Anda di halaman 1dari 61

TUGAS BESAR

BANGUNAN AIR

DISUSUN OLEH :
MUHAMMAD FAHRUL NUR SETYAWAN (202110340311208)
RISANG ABISEKA WIJAYA (202110340311214)

JURUSAN TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2023/2024
LEMBAR PENGESAHAN
TUGAS BESAR
BANGUNAN AIR

Disusun oleh :
Muhammad Fahrul Nur Setyawan (202110340311208)
Risang Abiseka Wijaya (202110340311214)

Tugas besar ini disusun sebagai salah satu syarat untuk di Fakultas Teknik Jurusan Teknik
Sipil Universitas Muhammadiyah Malang

Laporan ini disetujui pada


Hari :
Tanggal :
Tempat :

Mengetahui,
Dosen Pembimbing

Ibu Lourina Evanale Orfa., ST.,M.Eng


NIDN : 0729078803
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Tugas Besar
Struktur Baja ini dengan baik.

Tugas besar ini disusun sebagai syarat untuk mengikuti program Praktek Kerja Nyata
di Fakultas Teknik Jurusan Sipil pada Universitas Muhammadiyah Malang. Pada kesempatan
ini penyusun menyampaikan terimakasih kepada :

1. Ibu Lourina Evanale O, ST., M.Eng selaku dosen pembimbing Tugas Besar Bangunan
Air dan dosen pengampu mata kuliah Perencanaan Bangunan Air
2. Fitri selaku Asisten dosen
3. Rekan-rekan mahasiswa yang telah banyak membantu hingga terselesaikannya
laporan tugas besar ini.

Akhirnya penyusun berharap semoga laporan ini dapat berguna bagi penyusun pada
khususnya dan pembaca pada umumnya. Penyusun berharap akan adanya kritik, saran dan
masukan yang bersifat membangun demi kesempurnaan laporan praktikum ini.

Malang,

Muhammad Fahrul Nur Setyawan (202110340311208)


Risang Abiseka Wijaya (202110340311214)
BAB I
PENDAHULUAN
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tugas Besar Teknik Irigrasi dan Bangunan Air merupakan salah satu tugas besar dari
lima tugas besar yang diwajibkan di Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas
Muhammadiyah Malang. Secara umum hal-hal yang melatarbelakangi dari diadakannya
tugas besar adalah sebagai syarat untuk melakukan Praktek Kerja Nyata. Hal tersebut
dapat menjadikan motivator bagi kita semua untuk terus belajar secara mendalam.

Jika dalam penanganan tugas-tugas besar kurang efektif maka, para Mahasiswa akan
kewalahan ketika menghadapi lapangan karena kurangnya pengalaman dalam
mengerjakan sebuah system Irigasi. Dengan adanya tugas besar ini diharapkan terbentuk
insan-insan akademis yang mampu bersaing dalam ilmu teknik sipil sehingga dalam
menapaki era globalisasi yang makin global kita tidak akan ketinggalan teknologi dari
negara lain.

1.2 Maksud Dan Tujuan

Dengan diadakannya Tugas Besar Teknik Irigasi dan Bangunan Air yang telah
dilaksanakan ini dimaksudkan agar mahasiswa memiliki gambaran tentang berbagai hal
yang berhubungan dengan perencanaan system irigasi yang meliputi berbagai macam
perencanaan bangunan Irigasi.

Sedang tujuan diadakannya Tugas Besar Irigasi dan Bangunan Air adalah untuk
mempelajari cara perencanaan system irigasi sesuai dengan standart Direktorat jenderal
Pengairan

1.3 Manfaat

Tugas Besar Teknik Irigasi dan Bangunan Air bermanfaat sebagai modal untuk
menghadapi lapangan dan sebagai penunjang dalam perkuliahan. Sehingga dengan
adanya Tugas Besar ini diharapkan nantinya bila menghadapi lapangan sudah terbiasa.
BAB II
LANDASAN TEORI
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Analisa Hidrologi Secara Umum

Analisa hidrologi merupakan suatu analisa awal dalam menangani penaggulangan


banjir dan perencanaan sistem bendung untuk mengetahui besarnya debit yang akan
dialirkan sehingga dapat ditentukan dimensi penampang melintang bendung. Besarnya
debit yang dipakai sebagai dasar perencanaan dalam penanggulangan banjir adalah debit
rancangan yang didapat dari penjumlahan debit hujan rencana pada periode ulang
tertentu.

2.2 Ketersediaan Data

2.2.1 Data Klimatologi

Klimatologi adalah studi mengenai iklim, secara ilmiah didefinisikan sebagai kondisi
cuaca yang dirata-ratakan selama periode waktu yang panjang. Klimatologi juga
mencakup aspek oseanografi dan biogeokimia. Pengetahuan dasar dari iklim bisa
digunakan dalam peramalan cuaca menggunakan metode analogi dalam kasus ENSO,
Osilasi Madden-Julian, Osilasi Atlantik Utara, dan sebagainya. Model iklim juga
digunakan untuk mempelajari dinamika cuaca dan sistem iklim untuk memproyeksikan
iklim pada masa depan.

Klimatologi dilakukan dengan berbagai cara salah satunya yaitu paleoklimatologi.


Paleoklimatologi adalah memproyeksikan ulang iklim pada masa lalu dengan memeriksa
catatan seperti inti es dan cincin pertumbuhan pohon (dendroklimatologi).
Paleotempestologi menggunakan catatan yang sama untuk menentukan frekuensi badai
dalam jangka waktu ribuan tahun lamanya. Studi kontemporer iklim melibatkan data
meterologi yang diakumulasikan dalam jangka waktu beberapa tahun, seperti data curah
hujan, temperatur, dan komposisi atmosfer.

2.2.2 Data Hujan

Data hujan adalah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar selama periode
tertentu yang diukur dengan satuan tinggi (mm) di atas permukaan horizontal bila tidak
terjadi evaporasi, run off dan infiltrasi. Terdapat beberapa cara mengukur curah hujan.
Curah hujan (mm) merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang
datar, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir. Curah hujan 1 (satu) millimeter,
artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi
satu millimeter atau tertampung air sebanyak satu liter. Curah hujan kumulatif (mm)
merupakan jumlah hujan yang terkumpul dalam rentang waktu kumulatif tersebut. Dalam
periode musim, rentang waktunya adalah rata-rata panjang musim pada masing-masing
Daerah Prakiraan Musim (DPM).

Sifat hujan merupakan perbandingan antara jumlah curah hujan selama rentang waktu
yang ditetapkan (satu periode musim kemarau) dengan jumlah curah hujan normalnya
(rata-rata selama 30 tahun periode 1971- 2000). Sifat hujan dibagi menjadi 3 (tiga)
katagori, yaitu :

a. Diatas Normal (AN) : jika nilai curah hujan lebih dari 115% terhadap rata-ratanya.
b. Normal (N) : jika nilai curah hujan antara 85%--115% terhadap rata-ratanya.
c. Dibawah Normal (BN) : jika nilai curah hujan kurang dari 85% terhadap rata-ratanya.

2.2.3 Analisa Frekuensi Debit Banjir

Frekuensi adalah besarnya kemungkinan suatu besaran debit hujan yang disamai atau
dilampaui, Perhitungan debit banjir rencana dimaksudkan untuk mengingat adanya
hubungan antara hujan dan aliran sungai dimana besarnya aliran dalam sungai ditentukan
dari besarnya hujan, intensitas hujan, luas daerah, lama waktu hujan dan cirri-ciri daerah
alirannya.

Analisis frekuensi dilakukan untuk mencari distribusi yang sesuai dengan data curah
hujan yang digunakan. Dalam analisis ini jenis distribusi frekuensi yang digunakan dalam
perhitungan curah hujan rencana adalah Metode Log Pearson III, Gumbel, Normal.

2.2.3.1 Metode Log Pearson III

Metode yang dianjurkan dalam pemakaian distribusi Log Pearson adalah dengan
mengkorvesikan rangkaian datanya menjadi bentuk logaritmis.

 Nilai Rerata

log Xr =
∑ log x
n
 Standar Deviasi
Sd=∑ ¿ ¿ ¿
 Koefisien Kepencengan (Cs)
Cs=n ∑ ¿ ¿ ¿ ¿

Besarnya curah hujan rancangan dengan periode ulang T tahun adalah sebagai berikut:

Log XT = log Xr + K.Sd

K = faktor frekuensi untuk distribusi Log Pearson III yang besarnya tergantung harga Cs
dan Kala ulang T
2.2.3.2 Metode E.J Gumbel Type I

Metode E.J. Gumbel Type I dengan persamaan sebagai berikut :

 X =Xr + K . Sx
n
1
 Xr = ∑ Xi
n 1
n n


∑ Xi2 −Xr ∑ Xii
1 1
Sx=
n−1
YT −Yn
 X=
Sn

dimana :

X = Variate yang diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah hujan rancangan untuk


periode ulang pada T tahun.
Xr = Harga rerata dari data
Sx = Standart deviasi
K = Faktor frekuensi yang merupakan fungsi dari periode ulang (return period)
dan tipe distribusi frekuensi.
YT = Reduced variate sebagai fungsi periode ulang T
= - Ln [ - Ln (T - 1)/T]
Yn = Reduced mean sebagai fungsi dari banyaknya data n
Sn = Reduced standart deviasi sebagai fungsi dari banyaknya data n
T = Kala ulang (tahun)
Dengan mensubstitusikan ketiga persamaan diatas diperoleh :

(YT −Yn)
XT =X + Sn
Sn

Jika :

( 1a )=( SxSn )
b=X − ( SnSx )Yn
Persamaan diatas menjadi :
XT =b+ ( 1a )YT
Dimana :

XT = Debit banjir dengan kala ulang T tahun

YT = Reduced variate

2.2.3.3 Metode Normal

Memiliki sifat khas yaitu nilai asimetrisnya (skewness) hampir sama dengan nol (Cs =
0), dengan koefisien kurtosis Ck = 3. Perhitungan curah hujan rancangan dengan metode
Distribusi Normal dapat menggunakan persamaan distribusi empiris sebagai berikut
(Soewarno, 1995 : 116):

X = X + k.S

dengan:

X = Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan besar peluang tertentu atau pada
periode ulang tertentu.

X = Nilai rata-rata hitung variat

S = Deviasi standar nilai variat

k = Variabel reduksi Gauss

2.3 Bangunan Bendung

Bendung adalah suatu bangunan air dengan kelengkapan yang dibangun melintang
pada sungai atau sudetan yang sengaja dibuat untuk meninggikan taraf muka air atau
untuk mendapatkan tinggi terjun, sehingga air dapat disadap dan dialirkan secara gravitasi
ke tempat yang membutuhkan dan untuk mengendalikan aliran, angkutan sedimen, dan
geometri sungai sehingga air dapat dimanfaatkan secara aman, efektif, efisien, dan
optimal

2.3.1 Bendung Tetap (Fixed Weir, Uncontrolled Weir)

Bendung tetap atau bendung pelimpah adalah jenis bendung yang tinggi
pembendungannya tidak dapat diubah, sehingga muka air di hulu bendung tidak dapat
diatur sesuai yang dikehendaki.

Bendung tetap terbuat dari pasangan batu, dibangun melintang di sungai, sehingga
akan memberikan tinggi air minimum kepada bangunan intake untuk keperluan irigasi,
dan merupakan penghalang selama terjadi banjir dan dapat menyebabkan genangan di
udik bendung. Bendung tetap terdiri dari tubuh bendung dan mercu bendung. Tubuh
bendung merupakan ambang tetap yang berfungsi untuk meninggikan taraf muka air
sungai. Mercu bendung berfungsi untuk mengatur tinggi air minimum, melewatkan debit
banjir, dan untuk membatasi tinggi genangan yang akan terjadi di hulu bendung. Bendung
tetap biasanya dibangun pada hulu sungai dengan karakteristik tebing-tebing sungai yang
lebih curam daripada bagian hilir.

2.3.2 Bendung Gerak (Gated weir, Barrage)

Bendung gerak adalah jenis bendung yang tinggi pembendungannya dapat diubah
sesuai dengan yang dikehendaki. Pada bendung gerak, elevasi muka air di hulu bendung
dapat dikendalikan naik atau turun sesuai yang dikehendaki dengan membuka atau
menutup pintu air (gate). Bendung gerak biasanya dibangun pada daerah hilir sungai atau
muara. Pada daerah hilir sungai atau muara sungai kebanyakan tebing-tebing sungai
relative lebih landai atau datar dari pada di daerah hulu. Pada saat kondisi banjir, maka
elevasi muka air sisi hulu bendung gerak yang dibangun di daerah hilir bisa diturunkan
dengan membuka pintu-pintu air (gate) sehingga air tidak meluber kemana-mana (tidak
membanjiri daerah yang luas) karena air akan mengalir lewat pintu yang telah terbuka kea
rah hilir (downstream).

2.3.3 Penentuan Lokasi Bendung

Penentuan lokasi bendung diambil dari berbagai pertimbangan-pertimbangan yang


optimum dengan memperhatikan hal-hal berikut :

1. Bagian sungai yg lurus dengan bentang terpendek (jarak antara tebing kiri-tebing
kanan).

2. Terdapat alur yang stabil di dekat lokasi bangunan pengambilan (intake structure).

3. Air sungai yang akan disadap mencukupi meskipun pada saat musim kemarau.

4. Sedikit sedimen yang masuk pada saat penyadapan.

5. Dampak pembangunan bendung adalah kecil baik ke arah hulu dan hilir.

6. Stabilitas bendung bisa tercapai seiring dengan biaya yang ekonomis.

2.3.4 Data Perencanaan

1. Peta topografi, untuk menentukan tata letak bendung.


2. Data geologi teknik lokasi tapak bendung, untuk menentukan karakteristik pondasi
bendung.

3. Data hidrologi, untuk menentukan besaran debit banjir rencana.

4. Data morfologi sungai, untuk menentukan besaran angkutan sedimen.

5. Data karakteristik sungai, untuk menentukan hubungan antara besaran debit sungai
dengan elevasi muka air banjir.

6. Keadaan batas pada jaringan irigasi, untuk menentukan dimensi bendung dan bangunan
intake.

2.4 Bangunan Utama Bendung

2.4.1 Mercu Bendung

Mercu bendung yaitu bagian atas tubuh bendung dimana aliran dari hulu dapat
melimpah ke hilir. Fungsinya sebagai penentu tinggi muka air minimum di sungai bagian
hulu bendung, Sebagai pengempang sungai dan sebagai pelimpah aliran sungai, letak
mercu bendung bersama-sama tubuh bendung diusahakan tegak lurus arah aliran yang
menuju bendung terbagi rata.

Tinggi mercu bendung (p) yaitu beda ketinggian antara elevasi lantai hulu dan elevasi
mercu. Untuk penentuan tinggi mercu bendung, utamanya didasarkan pada kebutuhan
energi (head). Yang harus diperhatikan dalam menentukan tinggi mercu bending antara
lain :

1. Kebutuhan penyadapan untuk memperoleh debit dan tinggi tekan.

2. Kebutuhan tinggi energi untuk pembilasan.

3. Tinggi muka air genangan yang akan terjadi.

4. Kebutuhan pengendalian angkutan sedimen yang terjadi di bendung.

GAMBAR 2.1 MACAM BENTUK MERCU BENDUNG


(Sumber: KP 02 halaman 50)

2.4.1.1 Mercu Bulat


Untuk bendung dengan mercu bulat memiliki harga koefisien debit yang jauh lebih
tinggi (44%) dibandingkan koefisien bendung ambang lebar. Tipe ini banyak memberikan
keuntungan karena akan mengurangi tinggi muka air hulu selama banjir. Harga koefisien
debit menjadi lebih tinggi karena lengkung stream line dan tekanan negatif pada mercu.
Untuk bendung dengan 2 jari-jari hilir akan digunakan untuk menemukan harga koefisien
debit.

GAMBAR 2.2 BENDUNG DENGAN MERCU BULAT


(sumber: KP 02 halaman 52)
Dari Gambar 2.2 tampak bahwa jari-jari mercu bendung pasangan batu akan berkisar
antara 0,3 sampai 0,7 kali H1maks dan untuk mercu bendung beton dari 0,1 sampai 0,7
kali Hmaks. Persamaan tinggi energi-debit untuk bendung ambang pendek dengan
pengontrol segi empat adalah:

Q=Cd ×

2 2
3 3
× g × Be × H 11 ,5

Dimana :
Q = Debit Rencana, m3/dt
Be = Lebar efektif mercu bendung, m
Cd = Koefisien Debit
g = Gravitasi (9,81 m/s2)
H1 = Tinggi energi, m

Koefisien debit Cd adalah hasil dari :


 C0 yang merupakan fungsi H1/r. C0 mempunyai harga maksimum 1,49 jika H1/r
lebih dari 5,0 seperti diperlihatkan pada grafik 2.1.
 C1 yang merupakan fungsi p/H1 (grafik 2.2)
 C2 yang merupakan fungsi p/H1 dan kemiringan muka hulu bendung (grafik 2.3)

Grafik 2.1. Harga koefesien C0 sebagai fungsi perbandingan H1/r

Grafik 2.2. Harga koefesien C1 sebagai fungsi perbandingan P/H1


Grafik 2.3. Harga koefesien C2 sebagai fungsi perbandingan P/H1

2.4.1.2 Mercu Ogee

Bentuk mercu type ogee ini adalah tirai luapan bawah dari bendung ambang tajam
aerasi. Sehingga mercu ini tidak akan memberikan tekanan sub atmosfer pada permukaan
mercu sewaktu bendung mengalirkan air pada debit rencananya. Untuk bagian hulu
mercu bervariasi sesuai dengan kemiringan permukaan hilir. Salah satu alasan dalam
perencanaan digunakan tipe ogee adalah karena tanah disepanjang kolam olak, tanah
berada dalam keadaan baik, maka tipe mercu yang cocok adalah tipe mercu ogee karena
memerlukan lantai muka untuk menahan penggerusan, digunakan tumpukan batu
sepanjang kolam olak sehingga lebih hemat.

Untuk merencanakan permukaan mercu Ogee bagian hilir, U.S. Army Corps of
Engineers telah mengembangkan persamaan berikut:

[ ]
n
γ 1 X
= ×
hd K hd

TABEL 2.1 HARGA-HARGA K DAN N

(Sumber: KP 02 halaman 56)

GAMBAR 2.3 BENTUK-BENTUK BENDUNG MERCU OGEE


(Sumber: KP 02 halaman 57)

Persamaan antara tinggi energy dan debit untuk bending mercu Ogee adalah :

Q=Cd ×

2 2
3 3
× g × Be × H 11 ,5

Dimana :
Q = Debit Rencana, m3 /dt
Be = Lebar efektif mercu bendung, m
Cd = Koefisien Debit
g = Gravitasi (9,81 m/s2)
H1 = Tinggi energi, m

2.4.2 Lebar Bendung

Lebar mercu bendung yaitu jarak antara dua tembok pangkal bendung (abutment),
termasuk lebar bangunan pembilas dan pilar-pilarnya. Dalam penentuan lebar mercu
bendung, yang harus diperhatikan :

1. Kemampuan melewatkan debit desain dengan tinggi jagaan yang cukup.

2. Batasan tinggi muka air genangan maksimum yang diijinkan pada debit desain.

Oleh karena itu, lebar mercu bendung dapat diperkirakan sebagai berikut :

1. Sama lebar dengan rata-rata sungai stabil / pada debit penuh alur (bank full
dishcharge).

2. Umumnya diambil sebesar 1,2 kali lebar sungai rata-rata pada ruas sungai yang stabil.
2.4.3 Lebar Efektif Bendung

Karena adanya pintu bilas dan pilar, maka lebar bendung yang dapat mengalirkan
banjir secara efektif jadi berkurang, yang disebut lebar efektif (Beff). Pengurangan lebar
tersebut disebabkan oleh tiga komponen, yaitu :

1. Tebal pilar.

2. Bagian pintu bilas yang bentuk mercunya berbeda dari mercu bending.

3. Kontraksi pada dinding pengarah dan pilar.

Dalam perhitungan lebar efektif, lebar pembilas yang sebenarnya, diambil 80% dari
lebar rencana untuk mengompensasi perbedaan koefisien debit dibanding mercu bendung
yang berbentuk bulat.

Untuk model bendung pada Gambar 2.1. Lebar efektif mercu (Be) dihubungkan
dengan lebar mercu yang sebenarnya (B), yakni jarak antar pangkal-pangkal bendung
dan/atau tiang pilar, dengan persamaan sebagai berikut:

Be=B−2×(n × Kp+ Ka)× H 1

Dimana :
Be = lebar effektif bendung
B = Lebar Optimal Bendung
Kp = koefisien kontraksi pada pilar
Ka = koefisien kontraksi pada dinding
n = jumlah pilar
H1 = tinggi energi (m)
GAMBAR 2.4 LEBAR EFEKTIF MERCU
(Sumber: KP 02 halaman 49)

TABEL 2.2 NILAI KA DAN KP


2.4.4 Tinggi Jagaan Bendung
Tinggi Jagaan berfungsi untuk mencegah gelombang atau kenaikan muka air yang
melimpah ke tepi sungai/bendung. Pada umumnya semakin besar debit yang diangkut,
semakin besar pula tinggi jagaan yang harus disediakan.

1
Fb=C ×V × Hd
3

Atau ,

1
Fb=0 ,6 × 0 ,37 × V × Hd
3

Dimana :

Fb = Tinggi jagaan bendung, m

C = Koefesien debit (0,10)

V = Kecepatan air, m/dt

Hd = Tinggi air diatas bendung, m

2.5 Pintu Pembilas

pembilas adalah salah satu perlengkapan pokok bendung yang terletak di dekat dan
menjadi satu kesatuan dengan intake. Berfungsi untuk menghindarkan angkutan muatan
sedimen dasar dan mengurangi angkutan muatan sedimen layang masuk ke intake.

1. Pembilas undersluice lurus

a. Mulut undersluice diletakkan di hulu mulut intake dengan arah tegak lurus aliran
menuju intake atau menyudut 45º terhadap tembok pangkal. Lebar mulut harus
lebih besar daripada 1,2 kali lebar intake.

b. Lebar pembilas total diambil 1/6-1/10 dari lebar bentang bendung, untuk sungai-
sungai yang lebarnya kurang dari 100 meter. Lebar satu lubang maksimum 2,5
m untuk kemudahan operasi pintu, dan jumlah lubang tidak lebih dari tiga buah.

c. Lebar pembilas sebaiknya diambil 60% dari lebar total pengambilan termasuk
pilar-pilarnya

d. Tinggi lubang undersluice diambil 1,5 m, usahakan lebih tinggi dari 1 meter
tetapi tidak lebih tinggi dari 2 meter.

e. Elevasi lantai lubang direncanakan :


 Sama tinggi dengan lantai hulu bendung.
 Lebih rendah dari lantai hulu bendung.
 Lebih tinggi dari lantai hulu bendung.

2. Pintu pembilas bawah

Fungsi pintu bawah adalah untuk pembilasan sedimen yang terdapat di bawah,
di hulu dan disekitar mulut underesluice. Jenis pintu yang dipakai umumnya yaitu
pintu sorong. Untuk satu lubang pintu sorong lebar maksimum 2,5 m sedangkan untuk
pintu yang dioperasikan dengan mesin dibuat antara 2,5-5 m.

3. Pilar pembilas

Pilar pembilas berfungsi untuk penempatan pintu-pintu, undersluice dan


perlengkapan lainnya. Lebar pilar sisi bagian luar dapat diambil sampai dengan 2 m
dan sisi bagian dalam antara 1 – 1,5 m.

4. Sponeng dan stang pintu

Sponeng berfungsi untuk menahan tekanan air pada pintu. Ukuran sponeng
bervariasi yaitu 0,25 x 0,25 m atau 0,25 x 0,3 m. Sedangkan stang pintu berfungsi
untuk mengangkat dan menurunkan pintu.

5. Tembok baya-baya

Berfungsi untuk mencegah angkutan sedimen dasar meloncat dari hulu


bendung ke atas plat undersluice. Tinggi mercu tembok baya-baya diambil antara 0,5
m dan 1 m di atas mercu bendung.

6. Pembilas Shunt Undersluice

Shunt undersluice adalah bangunan undersluice yang penempatannya di luar


bentang sungai dan atau di luar pangkal bendung, di bagian samping melengkung ke
dalam dan terlindung di belakang tembok pangkal.

2.6 Bangunan Pengambilan/Intake

Bangunan intake adalah suatu bangunan pada bendung yang berfungsi sebagai
penyadap aliran air sungai, mengatur pemasukan air dan sedimen, serta menghindarkan
sedimen dasar sungai dan sampah masuk ke intake. Pintu pengambilan diletakkan 10 s/d
15 meter di hulu pintu penguras bending. Pengambilan di sisi kanan sungai, lay out
pengambilan direncanakan membentuk sudut 45 o ke arah hulu. Intake terdiri dari
bermacam jenis, yaitu :

1. Intake biasa, yang umum direncanakan yaitu intake dengan pintu berlubang satu atau
lebih dan dilengkapi dengan pintu dinding banjir.
2. Intake gorong-gorong, tanpa pintu di bagian udik. Pintu diletakkan di bagian hilir
gorong-gorong.

3. Intake frontal, intake diletakkan di tembok pangkal, jauh dari bangunan pembilas atau
bending.

2.6.1 Lantai/Dasar Intake

Lantai intake dirancang datar, tanpa kemiringan. Di hilir pintu lantai dapat
berbentuk kemiringan dan dengan bentuk terjunan sekitar 0,5 m. Lantai intake bila di
awal kantong sedimen bisa berbentuk datar dan dengan kemiringan tertentu. Ketinggian
lantai intake, bila intake ditempatkan pada bangunan pembilas dengan undersluice :

a. Sama tinggi dengan plat lantai undersluice.


b. Sampai dengan 0,5 m di atas plat undersluice.
c. Tergantung pada keadaan tertentu.
d. 0,5 m jika sungai mengangkut lanau.
e. 1 m jika sungai mengangkut pasir dan kerikil.
f. 1,5 m jika sungai mengangkut kerikil dan bongkah.

2.6.2 Pintu Sorong


Pintu sorong dipakai dengan tinggi maksimum sampai 3 m dan lebar tidak lebih
dari 3 m. Pintu tipe ini hanya digunakan untuk bukaan kecil, karena untuk bukaan yang
lebih besar alat-alat angkatnya akan terlalu berat untuk menangggulangi gaya gesekan
pada sponeng. Untuk bukaan yang lebih besar dapat dipakai pintu rol, yang mempunyai
keuntungan tambahan karena di bagian atas terdapat lebih sedikit gesekan, dan pintu
dapat diangkat dengan kabel baja atau rantai baja. Ada dua tipe pintu rol yang dapat
dipertimbangkan, yaitu pintu Stoney dengan roda yang tidak dipasang pada pintu, tetapi
pada kerangka yang terpisah;dan pintu rol biasa yang dipasang langsung pada pintu.
Lebar pintu intake dapat dihitung dengan rumus pengaliran sebagai berikut:

2
Q= × Cd ×b × a ×
3
2
3 √
× g × H 11 , 5

Dimana :

Q = Debit Rencana, m3/dt


b = Lebar efektif mercu bendung, meter
a = Tinggi bukaan pintu, meter
Cd = Koefisien Debit
g = Gravitasi (9,81 m/s2)
h1 = Tinggi air di hulu, meter

2.7 Bangunan Peredam Energi


Bangunan peredam energi bendung adalah struktur dari bangunan di hilir tubuh
bendung yang terdiri dari beberapa tipe, bentuk dan di kanan kirinya dibatasi oleh tembok
pangkal bendung dilanjutkan dengan tembok sayap hilir dengan bentuk tertentu. Fungsi
bangunan ini adalah untuk meredam energi air akibat pembendungan, agar air di hilir
bendung tidak menimbulkan penggerusan setempat yang membahayakan struktur.

Bangunan peredam energi bendung terdiri atas berbagai macam tipe antara lain yaitu:

1. Vlughter

2. USBR

3. SAF

4. Schooklitch

5. MDO, MDS dan MDL, dll

Prinsip pemecahan energi pada bangunan peredam energi adalah dengan cara
menimbulkan gesekan air dengan lantai dan dinding struktur, gesekan air dengan air,
membentuk pusaran air berbalik vertikal ke atas dan ke bawah serta pusaran arah
horizontal dan menciptakan benturan aliran ke struktur serta membuat loncatan air di
dalam ruang olakan. Sementara itu, dalam memilih tipe bangunan peredam energi sangat
bergantung kepada berbagai factor, antara lain :

1. Tinggi pembendungan.

2. Besarnya nilai bilangan Froude.

3. Keadaan geoteknik tanah dasar misalnya jenis batuan, lapisan, kekerasan tekan,
diameter butir.

4. Jenis angkutan sedimen yang terbawa aliran sungai.

5. Kemungkinan degradasi dasar sungai yang akan terjadi di hilir bendung.

6. Keadaan aliran yang terjadi di bangunan peredam energi seperti aliran tidak
sempurna/tenggelam, loncatan aliran yang lebih rendah atau lebih tinggi dan sama
2.7.1 Kolam Olak

Tipe kolam olak yang akan direncana di sebelah hilir bangunan bergantung pada
energi air yang masuk, yang dinyatakan dengan bilangan Froude, dan pada bahan
konstruksi kolam olak. Berdasarkan bilangan Froude, dapat dibuat pengelompokan-
pengelompokan berikut dalam perencanaan kolam :dengan kedalaman muka air hilir (tail
water).

1. Untuk Fru ≤ 1,7 tidak diperlukan kolam olak; pada saluran tanah, bagian hilir harus
dilindungi dari bahaya erosi; saluran pasangan batu atau beton tidak memerlukan
lindungan khusus.

2. Bila 1,7 < Fru ≤ 2,5 maka kolam olak diperlukan untuk meredam energi secara
efektif. Pada umumnya kolam olak dengan ambang ujung mampu bekerja dengan
baik. Untuk penurunan muka air ΔZ < 1,5 m dapat dipakai bangunan terjun tegak.

3. Jika 2,5 < Fru ≤ 4,5 maka akan timbul situasi yang paling sulit dalam memilih
kolam olak yang tepat. Loncatan air tidak terbentuk dengan baik & menimbulkan
gelombang sampai jarak yang jauh di saluran. Cara mengatasinya adalah
mengusahakan agar kolam olak untuk bilangan Froude ini mampu menimbulkan
olakan (turbulensi) yang tinggi dengan blok halangnya / menambah intensitas
pusaran dengan pemasangan blok depan kolam.

Blok ini harus berukuran besar (USBR tipe IV). Tetapi pada prakteknya akan lebih
baik untuk tidak merencanakan kolam olak jika 2,5 < Fru < 4,5. Sebaiknya
geometrinya diubah untuk memperbesar / memperkecil bilangan Froude dan
memakai kolam dari kategori lain.

4. Kalau Fru ≥ 4,5 ini akan merupakan kolam yang paling ekonomis. karena kolam ini
pendek. Tipe ini, termasuk kolam olak USBR tipe III yang dilengkapi dengan blok
depan dan blok halang. Kolam loncat air yang sarna dengan tangga di bagian
ujungnya akan jauh lebih panjang dan mungkin harus digunakan dengan pasangan
batu.

2.7.2 Kolam Loncat Air

GAMBAR 2.5 METODE PERENCANAAN KOLAM LONCAT AIR


(Sumber: KP 02 halaman 67)

Gambar 2.5 memberikan penjelasan mengenai metode perencanaan. Dari grafik q


versus H1 dan tinggi jatuh 2, kecepatan (v1) awal loncatan dapat ditemukan dari:

V 1=
√ 2
3
× g ×(0 , 5 × H 1 ×Z )

Q
V 1=
Y 1 × Be

Dimana :
Q = Debit rancangan, m3/dt
Be = lebar efektif mercu bending, m
Y1 = kedalaman air diawal loncatan, m
V1 = kecepatan awal loncatan, m/dt
g = percepatan gravitasi, 9,81 m/dt2
h1 = tinggi energy diatas ambang, m
z = tinggi jatuh, m
Dengan q = v1 x y1, dan rumus untuk kedalaman konjugasi dalam loncat air adalah
Y2 1
= ׿
Y1 2

Dimana :
V1
Fr=
√g × Y 1
Dimana :
Y2 = kedalaman air diatas ambang ujung, m
Y1 = kedalaman air diawal loncatan, m
Fr = bilangan froude
g = percepatan gravitasi, 9,81 m/dt2
V1 = kecepatan awal loncatan, m/dt
Panjang kolam loncat air di belakang Potongan U (Gambar 2.5) biasanya kurang dari
panjang bebas loncatan tersebut adanya ambang ujung (end sill). Ambang yang berfungsi
untuk memantapkan aliran ini umumnya ditempatkan pada jarak.

Lj=5 ×(n+Y 2 )

Dimana :
Lj = panjang kolam loncat, m n = tinggi ambang ujung, m
Syarat panjang kolam loncat adalah harus lebih panjang dari pada panjang
loncatan air sehingga loncatan masih atau tetap berada pada kolam loncat. Persamaan
yang digunakan untuk menentukan panjang loncatan adalah sebagai berikut:

Lj=5 ×(Y 2 +Y 1)

Dimana :

Lj = panjang loncatan air, m

Y2 = kedalaman air diatas ambang ujung, m

Y1 = kedalaman air diawal loncatan, m

2.7.3 Perlindungan Bagian Hilir

Untuk mencegah terjadinya penggerusan saluran di sebelah hilir bangunan


peredam energi, saluran sebaiknya dilindungi dengan pasangan batu kosong atau rip-rap.
Panjang lindungan harus dibuat sebagai berikut :

1. tidak kurang dari 4 kali kedalaman normal maksimum di saluran hilir,

2. tidak lebih pendek dari peralihan tanah yang terletak antara bangunan dan saluran,

3. tidak kurang dari 1,50 m.

GAMBAR 2.6 POTONGAN MEMANJANG PEREDAM ENERGI


DENGAN PERLINDUNGAN HILIR RIP-RAP
(Sumber: KP 04 halaman 168)

Jika dipakai pasangan batu kosong, maka diameter batu yang akan dipakai uttuk
pasangan ini dapat ditentukan dengan menggunakan Gambar 2.3. Gambar ini dapat
dimasukkan dengan kecepatan rata-rata di atas ambang kolam. Jika kolam olak tidak
diperlukan karena Fru ≤ 1,7, maka Gambar 2.3 harus menggunakan kecepatan benturan
(impact velocity) Vu :

Vu=√ 2 × g ×∆ z

Gambar 2.3 memberikan ukuran d40 campuran pasangan batu kosong. Ini berarti
bahwa 60% dari pasangan batu tersebut harus terdiri campuran dari batu-batu yang
berukuran sama, atau lebih besar.

2.7.4 Perencanaan Filter

Semua pasangan batu kosong harus ditempatkan pada filter untuk mencegah
hilangnya bahan dasar yang halus. Filter terdiri dari lapisan-lapisan bahan khusus seperti
ditunjukkan pada Gambar 2.6, atau dapat juga dibuat dari ijuk atau kain sintetis.

GAMBAR 2.7 FILTER DIANTARA BATU KOSONG DAN TANAH ASLI


(Sumber : KP 04 halaman 169)

2.8 Analisis Stabilitas Bendung

2.8.1 Gaya-gaya yang Bekerja

Gaya-gaya yang bekerja pada bangunan bendung dan memiliki nilai penting
dalam perencanaan adalah sebagai berikut:

1. Tekanan air, dalam dan luar

2. Tekanan lumpur

3. Gaya gempa

4. Berat bangunan

5. Reaksi pondasi

2.8.1.1 Tekanan Air

Gaya tekan air dapat dibagi menjadi gaya hidrostatik dan gaya hidrodinamik.
Tekanan hidrostatik adalah fungsi kedalaman di bawah permukaan air. Tekanan air akan
selalu bekerja tegak lurus terhadap muka bangunan. Oleh sebab itu agar perhitungannya
lebih mudah, gaya horisontal dan vertikal dikerjakan secara terpisah. Tekanan air dinamik
jarang diperhitungkan untuk stabilitas bangunan bendung dengan tinggi energi rendah.

Gaya tekan ke atas untuk bangunan pada permukaan tanah dasar (subgrade) lebih
rumit. Gaya angkat pada pondasi itu dapat ditemukan dengan membuat jaringan aliran
(flownet), atau dengan asumsi-asumsi yang digunakan oleh Lane untuk teori angka
rembesan (weighted creep theory)

GAMBAR 2.8 JARINGAN ALIRAN DIBAWAH DAM


PASANGAN BATU PADA PASIR
(Sumber: KP 02 halaman 139)

Dalam teori angka rembesan Lane, diandaikan bahwa bidang horisontal memiliki
daya tahan terhadap aliran (rembesan) 3 kali lebih lemah dibandingkan dengan bidang
vertikal. Ini dapat dipakai untuk menghitung gaya tekan ke atas di bawah bendung dengan
cara membagi beda tinggi energi pada bendung sesuai dengan panjang relatif di sepanjang
pondasi.

Dalam bentuk rumus, ini berarti bahwa gaya angkat pada titik x di sepanjang dasar
bendung dapat dirumuskan sebagai berikut:

Lx
Px=Hx− ×∆ H
L

Dimana :

Px = gaya angkat pada x, kg/m2

L = panjang total bidang kontak bendung dan bawah tanah, m

Lx = jarak sepanjang bidang kontak dari hulu samai x, m

ΔH = beda tinggi energy, m

Hx = tinggi energy di hulu bendung, m

2.8.1.2 Tekanan Lumpur

Tekanan lumpur dapat bekerja terhadap muka hulu bendung ataupun terhadap
pintu. Untuk sudut gesekan dalam, yang bisa diandaikan 30ountuk kebanyakan hal,
menghasilkan persamaan berikut :

Ps=1, 67 × h2

Dimana :
Ps = tekanan lumpur pada 2/3 kedalaman atas lumpur yang bekerja secara
horizontal

h = tinggi lumpur setiggi mercu bendung, m

2.8.1.3 Gaya Gempa

Harga-harga gaya gempa diberikan dalam bagian Parameter Bangunan. Harga-


harga tersebut didasarkan pada peta Indonesia yang menujukkan berbagai daerah dan
risiko. Faktor minimum yang akan dipertimbangkanaadalah 0,1 g perapatan gravitasi
sebagai harga percepatan. Faktor ini hendaknya dipertimbangkan dengan cara
mengalikannya dengan massa bangunan sebagai gaya horisontal menuju ke arah yang
paling tidak aman, yakni arah hilir.

Koefesien gempa dapat dihitung dengan rumus :


m
Ad=n × [ ac × z ]

ad
E=
g

Dimana :

ad = percepatan gempa rencana, cm/dt2

n = koefesien jenis tanah

m = koefesien jenis tanah

ac = percepatan kejut dasar, cm/dt2

z = factor yang bergantung pada letak geografis

g = percepatan gravitasi, 9,81 m/dt2 E = koefesien gempa

TABEL 2.3 KOEFESIEN JENIS TANAH

(Sumber: KP 06 halaman 28)

2.8.1.4 Berat Bangunan


Berat bangunan bergantung kepada bahan yang dipakai untuk membuat bangunan itu.
Untuk tujuan-tujuan perencanaan pendahuluan, boleh dipakai harga-harga berat volume
di bawah ini.

pasangan batu 22 kN/m3(≈ 2.200 kgf/m3)

beton tumbuk 23 kN/m3(≈ 2.300 kgf/m3)

beton bertulang 24 kN/m3(≈ 2.400 kgf/m3)

Berat volume beton tumbuk bergantung kepada berat volume agregat serta ukuran
maksimum kerikil yang digunakan. Untuk ukuran maksimum agregat 150 mm dengan
berat volume 2,65, berat volumenya lebih dari 24 kN/m3 (≈ 2.400 kgf/m3).

2.8.1.5 Reaksi Pondasi

Reaksi pondasi boleh diandaikan berbentuk trapesium dan tersebar secara linier.
Tekanan vertikal pondasi pada ujung bangunan ditentukan dengan rumus:

L ∑ MT −∑ MG
e= −
2 ∑V
P=
∑ V ×(1 ± 6 × e )
L L

Dimana :

P = reaksi pondasi/tegangan, ton/m2


e = eksentrisitas, m
L = panjang pondasi, m
V = total gaya/reaksi vertikal, ton
MG = momen guling, ton.m
MT = momen tahan, ton.m
2.8.2 Kebutuhan Stabilitas
Ada tiga penyebab runtuhnya bangunan gravitasi, antara lain yaitu:
1. gelincir (sliding)
a. sepanjang sendi horisontal atau hampir horisontal di atas pondasi.
b.sepanjang pondasi, atau
c. sepanjang kampuh horisontal atau hampir horisontal dalam pondasi.
2. guling (overturning)
a. di dalam bendung
b. pada dasar (base), atau
c. pada bidang di bawah dasar.
3. erosi bawah tanah (piping).
2.8.2.1 Ketahanan Terhadap Gelincir/Geser
Tangen θ, sudut antara garis vertikal dan resultante semua gaya, termasuk gaya
angkat, yang bekerja pada bendung di atas semua bidang horisontal, harus kurang dari
koefisien gesekan yang diizinkan pada bidang tersebut.

Sf =
∑ V ×f
∑H
Dimana :

Sf = faktor keamanan

V = total gaya/reaksi vertikal, ton

H = total gaya/reaksi horisontal, ton

f = faktor gesekan = tan θ°

Untuk bangunan-bangunan kecil, seperti bangunan-bangunan yang dibicarakan di


sini, di mana berkurangnya umur bangunan, kerusakan besar dan terjadinya bencana
besar belum dipertimbangkan, harga-harga faktor keamanan (Sf) yang dapat diterima
adalah: 1,50 untuk kondisi pembebanan normal dan 1,20 untuk kondisi pembebanan
ekstrem/gempa.

Untuk bangunan-bangunan yang terbuat dari beton, harga yang aman untuk faktor
gelincir yang hanya didasarkan pada gesekan saja ternyata terlampaui, maka bangunan
bisa dianggap aman jika faktor keamanan dari rumus itu yang mencakup geser sama
dengan atau lebih besar dari harga-harga faktor keamanan yang sudah ditentukan.

c × A + ∑ V ×tg ∅
Sf =
∑H
Dimana :

V = total gaya/reaksi vertikal, ton

H = total gaya/reaksi horisontal, ton

c = kekuatan geser bahan, ton/m2

A = luas dasar yang dipertimbangkan, m2


Harga-harga faktor keamanan jika geser juga dicakup, sama dengan harga-harga
yang hanya mencakup gesekan saja, yakni 1,50 untuk kondisi normal dan 1,20 untuk
kondisi ekstrem. Untuk beton, c (satuan kekuatan geser) boleh diambil 1.100 kN/m2.

2.8.2.2 Ketahanan Terhadap Guling

Agar bangunan aman terhadap guling, maka resultante semua gaya yang bekerja pada
bagian bangunan di atas bidang horisontal, termasuk gaya angkat, harus memotong
bidang ini pada teras. Tidak boleh ada tarikan pada bidang irisan mana pun. Besarnya
tegangan dalam bangunan dan pondasi harus tetap dipertahankan pada harga-harga
maksimal yang dianjurkan.

Sf =
∑ MT
∑ MG
Dimana :
MG = momen guling, ton.m
MT = momen tahan, ton.m

2.8.2.3 Ketahanan Terhadap Piping

Bahaya terjadinya erosi bawah tanah dapat dianjurkan dicek dengan jalan membuat
jaringan aliran/flownet. Dalam hal ini ditemui kesulitan berupa keterbatasan waktu
pengerjaan dan tidak tersedianya perangkat lunak untuk menganalisa jaringan aliran,
maka perhitungan dengan beberapa metode empiris dapat diterapkan, seperti:

1. Metode Bligh

2. Metode Lane

3. Metode Koshia

Metode Lane, disebut metode angka rembesan Lane (weighted creep ratio method),
adalah yang dianjurkan untuk mengecek bangunan-bangunan utama untuk mengetahui
adanya erosi bawah tanah. Metode ini memberikan hasil yang aman dan mudah dipakai.
Untuk bangunan-bangunan yang relative kecil, metode-metode lain mungkin dapat
memberikan hasil-hasil yang lebih baik, tetapi penggunaannya lebih sulit.

Di sepanjang jalur perkolasi, kemiringan yang lebih curam dari 450dianggap vertikal
dan yang kurang dari 450Oleh karena itu, rumusnya adalah:

1
∑ LV + 3 ∑ LH
C L=
H
Dimana :

CL = angka rembesan lane


Lv = jumlah panjang vertikal, m
LH = jumlah panjang horisontal, m
H = beda tinggi muka air, m
TABEL 2.4 HARGA-HARGA MINIMUM ANGKA REMBESAN LANE DAN BLIGH

Angka-angka rembesan pada babel 2.4 di atas sebaiknya dipakai:


1. 100% jika tidak dipakai pembuang, tidak dibuat jaringan aliran dan tidak dilakukan
penyelidikan dengan model;
2. 80% kalau ada pembuangan air, tapi tidak ada penyelidikan maupun jaringan aliran;
3. 70% bila semua bagian tercakup.
BAB III
PERHITUNGAN CURAH
HUJAN DAN DEBIT
BANJIR
BAB III

PERHITUNGAN DAN PERENCANAAN

3.1 Debit Banjir Rancangan


Metode yang digunakan dalam perhitungan debit banjir rancangan adalah distribusi
Log Person III, data debit banjir di sungai dapat dilihat dalam tabel 3.1.

Curah Hujan Harian Maksimum (mm)


No Tahun
Sta. X Sta. Y Rerata
1 2008 41,25 16,25 57,5
2 2009 54,75 20,5 75,25
3 2010 66,75 25,25 92
4 2011 40,5 16,75 57,25
5 2012 45 18,25 63,25
6 2013 45,75 24 69,75
7 2014 39 25,25 64,25
8 2015 58,5 31,25 89,75
9 2016 66,75 18 84,75
10 2017 67,5 21,75 89,25
11 2018 93,75 28,75 122,5
12 2019 66,75 34,5 101,25
13 2020 78,75 25,5 104,25
14 2021 63 24 87
15 2022 57 28 85

Tabel 3.1 Data Curah Hujan


Dalam pelaksanaan perhitungan, data debit banjir di Sungai diurutkan dari nilai terendah
ke nilai yang lebih tinggi seperti pada tabel 3.2.

No. Tahun Debit Banjir (m3/dt)


1 2011 57,25
2 2008 57,5
3 2012 63,25
4 2014 64,25
5 2013 69,75
6 2009 75,25
7 2016 84,75
8 2022 85
9 2021 87
10 2017 89,25
11 2015 89,75
12 2010 92
13 2019 101,25
14 2020 104,25
15 2018 122,5
Tabel 3.2 Data Debit Banjir
Proses perhitungan debit banjir di sungai dengan metode Log Pearson III adalah sebagai
berikut:
1. Tentukan logaritma dari semua nilai Varian X
Contoh perhitungan menggunakan data debit banjir tahun 2022,
Tahun : 2022
Debit Banjir : 85 m3/dt
M 8
 P = ×100 %= × 100 %=50 %
N +1 15+1
 Log Xi = Log (85) = 1,93
 Log Xi – Log X = 1,93 – 1,91 = 0,02
Metode yang digunakan dalam menghitung curah hujan rerata adalah distribusi Log
Pearson III,
Log Log X - (Log X - (Log X - (Log X -
No Tahun xi
X LogXrat LogXrat)2 LogXrat)3 LogXrat)4
1 2 3 4 5 6 7 8
1 2008 57,5 1,76 -0,15 0,0221 -0,00327 0,00049
2 2009 75,25 1,88 -0,03 0,0010 -0,00003 0,00000
3 2010 92 1,96 0,06 0,0031 0,00017 0,00001
4 2011 57,25 1,76 -0,15 0,0226 -0,00340 0,00051
5 2012 63,25 1,80 -0,11 0,0115 -0,00123 0,00013
6 2013 69,75 1,84 -0,06 0,0042 -0,00027 0,00002
7 2014 64,25 1,81 -0,10 0,0101 -0,00101 0,00010
8 2015 89,75 1,95 0,04 0,0020 0,00009 0,00000
9 2016 84,75 1,93 0,02 0,0004 0,00001 0,00000
10 2017 89,25 1,95 0,04 0,0018 0,00008 0,00000
11 2018 122,5 2,09 0,18 0,0324 0,00583 0,001266
12 2019 101,25 2,01 0,10 0,0095 0,00092 0,0001266
13 2020 104,25 2,02 0,11 0,0121 0,00133 0,0002046
14 2021 87 1,94 0,03 0,0010 0,00003 0,0002172
15 2022 85 1,93 0,02 0,0005 0,00001 0,0002367
jumlah 1243,00 28,62 0,00 0,13 -0,0008 0,0033
rata-rata 82,86666667 1,91 0,00 0,0089 -0,00005 0,00022

Perhitungan :
1. Menghitung tinggi hujan rata-rata (d)
n

∑ LogXi 28 ,62
logX = i=1 = =1 , 91
n 15
2. Menghitung Standar Deviasi (S)
S= √∑ ¿¿ ¿ ¿
3. Menghitung Koefisien Skew (Kemencengan) (Cs)
Cs=n ∙ ∑ ¿ ¿ ¿

4. Menghitung Koefisien Skew (Kemencengan) (Cs)


Periode Ulang
Kemencengan 2 5 10 25 50 100 500 1000
(CS) Peluang (%)
50 20 10 4 2 1 0,5 0,1
3 -0,396 0,42 1,18 2,278 3,152 4,051 4,97 7,25
2,5 -0,36 0,518 1,25 2,262 3,048 3,845 4,652 6,6
2,2 -0,33 0,574 1,284 2,24 2,97 3,705 4,444 6,2
2 -0,307 0,609 1,302 2,219 2,912 3,605 4,298 5,91
1,8 -0,282 0,643 1,318 2,193 2,848 3,499 4,147 5,66
1,6 -0,254 0,675 1,329 2,163 2,78 3,388 3,99 5,39
1,4 -0,225 0,705 1,337 2,128 2,706 3,271 3,828 5,11
1,2 -0,195 0,732 1,34 2,087 2,626 3,149 3,661 4,82
1,0 -0,164 0,758 1,34 2,043 2,542 3,022 3,489 4,54
0,9 -0,148 0,769 1,339 2,018 2,498 2,957 3,401 4,395
0,8 -0,132 0,780 1,336 1,998 2,453 2,891 3,312 4,25
0,7 -0,116 0,790 1,333 1,967 2,407 2,824 3,223 4,105
0,6 -0,099 0,800 1,328 1,939 2,359 2,755 3,132 3,96
0,5 -0,083 0,808 1,323 1,910 2,311 2,686 3,041 3,815
0,4 -0,066 0,816 1,317 1,880 2,261 2,615 2,949 3,67
0,3 -0,05 0,824 1,309 1,849 2,211 2,544 2,856 3,525
0,2 -0,033 0,830 1,301 1,818 2,159 2,472 2,763 3,38
0,1 -0,017 0,836 1,292 1,785 2,107 2,400 2,670 3,235
0,0 0 0,842 1,282 1,751 2,054 2,326 2,576 3,09
-0,1 0,017 0,836 1,270 1,761 2 2,252 2,482 3,95
-0,2 0,033 0,850 1,258 1,68 1,945 2,178 2,388 2,81
-0,3 0,05 0,853 1,245 1,643 1,89 2,104 2,294 2,675
-0,4 0,066 0,855 1,231 1,606 1,834 2,029 2,201 2,54
-0,5 0,083 0,856 1,216 1,567 1,777 1,955 2,108 2,4
-0,6 0,099 0,857 12000 1,528 1,72 1,880 2,016 2,275
-0,7 0,166 0,857 1,83 1,488 1,663 1,806 1,926 2,15
-0,8 0,132 0,856 1,166 1,488 1,606 1,733 1,837 2,035
-0,9 0,148 0,854 1,147 1,407 1,549 1,660 1,749 1,91
-1,0 0,164 0,852 1,128 1,366 1,492 1,588 1,664 1,8
-1,2 0,195 0,844 1,086 1,282 1,379 1,449 1,501 1,625
-1,4 0,225 0,832 1,041 1,198 1,27 1,318 1,351 1,465
-1,6 0,254 0,817 0,994 1,116 1,166 1,200 1,216 1,28
-1,8 0,282 0,799 0,945 1,035 1,069 1,089 1,097 1,13
-2,0 0,307 0,777 0,895 0,959 0,98 0,990 1,995 1
-2,2 0,330 0,752 0,844 0,888 0,9 0,905 0,907 0,91
-2,5 0,360 0,711 0,771 0,793 0,798 0,799 0,8 0,802
-3,0 0,396 0,636 0,660 0,666 0,666 0,667 0,667 0,668
Tabel 3. 2 Nilai G Distribusi Log Pearson Tipe III

 Interpolasi nilai G untuk kala ulang 50 tahun


( X− X 1 ) (−0 , 66−0 , 0 )
Y =Y 1+ (Y 2−Y 1)=2,054+ (2−2,054)=2,018
( X 2− X 1 ) (−0 ,1−0 , 0 )
 Menghitung hujan rencana untuk periode ulang 50 tahun
Tabel 3. 3 Debit Banjir Rencana Kala Ulang 50 Tahun
Tr 50 Tahun
Pt 2%
G 2,018
SD 0,10
G ∙ SD 0,197
Log XT 2,11
XT (R50th) 299,527 (m3/dt)

Keterangan:
 Tr : Periode ulang
 Pt : Probabilitas Tr/100(%)
 G : Lihat tabel G distribusi Log Pearson III
 Sd : Nilai simpangan baku
 G.Sd : Nilai G dikali simpangan baku
 Log XT : Rerata Log Xi + G.Sd
 XT : Debit hujan rencana kala ulang 50 tahun
3.2 Menghitung Debit Puncak Banjir dengan Metode Rasional
 Luas DAS (A) = 200 km2
 Koefisien Pemukiman (C) = 0,3 mm
 Curah hujan harian kala ulang 50th (R24) = 299,527 mm
Intensitas hujan 50 tahun (I)

( )
R 24 24 n
I=
24 Tc

( )
2 /3
299,527 24
I =¿ =¿ 28,626 mm/jam
24 6,9
Persamaan yang di gunakan dalam metode rasional :
Q=0,278.C . I . A
Q=0,278.0 , 3 . 28,626.200
3
¿ 477,481 m /dt
3
1
¿ ∙ 477,481=159,164 m /dt (dipakai)
3
3.3 Desain Hidrolik Pintu Pengambilan (Intake)
Perencanaan bangunan pengambilan didasarkan pada kebutuhan debit air untuk
mengairi areal yang telah direncanakan. Dari Kriteria Perencanaan Bagian Bangunan
Utama (KP-02) disebutkan bahwa kapasitas pengambilan harus sekurang-kurangnya
120% dari kebutuhan pengambilan guna menambah fleksibilitas dan agar dapat
memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi selama umur proyek.

3.3.1 Kapasitas Pengambilan


Dari soal didapat debit di saluran primer sebesar 3 m3/dt
Qn = 1,2 x Qintake
= 1,2 x 3 m3/dt
= 3.6 m3/dt
3.3.1.1 Saluran Primer Kiri

Gambar 3. 1 Tabel Karakteristik Saluran (KP-03, Lampiran 2 Halaman 6)

Qn : 3,6 m3/dt
V : 1,0 – 2,0 m/dt (KP 02 – Hal.113) direncanakan 1,8 m/dt
k : 40
m : 1,5
Perbandingan b/h

Q(m3/dt) n
3 2,3
3,6 ?
4,5 2,7

 Interpolasi perbandingan b/h :


( X− X 1 ) ( 3 ,6−3 )
Y =Y 1+ (Y 2−Y 1)=2 ,3+ (2 , 7−2, 3)=2 , 46
( X 2− X 1 ) ( 4 , 5−3 )
 b/h = 2,46 → b = 2,46 h
 Saluran direncanakan berpenampang Trapesium.

Q = (b + mh)h × V
3,6 = (2,46h + 1,5h)h × 1,8 m/dt
3,6 = (2,46h2 + 1,5h2) × 1,8 m/dt
h = 0,711 (goal seek) ≈ 1 m

Direncanakan h = 1 m, sehingga
b = 2,46 h = 2,46 × 1 = 2,46 ≈ 3 m

Didapatkan :
 h =1m
 b =3m
 m = 1,5
2 1
V = k × R3 × S2

2
( b+mh ) h 1
= 40 × 3 × 0,0038 2
(b+ 2n)
2
( 3+1 ,5 ×1 ) 1 1
= 40 × 3 × 0,0038 2
(3+2× 2 , 46)
= 1,401 OK
3.3.2 Kehilangan Tinggi Energi

Dimensi pintu pengambilan dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut :

Qn = a x b x v

Dimana :

Qn = Kapasitas Pengambilan (m3/dt)

a = Tinggi bukaan (m)

b = Lebar bukaan (m)

v = Kecepatan pengmbilan rencana (m/dt)

Dengan rumus kecepatan pengmbilan rencana sebagai berikut :

V = µ x (2 x g x z)0,5

Dimana :

V = Kecepatan pengambilan rencana (m/dt)

µ = Koefisien debit : untuk bukaan di bawah permukaan dengan kehilangan tinggi


energi (0,80)

g = Percepatan gravitasi, m/dt (9,8 m/dt)

z = Kehilangan tinggi energi pada bukaan (m)

Kecepatan perencanaan normal dari KP-02 ditentukan sebesar 1,0 – 2,0 m/dt karena
diharapkan bahwa butiran – butiran berdiameter 0,01 – 0,04 m dapat masuk.

Diasumsikan kecepatan 1,8 m/dt untuk mendapatkan nilai z seperti perhitungan dibawah
ini:

V = µ × (2 × g × z)0,5

1,8 m/dt = 0,8 × (2 × 9,8 m/dt2 × z)0,5

z = 0,258 m

z ≈ 0,3 m
3.3.3 Pintu Intake

Pintu pengambilan berfungsi mengatur banyaknya air yang masuk saluran dan
mencegah masuknya butiran padat dan kasar di dalam saluran.
Persamaan yang di gunakan (KP – 02), Halaman 113 :

Q = µ . b . a . √(2. g . z )

Dimana :
Q = debit, (m3/dt)
µ = koefisien debit 0,80
g = percepatan gravitasi, (9,81 m/dt2)
b = lebar bukaan, m
a = tinggi bukaan, m
z = kehilangan tinggi energi pada bukaan, m

Saluran Primer Kiri


Diketahui : Q = 3,6 m3/dt
µ = koefisien debit 0,80
g = percepatan gravitasi, (9,81 m/dt2)
b =3m
z = 0,3 m

Q = µ . b . a . √(2. g . z )

3,6 m3/dt = 0,80 . 3 . a . √ (2.9 , 81.0 , 3)

a = 0,618 m ≈ digunakan 1, 0 m
(dipakai tinggi pintu / bukaan pintu = 1,25 m )
Lebar Pintu = 3 m
(dipakai 2 pintu dengan lebar 1,25 m dan 1 pilar pembagi 0,5 m)
3.3.4 Elevasi Mercu Bendung
Muka air rencana di depan pengambilan tergantung pada:
 Elevasi muka air yang di perlukan untuk irigasi.
 Beda tinggi kantong lumpur (jika ada) yang diperlukan untuk membilas
sedimen dari kantong.
 Beda tinggi energi pada bangunan pembilas yang diperlukan untuk
membilas sedimen dekat pintu pengambilan.

Jadi untuk merencanakan tinggi muka air rencana, harus di pertimbangkan pula :

 Elevasi sawah tertinggi yang akan diairi.


 Tinggi air di sawah.
 Kehilangan tinggi energi di saluran dan boks tersier.
 Kehilangan energi di bangunan sadap.
 Kemiringan saluran primer.
 Kehilangan energi di bangunan utama.

Elevasi mercu bendung direncanakan 0,10 m di atas elevasi muka air


pengambilan yang dibutuhkan untuk mencegah kehilangan air pada bending karena
gelombang.

Data perencanaan

 n = 0,05 (KP 02 Hal 111)

 p = 0,50 – 1,50 m (KP 02 Hal 111), di rencanakan 1,50 m

 d = 0,15 – 0,25 m (KP 02 Hal 111), di rencanakan 0,15 m

 z = 0,15 – 0,30 m (KP 02 Hal 111), di rencanakan 0,20 m

 Elevasi dasar sungai = + 45,006 (diketahui di soal)

 Elevasi dasar intake = Elevasi dasar sungai + p

= (+ 45,006) + 1,50

= + 46,506

 Elevasi dasar saluran primer = Elevasi dasar intake – d


= (+ 46,506) – 0,15

= + 46,356

 Elevasi muka air saluran primer = Elevasi dasar saluran primer + hsaluran p

= (+ 46,356) + 1,0 m

= + 47,356

 Tinggi muka air di hilir pintu intake =a+n

= 1 m + 0,05 m

= 1,05 m

 Elevasi muka air di hilir pintu intake = Elevasi dasar intake + Tinggi muka air

di hilir pintu intake

= (+ 46,506) + 1,05

= + 47,556

 Elevasi muka air di hulu intake = Elevasi muka air pengambilan

= Elevasi muka air di hilir pintu intake + z

= (+ 47,556) + 0,20

= + 47,756

 Elevasi Mercu Bendung = Elevasi muka air pengambilan + 0,10

= (+ 47,756+ 0,10)

= + 47,856

 Tinggi Mercu Bendung (P) = Elevasi Mercu Bendung – Elevasi dasar sungai

= (+47,856) – (+ 45,006)

= 2,85 m

=3m
Elevasi Bangunan Pengambilan

Elevasi Dasar Sungai + 45,006

Elevasi Dasar Intake + 46,506

+46,356
Elevasi Dasar Saluran Primer

Elevasi Muka Air Saluran Primer +47,356

+47,556
Elevasi Muka Air di Hilir Pintu Intake

Elevasi Muka Air di Hulu Pintu Intake + 47,756

Elevasi Mercu Bendung +47,856

Tabel 3.4 Rekapitulasi Elevasi Bangunan Pengambilan


3.4 Lebar Pintu Pembilas, Pilar Pengarah, dan Lebar Efektif Bendung
3.4.1. Lebar Bendung (LB)

Lebar bendung, yaitu jarak antar pangkal-pangkalnya sebaiknya sama dengan


lebar rata-rata sungai pada bagian yang stabil. Lebar maksimum bendung hendaknya
tidak lebih dari 1,2 kali lebar rata-rata sungai pada ruas yang stabil (KP-02, Halaman
48).

Diketahui Lebar Sungai 98,345 m

LB = 1,2 × 98,345 m = 118,014 m (diambil LB = 120 m)

3.4.2. Lebar Pintu Pembilas

Lantai pembilas merupakan kantong tempat mengendapnya bahan-bahan kasar


di depan pembilas pengambilan. Sedimen yang terkumpul dapat di bilas dengan jalan
membuka pintu pembilas secara berkala guna menciptakan aliran terkonsentrasi tepat
di depan pengambillan.

Lebar pembilas dapat di peroleh dengan (KP-02, Halaman 116):

 Lebar pembilas ditambah tebal pilar pembagi sebaiknya sama dengan 1/6-1/10
dari lebar bersih bendung.
 Lebar pembilas sebaiknya di ambil 60% dari lebar total pengambilan termsuk
pilar-pilarnya.
Lebar pembilas yang dimaksud sudah termasuk pintu pembilas dan pilar
pemisah (pembagi) antara pintu:

Lpembilas+air=( 16 sampai 101 ) xLb


Lpembilas+air=( sampai ) x 120
1 1
6 10
Lpembilas+air=20 sampai 12 (diambil 15 m)
 5 Pintu Pembilas @ 2 m
 4 Pilar Pembagi @ 1 m
 1 Pilar Pengarah @ 1 m
3.4.3. Lebar Mercu Bendung yang Dilalui Air (B)

B = LB – (npilar pengarah × Lpilar pengarah) - (npilar pembagi × Lpilar pembagi) -


(2× dinding penahan)

B = 90 m

3.4.4. Lebar Efektif Mercu (Be)

Lebar efektif mercu (Be) di hubungkan dengan lebar mercu yang sebenarnya
(B), yakni jarak antara pangkal-pangkal bendung dan/atau tiang pancang, dengan
persamaan berikut: Be = B – 2(Ka) × H1…………(persamaan 4-1 KP – 02)

Dimana:

n : jumlah pilar

Kp : koefisien kontraksi pilar

Ka : koefisien pangkal bending

H1 = He : tinggi energi (m)

Be : lebar efektif mercu

B : lebar mercu

Tabel 3.5 Harga-harga koefisien Ka dan Kp

Be = B – 2(Ka) x H1

= 90 – 2 (0,10) x H1

= 90 – 0,2 H1…….(1)
3.4.5. Tinggi Energi di Atas Mercu (H1 = H3)

Persamaan tinggi energi debit adalah:

Q = cd . 2/3
√ 2
3
g . Be . He1,5

Dimana :

Q : debit (m3/dt)

cd : koefisien debit

g : percepatan gravitasi

Be : Panjang mercu/lebar efektif mercu (m)

He : tinggi energi di atas mercu (m)

Q = cd . 2/3
√ 2 . Be . He1,5
3
g

159,164 = 1,2 . 2/3


√ 2
3
9 , 81 . (90 – 0,2 H1) . He1,5

Dari persamaan di atas, setelah dilakukan perhitungan menggunakan goal seek pada excel
didapatkan nilai He yang paling mendekati sebesar He = 0,908 m

Nilai He = H1 disubstitusikan pada persamaan 1 sehingga diperoleh

Be = 90 – 0,2H1 = 90 – 0,2(1,097) = 89,818 m

1. Tinggi Muka Air di Atas Mercu (Hd)



He = Hd +
2g
Q 159,164
Dimana, v = = = 0,361 m/dt
Be (P+ He) 89,818(4+0,908)
v² 0 ,361²
Sehingga, Hd = He - = 0,908 - = 0,901 m
2g 2(9 , 81)
2. Kontrol Nilai Cd
Bendung direncanakan menggunakan Ogee dengan jari-jari mercu terbesar (R) adalah 0,5 Hd (KP
02, Hal. 57)
R = 0,5 Hd = 0,5 (0,901) = 0,450 m
Harga-harga C0, C1, C2 ditentukan dari gambar 4.5-4.7 (KP 02, Hal 52-54)
 Mencari nilai C0 :
He 0,908
C0 = = = 2,014 (Gambar 4.5 KP 02, Hal 53)
R 0,450

1,35

2,014

Menurut grafik di atas didapatkan nilai C0 = 1,35

 Mencari nilai C1 :
P 4
C1 = = = 4,405 (Gambar 4.6 KP 02, Hal 54)
He 0,908

1,0

4,405

Menurut grafik di atas didapatkan nilai C1 = 1,0


 Mencari nilai C2 :
P 4
C2 = = = 4,405 (Gambar 4.7 KP 02, Hal 54)
He 0,908

1,0

4,405

Menurut grafik di atas didapatkan nilai C2 = 1,0

Kontrol Nilai Cd

Cd = C0 x C1 x C2 = 1,35 x 1,0 x 1,0 = 1,35

Cd Asumsi = 1,2

Cd Sesungguhnya = 1,35

Perhitungan dilakukan ulang dengan menggunakan nilai Cd sesungguhnya = 1,35, maka :

Q = cd . 2/3
√ 2 . Be . He1,5
3
g

159,164 = 1,35 . 2/3


√ 2
3
9 , 81 . (90 – 0,2 H1) . He1,5

Dari persamaan di atas, setelah dilakukan perhitungan menggunakan goal seek pada excel
didapatkan nilai He yang paling mendekati sebesar He = 0,840 m

Nilai He = H1 disubstitusikan pada persamaan 1 sehingga diperoleh

Be = 90 – 0,2H1 = 90 – 0,2(0,840) = 89,832 m

Tinggi Muka Air di Atas Mercu (Hd)



He = Hd +
2g
Q 159,164
Dimana, v = = = 0,366 m/dt
Be (P+ He) 89,832(4 +0,840)
v² 0 ,366²
Sehingga, Hd = He - = 0,840 - = 0,833 m
2g 2(9 , 81)

Rekapitulasi perhitungan energi di atas mercu terdapat pada tabel berikut :

Q 159,164 m³/dt
P 4m
g 9,81 m/dt2
Cd 1,35
Lb 120 m
Be 89,832 m
He/H1 0,840 m
Hd 0,833 m
3.5 Perencanaan Mercu Bendung
Mercu Bendung direncanakan menggunakan tipe Mercu Ogee I.
Diketahu

Hd = 0,833 m

Sketsa Mercu Bendung Ogee I (Sumber KP - 02 Hal. 57)

1. Perencanaan Puncak Mercu Bendung Bagian Hulu


R1 = 0,5 x Hd = 0,5 x (0,833) = 0,416 m
R2 = 0,2 x Hd = 0,2 x (0,833) = 0,166 m
X1 = 0,175 x Hd = 0,175 x (0,833) = 0,145 m
X2 = 0,282 x Hd = 0,282 x (0,833) = 0,239 m

2. Perencanaan Puncak Mercu Bendung Bagian Hulu


 Hulu
X1,85 = 2,0 Hd0,85 y = 2,0 (0,833)0,85y = 1,712 y
1
Y = X1,85
1,712
Y = 0,583 X1,85

 Mencari potongan lengkung (Y’ = 1)


Y = 0,583 X1,85

Y’ = 0,583 (1,85) X1,85-1


Y’ = 1,080 X0,85
1 = 1,080 X0,85

X =

0 , 85 1
1,080
X = 0,967 m

Substitusikan nilai X ke persamaan Y = 0,498 X1,85


Y = 0,583 X1,81 = 00,583 (0,967)0,85 = 0,5 m

Tabel koordinat titik gradien permukaan hilir


X1,85 = 2 x 0,8330,85 x Y
Tabel 3.1 Koordinat Titik Puncak Mercu

No Y Hd X
1 0 0,833 0
2 0,057 0,833 0,284
3 0,114 0,833 0,413
4 0,170 0,833 0,514
5 0,227 0,833 0,600
6 0,284 0,833 0,677
7 0,341 0,833 0,747
8 0,397 0,833 0,812
9 0,454 0,833 0,873
10 0,511 0,833 0,931
11 0,568 0,833 0,985
3. Merencanakan Profil Muka Air di Atas Ambang
Diketahui:
Q = 159,164 m3/dt
Be = 89,832 m
He/H1 = 0,840 m
Persamaan yang digunakan :
Q
− √2 g ¿ ¿
Be ∙ Yz
Dimana:
Q : debit (m3/dt)
Yz : tinggi muka air di atas ambang (m)
g : percepatan gravitasi (9,81 m/dt2)
Be : lebar efektif mercu (m)
He : tinggi energi di atas mercu (m)
Z : tinggi jatuh (m)

Tabel 3. 2 Tinggi Air di Atas Mercu


Q He Z Yz
159,164 0,840 0,1 1,936 0,00
159,164 0,840 0,2 1,911 0,00
159,164 0,840 0,3 1,887 0,00
159,164 0,840 0,4 1,864 0,00
159,164 0,840 0,5 1,841 0,00
159,164 0,840 0,6 1,819 0,00
159,164 0,840 0,7 1,797 0,00
159,164 0,840 0,8 1,776 0,00
159,164 0,840 0,9 1,756 0,00
159,164 0,840 1 1,736 0,00
159,164 0,840 1,1 1,717 0,00
159,164 0,840 1,2 1,698 0,00
159,164 0,840 1,3 1,680 0,00
159,164 0,840 1,4 1,662 0,00
159,164 0,840 1,5 1,645 0,00
159,164 0,840 1,6 1,628 0,00
159,164 0,840 1,7 1,611 0,00
 Kecepatan Air
Q 159,164
V= = =0,461 m/dt
Be ∙(P+ H 1) 89,832∙(3+0,840)
 Perencanaan Tinggi Jagaan Bendung (Fb)
1 1
Fb=C ∙V ∙ Hd=1 ∙ 0,461∙ (0,833)=0,128(diambil 0 ,15)
3 3

3.6 Perencanaan Peredam Energi

Gambar diatas memberikan penjelasan mengenai metode perencanaan kolam loncat air.
Dari grafik q versus H1 dan tinggi jatuh 2, kecepatan (V1) awal loncatan dapat ditemukan
dari:
Diketahui:
Q : 159,164 m /dt3

Be : 89,832 m
P :3m
He = H1 : 0,840 m
Hd : 0,833 m
g : 9,81 m/dt2
∆Z : 0,5 m (direncanakan)
Z : P + ∆Z = tinggi jatuh, m (∆Z = beda tinggi di hilir dan hulu)
Z : P + ∆Z = 3 + 0,5 = 3,5 m
 Kecepatan Awal Loncatan Air (V1)


V 1= 2 g

Dimana:
( 12 + He+ Z ) (sumber: KP – 02 Hal. 67)
v1 : kecepatan awal loncatan (m3/dt) He : tinggi energi di atas ambang (m)
g : percepatan gravitasi (m/dt2) z : tinggi jatuh (m)



V 1= 2 g ( 12 + He+ Z )=√ 2( 9 ,81) ( 12 +0,840+3 , 5)=9,744 m /dt
Tinggi Awal Loncatan Air (Y1)
3

Q 159,164
Y 1= = =0,181 m
v 1 ∙ Be 9,744 ∙ 90

 Bilangan Froude (Fr)


V1
Fr 1=
√g ∙ Y 1
Dimana:
Fr : bilangan Froude
v1 : kecepatan awal loncatan (m/dt)
Y1 : kedalaman air di awal loncatan air (m)
V1 9,744
Fr 1= = =7,312
√ g ∙ Y 1 √ 9 , 81∙ 0,181
Kontrol : Fr > 4,5 = 7,312 > 4,5 (OK)

Gambar 3. 1 Diagram untuk Memperkirakan Tipe Bangunan yang Akan Digunakan untuk
Perencanaan Detail (Disadur dari Bos. Replogle and Clements, 1984)
Berdasarkan gambar di atas, untuk nilai Fr>4.5, maka bisa dipilih tipe peredam energi:
1. Kolam USBR tipe III
2. Kolam Vlugter
3. Kolam dengan ambang ujung
Khusus untuk perencanaan kali ini, diambil peredam energi tipe Kolam Vlugter.
 Desain Peredam Energi Vlugter
 Tinggi Muka Air di Akhir

Y 2= ( 12 ∙ √1+8 ∙ Fr −1) ∙Y
2
1

Dimana:
Y1 : kedalaman air di awal loncatan air (m)
Y2 : kedalaman air di atas ambang ujung (m)

Y 2= ( 12 ∙ √1+8 ∙ Fr −1) ∙Y =( 12 ∙ √ 1+ 8 ∙( 7,312) −1) ∙0,181=1,871 m


2
1
2

 Panjang Loncatan Air


Lj=5 ( Y 2−Y 1) =5(1,871−0,181)=8 , 45 m
 Perhitungan Debit per Satuan Lebar (q)Kedalaman Kritis (hc)
Q 159,164 3
q= = =1,768 m /dt /m
Be 90
 Perhitungan Kedalaman Kritis (hc)

h c=
g
Dimana:

q2
3

hc : kedalaman kritis (m)


g : percepatan gravitasi (9,81 m/dt2)
q : debit per lebar satuan (m3 /dt.m)


h c=
√ √
3 q 2 3 1,7682
g
=
9 , 81
=0,683 m

Menghitung Tinggi Muka Air di Akhir Loncatan (Y2)


Q = 159,164 m3/dt
K = 40 (Tabel A.2.1 KP – 03 Lampiran 2-5) → Tanah Asli
I = 0,0038
LB = B = 90 m

( )
2 /3
2/3 1 /2 A 1/ 2
 Q= A ∙ V = A ∙ K ∙ R ∙ I = A ∙ K ∙ ∙I
P
 A=B ∙ h=90 h
 P=B+2 h=90+2 h
Maka :

( )
2 /3
A 1/ 2
Q= A ∙ K ∙ ∙I
P

( )
2 /3
90 h 1/ 2
207,208=90 h ∙ 40 ∙ ∙0,0038
90+2 h
h2 =¿ 0,825 m (dicari dengan goal seek)

 V = K . R2/3 . I1/2 = 40. ¿ ¿x 0,00381/2 = 2,143 m/dt


2 2
v 2,143
 He2 = H2 + = 0,825 x = 0,193
2g 2 x 9 , 81

Menghitung Nilai Z :
Elevasi Tinggi Energi di Hulu Bendung = Elevasi mercu + He
= + 47,856 + 0,840
= + 48,696

Elevasi Tinggi di Hilir Bendung = Elevasi dasar sungai + He2

= + 45,006 + 0,193

= + 45,199

Z = Elevasi muka air di hulu bendung – Elevasi muka air di hilir bendung

Z = (+48,696) – ( +45,199)

= 3,496 m

OK menggunakan kolam vlugter karena nilai z tidak lebih dari 4,5 m, KP-04 hal 156.
z 3 , 496 z
= =5,118,termasuk pada syarat 2,0 < ≤ 15,0,
h c 0 ,683 c
maka: (KP – 02 Hal. 76)
Menghitung tinggi muka air ke dasar kolom olak (t)

t = 3 h c +0 , 1 z=3. ( 0,683 )+ 0 ,1. ( 3,496 ) =2,398 m


Menghitung Tinggi Mercu ke Dasar Kolam Olak (D), Panjang Kolam Olak (L), dan
Jari-jari Transisi Kaki Bendung dan Lantai Kolam (R)

D=L=R

 Elevasi Muka Air di Hulu = Elevasi Mercu Bendung + Hd


= + 49,071 + 0,941
= + 50,011
 Elevasi Muka Air di Hilir = Elevasi Dasar Sungai + H2
= + 47,271 + 0,615
= + 47,886
 Elevasi Dasar Kolam Olak = Elevasi Muka Air di Hilir – t
= + 47,886 – 0 , 94
= + 46,9487
Panjang Peredam Energi
Untuk Kolam vlughter

Tinggi ambang ujung = a = n = 0 , 28 h c


√ hc
z √
¿ 0 , 28.0,230
0,230
2 , 46
= 0,02m

Lj = 5 ( Y 2−Y 1 )=5. ( 1 ,94−0 ,0,253 )=8,447 m

= diambil 10 m
D = Elevasi Mercu Bendung – Elevasi Dasar Kolam
Olak
= + 49,071 – (+ 46,95)
= 2,122 m
D = R = 2,122 m → ≠ L = 10 m
Menghitung Tinggi Ambang Ujung dan Panjang Ambang Ujung (Hilir)

a=0 , 28 h c
√ hc
z √
¿ 0 , 28.0,230
0,230 = 0,02 m
2 , 46
2 a=2.0 , 02 = 0,04 m

Anda mungkin juga menyukai