Anda di halaman 1dari 19

MODUL 3

L I M P A S A N (RUNOFF)

1. PENDAHULUAN

Modul ini membahas tentang limpasan, yang merupakan sisa air hujan yang mengalir di atas
permukaan tanah menuju alur aliran terdekat. Air hujan yang turun dari atmosfir jika tidak ditangkap oleh
vegetasi atau oleh permukaan-permukaan buatan seperti atap bangunan atau lapisan kedap air lainnya, maka
akan jatuh kepermukaan bumi dan sebagian akan hilang dalam bentuk menguap, berinfiltrasi, dan atau
tersimpan dalam cekungan-cekungan. Jika kehilangan seperti tersebut telah terpenuhi, maka sisa air hujan akan
mengalir dan menuju alur aliran terdekat.
Dalam perencanaan drainase, bagian air hujan yang menjadi perhatian adalah aliran permukaan
(surface runoff), sedangkan untuk pengendalian banjir tidak hanya aliran permukaan, tetapi limpasan (runoff).
Limpasan merupakan gabungan antara aliran permukaan, aliran yang tertunda pada cekungan-cekungan, dan
aliran bawah permukaan (subsurface flow).
Pada modul 3 ini secara umum anda diharapkan mampu memahami topik yang berhubungan dengan
limpasan (runoff) dalam kaitan dengan perencanaan bangunan air, dan secara khusus setelah mempelajari modul
3 ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan dan menghitung :
1. Faktor–faktor mempengaruhi limpasan (runoff) meliputi : faktor meteorologi (jenis presipitasi,
intensitas hujan, lamanya hujan, distribusi hujan, arah pergerakan hujan, curah hujan terdahulu dan
kelembaban tanah); faktor karakteristik DAS (tata guna lahan / kondisi penggunaan lahan, luas
dan bentuk DAS, topografi, jenis tanah)
2. Perkiraan debit banjir menggunakan metode rasional (koefisien pengaliran, koefisien retensi, waktu
konsentrasi, intensitas hujan)
3. Perkiraan debit banjir dengan metode hidrograf meliputi : hidrograf satuan; penurunan hidrograf
satuan; hidrograf satuan dari hujan berbagai periode;
4. Hidrograf satuan sintetis, meliputi : hidrograf satuan sintetik Nakayasu; hidrograf satuan sintetik
Snyder.
Mahasiswa diharapkan membaca keseluruhan modul 3 secara berurutan dan mengerjakan tugas sesuai
dengan penjelasan dalam modul ini dengan seksama. Setelah memahami isi modul 3, kerjakanlah tugas dan
asistensi agar dapat memahami dengan baik dan benar. Jika masih belum dapat memahami modul 3 ini dengan
baik, mahasiswa diharapkan menerapkan cara belajar aktif dengan membentuk kelompok diskusi, membaca
buku teks yang menjadi referensi.

3-1 Bunganaen. W - 2010


2. PENYAJIAN

KEGIATAN BELAJAR 3.1


FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
LIMPASAN (RUNOFF)

Faktor – factor yang mempengaruhi limpasan ada 2, yaitu elemen-elemen meteorologi yang diwakili oleh
curah hujan dan elemen-elemen karakteristik daerah tangkapan saluran atau daerah aliran sungai (DAS) yang
menyatakan sifat-sifat fisik daerah pengaliran tersebut.

3.1.1 Faktor Meteorologi

Faktor - faktor meteorologi yang berpengaruh terhadap limpasan, meliputi :


1. Jenis presipitasi
Pengaruhnya terhadap limpasan sangat berbeda, tergantung pada jenis presipitasinya yakni hujan atau
salju. Jika hujan maka pengaruhnya langsung dan hidrografnya hanya dipengaruhi oleh intensitas hujan dan
tebalnya hujan.
2. Intensitas hujan
Pengaruh intensitas hujan terhadap limpasan permukaan tergantung dari kapasitas infiltrasi atau laju
infiltrasi. Jika intensitas hujan melampaui laju infiltrasi, maka akan terjadi limpasan permukaan sejalan
dengan peningkatan intensitas hujan. Namun demikian, peningkatan limpasan permukaan tidak selalu
sebanding dengan peningkatan intensitas hujan karena adanya penggenangan di permukaan tanah. Intensitas
hujan berpengaruh pada debit limpasan.
3. Lamanya hujan
Di setiap daerah aliran terdapat suatu lamanya hujan yang kritis. Jika lamanya hujan itu kurang dari
waktu lamanya kritis, maka lamanya limpasan itu praktis akan sama dan tidak tergantung dari intenasitas
hujan. Jika lamanya itu lebih panjang, maka lamanya limpasan permukaan itu juga menjadi lebih panjang.
Lamanya hujan juga mengakibatkan penurunan kapasitas infiltrasi. Untuk hujan yang jangka waktunya lama,
limpasan permukaannya akan menjadi lebih besar meskipun intensitasnya relatif sedang.
4. Distribusi hujan dalam daerah pengaliran
Laju dan volume limpasan dipengaruhi oleh distribusi dan intensitas hujan di seluruh DAS. Secara
umum, laju dan volume limpasan maksimum terjadi jika seluruh DAS telah memberi kontribusi aliran.
Namun demikian, hujan dengan intensitas yang lebih besar pada sebagian DAS dapat menghasilkan volume
limpasan yang lebih besar.
Jika kondisi topografi, tanah, dan lain – lain di seluruh DAS seragam, untuk jumlah hujan yang sama, maka
curah hujan yang distribusinya merata menghasilkan debit puncak banjir yang minimum.
5. Arah pergerakan curah hujan.
Umumnya pusat curah hujan itu bergerak. Jadi suatu curah hujan lebat bergerak sepanjang system aliran
sungai akan sangat mempengaruhi debit puncak dan lamanya limpasan permukaan.
6. Curah hujan terdahulu dan kelembaban tanah
Jika kadar kelembaban lapisan tanah teratas itu tinggi, maka akan mudah terjadi limpasan permukaan
yang besar (banjir) karena kapasitas infiltrasi kecil. Atau kelembaban tanah meningkat karena curah hujan
terdahulu cukup besar, maka kadang – kadang hujan dengan intensitasnya yang kecil dapat meningakibatkan
kenaikan permukaan air yang besar dan dapat menimbulkan banjir.

3.1.2 Faktor Karakteristik DAS

Karakteristik DAS yang berpengaruh besar pada aliran permukaan meliputi :


1. Tata guna lahan / kondisi penggunaan lahan (landuse)
Hidrograf sebuah aliran pada sungai sangat dipengaruhi oleh kondisi penggunaan tanah dalam DAS itu.
Daerah hutan yang ditutupi oleh tumbuh – tumbuhan yang lebat adalah sulit mengadakan limpasan
permukaan karena kapasitas infiltrasi yang besar. Jika daerah hutan ini dijadikan daerah perumuhan dan
dikosongkan (hutannya ditebang), maka kapasitas infiltrasi akan turun karena pemampatan permukaan tanah.
Hal ini mengakibatkan air hujan akan cepat mengalir ke sungai – sungai dengan kecepatan yang tinggi dan
dapat mengakibatkan banjir.
Pengaruh tata guna lahan pada aliran permukaan dinyatakan dalam koefisien aliran permukaan (C), yaitu
bilangan yang menunjukan perbandingan antara besarnya aliran permukaan dan besarnya curah hujan. Nilai
C berkisar antara 0 – 1. Pada DAS yang masih baik nilai C mendekati nol dan apabila nilai C mendekati
angka satu, maka DAS tersebut semakin rusak.

3-2 Bunganaen. W - 2010


2. Luas dan bentuk DAS
Laju dan volume aliran permukaan makin bertambah besar dengan bertambahnya luas DAS. Tetapi,
apabila aliran permukaan tidak dinyatakan sebagai jumlah total dari DAS, melainkan sebagai laju dan
volume per satuan luas, besarnya akan berkurang dengan bertambah luasnya DAS. Hal ini berkaitan dengan
waktu yang dibutuhkan air untuk mengalir dari titik terjauh sampai ke titik control (waktu konsentrasi) dan
juga penyebaran atau intensitas hujan.
Bentuk DAS mempunyai pengaruh pada pola aliran dalam sungai. Pengaruh bentuk DAS terhadap aliran
permukaan dapat ditunjukan dengan memperhatikan hidrograf – hidrograf yang terjadi pada dua buah DAS
yang bentuknya berbeda namun mempunyai luas yang sama dan menerima hujan dengan intensitas yang
sama (Gambar 3.1)
Bentuk DAS memanjang dan sempit cenderung menghasilkan laju aliran permukaan yang lebih kecil
dibandingkan dengan DAS yang bentuknya melebar dan melingkar. Hal ini terjadi karena waktu konsentrasi
DAS memanjang lebih lama dibandingkan dengan DAS melebar, sehingga terjadinya konsentrasi air di titik
kontrol lebih lambat yang berpengaruh pada laju dan volume aliran permukaan. Faktor bentuk juga dapat
berpengaruh pada aliran permukaan apabila hujan yang terjadi tidak serentak di seluruh DAS, tetapi bergerak
dari ujung yang satu ke ujung lainnya, misalnya dari hilir ke hulu DAS. Pada DAS memanjang laju aliran
akan lebih kecil karena aliran permukaan akibat hujan di hulu belum memberikan konstribusi pada titik
kontrol ketika aliran permukaan dari hujan di hilir telah habis, atau mengecil. Sebaliknya pada DAS
melebar, datangnya aliran permukaan dari semua titik di DAS tidak terpaut banyak, artinya air dari hulu
sudah tiba sebelum aliran dari hilir mengecil atau habis.

Gambar 3.1 Pengaruh Bentuk DAS pada Aliran Permukaan

3. Topografi
Tampakan rupa muka bumi atau topografi seperti kemiringan lahan, keadaan dan kerapatan parit atau
saluran, dan bentuk – bentuk cekungan lainnya mempunyai pengaruh pada laju dan volume aliran
permukaan. DAS dengan kemiringan curam disertai parit/saluran yang rapat akan menghsilkan laju dan
volume aliran permukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan DAS yang landai dengan parit yang jarang
dan cekungan – cekungan. Pengaruh kerapatan parit, yaitu panjang parit per satuan luas DAS, pada aliran
permukaan adalah memperpendek waktu konsentrasi, sehingga memperbesar laju aliran permukaan (Gambar
3.2).

3-3 Bunganaen. W - 2010


Gambar 3.2 Pengaruh Kerapatan Parit / Saluran pada Hidrograf Aliran Permukaan
(a) Kerapatan parit/saluran tinggi ; (b) Kerapatan parit / saluran rendah

4. Jenis tanah
Bentuk butir-butir tanah, corak dan cara pengendapannya merupakan factor yang menentukan kapasitas
infiltrasi, maka karakteristik limpasan sangat dipengaruhi oleh jenis tanah dalam DAS yang
bersangkutan.

3-4 Bunganaen. W - 2010


KEGIATAN BELAJAR 3.2
PERKIRAAN DEBIT BANJIR

Metode untuk memperkirakan debit banjir yang berdasarkan data curah hujan, dapat diklasifikasikan
dalam 3 cara, antara lain : (1) metode dengan rumus empiris, (2) metode statistik atau probabilitas, dan (3)
metode dengan unit hidrograf. Ketiga metode tersebut secara umum yang dipakai adalah metode rasional dan
metode hidrograf banjir. Disamping itu untuk menentukan pemakaian metode dalam penentuan debit banjir
tergantung pada ketersediaan data. Gambar 2.3 memberikan ilustrasi berdasarkan ketersediaan data.

Gambar 3.3 Metode yang Digunakan Dalam Memperkirakan


Debit Banjir Berdasarkan Ketersediaan Data
3.2.1 Metode Rasional

Metode ini sangat simple dan mudah dalam penggunaannya, namun penggunaannya terbatas untuk
DAS – DAS dengan ukuran kecil (A < 500 Ha). Persamaan dasar metode Rasional :
Qp = C. I. A (3.1)

Metode Rasional yang diubah :


Qp = C. Cs. I. A (3.2)

Di mana :
Qp = Debit banjir puncak pada Periode Ulang T tahun (m3/dtk)
C = Koefisien pengaliran
Cs = Koefisien retensi
I = Intensitas hujan (mm/jam)
A = Luas DAS (Jika A dalam Ha, maka persamaan tersebut dikali dengan 0.00278,
dan jika A dalam Km2, maka dikali dengan 0.278)

3-5 Bunganaen. W - 2010


Metode ini dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa :
1.) curah hujan terjadi serentak dan seragam menurut waktu
2.) curah huajn terjadi tersebar seragam menurut ruang
3.) lamanya hujan sedikitnya sama dengan lama waktu konsentrasi (tc).

Jika asumsi tersebut terpenuhi, maka curah hujan dan aliran permukaan DAS tersebut dapat digambarkan
dalam grafik pada Gambar 3.4. Gambar tersebut menunjukan bahwa hujan dengan intesitas seragam dan
merata seluruh DAS berdurasi sama dengan waktu konsentrasi. Jika hujan yang terjadi lamanya kurang dari
tc, maka debit puncak yang terjadi lebih kecil dari Qp karena seluruh DAS tidak dapat memberikan kontribusi
aliran secara bersama pada titik control (outlet). Dan jika hujan yang terjadi lebih lama dari tc, maka debit
puncak aliran permukaan akan tetap sama dengan Qp.

Gambar 3.4 Hubungan Curah Hujan dengan Aliran Permukaan


untuk Durasi Hujan yang Berbeda.

3.2.1.1 Koefisien pengaliran (C).


Koefisien ini mencerminkan keadaan permukaan DAS apakah ada tanaman yang dapat menyerapkan air ke
dalaman tanah. Jika permukaan DAS terdiri dari bangunan dan perkerasan aspal maka hampir tidak ada air
hujan yang meresap ke dalam tanah. Faktor yang mempengaruhi C (Tabel 3.1) adalah laju infiltrasi tanah,
kemeringan lahan, prosentase lahan kedap air, intensitas hujan, sifat dan kondisi tanah, air tanah.

Koefisien pengaliran merupakan perbandingan komponen berikut :

Volume air yang berhasil mencapai muara DAS


C= (3.3)
Volume air hujan yang jatuh di atas DAS

Tabel 3.1 tersebut menggambarkan nilai C untuk penggunaan lahan yang seragam, hal ini sangat jarang
dijumpai untuk lahan yang relative cukup luas. Oleh karena itu DAS yang terdiri dari berbagai penggunaan
lahan dengan koefisien yang berbeda, penentuan nilai C adalah :

A1C1 + A2 C 2 + ...... + An C n
Cw = (3.4)
A1 + A2 + ...... + An

Di mana :
Cw = Koefisien pengaliran gabungan
A1,A2,An = Bagian luas DAS sebanyak n buah dengan tata guna lahan yang berbeda

3-6 Bunganaen. W - 2010


Tabel 3.1 Koefisien Pengaliran untuk Metode Rasional
Jenis muka tanah atau tata guna tanah Koefisien pengaliran (C)
1. Rerumputan
a) Tanah pasir, datar, 2% 0,05 – 0,10
b) Tanah pasir, rata-rata, 2-7% 0,10 – 0,15
c) Tanah pasir, curam 0,15 – 0,20
d) Tanah gemuk, datar, 2% 0,13 – 0,17
e) Tanah gemuk, rata-rata, 2-7% 0,18 – 0,22
f) Tanah gemuk, curam, 7% 0,25 – 0,35
2. Business
a) Pusat kota 0,75 – 0,95
b) Pinggiran 0,50 – 0,75
3. Perumahan
a) Kepadatan 20 rumah/ha 0,25 – 0,40
b) Kepadatan 20 – 60 rumah/ha 0,40 – 0,70
c) Kepadatan 60 – 160 rumah/ha 0,70 – 0,80
4. Industri
a) Daerah ringan 0,50 – 0,80
b) Daerah berat 0,60 – 0,90
5. Pertamanan, kuburan 0,10 – 0,25
6. Tempat bermain 0,20 – 0,35
7. Daerah tak dikerjakan 0.10 – 0,30
8. Jalan
a) Beraspal 0,70 – 0,95
b) Beton 0, 80 – 0,95
c) Batu 0, 70 – 0,85
8. Atap 0,75 – 0,95
Sumber: Subarka.I, 1980

3.2.1.2 Koefisien retensi (Cs).


Aliran dalam saluran dapat mengalami hambatan, sehingga di dalam system drainase hambatan ini disebut
dengan “retensi”. Akibatnya debit banjir yang tercatat di muara DAS akan mengalami reduksi dengan
“koefisien retensi”. Penentuan koefisien retensi Subarkah. I, 1980) adalah :
2 tc
Cs = (3.5)
2 tc + td
Di mana:
Cs = Koefisien penampungan, dan Untuk kawasan pemukiman dan daerah perkotaan
nilai Cs dapat diambil 0.80
tc = Waktu konsentrasi (menit)
td = Waktu untuk mengalir di dalam salurannya ke titik terjauh (menit)

3.2.1.3 Waktu konsentrasi (tc).


Waktu konsentrasi adalah waktu yang diperlukan oleh air hujan yang jatuh untuk mengalir dari titik terjauh
sampai ke tempat pengamatan (tempat keluaran DAS/titik control), setelah tanah menjadi jenuh dan depresi –
depresi kecil terpenuhi. Hal ini diasumsikan bahwa durasi hujan sama dengan waktu konsentrasi, ini berarti
setiap DAS secara serentak telah menyumbangkan aliran terhadap titik control.

Untuk menentukan waktu konsentrasi (tc), digunakan persamaan Kirpich :


0.385
 0.87 L2 
tc = 0,945   (3.6)
1000 S 
Dimana :
tc = waktu konsentrasi (jam)
L = panjang saluran utama dari hulu sampai penguras (km)
S = kemiringan rata – rata saluran (m/m)

3-7 Bunganaen. W - 2010


Waktu konsentrasi dapat ditentukan dengan : menjumlahkan waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir
dipermukaan lahan sampai saluran terdekat (to) dan waktu perjalanan dari pertama masuk ke saluran
sampai titik keluaran (td), sehingga :

tc = to + td (3.7)

Waktu yang diperlukan oleh air mengalir menuju ke saluran terdekat (to), besarnya tergantung pada beberapa
faktor penentu, yaitu jarak aliran sampai saluran terdekat, kemiringan permukaan DAS dan angka kekasarn
Manning, dengan persamaannya sebagai berikut :
0,167
2 nd 
to =  x 3,28 L  (menit) (3.8)
3 So 

Dimana :
L = panjang lintasan aliran di atas permukaan lahan (m)
n = angka kekasaran Manning
S = kemiringan lahan

Apabila dengan mempertimbangkan faktor penentu jarak aliran sampai saluran terdekat, kemiringan
permukaan DAS, koefisien pengaliran, maka dapat digunakan grafik pada Gambar 3.5.

Waktu perjalanan dari pertama masuk ke saluran sampai titik keluaran (td) tergantung pada ukuran, jenis,
bentuk, kemiringan dasar dan bahan saluran. Persamaan yang digunakan sebagai berikut :

td = Ls/60V (menit) (3.9)


Dimana :
Ls = panjang lintasan aliran di dalam saluran (m)
V = kecepatan aliran dalam saluran Tabel 3.2 (m/dt)

Tabel 3.2 Perkiraan Kecepatan Air


Kemiringan rata-rata (%) Kecepatan rata-rata (m/det)
1 0,40
1 - 2 0,60
2 - 4 0,90
4 - 6 1,20
6 - 10 1,50
10 - 15 2,40
Sumber : Subarka.I, 1980

3.2.1.4 Intensitas Hujan (I).


Intensitas hujan untuk tc tertentu dapat dihitung dengan rumus Mononobe (persamaan 2.28) atau dari
lengkung IDF berdasarkan data curah hujan jangka pendek dari alat ukur curah hujan otomatis (ARR),
dengan mengikuti langkah – langkah sebagai berikut :
1.) Tetapkan periode ulang perencanaan, misal 5 tahun
2.) Tentukan waktu konsentrasi
3.) Hitung atau tentukan intensitas hujan berdasarkan waktu konsentrasi.
Diagram langkah – langkah perhitungan laju aliran dengan menggunakan metode Rasional dapat di lihat pada
Gambar 3.6.

3-8 Bunganaen. W - 2010


Gambar 3.5 Grafi untuk Memeperkirakan
Waktu Limpasan (to) (Sumber : Hindarko. S)

Gambar 3.6 Langkah – Langkah Pemakaian Metode Rasional

3-9 Bunganaen. W - 2010


3.2.2 Pendekatan Statistik (Statistic Approach)

Lihat modul 2 kegiatan belajar 2.3 tentang analisis frekuensi dan probabilitas.

Data Debit Statistic Hasil


method

3 - 10 Bunganaen. W - 2010
KEGIATAN BELAJAR 3.3
METODE HIDROGRAF

Hidrograf dapat didefinisikan sebagai hubungan antara salah satu unsur aliran terhadap waktu.
Berdasarkan definisi tersebut dikenal ada dua macam hidrograf, yaitu hidrograf muka-air dan hidrograf debit.
Hidrograf muka-air tidak lain adalah data atau grafik hasil rekaman AWLR (Automatic Water Level
Recorder). Sedangkan hidrograf debit, yang dalam pengertian sehari-hari disebut hidrograf, diperoleh dari
hidrograf muka air dan lengkung debit. Dalam pembicaraan selanjutnya, yang dimaksud hidrograf adalah
hidrograf debit.
Hidrograf tersusun dari dua komponen, yaitu aliran permukaan, yang berasal dari aliran
langsung air hujan, dan aliran dasar (base flow). Aliran dasar berasal dari air tanah yang pada umumnya
tidak memberikan respon yang cepat terhadap hujan. Hujan juga dapat dianggap terbagi dalam dua
komponen, yaitu hujan efektif, dan kehilangan (losses). Hujan efektif adalah bagian hujan yang
menyebabkan terjadinya aliran permukaan. Kehilangan hujan merupakan bagian hujan yang menguap,
masuk ke dalam tanah kelembaban tanah, dan simpanan air tanah.
Hidrograf aliran langsung dapat diperoleh dengan memisahkan hidrograf dari aliran dasarnya.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan, di antaranya adalah metode garis lurus (straight line method),
metode panjang dasar tetap (fixed base method), dan metode kemiringan berbeda (variable slope method).
Metode garis lurus merupakan metode yang paling sederhana. Garis lurus ditarik dari titik
terendah sisi resesi hidrograf sebelumnya (A), sampai titik di sisi resesi hidrograf yang ditinjau (B).
Titik B didapat dari penggambaran sisi resesi. tersebut dalam kertas berskala semi logaritmis. Titik B
merupakan titik penyimpangan terendah garis tersebut terhadap garis lurus yang dianggap mewakili saat
teijadinya aliran dasar (Gambar 3.7a).
Metode panjang dasar tetap hampir sama dengan metode sebelumnya. Dalam metode ini
diperhatikan adanya perbedaan kecepatan respon antara air permukaan dan air bawah permukaan. Oleh
sebab itu, pada saat air permukaan naik, aliran dasar turun terus sampai dia nggap mencapai titik
terendah di bawah titik puncak aliran permukaan (Gambar 3.7b). Selanjutnya, titik B diperoleh dari
persamaan (Linsley, 1988):

T = A0,2
Di mana
T = waktu dalam hari,
A =1uas DAS dalam mil persegi.

Gambar 3.7 Berbagai Metode Pemisahan Aliran Langsung

3 - 11 Bunganaen. W - 2010
Metode kemiringan berbeda dianggap sebagai metode yang paling teliti di antara ketiga
metoda. Metode ini merupakan penggabungan dari kedua metode terdahulu. Kesulitan yang dihadapi
pada metode ini adalah dalam menentukan aliran dasar antara titik A dan C ( Gambar 3.7c). Tidak ada
pedoman khusus yang dapat digunakan untuk menentukan metode mana yang harus dipakai karena
dipandang dari sudut ketelitian yang diperoleh dibandingkan dengan debit puncak pengaruhnya sangat
kecil. Oleh karena itu, metode mana pun dapat dipakai.

3.3.1 Hidrograf Satuan

Hidrograf satuan adalah hidrograf limpasan langsung yang dihasilkan oleh hujan efektif yang
teijadi merata di seluruh DAS dan dengan intensitas tetap selama satu satuan waktu yang ditetapkan,
yang disebut hujan satuan. Hujan satuan adalah curah hujan yang lamanya sedemikian rupa sehingga
lamanya limpasan permukaan tidak menjadi pendek, meskipun curah hujan itu menjadi pendek. Jadi
hujan satuan yang dipilih adalah yang lamanya sama atau lebih pendek dari period e naik hidrograf
(waktu dari titik permulaan aliran permukaan sampai puncak). Periode limpasan dari hujan satuan
semuanya adalah kira-kira sama dan tidak ada sangkut pautnya dengan intensitas.

Gambar 3.8 Prinsip – prinsip Dasar Hidrograf Satuan

Hidrograf satuan merupakan model sederhana yang menyatakan respon DAS terhadap hujan. Tujuan
dari hidrograf satuan adalah untuk nmnnperkirakan hubungan antara hujan efektif dan aliran permukaan.
Konsep hidrograf satuan pertama kali dikemukakan oleh Sherman pada tahun 1932. Dia menyatakan
bahwa suatu sistem DAS mempunyai sifat khas yang menyatakan respon DAS terhadap suatu masukan
tertentu yang berdasarkan pada tiga prinsip:
1. Pada hujan efektif berintensitas seragam pada suatu daerah aliran tertentu, intensitas hujan yang
herbeda tetapi memiliki durasi sama, akan menghasilkan limpasan dengan durasi sama, meskipun
jumlahnya berbeda. Ini merupakan aturan empiris yang mendekati kebenaran dan digambarkan pada
Gambar 3.8a.
2. Pada hujan efektif berintensitas seragam pada suatu daerah aliran tertentu, intensitas hujan yang
berbeda tetapi memiliki durasi sama, akan menghasilkan hidrograf limpasan, di mana ordinatnya
pada sembarang waktu memiliki proporsi yang sama dengan proporsi intensitas hujan efektifnya.
Dengan kata lain, ordinat hidrograf satuan sebanding dengan volume hujan efektif yang

3 - 12 Bunganaen. W - 2010
menimbulkannya. Hal ini berarti bahwa hujan sebanyak n kali lipat dalam suatu waktu tertentu akan
menghasilkan suatu hidrograf dengan ordinat sebesar n kali lipat (Gambar 3.8b).
3. Prinsip superposisi dipakai pada hidrograf yang dihasilkan oleh hujan efektif berintensitas seragam
yang memiliki periode-periode yang berdekatan dan/atau tersendiri. Jadi, hidrograf yang
merepresentasikan kombinasi beberapa kejadian aliran pennukaan adalah jumlah dari ordinat
hidrograf tunggal yang memberi kontribusi (Gambar 3.8c).

Ketiga asumsi ini secara tidak langsung menyatakan bahwa tanggapan DAS Icrhadap hujan
adalah linier, walaupun sebenarnya kurang tepat. Namun demikian, penggunaan hidrograf satuan
telah banyak memberikan hasil yang memuaskan untuk berbagai kondisi. Sehingga, teori hidrograf
satuan banyak dipakai dalam menentukan debit atau banjir rencana.

Gambar 3.9 Pemakaian Proses Konvolusi pada Hidrograf Satuan

Begitu hidrograf satuan untuk suatu DAS sudah ditur unkan, hidrograf satuan tersebut dapat
dipakai untuk memperkirakan limpasan permukaan nntuk sembarang hujan badai melalui proses
konvolusi (convolution). Gambar 3.9 memperlihatkan definisi hidrograf satuan dan konvolusinya.
Proses konvolusi dapat ditabulasikan dalam bentuk matriks seperti pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3 Tabulasi dan Metode Matriks untuk Konvolusi


Hidrograf Satuan
Limpasan
U1 U2 U3 U4 U5 U6 U7 U8
1 P1 P1U1 Q1
2 P2 P2U1 P1U2 Q2
3 P2U2 P1U3 Q3
4 P2U3 P1U4 Q4
5 P2U4 P1U5 Q5
6 P2U5 P1U6 Q6
7 P2U6 P1U7 Q7
8 P2U7 P1U8 Q8
9 P2U8 Q9

Bentuk umum rumus konvolusi untuk jumlah hyetograf hujan efektif N dan jumlah pulsa debit M dapat
dinyatakan secara tabelaris seperti pada Tabel 3.4 berikut.

3 - 13 Bunganaen. W - 2010
Tabel 3.4 Bentuk Umum Persamaan Konvolusi Hidrograf Satuan (n = 1, 2, 3, …, N; N = Jumlah Pulsa
Debit, m = 1, 2, 3, …., m; (m = Jumlah Hytograf Hujan Efektif))
Q Persamaan
Q1 = P1U1
Q2 = P2U1 + P1U2
Q3 = P3U1 + P2U2 + P1U3
…….
QM = PMU1 + PM-1U2 + ……….. + P1UM
Q M-1 = 0 + PM U2 + ……….. + P2UM + P1UM-1
…….
Q N-1 = 0 + 0 + ……….. + 0 + 0 + PMUN-M + PM-1 UN-M+1
QN = 0 + 0 + ……….. + 0 + 0 + 0 + PMUN-M+1

3.3.2 Penurunan Hidrograf Satuan

Cara ini dapat diterapkan pada :


a. Luas daerah pengaliran sampai 5,000 km2.
b. Luas daerah pengaliran jika lebih dari 5,000 km2 maka perlu dibuatkan hidrograf satuan yang
berhubungan dengan keadaan curah hujannya.
Hidrograf satuan mempunyai dua asumsi, yaitu :
a. Hidrograf satuan ini ditimbulkan oleh hujan yang terjadi merata diseluru DAS.
b. Hidrograf satuan ini ditimbulkan oleh hujan yang terjadi merata selama waktu yang ditetapkan.
Untuk memperoleh hidrograf-satuan dari suatu kasus banjir, maka diperlukan data – data sebagai berikut :
Rekaman AWLR (Automatic Water Level Recorder)
Pengukuran debit yang cukup
Data hujan manual, dan
Data hujan otomatis

Hidrograf satuan suatu DAS dapat diturunkan dari hidrograf asli yang dihasilkan dari setiap
hujan yang turun di seluruh bagian DAS dan yang berintensitas cukup seragam. Kejadian tersebut
tidak akan pernah terjadi , pada DAS yang cukup besar ( misalnya 5000 km 2 ). Oleh karena itu,
DAS tersebut harus dibagi-bagi menjadi DAS-DAS kecil dan hidrograf- hidrograf satuan untuk
setiap sub-DAS ditentukan secara terpisah.
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam penurunan hidrograf satuan adalah sebagai
berikut:
1. Mimilih kejadian-kejadian banjir yang data hujan dan data muka airnya tersedia lengkap,
hidrografnya mempunyai puncak tunggal, dan intensitas hujannya cukup tinggi.
2. Hidrograf muka air terpilih diubah menjadi hidrograf dengan menggunakan lengkung debit
yang sesuai, kemudian diplot ke dalam kertas grafik.
3. Memisahkan komponen limpasan dasar dari limpasan permukaan (seperti telah dijelaskan
sebelumnya) dan menggambarkan limpasan langsung dan grafik hujannya pada dasar waktu
yang sama.
4. Menghitung volume limpasan (aliran permukaan), yaitu luas kurva di bawah hidrograf
setelah dikurangi aliran dasar.
5. Memperkirakan tinggi hujan rata-rata dan interval waktunya, kemudian menentukan hujan
efektifnya.
6. Melakukan pengontrolan terhadap jumlah hujan efektif pada DAS tersebut dan jumlah
limpasan dibawah hidrograf. Hasilnya harus sama dan salah satu dari keduanya mungkin
perlu penyesuaian.

Aturan umum yang banyak dipakai adalah penurunan hidrograf satuan sebaiknya menggunakan
hujan efektif dengan periode kurang lebih seperempat dari waktu puncak, sehingga variasi hujan
dapat tergambarknn dalam hidrograf.

3 - 14 Bunganaen. W - 2010
3.3.3 Hidrograf Satuan dari Hujan Berbagai Periode

Secara umum kejadian hujan badai sangat kompleks, durasi dan intensitasnya bervariasi,
dan hidrograf satuan harus dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Limpasan permukaan
dapat diprediksi dengan konvolusi hidrograf satuan dan hujan efektif. Proses penurunan hidrograf
satuan dari hujan badai yang bervariasi ini dinamakan dekonvolusi.

Persamaan yang ada di dalam Tabel 3.4 dapat ditulis dalam bentuk lain sebagai berikut:
Q1
U1 =
P1
Q − P2 U1
U2 = 2
P1
Q − P3 U1 − P2 U 2
U3 = 3
P1
Q − PM U1 − PM-1 U 2 + ...... + P2 U M-1
UM = M , dan seterusnya.
P1

3 - 15 Bunganaen. W - 2010
KEGIATAN BELAJAR 3.4
HIDROGRAF SATUAN SINTETIS

Berdasarkan hidrograf satuan tersebut di atas perlu ketersediaan data yang baik dan memadai, yaitu
data AWLR (Automatic Water Level Recorder), data pengukuran debit, data hujan harian dan data hujan
jam-jaman, namun sering dijumpai hampir semua DAS tidak memeliki data – data tersebut. Untuk itu
hidrograf satuan diturunkan berdasarkan data – data dari sungai pada DAS yang sama atau DAS terdekat
yang mempunyai kerakteristik sama. Hasil dari penurunan hidrograf satuan ini dinamakan hidrograf satuan
sintetis (HSS).
Untuk membuat hidrograf banjir, maka perlu dicari karakteristik atau parameter daerah pengaliran
terlebih dahulu, misalnya waktu untuk mencapai puncak hidrograf (time to peak magnitude), lebar dasar,
luas, kemiringan, panjang alur terpanjang (length of the longest channel), koefisien limpasan (runoff
coefficient) dan sebagainya. Biasanya dipakai hidrograf-hidrograf sintetik yang telah dikembangkan di
negara–negara lain, yang parameternya harus disesuaikan terlebih dahulu dengan karakteristik daerah
pengaliran yang ditinjau.

3.4.1 Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu

Nakayasu dari Jepang, telah menyelidiki hidrograf satuan pada beberapa sungai di Jepang. Hasil
penyelidikannya, Nakayasu membuat rumus hidrograf satuan sintetik, sebagai berikut :
CA Ro
Qp = (3.10)
3.6(0.30 Tp + T0.3 )
Di mana :
Dimana
Qp = Debit puncak banjir (m3/detik)
Ro = Hujan satuan (mm)
A = Luas daerah pengaliran sungai (Km2)
Tp = Tenggang waktu (time lag) dari permulaan hujan sampai puncak
banjir (jam)
T0,3 = Waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari debit puncak
sampai 0,3 kali debit puncak banjir

2, 4
 
Qa =Q  t  (3.11)
p
 T p 
Dimana
Qa = limpasan sebelum mencapai debit puncak banjir (m3/detik)
t = waktu

Gambar 3.10 Grafik Hidrograf Nakayasu


(t −Tp)
T0.3
Qd1 > 0,3 Qp → Qd1 = Q p x 0,3 (3.12)

(t-Tp) + ( 0,5 T0.3 )


1,5 T0,3
0,3Qp > Qd2 > 0,3 Qp →
2
Qd2 = Qp x 0,3 (3.13)

(t -T p + 1,5 T0.3 )
2 T0,3
2
Qd3 < 0,3 Qp → Qd3 = Q p x 0,3 (3.14)

3 - 16 Bunganaen. W - 2010
Dimana :
Qp = Debit puncak banjir (m3/detik)
Qa = Debit puncak pada waktu awal (m3/detik)
Qd1 = Debit puncak pada waktu durasi pertama (m3/detik)
Qd2 = Debit puncak pada waktu durasi kedua (m3/detik)
Qd3 = Debit puncak pada waktu durasi ketiga (m3/detik)

Tenggang waktu :
T = tg + 0,8 tr (3.15)
untuk :
L > 15 Km → tg = 0,4 + 0,058 L (3.16)
L < 15 Km → tg = 0,21 L0,7 (3.17)
Di mana :
tg = Waktu konsentrasi pada daerah aliran (jam)
tr = Satuan waktu dari curah hujan (0,5 tg sampai tg)

T0,3 =  . tg (3.18)
untuk
 = 2 (daerah pengaliran biasa)
 = 1,5 (bagian naik hidrograf yang lambat dan bagian menurun yang cepat)
 = 3 (bagian naik hidrograf yang cepat dan bagian menurun yang lambat)

Untuk memperkirakan aliran dasar dipergunakan formula Kraijenhoff van der leur (1967) tentang
hidrograf air tanah. Pendekatan ini juga dipengaruhi panjang sungai atau kerapatan jaringan kuras (D), yaitu
jumlah panjang sungai semua tingkat tiap satuan luas DAS.

QB = 0.4751 A0.6444 D0.9430 (3.19)

Dimana :
QB = Aliran dasar
A = Luas DAS (Km2)
D = Kerapatan jaringan sungai (km/km2)

Aliran dasar sungai diperhitungkan dalam penentuan hidrograf satuan Nakayasu, sehubungan dengan asumsi
bahwa sungai tidak pernah kering (Sri Harto, Br., 1993).

3.4.2 Hidrograf Satuan Sintetik Snyder

Pada tahun 1938, F. F. Snyder dari Amerika Serikat, telah mengembangkan rumus dengan koefisen-
koefisien empiric yang menghubungkan unsur-unsur hidrograf satuan dengan karakteristik daerah pengaliran.
Hidrograf satuan tersebut ditentukan dengan cukup baik pada tinggi d = 1 mm, dan dengan ketiga unsur yang
lain, yaitu Qp (m3/dt), Tb dan Tr (jam). Unsur-unsur ini dihubungkan dengan luas daerah pengaliran (A =
km2), panjang aliran utama (L = km), jarak antara titik berat daerah pengaliran dengan pelepasan (outlet)
yang diukur sepanjang aliran utama (Lc)
Berdasarkan unsur-unsur tersebut Snyder membuat rumus-rumus seperti berikut :

tp = Ct (L Lc)0,3 (3.20)
Tp
tr = (3.21)
5,5
Cp A
Qp = 2,78 (3.22)
Tp

3 - 17 Bunganaen. W - 2010
72 + 3T p
tb = (3.23)
24

Gambar 3.11 Grafik Hidrograf Snyder

Koefisien-koefisien Ct dan CP harus ditentukan secara empirik, karena besarnya berubah-ubah antara daerah
yang satu dengan daerah yang lain. Dalam sistem metrik besarnya Ct antara 0,75 dan 3,00, sedangkan CP
berada antara 0,90 hingga 1,40.
Belakangan banyak digunakan rumus SNYDER yang telah diubah, yang telah banyak digunakan di Indonesia.
Perubahan tersebut terletak pada :
1. pangkat 0,3 pada rumus (3.20) yang diganti dengan n, sehingga menjadi
tp = Ct (L Lc)n
2. tr pada rumus (3.21) diganti dengan te yang merupakan durasi curah hujan efektif, sedangkan tr = 1 jam
tp
te =
5,5
3. hubungan te, tP, tr dan TP adalah sebagai berikut:
bila te > t, maka t'P = tP(te - tr), sehingga TP = t 'p + 0,5, dan bila te < tr maka Tp = tp + 0,5
Cp
4. qP = 0,278 dan Qp = qp A untuk hujan 1 mm/jam.
Tp
Di mana :
qp = puncak hidrograf satuan (m3/det/mm/km2)
Qp = debit puncak (m3/det/mm)
tp = waktu antara titik berat curah hujan hingga puncak (time lag) dalam jam
waktu yang diperlukan antara permulaan hujan hingga mencapai puncak hidrograf
Tp =

SNYDER hanya membuat rumus empirik untuk menghitung debit puncak QP dan waktu yang
diperlukan untuk mencapai puncak dari suatu hidrograf saja, sehingga untuk mendapatkan lengkung
hidrografnya memerlukan waktu untuk mengkalibrasi parameter-parameternya. Untuk mempercepat
pekerjaan tersebut diberikan rumus ALEXEJEV, yang memberikan bentuk hidrograf satuannya. Persamaaan
ALEXEJEV adalah sebagai berikut:

1. Q = f(t)
Q t
2. Y= dan X =
Qp tp
(1− x ) 2
−a
x
3. Y = 10 , dengan a diperoleh dari persamaan berikut :
Q p Tp
= , dan h = tinggi hujan = 1 mm
h A
Untuk menghitung "kehilangan" dimasukkan rumus infiltrasi HORTON, yaitu:
f p = .f c + (fo - fc) e -k t

3 - 18 Bunganaen. W - 2010
Di mana :
fp = daya infiltrasi pada saat t
f0 = daya infiltrasi mula
fc = nilai akhir f
k = konstanta
e = bilangan alam = 2,718218 . . .

Untuk mendapatkan fp, fc dan k dilakukan kalibrasi. fp tergantung pada tinggi curah hujan, sedangkan fo akan
mempunyai nilai yang berbeda untuk masing-masing keadaan banjir.

Fungsi-fungsi lain yang digunakan adalah :


n
 LL 
Tp = Ct  c  (3.24)
 S 
dengan S adalah kemiringan rerata daerah pengaliran.
 t 
Tb = 5T p + r  (3.25)
 2
Koefisien Ct dan n dalam rumus (3.24) dapat dicari dari hidrograf-hidrograf satuan untuk daerah-
daerah pengaliran dalam wilayah tersebut pada tinggi periode yang sama, kemudian dilakukan plotting log Tp
terhadap log (L Lc/S), sehingga :
log Tp = log Ct + n log (L Lc / S) (3.26)

3 - 19 Bunganaen. W - 2010

Anda mungkin juga menyukai