Anda di halaman 1dari 17

Bab 6

Hak Asasi Manusia


Lingkup Bahasan

Bab ini membahas konsep dasar hak asasi manusia, kategori hak asasi manusia, prinsip-prinsip
pokok hak asasi manusia, sejarah perkembangan hak asasi manusia, hak asasi manusia dalam
UUD 1945

Tujuan
Setelah mempelajari bab ini, para pembaca diharapkan memiliki kemampuan untuk:
Mendeskripsikan konsep dasar hak asasi manusia
Mengidentifikasi kategori hak asasi manusia
Menyebutkan prinsip-prinsip pokok hak asasi manusia
Menganalisis sejarah perkembangan hak asasi manusia
Menilai hak asasi manusia dalam UUD 1945

Istilah kunci Human rights, political rights, social rights, economic rights

KONSEP DASAR HAK ASASI MANUSIA


Dalam pengertian yang sederhana hak asasi manusia (human rights) merupakan hak yang
secara alamiah melekat pada orang semata-mata karena ia merupakan manusia (human being).
HAM meliputi nilai-nilai ideal yang mendasar, yang tanpa nilai-nilai dasar itu orang tidak dapat
hidup sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Penghormatan terhadap nilai-nilai
dasar itu memungkinkan individu dan masyarakat bisa berkembang secara penuh dan utuh.
HAM tidak diberikan oleh negara atau tidak pula lahir karena hukum. HAM berbeda dengan hak
biasa yang lahir karena hukum atau karena perjanjian. Dalam pembahasannya tentang pengertian
HAM, Jan Materson, anggota Komisi Hak Asasi Manusia PBB merumuskan HAM dalam
ungkapan berikut: “human rights could be generally defines as those right which area inherent
in our natural and without we can‟t live as human being”. (HAM adalah hak-hak yang secara
inheren melekat dalam diri manusia, dan tanpa hak itu manusia tidak dapat hidup sebagai
manusia) (Asykuri Ibnu Chamim, 2000:371).
Dari pengertian di atas, kita dapat mencermati dua makna yang terkandung dalam
pengertian HAM, yaitu: Pertama, HAM merupakan hak alamiah yang melekat dalam diri setiap
manusia sejak ia dilahirkan ke dunia. Hak alamiah adalah hak yang sesuai dengan kodrat
manusia sebagai insan merdeka yang berakal budi dan berperikemanusiaan. Karena itu, tidak ada
seorang pun yang diperkenankan merampas hak tersebut dari tangan pemiliknya, dan tidak ada
kekuasaan apapun yang memiliki keabsahan untuk memperkosanya. Hal ini tidak berarti bahwa
HAM bersifat mutlak tanpa pembatasan, karena batas HAM seseorang adalah HAM yang
melekat pada orang lain. Bila HAM dicabut dari tangan pemiliknya, manusia akan kehilangan
eksistensinya sebagai manusia.
Kedua, HAM merupakan instrumen untuk menjaga harkat dan martabat manusia sesuai
dengan kodrat kemanusiaannya yang luhur. Tanpa HAM manusia tidak akan dapat hidup sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaannya sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia.
Dikatakan HAM menurut Ahmad Sanusi (2006:201) ialah karena hak-hak itu bersumber pada
sifat hekekat manusia sendiri yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. HAM itu bukan
karena diberikan oleh negara atau pemerintah. Karena itu, hak-hak itu tidak boleh dirampas atau
diasingkan oleh negara dan oleh siapa pun.
Dengan demikian, maka HAM bukan sekedar hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap
manusia sejak dilahirkannya ke dunia, tetapi juga merupakan standar normatif yang bersifat
universal bagi perlindungan hak-hak dasar itu dalam lingkup pergaulan nasional, regional dan
global. Esensi itu dapat dilihat dalam Mukaddimah Universal Declaration of Human Rights yang
menyebutkan bahwa pengakuan atas martabat yang luhur dan hak-hak yang sama tidak dapat
dicabut dari semua anggota keluarga manusia, karena merupakan dasar kemerdekaan, keadilan,
dan perdamaian dunia.
Dalam konteks Indonesia, Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia merumuskan pengertian HAM sebagai berikut:
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya
kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk
menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat,
yang tidak boleh diabaikan, dirampas, atau diganggu oleh siapa pun.
Dengan demikian, maka setiap manusia memiliki hak asasi sebagai karunia Tuhan Yang
Maha Esa. Hak asasi tersebut tidak boleh diabaikan, dirampas atau diganggu oleh siapa pun
karena hak asasi tersebut berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup manusia, kemerdekaan
manusia, perkembangan manusia dan masyarakat. Apabila ada perlakuan yang mengabaikan,
merampas atau mengganggu hak asasi seseorang, berarti ia telah melakukan pelanggaran
terhadap hak asasi seseorang.
Sedangkan berdasarkan rumusan Pasal 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, HAM diartikan sebagai berikut:

Seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakaan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Dari rumusan HAM di atas dapat dikemukakan bahwa di balik adanya hak asasi yang perlu
dihormati mengandung makna adanya kewajiban asasi dari setiap orang. Kewajiban asasi yang
dimaksud menurut Sapriya dan Udin S. Winataputra (2003: 137) adalah kewajiban dasar
manusia yang ditekankan dalam undang-undang tersebut sebagai seperangkat kewajiban yang
apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya HAM.

HAM mempunyai sejumlah karakteristik yang menonjol. James W. Nickel (1996)


mengidentifikasi sedikitnya enam karakteristik HAM, yaitu:

Pertama, HAM adalah hak. Makna istilah ini menunjukkan bahwa itu adalah norma-norma
yang pasti dan memiliki prioritas tinggi yang penegakannya bersifat wajib.

Kedua, hak-hak ini dianggap bersifat universal, yang dimiliki oleh manusia semata-mata
karena ia adalah manusia. Pandangan ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa karakteristik
seperti ras, jenis kelamin, agama, kedudukan sosial, dan kewarganegaraan tidak relevan untuk
mempersoalkan apakah seseorang memiliki atau tidak memiliki HAM. Ini juga menyiratkan
bahwa hak-hak tersebut dapat diterapkan di seluruh dunia. Salah satu ciri khusus dari HAM yang
berlaku sekarang adalah bahwa itu merupakan hak internasional. Kepatuhan terhadap hak serupa
itu telah dipandang sebagai obyek perhatian dan aksi internasional yang sah.

Ketiga, HAM dianggap ada dengan sendirinya, dan tidak bergantung pada pengakuan dan
penerapannya di dalam sistem adat atau sistem hukum di negara-negara tertentu. Hak ini boleh
jadi memang belum merupakan hak yang efektif sampai ia dijalankan menurut hukum, namun
hak itu eksis sebagai standar argumen dan kritik yang tidak bergantung pada penerapan
hukumnya.

Keempat, HAM dipandang sebagai norma-norma yang penting. Meski tidak seluruhnya
bersifat mutlak dan tanpa perkecualian, HAM cukup kuat kedudukannya sebagai pertimbangan
normatif untuk diberlakukan di dalam benturan dengan norma-norma nasional yang
bertentangan, dan untuk membenarkan aksi internasional yang dilakukan demi HAM. Hak-hak yang
dijabarkan di dalam Deklarasi tersebut tidak disusun menurut prioritas; bobot relatifnya tidak
disebut. Tidak dinyatakan bahwa beberapa di antaranya bersifat absolut. Dengan demikian HAM
yang dipaparkan oleh Deklarasi itu adalah sesuatu yang oleh para filsuf disebut sebagai prima facie
rights.

Kelima, hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban bagi individu maupun pemerintah.


Adanya kewajiban ini, sebagaimana halnya hak-hak yang berkaitan dengannya, dianggap tidak
bergantung pada penerimaan, pengakuan, atau penerapan terhadapnya. Pemerintah dan
orang-orang yang berada di mana pun diwajibkan untuk tidak melanggar hak seseorang,
kendati pemerintah dari orang tersebut mungkin sekaligus memiliki tanggung jawab utama
untuk mengambil langkah-langkah positif guna melindungi dan menegakkan hak-hak orang itu.

Dan terakhir, keenam, hak-hak ini menetapkan standar minimal bagi praktek
kemasyarakatan dan kenegaraan yang layak. Tidak seluruh masalah yang lahir dari kekejaman
atau pementingan diri sendiri dan kebodohan merupakan problem HAM. Sebagai misal, suatu
pemerintah yang gagal untuk menyediakan taman-taman nasional bagi rakyatnya memang
dapat dikecam sebagai tidak cakap atau tidak cukup memperhatikan kesempatan untuk
rekreasi, namun hal tersebut tidak akan pernah menjadi persoalan HAM.

KATEGORI HAK ASASI MANUSIA


Dalam tataran global, hak-hak asasi manusia paling tidak dapat dikelompokkan menjadi
tiga kategori, yaitu HAM yang masuk dalam 1) kategori hak-hak sipil dan politik; 2) kategori
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya; serta 3) kategori hak-hak solidaritas (solidarity rights).
Hak-hak sipil dan politik sering pula disebut sebagai “first generation of rights”, hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya sebagai “second generation of rights”, sedangkan hak-hak
solidaritas merupakan “the third generation of rights”.
Hak-hak sipil dan politik diatur dalam beberapa pasal UDHR (Universal Declaration of
Human Rights atau Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, disingkat DUHAM) dan dalam
ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights, atau Kovenan Internasional
mengenai Hak-hak Sipil dan Politik). Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya diatur dalam
beberapa pasal DUHAM, dan diatur secara khusus dalam ICESCR (International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights, atau Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya). Sedangkan hak-hak solidaritas, utamanya hak atas pembangunan, tercantum
dalam Resolusi Majelis Umum PBB, tahun 1986, dan kemudian dalam Deklarasi HAM Dunia di
Wina, tahun 1993.
Kiranya sejak awal perlu dikemukakan bahwa penggolongan atau kategorisasi seperti yang
dikemukakan di atas tidaklah bermaksud untuk mengkotak-kotakan HAM, apalagi mengkotak-
kotak sesuai dengan urutan prioritas. Kategori-kategori sebagaimana dikemukakan di atas,
khususnya antara hak-hak sipil di satu pihak dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di lain
pihak sebenarnya merupakan akibat dari polarisasi politik dunia ketika dua instrumen HAM
(ICCPR dan ICSCR) dibuat oleh PBB. Kalau kategori-kategori itu masih digunakan, tidak lain
hanyalah untuk keperluan praktis demi lebih mudah mengidentifikasi dan memahami hak-hak
asasi yang melekat pada manusia itu, bukan untuk memisah-misahkan satu dengan yang lainnya,
karena sebagaimana akan dikemukakan kemudian, semua HAM itu tidak dapat dipisahkan dan
saling bergantung.
Adanya kebutuhan untuk membuat kesepakatan-kesepakatan hukum yang bersifat global
yang mengatur dan menjamin penghormatan dan penegakan HAM sebenarnya terutama lahir
dari kesadaran historis akibat Perang Dunia II. Tragedi kemanusiaan, terutama pengabaian
terhadap nilai-nilai HAM yang paling mendasar yang terjadi selama Perang Dunia II,
menghentakkan kesedaran bangsa-bangsa di dunia, bahwa persoalan HAM tidak bisa diserahkan
atau dianggap sebagai masalah internal suatu negara semata. Demi tegaknya harkat dan martabat
manusia dan langgengnya perdamaiaan dunia, masalah HAM lalu “diangkat” menjadi masalah
yang harus dipikirkan bersama oleh segenap masyarakat bangsa, baik dalam hal penghormatan
dan pemenuhannya maupun dalam hal penegakannya. Hal ini terefleksi dalam beberapa pasal
Piagam PBB, yaitu dalam pasal 1 ayat (3), pasal 55 dan pasal 56. Ketentuan-ketentuan ini
sekaligus memberikan mandat kepada PBB untuk membuat instrumen-instrumen hukum HAM,
mulai dari DUHAM, lalu disusul ICCPR dan ICESCR, dan kemudian banyak lagi instrumen
hukum lain di bidang HAM.
Hak-hak sipil terkait dengan “hak atas integritas/harkat fisik” (physical integrity rights),
seperti hak atas kehidupan dan perlindungan dari penyiksaan dan hak atas “prosedur hukum yang
adil” seperti hak atas peradilan yang jujur dan fair, praduga tidak bersalah, dan hak untuk
diwakili secara hukum). Hak-hak ini diatur dalam pasal 1 sampai pasal 18 DUHAM, dan diatur
lebih lanjut dalam ICCPR). Hak-hak politik termasuk kebebasan berpendapat, berserikat dan
berkumpul, dan hak untuk memberikan suara dalam pemilu yang bebas dan rahasia. Hak-hak ini
diatur dalam Pasal 19 sampai pasal 21 DUHAM dan pasal 18, 19, 21, 22 dan 25 ICCPR.
Apabila dicermati, ICCPR memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan
kewenangan oleh aparat negara; sehingga hak-hak yang diatur dan dijamin di dalamnya sering
juga disebut sebagai hak-hak negatif. Artinya bahwa untuk menjamin terlaksana dan dipenuinya
hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diatur di dalamnya, maka negara dituntut untuk tidak
melakukan intervensi apa pun, atau peran negara harus dibatasi sampai ke tingkat minimal.
Intervensi atau pembatasan oleh negara terhadap hak-hak yang diatur dalam ICCPR ini hanya
dimungkinkan untuk beberapa hak dan hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat.
Berkaitan dengan hal di atas maka dikenal pula pembedaan antara non-derogable rights
(hak-hak yang tidak bisa dikurangi pemenuhannya) dan derogable rights (hak-hak yang bisa
dikurangi pemenuhannya). Non-derogable rights adalah hak-hak yang bersifat absolut yang tidak
boleh dibaikan, dilanggar atau dikurangi pemenuhannya walaupun dalam keadaan darurat sekali
pun. Termasuk dalam hak-hak ini adalah: hak atas hidup (rights to life); hak bebas dari
penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi (rights to be free from torture and inhuman
treatment); hak tahanan untuk diperlakukan secara manusiawi; hak untuk bebas dari perbudakan
dan kerja paksa (rights to be free from slavery); hak atas pengakuan yang sama di hadapan
hukum; hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama; hak untuk bebas dari pemidanaan
yang berlaku surut. Bila negara melakukan pelanggaran terhadap hak-hak yang termasuk dalam
kategori non-derogable ini, negara itu bisa dituduh atau dikecam telah melakukan pelanggaran
serius HAM (gross violation of human rights).
Derogable rights adalah hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh
negara. Namun pembatasan atau pengurangan tsb hanya dapat dilakukan apabila sebanding
dengan ancaman atau situasi darurat yang dihadapi dan tidak diterapkan secara diskriminatif.
Alasan-alasan untuk pengurangan atau pembatasan tersebut, meliputi: 1) menjaga kemananan
atau ketertiban umum; 2) menjaga kesehatan atau moralitas umum; dan 3) menjaga hak dan
kebebasan orang lain. Hak-hak yang termasuk dalam kategori ini terdiri atas: 1) hak atas
kebebasan berkumpul; 2) hak untuk berserikat; 3) kekebasan untuk berpendapat dan berekspresi;
4) kebebasan berpindah dan memilih domisili; 5) kebebasan bagi warga negara asing.
Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya terkait dengan kesejahteraan material, sosial dan budaya,
dan mula-mula diatur dalam pasal 16, 22 sampai pasal 29 DUHAM, dan lebih lanjut diatur dalam
ICESCR. Hak-hak yang termasuk dalam kategori hak ekonomi, sosial dan budaya ini, meliputi: hak
untuk bekerja termasuk hak atas kondisi kerja yang aman dan sehat, upah yang adil, bayaran yang
sama untuk pekerjaan yang sama, hak atas pemilikan, hak untuk mendirikan dan bergabung dengan
serikat pekerja, termasuk hak untuk melakukan pemogokan, hak atas jaminan sosial, hak atas standar
hidup yang layak, hak atas pendidikan, pendidikan dasar wajib dan bebas bagi semua, hak untuk
berpartisipasi dalam kehidupan budaya dan penikmatan keuntungan kemajuan ilmu pengetahuan.
Hak-hak ini sering disebut sebagai “hak-hak positif”, karena tidak seperti dalam hak-hak sipil dan
politik, dalam hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ini, negara harus berperan atau mengambil
langkah-langkah positif untuk menjamin terpenuhinya hak-hak ini, seperti tersedianya perumahan,
sandang, pangan, lapangan kerja, pendidikan, dsb. Negara justru akan dianggap melakukan
pelanggaran terhadap hak-hak ini apabila tidak berperan secara aktif atau menunjukkan peran minus.
Dalam beberapa tahun terkahir, hak-hak solidaritas (solidarity rights) diakui keberadaannya,
meliputi hak atas perdamaian, hak atas lingkungan, dan hak atas pembangunan. Hak atas
pembangunan, khususnya, telah dicantumkan dalam Resolusi Majelis Umum PBB tahun 1986. Hak
atas pembangunan bisa didefinisikan sebagai “hak setiap orang dan setiap bangsa untuk
berpartisipasi, memberikan kontribusi dan memperoleh manfaat dari pembangunan ekonomi, sosial,
budaya dan politik. Jadi, subjek hak ini adalah individu dan bangsa.

PRINSIP-PRINSIP POKOK HAK ASASI MANUSIA


Ada beberapa prinsip pokok yang terkait dengan penghormatan, pemenuhan, pemajuan dan
perlindungan HAM. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1. Prinsip universal, bahwa HAM itu berlaku bagi semua orang, apa pun jenis kelaminnya,
statusnya, agamanya, suku bangsa atau kebangsaannya;
2. Prinsip tidak dapat dilepaskan (inalienable), siapa pun, dengan alas apa pun, tidak dapat
dan tidak boleh mencerabut atau mengambil hak asasi seseorang. Seseorang tetap
mempunyai hak asasinya kendati hukum di negaranya tidak mengakui dan menghormati
hak asasi orang itu, atau bahkan melanggar hak asasi tersebut. Contohnya, ketika di suatu
negara dipraktekkan perbudakan, budak-budak tetap mempunyai hak-hak asasi, kendati
hak-haknya itu dilanggar.

3. Prinsip tidak dapat dipisahkan (indivisible), bahwa hak-hak sipil dan politik, maupun
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, serta hak pembangungan, tidak dapat dipisah-
pisahkan, baik dalam penerapan, pemenuhan, pemantauan maupun penegakannya.

4. Prinsip saling tergantung (inter-dependent), bahwa disamping tidak dapat dipisahkan,


hak-hak asasi itu saling tergantung satu sama lainnya, sehingga pemenuhan hak asasi
yang satu akan mempengaruhi pemenuhan hak asasi lainnya. Contohnya, kurang
berjalannya hak-hak sipil dan politik, bisa menjuruskan suatu negara ke pemerintahan
yang otoriter dan korup; pada gilirannya, pemerintahan yang otoriter dan korup bisa
menjerumuskan negara pada ketertinggalan di bidang ekonomi, yang akhirnya bisa
bermuara pada kemiskinan (tidak terpenuhinya hak-hak ekonomi). Oleh karena itu,
prinsip ini sekaligus mengakhiri perdebatan mengenai prioritas pemenuhan dan pemajuan
HAM, dimana beberapa negara semula berpandangan bahwa suatu kategori HAM
tertentu harus mendapatkan prioritas terlebih dahulu dibandingkan dengan kategori HAM
lainnya.

5. Prinsip keseimbangan, bahwa (perlu) ada keseimbangan dan keselarasan di antara HAM
perorangan dan kolektif di satu pihak dengan tanggung jawab perorangan terhadap
individu yang lain, masyarakat dan bangsa di pihak lainnya. Hal ini sesuai dengan kodrat
manusia sebagai mahluk individu dan mahluk sosial. Keseimbangan dan keselarasan
antara kebebasan dan tanggung jawab merupakan faktor penting dalam penghormatan,
pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM;

6. Prinsip partikularisme, bahwa kekhususan nasional dan regional serta berbagai latar
belakang sejarah, budaya dan agama adalah sesuatu yang penting dan harus terus menjadi
pertimbangan. Namun, hal ini tidak serta merta menjadi alasan untuk tidak memajukan
dan melindungi HAM, karena “adalah tugas semua negara, apa pun sistem politik,
ekonomi dan budayanya, untuk memajukan dan melindungi semua HAM.

SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA

Terwujudnya Universal Declaration of Human Rights yang dinyatakan pada tanggal 10


Desember 1948 ditempuh melalui proses yang cukup panjang. Sebelum terwujudnya deklarasi
tersebut, terdapat beberapa dokumen yang memperjuangkan penegakan HAM di muka bumi,
yaitu sebagai berikut:
1. Piagam Madinah (shahifatul madinah) juga dikenal dengan sebutan Konstitusi Madinah,
ialah sebuah dokumen yang disusun oleh Nabi Muhammad SAW, yang merupakan suatu
perjanjian formal antara dirinya dengan semua suku-suku dan kaum-kaum penting di
Yatsrib (kemudian bernama Madinah) di tahun 622. Dokumen tersebut disusun sejelas-
jelasnya dengan tujuan utama untuk menghentikan pertentangan sengit antara Bani 'Aus
dan Bani Khazraj di Madinah. Untuk itu dokumen tersebut menetapkan sejumlah hak-hak
dan kewajiban-kewajiban bagi kaum Muslim, kaum Yahudi, dan komunitas-komunitas
pagan Madinah; sehingga membuat mereka menjadi suatu kesatuan komunitas, yang
dalam bahasa Arab disebut ummah.

2. Piagam Magna Charta. Dideklarasikan di Inggris tahun 1215. Magna Charta merupakan
cikal bakal (embrio) HAM. Piagam ini membatasi kekuasaan Raja John yang absolut.
Dengan piagam ini, raja bisa dimintai pertanggungjawabannya di muka hukum dan raja
harus bertanggung jawab kepada parlemen. Walaupun demikian, raja tetap berwenang
membuat Undang-Undang.

3. Dokumen Bill of Rights. Perkembangan yang lebih konkret tentang HAM terjadi setelah
lahirnya piagam ini di Inggris pada tahun 1689. Piagam ini ditandatangani Raja William
III. Inti piagam ini menyatakan bahwa “manusia sama di muka hukum” (equality before
the law). Paham inilah yang menjadi embrio Negara hukum, demokrasi, dan persamaan.

4. Declaration of Independence. Perkembangan HAM yang lebih modern ditandai dengan


lahirnya piagam ini, yakni deklarasi kemerdekaan Amerika dari tangan Inggris tahun
1776. Piagam ini disusun oleh Thomas Jefferson yang bersumber dari ajaran
Montesquieu. Deklarasi ini menekankan pentingnya kemerdekaan, persamaan, dan
persaudaraan. Dr. Sun Yat Sen menggunakan asas ini di Tiongkok, yang dikenal sebagai
min tsu, min chuan, dan min seng.

5. Declaration des Droits de I‟lhomme er du Citoyen. Piagam ini merupakan Piagam Hak
Asasi Manusia dan Warga Negara yang dideklarasikan di Prancis, tahun 1789. Piagam ini
banyak dipengaruhi oleh Declaration of Independence karena jasa Lafayette, seorang
jenderaldari Prancis yang ikut berperang di Amerika pada waktu negeri tersebut
membebaskan diri dari penjajah Inggris. Sekembalinya ke Prancis, Lafayette berjuang
untuk melahirkan Piagam Hak Asasi Manusia dan Warga Negara di negerinya. Piagam
ini merupakan dasar dari rule of law yang melarang penangkapan secara sewenang-
wenang. Disamping itu, piagam ini pun menekankan pentingnya asas praduga tak
bersalah (presumption of innocence), kebebasan berekspresi (freedom of expression), dan
kebebasan beragama (freedom of religion), serta adanya perlindungan terhadap hak milik
(the right of property).

6. UUD 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah Indonesia memproklamasikan


kemerdekaan, ditetapkanlah UUD yang dikenal sebagai UUD 1945. Pada alinea pertama
ditegaskan sebagai berikut: “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala
bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan,…”.

7. The Universal Declaration of Human Rights. Pada Perang Dunia II, Presiden Amerika
Serikat, Roosevelt, mendeklarasikan The Four Freedom, antara lain bebas berpendapat
dan berekspresi (freedom of speech and expression) serta bebas dari ketakutan (freedom
for fear). Deklarasi Roosevelt inilah yang menjadi dasar lahirnya Piagam HAM PBB,
yakni The Universal Declaration of Human Rights. Piagam tersebut dihasilkan oleh
Komisi Hak Asasi Manusia PBB pada sidangnya tanggal 10 Desember 1948. Deklarasi
tersebut akhirnya diterima secara resmi dalam Sidang Umum PBB.

Keberhasilan diterimanya Universal Declaration of Human Rights diikuti oleh


keberhasilan diterimanya suatu perjanjian (Convention) mengenai Genocide (1948), tentang
Kerja Paksa (1957), tentang Diskriminasi Gender (1951 dan 1962), dan Diskriminasi
berdasarkan ras (1965). Pada tahun 1966, secara aklamasi diterima pula suatu perjanjian tentang
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) dan
perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik (Covenant on Civil and Political Rights).

Skema Sejarah Perkembangana HAM Sumber: Halili (2009)

HAK ASASI MANUSIA DALAM UUD 1945

Gagasan Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945

UUD 1945 sebelum diubah dengan Perubahan Kedua pada tahun 2000, hanya memuat
sedikit ketentuan yang dapat dikaitkan dengan pengertian HAM. Pasal-pasal yang biasa
dinisbatkan dengan pengertian HAM itu adalah:

1. Pasal 27 Ayat (1) yang berbunyi, ‟Segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya‟;

2. Pasal 27 Ayat (2) yang berbunyi, „Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan‟;

3. Pasal 28 yang berbunyi, „Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran


dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang‟;

4. Pasal 29 Ayat (2) yang berbunyi, „Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu‟;

5. Pasal 30 Ayat (1) yang berbunyi, „Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut sertta
dalam usaha pembelaan negara‟;

6. Pasal 31 Ayat (1) yang berbunyi, „Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran‟;
7. Pasal 34 yang berbunyi, „Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar diperlihara oleh
negara‟.

Namun, menurut Asshiddiqie (2008) jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh, hanya 1


ketentuan saja yang memang benar-benar memberikan jaminan konstitusional atas HAM, yaitu
Pasal 29 Ayat (2) yang menyatakan, „Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu‟. Sedangkan ketentuan-ketentuan yang lain, sama sekali bukanlah rumusan tentang HAM,
melainkan hanya ketentuan mengenai hak warga negara atau the citizens‟ rights atau biasa juga
disebut the citizens‟ constitutional rights. Apa bedanya? Hak konstitusional warga negara hanya
berlaku bagi orang yang berstatus sebagai warga negara, sedangkan bagi orang asing tidak
dijamin. Satu-satunya yang berlaku bagi tiap-tiap penduduk, tanpa membedakan status
kewarganegaraannya adalah Pasal 29 Ayat (2) tersebut. Selain itu, Asshiddiqie (2008) juga
menjelaskan bahwa ketentuan Pasal 28 dapat dikatakan memang terkait dengan ide HAM. Akan
tetapi, Pasal 28 UUD 1945 belum memberikan jaminan konstitusional secara langsung dan tegas
mengenai adanya „kemerdekaan berserikat dan berkumpul, serta kemerdekaan mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan‟ bagi setiap orang, Pasal 28 hanya menentukan bahwa hal
ikhwal mengenai kemerdekaan berserikat dan berkumpul, serta mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan itu masih akan diatur lebih lanjut dan jaminan mengenai hal itu masih akan
ditetapkan dengan undang-undang.

Sementara itu, lima ketentuan lainnya, yaitu Pasal 27 Ayat (1) dan (2), Pasal negara 30
Ayat (1), Pasal 31 Ayat (1), dan Pasal 34, semuanya berkenaan dengan hak konstitusional warga
Republik Indonesia, yang tidak berlaku bagi warga negara asing. Oleh sebab itu, dapat dikatakan
bahwa yang sungguh-sungguh berkaitan dengan ketentuan HAM hanya satu saja, yaitu Pasal 29
Ayat (2) UUD 1945.

Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 Pasca Perubahan


Dewasa ini, setelah dilakukannya Perubahan Kedua UUD 1945 pada tahun 2000, ketentuan
mengenai HAM dan hak-hak warga negara dalam UUD 1945 telah mengalami perubahan yang
sangat mendasar. Materi yang semula hanya berisi 7 butir ketentuan yang juga tidak seluruhnya
dapat disebut sebagai jaminan konstitusional HAM, sekarang telah bertambah secara signifikan.
Ketentuan baru yang diadopsikan ke dalam UUD 1945 setelah Perubahan Kedua pada tahun
2000 termuat dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J, ditambah beberapa ketentuan lainnya
yang tersebar di beberapa pasal. Karena itu, menurut Asshiddiqie (2008) perumusan tentang
HAM dalam konstitusi Republik Indonesia dapat dikatakan sangat lengkap dan menjadikan
UUD 1945 sebagai salah satu undang-undang dasar yang paling lengkap memuat ketentuan yang
memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.
Pasal-pasal tentang HAM, terutama yang termuat dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal
28J, pada pokoknya berasal dari rumusan TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia yang kemudian isinya menjadi materi UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Oleh karena itu, untuk memahami konsepsi tentang hak-hak asasi manusia itu secara
lengkap dan historis, ketiga instrumen hukum UUD 1945, TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998
dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tersebut dapat dilihat dalam satu
kontinum. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan tentang hak-hak asasi
manusia yang telah diadopsikan ke dalam sistem hukum dan konstitusi Indonesia itu berasal dari
berbagai konvensi internasional dan deklarasi universal tentang HAM serta berbagai instrumen
hukum internasional lainnya.
Setelah Perubahan Kedua pada tahun 2000, keseluruhan materi ketentuan hak-hak asasi
manusia dalam UUD 1945, yang apabila digabung dengan berbagai ketentuan yang terdapat
dalam undang-undang yang berkenaan dengan HAM, dapat kita kelompokkan dalam empat
kelompok yang berisi 37 butir ketentuan (Asshiddiqie, 2008). Diantara keempat kelompok HAM
tersebut, terdapat HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun atau non-derogable
rights, yaitu:
1. Hak untuk hidup;

2. Hak untuk tidak disiksa;

3. Hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani;

4. Hak beragama;

5. Hak untuk tidak diperbudak;

6. Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum; dan

7. Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Sedangkan keempat kelompok hak asasi manusia terdiri atas; kelompok pertama adalah
kelompok ketentuan yang menyangkut hak-hak sipil yang meliputi:
1. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya;

2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang
kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan;

3. Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbudakan;

4. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya;

5. Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran, dan hati nurani;

6. Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum;

7. Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan;

8. Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut;

9. Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah;

10. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan;

11. Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal di wilayah negaranya, meninggalkan, dan
kembali ke negaranya;

12. Setiap orang berhak memperoleh suaka politik;

13. Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminatif dan berhak
mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.

Kedua, kelompok hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang meliputi:

1. Setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapatnya
secara damai dengan lisan dan tulisan;

2. Setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan
rakyat;
3. Setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan publik;

4. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi
kemanusiaan;

5. Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan yang
layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan;

6. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi;

7. Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak dan
memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang bermartabat;

8. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi;

9. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan dan pengajaran;

10. Setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan
dan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat
manusia;

11. Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak-hak masyarakat lokal
selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa-bangsa;

12. Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebudayaan nasional;

13. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing, dan untuk beribadat menurut kepercayaannya itu.

Ketiga, kelompok hak-hak khusus dan hak atas pembangunan yang meliputi:

1. Setiap warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk kelompok masyarakat
yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama;

2. Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk mendapai kesetaraan gender dalam
kehidupan nasional;
3. Hak khusus yang melekat pada diri perempuan uang dikarenakan oleh fungsi
reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum;

4. Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian, dan perlindungan orangtua, keluarga,
masyarakat dan negara bagi pertumbuhan fisik dan mental serta perkembangan
pribadinya;

5. Setiap warga negara berhak untuk berperan-serta dalam pengelolaan dan turut menikmati
manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam;

6. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat;

7. Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus yang bersifat sementara dan dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan yang sah yang dimaksudkan untuk menyetarakan
tingkat perkembangan kelompok tertentu yang pernah mengalami perlakuan diskriminatif
dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan perlakuan khusus tersebut tidak
termasuk dalam pengertian diskriminasi.

Keempat, kelompok yang mengatur mengenai tanggung jawab negara dan kewajiban asasi
manusia yang meliputi:
1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan
yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi
tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas, dan kesusilaan, keamanan,
dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis;

3. Negara bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan


hak-hak asasi manusia;

4. Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pembentukan, susunan, dan
kedudukannya diatur dengan undang-undang.
Hak-hak tersebut di atas ada yang termasuk kategori HAM yang berlaku bagi semua orang
yang tinggal dan berada dalam wilayah hukum Republik Indonesia, dan ada pula yang
merupakan hak warga negara yang berlaku hanya bagi warga negara Republik Indonesia. Hak-
hak dan kebebasan tersebut ada yang tercantum dalam UUD 1945 dan ada pula yang tercantum
hanya dalam undang-undang tetapi memiliki kualitas yang sama pentingnya secara
konstitusional sehingga dapat disebut memiliki “constitutional importance” yang sama dengan
yang disebut eksplisit dalam UUD 1945. Sesuai dengan prinsip “kontrak sosial” (social
contract), maka setiap hak yang terkait dengan warga negara dengan sendiri bertimbal-balik
dengan kewajiban negara untuk memenuhinya. Demikian pula dengan kewenangan-kewenangan
konstitusional yang dimiliki oleh negara melalui organ-organnya juga bertimbal-balik dengan
kewajiban-kewajiban konstitusional yang wajib ditaati dan dipenuhi oleh setiap warga negara.

Anda mungkin juga menyukai