kata "methodos" yang terdiri dari kata "metha" yaitu melewati, menempuh atau
melalui dan kata "hodos" yang berarti cara atau jalan. Metode artinya cara atau
jalan yang akan dilalui atau ditempuh. Sedangkan menurut istilah metode ialah
cara atau jalan yang harus ditempuh untuk mencapai sebuah
tujuan. Metodologi secara bahasa berasal dari bahasa yunani yaitu "methodos"
dan "logos". Kata "logos" berarti ilmu atau bersifat yang ilmiah. Jadi metodologi
adalah ilmu atau cara yang digunakan untuk memperoleh suatu kebenaran
dengan menggunakan penelusuran dengan urutan atau tatacara tertentu sesuai
dengan apa yang akan dikaji atau diteliti secara ilmiah. Ada dua hal penting
dalam metode yaitu cara dalam melakukan sesuatu dan sebuah rencana dalam
pelaksanaannya. Adapun fungsinya sebagai alat untuk mencapai sebuah tujuan.
Kita akan fokuskan pembahasan kali ini secara tuntas mengenai pengertian dan
definisi metode menurut para ahli. Adapun pengertiannya antara lain :
1. Menurut KBBI, metode adalah cara kerja yang mempunyai sistem dalam
memudahkan pelaksanaan dari suatu kegiatan untuk mencapai sebuah tujuan
tertentu.
2. Drs.Agus M. Hardjana mengemukakan metode ialah cara yang telah
dipikirkan secara matang yang dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah
tertentu demi tercapainya sebuah tujuan.
3. Titus, mengatakan bahwa metode ialah serangkaian cara dan langkah-
langkah yang tertib untuk menegaskan suatu bidang keilmuan.
4. Almadk menjelaskan bahwa metode ialah suatu cara dengan menerapkan
berbagai prinsip yang logis terhadap suatu penemuan dan penjelasan
kebenaran.
5. Rothwell dan Kazanas. Menurut mereka metode merupakan cara, proses
atau pendekatan untuk menyampaikan sebuah informasi.
6. Hebert Bisno menjelaskan, metode ialah suatu teknik yang
digeneralisasikan dengan baik dan benar agar bisa diterima ataupun digunakan
dalam satu disiplin ilmu ataupun bidang disiplin dan praktek.
7. Macquarie. Metode merupakan suatu cara dalam melakukan sesuatu
terutama suatu hal yang berkaitan dengan rencana tertentu.
8. Rosdy Ruslan mengemukakan metode sebagai kegiatan ilmiah yang
berhubungan dengan cara kerja dalam memahami suatu subjek maupun objek
penelitian dalam upaya menemukan suatu jawaban secara ilmiah dan
keabsahannya dari sesuatu yang diteliti.
9. Wiradi. Metode merupakan seperangkat langkah dari apa yang harus
dikerjakan secara tersusun dan sistematis.
10. Ostle. Menurutnya metode ialah suatu pengajaran terhadap sesuatu
dalam memperoleh sesuatu yang interelasi.
11. Departemen Sosial RI menjelaskan bahwa metode merupakan suatu
cara teratur yang digunakan dalam menjalankan suatu pekerjaan untuk
mencapai hasil yang diinginkan.
12. Max Siporin, metode ialah suatu orientasi kegiatan yang mengarah pada
persyaratan tujuan dan tugas yang nyata.
13. Pasaribu Simanjuntak menjelaskan bahwa metode merupakan suatu
cara sistematik yang digunakan demi tercapainya sebuah tujuan.
14. Hamid Darmadi mengemukakan metode sebagai jalan atau cara yang
harus dilewati dalam mencapai sebuah tujuan.
15. Heri Rahyubi. Menurutnya metode merupakan suatu model cara yang
bisa dilakukan dalam kegiatan belajar mengajar demi tercapainya suatu proses
pembelajaran yang baik.
Demikian ulasan mengenai 15 Pengertian Metode Dan Metodologi Menurut
Para Ahli yang dijelaskan secara ringkas, semoga dapat bermanfaat dan
membantu dalam mencari sebuah referensi. Terimakasih
Metodologi dan metode, hanya beda tipis sepertinya. Ketika dicari
perbedaannya, pasti mudah, karena dari kata saja sudah berbeda.
Namun masih banyak yang mencampuradukkan keduanya. Di
buku-buku penelitian, keduanya masih sering digunakan secara
asal. Lalu apa sih sebenarnya perbedaan metodologi dan metode
penelitian?
Pernah membaca buku-buku penelitian? Buat yang sedang skripsi atau
mengerjakan tesis, pasti sudah menjadi santapan sehari-hari. Paling tidak,
pasti sudah pernah menyaksikan buku-buku penelitian di toko buku. Betul?
Kembali lagi pada perbedaan antara metodologi dan metode. Kalau kita lihat
istilahnya, sudah pasti beda lah. Bahkan dari istilah itu sudah bisa ditangkap
apa perbedaan artinya. Hanya saja, masih banyak penulis buku penelitian
kualitatif masih menggunakan kedua kata itu secara bercampur atau tidak
tepat. Mengetahui bukan berarti melakukan kan? hehe.
Metodologi jelas terdiri dari dua kata, method dan logos, yang artinya ilmu
tentang metode. Berbeda dengan metode yang hanya terdiri dari satu kata,
method, yang artinye metode atau cara.
Metodologi berasal dari bahasa Yunani “metodos” dan ""logos, kata ini terdiri dari dua suku kata
yaitu “metha” yang berarti melalui atau melewati dan “hodos” yang berarti jalan atau cara. Metode
berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan. logos artinya ilmu.
Metodologi adalah ilmu-ilmu/cara yang digunakan untuk memperoleh kebenaran menggunakan
penelusuran dengan tata cara tertentu dalam menemukan kebenaran, tergantung dari realitas yang
sedang dikaji.
Ilmu terdiri atas empat prinsip:
1. keteraturan (orde)
2. sebab-musabab (determinisme)
3. kesederhanaan (parsimoni)
Dengan prinsip-prinsip yang demikian maka ada banyak jalan untuk menemukan kebenaran.
Metodologi adalah tata cara yang menentukan proses penelusuran apa yang akan digunakan.
Metodologi penelitian adalah tata cara yang lebih terperinci mengenai tahap-tahap melakukan
sebuah penelitian.
Artikel bertopik ilmu pengetahuan ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia
dengan mengembangkannya.
Kategori:
Metodologi
Tuesday, April 30, 2013
PENGERTIAN METODE
Metode (method), secara harfiah berarti cara. Selain itu metode atau metodik berasal dari
bahasa Greeka, metha, (melalui atau melewati), dan hodos (jalan atau cara), jadi metode bisa berarti
jalan atau cara yang harus di lalui untuk mencapai tujuan tertentu.
Secara umum atau luas metode atau metodik berarti ilmu tentang jalan yang dilalui untuk
mengajar kepada anak didik supaya dapat tercapai tujuan belajar dan mengajar. Prof. Dr.Winarno
Surachmad (1961), mengatakan bahwa metode mengajar adalah cara-cara pelaksanaan dari pada
murid-murid di sekolah.Pasaribu dan simanjutak (1982), mengatakan bahwa metode adalah cara
sistematik yang digunakan untuk mencapai tujuan.
Metode adalah prosedur atau cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan tertentu. Kemudian
ada satu istilah lain yang erat kaitannya dengan dua istilah ini, yakni tekhnik yaitu cara yang spesifik
dalam memecahkan masalah tertentu yang ditemukan dalam melaksanakan prosedur.
Metodologi penelitian adalah sekumpulan peraturan, kegiatan, dan prosedur yang digunakan
oleh pelaku suatu disiplin ilmu. Metodologi juga merupakan analisis teoritis mengenai suatu cara atau
metode. Penelitian merupak an suatu penyelidikan yang sistematis untuk meningkatkan sejumlah
pengetahuan, juga merupakan suatu usaha yang sistematis dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah
tertentu yang memerlukan jawaban. Hakekat penelitian dapat dipahami dengan mempelajari berbagai
aspek yang mendorong penelitian untuk melakukan penelitian. Setiap orang mempunyai motivasi yang
berbeda, di antaranya dipengaruhi oleh tujuan dan profesi masing-masing. Motivasi dan tujuan
penelitian secara umum pada dasarnya adalah sama, yaitu bahwa penelitian merupakan refleksi dari
keinginan manusia yang selalu berusaha untuk mengetahui sesuatu. Keinginan untuk memperoleh dan
mengembangkan pengetahuan merupakan kebutuhan dasar manusia yang umumnya menjadi motivasi
untuk melakukan penelitian.
Adapun tujuan Penelitian adalah penemuan, pembuktian dan pengembangan ilmu pengetahuan.
1. Penemuan. Data yang diperoleh dari penelitian merupakan data-data yang baru yang belum
pernah diketahui.
2. Pembuktian. Data yang diperoleh dari penelitian digunakan untuk membuktikan adanya
keraguan terhadap informasi atau pengetahuan tertentu.
3. Pengembangan. Data yang diperoleh dari penelitian digunakan untuk memperdalam dan
memperluas pengetahuan yang telah ada.
Kegunaan penelitian dapat dipergunakan untuk memahami masalah, memecahkan masalah, dan
mengantisipasi masalah.
1. Memahami masalah. Data yang diperoleh dari penelitian digunakan untuk memperjelas suatu
masalah atau informasi yang tidak diketahui dan selanjutnya diketahui.
2. Memecahkan masalah. Data yang diperoleh dari penelitian digunakan untuk meminimalkan
atau menghilangkan masalah.
3. Mengantisipasi masalah. Data yang diperoleh dari penelitian digunakan untuk mengupayakan
agar masalah tersebut tidak terjadi.
Schluter (1926) memberikan 15 langkah dalam melaksanakan penelitian dengan metode ilmiah.
Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:
6. Mengklasifikasikan unsur-unsur dalam masalah menurut hu-bungannya dengan data atau bukti,
baik langsung ataupun tidak langsung.
7. Menentukan data atau bukti mana yang dikehendaki sesuai dengan pokok-pokok dasar dalam
masalah.
8. Menentukan apakah data atau bukti yang dipertukan tersedia atau tidak.
12. Menganalisa data dan bukti yang diperoleh untuk membuat interpretasi.
SUMBER
http://ribhy.ini-aja.com/just/bahasa-indonesia-just/metodologi-penelitian/
http://www.google.com/imgres?imgurl=http://mathematica.aurino.com/wp-content/uploads/
2010/04/041710_1819_RUANGLINGKU1.png&imgrefurl=http://mathematica.aurino.com/%3Fp
%3D570&usg=__SPzne32hh7P47QIXmu4Fb8u7AaM=&h=343&w=580&sz=8&hl=en&start=9&sig2=RhbW
_s7zbre5LGrrDqclpA&zoom=1&tbnid=TH9rRut5OrX39M:&tbnh=79&tbnw=134&ei=EfF_UeOJN8mKrQek
1IGQDw&prev=/search%3Fq%3Dproses%2Bpenelitian%26um%3D1%26hl%3Den%26tbm
%3Disch&um=1&itbs=1&sa=X&ved=0CDwQrQMwCA
http://contohskripsi-makalah.blogspot.com/2012/06/apa-yang-dimaksud-metode-dan-metodologi-
penelitian-dan-perbedaannya.html
Pertemuan II
“Ketika umat Islam berada dalam problem ketidakberdayaan dan keterbelakangan yang total, hanya satu
yang bisa dibanggakan, yaitu teks suci itu. Pilihannya adalah apakah teks suci itu harus ditinggalkan atau
bagaimana? Bukankah orang lain bisa bangkit tanpa teks, walaupun sebenarnya modernisme barat pun
sebetulnya merujuk pada teks-teks Yunani kuno sebagai acuan pengembangan dan penyesuaiannya.” (Masdar
F.Mas’udi)
Islam sebagai ajaran menjadi topik yang menarik dikaji, baik oleh kalangan intelektual
muslim sendiri maupun sarjana-sarjana barat, mulai tradisi orientalis sampai dengan Islamolog
(ahli pengkaji keislaman).
Pendekatan yang dikaji di sini merupakan pendekatan yang telah digunakan oleh para orientalis
sebagai outsider (pengkaji dari luar penganut Islam) dan insider(pengkaji dari kalangan muslim
sendiri). Pada tahap awal, kajian keislaman dikalangan intelektual muslim lebih mengutamakan
pola transmisi, sementara kajian keislaman orientalis lebih mengedepankan kajian kritis atas ajaran,
masyarakat, dan institusi yang ada di dunia Islam.
Kajian keislaman lebih merupakan usaha kritis terhadap teks, sejarah, doktrin, pemikiran dan
institusi keislaman dengan menggunakan pendekatan-pendekatan tertentu yang secara popular di
kalangan akademik dianggap ilmiah. Menurut Jacques Waardenburg dalam bukunya yang
berjudul Islamic Studies dikatakan bahwa Studi Islam adalah kajian tentang agama Islam dan aspek-aspek
dari kebudayaan dan masyarakat muslim. Berbeda dengan kajian yang biasa dilakukan dalam perspektif
pemeluk Islam pada umumnya, Islamic Studies menurutnya tidak bersifat normatif. Dalam hal ini,
Islam dipandang sebagai ajaran suatu agama yang sudah membentuk komunitas dan budaya,
dilepaskan dari keimanan dan kepercayaan. Dengan demikian, Islamic Studies menjadi kajian kritis
dan menggunakan analisis yang bebas sebagaimana berlaku dalam tradisi ilmiah tanpa beban
teologis atas ajaran dan fenomena keagamaan yang dikajinya.
Sayyed Hossen Nasr mengatakan dalam bukunya yang berjudul Islamic Studies: Essays on Law and
Society, the Sciences, and Philosophy and Sufism :
“Islam bukan hanya sekedar sebuah agama dalam pengertian yang biasa, tetapi juga sebuah kerangka sosial
politik, pandangan keduniaan, dan pandangan hidup, yang mencakup semua aspek fisik, mental, dan spiritual
manusia. Islam lebih jauh lagi merupakan sebuah tradisi yang walaupun esensinya bersifat tunggal, meliputi
berbagai pengertian dan derajat pelaksanaan.”
Berdasarkan paparan di atas, pada dasarnya Islamic studies adalah tradisi kajian Islam yang
dikembangkan atas dasar kecenderungan ilmiah modern ala barat, khususnya dalam lapangan ilmu
sosial dan kemanusiaan.
Kemunculan kajian keislaman dalam tradisi barat dimulai dari kalangan gereja. Kajian keislaman
oleh St.John memperlihatkan sikap teologisnya sebagai seorang Kristen yang menganggap Islam
sebagai ajaran murtad (Christian heresy),seperti tertulis dalam karyanya yang berjudul The Fount of
Knowledge.
Tokoh Kristen lainnya yang mendalami kajian keislaman adalah Peter the Venerable dan Robert of
Ketton yang menerjemahkan teks-teks al-Qur’an, hadis, sejarah nabi dan manuskrip arab lainnya.
Tokoh penting lainnya adalahSt.Thomas Aquinas yang mengklasifikasikan dalam ajaran kafir
(unbelief).
Memasuki abad ke 12 telah terjadi sedikit perubahan dalam memperkenalkan kajian
keislaman yang tidak lagi didominasi pandangan teologis namun pandangan atau dimensi lain. Pada
abad ke-13 karya-karya pemikir Islam seperti filsuf Ibnu Sina telah banyak diterjemahkan dan
menjadi rujukan dunia barat. Begitu pula pada abad berikutnya komentar-komentarIbnu
Rusyd tentang pemikiran Aristoteles telah dijadikan rujukan kaum orientalis, bahka Ibnu
Rusyd mendapat julukan “The commentator” atau sang komentator, berkaitan dengan analisa
tajamnya terhadap pemikiran Aristoteles.
Sumber :
Metodologi Studi Islam, Drs.Atang AH, MA dan DR.Jaih Mubarok, Rosda, Bandung 2000.
HANDOUT METODOLOGI STUDI ISLAM
Pertemuan III
PERAN ISLAM DALAM KEHIDUPAN MANUSIA
Islam sebagai sebuah agama telah memberikan peran yang cukup signifikan, tidak hanya apa yang
diajarkan Islam ke seluruh manusia tetapi juga terhadap proses kehidupan dari manusia itu sendiri.
Kelompok manusia yang kerap disebut masyarakat, menurut pendapat Emile Durkheim, seorang
sosiolog dari Perancis dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu :
1. Masyarakat mekanis (pra industri);
Pada masyarakat mekanis, semua peran atau fungsi manusia diturunkan dari satu generasi kepada
generasi lainnya dengan mengusahakan agar tidak terjadi perubahan yang drastis. Namun pada
masyarakat organis, para manusianya tidak lagi hanya meneruskan sesuatu (perintah, larangan,
hukum dan lain-lain) dari generasi sebelumnya tanpa adanya tinjauan kritis. Pada masyarakat ini
sikap inovatif menjadi suatu “hambatan” tersendiri bagi pemahaman agama yang
menurut Durkheim cenderung kepada sesuatu yang statis dan sulit untuk berubah.
Pembagian 2 kategori di atas, setidaknya mewakili pemahaman sempit dan kerdil dari para ilmuwan
barat yang justru memandang Islam sebagai suatu agama yang lebih menghendaki adanya “status
quo”. Mungkin pemahaman kerdil inilah yang menjadi salah satu alasan dari ungkapan Ernest
Renan, 1862 :
“Islam merupakan pengingkaran total terhadap Eropa….. Islam merupakan penghinaan terhadap ilmu
pengetahuan, penindasan terhadap civil society; Islam adalah bentuk kesederhanaan spirit bangsa Semit
(Yahudi) yang mengerikan, membatasi pemikiran manusia, menutupnya terhadap ide-ide yang sulit, sentiment
yang beradab, dan penelitian rasional, untuk membuatnya tetap menghadapi sebuah tautology yang abadi :
Tuhan adalah Tuhan”.
Hal senada diungkapkan pula oleh Lord Cromer dalam Modern Egypt :
“Sebagai agama Islam adalah ajaran monoteisme yang luhur, tetapi sebagai sebuah sistem sosial, Islam telah
gagal total. Islam membiarkan wanita dalam posisi serba rendah. Ia menyatukan agama dan hukum ke dalam
sistem yang tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa diubah, sehingga tidak ada elastisitas terhadap sistem sosial.
Islam mengizinkan perbudakan dan secara umum cenderung tidak toleran dengan agama lain. Islam tidak
merangsang pengembangan kekuatan berfikir rasional. Dengan demikian kaum muslim tidak memiliki
harapan untuk mengatur diri atau memperbaharui mereka sendiri”.
Dua pendapat di atas sesungguhnya adalah sebuah “kenyataan” yang senantiasa diangkat oleh para
masyarakat yang anti terhadap Islam. Sebagai muslim, wajib hukumnya bagi kita semua untuk dapat
mematahkan anggapan tersebut, tentunya dengan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan
secara rasional maupun akademik.
Dalam konteks pembahasan peran atau fungsi, maka prinsip teori fungsional menyatakan bahwa
segala sesuatu yang tidak berfungsi atau berperan akan lenyap dengan sendirinya. Dengan kata lain,
setiap agama memiliki fungsi. Konsekuensinya, setiap yang tidak berfungsi atau berperan akan
hilang atau sirna. Karena sejak dulu hingga sekarang agama dengan tangguh menyatakan
eksistensinya, berarti agama mempunyai dan memerankan sejumlah peran dan fungsi di
masyarakat.
Perintah yang sangat mendasar yang terdapat dalam ajaran Islam adalah mengesakan Tuhan dan
larangan untuk melakukan syirik. Tauhid dan syirik adalah dua sisi yang tidak dapat dipisahkan
meskipun keduanya sangat berbeda.
ö@è% uqèd ª!$# î‰ymr& ÇÊÈ ª!$# ߉yJ¢Á9$# ÇËÈ öNs9 ô$Î#tƒ öNs9ur ô‰s9qムÇÌÈ
öNs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! #·qàÿà2 7‰ymr& ÇÍÈ
Sedangkan berkaitan dengan persoalan larangan untuk syirik dapat ditemukan dalam surat Luqman
ayat 13 :
øŒÎ)ur tA$s% ß`»yJø)ä9 ¾ÏmÏZö/ew uqèdur ¼çmÝàÏètƒ ¢Óo_ç6»tƒ Ÿw õ8ÎŽô³è@ «!$$Î/ ( žcÎ)
x8÷ŽÅe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOŠÏàtã ÇÊÌÈ
13. dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.
Perintah mengesakan Tuhan mengandung arti bahwa manusia hanya boleh tunduk
kepada Tuhan.Dan oleh karenanya manusia dijadikan khalifah di bumi dan seluruh alam ditundukan
oleh Allah SWT untuk manusia sebagaimana tercantum dalam surat Ibrahim dan al Nahl sebagai
berikut :
ª!$# “Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚö‘F{$#ur tAt“Rr&ur šÆÏB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB ylt÷zr’sù
¾ÏmÎ/ z`ÏB ÏNºtyJ¨V9$# $]%ø—Í‘ öNä3©9 ( t¤‚y™ur ãNä3s9 šù=àÿø9$# y“ÌôftGÏ9 ’Îû
Ìóst7ø9$# ¾ÍnÌøBr’Î/ ( t¤‚y™ur ãNä3s9 t»yg÷RF{$# ÇÌËÈ t¤‚y™ur ãNä3s9 }§ôJ¤
±9$# tyJs)ø9$#ur Èû÷üt7ͬ!#yŠ ( t¤‚y™ur ãNä3s9 Ÿ@ø‹©9$# u‘$pk¨]9$#ur ÇÌÌÈ
32. Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit,
kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu;
dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan
kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.
33. dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar
(dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.
t¤‚y™ur ãNà6s9 Ÿ@ø‹©9$# u‘$yg¨Y9$#ur }§ôJ¤±9$#ur tyJs)ø9$#ur ( ãPqàf‘Z9$#ur 7Nºt¤‚|
¡ãB ÿ¾ÍnÌøBr’Î/ 3 cÎ) ’Îû šÏ9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 šcqè=É)÷ètƒ ÇÊËÈ
12. dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. dan bintang-bintang itu
ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (Nya).
Firman Allah SWT di atas menunjukan bahwa bumi, langit, laut, serta segala yang ada di bumi,
langit serta laut telah ditundukan oleh Allah SWt untuk kepentingan manusia. Dengan demikian
apabila manusia tunduk kepada alam, maka sesungguhnya manusia telah menyalahi fungsinya,
yakni menyembah atau hanya tunduk kepada Allah SWT.
Konsekuensi dari tauhid adalah bahwa manusia harus menguasai alam dan haram tunduk kepada
alam. Menguasai alam berarti menguasai hukum alam; dan dari hukum alam ini ilmu pengetahuan
dan teknologi dikembangkan. Sebaliknya syirik berarti tunduk kepada alam sehingga akan berakibat
lahirnya kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan.
Jadi terdapat hubungan timbal balik antara tauhid dengan dorongan pengembangan ilmu
pengetahuan dan juga adanya hubungan timbal balik antara syirik dengan kebodohan. Dengan
demikian sumbangan atau peran Islam dalam kehidupan manusia adalah terbentuknya suatu
komunitas yang berkecenderungan prosresif atau inovatif, yaitu suatu komunitas yang dapat
mengendalikan, memelihara, dan mengembangkan kehidupan melalui pengembangan ilmu dan
sains.
Menurut Nurcholis Majid ilmu adalah hasil pelaksanaan perintah Tuhan untuk memperhatikan dan
memahami alam raya ciptaanNya sebagai manifestasi tau penyingkapan tabir akan rahasia Nya.
Untuk kepentingan analisis, tanda-tanda atau rahasia Tuhan dapat dibedakan menjadi 3, yaitu :
1. Jagad raya. Untuk dapat menyingkap rahasia Allah SWT melalui tanda ini maka manusia harus
menggunakan perangkat berupa ilmu fisik, seperti ilmu fisika, kimia, geografi, geologi, astronomi
atau falak.
2. Manusia. Untuk dapat menyingkap rahasia melalui tanda ini maka manusia nya itu sendiri harus
menguasai ilmu yang berkenaan dengan fisik, seperti ilmu biologi, dan kedokteran, serta psikis
seperti ilmu psikologi.
3. Wahyu. Untuk menyingkap tabir rahasia melalui tanda ini, maka manusia memunculkan ilmu-
ilmu keagamaan seperti ‘ulum al Qur’an, ‘ulum al Hadits, tafsir, fikih, ilmu kalam dan tasawuf.
Paradigma ini sekaligus merupakan jawaban terhadap anggapan dari para ilmuwan barat yang
cenderung berasumsi bahwa Islam akan sulit diterima pada masyarakat modern (organis). Justru
sesungguhnya Islam sangat berhubungan dengan segala aspek perubahan, dalam hal ini
perkembangan ilmu pengetahuan. Beberapa contoh konkrit yang dapat dijadikan rujukan bahwa
Islam, yang diwakili oleh para pemeluknya (muslim) telah lama bergaul erat dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi seperti :
1. Ilmu matematika, yang dipelopori oleh al Khawarizmi dengan karyanya ilmu hitung dan aljabar.
Nama al Khawarizmi di transfer dalam bahasa latin menjadi algorisme atau algoritme. Selain itu ada
juga Umar al Khayam dan al Thusi yang pertama kali menciptakan serta memperkenalkan angka 0
sejak tahun 873 M dan baru dipergunakan oleh dunia barat pada tahun 1202 M.
2. Astronomi, yang dipelopori oleh Umar al Khayam dan al Farazi. Kalender buatan Umar al Khayam
diyakini lebih tepat dibanding dengan kalender buatan Gregorius.
3. Kimia, yang dipelopori oleh Jabir bin Hayyan dan zakaria al Razi yang sering disebut bangsa eropa
dengan nama Gaber dan Rhazes.
4. Optik, yang dipelopori oleh Ibnu Haitsam yang mematahkan teori yang dikemukakan oleh Euklid
dan Ptolomeus.
Kedigjayaan cendikiawan muslim di atas tidak hanya menjadi kenangan tentang kejayaan Islam di
masa lalu. Satu hal yang paling penting adalah pemahaman bahwa Islam identik dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi, sehingga tidak ada dikotomi antara ilmu agama an sich dengan ilmu
non agama, karena pada kenyataannya pada masa lalu tokoh-tokoh ilmuwan Islam adalah mereka
yang mafhum tentang ilmu agama..
Sumber :
Metodologi Studi Islam, Drs.Atang AH, MA dan DR.Jaih Mubarok, Rosda, Bandung 2000.
HANDOUT METODOLOGI STUDI ISLAM
Pertemuan IV
Perspektif sebagian masyarakat yang menyatakan bahwa agama (Islam) merupakan bagian
dari kebudayaan, khususnya kebudayaan Arab, sampai saat ini belum bisa dijawab secara
proporsional oleh sebagian kaum terpelajar muslim termasuk mahasiswa. Pandangan yang
memposisikan kebudayaan sebagai rujukan dari agama (Islam) tentunya merupakan pandangan
yang merendahkan keagungan dari agama (Islam) itu sendiri. Hal ini disebabkan karena
kebudayaan pada akhirnya yang menentukan jalan atau aturan (hukum / syariat) dari agama
(Islam). Oleh karenanya pemahaman yang komprehensif berkaitan dengan agama (Islam) dan
kebudayaan harus dipahami secara utuh oleh setiap kaum terpelajar muslim yang pada akhirnya
dapat menjelaskan posisi kedua persoalan tersebut.
Kebudayaan
Dalam literatur antropologi terdapat 3 istilah yang memiliki kemiripan atau kesamaan makna
dengan kebudayaan. Yang pertama adalah culture, yang berasal dari bahasa Latin yaitu
kata cultura yang mengandung arti memelihara, mengerjakan, atau mengolah. Dalam pengertian ini
kebudayaan mengandung arti segala kegiatan dan daya manusia untuk mengolah dan mengubah
alam. Istilah yang kedua adalah sivilisasi (civilization). Kata ini berasal dari bahasa Latin
yaitu civis yang berarti warga negara. Dalam pengertian ini kebudayaan atau sivilisasi berkaitan
dengan kehidupan yang lebih progresif dan lebih halus. Dalam konteks bahasa Indonesia sivilisasi
dianggap sepadan dengan kata peradaban. Istilah yang ketiga adalah kebudayaan.Pengertian
kebudayaan di sini memiliki beberapa pengertian, diantaranya adalah menurut :
1. Pasurdi Suparlan : Kebudayaan adalah serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resep-resep,
rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dimiliki
manusia, dan yang digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana
terwujud dalam tingkah laku dan tindakannya.
2. Selo Sumardjan dan Soelaiman Soemardi : Kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta
masyarakat.
3. Effat Sharqawi : Kebudayaan adalah apa yang kita rindukan (ideal) yang terefleksi dalam seni sastra,
religi, dan moral, sedangkan peradaban adalah apa yang kita pergunakan (real) yang terefleksi dalam
politik , ekonomi dan teknologi.
Dari dua pengertian awal tentang kebudayaan tersebut akan kita telaah lebih jauh pengertian
kebudayaan yang telah diungkapkan oleh Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi. Kata “karya”
mengandung pengertian perbuatan manusia dalam arti kebudayaan kebendaan yang diperlukan
manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk
keperluan masyarakat. Kata “rasa” meliputi jiwa manusia untuk mewujudkan segala kaidah dan nilai
sosial yang diperlukan untuk mengatur masalah kemasyarakatan. Agama, ideology, kebatinan, dan
kesenian yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat
termasuk di dalamnya. Kata “cipta” mengandung arti kemampuan mental, dan berpikir orang-orang
yang hidup bermasyarakat yang hasilnya antara lain seperti filsafat dan ilmu pengetahuan.
Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa manusia memiliki 2 sisi kehidupan : sisi material dan
sisi spiritual. Sisi material mengandung karya, yaitu kemampuan manusia untuk menghasilkan
benda-benda atau yang berwujud materi. Sisi spiritual manusia mengandung cipta yang
menghasilkan ilmu pengetahuan, dan karsa yang menghasilkan kaidah kepercayaan, kesusilaan,
kesopanan, hukum, serta rasa yang menghasilkan keindahan.
Mengerucut pada pertanyaan utama di atas, maka kita akan melihat beberapa pendapat dari
para ahli tentang kajian agama (Islam). Nurcholis Madjid menyatakan bahwa agama dan budaya
adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak,
tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Adapun budaya sekalipun berdasarkan agama
dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Sebagian besar budaya didasarkan
pada agama dan tidak pernah terjadi sebaliknya. Oleh karena itu agama adalah primer dan budaya
adalah sekunder. Budaya bisa merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena ia subordinate (bagian)
dari agama dan tidak pernah sebaliknya.
Harun Nasution berpendapat bahwa agama pada hakikatnya mengandung dua kelompok
ajaran. Kelompok pertama adalah ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan melalui rasul-Nya. Ajaran
dasar ini dimanifestasikan dalam bentuk kitab-kitab suci dan hadits mutawatir yang bersifat
absolute, kekal dan tidak berubah. Kelompok kedua adalah penjelasan-penjelasan dari ajaran-ajaran
dasar tersebut, baik mengenai arti maupun tata cara pelaksanaanya yang merupakan hasil
pemikiran ahli agama dan tidak bersifat absolute serta dapat berubah.
Nurcholis Madjid menyebutkan bahwa tatanan masyarakat Arab pra Islam cenderung
merendahkan martabat perempuan, seperti status istri yang dapat diwariskan dan tidak adanya hak
untuk memperoleh harta pusaka. Islam dengan ajaran-ajaran yang terkandung dalam al Qur’an
mengakomodir hukum yang berkembang pada masyarakat Arab tersebut serta memberikan
penawaran atau solusi cerdas atas persoalan yang merugikan masyarakat Arab itu sendiri. Dengan
demikian pemahaman yang menyebutkan bahwa Islam merupakan budaya Timur Tengah (Arab)
tidaklah tepat, karena justru Islam memberikan perubahan-perubahan nyata dari budaya Arab itu
sendiri.
Islam adalah agama yang diturunkan kepada manusia sebagai rohmat bagi alam semesta.
Ajaran-ajarannya selalu membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia di dunia ini. Allah swt
sendiri telah menyatakan hal ini, sebagaimana yang tersebut dalam ( QS Toha : 2 ) : “ Kami tidak
menurunkan Al Qur’an ini kapadamu agar kam menjadi susah “. Artinya bahwa umat manusia yang mau
mengikuti petunjuk Al Qur’an ini, akan dijamin oleh Allah bahwa kehidupan mereka akan bahagia
dan sejahtera dunia dan akherat. Sebaliknya siapa saja yang membangkang dan mengingkari ajaran
Islam ini, niscaya dia akan mengalami kehidupan yang sempit dan penuh penderitaan.
Ajaran-ajaran Islam yan penuh dengan kemaslahatan bagi manusia ini, tentunya mencakup
segala aspek kehidupan manusia. Tidak ada satupun bentuk kegiatan yang dilakukan manusia,
kecuali Allah telah meletakkan aturan-aturannya dalam ajaran Islam ini. Kebudayaan adalah salah
satu dari sisi pentig dari kehidupan manusia, dan Islampun telah mengatur dan memberikan
batasan-batasannya.Tulisan di bawah ini berusaha menjelaskan relasi antara Islam dan budaya.
Walau singkat mudah-mudahan memberkan sumbangan dalam khazana pemikian Islam.
Adapun aspek bahasa dan kesusteraan mencakup bahasa daerah, pantun, syair, novel-novel.
Aspek seni dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu ; visual arts danperforming arts, yang
mencakup ; seni rupa ( melukis), seni pertunjukan ( tari, musik, ) Seni Teater ( wayang ) Seni
Arsitektur ( rumah,bangunan , perahu ). Aspek ilmu pengetahuan meliputi scince ( ilmu-ilmu
eksakta) dan humanities ( sastra, filsafat kebudayaan dan sejarah ).
Hubungan Islam dan Budaya
Untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara agama ( termasuk Islam ) dengan budaya, kita
perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini : mengapa manusia cenderung memelihara
kebudayaan, dari manakah desakan yang menggerakkan manusia untuk berkarya, berpikir dan
bertindak ? Apakah yang mendorong mereka untuk selalu merubah alam dan lingkungan ini
menjadi lebih baik ?
Sebagian ahli kebudayaan memandang bahwa kecenderungan untuk berbudaya merupakan dinamik
ilahi. Bahkan menurut Hegel, keseluruhan karya sadar insani yang berupa ilmu, tata hukum,
tatanegara, kesenian, dan filsafat tak lain daripada proses realisasidiri dari roh ilahi. Sebaliknya
sebagian ahli, sepertiPater Jan Bakker, dalam bukunya “Filsafat Kebudayaan” menyatakan bahwa
tidak ada hubungannya antara agama dan budaya, karena menurutnya, bahwa agama merupakan
keyakinan hidup rohaninya pemeluknya, sebagai jawaban atas panggilan ilahi. Keyakinan ini disebut
Iman, dan Iman merupakan pemberian dari Tuhan, sedang kebudayaan merupakan karya manusia.
Sehingga keduanya tidak bisa ditemukan. Adapun menurut para ahli Antropologi, sebagaimana yang
diungkapkan oleh Drs. Heddy S. A. Putra, MA bahwa agama merupakan salah satu unsur
kebudayaan. Hal itu, karena para ahli Antropologi mengatakan bahwa manusia mempunyai akal-
pikiran dan mempunyai sistem pengetahuan yang digunakan untuk menafsirkan berbagai gejala
serta simbol-simbol agama. Pemahaman manusia sangat terbatas dan tidak mampu mencapai
hakekat dari ayat-ayat dalam kitab suci masing- masing agama. Mereka hanya dapat menafsirkan
ayat-ayat suci tersebut sesuai dengan kemampuan yang ada.
Di sinilah, , bahwa agama telah menjadi hasil kebudayaan manusia. Berbagai tingkah laku
keagamaan, masih menurut ahli antropogi,bukanlah diatur oleh ayat- ayat dari kitab suci, melainkan
oleh interpretasi mereka terhadap ayat-ayat suci tersebut.
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa para ahli kebudayaan mempunyai pendapat yang
berbeda di dalam memandang hubungan antara agama dan kebudayaan. Kelompok pertama
menganggap bahwa Agama merupakan sumber kebudayaaan atau dengan kata lain bahwa
kebudayaan merupakan bentuk nyata dari agama itu sendiri. Pendapat ini diwakili olehHegel.
Kelompok kedua, yang di wakili oleh Pater Jan Bakker, menganggap bahwa kebudayaan tidak ada
hubungannya sama sekali dengan agama. Dan kelompok ketiga, yeng menganggap bahwa agama
merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri.
Untuk melihat manusia dan kebudayaannya, Islam tidaklah memandangnya dari satu sisi saja. Islam
memandang bahwa manusia mempunyai dua unsur penting, yaitu unsur tanah dan unsur ruh yang
ditiupkan Allah kedalam tubuhnya. Ini sangat terlihat jelas di dalam firman Allah Qs As Sajdah 7-9 :
“ ( Allah)-lah Yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menciptakan keturunannya dari
saripati air yan hina ( air mani ). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam ( tubuh )-nya roh
( ciptaan)-Nya “
Selain menciptakan manusia, Allah swt juga menciptakan makhluk yang bernama Malaikat, yang
hanya mampu mengerjakan perbuatan baik saja, karena diciptakan dari unsur cahaya. Dan juga
menciptakan Syetan atau Iblis yang hanya bisa berbuat jahat , karena diciptkan dari api. Sedangkan
manusia, sebagaimana tersebut di atas, merupakan gabungan dari unsur dua makhluk tersebut.
Dalam suatu hadits disebutkan bahwa manusia ini mempunyai dua pembisik ; pembisik dari
malaikat , sebagi aplikasi dari unsur ruh yang ditiupkan Allah, dan pembisik dari syetan, sebagai
aplikasi dari unsur tanah. Kedua unsur yang terdapat dalam tubuh manusia tersebut, saling
bertentangan dan tarik menarik. Ketika manusia melakukan kebajikan dan perbuatan baik, maka
unsur malaikatlah yang menang, sebaliknya ketika manusia berbuat asusila, bermaksiat dan
membuat kerusakan di muka bumi ini, maka unsur syetanlah yang menang. Oleh karena itu, selain
memberikan bekal, kemauan dan kemampuan yang berupa pendengaran, penglihatan dan hati,
Allah juga memberikan petunjuk dan pedoman, agar manusia mampu menggunakan kenikmatan
tersebut untuk beribadat dan berbuat baik di muka bumi ini.
Allah telah memberikan kepada manusia sebuah kemampuan dan kebebasan untuk berkarya,
berpikir dan menciptakan suatu kebudayaan. Di sini, Islam mengakui bahwa budaya merupakan
hasil karya manusia. Sedang agama adalah pemberian Allah untuk kemaslahatan manusia itu
sendiri. Yaitu suatu pemberian Allah kepada manusia untuk mengarahkan dan membimbing karya-
karya manusia agar bermanfaat, berkemajuan, mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat
manusia. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu beramal dan berkarya, untuk selalu
menggunakan pikiran yang diberikan Allah untuk mengolah alam dunia ini menjadi sesuatu yang
bermanfaat bagi kepentingan manusia. Dengan demikian, Islam telah berperan sebagai pendorong
manusia untuk “ berbudaya “. Dan dalam satu waktu Islamlah yang meletakkan kaidah, norma dan
pedoman. Sampai disini, mungkin bisa dikatakan bahwa kebudayaan itu sendiri, berasal dari agama.
Teori seperti ini, nampaknya lebih dekat dengan apa yang dinyatakan Hegel di atas.
Sikap Islam terhadap Kebudayaan
Islam, sebagaimana telah diterangkan di atas, datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat
menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk
menghancurkan budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang
bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang
tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan
dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab
dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.
Prinsip semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi Undang-undang Dasar Negara Indonesia, pasal
32, walaupun secara praktik dan perinciannya terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat
menyolok. Dalam penjelasan UUD pasal 32, disebutkan : “ Usaha kebudayaan harus menuju ke arah
kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan
asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta
mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Idonesia “.
Hal-hal di atas merupakan sebagian contoh kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran Islam,
sehingga umat Islam tidak dibolehkan mengikutinya. Islam melarangnya, karena kebudayaan seperti
itu merupakan kebudayaan yang tidak mengarah kepada kemajuan adab, dan persatuan, serta tidak
mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia, sebaliknya justru merupakan kebudayaan
yang menurunkan derajat kemanusiaan. Karena mengandung ajaran yang menghambur-hamburkan
harta untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menghinakan manusia yang sudah meninggal dunia.
Dalam hal ini al Kamal Ibnu al Himam, salah satu ulama besar madzhab hanafi mengatakan : “
Sesungguhnya nash-nash syareat jauh lebih kuat daripada tradisi masyarakat, karena tradisi
masyarakat bisa saja berupa kebatilan yang telah disepakati, seperti apa yang dilakukan sebagian
masyarakat kita hari ini, yang mempunyai tradisi meletakkan lilin dan lampu-lampu di kuburan
khusus pada malam- malam lebaran. Sedang nash syareat, setelah terbukti ke-autentikannya, maka
tidak mungkin mengandung sebuah kebatilan. Dan karena tradisi, hanyalah mengikat masyarakat
yang menyakininya, sedang nash syare’at mengikat manusia secara keseluruhan., maka nash jauh
lebih kuat. Dan juga, karena tradisi dibolehkan melalui perantara nash, sebagaimana yang tersebut
dalam hadits : “ apa yang dinyatakan oleh kaum muslimin baik, maka sesuatu itu baik “
Dari situ, jelas bahwa apa yang dinyatakan oleh Dr. Abdul Hadi WM, dosen di Fakultas Falsafah dan
Peradaban Universitas Paramadina, Jakarta, bahwa Islam tidak boleh memusuhi atau merombak
kultur lokal, tapi harus memposisikannya sebagai ayat-ayat Tuhan di dunia ini atau fikih tidak
memadai untuk memahami seni, adalah tidak benar. Wallahu a’lam
* Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Al Azhar, Fak. Studi Islam.
Sumber :
Metodologi Studi Islam, Drs.Atang AH, MA dan DR.Jaih Mubarok, Rosda, Bandung 2000.
ahmadzain.wordpress.com
HANDOUT METODOLOGI STUDI ISLAM
Pertemuan V
Pendahuluan
Sebagai sebuah kenyatan sejarah, agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena
keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan
kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di
dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan
agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi
(parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular,
relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama pribadi,
tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat[1].
Interaksi antara agama dan kebudayaan itu dapat terjadi dengan, pertamaagama memperngaruhi
kebudayaan dalam pembentukannya, nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan.
Contohnya adalah bagaimana shalat mempengaruhi bangunan. Kedua, agama dapat mempengaruhi
simbol agama. Dalam hal ini kebudayaan Indonesia mempengaruhi Islam dengan pesantren dan kiai
yang berasal dari padepokan dan hajar. Dan ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sitemnilai dan
simbol agama.(2).
Agama dan kebudayaan mempunyai dua persamaan, yaitu, keduanya adalah sitem nilai dan sistem
simbol dan keduanya mudah sekali terancam setiap kali ada perubahan. Agama, dalam perspektif
ilmu-ilmu sosial adalah sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenai konstruksi
realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan struktur tata normatif dan tata sosial serta
memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar. Sementara seni tradisi merupakan ekspresi cipta,
karya, dan karsa manusia (dalam masyarakat tertentu) yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan
religiusitas, wawasan filosofis dan kearifan lokal (local wisdom).
Baik agama maupun kebudayaan, sama-sama memberikan wawasan dan cara pandang dalam
mensikapi kehidupan agar sesuai dengan kehendak Tuhan dan kemanusiaannya. Misalnya, dalam
menyambut anak yang baru lahir, bila agama memberikan wawasan untuk
melaksanakan aqiqah untuk penebusan (rahinah) anak tersebut, sementara kebudayaan yang
dikemas dalam marhabaan dan bacaan barjanji memberikan wawasan dan cara pandang lain, tetapi
memiliki tujuan yang sama, yaitu mendo”akan kesalehan anak yang baru lahir agar sesuai dengan
harapan ketuhanan dan kemanusiaan. Demikian juga dalam upacara tahlilan, baik agama maupun
budaya lokal dalam tahlilan sama-sama saling memberikan wawasan dan cara pandang dalam
menyikapi orang yang meninggal (3).
Oleh karena itu, biasanya terjadi dialektika antara agama dan kebudayaan tersebut. Agama
memberikan warna (spirit) pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberi kekayaan terhadap
agama. Namum terkadang dialektika antara agama dan seni tradisi atau budaya lokal ini berubah
menjadi ketegangan. Karena seni tradisi, budaya lokal, atau adat istiadat sering dianggap tidak
sejalan dengan agama sebagai ajaran Ilahiyat yang bersifat absolut.
Pada konteks selanjutnya, akan tercipta pola-pola keberagamaan (Islam) yang sesuai dengan
konteks lokalnya, dalam wujud ‘Islam Pribumi’ sebagai jawaban dari ‘Islam Otentik’ atau ‘Islam
Murni’ yang ingin melakukan proyek Arabisasi di dalam setiap komunitas Islam di seluruh penjuru
dunia. ‘Islam Pribumi’ justru memberi keanekaragaman interpretasi dalam praktik kehidupan
beragama (Islam) di setiap wilayah yang berbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi
dipandang secara tunggal, melainkan beraneka ragam. Tidak ada lagi anggapan Islam yang di Timur
Tengah sebagai Islam yang murni dan paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami
historisitas yang terus berlanjut (5).
Sebagai contoh dapat dilihat dari praktek ritual dalam budaya populer di Indonesia, sebagaimana
digambarkan oleh Kuntowijoyo, , menunjukkan perkawinan antara Islam dan budaya lokal yang
cukup erat. Upacara Pangiwahan di Jawa Barat, sebagai salah satunya, dimaksudkan agar manusia
dapat menjadi ‘wiwoho’, yang mulia. Sehingga berangkan dari pemahaman ini, masyarakat harus
memuliakan kelahiran, perkawinan, kematian, dan sebagainya. Semua ritual itu dimaksudkan untuk
menunjukkan bahwa kehidupan manusia itu bersifat mulia. Konsep mengenai kemuliaan hidup
manusia ini jelas-jelas diwarnai oleh kultur Islam yang memandang manusia sebagai makhluq yang
mulia (6).
‘Islam Pribumi’ sebagai jawaban dari Islam otentik mengandaikan tiga hal.Pertama, ‘Islam Pribumi’
memiliki sifat kontekstual, yakni Islam dipahami sebagai ajaran yang terkait dengan konteks zaman
dan tempat. Perubahan waktu dan perbedaan wilayah menjadi kunci untuk menginterpretasikan
ajaran. Dengan demikian, Islam akan mengalami perubahan dan dinamika dalam merespons
perubahan zaman. Kedua, ‘Islam Pribumi’ bersifat progresif, yakni kemajuan zaman bukan dipahami
sebagai ancaman terhadap penyimpangan terhadap ajaran dasar agama (Islam), tetapi dilihat
sebagai pemicu untuk melakukan respons kreatif secara intens. Ketiga, ‘Islam Pribumi’ memiliki
karakter membebaskan. Dalam pengertian, Islam menjadi ajaran yang dapat menjawab problem-
problem kemanusiaan secara universal tanpa melihat perbedaan agama dan etnik. Dengan
demikian, Islam tidak kaku dan rigid dalam menghadapi realitas sosial masyarakat yang selalu
berubah.
Dalam konteks inilah, ‘Islam Pribumi’ ingin membebaskan puritanisme, otentifikasi, dan segala
bentuk pemurnian Islam sekaligus juga menjaga kearifan lokal tanpa menghilangkan identitas
normatif Islam. Karena itulah, ‘Islam Pribumi’ lebih berideologi kultural yang tersebar (spread
cultural ideology) (7), yang mempertimbangkan perbedaan lokalitas ketimbang ideologi kultural yang
memusat, yang hanya mengakui ajaran agama tanpa interpretasi. Sehingga dapat tersebar di
berbagai wilayah tanpa merusak kultur lokal masyarakat setempat. Dengan demikian, tidak akan
ada lagi praktik-praktik radikalisme yang ditopang oleh paham-paham keagamaan ekstrem, yang
selama ini menjadi ancaman bagi terciptanya perdamaian.
Otentisitas Islam Pribumi
Cuma permasalahanya apakah Islam pribumi dapat dipandang ‘absah’ dalam perspektif doktrin
Islam. Mengabsahan ini penting menyangkut sosialisasi dan internalisasi Islam pribumi sebagai
wacana pembebasan umat di kalangan umat Islam sendiri. Kelompok puritan Islam telah menuduh
Islam pribumi sebagai sebagai pengejawantahan dari praktek bid’ah yang telah menyimpang dari
ajaran Islam. Lebih lanjut kelompok ini berkeyakinan ahli bid’ah adalah sesat (dlalalah). Dalam
sejarah Islam Jawa telah direkam bagaimana upaya-upaya penguasa Islam waktu itu dalam
memberangus praktek sufime yang mereka tuduh telah menyimpang dari ortodoksi Islam.
Ambillah contoh misalnya tentang konfik antara Syekh Siti Jenar dengan seorang raja dari Demak.
Seperti diketahui, Syekh Siti Jenar dikenal sebagai seorang Wali yang mempunyai kecenderungan
mistis yang sangat kuat. Jalan tarekat yang dia tempuh sering menimbulkan ketegangan antara
ketentuan-ketentuan syari’at yang baku (doktris resmi Islam). Seringkali paham mistiknya yang
sangat kuat itu menyebabkan ia meremehkan hukum-hukum yang sudah diadobsi dari kerajaan.
Oleh karena itulah penguasa kerajaan Islam Jawa di Demak itu kemudian berusaha keras untuk
memadamkan pengaruh mistik, sufi dan tarekat, karena paham-paham seperti itu menyebabkan
orang menjadi individualistik dan meremehkan kekuasaan keraton.
Demikianlah, akhirnya Demak menghukum Syekh Siti Jenar dengan cara membakar hidup-hidup
(meskipun pada akhirnya konon dia tidak mati) yang melambangkan disirnakannya sufisme dan
mistis Islam untuk digantikan dengan syari’at demi ketertiban negara. Walaupun
Kuntowijoyo[8] menyimpulkan tragedi tersebut bukan katrena faktor keyakinan beragama antara
keyakinan resmi yang diwakili oleh Raja Demak dengan keyakinan menyimpang yang dicontohkan
oleh Syekh Siti Jenar, melainkan semata-mata karena faktor kekuasaan. Teori yang dapat
ditunjukkan adalah bahwa jika ajaran Islam yang diusung ke dalam tradisi kerajaan menguntungkan
atas langgengnya status quo kekuasaan, maka ajaran itu diadobsi bahkan dikembangkan, tetapi jika
ajaran itu membahayakan kekuasaan; deligitimasisasi, berpotensi memimbulkan kegoncangan
sosial, maka ajaran tersebut diberangus secepatnya.
Klaim-klaim yang dilontarkan kelompok Islam Puritan perlu mendapat counter discourse untuk
sebuah agenda dialog terbuka yang membuka peluang adanyanew paradigm masing-masing yang
berdialog. Kebanyakan kelompok Islam puritan mempunyai pemahaman bahwa al-Qur’an sebagai
sumber ortodoksi adalah kitab yang komprehensif, sehingga masalah apapun yang ada disekitar
manusia sampai kapanpun, akan ada jawaban-jawaban spesifik dalam al-Qur’an. Inilah yang dalam
pandangan Mark R. Woodward [9] tidak akan mungkin terjadi. Sebab apa ? Karena itu bukan
menjadi watak al-Qur’an, sebagaimana kitab suci yang lainnya, untuk berbicara secara komprehensif
mengenai kosmologi, soteriologi, etika, ritual, dan aspek-aspek keagamaan lainnya.
Sistem-sistem doktrinal, begitu kata Mark R. Woodward selanjutnya, yang komprehensif hanya bisa
muncul melalui penafsiran. Teologi dan hukum Islam didasarkan pada penafsiran al-Qur’an dan
Sunnah Nabi. Formulasi doktrin itu telah dimulai tidak lama sesudah Nabi Wafat dan berpuncak
dalam bentuk hadis dan syari’at semikanonik(10).
Hadis dan syari’at termasuk aspek doktrin yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Fazlur
Rahman(11) mendefinisikan hadis sebagai “:suatu narasi, biasanya sangat pendek, yang pokok isinya
memberikan informasi mengenai apa yang dikatakan, dilakukan atau apa yang disetujui dan tidak disetujui
dari para sahabatnya …”. Bukti kuat menunukkan bahwa hadis berisi banyak informasi mengenai
praktek-sosial keagamaan komunitas Muslim awal, berapa diantaranya dapat dilacak langsung ke
Nabi ( 12). Selain itu semua itu merupakan hasil proses simbolisasi yang lewatnya prinsip-prinsip
al-Qur’an digunakan untuk membangkitkan atau menafsirkan ulang bentuk-bentuk praktek
kepercayan, sosial dan keagamaan. Upaya-upaya merujuk pernyataan-pernyataan dan praktek-
praktek ini ke Nabi SAW akan meligitimasi inpvasi dan interpretasi keagamaan.
Selain itu, hadis dikembangkan untuk mendukung tradisi politik dan doktrin yang luas. Penting
kaitannya dengan hal ini, Muslim syi’ah mempunyai bentuk hadis yang berbeda dengan mayoritas
Sunni. Hal ini membawa kepada pengamatan juniboll (1953) bahwa salah satu dari tujuan utama
formulasi hadis adalah untuk mengabsahkan kedudukan-kedudukan teologis dengan
mengaitkannya dengan Nabi. Ulama tampak mengakui, proses “pengumpulan” tidak bisa
dilanjutkan untuk jangka waktu tak terbatas tanpa terjerembab ke dalam pemalsuan yang tidak
terbatas pula. Oleh karena itu, sepanjang zaman Islam era ketiga, dikembangkan ilmu transmisi
hadis dan temuan-temuan yang kan didokumentasikan dengan baik ini, dirancang dalam enam
kumpulan semikanotik (kutub as-sittah) yang, bersama al-Qur’an, merupakan inti Islam “ortodok”.
(13).
Kemunculan literatur hadis memberikan contoh jernih peran penafsiran dan simbolisasi dalam
evolusi tradisi-tradisi kitabiah. Proses ini merupakan perangkat yang melaluinya prinsip-prinsip
dasar al-Qur’an digunakan untuk menyusun dan menafsirkan tradisi yang hidup, yang pada
gilirannya meberikan basis untuk menyusun dan menafsirkan tradisi yang hidup, yang pada
gilirannya memberikan basis untuk skripturalisasi hadis (melalui asosiasi simboliknya dengan Nabi
Muhammad). Hadis menawarkan model untuk ritual rakyat (popular ritual) dan agama pemujaan
(devotional religion), dan ini melengkapi suatu lingkaran penafsiran.
Sama halnya dengan peran penafsiran dalam pertumbuhan syari’at, Goldziher(14). melihat bahwa
perkembangan hukum didorong sebagian besar oleh penaklukan Arab tas kawasan Byzantium dan
Persia, dan syari’at menggunakan yurisprudensi Romawi. Hukum Islam didasarkan pada empat
prinsip fundamental : (1) al-Qur’an, (2) al-Hadis, (3) Konsensus Ulama (ijma’), (4), analogi (qiyas)
(Rahman, 1979 : 68). Ia berupaya untuk memperluas prinsip-prinsip fundamental dari al-Qur’an
atau hadis, dengan memunculkan petunjuk lengkap untuk semua segi tingkah laku keagamaan dan
sosial.
Karakter syari’at bersama dengan penggunaan konsensus dan analogi sebagai prinsip-prinsip
penafsiran memunculkan perdebatan tentang pokok persoalan yang jauh terlepas dari tema sentral
al-Qur’an dan tampaknya akan melanggar sejumlah hadis, tema yang membebaskan “dari beban
yang menyusahkan”.(15) Diantara perdebatan-perdebatan ini – dan satunnya yang akan
diperhitungkan dalam ulasan-ulasan tentang pribumisasi Islam – adalah tentang kultus roh Jawa
(javanese spirit cult) dan teori kerajawian, yakni yang berhubungan dengan keabsahan perkawinan
antara manusia dan roh. Goldziher berpendapat bahwa bentuk asus hukum ini merupakan salah
satu dari faktor utama yang mendorong berkembangnya sufisme.
Penjelasan panjang tersebut untuk menjawab klaim kelompok puritan bahwa kelompok mereka
yang paling otentik dalam mempraktekkan ajaran Islam sehari-hari. Otentisitas memang menjadi
salah satu kriteria kebenaran sebuah pemahaman ajaran agama. Tetapi seringkali diabaikan di sini
proses-proses sosial, politik dan budaya yang mempengaruhi pemikiran dan perumusan (sistem)
ajaran tersebut, suatu dimensi historis dari ajaran agama. Kaum puritan mengabaikan dimensi tafsir
dalam ajaran agama, seolah-olah agama adalah paket dari langit yang superlengkap dengan juklak
dan juknis, padahal realitas yang telah ditunjukkan tidaklah demikian. Ajaran agama sarat dengan
penafsiran, dan penafsiran terkait dengan ruang dan waktu, di sana ada dialektika dengan struktur
budaya di mana tafsir itu lahir, sehingga di sini Islam Pribumi menemukan keabsahannya.
Kalangan ulama Indonesia memang telah berhasil mengintegrasikan antara keIslaman dan
keindonesiaan, sehingga apa yang ada di daerah ini telah dianggap sesuai dengan nilai Islam, karena
Islam menyangkuit nilai-nilai dan norma, bukan selera atau idiologi apalagi adat. Karena itu, jika
nilai Islam dianggap sesuai dengan adat setempat, tidak perlu diubah sesuai dengan selera, adat,
atau idiologi Arab, sebab jika itu dilakukan akan menimbulkan kegoncangan budaya, sementara
mengisi nilai Islam ke dalam struktur budaya yang ada jauh lebih efektif ketimbang mengganti
kebudayaan itu sendiri.
Islam yang hadir di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan tradisi atau budaya Indonesia.
Sama seperti Islam di Arab saudi, Arabisme dan Islamisme bergumul sedemikian rupa di kawasan
Timur Tengah sehingga kadang-kadang orang sulit membedakan mana yang nilai Islam dan mana
yang simbol budaya Arab. Nabi Muhammad saw, tentu saja dengan bimbingan Allah (mawa yanthiqu
‘anil hawa, in hua illa wahyu yuha), dengan cukup cerdik (fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat
Arab pada saat itu. Sehingga beliau dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk
mengembangkan Islam. Sebagai salah satu contoh misalnya, ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah,
masyarakat Madinah di sana menyambut dengan iringan gendang dan tetabuhan sambil
menyanyikan thala’al-badru alaina dan seterusnya.(16)
Berbeda dengan agama-agama lain, Islam masuk Indonesia dengan cara begitu elastis. Baik itu yang
berhubungan dengan pengenalan simbol-simbol Islami (misalnya bentuk bangunan peribadatan)
atau ritus-ritus keagamaan (untuk memahami nilai-nilai Islam).
Dapat kita lihat, masjid-masjid pertama yang dibangun di sini bentuknya menyerupai arsitektur
lokal-warisan dari Hindu. Sehingga jelas Islam lebih toleran terhadap warna/corak budaya lokal.
Tidak seperti, misalnya Budha yang masuk “membawa stupa”, atau bangunan gereja Kristen yang
arsitekturnya ala Barat. Dengan demikian, Islam tidak memindahkan simbol-simbol budaya yang
ada di Timur Tengah (Arab), tempat lahirnya agama Islam.
Demikian pula untuk memahami nilai-nilai Islam. Para pendakwah Islam dulu, memang lebih luwes
dan halus dalam menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat yang heterogen setting nilai
budayanya. Mungkin kita masih ingat para wali –yang di Jawa dikenal dengan sebutan Wali Songo.
Mereka dapat dengan mudah memasukkan Islam karena agama tersebut tidak dibawanya dalam
bungkus Arab, melainkan dalam racikan dan kemasan bercita rasa Jawa. Artinya, masyarakat diberi
“bingkisan” yang dibungkus budaya Jawa tetapi isinya Islam.
Sunan Kalijaga misalnya, ia banyak menciptakan kidung-kidung Jawa bernafaskan Islam,
misalnya Ilir-ilir, tandure wis semilir. Perimbangannya jelas menyangkut keefektifan memasukkan
nilai-nilai Islam dengan harapan mendapat ruang gerak dakwah yang lebih memadai. Meminjam
pendapat Mohammad Sobary (1994: 32) dakwah Islam di Jawa masa lalu memang lebih banyak
ditekankan pada aspek esoteriknya, karena orang Jawa punya kecenderungan memasukkan hal-hal
ke dalam hati. Apa-apa urusan hati. Dan banyak hal dianggap sebagai upaya penghalusan rasa dan
budi. Islam di masa lalu cenderung sufistik sifatnya.(17).
Secara lebih luas, dialektika agama dan budaya lokal atau seni tradisi tersebut dapat dilihat dalam
perspektif sejarah. Agama-agama besar dunia: Kristen, Hindu, termasuk Islam, karena dalam
penyebarannya selalu berhadapan dengan keragaman budaya lokal setempat, strategi dakwah yang
digunakannya seringkali dengan mengakomodasi budaya lokal tersebut dan kemudian memberikan
spirit keagamaannya. Salah satu contoh yang baik adalah tradisi kentrungan atau wayang yang telah
diisi dengan ajaran kristen tentang cerita Yesus Kristus di Kandhang Betlehem dan diisi oleh Islam
tentang ajaran kalimusodo (kalimat syahadat) atau ajaran keadilan dan yang lainnya.
Dialektika antara agama dan budaya lokal juga terjadi seperti dalam penyelenggaraan sekaten di
Yogyakarta (atau di Cirebon), dan hari raya atau lebaran ketupat di Jawa Timur yang
diselenggarakan satu minggu sesudah Idulfitri. Dalam perspektif sejarah Islam Indonesia, upacara
Sekaten merupakan kreativitas dan kearifan para wali untuk menyebarkan ajaran Islam. Upacara
sekaten ini merupakan upacara penyelenggaraan maulid Nabi yang ditransformasikan dalam
upacara sekaten. Substansinya adalah untuk memperkenalkan ajaran tauhid (sekaten ubahan
dari syahadatain) sekaligus melestarikan atau tanpa mengorbankan budaya Jawa
Wujud dakwah dalam Islam yang demikian tentunya tidak lepas dari latar belakang kebudayaan itu
sendiri. Untuk mengetahui latar belakang budaya, kita memerlukan sebuah teori budaya. Menurut
Kuntowijoyo dalam magnum opusnya Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi,(18) sebuah teori budaya
akan memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut: Pertama, apa struktur dari
budaya. Kedua, atas dasar apa struktur itu dibangun. Ketiga, bagaimana struktur itu mengalami
perubahan. Keempat, bagaimana menerangkan variasi dalam budaya.
Persoalan pertama dan kedua, akan memberikan penjelasan mengenai hubungan antar simbol dan
mendasarinya. Paradigma positivisme –pandangan Marx di antaranya– melihat hubungan keduanya
sebagai hubungan atas bawah yang ditentukan oleh kekuatan ekonomi, yakni modus produksi.
Berbeda dengan pandangan Weber yang dalam metodologinya menggunakan verstehen atau
menyatu rasa. Dari sini dapat dipahami makna subyektif dari perbuatan-perbuatan berdasarkan
sudut pandang pelakunya. Realitas ialah realitas untuk pelakunya, bukan pengamat. Hubungan
kausal –fungsional dalam ilmu empiris-positif– digantikan hubungan makna dalam memahami
budaya. Sehingga dalam budaya tak akan ditemui usaha merumuskan hukum-hukum (nomotetik),
tapi hanya akan melukiskan gejala (ideografik). (19).
Dengan demikian, mengikuti premis Weber di atas, dalam simbol-simbol budaya yang seharusnya
dipahami atau ditangkap esensinya adalah makna yang tersirat. Dari sini lalu dapat dikatakan bahwa
dalam satu makna (esensi), simbol boleh berbeda otoritas asal makna masih sama.
Demikian pula dengan ritus-ritus semacam ruwahan, nyadran, sekaten maupuntahlilan. Semua pada
level penampakannya (appearence) adalah simbo-simbol pengungkapan atas nilai-nilai yang diyakini
sehingga dapat mengungkapkan makna ’subyektif’ (kata ini mesti diartikan sejauhmana tingkat
religiusitas pemeluknya) dari pelakunya. Tindakan seperti ini ada yang menyebut sebagai syahadat
yang tidak diungkapkan, tetapi dijalankan dalam dimensi transeden dan imanen.
Dengan kata lain high tradition yang berupa nilai-nilai yang sifatnya abstrak, jika ingin ditampakkan,
perlu dikongkretkan dalam bentuk low tradition yang niscaya merupakan hasil pergumulan dengan
tradisi yang ada. Dalam tradisi tahlilan misalnya, high tradition yang diusung adalah taqarrub ilallah,
dan itu diapresiasikan dalam sebuah bentuk dzikir kolektif yang dalam tahlilan kentara sekali warna
tradisi jawaismenya. Lalu muncul simbol kebudayan bernama tahlilan yang didalamnya melekat
nilai ajaran Islam. Dan Kuntowijiyo merekomendasikan kepada umat Islam untuk berkreasi lebih
banyak dalam hal demikian, karena akan lebih mendorong gairah masyarakat banyak menikmati
agamanya.
CATATAN AKHIR
1 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Essai-Essai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai
Strukturalisme transendental, Bandung : Mizan, 2001, hal. 196
2 Ibid., hal. 195
3 Lihat Hendar Riyadi, Respon Muhammadiyah dalam Dialektika Agama, Pikiran Rakyat, Senin 24
Pebruari 2003
4 Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, (Jakarta : Desantara, 2001), hal.
111
5 Khamami Zada dkk., “Islam Pribumi : Mencari Wajah Islam Indonesia”, dalamTashwirul Afkar,
jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan, Edisi No. 14 tahun 2003, hal
6 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung : Mizan, 1991), hal. 235
7 Khamami Zada dkk., Islam Pribumi … hal. 12
8 Kuntowijoyo, Paradigma Islam … hal. 232-233
9 Lihat Mark R. Woodward, Islam Jawa : Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, (Yogyakarta : LKIS,
1999) hal. 90
10 Ibid., hl. 91
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, (Jakarta : Desantara, 2001)
Anjar Nugroho, “Dakwah Kultural : Pergulatan Kreatif Islam dan Budaya Lokal”, dalam Jurnal Ilmiah
Inovasi, No.4 Th.XI/2002
Fazlur Rahman, Islam, (Chicago : University of Chicago Press, 1979)
Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, (Princeton ; Princeton University Press, 1981),
hal. 31-42, atau Fazlur Rahman, Islam, (Chicago : University of Chicago Press, 1979)
Hendar Riyadi, Respon Muhammadiyah dalam Dialektika Agama, Pikiran Rakyat, Senin 24 Pebruari
2003
Khamami Zada dkk., “Islam Pribumi : Mencari Wajah Islam Indonesia”, dalamTashwirul Afkar, jurnal
Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan, Edisi No. 14 tahun 2003
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Essai-Essai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme
transendental, Bandung : Mizan, 2001
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung : Mizan, 1991)
Mark R. Woodward, Islam Jawa : Kesalehan Normatif Versus Kebatinan,(Yogyakarta : LKIS, 1999)
Marwanto, “Islam dan Demistifikasi Simbol Budaya”, dalam Solo Pos, Kamis 22 Juli 2002
Jelaskan pendapat Emile Durkheim tentang masyarakat mekanis (pra industri) dan masyarakat
mekanis (industri) dikaitkan dengan Islam !
Pertemuan IX
Hadits (bahasa arab: )الحديثsecara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam
terminologi Islam perkataan dimaksud adalah perkataan dari NabiMuhammad SAW. Namun sering
kali kata ini mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah sehingga berarti
segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAWyang
dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama
Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum dibawah Al Qur’an.
Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai penutur) dan
matan (redaksi).
Contoh:Musaddad mengabari bahwa Yahyaa sebagaimana diberitakan oleh Syu’bah, dari Qatadah dari Anas
dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia
cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri” (Hadits riwayat Bukhari)
SANAD
Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari
orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah.
Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka
sanad hadits bersangkutan adalah
Al-Bukhari > Musaddad > Yahyaa > Syu’bah > Qatadah > Anas > Nabi Muhammad SAW
Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam
lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan
penutur dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan
lebih jauh pada klasifikasi hadits.
Jadi yang perlu dicermati dalam memahami Al Hadits terkait dengan sanadnya ialah :
Keutuhan sanadnya
Jumlahnya
Perawi akhirnya
MATAN
Matan ialah redaksi dari hadits. Dari contoh sebelumnya maka matan hadits bersangkutan ialah:
“Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk
dirinya sendiri”
Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadist ialah:
Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan,
Matan hadist itu sendiri dalam hubungannya dengan hadist lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada
yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang
bertolak belakang).
Klasifikasi Hadits
Hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni bermulanya ujung sanad,
keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (periwayat) serta tingkat keaslian hadits (dapat diterima
atau tidaknya hadits bersangkutan)
Hadits Marfu’ adalah hadits yang sanadnya berujung langsung pada NabiMuhammad SAW
(contoh:hadits sebelumnya)
Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda
baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu’. Contoh: Al Bukhari dalam
kitab Al-Fara’id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair
mengatakan: “Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah”. Namun jika ekspresi yang digunakan sahabat
seperti “Kami diperintahkan..”, “Kami dilarang untuk…”, “Kami terbiasa… jika sedang bersama
rasulullah” maka derajat hadits tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan marfu’.
Hadits Maqtu’ adalah hadits yang sanadnya berujung pada para Tabi’in(penerus). Contoh hadits ini
adalah: Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa Ibnu Sirin mengatakan:
“Pengetahuan ini (hadits) adalah agama, maka berhati-hatilah kamu darimana kamu mengambil
agamamu”.
Keaslian hadits yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada beberapa faktor lain seperti
keadaan rantai sanad maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini tetap sangat penting mengingat
klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan Rasulullah SAW dari ucapan para sahabat maupun
tabi’in dimana hal ini sangat membantu dalam area perdebatan dalam fikih ( Suhaib Hasan, Science
of Hadits).
Ilustrasi sanad : Pencatat Hadits > penutur 4> penutur 3 > penutur 2 (tabi’in) > penutur 1(Para sahabat)
> Rasulullah SAW
Hadits Musnad, sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan sanad yang dimiliki hadits tersebut
tidak terpotong pada bagian tertentu. Yakni urutan penutur memungkinkan terjadinya transfer hadits
berdasarkan waktu dan kondisi.
Hadits Mursal. Bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi’in menisbatkan
langsung kepada Rasulullah SAW (contoh: seorang tabi’in (penutur2) mengatakan “Rasulullah berkata”
tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya).
Hadits Munqati’ . Bila sanad putus pada salah satu penutur yakni penutur 4 atau 3
Hadits Mu’dal bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.
Hadits Mu’allaq bila sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1 (Contoh: “Seorang pencatat
hadits mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan….” tanpa ia menjelaskan
sanad antara dirinya hingga Rasulullah).
Hadits mutawatir, adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan
tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi
hadits mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan (thaqabah) berimbang.
Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan
20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis
yakni mutawatir lafzhy (redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma’nawy (pada redaksional terdapat
perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat)
Hadits ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan
mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis antara lain :
Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu
penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur)
Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan)
Mashur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu
lapisan) namun tidak mencapai derajat mutawatir.
BERDASARKAN TINGKAT KEASLIAN HADITS
Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan
kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits
pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, da’if dan maudu’
Hadits Shahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits shahih memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1. Sanadnya bersambung;
2. Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak
fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
3. Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab
tersembunyi atau tidak nyata yg mencacatkan hadits .
Hadits Hasan, bila hadits yg tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yg adil namun
tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat.
Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, mu’allaq,
mudallas, munqati’ atau mu’dal)dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya,
mengandung kejanggalan atau cacat.
Hadits Maudu’, bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam sanadnya dijumpai penutur yang
memiliki kemungkinan berdusta.
JENIS-JENIS LAIN
Adapun beberapa jenis hadits lainnya yang tidak disebutkan dari klasifikasi di atas antara lain:
Hadits Matruk, yang berarti hadits yang ditinggalkan yaitu Hadits yang hanya dirwayatkan oleh
seorang perawi saja dan perawi itu dituduh berdusta.
Hadits Mungkar, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang
bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya/jujur.
Hadits Mu’allal, artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat
cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu’allal ialah hadits yang
nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa juga disebut Hadits
Ma’lul (yang dicacati) dan disebut Hadits Mu’tal (Hadits sakit atau cacat)
Hadits Mudlthorib, artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari
beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidaksama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan
Hadits Maqlub, yakni hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dalamnya
tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun
matan (isi)
Hadits gholia, yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah
Hadits Mudraj, yaitu hadits yang mengalami penambahan isi oleh perawinya
Hadits Syadz, Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi orang yang terpercaya
yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi yang lain.
Hadits Mudallas, disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu Hadits yang diriwayatkan
oleh melalui sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada,
baik dalam sanad atau pada gurunya. Jadi Hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi
kelemahan sanadnya
Periwayat Hadits
PERIWAYAT HADITS YANG DITERIMA OLEH MUSLIM SUNNI
Aturan-aturan Hadits dari Sunni mendapatkan bentuk terakhirnya kurang lebih 3 abad setelah
wafatnya Nabi Muhammad SAW. Ilmuwan hadits yang kemudian memperdebatkan keotentikan
beberapa hadits tetapi otoritas dari buku-buku tersebut meningkat dengan pesat. Aturan-aturan ini,
ada yang menyatakan dengan Koleksi Enam Hadits Utama ada pula dengan Koleksi Tujuh Hadits
Utama, termasuk:
Kitab-kitab Hadits
Berdasarkan masa penghimpunan Al Hadits
ABAD KE 2 H
Beberapa kitab yang terkenal :
ABAD KE 3 H
Musnadul Kabir oleh Ahmad bin Hambal dan 3 macam lainnya yaitu Kitab Shahih, Kitab Sunan dan
Kitab Musnad yang selengkapnya :
1. Al Jami’ush Shahih Bukhari oleh Bukhari (194-256 H / 810-870 M)
2. Al Jami’ush Shahih Muslim oleh Muslim (204-261 H / 820-875 M)
3. As Sunan Ibnu Majah oleh Ibnu Majah (207-273 H / 824-887 M)
4. As Sunan Abu Dawud oleh Abu Dawud (202-275 H / 817-889 M)
5. As Sunan At Tirmidzi oleh At Tirmidzi (209-279 H / 825-892 M)
6. As Sunan Nasai oleh An Nasai (225-303 H / 839-915 M)
7. As Sunan Darimi oleh Darimi (181-255 H / 797-869 M)
8. Al Muntaqa oleh Ibnu Jarud (wafat 307 H / 920 M)
9. Al Musnad Al Humaidi oleh Ali Madaini (161-234 H / 777-848 M)
10. Al Musnad Al Bazar oleh Al Bazar (wafat 290 H / 905 M)
11. Al Musnad Baqi bin Mukhlad oleh Baqi bin Mukhlad (131-176 H / 846-889 M)
12. Al Musnad Ibnu Rahawaih oleh Ibnu Rahawaih (161-238 H / 778-852 M)
Sekumpulan kitab dari nomor 1 s/d 6 ini sering disebut sebagai kutubus sittah(kitab yang enam).
ABAD KE 4 H
1. Al Mu’jamul Kabir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
2. Al Mu’jamul Ausath oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
3. Al Mu’jamush Shaghir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
4. Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M)
5. Ash Shahih oleh Ibnu Khuzaimah (233-311 H / 838-924 M)
6. At Taqasim wal Anwa’ oleh Abu Awwanah (wafat 316 H / 928 M)
7. As Shahih oleh Abu Hatim bin Hibban (wafat 354 H/ 965 M)
8. Al Muntaqa oleh Ibnu Sakan (wafat 353 H / 964 M)
9. As Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
10. Al Mushannaf oleh Ath Thahawi (239-321 H / 853-933 M)
11. Al Musnad oleh Ibnu Nashar Ar Razi (wafat 301 H / 913 M)
ABAD KE 5 H DAN SELANJUTNYA
Hasil penghimpunan
Bersumber dari kutubus sittah saja
1. Jami’ul Ushul oleh Ibnu Atsir Al Jazari (556-630 H / 1160-1233 M)
2. Tashiful Wushul oleh Al Fairuz Zabadi (? – ? H / ? – 1084 M)
Bersumber dari kkutubus sittah dan kitab lainnya, yaitu Jami’ul Masanid oleh Ibnu Katsir (706-774
H / 1302-1373 M)
Bersumber dari selain kutubus sittah, yaitu Jami’ush Shaghir oleh As Sayuthi (849-911 H / 1445-1505
M)
Kitab Al Hadits Hukum, diantaranya :
Hasil pembidangan (mengelompokkan ke dalam bidang-bidang)
1. Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
2. As Sunannul Kubra oleh Al Baihaqi (384-458 H / 994-1066 M)
3. Al Imam oleh Ibnul Daqiqil ‘Id (625-702 H / 1228-1302 M)
4. Muntaqal Akhbar oleh Majduddin Al Hirani (? – 652 H / ? – 1254 M)
5. Bulughul Maram oleh Ibnu Hajar Al Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
6. ‘Umdatul Ahkam oleh ‘Abdul Ghani Al Maqdisi (541-600 H / 1146-1203 M)
7. Al Muharrar oleh Ibnu Qadamah Al Maqdisi (675-744 H / 1276-1343 M)
Kitab Al Hadits Akhlaq
1. At Targhib wat Tarhib oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
2. Riyadhus Shalihin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
3. Untuk Shahih Bukhari terdapat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
4. Untuk Shahih Muslim terdapat Minhajul Muhadditsin oleh Imam Nawai (631-676 H / 1233-1277 M)
5. Untuk Shahih Muslim terdapat Al Mu’allim oleh Al Maziri (wafat 536 H / 1142 M)
6. Untuk Muntaqal Akhbar terdapat Nailul Authar oleh As Syaukani (wafat 1250 H / 1834 M)
7. Untuk Bulughul Maram terdapat Subulussalam oleh Ash Shan’ani (wafat 1099 H / 1687 M)
8. Untuk Shahih Bukhari diantaranya Tajridush Shahih oleh Al Husain bin Mubarrak (546-631 H / 1152-
1233 M)
9. Untuk Shahih Muslim diantaranya Mukhtashar oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
10. Kitab Al Kalimatul Thayyib oleh Ibnu Taimiyah (661-728 H / 1263-1328 M) berisi Al Hadits Qudsi
11. Kitab Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M) berisi Al Hadits yang dipandang
shahih menurut syarat Bukhari atau Muslim dan menurut dirinya sendiri.
Syarah (semacam tafsir untuk Al Hadist)
Mukhtashar (ringkasan)
Lain-lain
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas:
Metodologi Studi Islam
Dosen pengampu: bpk. Sugiyanto
Disususn oleh :
M. Nurfaizin (083411073)
Wahyu Hidayat (083411080)
Emil Salim (073211029)
Arif Muhaimin (073211030)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
I. PENDAHULUAN
Pada awal tahun 1970-an berbicara mengenai penelitian agama dianggap tabu. Orang
akan berkata : kenapa agama yang sudah begitu mapan mau diteliti ; agama adalah wahyu Allah.
Sikap serupa terjadi di Barat. Dalam pendahuluan buku Seven Theories Of Religion dikatakan,
dahulu orang Eropa menolak anggapan adanya kemumgkinan meniliti agama. Sebab, antara ilmu
dan nilai, antara ilmu dan agama ( kepercayaan ), tidak bisa disinkronkan.[1]
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat menjamin
terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Petunjuk-petunjuk agama
mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya,
Alquran dan Hadis, tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis
dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa
mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis,
berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan,
mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap positif lainnya.
III. PEMBAHASAN
1. Pengertian metodologi
Menurut bahasa (etimologi), metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta
(sepanjang), hodos (jalan). Jadi, metode adalah suatu ilmu tentang cara atau lanhkah-langkah
yang di tempuh dalam suatu disiplin tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Metode berarti ilmu
cara menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Metode juga disebut pengajaran atau penelitian.
Menurut istilah (terminologi), metode adalah ajaran yang memberi uraian, penjelasan,
dan penentuan nilai. Metode biasa digunakan dalam penyelidikan keilmuan. Hugo F. Reading
mengatakan bahwa metode adalah kelogisan penelitan ilmiah, sistem tentang prosedur dan teknik
riset.
Ketika metode digabungkan dengan kata logos maknanya berubah. Logos berarti “studi
tentang” atau “teori tentang”. Oleh karena itu, metodologi tidak lagi sekedar kumpulan cara yang
sudah diterima(well received) tetapi berupa berupa kajian tentang metode. Dalam metodologi
dibicarakan kajian tentang cara kerja ilmu pengetahuan. Pendek kata, bila dalam metode tidak
ada perbedaan, refleksi dan kajian atas cara kerja ilmu pengetahuan, sebaliknya dalam
metodologi terbuka luas untuk mengkaji, mendebat, dan merefleksi cara kerja suatu ilmu. Maka
dari itu, metodologi menjadi menjadi bagian dari sistematika filsafat, sedangkan metode tidak.[2]
Metodologi adalah ilmu cara- cara dan langkah- langkah yang tepat ( untuk menganalisa
sesuatu) penjelasan serta menerapkan cara.[3]
Istilah metodologi studi islam digunakan ketika seorang ingin membahas kajian- kajian
seputar ragam metode yang biasa digunakan dalam studi islam. Sebut saja misalnya kajian atas
metode normative, historis, filosofis, komparatif dan lain sebagainya. Metodologi studi islam
mengenal metode- metode itu sebatas teoritis. Seseorang yang mempelajarinya juga belum
menggunakannya dalam praktik. Ia masih dalam tahap mempelajari secara teoritis bukan praktis.
Agama sebagai obyek studi minimal dapat dilihat dari segi sisi:
a. Sebagai doktrin dari Tuhan yang sebenarnya bagi para pemeluknya sudah final dalam arti
absolute, dan diterima apa adanya.
b. Sebagai gejala budaya, yang berarti seluruh yang menjadi kreasi manusia dalam kaitannya
dengan agama, termasuk pemahaman orang terhadap doktrin agamanya.
c. Sebagai interaksi social, yaitu realitas umat Islam.
Bila islam dilihat dari tiga sisi, maka ruang lingkup studi islam dapat dibatasi pada tiga sisi
tersebut. Oleh karena sisi doktrin merupakan suatu keyakinan atas kebenaran teks wahyu, maka
hal ini tidak memerlukan penelitian didalamnya.
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif diberbagai
masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya dijadikan sekadar menjadi
lambang kesalehan atau berhenti sekadar disampaikan dalam khotbah, melainkan secara
konsepsional menunujukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan
masalah. . Adapun pendekatan yang dimaksud di sini (bukan dalam konteks penelitian), namun
cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam satu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan
dalam memahami agama
Diketahui bahwa islam sebagai agama yang memiliki banyak dimensi, yaitu mulai dari
dimensi keimanan, akal pikiran, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan
hidup, sejarah, perdamaian, sampai pada kehidupan rumah tangga, dan masih banyak lagi. Untuk
memahami berbagai dimensi ajaran islam tersebut jelas memerlukan berbagai pendekatan yang
digali dari berbagai disiplin ilmu. Di dalam Alqur’an yang merupakan sumber ajaran Islam,
misalnya dijumpai ayat- ayat tentang proses pertumbuhan dan perkembangan anatomi tubuh
manusia. Untuk menjelaskan masalah ini jelas memerlukan dukungan ilmu anatomi tubuh
manusia. Selanjutnya untuk membahas ayat- ayat yang berkenaaan dengan masalah tanaman dan
tumbuh- tumbuhan jelas memerlukan bantuan ilmu pertanian.
Berkenanaan dengan pemikiran diatas, maka kita perlu mengetahui dengan jelas
pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan dalam memahamai agama. Hal ini perlu
dilakukan, karena melalui pendekatan tersebut kehadiran agama secara fugsional dapat dirasakan
oleh penganutnya. Sebaliknya tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut, tidak mustahil
agama menjadi sulit dipahami oleh masyarakat, tidak fungsional, dan akhirnya masyarakat
mencari pemecahan masalah kepada selain agama, dan hal ini tidak boleh terjadi. Untuk lebih
jelasnya pendekatan tersebut dapat kita pelajari sebagai berikut:
a. Pendekatan Sosiologis
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan
menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yamng menguasai hidupnya. Sosiologi mencoba
mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara yang terbentuk dan tumbuh serta berubahnya
perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaannya, keyakinan yang memberi sifat
tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan hidup manusia.
Harus ditegaskan disini bahwa orang yang pertama kali menggagas sekaligus
memperaktikkan sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu baru yang mandiri adalah ibn khaldun.
Namun, sebagian besar sosiolog memandang kontribusi ibn khaldun begitu kecil dalam
sosiologi. Mereka lebih mengakui karl max dan august comte sebagai seorang yang yang paling
berjasa bagi disiplin ilmu sosiologi.[4]
Pendekatan sosiologis dibedakan dari pendekatan studi agama lainnya karena fokus
perhatiannya pada interaksi antara agama dan masyarakat. Teori sosiologis tentang watak agama
serta kedudukan dan signifikansinya dalam dunia sosial, mendorong di tetapkannya serangkaian
kategori-kategori sosiologis, meliputi:
1. Stratifikasi sosial, seperti kelas dan etnisitas
2. Kategori bisosial, seperti seks, gender perkawinan, keluarga masa kanak-kanak dan usia
3. Pola organisasi sosial, meliputi politik, produksi ekonomis, sistem-sistem pertukaran dan
birokrasi.
4. Proses sosial, seperti formasi batas, relasi intergroup, interaksi personal, penyimpangan, dan
globalisasi.[5]
Dalam al-quran terdapat tuntunan yang banyak membicarakan realitas tertinggi yang
menunjukan bahwa ia, secara filosofis, tidak menerima selainnya. Namun disisi lain (sosiologis),
ia juga dengan sangat toleran menerima kehadiran keyakinan lain (lakum dinukum waliyaddin).
[6]
b. Pendekatan Historis
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang membahas berbagai peristiwa dengan
memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut.
Menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi,
dimana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut, dan lain sebagainya.[7]
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu
sendiri turun dalam situasi yang kongkrit bahkan berkaitan dengan kondisi social
kemasyarakatan. Dalam kontek ini Kuntowijaya telah melakukan studi yang mendalam terhadap
agama yang dalam hal ini islam menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari Al-qur’an, ia
sampai pada kesimpulan bahwa dasarnya kandungan Al-qur’an itu menjadi dua bagian. Bagian
pertama berisi konsep-konsep dan bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam
yang bersifat empirism dan mendunia. Dari kedaan ini seseorang akan melihat adanya
kesenjangan atau keselarassan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada dalam
empiris dan historis. Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama,
karena Agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi
sosial kemasyarakatan.
c. Pendekatan Antropologis
Pendekatan ini dapat diartikan sebagai salah satu upaya dalam memahamai agama
dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Melalui perndekatan ini agama tamapak lebih akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang
dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.
Dalam berbagai penelitian antropologi. Agama dapat ditemukan adanya hubungan positif
antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik golongan masyarakat yang
kurang mampu pada umumnya lebih tertarik kepada gerakan-gerakan keagamaan yang mesianis,
yang menjanjikan perubahan tatanan sosial masyarakat. Sedangkan golongan orang yang kaya
lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi
lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya.
Melalui pendekatan antropologi sosok agamayang berada pada daratan empiric akan
dapat dilihat serat-seratnya dan latar belakang mengapa ajaran agama tersebut muncul dan
dirumuskan. Antropologi berupaya melihat hubungan antara agama dengan berbagai pranata
yang terjadi dimasyarakat.[8]
Dalam pendekatan ini kita melihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja
dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Dalam hubungan ini, jika ingin mengubah
pandangan dan sikap etos kerja seseorang maka dapat dilakukan dengan cara mengubah
pandangan keagamaan. Selanjutnya melalui pendekatan antropologis ini, kita dapat melihat
agama dalam hubungannya dengan mekanisme pengorganisasian.
Salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologi adalah modern adalah holisme,
yakni pandangan bahwa prakyik-praktik sosial harus diteliti dalam konteks dan secara esensial
dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang sedang diteliti.
Para antropologis harus melihat agama dan praktik-praktik pertanian, kekeluargaan dan politik,
magic dan pengobatan (secara bersama-sama maka agama tidak bisa dilihat sebagai system
otonom yang tidak terpengaruh oleh praktik-praktik sosial lainnya.[9]
d. Pendekatan Psikologi
Psikologi atau ilmu jiwa adalah jiwa yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala
perilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiah Daradjat, perilaku seseorang yang tampak
lahiriah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Ilmu jiwa agama
sebagaimana yang dikemukakan Zakiah Daradjat, tidak akan mempersoalkan benar tidaknya
suatu agama yang dianut seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah bagaimana keyakinan
agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.
Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati,
dipahami dan diamalkan seseorang juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama
ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan uasianya. Dengan ilmu agama akan
menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.
Label “psikologi agama” seolah menunjukan bahwa bidang ini merupakan cabang
psikologi yang concern dengan subjek agama, sejajar dengan psikologi pendidkan, atau psikologi
olahraga, atau psikologi klinis. Akan tetapi kenyataanya, psikologi agama berada di bagian luar
mainstream psikologi.[10]
IV. KESIMPULAN
Menurut bahasa (etimologi), metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta
(sepanjang), hodos (jalan). Jadi, metode adalah suatu ilmu tentang cara atau lanhkah-langkah
yang di tempuh dalam suatu disiplin tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.
Menurut istilah (terminologi), metode adalah ajaran yang memberi uraian, penjelasan, dan
penentuan nilai. Metode biasa digunakan dalam penyelidikan keilmuan. Hugo F. Reading
mengatakan bahwa metode adalah kelogisan penelitan ilmiah, sistem tentang prosedur dan teknik
riset.
Pendektan antropolgi sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran agama, karna dalam
ajaran agama terdapat uraian dan informasi yang dapat dijelaskan lewat bantuan ilmu antropologi
dengan cabang-cabangnya.
Sejarah atau histories adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa
dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Atho Mudzahar, Pendekatan Studi Islam, yogyakarta : Pustaka Pelajar , 2007
Fanani , Muhyar, Metode Studi Islam, aplikasi sosiologi pengetahuan sebagai cara pandang,
( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)
Partanto, Pios A M. dahlan al barry, Kamus Ilmiyah Populer, (Surabaya : penerbit arkola,
1994
Conolly , Peter, Aneka pendekatan studi agama, (Yogyakarta: Lkis, 2002).
Atang, abd.hakim & Jaih Mubarok. Metode studi islam.(Bandung: remaja rosdakarya 2009).
Kimia,tadris, Metodologi Studi Islam 2008. (Semarang : takimia production,2010
Nata, abbudin, metode studi islam,( Jakarta: Raja grafindo persada 2004
[1]
. Atho Mudzahar, Pendekatan Studi Islam, yogyakarta : Pustaka Pelajar , 2007.hlm .11
[2]
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam, aplikasi sosiologi pengetahuan sebagai cara pandang,( Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008) hlm.ix.
[3]
Pios A partanto M. dahlan al barry, Kamus Ilmiyah Populer, (Surabaya : penerbit arkola, 1994)hlm.462
[4]
Ibid hlm.20
[5]
Peter Conolly, aneka pendekatan studi agama, (Yogyakarta: Lkis, 2002).hlm 283
[6]
Atang abd.hakim & DR. Jaih Mubarok. Metode studi islam.(Bandung: remaja rosdakarya 2009).hlm 5
[7]
Tadris Kimia 2008, Metodologi Studi Islam. (Semarang : takimia production,2010) hlm. 96
[8]
Abbudin nata, metode studi islam,( Jakarta: Raja grafindo persada 2004) hlm.391
[9]
Ibid, hlm.34
[10]
Ibid. hlm.191
By emil salim with 1 comment
Metodologi berasal dari kata metode dan logos. Metodologi biasa diartikan ilmu yang
membicarakan tentang metode-metode. Kata metode berasal dari kata
Yunanimethods. Sambungan kata depan meta ( menuju, melalui, mengikiuti,sesudah) dan kata
benda hodos ( jalan, perjalanan, cara, arah ) kata Imethodos I sendiri lalu berarti : penelitian,
metode, ilmiah, hipotesis ilmiah, urian ilmiah. Metode ialah cara bertindak menurut system
aturan tertentu. ( Anton Bakker, 1984, hlm . 10 )
Pengertian metode berbeda denngan metodologi. Metode adalah suatu cara, jalan,
petunjuk pelaksanaan atau teknis, sehingga memiliki sifat yang membicarakan cara, jalan atau
petunjuk dalam penelitian, sehingga metodologi penelitian membahas konsep konsep teoritis
berbagai metode. Dapat pula dikatakan bahwa metodologi penelitian adalah membaasa
tentangdasar-dasar filsafat ilmu dari metode penelitian, karena metodologi belum memiliki
langkah-langkah praktis, adapun derivasinya adalah pada metode penelitian. Bagi ilmu-ilmu
seperti sosiologi, antropoplogi, polotik, komunikasi, ekonomi, hokum, serta ilmu-ilmu kealama,
metodologi adalah merupakan dasar-dasar filsafat ilmu darisuatu metode, atau dasar dari
langkah-langkah praktis penelitian. Seorang peneliti dapat memilih suatu metode dengan
dasar-dasar filosofis tertentu, yang konsekuensinya diikuti dengan metode penelitian yang
konsisten dengan metode yang dipilihnya. ( Kaeln, 2005, hlm. 7 )
Jadi, metode bias dirumuskan suatu p[roses atau prosedur yang sistematik berdasarkan
prinsip dan teknik ilmiah yang dipakai oleh disiplin ( bidang studi) untuk mencapai suatu
tujuan. Adapun metodologi adalah pengkajian mengenai model atau bentuk bentuk metode,
aturan yang harus dipakai dalam kegiatan ilmu pengetahuan. Jika dibandingkan antar metode
dan metodologi, maka metodologi lebih bersifat umum dan metode lebih bersifat khusus.
( Suparlan Suhartono, 2005, hlm. 94-95 )
Dengan kata lain dapat dipahami bahwa metodologi bersangkutan dengan jenis, sifat
dan bentuk umum mengenai cara-cara, aturan dan patokan prosedur jalannya penyelidikan
secara sistematik menurut metodologi itu, agar dapat tercapai suatu tujuan yaitu kebenaran
ilmiah.
1. Interpretasi (menafsirkan)
Artinya menafsirkan, membuat tafsiran, tetapi yang tidak bersifat subjektif ( menurut
selera orang menafsirkan ) melainkan haus bertumpu pada evidensi objektif, untuk dapat
memperoleh pengertian, pemahaman atau versetehen. Pada dasarny interprestasi berarti
tercapainya pemahaman yang benar mengeni ekspresi manusiawi yang dipelajarinya.
Dikatakan oleh Beerling, bahwa setiap ilmu terdapat penggunaan metode induksi dan
deduksi, menurut pengertian siklus empiris. Siklus empiris meliputi bebrapa tahapan, yakni
observasi, induksi, deduksi, kajian ( eksperimentasi ) dan evaluasi. Tahapan itu pada dasarnya
tidak berlaku secara berturut-turut melainkan terjadi sekaligus. Akan tetapi, siklus ini diberi
bentuk tersendiri dalam penelitian filsafat, berhubungan dengan sifat-sifat objek formal yang
istimewa, yaitu manusia.
3. Koherensi Intern
Yaitu usaha untuk memahami secara benar guna memperoleh hakikat dengan
menunjukkan semua unsur structural dilihat dalam suatu struktur yang konsisten, sehingga
benar-benar merupakan internal structure atau internal relations .walaupun mungkin terdapat
semacam oposisi di antaranya, tetapi unsur-unsur itu tidak boleh bertentangan satu sama lain.
Dengan demikian akan terjadi suatu lingkaran pemahaman antara hakikat menurut
keseluruhannya dari suatu pihak dan unsur-unsurnya dipihak lain.
4. Holistis
Tinjauan secara lebih dalam untuk mencapai suatu kebenaran secara utuh. Objek dilihat
interaksi dengan seluruh kenyataannya. Identitas objek akan terlihat bila ada korelasi dan
komunikasi dengan lingkungnnya. Objek ( manusia ) hanya dapat dipahami dengan mengamati
seluruh kenyataan dalam hubungannya dengan manusia, dan manusia sendiri dalam
hubungannya dengan segalanya yang mencakup hubungan ajksi-reaksi sesuai dengan tema
zamannya. Pandangan menyeluruh ini juga disebut totalitas.
5. Kesinambungan Historis
Jika ditinjau menurut perkembangannya, manusia itu adalah makhluk historis. Manusia
disebut demikian karena ia berkembang dalam pengalaman dan pikiran, bersama dengan
lingkungan zamannya. Masing-masing orang bergerumul dalam relasi dengan dunianya untuk
membentuk nasib sekaligus nasibnya dibentuk oleh mereka. Dalam perkembangan pribadi itu
harus dapat dipahami melalui suatu proses kesinambungan. Rangkaian kegiatan dan peristiwa
dalam kehidupan setiap orang merupakan mata rantai yang tidak terputus. Yng baru masih
berlandaskan yang dffahulu, tetapi yang lama juga mendapatkan arti dan relevansi baru dalam
perkembangaan yang lebih kemudian. Justru dalam hubungan mata rantai itulh harkat manusia
yang unik dapat diselami.
6. Idealisasi
Idealisasi merupakan proses untuk membuat ideal, artinya upaya dalam penelitian untuk
memperoleh hasil yang ideal atau sempurna.
7. Komparasi
Adalah usaha untuk memperbandingkan sifat hakikat dalam objek penelitian sehingga
dapat menjadi lebih jelas dan lebih tajam. Justru perbandingan itu dapat menentukan secara
tegas kesamaan dan perbedaan sesuatu sehingga hakikat objek dapat dipahami dengan semakin
murni. Komparasi dapat diadakan dengan objek lain yang sangat dekat dan serupa dengan
objek utama. Dengan perbandingan itu, meminimalkan perbedaan yan masih ada, banyak
ditemukan kategori dan sifat yang berlaku bagi jenis yang bersangkutan. Komparasi juga dapat
diadakan dengan objek lain yang sangat berbeda dan jauh dari objek utama. Dalam
perbandingan itu dimaksimalkan perbedaan-perbedaan yang berlaku untuk dua objek, namun
skaligus dapat ditemukan beberapa persamaan ang mungkin sangat strategies.
8. Heuristika
Adalah metode untuk menemukan jalan baru secra ilmiah untuk memecahkan masalah.
Heuristika benar-benar dapat mengatur terjadinya pembaharuan ilmiah dan sekurang-
kurangnya dapat memberikan kaidah yang mengacu.
9. Analogical
Adalah filsafat meneliti arti, nilai dan maksud yang diekspresikan dalam fakta dan data.
Dengan demikian, akan dilihat analogi antar situasi atau kasus yang lebih terbatas dengan yang
lebih luas.
10. Deskripsi
Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh teori lain yang lebih tepat.
Cara kerja metode induksi yang secara sistematis dimulai dari pengamatan (observasi) secara
teliti gejala (simpton) yang sedang diselidiki. Pengamatan yang berulang -ulang itu akan
memperlihatkan adanya ciri-ciri umum yang dirumuskan menjadi hipotesa. Selanjutnya
hipotesa itu dikukuhkan dengan cara menemukan bukti-bukti empiris yang dapat
mendukungnya. Hipotesa yang berhasil dibenarkan (justifikasi) akan berubah menjadi hukum.
K.R. Popper menolak cara kerja di atas, terutama pada asas verifiabilitas, bahwa sebuah
pernyataan itu dapat dibenarkan berdasarkan bukti-bukti verifikasi pengamatan empiris. K.R
Popper menawarkan pemecahan baru dengan mengajukan prinsip FALSIFABILITAS, yaitu
bahwa sebuah pernyataan dapat dibuktikan kesalahannya. Maksudnya sebuah hipotesa, hukum,
ataukah teori kebenarannya bersifat sementara, sejauh belum ada ditemukan kesalahan-
kesalahan yang ada di dalamnya. Misalnya, jika ada pernyataan bahwa semua angsa berbulu
putih melalui prinsip falsifiabilitas itu cukup ditemukan seekor angsa yang bukan berbulu putih
(entah hitam, kuning, hijau, dan lain-lain), maka runtuhlah pernyataan tersebut. Namun
apabila suatu hipotesa dapat bertahan melawan segala usaha penyangkalan, maka hipotesa
tersebut semakin diperkokoh (CORROBORATION). Akhirnya, semoga peristiwa mengarang
indah seperti yang saya lamunkan dapat dihindari dan sekelumit eceran informasi ini bisa
mengisi penelitian yang benar indah.