L I M P A S A N (RUNOFF)
1. PENDAHULUAN
Modul ini membahas tentang limpasan, yang merupakan sisa air hujan yang mengalir di atas
permukaan tanah menuju alur aliran terdekat. Air hujan yang turun dari atmosfir jika tidak ditangkap oleh
vegetasi atau oleh permukaan-permukaan buatan seperti atap bangunan atau lapisan kedap air lainnya, maka
akan jatuh kepermukaan bumi dan sebagian akan hilang dalam bentuk menguap, berinfiltrasi, dan atau
tersimpan dalam cekungan-cekungan. Jika kehilangan seperti tersebut telah terpenuhi, maka sisa air hujan akan
mengalir dan menuju alur aliran terdekat.
Dalam perencanaan drainase, bagian air hujan yang menjadi perhatian adalah aliran permukaan
(surface runoff), sedangkan untuk pengendalian banjir tidak hanya aliran permukaan, tetapi limpasan (runoff).
Limpasan merupakan gabungan antara aliran permukaan, aliran yang tertunda pada cekungan-cekungan, dan
aliran bawah permukaan (subsurface flow).
Pada modul 3 ini secara umum anda diharapkan mampu memahami topik yang berhubungan dengan
limpasan (runoff) dalam kaitan dengan perencanaan bangunan air, dan secara khusus setelah mempelajari modul
3 ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan dan menghitung :
1. Faktor–faktor mempengaruhi limpasan (runoff) meliputi : faktor meteorologi (jenis presipitasi,
intensitas hujan, lamanya hujan, distribusi hujan, arah pergerakan hujan, curah hujan terdahulu dan
kelembaban tanah); faktor karakteristik DAS (tata guna lahan / kondisi penggunaan lahan, luas
dan bentuk DAS, topografi, jenis tanah)
2. Perkiraan debit banjir menggunakan metode rasional (koefisien pengaliran, koefisien retensi, waktu
konsentrasi, intensitas hujan)
3. Perkiraan debit banjir dengan metode hidrograf meliputi : hidrograf satuan; penurunan hidrograf
satuan; hidrograf satuan dari hujan berbagai periode;
4. Hidrograf satuan sintetis, meliputi : hidrograf satuan sintetik Nakayasu; hidrograf satuan sintetik
Snyder.
Mahasiswa diharapkan membaca keseluruhan modul 3 secara berurutan dan mengerjakan tugas sesuai
dengan penjelasan dalam modul ini dengan seksama. Setelah memahami isi modul 3, kerjakanlah tugas dan
asistensi agar dapat memahami dengan baik dan benar. Jika masih belum dapat memahami modul 3 ini dengan
baik, mahasiswa diharapkan menerapkan cara belajar aktif dengan membentuk kelompok diskusi, membaca
buku teks yang menjadi referensi.
Faktor – factor yang mempengaruhi limpasan ada 2, yaitu elemen-elemen meteorologi yang diwakili oleh
curah hujan dan elemen-elemen karakteristik daerah tangkapan saluran atau daerah aliran sungai (DAS) yang
menyatakan sifat-sifat fisik daerah pengaliran tersebut.
3. Topografi
Tampakan rupa muka bumi atau topografi seperti kemiringan lahan, keadaan dan kerapatan parit atau
saluran, dan bentuk – bentuk cekungan lainnya mempunyai pengaruh pada laju dan volume aliran
permukaan. DAS dengan kemiringan curam disertai parit/saluran yang rapat akan menghsilkan laju dan
volume aliran permukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan DAS yang landai dengan parit yang jarang
dan cekungan – cekungan. Pengaruh kerapatan parit, yaitu panjang parit per satuan luas DAS, pada aliran
permukaan adalah memperpendek waktu konsentrasi, sehingga memperbesar laju aliran permukaan (Gambar
3.2).
4. Jenis tanah
Bentuk butir-butir tanah, corak dan cara pengendapannya merupakan factor yang menentukan kapasitas
infiltrasi, maka karakteristik limpasan sangat dipengaruhi oleh jenis tanah dalam DAS yang
bersangkutan.
Metode untuk memperkirakan debit banjir yang berdasarkan data curah hujan, dapat diklasifikasikan
dalam 3 cara, antara lain : (1) metode dengan rumus empiris, (2) metode statistik atau probabilitas, dan (3)
metode dengan unit hidrograf. Ketiga metode tersebut secara umum yang dipakai adalah metode rasional dan
metode hidrograf banjir. Disamping itu untuk menentukan pemakaian metode dalam penentuan debit banjir
tergantung pada ketersediaan data. Gambar 2.3 memberikan ilustrasi berdasarkan ketersediaan data.
Metode ini sangat simple dan mudah dalam penggunaannya, namun penggunaannya terbatas untuk
DAS – DAS dengan ukuran kecil (A < 500 Ha). Persamaan dasar metode Rasional :
Qp = C. I. A (3.1)
Di mana :
Qp = Debit banjir puncak pada Periode Ulang T tahun (m3/dtk)
C = Koefisien pengaliran
Cs = Koefisien retensi
I = Intensitas hujan (mm/jam)
A = Luas DAS (Jika A dalam Ha, maka persamaan tersebut dikali dengan 0.00278,
dan jika A dalam Km2, maka dikali dengan 0.278)
Jika asumsi tersebut terpenuhi, maka curah hujan dan aliran permukaan DAS tersebut dapat digambarkan
dalam grafik pada Gambar 3.4. Gambar tersebut menunjukan bahwa hujan dengan intesitas seragam dan
merata seluruh DAS berdurasi sama dengan waktu konsentrasi. Jika hujan yang terjadi lamanya kurang dari
tc, maka debit puncak yang terjadi lebih kecil dari Qp karena seluruh DAS tidak dapat memberikan kontribusi
aliran secara bersama pada titik control (outlet). Dan jika hujan yang terjadi lebih lama dari tc, maka debit
puncak aliran permukaan akan tetap sama dengan Qp.
Tabel 3.1 tersebut menggambarkan nilai C untuk penggunaan lahan yang seragam, hal ini sangat jarang
dijumpai untuk lahan yang relative cukup luas. Oleh karena itu DAS yang terdiri dari berbagai penggunaan
lahan dengan koefisien yang berbeda, penentuan nilai C adalah :
A1C1 + A2 C 2 + ...... + An C n
Cw = (3.4)
A1 + A2 + ...... + An
Di mana :
Cw = Koefisien pengaliran gabungan
A1,A2,An = Bagian luas DAS sebanyak n buah dengan tata guna lahan yang berbeda
tc = to + td (3.7)
Waktu yang diperlukan oleh air mengalir menuju ke saluran terdekat (to), besarnya tergantung pada beberapa
faktor penentu, yaitu jarak aliran sampai saluran terdekat, kemiringan permukaan DAS dan angka kekasarn
Manning, dengan persamaannya sebagai berikut :
0,167
2 nd
to = x 3,28 L (menit) (3.8)
3 So
Dimana :
L = panjang lintasan aliran di atas permukaan lahan (m)
n = angka kekasaran Manning
S = kemiringan lahan
Apabila dengan mempertimbangkan faktor penentu jarak aliran sampai saluran terdekat, kemiringan
permukaan DAS, koefisien pengaliran, maka dapat digunakan grafik pada Gambar 3.5.
Waktu perjalanan dari pertama masuk ke saluran sampai titik keluaran (td) tergantung pada ukuran, jenis,
bentuk, kemiringan dasar dan bahan saluran. Persamaan yang digunakan sebagai berikut :
Lihat modul 2 kegiatan belajar 2.3 tentang analisis frekuensi dan probabilitas.
3 - 10 Bunganaen. W - 2010
KEGIATAN BELAJAR 3.3
METODE HIDROGRAF
Hidrograf dapat didefinisikan sebagai hubungan antara salah satu unsur aliran terhadap waktu.
Berdasarkan definisi tersebut dikenal ada dua macam hidrograf, yaitu hidrograf muka-air dan hidrograf debit.
Hidrograf muka-air tidak lain adalah data atau grafik hasil rekaman AWLR (Automatic Water Level
Recorder). Sedangkan hidrograf debit, yang dalam pengertian sehari-hari disebut hidrograf, diperoleh dari
hidrograf muka air dan lengkung debit. Dalam pembicaraan selanjutnya, yang dimaksud hidrograf adalah
hidrograf debit.
Hidrograf tersusun dari dua komponen, yaitu aliran permukaan, yang berasal dari aliran
langsung air hujan, dan aliran dasar (base flow). Aliran dasar berasal dari air tanah yang pada umumnya
tidak memberikan respon yang cepat terhadap hujan. Hujan juga dapat dianggap terbagi dalam dua
komponen, yaitu hujan efektif, dan kehilangan (losses). Hujan efektif adalah bagian hujan yang
menyebabkan terjadinya aliran permukaan. Kehilangan hujan merupakan bagian hujan yang menguap,
masuk ke dalam tanah kelembaban tanah, dan simpanan air tanah.
Hidrograf aliran langsung dapat diperoleh dengan memisahkan hidrograf dari aliran dasarnya.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan, di antaranya adalah metode garis lurus (straight line method),
metode panjang dasar tetap (fixed base method), dan metode kemiringan berbeda (variable slope method).
Metode garis lurus merupakan metode yang paling sederhana. Garis lurus ditarik dari titik
terendah sisi resesi hidrograf sebelumnya (A), sampai titik di sisi resesi hidrograf yang ditinjau (B).
Titik B didapat dari penggambaran sisi resesi. tersebut dalam kertas berskala semi logaritmis. Titik B
merupakan titik penyimpangan terendah garis tersebut terhadap garis lurus yang dianggap mewakili saat
teijadinya aliran dasar (Gambar 3.7a).
Metode panjang dasar tetap hampir sama dengan metode sebelumnya. Dalam metode ini
diperhatikan adanya perbedaan kecepatan respon antara air permukaan dan air bawah permukaan. Oleh
sebab itu, pada saat air permukaan naik, aliran dasar turun terus sampai dia nggap mencapai titik
terendah di bawah titik puncak aliran permukaan (Gambar 3.7b). Selanjutnya, titik B diperoleh dari
persamaan (Linsley, 1988):
T = A0,2
Di mana
T = waktu dalam hari,
A =1uas DAS dalam mil persegi.
3 - 11 Bunganaen. W - 2010
Metode kemiringan berbeda dianggap sebagai metode yang paling teliti di antara ketiga
metoda. Metode ini merupakan penggabungan dari kedua metode terdahulu. Kesulitan yang dihadapi
pada metode ini adalah dalam menentukan aliran dasar antara titik A dan C ( Gambar 3.7c). Tidak ada
pedoman khusus yang dapat digunakan untuk menentukan metode mana yang harus dipakai karena
dipandang dari sudut ketelitian yang diperoleh dibandingkan dengan debit puncak pengaruhnya sangat
kecil. Oleh karena itu, metode mana pun dapat dipakai.
Hidrograf satuan adalah hidrograf limpasan langsung yang dihasilkan oleh hujan efektif yang
teijadi merata di seluruh DAS dan dengan intensitas tetap selama satu satuan waktu yang ditetapkan,
yang disebut hujan satuan. Hujan satuan adalah curah hujan yang lamanya sedemikian rupa sehingga
lamanya limpasan permukaan tidak menjadi pendek, meskipun curah hujan itu menjadi pendek. Jadi
hujan satuan yang dipilih adalah yang lamanya sama atau lebih pendek dari period e naik hidrograf
(waktu dari titik permulaan aliran permukaan sampai puncak). Periode limpasan dari hujan satuan
semuanya adalah kira-kira sama dan tidak ada sangkut pautnya dengan intensitas.
Hidrograf satuan merupakan model sederhana yang menyatakan respon DAS terhadap hujan. Tujuan
dari hidrograf satuan adalah untuk nmnnperkirakan hubungan antara hujan efektif dan aliran permukaan.
Konsep hidrograf satuan pertama kali dikemukakan oleh Sherman pada tahun 1932. Dia menyatakan
bahwa suatu sistem DAS mempunyai sifat khas yang menyatakan respon DAS terhadap suatu masukan
tertentu yang berdasarkan pada tiga prinsip:
1. Pada hujan efektif berintensitas seragam pada suatu daerah aliran tertentu, intensitas hujan yang
herbeda tetapi memiliki durasi sama, akan menghasilkan limpasan dengan durasi sama, meskipun
jumlahnya berbeda. Ini merupakan aturan empiris yang mendekati kebenaran dan digambarkan pada
Gambar 3.8a.
2. Pada hujan efektif berintensitas seragam pada suatu daerah aliran tertentu, intensitas hujan yang
berbeda tetapi memiliki durasi sama, akan menghasilkan hidrograf limpasan, di mana ordinatnya
pada sembarang waktu memiliki proporsi yang sama dengan proporsi intensitas hujan efektifnya.
Dengan kata lain, ordinat hidrograf satuan sebanding dengan volume hujan efektif yang
3 - 12 Bunganaen. W - 2010
menimbulkannya. Hal ini berarti bahwa hujan sebanyak n kali lipat dalam suatu waktu tertentu akan
menghasilkan suatu hidrograf dengan ordinat sebesar n kali lipat (Gambar 3.8b).
3. Prinsip superposisi dipakai pada hidrograf yang dihasilkan oleh hujan efektif berintensitas seragam
yang memiliki periode-periode yang berdekatan dan/atau tersendiri. Jadi, hidrograf yang
merepresentasikan kombinasi beberapa kejadian aliran pennukaan adalah jumlah dari ordinat
hidrograf tunggal yang memberi kontribusi (Gambar 3.8c).
Ketiga asumsi ini secara tidak langsung menyatakan bahwa tanggapan DAS Icrhadap hujan
adalah linier, walaupun sebenarnya kurang tepat. Namun demikian, penggunaan hidrograf satuan
telah banyak memberikan hasil yang memuaskan untuk berbagai kondisi. Sehingga, teori hidrograf
satuan banyak dipakai dalam menentukan debit atau banjir rencana.
Begitu hidrograf satuan untuk suatu DAS sudah ditur unkan, hidrograf satuan tersebut dapat
dipakai untuk memperkirakan limpasan permukaan nntuk sembarang hujan badai melalui proses
konvolusi (convolution). Gambar 3.9 memperlihatkan definisi hidrograf satuan dan konvolusinya.
Proses konvolusi dapat ditabulasikan dalam bentuk matriks seperti pada Tabel 3.3.
Bentuk umum rumus konvolusi untuk jumlah hyetograf hujan efektif N dan jumlah pulsa debit M dapat
dinyatakan secara tabelaris seperti pada Tabel 3.4 berikut.
3 - 13 Bunganaen. W - 2010
Tabel 3.4 Bentuk Umum Persamaan Konvolusi Hidrograf Satuan (n = 1, 2, 3, …, N; N = Jumlah Pulsa
Debit, m = 1, 2, 3, …., m; (m = Jumlah Hytograf Hujan Efektif))
Q Persamaan
Q1 = P1U1
Q2 = P2U1 + P1U2
Q3 = P3U1 + P2U2 + P1U3
…….
QM = PMU1 + PM-1U2 + ……….. + P1UM
Q M-1 = 0 + PM U2 + ……….. + P2UM + P1UM-1
…….
Q N-1 = 0 + 0 + ……….. + 0 + 0 + PMUN-M + PM-1 UN-M+1
QN = 0 + 0 + ……….. + 0 + 0 + 0 + PMUN-M+1
Hidrograf satuan suatu DAS dapat diturunkan dari hidrograf asli yang dihasilkan dari setiap
hujan yang turun di seluruh bagian DAS dan yang berintensitas cukup seragam. Kejadian tersebut
tidak akan pernah terjadi , pada DAS yang cukup besar ( misalnya 5000 km 2 ). Oleh karena itu,
DAS tersebut harus dibagi-bagi menjadi DAS-DAS kecil dan hidrograf- hidrograf satuan untuk
setiap sub-DAS ditentukan secara terpisah.
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam penurunan hidrograf satuan adalah sebagai
berikut:
1. Mimilih kejadian-kejadian banjir yang data hujan dan data muka airnya tersedia lengkap,
hidrografnya mempunyai puncak tunggal, dan intensitas hujannya cukup tinggi.
2. Hidrograf muka air terpilih diubah menjadi hidrograf dengan menggunakan lengkung debit
yang sesuai, kemudian diplot ke dalam kertas grafik.
3. Memisahkan komponen limpasan dasar dari limpasan permukaan (seperti telah dijelaskan
sebelumnya) dan menggambarkan limpasan langsung dan grafik hujannya pada dasar waktu
yang sama.
4. Menghitung volume limpasan (aliran permukaan), yaitu luas kurva di bawah hidrograf
setelah dikurangi aliran dasar.
5. Memperkirakan tinggi hujan rata-rata dan interval waktunya, kemudian menentukan hujan
efektifnya.
6. Melakukan pengontrolan terhadap jumlah hujan efektif pada DAS tersebut dan jumlah
limpasan dibawah hidrograf. Hasilnya harus sama dan salah satu dari keduanya mungkin
perlu penyesuaian.
Aturan umum yang banyak dipakai adalah penurunan hidrograf satuan sebaiknya menggunakan
hujan efektif dengan periode kurang lebih seperempat dari waktu puncak, sehingga variasi hujan
dapat tergambarknn dalam hidrograf.
3 - 14 Bunganaen. W - 2010
3.3.3 Hidrograf Satuan dari Hujan Berbagai Periode
Secara umum kejadian hujan badai sangat kompleks, durasi dan intensitasnya bervariasi,
dan hidrograf satuan harus dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Limpasan permukaan
dapat diprediksi dengan konvolusi hidrograf satuan dan hujan efektif. Proses penurunan hidrograf
satuan dari hujan badai yang bervariasi ini dinamakan dekonvolusi.
Persamaan yang ada di dalam Tabel 3.4 dapat ditulis dalam bentuk lain sebagai berikut:
Q1
U1 =
P1
Q − P2 U1
U2 = 2
P1
Q − P3 U1 − P2 U 2
U3 = 3
P1
Q − PM U1 − PM-1 U 2 + ...... + P2 U M-1
UM = M , dan seterusnya.
P1
3 - 15 Bunganaen. W - 2010
KEGIATAN BELAJAR 3.4
HIDROGRAF SATUAN SINTETIS
Berdasarkan hidrograf satuan tersebut di atas perlu ketersediaan data yang baik dan memadai, yaitu
data AWLR (Automatic Water Level Recorder), data pengukuran debit, data hujan harian dan data hujan
jam-jaman, namun sering dijumpai hampir semua DAS tidak memeliki data – data tersebut. Untuk itu
hidrograf satuan diturunkan berdasarkan data – data dari sungai pada DAS yang sama atau DAS terdekat
yang mempunyai kerakteristik sama. Hasil dari penurunan hidrograf satuan ini dinamakan hidrograf satuan
sintetis (HSS).
Untuk membuat hidrograf banjir, maka perlu dicari karakteristik atau parameter daerah pengaliran
terlebih dahulu, misalnya waktu untuk mencapai puncak hidrograf (time to peak magnitude), lebar dasar,
luas, kemiringan, panjang alur terpanjang (length of the longest channel), koefisien limpasan (runoff
coefficient) dan sebagainya. Biasanya dipakai hidrograf-hidrograf sintetik yang telah dikembangkan di
negara–negara lain, yang parameternya harus disesuaikan terlebih dahulu dengan karakteristik daerah
pengaliran yang ditinjau.
Nakayasu dari Jepang, telah menyelidiki hidrograf satuan pada beberapa sungai di Jepang. Hasil
penyelidikannya, Nakayasu membuat rumus hidrograf satuan sintetik, sebagai berikut :
CA Ro
Qp = (3.10)
3.6(0.30 Tp + T0.3 )
Di mana :
Dimana
Qp = Debit puncak banjir (m3/detik)
Ro = Hujan satuan (mm)
A = Luas daerah pengaliran sungai (Km2)
Tp = Tenggang waktu (time lag) dari permulaan hujan sampai puncak
banjir (jam)
T0,3 = Waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari debit puncak
sampai 0,3 kali debit puncak banjir
2, 4
Qa =Q t (3.11)
p
T p
Dimana
Qa = limpasan sebelum mencapai debit puncak banjir (m3/detik)
t = waktu
(t -T p + 1,5 T0.3 )
2 T0,3
2
Qd3 < 0,3 Qp → Qd3 = Q p x 0,3 (3.14)
3 - 16 Bunganaen. W - 2010
Dimana :
Qp = Debit puncak banjir (m3/detik)
Qa = Debit puncak pada waktu awal (m3/detik)
Qd1 = Debit puncak pada waktu durasi pertama (m3/detik)
Qd2 = Debit puncak pada waktu durasi kedua (m3/detik)
Qd3 = Debit puncak pada waktu durasi ketiga (m3/detik)
Tenggang waktu :
T = tg + 0,8 tr (3.15)
untuk :
L > 15 Km → tg = 0,4 + 0,058 L (3.16)
L < 15 Km → tg = 0,21 L0,7 (3.17)
Di mana :
tg = Waktu konsentrasi pada daerah aliran (jam)
tr = Satuan waktu dari curah hujan (0,5 tg sampai tg)
T0,3 = . tg (3.18)
untuk
= 2 (daerah pengaliran biasa)
= 1,5 (bagian naik hidrograf yang lambat dan bagian menurun yang cepat)
= 3 (bagian naik hidrograf yang cepat dan bagian menurun yang lambat)
Untuk memperkirakan aliran dasar dipergunakan formula Kraijenhoff van der leur (1967) tentang
hidrograf air tanah. Pendekatan ini juga dipengaruhi panjang sungai atau kerapatan jaringan kuras (D), yaitu
jumlah panjang sungai semua tingkat tiap satuan luas DAS.
Dimana :
QB = Aliran dasar
A = Luas DAS (Km2)
D = Kerapatan jaringan sungai (km/km2)
Aliran dasar sungai diperhitungkan dalam penentuan hidrograf satuan Nakayasu, sehubungan dengan asumsi
bahwa sungai tidak pernah kering (Sri Harto, Br., 1993).
Pada tahun 1938, F. F. Snyder dari Amerika Serikat, telah mengembangkan rumus dengan koefisen-
koefisien empiric yang menghubungkan unsur-unsur hidrograf satuan dengan karakteristik daerah pengaliran.
Hidrograf satuan tersebut ditentukan dengan cukup baik pada tinggi d = 1 mm, dan dengan ketiga unsur yang
lain, yaitu Qp (m3/dt), Tb dan Tr (jam). Unsur-unsur ini dihubungkan dengan luas daerah pengaliran (A =
km2), panjang aliran utama (L = km), jarak antara titik berat daerah pengaliran dengan pelepasan (outlet)
yang diukur sepanjang aliran utama (Lc)
Berdasarkan unsur-unsur tersebut Snyder membuat rumus-rumus seperti berikut :
tp = Ct (L Lc)0,3 (3.20)
Tp
tr = (3.21)
5,5
Cp A
Qp = 2,78 (3.22)
Tp
3 - 17 Bunganaen. W - 2010
72 + 3T p
tb = (3.23)
24
Koefisien-koefisien Ct dan CP harus ditentukan secara empirik, karena besarnya berubah-ubah antara daerah
yang satu dengan daerah yang lain. Dalam sistem metrik besarnya Ct antara 0,75 dan 3,00, sedangkan CP
berada antara 0,90 hingga 1,40.
Belakangan banyak digunakan rumus SNYDER yang telah diubah, yang telah banyak digunakan di Indonesia.
Perubahan tersebut terletak pada :
1. pangkat 0,3 pada rumus (3.20) yang diganti dengan n, sehingga menjadi
tp = Ct (L Lc)n
2. tr pada rumus (3.21) diganti dengan te yang merupakan durasi curah hujan efektif, sedangkan tr = 1 jam
tp
te =
5,5
3. hubungan te, tP, tr dan TP adalah sebagai berikut:
bila te > t, maka t'P = tP(te - tr), sehingga TP = t 'p + 0,5, dan bila te < tr maka Tp = tp + 0,5
Cp
4. qP = 0,278 dan Qp = qp A untuk hujan 1 mm/jam.
Tp
Di mana :
qp = puncak hidrograf satuan (m3/det/mm/km2)
Qp = debit puncak (m3/det/mm)
tp = waktu antara titik berat curah hujan hingga puncak (time lag) dalam jam
waktu yang diperlukan antara permulaan hujan hingga mencapai puncak hidrograf
Tp =
SNYDER hanya membuat rumus empirik untuk menghitung debit puncak QP dan waktu yang
diperlukan untuk mencapai puncak dari suatu hidrograf saja, sehingga untuk mendapatkan lengkung
hidrografnya memerlukan waktu untuk mengkalibrasi parameter-parameternya. Untuk mempercepat
pekerjaan tersebut diberikan rumus ALEXEJEV, yang memberikan bentuk hidrograf satuannya. Persamaaan
ALEXEJEV adalah sebagai berikut:
1. Q = f(t)
Q t
2. Y= dan X =
Qp tp
(1− x ) 2
−a
x
3. Y = 10 , dengan a diperoleh dari persamaan berikut :
Q p Tp
= , dan h = tinggi hujan = 1 mm
h A
Untuk menghitung "kehilangan" dimasukkan rumus infiltrasi HORTON, yaitu:
f p = .f c + (fo - fc) e -k t
3 - 18 Bunganaen. W - 2010
Di mana :
fp = daya infiltrasi pada saat t
f0 = daya infiltrasi mula
fc = nilai akhir f
k = konstanta
e = bilangan alam = 2,718218 . . .
Untuk mendapatkan fp, fc dan k dilakukan kalibrasi. fp tergantung pada tinggi curah hujan, sedangkan fo akan
mempunyai nilai yang berbeda untuk masing-masing keadaan banjir.
3 - 19 Bunganaen. W - 2010