Anda di halaman 1dari 13

PELAKSANAAN RESTITUSI LPSK UNTUK KORBAN

KDRT DALAM TINDAK PIDANA DI INDONESIA

Ilmu hukum: Universitas Bung Karno (Faruq Rozy Pahlevi)

Email: faruqrozu10@gmail.com

Abstrak

Sistem peradilan pidana Indonesia mencakup korban kejahatan kekerasan keluarga, sehingga
mereka yang mengalami keganasan di rumah mereka memiliki hak untuk mendapatkan
keadilan. Setelah menderita kerugian nyata dan tidak material, mereka juga memiliki hak untuk
membuat mereka yang bertanggung jawab atas tindakan mereka bertanggung jawab. Oleh
karena itu, sulit untuk memastikan penyembuhan fisik dan mental dan kesejahteraan yang layak
bagi korban kejahatan pelecehan keluarga. Karena itu, masih ada banyak masalah dengan
implementasi hak atas kompensasi yang harus dimiliki korban kejahatan pelecehan seksual.
Peran Institut untuk Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam menerapkan hak-hak
korban, khususnya dalam hal restitusi sebagai salah satu cara korban kejahatan dapat
mendapatkan keadilan.

Kata Kunci: Restitusi, Korban, Keadilan


Abstack
Indonesia's criminal justice system includes victims of domestic violence crimes, so those who
experience violence in their homes have a right to justice. Having suffered both tangible and
intangible losses, they also have a right to hold those responsible for their actions accountable.
It is therefore challenging to ensure the physical and mental healing and well-being that victims
of domestic abuse crimes deserve. Because of this, there are still numerous issues with the
implementation of the right to reimbursement that victims of domestic abuse crimes should
have. The role of the Institute for the Protection of Witnesses and Victims (LPSK) in putting
victim rights into practice, specifically with regard to restitution as one of the ways victims of
crime can get justice.

Key Words: Legal System, Marriage Agreement, Mixed Marriage


I. Pendahuluan
Seorang korban kegiatan kriminal jauh lebih mungkin menderita kerugian, baik
material maupun immaterial, psikis dan fisik. Orang yang dirugikan dalam kejahatan adalah
korban. Dalam sistem peradilan pidana, korban tidak memiliki peran aktif, tetapi mereka
berperan dalam kasus-kasus pengadilan. Kejahatan penting karena saksi, seperti korban,
memiliki kekuatan untuk memutuskan apakah tersangka atau terdakwa dalam kasus pidana
dinyatakan bersalah atau tidak. Juga diyakini bahwa korban memiliki suara yang
mempengaruhi pilihan hakim. 1

Salah satu fenomena yang terjadi dalam komunitas sosial adalah kekerasan dalam
rumah tangga. Ketika mempertimbangkan kekerasan dalam rumah tangga dari perspektif
viktimologis, biasanya disebut sebagai hidden crime (kejahatan yang tersembunyi).
Dinamakan demikian karena korban dan pelaku sama-sama berusaha menyembunyikan
tindakan tersebut dari pandangan publik. Dalam budaya Jawa, "membuka rasa malu keluarga
berarti membuka aib diri sendiri."2 Menurut Harkristuti Harkrisnowo, situasi ini semakin
diperparah dengan ideologi menjaga ketat praja atau ideologi keluarga. Pada beberapa
kesempatan, ini telah mengakibatkan tingginya "The Dark Number" yang tidak dilaporkan. 3

Karena korban kejahatan KDRT menderita kerugian baik materiil maupun immateriil,
mereka memiliki hak atas keadilan karena mereka termasuk dalam sistem peradilan pidana
Indonesia. Karena kemunduran ini, korban kejahatan yang melibatkan kekerasan dalam rumah
tangga di Indonesia memiliki hak hukum untuk meminta restitusi dari mereka yang melanggar
hukum. Sistem peradilan pidana Indonesia dapat menggunakan pendekatan mediasi pidana
untuk memenuhi akuntabilitas korban karena dapat menciptakan hukum progresif yang
mengharuskan semua pelanggaran diselesaikan di luar kendali negara, tidak termasuk pihak
lain. Pelaku tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban konstruktif untuk
mengkompensasi kerugian akibat kesalahan mereka melalui penggunaan proses mediasi
pidana dalam tindak pidana.

Salah satu cara penerapan keadilan restoratif adalah melalui mediasi pemasyarakatan,
yang berfokus pada rehabilitasi, resosialisasi, restitusi, reparasi, dan kompensasi dalam
penyelesaian suatu perkara pidana. Kejahatan atau tindak pidana lebih dari sekadar masalah
bagi penjahat, dengan negara bertindak sebagai wakil korban dan negara dan pelaku menangani
satu-satunya tanggung jawab untuk menemukan solusi. Dalam rangka menerapkan Restorative
justice, sistem peradilan pidana harus memenuhi kepentingan korban sebagai pihak yang
dirugikan oleh perbuatan pelaku. Oleh karena itu, agar mediasi pidana dapat dimasukkan dalam
sistem peradilan pidana Indonesia, diperlukan perubahan paradigma dalam hukuman. 4

1 Vivi Arianti, Konsep Perlindungan Korban Dalam System Peradilan Pidana Nasional Dan System Hukum Pidana Islam, Jurnal Kajian Hukum
Islam, Volume XIII Nomor 1, Juni 2019.
2 Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm. 1.
3 Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana dan Kriminolog, Edisi I Cetakan ke-2, Bandung: PT. Alumni, 2009, hlm. 2.
4 Nahdiya Sabrina, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Korban Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jurnal Cakrawala Hukum,

Volume 7 Nomor 2 Desember 2016.


Selain itu, dalam mediasi pidana, korban meminta kompensasi dari pelaku. Meskipun
korban dan pelaku memiliki kesepakatan untuk membayar kompensasi, ini tidak menghentikan
penuntutan untuk melanjutkan, memungkinkan sistem hukum berfungsi sebagaimana
mestinya. Perjanjian kompensasi hanyalah faktor yang dipertimbangkan jaksa ketika
memutuskan apakah akan mengajukan tuntutan; Hakim membuat keputusan akhir. Karena
tidak ada undang-undang yang mengatur penggunaan mediasi pidana atau kedudukan hukum
dari perjanjian yang muncul darinya, mediasi pidana dalam sistem peradilan pidana saat ini
hanya memerlukan penuntutan. 5

Karena tujuan utamanya adalah untuk mengkompensasi korban atas semua kerugian
yang dialami, kewajiban pelaku untuk melakukan restitusi kepada korban pelecehan seksual
tergantung pada status sosial korban dan pelaku masing-masing. Pemulihan martabat dan
martabat korban memiliki prioritas jika status korban lebih tinggi dari status pelaku. Jika status
korban lebih rendah dari status pelaku, maka tanggung jawabnya lebih material. 6

Karena tidak ada jaminan keadilan yang ditawarkan oleh pemerintah, penegak hukum,
lembaga sosial, atau penjahat, hak untuk kompensasi bagi korban pelecehan seksual belum
dilaksanakan dengan benar. Oleh karena itu, masih sulit untuk menerapkan undang-undang
yang memberi korban pelecehan seksual hak untuk kompensasi. 7

Dalam kasus Marteda, korban mengalami penyiksaan fisik dan psikologis, ancaman,
dan perlakuan tidak manusiawi oleh pelaku, yang diketahui keluarganya. Ferdinan adalah
suami korban di rumah. Karena keterbatasan keuangan, korban tinggal dengan pelanggar; tanpa
pendapatan, korban tidak dapat melewati dan karenanya menjadi korban pelecehan rumah
tangga suaminya. Korban memutuskan untuk bertahan dengan bulan-bulan menderita karena
takut pasangannya menceraikannya daripada melaporkan suaminya ke polisi karena dia
khawatir dia akan merasa sulit untuk memenuhi tuntutan kehidupan sehari-hari. Setelah
menanggung pelecehan suaminya untuk waktu yang cukup lama, korban memberitahu
keluarganya tentang hal itu dan menerima penerimaan hangat mereka. Korban kemudian
memiliki keberanian untuk membawa suaminya di depan individu yang bertanggung jawab
atas perlakuan dia terhadapnya di dalam rumah. 8

5 Evan Achjani, Zulfa, Keadilan Restoratif, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009, hlm. 64.
6 Ibid. hlm. 173.
7 Chaeruddin dan Syarif Fadillah, Korban Kejahatan Dalam Persepektif Viktimologi dan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Grahadika Press, 2004,

hlm. 65.
8 Handoko Dardhak Saputro, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif

Undang-Undang Perlindungan Anak, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, Volume 14 Nomor 2 Juli 2016.
Irma, majikan Nurlela, menderita pelecehan fisik dan psikologis, termasuk
memukulnya dengan pisau, memukul jari-jari korban, menenggelamkan tubuh korban dalam
air panas, dan tindakan-tindakan lainnya. Setelah bekerja selama lima tahun untuk menerima
gaji dari majikannya, korban melarikan diri dari rumah pelaku dan pergi ke rumah pamannya
untuk bantuan. Setelah mengalami pelecehan di tangan pamannya, korban pergi ke LPSK
untuk mencari perlindungan dan meminta bahwa lPSK menghentikan kekerasan rumah tangga
majikan terhadapnya dan membawa pihak yang bersalah ke pengadilan.

Dua kasus di atas menjelaskan kerentanan kejahatan kekerasan domestik dalam lingkup
rumah tangga, dan korban kejam domestik menderita banyak kerugian fisik dan psikologis,
dan banyak petugas penegak hukum kurang memperhatikan kerusakan yang dialami korban,
karena otoritas penegakan hukum lebih memperhatikan hak pelaku daripada hak korban,
sehingga merugikan korban kehamilan. Korban pelecehan dalam rumah tangga memiliki hak
hukum yang sama dengan pelakunya, yang berarti dia dapat mengklaim restitusi untuk
dibebaskan dari efek-efek setelah kejahatan dan kembali ke kondisi mereka sebelum
mengalami kekerasan di rumah. Dalam konteks ini, pertanyaan dapat diformulasikan sebagai
berikut: bagaimana rehabilitasi korban KDRT diimplementasikan melalui LPSK di Indonesia,
dan apa tantangan yang terkait dengan restitusi korban yang dipenuhi dalam sistem peradilan
pidana Indonesia?

II. Metode Penelitian


Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif karena berkaitan dengan sistem
peradilan pidana di Indonesia dan hak kompensasi korban kekerasan dalam keluarga. Norma
penelitian bertujuan untuk memahami aspek normatif dan praktis dari implementasi hak
restitusi korban, yang harus menjadi hak keadilan yang diberikan kepada korban kejahatan
domestik kekerasan atas kerugian yang mereka derita, termasuk kerusakan material dan
intangible (fisik dan psikologis).

III. Hasil Dan Pembahasan

A. Implementasi Restitusi Korban KDRT Melalui LPSK di Indonesia

Pertama-tama, inti dari kerugian korban adalah gagasan di balik mendirikan Yayasan
untuk Perlindungan Saksi dan Korban terhadap Korban Kejahatan. Ternyata jenis-jenis
kerugian ini melibatkan penderitaan psikologis di samping rasa sakit material atau fisik, itulah
sebabnya korban kejahatan mengalami trauma. 9 Dalam hal ini, Badan Perlindungan Saksi dan
Korban telah berkolaborasi dengan berbagai organisasi mengenai pemenuhan kompensasi, dan
telah mendapatkan pengakuan luas atas pentingnya kerjasama dalam melindungi saksi dan
korban sebagai bagian dari penegakan hukum pidana.10
Selain itu, Pasal 7A ayat 1 dari Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan
Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi atau Korban menjelaskan
peran Institute for the Protection of Witness and Victim dalam memenuhi hak korban kejahatan
untuk mendapatkan keadilan melalui restitution. 11 Pasal ini menyatakan bahwa:
1) Korban kejahatan berhak atas pengembalian:
a) kompensasi atas kerugian harta benda atau pendapatan.
b) pembayaran atas kerugian yang dialami akibat rasa sakit dan penderitaan yang terkait
langsung dengan pelanggaran dan/atau
c) pengembalian biaya perawatan terapi dan/atau perawatan medis.

Restitution in integrum adalah upaya, meskipun diakui bahwa korban kejahatan tidak
akan pernah kembali ke keadaan pra-kejahatan, untuk memaksa korban untuk kembali ke
kondisi pra-kejahatan. Prinsip ini menyatakan bahwa korban kejahatan harus menerima
pemulihan yang paling komprehensif, menangani semua aspek yang timbul dari konsekuensi
kejahatannya. Pemulihan memungkinkan korban kejahatan untuk mendapatkan kembali
kebebasan, hak hukum, status sosial, kehidupan keluarga, dan kewarganegaraan. Ini juga
memungkinkan mereka untuk kembali ke rumah mereka, mendapatkan pekerjaan mereka
kembali, dan mendapatkan aset mereka kembali. 12

Berdasarkan Pasal 7A ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan
Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menyatakan
bahwa “perbuatan pidana seperti yang disebutkan dalam ayat (1) ditetapkan oleh Peraturan
Lembaga untuk perlindungan saksi dan korbannya,” ketentuan ini tentang restitusi masih
memiliki sejumlah masalah saat diperiksa dengan teliti. Hal ini karena mekanisme untuk
memberikan hak pengembalian kepada korban kejahatan telah dibatasi. Oleh karena itu, dapat
diduga bahwa ketentuan itu melanggar hak-hak korban.13

Setelah Badan Perlindungan Saksi dan Korban menyelesaikan proses, pemenuhan


restitusi untuk korban pelanggaran pidana diserahkan ke jaksa umum untuk dimasukkan dalam
klaim pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum permanen melalui peran Institut
Perlindung Saksi-korban. Keterlibatan Badan Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses
memenuhi hak pengembalian kepada korban dapat menyebabkan waktu yang lama bagi korban
untuk mendapatkan hak untuk mengembalikan.

9 Muladi dan Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Penerbit Alumni, 1992, hlm. 84.
10 Agus Takariawan, Op.Cit, hlm. 14.
11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan

Korban.
12 Supriyadi Widodo Eddyono, Masukan Terhadap Perubahan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta:

Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban, 2008, hlm. 16.


13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan

Korban.
Membantu korban kejahatan mendapatkan restitusi adalah proses yang sulit dan
memakan waktu yang melibatkan saksi dan perlindungan korban. Seorang hakim tidak diminta
untuk memutuskan tentang permintaan restitusi yang telah memasuki bagian tuntutan
pengadilan; Namun, ketika permintaan restitui telah sampai ke jaksa umum dan diajukan dalam
tuntutan Pengadilan, hakim tidak selalu menerima restitui yang dimasukkan ke bagian
tuntunan. Peran Badan Perlindungan Saksi dan Korban sangat penting dalam meyakinkan jaksa
dan hakim bahwa korban pelecehan seksual berhak mendapatkan kompensasi karena masih
ada banyak hakim yang enggan untuk menyerah pada restrukturisasi karena mereka memiliki
banyak kekhawatiran terkait restitusi. 14
Selain itu, ada hambatan yang mencegah korban mendapatkan hak mereka untuk
restitusi sehubungan dengan pemenuhan kompensasi mereka di bawah Institut untuk
Perlindungan Saksi dan Korban. Penghalang ini adalah kurangnya penjelasan mengenai
ketentuan yang mengatur entitas atau pihak yang diberi wewenang untuk melakukan
pengembalian.15

Karena berfungsi sebagai penghubung antara korban dan badan penegak hukum dan
karena kerjasama antara kedua organisasi membantu membuka perspektif penegakan hukum
tentang kompensasi, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban memainkan peran penting
dalam mendukung dan melindungi korban pelecehan keluarga. Pasal 19 (1) Peraturan
Pemerintah No. 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Pengembalian, dan Bantuan
Kepada Saksi dan Korban mencakup penjelasan tentang pengembalian. Ia membaca sebagai
berikut:16
1) Korban kejahatan berhak mendapatkan kompensasi dalam bentuk:
a) kompensasi atas kerugian atas harta benda atau pendapatan yang hilang;
b) perbaikan atas kerusakan yang timbul akibat penderitaan yang terkait langsung
dengan kejahatannya; dan/atau
c) pengembalian biaya yang terkait dengan perawatan medis atau psikologis.

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Pengembalian,


Kompensasi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban Menjelaskan bagaimana korban memiliki
hak atas kompensasi. Karena restitusi sudah diatur oleh aturan, penegak hukum harus lebih
fokus pada meningkatkan sistem peradilan bagi korban kejahatan kekerasan keluarga sehingga
mereka dapat mendapatkan restitusi. Ini karena korban mengharapkan keadilan yang
melampaui sekadar menutup pelaku; mereka juga memiliki hak untuk kompensasi atas
kerugian apa pun yang mungkin mereka alami sebagai akibat dari kejahatan.

14 Emy Rosna Wati, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga di Kabupaten Sidoarjo Pasca Berlakunya Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004, Jurnal Holrev, Volume 1 Issue 1 Maret 2017.
15 Alvianto.R.V. Ransun, Mekanisme Pemberian Kompensasis Dan Restitusi Bagi Korban Tindak Pidana, Jurnal Lex Crimen, Volume 1 Nomor

1 Maret 2012.
16 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.
B. Problematika Pemenuhan Restitusi Korban KDRT Dalam Sistem
Peradilan Pidana Indonesia

Definisi, sifat, dan metode menghitung kerugian serta proses pengajuan kompensasi
tidak jelas karena proses memberikan kompensasi kepada korban kejahatan kekerasan
keluarga. Ada juga ambiguitas mengenai otoritas pihak-pihak yang terlibat dalam sistem
penegakan perhitungan kerugian, dan otoritas hukum juga tidak mengetahui jenis kompensasi
ini. Dengan demikian, istilah "properti" mengacu pada mekanisme restitusi atau kompensasi
yang digunakan dalam sistem peradilan pidana karena properti adalah mekanisme yang
melindungi hak-hak korban dengan mengkompensasi pelanggar atas nama korban. 17

Selain itu, diatur dalam Pasal 98 ayat 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang
Buku Hukum Prosedur Pidana. "Jika tindakan yang merupakan dasar untuk tuduhan dalam
penyelidikan pidana oleh Pengadilan Negeri menyebabkan kerusakan kepada orang lain, maka
hakim Mahkamah Agung dapat memerintahkan untuk menggabungkan klaim kerusuhan ke
dalam kasus pidana itu atas permintaan orang itu." 18

Pasal sebelumnya menjelaskan bahwa jika korban mengalami kerugian akibat


perbuatan yang menjadi objek tuduhan dalam kasus yang telah dibawa ke pengadilan oleh jaksa
jenderal, korban dapat mengajukan tuntutan ganti rugi terhadap jaksa umum, dan hakim dapat
memutuskan untuk menggabungkan kasus kerusakan korban dengan kasus pidana selama
pengadilan. Akibatnya, selain denda dan menghukum pelaku, keputusan hakim yang akan
datang juga akan mengharuskan pelaku pelecehan seksual untuk melakukan restitusi.

Agar korban dapat menggunakan haknya untuk mencari keadilan, penyelidik dan jaksa
jenderal memiliki kewajiban untuk memberi tahu mereka tentang hak mereka untuk meminta
pengembalian. Untuk memastikan bahwa pelanggar menerima hukuman terberat yang
mungkin dan mencegah pelecehan domestik terjadi pada korban lain, koordinasi antara
dukungan korban, penegak hukum, layanan sosial, layanan kesehatan, dan lembaga terkait
lainnya sangat penting. Selain itu, melalui berbagai program rehabilitasi dan restorasi, martabat
manusia korban dipulihkan. 19

Korban (Marteda S. Funit) dalam Putusan No. 02/Pid.Sus/2017/PN.SOE adalah istri


terdakwa (Ferdinan Asuat), yang secara teratur mengalami pelecehan rumah tangga, termasuk
ancaman, penyiksaan fisik atau psikologis, dan perlakuan tidak manusiawi.
Fakta-fakta ini memenuhi persyaratan melakukan tindakan kekerasan fisik di dalam rumah
tangga sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 44, ayat 1.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam


Rumah Tangga tidak secara khusus mengatur proses restitusi kepada korban kejahatan

17 Dominggus Steven Djilarpoin, Sherly Adam, Pemenuhan Hak-Hak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi Pada Polres Kepulauan
Aru), Jurnal Kreativitas Mahasiswa Hukum, Volume 1 Nomor 1, April 2021.
18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
19 Ratna Kartika, Penerapan Asas Restitusi Sebagai Pedoman Kepastian Hukum Dalam Menyelesaikan Perkara Korban Perdagangan Orang

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Kasus Perkara
Berdasarkan Nomor 187/Pid.Sus/2018/Pn.Grt), Jurnal Hukum Media Justitia Nusantara Volume X Nomor 1 Februari 2020.
kekerasan dalam rumah tangga, oleh karena itu tidak ada permohonan restitusi yang diajukan
dalam proses pengadilan yang disebutkan di atas. Oleh karena itu, sangat sulit bagi korban
pelecehan seksual untuk mendapatkan hak restrukturisasi jika mereka hanya mematuhi
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Keluarga. Selain itu,
petugas penegak hukum juga sedikit memperhatikan hak korban untuk pemulihan.

Seperti disebutkan dalam Keputusan No. 1/Pid. Sus/2017/PN.Blb, korban Nurlela


bekerja sebagai pengasuh di rumah Irma. (pelaku). Korban, Nurlela, dijanjikan gaji Rp 500.000
per bulan; namun, pada kenyataannya Nurlela hanya menerima upah Rp 300.000 sebulan, yang
hanya dia terima sekali selama lima tahun bekerja di rumah Irma. Ketika Nurlela bekerja
sebagai pekerja rumah tangga, dia mengalami perlakuan yang tidak manusiawi, termasuk
pelecehan fisik (seperti memukul kepalanya dengan pisau, memukul jarinya dengan hammock,
dan menumpahkan air panas ke dalam tubuhnya dengan kuku, antara lain) dan pelanggaran
psikologis.

Akibatnya, Nurlela (korban) melarikan diri dari rumah Irma dan pergi melalui
pamannya untuk mendapatkan bantuan dari Badan Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK),
yang juga menentukan kerugian Nurlela. Dengan bantuan LSPK, Nurlela mampu mendapatkan
pengembalian dana dari Irma (pemenang) sebesar Rp 150.000.000, yang disetor langsung ke
rekening bank BNI Nurlela sebagai bukti bahwa Irma telah mematuhi kewajiban untuk
memberikan Nurlela Hak untuk Pengembalian (korban). Nurlela, korban pelecehan domestik,
diberi kesempatan untuk mendapatkan keadilan dari Pengadilan Negeri Bale Bandung dengan
membuat mantan majikannya, Irma, bertanggung jawab atas perlakuan kejamnya padanya.
Pelaku tidak hanya menghadapi hukuman penjara, tetapi juga kewajiban untuk mengembalikan
Nurlela. (Korban).

Seperti yang ditunjukkan oleh kasus yang disebutkan di atas, korban pelecehan
domestik dapat mencari keadilan dan menerima kompensasi yang proporsional dengan
kerugian yang mereka derita. Ini berarti bahwa semua korban pelecehan seksual harus berhak
mendapatkan kompensasi.
Karena fakta bahwa mayoritas korban pelecehan seksual mengalami kerusakan fisik dan
psikologis yang parah. Namun, tidak semua korban kejahatan kekerasan di rumah tangga ini
memiliki kesempatan untuk menerima kompensasi.

Sebelum korban kejahatan kekerasan keluarga diberikan hak untuk kompensasi, setiap
klaim kompensasi untuk korban tersebut harus melalui proses yang sangat rumit. Selain itu,
lembaga ini didirikan sesuai dengan putusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang
dinyatakan dalam Pasal 2 Pasal 7A Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang perlindungan
saksi dan korban.
Semua korban kejahatan akan memiliki akses yang lebih sedikit ke hak mereka untuk restitusi
jika ada pembatasan pada hak restitusi. Ini hanya sesuai dengan tujuan dari kelompok studi
Perlindungan Saksi dan Korban, yaitu mengurangi inciden malaria di Indonesia (ISSN: 1907-
8188) dan tuberkulosis di Indonesia. Lebih sebagai perpanjangan, dapat dikatakan bahwa ini
adalah hasil dari upaya Asosiasi Saksi dan Korban Perlindungan untuk memberikan
perlindungan bagi anak yang belum lahir.
IV. Penutup
1. Pasal 7A ayat 1 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang
No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi atau Korban menggambarkan peran
Lembaga Pertahanan Saksi dan Korban (LPSK) dalam memenuhi hak-hak korban tindak
pidana untuk mendapatkan keadilan dalam bentuk restitusi. Mendapatkan keadilan dalam
bentuk kompensasi adalah salah satu hak korban kejahatan. Tujuan restitusi, seperti yang
didefinisikan oleh prinsip restorasi in integrum, adalah untuk mencoba mengembalikan
korban pelanggaran ke keadaan pra-pelanggaran mereka, meskipun diakui bahwa hal ini
tidak mungkin. Prinsip ini menyatakan bahwa korban kejahatan harus menerima pemulihan
yang paling komprehensif, menangani semua aspek yang timbul dari konsekuensi
kejahatannya. Pemulihan memungkinkan korban kejahatan untuk mendapatkan kembali
kebebasan, hak hukum, status sosial, kehidupan keluarga, dan kewarganegaraan. Ini juga
memungkinkan mereka untuk kembali ke rumah mereka, mendapatkan pekerjaan mereka
kembali, dan mendapatkan aset mereka kembali.

2. Karena kekerasan dalam rumah tangga merupakan bagian dari sistem peradilan pidana
Indonesia, mereka yang menjadi korban kejahatan keganasan dalam keluarga memiliki hak
untuk mendapatkan keadilan karena mereka menderita kerugian yang nyata dan tak
berwujud. Dengan demikian, Selain mengenakan denda dan hukuman kepada para
pelanggar, putusan hakim juga mengharuskan mereka yang bersalah atas kejahatan
pelecehan domestik untuk melakukan restitusi. Agar korban dapat menggunakan haknya
untuk mencari keadilan, penyelidik dan jaksa jenderal memiliki kewajiban untuk memberi
tahu mereka tentang hak mereka untuk meminta pengembalian. Untuk memastikan bahwa
pelanggar menerima hukuman terberat yang mungkin dan mencegah pelecehan domestik
terjadi pada korban lain, koordinasi antara dukungan korban, penegak hukum, layanan
sosial, layanan kesehatan, dan lembaga terkait lainnya sangat penting. Selain itu, melalui
berbagai program rehabilitasi dan restorasi, martabat manusia korban dipulihkan.
Daftar Bacaan Buku
Achjani, E., & Zulfa. ( 2009). Keadilan Restoratif. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.
Arif, B. N., & Muladi. ( 1992 ). Bunga Rampai Hukum Pidana, hlm. 84. Bandung : Penerbit
Alumni.
Eddyono, S. W. ( 2008). Masukan Terhadap Perubahan UU No. 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban . Jakarta : Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban.
Mansur, D. M., & Guhom, E. ( 2007). Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma
dan Realita . Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rukmini, M. ( 2009). Aspek Hukum Pidana dan Kriminolog, Edisi I Cetakan ke-2. Bandung :
PT. Alumni, .
Saraswati, R. (2006). Perempuan Dan Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Soeroso, M. H. ( 2012). Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis
Viktimologis . Jakarta : Sinar Grafika .
Syarif Fadillah, & Chaeruddin. ( 2004). Korban Kejahatan Dalam Persepektif Viktimologi dan
Hukum Pidana Islam. Jakarta : Grahadika Press .
Takarya, A. ( 2016). Perlindungan Saksi dan Korban. Bandung: Pustaka Reka Cipta .
Jurnal
Alvianto.R.V, & Rasun. ( 1 Maret 2012). Mekanisme Pemberian Kompensasis Dan Restitusi
Bagi Korban Tindak Pidana, Jurnal Lex Crimen . https://ejournal.unsrat.ac.id/index.
php/lexcrimen/article/view/348/273, Volume 1 Nomor .
Apriyani, M. N. (Juni 2021). Implementasi Restitusi Bagi Korban Tindak Pidana Kekerasan
Seksual, Jurnal Risalah Hukum. https;//e journal.fh.unmul.ac.id/index.php/risalah/
article/ download/492/209/., Volume 17 Nomor 1 .
Arianti, V. ( Juni 2019 ). Konsep Perlindungan Korban Dalam System Peradilan Pidana
Nasional Dan System Hukum Pidana Islam . https:// doi.org/10.24090/mnh.v0i1.2224,,
Volume XIII Nomor 1.
Kartika, R. (1 Februari 2020). Penerapan Asas Restitusi Sebagai Pedoman Kepastian Hukum
Dalam Menyelesaikan Perkara Korban Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang . http://ojs.uninus.ac.id/ index.php/MJN/article/view/1905., Volume X.
Sabrina, N. ( Desember 2016). Pemenuhan Hak Korban Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan
Pidana, Jurnal Cakrawala Hukum . http:// jurnal.unmer.ac.id/index.php/jch/article/
view/1913., Volume 7 Nomor 2.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah


Tangga.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan korban.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Konpensasi, Restitusi dan
Bantuan Kepada Saksi dan Korban.

Anda mungkin juga menyukai