Anda di halaman 1dari 15

MODUL 2

DASAR – DASAR HIDROLOGI

1. PENDAHULUAN

Modul ini membahas tentang prinsip dasar hidrologi, dimana pada dasarnya hidrologi bukan merupakan
ilmu yang sepenuhnya eksak, karena masih memerlukan interpretasi. Penelitian yang diamati adalah penelitian yang
dibatasi oleh besar kecilnya peristiwa alam sampai kepada penelitian – penelitian yang terbatas besarnya terhadap
efek – efek tertentu. Data – data fundamental yang diperlukan adalah data hasil pengamatan dalam semua aspek
presipitasi (hujan), limpasan (runoff), debit sungai, infiltrasi, perkolasi, evaporasi, dan lain sebagainya. Bersarkan
data – data tersebut dan ditunjang oleh pengertian dalam ilmu – ilmu yang berbatasan dengan hidrologi, maka seorang
ahli hidrologi dapat memberikan peyelesaian terbaik terhadap persoalan – persoalan yang menyangkut perencanaan
teknik bangunan air yang dihadapkan kepadanya (C. D. Soemarto, 1999).
Perencanaan teknik bangunan air mutlak memerlukan analisis hidrologi. Analisis hidrologi tidak hanya
diperlukan dalam perencanaan bendungan, bendung, bangunan pengendali banjir, dan bangunan irigasi, tetapi juga
bangunan jalan raya, lapangan terbang, dan bangunan lainnya. Kegagalan dalam perhitungan drainase jalan raya
dapat berakibat terjadi keruntuhan dini jalan raya, demikian juga lapangan terbang, dan lain – lain. Analisis hidrologi
diperlukan untuk perencanaan drainase, culvert, maupun jembatan yang melintasi sungai atau saluran. Komponen
system transportasi lain yang memerlukan analisis hidrologi meliputi areal parkir, landasan pacu (runway) dan apron
lapangan udara, jalur tranportasi massal (Suripin, 2004).
Analisis hidrologi merupakan bidang yang sangat rumit dan kompleks. Hal ini disebabkan pada ketidak
pastian dalam hidrologi, keterbatasan teori dan rekaman data, dan keterbatasan ekonomi. Hujan adalah kejadian yang
tidak dapat diprediksi. Artinya kita tidak dapat memprediksi secara pasti seberapa besar hujan yang akan terjadi pada
suatu periode waktu.
Setiap kegiatan yang melibatkan lahan sebagai obyek, seperti perumahan, perkantoran, dan idustri
harus mempertimbangkan aliran air hujan. Perencanaan rumah harus menyediakan tidak hanya talang dan
kelengkapnya, tetapi juga got/saluran yang meneruskan air hujan dari talang ke jaringan drainase, demikian
juga bangunan-bangunan industri. Pada waktu pembukaan lahan, perlu diperhatikan pola drainase pasca
pengembangan. Pengembangan lahan biasanya diikuti penambahan lapisan kedap air yang berakibat pada
peningkatan laju dan volume aliran permukaan. Pada tempat-tempat tertentu, perlu dibuat bangunan
pengendali air hujan. Pada bagian atas lokasi dapat dibuat saluran sabuk untuk mengalirkan air menjauh dari
lokasi dan langsung di alirkan ke saluran drainase atau sungai. Pada beberapa lokasi pengembangan lahan,
di mana penambahan lapisan kedap air besar, pembangunan kolam penahan mungkin diperlukan untuk
mengontrol kenaikan aliran permukaan. Di samping itu, yang tak kalah pentingnya dalam pembukaan lahan
adalah penyediaan fasilitas pengendali sediment untuk menjamin bahwa tanah yang tererosi tidak masuk ke
saluran.
Pada modul 2 ini secara umum anda diharapkan mampu memahami topik yang berhubungan dengan prinsip
dasar hidrologi dalam kaitan dengan perencanaan bangunan air, dan secara khusus setelah mempelajari modul 2 ini
mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan dan menghitung :
1. Presipitasi meliputi : pengertian presipitasi; alat ukur curah hujan.
2. Data hujan meliputi : tebal hujan rata–rata Aljabar; matode polygon Thiessen (Thiessen polygon
method); matode isohiet (isohyetal method)
3. Frekuensi dan probabilitas hujan meliputi : distribusi normal; distribusi Log Normal; distribusi Log –
Pearson III; distribusi Gumbel; probabilitas; uji kecocokan (Uji Chi-kuadrat, Uji Smirnov–
Kolmogorov)
4. Intensitas hujan meliputi : pengertian intensitas hujan; persamaan– persamaan intensitas hujan
(persamaan Talbot; persamaan Sherman; Persamaan Ishiguro; Persamaan Mononobe)

Mahasiswa diharapkan membaca keseluruhan modul 2 secara berurutan dan mengerjakan tugas sesuai
dengan penjelasan dalam modul ini dengan seksama. Setelah memahami isi modul 2, kerjakanlah tugas dan asistensi
agar dapat memahami dengan baik dan benar. Jika masih belum dapat memahami modul 2 ini dengan baik,
mahasiswa diharapkan menerapkan cara belajar aktif dengan membentuk kelompok diskusi, membaca buku teks
yang menjadi referensi.

Bunganaen. W – 20212 - 1
2. PENYAJIAN

KEGIATAN BELAJAR 2.1


PRESIPITASI

2.1.1 Pengertian

Presipitasi adalah istilah umum untuk menyatakan uap air yang mengkondensasi dan jatuh dari atmosfir
ke bumi (permukaan tanah) dalam segala bentuknya dalam rangkaian siklus hidrologi (Gambar 2.1). Secara
ringkas presipitasi yang ada di bumi ini berupa : (a) hujan, merupakan bentuk yang paling penting; (b) embun,
merupakan hasil kondensasi di permukaan tanah atau tumbuh-tumbuhan dan kondensasi dalam tanah. Sejumlah
air yang mengembun di malam hari akan diuapkan di pagi harinya; (c) kondensasi, di atas lapisan es terjadi jika
ada massa udara panas yang bergerak di atas lapisan es. Kondensasi dalam tanah terjadi hanya beberapa sentimeter
di bawah permukaan tanah; (d) kabut, pada saat terjadi kabut, partikel-partikel air diendapkan di atas permukaan
tanah dan tumbuh-tumbuhan. Kabut sangat penting bagi pertumbuhan hutan; dan (e) Salju dan es. Dari ke lima
bentuk tersebut di atas, di bahas hanya hujan.

Gambar 2.1 Siklus Hidrologi

Hujan merupakan faktor terpenting dalam analisis hidrologi. Intensitas hujan yang tinggi pada suatu
kawasan hunian yang kecil dapat mengakibatkan genangan pada jalan -jalan, tempat parkir, dan tempat-
tempat lainnya karena fasilitas drainase tidak didesain untuk mengalirkan air akibat intensitas hujan yang
tinggi. Hujan lebat juga dapat mengakibatkan kerusakan tanaman. Sebaliknya, tidak ada hujan untuk jangka
lama dapat berakibat mengecilnya aliran sungai dan turunnya muka air waduk dan danau. Pend ek kata, hujan
dengan kejadian ekstrim, baik ekstrim tinggi maupun ekstrim rendah, dapat menimbulkan bencana bagi
makhluk di bumi.
Analisis dan desain hidrologi tidak hanya memerlukan volume atau ketinggian hujan, tetapi juga
distribusi hujan terhadap tempat dan waktu. Distribusi hujan terhadap waktu disebut hyetograph. Dengan
kata lain, hyetograph adalah grafik intensitas hujan atau ketinggian hujan terhadap waktu.
Kejadian hujan dapat dipisahkan menjadi dua grup, yaitu hujan aktual dan hujan rencana. Kejadian hujan
aktual adalah rangkaian data pengukuran di stasiun hujan selama periode tertentu. Hujan rencana adalah
hyetograph hujan yang mempunyai karakteristik terpilih. Hujan rencana bukan kejadian hujan yang diukur
secara aktual dan kenyataannya, hujan yang identik dengan hujan rencana tidak pernah dan tidak akan pernah
terjadi. Namun demikian, kebanyakan hujan rencana mempunyai karakteristik yang secara umum sama
dengan karakteristik hujan yang terjadi pada masa lalu. Dengan demikian, menggambarkan kara kteristik
umum kejadian hujan yang diharapkan terjadi pada masa mendatang.

Karakteristik hujan yang perlu ditinjau dalam analisis dan perencanaan hidrologi, meliputi :
1. Tinggi hujan (d atau R), adalah jumlah atau kedalaman hujan yang terjadi selama durasi waktu tertentu, dan
dinyatakan dalam ketebalan air di atas permukaan datar, dan dinyatakan dalam mm (millimeter)
2. Lama waktu (t), adalah panjang waktu dimana hujan turun dalam menit atau jam.
3. Intensitas hujan (I), adalah laju hujan atau sama dengan tinggi air persatuan waktu, dan dinyatakan dalam
mm/menit, mm/jam atau mm/hari
4. Frekuensi adalah frekuensi kejadian dan biasanya dinyatakan dengan kala ulang (return period), misalnya
sekali dalam 2 tahun, sekali dalam lima tahun, dan sebagainya.
5. Luas adalah luas geografis daerah sebaran hujan. (Ha atau km2)

Bunganaen. W – 20212 - 2
2.1.2 Alat Ukur Curah Hujan

Alat untuk mengukur jumlah dan intensitas curah hujan merupakan peralatan yang penting untuk
diketahui. Curah hujan diukur dengan dasar tinggi air yang terkumpul pada permukaan rata dari alat yang dipakai
dan curah hujan tersebut tinggal / tertampung pada tempat jatuhnya. Pengamatan curah hujan dilakukan oleh alat
ukur curah hujan. Ada dua jenis alat yang digunakan untuk pengamatan atau pengukuran curah hujan yakni alat
ukur curah hujan biasa/manual (Manual Rain Gauge/MRG) dan alat ukur curah hujan otomatis (Automatic Rainfall
Recorder/ARR).
a. Alat ukur curah hujan biasa/manual (Manual Rain Gauge/MRG)

Gambar 2.2 Alat Ukur Curah Hujan Biasa / Manual / Manual Rain Gauge
(a. di atas tanah ; b. ditanam)

Di Indonesia kebanyakan menggunakan alat ukur hujan biasa dengan luas penampang corong 100 cm 2 – 200 cm2
dengan kapasitas tampung 400 – 600 mm, dipasang pada ketinggian 1.0 m atau 1.20 m dari muka tanah, atau
dipermukaan tanah, sehingga kualitas data hujan yang diperoleh juga akan bermacam – macam.
b. Alat ukur curah hujan ARR Type Sipon
Alat ukur ini disebut juga tipe apung (float type), air hujan yang diterima corong hujan setelah melalui sebuah
selinder akan tertampung dalam sebuah bejana tampung (collector), yang di dalam bejana itu dilengkapi dengan
sebuah pelampung (float). Pelampung yang berada pada permukaan air hujan tersebut dihubungkan dengan
mekanisme khusus yang dapat menggerakan alat tulis (pena) di atas kertas grafik hujan sebagai alat perekam.
Gerak naik turunya pelampung menggambarkan tebal hujan yang terjadi selama waktu perekaman data. Apabila
seluruh ruang tampungan bejana telah terisi penuh dengan air hujan, maka air hujan akan ke luar melalui sipon
dan pelampung akan kembali pada posisi skala nol kertas grafik. Kertas grafik yang digunakan pada umunya
mempunyai lebar sesuai dengan curah hujan 10 mm atau 20 mm. Ketika air hujan mencapai skala 10 mm atau 20
mm, maka air hujan akan terbuah melalui sipon dan kembali pada skala nol pada kertas grafik. Panjang kertas
grafik menunjukan skala waktu operasi (mingguan atau bulanan).

Gambar 2.3 Alat Ukur Curah Hujan Otomatik Type Sipon

Bunganaen. W – 20212 - 3
c. Alat ukur curah hujan ARR Type Tampung – Jungkit
Alat ini terdiri dari corong, saringan, dua buah alat tampung sisi A dan sisi B dengan masing – masing
mempunyai alat pembuang serta peralatan mekanisme untuk merekam data. Alat tampung tersebut sekaligus
berfungsi sebagai alat penimbang. Terdiri dari dua bagian yang sama besar dan beratnya, dan dapat bergerak pada
sumbu horizontal yang dipasang di tengah – tengah. Air hujan yang jatuh pada corong setelah melewati saringan
akan ditampung oleh salah satu sisi alat tampung tersebut apabila air hujan di dalam alat tampung itu telah
mencapai jumlah (berat tertentu) biasanya setara dengan tebal hujan 0.2 mm, dan ada juga 0.5 mm, hal ini
tergantung dari pabrik yang membuat alat tersebut, maka air hujan pada tampungan tersebut akan tumpah dan
terbuang melalui alat pembuang sehingga alat tampung sisi A akan kosong, dan alat tampung sisi B akan terangkat
dan siap menampung air hujan. Demikian gerakan alat tampung A dan B saling bergantian setelah masing – masing
menampung air hujan setara dengan tebal hujan yang telah ditentukan.

Gambar 2.4 Alat Ukur Curah Hujan Otomatik Type Tampung – Jungkit

Gerakan dari alat tampung ini akan tercatat pada kertas grafik yang menggambarkan tebal hujan setiap
terjadi hujan, oleh sebuah pena yang digerakan secara mekanik melalui sebuah kabel.
Kelemahan dari alat ini, antara lain :
1. Pada saat salah satu alat tampung menumpahkan air memerlukan waktu, sehingga ada kemungkinan hujan
yang terjadi saat itu tidak dapat terekam tebalnya.
2. Air hujan yang tertampung dalam alat tampung kemungkinan mengalami pengurangan sebagai akibat dari
penguapan.
3. Apabila saringan sudah tidak dapat berfungsi dengan baik, kotoran, debu akan masuk pada alat tampung
sehingga menambah bobot air sekaligus menambah tebal hujan.

Bunganaen. W – 20212 - 4
KEGIATAN BELAJAR 2.2
ANALISIS DATA HUJAN

Dalam menganalisis data hujan, maka perlu diketahui karakteristik hujan di suatu DPS/DAS (Daerah
Pengaliran Sungai / Daerah Aliran Sungai)., Karakteristik tersebut antara lain tebal hujan, intensitas, frekuensi,
atau periode ulang hujan.
Hujan yang terjadi dapat merata di seluruh kawasan yang luas atau terjadi hanya bersifat setempat. Hujan
bersifat setempat artinya ketebalan hujan yang diukur dari suatu pos hujan belum tentu dapat mewakili hujan untuk
kawasan yang lebih luas, kecuali hanya untuk lokasi di sekitar pos hujan itu.
Sejauh mana curah hujan yang diukur dari suatu pos hujan dapat mewakili karakteristik hujan untuk daerah yang
luas, hal ini tergantung dari beberapa fungsi, antara lain :
1. jarak pos hujan itu sampai titik tengah kawasan yang dihitung curah hujannya,
2. luas daerah,
3. topografi,
4. sifat hujan.

Mengingat hujan yang terjadi sangat bervariasi terhadap tempat dan waktu, maka untuk kawasan yang
luas, satu alat penakar hujan belum tentu menggambarkan hujan pada wilayah tersebut. Dalam hal ini diperlukan
hujan kawasan yang diperoleh dari harga rata – rata curah hujan beberapa stasiun penakar hujan yang ada di dalam
dan atau disekitar kawasan tersebut.
Beberapa metode pendekatan yang dianggap dapat digunakan untuk menentukan tebal hujan rata – rata pada
periode tertentu, (setiap jam, harian, bulanan, tahunan) dari suatu kawasan DPS, antara lain :
1. rata – rata aljabar
2. polygon Thiessen (Thiessen polygon method)
3. isohiet (isohyetal method)

2.2.1 Tebal Hujan Rata – rata Aljabar

Metode rerata aljabar merupakan metode yang paling sederhana. Tebal hujan dihitung dengan rumus :
d 1 + d 2 + ..... + d n n
d
d= = i …………………………. (2.1)
n i =1 n
Dimana :
d = tebal hujan rerata (mm)
d1, d2 ….. dn = tebal hujan (mm) pada pos penakar 1, 2, …. n
n = banyaknya pos penakar

Metode ini disarankan untuk kondisi DPS dengan topografi datar (flat topography), dengan jumlah pos
hujan yang cukup banyak, dan lokasinya tersebar merata (uniformly distributed), serta harga tebal hujan rerata
tidak berbeda jauh dengan harga masing – masing tebal hujan pada setiap pos hujan.

(a) (b) (c)

Gambar 2.5 Mengukur Tebal Hujan; (a) Metode Rerata Aritmatik,


(b) Matode Polygon Thiessen, (c) Metode Isohiet

2.2.2 Matode Polygon Thiessen (Thiessen polygon method)

Metode ini cocok untuk menentukan tebal hujan rerata, apabila pos hujan tidak banyak dan curah
hujannya tidak merata. Metode perhitungan dengan memperhatikan luas pengaruh dari tiap – tiap pos hujan.

Bunganaen. W – 20212 - 5
Prosedur penerapan metode ini meliputi langkah – langkah sebagai berikut :
1. Lokasi pos penakar hujan diplot pada peta DPS/DAS. Antara pos penakar dibuat garis lurus penghubung
yang akan membentuk segitiga dan menutupi seluruh areal.
2. Tarik garis tegak lurus di tengah –tengah tiap garis penghubung sedemikian, sehingga membentuk
polygon Thiessen (Gambar 2.9.b).
3. Luas areal tiap – tiap polygon dapat diukur dengan planimeter.
4. Tebal hujan dapat dihitung dengan persamaan :
n

A d + A 2 d 2 + ..... + A n d n A d i i
d= 1 1 = i =1
n
…………………. (2.2)
A
n
i
i =1

d = W1 d1 + W2 d2 + …… + Wn dn …………………. (2.3)

Dimana :
= tebal hujan rerata (mm)
d
d1, d2 ….. dn tebal hujan (mm) pada pos penakar 1, 2, …. n
n banyaknya pos penakar
A1, A2 …. An Luas bagian daerah (Ha/Km2) yang mewakili tiap pos penakar 1, 2, ….. n
W1, W2 .. Wn Perbandingan antara luas bagian daerah dari tiap pos pengamtan terhadap luas total
(A1/∑A, A2/∑A, An/∑An)

2.2.3 Matode isohiet (isohyetal method)

Metode ini ditentukan dengan cara menggunakan peta garis kontur yang menunjukan tempat kedudukan
curah hujan yang hampir sama. Metode ini cocok untuk menentukan tebal hujan rata – rata, apabila daerahnya
pegunungan atau berbukit.

Beberapa langkah dalam menggunakan metode isohiet :


a. Plot data tebal air hujan untuk tiap pos penakar hujan pada peta.
b. Gambar kontur tebal air hujan dengan menggunakan titik – titik yang mempunyai tebal air hujan yang
sama.
c. Hitung luas areal antara dua garis kontur dengan menggunakan planimeter.

Metode perhitungan tebal hujan rata – rata dengan menjumlahkan hasil kali tebal hujan dengan luas
daerah yang dibatasi oleh dua garis kontur yang membagi jarak yang sama di antara 2 isohiet, dibagi luas total.
Persamaan untuk menghitung tebal hujan rata – rata adalah :
A1 (d 1 + d 2 ) A 2 (d 2 + d 3 ) A n (d n + d n +1 )
d= + + ..... + (2.4)
A 2 A 2  An 2
Dimana :
d = tebal hujan rerata (mm)
d1, d2 ….. dn = tebal hujan rata-rata (mm) pada bagian A1, A2 …. An
A1, A2 …. An = Luas bagian daerah (Ha/Km2) antara garis isohiet

Beberapa syarat dalam memilih ketiga metode tersebut di atas dapat di lihat pada Tabel 2.1. (Suripin, 2004, hal.
31)

Bunganaen. W – 20212 - 6
KEGIATAN BELAJAR 2.3
ANALISIS FREKUENSI DAN PROBABILITAS

Dalam system hidrologi kadang – kadang dipengaruhi oleh peristiwa – peristiwa yang luar biasa (ekstrim), seperti
hujan lebat, banjir, dan kekeringan. Besaran peristiwa ekstrim berbanding terbalik dengan frekuensi kejadiannya,
peristiwa yang luar biasa ekstrim kejadiannya sangat langka.

Tujuan dari analisis frekuensi data hidrologi adalah berkaitan dengan besaran peristiwa – peristiwa ekstrim yang
berkaitan dengan frekuensi kejadiannya melalui penerapan distribusi kemungkinan.

Frekuensi hujan adalah besarnya kemungkinan suatu besaran hujan disamai atau dilampaui. Kala – ulang (return
period) adalah waktu hipotetik di mana hujan dengan suatu besaran tertentu akan disamai atau dilampaui.
Pengertian ini bukan berarti bahwa kejadian tersebut akan berulang secara teratur setiap kala – ulang tersebut.
Misalnya, hujan dengan kala ulang 10 tahun, tidak berarti akan terjadi sekali dalam 10 tahun akan tetapi ada
kemungkinan dalam jangka waktu 1000 tahun akan terjadi 100 kali kejadian hujan 10 tahunan. Ada kemungkinan
selama kurun waktu 10 tahun terjadi hujan 10-tahunan lebih dari satu kali, atau tidak terjadi sama sekali.

Analisis frekuensi diperlukan seri data hujan yang diperoleh dari pos penakar hujan, baik secara manual maupun
otomatis. Analisis frekuensi ini didasarkan pada sifat statistic data kejadian yang telah lalu untuk memperoleh
probabilitas besaran hujan di masa yang akan datang, dengan anggapan bahwa sifat statistic kejadian hujan yang
akan datang masih sama dengan sifat statistic kejadian hujan masa lalu.

Dalam analisis frekuensi, hasil yang diperoleh tergantung pada kualitas data dan panjang data. Makin pendek data
yang tersedia, makin besar penyimpangan yang terjadi.
Dalam ilmu statistic dikenal beberapa macam distribusi frekuensi dan empat jenis distribusi yang banyak
digunakan dalam bidang hidrologi adalah :
a. Distribusi Normal
b. Distribusi Log Normal
c. Distribusi Log – Pearson III
d. Distribusi Gumbel

Dalam statistic dikenal beberapa parameter (Tabel 2.2) yang berkaitan dengan analisis data yang meliputi rata –
rata, simpangan baku, koefisien variasi, dan koefisien skewness (kecondongan / kemencengan / asimetris =
penyimpangan kesimetrian suatu distribusi).

Tabel 2.2 Parameter Statistik yang Penting.


Parameter Sampel
Rata – rata n
 Xi
i =1
X=
n
Standar deviasi / simpangan baku n
(
 X -X
i=l i
2
)
S=
n -1
Koefisien variasi S
Cv =
X
Koefisien Skewness n n 3
 (Xi - X )
(n - 1) (n - 2) l
i =
Cs =
3
S
Koefisien Kurtosis n
2 n
(
 Xi - X
i=l
4
)
Ck =
4
(n - 1) (n - 2) (n - 3) S
Dimana :
X = nilai rata-rata Cv = koefisien variasi
Xi = nilai varian ke i Cs = Koefisien Skewness
n = banyaknya data Ck = Koeffisien Kortusis
S = standar deviasi

Bunganaen. W – 20212 - 7
2.3.1 Distribusi Normal

Distribusi normal atau kurva normal disebut pula distribusi Gauss. Fungsi densitas peluang normal (PDF
= probability density function) yang paling dikenal adalah bentuk bell dan dikenal sebagai distribusi normal.

Persamaan yang dipakai untuk distribusi normal :

XT = X + KT S (2.5)
KT = (XT - X ) / S (2.6)

Dimana :
XT = perkiraan nilai yang diharapkan terjadi pada periode ulang T – tahun.
X = nilai rata – rata hitung
S = standar deviasi
KT = factor frekuensi (Tabel 2.3)

Tabel 2.3 Nilai Variabel Reduksi Gauss

Sumber : Bonnier dalam Suripin, 2004

2.3.2 Distribusi Log Normal

Jika variable acak Y = log X terdistribusi secara normal, maka X dikatakan mengikuti distribusi Log
Normal.

Persamaan yang dipakai untuk distribusi Log Normal :

YT = Y + KT S (2.7)
KT = (YT - Y ) / S (2.8)

Dimana :
YT = perkiraan nilai yang diharapkan terjadi pada periode ulang T – tahun.
Y = nilai rata – rata hitung
S = standar deviasi
KT = factor frekuensi (Tabel 2.3)
2.3.3 Distribusi Log – Pearson Tipe III

Bunganaen. W – 20212 - 8
Parameter – parameter statistic yang diperlukan dalam distribusi Log – Pearson Tipe III, antara lain :
a. Nilai tengah atau rata – rata hitung
b. Standar deviasi
c. Koefisien kemencengan, dan apabila koefisien kemencengan sama dengan nol, distribusi kembali ke
distribusi Log Normal.

Langkah – langkah penggunaan distribusi Log – Pearson Tipe III :


a. Ubah data sebanyak n buah X1, X2, X3, ….. Xn menjadi log X1, log X2, log X3, ….. log Xn
n

 log X i
b. Hitung nilai tengah : log X = i =1
(2.9)
n
c. Hitung nilai standar deviasi :
n

 (log X i − logX ) 2
S log X = i =1
(2.10)
n -1
d. Hitung koefisien kemencengan :
n
n  (log Xi - log X) 3
i=l
Cs = (2.11)
(n - 1) (n - 2) S3
e. Hitung logaritma hujan atau banjir dengan periode ulang T tahun :
log X T = log X + G S log X (2.12)

Nilai – nilai G dapat diambil dari Tabel 2.4, dengan nilai Cs yang dihitung dan waktu balik (periode ulang T tahun)
yang dikehendaki maka G dapat diketahui.

Tabel 2.4 Distribusi Log Pearson Tipe III untuk Koefisien Kemencengan Cs

2.3.4 Distribusi Gumbel

Bunganaen. W – 20212 - 9
Persamaan dasar distribusi Gumbel :
XT = X +K.S (2.13)
(YT − Yn )
K = (2.14)
Sn
YT = - ln [-ln (Tr – 1)/Tr] (2.15)

Di mana:
XT = perkiraan nilai yang diharapkan terjadi pada periode ulang T – tahun
X = nilai rata – rata hitung
K = faktor frekuensi
S = standar deviasi
Sn,Yn = fungsi dari besaran atau banyaknya data (Tabel 2.5)
YT = reduksi sebagai fungsi dari probabilitas (Tabel 2.6)
n = banyaknya data
Tr = periode ulang

Subtitusi persamaan (2.13) ke dalam persamaan (2.14) :


(YT − Yn )
XT =X + S
Sn
Y S Y S
=X- n + T
Sn Sn
Y S
Jika dimasukan Sn/S = a dan X - n = b, maka
Sn
1
XT =b + YT (2.16)
a
Tabel 2.5 Hubungan Sn,Yn dengan n
N Sn Yn n Sn Yn
10 0,9476 0,4952 33 1,1226 0,5388
11 0,9676 0,4996 35 1,1285 0,5402
12 0,9833 0,5035 40 1,1413 0,5436
13 0,9971 0,5070 45 1,1519 0,5463
14 1,0093 0,5100 50 1,1607 0,5485
15 1,0206 0,5128 55 1,1681 0,5504
17 1,0411 0,5181 60 1,1747 0,5521
20 1,0628 0,5236 65 1,1803 0,5533
23 1,0811 0,5283 70 1,1854 0,5548
25 1,0905 0,5309 80 1,1938 0,5569
27 1,1004 0,5332 90 1,2007 0,5586
30 1,1124 0,5362 100 1,2065 0,5600

Tabel 2.6 Hubungan T dengan YT , YT = -ln (-ln((Tr-1)/Tr))


No T (tahun) YT No T (tahun) YT
1 2 0,36655 8 100 4,60018
2 5 1,49997 9 200 5,29584
3 10 2,25040 10 500 6,21364
4 15 2,67378 11 1000 6,90729
5 20 2,97023 12 2000 7,60069
6 25 3,19857 13 5000 8,51713
7 50 3,90197 14 10.000 9,21032

Berikut adalah persyaratan statistik dari distribusi – distribusi yang ada, Tabel 2.7.

Bunganaen. W – 20212 - 10
Tabel 2.7 Persyaratan Parameter Statistik
Jenis agihan / Distribusi Syarat yang dipenuhi
Normal Cs  0 ; Ck = 3
Log Normal Cs = 3Cv
Gumbel Cs = 1,1396 ; Ck = 5,4002
Log - Pearson Type III Jika semua tidak memenuhi syarat tersebut di atas

2.3.5 Probabilitas

Ada dua cara untuk mengetahui ketepatan distribusi probabilitas data hidrologi, yaitu data yang ada
diplot pada kertas probabilitas yang sudah didesain khusus atau menggunakan skala plot yang melinierkan
fungsi distribusi. Suatu garis lurus yang merepresentasikan sebaran data-data yang diplot kemudian ditarik
sedemikian rupa, sehingga dapat digunakan untuk interpolasi maupun ekstrapolasi. Dalam analisis hidrologi,
ekstrapolasi harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena dapat menimbulkan penyimpangan yang cukup
besar.
Posisi pengeplotan data merupakan nilai probabilitas yang dimiliki oleh masing -masing data yang
diplot. Banyak metode yang telah dikembangkan untuk menentukan posisi pengeplotan yang sebagian besar
dibuat secara empiris. Untuk keperluan penentuan posisi ini, data hidrologi (hujan atau banjir) yang telah
ditabelkan diurutkan dari besar ke kecil (berdasarkan peringkat m), dimulai dengan m = 1 untuk data dengan
nilai tertinggi dan m = n (n adalah jumlah data) untuk data dengan nilai terkecil. Periode ulang T r dapat
dihitung dengan beberapa persamaan yang telah dikenal, yaitu:
1) Weibull
Persamaan Weibull, merupakan salah satu persamaan yang paling sering digunakan, yaitu:
Tr = (n + 1) / m (2.17)

Di mana :
m = nomor urut (peringkat) data setelah diurutkan dari besar ke kecil,
n = banyaknya data atau jumlah kejadian (event).

2) California
Tr = n /m (2.18)

3) Hazen
Tr = (2n) / (2m – 1) (2.19)

4) Gringorten
Tr = (n + 0,12) / (m – 0,44) (2.20)

5) Cunnane
Tr = (n + 0,2) / (m – 0,4) (2.20)

6) Blom
Tr = (n + 0,25) / (m – 0,375) (2.21)

7) Turkey
Tr = (3n + 1) / (3m – 1) (2.22)

Data yang telah diurutkan dan periode ulangnya telah dihitung dengan salah satu persamaan (2.18 – 2.22) diplot
di atas kertas probabilitas, sehingga diperoleh garis Tr dan d (hujan) atau Q (debit banjir) yang berupa garis
lurus.

2.3.6 Uji Kecocokan

Diperlukan penguji parameter untuk menguji kecocokan ( t h e g o o d n e s s o f f i t t e s t t e s t )


distribusi frekuensi sampel data terhadap fungsi distribusi peluang yang diperkirakan dapat menggambarkan
atau mewakili distribusi frekuensi tersebut. Pengujian parameter yang sering dipakai adalah chi-kuadrat dan
Smirnov-Kolmogorov.

Bunganaen. W – 20212 - 11
2.3.6.1 Uji Chi-kuadrat
Uji chi-kuadrat dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan distribusi yang telah dipilih dapat
mewakili distribusi statistik sampel data yang dianalisis. Pengambilan keputusan uji ini parameter 2, yang
dapat dihitung dengan rumus berikut :
G
(Oi − Ei ) 2
2 h = 
i =1 Ei
(2.17)

Di mana:
2h = parameter chi-kuadrat terhitung,
G = jumlah sub kelompok,
Oi = jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok i,
Ei = jumlah nilai teoritis pada sub kelompok i.

Prosedur uji Chi-kuadrat adalah sebagai berikut:


1). Urutkan data pengamatan (dari besar ke kecil atau sebaliknya),
2). Kelompokkan data menjadi G sub-grup yang masing-masing beranggotakan minimal 4 data pengamatan,
3). Jumlahkan data pengamatan sebesar O i tiap-tiap sub-grup,
4). Jumlahkan data dari persamaan distribusi yang digunakan sebesar E i
5). Pada tiap sub-grup hitung nilai
(Oi − E i ) 2
(Oi – Ei) dan
2
Ei
(Oi − E i ) 2
6). Jumlah seluruh G sub-grup nilai untuk menentukan nilai chi-kuadrat hitung,
Ei
7). Tentukan derajad kebebasan dk = G-R-1 (nilai R = 2 untuk distribusi normal dan binomial).

Interpretasi hasil uji adalah sebagai berikut:


1). Apabila peluang lebih dari 5%, maka persamaan distribusi yang digunakan dapat diterima,
2). Apabila peluang kurang dari 1%, maka persamaan distribusi yan digunakan tidak dapat diterima,
3). Apabila peluang berada di antara 1 – 5%, maka tidak mungkin mengambil keputusan, misal perlu data
tambahan.

2.3.6.2 Uji Smirnov-Kolmogorov


Uji kecocokan Smirnov-Kolmogorov sering disebut juga uji kecocokan non parametrik, karena pengujiannya
tidak menggunakan fungsi distribusi tertentu. Prosedur pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
1). Urutkan data (dari besar ke kecil atau sebaliknya) dan tentukan besarnya peluang dari masing -masing data
tersebut
X1 = P(X1)
X2 = P(X2)
X3 = P(X3) dan seterusnya.
2). Urutkan nilai masing-masing peluang teoritis dari hasil penggambaran data (persamaan distribusinya)
X1 = P’(X1)
X2 = P’(X2)
X3 = P’(X3) dan seterusnya.
3). Dari kedua nilai peluang tersebut, tentukan selisih terbesarnya antara peluang pengamatan dengan peluang
teoritis.
D = maksimum (P(Xn) - P'(Xn))
4). Berdasarkan tabel nilai kritis (Smirnove-Kolrraogorov test) tentukan harga Do dari Tabel 2.8.

Bunganaen. W – 20212 - 12
Tabel 2.8 Nilai Kritis Do untuk Uji Smirnov – Kolmogorov
Derajad Kepercayaan, 
N
0,20 0,10 0,05 0,01
5 0,45 0,51 0,56 0,67
10 0,32 0,37 0,41 0,49
15 0,27 0,30 0,34 0,40
20 0,23 0,26 0,29 0,36
25 0,21 0,24 0,27 0,32
30 0,19 0,22 0,24 0,29
35 0,18 0,20 0,23 0,27
40 0,17 0,19 0,21 0,25
45 0,16 0,18 0,20 0,24
50 0,15 0,17 0,19 0,23
1,07 1,22 1,36 1,63
N>50 0,5 0,5
N N N0,5 N0,5
Sumber : Bonnier, 1980 dalam Suripin, 2004

Bunganaen. W – 20212 - 13
KEGIATAN BELAJAR 2.4
INTENSITAS HUJAN

2.4.1 Pengertian Intensitas Hujan

Intensitas hujan adalah tebal atau kedalaman hujan persatuan waktu, misalnya mm/menit, mm/jam,
mm/hari. Secara umum rumus intensitas hujan adalah :

I = d/t (2.18)

Di mana:
d = tebal hujan (mm) selama t (menit, jam atau hari)
t = lama hujan (menit, jam atau hari)

Intensitas hujan pada umumnya semakin tinggi (besar) apabila hujannya berlangsung dalam durasi waktu yang
singkat dan periode ulangnya besar dan apabila intensitasnya semakin rendah (kecil) berlangsung dalam durasi
waktu yang lama dan periode ulangnya kecil.

Hubungan antara intensitas hujan, lama hujan, dan frekuensi biasanya dinyatakan dalam lengkung “Intensitas –
Durasi – Frekuensi” (IDF = Intensity – Duration – Frequency Curve). Diperlukan data hujan jangka pendek,
misalnya 5, 10, 15, 45, 60, 120, 360, 720 menit. Data hujan jenis ini hanya dapat diperoleh dari pos penakar curah
hujan otomatis. Selanjutnya, berdasarkan data hujan jangka pendek tersebut lengkung IDF dapat dibuat dengan
salah satu persamaan berikut ini.

2.4.2 Persamaan – persamaan Intensitas Hujan

2.4.2.1 Persamaan Talbot


Rumus ini dikemukakan oleh Prof. Talbot pada tahun 1881 dan disebut dengan persamaan Talbot. Rumus ini
banyak digunakan karena mudah diterapkan dimana tetapan – tetapan a dan b ditentukan dengan harga – harga
yang terukur.
I = a / (t + b) (2.19)
Di mana:
I = Intensitas hujan (mm/jam)
t = lama hujan (jam)
a, b = konstanta yang tergantung pada lamnya hujan
n n n n

 ( I .t ) ( I
i =1 i =1
2
) −  ( I 2 .t ) ( I )
i =1 i =1
a= 2
(2.20)
n
  n
n ( I 2 ) −   ( I ) 
i =1  i =1 
n n n

 ( I ) ( I .t ) − n ( I
i =1 i =1 i =1
2
.t )
b= 2
(2.21)
n
 n 
n ( I ) −   ( I ) 
2

i =1  i =1 

2.4.2.2 Persamaan Sherman


Rumus ini dikemukakan oleh Prof. Sherman pada tahun 1905 dan disebut dengan persamaan Sherman. Rumus ini
mungkin cocok untuk jangka waktu curah hujan yang lamanya lebih dari 2 jam.

I = a / (t)b (2.22)
Di mana:
I = Intensitas hujan (mm/jam)
t = lama hujan (jam)
a, b = konstanta

Bunganaen. W – 20212 - 14
n n n n

 (log I ) (log t ) 2 −  (log t. log I ) (log t )


i =1 i =1 i =1 i =1
log a = 2
(2.23)
n
  n
n (log t ) 2 −   (log t ) 
i =1  i =1 
n n n

 (log I ) (log t ) − n (log t. log I )


i =1 i =1 i =1
b= 2
(2.24)
n
  n
n (log t ) 2 −   (log t ) 
i =1  i =1 

2.4.2.3 Persamaan Ishiguro


Rumus ini dikemukakan oleh Dr. Ishiguro Sherman pada tahun 1953 dan disebut dengan persamaan Ishiguro.

I = a / (t + b) (2.25)
Di mana:
I = Intensitas hujan (mm/jam)
t = lama hujan (jam)
a, b = konstanta

n n n n

 ( I . t ) ( I
i =1 i =1
2
) −  ( I 2 t ) ( I )
i =1 i =1
a= 2
(2.26)
n
  n
n ( I ) −   ( I ) 
2

i =1  i =1 
n n n

 ( I ) ( I
i =1 i =1
t ) − n ( I 2 t )
i =1
b= 2
(2.27)
n
 n 
n ( I ) −   ( I )  2

i =1  i =1 

2.4.2.4 Persamaan Mononobe


Persamaan yang dikemukakan oleh Mononobe, merupakan variasi dari rumus – rumus (2.25, 2.26 dan 2.27).
Rumus ini digunakan apabila data hujan jangka pendek tidak ada atau dengan kata lain rumus ini digunakan apabila
hanya tersedia data hujan harian dari alat ukur curah hujan manual (MRG).

2/3
R24  24 
I =   (2.28)
24  t 
Di mana:
I = Intensitas hujan (mm/jam)
t = lama hujan (jam)
R24 = tebal hujan maksimum harian (selama 24 jam), mm

Bunganaen. W – 20212 - 15

Anda mungkin juga menyukai