Anda di halaman 1dari 37

PERENCANAAN BANGUNAN PENGENDALI BANJIR DAN SEDIMEN

STUDI KASUS DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CITARUM,


KABUPATEN BOGOR

Ditujukan untuk memenuhi Ujian Tengah Semester (UTS)


mata kuliah Teknik Konservasi Waduk kelas A

Dosen Pengampu:
Dr. Ery Suhartanto, ST., MT.

Disusun Oleh :
1. Muhammad Farich Al-Ma'arif (205060400111034)
2. Muhammad Ivan Hamdany (205060407111026)
3. Fernadhi Malika Wildan P (215060400111057)

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS TEKNIK
MALANG
2022
LEMBAR PENGESAHAN

PERENCANAAN BANGUNAN PENGENDALI BANJIR DAN SEDIMEN


STUDI KASUS DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CITARUM,
KABUPATEN BOGOR

LAPORAN UJIAN TENGAH SEMESTER


Diajukan sebagai syarat Ujian Tengah Semester
Departemen Teknik Pengairan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya

Disusun Oleh:

Muhammad Farich Al-Ma'arif (205060400111034)


Muhammad Ivan Hamdany (205060407111026)
Fernadhi Malika Wildan P (215060400111057)

Mengetahui:
Dosen Pengampu Mata Kuliah

Dr. Ery Suhartanto, ST., MT.


19730305 199903 1 002
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan petunjuk serta rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini.
Penyusunan laporan ini merupakan prasyarat yang harus ditempuh untuk Ujian Tengah
Semester (UTS) pada mata kuliah Teknik Konservasi Waduk di Fakultas Teknik Departemen
Teknik Pengairan Universitas Brawijaya Malang.
Laporan ini tentu saja banyak pihak yang turut membantu untuuk itu penyusun ingin
berterima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Ery Suhartanto, ST., MT. selaku dosen pengampu mata kuliah Teknik
Konservasi Waduk ini,
2. Bagi teman-teman seperjuangan yang dengan sabar mengajari dan membantu
pengerjaan laporan saya, WRE ’20 yang sangat membantu dalam hal apapun,
3. Orang Tua serta semua pihak yang telah membantu laporan ini.
Penyusun menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna sehingga kritik dan
saran sangatlah diharapkan dengan tujuan memberi masukan untuk kedepannya.
Akhir kata semoga penyusunan laporan ini dapat memberikan manfaat bagi kita
semua.

Penyusun

Malang, Desember 2022

i
DAFTAR ISI

ii

iii
iv
vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

DAS Citarum, singkatan dari Daerah Aliran Sungai Citarum, adalah salah satu
sungai terpanjang di Pulau Jawa, Indonesia, yang memiliki peran sentral dalam
kehidupan ekosistem dan sosial masyarakat sekitarnya. Merupakan sumber kehidupan
bagi jutaan orang, sungai ini mengalir sepanjang sekitar 270 kilometer, membelah
wilayah Jawa Barat dari pegunungan hingga bermuara di Laut Jawa. Namun,
popularitasnya tidak hanya terletak pada panjangnya, melainkan juga dalam kekayaan
alam, pertanian, dan beragam kegiatan manusia yang tergantung padanya.
Sayangnya, DAS Citarum juga telah menjadi sorotan global karena masalah
lingkungan yang serius. Dalam beberapa dekade terakhir, sungai ini mengalami
degradasi lingkungan yang signifikan akibat aktivitas industri, pertanian, dan
pemukiman penduduk di sekitarnya. Pencemaran air, limbah industri, dan sampah
plastik telah menjadi masalah yang mengancam ekosistem sungai dan kesehatan
masyarakat yang bergantung padanya. Upaya untuk memulihkan DAS Citarum telah
menjadi fokus penting bagi pemerintah, LSM, dan masyarakat sipil. Banyak proyek dan
inisiatif telah diluncurkan untuk membersihkan sungai ini, memulihkan ekosistemnya,
serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan.

Dengan tantangan yang kompleks dan dampak yang luas, perlindungan DAS
Citarum membutuhkan kolaborasi lintas sektor dan komitmen kuat dari semua pihak
terkait. Perbaikan kondisi sungai ini bukan hanya untuk menjaga keberlanjutan
ekosistemnya, tetapi juga untuk memastikan ketersediaan sumber daya alam yang
penting bagi kehidupan manusia di sekitarnya.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang dipaparkan, didapatkan rumusan masalah
antara lain :
1. Bagaimana analisis hidrologi pada lokasi studi DAS Citarum?
2. Bagaimana perencanaan sumur resapan untuk mengurangi 25% debit banjir
rancangan pada lokasi studi DAS Citarum dengan kala ulang 10 tahun?
3. Bagaimana perencanaan embung untuk mengurangi 50% debit banjir
rancangan pada lokasi studi DAS citarum dengan kala ulang 10 tahun?
4. Bagaimana perencanaan bangunan penahan sedimen untuk mengurangi
50% volume sedimen yang lewat dari debit banjir rancangan pada lokasi
studi DAS Citarum dengan kala ulang 10 tahun?

1.3. Batasann Masalah


Pembatasan pada suatu masalah digunakan untuk menghindari adanya
penyimpangan maupun pelebaran pokok masalah agar pembahasan lebih terarah
dan memudahkan dalam pembahasan sehingga tujuan penelitian dapat tercapai.
Adanya batasan-batasan masalah ini diharapkan penelitian dapat berjalan sesuai
dengan yang diharapkan. Batasan-batasan masalah tersebut diantaranya :
1. Analisa hidrologi menggunakan kala ulang 10 tahun.
2. Air yang mengalir diperhitungkan berasal dari air hujan, sementara air
limbah beserta sumber lainnya tidak diperhitungkan.
3. Analisis curah hujan daerah menggunakan metode rata-rata aritmatik
4. Analisis curah hujan rancangan menggunakan metode Log Pearson III.
5. Uji kesesuaian distribusi dilakukan dengan uji Chi-Square
Pada perencanaan bangunan penahan sedimen tidak memperhitungkan
stabilitas dan faktor keamanan.

1.4. Tujuan Penelitian


Tujuan dari adanya penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui analisis hidrologi pada DAS Citarum.
2. Mengetahui perencanaan sumur resapan pada DAS Citarum.
3. Mengetahui perencanaan embung atau waduk kecil pada DAS Citarum.
4. Mengetahui perencanaan bangunan penahan sedimen pada DAS Citarum.

1.5. Manfaat Penelitian


Manfaat dari kegiatan makalah ini pada DAS Citarum diharapkan dapat
menambah wawasan mengenai perhitungan analisis hidrologi, perhitungan
perencanaan untuk membuat sumur resapan, perhitungan perencanaan untuk
membuat embung, perhitungan perencanaan untuk membuat penahan sedimen,
serta dampaknya terdadap reduksi debit banjir.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Komponen Perencanaan Hidrologi


Dalam melakukan perancangan suatu bangunan air, analisis hidrologi
seperti hujan rencana dan debit banjir rencana penting untuk mengetahui dimensi
bangunan tersebut berkaitan dengan kemampuan mendistribusikan, mengalirkan,
menampung, mengatur dan memanfaatkan komponen air tersebut.
2.1.1. Distribusi Frekuensi
Dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam distribusi frekuensi (jenis
sebaran atau analisis frekuensi) yang banyak digunakan untuk menentukan tinggi
curah hujan rencana dalam analisa hidrologi. Terdapat 4 jenis analisa frekuensi,
yaitu
a. Distribusi Normal
b. Distribusi Log-Normal
c. Distribusi Gumbel
d. Distribusi Log-Pearson
Menurut Widyasari (2005) untuk menentukan dugaan (hipotesis)
distribusi (sebaran) data sesuai parameter statistik adalah sebagai berikut:
a. Distribusi Normal
Ciri khas distribusi normal adalah :
● Skewness (Cs) = 0,00
● Kurtosis (Ck) = 3,00
b. Distribusi Log-Normal
Sifat statistik distribusi Log-Normal adalah:
● Skewness (Cs = 3,00
● Kurtosis (Ck) >0
c. Distribusi Gumbel
Sifat statistik distribusi Gumbel adalah:
● Skewness (Cs) ≤ 1,1396
● Kurtosis (Ck) ≤ 5,4002
d. Distribusi Log-Pearson III
Sifat statistik distribusi Log-Pearson III adalah:
● Skewness (Cs) = 0
● Kurtosis (Ck) > 4 – 6
Untuk menganalisa perhitungan distribusi frekuensi pada data curah hujan
metode aritmatika, Poligon-Thiessen, dan isohyet pada perencanaan ini
menggunakan distribusi Gumbel dan Log Pearson III.
1. Distribusi Gumbel
−𝑎(𝑥−𝑏)
P(x) = Satuan Baku = 𝑒−𝑒
dengan : x = Variabel Statistik
a.b = Parameter
e = Bilangan Natural = 2,7182818
Apabila Y = a(x – b), dengan Y disebut sebagai reduced variate, maka persamaan
komulatif distribusi Gumbel menjadi :
−Y
P(x) = Satuan Baku = 𝑒−𝑒
Distribusi Gumbel ditetapkan untuk nilai-nilai ekstrim baik terbesar
(misalnya debit puncak tahunan atau untuk analisa debit banjir rancangan) maupun
terkecil (misalnya debit terendah tahunan atau untuk analisa debit andalan). Pada
dasarnya distribusi Gumbel adalah Log-Normal dengan kepencenegan (skewness)
yang konstan antara -1,1396 (minimum) dan 1,1396 (maksimum)
Rumus untuk mencari nilai ekstrim adalah :
Q = x + Sd.k
dengan x : Harga rerata sampel
Sd : Simpangan baku sampel
k : Faktor frekuensi
Faktor frekuensi dinyatakan sebagai :
𝑌𝑇 − 𝑌𝑛
𝑘=
𝑆𝑛

dengan YT : Variabel acak yang direduksi


Yn : Rerata yang direduksi
Sn : Simpangan baku yang direduksi
Sedangkan nilai YT dapat dihitung berdasarkan nilai Tr (kala ulang), atau
sebaliknya, berdasarkan hubungan berikut :
𝑇𝑟 − 1
𝑌𝑇 = −𝐿𝑛 [−𝐿𝑛 ( )]
𝑇𝑟
1
𝑇= −Y
1 − 𝑒−𝑒 𝑇

dengan Tr = kala ulang (dalam tahun)


Tabel 2. 1 Nilai Sn dan Yn

Sumber: Soewarno, 1995


2. Distribusi Log Pearson tipe III
Apabila xi adalah sampel data sebesar n (i = 1,2,3, ..., n) dalam hubungan berikut
𝑌i = 𝐿𝑜𝑔(Xi)
Jika Yi terdistribusi menurut Log-Pearson tipe III; maka xi terdistribusi
menurut Log-Pearson III (Log dengan bilangan dasar 10)
Distribusi Pearson III ditetapkan di bidang hidrologi, terutama sebagai
distribusi puncak banjir. Distribusi Pearson III bersifat sangat fleksibel, dengan
kisaran kepencengan dari negatif sampai positif. Penerapan log adalah untuk
mereduksi kepencengan yang terlalu positif.
Untuk mencari Q dengan kala ulang tertentu (atau probabilitas tertentu)
dapat digunakan rumus berikut :
Q = Y + Sd.k
dengan Y : Harga rerata Yi
k : Faktor frekuensiSd
: Simpangan baku
Untuk mencari nilai k dari tabel Pearson III , dihitung terlebih dahulu
kepencengan (skewness) dari Yi. Apabila yang diketahui adalah kala ulang (dalam
tahun), maka dapat digunakan persamaan untuk mencari ulang probabilitas. Dengan
nilai kepencengan dan probabilitas, dapat dicari harga k dari tabel Pearson III.
Untuk mencari nilai debit rencana, maka hasil Log (Yi) harus di “anti-log” kan
terlebih dahulu. Anti-log Yi = 10Yi agar muncul nilai debit yang sesungguhnya.
Tabel 2. 2 Nilai Cs (Skewness)

Sumber: Soewarno, 1995


2.1.2. Uji Kesesuaian
Uji kesesuaian distribusi curah hujan dimaksudkan untuk menentukan
kecocokan (the goodness of fittest test) distribusi frekuensi dari sampel data
terhadap fungsi distribusi peluang yang diperkirakan. Untuk menggambarkan hal
tersebut maka dibutuhkan pengujian dengan parameter. Parameter yang digunakan
adalah Uji Chi-kuadrat dan Uji Smirnov-Kolmogorov (Suripin, 2004)
1. Uji Smirnov-Kolmogorov
Uji Smirnov-Kolmogorov adalah uji distribusi terhadap penyimpangan data
ke-arah horizontal untuk mengetahui suatu data sesuai dengan jenis sebaran teoritas
yang dipilih atau tidak. Pengujian dilakukan dengan membandingkanprobabilitas
tiap data, antara sebaran empiris dan teoritis yang dinyatakan dalam A atau D
(maksimal) dibandingkan dengan A kritis atau Dcr (dapat dilihat pada tabel uji
Smirnov-Kolmogorov), dengan tingkat kepercayaan (α) tertentu. Distribusi
dianggap sesuai jika Dmax < Dcr
Syarat distribusi = Dmax < Dcr
Dengan : Dmax = Simpangan maksimum data
Dcr = Simpangan yang diperoleh dari tabel dengan tingkat
kepercayaan (α) tertentu
Rumus-rumus yang digunakan :
𝑚
𝑆𝑛 =
𝑛+1
Dengan : Sn : Probabilitas berdasarkan plotting weibull
m : Nomor urut data
n : Jumlah data

𝑥−𝑥
𝑘=
𝑆𝑑
Dengan : k : Faktor frekuensi
x : Nilai data
x¯ : Harga rata-rata
Sd : Simpangan baku

𝑌𝑇 = 𝑘. 𝑆𝑛 + 𝑌𝑛
Dengan : YT : Variabel acak yang direduksi
Sn : Simpangan baku yang direduksi
Yn : Rerata yang direduksi

1
𝑇𝑟 = Y𝑇
1 − 𝑒−𝑒
Dengan : Tr : Kala ulang
e : Bilangan natural (2,781...)

1
𝑃𝑟 =
𝑇𝑟
Dengan : Pr : Probabilitas yang terjadi

𝑃𝑥 = 1 − 𝑃𝑟
Dengan : Px : Probabilitas yang tidak terjadi

𝐷𝑥 = (𝑆𝑛 − 𝑃𝑥)
Dengan : Dx : Simpangan antara sebaran teoritas dan empiris

2. Uji Chi-Square
Uji Chi-Square digunakan untuk menguji kesesuaian distribusi secara
vertikal dari data. Uji ini didasarkan pada perbedaan nilai ordinat teoritas atau
frekuensi harapan dengan ordinat empiris. Adapun rumus uji Chi-Square adalah
sebagai berikut :
∑(𝑂j − 𝐸j)2
𝑥 =
2
𝐸j

Dengan : x2 : Harga Chi-Square


Ej : Frekuensi teoritas kelas j
Oj : Frekuensi pengamatan kelas j
Sedangkan jumlah kelas distribusi dan batas kelas dihitung berdasarkan :
𝑘 = 1 + 3,22 log 𝑛
Dengan : k : Jumlah kelas distribusi
n : Banyaknya data
Distribusi frekuensi diterima jika nilai xhitung < xtabel dan distribusi dianggap
sesuai bila x2hitung < x2cr.

2.2. Sumur Resapan


Sumur resapan adalah kegiatan konservasi sipil teknis sederhana berupa
sumur yang berfungsi menampung, menahan dan menyerap air permukaan ke
dalam tanah akuifer untuk meningkatkan jumlah dan posisi muka air tanah. Air
hujan diberikan cara meresap ke dalam tanah menjadi air tanah melalui sumur
resapan. (Kusnaedi, 1995) Secara sederhana sumur resapan diartikan sebagai sumur
gali yang berbentuk lingkaran. Sumur resapan berfungsi untuk menampung dan
meresapkan air hujan yang jatuh di atas permukaan tanah baik melalui atap
bangunan, jalan dan halaman. (Bisri dan Prastya, 2009). Konsep dasar sumur
resapan yaitu meresapkan air hujan yang jatuh melimpas di permukaan yang
selanjutnya dimasukkan ke dalam tanah. Faktor yang perlu dipertimbangan antara
lain:
1. Faktor iklim
2. Faktor air tanah
3. Faktor tanah
4. Faktor tata guna lahan
5. Faktor sosial dan ekonomi
6. Faktor keberadaan lahan
2.2.1 Kegunaan Sumur Resapan
Penurunan muka air tanah yang banyak terjadi akhir-akhir ini dapat teratasi
dengan bantuan sumur resapan. Tanda-tanda penurunan muka air tanah terlihat pada
keringnya sumur dan mata air pada musim kemarau serta timbulnya banjir pada
musim penghujan. Perubahan lingkungan hidup sebagai akibat dari proses
pembangunan, berupa pembukaan lahan, penebangan hutan, serta pembangunan
pemukiman dan industri yang diduga menyebabkan terjadinya hal tersebut. Kondisi
demikian tidak menguntungkan bagi perkembangan perekonomian yang sedang
giat-giatnya membangun. Oleh karena itu, perhatian yang sungguh-sungguh dari
semua pihak diperlukan dalam upaya pengendalian banjir serta konservasi air tanah.
Salah satu strategi atau cara pengendalian air, baik mengatasi banjir atau kekeringan
adalah melalui sumur resapan. Sumur resapan ini merupakan upaya memperbesar
resapan air hujan ke dalam tanah dan memperkecil aliran permukaan sebagai
penyebab banjir. Beberapa kegunaan sumur resapan, adalah sebagai berikut:
1. Pengendali banjir
Sumur resapan mampu memperkecil aliran permukaan sehingga
terhindar dari penggenangan aliran permukaan secara berlebihan yang
menyebabkan banjir.
2. Konservasi air tanah
Sumur resapan sebagai konservasi air tanah, diharapkan agar air hujan
lebih banyak yang diresapkan ke dalam tanah menjadi air cadangan
dalam tanah. Air yang tersimpan dalam tanah tersebut akan dapat
dimanfaatkan melalui sumur-sumur atau mata air. Peresapan air melalui
sumur resapan ke dalam tanah sangat penting mengingat adanya
perubahan tata guna tanah di permukaan bumi sebagai kosekuensi dari
perkembangan penduduk dan perekonomian masyarakat. Dengan adanya
perubahan tata guna tanah tersebut akan menurunkan kemampuan tanah
untuk meresapkan air. Hal ini mengingat semakin banyaknya tanah yang
tertutupi tembok, beton, aspal dan bangunan lainnya yang tidak
meresapkan air.
3. Menekan laju erosi
Dengan adanya penurunan aliran permukaan maka laju erosi pun akan
menurun. Bila aliran permukaan menurun, tanah-tanah yang tergerus dan
terhanyut pun akan berkurang. Dampaknya, aliran permukaan air hujan
kecil dan erosi pun akan kecil. Dengan demikian adanya sumur resapan
yang mampu menekan besarnya aliran permukaan berarti dapat menekan
laju erosi.
2.2.2. Faktor-Faktor yang Dipertimbangkan Dalam Perencanaan Sumur
Resapan
1. Faktor Iklim
Iklim merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan
sumur resapan. Faktor yang perlu mendapat perhatian adalah besarnya
curah hujan. Semakin besar curah hujan di suatu wilayah berarti semakin
besar sumur resapan yang diperlukan.
2. Kondisi Air Tanah
Pada kondisi permukaan air tanah yang dalam, sumur resapan perlu dibuat
secara besar-besaran karena tanah benar-benar memerlukan suplai air dari
6 sumur resapan. Sebaliknya pada lahan yang muka airnya dangkal, sumur
resapan kurang efektif dan tidak akan berfungsi dengan baik. Terlebih pada
daerah rawa dan pasang surut, sumur resapan kurang efektif. Justru daerah
tersebut memerlukan saluran drainase.
3. Kondisi Tanah
Keadaan tanah sangat berpengaruh pada besar kecilnya daya resap tanah
terhadap air hujan. Dengan demikian konstruksi dari sumur resapan harus
mempertimbangkan sifat fisik tanah. Sifat fisik yang langsung berpengaruh
terhadap besarnya infiltrasi (resapan air) adalah tesktur dan pori-pori tanah.
Tanah berpasir dan porus lebih mampu merembeskan air hujan dengan
cepat. Akibatnya, waktu yang diperlukan air hujan untuk tinggal dalam
sumur resapan relatif singkat dibandingkan dengan tanah yang kandungan
liatnya tinggi dan lekat.
4. Tata Guna Lahan
Tata guna lahan akan berpengaruh terhadap prosentase air yang meresap ke
dalam tanah dengan aliran permukaan. Pada lahan yang banyak tertutup
beton bangunan, air hujan yang mengalir di permukaan tanah akan lebih
besar dibandingkan dengan air yang meresap ke dalam tanah.
5. Ketersediaan Bahan
Perencanaan sumur resapan harus mempertimbangkan ketersediaan bahan
bahan yang ada di lokasi. Untuk daerah perkotaan, sumur resapan dapat
dibuat dari bata, beton, tangki fiberglass atau cetakan beton sedangkan
untuk daerah pedesaan, sumur resapan yang cocok dikembangkan adalah
dari bambu atau kayu yang tahan lapuk atau bahan yang murah dan mudah
didapat di lokasi
2.2.3. Prinsip Kerja Sumur Resapan
Prinsip kerja sumur resapan yaitu menyalurkan dan menampung air hujan
kedalam lubang atau sumur agar air dapat memiliki waktu tinggal dipermukaan
tanah lebih lama sehingga sedikit demi sedikit air dapat meresap ke dalam tanah.
Tujuan utama dari sumur resapan adalah memperbesar masuknya air kedalam
akuifer tanah sebagai air resapan (infiltrasi). Dengan demikian, air akan lebih
banyak massuk kedalam tanah dan sedikit yang mengalir sebagai aliran
permukaan (run off). Pada Gambar 2.3 dapat dilihat proses masuknya air kedalam
akuifer bebas dan tertekan.

Gambar 2. 1 Akuifer Bebas

Gambar 2. 2 Akuifer Tertekan


2.2.4. Tata Guna Lahan
Tata guna lahan akan mempengaruhi daya resap tanah terhadap air hujan.
Pada tanah yang banyak tertutup beton dan di pemukiman yang agak padat daya
resapnya kecil. Pekarangan dan kebun dapat meresapkan hingga 100%. Pemukiman
yang padat penduduk memerlukan lebih banyak lubang resapan.
2.2.5. Rainfall
Hujan rencana adalah hujan dengan periode ulang tertentu (T) yang
diperkirakan akan terjadi di suatu daerah pengaliran. Periode ulang adalah waktu
hipotetik di mana suatu kejadian dengan nilai tertentu, hujan rencana misalnya,
akan disamai atau dilampaui 1 kali dalam jangka waktu hipotetik tersebut. Hal ini
tidak berarti bahwa kejadian tersebut akan berulang secara teratur setiap periode
ulang tersebut. Hujan rencana digunakan untuk mengestimasi hujan yang mungkin
terjadi di masa mendatang dengan probabilitas kejadian tertentu.
Data hujan yang akan dianalisis adalah data hujan harian. Data hujan harian
yang ada kemudian diolah sehingga terpilih satu data hujan harian maksimum pada
tiap tahunnya, untuk selanjutnya dilakukan analisis frekuensi data hujan harian
maksimum. Hasil analisis frekuensi data hujan harian maksimum digunakan untuk
memperkirakan debit banjir, dengan kala ulang tertentu.

2.3. Embung
Embung adalah bangunan kontruksi sipil di bidang hidrologi. Embung
merupakan bangunan air yang menampung, mengalirkan air menuju hilir embung.
Embung menerima sedimen yang terjadi akibat erosi lahan dari wilayah tangkapan
airnya (catchment area). Sedimen yang terkandung dalam air sungai tangkapan
embung tersebut terbawa hanyut oleh aliran air dan masuk ke dalam embung. Erosi
merupakan peristiwa hilangnya lapisan tanah atau bagian-bagian tanah di
permukaan. Erosi dapat menimbulkan kerusakan baik pada tanah tempat terjadinya
proses erosi maupun tempat tujuan akhir tanah yang terangkut tersebut diendapkan
sehingga terbentuk sedimen yang menyebabkan pendangkalan sungai, waduk atau
embung dan saluran irigasi. Di Indonesia erosi yang sering dijumpai adalah erosi
yang disebabkan oleh air.
Konsep embung/waduk pada dasarnya memberikan solusi dengan berfungsi
sebagai cadangan air yang artinya pada saat musim penghujan air ditampung di
dalam kom embung/ waduk, dan ketika musim kemarau air yang berada dalam kom
(reservoir) dapat digunakan sesuai kebutuhan. Embung / waduk kecil berfungsi
sebagai bangunan penampung air baku untuk melayani satu atau beberapa dusun
dalam satu desa. Embung sangat efektif untuk mengatasi daerah kekurangan air,
baik air baku maupun irigasi.. Tujuan pembangunan Embung adalah untuk
membuat suatu sistem penyediaan air baku guna mensuplai air untuk kebutuhan
sebagian penduduk desa dan untuk keperluan air irigasi.
Maksud dari pembangunan embung di DAS Dolok yaitu untuk memenuhi
kebutuhan air bagi masyarakat di sekitarnya, serta meningkatkan irigasi nonteknis.
Dengan dibangunnya embung, diharapkan hasil pertanian daerah tersebut dapat
meningkat. Adapun tujuan pembangunan Embung adalah sebagai berikut :
1. Mengembangkan dan mengelola potensi sumber daya air yang ada untuk
mengatasi keterbatasan penyediaan air bagi penduduk di sekitarnya.
2. Mengendalikan sumber air yang ada agar tidak menimbulkan kerusakan
atau kemerosotan lingkungan di sekitarnya (river improvement).
3. Pemanfaatan sumber daya air guna memenuhi berbagai keperluan akan air,
termasuk air untuk pemeliharaan sungai atau konservasi. Pelestarian sumber
air agar kualitas airnya terjaga dengan baik melalui penanggulan erosi,
sedimentasi, pencemaran, dan sebagainya
2.3.1 Tipe Embung
Tipe embung dapat dikelompokkan menjadi empat keadaan yaitu
(Soedibyo,1993):
1. Tipe Embung Berdasar Tujuan Pembangunannya
a. Embung dengan tujuan tunggal (single purpose dams)
Adalah embung yang dibangun untuk memenuhi satu tujuan saja,
misalnya untuk kebutuhan air baku atau irigasi (pengairan) atau
perikanan darat atautujuan lainnya tetapi hanya satu tujuan saja.
b. Embung serbaguna (multipurpose dams)
Adalah embung yang dibangun untuk memenuhi beberapa tujuan
misalnyauntuk irigasi (pengairan), air minum dan PLTA, pariwisata
dan irigasi.
2. Tipe Embung Berdasar Penggunaannya
a. Embung penampung air (storage dams)
Adalah embung yang digunakan untuk menyimpan air pada masa
surplus dan dipergunakan pada masa kekurangan. Termasuk dalam
embung penampung air adalah untuk tujuan rekreasi, perikanan,
pengendalian banjir dan lain-lain.
b. Embung pembelok (diversion dams)
Adalah embung yang digunakan untuk meninggikan muka air, biasanya
untuk keperluan mengalirkan air ke dalam sistem aliran menuju ke
tempat yang memerlukan.
c. Embung penahan (detention dams)
Adalah embung yang digunakan untuk memperlambat dan
mengusahakan seoptimal mungkin efek aliran banjir yang mendadak.
Air ditampung secara berkala atau sementara, dialirkan melalui
pelepasan (outlet). Air ditahan selama mungkin dan dibiarkan meresap
ke daerah sekitarnya.
3. Tipe Embung Berdasar Letaknya Terhadap Aliran Air
a. Embung pada aliran air (on stream)
Adalah embung yang dibangun untuk menampung air, misalnya pada
bangunan pelimpah (spillway).

Gambar 2. 3 Embung On Stream


Sumber: Soedibyo, 1993
b. Embung di luar aliran air (off stream)
Adalah embung yang umumnya tidak dilengkapi spillway, karena
biasanyaair dibendung terlebih dahulu di on stream-nya baru disuplesi
ke tampungan. Kedua tipe ini biasanya dibangun berbatasan dan dibuat
dari beton, pasangan batu atau pasangan bata.

Gambar 2. 4 Embung Off Stream


Sumber: Soedibyo,1993
4. Tipe Embung Berdasar Material Pembentuknya
a. Embung Urugan (Fill Dams, Embankment Dams)
Embung urugan adalah embung yang dibangun dari penggalian
bahan(material) tanpa tambahan bahan lain bersifat campuran secara
kimia jadi bahan pembentuk embung asli. Embung ini dibagi menjadi
dua yaitu embung urugan serba sama (homogeneous dams) adalah
embung apabila bahan yang membentuk tubuh embung tersebut terdiri
dari tanah sejenis dan gradasinya (susunan ukuran butirannya) hampir
seragam. Yang kedua adalah embung zonal adalah embung apabila
timbunan terdiri dari batuan dengan gradasi (susunan ukuran butiran)
yang berbeda-beda dalam urutan-urutan pelapisan tertentu

Gambar 2. 5 Embung Urugan


Sumber: Soedibyo, 1993
b. Embung Beton (Concrete Dam)
Embung beton adalah embung yang dibuat dari konstruksi beton
baikdengan tulangan maupun tidak. Kemiringan permukaan hulu dan
hilirtidak sama pada umumnya bagian hilir lebih landai dan bagian hulu
mendekati vertikal dan bentuknya lebih ramping. Embung ini masih
dibagi lagi menjadi embung beton berdasar berat sendiri stabilitas
tergantungpada massanya, embung beton dengan penyangga (buttress
dam) permukaan hulu menerus dan dihilirnya pada jarak tertentu
ditahan, embung beton berbentuk lengkung dan embung beton
kombinasi.
Gambar 2. 6 Tipe-tipe Embung Beton
Sumber: Soedibyo, 1993
2.3.2. Kriteria Pembangunan Embung
1. Volume tampungan antara 500 m3 sampai dengan 3000 m
2. Tinggi embung dari dasar hingga puncak tanggul maksimal 3 m
3. Mempunyai panjang 20 m sampai dengan 50 m dan lebar 10 m sampai
dengan 30 m
4. Serta dilaksanakan dengan sistem padat karya oleh masyarakat setempat.
Alat berat dapat digunakan apabila anggaran upah pekerja sebesar kurang
dari 30% total anggaran sudah terpenuhi.
5. Embung kecil merupakan bangunan konservasi air berbentuk kolam atau
cekungan untuk menampung air limpasan serta sumber air lainnya untuk
memenuhi berbagai kebutuhan air dengan volume tampungan 500 m3
sampai dengan 3000 m3 , dan kedalaman dasar hingga puncak tanggul
maksimal 3 m.
2.4. Bangunan Penahan Sedimen
Salah satu cara untuk mengendalikan sedimen adalah membuat bangunan
penahan sedimen (check dam). Check dam adalah bangunan yang dibuat melintang
sungai yang berfungsi untuk menghambat kecepatan aliran permukaan dan
menangkap sedimen yang dibawa aliran air sehingga kedalaman dan
kemiringan sungai berkurang (Suripin, 2001). Sistem pengendali sedimen dengan
pendekataan struktural (bangunan) sangat efektif dalam penangkapan serta
pengurangan sedimen dan juga mengurangi banjir pada musim hujan (Van Liew
et al. 2003).
1. Keuntungan Check Dam:
• Menghindari pendangkalan waduk/sungai yang ada di hilirnya.
• Mengendalikan aliran permukaan di daerah hilir.
• Menyediakan air untuk kebutuhan air minum, air rumah tangga,
pengairan daerah di sebelah bawahnya (terutama pada musim kemarau),
ternak dan sebagainya.
• Meningkatkan permukaan air tanah daerah sekitar tanggul penghambat.
• Perbaikan iklim mikro setempat.
2. Sedangkan kelemahan Check Dam:
• Perlu pemeliharaan termasuk pengerukan sedimentasi.
• Dapat menambah kenaikan elevasi muka air sungai, sehingga diperlukan
dinding penahan di bagian sayap agar air tidak melimpas.
2.4.1. Jenis-Jenis Bangunan Penahan Sedimen (Check Dam)
a. Check Dam Tertutup
Dibangun dengan menggunakan material beton. Check Dam tipe tertutup
dapat berfungsi secara efektif untuk mengendalikan aliran debris jika daerah
tampungannya dalam keadaan belum terisi sedimen (Mizuyama dkk, 1995;
Mizuyamadkk, 2000; Shrestha dkk, 2007). Namun seringkali Check Dam
tipe ini kurang efektif menahan sedimen karena keterbatasan permeabilitas
dan ruang tampungan yang sempit. Mempertahankankapasitas tampungan
yang efektif akan membutuhkan upayapengerukan dan penggalian dasar
sungai di ruang tampungan sedimen sehingga menurunkan nilai kelayakan
teknis dan ekonomi (Mizuyama, 2008; Osti dkk, 2007; Osti dan Egashira,
2008).
b. Check Dam Terbuka
Dapat dibedakan dalam beberapa bentuk, seperti tipe beam, tipe slit dan tipe
grid (Armanini dan Lacher, 2001; Lien, 2003; Wu dan Chan, 2003). Check
Dam tipe ini dapat berfungsi 35 untuk menahan aliran debris
melalui tangkapan padabukaan akibat material besar dan panjang yang
saling mengunci selama terjadi banjir atau aliran debris. Namun sedimen
akan melimpas bila aliran sudah mulai mengecil.
2.4.2. Perencanaan Bangunan Penahan Sedimen
Dimensi Peluap dan Tinggi Jagaan
Q= 2
𝐶 √2𝑔 [3𝐵1 + 2𝐵2]ℎ3 3/2
15

Keterangan:

B1 = lebar dasar peluap (m)


B2 = lebar muka air di atas peluap (m)
C = koefisien peluapan (0,60 – 0,66)
g = percepatan gravitasi (m/s2; diambil 9,8 m/s2)
h3 = tinggi muka air di atas peluap (m)
Q = debit desain (m3/s)
Tabel 2. 3 Tinggi Jagaan Berdasarkan Debit Desain Peluap

Sumber: SNI 2851:2015


Lebar Mercu
Untuk menentukan lebar mercu peluap bangunan penahan sedimen
mempertimbangkan jenis sedimen dan sifat hidraulik alirannya.
Tabel 2. 4 Penentuan Lebar Mercu

Sumber: SNI 2851:2015


Kemiringan Tubuh Bendung Utama
a) Kemiringan bagian hulu (untuk tinggi bendung utama < 15 m)
( 1 + α ) . m2 + { 2 ( n + β ) + n. ( 4 α + γ ) + 2 . α . β }. m
– ( 1 + 3. α ) + α . β. ( 4 n + β ) + γ . ( 3. n. β + β2 + n2 ) = 0
Keterangan:
α : rasio tinggi peluapan dan tinggi bendung utama (h3/h)
β : rasio panjang dasar peluap dan tinggi bendung utama (b1/h)
γ : rasio γc dan γ0 (γc / γ0)
γc : berat isi bendung utama
γ0 : berat isi aliran (besarnya kira-kira 1,0 – 1,2 ton /m3)
m : kemiringan tubuh bendung bagian hulu
n : kemiringan tubuh bendung bagian hilir
b) Kemiringan bagian hulu (untuk tinggi bendung utama ≥ 15 m)
{(1 + α – ω) (1 – μ) + ∆ (2s2 − s3)} 𝑚2 + [ 2(𝑛 + 𝛽) {1 + ∆s2 −
𝜇 (1 + 𝛼 − 𝜔) − 𝜔} + n (4α + γ) + 2αβ]m - (1 + 3α) – μ (1 + 𝛼 − 𝜔)
(𝑛 + 𝛽)2 - ∆Css2 + αβ (4n + β) + γ (3nβ + 𝛽2+ 𝑛2) – ω (𝛽 + 𝑛)2 = 0
Keterangan:
Cs : koefisien tanah endapan, besarnya antara 0,3 - 0,6 sesuai dengan
sudut geser dalam;
γs : berat isi sedimen dalam air (1,2 – 1,5 ton/m3);
γw : berat isi air (1,0 ton/m3);
Δ : rasio dari γs dan γw (γs/ γw);
ε : rasio dari hs dan h (hs/h);
μ : koefisien uplift (0,3 – 1,0);
ω : rasio dari h2 dan h (h2/h);
h2 : tinggi muka air di atas peluap sub bendung (m);
m : kemiringan tubuh bendung bagian hulu;
n : kemiringan tubuh bendung bagian hilir.
Dimensi Kolam Olak
• Persamaan hidrolik panjang kolam olak
L = lw + x + b1
2 (ℎ1+0,5ℎ3) 1/2
lw = vo [ g
]

vo = 𝑞𝑜
ℎ3

x = β hj
hj = ℎ1 [√1 + 8𝐹2 − 1]
2

h1 = 𝑞1
ℎ3

v1 = √2𝑔 (ℎ1 + ℎ3)


𝑣1
F1 =
√g ℎ1

h1’ = hj – h2
Keterangan :
b1 : lebar sayap sub bendung (m);
β : koefisien, besarnya antara 4.5 - 5.0;
F1 : angka Froude aliran pada titik terjunan;
g : percepatan gravitasi (m2/s);
h1 : tinggi bendung utama dari lantai kolam olak (m);
h1’ : tinggi ambang sub bendung (m);
h2 : tinggi muka air di atas peluap sub bendung (m);
h3 : tinggi muka air di atas peluap bendung utama (m);
hj : tinggi loncatan hidraulik (m);
L : jarak bendung utama dan sub bendung (m);
lw : panjang terjunan dari mercu bendung utama (m);
q0 : debit per meter pada peluap (m3/s/m);
q1 : debit aliran tiap meter lebar pada titik jatuh terjunan (m3/s/m);
v0 : kecepatan aliran di atas pelimpah bendung utama (m/s);
v1 : kecepatan jatuh pada terjunan (m/s);
x : panjang olakan (m).

Gambar 2. 7 Notasi pada Bendung Utama, Kolam Olak dan Sub Bendung
• Tebal lantai kolam olak
Tebal lantai kolam olak harus cukup untuk menahan tekanan yang berasal
dari benturan air terjun dan batu, ditentukan berdasarkan persamaan :
- Kolam olak tanpa subdam
t = 0,2 . (0,6 h1 + 3h3 -1)
- Kolam olak dengan sub dam
t = 0,1 ( 0,6 h1 + 3h3 – 1)
Keterangan
h1 : tinggi bendung utama dari lantai kolam olak (m);
h3 : tinggi muka air di atas peluap bendung utama (m);
t : tebal lantai kolam olak (m).
• Rumus empiris panjang kolam olak
L = ( 1,5 s/d 2,0 ) x ( h1 + h3 )
Keterangan:
L : jarak bendung utama dan sub bendung (m);
h1 : tinggi bendung utama dari lantai kolam olak (m);
h3 : tinggi muka air di atas peluap bendung utama (m).
BAB III
METODE PERENCANAAN

3.1 Lokasi Penelitian


Penelitian ini berlokasi di DAS Citarun, Kabupaten bandung, Jawa Barat

Gambar 3. 1 Peta Lokasi DAS Citarum

3.2 Deskripsi Wilayah DAS Citarum

Sungai Citarum, sebagai salah satu elemen penting di ekosistem Indonesia,


membentang sepanjang 297 km mulai dari hulu di Situ Cisanti, Gunung Wayang,
Kabupaten Bandung, hingga mencapai muara di Pantai Utara Pulau Jawa, Muara
Gembong, Kabupaten Bekasi. Menyusuri 13 kabupaten/kota, termasuk Kabupaten
Bandung Barat, Kota Bandung, dan Kabupaten Subang, sungai ini memainkan peran
krusial dalam menyediakan air baku untuk konsumsi dan irigasi. Tak hanya itu, Sungai
Citarum juga menjadi tulang punggung dalam penyediaan listrik untuk Pulau Jawa dan
Bali melalui tiga waduk utama: Saguling, Cirata, dan Jatiluhur.
Walaupun memiliki peran strategis sebagai penyokong kehidupan masyarakat dan
keberlanjutan ekonomi, Sungai Citarum kini dihadapkan pada tantangan serius.
Pencemaran dan kerusakan lingkungan menjadi masalah utama yang menimpa sungai ini.
Aktivitas domestik dan industri di sepanjang tepi sungai menjadi penyumbang utama
pencemaran, mencakup limbah industri, pertanian, peternakan, perikanan, dan domestik.
Dampaknya sangat merugikan, tidak hanya terhadap kesehatan masyarakat, tetapi juga
pada ekosistem sungai, sumber daya alam, dan keberlanjutan lingkungan hidup.
Pencemaran ini berpotensi menghancurkan warisan alam yang berharga ini jika tidak
segera diatasi.

Untuk itu, perlu dilakukan upaya serius dalam menjaga dan memulihkan Sungai
Citarum. Langkah-langkah konservasi dan rehabilitasi perlu diambil untuk mengatasi
dampak negatif yang telah terjadi. Dukungan masyarakat, pemerintah, dan pihak terkait
sangat penting dalam menciptakan solusi yang berkelanjutan. Hanya dengan pemulihan
sungai yang berhasil, kita dapat memastikan bahwa Sungai Citarum akan tetap berfungsi
sebagai sumber daya alam yang berkelanjutan dan memberikan manfaat maksimal bagi
kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan.

3.3 Kondisi DAS Citarum

Masalah yang melanda Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum pada dasarnya
disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang mengakibatkan eksploitasi ruang dan
sumber daya air yang semakin meningkat. Pencemaran, sebagaimana dijelaskan dalam
Perpres No. 15 Tahun 2018, terjadi ketika makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen
lain dimasukkan ke dalam DAS oleh aktivitas manusia, melebihi baku mutu lingkungan
yang telah ditetapkan. Tingginya tingkat sedimentasi, limbah industri, peternakan,
pertanian, Keramba Jaring Apung, serta air limbah domestik dan persampahan menjadi
faktor utama pencemaran di DAS Citarum.

Limbah dari industri, pertanian, dan peternakan yang tidak diolah dan tidak memenuhi
standar baku mutu, ditambah dengan kurangnya penegakan hukum dan edukasi, menjadi
penyebab menurunnya kualitas air Sungai Citarum. Di sepanjang DAS Citarum, lebih dari
2.000 industri perlu dikelola dengan baik agar tidak mencemari sungai. Selain itu, lokasi
peternakan yang berdekatan dengan sungai turut menjadi sumber pencemaran utama.
Limbah peternakan, termasuk air bekas mencuci ternak dan kotorannya, dibuang langsung
ke sungai tanpa pengolahan. Waduk Saguling, Waduk Cirata, dan Waduk Jatiluhur juga
terkena dampak limbah perikanan dari ribuan Keramba Jaring Apung yang melebihi daya
dukung waduk, memperparah pencemaran air dan berpotensi mengancam instalasi
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di tiga waduk tersebut.

Hasil pemantauan kualitas air di tujuh titik menunjukkan bahwa sekitar 26% masih
tercemar berat, dengan fecal coli sebagai penyumbang terbesar cemaran berat.
Ketidakadaan pengelolaan air limbah domestik dan pengelolaan sampah di tepi sungai
menyebabkan tingginya kadar bakteri fecal coli dan jumlah sampah yang tinggi di Sungai
Citarum. Data Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) Kementerian Kesehatan juga
menunjukkan bahwa masih ada penduduk di DAS Citarum yang melakukan praktik Buang
Air Besar Sembarangan (BABS), menandakan bahwa permasalahan sanitasi juga masih
menjadi isu serius di kawasan ini.

Gambar 3. 2 Peta Cakupan Pelayanan Sampah Das Citarum

DAS Citarum, sebagai salah satu aset alam yang sangat penting di Indonesia,
menghadapi tantangan serius terkait pemeliharaan lingkungan dan keberlanjutan
ekosistemnya. Tidak hanya menjadi sumber air baku untuk kebutuhan konsumsi dan
irigasi, tetapi DAS Citarum juga memiliki peran vital dalam penyediaan listrik untuk Pulau
Jawa dan Bali melalui waduk-waduk strategisnya. Sayangnya, sungai ini menghadapi
permasalahan kompleks yang mencakup pencemaran dan kerusakan lingkungan, terutama
di lahan-lahan kritis yang memerlukan penanganan mendesak.

Permasalahan di DAS Citarum tidak hanya dipicu oleh pertumbuhan penduduk yang
meningkat, tetapi juga oleh berbagai faktor seperti kegiatan pertanian, industri, dan
peternakan yang tidak terkelola dengan baik. Salah satu titik fokus utama adalah lahan
kritis yang mempresentasikan potensi bahaya erosi dan pencemaran signifikan. Melalui
penetapan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, wilayah DAS Citarum
diidentifikasi memiliki luas lahan kritis yang mencapai 29.24% dari total wilayahnya. Data
terkini ini menyoroti urgensi tindakan perlindungan dan rehabilitasi untuk mencegah
dampak serius terhadap kualitas air dan keberlanjutan ekosistem di DAS Citarum.

Lahan yang memerlukan penanganan prioritas adalah yang termasuk dalam kategori
kritis dan sangat kritis, sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor SK.306/MENLHK/PDASHL/DAS.0/7/2018 tentang Penetapan Lahan
Kritis Nasional. Wilayah DAS Citarum menghadapi pembatasan lahan kritis akibat kondisi
bahaya erosi, tutupan lahan, dan kemiringan lereng, baik di luar maupun di dalam kawasan
hutan. Bagian hulu DAS Citarum, yang terdiri dari lahan pertanian kering dengan tanaman
semusim dan holtikultur, memiliki kemiringan yang terjal. Pemanfaatan lahan untuk
pertanian di bagian hulu yang kurang memperhatikan aspek topografi dapat meningkatkan
risiko erosi, berkontribusi pada kondisi lahan kritis.

Data terbaru pada tahun 2018 menunjukkan bahwa luas lahan kritis di DAS Citarum
mencapai 199,514.14 hektar atau sekitar 29.24% dari total wilayah DAS Citarum,
melibatkan kategori sangat kritis dan kritis. Lahan sangat kritis mencapai 133,274.07
hektar (19.54%), sementara lahan kritis mencakup 66,240.07 hektar (9.70%). Pemetaan
lahan kritis memperlihatkan distribusinya di bagian hulu (38.20%), tengah (30.18%), dan
hilir (31.62%) DAS Citarum. Dengan persentase lahan kritis sebesar 29.24% dari total
wilayah DAS Citarum, kondisi lahan kritis di DAS ini dapat dikategorikan sebagai sangat
tinggi dengan skor 1.5 dalam perhitungan daya dukung DAS. Kesimpulan ini mempertegas
urgensi penanganan dan pengelolaan lahan kritis dalam upaya pelestarian ekosistem DAS
Citarum yang kian terancam.
3.4 Teknik Analisis Data

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis deskriptif
kuantitatif. Adapun teknik analisis deskriptif kuantitatif yang digunakan adalah :
a. Analisis Hidrologi dengan Perhitungan Curah Hujan Rancangan dengan
Metode Log Pearson Tipe III.
b. Analisis Analisis frekuensi curah hujan dengan Metode Distribusi Normal,
Metode Distribusi Log Normal.
c. Uji Kesesuaian Distribusi dari Analisis Hidrologi dengan kecocokan sebaran
dengan metode Smirnov- Kolmogorov.
d. Metode Hidrograf Satuan Sintetik (HSS) Nakayasu untuk perhitungan
Debit Banjir Rancangan kala ulang 10 tahun.
e. Perhitungan rancangan sumur resapan dengan SNI 8456 : 2017 tentang Sumur
Resapandan Parit Resapan.
f. Perhitungan rencana embung dengan buku pedoman “Embung Kecil”.
g. Perhitungan rencana sabo dam dengan SNI 2851 : 2015 tentang Desain
BangunanPenahan Sedimen.
h. Analisis dengan Peta Tata Guna Lahan untuk mengetahui tata guna lahan di
DAS Citarum.

Anda mungkin juga menyukai