BAB I
PENDAHULUAN
Tugas Besar Teknik Irigrasi dan Bangunan Air merupakan salah satu tugas besar dari
lima tugas besar yang diwajibkan di Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas
Muhammadiyah Malang. Secara umum hal-hal yang melatarbelakangi dari diadakannya
tugas besar adalah sebagai syarat untuk melakukan Praktek Kerja Nyata. Hal tersebut dapat
menjadikan motivator bagi kita semua untuk terus belajar secara mendalam.
Jika dalam penanganan tugas-tugas besar kurang efektif maka, para Mahasiswa akan
kewalahan ketika menghadapi lapangan karena kurangnya pengalaman dalam mengerjakan
sebuah system Irigasi. Dengan adanya tugas besar ini diharapkan terbentuk insan-insan
akademis yang mampu bersaing dalam ilmu teknik sipil sehingga dalam menapaki era
globalisasi yang makin global kita tidak akan ketinggalan teknologi dari negara lain.
Dengan diadakannya Tugas Besar Teknik Irigasi dan Bangunan Air yang telah
dilaksanakan ini dimaksudkan agar mahasiswa memiliki gambaran tentang berbagai hal yang
berhubungan dengan perencanaan system irigasi yang meliputi berbagai macam perencanaan
bangunan Irigasi.
Sedang tujuan diadakannya Tugas Besar Irigasi dan Bangunan Air adalah untuk
mempelajari cara perencanaan system irigasi sesuai dengan standart Direktorat jenderal
Pengairan
1.3 Manfaat
Tugas Besar Teknik Irigasi dan Bangunan Air bermanfaat sebagai modal untuk
menghadapi lapangan dan sebagai penunjang dalam perkuliahan. Sehingga dengan adanya
Tugas Besar ini diharapkan nantinya bila menghadapi lapangan sudah terbiasa.
BAB II
LANDASAN TEORI
Analisa hidrologi merupakan suatu analisa awal dalam menangani penaggulangan banjir dan
perencanaan sistem bendung untuk mengetahui besarnya debit yang akan dialirkan sehingga dapat
ditentukan dimensi penampang melintang bendung. Besarnya debit yang dipakai sebagai dasar
perencanaan dalam penanggulangan banjir adalah debit rancangan yang didapat dari penjumlahan
debit hujan rencana pada periode ulang tertentu.
Klimatologi adalah studi mengenai iklim, secara ilmiah didefinisikan sebagai kondisi
cuaca yang dirata-ratakan selama periode waktu yang panjang. Klimatologi juga mencakup aspek
oseanografi dan biogeokimia. Pengetahuan dasar dari iklim bisa digunakan dalam peramalan
cuaca menggunakan metode analogi dalam kasus ENSO, Osilasi Madden-Julian, Osilasi Atlantik
Utara, dan sebagainya. Model iklim juga digunakan untuk mempelajari dinamika cuaca dan sistem
iklim untuk memproyeksikan iklim pada masa depan.
Data hujan adalah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar selama periode tertentu
yang diukur dengan satuan tinggi (mm) di atas permukaan horizontal bila tidak terjadi evaporasi,
run off dan infiltrasi. Terdapat beberapa cara mengukur curah hujan. Curah hujan (mm)
merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak
meresap, dan tidak mengalir. Curah hujan 1 (satu) millimeter, artinya dalam luasan satu meter
persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi satu millimeter atau tertampung air
sebanyak satu liter. Curah hujan kumulatif (mm) merupakan jumlah hujan yang terkumpul dalam
rentang waktu kumulatif tersebut. Dalam periode musim, rentang waktunya adalah rata-rata
panjang musim pada masing-masing Daerah Prakiraan Musim (DPM).
Sifat hujan merupakan perbandingan antara jumlah curah hujan selama rentang waktu
yang ditetapkan (satu periode musim kemarau) dengan jumlah curah hujan normalnya (rata-rata
selama 30 tahun periode 1971- 2000). Sifat hujan dibagi menjadi 3 (tiga) katagori, yaitu :
a. Diatas Normal (AN) : jika nilai curah hujan lebih dari 115% terhadap rata-ratanya.
b. Normal (N) : jika nilai curah hujan antara 85%--115% terhadap rata-ratanya.
c. Dibawah Normal (BN) : jika nilai curah hujan kurang dari 85% terhadap rata-ratanya.
Frekuensi adalah besarnya kemungkinan suatu besaran debit hujan yang disamai atau
dilampaui, Perhitungan debit banjir rencana dimaksudkan untuk mengingat adanya hubungan
antara hujan dan aliran sungai dimana besarnya aliran dalam sungai ditentukan dari besarnya
hujan, intensitas hujan, luas daerah, lama waktu hujan dan cirri-ciri daerah alirannya.
Analisis frekuensi dilakukan untuk mencari distribusi yang sesuai dengan data curah
hujan yang digunakan. Dalam analisis ini jenis distribusi frekuensi yang digunakan dalam
perhitungan curah hujan rencana adalah Metode Log Pearson III, Gumbel, Normal.
Metode yang dianjurkan dalam pemakaian distribusi Log Pearson adalah dengan
mengkorvesikan rangkaian datanya menjadi bentuk logaritmis.
Nilai rerata
logx
logXr
n
Standar deviasi
logX logXr
Sd
n 1
Koefisien kepencengan (Cs)
n logX logXr
3
Cs
n n 1n 2logX
3
Besarnya curah hujan rancangan dengan periode ulang T tahun adalah sebagai berikut:
Log XT = log Xr + K.Sd
K = faktor frekuensi untuk distribusi Log Pearson III yang besarnya tergantung harga
Cs dan Kala ulang T
X Xr K.Sx
1 n
Xr Xi
n 1
n n
Xi 2 Xr Xii
Sx 1 1
n 1
YT - Yn
K
Sn
dimana :
X = Variate yang diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah hujan ran¬cangan untuk
periode ulang pada T tahun.
Xr = Harga rerata dari data
Sx = Standart deviasi
K = Faktor frekuensi yang merupakan fungsi dari periode ulang (return period) dan
tipe distribusi frekuensi.
YT = Reduced variate sebagai fungsi periode ulang T
= - Ln [ - Ln (T - 1)/T]
Yn = Reduced mean sebagai fungsi dari banyaknya data n
Sn = Reduced standart deviasi sebagai fungsi dari banyaknya data n
T = Kala ulang (tahun)
XT X
YT - Yn .Sx
Sn
Jika :
1 Sx
a Sn
Sx
b X - Yn
Sn
Persamaan diatas menjadi :
1
XT b ..YT
a
dimana :
XT = Debit banjir dengan kala ulang T tahun
YT = Reduced variate
Memiliki sifat khas yaitu nilai asimetrisnya (skewness) hampir sama dengan nol (Cs =
0), dengan koefisien kurtosis Ck = 3. Perhitungan curah hujan rancangan dengan metode
Distribusi Normal dapat menggunakan persamaan distribusi empiris sebagai berikut (Soewarno,
1995 : 116):
X = X + k.S
dengan:
X = Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan besar peluang tertentu atau pada
periode ulang tertentu.
X = Nilai rata-rata hitung variat
S = Deviasi standar nilai variat
k = Variabel reduksi Gauss
Bendung adalah suatu bangunan air dengan kelengkapan yang dibangun melintang pada
sungai atau sudetan yang sengaja dibuat untuk meninggikan taraf muka air atau untuk
mendapatkan tinggi terjun, sehingga air dapat disadap dan dialirkan secara gravitasi ke tempat
yang membutuhkan dan untuk mengendalikan aliran, angkutan sedimen, dan geometri sungai
sehingga air dapat dimanfaatkan secara aman, efektif, efisien, dan optimal.
Bendung tetap atau bendung pelimpah adalah jenis bendung yang tinggi pembendungannya
tidak dapat diubah, sehingga muka air di hulu bendung tidak dapat diatur sesuai yang dikehendaki.
Bendung tetap terbuat dari pasangan batu, dibangun melintang di sungai, sehingga akan
memberikan tinggi air minimum kepada bangunan intake untuk keperluan irigasi, dan merupakan
penghalang selama terjadi banjir dan dapat menyebabkan genangan di udik bendung. Bendung
tetap terdiri dari tubuh bendung dan mercu bendung. Tubuh bendung merupakan ambang tetap
yang berfungsi untuk meninggikan taraf muka air sungai. Mercu bendung berfungsi untuk
mengatur tinggi air minimum, melewatkan debit banjir, dan untuk membatasi tinggi genangan
yang akan terjadi di hulu bendung. Bendung tetap biasanya dibangun pada hulu sungai dengan
karakteristik tebing-tebing sungai yang lebih curam dari pada bagian hilir
Bendung gerak adalah jenis bendung yang tinggi pembendungannya dapat diubah sesuai
dengan yang dikehendaki. Pada bendung gerak, elevasi muka air di hulu bendung dapat
dikendalikan naik atau turun sesuai yang dikehendaki dengan membuka atau menutup pintu air
(gate). Bendung gerak biasanya dibangun pada daerah hilir sungai atau muara. Pada daerah hilir
sungai atau muara sungai kebanyakan tebing-tebing sungai relative lebih landai atau datar dari
pada di daerah hulu. Pada saat kondisi banjir, maka elevasi muka air sisi hulu bendung gerak yang
dibangun di daerah hilir bisa diturunkan dengan membuka pintu-pintu air (gate) sehingga air tidak
meluber kemana-mana (tidak membanjiri daerah yang luas) karena air akan mengalir lewat pintu
yang telah terbuka kea rah hilir (downstream).
Mercu bendung yaitu bagian atas tubuh bendung dimana aliran dari hulu dapat melimpah
ke hilir. Fungsinya sebagai penentu tinggi muka air minimum di sungai bagian hulu bendung,
Sebagai pengempang sungai dan sebagai pelimpah aliran sungai, letak mercu bendung bersama-
sama tubuh bendung diusahakan tegak lurus arah aliran yang menuju bendung terbagi rata.
Tinggi mercu bendung (p) yaitu beda ketinggian antara elevasi lantai hulu dan elevasi mercu.
Untuk penentuan tinggi mercu bendung, utamanya didasarkan pada kebutuhan energi (head). Yang
harus diperhatikan dalam menentukan tinggi mercu bending antara lain :
1. Kebutuhan penyadapan untuk memperoleh debit dan tinggi tekan.
2. Kebutuhan tinggi energi untuk pembilasan.
3. Tinggi muka air genangan yang akan terjadi.
4. Kebutuhan pengendalian angkutan sedimen yang terjadi di bendung.
Untuk bendung dengan mercu bulat memiliki harga koefisien debit yang jauh lebih tinggi
(44%) dibandingkan koefisien bendung ambang lebar. Tipe ini banyak memberikan keuntungan
karena akan mengurangi tinggi muka air hulu selama banjir. Harga koefisien debit menjadi lebih
tinggi karena lengkung stream line dan tekanan negatif pada mercu. Untuk bendung dengan 2 jari-
jari hilir akan digunakan untuk menemukan harga koefisien debit.
Dari Gambar 2.2 tampak bahwa jari-jari mercu bendung pasangan batu akan berkisar antara
0,3 sampai 0,7 kali H1maks dan untuk mercu bendung beton dari 0,1 sampai 0,7 kali Hmaks.
Persamaan tinggi energi-debit untuk bendung ambang pendek dengan pengontrol segi empat
adalah:
2 2
Q = 𝐶𝑑 𝑥 3 √3 𝑥 𝑔 𝑥 𝐵𝑒 𝑥 𝐻11.5
Dimana :
Q = Debit Rencana, m3/dt
Be = Lebar efektif mercu bendung, m
Cd = Koefisien Debit
g = Gravitasi (9,81 m/s2)
H1 = Tinggi energi, m
C2 yang merupakan fungsi p/H1 dan kemiringan muka hulu bendung (grafik 2.3)
Bentuk mercu type ogee ini adalah tirai luapan bawah dari bendung ambang tajam aerasi.
Sehingga mercu ini tidak akan memberikan tekanan sub atmosfer pada permukaan mercu sewaktu
bendung mengalirkan air pada debit rencananya. Untuk bagian hulu mercu bervariasi sesuai
dengan kemiringan permukaan hilir. Salah satu alasan dalam perencanaan digunakan tipe ogee
adalah karena tanah disepanjang kolam olak, tanah berada dalam keadaan baik, maka tipe mercu
yang cocok adalah tipe mercu ogee karena memerlukan lantai muka untuk menahan penggerusan,
digunakan tumpukan batu sepanjang kolam olak sehingga lebih hemat.
Untuk merencanakan permukaan mercu Ogee bagian hilir, U.S. Army Corps of Engineers
telah mengembangkan persamaan berikut:
𝑌 1 𝑋
= x[ ]n
ℎ𝑑 𝐾 ℎ𝑑
Sumber: KP 02 halaman 56
Persamaan antara tinggi energy dan debit untuk bending mercu Ogee adalah :
2 2
Q = 𝐶𝑑 𝑥 3 √3 𝑥 𝑔 𝑥 𝐵𝑒 𝑥 𝐻11.5
Dimana :
Q = Debit Rencana, m3/dt
Be = Lebar efektif mercu bendung, m
Cd = Koefisien Debit
g = Gravitasi (9,81 m/s2)
H1 = Tinggi energi, m
Lebar mercu bendung yaitu jarak antara dua tembok pangkal bendung (abutment), termasuk
lebar bangunan pembilas dan pilar-pilarnya. Dalam penentuan lebar mercu bendung, yang harus
diperhatikan :
1. Kemampuan melewatkan debit desain dengan tinggi jagaan yang cukup.
2. Batasan tinggi muka air genangan maksimum yang diijinkan pada debit desain.
Oleh karena itu, lebar mercu bendung dapat diperkirakan sebagai berikut :
1. Sama lebar dengan rata-rata sungai stabil atau pada debit penuh alur (bank full dishcharge).
2. Umumnya diambil sebesar 1,2 kali lebar sungai rata-rata pada ruas sungai yang stabil.
Karena adanya pintu bilas dan pilar, maka lebar bendung yang dapat mengalirkan banjir secara
efektif jadi berkurang, yang disebut lebar efektif (Beff). Pengurangan lebar tersebut disebabkan oleh
tiga komponen, yaitu :
1. Tebal pilar.
2. Bagian pintu bilas yang bentuk mercunya berbeda dari mercu bending.
3. Kontraksi pada dinding pengarah dan pilar.
Dalam perhitungan lebar efektif, lebar pembilas yang sebenarnya, diambil 80% dari lebar
rencana untuk mengompensasi perbedaan koefisien debit dibanding mercu bendung yang berbentuk
bulat.
Untuk model bendung pada Gambar 2.1. Lebar efektif mercu (Be) dihubungkan dengan lebar
mercu yang sebenarnya (B), yakni jarak antar pangkal-pangkal bendung dan/atau tiang pilar, dengan
persamaan sebagai berikut:
Be = B – 2 x (n x Kp+Ka) x H1
Dimana :
Be = lebar effektif bendung
B = Lebar Optimal Bendung
Kp = koefisien kontraksi pada pilar
Ka = koefisien kontraksi pada dinding
n = jumlah pilar
H1 = tinggi energi (m)
Tinggi Jagaan berfungsi untuk mencegah gelombang atau kenaikan muka air yang melimpah
ke tepi sungai/bendung. Pada umumnya semakin besar debit yang diangkut, semakin besar pula
tinggi jagaan yang harus disediakan.
Fb = C x V x 1/3 Hd
Atau,
Fb = 0,6 + 0,037 x V x 1/3 Hd
Dimana :
Fb = Tinggi jagaan bendung, m
C = Koefesien debit (0,10)
V = Kecepatan air, m/dt
Hd = Tinggi air diatas bendung, m
Pintu pembilas adalah salah satu perlengkapan pokok bendung yang terletak di dekat dan
menjadi satu kesatuan dengan intake. Berfungsi untuk menghindarkan angkutan muatan sedimen
dasar dan mengurangi angkutan muatan sedimen layang masuk ke intake.
Bangunan intake adalah suatu bangunan pada bendung yang berfungsi sebagai penyadap
aliran air sungai, mengatur pemasukan air dan sedimen, serta menghindarkan sedimen dasar
sungai dan sampah masuk ke intake. Pintu pengambilan diletakkan 10 s/d 15 meter di hulu pintu
penguras bending. Pengambilan di sisi kanan sungai, lay out pengambilan direncanakan
membentuk sudut 45o kea rah hulu. Intake terdiri dari bermacam jenis, yaitu :
1. Intake biasa, yang umum direncanakan yaitu intake dengan pintu berlubang satu atau lebih
dan dilengkapi dengan pintu dinding banjir.
2. Intake gorong-gorong, tanpa pintu di bagian udik. Pintu diletakkan di bagian hilir gorong-
gorong.
3. Intake frontal, intake diletakkan di tembok pangkal, jauh dari bangunan pembilas atau
bending.
2.5.1. Lantai/Dasar Intake
Lantai intake dirancang datar, tanpa kemiringan. Di hilir pintu lantai dapat berbentuk
kemiringan dan dengan bentuk terjunan sekitar 0,5 m. Lantai intake bila di awal kantong sedimen
bisa berbentuk datar dan dengan kemiringan tertentu. Ketinggian lantai intake, bila intake
ditempatkan pada bangunan pembilas dengan undersluice :
Pintu sorong dipakai dengan tinggi maksimum sampai 3 m dan lebar tidak lebih dari 3 m.
Pintu tipe ini hanya digunakan untuk bukaan kecil, karena untuk bukaan yang lebih besar alat-alat
angkatnya akan terlalu berat untuk menangggulangi gaya gesekan pada sponeng. Untuk bukaan
yang lebih besar dapat dipakai pintu rol, yang mempunyai keuntungan tambahan karena di bagian
atas terdapat lebih sedikit gesekan, dan pintu dapat diangkat dengan kabel baja atau rantai baja.
Ada dua tipe pintu rol yang dapat dipertimbangkan, yaitu pintu Stoney dengan roda yang tidak
dipasang pada pintu, tetapi pada kerangka yang terpisah;dan pintu rol biasa yang dipasang
langsung pada pintu.
Lebar pintu intake dapat dihitung dengan rumus pengaliran sebagai berikut:
2 2
Q = x Cd x b x a x √3 𝑥 𝑔 x h11.5
3
Dimana :
Q = Debit Rencana, m3/dt
b = Lebar efektif mercu bendung, meter
a = Tinggi bukaan pintu, meter
Cd = Koefisien Debit
g = Gravitasi (9,81 m/s2)
h1 = Tinggi air di hulu, meter
Bangunan peredam energi bendung adalah struktur dari bangunan di hilir tubuh bendung
yang terdiri dari beberapa tipe, bentuk dan di kanan kirinya dibatasi oleh tembok pangkal bendung
dilanjutkan dengan tembok sayap hilir dengan bentuk tertentu. Fungsi bangunan ini adalah untuk
meredam energi air akibat pembendungan, agar air di hilir bendung tidak menimbulkan
penggerusan setempat yang membahayakan struktur.
Bangunan peredam energi bendung terdiri atas berbagai macam tipe antara lain yaitu :
1. Vlughter
2. USBR
3. SAF
4. Schooklitch
5. MDO, MDS dan MDL, dll
Prinsip pemecahan energi pada bangunan peredam energi adalah dengan cara menimbulkan
gesekan air dengan lantai dan dinding struktur, gesekan air dengan air, membentuk pusaran air
berbalik vertikal ke atas dan ke bawah serta pusaran arah horizontal dan menciptakan benturan
aliran ke struktur serta membuat loncatan air di dalam ruang olakan. Sementara itu, dalam memilih
tipe bangunan peredam energi sangat bergantung kepada berbagai factor, antara lain :
1. Tinggi pembendungan.
2. Besarnya nilai bilangan Froude.
3. Keadaan geoteknik tanah dasar misalnya jenis batuan, lapisan, kekerasan tekan, diameter
butir.
4. Jenis angkutan sedimen yang terbawa aliran sungai.
5. Kemungkinan degradasi dasar sungai yang akan terjadi di hilir bendung.
6. Keadaan aliran yang terjadi di bangunan peredam energi seperti aliran tidak
sempurna/tenggelam, loncatan aliran yang lebih rendah atau lebih tinggi dan sama dengan
kedalaman muka air hilir (tail water).
Tipe kolam olak yang akan direncana di sebelah hilir bangunan bergantung pada energi air
yang masuk, yang dinyatakan dengan bilangan Froude, dan pada bahan konstruksi kolam olak.
Berdasarkan bilangan Froude, dapat dibuat pengelompokan-pengelompokan berikut dalam
perencanaan kolam :
1. Untuk Fru ≤ 1,7 tidak diperlukan kolam olak; pada saluran tanah, bagian hilir harus dilindungi
dari bahaya erosi; saluran pasangan batu atau beton tidak memerlukan lindungan khusus.
2. Bila 1,7 < Fru ≤ 2,5 maka kolam olak diperlukan untuk meredam energi secara efektif. Pada
umumnya kolam olak dengan ambang ujung mampu bekerja dengan baik. Untuk penurunan
muka air ΔZ < 1,5 m dapat dipakai bangunan terjun tegak.
3. Jika 2,5 < Fru ≤ 4,5 maka akan timbul situasi yang paling sulit dalam memilih kolam olak
yang tepat. Loncatan air tidak terbentuk dengan baik dan menimbulkan gelombang sampai
jarak yang jauh di saluran. Cara mengatasinya adalah mengusahakan agar kolam olak untuk
bilangan Froude ini mampu menimbulkan olakan (turbulensi) yang tinggi dengan blok
halangnya atau menambah intensitas pusaran dengan pemasangan blok depan kolam. Blok ini
harus berukuran besar (USBR tipe IV). Tetapi pada prakteknya akan lebih baik untuk tidak
merencanakan kolam olak jika 2,5 < Fru < 4,5. Sebaiknya geometrinya diubah untuk
memperbesar atau memperkecil bilangan Froude dan memakai kolam dari kategori lain.
4. Kalau Fru ≥ 4,5 ini akan merupakan kolam yang paling ekonomis. karena kolam ini pendek.
Tipe ini, termasuk kolam olak USBR tipe III yang dilengkapi dengan blok depan dan blok
halang. Kolam loncat air yang sarna dengan tangga di bagian ujungnya akan jauh lebih panjang
dan mungkin harus digunakan dengan pasangan batu.
Tugas Besar Bangunan Air
ADI GOVINDA (201510340311171)
Gambar 2.5 memberikan penjelasan mengenai metode perencanaan. Dari grafik q versus H1
dan tinggi jatuh 2, kecepatan (v1) awal loncatan dapat ditemukan dari:
V1 = √2 𝑥 𝑔 𝑥 (0,5 𝑥 𝐻1 𝑥 𝑍)
𝑄
V1 =
𝑌1 𝑥 𝐵𝑒
Dimana :
Q = Debit rancangan, m3/dt
Be = lebar efektif mercu bending, m
Y1 = kedalaman air diawal loncatan, m
V1 = kecepatan awal loncatan, m/dt
g = percepatan gravitasi, 9,81 m/dt2
h1 = tinggi energy diatas ambang, m
z = tinggi jatuh, m
Dengan q = v1 x y1, dan rumus untuk kedalaman konjugasi dalam loncat air adalah:
𝑌2
= ½ x (√1 + 8 𝑥 𝐹𝑟 2 − 1)
𝑌1
𝑉1
Dimana : Fr =
√𝑔.𝑌1
Dimana :
Y2 = kedalaman air diatas ambang ujung, m
Y1 = kedalaman air diawal loncatan, m
Fr = bilangan froude
g = percepatan gravitasi, 9,81 m/dt2
V1 = kecepatan awal loncatan, m/dt
Panjang kolam loncat air di belakang Potongan U (Gambar 2.5) biasanya kurang dari
panjang bebas loncatan tersebut adanya ambang ujung (end sill). Ambang yang berfungsi untuk
memantapkan aliran ini umumnya ditempatkan pada jarak
Lj = 5 x (n + Y2)
Dimana :
Lj = panjang kolam loncat, m
n = tinggi ambang ujung, m
Syarat panjang kolam loncat adalah harus lebih panjang dari pada panjang loncatan air
sehingga loncatan masih atau tetap berada pada kolam loncat. Persamaan yang digunakan untuk
menentukan panjang loncatan adalah sebagai berikut:
Lj = 5 x (Y2 – Y1)
Dimana :
Lj = panjang loncatan air, m
Y2 = kedalaman air diatas ambang ujung, m
Y1 = kedalaman air diawal loncatan, m
Untuk mencegah terjadinya penggerusan saluran di sebelah hilir bangunan peredam energi,
saluran sebaiknya dilindungi dengan pasangan batu kosong atau rip-rap. Panjang lindungan harus
dibuat sebagai berikut :
1. tidak kurang dari 4 kali kedalaman normal maksimum di saluran hilir,
2. tidak lebih pendek dari peralihan tanah yang terletak antara bangunan dan saluran,
3. tidak kurang dari 1,50 m.
Jika dipakai pasangan batu kosong, maka diameter batu yang akan dipakai uttuk pasangan
ini dapat ditentukan dengan menggunakan Gambar 2.3. Gambar ini dapat dimasukkan dengan
kecepatan rata-rata di atas ambang kolam. Jika kolam olak tidak diperlukan karena Fru ≤ 1,7,
maka Gambar 2.3 harus menggunakan kecepatan benturan (impact velocity) Vu :
Vu = √2 𝑥 𝑔 𝑥 ∆𝑧
Gambar 2.3 memberikan ukuran d40 campuran pasangan batu kosong. Ini berarti bahwa
60% dari pasangan batu tersebut harus terdiri campuran dari batu-batu yang berukuran sama, atau
lebih besar.
Semua pasangan batu kosong harus ditempatkan pada filter untuk mencegah hilangnya
bahan dasar yang halus. Filter terdiri dari lapisan-lapisan bahan khusus seperti ditunjukkan pada
Gambar 2.6, atau dapat juga dibuat dari ijuk atau kain sintetis.
Gaya-gaya yang bekerja pada bangunan bendung dan memiliki nilai penting dalam
perencanaan adalah sebagai berikut:
1. Tekanan air, dalam dan luar
2. Tekanan lumpur
3. Gaya gempa
4. Berat bangunan
5. Reaksi pondasi
Gaya tekan air dapat dibagi menjadi gaya hidrostatik dan gaya hidrodinamik. Tekanan
hidrostatik adalah fungsi kedalaman di bawah permukaan air. Tekanan air akan selalu bekerja
tegak lurus terhadap muka bangunan. Oleh sebab itu agar perhitungannya lebih mudah, gaya
horisontal dan vertikal dikerjakan secara terpisah. Tekanan air dinamik jarang diperhitungkan
untuk stabilitas bangunan bendung dengan tinggi energi rendah.
Gaya tekan ke atas untuk bangunan pada permukaan tanah dasar (subgrade) lebih rumit.
Gaya angkat pada pondasi itu dapat ditemukan dengan membuat jaringan aliran (flownet), atau
dengan asumsi-asumsi yang digunakan oleh Lane untuk teori angka rembesan (weighted creep
theory).
Gambar 2.8. Jaringan aliran dibawah dam pasangan batu pada pasir
(Sumber: Kp 02 halaman 139)
Dalam teori angka rembesan Lane, diandaikan bahwa bidang horisontal memiliki daya tahan
terhadap aliran (rembesan) 3 kali lebih lemah dibandingkan dengan bidang vertikal. Ini dapat
dipakai untuk menghitung gaya tekan ke atas di bawah bendung dengan cara membagi beda tinggi
energi pada bendung sesuai dengan panjang relatif di sepanjang pondasi.
Dalam bentuk rumus, ini berarti bahwa gaya angkat pada titik x di sepanjang dasar bendung
dapat dirumuskan sebagai berikut:
𝐿𝑥
Px = Hx − x ΔH
𝐿
Dimana :
Px = gaya angkat pada x, kg/m2
L = panjang total bidang kontak bendung dan bawah tanah, m
Lx = jarak sepanjang bidang kontak dari hulu samai x, m
ΔH = beda tinggi energy, m
Hx = tinggi energy di hulu bendung, m
Tekanan lumpur dapat bekerja terhadap muka hulu bendung ataupun terhadap pintu. Untuk
sudut gesekan dalam, yang bisa diandaikan 30o untuk kebanyakan hal, menghasilkan persamaan
berikut :
Ps = 1,67 x h2
Dimana :
Ps = tekanan lumpur pada 2/3 kedalaman atas lumpur yang bekerja secara horizontal
h = tinggi lumpur setiggi mercu bendung, m
Ad = n x [ac x z]m
𝑎𝑑
E =
𝑔
Dimana :
ad = percepatan gempa rencana, cm/dt2
n = koefesien jenis tanah
m = koefesien jenis tanah
ac = percepatan kejut dasar, cm/dt2
z = factor yang bergantung pada letak geografis
g = percepatan gravitasi, 9,81 m/dt2
E = koefesien gempa
Sumber: KP 06 halaman 28
Berat bangunan bergantung kepada bahan yang dipakai untuk membuat bangunan itu.
Untuk tujuan-tujuan perencanaan pendahuluan, boleh dipakai harga-harga berat volume di bawah
ini.
pasangan batu 22 kN/m3 (≈ 2.200 kgf/m3)
beton tumbuk 23 kN/m3 (≈ 2.300 kgf/m3)
beton bertulang 24 kN/m3 (≈ 2.400 kgf/m3)
Berat volume beton tumbuk bergantung kepada berat volume agregat serta ukuran
maksimum kerikil yang digunakan. Untuk ukuran maksimum agregat 150 mm dengan berat
volume 2,65, berat volumenya lebih dari 24 kN/m3 (≈ 2.400 kgf/m3).
Reaksi pondasi boleh diandaikan berbentuk trapesium dan tersebar secara linier. Tekanan
vertikal pondasi pada ujung bangunan ditentukan dengan rumus:
L ∑MT − ∑MG
e = –
2 ∑V
∑V 6𝑥e
P = x (1 ± )
L L
Dimana :
P = reaksi pondasi/tegangan, ton/m2
e = eksentrisitas, m
L = panjang pondasi, m
V = total gaya/reaksi vertikal, ton
MG = momen guling, ton.m
MT = momen tahan, ton.m
Tangen θ, sudut antara garis vertikal dan resultante semua gaya, termasuk gaya angkat, yang
bekerja pada bendung di atas semua bidang horisontal, harus kurang dari koefisien gesekan yang
diizinkan pada bidang tersebut.
∑V 𝑥 f
Sf =
∑H
Dimana :
Sf = faktor keamanan
V = total gaya/reaksi vertikal, ton
H = total gaya/reaksi horisontal, ton
f = faktor gesekan = tan θ°
c 𝑥 𝐴 + ∑V 𝑥 tg Ø
Sf =
∑H
Dimana :
V = total gaya/reaksi vertikal, ton
H = total gaya/reaksi horisontal, ton
c = kekuatan geser bahan, ton/m2
A = luas dasar yang dipertimbangkan, m2
Harga-harga faktor keamanan jika geser juga dicakup, sama dengan harga-harga yang hanya
mencakup gesekan saja, yakni 1,50 untuk kondisi normal dan 1,20 untuk kondisi ekstrem. Untuk
beton, c (satuan kekuatan geser) boleh diambil 1.100 kN/m2.
Agar bangunan aman terhadap guling, maka resultante semua gaya yang bekerja pada
bagian bangunan di atas bidang horisontal, termasuk gaya angkat, harus memotong bidang ini
pada teras. Tidak boleh ada tarikan pada bidang irisan mana pun. Besarnya tegangan dalam
bangunan dan pondasi harus tetap dipertahankan pada harga-harga maksimal yang dianjurkan.
∑MT
Sf =
∑MG
Dimana :
MG = momen guling, ton.m
MT = momen tahan, ton.m
Bahaya terjadinya erosi bawah tanah dapat dianjurkan dicek dengan jalan membuat jaringan
aliran/flownet. Dalam hal ini ditemui kesulitan berupa keterbatasan waktu pengerjaan dan tidak
tersedianya perangkat lunak untuk menganalisa jaringan aliran, maka perhitungan dengan
beberapa metode empiris dapat diterapkan, seperti:
1. Metode Bligh
2. Metode Lane
3. Metode Koshia
Metode Lane, disebut metode angka rembesan Lane (weighted creep ratio method), adalah
yang dianjurkan untuk mengecek bangunan-bangunan utama untuk mengetahui adanya erosi
bawah tanah. Metode ini memberikan hasil yang aman dan mudah dipakai. Untuk bangunan-
bangunan yang relative kecil, metode-metode lain mungkin dapat memberikan hasil-hasil yang
lebih baik, tetapi penggunaannya lebih sulit.
Di sepanjang jalur perkolasi, kemiringan yang lebih curam dari 450 dianggap vertikal dan
yang kurang dari 450. Oleh karena itu, rumusnya adalah:
1
Σ𝐿𝑣 + Σ𝐿𝐻
3
CL =
𝐻
Dimana :
CL = angka rembesan lane
Lv = jumlah panjang vertikal, m
LH = jumlah panjang horisontal, m
H = beda tinggi muka air, m