Anda di halaman 1dari 72

9

HAK ASASI MANUSIA

I. PENGANTAR

P
ada bagian ini saudara akan mempelajari dan mendiskusikan tentang pengertian
dan hakikat hak asasi manusia (HAM), sejarah lahir dan perkembangan HAM,
bentuk-bentuk HAM, nilai-nilai yang terkandung dalam HAM, HAM dalam
tinjauan agama-agama, pengaturan perundang-undangan dalam bidang HAM,
pelanggaran dan pengadilan HAM, tanggung jawab pemajuan, perlindungan dan
pemenuhan HAM dan lembaga Komisi Nasional HAM. Selesai materi ini selesai
dibahas dan didiskusikan Saudara diharapkan dapat:
1. memahami pengertian Hak Asasi Manusia
2. menganalisa sejarah perkembangan Hak Asasi Manusia
3. menjelaskan bentuk-bentuk Hak Asasi Manusia
4. menganalisa nilai-nilai Hak Asasi Manusia

Civic Education-Hak Asasi Manusia 1


5. memahami konsep Hak Asasi Manusia dalam perspektif agama-agama
6. menganalisa perundang-undangan Hak Asasi Manusia di Indonesia

II. ISTILAH-ISTILAH PENTING

1. HAM
2. Hak alamiah/hak dasar
3. Hak individu
4. Hak kelompok
5. Hak positif
6. Hak negatif
7. Magma charta
8. Bill of rights
9. Declaration of Indefendence
10. French Declaration
11. Four freedom
12. The universal declaration of human rights
13. Define rights of the king
14. Piagam Madinah

III. DESKRIPSI MATERI

Pengertian dan Hakikat


Hak Asasi Manusia
Untuk memahami perbincangan tentang HAM (Hak Asasi Manusia), maka
pengertian dasar tentang hak menjadi penting. Hak merupakan unsur normatif
yang berfungsi sebagai pedoman berprilaku dan melindungi kebebasan, kekebalan
serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan
martabatnya. Hak mempunyai unsur-unsur sebagai berikut : a. pemilik hak; b.

Civic Education-Hak Asasi Manusia 2


ruang lingkup penerapan hak; c. pihak yang bersedia dalam penerapan hak. Ketiga
unsur tersebut menyatu dalam pengertian dasar tentang hak. Setiap individu
memiliki hak yang dalam penerapannya berada dalam ruang lingkup hak
persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara indiviu atau
dengan instansi. Hak merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Dalam kaitan
dengan pemerolehan hak paling tidak ada dua teori yaitu teori McCloskey dan teori
Joel Feinberg.
Dalam teori McCloskey dinyatakan bahwa pemberian hak adalah untuk
dilakukan, dimiliki, dinikmati atau sudah dilakukan; suatu hak penuh tidak perlu
menentukan siapa yang menanggung beban untuk memungkinkan tersedianya hak
itu; suatu hak sering menimbulkan kewajiban; suatu pemberian hak merupakan
seperangkat alasan yang kuat dan berakar serta eksis dalam diri manusia.
Sedangkan dalam teori Joel Feinberg dinyatakan bahwa pemberian hak yang penuh
merupakan kesatuan dari klaim yang absah (keuntungan yang didapat dari
pelaksnaan hak yang disertai pelaksanaan kewajiban). Dengan demikian
keuntungan dapat diperoleh dari pelaksanaan hak bila disertai dengan pelaksanaan
kewajiban. Berdasarkan teori tersebut perolehan hak harus diikuti dengan
pelaksanaan kewajiban. Hal itu berarti antara hak dan kewajiban tidak dapat
dipisahkan dalam perwujudannya.
Istilah yang dikenal di Barat mengenai Hak-hak Asasi Manusia ialah “right
of man”, yang menggantikan istilah “natural right”. Istilah “right of man” ternyata
tidak secara otomatis mengakomodasi pengertian yang mencakup “right of women”.
Karena itu “right of man” diganti dengan istilah “human rights” oleh Eleanor
Roosevelt yang dipandang lebih netral dan universal. Sementara itu dalam Islam
dikenal dengan istilah haququl al-insan ad-dhorury (hak asasi manusia) dan huququl
Allah. Dalam Islam antara haququl al-insan ad-dhorury (hak asasi manusia) dan
huququl Allah tidak dapat dipisahkan atau berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya
keterkaitan satu dengan lainnya. Inilah yang membedakan konsep Barat tentang
HAM dengan konsep Islam.

Civic Education-Hak Asasi Manusia 3


Menurut pendapat Jan Materson dari Komisi HAM PBB, dalam Teaching
Human Rights, United Nations, bahwa “ Human rights could be generally defined as
those rights which are inherent in our nature and without which can not live as
human being “ (hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap
manusia, yang tanpa hak-hak tersebut manusia mustahil dapat hidup sebagai
manusia. Selanjutnya John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-
hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang
kodrati. Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat
mencabutnya. Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok manusia yang
dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa, bukan pemberian
manusia atau penguasa. Hak ini sifatnya sangat mendasar atau sangat fundamental
bagi hidup dan kehidupan manusia dan merupakan hal kodrati yang tidak bisa
terlepas dari dan dalam kehidupan manusia.
Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi
manusia pasal 1 bahwa “Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha
Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Dengan demikian menghormati,
melindungi dan menjunjung tinggi HAM dalam rangka menjaga harkat dan
martabat manausia menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara
individu, pemerintah (aparatur pemerintahan baik sipil maupun militer) bahkan
negara.
Berdasarkan beberapa rumusan pengertian di atas diperoleh suatu
kesimpulan tentang pengertian HAM yaitu : HAM sebagai hak yang melekat pada
diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah
yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau
negara. Dengan demikian hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM
ialah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi
keseimbangan yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban, dan keseimbangan

Civic Education-Hak Asasi Manusia 4


antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Jadi dalam
memenuhi dan menuntut hak tidak terlepas dari pemenuhan kewajiban yang harus
dilaksanakan. Begitu juga dalam memenuhi kepentingan perseorangan tidak boleh
merusak kepentingan orang banyak (kepentingan umum) atau sebaliknya karena
atas nama untuk kepentingan umum, kepentingan pribadi seorang individu
dilanggar tanpa terlebih dahulu individu itu mengetahui maksud dan tujuan
pelaksanaan kepentingan umum (bersama) itu sendiri. Dengan kata lain
pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap HAM harus diikuti dengan
pemenuhan terhadap KAM (kewajiban asasi manusia) dan TAM (tanggung jawab
asasi manusia) dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara. Jadi dapat
disimpulkan bahwa hakikat dari HAM adalah keterpaduan antara HAM, KAM dan
TAM secara sinergis dan seimbang. Bila ketiga unsur asasi (HAM, KAM dan TAM)
yang melekat pada setiap individu manusia baik dalam tatanan kehidupan pribadi,
kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan dan pergaulan global tidak berjalan
secara seimbang dapat dipastikan akan menimbulkan kekacauan, anarkisme dan
kesewenang-wenangan dalam kehidupan.

Sejarah Perkembangan
Pemikiran HAM
A. Perkembangan Pemikiran HAM Secara Umum
Pada umumnya para pakar di Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM
dimulai dengan lahirnya Magna Charta yang antara lain memuat pandangan bahwa
raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi
ia sendiri tidak terikat dengan hukum yang dibuatnya), menjadi dibatasi
kekuasaannya dan mulai dapat diminta pertanggungjawabannya di muka hukum.
Dari sinilah kemudian lahir doktrin yang menyatakan bahwa raja tidak kebal
hukum lagi, dan mulai bertanggungjawab dalam pelaksanaan dan terikat pada
hukum. Sejak itu mulai dipraktekkan kalau raja melanggar hukum harus diadili dan
mempertanggungjawabkan kebijakan pemerintahannya kepada parlemen. Jadi,

Civic Education-Hak Asasi Manusia 5


sudah mulai dinyatakan bahwa raja terkait kepada hukum dan bertanggungjawab
kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat undang-undang pada masa itu
masih lebih banyak berada di tangan Raja.
Dengan demikian, peristiwa itu dapat dikatakan sebagai embrio lahirnya
monarki konstitusional yang berintikan kekuasaan raja hanya menjadi simbol
belaka. Pasal 21 Magna Charta menggariskan “Earls and barons shall be fined by their
equal and only in proportion to the measure of the offence” (Para Pangeran dan Baron
akan dihukum (didenda) berdasarkan atas kesamaan, dan sesuai dengan
pelanggaran yang dilakukannya). Selanjutnya pada pasal 40 ditegaskan “ …. No one
will we deny or delay, right or justice” (…Tidak seorangpun menghendaki kita
mengingkari atau menunda tegaknya hak atau keadilan). Lahirnya Magna Charta
ini kemudian diikuti oleh lahirnya Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689. Pada
masa itu mulai timbul pandangan (adagium) yang intinya bahwa manusia sama di
muka hukum (equality before the law). Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya
negara hukum dan negara demokrasi. Bill of Rights melahirkan asas persamaan
harus diwujudkan, betapapun berat resiko yang dihadapi, karena hak kebebasan
baru dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan. Untuk mewujudkan semua itu,
maka lahirlah teori kontrak sosial Rosseau (social contract theory), teori trias politika
Mountesquieu, Jhon Locke di Inggris dan Tomas Jefferson di AS dengan hak-hak
dasar kebebasan dan persamaan yang dicanangkannya.
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American
Declaration of Independence yang lahir dari paham Rousseau dan Monesquieu. Jadi,
walaupun di Perancis sendiri belum dirinci apa HAM itu, di AS lebih dahulu
mencanangkan secara lebih rinci. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah
merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir, ia
harus dibelenggu. Selanjutnya, pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration
(deklarasi Prancis), dimana ketentuan tentang hak lebih dirinci lagi sebagaimana
dimuat dalam The Rule of Law yang antara lain berbunyi tidak boleh ada
penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk penangkapan tanpa
alasan yang sah dan penahanan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat

Civic Education-Hak Asasi Manusia 6


yang sah. Dalam kaitan itu berlaku prinsip presumption of innocence, artinya orang-
orang yang ditangkap, kemudian di tahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak
bersalah, sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang
menyatakan ia bersalah. Kemudian prinsip itu dipertegas oleh prinsip freedom of
expression (kebebasan mengeluarkan pendapat), freedom of religion (bebas menganut
keyakinan/ agama yang dikehendaki), The right of property (perlindungan hak milik),
dan hak-hak dasar lainnya. Jadi, dalam French Declaration sudah tercakup hak-hak
yang menjamin tumbuhnya demokrasi maupun negara hukum.
Perkembangan yang lebih signifikan adalah dengan kemunculan The Four
Freedoms dari Presiden Roosevelt pada tanggal 06 Januari 1941, yang berbunyi
sebagai berikut :
“The first is freedom of speech and expression every where in the world. The second is
feedom of every person to worship God in his own way every where in the world. The
third is freedom from want which, translated into world terms, mean economic
understandings which will secure to every nation a healty peacetime life for its
inhabitants every where in the world. The fourth is freedom from fear which, translated
into world terms, mean a worldwide reduction of armaments to such a point and in such
a trought fashion that no nation will any neighbor anywhere in the world.”

Berdasarkan rumusan di atas, ada empat hak yaitu hak kebebasan berbicara dan
menyatakan pendapat; hak kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai
dengan ajaran agama yang dipeluknya; hak kebebasan dari kemiskinan dalam
pengertian setiap bangsa berusaha mencapai tingkat kehidupan yang damai dan
sejahtera bagi penduduknya; hak kebebasan dari ketakutan, yang meliputi usaha,
pengurangan persenjataan, sehingga tidak satupun bangsa (negara) berada dalam
posisi berkeinginan untuk melakukan serangan terhadap negara lain. Semula hak-
hak ini sesudah perang dunia II (sesudah Hitler memusnahkan berjuta-juta
manusia) dijadikan dasar pemikiran untuk memelihara rumusan HAM yang
bersifat universal, dan menjadi embrio rumusan HAM dalam The Universal
Declaration of Human Rights PBB tahun 1948.
Perkembangan pemikiran HAM terus berlangsung dalam rangka mencari
rumusan HAM yang sesuai dengan konteks ruang dan zamannya. Secara garis besar
perkembangan pemikiran HAM dibagi pada 4 generasi. Generasi pertama

Civic Education-Hak Asasi Manusia 7


berpendapat bahwa pengertian HAM hanya berpusat pada bidang hukum dan
politik. Fokus pemikiran HAM generasi pertama pada bidang hukum dan politik
disebabkan oleh dampak dan situasi perang dunia II, totaliterisme dan adanya
keinginan negara-negara yang baru merdeka untuk menciptakan suatu tertib
hukum yang baru. Seperangkat hukum yang disepakati sangat sarat dengan hak-
hak yuridis seperti, hak untuk hidup, hak untuk tidak menjadi budak, hak untuk
tidak disiksa dan ditahan, hak kesamaaan di dalam hukum, hak akan fair trial, hak
praduga tak bersalah dan sebagainya. Selai itu juga memuat hak nasionalitas, hak
pemilikan, hak pemikiran, hak beragama, hak pendidikan, hak pekerjaan dan
kehidupan budaya.
Pemikiran HAM generasi kedua tidak saja menuntut hak yuridis melainkan
juga hak-hak sosial, ekonomi, politik dan budaya. Jadi pemikiran HAM generasi
kedua menunjukkan perluasan pengertian konsep hak asasi manusia. Pada generasi
kedua lahir dua covenant yaitu International Covenant on Economic, Sosial and Cultural
Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights. Kedua Covenant
tersebut disepakati dalam sidang umum PBB 1966. Pada masa generasi kedua, hak
yuridis kurang mendapat penekanan sehingga terjadi ketidakseimbangan dengan
hak sosial-budaya, hak ekonomi dan hak politik.
Generasi ketiga lahir sebagai reaksi pemikiran HAM generasi kedua.
Generasi ketiga menjanjikan adanya kesatuan antara hak ekonomi, sosial, budaya,
politik dan hukum dalam satu keranjang yang disebut dengan hak-hak
melaksanakan pembangunan (The Rights of Development) sebagai istilah yang
diberikan oleh International Comission of Justice. Dalam pelaksanaannya hasil
pemikiran HAM generasi ketiga juga mengalami ketikseimbangan dimana terjadi
penekanan terhadap hak ekonomi dalam arti pembangunan ekonomi menjadi
prioritas utama, sedangkan hak lainnya terabaikan sehingga juga menimbulkan
banyak korban, karena banyak hak-hak rakyat yang dilanggar. Kalau kata
“pembangunan” tetap dipertahankan, maka pembangunan tersebut haruslah
berpihak kepada rakyat dan diarahkan kepada redistribusi kekayaan nasional serta
redistribusi sumber-sumber daya sosial, ekonomi, hukum, politik dan budaya secara

Civic Education-Hak Asasi Manusia 8


merata. Keadilan dan pemenuhan hak asasi haruslah dimulai sejak mulainya
pembangunan itu sendiri, bukan setelah pembangunan itu selesai. Agaknya pepatah
kuno “justice delayed, justice deni’ tetap berlaku untuk kita semua.
Setelah banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan dari pemikiran HAM
generasi ketiga, lahirlah generasi keempat yang mengkritik peranan negara yang
sangat dominan dalam proses pembangunan yang terfokus pada pembangunan
ekonomi sebagai prioritas utama dan menimbulkan dampak negatif seperti
diabaikan aspek kesejahteraan rakyat dan program pembangunan yang tidak
berdasarkan kebutuhan. Generasi keempat HAM dipelopori oleh negara-negara di
kawasan Asia yang pada tahun 1983 melahirkan deklarasi hak asasi manusia yang
disebut Declaration of The Basic Duties of Asia People and Goverment. Deklarasi ini lebih
maju dari rumusan generasi ketiga, karena tidak saja mencakup tuntutan struktural
tetapi juga berpihak kepada terciptanya tatanan sosial yang berkedilan. Deklarasi
tersebut lebih berbicara mengenai masalah ‘kewajiban asasi’ bukan hanya ‘hak
asasi’. Deklarasi tersebut secara positip mengukuhkan keharusan imperatif dari
negara untuk memenuhi hak asasi rakyatnya. Jadi pemajuan dan penghormatan hak
asasi manusia bukan saja urusan orang perorang, tetapi juga tugas negara. Beberapa
masalah dalam deklarasi ini yang terkait dengan HAM dalam kaitan dengan
pembangunan sebagai berikut :
a. Pembangunan berdikari (self depelovment)
Pembangunan yang dilakukan adalah pembangunan yang membebaskan
rakyat dan bangsa dari ketergantungan dan sekaligus memberikan kepada
rakyat sumber-sumber daya sosial-ekonomi. Realokasi dan redistribusi
kekayaan dan modal nasional haruslah dilakukan dan sudah waktunya sasaran
pembangunan itu ditujukan kepada rakyat banyak di pedesaan. Bantuan dan
modal luar negeri hendaknya diatur secara terencana dan terarah, agar tidak
salah alamat.
b. Perdamaian
Masalah perdamaian tidak semata-mata berarti anti perang, anti nuklir dan anti
perang bintang. Tetapi justru lebih dari itu suatu upaya untuk melepaskan diri

Civic Education-Hak Asasi Manusia 9


dari budaya kekerasan (culture of violence) dengan segala bentuk tindakan. Hal
itu berarti penciptaan budaya damai (culture of peace) menjadi tugas semua
pihak baik rakyat, negara maupun dunia internasional. Namun, jika gagal
keluar dari budaya kekerasan ini ,maka hak asasi manusia jelas akan terus
menerus terancam.
c. Partisipasi rakyat
Masalah ini adalah masalah yang sering diucapkan tetapi sedikit sekali
dilakukan. Walaupun dilaksanakan, pelaksanaan itu terbatas pada saat
pemilihan umum. Setelah itu partisipasi seperti menjadi kata yang tidak
disenangi. Oleh sebab itulah proses depolitisasi dan alienisasi terjadi pada diri
individu baik dilakukan secara sengaja maupun tidak. Soal partisipasi ini
adalah suatu persoalan hak asasi yang sangat mendesak untuk terus
diperjuangkan.
d. Hak-hak budaya
Hak-hak budaya juga jarang diperhatikan secara sungguh-sungguh. Kita sering
terkecoh dengan adanya pergelaran budaya, tetapi itu belum berarti hak-hak
budaya itu dirawat. Di beberapa masyarakat menunjukkan tidak dihormatinya
hak-hak budaya terasa. Begitu juga adanya penyeragaman budaya merupakan
bentuk pelanggaran terhadap hak asasi berbudaya. Karena itu berarti mengarah
kepenghapusan kemajemukan budaya yang dalam kontek nasional
kemajemukan itu merupakan identitas kekayaan nasional.
e. Hak Keadilan sosial
Masalah keadilan ssosial ini buat kita seharusnya tidak perlu ditulis lagi, akan
tetapi karena kita tetap masih jauh dari keadilan sosial, maka kita harus kembali
mengingatkan kita akan tujuan kita berbangsa dan bernegara ini. Kita juga
perlu mengingatkan bahwa keadilan sosial tidak terhenti dengan menaiknya
pendapatan perkapita, tetapi justru baru berhenti pada saat dimana tatanan
sosial yang tidak adil dijungkirbalikkan dan diganti dengan tatanan sosial yang
berkeadilan.

Civic Education-Hak Asasi Manusia 10


B. Perkembangan Pemikiran HAM di Indonesia
Pemahaman HAM di Indodnesia sebagai tatanan nilai, norma, konsep yang
hidup di masyarakat dan acuan bertindak secara garis besar dibagi dalam dua
periode yaitu periode sebelum Kemerdekaan (1908 – 1945) dan periode setelah
kemerdekaan (1945 – sekarang). Pemikiran HAM dalam periode sebelum
kemerdekaan dapat dijumpai dalam organisasi pergerakan seperti pada gerakan
Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia, Sarekat Islam, Partai Komunis Indonesia,
Indische Partij, Partai Nasional Indonesia, Pendidikan Nasional Indonesia dan
Perdebatan dalam BPUPKI. Sedangkan pemikiran HAM dalam periode setelah
kemerdekaan (1945 – sekarang ) dibagai dalam periode 1945-1950, periode 1950-
1959, periode 1959-1966, periode 1966-1998 dan periode 1998- sekarang.

1. Periode sebelum kemerdekaan (1908 – 1945)


Sebagai organisasi pergerakan, pemikiran HAM dalam Boedi Oetomo telah
muncul. Dalam konteks pemikiran Ham, para pemimpin Boedi Oetomo telah
memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui
petisi-petisi yang ditujukan kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisan
yang dimuat surat kabar Goeroe Desa. Selain itu melalui konsep perwakilan rakyat.
Selanjutnya pemikiran pada Perhimpunan Indonesia banyak dipengaruhi oleh para
tokoh organisasi tersebut seperti Mohammad Hatta, Nazir Pamontjak, Ahmad
Soebardjo, A. A. Maramis dan sebagainya. Pemikiran HAM para tokoh tersebut
lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self
determination). Salah satu pemikiran dari perhimpunan Indonesia seperti dalam
pidato Mohammad Hatta :2
“Semenjak pasifik menunjukkan perkembangan ekonominya, sejak itu ia masuk pada
pusat politik dunia. Pertentangan kekuasaan sudah mulai, yang akan berkembang
menjadi drama-drama bangsa yang hebat, yang dimasa sekarang kita belum dapat
menggambarkananya. Karena apabila peperangan pasifik berdarah anatara timur dan
barat, tetapi juga akan menyudahi kekuasaan bangsa-bangsa kulit berwarna. Dunia
akan memperoleh wajah baru yang lebih baik kalau dari pertempuran itu bangsa
kulit berwarna mendapat kemenangan. Karena kelemahlembutan dan perasaan
damainya bangsa kulit berwarna akan menjadi tanggungan untuk perdamaian

Civic Education-Hak Asasi Manusia 11


dunia, Dengan sendirinya perhubungan kolonial akan digantikan oleh masyarakat
dunia yang di dalamnya hidup bangsa-bangsa merdeka yang berkedudukan sama.”

Sementara itu pemikiran HAM dalam Sarekat Islam - organisasi kaum santri
yang dimotori oleh H. Agus Salim dan Abdul Muis- menekankan pada usaha-usaha
untuk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan
deskriminasi rasial. Selanjutnya pemikiran HAM dalam Partai komunis Indonesia
sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih condong pada hak-hak
yang bersifat sosial dan menyentuh isu-isu yang berkenaan dengan alat produksi.
Konsen terhadap HAM juga ada pada Indische Partij. Pemikiran HAM yang paling
menonjol pada Indische Partij adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta
mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan. Selanjutnya pemikiran
HAM pada Partai Nasional Indonesia mengedepankan pada hak untuk memperoleh
kemerdekaan (the right of self determination). Adapun pemikiran HAM dalam
organisasi Pendidikan Nasional Indonesia –organisasi yang didirikan Mohammad
Hatta setelah Partai Nasional Indonesia dibubarkan, merupakan wadah perjuangan
yang menerapkan taktik non koperatif melalui program pendidikan politik,
ekoonomi dan sosial- menekankan pada hak politik yaitu hak untuk menentukan
nasib sendiri, hak untuk mengeluarkan pendapat, hak berserikat dan berkumpul,
hak persamaan di muka hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan
negara. Pemikiran HAM sebelum Indonesia merdeka juga terjadi dalam perdebatan
di sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta
dan Mohmmad Yamin pada pihak lain. Dalam kontek HAM, perdebatan pemikiran
yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan masalah hak persamaan
kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak
untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak berkumpul, hak
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
Dengan demikian gagasan dan pemikiran HAM di Indonesia telah menjadi
perhatian besar dari para tokoh pergerakan bangsa dalam rangka penghormatan
dan penegakan HAM, karena itu HAM di Indonesia mempunyai akar sejarah yang

Civic Education-Hak Asasi Manusia 12


sangat kuat. Jadi persoalan HAM dalam kontek bangsa Indonesia merupakan
masalah fundamental yang harus dihormati dan diberikan pada setiap manusia.

2. Periode setelah kemerdekaan (1945 - sekarang)


a. Periode 1945-1950
Periode awal kemerdekaan Indonesia sebagai negara bangsa (nation state),
pemikiran tentang HAM semakin mendapat di kalangan para pemimpin bangsa.
Hal itu merupakan kelanjutan dari dari pemikiran HAM yang telah ada pada masa
sebelum kemerdekaan. Pemikiran HAM pada periode ini masih menekankan pada
hak untuk merdeka (self determination), memberikan kebebasan untuk berserikat
melalui organisasi politik yang didirikan serta memberikan kebebasan untuk
menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Selain itu pemikiran HAM telah
mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk
ke dalam hukum dasar negara yaitu UUD 1945 (konstitusi). Bersamaan dengan itu
prinsip kedaulatan rakyat dan negara berdasarkan atas hukum dijadikan sebagai
sendi bagi penyellenggaraan negara Indonesia merdeka. Komitmen terhadap HAM
pada periode awal kemerdekaan sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat
Pemerintah tanggal 1 November 1945 yang menyatakan :
“… sedikit hari lagi kita akan mengadakan pemilihan umum sebagai bukti bahwa
bagi kita cita-cita dan dasar kerakyatan itu benar-benar dasar dan pedoman
penghidupan masyarakat dan negara kita. Mungkin sebagai akibat pemilihan itu
pemerintah akan berganti dan UUD kita akan disempurnakan menurut kehendak
rakyat yang terbanyak.”

Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk


mendirikan partai politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal
3 November 1945 yang anatara lain menyatakan : 1. Pemerintah menyukai
timbulnya partai-partai politik, karena dengana adanya partai-partai politik itulah
dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam
masyarakat; 2. Pemerintah berharap partai-partai itu telah tersusun sebelum
dilangsungkannya pemilihan anggota badan perwakilan rakyat pada bulan Januari
1946.Hal yang sangat penting dalam kaiatan dengan HAM adalah adanya

Civic Education-Hak Asasi Manusia 13


perubahan mendasar dan signifikan terhadap sistem pemerintahan dari sistem
presidensil menjadi sistem parlementer, sebagaimana tertuang dalam Maklumat
Pemerintah tanggal 14 November 1945. Isi Maklumat tersebut adalah :
“Pemerintah Republik Indonesia setelah mengalami ujian-ujian yang ketat dengan
selamat, dalam tingkatan pertama dari usahanaya menegakkan diri, merasa bahwa
saat sekarang sudah tepat untuk menjalankan macam-macam tindakan darurat guna
menyempurnakan tata usaha negara kepada susunan demokrasi. Yang terpenting
dalam perubahan-perubahan susunan kabinet baru itu ialah tanggung jawab adalah
di dalam tangan menteri”.

b. Periode 1950-1959
Periode 1950-1959 dalam perjalanan negara Indonesia dikenal dengan
sebutan periode demokrasi parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini
mendapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan
yang menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer
mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Seperti dikemukakan oleh Prof. Bagir
Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami “pasang” dan
menikmatinya “bulan madu” kebebasan. Indikatornya menurut Ahli Hukum Tata
Negara ini ada tiga aspek. Pertama, semakin banyak tumbuh partai-partai politik
dengan beragam ideologinya masing-masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai salah
satu pilar demokrasi betul-betul menikmati kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum
sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair (adil)
dan demokratis. Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat sebagai
representasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai
wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif.
Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif
sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan. Dalam
perdebatan di Konstituante, berbagai partai politik yang berbeda aliran dan ideologi
sepakat tentang substansi HAM universal dan pentingnya HAM masuk dalam UUD
dan menjadi bab tersendiri. Bahkan diusulkan oleh anggota Konstituante
keberadaannya mendahului bab-bab UUD.

Civic Education-Hak Asasi Manusia 14


c. Periode 1959-1966
Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi
terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhadap sistem demokrasi
parlementer. Pada sistem ini (demokrasi terpimpin), kekuasaan terpusat dan berada
di tangan presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin presiden melakukan
tindakan inkonstitusional baik pada tataran supra struktur politik maupun dalam
tataran infra struktur politik. Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan
hak asasi masyarakat yaitu hak sipil dan hak politik seperti hak untuk berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pikiran dengan tulisan. Dengan kata lain telah
terjadi sikap restriktif (pembatasan yang ketat oleh kekuasaan) terhadap hak sipil
dan hak politik warga negara.

d. Periode 1966-1998
Setelah terjadi peralaihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada
semangat untuk menegakkan HAM. Pada masa awal periode ini telah diadakan
berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan
pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan
pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk region Asia.
Selanjutnya pada tahun 1968 diadakan Seminar Nasional Hukum II yang
merekomendasikan perlunya hak uji materil (judicial review) untuk dilakukan guna
melindungi HAM. Seperti yang dikemukakan oleh Archibald Cox bahwa hak uuji
materil tidak lain diadakan dalam rangka melindungi kebebasan dasar manusia.
Begitu pula dalam rangka pelaksanaan TAP MPRS No. XIV/MPRS1966, MPRS
melalui Panitia Ad hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam
bentuk Piagam tentang Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban
Warganegara. Sebagai ketua MPRS A. H. Nasution dalam pidatonya menyatakan
sebagai berikut :
“Isi hakikat daripada Piagam tersebut adalah hak-hak yang dimiliki oleh manusia
sebagai ciptaan Tuhan yang dibekali dengan hak-hak asasi, yang berimbalan dengan
kewajiban-kewajiban. Dalam pengabdian sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa
manusia melakukan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dalam hubungan yang
timbal balik : a. antar manusia dengan manusia; b. antar manusia dengan Bangsa,

Civic Education-Hak Asasi Manusia 15


Negara dan Tanah Air; antar Bangsa. Konsepsi HAM ini sesuai dengan kepribadian
Pancasila yang menghargai hak individu dalam keselarasannya dengan kewajiban
individu terhadap masyarakat”.

Pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan
HAM di Indonesia mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati,
dilindungi dan ditegakkan. Pemikiran elit penguasa pada masa ini sangat diwarnai
oleh sikap penolakannya terhadap HAM sebagai produk Barat dan individualistik
serta bertentangan dengan paham kekeluargaan yang dianut bangsa Indonesia.
Dengan demikian pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif yang
dicerminkan dari produk hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap
depensif pemerintah dengan mengatakan : a. HAM adalah produk pemikiran Barat
yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam
Pancasila; b. bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana
tertuang dalam UUD 1945 yang lahir lebih dulu dibandingkan dengan Deklarasi
Universal HAM; c. Isu HAM seringkali digunakan oleh negara-negara Barat untuk
memojokkan negara yang sedang berkembang seperti Inddonesia.
Meskipun dari pihak pemerintah mengalami kemandegan bahkan
kemunduran, pemikiran HAM nampak terus ada periode rezim orde baru terutama
dikalangan masyarakat yang dimotori oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
dan masyarakat akademisi yang konsen terhadap penegakan HAM. Upaya yang
dilakukan oleh masyarakat melalui pembentukan jaringan dan lobi internasional
terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seperti kasus Tanjung Priok, kasus
Kedung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di Irian Jaya, kasus Trisakti dan
Semanggi I & II dan sebagainya.
Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990-an nampak
memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi
pemerintah dari represif dan depensif ke strategi akomodatif terhadap tuntutan yang
berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif pemerintah
terhadat tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (KOMNAS HAM) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993 tertanggal 7

Civic Education-Hak Asasi Manusia 16


Juni 1993. Lembaga ini (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) bertugas untuk
memantau dan menyelidik pelaksanaan HAM, serta memberi pendapat,
pertimbangan dan saran kepada Pemerintah perihal pelaksanaan HAM. Selain itu
Komisi in bertujuan untuk membantu pengembangan kondisi-kondisi yang
kondusif bagi pelaksanaan HAM yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945
(termasuk hasil amandemen UUD 1945), Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM,
Piagam Madina, Khutbah Wada’, Deklarasi Kairo dan deklarasi atau perundang-
undangan laiannya yang terkait dengan penegakan HAM. Dampak dari sikap
akomodatif pemerintah dan dibentuknya KOMNAS HAM sebagai lembaga
independen adalah bergesernya paradigma (cara pandang) pemerintah terhadap
HAM dari partikuleristik ke universalitas serta semakin kooperatifnya pemerintah
terhadap upaya penegakan HAM di Indoensia.

e. Periode 1998- sekarang


Pergantian rezim pemerintahan pada tahun 1998 memberikan dampak yang
sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini
mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru
yang berlawanan dengan pemajuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya dilakukan
penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pemberlakukan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di
Indonesia. Demikian pula dilakukan pengkajian dan ratifikasi terhadap instrumen
HAM internasional semakin ditingkatkan. Hasil dari pengkajian tersebut
menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya yang
terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen internasional
dalam bidang HAM.
Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui dua tahap
yaitu tahap status penentuan (prescriptive status) dan tahap penataan aturan secara
konsisten (rule consistent behaviour). Pada tahap status penentuan (prescriptive status)
telah ditetapkannya beberapa ketentuan perundang-undangan tentang HAM seperti
amandemen konstitusi negara (undang-ndang dasar 1945), ketetapan MPR (TAP

Civic Education-Hak Asasi Manusia 17


MPR), undang-undang (UU), perarutan pemerintah dan ketentuan perundang-
undangan lainnya.

Bentuk-Bentuk Hak Asasi Manusia

Prof. Bagir Manan membagi HAM pada beberapa kategori yaitu : hak sipil,
hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan budaya. Hak sipil terdiri dari : 1. hak
diperlakukan sama di muka hukum; 2. hak bebas dari kekerasan; 3. hak khusus bagi
kelompok anggota masyarakat tertentu; 4. hak hidup dan kehidupan. Hak politik
terdiri dari : 1. hak kebebasan berserikat dan berkumpul; 2. hak kemerdekaan
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan; 3. hak menyampaikan pendapat di
muka umum. Hak ekonomi terdiri dari : 1. hak jamainan sosial; 2. hak perlindungan
kerja; 3. hak perdagangan; 4. hak pembangunan berkelanjutan. Hak sosial budaya
terdiri dari: 1. hak memperoleh pendidikan, 2. hak kekayaan intelektual; 3. hak
kesehatan; 4. hak memperoleh perumahan dan pemukiman.
Sementara itu Prof. Baharuddin Lopa, membagi HAM dalam beberapa jenis
yaitu : 1. hak persamaan dan kebebasan; 2. hak hidup; 3. hak memperoleh
perlindungan; 4. hak penghormatan pribadi; 5. hak menikah dan berkeluarga; 6. hak
wanita sederajat dengan pria; 7. hak anak dari orang tua; 8. hak memperoleh
pendidikan; 9. hak kebebasan memilih agama; 10. hak kebebasan bertindak dan
mencari suaka; 11. hak untuk bekerja; 12. hak memperoleh kesempatan yang sama;
14. hak milik pribadi; 15. hak menikmati hasil/produk ilmu dan 16. hak tahanan dan
narapidana. Dengan demikian pembagian bentuk HAM tersebut tidak secara tegas
sebagaimana dalam pengelompokkan yang dilakukan oleh Bagir Manan.
Selanjutnya dalam Deklarasi Universal tentang HAM yang sering disingkat
DUHAM (Universal Declaration of Human Rights), membagi HAM pada jenis : 1.
hak personal (hak jaminan kebutuhan pribadi); 2. hak legal (hak jaminan
perlindungan hukum); 3. hak sipil dan politik; 4. hak subsistensi (hak jaminan
adanya sumber daya untuk menunjang kehidupan); 5. hak ekonomi, sosial dan
budaya.

Civic Education-Hak Asasi Manusia 18


Hak personal, hak legal, hak sipil dan politik yang terdapat dalam pasal 3 –
21 dalam DUHAM tersebut memuat : 1. hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan
pribadi; 2. hak bebas dari perbudakan dan penghambaan; 3. hak bebas dari
penyiksaan atau perlakuan maupun hukuman yang kejam, tak berprikemanusiaan
ataupun merendahkan derajat kemanusiaan; 4. hak untuk memperoleh pengakuan
hukum dimana saja secara pribadi; 5. hak untuk pengampunan hukum secara
efektif; 6. hak bebas dari penangkapan, penahanan atau pembuangan yang
sewenang-wenang; 7. hak untuk peradilan yang independen dan tidak memihak; 8.
hak untuk praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah; 9. hak bebas dari campur
tangan yang sewenang-wenang terhadap kekuasaan pribadi, keluarga, tempat
tinggal maupun surat-surat; 10. hak bebas dari serangan terhadap kehormatan dan
nama baik; 11. hak atas perlindungan hukum terhadap serangan semacam itu; 12.
hak bergerak; 13. hak memperoleh suaka; 14. hak atas satu kebangsaan; 15. hak
untuk menikah dan membentuk keluarga; 16. hak untuk mempunyai hak milik; 17.
hak bebas berpikir, berkesadaran dan beragama; 18. hak bebas berpikir dan
menyatakan pendapat; 19. hak untuk berhimpun dan berserikat; 20. hak untuk
mengambil bagian dalam pemerintahan dan hak atas akses yang sama terhadap
pelayanan masyarakat.
Sedangkan hak ekonomi, sosial dan budaya berdasarkan pernyataan
DUHAM sebagai berikut : 1. hak atas jaminan sosial; 2. hak untuk bekerja; 3. hak
atas upah yang sama untuk pekerjaan yang sama; 4. hak untuk bergabung ke dalam
serikat-seriakt buruh; 5. hak atas istirahat dan waktu senggang; 6. hak atas standar
hidup yang pantas di bidang kesehatan dan kesejahteraan; 7. hak atas pendidika; 8.
hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang berkebudayaan dari masyarakat.
Sementara itu dalam UUD 1945 hak asasi manusia terdiri dari dari hak : 1.
hak kebebasan untuk mengeluarkan pendapat; 2. hak kedudukan yang sama di
dalam hukum; 3. hak kekebasan berkumpul; 4. hak kekebasan beragama; 5. hak
penghiduoan yang layak; 6. hak kebebasan berserikat; 7. hak memperoleh engajaran
atau pendidikan Secara operasional dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM
dinyatakan bahwa HAM dibagi pada beberapa jenis yaitu : 1. hak untuk hidup; 2.

Civic Education-Hak Asasi Manusia 19


hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan; 3. hak mengembangkan diri; 4. hak
memperoleh keadilan; 5. hak atas kebebasan pribadi; 6. hak atas rasa aman; 7. hak
atas kesejahteraan; 8. hak turut serta dalam pemerintahan; 9. hak wanita; 10. hak
anak .

Nilai-Nilai Hak Asasi Manusia:


antara Nilai Univesal dan Partikular

Civic Education-Hak Asasi Manusia 20


Wacana atau perdebatan tentang nilai-nilai HAM apakah universal (artinya
nilai-nilai HAM berlaku umum di semua negara) atau partikular (artinya nilai-nilai
HAM pada suatu negara mempunyai kekhususan dan tidak berlaku untuk setiap
negara) terus berlanjut. Berkaitan dengan nilai-nilai HAM paling tidak ada tiga teori
dalam kaitan dengan perdebatan tentang nilai-nilai HAM tersebut yaitu : a. teori
realitas (realistic theory); b. teori relativisme kultural (cultural relativisme theory) dan c.
teori radikal universalisme (radical universalisme).
Teori realitas mendasari pandangannya pada asumsi tentang adanya sifat
manusia yang menekankan self interest dan egois dalam dunia seperti bertindak
anarkis. Dalam situasi anarkis setiap manusia saling mementingkan dirinya sendiri,
sehingga menimbulkan chaos dan tindakan tidak manusiawi diantara individu
dalam memperjuangkan egois dan self intresnya. Dengan kata lain dalam situasi
anarkis prinsip universalitas moral tidak dapat berlaku dan berfungsi. Untuk
mengatasi situasi demikian negara harus mengambil tindakan berdasarkan power
dan security yang dimiliki, maka tindakan suatu negara untuk menjaga kepentingan
nasional yang didasarkan power dan security bukan moral dibenarkan. Karena itu
tindakan di atas yang dilakukan negara tidak termasuk dalam kategori tindakan
pelanggaran HAM oleh negara.
Sementara itu teori relativitas kultural berpandangan bahwa nilia-nilai moral
dan budaya bersifat partikular (khusus). Dengan demikian nilai-nilai moral HAM
bersifat lokal dan spesifik, sehingga berlaku khusus pada suatu negara. Dalam
kaitan dengan penerapan HAM, menurut teori ini ada tiga model penerapan HAM
yaitu : a. penerapan HAM yang lebih menekankan pada hak sipil, hak politik dan
hak pemilikan pribadi; b. penerapan HAM yang lebih menekankan pada hak
ekonomi dan hak sosial; c. penerapan HAM yang lebih menekankan pada hak
penentuan nasib sendiri (self determination) dan pembangunan ekonomi. Model
pertama banyak dilakukan oleh negara-negara yang tergolong dunia maju, model
kedua banyak diterapkan di dunia berkembang dan untuk model ketiga banyak
diterapkan di dunia terbelakang.

Civic Education-Hak Asasi Manusia 21


Selanjutnya teori radikal universalitas berpandangan bahwa semua nilai
termasuk nilai-nilai HAM adalah bersifat universal dan tidak bisa dimodifikasi
untuk menyesuaikan adanya perbedaan budaya dan sejarah. Kelompok radikal
universalitas menganggap hanya ada satu paket pemahaman mengenai HAM
bahwa nilai-nilai HAM berlaku sama disemua tempat dan disembarang waktu dan
dapat diterapkan pada masyarakat yang mempunyai latar belakang budaya dan
sejarah yang berbeda.
Dalam kaitan dengan ketiga teori tentang nilai-nilai HAM itu ada dua arus
pemikiran atau pandangan yang saling tarik menarik dalam melihat relativitas nilai-
nilai HAM yaitu strong relativist dan weak relativist. Strong relativist
beranggapan bahwa nilai HAM dan nilai-nilai lainnya secara prinsip ditentukan
oleh budaya dan lingkungan tertentu, sedangkan universalitas nilai HAM hanya
menjadi pengontrol dari nilai-nilai HAM yang didasari oleh budaya lokal atau
lingkungan yang spesifik. Dengan demikian berdasarkan pandangan ini diakui
adanya nilai-nilai HAM lokal (partikular) dan nilai-nilai HAM yang universal.
Sementara Weak relativist memberi penekanan bahwa nilai-nilai HAM bersifat
universal dan sulit untuk dimodifikasi berdasarkan pertimbangan budaya tertentu.
Berdasarkan pandangan ini menggambarkan tidak adanya pengakuan terhadap
nilai-nilai HAM lokal melainkan hanya mengakui adanya nilai-nilai HAM
Universal.

HAM dalam Tinjauan


Agama-Agama
1. HAM dalam Tinjauan Islam
Islam sebagai sebuah agama dengan ajarannya yang universal dan
komprehensif yang meliputi aqidah, ibadah dan mu’amalat. Dimensi aqidah
memuat ajaran tentang keimanan; dimensi ibadah memuat ajaran tentang
mekanisme pengabdian manusia terhadap Allah; sedangkan dimensi mu’amalat
memuat ajaran tentang hubungan manusia dengan sesama manusia maupun
dengan alam sekitar. Kesemua dimensi ajaran tersebut dilandasi oleh ketentuan-

Civic Education-Hak Asasi Manusia 22


ketentuan yang disebut dengan syari’at atau fiqh. Dalam konteks syari’at dan fiqh
itulah terdapat ajaran tentang hak asasi manusia (HAM). Adanya ajaran tentang
HAM menunjukkan bahwa Islam sebagai agama telah menempatkan manusia
sebagai makhluk terhormat. Karena itu perlindungan dan penghormatan terhadap
manusia merupakan tuntutan dari ajaran Islam itu sendiri.
Menurut Maududi, HAM adalah hak kodrati yang dianugerahkan Allah
SWT kepada setiap manusia dan tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh kekuasan
atau badan apapun. Hak-hak yang diberikan Allah itu bersifat permanen, kekal dan
abadi, tidak boleh dirubah atau dimodifikasi. Dalam Islam terdapat dua konsep
tentang hak, yakni hak manusia (haq al Insan) dan hak Allah. Setiap hak itu saling
melandasi satu sama lain. Hak Allah melandasi hak manusia demikian juga
sebaliknya, sehingga dalam aplikasinya, tidak ada satupun hak yang terlepas dari
kedua hak tersebut. Misalnya, dalam hak Allah seperti shalat, manusia tidak perlu
campur tangan untuk memaksakan seseorang mau shalat atau tidak. Karena shalat
merupakan hak Allah, maka tidak ada kekuatan duniawi-apakah itu negara,
organisasi, ataupun teman yang berhak mendesak seseorang untuk melakukan
shalat. Shalat merupakan urusan pribadi yang bersangkutan dengan Allah.
Meskipun demikian dalam shalat itu ada hak individu manusia yaitu berbuat
berbuat kemadamaian antar sesamanya. Sementara itu dalam haq al Insan seperti
hak kepemilikan, setiap manusia berhak untuk mengelola harta yang dimilikinya.
Namun demikian pada hak manusia itu tetap ada hak Allah yang mendasarinya.
Konsekuensinya adalah bahwa meskipun seseorang berhak memanfaatkan benda
miliknya, tetapi tidak boleh menggunakan harta miliknya itu untuk tujuan yang
bertentangan dengan ajaran Allah. Jadi sebagai pemilik hak, diakui dan dilindungi
dalam penggunaan hak nya, namun tidak boleh melanggar hak yang Mutlak (hak
Allah). Kepemilikan hak pada manusia bersifat relatif, sementara pemilik hak yang
absolut hanyalah Allah.
Konsep Islam mengenai kehidupan manusia didasarkan pada pendekatan
teosentris (theocentries) atau ketuahan yang menmpatkan Allah melalui ketentuan
syari’atnya sebagi tolak ukur tentang baik buruk tatanan kehidupan manusia baik

Civic Education-Hak Asasi Manusia 23


sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat atau warga bangsa. Dengan
demikian konsep Islam tentang HAM berpijak pada ajaran tauhid. Konsep
tauhid mengandung ide persamaan dan persaudaraan manusia. Konsep tauhid juga
mencakup ide persamaan dan persatuan semua makhluk yang oleh Harun Nasution
dan Bahtiar Efendi disebut dengan ide perikemakhlukan. Ide perikemakhlukan
memuat nilai-nilai kemanusiaan dalam arti sempit. Ide perikemakhlukan
mengandung makna bahwa manusia tidak boleh sewenang-wenang terhadap
sesama makhluk termasuk juga pada binatang dan alam sekitar. Karena itu al-
Ghazali berpendapat bahwa sikap kasih sayang manusia mencakup masyarakat
binatang.
HAM dalam Islam sebenarnya bukan barang asing, karena wacana tentang
HAM dalam Islam lebih awal dibandingkan dengan konsep atau ajaran lainnya.
Dengan kata lain Islam datang secara inheren membawa ajaran tentang HAM.
Sebagaimana dikemukakan oleh Maududi bahwa ajaran tentang HAM yang
terkandung dalam Piagam Magna Charta tercipta enam ratus tahun setelah
kedatangan Islam. Selain itu juga diperkuat oleh Weeramantry bahwa pemikiran
Islam mengenai hak-hak di bidang sosial, ekonomi dan budayatelah jauh
mendahului pemikiran Barat. Ajaran Islam tentang HAM dapat dijumpai dalam
sumber utama ajaran itu yaitu Qur’an dan Hadits yang merupakan sumber ajaran
normatif, juga terdapat dalam praktek kehidupan umat Islam. Tonggak sejarah
keberpihakan dunia Islam terhadap HAM yaitu pada pendeklarasian Piagam
Madina. Kemudian dilanjutkan dengan Deklarasi Kairo (Cairo Declaration).
Dalam Piagam Madina paling tidak ada dua ajaran pokok yaitu : 1. semua
pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku bangsa; 2.
hubungan antara komunitas muslim dengan non muslim didasarkan pada prinsip :
a. berinteraksi secara baik dengan sesama tetangga; b. saling membantu dalam
menghadapi musuh bersama; c. membela mereka yang teraniaya; d. saling
menasehati; e. menghormati kebebasan beragama. Sedangkan ketentuan HAM yang
terdapat dalam Deklarasi Kairo sebagai berikut : 1. Hak persamaan dan kebebasan
(surat al-Isra : 70; an-Nisa : 58,105,107,135; al-Mumtahanah : 8); 2. hak hidup (surat

Civic Education-Hak Asasi Manusia 24


al-Maidah : 45; al-Isra : 33); 3. Hak perlindungan diri (surat al-Balad : 12-17; at-
Taubah : 6); 4. Hak kehormatan pribadi (surat at-Taubah : 6); 5. Hak berkeluarga
(surat al-Baqarah : 221; al-Rum : 21; an-Nisa : 1; at-Tahrim : 6); 6. Hak kesetaraan
wanita dengan pria (surat al-Baqarah : 228; al-Hujrat : 13); 7. Hak anak dari orang
tua (surat al-Baqarah : 233; al-Isra : 23-24); 8. Hak mendapatkan Pendidikan (surat at-
Taubah : 122; al-‘Alaq : 1-5); 9. Hak kebebasan beragama (surat al-Kafirun : 1-6; al-
Baqarah : 156; al-kahfi : 29); 10. Hak kebebasan encari suaka (surat an-Nisa : 97; al-
Mumtahanah : 9); 11. Hak memperoleh pekerjaan (surat at-Taubah : 105; al-Baqarah :
286; al-Mulk : 15); 12. Hak memperoleh perlakukan sama (surat al-Baqarah : 275-278;
an-Nisa : 161; Al-Imran : 130); 13. Hak kepemilikan (surat al-Baqarah : 29; an-Nisa :
29); 14. Hak tahanan (surat al-Mumtahanah : 8).
Dilihat dari tingkatannya, ada 3 (tiga) bentuk hak asasi manusia dalam
Islam. Pertama, hak dzararat (hak dasar). Sesuatu dianggap hak dasar apabila hak
tersebut dilanggar, bukan hanya membuat manusia sengsara, tetapi juga hilang
eksistensinya, bahkan hilang harkat kemanusiaannya. Sebagai misal, bila hak hidup
seseorang dilanggar, maka berarti orang itu mati. Kedua, hak sekunder, yakni hak-
hak yang bila tidak dipenuhi akan berakibat pada hilangnya hak-hak elementer.
Misalnya, hak seseorang untuk memperoleh sandang pangan yang layak, maka
akan mengakibatkan hilangnya hak hidup. Ketiga hak tersier (komplementer) yakni
hak yang tingkatannya lebih rendah dari hak primer dan sekunder.

2. HAM dalam Tinjauan Katolik


Sesungguhnya HAM menggantikan istilah “hukum kodrat” yang sudah
lama sekali dipergunakan dalam diskusi etik. Tetapi isi diskusi etik itu berkembang
dari masa ke masa. Sebab ada sejumlah hal yang bagi kita sekarang sudah tidak
dipermasalahkan lagi, pada waktu abad pertengahan masih belum diterima semua
orang. Misalnya hak kaum perempuan.
Kebanyakan ahli teologi moral katolik menelusuri asal konsep hukum kodrat
pada pemikiran Yunani dan Romawi ‘polis’, yaitu ‘negara’ dalam arti Yunani klasik,
mengharapkan partisipasi seluruh warga negara dalam urusan kenegaraan. Namun

Civic Education-Hak Asasi Manusia 25


dalam masyarakat Yunani klasik, tuntutan itu tidak begitu saja mengasumsikan
kesetaraan semua manusia sebab di dalamnya tercakup kebiasaan perbudakan.
Etika Stoa di lingkungan Romawi klasik lebih penting. Cicero mengatakan bahwa
semua manusia itu setara. Sebab semua manusia memiliki intelektualitas yang pada
dasarnya sama. Bersamanya, Seneca, Epiktetus, dan Marcus Aurelius menegaskan
rasa hormat pada kodrat manusia. Selanjutnya, dalam literatur dan filsafat Yunani
dan Romawi terdapat banyak pernyataan dan mengakui tempat penting hukum
yang ditentukan oleh kodrat. Sedemikian pentingnya hukum kodrat itu, sehingga
harus didahulukan di atas hukum yang dibuat oleh negara. Meskipun begitu di
antara mereka gagasan HAM belum terjabar dalam rincian pasal yuridis.
Namun konsep hukum kodrat secara khusus dapat ditelusuri sampai ke
kurun waktu yang lebih awal. Alkitab Perjanjian Lama, yang juga diakui oleh umat
Yahudi, mencakup pengertian hukum kodrat ketika berbicara tentang riwayat
pembentukan Israel sebagai bangsa. Sepuluh perintah Allah, misalnya dengan
melarang pembunuhan dan pencurian latar belakangnya, menunjukkan pengakuan
atas hak untuk hidup dan hak milik. Pengakuan itu diperluas sekali oleh
pengembangan hukum dan pembicaraan tentang keadilan oleh nabi, seperti Amos.
Dasar HAM dapat ditarik sampai ke awal mula sejarah umat manusia, dalam
bahasa Alkitab. HAM berdasar pada cara memandang martabat manusia, sebagai
sesuatu yang amat luhur dan sama pada semua manusia, apapun jenis kelaminnya,
kulitnya, keturunannya, rasnya, kedudukan sosial maupun kedudukan politisnya.
Sejak awal mula, pribadi manusia, sebelum ada negara, sudah mempunyai martabat
yang amat luhur yaitu sebagai citra Allah (kej 1:27). Sumber hidup manusia hanya
satu, yaitu Allah, sumber segala kebaikan. Oleh sebab itu, dari kodratnya manusia
adalah baik, hak-hak yang berkaitan dengan kodrat itu, berasal dari Allah Sang
Pencipta.
Ada pula yang mengingatkan bahwa salah satu murid Yesus, yaitu Petrus,
dalam menghadapi tututan pemerintah pada waktu itu, meminta agar manusia
lebih tunduk pada kehendak Allah dari pada manusia (Kisah para Rasul 4:19). Cara
bicara itu mau menunjukkan bahwa dalam manusia terdapat hal-hal yang tidak

Civic Education-Hak Asasi Manusia 26


diberikan oleh manusia, yaitu orang-orang dalam struktur pemerintahan, melainkan
dari kelahiran manusia sejati dari Allah sendiri. Trsdisi itu menjadi tumpuan
pemikiran mengenai hak-hak yang datang dari kodrat manusia. Tradisi hukum
kodrat itu dalam bentuknya yang masih embrional sudah dapat ditemukan pada
pikiran seorang pemikir besar di awal gereja, yaitu Origenes, Lactantius dan
Greogorius dari Nysa. Mereka bicara mengenai perbudakan tetapi dengan
menghargai kesetaraan manusia yang hakiki bagi anak-anak Allah. Abad
pertengahan tidak meninggalkan ide mengenai dasar-dasar HAM, sebagaimana
kelihatan ajaran scholastik mengenai hukum kodrat. Sebenarnya pengertian hukum
kodrat diperkembangkan lebih lanjut oleh Vittorio, tetapi perang agama dan raja-
raja absolut telah melindasnya. Baru pada masa Pencerahan dikembalikan
kesadaran akan peran individu dalam menagmbil keputusan.
Agaknya Emanuel Kant dapat membantu kita memahami masalah ini. Dia
membedakan antara “harga” dan “martabat”. “Harga” adalah sesuatu yang dapat
dipertukarkan dan bila itu dikenakan kepada manusia hanya menyentuh hal-hal
dangkal (misalnya kemampuan memasak). “Martabat” adalah sesuatu yang
berkenaan dengan “nilai hakiki” manusia, yang tidak dapat ditukarkan dengan
apapun, oleh siapapun (misalnya ekspresi diri, hidup, dan lain-lain). Menurut
Emanuel Kant, martabat manusia itu dampak dari kebebasannya, kesetaraannya
dan kemandiriannya. Pandangan Emanuel Kant ini akan banyak dikembangkan
dalam dunia pemikiran sesudahnya, juga dalam teologi katolik.
Baru Paus Johannes XXII (di pertengahan abad ke-20) memberikan uraian
sistematik katolik yang cukup luas dalam suratnya yang berjudul “Damai di Bumi”
(Pacem in Terria). Dalam suratnya itu Paus Johannes XXII menyebut HAM sebagai
jaminan agar manusia melaksanakan tindakan-tindakan manusiawi yang ciri
khasnya: mandiri, tahu dan mau. Tetapi sesungguhnya ajaran Johannes XXII
diambil dari ajaran Paus XII. Pada umumnya, hukum kodrat dianggap meliputi hak
akan hidup, hak untuk nilai-nilai moral dan kultural tertentu, hak untuk
berpartisipasi dalam hidup sosial, hak untuk secara bebas melaksanakan agamanya,
hak untuk memilih status hidupnya, hak untuk ekonomi dan beremigrasi dan

Civic Education-Hak Asasi Manusia 27


imigrasi, dan hak untuk mendapat perlindungan legal atas hak-haknya. Pada tahun
1971 dalam synode para Uskup sedunia dikehendaki bahwa seluruh gereja
hendaknya membela HAM. Lebih lanjut, dalam Synodenya tahun 1974 para uskup
sedunia sepakat berpendapat, bahwa pengakuan HAM yang dapat memulihkan
hubungan antar bangsa dan antar golongan dalam negara-negara. Gereja
menganggap perlindungan hak pribadi manusia sebagai tugas mulia dan menolak
diskriminasi dalam bentuk apapun. Gereja menolak penggunaan kekerasan dalam
mengusahakan pertobatan religius dan mengundang orang kristiani untuk
menghormati martabat dan hak sesama.
Dari catatan di atas dapatlah dikatakan, bahwa kaitan antara HAM dengan
teologi katolik mata airnya sama. Bagi HAM, semua orang sama, karena kodrat
semuanya sama-sama suci. Bagi teologi katolik, mata air manusia beriman adalah
keyakinan bahwa asal mula manusia itu suci, ialah sabda Allah sendiri. Hidup
manusia sendiri dikaruniakan melalui “ruh Allah” yang dihembuskan kepadanya
(Kej 2:6). Ketika manusia berdosa, Allah putera telah menjelma menjadi manusia,
sehingga manusia kembali memperoleh kodratnya yang suci.
Sejak tahun 60-an abad ini hak-hak asasi manusia dapat dikatakan diterima
penuh dalam gereja katolik dan semakin menjadi keprihatinannya. Paham Hak-hak
asasi manusia memungkinkan gereja katolik mengatasi pendekatan yang eksklusif.
Ia dapat ikut bersama semua fihak yang sealiran dalam membela martabat manusia
melawan segala bentuk totalitarienisme dan otoritarianisme.
Terutama dalam ajaran Paus Johannes II. Hak-hak Asasi Manusia
merupakan unsur yang selalu kembali. Paham Hak-hak asasi Manusia dibicarakan
secara eksplisit dalam ensiklik-ensiklik redemptor hominis (ensikliknya yang
pertama), Laborem Exercens, Sollicitudo Rei Socialis, dan Centesimus Annus. Ada
beberapa segi yang patut disinggung :
a. hak-hak manusia dilihat dalam perspektif martabat manusia. Manusia harus
dihormati dalam martabatnya dan dalam hak-haknya sebagai manusia.
Martabat manusia terletak dalam kenyataan bahwa ia adalah pesona.
Perkembangan manusia hanyalah perkembangan sejati apabila manuisa

Civic Education-Hak Asasi Manusia 28


berkembang sebagi pesona yang berpengetahuan dan berkehendak,
berkebebasan dan bersuara hati. Perkembangan manusia yang sejati adalah
perkembangan manusia dalam keutuhannya dan perkembangan semua
manusia.
b. hormat hak-hak asasi manusia merupakan cara untuk melawan
totalitarianisme. “Akar totalitarianisme modern ditemukan dalam
penyangkalan terhadap martabat transenden personal manusia sebagai citra
kelihatan Allah yang tak terkelihatan. Oleh karena itu berdasarkan kodratnya
sendiri adalah subjek hak-hak yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun-
individu, kelompok, kelas bangsa, atau negarapun tidak. Bahkan mayoritas
sebuah badan sosial tidak boleh melanggar hak-hak itu, dengan menyerang
minoritas dengan cara mengisolasikannya, menindasnya atau menghisapnya,
atau dengan mencoba meniadakannya.
c. hormat terhadap susunan luas terhadap hak-hak manusia merupakan syarat
dasar perdamaian di dunia sekarang. Itulah sebabnya “geraja melibatkan diri
dalam pembelaan dan perjuangan demi hak-hak manusia”.
d. perhatian khusus, menurut Paus, harus diberikan kepada Hak-hak asasi
Manusia pekerja, minoritas-minoritas dan orang-orang miskin.
e. Paus menyatakan dukungannya bagi demokrasi dan penolakan terhadap
penguasaan negara oleh elit-elit ideologis atau yang berkepentingan. Ia
menegaskan bahwa ”demokrasi otentik hanyalah mungkin dalam negara yang
ditata berdasar hukum serta berdasarkan pengertian tepat tentang persona
manusia”. Dan itu berarti hormat terhadap Hak-hak Asasi Manusia. Oleh
karena itu, perlulah dalam proses pembaharuan sistem demokrasi diberi
berdasarkan otentik dan mantap melalui pengakuan eksplisit hak-hak itu.
f. ada beberapa HAM yang secar khusus ditegaskan oleh Paus ; “hak atas hidup”,
dan secara khusus “hak anak untuk berkembang dalam rahim ibunya sejak ia
dikandung; hak anak untuk hidup dalam keluarga yang bersatu dan dalam
lingkungan moral yang mendukung perkembangan nalar dan kebebasan dalam
mencari dan mengetahui kebenaran; hak untuk berpartisipasi dalam pekerjaan

Civic Education-Hak Asasi Manusia 29


untuk mempergunakan sumberdaya material bumi secara bijaksana, dan untuk
memperoleh dari pekerjaan itu sarana untuk menghidupi diri dan keluarganya;
dan hak untuk membangun keluarga secara bebas, untuk mempunyai dan
membesarkan anak melalui penggunaan seksualitas secara bertanggungjawab”.
g. Paus memandang kebebasan beragama, dalam arti hak untuk hidup dalam
kebenaran iman dari kepercayaannya sendiri dan sesuai dengan martabatnya
sebagai persona yang transenden “sebagai sumber dan sintesis hak-hak itu”
tadi.
Oleh sebab itu, bagaimana pun juga, bagi teologi katolik kodrat manusia itu
suci, artinya dari dekat menuju kepada Tuhan. Teologi katolik mau membela
pandangan tentang martabat dan nilai pribadi manusia. Pada luhurnya martabat
manusia itulah segala hukum didasarkan. Pengertian ini amat berdekatan dengan
faham dasar dibalik pernyataan Hak –hak Asasi Manusia PBB 1948; yaitu bahwa
setiap manusia, dengan fakta bahwa ia manusia, tanpa memandang perbedaan asal-
usul, ras, keturunan, agama atau kualifikasi manapun lagi, sama-sama memiliki hak
dasar yang tidak dapat diserahkan kepada orang atau lembaga manapun.

3. HAM dalam Tinjauan Kristiani


Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, khususnya setelah perang Dunia II,
teologi kristiani memberikan perhatian eksplisit terhadap masalah HAM. Nilai
kemanusiaan yang telah dilecehkan sedemikian rupa dalam perang besar tersebut
telah menyadarkan bahwa sejarah manusia benar-benar diancam secara nyata oleh
katastrofi mondial yang tidak main-main. Selalu ada kemungkinan korban yang besar
yang harus dibayar oleh manusia dan peradaban. Ancaman katastrofi mondial harus
dilawan dengan sebuah gerakan mondial pula untuk mengukuhkan harkat serta
martabat manusia dan peradaban yang telah dibangunnya. Sehingga muncul suatu
keyakinan baru dikalangan agamawan untuk mengolah dan merefleksikan dengan
sungguh-sungguh suatu agenda bersama untuk menjaga adanya pelanggaran hak-
hak asasi manusia di seluruh pelosok bumi.

Civic Education-Hak Asasi Manusia 30


Sejarah masyarakat dan geraja barat telah mengukir sebuah pengalaman
yang panjang dan kemelut mengenai HAM. Bentuk dukungan gereja tidak akan
positif seperti dewasa ini kalau tidak melalui suatu pergulatan dan pengalaman trial
and error dalam sejarah. Tidak dengan sendirinya geraja kristen di barat menerima
prinsip-prinsip asasi dari hak dan martabat manusia. Kesadarn tentang HAM,
dalam perspektif sejarah tersebut, ternyata bukan sesuatu yang secara gampang
(instant) terjadi, ia diraih dengan suatu pergulatan intelektual yang mendalam, dan
melalui kancah konflik yang tajam, penuh kekerasan dan berlarut-larut. Tidak bisa
disangkal bahwa dalam pergulatan tersebut telah terjadi ruang pendidikan bagi
gereja, dan gereja telah menerima banyak insight dari berbagai macam pengalaman
manusiawi dari macam-macam sumber yang bermuara kepada sebuah sintese yang
akhirnya mengakui hak-hak, harkat dan martabat manusia yang merupakan sentral
dari perjalanan manusia dalam mengrungi sejarah.
Salah satu pokok soal dari HAM dalam sejarah barat adalah menyangkut
konsepsi tentang pertanyaan fundamental: siapa sebenarnya manusia (what is
humanity ?). pertanyaan ini bisa dilacak dalam diskursus klasik dalam teologi kristen
sejak abad ke-4, yang terjadi antara Agustinus dan Pelagius. Bagaimana memahami
kehendak manusia untuk memilih apa yang dianggap baik. Apakah free will ada
pada manusia? Apakah manusia adalah makhluk yang posse non peccare (able not to
sin), atau non posse non peccare (not able not to sin): apakah kehendak bebas manusia
hanya menjurus kepada posse peccare (freedom to sin), atau posse non peccare (freedom
not to sin). Dalam hubungan ini masalah dasar tentang otonomi manusia, sulit untuk
mengembangkan gagasan yang memadai tentang HAM.
Sayangnya tradisi pemikiran “pelagian” dan “erasmian” yang membela
kebebasan otonomi manusia, kurang memperoleh tekanan dalam banyak tradisi
pemikiran di banyak kalangan kristen. Pengaruh yang kuat justru dari alam
pemikiran Agustinus yang cenderung tidak menghargai kebebsan (baik) manusia.
Diakui bahwa doktrin tentang dosa warisan (original sin), yang selalu beriringan
dengan faham tentang predestinasi, yaitu bahwa nasib manusia orang-perorang
telah ditentukan sejak kekal, memang telah turut melemahkan kesadaran tentang

Civic Education-Hak Asasi Manusia 31


otonomi manusia. Dengan demikian telah pula melemahkan kesadaran tentang hak-
hak asasi yang dimiliki setiap manusia sejak ia dilahirkan.
Desiderius Erasmus bukan hanya dipresentasikan sebagai personifikasi dari
semangat zaman peralihan, akan tetapi juga sebagai jiwa dimana otonomi manusia
dihargai secara eksplisit, tanpa kehilangan kedudukan serta makna religiusitasnya.
Kesadaran baru tentang otonomi manusia lambat laun menjadi bagian refleksi yang
diadopsi dalam teologi gerejawi. Dengan demikian HAM menjadi bagian yang
esensial, dan bukan hanya menjadi alat atau objek dari ilmu teologi belaka.
Berangsur-angsur manusia tergeser ke titik tengah perhatian pemikiran teologi.
Untuk menjadi dasar dan terlibat dalam soal HAM, serta menjadi
pendukung HAM ysng handal, maka nampaknya gereja-gereja di Indonesia harus
mampu mengkritisi warisan-warisan teologi di masa kolonial, serta
mengembangkan praksis kehidupan yang merupakan ekspresi dari alam pikiran
dan asumsi dasar yang berbeda dengan para patronnya di masa kolonial. Dengan
kata lain gereja-gereja di Indonesia harus bergerak lebih aktif menempatkan
manusia sebagai pusat dari pemikiran ideologinya.

4. HAM dalam Tinjauan Budha


Menurut ajaran Budha, pria atau wanita, tua atau muda, suku Tengger atau
bangsa Jepang, beragama Budha atau yang lainnya, semua sama disebut manusia.
Manusia dalam pandangan ajaran agama Budha merupakan perpaduan antara
nama dan rupa atau antara sukma dan raga. Ada perbedaan segi pandang antara
orang yang beragama dengan orang yang tidak beragama. Pandangan HAM bagi
orang yang beragama pasti berbeda dengan orang yang tidak beragama.
HAM dalam bidang agama, setiap warga negara Indonesia memiliki hak
yang paling asasi untuk menetukan pilihan agamanya. Sebagai bangsa Indonesia,
kebebasan dalam beragama bukan berarti bebas menetukan boleh beragama atau
tidak beragama. Dalam pandangan ajaran Budha, siapa saja, apakah itu anak, orang
tua, istri dan kerabat-kerabat lainnya mendapat kebebasan menentukan pilihannya
untuk agama yang dianutnya. Dalam ajaran agama Budha, hal ini bukan merupakan

Civic Education-Hak Asasi Manusia 32


suatu masalah karena agama membawa kebahagiaan bagi orang yang percaya dan
meyakini kebenarannya, bukankah tujuan beragama adalah untuk mencapai
kebahagiaan hidup. Sikap hidup untuk memberikan kebebasan beragama tersebut
sangat sulit apabila manusia itu masih belum terbebas dari sifat dosa, loba, dan
moha.
Untuk umat Budha juga tidak melarang kebebasan memeluk agama karena
menurut agama Budha semua ajaran agama dapat membawa kebahagiaan hidup
bagi orang yang percaya dan meyakini kebenarannya. Kebahagiaan beragama
Budha tumbuh dan berkembang melalui rasa tidak membenci keberadaan ajaran
agama-agama lain sebab umat Buddha mengetahui semua ajaran agama membawa
kebahagiaan hidup bagi umat manusia. Sungguh bahagia dapat berbahagia atas
kebahagiaan umat beragama lain dan sangat berbahagia umat Buddha tidak
dilarang dapat mendoakan kepada siapa saja, apapun keyakinan agamanya,
sungguh bahagia. Demikian pandangan ajaran agama Budha terhadap HAM di
Indonesia.

5. HAM dalam Tinjauan Hindu


Pengertian HAM secara luas dan mendalam dibahas dalam ajaran-ajaran
agama Hindu. HAM yang merupakan hak suci manusia tidak dapat dihilangkan
oleh siapapun, karena HAM itu secara langsung bersumber kepada mertabat
manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Yang Widi atau Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber kehidupan dan penghidupan
manusia menciptakan alam semesta raya dengan segala isinya (makro kosmos dan
mikro kosmos) seperti yang disebutkan dalam Manawa Dharmacastra, Bab I sloka 6,
sebagai berikut :
Tatah swayambhurbhagawan, awyakto’ wyanjayannidham,
Mahabhutadi wrttaujah, pradurisitta manudah

Sloka di atas mempunyai arti sebagai beriut : kemudian dengan kekuatan


tapaNya, Ia, yang Maha Ada, menciptakan isi, Mahabhuta (unsur alam semesta) dan

Civic Education-Hak Asasi Manusia 33


lain-lainnya, nyata terlihat melenyapkan alam kegelapan (Pudja dan Sudharta,
1973:31)
Adapun maksud dari sloka di atas adalah: Hyang Widi menciptakan alam
semesta raya ini dari unsur akasha (ether), unsur yeja (cahaya), unsur bayu (hawa),
unsur apah (air) dan unsur pertiwi (tanah). Panca Mahabutha ini berasal dari beliau
sendiri dan panas (energi) yang digunakan untuk memanasi kelima unsur
Mahabutha itu juga berasal dari beliau sendiri.
Kendatipun Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit itu telah terwujud yang
mengakibatkan alam semesta raya termasuk bumi yang kita tempati menjadi terang
benderang, ternyata Hyang Widi tiada henti-hentinya bekerja untuk memelihara
alam semesta raya dengan segala isinya. Hal ini dapat kita lihat di dalam Bhagawad
Gita, Bab III, sloka yang berbunyi sebagai berikut :
Utsideyur ime loka,
Ma karyam karma ced aham,
Samkarasya ca karta syam
Upahanyam imah prajah

Sloka di atas mepunyai arti kurang lebih sebagai berikut : Jika Aku berhenti
bekerja, maka ketiga dunia ini akan hancur lebur dan Aku menjadi pencipta dari
penghidupan yang tak teratur dan Aku akan merusak rakyat ini. Hyang Widi tidak
henti-hentinya menjaga dan memelihara alam semesta raya ini (dunia), menjaga dari
keruntuhan dan kemusnahan (Mantara 1976 : 57)
Manusia sebagai makhluk ciptaan Hyang Widi telah dianugerahi dengan
kemampuan-kemampuan dasar, seperti kemampuan-kemampuan budi, cipta, fikir,
rasa, karsa, karya, dan budi nurani. Dengan aktualisasi dari kemampuan-
kemampuan ini manusia menjadi makhluk budaya, manusia yang memiliki harkat
dan martabat. Manusia mempunyai kelebihan yang mutlak dibandingkan dengan
makhluk-makhluk lainnya, yaitu dengan dimilikinya daya pikiran. Atas dasar
manusia dapat memikirkan dunianya juga dirinya sendiri. Dengan pikiran dan
kemampuan karsa (kehendak) manusia mempunyai kesadaran, sehingga dapat
membedakan mana yang benar dan salah, baik dan buruk (Parisada Hindu Dharma,
1968: 24-27)

Civic Education-Hak Asasi Manusia 34


Tri Hita Karana Sebagai Konsep Keselarasan, Keserasian, Keseimbangan.
Secara harfiah Tri Hita Karana berarti juga tiga penyebab kesejahteraan, istilah Tri
Hita Kirana berasal dari kata :Tri, berarti tiga; Hita berarti sejahtera dan karana
berarti penyebab. Pada hakekatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian, bahwa
ketiga penyebab kesejahteraan itu bersumber kepada keselarasan hubungan antara:
(1) Manusia dengan Hyang Jagad karana atau Tuhan Yang Maha Esa, (2) Manusia
dengan alam lingkungannya, (3) Manusia dengan sesmanya dan masyarakatnya.
Unsur-unsur Tri Hita Karana dapat ditemukan dalam Baghawad Gita, Bab
III, sloka 10 yang berbunyi sebagai berikut:
Sahayajnah prajah srstva,
Puro vaca prajaptih,
Anena prasavisyadhvam,
Esa vo stv istakamadhuk

Sloka mengandung arti kurang lebih sebagai berikut :


Pada zaman dahulu kala prajapahit menciptakan manusia dengan yadnya
dan bersabda: dengan ini engkau akan mengembang dan akan menjadi khamaduk,
dari keinginanmu. Khamaduk adalah seekar sapi milik Dewa Indra yang dapat
memenuhi semua keinginan (Mantra, 1967:51)
Apabila dikaji lebih lanjut isi sloka 10 ini, maka akan ditemukan unsur-unsur
Tri Hita Karana itu sebagai berikut: (1) prajapati ialah Brahma sebagai Yang Maha
Pencipta, (2) Praja, berarti rakyat, orang-orang, manusia, (3) Kamadhuk ialah seekor
sapi milik Dewa Indra yang dapat memenuhi semua keinginan manusia.
Sebenarnya pengertian Khamaduk ini merupakan simbol dari dunia kita ini,
yakni Ibu Pertiwi yang telah menyediakan berbagai sumber daya alam, seperti
bumi, air dan segala kekayaan alam yang tekandung didalamnya, termasuk juga
udara. Semuanya ini dapat memenuhi keinginan dan hajat hidup semua makhluk
ciptaan Sang Hyang Jagadkarana, terlebih-lebih bagi manusia sebagai makhluk yang
berakal. Sang Hyang Jagadkrana telah menyediakan Kamadhuk itu sebesar-
besarnya. Di sini terlihat, bahwa Sang Hyang Jagadkrana memberikan hak kepada
manusia untuk memanfaatkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya.

Civic Education-Hak Asasi Manusia 35


Dengan bermodalkan akal dan pengetahuan (jinanayajnah), maka segala
pekerjaan sebagai kewajiban dan bawaan hidup ini dapat diselesaikan denagn
sempurna, oleh karena itu manusia harus membekali dirinya dengan pengetahuan.
Hal ini sesuai denan perintah Sang Hyang Jagadkarana yang tertuang di dalam
Bhagawad Gita, Bab IV, sloka 33 yang mengandung arti kurang lebih sebagai
berikut :
Persembahan korban berupa pengetahuan adalah lebih agung sifatnya dari
korban benda yang berupa apapun juga. O, Arjuna, sebab segala pekerjaan dengan
tak terkecualinya memuncak dalam kebijaksanaan (Mantra, 1967:85)
Berdasarkan maksud sloka 33 itu kepada manusia diberikan hak yang
seluas-luasnya untuk menuntut ilmu pengetahuan. Dengan bekal ilmu pengetahuan
yang memadai segala pekerjaan akan dapat diselesaikan lebih sempurna. Di sini
juga terkandung suatu kewajiban untuk mengamalkan (beryajna) ilmu pengetahuan
demi terwujudnya kesejahteraan umat manusia (umat Hindu). Sebagai manusia
yang berfikir dan berkehendak, dengan kesadaran yang tinggi terhadap hak dan
keajiban sebagaimana dimaksudkan oleh sloka 33 di atas segala pekerjaan dengan
tidak ada kecualinya (pekerjaan yang berdasarkan dharma) akan memuncak di
dalam kebijaksanaan.
Sang Hyang Jagadrana yang telah menyediakan Kamandhuk bagi manusia
dan manusia sendiri yang memanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmurannya. Di
sini mengandung suatu pengertian adanya keseradaan (percaya dan taqwa),
terhadap ke-Tunggalan Sang Hyang Jagadrana. Beliau bersabda sebagaimana
tertuang di dalam Rg Weda, I, 164, 46, sebagai berikut:
Ekam sat vipra vahuda vadanti
Yang mengandung arti: Hyang Widi itu hanya satu adanya yang oleh orang-
orang bijaksana disebut dengan berbagai nama.
Keselarasan manusia dengan manusia lainnya seperti disabdakan oleh
Hyang Widi di dalam Bhagawad Gita, Bab XIII, sloka 27 yang maksudnya sebagai
berikut:

Civic Education-Hak Asasi Manusia 36


Orang yang melihat Hyang Widi yang kekal dan abadi, tidak dapat binasa,
besemayam merata di dalam semua makhlukyang tidak kekal dan dapat binasa,
dialah sebenarnya yang melihat (Mantra, 1993:9)
Berdasarkan maksud sloka 27 di atas ini dapat ditarik suatu pengertian
bahwa semua manusia sama dihadapan Hyang Widi, sebab dihati semua manusia
masing-masing bersemayam Hyang Widi yang menjadi sumber dan memberi
tututan tingkah laku yang baik kepada manusia. Dengan ini menjadi jelas, bahwa
mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara
sesama manusia sesuai dengan maksud sloka 27 di atas.
Persamaan derajat, persamaan hak yang diakui oleh manusia-masing
ditegaskan lagi didalam Bhagawad Gita, Bab IX sloka 29, yang artinya sebagai
berikut:
Aku adalah sama pada semua makhluk, tidak ada yang terbenci atau tercinta pada-
Ku. Akan tetapi mereka yang menyembah Aku dengan bakti, mereka ada di dalam Ku dan
Aku ada di dalam mereka (Mantra, 1967:166). TAT TWAM ASI

Di dalam Candogya Upanishad, 6, 7-8, terdapat suatu dalil yang berbunyi


sebagai berikut: “Tat Twam Asi” yang artinya: Dikaulah itu, Dikaulah (semua) itu,
semua makhluk adalah Engkau. Aku ini adalah makhluk yang berasal dari-Mu.
Oleh karena itu jiwatma semua makhluk dan Dikau sebagai sumberku dan sumber
semua makhluk. Oleh karena itu aku adalah Engkau, aku adalah Brahma (Aham
Brahma Asmi) seperti disebutkan dalam Brhadaranyaka Upanishad, 1, 4, 10
(Mantra, 1993:10). Hakekat dari Tat Twam Asi ini adalah “sayangilah orang lain
sebagai menyayangi diri sendiri”
Di dalam Bhagawid Gita, Bab XVI, sloka 3, jelas terlihat hakekat Tat Twam
Asi ini. Adapun sloka 3 itu yang arti sebagai berikut:
“ketangkasan, bersifat suka mengampuni, ketetapan hati, kemurnian, tidak dengki,
tidak angkuh, semua ini, hai Arjuna, adalah mereka yang lahir dari sifat kedewaan
(Daivi Sampad)

Sifat-sifat yang bertentangan dengan Daivi Sampad adalah sifat Asuri


Sampad (Mantra, 1933:13). Sifat-sifat Asuri Sampad itu adalah sifat-sifat yang

Civic Education-Hak Asasi Manusia 37


cenderung memecah belah jiwatma-jiwatma dan memiliki sifat-sifat keakuan. Hal
ini jelas terurai dalam Bhagawad Gita, Bab XVI sloka 4, 17 dan 21:
Sloka 4 : sifat megah, sombong dan congkak, murka, kasar dan bebal hai Arjuna,
semuanya ini dari sifat keraksasaan (Asuri Sampad).
Sloka 17 : menganggap diri yang terpenting, keras kepala, penuh dengan
kesombongan, gila akan kekayaan, bersifat pura-pura, semuanya adalah bertentangan
dengan ajaran sastra suci.
Sloka 21 : Ada juga pintu gerbang neraka yang menuntut atma, yaitu nafsu, sifat
pemarah dan loba. Oleh karena itu tinggalkan lah ketiga ini (Mantra, 1993: 13-14).

Untuk mewujudkan hakekat tat Twan Asi ini, maka diperlukan memupuk
sifat-sifat Daivi Sampad (suri sampad) dan menjauhi sifat-sifat Asuri Sampad.
Hakekat Tat Twan Asi ini sesuai benar dengan nilai-nilai atau perilaku yang
terkandung di dalam sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, terutama perilaku-
perilaku (1) mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan
martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, (2) mengakui persamaan
derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa membedakan
suku, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan
sebagainya, (3) tidak semena-mena terhadap orang lain (BP-7 pusat, 1994:53-54)

Hak Asasi Manusia


dalam Perundang-Undangan Nasional
Pengaturan HAM dalam ketatanegaraan RI terdapat dalam perundang-
undangan yang dijadikan acuan normatif dalam pemajuan dan perlindungan
HAM. Dalam perundang-undangan RI paling tidak terdapat empat bentuk hukum
tertulis yang memuat aturan tentang HAM. Pertama, dalam konstitusi (Undang-
Undang Dasar Negara). Kedua, dalam ketetapan MPR (TAP MPR). Ketiga, dalam
Undang-Undang. Keempat, dalam peraturan pelaksanaan perundang-undangan
seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan peraturan pelaksanaan
lainnya.
Kelebihan pengaturan HAM dalam konstitusi memberikan jaminan yang
sangat kuat, karena perubahan dan atau penghapusan satu pasal dalam konstitusi

Civic Education-Hak Asasi Manusia 38


seperti dalam ketatanegaraan di Indonesia mengalami proses yang sangat berat dan
panjang antara lain melalui amandemen dan referendum. Sedangkan kelemahannya
karena yang diatur dalam konstitusi hanya memuat aturan yang masih global
seperti ketentuan tentang HAM dalam konstitusi RI yang masih bersifat global.
Sementara itu bila pengaturan HAM melalui TAP MPR, kelemahannya tidak dapat
memberikan sangsi hukum bagi pelanggarnya. Sedangkan pengaturan HAM dalam
bentuk Undang-Undang dan peraturan pelaksanaannya kelemahannya pada
kemungkinan seringnya mengalami perubahan.
Pengaturan HAM dalam konstitusi negara RI selain pada hasil amandemen
kedua UUD 1945, juga ditemukan di beberapa konstitusi yang berlaku yaitu UUD
1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) dan UUDS 1950. Dalam UUD
1945 pengaturan HAM dapat ditemukan dalam alinea pertama pembukaan UUD
1945 :
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu,
maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan”.

Dalil obyektif pengakuan HAM yang terdapat dalam pembukaan itu


kemudian dikembangkan dalam Batang Tubuh UUD 1945 pada pasal 27, pasal 28,
pasal 29, pasal 30, pasal 31, pasal 34.
Dalam kaitan dengan pasal 27, Kunjtoro Purbopranoto menyatakan bahwa :
“…Di dalam perumusan ini dinyatakan adanya suatu kewajiban dasar di samping
hak dasar yang dimiliki oleh warganegara, yaitu kewajiban untuk menjunjung tinggi
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dengan demikian saya
rasa perumusan ini dengan sadar atau tidak telah membuka satu sistem yang
berlainan dari sistem perumusan human rights itu secara Barat, yang hanya
menyebutkan hak tanpa ada kewajiban di sampingnya…”

Selanjutnya dalam pernyataan pasal 27 UUD 1945 berkaitan dengan hak


asasi warganegara yaitu “kedudukannya dalam pemerintahan”, Prof. Solly Lubis
menyatakan bahwa :
“… yang dimaksud dengan kesamaan kedudukannya dalam hukum dalam Pasal 27
ayat (1) itu adalah meliputi baik bidang hukum privat maupun hukum publik,
sehingga karenanya setiap warganegara mempunyai hak untuk mendapatkan

Civic Education-Hak Asasi Manusia 39


perlindungan dengan mempergunakan kedua kelompok hukum tersebut dan jika
ditilik selanjutnya, maka nampak bahwa ‘hukum’ yang dimaksud sebagai alat, sudah
mencakup segi-segi keperdataan dan kepidanaan serta cabang-cabang hukum publik
lainnya, seperti hukum tata negara, hukum tata pemerintahan, hukum acara
pidana/perdata dan sebagainya, di dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tersebut telah
tercakup semua hak hukum seperti yang dsebutkan di dalam UUDS 1950.”

Sedangkan mengenai yang dimaksud dengan ‘kedudukan dalam


pemerintahan’ adalah dengan tiga cabangnya, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan
eksekutif, dan kekuasaan yudikatif dan ini berarti bahwa kepada setiap
warganegara kita berikan hak-hak turut serta dalam ketiga cabang kekuasaan itu
asalkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.”
Pasal 28 memuat HAM dalam bidang politik. Dalam pasal tersebut menurut
Prof. Bagir Manan terdapat dua kemerdekaan yaitu : a. kemerdekaan berserikat dan
berkumpul; b. kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
Mengenai kemerdekaan berkumpul, R. Wiyono menjelaskan bahwa :
“untuk dapat mengerti apa yang dimaksud dengan hak berkumpul dalam pasal 28
UUD 1945, maka titik berat dari hal tersebut janganlah diletakkan kepada
berkumpulnya sejumlah manusia, tetapi haruslah diletakkan pada obyek dari
berkumpulnya sejumlah manusia.”

HAM yang termuat dalam pasal 28 UUD 1945 merupakan konsekwensi logis
dari pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Selanjutnya menurut penjelasan UUD 1945
ketentuan ini “ … memuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangun negara yang
bersifat demokratis dan yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan
perikemanusiaan.” Selanjutnya dalam perubahan kedua UUD 1945 (amandemen
kedua) tahun 2000 lebih ditekankan pada materi HAM, pemerintahan daerah dan
lain sebagainya. Pasal 28 hasil amandemen kedua UUD 1945 menjadi pasal 28A-28J.
Pasal 29 UUD 1945 memuat hak fundamental warganegara Indonesia yaitu
hak beragama dan jaminan kebebasan memeluk agama sebagai hak personal.
Sedangkan dalam pasal 30 memuat kewajiban dan hak warganegara dalam
pembelaan negara. HAM yang termuat dalam pasal 30 adalah HAM dibidang sipil
dan politik. Begitu pula dalam pasal 31 memuat hak jaminan memperoleh

Civic Education-Hak Asasi Manusia 40


pendidikan setiap individu warganegara. Adapun HAM yang terdapat dalam pasal
33 berkaitan dengan hak dibidang ekonomi, sosial dan kesejahteraan.
Pengaturan HAM juga ditemukan dalam konstitusi Republik Indonesia
Serikat (KRIS). Dalam konstitusi RIS, HAM menjadi bab khusus yaitu Bab tentang
HAM dan ditempatkan pada bab awal mulai pasal 7 sampai pasal 33. Adapun
dalam UUDS 1950 pengaturan HAM tidak jauh berbeda dengan yang diatur dalam
KRIS, namun perbedaan antara konstitusi RIS dengan UUDS 1950 terletak pada
penomoran pasal dan perubahan sedikit redaksional dalam pasal-pasal. Selain itu
adanya penambahan pasal dalam UUDS 1950 yang signifikan yaitu tentang fungsi
sosial hak milik, hak tiap warganegara untuk mendapat pengajaran, hak
demonstrasi dan mogok.
Ketentuan nasional yang berkaitan langsung dan secara eksplisit tentang
HAM antara lain dalam konstitusi negara dan perundang-undangan seperti : UUD
1945 dan hasil amandemen UUD 1945; TAP MPR No. XVII tahun 1998 tentang
Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia Terhadap HAM dan Piagam HAM
Nasional; UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; UU No.5
tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, Perlakuan atau
Penghukuman Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat; UU No.
8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; UU No.9 tahun 1998 tentang
Kebebasan Menyatakan Pendapat; UU No. 11 tahun 1998 tentang Amandemen
terhadap UU No. 25 tahun 1997 tentang Hubungan Perburuhan; UU No. 19 tahun
1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 105 tentang Penghapusan Pekerja secara
Paksa; UU No. 20 tahun 1999 tentang ratifikasi Konvensi ILO No. 138 tentang Usia
Minimum Bagi Pekerja; UU No. 21 tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No.
11 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan; UU No. 26 tahun 1999 tentang Pencabutan
UU No. 11 tahun 1963 tentang Tindak Pidana Subversi; UU No. 29 tahun 1999
tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi; UU No. 39
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers; UU No.
26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Civic Education-Hak Asasi Manusia 41


Sedangkan ketentuan yang terdapat dalam peraturan pemerintah seperti :
Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 tahun 1999 tentang
Pengadilan HAM; Keputusan Presiden (KEPRES) No. 181 TAHUN 1998 tentang
Pendirian Komisi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Wanita; Keputusan
Presiden No. 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia
tahun 1998-2003, yang memuat rencana ratifikasi berbagai instrumen hak asasi
manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa serta tindak lanjutnya. Dalam tahun 2000
Rencana Aksi Nasional ini telah diperbaharui, antara lain dengan mempercepat
ratifikasi Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik dan Konvensi Internasional
Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya; Keputusan Presiden No. 31 tahun 2001 tentang
Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Makassar; Keputusan Presiden
No.5 tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang diubah dengan Keputusan Presiden no.96
tahun 2001; Keputusan Presiden No.181 tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan.
Selain ketentuan perundang-undangan di atas yang secara eksplisit
menyebutkan ketentuan tentang HAM, juga terdapat beberapa ketentuan lain yang
mempunyai relevansi dengan pengaturan HAM. Sebagian dari ketentuan ini telah
mengalami perubahan. Ketentuan perundangan tersebut antara lain : UU No 1/1946
tentang Peraturan Hukum Pidana; UU No 3 tahun 1950 tentang Grasi; UU No. 18
tahun 1956 tentang Persetujuan Konpensi Organisasi Perburuhan Internasional
No.98 mengenai Berlakunya Dasar-dasar daripada Hak untuk Berorganisasi dan
untuk Berunding Bersama; UU No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan; UU No. 80 tahun 1957 tentang Persetujuan Konpensi Organisasi
Perburuhan Internasional No. 100 mengenai Pengupahan bagi Buruh Laki-laki dan
Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya; UU No. tahun 1959 tentang Keadaan
Bahaya; UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok agraria; UU No 38/Prp/1960
tentang Penggunaan dan Penetapan Luas Tanah untuk Tanam-tanaman tertentu;
UU No. 51/Prp/1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak

Civic Education-Hak Asasi Manusia 42


atau Kuasanya; UU No. 56/Prp/1960 tentang Penetapan luas Tanah Pertanian; UU
No. 3/1961 tentang Persetujuan Konpensi Organisasi Perburuhan Internasioanal No.
106 mengenai Istirahat Mingguan dalam Perdagangan dan Kantor-kantor; UU No.
20/1961 tentang Pencabutan Hak-hak Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya;
UU No. 11/1962 tentang Hygiene untuk Usaha-usaha bagi Umum; UU No. 6/1963
tentang Tenaga Kesehatan; UU No. 1/1964 tentang Perumahan; UU No. 12/1964
tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta; UU No. 33/1964 tentang
Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang; UU No. 1/1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan /atau Penodaan Agama; UU No. 4/1965 tentang
Pemberian Bantuan Penghidupan Orang Jompo; UU No. 2/1966 tentang Hygiene;
UU No. 3/1966 tentang Kesehtan Jiwa; UU No. 5/1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kehutanan; UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan;
UU No. 12/1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian; UU No. 14/1969 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja; UU No. 1/1970 tentang
Keselamatan Kerja; UU No. 14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman; UU No. 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; UU
No. 1/1974 tentang Perkawinan; UU No 6/1974 tentang Ketentua-ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial; UU No. 11/1974 tentang Pengairan; UU No. 9/1976 tentang
Narkotika; UU No. 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak; UU No. 11/1980 tentang
Tindak Pidana Suap; UU No. 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana; UU No. 1/1982
tentang Pengesahan Konvensi Wina Mengenai Hubungan Diplomatik beserta
Protokol Opsionalnya Mengenai Hal memperoleh Kewarganegaraan dan
Pengesahan Konvensi Wina Mengenai Hubungan Konsuler Berserta Protokolnya
Opsionalnya Mengenai Hak Memperoleh Kewarganegaraan; UU No. 4/1982
tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU No. 6/1982 tentang Hak
Cipta; UU No. 20/1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan
RI; UU No. 5/1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; UU No. 9/1985
tentang Perikanan; UU No. 16/1985 tentang Rumah Susun; UU No. 17/1985 tentang
Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut; UU No.

Civic Education-Hak Asasi Manusia 43


2/1/1986 tentang Peradilan Umum; UU No. 1/1987 tentang Kamar Dagang dan
Industri.
Begitu juga ketentuan dalam Peraturan Pemerintah seperti : PP 5/1947
tentang Warga Negara; PP 21/1954 tentang Peraturan Istirahat Buruh; PP 494/1954
tentang Cara Membuat dan Mengatur Perjanjian Perburuhan; PP 67/1958 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Republik Indonesia; PP 224/1961 tentang Pelaksanaan
Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian; PP 49/1963 tentang Hubungan
Sewa-menyewa Perumahan; PP 21/1967 tentang Kegiatan Amatir Radio; PP 55/1970
tentang Radio Siaran Non Pemerintah; PP 34/1973 tentang Jaminan Simpanan Uang
pada Bank; PP 22/1974 tentang Telekomunikasi untuk Umum; PP 9/1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang no 1/1974 tentan Perkawinan; PP 28/1977 tentang
Perwakapan Tanah Milik; PP 33/1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek);
PP 31/1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis; PP 8/1981
tentang Perlindungan Upah; PP 25/1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri
Sipil; PP 42/1981 tentang Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Fakir Miskin; PP
22/1982 tentang Tata Pengaturan Air; PP 23/1982 tentang Irigasi; PP 27/1983
tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana; PP 1/1984
tentang Dewan pers; PP 15/1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; PP 14/1985 tentang Pemberian Tunjangan
Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan; PP 28/1985 tentang Perlindungan
Hutan; PP 14/1986 tentang Dewan Hak Cipta ; PP 29/1986 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan; PP 13/1987 tentang Izin Industri;
Keseluruhan ketentuan perundang-undangan di atas merupakan pintu
pembuka bagi strategi selanjutnya yaitu tahap penataan aturan secara konsisten
(rule consistent behaviour). Pada tahap ini diupayakan mulai tumbuh kesadaran
penghormatan dan penegakan HAM baik di kalangan aparat pemerintah maupun
masyarakat, karena HAM merupakan kebutuhan dasar manusia yang perlu
diperjuangkan, dihormati dan dilindungi oleh setiap manusia. Penataan aturan
secara konsisten memerlukan persyaratan yang harus ada. Persyaratan pertama
adalah demokrasi dan supremasi hukum; kedua, HAM sebagai tatanan sosial. Menurut

Civic Education-Hak Asasi Manusia 44


Prof. Bagir Manan demokrasi dan pelaksanaan prinsip-prinsip negara berdasarkan
atas hukum merupakan instrumen bahkan prasyarat bagi jaminan perlindungan dan
penegakan HAM. Oleh karena itu hubungan antara HAM, demokrasi dan negara
harus dilihat sebagai hubungan keseimbangan yang “simbiosis mutualistik”.
Selanjutnya HAM sebagai tatanan sosial merupakan pengakuan masyarakat
terhadap pentingnya nilai-nilai HAM dalam tatanan sosial, politik, ekonomi yang
hidup. Dalam kerangka menjadikan HAM sebagai tatanan sosial, pendidikan HAM
secara kurikuler maupun melalui pendidikan kewargaan (civic education) sangat
diperlukan dan terus dilakukan secara berkesinambungan.

Pelanggaran dan Pengadilan HAM

Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau


kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja
atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi,
dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin
oleh Undang-undang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku. Dengan demikian pelanggaran HAM merupakan tindakan
pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi
negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau
alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakannya. Pelanggaran HAM
dikelompokan pada dua bentuk yaitu : 1. pelanggaran HAM berat dan 2.
pelanggaran HAM ringan. Pelanggaran HAM berat meliputi kejahatan genosida dan
kejahatan kemanusiaan. Sedangkan bentuk pelanggaran HAM ringan selain dari
kedua bentuk pelanggaran HAM berat itu.
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa,
ras, kelompok etnis dan kelompok agama. Kejahatan genosida dilakukan dengan
cara a. membunuh anggota kelompok; b. mengakibatkan penderitaan fisik atau

Civic Education-Hak Asasi Manusia 45


mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; c. menciptakan kondisi
kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik
seluruh atau sebagiannya; d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan
mencegah kelahiran di dalam kelompok; e. memindahkan secara paksa anak-anak
dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Sementara itu kejahatan kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil berupa :a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; d.
pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan
atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-sewenang yang melanggar
(asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. penyiksaan; g. perkosa,
perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan
atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau
alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut
hukum internasional; i. penghilangan orang secara paksa atau j. kejahatan apartheid.
Pelanggaran terhadap hak asasi manusia dapat dilakukan baik oleh aparatur negara
(state-actors) maupun bukan aparatur negara (non state-actors). Karena itu
penindakan terhadap pelanggran hak asasi manusia tidak boleh hanya ditujukan
terhadap aparatur negara, tetapi juga pelanggaran yang dilakukan bukan oleh
aparatur negara. Penindakan terhadap pelanggar HAM tersebut dilakukan melalui
proses peradilan HAM mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan
pesidangan terhadap pelanggaran yang terjadi harus bersifat non-diskriminatif dan
berkeadilan. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di
lingkungan Pengadilan Umum.
Mengenai pelanggaran hak asasi manusia dalam kategori berat seperti
genosida dan kejahatan terhadap kemanusian yang beradasarkan hukum
internasional dapat digunakan asas retroaktif, diberlakukan pasal mengenai

Civic Education-Hak Asasi Manusia 46


kewajiban untuk tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-
undang sebagaimana tercantum dalam pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945 yang berbunyi:
“Dalam menjalankan hak dan kebebasan setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain
dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-
nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Dengan ungkapan lain asas retroaktif dapat diberlakukan dalam rangka


melindungi hak asasi manusia itu sendiri berdasar pasal 28 J ayat (2) Undang-
Undang Dasar 1945 tersebut. Oleh karena itu Undang-undang ini mengatur pula
tentang Pengadilan HAM ad hoc untuk memeriksa dan memutuskan perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya
Undang-undang ini. Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul Dewan
Perwakilan Rakyat berdasar peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden dan
berada di lingkungan Pengadilan Umum.
Disamping adanya Pengadilan HAM ad hoc, Undang-undang ini
menyebutkan juga keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana
dimaksud dalam Ketetapan MPR-RI No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan
Persatuan dan Kesatuan Nasional. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan
dibentuk dengan undang-undang sebagai lembaga ekstra-yudisial yang ditetapkan
dengan undang-undang yang bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan
mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia
pada masa lampau, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan
yang berlaku dan melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan
bersama sebagai bangsa.
Pengadilan HAM berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang
daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan HAM berkedudukan di setiap
wilayah Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Pengadilan HAM bertugas dan
berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang

Civic Education-Hak Asasi Manusia 47


berat. Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutuskan perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berada dan di lakukan di luar batas teritorial
wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. Pengadilan HAM
tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yang dilakukan seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas)
tahun pada saat kejahatan dilakukan. Dalam pelaksanaan peradilan HAM,
pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara pengadilan
HAM sebagaimana terdapat dalam undang-undang pengadilan HAM.

Penanggungjawab dalam Penegakan (Respection),


Pemajuan (Promotion), Perlindungan (Protection)
dan Pemenuhan (Fullfill) HAM

Perdebatan tentang siapa yang bertanggung jawab dalam penegakan,


pemajuan, perlindungan dan pemenuhan HAM sampai kini menjadi wacana dan
diskursus yang tidak berkesudahan. Dalam kaitan dengan persoalan tersebut, paling
tidak ada pandangan. Pandangan pertama menyatakan bahwa yang harus
bertanggung jawab memajukan HAM adalah negara. Karena negara dibentuk
sebagai wadah untuk kepentingan kesejahteraan rakyatnya. Rakyat yang cerdas dan
sadar sehingga mampu menghargai dan menghormati akan HAM perlu diberikan
pendidikan terutama masalah yang berkaitan dengan HAM. Negara yang tidak
memfasilitasi rakyat melalui pendidikan HAM berarti negara telah mengabaikan
amant rakyat. Begitu pula tanggungjawab dalam melindungi HAM adalah negara
(state). Oleh karena itu deklarasi PBB tentang HAM yang dikenal dengan Piagam
HAM Dunia, Beberapa Konvenan, Hukum Perjanjian Internasional, Piagam Madina,
Deklarasi Kairo dan sebagainya harus diletakkan sebagai norma hukum
internasional yang mengatur bagaiamana negara-negara di dunia menjamin hak-hak
individunya.
Setiap individu (warganegara) mempunyai hak asasi baik yang bersifat non
derogable rights (hak yang dalam keadaan darurat perang pun harus dilindungi)
maupun yang derogable rights (hak yang dalam keadaan normal harus dilindungi).

Civic Education-Hak Asasi Manusia 48


Hak-hak inilah yang harus dijamin realisasinya oleh negara. Oleh karenanya bila
negara tidak mapu melindungi HAM warganegaranya, negara yang bersangkutan
dengan sendirinya akan kehilangan legitimasi rakyatnya. Dengan demikian, analisis
terhadap pelanggaran HAM pun selalu berada dalam wilayah pelanggaran HAM
oleh negara terhadap rakyat seperti kasus Tanjung Priok, kasus DOM di Aceh, kasus
Haur Koneng di Tasikmalaya, kasus di Irian Jaya. Pelanggaran HAM oleh negara
terhadap rakyat yang disebut pelanggaran HAM secara vertikal tidak hanya by
comision (pelanggaran HAM secara langsung oleh negara) tetapi juga by omision
(pelanggaran HAM secara tidak langsung, dimana negara membiarkan terjadinya
pelanggaran HAM) dan pelanggaran terhadap pemenuhan (fullfill). Dalam UU
Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM juga nampak lebih mengedepankan tanggung
jawab perlindungan (protect), pemajuan (promote), penghormatan (respect) dan
pemenuhan (fullfill) HAM ada pada pemerintah.
Pendangan kedua, menyatakan bahwa tanggungjawab pemajuan,
pemghormatan dan perlindungan HAM tidak saja dibebankan kepada negara,
melainkan juga kepada individu warganegara. Artinya negara dan individu sama-
sama memiliki tanggungjawab terhadap pemajauan, penghormatan dan
perlindungan HAM. Karena itu pelanggaran HAM sebenarnya tidak saja dilakukan
oleh negara kepada rakyatnya, melainkan juga oleh rakyat sesama rakyat yang
disebut dengan pelanggaran HAM secara horizonta.l Bentuk pelanggaran HAM jenis
ini antara lain adanya penembakan rakyat oleh sipil bersenjata seperti dalam kasus
penembakan Rektor IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Rektor Universitas Syiah Kuala
Banda Aceh dan beberapa tokoh lainnya, penganiyaan buruh atau budak oleh
majikan seperti kasus Marsinah, para perampok dan sebagainya.
Dalam kaitan dengan tanggungjawab individu tersebut, Nickel mengajukan
tiga alasan mengapa individu memiliki tanggungjawab dalam penegakan dan
perlindungan HAM. Pertama, sejumlah besar problem HAM tidak hanya melibatkan
aspek pemerintah, tetapi juga kalangan swasta atau kalangan di luar negara dalam
hal ini rakyat. Oleh karenanya perlindungan terhadap pelanggaran HAM tidak
hanya datang dari negara melainkan juga dari individu. Kedua, HAM sejati

Civic Education-Hak Asasi Manusia 49


bersandar pada pertimbangan-pertimbangan normatif agar umat manusia
diperlakukan sesuai dengan human dignitynya. Ketiga, individu memiliki
tanggungjawab atas dasar prinsip-prinsip demokrasi, dimana setiap orang memiliki
kewajiban untuk ikut mengawasi tindakan pemerintah. Dalam masyarakat yang
demokratis, suatu yang menjadi kewajiban pemerintah juga menjadi kewajiban
rakyat. Dengan demikian dalam penegakan (respection), pemajuan (promotion),
perlindungan (Protection)dan pemenuhan (Fullfill) HAM pada suatu negara
dibentuk lembaga yang mempunyai fungsi dan tugas dalam bidang itu yang disebut
dengan komisi nasional.

Komisi Nasional HAM


A. Landasan Pembentukan Komnas HAM
Sesungguhnya, gagasan awal mengenai adanya kebutuhan untuk suatu
komisi nasional hak asasi manusia telah timbul sejak tahun 1946, kurang lebih satu
tahun setelah didirikannya PBB, dan dua tahun sebelum dicanangkannya Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia dalam tahun 1948. Namun pembentukannya masih
membutuhkan waktu, pemikiran dan persiapan yang baik. Baru dalam tahun 1978
dapat diadakan seminar untuk menyusun dasar-dasar pembentukan institusi
nasional hak asasi manusia. Dalam tahun1991 diadakan sebuah lokakarya di Paris
untuk menyusun kerjasama institusi nasional dan regional, dan untuk mengkaji
cara-cara peningkatan institusi-institusi nasional tesebut. Seminar tersebut berhasil
merumuskan dasar-dasar yang kemudian disebut sebagai The Paris Principles, yang
disahkan oleh The Human Rights Commission pada tahun 1992.
Isi The Paris Principles sebagai berikut :
1. Tentang Kompetensi dan Tanggung Jawab
a. Suatu institusi nasional harus diberi wewenang untuk melindungi dan
memajukan hak asasi manusia.
b. Suatu institusi nasional harus diberikan mandat seluas mungkin, yang
diutarakan secara jelas dalam naskah konstitusi atau undang-undang, yang
merinci komposisi dan ruang lingkup kompetensi-nya.

Civic Education-Hak Asasi Manusia 50


c. Suatu institusi nasional harus memiliki tanggung jawab berikut ini, antara
lain:
(1). Memberikan pendapat, rekomendasi, usul dan laporan mengenai segala
hal yang bekenaan dengan hak asasi manusia, kepada pemerintah, parlemen,
dan segala pihak yang berkompeten, sebagai sasaran, baik atas permintaan
fihak berwenang yang bersangkutan atau atas dasar kekuasaannya sendiri
untuk menelaah suatu masalah tanpa mengacu pada suatu rujukan lain.
Institusi nasional dapat memutuskan untuk mempublikasikan pendapatnya
itu. Pendapat, rekomendasi, usul dan laporan tersebut, bersama dengan
berbagai prerogatif institusi nasional lainnya, harus meliputi bidang-bindang
berikut ini:
a. Mengajukan pasal-pasal peraturan perundang-undangan apapun juga,
termasuk yang berhubungan dengan organisasi kehakiman, yang
dimaksudkan untuk memelihara dan memperluas perlindungan
terhadap hak asasi manusia. Dalam hubungan itu, institusi nasional
harus mengkaji (seluruh) pasal-pasal peraturan perundang-undangan
yang berlaku, serta rancangan dan usul undang-undang yang ada, dan
membuat rekomendasi yang dipandangnya perlu untuk menjamin agar
semuanya itu sesuai dengan asas-asas dasar hak asasi manusia. Jika
perlu ia harus merekomendasikan diadopsinya undang-undang baru,
mengamandemen suatu undang-undang yang sedang berlaku dan
diadopsi serta diamandemennya ketentuan-ketentuan administratif.
b. Semua keadaan pelanggaran hak asasi manusia yang diputuskannya
untuk ditampilkan.
c. Penyiapan laporan situasi nasional mengenai hak asasi manusia secra
umum, dan yang mengenai hal-hal yang khusus.
d. Meminta perhatian pemerintah terhadap keadaan-keadaan di bagian
manapun dari negara, di mana hak asasi manusia telah dilanggar, dan
bila perlu menyampaikan pendapatnya mengenai posisi dan reaksi dari
pemerintah.

Civic Education-Hak Asasi Manusia 51


(2). Mendorong dan menjamin harmonisasi perundang-undangan,
peraturan dan praktek-prkatek nasional dengan instrumen hak asasi
manusia internasional, yang telah diratifikasi negara, dan
pelaksanaannya secara efektif.
(3). Mendorong ratifikasi atau akses dari instrumen-instrumen tersebut
di atas, dan menjamin pelaksanaannya.
(4).Menyumbang bahan untuk penyiapan laporan yang harus disiapkan
negara kepada badan-badan dan komisi-komisi Perserikatan Bangsa-
bangsa dan kepada institusi regional, sesuai dengan keharusan
perjanjian, dan di mana perlu untuk menyampaikan pendapatnya
mengenai hal itu, dengan tetap menghormati kemandiriannya.
(5). Bekerjasama dengan Perserikatan Bangsa Bangsa, dengan badan-
badan lainnya dalam sistem PBB, dengan institusi regional, dan dengan
institusi nasional di negeri-negeri lainnya, yang mempunyai kompetensi
dalam bidang perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia.
(6). Membantu merumuskan program-program pendidikan, dan
pengkajian hak sasi manusia dan ikut serta dalam pelaksanaannya di
sekolah-sekolah, perguruan tinggi, lingkungan profesional.
(7). Mempublikasikan hak asasi manusia dan upaya untuk memerangi
segala bentuk diskriminasi, dengan meningkatkan kesadaran publik,
khususnya melalui penyebarluasan informasi dan pendidikan dan
dengan memanfaatkan semua fasilitas pers.
2. Tentang komposisi keanggotaan dan jaminan kemandirian serta
kemajemukan.
a. Komposisi dan pengangkatan para anggota institusi nasional, baik
melalui pemilihan atau tidak, harus dilakukan berdasar suatu prosedur
yang memungkinkan adanya jaminan yang diperlukan untuk meyakini
adanya perwakilan yang representatif dari seluruh kekuatan dalam
masyarakat sipil yang terkait dengan perlindungan dan pemajuan hak
asasi manusia, khususnya dari kekuatan-kekuatan yang akan

Civic Education-Hak Asasi Manusia 52


memungkinkan terwujudnya kerjasama yang efektif dengan, atau
melalui wakil-wakil dari:
1. Lembaga swadaya masyarakat yang berkiprah dalam hak asasi
manusia dan upaya-upaya untuk memberantas diskriminasi
rasial; serikat buruh, organisasi sosial, dan organisasi profesional
seperti asosiasi ahli hukum, dokter, wartawan, dan ilmuan sosial
yang terkemuka.
2. Aliran pemikiran dalam filsafat dan agama.
3. Perguruan tinggi dan pakar-pakar yang terkemuka
4. Parlemen
5. Departemen-departemen pemerintah (jika mereka diikutsertakan
dalam pembahasan, wakil-wakil ini hanya berpartisipasi sebagai
penasehat belaka)
b. Institusi nasional harus mempunyai suatu infrastruktur yang diperlukan
untuk melaksanakan kegiatannya dengan lancar, khususnya tersedianya
anggaran yang memadai. Maksud tersedianya anggaran yang memadai
ini adalah untuk memungkinkannya untuk memiliki staf dan
pengangkatannya sendiri sehingga bisa mandiri dari pemerintah, dan
tidak tunduk pada kendali keuangan yang mungkin akan mempengaruhi
kemandiriannya.
c. Untuk menjamin adanya kepastian mandat bagi para anggota institusi
nasional, yang tanpa itu tidak mungkin ada kemandirian yang sungguh-
sungguh, pengangkatan mereka harus didasarkan pada suatu akta resmi
yang menjamin suatu masa jabatan tertentu dari mandat tersebut.
Mandat ini dapat diperpanjang, sepanjang dapat dijamin kemajemukan
keanggota institusi tersebut.

3. Tentang Metoda Kerja


Dalam kerangka kegiatannya, suatu institusi nasional harus:

Civic Education-Hak Asasi Manusia 53


a. Membahas secara mandiri semua masalah yang temasuk dalam
kompetensi, baik yang diajukan oleh pemerintah atau yang diprakarsai
sendiri tanpa merujuk pada instansi yang lebih tinggi, atas usulan
angotanya, atau dari siapapun yang berkepentingan.
b. Mendengarkan siapapun juga dan berupaya memperoleh seluruh
informasi yang diperlukan untuk menilai suara situasi yang termasuk
dalam kompetensinya.
c. Memberi tanggapan terhadap pendapat umum baik secara langsung
maupun melalui suatu organ pers, khususnya untuk mempublikasikan
pendapat dan rekomendasi.
d. Secara teratur mengadakan pertemuan dan sewaktu-waktu diperlukan,
yang dihadiri oleh anggota-anggotanya, setelah mereka diberitahu
terlebih dahulu.
e. Bilamana dipandang perlu, membentuk kelompok kerja diantara para
anggota-anggotanya dan mendirikan seksi lokal atau regional untuk
membantunya dalam melaksanakan fungsinya.
f. Memelihara hubungan konsultatif dengan badan-badan lainnya, baik
yang mempunyai yuridiksi maupun tidak, yang bertanggung jawab
dalam perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia (khsusunya
dengan para ombudsman, para mediator, dan lembaga-lembaga yang
serupa).
g. Sehubungan dengan peranan mendasar yang telah dimainkan oleh
organisasi-organisasi non pemerintah dalam memperluas kinerja institusi
nasional, institusi nasional mengembangkan kerjasama dengan
organisasi-organisasi non pemerintah yang mengabdikan diri untuk
melindungi dan memajukan hak asasi manusia, untuk mengembangkan
kehidupan sosial ekonomi, untuk memberantas rasialisme, untuk
melindungi golongan-golongan yang amat rentan (khususnya anak,
pekerja migran, pengungsi, orang cacat fisik dan mental) atau untuk
daerah-daerah khusus.

Civic Education-Hak Asasi Manusia 54


4. Prinsip-prinsip tambahan mengenai status komisi-komisi yang mempunyai
kewenangan kuasi yudisial.
a. Mencari suatu peneyelesaian yang bersahabat melalui rekonsiliasi atau
melalui keputusan yang mengikat, dalam batas-batas yang diizinkan
oleh hukum, atau bila diperlukan, melalui kepercayaan.
b. Memberi informasi kepada fihak yang mengajukan petisi mengenai hak-
haknya. Khususnya mengenai ganti rugi yang dapat diperolehnya
dalam batas-batas yang diperkenankan hukum.
c. Menerima semua keluhan atau petisi atau meneruskan kepada instansi
yang berwenang dalam batas-batas yang diperkenankan hukum.
d. Memberikan rekomendasi kepada instansi yang berwenang, khusunya
dengan mengajukan amandemen atau reformasi undang-undang,
peraturan atau praktek administrasi (negara), khusunya jika hal-hal itu
mempersulit orang-orang yang mengajukan petisi dalam memperoleh
hak-haknya.
Sejak diterimanya The Paris Principles dalam tahun 1992 itulah, upaya
membentuk institusi-institusi nasional hak asasi manusia ini memperoleh
momentumnya. Dalam world Conference on Human Rights tahun 1993 di Vienna,
institusi-institusi nasional ini berhasil mengadakan sidang-sidangnya sendiri.
Dapatlah dipahami bahwa perhatian pertama-pertama harus dicurahkan pada
standard setting, yaitu merumuskan kaidah-kaidah normatif mengenai substansi hak
asasi manusia itu sendiri, yang akan digunakan oleh institusi-institusi nasional itu.
Perjuangan melindungi, memajukan, memenuhi, dan mengormati hak asasi
manusia adalah merupakan perjuangan berjangka panjang, memerlukan kegigihan
dan kesabaran. Diperlukan waktu sekitar dua dasawarsa sejak tahun 1948, dua
konvensi hak asasi manusia, mengenai hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan
budaya, baru dapat disahkan pada tahun 1966. Konvensi-konvensi itu baru berlaku
pada tahun 1976, sepuluh tahun kemudian. Dalam tahun 1986 dapat dikembangkan
lagi sebuah konvensi mengenai hak atas pembangunan, yang memberikan nuansa

Civic Education-Hak Asasi Manusia 55


yang lebih konstruktif kepada norma-norma hak asasi manusia ini. Pada tahun itu
juga telah disepakati Limburg Principles on the Implemetation of the Covenant on
Economi, sosial, and Cultural Rights. Baru sebelas tahun kemudian, pada tahun 1997
disepakati Maastrich Guidelines on Violation of Economic, Social, and Cultural rights.
Baik substansi hak asasi manusia maupun institusi nasional hak asasi
manusia ini masih tumbuhdan berkembang. Pertumbuhan dan perkembangan itu
bukan saja dipengaruhi oleh perkembangan di tingkat internasional, tetapi juga oleh
konteks regional, nasional serta lokal. Oleh karena itu tidaklah ada keseragaman
mengenai dasar hukum, komposisi kenggotaan, organisasi dan tatakerja, serta
dukungan anggarannya. Untuk memahami fungsi Komnas HAM serta lembaga-
lembaga nasional hak asasi manusia sejenis, perlu kiranya dikutip beberapa kaidah
yang dikembangkan Center for Human Rights PBB sebagai berikut:
Antara bulan Oktober 1998 dan bulan November 1999, The International
Council on Human Rights policy tersebut di atas, dibawah pimpinan Richard Carver,
telah meneyelenggarakan serangkaian riset, termasuk studi lapangan di Ghana,
Indonesia dan Meksiko. Dalam bulan Agustus 1999 hasil penelitan ini dikirimkan
kepada 250 orang tokoh dan institusi di 59 buah negara, yang direspons oleh 77
orang dan lembaga, yang hasilnya dimanfaatkan untuk menyempurnakan konsep
awal. Hasilnya diterbitkan bulan Maret 2000.
Setelah menekuni seluruh data mengenai pelaksanaan The Paris principles
tersebut oleh institusi-istitusi nasional hak asasi manusia, The Internasional Council for
Human Rights Policy tersebut menyimpulkan bahwa tidak banyak yang benar-benar
dapat memenuhinya. Selanjutnya badan tersebut menyatakan bahwa: Untuk
mengatasi kendala-kendala tersebut, badan internasional itu mengeluarkan delapan
rekomendasi untuk menyempurnakan komisi-komisi nasional hak asasi manusia
berdasar Principles Paris tahun 1992, sebagai berikut:
1. Lembaga-lembaga hak asasi manusia harus merumuskan perannya secara
jernih dalam hubungan dengan institusi pemerintah dan pengadilan, dan
dalam hubungan dengan organisasi sukarela (baca : NGO/LSM, SB), serta
masyarakat rentan.

Civic Education-Hak Asasi Manusia 56


2. Komnas HAM harus mengubah cara kerja dari sekedar memberikan respons
terhadap pengaduan, ke arah pendekatan yang didorong oleh program kerja.
3. Komnas HAM harus mendorong partisipasi dan konsultasi dengan publik, dan
mendorong diangkatnya perempuan serta kelompok minoritas ke jabatan-
jabatan tinggi di dalamnya, termasuk merekrut unsur-unsur staf dari LSM yang
berkiprah dalam hak asasi manusia.
4. Komnas HAM harus memiliki pejabat-pejabat senior serta stafnya yang
memiliki kualifikasi tinggi, mempunyai komitmen, dan mandiri.
5. Badan-badan internasional yang mengkoordinasikan atau mendanai Komnas
HAM harus memberikan bantuan kepada mereka agar dapat melaksanakan
tugasnya secara efektif.
6. Komnas HAM harus memberikan perhatian yang memadai pada masalah
ekonomi, sosial, dan budaya, dan harus memperoleh mandat untuk melakukan
hal itu.
7. Komnas HAM harus mudah dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat,
dengan membangun kantor lapangan di kota-kota propinsi dan di daerah-
derah terbelakang serta miskin. Komnas harus berusaha sejauh mungkin agar
tidak berkantor di daerah eksklusif atau di kompleks perkantoran pemerintah.
8. Setiap tahun komnas HAM harus menilai kinerjanya sendiri, mengumumkan
prioritas kegiatannya, dan menentukan golongan rentan mana yang akan
mendapatkan perhatian utamanya, termasuk penanganan terhadap hak
perempuan. Dalam penilaian ini komnas perlu memanfaatkan data-data
statistik untuk menunjukan bagaimana kemajuan telah diperoleh.
The Paris Principles 1992 tidaklah disusun sekedar sebagai suatu wacana,
tetapi untuk dilaksanakan, dan dalam pelaksanaannya harus dipertimbangkan
berbagai faktor yang merupakan konteksnya, baik konteks internasional dan secara
khusus perlu diperhitungkan konteks sejarah suatu negara, landasan
konstitusionalnya, kultur politik, maupun dinamika kehidupan masyarakatnya.
Suatu perkembangan baru yang harus diperhitungkan dalam interkasi antara hak
asasi manusia dan peran negara dihasil dalam The Viena Declaration and Program of

Civic Education-Hak Asasi Manusia 57


Action, 1993. Dalam konferensi internasional yang menghasilkan dokumen
kemanusian yang amat penting itu, bukan saja telah dapat diselesaikan polemik
lama antara Universalism dan Particularism, tetapi juga telah dipercayakan peranan
yang lebih positif kepada negara dan pemerintah dalam melindungi dan
memajukan hak asasi manusai. Lagi pula, jika sebelumnya substansi hak asasi
manusia terkesan lebih bertitik berat pada hak sipil dan politik, sejak tahun 1993 itu
diberikan perhatian yang lebih seimbang kepada hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Jika sebelumnya negara dan pemerintah dipersepsikan sebagai satu-satunya
institusi yang mempunyai kekuasaan dan berpotensi mengancam hak asasi manusia
- seperti yang dianut oleh para pendukung paradigma states versus civil society –
dalam konferensi dunia tersebut justru negara dan pemerintahnya memikul
tanggung jawab berat melindungi dan memajukan hak asasi manusia.
Seluruh perkembangan konseptual tersebut perlu diinternalisasikan dan
diimplementasikan lebih lanjut. Salah satu institusi yang telah melakukan upaya
internalisasi, kristalisasi dan implementasinya, baik dari aspek wawasan maupun
dari segi praktek yang baik dari The Paris Principles adalah The commenwelth secretaiat
(negara-negara Persemakuran Inggris). Beberapa pokok kesepakatan mereka dalam
tahun 2001 mengenai praktek-praktek yang baik, yang direkomendasikan dalam
pembentukan dan pengoperasikan komisi-komisi nasional hak asasi manusia adalah
sebagai berikut :
1. Komisi-komisi nasional hak asasi manusia adalah merupakan bagian integral
dari suatu masyarakat demokratis. Dalam hubungan ini setiap negara
memilih sendiri kerangka institusionalnya, “the framework which best suits its
particular needs”
2. Komisi nasional hak asasi manusia harus memberikan laporan kepada
parlemen, yang selanjutnya dapat dinilai laporan tersebut serta membahas
rancangan angaran belanjanya. Untuk itu perlu ada kerjasama antara komisi
nasional dengan komisi-komisi parlemen sendiri.
3. Komisi nasional harus bekerjasama dengan eksekutif, khusunya untuk.
a. Mendukung pendanaannya;

Civic Education-Hak Asasi Manusia 58


b. Menjamin agar seluruh jajaran eksekutif menghormati kemandirian;
c. Menyampaikan laporan tahunan serta laporan-laporan lainnya
kepada menteri yang dipertanggung jawabkan menangani hak asasi
manusia;
d. Menjamin adanya respons yang cepat terhadap rekomendasi yang
disampaikan oleh komisi nasional;
e. Memfasilitasi hubungan antara komisi nasional dengan lembaga-
lembaga negara lainnya, dengan komisi nasional lain, dengan badan-
badan regional dan internasional lainnya.
4. Komisi nasional juga harus mengadakan kerjasama dengan lembag-lembaga
peradilan, untuk :
a. Berfungsi sebagai instansi komplementer terhadap pengadilan.
b. Mengupayakan adanya mekanisme yang jelas untuk pelaksanaan
keputusan komisi-komisi nasional oleh pengadilan.
c. Orang perseorangan harus bisa menghubungi pengadilan untuk
memperoleh ganti rugi terhadap suatu pelanggaran hak asasi
manusia, dan tidak perlu diharuskan untuk terlebih dahulu
mengajukan pengaduan kepada komisi nasional.
d. Komisi nasional harus lebih mudah dijangkau dan menawarkan cara
penyelesaian konflik yang lebih murah dan lebih informal daripada
pengadilan.
e. Para anggota dan staf komisi nasional harus berupaya agar
mempunyai hubungan kerjasama yang bersifaf kooperatif dengan
pengadilan.
f. Jika diperlukan, komisi-komisi nasional meneruskan perkara-perkara
kepada pihak penuntut umum untuk dilakukan penuntutan.
g. Komisi nasional tidak boleh melakukan investigasi tehadap perkara-
perkara yang sudah maju ke sidang pengadilan, kecuali yang
memang sudah termasuk dalam kompetensinya untuk melakukan
investigasi terhadap perkara-perkara sistemik yang terkait dengan

Civic Education-Hak Asasi Manusia 59


perlindungan hukum yang adil dan kesempatan memperoleh
keadilan.
h. Pengadilan harus diberikan kesempatan kepada komisi-komisi
nasional untuk memberikan bantuan terhadap perseorangan yang
berusaha menyelesaikan penagduannya melalui pengadilan.
i. Komisi nasional harus diberikan wewenang atas inisiatif sendiri
untuk mengajukan pengaduan ke penagdilan.
5. Pengadilan harus memberikan status kepada pejabat-pejabat komisi nasional
Friend of the Court.
a. Dalam kasus-kasus yang relevan, pengadilan harus memberikan hak
kepada komisi nasional untuk bertindak
b. Keputusan komisi nasional harus terbuka untuk Judicial review.
6. Komisi nasional harus bekerjasama dengan lembaga-lembaga yang dibentuk
oleh perjanjian internasional untuk memantau pelaksanaan isi perjanjian
tersebut oleh pemerintah nasionalnya .
7. Pengertian “hak asasi manusia” agar tidak hanya terbatas pada yang
terdapat dalam hukum nasional, tetapi juga mengacu pada instrumen hak
asasi manusia internasional, baik yang sudah diratifikasi maupun yang
belum oleh negara yang bersangkutan.
8. Selain dari melakukan perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia,
mandat komisi nasional juga perlu mencakup:
a. Sektor swasta maupun sektor publik.
b. Mendorong akses terhadap instrumen hak asasi manusia
internasional dan harmonisasinya dengan hukum nasional.
9. Kontribusi yang dapat disumbangkan oleh komisi nasional hak asasi
manusia dengan menggunakan wewenangnya adalah:
a. Mengadakan investigasi terhadap sangkaan adanya pelanggaran hak
asasi manusia.
b. Memberikan saran kepada pemerintah mengenai legislasi, kebijakan
dan program.

Civic Education-Hak Asasi Manusia 60


c. Memajukan hak asasi menusia dan menyelenggarakan pendidikan
hak asasi manusia untuk umum.
d. melakukan inkuari publik
e. Menjadi perantara antara pemerintah dan Civil society dan antara
berbagai golongan dalam masyarakat.
10. Komisi-komisi nasional harus memberikan perhatian utama pada
perlindungan hak asasi manusia dari golongan rentan dalam masyarakat.
11. Beberapa masalah penting yang harus mendapat perhatian adalah:
1. Situasi konflik, termasuk perang dan perang saudara.
1. Hak ekonomi, sosial dan budaya
2. Rasialisme
3. Lingkungan
4. Migrant workers dan Pengungsi
5. Indigenous Peoples (Masyarakat Adat)
6. Seks dan jender
7. Anak (termasuk anak dan pemuda)
8. Orang yang membutuhkan pelayanan khusus, seperti orang cacat.

12. Pembentukan suatu komisi nasional (baru) harus bersifat transparan dan
melibatkan seluruh fihak yang berkepentingan, antara lain dengan
melibatkan menteri, anggota parlemen, pejabat pemerintah dari berbagai
departemen, LSM/NGO, hakim dan para ahli hukum, serikat pekerja,,
kelompok profesional, pakar hak asasi manusia, dan kalangan perguruan
tinggi
13. Dasar hukum terbaik dalam pembentukan suatu komisi nasional hak asasi
manusia adalah dengan mencantumkannya dalam undang-undang dasar.
Namun, pembentukannya dengan sebuah undang-undang masih dapat
diterima.

Civic Education-Hak Asasi Manusia 61


14. Dalam perundang-undangan pembentuknya harus tercantum dengan jelas
kewenangan untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk
melaksankan mendatnya termasuk kewenangan untuk:
a. Melakukan investigasi independen terhadap pelanggran hak asasi
manusia, baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun yang bersifat
sistematik, serta isu-isu yang terkait dengannya.
b. Mendorong dan memajukan hak asasi manusia melalui jalur pendidikan.
c. Memberi saran kepada pemerintah serta para legislator mengenai
rancangan undang-undang yang akan diajukan kepada parlemen dan
mengajukan saran kepada parlemen untuk menyelesaikan pelanggaran
hak asasi manusia yang berasal dari legislasi, regulasi, atau dari sebab-
sebab lainnya.
d. Bekerjasama dan berkonsultasi dengan tokoh, instansi pemerintah,
organisasi internasional, dan LSM, yang dipandang perlu.
e. Memantau pelaksanaan kewajiban pemerintah yang tercantum dalam
berbagai perjanjian hak asasi manusia dan mendorong diratifikasinya
perjanjian-perjanjian hak asasi manusia.
f. Menyampaikan saran kepada pemerintah untuk menyelesaikan
pelanggaran hak asasi manusia yang timbul dari tindakan atau kelalaian
eksekutif, atau dari sebab-sebab lainnya.
g. Mendorong diberikannya ganti rugi bila terjadi pelanggaran hak asasi
manusia, dan bila perlu memperjuangkan diberikannya ganti rugi
melalui pengadilan.
h. Menyelenggarakan dengar pendapat yang bersifat kuasi-judisial baik
secara terbuka maupun secara tertutup, bila dipandang perlu.
i. Memaksa kehadiran saksi di depan dengar pendapat tersebut,
memerintahkan diberikannya dokumen, dan menjamin adanya
kemudahan untuk mendatangi lokasi kejadian.
j. Meminta kerjasama dari lembaga-lembaga pemerintah serta aktor publik
lainnya.

Civic Education-Hak Asasi Manusia 62


k. mengambil sumpah atau janji.
l. Memeriksa fasilitas tahanan dan tempat-tempat penahanan.
m. Bila diperlukan bekerjasama dengan komisi-komisi nasional dari negeri-
negeri lain, organisasi-organisasi PBB, serta organisasi internasional
lainnya.
n. Melaksanakan segala hal yang perlu atau berguna untuk melaksanakan
fungsinya.

15. Jika pada suatu negara, komisi nasional mempunyai kewenangan untuk
memeriksa dan melakukan pembahasan, hal ini harus dilakukan dengan
suatu surat perintah pengadilan dan dilaksanakan dengan kerjasama pejabat
penegak hukum lainnya.
16. Anggota komisi nasional hak asasi manusia harus diberikan pangkat dan
penghasilan yang setara dengan pejabat judiciary senior.
17. Setelah diangkat, setiap anggota komisi nasional harus berperilaku bebas
dan tidak memihak dari siapapun, kekuasaan apapun, ataupun organisasi
apapun.
18. Anggota komisi nasional hak asasi manusia dan stafnya harus mempunyai
kewenangan untuk menentukan bagaimana caranya menggunakan dana
yang dialokasikan, serta bertnggung jawab kepada parlemen mengenai
keputusan penggunaanya.
19. Para anggota komisi nasional hak asasi manusia harus mempunyai otonomi
dalam memilih dan menyeleksi staf, namun bila dipandang perlu, dapat
berkonsultasi dengan komisi kepegawaian negeri.
20. Staf harus mempunyai kualifikasi yang diperlukan dan peka terhadap
mandat komisi hak asasi manusia.
21. Suatu komisi nasional hak asasi manusia harus mempunyai bagian hukum
yang mampu mengemban tugas menangani pengaduan perseorangan.

Civic Education-Hak Asasi Manusia 63


22. Perseorangan anggota komisi nasional hak asasi manusia harus mempunyai
keahlian, integritas pribadi, pengalaman, serta kepekaan agar dapat
melindungi dan memajukan hak asasi manusia secara memadai.
23. Agar dapat menarik calon terbaik menjadi anggota komisi nasional hak asasi
manusia, harus diberikan titulatur dan penghasilan yang menarik.
24. Keanggotaan komisi nasional hak asasi manusia harus merupakan
representasi yang luas dari kelompok-kelompok civil society.
25. Keputusan-keputusan penting harus diambil melalui consensus. Bila tidak
mungkin, diadakan voting, termasuk pengambilan suara pimpinan.
26. Agar memungkinkan para anggota komisi nasional melakukan tugasnya
secara professional, mereka harus diangkat secara full time, dengan gaji setara
dengan pejabat pengadilan.

B. Komnas HAM di Indonesia


Komisi Nasional Hak Asasi manusia yang selanjutnya disebut KOMNAS
HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga
negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan,
pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia. Komnas HAM bertujuan :
a. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi
manusia sesuai dengan Pancasila, Undang Undang Dasar 1945 dan
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia; dan
b. meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna
berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan
kemampuannnya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Untuk mencapai tujuannya, Komnas HAM melaksanakan fungsi pengkajian,
penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia.
Komnas HAM beranggotakan tokoh masyarakat yang profesional, berdedikasi dan
berintegritas tinggi, mengahayati cita-cita negara hukum dan negara kesejahteraan
yang berintikan keadilan, menghormati hak asasi manusia dan kewajiban dasar

Civic Education-Hak Asasi Manusia 64


manusia. Komnas HAM berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.
Perwakilan Komnas HAM dapat didirikan di daerah.
Komnas HAM mempunyai kelengkapan yang terdiri dari : a. sidang
paripurna; dan b. subkomisi. Selain itu Komnas HAM mempunyai sebuah
Sekretariat Jenderal sebagai unsur pelayanan. Sidang Paripurna adalah pemegang
kekuasaan tertinggi Komnas HAM. Sidang Paripurna terdiri dari seluruh anggota
Komnas HAM. Sidang Paripurna menetapkan Peraturan Tata Tertib, Program Kerja,
dan Mekanisme Kerja Komnas HAM.
Pelaksanaan kegiatan Komnas HAM dilakukan oleh subkomisi. Ketentuan
mengenai subkomisi diatur dalam Peraturan Tata Tertib Komnas HAM. Sekretariat
Jenderal memberikan pelayanan administrasi bagi pelaksanaan kegiatan Komnas
HAM. Sekretariat Jenderal dipimpin oleh Sekretaris Jenderal dengan dibantu oleh
unit kerja dalam bentuk biro-biro. Sekretaris Jenderal dijabat oleh seorang Pegarawai
Negeri yang bukan anggota Komnas HAM. Sekretaris Jenderal diusulkan oleh
Sidang Paripurna dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Kedudukan, tugas,
tanggung jawab, dan susunan organisasi Sekretaris Jenderal ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.
Anggota Komnas HAM berjumlah 35 (tiga puluh lima) orang yang dipilih
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan usulan Komnas
HAM dan diresmikan oleh Presiden selaku Kepala Negara.
Komnas HAM dipimpin oleh seorang Ketua dan 2 (dua) orang Wakil Ketua.
Ketua dan Wakil Ketua Komnas HAM dipilih oleh dan dari anggota.
Masa “A” jabatan keanggotaan Komnas HAM selama 5 (lima) tahun dan setelah
berakhir dapat diangkat kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Yang dapat diangkat menjadi anggota Komnas HAM adalah Warga Negara
Indonesia yang :
a. memiliki pengalaman dalam upaya memajukan dan melindungi norang atau
kelompok yang dilanggar hak asasi manusianya.
b. berpengalaman sebagai hakim, jaksa, polisi, pangacara, atau pengemban profesi
hukum lainnya.

Civic Education-Hak Asasi Manusia 65


c. berpengalaman di bidang legislatif, eksekutif, dan lembaga tinggi negara; atau
d. merupakan tokoh agama, tokoh masyarakat, anggota lembaga swadaya
masyarakat, dan kalangan perguruan tinggi.
Pemberhentian anggota Komnas HAM dilakukan berdasarkan keputusan
Sidang Paripurna dan diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia serta ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Anggota Komnas HAM
berhenti antar waktu sebagai anggota karena :
a. meninggal dunia;
b. atas permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atai rohani yang mengakibatkan anggota tidak dapat
menjalankan tugas selama 1 (satu) tahun secara terus menerus;
d. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan; atau
e. melakukan perbuatan tercela dan atau hal-hal lain yang diputus oleh Sidang
Paripurna karena mencemarkan martabat dan reputasi dan atau mengutangi
kemandirian dan kredibilitas Komnas HAM.
Setiap anggota Komnas HAM berkewajiban : a. menaati ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan Keputusan Komnas HAM; b.
berpartisispasi secara aktif dan sungguh-sungguh untuk tercapainya tujuan Komnas
HAM; dan c. menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan
rahasia Komnas HAM yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota.
Selanjutnya setiap anggota Komnas HAM berhak : a. menyampaikan usulan dan
pendapat kepada Sidang Paripurna dan Subkomisi; b. memberikan suara dalam
pengambilan keputusan Sidang Paripurna dan Subkomisi; c. mengajukan dan
memilih calon Ketua dan Wakil Ketua Komnas HAM dalam Sidang Paripurna; dan
d. mengajukan bakal calon anggota Komnas HAM dalam Sidang Paripurna untuk
penggantian Periodik dan antar waktu.
Dalam menjalankan fungsi pengkajian dan penelitian, Komnas HAM
bertugas dan berwenang melakukan :

Civic Education-Hak Asasi Manusia 66


a. pengkajian dan penelitian berbagai instrumen internasional hak asasi manusia
dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan
atau ratifikasi.
b. pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundang-undangan untuk
memberikan rekomendasi mengenai pembentukan perubahan, dan pencabutan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia;
c. penerbitan hasil pengkajian dan penelitian;
d. studi kepustakaan, studi lapangan, dan studi banding di negara lain mengenai
hak asasi manusia;
e. pembahasan berbagai masalah yang berkaitan dengan perlindungan,
penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia; dan
f. kerjasama pengkajian dan penelitian dengan organisasi lembaga atas pihak
lainnya baik tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak
asasi manusia.
Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam penyuluhan, Komnas
HAM bertugas dan berwenang melakukan : a. penyebarluasan wawasan mengenai
hak asasi manusia kepada masyarakat Indonesia; b. upaya peningkatan kesadaran
masyarakat tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal, dan
nonformal serta berbagai kalangan lainnya; dan c. kerjasama dengan organisasi,
lembaga atau pihak lainnya, baik di tingkat nasional, regional, atau internasional
dalam bidang hak asasi manusia.
Selanjutnya untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pemantauan,
Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan : a. pengamatan pelaksanaan
hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut; b.
penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat
yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelangggaran hak
asasi manusia; c. pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak
yang diadukan untuk dimintai dan didengar keterangannya; d. pemanggilan saksi
untuk dimintai dan didengar kesaksiannya dan kepada saksi pengadu dimintai
menyerahkan bukti yang diperlukan; e. peninjauan di tempat kejadian dan tempat

Civic Education-Hak Asasi Manusia 67


lainnya yang dianggap perlu; f. pemanggilan terhadap pihak terkait untuk
memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang
diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan; g.
pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat
lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua
Pengadilan; dan h. pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan
terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam
perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik dan
acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM
tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.
Sedangkan untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam mediasi, Komnas
HAM bertugas dan berwenang melakukan : a. perdamaian kedua belah pihak; b.
penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi, dan
penilaian ahli; c. pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa
melalui pengadilan; d. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak
asasi manusia kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya; dan e.
penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti.
Setiap orang atau sekelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa hak
asasinya telah dialnggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau
tertulis pada Komnas HAM. Pengaduan hanya akan mendapatkan pelayanan pabila
disertai dengan identitas pengadu yang benar dan keterangan atau bukti awal yang
jelas tentang materi yang diadukan. Dalam hal pengaduan dilakukan oleh pihak
lain, maka pengaduan harus disertai dengan persetujuan dari pengadu kecuali
untuk pelanggaran hak asasi manusia tertentu berdasarkan pertimbangan Komnas
HAM. Pengaduan pelanggaran hak asasi manusia meliputi pula pengaduan melalui
perwakilan mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh kelompok
masyarakat.
Pemeriksaan atas pengaduan kepada Komnas HAM tidak dilakukan atau
dihentikan apabila : a. tidak memiliki bukti awal yang memadai; b. materi

Civic Education-Hak Asasi Manusia 68


pengaduan bukan masalah pelanggaran hak asasi manusia; c. pengaduan diajukan
dengan iktikad buruk atau ternyata tidak ada kesungguhan dari pengadu; d.
terdapat upaya hukum yang lebih efektif bagi penyelesaian materi pengaduan; atau
sedang berlangsung penyelesaian melalui upaya hukum yang tersedia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Mekanisme pelaksaaan
kewenangan untuk tidak melakukan atau menghentikan pemeriksaan ditetapkan
dengan peraturan Tata Tertib Komnas HAM. Dalam hal tertentu dan bila dipandang
perlu, guna melindungi kepentingan dan hak asasi yang bersangkkutan atau
terwujudnya penyelesaian terhadap masalah yang ada, Komnas HAM dapat
menetapkan untuk merahasiakan identitas pengadu dan pemberi keterangan atau
bukti lainnya serta pihak yang terkait dengan materi aduan atau pamantauan.
Komnas HAM dapat menetapkan untuk merahasiakan atau membatasi
penyebarluasan suatu keterangan atau bukti lain yang diperoleh Komnas HAM,
yang berkaitan dengan materi pengaduan atau pemantauan. Penetapan didasarkan
pada pertimbangan bahwa penyebarluasan keterangan atau bukti lainnya tersebut
dapat :
a. membahayakan keamanan dan keselamatan negara;
b. membahayakan keselamatan dan ketertiban umum;
c. membahayakan keselamatan perorangan;
d. mencemarkan nama baik perorangan;
e. membocorkan rahasia negara atau hal-hal yang wajib dirahasiakan dalam
proses pengambilan keputusan Pemerintah;
f. membocorkan hal-hal yang wajib dirahasiakan dalam proses penyidikan,
penuntutan, dan persidangan suatu perkara pidana;
g. menghambat terwujudnya penyelesaian terhadap masalah yang ada; atau
h. membocorkan hal-hal yang termasuk dalam rahasia dagang.

Pemeriksaan pelanggaran hak asasi manusia dilakukan secara tertutup,


kecuali ditentukan lain oleh Komnas HAM. Pihak pengadu, korban, saksi, dan atau
pihak lainnya yang terkait. Apabila seseorang yang dipanggil tidak datang

Civic Education-Hak Asasi Manusia 69


menghadap atau menolak memberikan keterangannya, Komnas HAM dapat
meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk memenuhi panggilan secara paksa sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Penyelesaian dilakukan oleh anggota
Komnas HAM yang ditunjuk sebagai mediator. Penyelesaian yang di capai berupa
kesepakatan secara tertulis dan ditandatangani oleh para pihak dan dikukuhkan
oleh mediator. Kesepakatan tertulis merupakan keputusan mediasi yang mengikat
secara hukum yang berlaku sebagai alat bukti yang sah. Apabila keputusan mediasi
tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak dalam jangka waktu yang ditetapkan
dalam keputusan tersebut, maka pihak lainnya dapat memintakan kepada
Pengadilan Negri setempat agar keputusan tersebut dinyatakan dapat dilaksanakan
dengan pembubuhan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Pengadilan tidak dapat menolak permintaan.
Komnas HAM wajib menyampaikan laporan tahunan tentang pelaksanaan
fungsi, tugas, dan wewenangnya, serta kondisi hak asasi manusia, dan perkara-
perkara yang ditanganinya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
dan Presiden dengan tembusan kepada Mahkamah Agung. Ketentuan dan tata cara
ketentuan fungsi, tugas, dan wewenang serta kegiatan Komnas HAM diatur lebih
lanjut dalam peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
Adalah suatu kemustahilan untuk mengharapkan Komnas HAM dengan
jumlah keanggotaan yang relatif kecil dan dengan sumber daya yang amat terbatas,
mampu melaksanakan tugasnya melayani seluruh penduduk yang mendiami
wilyah yang demikian luas. Oleh karena itu, Komnas HAM memutuskan untuk
mendorong terbentuknya komisi-komisi daerah hak asasi manusia, yang didirikan
dan didukung secara otonom oleh masing-masing daerah. Komisi-komisi daerah ini
dapat diberi peranan yang besar untuk menangani empat fungsi Komnas HAM
yang standar, dengan pengecualian mengenai wewenang subpoena serta investigasi
pro justicia dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat. Karena secara
yuridis dua hal ini tetap harus ditangani oleh personil Komnas HAM sendiri.
Gagasan pembentukan komisi daerah ini mendapatkan sambutan baik. Beberapa
daerah sudah menghubungi Komnas HAM untuk mengadakan koordinsi. Pada saat

Civic Education-Hak Asasi Manusia 70


ini antara lain telah terbentuk Komisi daerah untuk daerah Kalimantan Barat,
Sumatera Barat, dan Riau.

IV. DAFTAR RUJUKAN

Abdullah, Rozali, Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan di Indonesia,


Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002

An-Naim, Abdullahi Ahmed, Dekonstruksi Syari’ah, Yogyakarta: LKiS, 2001

Ash-shiddiqy, Teungku Muhammad Hasbi, Islam dan HAM, Semarang: PT. Pustaka
Rizki Utama, 1999

Baehr, Peter (et.al), Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia,


Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001

Bahar, Safroeddin, Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2002

Chang, William, Kerikil-Kerikal di Jalan Reformasi, Catatan-Catatan dari sudut


Etika Sosial, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002

Davies, Peter, Hak-Hak asasi Manusia, sebuah Bunga Rampai, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1994

Effendi, Masyhur, Dimensi Hak Asasi Manusia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994

Howard, Rhoda E, HAM Penjelajahan dalih Relativisme Budaya, Jakarta: PT.


Grafiti, 2000

Hussain, Syekh Syaukat, Hak Asasi Manusia dalam Islam, Jakarta: Gema Insani
Press, 1996

Lopa, Baharuddin, Kejahatan korupsi dan Penegakkan Hukum, Jakarta: Kompas,


2001

_______________, Al-Qur’an dan Hak-hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PT Dana


Bhakti Prima Yasa, 1999

Civic Education-Hak Asasi Manusia 71


Manan, Bagir, et.al., Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan hak Asasi Manusia
di Indonesia, Bandung: PT. Alumni, 2001

Nadj, E. Shabirin et al, Diseminasi Hak Asasi Manusia, Perspektif dan Aksi, Jakarta:
CESDA-LP3ES, 2000

Nickel, James Warganegara, Hak Asasi Manusia:Refleksi Filosofis atas Deklarasi


Universal hak asasi Manusia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996

Sudjana, Eggi, HAM Dalam Perspektif Islam, Mencari Universalitas HAM bagi
Tatanan Modernitas Yang Hakiki, Jakarta: Nuansa Madani, 2002

Thayib, Anshari, et.al., HAM dan Pluralisme Agama, Surabaya: Pusat Kajian
Strategis dan Kebijakan, 1997

Tilaar, H. A. R. et.al., Dimensi-Dimensi Hak Asasi Manusia Dalam Kurikulum


Persekolahan Indonesia, Bandung: PT. Alumni

Tilaar, H.A.R., Pendidikan Kebudayaan, dan Masyarakat Madani di Indonesia :


Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung: Rosda Karya, 1999

Civic Education-Hak Asasi Manusia 72

Anda mungkin juga menyukai