonene, terpene alkohol, dan beberapa isomer terpene lainnya. Terpentine yang berasal
dari Indonesia, memiliki kandungan α-pinene (65-85%), β-pinene (1-3%), limonene (1-3%),
camphene (~ 1%), 3-carene (10-18%), dan berat jenis pada 20oC sebesar 0.865-870 g/ml
(Haneke, 2002). Informasi yang lengkap tentang terpentine dari berbagai negara, sifat kimia
dan efek toksikologinya dapat dilihat pada pustaka aslinya, seperti yang ditulis pada akhir
pokok bahasan ini.

14.8. Jernang

Jernang adalah hasil ekstrak atau inti sari dari buah rotan dari jenis Daemonorop draco
Bl dari famili Palmae. Raton jenis ini sering dikenal dengan rotan Jernang. Komoditas ini
sering disebut dengan getah Jernang, apabila kita menggolongkan kelompok hasil hutan
bukan kayu kelompok getah-getahan. Padatan ekstrak tersebut apabila kering akan berwarna
merah, menyerupai darah, sehingga komoditas ini sering juga disebut dragon blood.

Sumber : spellsandbrooms.wordpress.com
Gambar 14.9. Bentuk tepung (kiri) dan padatan (kanan) kering dari komoditas Jernang

Proses pengolahan komoditas Jernang diperoleh dari ekstraksi biji rotan jenis
Daemonorops spp yang telah masak. Buah rotan Daemonorops spp bergerombol dalam
dalam bentuk untaian atau ranting buah (Gambar 14.10), buah tersebut dipisahkan dari
tangkainya, dan selanjutnya diekstrak.

Hasil Hutan Bukan Kayu


189
Sumber: http://gisjernang.blogspot.com
Gambar 14.10. Untaian buah rotan Daemonorops spp sebagai bahan ektrak pembuatan
Jernang (kiri) dan untuk keperluan pembibitan.

Secara tradisional, proses ekstrasi dilakukan dengan cara kering yaitu langsung
menumbuk buah tersebut, setelah halus lalu diperas. Hasil perasan tersebut kemudian
diendapkan untuk mendapatkan endapan berwarna merah, yang kemudian disebut Jernang.
Proses ektraksi juga dapat dilakukan dengan mencampur buah-buah rotan yang telah
dipisahkan dari rantingnya dengan air, dan selanjutnya dilakukan penghalusan, penyaringan
dan pengendapan. Secara teori, pencampuran dengan air, akan menghasilkan rendemen yang
lebih tinggi. Apabila dikerjakan dilaboratorium, berbagai metode ekstraksi dengan berbagai
macam pelarut, tentu akan mempengaruhi rendemen dari Jernang yang dihsailkan.
Dari berbagai sumber, jernang banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti
untuk sumber bau-bauan pada berbaagai upacara adat yang bersifat magis dan religius, obat-
obatan tradisional seperti menghentikan pendarahan pada luka baru, peredam rasa sakit
akibat cedera, diare, membantu menstruasi menjadi teratur, dan obat jamur kulit. Warna
merah dari jernang, banyak dimanfaatkan sebagai pewarna alami yang juga banyak dipakai
sebagai bahan vernis dan cat, pewarna keramik, marmer, dan aplikasi lainnya.

14.9. Kemenyan

Pohon Kemenyan (Stryraxsp) termasuk dalam famili Stryracaceae dan ordo Ebeneles.
Kemenyan adalah getah yang dihasilkan dari proses penyadapan dari pohon Kemenyan
(Stryrax spp). Sentra penghasil kemenyan di Indonesia adalah di Provinsi Sumatera utara.
Pada daerah ini, terdapat dua jenis pohon Kemanyan, yaitu kemenyan Toba (Stryrax
sumatrana) dan kemenyan durame (Stryrax benzoin). Getah dari kemenyan Toba berwarna
putih, sedangkan kemenyan durame berwarna agak coklat kehitaman (Sasmuko, 1995).
Dikatakan bahwa untuk kepentingan perdagangan, penduduk lokal menggolongkan kelas
mutu komoditas kemenyan berdasarkan kriteria warna, besar butiran, dan kebersihan getah
dari kotoran-kotoran. Penggolongan mutu tersebut dilaksanakan berdasarkan pengalaman
dan dilakukan secara visual. Sudah tentu metode tersebut kurang dapat
dipertanggungjawabkan, secara keilmuan, apalagi bila komoditas kemenyan akan dipasarkan
dengan tujuan ekspor. Penentuan kualitas kemenyan berdasarkan hasil laboratorium,
khususnya komponen kimianya, mungkin lebih dapat diperdan dapat diterima dipasaran luar
negeri. Untuk maksud tersebut, penelitian tentang sifat fisik dan kimia kemenyan telah
dilaksanakan oleh Sasmuko (1995). Hasil lengkap penelitian ini dapat dibaca pada sumber
aslinya, sperti tercantum pada pustaka di akhir pokok bahasan ini.
Sinaga (2008) menyatakan bahwa pemanenan atau kegiatan penyadapan getah
kemenyan di provinsi Sumatera Utara, terdiri atas tiga tahapan yaitu membuat luka sadapan
yang dikerjakan antara bulan Juli – September, mengumpulkan getah pada bulan Oktober –
Desember, dan mebersihkan getah pada bulan Januari – April.

Hasil Hutan Bukan Kayu


190
Kemenyan banyak dimanfaatkan untuk bahan baku industri kosmetik, farmasi, bahan
pengawet, dan bahan baku farmasi obat-obatan, varnish atau cat, dan industri keramik .

14.10. Pustaka

Case, R.J., A.O.Tucker., M.J. Marciarello., K.A. Wheeler.2003.Chemistry And Ethnobotany


of Commercial Incense Copals, Copal Blanco, Copal Oro, and Copal Negro, of
North America.Economy Botani57 (2) Hal: 189-202.
Haneke.K.E. 2002. Turpentine (Turpentine Oil, Wood Turpentine, Sulfate Turpentine,
Sulfite Turpentine) [8006-64-2]Review of Toxicological Literature.Integrated
Laboratory SystemsP.O. Box 13501Research Triangle Park, North Carolina
27709.
Irawan, W.S.B., E. Suhendang., J.R. Matangaran.2007. Model Penduga Produksi Kopal.
Jurnal Menejemen Hutan Tropis Vol.XIII(3) Hal:166-171.
Jafarsidik, J (1987). Jenis-jenis Pohon Penghasil Resin Damar dan Penyebarannya di
Indonesia. Majalah Duta Rimba No. 81-82/XIII/1987.
Laksono, W.2004. Penerapan berbagai pola sadap pada penyadapan Kopal dengan metode
sayatan di RPH Sukamantri BKPH Bogor KPH Bogor Perum Perhutani Unit III
Jawa Barat dan Banten. Skripsi. Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan
institut Pertanian Bogor (tidakditerbitkan).
Michon, G., H de Foresta., A.Kusworo., P. Levang.2000.ContohAgroforest Indonesia. Dari
artikelaslinyaChapter 7. The Damar Agro-Forests of Krui, Indonesia: Justice for
Forest Farmers. In C. Zerner (Editor): People, Plants and Justice. Columbia
University Press
Pratiwi., T. Kalima.2005. Persebaran beberapa Jenis Pohon Penghasil lateks di Indonesia.
Info Hutan Vol.2(4) Hal: 333-343.
Sasmuko, S.A. 1995. Sifat Fisik dan Kimia Getah Kemenyan. Buletein Penelitian Kehutanan
11 (2) Hal: 191-202.
Sinaga, E.L.Y.2009. Kajian Pengambilan Keputusan dalam Pengelolaan Hutan Kemenyan
(Stryrax spp) di desa Sibaganding. Skripsi Sarjana kehutanan. Departemen
Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Negeri Sumatera Utara. Medan.
(tidak diterbitkan).
Soenarno dan Idris (1997). Produksi Kopal pada Pohon AgahisSpp Berkulit Tebal dan Tipis
Di BKPH Cicurug KPH Sukabumi, Jawa Barat. Majalah Duta Rimba No. 81-
82/XIII/1987.
Wahyudi, I., R. Hartono., T.K. Waluyo.2009. Teknik Penyadapan Getah jelutung yang efetif
dan ramah lingkungan untuk menghasilkan lateks bermutu tinggi. Kaitan Pola
Penyebaran Saluran Getah dengan teknik Penyadapannya. Repoitory.ipb.ac.id,
diaksess tanggal 07 Maret 2012.
www.dephut.go.id/informasi/SNI/Gondorukem, diakses pada tanggal 20 maret 2006.
www.dephut.go.id/informasi/SNI/Getah tusam, diaksess pada tanggal 20 Maret 2006.
www.prota4u.org, diakses pada tanggal 07 Maret 2012.
http://wahyukdephut.files.wordpress.com, diakses pada tanggal 07 Maret 2012.

Hasil Hutan Bukan Kayu


191
www.traditionaltree.org, Species profiles for Pasific Island Agroforestry. Agathis
macrophylla, diakses pada tanggal 11 maret 2012.
http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/04/26/darah-naga-rimba sumatera, diakses
pada tanggal 11 Maret 2012.
http://gisjernang.blogspot.com/, diakses pada tanggal 11 Maret 2012.

Hasil Hutan Bukan Kayu


192
BAB 15

MINYAK ATSIRI (ESSENTIAL OIL)

15.1. Pendahuluan

Pada pokok bahasan ini membahas tentang komoditas hasil hutan bukan kayu yang
cukup dominan potensinya di Indonesia, yaitu dari golongan minyak atsiri, yang dalam
bahasa internasionalnya lebih dikenal dengan nama Essential oil. Dalam aktivitas sehari-
hari, secara tidak sadar kita banyak menggunakan minyak atsiri, dari sekedar untuk wangi-
wangian (parfum), maupun obat-obatan ringan, seperti masuk angin, perut kembung, mabuk
perjalanan dan sebagainya. Minyak atsiri adalah minyak yang diperoleh dari tumbuhan
melalui proses distilasi. Minyak atsiri dapat diperoleh dari hampir semua bagian tumbuhan
mulai dari akar, kulit, katang pohon, bunga, biji, dan bagian daun, tergantung kepada jenis
tumbuhannya.
Pada akhir pelajaran ini para pembaca diharapkan memiliki kemampuan untuk:
1. Menjelaskan dan memahami definisi, proses pengolahan dan manfaat minyak
atsiridalam arti luas;
2. Menginventarisai beberapa jenis tumbuhan hutan yang menghasilkan minyak atsiri;
3. Mendiskripsikan berberapa metode yang dipergunakan dalam mengekstrak minyak
atsiri;
4. Mengidentifikasi beberapa komoditas minyak atsiri yang dihasilkan di Papua yang
banyak diusahakan oleh masyarakat lokal.

15.2. Potensi

Potensi dapat dibedakan ke dalam dua pengertian, yaitu potensi luasan umumnya
dinyatakan dengan luas areal atau hutan, dan potensi tegakan yang dinyatakan dengan
kerapatan atau penyebaran jenis per hektar. Khusus untuk potensi minyak atsiri, baik luasan
dan kerapatannya, belum dilakukan penelitian secara terpierinci. Khusus untuk beberapa
komoditas minyak atsiri hutan tanaman, kemungkinan data-data tersebut sudah tersedia.
Tetapi untuk sebaran di hutan alam, informasi yang banyak terdapat pada beberapa buku,
laporan penelitian maupun sumber pustaka lainnya, kebanyakan hanya menjelaskan tentang
peta penyebaran dan komposisi jenisnya saja. Peta penyebaran itupun bukan berasal dari
hasil interprestasi citra satelit, GPS, atau foto udara, tetapi pada kebanyakan hanya
berdasarkan data sekunder berdasarkan informasi dari masyarakat lokal setempat.
Masyarakat setempat menyatakan bahwa potensinya banyak, hanya berdasarkan fakta
bahwa memang sering menemukan komoditas tersebut. Akan tetapi tidak memperhitungkan
berapa jumlah pohonya per hektar, diamter rata-ratanya berapa, bagaimana penyebarannya
bagaimana, kondisi pertumbuhannya dan produktifitasnya berapa, bagaimana regenerasinya
dan beberapa aspek teknis lainnya.
Dari berbagai sumber, tumbuh-tumbuhan yang berpotensi untuk menghasilkan
komoditas minyak atsiri di dunia ini diperkirakan berjumlah 150-200 spesies. Tumbuh-
tumbuhan tersebut termasuk dalam famili Pinaceae, Labiatae, Compositae, Lauraceae,
Myrtaceae dan Umbelliferaceae. Sedangkan bagian dari tumbuhan yang menghasilkan
minyak atsiri adalah daun, bunga, buah, biji, batang/stem, kulit, akar dan umbi atau
rhizoma.Menurut Gunawan (2009) terdapat sekitar 150 jenis minyak atsiri yang

Hasil Hutan Bukan Kayu


193
diperdagangkan secara international, dan saat ini Indonesiamenghasilkan sebanyak 40 jenis
komoditas minyak atsiri.
Ke 40 minyak atsiriyang dihasilkan dari Indonesia tersebut, diekstrak dari berbagai jenis
tumbuh-tumbuhan. Nama tumbuhan berikut nama botaninya, dan bagian yang menghasilkan
minyak atsiri dapat diuraikan sebagai berikut: Adas (Foenicullum vulgare), buah dan biji;
Akar wangi (Vetiveria zizanoides), akar; Anis (Clausena anisata), buah dan biji; Bangle
(Zingiber purpureum Roxb), akar; Cempaka (Michelia champaca), bunga; Cendana
(Santalum album), kayu teras; Cengkeh (Syzygium aromaticum), bunga; Eucalyptus
(Eucalyptus sp), daun, Gaharu (Aquilaria sp), kayu; Gandapura (Gaultheria sp), daun &
gagang; Jahe (Zingiber officinale), rhizome; Jeringau (Acarus calamus), Jeruk Purut
(Citrus hystrix), buah; Kapulaga (Amomum cardamomum), buah dan biji; Kayu Manis
(Cinnamomum cassia), kulit batang, Kayu Putih (Melaleuca leucadendron LI), daun;
Kemangi (Basil oil), daun; Kemukus(Piper cubeba L.), buah; Kenanga (Canangium
odoratum), bunga; Kencur(Caempreria galanga), rhizome; Ketumbar(Coriandrum
sativum), buah dan biji; Klausena(Clausena anisata), biji; Kunyit(Curcuma domestica),
rhizome; Lada(Piper nigrum L.), buah dan biji; Kayu Lawang (Cinnamonum cullilawane
B.L.), kulit; Lengkuas Hutan(AlpiniaMalacensis), akar; Lengkuas Hutan (Alpinia
Malacensis) Oil akar; Kayu Manis (Cinnamomum casea), daun; KayuMassoi(Criptocaria
massoia), batang; Mawar(Rosa spp), bunga;Melati(Jasminum sambac), bunga;
Mentha(Mentha arvensis), daun;Nilam(Pogostemon cablin), daun;Pala(Myristicafragrans
Houtt), biji dan fuli;Palmarosa(Cymbopogon martini), daun; Pinus(Pinusmerkusii),
getah;Rosemari(Rosmarinus officinale), bunga; Sedap Malam(Polianthes tuberose), bunga;
Selasih Mekah(Ocimum gratissimum), bunga; Seledri(Avium graveolens L.), daun dan
batang; Sereh Dapur(Andropogon citratus), daun; Sereh Wangi(Cymbopogon citrates),
daun; Sirih(Piper bitle k); Surawung Pohon(Backhousia citriodora), daun;
Temulawak(Curcuma xanthorizza), rhizoma;Ylang-ylang(Canangium odoratum), bunga.
Dari jumlah tersebut, menurut Balai tanaman obat dan aromatik (2006) Indonesia telah
mengekpor sebanyak 13 jenis minyak atsiri ke pasaran dunia, di antaranya adalah nilam,
serai wangi, cengkeh, jahe, pala, lada, kayu manis, cendana, melati, akar wangi, kenangga,
kayu putih, dan kemukus. Negara tujuan utama ekspor tersebut adalah Amerika serikat
(23%), Inggris (19%), Singapura (18%), India (8%), Spanyol (8%), Perancis (6%), China
(3%), Swiss (3%), Jepang (2%), dan negara-negara lainnya (8%). Masih menurut sumber
yang sama, kontribusi minyak atsiri dari Indonesia tersebut masih kecil yaitu sekitar 2.6%
dari total perdagangan minyak atsiri dunia.
Di tanah Papua, provinsi Papua dan Papua barat, beberapa komoditas minyak atsiri yang
sudah dikenal oleh masyarakat lokal adalah Kayu Lawang (Cinnamonum cullilawane BL),
kayu Masohi (Cryptocariamasohi), Kayu Putih (Melaleuca leucadendron L), Kenanga
(Cananga odorata), Cengkeh (Caryophylus spp), dan Pala (Myristicafragrans
Houtt).Pengusahaan minyak atsiri di daerah Papuapada kebanyakan masih berupa industri
rakyat, yang bersifat sampingan dan musiman. Tumbuhan penghasil minyak atsiri tersebut
tersebar secara alami pada beberapa kawasan hutan adat yang berlokasi dekat dengan
pumukiman masyarakat. Karena masih alami dan belum dibudidayakan oleh masyarakat
lokal, maka tumbuhan penghasil minyak atsiri tersebut memiliki penyebaran yang tidak
teratur (sporadis). Hal ini sangat berbeda dengan penyebaran hasil hutan kayu, yang dapat
dihitung potensinya per hektar. Karakteristik penyebaran ini juga yang merupakankendala
besar dalam indentifikasi dan inventarisasi potensi tumbuhan penghasil minyak atsiri secara
umum.
Di Tanah Papua, Kayu Lawang dan Masohi dapat ditemukan di daerah Kaimana,
Fakfak, Sorong, Jayapura, Nabire, Merauke dan Manokwari. Sedangkan minyak kayu putih,
banyak terdapat di taman nasional Wasur di Merauke. Tanaman cengkeh belum diusahakan
untuk diambil minyaknya tetapi hanya hanya diambil bunganya. Sedangkan tanaman Pala
(Myristicafragrans Houtt) banyak tersebar secara alami maupun setengan budi daya di

Hasil Hutan Bukan Kayu


194
daerah Kaimana dan Fak fak. Khusus pada daerah ini, komoditas Pala belum diolah menjadi
minyak atsiri, tetapi hanya dikelola untuk menghasilkan produk biji dan bunga. Pengertian
bunga pala ini tidak sama dengan bunga pada umumnya, tetapi lapisan endosperm yang
melapisi biji di dalam daging buah pala. Masyarakat lokal menamakan komoditas ini sebagai
bunga pala (fuli). Bunga dan biji pala dari daerah Kaimana, provinsi Papua Barat dapat dapat
dilihat pada Gambar 15.2 berikut ini.

Gambar 15.2. Bunga/fuli (kiri) dan biji pala (kanan) dari daerah Kaimana, provinsi Papua
Barat

15.3. Pengertian

Minyak atsiri adalah salah satu hasil sisa-sisa metabolisme dalam tumbuhan, yang
terbentuk karena reaksi antara berbagai persenyawaan kimia dengan bantuan air, Ketaren
(1985).Tanaman dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya mengalami proses
pengolahan dan pemanfaatan makanan yang kita kenal dengan metabolisme. Dalam
mempelajari metabolisme tumbuhan, kita mengenal dua hasil utama dari proses metabolisme
atau metabolit, yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder.
Metabolit primer adalah hasil biosintesis suatu organisme hidup yang dikenal degnan
sebutan biomolekul atau makromolekul, seperti karbohidrat, protein, lemak dan asam
nukleat. Sedangkan metabolit sekunder adalah hasil sampingan dari proses metabolit primer,
seperti komponen-komponen organik, di antaranya adalah senyawa minyak atsiri, zat
ekstraktif, alkaloids, phenolic, asam lemak dan beberapa komponen kimia lainnya.
Minyak atsiri tebentuk pada sel kelenjar pada jaringan tanaman dan ada juga yang
terbentuk dalam pembuluh resin (resin duct), sebagai contoh terpentin yang dihasilkan oleeh
pohon Pinus (Pinus spp).Ketaren (1985) menjelaskan bahwa fungsi minyak atsiri bagi
tumbuhan sangat beragam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat tersebut di
antaranya adalah membantu proses penyerbukan bunga dengan menarik beberapa jenis
serangga atau hewan, mencegah tanaman dari serangan serangga dan hewan, serta sebagai
cadangan makanan dalam tanaman. Hampir semua bagian tumbuhan dapat menghasilkan
minyak atsiri.
Kataren (1985) memberikan gambaran tentang beberapa bagian tumbuhan penghasil
minyak atsiri, yang dapat diringkas sebagai berikut:
Bunga. Tumbuhan yang bunganya mengandung minyak atsiri seperti Cengkeh, Mawar,
Melati, Sedap Malam, Lavender dan Kenanga.
Daun. Daun dari tanaman Nilam, Kayu Putih, Kayu Lawang dan Eucalyptus
mengandung minyak atsiri.
Batang. Tumbuhan yang batangnya mengandung minyak atsiri di antaranya Cendana,
Lawang dan Masohi.

Hasil Hutan Bukan Kayu


195
Akar/rizhoma. Bagian agar dari tanaman Jahe, Kunyit, Lengkuas dan Akar Wangi juga
ditemukan kandungan minyak atsiri.
Buah. Tumbuhan yang memiliki buah yang mengandung minyak atsiri di antaranya
Lada, Vanili, Adas dan Citrun.
Biji. Biji yang mengandung minyak atsiri diketemukan pada tanaman Kapulaga, kemiri,
pala, dan berbagai tumbuhan tinggi lainnya.
Kulit. Tumbuhan yang bagian kulitnya mengadung minyak atsiri di antaranya adalah
Kayu manis, Kayu lawang, kayu Masoi dan kayu Cendana.

Sifat utama dari minyak atsiri adalah pada suhu kamar atau ruangan mudah menguap
(volatile matters) tetapi tidak mengalami dekomposisi. Minyak atsiri memiliki rasa getir,
tetapi dapat menghasilkan berbauan atau aroma wangi sesuai dengan bau tanaman
penghasilnya. Misalnya minyak melati, minyak mawar, cempaka dan sebagainya. Minyak
atsiri umumnya larut dalam pelarut organik, tapitidak larut dalam pelarut air. Setiap minyak
atsiri mempunyai komponen utama(bahan aktif utama)yang berberda, baik jenis maupun
komposisinya, dan komponen–komponen tersebut ada yang menjadi primadona, karena
komponen tersebut menpunyai nilai ekonomis yang tinggi. Contohnya komponen aktif dari
minyak sereh (sereh wangi) adalah komponen alkoholdari golongan sintronelol dan geraniol.
Sedangkan minyak Cengkeh (bunga dan daun) banyak mengandung komponen eugenol,
yang banyak dimanfaatakan pada dunia kesehatan, misalnya pada praktek kedokteran gigi.
Menurut berbagai sumber, komponen kimia utama atau yang sering disebut komponen
bahan aktif (bioactive chemical constituents) dari minyak atsiri dapat dikelompokkan ke
dalam tiga kelompok, yaitu :
1. Senyawa Hydrocarbon terutama dari golonganterpene yang aktif dalam proses
oksidasi di bawah pengaruh cahaya dan udara pada penyimpanan yang kurang baik;
2. Oxygenatedhydrocarbon, adalah persenyawaan yang menyebabkan bau wangi dan
harum;
3. Lilin dan Resin, adalah komponen yang tidak mudah menguap tetapi terdapat dalam
jumlah yang kecil, yang lebih bersifat sebagai senyawa pengikat.

Secara umum, karakteristik minyak atsiri yang berasal dari berbagai bagian tumbuhan
memiliki karakteristik yang berbeda. Misalnya minyak lawang dan sereh campurannya
mudah dipisahkan secara kimia dan fisika. Sebaliknya untuk minyak atsiri yang diperoleh
dari bunga-bungaan campurannya cukup sukar untuk dipisahkan secara kimia dan fisika.

15.4. Sifat Fisiko-Kimia

Sifat-sifat fisik dari minyak atsiri meliputi: Berat jenis, kelarutan, titik didih, titik beku,
warna dan bau. Sedangakan sifat-sifat kimianya meliputi semua persenyawaan kimia utama
yang terdapat dalam minyak atsiri (seperti Geraniol, Sitronellol, Eugenol, Pinene dll.) yang
telah mengalami perubahan akibat adannya proses: oksidasi (O2), hidrolisa (H2O),
resinifikasi (Resin) dan Penyabunan (NaOH + KOH).

15.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mutu Minyak Atsiri

Kualitas mutu minyak atsiri sangat ditentukan oleh berbagai faktor, seperti proses
persiapan pengolahan, saat proses pengolahan (ekstraksi) maupun perlakukan setelah

Hasil Hutan Bukan Kayu


196
pengolahan atau selama proses pengepakan dan penyimpanan. Beberapa faktor yang lain
seperti jenis tanaman dan umur panen, perlakuan bahan sebelum ekstraksi, metode ekstraksi,
jenis peralatan dan kondisi proses ekstraksi minyak, perlakuan minyak atsiri setelah ekstraksi
dan pengemasan dan penyimpanan juga berpengaruh terhadap kualitas minyak atsiri. Secara
rinci faktor - faktor yang berpengaruh terhadap kualitas minyak atsiri, yang diolah dari
berbagai sumber, dapat dilihat pada Tabel 15.1.

Tabel 15.1. Faktor- faktor yang berpengaruh terhadap kualitas minyak atsirimenurut
Ketaren(1985)

Tanaman Penanganan Pengolahan/ Penanganan Pengangkutan/


bahan olah ekstraksi hasil olahan Pengapalan
1. Umur panen 1. Pengeringan/ 1. Methoda/ 1. Pemurnian 1. Lama
pelayuan proses transportasi
2. Varietas/ 2. Perajangan 2. Kondisi/ 2. pencampuran 2. Penanganan
3. jenis 3. proses selama
3. Transportasi
4. Kondisi tempat 3. Penyimpanan 4. Macam alat 3. Pengemasan
tumbuh
5. Jenis pelarut 4. Penyimpanan
5. Bahan
pengawet

15.6. Proses Mendapatkan Minyak Atsiri

Secara garis besar, proses mendapatkan atau mengluarkan minyak atsiri dari tumbuhan atau
bagian tumbuhan adalah dengan cara ekstraksi. Di Indonesia, proses ekstraksi minyak atsiri
tersebut masih dilakukan dengan cara traditional. Sehingga, masing-masing daerah,
pengrajin, petani dan bahkan jenis tumbuhan memerlukan proses ekstraksi yang beragam, hal
ini sudah tentu sesuai dengan kondisi dan keadaan yang dihadapi pada daerah tersebut.
Tetapi secara umum bagan untuk mengeluarkan (ekstraksi) minyak atsiri dari bagian
tumbuhan dapat digambarkan seperti terlihat pada Gambar 15.2.

Bahan baku/bahan olah

Ekstraksi (penyulingan)

Hasil minyak dan senyawa lain

Minyak Atsiri

Pengemasan

Penyimpanan

Pemasaran/konsumen

Gambar 15.2. Bagan umum proses ekstraksi minyak atsiri

Hasil Hutan Bukan Kayu


197
Bagan di atas menjelaskan bahwa proses ektraksi pengambilan minyak atsiri dari bagian
tumbuhan secara garis besar dapat diuraikan ke dalam empat proses utama yaitu : 1)
Persiapan bahan yang akan diekstrak; 2) Proses Ekstraksi; 3) Pemisahan minyak; 4)
Pengemasan dan penyimpanan. Penjelasan singkat dari masing-masing proses tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Persiapan bahan yang akan diekstrak meliputi perlakuan pendahuluan terhadap bahan
baku minyak atsiri baik daun, kulit, buah dan biji yang akan diekstrak. Perlakukan
pendahuluan termasuk di dalamnya adalah melakukan perajangan bahan baku ke dalam
ukuran yang lebih kecil, agar minyak mudah menguap. Hasil proses perajangan tersebut
disimpanan untuk sementara waktu untuk pengkondisian. Selanjutanya adalah pelayuan
bahan baku yang telah dirajang dengan cara dijemur pada sinar matahari (pengeringan).
Tahapan pengeringan ini bertujuan untuk mengurangi kadar air dari bahan yang akan
diekstrak, sehingga pada saat proses ektraksi tidak terlalu banyak energi yang
diperlukan untuk menguapkan air dari bahan ekstrak.
2. Ekstraksi atau proses mengeluarkan minyak atsiri dari dalam bagian tumbuhan yang
mengandung minyak. Proses ekstraksi dapat dilakukan dengan metode perebusan,
penguapan, dan kombinasi dari kedua cara tersebut. Pemilihan metode ekstraksi sangat
tergantung kepada kondisi dan situasi di mana ekstraksi akan dilaksanakan, termasuk
tidak kalah pentingnya adalah ketersediaan alat pengekatrak.
3. Pemisahan minyak atsiri dengan air dikenal dengan proses distilasi. Tujuan utamanya
adalah memisahan komponen yang berupa cairan atau padatan yang berasal dari dua
macam campuran atau lebih, berdasarkan perbedaan titik uapnya dan proses ini
dilakukan terhadap minyak atsiri yang tidak larut air.
4. Proses pengemasan dan penyimpanan minyak atsiri dilakukan dengan tujuan untuk
menjaga mutu dan kualitas minyak atsiri dari kontaminan yang berasal dari luar.
Pengemasan dilakukan dengan pengisian minyak atsiri pada botolyang telah dibersihkan
dan steril, diberi tutup yang rapat. Penyimpanan dilakukan terhadap minyak atsiri yang
telah tersimpan dalam botol, selanjutnya botol disimpan dalam tempat yang sejuk, tidak
terkena matahari langsung dan bebas dari segala bau lainnya.

15.6.1 Ekstraksi Minyak Atsiri

Guenther (1948) menjelaskan bahwa secara garis besar minyak atsiri dapat diekstrak
dengan menggunakan tiga metode distilasi (penyulingan)yaitu:
1. Penyulingan dengan air (water distillation or hydrodistillation)
2. Penyulingan dengan air dan uap (water and steam distillation)
3. Penyulingan dengan uap (direct steam distillation)

1) Penyulingan dengan air. Metode penyulingan dengan air ini pada prinsipnya sama
dengan perebusan. Daun yang akan disuling dimasukkan langsung ke dalam ketel yang
telah berisi air yang bersih. Perbandingan antara banyaknya air dan daun dapat diperoleh
dari percobaan. Tetapi pada intinya adalah seluruh permukaan daun dapat terendam oleh
air. Kemudian ketel tersebut ditaruh di atas tungku untuk dipanasi. Panas dari air dan
uap panas akan memasuki sel-sel daun dan merangsang keluarnya minyak atsiri yang
terdapat pada pori-pori daun. Minyak dikumpulkan dari uap air yang telah
terkondensi.Metode perebusan ini memiliki beberapa keuntungan, seperti
mempergunakan alatnya relatif sederhana dengan modal yang relatif kecil, peralatan
yang digunakan dapat dipindah-pindahkan. Sedangkan beberapa kekurangan dari
metode ini adalah waktu yang diperlukan cukup lama, minyak atsiri masih tercampur

Hasil Hutan Bukan Kayu


198
dengan air, sehingga sebagian dari minyaknya mengalami hydrolisis dan rendemen dan
kualitas minyaknya juga rendah
2) Penyulingan dengan air dan uap. Penyulingan minyak atsiri dalam metode ini
menggunakan kombinasi antara uap air panas (steam) dan suhu. Ketel yang digunakan
dibagi atau disekat yang bentuknya seperti saringan menjadi dua, bagian bawah berisi
air dan bahan olah (daun dll.) diletakkan di atas air tersebut. Dengan metode ini uap air
panas dapat langsung berpenetrasi ke bahan olah secara merata, apalagi bila suhunya
dapat dipertahankan pada kisaran 100oC. Penyulingan minyak atsiri dengan metode ini
juga mempunyai beberapa kekurangan di antaranya seperti waktu penyulingan relatif
lama (lebih lambat dibanding dengann penyulingann air/perebusan), sebagian minyak
yang dihasilkan masih mengandung uap air. Sedangkan beberapa kelebihannya antara
lain adalah memerlukan peralatan yang digunakan relatif sederhana dan mudah
dipindah-pindahkan dan rendemen dan kualitas minyak yang dihasilkan lebih baik
dibandingkan dari metode perebusan
3) Penyulingan dengan uap. Pada metode penyulingan dengan uap air dan bahan olah
diletakkan pada dua ketel/tangki yang berbeda. Tangki yang pertama hanya berisi air,
dan ketel yang kedua berisi bahan olah saja. Uap air dari ketel pertama dialirkan ke ketel
kedua. Penyulingan minyak dengan penyulingan uap adalah metode yang paling
sempurna dibanding dua metode sebelumnya. Tetapi metode ini juga masih terdapat
beberapa kekurangan seperti bahan olah yang akan disuling tidak boleh terlalu kering
(kadar air rendah), perlu tambahan modal, karena peralatannya yang lebih kompleks dan
Peralatan yang tidak mudah untuk dipindah-pindahkan. Tetapi secara keseluruhan
kelebihan dari metode penyulingan uap adalah waktu penyulingan yang lebih cepat dan
Rendemen minyak kayu putih yang diperoleh lebih tinggi dan kwalitasnya juga lebih
baik.

15.6.2. Pengepresan

Pengeluaran minyak atsiri dengan metode pengepressan dilakukan terhadap minyak


atsiri yang terdapat pada biji-bijian, buah atau kulit buah, Ketaren (1985). Contohnya adalah
minyak almond, alpukat (apricot), Jeruk (lemon), kulit jeruk mandarin dan buah anggur
(grape).Proses pengeluaran minyak atsiri dari tumbuhan atau bagian tumbuhan yang
kemudian dikenal dengan nama proses ekstraksi minyak atsiri dengan pengepressan
dibedakan menjadi dua yaitu:
a) Hydraulic Pressing. Metode Pengepresan ini dikerjakam dengan menggunakan tenaga
hidrolik untuk menggerakkan alat pengepress (platten press) pada tiang press.
Keuntungan dari metode ini adalah minyak dapat dihasilkan dalam waktu singkat
dengan biaya yang relatif murah. Kekurangan dari metode ini adalah hanya dapat
digunakan untuk ekstraksi golongan minyak atsiri yang terdapat pada biji-bijian dan
buah. Metode ini juga tidak dapat berjalan secara terus menerus (continueous), kecuali
jika menggunakan teknologi yang sudah maju.
b) Expeller pressing. Alat press ini dilengkapi suatu poros berbentuk spiral yang dapat
berputar secara kontiyu dalam wadah berbentuk silinder, dengan kekuatan (P) = 20 000-
40 000 Psi. Keuntungan dari metode ini adalah dapat bekerja secara terus-menerus,
tidak memerlukan kain penbungkus dan tidak membutuhkan ruangan yang luas.
Sedangkan kekurangan dari metode ini adalah menghasilkan jumlah kotoran/sampah
yang lebih tinggi dibandingkan dengan hidrolik press.

Hasil Hutan Bukan Kayu


199
15.7.Pemisahan Minyak Atsiri dari Air dan Lemak

15.7.1. Pemisahan Minyak dan Air

Minyak atsiri dari hasil proses penyulingan atau pengepressan dipisahkan dari
kandungan airnya dengan menggunakan labu pemisah minyak, karena sifat minyak atsiri dan
pelarutnya yang mudah menguap. Penyulingan untuk mendapatkan komponen non-volatile
(yang tidak mudah menguap) dari minyak atsiri dapat dilakukan dengan menggunakan
prosedue seperti dilukiskan pada Gambar 15.6.

Gambar 15.6 Bagan atau alur penyulingan minyak atsiri untuk memperoleh komponen yang
tidak mudah menguap (non-volatile matters)

15.7.2. Pemisahan Minyak Atsiri dari Lemak

Hasil ekstraksi minyak atsiri yang masih bercampur dengan lemak sering dinamakan
pomade, dan dapat dipisahkan satu sama lain dengan menggunakan prosedur seperti pada
bagan Gambar15.7 di bawah ini.

Gambar 15.7. Diagram atau bagan pemisahan minyak atsiri dan lemak pada hasil ekstrak
minyak atsiri

Hasil Hutan Bukan Kayu


200
15.8. Pengemasan dan Penyimpanan

Ketaren (1985) menjelaskan bahwa minyak atsiri perlu dikemas dalam wadah yang
tertutup. Pengemasan yang baik harus mencakup beberapa aspek seperti: dapat menjamin
mutu produk untuk diperdagangkan, mudah dipakai, tidak mempersulit penanganan (material
handling), dapat melindungi isi pada tempat pengangkutan, tidak beracun dan tidak bereaksi
dengan isi, mempunyai bentuk dan rupa yang menarik.Sedangkan bahan baku kemasan
sebaiknya memiliki beberapa pesyaratan seperti tidak dapat beraksi dengan minyak atsiri,
tidak dapat dilalui/tembus cahaya, tidak dipengaruhi oleh oksigen, udara, dan akan lebih baik
jika bersifat isolator panas. Selanjutnya, dalam botolkemasan disarankan untuk menyisakan
ruang kosong (allowable space) kurang lebih sebanyak 5% untuk CO2 dan N2.
Bahan atau botol kemasan dapat terbuat dari gelas, plastik maupun drum. Kemasan yang
berbahan baku gelas tidak mudah bereaksi dengan minyak atsiri, sedangkan kemasan yang
berbahan baku dari plastik dapat bereaksi dengan minyak atsiri. Bahan kemasan yang terbuat
dari baja adalah wadah atau botol kemasan yang terbaik, tetapi hal tersebut memerlukan
pembiayaan yang tinggi atau mahal biayanya.
Minyak atsiri yang telah dimurnikan sebaiknya disimpan pada suhu di bawah 20 oC,
tidak kena cahaya langsung, dan terpisah dari bahan yang berbau. Penurunan kualitas atau
mutu minyak atsiri dapat dikarenakan tiga faktor utama, yaitu karena adanya reaksi dengan
lingkungan, reaksi dengan media maupun wadah penyimpanan, dan kerusakan komponen
kimianya. Khusus untuk kerusakan komponen kimianya, hal tersebut dapat terjadi karena
adanya proses hidrolisa (air dan panas); oksidasi (panas, cahaya dan ion logam);
danresinifikasi (suhu tinggi > 100oC, tekanan tinggi 24 atmosphir). Pencampuran, reaksi,
atau kontaminasi dengan wadah/kemasan juga dapat menurunkan kualitas minyak atsiri.

15. 9. Pemanfaatan Minyak Atsiri

Minyak atsiri banyak dipergunakan untuk obat wangi-wangian baik secara langsung
maupun sebagai bahan baku campuran dalam industri obat-obatan, pada industri parfum
(wangi-wangian), juga kosmetik. Di Malaysia, minyak atsiri digunakan sebagai obat
pengusir serangga dan nyamuk. Pemanfaatan minyak kayu putih lainnya adalah untuk obat
penghilang rasa sakit kepala, sakit gigi, dan rematik (Sasegawa dkk., 2003).
Review tentang pemanfaatan minyak atsiri beserta komponen penyusunya untuk terapi
dan obat-obatan atau phramasi dilakukan oleh Edris (2007). Minyak atsiri dan komponen
kimia penyusunnya banyak dimanfaatkan untuk mencegah dan mengobati beberapa penyakit
seperti kanker, kardiovaskuler, athsrosclerosis, dan thrombosis. Sedangkan bioaktivitas dari
minyak atsiri dan komponen kimia penyusunya juga aktif pada uji antioksidan, antivirus,
antidiabetes, dan antibakteri.

15.10. Beberapa Penelitian Minyak Atsiri

15.10.1.Minyak Kayu Putih

Minyak kayu putih diperoleh dari ekstraksi daun tanaman dari family Myrtaceae yaitu
Melaleuca spp.Diperkirakan terdapat sekitar 100 jenis ordo Myrtalae yang dikenal sebagai
species yang mengandung banyak minyak atsiri (essential oil-rich species), Sasegawa dkk
(2003). Di Indonesia dikenal beberapa species Melaleuca spp, di antaranya adalah
Melaleucaleucadendron, M. cajaputi Roxb, M. viridiflora Corn dan M. minor Smith.Minyak
atsiri pada species-species tersebut terdapat pada daun dan kuncup pada ketiak daun
(terminal twigs), Sasegawa (2003). Tumbuhan minyak kayu putih adalah berbentuk pohon
dengan tinggi 12 m, berkembang biak dengan akar dan biji. Tanaman ini tahan terhadap api.
Tumbuh pada ketinggian 0-400 m di atas permukaan laut dari pantai sampai pegunungan.

Hasil Hutan Bukan Kayu


201
Tumbuhan minyak kayu putih tumbuh secara alami di Maluku (p.Buru, Seram, Nusa
laut dan Ambon), Sumatera Selatan (sepanjang sungai Musi dan Palembang), Sulawesi
Tenggara, Bali, NTT, da Irian Jaya (Papua). Di pulau jawa tanaman ini dibudidayakan pada
tahun 1925- 1939 di daerah Ponorogo, Jawa Timur dan 1942- 1970 di daerah Gunung Kidul.
Pemanenan dilakukan dengan memungut atau memetik daun yang telah berumur 4
tahun, atau lebih. Untuk pemanenan daun berikutnya dilakukan tiap 6 bulan sekali. Untuk
merangsang pertumbuhan daun, maka perlu dilakukan pemangkasan pada tanaman minyak
kayu putih. Pemangkasan dilakukan terutama pada cabang yang berdiameter minimal 2 cm,
dengan tinggi pangkasan pertama adalah minimal 75 cm dari permukaan tanah.
Pemangkasan sangat diperngaruhi oleh umur tanaman, frekwensi dan methoda pemangkasan.
Dari berbagai sumber, dikatakan volume daun yang dihasilkan dari tanaman kayu putih
diperkirakan sebesar 2 ton per hektar, dengan rendemen 0.8% dan berat jenis diperhitungkan
0.9, maka per hektarnya diperkirakan dapat menghasilkan sekitar 18 liter kayu putih per
tahun.
Rendemen dan kualitas minyak kayu putih sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
baik faktor bahan baku maupun proses esktraksinya. Beberapa faktor tersebut secara ringkas
dapat dijelaskan dalam paragrap di bawah ini.
a). Jenis/varietas pohon. Perbedaan ciri taksonomi pohon, seperti bentuk daun, tebal kulit
dan lainnya akan mempengaruhi rendemen minyak yang dihasilkan. Pakpahan (1993)
melaporkan bahwa persentase rendemen minyak, air dan cineol dua jenis minyak kayu
putih dari varietas Buru dan varietas Timor, berdarsarkan bentuk daunnya disajikan
Tabel 15.2. Dari tabel tersebut, terlihat bahwa bentuk daun sangat berpengaruh terhadap
rendemen minyak yang dihasilkan.

Tabel 15.2. Pengaruh bentuk daun terhadap komposisi minyak kayu putih

Bentuk daun Persentase (%)


Air Minyak Cineol
Ellips 52.0 2.1 40
Lonjong 57 2.4 53.5
Lanciolate 36 2.7 38

Sasegawa dkk (2003) melakukan penelitian tentang komponen kimia dan sifat
antirayapnyaminyak atsiri dari Melaleuca species dari berbagai lokasi di Indonesia dan
Malaysia. Penelitian ini didasari pada kesimpangsiuran dilapangan atau kesamaan fisik
dari daun Gelam dan Kayu Putih. Hal ini juga didasarkan pada kenyataan dilapangan
bahwa nama botani Melaleuca leucadendron dan Melaleuca cajuputi sering
dipergunakan untuk menyebut minyak Gelam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
komponenkimia minyak gelam sangat berbeda dengan minyak kayu putih (Melaleuca
cajuputi). Komponen kimia yang dominan dari minyak gelam adalah -Terpinene, -
Terpinene, -phellandene, dan terpinolene. Sedangkan minyak kayu putih yang
digunakan dalam ekperimen ini banyak mengandung komponen yang berjenis methyl
eugenol dan terpenoids. Methyl eugenol dan isomethyl eugenol tidak ditemukan dalam
minyak gelam dalam ekperimen ini. Secara umum minyak kayu putih dicirikan oleh
tingginya komponen kimia dari 1,8-Cineole dan -Terpeniol. Sehingga disimpulkan
bahwa minyak gelam lebih dekat dengan minyak atsiri dari M. leucadendron. Sehingga
disarankan untuk meneliti lagi taxonomi tumbuhan gelam, baik menggunakan
pendekatan statistik maupun genetik, sehingga kepastian speciesnya dapat didefinisikan
dengan pasti.

Hasil Hutan Bukan Kayu


202
b). Penyimpanan dan penyajian daun. Perlakuan penyimpanan yang dimaksudkan disini
adalah cara menyimpan daun atau bagian tumbuhan yang mengandung minyak atsiri.
Penyimpanan yang dimaksud dapat berbentuk penebaran daun dan penyimpanan dalam
karung plastik atau goni selama kurang lebih seminggu. Pakpahan (1993) melaporkan
pengaruh penyajian dari bagian dari tumbuhan yang akan diekstrak, dapat berupa daun
dan ranting secara bersama sama, atau daun tanpa ranting terhadap rendemen minyak
kayu putih. Hasil penelitian pengaruh perlakukan penyimpanan terhadap rendemen dan
kadar sineol dari minyak kayu putih tersebut disajikan secara ringkas pada tabel 15.3.

Tabel 15.3. Pengaruh penyimpanan terhadap rendemen dan kadar Sineol dari
Minyak Kayu Putih

Cara Lama Rendemen Kadar Sineol


Penyimpanan (minggu) A B A B
Ditebar 1 0.5 0.7 38.9 38.0
2 1.0 1.0 36.9 32.2
Dalam karung 1 0.4 0.8 27.8 28.4
2 0.6 0.9 34.1 34.7
A=daun tanpa ranting, B = daun + ranting Sumber : Pakpahan (1993)

c). Pengisian daun dalam ketel. Pengisian daun dalam ketel dapat menyebar secara merata
atau mengumpul pada satu titik. Keduanya mempunyai efek yang sangat berbeda
terhadap rendemen minyak kayu putih yang dihasilkan.
d). Suhu dan lama penyulingan. Suhu danwaktu penyulingan akan sangat berpengaruh
tehadap rendemen dan kualitas minyak kayu putih yang dihasilkan.
e). Umur pohon dan tempat tumbuh. Umur pohon dan tempat tumbuh diduga berpengaruh
terhadap rendemen dan kualitas minyak atsiri yang dihasilkan. Karena faktor tempat
tumbuh akan berpengaruh terhadap pertumbuhan pohon, khususnya dalam
memproduksi daun, kulit dan cabang.

Sifat fisik dan komponen kimia minyak atsiri dari Melaleuca leucadendron Linn. dari
tiga kelas umur, 5, 10 dan 15 tahun yang dikumpulkan dari beberapa lokasi hutan tanaman di
Gunung kidul, Gundih, dan Sukun, di Jawa telah di teliti oleh Pujiarti dkk (2011). Mereka
melaporkan bahwa sebanyak 26 komponen kimia diidentifikasi dari M. leucadendron. Dari
komponen tersebut, yang dominan di antaranya adalah 1-8 cineole (44.76 – 60.19%), -
terpeneol (5.93-12.45%), D(+)-limonene (4.45-8.85%), dan -caryophyllene (3.78-7.64%).
Dijelaskan juga bahwa dari ketiga lokasi pengambilan sample, terdapat kecenderungan
penurunan kadar 1.8-cineole dan peningkatan kadar -carophyllene seiring dengan
bertambahnya umur pohon. Komponen -Terpeniol pada umur pohon 10 tahun adalah yang
tertinggi dibanding du kelompok umur lainnya. Tetapi untuk komponen D(+)-limonene
sangat bervariasi baik antar tempat tumbuh maupun antar kelompok umur pohon.
Di Indonesia, standarminyak kayu putih yang baik memiliki beberapa persyaratan
seperti disajikan pada Tabel 15.4. Sedangkan mutu atau kualitas minyak kayu putih
berdasarkan Essential Oil Association of USA (EOA) yang dikutip Pakpahan (1993)
diringkas pada Tabel 15.5 berikut di bawah ini.

Hasil Hutan Bukan Kayu


203
Tabel 15.4. Variabel dan persyaratan minyak Kayu Putih di Indonesia

Karakteristik Syarat
Warna Kekuning-kuningan sampai kehijau-hijauan
o o
Berat Jenis (25 /25 C) 0.868-0.921
Indek bias (nD 25) 1.464-1.482
Putaran Optik ()D 0o s/d (-4)
Kadar Sineol (%) 50-65
Kelarutan dalam ethanol 80% 1:1 (vol) jenuh, seharusnya jernih
Bau Segar, khas minyak kayu putih
Sumber: Sumadiwangsa (1973) seperti dikutip oleh Pakpahan (1993)

Tabel 15.5. Karakteristik dan syarat mutu kayu putih berdasarkan The Essential Oil
Association of USA

Karakteristik Syarat
Warna dan penampilan Bening berwarna hijau atau kuning dengan
penampilan jernih.
Berat Jenis pada 25oC 0.980-0.9250
Indek bias pada 20o 1.4660-1.4720
Putaran Optik ()D 0o –4 o
Kadar Sineol (%) 50-60
Kelarutan dalam ethanol 80% Larut dalam perbandingan 1:1 – 1:9
Bau Segar, khas minyak kayu putih

Bahan baku untuk membuat ketel atau ekstraktor juga berpengaruh terhadap kualitas
minyak atsiri. Ekstraktor yang terbuat dari logam atau bahan lainnya akan sangat
mempengaruhi warna minyak kayu putih yang dihasilkan. Ketel yang terbuat dari tembaga
menghasilkan warna hijau/biru, ketel dari besi menghasilkan warna kuning/coklat, ketel dari
semen atau beton menghasilkan warna minyak kuning muda. Ketel yang terbuat dari
stainless steel tidak menghasilkan warna.
Minyak kayu putih memiliki komponen utama (main compounds) seperti cineol,
terpinol dan lainnya. Rumus molekul dari masing-masing komponen utama tersebut beserta
titik didihnya diringkas dalam Tabel 15.6 di bawah ini .

Tabel 15.6. Komponen kimia (chemical constituents) minyak kayu putih, rumus kimia,
dan titik didihnya

Komponen Rumus molekul Titik didih (oC)


Cineol C10 H18 O 174 -177
Terpinol C10 H17 OH 218
Pinene C10 H18 156 – 160
Benzaldehyde C6 H5 0H 179.9
Limomene C10 H16 175 – 176
Sesquiterpenes C15 H24 230 – 277

Pakpahan (1993) melakukan pengujian kualitas minyak kayu putih berdasarkan


klasifikasi minyak kayu putih yang ditetapkan oleh Surat Keputusan DIRJEN Kehutanan No
23/Kpts/DJ/I/1974. Variabel-variabel tersebut di antaranya adalah:

Hasil Hutan Bukan Kayu


204
a). Syarat Umum - indek bias (20oC) : 1.463 – 1.42
- putaran optik : -4 – 0o
- Berat jenis : 0.874 – 0.928

b). Klasifikasi kualitas:


Kualitas utama Ka. Sineol : 50 – 60 %
Lemak : negatif
M.Pelikan : negaif
Kel.dlm alkohol 80% : 1 –1 s/d 1:9

Kualitas satu Ka. Sineol : 40- 50 %


Lain-lain : idem

Kualitas kedua Ka. Sineol : 25-40%

Sedangkan panduan lengkap dan menyeluruh mengenai prosedur dan tata cara
pengujian kualitas minyak kayu putih diuraikan dengan jelas dalam Standar nasional
Indonesia (SNI) 06-3954-2006.

15.10.2. Minyak Lawang

Minyak lawang adalah minyak atsiri yang terdapat pada kayu dan kulit tumbuhan dari
Famili Lauraceae, yaitu Cinnamomum culilawan BLyang menyebar di wilayah Maluku dan
Papua, dan Cinnamomum Sintok BLyang terdapat di Jawa, Sumatra, Maluku, Papua dan
Kalimantan. Komoditas minyak atsiri ini di daerah Papua dekenal dengan nama Kulilawang.
Penyebaran dan informasi singkat tentang tumbuhan Kulilawang dijelaskan oleh Utomo
(2002), yang selengkapnya dapat dibaca di sumber aslinya. Tumbuhan minyak lawang ini
dapat mencapai ketinggian hingga 8 m dengan diameter (ø) batang hingga 50 cm. Pohon
Kulilawang yang tumbuh di halaman rumah penduduk di kecamatan Windesi, kabupaten
Teluk Wondama, provinsi Papua Barat dapat dilihat pada Gambar 15.8.

Gambar 15.8. Pohon Lawang yang tumbuh di pekarangan penduduk di distrik Windesi kab.
Teluk Wondama

Pohon kayu lawang termasuk pohon yang berdiameter besar dan tinggi dengan tajuk
lebat dan merupakan tanaman toleran dan selalu hijau. Kulit batang bewarna keputihan

Hasil Hutan Bukan Kayu


205
hingga kelabu, dan ada juga yang berwarna kemerahan. Kulit dari tanaman kayu kulilawang
mengandung minyak atsiri sebesar 1.49-3.60% dari volume beratnya sedangkan dari bagian
batang pohon/kayu terdapat minyak atsiri sebesar 0.35%
Persyaratan mutu minyak lawang di Indonesia telah diatur dalam Standar Industri
Indonesia (SII 0.377-80) seperti dikutip oleh Pakpahan (1993), selengkapnya disajikan pada
Tabel 15 7.

Tabel 15.7. Variabel persyaratan mutu minyak lawang di Indonesia


----------------------------------------------------------------------------------------------------------
No Parameter Nilai
==============================================================
1. BJ 15/15o 1.05 – 1.-07
2. Putaran Optik 0.54 – 0.58
3. Indek bias 1.52 – 1.53
4. Kadar eugenol min 80%
5. Kelarutan dalam alkohol
-Alkohol 90% 1:2 jernih
-Alkohol 70% 1:2 jernih
6. Sisa penguapan 3 ml contoh max 60 mg
7. Bahan asing (alkohol, lemak, pelikan,
terpentin dll.) negatif
8. Bau, rasa dan warna Normal (spt bau minyak
cengkeh dan pala)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Dua komponen utama dari minyak lawang adalah eugenol dan safrol, dan merupakan
karakter atau ciri khas dari minyak lawang. Minyak kulilawang dari ekstrak batang pohon,
yaitu kayu teras (heartwood) dari bagian pangkal dan ujung, yang diperoleh dari daerah
Wasior, kabupaten Wondama, provinsi Papua Barat telah diteliti oleh Triantoro dan Susanti
(2007). Mereka melaporkan bahwa bagian pangkal teras mengandung 18 komponen kimia,
sedangkan pada bagian ujunh teras mengandung 12 senyawa kimia. Di antara senyawa-
senyawa tersebut, eugenol adalah paling dominan, yaitu 66.23% pada bagian pangkal dan
pada bagian ujung sebanyak 34.36%. Mereka juga menyimpulkan bahwa komponen utama
minyak lawang dari batang dan kulit tidak berbeda nyata.
Penggunaan minyak lawang: adalah sebagai Obat gosok, untuk mengurangi rasa nyeri
pada penyakit reumatik, atau terkilir. Dalam skala industri minyak lawang dipakai dalam
industri kimia, industri pangan dan parfum
Faktor faktor yang mempengaruhi rendemen dan kwalitas minyak lawang adalah: a)
penyiapan bahan baku; b)letak geografis; c)lama waktu penyulingan; d)waktu pengambilan
bahan baku, e)ketel; f)penutup ketel; dan g) penyalur uap serta kondesor atau pendingin.
Masing –masing faktor tersebut dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut:
a) Penyiapan bahan baku. Kulit kayu lawang dapat diperoleh dari pohon, cabang dan
ranting. Tetapi karena kesulitan dalam mengambil kulit dari ranting dan cabang, maka
kulit dari pohon lawang yang banyak dimanfaatkan untuk bahan baku minyak kayu
lawang. Sebelum diekstraksi, kulit tersebut perlu diberi perlakuan pendahuluan antara
lain penyimpanan, pengeringan atau pelayuan, perajangan dan fermentasi oleh
microorganisme. Penyimpanan bahan baku dapat dilakukan dengan menimbun bahan
olah pada gudang atau ruangan tertutup dan kering dengan suhu ruangan yang relatif
rendah. Karena minyak kayu lawang mudah menguap pada udara terbuka dan suhu yang
tinggi. Penguapan minyak lawang selama penyimpanan dalam udara kering sangat
tergantung kepada beberapa faktor yaitu: kondisi bahan, metode dan lama penyimpanan,

Hasil Hutan Bukan Kayu


206
dan komposisi kimia minyak dalam bahan olah. Pengeringan dan pelayuan adalah
perlakuan pendahuluan dengan cara mengeringkan bahan baku untuk mempercepat
proses ekstraksi dan memperbaiki mutu minyak. Perajangan/pencacahan bahan baku
bertujuan untuk mempecepat proses penguapan minyak atsiri dari dalam bahan oleh ke
permukaan.
b) Letak geografis dan tempat tumbuh tanaman. Letak geografis dan tempat tumbuh
tanaman terutama yang berkaitan dengan sifat tanah, intentitas cahaya matahari, curah
hujan dan suhu akan berperngaruh terhadap rendemen dan kualitas minyak lawang yang
dihasilkan. Tim Faperta Uncen (1993) menemukan bahwa rendemen minyak lawang
dari daerah Siwi (Manokwari) adalah sebesar 1.04%, sedangkan dari Nabire 2.57% dan
dari daerah Sorong dengan rata-rata rendemen sebesar 2.00%.
c) Lama waktu penyulingan. Pengaruh lama penyulingan terhadap rendemen meniyak
atsiri secara umum adalah bahawa semakin lama waktu penyulingan tingkat rendemen
dari minyak atsiri semakin tinggi. Tetapi lama yang dimaksud tidak dijelaskan berapa
satuan waktunya.
d) Waktu/musim pengambilan bahan baku. Bahan baku yang diambil pada musim
penghujan akan menghasilkan rendemen minyak atsiri yang rendah dibandingkan
dengan kalau diambil pada musim kemarau. Semakin tinggi kandungan air bahan baku,
maka ada kecenderungan semakin rendah rendemen minyak lawang.
e) Ketel. Bentuk dan kontruksi ketel akan sangat berpengaruh terhadap rendemen dan
kualitas minyak kayu lawang yang dihasilkan.
f) Penutup ketel dan penyalur uap. Bentuk dan kontruksi dari ketel dan saluran penyalur
uap akan sangat berpengaruh terhadap rendemen dan kualitas minyak lawang. Hal
tersebut berkaitan erat dengan uap air atau embun yang terkondensasi pada kedua
bagian tersebut.
g) Pendingin atau Kondensor. Bentuk dan luas permukaan dari kondensor akan sangat
berpengaruh terhadap rendemen dan kualitas minyak lawang yang disuling.

15.10.3.Ektraksi minyak lawang oleh penduduk lokal

Karena potensinya cukup melimpah terutama di hutan, kebanyakan penduduk lokal


telah mampu mengolah potensi minyak lawang yang dimilikinya. Proses ekstraksi minyak
lawang tersebut mennggunakan teknologi yang sederhana dan mereka kenal dengan alat
penyulingan, seperti yang terdapat di Kampung Werianggi, Distrik Windesi Kab. Teluk
Wondama .
Kualitas minyak lawang pada kebanyakan masih sangat rendah, terutama dari aspek
pemurnian dan pengemasan, hal ini dikarenakan minyak lawang yang diproduksi tersebut
hanya diperutukkan untuk dijual di pasar lokal. Sehingga, frekwensi kegiatan menyuling
minyak lawang hanya dilakukan apabila ada yang memesan atau hanya bersifat sambilan.
Permasalahan yang sangat mendasar untuk komoditas minyak lawang adalah kelangkaan
pohon lawang. Hal ini terjadi karena masyarakat memanen pohon lawang dengan menebang
pohon lawang, sehingga regenerasi pohon lawang tidak berjalan, dan penanaman atau
peremajaan tidak dilaksanakan. Pada saat ini potensi pohon lawang berada di hutan-hutan
primer, yang lokasinya sangat jauh dari lokasi pemukiman penduduk, sehingga dari segi
efisiensi produksi tidak mengguntungkan, dan kalah bersaing dengan minyak lawang yang
diproduksi dari daerah lain. Contoh alat penyulingan minyak lawang di Kampung Werianggi
Distrik Windesi teluk Wondama Papua Barat yang telah rusak dan tertinggal di hutan dapat
dilihat pada Gambar 15.9.

Hasil Hutan Bukan Kayu


207
Gambar 15.9. Bekas ketel alat penyulingan di Kampung Werianggi Distrik Windesi teluk
Wondama Papua Barat.

Karena masyarakat lokal pada umumnya mendapatkan kulit pohon lawang dengan cara
menebang pohonya, maka dikwatirkan cara ini akan mempercepat kepunahan dari komoditas
Kulilawang. Apalagi masyarakat juga belum melakukan budi daya komoditas ini. Untuk itu,
Tokede dan Susanti (2002) melakukan kajian tentang berbagai teknik pengulitan pada pohon
Kulilawang untuk melihat efek bentuk pengulitan (bujur sangkar, persegi panjang dan
ketupat (jajaran genjang) terhadap pemulihan kulit pohon kulilawang tersebut. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa secara statistik ketiga teknik pengulitan tidak berbeda nyata.
Mereka menggarisbawahi bahwa terdapat perbedaan laju pemulihan atau pembentukan kulit
kayu (kalus) antar diameter pohon, yang mana semakin besar diameter pohon, pembentukan
kalusnya semakin lebar. Untuk perioda 6 (enam) bulan pengamatan dengan usia pohon 8
tahun dari 5-27 cm setinggi dada, maka pembentukan kalusnya bervariasi antara 3.57 - 4.36
cm atau sekitar 60-73% dari lebar sayatan atau pengulitan.

15.11. Pustaka

Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 2006. Strategi Pengembangan minyak atsiri
Indonesia. Hal.13-14.
Edris, A.E. 2007. Pharmaceutical and Therapeutic Potentials ofEssential Oils and Their
Individual VolatileConstituents: A Review. Phytotherapy research 21 Hal.308-
323.
Faperta, Uncen.1993. Laporan penelitiaan Lanjutan Budi daya Pohon lawang di kabupaten
Dati II Manokwari, Sorong dan Fakfak. Kerja sama Dinas Kehutanan Provinsi
Dati I Irian Jaya dan Faperta Uncen Manokwari (tidakditerbitkan)
Guenter, E.1948. The Essential Oils. Volume I. History – Origin in Plants- Production –
Analysis. Van Nostrand Reinhold Company, Inc. New York.
Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. PN. Balai Pustaka. Jakarta.
Pakpahan, E.R. 1993. Pengujian Beberapa Komponen Kualitas Minyak Kayu Putih
(Melaleuca cajuputi) asal Taman Nasional Wasur Merauke Irian Jaya. Skripsi
Sarjana Kehutanan pada Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas
Negeri Cenderawasih. Manokwari (tidak diterbitkan).

Hasil Hutan Bukan Kayu


208
Pujiart, R., Y. Ohtani., H. Ichiura. 2011. Physicochemical properties and chemical
compositions of Melaleuca leucadendron leaf oils taken from the plantations in
Java, indonesia. Journal of Wood Science 57 Hal.446-451.
Sasegawa, M., K. Hori., M. Yatagai.2003. Composition and antitermite activities of essential
oils from Melaluca species. Journal of Wood Science 49 Hal.181-187.
Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-3954-2006. Minyak Kayu Putih. Bandar Standarisasi
Nasional.
Tokede, M.J., C.M.E. Susanti.2002. Teknik Pemanenan berkelanjutan Kulit pohon Lawang
(Cinnamomum culilawane Bl.). Bulletin Beccariana Vol.4 (1) Hal.15-19.
Trianto, R.G.N., C.M.E. Susanti.2007. Kandungan Bahan Aktif Kayu Kulilawang
(Cinnamomum culilawane Bl.) dan Masoi (Cryptocariamassoia). Julnal Ilmu &
Teknologi kayu Tropis. Vol.5(2) Hal.82-95.
Utomo, P.S.2002. Beberapa informasi tentang minyak lawang di Papua. Bulletin Matoa 12
Hal.46-50.

Hasil Hutan Bukan Kayu


209
BAB 16

KIMIA BAHAN ALAM


(NATURAL PRODUCTS OF CHEMISTRY)

16.1. Pendahuluan

Pada pokokbahasan yang ke enambelasini, topik dari hasil hutan bukan kayu adalah
kimia bahan alam. Kimia bahan alam adalah cabang ilmu kimia organik yang memfokuskan
kajiannya pada komponen atau senyawa kimia yang diperoleh atau isolasi dari tumbuhan.
Penelitian kimia bahan alam meliputi identifikasi, isolasi dan penentuan struktur, uji
pharmakologi serta aktivitas biologisdari beberapa senyawa alam organik dari tumbuhan
tingkat rendah sampai dengan tumbuhan tingkat tinggi. Karena hampir sebagian besar
bahannya diperoleh dari tumbuh-tumbuhan, maka cabang ilmu yang mempelajarinya sering
dikenal dengan istilah Fitokimia (Phytochemistry).
Penelitian-penelitian dibidang kimia bahan alam memerlukan ketelitian, keuletan,
kesabaran, dan keahlian yang tinggi.Penelitian ini juga memerlukan prosedur yang baku,
biaya yang relatif tinggi, dan ketelitian, terutama dalam mencari eluenya atau keseaian
pelarutnya.
Pada akhir pelajaran ini para pembaca diharapkan memiliki kemampuan untuk:
1. Menjelaskan definisi produk hasil hutan bukan kayu golongan kimia bahan alam dan
memahami alasan pengelompokkan komoditas tersebut dalam kelompok hasil hutan
bukan kayu;
2. Menginventarisai beberapa tumbuhan yang diperkirakan memiliki potensi hasil hutan
bukan kayu kimia bahan alam;
3. Menjabarkan beberapa manfaat hasil hutan bukan kayu kimia bahan alam dari berbagai
perpektif ilmu, kesehatan, ekonomi, ekologi dan lingkungan serta keanekaragaman
hayati.

16.2. Ethnobotani, Ethnopharmakologi, dan Kearifan Lokal (Indigenous Knowledge)

16.2.1. Kearifan lokal (Indigenous knowledge)

Kearifan lokal atau pengetahuan traditional adalah istilah yang sangat populer untuk
mendiskripsikan beberapa praktek tradisional pada suatu daerah oleh suatu masyarakat lokal.
Kearifan lokal dalam bahasa inggris sering disebut juga dengan indigenous knowledge.
Sehingga pengertian kearifan lokal adalah segala pengetahuan, inovasi, tata cara, nilai dan
norma-norma dari penduduk lokal yang berkaitan dengan sistem pertanian, pengobatan
traditional, pemanfaatan tumbuh-tumbuhan, sosial budaya, pengelolaan lingkungan dan
sumber daya alam yang telah turun temurun berlaku dalam sistem kehidupannya. Khusus
dalam pokok bahasan ini, kita hanya akan memfokuskan pada pengetahuan/kearifan lokal
tentang pemanfaatan tumbuh-tumbuhan sebagai obat-obatan tradisional (herbal drugs) dan
sumber makanan fungsional (funcional foods).
Makanan dan minuman yang kita konsumsi, tidak hanya ditujukkan untuk memenuhi
kebutuhan dari rasa lapar dan dahaga, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan gizi, nutrisi dan
fungsi biologis lainya bagi tubuh kita. Sumber-sumber makanan ini yang disitilahkan dengan
makanan fungsional. Contohnya adalah minuman teh, selain untuk mengatasi rasa dahaga,
tetapi juga untuk mencegah adanya reaksi radikal bebas dalam tubuh kita, yang akan
memacu timbulnya penyakit-penyakit degeneratif. Dalam hal ini, teh berfungsi sebagai
senyawa antioksidan, inflammatory dan sebagainya.

Hasil Hutan Bukan Kayu


210
Data dan informasi yang diperoleh dari penelitian kearifan lokal tentang makanan,
nutrisi dan kesehatan adalah merupakan informasi awal yang sangat berharga dan
bermanfaatan untuk penelitian obat-obatan modern (Janardan dan George, 2006).
Pengetahuan tentang kearifan lokal dari berbagai ethnik atau suku bangsa perlu
didokumentasikan dan dikaji lebih lanjut untuk tujuan ilmu pengetahuan secara luas. Khusus
tentang kearifan lokal pemanfaatan tumbuh-tumbuhan untuk pengobatan, maka beberapa
informasi yang sangat mendasar seperti identitas tumbuhan, bagian tumbuhan yang
dimanfaatkan, cara menyiapakan tumbuhan obat (ekstraksi), mengenali jenis atau gejala
penyakit, menentukan dosis, menentukan ramuan obat-obatan herbal, sampai kepada
menjaga kualitas obat herbal (quality kontrol) yang diperjual belikan. Informasi-informasi
tersebut sangat diperlukan dan bermanfaat untuk menunjang pengembangan obat-oabatan
herbal khususnya.

16.2.2. Ethnobotani

Secara sederhana ethnobotani dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari


pemanfaatan tumbuh-tumbuhan oleh suatu kelompok masyarakat (ethnik) tertentu. Hal ini
didasarkan pada fakta bahwa setiap kelompok masyarakat, memiliki tata cara dan kebiasaan
masing-masing dalam memanfaatan potensi tumbuh-tumbuhan yang ada di sekelilingnya
untuk berbagai tujuan, seperti makanan, sayur-sayuran, bahan perumahan, obat-obatan
tradisional, bahan pewarna makanan, pewarna barang seni, penambah rasa makanan, bumbu
makanan, racun untuk berburu, dan bahkan untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat relegius
keagamaan atau magig. Pada saat ini, study dari ethnobotani bertujuan bukan hanya sekedar
mencatat dan mendokumentasikan pemanfaatan dan pengetahuan lokal tentang tumbuh-
tumbuhan, akan tetapi telah berkembang menjadi sumber pencarian untuk komponen-
komponen kimia baru yang memiliki banyak manfaat dan fungsi, seperti aktifitas biologi dari
komponen kimia tersebut dan aktifitas pharmakologinya.
Berawal dari studi ethnobotani kearifan lokal pada berbagai daerah, maka jenis dan
bagian tumbuh-tumbuhan untuk obat-obatan dapat diidentifikasi, dan selanjutnya menjadi
bahan baku penelitian lanjutan untuk kimia bahan alam (Janardan dan George, 2006). Hal ini
didukung oleh berbagai fakta bahwa beberapa komponen atau senyawa kimia baru yang
berhasil diisolasi lewat penelitian kimia bahan alam berawal dari studi ethnobotani (Fakim,
2006).

16.2.3. Ethnopharmakologi

Ethnopharmakologi adalah ilmu yang mempelajari kearifan lokal dari penduduk


setempat dalam pemanfaatan tumbuh-tumbuhan, baik secara utuh ataupun bagiannya, untuk
tujuan pengobatan dan kesehatan. Ethnopharmakologi bersifat multidipliner atau melibatkan
berbagai latar belakang ilmu. Dalam ethnopharmakologi, penelitian tentang identifikasi
tumbuhan, diskripsi tumbuhan, observasi penyakit atau gejala penyakit menurut pengertian
penduduk lokal perlu didiskripsikan dengan jelas menurut kaidah-kaidan ilmu secara umum.
Selanjutnya hasil dari investigasi berbagai resep tradisional dari ethnopharmakologi tersebut,
dilakukan uji coba di laboratorium, baik dengan in vitro maupun in vivo dengan
menggunakan hewan model.
Informasi, data dan pengetahuan tentang kearifan atau pengetahuan lokal melalui
ethnobotani dan ethnopharmakologi akan sangat bermanfaat dan sebagai modal awal untuk
penelitian pengembangan obat-obatan modern. Hal ini dikarenakan bahwa hampir semua
obat-obatan modern dikembangkan dari penelitian lanjutan dari ethnobotani dan
ethnopharmakologi.

Hasil Hutan Bukan Kayu


211
16.3. Kimia Tumbuhan (Phytochemistry)

Phytochemistry adalah ilmu ysng memperlajari komponen atau senyawa kimia yang
diperoleh dari tumbuh-tumbuhan, meliputi isolasi, pemisahan, dan penentuan struktur dari
senyawa kimia yang diisolasi tersebut. Dalam bahasa indonesia, phytochemistry dapat
diartikan sebagai fitokimia. Sehingga fitokimia atau kimia tumbuhan adalah kombinasi
antara ilmu kimia organik, bahan alam dan biokimia tumbuhan. Menurut de Padua dkk
(1999) fitokimia dapat didefinisikan sebagai kimia dari metabolit tanaman dan turunannya.
Proses metabolisme kimia pada tumbuhan secara garis besarnya dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu metabolisme primer dan metabolisme sekunder. Metabolisme adalah proses kimia
yang terjadi di dalam tumbuhan secara alami, yang hasilnya dinamakan dengan metabolit,
sehingga dikenal dengan nama metabolit primer dan metabolit sekunder.
Metabolisme primer adalah proses, reaksi dan sintetis kimia yang berkaitan erat dengan
proses metabolisme utama yang pada semua tumbuhan, seperti peristiwa fotosintesis
(Fotosintesis), siklus pentosa (pentose cycle), glykolisis (Glykolysis), transport elektron
(electron transport), siklus asam sitrat (the citric acid cycle), fosforilasi (phosphorylation)
dan beberapa peristiwa biokimia lainnya. Dari metabolisme primer tersebut menghasilkan
metabolit primer. Metabolit primer diproduksi dalam wujud molekul, yang dipergunakan
untuk proses katabolisme (sintesis makromolekul), seperti seperti karbohidrat, lipid, protein
dan asam nukleat. Produk metabolit primer ini yang dipergunakan untuk membangun,
merawat, memperbaiki dan menproduksi sel makhluk hidup, yang dalam hal ini adalah
tumbuh-tumbuhan.
Metabolisme primer dan sekunder saling berkaitan satu sama lain, yang mana
biosintesis akumulasi metabolit sekunder dapat merupakan jalan balik dari metabolit primer.
Produk dari metabolit primer hampir sama pada setiap tumbuh-tumbuhan. Akan tetapi,
sangat kontras dengan metabollit primer, metabolit sekunder dapat mempresentasikan
gambaran akan keberagaman ekologi, taksonomi, perbedaan dan keberagaman biokimiawi.
Biosintesis dan akumulasi dari metabolit sekunder memberikan sebuah landasan dalam
biokimiawi (biochemical systematics) dan kimia sistematik (Chemosystematics). Sehingga
pada akhir akhir ini timbulah istilah baru, yaitu penggolongan taksonomy tumbuhan
berdasarkan komponen metabolit sekundernya. Disiplin ilmu ini yang kemudian dikenal
dengan nama Kemotaksonomi
Keberagaman molekuler dari metabolit sekunder dalam kerajaan tumbuhan
mempresentasikan akan kekayaan biodiversitas tumbuhan, khususnya dalam tantangan untuk
menemukan obat - obatan modern. Hal ini tidak hanya berlaku untuk material tumbuhan itu
sendiri, tetapi juga kandungan aspek biologi molekuler dan biokimiawi dari tumbuhan akan
memberikan petunjuk kajian akan pengembangan obat-obatan modern selanjutnya.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, penggolongan metabolit primer dan sekunder
mengacu kepada perbedaan yang mendasar terhadap struktur kimia dari komponen kimianya.
Metabolit primer terdiri atas karbohidrat, protein, lipids, asam amino, peptida, protein,
enzim, purin, pirimidine dan produk-produk turunannya. Secara umum, metabolit primer
pada kebanyakan adalah golongan dari empat makromolekul atau biomolekul yaitu golongan
dari krabohidrat, protein, lipids dan asam nukleat.Sedangkan metabolit sekunder lebih
banyak dalam jenis dan keberagaman struktur molekuler dibandingkan dengan metabolit
primer. Menurut struktur dasar dan proses sintesisnya, metabolit sekunder dapat
dikelompokkan ke dalam tiga grups besar, yaitu golongan alkaloid, golongan phenol dan
terpenoid. Sedangkan berdasarkan karaktereristik atau gugus penyusunya, sekondary
metabolit dapat dikelompokkan ke dalam enam kelas, seperti terpenoids, phenolic, lemak dan
minyak (fats and oils), alkaloids, senyawa gula (saccharides), dan golongan lain, seperti yang
mengandung sulfur (S), dan sejenisnya.
Kajian utama dari fitokimia adalah aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan
ditimbun oleh tumbuhan seperti penentuan struktur kimia, biosintesisnya, fungsi biologinya,

Hasil Hutan Bukan Kayu


212
metabolisme dan penyebarannya secara alamiah. Sehingga dikenal dengan metode isolasi
(isolation), pemisahan (separation), pemurnian (purification), dan identifikasi
(identification) struktur molekulnya.
Arbain (2004) melaporkan bahwa berdasarkan hasil survey dan inventarisasi fitokimia
selama 20 tahun terhadap 120 jenis tumbuhan dari Sumatra, telah berhasil diisolasi dan
diidentifikasi lebih dari 30 senyawa baru dan 120 senyawa kimia yang telah dikenal.
Senyawa senyawa baru tersebut di antaranya adalah bukitingin yang ditemukan pada
tanaman Sapium baccatum, 15 α-metoksidihirofilokrisindan margaritarin dari tumbuhan
Silalak kulik (Margaritaria indica) dan AM-1 dan AM-2 dari tumbuhan Bonai (Antidesma
montana). Diperkirakan banyak tumbuhan Sumatra tersebut yang mengandung senyawa
kimia tertentu seperti antibiotika yang dapat dimanfaatkan untuk menghalangi pertumbuhan
atau membunuh mikroba dan jamur.
Seperti pada mikroba endofit, pada hutan tropis sumatra juga terdapat simbiosis antara
tumbuhan hutan dengan mikroba dan jamur yang dapat menghasilkan beberapa senyawa
kimia yang memiliki fungsi berragam dari menghalangi, atau mengusir, dan membunuh
organisme lain yang mengganggu tumbuhan inang. Selain itu tumbuhan juga dapat
memproduksi senyawa tertentu untuk menarik suatu organisme tertentu dalam membantu
proses pertumbuhan dan perkembangan dari tumban tersebut seperti penyerbukan dan
perkembangbiakan. Senyawa ini yang secara umum dinamakan dengan feromon.

16.4. Kimia Senyawa Aktif Biologis Tumbuhan

Senyawa murni yang diisolasi dari tumbuhan setelah ditentukan rumus struktur dan
namanya selanjutnya dilakukan uji laboratoris dan uji klinis. Uji aktivitas biologis adalah
istilah lain dari uji klinis. Uji aktivitas biologis dari ekstrak tumbuhan yang telah diisolasi
dilakukan untuk mengetahui aktivitas nyata dari senyawa baru tersebut.
Tumbuhan Ophiorrhiza cf rosacea dari family Rubiaceae berdasarkan ujiaktivitas
biologis memperlihatkan aktivitas yang nyata vasodilator pada skrining hipokratik. Senyawa
yang berhasil diisolasi dari tumbuhan ini adalah Alkaloid harman yang terkenal memiliki
berbagai aktivitas biologis dan senyawa alkaloida asam liolisidat dengan kadar yang cukup
tinggi. Tumbuhan Air Sirah (Ophiorrhiza spp) diperoleh dua senyawa yangberhasil diisolasi
yaitu alkaloid tetrahidroalstonin dan valesiakotamin yang memperlihatkan efek analgetik dan
relaksasi otot yang nyata pada skrining hipokratik, (Arbain, 2004).
Aminah dkk (2004) melaporkan bahwa metabolit sekunder yang diketemukan pada
family dipterocarpaceae terdiri atas senyawa fenol seperti golongan oligostilbenoid,
flavanoid, fenil propanoid dan turunan asam fenolat dan beberapa senyawa non fenol seperti
terpenoid.

16.5. Keanekaragaman Hayati Tanaman Obat-obatan

Dewasa ini diperkirakan lebih dari 25 % resep obat yang beredar di negara-negara maju
mengandung senyawa kimia yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan. Selama periode 1989 –
1995 diasumsikan lebih dari 60 % obat kanker dan obat infeksi yang telah beredar atau dalam
proses izin beredar diperoleh dari sumber-sumber hayati baik dari flora maupun fauna. Pada
tahun 1992 delapan belas (18) dari 42 obat baru yang masuk ke pasaran diperoleh dari
sumber alam hayati. Hampir dipastikan setiap jenis obat berasal dari senyawa kimia bahan
alam sebagai prototipe.
Dalam jangka panjang pengembangan obat dari sumber daya alam hayati dilakukan
melalui tiga tahapan proses yaitu:

Hasil Hutan Bukan Kayu


213
Tahap Pertama. Pada tahap ini dilakukan eksplorasi tentang pengetahuan empirik dari
obat tradisional, seperti tumbuhan obat dan ramuat obat. Hal ini dapat diperoleh dengan
cara mempelajari literature kuno dan mempelajari resep yang dirahasiakan.
Tahap Kedua. Tahap ini diawali dengan melakukan Riset dan sistematisasi dari obat
tradisional menjadi obat herbal yang disempurnakan, sehingga berkhasiat, aman dan
berkualitas berrdasarkan mutu pengamatan klinis.
Tahap Ketiga. Pada tahap ini sudah meliputi pengembangan obat modern yang diawali
oleh penelitian multi disiplin untuk menemukan senyawa bioaktif. Penelitian ini
melibatkan berbagai tahapan seperti kemos sistematik (botani), senyawa bioaktif dan
modifikasi molekul (kimia), khasiat, toksisitas, stabilitas, dan cara kerja (farmakologi),
percobaan klinik, Ratifikasi dan industri.

16.6. Bahan Obat-obatan dari Tumbuhan Tropis

Syah (2004) telah mengidentifikasi beberapa komponen bioaktif tumbuhan yang


dimanfaatkan sebagai obat-obatan yang ber sumber dari hutan tropis, yang telah berhasil
ditentukan struktur molekulnya dan uji aktivitas medisnya, seperti tercantum dalam Tabel
16.1

Tabel 16.1. Beberapa senyawa bioaktif tumbuhan hutan tropis, sumber tumbuhan
penghasilnya dan kategori terapinya

Senyawa Sumber tumbuhan Kategori Terapi


bioaktif
Kuabin Strophantus gratus (Hook) Baill Kardiotonik
(Apocynaceae)
Papain Carica papaya L (Caricaceae) Probiotik, mukolitik
Rotenon Lanchocarpus nicau (Autbl) Bl (Leguminosae) Pestisida
Resinamin Rauwolfia serpentina (L) Benth ex Kurthz Antihipertensif,
(Apocynaceae) penenang
Vinblastin Catharantus roseus (L) G.Don (Apocynacea) Antitumor
Vinkistin Catharantus roseus (L) G.Don (Apocynacea) Antitumor
Sumber : Syah (2004)

16.7. Grup Metabolit Sekunder

Metabolit sekunder menghasilkan komponen bahan bioaktif yang sangat beragam dan
dalam jumlah yang sangat banyak. Hal ini dikarenakan hampir setiap jenis tumbuhan
menghasilkan senyawa yang khas untuk jenisnya sendiri. Keunikan tersebut, makanya
dikenal dengan penggolongan taxonomy tumbuhan berdasarkan komponen kimia bioaktifnya
atau kandungan metabolit sekundernya.Karena alasan keberagaman tersebut, maka
pembahasan metabolit sekunder tidak dapat dibahas semuanya, hanya dari kelompok yang
dianggap penting.
Bagi tumbuhan, metabolit sekunder memiliki fungsi yang beragam. Fungi tersebut
misalnya untuk bahan perlindungan diri bila diserang oleh jamur, serangga atau penerang
lainnya, untuk menarik serangga dalam membantu proses penyerbukan, signal untuk
regenerasi dan sebagainya.

Hasil Hutan Bukan Kayu


214
16.7.1. Alkaloid

De Padua dkk (1999) mendefinisikan golongan alkaloid adalah komponen yang


diperoleh dari tumbuhan yang memiliki satu atau lebih atom nitrogen (biasanya dalam
bentuk ring heterosiklik) dan umumnya memiliki efek psikologis terhadap manusia atau
hewan. Peneliti lain mendefinisikan alkaloid sebagai bagian penting dari kelompok
metabolik sekunder yang mengandung nitrogen dengan substansai dasar adalah seperti alkali
(basa) dari alam. Untuk menghindari kerancuan definisi tersebut, kemudian dibuatlah suatu
definisi yang lebih sempit tentang alkaloid yaitu suatu senyawa oraganik siklik yang
mengandung nitrogen dalam keadaan okdisasi negatif, yang memiliki distribusi terbatas
dalam makhluk hidup.
Berdasarkan strukturnya, alkaloid dikelompokkan ke dalam group bukan kelompok
heterociklik alkaloid (non-heterocyclic alkaloids) dan heterosiklik alkaloid (heterocyclic
alkaloids). Di dalam tumbuhan alkaloid dipercayai berfungsi sebagai limbah produk atau
produk sampingan dan sumber nitrogen. Tetapi alkaloid juga berperan sebagai zat proteksi
tumbuhan, perkecambahan (germination) dan perangsang pertumbuhan tanaman. Alkaloid
umumnya ditemukan lebih banyak pada golongan tumbuhan dari jenis berbiji tertutup atau
dikotil (dicothyledons) dibandingkan tumbuhan berbiji terbuka/monokotil (monocothyledon).
Famili-family tumbuhan yang kaya mengandung senyawa alkaloid seperti Amaryllidaceae,
Liliceace s.l., Apocynaceae, Berberidaceae, Leguminoceae, Papaveraceae, Ranunculaceae,
Rubiaceae dan Solanaceae.
Senyawa alkaloid terdapat pada hampur seluruh bagian tumbuhan seperi akar, kulit
batang/pohon, daun dan biji tumbuhan. Bahan alkaloid sebagain besar dimanfaatkan dalam
industri farmasi/obat-obatan sebagai obat penyembuh dan penenang. Dua komponen alkaloid
yang berbeda satu sama lain adalah Alkaloid dan Pseudoalkaloid. Hal tersebut tergantung
dari mana produk tersebut didapat dari tumbuhan. Kebanyakan alkaloid memiliki peranan
yang signifikan dalam bidang farmasi, seperti morphine untuk bahan analgesik, codeine
untuk terapi batuk, colchine bermanfaat untuk encok/pegal-pegal, quinine sebagai zat anti
malaria dan quinidine sebagai anti rematik.
Salah satu alkaloid yang sangat terkenal adalah kina, yang diperoleh dari kulit tanaman
Kina (Cinchoma succirubra Pavon) family rubinaceae. Diperkirakan terdapat kurang lebih
ada 40 varietas Cinchoma. Bahan kimia ini diperoleh dari proses ekstraksi kulit batang/pohon
kina, yang mengandung 5-8 % alkaloid dengan komponen utamanya adalah Quinine,
Cindronine, Cindronidine dan Quinidine. Kegunaan dan khasiat dari kina adalah obat
antipirestik yang mempengaruhi pusat pengatur suhu pada otak, aritmia jantung oleh stimulat
pahit sebagai obat malaria.

16.7.2. Golongan Terpenoid

Terpenoid adalah golongan kimia bahan alam yang disusun oleh beberapa unit isoprene.
Sehingga terpenoid dapat dogolongkan berdasarkan jumlah unit dari isoprene penyusunnya.
Misalnya hemiterpene hanya tersusun dari 1 isoprene, monoterpene bila terdapat 1 isoprene,
sesquiterpene mengandung 3 unit isoprene, dan seterusnya. Diterpen, sesterpene, triterpene,
dan tetraterpen bila mengandung 4, 5, 6, 7, dan 8 unit isoprene dalam struktur molekulnya.
Komponen kimia penyusus minyak atsiri sebagain besar terdiri atas golongan
ternpenoid. Bagi tumbuhan, terpenoid memiliki fungsi seperti racun terhadap gangguan
ekologi, antimikroba, penghasil aroma, penyedap rasa, dan juga repellent terhadap serangga.
Beberapa jenis terpenoid, juga berperan dalam proses metabolisme primer pada tumbuh-
tumbuhan, khususnya yang berkenaan dengan hormon tumbuh (growth regulator), seperti
giberallin dan asam abscicic.

Hasil Hutan Bukan Kayu


215
16.7.3. Golongan Phenol

Golongan phenol adalah senyawa kimia bahan alam yang memiliki minimal 1 gugus
aromatik dengan gugus hidroksil. Golongan phenol dapat berupa senyawa sederhana dengan
berat molekul yang rendah seperti asam benzoat dan coumarin, sampai pada senyawa yang
berbobot molekul tinggi seperti golongan flavanoid, stilbene, dan bahkan tannin. Khusus
untuk flavanoid, berdasarkan struktur penyusunya dapat dikelompokkan ke dalam chalcone,
falvones, flavanols, flavanone, isoflavones, flava-3.nol, anthocyanidine dan juga aurones
(Theis dan Lerdau, 2003).
Senyawa golongan phenol banyak ditemukan alam tumbuh-tumbuhan, dan sampai saat
ini kurang lebih sekitar 10 000 senyawa telah berhasil diisolasi, dan dilaporkan struktur
molekulnya (Kennedy dan Wightman, 2011). Dari golongan tersebut, kelompok flavanoid
yang terbesar jumlahnya, yaitu sekitar 6000 jenis senyawa.
Bagi tumbuhan, golongan senyawa phenol berperan dalam proses simbiosis antara
tumbuhan dan serangga, memberi warna pada tumbuhan seperti daun, bunga, memberikan
aroma untuk menarik serangga untuk membantu proses penyerbukan, dan bagian pertahanan
dari tumbuhan untuk melindungi dari penyakit, termasuk serangan nematoda pada akar
tumbuhan (Mozid dkk, 2011).

16.8. Pustaka

Aminah, N.S., A.Suminar., E.H. Hakim., L.D.Juliawaty., E.L.Ghisalberti., Y.M Syah. 2003.
Beberapa Senyawa Oligostilbenoid dari Kulit batang Shorea seminin. The
Indonesian Society of Natural Products Chemistry. Vol. 4 (1) Hal: 27-34
Arbain, D. 2004. Dua Dekade Penelitian Kimia Tumbuhan Sumatra. The Indonesian Society
of Natural Products Chemistry. Vol. 4 (1) Hal:1-12.
De Padua. L.S., N. Bunyapraphatsara., R.H.M.J. Lemmen (editorr). Medicinal and poisonous
plant 1. Plant Resources of South-East Asia. No. 12 (1). Prosea. Bogor.
Indonesia.Forestry, The State university of Papua, Manokwari (in Indonesian).
pp. 12-18.
Fakim, A.G. 2006. Medicinal plants :Traditions of yesterdayand drugs of tomorrow.
Molecular aspects of medicine 27:1-93.
Janardhanan, K. K., and V. George, 2006. Ethnopharmacology and alternative medicine.
Current science 90(11) Hal.1460 – 1461.
Kennedy, D.O and E.L. Wightman, 2011. Herbal extract and the enhancement of human
brain function. Advances in Nutrition an International Review Journal 2:32-50.
Mozid, M., T. A. Khan., and F. Mohammad, 2011. Role of secondary metabolites in defend
mechanism of plants. Biology and medicine 3 (2): special issue: Hal. 232 -249.
Syah, Y.M., 2004. Metode Isolasi Kimia Bahan Alam. Materi Pelatihan Kimia bahan Alam
di FMIPA Unipa Manokwari. Kerja sama FKSU dan FMIPA UNIPA (tidak
diterbitkan).
Theis, N and M, Lerdau, 2003. The evolution of function in plants secondary metabolites.
International Journal of Plant Science 164 (3 suppl.) Hal. S93-S102.

Hasil Hutan Bukan Kayu


216
BAB 17

BUAH MERAH (PANDANUSCONODIEUSLAMK)

17.1. Pendahuluan

Salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu endemik Papua yang cukup banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat asli sebagai sumber lemak nabati adalah Buah Merah
(Pandanus conoideus L). Saat sekarang ini komoditas buah merah telah menjadi bahan kajian
oleh berbagai instansi pemerintah, baik dari dinas kesehatan, pertanian, perkebunan,
kehutanan bahkan sosial dan pemberdayaan masyarakat.
Penggunaan dan pemanfaatan buah merah oleh orang Papua telah turun-temurun, dan
pada kenyataannya memberikan banyak manfaat, tidak hanya bagi kesehatan, dan kecukupan
gizi makanan, tetapi juga berkenaan dengan pendapatan tambahan dari usaha penjualan
komoditas buah merah. Mengingat perannya yang sangat besar tersebut, maka komoditas
buah merah dibahas dalam bab tersendiri pada pokok bahan ini.
Setelah mempelajari pokok bahasan buah merah ini, diharapkan para pembaca memiliki
kemampuan untuk :
1. Melakukan identifikasi tentang potensi buah merah, manfaat dan teknologi pengolahan
buah merah
2. Mendefinisikan manfaat buah merah ditinjau dari aspek kesehatan, sosial ekonomi dan
pemberdayaan masyarakat.
3. Merancang penggunaan tanaman buah merah sebagai tanaman konservasi pada lahan-
lahan marginal
4. Membuat rencana pengembangan diversifikasi produk-produk yang dapat dibuat dari
pemanfaatan buah merah

17.2. Botani Buah Merah (Pandanus conoideus L.)

Buah Merah (Pandanus conoideus L.) berasal dari famili Pandanceae, genus Panadanus
dan spesies conoideus. Buah merah merupakan tumbuhan bercabang dan dapat mencapai
tinggi antara 3-15 M, memiliki diameter batang berkisar antara 4,5 – 30 cm, dengan bentuk
daun memanjang dengan ukuran 5,3-9,5 cm (lebar) x 88-124 cm (panjang) dan memiliki tepi
daun berduri. Panjang buah merah rata-rata berkisar antara 30 – 100 cm, dengan diameter
antara 10-20 cm, sedangkan tandan buah berupa bonggol, dengan panjang 30-40 cm, yang
tersusun dari banyak buah batu kecil-kecil, berkelompok secara padat, memiliki perikarp
berwarna merah, endokrapnya kecil dan relatif tipis, Stone (1997). Gambar 17.1 adalah profil
tanaman buah merah yang telah dibudidayakan di Kampus Universitas Negeri Papua oleh
salah satu dosen pada jurusan pemulian tanaman pada Fakultas Pertanian dan Teknologi
Pertanian telah menghasilkan suatu tegakan dengan jarak tanam 5 m x 5 m dan telah
berbuah. Karakteristik umum dari buah merah adalah bahwa dari setiap percabangan
menghasilkan satu buah (pada umumnya).

Hasil Hutan Bukan Kayu


217
Foto : Wahyudi (2007)
Gambar 17.1. Tegakan buah merah (Pandanus coneideus L) (sebelah kiri) dan posisi buah
pada batang pohon (sebelah kanan)

Sadsoeitoboen (1999) mengemukakan bahwa secara umum buah merah


(Pandanusconeideus L) dapat dibedakan menjadi empat kultivar yaitu kultivar merah
pendek, merah coklat, merah panjang dan kuning. Tetapi masyarakat Moskona di Distrik
Merdey, mengelompokkan kulitivar buah merah menjadi 28 kultivar, yang dikelompokkan
berdasarkan ciri-ciri pertumbuhan, ukuran buah dan warna buah, ukuran biji, bulan panen
dalam satu tahun dan pemanfaatannya, (Orocomma, 2002) seperti dikutip oleh Tethool
(2005). Masyarakat suku Hatam di kampung Nuhwey membedakan buah merah menjadi 20
kultivar yang dibedakan berdasarkan ukuran buah, kandungan lemak, bentuk pohon dan
daun, Indou (2002). Sedangkan Hadad dkk (2005) seperti yang dikutip oleh Limbongan dan
Malik (2009) menyatakan bahwa berdasarkan warna, ukuran, dan bentuk buahnya, buah
meah dikelompokkan ke dalam empat tipe yaitu buah merah panjang, buah merah pendek,
buah merah kecoklatan, dan buah kuning. Sedangkan berdasarkan aksesinya yang
dikembangkan, dibudidayakan, dan disukai oleh masyarakat, kemudian dikelompokkan ke
dalam 6 aksesi, yaitu Maler, Mbarugum, Ibagaya, Kuanggo, Kenen, dan Muni. Menteri
pertanian telah menetapkan aksesi Mbarugum sebagai buah merah unggulan, berdasarkan SK
Mentan No.161/Kpts/SR.120/32006, pada tanggal 6 maret 2006.

17.3. Budi Daya Buah Merah

Tanaman buah merah dapat dibudidayakan dengan mudah, baik secara generatif
maupun secara vegetatif. Budi daya buah merah pada saat ini mulai digalakkan di tanah
Papua, khusunya untuk tanah-tanah marginal dan sekaligus program gerakan rehabilitasi
lahan dengan melibatkan peran aktif langsung dari komunitas masyarakat lokal.
Pembibitan tanaman buah telah banyak dilakukan oleh perorangan untuk mendukung
program pemerintah daerah dan adanya permintaan komoditas buah merah yang terus
meningkat. Tanaman buah merah sudah dapat mulai berproduksi pada umur sekitar 2 tahun
(komunikasi pribadi dengan bapak Marthen Kirihio, gambar 17.2 sebelah kanan).

Hasil Hutan Bukan Kayu


218
Foto: Wahyudi (2007)
Gambar 17.2. Anakan buah merah yang tealh siap panen dan pohon buah merah yang telah
berumur 2 tahun

17.4. Pemanfaatan Buah Merah secara Tradisional

Di Papua, pemanfaatan buah merah terutama di Jayapura, Manokwari, Nabire dan


Wamena telah berlangsung secara turun temurun. Penduduk lokal Papua memanfaatkan buah
merah sebagai sumber lemak nabati yang memiliki nilai gizi yang cukup tinggi. Masyarakat
mengkonsumsi buah merah dengan cara mengekstrak minyak yang terkandung di dalamnya,
melalui pemasakan dan mencampurkan hasil masakan tersebut dengan makanan sumber
karbohidrat lainnya, seperti uni, sagu dan kentang. Pada beberapa kasus, hasil pemasakan
buah merah juga dapat langsung dikonsumsi dengan mencampunya dengan sayuran hijau
lainnya.
Tingkat konsumsi buah merah oleh penduduk asli Papua yang telah berlangsung
secara turun temurun tersebut dapat di ketahui dari berbagai fakta dan pengalaman praktis
dilapangan bahwa, orang asli Papua memiliki fisik yang kuat dalam beradaptasi dengan
lingkungan alam sekitarnya, berbadan sehat, jarang (hampir tidak) terkena penyakit orang
perkotaan seperti kanker, stroke, demam, sakit mata dan infeksi saluran pernapasan (ISPA),
khususya bagi mereka yang mengkonsumsi buah merah secara rutin. Buah merah dijual di
pasar-pasar tradisional di Manokwari dan sekitarnya dijual dalam dua bentuk, yaitu masih
berbentuk buah seperti ditunjukkan oeh Gambar 17.3, dan yang sudah berbentuk minyak
hasil ekstraksi. Kebanyakan masyarakat lokal mengekstrak minyak buah merah denga cara
merebus dalam wajan seperti halnya minyak kelapa sehingga kualitas minyak yang
dihasilkan, seperti kemurniannya masih belum optimal.

Foto: Wahyudi (2007)


Gambar 17.3. Buah merah yang dijual di pasar lokal Manokwari dan sekitarnya, dijual
berdekatan dengan komoditas lokal lainnya (ubi kayu)

Hasil Hutan Bukan Kayu


219
Warna merah pada buah merah adalah indikator bahwa buah merah memiliki kandungan
karoten yang sangat tinggi, yang menghasilkan antioksidan dan bersifat anti kanker dan
komponen tokoferol dari vitamin E, Sadsoeitoboen (1999). Dilaporkan juga bahwa
komponen bioaktif buah merah seperti β-karoten dapat mencapai 12.000 ppm atau 12 kali
lebih tinggi dari minyak kelapa sawit (palm oil). Beberapa sumber juga menyatakan bahwa
β-karoten berfungsi sebagai obat pencegah kebutaan, gangguan gondok, penyakit mata,
penyakit kulit dan bahkan obat anti kanker. Lebih lanjut dikatakan bahwa buah merah telah
terbukti dapat menyembuhkan penyakit kanker otak, flek paru-paru pada bayi, kanker
panyudara, kanker kandungan, sakit mata, mencegah kebutaan, penyakit jantung, paru-paru,
lemah dan letih lesu. Akan tetapi belum ada uji laboratoris dan uji klinis tentang berbagai
manfaat yang telah disebutkan di atas.
Berbagai penelitian dan kajian yang telah dilaksanakan baik oleh penelitian perorangan
maupun oleh departemen kesehatan, buah merah sangat cocok untuk dijadikan sumber
alternatif sumber pangan nabati, bahan baku farmasi, pewarna makanan, kosmetika jamu dan
minyak nabati yang rendah kolesterol. Beberapa penelitian tentang beberapa karakteristik
dasar dari minyak buah merah, seperti sifat fisiko-kimia, pemurnian, dan kandungan gizinya
telah dilakukan oleh beberapa peneliti dari berbagai instansi.

17.5. Karakteristik dan Komposisi Asam Lemak Buah Merah

Karakteristikdan sifat fisiko-kimia dari buah merah telah diteliti oleh Murtiningrum
(2004), kandungan gizi dan sifat fisoko-kimia dari berbagai jenis minyak buah merah hasil
ekstraksisecara tradisional di kabupaten Jayawijaya, Irian Jaya, diteliti oleh Budi (2001),
sedangkan komposisi minyak dan kandungan asam lemakdari buah merah oleh Murtiningsih
(1992).
Beberapa karakteristik dasar dari buah merah yang diteliti oleh Murtihapsari (2004)
dapat dilihat pada Tabel 17.1 di bawah ini.

Tabel 17.1. Karakteristik buah merah (Pandanus coneideus L)

Komponen Kandungan
 Air (%) 39,81
 Abu (bk, %) 2,98
 Lemak (bk, %) 20,36
 Protein (bk, %) 6,26
 Serat kasar (%) 9,47
 Kalsium (ppm) 2738,77
 Fosfor (ppm) 97,93
 Besi (ppm) 173,92
 Β-karoten (ppm) 13,10
Sumber : Murtingirum (2004)

Tabel 17.1 di atas menunjukkan bahwa minyak lemak adalah komponen yang cukup
dominan setelah air. Buah merah juga mengandung serat kasar, dengan prosentase sebesar
9.5%. Sedangkan sifat fisiko kimia buah merah menurut sumber yang sama dapat diringkas
pada Tabel 17.2 di bawah ini.

Hasil Hutan Bukan Kayu


220
Tabel 17.2. Sifat Fisiko Kimia Buah Merah (Pandanus coneideus L)

Parameter Hasil
Ekstraks Pemurnian konvensional
i
 Titik cair (%) 22,70 13,70
 Viskositas (cp) 46,12 38,18
 Warna (nilai L) 29,4 56,87
 Kadar asam lemak bebas (%) 20,47 0,28
 Bilangan peroksida (mgO2/100 gr) 4,36 0,00
 Bilangan penyabunan 206,83 202,09
 Bilangan Iod 63,12 70,68
 Fosfor (ppm) 87,87 2,85
 Besi (ppm) 36,62 0,41
 Kalsium (ppm) 159,92 22,56
 Β-karoten (ppm) 123,00 0,66
Sumber : Murtingirum (2004)

Masyarakat Arfak yang berdomisili di Manokwari dan masyarakat Wamena telah


banyak memanfaatakan buah merah sebagai minyak goreng, dan menggunakan asam lemak
(ekstrak minyak) pada buah merah untuk campuran makanan pokok lainnya seperti ubi jalar
dan kentang. Bagi masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan, di mana akses untuk
mendapatkan barang-barang konsumsi, terutama minyak goreng atau minyak nabati sangat
terbatas, minyak buah merah sangat berperan dalam memnuhi kebutuhan nutrisi dan gizi
yang diperoleh dari minyak nabati. Kandungan gizi yang terdapat dalam buah merah telah
diteliti Budi (2000) yang selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 17.3.

Tabel 17.3. Kandungan gizi buah merah (Pandanus coneideus L)

Zat gizi Nilai Kandungan


Energi (Kalor) 394,00
Protein (mg) 3.300,00
Lemak (Mg) 28.100,00
Hidrat Arang :
Total (Mg) 31.900,00
Serat (mg) 20.900,00
Calsium (Mg) 554.000,00
Fosfor (mg) 30,00
Besi (mg) 2,24
Karotin Total (mg) 200.000,00
Vitamin B1 (mg) 0,90
Vitamin C (mg) 15,70
Nailin (mg) 1,80
Air (%) 34,90
Sumber :Budi (2000)

Murtiningsih (1992) melaporkan bahwa rendemen minyak dari buah merah adalah
sebesar 35.93% dari berat kering buah, dan asam lemak yang terdapat dalam minyak buah
merah yaitu asam palmitoleat (19.58%), asam stearat (1.48%), dan asam oleat (79.92%).
Rohman dkk (2012) melaporkan tentang karakteristik minyak dari buah merah, yang mana

Hasil Hutan Bukan Kayu


221
dikatakan bahwa komponen asam lemak utama pada minyak buah merah adalah asam oleat
(68.80%) dan asam linoleat (8.49%). Sedangkan 5 komponen utama dari 35 komponen yang
mudah menguap (main volatile compounds) yang berhasil diidentifikasi dari minyak buah
merah adalah 1,3-dimethyl-benzene (27.46%), N-glycyl-L-alanine (17.36%),
trichloromethane (15.22%), and ethane (11.43%).

17.6. Uji Biologi dan Pharmacologi dari Ekstrak Buah Merah

Beberapa penelitian tentang uji biologi dan pharmakologi dari ekstrak buah merah juga
telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti dari berbagai instansi, baik perguruan tinggi,
lembaga penelitian pangan dan kesehatan.
Uji antioksidan dari ekstrak buah merah juga dilakukan oleh Rohman dkk (2010).
Dilaporkan bahwa buah merah dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan antioksidan alami
(natural antioxidant source) untuk mencegah beberapa penyakit yang disebabkan oleh adanya
reaksi radikal bebas dalam tubuh kita. Sifat antioksidan dari buah merah tersebut sangat
berhubungan (r2:0.645) dengan kadar komponen phenol (phenolic compounds) dan kadar
flavanoid (r2:0.709). Uji sifat pharmakologi anti kanker (apoptotic expression) terutama sel
kanker panyudara T47D, telah dilakukan oleh Atsirin dkk (2009). Mereka melaporkan bahwa
ekstrak mentah dari buah merah (P.coneideus Lamb.Var. Yellow fruit) sangat berpotensi
untuk dipergunakan sebagai obat anti kanker. Sedangkan uji teratogenic extract mentah dari
bahan yang sama terhadap perkembangan embryo tikus putih (Rattusnorvegicus). Lebih
lanjut dilaporkan bahwa pemberian ekstrak tidak berpengaruh terhadap persentase fetus
hidup, kematian intrauterus, serta berat dan panjang fetus . Tetapi pemberian ekstrak pada
induk tikus mengakibatkan kecacatan skeleton (lordosis) fetus pada dosis 0,16 mL dan
menghambat osifikasi fetus.

17.7. Pengolahan Buah Merah

Pengolahan buah merah dilakukan dengan cara memotong-motong buah yang telah
masak setelah terlebih dahulu mengeluarkan bagian tengah buah (empulur), di mana daging
dan biji buah menempel. Potongan-potongan tersebut kemudian direbus sampai kulit dan
daging buah menjadi lunak, dan pemerasan dilakukan untuk memisahkan daging buah
dengan bijinya. Pada tahap ini sebenarnya sudah diperoleh minyak, akan tetapi masih dalam
jumlah yang sedikit dan masih bercampur dengan daging buah. Untuk mendapatkan redemen
minyak yang lebih tinggi, maka dilanjutkan dengan perebusan dan penggorengan. Pada
sebagian masyarakat yang tidak memerlukan sayuran, maka hasil pengolahan ini langsung
dapat dipergunakan sebagai lauk pauk, yang dicampur dengan makanan lainnya, seperti ubi
(Manihot esculenta), sagu (metroxylon spp), batatas (Ipomea batatas), kentang dan berbagai
jenis sayuran lainnya. Dengan pencampuran tersebut, bahan makanan tersebut akan berwarna
merah dengan sendirinya.
Metode ekstraksi minyak buah merah yang lain adalah sama dengan yang telah
diuraikan di atas, akan tetapi pada saat minyak dan ampas buah merah telah terpisah, yang
ditunjukkan dengan lapisan minyak yang terpung dibagian atas, sedangkan ampas dibagian
bawah, maka pada kondisi seperti ini minyaknya diambil dengan sendok atau peralatan
lainnya, untuk kemudian ditampung pada wadah minyak yang telah disiapkan.

17.8. Diversifikasi Produk-Produk Buah Merah

Di samping dibudidayakan untuk meghasilkan minyak, tanaman buah merah juga dapat
dimanfaatkan untuk membuat berbagi diversifikasi produk, yang kita sebut sebagai produk
sampingan pengolahan buah merah, baik untuk skala rumah tangga maupun industri.

Hasil Hutan Bukan Kayu


222
Berbagai jenis produk yang dapat dihasilkan dari pengolahan buah merah selain minyak
nabati, telah dikemukakan oleh Tethool (2005), seperti diringkas pada Tabel 17.4.

Tabel 17.4. Diversifikasi produk/produk sampingan dari sari buah merah

Bagian Pemanfaatan Industri yang dapat


dikembangkan
Minyak Olekimia/bahan kosmetik Olekimia
Minyak makan Makanan
Pangan fungsional Makanan
Karoten/vitamin A Makanan dan farmasi
Margarin Makanan
Ampas/bungkil Saus Makanan
Dodol Makanan
Selai Makanan
Makanan ternak Makanan ternak

Tumbuhan Buah Merah (Pandanus coneideus L) adalah tanaman jenis pandan yang
serba guna. Hampir seluruh bagian tanaman ini dapat dimanfatakan untuk berbagai tujuan.
Selain buahnya, yang dapat dimanfaatkan adalah daun, akar dan batang seperti diringkasan
seperti pada Tabel 17.5.

Tabel 17.5. Pemanfaatan lain dari tanaman buah merah

6..1.10. Bagian Pemanfaatan Industri yang dapat


dikembangkan
Batang Bahan bagunan rumah (dinding, alas rumah Bangunan
dan penyekat ruangan)
Kerajinan (Ukiran) Kerajinan tangan
Kayu bakar
Arang/karbon aktif Kimia
Daun muda Kertas rokok keretek Kertas rokok
kertas Kertas
Daun dewasa Anyaman tas, keranjang dll.) Kerajinan tangan
Daun tua Tikar Kerajinan tangan
Atap rumah Kerajinan tangan
Akar Tali/tambang Kerajinan
Keset Kerajinan

17.9. Pustaka

Atsirin. O.P., M. Harini., N.S. Handayani. 2009. The effect of crude extract of Pandanus
coneideus Lamb.Var. Yello fruit on apoptotic Expression of the breast cancer
cell line T47D. Biodiversitas 10 (1) Hal. 48-49.
Budi, M.I. 2001. Kajian Kandungan Zat Gizi Dan Sifat Fisiko Kimia Berbagai Jenis Minyak
Buah Merah (Pandanus Conoideus. Lam) Hasil Ekstraksi Secara Tradisional Di
Kabupaten Jayawijaya Provinsi Irian Jaya. Thesis Pasca Sarjana Institut
Pertanian Bogor (Tidak Diterbitkan).
Indou, Y. (2002). Studi cara pengolahan dan Pemanfaatan Buah Merah (Pandanus coneideus
L) secara tradisional di Kampung Nuhwey Distrik Ransiki. Laporan Tugas

Hasil Hutan Bukan Kayu


223
Akhir. Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian. Universitas Negeri Papua
(tidak diterbitkan).
Limbongan.L., A. Malik. 2009. Peluang pengembangan buah merah (Pandanus conoideus
Lamk) di provinsi Papua. Jurnal litbang pertanian 28 (4) Hal. 134-141.
Muna. L., O.D. Astirin., Sugiyarto. 2010. Tetatogenic test of Pandanus conoideus var.yellow
fruit extract to development of rat embryo (Rattus norvegicus). Nusantara
BIOSIENCE 2 (3) Hal.126-134.
Murtiningrum (2004). Ektraksi minyak dengan metode Wet Rendering dari Buah Merah
(Pandanus coneideus L) dan Pemurnian dengan filtrasi membran. Thesis
program pasca sarjana Institut Pertanian Bogor. (tidak diterbitan).
Murtiningsih.T. 1992. Kandungan minyak dan komposisi asam lemak pada Pandanus
conoideus L. dan P. jilliansttii M. Proseding Seminar hasil Litbang SDH. Hal.
373-378.
Rohman.A., R.Sugeng., N. Yuniarti., W.R. Saputra., R. Utami., W. Mulatsih. 2010.
Antioksidant activity, total phenolic, and total flavanoids of extracts anf
fractions of red fruit (Pandanus coneideus Lam). International Food Reserach
Journal 17 Hal. 93-106.
Rohman.A., R. Sugeng., Y.B. Chen Man. 2012. Characterization of red fruit (Pandanus
coneideus Lam) oil. International Food Research Journal 19 (2). Hal. 563-567.
Stone, B.C. (1997). Pandanus Parkinson. Di dalam : Verheij, E.W.M dan R.E. Coronel,
Editor. Prosea Sumber Daya hayati Asia Tenggara : Buah-buahan yang dapat
dimakan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Sadsoeitoboen, M.J (2002). Pandanaceae. Aspek Botani dan Etnobotani dalam Suku Arfak di
Irian Jaya. Thesis Program PascaSarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor (tidak
diterbitkan).
Tethool, E.F (2005). Potensi Pengembangan Pemanfaatan Hasil Pengolahan Tanaman Buah
Merah (Pandanus coneideus L) di Papua. Makalah Lomba Karya Tulis
Mahasiswa (LKTM). Program Studi Teknologi Hasil Pertanian. Fakultas
Pertanian Peternakan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua. (tidak
diterbitkan).

Hasil Hutan Bukan Kayu


224
BAB 18

GAHARU (AGARWOOD)

18.1. Pendahuluan

Pada pokok bahasan yang ke-18 ini, pembahasan difokuskan pada produk hasil hutan
bukan kayu yaitu komoditas gaharu. Komoditas gaharu penting dibahas karena harganya
yang cukup mahal dan hanya diperuntukan untuk komoditas ekspor bukan untuk domestik.
Dalam dunia perdagangan international, komoditas gaharu disebut dengan Agarwood, dan
Eagle wood. Komoditas gaharu tidak mudah diperoleh, atau kayu gaharu hanya dapat
diperoleh pada beberapa pohon tertentu. Fenomena terjadinya kayu gaharu adalah bersifat
pathogen, yang berarti kayu tertentu terinfeksi oleh mikroorganisme tertentu, dan
menghasilkan suatu reaksi standar kimiawi yang permanen.
Masyarakat lokal mengetahui jenis pohon inang penghasil gaharu yaitu Aquilaria spp
dan Giyinopsppdan lainnya, tetapi tidak mengetahui apakah pohon tersebut telah
menghasilkan gaharu. Sehingga masyarakat melakukan penebangan pohon jenis tersebut
secara besar-besaran, tetapi tidak memperoleh gaharu yang dimaksud. Praktek seperti ini
banyak terjadi daerah-daerah pedalaman Papua dan Papua Barat, bahkan terjadi di negara
tetangga kita, yaitu Papua New Guinea.
Pegawai dari instansi teknis, seperti dinas kehutanan, kepolisian dan beberapa instansi
yang terkait, juga belum sepenuhnya mengetahui jenis, karakteristik dan bentuk ataupun rupa
komoditas gaharu ini. Untuk itu sangat dirasakan perlu membahas gaharu dalam satu pokok
bahasan sendiri.
Setelah mempelajari pokok bahasan ini para pembaca diharapkan memiliki pengetahuan
dan kemampuan untuk :
1. Mendefinisikan dan menjelaskan pengertian gaharu, jenis-jenis pohon inang gaharu;
2. Menjelaskan proses terbentuknya gaharu dan faktor-faktor yang mempegaruhinya;
3. Memahami penggolongan komoditas jenis-jenis gaharu, termasuk variabel penentuan
kualitasnya.

18.2. Botani Gaharu

Pohon penghasil atau inang gaharu termasuk dalam diviso spermatohyta, kelas
dicotyledoeneae, yang terbagi ke dalam tiga famili yaitu Thymeleaceae, Euphorbiaaceae dan
Leguminoceae. Sumarna (2005) seperti yang dikutip oleh Dimara dan Siburian (2007)
mengemukakan bahwa 7 (tujuh) genus pohon penghasil gaharu adalah Aquilaria, Aetoxylon,
Enkleia, Gonystylus, Wikstroemia, Girynops, Dalbergia dan Exxocaria.
Departemen Kehutanan dalam situs resminya hhtp://www.dephut.go.id, menyatakan
bahwa pohon penghasil gaharu tumbuh di daerah tropika, yang terdiri atas tiga marga yaitu
Aquilaria, Girynops danGonystylus. Untuk marga Aquilaria, terdiri atas 15 species yang
tersebar di daerah tropis Asia, yaitu India, Pakistan, Myanmar, Laos PDR, Thailand,
Kamboja, China Selatan, Malaysia, Filipina dan Indonesia. Marga Gonystylus memilki 10
species dan tersebar di Asia Tenggara yaitu Malaysia, Filipina, Peninsula, Sarawak, Sabah,
Indonesia, Papua New Guinea, Kepulauan Solomon dan Kelupauan Nicobar. Gambar pohon
penghasil komoditas gaharu dari marga Girynops seperti ditunjukkan oleh Gambar 18.1 di
bawah ini.

Hasil Hutan Bukan Kayu


225
Sumber: Dimara dan Siburian (2007)
Gambar 18.1. Pohon penghasil komoditas gaharu dari marga Grynops dan bijinya (insert)

Menurut Sumarna (2005) seperti yang dikutip oleh Dimara dan Siburian (2007)
beberapa jenis pohon penghasil gaharu dan daerah penyebarannya di Indonesia daapt
diringkas seperti disajikan oleh Tabel 18.1

Tabel 18.1. Jenis-jenis pohon penghasil gaharu di Indonesia dan daerah peneyebaranya

No Nama botani Famili Daerah penyebaran


1 Aquilaria malaccensis Thymeleaceae Sumatera, Kalimantan
2 Aquilaria hirta Thymeleaceae Sumatera, Kalimantan
3 Aquilaria filaria Thymeleaceae Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya
4 Aquilaria microcarpa Thymeleaceae Sumatera, Kalimantan
5 Aquilaria agalloca R Thymeleaceae Sumatera, Jawa dan Kalimantan
6 Aquilaria beccariana Thymeleaceae Sumatera, Kalimantan
7 Aquilaria secundana Thymeleaceae Maluku dan Irian Jaya
8 Aquilaria moszkowskii Thymeleaceae Sumatera
9 Aquilaria tomentosa Thymeleaceae Irian Jaya
10 Aetoxylon sympethalum Thymeleaceae Kalimantan, Maluku dan Irian Jaya
11 Enkleia malaccensis Thymeleaceae Irian Jaya dan Maluku
12 Wiksroemia poliantha Thymeleaceae Nusa Tenggara dan Irian Jaya
13 W. tenuriamis Thymeleaceae Sumatera, Bangka dan Kalimantan
14 W. androsaemofilia Thymeleaceae Kalimantan, NTT, Irian Jaya dan
Sulawesi
15 Gonystylus bancanus Thymeleaceae Sumatera, Bangka dan Kalimantan
16 G. macrophylus Thymeleaceae Kalimantan dan Sumatera
17 Girynops cumingiana Thymeleaceae Nusa Tenggara dan Irian Jaya
18 Girynops rosbergii Thymeleaceae Nusa Tenggara
19 Girynops verstegii Thymeleaceae NTT dan NTB
20 Girynops moluccana Thymeleaceae Maluku dan Halmahera
21 Girynops decipens Thymeleaceae Sulawesi Tengah
22 Girynops ledermanii Thymeleaceae Sulawesi Tengah
23 Girynops salifolia Thymeleaceae Irian Jaya
24 Girynops audate Thymeleaceae Irian Jaya
25 Girynops podocarpus Thymeleaceae Irian Jaya
26 Dalbergia falviflora Leguminoceae Sumatera dan Kalimantan
27 Exocaria agaloccha Euphorbiaceae Jawa, Kalimantan dan Sumatera

Hasil Hutan Bukan Kayu


226
* Irian Jaya sekarang menjadi Papua, yang terdiri atas dua porpinsi yaitu Papua dan Papua
Barat

Dari Table 18.1 di atas terlihat bahwa komoditas gaharu dapat ditemukan hampir
diseluruh wilayah Indonesia, yaitu dari Sabang sampai Merauke. Akan tetapi, bila kita
perhatikan dengan seksama, komoditas gaharu kebanyakan dihasilkan dari kawasan hutan
alam di luar Pulau Jawa, yang mana masih memiliki hutan hujan tropis yang asli dan luas.

18.3. Potensi Gaharu

Informasi dan data potensi pohon penghasil gaharu belum diketahui secara pasti.
Beberapa pustaka dan referensi yang membahas tentang gaharu, hanya membahas daerah
penyebaran gaharu, tanpa menyebutkan potensi tegakan gaharu yang pasti. Hal ini
dimungkinkan karena, pohon gaharu tersebar secara sporadis pada hutan alam, tidak tersebar
homogen atau terpusat pada suatu areal habitat, sperti halnya pada hutan tanaman.
Khusus penyebearan gaharu, di Papua, menurut Dinas Kehutanan Provinsi Papua
(2006), penyebaran gaharu terdapat pada daerah Jayapura yaitu Mamberamo dan Nimboton,
Jayawijaya, Merauke di daerah Agats dan Bade, Nabire, Enarotali dan Manokwari.
Sedangkan Dimara dan Siburian (2007) melaporkan bahwa penyebaran gaharu di kabupatean
Manokwari terdapat di daerah Pantai Utara, Warmare, Kebar, Merdey, dan Ransiki. Daerah
Pantai Utara gaharu dapat diperoleh dari pohon jenis Girynops spp, sedangkan daerah
Warmare, Kebar dan Ransiki gaharu dihasilkan dari dua jenis pohon yaitu Aquilaria spp dan
Girynops spp.
Penduduk lokal di Papua, umumnya mengetahui tentangkeberadaan komoditas gaharu
di beberapa kawasan hutan di daerahnya, akan tetapi mereka tidak memiliki keahlian dan
kemampuan untuk mengenali, mengidentifikasi, bahkan memanen komoditas ini. Menurut
Dimara dan Siburian (2007) masyarakat Arfak menamakan gaharu dengan nama lokal
Mokoroug, dan komoditas gaharu dibedakan menjadi tiga yaitu beringin, cengkeh dan sirsak.
Sedangkan kualitas gaharu dibedakan menjadi dua yaitu gaharu super dan gaharu
kemedangan.
Wahyudi dan Sineri (2006) melaporkan bahwa masyarakat di Werianggi distrik Wasior
kab. Teluk Wondama, tidak memiliki pengetahuanuntuk mengenali dan membedakan
kualitas gaharu dari kawasan hutan yang merekamiliki sendiri. Sehingga para pekerja
migran, yang berasal dari luar Teluk Wondama dan bahkan luar Papua, datang berburu
gaharu dan melaporkan hasilnya kepada masyarakat setempat berdasarkan kesepakatan yang
telah disepakati bersama. Penduduk asliPapua yang berasal dari Pengunugan Tengah, seperti
Wamena, Yahukimo dan daerah sekitarnya umumnya memiliki pengetahuan tentang gaharu
yang lebih maju dibandingkan dengan meraka yang tinggal di daerah pesisir. Hal ini dapat
terlihat dari beberapa orang dari daerah tersebut yang berburu kayu Gaharu sampai ke daerah
Manokwari, Mamberamo dan daerah dataran rendah lainnya.

18.4. Pengertian Gaharu

Menurut definisi yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) SNI 01-
5009.1-1999, gaharu adalah sejenis kayu dengan berbagai bentuk yang memiliki warna yang
khas, serta memiliki kadar damar wangi, berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil
gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati, sebagai akibat dari proses infeksi yang
terjadi baik secara alami maupun buatan pada pohon tersebut, dan pada umumnya terjadi
pada pohon Aguilaria sp yang dikenal dengan nama daerah seperti Karas, Alim, Gaharu dan
lain – lain.
Proses terjadinya kayu gaharu adalah hasil dari proses pathogenic karena timbulnya
infeksi, yaitu hasil proses infeksi dari jamur jenis Fusarium spp yang terjadi pada pohon

Hasil Hutan Bukan Kayu


227
inang gaharu. Menurut berbagai sumber infeksi pada pohon inang, sehingga menghasilkan
gaharu dapat sebabkan oleh tiga sebab yaitu karena 1) infeksi jamur (fungi); 2) perlukaan dan
3) proses non pathology. Santoo (1996) seperti yang dikutip oleh Departemen Kehutanan
dalam situs resminya hhtp://www.dephut.go.id/ informasi/setjen/pusstan/
info_V02/VI_V02.htm telah berhasil mengisolasi tiga fungi pada jenisAquilaria spp yaitu
Fusarium oxyporus, F. Bulbigenium dan F. Laseritum.
Kayu yang telah terinfeksi akan mengeluarkan suatu fragnant bahan kimia yang
menyerupai minyak, dan membuat kayu tersebut lama-kelamaan akan menjadi keras dan
berwarna gelap, (Goloubinoff, de Beer dan Katz, 2004). Secara sepintas, gaharu adalah
seperti kayu yang mengalami proses pembusukan, tetapi pembusukan yang belum sempurna,
dan menghasilkan aroma yang khas. Di Indonesia, komoditas gaharu sering diperdagangkan
dengan nama gaharu, dalam nama perdagangan internasional dikenal dengan nama
Agarwood, Eaglewood, Aloes wood dan agalocha, (Goloubinoff, de Beer dan Katz, 2004).
Tiga jenis gaharu yang mulai dibudidayakan adalah Aquilaria vilaria yang
dibudidayakan di daerah Papua dan Maluku, Aquilaria malaccensis dibudidayakan di daerah
Pulau Sumatra dan Kalimantan dan jenis Gyrinops verstigi dibudidayakan diwilayah
Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara

18.5. Pemanfaatan dan Komponen Kimia Minyak Atsiri dan Ektrak Gaharu

Pemanfaatan Gaharu untuk berbagai tujuan sudah dimulai sejak zaman peradaban,
terutama untuk daerah China, India, Jepang, dan bahkan negara-negara kaya di Timur
Tengah. Pengguna gaharu di Cina mendiskripsikan aroma (fragnant) gaharu memiliki aroma
yang menyejukkan, mendalam dan penuh dengan aroma (as a sweet, deep but balanced
fragnance’) yang banyak dimanfaatakan dalam upacara-upacara keagamaan, upacara
perayaan dan beberapa produk parfum, sebagaimana digunakan di negara-negara lain seperti
negara-negara Arab, India dan Jepang. Gaharu juga dapat dimanfaatkan untuk bahan obat-
obatan tradisional, sebagaimana dipergunakan oleh para dokter di Cina sebagai obat demam
dan penyakit perut (Goloubinoff, de Beer dan Katz, 2004).
Aroma minyak gaharu tersebut berasal dari minyak atsiri (volatilecompounds) yang
diekstrak dan dimanfaatkan untuk membuat parfum. Parfum yang terbuat dari gaharu
memiliki nilai jual yang sangat tinggi, terutama di negara-negara Timur Tengah, karena
parfum ini memiliki kelebihan yaitu bahwa parfum tersebut tahan terhadap cuaca atau suhu
panas, dan semakin lama dipakai, aromanya akan semakin terasa.Parfum dari gaharu juga
disukai karena tidak mengandung alkohol. Untuk negara-negara Eropa, parfum yang
terbuatdari gaharu kurang mendapat tempat dipasar, hal ini dikarenakan harganya yang
mahal, dan belum adanya bahan sintetis yang dapat menghasilkan aroma yang
menyerupainya.
Minyak atsiri dari komoditas gaharu juga memiliki beberapa fungsi biologi, bagi tubuh
kita. Chen dkk (2012) melaporkan beberapa uji biologis dari minyak gaharu, seperti sifat
anti-mikroba, anti-tumor, anti-oksidan, dan dapat juga sebagai obat anantesi (penghilang rasa
sakit) bedasarkan uji Central Nrevous System (CNS).
Penelitian tentang komponen kimia dari minyak atrisi komoditas gaharutelah dilakukan
oleh berbagai peneliti. Nor Azah dkk (2008) meneliti tentang komposisi kimia dari berbagai
komoditas gaharu di Malaysia. Selanjutnya dilaporkan bahwa minyak atsiri gaharu memiliki
warna yang beragam, dari hijau kecoklatan sampai dengan coklat merah gelap. Secara umum
minyak gaharu mengandung komponen kimia yang sangat kompleks, tetapi umumnya terdiri
atas senyawa kelompok sesquiterpene hidrokarbon, sesquiterpene alkohol, dan alipatic
hidrokarbon. Untuk komoditas gaharu dari pohon Aquilara malaccensis yang bergrade C dari
berbagai daerah di Malaysia, beberapa komponen yang berhasil dideteksi adalah 3-pheny-2-
butanone, -guanine, -agarofuran, -agarofuran, Nor-ketoagarofuran, 10-epi- -eudeamol,
agarospirol, -eudesmol, Jinkoh-erenol, kusunol, dan Jinkol II.

Hasil Hutan Bukan Kayu


228
Sedangkan isolasi senyawa baru dari komoditas gaharu dari China atau Chinese Eagle
wood (Aquilariasinensis (Lour.) Gilg. yaitu 2-(2-phenylethyl) chromone, 5, 6, 7, 8-
tetrahydroxy-2-(3-hydroxy-4-methoxyphenethyl)-5, 6, 7, 8-tetrahydro-4H-chromen-4-one,
dilaporkan oleh Dai dkk (2009), seperti ditampilkan pada Gambar 18.2.

Gambar 18.2. Senyawa baru, 2(2-Phenylethyl)chromone, dari komoditas gaharu Chinese


eagle wood (Aquilaria sinensis (Lour.) Gilg.

Ringkasan lengkap dan menyeluruh terhadap berbagai jenis komponen minyak dan
ektrak dari komoditas gaharu, baik yang mudah menguap (volatile compound) maupun yang
tidak mudah menguap (non volatile compounds) terhadap tiga spesies Aquilaria, yaitu A.
malaccensis, A. sinensis, dan A. crassna, spptelah diringkas oleh Naef (2011). Dilaporkan
bahwa sebanyak 150 komponen kimia telah berhasil diidentifikasi, dan dari jumlah tersebut,
kebanyakan adalah jenis sesquitermpenoids, chromones dan senyawa aromatik volatile.
Komponen-komponen kimia dari gaharu tersebut selengkapnya dapat dilihat pada referensi
aslinya, seperti dicantumkan di referensi.
Sedangkan komposisi komponen kimia secara lengkap dari gaharu dari genus Aquilaria
dari berbagai daerah endemik asalnya, seperti Malaysia, China, Kamboja, India, Indonesia,
Kalimantan, dan Vietnam dilaporkan oleh Chen dkk (2012). Selanjutnya dilaporkan bahwa
sebanyak 132 komponen kimia telah berhasil diidentifikasi dari minyak gaharu genus
Aquilaria, yang mana sebagian besar adalah kelompok sesquiterpenoid, kelompok turunan
dari 2-(2-phenylethyl)-4-H-chromen-4-one, berbagai senyawa aromatik, dan kelompok
triterpenoid. Kelompok sesquiterpenoid dan turunan dari 2-(2-phenylethyl)-4-H-chromen-4-
one adalah dua kelompok yang dominan dalam komoditas gaharu dari genus Aquilaria.

18.6. Perdagangan Gaharu

Permintaan ekspor akan produk gaharu sangat tinggi. Contohnya untuk perioda tiga
bulan saja, dari bulan November sampai Desember 2006, untuk satu perusahaan eksportir,
CV. Agung Perdana, di Mataram, memiliki kuota untuk mengekspor 10 ton gaharu dengan
tujuan utamanya adalah Timur Tengah (www. kompas.com). Karena intensifnyapencarian,
perburuan komoditas gaharu dan penebangan liar yang berlangsung secara terus menerus,
maka populasi kayu penghasil gaharu mulai menipis. Untuk mengatasinya maka diwajibkan
kepada pengusaha pemegang izin ekspor gaharu diwajibakan untuk menyediakan areal seluas
minimal 2 ha untuk keperluan budi daya gaharu.
Untuk patokan harga, harga komoditas gaharu sangat bervariasi, untuk gaharu kualitas
utama yang dihasilkan dari Kalimantan, di pasar lokal dapat dihargai mencapai US $ 400 per
kg, dan di Singapura harga per kilogram dari gaharu dengan kualitas yang sama mencapai
US $ 1,000 kg, dan bahkan di negara-negara Arab dapat mencapai harga US $ 3,000 per kg,
(Goloubinoff, de Beer dan Katz, 2004). Gaharu berkualitas lokal (Gambar 18.3) di daerah
Werianggi, kabupaten Teluk Wondama dan di Manokwari dihargai sekitar Rp 400 000 per
kg pada pasar tradisional.

Hasil Hutan Bukan Kayu


229
Foto: Wahyudi dan Sineri (2007)
Gambar 18.1 Komoditas Gaharu kualitas lokal dari Werianggi di Manokwari

ASGARIN (2005) yang dikutip oleh Dimara dan Siburian (2007) melaporkan bahwa
produksi gaharu Indonesia saat ini baru mencapai sekitar 10-20% dari total kuota ekspor
gaharu nasional, sehingga berdampak kepada tingginya harga komoditas tersebut, hingga
berkisar antara Rp. 2 – 5 juta per kilogram. Realita ekspor komoditas gaharu sampai dengan
bulan September 2007, dapat dilihat pada Tabel 18.1 di bawah ini.

Tabel 18.1. Realisasi ekspor komoditas Gaharu yang langsung diambil dari hutan per
Juli 2007

No Nama Kuota Realisasi Sisa


(Kg/s) kuota
Latin Inggris Lokal
1 Aquilaria filaria Agarwood Gaharu Irian 7 17,800 58200
6000
2 Aquilaria filaria Agarwood Gaharu Irian 0 137,565
3 Aquilaria filaria... Agarwood Gaharu Irian 0 203,441
(stock)
4 Aquilaria Agarwood Gaharu (Gubal 30000 9,014 20986
malacensis &Kemendangan)
5 Aquilaria Agarwood Gaharu 0 40,000
malacensis
6 Aquilaria Agarwood Gaharu 0 47,010
malacensis..
(stock)
7 Gyrinops spp Agarwood Gaharu 0 32,500
Sumber: www.dephut.go.id, tanggal 26 September 2007

18.7. Pengujian dan Kualitas Gaharu

Untuk keperluan standarisasi dalam kualitas, cara pengujian, cara pemungutan dan
beberapa pedoman pengujian gaharu di Indonesia telah diatur secara lengkap dalam Standar
Nasional Indonesia (SNI) 01-5009.1-1999.. SNI ini mengatur tata cara pegujian dan gaharu,
yang mana di dalamnya membahas tentang definisi, lambang, singkatan, istilah, spesifikasi,
klarifikasi, cara pemungutan, syarat mutu, pengambilan contoh, cara uji, syarat lulus uji,
syarat penandaan, sebagai pedoman pengujian gaharu yang diproduksi di Indonesia.
Berdasarkan SNI tersebut, komoditas gaharu dibedakan menjadi 4 (empat) jenis yaitu:

Hasil Hutan Bukan Kayu


230
1. Abu gaharu adalah serbuk kayu gaharu yang dihasilkan dari proses penggilinngan atau
penghancuran kayu gaharu sisa pembersihan atau pengerokan.
2. Damar gaharu adalah jenis getah padat dan lunak, yang berasal pohon atau bagian
pohon penghasil gaharu, dengan aroma yang kuat dan ditandai oleh warnanya yang
hitam kecoklatan
3. Gubal gaharu adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil
gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang agak kuat, ditandai oleh
warnanya yang hitam atau kehitaman berseling coklat.
4. Kemedangan adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu,
memiliki kandungan damar wangi dengan aroma lemah, ditandai oleh warnanya yang
putih keabu-abuan sampai kecoklat-coklatan, berserat kasar, dan kayunya yang lunak.

Dalam perdagangan sehari-hari, penentuan kualitas kayu gaharu tidak mengacu kepada
standar kualitas yang ditentuntan oleh SNI 01-5009.1-1999. Penentuan kualitas biasanya
ditentukan oleh pedagang dan pembeli, maupun ditentukan sepenuhnya oleh para tengkulak.
Menurut SNI kualitas gaharu yang diperdagangkan di Indonesia, terbagai ke dalam 13 kelas
yaitu:
1. Gubal gaharu terbagi ke dalam 3 (tiga) kelas kualita yaitu mutu utama (U) setara mutu
Super; mutu Pertama (I) setara dengan mutu AB dan mutu Kedua (II) atau setara dengan
mutu Sabah Super.
2. Kemedangan terbagi ke dalam 7 (tujuh) kelas mutu yaitu Mutu pertama (I) setara
dengan Tanggung TGA atau Tanggung Kemedangan I (TKI); Mutu Kedua (II) setara
mutu Sabah 1 (SB I); mutu Ketiga (III) setara mutu Tanggung AB (TAB); mutu
Keempat (IV) setara mutu Tanggung C (TGC); Mutu Kelima (V) setara mutu
Kemedangan 1 (M1); mutu Keenam (VI) setara mutu Kemdangan 2 (M2); dan mutu
Ketujuh (VII) setara mutu Kemdangan 3 (M3).
3. Abu gaharu terbagi ke dalam 3 (tiga) kelas mutu yaitu Mutu Utama (U); mutu Pertama
(I); dan Mutu Kedua (II).

Sedangkan menurut Asosiasi Gaharu Indonesia (ASGARIN) tahun 2005 seperti yang
dikutip oleh Dimara dan Siburian (2007), kualitas gaharu yang diperdagankan di Indonesia
terbagai dalam dua jenis yaitu gaharu Gubal dan Kemedangan. Uraian lengkap tentang
klasifikasi dan sub klas komoditas gaharu menurut ASGARIN ditampilkan pada Tabel 18.2.
Klasifikasi produk gaharu berdasarkan kelas, mutu dan spesifikasi dilakukan melalui
pemisahan dalam bentuk serpihan (chips), yaitu bentuk teri, kacang dan abuk. Sedangkan
peengelompokan kayu gaharu ke gubal atau kemedangan dilakukan dengan memperhatikan
faktor ukuran, bentuk, warna dan aroma. Khusus untuk pengujian aroma, dilakukan dengan
memotong dan membakar potongan (dalam bentuk serpihan kecil) dan mencium aromanya,
apakah kuat atau lemah.
Di Kalimantan, penggolongan kualitas gaharu ditentukan berdasarkan kesepakatan para
pelaku bisnis gaharu. Kalimantan Barat terdapat 9 (sembilan) jenis mutu gaharu, yaitu dari
kualitas Super A (terbaik) sampai mutu Kemedangan Kropos (terburuk). Sedangkan di
Kalimantan Timur dan Riau kualitas gaharu terbagi ke dalam 8 jenis mutu, yaitu mutu Super
A (terbaik) sampai kepada Kemedangan (terburuk).

Hasil Hutan Bukan Kayu


231
Tabel 18.2. Klasifikasi Kualitas dalam Perdagangan Gaharu di Indonesia menurut
Asosiasi gaharu Indonesia (ASGARIN, 2005)

Kelompok gaharu No Klasifikasi gaharu Sub Kelas


1 Super Double super
Super tanggung
2 AB Kacang A
Kacang B
I. Gubal 3 Teri Teri tenggelam
Teri A
Teri B
Teri C
1 Sabah Sabah Tenggelam
Sabah Biasa
2 TGC
II. Kemedangan 3 Kemedangan Mendang A
Mendang B
4 Abuk Abuk Super
Abuk Mendang
Abuk Kerokan

Dimara dan Siburian (2007) melapokan komoditas gaharu yang diperdagangkan di


pasaran lokal Manokwari, provinsi Papua Barat telah dikelompokkan ke dalam beberapa
kelas dengan karakterisitk tertentu dan harga yang sudah ditetapkan. Uraian singkat dari
ketentuan-keentuan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Gaharu Kelas Super. Kelompok ini memiliki ciri-ciri fisik seperti Kayu berwarna
hitam yg tersebar merata, padat serta mengkilap, banyak mengandung minyak, Serat
Kayu tidak kelihatan. Harga untuk kelas super ini berkisar antara Rp. 1.500.000 –
2.000.000 per kg. Contoh dari komoditas gaharu kelas super ini dapat dilihat pada
Gambar 18.4 di bawah ini.

Sumber: Dimara dan Siburian (2007)


Gambar 18.4. Komoditas gaharu kelas super

2. Gaharu Kelas AB. Komoditas gaharu kelas AB memiliki ciri-ciri penampakan adalah kayu
berwarna hitam & agak mengkilap, padat & serat kayu agak kelihatan (Kelas A), dan kelas B
memiliki alur atau bintik putih, dan bagian tengah terdapat rongga. Kelas AB memiliki
kisaran harga antara Rp. 150.000 – 200.000 per kg. Komoditas gaharu kelas AB ditujukkan
oleh Gambar 18.5.

Hasil Hutan Bukan Kayu


232
Sumber: Dimara dan Siburian (2007)
Gambar 18.5. Komoditas gaharu kelas AB

3. Gaharu Kelas Teri. Komoditas gaharu kelas ini memiliki kenampakan fisik yaitu kayu
berwarna hitam, kepingan kayu berukuran kecil dan pendek, dan alur pada serat kayu
berwarna putih. Komoditas ini memiliki kisaran harga antara Rp. 75.000 – 100.000 per kg.
Contoh komoditas gaharu kelas teri dapat dilihat pada Gambar 18.6 di bawah ini

Sumber: Dimara dan Siburian (2007)


Gambar 18.6. Komoditas gaharu kelas teri

4. Gaharu Kelas Tanggung. Komoditas gaharu kelas ini memiliki penampilan fisik di
antaranya adalah kayu berwarna coklat kehitaman sampai coklat bergaris putih, serat kayu
kasar, dan kayu padat namun memiliki bobot yang agak ringan. Jenis gaharu ini memiliki
harg aberkisar dari Rp. 50.000 – Rp70.000 per kg. Contoh gaharu kelas tanggung
diperlihatkan oleh Gambar 18.7 di bawah ini.

Sumber: DimaradanSiburian (2007)


Gambar 18.7. Komoditas gaharu kelas tanggung

5. Kemedangan kelas A, B, dan C. Kelompok gaharu kemedangan A, B, dan C memiliki


karakterisik fisik di antaranya adalah kayu berwarna coklat bercampur putih, untuk kelas
kemedangan A memiliki bobot lebih berat dan serat kayu agak padat. Sedangkan untuk kelas
kemedangan B banyak memiliki alur atau bintik putih dan serat kayunya kasar. Untuk elas
kemedangan C memiliki warna kayu kuning sampai coklat muda, sedikit mengandung
gaharu dan serat kayunya juga kasar. Contoh komoditas gaharu kemedangan kelas A, B, dan

Hasil Hutan Bukan Kayu


233
C secara berurutan, kiri-ke kanan, disajikan pada Gambar 18.8 di bawah ini. Akan tetapi
khusus untuk kelas ini tidak disebutkan kisaran harganya.

A B C
Sumber : Dimara dan Siburian (2007)
Gambar 18.8. Komoditas gaharu kelas kemedangan A, B, dan C

6. Gaharu Buaya. Kelompok gaharu ini memiliki penampakan dengan ciri-ciri seperti kayu
berwarna coklat sampai coklat kehitaman, serat kayu kasar dan memiliki aroma yang tajam.
Contoh komoditas gaharu kelas buaya dapat dilihat pada Gambar 18.9 di bawah ini.
Komoditas gaharu buaya ini juga tidak disertai kisaran harga yang berlaku di pasaran
Manokwari dan sekitarnya.

Sumber: Dimara dan Siburian (2007)


Gambar 18.9. Komoditas gaharu buaya

18.8. Pustaka

Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2001. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-5009.4-
2001.
Chen, Huai-Qiong., J.H. Wei., J.S. Yang., Z. Zhang., Y. Yang., Z.H. Gao., C. Sui., B. Gong.
Chemical constituents of Agarwood originating from the endemic genus
Aquilaria plants. Review. Cheistry & Biodiversity 9 Hal. 236-250.
Dimara. P., R. H.S. Siburian. 2007. Jenis dan Spesifikasi Kualitas Gaharu asal hutan alam
kabupaten Manokwari. Materi Seminar Hasil-hasil Penelitian Fahutan Unipa
Manokwari.
Dai, Hao-Fi., J. Liu., Y.B. Zeng., Z. Han., H. Wang., W.L. Mei. 2009. A new 2(2-
Phenylethyl)chromone from Chinese Eaglewood. Molecule 14 Hal.5165-5168.
Goloubinoff, M; J. de Beer., E. Katz .2004. Agarwood, Frganant wood. Riches of the forest:
Food, Spices, Craft and resin of Asia. Citlalli Lopez dan Patricia Shanley.
Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor Indonesia.

Hasil Hutan Bukan Kayu


234
Marty. 2006. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu oleh Masyarakat Sowek di Rayori
Selatan Supriori Selatan Kabupaten Supriori. Skripsi Sarjana Kehutanan
Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan).
Naef, R. 2011. The volatile and semi-volatile constituents of agarwood, the infected
heratwood of Aquilaria species. A Review. Flavour and Fragrance Journal 26
Hal.73-89
Nor Azah, M.A., Y.S. Chang., J. Mailina., A. Abu Said., J. Abd. Majid., S.SaidatulHusni., H.
Nor Hasnida., Y. 2008. Comparison of chemical profiles of selected gaharu Oils
from peninsular Malaysia. The Malaysian Journal of Analytical Sciences, 12 (2)
Hal. 338 - 340
Wahyudi dan A.Sineri. 2006. Potensi Hutan masyarakat Adat di Kampung Werianggi distrik
Windesi Kabupaten teluk Wondama. Laporan Studi Kelayakan pengelolaan
hutan berbasis Masyarakat Adart. Kerja sama Fahutan Unipa dengan
Greenpeace South East Asia Programm (GSEAP). (tidak diterbitkan).
www.dephut.go.id. Diakses pada tanggal September 2007
www.kompas.com. Kayu Gaharu Asal lombok diekspor ke Timur Tengah, diakses pada
tanggal 03 Mei 2008.

Hasil Hutan Bukan Kayu


235
BAB 19

PRODUK-PRODUK NABATI LAINNYA

19.1. Pendahuluan

Pada pokok bahasan yang ke 19 ini, pembahasan difokuskan pada produk hasil hutan
bukan kayu kelompok nabati yang memiliki peran yang cukup penting dalam masyarakat,
perdagangan lokal dan potensinya cukup melimpah di alam. Kelompok nabati yang akan kita
bahas pada modul ini meliputi komoditas Anggrek (Dendrobium spp), buah Mangrove,
terutama dari jenis Rhizopora spp, Pandan (Pandanus spp), dan Nipah (Nypafruticans
Wurmb).
Kenapa kita membahas komoditas nabati tersebut, karena komoditas tersebut di
khususnya daerah Papua memiliki peran yang cukup signifikan, khususnya bagi penduduk
lokal, baik sebagai sumber penghasilan tambahan maupun makanan alternatif. Anggrek
potensinya cukup melimpah dan dijual dengan bebas kepada setiap tamu yang datang ke
Papua, daun pandan banyak dimanfaatkan untuk membuat tikar tradisional dan beberapa
produk nayaman lokal lainnya. Nipah pelepah daunnya untuk dinding rumah tradisional
masyarakat lokal, daunya disusun dan dijepit untuk atap rumah, sedangkan air niranya dapat
dibuat minuman lokal beralkohol. Buah Mangrove dari jenis Rhizophora spp dan Bruquiera
spp dapat dijadikan sumber karbohidrat alternatif bagi penduduk lokal di Irian Jaya
Setelah menyelesaikan pokok bahasan ini, para pembaca diharapkan memiliki
kemampuan untuk :
1. Melakukan identifikasi beberapa komoditas nabati lainnya yang belum dibahas dalam
pokok bahasan ini khususnya yang dimanfaatkan bagi masyarakat lokal.
2. Membedakan komoditas nabati yang dimanfaatkan untuk tujuan pemakaian sendiri atau
dapat menghasilkan uang (dijual).
3. Mengetahui beberapa produk-produk keunggulan lokal dari beberapa komoditas nabati
tersebut

19.2. Anggrek (Dendrobium spp)

Tumbuhan Anggrek adalah tumbuhan yang sangat unik, keunikan tersebut dicirikan
oleh bunganya yang sangat bervariasi, baik dalam ukuran, bentuk dan warnanya. Anggrek
adalah sejenis tumbuhan efifit yang banyak dimanfaatkan sebagai tanaman hias (Ornament
plants) karena keunikan bunganya yang memukau, baunya yang khas, yang kemudian
mengilhami untuk membuat parfum dan minyak rambut yang khas bunga anggrek. Anggrek
termasuk dalam family Orchidaceae suatu family tumbuhan yang sangat besar dan beragam
Dari keragaman jenis, Anggrek juga sangat beragam, diperkirakan terdapat sekitar 30
000 species anggrek di dunia yang terdiri atas 660 genera dengan 75 000 hibrid yang
terdaftar (Rukmana, 2000). Selanjutnya penulis yang sama mengemukakan bahwa Indonesia
diperkirakan memiliki potensi anggrek lebih dari 5000 species. Keberagaman jenis tersebut
belum termasuk beberapa jenis yang merupakan hasil persilangan, yang dilakukan setelah
diadakan usaha budi daya, sehingga jenis tersebut tidak terdapat dialam.
Anggrek memiliki karakteristik pertumbuhan batang yang khas dan unik, sehingga dapat
dibedakan menjadi dua kelompok yaitu Monopodial dan Sympodial, Orchid Society of South
East Asia, (1998).
Kelompok monopodial didirikan apabila batang anggrek tumbuh secara mandiri atau
indenpenden, dan daun baru selalu muncul dan tumbuh dari pucuk batang. Biasanya
batang jenis anggrek ini tumbuh keatas, atau tumbuh merambar bila berbatang tunggal,

Hasil Hutan Bukan Kayu


236
dengan akarnya yang kokoh menenpel pada pijakan yang ditemukan, bunganya muncul
biasanya dari sisi lain dari batangnya, seperti ditunjukkan oleh Gambar 19.1.

Foto: Wahyudi (2007)


Gambar 19.1. Karakteristik pertumbuhan anggrek tipe monopodial yang tumbuh di
pekarangan penduduk lokal di Manokwari.

Sympodial adalah jenis anggrek yang memiliki ciri pertumbuhan seperti berumpun dari
dasar yang sama, dengan ciri khas batang yang mengelembung (Bulb) dan bunganya
dapat muncul dari bagian lain dari batang. Pada kebanyakan anggrek yang tumbuhdi
daerah tropis adalah tipe sympodial, Gambar 19. 2.

Foto: Wahyudi (2007)


Gambar 19.2 Tipe pertumbuhan anggrek sympodial yang kurang terawat di kebun
penduduk lokal di Manokwari.

Metode lain untuk membedakan tumbuhan anggrek adalah dengan melihat habitat
tempat tumbuhnya, apakah tumbuh di atas tanah (Terresterial orchids), menempel pada
pohon (Epiphytic orchids), merambat/memanjat (Climbing orchids) dan di atas batu/tempat
kering (Lithophytic orchids).
Usaha budi daya tanaman anggrek banyak dilakukan secara trandisional maupun dengan
menggunakan teknologi kultur jaringan. Pada kebanyakan, petani anggrek masih
menggunakan metode-metode konvensioanal untuk menyilangkan dan membudidayakan
anggrek.
Penduduk lokal di Papua pada kebanyakan mengambil aggrek dari hutan dan
dibudidayakan secara alami di kebun-kebun penduduk ataupun pekarangan rumah, dan
apabila sudah tumbuh dengan baik dijual. Penjualan anggrek tersebut masih bersifat lokal,
dan dilaksanakan di pelabuhan laut, bandara atau tempat keramaian lainnya dengan kisaran
harga antara Rp 10.000 – 20.000 per tanaman.. Contoh tumbuhan anggrek yang di jual oleh
penduduk lokal digambarkan oleh Gambar 19.3

Hasil Hutan Bukan Kayu


237
Foto :Marty (2006)
Gambar 19. 3. Tanaman Anggrek yang dijual oleh Penduduk Lokal di Papua

19.3. Buah Mangrove

Tumbuhan mangrove atau bakau adalah vegetasi yang mendominasi pada hutan
mangrove, dan memiliki habitat di daerah peralihan atau perbatasan dari laut ke pantai.
Hutan ini biasanya tumbuh pada daerah-daerah yang berlumpur atau hasil sedimentasi.
Sehingga hutan mangrove selalu identik dengan istilah pasang surut air laut. Vegetasi hutan
mangrove didominasi oleh jenis Bakau (Rhizophora spp), Tumuk/tancang (Bruquiera spp),
Api-api (Avicinea spp), Pedada (Soneratia spp), dan Nyirih (Xylocarpus spp). Dari berbagai
sumber, buah dari tumbuhan mangrove yaitu bakau, tumuk, api-api dan pedada dapat diolah
dan dimanfaatkan sebagai sumber pangan alternatif, khususny pada beberapa daerah yang
berbatasan dengan pantai atau pesisir.Khusus untuk buah dari bakau dan tumuk dapat
dipergunakan sebagai sumber karbohidrat alternatif. Sedangkan beberapa produk kue yang
dapat dihasilkan dari pengolahan buah mangrove di antaranya adalah kue seperti cake, donat,
kue tart, biskuit crispy dan bahkan dodol buah mangrove.
Buah mangrove dari jenis Bakau (Rhizoporaspp) banyak dimanfaatkan oleh masyarakat
di Supriori- kabupaten Biak Numpor, Provinsi Papua untuk bahan makanan yaitu sebagai
sumber karbohidrat atau pati. Keadaan ini berawal saat penduduk lokal kekurangan bahan
makanan pada perang dunia II. Masyarakat lokal lebih mengenalnya dengan sebutan
makanan Ai-bon.
Marty (2006) melaporkan bahwa masyarakat Sowek di Rayori Supriori Selatan,
Kabupaten Supriori, memanfaatkan buah mangrove sebagai sumber karbohidrat. Makanan
dari buah mangrove ini dikenal dengan nama lokal sebagai Aibon. Ai berarti kayu dan Bon
berartibuah. Aibon dibuat dengan metode sebagai berikut: Buah yang telah siap panen dicuci
hingga bersih, kemudian buah tersebut direbus hingga mendidih pada air panas, diangkat,
didinginkan dan dikuliti atau dikupas kulitnya. Proses pengkulitan buah mangrove tersebut
seperti dilukiskan oleh Gambar 19.4. Setelah dikupas kulitnya, daging buah tersebut
dipotong atau disayat-sayat, kemudian direndam dalam air dingin selama kurang lebih 3 jam
dan kemudian direbus kembali dengan air mendidih. Setelah mendidih, daging buah teresbut
didinginkan dan diperas airnya hingga kering. Hasil perasan tersebut dapat langsung
dikonsumsi atau untuk lebih sedapnya ditambahkan gula dan parutan kelapa, Gambar 19.5.
Produk lokal ini kalau si Pulau Jawa mungkin menyerupai kue kelepon.

Hasil Hutan Bukan Kayu


238
Sumber : Marty (2006)
Gambar 19.4. Proses pengupasan kulit buah mangrove jenis Tumuk (Bruquieragymnoriza) di
Desa Sowek distrik Supriori Selatan

Sumber: Marty (2006)


Gambar 19.5. Hasil kupasan buah mangrove jenis Tumuk (Bruquiera gymnoriz) yang siap
direbus

Penelitian tentang sifat sifat fisik dan komposisi kimia buah Aibon (Brugueira
gymnorhiza L.) pada berbagai tingkat kematangan dilakukan oleh Sarunggalo dan Santoso
(2007). Mereka melaporkan bahwa secara fisik buah Aibon berbentuk bulat lurus dan tumpul
memanjang, dengan permukaan tidak rata dan bergelombang. Buah Aibon memiliki kisaran
panjang dari 12,2-35,9 cm; diameter mulai dari 2,0-3,0 cm, berat berkisar dari 30,30-61,10 g,
dan ketebalan kulitnya bervariasi dari 0,6-1,3 mm. Dilaporkan juga, bahwa waktu panen
yang tepat untuk buah aibon adalah pada tingkat buah matang optimal, karena kandungan air,
protein dan total gula buah aibon cenderung menurun dengan semakin bertambahumur
panen. Akan tetapikandungan karbohidrat (pati dan serat) akan semakin meningkat dengan
bertambahnya kematangan buah. Selanjutnya juga dijelaskan bahwa, berdasarkan hasil
analisis kimianya, buah aibon pada tingkat kematangan optimal memiliki kadar abu sebesar
1,07%, protein 4,67%, lemak 0,61%, dan karbohidrat 93,66%. Sedangkan kadar pati, total
gula dan serat kasar secara berurutan adalah 54, 88, 8, 89, dan 4,7 % berdasarkan bobot
keringnya (bk).
Di Kalimantan, masyarakat yang berdomisili di daerah Margomulyo Balikpapan
menggunakan buah mangrve sebagai pengganti nasi untuk sumber karbohidrat pada tahun
1963-1965 (Kompas, 2004). Buah mangrove tersebut direbus dan dimakan dengan campuran
kelapa parut dan gula aren untuk menghilangkan rasa pahit. Buah mangrove jenis Avicinia
Alba dan Avicinia marina yang lebih dikenal dengan nama daerah Api-api lebih cocok dibuat
sebagai bahan baku keripik karena berukuran kecil dengan rasa gurih dan renyah seperti
emping melinjo.
Jenis Bakau Rhizopora apiculata dan Rhizopora mucronata dengan panjang buah
sekitar 70 cm lebih cocok digunakan sebagai sayur asam karena rasanya yang segar.
Sedangkan untuk jenis Pedada (Soneratia alba) lebih cocok untuk dibuat permen karena

Hasil Hutan Bukan Kayu


239
rasanya yang asam. Diversifikasi makanan dari buah mangrove di antaranya adalah dodol
mangrove, cake mangrove, puding dan kue kelepon. Masyarakat lokal dalam pemanfaatan
dan pengolahan serta pengusahaan buah mangrove tersebut dibantu oleh Yayasan
Selamatkan Teluk Balikpapan (YSTB).

19.4. Daun Pandan (Pandanus spp)

Tumbuhan dari kelompok pandan-pandanan memiliki manfaat yang sangat beragam di


masyarakat.Pandan-pandanan terdiri atas beberapa jenis. Secar sepintas, terdapat pandan
yang dibudidayakan untuk tujuan utama menghasilkan daun, dan ada yang ditujukan untuk
mendapatkan buah, seperti halnya Buah merah. Karena produk buah dari pandan telah
dibahas pada bab sebelumnya (lihat Bab 17), maka pada bagian ini membahas pemanfaatan
daun pandan untuk berbagai penggunaan. Sehingga menurut pemanfaatannya, terdapat
pandan yang dipergunakan sebagai bahan baku tikar tradisional, yang mereka sebut sebagai
daun tikar. Pandan juga dapat dimanfaatkan untuk menambah aroma masakan, seperti
pembuatan nasi uduk, nasi kuning dan lainnya. Pandan ini yang kemudian dikenal dengan
pandan wangi. Di pulau Jawa juga ada daun pandan yang dipergunakan untuk membuat
bunga untuk ziarah ke makam. Pandan ini dirajang-rajang dengan pisau dan kemudian
dicampur dengan bunga mawar, cempaka, melati dan bunga lainnya menurut seleranya. Di
Irian Jaya juga terdapat pandan sebagai sumber lemak nabati, yang kemudia dikenal dengan
buah merah (Pandanus conoideus L.). Juga terdapat tumbuhan pandan yang memiliki bunga
seperti buah durian. Menurut masyarakat lokal, di kampung Nusaulan, distrik Buruway kab.
Kaimana, pandan ini merupakan makanan khas kelelawar. Pandan yang berbuah seperti
durian tersebut dapat dilihat pada Gambar 19.6.

Foto: Wahyudi dkk (2007)


Gambar 19.6. Pandan yang berbuah seperti durian (insert) di hutan primer kampung
Nusaulan Distrik Buruway, kab. Kaimana

Khusus untuk pandan yang dimanfaatkan untuk menjadi bahan tikar tradisional, dan
produk anyaman lainnya seperti tas dan jas hujan. Pandan jenis ini adalah dari species
Pandanus tectorius, yaitu yang berdaun agak kecil dan lembut, seperti terlihat pada Gambar
19.7. Karena banyak dimanfaatkan untuk bahan baku tikar, maka pandan dari jenis ini
dinamakan dengan daun tikar. Menurut masyarakat Sowek di Supriori Selatan, tikar yang
terbuat dari daun pandan, akan terasa nyaman dipakai untuk alas tidur dimalam hari, karena
akan terasa hangat, (Marty, 2006).

Hasil Hutan Bukan Kayu


240
Foto : Wahyudi dkk (2007)
Gambar 19.7. Tumbuhan daun tikar (Pandanus tectorius) yang tumbuh di hutan primer
kampung Edor, distrik Buruway, kab. Kaimana

Secara garis besar proses pembuatan tikar dari daun pandan dapat dijelaskan sebagai
berikut daun pandan yang sudah agak dewasa dipanen dari pohonnya. Daun pandan
kemudian dihilangkan durinya, khusus dari pandan yang berduri, dibagian sisi kanan dan kiri
memanjang sepanjang daun pandan. Setelah itu daun pandan dijemur atau digulung
melingkar, menyerupai roll rambut, sehingga memudahkan penjemurandipanas matahari.
Penjemuran juga dapat dilakukan di atas api atau diberi pengasapan di atas api. Tujuannya
adalah agar daun cepat kering dan elastis saat akan dianyam, juga sekaligus metode
pengawetan agar tikar dapat bertahan lama. Lamanya pengasapan tersebut berkisar antara 2-4
hari.
Untuk tikar yang menggunakan daun pandan utuh, daun pandannya tidak dibelah saat
akan dianyam. Sedangkan untuk tikar yang dianyam, daun pandannya dibelah-belah dengan
lebah kurang lebih 1-2 cm dan kemudian dianyam. Setealh selesai dianyam maka tikar
dijemur agar daun pandannya kering benar-benar kering. Contoh produk anyaman tikar yang
dibuat dari daun pandan di kampung Nusaula, distrik Buruway, kab. Kaimana disajikan pada
Gambar 19.8

Foto: Wahyudi dkk (2007)


Gambar 19.8. Tikar dari anyaman daun pandan dari kampung Nusaulan, distrik Buruway
Kab. Kaimana

19.5. Nipah (Nypafruticans Wurmb)

Nipah adalah salah satu jenis tumbuhan dari famili Palmae/arecaeace dari sub famili
Nypoideae, (Tjitrosoepomo 1993 yang dikutip oleh Sokoy, 200). Tumbuhan ini memiliki
akar serabut, tumbuh secara berumpun di bawah permukaan air dengan habitan lumpur yang
labil. Tumbuhan nipah umumnya merupakan bagian dari ekositem hutan mangrove. Nipah

Hasil Hutan Bukan Kayu


241
banyak tumbuh subur pada daerah-daerah aliran sungai yang menyerupai rawa-rawa,
terpengaruh pasang surut dan berlumpur.
Tumbuhan nipah memiliki berbagai fungsi yaitu ekologi, sosial-ekonomi dan
konservasi. Fungsi ekologi nipah adalah sebagai tempat berpijah dan pengasuhan (nursery
ground) dan mencari makan (feeding ground) ikan-ikan sungai.Fungsi sosial dan ekonomi
dari tumbuhan nipah adalah bahwa bagian dari tumbuhan nipah, seperti daun, pelepah dan
sadapan air niranya, dapat merupakan media terjadinya interaksi sosial dalam masyarakat
lokal, baik dalam membangun rumah secara gotong royong, pengambilan dan pemeliharaan
secara bersama-sama. Sedangkan air sadapan niranya merupakan minuman tradisional dan
salah satu sarana di mana setiap anggota masyarakat dapat bertukar pikiran dan berinteraki
sosial. Fungsi konservasi, yaitu perakaran dan pertumbuhan berumpun dari nipah memegang
fungsi mengurangi laju aberasi pantai atau aliran sungai dari arus pasang surut dan
penyangga dari angin ribut (buffer zone). Gambaran populasi nipah yang tersebar di sekitar
sungai Buruway, distrik Buruway Kab. Kaimana dapat dilihat pada Gambar 19.9

Foto:Wahyudi dkk (2007)


Gambar 19.9. Penyebaran nipah disepanjang sungai Buruway, distrik Buruway kab.
Kaimana.

Setiap bagian dari tumbuhan nipah dimanfaatkan oleh masyarakat lokal dari daun,
pelepah, akar, dan nira (sadapan dari tandan buah nipah). Anyaman daun nipah yang dijepit
dengan kayu oleh masyarakat dimanfaatkan untuk atap rumah dan dinding. Lidi atau tulang
daunya dimanfaatkan untuk sapu lidi. Atap yang terbuat dari daun nipah yang dipakai oleh
masyarakat lokal di Papua dapat bertahan antara 3-5 tahun. Daun muda dari nipah juga dapat
dimanfaatkan untuk kertas rokok. Sedangkan pelepah daun nipah dimanfaatkan untuk
dinding rumah masyarakat lokal di Papua, yang biasa dinamakan dengan gaba-gaba.Sokoy
(2006) melaporkan bahwa masyarakat suku Tabi di Jayapura memanfaatkan tumbuhan nipah
untuk berbagai keperluan seperti bahan bangunan, makanan/minuman, obat-obatan,
perlengkapan rumah tangga, bahan kesenian dan sumber energi.
Bandini (1992) yang dikutip oleh Sokoy (2006) menyatakan bahwa pelepah nipah dapat
dimanfaatkan untuk kayu bakar, bahan baku pulp dan kertas. Dikatakan lebih lanjut bahwa
papan partikel yang terbuat dari pelepah nipah memiliki warna yang khas dan menarik.
Buah nipah yang berbentuk tandan (bunch), seperti terlihat pada Gambar 19.10,
memiliki rasa yang lezat apabila diolah menjadi kolang-kaling, (Bandini 1992 yang dikutip
oleh Sokoy, 2006). Serabut buah nipah dapat dimanfaatkan sebagai pengisi jok kursi dan
merupakan sumber api yang baik apabila dibakar. Karena buahnya berbentuk tandan, maka

Hasil Hutan Bukan Kayu


242
satu tandan dapat terdiri atas 67 buah dengan berat keseluruhan tandan sekitar 15 kg. Buah
yang sudah dewasa, dapat dimakan seperti kelapa dan yang masih muda dapat dibuat
manisan atau buah kaleng.
Bakal tandan yang belum mekar apabila dipotong dan disadap airnya akan
menghasilkan nira. Nira ini dapat dibuat menjadi produk gula merah. Gambaran tandan
bunga nipah yang telah mekar dan tandan buah nipah disajikan pada Gambar 19.11.

Foto: Wahyudi dkk (2007)http://alamendah.wordpress.com


Gambar 19.11. Bunga nipah yang telah pecah atau mekar (kiri) dan tandan buah nipah yang
telah masak (kanan)

Potensi pemanfaatan komoditas dari tumbuhan Nipah, terutama untuk sumber sumber
pangan dan industri seperti minuman beralkohol, bahan bakar nabati (BBN), arang aktif,
syrup dan kolang-kaling. Tandan bunga dari nipah yang belum mekar, dipotong dan disadao
untuk menghasilkan minuman beralkohol. Minuman ini secara tradisional di daerah Papua
dikenal dengan nama bobo. Pengolahan sadapan tersebut secara tradisional dapat
menghasilkan gula merah nipah. bahan Sedangkan, komoditas bakar nabati atau bioetanol
adalah pengolahan lebih lanjut dari nira tumbuhan nipah tersebut. Analisis investasi
pengembangan Nipah (Nypa fruiticans) berbasis desa mandiri energy di Bintuni Papua Barat,
telah dilakukan oleh Pattiasina (2011).

19.6. Pala (Myristica spp)

Tumbuhan Pala (Myristicaspp) adalahkomoditas unggulan untuk kabupaten Fakfak dan


Kaimana, di Provinsi Papua Barat. Tumbuhan Pala termasuk dalam komoditas hasil hutan
bukan kayu karena tumbuhan ini banyak tumbuh secara liar di hutan, baik hutan primer
maupun sekunder di daerah Fakfak dan Kaimana. Sampai dengan tahun 2005, luas areal
tanaman Pala (nutmeg) mencapai 1.845 ha, (BPS Fakfak, 2005). Pala (Myristica spp)
termasuk ke dalam famili Myristiceae. Nurdjanah (2007) menyebutkan bahwa di Indonesia
terdapat 5 (lima) jenis yaitu:
1. Myristica fragrans houttyang tanaman asli pulau Banda, provinsi Maluku. Pala ini
merupakan jenis utama dan mendominasi jenis lain dari segi mutu dan produktivitas.
Komoditas pala ini sering disebut sebagai pala Banda.
2. M. argenta Warb yangsering disebut dengan nama Papuanoot. Pala iniberasal dari dari
Papua atau species endemik, dan di Papua khususnya, penyebarannya di hutan-hutan
daerah sekitar kepala burung, seperti Fak-fak dan Kaimana. Mutu komoditas pala ini di
bawah pala Banda.
3. M. scheffert Warb, juga terdapat di hutan-hutan Papua.
4. M. speciosa, jenis pala inidapat ditemukan di pulau Bacan. Akan tetapi . jenis pala ini
tidak mempunyai nilai ekonomi.

Hasil Hutan Bukan Kayu


243
5. M. succeanea, yang terdapat di pulau Halmahera. Sama sperti pala no 4, jenis ini tidak
mempunyai nilai ekonomi

Khusus, di daerah Kaimana dan Fak-fak, masyarakat lokal lebih memilih komoditas
pala untuk mendapatkan penghasilan daripada komoditas hasil hutan lainnya, seperti rotan,
buah merah ataupun daun pandan. Pala dapat tumbuh di berbagai tipe tanah atau habitat, dan
dengan sedikit melakukan perawatan, tumbuhan ini mampu berbuah sepanjang tahun.
Bahkan terkesan pohon pala tumbuh secara liar pada kawasan hutan masyarakat di daerah
tersebut. Pohon pala yang tumbuh di hutan primer kampung Kambala distrik Buruway kab.
Kaimana dapat dilihat pada Gambar 19.11.

Foto: Wahyudi dkk (2007)


Gambar 19. 11. Areal tegakan pohon pala dan buahnya (insert) yang tumbuh di hutan primer
di Kampung Kampala, Kaimana

Jenis komoditas yang dapat dihasilkan dari pohon pala adalah buah pohon pala.
Komoditas buah tersebut, dapat dibagi ke dalam daging buah, tempurung, biji, dan fuli.
Gambaran keempat komoditas tumbuhan pala tersebut dapat dilihat pada Gambar 19.12.

Buah

Daging buah Fuli/Bunga Tempurung dan biji

Foto: wahyudi dkk (2007)


Gambar 19.12. Jenis-jenis komoditas dari tumbuhan pala (Myristica spp)

Khusus di daerah Kaimana dan Fak fak, komoditas fuli oleh masyarakat lokal disebut
dengan bunga pala, sepert ditunjukan oleh warnanya yang merah pada Gambar 19.12.

Hasil Hutan Bukan Kayu


244
Komoditas ini memiliki nilai jual yang paling tinggi, yaitu mencapai Rp 50.000 (lima puluh
riburupiah) per kilogram, sedangkan biji pala dalam kondisi kering udara dijual dengan
harga Rp 20.000 (dua puluh ribu rupiah) per kilogram. Untuk komoditas daging buah buah
pala, masyarakat lokal belum mampu mengolahnya, seperti dibuat bahan manisan pala atau
bebeapa produk lainnya.
Dalam setahun pohon pala dapat dipanen antara 2-3 kali dan rata-rata per pohon pala
dapat menghasilkan 3-4 ton, hal ini tergantung pada intensitas kelebatan buah pala dan
diameter pohon pala yang akan dipanen. Rat-rata tiap satu keluarga di kampung Nusaulan
memiliki areal tumbuhan pala minimal 1 ha, (Wahyudi dkk, 2007).
Nurdjannah (2007) menyatakan bahwa Indonesia adalah produser terbesar dari
komoditas pala, hampir 60% kebutuhan pala dunia dipasok dari Indonesia. Negara penghasil
komoditas pala lainnya adalah India, Sri Langka, dan Papua New Guinea. Komoditas pala
yang diekspor tersebut, sebagian besar masih berupa bahan mentah, atau barang setengah
jadi, seperti biji pala kering (baik yang telah dikupas maupun yang masih mengadung
kulit/tempurung), bunga pala/fuli kering dan sebagian kecil minyak atsiri dari pala.
Sedangkan khusus dari daerah Kaimana dan Fak fak, komoditas tersebut dijual dengan
menggunakan patokan, berat komoditas per kilogram, dan kemudian disimpan dalam karung-
karung palstik. Sistem tersebut dapat mengurangi mutu dan kualitas komoditas pala secara
keseluruhan. Hal ini tentunya menjadi perhatian kita bersama, supaya kedepan komoditas –
komoditas tersebut dapat diolah dengan standard minimal, dan dikemas dengan baik untuk
menjaga kualitas, sekaligus meningkatkan nilai jualnya.
Muchtaridi dkk (2010) melaporkan bahwa rendemen minyak atsiri dari biji pala
(Myristica fragrans Houtt) adalah sebesar 6.85% w/w. Sedangkan komponen kimia
utamanya adalah sabinene (21.38%), 4-terpineol (13.92%) and myristicin (13.57%).
Senyawa-senyawa kompartemen yang lain, di antaranya adalah allylbenzene and turunan dari
propylbenzene, seperti myristicin, safrole, dan eugenol.

19.7. Pustaka

Anonimous (1998). Orchid Growing in the tropics. Orchid Society of South East Asia
(OSSEA). Kanggoroo Press. Singapore
Badan Standarisasi Nasional (BSN), (2001). Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-5009.4-
2001.
Goloubinoff, M; J. de Beer dan E. Katz (2004). Agarwood, Frganant wood. Riches of the
forest: Food, Spices, Craft and resin of Asia. Citlalli Lopez dan Patricia
Shanley. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor Indonesia.
Marty. 2006. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu oleh Masyarakat Sowek di Rayori
Selatan Supriori Selatan Kabupaten Supriori. Skripsi Sarjana Kehutanan
Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan).
Muchtaridi., A. Subarnas., A. Apriyantono., R. Mustarichie. 2010. Identification of
compounds in the essential oil of Nutmes seeds (Myristica fragrans Hout.) that
inhibit locomotor activity in Mice. International Journal of Molecular Science
11 Hal. 4771-4781.
Nurdjannah, N. 2007. Teknologi Pengolahan pala. Penyunting Edy Mulyono dan Risfaheri.
Balitbang Pertanian, Balai besar penelitian dan pengembangan pascapanen
Pertanian.
Pattiasina, T.A. 2011. ANALISIS INVESTASI PENGEMBANGAN NIPAH (Nypa
fruticans) DALAM MENDUKUNG DESA MANDIRI ENERGI
DIKABUPATEN TELUK BINTUNI PROVINSI PAPUA BARAT. Thesis

Hasil Hutan Bukan Kayu


245
magister of Science, Sekolah Tinggi Pasca sarjana, Institute Pertanian Bogor
(tidak diterbitkan).
Rukmana, R. 2000. Budi Daya Anggrek Bulan. Penerbit Yayasan Kanisius Yogyakarta.
Sarungalao, Z., B. Santoso. 2007. Sifat sifat fisik dan komposisi kimia buah Aibon
(Brugueira gymnorhiza L.) pada berbagai tingkat kematangan. Jurnal Bionatura
9 (1) Hal. 83-92.
www.kompas.com. Aneka manfaat Buah mangrove, dari permen hingga bedakedisi Diakses
pada tanggal 5 Oktober 2004..
www.kompas.com.Keripik Buah Mangrove upaya untuk melestarikan hutan. Diakses pada
tanggal 5 Oktober 2004
www.kompas.com. Kayu Gaharu Asal lombok diekspor ke Timur Tengah. Diakses pada
tanggal 26 November 2006.

Hasil Hutan Bukan Kayu


246
BAB 20

MIKROBA ENDOPIT DAN JAMUR


(EDIBLEMUSHROOM)

20.1. Pendahuluan

Mikroba endopit dan edible mushroom adalah termasuk dalam kelompok jamur atau
Fungi. Mikroba endopit bersifat mikroskopis, sedangkan yang edible mushroom bersifat
makroskopis. Dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya kita dengan tidak sengaja telah
memanfaatkan kedua produk tersebut, baik untuk produk makanan dan minuman, obat-
obatan, dan bahkan obat pembasmi seranga atau baik pestisida maupun insektisida yang
ramah lingkungan atau sering disebut sebagai agen pengendali hayati. Contoh yang paling
sederhana dari pemanfaatan fungi adalah produk tempe, ragi tape, dan beberapa produk
fermentasi lainnya. Sedangkan untuk edible mushroom, beberapa komoditas tersebut sering
kita mengkonsumsi sehari-hari, misalnya jamur merang, jamur tiram, jamur kuping, bahkan
shittake.
Terdapat beberapa alasan kenapa kelompok jamur ini dibahas dalam pokok bahasan
tersendiri. Pertama adalah bahwa hutan hujan tropis Indonesia memiliki keanekaragaman
hayati yang sangat tinggi, khususnya untuk kelompok mikroba endopit belum banyak yang
belum dieksploitasi dan diteliti untuk berbabagai tujuan. Karena dalam satu jenis tumbuhan
terdapat bermacam-macam jenis mikroba endofit yang berasosiasi dengan tumbuhan
tersebut. Masing-masing mikroba endofit tersebut memiliki peran sendiri-sendiri dalam
bersimbiosis dengan sel inangnya. Kedua beberapa penelitian yang berhasil mengisolasi
mikroba endofit dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan, seperti untuk obat-obatan,
senyawa anti-kanker, anti-tumor, anti-oksidan, dan sebagainya. Mikroba endofit merupakan
media bioteknologi yang ramah lingkungan dan dapat diperbaharui. Sedangkan alasan
lainnya adalah bahwa iklim mikro pada tegakan hutan tropis basah di Indonesia, dapat
dimanfaatkan sebagai lingkungan tumbuh untuk pembudidayaan edible mushroom, yang
murah, ramah lingkungan, dan sustainable. Alasan yang tidak kalah pentingnya adalah
pemberdayaan masyarakat lokal pemilik hutan untuk memanfaatkan kawasan hutanya
dengan membudidayakan edible mushroom (jamur).
Setelah menyelesakan pokok bahasan ini, para pembaca diharapkan memiliki kemapuan
untuk:
Melakukan perhitungan dan perkiraan tentang potensi jamur (mikroba endopit dan
edibel mushroom) yang terdapat di hutan tropis basah Indonesia;
Melakukan identifikasi jenis-jenis mikroba endofit yang bermanfaaat untuk
dikembangkan menjadi produk kesehatan, obat-obatan, kosmetik, pestisida, dan produk
lainnya;
Melakukan identifikasi multi manfaat yang diperoleh oleh masyarakat hutan, dan
pemerintah tentang pemanfaatan iklim mikro tegakan hutan untuk budi daya edible
mushroom.

20.2. Mikroba Endofit

Mikroba endofit adalah istilah yang dikhususkan pada kajian mikroorganisme yang
bersimbiosis atau memiliki inang dengan tumbuhan, lebih sering dikenal dengan mikroba
tanaman. Mikroba endofit merupakan organisme yang berukuran mikroskopis dan hidup di

Hasil Hutan Bukan Kayu


247
dalam jaringan tanaman (xylem dan phloem), daun, akar, buah dan batang selama periode
tertentu dari siklus hidupnya (Tarigan dan Kuswandi, 2010). Menurut Radji (2005) mikroba
endopit adalah jenis mikroba yang hidup di dalam jaringan tumbuhan pada masa tertentu dan
berkembang biak atau membentuk koloni, tanpa membayakan tumbuhan inangnya. Mikroba
endopit ini mampu menghasilkan berbagai senyawa biologi, yang dikenal dengan istilah
metabolit sekunder sebagai akibat dari proses interaksi (respon bbiologis) antara mikroba dan
tumbuhan inangnya. Kemampuan mikroba endopit untuk menghasilkan berbagai metabolite
sekunder pada berbagai jenis tumbuhan tersebut adalah peluang yang dapat dimanfaatkan
untuk produksi senyawa kimia secara alami dan bersifat masal, serta ramah teknologi dan
lingkungan.
Pada pertengahan 1990-an para ilmuwan yang berkecampung dalam bidang
mikrobiologi khususnya mikrobiologi kedokteran, mulai menyadari bahwa setiap tumbuhan
hampir dipastikan menjadi inang antara 10-15 jenis mikroba. Para ilmuwan berkesimpulan
bahwa apabila terjadi transfer genetik antara tumbuhan induk (inang) dengan mikroba, maka
akan terjadi produksi zat-zat kimia yang bermanfaat pada tanaman danmikroba tersebut.
Kalau mikroba penghasil molekul berpotensi tersebut dapat diidentifikasi, diisolasi, dan
dibudidayakan (culture), maka proses produksi molekul kimia akan lebih mudah, dapat
dikontrol dalam jumlah yang banyak dan tidak merusak lingkungan (www.kompas.com).
Senyawa taksol, adalah senyawa anti kanker yang harus diekstrak dari daun tanaman.
Bila menggunakan cara konvensional banyak tanaman yang harus dipanen dan ditebang
untuk menghasilkan taksol dalam jumlah banyak. Apabila mikroba penghasil taksol tersebut
diperoleh, maka mikroba tersebut selanjutnya dipelihara dengan proses fermentasi
(www.kompas.com).Proses produksi senyawa taksol dengan memanfaatkan jasa mikroba
tersebut lebih mudah dikontrol dan lebih ramah dengan ligkungan.
Secara teori mikroba endofit memiliki fungsi yang menguntungkan juga terhadap
tanaman inangnya yaitu meningkatkan daya saing rumbuhan untuk bertahan
hidup/berkompetensi. Khusus untuk tumbuhan kehutanan, diasumsikan bahwa pada hutan
hujan tropis Indonesia dapat ditemukan berbagai mikroba endofit unggulan, yang dapat
dimanfaatkan untuk berbagai keperluan ilmu dan pengetahan, baik skala domestik maupun
ekspor. Lebih lanjut dikemukakan bahwa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah
mengkoleksi sekitar 5000 endofit yang diperoleh dari 500 pohon yang terdapat pada kebun
raya Bogor.
Tarigan dan Kuswandi (2010) melaporkan bahwa isolate bakteri endopit yang berasal
dari berbagai bagian tanaman kedelai, isolate yang berasal dari nodul tanaman kedelai dapat
menghambat atau mengendalikan penyakit busuk batang (Sclerotium rolfsii Sacc) pada
tanaman kedelai (Glycine max (L.)Merill.).Dalam hal ini penyakit busuk batang pada
tanaman kedelai, dapat dikendalikan atau diatasi dengan memanfaatkan bakteri endopit yang
terdapat pada tanaman kedelai itu sendiri. Mikroba endopit yang berperan seperti ini lah yang
dapat dikelompokkan ke dalam agen pengendali hayati. Contoh lain dari pemanfaatan
mikroba endopit untuk agen pengendali hayati pada tanaman lainnya adalah seperti
kemukakan oleh Sudantha dan Abadi (2011). Kedua peneliti tersebut melakukan uji
efektivitas beberapa jenis jamur endofit Trichoderma spp. isolat lokal NTB terhadap jamur
fusarium oxysporum f. sp. vanillae penyebab penyakit busuk batang pada bibit vanili. Dalam
penelitian ini, jamur endofit Trichoderma spp. isolat lokal NTB, diuji antagonismenya
terhadap lima ras jamur F. oxysporum f. sp. vanillae, yaitu: isolat ENDO-01 (T. viride), isolat
ENDO-02 (T. koningii), isolat ENDO-03 (T. longibrachiatum), isolat ENDO-04 (T.
polysporum), dan isolat ENDO-05 (T. pseudokoningii). Selanjutnya, dilaporkan bahwa hasil
in vitro test menunjukkan bahwa kelima jamur endofit Trichderma spp. isolat lokal NTB
dapat mengedalikan jamur F. oxysporum f. sp. Vanillae, yang diamati bedasarkan mekanisme
kompetisi ruang, mikoparasit dan antibiosis. Dari kelima isolat lokal tersebut, secara in-situ,
terdapat tiga isolat jamur endofit Trichoderma spp. yang mampu mencegah infeksi penyakit
busuk batang. Ketiga isolat tersebut adalah ENDO-02 (T. koningii), ENDO-04 (T.

Hasil Hutan Bukan Kayu


248
polysporum), dan ENDO-05 (T. pseudokoningii). Sedangkan dua isolat mikroba endopit yang
lain, yaitu isolat ENDO-01 (T. viride) dan isolat ENDO-03 (T. longibrachiatum) belum
mampu menghambat terjadinya infeksi penyakit busuk batang pada bibit vanili.
Pemanfaatan mikroba endopit untuk bidang kesehatan, khususnya dunia kedokteran dan
obat-obatan telah banyak diteliti dan dilaporkan oleh berbagai peneliti. Berbagai jenis
mikroba endopit yang berhasil diisolasi dari tumbuhan inangnya, dan senyawa kimia
(metabolite sekunder) yang dihasilkan untuk keperluan dunia kedokteran dan obat-obatan
sebagian telah diringkas oleh Radji (2005). Cotohnya adalah senyawa antibiotika (anti jamur)
Cryptocandin dihasilkan oleh mikroba endofit Cryptosporiopsis quercina yang berhasil
diisolasi dari tumbuhan obat Tripterigeum wilfordii. Senyawa ini dapat dimanfaatkan sebagai
antijamur yang pathogen terhadap manusia, seperti Candida albicans dan Trichopyton spp
(Strobel GA et.al., 1999 yang dikutip oleh Radji, 2005). Beberapa mikroba endopit lainnya
yang berhasil diisolasi dan metabolite sekundernya dapat dimanfaatkan sebagai bahan
antivirus, antikanker, antimalaria, antidiabetes, antioksidan, dan imunosupresif (obat yang
diberikan kepada pasien yang akan menjalani transplantasi organ), beserta tumbuhan
inangnya dapat dilihat pada referensi aslinya di bagian pustaka di akhir pokok bahasan ini.
Pemanfaatan mikroba endopit untuk menghasilkan enzim, khususnya enzim xilanase
yang diisolasi dari pohon Meranti merah (Shorea balangeran Korth.) telah dilaporkan oleh
Kumala dan Fitri (2008). Xilanase merupakan kelompok enzim hidrolase yang dapat
menghidrolisis senyawa xilan menjadi xilosa. Dalam industri kertas misalnya, xilanase dapat
digunakan untuk mengurangi jumlah kebutuhan bahan kimia jenis klorin pada proses
pemutihan pulp. Dengan menggunakan enzim xilanase, limbah klorin dapat diminimalisir
karena senyawa ini menjadi salah satu faktor pencemar lingkungan dari industri
kertas.Mereka melaporkan bahwa dari mikroba endopit dari meranti merah berhasil diisolasi
sebanyak 9 (sembilan) kapang mikroba endopit, dan 8 (delapan) di antaranya mampu
menghasilkan enzyme xilanase antara 1.279 u/ml (tertinggi) - 0.12 u/ml (terendah).
Review yang lengkap dan menyeluruh terhadapat jamur (mikroba) endopit dilakukan
oleh Rodriquez dkk (2008), yang mana artikel aslinya berjudul Tansley review, Fungal
endophytes: diversity and functional roles. Uraian dan penjelasan lengkapnya dapat dibaca
pada referensi aslinya, seperti tertulis di pustaka akhir pokok bahasan ini.

20.3. Jamur yang Dapat Dikonsumsi (Edible Mushroom)

Mushroom adalah istilah umum dari divisi atau kelompok jamur yang dapat dikonsumsi
oleh manusia. Di negara maju seperti Jepang, China, Korea, US, Rusia, juga negara negara
Eropa, mushroom adalah makanan yang sangat populer. Shitake adalah salah satu jenis jamur
konsumsi (mushroom) yang cukup populer di Jepang. Sedangkan di Indonesia, mushroom ini
lebih dikenal dengan istilah Jamur, atau jamur yang dikonsumsi. Karena terdapat beberapa
jamur yang tidak dapat dikonsumsi, atau bersifat racun (toxic). Sehingga apabila kita
mengkonsumsi jamur tersebut dapat mengalami gangguan kesehatan, dari yang ringan seperti
kepala pusing, keracunan, dan bahkan sampai meninggal dunia apabila tidak dengan cepat
tertangani dengan benar.
Dikutip dari berbagai sumber, jamur yang beracun biasanya tumbuh secara liar dialam
bebas, baik di ladang pekarangan, kebun, maupun hutan. Ciri-ciri dari jamur beracun
menurut (www.berbisnisjamur.com) tersebut di antaranya adalah
Umumnya memiliki warna yang sangat mencolok, seperti merah, hijau, biru, hitam, dan
sebagainya, berasal dari alam, bukan hasil budi daya;
Jamur tersebut senyawa sulfida dan cianida, sehingga menimbulkan bau busuk. Jamur
jenis ini di alam umumnya jarang dihinggapi serangga atau binatang kecil lainnya.
Bereaksi dengan benda-benda yang terbuat dari logam seperti pisau, sendok, garpu, atau
cincin. Jamur jenis ini apabila dikerat atau dipotong-potong dengan bahan tersebut,

Hasil Hutan Bukan Kayu


249
maka akan muncul warna hitam pada permukaan bahan yang disebabkan oleh adanya
senyawa sulfida atau warna kebiruan yang disebabkan senyawa cianida.
Bila dimasak akan mengeluarkan warna. Misalnya jamur beracun yang dimasak dengan
nasi, maka nasi tersebut akan berubah warna, seperti cokelat, kuning, merah atau hitam.
Dapat dimungkinkan jenis jamur tersebut adalah mengandung racun.
Jamur tersebut tumbuh atau memiliki habitat pada tempat-tempat kotor atau daerah
dengan saitasi yang buruk. Jamur yang tumbuh di atas kotoran hewan, atau tempat-
tempat pembuangan sampah sudah dapat dipastikan apabila jamur tersebut mengandung
racun.

Suharjo (2006) menyatakan bahwa saat ini terdapat kurang lebih 15 jenis jamur
konsumsi yang dibudidayakan di seluruh dunia, utamanya di Cepang dan China. Sedangkan
www.indojamur.com, mengemukakan bahwa sampai dengan saat ini kurang lebih terdapat
10 jenis jamur yang dapat dikonsumsi, seperti jamur Kancing, jamur Tiram, jamur Kuping,
jamur Shiitake, jamur Merang, jamur Enokitake, jamur Maitake, Jamur Matsutake, Jamur
Truffle, dan Jamur Ling Zi. Penjelasan singkat dari masing-masing jamur tersebut dapat
diringkas sebagai berikut:

1. Jamur Kancing atau Champignon (Agaricus bisporus). Jenis jamur ini adalah jenis
jamur yang paling banyak dibudidayakan di berbagai negara di seluruh, dengan
kontribusi sekitar 38% dari total produksi jamur dunia. Di Indonesia jamur Kancing
sering juga disebut dengan jamur Kompos. Jamur Kancing (Agaricus bisporus) atau
champignon merupakan jamur pangan yang berbentuk hampir bulat sepertikancing dan
berwarna putih bersih, krem, atau coklat muda. Gambar jamur kancing dapat dilihat
pada Gambar 20.1 di bawah ini.

Sumber:www.naturindonesia.com
Gambar 20.1. Jamur kancing (Agaricus bisporus).

Dalam bahasa Inggris, jamur Kancing sering disebut juga dengan namatable
mushroom, white mushroom, common mushroom atau cultivated mushroom. Di Perancis
disebut sebagai champignon de Paris. Jamur Kancing dipasarkan dalam bentuk kemasan
segar (fresh) dan dalam bentuk kalengan (canned mushroom). Dinegara maju, jamur
kancing digunakan untuk bahan masakan berbagai jenis makanan, seperti omelet, pizza,
kaserol, gratin, dan selada. Jamur kancing yang masih muda saat dipanen memiliki
diameter ( ) berkisar antara 2-4 cm, dan jamur kancing dewasa dengan payungnya yang
telah mekar dapat memuliki diamter sekitar 20 cm (www.naturindonesia.com). Jamur
kancing memiliki aroma khas, seperti sedikit manis atau bertekstur menyerupai daging.
Jamur kancing yang masih segar tidak mengandung lemak dan sodium, tetapi kaya
vitamin B dan mineral jenis potasium. Kandungan kalori dari jamur kancing juga rendah
kalori, yaitu 5 buah jamur ukuran sedang mengandung sekitar 20 kalori.

Hasil Hutan Bukan Kayu


250
2. Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus). China atauTiongkok merupakan produsen jamur
tiram utama, yang mana sekitar 25% dari total produksi jamur dunia berupa jamur tiram.
Jamur ini sering disebut juga sebagai shimeji, dengan nama populer Oyster
Mushroom.Jamur ini memiliki ciri-ciri yaitu tangkai tudungnya menyerupai cangkang
tiram dengan bagian tengah agak cekung dan berwarna putih hingga krem.Batang
tubuhnya (tangkai) berada di pinggir (Latin: pleurotus) dan tudung atau atapnya
bentuknya seperti tiram (ostreatus), sehingga jamur tiram mempunyai nama
latinPleurotus ostreatus. Penampakan dari jamur Tiram dapat dilihat pada 20.2 di bawah
ini. Jamur tiram ini masih satu kerabat dengan Pleurotus eryngii atau King Oyster
Mushroomyang ditunjukkan pada Gambar 20.3.

Sumber : www.natureindonesia.com
Gambar 20.2. Jamur Tiram/Oyster mushroom (kiri) dan King oyster mushroom (kanan)

Terdapat beberapa beberapa jenis jamur tiram yaitu jamur tiram putih, jamur tiram
merah jambu, jamur tiram kelabu, dan jamur tiram coklat. Tetapi jamur tiram putih yang
paling banyak dibudidayakan karena paling diminati oleh masyarakat luas.

Di alam, jamur tiram dapat dijumpai pada hampir sepanjang tahun, terutama pad hutan-
hutan daerah pegunungan yang memiliki suhu udara relatif rendah dan berhawa sejuk.
Di hutan alam, jamur Tiram dapat dijumpai dan tumbuh secara bergerombol pada
beberapa permukaan batang pohon yang sudah melapuk atau banir pohon masih
tertinggal. Pembudidayaan jamur ini tergolong mudah dan sederhana, yang biasanya
menggunakan media serbuk gergaji steril yang dikemas dalam kantung plastik
berukuran kecil sampai sedang.

3. Jamur Merang (Volvariella volvaceae). Jamur merang memiliki kontribusi pemasarn


sekitar 16% dari total produksi jamur dunia. Jamur ini sering juga dikenal dengan nama
Volvaria volvacea, Agaricus volvaceus, Amanita virgata atau Vaginata virgata. Jamur
merang banyak banyak dibudidayakan di wilyah Asia Timur dan AsiaTenggara, karena
tropis atau subtropis sangat cocok untuk pembudidayaan jamur ini. Di wilayah Asia,
jamur merang telah lama dibudidayakan sebagai bahan pangan karena memiliki rasa
yang enak dan tekstur yang baik.
Jamur merang yang masih muda memiliki penampakan tubuh buah berbentuk bulat
telur, berwarna cokelat gelap hingga abu-abu dan dilindungi selubung, seperti
ditunjukkan oleh Gambar 20.4 (kiri). Sedangkan jamur merang yang telah dewasa,
tudung berkembang seperti cawan berwarna putih keabu-abuan, seperti terlihat pada
Gambar 20.4 (kanan).

Hasil Hutan Bukan Kayu


251
Sumber: www.bisnisukm.com Sumber : www.myopera.com
Gambar 20.4. Jamur Merang

Jamur merang yang dipasarkan untuk keperluan konsumsi biasanya adalah tubuh buah
jamur yang masih muda, yaitu tudungnya belum berkembang. Nama merang diapkai
untuk menyebut jenis ini, karena jamur ini dibudidayakan dengan menggunakan media
merang (tangkai dari untaian padi) atau jerami. Menurut berbagai sumber, limbah kapas
adalah media yang terbaik untuk produksi dan pertumbuhan jamur merang. Karena
jamur merang memerlukan suhu ruangan yang realtif tinggi, yaitu berkisar antara 30-
38°C dengan suhu optimumnya 35°C, maka budi daya jamur merang biasanya
dilakukan pada rumah-rumah kaca atau green house, yang sering disebu dengan kubung.
Karena tingginya tempeatur tersebut maka Jamur merang dikenal sebagai warm
mushroom, yaitu jamur yang dapat hidup dan mampu bertahan pada suhu yang relatif
tinggi.Sebagai bahan pangan yang bergizi, jamur merang mempunyai rasa lezat, gurih,
dan tidak mengalami perubahan bentuk jika dimasak, sehingga dapat dimasak untuk
berbagai jenis menu masakan, seperti mi ayam campur jamur, sayur tumis jamur, pepes
jamur, sup jamur dan berbagai variasi capcay.

4. Jamur Shiitake (Lentinula edodes). Jamur shiitake adalah jamur yang paling terkenal
di Jepang, China, Taiwan, Hongkong dan Semenanjung Korea. Sekarang jamur shiitake
telah mendunia, setelah beberapa negara lainnya berhasil membudidayakannya, seperti
Singapura, Thailand, Australia, Amerika Serikat, Brazil, dan beberapa negala lainnya.
Sampai saat ini, Jepang dan China adalah exportie terbesar shiitake. Shii berasal dari
nama pohon untuk media jamur ini yaitu Shii (Pasania spp) atau Oaks (Quersus spp),
dan take berarti jamur pohon. Jamur ini di AS dikenal dengan sebutal black forest
mushroom, sedangkan di Perancis dikenal dengan lectin (Chen, 2005). Di Indonesia,
jamur shitake disebut juga dengan jamur kayu cokelat, karena tempat tumbuhnya di
kayu dan tudungnya memiliki warna cokelat (Widyastuti, 2008).
Di Jepang, shiitake kebanyakan dibudidayakan pada media (log berdimaeter kurang
lebih 15-30 cm, dan panjang 1-1.2 m) dari jenis kayu hardwood yang telah disiapkan.
Setelah proses inokulasi jamur, log-log tersebut diletakkan di dalam kawasan hutan, di
bawah naungan tegakan, di mana kelembaban dan intensitas cahya mataharinya
dianggap sesuai dengan syarat pertumbuhan shiitake. Satu kali proses inokoluasi pada
saat awal musim gugur, pada musim semi berikutnya jamur shiitake sudah dapat
dipanen. Untuk satu kali inokulasi pada log tersebut, jamur shiitake dapat dipanen
kurang lebih selama 3 – 5 tahun, sampai log tersebut benar-benar telah lapuk atau
busuk. Berdasarkan waktu pemanenan, aroma dan manfaat kesehatannya, jamur shiitake
dapat dibedakan menjadi donko, dan koshin (www.mitoku.com). Donko adalah Shiitake
kelas utama karena rasa atau aroma dan manfaat kesehatannya. Jamur shiitake yang
masih segar dan dikeringkan yang dijual di beberapa supermaket Jepang, dapat dilihat
pada Gambar 20.5.

Hasil Hutan Bukan Kayu


252
Gambar 20.5. Jamur Shiitake segar (kiri) dan kering (kanan)

5. Jamur Kuping. Jamur kuping adalah jenis jamur yang sangat populer di Indonesia.
Disebut jamur kuping karena jamur ini memiliki ciri-ciri fisik yang lembut, agak
koloidal, menyerupai kuping. Jamur kuping biasanya dimasak untuk campuran sup
supan, cap cay, sayur tumis, bahkan dapat direndam dengan air hangat dan dimakan.
Jamur terdiri atas jamur kuping putih (Tremella fuciformis), jamur kuping hitam
(Auricularia polytricha) dan jamur kuping merah (Auricularia auricula-judae). Salah
satu contoh dari jamur kuping merah dapat dilihat pada Gambar 20.6 di bawah ini.

Sumber:www.naturindonesia.com
Gambar 20.6. Jamur kuping merah

Dibeberapa negara maju, seperti Jepang, Korea, dan China, jamur kuping dijual pada
beberapa supermaket dalam bentuk kering dalam kemasan yang telah divakuum,
sehingga sangat padat, dan rapat. Sehingga dengan kesaman yang cukup kecil, tetapi
apabila direndam dengan air panas akan mengembang menjadi banyak. Contohnya
adalah jamur kuping hitam yang berasan dari China, sperti ditunjukkan pada Gambar
20.7.

Gambar 20.7. Kotak kemasan (kiri) dan bungkusan padat (vakum) dari produk jamur
kuping hitam kering asal China.

Hasil Hutan Bukan Kayu


253
Masyarakat dipedesaan, pada umumnyamemperoleh jamur kuping untuk keperluan
sehari-harinya dengan mengambil dari dari alam sekitarnya. Jmur kuping in dapat
tumbuh pada batang-batang pohon yang sudah mulai lapuk.

6. Jamur Enokitake (Flammulina velutipes). Yamanaka (2011) menyatakan bahwa pada


tahun 1928 jamur Enokitake (Flammulina velutipes) ditemukan oleh Hikosaburo
Morimoto di Kyoto, Jepang, dengan menggunakan media serbuk gerjagi yang
ditampung dalam botol gelas. Keberhasilan ini, kemudian diiukuti dengan budi daya
jamur Enokitake skala industri di wilayah utara provinsi Nagano pada tahun 1950. Sejak
saat itu, jamur ini diproduksi untuk tujuan komersial diJepang, seiring dengan
penggunaan wadah dari polypropylene.Jamur enokitake dalam kemasan yang banyak
dijual di beberapa supermaket Jepang disajikan pada Gambar 20.7.

Gambar 20.7. Jamur Enokitake

7. Jamur Maitake (Grifola frondosa). Menurut Yamanaka (2011) jamur Maitake mulai
dibudidayakan pada tahun 1970 an dengan menggunakan media serbuk gergaji pada
kantong-kantong plastik, tetapi saat ini lebih kuran sekitar 26% medianya diletakkan
dalam botol. Jamur maitake yang dijual di Jepang dapat dilihat pada gambar 20.8.

Gambar 20.8 Jamur Maitake di Jepang

Hasil Hutan Bukan Kayu


254
Di alam jamur Maitake tumbuh secara liar di bawah pohon Oaks tua di tegakan hutan
alam di daerah tengah, dan timur utara Jepang. Jamur ini awalnya hanya dikonsumsi
oleh masyarakat yang mendiami wilayah tersebut. Sampai dengan pertengahan tahun
1980 an, jamur Maitake belum terlalu popular, terutama budi daya dalam skala industri.
Biasanya jamu ini dibudidayakan dalam kantong-kantung plastik dengan menggunakan
media serbuk gergaji. Sampai dengan tahun 2009, sekitar 80% produksi jamur Mitake di
Jepang, hanya dihasilkan oleh tiga perusahaan. Khusus di Jepang, saat ini jamur Maitake
sangat popular di seluruh Jepang, san sampai dengan tahun 2009 produksi jamur ini
menempati urutan ke empat di Jepang.

8. Jamur Matsutake (Tricholoma matsutake (S.Ito et Imai) Sing.)Di Jepang, jamur


Matsutake adalah salah satu jenis jamur langka (wild mushroom) yang hanya dapat
tumbuh di hutan P.densiflora. Dinamakan langka karena, sampi saat ini belum ada
petani jamur yang berhasil membudi dayakan jamur tersebut. Karenanya, jamu ini
memiliki harga yang sangat mahal, yaitu sekitar US $ 600 – 1.800 per kg atau sekitar 6
– 18 juta rupiah per kilogram. Sebagai gambaran, produksi jamur matsutake pada tahun
1941 adalah 12 000 ton, tetapi pada sepuluh tahun terakhir jumlah prosukdinya terus
menurun antara 30 - 100 ton per tahun. Alasan utamanya adalah berkurangnya luasan
tegakan hutan P. densiflora karena terserang beberapa penyakit dan infeksi nematoda.
Jamur Matsutake memiliki beberapa sinomin di antaranya adalah Armillaria matsutake
S, Swedish matsutake (Tricholoma nauseosum), Tricholoma nauseosum (A. Blytt),
Armillaria nauseosa A. Blytt, Tricholoma caligatum var. nauseosum (A. Blytt) Bon,
juga sering disebut sebagai T. caligatum (Viv.) Rick. Untuk species America yaitu T.
magnivelare (Peck) Redhead, serta beberapa species lainnya, yaitu T. bakamatsutake, T.
quercicola, T. fulvocastaneum and T. robustum (www. healing-mushroom.net). Dua
jenis jamur Matsutake, Matsutake Jepang (Tricholoma matsutake) dan Matsutake putih
(Amillaria ponderosa) disajikan pada Gambar 20.11.

Sumber: www.healingmushroom.net Sumber:www.ediblemushrooms.org.


Gambar 20.10. Jamur Matsutake Jepang (kiri) dan Matsutake putih (kanan)

9. Jamur Truffle (Tuber magnatum, Tuber aestivum, Tuber melanosporum, dan Tuber
brumale). Jamur ini adalah jenis jamur yang sangat langka, karena sangat sulit untuk
diperoleh. Tuber adalah istilah yang ditujukkan untuk menunjukkan bahwa jamur ini
mempunyai habitat tersembunyi di dalam tanah, sekitar 7.5 -30 cm di bawah pohon
tertentu dan memiliki bentuknya menyerupai umbi (tubes). Di beberapa negara eropa,
pencarian jamur ini melibatkan bantuan hewan, yang memiliki indera penciuman yang
tajam, seperti babi dan najing (www.sabatinotartufi.com). Di Italia, Truffle putih
dihasilkan oleh wilayah bagian utara negara ini. Sedangkan Alba truffles berasal dari
negara Kroasia. Inang atau simiosis dari jamur ini adalah beberapa species pohon seperti
oaks, hazel, poplar dan beech.

Hasil Hutan Bukan Kayu


255
Truffle putih memiliki variasi varna dari pale krem sampai coklat dengan marbling putih
tersedia pada bulan Oktober dan Nopember. Sedangkan Alba truffles memiliki aroma
yang menyerupai minyak biji matahari atau walnut. Keduanya memiliki harga yang
sangat mahal karena dikategorikan kemewahan aromanya. Contoh jamur ini disajikan
pada Gambar 20.11

Sumber: www.sabatinotartufi.com
Gambar 20.11. Jamur Truffle dari Italia

10. Jamur Ling zhi (Ganoderma lucidum). Jamur Ling zhi adalah jenis jamur yang
dimnafaatkan bukan dikonsumsi, seperti jenis-jenis jamur konsumsi lainnya, karena
keras dan sulit untuk dicerna. Akan tetapi jamur ini hanya dimanfaatkan untuk tujuan
kesehatan, atau teraphy untuk berbagai jenis penyakit dan beberapa keperluan spiritual
lainnya. Di negara China dan Korea, jamur ini dikenal dengan nama Ling Zhi (jamur
untuk kesehatan dan kelahiran kembali), sedangkan si Jepang dikenal dengan nama
Reishi mushroom (Mannentake), yang berarti jamur 10 000 tahun (Wasser, 2005).
Jamur ini biasanya tumbuh dan dapat ditemukan pada pohon-pohon yang telah mati,
terutama akarnya yang terbenam dalam tanah. Jenis-jenis pohon yang menggugurkan
daun (decideous trees) adalah inang yang paling disukai oleh jamur ini.
www.wikipedia.com memberikan contoh salah satu contoh jamur Ling Zhi atau Resihi
mushroom, seperti disajikan pada Gambar 20.12 di bawah ini.

Gambar 20.12 Reishi mushroom atau Ling Zhi (G. lucidum)

Bagi sebagian masyarakat di China, Jepang dan India, kepemilikan dari ekstrak dari
jamur Resishi ini dapat melambangkan kemakmuran, kesehatan, kekayaan dan kelahiran
kembali. Di samping dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan yang bersifat ritual keagamaan,
jamur Reishi juga memiliki beberapa manfaat kesehatan, seperti mengatasi gangguan tidur,

Hasil Hutan Bukan Kayu


256
tekanan darah tinggi, bronkitis, asma, anti tumor, antikarsiogenic, immunostimulant dan
berbagai manfaat lainnya (Wesser, 2005).
Masih menurut penulis yang sama, berdasarkan warna tubuh jamur dan rasanya, jamur
Ling Zhi (Reishi) dapat dikelompokkan ke dalam enam kelompok, yaitu warna biru (blue)
yang menghasilkan arom rasa asam (sour), merah (red) dengan rasa pahit (bitter), Kuning
(yellow) menghasilkan rasa manis (sweet), putih (white) dengan rasa pedas (hot/pungent),
hitam (black) untuk rasa asin (salty), dan ungu (purple) menghasilkan rasa manis (sweet).
Warna merah termasuk jamur Reishi yang memiliki memiliki fungsi kesehatan yang tinggi.
Berbagai informasi tentang jamur Reishi secara lengkap dapat dilihat pada pustaka aslinya,
seperti dicantumkan pada referensi pada pustaka acuan.

20.4. Nilai Nutrisi dan Bahan Aktif pada Jamur Konsumsi

Jamur adalah bahan makanan yang memiliki kandungan gizi yang tinggi dan realtif
lengkap, sehingga termasuk jamur dapat dikatakan sebagai sumber makanan yang sehat.
Jamur memiliki kandungan nutrisi yang beragam dan lengkap, dari protein, serat kasar
(fiber), vitamin, dan beberapa bahan unsur kimia lainnya (http://www.mushroom-
appreciation.com). Jamur rata-rata memiliki kandungan protein yang tinggi, yaitu berkisar
antara 20-30% dari total berat keringnya. Ini sangat bagus sebagai makanan bagi mereka
yang vegetarian, dan mereka yang lagi diet dengan tujuan ingin mengkonsumi protein dalam
jumlah yang tinggi. Serat kasar (fiber) dalam jamur akan sangat membantu menurunkan
kadar kolesterol dan membantu sistem pencernaan tubuh. Jamur adalah sumber vitamin B
dan Niacin. Vitamin B biasanya hanya dapat diperoleh dari jaringan hewan. Jamur sebagai
sumber vitamin B sangat baik bagi mereka yang vegetarian. Beberapa jamur juga
mengandung vitamin D, yang diperlukan untuk proses absorpsi kalsium. Jamur juga
mengandung beberapa mineral, seperti kalsium, kalium, magnesium, dan lainnya.
Unsur tembaga dalam jamur berfungsi untuk membatu tubuh menyerap oksigen dan
membentuk sel darah merah.Unsur selenium yang terdapat dalam jamurberfungsi sebagai
agen antioksidan yang akan membantu menetralisi reaksi radikal bebas. Sehingga dapat
mencegah kerusakan sel yang berpotensi menyebabkan terjadinya penyakit kanker, dan
penyakit degeneratif lainnya. Kandungan unsur selenium pada jamur ini bahkan diklaim
yang tertinggi dibandingkan sumber penghasil lainnya. Jamur mengandung unsur kalium
yang cukup tinggi, lebih tinggi dibandingkan dengan pisang. Dalam tubuh kalium berperan
penting dalam meregulasi tekanan darah dan memelihara fungsi sell agar tetap berfungsi
dengan baik. Beberapa unsur mineral lainnya adalah pospor, seng, magnesium, dan sodium
Jamur mengadung lemak dalam jumlah yang relatif rendah dan tanpa kolesterol.
Khusus untuk jamur tiram misalnya, menurut penjelasan dari www.jamur-tiram.com,
mengandung protein rata-rata 3,5-4% dari berat basah atau dua kali lebih tinggi dari
asparagus dan kubis. berat Jamur tiram yag telah dikeringkan, memiliki kandungan
proteinsekitar 19-35%, lebih tinggi dari beberapa sumber makanan lainnya, seperti beras
(7,3%), gandum (13,2%), dan susu sapi 25,2%. Sedangkan sembilan asam amino esensial
yang tidak dapat disintesis dalam tubuh yang terdapat dalam jamur tiram antara lain lisin,
metionin, triptofan, threonin, valin, leusin, isoleusin, histidin dan fenilalanin. Asam-asam
lemak pada jamur tiram adalah adalah asam lemak tidak jenuh. beberapa vitamin penting
dalam jamur tiram antara lain kelompok vitamin B, vitamin C dan provitamin D. Kandungan
vitamin B1 (tiamin), B2 (riboflavin), niasin dan provitamin D2 (ergosterol)-nya cukup tinggi.
Beberapa unsur mineral utama pada jamur tiram di antaranya kalium (K), kemudian fosfor
(P), natrium (Na), kalsium (Ca) dan magnesium (Mg). Sedangkan mineral minornyaadalah
seng, besi, mangan, molibdenum, kadmium, dan tembaga.
Wasser (2005) yang mengutip berbagai sumber menyatakan bahwa komponen utama
dari jamur Ling Zhi (Reishi) adalah protein, asam lemak, karbohidrat dan serat kasar.
Sedangkan komponen bioaktif (bahan aktif) dari badan, buah dan spora dari jamur ini dari

Hasil Hutan Bukan Kayu


257
400 jenis senyawa berhasil diidentifikasi dan ditentukan struktur kimianya. Bahan-bahan
aktif tersebut kebanyakan termasuk ke dalam kelas triterpenoids, polysakarida, nukleotida,
sterols, steroids, fatty acids, protein, dan peptida.

20.5. Usaha Budi Daya Jamur dan Pemberdayaan Masyarakat Lokal

Lingkungan tropis, pengaruh ekogeograpi, dan kondisi iklim mikrobeberapa kepulauan


di Indonesia sangat mendukung untuk budi daya jamur konsumsi. Beberapa sentra produksi
dan budi daya jamur konsumsi, misalnya beberapa daerah di Jawa Barat untuk Jamur Merang
dan Tiram, Jawa Tengah untuk jamur Kuping dan Shiitake, Yogjakarta dan Jawa Timur
sebagai sentra produksi jamur Tiram.
Suharjo (2006) menyatakan bahwa usaha budi daya jamur konsumsi memiliki beberapa
keunggulan komparatif, dibandingkan usaha pertanian lainnya, seperti sayur-sayuran.
Keunggulan-keunggulan tersebut di antaranya adalah:
Tidak memerlukan lahan usaha yang luas;
Bahan baku atau media nya sangat melimpah, yaitu dari limbah pertanian, kehutanan,
perkebunan;
Nilai gizi yang lengkap pada jamur konsumsi, lebih memudahkan pemasarannya
dibandingkan dengan komoditas sayur-sayuran;
Budi daya jamur merupakan industri yang berwawasan lingkungan dan tidak
menimbulkan pencemaran, karena media bekas jamur masih dapat dimanfaatkan untuk
sumber pupuk kompos dan media tanam sayuran atau tanaman lainnya;
Populasi penduduk indonesia yang lebih dari 200 juta jiwa adalah pasar yang potensial;
Budi daya jamur konsumsi juga tidak memerlukan modal awal dalam jumlah yang
relatif besar;
Tidak memerlukan teknologi yang padat modal;
Tidak memerlukan keahlian khusus, tetapi lebih kepada keuletan dan keterampilan.

Dikutip dari berbagai sumber, Indonesia pernah menjadi produsen jamur konsumsi
terbesar di Asia Tenggara. Tetapi saat ini Indonesia hanya mampu menyusplai sekitar 0.9 %
dari kebutuhan jamur konsumsi dunia, di mana China masih menjadi pemain utamanya, yaitu
sebagai negara eksportir utama jamur konsumsi. Bahkan China dapat memasok sekitar lebih
dari 60.0% dari total kebutuhan jamur konsumsi dunia. Menurunya kontribusi ekport jamur
konsumsi indonesia terhadap konsumsi jamur dunia dapat disebabkan oleh beberapa kendala
seperti belum adanya standarisasi proses budi daya dan produksi, termasuk pasca panennya,
diversifikasi produk yang masih terbatas. Belum adanya campur tangan dari lembaga
keuangan atau perbankan, seperti permberian kredit dan pedampingan manejemen, juga
berkontribusi terhadap penurunan tersebut. Belum tersediannya bibit unggul yang cukup
pada tiap waktu panen juga turut berperan dalam menurunnya volume ekpor jamur konsumsi
tersebut.
Belajar dari para petani jamur di daerah Qingyuan, China, yang mana usaha budi daya
jamur Shiitake mampu mengangkat potensi ekonomi masyarakat setempat. Masyarakat yang
sebelumnya miskin di mana hanya sekitar 6% yang membudidayakan jamur Shiitake. Tetapi
setelah adanya campur tangan pemerintah daerah untuk membudidayakan Shiitake,
membantu proses pemasaran, memberikan pendapingan manajemen dan sekaligus
memberikan kredit murah, hampir 80% jumlah penduduknya menjadi petani Shiitake,
dengan memanfaatkan serbuk gergaji sebagai media tanamnya. Karena budi daya Shiitake
tersebut, menjadikan daerah Qingyuan merupakan satu di antara 3000 kota terkaya di
Chinasaat ini (Chen, 2005), dengan total produksi dari 2,765 ton pada tahun 1986 menjadi
105,800 ton pada tahun 1997. Total pendapatan dari budi daya jamur Shiitake ini mencapai
46,4 milliar US dollar, atau hampir sekitar Rp. 500 miliar.

Hasil Hutan Bukan Kayu


258
Beberapa daerah di Indonesia, khususnya di luar pulau Jawa, seperti Papua, juga
memiliki peluang sebagai sentra budi daya jamur konsumsi. Sampai dengan saat ini, secara
umum beberapa jamur konsumsi yang dijual pada beberapa pasar tradisional di daerah
Papua, diambil dari hutan atau daerah lain di sekitar pekarangan penduduk setempat.
Masyarakat lokal belum membudidayakan komoditas jamur konsumsi tersebut. Sehingga
aktifitas pemanenan dan penjualan jamur konsumsi ini hanya bersifat usaha sambilan atau
sampingan dan aktifitas musiman. Hal ini tentu berpengaruh terhadap kurangnya stok atau
penawaran, terutama untuk kebutuhan rumah-rumah makan dan perhotelan, sehingga
pasokan jamur konsumsi harus dipasok dari luar Papua. Beberapa contoh jamur konsumsi
yang tumbuh secara alami di beberapa kawasan hutan di sekitar pemukiman penduduk dapat
dilihat pada Gambar 20.22.
Seperti yang terlihat pada Gambar 20.22, jamur-jamur konsumsi tersebut tumbuh secara
alami atau liar pada pohon-pohon yang sudah mati atau tumbang, tanpa ada campur tangan
manusia. Dengan lingkungan iklim mikro yang dimilikinya, kawasan hutan alam adalah satu
habitat yang sangat ideal untuk usaha budi daya jamur konsumsi. Penduduk lokal belum
tertarik untuk membudidayakan jamur konsumsi tersebut karena berbagai pertimbangan. Di
antaranya adalah keterbatasan pengetahuan dan teknologi budi daya jamur konsumsi. Untuk
maksud tersebut, kiranya kedepan materi budi daya jamur konsumsi perlu diperkenalkan
kepada para mahasiswa, dan masyarakat luas.

Gambar 20.22. beberapa jamur konsumsi yang tumbuh secara alami di kawasan hutan ekat
pemukiman penduduk di Manokwari utara.

Penyuluhan, pelatihan pelatihan teknis tentang budi daya jamur konsumsi oleh berbagai
instansi terkait, sangat disarankan untuk budi daya jamur konsumsi tersebut, khususnya
untuk pemberdayaan masyarakat lokal, pemanfaatan kawasan hutan, dan memenuhi
kebutuhan lokal akan jamur konsumsi. Kemitraan antara masyarakat atau kelompok tani,
pemerintah daerah, lembaga keuangan dan konsumen seperti perhotelan dan rumah makan
sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan program ini. Pembekalan pengetahuan
kepada para mahasiswa yang akan terjun kemasyarakat, terutama pada kegiatan Kuliah Kerja
Nyata(KKN) juga dapat membantu kesuksesan program terseb
Limbah kelapa sawit (tandan kosong kelapa sawit) yang banyak ditemukan diareal
Perkebunan kelapa sawit di daerah Manokwari, juga banyak ditemukan jamur liar, yang
dapat dikonsumsi. Jamur tersebut sangat lezat. Kenampakan jamur yang tumbuh di bekas
tandan kosong kelapa sawit tersebut dapat dilihat pada Gambar 20.23.

Hasil Hutan Bukan Kayu


259
Gambar 20.23. Jamur yang tumbuh secara alami di bekas tandan kosong kelapa sawit di
daerah Manokwari.

20.6. Pustaka

Chen, A.W. 2005. Shiitake Cultivation. Mushroom grower, s Handbook 2. Mushworld.


Hal.1-10.
http://naturindonesia.com/jamur-pangan, diaksess pada tanggal 12 april 2012.
http://www.mushroom-appreciation.com/nutritional-value-of-mushrooms. Diakses pada
tanggal 12 April 2012.
http://berbisnisjamur.com/ciri-ciri-jamur-beracun, diakses pada tanggal 12 April 2012.
Kumala. S., N.A. Fitri. 2008. Penapisan kapang endofitranting kayu Meranti merah (Shorea
balangerankorth.)sebagai penghasil enzim xilanase.Jurnal Ilmu Kefarmasian
Indonesia.Vol. 6 (1) Hal. 1-6
Radji, M. 2005. Peranan bioteknologidan mikroba endofitdalam pengembangan obat
herbal.Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. II (3) Hal. 113 – 126.
Rodriquez, R.J., J.F. White Jr., A.E. Arnold., R.S. Redman. 2008. Tasley Review Fungal
endophytes: diversity and functional role. Review. New Phytologist PP.1-17.
Sudandha, I.M., A.L. Abadi. 2011. Uji efektivitas beberapa jenis jamur endofit Trichoderma
spp. Isolat lokal NTB terhadap jamur fusarium oxysporum f. Sp. Vanillae
penyebab penyakit busuk Batang pada bibit vanili. Jurnal of Crops Agro Vol.4
(2) Hal. 64-73.
Suharjo, E.2006. Budi daya industri Jamur konsumsi di Indonesia. Makalah temu teknis
nasional tenaga fungsional pertanian. Balai Penelitian dan pengembangan
peternakan. Hal. 6-11.
Tarigan, R., Kuswandi. 2010. Efektivitas asal isolat bakteri endofit dan kerapatan
pengenceran dalam mengendalikan penyakit busuk batang (sclerotium rolfsii
sacc) pada tanaman kedelai. Laporan penelitian (tidak diterbitkan).
Wasser, S.P. 2005. Reishi or Ling Zhi (Gaoderma lucidum). Encyclopedia of Dietary
supplements. Hal.603-622.
Widyastuti, N. 2008. Limbah gergaji kayu sebagai bahan formula media jamur shiitake
(Lentinula edodes). Jurnal Teknologi Lingkungan 9 (2) Hal. 149-155.
www.kompas.com. Pengakuan untuk Pemburu Mikroba. Diakses pada tanggal 28 Oktober
2003.
www.lifeinkochi.net/Pleurotus eryngi, diaksess pada tanggal 12 April 2012.

Hasil Hutan Bukan Kayu


260
www.jamur-tiram.com, diakses pada tanggal 12 April 2012.
Yamanaka, K. 2011. Mushroom cultivation in Japan. WSMBMP Bulletin Vol.4 Hal.1-10.

Hasil Hutan Bukan Kayu


261
BAB 21

KELOMPOK HEWANI

21.1. Pendahuluan

Pokok bahasan hasil hutan bukan kayu kelompok hewani, memliliki berbagai jenis
komoditas yang sangat beragam, mulai dari kelompok mikroorganisme, seperti mikroba dan
bakteri, berbagai jenis serangga, sampai kepada hewan berukuran raksasa seperi gajah,
harimau, badak dan sejenisnya. Sedangkan menurut Praturan Menteri Kehutanan Republik
Indonesia Nomor: P.21/Menhut-II/2009 tentang Kriteria dan Indikator penetapan Jenis hasil
hutan bukan kayu unggulan disebutkan bahwa hasil hutan bukan kayu hewani adalah hasil
hutan bukan kayu berasal dari hewan dan produk turunannya. Selanjutnya HHBK hewani
dikekelompokkan ke dalam tiga kelompok komoditas yaitu a) kelompok hewan buru seperti
babi hutan, kelinci, kancil, rusa, dan buaya; b)kelompok hewan dari hasil proses
penangkaran, yang meliputi ikan arwana, kupu-kupu, rusa, dan buaya; c) kelompok hasil
hewan seperti sarang burung walet, kutu lak, lilin lebah, ulat sutera, dan lebah madu.
Untuk itu rasanya tidak mungkin membahas ketiga kelompok komoditas hewani
tersebut satu persatu. Sehingga, pada pokok ini, produk hasil hutan bukan kayu kelompok
hewani yang dibahas adalah semua produk hewani dari golongan hewan tertentu saja, seperti
rusa, buaya dan burung serta kelompok serangga seperti lebah, kupu-kupu dan beberapa
hewan lainnya yang dilindungi.
Pada akhir pelajaran ini para pembaca diharapkan memiliki kemampuan untuk:
1. Mendefinisikan dan menjelaskan hasil hutan bukan kayu kelompok hewani secara luas
2. Menggolongkan kelompok komoditas hasil hutan bukan kayu hewani berdasarkan
bagian yang dikomersiilkan.
3. Mendiskripsikan proses pengolahan hasil hutan bukan kayu hewani berdasarkan tujuan
produksi yang direncanakan.
4. Mengidentifikasi berapa hasil hutan bukan kayu hewani di Papua yang banyak
diusahakan oleh masyarakat.

21.2. Buaya dan Kulit Buaya

Buaya (Crocodylus spp) adalah termasuk binatang bertulang belakang (vetebrata) yang
dapat tumbuh di darat dan diair. Sehingga berdasarkan habitatnya dikenal dengan buaya
muara, buaya air laut dan buaya air tawar serta buaya rawa. Diperkirakan terdapat sekitar 27
jenis buaya di dunia, sedangkan Indonesia memiliki beberapa jenis buaya. Di Indonesia,
buaya termasuk species binatang langka (wild life) yang dilindungi dengan undang-undang
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 716/Kpts/men/10/1980 dan telah
masuk dalam pengawasan perdagangan internasional CITES (Conservation on International
Trade Endanger Species of Wild Flora & Fauna).
Kalimantan memiliki empat jenis buaya yaitu Crocodylus porosus, C. sianensis,
Tomistoma schlegelii, dan C. raninus, dan species yang terakhir ini adalah endemik asli
Kalimanatan (Kurniati, 2007). Juga dikatakan bahwa benua Afrika saja hanya memiliki tiga
jenis buaya. Selanjutnya dilaporkan bahwa genus Crocodylus adalah jenis buaya muara. Dari
keempat jenis buaya di kalimantan tersebut, tiga jenis, yaitu C.porosus, C. sianensis, dan T.
schlegelii adalah memiliki tipe sarang yang menggunung, di mana sarangnya terbuat dari
bahan seperti rumput-rumputan, ranting pohon dan beberapa tumbuhan mengapung lainnya.

Hasil Hutan Bukan Kayu


262
Menurut berbagai sumber khusus untuk Papua, yaitu Papua barat dan Papuaterdapat dua jenis
buaya, yaitu buaya Muara (Crocodylus porosus) dan buaya Air Tawar (Crocodylus
novaeguineae).
Indonesia pada tahun delapan puluhan banyak mengekspor kulit buaya sekitar 2000 ekor
setiap tahun. Seiring dengan makin punahnya populasi buaya maka pembatasan ekspor kulit
buaya mulai diberlakukan dan hanya diperbolehkan buaya dari hasil penangkaran. Produk
dari kulit buaya yang paling banyak diminati adalah beberapa produk kulit dalam skala
industri kecil seperti ikat pinggang (sabuk), dompet, topi, tas, kopor dan beberapa produk
kulit lainnya. Contoh anak buaya yang ditangkap penduduk di kampung Esania distrik
Buruway kab. Kaimana ditampilkan pada Gambar 21.1

Foto : Wahyudi dkk (2007)


Gambar 21.1. Anak buaya yang ditangkap oleh penduduk di Kampung Esania distrik
Buruway, kab Kaimana.

21.3. Rusa (Cervus spp)

Rusa adalah kelompok kewan mamalia dari famili Corvidae yang banyak ditemukan
diwilayah Papua. Hewan rusa memiliki ukuran tubuh yang kecil dengan kulitnya berwarna
kecoklatan. Ciri yang sangat menonjol dari hewan ini adalah adanya tanduk pada kepalanya
dan tanduk tersebut bercabang-cabang.
Merauke adalah daerah penyebaran rusa yang paling terkenal untuk wilayah Papua,
sehingga sering dinamakan dengan kota rusa. Pada taman nasional atau suaka margasatwa
Wasur Merauke telah ditetapkan sebagai salah satu tempat berburu karena adanya over
populasi dari rusa. Rusa adalah bukan jenis mamalia endemik Papua, tetapi adalah hasil
introduksi dari Pemerintah Hindia Belanda waktu menduduki Papua. Bagian tubuh rusa yang
dimanfaatakan adalah kepala dan tanduknya sebagai ornamen hiasan pada beberapa rumah di
Papua, kulit rusa untuk bahan baku beberapa produk kulit seperti topi, lukisan dan sabuk.
Anak rusa yang masih kecil (fetus) yang diberi perlakukan khusus dengan alkohol juga
dipercaya memiliki khasiat yang baik untuk kesehatan kaum pria pada beberapa daerah di
Idonesia timur khususnya.
Strutur populasi, kondisi habitat dan taman perburuan Rusa Timor (Cervustimorensis) di
Taman nasional Wasur, Merauke, terutama di tiga desa yaitu Poo dengan luasan (200 ha),
Tomer (200 ha), dan Sota (100 ha) telah dilaporkan oleh Andoy (2002). Dijelaskan bahwa
kepadatan populasi rusa tertinggi terdapat di desa Poo yaitu 1630 ekor, diikuti oleh desa
Tomer (900 ekor), dan desa Sota (390 ekor), atau dengan total kepadatan populasi 2920 ekor.
Sedangkan struktur populasinya, disominasi oleh rusa berumur dewasa, dengan rasio jantan
25,07%, betina18,42%, sehingga memiliki sex ration 1:0.56.
Keberadaan dan populasi Rusa Timor di taman nasional Wasur tersebut, telah
dikombinasikan dengan potensi keindahan alam taman nasional wasur untuk paket pariwisata

Hasil Hutan Bukan Kayu


263
berburu, petualangan dan penelitian. Potensi ekopariwisata ini adalah termasuk salah satu
dari nilai tambah dari fungsi hutan dan ekonsistemnya yang tidak secara langsung dapat
ditentukan nilai ekonomisnya.
Khusus di kabupaten Kaimana, Papua Barat, Wahyudi dkk (2007) melaporkan bahwa
populasi rusa liar telah melebihi kapasitas lahan juga terjadi di kawasan hutan primer di
distrik Buruway. Kelebihan populasi rusa ini telah menimbulkan permasalahan dibidang
pertanian tradisional, terutama pada ladang-ladang atau kebun penduduk. Komoditas
tanaman sayuran, ubi-ubian dan juga tanaman palawija lainnya menjadi sasaran sumber
makanan rusa. Penduduk telah berusaha mencegahnya dengan membuat pagar dari kayu,
tetapi hewan ini masih dapat masuk ke dalam areal kebun dengan cara melompat. Oleh
karena itu, penduduk di distrik Buruway, seperti di kampung Nusaulan membuka lahan atau
kebun di pulau-pulau kecil di sekitar perkampungan mereka, untuk menggurangi gangguan
rusa tersebut. Populasi rusa yang meningkat tersebut, banyak dimanfaatkan oleh masyarakat
kota, terutama yang berasal dari Kaimana, untuk wisata berburu. Gambar 21.2 menunjukan
sisa hasil buruan yaitu tanduk rusa yang tidak dimanfaatkan/diambil oleh penduduk dan
pemburu.

Foto: Wahyudi dkk (2007)


Gambar 21.2. Tanduk rusa yang ditinggalkan oleh pemburu di areal perburuan di Kaimana

21.4. Sarang Burung Walet

Indonesia adalah merupakan produsen utama dari sarang burung walet dan lebih dari
separo kebutuhan sarang burung walet dunia dipasok dari Indonesia. Negara-negara
penghasil sarang burung walet lainnya adalah Thailand, Vietnam, Singapura, Myanmar,
Malaysia, India dan Srilangka. Khusus untuk Indonesia, sebagian besar, sarang burung Walet
masih dihasilkan dari alam, bukah hasil dari penangkaran, baik yang berasal dari berbagai
daerah di pulau Jawa atau luar pulau Jawa. Di Pulau Jawa, beberapa daerah disepanjang
pesisir pantai utara dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah habitat yang cocok
untuk pengembangan komoditas sarang burung walet.
Burung Walet adalah jenis burung dari keluarga Apodidae dari genus Collocalia.
Mengutip dari berbagai sumber, Lau dan Malville (1994) menyatakan bahwa burung walet
terdiri atas 30 jenis, tetapi dari jumlah tersebut, hanya empat jenis yang menghasilkan sarang
walet untuk konsumsi. Keempat jenis tersebut adalah burung walet putih (C. fuciphagus),
walet hitam (C. maxima), burung walet germani (C. germani), dan burung walet indian (C.
unicolor).Burung walet adalah salah satu jenis burung liar yang dapat menghasilkan liur
untuk dijadikan sebagai bahan baku membuat sarangnya. Air liur burung walet ini yang
selanjutnya dikenal dengan komoditas sarang burung walet yang memiliki nilai ekonomis
yang sangat tinggi.
Habitat alami burung walet terdapat pada gua-gua yang terdapat pada tepi pantai yang
berwarna gelap gulita. Habitat buatan dapat dibuat pada rumah-rumah penduduk, baik yang
khusus untuk budi daya sarang burung walet, atau rumah biasa. Habitat buatan ini baisanya

Hasil Hutan Bukan Kayu


264
banyak ditemukan pada daerah-daerah di sekitar pesisir. Karena perbedaan kedua habitat
tersebut, ada pengelompokkan sarang walet gua dan sarang walet rumahan (Mardiastuti,
1997).
Air liur atau komositas sarang burung Walet mengandung protein dalam jumalh yang
cukup dominan yaitu 50-60%, karbohidrat sekitar 25%, dan air sebesar 10%, sedangkan
beberapa mineral seperti kalsium, phosphor, sulphur, dan potassium dalam jumlah yang
relatif kecil. Sarang burung walet utamanya diolah untuk berbagai jenis makanan, utamanya
jenis sup-supan, karena kandungan gizi yang relatif tinggi. Makanan dari burung Walet
tersebut bernilai jual yang mahal, sehingga merupakan makanan yang elite pada beberapa
restoran di Hongkong, Singapura dan beberapa negara Asia lainnya. Di samping itu, berbagai
sumber menyatakan bahwa sarang burung walet juga dipercaya memiliki beberapa manfaat
kesehatan, memperkuat paru-paru, daya kerja syaraf, sistem pencernaan, meningkatkan
stamina tubuh dan memperbaharui sel–sel tubuh yang rusak, dan sebagainya. Kotoran dari
burung walet juga dapat dimanfaatkan menjadi pupuk kompos yang sangat baik bagi
tanaman.

21.5. Kutu Lak (Sherlac)

Kutu lak atau sherlac adalah hasil sekresi dari serangga Lak (Laccifer lacca Keer.) dari
famili Kerriidae dan ordo Hemiptera yang hidup pada pohon inangnya. Kutu lak dapat
menghasilkan lak bila mendapatkan pohon inang yang cocok, dengan lingkungan tumbuh,
dan nutrisi yang menunjang pertumbuhan dan perkembangannya produksi lak tersebut.
Selama ini pohon inang utama kutu lak adalah tumbuhan Kesambi (Scheichera oleosaMerr).
Akan tetapi, menurut berbagai sumber, beberapa tumbuhan lain juga dapat digunakan
sebagai tumbuhan inang kutu lak, seperti pohon Akasia (Acasia spp), Beringin (Ficus spp),
Trembesi/kihujan (Samanea saman), Kacang gude (Cajanus cajan) dan Jamuju. Di
Indonesia, kutu lak dibudidayakan oleh perum perhutani, yaitu di daerah Banyukerto,
Pasuruan Jawa Timur, dan beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur, seperti Alor, dan Nusa
Tenggara Barat, sedangkan negara penghasil kutu lak lainnya adalah Thailand dan India
(Taskirawati dkk, 2007).
Rostaman dan Suryatna (2009) melakukan penelitian tentang evaluasi produktivitas
Kutu Lak, Laccifer lacca, pada tiga jenis tanaman inang di daerah hutan Kosambi, Kupang.
Mereka melaporkan bahwa kutu lak yang hidup pada tumbuhan Kosambi memiliki siklus
hidup selama 20-22 minggu, yang mana telur terdapat dalam tubuh induknya yang memiliki
kulit yang keras. Selanjutnya, telur akan menetas dan menghasilkan nimfa. Nimfa tersebut
akan bergerak atau terbawa angin untuk mendapatkan tumbuhan inang yang cocok. Apabila
diraca cocok, maka nimfa tersebut akan menetap secara permanen untuk berganti kulit dan
tumbuh menjadi dewasa. Dilaporkan juga bahwa produksi kutu laka pada pohon inang jenis
Ksambi lebih tinggi, 2 kali lipat, daripada pada pohon Kabesak hitam (Acasia spp) dan
Kabesak putih (Acasia spp). Kutu lak yang dihasilkan dari pohon inang Kosambi tersebut
dibedakan menjadi dua, yaitu lak cabang dan lak butiran, seperti diperlihatkan oleh Gambar
21.3.

Sumber: Rostaman dan Suryatna (2009)

Hasil Hutan Bukan Kayu


265
Gambar 21.3. Komoditas kutu lak yang dihasilkan oleh serangga Lak (Lacciferlacca) pada
tumbuhan inang Kesambi, yang berupa batangan (kiri) dan butiran (kanan)

Teknik kultur seranggan Lak secara garis besar meliputi Persiapan tularan, Penularan
bibit lak, pemeliharaan tularan, pemungutan bekas bibit, pemanenan dan seleksi kualitas kutu
lak. Pengolahan Lak dapat dibedakan menjadi dua yaitu Pembuatan seedlak (lak butiran) dan
Pembuatan sherllac (lak lembaran).Kutu lak sangat banyak dimanfaatkan untuk berbagai
macam produk industri seperti bahan baku piringan hitam, vernis, isolasi alat-alat listrik,
kembang api dan bahan baku dalam industri kesehatan dan kosmetika.

21.6. Lebah Madu

Lebah madu termasuk hewan golongan serangga bersayap yang termasuk ke dalam
genus Apidae. Dikutip dari berbagai sumber, di Indonesia terdapat beberapa jenis lebah
madu, di antaranya adalahApis andreniyormis, Apis dorsata dorsata, Apis dorsata binghami,
Apis cerana, Apis koschevnikovi, Apis nigrocicta, Apis mellifera.Dari jenis-jenis tersebut, A.
dorsata yang paling produktif menghasilkan madu, dapat ditemukan hampir diseluruh
wilayah Indonesia. Ada yang mengatakan bahwa jenis A. dorsata adalah lebah madu liar,
karena. Akan tetapi, menurut Hadisoesilo (2001), berdasarkan hasil penelitian terkini di
Indonesia paling sedikit terdapat lima jenis lebah madu, yaitu Apis andreniformis, A. dorsata,
A. cerana, A. koschevnikovi, dan A. nigrocincta. Menurut Maa (1953) yang dikutip oleh
Hasisoesilo (2001) telah mengklasifikasikan lebah madu ke dalam tiga genera yaitu Megapis,
Micrapis, dan Apis yang kemudian terbagi ke dalam 24 species. Review tentang keragaman
jenis lebah madu di Indonesia telah dilakukan oleh Hadisoesilo (2001). Disimpulkan bahwa
kemungkian masih banyak jenis-jenis lebah madu yang belum diteliti di berbagai tempat di
Indonesia, terutama pada daerah-daerah yang masih terisolir. Dari penelitian tersebut,
kemungkinan ditemukannya jenis lebah baru masih sangat terbuka.
Hasil utama dari peternakan lebah madu adalah lebah madu. Madu adalah zat manis
yang dihasilkan oleh lebah madu dengan cara mengumpulkan dan merubah nektar
bunga/sekresi bagian suatu tanaman, dicampur dengan investin dan disimpan dalam sistem
sarang lebah. Hasil sampingan dari lebah madu adalah malam atau lilin lebah yang
merupakan hasil metabolisme dari lebah sendiri yang diproduksi oleh kelenjar yang terdapat
pada disebelah bawah perut lebah (Mashudi, et al, 1988). Royal jelly yang sering dikenal
dengan sebutan susu ratu adalah cairan hasil sekresi dari kelenjar rahang pada lebah pekerja
muda yang telah bercampur dengan madu bunga dan serbuk bunga.
Madu banyak dimanfaatkan sebagai industri makanan seperti membuat roti dan berbagai
jenis kue. Madu juga dimanfaatkan pada pembuataan makanan dan minuman serta buah-
buahan yang dikalengkan. Dalam bidang kecantikan madu juga dimanfaatkan sebagai bahan
komestik untuk facial, cream dan sabun. Beberapa khasiat dari madu di antaranya adalah
sebagai tonikum bagi jantung, sebagai antibiotika yang berfungsi sebagai disinfektan pada
rongga mulut, larutan encer madu dapat dipergunakan untuk berkumur untuk penyakit
radang, meningkatkan kadar butir darah merah (hemoglobin) pada anak-anak, meningkatkan
nafsu makan karena bersifat stimulan bagi pencernaan.
Malam pada sarang madu banyak dimanfaatkan pada industri batik, industri farmasi dan
obat-obatan. Sedangkan royal jelly memiliki manfaat yang sangat banyak dalam dunia
kedokteran seperti keterbelakangan pertumbuhan badan, penurunan berat badan,
menyembuhkan penyakit lemah syaraf, liver, pengobatan radang sendi, menambah gairah
dan semangat bekerja pada kebanyakan orang.

Hasil Hutan Bukan Kayu


266
21.7. Ulat Sagu

Larva serangga penggerek tumbuhan sagu atau yang lebih dikenal dengan istilah ulat
sagu adalah termasuk kelas insecta dari Anak Suku Rhynchophorinae dengan marga
Rhynchophorus, banyak ditemukan di Papua berasal dari kumbang Rhynchophoruspapuanus.
Kumbang Rynchophorus papuanus memiliki kebiasaan untuk terbang pada siang hari
dan tertarik pada tanaman sagu yang telah mati atau bagian-bagiannya yang luka dan juga
tertarik pada batang sagu yang telah membusuk setelah ditebang. Kumbang betina yang akan
bertelur akan membuat lubang di tempat yang sudah ada luka pada bagian pohon dengan
moncongnya sedalam kira-kira 3 mm dengan telur di dalamnya.
Satu kumbang betina dapat menghasilkan sekitar 400-530 butir. Telur tersebut akan
menetas dalam waktu 2-3 hari yang selanjutnya dinamakan dengan larva yang dapat bertahan
sekitar 2 bulan sebelum tumbuh menjadi pupa. Contoh ulat sagu yang banyak dimanfaatkan
oleh masyarakat lokal sebagai sumber protein hewani alternatif dapat dilihat pada Gambar
21.4.

Foto: Darma (2006)


Gambar 21.4. Ulat sagu sebagai sumber protein hewani alternatif bagi masyarakat lokal di
Papua

Istalaksana (1994) yang dikutip oleh Susilo (200) melaporkan bahwa larva kumbang
Rhynchophorus atau biasanya disebut sebagai ulat sagu memiliki kandungan asam lemak
antara lain: kaprat 10.79%, laurat 5.92%, miristat 1.23%, palmitat 36.63%, palmitoleat
3.97%, oleat 39.89%, linoleat 1.05%, dan linolenat 0.50%. Penulis yang sama juga
melaporkan bahwa ulat sagu memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi seperti kalori 353
kal, lemak 18.15 gram, protein 11.47 gram, Air 67.35 gram dan Abu sebesar 2.54 gram.
Kandungan lemak yang tinggi pada ulat sagu, diduga dipergunakan sebagai energi cadangan
ulat sagu saat memasuki fase pupa. Ulat sagu memiliki kandungan nilai gizi yang tidak kalah
dengan kandungan nilai gizi protein hewani lainnya. Ulat sagu mudah diperoleh dan
harganya relatif terjangkau, banyak dijumpai di pasar-pasar tradisional di wilayah Papua.

21.8. Kupu-Kupu

Di provinsi Papua Barat, khususnya di Cagar Alam Pegunugan Arfak (CAPA) terdapat
komoditas hasil hutan bukan kayu yang khas yaitu Kupu-kupu dari family Papilionidae yang
endemik Papua. Kupu-kupu yang telah dibudidayakan adalah Kupu-kupu sayap burung
(Ornithoptera spp). Produk akhir dari budi daya kupu-kupu tersebut adalah kupu-kupu yang

Hasil Hutan Bukan Kayu


267
diawetakan (specimen) yang ditujukan untuk cenderamata dengan sasaran pasar ke luar
negeri (ekspor). Kupu –kupu sayap burung termasuk ke dalam family Papilionidae, dengan
ciri-ciri sebagai berikut: Berukuran sedang hingga besar, keenam kakinya sempurna, kuat
dan dapat dipergunakan untuk berjalan, serta perbedaan antar jantan dan betina secara umum
agak mirip.
Siklus hidup kupu-kupu sayap burung secara umum adalah sebagai berikut:
Telur. Telur berbentuk bulat, dengan warna kuning kehijauan, berdiameter 0.1 –0.2 cm
dengan lama stadia antara 2-3 hari;
Larva atau ulat. Larva atau ulat adalah larva yang terdiri atas kepala, toraks, dan
abdomen, dengan lima phase instar, yaitu phase 1-5 dengan perioda waktu antara 22-26
har;
Pra-pupa, yaitu phase di mana larva memintakan benangya untuk menggantungkan diri
pada tumbuhan pakanya;
Pupa atau kepompong, keadaan atau kondisi di mana tubuh pupa sudah dibungkus oleh
kulit yang mengeras;
Imago atau kupu dewasa, pada phase ini kupu-kupu sudah mulai dapat bergerak.

Satu-satunya lembaga atau instansi di Papua yang memeperoleh izin untuk melakukan
ekspor spesimen kupu kupu adalah Yayasan Bina Lestari Bumi Cenderaawsih (YBLBC),
yaitu sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memfokuskan salah satu
kegiatannya pada usaha penangkaran Kupu-kupu sayap burung di kawasan Cagar Alam
Pengunungang Arfak (CAPA) yang mendapat bimbingan teknis dari World Wild Fund fo
Nature (WWF), Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) melalui Konservasi
Sumber Daya Alam (KSDA) setempat. Seperti dilaporkan oleh YBLBC bahwa sampai
dengan perioda tanggal 18 Maret 1997, telah berhasil mengirim (ekspor) specimen kupu-
kupu sebanyak 1070 pcs (pieces) ke Australia, 122 pcs ke Belgia, 840 pcs ke Spanyol, 326
pcs ke Perancis dan 70 pcs ke Madrid (Spanyol), dengan kisara harga antara US $ 6,67 –
793,75 per ekor, tergantung kepada jenis dan mutunya. Akan tetap sangat disayangkan,
bahwa sekarang usaha budi daya kupu-kupu dan yayasan tersebut sudah tidak beroperasi lagi
karena berbagai kendala teknis. Beberapa jenis kupu-kupu yang terdapat di Pegunungan
Arfak dan daerah lainnya di Papua dapat dilihat pada Gambar 21.5.

Foto: jurusan Biologi Unipa (2007)


Gambar 21.5. Beberapa jenis kupu-kupu yang terdapat di pegunungan Arfak dan daerah
lainnya di Papua

Panjaitan (2008) melaksanakan penelitian tentang keragaman dan distribusi kupu-kupu


padaberbagai ketinggian tempat di daerah Manyambou, Cagar Alam Pegunungan Arfak.

Hasil Hutan Bukan Kayu


268
Dilaporkan bahwa sebanyak 113 jenis kupu-kupu berhasil diidentifikasi, yang terbagike
dalam 54 genus dan empat family, yaitu Papilionidae, Peridae, Lycaenidae dan
Nymphalidae.Kupu-kupu tersebut dapat dijumpai pada berbagai ketinggian tempat, bahkan
hingga 2200 m dpl. Selanjutnya, disimpulkan bahwa dicatat 7 jenis kupu-kupu endemik
Arfak, dari 23 jenis yang pernah dilaporkan.

21.9. Burung

Indonesia dikenal memiliki keaneragaman jenis burung yang begitu tinggi, khusus untuk
Papua dilaporkan memiliki lebih dari 650 species burung dengan tingkat endemik sekitar
52% atau sekitar 338 jenis, Dinas Kehutanan Kab. Biak Numfor (2002). Salah satu burung
endemik tersebut adalah burung Cenderawasih, yang menjadikannya tanah Papua sebagai
pulau Cenderawasih. Berbagai jenis burung Cenderawasih diperlihatkan oleh Gambar 21.6.

Sumber : http://dody94.wordpress.com
Gambar 21.6. Beberapa jenis burung Cenderawasih, yaitu Paradisaea minor (kiri atas),
Seleucidis melanoleuca (tengah atas), Cicinnurus respublica (kanan atas), Parotia wahnesi
(kanan bawah) dan Paradisaea rubra (kiri bawah).

Burung-burung endemik Papua lainnya adalah jenis burung nuri atau dikenal dengan
Kakaktua, jenis-jenis Merpati atau Dara, jenis-jenis burung Kasuari, jenis Elang dan
sebagainya. Burung-burung tersebut sebagian atau seluruhnya terdapat pada penangkaran
burung yang terdapat pada Taman Burung dan Taman Anggrek Biak, dan koleksi teresbut
sangat lengkap pada tahun 2002.
Berdasarkan buku panduan yang dikeluarkan oleh pengelolan Taman burung dan taman
anggrek mencantumkan bahwa koleksi burung pada tahun 2002 tersebut terdiri atas jenis-
jenis Cenderawasih (Paradisaea minor, Diphyllodes magnificus, Seleucidas melanoleuca,
ptiloris magnificus, Manucodia atra dan sebagainya, jenis-jenis burung Nuri atau dikenal
dengan Kakaktua seperti Lorius lory, Eos cyanogenia, Trichoglossus haematodus,
Chalopisitta atra, Psittaculirostis desmaresti, Alisterus chloropterus, Eclectus roratus,
Cacatua galerita, Cacatua pastinator dan sebagainya, jenis-jenis burung merpati atau burung
dara di antaranya adalah Ducula pinon, Duculabicolor, Caloenas nicobarica, otidiphapa
nobilis, Trugon terrestris, Goura cristata, Goura victoria dan sebagainya, Jenis Bower
(Ailuroedus buccoides), jenis-jenis burung Kasuari seperti Casuarius casuarius, Casuarius
unappendiculatus, dan Casuariusbenetti, jenis-jenis Elang seperti Heliastur indus,

Hasil Hutan Bukan Kayu


269
Heliaeetus leucogaster, dan sebagainya, jenis burung Rangkong atau Taun-taun seperti
Rhyticeros plicatus, Cikukua (Philemon buceroides), Kenanga (Vanellus miles) dan berbagai
jenis burung lainnya. Dikatakan lebih lanjut bahwa sampai dengan tahun 2002, jumlah
koleksi burung yang dapat dilihat mencapai 46 jenis yang terdiri atas 10 famili.
Perburuan besar-besaran yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung
jawab, kerusakan habitat dan berbagai gangguan alam lainnya, telah menggurangi populasi
burung dialam. Perdagangan burung tidak hanya terjadi antar pulau, juga sudah dalam
tingkatan antar negara. Akibatnya populasi dialam terus-menerus berkurang, seperti Jarak
Bali yang sudah mulai langka, burung kutilang yang hanya tinggal nyanyian, burung
Kepodang dan berbagai jenis endemik lainnya.

21.10. Kanguru Pohon Cenderawasih (Dendrogilus ursinus)

Kanguru pohon merupakan salah satu mamalia yang dikenal oleh masyarakat Papua.
Hewan ini dilindungi oleh Pemerintah berdasarkan SK Menteri Pertanian nomor
247/Kpts/Um/4/1975. Di Kawasan ini ditemukan empat jenis kanguru pohon yang endemik
di Papua yaitu: Dendrolagus ursinus, Dendrolagus inustus, Dendrolagus dorianus dan
Dendrolagus goodfelowi (Petocz, 1994 yang dikutip oleh Mustamu, 2006). Selanjutnya
menurut Flannery (1995) dan Menzies (1991) yang dikutip oleh Mustamu (2006) hanya dua
jenis yang dapat ditemui di Kepala Burung yaitu D. inustus dan D. ursinus.
Kanguru Pohon Cenderawasih (D. ursinus) merupakan mamalia endemik Kawasan
Pegunungan Arfak. Menurut Flannery (1995) yang dikutip oleh Mustamu (2006), hewan ini
memiliki punggung berwarna hitam sampai hitam kecoklatan, pipi berwarna pucat atau
kemerah-merahan. Bagian leher hingga perut berwarna putih sampai kekuningan sama
seperti bagian wajahnya, terlihat pada habitatnya, seperti terlihat pada Gambar 21.7 dan 21.8.
Ciri morpholofis lainnya yang mencolok dari kanguru Cenderawasih ini adalah memiliki
telinga besar dengan bagian dalam berbulu dan pada ujung daun telinga bulunya berjumbai.
Ekor biasanya lebih pendek daripada panjang tubuh, dengan warna putih pada bagian ujung
(tetapi terkadang tidak ditemukan).

Sumber : Mustamu (2006)


Gambar 21.7. Habitat Kanguru Pohon Cenderawasih

Sumber : Mustamu (2006)


Gambar 21.8. Kanguru Pohon Cenderawasih yang ditangkap oleh masyarakat lokal.

Hasil Hutan Bukan Kayu


270
Dalam kehudupan sehari-hari, hewan-hewan endemik, termasuk dalam jenis langka dan
dilindungi ini oleh masyarakat diburu untuk diambil dagingnya untuk sumber protein
hewani. Dalam berburu, masyarakat hanya mengandalkan peralatan tradisional, seperti busur
dan anak panah serta sistem jerat.

21.11. Pustaka

Andoy, E.E.S. 2002. Study Populasi Rusa Timor (Cervus timorensis) dan perburuan oleh
penduduk di desa Poo, Tomer dan Sota dalam taman nasional Wasur, Merauke.
Skripsi Sarjana Peternakan. Fakultas Peternakan, Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan).
Baan, Y. 2002. Morfologi dan Tingkah Laku Lebah Madu pada Peternakan lebah Madu di
Kecamatan Muara Tami Kotamadya Jayapura. Skripsi Sarjana Pertenakan.
Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelauatan Universitas Negeri Papua
(tidak diterbitkan)
Dinas Kehutanan Kabupaten Biak Numfor .2002. Melihat dari Dekat Taman Burung dan
Taman Anggrek Biak (leaflet)
Koessoy, M.S.C (2002). Sistem Produksi Dan Sifat Fisik Madu Pada Peternakan Lebah
Masu Di Deas Koya Timur Kecamatan Muara Tami Kotamadya Jayapura.
Skripsi Sarjana Pertenakan. Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelauatan
Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan).
Kurniati, H. 2007. Habitat buaya air tawar potensial di luar kawasan lindungan daerah
Kalimantan. Fauna Indonesia Vol.7(2) Hal.26-31.
Lau, A.S.M., D.S. Malville. 1994. Species in Danger. International trage in Swithflet nest
with specific reference to Hongkong. TRAFFIC International United Kingdom.
Mardiastuti, A. 1997. Pemanfaatan sarang burung walet secara lestari. Makalah pada
Seminar Pendayagunaan Potensi Burung Untuk Menunjang Pembangunan
Nasional. Taman Burung Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, 29 April 1997
Hal.1-11.
Mashudi., P. Ketut., Suwanda.1988. Lebah madu madu lebah di Indonesia tahun 2000.
Cetakan pertama. Penerbit Pusat Apiari Pramuka. Jakarta.
May, B.I. 2005. Sistem Pemeliharaan lebah madu di Kampung Ambaidiru Distrik
Andkaisera Kabupaten Yapen. Skripsi Sarjana Peternakan. Fakultas Peternakan
Perikanan dan Ilmu Kelauatan Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan)
Mustamu, J.T. 2006. Karakteristik Morfologi Kanguru Pohon Cenderawasih (Dendrolagus
ursinus) di Kawasan Pegunungan Arfak Manokwari. Skripsi Sarjana Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Papua.
(tidak diterbitkan).
Panjaitan, R. 2008. Distribusi kupu-kupu (superfamili papilionoidae: lepidoptera) di
Minyambou, Cagar Alam Pegunungan Arfak, Manokwari, Papua Barat. Berkala
Ilmiah Biologi 7(1) Hal. 11-16.
Peraturan Menteri Kehutanan No.P.21/Menhut/2009 tentangKriteria dan indikator penetapan
hasil hutan bukan kayu unggulan.

Hasil Hutan Bukan Kayu


271
Rostaman., B.S. Suryatna. 2009. Evaluasi produktivitas Kutu Lak, Laccifer lacca Kerr.
(Hemiptera : Kerridae) pada tiga jenis tanaman inang. Jurnal Entomologi
Indonesia. Vol.6 (2) Hal.70-76.
Taskirawati, I., F.G. Suratmo., D. Darusman, , N. F. Haneda. 2007. Peluang investasi usaha
budi daya kutu lak (Laccifer laccaKerr): Studi kasus di KPH Probolinggo perum
Perhutani unit II Jawa Timur. Jurnal Perennial 4(1) Hal. 23-27.
Hadisoesilo, S. 2001. Keanekaragaman Spesies Lebah Madu Asli Indonesia, REVIEW.
Biodiversitas Vol 2 (1) Hal. 123-128.
Warisno.1996. Budi daya lebah Madu. Penerbit kanisius. Yogyakarta
Yayasan Bina Lestari Bumi Cenderawasih.1998. Laporan Realisasi Satwa Liar dan
Tumbuhan Alam. Manokwari.

Hasil Hutan Bukan Kayu


272
BAB 22

PRODUK JASA DARI HUTAN(FOREST SERVICES)

22.1 Pendahuluan

Pokok bahasan yang ke duapuluh duaini, membahas tentang produk jasa yang dapat
dihasilkan dari hutan. Sampai dengan ssat ini, belum banyak kajian dan studi intensive
dilakukan untuk mengidentifikasi berapa besar potensi dari produk jasa hutan Indonesia, dan
khusunya di Papua. Usaha-usaha yang telah ada hanya terbatas pada pemanfaatan komoditas
unggulan seperti rotan, damar, sagu dan bambu, itupun diusahakan secara kecil kecilan
sebagai usaha sampingan khususnya di Papua. Untuk menggali potensi dari beberapa produk
jasa dari hutan, maka pokok bahasan ini sengaja dimunculkan guna memberikan gambaran
jenis-jenis produk jasa yang dihasilkan oleh hutan tropis Indonesia.
Pada akhir pelajaran ini para pembaca diharapkan memiliki kemampuan untuk:
1. Menjelaskan pengertian produk jasa hutan sebagai bagian dari komoditas hasil hutan
bukan kayu;
2. Menginventarisai beberapa produk jasa hutan sebagai komoditas hasil bukan kayu
potensial asal Papua;
3. Menjabarkan faktor penghambat dan penunjang dalam merancang proses inventarisasi
potensi tersebut;
4. Menganalisis studi kelayakan usaha jasa produk hutan yang paling cocok untuk
diterapkan pada penduduk lokal di Papua.

22.2. Produk Jasa dari Sumber Daya Hutan (Services of Forests)

Undang Undang No 4 tahun 1999 tentang Kehutanan menjelaskan bahwa hasil hutan
bukan kayu termasuk di dalamnya adalah jasa yang diperoleh dari hutan seperti jasa wisata,
jasa keindahan, komunikasi, jasa berburu dan lain lain.
Paradigma baru dalam kehidupan masyarakat modern sekarang ini, hutan bukan hanya
dipandang sebagai penghasil kayu log atau gelondongan dan kayu bakar, tetapi hutan
dipandang sebagai objek yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Sehingga banyak
harapan dan jasa yang diberikan oleh hutan kepada masyarakat, lingkungan, sistem
pertanian, dan tentunya sistem kehidupan secara keseluruhan.
Eksistensi atau keberadaan hutan dunia, khusunya Hutan Hujan Tropis (Tropical Rain
Forest) saat ini telah menjadi isu global dan pusat perhatian serta kajian dari berbagai
stakeholders dari tingkat lokal, nasional, regional dan bahkan internasional. Keberadaan
hutan yang selama ini hanya dipandang sebagai penghasil kayu dan peyeimbang sistem tata
air (fungsi hidro orologis) pada kenyataanya hutan memiliki beberapa fungsi yang sangat
penting dan beragam. FAO (1998) menguraikan produk jasa dari hutan tropis basah di
antaranya adalah sebagai :
Sumber keanekaragaman hayati (Biological diversity)
Penyimpan dan penyerapankarbon (Carbon sink)
Jasa wisata dan sejenisnya (Recreational and opportunities)
Rekreasi dan pendidikan buat wisatawan (Recreational and Education for Tourist)

Hasil Hutan Bukan Kayu


273
Nilai ekonomis dari produk jasa hutan yang telah diuraikan di atas, sangat sulit untuk
diukur dan ditentukan, dalam beberapa konsep atau basis sulit untuk ditentukan dengan
perhitungan matematis dan ekonomis. Hal ini dikarenakan produk jasa tersebut lebih sering
dirasakan manfaatnya dalam satu sistem kehidupan yang menyeluruh, bukan berdasarkan
produk barang yang dapat ditentukan.
FAO (1998) mengelompokkan produk jasa hutan meliputi beberapa aspek dengan
berbagai kategori umum (broad types) di antaranya :
1. Jasa yang memiliki potensi pasar dan dapat dikembangkan (Those for which o formal
market exists and could be developed). Contohnya adalah air bersih (clean water),
Penggembalaan (Grazing), Ekoturisme/Ekowisata (Ecotourism), rekreasi (Recreation),
perburuan (Hunting) dan sumber bahan baku (Gathering)
2. Jasa hutan yang tidak ternilai dengan uang dan tidak dijual dipasar (Those functions that
are largely intangible and not sold through market). Contohnya seperti nilai budaya dan
spiritual (Cultural and Spritual values), penyeimbang iklim (Influence on Climate),
Mengendalikan Erosi (Erosion control) dan Konservasi keanekaragaman hayati
(Biological diversity conservation).

Untuk produk jasa hutanyang terakhir mungkin akan lebih tepat kalau dikategorikan
sebagai produk eksternal hutan (Forest external). Jasa eksternal hutan dapat didefinisikan
sebagai jasa dari hutan yang memberikan manfaat kesejahteraan (kenyamanan) tetapi tidak
dapat ditentukan harganya dengan uang dan sistem pasar.
Konferensi tingkat tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janero Barzil 1992 dan dilanjutkan
dengan konferensi sejanis di Tokyo Jepang yang lebih dikenal dengan Protokol Kyoto 1997
telah menghasilkan beberapa kesepakan internasional tentang pengakuan produk jasa hutan
tersebut, terutama yang berhubungan langsung dengan ilkim global (Global climate) dan
penguranga gas pencetus efek rumah kaca (Reducing emmision gasses). Produk jasa dari
hutan mulai diagendakan dalam konferensi, harga jual dari jasa hutan tersebut mulai
ditetapkan. Sehingga produk jasa dari hutan seperti penyimpan karbon (Carbon sink/carbon
sequestration) atau hutan sebagai sumber genetik (Forest genetic resources) dan konservasi
keanekaragaman hayati (Biological diversity conservation) mulai ditentukan diperhitungkan
kompensasinya dalam konferensi internasional tersebut.
FAO (1998) melaporkan bahwa studi atau penelitian pada berbagai tempat diseluruh
dunia menyimpulkan bahwa nilai produk jasa dari hutanseperti Rotasi rantai makanan
(NutrientCycling), penyeimbang iklim global (Climate regulation), mengontrol erosi (Erosi
control) dan jasa lainnya melebihi 60% dari nilai total suatu kawasan hutan.

22.3. Jasa Hutan dan Pohon pada Pertanian (Agricultural Services of Forests and Trees)

Keberadaan hutan yang masih hijau akan sangat berpernaruh terhadap ketersediaan
produk-produk pertanian secara umum, baik itu menyangkut ketersediaan bahan makanan,
komodidti peternakan dan perikanan serta perkebunan. Hal tersebut sudah lama disadari oleh
berbagai kalangan baik dari pihak pemerintah, petani maupun stakeholder lainnya. Sehingga
dengan kata lain bahwa Interaksi antara keberadaan atau eksistensi hutan dan pertanian
sangat positif dan memberikan banyak manfaat kepada makhluk hidup dalam suatu sistem.
Interaksi antara eksistensi hutan, pohon dan aspek pertanian secara luas tersebut sulit untuk
dinilai dan ditentukan oleh sistem pasar, karena manfaatnya langsung kepada kemakmuran
dan kesejahteraan umat manusia.
Pada skala tradisional mungkin dapat ditentukan oleh sistem pasar atau ekonomis,
seperti interaksi antara jasa hutan dengan sistem perladangan berpindah (Shifting cultivation).
Terdapat bebera interaksi antara jasa hutan dan sistem pertanian yang sudah lama dikenal
oleh kita di antaranya seperti : memulihkan lahan kritis (Repleshing degraded land), menjaga

Hasil Hutan Bukan Kayu


274
rantai makanan (Recycling Nutrients), menjaga dan memperbaiki struktur tanah (Maintaining
and rehabilitating soil structures), berperan dan menjaga siklus air (Contributing to the
water cycle and regulation of Water), melindungi Daerah Aliran Sungai/DAS (Protecting
Watersheds), aspek perlindungan dan penyangga (Providing shade and Shelter)

22.4. Jasa Hutan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) (Watershed Services of Forests)

Hutan memiliki konstribusi secara langsung kepada kawasan atau Daerah Aliran Sungai
(DAS) yang lebih sering dikenal dengan nama fungsi stabilisasi ekologi (The Ecological
Stabilisation Function of Forest). Fungsi stabilisasi hutan tersebut diberikan langsung kepada
daerah aliran sungari atau kawasannya yang meliputi aspek menstabilkan tanah kawasan
(Stabilising on-site soil), mengurangi laju sedimentasi (Reducing off-sitesedimentation),
mengurangi aliran dan mencegah banjir pada beberapa kawasan DAS kecil (reducing flood
peaks on streams in small watersheds) dan menstabilkan air tanah dan sumber mata air
(repleneshing ground water and watercources). Fungsi hutan pada stabilisasi kawasan DAS
tersebut pada akhirnya akan berpengaruh langsung terhadap pengelolaan sumber tenaga air
(Hydropower) dan sistem irigasi atau pengairan (Irigation).
Beberapa kasus yang terjadi akhir kahir ini seperti banjir bandang, tanah longsir dan
bencana banjir adalah merupakan salah satu bentuk penyimpangan, atau tidakberfungsinya
Hutan sebagai stabilisator, dari fungsi atau jasa hutan dalam menjaga stabilisasi kawasan
DAS.

22.5. Pabrik Karbon (Carbon Sequestration/Carbon Sink)

Salah satu fungsi penting dari keberadaan hutan, khususnya hutan tropis, adalah
kemampuanya dalam menetralisir polusi dunia yaitu kemampuan hutan tropis untuk
mengkonversi/menetralisir polusi Karbon dioksida (CO2) menjadi Oksigen melalui Proses
Fotosintesis. Pada beberapa pertemuan international seperti KKT BUMI di Rio de Janero
(1992) dan Protokol Kyoto (1997) telah diepakati untuk memberikan imbalan jasa hutan
tropis karena fungsinya sebagai paru paru dunia tersebut dalam bentuk dana kompensasi
yang kemudian dikenal dengan nama Provision of Carbon Sink.
Kawasan hutan tropis basah mengolah Karbondioksida dan mengolahnya menjasi
komoditas kayu. Pohon yang cepat tumbuh (faster growth) berarti lebih banyak menyerap
karbon. Sehingga apabila hutan tropis basah mengalami kerusakan (degraded due to burning
orcleared), maka konsentrasi karbon dioksida, atau gas rumah kaca (Greenhouse
gassemissions), di atmosfer akan semakin meningkat baik yang berasal dari industri, maupun
hasil pembakaran kaendaraan bermotor, industri rumah tangga serta pembakaran hutan.
Dengan ketentuan ini, maka negara-negara industri maju (Industried and Developed
Nations) akan membayar kompensasi kepada negara negara berkembang atau miskin
(Poorest and Developing Nations) yang memiliki kawasan hutan tropis basah yang masih
hijau
Untuk perdagangan karbon tersebut menurut FAO (1998) terdapat tiga alterntif atau
skenario yang dapat dikembangkan yaitu:
Manajemen konservasi untuk mencegah emisi (Management for conservation for
prevention emissions), dengan tujuan utamanya adalah untuk menjamin kelangsungan
stok karbon di hutan.
Manajemen pengembangan stock karbon dengan cara menambah areal atau kerapatan
karbon di alam dan perluasan hutan tanaman (plantation forest). Management for
storage (short-term measures over next 50 years or so).
Pengelolaan untuk penggantian/konversi (Management for substitution) (long term
measures). Tujuan jangka panjang ini adalah untuk meningkatkan keanekaragaman
(diversity) penggunaan biomassa hutan ke dalam beberapa produk berbasis karbon

Hasil Hutan Bukan Kayu


275
seperti bahan bakar berbasis biomass (Bioalkohol, Bioethanol Dan Biodiesel)
dibandingkan menggunakan bahan bakar yang berbasis fossil fuel (Fossil-fuel-based
energy products) dan beberapa produk material berbasisi biomassa (Biocomposite)
seperti papan sement (cement-based products) dan produk turunan kayu (wood
basedpanel products)

22.6. Konservasi Habitat Satwa Liar dan Nilai Keanekaragaman Hayati (Conservation
of Wildlife Habitats and Biological Diversity Values)

Dua komponen penting dalam konservasi habitat satwa liar dan nilai konservasi
keanekaragaman hayati adalah : memberikan habitat kepada satwa liar (to provide habitat for
wildlife), dan melakukan usaha konservsi terhadap sumber daya biologi (to conserve
biological resources)
Informasi yang dikelurakan oleh World Conservation and Monitoring Centre (WCMC)
yang dikutip oleh FAO (1998) menunjukkan bahwa kawasan Asia Pasific sangat disarankan
untuk dijadikan daerah perlindungan (protected areas). Republik rakyat Cina (RRC), adalah
negera nomor tiga yang memiliki keanekaragaman tanaman berbunga (Flowering plants)
setelah di bawah Brasil dan Colombia dan Indonesia tidak jauh berbeda. Untuk keneragaman
hayati jenis Mamalia Indonesia memiliki ranking nomor dua di dunia, sedangkan untuk
spesies burung (birds) Indonesia berada pada posisi kelima.
Indeks untuk perhitungan Keanekaragaman hayati (Calculation of Biological Indices)
yang merupakan tingkat pentingnya suatu negara terhadap keanekaragaman hayati dunia,
Indonesia memperoleh nilai yang cukup tinggi yaitu 26,8%, diikuti oleh Filipina (14,0 %),
Malaysia (13.7 %), Papua New Guinea (13,3%) dan Vietnam (12,7 %).

22.7. Pustaka

Asia-Pacific Forestry Commision (1998). Asia-Pacific Forestry Towards 2010. Report of


The Asia-Pacific Forestry Sector Outlook Study. Food and Agriculture
Organization of The United Nation, Rome Italy.

Hasil Hutan Bukan Kayu


276
BAB 23

EKOWISATA (ECOTOURISM)

23.1. Pendahuluan

Era globalisasi dalam bidang pariwisata telah merubah orientasi kepariwisataan dari
yang semula memfokuskan pada wisata-wisata konvensional, seperti musium, peninggalan
bersejarah, benda purbakala, dan objek-objek wisata lainnya, kepada paradigma baru yang
mengkombinasikan nilai-nilai keindahan alam, petualangan, hiburan dan sekaligus tantangan.
Hal tersebut dikarenakan adanya kecenderungan perubahan pola hidup untuk kembali ke
zaman atau periode di mana alam masih sangat bersahabat dengan kita. Dari persfektif inilah
kiranya Ekotwisata mulai diperkenalkan yang memadukan potensi, kelebihan dan keindahan,
serta kekhasan ekologi dan budaya lokalnya dengan berbagai aspek pariwisata lainnya.
Ekowisata atau lebih dikenal dengan ekturisme dibahas dalam pokok bahasan ini untuk
memberikan gambaran tentang potensi ekowisata di beberapa kepulauan Indonesia
khususnya. Kegiatan ekowisata dicanangkan untuk menumbuh kembangkan rasa kebanggaan
akan keindahan dan keunikan alam dengan tujuan utama untuk menumbuh kembangkan rasa
tanggung jawab dan kewajiban terhadap kelestarian alam.
Pada akhir pelajaran ini, para pembaca diharapkan memiliki kemampuan untuk:
1. Menjelaskan definisi ekowisata dan alasan pengelompokkan komoditas ini sebagai salah
satu hasil hutan bukan kayu
2. Menginventarisai beberapa kawasan hutan di Papua yang dapat dijadikan sebagai target
ekowisata.
3. Menjabarkan keunggulan hasil hutan bukan kayu ekowisata dari berbagai perpektif ilmu
seperti ekonomi, ekologi dan lingkungan

23.2. Pengertian

Ekowisata adalah suatu kegiatan pariwisata yang memanfaatkan potensi sumber daya
alam dengan mengikutsertakan potensi masyarakat yang berdomisili di sekitarnya.
Pengertian yang lebih luas dari ekowisata diberikan oleh departemen kebudayaan pariwisata
dan WWF (2009) yaituperjalanan oleh seorang turis ke daerah terpencil dengan tujuan
menikmati dan mempelajari mengenai alam, sejarah dan budaya di suatu daerah, di mana
pola wisatanya membantu ekonomi masyarakat lokal dan mendukung pelestarian alam
Sedangkan Permendagri no 23 tahun 2009 tentang pedoman pengembangan ekowisata di
daerah dinyatkan bahwa ekowisata adalah kegiatan wisata alam di daerah yang bertanggung
jawab dengan memperhatikan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-
usaha konservasi sumber daya alam, serta peningkatan pendapatan masyarakat lokal.
Ekowisata sering juga disebut dengan ekoturisme, tetapi ekoturisme lebih menekankan pada
aspek keunikan potensi ekologi, ekosistem dan sosial budaya masyarakat setempat. Dua
komponen utama dalam ekoturisme adalah potensi sumber daya alam dan potensi masyarakat
di sekitar hutan, baik itu potensi sosial budaya maupun potensi sistem nilai - nilai spiritual.
Ekowisata adalah istilah lain dari ekoturisme. Ekowisata dapat dipahami sebagai wisata
ekologi, yang berarti pergi berwisata ke suatu tempat untuk menyaksikan atau menikmati
keindahan keunikan dan kekhasan potensi ekologi dari daerah tersebut. Potensi ekologi yang
dimaksud adalah potensi sumber daya alam, baik yang terdiri atas benda hidup (makhluk
hidup) maupun benda mati, beserta kekhasan penduduk yang mendiami wilayah ekologi
tersebut.
Sehingga dengan ekoturime diharapakan dapat tercipta pengertian antara pelaku wisata
dan masyarakat objek wisata untuk saling membutuhkan. Masyarakat di samping sebagai

Hasil Hutan Bukan Kayu


277
pemilik objeck wisata, sekaligus berperan sebagai pelaku wisata dan stakeholder
pemberdayaan potensi wisata, khusunya aspek konservasi dan pemberdayaan.
Pemberdayakan hubungan timbal balik antara wisatawan dengan lingkungannya tersebut
diharapkan dapat memberikan rangsangan untuk menjaga sumber daya alamnya seperti
hutan, satwa liar, taman burung dan sumber mata air untuk dikelola berdasarkan asas
kelestarian dan kesinambungan manfaat.
Asosiasi Ekoturieme Australia (The Ecotourism Association of Australia)
mendefinisikan ekoturisme sebagai kegiatan wisata yang berbasiskan potensi ekologi yang
berkelanjutan dan menekankan pemahaman kepada aspek budaya, lingkungan dan
konservasi. Sedangkan kantor kepariwisataan nasional (The sameconuntry’s Office of
National Tourism) mendefinisikan ekoturisme sebagai wisata yang di dalamnya terdapat
unsur interpretasi terhadap lingkungan, budaya dan pengelolaan sumber daya alam secara
berkelanjutan yang berbasis potensi ekologi.
Sumber daya alam yang dapat dijadikan objek dalam ekoturisme dapat berupa flora,
fauna dan faktor abiotik dari penyusun ekosistemnya seperti sungai, goa, iklim,
keindahan(panorama) alam dan beberapa potensi keunikan dan kekhasan lainnya. Sedangkan
potensi masyarakat di sekitar hutan meliputi kebudayaan, adat istiadat, kesenian, jenis
makanan, obat-obatan dan beberapa objek yang dianggap sakral lainnya. Pengusahaan
ekoturisme lebih menekan kepada aspek kesederhanaan, keaslian dan kemurnian potensi
sumber daya alam dan potensi masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan tersebut
sebagai karunia Tuhan yang maha kuasa yang patut dijaga keasliannya.

23.3. Ekowisata dan Kawasan Konservasi

Ekoturisme akan berhasil dan bermanfaat bagi masyarakat lokal baik secara ekonomi,
sosial dan lingkungan apabila dapat menggabungkan antara potensi alam dari suatu kawasan
hutan yang dilindungi, aspek sosial masyarakat setempat, dan partisipasi masyarakat
setempat, baik sebagai pelaku maupun penyelengara dari kegiatan ekoturisme itu sendiri.
Seperti yang dikemukakan oleh Trisurat (2003) yang menggarisbawahi bahwa Ekoturisme
hanya akan dapat berjalan apabila masyarakat lokal mendapatkan manfaat dari kegiatan
ekotorisme itu dan terlibat sepenuhnya dalam kegiatan tersebut. Ecotourism will only work,
though, if the local communities benefit from it and are fully involved in its
management.Lebih lanjut dikatakan bahwa khusus untuk daerah-daerah atau kawasan hutan
penyangga yang memiliki nilai keunikan dan memiliki perbatasan dengan wilayah lain, maka
metode Trans Boundary Conservation Area atau TBCA adalah pola yang cocok
dikembangkan. Contohnya adalah pengembangan ekoturisme di sungai Mekong, diamana
potensi keindahan alamnya dikelola dengan mengandeng masyarakat lokal sebagai pelaku
utamanya.
Beberapa potensi ekowisata yang cukup dan telah terkenal misanya festival lembah
baliem di Wamena, festival danau Sentani, di Jayapura, Provinsi Papua. Juga ada festival
danau Samosir di Sumatera Utara, dan beberapa wisata khas daerah lainnya di berbagai
penjuru tanah air. Sedangkan khusus untuk ekowisata kawasan konservasi bahari di Papua
Barat, yang cukup terkenal sampai ke mancanegara adalah kawasan kepulauan Raja Ampat,
di Papua Barat. Gugusan kepulauan Raja Ampat terdiri atas empat pulau besar, yaitu
Waigeo, Batanta, Salawati dan Misool, serta ratusan pulau-pulau kecil yang terbentang,
seperti berurutan satu sama lainnya. Menurut beberapa sumber, kawasan Raja Ampat adalah
termasuk segitiga karang dunia (coral triangle), yang memiliki kekayaan species karang
tertinggi di dunia. Hal ini juga didukung oleh tingginya biodiversity dari jenis-jenis ikan dan
beberapa tumbuhan laut lainnya. Makanya raja ampat ibaraat surganya bagi para pecinta
olahraga menyelam (diving). Gambaran gugusan kepulauan Raja Ampat dapat dilihat pada
Gambar 23.1.

Hasil Hutan Bukan Kayu


278
Sumber: http://csstribe.com
Gambar 23.1. Gugusan kepulauan di objek wisata ekoturisme Raja Ampat

23.4. Potensi Lokal dari Ekowisata

Negara republik Indonesia sebagai negara tropis dan kepulauan terbesar di dunia, yang
mana terdiri atas sekitar 17 000 pulau besar dan kecil, memiliki potensi yang cukup besar
untuk mengandalkan sektor Ekoturisme. Hal ini ditunjang dengan keberagaman jenis suku
dan etnik, yang hampir ditemukan keunikaanya pada setiap pulau atau kelompok masyarakat.
Potensi keunikan dalam bidang budaya, bahasa, kesenian yang dikombinasikan dengan
keunikan jenis flora, fauna dan kondisi fisik lahan atau hutan, akan menempatkan Indonesia
sebagai negara tujuan Ekoturisme terkemuka di dunia. Menurut Permendagri No.3 tahun
2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah dijelaskan bahwa jenis-jenis
ekowisata di daerah dapat berupa ekowisata bahari, ekowisata hutan, ekowisata pegunungan
dan/atau, ekowisata karst.
Pada beberapa daerah di Pulau Jawa, potensi ekowisata ini telah dikelola oleh Perum
PERHUTANI, baik di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan daerah Jogjakarta. Untuk
daerah-daerah di luar perum Perhutani, biasanya potensi ekotorisme tersebut dipadukan
dengan aspek konservasi, sehingga ditangani oeh Dirjen Perlindungan dan Pelestarian Alam
(PHPA) departemen kehutanan yang dalam operasionalnya dilapangan di laksanakan oleh
Balai Koservasi Sumber daya Alam (BKSDA), maupun unit pelaksana Teknis, seperti Balai
Taman Nasional.
Khusus untuk daerah Papua, di Manokwari, terdapat Balai Taman Nasional Teluk
Cenderawasih (BTNTC), yang mengelola kawasan cagar alam teluk Cenderawasih, dengan
luas mencapai 1.453.500 ha berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 472/Kpts-
II/1993 dan merupakan kawasan taman nasional laut (perairan) terluas di Indonesia, dengan
rincian luasan adalah daratan 68.000 Hektar, yang meliputi 12.400 Hektar pesisir pantai,
55.800 Hektar daratan pada pulau-pulau, dan 80.000 Hektar terumbu karang dan lautan
dengan luas 1.305.500 Hektar, TNTC dan WWF (2006).
Mengacu kepada Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) 2006-2031, yang
disusun oleh BTNTC dan WWF (2006) dalam Desain Model Pengelolaan tentang Rencana
Tata Ruang dan Tapak Zona Pariwisata Alam, beberapa Peluang dan Prospek Pariwisata
Alam yang dapat dikembangkan, di antaranya adalah:
1) Potensi Flora dan Fauna yang meliputi keanekaragaman jenis tumbuhan, hewan dan
khususnya biota laut yang khas dan unik yaitu: Terumbu karang, Ikan karang, Biota
Laut, Burung Cenderawasih, Burung Kesturi kepala hitam, Burung Junai Mas, Rusa,
Buaya, Penyu, Ikan Duyung, Ikan Paus, Ikan Lumba-lumba, Penyu, Vegetasi mangrove,
Vegetasi Lamun Kantung semar, dan berbagai jenis tumbuhan obat-obatan tradisional.

Hasil Hutan Bukan Kayu


279
2) Fenomena Alam, yang unik sepertisumber air panas. Air terjun (water fall), goa,
matahariterbit (sunrise) danbeberapagejala alam lainnya.
3) Keindahan Alam yang merupakan perpaduanantarapotensikeindahandaratan, laut,
bawahlaut dengan formasiterumbukarangnya.
4) Keunikansumber daya alam spesifik Papua, seperti Burung cenerawasihdankimaraksasa.
5) Panorama Objek pemandangan alam (Natural view) pada areal yang terbuka dan luas
seperti wisata bahari.
6) Peninggalan sejarah peradaban dan sejarah masuknya Injil di tanah Papua, seperti
Kuburan tua, Tngkorak manusia zaman dulu, Gereja tua dan Alkitab tua.
7) Atraksi budaya spesifik yang bersifat lokal, seperti batu amitui (batu ramal), upacara-
upacara adat (ritual) sebelum pemotongan rambut dan anting-anting

Kawasan hutan wisata Gunung Meja yang berada di bawah wilayah pengelolaan sub
BKSDA menawarkan potensi keanekaragaman vgetasi hutan tropis basah. Hal ini terkait
dengan fungsi utama hutan Gunung Meja sebagai daerah resapa air dan sumber mata air
untuk Kota Manokwari dan sekitarnya. Hutan Wisata Gunung Meja telah ditetapkan sebagai
daerah resapan air sejak zaman kolonialisme Belandan dan Jepang, bahkan terdapat tempat
wisata bersejarah yaitu Tugu Jepang, tugu yang diperuntukkan untuk mengenang
pergorbanan tentara Jepang yang gugur selama perang dunia II. Tetapi sangat disesalkan
bahwa potensi ini sudah mulai pudar, karena kurangnya perhatian pemerintah dan tindakan
dari masyarakat umum yan tidak bertanggung jawab.
Di tingkat pemerintah daerah Kabupaten Manokwari, khususnya Dinas Pariwisata, telah
menentukan dua potensi ekowisata yaitu Tempat Pemanggilan Ikan di Bakaro dan ekowisata
Hutan Bakau. Tempat pemanggilan ikan menekankan kepada aspek ekologi perairan/pantai
dan keunikan mengumpulkan ikan laut dalam waktu singkat (kurang lebih 5-10 menit),
dengan menggunakan umpan rumah rayap dan menggunakan peluit, yang dilakukan oleh
orang tua atau penerusnya yang memang telah memiliki keahlian turun-temurun, Gambar
23.2.

Gambar 23.2. Objek wisata pemanggilan ikan di desa Bakaro, Kab. Manokwari

Ekowisata hutan mangrvove yang berlokasi sekitar 5 Km dari pusat kota Manokwari,
adalah objek wisata yang mengedepankan fungsi ekologi dari pohon mangrove, khusunya
untuk pelindung daerah pesisir dan pantai. Hutan mangrove ini adalah hasil suksesi alam dari
proses pendangkalan yang telah berlangsung selama kurang lebih 20 tahun terakhir. Selain
tujuan konservasi kawasan pesisir dan pantai, hutan mangrove ini juga dimanfaatkan untuk
media pendidikan publik, yaitu menumbuh kembangkan kesadaan akan pentingya kawasan
pantai dan pesisir yang hijau, dan bersih. Hal ini terkait dengan kondisi/keberadaan wilayah
Papua yang rentan terhadap gempa bumi dan kemungkinan akan terjadinya gelombang
pasang (tsunami) seperti yang terjadi pada tahun 1998.

Hasil Hutan Bukan Kayu


280
Pengembangan potensi sumber daya alam untuk tujuan ekowisata selain bermanfaat
secara ekonomi, pengembangan potensi ekowisata ini juga sekaligus memberikan manfaat
konservasi, dan pelestarian dari kearifan lokal (indigenous knowledge) dari masyarakat
tersebut. Aspek konservasi yang dimaksud adalah menempatkan masyarakat sebagai subjek
dan objek dari ekowisata, dengan melibatkan secara langsung, baik dari perencanaan,
pelaksanaan sampai kepada moniroting keberhasilan dan kegiatan ekowisata itu sendiri.
Sehingga peran aktif masyarakat tersebut yang kita harapkan dapat melestarikan dan
memanfaatkan potensi yang dimilikinya untuk tujuan ekonomi tanpa mengorbankan
kelangsungan dan kerberlanjutan dari potensi tersebut.
Kearifan lokal yang selama ini dipergunakan oleh masyarakat dari generasi ke generasi
telah terbukti mampu mengelola potensi alam yang dimilikinya secara berkelanjutan.
Melibatkan peran serta masyarakat secara aktif dalam ekowisata, secara tidak langsung juga
memberikan peluang kepada masyarakat untuk tetap dapat menjaga dan melestarikan
pengetahuan lokalnya untuk waktu yang tidak terbatas. Bentuk partisipasi ini juga
merupakan penghargaan atas sumber daya yang mereka miliki atau yang berada di bawah
hukum adatnya. Bentuk perghargaan dan partisipasi masyarakat yang seperti ini tidak ternilai
harganya, dan merupakan kelebihan utama dalam pengeloaan sumber daya alam yang
berbasis masyarakat. Berikut ini dua contoh potensi ekowisata laut untuk menyelam dan
berenang yang berada di kampung Nusaula distrik Buruway Kab. Kaimana, Provinsi Papua
Barat seperti terlihat pada Gambar 23.2 dan 23.3. Potensi keunikan alam seperti yang
ditampilkan oleh Gambar 23.2 dan 23.3 tersebut dapat menjadi keunggulan lokal masyarakat
untuk menerik wisatawan, baik domestik dan mancanegara. Untuk itu beberapa persiapan
atau kegiatan harus sudah direncanakan apabila memang ekowisata menjadi tujuan
pengelolaan. Kegiatan-kegaitan tersebut seperti sosialisasi tentang ekosiwisata beserta
seluruh aspeknya, pelatihan kader wisata di masyarakat, kelembagaan di tingkat masarakat.
Beberapa sarana dan prasarana, baik fisik, non fisik maupun peraturan daerah, baik PERDA
maupun Kampung juga harus disiapkan. Beberapa fasilitas penginapan, rumah makan,
fasilitas kesehatan, trasportasi, dan beberapa fasilitas penunjang lainnya mutlak untuk
direncanakan dengan berbagai stakeholder lainnya, terutama investor swasta.

Foto: Wahyudi dkk (2007)


Gambar 23.2. Pantai pasir putih (nama daerahnya Pasir panjang) yang berada di kampung
Nusaulan distrik Buruway Kab. Kaimana

Hasil Hutan Bukan Kayu


281
Foto: Wahyudi dkk (2007)
Gambar 23.3. Perpaduan ukiran batu karang (mozaik) yang dipadukan dengan kejernihan air
lautnya di wilayah adat kampung Nusaulan distrik Buruway kab. Kaimana.

23.5. Pustaka

Asia-Pacific Forestry Commision. 1998. Asia-Pacific Forestry Towards 2010. Report of The
Asia-Pacific Forestry Sector Outlook Study. Food and Agriculture Organization
of The United Nation, Rome Italy.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pengembangan
Ekowisata di Daerah.
Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) dan World Wild For Fund (WWF) .2006.
Draft. Rencana Pengembangan Taman Nasional (RPTN) Kawasan Taman
Nasional Teluk Cenderawasih. Hasil Analisis, Sintesa dokumen dan Input Rapat
Internal Tim Penyusun RPTN Kawasan TNTC.dipersiapkan oleh Godlief
kawer.
Trisurat, Y .2003. Defusing the trasnboundary minefield. ITTO tropical Forest Update Vol
13 (2). Hal. 10-12.
Wollenberg, E., Andrew. I. 1999. Incomes From the Forest. Methods for development and
conservation of forest products for local communities. Center for International
Forestry Research (CIFOR).

Hasil Hutan Bukan Kayu


282
BAB 24

PERDAGANGAN KARBON (CARBONTRADE)

24.1. Pendahuluan

Peningkatan pertumbuhan perekonomian, pertambahan perduduk dunia dan tingkat


kesejahteraan manusia menyebabkan beberapa permintaan kebutuhan, baik kebutuhan bahan
pokok dan jasa naik secara significant dan substansial. Permintaan pemenuhan kebutuhan
pokok tersebut, dapat berupa kebutuhan akan bahan makanan, perumahan, sampai kepada
kebutuhan akan barang-barang jasa, baik jasa primer maupun jasa sekunder. Usaha-usaha
untuk pemenuhan kebutuhan tersebut, berbagai jenis teknologi, metode dan diversifikasi
kegiatan dilakukan untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Salah satu kegiatan yang berkaitan dengan bidang kehutanan adalah Kawasan hutan
dikonversi untuk lahan perkebunan, perumahan dan industri, lahan pertanian dikonversi
menjadi real estate, pabrik dan berbagai aktivitas lainnya. Pemenuhan kebutuhan sekunder,
juga berpengaruh terhadap kondisi bumi secara keseluruhan, seperti produksi sistem
pendingin ruangan pada gedung-gedung dan kendaraan berpengaruh terhadap produksi gas
rumah kaca. Penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang bersumber dari fosil juga
berperan untuk meningkatkan konsentrasi karbon dioksida (CO2) diatmosfir. Pokok bahasan
ini khusus untuk mendiskusikan fungsi hutan sebagai paru-paru dunia dalam mengkonversi
Karbon dioksida (CO2) mejadi Oksigen (O2) melalaui proses yang dinamakan fotosintesis.
Setelah mempelajari pokok bahasan ini para pembaca diharapkan memiliki pengetahuan
tentang:
1. Peran dan fungsi kawasan hutan hutan tropis dalam mengkonversi karbon dioksida
(CO2) menjadi Oksigen (O2);
2. Kesepakatan konvensi global tentang perubahan iklim global dan dampaknya bagi
negara berkembang pemilik hutan tropis;
3. Pengertian Perdagangan karbon (carbon trading) dan penerapan di Indonesia.

24.2. Hutan Tropis Dunia (World Tropical Rain Forest)

Hutan tropis dicirikan oleh adanya keanekaragaman jenis penyusun ekosistem hutan yang
sangat tinggi, dan terletak di sekitar garis khatulistiwa. Tiga lokasi penyebaran hutan tropis
dunia berdasarkan keanggotaan negara dalam Organisasi Perdagangan Negara-negara Tropis
(International tropical Timber Organization/ITTO) yaitu :
1) Hutan Amazone, yang tersebar dinegara Brasil, Peru, Ekuador, Suriname, Bolivia,
Trinidad dan Tobaco, Venezuela dan Guyana.
2) Kelompok hutan Indo Malaya dan Pasific yaitu negara-negara ASEAN termasuk
Indonesia, Papua New Guinea, Fiji, India dan Vanuatu
3) Kelompok Afrika Tengah seperti Kongo, Ghana, Kamerun, Republik Afrika Tengah,
Pantai Gading, Republik Demokratik Kongo, Togo dan Liberia.

Secara sederhana fungsi hutan tropis dan kawasan hutan pada umumnya adalah sebagai
paru-paru dunia, yaitu yang berfungsi untuk mengubah polutan yang utamanaya adalah
karbon dioksida (CO2) menjadi oksigen (O2) melalui jasa pohon hutan atauvegetasi hutan
yang dinamakan dengan proses Fotosintesis. Karbon dioksida yang berasal dari sisa
pembakaran Bahan Bakar Fosil (BBF), yang di Indonesia dikenal dengan nama Bahan Bakar
Minyak (BBM) adalah penyumbang terbesar konsentrasi CO2 dalam atmosfer bumi. Di
samping itu, kegiatan lain yang dapat menyumbang tingginya konsentrasi CO2 di atmosfer

Hasil Hutan Bukan Kayu


283
adalah pembakaran bahan bahan organik, seperti pembakaran sampah, perladangan
berpindah, kebakaran hutan.

24.3. Konvensi International tentang Perubahan Iklim Global

Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa tentang perubahan iklim global


(United Nation Framework Convention on Climate Change, UNFCCC) yang
diselenggarakan di kota Rio de Janeiro, Brasil tahun 1992, yang kemudian dikenal dengan
nama deklarasi Rio de Janeiro. Konvensi ini diselenggarakan karena adanya perubahan pola
iklim global yang akan mempengaruhi seluruh aktivitas manusia di bumi ini. Dalam
konvensi tersebut telah disepakai tentang perlunya upaya-upaya dan tindakan-taindakan yang
harus dilakukan dimasa mendatang. Tindakan-tindakan tersebut belum merupakan suatu
gerakan, tindakan atau yang dikerjakan, tetapi baru sebatas kemauan dan komitmen-
komitmen negara-negara maju untuk memberikan tanggapan terhadap perubahan dalam
pemahaman ilmiah dan kemauan politik, Mudiyarso (2003).
Konvensi berikutnya adalah Sidang pertama Konferensi Para Pihak (First Session ofthe
Conference of Parties, CoP1) yang berlangsung di Berlin, Jerman tahun 1995, sehingga
konvensi ini kemudian dikenal dengan nama Mandate Berlin (BerlinMandate). Pada
konvensi ini Para Pihak memutuskan bahwa komitmen negara-negara maju untuk
mengembalikan emisi ketingkat tahun 1990 menjelang tahun 2000 sangat tidak memadai.
Untuk itu maka dilakukan upaya-upaya untuk menekankan dimulainya suatu proses
yang memungkinkan pengambilan tindakan pada perioda setelah tahun 2000, termasuk di
dalamnya adalah penguatan kominmen negara-negara maju melalui adopsi suatu protokol
atau instrumen legal lainnya. Kemudian, CoP1 memberikan mandat kepada Para Pihak untuk
segera membuat beberapa rencana pembicaraan baru untuk memperjelas komitmen negara-
negara maju, untuk alasan ini kemudian suatu Kelompok ad -hoc dibentuk untuk
menindaklanjuti Mandate Berlin (Ad-hoc Group on Berlin Mandate, AGBM) dengan tugas
utamanya adalah menyusun suatu perjanjian. Setelah beberapa kali bersidang, sebanyak
delapan kali, AGBM menghasilkan sebuah teks yang diajukan kepada CoP3 untuk
dinegosiasikan di Kyoto pada tahun 1997, yang kemudian dikenal dengan Protokol Kyoto.

24.4. Protokol Kyoto

Protokol kyoto adalah sebuah instrumen hukum (legal instrument) yang dirancang untuk
mengimplementasikan Konvensi Perubahan Iklim yang bertujuan untuk menstabilkan
konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) agar tidak menganggu sistem iklim bumi, Mudiyarso
(2003). Robledo (2004) mengemukakan bahwa dua stategi utama yang digunakan untuk
pendekatan pengurangan konsentrasi GRK adalah Mitigasi (mitigation) dan Adaptasi
(adaptation). Mitigasi adalah strategi yang memfokuskan pada pengurangan emisi GRK dan
menurunkan konsentrasi GRK yang telah berada di atmosfer. Sedangkan adaptasi dapat
diterjemahkan sebagai penyesuaian segala sistem ekologi dan sosial untuk menghadapi
segala dampak dari perubahan iklim global, baik yang telah, sedang dan akan terjadi.
Implikasi dari dua strategi tersebut memiliki beberapa implikasi yang sangat penting
terhadap produksi dan perdagangan segala produk hutan hujan tropis, baik produk kayu
maupun produk bukan kayu (forest good and services) dan juga aktivitas dari negara anggota
ITTO.
Tiga mekanisme yang bersifat fleksible telah disepakati dalam strategi Mitigasi, yaitu
Join Implementation (JI), International Emissions Trading (IET) and The Clean Development
Mechanism (CDM). Dua mekanisme yang pertama yaitu JI dan IET adalah mekanisme yang
berlaku antar sesama negara maju, sedangkan yang CDM adalah mekanisme yang berlaku
antara negara maju dengan negara berkembang.

Hasil Hutan Bukan Kayu


284
Khusus untuk CDM, adalah salah satu instrument penting, khususnya bagi negera-
negara anggota ITTO, yang mana mekanisme perdagangan karbon antara negera berkembang
dengan negara maju dapat diizinkan. Akan tetapi, sampai dengan tahun 2012, CDM hanya
menyangkut dua aktivitas yaitu Reforestasi (reforestration) dan Aforestasi (afforestasi), yang
keduanya diakomodasi dalam Penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan
kehutanan (Land Use- Land – Use Change and Forestry (LULUCF). Pengertian yang
definitif dari reforestrasi dan aforestrasi sampai saat ini masih dalam tahap pembahasan,
Murdiyarso (2003).
Pentanyaan yang sangat mendasar untuk dijawabadalah, kenapa konvensi ini penting
untuk dilakukan?. Mudiyarso (2003) memberikan suatu illustrasi bahwa konsentrasi karbon
dioksida (CO2) di atmosfer pada tahun 1850sekitar 290 ppmv (part per million volume), akan
tetapi pada abad ke 20 ini (setelah 150 tahun) konsentrasi CO2 tersebut telah mencapai 350
ppmv, dan diperkirakan bahwa pada 100 tahun kedepan, konsentrasi CO2 teresebut akan
menjadi 580 ppmv. Hal ini akan diikuti oleh kenaikan suhu permukaan bumi sekitar 4,5oC.
Effeck yang lain adalah mencairnya cadangan es dikutub utara dan kutub selatan, yang
akan mengakibatkan naiknya permukaa laut, dan ditakutkan akan menenggelamkan beberapa
pulau atau negara yang memiliki ketinggian rendah dari atas permukaan lat. Pengaruh
lainnya adalah adanya perubahan pola cuaca dan iklim (Climate pattern changing), seperti
pola iklim musim penghujan dan musim kemarau untuk Indonesia yang sudah mulai tidak
jelas perbedaannya, terjadinya berbagai bencana alam, seperti angin topan, gelombang La
Nina dan El Nino. Perubahan pola iklim dan cuaca, kenaikan temperature permukaan bumi,
kenaikan air laut, gelombang El Nino, La Nina dan sebagainya itu adalah akibat adanya
pemanasan global yang disebakan peningkatan konsentrasi gaas rumah kaca.
Dunia semakin panas!. Ungkapan ini bukan untuk mengambarkan akan kekejaman dan
keberagaman tindak kriminal dan segala kekacauan di dunia ini, tetapi untuk memberikan
gambaran bahwa temperatur dunia ini bertambah panas dan panas. Hal ini terkait dengan
bertambahnya konsentrasi gas rumah kaca atau yang lebih terkenal dengan nama Greenhouse
gases GHGs) di atmosfer, yang akan berpengaruh terhadap iklim global (global Climate).
Penomena pemanasan global ini yang kemudian dikenal dengan istilah Pemanasan Global
atau Global Warming. Untuk mengatasi penyebab dan dampak yang mungkin ditimbulkan
oleh fenomena pemanasan global tersebut, maka disusunlah skenario global untuk
menanggulangi dan mengantisipasinya, yang kemudian dikenal dengan Protokol Kyoto.

24.5. Efek Rumahkaca dan Gas Rumah Kaca (Green House Gases)

Gas Rumah Kaca (GRK) atau yang dalam bahas inggrisnya lebih dikenal dengan
greenhouse gases adalah sejumlah gas memiliki kontribusi terhadap pemanasan global
(global warming). Tingginya kosentrasi GRK tersebut tidak hanya akan mempengaruhi
pemanasan global, tetapi juga akan berpengaruh terhadap penipisan lapisan ozon.
Sebagaiman kita ketahui bahwa fungsi dari lapisan ozon adalah sebagai filter atau penyaring
dari sinar atau gelombang ultra violet dari sinar maatahari. Dua fenomena tersebut,
pemanasan global dan penipisan lapisan ozon tersebut yang kemudian kita kenal sebagai
Efek Rumahkaca.
Sekarang Gas Rumah Kaca itu gas yang mana?. Gas rumah kaca adalah gas-gas yang
dihasilkan oleh aktivitas manusia dan makhluk hidup lainnya, termasuk microorganisme dan
tumbuhan. dan juga peristiwa alami lainnya, seperti kebakaran hutan. Selanjutnya GRK itu
apa saja? Gas-gas rumah kaca itu terdiri atas karbon dioksida (CO2), Methana (CH4), Nitrous
Oksida (N2O), Hidrofluorocarbon (HFCs), Perfluorocarbon (PFCs), sufurheksafluorida (SF6),
karbon-sulfur gas (carbon-sulfu gases), Karbon monooksida (CO), nitric oxide, halocarbons,
dan Clorofluorocarbon (CFC), Tyler (1991) dan Mudiyarso (2003).
Efek Rumahkaca memiliki pengertian bahwa dengan meningkatnya konsenstrasi GRK
dalam atmosfer, maka suhu atmosfer akan meningkat. Peningkatan konsentrasi GRK juga

Hasil Hutan Bukan Kayu


285
akan mengurangi ketebalan lapisan ozon, sehingga fenomena yang terjadi adalah GRK
memiliki karakteristik seperti kaca, yaitu meneruskan radiasi gelombang pendek dari cahaya
matahari, tetapi juga menyerap dan memantulkan radiasi gelombang atau radiasi yang
dipancarkan oleh bumi yang bersifat panas, dan mengakibatkan suhu atmosfer bumi makin
meningkat, Mudiyarso (2003). Lingkungan bumi yang memiliki konsentrasi GRK yang
tinggi, dapat diibaratakan seperti berada di dalam rumah kaca (greenhouse yang terbuat dari
kaca) yang memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan suhu di luar rumah kaca tersebut.
Fenomena ini yang kemudian dikenal dengan nama Efek Rumahkaca.
Scheider (1989) yang dikutip oleh Tyler (1991) mengambarkan efek rumah kaca adalah
energy yang dipacarkan oleh sinar matahari terdiri atas seluruh spektrum cahaya, yang mana
sebanyak 30 persen dari energy cahaya yang datang ke bumi akan direfleksikan kembali ke
atmosfer, sedangakan sisanya akan diabsorsi oleh beberapa benda di permukaan bumi, baik
dalam fase gas, padatan dan cairan (solids, gasesand liquids).
Terminology efek rumahkaca terjadi apabila terjadi penambahan atau kejadian di luar
fenomena tersebut tadi. Misalnya sebagian dari energy yang diabsorsi tadi kembali
dipancarkan ke atmosfer oleh benda-benda tadi, yang notabene energy yang dipancarkan ini
adalah spektrum gelombang elektromagentik, yaitu gelombang inframerah. Gas-gas jenis
GRK tersebut memiliki sifat atau karakteristik yang paling efektif untuk menyerab
(absorbing)gelombang elektromagnetik sinar matahari, dan memancarkan kembali (re-
emitting) ke atmosfer dan memantulkannya kembali ke permukaan bumi, yang kemudian
mengurung dan menangkap (trapping and keeping) energy matahari tersebut untuk tetap
berada di atmosfer dan permukaan bumi. Ini yang menyebabkan suhu udara menjadi naik,
dan semakin panas.
Konferensi tingkat tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janero Barzil (1992) dan dilanjutkan
dengan konferensi sejenis di Kyoto, Jepang yang lebih dikenal dengan Protokol Kyoto
(1997) telah menghasilkan beberapa kesepakan internasional tentang penggakuan produk
jasa hutan tersebut, terutama yang berhubungan langsung dengan iklim global (global
climate) dan pengurangan gas pencetus efek rumah kaca (reducing emmision gasses).
Produk jasa dari hutan mulai diagendakan dalam berbagai konferensi baik nasional
maupun internasional, dan harga jual dari jasa hutan tersebut mulai dikalkulasi dan
ditetapkan. Sehingga produk jasa dari hutan seperti penyimpan karbon (carbon sink/carbon
sequestration) atau hutan sebagai sumber genetik (forest genetic resources) dan konservasi
keanekaragaman hayati (biological diversity conservation) mulai ditentukan diperhitungkan
kompensasinya dalam konferensi internasional tersebut. FAO (1998) melaporkan bahwa
studi atau penelitian pada berbagai tempat diseluruh dunia menyimpulkan bahwa nilai
produk jasa dari hutan seperti rotasi rantai makanan (nutrientCycling), penyeimbang iklim
global (climate regulation), mengontrol erosi (Erosi control) dan jasa lainnya melebihi 60%
dari nilai total suatu kawasan hutan.

24.6. Mekanisme Perdagangan Karbon Melalui Skema REDD bagi Negara-Negara


Berkembang Pemiliki Hutan Tropis

Reducing Emission from Deforestration and Degradation in Developing Countries atau


disingkat REDD adalah mekanisme internasional dari beberapa negara maju dan lembaga
donor international lainnya untuk memberikan insentif bagi negara-negara berkembang yang
berhasil mengurangi emisi karbonnya dari kegiatan pengurangan luas (deforestation) dan
perusakan (degradation) hutan. REDD adalah satu bentuk mitigasi perubahan iklim global
yang bersifat sukarela (voluntary) dan menghormati kedaulatan negara (sovereignty)
berkembang tersebut. Seperti telah dilaporkan oleh berbagai sumber bahwa kegiatan
pengurangan luas hutan (deforestasi) adalah menyumbang sekitar 17.% dari total emisi green
houses gases (GHG), dan 75% dari jumlah tersebut berasal dari kegiatan deforestasi di

Hasil Hutan Bukan Kayu


286
negara-negara berkembang. Gambaran berbagai sumber penghasil gas rumah kaca secar
global dapat digambarkan pada Gambar 24.1.

Sumber: IPCC 2007.


Gambar 24.1. Penyumbang gas rumah kaca global yang dihasilkan oleh berbagai aktifitas
kegiatan lintas sektoral

Kenapa sampai ada REDD?. Setelah adanya kesepakatan global tentang pengurangan
dampak perubahan iklim global yang dikenal dengan protokol Kyoto, perbedaan pandangan
antara sesama negara-negara industri, juga negara-negara berkembang, utamanya dalam
pelaksanaannya di lapangan, semakin melebar dan tidak menemukan titik temu. Pada tahun
2005 diadakan Conference on the Parties (COP) United Nation Climate Change Conference,
di Montreal, Canada, beberapa negara pemilik hutan tropis, termasuk Costa Rica dan Papua
New Guinea, mengusulkan proposal tentang insentif bagi negara berkembang dalam
mengurangi pengkonversian hutan (avoided deforestation).Proposal tersebut kemudian
ditindaklanjuti dalam COP UNCCC -15 di Bali, Indonesia pada tahun 2007, yang kemudian
mengeluarkan dokumen yang dinamakan dengan Bali Action plan. Salah satu point penting
dari Bali action plan tersebut adalah pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi di
negara-negara berkembang, yang selanjutnya disingkat dengan REDD in developing
countries. Oleh Perserikatan bangsa-bangsa, program ini kemudian diluncurkan pada tahun
2008, dengan nama United Nation Collaborative Program on Reducing Emission from
Deforestation and Forest Degradation in Developing countries (UN-REDD programnes).
Intinya REDD membantu negara berkembang dalam membangun kapasitasnya mengurangi
emisi dan memastikan peran aktif negara berkembang dalam mekanisme REDD dimasa
mendatang. Setelah diluncurkan, Norwegia menjadi negara pertama yang menjadi donor
untuk REDD tersebut. Selanjutnya, pada tahun 2009 yaitu pada saat COP-15 di Copenhagen,
Denmark, negara ini juga mencatatkan diri sebagai negara kedua yang menjadi donor, dan
diikuti oleh Spanyol pada tahun 2010.
Langkah penting REDD adalah dengan dibentuknya kemitraan dengan sembilan negara
pemilik hutan tropis sebagai pilot project, yang terletak di tiga kawasan yaitu Afrika, Asia-
pasifik, dan Karibia dan Amerika latin. Untuk negara Afrika terdiri atas negara demokratik
Congo, Tanzania, dan Zambia, sedangkan kawasan Asia pasifik terdiri atas Indonesia, Papua
New Guniea dan Viet Nam. Tiga negara di Amerika Latin dan Karibia adalah Bolivia,
Panama dan Paraguay. Hingga saat ini, jumlah negara-negara berkembang yang bergabung
dalam REDD telah bertambah menjadi 29 negara, yaitu 9 negara pilot projek dan 20 peserta
lainnya. Pada tahun 2010, negara Filipina, Kepulauan Solomon dan Kamboja menjadi tiga

Hasil Hutan Bukan Kayu


287
negara baru yang mendapat support untuk pengembangan REDD. Negara-negara yang
mendapat support untuk program REDD di seluruh dunia ditandai dengan warna merah,
sedangkan negara-negara yang juga mengajukan proposal pendanaan REDD ditandai dengan
warna Biru, sebanyak 17 negara. Negara-negara ini yang dikenal dengan nama new partner
countries. Distribusi negara-negara berkembang dalam program REDD dapat dilihat pada
Gambar 24.2.

Sumber: un-redd.org 2011


Gambar 24.2. Distribusi negara-negara berkembang yang menjadi anggota REDD

Indonesia berperan sangat aktif dalam skema perdagangan karbon melalui mekanisme
REDD ini, dan peran Indonesia sangat dominan, baik sebagai inisiator, pelaksana, dan
eksekutor di lapangan. Sebagai negara kepulauan dan pemilik hutan tropis, wilayah
Indonesia sangat rentan terhadap dampak dari perubahan iklim tersebut. Hal ini dudukung
oleh terbitnya surat keputusan presiden No. 25 tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan

Hasil Hutan Bukan Kayu


288
Kelembagaan Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) yang
dikeluarkan oleh Presiden pada tanggal 8 September 2011. Surat keputusan ini berkaitan erat
dengan telah disepakatinya kerja sama antara pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan
Norwegia dalam kerja sama REDD.
Sosialisasi REDD ke berbagai pemangku kepentingan, termasuk di dalamnya lembaga
swadaya masyarakat, perguruan tinggi, masyarakat adat, pemilik dan perusahaan
kehutananan mutlak sangat diperlukan. Di tingkat teknis, departemen kehutanan sebagai
instansti pemerintah yang mengelola tata guna hutan di Indonesia, dituntut berperan aktifnya
dalam sosialisasi ke para pemangku kepentingan, dari tingkat pusat sampai ke daerah-daerah.

25.7. Pustaka

Keputusan Presiden Republik Indonesia No.25 tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan
Kelembagaan Reducing Emmission from Deforestation and Forest Degradation
(REDD+).
Murdiyarso, D. 2003. Protokol Kyoto. Implikasinya bagi Negara Berkembang. Penerbit
Buku Kompas. Jakarta.
Robledo, C .2004. Small Change from Climate-change negotiation?. ITTO Tropical Forest
Update. Vol 14 (1). Hal. 18-19
Tyler, S.C .1991. The Global Methane Budget in Microbial Production and Consumption of
Greenhouse Gases: Metahane, Nitrogen oxides and Halomethanes. Edited by
John E. Rogers and William B. Whitman. American Society for
Microblogy.Washington D.C.
The UN-REDD Strategy 2011-2015.United Nation Reducing Emission from Deforestation
and Forest Degradion. www.un-redd.org

Hasil Hutan Bukan Kayu


289
BAB 25

PENELITIAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU

25.1. Pendahululan

Berbagai ragam penelitian hasil hutan bukan kayu telah banyak dilakukan dan
dipublikasikan, mulai dari yang bersifat pengumpulan data dan informasi dasar sampai
kepada teknologi pengolahan, pemanfaatan dan bahkan sampai kepada rencana dan stategi
pengembangan komoditas tertentu dan pembangunan kapasitas yang melibatkan masyarakat
lokal.
Penelitian tentang tumbuhan obat misalnya, kajiannya akan diawali dari pengumpulan
data dan informasi tentang potensi, jenis tanaman obat, bentuk pemanfaatannya, dan sampai
kepada analisis bahan bio-aktifnya. Pada tahap selanjutnya maka akan dilanjutkan dengan uji
klinis dan laboratoris terhadap keaktifan senyawa bio-aktif tersebut kepada sel kanker, sel
tumor dan beberapa uji pharmakologi lainnya. Sudah tentu disiplin ilmu yang terlibat di
dalamnya bersifat multi disiplin ilmu, termasukdi dalamnya peran serta ilmu kehutanan,
khusunya Teknologi Hasil Hutan.
Untuk itu, pada pokok bahasan kali ini ditampilkan beberapa contoh, ide dan gagasan
beberapa penelitian hasil hutan bukan kayu. Perlu disadari bahwa tidak seluruh penelitian,
gagasan dan ide tersebut dapat dilaksanakan pada seluruh daerah di Indonesia.
Diharapkan setelah menyelesaikan pelajaran ini para pembaca memiliki kemampuan
untuk:
1. Menjelaskan dan memahami ruang lingkup penelitian hasil hutan bukan kayu,
khususnya posisi dan kontribusi disiplin ilmu teknologi hasil hutan.
2. Memiliki kemampuan untuk merencanakan penelitian hasil hutan bukan kayu yang
diinginkannya.
3. Membedakan batasan kajian penelitian hasil hutan bukan kayu antara disiplin ilmu
kehutanan, khususnya hasil hutan buka kayu, biokimia, kimia bahan alam, farmasi dan
konservasi.

25.2. Penelitian Hasil Hutan Bukan Kayu Berdasarkan Urutan Pengembangan


Komoditas Unggulan

Komoditas hasil hutan bukan kayu sangat beragam dan bersifat multidipliner. Hal
tersebut memiliki pengertian bahwa penelitian hasil hutan bukan kayu tidak hanya monopoli
disiplin atau bidang ilmu kehutanan saja. Akan tetapi melibatkan seluruh disiplin ilmu
terkait. Hal ini karena komoditas hasil hutan bukan kayu adalah komoditas yang bersifat
multi dimensi, meliputi dimensi aspek sosial dan budaya, ekonomi, lingkungan hayati dan
non hayati, ilmu pengetahuan alam (MIPA), keindahan (estetika), dan beberapa dimensi
lainnya.
Khusus untuk memudahkan pemahaman, kesinambungan informasi, dan
pemgembangan komoditas maupun produk ungulan, maka penelitian komoditas hasil hutan
bukan kayu kiranya dapat diringkas dalam tiga kelompok penelitian, yaitu penelitian dasar
(fundamenal/basic research), penelitian lanjutan atau terapan (appliedresearch), dan
penelitian pengembangan produk unggulan (advancedresearch and utilization).

25.2.1. Penelitian Dasar (Basic Research)

Hasil Hutan Bukan Kayu


290
Penelitian dasar sering dinamakan juga sebagai fundamental atau basic reserach.
Penelitian dasar adalah penelitian yang dilaksanakan untuk mengumpulkan informasi-
informasi yang mendasar dari suatu objek penelitian. Informasi-informasi tersebut dapat
berupa data yang bersifat kwalitatif dan kwantitatif. Pengertian penelitian dasar dalam hal ini
tentu agak berbeda dengan penelitian dasar dalam bidang MIPA. Dalam bidang MIPA,
penelitian dasar dapat diartikan sebagai objek penelitian dari beberapa disiplin ilmu MIPA
dasar, seperti kimia, biologi, matematika, dan fisika.
Dalam hasil hutan bukan kayu, penelitian dasar lebih dititikberatkan pada berbagai
usaha untuk menghimpun, mendiskripsikan dari beberapa variabel alami yang dimiliki oleh
komoditas hasil hutan bukan kayu yang diteliti. Penelitian-penelitian dasar seperti ini
biasanya bersifat survey, study pustaka atau kunjungan ke lapangan, atau terkadang dapat
juga bersifat ekperiment. Informasi-informasi tentang sifat-sifat atau kajian morphologi,
karakterisasi sifat taksonomynya dan beberapa informasi sosial budaya lainnya, adalah
beberapa data dasar yang biasanya dikumpulkan pada beberapa penelitian dasar.
Penelitian dasar tentang tumbuhan obat yang dipergunakan untuk obat tradisional untuk
malaria misalnya, akan terdiri atas beberapa variabel-variabel dasar. Variabel-variabel
tersebut di antaranya adalah nama untuk tumbuhan obat tersebut, baik nama umum, daerah
dan latinnya (ilmiahnya). Untuk memastikan nama ilmiah dari tumbuhan tersebut apakah
sahih (akurat), maka tumbuhan atau bagian dari tumbuhan tersebut harus diidentifikasi dan
dideterminasi oleh taksonomis, dan selanjutnya dicocokkan dengan koleksi tumbuhan sejenis
di herbarium. Pemanfaatan tumbuhan obat tersebut oleh masyarakat lokal juga harus dicatat.
Hal ini penting karena informasi-informasi tersebut akan menjadi informasi dasar untuk
pengembangan dan pemanfaatan tumbuhan obat ini dimasa mendatang. Beberapa informasi
yang lebih rinci untuk penggunaannya sebagai ramuan obat-obatan tradisional juga harus
dijelaskan dengan sejelas-jelasnya. Misalnya bagaimana masyarakat lokal memanen
tumbuhan tersebut, menyiapkan ramuan, ramuan tersebut hanya terdiri atas satu tumbuhan
saja, atau diombinasikan dengan tumbuhan lainnya. Masih banyak informasi-informasi dasar
yang perlu diperhatikan dalam melakukan penelitian dasar ini.
Dengan membaca berbagai jenis penelitian dasar yang telah banyak dilakukan oleh para
peneliti sebelumnya, kita akan dapat dengan mudah memahami berbagai variabel dan
informasi dasar yang harus diambil dan diukmpulkan dari penelitian dasar tersebut.
Perlu digaris bawahi bahwa keluaran, baik output dan outcome dari penelitian dasar
belum dapat memberikan dampak yang significant terhadap objek dari penelitian tersebut.
Sehingga kesimpulan-kesimpulan dari penelitian dasar perlu ditindaklanjuti dalam bentuk
penelitian lanjutan atau terapan.

25.2.2. Penelitian Terapan atau Applikasi (Applied Research)

Keluaran atau output dari penelitian dasar selanjutkan ditindaklanjuti dengan melakukan
penelitian terapan atau applikasi. Pada tahap ini, sudah tentu bahwa tidak semua komoditas
hasil hutan bukan kayu memerlukan tahapan penelitian yang sama dengan komoditas
lainnya, untuk dikembangkan dan dibudidayakan. Hal ini akan sangat tergantung kepada sifat
dan karakteristik dari komoditas HHBK tersebut, serta tujuan pengembangan dan produk
akhir yang ingin dicapai.
Misalnya pengembangan dan budi daya komoditas lebah madu, dan sarang burung
walet, akan memiliki tahapan proses penelitian yang sangat berbeda dengan tumbuhan obat.
Khusus untuk komoditas lebah madu, apabila tujuan produk akhirnya adalah lebah madu,
maka penelitian lanjutannya dapat berupa desain kemasan, ukuran dan label kemasan, dan
beberapa aspek penting pemasaran lainnya. Kandungan nutrisi dari kemasan madu, tanggal
kedaluwarsa, dan beberapa bahan tambahan lainnya, seperti rasa jeruk, juga perlu
ditambahakan dalam kemasan. Proses dan metode untuk menghasilkan madu kualitas utama

Hasil Hutan Bukan Kayu


291
berdasarkan kepada standar umum yang telah dibakukan adalah aspek penting lainnya yang
dapat dilakukan pada penelitian lanjutan untuk komoditas lebah madu.
Khusus untuk penelitian lanjutan atau terapan bagi tumbuhan obat, setelah informasi
taksonomi tumbuhan ditetapkan, diskripsi pemanfaatan dan penggunaan, serta jenis penyakit
yang dapat diobati, maka tahap selanjutnya adalah uji pharmakologi dari ekstrak tumbuhan
tersebut pada berbagai test. Kalau tumbuhan obat dipergunakan sebagai obat anti malaria,
maka uji anti-plamodium terhadap plasmodium malaria dapat dilakukan, baik secara in vitro
maupun in vivo. Berbagai dosis atau konsentrasi dengan mengacu kepada hasil penelitian
dari penelitian dasar sebelumnya, perlu dipertimbangankan dalam menentukan dosis ekstrak
yang diujikan. Sedangkan penelitian lanjutan seperti isolasi dan penentuan bahan aktif dari
tumbuhan obat, dapat dilakukan setelah tumbuhan tersebut terbukti efektif sebagai anti
malaria. Karena malaria adalah penyakit yang sangat kompleks, dan bahan ekstrak tumbuhan
obat juga mengandung senyawa kimia yang sangat kompleks, maka tidak ada jaminan bahwa
tumbuhan obat yang di klaim sebagai anti malaria akan menunjukkan hasil yang
mengembirakan. Demikian juga, senyawa murni yang berhasil diisolasi dan ditentukan
strukturnya dari tumbuhan obat anti malaria, belum tentu menunjukkan sifat anti
plasmodiumnya. Karena itu, untuk tumbuhan obat anti malaria sebaiknya uji pharmakologi
yang lainnya, seperti anti oksidan, anti inflammatory, anti pyretik, anti analgesik dan
seterusnya dapat dilakukan. Hal ini karena malaria umumnya disertai dengan demam dan
panas yang tinggi, sehingga setiap demam dan panas yang tinggi belum tentu malaria.
Hal tersebut di atas, hanya merupakan salah satu aspek penting dalam pengembangan
komoditas hasil hutan bukan kayu khususnya tumbuhan obat sebagai anti malaria. Masih
terdapat ratusan bahkan ribuan komoditas HHBK yang memerlukan penelitian lanjutan untuk
dapat dikembangkan menjadi produk yang memiliki nilai tambah yang tinggi.

25.2.3. Penelitian Pengembangan Produk Unggulan (Advanced Research and Utilization)

Penelitian pengembangan produk unggulan adalah penelitian yang dilakukan terhadap


beberapa komoditas HHBK yang memiliki karakteristik yang yang unik. Unik dalam hal ini
dapat diartikan bahwa produk HHBK tersebut adalah asli Indonesia, atau potensinya
melimpah, dan hanya dapat ditemukan di Indonesia. Sehingga dengan sendirinya, tidak
semua komoditas HHBK dapat dijadikan sebagai produk unggulan, dan memerlukan
penelitian yang mendalam dan menyeluruh. Bila dilihat dari wujudnya, maka komoditas
HHBK yang dapat dikembangkan menjadi produk unggulan ini dapat berupa produk barang
dan jasa. Produk barang misalnya beberapa komoditas HHBK unggulan Indonesia sepert,
produk-produk olahan dari gaharu, pala, cengkeh, rempah-rempahan dan sebagainya. Melalui
penelitian ini, komoditas tersebut bukan hanya dijual atau diekspor dalam bentuk bahan
mentah, masih berupa serbuk atau kayu gaharu, tetapi sudah dalam bentuk minyak olahan
gaharu, sehingga dapat menambah nilai tambah dan meningkatkan harga jualnya di Luar
negeri. Hal ini tentu akan menambah pendapatan petani, menciptakan lapangan kerja, dan
menambah devisa negara. Komoditas HHBK yang berupa Jasa, seperti wisata alam Raja
Ampat, Ujung kulon, dan orang utan, dapat dikembangkan menjadi paket wisata yang
menyeluruh, baik dari perjalanan, penginapan, keimigrasian dan beberapa aspek penting
lainnya.
Penelitian pengembangan dari tumbuhan obat adalah tahapan yang mutlak diperlukan
untuk menjamin keaslian obat herbal yang dipasarkan, mempertanggungjawabkan khasiat
obat herbal berdasarkan data penelitanilimah, standarisasi kemasan dan keamanan, serta
beberapa informasi penting lainnya yang wajib diketahui, baik oleh konsumen, pemerintah
dan beberapa independen lainnya. Kita tahu bahwa Indonesia memiliki keanekaragaman
hayati tumbuhan obat yang tinggi, dan pemanfaatan obat-obatan tradisional dari tumbuhan,
yang dikenal dengan Jamu, telah berlangsung secara turun temurun. Keanekaragaman
tumbuhan obat ini harus dapat diolah dan dikembangkan menjadi komoditas produk herbal

Hasil Hutan Bukan Kayu


292
yang berstandar, aman dan bersertifikat. Sehingga konsumen akan merasa nyaman
mengkonsumsinya.
Apabila dihadapkan pada dua pilihan yang harus dipilih, mengembangkan obat-obatan
dari tumbuhan obat, dan atau mengembangkan produk herbal dari tumbuhan obat, maka
alternatif yang kedua yang sebaiknya di jalankan. Ada beberapa alasan kenapa
pengembangan produk herbal lebih realitis untuk dikembangkan, khususnya di Indonesia,
yaitu:
1. Untuk menghasilkan obat-obatan memerlukan waktu yang sangat lama, bisa 10-15
tahun, dan juga biaya yang besar. Hanya perusahaan-perusahaan besar yang sanggup
mengembangkan obat. Karena biaya memproduksi obat-obatan memerlukan investasi
yang besar, maka harga jualnya juga mahal. Sehingga pada beberapa kasus, obat-obatan
yang pada mulanya dikembangkan dari pemanfaatan tumbuhan obat dari penduduk
lokal, dan setelah menjadi obat, penduduk lokal tidak mampu membeli obat-obatan
tersebut, karena harganya yang tidak terjangkau. Penduduk lokal juga tidak
mendapatkan royalti dari pengembangan pengetahuan lokal dan tumbuhan obat yang
mereka miliki tersebut.
2. Hak patent dari obat-obatan yang berasal dari tumbuhan obat tersebut, sebagian besar
adalah monopoli dari perusahaan –perusahaan pharmasi besar, tanpa ada kompensasi
kepada penduduk lokal pemilik asli dari tumbuhan obat tersebut.
3. Pengembangan produk herbal dari tumbuhan obat memerlukan waktu yang relatif lebih
singkat, sekitar 5-10 tahun, dengan biaya yang relatif lebih rendah.
4. Pengembangan produk herbal dapat melibatkan peran aktif dari masyarakat lokal, baik
sebagai petani tumbuhan obat, ataupun tenaga dalam proses produksinya.
5. Hak patent dari produk herbal tersebut tidak dimonopolioleh perusahaan-perusahan
farmasi besar, sehingga masyarakat juga berhak dan merasa dihargai dengan
pengembangan produk herbal dari tumbuhan obat yang mereka miliki dan budidayakan.
6. Nilai plasma nutfah dari tumbuhan obat tersebut tidak akan hilang, atau diambil oleh
orang luar, dan akan tetap menjadi milik masyarakat lokal dan dapat diteruskan kepada
anak cucunya.
7. Dari sisi pemberdayaan masyarakat hutan, pengembangan produk herbal adalah salah
satu metode yang tepat, murah dan mudah dalam pelaksanaannya.
8. Produk obat-obatan biasanya hanya diproduksi untuk menanggulangi satu jenis
penyakit. Sedangkan produk herbal biasanya adalah kumpulan dari beberapa tumbuhan
obat, sehingga efeknya tidak hanya satu penyakit, tetapi beberapa gejala penyakit
sekaligus. Hal ini ditunjang dengan kenyataan bahwa suatu penyakit selalu dibarengi
atau diimbangi oleh berbagai gejala yang muncul secara bersamaan, sehingga
memerlukan terapi secara bersama-sama.

Sebenarnya masih banyak kelebihan-kelebihan pengembangan produk herbal,


dibandingkan dengan obat-obatan. Dari segi keamanan, produk herbal sangat aman
dikonsumsi, tanpa ada efek sampingannya. Sedangkan obat-obatan, terkadang ada efek
kontradiksinya, sehingga perlu penangganan khusus.

25.3. Beberapa Contoh Penelitian Hasil Hutan Bukan Kayu di Fakultas Kehutanan
UNIPA

Berbagai jenis penelitian yang dijelaskan pada paragrap ini ditujukan untuk memberikan
gambaran tentang jenis-jenis penelitian hasil-hasil hutan bukan kayu yang selama ini
dilaksanakan, baik oleh mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat, dinas kehutanan, lembaga
penelitian, lembaga konservasi dan badan penelitian lainnya, khususnya yang berlokasi di
Papua dan Papua Barat.

Hasil Hutan Bukan Kayu


293
Tahapan pertama yang harus dipahami dan dipikirkan dengan seksama adalah tujuan
kita melakukan penelitian, apakah untuk sekedar membuat tulisan atau tugas akhir, seperti
pada mahasiswa misalnya, atau untuk penyusunan rencana pengembangan dan pengelolaan
komoditas hasil hutan bukan kayu oleh Dinas Kehutanan, atau eksplorasi dan identifikasi
jenis-jenis serta potensinya untuk mendapatkan senyawa bio-aktif untuk tujuan pengobatan
HIV/AIDS, malaria, maupun virus Flu Burung, ataupun dari kaca mata lembaga swadaya
masyarakat yang lebih melihat dari aspek konservasi sumber daya alam, mapun
pengembangan masyarakat lokal dengan mempelajari sosial budaya dan tingkat pengetahuan
masyarakat lokal yang dikenal dengan kearifan lokal (Indigeneous knowlwdge).
Dari paragrap di atas, kita akan memiliki gambaran tentang tujuan penelitian kita dan
bagaimana menjawab tujuan tersebut. Untuk itu, perumusan tujuan, penentuan variabel
penelitian dan metode yang akan yang akan dipergunakan perlu direncanakan dengan baik
dan benar.
Paragrap berikut ini adalah beberapa penelitian yang dilakukan mahasiswa di
Universitas Negeri Papua yang mengambil topik berkaitan dengan hasil hutan bukan kayu,
baik bersifat studi eksplorasi, studi diskripsi maupun beberapa penelitian eksperimen.
Harapannya adalah para mahasiswa dapat mempelajaari beberapa perumusan penelitian dan
variabel-variabel penelitian yang diperlukan untuk mendukung tujuan penelitian.
Sasaran lain yang lebih penting adalah bahwa kajian atau penelitian hasil hutan bukan
kayu sangat luas, sehingga bukan monopoli disiplin ilmu kehutanan, khusunya teknologi
hasil hutan saja, tetapi dapat dari bidnag MIPA, peternakan, konservasi, pertanian dalam arti
luas dan seterusnya. Diharapkan melalui pemaparan ini mahasiswa terbuka wawasannya
untuk menggali dan mengaji topik-topik lain yang lebih menarik, informatif dan bermanfaat.
Karena yang terjadi selama ini adalah topik dan tujuan penelitian adalah hampirsama, atau
boleh dikatakan sama, yang membedakan adalah hanya lokasi dan waktu penelitian saja. Hal
ini sangat tidak mendidik mahasiswa untuk berpikir kreatif, inovatif dan cenderung meniru
penelitian yang telah ada.
Penelitian tentang hasil hutan bukan kayu yang dilakukan oleh para mahasiswa
khususnya program strata satu, kebanyakan lebih banyak berfokus pada eksplorasi, atau
pengumpulan data dan informasi yang bersifat deskriptif. Subjek-subjek penelitian yang
banyak dikaji adalah jenis tumbuhan obat dan betuk pemanfaatannya, identifikasi rotan,
pengeringan rotan, studi teknologi rotan dan penggunaan komoditas hasil hutan bukan kayu
oleh masyarakat tertentu.
Berikut adalah beberapa penelitian yang berhasil di ringkas untuk dipelajari lebih lanjut
yaitu : Penelitian yang dilakukan oleh saudari Dewi (2003) dengan judul Pemanfaatan Hasil
Hutan Non Kayu oleh masyarakat Kampung Nuni distrik Manokwari Kabupaten Manokwari,
memiliki tujuan untuk mengetahui jenis jenis hasil hutan non kayu yang dimanfaatkan oleh
masyarakat kampung Nuni dan cara pemanfaatannya. Penelitian ini adalah penelitian
diskriptif dan dirancang denganteknik survei. Survey dilakukan untuk mengumpulkan data
dan informasi yang diperoleh dari responden, dan untuk mendapatkan contoh komoditas
hasil hutan bukan kayu dilakukan survey lapangan ke hutan maupun kebun dan kemudian
jenis-jenis hasil hutan bukan kayu yang belum diidentifikasi diawetkan dalam bentul
specimen dan dideterminasi di Herbarium untuk menentukan namanya ilmiahnya.
Variabel penelitian yang disusun untuk dapat menjawab tujuan penelitian hasil hutan
bukan kayu (HHBK) tersebut meliputi:
Identitas responden, menyangkut nama, umur, pendidikan, pekerjaan utama, jumlah
anggota keluarga, pendapatan, dan lama bermukim. Variabel ini dimasudkan untuk
mengetahui tingkat keterkaiatan sosial dan budaya terhadap tingkat kearifan masyarakat.
Pemanfaatan HHBK, yang meliputi Nama lokal, nama ilmiah, bagian tumbuhan/hewan
yang dimanfaatkan, Tujuan pemanfaatannya, cara pengolahannya, bentuk akhir dan asal
HHBK.

Hasil Hutan Bukan Kayu


294
Pengetahuan lokal (Indigenous knowledge) atau kearifan lokal, meliputi jumlah HHHK
setiap kali pengambilan, peremajaan atau penamanam, frekuensi pengambilan dan
lokasi pengambilan. Variabel ini untuk mengetahui tingkat kearifan masyarakat lokal
terhadap komoditas HHBK, dan usaha untuk mempertahankan sumber daya HHBK
yang dimilikinya.

Pengumpulan data dan informasi dengan menggunakan responden, berarti daftar


pertanyaan telah disiapkan dalam daftar pertanyaan yang disebut sebagai kuisioner. Data dan
informasi yang telah tercata maupun terekam dari hasil wawancara dengan responden
kemudian disortir ke dalam tabel ataupun bentuk lainnya untuk kemudahan pengolahan dan
analisis.
Penelitian Hasil Hutan bukan kayu lain yang dilakukan oleh Pakpahan (1993) yaitu
tentang Pengujian Beberapa Komponen Kualitas Minyak Kayu Putih (Melaluca cajuputi)
asal Taman Nasional Wasur. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data mengenai
berbagai komponen kualitas kayu putih asal taman nasional Wasur Merauke. Untuk itu maka
variabel penelitian yang telah dirumuskan untuk menjawab tujuan penelitian ini adalah terdiri
atas Warna dan penampilan minyak kayu putih, bobot jenis, sifat putaran optik, indek bias,
kelarutan dalam alkohol, kadar sineol dan keberadaan minyak lemak.
Penelitian dari Pakpahan (1993) di atas bersifat diskriptif dengan menggunakan teknik
observasi. Kalau dicermati dengan teliti, pada penelitian ini terdapat dua kegiatan penelitian,
yaitu proses penyulingan atau ekstraksi minyak kayu putih itu sendiri dan pengujian kualita
minyak kayu putih. Pada poin yang pertama, penyulingan minyak kayu putih, juga dapat
diuraikan lagi menjadi beberapa penelitian, seperti penggunaan jenis tungku untuk
penyulingan, pengaruh ukuran perajangan terhadap rendemen minyak kayu putih, pengaruh
penjemuran tergahap rendemen minyak kayu putih dan sebagainya.
Penelitian tentang komoditas Hasil hutan bukan kayu yang dipergunakan sebagai obat-
obatan tradisional dilakukan oleh Rombe (2004) dengan judul Tumbuhan Hutan Sebagai
Bahan Obat Tradisional pada Masyarakat Suku Kanum di Kampung Yanggandur Kabupaten
Merauke. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan hutan
sebagai obat tradisional oleh suku Kanum yang bermukim di Kampung Yanggandur
Kabupaten Merauke.
Untuk menjawab tujuan penelitan yang telah dirumuskan, Rombe (2003) menguraikan
variabel penelitiannya yaitu meliputi:
1. Jenis dan bagian tumbuhan hutan yang dipergunakan sebagai bahan baku obat
tradisional
2. Cara meramu/meracik bagian tumbuhan dan pemakaiannya sebagai obat tradisional
3. Nilai-nilai sosial masyarakat suku Kanum tentang pola pewarisan pengetahuan dan
upaya konservasi dalam pemanfaatan tumbuhan hutan sebagai obat tradisional.
4. Persepsi masyaarakat Suku Kanum tentang pengobatan modern/medis maupun klinis
5. Nilai sosial ekonomi tumbuhan obat tradisional pada masyarakat suku Kanum.

Dari beberapa variabel yang telah dirumuskan tersebut terdapat beberapa aspek kajian
yang dapat dilihat dan dijadikan pokok bahasan. Pada poin pertama, mengkaji tentang jenis
tumbuhan hutan (dapat berupa pohon, herba, semak, efifitdan seterusnya) dan bagian dari
tumbuhan hutan tersebut (dapat berupa daun, akar, kulit, kayu, bunga, buah, dan bagian
tumbuhan lainnya) yang dijadikan bahan baku obat tradisional, poin kedua membahas
tentang cara meramu, meracik, mencampur maupun menyajikan tumbuhan obat tersebut.
Dalam penggunaannya tumbuhan tersebut dimanfaatkan secara murni (tanpa pencampuran
dengan tumbuhan lain), atau dicampur dengan proporsi tertentu, hal ini tentunya akan
tergantung kepada jenis penyakit yang akan dihadapi. Pemakaian atau penyajian dapat
berupa diminum, dimakan/dikunyah, digosokkan, atau bahkan ditempelkan secara terus
menerus seperti dikompres.

Hasil Hutan Bukan Kayu


295
Pada poin sosial budaya dan pewarisan, dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana
Pengetahuan atau kearifan lokal (Indegenousknowledge) masyarakat suku Kanum tersebut
dipelihara, dipertahankan dan diturunkan kepada generasi mudanya. Hal ini penting untuk
mengetahui kerberlangsungan dan keberadaan pengetahuan lokal tersebut dapat terjaga dan
terpelihara. Sedangkan untuk kajian sosial ekonomi dari penelitian ini adalah dimaksudkan
untuk mengetahui kontribuis tumbuhan hutan yang menghasilkan obat tersebut memberikan
kontribusi terhadap penambahan pendapatan terhadap masyarakat lokal atau tidak . Hal ini
akan terkait dengan salah satu karakteristik dari komoditas HHBK yang kurang dapat
bersaing dengan komoditas Kayu, karena pemanenan HHBK hanya diditujukan untuk
memnuhi kebutuhan masyarakat lokal sehari-hari, sehingga bersifat subsisten, dan bukan
bersifat komersial.
Poin yang tidak kalah pentingya adalah kajian tetang persepsi masyarakat lokal tentang
pengobatan yang dilakukan oleh tenaga medis, seperti dokter, mantri, bidan dan puskesmas.
Informasi ini penting untuk diketahui, karena khusus untuk daerah-daerah di luar Pulau Jawa,
seperti Kalimantan, Sumatra, Sulawei, Maluku, dengan aksesbilitas yang masih rendah,
pemenuhan sarana dan prasarana kesehatan memerlukan investasi yang cukup besar. Apabila
masyarakat meyakini bahwa pengobatan tradisional masih mampu menjawab dan memenuhi
kebutuhan kesehatan meraka, maka pihak pemerintah daerah dan lembaga yang
berkepentingan lainnya memiliki kewajiban untuk memperdayakan potensi pemanfaatan
penggunaan obat tradisional tersebut.
Penelitian HHBK yang lain seperti yang dilakukan oleh Oropa (2001) dengan judul
Kajian Industri Kerajinan Rotan Asalan di kota Biak, memiliki tujuan untuk mendiskripsikan
keadaan industri kerajinan rotan di kota biak dan mengkaji beberapa aspek yang turut
mempengaruhi kelangsungan operasional industri. Penelitian ini adalah penelitian yang
kompleks, yang mana kajian pembahasannya tidak hanya meliputi komoditas HHBK rotan,
tetapi sudah kepada aspek lainnya seperti tenaga kerja, modal usaha, pengolahannya rotannya
dan beberapa kajian pemasaran misalnya.
Oropa (2001) merumuskan variabel-variabel penbelitiannya dengan uraian yang
meliputi kajian tentang : a). Bahan Baku, b) Tenaga kerja, c) Fisik Industri, d) Proses
Pengolahan dan Jenis produk, e) Biaya Produksi dan f) tata niaga. Variabel-variabel tersebut
masih memiliki parameter-parameter yang independen atau penunjang, seperti bahan baku
rotan memiliki beberapa parameter yang mempengaruhi kualitas bahan baku, seperti jenis
rotan yang dipergunakan sebagai bahan baku, cara perolehan, asal perolehan, karakteristik
rotan (diameter, panjang ruas, diameter batang, kesilindrisan, jumlah pemakaian dan
pengeringan rotan.
Variabel tenaga kerja pada industri rotan tersebut meliputi jumlah tenaga kerja, status
tenaga kerja, sistem pengupahan, jam kerja, jenis kelamin, tingkat pendidikan, keahlian, dan
pengalaman serta keterampilan. Variabel Fisik industri meliputi aksesbilitas terhadap pasar
dan bahan baku, lokasi industri, sistem permodalan, tempat usaha (menyewa, patungan atau
milik sendiri), inventaris bangunan dan sarana dan prasarana lainnya.
Variabel proses pengolahan dan jenis produk meliputi pengolahan rotan berdiameter
besar, perlakukan awal, desain produk, pembuatan produk (pembuatan bagian bagian kecil,
perakitan, pengamplasan), penambahan aksesoris, finishing dan penyimpanan. Sedangkan
variabel biaya produksi meliputi biaya tetap, biaya variabel dan biaya operasional, yang di
dalamnya terdapat depresiasi (penyusutan) alat, biaya bahan bakar, biaya suku cadang (spare
part), biaya bahan bakar, perpajakan dan sebagainya.
Variabel tata niaga akan terdiri atas sistem pemasaran (orderan atau penawaran), aliran
pemasaran (dipasarkan sendiri atau ditangani pihak ketiga/agen, atau memiliki show room),
harga jual, target produk (lokal atau ekport), jumlah produk terjual per bulan, proomosi dan
kompetisi dari industri lainnya.
Salah satu penelitian tentang Pengujian dan Evaluasi kualitas rotan untuk mengetahui
mutu rotan sebagai bahan baku industri dilakukan oleh Pagapong (2001) dengan judul

Hasil Hutan Bukan Kayu


296
Pengujian Dan Evaluasi Kualitas Rotan Asalan Marga Calamus Dan Korthalsia Asal Kebar
Kabupaten Manokwari . Peneliitan ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas rotan
berdiameter besar dan kecil asal Kebar, mengetahui pengaruh berbagai kondisi penggorengan
terhadap penurunan kadar air rotan berdiameter besar, dan mengetahui sifat fisik rotan
berdiameter besar setelah dilakukan penggorengan. Variabel yang dirumuskan untuk
menjawab tujuan penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel sebelum
perlakukan penggorengan, seperti panjang batang rotan masak tebang, diameter batang,
kesilindrisan batang, panjang ruas, cacat rotan, kadar air, elastisitas dan kecerahan.
Sedangkan variabel pengujian setelah penggorengan adalah mutu seperti Kadar air, elastisitas
dan kecerahan.
Pada penelitian ini ada dua aspek penting yang dilihat yaitu aspek tanpa perlakuan, yaitu
tangpa penggorengan, yang mana mengukur dan menguji sifat dan kualitas alami, dan aspek
setelah diberi perlakuan penggorengan yaitu pengaruh penggorengan terhadap karakter alami
rotan, terutama kualitasnya. Metode penelitian ini yang pertama adalah metode diskriptif dan
yang berikutnya adalah metode eksperimen, yaitu dengan memberikan perlakuan
penggorengan.
Penelitian eksperimen yang lain terhadap komoditas Rotan juga pernah ddilakukan oleh
Sirait (1998) dengan judul yaitu Pengaruh Beberapa Kondisi Penggorengan Terhadap
Kadar Air Dua Jenis Rotan Diameter Besar Asal Manokwari. Tujuan dari penelitiaan ini
adalah untuk mengetahui kandungan kadar air dalam rotan pada berbagai kondisi
penggorengan seperti campuran/komposisi bahan dan lama penggorengan. Karena
menggunakan metode eksperimen, maka penelitian dirancang dengan menggunakan
rancangan percobaan, yaitu menggunakan rancangan faktorial, di mana perlakuan yang
pertama adalah komposisi bahan penggoreng sebagai variabel A dengan tiga jenis komposisi
yaitu digoreng dengan minyak tanah saja (A1), Minyak tanah dan air dengan perbandingan
1:5 (A2) dan minyak tanah –air dengan perbandingan 1:10 (A3). Perlakuan yang kedua yaitu
lama penggorengan (B) yang terdiri atas tiga level yaitu 10 menit (B1), 20 Menit (B2) dan 30
Menit (B3). Perlakukan yang ketiga adalah jenis rotan yaitu Calamus aruensis Becc (C1) dan
Korthalsia zipelli Burr (C2).
Contoh penelitian Hasil hutan bukan kayu lainnya adalah penelitian tentang lebah madu,
seperti yang dilakukan oleh May (2005) dengan judul Sistem Pemeliharaan Lebah Madu di
Kampung Ambaidiru Distrik Angkaisera Kabupaten Yapen. Tujuan penelitian ini adalah
untuk melihat sistem pemeliharaan yang diterapkan oleh masyarakat peternak lebah madu di
Kampung Ambaidiru. Variabel penelitian terdiri atas variabel utama seperti:
1. Pemilihan lokasi peternakan, yang terdiri atas jarak antara lokasi dengan sumber pakak,
pemukiman pemilik lebah madu dan jalan raya.
2. Sumber bibit lebah madu, meliputi sumber-sumber dalam memperoleh jenis lebah
maadu yang diperlihara
3. Penyediaan stup (peti lebah madu), meliputi jumlah stup, ukuran stup, jarak antar stup,
ukuran kandang, ukurang sisiran dan penyanggah stup.
4. Penempatan stup, meliputi letak dan arah stup
5. Penyediaan peralatan, terdiri atas peralatan pokok peternak madu yaitu masker
pelindung kepala, pakan pelindung, alat pengasap dan ekstraktor madu
6. Sumber pakan adalah jenis tanaman yang digunakan oleh lebah sebagai sumber pakan
dengan jarak radius 1-2 km, jarak antar tanaman sumber pakan dengan stup, jarak
sumber pakan yang satu ke yang lainnya.
7. Pemanenan, pasca panen dan produksi, meliputi cara pemanenan. Jarak waktu panen
dan hasil panen dari lebah madu yang diperlihara

Sedangkan variabel penunjang terdiri atas tenaga kerja dan pelatihan dan penyuluhan
yang diikuti. Tenaga kerja meliputi tenaga kerja keluarga dan luar keluarga yang terlibat
dalam pemeliharaan lebah madu, umur dan jenis kelamin, sedangkan pelatihan adalah jenis

Hasil Hutan Bukan Kayu


297
kegiatan pelatihan dan penyuluhan tentang beternak lebah atau penunjang lainnya yang
pernah diikuti dan instansi penyelenggaranya.

25.4. Pustaka

Dewi, H.F. 2003. Pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu oleh masyarakat Kampung Nuni
distrik Manokwari Kabupaten Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan pada
Jurusan Budi daya Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua
Manokwari (tidak diterbitkan)
May, B.I. 2005. Sistem Pemeliharaan lebah madu di Kampung Ambaidiru Distrik
Andkaisera Kabupaten Yapen. Skripsi Sarjana Pertenakan. Fakultas Peternakan
Perikanan dan Ilmu Kelauatan Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan)
Oropa. H. 2001. Kajian Industri Kerajinan Rotan Alfian di Kota Biak. Skripsi Sarjana
Kehutanan pada Jurusan Budi daya Hutan Fakultas Kehutanan Universitas
Negeri Papua Manokwari (tidak diterbitkan)
Pagapong, I.I. 2001. Pengujian dan Evaluasi Kualitas Rotan Asalan Marga Calamus dan
Korthalasia asal Kebar Kabupaten Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan pada
Fakultas Pertanian, Universitas Cenderawasih Manokwari. (Tidak diterbitkan).
Pakpahan, E.R. 1993. Pengujian Beberapa Komponen Kualitas Minyak Kayu Putih
(Melaleuca cajuputi) asal Taman Nasional Wasur Merauke Irian Jaya. Skripsi
Sarjana Kehutanan pada Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas
Negeri Cenderawasih Manokwari (tidak diterbitkan)
Sirait, U. 1998. Pengaruh Beberapa Kondisi Penggorengan terhadap kadar air rotan Diameter
Besar asal Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan pada Fakultas Pertanian,
Universitas Cenderawasih Manokwari. Tidak diterbitkan

Hasil Hutan Bukan Kayu


298
BAB 26

PELUANG USAHA KOMODITAS


HASIL HUTAN BUKAN KAYU

26.1. Pendahuluan

Pada pokok bahasan yang terakhir ini, penulis sengaja menambahkan beberapa
informasi yang dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk memulai kegiatan usaha atau
kewirausahaan komoditas HHBK. Kewirausahaan tersebut dapat berupa kegiatan
pemanenan, pemungutan, pembudidayaan, pengolahan, diversifikasi produk, pemasaran, dan
bahkan pengembangan produk unggulan dari komoditas HHBK.
Kenapa topik ini penting untuk dibahas? Karena berbagai potensi komoditas HHBK
yang dimiliki oleh Indonesia, kebanyakan belum dimanfaatkan secara optimal, ataupun
belum diolah dengan melibatkan teknologi, biarpun teknologi tersebut adalah teknologi
sederhana dan minim investasi. Selama ini komoditas HHBK asal Indonesia dijual dan
diekspor dalam bentuk produk mentah (sebagai bahan baku), atau produk setengah jadi ke
luar negeri atau antar pulau di Indonesia. Dalam hal ini, komoditas HHBK hanya dipanen
atau di petik hasilnya dan dijual dalam bentuk bahan mentah. Sehingga masyarakat lokal,
yaitu petani komoditas HHBK tidak menikmati keuntungan yang optimal. Beberapa
kelompok komoditas HHBK yang diolah, dan dikemas dengan baik, terbukti mampu
meningkatkan nilai jual dari produk-produk tersebut.

26.2.Komoditas Unggulan Hasil Hutan Bukan Kayu Daerah dan Nasional

Mengacu kepada Peraturan Menteri Kehutanan No. P.21/Menhut-II/2009 tentang


kriteria dan indikator penetapan hasil hutan bukan kayu unggulan, untuk tujuan prioritas
pengembangan dan pembudidayaan, komoditas HHBK unggulan dikelompokkan ke dalam
tiga kelompok unggulan yaitu unggulan nasional, unggulan provinsi dan unggulan lokal
(kabupaten/kota setempat). Kriteria-kriteria yang dipergunakan untuk menentukan komoditas
HHBK unggulan yaitu kriteria ekonomi, biofisik dan lingkungan, kelembagaan, sosial dan
teknologi. Masing-masing kriteria tersebut memiliki indicator dan standar yang nantinya
akan dinilai dengan menggunakan skoring. Semakin tinggi nilai skor, berarti komoditas
tersebut memiliki peluang yang besar untuk dijadikan sebagai komoditas HHBK unggulan.
Berdasarkan kriteria, indikator dan standar yang ditetapkan dalam peraturan menteri
tersebut, telah ditetapkan 6 jenis HHBK unggulan nasional yaitu Rotan, Bambu, Sutera alam,
Lebah madu, Gaharu dan buah Nyamplung. Sedangkan untuk komoditas HHBK unggulan
provinsi, dan unggulan lokal, masing-masing provinsi dan daerah diberi keleluasaan untuk
menetapkan komoditas HHBK unggulannya, berdasarkan hasil skoring yang telah dilakukan.
Masing-masing daerah baik di level provinsi maupun di tingkat kabupaten atau
kotamadya, memiliki komoditas HHBK yang khas, atau hanya dapat ditemukan di daerah
tersebut. Contohnya adalah komoditas Pala (nutmeg) hanya ditemukan di daerah Maluku dan
daerah kepala burung Papua, yaitu Fakfak, dan Kaimana. Untuk kasus seperti ini, akan lebih
bijak dan realitis untuk mengembangan komoditas tersebut sebagai HHBK unggulan lokal
atau unggulan provinsi. Komoditas HHBK unggulan untuk provinsi dapat ditetapkan
berdasarkan hasil skoring beberapa HHBK yang dominan di daerah tersebut.
Sebagai contoh di provinsi Papua Barat terdapat komoditas Pala di kabupaten Fakfak
dan Kaimana, Sagu di kabupaten Teluk Wondama dan Sorong Selatan, kepulauan Raja
Ampat, di Kabupaten Raja Ampat, dan Kupu-kupu di pengunungan Arfak. Berdasarkan
kriteria dan indikator menurut peraturan menteri kehutanan no 21 tahun 2009, maka

Hasil Hutan Bukan Kayu


299
komoditas-komoditas HHBK di Papua Barat tersebut dapat ditentukan sebagai komoditas
HHBK unggulan daerah.

26.3. Peluang Usaha Komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu

Mengacu kepada peraturan menteri kehutanan no 21 tahun 2009, tentang kriteria dan
indikator penetapan jenis hasil hutan bukan kayu unggulan, maka untuk memulai usaha
komoditas HHBK, baik usaha budi daya maupun usaha pengembagan produk, maka rasanya
cukup sulit dan agak rumit untuk dilaksanakan. Karena hal tersebut menyangkut
pengumpulan berbagai informasi dasar dan pengolahan data dari informasi-informasi yang
telah dikumpulkan, yang pada akhirnya akan menghasilkan kesimpulan. Masyarakat kita
belum terbiasa dengan hal-hal yang bersifat ilmiah atau penelitian, biarpun yang sangat
sederhana sekalipun. Berikutnya, pihak instansi terkait, seperti kehutanan dan lainnya, juga
belum sepenuhnya paham akan tugas dan tanggung jawabnya, terutama menyangkut
pengembangan, budi daya, dan aspek-aspek kewirausahaan dari komoditas HHBK. Pada
kebanyakan kasus, yang terjadi adalah instansi kehutanan hanya menjalankan tugas untuk
menarik iuran atau pajak dari komoditas HHBK tersebut. Akan tetapi masih sedikit dijumpai
instansi terkait memberikan pedampingan teknis dan non teknis secara berkelanjutan kepada
masyarakat dalam pengelolaan, pembudidayaan dan kewirasusahaan komoditas HHBK,
termasuk pemasaran dan pendampingan mangemen keuangannya.
Karena berbagai kendala tersebut, maka dalam hal ini peluang usaha komoditas HHBK
yang sudah dan sedang berkembang dimasyarakat, diusahakan untuk dibahas secara
terperinci. Sehingga sub pokok bahasannya akan lebih ditekankan kepada usaha-usaha untuk
meningkatkan nilai tambah dari beberapa komoditas HHBK yang telah diusahakan oleh
masyarakat lokal. Beberapa komoditas yang memiliki nilai strategis juga akan ditambahkan.
Untuk itu, kelompok usaha berbasis rumah tangga (home industri) dan usaha kecil dan
menengah menjadi dua jenis usaha yang sangat memungkinkan dan layak untuk ditawarkan.
Hal ini tentunya didasarkan kepada beberapa pertimbangan, seperti pertimbangan
penguasanaan teknologi oleh masyarakat lokal, modal yang terbatas, potensi yang melimpah,
pasar yang masih terbuka, dan kompetisi yang rendah.
Dengan latar belakang penulis yang telah lama berdomisili di Papua, maka
kewirausahaan komoditas HHBK ini akan lebih banyak menyajikan komoditas-komoditas
HHBK di beberapa wilayah Papua dan Papua Barat.

26.3.1. Usaha Skala Rumah Tangga (Home Industri)

Usaha skala rumah tangga adalah wira usaha yang kebanyakan di kembangkan oleh
perorangan atau sekelompok orang. Pada awalnya usaha ini berawan dari mengembangkan
hobi, menambah pendapatan keluarga, dan sebagai usaha sampingan dari ibu-ibu dalam
mengisi waktu luang. Dengan kemampuan (skill), modal, keinginan yang kuat untuk
menghasilkan pendapatan, dan teknologi yang minimal, ditunjang dengan kejelian
memanfaatkan potensi HHBK dan membaca peluang pasar, maka usaha rumah tangga ini
dapat menjadi landasan awal untuk berwirausaha.
Beberapa komoditas HHBK yang dapat dikembangkan sebagai komoditas unggulan
kewirausahaan industri rumah tangga yaitu Serabut kelapa dan Kopra, Gula aren, Tepung
sagu, Kolang-kaling, Minyak pala, Manisan pala, sayur rebung dan beberapa komoditas lokal
lainnya. Jenis-jenis produk dari masing-masing komoditas HHBK dapat dilihat pada matrik
yang disajikan pada Tabel 26.1.

Hasil Hutan Bukan Kayu


300
Tabel 26.1. Matrik jenis-jenis produk yang dapat dikembangkan dari
sebagiankomoditas HHBK di wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat

Komoditas Jenis produk


HHBK Makanan Minuman Kerajinan Bahan baku
industri
Kelapa Kopra Nata decoco Sapu lidi Serabut
Kelapa parut Air kelapa dalam Sapu ijuk kelapa
Santan kelapa dalam kemasan Anyaman atap Arang kelapa
kemasan (cair), Kelapa muda Mebel kayu Briket arang
dan/atau powder dalam kemasan kelapa
(bubuk)
Aren Gula aren Bobo Sapu lidi Nira
Kolang kaling Sapu ijuk
Anyaman atap
Sagu Tepung sagu Sagu mutiara Sapu lidi Ampas sagu
Kue sagu Anyaman atap untuk budi
Papeda Pelepah sagu daya ulat sagu
Papeda dalam Batang sagu Budi daya
kemasan jamur

Pala Manisan endosperm Juice endosperm Bunga pala


buah pala buah pala Biji pala
Turunan bahan olahan Minyak buah
endosperm buah pala pala
(dodol, dll.) Minyak bunga
pala
Bambu Rebung bambu Anyaman
(bamboo shoot) bambu
Rebung bambu dalam Tusuk sate
kemasan (Canned or Chop stick
lebeled bamboo
shoot)

Dari tabel 16.1 di atas, dapat dilihat bahwa pengusahaan komoditas HHBK, diperlukan
kejelian dan keberanian dalam membaca peluang suatu produk di pasar, dengan mengikuti
selera dan daya beli konsumen. Melihat dari beberapa jenis produk yang dapat dihasilkan dan
sipasarkan, inovasi untuk membuat produk tersebut memiliki daya saing, keunikan dan harga
yang terjangkau sangat penting untuk dipertimbangkan. Misalnya, komoditas Kelapa, selama
ini hanya diambil daging buahnya untuk kelapa parut, kulit atau serabut kelapa untuk sapu
ijuk, dan daunya untuk sapu lidi.
Apabila kita mengikuti perkembangan informasi, bahwa komoditas serabut kelapa, kulit
kelapa dipisahkan antara ijuk dan serabutnya, memiliki harga pasaran yang tinggi. Serabut
kelapa merupakan bahan baku pembuat sofa dan jok mobil kelas atas, dan permintaannya
dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Pengermbangan usaha serabut kelapa ini tidak
memerlukan sentuhan teknologi dengan investasi yang cukup besar, tetapi hanya
memerlukan beberapa peralatan kerja pendukung.
Demikian juga dengan beberapa komoditas dari bambu, dengan memberikan kemasan
yang menarik, rebung bambu dan tusuk sate, misalnya dapat dipasarkan di beberaa
supermaket atau pasar swalayan, sehingga dapat meningkatkan nilai jualnya. Apabila dirasa

Hasil Hutan Bukan Kayu


301
sudah dapat memenuhi kebutuhan lokal, dengan pengemasan yang tepat, kiranya dapat
dikirim untuk tujuan pasar regional atau nasional.

26.3.2.Usaha Kecil dan Menengah (UKM)

Salah satu karakteristik dari komoditas HHBK yang cocok diusahakan dalam skala
industri UKM atau koperasi adalah komoditas-komoditas yang potensinya cukup melimpah,
dapat diolah ke dalam berbagai jenis produk, memerlukan banyak tenaga kerja dalam
pengolahan maupun pemanenan/pemungutan, dan proses pengolahan yang bertahap. Dua
dari beberapa contoh dari komoditas tersebut adalah Pala dan sagu.
Dalam memanen dan menotok sagu, biasanya dilakukan secara bergotong royong atau
dilakukan secara komunal. Meskipun dalam beberapa kasus dapat dikerjakan oleh keluarga
dekatnya yang masih satu rumpun. Hasil panen sagu (Aci sagu) dapat diperoleh dengan
volume yang melimpah, sehingga didistribusikan ke sesama anggota keluarga dan atau
tenaga kerja yang terlibat di dalamnya.
Mengingat diversifikasi produk-produk olahan yang dapat diolah dan dihasilkan dari
komoditas sagu ini sangat beragam, kiranya masing-masing keluarga dapat membuat produk
olahan yang berbeda-beda. Produk-produk tersebut dapat dijual dalam satu wadah koperasi
atau kelompok usaha. Sehingga dalam pelaksanaannya ada yang bertugas pada bagian
produksi, pemasaran/penjualan, dan keuangan, walapupun dalam prakteknya bisa saja
personelnya orang yang sama. Hal tersebut tentunya berdasarkan kesepakatan antar
anggotanya.
Produk-produk lainnya seperti anyaman atap daun sagu, pelepah daun sagu, ampas daun
sagu, batang (phloem) batang daun sagu dapat diusahakan oleh tenaga kerja pria. Ampas
sagu juga dapat dimanfaatkan untuk budi daya jamur, ulat sagu ataupun campuran pellet
ayam buras. Tentunya bimbingan dan pendampingan dari tenaga teknis dari departemen
terkait mutlak diperlukan.
Aspek yang sama juga dapat diterapkan pada komoditas pala. Selama ini komoditas pala
kebanyakan diusahakan secara pribadi atau sendiri-sendiri, sehingga sering dijumpai
perbedaan harga dan kualitas produk pada tingkat petani. Hal ini jelas akan merugikan petani
sendiri, karena akan menurunkan daya tawar produk. Apabila para petani pala ini tergabung
dalam koperasi atau kelompok tani, maka permaslahan tersebut dapat dipecahkan atau
didiskusikan bersama sehingga dapat dikurangi. Pada akhirnya, komoditas produk-produk
pala tersebut dapat ditingkatkan kualitasnya, sehingga memberikan nilai keuntungan yang
optimal kepada petani.
Di samping kedua komoditas HHBK tersebut di atas, beberapa komoditas HHBK yang
memiliki potensi melimpah, seperti kelompok buah-buahan, tanaman rimpang, dan bumbu-
bumbu juga sangat potensial untuk dikembangkan dan diolah menjadi produk-produk olahan
yang diperlukan oleh masyarakat sehari-hari. Akan tetapi dalam produksi, pengolahan,
pengemasan dan pemasarannya diperlukan sentuhan teknologi dan manejemen yang
terencana.
Misalnya komoditas rambutan, kalau dijual dalam bentuk buah utuh (baru dipetik dari
pohon, masih dalam tangkai dan berkulit), maka sebaiknya dimasukkan dalam kemasan atau
karton, yang memiliki identitas produk. Identitas seperti jenis rambutan, kuantitas
(kg/karton), kualitas (utama, primer, sekunder), tanggal kedaluwarsa, dan alamat serta nomor
kontak yang dapat dihubungi akan sangat meningkatkan kepercayaan dan keyakinan
konsumen akan kualitas dari buah yang kita jual. Dengan sendirinya, harga yang kita
tawarkan akan sedikit lebih mahal apabila dibandingkan dengan yang tidak dikemas dalam
karton. Dengan kemasan tersebut, rambuatan dapat dijual antar daerah atau secara regional.
Demikian juga bila rambutan tersebut dikemas dalam bentuk produk buah kaleng, yang mana
kulit dan bijinya dipisahkan, maka perlu diolah dan diberi perlakuan khusus agar buahnya

Hasil Hutan Bukan Kayu


302
dapat bertahan lama. Misalnya ditambahkan pemanis buatan, bahan pengawet dan beberapa
perlakuan tambahan lainnya.
Beberapa komoditas sederhana lainnya seperti bumbu-bumbuan (rimpang dan daun),
dan bahan baku jamu dapat dikemas secara menarik, seperti dibungkus palstik, atau kertas
berlabel. Sehingga dengan pengemasan tersebut, produk-produk tersebut dapat bertahan lama
dan tetap segar, menarik, tetap bersih, dan menambah nilai jualnya.

26.3.3. Perusahaan Menengah/besar

Menurut UU no 41 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah no 6 tahun 2007, kegiatan


pengusahaan HHBK dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pemanfaatan dan pemungutan.
Pemanfaatan adalah pengusahaan HHBK yang berasal dari areal hutan produksi, baik dari
hutan alam maupun hutan tanaman. Sedangkan pengusahaan HHBK yang berasal dari hutan
lindung dikenal dengan istilah pemungutan. HHBK yang termasuk dalam kegiatan
pemungutan adalah komoditas rotan, madu, getah, buah-buahan, jamur, sarang burung walet,
dan pengakaran sawta liar. Disisi lain, HHBK yang berasal dari hutan produksi adalah getah-
getahan, rotan, nipah, sagu, kulit kayu, gaharu, buah-buahan, dan lain sebagainya.
Selanjutnya menurut peraturan menteri Kehutanan no 35/Menhut/II/2007, HHBK
dikelompokkan ke dalam sembilan kelompok yaitu: 1) Kelompok resin; 2) Kelompok
Minyak Asiri; 3) Kelompok Minyak lemak, Pati dan Buah-buahan; 4) Kelompok Tanin,
Bahan pewarna dan getah; 5) Kelompok Tumbuhan Obat dan Tanaman hias; 6) Kelompok
Palm dan Bambu; 7) Kelompok Alkaloids; 8) Kelompok Lainnya; dan 9) Kelompok Hasil
Hewan.
Secara nasional, beberapa kegiatan pengolahan komoditas HHBK yang berskala industri
masih terbatas pada beberapa kelompok komoditas tertentu. Perum Perhutani contohnya
mengolah kelompok resin dari pohon Pinus, yang kemudian menghasilkan Terpentin, dan
Gondorukem. Tetapi dalam perkembangannya, perusahaan tersebut juga hanya mengekspor
komoditas tersebut dalam bentuk bahan mentah, bukan dalam bentuk yang telah diolah lebih
lanjut.
Pada beberapa daerah tertentu, seperti di Papua dan Riau, terdapat beberapa perusahaan
yang telah bergerak dalam pengolahan komoditas HHBK, seperti Sagu. Perusahaan besar
tersebut, mengolah komoditas sagu untuk dua produk utama, yaitu tepung sagu dan bahan
bakar hayati (bio-ethanol). Sedangkan produk sampingannya seperti biomassanya, baik
sebagai media jamur, ulat sagu, dan supplement makanan ayam maupun sebagai bahan
meterial, serat dan komposit, belum diolah atau dimanfaatkan secara optimal. Khusus untuk
tepung sagu, sebenarnya tepung tersebut dapat dikembangkan lagi menjadi beberapa produk
turunannya, seperti mie sagu, papeda instant sagu, dan beberapa produk lainnya.
Beberpa komoditas HHBK lainnya yang cukup potensial untuk dikembangkan adalah
Nipah untuk produk energi nabati (bio-ethanol), Aren, buah Mangrove, dan Minyak atsiri,
Buah Merah serta kelompok HHBK lainnya.

26.3.4. Keunggulan komparatif komoditas HHBK Indonesia

Sebagai negara tropis dengan keanekaragaman hayati yang sangat besar


(megabiodiversity), komoditas HHBK Indonesia memiliki keunikan dan keberagaman
tersendiri. Keberagaman spesies HHBK tersebut khususnya di tanah Papua, sangat tinggi, ini
terbukti dari beberapa penemuan baru species palem di tanah ini. Bahkan beberapa
komoditas HHBK adalah endemik atau asli di Papua. Keunikan, keaslian, dan ketunggalan
komoditas tersebut sudah selayaknya mendapatkan daya tawar dan nilai yang tinggi, baik
ditinjau dari aspek keilmuan, kepakaran, keaslian dan keakuratan informasi, sehingga tidak
ada duanya atau tidak tertandingi, dan tak ternilai harganya. Akan tetapi, kalau kita belum

Hasil Hutan Bukan Kayu


303
dapat memanfaatkan, dan membaca peluang tersebut, maka akan dimanfaatkan oleh orang
lain, atau bahkan orang dari negara lain.

Hasil Hutan Bukan Kayu


304
GLOSARIUM

Added value : Nilai tambah dari suatu produk atau komoditas


Agroforestry : Penggunaan lahan atau kawasan hutan yang belum
berproduksi untuk dikombinasikan dengan usaha-usaha atau
tanaman pertanian, seperti sistem tumpang sari pada tegakan
hutan jati yang masih muda.
Aibon : Makanan tradisisional masyarakat Biak (Sowek, Supriori
selatan) yang terbuat dari daging buah mangrove jenis
Bruquiera spp setelah mengalami proses pengolahan
AMDAL : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Arang (Charcoal) : Hasil karbonasi dari proses pembakaran bahan
berlignoselulosa yang tidak sempurna
Aren : Salah jenis tumbuhan dari famuli Palmae yang dicirikan oleh
seluruh batang yang berpelepah daun dipenuhi dengan
serabut, atau dekenal dengan ijuk. Aren memiliki bahasa
ilmiah Arenga pinnata.Salah satu hasil buah aren bagian
endospermnya adalah buah kolang-kaling.
Back to nature : Paradigma dalam dunia sekarang untuk berperilaku dan
bergaya hidup yang ramah dan bersahabat dengan alam
(Kembali ke alam)
Bambu : Salah satu jenis tumbuhan dari famili Graminae, dengan
nama ilmiah Bambosa spp, yang dicirikan oleh batangnya
yang beruas-ruas, dengan rongga batang (hollow clums) dan
setiap rusanya terdapat mata tunas.
Bio-degradable products : Produk yang dapat didaur ulang secara biologis
Biodiversity : Keanekaragaman/keberagaman hayati, kelimpahan jenis
Bio-fuel (bahan bakar : Minyak jenis diesel (solar) dan bensin (ethanol) yang
nabati) diperoleh dari sumber-sumber hayati (makhluk hidup)
sehingga bersifat dapat diperbaharui (renewable). Biofuel
terdiri atas biodisesel dan bioethanol.
Biomass energy : Energy berasal dari biomassa, yaitu energy yang berasal dari
massa penyusun tumbuhan dan atau komponen organik
tumbuhan
Briket Arang (Briquette) : Bahan padatan yang memiliki kerapatan yang tinggi yang
dihasilkan dari proses pengepresan serbuk arang dengan
penambahan bahan perekat tertentu. Tujuan utamanya adalah
menghasilkan nilai kalor energi dari suat bahan yang
berdimensi minimum.
Caloric value : Nilai kalor suatu massa atau zat dalam jumlah atau satuanb
tertentu, biasnya Joule/gr atau joule/ml.
Carbon sink : Dapur karbon yang dimaksudkan adalah fungsi hutan tropis
sebagai pabrik raksasa yang mengkonversi CO2 menjadi O2
melalui proses fotosintesis.

Hasil Hutan Bukan Kayu


305
Carbon trading : Perdagangan karbon, istilah umum untuk mekanisme
pertukaran atau perdagangan karbon

Cashew : Daging biji (endosperm) dari tumbuhan Jambu mete


CIFOR : Center For International Forestry Research
Clean Development : Mekanisme Pembangunan Bersih adalah konsep mutilateral
Mechanism (CDM) antara negara maju dan negara berkembang untuk
melaksanakan pembangunan yang ramah lingkungan dan
berkelanjutan
Climbing orchds : Tumbuhan anggrek yang merambat dan menempel pada
pohon atau tumbuhan inangnya yang lain
Coloring agent : Bahan-bahan pewarna
(pewarna)
Commercila level : Pemanenan komoditas hasil hutan bukan kayu dengan tujuan
utama adalah bersifat usaha komersial, sehingga terdapat
lembaga-lembaga formal, seperti produsen, konsumen, rantai
pemasaran dan seterusnya.
Commnunity based forest : Pengelolaan hutan berbasis masyarakat
mangement (CBMF)
Community Forest : Pembangunan dan pemberdayaan masyarakat hutan
Development (CFD)
Damar : Getah-getahan hasil penyadapan dari pohon-pohon
dipterocarpaceae.
Deklarasi Rio De Janeiro : Deklarasi global tentang usaha-usaha untuk mengurangi
polusi udara, terutama gas rumah kaca, dan perubahan iklim
global, yang dikenal dengan nama konvensi kerangka
perserikatan bangsa-bangsa tentang perubahan iklim global
Derivated wood products : Produk-produk turunan dari kayu
Developed countries : Negara negara maju atau industri, dikenal dengan negara-
negara barat.
(industrilised countries)
Developing countries : Negara-negara sedang berkembang, dikenal dengan negara-
negara timur
Dyes compound : Komponen kimia untuk pigmen atau pewarna, seperti
klorofil, karoten dan sejenisnya
Efek Rumah Kaca (Green : Fenomena yang terjadi di atmosfer, yang mana sinar
houses effect) ultraviolet dari sinar matahari tidak dapat dikembalikan ke
atmosfer lagi, tetapi terkurung dalam atmosfer kita, sehingga
menyebabkan kenaikan suhu, seperti fenomena rumah kaca
yaitu suhu dalam ruangan lebih tinggi daripada suhu di luar
ruangan

Hasil Hutan Bukan Kayu


306
Ekoturisme : Pemanfaatan potensi ekologi, sosial dan budaya untuk tujuan
wisata atau pariwisata.
Environmentally friendly : Label pada barang-barang konsumsi (goods) yang
menyatakan bahwa produk tersebut terbuat dari bahan-bahan
yang ramah atau tidak merusak lingkungan
Epiphytic orchids : Tipe tumbuhan anggrek yang hidup sebagai epihit pada
tumbuhan lain
Fiberboards : Papan buatan yang terbuat dari materi-materi bahan
berlignoselulosa (lignoselulosic materials)
Fitokimia : Ilmu yang mempelajari senyawa-senyawa organik yang
terdapat pada tanaman
(Phythopharmaceutical)
Fixed carbon : Sisa-sisa karbon pada pembuatan arang
Food and Agricultural : Organisaisi internasional di bawah perserikatan bangsa-
Organization (FAO) bangsa yang memfokuskan kegiatannya pada bidang pangan
dan sektor pertanian secara luas
Furniture : Perabotan rumah tangga yang sering juga dikenal engan
nama permebelan, seperti meja, kusi, meja makan, buffet
lemari dan sebagainya.
Gaharu (agarwood, : Kayu yang telah terinfeksi cendawan sehingga terjadi
Eaglewood) perombakan komponen kimianya, sehingga menimbulkan
aroma yang khas
Global climate pattern : Perubahan pola iklim dan cuaca dunia
change
Green house Gases : Gas-gas yang memiliki kontribusi terhadap terjadinya
(GHG) fenomena efek rumah kaca, seperi gas Karbon dioksida
(CO2), Karbon monooksida (CO), Methan (CH4), Clorofluoro
carbon (CFC) dan sejenisnya
Hardwood : Penggolongan kayu yang dihasilkan oleh tumbuhan atau
pohon berdaun lebar. Sebagian menyebutnya dengan kayu
keras, tetapi tidak selamanya hardwood lebih keras dari
softwood
Hutan tropis basah : Tipe hutan yang terdapat pada daerah tropis yang yang
(tropical rain forest) dicirikan adanya keanekaragaman yang tinggi, hijau
sepanjang tahun, kelembaban dan curah hujan yang tinggi
Ignition point : Titik bakar, adalah suhu yang diperlukan di mana suatu
senyawa atau zat mulai terbakar.
Impact logging : Kerusakan hutan akibat kegiatan pembalakan (logging)
Inferior products : Produk-produk atau komoditas yang kurang mendapat tempat
di hati konsumen atau pasar
Intangilble products : Produk hutan yang tidak dapat dinilai dengan uang, seperti
jasa sumber air, pemandangan yang indah, udara yang segar
dan lainnya.

Hasil Hutan Bukan Kayu


307
International Network on : Jaringan kerja sama internasional tentang Bambu dan Rotan
Bamboo and Rattan
(INBAR)
Kayu gubal (Sapwood) : Kayu yang sel-selnya masih tumbuh dan berkembang,
dengan warna terang.
Kayu teras (Heartwood) : Kayu yang telah mati sel-selnya, sehingga memiliki Warna
yang agak gelap, lebih keras dan mengandung zat ekstaktif
yang realtif lebih tinggi daripada sapwood
Kearifan lokal : Pengetahuan, cara, metode, kebiasaan dan adat budaya yang
dimiliki oleh masyarakat lokal dan dipergunakan dan
(indigeneous knowledge)
dilaksanakan dalam seluruh kehidupannya sehari-hari
terutama yang berkenaan dengan pengelolaan sumber daya
alamnya.
Kimia bahan alam : Senyawa-senyawa bio-aktif, atau organik, yang diperoleh
dari alam
(Nature products of
chemistry)
Knock down (joinery) : Perabotan atau jenis-jenis produk mebel dan produk
perkayuan lainnya yang dapat dibongkar pasang berkali-kali.
Komoditas hasil hutan : Istilah yang dipergunakan untuk mesdiskripsikan Jenis-jenis
bukan kayu dan produk-produk hasil hutan bukan kayu
Kopal : Hasil penyadapan (getah) dari pohon jenis Agathis spp
Lembaga keuangan dan : Adalah lembaga-lembaga yang berperan dan memiliki
pembangunan keperdulian terhadap dalam pengembangan masyrakat lokal,
internasional seperti United Nation Development Program (UNDP), Bank
Dunia (World bank), bank pembangunan Asia (Asian
Development Bank)
Lembaga Swadaya : Organisasi non pemerintah yang berorientasi pada misi
Masyarakat sosial, sumber daya alam, pemberdayaan masyarakat dan
objek lain sejenisnya yang bersifat bukan mencari laba (non
(Non Government
profit)
organization)
Lembagan Konservasi : Lembaga-lembaga nirlaba internasional yang bergerak dalam
Internasional bidang konservasi sumber daya alam, seperti Conservation
International (CI), World Wild Fund (WWF), The Nature
Conservancy (TNC) dan sebagainya
Limbah-limbah pertanian : Limbah-limbah tanaman pertanian, seperti jerami, sekap
(Agricultural residues) padi, dan tanaman lainnya yang berserat atau
berlignoselulosa.
Lithophytic orchids : Tumbuhan anggrek yang memiliki habitat pada tanah kering
atau batu-batuan
Local-used level : Pemanenan komoditas hasil hutan bukan kayu dengan
pengolahan yang berskala kecil, bersifat pridadi atau industri
rumah tangga dengan sentuhan teknologi yang sangat
sederhana dan untuk dijual dipasar lokal.
Major Forest Producs : Hasil Hutan yang utama (kayu), istilah yang dipergunakan

Hasil Hutan Bukan Kayu


308
untuk menyebut hasil hutan olahan dari kayu
Masyarakat adat/Lokal : Kumpulan masyarakat dalam suatu komunitas yang memiliki
kesamaan dalam karakteristik budaya, sosial dan aspek
(clann community)
kehidupan lainnya.
Masyarakat hutan : Masyarakat adat, lokal atau penduduk asli yang hidup di
dalam, pinggir dan sekitar kawasan hutan dan memiliki
(Forest people)
ketergantungan terhadap kawasan hutannya.
Mega diversity : Kekayaan keanekaragaman hayati
Mikrofauna : Jenis-jenis hewan yang berukuran mikro, seperti mikrob,
cacing, dan berbagai organisme tanah lainnya
Mikroflora : Tumbuh-tumbuhan yang memiliki bentuk fisik yang relatif
kecil, seperti jamur,
Minor forest product : Hasil Hutan bukan kayu, hasil hutan non kayu, hasil hutan
ikutan adalah hasil hutan yang bukan dari golongan kayu,
meskipun dalam beberapa kasus termasuk unsur kayunya
Minyak Atsiri (Essential : Hasil proses metabolit sekunder pada tumbuhan yang
oils) memiliki bau yang khas, seperti parfum, minyak sereh,
minyak kayu putih, minyak lawang dan sejenisnya.

Minyak Lemak : Minyak yang diekstraksi dari bagian cadangan makanan pada
suatu biji atau buah, seperti minyak jarak, minyak biji-bijian,
jambu mete dan seterusnya
Modul : Satuan acara perkuliahan atau pembelajaran yang
dikeompokkan berdasarkan kesamaan pokok bahasan atau
subjeknya
Monoculture (pure crops) : Penanaman jenis-jenis tanaman yang sejenis, atau semusim,
yang juga sering dinamakan sebagai monokultur atau
homogen
Monopodial : Karakteristik batang anggrek yang tunggal dan indenpen
Multiple benefit : Bersifat memiliki banyak manfaat dan kegunaan
(multi guna)
Multiple funtion : bersifat memiliki beberapa fungsi
(multi fungsi)
Multiple stakeholders : Bersifat memilki banyak kepentingan dan keterlibatan
(Multi kepentingan)
Natural color agent : Bahan Pewarna alami yang diekstrak dari tumbuh-tumbuhan
Non-Timber Forest : Istilah asing untuk Hasil Hutan bukan kayu yang dapat
Products (NTFPs) didefinisikan sebagai seluruh produk biologi, selain kayu,
yang berasal dari kawasan hutan atau kawasan lainnya yang
berassosiasi dengan hutan, yang dimanfaatkan oleh manusia
Non-Wood Forest : Memiliki pengertian yang sama dengan NTFPs,

Hasil Hutan Bukan Kayu


309
Products
(NWFPs)
Organic flavours : Senyawa-senyawa kelompok penyedap
compound
Organic fragnant : Senyawa-senyawa kimia untuk tujuan parfum atau
compound pengharum.
Palm oils : Jenis minyak lemak yang diekstraksi dari buah kepala sawit
(Minyak kelapa sawit)
Pemanasan global : Fenomena terjadinya kenaikan suhu permukaan bumi,
(Global warming) kenaikan permukaan air laut dan perubahan pola iklim global
secara berkala di seluruh dunia
Penyadapan : Usaha atau kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan
getah, dengan cara melukai kulit pohon tertentu.
Perhimpunan : Perkumpulan atau masyarakat peneliti internasional tentang
internasional etnobotany etnobotany, yaitu penggunaan tumbuh-tumbuhan pada suatu
(International society of etnis atau kelompok masyarakat untuk berbagai tujuan, baik
etnobotany) untuk obat-obatan, makanan alternatif dan sejenisnya.
Perhimpunan : Perhimpunan atau masyrakat peneliti internasional tentang
Internasional obat-obatan tradisional pada suatu etnis tertentu.
Pharmakologi
(International society of
Etnopharmacology)
Plywood : Adalah istilah umum dari kayu lapis, yaitu papan buatan yang
terbuat dari beberapa lapis veneer yang direkatkan saling
tegak lurus dan berjumlah ganjil, diberi perekat buatan dan
dipress dengan menggunakan suhu dan tekanan yang tinggi.
Pohon (trees) : Tumbuhan hutan yang berkayu dengan diameter di atas 20
cm dengan tinggi lebih dari 3 meter
Protokol Kyoto : Instrumen hukum yang dirancang untuk
mengimplementasikan konvensi perubahan iklim yang
bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca
agar tidak menganggu iklim bumi
Reconstituted wood : Produk-produk papan buatan yang terbuat dari materi yang
products berbahan dasar lignoselulosa (kayu) dengan berbagai
kombinasi perlakukan dengan tujuan untuk keunggulan
produk.
Reduced Impact Logging : Usaha-usaha, baik peraturan maupun praktek/aksi, untuk
(RIL) menggurangi dampak karena kegiatan pembalakan
Resin : Hasil sekresi (getah-getahan) dari tumbuhan-tumbuhan yang
menghasilkan resin, atau hasil penyadapan getah dari pohon
Pinus (Pinus spp)
Rotan (Rattan) : Tumbuhan dari family Palmae yang dicirikan oleh batangnya
yang silindris, merambat, pelepah daun berduri dan memiliki
sulur (Flagella) yang berduri pula

Hasil Hutan Bukan Kayu


310
Rotan asalan : Adalah komoditas rotan yang masih berupa bahan baku untuk
produk rotan berikutnya
Rotan W &S : Komoditas bahan baku rotan yang telah mengalami
pencucian dan perlakuan sulfur (washed and surfurised)
Sagu : Tumbuhan dari family Palmae yang empulur batannya
mengandung pati, dikenal dengan nama ilmiah Metroxylon
spp. Tumbuhan banyak tumbuh secara liar atau alami di
daerah-daerah berawa atau bergambut umumnya
Satwa liar (Wild animal) : Jenis-jenis hewan yang belum dibudidayakan secara intensif,
seperti buaya yang hidup di alam, harimau, badak jawa,
burung cenderawasih dan beberapa satwa lainnya.
Sawn timber : Istilah umum dari kayu gergajian, yaitu kayu utuh yang telah
mengalami proses pembelahan dan pemotongan sehingga
memiliki ukuran berdimensi yang definitif, seperti persegi
empat, balok dan seterusnya.
Secondary processed : Produk-produk kayu olahan sekunder, seperti produk-produk
solid wood pintu panel, jendela, kusen ukir moluding dan sejenisnya
Senyawa-senyawa : Senyawa-senyawa kimia bahan alam yang memiliki cincin
aromatik (Aromatic aromatik, seperti benzen, phenol dan sebagainya
chemistry)
Serasah hutan : Bahan-bahan berlignoselulosa, seperti daun, ranting dan
cabang, serta seluruh material biologi yang jatuh atau
terdapat pada lantai hutan
Services of Forests : Pengertiannya adalah produk-produk jasa dari hutan, atau
(forest products services) jasa-jasa yang dihasilkan dari suatu tegakan hutan
Sirap : Sayatan tipis dari kayu Ulin yang dipergunakan untuk
keerluan atap rumah, biasanya dari Kalimantan.
Softwood : Kayu yang dihasilkan oleh pohon yang memiliki daun jarum
Solid wood : Kalau terjemahkan ke dalam bahasa indoensia adalah kayu
utuh, atau penggunaan kayu secara utuh, masih berbentuk
seperti aslinya, seperti untuk tiang jembatan, tiang listrik
(Pole) dan sejenisnya
Stakeholders : Pihak-pihak, baik perorangan, lembaga maupun instansi,
yang berkepentingan
Standar Nasional : Panduan teknis yang berisi definisi, tatanama, klasifikasi,
Indonesia pengujian mutu dan beberapa aspek teknis lainnya yang
dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) tentang
suatu produk atau komoditas tertentu.
Stratum bawah : Lantai hutan (forest floor, ground)
Subsistance level : Pemanenan hasil hutan bukan kayu dengan tujuan untuk
dikonsumsi sendiri.
Superior products : Produk-produk yang banyak diminati oleh konsumen atau
pasar

Hasil Hutan Bukan Kayu


311
Sympodial : Karakteristik pertumbuhan batang anggrek yang memiliki
batang yang seperti berumpun, dengan batang yang
mengelembung (bulb).
Tanaman Hias : Jenis-jenis tanaman tertentu karena karateristik alaminya
dimanfaatkan untuk tujuan keindahan, seperti tumbuhan
(Ornament Plant)
suplir, anggrek, palem dan sejenisnya.
Tandan (Bunch) : Untaian yang terdiri atas beberapa helai pijakan/tempelan
buah aren
Tangible products : Produk dari hasil hutan yang dapat dihitung nilainya dengan
uang, seperti nilai kayu, turunan kayu, minyak atsiri dan
lainnya
Terrestical orchids : Tumbuhan anggrek yang berhabitat di atas tanah
Tumbuhan Obat : Tumbuh-tumbuhan yang dipergunakan sebagai tumbuhan
obat-obatan tradisional
(Medicinal plants)
Ulat Sagu : Fase pertumbuhan serangga penggerek batang sagu,
Kumbang dari jenis Rhynchophorus papuanus yang masih
berupa larva, dan kaya akan protein dan asam lemak tidak
jenuh.
UNFCCC : United Nation Framework Convention on Climate Change
Volatile ma tter : Bahan atau zat yang mudah menguap pada suhu kamar
Water hydrology : Fungsi hutan yang berkenaan dengan aspek menjaga
keseimbangan neraca air tanah, sehingga beberapa fenomena
seperti banjir pada musim hujan, kekurangan air pada musim
kemarau tidak akan terjadi.
Window/door frame : Komponen, bingkai atau bagian kusen pintu atau jendela
rumah yang dapat dibongkar pasang
Wood ornaments : Ornamen-ornamen, hiasan-hiasan, atau produk kayu lainnya
yang terbuat dari kayu yang ditujukan untuk tujuan
keindahan (estetika), seperti lampu hias, pernik-pernik kayu
dan produk seterusnya

Hasil Hutan Bukan Kayu


312
DAFTAR PUSTAKA

Adan, I.U (2003). Membuat Briket Bio Arang. Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Akuba, R.H (2004). Prosiding Seminar Nasional “ Pengembangan Tanaman Aren”. Balai
Penelitian Kelapa dan Palma Lain. Manado.

Alam, S dan D. Baso (2004). Peluang Pengembangan dan Pemanfaatan tanaman Aren di
Sulawesi Selatan. Dalam Prosiding Seminar Nasional “ Pengembangan
Tanaman Aren”. Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain. Manado.Pp.15-21.
Aminah, N.S; A.Suminar.; E.H Hakim; L.D Juliawaty, ; E.L Ghisalberti, dan, Y.M, Syah
(2003). Beberapa Senyawa Oligostilbenoid dari Kulit batang Shorea seminin.
The Indonesian Society of Natural Products Chemistry. Vol 4 No. 1 January –
June 2004.
Anonimous (1967). UU No. 5 tahun 1967. Undang-undang Pokok Kehutanan, Direktorat
jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian.
Anonimous (1976). Vademecum.Kehutanan indonesia. Depaartemen Kehutanan .Jakarta
Anonimous (1998). Orchid Growing in the tropics. Orchid Society of South East Asia
(OSSEA). Kangoroo Press. Singapore
Anonimous (1999). UU No. 41 tahun 1999. Undang-undang Republik Indonesia tentang
Kehutanan. Departemen Kehutanan.
Anonimous (2003). Profil Komoditas Unggulan Kabupaten Jayapura.
Anonimous. (1980). Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 204/Kpts/DJ/1980
tentang Peraturan Pengujian Rotan Bulat Indonesia. Jakarta.
Arbain, D (2004). Dua Dekade Penelitian Kimia Tumbuhan Sumatra. The Indonesian
Society of Natural Products Chemistry. Vol 4 No. 1 January –June 2004.
Asia Pacific Forest Industries. (1990). Edisi Oktober 1990. The Success of the Rattan
Industry in Indonesia.
Asia-Pacific Forestry Commision (1998). Asia-Pacific Forestry Towards 2010. Report of
The Asia-Pacific Forestry Sector Outlook Study. Food and Agriculture
Organization of The United Nation, Rome Italy.
Asia-Pacific Forestry Commision (1998). Asia-Pacific Forestry Towards 2010. Report of
The Asia-Pacific Forestry Sector Outlook Study. Food and Agriculture
Organization of The United Nation, Rome Italy.
Baan, Y (2002). Morfologi dan Tingkah Laku Lebah Madu pada Peternakan lebah Madu di
Kecamatan Muara Tami Kotamadya Jayapura. Skripsi Sarjana Pertenakan.
Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelauatan Universitas Negeri Papua
(tidak diterbitkan)
Badan Standarisasi Nasional (BSN), (2001). Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-5009.4-
2001.
De Padua. L.S; N. Bunyapraphatsara dan R.H.M.J. Lemmen (editorr). Medicinal and
poisonous plant 1. Plant Resources of South-East Asia. No. 12 (1). Prosea.
Bogor. Indonesia.

Hasil Hutan Bukan Kayu


313
De Padua. L.S; N. Bunyapraphatsara dan R.H.M.J. Lemmen (editorr). Medicinal and
poisonous plant 1. Plant Resources of South-East Asia. No. 12 (2). Prosea.
Bogor. Indonesia.
Dewi, F.D (2004). Pemanfaatan Hasi Hutan Non Kayu oleh masyarakat Kampung Nuni
Distrik Manokwari Kabupaten Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan Fakultas
Kehutanan Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan)
Dransfield, S and Elizabeth A. Widjaja (1995). Plant Resources of South East Asia No. 7
Bambo. Prosea Bogor Indonesia.
Dransfield.J dan N.Manokaran (1996). Rotan. Sumber daya Nabati Asia Tenggara No. 6.
Gajah Mada University Press – Prosea. Yogyakarta
Fugu, T.A (1997). Kajian Tentang Industri Kerajinan Rotan di Kota Nabire. Skripsi Sarjana
Kehutanan pada Fakultas Pertanian, Universitas Cenderawasih Manokwari.
Tidak diterbitkan.
Goloubinoff, M; J.de Beer dan E Katz (2004). Agarwood, Fragnant wood. Riches of the
forest: Food, Spices, Craft and resin of Asia. Citlalli Lopez dan Patricia
Shanley. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor Indonesia.
Guenter, (1948). The Essential Oils Volume I. Van Nostrand Reinhold Company, New York.
Hamzirwam (2007). Industri Mebel, jurus baru kuasai pasar Global. Kompas, 23 Februari
2007. PP 21
Hartoyo (1983). Pembuatan Arang dan Briket Arang secara Sederhana dari Serbuk Gergaji
dan Limbah Industri Perkayuan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil
Hutan (P3HH), Bada Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen
Kehutanan, Bogor.
Herman, D.L (2004). Pemanfaatan Tumbuhan Sebagai Obat Tradisional oleh Masyarakat di
Desa Ambaidiru Kabupaten Yapen Waropen. Skripsi Sarjana Kehutanan,
Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan)
Howay, M (2003). Pemanfaatan Tumbuhan Sebagai Obat Tradisional olehMasyarakat Suku
Maibrat di Kampung Sembaro Distrik Ayamaru Kabapaten Sorong. Skripsi
Sarjana Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua (tidak
diterbitkan)
http://www.dephut.go.id/informasi/SNI/Gaharu.htm, diakses pada tgl 18 Desember 2006.
http://www.dephut.go.id/informasi/SNI/Getah tusam.htm diakses pada tgl 18 Desember
2006.
http://www.dephut.go.id/informasi/SNI/Gondorukem.htm diakses pada tgl 18 Desember
2006.
Indou, Y. (2002). Studi cara pengolahan dan Pemanfaatan Buah Merah (Pandanus coneideus
L) secara tradisional di Kampung Nuhwey Distrik Ransiki. Laporan Tugas
Akhir. Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian. Universitas Negeri Papua
(tidak diterbitkan).
Jafarsidik, J (1987). Jenis-jenis Pohon Penghasil Resin Damar dan Penyebarannya di
Indonesia. Majalah Duta Rimba No. 81-82/XIII/1987.
Kaimuna. K; M.Okazaki; Y. Toyoda and J.E. Cecil (2002). New Frontier of Sago Palm
Studies. Proceeding of the International Symposium on Sago (SAGO 2001).
Universal Academy Press, Inc. Tokyo Japan.

Hasil Hutan Bukan Kayu


314
Karafir, Y.P; V.E. Fere and Y. Toyoda (2005).(editors) .Abstracts of The International Sago
Symposium. The Japan Society for Promotion of Science
Khakim, Al (2005). Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia. Dalam Era Otonomi Daerah.
Citra Aditya Bakti. Bandung
Koessoy, M.S.C (2002). Sistem Produksi Dan Sifat Fisik Madu Pada Peternakan Lebah
Masu Di Deas Koya Timur Kecamatan Muara Tami Kotamadya Jayapura.
Skripsi Sarjana Pertenakan. Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelauatan
Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan)
Kompas 23 Februari 2007. Areal Tanamn Tebu 2007 diperluas 1.500 Hektar.
Kompas 28 Oktober 2003. Pengakuan untuk Pemburu Mikroba
Kompas edisi 27 April 2006.Tanaman-tanaman Obat di Kalimantan Terancam Hilang.
Kompas edisi 5 Oktober 2004. Keripik Buah Mangrove upaya untuk melestarikan hutan.
Kompas edisi 5 Oktober 2004. Aneka manfaat Buah mangrove, dari permen hingga bedak.
Kompas, edisi 23 Februari 2007 Triana, N (2007). Melihat Pohon-pohon Pewarna di
Museum Tekstil.
Kompas. 2006. Kayu Gaharu Asal lombok diekspor ke Timur Tengah.
Lapis, A.; Alvin A.Faraon; Kharina G.Bueser dan Norma R.Pablo (2004). Rattan Reborn.
ITTO Tropical Forest Update No.14/4. PP 12-13
Limantara, L (2004). Daya Penyembuhan Klorofil. Harian Kompas edisi 6 April 2004. Hal
38.
Marty (2006). Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu oleh Masyarakat Sowek di Rayori
Selatan Supriori Selatan Kabupaten Supriori. Skripsi Sarjana Kehutanan
Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan).
Mashudi; Patra Ketut dan Suwanda (1988). Lebah madu madu lebah di Indonesia tahun
2000. Cetakan pertama. Penerbit Pusat Apiari Pramuka. Jakarta.
Maskar dan IGP. Sarashutah (2004). Potensi dan Masalah PengembanganTanaman Aren di
Sulawesi Tengah. Dalam Prosiding Seminar Nasional “ Pengembangan
Tanaman Aren”. Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain. Manado.pp 267-76.
May, B.I (2005). Sistem Pemeliharaan lebah madu di Kampung Ambaidiru Distrik
Andkaisera Kabupaten Yapen. Skripsi Sarjana Pertenakan. Fakultas Peternakan
Perikanan dan Ilmu Kelauatan Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan)
Murdiyarso, D (2003). Protokol Kyoto. Implikasinya bagi Negara Berkembang. Penerbit
Buku Kompas. Jakarta.
Mustamu, J.T (2006). Karakteristik Morfologi Kanguru Pohon Cenderawasih (Dendrolagus
ursinus) di Kawasan Pegunungan Arfak Manokwari. Skripsi Sarjana Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Papua.
(tidak diterbitkan).
Oropa. H (2001). Kajian Industri Kerajinan Rotan Alfian di Kota Biak. Skripsi Sarjana
Kehutanan pada Jurusan Budi daya Hutan Fakultas Kehutanan Universitas
Negeri Papua Manokwari (tidak diterbitkan)
Pakpahan, E.R (1993). Pengujian Beberapa Komponen Kualitas Minyak Kayu Putih
(Melaleuca cajuputi) asal Taman Nasional Wasur Merauke Irian Jaya. Skripsi

Hasil Hutan Bukan Kayu


315
Sarjana Kehutanan pada Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas
Negeri Cenderawasih Manokwari (tidak diterbitkan)
Pagapong, I.I (2001). Pengujian dan Evaluasi Kualitas Rotan Asalan Marga Calamus dan
Korthalasia asal Kebar Kabupaten Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan pada
Fakultas Pertanian, Universitas Cenderawasih Manokwari. (tidak diterbitkan).
Robledo, C (2004). Small Change from Climate-change negotiation?. ITTO Tropical Forest
Update. Vol 14 (1). pp 18-19
Rostiwati. T ; J. F.Shoon dan M.. Natadiwirya (1999). Penanaman Sagu (Metroxylon sagu
Rottb) berskala besar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan
Perkebunan. Jakarta.
Rukmana, R (2000). Budi Daya Anggrek Bulan. Penerbit Yayasan Kanisius Yogyakarta.
Rumokoi, M.M.M (2004). Aren, Kelapa dan Lontar sebagai Alternatif Pemenuhan
Kebutuhan Gula Nasional dalam. Prosiding Seminar Nasional “ Pengembangan
Tanaman Aren”. Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain. Manado.Pp 22-39.
Sadsoeitoboen, M.J (2002). Pandanaceae. Aspek Botani dan Etnobotani dalam Suku Arfak di
Irian Jaya. Thesis Program PascaSarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor (tidak
diterbitkan).
Simbolon, M (1989). Pedoman Inventarisai Hutan Sagu. Bagian Proyek Inventarisasi dan
Pengukuhan Hutan, Direktorat Invetarisasi Hutan dan Tata Guna Lahan,
Departemen Kehutanan.
Sirait, U (1998). Pengaruh Beberapa Kondisi Penggorengan terhadap kadar air rotan
Diameter Besar asal Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan pada Fakultas
Pertanian, Universitas Cenderawasih Manokwari.(tidak diterbitkan).
Sitepu, D dan P. Sutigno, (2001). Peranan Tanaman Obat dalam Pengembangan Hutan
Tanaman (The Roles of Medicinal Plants on Plantation Forest Development).
(Buletin Vol. 2 No. 2 Th 2001), diakses lewat. www.dephut.go.id/, diakses pada
tanggal 12 Desember 2006
Soenarno dan Idris (1997). Produksi kopal pada Pohon Agathis spp berkulit tebal dan tipis di
BKPH Cicurug KPH Sukabumi, Jawa barat. Majalah Duta Rimba No. 81-
82/XIII/1987.
Standar Nasional Indonesia (2002). SNI 01-5010.4-2002, Tata Nama Hasil Hutan. Badan
Standarisasi Nasional, diakses dari www.dephut.go.id tgl 12 Desember 2006.
Stone, B.C. (1997). Pandanus Parkinson. Di dalam : Verheij, E.W.M dan R.E. Coronel,
Editor. Prosea Sumber Daya hayati Asia Tenggara : Buah-buahan yang dapat
dimakan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Suebu, J (2002). Potensi Tumbuhan Berkhasiat Obat pada Masyarakat Suku Wie-Khaya
Kecamatan Arso Kabupaten Jayapura. Skripsi Sarjana Kehutanan, Fakultas
Kehutanan Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan)
Sumadiwangsa. S dan D. Setyawan (Buletin Vol. 2 No. 2 Th 2001). Konsepsi Strategi
Penelitian Hasil Hutan Bukan Kayu di Indonesia. Diakses dari www.
Dephut.go.id, tgl 12 Desember 2006.
Susilo, A.B (2004). Pemanfaatan Ulat Sagu (Rhynchophorus papuanus) sebagai sumber
protein alternatif bagi penduduk lokal Papua. Makalah yang sisampaikan pada
Lomba Karya Tulis Mahasiswa Tingkat Nasional.

Hasil Hutan Bukan Kayu


316
Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) dan World Wild For Fund (WWF) (2006).
Draft. Rencana Pengembangan Taman Nasional (RPTN) Kawasan Taman
Nasional Teluk Cenderawasih. Hasil Analisis, Sintesa dokumen dan Input Rapat
Internal Tim Penyusun RPTN Kawasan TNTC.dipersiapkan oleh Godlief
kawer.
Tethool, E.F (2005). Potensi Pengembangan Pemanfaatan Hasil Pengolahan Tanaman Buah
Merah (Pandanus coneideus L) di Papua. Makalah Lomba Karya Tulis
Mahasiswa (LKTM). Program Studi Teknologi Hasil Pertanian. Fakultas
Pertanian Peternakan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua. (tidak
diterbitkan).
Trisurat, Y (2003). Defusing the trasnboundary minefield. ITTO tropical Forest Update Vol
13 (2). pp 10-12
Tyler, S.C (1991). The Global Methane Budget in Microbial Production and Consumption of
Greenhouse Gases: Metahane, Nitrogen oxides and Halomethanes. Edited by
John E. Rogers and William B. Whitman. American Society for
Microblogy.Washington D.C.
Warisno (1996). Budi daya lebah Madu. Penerbit kanisius. Yogyakarta
Wibowo, A (2003). Identifikasi jenis-jenis tumbuhan penghasil warna alami dan
pemanfaatannya dalam kehidupan suku Hatam di kampung Mbenti distrik
Minyambouw Kabupaten Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan. Fakultas
kehutanan Universitas Negeri Papua. (tidak diterbitkan).
Widjaja, A.E (2000). Bamboo Diversity and Its Future Prospect in Indonesia. Herbarium
Bogoriense, Botany Division, Research and Development Centre for Biology.
LIPI-Bogor.
Wollenberg. E and A. Ingles (editors).(2004). Income from the Forest. Methods for the
development and conservation of forest products for local Community. Center
for International Forestry Research (CIFOR) Bogor
Wulijarni-Soetjipto, N dan R.H.M.J Lemmens (1999). Tumbu-tumbuhan Penghasil pewarna
dan tanin. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara. No. 3 PT. Balai Pustaka Jakarta
dan Prosea, Bogor
Yayasan Bina Lestari Bumi Cenderawasih (1998). Laporan Realisasi Satwa Liar dan
Tumbuhan Alam. Manokwari.

Hasil Hutan Bukan Kayu


317

Anda mungkin juga menyukai