Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 . Latar Belakang
Tugas Besar Bangunan Air ini merupakan salah satu tugas besar yang
diwajibkan di Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Malang.
Tugas besar ini merupakan syarat dari Praktek Kerja Nyata (PKN) bagi mahasiswa
di jurusan Sipil.
Kondisi saat ini, Kecenderungan mahasiswa teknik sipil kurang memahami
ilmu yang berkaitan dengan jurusannya, sehingga menjadikan mahasiswa tersebut
akan kesulitan dan melihat perkembangan zaman serba teknologi yang canggih
mahasiswa jurusan teknik sipil harus mampu dalam dunia kerja.
Harapan dari pengerjaaan tugas besar ini mahasiswa belajar dengan
bersungguh-sungguh dalam pencapaian hasil yang baik dalam bentuk nilai dan
terutama pemahaman yang lebih untuk mahasiswa tersebut.

1.2 . Maksud dan Tujuan


Dengan diadakannya Tugas Besar Bangunan Air yang telah dilaksanakan
ini dimaksudkan agar mahasiswa memiliki gambaran tentang berbagai hal yang
berhubungan dengan perencanaan sistem irigasi yang meliputi berbagai macam
perencanaan bangunan Irigasi.
Sedang tujuan diadakannya Tugas Besar Irigasi dan Bangunan Air adalah
untuk mempelajari cara perencanaan system irigasi sesuai dengan standart
Direktorat jenderal Pengairan.

1.3 . Manfaat
Tugas Besar Teknik Irigasi dan Bangunan Air bermanfaat sebagai modal
untuk menghadapi lapangan dan sebagai penunjang dalam perkuliahan. Sehingga
dengan adanya Tugas Besar ini diharapkan nantinya bila menghadapi lapangan
sudah terbiasa.

Tugas Besar Bangunan Air 1


BAB II
DASAR TEORI
2.1. Analisa Hidrologi Secara Umum
Analisa hidrologi merupakan suatu analisa awal dalam menangani
penaggulangan banjir dan perencanaan sistem bendung untuk mengetahui besarnya
debit yang akan dialirkan sehingga dapat ditentukan dimensi penampang melintang
bendung.
2.1.1. Ketersediaan Data
 Data Klimatologi
Klimatoogi adalah studi mengenai iklim, secara umum didefinisikan
sebagai kondisi cuaca yang dirata-ratakan selama periode waktu yang panjang.
 Data Hujan
Data hujan adalah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah dasar selama
periode tertentu yang diukur dengan satuan tinggi (mm) di atas permukaan
horizontal bila tidak terjadi evaporasi, run off dan infiltrasi.
2.1.2. Analisa Frekuensi Debit Banjir
Frekuensi adalah besarnya kemungkinan suatu besaran debit hujan yang
disamai atau dilampaui, Perhitungan debit banjir rencana dimaksudkan untuk
mengingat adanya hubungan antara hujan dan aliran sungai dimana besarnya aliran
dalam sungai ditentukan dari besarnya hujan, intensitas hujan, luas daerah, lama
waktu hujan dan ciri-ciri daerah alirannya.
Metode Log Pearson III
Metode yang dianjurkan dalam pemakaian distribusi Log Pearson adalah dengan
mengkonversikan rangkaian datanya menjadi bentuk logaritmis.
 Nilai rerata

logXr =

 Standar deviasi
∑( )
Sd =

 Koefisien Kepencengan (Cs)


∑( )
Cs =
( )( )( )

Tugas Besar Bangunan Air 2


Besarnya curah hujan rancangan dengan periode ulang T tahun adalah sebagai
berikut:
Log XT = logXr + K.Sd
K = faktor untuk distribusi Log Pearson III yang besarnya tergantung
harga Cs dan Kala Ulang T.
2.2. Bangunan Bendung
Bendung adalah suatu bangunan air dengan kelengkapan yang dibangun
melintang pada sungai atau sudetan yang sengaja dibuat untuk meninggikan taraf
muka air atau untuk mendapatkan tinggi terjun, sehingga air dapat disadap dan
dialirkan secara gravitasi ke tempat yang membutuhkan dan untuk mengendalikan
aliran, angkutan sedimen, dan geometri sungai sehingga air dapat dimanfaatkan
secara aman, efektif, efisien, dan optimal.
2.2.1. Bendung Tetap (Fixed Weir, Uncontrolled Weir)
Bendung tetap atau bendung pelimpah adalah jenis bendung yang tinggi
pembendungannya tidak dapat diubah, sehingga muka air di hulu bendung tidak
dapat diatur sesuai yang dikehendaki. Bendung tetap terbuat dari pasangan batu,
dibangun melintang di sungai, sehingga akan memberikan tinggi air minimum
kepada bangunan intake untuk keperluan irigasi, dan merupakan penghalang
selama terjadi banjir dan dapat menyebabkan genangan di udik bendung.
2.2.2. Penentuan Lokasi Bendung
Penentuan lokasi bendung diambil dari berbagai
pertimbanganpertimbangan yang optimum dengan memperhatikan hal-hal berikut :
1. Bagian sungai yang lurus dengan bentang terpendek (jarak antara tebing kiri
tebing kanan).
2. Terdapat alur yang stabil di dekat lokasi bangunan pengambilan (intake
structure).
3. Air sungai yang akan disadap mencukupi meskipun pada saat musim kemarau.
4. Sedikit sedimen yang masuk pada saat penyadapan.
5. Dampak pembangunan bendung adalah kecil baik ke arah hulu dan hilir.
6. Stabilitas bendung bisa tercapai seiring dengan biaya yang ekonomis.

Tugas Besar Bangunan Air 3


2.2.3. Data Perencanaan
a. Peta topografi, untuk menentukan tata letak bendung.
b. Data geologi teknik lokasi tapak bendung, untuk menentukan karakteristik
pondasi bendung.
c. Data hidrologi, untuk menentukan besaran debit banjir rencana.
d. Data morfologi sungai, untuk menentukan besaran angkutan sedimen.
e. Data karakteristik sungai, untuk menentukan hubungan antara besaran debit
sungai dengan elevasi muka air banjir.
f. Keadaan batas pada jaringan irigasi, untuk menentukan dimensi bendung dan
bangunan intake.
2.3. Bangunan utama Bendung
2.3.1. Mercu Bendung
Mercu bendung yaitu bagian atas tubuh bendung dimana aliran dari hulu
dapat melimpah ke hilir. Fungsinya sebagai penentu tinggi muka air minimum di
sungai bagian hulu bendung, Sebagai pengempang sungai dan sebagai pelimpah
aliran sungai, letak mercu bendung bersama-sama tubuh bendung diusahakan
tegak lurus arah aliran yang menuju bendung terbagi rata.

Gambar 2.1. Macam bentuk mercu bendung


Sumber: KP 02 halaman 50

Tugas Besar Bangunan Air 4


2.3.1.1. Mercu Bulat

Gambar 2.2. Bendung dengan mercu bulat


Sumber: KP 02 halaman 52
Dari Gambar 2.2 tampak bahwa jari-jari mercu bendung pasangan batu akan
berkisar antara 0,3 sampai 0,7 kali H1maks dan untuk mercu bendung beton dari 0,1
sampai 0,7 kali Hmaks. Persamaan tinggi energi-debit untuk bendung ambang
pendek dengan pengontrol segi empat adalah:

.
Q = 𝐶𝑑 𝑥 𝑥 𝑔 𝑥 𝐵𝑒 𝑥 𝐻

Dimana :
Q = Debit Rencana, m3/dt
Be = Lebar efektif mercu bendung, m
Cd = Koefisien Debit
g = Gravitasi (9,81 m/s2)
H1 = Tinggi energi, m

Koefisien debit Cd adalah hasil dari:

Tugas Besar Bangunan Air 5


Grafik 2.1. Harga koefesien C0 sebagai fungsi perbandingan H1/r

Grafik 2.2. Harga koefesien C1 sebagai fungsi perbandingan P/H1

Grafik 2.3. Harga koefesien C2 sebagai fungsi perbandingan P/H1

Tugas Besar Bangunan Air 6


2.3.1.2. Mercu Ogee

Gambar 2.1. Bentuk-bentuk bendung mercu Ogee


Sumber: KP 02 halaman 57
Persamaan antara tinggi energy dan debit untuk bending mercu Ogee adalah :

.
Q = 𝐶𝑑 𝑥 𝑥 𝑔 𝑥 𝐵𝑒 𝑥 𝐻

Dimana :
Q = Debit Rencana, m3/dt
Be = Lebar efektif mercu bendung, m
Cd = Koefisien Debit
g = Gravitasi (9,81 m/s2)
H1 = Tinggi energi, m
2.3.2. Lebar Bendung
Lebar mercu bendung yaitu jarak antara dua tembok pangkal bendung
(abutment), termasuk lebar bangunan pembilas dan pilar-pilarnya. Dalam
penentuan lebar mercu bendung, yang harus diperhatikan :
a. Kemampuan melewatkan debit desain dengan tinggi jagaan yang cukup.
b. Batasan tinggi muka air genangan maksimum yang diijinkan pada debit desain.
Oleh karena itu, lebar mercu bendung dapat diperkirakan sebagai berikut :

Tugas Besar Bangunan Air 7


a) Sama lebar dengan rata-rata sungai stabil atau pada debit penuh alur (bank full
dishcharge).
b) Umumnya diambil sebesar 1,2 kali lebar sungai rata-rata pada ruas sungai yang
stabil.
2.3.3. Lebar Efektif Bendung
Karena adanya pintu bilas dan pilar, maka lebar bendung yang dapat
mengalirkan banjir secara efektif jadi berkurang, yang disebut lebar efektif (Beff).
Pengurangan lebar tersebut disebabkan oleh tiga komponen, yaitu :
1. Tebal pilar.
2. Bagian pintu bilas yang bentuk mercunya berbeda dari mercu bending.
3. Kontraksi pada dinding pengarah dan pilar.
Dalam perhitungan lebar efektif, lebar pembilas yang sebenarnya, diambil
80% dari lebar rencana untuk mengompensasi perbedaan koefisien debit dibanding
mercu bendung yang berbentuk bulat.
Untuk model bendung pada Gambar 2.1. Lebar efektif mercu (Be)
dihubungkan dengan lebar mercu yang sebenarnya (B), yakni jarak antar pangkal-
pangkal bendung dan/atau tiang pilar, dengan persamaan sebagai berikut:
Be = B - 2 x (n x Kp + Ka) x H1
Dimana:
Be = Lebar Efektif Bendung
B = Lebar Optimal Bendung
Kp = Koefisien Kontraksi pada Pilar
n = Jumlah Pilar
H1 = Tinggi Energi (m)
Harga-harga koefisien Ka dan Kp disajikan pada tabel 2.1

Tugas Besar Bangunan Air 8


Gambar 2.2. Lebar efektif mercu
Sumber: KP 02 halaman 49
Tabel 2.1. Nilai Ka dan Kp

Sumber : Kriteria Perencanaan Irigasi KP-02

Tugas Besar Bangunan Air 9


2.3.4. Tinggi Jagaan Bendung
Tinggi Jagaan berfungsi untuk mencegah gelombang atau kenaikan muka air
yang melimpah ke tepi sungai/bendung. Pada umumnya semakin besar debit yang
diangkut, semakin besar pula tinggi jagaan yang harus disediakan.
Fb = C x V x 1/3 Hd
Atau,
Fb = 0,6 + 0,037 x V x 1/3 Hd

Dimana :
Fb = Tinggi jagaan bendung, m
C = Koefesien debit (0,10)
V = Kecepatan air, m/dt
Hd = Tinggi air diatas bendung, m
2.4. Pintu Pembilas
Pintu pembilas adalah salah satu perlengkapan pokok bendung yang terletak
di dekat dan menjadi satu kesatuan dengan intake. Berfungsi untuk menghindarkan
angkutan muatan sedimen dasar dan mengurangi angkutan muatan sedimen layang
masuk ke intake.

1. Pembilas undersluice lurus


a. Mulut undersluice diletakkan di hulu mulut intake dengan arah tegak
lurus aliran menuju intake atau menyudut 45º terhadap tembok pangkal.
Lebar mulut harus lebih besar daripada 1,2 kali lebar intake.
b. Lebar pembilas total diambil 1/6-1/10 dari lebar bentang bendung, untuk
sungai-sungai yang lebarnya kurang dari 100 meter. Lebar satu lubang
maksimum 2,5 m untuk kemudahan operasi pintu, dan jumlah lubang
tidak lebih dari tiga buah.
c. Lebar pembilas sebaiknya diambil 60% dari lebar total pengambilan
termasuk pilar-pilarnya
d. Tinggi lubang undersluice diambil 1,5 m, usahakan lebih tinggi dari 1
meter tetapi tidak lebih tinggi dari 2 meter.
e. Elevasi lantai lubang direncanakan :

Tugas Besar Bangunan Air 10


✔ Sama tinggi dengan lantai hulu bendung.
✔ Lebih rendah dari lantai hulu bendung.
✔ Lebih tinggi dari lantai hulu bendung.
2. Pintu pembilas bawah
Fungsi pintu bawah adalah untuk pembilasan sedimen yang terdapat di
bawah, di hulu dan disekitar mulut underesluice. Jenis pintu yang dipakai
umumnya yaitu pintu sorong. Untuk satu lubang pintu sorong lebar
maksimum 2,5 m sedangkan untuk pintu yang dioperasikan dengan mesin
dibuat antara 2,5-5 m.
3. Pilar pembilas
Pilar pembilas berfungsi untuk penempatan pintu-pintu, undersluice dan
perlengkapan lainnya. Lebar pilar sisi bagian luar dapat diambil sampai
dengan 2 m dan sisi bagian dalam antara 1 – 1,5 m.
4. Sponeng dan stang pintu
Sponeng berfungsi untuk menahan tekanan air pada pintu. Ukuran sponeng
bervariasi yaitu 0,25 x 0,25 m atau 0,25 x 0,3 m. Sedangkan stang pintu
berfungsi untuk mengangkat dan menurunkan pintu.

5. Tembok baya-baya
Berfungsi untuk mencegah angkutan sedimen dasar meloncat dari hulu
bendung ke atas plat undersluice. Tinggi mercu tembok baya-baya diambil
antara 0,5 m dan 1 m di atas mercu bendung.
6. Pembilas Shunt Undersluice
Shunt undersluice adalah bangunan undersluice yang penempatannya di
luar bentang sungai dan atau di luar pangkal bendung, di bagian samping
melengkung ke dalam dan terlindung di belakang tembok pangkal.
2.5 Bangunan Pengembalian/Intake
Bangunan intake adalah suatu bangunan pada bendung yang berfungsi
sebagai penyadap aliran air sungai, mengatur pemasukan air dan sedimen, serta
menghindarkan sedimen dasar sungai dan sampah masuk ke intake. Pintu
pengambilan diletakkan 10 s/d 15 meter di hulu pintu penguras bending.

Tugas Besar Bangunan Air 11


Pengambilan di sisi kanan sungai, lay out pengambilan direncanakan membentuk
sudut 45o kea rah hulu. Intake terdiri dari bermacam jenis, yaitu :

1. Intake biasa, yang umum direncanakan yaitu intake dengan pintu berlubang
satu atau lebih dan dilengkapi dengan pintu dinding banjir.
2. Intake gorong-gorong, tanpa pintu di bagian udik. Pintu diletakkan di bagian
hilir gorong-gorong.
3. Intake frontal, intake diletakkan di tembok pangkal, jauh dari bangunan
pembilas atau bending.
2.5.1. Lantai/Dasar Intake
Lantai intake dirancang datar, tanpa kemiringan. Di hilir pintu lantai dapat
berbentuk kemiringan dan dengan bentuk terjunan sekitar 0,5 m. Lantai intake bila
di awal kantong sedimen bisa berbentuk datar dan dengan kemiringan tertentu.

2.5.2. Pintu Sorong.

Pintu sorong dipakai dengan tinggi maksimum sampai 3 m dan lebar tidak
lebih dari 3 m. Pintu tipe ini hanya digunakan untuk bukaan kecil, karena untuk
bukaan yang lebih besar alat-alat angkatnya akan terlalu berat untuk
menangggulangi gaya gesekan pada sponeng. Untuk bukaan yang lebih besar dapat
dipakai pintu rol, yang mempunyai keuntungan tambahan karena di bagian atas
terdapat lebih sedikit gesekan, dan pintu dapat diangkat dengan kabel baja atau
rantai baja. Ada dua tipe pintu rol yang dapat dipertimbangkan, yaitu pintu Stoney
dengan roda yang tidak dipasang pada pintu, tetapi pada kerangka yang terpisah;dan
pintu rol biasa yang dipasang langsung pada pintu.

Lebar pintu intake dapat dihitung dengan rumus pengaliran sebagai berikut:

Q = x Cd x b x a x 𝑥 𝑔 x h11.5

Dimana :
Q = Debit Rencana (m3/dt)
b = Lebar efektif mercu bendung, meter
a = Tinggi bukaan pintu, meter
Cd = Koefisien Debit
g = Gravitasi (9,81 m/s2)

Tugas Besar Bangunan Air 12


h1 = Tinggi air di hulu (m)
2.6. Bangunan Peredam Energi
Bangunan peredam energi bendung adalah struktur dari bangunan di hilir
tubuh bendung yang terdiri dari beberapa tipe, bentuk dan di kanan kirinya dibatasi
oleh tembok pangkal bendung dilanjutkan dengan tembok sayap hilir dengan
bentuk tertentu. Fungsi bangunan ini adalah untuk meredam energi air akibat
pembendungan, agar air di hilir bendung tidak menimbulkan penggerusan setempat
yang membahayakan struktur.

2.6.1. Kolam Olak


Tipe kolam olak yang akan direncana di sebelah hilir bangunan bergantung
pada energi air yang masuk, yang dinyatakan dengan bilangan Froude, dan pada
bahan konstruksi kolam olak.
2.6.2. Kolam Loncat Air

Gambar 2.3. Metode perencanaan kolam loncat air


Sumber: KP 02 halaman 67

Tugas Besar Bangunan Air 13


Gambar 2.5 memberikan penjelasan mengenai metode perencanaan. Dari
grafik q versus H1 dan tinggi jatuh 2, kecepatan (v1) awal loncatan dapat ditemukan
dari:
V1 = 2 𝑥 𝑔 𝑥 (0,5 𝑥 𝐻1 𝑥 𝑍)

V1 =

Dimana :
Q = Debit rancangan (m3/dt)
Be = lebar efektif mercu bending (m)
Y1 = kedalaman air diawal loncatan (m)
V1 = kecepatan awal loncatan (m/dt)
g = percepatan gravitasi (9,81 m/dt2)
h1 = tinggi energy diatas ambang (m)
z = tinggi jatuh (m)
Dengan q = v1 x y1, dan rumus untuk kedalaman konjugasi dalam loncat air adalah:
𝑌2
𝑌1
= ½ x (√1 + 8 𝑥 𝐹𝑟 − 1)
𝑉1
Dimana : Fr =
𝑔.𝑌1

Dimana :
Y2 = kedalaman air diatas ambang ujung (m)
Y1 = kedalaman air diawal loncatan (m)
Fr = bilangan froude
g = percepatan gravitasi (9,81 m/dt2)
V1 = kecepatan awal loncatan (m/dt)
Panjang kolam loncat air di belakang Potongan U (Gambar 2.5) biasanya
kurang dari panjang bebas loncatan tersebut adanya ambang ujung (end sill).
Ambang yang berfungsi untuk memantapkan aliran ini umumnya ditempatkan pada
jarak.
Lj = 5 x (n + Y2)
Dimana :
Lj = panjang kolam loncat (m)
n = tinggi ambang ujung (m)

Tugas Besar Bangunan Air 14


Syarat panjang kolam loncat adalah harus lebih panjang dari pada panjang
loncatan air sehingga loncatan masih atau tetap berada pada kolam loncat.
Persamaan yang digunakan untuk menentukan panjang loncatan adalah sebagai
berikut:
Lj = 5 x (Y2 – Y1)
Dimana :
Lj = panjang loncatan air (m)
Y2 = kedalaman air diatas ambang ujung (m)
Y1 = kedalaman air diawal loncatan (m)
2.6.3. Perlindungan Bagian Hilir
Untuk mencegah terjadinya penggerusan saluran di sebelah hilir bangunan
peredam energi, saluran sebaiknya dilindungi dengan pasangan batu kosong atau
rip-rap. Panjang lindungan harus dibuat sebagai berikut :
1. tidak kurang dari 4 kali kedalaman normal maksimum di saluran hilir,
2. tidak lebih pendek dari peralihan tanah yang terletak antara bangunan
dan saluran,
3. tidak kurang dari 1,50 m.
Jika dipakai pasangan batu kosong, maka diameter batu yang akan dipakai
uttuk pasangan ini dapat ditentukan dengan menggunakan Gambar 2.3. Gambar ini
dapat dimasukkan dengan kecepatan rata-rata di atas ambang kolam. Jika kolam
olak tidak diperlukan karena Fru ≤ 1,7, maka Gambar 2.3 harus menggunakan
kecepatan benturan (impact velocity) Vu :
Vu = 2 x g x ∆z
Gambar 2.3 memberikan ukuran d40 campuran pasangan batu kosong. Ini
berarti bahwa 60% dari pasangan batu tersebut harus terdiri campuran dari batubatu
yang berukuran sama, atau lebih besar.
2.7. Analisis Stabilitas Bendung
2.7.1. Gaya-gaya yang Bekerja
2.7.1.1 Tekanan Air
Gaya tekan air dapat dibagi menjadi gaya hidrostatik dan gaya hidrodinamik.
Tekanan hidrostatik adalah fungsi kedalaman di bawah permukaan air. Tekanan air
akan selalu bekerja tegak lurus terhadap muka bangunan. Oleh sebab itu agar

Tugas Besar Bangunan Air 15


perhitungannya lebih mudah, gaya horisontal dan vertikal dikerjakan secara
terpisah. Tekanan air dinamik jarang diperhitungkan untuk stabilitas bangunan
bendung dengan tinggi energi rendah.

Gambar 2.4. Jaringan aliran dibawah dam pasangan batu pada pasir
(Sumber: Kp 02 halaman 139)
Dalam teori angka rembesan Lane, diandaikan bahwa bidang horisontal
memiliki daya tahan terhadap aliran (rembesan) 3 kali lebih lemah dibandingkan
dengan bidang vertikal. Ini dapat dipakai untuk menghitung gaya tekan ke atas di
bawah bendung dengan cara membagi beda tinggi energi pada bendung sesuai
dengan panjang relatif di sepanjang pondasi.
Dalam bentuk rumus, ini berarti bahwa gaya angkat pada titik x di sepanjang
dasar bendung dapat dirumuskan sebagai berikut:
Lx
Px = Hx − x ∆H
L
Dimana :
Px = gaya angkat pada x (kg/m2)
L = panjang total bidang kontak bendung dan bawah tanah (m)
Lx = jarak sepanjang bidang kontak dari hulu samai x (m)
ΔH = beda tinggi energy (m)
Hx = tinggi energy di hulu bendung (m)
2.7.1.2. Tekanan Lumpur
Tekanan lumpur dapat bekerja terhadap muka hulu bendung ataupun terhadap
pintu. Untuk sudut gesekan dalam, yang bisa diandaikan 30 o untuk kebanyakan hal,
menghasilkan persamaan berikut :

Tugas Besar Bangunan Air 16


Ps = 1,67 x h2
Dimana :
Ps = tekanan lumpur pada 2/3 kedalaman atas lumpur yang bekerja
secara horizontal
h = tinggi lumpur setiggi mercu bendung (m)
2.7.1.3. Gaya Gempa
Koefisien gempa dapat dihitung dengan rumus:
Ad = n x [ac x z]

E=

Dimana :
ad = percepatan gempa rencana (cm/dt2)
n = koefesien jenis tanah
m = koefesien jenis tanah
ac = percepatan kejut dasar (cm/dt2)
z = factor yang bergantung pada letak geografis
g = percepatan gravitasi (9,81 m/dt2)
E = koefesien gempa

Tabel 2.2. Koefesien jenis tanah

Sumber: KP 06 halaman 28
2.7.1.4. Berat Bangunan
Berat bangunan bergantung kepada bahan yang dipakai untuk membuat
bangunan itu. Untuk tujuan-tujuan perencanaan pendahuluan, boleh dipakai harga-
harga berat volume di bawah ini.

Tugas Besar Bangunan Air 17


Pasangan batu 22 kN/m3 (≈ 2.200 kgf/m3)
Beton tumbuk 23 kN/m3 (≈ 2.300 kgf/m3)
Beton bertulang 24 kN/m3 (≈ 2.400 kgf/m3)
2.7.1.5. Reaksi Pondasi
Reaksi pondasi boleh diandaikan berbentuk trapesium dan tersebar secara
linier. Tekanan vertikal pondasi pada ujung bangunan ditentukan dengan rumus:
∑ ∑
e = –


P = x (1 ± )

Dimana :
P = reaksi pondasi/tegangan (ton/m2)
e = eksentrisitas (m)
L = panjang pondasi (m)
V = total gaya/reaksi vertikal (ton)
MG = momen guling (ton.m)
MT = momen tahan (ton.m)
2.7.2. Kebutuhan Stabilitas
Ada tiga penyebab runtuhnya bangunan gravitasi, antara lain yaitu:
1. gelincir (sliding)
a. sepanjang sendi horisontal atau hampir horisontal di atas pondasi.
b. sepanjang pondasi, atau
c. sepanjang kampuh horisontal atau hampir horisontal dalam pondasi.
2. guling (overturning)
a. di dalam bendung
b. pada dasar (base), atau
c. pada bidang di bawah dasar.
3. Erosi bawah tanah (piping).
2.7.2.1. Ketahanan Terhadap Gelincir/Geser
Tangen θ, sudut antara garis vertikal dan resultante semua gaya, termasuk
gaya angkat, yang bekerja pada bendung di atas semua bidang horisontal, harus
kurang dari koefisien gesekan yang diizinkan pada bidang tersebut.

Sf =

Tugas Besar Bangunan Air 18


Dimana :
Sf = faktor keamanan
V = total gaya/reaksi vertikal (ton)
H = total gaya/reaksi horisontal (ton)
f = faktor gesekan = tan θ°
Untuk bangunan-bangunan kecil, seperti bangunan-bangunan yang
dibicarakan di sini, di mana berkurangnya umur bangunan, kerusakan besar dan
terjadinya bencana besar belum dipertimbangkan, harga-harga faktor keamanan (Sf)
yang dapat diterima adalah: 1,50 untuk kondisi pembebanan normal dan 1,20 untuk
kondisi pembebanan ekstrem/gempa.
Untuk bangunan-bangunan yang terbuat dari beton, harga yang aman untuk
faktor gelincir yang hanya didasarkan pada gesekan saja ternyata terlampaui, maka
bangunan bisa dianggap aman jika faktor keamanan dari rumus itu yang mencakup
geser sama dengan atau lebih besar dari harga-harga faktor keamanan yang sudah
ditentukan.
∑ Ø
Sf =

Dimana :
V = total gaya/reaksi vertikal (ton)
H = total gaya/reaksi horisontal (ton)
c = kekuatan geser bahan (ton/m2)
A = luas dasar yang dipertimbangkan (m 2)
Harga-harga faktor keamanan jika geser juga dicakup, sama dengan harga-
harga yang hanya mencakup gesekan saja, yakni 1,50 untuk kondisi normal dan
1,20 untuk kondisi ekstrem. Untuk beton, c (satuan kekuatan geser) boleh diambil
1.100 kN/m2.
2.7.2.2. Ketahanan Terhadap Guling
Agar bangunan aman terhadap guling, maka resultante semua gaya yang
bekerja pada bagian bangunan di atas bidang horisontal, termasuk gaya angkat,
harus memotong bidang ini pada teras. Tidak boleh ada tarikan pada bidang irisan
mana pun. Besarnya tegangan dalam bangunan dan pondasi harus tetap
dipertahankan pada harga-harga maksimal yang dianjurkan.

Tugas Besar Bangunan Air 19



Sf =

Dimana :
MG = momen guling (ton.m)
MT = momen tahan (ton.m)
2.7.2.3. Ketahanan Terhadap Piping
Bahaya terjadinya erosi bawah tanah dapat dianjurkan dicek dengan jalan
membuat jaringan aliran/flownet. Metode Lane, disebut metode angka rembesan
Lane (weighted creep ratio method), adalah yang dianjurkan untuk mengecek
bangunan-bangunan utama untuk mengetahui adanya erosi bawah tanah. Metode
ini memberikan hasil yang aman dan mudah dipakai. Untuk bangunan-bangunan
yang relative kecil, metode-metode lain mungkin dapat memberikan hasil-hasil
yang lebih baik, tetapi penggunaannya lebih sulit.
Di sepanjang jalur perkolasi, kemiringan yang lebih curam dari 45 0
dianggap vertikal dan yang kurang dari 450. Oleh karena itu, rumusnya adalah:

CL =

Dimana :
CL = angka rembesan lane
Lv = jumlah panjang vertikal (m)
LH = jumlah panjang horisontal (m)
H = beda tinggi muka air (m)
Tabel 2.3. Harga-harga minimum angka rembesan Lane dan Bligh

Sumber : KP 06-2009, Parameter Bangunan

Tugas Besar Bangunan Air 20

Anda mungkin juga menyukai