Anda di halaman 1dari 17

CORAK PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID TENTANG

POLITIK KEBANGSAAN DI INDONESIA

oleh Izzul Muna


Jurusan Falsafah dan Agama, Universitas Paramadina Jakarta

Abstrak

Sebagai tokoh yang hidup di tiga zaman pembangunan Indonesia, yaitu orde lama, orde
baru, dan orde reformasi. Prof. Dr. Nurcholish Madjid atau yang akrab disapa Cak Nur
tentunya mempunyai pandangan-pandangan atas pengalaman yang dilaluinya dalam alam
perpolitikan di Indonesia. Memang secara de facto dan de jure, Cak Nur bukan pengurus
partai politik yang identik dengan politik praktis, tetapi sebagai cendekiawawan dan aktivi,
Cak Nur peduli terhadap perkembangan kemajuan bangsa dan dari situlah pemikiran-
pemikiran politik kebangsaannya muncul. Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk
menyelami pemikiran Cak Nur khususnya terkait dengan politik kebangsaan di Indonesia dan
menemukan corak yang khas dari pemikiran Cak Nur tersebut. Metode penulisan yang
penulis gunakan dalam penulisan artikel ini adalah menggunakan teknik penelitian
kepustakaan yang diambil dari buku-buku, jurnal, artikel yang ditulis baik oleh Cak Nur
sendiri maupun pihak lain yang terkait dengan pemikiran Cak Nur. Pembahasan difokuskan
pada pemikiran politik kebangsaan Cak Nur dilihat dari perspektif pembangunan nasional,
persatuan nasional, serta demokrasi dan demokratisasi di Indonesia. Hal yang penulis dapati
dari pemikiran Cak Nur dalam politik kebangsaan dengan ketiga perspektif tersebut adalah
Cak Nur mempunyai corak pemikiran yang agamis, nasionalis, humanis, modern,
konstitusional, dan kritis. Kesimpulan yang dapat diambil dari penulisan ini adalah bahwa
latar belakang agamis Cak Nur tidak menghalangi untuk berjuang dalam pemikiran
nasionalis dan berkomitmen untuk terus menjaga keutuhan bangsa Indonesia. Justru dengan
modal sebagai santri akan mempunyai fondasi keagamaan yang kuat yang mampu
menginspirasi pola pembangunan dan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

kata kunci:pemikiran, politik, kebangsaan, pembangunan, persatuan, demokrasi, demokratisasi

1
1. Pendahuluan

Prof. Dr. Nurcholish Madjid atau yang akrab disapa Cak Nur merupakan salah satu intelektual
dan cendekiawan muslim di Indonesia. Sejak mahasiswa beliau aktif di Himpunan Mahasiswa
Islam dengan karir puncak sebagai Ketua Umum. Aktivitas di organisasi kemahasiswaan dan
ditambah dengan kemampuan intelektualnya yang menguasai khazanah Islam klasik dan
kontemper, serta pemikiran-pemikiran sosial modern membuat Cak Nur terlibat aktif dalam
memberikan sumbangsih pemikiran-pemikiran untuk kemajuan kehidupan berbangsa dan
bernegara khususnya dalam bidang politik.

Pemikiran-pemikiran Cak Nur dalam politik untuk kehidupan berbangsa dan bernegara, hemat
penulis menarik untuk dikaji dan didalami untuk diketahui corak yang khas dari pemikiran Cak
Nur. Politik kebangsaan sendiri hemat penulis mempunyai spektrum yang lebih luas daripada
sekadar politik praktis yang notabene orientasinya lebih dekat ke kekuasaan. Politik kebangsaan
mengandung nilai-nilai yang elegan dan cenderung untuk memberikan sumbangsih pada tatanan
kehidupan bangsa yang lebih baik tanpa pamrih tertentu, terutama kekuasaan. Cak Nur dalam
posisi sebagai intelektual muslim mengambil posisi yang tepat dengan mengambil jarak dari
politik praktis namun tetap peduli pada kemajuan kehidupan bangsanya.

Pada penelitian-penelitian sebelumnya, penulis melihat banyak diambil pengkajian pemikiran


Cak Nur pada sudut keislaman, teologi, filsafat, dan yang paling dekat adalah dari sudut
pemikiran sosial. Selain itu, mengingat Cak Nur cukup dikenal dengan slogan pembaruannya,
banyak peneliti yang mengambil perspektif bagaimana alur berpikir Cak Nur tentang ide
pembaruan yang diusungnya. Tema lain yang sudah diteliti adalah terkait dengan pemikiran
tentang pendidikan Islam, strategi dakwah, dan juga tema-tema terkait dengan kemodernan.

Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk menyelami pemikiran Cak Nur khususnya terkait
dengan politik kebangsaan di Indonesia dan menemukan benang merah atau corak yang khas
dari pemikiran Cak Nur terkait dengan apa yang hendak Cak Nur perjuangkan dalam konteks
kehidupan di Indonesia. Metode penulisan yang penulis gunakan dalam penulisan artikel ini
adalah menggunakan teknik penelitian kepustakaan yang diambil dari buku-buku, jurnal, artikel
yang ditulis baik oleh Cak Nur sendiri maupun pihak lain yang terkait dengan pemikiran Cak
Nur.

Adapun untuk pembahasan difokuskan pada pemikiran politik kebangsaan Cak Nur dilihat dari
perspektif pembangunan nasional, persatuan nasional, serta demokrasi dan demokratisasi di
Indonesia. Hal yang penulis dapati dari pemikiran Cak Nur dalam politik kebangsaan dengan
ketiga perspektif tersebut adalah Cak Nur mempunyai corak pemikiran yang agamis, nasionalis,
humanis, modern, konstitusional, dan kritis. Kesimpulan yang dapat diambil dari penulisan ini
adalah bahwa latar belakang agamis Cak Nur tidak menghalangi untuk berjuang dalam
pemikiran nasionalis dan berkomitmen untuk terus menjaga keutuhan bangsa Indonesia. Justru
dengan modal sebagai santri akan mempunyai fondasi keagamaan yang kuat yang mampu
menginspirasi pola pembangunan dan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

2
2. Metode Penulisan

Metode penulisan yang penulis gunakan dalam penulisan artikel ini adalah menggunakan teknik
penelitian kepustakaan yang diambil dari buku-buku, jurnal, artikel yang ditulis baik oleh Cak
Nur sendiri maupun pihak lain yang terkait dengan pemikiran Cak Nur. Hasil penelitian tersebut
kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif untuk mengurai dan menganalisis bagaimana corak
pemikiran Cak Nur tentang politik kebangsaan di Indonesia.
Beberapa tema penulisan Cak Nur yang hendak penulis analisis untuk mendapatkan bagaimana
corak pemikiran Cak Nur tentang politik kebangsaan di Indonesia antara lain terkait dengan
tema-tema pembangunan nasional, persatuan nasional, serta demokrasi dan demokratisasi di
Indonesia. Penulis berpendapat dari tema-tema tersebut-lah dapat digali corak pemikiran Cak
Nur tentang politik kebangsaan di Indonesia.
Penulisan akan dimulai dengan memaparkan profil singkat Cak Nur untuk mendapatkan
pemahaman latar belakang pemikiran beliau. Kemudian akan diuraikan beberapa pemikiran-
pemikiran Cak Nur terkait dengan tema-tema Pembangunan nasional. Persatuan nasional, serta
demokrasi dan demokratisasi di Indonesia untuk mendapatkan pemahaman terkait pemikiran
Cak Nur terkait dengan tema tersebut. Lebih lanjut, penulis akan masuk pada uraian politik
kebangsaan dan menguraikan corak pemikiran Cak Nur tentang politik kebangsaan di Indonesia
dan kemudian ditutup dengan kesimpulan.

3
1. Pembahasan

A. Profil Singkat Nurcholish Madjid

Nurcholish Madjid atau lebih akrab disapa dengan Cak Nur lahir di Jombang, Jawa Timur
pada tanggal 17 Maret 1939. Cak Nur lahir dari keluarga santri. Ayahnya K.H. Abdul
Madjid, sesuai gelarnya adalah seorang Kiai dari Nahdlatul Ulama. Dalam
perkembangannya Kiai Abdul Madjid aktif dalam kegiatan politik Masyumi yang lebih
beraliran Islam modern.1
Dengan latar keluarga santri, garis pendidikan Cak Nur tentu tidak jauh dari berlatar agama.
Sejak kecil Cak Nur telah mengenyam Pendidikan pesantren di Pondok Pesantren Rejoso,
Jombang dan kemudian berlanjut di Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo. Pondok
ini mempunyai semboyan “berdiri di atas semua golongan” yang berarti tidak berafiliasi ke
organisasi keagamaan apapun di Indonesia.
Lima tahun di Gontor, Cak Nur melanjutkan petualangan belajarnya di IAIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta pada tahun 1961. Cak Nur mengambil jurusan Sastra Arab dan lulus
pada tahun 1968. Jakarta sebagai kota termodern dan Ibukota negara membuat Cak Nur
mempunyai akses pergaulan yang luas dan bisa menikmati cara pergaulan yang terbuka.
Selama menjadi mahasiswa IAIN, Cak Nur juga aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
dengan beberapa jabatan, antara lain Ketua HMI Cabang Ciputat, bahkan Ketua Umum
Pengurus Besar HMI. Tidak hanya menduduki jabatan struktural di HMI, Cak Nur juga aktif
merumuskan nilai dasar perjuangan (NDP) HMI sebagai “ideologi” para aktivis HMI. Cak
Nur memandang perlu untuk merumuskan NDP setelah melihat bahwa organisasi
mahasiswa lain sudah lebih dulu mempunyai nilai dasar yang menjadi pegangan.2
Pendidikan formal Cak Nur berlanjut pada tahun 1978, ketika, Cak Nur mendapatkan
beasiswa pascasarjana di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Pada kesempatan inilah
Cak Nur bertemu dengan Fazlur Rahman, pemikir Islam kontemporer dari Pakistan. Pada
kesempatan ini, Cak Nur sah menjadi murid Fazlur Rahman.
Dengan bekal ilmu dan Pendidikan yang didapat, Cak Nur aktif menulis media masa dan
mengisi ruang-ruang diskusi di Jakarta untuk menuangkan ide-ide dan pemikirannya.
Karena berangkat dari pandangan modern, terbuka dan bersifat baharu, pemikiran Cak Nur
membuka kontroversi di Masyarakat. Visi pemikirannya yang ingin membumikan nilai-nilai
universal Islam dalam konteks kehidupan di Indonesia pada waktu itu, yang sudah
mengalami modernisasi dan industrialisasi, membuatnya kerap berbenturan dengan para
ulama berpandangan tradisional dan lebih jauh lagi yang beraliran fundamentalis.
Cak Nur wafat pada tahun 2005 setelah lama mengalami sakit. Beliau dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Beberapa tema yang akrab dengan pemikiran
Cak Nur selain nilai-nilai Islam adalah seputar kehidupan demokrasi di Indonesia,
kebebasan beragama, modernisasi yang berkemanusiaan, pembangunan nasional yang
berkeadilan dan beradab, dan lain sebagainya. Lebih lanjut Cak Nur ingin Masyarakat
Indonesia berkembang menjadi Muslim yang berpikiran terbuka, toleran dan paripurna
dengan pemberdayaan akal dan pikirannya.

B. Politik Kebangsaan di Indonesia

1
Muhammad Wahyuni Nafis, Cak Nur Sang Guru Bangsa: Biografi Pemikiran Prof. Dr. Nurcholish Madjid
(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2014)
2
Ibid

4
Isitilah politik saat ini sangat identik dengan kegiatan politik yang dilakukan oleh partai-
partai. Padahal apabila ditelisik lebih jauh terdapat berbagai macam kegiatan politik. Miriam
Budiardjo mendefinisikan politik sebagai usaha menggapai kehidupan yang baik.3Adapun
Peter Merkl mendefinisikan politik dalam bentuk baik adalah usaha mencapai suatu tatanan
sosial yang baik dan berkeadilan.4
Apabila memperhatikan kedua definisi politik di atas, maka setiap usaha untuk menggapai
kehidupan yang baik atau usaha mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan
maka sudah masuk dalam lingkaran politik. Bisa disimpulkan pula bahwa kegiatan politik
tidak hanya dimonopoli oleh partai politik saja, tetapi juga masyarakat di luar partai politik
namun berkegiatan sesuai dengan definisi politik di atas.
Sebagaimana pernah disampaikan Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU) tahun 1999-2004 K.H. Sahal Mahfudh, terdapat dua tingkatan politik yaitu politik
tingkat tinggi (siyasah ‘aliyah samiyah) dan politik tingkat rendah (siyasah safilah).5 Politik
tingkat tinggi dapat disebutkan dalam bentuk politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan
etika berpolitik. Adapun politik tingkat rendah adalah kegiatan politik praktis yang
dilakukan oleh partai politik untuk merebut kekuasaan.
Politik kebangsaan sendiri menurut K.H. Abdul Muchit Muzadi lebih ditekankan pada upaya
menerima Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai hasil konsensus seluruh
bangsa Indonesia yang di dalamnya harus berkomitmen dan terlibat aktif untuk menjaga
keutuhannya, dengan tidak mempersoalkan identitas-identitas tertentu dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.6 Adapun tujuan politik kebangsaan menurut Saleh
Daulay adalah memperkuat kohesivitas sosial dan persatuan nasional yang mengutamakan
kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.7
Lebih lanjut K.H. Abdul Muchit Muzadi menekankan bahwa perumusan ideologi Negara
Indonesia sudah final, maka yang dilakukan selanjutnya adalah bagaimana dapat mengisi
lahan yang indah bernama Indonesia ini dengan berdakwah, beribadah dan berjuang
melaksanakan ajaran Allah dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, dan dimanfaatkan sebaik mungkin dalam rangka menata bangsa agar lebih baik.
8
Selaras sebagaimana yang disampaikan oleh K.H. Sahal Mahfudh, berpolitik kebangsaan
tidak akan menyentuh pada kegiatan politik praktis, tetapi terus berupaya untuk
mewujudkan kemaslahatan bersama sesuai dengan tujuan bernegara.

C. Pemikiran Nurcholish Madjid terkait dengan Pembangunan Nasional, Persatuan Nasional,


Demokrasi, dan Kepartaian

1) Pembangunan Nasional

3
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009)
4
Peter H. Merkl, Continuity and Change (New York: Harper and Row, 1967), hlm 13
5
KH. Sahal Mahfudz, “Politik NU: Politik Kebangsaan dan Politik Kerakyatan”, Maret 25, 2019,
https://www.nu.or.id/fragmen/politik-nu-politik-kebangsaan-dan-politik-kerakyatan-8ix8A
6
Ahmad Rofi’i, “Politik Kebangsaan Nahdlatul Ulama Perspektif Pemikiran KH. Abdul Muchith Muzadi”, Al-
Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam, Vol. 4, No. 2 (2014)
7
Saleh Daulay, “MPR: Politik di MPR adalah Politik Kebangsaan”, Oktober 25, 2019,
https://www.mpr.go.id/berita/mpr-politik-di-mpr-adalah-politik-kebangsaan
8
Ahmad Rofi’i, “Politik Kebangsaan Nahdlatul Ulama Perspektif Pemikiran KH. Abdul Muchith Muzadi”, Al-
Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam, Vol. 4, No. 2 (2014)

5
Sebagai sosok yang tumbuh dan besar secara intelektual di era “Orde Baru”, Cak Nur
banyak memberikan catatan terkait dengan arah dan kebijakan Pembangunan nasional
yang dirumuskan dan dilaksanakan oleh tim pemerintahan Presiden Soeharto.
Pembangunan di era “Orde Baru” memang identik dengan Pembangunan di sektor
ekonomi. Pemerintahan “Orde Baru” ingin sekali menggenjot pertumbuhan ekonomi
Indonesia dan serta menyiapkan berbagai landasan untuk Indonesia mampu menjadi
negeri industri modern yang berdaya saing tinggi baik di regional dan internasional.
Beberapa catatan Cak Nur terkait dengan tema Pembangunan nasional dapat diurai sbb.
a) Perataan Beban dan Kesempatan sebagai Perwujudan Keadilan Sosial
Cak Nur pada kesempatan ini memberikan catatan bahwa segala bentuk
pertumbuhan ekonomi harus tetap memperhatikan perataan beban dan kesempatan di
segala bidang, pada individu-individu dan kelompok-kelompok anggota bangsa,
dimana hal tersebut merupakan wujud nyata ide tentang keadilan sosial yang
merupakan salah satu tujuan bernegara.9 Hal ini dikarenakan “Orde Baru”
mempunyai kecenderungan untuk membagi “kue” Pembangunan hanya pada
beberapa pihak tertentu yang terkhusus mempunyai kedekatan dengan penguasa.
Padahal disisi lain, dengan adanya perataan beban dan kesempatan, akan membuat
percepatan pertumbuhan ekonomi nasional akan lebih cepat karena perputaran lebih
merata di berbagai pihak yang berakibat kesempatan tumbuh akan menjadi lebih
luas. Perataan untuk mewujudkan keadilan bagi Cak Nur penting karena dengan
keadilan, peradaban yang kukuh bisa terwujud, sebab keadilan adalah dasar moral
yang kuat bagi semua pembangunan peradaban manusia sepanjang sejarah.
Secara spesifik, soal perataan dan kesempatan dalam kegiatan ekonomi juga
menyinggung soal dikotomi yang masih terbawa pada zaman penjajahan Belanda,
yaitu pribumi dan non-pribumi. Dalam masa penjajahan Belanda, pribumi memang
berada pada kasta yang paling bawah, sehingga kesempatan untuk mengakses
kegiatan ekonomi terbatas, kalau tidak dikatakan minim. Padahal disatu sisi, pribumi
adalah lapisan paling besar dalam struktur penduduk Indonesia. Pada akhirnya
terbawa bahwa pribumi identik dengan kaum yang tidak beruntung.
Dalam pengamatan sosiologisnya, Cak Nur melihat ada golongan ras tertentu di
Indonesia yang mempunyai kelebihan kewirausahaan yang kuat. Bahkan diakui di
dunia internasional. Kekuatan mereka didorong antara lain pada peranan etika
Konfusianisme untuk memacu kemajuan golongan mereka10. Cak Nur melihat hal ini
patut dijadikan cermin untuk menumbuhkan nilai kewirausahaan di kalangan
pribumi. Bahkan, mengutip pandangan Clifford Geertz, kalangan santri di Jawa dan
kalangan ksatria di Bali, memiliki jiwa kewirausahaan yang potensial. Lebih lanjut,
melihat potensi tersebut, kiranya butuh kemauan politik untuk membuka akses
seluas-luasnya, bagi kalangan santri khususnya, karena secara struktur politik santri
belum mendapatkan ruang yang layak dibandingkan kalangan priyayi. Sebuah
fenomena yang masih terbawa zaman penjajahan Belanda.
b) Sosialisme Religius
Sosialisme religius, baik dalam bentuk istilah maupun ide, sesungguhnya telah
dicetuskan sejak perkembangan Sarikat Islam di Indonesia, yakni sekitar tahun 1910-
1920. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan tujuan negara Indonesia juga
banyak mengadopsi pemikiran berwatak sosialisme religius. Mewujudkan
masyarakat berkeadilan sosial misalnya.
9
Budhy Munawar Rachman, Elza Peldi Taher, dan M. Wahyuni Nafis Karya Lengkap Nurcholish Madjid:
Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan (Jakarta: Nurcholish Madjid Society/NCMS, 2019) Halaman 93
10
Ibid Halaman 3002

6
Cak Nur mengungkapkan kenapa sosialisme religius perlu diangkat kembali untuk
mengawal proses Pembangunan di Indonesia. Karena bagi Cak Nur, sosialisme
religius mempunyai dimensi mendalam yakni dikukuhkannya dasar moral cita-cita
bangsa menjadi tidak hanya karena dorongan hendak berkehidupan yang lebih
Bahagia di dunia saja, tetapi juga dalam kehidupan yang lebih kekal di akhirat.
Sosialisme menjadi tidak hanya merupakan komitmen kemanusiaan, tetapi juga
ketuhanan. 11 Karena dasar moral yang kuat itu, sosialisme yang diharapkan tidak
mudah terjerumus ke dalam Lembah metode kerja “tujuan menghalalkan cara”
sebagaimana pernah dilakukan oleh Gerakan sosialis atau komunis radikal.
c) Industrialisasi, Modernisasi dan Gejala Dehumanisasi
Meskipun Indonesia pada saat awal “Orde Baru” masih sangat dominan menjadi
negara agraris, tetapi proses Indonesia menjadi negara industri dan modern telah
masif dilakukan oleh pemerintah. Cak Nur menangkap bahwa perubahan menjadi
negara industri akan melahirkan nilai-nilai baru yang menunjang proses
industrialisasi dan modernisasi tersebut. Beberapa nilai-nilai baru masyarakat
industri, antara lain (i) upah diberikan dalam kurun waktu tertentu (awal, tengah atau
akhir bulan, bisa juga mingguan), hari bebas kerja, sistem cuti, sistem kerja
birokratis dan disiplin, dsb.12

Terkait dengan proses industrialisasi dan modernisasi, Cak Nur memberikan


penekanan bahwa jangan sampai ada penghilangan sisi kemanusiaan masyarakat.
Karena bagaimanapun adanya industrialisasi akan menggeser pola-pola interaksi
yang sudah mapan di masyarakat dan juga di keluarga, seperti menurunnya peran
ayah sebagai agen sosialis anak digantikan dengan sekolah dan pergaulan sebagai
bentuk hubungan sosial yang lain. 13

Disatu sisi, dari sisi religiusitas, Cak Nur mempunyai pandangan lain. Terkait hal ini
Cak Nur sependapat dan sejalan dengan industrialisasi dan modernisasi yang banyak
berkiblat pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bagi Cak Nur, religiusitas
tidak akan terancam oleh proses industrialisasi dan modernisasi, malahan
memperoleh topangan dan pengukuhan yaitu masyarkaat akan bebas dari magisme
dan agama menjadi semakin murni. Dalam hal ini keagamaan tidak lagi banyak
mengandung nilai instrumental, tetapi sudah menjadi konsumsi kultural individu
yang melihat ibadat sebagai tujuan pada dirinya sendiri yang menjadi sumber
kebahagiaan. 14Sebagai contoh, dalam memberantas hama tanaman, Masyarakat
tidak akan melakukan instrumen doa, tetapi dalam bentuk kongkrit yang telah
disediakan oleh ilmu dan teknologi.

2) Persatuan Nasional
Indonesia sebagai sebuah negara yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, dan
kebudayaan tentunya akan mempunyai persoalan yang terkait dengan bagaimana
mewujudkan keragaman tersebut mampu diramu menjadi sebuah kekuatan yang saling
mengisi. Secara ideologis, ide persatuan nasional telah diwadahi dalam ideologi negara
11
Budhy Munawar Rachman, Elza Peldi Taher, dan M. Wahyuni Nafis Karya Lengkap Nurcholish Madjid:
Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan (Jakarta: Nurcholish Madjid Society/NCMS, 2019) Halaman
169
12
Ibid halaman 190
13
Ibid halaman 213
14
Ibid halaman 214

7
yaitu Pancasila di sila ketiga. Selain itu, Indonesia juga telah mempunyai semboyan
yang meneguhkan bahwa perbedaan tidak menimbulkan perpecahan antar sesama anak
bangsa, yaitu pada semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi
tetapi satu jua. Beberapa catatan Cak Nur terkait dengan tema persatuan nasional dapat
diurai sbb.
a) Kosmopolitanisme, bukan Nativisme
Catatan Cak Nur terkait dengan persatuan nasional adalah bagaimana proses
perangkuman budaya-budaya daerah ke dalam budaya Indonesia haruslah dilandasi
dengan semangat kosmopolitanisme, bukan nativisme. Sebab, dalam kelanjutan
wajarnya, antivisme akan hanya berakhir pada daerahisme, jika bukan sukuisme.15
Bagi Cak Nur, suatu nativisme yaitu sikap atau paham suatu negara atau masyarakat
terhadap kebudayaan sendiri berupa gerakan yang menolak pengaruh, gagasan, atau
kaum pendatang akan menjadi penghalang besar pertumbuhan keindonesiaan.
Karena masing-masing suku akan cenderung menutup diri dan bersikap eksklusif,
sehingga menutup kemungkinan untuk Bersatu dalam ragam keindonesiaan.
b) Pancasila sebagai Ideologi Terbuka
Pancasila sebagai ideologi negara bersifat final dan sudah tidak diragukan lagi.
Pancasila juga secara efektif mampu menjadi perekat dan pemersatu bangsa agar
terhindarkan dari perpecahan antar anak bangsa, khususnya sebagaimana pernah
terlihat pada tragedi 1965. Tetapi Cak Nur tetap memberikan catatan terkait dengan
implementasi Pancasila agar selanjutnya tidak menjadi sumber legitimasi bagi usaha-
usaha mempertahankan status quo dan menjadi alat pemukul orang atau kelompok
lain yang kebetulan “tidak berkenan di hati”16. Apabila hal ini terjadi, tentu amat
rawan untuk menjadi referensi atau sejarah buruk yang dapat disimak bersama, dan
bukan tidak mungkin karena pergesesaran peta kekuasaan, Pancasila akan kembali
digunakan untuk alat pemukul balik sebagaimana itu dilakukan pada rezim
sebelumnya. Sebuah situasi yang amat rawan bagi persatuan nasional.
Cak Nur menawarkan Pancasila agar difungsikan kembali secara penuh sebagai
sumber untuk memacu masa depan dengan tetap memunculkan sikap proaktif untuk
mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila. Karena boleh jadi masih banyak nilai-nilai
luhur bangsa yang belum tergali yang nantinya akan diperlukan dalam
perkembangan kemajuan bangsa. Cak Nur juga menekankan bahwa Pancasila adalah
ideologi modern yang bersifat tertutup dan dalam perumusannya angan dilakukan
secara rinci karena sebagai ideologi perlu longgar agar dapat dipakai selamanya
untuk kepentingan keutuhan bangsa.

c) Kerukunan Antarumat Beragama


Selain mempunyai beragam suku, Indonesia sejatinya memiliki keragaman agama
yang dianut oleh masyarakat. Secara resmi terdapat 6 agama yang diakui oleh negara
yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Selain

15
Budhy Munawar Rachman, Elza Peldi Taher, dan M. Wahyuni Nafis Karya Lengkap Nurcholish Madjid:
Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan (Jakarta: Nurcholish Madjid Society/NCMS, 2019) Halaman 95
16
Ibid halaman 99

8
6 agama yang diakui negara tersebut, sejatinya masih banyak sistem kepercayaan
yang dianut oleh masyarakat. Sebagai contoh Sunda Wiwitan, Kapitayan, Kejawen,
Kaharingan, Tolotang, dan lain sebagainya yang merupakan sistem kepercayaan
peninggalan nenek moyang Indonesia yang cenderung bercorak animism atau
dinamisme. Selain itu juga terdapat agama-agama dari luar Indonesia yang dibawa
oleh para pendatang kontemporer, seperti Sikh, Jainisme, Baha’i, Taoisme, Teosofi
dan Yahudi.17
Dengan keragaman agama dan kepercayaan tersebut, Cak Nur memberikan catatan
bagaimana dapat tercipta kerukunan antarumat beragama di Indonesia dan apa kira-
kira yang menjadi titik-temu agama-agama dan kepercayaan tersebut? Cak Nur
memulai dengan perlunya sikap afirmatif terhadap sikap yang selama ini sudah
tumbuh di masyarakat yaitu adanya saling pengertian dan penghargaan antarumat
beragama yang pada urutannya mengandung logika titik-temu, meskipun, tentu
saja,terbatas kepada hal-hal prinsipil.18
Hal lain yang lebih rinci seperti ekspresi-ekspresi simbolik dan formalistik, tentu
sulit dipertemukan. Karena bagaimanapun masing-masing agama mempunyai aturan
yang hanya berlaku secara intern yang tidak membenarkan sikap ikut-campur bahkan
merendahkan dari penganut agama lain. Selain itu diperlukan kesungguhan dalam
memeluk agama masing-masing, karena bagaimanapun tiap agama mempunyai jalan
kebenarannya sendiri, yang diharapkan akan berdampak pada hubungan dan
pergaulan yang baik antarumat beragama.
3) Demokrasi dan Demokratisasi
Meskipun demokrasi tidak terdapat dalam dasar negara Indonesia yaitu Pancasila dan
UUD 1945, namun prinsip-prinsip yang tertuang di dalamnya mengarah pada
pembentukan demokrasi di Indonesia. Demokrasi memempunyai unsur kata ‘demos’
yang mempunyai arti rakyat dan ‘kratos’ yang mempunyai arti pemerintahan. Hal yang
kemudian didefinisikan sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Di Indonesia
sendiri demokrasi telah mengalami beberapa fase tertentu yaitu dimulai dari Demokrasi
Konstitusional (1945-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Demokrasi Pancasila
(1965-1998), dan Demokrasi Era Reformasi (1998-sekarang).19

Terkait demokrasi Cak Nur berpandangan bahwa demokrasi adalah suatu “cara” untuk
mencapai tujuan dan bukan tujuan itu sendiri.20 Demokrasi sendiri diterapkan dengan
asumsi dasar demokrasi adalah persamaan mutlak antara manusia sesamanya.21 Egaliter
dan tanpa kastanisasi. Dengan begitu setiap anggota masyarakat bebas menyampaikan
aspirasi dan harapannya tanpa adanya beban dengan menyandang status tertentu.

Demokrasi kemudian perlu diterapkan dalam kehidupan di masyarakat, dalam hal ini
tidak hanya berhenti di tataran ide. Proses demokratisasi merupakan contoh konkrit yaitu
upaya pemberian hak dan kebebasan yang semaki besar kepada rakyat sebagai

17
Igor Popov, Buku Rujukan Semua Aliran dan Perkumpulan Agama di Indonesia (Singaraja: Toko Buku
Indra Jaya, 2017)
18
Budhy Munawar Rachman, Elza Peldi Taher, dan M. Wahyuni Nafis Karya Lengkap Nurcholish Madjid:
Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan (Jakarta: Nurcholish Madjid Society/NCMS, 2019) Halaman
2094
19
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Tama, 2009)
20
Budhy Munawar Rachman, Elza Peldi Taher, dan M. Wahyuni Nafis Karya Lengkap Nurcholish Madjid:
Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan (Jakarta: Nurcholish Madjid Society/NCMS, 2019) Halaman
3008
21
Ibid halaman 1347

9
pemegang kekuasaan atau kedaulatan yang sebenarnya, Karena kerakyatan sendiri
merupakan hal yang telah tercantum dalam Pancasila maka memang dapat dibenarkan
bahwa proses tersebut tidak lain ialah proses pelaksanaan Pancasila itu sendiri. Dalam
contoh kongkrit, demokrasi dapat beriringan dengan prinsip keadilan sosial, dimana
dengan demokrasi tercapai pemerataan atas hal-hal yang akan berpengaruh pada usaha
pencapaian martabat kemanusiaan yang setinggi-tingginya, antara lain di bidang
ekonomi, kesempatan kerja dan yang paling penting, pendidikan. Beberapa catatan Cak
Nur terkait dengan penerapan demokrasi di Indonesia dapat diurai sbb.

a) Musyawarah Mufakat
Dalam konteks Indonesia, demokrasi dapat mewujud dalam budaya musyawarah di
dalam kehidupan masyarakat, dimana setiap orang mempunyai hak untuk
menyatakan pendapat dan pikiran. Selain itu, dalam musyawarah uga mengandung
faham bahwa kesucian asal manusia membuatnya selalu berpotensi untuk benar dan
baik, sehingga setiap orang berhak untuk didengar dan setiap hak orang untuk
didengar akan menghasilkan kewajiban orang lain untuk mendengar.22
Secara etimologis musyawarah mengandung arti saling memberi isyarat, yakni,
saling memberi isyarat tentang apa yang benar dan baik; jadi bersifat “reciprocal”
dan “mutual”. Dan sebagaimana disebutkan di atas bahwa musyawarah berprinsip
mau mendengar dan untuk didengar, akan membuat suatu ikatan sosial akan adanya
hak kewajiban saling memberi isyarat tentang kebaikan dan kebenaran. Dampaknya
setiap orang dapat membawa kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Musyawarah juga mensyaratkan kelapangan dada, keterbukaam, dan kerendahan hati
agar setiap pihak lebih mudah menerima satu sama lain dan dapat tercapai
kesepakatan (muwafaqah) atau mufakat. Mufakat dapat pula dicapai dengan suara
terbanyak. Dalam Islam, musyawarah antar sesame warga masyarakat merupakan
bagian dari gambaran dalam al-Qur’an tentang hakikat kaum beriman dan
didolongkan sebagai yang bakal mendapatkan anugerah kebaikan Ilahi yang lebih
baik dan lebih Lestari (QS 42: 36-43).23

b) Pemilu
Sebagaimana telah penulis singgung di pendahuluan, terdapat perbedaan antara
politik tingkat tinggi dan politik tingkat rendah. Politik tingkat rendah identik dengan
politik sebagai sarana perebutan kekuasaan, baik di level eksekutif maupun legislatif.
Pemilu sebagai sarana untuk melakukan perebutan kekuasan secara sah dan
legitimate, memerlukan partai politik sebagai kontestan yang akan tampil dan dipilih
oleh masyarakat.
Setelah hanya berlangsung sekali di era “Orde Lama”, Pemilu rutin diselenggarakan
tiap lima tahun sekali di era “Orde Baru” maupun “Orde Reformasi”. Terkait dengan
Pemilu dan kepartaian, meskipun tidak terjun dalam politik praktis, Cak Nur tetap
memberikan catatan bagaimana penyelenggaraan Pemilu dan sistem kepartaian yang
ideal seperti apa. Karena bagaimanapun melalui Pemilu akan lahir pemimpin bangsa
22
Ibid halaman 2208
23
Ibid halaman 2212

10
yang akan menjalankan amanat rakyat dengan sah dan konstitusional. Termasuk
bagaimana melakukan pengawasan terhadap pemerintahan terpilih.
Bagi Cak Nur, dalam penyelenggaraan pemilu patut dikedepankan asas kebebasan
dan kerahasiaan, karena memang asas tersebut adalah hal yang sangat prinsipil
dalam demokrasi.24 Penekanan kedua asas tersebut adalah untuk menjaga partisipasi
bebas setiap orang, baik dalam pemerintah maupun komunitas masyarakat. Hasil
yang diharapkan adalah adanya ketulusan yang sejati dalam pemberian suara,
sehingga pada urutannya akan mempunyai pengaruh positif pada penciptaan
keabsahan pemerintah dengan kekuasannya. Dan pemerintah yang abash akan
memberi landasan kukuh untuk terwujudnya rasa keadilan yang selanjutnya menjadi
dasar ketentraman dan kemantapan politik. 25
c) Kepartaian dan Oposisi
Partai adalah kendaraan yang konsitusional untuk turut serta dalam pemilu di
Indonesia. Dalam era “orde baru” terdapat penyederhaan partai, dengan
pertimbangan stabilitas politik, dari yang sebelumnya berjumlah 9 partai politik dan
1 golongan karya pada Pemilu 1971, menjadi hanya 3 partai yaitu, Golongan Karya
(Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia
(PDI). Kedua partai terakhir merupakan hasil fusi partai-partai Islam dan partai
nasionalis yang telah ikut pada pemilu 1971. Partai-partai inilah yang menjadi
saluran aspirasi politik masyarakat Indonesia.

Dalam sistem kepartaian, Cak Nur juga menekankan pentingnya oposisi. Oposisi
bagi Cak Nur diperlukan karena ia dapat mempertajam pikiran, karena akan ada
ruang musyawarah, tukar pikiran, dan diskusi disana26. Hal ini diungkapkan Cak
Nur, karena melihat partai oposisi belum lazim di Indonesia. Karena kecenderungan
politik “orde baru” adalah “memegang” kendali seluruh partai untuk “stabilitas”
politik pemerintahan “orde baru”. Ketiadaan oposisi membuat tidak adanya
mekanisme check and balance dalam menjalankan pemerintahan di Indonesia.

Oposisi dalam konteks kepartaian menurut Cak Nur bukan berarti sekadar sebagai
penantang, subyektif, dan cenderung memiliki itikad kurang baik pada pemerintahan,
misalnya sekadar mencari-cari kesalahan semata. Yang dimaksud oposisi di sini
adalah oposisi dalam semangat yang loyal yang tetap mengakui keabsahan suatu
pemerintahan untuk bertindak dan tetap mengklaim sebagai pemerintah yang baik.
Tugas oposisi sejatinya cuma satu yaitu mengecek jalannya pemerintahan.

Cak Nur juga menambahkan bahwa oposisi atau oposan juga bisa dilakukan oleh
masyarakat di luar partai. Oleh cendekiawan dan pers misalnya yang mampu
menjadi opinion maker. Mereka inilah yang akan menjadi kekuatan cadangan dari
oposisi langsung yang dilakukan oleh partai politik.

d) Pembinaan “Floating Mass”


Pembinaan “floating mass” merupakan salah satu upaya penyederhanaan kehidupan
kepartaian. Bagi Cak Nur, kenapa hal ini diperlukan adalah untuk membebaskan
24
Budhy Munawar Rachman, Elza Peldi Taher, dan M. Wahyuni Nafis Karya Lengkap Nurcholish Madjid:
Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan (Jakarta: Nurcholish Madjid Society/NCMS, 2019) Halaman
3013
25
Ibid halaman 3014
26
Ibid halaman 3000

11
rakyat dari ikatan-ikatan pandangan dan kelompok politik yang bersifat permanen
dan tidak fleksibel, dengan cara sekurang-kurangnya tidak membenarkan, suatu
partai atau badan politik lainnya membentuk unit-unit organiknya pada tingkat
daerah administrasi pemerintahan yang tidak memerlukan dewan perwakilan.27.
Dalam hal ini ialah tingkat di bawah kabupaten. Dengan begitu maka struktur
vertikal kepartaian akan menjadi lebih sederhana. Penyederhanaan stuktur
horizontalnya dicapai dengan memperkecil jumlah organisasi onderbouw dan dengan
mempersedikit jumlah partai itu sendiri.28
Partai yang identik dengan struktur sampai di bawah tingkatan kabupaten, adalah
jenis partai massa yang menghendaki daya jangkau sejauh mungkin kepada massa,
yaitu dengan sebanyak mungkin membentuk organisasi-organisasi mantel dan
afiliasi, serta secara vertikal dengan mendirikan unit-unit organik sampai pada
tingkat administrasi pemerintahan paling bawah. Partai massa juga mempunyai
kepentingan membuat solidaritas dengan tujuan sebagai alat untuk melawan musuh.
Adapun Cak Nur lebih menekankan pada pembentukan partai kader yang dengan
lebih mengutamakan pembinaan dan pendidikan kader yang berkualitas, dan tidak
menitikberatkan usahanya kepada pengumpulan massa. Sejenis partai yang lebih
memusatkan perhatian pada usaha pemecahan masalah-masalah nasional, terutama
Pembangunan.29
Dengan kehidupan kepartaian yang lebih sederhana, sumber daya partai akan
dialihkan ke fungsi-fungsi pemecahan masalah-masalah nasional, alih-alih terserap
untuk saluran-saluran rutin di dalam partai sendiri. Adapun floating mass diharapkan
masyarakat tidak terbelenggu dari aliran politik yang mengekang dan bebas
menentukan penilaian dan sikap. Massa akan lebih fleksibel dan terbuka dan lebih
memungkinkan untuk diintrodusir pikiran-pikiran baru yang lebih segar dan maju.30

D. Corak Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Politik Kebangsaan di Indonesia


Mencermati pemikiran Cak Nur dalam kerangka praktik politik kebangsaan di Indonesia
sebagaimana sudah diulas penulis pada halaman-halaman di atas, penulis mencoba
menganalisis corak seperti apa pemikiran Cak Nur dalam praktik politik kebangsaan di
Indonesia. Sebagaiman kita tahu, bahwa Cak Nur berangkat dari rahim intelektual, bukan
aktivis yang banyak terjun di lapangan untuk menggalang massa. Dalam tema pembinaan
“floating mass”, disebutkan bahwa Cak Nur lebih cenderung untuk menyederhanakan
struktur partai agar proses pengkaderan lebih berjalan optimal dan berkualitas. Cak Nur
cenderung tidak sependapat dengan jenis partai massa yang mempunyai struktur jaringan
yang kuat di masyarakat. Suatu hal yang akan lebih efektif dalam penggalangan massa
partai.

Dari intelektual tersebut pada akhirnya Cak Nur condong untuk menjadi seorang
cendekiawan yang mempunyai referensi dari teks-teks yang akademis. Posisi tersebut tidak
salah, bahkan menguntungkan karena Cak Nur akan dapat melihat fenomena dari luar bukan
27
Budhy Munawar Rachman, Elza Peldi Taher, dan M. Wahyuni Nafis Karya Lengkap Nurcholish Madjid:
Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan (Jakarta: Nurcholish Madjid Society/NCMS, 2019) Halaman
1321
28
Ibid halaman 1321
29
Ibid halaman 1322
30
Ibid halaman 1333

12
dari dalam. Sudut pandang orang luar membuat Cak Nur lebih obyektif dalam menilai dalam
memberi masukan untuk kebaikan dan perkembangan bangsa ke depan. Penulis kira, dan
sudah sering disampaikan banyak khalayak, bahwa kedudukan Cak Nur sudah layak disebut
sebagai Guru Bangsa yang mampu memberikan masukan dan alternatif yang jernih terhadap
kebaikan bangsa. Hal yang mungkin mustahil dicapai apabila Cak Nur lebih memilih untuk
berpolitik praktis.

Beberapa corak yang penulis dapatkan dari hasil pembacaaan pemikiran-pemikiran Cak Nur
dalam politik kebangsaan di Indonesia adalah sbb.

1. Agamis
Berangkat dari keluarga yang agamis dan melanjutkan pendidikan dasar dan menengah
di pesantren membuat Cak Nur mempunyai pijakan yang kuat dalam berargumen dan
mengungkapkan pendapatnya. Cak Nur hampir selalu mengaitkan analisis-analisisnya
dengan teks-teks keagamaan yang dikuasainya bahkan tidak segan untuk mengutip ayat
al-Quran dan hadits Nabi untuk menguatkan argumennya.
Beberapa pandangan yang disampaikan Cak Nur bukan hanya didasarkan pada
pemikiran murni dari Cak Nur sendiri, tetapi merupakan hasil olahan atas teks-teks
keagamaan yang telah Cak Nur kuasai. Cak Nur juga tidak segan mengambil contoh
bagaimana Nabi Muhammad mencontohkan dan bagaimana kehidupan di Madinah pada
masa itu. Dalam konteks pembangunan nasional misalnya. Cak Nur menekankan pada
pembangunan yang tidak hanya berorientasi keduniawian semata, tetapi juga bagaimana
orientasi akhiratnya. Hal yang membuat pemerintah berlaku waspada untuk tidak
sewenang-wenang dalam melakukan pembangunan.

2. Nasionalis
Dalam menyajikan pemikirannya, Cak Nur selalu mengutamakan kepentingan nasional
daripada kepentingan pribadinya. Bagaimana pembangunan dapat dilanjutkan untuk
kepentingan dan kemajuan bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Cak Nur
tidak meragukan sedikitpun keabsahan negara Indonesia. Begitu juga dengan rumusan
ketatanegaraannya. Baik Pancasila sebagai dasar negara maupun UUD 1945 sebagai
sumber hukum tertinggi di Indonesia.

Cak Nur tidak juga mementingkan kelompok, agama, bahkan latar belakang budayanya
saja dalam menyampaikan pemikiran terkait kehidupan berbangsa. Cak Nur sangat
menghargai hak-hak warga negara dan selalu memikirkan bagaimana negara ini maju
dan bersaing baik di tingkat regional maupun internasional.
Dikotomi Islam versus nasionalis seolah tidak berlaku bagi Cak Nur. Karena bagi Cak
Nur, menjadi nasionalis tidak didasari pada agama-agama tertentu. Agama adalah
persoalan pribadi dan dalam konteks kehidupan berbagsa dan bernegara perlu dibuktikan
dengan sikap kecintaan dan loyalitas bahwa apa yang dipikirkan dan dikerjakan adalah
untuk seluruh warga bangsa.
3. Humanis
Pembangunan nasional yang dilakukan bangsa Indonesia, bagi Cak Nur tidak hanya
berhenti atau terkonsentrasi hanya untuk pembangunan fisik semata. Dan juga dalam
proses pembangunan mesti mengedepankan sikap humanis yang mampu menghargai
aspek kemanusiaan dan menghormati perbedaan yang ada antar manusia.

13
Bagi Cak Nur, manusia tidak hanya menadi alat eksploitasi untuk menghasilkan
keuntungan-keuntungan sesaat. Tetapi manusia harus menjadi aktor utama dalam
pembangunan. Dari sinilah peradaban akan dapat tercipta. Pembangunan dapat terus
berjalan tetapi manusia tetap tidak boleh ketinggalan. Karena pembangunan tanpa
manusia hanya akan menjadi kering tanpa makna yang berakibat pada tidak
terpenuhinya kebahagiaan manusia. Hal yang paling diidamkan oleh setiap manusia.
4. Modern
Jauh sebelum melanjutkan pendidikan di Amerika Serikat, pemikiran Cak Nur sudah
mengarah pada pentingnya modernisasi. Hal itu bagi Cak Nur tidak bisa dilepaskan
karena memang zaman sudah menuntut demikian. Berkutat pada tradisi-tradisi saja
hanya akan membuat bangsa Indonesia sulit untuk maju.
Bukan Cak Nur anti terhadap tradisi. Tetapi berpegang tradisi tanpa melihat perlunya
manusia pada khususnya dan negara pada umumnya untuk maju dan merespon zaman
tentu bukan tindakan yang tepat. Tradisi tetap diperlukan agar setiap manusia
mempunyai pijakan yang kuat dalam kehidupannya dan tidak lupa terhadap asal usulnya.
Dalam konteks kehidupan bangsa, Cak Nur terus mendorong agar Indonesia hidup
selaras dengan zaman tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip, corak, tradisi, dan
budaya yang telah dipunyai. Dengan terus beradaptasi dengan zaman, eksistensi
Indonesia akan terus terjaga dan pada gilirannya akan semakin diakui oleh dunia
internasional.
5. Konstitusional
Dalam menyatakan pendapatnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Cak Nur
akan selalu melihat bagaimana penerapannya apakah sudah sesuai dengan ideologi
Pancasila atau tidak. Bagi Cak Nur, Pancasila merupakan rumusan yang perlu dirawat
dan dilestarikan karena sebagai pijakan penting dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Pancasila yang bersumber dari nilai-nilai luhur bangsa dan sudah menjadi kesepakatan
hidup bersama dalam negara Indonesia, nilai-nilainya harus diterapkan tidak hanya
menjadi sebatas ide abstrak saja. Bagaimana Ketuhanan Yang Maha Esa menjamin hak
beragama warga negara. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab menjamin hak asasi
warga negara. Persatuan Indonesia mampu menginspirasi warga negara bahwa
keragaman adalah kekayaan yang tiada tara yang membuat satu sama lain saling
mengisi. Musyawarah yang mampu meginspirasi tegaknya demokrasi di Indonesia guna
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pemilu dan partai politik sebagai sarana untuk menggapai kekuasaan juga terus menjadi
catatan Cak Nur agar tetap berlangsung sebagaimana mestinya. Bagaimana asas terbaik
untuk penyelenggaraan pemilu tanpa mengabaikan hak warga negara, serta bagaimana
partai politik tetap berdiri optimal baik dalam pemerintahan maupun di luar
pemerintahan.

6. Kritis
Pemikiran Cak Nur berlangsung tidak sekadar menjalankan doktrin atau dogma-dogma
begitu saja, tetapi telah melalui telaah kritis dengan mengedepankan rasio, agar mudah
diterima dan diimplementasikan dengan mudah. Sikap kritis Cak Nur juga dalam rangka
menegakkan kebenaran dan kebaikan sebagaimana mestinya khususnya dalam
kehidupan bernegara.

14
Bagaimana agar negara mampu berjalan sesuai dengan amanat konstitusi, Cak Nur tidak
segan untuk menyampaikan pemikirannya secara kritis agar pemerintah dalam hal ini
tetap mampu mengembang amanahnya dengan baik. Berdiri di luar arena politik praktis
membuat Cak Nur lebih leluasa untuk menyampaikan pemikirannya tanpa didakwa
memiliki kepentingan tertentu yang menguntungkan pribadi atau kelompoknya.
Sikap kritis Cak Nur bukan hanya semata-mata untuk mencari-cari kesalahan pemerintah
atau pihak lain, tetapi lebih bagaimana sikap koreksi yang membangun. Cak Nur
menyebutnya sebagai oposisi loyal yang tugasnya cuma satu yaitu mengecek jalannya
pemerintahan.

15
2. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan terkait pemikiran Cak Nur dalam politik
kebangsaan di Indonesia adalah sbb.
a. Bahwa politik kebangsaan merupakan merupakan politik tingkat tinggi yang tidak
ditekankan pada perebutan kekuasaan tetapi lebih pada sikap berkomitmen dan terlibat aktif
untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan tidak mempersoalkan identitas-
identitas tertentu dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta bertujuan pada
memperkuat kohesivitas sosial dan persatuan nasional yang mengutamakan kepentingan
umum di atas kepentingan pribadi.
b. Bagi Cak Nur pembangunan nasional perlu memperhatikan perataan beban dan kesempatan
bagi setiap warga negara untuk mengembangkan kemampuannya dan mengakses sumber-
sumber ekonomi sebagai perwuudan keadilan sosial. Selain itu pembangunan agar dapat
diterapkan prinsip sosialisme religius yang tidak hanya memperhatikan kehidupan duniawi
tetapi juga ukhrowi. Pembangunan juga perlu menyesuaikan dengan arus industrialisasi dan
modernisasi dengan tidak melupakan aspek kemanusiaan.
c. Dalam mewujudkan persatuan nasional, Cak Nur menekankan pentingnya pemahaman
kosmopolitanisme bukan nativisme, Pancasila sebagai ideologi terbuka yang membuka ruang
nilai-nilai luhur bangsa untuk dimasukkan untuk memperkuat kohesivitas kehidupan
berbangsa, serta perlu dijaga kerukunan antarumat beragama di Indonesia.
d. Demokrasi bagi Cak Nur merupakan suatu cara untuk mencapai tujuan dan bukan tujuan itu
sendiri. Demokrasi telah selaras dengan ideologi Pancasila yang telah mempunyai budaya
musyawarah mufakat yaitu budaya saling dan mau mendengar pendapat orang lain. Adapun
pemilu merupakan sarana untuk mewujudkan pemerintahan yang sah dan konstitusional guna
mewujudkan tujuan bernegara dan untuk itu diperlukan kepartaian yang solid dan oposisi
yang loyal terhadap kebijakan pemerintah. Selain itu diperlukan pembinaan “floating mass”
untuk mewujudkan struktur partai yang sederhana, sehingga sumber daya dapat dihemat dan
dialihkan untuk penguatan ideologi kader.
e. Corak pemikiran Cak Nur sendiri adalah agamis yang tetap mempertahankan nilai agama
sebagai spirit, nasionalisme sebagai bentuk kecintaan terhadap negara dan bangsanya,
humanis yang selalu mengedepankan aspek kemanusiaan, modern yang berupaya
menyelaraskan dengan kehidupan dan kemajuan zaman, konstitusional sesuai dengan
ideologi negara untuk merumuskan nilai-nilai yang harus diperjuangan, dan kritis terhadap
tatanan yang kurang tepat.

16
DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama,
2009.
Daulay, Saleh. 2019, MPR: Politik di MPR adalah Politik Kebangsaan, Publikasi MPR, Oktober 25,
2019, https://www.mpr.go.id/berita/mpr-politik-di-mpr-adalah-politik-kebangsaan (diakses
November 1, 2023)
Mahfudz, K.H. Sahal. 2019. Politik NU: Politik Kebangsaan dan Politik Kerakyatan, NU Online,
Maret 25, 2019, https://www.nu.or.id/fragmen/politik-nu-politik-kebangsaan-dan-politik-
kerakyatan-8ix8A (diakses November 1, 2023)
Merkl, Peter H., Continuity and Change, New York: Harper and Row, 1967.
Nafis, Muhammad Wahyuni, Cak Nur Sang Guru Bangsa: Biografi Pemikiran Prof. Dr.
Nurcholish Madjid, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2014;
Popov, Igor, Buku Rujukan Semua Aliran dan Perkumpulan Agama di Indonesia. Singaraja: Toko
Buku Indra Jaya, 2017.
Rachman, Budhy Munawar, Elza Peldi Taher, dan M. Wahyuni Nafis, Karya Lengkap Nurcholish
Madjid: Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan, Jakarta: Nurcholish Madjid
Society/NCMS, 2019.
Rofi’i, Ahmad, “Politik Kebangsaan Nahdlatul Ulama Perspektif Pemikiran KH. Abdul Muchith
Muzadi”, Al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam, Vol. 4, No. 2, Oktober 2014.

17

Anda mungkin juga menyukai