I. PENGANTAR
P
ada bagian ini saudara akan mempelajari dan mendiskusikan tentang pengertian
dan hakikat hak asasi manusia (HAM), sejarah lahir dan perkembangan HAM,
bentuk-bentuk HAM, nilai-nilai yang terkandung dalam HAM, HAM dalam
tinjauan agama-agama, pengaturan perundang-undangan dalam bidang HAM,
pelanggaran dan pengadilan HAM, tanggung jawab pemajuan, perlindungan dan
pemenuhan HAM dan lembaga Komisi Nasional HAM. Selesai materi ini selesai
dibahas dan didiskusikan Saudara diharapkan dapat:
1. memahami pengertian Hak Asasi Manusia
2. menganalisa sejarah perkembangan Hak Asasi Manusia
3. menjelaskan bentuk-bentuk Hak Asasi Manusia
4. menganalisa nilai-nilai Hak Asasi Manusia
1. HAM
2. Hak alamiah/hak dasar
3. Hak individu
4. Hak kelompok
5. Hak positif
6. Hak negatif
7. Magma charta
8. Bill of rights
9. Declaration of Indefendence
10. French Declaration
11. Four freedom
12. The universal declaration of human rights
13. Define rights of the king
14. Piagam Madinah
Sejarah Perkembangan
Pemikiran HAM
A. Perkembangan Pemikiran HAM Secara Umum
Pada umumnya para pakar di Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM
dimulai dengan lahirnya Magna Charta yang antara lain memuat pandangan bahwa
raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi
ia sendiri tidak terikat dengan hukum yang dibuatnya), menjadi dibatasi
kekuasaannya dan mulai dapat diminta pertanggungjawabannya di muka hukum.
Dari sinilah kemudian lahir doktrin yang menyatakan bahwa raja tidak kebal
hukum lagi, dan mulai bertanggungjawab dalam pelaksanaan dan terikat pada
hukum. Sejak itu mulai dipraktekkan kalau raja melanggar hukum harus diadili dan
mempertanggungjawabkan kebijakan pemerintahannya kepada parlemen. Jadi,
Berdasarkan rumusan di atas, ada empat hak yaitu hak kebebasan berbicara dan
menyatakan pendapat; hak kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai
dengan ajaran agama yang dipeluknya; hak kebebasan dari kemiskinan dalam
pengertian setiap bangsa berusaha mencapai tingkat kehidupan yang damai dan
sejahtera bagi penduduknya; hak kebebasan dari ketakutan, yang meliputi usaha,
pengurangan persenjataan, sehingga tidak satupun bangsa (negara) berada dalam
posisi berkeinginan untuk melakukan serangan terhadap negara lain. Semula hak-
hak ini sesudah perang dunia II (sesudah Hitler memusnahkan berjuta-juta
manusia) dijadikan dasar pemikiran untuk memelihara rumusan HAM yang
bersifat universal, dan menjadi embrio rumusan HAM dalam The Universal
Declaration of Human Rights PBB tahun 1948.
Perkembangan pemikiran HAM terus berlangsung dalam rangka mencari
rumusan HAM yang sesuai dengan konteks ruang dan zamannya. Secara garis besar
perkembangan pemikiran HAM dibagi pada 4 generasi. Generasi pertama
Sementara itu pemikiran HAM dalam Sarekat Islam - organisasi kaum santri
yang dimotori oleh H. Agus Salim dan Abdul Muis- menekankan pada usaha-usaha
untuk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan
deskriminasi rasial. Selanjutnya pemikiran HAM dalam Partai komunis Indonesia
sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih condong pada hak-hak
yang bersifat sosial dan menyentuh isu-isu yang berkenaan dengan alat produksi.
Konsen terhadap HAM juga ada pada Indische Partij. Pemikiran HAM yang paling
menonjol pada Indische Partij adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta
mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan. Selanjutnya pemikiran
HAM pada Partai Nasional Indonesia mengedepankan pada hak untuk memperoleh
kemerdekaan (the right of self determination). Adapun pemikiran HAM dalam
organisasi Pendidikan Nasional Indonesia –organisasi yang didirikan Mohammad
Hatta setelah Partai Nasional Indonesia dibubarkan, merupakan wadah perjuangan
yang menerapkan taktik non koperatif melalui program pendidikan politik,
ekoonomi dan sosial- menekankan pada hak politik yaitu hak untuk menentukan
nasib sendiri, hak untuk mengeluarkan pendapat, hak berserikat dan berkumpul,
hak persamaan di muka hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan
negara. Pemikiran HAM sebelum Indonesia merdeka juga terjadi dalam perdebatan
di sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta
dan Mohmmad Yamin pada pihak lain. Dalam kontek HAM, perdebatan pemikiran
yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan masalah hak persamaan
kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak
untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak berkumpul, hak
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
Dengan demikian gagasan dan pemikiran HAM di Indonesia telah menjadi
perhatian besar dari para tokoh pergerakan bangsa dalam rangka penghormatan
dan penegakan HAM, karena itu HAM di Indonesia mempunyai akar sejarah yang
b. Periode 1950-1959
Periode 1950-1959 dalam perjalanan negara Indonesia dikenal dengan
sebutan periode demokrasi parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini
mendapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan
yang menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer
mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Seperti dikemukakan oleh Prof. Bagir
Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami “pasang” dan
menikmatinya “bulan madu” kebebasan. Indikatornya menurut Ahli Hukum Tata
Negara ini ada tiga aspek. Pertama, semakin banyak tumbuh partai-partai politik
dengan beragam ideologinya masing-masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai salah
satu pilar demokrasi betul-betul menikmati kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum
sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair (adil)
dan demokratis. Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat sebagai
representasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai
wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif.
Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif
sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan. Dalam
perdebatan di Konstituante, berbagai partai politik yang berbeda aliran dan ideologi
sepakat tentang substansi HAM universal dan pentingnya HAM masuk dalam UUD
dan menjadi bab tersendiri. Bahkan diusulkan oleh anggota Konstituante
keberadaannya mendahului bab-bab UUD.
d. Periode 1966-1998
Setelah terjadi peralaihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada
semangat untuk menegakkan HAM. Pada masa awal periode ini telah diadakan
berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan
pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan
pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk region Asia.
Selanjutnya pada tahun 1968 diadakan Seminar Nasional Hukum II yang
merekomendasikan perlunya hak uji materil (judicial review) untuk dilakukan guna
melindungi HAM. Seperti yang dikemukakan oleh Archibald Cox bahwa hak uuji
materil tidak lain diadakan dalam rangka melindungi kebebasan dasar manusia.
Begitu pula dalam rangka pelaksanaan TAP MPRS No. XIV/MPRS1966, MPRS
melalui Panitia Ad hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam
bentuk Piagam tentang Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban
Warganegara. Sebagai ketua MPRS A. H. Nasution dalam pidatonya menyatakan
sebagai berikut :
“Isi hakikat daripada Piagam tersebut adalah hak-hak yang dimiliki oleh manusia
sebagai ciptaan Tuhan yang dibekali dengan hak-hak asasi, yang berimbalan dengan
kewajiban-kewajiban. Dalam pengabdian sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa
manusia melakukan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dalam hubungan yang
timbal balik : a. antar manusia dengan manusia; b. antar manusia dengan Bangsa,
Pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan
HAM di Indonesia mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati,
dilindungi dan ditegakkan. Pemikiran elit penguasa pada masa ini sangat diwarnai
oleh sikap penolakannya terhadap HAM sebagai produk Barat dan individualistik
serta bertentangan dengan paham kekeluargaan yang dianut bangsa Indonesia.
Dengan demikian pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif yang
dicerminkan dari produk hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap
depensif pemerintah dengan mengatakan : a. HAM adalah produk pemikiran Barat
yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam
Pancasila; b. bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana
tertuang dalam UUD 1945 yang lahir lebih dulu dibandingkan dengan Deklarasi
Universal HAM; c. Isu HAM seringkali digunakan oleh negara-negara Barat untuk
memojokkan negara yang sedang berkembang seperti Inddonesia.
Meskipun dari pihak pemerintah mengalami kemandegan bahkan
kemunduran, pemikiran HAM nampak terus ada periode rezim orde baru terutama
dikalangan masyarakat yang dimotori oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
dan masyarakat akademisi yang konsen terhadap penegakan HAM. Upaya yang
dilakukan oleh masyarakat melalui pembentukan jaringan dan lobi internasional
terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seperti kasus Tanjung Priok, kasus
Kedung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di Irian Jaya, kasus Trisakti dan
Semanggi I & II dan sebagainya.
Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990-an nampak
memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi
pemerintah dari represif dan depensif ke strategi akomodatif terhadap tuntutan yang
berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif pemerintah
terhadat tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (KOMNAS HAM) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993 tertanggal 7
Prof. Bagir Manan membagi HAM pada beberapa kategori yaitu : hak sipil,
hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan budaya. Hak sipil terdiri dari : 1. hak
diperlakukan sama di muka hukum; 2. hak bebas dari kekerasan; 3. hak khusus bagi
kelompok anggota masyarakat tertentu; 4. hak hidup dan kehidupan. Hak politik
terdiri dari : 1. hak kebebasan berserikat dan berkumpul; 2. hak kemerdekaan
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan; 3. hak menyampaikan pendapat di
muka umum. Hak ekonomi terdiri dari : 1. hak jamainan sosial; 2. hak perlindungan
kerja; 3. hak perdagangan; 4. hak pembangunan berkelanjutan. Hak sosial budaya
terdiri dari: 1. hak memperoleh pendidikan, 2. hak kekayaan intelektual; 3. hak
kesehatan; 4. hak memperoleh perumahan dan pemukiman.
Sementara itu Prof. Baharuddin Lopa, membagi HAM dalam beberapa jenis
yaitu : 1. hak persamaan dan kebebasan; 2. hak hidup; 3. hak memperoleh
perlindungan; 4. hak penghormatan pribadi; 5. hak menikah dan berkeluarga; 6. hak
wanita sederajat dengan pria; 7. hak anak dari orang tua; 8. hak memperoleh
pendidikan; 9. hak kebebasan memilih agama; 10. hak kebebasan bertindak dan
mencari suaka; 11. hak untuk bekerja; 12. hak memperoleh kesempatan yang sama;
14. hak milik pribadi; 15. hak menikmati hasil/produk ilmu dan 16. hak tahanan dan
narapidana. Dengan demikian pembagian bentuk HAM tersebut tidak secara tegas
sebagaimana dalam pengelompokkan yang dilakukan oleh Bagir Manan.
Selanjutnya dalam Deklarasi Universal tentang HAM yang sering disingkat
DUHAM (Universal Declaration of Human Rights), membagi HAM pada jenis : 1.
hak personal (hak jaminan kebutuhan pribadi); 2. hak legal (hak jaminan
perlindungan hukum); 3. hak sipil dan politik; 4. hak subsistensi (hak jaminan
adanya sumber daya untuk menunjang kehidupan); 5. hak ekonomi, sosial dan
budaya.
Sloka di atas mepunyai arti kurang lebih sebagai berikut : Jika Aku berhenti
bekerja, maka ketiga dunia ini akan hancur lebur dan Aku menjadi pencipta dari
penghidupan yang tak teratur dan Aku akan merusak rakyat ini. Hyang Widi tidak
henti-hentinya menjaga dan memelihara alam semesta raya ini (dunia), menjaga dari
keruntuhan dan kemusnahan (Mantara 1976 : 57)
Manusia sebagai makhluk ciptaan Hyang Widi telah dianugerahi dengan
kemampuan-kemampuan dasar, seperti kemampuan-kemampuan budi, cipta, fikir,
rasa, karsa, karya, dan budi nurani. Dengan aktualisasi dari kemampuan-
kemampuan ini manusia menjadi makhluk budaya, manusia yang memiliki harkat
dan martabat. Manusia mempunyai kelebihan yang mutlak dibandingkan dengan
makhluk-makhluk lainnya, yaitu dengan dimilikinya daya pikiran. Atas dasar
manusia dapat memikirkan dunianya juga dirinya sendiri. Dengan pikiran dan
kemampuan karsa (kehendak) manusia mempunyai kesadaran, sehingga dapat
membedakan mana yang benar dan salah, baik dan buruk (Parisada Hindu Dharma,
1968: 24-27)
Untuk mewujudkan hakekat tat Twan Asi ini, maka diperlukan memupuk
sifat-sifat Daivi Sampad (suri sampad) dan menjauhi sifat-sifat Asuri Sampad.
Hakekat Tat Twan Asi ini sesuai benar dengan nilai-nilai atau perilaku yang
terkandung di dalam sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, terutama perilaku-
perilaku (1) mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan
martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, (2) mengakui persamaan
derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa membedakan
suku, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan
sebagainya, (3) tidak semena-mena terhadap orang lain (BP-7 pusat, 1994:53-54)
HAM yang termuat dalam pasal 28 UUD 1945 merupakan konsekwensi logis
dari pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Selanjutnya menurut penjelasan UUD 1945
ketentuan ini “ … memuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangun negara yang
bersifat demokratis dan yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan
perikemanusiaan.” Selanjutnya dalam perubahan kedua UUD 1945 (amandemen
kedua) tahun 2000 lebih ditekankan pada materi HAM, pemerintahan daerah dan
lain sebagainya. Pasal 28 hasil amandemen kedua UUD 1945 menjadi pasal 28A-28J.
Pasal 29 UUD 1945 memuat hak fundamental warganegara Indonesia yaitu
hak beragama dan jaminan kebebasan memeluk agama sebagai hak personal.
Sedangkan dalam pasal 30 memuat kewajiban dan hak warganegara dalam
pembelaan negara. HAM yang termuat dalam pasal 30 adalah HAM dibidang sipil
dan politik. Begitu pula dalam pasal 31 memuat hak jaminan memperoleh
12. Pembentukan suatu komisi nasional (baru) harus bersifat transparan dan
melibatkan seluruh fihak yang berkepentingan, antara lain dengan
melibatkan menteri, anggota parlemen, pejabat pemerintah dari berbagai
departemen, LSM/NGO, hakim dan para ahli hukum, serikat pekerja,,
kelompok profesional, pakar hak asasi manusia, dan kalangan perguruan
tinggi
13. Dasar hukum terbaik dalam pembentukan suatu komisi nasional hak asasi
manusia adalah dengan mencantumkannya dalam undang-undang dasar.
Namun, pembentukannya dengan sebuah undang-undang masih dapat
diterima.
15. Jika pada suatu negara, komisi nasional mempunyai kewenangan untuk
memeriksa dan melakukan pembahasan, hal ini harus dilakukan dengan
suatu surat perintah pengadilan dan dilaksanakan dengan kerjasama pejabat
penegak hukum lainnya.
16. Anggota komisi nasional hak asasi manusia harus diberikan pangkat dan
penghasilan yang setara dengan pejabat judiciary senior.
17. Setelah diangkat, setiap anggota komisi nasional harus berperilaku bebas
dan tidak memihak dari siapapun, kekuasaan apapun, ataupun organisasi
apapun.
18. Anggota komisi nasional hak asasi manusia dan stafnya harus mempunyai
kewenangan untuk menentukan bagaimana caranya menggunakan dana
yang dialokasikan, serta bertnggung jawab kepada parlemen mengenai
keputusan penggunaanya.
19. Para anggota komisi nasional hak asasi manusia harus mempunyai otonomi
dalam memilih dan menyeleksi staf, namun bila dipandang perlu, dapat
berkonsultasi dengan komisi kepegawaian negeri.
20. Staf harus mempunyai kualifikasi yang diperlukan dan peka terhadap
mandat komisi hak asasi manusia.
21. Suatu komisi nasional hak asasi manusia harus mempunyai bagian hukum
yang mampu mengemban tugas menangani pengaduan perseorangan.
Ash-shiddiqy, Teungku Muhammad Hasbi, Islam dan HAM, Semarang: PT. Pustaka
Rizki Utama, 1999
Bahar, Safroeddin, Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2002
Davies, Peter, Hak-Hak asasi Manusia, sebuah Bunga Rampai, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1994
Effendi, Masyhur, Dimensi Hak Asasi Manusia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994
Hussain, Syekh Syaukat, Hak Asasi Manusia dalam Islam, Jakarta: Gema Insani
Press, 1996
Nadj, E. Shabirin et al, Diseminasi Hak Asasi Manusia, Perspektif dan Aksi, Jakarta:
CESDA-LP3ES, 2000
Sudjana, Eggi, HAM Dalam Perspektif Islam, Mencari Universalitas HAM bagi
Tatanan Modernitas Yang Hakiki, Jakarta: Nuansa Madani, 2002
Thayib, Anshari, et.al., HAM dan Pluralisme Agama, Surabaya: Pusat Kajian
Strategis dan Kebijakan, 1997