BUku Pegangan Hasil Hutan Bukan Kayu
BUku Pegangan Hasil Hutan Bukan Kayu
Pasal 2
(1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu
ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 72
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-
masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
WAHYUDI
Editor
Wasrin Syafii
Perbanyakan dan distribusi buku ini sebagian dibiayai oleh International Tropical Timber Organization (ITTO)
126/12A
BUKU PEGANGAN
HASIL HUTAN BUKAN KAYU
Oleh: Wahyudi
BUKU PEGANGAN
HASIL HUTAN BUKAN KAYU
Yogyakarta: Pohon Cahaya, 2013.
318 hlm.; 15x23 cm
ISBN: …
Dicetak oleh:
PERCETAKAN POHON CAHAYA
Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas pentunjuk dan karunia-Nya,
buku Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) ini dapat diselesaikan. Buku ini ditulis dengan tujuan untuk
memberikan bahan bacaan kepada mahasiswa Kehutanan pada umumnya. Secara khusus, buku ini
ditujukkan kepada mahasiswa jurusan Teknologi Hasil Hutan yang mengambil mata kuliah Hasil
Hutan Bukan Kayu, di mana mereka sering mengeluhkan keterbatasan akan bahan bacaan atau
referensi yang menyeluruh tentang hasil hutan bukan kayu (Non-Timber Forest Products/NTFPs), dan
beberapa pembaca yang tertarik atau berkecimpung dengan hasil hutan bukan kayu
Buku ini juga sangat informatif bagi para pembaca maupun pihak lain yang berkepentingan
dengan keanekaragaman hayati hutan tropis, khusunya keterikatan atau interaksi antara masyarakat
lokal/hutan (forest people) dengan sumber daya hutan yang mereka miliki, yang selanjutnya
diistilahkan dengan kearifan lokal (Indigenous knowledge)
Buku, bahan bacaan, dan referensi tentang hasil hutan bukan kayu, sebenarnya sangat banyak dan
beragam, dari yang bersifat pengetahuan populer, kajian ilmiah, hasil penelitian, baik dalam bentuk
laporan maupun proseding symposium, baik lokal maupun international. Akan tetapi kebanyakan
bahan bacaan tersebut tersedia dalam bahasa Inggris. Beberapa buku referensi tentang HHBK dalam
bahasa Indonesia masih kurang, bahkan belum ada. Jikalaupun ada, kebanyakan disajikan dalam
ruang lingkup yang terbatas, yaitu hanya membahas satu komoditas HHBK saja.
Karena keberagaman sumber referensi tersebut, sehingga banyak informasi tentang hasil hutan
bukan kayu yang terkesan kurang dipadukan menjadi buku yang akan memberikan wawasan yang
menyeluruh dan lengkap. Sehingga sangat diharapkan dengan membaca buku ini, pemahaman dan
penguasaan tentang komoditas hasil hutan bukan kayu dapat diperoleh oleh mahasiswa, dan pembaca
secara lengkap, objektif dan menyeluruh.
Keunikan atau kekhasan hasil hutan bukan kayu adalah ruang lingkupnya yang sangat luas, dan
kontribusinya langsung kepada masyarakat hutan serta berkaitan langsung dengan aspek kearifan
masyarakat lokal terhadap kelestarian sumber daya hutan/alam mereka. Ini yang menjadikan
komoditas HHBK menjadi bahan kajian dan perhatian utama dari beberapa negara maju dan lembaga-
lembaga keuangan dan konservasi internasional untuk berperan dalam mengoptimalkan pengelolaan
nya untuk masyarakat lokal.
Pada awalnya, buku ini merupakan hasil kumpulan materi-materi mata kuliah hasil hutan bukan
kayu yang penulis siapkan dari tahun 2001, kemudian dikemas dalam buku ajar. Dengan penambahan
beberapa referensi, pengetahuan popular, dan hasil-hasil penelitian, maka buku ini kemudian
disempurnakan untuk menjadi buku tek atau referensi untuk mahasiswa kehutanan, dan berbagai
disiplin ilmu lainnya, serta pembaca tentang universalitas komoditas HHBK.
Buku ini dirancang dengan menggunakan pendekatan yang menyeluruh tentang HHBK, sehingga
pokok pokok bahasan disusun ke dalam bentuk bab-bab yang saling berurutan. Susunan bab tersebut
sengaja dimunculkan agar setiap pembaca, dan khusunya mahasiswa memiliki pengetahuan tentang
tujuan dan harapan pembelajaran dari masing-masing pokok bahasan. Dengan demikian, mahasiswa
dapat menemukan proses pembelajaran yang optimum sesuai dengan kebutuhan mahasiswa, sesuai
dengan kurikullum yang berbasis kompetensi.
Kiranya buku ini dapat memberikan manfaat kepada mahasiswa dan pembaca pada umumnya,
segala masukan dan kritikan serta saran demi kelengkapan dan keakuratan informasi dalam buku ini,
senantiasa penulis harapkan.
Penulis
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi –tingginya kepada para
mahasiswa bimbingan yang dengan sukarela memberikan koleksi foto-foto hasil penelitiannya untuk
mendukung illustrasi pada buku ini. Semua kontribusi kalian akan memberikan bekal pengetahuan
kepada adik-adik kalian dan mengilhami mereka untuk berbuat lebih-baik dan lebih baik lagi untuk
masa depan hutan kita bersama. Pernhargaan yang sama juga, penulis berikan kepada para mahasiswa,
temen-temen kolega dan fihak lain yang turut berperan dalam menunjang penulisan buku ini.
Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Wasrin
Syafii, M.Agr.Sc atas kesediaanya menjadi editor tunggal buku ini.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada International Tropical Timber Organization
(ITTO), yang telah bersedia mendanai untuk publikasi dan distribusi buku ini kepada beberapa
institusi kehutanan di beberapa wilayah Indonesia.
Wassalamu’alaikum Wr Wb.
Salam Hormat,
2.1 Jenis-jenis komoditas hasil hutan kayu kelompok batang dan turunannya
2.2 Beberapa komoditas hasil hutan bukan kayu kelompok minyak atsiri
2.3 Beberapa komoditas hasil hutan bukan kayu kelompok minyak lemak
2.4 Kelompok hasil hutan bukan kayu kelompok bunga, buah, biji dan daun
2.5 Beberapa hasil hutan buan kayu kelompok kulit dan babakan
2.6 Hasil hutan bukan kayu kelompok getah-getahan
2.7 Hasil hutan bukan kayu kelompok resin
2.8 Hasil hutan bukan kayu kelompok aneka nabati
2.9 Hasil hutan bukan kayu kelompok aneka umbi
2.10 Hasil hutan bukan kayu kelompok hewani dan turunannya
2.11 Penggolongan jenis dan golongan hasil hutan bukan kayu
3.1 Karakteritik hasil hutan bukan kayu berdasarkan penggunaan akhir
3.2 Penggolongan hasil hutan bukan kayu berdasarkan kepentingan analisis ekonomi, skala
kegunaan dan pemasaran
3.3 Perbandingan karakteristik pengelolaan, pemanenan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
dibandingkan hasil hutan kayu
4.1 Potensi hasil hutan bukan kayu di Irian Jaya/Papua
4.2 Produksi hasil hutan bukan kayu sepuluh tahun terakhir
4.3 Total ekspor komoditas hasil hutan bukan kayu 5 tahun terakhir
4.4 Realisasi ekspor komoditas gaharu dari hutan per juli 2007
4.5 Realisasi ekspor satwa liar per juli 2007 yang diambil dari hutan belantara
5.1 Ringkasan nilai ekspor komoditas hasil hutan bukan kayu utama wilyah Asia pasifik
6.1 Identifikasi beberapa jenis perizinan pemanfaatan hasil hutan pada hutan lindung
6.2 Ringkasan hasil identifikasi berbagai hal berkenaan dengan izin pemanfaatan jasa lingkungan
6.3 Ringkasan hasil identifikasi oleh dinas kehutanan kab. Bulungan tentang berbagai aspek izin
pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung
6.4 Ringkasan hasil identifikasi beberapa aspek tentang izin usaha pemanfaatan kawasan pada
hutan produksi
6.5 Ringaksan identifikasi berbagai aspek pemberian izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan
pada kawasan hutan produksi
6.6 Ringkasan identifikasi berbagai aspek izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada
hutan produksi
6.7 Ringkasan identifikasi berbagai aspek izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada
hutan tanaman
1.1. Pendahuluan
Secara kosa kata hasil hutan diterjemahkan sebagai seluruh hasil (produk-produk) yang
dihasilkan dari Hutan. Sedangkan hutan secara sederhana dapat diartikan sebagai sekumpulan pohon-
pohon, tumbuhan dan hewan serta penyusun ekosistem lainnya yang satu sama lain tidak terpisahkan
dan ditetapkan oleh undang-undang sebagai hutan. Sehingga, hasil hutan adalah seluruh produk-
produk yang dihasilkan dari hutan, meliputi produk-produk dari pohon, tumbuhan, hewan dan
organisme penyusun ekosistem hutan lainnya. Hasil hutan yang telah disebutkan tadi, adalah hasil
hutan yang dapat ditentutan atau dihitung nilainya, bagaimana dengan produk-produk yang tidak
dapat dihitung nilainya, seperti hutan berfungsi menghasilkan udara yang bersih dan segar, hutan
mampu menampung resapan air hujan dan selanjutnya mengeluarkan air ke sungai atau mata air,
pancuran, juga fungsi lainnya seperti rekreasi, pariwisata, tempat penelitian, perlindungan satwa, dan
sebagainya.
Setelah kita cermati, ternyata hasil hutan itu memiliki pengertian dan dimensi yang sangat luas,
dan menyeluruh. Belajar dan mempelajari hasil hutan, juga perlu melibatkan berbagai disiplin ilmu,
tidak hanya ilmu-ilmu dasar, seperti biologi, fisika, kimia, dan matematika. Akan tetapi, peran ilmu-
ilmu terapan seperti kehutanan, hidrologi, klimatologi, pertanian, sosiologi, peternakan, perikanan,
dan yang lainnya, juga tidak kalah pentingnya.
Setelah mengetahui ruang lingkup hasil hutan tersebut, pertanyaan yang muncul selanjutnya
adalah kenapa hasil hutan yang sering disebut-sebut di berbagai media massa, diskusi-diskusi,
seminar, penelitian, dan juga symposium hanya hasil hutan kayu? Bagaimana dengan hasil hutan yang
lainnya, yaitu selain kayu?
Hutan tropis Indonesia menghasilkan produk berbagai jenis kayu, sehingga kayu sering disebut
sebagai hasil hutan utama sedangkan produk hutan lainnya seperti rotan, kayu lawang, gaharu dan
tanaman obat serta beberapa produk hutan lainnya disebut dengan hasil hutan bukan kayu. Pernyataan
di atas menimbulkan pertanyaan, dan pertanyaannya adalah kenapa kayu lawang termasuk dalam
kelompok hasil hutan bukan kayu?. Karena pohon lawang juga menghasilkan kayu? Jawabannya
adalah bahwa kulit pohon lawang tersebut menghasilkan bahan kimia yang dapat diekstrak, diolah
dan kemudian kita kenal dengan minyak lawang. Produk minyak dari kulit lawang inilah yang
kemudian disebut sebagai produk bukan kayu dari kayu lawang.
Penjelasan singkat tersebut, mudah-mudahan dapat membantu mahasiswa dan pembaca, untuk
lebih memahami, arah dan topik bahasan yang akan disajikan dan dibahas pada buku hasil hutan
bukan kayu, atau khususnya pada bagian pertama ini. Bab pertama ini dirancang untuk membahas
tentang definisi atau pengertian dari hasil hutan secara umum, kemudian pengelompokan produk-
produk hasil hutan, yang selanjutnya dinamakan dengan komoditas hasil hutan, pengertian hasil hutan
bukan kayu dan jenis-jenis komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang paling dominan atau
berperan penting di Indonesia.Hal ini berkaitan dengan potensi hutan tropis Indonesia yang
menghasilkan beragam produk hasil hutan bukan kayu, baik yang berupa produk barang dan jasa.
Karena keberagamannya tersebut, banyak pengertian atau istilah yang digunakan untuk
mengambarkan komoditas HHBK. Pemberian istilah ini, pada dasarnya adalah untuk dapat
mengakomodasi seluruh produk HHBK dalam suatu pengertian yang komprehensif.
Setelah menyelesaikan pelajaran pada bab pertama ini, para mahasiswa diharapkan memiliki
kemampuan untuk:
mendefinisikan pengertian hasil hutan bukan kayu secara luas;
Hutan hujan tropis Indonesia adalah salah satu dari tiga kelompok hutan hujan tropis dunia
(world tropical rain forest), yaitu kelompok hutan Amazon di Amerika selatan (Amazon basin of
South America), kelompok hutan di Semenanjung Zaire (the Zaire basin) of Africa, dan kelompok
Pasific dan Indomalaya (the Islands and peninsulas of South-east Asia). Hutan tropis dunia terletak
pada garis lintang dan garis bujur antara 10° lintang utara and 10° bujur selatan. Khusus untuk
kelompok Pasifik dan Indo-Malaya, hutan tropis basah ini tersebar pada beberapa negara, meliputi
India, Bangladesh, Sri Lanka, Malaysia, Brunei, Indonesia, Burma dan Papua New Guinea.
Khusus di Indonesia, dengan mempertimbangkan kemudahan pemahaman, dan kesederhanaan
pengucapan, hutan tropis basah selanjutnya dapat disebut sebagai hutan tropis Indonesia. Istilah ini
yang banyak dipergunakan dalam bahasa sehari-hari, baik di lingkungan akademis maupun pragmatis
lapangan. Tetapi apabila kita mempelajari tentang tipe-tipe hutan atau formasi hutan di dunia atau
Indonesia, istilah hutan hujan tropis masih banyak dipergunakan, khususnya bila mengacu kepada
referensi beberapa tektbook dari negara-negara Eropa dan Amerika.
Hutan hujan tropis (tropical rain forest) Indonesia dikenal karena memiliki keanekaragaman
hayati yang tinggi, baik dari jumlah jenis pohon, serangga, tumbuhan berbunga, dan hewan vetebrata
dan beberapa hewan melata lainnya. Hal tersebut belum termasuk beberapa ciri khas dari hutan tropis,
seperti tanaman anggrek, buah-buahaan, tanaman hias dan beberapa jenis mikroflora dan mikrofauna
yang belum terindentifikasi. Kekayaan keanekaragaman hayati (biodiversity) tersebut telah
memunculkan satu ciri khas yang sangat menonjol dari vegetasi hutan tropis, yaitu heterogenitas atau
keberagaman jenis yang tinggi dari penyusun ekosistemnya. Hal ini meliputi keanekaragaman
makhluk hidup yang berhabitat di dalam tanah hutan, di lantai hutan, dalam serasah, kulit pohon, di
tajuk pohon sampai pada makhluk hidup yang hidup di cabang dan puncak pohon (crown).
Menurut The Indonesian Biodiversity Foundation (KEHATI) luas daratan Indonesia itu hanya
sebesar 1,3% dari luasan permukaan bumi, tetapi keanekaragaman hayati Indonesia mewakili 17%
dari keanekaragaman hayati dunia. Rincian dari keanekaragaman hayati tersebut dapat diringkas dan
disajikan pada Gambar 1.1 berikut ini.
Amphibi (Amphibian)
270 Mamalia (Mammals)
1531 511
240 Ikan (fresh water fishes)
Dari gambar 1.1 tersebut, dapat dijelaskan bahwa Indonesia memiliki keberagaman jenis ikan,
burung, dan invertebrata ribuan species. Kemungkinan ditemukannya species-species yang lain, atau
yang baru, masih sangat terbuka atau memungkinkan. Mengingkat beberapa hutan tropis Indonesia
pada beberapa daerah utamanya Papua, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, belum semuanya diteliti
baik oleh peneliti kita, maupun oleh peneliti lainnya. Demikian juga dengan species-species ikan,
wilayah perairan kita sangat luas, ditambah dengan beberapa sungai-sungai besar yang belum
sepenuhnya diteliti, seperti sungai Mamberamo di Papua.
Apabila keanekaragaman hayati Indonesia tersebut direpresentasikan dalam keanekaragaman
hayati dunia, maka posisi keanekaragaman hayati yang kita miliki dapat diringkas pada Gambar 1.2.
Species langka
(urutan
Reptil (urutan
pertama)
ke empat)
Burung (urutan
ke lima)
Amphibi
Terumbu (urutan ke
karang (60 % enam)
dari terumbu
karang Dunia)
Mamalia
(urutan ke
dua)
Gambar 1.2. Posisi keanekaragaman hayati Indonesia berdasarkan urutan keanekaragaman hayati
dunia
Gambar 1.2 di atas menjelaskan bahwa species langka, baik itu dari keompok hewan maupun
tumbuhan, Indonesia menempati urutan pertama di dunia. Sedangkan untuk golongan mamalia,
Indonesia menempati urutan kedua dunia, selanjutnya keberagaman jenis reptil, burung, dan hewan
amphibi, secara berurutan Indonesia berada pada posisi ke-empat, lima dan ke-enam. Untuk terumbu
karang, sekitar 60% dari populasi terumbu karang di dunia, terdapat di Indonesia.
Kedua gambar tersebut di atas, memperlihatkan betapa kayanya negara kita, potensi
keanekaragaman hayati, baik yang berada di hutan, dan lautan, merupakan asset yang tidak ternilai
harganya. Dari segi pendidikan dan penelitian, potensi keanearagaman hayati ini sudah seharusnya
memotivasi kita untuk meneliti, dan memanfaatkan untuk tujuan pendidikan, penelitian, dan
kesejahteraan rakyat dalam arti yang sangat luas.
Kita kembali ke topik bahasan hasil hutan, heterogenitas struktur vegetasi penyusun hutan hujan
tropis tersebut memberikan manfaat atau fungsi hutan hujan tropis yang sangat kompleks dan
1.3. Paradigma Baru dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan yang Berkelanjutan
Tuntutan perkembangan teknologi dan keterkaitan antar disiplin ilmu, diversifikasi pemanfaatan
sumber daya hutan, kecenderungan gaya hidup untuk kembali ke alam (back to nature), tuntutan
produk yang ramah lingkungan (friendly environmental products), permintaan produk yang dapat
didaur ulang secara biologis (biodegradable materials), dan permintaan obat-obatan yang berasal dari
bahan organik tumbuhan (herbal products) dan hewan telah memperlebar ruang lingkup pengertian
dari hasil hutan bukan kayu. Oleh karenanya, komoditas hasil hutan bukan kayu telah menjadi bahan
kajian and objek penelitian dari multi disiplin ilmu, mulai dar biologi, kimia, biokimia, kedokteran,
farmasi dan bahkan sosiologi, utamanya yang berkaitan dengan ethnobotany dan ethnopharmacology.
Dengan perkembangan persepsi di atas maka pengertian, ruang lingkup dan wawasan dari hasil
hutan bukan kayu berubah dari wawasan yang sebelumnya hanya fokus pada beberapa produk, seperti
rotan, sagu dan minyak atsiri, menjadi segala jenis produk yang dapat dihasilkan, diperoleh, dan
diolah dari suatu tegakan hutan, baik yang dapat dinilai dengan uang (tangible products) maupun
yang tidak dapat dinilai dengan uang (intangilbe products).
Dari dua pengelompokaan tersebut, muncullah apa yang kemudian dianamakan dengan produk
jasa dari hutan, seperti fungsi hutan tropis sebagai paru-paru dunia (carbon sink), fungsi penyeimbang
Alasan lain yang lebih rinci dan mendasar diuraikan oleh Arnorld dan Perez (1998) yang dikutip
oleh CIFOR (1998), tentang beberapa faktor akan pentingnya pengelolaan, pemanfaatan dan
pengolahan komoditas hasil hutan bukan kayu untuk berbagai tujuan, di antaranya adalah:
a) Nilai komoditas hasil hutan bukan kayu memiliki kelebihan dibandingkan dengan nilai hasil
hutan utama (perkayuan), di mana komoditas hasil hutan bukan kayu memberikan kontribusi
terhadap kelangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat yang hidup dan tinggal di dalam dan
sekitar wilayah hutan tesebut. Hasil hutan bukan kayu (HHBK) dapat memberikan manfaat
sebagai bahan makanan, obat-obatan dan bahan baku lainnya, sumber pendapatan membuat
kerajinan tangan dan pekerjaan.
b) Eksploitasi dari hasil hutan bukan kayu menimbulkan kerusakan tegakan tinggal (impact
logging) yang minimal/sedikit dibandingkan dengan pemanenan atau eksploitasi kayu, sehingga
eksploitasi hasil hutan bukan kayu dapat dipandang sebagai cara eksploitasi yang dapat
menjamin pelaksaaan pengelolaan hutan yang berkelanjutan.
c) Pemanfaatan komoditas hasil hutan bukan kayu dapat meningkatkan nilai tambah (added value)
dari hutan tropis, baik secara lokal dan nasional dengan cara memanfaatkan komoditas hasil
hutan yang belum dikelola secara maksium, bila dibandingkan dengan mengubahnya menjadi
lahan pertanian dan perkebunan yang intensif.
d) Pemanfaatan dari komoditas hasil hutan bukan kayu sangat berhubungan erat dengan usaha-
usaha pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.
Hasil hutan bukan kayu (HHBK) memiliki pengertian yang beragam, hal ini tergantung dari
mana kita ingin menerjemahkannya. Pada paradigma lama, hasil hutan bukan kayu hanya
didefinisikan sebagai hasil hutan ikutan atau sampingan sehingga memberikan kesan bahwa nilai dari
komoditas hasil hutan bukan kayu itu sangat kecil, cenderung terabaikan dan bahkan termajinalkan.
Pada kasus di Jawa, misalnya, pendapatan Perum Perhutani, lebih didominasi oleh komoditas hasil
hutan bukan kayu, dibandingkan dengan komoditas kayunya sendiri, (komunikasi pribadidengan Prof.
Wasrin Safii, IPB).
Dua produk perundang-undangan dibidang kehutanan yaitu UU No 5 Tahun 1968 tentang
Undang Undang Pokok Kehutanan, dan Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, belum
secara spesifk memuat pengertian atau definisi dari hasil hutan bukan kayu. Definisi dan pengertian
yang cukup jelas dari kedua produk undang-undang tersebut hanya meliputi pengertian dan penjelasan
dari Hasil Hutan, yang selengkapnya disajikan pada pokok bahasan atau bab kedua. Selanjutnya,
Vademecum kehutanan Indonesia tahun 1976 juga tidak menyebutkan dengan jelas pengertian dan
definisi dari hasil hutan bukan kayu. Pengertian yang definitif dan jelas tentang hasil hutan bukan
kayu diberikan oleh Pemerintah Kota Pagar Alam, seperti tercantum pada Bab I pasal 1 ayat 7. Hasil
hutan bukan kayu didefiniskan sebagai segala sesuatu yang bersifat material (bukan kayu) yang dapat
dimanfaatkan dari keberadaan hutan, seperti rotan, damar, getah-getahan, kulit kayu, arang bambu,
kayu bakar dan sebagainya.
Perkembangan selanjutnya, dengan memperhatikan penyusun ekosistem hutan tropis Indonesia,
hasil hutan bukan kayu dapat didefinisikan sebagai seluruh produk biologi yang dapat diperoleh dan
dipanen dari kawasan hutan. Karena cakupannya adalah seluruh produk biologi dari hutan, maka
komoditas hasil bukan kayu meliputi produk dari berbagai tumbuhan (nabati/flora), baik yang berupa
tumbuhan tingkat tinggi maupun tumbuhan tingkat rendah, dan berbagai jenis hewan (hewani/fauna),
baik hewan yang bertipe prokariota maupun hewan yang bersel sempurna jenis eukariota.
Selama ini, hasil hutan kayu dan produk-produk turunan dari kayu adalah produk hasil hutan
yang sangat dominan, baik sebagai penghasil devisa negara, penyerapan tenaga kerja, dan beberapa
multi manfaat langsung, dan tidak langsung dari pengolahan hasil hutan kayu tersebut. Karena
permintaan akan produk-produk hasil hutan yang berbasis kayu semakin lama semakin meningkat,
pemanenan kayu dari hutan juga terus mengalami penignkatan, degnan jumlah yang significant.
Bahkan pada beberapa kasus, boleh dikatakan pemanenan hasil hutan kayu terlalu berlebihan,
sehingga tidak lagi mempertimbangkan asas-asas pengelolaan hutan secara lestari. Luasan hutan
hujan tropis di berbagai negara, juga mengalami penurunan yang dramatis, sebagai akibat dari
pembangunan, pengkonversian lahan untuk perkebunan, pertambangan, industri dan keperluan
lainnya.
Pada akhir-akhir ini, permintaan produk-produk hasil hutan selain kayu, juga menunjukkan
peningkatan. Produk-produk mebel dari rotan, beberapa minyak atsiri, kayu gaharu, tepung sagu, dan
lainnya juga mulai diekspor. Hal ini belum termasuk beberapa tanaman hias, seperti anggrek, bunga-
Dari sebelas point yang telah diuraikan di atas, optimisme bahwa HHBK akan mengantikan
komoditas kayu adalah suatu tekad yang harus didukung, dilaksanakan dan disukseskan oleh para
pemangku kepentingan, baik pemerintah, swasta, perguruan tinggi, lembaga penelitian dan lembaga
keuangan. Hutan hujan tropis Indonesia, akan memberikan produk jasa yang lebih maksimal
dibandingkan menghasilkan produk kayu, yang suatu saat akan habis, dan perlu puuhan tahun untuk
menumbuhkan tegakan pohon yang siap panen.
1.6. Pustaka
Anonimous (1967). UU No. 5 tahun 1967. Undang-undang Pokok Kehutanan. Direktorat jenderal
Kehutanan, Departemen Pertanian.
Anonimous (1999). UU No. 41 tahun 1999. Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kehutanan.
Departemen Kehutanan.
Arnold and Perez (1998). Income from the Forest. Methods for the Development and Conservation of
Forest Products for Local Community. Edited byWollenberg, E and A.Ingles Center for
International Forestry Research (CIFOR) Bogor.
Asia-Pacific Forestry Commision (1998). Asia-Pacific Forestry Towards 2010. Report of The Asia-
Pacific Forestry Sector Outlook Study. Food and Agriculture Organization of The United
Nation, Rome Italy.
Johnson, S (2000). Secondary Processed Wood Products. Topical Forest Update Vol.7, No.4 1997.pp
5-6.
Khakim, Abdul (2005). Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia. Dalam Era Otonomi Daerah. Citra
Aditya Bakti. Bandung
Peraturan Pemerintah Daerah Kota Pagar Alam No 8 tahun 2004. Izin usaha Penumpukan Kayu dan
Hasil Hutan. www.pagaralam, go.id/new/index. diakses tanggal 8 Oktober 2007.
Standar Nasional Indonesia (2002). SNI 01-5010.4-2002, Tata Nama Hasil Hutan Badan Standarisasi
Nasional.
Sumadiwangsa. S dan Dendi Setyawan (Buletin Vol. 2 No. 2 Th 2001). Konsepsi Strategi Penelitian
Hasil Hutan Bukan Kayu di Indonesia. www. Dephut.go.id., diakses tgl 12 Desember
2006.
2.1 Pendahuluan
Pokok bahasan penggolongan hasil hutan bukan kayu ini membahas tentang pengelompok
produk-produk hasil hutan bukan kayu (HHBK), berdasarkan berbagai kategori atau perundangan,
baik yang dibuat oleh instansi pemerintah, kelompok peneliti dan berbagai organisasi internasional
yang bergerak dalam bidang sumber daya alam. Di samping itu, juga diuraikan alasan kenapa produk
HHBK tersebut dinamakan dengan komoditas hasil hutan bukan kayu serta jenis-jenis komoditas hasil
hutan bukan kayu yang paling dominan atau berperan penting bagi Indonesia.
Setelah mempelajari pokok bahasan kedua ini mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan
untuk:
Melakukan penggolongan komoditas hasil hutan bukan kayu secara luas;
Memahami alasan pengelompokkan hasil hutan bukan kayu, ke dalam kelompok-kelompok
tersebut;
Mengelompokan hasil hutan bukan kayu berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan
kehutanan, teknologi hasil hutan, dan paradigma baru dalam pengelolaan sumber daya hutan
yang berkembang saat ini;
Melakukan identifikasi beberapa komoditas hasil hutan bukan kayu di Indonesia dan
mengelompokkannya berdasarkan klasifikasi yang telah dibuatnya sendiri.
Menurut Undang Undang No. 5 tahun 1967 tentang Undang Undang Pokok Kehutanan (UUPK)
pada pasal 1 ayat 2, dinyatakan bahwa hasil hutan didefiniskan sebagai benda-benda hayati yang
dihasilkan dari hutan. Penjelasan lebih lanjut dari ayat ini menyebutkan bahwa hasil hutan adalah
hasil-hasil yang diperoleh dari hutan yang berupa: a) hasil-hasil nabati seperti kayu perkakas, kayu
industri, kayu bakar, bambu, rotan, rumput-rumputan, dan lain-lain bagian dari tumbuh-tumbuhan
atau yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan di dalam hutan, termasuk hasil yang berupa minyak; dan
b) hasil hewan seperti satwa buru, satwa elok dan lain-lain hewan serta bagian-bagiannya atau yang
dihasilkannya. UUPK ini belum mencantumkan dengan jelas tentang definisi, dan pengelompokkan
hasil hutan bukan kayu (HHBK). Akan tetapi sebagian dari jenis-jenis HHBK sudah diakomodasi
dalam UUPK terseut.
UUPK tersebut telah mengelompokkan jenis-jenis HHBK ke dalam dua kategori, yaitu hasil
hutan bukan kayu yang berasal dari tumbuha hutan (nabati) dan yang berasal dari hewan (hewani).
Rincian penggolongan secara menyeluruh dari dua kelompok tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
2. Jenis-jenisprodukhewanidarihutan.
Produk hewan yang dihasilkan dari hutan terdiri atas berbagai jenis produk satwa liar antara lain
buaya, komodo, rusa, harimau, gajah, dan burung. Terdapat juga produk-produk yang diperoleh
dari dar bagian-bagian hewan seperti gading, kulit binatang dan tanduk. Juga beberapa contoh
produk hewani yang telah ditangkarkan atau dikelola dengan tujuan ekonomi adalah komoditas
sutera alam, kutu lak, peternakan lebah madu dan sarang burung walet, penangkaran kupu-kupu,
dan penangkaran buaya.
Menurut UUPK No 5 tahun 1967 ini beberapa fungsi sosial ekonomi, jasa dari hutan, konservasi
lingkungan dan penegmbangan masyarakat hutan belum diakomodasi. Tetapi dipihak lain produk
turunan kayu, seperi bubur kertas dan kertas (pulp and paper), papan serat (fiberboards) dan
arang dan briket arang serta sirap malah masuk ke dalam jenis komoditas hasil hutan bukan kayu.
Padahal kenyataan menunjukan bahwa dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
maka hasil hutan turunan kayu tersebut akan masuk dalam kategori hasil hutan utama (major
forest products) bukanya lagi sebagai hasil hutan ikutan (minor forest products)
Dalam undang-undang tentang kehutanan yang baru yaitu Undang Undang Republik Indonesia
No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, pengertian dan klasifikasi dari hasil bukan kayu telah
mengalami perubahan yang substansial. Misalnya, pada pasal 1 angka 13 dinyatakan bahwa hasil
hutan adalah benda-benda hayati, non hayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan.
Sehingga pengertian hasil hutan memiliki dimensi yang sangat luas, dari seluruh produk biologi
(makhluk hidup) non hayati (benda mati) dan seluruh produk turunan dari benda biologi dan non
biologi yang diambil dari hutan. Hal tersebut masih ditambah lagi dari produk-produk jasa yang
dihasilkan dari hutan.
Selanjutnya pada pasal penjelasan, misalnya pada pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (hutan) adalah semua benda hasil
hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 13. Penjelasan yang lebih rinci tentang hasil hutan
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Hasil nabati beserta turunannya, seperti kayu, bambu, rotan, rumput – rumputan, jamur – jamur,
tanaman obat, getah-getahan dan lain-lain, serta bagian dari tumbuh-tumbuhan atau yang
dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan di dalam hutan;
2. Hasil hewani beserta turunannya, seperti satwa liar dan hasil penangkarannya, satwa buru, satwa
elok, dan lain-lain hewan, serta bagian-bagiannya atau yang dihasilkannya;
3. Benda-benda non hayati yang secara ekologis merupakan satu kesatuan ekosistem dengan benda-
benda hayati penyusun hutan, antara lain berupa sumber air, udara bersih, dan lain-lain yang
tidak termasuk benda-benda tambang;
4. Jasa yang diperoleh dari hutan, antara lain berupa jasa wisata, jasa keindahan dan keunikan, jasa
jasa perburuan dan lain-lain;
Mengingat begitu beragamnya hasil hutan menurut UU no 41 tahun 1999 tersebut, maka cukup
menyulitkan untuk memberikan pengelompokan hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu
tersebut. Akan tetapi kalau kita perhatikan uraian penjelasan dalam UU no 41 di atas, pengertian hasil
Sedangkan pengelompokan hasil hutan bukan menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-
5010.4-2002 tentang tata nama hasil hutan, maka pengelompokan atau pengertian hasil hutan bukan
kayu dapat didefinisikan sebagai semua jenis hasil hutan baik hayati (selain kayu) maupun non hayati
(sumber air, udara bersih, barang tambang, dll.) termasuk dalamnya adalah jasa wisata.
Menurut SNI 01-5010.4-2002 ini tata nama hasil hutan, khususnya kelompok hasil hutan bukan
kayu dikelompokan ke dalam 9 (sembilan) kelompok, mulai dari kelompok batang dan turunannya;
kelompok minyak; kelompok bunga, buah, biji dan daun; kelompok babakan/kulit; kelompok getah;
kelompok resin; kelompok aneka nabati; kelompok aneka umbi; kelompok aneka hewani dan
turunannya. Uraian dan rincian singkat dari masing-masing kelompok hasil hutan bukan kayu tersebut
dapat dilihat pada Tabel 2.1 sampai dengan Tabel 2.9.
Komoditas hasil hutan bukan kayu yang termasuk dalam kelompok batang, misalnya berasal dari
beragam jenis pohon hutan, tumbuhan golongan liana, maupun famili palmae, dan bahkan terdapat
juga produk turunan atau diversifikasi dari bagian pohon atau tumbuhan tersebut, seperti anyaman
rotan, keranjang dan sebagainya. Jenis-jenis komoditas hasil hutan bukan kayu kelompok batang dan
turunannya tersebut, selengkapnya disajikan pada Tabel 2.1 berikut ini.
No Nama Keterangan
1 Aneka Hasil jalinan rotan bulat/rotan belahan/rotan bulat
keranjang rotan kupasan/kulit rotan/hati rotan menjadi aneka bentuk
keranjang
2 Anyaman rotan Hasil anyaman kulit rotan/hati rotan menjadi lembaran-
lembaran anyaman yang dapat dibentuk
3 Bambu Tumbuhan yang tergolong famili Graminae yang umumnya
berumpun dan dapat mencapai ketinggian 40 meter dan
diameter 30 cm, antara lain Bambusa spp., Dendrocalamus
spp., Dinochloa spp., Gigantochloa spp., dan
Schizostachyum spp.
4 Bambu bundar Bagian batang yang dihasilkan dari pohon bambu
5 Bebak Hasil pengolahan pelepah batang pohon Gebang (Corypha
utan)
6 Biga Endapan yang terdapat dalam batang bambu yang
disebabkan oleh faktor genetis
7 Hati Rotan Hasil proses pembelahan hati rotan, ditandai dengan
lembaran-lembaran hati yang berbentuk bulat dan persegi
konsisten sepanjang lembaran
8 Komponen Hasil pembentukan bagian-bagian dari mebel rotan ditandai
mebel terpisah dalam bentuk suku cadang yang diperdagangkan secara
terpisah.
9 Kulit rotan Hasil proses pengulitan rotan bulat W dan Swashed and
surphurized ditandai dengan lembaran kulit yang berukuran
tebal 1,3 mm atau lebih kecil, lebar 8 mm atau lebih kecil
ukuran-ukuran tersebut konsisten sepanjang lembaran.
10 Lampit rotan Suatu lembaran yang berbentuk empat persegi panjang,
bujur sangkar atau bentuk lain, terbuat dari susunan sejajar
hijiran rotan yang telah dilubangi dan disatukan dengan
benang serta sisi sejajar hijirannya diberi watun dan sisi
melintangnya diberi tulang walut.
11 Mebel Rotan Hasil pembentukan dan perakitan rotan bulat W&S/rotan
(Komponen kikis buku/rotan bulat pendek/rotan bulat kupasan/rotan
mebel rotan belahan/hati rotan/kulit rotan/webbing menjadi mebel
terpadu) dan/atau komponen-komponen mebel siap rakit.
12 Mopuk Hasil Pengolahan teras pohon Lontar (Borassusflabelliffer
Linn)
13 Nira Hasil sadapan pohon Nipah (Nipa fritican), Lontar
(Borassusflabelliffer Linn), dan Aren (Arengapinnata)
14 Rotan Tumbuhan yang tergolong dalam famili palmae antara lain
terdiri gari genera Callamus spp., Ceratolobus spp.,
Daemonorops spp., Nyrialepis spp., Plectocomia spp.,
Plectocomiapsis spp dan Korthalsia spp.
15 Rotan Asalan Batang rotan yang telah mengalami pembersihan dan
peruncian tetapi belum mengalami pencucian dan perlakuan
pengolahan lebih lanjut
16 Rotan Belahan Hasil pembelahan dari rotan bulat W & S dengan ukuran
Selanjutnya adalah jenis-jenis produk hasil hutan bukan kayu yang termasuk
kelompok minyak atsiri. Minyak atsiri adalah komoditas HHBK yang sangat diandalkan,
karena diversifikasi produknya yang beragam, dari bahan dasar pembuatan parfum, obat
gosok, sampai kepada minyak urut dan seterusnya. Minyak atsiri dicirikan oleh adanya
kandungan bahan yang mudah menguap (volatile matter). Beberapa komoditas HHBK
kelompok minyak atsiriselengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.2 di bawah ini.
Tabel 2.2. Jenis-jenis komoditas hasil hutan bukan kayu kelompok minyak atsiri.
No Nama Keterangan
1 Minyak Cendana Minyak yang dihasilkan dari penyulingan batang, dahan
dan atau akar Cendana (Santalum album Linn).
2 Minyak Euacalyptus Minyak yang dihasilkan dari penyulingan daun
euacalyptus (Eucalyptus spp).
3 Minyak Gandapura Minyak yang dihasilkan dari penyulingan daun Caulsheria
leucocarpha BL).
4 Minyak Kamper Minyak yang dihasilkan dari penyulingan daun dan batang
pohon Kamper (Cinanonum camphora Nees dan E.berm).
5 Minyak kayu manis Minyak yang dihasilkan dari penyulingan kulit pohon
Cassia lignea, Cinnamomum burmanii Bl., Cinnamomum
cassia Bl., Cinnamomumzeylanicum Linn).
6 Minyak kayu Putih Minyak atsiri yang berupa destilat hasil penyulingan daun
kayu putih (Melaleucaleucadendron Linn).
7 Minyak Kenanga Minyak yang dihasilkan dari bunga pohon kenanga
Berbeda dengan minyak atsiri yang dicirikan oleh adanya bahan yang mudah menguap, minyak
lemak mengandung komponen yang bersifat seperti lemak, terutama lipid. Golongan minyak ini
termasuk dalam golongan kimia yang tidak mudah menguap (non volatile compounds). Produk-
produk hasil hutan bukan kayu yang berupa minyak lemak dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut ini.
Tabel 2.3.Jenis-jenis komoditas hasil hutan bukan kayu yang termasuk kelompok minyak
lemak.
No Nama Keterangan
1 Minyak Biji Jarak Minyak yang dihasilkan dari buah tanaman Jarak
(Ricinus communis Linn).
2 Minyak Biji Tengkawang Minyak lemak yang dihasilkan dari biji
tengkawang (Isoptera spp dan Shorea spp).
3 Minyak Fuli Minyak yang dihasilkan dari fuli/buah pala hutan
(Myristica spp).
4 Minyak Kemiri Minyak yang dihasilkan dari buah Kemiri
(Aleurites arisperma Blanco., A. fordii Hem., dan
A. molluca Wild).
5 Minyak Kenari Minyakyangdihasilkan dari buahKenari
Bagian-bagian dari tumbuhan hutan yang memiliki nilai atau potensi yang tinggi,
baik secara ekonomi, ekologi maupun sosial. Oleh karenanya, bunga, biji, daun, buah serta
akar juga dimasukkan ke dalam produk hasil hutan bukan kayu. Komoditas tersebut
bernilai ekonomi karena bagian tumbuhan tersebut apabila dijual dapat menghasilkan
uang. Bagian-bagian tumbuhan tersebut dijual masih dalam betuk aslinya, maupun yang
telah mengalami proses pengolahan. Manfaat ekologi dari komoditas tersebut, bunga dan
biji misalnya, merupakan bagian dari suatu sistem ekologi dari suatu ekosistem hutan,
terutama dalam hal menjaga keberlanjutan dan keseimbangan ekosistem, melalu
regenerasi Sedangkan manfaat sosialnya adalah rantai produksi dari proses pemanenan,
pengolahan, dan pasca pengolahan, hingga pemasaran hasil akan memberikan manfaat
yang saling berhubungan satu sama lain dan dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat
luas atau masyarakat hutan, khususnya hal menciptakan lapangan kerja dan sebagai
sumber mata pencaharian.
Beberapa jenis hasil hutan bukan kayu yang merupakan bagian dari tumbuhan,
seperti bunga, buah, biji dan daun dapat dilihat pada Tabel 2.4 di bawah ini.
Tabel 2.4. Produk hasil hutan bukan kayu yang berasal dari bagian-bagian tumbuh-
tumbuhan atau kelompok bunga, buah, biji dan daun
No Nama Keterangan
1 Buah Asam Buah hasil pemungutan pohon Asam (Tamarindusindica
Linn).
2 Biji Jenitri Biji hasil pemungutan pohon Ganetri
(Elaeocarpusangustifolius Bl).
3 Biji Jarak Biji hasil pemungutan buah Jarak (Ricinuscommunis Linn).
4 Biji Kemiri Biji hasil pemungutan pohon Kemiri (Aleuritesmolucana
Wild).
5 Biji Kenari Biji hasil pemungutan buah Kenari (Canariumcommune
Linn).
6 Biji Makadamia Biji hasil pemungutan buah makadamia (Makadamia
ternifolia).
7 Biji Mimba Biji hasil Pemungutan buah Azadirachta indica A.Juss)
8 Biji Pala Hutan Biji hasil pemungutan buah Pala Hutan (Myristica spp).
9 Biji Pinang Biji hasil pemnungutan buah Pinang (Arecca spp).
10 Biji Tengkawang Biji hasil pemungutan buah Tengkawang (Shorea spp., dan
Isoptera spp).
11 Daun Pandan Daun hasil pemungutan pohon Pandan (Pandanus spp).
Tabel 2.5 Beberapa komoditas hasil hutan bukan kayu yang berupa kulit atau
babakan
No Nama Keterangan
1 Kulit Akasia Kulit dari pohon Akasia (Acacia spp).
2 Kulit Bakau Kulit dari Pohon Bakau (Rhizophora spp).
3 Kulit Gelam Kulit dari Pohon Gelam (Melaleuca spp).
4 Kulit Gemor KulitKayudariPohonGemor (Alsodophanespp).
5 Kulit Kayu Manis Kulit dari pohon Kayu manis (Cinnamomum spp., dan
Cassia spp).
6 Kulit kayu Tingi Kulit dari kayupohonTingi (Ceriopsspp).
7 Kulit lawang Kulit dari Pohon Kulilawang (Cinnamomumcullilawan BI.,
dan Cinnamomumsintok).
8 Kulit Malapari Kulit dari Pohon Malapari (Pongamia pinnata Pierre).
9 Kulit Masohi Kulit dari Pohon Masohi (Cryptoria massoi).
10 Kulit Nyirih Kulit dari pohon Nyirih (Xylocarpus spp).
11 Kulit Pulosantan Kulit dari pohonPulosantan (Mesuaspp).
12 Kulit Salampati Kulit dari Pohon Salampati.
13 Kulit Salaro Kulit dari pohon Salaro (Marantha spp).
14 Kulit Soga Kulit dari Pohon Soga (Peltoforum spp).
15 Kulit Suka Kulit dari Pohon Suka (Gnetum spp).
16 Kulit Tancang Kulit dari pohon Bruquiera spp.
17 Kulit Tangir Kulit dari Pohon Tangir (Citrusspp).
18 Kulit Tarok Kulit dari pohon Tarok (Alocasia spp dan
Colocasia spp).
Pohon hutan juga menghasilkan getah. Getah adalah cairan atau koloid yang bersifat cair, kental
yang dikeluarkan oleh bagian tumbuhan/pohon batik dari batang dan/atau daun yang terluka. Dalam
ilmu dendrologi atau ilmu mengenal jenis pohon, getah juga dapat dipergunakan sebagai alat bantu
dalam mengidentifikasi jenis pohon tertentu. Seperti family Myrtaceae umumnya memiliki getah yang
bewarna putih. Pada sisi lain, getah juga dapat diolah dan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan
seperti bahan baku cat, vernis dan politur. Produk getah-getahan yang diperoleh dari pohon hutan
yang termasuk ke dalam hasil hutan bukan kayu, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.6 di bawah
ini.
No Nama Keterangan
1 Getah Cikel Getah yang disadap dari batang Achras sapata, yang
dipergunakan dalam pembuatan permen karen.
2 Getang Hangkang Getah dari pohon Palaquium leucarpum Burck.,
Palaquium quersifolium Biurck.,
Istilah getah yang dipergunakan pada bagian bab ini mengacu kepada getah sebagai hasil dari
proses metabolisme pada tumbuhan. Getah ini karena memiliki kandungan kimia yang beragam, dan
bervariasi, serta berbeda dengan getah pada pahasan berikutnya, maka dinamakan dengan resin atau
damar. Resin merupakan cairan yang dihasilkan dari pembuluh khusus pada tumbuhan. Karena alasan
inilah, beberapa getah pohon hutan dikelompokan tersendiri dalam suatu kelompok yang dinamakan
dengan resin. Jenis-jenis hasil hutan bukan kayu yang termasuk dalam kelompok resin selengkapnya
diringkas pada Tabel 2.7 berikut ini.
Tabel. 2.7 Jenis-jenis hasil hutan bukan kayu yang termasuk kelompok resin
No Nama Keterangan
1 Damar Kelompok resin alami yang didapat dari pohon Meranti
(Shorea spp., dan Hopea spp), seperti damar mata
kucing, damar merah, damar hitam, dan damar batu dan
juga dibuat secara sintetis.
2 Damar mata Kucing Damar yang disadap dari pohon Shorea javanica
K.et.Val).
3 Damar Putih Damar yang dihasilkan dari Pohon Vateria indica.
4 Gaharu Akumulasi damar wangi yang dihasilkan akibat adanya
infeksi jamur (misalnya : Fusarium spp)., bakteri atau
virus tertentu pada pohon Aquilaria spp dan Gyrinops
spp).
5 Gaharu Buaya Akumulasi damar wangi yang dihasilkan akibat adanya
infeksi jamur (misalnya : Fusarium spp)., bakteri atau
virus tertentu pada pohon Aetoxylon sympetalum
(V.Steen & Donke Airy Show) dan dan Gonystylus
spp).
6 Getah Jernang Getah dari Rotan Jernang (Daemonorops draco BI).
7 Getah Kemenyan Getah dari Pohon Kemenyan (Styrax spp).
8 Gondorukem Residu berupa padatan dari hasil penyulingan pohon
Pinus (Pinus merkusii jungh et de Vries).
9 Kamper Zat hablur yang berbau khas, yang diperoleh dari daun
dan kayu Kamper (Cinnamomum camphora) dan juga
Vegetasi hutan hujan tropis Indonesia kaya akan jenis tumbuhan dengan berbagai tipe
stratumnya, dan menghasilkan beberapa produk nabati yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai
keperluan, baik sebagai bahan baku industri kimia maupun industri lainnya. Karena keberagaman
produk nabati tersebut, maka dibuatlah kelompok hasil hutan bukan kayu aneka nabati. Komoditas
hasil hutan bukan kayu kelompok aneka nabati tersebut selengkapnya disajikan pada Tabel 2.8 berikut
ini.
Tabel 2.8Jenis-jenis komoditas hasil hutan bukan kayu kelompok aneka nabati.
No Nama Keterangan
1 Gambir Endapan hasil pengolahan daun Gambir (Uncariagambir
Roxb).
2 Gambut Bahan tanah yang sebagian besar terdiri atas bahan organik
yang tidak dirombak atau dirombak sedikit, yang terkumpul
dalam keadaan ketika air berlebihan (melimpah ruah).
3 Ijuk Serat hasil pemungutan dari pohon Aren (Arengapinnata
Roxb).
4 Keluwek Buah yang sudah matang dari Pohon Pangiumedule
5 Kemangi Daun hasil pemungutan dari tumbuhan Kemangi (Ocimum
basilicum Linn. Fa-citratum).
6 Kumis Kucing Daun hasil pemungutan dari tumbuhan Kumis Kucing
(Orthosiphon spp).
7 Mulsa Bahan-bahan organik yang dihamparkan di atas tanah guna
mengurangi penguapan dan pengendalian perekembangan
gulma.
8 Picung Buah yang masih muda dari pohon Pangium edule.
9 Rebung Bambu yang masih muda yang masih dapat
dikonsumsi/dimakan.
10 Sari Mengkudu Sari dari Buah Mengkudu (Morinda spp).
Pada beberapa kondisi tertentu, seperti pada pengelolaan hutan dengan sistem agroforestry
dengan tumpang sarinya, keterlibatan penduduk lokal dalam mengelola hutan dengan menanam
tumbuh-tumbuhan jenis herba (tanaman khusus dimanfaatkan untuk tumbuhan obat-obatan), ataupun
tanaman semusim adalah sangat menguntungkan, baik bagi masyarakat maupun pengelola hutan.
Pada daerah yang padat penduduknya, seperti pulau Jawa, keberadaan industri jamu tradisional,
contohnya, telah ikut meramaikan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu kelompok umbi-umbian, dan
rimpang, seperti kencur, jahe dan temu lawak. Beberapa jenis- umbi-umbianyang termasuk ke dalam
komoditas hasil hutan bukan kayu diringkas dan disajikan pada Tabel 2.9.
Tabel 2.9 Berbagai jenis komoditas hasil hutan bukan kayu kelompok umbi-umbian
No Nama Keterangan
1 Iles-iles Umbi hasil pemungutan dari pohon Iles-iles
Dari Tabel 2.1 sampai dengan Table 2.9 di atas, membahas komoditas kelompok hasil hutan
bukan kayu yang berasal dari tumbuhan atau nabati. Berikut ini adalah aneka komoditas hasil hutan
bukan kayu yang termasuk dalam kelompok produk-produk aneka hewani dan turunannya. Sebagian
besar referensi atau pustaka acuan, menyebut komoditas hasil hutan bukan kayu ini dengan sebutan
jenis-jenis satwa liar, meskipun berasal dari ada sebagian berasal dari hasil proses penangkaran. Jenis-
jenis komoditas hasil hutan bukan kayuyang termasuk kelompok aneka hewani selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 2.10 di bawah ini.
Tabel 2.10. Jenis-jenis hasil hutan bukan kayu yang termasuk kelompok aneka hewani dan
turunannya
No Nama Keterangan
1 Asalan satwa Benda-benda yang merupakan bagian dari satwa berupa:
tanduk/cula, bulu/rambut/duri, kulit, batok/tempurung, gigi,
taring, gading, kuku/cakar, daging, lemak, otot, kelenjar,
cairan-cairan (darah, bisa), tulang, dan lain-lain.
2 Hasil Olahan Benda-benda hasil proses pengolahan satwa, asalan satwa dan
Satwa hasil satwa berupa minyak, serum (plasma), barang-barang
ukiran dan lain-lain.
3 Hasil Satwa Benda-benda yang dihasilkan dari satwa berupa: sarang, telur,
madu, lilin, lak, kokon sutera, guano (kotoran) dan lain-lain.
4 Satwa Semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat
dan/atau di air, dan/atau di udara.
5 Satwa liar Semua binatang yang hidup di darat, dan/atau di air, dan/atau
di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang
hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.
6 Turunan satwa Benda-benda yang merupakan bagian badan satwa atau yang
dihasilkan satwa atau merupakan hasil olahannya.
Penggolongan komoditas hasil hutan yang lebih sederhana dilakukan untuk kepentingan
pembelajaran dan juga untuk kepentingan penelitian. Sumadiwangsa dan Setiawan (2001) seperti
yang termuat dalam Buletin Volume 2 No 2 Tahun 2001, mengelompokan/menggolongkan hasil
hutan bukan kayu ke dalam sembilan kelompok.
Pada penggolongan tersebut, penulis membedakan menjadi dua karakteristik, yaitu jenis dan
golongan hasil hutan bukan kayu. Penggolongan ini lebih sederhana dan mudah dipahami serta
dimengerti. Untuk tujuan pembelajaran penggolongan ini sangat membantu, karena tidak terlalu
mendetail, sehingga memudahkan kita untuk memahami dan menghapalnya berdasarkan karakteristik
produk tersebut. Penggolongan hasil hutan bukan kayu yang dimaksud dapat diringkas seperti
disajikan pada Tabel 2.11.
Tabel 2.11. Penggolongan jenis dan golongan hasil hutan bukan kayu menurut Sumadiwangsa
dan Wirawan (2001)
Apabila kita cermati jenis-jenis komoditas hasil hutan bukan kayu yang telah dijelaskan dan
dicantumkan dari Tabel 2.1 sampai dengan Tabel 2.11, sebenarnya masih banyak produk-produk hasil
hutan bukan kayu, yang belum dimasukan ke dalam rincian tersebut. Contohnya adalah beberapa
produk pewarna alami yang dipergunakan untuk membuat berbagai kerajinan tangan seperti tas noke,
tas dari daun pandan, tanaman buah merah dan sarang semut di Papua, tumbuhan-tumbuhan obat dan
beberapa species tanaman hias, serta beberapa potensi pengetahuan tentang kearifan lokal dari
masyarakat hutan.
Jenis-jenis komoditas hasil hutan bukan kayu yang belum termasuk dalam daftar kelompok
tersebut, merupakan pekerjaan rumah bagi kita semua untuk terus dan terus menelitinya, sehingga
nantinya dapat direkomendasikan untuk dimasukan dalam golongan hasil hutan bukan kayu. Oleh
karenanya, penelitian dan ekplorasi pemanfaatan dari beberapa komoditas hasil hutan bukan kayu,
terutama yang endemik pada suatu daerah sangat penting dilakukan, untuk membukukan komoditas
tersebut.
2.6. Pustaka
Pemerintah Republik Indonesia (1967). UU No. 5 tahun 1967. Undang-undang Pokok Kehutanan.
Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian.
Pemerintah Republik Indonesia (1999). UU No. 41 tahun 1999. Undang-undang Republik Indonesia
tentang Kehutanan. Departemen Kehutanan.
Standar Nasional Indonesia (2002). SNI 01-5010.4-2002, Tata Nama Hasil Hutan. Badan Standarisasi
Nasional
.
Sumadiwangsa, S dan Setiawan, D (2001). Buletin Volume 2. No 2 Tahun 2001. didownload dari
www.dephut.go.id, pada tanggal 20 Maret 2007.
Wollenberg, E and A.Ingles (editors) (1998). Income from the Forest. Methods for thr development
and conservation of forest products for local Community. Center for International Forestry
Research (CIFOR) Bogor.
Khakim, Abdul (2005). Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia. Dalam Era OtonomiDaerah. Citra
Aditya Bakti. Bandung
3.1. Pendahuluan
Pada pokok bahasan yang ketiga ini, disajikan berbagai permasalahan dan tantangan pengelolaan,
teknologi, dan potensi serta issu-issu penting dari komoditas hasil hutan bukan kayu. Pokok bahasan
tersebut sebagian besar merupakan hasil kajian pustaka dari beberapa kasus, dan studi kasus yang
terjadi pada negara-negara berkembang yang memiliki hutan hujan tropis. Negara-negara berkembang
tersebut umumnya memiliki ciri utama, seperti tinggi penduduk miskin/kesenjangan sosial, populasi
penduduk yang besar dan angka pengangguran yang tinggi, serta dominanya kontribusi sektor
pertanian/kehutanan terhadap penduduk miskin tersebut. Hasil studi pustaka, pemikiran dan penelitian
dari beberapa studi kasus tersebut diringkas dalam materi ketiga ini.
Setelah menyelesaikan pokok bahasan yang ketiga ini mahasiswa diharapkan memiliki
kemampuan untuk:
1. Menjabarkan sistem pengelolaan dan menejemen hasil hutan bukan kayu secara luas, bila
dibandingkan dengan hasil hutan kayu
2. Mampu melakukan identifikasi beberapa kesalahan pengelolaan atau kebijakan dalam mengelola
komoditas hasil hutan bukan kayu dari berbagai perpesktif ilmu pengetahuan
3. Memiliki gambaran dan wawasan yang luas dan menyeluruh tentang kompleksitas komoditas
HHBK
3.2. Fungsi dan Manfaat Penting Hutan bagi Masyarakat Hutan (Forest People)
Penduduk dari negara-negara yang memiliki hutan hujan tropis, seperti Asia Tenggara, Amerika
latin, Asia Selatan, dan Afrika Tengah, sebagian besar masih menggantungkan seluruh kebutuhan
hidup sehari-harinya dari kawasan hutan, baik secara langsung, maupun tidak langsung.
Ketergantungan tersebut khususnya untuk sumber daya hutan terutama hasil hutan bukan kayu
(HHBK), terutama untuk kkebutuhan sehari-hari, seperti kayu bakar, hewan buruan, sayur-sayuran,
dan tumbuhan obat.
Di Indonesia, India, Filipina, Thailand dan beberapa negara Amerika latin lainya, seperti Peru,
Akuador, Bolivia yang sebagian besar wilayahnya masih berhutan tropis, penduduknya boleh
dikatakan bergantung kepada kawasan hutan di sekitarnya. Khusus untuk Indonesia, khususnya di luar
Pulau Jawa, sebagian besar kebutuhan penduduk lokal dari kebutuhan makan, minum, sayuran, buah-
buahan, protein hewani dan bahkan obat-obatan dapat diperoleh dari hutan di sekitarnya. Praktek ini
telah berlangsung dari generasi satu ke generasi berikutnya. Masyarakat lokal memiliki aturan,
batasan-batasan, dan kearifan sendiri, bagaimana mereka memanfaatkan dan mengelola kawasan
hutan miliknya untuk keperluan dan kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Aturan-aturan dan norma-
norma inilah yang kemudian dikenal dengan nama pengetahuan atau kearifan lokal
(indigenousknowledge). Dengan pengetahuan lokal tersebut, sumber daya hutan, khusunya
produktivitas dari komoditas HHBK telah memberikan beragam manfaat dan fungsi bagi penduduk
lokal, seperti sebagai sumber bahan makanan, tempat perlindungan sumber pendapatan keluarga, dan
pekerjaan. Bagi mereka, lapangan pekerjaan ini tidak memerlukan keahlian khusus, yang
menharuskan mereka untuk menempuh pendidikan formal. Tetapi mereka memperoleh keahlian
tersebut secara informal, dari orang tua atau pengalaman yang mengajarkan mereka.
Tabel 3.1. Karakteristik dan klasifikasi Hasil Hutan Bukan Kayu berdasarkan penggunaan
produk Akhir (FAO, 1998).
Karakteristik hasil hutan bukan kayu tersebut dibuat berdasarkan beberapa kenyataan bahwa
konstribusi komoditas HHBK yang begitu besar terhadap kelangsungan hidup masyarakat miskin,
atau masyarakat hutan (forest people) yang kebanyakan tersebar di negara-negara berkembang dan
memiliki hutan hujan tropis.
Lebih lanjut FAO (1998) juga menjelaskan bahwa jumlah hasil hutan bukan kayu yang
diproduksi dan diperdagangkan diwilayah Asia Pasifik, menempati urutan pertama dari seluruh
perdagangan hasil hutan bukan kayu dunia. Beberapa komoditas hasil hutan kayu yang berasal dari
daerah Asia Pasifik tersebut seperti komoditas Rotan dari Kalimantan, tanaman obat-obatan
(medicinal plants) dari Mongolia dan Nepal, Kupu-kupu (Butterflies), Anggrek (Orchids) and Palem-
paleman (Palms) dari New Guinea. Contoh lainnya adalah tanaman obat dari China, yang negeri tirai
bambu ini merupakan pengekspor terbesar bahan obat-obatan tradisional, bahkan beberapa universitas
di China, telah memasukan pengetahuan obat tradisional menjadi basis kurikulum. Di beberapa
universitas ternama di China, pengetahuan tradisional obatan-obatan China telah menjadi cabang
kajian ilmu tersendiri.
Food and Agricuktural Organization (1998) juga membuat penggolongan hasil hutan bukan kayu
untuk kepentingan analisis ekonomi, yang dapat dikelompokkan berdasarkan skala
penggunaan/pemanfaat, kegunaan dan pemasarannya. Penggolongan tersebut selengkapnya dapat
diringkas pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2. Penggolongan hasil Hutan Bukan Kayu berdasarkan kepentingan analisis ekonomi,
skala kegunaan dan pemasaran, FAO (1998).
1. Subsistance level Yaitu hasil hutan yang langsung dikonsumsi secara langsung
(Skala subsisten) setelah pemanenan dengan sedikit atau tanpa pengolahan
seperti buah, daging satwa liar atau hanya pengolahan
petama seperti rebung bambu (bamboo shoot).
Pada level subsisten ini perdagangan dilakukana biasanya
dengan cara barter atau tukar menukar barang dan
dikerjakan oleh anggota keluarga langsung dari hutan.
2. Local-Used level Pada kategori ini hasil hutan non kayu diolah dalam skala
(Skala penggunaan kecil, tidak terpusat dan bersifat pribadi (usaha sampingan)
lokal) yang kerap kali kurang modal dan teknologi seadanya. Pada
level ini kadang-kadang hasil hutan non kayu dibartrer
dengan atau dijual dipasal lokal (local market) untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Iqbal (1997) yang dikutip oleh FAO (1998) mengklasifikasikan hasil hutan bukan kayu dalam
150 (seratus lima puluh) jenis komoditas yang berlaku dalam perdagangan international. Sedangkan
nilai total dari perdagangan hasil hutan non kayu dari tahun ketahun adalah sering berfluktuasi.
Contohnya pada tahun 1990-an, total nilai tahunan dari perdagangan hasil hutan bukan kayu adalah
sebesar 5-11 miliar dollar Amerika Serikat (US $ 5-11 billion). Untuk daerah Asia Fasifik sendiri,
nilai perdagangan ekspornya mencapai 2-4 miliar dollar AS (US $ 2 - 4 billion). Sebagian besar
komoditas hasil hutan bukan kayu diperdagangkan dalam skala kecil, bersifat lokal, dan bahkan
bersifat barter pada beberapa daerah dan kondisi tertentu. Kecuali untuk komoditas yang berorientasi
ekspor, seperti rotan, kacang-kacangan (kacang mete, nuts) diperdagangkan dalam jumlah yang sangat
signifikan.
Pada dekade akhir-akhir ini, dipasar internasional beberapa produk dari hasil hutan non kayu
umumnya mengalami menurun, karena adanya beberapa faktor seperti perkembangan dari teknologi
bahan tiruan (sintetis) seperti plastik, ketidakseninambungan dari stok bahan baku dan produk,
kualitas dan kuantitas yang tidak terjamin (konsisten), dan tidak adanya jaminan dari pasokan bahan
baku. Akan tetapi adanya perkembangan terakhir tentang kesadaran akan penggunaan produk-produk
yang ramah lingkungan, dapat didaur ulang dan gerakan kembali ke alam (back to nature) telah
merangsang kembali akan adanya permintaan produk-produk hasil hutan non kayu, yang boleh
dikatakan lebih ramah lingkungan.
Masa depan hasil hutan bukan kayu sangat terbuka lebar tetapi hal tersebut tergantung kepada
produk yang dipasarkan dan keadaan penggunaanya. Kunci utamanya adalah meningkatkan
komersialisasi dari hasil hutan bukan kayu, termasuk di dalamnya manajemen pengelolaan atau
domestikasi yang dilengkapi dengan analisis permintaan pasar yang akurat, penurunan akses
masyarakat hutan terhadap hasil hutan bukan kayu, perubahan ketergantungan masyarakat sekitar
hutan terhadap hasil hutan bukan kayu dan pengelolaan sumber daya hutan yang berbasis masyarakat
(community based forest manjement).
FAO (1998) juga telah membuat gambaran dari dua keadaan atau kondisi kedepan yang harus
dicermati oleh berbagai kalangan yang berkepentingan dengan komoditas hasil hutan bukan kayu.
Dua kondisi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Secara keseluruhan sumber daya hasil hutan bukan kayu ada kecenderungan mengalami
depresi/penurunan. Hal ini karena kurang adanya perundang- undangan/regulasi tentang tata cara
pemungutan dan adanya tekanan permintaan dari pasar yang luar biasa baik pasar lokal maupun
internasional. Produk-produk hasil hutan bukan kayu tersebut meliputi rotan, resin, damar, kayu
gaharu, bermacam-macam kulit kayu, akar, batang, dan daun sebagai tradisional sumber obat-
obatan tradisional (traditional medicine) dan beberapa species (hewan dan tumbuhan) langka
lainnya seperti ikan.
Lebih lanjut FAO (1998) melaporkan, bahwa studi kasus yang telah dilakukan di India,
menyimpulkan bahwa kurang lebih 400 juta penduduknya yang hidup di pedesaan dan sekitar
kawasan hutan sangat menggantungkan hidupnya pada komoditas hasil hutan bukan kay, baik sebagai
pemilik, buruh pemetik ataupun pedagang hasil hutan bukan kayu tersebut. Secara lebih rinci
dikatakan bahwa 30% penduduk pedesaan sangat tergantung kepada hasil hutan bukan kayu, dan
lebih dari 80% penduduk yang tinggal di sekitar kawasan hutan menggantungkan hidupnya pada
komoditas ini.
Selanjutnya, diilaporkan juga bahwa pekerjaan memetik, dan memanen hasil hutan bukan kayu
merupakan sumber pekerjaan atau penghasilan utama dari para buruh di pedesaan, dengan persentase
sekitar 17% dari mereka adalah penduduk yang tidak mempunyai lahan garapan, dan 39% adalah
sebagai pekerjaan sampingan dengan tujuan menambah pendapatan. Di India sendiri, devisa yang
dihasilkan oleh berbagai komoditas hasil hutan bukan kayu rata-rata pertahunnya sebesar 27 miliar
dollar AS (US $ 27 billion). Hasil tersebut jauh lebih besar bila dibandingkan dengan yang diperoleh
dari devisa perdagangan produk-produk hasil hutan utama (kayu, produk kayu olahan dan panel-panel
kayu), yang hanya sekitar 17 miliar dollar AS (US $ 17 billion).
Laporan dari FAO (1998) juga menyebutkan bahwa diperkirakan sebanyak 55% pekerja dibidang
kehutanan di India berkerja pada sektor hasil hutan bukan kayu. Komoditas hasil hutan bukan kayu
yang dihasilkan dari India di antaranya adalah bambu (bamboo), rotan (rattan), dedauan (beedi leaf),
getah-getahan (gums), golongan resin (resin), minyak biji-bijian (oil seeds), minyak atsiri (essential
oil), produk serat (fibers), flosses, kutu lak (lac), dan tumbuhan obat (medicinal plants). India setiap
tahunnya rata-rata memproduksi berbagai jenis komoditas bamboo sebesar 4.5 juta ton, dan
merupakan 50% dari sumber bahan baku industri serat untuk sumber bahan serat dan kertas (pulp and
paper).
Perkembangan terakhir menujukan bahwa stok atau bahan baku dari hasil hutan bukan kayu akan
cenderung menurun dimasa mendatang. Untuk mengatasi masalah tersebut kiranya diperlukan
program-program dan strategi jangka panjang untuk pembudiadayaan dan pengembangan hasil hutan
bukan kayu. Program-program tersebut antara lain adalah penyusunan program kebijakan dan strategi
yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder), dalam bentuk pengelolaan hutan
berbasis masyarakat, perluasan akses perkembangan pasar (pemasaran), domestikasi dan kultivasi
dari hasil hutan bukan kayu (aspek budi daya dan inovasi domestik), promosi komoditas hasil hutan
bukan kayu dalam pasar regional dan internasional (promotion in trade and fair into the world
market).
3.3. Permasalahan-Permasalahan Penting dari Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kemungkinan
Pemecahannya, FAO (1998)
Masalah atau isu yang sangat mendasar dan menarik yang berkaitan dengan hasil hutan bukan
kayu adalah berkaitan dengan orientasi produk yang masih berskala kecil, yaitu bersifat industri
rumah tangga dan bersifat kegiatan sampingan. Permasalahan-permasalahan lainnya seperti
permintaan komoditas hasil hutan bukan kayu yang kurang signifikan dibandingkan dengan produk
perkayuan, dan kurangnya skala prioritas dalam skala industri, rendahnya penelitian dan
Untuk perkembangan kedepan, kerja sama pengembangan dan penelitian yang intensif dan
terintegrasi, dengan melibatkan para ahli diberbagai bidang ilmu dari berbagi instanti terkait sangat
diperlukan untuk mengantisipasi tingginya permintaan komoditas hasil hutan bukan kayu di pasaran.
Hal tersebut juga penting dilakukan untuk memanfaat potensi keanekaragman hayati hutan tropis
Indonesia, secara ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi. Contohnya adalah permintaan
berbagai jenis minyak atsiri untuk industri makanan dan minuman, komestik, dan obat-obatan yang
terus meningkat dari waktu ke waktu. Dengan berbagai kegiatan tersebut di atas, kesempatan kerja
dapat diciptakan, kesempatan berusaha juga dapat tercipta dengan sendirinya. Khusus untuk bidang
pendidikan dan penelitian, hal tersebut akan membuat nama peneliti-peneliti dan lembaga penelitian
indonesia akan semakin diakui kontribusinya dan diakui kepakarannya.
Hasil hutan bukan kayu juga memiliki beberapa ciri khusus atau karakteristik yang khas, bila
dibandingkan dengan komoditas hasil hutan utama (industri perkayuan). Beberapa karakteristik dari
hasil hutan bukan kayu tersebut telah diidentifikasi oleh Sumadiwangsa dan Setyawan (2001)
berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditentukan dan dirumuskan. Ringkasan dari karakteristik
komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK) dibandingkan dengan komoditas hasil hutan kayu tersebut
dapat diringkas dan disajikan pada Tabel 3 3.
Tabel 3.3. Perbandingan karakteristik Pengelolaan, pemanenan dan pemanfaatan Hasil Hutan
Bukan Kayu dibandingkan dengan Hasil Hutan Kayu.
Asia-Pacific Forestry Commision (1998). Asia-Pacific Forestry Towards 2010. Report of The Asia-
Pacific Forestry Sector Outlook Study. Food and Agriculture Organization of The United
Nation, Rome Italy.
Asia-Pacific Foresty Commision, (1998). Non-Wood Forests Products Asia-Pacific Forestry Towards
2010. Report of The Asia-Pacific Forestry Sector Outlook Study. Food And Agricultural
Organization of The United Nation, Rome.
Wollenberg, E and A. Ingles (editors) (1998). Income from the Forest (2004). Methods for thr
development and conservation of forest products for local Community.. Center for
International Forestry Research (CIFOR) Bogor
Sumadiwangsa. S dan D. Setyawan (Buletin Vol. 2 No. 2 Th 2001).Konsepsi Strategi Penelitian Hasil
Hutan Bukan Kayu di Indonesia, .
Diakses dari www.dephut.go.id, pada tgl 12 Desember 2006
4.1. Pendahuluan
Pokok bahasan tentang potensi, produksi, dan ekspor hasil hutan bukan kayu ini ditampilkan
dengan tujuan untuk melihat fakta, bagaimana potensi, produksi, peluang dan produk itu saling
berperan dan berkaitan. Apabila mengacu ke belakang pada babpertama tentang definisi hasil hutan
bukan kayu, dan bab kedua tentang penggolongan atau tata nama hasil hutan bukan kayu, kita dapat
melakukan analisis dan kajian berapa besar potensi HHBK yang kita miliki telah dipanen atau
diproduksi, diolah, diteliti, dan dapat menghasilkan nilai tambah yang lebih besar dibanding kalau
menjualnya dalam bentuk barang mentah atau setengah jadi.
Pokok bahasan ini penting karena potensi hasil hutan bukan kayu yang dapat diambil dari hutan
Indonesia sangat banyak atau berlimpah dan dapat diolah menjadi beragam komoditas, baik untuk
pasar lokal maupun ekspor. Tetapi pada kenyataanya, hanya beberapa komoditas hasil hutan kayu
tertentu saja, yang produksi dan perdangangannya didokumentasikan oleh instansi terkait. Sebagai
warga negara Indonesia, kita juga wajib mengenal beragam komoditas hasil hutan bukan kayu
tersebut dan sekaligus ikut memikirkan dan berperan aktif dalam mengelola, mengolah dan
melestarikannya.
Pada akhir pokok bahasan ini, mahasiswa diharapkan untuk memiliki kemampuan untuk dapat
melakukan:
1. Analisis tentang permasalahan dan pemecahan masalah terutama adanya gap atau perbedaan
antara potensi, produksi dan realitas ekspor HHBK
2. Menjabarkan permasalahan dan alternatif pemecahannya sebagai tindak lanjut dari point 1 di atas.
3. Membuat terobosan–terobosan dalam kampanye HHKB, termasuk potensi, produksi dan peluang
ekspornya.
4.2. Potensi
Pada pokok bahasan sebelumnya, yaitu pada bab ketiga, telah disinggung tentang adanya 150
jenis komoditas hasil hutan bukan kayu yang diperdagangkan diseluruh dunia. Sedangkan pada bab
kedua, terutama menurut penggolongan yang dibuat oleh SNI, terdapat kurang lebih sekitar 127 jenis
komoditas yang terbagi ke dalam 9 (sembilan) kelompok. Sehingga apabila dibandingkan, terdapat
sekitar 23 komoditas hasil hutan yang tidak termasuk dalam kelompok yang diperdagangkan didunia,
atau belum didokumentasikan, atau bahkan belum dimasukan ke dalam kelompok komoditas SNI.
Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa masih terdapat begitu banyak komoditas hasil hutan
bukan kayu yang belum kita sadari bahwa produk tersebut layak dan bernilai secara ekonomi.
Kelmopok tersebut terutama beberapa komoditas yang terdapat di luar pulau Jawa, seperti di
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua khusunya, karena mengingat masih luas dan aslinya hutan
alam di daerah tersebut, dan belum seluruh potensinya didata dan didokumentasikan.
Pertanyaanya sangat sederhana, kenapa masih banyak yang belum didata dan didokumentasikan?
Keanekaragaman hayati di Pulau Kalimantan, Sulawesi dan Papua yang tinggi, dan bila dikaitkan
dengan jumlah suku asli atau etnik yang mendiami pulau-pulau trersebut, akan menghasilkan
beberapa komoditas yang tidak ditemukan di Pulau Jawa. Fakta-fakta seperti ini yang menjadikan
komoditas hasil hutan bukan kayu di Indonesia sangat tinggi. Tetapi potensi tersebut masih berupa
Tabel 4.1. Potensi komoditas hasil hutan bukan kayu di provinsi Papua.
No Komoditas/ Potensi
Jenis Luas (ha) Volume Penyebaran
Tabel 4.1 di atas memberikan gambaran bahwa komoditas hasil hutan bukan kayu yang
dihasilkan oleh Papua hanya 15 komoditas. Kelima belas komoditas inipun belum sepenuhnya
didokumentasikan dengan lengkap, menyakut luasnya, standing stok dilapangan, dan juga
produksinya. Informasi yang dimuat pada tabel 4.1 di atas juga kebanyakan masih bersifat kualitatif,
belum berupa data hasil penelitian lapang yang akurat. Lebih lanjut dapat dijelaskan, bahwa
komoditas hasil hutan bukan kayu dari daerah Papua tersebut, sebagian besara adalah masih berupa
bahan mentah atau baku, yang memerlukan pengolahan lebih lanjut.
Kenyataan dilapangan, beberapa komoditas hasil hutan bukan kayu yang lain, seperti tumbuhan
Anggrek, tumbuhan obat, kulit kayu, aren, buah merah, sarang semut, berbagai jenis buah-buahan dari
hutan dan bambu memiliki potensi yang sangat melimpah diPapua. Tetapi kenyataanya, potensi
tersebut belum dimasukkan dalam komoditas hasil hutan bukan kayu oleh dinas kehutanan Papua.
Padahal, komoditas tersebut juga banyak dimanfaatkan oleh penduduk lokal dan beberapa komoditas
memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Produk komoditas hasil hutan bukan kayu yang memberikan nilai devisa paling besar adalah
yang berasal dari diversifikasi produk-produk rotan, terutama dalam bentuk permebelan (furniture).
Produk-produk mebel ini bukan hanya terbuat dari bahan baku rotan, tetapi juga yang berasal dari
kayu atau mebel dari kayu. Hal ini menjadi alasan karena kayu tropis Indonesia memiliki tingkat
kekerasan yang tinggi, nilai dekoratif yang khas, sehingga menarik untuk dijadikan furniture. Di
samping itu kayu-kayu triopis juga memiliki warna dan karakteristik yang unik.
Data terakhir yang dikutip oleh Hamzirwan (2007) menunjukkan bahwa pada tahun 2005,
realisasi nilai ekspor produk mebel Indonesia mencapai 1,9 miliar dollar AS dengan volume sebesar
800 ton, dan nilai tersebut meningkat menjadi Rp. 2,2 miliar dollar AS pada tahun 2006, atau nilai
ekspor tersebut meningkat sebesar 16% dengan pertumbuhan ekspor sekitar 7 persen per tahun.
Peningkatan ini dikarenakan oleh adanya beberapa dukungan pemerintah seperti penetapan industri
mebel sebagai industri yang berorientasi ekspor dan juga adanya larangan ekspor rotan asalan dan
kayu gelondongan. Oleh karena itu pihak Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia
(ASMINDO) pada tahun 2007 berani menargetkan pertumbuhan ekspor mebel menjadi 10 persen,
dengan total nilai ekspor mencapai Rp. 2,5 miliar dollar AS. Data ASMINDO yang dikutip oleh
Hamzirwan (2007) menunjukkan bahwa ekspor produksi mebel dan kerajinan Indonesia sebanyak
75% adalah berbentuk furnitur kayu, 20 furnitur rotan, dan sisanya sekitar 5% adalah campuran
furnitur dari bambu, metal, plastik dan lainnya.
Asumsi yang dipergunakan untuk mempredikti peningkatan pertumbuhan ekspor mebel tersebut
didasarkan pada beberapa asumsi yaitu keunggulan komperatif yang dimiliki oleh negara kita, yaitu
melimpahnya sumber bahan baku, tenaga kerja yang murah, dibandingkan negara-negara pesaing kita
seperti China, Thailand, Singapura, Malaysia dan negara lainnya. Untuk itu diperlunya usaha-usaha
untuk menjaga hutan kita agar terus tetap berproduksi menghasilkan bakan baku mebel, baik yang
berbahan baku rotan maupun kayu. Dikatakan lebih lanjut bahwa dengan jumlah jenis kayu yang lebih
dari 200 jenis, dandari jumlah tersebut sangat berpotensi untuk dipergunakan sebagai bahan baku
mebel dan kerajinan, sehingga bukan hanya monopoli kayu kayu Jati (Tectona gandiis), atau Mahoni
(Switeniamahagony) saja.Potensi kerajian dan mebel tersebut belum termasuk kayu yang berasal dari
Indonesia timur, seperti Papua, yang telah dimanfaatkan untuk pembuatan mebel-mebel lokal tetapi
berkualitas ekspor. Kayu-kayu tersebut adalah kayu Merbau (Instia spp), Dao (Dracontomellum
edule), Sonokembang (Pterocarpusindicus) dan Matoa (Pometia spp) serta jenis-jenis kayu yang
belum diperkenalkan ke pasaran.
Departemen kehutanan dalam hal ini, Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan (2004) telah
merangkum data produksi komoditas hasil hutan bukan kayu selama sepuluh tahun terakhir, yaitu dari
tahun 1995 – 2004. Rangkuman tersebut seperti ditampilkan pada Tabel 4.1. Dari tabel tersebut
Jenis Komoditas
No Tahun Rotan Gondorukem Damar Sagu Terpentin Sutera Kopal Getah Arang Kemen M.Kayu Putih
(Year) (Rattan) (Gum resin) (Resin) (Sago) (Turpentin) (Silk) (Copal) Pinus dangan (Conjuputi oil)
(Ton) (Ton) (Ton) (Ton) (Ton) (Kg) (Ton) (Ton) (Ton) (Ton) (liter)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13)
1 1995/96 36.256 47.960 3.859 - 8.975 13.225 816 - - - 235.497
2 1996/97 51.564 53.736 1.556 - 10.294 9.677 821 - - - 469.948
3 1997/98 32.389 69.658 6.423 3.944 13.700 13.440 764 - - - 331.457
4 1998/99 62.644 43.785 7.887 1.479 7.633 13.279 518 - - - 357.035
5 1999/00 38.417 24.025 6.310 585 2.667 1.911 114 - - - 63.465
6 2000 94.752 - 3.342 114 - - 647 - - - -
7 2001 23.836 580 2.291 - - - 428 - - - -
8 2002 17.779 - 1.131 - - - 442 - - - 27.925
9 2003*) 127.295 4.592 4.401 - 544 - 403 84.08 3.261 12 28.138
3
10 2004 1.880.50 38.435 2.722.86 - 7.684 - 318 - - - 31.978
3 6
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan; www.dephut.co.id.
Tabel 4.3. Total nilai ekspor komoditas hasil Hutan bukan kayu selama 5 tahun terakhir
Tabel 4.4. Realisasi ekspor komoditas Gaharu yang langsung diambil dari hutan per Juli 2007
Hamzirwam (2007). Industri Mebel, jurus baru kuasai pasar Global. Kompas, 23 Februari 2007.
PP 21
Harian Kompas edisi 27 April 2006.Tanaman-tanaman Obat di Kalimantan Terancam Hilang.
Standar Nasional Indonesia (2002). SNI 01-5010.4-2002, Tata Nama Hasil Hutan. Badan
Standarisasi Nasional .
Sumadiwangsa. S dan D. Setyawan (Buletin Vol. 2 No. 2 Th 2001).Konsepsi Strategi
Penelitian Hasil Hutan Bukan Kayu di Indonesia. www.dephut.go.id.
diakses tgl 12 Desember 2006
Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan (2004). Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu
Sepuluh Tahun Terakhir ;www.dephut.co.id. Diakses tanggal 20 Juni 2007
Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan (2004). Total nilai ekport komoditas hasil Hutan
bukan kayu selama 5 tahun terakhir. www.dephut.co.id. Diakses tanggal 20 Juni
2007
Departemen Kehutanan (2007). Realisasi ekspor komoditas Gaharu yang langsung diambil dari
hutan per Juli 2007. www.dephut.go.id, tanggal 26 September 2007
Realisasi ekspor satwa liar jenis mamalia per 31 Juli 2007 yang diambil dari hutan belantara
(bukan penangkaran) . www.dephut.go.id, tanggal 26 September 2007
5.1. Pendahuluan
Tiga isu yang sangat mendasar dalam komoditas hasil hutan bukan kayu adalah potensinya
yang belum dapat diketahui dengan pasti, teknologi pengolahan yang sederhana, dan
kelembagaan pemasaran yang beragam atau lebih bersifat informal. Potensi hasil hutan bukan
kayu yang ada saat ini masih terbatas kepada asumsi-asumsi yang diperoleh dari kegiatan
survey pendahuluan, informasi dari masyarakat setempat. Inventarisasi yang intensif seperti
layaknya dilakukan terhadap komoditas hasil hutan kayu belum dilaksanakan. Hal ini
dikarenakan sifat komoditas hasil hutan bukan kayu sendiri yang beragam, tersebar tidak
merata, atau hanya terdapat pada daerah-daerah tertentu dengan intensitas atau potensi yang
rendah.
Teknologi pengolahan komoditas hasil hutan bukan kayu juga sangat beragam, teknologi
yang digunakan di daerah satu berbeda dengan daerah lainnya. Hal ini berkenaan dengan sifat
komoditas hasil hutan bukan kayu yang kebanyakan dimanfaatkan oleh penduduk lokal,
terutama untuk keperluan sehari-hari, sehingga cara pengolahan, teknik pengolahan dan tujuan
pengolahannya sangat tergantung kepada kepentingan dan teknologi yang dimiliki oleh
masyarakat tersebut.Proses perencanaan produksi, pengawasan mutu, dan perlakuan paska
produksi, pada kebanyakan juga belum banyak dilakukan oleh pelaku usaha komoditas ini.
Pemasaran komoditas hasil hutan bukan kayu pada beberapa daerah masih menggunakan
sistem barter, penduduk lokal hanya bertugas sebagai pemetik atau pengumpul, sehingga harga
mutlak ditentukan oleh para pembeli atau tengkulak. Penjualan komoditas hasil hutan bukan
kayu juga kebanyakan hanya di pasar-pasar tradisional, sehingga kurang mendapat perhatian
pelaku usaha lainnya.
Pokok bahasan kelima ini, akan membahas beberapa kasus tentang pemasaran atau tata
niaga perdagangan komoditas hasil hutan bukan kayu yang belum memiliki kelembagaan yang
jelas. Pokok bahasan ini tidak berlaku untuk beberapa produk yang telah terbentuk asosiasinya,
seperti Rotan dan bebeapa produk sejenisnya.
Diharapkan setelah menyelesaikan pokok bahasan bab kelima ini mahasiswa mampu
untuk:
Mengambarkan rantai pemasaran berbagai komoditas hasil hutan yang telah memiliki
organisasi atau kelembagaan pemasaran yang ada.
Mengambarkan rantai pemasaran produk HHBK yang belum memiliki kelembagaan.
Membuat kajian rantai pemasaran alternatif, khusunya untuk komoditas HHBK yang
memerlukan teknologi pengolahan yang minimal.
Salah satu karakterisik yang khas dari komoditashasil hutan bukan kayu adalah bahwa
komoditas tersebut dipanen langsung dari hutan alam, kebun tradisional, atau hutan adat dari
masyarakat adat, bukan dari areal budi daya. Karakteristik berikutnya adalah komoditas ini
Menurut Lecup dkk (1998) rantai pemasaran (Market chain) adalah urutan tahapan
(sequence of stages) yang mana suatu komoditas dijualdan dibeli. Analisis rantai pemasaran
mengikuti pergerakan komoditas dari petani/pemetik/pemanen (harvestesr), pengolah
(processors), pedagang (traders) sampai kepada konsumen akhir.
Rantai pemasaran atau pergerakan produk dari produsen sampai kepada konsumen sebagai
pengguna akhir produk dapat digambarkan dengan berbagai cara. Khusus untuk komoditas hasil
hutan bukan kayu, metode rantai pemasaran dapat menggunakan metode yang dikembangkan
oleh international network for bamboo and rotan (INBAR) seperti yang dikutip oleh Belcher
(1998). Metode ini dikenal dengan istilah Production to-Consumption System (PCS).
Pengertian dari PCS adalah keseluruhan faktor, material, aktivitas dan lembaga atau
institusi yang terlibat dalam penanaman dan pemanenan bahan baku, pengolahan bahan baku
menjadi produk yang bernilai ekonomi tinggi dan pemasaran produk akhir dari hasil hutan
bukan kayu. Sitim PCS meliputi teknologi yang dipergunakan untuk menanam dan mengolah
bahan baku, dan sekaligus lingkungan institusi, sosial dan ekonomi di mana proses-proses
tersebut berlangsung. Pengalaman PCS pada komoditas bambo dan rotan, maka diharapkan
metode ini juga dapat diterapkan pada komoditas hasil hutan bukan kayu selain bambu dan
rotan.
Belcher (1998) mengemukakan bahwa PCS memiliki tiga dimensi penyusun, yaitu dimensi
vertikal (verticaldimension), horizontal (horizontal dimension) dan intensitas (dimension
ofintensity). Penjelasan dari masing-masing daimensi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
Dimensi vertikal adalah alur atau bagan (flow chart) yang mengambarkan bagaimana alur
bahan baku itu berasal dari produk sistem biologi, melalui berbagai jenis transaksi dan
proses pengolahan, yang pada akhirnya produk tersebut sampai konsumen.
Dimensi horizontal dapat didefinisikan sebagai peranserta, keterlibatan dan interaksi
sekumpulan anggota masyarakat, koperasi maupun lembaga berbadan hukum (firms)
lainnya dalam rantai pemasaran komoditas hasil hutan bukan kayu.
Dimensi intensitas yang diartikan sebagai jumlah kapital dan tenaga kerja yang dicurahkan
untuk suatu aktivitas pada kegiatan tertentu.
Contoh bagan analisis PCS untuk rantai pemasaran komoditas rotan, khusunya dimensi
vertikal, diberikan oleh Belcher (1998) seperti dilukiskan pada Gambar 5.2.Gambar tersebut
mengambarkan rantai pemasaran komoditas rotan, dari masing-masing pelaku pasar. Masing-
masing pelaku pasar melakukan perlakuan aktifitas ekonomi, pengolahan atau sejenisnya, untuk
meningkatkan nilai jual produknya. Dari rantai tersebut terlihat bahwa produk yang dihasilkan
oleh suatu pelaku pasar, akan merupakan bahan baku produk pelaku pasar berikutnya. Rantai ini
akan berjalan dan berakhir pada konsumen yang membeli produk tersebut. Informasi tambahan
lainnya, seperti harga jual, keuntungan dari masing-masing pelaku rantai pemasaran
berdasarkan konstribusinya terhadap pertambahan nilai produk (added value) dapat
ditambahkan. Sehingga analisis keuntungan dari masing-masing pelaku pasar, dan harga jual
produk pada masing-masing level dapat ditentukan dan dihitung. Dimensi vertikal ini
memberikan gambaran tentang keterkaitan dan ketercocokan (link and macth), serta
ketergantungan (dependency) pelaku pasar yang satu dengan yang lainnya dalam menciptakan
suatu produk akhir.
Dimensi horizontal pada pendekatan PCS menekankan adanya hubungan informal dan
berbagi (sharing) beberapa informasi tentang jenis-jenis aktifitas para pelaku kegiatan pada
semua lapisan manajemen. Interaksi, pendampingan, konsolidasi dan penerapan beberapa
praktek menejemen lainnya sangat penting dilakukan pada seluruhbagian dari pelaku pasar
tersebut. Konsolidasi ini memiliki tujuan untuk mencapai sinergi antar bagian yang pada
akhirnya akan tercipta hubungan yang harmonis guna meningkatkan produktifitas dan daya
saing produk.
Dimensi intensitas memahas tentang kuantitas dan kualitas input pada setiap pelaku rantai
pasar. Blacher (1998) menyatakan bahwa ilmu ekonomi membedakan dua aspek hubungan
antara modal (capital) dan tenaga kerja (labor). Dua aspek tersebut pada perkembangan
selanjutnya akan menghasilkan pembangunan/aktivitas perekonomianyang bersifat padat modal
(capital intensity) dan padat karya (labor intensity). Pada perkembangan selanjutnya, masing-
masing aktivitasakan menghasilkan daya saing atau keunggulan yang berbeda. Industri yang
bersifat padat modal akan menghasilkan keunggulan kualitatif. Dilain pihak, industri yang
bersifat padat karya akan menghasilkan keunggulan komparatif, yang mana sebagian besar
dihasilkan dari industri-industri tersebut yang berbasis sumber daya alam (natural based
resourses), investasi yang tidak begitu mahal (low capital investment), dan tenaga kerja kurang
ahli (unskilled labor). Sedangan industri yang memiliki keunggulan kualitatif dicirikan oleh
tingginya modal investasi (highly capital investment), tenaga kerja terdidik/ahli (skilled labor)
dan menggunakan tenknologi mutakhir (fully hightechnology).
5.4.Kelembagaan Pemasaran
Kelembagaan pemasaran yang dimaksud dalam pokok bahasan ini adalah wadah-wadah
formal yang terlibat pada produksi, pemasaran, dan perdagangan atau jual beli komoditas hasil
hutan bukan kayu. Wadah formal tersebut meliputi beberapa organisasi, kelompok masyarakat
maupun pelaku usaha lainnya yang tidak memiliki izin atau legalitas. Tetapi lembaga-lembaga
tersebut memiliki kemampuan atau kapabilitas, serta memiliki peran masing-masing dalam
lembaga pemasarantersebut. Aspek kelembagaan yang lainnya adalah belum adanya standar
pengoperasian dan pelayanan (standard operation procedure/SOP), termasuk di dalamnya
adalah jaminan kualitas produk (quality control), tata usaha komoditas atau pendokumentasian
aktivitas, dan perpindahan komoditas dan sebagainya. Hal tersebut sangat bertolak belakang
dengan komoditas kayu, yang mana telah memiliki struktur kelembagaan yang jelas, termasuk
sistem tata usaha kayunya.
Hasil penelitian Madusari (2006), salah mahasiswi jurusan budi daya hutan pada Fakultas
Kehutanan, Universitas Negeri Papua, tentang sistem pemasaran lokal minyak lawang dan kulit
kayu masohi di kabupaten teluk Wondama dan Manokwari menyimpulkan bahwa proses
pemasaran minyak lawang dari produsen ke konsumen melibatkan 3 (tiga) lembaga pemasaran
yaitu pedagang pengumpul lokal (PPL), pedagang penerima (PP) dan pedagang pengecer
(PPR). Pedagang pengumpul lokal ini dibedakan menjadi pedagang pengumpul lokal I (PPL I)
dan PPL II. PPL I berperan dalam menampung minyak lawang dari produsen dan juga bertindak
sebiagai produsen penghasil minyak lawang. Setelah terkumpul, PPL I akan menjual minyak
lawang ke PPL II. Di samping itu PPL II ini juga dapat membeli minyak lawang langsung dari
produsen. PPL II kemudian menjual minyak lawang ke pedagang penerima (PP) di kota
Manokwari. Selanjutnya PP akan menjual produknya ke PPR, yang kemudian akan dilanjutkan
untuk dijual langsung kepada konsumen.
Ketiga lembaga pemasaran minyak lawang tersebut, dalam proses interaksinya
menghasilkan 5 (lima) jaringan pemasaran. Kelima alternatif jaringan pemasaran tersebut oleh
Madusari (2006) diilustrasikan seperti pada Gambar 5.3.
Gambar 5.3. Bagan Alir jaringan pemasaran minyak lawang di kabupaten Teluk Wondama.
Madusari (2006) juga melaporkanlembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran kayu
Masohi. Peneliti ini melaporkan bahwa pemasaran ini melibatkan 2 (dua) lembaga yaitu
pedagang pengumpul lokal (PPL), yaitu PPL I dan PPL II, dan pedagang penerima (PP) dengan
3 (tiga) alternatif jaringan pemasaran. Pedagang pengumpul I adalah pedagang dan sekaligus
bertindak sebagai produsen berdomisili di pusat produksi. Sedangkan PPL II berdomisili di
ibukota distrik. Sedangkan pedagang penerima berperan dalam membeli kulit kayu masohi, baik
yang berasal dari PPL I dan PPL II. Jaringan pemasaran yang terbentuk pada komoditas kulit
kayu masohi dapat dilihat pada Gambar 5.4.
Industri/Eksportir
Dari Gambar 5.5 di atas terlihat bahwa kelembagaan informal dari komoditas Repong
damar di wilayah Krui, provinsi Lampung dimulai dari petani pemilik damar tersebut. Petani
menjual Repong damarnya kepada pedagang pengumpul yang berada di tingkat desa.
Pedangang pengumpul di desa ini, dapat berperan sebagai pedagang pengumpul saja, atau juga
dapat berperan sebagai petani. Selanjutnya komoditas Repong damar dijual ke pedagang
Keberagaman produk hasil hutan bukan kayu dan produk jasa dari hutan membuat
beberapa pemerhati komoditas hasil hutan bukan kayu kesulitan untuk melakukan pengumpulan
data, mendefinisikan dan menghubungkan antara potensi dan pemanfaatannya, FAO
(1998).Permintaan konsumen akan berbagai produk dari hasil hutan bukan kayu tumbuh sangat
pesat pada akhir-akhir ini, tetapi sangat sulit untuk memberikan gambaran yang pasti karena
ketidaktersediaan data, dan pada beberapa kasus pasar komoditas ini adalah pasar yang bersifat
informal (informalised markets), FAO (1998). Tetapi perdagangan komoditas ini tumbuh sangat
pesat, baik pada pasar lokal (domestic markets) maupun internasional (international markets).
Khusus untuk wilayah Asia pasifik, beberapa komditas hasil hutan bukan kayu yang
menjadi andalannya seperti tanaman obat-obatan, minyak atsiri, beberapa jamur dan
sebagainya. Jenis-jenis kmoditas, volume perdagangan, dan nilai perdagangan dari ekspor
komoditas HHBK utama dari Asia pasifik dapat diringkas pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1. Nilai ekspor komoditas HHBK utama dari daerah Asia pasifik 1996, FAO
(1998).
5.6. Pustaka
Belcher, B.M (1998). A production to-Consumption Systems. Approach: Lesson from the
Bamboo and Rattan Sectors in Asia, in Income from the Forest. Method for the
development and conservation of forest products for local communities. Edited by
Eva Wollenberg and Andrew Ingles. Center for International Forestry Research,
Bogor – Indonesia, pp 57-84.
Lecup.I; K. Nicholson; H. Purwandono and S. Karki (1998). Methods for Assessing the
Feasibility Study of Sustainable Non-timber forest Products-based Enterprisesin
Income from the Forest. Method for the development and conservation of forest
products for local communities. Edited by Eva Wollenberg and Andrew Ingles.
Center for International Forestry Research, Bogor – Indonesia, pp 85-106.
Madusari, S (2006). Sistem Pemasaran Lokal Minyak Lawang (Cinnamomumcullilawane) dan
Kulit Kayu masohi (Cryptocaria massoia). Skripsi sarjana kehutanan pada Jurusan
Budi daya huta Fakultas Kehutaan Universitas Negeri Papua Manokwari (tidak
diterbitkan).
Wijayanto, N. 2002. Analisis strategis sistem pengelolaan Damar repong di pesisir Krui,
Lampung. Jurnal Manejemen Hutan Tropika. Vol.7 (1) : 39-49.
6.1. Pendahuluan
Pokok bahasan yang ke-enam ini membahas tentang berbagai produk perundang-undangan
dan kebijakan yang memiliki keterkaitan dengan komoditas hasil hutan bukan kayu. Produk
perundangan dan kebijakan tersebut beragam, dari produk hukum pemerintah pusat, yaitu
undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan atau peraturan menteri sampai kepada
beberapa produk perundangan pemerintah daerah, yaitu peraturan daerah. Peraturan daerah
(PERDA) dibuat dengan tujuan untuk mengatur segala aspek atau hal yang berkaitan langsung
maupun tidak langsung dengan komoditas hasil hutan bukan kayu.
Undang-undang adalah produk hukum tertinggi yang dijadikan acuan dasar untuk produk
hukum di bawahnya, seperti keputusan menteri dan peraturan daerah. Produk perundangan -
undangyang paling berperan langsung dilapangan adalah yang bersifat petunjuk teknis atau
pelaksanaan. Kedua produk hukum tersebut merupakan petunjuk operasional dilapangan yang
akan membimbing dan mengarahkan para pelaku usaha, petugas dan seluruh pihak yang
berkepentingan dengan hasil hutan bukan kayu. Petunjuk pelaksanaan yang lengkap dan jelas
akan membuat seluruh pelaku komoditas hasil hutan bukan kayu dapat berperan maksimal
sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang dibebankannya.
Setelah mempelajari pokok bahasan yang ke-enam ini, pembacadiharapkan memiliki
kemampuan untuk:
Melakukan analisis atau telaah undang-undang dan kebijakan hasil hutan bukan kayu yang
ada, apakah seluruh aspek komoditas hasil hutan bukan kayu sudah diatur dalam produk
hukum tersebut?
Melakukan kajian ilmiah terhadapperaturan daerah tentang hasil hutan bukan kayu, apakah
secara substansial memberatkan, memudahkan dan merangsang investasi komoditas
HHBK ini?
Membuat daftar saran perbaikan berdasarkan hasil kajian pada poin di atas.
6.2. Perundang-undangan
Beberapa jenis kegiatan atau usaha pemanfaatan hutan dan pemungutan hasil hutan diatur
dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Pada bab 1 pasal 1 ayat 4
disebutkan bahwa yang dimaksud pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan
kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan
kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk
kesejahteraan rakyat dengan tetap menjaga kelestariannya. Pada ayat 5 disebutkan bahwa
pemanfaatan kawasan adalah kegiatan untuk memanfaatkan ruang tumbuh sehingga diperoleh
manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi secara optimal dengan tidak
mengurangi fungsi utamanya. Selanjutnya pada ayat 6 disebutkan bahwa pemanfaatan jasa
lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak
lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya. Khusus untuk pemanfaatan hasil hutan bukan
kayu, diatur pada bab 1 pasal 1 ayat 8, adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan
hasil hutan berupa bukan kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi
pokoknya.
Peraturan Pemerintah ini juga memuat batasan yang jelas tentang kawasan hutan yang
diperbolehkan dan dilarang untuk dimanfaatkan, sebagaimana termuat pada bab IV pasal 18.
Pemanfaatan hutan dapat dilakukan pada seluruh kawasan hutan, yaitu a) hutan konservasi,
kecuali pada cagar alam, zona rimba, dan zona inti dalam taman nasional; b) hutan lindung; dan
c) hutan produksi. Khusus untuk kawasan konservasi, izin pemanfaatan hutan diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang sesuai, seperti tercantum pada pasa 22 bab yang sama.
Selanjutnya jenis-jenis pemanfaatan hutan pada dua kawasan hutan tersebut, yaitu hutan lindung
dan hutan produksi, secara ringkas dapat dilihat pada bab berikutnya, yaitu pada Tabel 6.1
sampai Tabel 6.10.
Peraturan Pemerintah no 6 tahun 2007 ini juga mengatur pemungutan hasil hutan, seperti
yang terdapat pada bab 1 pasal 1 ayat 9.Ayat ini menyebutkan bahwa pemungutan hasil hutan
kayu dan atau bukan kayu adalah kegiatan untuk mengambil hasil hutan baik berupa kayu dan
atau bukan kayu dengan batasan waktu, luas dan atau volume tertentu. Khusus untuk
pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung diatur pada bab IV pasal 26 ayat 1.
Berdasarkan ayat ini komoditas hasil hutan bukan kayu yang dimaksud adalah rotan, madu,
getah, buah, jamur atau sarang burung walet. Karena kawasan ini adalah hutan lindung, maka
pada ayat 2, terdapat ketentuan-ketentuan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan
lindung, yaitu a) hasil hutan bukan kayu yang dipungut harus sudah tersedia secara alami;
b)tidak merusak lingkungan; dan c) tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi
utamanya. Pada ayat 3 dinyatakan bahwa pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan
lindung hanya boleh dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan. Beberapa larangan yang tidak
boleh dilakukan berkenaan dengan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung
yaitu a) memungut hasil hutan bukan kayu yang banyaknya melebihi kemampuan produktifitas
lestarinya, dan b) memungut beberapa jenis hasil hutan yang dilindungi undang-undang.
Larangang-larangan tersebut dimuat pada ayat 4 pada bab IV pasal 26.
Pada peraturan pemerintah no 6 tahun 2007 ini, pihak-pihak yang boleh diberikan izin
pemanfaatan hutan dan pemungutan hasil hutan dijelaskan pada bab IV pasal 67 dari ayat 1
Setiap badan usaha, baik perorangan maupun kelompok yang ingin memanfaatkan,
mengambil, mengangkut, mengolah dan mendistribusikan komoditas hasil hutan bukan kayu
wajib mendapatkan izin dari pihak yang berwenang. Prosedur dan persyaratan untuk
mendapatkan izin pemanfaatan hutan dan pemungutan hasil hutan tersebut telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Pada bab 1 pasal 1 ayat 10 izin pemanfaatan hutan
adalah izin yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang yang terdiri atas izin usaha
pemanfaatan kawasan (IUPK), izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL), izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) dan/atau bukan kayu (IUPHHBK), izin usaha
pemungutanhasil hutan kayu (IUPHHK) dan/atau bukan kayu (IUPHHBK) pada areal hutan
yang telah ditentukan.
Khusus mengenai izin pemungutan hasil hutan bukan kayu diatur pada bab 1 pasal 1 ayat
17, yaitu izin untuk mengambil hasil hutan berupa bukan kayu pada hutan lindung dan/atau
hutan produksi antara lain berupa rotan, madu, buah-buahan, getah-getahan, tanaman obat-
obatan, untuk jangka waktu dan volume tertentu. Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2007 ini
juga mengatur tata cara pemberian perizinan, pihak atau pejabat yang berwenang untuk
mengeluarkan izin, subjek pemegang izin dan juga persyaratan administrasi untuk mengajukan
izin, serta volume hasil hutan yang diizinkan dan jangka waktu izin diberikan . Ringkasan dari
jenis-jenis izin pemanfaatan hasil hutan dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu telah
dilakukan oleh Dinas kehutanan kabupaten Bulungan, seperti terdapat pada Tabel 6.1 sampai
Tabel 6.10.
Khusus untuk izin pemungutan hasil hutan pada hutan produksi, sebelumnya telah diatur
dalam surat keputusan menteri (Kepmen) kehutanan, Nomor : 6886/Kpts-II/2002, Tentang
Pedoman dan Tata Cara Pemberian Izin Pemungutan Hasil Hutan (IPHH) Pada Hutan
Produksi.Pada bab 1 pasal 1 ayat 3 dinyatakan bahwa izin pemungutan hasil hutan bukan kayu
(IPHH-BK) adalah izin mengambil hasil hutan bukan kayu antara lain rotan, madu, buah-
buahan, getah-getahan, tanaman obat-obatan dan lain sebagainya di dalam hutan produksi.
Khusus untuk komoditas hasil hutan bukan kayu, pada Bab II pasal 2 ayat 1 dinyatakan
bahwa yang dapat mengajukan permohonan izin pemungutan adalah perorangan dan koperasi.
Pihak-pihak atau pejabat yang berwenang untuk memberikan izin usaha pemanfaatan hasil
hutah bukan kayu (IUPHHBK) dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu (IPHHBK)
dinyatakan pada bab IV pasal 63 Peraturan Pemerintah no 6 tahun 2007. Pasal 63 menyatakan
bahwa IUPHHBK pada hutan alam diberikan oleh
a. Bupati/walikota, pada areal hutan alam yang berada dalam wilayah kewenangannya,
dengan tembusan kepada menteri, gubernur dan kepala kesatuan pengelolaan hutan (KPH);
Sedangkan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu (IPHHBK) berdasarkan pada bab IV
pasal 65 diberikan oleh:
a. Bupati/walikota, pada areal hutan alam atau hutan tanaman yang berada dalam wilayah
kewenangannya, dengan tembusan kepada menteri, gubernur dan kepala KPH ; atau
b. Gubernur, pada areal hutan alam atau hutan tanaman lintas provinsi yang ada dalam
wilayah kewenangannya, dengan tembusan kepada menteri, bupati/walikota dan kepala
KPH.
Tabel 6.1. Identifikasi beberapa jenis perizinan pemanfaatan hasil hutan pada hutan
lindung berdasarkan peraturan pemerintah no 6 tahun 2007.
Jenis-jenis kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung dan berbagai
aspeknya, berdasarkan Peraturan Pemerintah no 6 tahun 2007, yang diidentifikasi oleh dinas
kehutanan kab Bulungan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.2.
Tabel di atas menjelaskan bahwa perizinan untuk usaha pemanfaatan jasa lingkungan
dalam hutan lindung dapat diberikan oleh bupati, gubernur maupun menteri kehutanan
tergantung di mana kawasan hutan tersebut berlokasi. Pemanfaatan jasa aliran air mislnya,
kegiatan usaha yang memungkinkan untuk dilakukan seperti wisata arung jeram, ataupun
bentuk wisata air lainnya. Sedangkan kegiatan pemanfaatan air, contohnya adalah pengambilan
air dari mata air oleh berbagai perusahaan air minum dalam kemasan dan beberapa perusahaan
daerah air minum. Sedangkan kegiatan usaha lainnya, seperti penyerapan dan penyimpanan
karbon, masih harus menunggu petunjuk pelaksanaannya, tentang mekanisme, jenis
kompensasi, luas kawasan dan berbagai aspek lainnya.
Perizinam untuk memungut atau memanen beberapa komoditas hasil hutan bukan kayu
yang berhubungan langsung dengan keberadaan dan aktifitas kehidupan sehari-hari masyarakat
hutan dapat dilihat pada Tabel 6.3 di bawah ini.
Tabel 6.3. Ringkasan hasil identifikasi oleh dinas kehutanan Kabupaten Bulungan tentang
berbagai aspek izin pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung.
Tabel 6.3 menjelaskan bahwa izin pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung
hanya diberikan kepada masyarakat yang ada atau berdomisili di sekitar kawasan hutan
tersebut. Komoditas yang dapat dipanen adalah beberapa komoditas yang berkaitan dengan
keberlangsungan hidup masyarakat sekitarnya.
Berikut ini adalah beberapa izin pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan pada kawasan
hutan produksi seperti pada Peraturan Pemerintah no 6 tahun 2007. Ringkasan hasil identifikasi
dinas kehutanan Kabupaten Bulungan tentang berbagai hal berkaitan dengan izin usaha
pemanfaatan kawasan pada hutan produksi selengkapnya diringkas pada Tabel 6.4.
Tabel 6.4 menyatakan bahwa pemanfaatan kawasan hutan produksi hanya diberikan izin
untuk kegiatan yang bersifat bersifat budi daya tanaman-tanaman obat-obatan dan sejenisnya.
Berbeda dengan hutan lindung, di mana diizinkan untuk budi daya hijaun ternak (Tabel 6.1),
pada hutan produksi kegiatan ini tidak diizinkan.
Tabel 6.4. Ringkasan hasil identifikasi berbagai aspek tentang izin usaha pemanfaatan
kawasan pada kawasan hutan produksi.
Ringkasan hasil identifikasi oleh dinas kehutanan kabupaten Bulungan, dengan mengacu
kepada Peraturan Pemerintah no 6 tahun 2007 tentang berbagai hal yang berkaitan dengan izin
usaha pemanfaatan jasa lingkungan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.5.
Tabel 6.5 menjelaskan bahwa pada intinya berbagai aspek perizinan usaha pemanfaatan
jasa lingkungan pada hutan produksi sama dengan izin pemanfaatan pada hutan lindung (Tabel
6.2).Perbedaan yang sangat menyolok hanya pada pada pejabat pemberi atau penerbit izin. Pada
Tabel 6.5. Ringkasan identifikasi berbagai aspek pemberian izin usaha pemanfaatan jasa
lingkungan pada kawasan hutan produksi.
Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2007 memberikan kepastian skala kegiatan yang lebih
luas tentang usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan alam dan hutan tanaman.
Berbagai asek tentang izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu tersebut telah diringkas
oleh dinas kehutanan kabupaten Bulungan, yang selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.6.
Tabel 6.6 menjelaskan bahwa kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada
hutan alam lebih dititik beratkan pada kegiatan usaha yang bersifat profesional, yaitu
menggunakan pendekatan analisis studi kelayakan usaha (feasilitystudies). Hal tersebut dapat
dilihat pada beberapa jenis kegiatan seperti penanaman, pemanenan, pengayaan, pemeliharaan,
pengamanan dan pemasaran hasil.
Tabel 6.6. Ringkasan hasil identifikasi berbagai aspek tentang izin usaha pemanfaatan
hasil hutan bukan kayu pada hutan alam
Sedangkan ringkasan hasil identifikasi oleh dinak kehutana kabupaten Bulungan untuk izin
pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada kawasan hutan tanaman disajikan pada Tabel 6.7.
Tabel 6.7. Ringkasan identifikasi berbagai aspek tentang izin usaha pemanfaatan hasil
hutan bukan kayu pada hutan tanaman
Tabel 6.7 menyelaskan bahwa kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada
kawasan hutan tanaman sama dengan pada hutan alam. Khusus pada kawasann hutan tanaman,
pihak yang berwenang memberikan izin usaha pemungutan, tidak diatur pada Peraturan
Pemerintah nomor 6 tahun 2007.
Ringkasan hasil identifikasi oleh dinas kehutanan kabupaten Bulungan tenang Izin
pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan alam menurut Peraturan Pemerintah nomor 6
tahun 2007, selengkapnya dapat disajikan pada Tabel 6.8 di bawah ini.
Tabel 6.8. Ringkasan hasil identifikasi berbagai aspek tentang izin pemungutan hasil
hutan bukan kayu pada hutan alam
Pemberi izin
1. : Bupati/walikota (wilayah kewenangan)
2. Gubernur (lintas kabupaten/kota)
Kegiatan usaha a.: Pemungutan rotan, madu, getah, buah atau biji, daun,
gaharu, kulit kayu, tanaman obat dan umbi-umbian.
b. Tumbuhan liar dan satwa liar harus sesuai dengan ketentuan
Jangka waktu : 1 tahun dan dapat diperpanjang setelah evaluasi setiap 6
bulan
Volume/lua : 20 ton tiap kepala keluarga (KK)
Kewajiban : Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), kecuali dari hutan
Tabel 6.8 di atas tersebut menjelaskan bahwa izin pemungutan komoditas hasil hutan
bukan kayu pada hutan alam diberikan oleh kepala daerah setempat, yaitu bupati, walikota dan
atau gubernur. Tabel tersebut juga menggarisbawahi bahwa pemungutan hasil hutan bukan kayu
tersebut dapat dipergunakan untuk keperluan sendiri atau diperdagangkan.
Kesimpulan yang dapat diambil dari Tabel 6.1 sampai dengan Tabel 6.8, bahwa izin
pemungutan lebih merupakan wewenang dari pemerintah daerah, sedangkan izin pemanfaatan
adalah kewenangan dari pemerintah pusat, dalam hal ini menteri kehutanan dan pemerintah
daerah, baik gubernur, bupati dan walikota.
http://www.bulungan.go.id/v01/pelayanan-publik/perizinan/pemanfaatan-hutan-lindung.html,
diakses pada tanggal 9 Oktober 2007.
Menteri Kehutanan Republik Indonesia (2002). Keputusan Menteri Kehutanan Nomor :
6886/Kpts-II/2002 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemberian Izin Pemungutan
Hasil Hutan (IPHH) pada Hutan Produksi
Pemerintah Kota Pagar Alam (2004). Peraturan Daerah Kota Pagar Alam No 8 Tahun 2005
tentang Izin Usaha Penumpukan Kayu dan Hasil Hutan
Pemerintah Republik Indonesia (1967). Undang-Undang No 5 tahun 1967 tentang Undang-
undang Pokok Kehutanan.
Pemerintah Republik Indonesia (1999). Undang-undang no 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pemerintah Republik Indonesia (2007). Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.
ROTAN (RATTAN)
7.1. Pendahuluan
Pokok bahasan atau bab yang ketujuh ini mulai membahas produk-produk hasil hutan
bukan kayu yang sangat penting, dominan dan dihasilkan oleh hutan tropis Indonesia.
Komoditas rotan dibahas pertama karena beberapa pertimbangan seperti Indonesia dikenal
sebagai negara penghasil komoditas rotan terbesar didunia, diversifikasi produk yang beragam
dari rotan dan penyebarannya yang merata hampir diwilayah hutan Indonesia.
Kenapa komoditas rotan penting, karena di samping potensinya yang sangat melimpah,
sehingga negara kita disebut sebagai produsen terbesar rotan dunia. Kelebihan lain dari
komoditas rotan adalah diversifikasi produk rotan yang begitu banyak dan rotan hanya tumbuh
di hutan tropis Asia tenggara. Sisi penting lainnya adalah peran serta produk-produk olahan
rotan merupakan komoditas andalan ekspor Indonesia di luar minyak dan gas bumi, serta
kontribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja dan peluang berusaha.
Setelah mempelajari pokok bahasan rotan ini, para pembaca diharapkan mampu:
Memahami arti komoditas rotan bagi industri kecil dan kontribusi pendapatan rumah
tangga masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan;
Memahami fungsi ekologi rotan bagi keanekaragaman hayati sumber daya hutan dan
peranya terhadap ekosistem;
Mengidentifikasi penggolongan dan penggunaannya rotan secara umum dan ciri-ciri rotan
yang telah masak tebang;
Menggambarkan pengolahan rotan yang baku dan produk-produk yang dapat dihasilkan
dari rotan beserta bagan pengolahannya.
Rotan (Calamus spp) adalah termasuk tumbuhan liana atau merambat, termasuk dalam
divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Monocotiledone, sub kelas
Lepidocarioodae, dan Family Palmae atau Aracaceae. Rotan adalah tumbuhan yang merambat
dan memiliki batang silindris yang terdiri atas berbagai ruas batang serta memiliki duri yang
menutupi hampir pada semua batang, seperti terlihat pada Gambar 7.1 dan 7.2. Salah satu ciri
khas dari tumbuhan rotan adalah adanya sulur atau fagella yang memungkinkan tumbuhan ini
dapat merambat pada pohon atau tumbuhan berkayu lainnya.
Rotan tumbuh secara alami dalam kawasan hutan yang merambat atau melata di atas tanah,
yang secara umum hanya dijumpai pada kawasan hutan tropis basah, bahkan rotan juga banyak
ditemukan di sekitar pemukiman penduduk, dekat kebun maupun ladang, seperti pada daerah
transmigrasi di kabupaten Manokwari, Gambar 7.1.
Rotan adalah salah satu produk andalan hasil hutan bukan kayu Indonesia. Lapis dkk
(2004) menyatakan bahwa rotan adalah pengertian yang dipergunakan untuk mendiskripsikan
berbagai jenis tanaman merambat yang tumbuh secara alami di hutan tropis Asia. Dikemukakan
juga bahwa terdapat sekitar 600 jenis rotan, dan hanya 10% dari jumlah tersebut yang bernilai
secara komersil, dan dari 600 jenis tersebut, setengahnya tumbuh di Indonesia. Sedangkan
Dransfields dan Manokaran (1996) memperkirakan terdapat sekitar 500 species rotan menyebar
diseluruh dunia . Selanjutnya dikemukanan bahwa jenis rotan yang dominan adalah dari jenis
Rotan merupakan hasil hutan bukan kayu yang memiliki nilai strategis baik dari segi
ekonomi dan ekologi. Rotan dapat memberikan pendapatan tambahan bagi penduduk yang
hidup di sekitar hutan, baik sebagai pemetik/pengumpul rotan maupun sebagai pengrajin rotan.
Sedangkan dari segi ekologi, karena memiliki perakaran yang cukup kokoh dan dapat
dibudidayakan oleh masyarakat lokal, maka perlu pembinaan dan partisipasi semua pihak untuk
mendapatkan manfaat ekolohgi dan lingkungan secara keseluruhan.
Pemanfaatan rotan secara tradisional didasarkan pada kenyataanbahwa rotan adalah bahan
baku yang serba guna. Rotan dapat dimanfaatakan untuk membuat berbagai macam produk
kerajinan, dari produk anyaman, perabotan, dan barang turunan lainnya. Beberapa masyarakat
lokal yang tinggal dekat dengan sumber penghasil rotan atau hutan, memanfaatkan rotan untuk
dipergunakan sebagai tali sebagai penganti paku baik untuk membuat rumah, maupun membuat
pagar kebun. Sedangkan untuk penggunaan sebagai pengikat atap dipergunakan untuk atap yang
terbuat dari daun-daunan tumbuhan monokotil, seperti pohon sagu, pandan maupun rumput
alang alang.
Sedangkan pemanfaatan rotan untuk skala industri atau tujuan komersil dapat
dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu :
Industri bahan baku rotan. Industri bahan baku rotan adalah industri yang hanya
mengolah rotan menjadi bahan baku industri rotan. Kegiatan pada industri rotan kelompok
ini terdiri atas memanen, mengumpulkan, membersihkan, mengeringkan dan menguliti.
Sehingga industri ini lebih sering dinamakan dengan industri yang menyiapkan rotan
mentah dan setengah olahan ataupun lebih dikenal dengan nama rotan asalan.
1. Rotan Bahan Mentah. Rotan mentah adalah rotan bahan baku industri rotan, dan
selanjutnya dibedakan menjadi
Rotan Bulat yaitu rotan yang masih mentah atau batang rotan yang merupakan bahan
baku untuk pembuatan barang dari rotan.
Rotan Asalan adalah rotan yang masih baru dipanen sehingga belum mengalami
perlakukan pembersihan dan pengeringan atau pengawetan,
Rotan Olahan yaitu adalah rotan yang telah mengalami proses pencucian, peruntian
(pengupasan kulit), pengasapan dan pemasakan.
2. Rotan barang setengah jadi. Rotan dalam kelompok ini terdiri atas tiga golongan yaitu :
Rotan bulat kupasan, yaitu rotan hasil proses pengupasan kulit rotan bulat W &S
(Wash and Sulfurish) yang bermutu jelek
Kulit Rotan, adalah hasil pengulitan rotan bulat W & S, lapisan kulit rotan hasil dari
proses pengulitan rotan dengan tebal < 1.3 mm dan lebar 8 mm yang memiliki ukuran
lebar yang konsisten sepanjang lembaran.
Hati rotan, adalah hasil pembentukan hati rotan dengan dimensi yang konsisten
sepanjang lembaran
Pemanenan rotan dilakukan dengan cara manual yaitu dengan cara menebangatau
memotong langsung rotan di kebun atau hutan rotan. Rotan yang dipanen adalah rotan yang
telah masak tebang, yaitu yang memiliki panjang bebas pelepah, atau pelepah kering/busuk
dengan panjang minimal 15 m. Selanjutnya pangkal batang rotan (yang dekat dengan tanah)
dipotong dengan menggunakan benda tajam ataupun gergaji. Selanjutnya dilakukan
pembersihan pelepah dan duri rotan yang masih menempel sebagian dipelepah dan kemudian
ditarik untuk mengeluarkan seluruh panjang rotan. Rotan yang telah ditebang, kemudian
dikumpulkan ditempat terbuka dan dipotong-potong dengan ukuran panjang sekitar 4 m dan
diikat untuk dikeluarkan dari hutan.
Tahap selanjutnya adalah pembersihan rotan dari kotoran-kotoran pelepah yang masih
menempel, mapun tanah dan pasir ataupun kotoran lainnya yang masih menempel, dan
sekaligus dilakukan penyotiran berdasarkan kelas diameter maupun panjang ruas rotan.
Selanjutnya dilakukan penggorengan, untuk mempermudah dan mempercepat proses
pengeringan rotan serta meningkatkan nilai elastisitas dan keawetan alami rotan. Penggorengan
juga untuk memudahkan proses pengupasan pelepah dan lapisan kutikula, silika atau lilin yang
masih lengket pada batang rotan. Rotan yang telah digoreng kemudian dieringkan diudara
terbuka. Pada kebanyakan pengeringan batang rotan masih menggunakan sinar matahari, yaitu
dengan cara menjemur pada sinar matahari, seperti terlihat pada Gambar 7.4.
Pengeringan rotan tersebut juga berfungsi untuk mencegah penyusutan batang rotan
menjadi keriput setelah dibuat menjadi produk rotan. Lamanya proses pengeringan melalui
penjemuran di bawah sinar matahari langsung tersebut sangat bervariasi, tetapi rata-rata antara
14 - 21 hari, seperti dilaporkan oleh Frank (1995) yang dikutip Fugu (1997). Untuk daerah
Untuk menjamin kualitas bahan baku rotan dan produk-produk rotan, maka diperlukan
pedoman penentukan dan pengujian kualitas bahan baku tersebut. Selanjutnya metode
pengawasan dan pengujian kualitas rotan di Indonesia telah diatur oleh Surat Keputusan
Direktur Jenderal Kehutanan No .204/Kpts/DJ/1980 tanggal 24 November 1980 tentang
peraturan Pengujian Rotan Bulat Indonesia. Peraturan ini mengatur tentang pedoman peraturan
pengujian rotan bulat Indonesia untuk menjamin keseragaman persyaratan dan tata cara
menetapkan kualitas rotan.
Kualitas rotan yang dimaksud pada peraturan ini meliputi panjang batang, diameter batang,
panjang ruas, warna batang, cacat rotan, kesilindrisan batang rotan, elastisitas dan kadar air
rotan. Keseluruhan variabel tersebut nantinyaakan dipergunakan untuk menentukan klasifikasi
mutu rotan.
Variabel-variabel yang dipergunakan untuk penentuan dan pengujian mutu rotan
berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No .204/Kpts/DJ/1980,dapat dilihat
pada beberapa uraikan selanjutnya. Sedangkan mutu rotan dibedakan menjadi dua kelas besar,
yaitu rotan berdiameter besar dan kecil. Uraian selengkapnya diuraikan sebagai berikut:
Mutu Utama (P).Memilikiukuran panjang minimal 2,70 meter dan diameter tidak dibatasi,
batang : diluruskan dan keras, warna : cerah merata, dengan cacat-cacat: bercak-bercak
Mutu Utama (P). Bahan baku rotan yang memilikiukuran panjang minimal 3,25 meter dan
diameter minimum 11 milimeter, batang keras/elastis, panjang ruas minimum 25 cm,
perbedaan antara tebal (diameter) ruas dan pangkal dan ujung sepanjang 3 meter,
maksimum 1,5 milimeter, warna cerah merata seluruh batang dan bebas dari cacat-cacat
bintik-bintik hitam.
Mutu Satu (I). Rotan dengan ukuran ukuran panjang minimal 3,25 meter dan diameter
minimum 11 milimeter, batang setengah keras, panjang ruas diperkenankan kurang dari 25
cm, tebal ruas tidak dipersyaratkan, warna kurang cerah dan tidak merata dan
diperkenankan adanya cacat bintik hitam.
Mutu Dua (II). Rotan yang memiliki ukuran panjang minimal 3,25 meter dan diameter
tidak disyaratkan, kekerasan batang tidak dipersyaratkan, panjang dan tebal ruas tidak
dipersyaratkan, warna tidak dipersyaratkan, cacat bintik - bintik hitam diperkenankan, asal
tidak patah waktu dibengkokkan.
7.5. Beberapa Catatan Penting tentang Perkembangan Komoditas Rotan dan Industri
Rotan
Menurut Asia Facific Forest Industries (1989) komoditas rotan adalah salah satu produk
andalan hasil hutan bukan kayu Indonesia, karena 80-90% pasokan rotan dunia dipasok dari
Indonesia, terutama yang berasal dari Pulau Kalimantan, Sumatra dan Sulawesi. Rotan tumbuh
secara alami pada hutan alam dengan luas 9 juta hektar, dan diperkirakan sampai dengan tahun
1984, diperkirakan terdapat sekitar 13 000 ha rotan yang dibudidayakan. Lebih lanjut diuraikan
bahwa Indonesia, mampu memproduksi 600 000 ton rotan segar per tahun, dan hanya 200 000
ton yang dapat diolah setiap tahun, yang diperkirakan memberikan nilai jual sebesar Rp. 1.3
trilyun (US $ 1.3 Billion). Kelebihan potensi rotan segar tersebut diekspor. Masih menurut
sumber yang sama, sampai dengan tahun 1987, ekspor rotan segar (rotan mentah/unprocessed
rattan) Indonesia telah mencapai Rp 210 miliar (US $ 210 milion), dan nilai tersebut naik
menjadi Rp 3030 miliar (US $ 303 million) pada tahun 1988.
Lapis dkk (2004) mengemukakan bahwa keberadaan komoditas rotan untuk berbagai
stakeholders tidak dapat dipungkiri lagi, tetapi pengelolaan dan ketersediaan komoditas
rotansangat diragukan kerbelanjutannya, terutama ketersediaan rotan yang berdiamer besar yang
berasal sangat drastispenurunan produksinya. Untuk mengarahkan kepada keberlanjutan
pengelolaan dan keberadaan rotan, beberapa tantangan yang perlu diperhatikan, di antaranya
adalah:
Perlunya inventarisasi potensi (better resources inventories);
Sistem teknik silvikultur baru untuk mempercepat perkecambahan (New nursery technique
for rapid and reliable propagation);
Perbaikan cara penanamam dan pengolahan (improved plantation and harvesting
practices);
Perbaikan teknik pengawetan ke arah yang ramah lingkungan (better and more
environmentally friendly preservation technique);
Pengertian akan peran sosial ekonomi rotan terhadap petani kecil dan masyarakat lainnya
(A greater understanding of the socioeconomic importance of rattan to small-scale farmer
and more).
Komponen Keperluan
1. Inventarisasi potensi
1.1. Taksonomy a. Petunjuk lapangan;
1.2. Perluasan habitat aslinya/hutan b. Tenaga ahli lapangan untuk memberikan
tanaman petunjuk dan mengecek isi kebenaran informasi
dari petunjuk lapangan;
c. Standar design inventarisasi rotan untuk negara
ASEAN;
d. Pelatihan inventarisasi sebelum restocking
dilaksanaan, terutama pada hutan yang telah
dipanen;
e. ASEAN checklist.
2. Kegiatan Persemaian/Silvikultur
2.1. Perlakuan benih a. Mengembangkan teknologi lanjutan
2.2. Perawatan dan perlakuan Persemaian menggunakan induksi kimia untuk mengontrol
pertumbuhan rumbut, yang mungkin
menganggu pertumbuhan rotan;
b. Pengembangan dan penelitian genetic rotan,
yang mana jenis kelamin rotan diidentifikasi
dengan teknik molekuler menggunakan analisis
Isosom dan DNA;
c. Melakukan study tentang sistem regenerasi
rotan, pada 1) hutan alam- dengan
menggunakan biji untuk sisitm regenerasi untuk
keberlanjutan, 2) hutan tanaman-
pengelompokan atau sistem solitory dengan
dukungan dari pohon sekitarnya;
d. Studi teknik perkecambahan untuk species yang
kurang dimanfaatkan;
e. Studi potensi dari rotan yang kurang
dimanfaatkan, meliputi aspek anatomi, fisiologi
dan analisis kimia.
7.7. Pustaka
8.1. Pendahuluan
Sagu adalah tumbuhan yang sangat penting keberadaannya bagi beberapa kelompok
masyarakat adat, khususnya saudara- saudara kita yang berdomisili di Indonesia bagian timur,
seperti sebagain wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua. Sagu dimanfaatkan dan dipergunakan
sebagai tumbuhan sumber penghasil karbohidrat utama (staple food). Masyarakat yang hidup di
daerah pesisir, rawa dan daerah pantai umumnya memanfaatkan sagu sebagai pengganti
karbohidrat, karena sumber karbohidrat yang lain seperti tanaman padi tidak dapat tumbuh
dengan baik, atau masyarakat belum terbiasa dengan bercocok tanam padi. Khusus untuk daerah
Papua, sagu memegang peran yang sangat penting, karena potensinya yang cukup melimpah,
memberikan konstribusi sebagai sumber pendapatan kepada masyarakat lokal dan beberapa
sosial dan ekonomi, ekologi serta beberapa aspek lainnya yang dihasilkan dari tumbuhan sagu.
Setelah mempelajari pokok bahasan ini para mahasiswa diharapkan mampu:
1. Memahami arti penting tumbuhan sagu bagi masyarakat di luar pulau Jawa, Maluku dan
Papua khususnya sebagai sumber utama penghasil karbohidrat;
2. Menjelaskan tentang beberapa fungsi dan manfaat tumbuhan sagu kepada masyarakat, baik
aspek ekologi, sosial dan ekonomi;
3. Mendiskripsikan ciri-ciri pohon sagu yang telah masak tebang (siap panen), teknik
pengambilan tepung (Aci) sagu yang baku;
4. Menjelaskan beberapa produk-produk yang dapat dihasilkan dari Sagu beserta bagan
pengolahannya.
Tumbuhan Sagu (Metroxylonspp) adalah merupakan salah satu tumbuhan Monokotil dari
genus Metroxylon dan famili Palmae. Nama latin dari tumbuhan Sagu adalah Metroxylon, yang
aslinya berasal dari bahasa latin, yaitu metra dan xylem. Metra berarti empulur (pith) atau isi
dan xylem yang berarti pembuluh kayu, Flach (1977).Sehingga sagu dapat didefinisikan sebagai
jenis tumbuhan monokotil yang pembuluh kayu atau empulurnya berisi.
Berdasarkan karakteristik pembungaannya, tumbuhan sagu dapat dibedakan menjadi dua
keloompok yaitu jenis yang berbunga atau berbuah sekali (Hepaxantic) dan jenis yang berbunga
atau berbuah dua kali atau lebih (Pleonanthic), Soerjono, 1980; Manan, dkk 1984) yang dikutip
oleh Haryanto dan Pangloli (1992). Selanjutnya ditambahkan bahwa jenis hepaxanthic adalah
kelompok sagu yang secara umum memiliki kandungan Aci yang tinggi, sehingga memegang
peranan penting, baik secara ekonomi maupun secara sosial. Sagu jenis hepaxantic di antaranya
adalah Metroxylon rumpii Martius, Metroxylon sagus Rottbol, Metroxylon sylvester Martius,
Metroxylon longispinum Martius dan Metroxylon micronatum Martius. Sedangkan kelompok
yang berbuah dua kali terdiri atas dua jenis yaitu : Metroxylon filarae dan Metroxylon elatum,
yang memiliki ciri yaitu menghasilkan kandungan aci yang rendah.
Secara jujur harus diakui bahwa luas hutan dan potensi tanaman sagu di Indonesia belum
diketahui dengan pasti. Hal tersebut terjadi karena banyaknya data dan informasi yang berbeda,
baik menyangkut luas, potensi dan penyebaranya. Pernyataan ini lebih ditegaskan lagi oleh
Haryanto dan Pangloli (1992), yang menyatakan bahwa luas areal sagu di indonesia belum
diketahui secara pasti. Kedua penulis tersebut mengutip beberapa hasil penelitian tentang
perkiraan luas areal sagu di Indonesia, yaitu 716 000 Ha menurut Soedewo dan Haryanto
(1983), dan 850 000 Ha menurut Soekanto dan Wijandi (1983). Perkiraan luas areal sagu yang
lebih kontroversial yaitu yang dikemukakan oleh Manan dan Supangkat (1986) seperti dikutip
oleh Haryanto dan Pangloli (1993), yaitu luas areal sagu di Irian Jaya seluas 4.183.300 Ha (lihat
Tabel 8.2). Fakta luas areal ini tentu saja sangat mencegangkan dan perlu diteliti
Tabel 8.1. Estimasi luas tumbuhan Sagu di beberapa lokasi seperti Indonesia, Papua New
Guinea, Malaysia, Thailand dan Filipina
Dari tabel 8.1. di atas terlihat bahwa potensi sagu di Indonesia adalah sekitar 54% dari total
areal sagu secara keseluruhan. Luasan areal sagu tersebut hampir seluruhnya terdapat di
Indonesia bagian timur, khususnya Irian Jaya dan Maluku.Khusus untuk penyebaran luas areal
sagu di provinsi Irian Jaya dari berbagai sumber telah di ringkas oleh Haryanto dan Pangloli
(1993) disajikan pada Tabel 8.2.
. Keterangan : 1). Areal menurut Manan danSupangkat (1986), 2) menurut BPPT teknologi
(1987) khusus meneliti dikecamatan Inanwatan
Populasi tanaman sagu sangat tergantung pada jenis, daerah produksi dan perlakuan yang
diberikan selama massa pertumbuhan. Populasi sagu yang diusahakan atau dibudidayakan
populasinnya lebih padat daripada yang tumbuh secara liar.
Istilah tumbuhan sagu siap panen adalah pengertian yang dipergunakan untuk melukiskan
ciri-ciri fisik pohon sagu yang memiliki kandungan aci yang maksium. Siap panen juga sering
dinamakan dengan pohon sagu yang telah masak tebang. Soekarto dan Wijandi (1983) dalam
Haryanto dan Pangloli (1992) menyatakan bahwa ciri-ciri pohon sagu yang siap panen atau
masak tebang adanya perubahan-perubahan yang terjadi pada daun, duri, pucuk dan batang.
Tetapi ciri morphologi yang utama adalah perubahan pada primordia bunga atau kuncup bunga
yang telah keluar, tetapi belum sempat mekar. Masyarakat lokal, seperti di Irian Jaya, Maluku
dan beberapa daerah lainnya di Indonesia, memiliki pengetahuan tersendiri dalam menentukan
tingkat kemasakan pohon sagu. Khusus untuk penduduk di Papua, ada yang memukul-mukul
batang sagu, apabila mengeluarkan bunyi tertentu maka pohon tersebut siap panen. Sebagian
masyarakat juga mengambil contoh empulur pohon sagu, dan apabila dikunyah atau dilarutkan
dalam air, kelihatan keruh berarti kandungan acinya sudah banyak, maka pohon tersebut telah
masak tebang.
Disisi lain, untuk keperluan inventarisasi potensi, jenis dan penyebaran tumbuhan sagu,
Simbolon dkk (1989) telah membuat suatu pedoman Inventarisasi Hutan Sagu. Dalam pedoman
tersebut, khususnya untuk melihat populasi anakan dan fase pertumbuhan, tanaman sagu
dikelompokan ke dalam lima tingkatan pertumbuhan, yaitu tingkat semai (seedling), sagu muda,
Khusus untuk daerah Maluku, seperti diuraikan oleh Pieters (1966) yang dikutip oleh
Haryanto dan Pangloli (1992), berdasarkan kandungan aci pohon sagu masyarakat mengenal
empat tingkat kematangan, yaitu tingkat Wella (putus duri), tingkat Maputih, tingkat Maputih
masa, dan tingkat Siri buah. Diskripsi morphologis yang dapat dilihat dari masing-masing fase
tersebut dapat dibedakan sebagai berikut:
a) Tingkat kematangan Wela atau putus Duri, adalah suatu fase di mana sebagian dari pelepah
daun telah lenyap. Tahap ini belum kematangan sempurna sehingga tingkat acinya masih
rendah. Kandungan aci hanya terdapat pada bagian pangkal batang, sehingga ujungnya
tidak mengandung pati.
b) Tingkat Maputih adalah kematangan yang ditandai dengan menguningnya pelepah daun,
duri yang terdapat pada pelepah daun hampir seluruhnya lenyap, kecuali pada bagian
pengakal pelepah masih tertinggal sedikit. Daun muda yang terbentuk ukurannya kecil dan
pendek. Khusus untuk jenis Metroxylon rumphii MART pada fase ini memiliki kandungan
acinya sangat tinggi, bila lewat fase ini acinya turun dan rasanya tidak enak lagi.
c) Tingkat Maputih Masa atau masa jantung di mana semua pelepah daun telah menguning
dan kuncup bunga sudah mulai muncul. Pada fase ini kandungan acinya telah padat
sehingga semua bagian pohon dari pangkal ke ujung dapat diolah. Tetapi acinya kurang
enak terutama pada M. RumphiiMART, sedangkan pada M sylvesterMART fase ini adalah
fase yang tepat untuk pemanenan.
d) Tingkat siri buah, adalah tingkat kematangan terakhir di mana kuncup bunga sagu telah
mekar dan bercabang menyerupai tanduk rusa dan buahnya mulai terbentuk. Saat ini adalah
fase pada sagu M. LongispinumMART. Sedangkan jenis sagu yang lain, pada fase ini
kandungan acinya sangat rendah karena sudah digunakan untuk produksi bunga dan buah.
Terkadang kita dihadapkan kepada dua pengertian yang sangat membingungkan antara
Tepung, Acidan Pati. Keduanya adalah termasuk senyawa karbohidrat yang dibedakan
berdasarkan kehalusan partikelnya. Haryanto dan Pangloli (1992) menyatakan bahwa
karbohidrat atau patiadalah hasil dari proses penghancuran beberapa sumber karbohidrat yang
berupa biji atau proses ekstraksi dari umbi atau empulur dari sehingga membentuk bubuk yang
sangat halus (powder). Sedangkan aci adalah suatu bubuk dari hasil dari proses mengekstraksi
pati dari umbi atau empulur batang. Aci ubi kayu berasal dari hasil ekstrak pati ubi kayu atau
tapioka, aci garut dari umbi garut, aci sagu dari empulur batang sagu dan sebagainya. Lebih
lanjut dikatakan bahwa untuk mendapatkan aci, harus menggunakan media air, sehingga pati
dapat terlepas dari serat-serat kasarnya.
Para ahli pangan mendefinisikan tepung adalah hasil pengolahan lebih lanjut dari aci.
Sehingga dengan kata lainnya tepung adalah pati yang telah dibersihkan, sehingga kandungan
karbohidratnya lebih tinggi. Dalam pati masih dimungkinkan adanya kandungan senyawa lain
selain karbohidrat dalam jumlah yang cukup tinggi, seperti serat, asam-asam maupun lignin atau
tanin.
8.6.Pemanenan Sagu
Pemanenan pohon sagu diawali dengan cara memilih pohon sagu yang telah masak tebang.
Kemudian pembersihan semak-belukar, rumpu dan beberapa tumbuhan bawah lainnya di sekitar
pohon sagu yang akan ditebang. Pembersihan ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan kerja
untuk proses penokokan yang luas, bersih, nyaman dan aman. Karena proses pemanenan sagu,
biasanya dilakukan beramai-ramai, atau melibatkan lebih dari satu keluarga (gotong royong)
seperti terlihat pada Gambar 8.2. Hal ini mengingat volume pohon sagu yang cukup besar dan
proses penokokan yang cukup memakan waktu. Penebangan dilakukan dengan menggunakan
kapak yang tajam. Kapak digunakan mengingat kulit batang pohon memiliki tingkat kekerasan
yang sama atau melebihi kekerasan batang pohon kelapa yang tua. Setelah ditebang, dilakukan
pemotongan setengah diameter batang sejajar serat, dengan panjang sesuai dengan kemampuan
penebang untuk dapat mempermudah proses penokokan atau pemarutan (menghancurkan)
empulurnya
Secara umum proses pemanenan sagu di beberapa daerah di provinsi Irian Jaya, dapat
diringkas seperti ditampilkan oleh diagram alir pada Gambar 8.3
Pada metode tradisional, batang sagu yang telah dibelah, dipukul-pukul dengan alat
khusus, untuk menghancurkan empulur batang sagu Umumya alat tokok ini terbuat dari kayu
keras, yang salah satu ujungnya diberi besi untuk menghancurkan empulur. Bentuk alat tokok
ini berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lainnya. Bentuk alat tokok dari daerah Biak
dapat dilihat pada Gambar 8.4 (kiri), sedangkan alat tokok dari daerah Inanwatan, Sorong
Selatan dapat dilihat pada Gambar 8.4 (kanan). Sedangkan penggunaan alat tokok tersebut
dapat diihat pada Gambar 8.5.
Gambar 8.5. Penggunaan alat tokok dalam menokok sagu, duduk (kiri) dan berdiri (kanan)
Setelah dihancurkan dari empulurnya, Gambar 8.6 (kiri) serat empulur sagu yang telah
terpisah dikumpulkan, ditampung dalam karung plastik atau wadah lainnya, Gambar 8.6
Gambar 8.6. Hasil proses penokokan atau penghancuran empulur sagu (atas) dan serat empulur
yang ditampung, siap untuk di ekstrak (bawah)
Untuk mencegah terbawanya serat bersama air perasanmenuju tempat penampungang air
perasan, maka diberi saringan. Saringan iniumumnya terbuat dari kain bersih dengan pori-pori
yang tidak terlalu besar. Pelepah tersebut dibuat dengan konstruksi yang agak miring dan lebih
tinggi dari bak penampung, sehingga air perasan dapat mengalir berdasarkan gaya gravitasi,
seperti terlihat pada Gambar 8.7. Selanjutnya air perasan dibiarkan mengendap dalam bak
penampung selama beberapa jam. Apabila aci yang terlarut pada bak penampung, telah
mengendap, ditunjukkan dengan air yang bening di permukaan bak penampung, maka aci siap
untuk diambil dengan membuang terlebih dahulu airnya. Gambaran proses ekstraksi aci sagu
dapat dilihat pada Gambar 8.7.
Gambar 8.7. Dua gambaran umum metode ektraksi serat empulur sagu untuk mendapatkan aci
di Papua
Ekstraksi sagu secara semi mekanis, pada prinsipnya sama dengan cara tradisional tetapi
pada proses penghancuran empulur bukan dilakukan secara manual tetapi dengan mesin
pemarut atau penghancur. Pemarut terbuat dari besi dari lempengan kayu yang diberi paku dan
lempengan kayu ditempelkan pada bingkai kayu yang berbentuk lingkaran, sehingga apabila
diputar, putaran lempengan kayu tersebut akan memarut empulur sagu. Roda pemarut ini
digerakkan oleh tenaga manusia dengan mengubungkan pemarut dengan rantai ke gigi roda
(seperti sepeda) dengan sistem pedal. Alat pemarut sagu semi mekanis sederhana ini untuk di
Universitas Negeri Papua, Manokwari dimiliki oleh Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, yang
dibuat oleh Ir.Darma, MSi.
Gambar 8.9. Alat pemarut sagu semi mekanis yang dikembangkan oleh UNIPA
Modifikasi alat pemarut empulur sagu sederhana tersebut telah dilakukan melalui
pendanaan dari Penelitian Hibah bersaing untuk perfomance atau kinerjanya padatahun 2005.
Pada prinsipnya roda penggerak yang digerakkan oleh manusi, diganti dengan penggerak dari
generator.kl listrik Sedangkan roda penghancur (crusher) dimodifikasi dengan menggunkaan
lembaran seng atau baja yang didesain sangat asar untuk menghancurkan empulur sagu.
Prototipe dari alat ini sedang di uji coba performance di laboratorium Teknologi Pertanian
Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian Universitas Negeri Papua (UNIPA), seperti
ditampilkan pada Gambar 8.10. Dalam ekstraksi semi mekanis ini pemisahan pencucian dan
penyaringan aci sagu dilakukan dengan metode yang sama dengan pada metode tradisional.
Metode ekstraksi sagu secara mekanis penuh yaitu semua proses dilakukan dengan mesin
seperti yang terdapat pada PT. Sagindo Sari Lestari, Arandai Manokwari Irian Jaya, yang
berdiri pada tahun 1989, dengan kapasitas poduksi sebesar 100.000 ton per tahun, dengan jatah
tebang tahunan 2379 ha, dengan menggunakan proses rotary dan hummermill, Supriyadi
(1999). Tetapi sangat disayangkan, industri ini telah kolap.
Supriyadi (1999) secara garis besar melukiskan proses pengolahan sagu di PT. Sagindo
tersebut. Pengolahan sagu diawali dari penebangan pohon sagu, sellanjutnya pohon yang telah
ditebang, dipotong potong sepanjang 1-1.5 M dan kemudian dihanyutkan pada alur-alur sungai
setelah terlebih dahulu di ikat satu sama lain dengan tali agar tidak tenggelan dan mudah dalam
penarikkan. Selanjutnya batang sagu tersebut ditarik dengan speed boat ke lokasi industri.
Batang sagu tersebut kemudian dibersihkan dari kotoran-kotoran yang menempel, seperti
kerikil, tanah maupun pasir. Setelah itu, batang yang bersih dimasukkan ke dalam mesin
pengupas kulit dan mesin penghancur (hummermill). Selanjutnya hasil air dari hummermill
diekstrak oleh ekstraktor. Dengan bantuan sentrifuse, serat dan aci sagu dipisahkan. Aci yang
diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam mesin pemanas (drying blower). Selanjutnya aci sagu
dari pemanas, dikeringkan ke dalam hydrating blower dengan sistem uap panassamapai
kering.Setelah proses berakhir, Aci sagu tersebut sudah keluar dari mesin dalam bentuk tepung
(powder) yang telah dimasukkan dalam karung yang siap disimpan dan dipasarkan. Pengepakan
dilakukan dengan menggunakan karung dengan berat 50 kg per karung. Diagram alir proses
pengolahan sagu menjadi tepung di PT. Sagindo berdasarkan yang dilukiskan oleh Supriyadi
(1999) dapat diringkas dalam Gambar 8.11.
Pembersihan
Penghancuran empulur
(hammermill dan scraper)
Penampungan dan
penyaringan
Pengeringan
Pengemasan
Gambar 8.11. Diagram alir proses pengolahan sagu menjadi tepung di PT. Sagindo berdasarkan
pendapat Supriyadi (1999)
Seluruh bagian tanaman pohon sagu dapat dimanfatakan, pelepah daun sagu, yang dalam
bahasa lokal Papua dinamakan dengan gaba-gaba adalah bahan baku dinding rumah yang murah
dan meriah tetapi berumur panjang, daun sagu yang relatif lebar dapat dipergunakan sebagai
atap rumah maupun dinding rumah (Gambar 8.12). Manfaat utamanya dari pohon sagu adalah
sebagai sumber karbohidrat dan bahan bangunan untuk skala tradisional. Seperti batang luar
sagu dapat dimafaatkan untuk membuat dinding dan lantai rumah kayu, daun sagu untuk
membuat atap dan anyaman sedangkan tulang daun sagu dapat dimanfaatkan untuk membuat
sapu lidi. Sedangkan untuk skala industri sagu diambil acinya untuk membuat tepung roti,
biscuit, mie, bahan kimia, dextrin, alkohol (fermentasi).
Untuk penggunaan skala lokal, sagu banyak dimanfaatkan masyarakat untuk bahan
pembuatan Papeda, makanan khas Papua. Papeda hanya dibuat pada waktu-waktu tertentu,
misalnya perayaan ulang tahun orang dewasa, menghormati tamu, kondisi badan kurang fit dan
lain sebagainya. Untuk keperluan bepergian jauh atau keladang, masyarakat biasanya
membuatnya dalam bentuk sagu kering, dikenal dengan nama sagu lempeng, yang biasanya
dimakan dengan cara mencelupkannya dalam air putih, atau teh bahkan kopi. Contoh sagu
lempeng yang dijual dipasar lokal Manokwari dapat dilihat pada Gambar 8.13. Di daerah
Sulawesi Utara, terdapat salah satu ciri khas makanan dari sagu, yang dikenal dengan nama
Bagea.
Penggunaan sagu untuk produk non pangan misalnya adalah pemanfaatan bagian pohon
sahu untuk bahan bangunan rumah. Hal ini terkait dengan kondisi alam penduduk lokal yang
mengusahakan pohon sagu, yang kemudian dikenal dengan nama peramu sagu, yang tinggal di
daerah rawa sebagaimana habitat pohon sagu, di mana memerlukan konstruksi rumah panggung
yang sebagian besar terbuat dari kayu.
Pemanfaatan tepung atau pati sagu untuk keperluan industri atau yang berskala industri
telah diuraikan secara jelas oleh LITBANG Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999),
seperti disajikan pada diagram pada Gambar 8.15 di bawah ini.
8.12. Pustaka
Flach, M.1997. Sago Palm Metroxylon sagu Rottb. Promoting the conservation and use of
underutilized and neglected crops 15. International Pant Genetic Resources
Institute. Rome, Italy.
Haryanto, B dan P. Pangloli.1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius Yogyakarta.
Karafir, Y.P., V.E. Fere., and Y. Toyoda. 2005. (editors). Abstracts of The International Sago
Symposium. The Japan Society for Promotion of Science.
Kaimuna, K., M.Okazaki., Y. Toyoda., and J.E. Cecil. 2002. New Frontier of Sago Palm
Studies. Proceeding of the International Symposium on Sago (SAGO 2001).
Universal Academy Press, Inc. Tokyo Japan.
Rostiwati, T., J. F.Shoon., dan M. Natadiwirya. 1999. Penanaman Sagu (Metroxylonsagu Rottb)
berskala besar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan.
Jakarta.
Simbolon, M dkk. 1989. Pedoman Inventarisai Hutan Sagu. Bagian Proyek Inventarisasi dan
Pengukuhan Hutan, Direktorat Invetarisasi Hutan dan Tata Guna Lahan,
Departemen Kehutanan.
Supriyadi, E.B. 1999. Perbedaan Kandungan Aci bahan Baku Sagu Berduri menurut Waktu
Perendaman dalam kanal pada PT. Sagindo Sari Lestari Kecamatan Arandai
kabupaten Mankwari. Skripsi sarjana kehutanan. Fakultas Pertanian universitas
Cenderawasih (tidakditerbitkan)
Susilo, A.B. 2004. Pemanfaatan Ulat Sagu (Rhynchophorus papuanus) sebagai sumber protein
alternatif bagi penduduk lokal Papua. Makalah yang sisampaikan pada Lomba
Karya Tulis Mahasiswa Tingkat Nasional.
9.1. Pendahuluan
Aren (Arenga pinnata) adalah jenis tanaman yang cukup dikenal oleh masyarakat
Indonesia, khusunya di daerah-daerah pedesaan. Tumbuhan Aren memiliki penyebaranyang
cukup luas di Indonesia, baik di daerah pedesaan, kebun-kebun masyarakat dan kawasan hutan
sekitar daerah pemukiman. Khusus di Papua, tanaman aren tumbuh secara liar di hutan dekat
pemukiman dan ada juga yang tumbuh di kebun-kebun masyarakat serta sekitar pekarangan
rumah. Pemanfaatan utama dari tumbuhan aren ini adalah untuk diambil niranya untuk
minuman tradisional yang beralkohol, pembuatan gula aren, pemanfaatan ijuk dan lidinya untuk
bahan kerajinan tangan. Karena potensinya yang melimpah, tetapi pemanfaatannya secara
maksimal belum dilakukan oleh masyarakat, maka komoditas aren perlu diperkenalkan untuk
dijadikan sebagai komoditas yang menjanjikan, terutama untuk meningkatkan pendapatan
masyarakat lokal.
Setelah menyelesaikan pokok bahasan ini, para pembacadiharapkan memiliki kemampuan
untuk:
1. Memahami arti pentingnya tumbuhan aren bagi masyarakat pedesaan, khususnya sebagai
sumber penghasilan tambahan;
2. Mendiskripsikan beberapa fungsi ekologi, sosial dan ekonomi dari tumbuhan aren bagi
masyarakat lokal atau ekonomi daerah secara umum;
3. Menjelaskan beberapa jenis produk yang dapat dihasilkan dari tumbuhan aren dan
mengambarkan proses pengolahan produk-produk tersebut.
Aren (Arenga pinnata Merr) atau yang dalam bahasa lokal Papua lebih terkenal dengan
sebutan Pohon Enau, adalah tumbuhan hutan yang termasuk dalam ordo Carytoid dalam family
Arecaceae atau pinang-pinangan dari divisi Angiospermae. Tanaman ini dicirikan oleh bijinya
yang terbungkus oleh daging buah dan kulit buah, seperti ditunjukkan oleh Gambar 9.1.
Sumber : www.ceritamu.com
Gambar 9.1. Buah aren yang telah mengalami proses pemasakan untuk memisahkan daging dan
kulit buah
Buah aren terbentuk setelah terjadinya proses penyerbukan dengan perantaraan angin atau
serangga, karena pohon aren adalah tipe tanaman yang berumah satu. Buah aren berbentuk bulat
dengan diameter 4-5 cm yang di dalamnya terdapat biji sebanyak 3 (tiga). Buah aren tersebut
bergerombol membentuk untaian tandan yang memanjang sekitar 1.5 – 1.8 meter dan tiap
tandan memiliki sekitar 40 – 50 untaian buah. Contoh tandan atau mayang (bunch) dari pohon
aren yang masih muda dan sudah tua atau siap untuk dipanen dapat dilihat pada Gambar 9.2.
Sunanto (1993) seperti yang dikutip oleh Iswanto (2009) mediskripsikan tiga jenis aren
yang umum dijumpai di Indonesia. Ketiga jenis aren tersebut adalah:
1. Aren (Arenga pinnata) dari suku Aracacea. Aren ini merupakan tumbuhan berbiji tertutup
atau Angiospermae yaitu biji buahnya terbungkus daging buah. Penyebaran aren ini hampir
merata disemua daerah di tanah air.
2. Aren Gelora (Arenga undulatifolia) dari suku Aracacea. Aren jenis ini memiliki batang
agak pendek dan ramping. Pangkal batang bertunas sehingga tanaman ini tampak
berumpun. Daunnya tersusun teratur dalam satu bidang datar, sisi daunnya bercuping
banyak dan bergelombang. Aren gelora ini tumbuh liar di hutan-hutan Kalimantan,
Sulawesi, dan Filipina pada daerah ketinggian 0-900 m di atas permukaan laut.
3. Aren Sagu (Arenga microcarpa) dari suku Aracacea. Aren sagu adalah suatu jenis
tumbuhan aren yang berbatang tinggi, sangat ramping dan berumpun banyak. Di Sangir
Talaud, tepung aren ini dimanfaatkan sebagai makanan utama. Selain itu, tepung ini juga
digunakan sebagai bahan pembuat kue. Aren sagu ini tumbuh liar di hutan-hutan Maluku,
Irian Jaya, dan Papua Nugini pada ketinggian 0-700 m di atas permukaan laut.
Untuk keperluan pemuliaan dan produksi dalam skala yang lebih besar (industri atau
perkebunan), tumbuhan Aren perlu dikembangkan dengan memperhatikan beberapa sifat
genetik keunggulannya. Penyediaan bibit dari beberapa kultivar yang memiliki produktivitas
tinggi, misalnya adalah salah satu prioritas penelitian yang harus dilakukan. Untuk menunjang
tujuan tersebut, ekplorasi plasma genetik dari tumbuhan Aren di berbagai daerah mesti intensif
untuk dilakukan, khusus pada berbagai daerah sentra penghasil komoditas Aren.
Berdasarkan keragaman karakter vegetatif dan generatif, tumbuhan Aren di Desa Kandolo
Kecamatan Teluk Pandan dan di Desa Paridan Kecamatan Sangkuliran, Kabupaten Kutai
Timur, provinsi Kalimantan Timur, dibedakan menjadi dua jenis yaitu Aren Genjah dan Aren
Dalam (Tenda dkk., 2010). Selanjutnya dijelaskan bahwa Aren Genjah memiliki tinggi batang
rata-rata 2.04 m, mampu menghasilkan nira sebanyak 11.9 liter per hari, dengan lama
penyadapan selama 12 bulan per mayang. Sebaliknya, Aren Dalam memiliki batang yan lebih
Menteri Pertanian dalam arahannya pada Seminar Nasional Aren 2004 mengatakan bahwa
tanaman Aren adalah tanaman serbaguna (multi usage) karena hampir semua bagiannya bernilai
ekonomi dan tidak memerlukan pemeliharaan yang intensif sehingga cocok ditanam pada lahan-
lahan marginal. Lebih lanjut dikatakan bahwa tanaman Aren memiliki toleransi yang tinggi
dalam pola pertanaman campuran termasuk dengan tanaman berkayu, tumbuh relatif cepat serta
memiliki perakaran dan tajuk yang lebat, sehingga sangat sesuai dengan tujuan konservasi tanah
dan air. Karena berbagai kelebihan tersebut, tanaman Aren disebut juga sebagai“ Wonderful
tree” karena tanaman ini memiliki berbagai fungsi, dari fungsi ekonomi, sosial, budaya, dan
fungsi konservasi, Akuba dkk (2004).
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor : 511/kpts/pd.310/9/2006, tentang
Jenis komoditas tanaman binaan direktorat jenderal
perkebunan, direktorat jenderal tanaman pangan dan direktorat jenderal hortikultura, Aren
(Arengga pinnata Merr) adalah salah satu dari 126 jenis tanaman binaan dari direktorat jenderal
perkebunan. Selama ini tumbuhan Aren hanya diusahakan oleh para petani dalam skala kecil,
dan lebih bersifat sebagai usaha sampingan. Dengan berbagai potensi yang dimiliki, maka
tumbuhan Aren diarahkan untuk dijadikan sebagai komoditas unggulan sektor perkebunan
untuk berbagai tujuan, seperti produksi gula, bahan kerajian tangan, pangan, dan bahkan bahan
bakar nabati (BBN).
Pohon aren adalah pohon multi guna karena hampir seluruh bagian pohon aren dapat
dimanfaatkan seperti halnya tumbuhan sagu. Uraian secara ringkas jenis-jenis produk yang
dapat dihasilkan dari berbagai bagian tanaman aren telah di uraikan dengan jelas oleh Alam dan
Baso (2004), yang selengkapnya dapat diringkas sebagai berikut:
1. Akar pohon aren dapat dimanfaatknan sebagai obat-obatan tradisional untuk penyakit batu
ginjal, dan cambuk.
2. Batang pohon Aren dapat dimanfaatakan untuk bahan bangunan, seperti dinding, lantai dan
bahan baku bilik kamar, serta beberapa produk untuk peralatan memasak (cooking tools).
3. Daun yang masih muda/janur dapat dipergunakan sebagai kertas pembungkus rokok
keretek atau sering disebut rokok klobot, dan pembungkus gula aren, sedangkan daun yang
tua dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku keranjang buah.
4. Daging buah (endosperm) aren dapat diolah menjadi makanan yang lezat yaitu kolang
kaling, sedangkan air nira dari buah aren dapat diolah menjadi gula merah yang memiliki
nilai jual lebih tinggi dibandingkan gula merah dari tebu. Kolang-kaling adalah proses
pengolahan lebih lanjut dari daging buah pohon aren. Pengolahan dilakukan dengan cara
membakar atau merebus buah aren untuk menghilangkan lilin dan melunakan kulit buah.
Setelah lunak, ditiriskan dan buahdibelah dengan mengunakan pisau atau barang tajam
lainnya untuk mengeluarkan daging buah. Setelah dipisahkan dari kulitnya, maka daging
buah di rendam selama beberapa hari untuk menjadikannya masak. Beberapa petani
melakukan perlakuan khusus dengan merendam dengan air kapur untuk tujuan fermentasi.
5. Empulur dari pohon aren yang masak telah tebang juga dapat menghasilkan pati atau
sering dinamakan dengan aci. Satu pohon Aren dewasa menghasilkan kira kira 50-75 kg
Masih menurut Alam dan Baso (2004) dikatakan bahwa pohon aren akan mencapai tingkat
kematangan pada umur 6-12 tahun, dan akan ditandai dengan keluarnya mayang pada usia 8-9
tahun. Pada saat keluarnya mayang, kegiatan penyadapan nira mulai dilakukan. Penyadapan
dapat dilakukan dari pohon aren dan dapat berproduksi sampai sekitar 20 tahun. Setiap tandan
dari tanaman aren dapat menghasilkan rata-rata 5 liter nira setiap 24 jam, dan dari 5 liter
tersebut dapat dihasilkan 0.25 kg gula merah aren.
Mengacu kepada Tata nama hasil hutan, maka produk utama dari tumbuhan Aren yang
termasuk dalam komoditas hasil hutan bukan kayu adalah produksi nira. Nira adalah bahan
baku utama gula aren, baik dalam bentuk gula merah dan gula semut. Gula merah adalah gula
hasil pengolahan nira aren yang diuapkan airnya dan dicetak dengan dalam berbagai bentuk
seperti lempengan, balok maupun ukuran tempurung kelapa, Rumoki (2004). Sedangkan gula
semut adalah gula merah yang berbentuk serbuk.
Aspek lain dari tanaman aren ditinjau dari keterkatiannya dengan komoditas hasil hutan
non kayu adalah nilai sosial budaya, ekonomi dan ekologisya terhadap masyarakat sekitar
hutan. Aspek ekonomi bagi masyarakat sekitar hutan (Forest people) dapat dilihat dari adanya
penambahan pendapatan dari tanaman Aren, baik dari penyadapan nira, kulit batang luarnya,
pati dari empulur batang, daun dan buahnya. Ijuk dari pohon aren dapat dimanfaatkan untuk
membuat sapu lantai, sikat kamar mandi, tali pengikat dan beberapa penggunaan lainnya.
Sedangkan nilai sosial budaya dari pohon aren adalah adanya keterikatan emosional masyarakat
lokal terhadap tanaman aren sebagai sumber gula, minuman tradisional, di mana mereka dapat
saling berinteraksi dan bertukar informasi.
Nilai ekologi dari aren adalah karena tanaman aren memiliki sistem perakaran yang kuat
dan banyak, seperti tumbuhan monokotil lainnya, maka tanaman ini cocok ditanam pada lahan-
lahan miringdan kritis, sehingga dapat mencegah terjadinya banjir dan tanah longsor. Pola-pola
tersebut kiranya dapat diwujudkan dalam sistem perhutanan sosial dengan sistem agroforestry.
Setiap tahun Indonesia terus mengimpor gula dari luar negeri, karena adanya perbedaan
produksi dan permintaan/konsumsi gula di dalam negeri. Menurut data dari Ditjenbun (2003)
yang dikutip oleh Rumokoi (2004) menyebutkan bahwa produksi gula nasional hanya 1.755 juta
ton sedangkan konsumsi nasional sebesar 3,2 juta ton, sehingga ada kekurangan pasokan gula
dalam negeri sebesar 1.445 juta ton per tahun. Pertanyaannya adalah dapatkah tanaman aren
Tabel 9.1. Luas areal tanaman aren dan perkiraan produksi gula yang dapat dihasikan
Sedangkan perkembangan luasan Areal tanaman aren dan produksinya dari tahun 1992-
2003 dapat diringkas pada Tabel 9.2
Departemen pertanian menetapkan target areal tanaman tebu adalah seluas 399,692 ha,
dengan target, yaitu mampu menghasilkan produk gula sebesar 31,38 juta ton dan target
produktivitas tanaman tebu sebesar 79,63 ton per ha. Lebih lanjut diasumsikan apabila
rendemen gulanyasebesar 7,79 %, ditarget akan menghasilkan produksi gula nasional sebesar
2,48 juta ton. Tetapi realisasi penanaman tanaman tebu hanya 396,441 ha, dengan total produksi
sebesar 30,2 juta ton dengan produktivitas sebesar 76,3 ton per ha. Dengan rendemen gula
sebesar 7,63 persen, kenyataan tersebut hanya dapat menambah pasokan gula nasional sebesar
3,3%, menyimpang dari target semula yaitu 7,79 %. Untuk memenuhi kekurangan itu maka
pada tahun 2006, negara kita mengimpor gula putih sebesar 250,000 ton dan pada tahun 2007
juga mengimpor gula sebesar 200,000 ton.
Untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi gula nasional maka swasembada gula perlu
dilakukan, terutama adalah perluasan areal tanaman tebu, karena selama ini gula nasional hanya
dipenuhi dari Jawa. Mulai tahun 2008, yang ditargetkan sebagai tahun swasembada gula
nasional, dan tahun 2009 sebagai tahun surplus gula nasional, mudah-mudahan dapat terwujud.
Untuk merealisasikan rencana tersebut maka pemerintah telah membuat beberapa kebijakan
seperti memperluas lahan tanaman tebu ke daerah luar Jawa yaitu, Sulawesi selatan, Maluku
dan Merauke, merevitalisasi dan merelokasi beberapa pabrik gula di Jawa ke daerah luar Jawa.
Departemen pertanian seperti yang dikutip Kompas tanggal 23 Februari 2007), membuat
skenario pencapaian swasembada Gula konsumsi tahun 2005 – 2009, seperti ditampilkan pada
Tabel 9.3.
Maskar dan Sarashutah (2004) mengemukakan bahwa gula aren memiliki kekhasan, yaitu
mudah larut, memiliki aroma yang khas bila dibandingkan dengan gula tebu, dan mengandung
sukrosa 84%. Nira aren mengandung zat gizi yaitu karbohidrat (11,3%), protein (0,2%),
abu/mineral (0,2%), dan air (87,1%) menurut Anomim (1975) yang dikutip oleh kedua peneliti
tersebut.
Gula aren dibuat dari air nira yang diperoleh dari pemotongan tandan pohon
arenmayang/tandan (bunch), yang disebut dengan penyadapan. Penyadapan dilakukan sebelum
tandan atau mayang tersebut mekar. Nira ditampung pada tempat yang terbuat dari bambu, yang
di Jawa dikenal dengan nama Bumbung, dan diikat pada pangkal tandan atau bagian lain pohon
aren. Setelah bumbung terisi penuh dengan nira, bumbung diganti dengan yang masih kosong.
Nira yang sudah terkumpul ditampung dalam dandang atau wajan besar untuk selanjutnya
diolah menjadi gula merah aren.
Gula merah aren diolah dengan menggunakan metode tradisional dan tanpa menggunakan
bahan pengawet, bahan pemutih dan bahan pewarna atau penambahan aroma tertentu. Sehingga
gula merah aren ini aman dikonsumsi oleh kita yang suka kan pola hidup yang sehat alami
bebas bahan pengawet. Afrizon dan Gunawan (2004) mengemukakan bahwa pengolahan atau
pembuatan gula merah aren pada prinsipnya adalah proses pemanasan yang bertujuan untuk
menguapkan kandungan air nira, pengadukan dan pencetakan, dan secara sederhana dapat
dilukiskan dalam diagram Gambar 9.4.
Dari gambar di atas terlihat bahwa, dengan menggunakan peralatan yang sangat sederhana
dan minim teknologipun, hasil penyadapan tanaman aren atau nira sudah dapat diolah menjadi
Kristalisasi
Penghalusan/penguseran
Pendinginan
Penyaringan
Pengeringan
Gambar di atas menjelaskan bahwa proses pembuatan gula aren semut, yang berasal dari
gula aren merah, diawali dari:
1. Pelarutan gula merah aren ke dalam air dengan perbandingan 2:1, yaitu 2 (dua) kilogram
gula merah aren ke dalam satu liter air bersih dan sebaiknya gula merah yang dilarutkan
sudah dalam bentuk potongan-potongan kecil, sehingga mempercepat proses pelarutannya.
2. Larutan gula yang diperoleh kemudian disaring dengan kain kasa atau penyaring lainnya,
sehingga diperoleh larutan gula aren merah yang bersih, dan bebas dari kotoran seperti
serat dan sebagainya.
3. Tambahkan gula pasir sebanyak 15% dari total berat gula merah ke dalam larutan gula
merah aren tersebut.
Departemen Pertanian melalui Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) telah banyak
melakukan kajian dan penelitian tentang aren. Beberapa pokok pemikiran dan kajian
pengembangan tanaman Aren (Arenga pinnata Merr) dibahas secara panjang lebar pada
seminar nasional tentang Pengembangan Tanaman Aren yang berlangsung di Tondano, pada
tanggal 9 Juni 2004. Profil komoditas, status teknologi dan kebijakan teknologi tanaman aren,
penelitian dan Kajiannya dibahas secara mendalam dalam Prosiding Seminar Nasional Aren
dengan judul Pengembangan Tanaman Aren yang diterbitkan oleh Balai Penelitian Tanaman
Kelapa dan Palma Lain 2004. Proseeding Pengembangan Tanaman Aren tersebut dapat
diperoleh dengan menghubungi BPTP pertanian Tondano, Sulawesi Utara.
Bahan bakar nabati (BBN) adalah bahan bakar yang berasal dari sumber-sumber nabati
atau tumbuhan, dan bersifat dapat diperbaharui (renewableresources). Menurut Peraturan
Presiden nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, yang dimakasud dengan
energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang secara
alamiah tidak akan habis dan dapat berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain : panas
bumi, biofuel, aliran air sungai, panas surya, angin, biomassa, biogas, ombak laut, dan suhu
kedalaman laut. Karena BBN berasal dari tumbuh-tumbuhan, oleh karenanya bahan bakar ini
sering juga dinamakan sebagai bioenergi. Hal ini sangat berbeda dengan bahan bakar minyak
(BBM) yang bersifat tidak dapat diperbaharui (Non renewable resources). Dalam bidang energi,
bahan bakar nabati sering disebut juga sebagai biofuel, sedangkan bahan bakan minyak disebut
dengan fossil fuel.
Tujuan utama dari Peraturan Presiden no 5 tahun 2006 adalah diversifikasi energi nasional.
Selama ini energi nasional sangat tergantung pada energi BBM (fossil fuel). Karena
ketersediaan BBM ini yang semakin lama semakin menipis, , maka diperlukan strategi jangka
Akuba, R.H .2004. Profil Aren dalamProsiding Seminar Nasional “ Pengembangan Tanaman
Aren”. Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain. Manado. Hal: 1-19
Alam, S., D. Baso. 2004. Peluang Pengembangan dan Pemanfaatan tanaman Aren di Sulawesi
Selatan. dalam Prosiding Seminar Nasional “ Pengembangan Tanaman Aren”.
Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain. Manado. Hal:15-21.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.1999.Penamaman sagu (Metroxylon sago
Rotttb) berskala besar. Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta.
Effendi, D.S. 2010. Prospek Pengembangan Tanaman Aren (Arenga pinnata Merr) Mendukung
Kebutuhan Bioetanol di Indonesia. Perpectif Vol.9 (1) Hal : 36-46.
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Penyediaan dan
Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain.
Iswanto, A.H. 2009. Aren (Arenga pinnata). Karya tulis. Departemen Kehutanan, Fakultas
Pertanian, Universitas Negeri Sumatera Utara.
Maskar., I.G.P. Sarashutah. 2004). Potensi dan Masalah PengembanganTanaman Aren di
Sulawesi Tengah dalam Prosiding Seminar Nasional “ Pengembangan Tanaman
Aren”. Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain. Manado.Hal : 67-76.
Mulyani, A., I. Las. 2008. Potensi Sumber Daya Lahan dan Optimalisasi Pengembangan
Komoditas Pengahasil Bioenergi di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 27 (1) Hal:
31-41.
Peraturan Presiden Republik Rndonesia Nomor 5 tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi
Nasional
Rumokoi, M.M.M. 2004. Aren, Kelapa dan Lontar sebagai Alternatif Pemenuhan Kebutuhan
Gula Nasional dalam Prosiding Seminar Nasional “ Pengembangan Tanaman
Aren”. Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain. Manado.Hal: 22-39.
Tenda, E.T., I. Maskromo., B. Heliyanto. 2010. Eksplorasi Plasma Nutfah Aren (Arenga
pinnata Merr) di Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Buletin Palma 38 Hal :
89-94.
www.kompas.com. Areal Tanaman Tebu 2007 diperluas 1.500 Hektar, diakses pada tanggal 23
Februari 2007.
BAMBU
10.1. Pendahuluan
Bambu adalah tanaman peradaban, karena penggunaan bambu dalam kehidupan manusia
sudah berlangsung sejak peradaban itu dimulai. Di negara negara Asia, seperti Indonesia, China,
Jepang, Korea dan beberapa negara tropis lainnya, peran bambu sangat dominan dalam segala
aspek kehidupan. Bambu merupakan bahan perumahan yang cukup murah, melimpah dan
mudah tumbuh di tanah-tanah marginal sekalipun. Begitu pentingya nilai komoditas bambu
untuk kehidupan kita ini, maka tidak salah pilih apabila menjadikan bambu sebagai komoditas
hasil hutan bukan kayu unggulan, terutama produk-produk turunannya untuk daerah-daerah
padat penduduk seperti pulau Jawa.
Setelah mempelajari pelajaran bambu ini para pembaca diharapkan memiliki kemampuan
untuk :
5. Memahami arti penting tumbuhan bambu bagi masyarakatkhususnya, sebagai alternatif
utama bahan kontruksi rumah di pedesaan pengganti kayu.
6. Memahami fungsi ekologi, sosial budaya dan ekonomi dari tumbuhan bambu di
masyarakat secara luas.
7. Mendiskripsikan produk-produk yang dapat dihasilkan dari tumbuhan Bambu beserta
bagan pengolahannya.
8. Memahami ciri-ciri tumbuhan bambu yang telah masak tebang dan pemanenan dan
perlakukan sebelum dibuat suatu produk tertentu, seperti anyaman dan sebagainya.
Bambu adalah salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu yang penggunaanya sangat
luas di Indonesia terutama di daerah pedesaan. Tanaman bambu termasuk dalam family
Graminae, suku Bambusease dan sub family Bambusoidae. Tanaman bambu mudah dikenali
dari batangnya yang beruas-ruas, seperti ditunjukkan oleh Gambar 10.1, berlubang pada bagian
tengah batang (hollow clums), tumbuh berumpun, memiliki sistem perakaran akar serabut
komplex (complex rhizome), serta memiliki ranting yang tumbuh pada tiap mata tunas ruas.
Karena ciri-ciri taxonomis tersebut, terutama akar yang lebat dan kuat serta berumpun,
menghijau sepanjang tahun, maka tanaman bambu sangat cocok ditanam pada daerah-daerah
marginal, tandus, pinggir sungai dan tempat-tempat yang sangat rentan terhadap tanah longsor
dan erosi. Daun bambu juga sangat disukai oleh ternak seperti kambing maupun sapi, serta
kelinci. Jenis pakan ini biasanya adalah makan alternatif pada musim kemarau, di mana bambu
masih bertahan hijau pada saat musim kemarau.
Dransfield dan Wijaya (1995) dan Wijaya (2000) mengemukakan bahwa di seluruh dunia
terdapat sekitar 10000 species bambu, terbagi ke dalam 80 genera, dan Asia Tenggara memiliki
sekitar 200 species bambu, yang mana 45 species di antaranya tumbuh dan terdapat di Indonesia
yang terbagi ke dalam 20 genera. Sedangkan Wijaya (2001) menyatakan bahwa di Indonesia
diperkirakan terdapat sekitar 157 jenis bambu, dan merupakan 10% dari jumlah species bambu
dunia. Jumlah species bambu di dunia ini diperkirakan antara 12250-13250 species. Selanjutnya
Lebih lanjut dikatakan Oleh Wijaya (2000) bahwa terdapat perbedaan yang significan
tentang penyebaran dan karakteristik bambu yang tumbuh di Indonesia bagian barat dan timur.
Karakteristik tersebut di antaranya bahwa di bagian barat didominasi oleh jenis genera Bambosa
yang dicirikan oleh diameter batang yang sedang sampai besar (lebih dari 5 cm), batang
memiliki dinding yang tebal dan ruas batang yang lurus (erect culm). Pada wilayah barat ini
didominasi oleh genera Giganthochloa dan Dendrocalamus. Bambu yang berdiamter besar ini
kebayakan tumbuh pada daerah dataran rendah, atau hutan pengunungan rendah, hutan
sekunder, hutan primer, kebun, pinggir jalan maupun pinggir-pinggir sungai, bahkan tumbuh
dengan baik di sekitar pemukiman atau kebun penduduk, seperti terlihat pada Gambar 10.2.
Keanekaragaman jenis bambu di Indonesia Timur telah dilaporkan oleh beberapa peneliti
dari berbagai institusi, Universitas Negeri Papua (UNIPA), departemen Kehutanan, dan
Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI). Misalnya Susanto dkk (2000) melaporkan bahwa
di daerah Amban Pantai dan sekitarnya, Manokwari ditemukan empat jenis bambu yaitu
Phyllostachys aurea A:& C. Riviera, Schizostachyum zollingeri Kurz, Schizostachyum
bracycladum Kurz, dan Bambosa forbessi.Di kabupaten kabupaten Jayapura, khususnya di
daerah Sentani Barat ditemukan enam jenis bambu, yaitu Bambusa vulgaris Schad.ex Wendl,
Gigantochloa atter (Hassk.) Kurz, Neololeba atra (Steud.) Widjaja, Schizostachyumlima
(Blanco) Merr, Schizostachyum sp, dan Thyrsostachys siamensis Gamble (Langi dkk., 2002).
Jenis bambu di daerah Indonesia Timur lainnya, seperti di pulau
Sumba dilaporkan oleh Wijaya dan Karsono (2004). Dijelaskan lebih lanjut bahwa di pulau
Sumba ditemukan 10 jenis bambu antaralain adalahBambusa blumeana, Bambusa vulgaris,
Dendocalamus asper, Dinochloa kostermansiana, Dinochloa sp, Gigantochloa atter, Nastus
reholtumianus, Phyllostachys aurea, Schisotachyum brachycladum and Schizostachyum lima.
Kesepuluh jenis bamboo tersebut memiliki habitat atau tempat tumbuh yang berlainan.
GenusDinochloa and Nastustumbuh secara liar di hutan-hutan, sedangkan genus lainnya
tumbuh secara liar dan ada yang dibudidayakan di kebun-kebun. Sedangkan bambuyang
merambat hanya ditemukan pada genus Dinochloa. Di antara bambu tersebut, jenisNastus
reholttumianus adalah jenis endemic di pulau Sumba.
Terdapat beberapa alasan kenapa bambu menjadi komoditas yang paling diminati
khususnya di daerah pedesaan. Tanaman bambu dapat tumbuh pada segala jenis tanah,
topograpi, memiliki pertumbuhan yangrelatif cepat, dapat tumbuh dan berkembang sepanjang
tahun (tidak tergantung kepada musim), mudah dipergunakan (hanya memerlukan sedikit
pengolahan/perlakuan), dan memiliki sifat kekuatan dan keawetan yang memadai. Bambu
memiliki sifat mekanika yang sempurna (excellent), kuat, elastis dan jenis cepat tumbuh yang
membuatnya menjadika komoditas hasil hutan bukan kayu yang sangat menjanjikan dimasa
depan. Tetapi disisi lain bambu juga mudah pecah (splitting), terpuntir (twisting) dan degradasi
permukaan karena faktor iklim dan jamur, Xinqiang (1997).
Dransfield dan Wijaya (1995) menguraikan beberapa ragam penggunaan dan pemanfaatan
bambu baik dari zaman peradaban yang dipergunakan untuk bahan kontruksi membuat rumah,
sampai kepada produk-produk lainnya di zaman modern ini seperti bambu lapis (ply-bamboo),
pulp dan kertas (Pulp and paper made of bamboo), papan mosaik (bambooparquet), supit
bambu (bamboo chopping stick) dan beberapa bahan kerajinan tangan (handycraft), perlatan
musik (instrument music), peralatan dapur (Kitchenware) dan sebagainya.
Seperti telah dikemukakan pada bab pendahuluan, bahwa tumbuhan bambu adalah
tumbuhan peradaban. Sehingga pemanfaatan bambu menyesuaikan dengan tingkat teknologi
dan pengetahuan yang berkembang di mana komoditas ini ditanam, diolah dan dimanfaatkan.
Di Papua, misalnya bambu banyak dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari dengan
menggunakan teknologi yang sangat sederhana.Langi dkk (2004) melaporkan bahwa di daerah
Sentani Barat, Jayapurakomoditas bambu dimanfaatkan oleh penduduk asli untuk berbagai
keperluan. Contoh dari pemanfaatan tersebut seperti membuat pagar kebun, perangkap ikan
(rumpon) di sungai, sisir bambu, kandang ayam, peralatan berburu (kalawai untuk ikan), alat
musik (seruling), tali pengikat, ajir atau peyangga tanaman kebun sperti kacang-kacangan, dan
bagian dari kontruksi atap rumah semi permanen masyarakat setempat. Gambaran yang lebih
lengkap dan menyeluruh, tentang beberapa jenis bambu yang tumbuh di berbagai daerah di
Indonesia telah di ringkas oleh Yudobroto (1985), sedangkanbeberapapemanfaatan bambu di
Indonesiadilakukan oleh Wijaya (1980). Informasi-informasi tersebut selengkapnya dapat
diringkas pada Tabel. 10.1.
Bahan bangunan
Tembakautetembakau
Rumah asap tembakau
Keranjang
ta
Permebelan
Kerajinan tangan
Tangkai pancing
Kayu bakar
Pipa air
Ornamen tradisional
Sayur Rebung
Alat musik
Industri kertas
Obat-oabatan
Tanaman hias
Penyebaran
Species
Arundinaria 1
japonica
Sieb.&Zucc ex
steud
Bambusa 1
arundinacea (Retz)
Wild
Bambusa atra 2,3
Lindl.
Bambusablumeana 1
Bl.ex.Shult.F
Bambusa 1
glaucescens
(Willd.) Sieb. Ex
Munro
B.polymorpha 1
Munro
Bambusa vulgaris 1-5
Schard
Dedrocalamus 1,
asper Backer 3-6
Dinochloa 1
scandens O.K
Gigantochloa apus 1,4
Kurz
Gigantochloa atter 1
(Hassk.) Kurz ex
Munro
Gigantochloa aff.
atter
Gigantochloa 1
verticillata Munro
Nastus 1
elegantissimus
(Hassk.) Holtt.
Phyllostachys 1
Penyebaran
Species
asap
Schizostachyum 2-3
lima (Bianco) Merr 8
Schizostachyum 1,5
zollingeri Kurz
Thyrsostachys 1
siamensis Gamble
Dari Tabel 10.1 di atas, terlihat bahwa masih penelitian bambu pada berbagai daerah,
khusunya di luar pulau Jawa, masih sangat minim sekali. Begitu juga, dengan pemanfaatan
sumber daya bambu pada beberapa daerah belum seluruhnya dilaksanakan. Hal ini tentunya
akan menjadi pekerjaan rumah kita dimasa mendatang.
Secara anatomi, bambu tersusun dari sel scelenchyma yaitu yang menebal di bawah kulit
terluar dan sel parenchyma yaitu jaringan dasar yang mengelilingi serat, di mana senyawa
karbohidrat disimpan. Sedangkan pada kulit bagian terluar terdapat jaringan parenchymatous
yang dicirikan oleh adanya lapisan yang menebal oleh adanya zat kutin, lemak atau lilin.
Secara anatomi, bambu terseusun dari sel scelenchyma yaitu yang menebal di bawah kulit
terluar dan sel parenchyma yaitu jaringan dasar yang mengelilingi serat, di mana senyawa
karbohidrat disimpan. Sedangkan pada kulit bagian terluar terdapat jaringan parenchymatous
yang dicirikan oleh adanya lapisan yang menebal oleh adanya zat kutin, lemak atau lilin.
Bambo adalah salah satu sumber daya alam di daerah tropis yang memiliki nilai yang
sangat special, dikarenakan distribusikan yang luas, ketersediaan sepanjang waktu, cepat
tumbuh, mudak pengolahan dan penanganannya, memiliki sifat yang dikehendaki oleh
penggunanya, dan memiliki banyak variasi produk, Dransfield dan Wijaya (1999). Sehingga ada
Pada sub paragrap sebelumnya, telah disinggung beberapa pemanfaatan bambu, baik dalam
skala tradisional maupun industri. Pada sub paragraph ini, akan disajikan beberapa contoh dari
produk-produk bambu yang sering kita temui sehari-hari. Produk-produk tesebut sangat
beragam, dari sayuran, kerajinan tangan, dan yang lain-lainnya.
Kita sudah terbiasa dengan sayuran rebung bambu, yaitu anakan bambu yang masih muda
(tunas), selanjutnya dikelupas kulitnya, dan dimasak menjadi sayuran. Rebung bambu ini dalam
bahasa Inggris sering disebut sebagai bamboo shoots. Di beberapa negara maju, seperti Jepang,
Korea, dan bahkan China, sayuran ini sangat popular. Di negara Jepang, rebung bambu disebut
dengan Takenoko (Take:bambu, noko: anak), jadi anakan bambu. Salah satu produk dari rebung
bambu yang dijual di supermaket Jepang disajikan pada Gambar 10.3.
Rebung bambu memiliki kandungan nutrisi yang lengkap. Chongtham dkk (2010)
melaporkan bahwa rebung bambu mengandung asam amino, protein, karbohidrat, lemak, pati,
vitamin C, vitamin E, abu, air dan serat kasar. Sedangkan manfaat rebung bambu bagi kesehatan
kita, yang diringkas dari berbagai sumber, antara lain memiliki sifat antioksidant dan anti
inflammatory, antimicrobial dan antifungal, anticancer, antibacterial and antiviral, bahkan
dilaporkan dapat menurunkan kadar kolesterol.
Produk-produk kerajinan lain dari komoditas bambu, seperti untuk chopstick (supit),
penggulung susi (makanan khas Jepang), tusuk sate (bamboo skewer), dan anyaman keranjang
(basket), dapat dilihat pada Gambar 10.4 di bawah ini.
Gambar 10.4. berbagai produk kerajinan dari komoditas bambu, dari kiri kanan secara berurutan
adalah penggulung susi, tusuk sate, dan anyaman keranjang.
Produk-produk yang telah disebutkan di atas, adalah salah sebagian kecil dari beberapa
produk komoditas lain dari bambu. Produk tersebut dapat dibuat dari bambu-bambu yang
berkualitas rendah, dan dengan menggunakan teknologi yang minimal. Sehingga
pengembangan produk-produk tersebut dapat dilakukan di daerah pedesaan, dengan harapan
Penggunaan bambu di daerah pedesaan sangat beragam yang mana bambu banyak
digunakan sebagai bahan baku untuk membuat rumah, baik sebagai dinding rumah, rangka
dinding, tiang utama, gelagar dan tiang melintang (trush) dan rangka atas. Khusus untuk
dinding rumah, kontruksi bambu yang dipergunakan berbeda-beda, ada yang menggunakan
bambu utuh (solid) seperti pada Gambar 10.5. Bambu jenis ini adalah bambu yang berdiameter
kecil dan berdinding tipis, sehingga lebih baik dipergunakan secara utuh atau solid.
Sedangkan bambu yang besar, biasanya dibelah atau disayat tipis-tipis untuk kemudian
dianyam untuk kemudian dipergunakan sebagai dinding rumah seperti ditampilkan pada
Gambar 10.6.
Di daerah Pantai utara Manokwari, karena potensi bambu yang melimpah, komoditas ini
dipergunakan sebagai bahan baku membuat pagar kebun penduduk lokal, Gambar 10.8, untuk
mencegah dan melindungi tanaman penduduk dari serangan hama binatang babi atau lainnya.
Ranting-ranting dari dahan bambu, juga banyak dimanfaatkan oleh para petani, tidak hanya
di Indonesia tapi juga di negara maju seperti Jepang, untuk menjadi penyangga beberapa
tanaman semusim yang memerlukan tiang penyangga, seperti jenis tanaman kacang-kacangan.
Gambaran penggunaan ranting bambu untuk penyangga tanaman semusim di Jepang dapat
dilihat pada Gambar 10.9
Gambar 10.9. Pemanfaatan ranting bambu untuk penyangga tanaman semusim oleh petani di
Jepang
Bambu banyak dipergunakan pada daerah pedesaan dikarenakan sifatnya yang kuat, ulet,
batangnya lurus, keras, mudah dibelah, mudah diawetkan. Selain sifat tersebut, bambu juga
mudah diperoleh, murah dan mudah dikerjakan, ringan mudah diangkut meskipun dengan alat
yang sederhana.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bambu dapat diolah menjadi veneer yang
selanjutnya dibuat plywood dan laminated veneer bamboo dan pulp. Wei dan Chi-son (1997)
masing-masing dari Universitas Nanjing dan Zhejiang di China, melaporkan bahwa beberapa
jenis papan buatan berbahan dasar bambu telah dapat diproduksi di China. Papan buatan
tersebut seperti bambu berlapis plywood (bamboo timber plywood), plywood bambu (bamboo
sheet plywod), plywood bamboo lebar dan tipis (Bamboomat plywood), papan shaving (shaving
board) dan papan partikel (particleboard). Lebih lanjut dikemukakan bahwa samapai dengan
tahun 1996, di China telah berdiri 25 pabrik plywood bambu dengan kapasitas industri
terpasang mencapai 50.000 meter kubic (m3), hanya mampu berproduks sebesar 30.000 m3.
Kenapa bambu disukai sebagai bahan kontruksi sebagai alternatif pengganti kayu ini
disebabkan antara lain adalah potensinya berlimpah dan mudah didapat/umur pendek,
memerlukan teknologi sederhana dalam pengolahannya (belah, sayat, potong, paku),
diversifikasi produk (kulit, batang, anyam, ), mudah dikerjakan (ringan, lurus), keuletan dan
keawetannya yang tinggi, technological attributes (keras pada lap luarnya, tua makin keras).
Pemungutan dan pemanenan dilakukan dengan memotong batang bambu 30-40 cm di atas tanah
dan memotong 30-40 cm dari ujung batang bambu.
Peningkatan kualitas bambu dapat dilakukan dengan cara pengerigan dan pengawetan.
Secara traditional pengawetan dilakukan dengan perendaman di air mengalir atau sungai dengan
tujuan untuk mencuci atau mengurangi kadar selullosanya. Sedangkan pada dinding rumah
untuk menghindari serangan serangga bubuk/penggerek kayu dilakukan dengan pengecatan atau
pelaburan dengan kapur puti, (dalam bahasa jawa dinamakan gamping). Pengeringan dilakukan
dengan menjemur bambu yang sudah dibelah untuk menghindari serangan jamur perusak kayu
dan meningkatkan stabilitas dimensi dari bambu dan produk turunannya.
Organisasi non profit internasional yang bersifat mandiri (independent) dan bergerak dalam
penelitian dan pengembangan komoditas bambu dan rotan adalah International Network for
Bamboo and Rattan (INBAR) yang dibentuk di China pada tahun 1997. Organisasi ini
beranggotakan sembilan negara yaitu Banglades, Canada, China, Indonesia, Myanmar, Nepal,
Peru, Filipina dan Tanzania.
INBAR memiliki tugas utama yaitu mengembangkan, memberikan dan mempromosikan
teknologi bambo dan rotan yang tepat beserta aspek-aspek lainnya. Sehingga dapat memberikan
solusi dan manfaat kepada masyarakat lokal dan lingkungannya dengan tujuan utamanya adalah
memajukan kualitas hidup (quality of life) dari orang miskin dan golongan terbelakang lainnya
di negara-negara berkembang. Bidang kajian dari organisasi ini meliputi keakekaragaman
jenis dan genetik sumber daya rotan dan bambu, konservasi, sistem produksi atau pemanenan,
pengolahan, pemanfaatan, sosial ekonomi dan kebijakan.
10.10. Pustaka
11.1. Pendahuluan
Komoditas hasil hutan bukan kayu yang dinamakan dengan produk turunan kayu adalah
beberapa produk yang dihasilkan dari proses pengolahan lebih lanjut dari kayu, limbah-limbah
kayu, maupun bahan-bahan berkayu lainnya.Pengolahan lebih lanjut dari produk kayu ini
memang ditujukan untuk utama memanfaat sumber daya hutan secara maksimal (maximum
yields), seperti yang tertuang dalam asas-asas pemanfaatan hutan.
Produk-produk turunan kayu yang dibahas dalam hal ini adalah jenis produk langsung dari
pemanfaatan sisa-sisa kayu atau pemanfaatan langsung dari kayu yang bukan untuk untuk
tujuan kayu gergajian dan olahan lainnya. Termasuk di dalam hal ini adalah kayu-kayu yang
low grade, lesser known species, dan limbah-limbah, baik limbah eksploitasi, limbah industri
dan limbah potensi. Limbah eksploitasi adalah limbah-limbah yang berasal dari kegiatan
pemanenan hutan, seperti cabang, ranting, daun, banir dan sebagainya. Limbah industri adalah
limbah-limbah yang dihasilkan dari proses industri perkayuan, seperti serbuk, kulita, sabetan,
dan lain-lain. Sedangkan limbah potensi adalah beberapa tegakan yang berpotensi untuk
dipanen, tetapi karena berbagai pertimbangan, tegakan tersebut tidak atau belum dimanfaatkan.
Komoditas hasil hutan bukan kayu kelompok turunan kayu ini dapat dibagi ke dalam
produk dari proses pembakaran (karbonisasi), yaitu arang (charcoal), arang katif (activated
charcoal), briket (briquette), dan atap sirap. Sebenarnya masih banyak produk-produk turunan
lainnya.
Setelah menyelesaikan bab ini, diharapkan para pembaca memiliki pengetahuan untuk:
1. Menjelaskan dan mengidentifikasi jenis-jenis hasil hutan bukan kayu yang berupa turunan
kayu, yang telah diolah, dimanfaatkan dan yang belum diolah di sekitas kita.
2. Memahami alasan pengelompokkan komoditas produk turunan kayu tersebut ke dalam
kelompok hasil hutan bukan kayu
3. Menjabarkan kegunaaan dari masing-masing hasil hutan turunan kayu tersebut.
Arang adalah benda padat yang biasanya berwarna gelap dan apabila dibakar akan
menghasilkan panas. Bahan baku arang adalah kayu, limbah-limbah kayu dari proses
pengolahan kayu, oleh karenanya arang sering dikenal dengan nama Bahan Bakar Arang Kayu
atau sering dikenal dengan nama BBAK. Sebaliknya Bahan Bakar Minyak (BBM) adalah
sumber energi yang berasal dari fossil fuel. Perbedaan yang sangat mendasar antara BBAK dan
BBM adalah sumber bahan bakunya. BBAK berasal dari bahan baku yang dapat diperbaharui
(renewable resources) sedangkan BBM berasal dari sumber daya yang tidak dapat diperbaharui
(nonrenewable resources).
Energy alternatif yang cukup melimpah di alam dan sekarang lagi menjadi bahan
pembicaraan diberbagai forum seminar dan kajian ilmiah beberapa ahli adalah enery biomasa
(Biomass energy). Energy biomas adalah energy yang bersumber dari massa penyusun
tumbuhan atau komponen organik tumbuhan. Komponen yang dominan pada massa organik
Arang sangat digemari sebagai bahan bakar atau sumber energi karena nilai kalornya yang
tinggi (7000-7600 kal), bila dibandingkan dengan nilai kalor batubara (6000-7000 kal). Arang
juga memiliki kadar abunya yang rendah, sangat reaktif dalam reaksi kimia, dan mempunyai
absorbansi yang tinggi terutama dalam bentuk serbuk. Arang dapat dipergunakan sebagai bahan
atau penolong dalam industri makanan kimia, logam, tekstil dan lain lain.
Arang kebanyakan dibuat dengan proses karbonisasi, dengan cara membakar bakan
bakunya sampai menghasilkan arang. Berdasarkan proses karbonisasinya, arang dibedakan
menjadi tiga yaitu:
1. Arang hitam yang dibuat pada suhu 400 - 700oC yang diperuntukan untuk pengolahan biji
besi, silikon, titanium, magnesium dan karbon aktif.
2. Arang putih yang dibuat pada suhu karbonisasi di atas 700oC yang diperuntukan dalam
pembuatan carbon bisulfida, natrrium sulfida dan natrium cianida.
3. Serbuk arang yang dibuat untuk tujuan bahan baku briket arang, karbon aktif dan bahan
bakar.
Kualitas arang kayu akan sangat dipengaruhi oleh jenis kayu, cara dan proses pengolahan
arang. Khusus untuk proses karbonisasi pada pembuatan arang banyak ditentukan oleh adanya
kecepatan pemanasan dan tekanan udara dalam tanur, di mana pemansan yang cepat akan
menghasilkan rendemen arang yang rendah karena tahapan karbonisasi sulit untu dikendalikan
dan rendeman arang makin tinggi dengan meningkatnya tekanan dalam tanur arang.
Kualitas arang dapat ditentukan berdasarkan unsur kimia yang terkandung di dalamnya,
sifat fisik dan dibedakan menurut kegunaannya. Untuk pemakaian skala industri, kualitas arang
ditentukan oleh beberapa variabel meliputi: kadar air, abu, nilai kalor, zat yang mudah menguap
(volatile matter), sisa karbon (fixed carbon), nilai kalor, kekerasan, berat jenis dan titik
bakarnya (ignition point).
Secara umum kualias arang yang terbuat dari kayu dapat dibedakan berdasarkan ciri
fisiknya. Ciri-ciri fisik tersebut di antaranya adalah :
1. Memiliki warna hitam mengkilap dan menghasilkan nyala kebiru-biruan apabila dibakar
2. Penampilanya terlihat mengkilap pada pecahan – pecahannya, seperti dapat memantulkan
cahaya.
3. Arang tidak mudah hancur atau terkikis sehingga akan mengkotori tangan apabila dipegang
4. Apabila dibakar tidak banyak mengeluarkan asap (tidak berasap)
5. Tidak memercikkan api (tidak ada percikan api) dan tidak berbau saat dibakar
Bahan baku arang akan sangat menentukan kualitas arang. Untuk membuat arang
diperlukan beberapa persyaratan di antaranya bahwa kayu daun lebar (hardwood) lebih disukai
daripada kayu daun jarum (softwood). Hal tersebut karena kayu daun lebar umunya memiliki
kerapatan atau density dan berat jenis lebih tinggi, dan memiliki kekerasan yang lebih tinggi.
Bahan baku yang berasal dari kayu teras (heartwood) lebih disarankan daripada kayu gubal
(sapwood). Bagian batang kayu menghasilkan arang yang lebih bagus dibandingkan bagian
cabang, sedangkan kayu kering lebih baik untuk bahan baku dibandingkan kayu basah. Hal
tersebut karena kayu basah memerlukan lebih banyak energy untuk menguapkan air
dibandingkan kayu kering.
Di Indonesia, pada kebanyakan kayu yang dipergunakan sebagai bahan baku arang adalah
kayu dengan nilai berat jenis kering udara antara 0.6 - 0.7, dan memiliki kadar air antara 30 - 40
% dengan diameter 10 cm - 20 cm. Kayu dengan berat jenis yang lebih dari 0.6 memerlukan
waktu pengolahan yang lama dibandingkan kayu dengan berat jenis yang rendah.
Proses pembuatan arang melibatkan proses karbonisasi yang bersifat eksoterm. Reaksi
eksoterm berarti bahwa jumlah panas atau energy yang dihasilkan untuk pembakaran lebih
besar dibandingkan jumlah energy atau panas yang diperlukan. Reaksi tersebut akan sangat
terlihat apabila suhu mencapai 300 – 400 oC di mana suhu menlonjakdengan cepat sedangkan
panas yang diberikan tetap. Proses karbonsasi pada kayu terjadi pada selang suhu antara 100 –
1000oC, dan perubahan terbesar pada massa kayu terjadi pada suhu antara 200 – 500oC. Proses
pembuatan arang dilakukan pada suhu di atas 500oC dan bahkan ada yang lebih dari 1000oC.
Sedangkan apabila menghendaki hasil akhir proses pembuatan arang adalah ter atau destilat
maka menggunakan suhu 500oC.
Pada prinsipnya proses karbonisasi dalam pembuatan arang dibagi dalam empat tahapan
proses yang dibedakan dari besarnya suhu pembakaran atau pemanasan, yang selengkapnya
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Suhu 0 – 260oC. Pada tahap awal karbonisasi ini berawal dari saat pemanasan dan
pembakaran kayu yaitu penguapan kadar air kayu, kemudian penguraian selulosa pada
suhu sekitar 200oC. Pada suhu ini juga dihasilkan beberapa destilat yang sebagain besar
mengandung asam- asam dengan sedikit metanol. Pada selang suhu antara 200 – 260 oC
dihasilkan destilat asam cuka dan asam – asam lainnya.
2. Suhu 260 –310oC. Pada tahap ini sebagian komponen selulosa telah terurai menjadi secara
itensif. Juga dihasilkan pirolygneous liquor (cairan lignin) yang berwarna kecoklatan dan
banyak mengandung persenyawaan organik dengan titik didih yang rendah, di antaranya
adalah asam cuka, methanol, dan terlarut. Sedangkan gas yang dihasilkan dari proses
pembakaran pada suhu ini di antaranya adalah gas Karbon dioksida (CO2) dan monooksida
(CO), di mana setiap setiap kilogram kayu kering tanur dihasilkan sekitar 50 liter.
3. Suhu 310 – 500oC. Pada fase suhu ini komponen lignin telah banyak terurai menjadi ter,
sedangkan komposisi prolygneous liquor dan gasnya menurun. Volume gas yang
dihasilkan tiap kilogram bahan mentah juga mengalami penurunan dari 50 liter menjadi
sekitar 30 liter. Gas karbondioksida (CO2) akan menurun, tetapi gas kabon monooksida
(CO), Methane (CH4) dan H2.
Arang aktif adalah arang yang telah mengalami proses pemurnian, yaitu konfigurasi atom
karbonnya dibebaskan (dimurnikan) dari ikatan dengan senyawa atau atom-atom lainnya, dan
pori-porinya dibersihkan dari kotoran atau unsur-unsur lain. Sehingga arang aktif memiliki
permukaan yang lebih luas dan pori-pori yang bersih dan lebih besar dibandingkan arang biasa.
Secara umum arang aktif juga sering disebut sebagai arang aktif.
Menurut Harsanti dan Ardiwinata (2011) arang aktif adalah sutau bahan hasil pirolisis
arang pada suhu 600-900oC. Setelah pembuatan arang, proses aktivasi arang aktif dilakukakan
pada suhu antara 800-900oC.Perbedaan yang sangat mendasar antara arang aktif dan arang,
selain pada suhu proses pembuatannya, juga pada karakteristik fisiknya. Pada permukaan arang
masih terdapat senyawa-senyawa hidrocarbon sisa-sisa dari proses pembakaran. Sedangkan
pada arang aktif, permukaan dan pori-porinya nya relatif bebas dari senyawa-senyawa
hidrocarbon. Karenanya, arang aktif memiliki daya serap atau absorpsi yang tinggi terhadap
bahan yang berbentuk larutan atau uap.
Berbagai jenis industri menggunakan dan memanfaatan arang aktif, seperti industri kimia,
makanan dan minuman, farmasi dan obat-obatan, dan bahkan industri pertanian dan kehutanan.
Arang aktif juga dapat dimanfaatkan untuk media penyerap dan pemurni berbagai pollutan, baik
dalam air minum atau tanah yang tekena polusi atau terkontaminasi. Rincian dari pemanfaatan
arang aktif untuk berbagai jenis pemanfaatan dan tujuan penggunaan seperti dilakukan oleh
Alfathoni (2002), dapat diringkas pada Tabel 11.1 berikut ini.
Tabel 11.1. Rincian dari berbagai jenis pemanfaatan dan tujuan pemakaian dari arang
aktif
Arang aktif juga dapat dimanfaat dalam bidang pertanian, seperti untuk memperbaiki sifat
fisik, kimia dan hayati tanah (Harsanti dan Ardiwinata, 2011). Dapat dijelaskan, bahwa arang
aktif dapat meningkatkan agregat tanah dan kemampuan mengikat air, dan pada tanah berliat,
arang aktif dapat membantu menurunkan kekerasan tanah dan meningkatkan kemampuan
pengikatan air tanah. Penambahan arang aktif dalam tanah, juga dapat meningkatkan jumlah
populasi mikroorganisme tanah, misalnya bakteri. Karena pori-pori kecil dari arang aktif
berberan sebagai naungan (shelter) bagi mikroorganisme tersebut. Lebih lanjut dijelaskan,
bahwa penggunaan arang aktif dilahan persawahan dapat meningkatkan bakteri, khususnya
bakteri fiksasi nitrogren (Azotobacter). Kedua peneliti ini memberikan contoh, bahwa
pemberian arang aktif pada lahan pertanian di Jepang dapat meningkatkan frekwensi bakteri
fiksasi nitrogen sebesar 10-15% di wilayah Hokaido dan Tohoku (Jepang Utara), 36-48% di
wilayah Kanto hingga Chugoku, dan 59-66% di daerah Kyusu (Jepang selatan).
Jenis bahan baku arang aktif memiliki pengaruh yang berbeda terhadap kesediaan
mikroorganisme tanah, baik pada lahan pertanian yang sejenis atau beberda komoditasnya.
Contohnya adalah hasil penelitian dari Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian
(Balingtan), Departemen Pertanian.Hasil penelitian menunjukkan bahwa arang aktif yang
terbuat dari tempurung kelapa dan tongkol jagung dapat meningkatkan populasi mikroba tanah
dari jenis Citrobacter sp, Enterobacter sp, dan Azotobacter sp lebih banyak pada lahan padi
dibandingkan dengan arang aktif yang terbuat dari sekam padi dan tandan kosong kelapa sawit.
Tetapi pemberian arang aktif yang dari tongkol jagung pada tanaman Kubis dapat meningkatkan
Pallet (extruded activated carbon/EAC) adalah serbuk arang aktif yang diberi tambahan
perlakuan kimia senyawa pengikat (binder), sehingga dapat dipadatkan dan dicetak dalam
bentuk silinder dengan diameter antara 0.38 -130 mm.
Arang aktif yang di impregnansi (impregnated active carbon/IAC) adalah arang aktif
yang diberi perlakukan tekanan dan vakum yang tinggi untuk diaktivasi/diisi dengan
senyawa kimia tertentu. Biasanya tujuan utamanya adalah untuk menyerap sumber-sumber
polusi yang ada di udara (air pollution).
Di Indonesia, standarisasi dan beberapa acuan baku tentang pembuatan, dan kualitas arang
aktif telah diatur dalam Standar industri indonesia (SII) nomor 0258-79, dan standar nasional
indonesia (SNI) nomor 06-3730-1995. Misalnya, standard industri ndonesia No. 0258-79 telah
menetapkan beberapa persyaratan minimal dari arang aktif, seperti yang ditampilkan pada Tabel
11.2 di bawah ini.
Tabel 11.2. Jenis Uji dan nilai maksimum dari masing-masing variable yang diizinkan
oleh standar industri Indonesia no.0258-79
Briket arang (Briquette) adalah produk lanjutan dari arang, yaitu bahan padat (solid) hasil
campuran dari serbuk arang dan perekat yang dipress dengan tekanan yang cukup tinggi dan
kerapatan yang tinggi. Briket digunakan sebagai sumber penghasil energi panas/bakar. Tujuan
dari pembuatan briket arang adalah menghasilkan energi yang maksimum dari arang solid yang
berdimensi minimum. Tujuan lain dari pembuatan briket arang adalah pemanfaatan kayu secara
maksimum dan sumber energi alternatif penganti kayu bakar dari limbah-limbah bahan
berkayu/bahan berlignoselulosa (lignocellulosic materials) dan limbah - limbah pertanian
(agricultural residues).
Bahan baku pembuatan briket arang hampir sama dengan yang digunakan pada arang aktif.
Briket arang memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan arang atau kayu bakar secara
luas yaitu:
briket dapat memperbesar rendemen pembuatan arang, karena serbuk arang yang tidak
dimanfaatkan dalam pembuatan arang dapat dibuat menjadi briket arang;
bentuk briket adalah seragam, lebik kompak (padat) sehingga menghemar biaya transport
dan penyimpanan;
Briket terbuat dari arang yang bermutu rendah sehingg lebih menguntungkan;
Briket arang dapat dibuat dari berbagai jenis kayu sehingga tidak bergantung kepada kayu
tertentu seperti pada arang.
Proses pembuatan briket arang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Pembuatan arang. Proses pembuatan arang telah dibahas pada sub bab sebelumnya.
2. Pembuatan serbuk/penghalusan arang (crushing). Arang yang telah tersedia dihancurkan
atau ditumbuk untuk mendapatkan ukuran butiran yang seragam dan merata. Penghalusan
bertujuan untuk mendapatkan jumlah arang yang maksimal per satuan volume dan
mendapatkan bidang rekat yang maksimal dengan bahan perekat.
3. Penyaringan (screening). Panyaringan dimaksudkan untuk mendapatkan butiran arang
yang seragam. Hal ini akan berpengaruh terhadap kualitas arang secara keseluruhan seperti
nilai kalor, kekerasan dan berat jenis briket arang.
4. Pemberian dan pencampuran bahan perekat (Mixing). Pemberian bahan perekat ditujukan
untuk mendapatkan briket arang yang kompak dan bermutu tinggi. Bahan perekat
Salah satu produk dari briket arang adalah briket batangan seperti ditampilkan pada
Gambar 11.8.
Sumber gambar:www.indonetwork.co.id
Gambar 11.8. Produk briket arang batangan
11.5. Sirap
Komoditas sirap yang dimaksud dalam sub bab ini adalah atap sirap. Atap sirap adalah atap
rumah adat Kalimantan, yang atapnya terbuat dari Sirap. Sirap adalah irisan tipis kayu dari hasil
penyayatan pada bidang radial yang berbentuk strip atau lembaran tipis, dan digunakan sebagai
atap rumah, khususnya di daerah Kalimantan. Sirap umumnya dibuat dari jenis kayu yang
cukup kuat, seperti kayu Ulin (Eusideroxylon zwageri T &B) yang potensinya cukup melimpah
di Kalimantan. Kayu ini di Kalimantan lebih dikenal dengan nama kayu besi. Untuk di wilayah
Papua, pengertian kayu besi, mengacu kepada jenis kayu Merbau, yaitu Instia bijuga dan Instia
palembanica. Produk sirap dibuat dari kayu Ulin karena kayu keras memiliki sifat yang mudah
terbelah, terutama pada bidang radialnya. Hal ini juga terjadi pasa kayu Merbau di Papua, yang
mudah terbelah pada bidang radialnya, sehingga sel jari-jarinya mudah dikenali. Hal tersebut
kemungkinan dapat dikarenakan kayu-kayu keras memiliki kerapatan yang lebih dari 1 dan
termasuk kayu yang sangat kuat.
Secara tradisional, atap sirap dapat diproduksi dengan dua macam cara., yaitu Sirap rotary
(circle) dan sirap belah. Metode pertama memiliki prinsip kerja yang sama dengan membuat
finir. Pada metode ini bahan baku kayu diputar dan pisau ditempatkan berlawanan dengan arah
perputaran bahan baku kayu. Metode ini biasanya dikerjakan dengan menggunakan mesin.
Sirap yang dihasilkan dari metode ini mempunyai keunggulan pada keseragaman dimensinya.
Karena memiliki nilai seni yang tinggi, atap sirap biasanya dijual per ikat. Satu ikat sirap
ulin terdiri atas kurang lebih 80 lembar sirap. Gambar 11.6 mengambarkan ikatan atap sirap
yang siap untuk dipasarkan. Penelusuran dari berbagai sumber, harga satu ikat atap sirap ukuran
standar kelas utama sekitar Rp.140 000 (seratus empat puluh ribu rupiah), yang kira-kira untuk
luasan sekitar 1 m2.
Penggunaan sirap untuk atap rumah, sirap selain dapat menambah nilai estetika dari
bangunan rumahnya, juga menambah sejuk udara dalam rumah, sehingga sangat cocok untuk
daerah tropis seperti Indonesia. Selain untuk rumah, atap sirap juga banyak dipasang pada
Foto: www.sridipta.blogspot.co.id
Gambar 11.9. Rumah singgah (gazebo) yang atapnya menggunakan atap sirap
Adan, I.U. 2003. Membuat Briket Bio Arang. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Alfathoni, G. 2002. Rahasia untuk Mendapatkan Mutu Produk Karbon Aktif dengan Serapan
Iodin di atas 1000 mg/g. www.tepatgunatek.com, diaksess pada tanggal 22
Februari 2012.
Harsanti, dan A. Nugraha. 2011. Arang Aktif Meningkatkan Kualitas Lingkungan. Sinartani
No.3400 tahun XLI : 10-13.
Hartoyo. 1983. Pembuatan Arang dan Briket Arang secara Sederhana dari Serbuk Gergaji dan
Limbah Industri Perkayuan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan
(P3HH), Bada Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan,
Bogor.
Wibowo, S., W. Syafii., dan G. Pari. 2011. Karakterisasi Permukaan Arang Aktif Tempurung
Biji Nyamplung. Makara, Teknologi Vol.15 (1) : 17-24.
www.indonetwork.co.id/CVMERPATIPRATAMA/2964351/dijual-briket-arang-kayu-betuk-
persegi.htm, diaksess pada 22 Februari 2012.
www.ciputraentrepreneurship.com/teknik pemasangan atap sirap, diakses pada tanggal 22
Februari 2012.
12.1. Pendahuluan
Pada bab ini pokok bahasanya adalah tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan warna alami
(natural dyes). Dari kehidupan kita sehari-hari membuktikan bahwa hampir seluruh tumbuhan
di sekitar kita menghasilkan warna alami, apakah warna hijau, merah, coklat ataupun warna
lainnya. Yang mungkin perlu dipikirkan lebih lanjut adalah apakah warna alami tersebut dapat
bertahan permanen atau dapat langsung dibersihkan dengan mencuci dengan air. Kalau kita
mengamati praktek-praktek kehidupan baik pribadi maupun masyarakat, banyak yang
menggunakan pewarna alami, baik untuk pewarna bahan makanan, minuman maupun untuk
tujuan lainnya seperti tari-tarian pada upacara keagamaan, pernikahan dan sejenisnya.
Oleh karena itu, pada bab ini poko bahasan tanaman penghasil warna alami, cara
pengambilan warna alami tersebut, berikut cara pemakaiannya untuk berbagai tujuan akan
dibahas, secara garis besarnya, sehingga tidak semuanya dapat dibahas.
Setelah mempelajari pokok bahasan ini para pembaca diharapkan memiliki pengetahuan
tentang:
1. Mengenali beberapa jenis tumbuhan yang menghasilkan warna alami;
2. Memahami metode atau cara mengeluarkan atau ekstraksi warna alami serta perlakuan
untuk membuat warna tersebut permanen dan tidak luntur;
3. Membedakan tumbuhan penghasil warna alami untuk dipergunakan sebagai perwarna
makanan, tektsil maupun untuk tujuan lainnya.
Pewarna alami adalah zat warna alami atau pigmen (pigment) yang diperoleh dari
tumbuhan, hewan, atau dari sumber-sumber mineral dari alam.Khusus pada pokok bahasan ini,
hanya membahas pewarna alami yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Karena pewarna alami
(natural dyes) ini dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan, sehingga dinamakan dengan pewarna
nabati.Pewarna nabati diarenakan dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan yang juga adalah produk
hayati. Istilah pewarna alami mulai dipergunakan setelah timbul berbagai permasalahan
berkenaan dengan penggunaan dan dampka dari bahan pewarna buatan yang dikenal dengan
pewarna sintetis.
Wulijarni-Soetjipto dan Lemmens (1999) mendefinisikan pewarna nabati adalah bahan
pewarna yang berasal dari tumbuhan, dengan jalan fermentasi, direbus atau dihasilkan melalui
proses kimiawi yang lain. Sedangkan metode tradisional yang dipergunakan untuk mengekstrak
pewarna alami adalah dengan merebus, mengosok, merendam dan membakar bagian tumbuhan
atau tumbuhan penghasil pewarna tersebut. Tumbuhan dikatakan menghasilkan pewarna karena
tumbuhan tersebut menghasilkan zat berwarna atau pigment warna.
Masih menurut mereke, pigment warna yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan
tesebutdapat dibedakan berdasarkan komponen struktur kimia utamanya, yang selanjutnya
dikelompokkan ke dalam 4 (empat) golongan utama yaitu: 1) klorofil, 2) karotenoid, 3)
flavanoid, dan 4) kuinon (quinone).
2. Karotenoid. Karotenoid adalah istilah umum pigment yang banyak kita temukan pada
sayuran dan buah-buahan. Pigment tersebut umumnya berwarna kuning, jingga, merah dan
lembayung. Pigment karotenoid umumnya dicirikan oleh adanya rantai panjang
polienealifatik yang tersusun atas satuanisoprena.(isoprena).
3. Flavanoid. Flavanoid adalah istilah umum untuk mengambarkan pigment alami yang
memiliki struktur flavon atau flavana. Flavanoid adalah pigment yang biasanya
dimanfaatkan untuk pengharum masak-masakan.
4. Kuinon (Quinones).Kuinonumumnya adalah pigment yang di dalamnya memiliki struktur
kuinon, yang umunya berwarna kuning sampai merah.
Dalam prakteknya pewarna alami banyak dipergunakan sebagai pewarna pada bahan
tekstil, khusus teksil yang berwarna dan bermotif, seperti batik. Wulijarni-Soetjipto dan
Lemmens (1999) mengemukakan bahwa pewarna alami yang banyak dipergunakan dalam
industri tekstil. Khusus untuk industri tekstil, menurut sifat dan pemanfaatnya, pewarna alami
ini dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) tipe, yaitu:
1. Pewarna langsung, yaitu dengan membetuk ikatan hidrogen dengan kelompok hidroksil
(hidroxyl) dari serat kain. Jenis pewarna ini memiliki ciri khas mudah luntur.
2. Pewarna asam dan basa, yang masing-masing berkombinasi dengan kelompok asam dan
basa pada wol dan sutra; sedangkan katun tidak dapat kekal warnanya jika diwarnai,
contohnya adalah pigmen-pigmen flavanoid.
3. Pewarna lemak, yang ditimbulkan kembali pada serat melaui proses redoks, pewarna ini
sering kali memperlihatkan kekekalan yang istimewa terhadap cahaya dan pencucian
(contohnya tarum).
Jenis-jenis tumbuhan penghasil warna alami yang tumbuh di Indonesia dan warna yang
dihasilkannya telah diringkas oleh Wulijarni-Soetjipto, N dan R.H.M.J Lemmens (1999).
Ringkasan tersebut selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 12.1 berikut ini.
Tabel 12.1. Jenis-jenis tumbuhan penghasil warna alami dan berbagai jenis warna yang
dihasilkan
Negara kita tidak hanya terkenal dari keanekaragaman hayati, keanekaragaman suku
bangsa, bahasannya, tetapi juga terkenal dengan keanekaragaman makanan tradisionalnya.
Keanekaragaman makanan tradisional ini lebih menarik lagi karena memiliki aroma yang
sangat khas, dan warna-warni yang sangat menarik. Makanan-makanan tradisional yang dijual
di pasar-pasar tradisional seperti kue lapis, puding, lupis, gethuk, gethuk lindri dan sebagainya,
diberi warna dengan menggunakan ekstrak dari tumbuh-tumbuhan yang ada diskitar kita. Juga
beberapa minuman tradisional, seperti cendol, es buah, dan lain-lain juga banyak memanfaatkan
pewarna alami. Secara umum, pemberian warna pada makanan atau minuman bertujuan untuk
a) menarik bagi konsumen; b) membuat identitas makanan atau minuman, dan c) memperbaiki
atau menambah aroma dari produk makanan atau minuman tersebut.
Beberapa penggunaan pewarna alami yang cukup sering kita jumpai dalam kehidupan kita
sehari-hari dan telah berlangsung dari generasi ke generasi adalah penggunaan kunyit atau
rimpang (Curcuma longa L) untuk warna kuning, yang biasanya dipergunakan untuk membuat
nasi kuning, daun pandan (Pandanus amaryllfolius Roxb) untuk pigmen warna hijau, sedangkan
untuk warna merah dapat diperoleh dari ekstrak bayam merah, dan buah merah. Gula aren dan
12.5. Tanin
Pewarna alami lainnya yang juga cukup melimpah dialam yang dihasilkan dari tumbuhan
berkayu, jenis hewan dan, umumnya dinamakan dengan tanin. Pigmen jenis tanin ini memiliki
rasa yang pahit, kelat dan terkadang sepat-sepat. Pemakaian tanin secara luas adalah untuk
menyamak kulit, menyamak peralatan menangkap ikan seperti jala, tali, layar agar tahan
terhadap air laut, bahan perekat pada kayu lapis, bahan pewarna dan juga dipergunakan sebagai
mordan.
Pemakaian tanin yang lainnya adalah sebagai obat-obatan tradisional, seperti untuk
penyakit gula (diabetes melitus), obat cacing dan obat anti biotik. Secara tidak sadar kita
mengkonsumsi tanin dalam kehidupan kita sehari-hari, seperti pada minum teh, kopi, anggur,
bir dan berbagai jenis lainnya. Pada makanan dan minnuman, pigmen tanin memberikan aroma
penyedap yang sangat digemari. Tanin juga sangat menentukan mutu kualitas buah. Komponen
kimia dari pigmen tanin adalah gula, asam galat (gallic acid), asam elagat dimer (dimer ellagic
acid), falvanoid, lignan, stillbenoid dan kuinon.
Pengetahuan pengunaan warna alami oleh masyarakat merupakan bentuk pengalaman yang
telah berlangsung turun temurun sebelum diketemukannya pewarna sintetis. Pada masyarakat
tradisional, penggunaan warna alami umumnya untuk penggunaan produk sehari-hari, dari
pewarna makanan untuk dijual, seperti penggunaan nasi kuning dengan menggunakan kunyit,
warna merah pada sayur gudeg dengan menggunakan pucuk daun muda pohon Jati dan lain
sebagainya.
Triana (2007) melaporkan bahwa penggunaan tumbuhan sebagai pewarna alami untuk
industri batik atau tekstil sangat beragam. Hal ini terlihat pada Museum Tekstil di Jakarta, yang
Wibowo (2003) melaporkan bahwa penduduk di desa Mbenti kecamatan Anggi, kabupaten
Manokwari, Papua Barat, menggunakan 14 jenis tumbuhan yang dipergunakan sebagai sumber
pewarna alami, yang terbagi dalam 10 famili. Dari ke 14 jenis tumbuhan tersebut dipergunakan
hanya untuk keperluan-keperluan upacara-upacara adat, seperti perias penari, pewarna alat-alat
tarian, seperti anak panah, busur panah, penghias badan, pewarna rambut dan berbagai warna
pada bahan kerajinan tangan, seperti tas yang terbuat dari daun pandan, tas yang terbuat dari
akar atau kulit pohon yang telah dibuat dalam bentuk serat (defibrinasi) yang dianyam atau
dirajut dankemudian dinamakan dengan istilah lokal yaitu Noken. Juga beberapa tikar yang
Dari Tabel 12.2 bila diperhatikan dan dicermati, maka masyarakat suku Arfak pada
umumnya belum banyak mempergunakan pewarna buatan atau sintetis dalam kehidupannya.
Penggunanaan pewarna alami juga masih menggunakan pewarna standar atau baku, belum
melakukan perpaduan warna, seperti warna biru adalah pencampuran dari warna kuning dan
hijau.
Penggunaan pewarna pada masyarakat Arfak juga masih terbatas pada upacara keagamaan
dan pembuatan barang-barang kerajinan seperti yang telah diperlihatkan pada Gambar 12.2 dan
12.3.Khusu untuk penggunaan warna merah pada makanan, sebenarnya bukan tujuan utamanya
untuk membuat makanan tersebut berwarna merah, sehingga lebih menarik atu bernilai
ekonomis bila dijual, akan tetapi lebih kepada sifat bahan, yaitu bahwa buah merah adalah
sumber lemak atau minyak nabati alami yang potensinya cukup melimpah di daerah
Pegunungan Arfak, tempat di mana suku besar Arfak dan Kampung Mbenti berdomisili.
Ekstraksi lemak atau minyak dari buah merah akan menghasilkan warna merah, dan masyarakat
tradisional/lokal belum dapat memisahkan antara minyak dan ampas dari proses ektraksi
tersebut, sehingga minyaknya masih bercampur dengan ampas dan langsung dikonsumsi.
Tumbuhan penghasil warna alami adalah tumbuhan yang seluruh dan atau sebagian
tubuhnya, seperti kulit batang dan buah, umbi, akar, daun, batang, bunga, biji dan daging buah.
Ekstraksi zat warna alami dari tumbuhan dapat dilakukan dengan cara perebusan atau dengan
cara penghancuran seperti penumbukan. Tumbuhan penghasil warna alami tersebut
dimanfaatkan oleh masyarakat Papua untuk berbagai jenis tujuan seperti untuk mewarnai
pakaian, makanan, komestik, barang-barang kerajinan lokal seperti noken, tas, ukiran dan
keperluan upacara-upacara adat/perkawinan.
Zat warna yang dihasilkan oleh tumbuhan biasanya berwarna hijau, biru, merah, kuning
dan oranje. Zat-zat warna tersebut berasal dari pigmen tumbuhan yang terdapat pada tanaman
yaitu klorofil untuk warna hijau daun, karotenoid penghasil warna kuning, oranje dan merah
serta quinone untuk warna merah dan merah.
Limantara, L (2004). Daya Penyembuhan Klorofil. Harian Kompas edisi 6 April 2004. hal
38.
Triana, N (2007). Melihat Pohon-pohon Pewarna di Museum Tekstil. Harian Kompas, edisi
23 Februari 2007
Wibowo, A (2003). Identifikasi jenis-jenis tumbuhan penghasil warna alami dan
pemanfaatannya dalam kehidupan suku Hatam di kampung Mbenti distrik
Minyambouw Kabupaten Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan. Fakultas
kehutanan Universitas Negeri Papua. (tidakditerbitkan).
Wulijarni-Soetjipto, N dan R.H.M.J Lemmens (1999). Tumbu-tumbuhan Penghasil pewarna
dan tanin. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara. No. 3 PT. Balai Pustaka Jakarta
dan Prosea, Bogor.
www.batikcintaku.com, diakses pada tanggal 28 Februari 2012.
13.1. Pendahuluan
Tabel 13.1. Jenis-jenis tumbuhan obat, bagian yang dimanfaatkan dan khasiatnya yang
dapat dikembangkan dalam rangka pengembangan hutan tanaman
Sumber : Djiman Sitepu dan Pariboto Sutigno (Buletin Vol. 2 No. 2 Th 2001), diakses lewat.
www.dephut.go.id/
Dari Tabel 13.1 tersebut dapat dijelaskan bahwa ke 31 jenis tumbuhan obat tersebut
adalah jenis herba, bukan yang berasal dari tumbuhan berkayu. Padahal, pada kenyataannya
banyak tumbuhan berkayu yang dimanfaatkan oleh masyarakat lokal untuk sumber obat-
obatan tradisional. Hal ini berkenaan dengan tingkat pengetahun tradisional dan lokal
masyarakat setempat yang dikenal dengan nama kearifan lokal (Indigeneous knowledge). Di
Papua misalnya, masyarakat lokal menggunakan kulit dan getah dari kayu Susu (Alstonia
scholaris) dan kulit dari kayu Kuning (Nauclea orientalis) untuk penyakit malaria.
Tumbuhan sirih dapat berbuah sepanjang tahun dan satu tanaman sirih dapat
menghasilkan ratusan buah sirih, tergantung kepada lebat tidaknya tumbuhan sirih tersebut,
kesuburan lahan dan kondisi linkungan yang menunjang seperti kelembaban dan naungan.
Gambaran buah sirih yang telah masak dan siap untuk dipanen dapat dilihat pada Gambar
13.2.
Tabel 13.2. Beberapa jenis tumbuhan berkayu yang dihasilkan dari hutan yang
berpotensiu untuk dijadikan tumbuhan obat.
Khusus untuk di tanah Papua, beberapa tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh
penduduk lokal dan berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk unggulan di antaranya
adalah Rumput Kebar, Kayu Akway, Daun Gatal, Daun Mayana, Sambiloto, Mahkota Dewa,
Sarang semut, Tali kuning, kayu kuning, Akar kuning, dan masih banyak lagi. Untukitu
kiranya dukungan dana penelitian dan pengkaderan tenaga-tenaga yang kompeten dalam
bidang pengolahan sumber daya alam, khususnya tumbuhan obat harus lebih ditingkatkan ke
depan.
Pasapan (2005) melaporkan bahwa kayu Akway (Drimys beccariana Gibbs)
dimanfaatkan oleh masyarakat Arfak untuk obat stimulan, obat keluarga berencana (KB),
tuber colosis (TBC) dan bronkritis. Bagian yang dimanfaatkan adalah kulit kayu, dengan cara
merebus dalam air samapai mendidihdan setelah air rebusan dingin, kemudian diminum. Air
rebusan tersebut dapat juga dicampur dengan susu maupun teh hangat. Kayu Akway tersebut
ditunjukkan oleh gambar 13.3. Kulit Akway banyak dijual belikan di pasar tradisional
Manokwari, dan dijual dengan harga Rp. 50.000 per kilogramnya.
Gambar 13.3. Kayu Akway (D. beccariana Gibbs) dari Arfak, Manokwari
Dilaporkan lebih lanjut bahwa terdapat empat jenis kayu Akway yang dimanfaatkan
oleh masyarakat Arfak, yaitu Akway Mambri (Drimys piperita), Akway sus
(Drimysbeccariana Gibbs), Akway Athon (Drimys spp) dan Akway Mmengjei (Drimys spp).
Masyarakat lokal umumnya memanen kulit kayu ini dengan cara menebang pohonnya dan
Suzuki dkk (2008) dan Subeki dkk (2004) melaporkan bahwa senyawa bioaktif dari
Akar kuning (Arcanglesia flaver) yang diperoleh dari Jawa barat dan Kalimantan adalah
quaternary protoberberine alkaloids, seperti berberine, jatrorrhizine, dehydrocorydalmine,
thalifendine, palmatine and columbamine, dan beberapa isoquinoline alkaloid sederhana
(pycnarrhrine), and tertiary bisbenzyl-isoquinoline alkaloids (limacine and homoaromoline).
Tali kuning dipergunakan untuk mengobati dan mencegah penyakit malaria pada hampir
seluruh wilayah Papua. Tali kuning diekstrak dengan cara direbus dalam air hingga
13.4. Pustaka
14.1. Pendahuuan
Berbagai jenis getah-getahan yang dihasilkan oleh berbagai jenis tumbuhan hutan dari
berbagai famili yang tersebar diseluruh kawasan hutan Indonesia, merupakan komoditas hasil
hutan bukan kayu yang memiliki nilai jual yang tinggi. Bahkan komoditas ini merupakan
komoditas unggulan bagi daerah-daerah tertentu. Istilah yang lebih umum untuk
mengambarkan hasil hutan bukan kayu dari kelompok getah-getahan, yang lebih dikenal
dengan golongan resin, walaupun definisi tersebut tidak selamanya benar. Karena dalam
berbagai kasus, resin lebih banyak dipergunakan untuk mengambarkan getah - getahan yang
telah diolah menjadi bahan perekat atau sejenisnya. Khusus di Indonesia, beberapa
komoditas kelompok ini memiliki beberapa persamaan fisik, tetapi sangat berbeda
bedasarkan asal usul tumbuhan penghasil dan komposisi kimianya. Oleh karenanya beberapa
komoditas kelompok getah-getahan dan atau resin ini terkadang di kelompokan berdasarkan
asal-asul produk tersebut, atau berdasarkan family tumbuhan yang menghasilkan produk
tersebut.
Tumbuhan atau tanaman kehutanan ada yang ditanam dengan tujuan untuk
menghasilkan getah-getahan saja, tetapi banyak juga yang produksi getahnya hanya bersifat
hasil sampingan dari tumbuhan hutan tersebut.
Pada akhir pokok bahasan ini, para pembaca diharapakan memiliki kemampuan untuk:
1. Menjelaskan definisi produk hasil hutan bukan kayu golongan getah-getahan dan resin;
2. Memahami alasan pengelompokkan komoditas getah-getahan tersebut dalam kelompok
hasil hutan bukan kayu;
3. Menjabarkan beberapa manfaat hasil hutan bukan kayu getah-getahan dari perpektif
ilmu ekonomi, ekologi dan lingkungan serta keanekaragaman hayati;
4. Mengidentifikasi beberapa produk lanjutan dari komoditas hasil hasil hutan bukan kayu
getah-getahan tersebut.
Getah perca adalah getah hasil sadapan dari batang tumbuhan dan ekstraksidaun family
Sapotaceae, yaitu kulit pohon Nyatoh (Palaquium spp) dan Payena spp. Getah ini termasuk
getah alam yang kurang elastis. Tetapi getah perca yang terbaik dihasilkan oleh Palaquium
gutta (Hk.f.) Bailon. Oleh karenanya getah perca sering disebut juga dengan nama gutta
perca.
Getah perca mempunyai kandungan getah (30%) dan resin (65%). Senyawa utama dari
getah perca adalah golongan terpene, sehingga gutah perca adalah polyterpene, atau polymer
dari isoprene, utamanya adalah trans-1,4-polyisoprene. Alban (C17H28O) dan fluaril
(C40H28O) yang merupakan hasil oksidasi gugus propenennya (C5H8)n adalah dua senyawa
turunan getah perca.
Getah perca dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti sebagai bahan isolasi pada
kabel dan kawat listrik, keperluan membuat master gigi palsu pada oleh mahasiswa
Getah jelutung adalah getah yang berasal dari sadapan family Apocynaceae, dari jenis
Dyera costulata (Miq.) Hk.f., dan D. polyphylla (Miq.). Pratiwi dan Kalima (2005)
menyebutkan di Indonesia, terdapat tiga jenis getah jelutung, yaitu Jelutung Banjarmasin,
Pontianak dan Palembang. Penggolongan ini hanya lebih kepada asal usul getah jelutung
tersebut, bukan berdasarkan perbedaan kualitas atau komposisi kimianya, misalnya. Getah
jelutung memiliki kandungan air sampai 60% dan bahan menyerupai karet (25%). Getah ini
dimanfaatkan sebagai bahan vernis, cat, dan campuran permen karet.
Pada masa keemasannya, Indonesia dikenal sebagai produsen terbesar getah jelutung di
dunia, tetapi saat ini potensi getah jelutung terus mengalami penurunan. Pratiwi dan Kalima
(2005) menyatakan beberapa faktor yang menyebabkan penurunan produktivitas getah
jelutung antara lain seperti:
Kegiatan penyadapan tidak dilakukan secara kontiyu, atau terus menerus, petani hanya
menyadap getah jelutung pada saat harga sedang naik, atau hanya sebagai usaha
sampingan;
Pohon penghasil Jelutung mengalami kerusahan, karena penebangan pohon-pohon yang
berdiameter besar. Karena rendemen hasil dari pohon berdiameter besar lebih tinggi dari
yang berdiameter kecil;
Teknik penyadapan yang masih sangat sederhana, yaitu dengan menggunakan pisau atau
parang;
Populasi pohon penghasil getah jelutung yang berkurang karena adanya kegiatan
ekploitasi dari HPH atau kegiatan konversi hutan lainnya;
Penelitian tentang tiga teknik penyadapan getah Jelutung yaitu teknik spiral kanan-kiri,
teknik V, dan teknik spiral kiri-kanan, di wilayah Jambi dilakukan oleh Wahyudi dkk (2009).
Ketiga teknik penyadapan tersebut di ilustrasikan pada Gambar 14.1 berikut ini.
Dari penelitian ketiga teknik penyadapan yang dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan,
dilaporkan bahwa teknik penyadapan setengah spiral kanan-kiri dapat menghasilkan getah
per perlukaan sebanyak 213.45 gram (2561,25 gram dari seluruh perlakuan total), 336,75
gram (4041,00 gram) untuk teknik V, dan 204,65 gram (2455,50 gram) untuk teknik
setengah spiral kiri-kanan. Getah Jelutung hasil sadapan tersebut dapat dilihat pada gambar
14.2.
Secara umum kondisi kesehatan pohon yang disadap tersebut dilaporkan relatif baik dan
sehat. Sehingga para peneliti tersebut merekomendasikan untuk menggunakan teknik
penyadapan setengah spiral kanan-kiri, yang mana penyayatan dilakukan dengan sudut
37oterhadapsumbu pohon. Dikatakan lebih lanjut, bahwa metode tersebut sebaiknya
dibandingkan dengan metode lain yang dipergunakan oleh masyarakat lokal secara umum.
Kopal adalah getah yang disadap dari tanaman Agathis spp dari famili Araucariaceae. Kopal
yang sudah mengeras, karena bereaksi dengan udara, umumnya memiliki warna kuning
bening, transparan atau kuning pucat. Contohnyaadalah kopal yang dihasilkan dari Agathis
dammara(Lamb.)Rich & A.Rich, seperti disajikan pada Gambar 14.3 (kiri). Sedangkan
Gambar 14.3 yang sebelah kanan mengambarkan getah kopal segar yang sedang keluar dari
pohon Agathis spp..
Sumber:www.prota4u.org http://wahyukdephut.files.wordpress.com/
Gambar 14.3. Kopal dari pohon Agathis spp, yang telah mengeras dan kering (kiri) dan
masih segar (kanan).
Karena menghasilkan kopal, yang secara fisik menyerupai damar, maka pohon dari jenis
Agathis spp sering juga disebut sebagai pohon damar. Selain Agathis dammara(Lumb.) Rich
& A.Rich di atas, beberapa jenis pohon Agathis yang menghasilkan kopal di antaranya
adalah Agathis alba, A. latifolia, A.robusta, A. macrofolia, A. australia, A. selebica, dan A.
boornensis. Gambar buah jantan dan betina dari Agathis macrofolia yang dikutip dari
www.traditionaltree.org disajikan pada Gambar 14.5.Khusus di Papua, kopal diperoleh dari
sadapan pohon Agathis labillardieri Warb yang merupakan jenis endemik untuk pulau New
Guinew, yaitu meliputi Papua dan Papua New Guinew. Dua jenis lainnya yang terdapat di
Papua adalah A. cunninghamii.SW dan A. beccarri Warb.
Sumber:www.traditionaltree.org
Gambar 14.5. Cone jantan (kiri) dan betina (kanan) dari Agathis macrophylla.
Produktivitas kopal sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti karakterisitk pohon
Agathis spp itu sendiri, dan lingkungan temat tumbuh, atau habitat tegakan Agathis spp
tersebut. Munajat (2004) yang dikutip oleh Irawan dkk (2007) menjelaskan bahwa produksi
kopal sangat dipengaruhi oleh beberapa variables, seperti kualitas tempat tumbuh, umur
pohon, kerapatan tegakan, sifat genetik, ketinggian tempat di atas permukaan laut, ketebalan
Tabel 14.1. Rata-rata produksi kopal per pohon dari Agathis labillardieri Warb. selama
7 hari penyadapan di tiga blok Hutan, Parieri, Saribi, dan Soon di kabupaten Biak,
Provinsi Papua
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kelompok diameter Produksi getah (gram/7 hari)
--------------------------------------------------------------------
(cm) Parieri Soon Saribi Rata-rata
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
30 - 39 194,5 219,8 214,9 209,7
40 - 49 249,9 277,4 278,0 268,4
50 - 59 306,1 293,9 333,4 311,1
60 - 69 346,2 436,4 414,0 399,1
70 - 79 674,5 504,3 589,5 589,4
80 - 89 648,1 648,2 648,2 646,5
90 - 99 725,4 565,1 711,2 667,2
100 - 109 816,5 735,7 867,8 790,0
110 - 119 875,1 910,1 119,3 896,6
14.6. Damar
Damar adalah resin yang dihasilkan dari pohon yang termasuk dalam famili
Dipterocarpacea, seperti Shorea spp, Vatica spp dan Dryobalanops spp. Indonesia,
khususnya Pulau Sumatera dan Kalimantan adalah dikenal sebagai daerah penghasil damar di
dunia. Menurut Michon dkk (2000) berdasarkan kenampakan fisiknya, damar dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu damar batu atau hitam dan damar mata kucing.
Damar hitam atau batu adalah yaitu damar bermutu rendahberwarna coklat kehitaman,
karenanya jenis damar ini sering juga disebut dengan damar hitam. Damar ini biasanya
keluar dengan sendirinya dari pohonyang terluka, yang kemudian membentuk
gumpalan-gumpalan besar yang jatuh dari kulit pohon, yang lama kelamaan terkumpul
didekat pangkal pohon. Oleh karena gumpalan tersebut nampak seperti batu, maka
damar ini diistilahkan sebagai damar batu Jenis damar inidapat dikumpulkan dengan
menggali tanah di sekeliling pohon. Pohon-pohon damar yang telah tua, biasanya
menghasilkan banyak damar hitam di sekeliling pangkal pohonnya. Berdasarkan
warnanya damar batu bisa berwarna hitam atau kecoklatan, seperti ditunjukkan oleh
gambar 14.5 berikut.
Damar mata kucing adalah jenis damar yang bening, transparan ataukekuningan. Damar
mata kucing adalah damar yang bermutu tinggi, sebanding dengan kopal. Jenis damar
ini dipanendengan cara melukai kulit pohon. Sekitar 40 spesies dari genusShorea spp
danHopeaspp menghasilkan damar mata kucing, di antaranya yang terbaikadalah
Shorea javanica dan Hopea dryobalanoides. Disebut mata kucing karena kualitas kristal
dari damar ini dapat memantulkan cahaya seperti halnya mata kucing. Contoh dari
damar mata kucing dapat dilihat pada Gambar 14.5 di bawah ini.
http://cvsarananusantara.blogspot.com
Gambar 14.5. Damar mata kucing
Sentra produksi damar mata kucing yang cukup terkenal di Indonesia adalah pesisir
Krui, Provinsi Lampung. Pada daerah ini komoditas damar adalah warisan dari nenek
moyang, turun- termurun lebih dari 100 tahun. Dalam bidang kehutanan, segala aktivitas
yang berhubungan dengan penyadapan damar ini lebih dikenal dengan istilah Repong damar.
Hal ini dikarenakan sistem pengelolaan dan pengusahaan komoditas damar ini menggunakan
sistem agroforesty, dan telah menyatu dengan kehidupan sosial, ekonomi, dan adat budaya
dari masyarakat di pesisir Krui- Lampung tersebut.
Damar dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri seperti pembuatan plastik,
plester dan vernis. Jenis damar tertentu bahkan dapat dijadikan obat-obatan.
Resin secara umum banyak dipergunakan untuk mengambarkan hasil getah-getahan dari
famili Pinacea yang kebanyakan dihasilkan oleh pohon Pinusspp. Dibeberapa negara maju,
resin banyak dipergunakan sebagai bahan perekat. Getah sadapan dari pohon pinus, atau di
Indonesia, lebih dikenal dengan nama Tusam (Pinusmerkusi) dapat dihasilkan dua produk
Uraian yang lengkap tentang prosedure dan tahapan serta variabel pengujian kualitas
getah tusam telah diatur dalam Standar Nasional Indonesia (SNI 01-5009.4-2001). Panduan
teknis pengujian tersebut dapat diakses dalam alamat situs berikut ini:
http://www.dephut.go.id/informasi/SNI/Getah tusam.htm
14.7.1 Gondorukem
Gondorukem adalah hasil padatan atau residu dari proses penyulingan getah pohon
Pinus (Pinus spp). Uraian yang lengkap tentang prosedure dan tahapan serta variabel
pengujian kualitas getah Gondorukem telah dibuat oleh BadanStandarisasi Nasional (BSN)
yang kemudian dipublikasikan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI 01-5009.12-
2001).Informasi tersebut dapat diakses dari situs:
http://www.dephut.go.id/informasi/SNI/Gondorukem.htm. Gondorukem yang dihasilkan oleh
Perum Perhutani dapat dilihat pada Gambar 14.7 di bawah ini.
Sumber: http://beritaenak.wordpress.com
Gambar 14.7. Gondorukem produksi dari Perum Perhutani
14.7.2. Terpentin
Terpentin, yang dalam ejaan Inggrisnya adalah Turpentine (C10H6), adalah hasil dari
proses distilasi (destilat) dari getah tusam. Dalam dunia perdagangan sering dikenal dengan
istilah oil of turpentine atau spirit of turpentine. Terpentin adalah campuran dari senyawa
golongan terpene dan minyak atsiri. Komposisi kandungan kimia dari terpentin akan
bervariasi, tergantung pada faktor geograpi pohon pinus, jenis atau spesies pohon, dan proses
distilasi yang dipergunakan. Di samping gondorukem, terpentin adalah produk andalan dari
perum Perhutani, khususnya dari pohon Pinus di Pulau Jawa. Produk ini bahkan telah
diekspor ke berbagai negara tujuan. Contoh kemasan ekspor terpentin (gum rosin) tersebut
disajikan pada Gambar 14.8.
14.8. Jernang
Jernang adalah hasil ekstrak atau inti sari dari buah rotan dari jenis Daemonorop draco
Bl dari famili Palmae. Raton jenis ini sering dikenal dengan rotan Jernang. Komoditas ini
sering disebut dengan getah Jernang, apabila kita menggolongkan kelompok hasil hutan
bukan kayu kelompok getah-getahan. Padatan ekstrak tersebut apabila kering akan berwarna
merah, menyerupai darah, sehingga komoditas ini sering juga disebut dragon blood.
Sumber : spellsandbrooms.wordpress.com
Gambar 14.9. Bentuk tepung (kiri) dan padatan (kanan) kering dari komoditas Jernang
Proses pengolahan komoditas Jernang diperoleh dari ekstraksi biji rotan jenis
Daemonorops spp yang telah masak. Buah rotan Daemonorops spp bergerombol dalam
dalam bentuk untaian atau ranting buah (Gambar 14.10), buah tersebut dipisahkan dari
tangkainya, dan selanjutnya diekstrak.
Secara tradisional, proses ekstrasi dilakukan dengan cara kering yaitu langsung
menumbuk buah tersebut, setelah halus lalu diperas. Hasil perasan tersebut kemudian
diendapkan untuk mendapatkan endapan berwarna merah, yang kemudian disebut Jernang.
Proses ektraksi juga dapat dilakukan dengan mencampur buah-buah rotan yang telah
dipisahkan dari rantingnya dengan air, dan selanjutnya dilakukan penghalusan, penyaringan
dan pengendapan. Secara teori, pencampuran dengan air, akan menghasilkan rendemen yang
lebih tinggi. Apabila dikerjakan dilaboratorium, berbagai metode ekstraksi dengan berbagai
macam pelarut, tentu akan mempengaruhi rendemen dari Jernang yang dihsailkan.
Dari berbagai sumber, jernang banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti
untuk sumber bau-bauan pada berbaagai upacara adat yang bersifat magis dan religius, obat-
obatan tradisional seperti menghentikan pendarahan pada luka baru, peredam rasa sakit
akibat cedera, diare, membantu menstruasi menjadi teratur, dan obat jamur kulit. Warna
merah dari jernang, banyak dimanfaatkan sebagai pewarna alami yang juga banyak dipakai
sebagai bahan vernis dan cat, pewarna keramik, marmer, dan aplikasi lainnya.
14.9. Kemenyan
Pohon Kemenyan (Stryraxsp) termasuk dalam famili Stryracaceae dan ordo Ebeneles.
Kemenyan adalah getah yang dihasilkan dari proses penyadapan dari pohon Kemenyan
(Stryrax spp). Sentra penghasil kemenyan di Indonesia adalah di Provinsi Sumatera utara.
Pada daerah ini, terdapat dua jenis pohon Kemanyan, yaitu kemenyan Toba (Stryrax
sumatrana) dan kemenyan durame (Stryrax benzoin). Getah dari kemenyan Toba berwarna
putih, sedangkan kemenyan durame berwarna agak coklat kehitaman (Sasmuko, 1995).
Dikatakan bahwa untuk kepentingan perdagangan, penduduk lokal menggolongkan kelas
mutu komoditas kemenyan berdasarkan kriteria warna, besar butiran, dan kebersihan getah
dari kotoran-kotoran. Penggolongan mutu tersebut dilaksanakan berdasarkan pengalaman
dan dilakukan secara visual. Sudah tentu metode tersebut kurang dapat
dipertanggungjawabkan, secara keilmuan, apalagi bila komoditas kemenyan akan dipasarkan
dengan tujuan ekspor. Penentuan kualitas kemenyan berdasarkan hasil laboratorium,
khususnya komponen kimianya, mungkin lebih dapat diperdan dapat diterima dipasaran luar
negeri. Untuk maksud tersebut, penelitian tentang sifat fisik dan kimia kemenyan telah
dilaksanakan oleh Sasmuko (1995). Hasil lengkap penelitian ini dapat dibaca pada sumber
aslinya, sperti tercantum pada pustaka di akhir pokok bahasan ini.
Sinaga (2008) menyatakan bahwa pemanenan atau kegiatan penyadapan getah
kemenyan di provinsi Sumatera Utara, terdiri atas tiga tahapan yaitu membuat luka sadapan
yang dikerjakan antara bulan Juli – September, mengumpulkan getah pada bulan Oktober –
Desember, dan mebersihkan getah pada bulan Januari – April.
14.10. Pustaka
15.1. Pendahuluan
Pada pokok bahasan ini membahas tentang komoditas hasil hutan bukan kayu yang
cukup dominan potensinya di Indonesia, yaitu dari golongan minyak atsiri, yang dalam
bahasa internasionalnya lebih dikenal dengan nama Essential oil. Dalam aktivitas sehari-
hari, secara tidak sadar kita banyak menggunakan minyak atsiri, dari sekedar untuk wangi-
wangian (parfum), maupun obat-obatan ringan, seperti masuk angin, perut kembung, mabuk
perjalanan dan sebagainya. Minyak atsiri adalah minyak yang diperoleh dari tumbuhan
melalui proses distilasi. Minyak atsiri dapat diperoleh dari hampir semua bagian tumbuhan
mulai dari akar, kulit, katang pohon, bunga, biji, dan bagian daun, tergantung kepada jenis
tumbuhannya.
Pada akhir pelajaran ini para pembaca diharapkan memiliki kemampuan untuk:
1. Menjelaskan dan memahami definisi, proses pengolahan dan manfaat minyak
atsiridalam arti luas;
2. Menginventarisai beberapa jenis tumbuhan hutan yang menghasilkan minyak atsiri;
3. Mendiskripsikan berberapa metode yang dipergunakan dalam mengekstrak minyak
atsiri;
4. Mengidentifikasi beberapa komoditas minyak atsiri yang dihasilkan di Papua yang
banyak diusahakan oleh masyarakat lokal.
15.2. Potensi
Potensi dapat dibedakan ke dalam dua pengertian, yaitu potensi luasan umumnya
dinyatakan dengan luas areal atau hutan, dan potensi tegakan yang dinyatakan dengan
kerapatan atau penyebaran jenis per hektar. Khusus untuk potensi minyak atsiri, baik luasan
dan kerapatannya, belum dilakukan penelitian secara terpierinci. Khusus untuk beberapa
komoditas minyak atsiri hutan tanaman, kemungkinan data-data tersebut sudah tersedia.
Tetapi untuk sebaran di hutan alam, informasi yang banyak terdapat pada beberapa buku,
laporan penelitian maupun sumber pustaka lainnya, kebanyakan hanya menjelaskan tentang
peta penyebaran dan komposisi jenisnya saja. Peta penyebaran itupun bukan berasal dari
hasil interprestasi citra satelit, GPS, atau foto udara, tetapi pada kebanyakan hanya
berdasarkan data sekunder berdasarkan informasi dari masyarakat lokal setempat.
Masyarakat setempat menyatakan bahwa potensinya banyak, hanya berdasarkan fakta
bahwa memang sering menemukan komoditas tersebut. Akan tetapi tidak memperhitungkan
berapa jumlah pohonya per hektar, diamter rata-ratanya berapa, bagaimana penyebarannya
bagaimana, kondisi pertumbuhannya dan produktifitasnya berapa, bagaimana regenerasinya
dan beberapa aspek teknis lainnya.
Dari berbagai sumber, tumbuh-tumbuhan yang berpotensi untuk menghasilkan
komoditas minyak atsiri di dunia ini diperkirakan berjumlah 150-200 spesies. Tumbuh-
tumbuhan tersebut termasuk dalam famili Pinaceae, Labiatae, Compositae, Lauraceae,
Myrtaceae dan Umbelliferaceae. Sedangkan bagian dari tumbuhan yang menghasilkan
minyak atsiri adalah daun, bunga, buah, biji, batang/stem, kulit, akar dan umbi atau
rhizoma.Menurut Gunawan (2009) terdapat sekitar 150 jenis minyak atsiri yang
Gambar 15.2. Bunga/fuli (kiri) dan biji pala (kanan) dari daerah Kaimana, provinsi Papua
Barat
15.3. Pengertian
Minyak atsiri adalah salah satu hasil sisa-sisa metabolisme dalam tumbuhan, yang
terbentuk karena reaksi antara berbagai persenyawaan kimia dengan bantuan air, Ketaren
(1985).Tanaman dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya mengalami proses
pengolahan dan pemanfaatan makanan yang kita kenal dengan metabolisme. Dalam
mempelajari metabolisme tumbuhan, kita mengenal dua hasil utama dari proses metabolisme
atau metabolit, yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder.
Metabolit primer adalah hasil biosintesis suatu organisme hidup yang dikenal degnan
sebutan biomolekul atau makromolekul, seperti karbohidrat, protein, lemak dan asam
nukleat. Sedangkan metabolit sekunder adalah hasil sampingan dari proses metabolit primer,
seperti komponen-komponen organik, di antaranya adalah senyawa minyak atsiri, zat
ekstraktif, alkaloids, phenolic, asam lemak dan beberapa komponen kimia lainnya.
Minyak atsiri tebentuk pada sel kelenjar pada jaringan tanaman dan ada juga yang
terbentuk dalam pembuluh resin (resin duct), sebagai contoh terpentin yang dihasilkan oleeh
pohon Pinus (Pinus spp).Ketaren (1985) menjelaskan bahwa fungsi minyak atsiri bagi
tumbuhan sangat beragam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat tersebut di
antaranya adalah membantu proses penyerbukan bunga dengan menarik beberapa jenis
serangga atau hewan, mencegah tanaman dari serangan serangga dan hewan, serta sebagai
cadangan makanan dalam tanaman. Hampir semua bagian tumbuhan dapat menghasilkan
minyak atsiri.
Kataren (1985) memberikan gambaran tentang beberapa bagian tumbuhan penghasil
minyak atsiri, yang dapat diringkas sebagai berikut:
Bunga. Tumbuhan yang bunganya mengandung minyak atsiri seperti Cengkeh, Mawar,
Melati, Sedap Malam, Lavender dan Kenanga.
Daun. Daun dari tanaman Nilam, Kayu Putih, Kayu Lawang dan Eucalyptus
mengandung minyak atsiri.
Batang. Tumbuhan yang batangnya mengandung minyak atsiri di antaranya Cendana,
Lawang dan Masohi.
Sifat utama dari minyak atsiri adalah pada suhu kamar atau ruangan mudah menguap
(volatile matters) tetapi tidak mengalami dekomposisi. Minyak atsiri memiliki rasa getir,
tetapi dapat menghasilkan berbauan atau aroma wangi sesuai dengan bau tanaman
penghasilnya. Misalnya minyak melati, minyak mawar, cempaka dan sebagainya. Minyak
atsiri umumnya larut dalam pelarut organik, tapitidak larut dalam pelarut air. Setiap minyak
atsiri mempunyai komponen utama(bahan aktif utama)yang berberda, baik jenis maupun
komposisinya, dan komponen–komponen tersebut ada yang menjadi primadona, karena
komponen tersebut menpunyai nilai ekonomis yang tinggi. Contohnya komponen aktif dari
minyak sereh (sereh wangi) adalah komponen alkoholdari golongan sintronelol dan geraniol.
Sedangkan minyak Cengkeh (bunga dan daun) banyak mengandung komponen eugenol,
yang banyak dimanfaatakan pada dunia kesehatan, misalnya pada praktek kedokteran gigi.
Menurut berbagai sumber, komponen kimia utama atau yang sering disebut komponen
bahan aktif (bioactive chemical constituents) dari minyak atsiri dapat dikelompokkan ke
dalam tiga kelompok, yaitu :
1. Senyawa Hydrocarbon terutama dari golonganterpene yang aktif dalam proses
oksidasi di bawah pengaruh cahaya dan udara pada penyimpanan yang kurang baik;
2. Oxygenatedhydrocarbon, adalah persenyawaan yang menyebabkan bau wangi dan
harum;
3. Lilin dan Resin, adalah komponen yang tidak mudah menguap tetapi terdapat dalam
jumlah yang kecil, yang lebih bersifat sebagai senyawa pengikat.
Secara umum, karakteristik minyak atsiri yang berasal dari berbagai bagian tumbuhan
memiliki karakteristik yang berbeda. Misalnya minyak lawang dan sereh campurannya
mudah dipisahkan secara kimia dan fisika. Sebaliknya untuk minyak atsiri yang diperoleh
dari bunga-bungaan campurannya cukup sukar untuk dipisahkan secara kimia dan fisika.
Sifat-sifat fisik dari minyak atsiri meliputi: Berat jenis, kelarutan, titik didih, titik beku,
warna dan bau. Sedangakan sifat-sifat kimianya meliputi semua persenyawaan kimia utama
yang terdapat dalam minyak atsiri (seperti Geraniol, Sitronellol, Eugenol, Pinene dll.) yang
telah mengalami perubahan akibat adannya proses: oksidasi (O2), hidrolisa (H2O),
resinifikasi (Resin) dan Penyabunan (NaOH + KOH).
Kualitas mutu minyak atsiri sangat ditentukan oleh berbagai faktor, seperti proses
persiapan pengolahan, saat proses pengolahan (ekstraksi) maupun perlakukan setelah
Tabel 15.1. Faktor- faktor yang berpengaruh terhadap kualitas minyak atsirimenurut
Ketaren(1985)
Secara garis besar, proses mendapatkan atau mengluarkan minyak atsiri dari tumbuhan atau
bagian tumbuhan adalah dengan cara ekstraksi. Di Indonesia, proses ekstraksi minyak atsiri
tersebut masih dilakukan dengan cara traditional. Sehingga, masing-masing daerah,
pengrajin, petani dan bahkan jenis tumbuhan memerlukan proses ekstraksi yang beragam, hal
ini sudah tentu sesuai dengan kondisi dan keadaan yang dihadapi pada daerah tersebut.
Tetapi secara umum bagan untuk mengeluarkan (ekstraksi) minyak atsiri dari bagian
tumbuhan dapat digambarkan seperti terlihat pada Gambar 15.2.
Ekstraksi (penyulingan)
Minyak Atsiri
Pengemasan
Penyimpanan
Pemasaran/konsumen
Guenther (1948) menjelaskan bahwa secara garis besar minyak atsiri dapat diekstrak
dengan menggunakan tiga metode distilasi (penyulingan)yaitu:
1. Penyulingan dengan air (water distillation or hydrodistillation)
2. Penyulingan dengan air dan uap (water and steam distillation)
3. Penyulingan dengan uap (direct steam distillation)
1) Penyulingan dengan air. Metode penyulingan dengan air ini pada prinsipnya sama
dengan perebusan. Daun yang akan disuling dimasukkan langsung ke dalam ketel yang
telah berisi air yang bersih. Perbandingan antara banyaknya air dan daun dapat diperoleh
dari percobaan. Tetapi pada intinya adalah seluruh permukaan daun dapat terendam oleh
air. Kemudian ketel tersebut ditaruh di atas tungku untuk dipanasi. Panas dari air dan
uap panas akan memasuki sel-sel daun dan merangsang keluarnya minyak atsiri yang
terdapat pada pori-pori daun. Minyak dikumpulkan dari uap air yang telah
terkondensi.Metode perebusan ini memiliki beberapa keuntungan, seperti
mempergunakan alatnya relatif sederhana dengan modal yang relatif kecil, peralatan
yang digunakan dapat dipindah-pindahkan. Sedangkan beberapa kekurangan dari
metode ini adalah waktu yang diperlukan cukup lama, minyak atsiri masih tercampur
15.6.2. Pengepresan
Minyak atsiri dari hasil proses penyulingan atau pengepressan dipisahkan dari
kandungan airnya dengan menggunakan labu pemisah minyak, karena sifat minyak atsiri dan
pelarutnya yang mudah menguap. Penyulingan untuk mendapatkan komponen non-volatile
(yang tidak mudah menguap) dari minyak atsiri dapat dilakukan dengan menggunakan
prosedue seperti dilukiskan pada Gambar 15.6.
Gambar 15.6 Bagan atau alur penyulingan minyak atsiri untuk memperoleh komponen yang
tidak mudah menguap (non-volatile matters)
Hasil ekstraksi minyak atsiri yang masih bercampur dengan lemak sering dinamakan
pomade, dan dapat dipisahkan satu sama lain dengan menggunakan prosedur seperti pada
bagan Gambar15.7 di bawah ini.
Gambar 15.7. Diagram atau bagan pemisahan minyak atsiri dan lemak pada hasil ekstrak
minyak atsiri
Ketaren (1985) menjelaskan bahwa minyak atsiri perlu dikemas dalam wadah yang
tertutup. Pengemasan yang baik harus mencakup beberapa aspek seperti: dapat menjamin
mutu produk untuk diperdagangkan, mudah dipakai, tidak mempersulit penanganan (material
handling), dapat melindungi isi pada tempat pengangkutan, tidak beracun dan tidak bereaksi
dengan isi, mempunyai bentuk dan rupa yang menarik.Sedangkan bahan baku kemasan
sebaiknya memiliki beberapa pesyaratan seperti tidak dapat beraksi dengan minyak atsiri,
tidak dapat dilalui/tembus cahaya, tidak dipengaruhi oleh oksigen, udara, dan akan lebih baik
jika bersifat isolator panas. Selanjutnya, dalam botolkemasan disarankan untuk menyisakan
ruang kosong (allowable space) kurang lebih sebanyak 5% untuk CO2 dan N2.
Bahan atau botol kemasan dapat terbuat dari gelas, plastik maupun drum. Kemasan yang
berbahan baku gelas tidak mudah bereaksi dengan minyak atsiri, sedangkan kemasan yang
berbahan baku dari plastik dapat bereaksi dengan minyak atsiri. Bahan kemasan yang terbuat
dari baja adalah wadah atau botol kemasan yang terbaik, tetapi hal tersebut memerlukan
pembiayaan yang tinggi atau mahal biayanya.
Minyak atsiri yang telah dimurnikan sebaiknya disimpan pada suhu di bawah 20 oC,
tidak kena cahaya langsung, dan terpisah dari bahan yang berbau. Penurunan kualitas atau
mutu minyak atsiri dapat dikarenakan tiga faktor utama, yaitu karena adanya reaksi dengan
lingkungan, reaksi dengan media maupun wadah penyimpanan, dan kerusakan komponen
kimianya. Khusus untuk kerusakan komponen kimianya, hal tersebut dapat terjadi karena
adanya proses hidrolisa (air dan panas); oksidasi (panas, cahaya dan ion logam);
danresinifikasi (suhu tinggi > 100oC, tekanan tinggi 24 atmosphir). Pencampuran, reaksi,
atau kontaminasi dengan wadah/kemasan juga dapat menurunkan kualitas minyak atsiri.
Minyak atsiri banyak dipergunakan untuk obat wangi-wangian baik secara langsung
maupun sebagai bahan baku campuran dalam industri obat-obatan, pada industri parfum
(wangi-wangian), juga kosmetik. Di Malaysia, minyak atsiri digunakan sebagai obat
pengusir serangga dan nyamuk. Pemanfaatan minyak kayu putih lainnya adalah untuk obat
penghilang rasa sakit kepala, sakit gigi, dan rematik (Sasegawa dkk., 2003).
Review tentang pemanfaatan minyak atsiri beserta komponen penyusunya untuk terapi
dan obat-obatan atau phramasi dilakukan oleh Edris (2007). Minyak atsiri dan komponen
kimia penyusunnya banyak dimanfaatkan untuk mencegah dan mengobati beberapa penyakit
seperti kanker, kardiovaskuler, athsrosclerosis, dan thrombosis. Sedangkan bioaktivitas dari
minyak atsiri dan komponen kimia penyusunya juga aktif pada uji antioksidan, antivirus,
antidiabetes, dan antibakteri.
Minyak kayu putih diperoleh dari ekstraksi daun tanaman dari family Myrtaceae yaitu
Melaleuca spp.Diperkirakan terdapat sekitar 100 jenis ordo Myrtalae yang dikenal sebagai
species yang mengandung banyak minyak atsiri (essential oil-rich species), Sasegawa dkk
(2003). Di Indonesia dikenal beberapa species Melaleuca spp, di antaranya adalah
Melaleucaleucadendron, M. cajaputi Roxb, M. viridiflora Corn dan M. minor Smith.Minyak
atsiri pada species-species tersebut terdapat pada daun dan kuncup pada ketiak daun
(terminal twigs), Sasegawa (2003). Tumbuhan minyak kayu putih adalah berbentuk pohon
dengan tinggi 12 m, berkembang biak dengan akar dan biji. Tanaman ini tahan terhadap api.
Tumbuh pada ketinggian 0-400 m di atas permukaan laut dari pantai sampai pegunungan.
Tabel 15.2. Pengaruh bentuk daun terhadap komposisi minyak kayu putih
Sasegawa dkk (2003) melakukan penelitian tentang komponen kimia dan sifat
antirayapnyaminyak atsiri dari Melaleuca species dari berbagai lokasi di Indonesia dan
Malaysia. Penelitian ini didasari pada kesimpangsiuran dilapangan atau kesamaan fisik
dari daun Gelam dan Kayu Putih. Hal ini juga didasarkan pada kenyataan dilapangan
bahwa nama botani Melaleuca leucadendron dan Melaleuca cajuputi sering
dipergunakan untuk menyebut minyak Gelam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
komponenkimia minyak gelam sangat berbeda dengan minyak kayu putih (Melaleuca
cajuputi). Komponen kimia yang dominan dari minyak gelam adalah -Terpinene, -
Terpinene, -phellandene, dan terpinolene. Sedangkan minyak kayu putih yang
digunakan dalam ekperimen ini banyak mengandung komponen yang berjenis methyl
eugenol dan terpenoids. Methyl eugenol dan isomethyl eugenol tidak ditemukan dalam
minyak gelam dalam ekperimen ini. Secara umum minyak kayu putih dicirikan oleh
tingginya komponen kimia dari 1,8-Cineole dan -Terpeniol. Sehingga disimpulkan
bahwa minyak gelam lebih dekat dengan minyak atsiri dari M. leucadendron. Sehingga
disarankan untuk meneliti lagi taxonomi tumbuhan gelam, baik menggunakan
pendekatan statistik maupun genetik, sehingga kepastian speciesnya dapat didefinisikan
dengan pasti.
Tabel 15.3. Pengaruh penyimpanan terhadap rendemen dan kadar Sineol dari
Minyak Kayu Putih
c). Pengisian daun dalam ketel. Pengisian daun dalam ketel dapat menyebar secara merata
atau mengumpul pada satu titik. Keduanya mempunyai efek yang sangat berbeda
terhadap rendemen minyak kayu putih yang dihasilkan.
d). Suhu dan lama penyulingan. Suhu danwaktu penyulingan akan sangat berpengaruh
tehadap rendemen dan kualitas minyak kayu putih yang dihasilkan.
e). Umur pohon dan tempat tumbuh. Umur pohon dan tempat tumbuh diduga berpengaruh
terhadap rendemen dan kualitas minyak atsiri yang dihasilkan. Karena faktor tempat
tumbuh akan berpengaruh terhadap pertumbuhan pohon, khususnya dalam
memproduksi daun, kulit dan cabang.
Sifat fisik dan komponen kimia minyak atsiri dari Melaleuca leucadendron Linn. dari
tiga kelas umur, 5, 10 dan 15 tahun yang dikumpulkan dari beberapa lokasi hutan tanaman di
Gunung kidul, Gundih, dan Sukun, di Jawa telah di teliti oleh Pujiarti dkk (2011). Mereka
melaporkan bahwa sebanyak 26 komponen kimia diidentifikasi dari M. leucadendron. Dari
komponen tersebut, yang dominan di antaranya adalah 1-8 cineole (44.76 – 60.19%), -
terpeneol (5.93-12.45%), D(+)-limonene (4.45-8.85%), dan -caryophyllene (3.78-7.64%).
Dijelaskan juga bahwa dari ketiga lokasi pengambilan sample, terdapat kecenderungan
penurunan kadar 1.8-cineole dan peningkatan kadar -carophyllene seiring dengan
bertambahnya umur pohon. Komponen -Terpeniol pada umur pohon 10 tahun adalah yang
tertinggi dibanding du kelompok umur lainnya. Tetapi untuk komponen D(+)-limonene
sangat bervariasi baik antar tempat tumbuh maupun antar kelompok umur pohon.
Di Indonesia, standarminyak kayu putih yang baik memiliki beberapa persyaratan
seperti disajikan pada Tabel 15.4. Sedangkan mutu atau kualitas minyak kayu putih
berdasarkan Essential Oil Association of USA (EOA) yang dikutip Pakpahan (1993)
diringkas pada Tabel 15.5 berikut di bawah ini.
Karakteristik Syarat
Warna Kekuning-kuningan sampai kehijau-hijauan
o o
Berat Jenis (25 /25 C) 0.868-0.921
Indek bias (nD 25) 1.464-1.482
Putaran Optik ()D 0o s/d (-4)
Kadar Sineol (%) 50-65
Kelarutan dalam ethanol 80% 1:1 (vol) jenuh, seharusnya jernih
Bau Segar, khas minyak kayu putih
Sumber: Sumadiwangsa (1973) seperti dikutip oleh Pakpahan (1993)
Tabel 15.5. Karakteristik dan syarat mutu kayu putih berdasarkan The Essential Oil
Association of USA
Karakteristik Syarat
Warna dan penampilan Bening berwarna hijau atau kuning dengan
penampilan jernih.
Berat Jenis pada 25oC 0.980-0.9250
Indek bias pada 20o 1.4660-1.4720
Putaran Optik ()D 0o –4 o
Kadar Sineol (%) 50-60
Kelarutan dalam ethanol 80% Larut dalam perbandingan 1:1 – 1:9
Bau Segar, khas minyak kayu putih
Bahan baku untuk membuat ketel atau ekstraktor juga berpengaruh terhadap kualitas
minyak atsiri. Ekstraktor yang terbuat dari logam atau bahan lainnya akan sangat
mempengaruhi warna minyak kayu putih yang dihasilkan. Ketel yang terbuat dari tembaga
menghasilkan warna hijau/biru, ketel dari besi menghasilkan warna kuning/coklat, ketel dari
semen atau beton menghasilkan warna minyak kuning muda. Ketel yang terbuat dari
stainless steel tidak menghasilkan warna.
Minyak kayu putih memiliki komponen utama (main compounds) seperti cineol,
terpinol dan lainnya. Rumus molekul dari masing-masing komponen utama tersebut beserta
titik didihnya diringkas dalam Tabel 15.6 di bawah ini .
Tabel 15.6. Komponen kimia (chemical constituents) minyak kayu putih, rumus kimia,
dan titik didihnya
Sedangkan panduan lengkap dan menyeluruh mengenai prosedur dan tata cara
pengujian kualitas minyak kayu putih diuraikan dengan jelas dalam Standar nasional
Indonesia (SNI) 06-3954-2006.
Minyak lawang adalah minyak atsiri yang terdapat pada kayu dan kulit tumbuhan dari
Famili Lauraceae, yaitu Cinnamomum culilawan BLyang menyebar di wilayah Maluku dan
Papua, dan Cinnamomum Sintok BLyang terdapat di Jawa, Sumatra, Maluku, Papua dan
Kalimantan. Komoditas minyak atsiri ini di daerah Papua dekenal dengan nama Kulilawang.
Penyebaran dan informasi singkat tentang tumbuhan Kulilawang dijelaskan oleh Utomo
(2002), yang selengkapnya dapat dibaca di sumber aslinya. Tumbuhan minyak lawang ini
dapat mencapai ketinggian hingga 8 m dengan diameter (ø) batang hingga 50 cm. Pohon
Kulilawang yang tumbuh di halaman rumah penduduk di kecamatan Windesi, kabupaten
Teluk Wondama, provinsi Papua Barat dapat dilihat pada Gambar 15.8.
Gambar 15.8. Pohon Lawang yang tumbuh di pekarangan penduduk di distrik Windesi kab.
Teluk Wondama
Pohon kayu lawang termasuk pohon yang berdiameter besar dan tinggi dengan tajuk
lebat dan merupakan tanaman toleran dan selalu hijau. Kulit batang bewarna keputihan
Dua komponen utama dari minyak lawang adalah eugenol dan safrol, dan merupakan
karakter atau ciri khas dari minyak lawang. Minyak kulilawang dari ekstrak batang pohon,
yaitu kayu teras (heartwood) dari bagian pangkal dan ujung, yang diperoleh dari daerah
Wasior, kabupaten Wondama, provinsi Papua Barat telah diteliti oleh Triantoro dan Susanti
(2007). Mereka melaporkan bahwa bagian pangkal teras mengandung 18 komponen kimia,
sedangkan pada bagian ujunh teras mengandung 12 senyawa kimia. Di antara senyawa-
senyawa tersebut, eugenol adalah paling dominan, yaitu 66.23% pada bagian pangkal dan
pada bagian ujung sebanyak 34.36%. Mereka juga menyimpulkan bahwa komponen utama
minyak lawang dari batang dan kulit tidak berbeda nyata.
Penggunaan minyak lawang: adalah sebagai Obat gosok, untuk mengurangi rasa nyeri
pada penyakit reumatik, atau terkilir. Dalam skala industri minyak lawang dipakai dalam
industri kimia, industri pangan dan parfum
Faktor faktor yang mempengaruhi rendemen dan kwalitas minyak lawang adalah: a)
penyiapan bahan baku; b)letak geografis; c)lama waktu penyulingan; d)waktu pengambilan
bahan baku, e)ketel; f)penutup ketel; dan g) penyalur uap serta kondesor atau pendingin.
Masing –masing faktor tersebut dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut:
a) Penyiapan bahan baku. Kulit kayu lawang dapat diperoleh dari pohon, cabang dan
ranting. Tetapi karena kesulitan dalam mengambil kulit dari ranting dan cabang, maka
kulit dari pohon lawang yang banyak dimanfaatkan untuk bahan baku minyak kayu
lawang. Sebelum diekstraksi, kulit tersebut perlu diberi perlakuan pendahuluan antara
lain penyimpanan, pengeringan atau pelayuan, perajangan dan fermentasi oleh
microorganisme. Penyimpanan bahan baku dapat dilakukan dengan menimbun bahan
olah pada gudang atau ruangan tertutup dan kering dengan suhu ruangan yang relatif
rendah. Karena minyak kayu lawang mudah menguap pada udara terbuka dan suhu yang
tinggi. Penguapan minyak lawang selama penyimpanan dalam udara kering sangat
tergantung kepada beberapa faktor yaitu: kondisi bahan, metode dan lama penyimpanan,
Karena masyarakat lokal pada umumnya mendapatkan kulit pohon lawang dengan cara
menebang pohonya, maka dikwatirkan cara ini akan mempercepat kepunahan dari komoditas
Kulilawang. Apalagi masyarakat juga belum melakukan budi daya komoditas ini. Untuk itu,
Tokede dan Susanti (2002) melakukan kajian tentang berbagai teknik pengulitan pada pohon
Kulilawang untuk melihat efek bentuk pengulitan (bujur sangkar, persegi panjang dan
ketupat (jajaran genjang) terhadap pemulihan kulit pohon kulilawang tersebut. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa secara statistik ketiga teknik pengulitan tidak berbeda nyata.
Mereka menggarisbawahi bahwa terdapat perbedaan laju pemulihan atau pembentukan kulit
kayu (kalus) antar diameter pohon, yang mana semakin besar diameter pohon, pembentukan
kalusnya semakin lebar. Untuk perioda 6 (enam) bulan pengamatan dengan usia pohon 8
tahun dari 5-27 cm setinggi dada, maka pembentukan kalusnya bervariasi antara 3.57 - 4.36
cm atau sekitar 60-73% dari lebar sayatan atau pengulitan.
15.11. Pustaka
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 2006. Strategi Pengembangan minyak atsiri
Indonesia. Hal.13-14.
Edris, A.E. 2007. Pharmaceutical and Therapeutic Potentials ofEssential Oils and Their
Individual VolatileConstituents: A Review. Phytotherapy research 21 Hal.308-
323.
Faperta, Uncen.1993. Laporan penelitiaan Lanjutan Budi daya Pohon lawang di kabupaten
Dati II Manokwari, Sorong dan Fakfak. Kerja sama Dinas Kehutanan Provinsi
Dati I Irian Jaya dan Faperta Uncen Manokwari (tidakditerbitkan)
Guenter, E.1948. The Essential Oils. Volume I. History – Origin in Plants- Production –
Analysis. Van Nostrand Reinhold Company, Inc. New York.
Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. PN. Balai Pustaka. Jakarta.
Pakpahan, E.R. 1993. Pengujian Beberapa Komponen Kualitas Minyak Kayu Putih
(Melaleuca cajuputi) asal Taman Nasional Wasur Merauke Irian Jaya. Skripsi
Sarjana Kehutanan pada Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas
Negeri Cenderawasih. Manokwari (tidak diterbitkan).
16.1. Pendahuluan
Pada pokokbahasan yang ke enambelasini, topik dari hasil hutan bukan kayu adalah
kimia bahan alam. Kimia bahan alam adalah cabang ilmu kimia organik yang memfokuskan
kajiannya pada komponen atau senyawa kimia yang diperoleh atau isolasi dari tumbuhan.
Penelitian kimia bahan alam meliputi identifikasi, isolasi dan penentuan struktur, uji
pharmakologi serta aktivitas biologisdari beberapa senyawa alam organik dari tumbuhan
tingkat rendah sampai dengan tumbuhan tingkat tinggi. Karena hampir sebagian besar
bahannya diperoleh dari tumbuh-tumbuhan, maka cabang ilmu yang mempelajarinya sering
dikenal dengan istilah Fitokimia (Phytochemistry).
Penelitian-penelitian dibidang kimia bahan alam memerlukan ketelitian, keuletan,
kesabaran, dan keahlian yang tinggi.Penelitian ini juga memerlukan prosedur yang baku,
biaya yang relatif tinggi, dan ketelitian, terutama dalam mencari eluenya atau keseaian
pelarutnya.
Pada akhir pelajaran ini para pembaca diharapkan memiliki kemampuan untuk:
1. Menjelaskan definisi produk hasil hutan bukan kayu golongan kimia bahan alam dan
memahami alasan pengelompokkan komoditas tersebut dalam kelompok hasil hutan
bukan kayu;
2. Menginventarisai beberapa tumbuhan yang diperkirakan memiliki potensi hasil hutan
bukan kayu kimia bahan alam;
3. Menjabarkan beberapa manfaat hasil hutan bukan kayu kimia bahan alam dari berbagai
perpektif ilmu, kesehatan, ekonomi, ekologi dan lingkungan serta keanekaragaman
hayati.
Kearifan lokal atau pengetahuan traditional adalah istilah yang sangat populer untuk
mendiskripsikan beberapa praktek tradisional pada suatu daerah oleh suatu masyarakat lokal.
Kearifan lokal dalam bahasa inggris sering disebut juga dengan indigenous knowledge.
Sehingga pengertian kearifan lokal adalah segala pengetahuan, inovasi, tata cara, nilai dan
norma-norma dari penduduk lokal yang berkaitan dengan sistem pertanian, pengobatan
traditional, pemanfaatan tumbuh-tumbuhan, sosial budaya, pengelolaan lingkungan dan
sumber daya alam yang telah turun temurun berlaku dalam sistem kehidupannya. Khusus
dalam pokok bahasan ini, kita hanya akan memfokuskan pada pengetahuan/kearifan lokal
tentang pemanfaatan tumbuh-tumbuhan sebagai obat-obatan tradisional (herbal drugs) dan
sumber makanan fungsional (funcional foods).
Makanan dan minuman yang kita konsumsi, tidak hanya ditujukkan untuk memenuhi
kebutuhan dari rasa lapar dan dahaga, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan gizi, nutrisi dan
fungsi biologis lainya bagi tubuh kita. Sumber-sumber makanan ini yang disitilahkan dengan
makanan fungsional. Contohnya adalah minuman teh, selain untuk mengatasi rasa dahaga,
tetapi juga untuk mencegah adanya reaksi radikal bebas dalam tubuh kita, yang akan
memacu timbulnya penyakit-penyakit degeneratif. Dalam hal ini, teh berfungsi sebagai
senyawa antioksidan, inflammatory dan sebagainya.
16.2.2. Ethnobotani
16.2.3. Ethnopharmakologi
Phytochemistry adalah ilmu ysng memperlajari komponen atau senyawa kimia yang
diperoleh dari tumbuh-tumbuhan, meliputi isolasi, pemisahan, dan penentuan struktur dari
senyawa kimia yang diisolasi tersebut. Dalam bahasa indonesia, phytochemistry dapat
diartikan sebagai fitokimia. Sehingga fitokimia atau kimia tumbuhan adalah kombinasi
antara ilmu kimia organik, bahan alam dan biokimia tumbuhan. Menurut de Padua dkk
(1999) fitokimia dapat didefinisikan sebagai kimia dari metabolit tanaman dan turunannya.
Proses metabolisme kimia pada tumbuhan secara garis besarnya dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu metabolisme primer dan metabolisme sekunder. Metabolisme adalah proses kimia
yang terjadi di dalam tumbuhan secara alami, yang hasilnya dinamakan dengan metabolit,
sehingga dikenal dengan nama metabolit primer dan metabolit sekunder.
Metabolisme primer adalah proses, reaksi dan sintetis kimia yang berkaitan erat dengan
proses metabolisme utama yang pada semua tumbuhan, seperti peristiwa fotosintesis
(Fotosintesis), siklus pentosa (pentose cycle), glykolisis (Glykolysis), transport elektron
(electron transport), siklus asam sitrat (the citric acid cycle), fosforilasi (phosphorylation)
dan beberapa peristiwa biokimia lainnya. Dari metabolisme primer tersebut menghasilkan
metabolit primer. Metabolit primer diproduksi dalam wujud molekul, yang dipergunakan
untuk proses katabolisme (sintesis makromolekul), seperti seperti karbohidrat, lipid, protein
dan asam nukleat. Produk metabolit primer ini yang dipergunakan untuk membangun,
merawat, memperbaiki dan menproduksi sel makhluk hidup, yang dalam hal ini adalah
tumbuh-tumbuhan.
Metabolisme primer dan sekunder saling berkaitan satu sama lain, yang mana
biosintesis akumulasi metabolit sekunder dapat merupakan jalan balik dari metabolit primer.
Produk dari metabolit primer hampir sama pada setiap tumbuh-tumbuhan. Akan tetapi,
sangat kontras dengan metabollit primer, metabolit sekunder dapat mempresentasikan
gambaran akan keberagaman ekologi, taksonomi, perbedaan dan keberagaman biokimiawi.
Biosintesis dan akumulasi dari metabolit sekunder memberikan sebuah landasan dalam
biokimiawi (biochemical systematics) dan kimia sistematik (Chemosystematics). Sehingga
pada akhir akhir ini timbulah istilah baru, yaitu penggolongan taksonomy tumbuhan
berdasarkan komponen metabolit sekundernya. Disiplin ilmu ini yang kemudian dikenal
dengan nama Kemotaksonomi
Keberagaman molekuler dari metabolit sekunder dalam kerajaan tumbuhan
mempresentasikan akan kekayaan biodiversitas tumbuhan, khususnya dalam tantangan untuk
menemukan obat - obatan modern. Hal ini tidak hanya berlaku untuk material tumbuhan itu
sendiri, tetapi juga kandungan aspek biologi molekuler dan biokimiawi dari tumbuhan akan
memberikan petunjuk kajian akan pengembangan obat-obatan modern selanjutnya.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, penggolongan metabolit primer dan sekunder
mengacu kepada perbedaan yang mendasar terhadap struktur kimia dari komponen kimianya.
Metabolit primer terdiri atas karbohidrat, protein, lipids, asam amino, peptida, protein,
enzim, purin, pirimidine dan produk-produk turunannya. Secara umum, metabolit primer
pada kebanyakan adalah golongan dari empat makromolekul atau biomolekul yaitu golongan
dari krabohidrat, protein, lipids dan asam nukleat.Sedangkan metabolit sekunder lebih
banyak dalam jenis dan keberagaman struktur molekuler dibandingkan dengan metabolit
primer. Menurut struktur dasar dan proses sintesisnya, metabolit sekunder dapat
dikelompokkan ke dalam tiga grups besar, yaitu golongan alkaloid, golongan phenol dan
terpenoid. Sedangkan berdasarkan karaktereristik atau gugus penyusunya, sekondary
metabolit dapat dikelompokkan ke dalam enam kelas, seperti terpenoids, phenolic, lemak dan
minyak (fats and oils), alkaloids, senyawa gula (saccharides), dan golongan lain, seperti yang
mengandung sulfur (S), dan sejenisnya.
Kajian utama dari fitokimia adalah aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan
ditimbun oleh tumbuhan seperti penentuan struktur kimia, biosintesisnya, fungsi biologinya,
Senyawa murni yang diisolasi dari tumbuhan setelah ditentukan rumus struktur dan
namanya selanjutnya dilakukan uji laboratoris dan uji klinis. Uji aktivitas biologis adalah
istilah lain dari uji klinis. Uji aktivitas biologis dari ekstrak tumbuhan yang telah diisolasi
dilakukan untuk mengetahui aktivitas nyata dari senyawa baru tersebut.
Tumbuhan Ophiorrhiza cf rosacea dari family Rubiaceae berdasarkan ujiaktivitas
biologis memperlihatkan aktivitas yang nyata vasodilator pada skrining hipokratik. Senyawa
yang berhasil diisolasi dari tumbuhan ini adalah Alkaloid harman yang terkenal memiliki
berbagai aktivitas biologis dan senyawa alkaloida asam liolisidat dengan kadar yang cukup
tinggi. Tumbuhan Air Sirah (Ophiorrhiza spp) diperoleh dua senyawa yangberhasil diisolasi
yaitu alkaloid tetrahidroalstonin dan valesiakotamin yang memperlihatkan efek analgetik dan
relaksasi otot yang nyata pada skrining hipokratik, (Arbain, 2004).
Aminah dkk (2004) melaporkan bahwa metabolit sekunder yang diketemukan pada
family dipterocarpaceae terdiri atas senyawa fenol seperti golongan oligostilbenoid,
flavanoid, fenil propanoid dan turunan asam fenolat dan beberapa senyawa non fenol seperti
terpenoid.
Dewasa ini diperkirakan lebih dari 25 % resep obat yang beredar di negara-negara maju
mengandung senyawa kimia yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan. Selama periode 1989 –
1995 diasumsikan lebih dari 60 % obat kanker dan obat infeksi yang telah beredar atau dalam
proses izin beredar diperoleh dari sumber-sumber hayati baik dari flora maupun fauna. Pada
tahun 1992 delapan belas (18) dari 42 obat baru yang masuk ke pasaran diperoleh dari
sumber alam hayati. Hampir dipastikan setiap jenis obat berasal dari senyawa kimia bahan
alam sebagai prototipe.
Dalam jangka panjang pengembangan obat dari sumber daya alam hayati dilakukan
melalui tiga tahapan proses yaitu:
Tabel 16.1. Beberapa senyawa bioaktif tumbuhan hutan tropis, sumber tumbuhan
penghasilnya dan kategori terapinya
Metabolit sekunder menghasilkan komponen bahan bioaktif yang sangat beragam dan
dalam jumlah yang sangat banyak. Hal ini dikarenakan hampir setiap jenis tumbuhan
menghasilkan senyawa yang khas untuk jenisnya sendiri. Keunikan tersebut, makanya
dikenal dengan penggolongan taxonomy tumbuhan berdasarkan komponen kimia bioaktifnya
atau kandungan metabolit sekundernya.Karena alasan keberagaman tersebut, maka
pembahasan metabolit sekunder tidak dapat dibahas semuanya, hanya dari kelompok yang
dianggap penting.
Bagi tumbuhan, metabolit sekunder memiliki fungsi yang beragam. Fungi tersebut
misalnya untuk bahan perlindungan diri bila diserang oleh jamur, serangga atau penerang
lainnya, untuk menarik serangga dalam membantu proses penyerbukan, signal untuk
regenerasi dan sebagainya.
Terpenoid adalah golongan kimia bahan alam yang disusun oleh beberapa unit isoprene.
Sehingga terpenoid dapat dogolongkan berdasarkan jumlah unit dari isoprene penyusunnya.
Misalnya hemiterpene hanya tersusun dari 1 isoprene, monoterpene bila terdapat 1 isoprene,
sesquiterpene mengandung 3 unit isoprene, dan seterusnya. Diterpen, sesterpene, triterpene,
dan tetraterpen bila mengandung 4, 5, 6, 7, dan 8 unit isoprene dalam struktur molekulnya.
Komponen kimia penyusus minyak atsiri sebagain besar terdiri atas golongan
ternpenoid. Bagi tumbuhan, terpenoid memiliki fungsi seperti racun terhadap gangguan
ekologi, antimikroba, penghasil aroma, penyedap rasa, dan juga repellent terhadap serangga.
Beberapa jenis terpenoid, juga berperan dalam proses metabolisme primer pada tumbuh-
tumbuhan, khususnya yang berkenaan dengan hormon tumbuh (growth regulator), seperti
giberallin dan asam abscicic.
Golongan phenol adalah senyawa kimia bahan alam yang memiliki minimal 1 gugus
aromatik dengan gugus hidroksil. Golongan phenol dapat berupa senyawa sederhana dengan
berat molekul yang rendah seperti asam benzoat dan coumarin, sampai pada senyawa yang
berbobot molekul tinggi seperti golongan flavanoid, stilbene, dan bahkan tannin. Khusus
untuk flavanoid, berdasarkan struktur penyusunya dapat dikelompokkan ke dalam chalcone,
falvones, flavanols, flavanone, isoflavones, flava-3.nol, anthocyanidine dan juga aurones
(Theis dan Lerdau, 2003).
Senyawa golongan phenol banyak ditemukan alam tumbuh-tumbuhan, dan sampai saat
ini kurang lebih sekitar 10 000 senyawa telah berhasil diisolasi, dan dilaporkan struktur
molekulnya (Kennedy dan Wightman, 2011). Dari golongan tersebut, kelompok flavanoid
yang terbesar jumlahnya, yaitu sekitar 6000 jenis senyawa.
Bagi tumbuhan, golongan senyawa phenol berperan dalam proses simbiosis antara
tumbuhan dan serangga, memberi warna pada tumbuhan seperti daun, bunga, memberikan
aroma untuk menarik serangga untuk membantu proses penyerbukan, dan bagian pertahanan
dari tumbuhan untuk melindungi dari penyakit, termasuk serangan nematoda pada akar
tumbuhan (Mozid dkk, 2011).
16.8. Pustaka
Aminah, N.S., A.Suminar., E.H. Hakim., L.D.Juliawaty., E.L.Ghisalberti., Y.M Syah. 2003.
Beberapa Senyawa Oligostilbenoid dari Kulit batang Shorea seminin. The
Indonesian Society of Natural Products Chemistry. Vol. 4 (1) Hal: 27-34
Arbain, D. 2004. Dua Dekade Penelitian Kimia Tumbuhan Sumatra. The Indonesian Society
of Natural Products Chemistry. Vol. 4 (1) Hal:1-12.
De Padua. L.S., N. Bunyapraphatsara., R.H.M.J. Lemmen (editorr). Medicinal and poisonous
plant 1. Plant Resources of South-East Asia. No. 12 (1). Prosea. Bogor.
Indonesia.Forestry, The State university of Papua, Manokwari (in Indonesian).
pp. 12-18.
Fakim, A.G. 2006. Medicinal plants :Traditions of yesterdayand drugs of tomorrow.
Molecular aspects of medicine 27:1-93.
Janardhanan, K. K., and V. George, 2006. Ethnopharmacology and alternative medicine.
Current science 90(11) Hal.1460 – 1461.
Kennedy, D.O and E.L. Wightman, 2011. Herbal extract and the enhancement of human
brain function. Advances in Nutrition an International Review Journal 2:32-50.
Mozid, M., T. A. Khan., and F. Mohammad, 2011. Role of secondary metabolites in defend
mechanism of plants. Biology and medicine 3 (2): special issue: Hal. 232 -249.
Syah, Y.M., 2004. Metode Isolasi Kimia Bahan Alam. Materi Pelatihan Kimia bahan Alam
di FMIPA Unipa Manokwari. Kerja sama FKSU dan FMIPA UNIPA (tidak
diterbitkan).
Theis, N and M, Lerdau, 2003. The evolution of function in plants secondary metabolites.
International Journal of Plant Science 164 (3 suppl.) Hal. S93-S102.
17.1. Pendahuluan
Salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu endemik Papua yang cukup banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat asli sebagai sumber lemak nabati adalah Buah Merah
(Pandanus conoideus L). Saat sekarang ini komoditas buah merah telah menjadi bahan kajian
oleh berbagai instansi pemerintah, baik dari dinas kesehatan, pertanian, perkebunan,
kehutanan bahkan sosial dan pemberdayaan masyarakat.
Penggunaan dan pemanfaatan buah merah oleh orang Papua telah turun-temurun, dan
pada kenyataannya memberikan banyak manfaat, tidak hanya bagi kesehatan, dan kecukupan
gizi makanan, tetapi juga berkenaan dengan pendapatan tambahan dari usaha penjualan
komoditas buah merah. Mengingat perannya yang sangat besar tersebut, maka komoditas
buah merah dibahas dalam bab tersendiri pada pokok bahan ini.
Setelah mempelajari pokok bahasan buah merah ini, diharapkan para pembaca memiliki
kemampuan untuk :
1. Melakukan identifikasi tentang potensi buah merah, manfaat dan teknologi pengolahan
buah merah
2. Mendefinisikan manfaat buah merah ditinjau dari aspek kesehatan, sosial ekonomi dan
pemberdayaan masyarakat.
3. Merancang penggunaan tanaman buah merah sebagai tanaman konservasi pada lahan-
lahan marginal
4. Membuat rencana pengembangan diversifikasi produk-produk yang dapat dibuat dari
pemanfaatan buah merah
Buah Merah (Pandanus conoideus L.) berasal dari famili Pandanceae, genus Panadanus
dan spesies conoideus. Buah merah merupakan tumbuhan bercabang dan dapat mencapai
tinggi antara 3-15 M, memiliki diameter batang berkisar antara 4,5 – 30 cm, dengan bentuk
daun memanjang dengan ukuran 5,3-9,5 cm (lebar) x 88-124 cm (panjang) dan memiliki tepi
daun berduri. Panjang buah merah rata-rata berkisar antara 30 – 100 cm, dengan diameter
antara 10-20 cm, sedangkan tandan buah berupa bonggol, dengan panjang 30-40 cm, yang
tersusun dari banyak buah batu kecil-kecil, berkelompok secara padat, memiliki perikarp
berwarna merah, endokrapnya kecil dan relatif tipis, Stone (1997). Gambar 17.1 adalah profil
tanaman buah merah yang telah dibudidayakan di Kampus Universitas Negeri Papua oleh
salah satu dosen pada jurusan pemulian tanaman pada Fakultas Pertanian dan Teknologi
Pertanian telah menghasilkan suatu tegakan dengan jarak tanam 5 m x 5 m dan telah
berbuah. Karakteristik umum dari buah merah adalah bahwa dari setiap percabangan
menghasilkan satu buah (pada umumnya).
Tanaman buah merah dapat dibudidayakan dengan mudah, baik secara generatif
maupun secara vegetatif. Budi daya buah merah pada saat ini mulai digalakkan di tanah
Papua, khusunya untuk tanah-tanah marginal dan sekaligus program gerakan rehabilitasi
lahan dengan melibatkan peran aktif langsung dari komunitas masyarakat lokal.
Pembibitan tanaman buah telah banyak dilakukan oleh perorangan untuk mendukung
program pemerintah daerah dan adanya permintaan komoditas buah merah yang terus
meningkat. Tanaman buah merah sudah dapat mulai berproduksi pada umur sekitar 2 tahun
(komunikasi pribadi dengan bapak Marthen Kirihio, gambar 17.2 sebelah kanan).
Karakteristikdan sifat fisiko-kimia dari buah merah telah diteliti oleh Murtiningrum
(2004), kandungan gizi dan sifat fisoko-kimia dari berbagai jenis minyak buah merah hasil
ekstraksisecara tradisional di kabupaten Jayawijaya, Irian Jaya, diteliti oleh Budi (2001),
sedangkan komposisi minyak dan kandungan asam lemakdari buah merah oleh Murtiningsih
(1992).
Beberapa karakteristik dasar dari buah merah yang diteliti oleh Murtihapsari (2004)
dapat dilihat pada Tabel 17.1 di bawah ini.
Komponen Kandungan
Air (%) 39,81
Abu (bk, %) 2,98
Lemak (bk, %) 20,36
Protein (bk, %) 6,26
Serat kasar (%) 9,47
Kalsium (ppm) 2738,77
Fosfor (ppm) 97,93
Besi (ppm) 173,92
Β-karoten (ppm) 13,10
Sumber : Murtingirum (2004)
Tabel 17.1 di atas menunjukkan bahwa minyak lemak adalah komponen yang cukup
dominan setelah air. Buah merah juga mengandung serat kasar, dengan prosentase sebesar
9.5%. Sedangkan sifat fisiko kimia buah merah menurut sumber yang sama dapat diringkas
pada Tabel 17.2 di bawah ini.
Parameter Hasil
Ekstraks Pemurnian konvensional
i
Titik cair (%) 22,70 13,70
Viskositas (cp) 46,12 38,18
Warna (nilai L) 29,4 56,87
Kadar asam lemak bebas (%) 20,47 0,28
Bilangan peroksida (mgO2/100 gr) 4,36 0,00
Bilangan penyabunan 206,83 202,09
Bilangan Iod 63,12 70,68
Fosfor (ppm) 87,87 2,85
Besi (ppm) 36,62 0,41
Kalsium (ppm) 159,92 22,56
Β-karoten (ppm) 123,00 0,66
Sumber : Murtingirum (2004)
Murtiningsih (1992) melaporkan bahwa rendemen minyak dari buah merah adalah
sebesar 35.93% dari berat kering buah, dan asam lemak yang terdapat dalam minyak buah
merah yaitu asam palmitoleat (19.58%), asam stearat (1.48%), dan asam oleat (79.92%).
Rohman dkk (2012) melaporkan tentang karakteristik minyak dari buah merah, yang mana
Beberapa penelitian tentang uji biologi dan pharmakologi dari ekstrak buah merah juga
telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti dari berbagai instansi, baik perguruan tinggi,
lembaga penelitian pangan dan kesehatan.
Uji antioksidan dari ekstrak buah merah juga dilakukan oleh Rohman dkk (2010).
Dilaporkan bahwa buah merah dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan antioksidan alami
(natural antioxidant source) untuk mencegah beberapa penyakit yang disebabkan oleh adanya
reaksi radikal bebas dalam tubuh kita. Sifat antioksidan dari buah merah tersebut sangat
berhubungan (r2:0.645) dengan kadar komponen phenol (phenolic compounds) dan kadar
flavanoid (r2:0.709). Uji sifat pharmakologi anti kanker (apoptotic expression) terutama sel
kanker panyudara T47D, telah dilakukan oleh Atsirin dkk (2009). Mereka melaporkan bahwa
ekstrak mentah dari buah merah (P.coneideus Lamb.Var. Yellow fruit) sangat berpotensi
untuk dipergunakan sebagai obat anti kanker. Sedangkan uji teratogenic extract mentah dari
bahan yang sama terhadap perkembangan embryo tikus putih (Rattusnorvegicus). Lebih
lanjut dilaporkan bahwa pemberian ekstrak tidak berpengaruh terhadap persentase fetus
hidup, kematian intrauterus, serta berat dan panjang fetus . Tetapi pemberian ekstrak pada
induk tikus mengakibatkan kecacatan skeleton (lordosis) fetus pada dosis 0,16 mL dan
menghambat osifikasi fetus.
Pengolahan buah merah dilakukan dengan cara memotong-motong buah yang telah
masak setelah terlebih dahulu mengeluarkan bagian tengah buah (empulur), di mana daging
dan biji buah menempel. Potongan-potongan tersebut kemudian direbus sampai kulit dan
daging buah menjadi lunak, dan pemerasan dilakukan untuk memisahkan daging buah
dengan bijinya. Pada tahap ini sebenarnya sudah diperoleh minyak, akan tetapi masih dalam
jumlah yang sedikit dan masih bercampur dengan daging buah. Untuk mendapatkan redemen
minyak yang lebih tinggi, maka dilanjutkan dengan perebusan dan penggorengan. Pada
sebagian masyarakat yang tidak memerlukan sayuran, maka hasil pengolahan ini langsung
dapat dipergunakan sebagai lauk pauk, yang dicampur dengan makanan lainnya, seperti ubi
(Manihot esculenta), sagu (metroxylon spp), batatas (Ipomea batatas), kentang dan berbagai
jenis sayuran lainnya. Dengan pencampuran tersebut, bahan makanan tersebut akan berwarna
merah dengan sendirinya.
Metode ekstraksi minyak buah merah yang lain adalah sama dengan yang telah
diuraikan di atas, akan tetapi pada saat minyak dan ampas buah merah telah terpisah, yang
ditunjukkan dengan lapisan minyak yang terpung dibagian atas, sedangkan ampas dibagian
bawah, maka pada kondisi seperti ini minyaknya diambil dengan sendok atau peralatan
lainnya, untuk kemudian ditampung pada wadah minyak yang telah disiapkan.
Di samping dibudidayakan untuk meghasilkan minyak, tanaman buah merah juga dapat
dimanfaatkan untuk membuat berbagi diversifikasi produk, yang kita sebut sebagai produk
sampingan pengolahan buah merah, baik untuk skala rumah tangga maupun industri.
Tumbuhan Buah Merah (Pandanus coneideus L) adalah tanaman jenis pandan yang
serba guna. Hampir seluruh bagian tanaman ini dapat dimanfatakan untuk berbagai tujuan.
Selain buahnya, yang dapat dimanfaatkan adalah daun, akar dan batang seperti diringkasan
seperti pada Tabel 17.5.
17.9. Pustaka
Atsirin. O.P., M. Harini., N.S. Handayani. 2009. The effect of crude extract of Pandanus
coneideus Lamb.Var. Yello fruit on apoptotic Expression of the breast cancer
cell line T47D. Biodiversitas 10 (1) Hal. 48-49.
Budi, M.I. 2001. Kajian Kandungan Zat Gizi Dan Sifat Fisiko Kimia Berbagai Jenis Minyak
Buah Merah (Pandanus Conoideus. Lam) Hasil Ekstraksi Secara Tradisional Di
Kabupaten Jayawijaya Provinsi Irian Jaya. Thesis Pasca Sarjana Institut
Pertanian Bogor (Tidak Diterbitkan).
Indou, Y. (2002). Studi cara pengolahan dan Pemanfaatan Buah Merah (Pandanus coneideus
L) secara tradisional di Kampung Nuhwey Distrik Ransiki. Laporan Tugas
GAHARU (AGARWOOD)
18.1. Pendahuluan
Pada pokok bahasan yang ke-18 ini, pembahasan difokuskan pada produk hasil hutan
bukan kayu yaitu komoditas gaharu. Komoditas gaharu penting dibahas karena harganya
yang cukup mahal dan hanya diperuntukan untuk komoditas ekspor bukan untuk domestik.
Dalam dunia perdagangan international, komoditas gaharu disebut dengan Agarwood, dan
Eagle wood. Komoditas gaharu tidak mudah diperoleh, atau kayu gaharu hanya dapat
diperoleh pada beberapa pohon tertentu. Fenomena terjadinya kayu gaharu adalah bersifat
pathogen, yang berarti kayu tertentu terinfeksi oleh mikroorganisme tertentu, dan
menghasilkan suatu reaksi standar kimiawi yang permanen.
Masyarakat lokal mengetahui jenis pohon inang penghasil gaharu yaitu Aquilaria spp
dan Giyinopsppdan lainnya, tetapi tidak mengetahui apakah pohon tersebut telah
menghasilkan gaharu. Sehingga masyarakat melakukan penebangan pohon jenis tersebut
secara besar-besaran, tetapi tidak memperoleh gaharu yang dimaksud. Praktek seperti ini
banyak terjadi daerah-daerah pedalaman Papua dan Papua Barat, bahkan terjadi di negara
tetangga kita, yaitu Papua New Guinea.
Pegawai dari instansi teknis, seperti dinas kehutanan, kepolisian dan beberapa instansi
yang terkait, juga belum sepenuhnya mengetahui jenis, karakteristik dan bentuk ataupun rupa
komoditas gaharu ini. Untuk itu sangat dirasakan perlu membahas gaharu dalam satu pokok
bahasan sendiri.
Setelah mempelajari pokok bahasan ini para pembaca diharapkan memiliki pengetahuan
dan kemampuan untuk :
1. Mendefinisikan dan menjelaskan pengertian gaharu, jenis-jenis pohon inang gaharu;
2. Menjelaskan proses terbentuknya gaharu dan faktor-faktor yang mempegaruhinya;
3. Memahami penggolongan komoditas jenis-jenis gaharu, termasuk variabel penentuan
kualitasnya.
Pohon penghasil atau inang gaharu termasuk dalam diviso spermatohyta, kelas
dicotyledoeneae, yang terbagi ke dalam tiga famili yaitu Thymeleaceae, Euphorbiaaceae dan
Leguminoceae. Sumarna (2005) seperti yang dikutip oleh Dimara dan Siburian (2007)
mengemukakan bahwa 7 (tujuh) genus pohon penghasil gaharu adalah Aquilaria, Aetoxylon,
Enkleia, Gonystylus, Wikstroemia, Girynops, Dalbergia dan Exxocaria.
Departemen Kehutanan dalam situs resminya hhtp://www.dephut.go.id, menyatakan
bahwa pohon penghasil gaharu tumbuh di daerah tropika, yang terdiri atas tiga marga yaitu
Aquilaria, Girynops danGonystylus. Untuk marga Aquilaria, terdiri atas 15 species yang
tersebar di daerah tropis Asia, yaitu India, Pakistan, Myanmar, Laos PDR, Thailand,
Kamboja, China Selatan, Malaysia, Filipina dan Indonesia. Marga Gonystylus memilki 10
species dan tersebar di Asia Tenggara yaitu Malaysia, Filipina, Peninsula, Sarawak, Sabah,
Indonesia, Papua New Guinea, Kepulauan Solomon dan Kelupauan Nicobar. Gambar pohon
penghasil komoditas gaharu dari marga Girynops seperti ditunjukkan oleh Gambar 18.1 di
bawah ini.
Menurut Sumarna (2005) seperti yang dikutip oleh Dimara dan Siburian (2007)
beberapa jenis pohon penghasil gaharu dan daerah penyebarannya di Indonesia daapt
diringkas seperti disajikan oleh Tabel 18.1
Tabel 18.1. Jenis-jenis pohon penghasil gaharu di Indonesia dan daerah peneyebaranya
Dari Table 18.1 di atas terlihat bahwa komoditas gaharu dapat ditemukan hampir
diseluruh wilayah Indonesia, yaitu dari Sabang sampai Merauke. Akan tetapi, bila kita
perhatikan dengan seksama, komoditas gaharu kebanyakan dihasilkan dari kawasan hutan
alam di luar Pulau Jawa, yang mana masih memiliki hutan hujan tropis yang asli dan luas.
Informasi dan data potensi pohon penghasil gaharu belum diketahui secara pasti.
Beberapa pustaka dan referensi yang membahas tentang gaharu, hanya membahas daerah
penyebaran gaharu, tanpa menyebutkan potensi tegakan gaharu yang pasti. Hal ini
dimungkinkan karena, pohon gaharu tersebar secara sporadis pada hutan alam, tidak tersebar
homogen atau terpusat pada suatu areal habitat, sperti halnya pada hutan tanaman.
Khusus penyebearan gaharu, di Papua, menurut Dinas Kehutanan Provinsi Papua
(2006), penyebaran gaharu terdapat pada daerah Jayapura yaitu Mamberamo dan Nimboton,
Jayawijaya, Merauke di daerah Agats dan Bade, Nabire, Enarotali dan Manokwari.
Sedangkan Dimara dan Siburian (2007) melaporkan bahwa penyebaran gaharu di kabupatean
Manokwari terdapat di daerah Pantai Utara, Warmare, Kebar, Merdey, dan Ransiki. Daerah
Pantai Utara gaharu dapat diperoleh dari pohon jenis Girynops spp, sedangkan daerah
Warmare, Kebar dan Ransiki gaharu dihasilkan dari dua jenis pohon yaitu Aquilaria spp dan
Girynops spp.
Penduduk lokal di Papua, umumnya mengetahui tentangkeberadaan komoditas gaharu
di beberapa kawasan hutan di daerahnya, akan tetapi mereka tidak memiliki keahlian dan
kemampuan untuk mengenali, mengidentifikasi, bahkan memanen komoditas ini. Menurut
Dimara dan Siburian (2007) masyarakat Arfak menamakan gaharu dengan nama lokal
Mokoroug, dan komoditas gaharu dibedakan menjadi tiga yaitu beringin, cengkeh dan sirsak.
Sedangkan kualitas gaharu dibedakan menjadi dua yaitu gaharu super dan gaharu
kemedangan.
Wahyudi dan Sineri (2006) melaporkan bahwa masyarakat di Werianggi distrik Wasior
kab. Teluk Wondama, tidak memiliki pengetahuanuntuk mengenali dan membedakan
kualitas gaharu dari kawasan hutan yang merekamiliki sendiri. Sehingga para pekerja
migran, yang berasal dari luar Teluk Wondama dan bahkan luar Papua, datang berburu
gaharu dan melaporkan hasilnya kepada masyarakat setempat berdasarkan kesepakatan yang
telah disepakati bersama. Penduduk asliPapua yang berasal dari Pengunugan Tengah, seperti
Wamena, Yahukimo dan daerah sekitarnya umumnya memiliki pengetahuan tentang gaharu
yang lebih maju dibandingkan dengan meraka yang tinggal di daerah pesisir. Hal ini dapat
terlihat dari beberapa orang dari daerah tersebut yang berburu kayu Gaharu sampai ke daerah
Manokwari, Mamberamo dan daerah dataran rendah lainnya.
Menurut definisi yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) SNI 01-
5009.1-1999, gaharu adalah sejenis kayu dengan berbagai bentuk yang memiliki warna yang
khas, serta memiliki kadar damar wangi, berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil
gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati, sebagai akibat dari proses infeksi yang
terjadi baik secara alami maupun buatan pada pohon tersebut, dan pada umumnya terjadi
pada pohon Aguilaria sp yang dikenal dengan nama daerah seperti Karas, Alim, Gaharu dan
lain – lain.
Proses terjadinya kayu gaharu adalah hasil dari proses pathogenic karena timbulnya
infeksi, yaitu hasil proses infeksi dari jamur jenis Fusarium spp yang terjadi pada pohon
18.5. Pemanfaatan dan Komponen Kimia Minyak Atsiri dan Ektrak Gaharu
Pemanfaatan Gaharu untuk berbagai tujuan sudah dimulai sejak zaman peradaban,
terutama untuk daerah China, India, Jepang, dan bahkan negara-negara kaya di Timur
Tengah. Pengguna gaharu di Cina mendiskripsikan aroma (fragnant) gaharu memiliki aroma
yang menyejukkan, mendalam dan penuh dengan aroma (as a sweet, deep but balanced
fragnance’) yang banyak dimanfaatakan dalam upacara-upacara keagamaan, upacara
perayaan dan beberapa produk parfum, sebagaimana digunakan di negara-negara lain seperti
negara-negara Arab, India dan Jepang. Gaharu juga dapat dimanfaatkan untuk bahan obat-
obatan tradisional, sebagaimana dipergunakan oleh para dokter di Cina sebagai obat demam
dan penyakit perut (Goloubinoff, de Beer dan Katz, 2004).
Aroma minyak gaharu tersebut berasal dari minyak atsiri (volatilecompounds) yang
diekstrak dan dimanfaatkan untuk membuat parfum. Parfum yang terbuat dari gaharu
memiliki nilai jual yang sangat tinggi, terutama di negara-negara Timur Tengah, karena
parfum ini memiliki kelebihan yaitu bahwa parfum tersebut tahan terhadap cuaca atau suhu
panas, dan semakin lama dipakai, aromanya akan semakin terasa.Parfum dari gaharu juga
disukai karena tidak mengandung alkohol. Untuk negara-negara Eropa, parfum yang
terbuatdari gaharu kurang mendapat tempat dipasar, hal ini dikarenakan harganya yang
mahal, dan belum adanya bahan sintetis yang dapat menghasilkan aroma yang
menyerupainya.
Minyak atsiri dari komoditas gaharu juga memiliki beberapa fungsi biologi, bagi tubuh
kita. Chen dkk (2012) melaporkan beberapa uji biologis dari minyak gaharu, seperti sifat
anti-mikroba, anti-tumor, anti-oksidan, dan dapat juga sebagai obat anantesi (penghilang rasa
sakit) bedasarkan uji Central Nrevous System (CNS).
Penelitian tentang komponen kimia dari minyak atrisi komoditas gaharutelah dilakukan
oleh berbagai peneliti. Nor Azah dkk (2008) meneliti tentang komposisi kimia dari berbagai
komoditas gaharu di Malaysia. Selanjutnya dilaporkan bahwa minyak atsiri gaharu memiliki
warna yang beragam, dari hijau kecoklatan sampai dengan coklat merah gelap. Secara umum
minyak gaharu mengandung komponen kimia yang sangat kompleks, tetapi umumnya terdiri
atas senyawa kelompok sesquiterpene hidrokarbon, sesquiterpene alkohol, dan alipatic
hidrokarbon. Untuk komoditas gaharu dari pohon Aquilara malaccensis yang bergrade C dari
berbagai daerah di Malaysia, beberapa komponen yang berhasil dideteksi adalah 3-pheny-2-
butanone, -guanine, -agarofuran, -agarofuran, Nor-ketoagarofuran, 10-epi- -eudeamol,
agarospirol, -eudesmol, Jinkoh-erenol, kusunol, dan Jinkol II.
Ringkasan lengkap dan menyeluruh terhadap berbagai jenis komponen minyak dan
ektrak dari komoditas gaharu, baik yang mudah menguap (volatile compound) maupun yang
tidak mudah menguap (non volatile compounds) terhadap tiga spesies Aquilaria, yaitu A.
malaccensis, A. sinensis, dan A. crassna, spptelah diringkas oleh Naef (2011). Dilaporkan
bahwa sebanyak 150 komponen kimia telah berhasil diidentifikasi, dan dari jumlah tersebut,
kebanyakan adalah jenis sesquitermpenoids, chromones dan senyawa aromatik volatile.
Komponen-komponen kimia dari gaharu tersebut selengkapnya dapat dilihat pada referensi
aslinya, seperti dicantumkan di referensi.
Sedangkan komposisi komponen kimia secara lengkap dari gaharu dari genus Aquilaria
dari berbagai daerah endemik asalnya, seperti Malaysia, China, Kamboja, India, Indonesia,
Kalimantan, dan Vietnam dilaporkan oleh Chen dkk (2012). Selanjutnya dilaporkan bahwa
sebanyak 132 komponen kimia telah berhasil diidentifikasi dari minyak gaharu genus
Aquilaria, yang mana sebagian besar adalah kelompok sesquiterpenoid, kelompok turunan
dari 2-(2-phenylethyl)-4-H-chromen-4-one, berbagai senyawa aromatik, dan kelompok
triterpenoid. Kelompok sesquiterpenoid dan turunan dari 2-(2-phenylethyl)-4-H-chromen-4-
one adalah dua kelompok yang dominan dalam komoditas gaharu dari genus Aquilaria.
Permintaan ekspor akan produk gaharu sangat tinggi. Contohnya untuk perioda tiga
bulan saja, dari bulan November sampai Desember 2006, untuk satu perusahaan eksportir,
CV. Agung Perdana, di Mataram, memiliki kuota untuk mengekspor 10 ton gaharu dengan
tujuan utamanya adalah Timur Tengah (www. kompas.com). Karena intensifnyapencarian,
perburuan komoditas gaharu dan penebangan liar yang berlangsung secara terus menerus,
maka populasi kayu penghasil gaharu mulai menipis. Untuk mengatasinya maka diwajibkan
kepada pengusaha pemegang izin ekspor gaharu diwajibakan untuk menyediakan areal seluas
minimal 2 ha untuk keperluan budi daya gaharu.
Untuk patokan harga, harga komoditas gaharu sangat bervariasi, untuk gaharu kualitas
utama yang dihasilkan dari Kalimantan, di pasar lokal dapat dihargai mencapai US $ 400 per
kg, dan di Singapura harga per kilogram dari gaharu dengan kualitas yang sama mencapai
US $ 1,000 kg, dan bahkan di negara-negara Arab dapat mencapai harga US $ 3,000 per kg,
(Goloubinoff, de Beer dan Katz, 2004). Gaharu berkualitas lokal (Gambar 18.3) di daerah
Werianggi, kabupaten Teluk Wondama dan di Manokwari dihargai sekitar Rp 400 000 per
kg pada pasar tradisional.
ASGARIN (2005) yang dikutip oleh Dimara dan Siburian (2007) melaporkan bahwa
produksi gaharu Indonesia saat ini baru mencapai sekitar 10-20% dari total kuota ekspor
gaharu nasional, sehingga berdampak kepada tingginya harga komoditas tersebut, hingga
berkisar antara Rp. 2 – 5 juta per kilogram. Realita ekspor komoditas gaharu sampai dengan
bulan September 2007, dapat dilihat pada Tabel 18.1 di bawah ini.
Tabel 18.1. Realisasi ekspor komoditas Gaharu yang langsung diambil dari hutan per
Juli 2007
Untuk keperluan standarisasi dalam kualitas, cara pengujian, cara pemungutan dan
beberapa pedoman pengujian gaharu di Indonesia telah diatur secara lengkap dalam Standar
Nasional Indonesia (SNI) 01-5009.1-1999.. SNI ini mengatur tata cara pegujian dan gaharu,
yang mana di dalamnya membahas tentang definisi, lambang, singkatan, istilah, spesifikasi,
klarifikasi, cara pemungutan, syarat mutu, pengambilan contoh, cara uji, syarat lulus uji,
syarat penandaan, sebagai pedoman pengujian gaharu yang diproduksi di Indonesia.
Berdasarkan SNI tersebut, komoditas gaharu dibedakan menjadi 4 (empat) jenis yaitu:
Dalam perdagangan sehari-hari, penentuan kualitas kayu gaharu tidak mengacu kepada
standar kualitas yang ditentuntan oleh SNI 01-5009.1-1999. Penentuan kualitas biasanya
ditentukan oleh pedagang dan pembeli, maupun ditentukan sepenuhnya oleh para tengkulak.
Menurut SNI kualitas gaharu yang diperdagangkan di Indonesia, terbagai ke dalam 13 kelas
yaitu:
1. Gubal gaharu terbagi ke dalam 3 (tiga) kelas kualita yaitu mutu utama (U) setara mutu
Super; mutu Pertama (I) setara dengan mutu AB dan mutu Kedua (II) atau setara dengan
mutu Sabah Super.
2. Kemedangan terbagi ke dalam 7 (tujuh) kelas mutu yaitu Mutu pertama (I) setara
dengan Tanggung TGA atau Tanggung Kemedangan I (TKI); Mutu Kedua (II) setara
mutu Sabah 1 (SB I); mutu Ketiga (III) setara mutu Tanggung AB (TAB); mutu
Keempat (IV) setara mutu Tanggung C (TGC); Mutu Kelima (V) setara mutu
Kemedangan 1 (M1); mutu Keenam (VI) setara mutu Kemdangan 2 (M2); dan mutu
Ketujuh (VII) setara mutu Kemdangan 3 (M3).
3. Abu gaharu terbagi ke dalam 3 (tiga) kelas mutu yaitu Mutu Utama (U); mutu Pertama
(I); dan Mutu Kedua (II).
Sedangkan menurut Asosiasi Gaharu Indonesia (ASGARIN) tahun 2005 seperti yang
dikutip oleh Dimara dan Siburian (2007), kualitas gaharu yang diperdagankan di Indonesia
terbagai dalam dua jenis yaitu gaharu Gubal dan Kemedangan. Uraian lengkap tentang
klasifikasi dan sub klas komoditas gaharu menurut ASGARIN ditampilkan pada Tabel 18.2.
Klasifikasi produk gaharu berdasarkan kelas, mutu dan spesifikasi dilakukan melalui
pemisahan dalam bentuk serpihan (chips), yaitu bentuk teri, kacang dan abuk. Sedangkan
peengelompokan kayu gaharu ke gubal atau kemedangan dilakukan dengan memperhatikan
faktor ukuran, bentuk, warna dan aroma. Khusus untuk pengujian aroma, dilakukan dengan
memotong dan membakar potongan (dalam bentuk serpihan kecil) dan mencium aromanya,
apakah kuat atau lemah.
Di Kalimantan, penggolongan kualitas gaharu ditentukan berdasarkan kesepakatan para
pelaku bisnis gaharu. Kalimantan Barat terdapat 9 (sembilan) jenis mutu gaharu, yaitu dari
kualitas Super A (terbaik) sampai mutu Kemedangan Kropos (terburuk). Sedangkan di
Kalimantan Timur dan Riau kualitas gaharu terbagi ke dalam 8 jenis mutu, yaitu mutu Super
A (terbaik) sampai kepada Kemedangan (terburuk).
1. Gaharu Kelas Super. Kelompok ini memiliki ciri-ciri fisik seperti Kayu berwarna
hitam yg tersebar merata, padat serta mengkilap, banyak mengandung minyak, Serat
Kayu tidak kelihatan. Harga untuk kelas super ini berkisar antara Rp. 1.500.000 –
2.000.000 per kg. Contoh dari komoditas gaharu kelas super ini dapat dilihat pada
Gambar 18.4 di bawah ini.
2. Gaharu Kelas AB. Komoditas gaharu kelas AB memiliki ciri-ciri penampakan adalah kayu
berwarna hitam & agak mengkilap, padat & serat kayu agak kelihatan (Kelas A), dan kelas B
memiliki alur atau bintik putih, dan bagian tengah terdapat rongga. Kelas AB memiliki
kisaran harga antara Rp. 150.000 – 200.000 per kg. Komoditas gaharu kelas AB ditujukkan
oleh Gambar 18.5.
3. Gaharu Kelas Teri. Komoditas gaharu kelas ini memiliki kenampakan fisik yaitu kayu
berwarna hitam, kepingan kayu berukuran kecil dan pendek, dan alur pada serat kayu
berwarna putih. Komoditas ini memiliki kisaran harga antara Rp. 75.000 – 100.000 per kg.
Contoh komoditas gaharu kelas teri dapat dilihat pada Gambar 18.6 di bawah ini
4. Gaharu Kelas Tanggung. Komoditas gaharu kelas ini memiliki penampilan fisik di
antaranya adalah kayu berwarna coklat kehitaman sampai coklat bergaris putih, serat kayu
kasar, dan kayu padat namun memiliki bobot yang agak ringan. Jenis gaharu ini memiliki
harg aberkisar dari Rp. 50.000 – Rp70.000 per kg. Contoh gaharu kelas tanggung
diperlihatkan oleh Gambar 18.7 di bawah ini.
A B C
Sumber : Dimara dan Siburian (2007)
Gambar 18.8. Komoditas gaharu kelas kemedangan A, B, dan C
6. Gaharu Buaya. Kelompok gaharu ini memiliki penampakan dengan ciri-ciri seperti kayu
berwarna coklat sampai coklat kehitaman, serat kayu kasar dan memiliki aroma yang tajam.
Contoh komoditas gaharu kelas buaya dapat dilihat pada Gambar 18.9 di bawah ini.
Komoditas gaharu buaya ini juga tidak disertai kisaran harga yang berlaku di pasaran
Manokwari dan sekitarnya.
18.8. Pustaka
Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2001. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-5009.4-
2001.
Chen, Huai-Qiong., J.H. Wei., J.S. Yang., Z. Zhang., Y. Yang., Z.H. Gao., C. Sui., B. Gong.
Chemical constituents of Agarwood originating from the endemic genus
Aquilaria plants. Review. Cheistry & Biodiversity 9 Hal. 236-250.
Dimara. P., R. H.S. Siburian. 2007. Jenis dan Spesifikasi Kualitas Gaharu asal hutan alam
kabupaten Manokwari. Materi Seminar Hasil-hasil Penelitian Fahutan Unipa
Manokwari.
Dai, Hao-Fi., J. Liu., Y.B. Zeng., Z. Han., H. Wang., W.L. Mei. 2009. A new 2(2-
Phenylethyl)chromone from Chinese Eaglewood. Molecule 14 Hal.5165-5168.
Goloubinoff, M; J. de Beer., E. Katz .2004. Agarwood, Frganant wood. Riches of the forest:
Food, Spices, Craft and resin of Asia. Citlalli Lopez dan Patricia Shanley.
Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor Indonesia.
19.1. Pendahuluan
Pada pokok bahasan yang ke 19 ini, pembahasan difokuskan pada produk hasil hutan
bukan kayu kelompok nabati yang memiliki peran yang cukup penting dalam masyarakat,
perdagangan lokal dan potensinya cukup melimpah di alam. Kelompok nabati yang akan kita
bahas pada modul ini meliputi komoditas Anggrek (Dendrobium spp), buah Mangrove,
terutama dari jenis Rhizopora spp, Pandan (Pandanus spp), dan Nipah (Nypafruticans
Wurmb).
Kenapa kita membahas komoditas nabati tersebut, karena komoditas tersebut di
khususnya daerah Papua memiliki peran yang cukup signifikan, khususnya bagi penduduk
lokal, baik sebagai sumber penghasilan tambahan maupun makanan alternatif. Anggrek
potensinya cukup melimpah dan dijual dengan bebas kepada setiap tamu yang datang ke
Papua, daun pandan banyak dimanfaatkan untuk membuat tikar tradisional dan beberapa
produk nayaman lokal lainnya. Nipah pelepah daunnya untuk dinding rumah tradisional
masyarakat lokal, daunya disusun dan dijepit untuk atap rumah, sedangkan air niranya dapat
dibuat minuman lokal beralkohol. Buah Mangrove dari jenis Rhizophora spp dan Bruquiera
spp dapat dijadikan sumber karbohidrat alternatif bagi penduduk lokal di Irian Jaya
Setelah menyelesaikan pokok bahasan ini, para pembaca diharapkan memiliki
kemampuan untuk :
1. Melakukan identifikasi beberapa komoditas nabati lainnya yang belum dibahas dalam
pokok bahasan ini khususnya yang dimanfaatkan bagi masyarakat lokal.
2. Membedakan komoditas nabati yang dimanfaatkan untuk tujuan pemakaian sendiri atau
dapat menghasilkan uang (dijual).
3. Mengetahui beberapa produk-produk keunggulan lokal dari beberapa komoditas nabati
tersebut
Tumbuhan Anggrek adalah tumbuhan yang sangat unik, keunikan tersebut dicirikan
oleh bunganya yang sangat bervariasi, baik dalam ukuran, bentuk dan warnanya. Anggrek
adalah sejenis tumbuhan efifit yang banyak dimanfaatkan sebagai tanaman hias (Ornament
plants) karena keunikan bunganya yang memukau, baunya yang khas, yang kemudian
mengilhami untuk membuat parfum dan minyak rambut yang khas bunga anggrek. Anggrek
termasuk dalam family Orchidaceae suatu family tumbuhan yang sangat besar dan beragam
Dari keragaman jenis, Anggrek juga sangat beragam, diperkirakan terdapat sekitar 30
000 species anggrek di dunia yang terdiri atas 660 genera dengan 75 000 hibrid yang
terdaftar (Rukmana, 2000). Selanjutnya penulis yang sama mengemukakan bahwa Indonesia
diperkirakan memiliki potensi anggrek lebih dari 5000 species. Keberagaman jenis tersebut
belum termasuk beberapa jenis yang merupakan hasil persilangan, yang dilakukan setelah
diadakan usaha budi daya, sehingga jenis tersebut tidak terdapat dialam.
Anggrek memiliki karakteristik pertumbuhan batang yang khas dan unik, sehingga dapat
dibedakan menjadi dua kelompok yaitu Monopodial dan Sympodial, Orchid Society of South
East Asia, (1998).
Kelompok monopodial didirikan apabila batang anggrek tumbuh secara mandiri atau
indenpenden, dan daun baru selalu muncul dan tumbuh dari pucuk batang. Biasanya
batang jenis anggrek ini tumbuh keatas, atau tumbuh merambar bila berbatang tunggal,
Sympodial adalah jenis anggrek yang memiliki ciri pertumbuhan seperti berumpun dari
dasar yang sama, dengan ciri khas batang yang mengelembung (Bulb) dan bunganya
dapat muncul dari bagian lain dari batang. Pada kebanyakan anggrek yang tumbuhdi
daerah tropis adalah tipe sympodial, Gambar 19. 2.
Metode lain untuk membedakan tumbuhan anggrek adalah dengan melihat habitat
tempat tumbuhnya, apakah tumbuh di atas tanah (Terresterial orchids), menempel pada
pohon (Epiphytic orchids), merambat/memanjat (Climbing orchids) dan di atas batu/tempat
kering (Lithophytic orchids).
Usaha budi daya tanaman anggrek banyak dilakukan secara trandisional maupun dengan
menggunakan teknologi kultur jaringan. Pada kebanyakan, petani anggrek masih
menggunakan metode-metode konvensioanal untuk menyilangkan dan membudidayakan
anggrek.
Penduduk lokal di Papua pada kebanyakan mengambil aggrek dari hutan dan
dibudidayakan secara alami di kebun-kebun penduduk ataupun pekarangan rumah, dan
apabila sudah tumbuh dengan baik dijual. Penjualan anggrek tersebut masih bersifat lokal,
dan dilaksanakan di pelabuhan laut, bandara atau tempat keramaian lainnya dengan kisaran
harga antara Rp 10.000 – 20.000 per tanaman.. Contoh tumbuhan anggrek yang di jual oleh
penduduk lokal digambarkan oleh Gambar 19.3
Tumbuhan mangrove atau bakau adalah vegetasi yang mendominasi pada hutan
mangrove, dan memiliki habitat di daerah peralihan atau perbatasan dari laut ke pantai.
Hutan ini biasanya tumbuh pada daerah-daerah yang berlumpur atau hasil sedimentasi.
Sehingga hutan mangrove selalu identik dengan istilah pasang surut air laut. Vegetasi hutan
mangrove didominasi oleh jenis Bakau (Rhizophora spp), Tumuk/tancang (Bruquiera spp),
Api-api (Avicinea spp), Pedada (Soneratia spp), dan Nyirih (Xylocarpus spp). Dari berbagai
sumber, buah dari tumbuhan mangrove yaitu bakau, tumuk, api-api dan pedada dapat diolah
dan dimanfaatkan sebagai sumber pangan alternatif, khususny pada beberapa daerah yang
berbatasan dengan pantai atau pesisir.Khusus untuk buah dari bakau dan tumuk dapat
dipergunakan sebagai sumber karbohidrat alternatif. Sedangkan beberapa produk kue yang
dapat dihasilkan dari pengolahan buah mangrove di antaranya adalah kue seperti cake, donat,
kue tart, biskuit crispy dan bahkan dodol buah mangrove.
Buah mangrove dari jenis Bakau (Rhizoporaspp) banyak dimanfaatkan oleh masyarakat
di Supriori- kabupaten Biak Numpor, Provinsi Papua untuk bahan makanan yaitu sebagai
sumber karbohidrat atau pati. Keadaan ini berawal saat penduduk lokal kekurangan bahan
makanan pada perang dunia II. Masyarakat lokal lebih mengenalnya dengan sebutan
makanan Ai-bon.
Marty (2006) melaporkan bahwa masyarakat Sowek di Rayori Supriori Selatan,
Kabupaten Supriori, memanfaatkan buah mangrove sebagai sumber karbohidrat. Makanan
dari buah mangrove ini dikenal dengan nama lokal sebagai Aibon. Ai berarti kayu dan Bon
berartibuah. Aibon dibuat dengan metode sebagai berikut: Buah yang telah siap panen dicuci
hingga bersih, kemudian buah tersebut direbus hingga mendidih pada air panas, diangkat,
didinginkan dan dikuliti atau dikupas kulitnya. Proses pengkulitan buah mangrove tersebut
seperti dilukiskan oleh Gambar 19.4. Setelah dikupas kulitnya, daging buah tersebut
dipotong atau disayat-sayat, kemudian direndam dalam air dingin selama kurang lebih 3 jam
dan kemudian direbus kembali dengan air mendidih. Setelah mendidih, daging buah teresbut
didinginkan dan diperas airnya hingga kering. Hasil perasan tersebut dapat langsung
dikonsumsi atau untuk lebih sedapnya ditambahkan gula dan parutan kelapa, Gambar 19.5.
Produk lokal ini kalau si Pulau Jawa mungkin menyerupai kue kelepon.
Penelitian tentang sifat sifat fisik dan komposisi kimia buah Aibon (Brugueira
gymnorhiza L.) pada berbagai tingkat kematangan dilakukan oleh Sarunggalo dan Santoso
(2007). Mereka melaporkan bahwa secara fisik buah Aibon berbentuk bulat lurus dan tumpul
memanjang, dengan permukaan tidak rata dan bergelombang. Buah Aibon memiliki kisaran
panjang dari 12,2-35,9 cm; diameter mulai dari 2,0-3,0 cm, berat berkisar dari 30,30-61,10 g,
dan ketebalan kulitnya bervariasi dari 0,6-1,3 mm. Dilaporkan juga, bahwa waktu panen
yang tepat untuk buah aibon adalah pada tingkat buah matang optimal, karena kandungan air,
protein dan total gula buah aibon cenderung menurun dengan semakin bertambahumur
panen. Akan tetapikandungan karbohidrat (pati dan serat) akan semakin meningkat dengan
bertambahnya kematangan buah. Selanjutnya juga dijelaskan bahwa, berdasarkan hasil
analisis kimianya, buah aibon pada tingkat kematangan optimal memiliki kadar abu sebesar
1,07%, protein 4,67%, lemak 0,61%, dan karbohidrat 93,66%. Sedangkan kadar pati, total
gula dan serat kasar secara berurutan adalah 54, 88, 8, 89, dan 4,7 % berdasarkan bobot
keringnya (bk).
Di Kalimantan, masyarakat yang berdomisili di daerah Margomulyo Balikpapan
menggunakan buah mangrve sebagai pengganti nasi untuk sumber karbohidrat pada tahun
1963-1965 (Kompas, 2004). Buah mangrove tersebut direbus dan dimakan dengan campuran
kelapa parut dan gula aren untuk menghilangkan rasa pahit. Buah mangrove jenis Avicinia
Alba dan Avicinia marina yang lebih dikenal dengan nama daerah Api-api lebih cocok dibuat
sebagai bahan baku keripik karena berukuran kecil dengan rasa gurih dan renyah seperti
emping melinjo.
Jenis Bakau Rhizopora apiculata dan Rhizopora mucronata dengan panjang buah
sekitar 70 cm lebih cocok digunakan sebagai sayur asam karena rasanya yang segar.
Sedangkan untuk jenis Pedada (Soneratia alba) lebih cocok untuk dibuat permen karena
Khusus untuk pandan yang dimanfaatkan untuk menjadi bahan tikar tradisional, dan
produk anyaman lainnya seperti tas dan jas hujan. Pandan jenis ini adalah dari species
Pandanus tectorius, yaitu yang berdaun agak kecil dan lembut, seperti terlihat pada Gambar
19.7. Karena banyak dimanfaatkan untuk bahan baku tikar, maka pandan dari jenis ini
dinamakan dengan daun tikar. Menurut masyarakat Sowek di Supriori Selatan, tikar yang
terbuat dari daun pandan, akan terasa nyaman dipakai untuk alas tidur dimalam hari, karena
akan terasa hangat, (Marty, 2006).
Secara garis besar proses pembuatan tikar dari daun pandan dapat dijelaskan sebagai
berikut daun pandan yang sudah agak dewasa dipanen dari pohonnya. Daun pandan
kemudian dihilangkan durinya, khusus dari pandan yang berduri, dibagian sisi kanan dan kiri
memanjang sepanjang daun pandan. Setelah itu daun pandan dijemur atau digulung
melingkar, menyerupai roll rambut, sehingga memudahkan penjemurandipanas matahari.
Penjemuran juga dapat dilakukan di atas api atau diberi pengasapan di atas api. Tujuannya
adalah agar daun cepat kering dan elastis saat akan dianyam, juga sekaligus metode
pengawetan agar tikar dapat bertahan lama. Lamanya pengasapan tersebut berkisar antara 2-4
hari.
Untuk tikar yang menggunakan daun pandan utuh, daun pandannya tidak dibelah saat
akan dianyam. Sedangkan untuk tikar yang dianyam, daun pandannya dibelah-belah dengan
lebah kurang lebih 1-2 cm dan kemudian dianyam. Setealh selesai dianyam maka tikar
dijemur agar daun pandannya kering benar-benar kering. Contoh produk anyaman tikar yang
dibuat dari daun pandan di kampung Nusaula, distrik Buruway, kab. Kaimana disajikan pada
Gambar 19.8
Nipah adalah salah satu jenis tumbuhan dari famili Palmae/arecaeace dari sub famili
Nypoideae, (Tjitrosoepomo 1993 yang dikutip oleh Sokoy, 200). Tumbuhan ini memiliki
akar serabut, tumbuh secara berumpun di bawah permukaan air dengan habitan lumpur yang
labil. Tumbuhan nipah umumnya merupakan bagian dari ekositem hutan mangrove. Nipah
Setiap bagian dari tumbuhan nipah dimanfaatkan oleh masyarakat lokal dari daun,
pelepah, akar, dan nira (sadapan dari tandan buah nipah). Anyaman daun nipah yang dijepit
dengan kayu oleh masyarakat dimanfaatkan untuk atap rumah dan dinding. Lidi atau tulang
daunya dimanfaatkan untuk sapu lidi. Atap yang terbuat dari daun nipah yang dipakai oleh
masyarakat lokal di Papua dapat bertahan antara 3-5 tahun. Daun muda dari nipah juga dapat
dimanfaatkan untuk kertas rokok. Sedangkan pelepah daun nipah dimanfaatkan untuk
dinding rumah masyarakat lokal di Papua, yang biasa dinamakan dengan gaba-gaba.Sokoy
(2006) melaporkan bahwa masyarakat suku Tabi di Jayapura memanfaatkan tumbuhan nipah
untuk berbagai keperluan seperti bahan bangunan, makanan/minuman, obat-obatan,
perlengkapan rumah tangga, bahan kesenian dan sumber energi.
Bandini (1992) yang dikutip oleh Sokoy (2006) menyatakan bahwa pelepah nipah dapat
dimanfaatkan untuk kayu bakar, bahan baku pulp dan kertas. Dikatakan lebih lanjut bahwa
papan partikel yang terbuat dari pelepah nipah memiliki warna yang khas dan menarik.
Buah nipah yang berbentuk tandan (bunch), seperti terlihat pada Gambar 19.10,
memiliki rasa yang lezat apabila diolah menjadi kolang-kaling, (Bandini 1992 yang dikutip
oleh Sokoy, 2006). Serabut buah nipah dapat dimanfaatkan sebagai pengisi jok kursi dan
merupakan sumber api yang baik apabila dibakar. Karena buahnya berbentuk tandan, maka
Potensi pemanfaatan komoditas dari tumbuhan Nipah, terutama untuk sumber sumber
pangan dan industri seperti minuman beralkohol, bahan bakar nabati (BBN), arang aktif,
syrup dan kolang-kaling. Tandan bunga dari nipah yang belum mekar, dipotong dan disadao
untuk menghasilkan minuman beralkohol. Minuman ini secara tradisional di daerah Papua
dikenal dengan nama bobo. Pengolahan sadapan tersebut secara tradisional dapat
menghasilkan gula merah nipah. bahan Sedangkan, komoditas bakar nabati atau bioetanol
adalah pengolahan lebih lanjut dari nira tumbuhan nipah tersebut. Analisis investasi
pengembangan Nipah (Nypa fruiticans) berbasis desa mandiri energy di Bintuni Papua Barat,
telah dilakukan oleh Pattiasina (2011).
Khusus, di daerah Kaimana dan Fak-fak, masyarakat lokal lebih memilih komoditas
pala untuk mendapatkan penghasilan daripada komoditas hasil hutan lainnya, seperti rotan,
buah merah ataupun daun pandan. Pala dapat tumbuh di berbagai tipe tanah atau habitat, dan
dengan sedikit melakukan perawatan, tumbuhan ini mampu berbuah sepanjang tahun.
Bahkan terkesan pohon pala tumbuh secara liar pada kawasan hutan masyarakat di daerah
tersebut. Pohon pala yang tumbuh di hutan primer kampung Kambala distrik Buruway kab.
Kaimana dapat dilihat pada Gambar 19.11.
Jenis komoditas yang dapat dihasilkan dari pohon pala adalah buah pohon pala.
Komoditas buah tersebut, dapat dibagi ke dalam daging buah, tempurung, biji, dan fuli.
Gambaran keempat komoditas tumbuhan pala tersebut dapat dilihat pada Gambar 19.12.
Buah
Khusus di daerah Kaimana dan Fak fak, komoditas fuli oleh masyarakat lokal disebut
dengan bunga pala, sepert ditunjukan oleh warnanya yang merah pada Gambar 19.12.
19.7. Pustaka
Anonimous (1998). Orchid Growing in the tropics. Orchid Society of South East Asia
(OSSEA). Kanggoroo Press. Singapore
Badan Standarisasi Nasional (BSN), (2001). Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-5009.4-
2001.
Goloubinoff, M; J. de Beer dan E. Katz (2004). Agarwood, Frganant wood. Riches of the
forest: Food, Spices, Craft and resin of Asia. Citlalli Lopez dan Patricia
Shanley. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor Indonesia.
Marty. 2006. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu oleh Masyarakat Sowek di Rayori
Selatan Supriori Selatan Kabupaten Supriori. Skripsi Sarjana Kehutanan
Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan).
Muchtaridi., A. Subarnas., A. Apriyantono., R. Mustarichie. 2010. Identification of
compounds in the essential oil of Nutmes seeds (Myristica fragrans Hout.) that
inhibit locomotor activity in Mice. International Journal of Molecular Science
11 Hal. 4771-4781.
Nurdjannah, N. 2007. Teknologi Pengolahan pala. Penyunting Edy Mulyono dan Risfaheri.
Balitbang Pertanian, Balai besar penelitian dan pengembangan pascapanen
Pertanian.
Pattiasina, T.A. 2011. ANALISIS INVESTASI PENGEMBANGAN NIPAH (Nypa
fruticans) DALAM MENDUKUNG DESA MANDIRI ENERGI
DIKABUPATEN TELUK BINTUNI PROVINSI PAPUA BARAT. Thesis
20.1. Pendahuluan
Mikroba endopit dan edible mushroom adalah termasuk dalam kelompok jamur atau
Fungi. Mikroba endopit bersifat mikroskopis, sedangkan yang edible mushroom bersifat
makroskopis. Dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya kita dengan tidak sengaja telah
memanfaatkan kedua produk tersebut, baik untuk produk makanan dan minuman, obat-
obatan, dan bahkan obat pembasmi seranga atau baik pestisida maupun insektisida yang
ramah lingkungan atau sering disebut sebagai agen pengendali hayati. Contoh yang paling
sederhana dari pemanfaatan fungi adalah produk tempe, ragi tape, dan beberapa produk
fermentasi lainnya. Sedangkan untuk edible mushroom, beberapa komoditas tersebut sering
kita mengkonsumsi sehari-hari, misalnya jamur merang, jamur tiram, jamur kuping, bahkan
shittake.
Terdapat beberapa alasan kenapa kelompok jamur ini dibahas dalam pokok bahasan
tersendiri. Pertama adalah bahwa hutan hujan tropis Indonesia memiliki keanekaragaman
hayati yang sangat tinggi, khususnya untuk kelompok mikroba endopit belum banyak yang
belum dieksploitasi dan diteliti untuk berbabagai tujuan. Karena dalam satu jenis tumbuhan
terdapat bermacam-macam jenis mikroba endofit yang berasosiasi dengan tumbuhan
tersebut. Masing-masing mikroba endofit tersebut memiliki peran sendiri-sendiri dalam
bersimbiosis dengan sel inangnya. Kedua beberapa penelitian yang berhasil mengisolasi
mikroba endofit dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan, seperti untuk obat-obatan,
senyawa anti-kanker, anti-tumor, anti-oksidan, dan sebagainya. Mikroba endofit merupakan
media bioteknologi yang ramah lingkungan dan dapat diperbaharui. Sedangkan alasan
lainnya adalah bahwa iklim mikro pada tegakan hutan tropis basah di Indonesia, dapat
dimanfaatkan sebagai lingkungan tumbuh untuk pembudidayaan edible mushroom, yang
murah, ramah lingkungan, dan sustainable. Alasan yang tidak kalah pentingnya adalah
pemberdayaan masyarakat lokal pemilik hutan untuk memanfaatkan kawasan hutanya
dengan membudidayakan edible mushroom (jamur).
Setelah menyelesakan pokok bahasan ini, para pembaca diharapkan memiliki kemapuan
untuk:
Melakukan perhitungan dan perkiraan tentang potensi jamur (mikroba endopit dan
edibel mushroom) yang terdapat di hutan tropis basah Indonesia;
Melakukan identifikasi jenis-jenis mikroba endofit yang bermanfaaat untuk
dikembangkan menjadi produk kesehatan, obat-obatan, kosmetik, pestisida, dan produk
lainnya;
Melakukan identifikasi multi manfaat yang diperoleh oleh masyarakat hutan, dan
pemerintah tentang pemanfaatan iklim mikro tegakan hutan untuk budi daya edible
mushroom.
Mikroba endofit adalah istilah yang dikhususkan pada kajian mikroorganisme yang
bersimbiosis atau memiliki inang dengan tumbuhan, lebih sering dikenal dengan mikroba
tanaman. Mikroba endofit merupakan organisme yang berukuran mikroskopis dan hidup di
Mushroom adalah istilah umum dari divisi atau kelompok jamur yang dapat dikonsumsi
oleh manusia. Di negara maju seperti Jepang, China, Korea, US, Rusia, juga negara negara
Eropa, mushroom adalah makanan yang sangat populer. Shitake adalah salah satu jenis jamur
konsumsi (mushroom) yang cukup populer di Jepang. Sedangkan di Indonesia, mushroom ini
lebih dikenal dengan istilah Jamur, atau jamur yang dikonsumsi. Karena terdapat beberapa
jamur yang tidak dapat dikonsumsi, atau bersifat racun (toxic). Sehingga apabila kita
mengkonsumsi jamur tersebut dapat mengalami gangguan kesehatan, dari yang ringan seperti
kepala pusing, keracunan, dan bahkan sampai meninggal dunia apabila tidak dengan cepat
tertangani dengan benar.
Dikutip dari berbagai sumber, jamur yang beracun biasanya tumbuh secara liar dialam
bebas, baik di ladang pekarangan, kebun, maupun hutan. Ciri-ciri dari jamur beracun
menurut (www.berbisnisjamur.com) tersebut di antaranya adalah
Umumnya memiliki warna yang sangat mencolok, seperti merah, hijau, biru, hitam, dan
sebagainya, berasal dari alam, bukan hasil budi daya;
Jamur tersebut senyawa sulfida dan cianida, sehingga menimbulkan bau busuk. Jamur
jenis ini di alam umumnya jarang dihinggapi serangga atau binatang kecil lainnya.
Bereaksi dengan benda-benda yang terbuat dari logam seperti pisau, sendok, garpu, atau
cincin. Jamur jenis ini apabila dikerat atau dipotong-potong dengan bahan tersebut,
Suharjo (2006) menyatakan bahwa saat ini terdapat kurang lebih 15 jenis jamur
konsumsi yang dibudidayakan di seluruh dunia, utamanya di Cepang dan China. Sedangkan
www.indojamur.com, mengemukakan bahwa sampai dengan saat ini kurang lebih terdapat
10 jenis jamur yang dapat dikonsumsi, seperti jamur Kancing, jamur Tiram, jamur Kuping,
jamur Shiitake, jamur Merang, jamur Enokitake, jamur Maitake, Jamur Matsutake, Jamur
Truffle, dan Jamur Ling Zi. Penjelasan singkat dari masing-masing jamur tersebut dapat
diringkas sebagai berikut:
1. Jamur Kancing atau Champignon (Agaricus bisporus). Jenis jamur ini adalah jenis
jamur yang paling banyak dibudidayakan di berbagai negara di seluruh, dengan
kontribusi sekitar 38% dari total produksi jamur dunia. Di Indonesia jamur Kancing
sering juga disebut dengan jamur Kompos. Jamur Kancing (Agaricus bisporus) atau
champignon merupakan jamur pangan yang berbentuk hampir bulat sepertikancing dan
berwarna putih bersih, krem, atau coklat muda. Gambar jamur kancing dapat dilihat
pada Gambar 20.1 di bawah ini.
Sumber:www.naturindonesia.com
Gambar 20.1. Jamur kancing (Agaricus bisporus).
Dalam bahasa Inggris, jamur Kancing sering disebut juga dengan namatable
mushroom, white mushroom, common mushroom atau cultivated mushroom. Di Perancis
disebut sebagai champignon de Paris. Jamur Kancing dipasarkan dalam bentuk kemasan
segar (fresh) dan dalam bentuk kalengan (canned mushroom). Dinegara maju, jamur
kancing digunakan untuk bahan masakan berbagai jenis makanan, seperti omelet, pizza,
kaserol, gratin, dan selada. Jamur kancing yang masih muda saat dipanen memiliki
diameter ( ) berkisar antara 2-4 cm, dan jamur kancing dewasa dengan payungnya yang
telah mekar dapat memuliki diamter sekitar 20 cm (www.naturindonesia.com). Jamur
kancing memiliki aroma khas, seperti sedikit manis atau bertekstur menyerupai daging.
Jamur kancing yang masih segar tidak mengandung lemak dan sodium, tetapi kaya
vitamin B dan mineral jenis potasium. Kandungan kalori dari jamur kancing juga rendah
kalori, yaitu 5 buah jamur ukuran sedang mengandung sekitar 20 kalori.
Sumber : www.natureindonesia.com
Gambar 20.2. Jamur Tiram/Oyster mushroom (kiri) dan King oyster mushroom (kanan)
Terdapat beberapa beberapa jenis jamur tiram yaitu jamur tiram putih, jamur tiram
merah jambu, jamur tiram kelabu, dan jamur tiram coklat. Tetapi jamur tiram putih yang
paling banyak dibudidayakan karena paling diminati oleh masyarakat luas.
Di alam, jamur tiram dapat dijumpai pada hampir sepanjang tahun, terutama pad hutan-
hutan daerah pegunungan yang memiliki suhu udara relatif rendah dan berhawa sejuk.
Di hutan alam, jamur Tiram dapat dijumpai dan tumbuh secara bergerombol pada
beberapa permukaan batang pohon yang sudah melapuk atau banir pohon masih
tertinggal. Pembudidayaan jamur ini tergolong mudah dan sederhana, yang biasanya
menggunakan media serbuk gergaji steril yang dikemas dalam kantung plastik
berukuran kecil sampai sedang.
Jamur merang yang dipasarkan untuk keperluan konsumsi biasanya adalah tubuh buah
jamur yang masih muda, yaitu tudungnya belum berkembang. Nama merang diapkai
untuk menyebut jenis ini, karena jamur ini dibudidayakan dengan menggunakan media
merang (tangkai dari untaian padi) atau jerami. Menurut berbagai sumber, limbah kapas
adalah media yang terbaik untuk produksi dan pertumbuhan jamur merang. Karena
jamur merang memerlukan suhu ruangan yang realtif tinggi, yaitu berkisar antara 30-
38°C dengan suhu optimumnya 35°C, maka budi daya jamur merang biasanya
dilakukan pada rumah-rumah kaca atau green house, yang sering disebu dengan kubung.
Karena tingginya tempeatur tersebut maka Jamur merang dikenal sebagai warm
mushroom, yaitu jamur yang dapat hidup dan mampu bertahan pada suhu yang relatif
tinggi.Sebagai bahan pangan yang bergizi, jamur merang mempunyai rasa lezat, gurih,
dan tidak mengalami perubahan bentuk jika dimasak, sehingga dapat dimasak untuk
berbagai jenis menu masakan, seperti mi ayam campur jamur, sayur tumis jamur, pepes
jamur, sup jamur dan berbagai variasi capcay.
4. Jamur Shiitake (Lentinula edodes). Jamur shiitake adalah jamur yang paling terkenal
di Jepang, China, Taiwan, Hongkong dan Semenanjung Korea. Sekarang jamur shiitake
telah mendunia, setelah beberapa negara lainnya berhasil membudidayakannya, seperti
Singapura, Thailand, Australia, Amerika Serikat, Brazil, dan beberapa negala lainnya.
Sampai saat ini, Jepang dan China adalah exportie terbesar shiitake. Shii berasal dari
nama pohon untuk media jamur ini yaitu Shii (Pasania spp) atau Oaks (Quersus spp),
dan take berarti jamur pohon. Jamur ini di AS dikenal dengan sebutal black forest
mushroom, sedangkan di Perancis dikenal dengan lectin (Chen, 2005). Di Indonesia,
jamur shitake disebut juga dengan jamur kayu cokelat, karena tempat tumbuhnya di
kayu dan tudungnya memiliki warna cokelat (Widyastuti, 2008).
Di Jepang, shiitake kebanyakan dibudidayakan pada media (log berdimaeter kurang
lebih 15-30 cm, dan panjang 1-1.2 m) dari jenis kayu hardwood yang telah disiapkan.
Setelah proses inokulasi jamur, log-log tersebut diletakkan di dalam kawasan hutan, di
bawah naungan tegakan, di mana kelembaban dan intensitas cahya mataharinya
dianggap sesuai dengan syarat pertumbuhan shiitake. Satu kali proses inokoluasi pada
saat awal musim gugur, pada musim semi berikutnya jamur shiitake sudah dapat
dipanen. Untuk satu kali inokulasi pada log tersebut, jamur shiitake dapat dipanen
kurang lebih selama 3 – 5 tahun, sampai log tersebut benar-benar telah lapuk atau
busuk. Berdasarkan waktu pemanenan, aroma dan manfaat kesehatannya, jamur shiitake
dapat dibedakan menjadi donko, dan koshin (www.mitoku.com). Donko adalah Shiitake
kelas utama karena rasa atau aroma dan manfaat kesehatannya. Jamur shiitake yang
masih segar dan dikeringkan yang dijual di beberapa supermaket Jepang, dapat dilihat
pada Gambar 20.5.
5. Jamur Kuping. Jamur kuping adalah jenis jamur yang sangat populer di Indonesia.
Disebut jamur kuping karena jamur ini memiliki ciri-ciri fisik yang lembut, agak
koloidal, menyerupai kuping. Jamur kuping biasanya dimasak untuk campuran sup
supan, cap cay, sayur tumis, bahkan dapat direndam dengan air hangat dan dimakan.
Jamur terdiri atas jamur kuping putih (Tremella fuciformis), jamur kuping hitam
(Auricularia polytricha) dan jamur kuping merah (Auricularia auricula-judae). Salah
satu contoh dari jamur kuping merah dapat dilihat pada Gambar 20.6 di bawah ini.
Sumber:www.naturindonesia.com
Gambar 20.6. Jamur kuping merah
Dibeberapa negara maju, seperti Jepang, Korea, dan China, jamur kuping dijual pada
beberapa supermaket dalam bentuk kering dalam kemasan yang telah divakuum,
sehingga sangat padat, dan rapat. Sehingga dengan kesaman yang cukup kecil, tetapi
apabila direndam dengan air panas akan mengembang menjadi banyak. Contohnya
adalah jamur kuping hitam yang berasan dari China, sperti ditunjukkan pada Gambar
20.7.
Gambar 20.7. Kotak kemasan (kiri) dan bungkusan padat (vakum) dari produk jamur
kuping hitam kering asal China.
7. Jamur Maitake (Grifola frondosa). Menurut Yamanaka (2011) jamur Maitake mulai
dibudidayakan pada tahun 1970 an dengan menggunakan media serbuk gergaji pada
kantong-kantong plastik, tetapi saat ini lebih kuran sekitar 26% medianya diletakkan
dalam botol. Jamur maitake yang dijual di Jepang dapat dilihat pada gambar 20.8.
9. Jamur Truffle (Tuber magnatum, Tuber aestivum, Tuber melanosporum, dan Tuber
brumale). Jamur ini adalah jenis jamur yang sangat langka, karena sangat sulit untuk
diperoleh. Tuber adalah istilah yang ditujukkan untuk menunjukkan bahwa jamur ini
mempunyai habitat tersembunyi di dalam tanah, sekitar 7.5 -30 cm di bawah pohon
tertentu dan memiliki bentuknya menyerupai umbi (tubes). Di beberapa negara eropa,
pencarian jamur ini melibatkan bantuan hewan, yang memiliki indera penciuman yang
tajam, seperti babi dan najing (www.sabatinotartufi.com). Di Italia, Truffle putih
dihasilkan oleh wilayah bagian utara negara ini. Sedangkan Alba truffles berasal dari
negara Kroasia. Inang atau simiosis dari jamur ini adalah beberapa species pohon seperti
oaks, hazel, poplar dan beech.
Sumber: www.sabatinotartufi.com
Gambar 20.11. Jamur Truffle dari Italia
10. Jamur Ling zhi (Ganoderma lucidum). Jamur Ling zhi adalah jenis jamur yang
dimnafaatkan bukan dikonsumsi, seperti jenis-jenis jamur konsumsi lainnya, karena
keras dan sulit untuk dicerna. Akan tetapi jamur ini hanya dimanfaatkan untuk tujuan
kesehatan, atau teraphy untuk berbagai jenis penyakit dan beberapa keperluan spiritual
lainnya. Di negara China dan Korea, jamur ini dikenal dengan nama Ling Zhi (jamur
untuk kesehatan dan kelahiran kembali), sedangkan si Jepang dikenal dengan nama
Reishi mushroom (Mannentake), yang berarti jamur 10 000 tahun (Wasser, 2005).
Jamur ini biasanya tumbuh dan dapat ditemukan pada pohon-pohon yang telah mati,
terutama akarnya yang terbenam dalam tanah. Jenis-jenis pohon yang menggugurkan
daun (decideous trees) adalah inang yang paling disukai oleh jamur ini.
www.wikipedia.com memberikan contoh salah satu contoh jamur Ling Zhi atau Resihi
mushroom, seperti disajikan pada Gambar 20.12 di bawah ini.
Bagi sebagian masyarakat di China, Jepang dan India, kepemilikan dari ekstrak dari
jamur Resishi ini dapat melambangkan kemakmuran, kesehatan, kekayaan dan kelahiran
kembali. Di samping dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan yang bersifat ritual keagamaan,
jamur Reishi juga memiliki beberapa manfaat kesehatan, seperti mengatasi gangguan tidur,
Jamur adalah bahan makanan yang memiliki kandungan gizi yang tinggi dan realtif
lengkap, sehingga termasuk jamur dapat dikatakan sebagai sumber makanan yang sehat.
Jamur memiliki kandungan nutrisi yang beragam dan lengkap, dari protein, serat kasar
(fiber), vitamin, dan beberapa bahan unsur kimia lainnya (http://www.mushroom-
appreciation.com). Jamur rata-rata memiliki kandungan protein yang tinggi, yaitu berkisar
antara 20-30% dari total berat keringnya. Ini sangat bagus sebagai makanan bagi mereka
yang vegetarian, dan mereka yang lagi diet dengan tujuan ingin mengkonsumi protein dalam
jumlah yang tinggi. Serat kasar (fiber) dalam jamur akan sangat membantu menurunkan
kadar kolesterol dan membantu sistem pencernaan tubuh. Jamur adalah sumber vitamin B
dan Niacin. Vitamin B biasanya hanya dapat diperoleh dari jaringan hewan. Jamur sebagai
sumber vitamin B sangat baik bagi mereka yang vegetarian. Beberapa jamur juga
mengandung vitamin D, yang diperlukan untuk proses absorpsi kalsium. Jamur juga
mengandung beberapa mineral, seperti kalsium, kalium, magnesium, dan lainnya.
Unsur tembaga dalam jamur berfungsi untuk membatu tubuh menyerap oksigen dan
membentuk sel darah merah.Unsur selenium yang terdapat dalam jamurberfungsi sebagai
agen antioksidan yang akan membantu menetralisi reaksi radikal bebas. Sehingga dapat
mencegah kerusakan sel yang berpotensi menyebabkan terjadinya penyakit kanker, dan
penyakit degeneratif lainnya. Kandungan unsur selenium pada jamur ini bahkan diklaim
yang tertinggi dibandingkan sumber penghasil lainnya. Jamur mengandung unsur kalium
yang cukup tinggi, lebih tinggi dibandingkan dengan pisang. Dalam tubuh kalium berperan
penting dalam meregulasi tekanan darah dan memelihara fungsi sell agar tetap berfungsi
dengan baik. Beberapa unsur mineral lainnya adalah pospor, seng, magnesium, dan sodium
Jamur mengadung lemak dalam jumlah yang relatif rendah dan tanpa kolesterol.
Khusus untuk jamur tiram misalnya, menurut penjelasan dari www.jamur-tiram.com,
mengandung protein rata-rata 3,5-4% dari berat basah atau dua kali lebih tinggi dari
asparagus dan kubis. berat Jamur tiram yag telah dikeringkan, memiliki kandungan
proteinsekitar 19-35%, lebih tinggi dari beberapa sumber makanan lainnya, seperti beras
(7,3%), gandum (13,2%), dan susu sapi 25,2%. Sedangkan sembilan asam amino esensial
yang tidak dapat disintesis dalam tubuh yang terdapat dalam jamur tiram antara lain lisin,
metionin, triptofan, threonin, valin, leusin, isoleusin, histidin dan fenilalanin. Asam-asam
lemak pada jamur tiram adalah adalah asam lemak tidak jenuh. beberapa vitamin penting
dalam jamur tiram antara lain kelompok vitamin B, vitamin C dan provitamin D. Kandungan
vitamin B1 (tiamin), B2 (riboflavin), niasin dan provitamin D2 (ergosterol)-nya cukup tinggi.
Beberapa unsur mineral utama pada jamur tiram di antaranya kalium (K), kemudian fosfor
(P), natrium (Na), kalsium (Ca) dan magnesium (Mg). Sedangkan mineral minornyaadalah
seng, besi, mangan, molibdenum, kadmium, dan tembaga.
Wasser (2005) yang mengutip berbagai sumber menyatakan bahwa komponen utama
dari jamur Ling Zhi (Reishi) adalah protein, asam lemak, karbohidrat dan serat kasar.
Sedangkan komponen bioaktif (bahan aktif) dari badan, buah dan spora dari jamur ini dari
Dikutip dari berbagai sumber, Indonesia pernah menjadi produsen jamur konsumsi
terbesar di Asia Tenggara. Tetapi saat ini Indonesia hanya mampu menyusplai sekitar 0.9 %
dari kebutuhan jamur konsumsi dunia, di mana China masih menjadi pemain utamanya, yaitu
sebagai negara eksportir utama jamur konsumsi. Bahkan China dapat memasok sekitar lebih
dari 60.0% dari total kebutuhan jamur konsumsi dunia. Menurunya kontribusi ekport jamur
konsumsi indonesia terhadap konsumsi jamur dunia dapat disebabkan oleh beberapa kendala
seperti belum adanya standarisasi proses budi daya dan produksi, termasuk pasca panennya,
diversifikasi produk yang masih terbatas. Belum adanya campur tangan dari lembaga
keuangan atau perbankan, seperti permberian kredit dan pedampingan manejemen, juga
berkontribusi terhadap penurunan tersebut. Belum tersediannya bibit unggul yang cukup
pada tiap waktu panen juga turut berperan dalam menurunnya volume ekpor jamur konsumsi
tersebut.
Belajar dari para petani jamur di daerah Qingyuan, China, yang mana usaha budi daya
jamur Shiitake mampu mengangkat potensi ekonomi masyarakat setempat. Masyarakat yang
sebelumnya miskin di mana hanya sekitar 6% yang membudidayakan jamur Shiitake. Tetapi
setelah adanya campur tangan pemerintah daerah untuk membudidayakan Shiitake,
membantu proses pemasaran, memberikan pendapingan manajemen dan sekaligus
memberikan kredit murah, hampir 80% jumlah penduduknya menjadi petani Shiitake,
dengan memanfaatkan serbuk gergaji sebagai media tanamnya. Karena budi daya Shiitake
tersebut, menjadikan daerah Qingyuan merupakan satu di antara 3000 kota terkaya di
Chinasaat ini (Chen, 2005), dengan total produksi dari 2,765 ton pada tahun 1986 menjadi
105,800 ton pada tahun 1997. Total pendapatan dari budi daya jamur Shiitake ini mencapai
46,4 milliar US dollar, atau hampir sekitar Rp. 500 miliar.
Gambar 20.22. beberapa jamur konsumsi yang tumbuh secara alami di kawasan hutan ekat
pemukiman penduduk di Manokwari utara.
Penyuluhan, pelatihan pelatihan teknis tentang budi daya jamur konsumsi oleh berbagai
instansi terkait, sangat disarankan untuk budi daya jamur konsumsi tersebut, khususnya
untuk pemberdayaan masyarakat lokal, pemanfaatan kawasan hutan, dan memenuhi
kebutuhan lokal akan jamur konsumsi. Kemitraan antara masyarakat atau kelompok tani,
pemerintah daerah, lembaga keuangan dan konsumen seperti perhotelan dan rumah makan
sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan program ini. Pembekalan pengetahuan
kepada para mahasiswa yang akan terjun kemasyarakat, terutama pada kegiatan Kuliah Kerja
Nyata(KKN) juga dapat membantu kesuksesan program terseb
Limbah kelapa sawit (tandan kosong kelapa sawit) yang banyak ditemukan diareal
Perkebunan kelapa sawit di daerah Manokwari, juga banyak ditemukan jamur liar, yang
dapat dikonsumsi. Jamur tersebut sangat lezat. Kenampakan jamur yang tumbuh di bekas
tandan kosong kelapa sawit tersebut dapat dilihat pada Gambar 20.23.
20.6. Pustaka
KELOMPOK HEWANI
21.1. Pendahuluan
Pokok bahasan hasil hutan bukan kayu kelompok hewani, memliliki berbagai jenis
komoditas yang sangat beragam, mulai dari kelompok mikroorganisme, seperti mikroba dan
bakteri, berbagai jenis serangga, sampai kepada hewan berukuran raksasa seperi gajah,
harimau, badak dan sejenisnya. Sedangkan menurut Praturan Menteri Kehutanan Republik
Indonesia Nomor: P.21/Menhut-II/2009 tentang Kriteria dan Indikator penetapan Jenis hasil
hutan bukan kayu unggulan disebutkan bahwa hasil hutan bukan kayu hewani adalah hasil
hutan bukan kayu berasal dari hewan dan produk turunannya. Selanjutnya HHBK hewani
dikekelompokkan ke dalam tiga kelompok komoditas yaitu a) kelompok hewan buru seperti
babi hutan, kelinci, kancil, rusa, dan buaya; b)kelompok hewan dari hasil proses
penangkaran, yang meliputi ikan arwana, kupu-kupu, rusa, dan buaya; c) kelompok hasil
hewan seperti sarang burung walet, kutu lak, lilin lebah, ulat sutera, dan lebah madu.
Untuk itu rasanya tidak mungkin membahas ketiga kelompok komoditas hewani
tersebut satu persatu. Sehingga, pada pokok ini, produk hasil hutan bukan kayu kelompok
hewani yang dibahas adalah semua produk hewani dari golongan hewan tertentu saja, seperti
rusa, buaya dan burung serta kelompok serangga seperti lebah, kupu-kupu dan beberapa
hewan lainnya yang dilindungi.
Pada akhir pelajaran ini para pembaca diharapkan memiliki kemampuan untuk:
1. Mendefinisikan dan menjelaskan hasil hutan bukan kayu kelompok hewani secara luas
2. Menggolongkan kelompok komoditas hasil hutan bukan kayu hewani berdasarkan
bagian yang dikomersiilkan.
3. Mendiskripsikan proses pengolahan hasil hutan bukan kayu hewani berdasarkan tujuan
produksi yang direncanakan.
4. Mengidentifikasi berapa hasil hutan bukan kayu hewani di Papua yang banyak
diusahakan oleh masyarakat.
Buaya (Crocodylus spp) adalah termasuk binatang bertulang belakang (vetebrata) yang
dapat tumbuh di darat dan diair. Sehingga berdasarkan habitatnya dikenal dengan buaya
muara, buaya air laut dan buaya air tawar serta buaya rawa. Diperkirakan terdapat sekitar 27
jenis buaya di dunia, sedangkan Indonesia memiliki beberapa jenis buaya. Di Indonesia,
buaya termasuk species binatang langka (wild life) yang dilindungi dengan undang-undang
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 716/Kpts/men/10/1980 dan telah
masuk dalam pengawasan perdagangan internasional CITES (Conservation on International
Trade Endanger Species of Wild Flora & Fauna).
Kalimantan memiliki empat jenis buaya yaitu Crocodylus porosus, C. sianensis,
Tomistoma schlegelii, dan C. raninus, dan species yang terakhir ini adalah endemik asli
Kalimanatan (Kurniati, 2007). Juga dikatakan bahwa benua Afrika saja hanya memiliki tiga
jenis buaya. Selanjutnya dilaporkan bahwa genus Crocodylus adalah jenis buaya muara. Dari
keempat jenis buaya di kalimantan tersebut, tiga jenis, yaitu C.porosus, C. sianensis, dan T.
schlegelii adalah memiliki tipe sarang yang menggunung, di mana sarangnya terbuat dari
bahan seperti rumput-rumputan, ranting pohon dan beberapa tumbuhan mengapung lainnya.
Rusa adalah kelompok kewan mamalia dari famili Corvidae yang banyak ditemukan
diwilayah Papua. Hewan rusa memiliki ukuran tubuh yang kecil dengan kulitnya berwarna
kecoklatan. Ciri yang sangat menonjol dari hewan ini adalah adanya tanduk pada kepalanya
dan tanduk tersebut bercabang-cabang.
Merauke adalah daerah penyebaran rusa yang paling terkenal untuk wilayah Papua,
sehingga sering dinamakan dengan kota rusa. Pada taman nasional atau suaka margasatwa
Wasur Merauke telah ditetapkan sebagai salah satu tempat berburu karena adanya over
populasi dari rusa. Rusa adalah bukan jenis mamalia endemik Papua, tetapi adalah hasil
introduksi dari Pemerintah Hindia Belanda waktu menduduki Papua. Bagian tubuh rusa yang
dimanfaatakan adalah kepala dan tanduknya sebagai ornamen hiasan pada beberapa rumah di
Papua, kulit rusa untuk bahan baku beberapa produk kulit seperti topi, lukisan dan sabuk.
Anak rusa yang masih kecil (fetus) yang diberi perlakukan khusus dengan alkohol juga
dipercaya memiliki khasiat yang baik untuk kesehatan kaum pria pada beberapa daerah di
Idonesia timur khususnya.
Strutur populasi, kondisi habitat dan taman perburuan Rusa Timor (Cervustimorensis) di
Taman nasional Wasur, Merauke, terutama di tiga desa yaitu Poo dengan luasan (200 ha),
Tomer (200 ha), dan Sota (100 ha) telah dilaporkan oleh Andoy (2002). Dijelaskan bahwa
kepadatan populasi rusa tertinggi terdapat di desa Poo yaitu 1630 ekor, diikuti oleh desa
Tomer (900 ekor), dan desa Sota (390 ekor), atau dengan total kepadatan populasi 2920 ekor.
Sedangkan struktur populasinya, disominasi oleh rusa berumur dewasa, dengan rasio jantan
25,07%, betina18,42%, sehingga memiliki sex ration 1:0.56.
Keberadaan dan populasi Rusa Timor di taman nasional Wasur tersebut, telah
dikombinasikan dengan potensi keindahan alam taman nasional wasur untuk paket pariwisata
Indonesia adalah merupakan produsen utama dari sarang burung walet dan lebih dari
separo kebutuhan sarang burung walet dunia dipasok dari Indonesia. Negara-negara
penghasil sarang burung walet lainnya adalah Thailand, Vietnam, Singapura, Myanmar,
Malaysia, India dan Srilangka. Khusus untuk Indonesia, sebagian besar, sarang burung Walet
masih dihasilkan dari alam, bukah hasil dari penangkaran, baik yang berasal dari berbagai
daerah di pulau Jawa atau luar pulau Jawa. Di Pulau Jawa, beberapa daerah disepanjang
pesisir pantai utara dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah habitat yang cocok
untuk pengembangan komoditas sarang burung walet.
Burung Walet adalah jenis burung dari keluarga Apodidae dari genus Collocalia.
Mengutip dari berbagai sumber, Lau dan Malville (1994) menyatakan bahwa burung walet
terdiri atas 30 jenis, tetapi dari jumlah tersebut, hanya empat jenis yang menghasilkan sarang
walet untuk konsumsi. Keempat jenis tersebut adalah burung walet putih (C. fuciphagus),
walet hitam (C. maxima), burung walet germani (C. germani), dan burung walet indian (C.
unicolor).Burung walet adalah salah satu jenis burung liar yang dapat menghasilkan liur
untuk dijadikan sebagai bahan baku membuat sarangnya. Air liur burung walet ini yang
selanjutnya dikenal dengan komoditas sarang burung walet yang memiliki nilai ekonomis
yang sangat tinggi.
Habitat alami burung walet terdapat pada gua-gua yang terdapat pada tepi pantai yang
berwarna gelap gulita. Habitat buatan dapat dibuat pada rumah-rumah penduduk, baik yang
khusus untuk budi daya sarang burung walet, atau rumah biasa. Habitat buatan ini baisanya
Kutu lak atau sherlac adalah hasil sekresi dari serangga Lak (Laccifer lacca Keer.) dari
famili Kerriidae dan ordo Hemiptera yang hidup pada pohon inangnya. Kutu lak dapat
menghasilkan lak bila mendapatkan pohon inang yang cocok, dengan lingkungan tumbuh,
dan nutrisi yang menunjang pertumbuhan dan perkembangannya produksi lak tersebut.
Selama ini pohon inang utama kutu lak adalah tumbuhan Kesambi (Scheichera oleosaMerr).
Akan tetapi, menurut berbagai sumber, beberapa tumbuhan lain juga dapat digunakan
sebagai tumbuhan inang kutu lak, seperti pohon Akasia (Acasia spp), Beringin (Ficus spp),
Trembesi/kihujan (Samanea saman), Kacang gude (Cajanus cajan) dan Jamuju. Di
Indonesia, kutu lak dibudidayakan oleh perum perhutani, yaitu di daerah Banyukerto,
Pasuruan Jawa Timur, dan beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur, seperti Alor, dan Nusa
Tenggara Barat, sedangkan negara penghasil kutu lak lainnya adalah Thailand dan India
(Taskirawati dkk, 2007).
Rostaman dan Suryatna (2009) melakukan penelitian tentang evaluasi produktivitas
Kutu Lak, Laccifer lacca, pada tiga jenis tanaman inang di daerah hutan Kosambi, Kupang.
Mereka melaporkan bahwa kutu lak yang hidup pada tumbuhan Kosambi memiliki siklus
hidup selama 20-22 minggu, yang mana telur terdapat dalam tubuh induknya yang memiliki
kulit yang keras. Selanjutnya, telur akan menetas dan menghasilkan nimfa. Nimfa tersebut
akan bergerak atau terbawa angin untuk mendapatkan tumbuhan inang yang cocok. Apabila
diraca cocok, maka nimfa tersebut akan menetap secara permanen untuk berganti kulit dan
tumbuh menjadi dewasa. Dilaporkan juga bahwa produksi kutu laka pada pohon inang jenis
Ksambi lebih tinggi, 2 kali lipat, daripada pada pohon Kabesak hitam (Acasia spp) dan
Kabesak putih (Acasia spp). Kutu lak yang dihasilkan dari pohon inang Kosambi tersebut
dibedakan menjadi dua, yaitu lak cabang dan lak butiran, seperti diperlihatkan oleh Gambar
21.3.
Teknik kultur seranggan Lak secara garis besar meliputi Persiapan tularan, Penularan
bibit lak, pemeliharaan tularan, pemungutan bekas bibit, pemanenan dan seleksi kualitas kutu
lak. Pengolahan Lak dapat dibedakan menjadi dua yaitu Pembuatan seedlak (lak butiran) dan
Pembuatan sherllac (lak lembaran).Kutu lak sangat banyak dimanfaatkan untuk berbagai
macam produk industri seperti bahan baku piringan hitam, vernis, isolasi alat-alat listrik,
kembang api dan bahan baku dalam industri kesehatan dan kosmetika.
Lebah madu termasuk hewan golongan serangga bersayap yang termasuk ke dalam
genus Apidae. Dikutip dari berbagai sumber, di Indonesia terdapat beberapa jenis lebah
madu, di antaranya adalahApis andreniyormis, Apis dorsata dorsata, Apis dorsata binghami,
Apis cerana, Apis koschevnikovi, Apis nigrocicta, Apis mellifera.Dari jenis-jenis tersebut, A.
dorsata yang paling produktif menghasilkan madu, dapat ditemukan hampir diseluruh
wilayah Indonesia. Ada yang mengatakan bahwa jenis A. dorsata adalah lebah madu liar,
karena. Akan tetapi, menurut Hadisoesilo (2001), berdasarkan hasil penelitian terkini di
Indonesia paling sedikit terdapat lima jenis lebah madu, yaitu Apis andreniformis, A. dorsata,
A. cerana, A. koschevnikovi, dan A. nigrocincta. Menurut Maa (1953) yang dikutip oleh
Hasisoesilo (2001) telah mengklasifikasikan lebah madu ke dalam tiga genera yaitu Megapis,
Micrapis, dan Apis yang kemudian terbagi ke dalam 24 species. Review tentang keragaman
jenis lebah madu di Indonesia telah dilakukan oleh Hadisoesilo (2001). Disimpulkan bahwa
kemungkian masih banyak jenis-jenis lebah madu yang belum diteliti di berbagai tempat di
Indonesia, terutama pada daerah-daerah yang masih terisolir. Dari penelitian tersebut,
kemungkinan ditemukannya jenis lebah baru masih sangat terbuka.
Hasil utama dari peternakan lebah madu adalah lebah madu. Madu adalah zat manis
yang dihasilkan oleh lebah madu dengan cara mengumpulkan dan merubah nektar
bunga/sekresi bagian suatu tanaman, dicampur dengan investin dan disimpan dalam sistem
sarang lebah. Hasil sampingan dari lebah madu adalah malam atau lilin lebah yang
merupakan hasil metabolisme dari lebah sendiri yang diproduksi oleh kelenjar yang terdapat
pada disebelah bawah perut lebah (Mashudi, et al, 1988). Royal jelly yang sering dikenal
dengan sebutan susu ratu adalah cairan hasil sekresi dari kelenjar rahang pada lebah pekerja
muda yang telah bercampur dengan madu bunga dan serbuk bunga.
Madu banyak dimanfaatkan sebagai industri makanan seperti membuat roti dan berbagai
jenis kue. Madu juga dimanfaatkan pada pembuataan makanan dan minuman serta buah-
buahan yang dikalengkan. Dalam bidang kecantikan madu juga dimanfaatkan sebagai bahan
komestik untuk facial, cream dan sabun. Beberapa khasiat dari madu di antaranya adalah
sebagai tonikum bagi jantung, sebagai antibiotika yang berfungsi sebagai disinfektan pada
rongga mulut, larutan encer madu dapat dipergunakan untuk berkumur untuk penyakit
radang, meningkatkan kadar butir darah merah (hemoglobin) pada anak-anak, meningkatkan
nafsu makan karena bersifat stimulan bagi pencernaan.
Malam pada sarang madu banyak dimanfaatkan pada industri batik, industri farmasi dan
obat-obatan. Sedangkan royal jelly memiliki manfaat yang sangat banyak dalam dunia
kedokteran seperti keterbelakangan pertumbuhan badan, penurunan berat badan,
menyembuhkan penyakit lemah syaraf, liver, pengobatan radang sendi, menambah gairah
dan semangat bekerja pada kebanyakan orang.
Larva serangga penggerek tumbuhan sagu atau yang lebih dikenal dengan istilah ulat
sagu adalah termasuk kelas insecta dari Anak Suku Rhynchophorinae dengan marga
Rhynchophorus, banyak ditemukan di Papua berasal dari kumbang Rhynchophoruspapuanus.
Kumbang Rynchophorus papuanus memiliki kebiasaan untuk terbang pada siang hari
dan tertarik pada tanaman sagu yang telah mati atau bagian-bagiannya yang luka dan juga
tertarik pada batang sagu yang telah membusuk setelah ditebang. Kumbang betina yang akan
bertelur akan membuat lubang di tempat yang sudah ada luka pada bagian pohon dengan
moncongnya sedalam kira-kira 3 mm dengan telur di dalamnya.
Satu kumbang betina dapat menghasilkan sekitar 400-530 butir. Telur tersebut akan
menetas dalam waktu 2-3 hari yang selanjutnya dinamakan dengan larva yang dapat bertahan
sekitar 2 bulan sebelum tumbuh menjadi pupa. Contoh ulat sagu yang banyak dimanfaatkan
oleh masyarakat lokal sebagai sumber protein hewani alternatif dapat dilihat pada Gambar
21.4.
Istalaksana (1994) yang dikutip oleh Susilo (200) melaporkan bahwa larva kumbang
Rhynchophorus atau biasanya disebut sebagai ulat sagu memiliki kandungan asam lemak
antara lain: kaprat 10.79%, laurat 5.92%, miristat 1.23%, palmitat 36.63%, palmitoleat
3.97%, oleat 39.89%, linoleat 1.05%, dan linolenat 0.50%. Penulis yang sama juga
melaporkan bahwa ulat sagu memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi seperti kalori 353
kal, lemak 18.15 gram, protein 11.47 gram, Air 67.35 gram dan Abu sebesar 2.54 gram.
Kandungan lemak yang tinggi pada ulat sagu, diduga dipergunakan sebagai energi cadangan
ulat sagu saat memasuki fase pupa. Ulat sagu memiliki kandungan nilai gizi yang tidak kalah
dengan kandungan nilai gizi protein hewani lainnya. Ulat sagu mudah diperoleh dan
harganya relatif terjangkau, banyak dijumpai di pasar-pasar tradisional di wilayah Papua.
21.8. Kupu-Kupu
Di provinsi Papua Barat, khususnya di Cagar Alam Pegunugan Arfak (CAPA) terdapat
komoditas hasil hutan bukan kayu yang khas yaitu Kupu-kupu dari family Papilionidae yang
endemik Papua. Kupu-kupu yang telah dibudidayakan adalah Kupu-kupu sayap burung
(Ornithoptera spp). Produk akhir dari budi daya kupu-kupu tersebut adalah kupu-kupu yang
Satu-satunya lembaga atau instansi di Papua yang memeperoleh izin untuk melakukan
ekspor spesimen kupu kupu adalah Yayasan Bina Lestari Bumi Cenderaawsih (YBLBC),
yaitu sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memfokuskan salah satu
kegiatannya pada usaha penangkaran Kupu-kupu sayap burung di kawasan Cagar Alam
Pengunungang Arfak (CAPA) yang mendapat bimbingan teknis dari World Wild Fund fo
Nature (WWF), Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) melalui Konservasi
Sumber Daya Alam (KSDA) setempat. Seperti dilaporkan oleh YBLBC bahwa sampai
dengan perioda tanggal 18 Maret 1997, telah berhasil mengirim (ekspor) specimen kupu-
kupu sebanyak 1070 pcs (pieces) ke Australia, 122 pcs ke Belgia, 840 pcs ke Spanyol, 326
pcs ke Perancis dan 70 pcs ke Madrid (Spanyol), dengan kisara harga antara US $ 6,67 –
793,75 per ekor, tergantung kepada jenis dan mutunya. Akan tetap sangat disayangkan,
bahwa sekarang usaha budi daya kupu-kupu dan yayasan tersebut sudah tidak beroperasi lagi
karena berbagai kendala teknis. Beberapa jenis kupu-kupu yang terdapat di Pegunungan
Arfak dan daerah lainnya di Papua dapat dilihat pada Gambar 21.5.
21.9. Burung
Indonesia dikenal memiliki keaneragaman jenis burung yang begitu tinggi, khusus untuk
Papua dilaporkan memiliki lebih dari 650 species burung dengan tingkat endemik sekitar
52% atau sekitar 338 jenis, Dinas Kehutanan Kab. Biak Numfor (2002). Salah satu burung
endemik tersebut adalah burung Cenderawasih, yang menjadikannya tanah Papua sebagai
pulau Cenderawasih. Berbagai jenis burung Cenderawasih diperlihatkan oleh Gambar 21.6.
Sumber : http://dody94.wordpress.com
Gambar 21.6. Beberapa jenis burung Cenderawasih, yaitu Paradisaea minor (kiri atas),
Seleucidis melanoleuca (tengah atas), Cicinnurus respublica (kanan atas), Parotia wahnesi
(kanan bawah) dan Paradisaea rubra (kiri bawah).
Burung-burung endemik Papua lainnya adalah jenis burung nuri atau dikenal dengan
Kakaktua, jenis-jenis Merpati atau Dara, jenis-jenis burung Kasuari, jenis Elang dan
sebagainya. Burung-burung tersebut sebagian atau seluruhnya terdapat pada penangkaran
burung yang terdapat pada Taman Burung dan Taman Anggrek Biak, dan koleksi teresbut
sangat lengkap pada tahun 2002.
Berdasarkan buku panduan yang dikeluarkan oleh pengelolan Taman burung dan taman
anggrek mencantumkan bahwa koleksi burung pada tahun 2002 tersebut terdiri atas jenis-
jenis Cenderawasih (Paradisaea minor, Diphyllodes magnificus, Seleucidas melanoleuca,
ptiloris magnificus, Manucodia atra dan sebagainya, jenis-jenis burung Nuri atau dikenal
dengan Kakaktua seperti Lorius lory, Eos cyanogenia, Trichoglossus haematodus,
Chalopisitta atra, Psittaculirostis desmaresti, Alisterus chloropterus, Eclectus roratus,
Cacatua galerita, Cacatua pastinator dan sebagainya, jenis-jenis burung merpati atau burung
dara di antaranya adalah Ducula pinon, Duculabicolor, Caloenas nicobarica, otidiphapa
nobilis, Trugon terrestris, Goura cristata, Goura victoria dan sebagainya, Jenis Bower
(Ailuroedus buccoides), jenis-jenis burung Kasuari seperti Casuarius casuarius, Casuarius
unappendiculatus, dan Casuariusbenetti, jenis-jenis Elang seperti Heliastur indus,
Kanguru pohon merupakan salah satu mamalia yang dikenal oleh masyarakat Papua.
Hewan ini dilindungi oleh Pemerintah berdasarkan SK Menteri Pertanian nomor
247/Kpts/Um/4/1975. Di Kawasan ini ditemukan empat jenis kanguru pohon yang endemik
di Papua yaitu: Dendrolagus ursinus, Dendrolagus inustus, Dendrolagus dorianus dan
Dendrolagus goodfelowi (Petocz, 1994 yang dikutip oleh Mustamu, 2006). Selanjutnya
menurut Flannery (1995) dan Menzies (1991) yang dikutip oleh Mustamu (2006) hanya dua
jenis yang dapat ditemui di Kepala Burung yaitu D. inustus dan D. ursinus.
Kanguru Pohon Cenderawasih (D. ursinus) merupakan mamalia endemik Kawasan
Pegunungan Arfak. Menurut Flannery (1995) yang dikutip oleh Mustamu (2006), hewan ini
memiliki punggung berwarna hitam sampai hitam kecoklatan, pipi berwarna pucat atau
kemerah-merahan. Bagian leher hingga perut berwarna putih sampai kekuningan sama
seperti bagian wajahnya, terlihat pada habitatnya, seperti terlihat pada Gambar 21.7 dan 21.8.
Ciri morpholofis lainnya yang mencolok dari kanguru Cenderawasih ini adalah memiliki
telinga besar dengan bagian dalam berbulu dan pada ujung daun telinga bulunya berjumbai.
Ekor biasanya lebih pendek daripada panjang tubuh, dengan warna putih pada bagian ujung
(tetapi terkadang tidak ditemukan).
21.11. Pustaka
Andoy, E.E.S. 2002. Study Populasi Rusa Timor (Cervus timorensis) dan perburuan oleh
penduduk di desa Poo, Tomer dan Sota dalam taman nasional Wasur, Merauke.
Skripsi Sarjana Peternakan. Fakultas Peternakan, Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan).
Baan, Y. 2002. Morfologi dan Tingkah Laku Lebah Madu pada Peternakan lebah Madu di
Kecamatan Muara Tami Kotamadya Jayapura. Skripsi Sarjana Pertenakan.
Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelauatan Universitas Negeri Papua
(tidak diterbitkan)
Dinas Kehutanan Kabupaten Biak Numfor .2002. Melihat dari Dekat Taman Burung dan
Taman Anggrek Biak (leaflet)
Koessoy, M.S.C (2002). Sistem Produksi Dan Sifat Fisik Madu Pada Peternakan Lebah
Masu Di Deas Koya Timur Kecamatan Muara Tami Kotamadya Jayapura.
Skripsi Sarjana Pertenakan. Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelauatan
Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan).
Kurniati, H. 2007. Habitat buaya air tawar potensial di luar kawasan lindungan daerah
Kalimantan. Fauna Indonesia Vol.7(2) Hal.26-31.
Lau, A.S.M., D.S. Malville. 1994. Species in Danger. International trage in Swithflet nest
with specific reference to Hongkong. TRAFFIC International United Kingdom.
Mardiastuti, A. 1997. Pemanfaatan sarang burung walet secara lestari. Makalah pada
Seminar Pendayagunaan Potensi Burung Untuk Menunjang Pembangunan
Nasional. Taman Burung Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, 29 April 1997
Hal.1-11.
Mashudi., P. Ketut., Suwanda.1988. Lebah madu madu lebah di Indonesia tahun 2000.
Cetakan pertama. Penerbit Pusat Apiari Pramuka. Jakarta.
May, B.I. 2005. Sistem Pemeliharaan lebah madu di Kampung Ambaidiru Distrik
Andkaisera Kabupaten Yapen. Skripsi Sarjana Peternakan. Fakultas Peternakan
Perikanan dan Ilmu Kelauatan Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan)
Mustamu, J.T. 2006. Karakteristik Morfologi Kanguru Pohon Cenderawasih (Dendrolagus
ursinus) di Kawasan Pegunungan Arfak Manokwari. Skripsi Sarjana Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Papua.
(tidak diterbitkan).
Panjaitan, R. 2008. Distribusi kupu-kupu (superfamili papilionoidae: lepidoptera) di
Minyambou, Cagar Alam Pegunungan Arfak, Manokwari, Papua Barat. Berkala
Ilmiah Biologi 7(1) Hal. 11-16.
Peraturan Menteri Kehutanan No.P.21/Menhut/2009 tentangKriteria dan indikator penetapan
hasil hutan bukan kayu unggulan.
22.1 Pendahuluan
Pokok bahasan yang ke duapuluh duaini, membahas tentang produk jasa yang dapat
dihasilkan dari hutan. Sampai dengan ssat ini, belum banyak kajian dan studi intensive
dilakukan untuk mengidentifikasi berapa besar potensi dari produk jasa hutan Indonesia, dan
khusunya di Papua. Usaha-usaha yang telah ada hanya terbatas pada pemanfaatan komoditas
unggulan seperti rotan, damar, sagu dan bambu, itupun diusahakan secara kecil kecilan
sebagai usaha sampingan khususnya di Papua. Untuk menggali potensi dari beberapa produk
jasa dari hutan, maka pokok bahasan ini sengaja dimunculkan guna memberikan gambaran
jenis-jenis produk jasa yang dihasilkan oleh hutan tropis Indonesia.
Pada akhir pelajaran ini para pembaca diharapkan memiliki kemampuan untuk:
1. Menjelaskan pengertian produk jasa hutan sebagai bagian dari komoditas hasil hutan
bukan kayu;
2. Menginventarisai beberapa produk jasa hutan sebagai komoditas hasil bukan kayu
potensial asal Papua;
3. Menjabarkan faktor penghambat dan penunjang dalam merancang proses inventarisasi
potensi tersebut;
4. Menganalisis studi kelayakan usaha jasa produk hutan yang paling cocok untuk
diterapkan pada penduduk lokal di Papua.
Undang Undang No 4 tahun 1999 tentang Kehutanan menjelaskan bahwa hasil hutan
bukan kayu termasuk di dalamnya adalah jasa yang diperoleh dari hutan seperti jasa wisata,
jasa keindahan, komunikasi, jasa berburu dan lain lain.
Paradigma baru dalam kehidupan masyarakat modern sekarang ini, hutan bukan hanya
dipandang sebagai penghasil kayu log atau gelondongan dan kayu bakar, tetapi hutan
dipandang sebagai objek yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Sehingga banyak
harapan dan jasa yang diberikan oleh hutan kepada masyarakat, lingkungan, sistem
pertanian, dan tentunya sistem kehidupan secara keseluruhan.
Eksistensi atau keberadaan hutan dunia, khusunya Hutan Hujan Tropis (Tropical Rain
Forest) saat ini telah menjadi isu global dan pusat perhatian serta kajian dari berbagai
stakeholders dari tingkat lokal, nasional, regional dan bahkan internasional. Keberadaan
hutan yang selama ini hanya dipandang sebagai penghasil kayu dan peyeimbang sistem tata
air (fungsi hidro orologis) pada kenyataanya hutan memiliki beberapa fungsi yang sangat
penting dan beragam. FAO (1998) menguraikan produk jasa dari hutan tropis basah di
antaranya adalah sebagai :
Sumber keanekaragaman hayati (Biological diversity)
Penyimpan dan penyerapankarbon (Carbon sink)
Jasa wisata dan sejenisnya (Recreational and opportunities)
Rekreasi dan pendidikan buat wisatawan (Recreational and Education for Tourist)
Untuk produk jasa hutanyang terakhir mungkin akan lebih tepat kalau dikategorikan
sebagai produk eksternal hutan (Forest external). Jasa eksternal hutan dapat didefinisikan
sebagai jasa dari hutan yang memberikan manfaat kesejahteraan (kenyamanan) tetapi tidak
dapat ditentukan harganya dengan uang dan sistem pasar.
Konferensi tingkat tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janero Barzil 1992 dan dilanjutkan
dengan konferensi sejanis di Tokyo Jepang yang lebih dikenal dengan Protokol Kyoto 1997
telah menghasilkan beberapa kesepakan internasional tentang pengakuan produk jasa hutan
tersebut, terutama yang berhubungan langsung dengan ilkim global (Global climate) dan
penguranga gas pencetus efek rumah kaca (Reducing emmision gasses). Produk jasa dari
hutan mulai diagendakan dalam konferensi, harga jual dari jasa hutan tersebut mulai
ditetapkan. Sehingga produk jasa dari hutan seperti penyimpan karbon (Carbon sink/carbon
sequestration) atau hutan sebagai sumber genetik (Forest genetic resources) dan konservasi
keanekaragaman hayati (Biological diversity conservation) mulai ditentukan diperhitungkan
kompensasinya dalam konferensi internasional tersebut.
FAO (1998) melaporkan bahwa studi atau penelitian pada berbagai tempat diseluruh
dunia menyimpulkan bahwa nilai produk jasa dari hutanseperti Rotasi rantai makanan
(NutrientCycling), penyeimbang iklim global (Climate regulation), mengontrol erosi (Erosi
control) dan jasa lainnya melebihi 60% dari nilai total suatu kawasan hutan.
22.3. Jasa Hutan dan Pohon pada Pertanian (Agricultural Services of Forests and Trees)
Keberadaan hutan yang masih hijau akan sangat berpernaruh terhadap ketersediaan
produk-produk pertanian secara umum, baik itu menyangkut ketersediaan bahan makanan,
komodidti peternakan dan perikanan serta perkebunan. Hal tersebut sudah lama disadari oleh
berbagai kalangan baik dari pihak pemerintah, petani maupun stakeholder lainnya. Sehingga
dengan kata lain bahwa Interaksi antara keberadaan atau eksistensi hutan dan pertanian
sangat positif dan memberikan banyak manfaat kepada makhluk hidup dalam suatu sistem.
Interaksi antara eksistensi hutan, pohon dan aspek pertanian secara luas tersebut sulit untuk
dinilai dan ditentukan oleh sistem pasar, karena manfaatnya langsung kepada kemakmuran
dan kesejahteraan umat manusia.
Pada skala tradisional mungkin dapat ditentukan oleh sistem pasar atau ekonomis,
seperti interaksi antara jasa hutan dengan sistem perladangan berpindah (Shifting cultivation).
Terdapat bebera interaksi antara jasa hutan dan sistem pertanian yang sudah lama dikenal
oleh kita di antaranya seperti : memulihkan lahan kritis (Repleshing degraded land), menjaga
22.4. Jasa Hutan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) (Watershed Services of Forests)
Hutan memiliki konstribusi secara langsung kepada kawasan atau Daerah Aliran Sungai
(DAS) yang lebih sering dikenal dengan nama fungsi stabilisasi ekologi (The Ecological
Stabilisation Function of Forest). Fungsi stabilisasi hutan tersebut diberikan langsung kepada
daerah aliran sungari atau kawasannya yang meliputi aspek menstabilkan tanah kawasan
(Stabilising on-site soil), mengurangi laju sedimentasi (Reducing off-sitesedimentation),
mengurangi aliran dan mencegah banjir pada beberapa kawasan DAS kecil (reducing flood
peaks on streams in small watersheds) dan menstabilkan air tanah dan sumber mata air
(repleneshing ground water and watercources). Fungsi hutan pada stabilisasi kawasan DAS
tersebut pada akhirnya akan berpengaruh langsung terhadap pengelolaan sumber tenaga air
(Hydropower) dan sistem irigasi atau pengairan (Irigation).
Beberapa kasus yang terjadi akhir kahir ini seperti banjir bandang, tanah longsir dan
bencana banjir adalah merupakan salah satu bentuk penyimpangan, atau tidakberfungsinya
Hutan sebagai stabilisator, dari fungsi atau jasa hutan dalam menjaga stabilisasi kawasan
DAS.
Salah satu fungsi penting dari keberadaan hutan, khususnya hutan tropis, adalah
kemampuanya dalam menetralisir polusi dunia yaitu kemampuan hutan tropis untuk
mengkonversi/menetralisir polusi Karbon dioksida (CO2) menjadi Oksigen melalui Proses
Fotosintesis. Pada beberapa pertemuan international seperti KKT BUMI di Rio de Janero
(1992) dan Protokol Kyoto (1997) telah diepakati untuk memberikan imbalan jasa hutan
tropis karena fungsinya sebagai paru paru dunia tersebut dalam bentuk dana kompensasi
yang kemudian dikenal dengan nama Provision of Carbon Sink.
Kawasan hutan tropis basah mengolah Karbondioksida dan mengolahnya menjasi
komoditas kayu. Pohon yang cepat tumbuh (faster growth) berarti lebih banyak menyerap
karbon. Sehingga apabila hutan tropis basah mengalami kerusakan (degraded due to burning
orcleared), maka konsentrasi karbon dioksida, atau gas rumah kaca (Greenhouse
gassemissions), di atmosfer akan semakin meningkat baik yang berasal dari industri, maupun
hasil pembakaran kaendaraan bermotor, industri rumah tangga serta pembakaran hutan.
Dengan ketentuan ini, maka negara-negara industri maju (Industried and Developed
Nations) akan membayar kompensasi kepada negara negara berkembang atau miskin
(Poorest and Developing Nations) yang memiliki kawasan hutan tropis basah yang masih
hijau
Untuk perdagangan karbon tersebut menurut FAO (1998) terdapat tiga alterntif atau
skenario yang dapat dikembangkan yaitu:
Manajemen konservasi untuk mencegah emisi (Management for conservation for
prevention emissions), dengan tujuan utamanya adalah untuk menjamin kelangsungan
stok karbon di hutan.
Manajemen pengembangan stock karbon dengan cara menambah areal atau kerapatan
karbon di alam dan perluasan hutan tanaman (plantation forest). Management for
storage (short-term measures over next 50 years or so).
Pengelolaan untuk penggantian/konversi (Management for substitution) (long term
measures). Tujuan jangka panjang ini adalah untuk meningkatkan keanekaragaman
(diversity) penggunaan biomassa hutan ke dalam beberapa produk berbasis karbon
22.6. Konservasi Habitat Satwa Liar dan Nilai Keanekaragaman Hayati (Conservation
of Wildlife Habitats and Biological Diversity Values)
Dua komponen penting dalam konservasi habitat satwa liar dan nilai konservasi
keanekaragaman hayati adalah : memberikan habitat kepada satwa liar (to provide habitat for
wildlife), dan melakukan usaha konservsi terhadap sumber daya biologi (to conserve
biological resources)
Informasi yang dikelurakan oleh World Conservation and Monitoring Centre (WCMC)
yang dikutip oleh FAO (1998) menunjukkan bahwa kawasan Asia Pasific sangat disarankan
untuk dijadikan daerah perlindungan (protected areas). Republik rakyat Cina (RRC), adalah
negera nomor tiga yang memiliki keanekaragaman tanaman berbunga (Flowering plants)
setelah di bawah Brasil dan Colombia dan Indonesia tidak jauh berbeda. Untuk keneragaman
hayati jenis Mamalia Indonesia memiliki ranking nomor dua di dunia, sedangkan untuk
spesies burung (birds) Indonesia berada pada posisi kelima.
Indeks untuk perhitungan Keanekaragaman hayati (Calculation of Biological Indices)
yang merupakan tingkat pentingnya suatu negara terhadap keanekaragaman hayati dunia,
Indonesia memperoleh nilai yang cukup tinggi yaitu 26,8%, diikuti oleh Filipina (14,0 %),
Malaysia (13.7 %), Papua New Guinea (13,3%) dan Vietnam (12,7 %).
22.7. Pustaka
EKOWISATA (ECOTOURISM)
23.1. Pendahuluan
Era globalisasi dalam bidang pariwisata telah merubah orientasi kepariwisataan dari
yang semula memfokuskan pada wisata-wisata konvensional, seperti musium, peninggalan
bersejarah, benda purbakala, dan objek-objek wisata lainnya, kepada paradigma baru yang
mengkombinasikan nilai-nilai keindahan alam, petualangan, hiburan dan sekaligus tantangan.
Hal tersebut dikarenakan adanya kecenderungan perubahan pola hidup untuk kembali ke
zaman atau periode di mana alam masih sangat bersahabat dengan kita. Dari persfektif inilah
kiranya Ekotwisata mulai diperkenalkan yang memadukan potensi, kelebihan dan keindahan,
serta kekhasan ekologi dan budaya lokalnya dengan berbagai aspek pariwisata lainnya.
Ekowisata atau lebih dikenal dengan ekturisme dibahas dalam pokok bahasan ini untuk
memberikan gambaran tentang potensi ekowisata di beberapa kepulauan Indonesia
khususnya. Kegiatan ekowisata dicanangkan untuk menumbuh kembangkan rasa kebanggaan
akan keindahan dan keunikan alam dengan tujuan utama untuk menumbuh kembangkan rasa
tanggung jawab dan kewajiban terhadap kelestarian alam.
Pada akhir pelajaran ini, para pembaca diharapkan memiliki kemampuan untuk:
1. Menjelaskan definisi ekowisata dan alasan pengelompokkan komoditas ini sebagai salah
satu hasil hutan bukan kayu
2. Menginventarisai beberapa kawasan hutan di Papua yang dapat dijadikan sebagai target
ekowisata.
3. Menjabarkan keunggulan hasil hutan bukan kayu ekowisata dari berbagai perpektif ilmu
seperti ekonomi, ekologi dan lingkungan
23.2. Pengertian
Ekowisata adalah suatu kegiatan pariwisata yang memanfaatkan potensi sumber daya
alam dengan mengikutsertakan potensi masyarakat yang berdomisili di sekitarnya.
Pengertian yang lebih luas dari ekowisata diberikan oleh departemen kebudayaan pariwisata
dan WWF (2009) yaituperjalanan oleh seorang turis ke daerah terpencil dengan tujuan
menikmati dan mempelajari mengenai alam, sejarah dan budaya di suatu daerah, di mana
pola wisatanya membantu ekonomi masyarakat lokal dan mendukung pelestarian alam
Sedangkan Permendagri no 23 tahun 2009 tentang pedoman pengembangan ekowisata di
daerah dinyatkan bahwa ekowisata adalah kegiatan wisata alam di daerah yang bertanggung
jawab dengan memperhatikan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-
usaha konservasi sumber daya alam, serta peningkatan pendapatan masyarakat lokal.
Ekowisata sering juga disebut dengan ekoturisme, tetapi ekoturisme lebih menekankan pada
aspek keunikan potensi ekologi, ekosistem dan sosial budaya masyarakat setempat. Dua
komponen utama dalam ekoturisme adalah potensi sumber daya alam dan potensi masyarakat
di sekitar hutan, baik itu potensi sosial budaya maupun potensi sistem nilai - nilai spiritual.
Ekowisata adalah istilah lain dari ekoturisme. Ekowisata dapat dipahami sebagai wisata
ekologi, yang berarti pergi berwisata ke suatu tempat untuk menyaksikan atau menikmati
keindahan keunikan dan kekhasan potensi ekologi dari daerah tersebut. Potensi ekologi yang
dimaksud adalah potensi sumber daya alam, baik yang terdiri atas benda hidup (makhluk
hidup) maupun benda mati, beserta kekhasan penduduk yang mendiami wilayah ekologi
tersebut.
Sehingga dengan ekoturime diharapakan dapat tercipta pengertian antara pelaku wisata
dan masyarakat objek wisata untuk saling membutuhkan. Masyarakat di samping sebagai
Ekoturisme akan berhasil dan bermanfaat bagi masyarakat lokal baik secara ekonomi,
sosial dan lingkungan apabila dapat menggabungkan antara potensi alam dari suatu kawasan
hutan yang dilindungi, aspek sosial masyarakat setempat, dan partisipasi masyarakat
setempat, baik sebagai pelaku maupun penyelengara dari kegiatan ekoturisme itu sendiri.
Seperti yang dikemukakan oleh Trisurat (2003) yang menggarisbawahi bahwa Ekoturisme
hanya akan dapat berjalan apabila masyarakat lokal mendapatkan manfaat dari kegiatan
ekotorisme itu dan terlibat sepenuhnya dalam kegiatan tersebut. Ecotourism will only work,
though, if the local communities benefit from it and are fully involved in its
management.Lebih lanjut dikatakan bahwa khusus untuk daerah-daerah atau kawasan hutan
penyangga yang memiliki nilai keunikan dan memiliki perbatasan dengan wilayah lain, maka
metode Trans Boundary Conservation Area atau TBCA adalah pola yang cocok
dikembangkan. Contohnya adalah pengembangan ekoturisme di sungai Mekong, diamana
potensi keindahan alamnya dikelola dengan mengandeng masyarakat lokal sebagai pelaku
utamanya.
Beberapa potensi ekowisata yang cukup dan telah terkenal misanya festival lembah
baliem di Wamena, festival danau Sentani, di Jayapura, Provinsi Papua. Juga ada festival
danau Samosir di Sumatera Utara, dan beberapa wisata khas daerah lainnya di berbagai
penjuru tanah air. Sedangkan khusus untuk ekowisata kawasan konservasi bahari di Papua
Barat, yang cukup terkenal sampai ke mancanegara adalah kawasan kepulauan Raja Ampat,
di Papua Barat. Gugusan kepulauan Raja Ampat terdiri atas empat pulau besar, yaitu
Waigeo, Batanta, Salawati dan Misool, serta ratusan pulau-pulau kecil yang terbentang,
seperti berurutan satu sama lainnya. Menurut beberapa sumber, kawasan Raja Ampat adalah
termasuk segitiga karang dunia (coral triangle), yang memiliki kekayaan species karang
tertinggi di dunia. Hal ini juga didukung oleh tingginya biodiversity dari jenis-jenis ikan dan
beberapa tumbuhan laut lainnya. Makanya raja ampat ibaraat surganya bagi para pecinta
olahraga menyelam (diving). Gambaran gugusan kepulauan Raja Ampat dapat dilihat pada
Gambar 23.1.
Negara republik Indonesia sebagai negara tropis dan kepulauan terbesar di dunia, yang
mana terdiri atas sekitar 17 000 pulau besar dan kecil, memiliki potensi yang cukup besar
untuk mengandalkan sektor Ekoturisme. Hal ini ditunjang dengan keberagaman jenis suku
dan etnik, yang hampir ditemukan keunikaanya pada setiap pulau atau kelompok masyarakat.
Potensi keunikan dalam bidang budaya, bahasa, kesenian yang dikombinasikan dengan
keunikan jenis flora, fauna dan kondisi fisik lahan atau hutan, akan menempatkan Indonesia
sebagai negara tujuan Ekoturisme terkemuka di dunia. Menurut Permendagri No.3 tahun
2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah dijelaskan bahwa jenis-jenis
ekowisata di daerah dapat berupa ekowisata bahari, ekowisata hutan, ekowisata pegunungan
dan/atau, ekowisata karst.
Pada beberapa daerah di Pulau Jawa, potensi ekowisata ini telah dikelola oleh Perum
PERHUTANI, baik di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan daerah Jogjakarta. Untuk
daerah-daerah di luar perum Perhutani, biasanya potensi ekotorisme tersebut dipadukan
dengan aspek konservasi, sehingga ditangani oeh Dirjen Perlindungan dan Pelestarian Alam
(PHPA) departemen kehutanan yang dalam operasionalnya dilapangan di laksanakan oleh
Balai Koservasi Sumber daya Alam (BKSDA), maupun unit pelaksana Teknis, seperti Balai
Taman Nasional.
Khusus untuk daerah Papua, di Manokwari, terdapat Balai Taman Nasional Teluk
Cenderawasih (BTNTC), yang mengelola kawasan cagar alam teluk Cenderawasih, dengan
luas mencapai 1.453.500 ha berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 472/Kpts-
II/1993 dan merupakan kawasan taman nasional laut (perairan) terluas di Indonesia, dengan
rincian luasan adalah daratan 68.000 Hektar, yang meliputi 12.400 Hektar pesisir pantai,
55.800 Hektar daratan pada pulau-pulau, dan 80.000 Hektar terumbu karang dan lautan
dengan luas 1.305.500 Hektar, TNTC dan WWF (2006).
Mengacu kepada Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) 2006-2031, yang
disusun oleh BTNTC dan WWF (2006) dalam Desain Model Pengelolaan tentang Rencana
Tata Ruang dan Tapak Zona Pariwisata Alam, beberapa Peluang dan Prospek Pariwisata
Alam yang dapat dikembangkan, di antaranya adalah:
1) Potensi Flora dan Fauna yang meliputi keanekaragaman jenis tumbuhan, hewan dan
khususnya biota laut yang khas dan unik yaitu: Terumbu karang, Ikan karang, Biota
Laut, Burung Cenderawasih, Burung Kesturi kepala hitam, Burung Junai Mas, Rusa,
Buaya, Penyu, Ikan Duyung, Ikan Paus, Ikan Lumba-lumba, Penyu, Vegetasi mangrove,
Vegetasi Lamun Kantung semar, dan berbagai jenis tumbuhan obat-obatan tradisional.
Kawasan hutan wisata Gunung Meja yang berada di bawah wilayah pengelolaan sub
BKSDA menawarkan potensi keanekaragaman vgetasi hutan tropis basah. Hal ini terkait
dengan fungsi utama hutan Gunung Meja sebagai daerah resapa air dan sumber mata air
untuk Kota Manokwari dan sekitarnya. Hutan Wisata Gunung Meja telah ditetapkan sebagai
daerah resapan air sejak zaman kolonialisme Belandan dan Jepang, bahkan terdapat tempat
wisata bersejarah yaitu Tugu Jepang, tugu yang diperuntukkan untuk mengenang
pergorbanan tentara Jepang yang gugur selama perang dunia II. Tetapi sangat disesalkan
bahwa potensi ini sudah mulai pudar, karena kurangnya perhatian pemerintah dan tindakan
dari masyarakat umum yan tidak bertanggung jawab.
Di tingkat pemerintah daerah Kabupaten Manokwari, khususnya Dinas Pariwisata, telah
menentukan dua potensi ekowisata yaitu Tempat Pemanggilan Ikan di Bakaro dan ekowisata
Hutan Bakau. Tempat pemanggilan ikan menekankan kepada aspek ekologi perairan/pantai
dan keunikan mengumpulkan ikan laut dalam waktu singkat (kurang lebih 5-10 menit),
dengan menggunakan umpan rumah rayap dan menggunakan peluit, yang dilakukan oleh
orang tua atau penerusnya yang memang telah memiliki keahlian turun-temurun, Gambar
23.2.
Gambar 23.2. Objek wisata pemanggilan ikan di desa Bakaro, Kab. Manokwari
Ekowisata hutan mangrvove yang berlokasi sekitar 5 Km dari pusat kota Manokwari,
adalah objek wisata yang mengedepankan fungsi ekologi dari pohon mangrove, khusunya
untuk pelindung daerah pesisir dan pantai. Hutan mangrove ini adalah hasil suksesi alam dari
proses pendangkalan yang telah berlangsung selama kurang lebih 20 tahun terakhir. Selain
tujuan konservasi kawasan pesisir dan pantai, hutan mangrove ini juga dimanfaatkan untuk
media pendidikan publik, yaitu menumbuh kembangkan kesadaan akan pentingya kawasan
pantai dan pesisir yang hijau, dan bersih. Hal ini terkait dengan kondisi/keberadaan wilayah
Papua yang rentan terhadap gempa bumi dan kemungkinan akan terjadinya gelombang
pasang (tsunami) seperti yang terjadi pada tahun 1998.
23.5. Pustaka
Asia-Pacific Forestry Commision. 1998. Asia-Pacific Forestry Towards 2010. Report of The
Asia-Pacific Forestry Sector Outlook Study. Food and Agriculture Organization
of The United Nation, Rome Italy.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pengembangan
Ekowisata di Daerah.
Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) dan World Wild For Fund (WWF) .2006.
Draft. Rencana Pengembangan Taman Nasional (RPTN) Kawasan Taman
Nasional Teluk Cenderawasih. Hasil Analisis, Sintesa dokumen dan Input Rapat
Internal Tim Penyusun RPTN Kawasan TNTC.dipersiapkan oleh Godlief
kawer.
Trisurat, Y .2003. Defusing the trasnboundary minefield. ITTO tropical Forest Update Vol
13 (2). Hal. 10-12.
Wollenberg, E., Andrew. I. 1999. Incomes From the Forest. Methods for development and
conservation of forest products for local communities. Center for International
Forestry Research (CIFOR).
24.1. Pendahuluan
Hutan tropis dicirikan oleh adanya keanekaragaman jenis penyusun ekosistem hutan yang
sangat tinggi, dan terletak di sekitar garis khatulistiwa. Tiga lokasi penyebaran hutan tropis
dunia berdasarkan keanggotaan negara dalam Organisasi Perdagangan Negara-negara Tropis
(International tropical Timber Organization/ITTO) yaitu :
1) Hutan Amazone, yang tersebar dinegara Brasil, Peru, Ekuador, Suriname, Bolivia,
Trinidad dan Tobaco, Venezuela dan Guyana.
2) Kelompok hutan Indo Malaya dan Pasific yaitu negara-negara ASEAN termasuk
Indonesia, Papua New Guinea, Fiji, India dan Vanuatu
3) Kelompok Afrika Tengah seperti Kongo, Ghana, Kamerun, Republik Afrika Tengah,
Pantai Gading, Republik Demokratik Kongo, Togo dan Liberia.
Secara sederhana fungsi hutan tropis dan kawasan hutan pada umumnya adalah sebagai
paru-paru dunia, yaitu yang berfungsi untuk mengubah polutan yang utamanaya adalah
karbon dioksida (CO2) menjadi oksigen (O2) melalui jasa pohon hutan atauvegetasi hutan
yang dinamakan dengan proses Fotosintesis. Karbon dioksida yang berasal dari sisa
pembakaran Bahan Bakar Fosil (BBF), yang di Indonesia dikenal dengan nama Bahan Bakar
Minyak (BBM) adalah penyumbang terbesar konsentrasi CO2 dalam atmosfer bumi. Di
samping itu, kegiatan lain yang dapat menyumbang tingginya konsentrasi CO2 di atmosfer
Protokol kyoto adalah sebuah instrumen hukum (legal instrument) yang dirancang untuk
mengimplementasikan Konvensi Perubahan Iklim yang bertujuan untuk menstabilkan
konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) agar tidak menganggu sistem iklim bumi, Mudiyarso
(2003). Robledo (2004) mengemukakan bahwa dua stategi utama yang digunakan untuk
pendekatan pengurangan konsentrasi GRK adalah Mitigasi (mitigation) dan Adaptasi
(adaptation). Mitigasi adalah strategi yang memfokuskan pada pengurangan emisi GRK dan
menurunkan konsentrasi GRK yang telah berada di atmosfer. Sedangkan adaptasi dapat
diterjemahkan sebagai penyesuaian segala sistem ekologi dan sosial untuk menghadapi
segala dampak dari perubahan iklim global, baik yang telah, sedang dan akan terjadi.
Implikasi dari dua strategi tersebut memiliki beberapa implikasi yang sangat penting
terhadap produksi dan perdagangan segala produk hutan hujan tropis, baik produk kayu
maupun produk bukan kayu (forest good and services) dan juga aktivitas dari negara anggota
ITTO.
Tiga mekanisme yang bersifat fleksible telah disepakati dalam strategi Mitigasi, yaitu
Join Implementation (JI), International Emissions Trading (IET) and The Clean Development
Mechanism (CDM). Dua mekanisme yang pertama yaitu JI dan IET adalah mekanisme yang
berlaku antar sesama negara maju, sedangkan yang CDM adalah mekanisme yang berlaku
antara negara maju dengan negara berkembang.
24.5. Efek Rumahkaca dan Gas Rumah Kaca (Green House Gases)
Gas Rumah Kaca (GRK) atau yang dalam bahas inggrisnya lebih dikenal dengan
greenhouse gases adalah sejumlah gas memiliki kontribusi terhadap pemanasan global
(global warming). Tingginya kosentrasi GRK tersebut tidak hanya akan mempengaruhi
pemanasan global, tetapi juga akan berpengaruh terhadap penipisan lapisan ozon.
Sebagaiman kita ketahui bahwa fungsi dari lapisan ozon adalah sebagai filter atau penyaring
dari sinar atau gelombang ultra violet dari sinar maatahari. Dua fenomena tersebut,
pemanasan global dan penipisan lapisan ozon tersebut yang kemudian kita kenal sebagai
Efek Rumahkaca.
Sekarang Gas Rumah Kaca itu gas yang mana?. Gas rumah kaca adalah gas-gas yang
dihasilkan oleh aktivitas manusia dan makhluk hidup lainnya, termasuk microorganisme dan
tumbuhan. dan juga peristiwa alami lainnya, seperti kebakaran hutan. Selanjutnya GRK itu
apa saja? Gas-gas rumah kaca itu terdiri atas karbon dioksida (CO2), Methana (CH4), Nitrous
Oksida (N2O), Hidrofluorocarbon (HFCs), Perfluorocarbon (PFCs), sufurheksafluorida (SF6),
karbon-sulfur gas (carbon-sulfu gases), Karbon monooksida (CO), nitric oxide, halocarbons,
dan Clorofluorocarbon (CFC), Tyler (1991) dan Mudiyarso (2003).
Efek Rumahkaca memiliki pengertian bahwa dengan meningkatnya konsenstrasi GRK
dalam atmosfer, maka suhu atmosfer akan meningkat. Peningkatan konsentrasi GRK juga
Kenapa sampai ada REDD?. Setelah adanya kesepakatan global tentang pengurangan
dampak perubahan iklim global yang dikenal dengan protokol Kyoto, perbedaan pandangan
antara sesama negara-negara industri, juga negara-negara berkembang, utamanya dalam
pelaksanaannya di lapangan, semakin melebar dan tidak menemukan titik temu. Pada tahun
2005 diadakan Conference on the Parties (COP) United Nation Climate Change Conference,
di Montreal, Canada, beberapa negara pemilik hutan tropis, termasuk Costa Rica dan Papua
New Guinea, mengusulkan proposal tentang insentif bagi negara berkembang dalam
mengurangi pengkonversian hutan (avoided deforestation).Proposal tersebut kemudian
ditindaklanjuti dalam COP UNCCC -15 di Bali, Indonesia pada tahun 2007, yang kemudian
mengeluarkan dokumen yang dinamakan dengan Bali Action plan. Salah satu point penting
dari Bali action plan tersebut adalah pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi di
negara-negara berkembang, yang selanjutnya disingkat dengan REDD in developing
countries. Oleh Perserikatan bangsa-bangsa, program ini kemudian diluncurkan pada tahun
2008, dengan nama United Nation Collaborative Program on Reducing Emission from
Deforestation and Forest Degradation in Developing countries (UN-REDD programnes).
Intinya REDD membantu negara berkembang dalam membangun kapasitasnya mengurangi
emisi dan memastikan peran aktif negara berkembang dalam mekanisme REDD dimasa
mendatang. Setelah diluncurkan, Norwegia menjadi negara pertama yang menjadi donor
untuk REDD tersebut. Selanjutnya, pada tahun 2009 yaitu pada saat COP-15 di Copenhagen,
Denmark, negara ini juga mencatatkan diri sebagai negara kedua yang menjadi donor, dan
diikuti oleh Spanyol pada tahun 2010.
Langkah penting REDD adalah dengan dibentuknya kemitraan dengan sembilan negara
pemilik hutan tropis sebagai pilot project, yang terletak di tiga kawasan yaitu Afrika, Asia-
pasifik, dan Karibia dan Amerika latin. Untuk negara Afrika terdiri atas negara demokratik
Congo, Tanzania, dan Zambia, sedangkan kawasan Asia pasifik terdiri atas Indonesia, Papua
New Guniea dan Viet Nam. Tiga negara di Amerika Latin dan Karibia adalah Bolivia,
Panama dan Paraguay. Hingga saat ini, jumlah negara-negara berkembang yang bergabung
dalam REDD telah bertambah menjadi 29 negara, yaitu 9 negara pilot projek dan 20 peserta
lainnya. Pada tahun 2010, negara Filipina, Kepulauan Solomon dan Kamboja menjadi tiga
Indonesia berperan sangat aktif dalam skema perdagangan karbon melalui mekanisme
REDD ini, dan peran Indonesia sangat dominan, baik sebagai inisiator, pelaksana, dan
eksekutor di lapangan. Sebagai negara kepulauan dan pemilik hutan tropis, wilayah
Indonesia sangat rentan terhadap dampak dari perubahan iklim tersebut. Hal ini dudukung
oleh terbitnya surat keputusan presiden No. 25 tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan
25.7. Pustaka
Keputusan Presiden Republik Indonesia No.25 tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan
Kelembagaan Reducing Emmission from Deforestation and Forest Degradation
(REDD+).
Murdiyarso, D. 2003. Protokol Kyoto. Implikasinya bagi Negara Berkembang. Penerbit
Buku Kompas. Jakarta.
Robledo, C .2004. Small Change from Climate-change negotiation?. ITTO Tropical Forest
Update. Vol 14 (1). Hal. 18-19
Tyler, S.C .1991. The Global Methane Budget in Microbial Production and Consumption of
Greenhouse Gases: Metahane, Nitrogen oxides and Halomethanes. Edited by
John E. Rogers and William B. Whitman. American Society for
Microblogy.Washington D.C.
The UN-REDD Strategy 2011-2015.United Nation Reducing Emission from Deforestation
and Forest Degradion. www.un-redd.org
25.1. Pendahululan
Berbagai ragam penelitian hasil hutan bukan kayu telah banyak dilakukan dan
dipublikasikan, mulai dari yang bersifat pengumpulan data dan informasi dasar sampai
kepada teknologi pengolahan, pemanfaatan dan bahkan sampai kepada rencana dan stategi
pengembangan komoditas tertentu dan pembangunan kapasitas yang melibatkan masyarakat
lokal.
Penelitian tentang tumbuhan obat misalnya, kajiannya akan diawali dari pengumpulan
data dan informasi tentang potensi, jenis tanaman obat, bentuk pemanfaatannya, dan sampai
kepada analisis bahan bio-aktifnya. Pada tahap selanjutnya maka akan dilanjutkan dengan uji
klinis dan laboratoris terhadap keaktifan senyawa bio-aktif tersebut kepada sel kanker, sel
tumor dan beberapa uji pharmakologi lainnya. Sudah tentu disiplin ilmu yang terlibat di
dalamnya bersifat multi disiplin ilmu, termasukdi dalamnya peran serta ilmu kehutanan,
khusunya Teknologi Hasil Hutan.
Untuk itu, pada pokok bahasan kali ini ditampilkan beberapa contoh, ide dan gagasan
beberapa penelitian hasil hutan bukan kayu. Perlu disadari bahwa tidak seluruh penelitian,
gagasan dan ide tersebut dapat dilaksanakan pada seluruh daerah di Indonesia.
Diharapkan setelah menyelesaikan pelajaran ini para pembaca memiliki kemampuan
untuk:
1. Menjelaskan dan memahami ruang lingkup penelitian hasil hutan bukan kayu,
khususnya posisi dan kontribusi disiplin ilmu teknologi hasil hutan.
2. Memiliki kemampuan untuk merencanakan penelitian hasil hutan bukan kayu yang
diinginkannya.
3. Membedakan batasan kajian penelitian hasil hutan bukan kayu antara disiplin ilmu
kehutanan, khususnya hasil hutan buka kayu, biokimia, kimia bahan alam, farmasi dan
konservasi.
Komoditas hasil hutan bukan kayu sangat beragam dan bersifat multidipliner. Hal
tersebut memiliki pengertian bahwa penelitian hasil hutan bukan kayu tidak hanya monopoli
disiplin atau bidang ilmu kehutanan saja. Akan tetapi melibatkan seluruh disiplin ilmu
terkait. Hal ini karena komoditas hasil hutan bukan kayu adalah komoditas yang bersifat
multi dimensi, meliputi dimensi aspek sosial dan budaya, ekonomi, lingkungan hayati dan
non hayati, ilmu pengetahuan alam (MIPA), keindahan (estetika), dan beberapa dimensi
lainnya.
Khusus untuk memudahkan pemahaman, kesinambungan informasi, dan
pemgembangan komoditas maupun produk ungulan, maka penelitian komoditas hasil hutan
bukan kayu kiranya dapat diringkas dalam tiga kelompok penelitian, yaitu penelitian dasar
(fundamenal/basic research), penelitian lanjutan atau terapan (appliedresearch), dan
penelitian pengembangan produk unggulan (advancedresearch and utilization).
Keluaran atau output dari penelitian dasar selanjutkan ditindaklanjuti dengan melakukan
penelitian terapan atau applikasi. Pada tahap ini, sudah tentu bahwa tidak semua komoditas
hasil hutan bukan kayu memerlukan tahapan penelitian yang sama dengan komoditas
lainnya, untuk dikembangkan dan dibudidayakan. Hal ini akan sangat tergantung kepada sifat
dan karakteristik dari komoditas HHBK tersebut, serta tujuan pengembangan dan produk
akhir yang ingin dicapai.
Misalnya pengembangan dan budi daya komoditas lebah madu, dan sarang burung
walet, akan memiliki tahapan proses penelitian yang sangat berbeda dengan tumbuhan obat.
Khusus untuk komoditas lebah madu, apabila tujuan produk akhirnya adalah lebah madu,
maka penelitian lanjutannya dapat berupa desain kemasan, ukuran dan label kemasan, dan
beberapa aspek penting pemasaran lainnya. Kandungan nutrisi dari kemasan madu, tanggal
kedaluwarsa, dan beberapa bahan tambahan lainnya, seperti rasa jeruk, juga perlu
ditambahakan dalam kemasan. Proses dan metode untuk menghasilkan madu kualitas utama
25.3. Beberapa Contoh Penelitian Hasil Hutan Bukan Kayu di Fakultas Kehutanan
UNIPA
Berbagai jenis penelitian yang dijelaskan pada paragrap ini ditujukan untuk memberikan
gambaran tentang jenis-jenis penelitian hasil-hasil hutan bukan kayu yang selama ini
dilaksanakan, baik oleh mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat, dinas kehutanan, lembaga
penelitian, lembaga konservasi dan badan penelitian lainnya, khususnya yang berlokasi di
Papua dan Papua Barat.
Dari beberapa variabel yang telah dirumuskan tersebut terdapat beberapa aspek kajian
yang dapat dilihat dan dijadikan pokok bahasan. Pada poin pertama, mengkaji tentang jenis
tumbuhan hutan (dapat berupa pohon, herba, semak, efifitdan seterusnya) dan bagian dari
tumbuhan hutan tersebut (dapat berupa daun, akar, kulit, kayu, bunga, buah, dan bagian
tumbuhan lainnya) yang dijadikan bahan baku obat tradisional, poin kedua membahas
tentang cara meramu, meracik, mencampur maupun menyajikan tumbuhan obat tersebut.
Dalam penggunaannya tumbuhan tersebut dimanfaatkan secara murni (tanpa pencampuran
dengan tumbuhan lain), atau dicampur dengan proporsi tertentu, hal ini tentunya akan
tergantung kepada jenis penyakit yang akan dihadapi. Pemakaian atau penyajian dapat
berupa diminum, dimakan/dikunyah, digosokkan, atau bahkan ditempelkan secara terus
menerus seperti dikompres.
Sedangkan variabel penunjang terdiri atas tenaga kerja dan pelatihan dan penyuluhan
yang diikuti. Tenaga kerja meliputi tenaga kerja keluarga dan luar keluarga yang terlibat
dalam pemeliharaan lebah madu, umur dan jenis kelamin, sedangkan pelatihan adalah jenis
25.4. Pustaka
Dewi, H.F. 2003. Pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu oleh masyarakat Kampung Nuni
distrik Manokwari Kabupaten Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan pada
Jurusan Budi daya Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua
Manokwari (tidak diterbitkan)
May, B.I. 2005. Sistem Pemeliharaan lebah madu di Kampung Ambaidiru Distrik
Andkaisera Kabupaten Yapen. Skripsi Sarjana Pertenakan. Fakultas Peternakan
Perikanan dan Ilmu Kelauatan Universitas Negeri Papua (tidak diterbitkan)
Oropa. H. 2001. Kajian Industri Kerajinan Rotan Alfian di Kota Biak. Skripsi Sarjana
Kehutanan pada Jurusan Budi daya Hutan Fakultas Kehutanan Universitas
Negeri Papua Manokwari (tidak diterbitkan)
Pagapong, I.I. 2001. Pengujian dan Evaluasi Kualitas Rotan Asalan Marga Calamus dan
Korthalasia asal Kebar Kabupaten Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan pada
Fakultas Pertanian, Universitas Cenderawasih Manokwari. (Tidak diterbitkan).
Pakpahan, E.R. 1993. Pengujian Beberapa Komponen Kualitas Minyak Kayu Putih
(Melaleuca cajuputi) asal Taman Nasional Wasur Merauke Irian Jaya. Skripsi
Sarjana Kehutanan pada Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas
Negeri Cenderawasih Manokwari (tidak diterbitkan)
Sirait, U. 1998. Pengaruh Beberapa Kondisi Penggorengan terhadap kadar air rotan Diameter
Besar asal Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan pada Fakultas Pertanian,
Universitas Cenderawasih Manokwari. Tidak diterbitkan
26.1. Pendahuluan
Pada pokok bahasan yang terakhir ini, penulis sengaja menambahkan beberapa
informasi yang dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk memulai kegiatan usaha atau
kewirausahaan komoditas HHBK. Kewirausahaan tersebut dapat berupa kegiatan
pemanenan, pemungutan, pembudidayaan, pengolahan, diversifikasi produk, pemasaran, dan
bahkan pengembangan produk unggulan dari komoditas HHBK.
Kenapa topik ini penting untuk dibahas? Karena berbagai potensi komoditas HHBK
yang dimiliki oleh Indonesia, kebanyakan belum dimanfaatkan secara optimal, ataupun
belum diolah dengan melibatkan teknologi, biarpun teknologi tersebut adalah teknologi
sederhana dan minim investasi. Selama ini komoditas HHBK asal Indonesia dijual dan
diekspor dalam bentuk produk mentah (sebagai bahan baku), atau produk setengah jadi ke
luar negeri atau antar pulau di Indonesia. Dalam hal ini, komoditas HHBK hanya dipanen
atau di petik hasilnya dan dijual dalam bentuk bahan mentah. Sehingga masyarakat lokal,
yaitu petani komoditas HHBK tidak menikmati keuntungan yang optimal. Beberapa
kelompok komoditas HHBK yang diolah, dan dikemas dengan baik, terbukti mampu
meningkatkan nilai jual dari produk-produk tersebut.
Mengacu kepada peraturan menteri kehutanan no 21 tahun 2009, tentang kriteria dan
indikator penetapan jenis hasil hutan bukan kayu unggulan, maka untuk memulai usaha
komoditas HHBK, baik usaha budi daya maupun usaha pengembagan produk, maka rasanya
cukup sulit dan agak rumit untuk dilaksanakan. Karena hal tersebut menyangkut
pengumpulan berbagai informasi dasar dan pengolahan data dari informasi-informasi yang
telah dikumpulkan, yang pada akhirnya akan menghasilkan kesimpulan. Masyarakat kita
belum terbiasa dengan hal-hal yang bersifat ilmiah atau penelitian, biarpun yang sangat
sederhana sekalipun. Berikutnya, pihak instansi terkait, seperti kehutanan dan lainnya, juga
belum sepenuhnya paham akan tugas dan tanggung jawabnya, terutama menyangkut
pengembangan, budi daya, dan aspek-aspek kewirausahaan dari komoditas HHBK. Pada
kebanyakan kasus, yang terjadi adalah instansi kehutanan hanya menjalankan tugas untuk
menarik iuran atau pajak dari komoditas HHBK tersebut. Akan tetapi masih sedikit dijumpai
instansi terkait memberikan pedampingan teknis dan non teknis secara berkelanjutan kepada
masyarakat dalam pengelolaan, pembudidayaan dan kewirasusahaan komoditas HHBK,
termasuk pemasaran dan pendampingan mangemen keuangannya.
Karena berbagai kendala tersebut, maka dalam hal ini peluang usaha komoditas HHBK
yang sudah dan sedang berkembang dimasyarakat, diusahakan untuk dibahas secara
terperinci. Sehingga sub pokok bahasannya akan lebih ditekankan kepada usaha-usaha untuk
meningkatkan nilai tambah dari beberapa komoditas HHBK yang telah diusahakan oleh
masyarakat lokal. Beberapa komoditas yang memiliki nilai strategis juga akan ditambahkan.
Untuk itu, kelompok usaha berbasis rumah tangga (home industri) dan usaha kecil dan
menengah menjadi dua jenis usaha yang sangat memungkinkan dan layak untuk ditawarkan.
Hal ini tentunya didasarkan kepada beberapa pertimbangan, seperti pertimbangan
penguasanaan teknologi oleh masyarakat lokal, modal yang terbatas, potensi yang melimpah,
pasar yang masih terbuka, dan kompetisi yang rendah.
Dengan latar belakang penulis yang telah lama berdomisili di Papua, maka
kewirausahaan komoditas HHBK ini akan lebih banyak menyajikan komoditas-komoditas
HHBK di beberapa wilayah Papua dan Papua Barat.
Usaha skala rumah tangga adalah wira usaha yang kebanyakan di kembangkan oleh
perorangan atau sekelompok orang. Pada awalnya usaha ini berawan dari mengembangkan
hobi, menambah pendapatan keluarga, dan sebagai usaha sampingan dari ibu-ibu dalam
mengisi waktu luang. Dengan kemampuan (skill), modal, keinginan yang kuat untuk
menghasilkan pendapatan, dan teknologi yang minimal, ditunjang dengan kejelian
memanfaatkan potensi HHBK dan membaca peluang pasar, maka usaha rumah tangga ini
dapat menjadi landasan awal untuk berwirausaha.
Beberapa komoditas HHBK yang dapat dikembangkan sebagai komoditas unggulan
kewirausahaan industri rumah tangga yaitu Serabut kelapa dan Kopra, Gula aren, Tepung
sagu, Kolang-kaling, Minyak pala, Manisan pala, sayur rebung dan beberapa komoditas lokal
lainnya. Jenis-jenis produk dari masing-masing komoditas HHBK dapat dilihat pada matrik
yang disajikan pada Tabel 26.1.
Dari tabel 16.1 di atas, dapat dilihat bahwa pengusahaan komoditas HHBK, diperlukan
kejelian dan keberanian dalam membaca peluang suatu produk di pasar, dengan mengikuti
selera dan daya beli konsumen. Melihat dari beberapa jenis produk yang dapat dihasilkan dan
sipasarkan, inovasi untuk membuat produk tersebut memiliki daya saing, keunikan dan harga
yang terjangkau sangat penting untuk dipertimbangkan. Misalnya, komoditas Kelapa, selama
ini hanya diambil daging buahnya untuk kelapa parut, kulit atau serabut kelapa untuk sapu
ijuk, dan daunya untuk sapu lidi.
Apabila kita mengikuti perkembangan informasi, bahwa komoditas serabut kelapa, kulit
kelapa dipisahkan antara ijuk dan serabutnya, memiliki harga pasaran yang tinggi. Serabut
kelapa merupakan bahan baku pembuat sofa dan jok mobil kelas atas, dan permintaannya
dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Pengermbangan usaha serabut kelapa ini tidak
memerlukan sentuhan teknologi dengan investasi yang cukup besar, tetapi hanya
memerlukan beberapa peralatan kerja pendukung.
Demikian juga dengan beberapa komoditas dari bambu, dengan memberikan kemasan
yang menarik, rebung bambu dan tusuk sate, misalnya dapat dipasarkan di beberaa
supermaket atau pasar swalayan, sehingga dapat meningkatkan nilai jualnya. Apabila dirasa
Salah satu karakteristik dari komoditas HHBK yang cocok diusahakan dalam skala
industri UKM atau koperasi adalah komoditas-komoditas yang potensinya cukup melimpah,
dapat diolah ke dalam berbagai jenis produk, memerlukan banyak tenaga kerja dalam
pengolahan maupun pemanenan/pemungutan, dan proses pengolahan yang bertahap. Dua
dari beberapa contoh dari komoditas tersebut adalah Pala dan sagu.
Dalam memanen dan menotok sagu, biasanya dilakukan secara bergotong royong atau
dilakukan secara komunal. Meskipun dalam beberapa kasus dapat dikerjakan oleh keluarga
dekatnya yang masih satu rumpun. Hasil panen sagu (Aci sagu) dapat diperoleh dengan
volume yang melimpah, sehingga didistribusikan ke sesama anggota keluarga dan atau
tenaga kerja yang terlibat di dalamnya.
Mengingat diversifikasi produk-produk olahan yang dapat diolah dan dihasilkan dari
komoditas sagu ini sangat beragam, kiranya masing-masing keluarga dapat membuat produk
olahan yang berbeda-beda. Produk-produk tersebut dapat dijual dalam satu wadah koperasi
atau kelompok usaha. Sehingga dalam pelaksanaannya ada yang bertugas pada bagian
produksi, pemasaran/penjualan, dan keuangan, walapupun dalam prakteknya bisa saja
personelnya orang yang sama. Hal tersebut tentunya berdasarkan kesepakatan antar
anggotanya.
Produk-produk lainnya seperti anyaman atap daun sagu, pelepah daun sagu, ampas daun
sagu, batang (phloem) batang daun sagu dapat diusahakan oleh tenaga kerja pria. Ampas
sagu juga dapat dimanfaatkan untuk budi daya jamur, ulat sagu ataupun campuran pellet
ayam buras. Tentunya bimbingan dan pendampingan dari tenaga teknis dari departemen
terkait mutlak diperlukan.
Aspek yang sama juga dapat diterapkan pada komoditas pala. Selama ini komoditas pala
kebanyakan diusahakan secara pribadi atau sendiri-sendiri, sehingga sering dijumpai
perbedaan harga dan kualitas produk pada tingkat petani. Hal ini jelas akan merugikan petani
sendiri, karena akan menurunkan daya tawar produk. Apabila para petani pala ini tergabung
dalam koperasi atau kelompok tani, maka permaslahan tersebut dapat dipecahkan atau
didiskusikan bersama sehingga dapat dikurangi. Pada akhirnya, komoditas produk-produk
pala tersebut dapat ditingkatkan kualitasnya, sehingga memberikan nilai keuntungan yang
optimal kepada petani.
Di samping kedua komoditas HHBK tersebut di atas, beberapa komoditas HHBK yang
memiliki potensi melimpah, seperti kelompok buah-buahan, tanaman rimpang, dan bumbu-
bumbu juga sangat potensial untuk dikembangkan dan diolah menjadi produk-produk olahan
yang diperlukan oleh masyarakat sehari-hari. Akan tetapi dalam produksi, pengolahan,
pengemasan dan pemasarannya diperlukan sentuhan teknologi dan manejemen yang
terencana.
Misalnya komoditas rambutan, kalau dijual dalam bentuk buah utuh (baru dipetik dari
pohon, masih dalam tangkai dan berkulit), maka sebaiknya dimasukkan dalam kemasan atau
karton, yang memiliki identitas produk. Identitas seperti jenis rambutan, kuantitas
(kg/karton), kualitas (utama, primer, sekunder), tanggal kedaluwarsa, dan alamat serta nomor
kontak yang dapat dihubungi akan sangat meningkatkan kepercayaan dan keyakinan
konsumen akan kualitas dari buah yang kita jual. Dengan sendirinya, harga yang kita
tawarkan akan sedikit lebih mahal apabila dibandingkan dengan yang tidak dikemas dalam
karton. Dengan kemasan tersebut, rambuatan dapat dijual antar daerah atau secara regional.
Demikian juga bila rambutan tersebut dikemas dalam bentuk produk buah kaleng, yang mana
kulit dan bijinya dipisahkan, maka perlu diolah dan diberi perlakuan khusus agar buahnya
Minyak Lemak : Minyak yang diekstraksi dari bagian cadangan makanan pada
suatu biji atau buah, seperti minyak jarak, minyak biji-bijian,
jambu mete dan seterusnya
Modul : Satuan acara perkuliahan atau pembelajaran yang
dikeompokkan berdasarkan kesamaan pokok bahasan atau
subjeknya
Monoculture (pure crops) : Penanaman jenis-jenis tanaman yang sejenis, atau semusim,
yang juga sering dinamakan sebagai monokultur atau
homogen
Monopodial : Karakteristik batang anggrek yang tunggal dan indenpen
Multiple benefit : Bersifat memiliki banyak manfaat dan kegunaan
(multi guna)
Multiple funtion : bersifat memiliki beberapa fungsi
(multi fungsi)
Multiple stakeholders : Bersifat memilki banyak kepentingan dan keterlibatan
(Multi kepentingan)
Natural color agent : Bahan Pewarna alami yang diekstrak dari tumbuh-tumbuhan
Non-Timber Forest : Istilah asing untuk Hasil Hutan bukan kayu yang dapat
Products (NTFPs) didefinisikan sebagai seluruh produk biologi, selain kayu,
yang berasal dari kawasan hutan atau kawasan lainnya yang
berassosiasi dengan hutan, yang dimanfaatkan oleh manusia
Non-Wood Forest : Memiliki pengertian yang sama dengan NTFPs,
Adan, I.U (2003). Membuat Briket Bio Arang. Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Akuba, R.H (2004). Prosiding Seminar Nasional “ Pengembangan Tanaman Aren”. Balai
Penelitian Kelapa dan Palma Lain. Manado.
Alam, S dan D. Baso (2004). Peluang Pengembangan dan Pemanfaatan tanaman Aren di
Sulawesi Selatan. Dalam Prosiding Seminar Nasional “ Pengembangan
Tanaman Aren”. Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain. Manado.Pp.15-21.
Aminah, N.S; A.Suminar.; E.H Hakim; L.D Juliawaty, ; E.L Ghisalberti, dan, Y.M, Syah
(2003). Beberapa Senyawa Oligostilbenoid dari Kulit batang Shorea seminin.
The Indonesian Society of Natural Products Chemistry. Vol 4 No. 1 January –
June 2004.
Anonimous (1967). UU No. 5 tahun 1967. Undang-undang Pokok Kehutanan, Direktorat
jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian.
Anonimous (1976). Vademecum.Kehutanan indonesia. Depaartemen Kehutanan .Jakarta
Anonimous (1998). Orchid Growing in the tropics. Orchid Society of South East Asia
(OSSEA). Kangoroo Press. Singapore
Anonimous (1999). UU No. 41 tahun 1999. Undang-undang Republik Indonesia tentang
Kehutanan. Departemen Kehutanan.
Anonimous (2003). Profil Komoditas Unggulan Kabupaten Jayapura.
Anonimous. (1980). Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 204/Kpts/DJ/1980
tentang Peraturan Pengujian Rotan Bulat Indonesia. Jakarta.
Arbain, D (2004). Dua Dekade Penelitian Kimia Tumbuhan Sumatra. The Indonesian
Society of Natural Products Chemistry. Vol 4 No. 1 January –June 2004.
Asia Pacific Forest Industries. (1990). Edisi Oktober 1990. The Success of the Rattan
Industry in Indonesia.
Asia-Pacific Forestry Commision (1998). Asia-Pacific Forestry Towards 2010. Report of
The Asia-Pacific Forestry Sector Outlook Study. Food and Agriculture
Organization of The United Nation, Rome Italy.
Asia-Pacific Forestry Commision (1998). Asia-Pacific Forestry Towards 2010. Report of
The Asia-Pacific Forestry Sector Outlook Study. Food and Agriculture
Organization of The United Nation, Rome Italy.
Baan, Y (2002). Morfologi dan Tingkah Laku Lebah Madu pada Peternakan lebah Madu di
Kecamatan Muara Tami Kotamadya Jayapura. Skripsi Sarjana Pertenakan.
Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelauatan Universitas Negeri Papua
(tidak diterbitkan)
Badan Standarisasi Nasional (BSN), (2001). Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-5009.4-
2001.
De Padua. L.S; N. Bunyapraphatsara dan R.H.M.J. Lemmen (editorr). Medicinal and
poisonous plant 1. Plant Resources of South-East Asia. No. 12 (1). Prosea.
Bogor. Indonesia.