Anda di halaman 1dari 14

REVIEW JURNAL

Nama : Vina Umaya Octaviani

NPM : 2168900005

Mata Kuliah : Fisika Lingkungan

Dosen Pengampu : Ahmad Sofyan Sulaeman, S.Pd., M.Si

 Energi listrik

Judul Pengaruh Komposisi Air Laut dan Pasir Laut Sebagai Sumber Energi
Listrik
Nama jurnal Jurnal Teknik Kimia dan Lingkungan
Volume Vol. 1, No. 1, Oktober 2017
Tahun 2017
Penulis Okky Putri Prastuti
Tanggal review 5 november 2023
Latar belakang Sumber utama energi di bumi, seperti minyak bumi dan fosil,
diprediksi akan semakin berkurang di masa depan sementara populasi
makhluk hidup terus bertambah. Oleh karena itu, pengembangan
sumber energi alternatif, terutama energi listrik, menjadi krusial.
Beberapa sumber energi alternatif yang sedang dikembangkan
meliputi tenaga angin, tenaga surya, ombak laut, hidro power, dan
panas bumi. Salah satu pengembangan menarik adalah pemanfaatan
air, yang melibatkan proses elektrolisis untuk menghasilkan energi
listrik.Air, dengan rumus kimia H2O, dapat diuraikan menjadi unsur-
unsur asalnya melalui elektrolisis. Proses ini melibatkan reaksi di
katoda dan anoda, menghasilkan gas hidrogen dan oksigen yang
dapat dikumpulkan. Air laut, dengan kandungan garam sekitar 3,5%,
juga telah digunakan sebagai elektrolit dalam sel baterai untuk
pembangkit tenaga listrik. Penelitian mengenai penggunaan air laut
dan pasir laut sebagai sumber energi listrik juga dilakukan untuk
menguji potensinya.Pasir laut, selain digunakan sebagai penguat
komponen beton, juga menjadi objek penelitian potensial sebagai
sumber energi listrik. Pasir laut memiliki dua kondisi, yang
dipengaruhi pasang surut dan yang terendam atau dipengaruhi oleh
air laut. Pengembangan potensi energi dari campuran air laut dan
pasir laut menggunakan konsep elektrokimia menjadi solusi alternatif
yang menarik. Kandungan garam dalam pasir laut dapat
meningkatkan energi listrik yang dihasilkan melalui proses
elektrokimia. Penelitian ini berfokus pada eksplorasi dan pengujian
potensi menghasilkan arus listrik dari campuran air laut dan pasir laut
sebagai alternatif energi listrik di masa depan.
Tujuan untuk memberi keterbaruan dan menguji perpaduan antara air laut
dan pasir laut juga bisa menghasilkan arus listrik. Energi listrik yang
dihasilkan akan dimanfaatkan untuk menghidupkan lampu
penerangan, memanaskan, mendinginkan ataupun untuk
menggerakkan kembali suatu peralatan mekanik untuk menghasilkan
bentuk energi yang lain.
Metode  Material
penelitian Material yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari air laut dan
pasir laut. Sampel diambil dari Pantai Kenjeran Surabaya, Jawa
Timur, Indonesia, dengan suhu sekitar 28-33C. Air laut yang diambil
memiliki karakteristik keruh karena mengandung sedikit
lumpur/pasir. Untuk menguji arus listrik, digunakan dua elektroda,
yakni tembaga (C101 Copper Rod 500mm x 10mm) sebagai katoda
dan seng (ZR10 Zinc Rod 500mm x 10mm) sebagai anoda. Peralatan
lain meliputi wadah, kabel, multi meter sebagai alat pembacaan
tegangan, dan penjepit buaya.
 Peralatan Eksperimen

 Prosedur Percobaan Penelitian

ini menggunakan dua bahan baku yaitu air laut dan pasir laut yang
diambil dari Pantai Kenjeran. Campuran dari kedua bahan baku
tersebut diletakkan dalam wadah kosong berdasarkan rasio persen
berat pasir laut terhadap campuran tersebut yaitu 0%, 25%, 50%,
75%, dan 100%. Elektroda yang telah dipersiapkan sebelumnya
dimasukkan ke dalam wadah yang telah berisi campuran pasir laut
dan air laut. Hasil pembacaan tegangan dan arus listrik dideteksi
menggunakan multimeter

Hasil Hasil penelitian menunjukkan bahwa campuran air laut dan pasir laut
dapat menghasilkan arus listrik, memberikan potensi sebagai sumber
energi terbarukan. Kandungan garam dalam air laut berkontribusi
pada proses elektrokimia yang menghasilkan daya. Tabel hasil
percobaan menunjukkan variasi komposisi air laut dan pasir laut serta
daya listrik yang dihasilkan.
Kesimpulan Dalam tahap studi awal penelitan ini dapat disimpulkan bahwa
kombinasi air laut dan pasir laut bisa menghasilkan energi listrik
karena adanya kandungan garam yang dapat menghasilkan beda
potensial dengan mengabdopsi metode sel elektokimia. Secara
komersial telah dijual lampu garam air petromat yang hanya
menggunakan air garam dengan nyala lampu hingga 8 jam
menggunakan 1 watt Luxion LED. Untuk kedepannya, kombinasi air
laut dan pasir laut bisa dikemas seperti baterai dengan pemasangan
lebih dari 1 sel untuk mendapatkan daya yang lebih besar. Sedangkan
pasir laut bertindak sebagai agen resistan dalam pembangkit listrik
tenaga air laut. Walaupun sebagai agen resistan, kandungan pasir laut
masih memiliki daya hantar listrik yang cukup baik dengan
ditunjukkan power yang dihasilkan sebesar 2,25 watt.

 Energi kimia

Judul PENGARUH LUAS ELEKTRODA TERHADAP


KARAKTERISTIK BATERAI LiFePO4
Nama jurnal Jurnal Material dan Energi Indonesia
Volume Vol. 06, No. 02 (2016) 43 – 48
Tahun 2016
Penulis ADITYA SATRIADY, WAHYU ALAMSYAH, ASWAD HI SAAD,
SAHRUL HIDAYAT
Tanggal review 5 november 2023
Latar belakang Baterai adalah perangkat yang mengubah energi kimia dalam bahan
aktif menjadi energi listrik melalui reaksi elektrokimia reduksi dan
oksidasi. Klasifikasi baterai mencakup baterai primer (sekali pakai)
dan baterai sekunder (dapat diisi ulang). Baterai lithium-ion, tipe
baterai sekunder, memiliki keunggulan tinggi densitas energi,
tegangan, dan siklus hidup panjang. Namun, lithium cobalt oxide
(LiCoO2) yang umum digunakan sebagai katoda memiliki
kekurangan, seperti sifat berbahaya dan reaktif.

Alternatif yang ramah lingkungan untuk LiCoO2 adalah lithium iron


phosphate (LiFePO4). LiFePO4 memiliki biaya rendah, sifat non-
reaktif, dan kapasitas spesifik yang lebih tinggi. Elektroda yang luas
mempengaruhi kapasitas baterai, dan penelitian ini berfokus pada
pembuatan baterai lithium-ion menggunakan LiFePO4 pada katoda.
Pengujian kinerja baterai dilakukan dengan metode charge-discharge,
mengevaluasi pengaruh arus pembebanan terhadap luas elektroda.

LiFePO4, diperkenalkan pada tahun 1997, memiliki keunggulan


biaya rendah, tegangan kerja tinggi, kapasitas spesifik tinggi,
kestabilan pada suhu tinggi, dan life cycle panjang. Struktur
kristalnya menunjukkan jalur untuk Li+, dengan ikatan kovalen yang
kuat antara oksigen dan fosfat

Tujuan Penelitian ini bertujuan membuktikan potensi LiFePO4 sebagai


alternatif yang baik untuk baterai lithium-ion.
Metode Penelitian ini menggunakan dua elektroda (katoda LiFePO4, anoda
penelitian grafit) dan separator yang dipotong dengan lebar tertentu. Variasi luas
elektroda diatur, dan elektroda dipanaskan pada 100°C selama satu
jam untuk menghilangkan uap air yang dapat mempengaruhi reaksi
elektrokimia. Separator ditempatkan di antara elektroda dengan
konfigurasi sandwich. Elektroda diampelas untuk mendapatkan
lapisan dasar dari aluminium foil dan tembaga pada katoda dan
anoda.

Pengemasan baterai melibatkan penempatan elektroda dan separator


ke dalam casing baterai, menggunakan glove box dalam kondisi
vakum untuk mengeluarkan oksigen. Proses pembilasan dilakukan
dengan gas argon untuk memastikan minimnya kandungan oksigen di
dalam glove box. Setelah pembilasan, elektrolit dimasukkan
menggunakan syringe, dan casing ditutup rapat.

Pengujian dilakukan dengan metode charge-discharge untuk


mengevaluasi karakteristik kinerja baterai, termasuk kapasitas,
efisiensi, dan siklus hidup. Kapasitas diukur dari waktu yang
dibutuhkan baterai untuk mempertahankan tegangan selama proses
pengosongan. Efisiensi baterai dihitung sebagai perbandingan
kapasitas pengisian dan pengosongan. Uji siklibilitas digunakan
untuk melihat siklus hidup baterai.
Hasil

Gambar 4 menunjukkan karakteristik charge-discharge baterai


dengan luas elektroda (22 x 2) cm2 dan arus pembebanan 3 mA. Saat
proses pengisian, tegangan baterai naik secara drastis dari 2,697 V
menjadi 4,194 V dan cenderung konstan selama 30 menit, sementara
arus pengisian menurun dari 28 mA menjadi 12 mA. Setelah diisi,
tegangan terbuka baterai adalah 3,2 V. Pada proses pengosongan
dengan arus pembebanan 3 mA, tegangan turun dari 4,194 V menjadi
2,8 V dan membentuk kurva mendekati linear, menunjukkan baterai
berada pada tegangan kerjanya (2 V hingga 2,8 V).

Gambar 6 menunjukkan pengaruh luas elektroda terhadap kapasitas


baterai. Semakin besar luas elektroda, kapasitas baterai cenderung
meningkat. Luas elektroda (22 x 2) cm2 memiliki kapasitas terbesar,
3,183 mAh, karena memiliki lebih banyak bahan aktif yang dapat
menampung ion lithium dan elektron, menghasilkan energi listrik
lebih besar melalui reaksi elektrokimia. Peningkatan kapasitas baterai
dari luas elektroda (18 x 2) cm2 ke (22 x 2) cm2 menunjukkan bahwa
baterai memiliki luas elektroda minimal yang diperlukan untuk
memiliki kapasitas besar.
Kesimpulan Telah berhasil dibuat baterai lithium-ion dengan tegangan terbuka
sebesar 3,2 V dan rentang tegangan kerja rata-rata sebesar 2 V hingga
2,8 V pada arus pembebanan 1 mA hingga 5 mA. Arus pembebanan
dapat mempengaruhi efisiensi dan kapasitas baterai lithium ion.
Berdasarkan hasil pengujian, dengan arus pembebanan 3 mA
diperoleh nilai kapasitas dan efisiensi tertinggi masingmasing sebesar
3,18 mAh dan 46,6 %. Penambahan luas elektroda dapat menaikkan
kapasitas dan efisiensi baterai lithium-ion. Berdasarkan hasil
pengujian, dengan luas elektroda (22x2) cm2 diperoleh nilai kapasitas
dan efisiensi tertinggi masing-masing sebesar 3,18 mAh dan 46,6%.

 Energi cahaya

Judul Respons Morfologi dan Anatomi Kecambah Kacang Kedelai


(Glycine max (L.) Merill) terhadap Intensitas Cahaya yang Berbeda
Nama jurnal JURNAL BIOSLOGOS
Volume VOL. 2 NOMOR 2
Tahun 2012
Penulis Lisa Indried Pantilu, Feky R Mantiri, Nio Song Ai, Dingse
Pandiangan
Tanggal review 5 november 2023
Latar belakang Cahaya memegang peran penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan tanaman, mempengaruhi proses fisiologi seperti
fotosintesis, respirasi, dan transpirasi. Intensitas cahaya, kualitas
cahaya, dan durasi penyinaran merupakan elemen penting yang
memengaruhi tanaman. Tanaman memiliki kemampuan adaptasi
terhadap cekaman intensitas cahaya rendah dengan meningkatkan
luas daun dan mengurangi jumlah cahaya yang ditransmisikan dan
direfleksikan.

Adaptasi tanaman terhadap naungan melibatkan mekanisme


penghindaran dan toleransi. Mekanisme penghindaran melibatkan
perubahan anatomi dan morfologi daun, seperti peningkatan luas
daun, kandungan klorofil b, dan penurunan tebal daun. Mekanisme
toleransi berkaitan dengan penurunan titik kompensasi cahaya dan
respirasi yang efisien. Tanaman naungan memiliki titik kompensasi
cahaya yang rendah, memungkinkan akumulasi produk fotosintat
pada intensitas cahaya rendah.

Intensitas cahaya rendah dapat berdampak negatif pada hasil


tanaman, seperti pada padi, jagung, kedelai, ubi jalar, dan talas.
Naungan dapat menyebabkan penurunan enzim fotosintetik,
mengurangi titik kompensasi cahaya, dan mempengaruhi
pembentukan karbohidrat. Tanaman yang telah terpapar cahaya
optimal dapat mengalami pengurangan pertumbuhan akar dan gejala
etiolasi saat terkena pengurangan cahaya.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengamati respons morfologi dan
anatomi kecambah kacang kedelai pada stadium vegetatif 3 terhadap
perbedaan intensitas cahaya.
Metode Penelitian ini menggunakan bahan-bahan seperti kacang kedelai, air,
penelitian paranet 65%, polybag 20x3 cm, dan media tanam kompos mix. Alat-
alat yang digunakan melibatkan bambu, paku, tali, lem, kertas A4,
pagar bambu, termometer infra merah, mikroskop cahaya, light
meter, skymate, mistar, silet, kaca benda, kaca penutup, pipet tetes,
laptop, optilab, alat tulis menulis, dan scanner.

Prosedur penelitian dilakukan mulai bulan Juni hingga Juli 2011 di


Kelurahan Bahu dan Laboratorium Konservasi Jurusan Biologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sam
Ratulangi. Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor
tunggal, yaitu intensitas cahaya, digunakan dengan tiga taraf
perlakuan: P0 (tanpa naungan), P1 (naungan paranet 1 lapis), dan P2
(naungan paranet 2 lapis), masing-masing diulang tiga kali.

Kacang kedelai dipilih dan ditanam dalam polybag yang berisi media
tanam kompos mix. Perlakuan paranet 50%, 90%, dan tanpa naungan
diberikan pada polybag yang berisi benih kacang kedelai.
Pengamatan iklim mikro dilakukan dari hari ke-14 sampai ke-18 pada
jam 07.00 pagi, 12.00 siang, dan 05.00 sore. Iklim mikro yang
diamati mencakup suhu udara, kelembaban udara, dan intensitas
cahaya, diukur dengan light meter, termometer, termometer infra
merah, hygrometer, dan skymate.

Pertumbuhan tanaman diamati pada hari ke-26 dengan menggunakan


dua sampel tanaman di setiap polybag pada semua perlakuan.
Parameter yang diamati meliputi tinggi tanaman, luas daun, jumlah
daun, jumlah, panjang, dan diameter stomata per satuan bidang
pandang mikroskop. Data dianalisis dengan ANOVA, dan jika
terdapat perbedaan nyata, dilakukan uji BNT 5%.
Hasil Penelitian ini mengungkapkan bahwa tingkat naungan mempengaruhi
intensitas cahaya, suhu udara, dan kelembaban udara di sekitar
tanaman. Intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman pada naungan
50% dan 90% signifikan lebih rendah dibandingkan dengan tanaman
tanpa naungan, berkisar antara 12.886,67 lux hingga 36.840 lux.
Tanaman kedelai tumbuh baik pada intensitas cahaya optimum
sekitar 36.840 lux.

Kelembaban udara yang terlalu rendah atau tinggi dapat menghambat


pertumbuhan dan pembungaan tanaman. Kelembaban udara
mempengaruhi proses fotosintesis, dan kelembaban yang optimal
mendukung pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa suhu daun, intensitas cahaya, dan kelembaban udara berbeda
antar perlakuan naungan, dengan naungan 90% menunjukkan
pengaruh yang lebih signifikan.

Pada tingkat naungan 90%, tanaman mengalami peningkatan jumlah


daun, mengindikasikan respons adaptasi terhadap intensitas cahaya
yang rendah. Luas daun pada naungan 90% lebih kecil dibandingkan
tanpa naungan, yang mungkin merupakan strategi tanaman untuk
mengoptimalkan penangkapan cahaya.

Analisis tinggi tanaman menunjukkan perbedaan yang signifikan


antar perlakuan, dengan tinggi tanaman tertinggi pada naungan 90%.
Hal ini dapat disebabkan oleh adaptasi tanaman untuk menanggapi
intensitas cahaya yang rendah dengan pertumbuhan yang lebih cepat.

Meskipun tidak terdapat perbedaan signifikan dalam respons anatomi


seperti jumlah, panjang, dan diameter stomata antar perlakuan,
tanaman mungkin memiliki mekanisme penghindaran cahaya rendah
yang tidak tercermin dalam karakteristik anatomi yang diamati.

Penelitian ini memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana


tanaman kedelai beradaptasi terhadap tingkat naungan yang berbeda
dan memberikan pemahaman lebih lanjut tentang interaksi antara
intensitas cahaya dan respons morfologi serta anatomi tanaman.
Kesimpulan Morfologi tanaman kedelai pada stadium vegetatif 3 dipengaruhi oleh
intensitas cahaya. Tinggi tanaman pada perlakuan naungan 90% dua
kali lebih besar dibandingkan dengan tinggi tanaman tanpa naungan;
jumlah daun tidak berbeda antara perlakuan tanpa naungan dengan
naungan 50% dan antara perlakuan naungan 50% dan 90%, tetapi
jumlah daun pada naungan 90% lebih banyak dibandingkan dengan
jumlah daun tanpa naungan dan luas daun pada perlakuan tanpa
naungan lebih besar dibandingkan dengan luas daun pada perlakuan
naungan 50 dan 90%. Anatomi tanaman kedelai (jumlah, panjang,
dan diameter stomata) pada stadium vegetatif 3 tidak dipengaruhi
oleh intensitas cahaya.

 Energi panas

Judul KAJIAN POTENSI ENERGI PANAS BUANGAN DARI AIR


CONDITIONER (AC)
Nama jurnal Jurnal Teknovasi
Volume Volume 01, Nomor 2, 2014, 1 – 7
Tahun 2022
Penulis indra Hermawan1* & Iswandi Idris2
Tanggal review 5 november 2023
Latar belakang Di Indonesia, Air Conditioner (AC) dikenal sebagai pendingin
ruangan yang umum digunakan di rumah, kantor, dan gedung-
gedung. Penggunaan AC sangat lazim, terutama di kota-kota besar
seperti Medan, Sumatera Utara, yang memiliki iklim tropis dengan
udara panas. Prinsip kerja AC melibatkan evaporator untuk menyerap
panas dari ruangan dan kondensor untuk membuang panas ke
lingkungan.

Khususnya di Medan, hampir semua perkantoran menggunakan AC


untuk menciptakan udara sejuk. AC yang mampu memanfaatkan
panas hasil pembuangan disebut sebagai pompa kalor atau heat pump.
Keefisienan AC diukur dengan Coefficient of Performance (COP),
yang merupakan perbandingan antara panas yang dihasilkan dan
energi yang digunakan.

Pompa kalor, seperti AC, memiliki potensi untuk menghasilkan panas


yang dapat dimanfaatkan, terutama di kondisi iklim sedang. Energi
listrik yang digunakan oleh pompa kalor memiliki COP sekitar 3,5,
artinya 3,5 kWh panas dihasilkan untuk setiap 1 kWh listrik yang
digunakan.

Pemanfaatan energi panas dari pembuangan kondensor AC menjadi


fokus penelitian untuk keperluan pengeringan, baik pengeringan
pangan maupun pakaian. Proses pengeringan konvensional yang
melibatkan sinar matahari dan angin dapat ditingkatkan dengan
memanfaatkan panas yang dihasilkan oleh AC.
Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan kajian terhadap potensi
energi panas yang dimilki dari panas yang dihasilkan oleh kondensor
Air Conditioner.
Metode Penelitian ini memfokuskan pada pengukuran kecepatan udara,
penelitian kelembaban udara, dan temperatur udara. Peubah yang diamati
beserta alat ukurannya tercantum dalam Tabel 1. Pengukuran
dilakukan dengan menempatkan alat ukur pada titik yang diinginkan,
seperti yang ditunjukkan dalam setup eksperimental.

Pengukuran kecepatan udara dilakukan pada titik masuk dan keluar


dari kondensor dengan anemometer. Kelembaban dan temperatur
udara diukur pada titik 1 dan 2, mewakili udara di dalam kantor dan
udara keluar dari kondensor AC. Data yang tercatat pada alat ukur
akan dipindahkan ke PC untuk analisis lebih lanjut.

Analisis potensi panas keluaran kondensor AC dilakukan dengan


mengukur suhu dan kelembaban udara keluaran dari kondensor AC
serta udara lingkungan. Kecepatan aliran udara kondensor diukur
untuk perhitungan potensi panas kondensor AC. Proses analisis
melibatkan perhitungan tekanan uap jenuh, tekanan uap air aktual,
kelembaban spesifik udara, entalpi udara sebelum dan sesudah
kondensor, volume spesifik udara, dan laju aliran panas yang dibawa
oleh udara keluaran kondensor.

Langkah-langkah perhitungan dijelaskan dalam rumus matematis


yang melibatkan suhu, tekanan, kecepatan aliran udara, dan entalpi
udara. Hasil analisis ini diharapkan memberikan informasi tentang
potensi energi panas yang dapat dimanfaatkan dari keluaran
kondensor AC.
Hasil Temperatur rata-rata dan kelembaban relatif rata-rata udara yang
keluar dari kondensor adalah 47,47oC dan 30,35%, sedangkan suhu
udara maksimal yang dapat dihasilkan oleh kondensor adalah
53,50oC dan kelembaban relatif minimum 20%. Grafik temperatur
dan kelembaban relatif udara keluar dari kondensor hasil dari
pengukuran dengan menggunakan Rh meter diperlihatkan pada
gambar 3. Pada gambar terlihat bahwa suhu udara yang keluar dari
kondensor dari menit ke 30 sampai dengan menit ke 120
memperlihatkan lebih stabil, demikian halnya dengan kelembaban
relatifnya. Hal ini diharapkan bahwa suhu yang dihasilkan dapat
dimanfaatkan, seperti untuk pengeringan produk/bahan yang tidak
membutuhkan suhu yang terlalu tinggi sebagai suhu pengeringannya.

Pada tabel 2, diperlihatkan beberapa penelitian yang dilakukan


berkaitan dengan pengunaan panas sebagai media pengeringnya. Dari
tabel dapat dilihat beberapa produk yang didalam prosesnya
(terutama pengeringan) menggunakan suhu tidak terlalu tinggi. Jika
dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan ini maka secara teori suhu
yang dihasilkan dari kondensor dapat dimanfaatkan

Diperoleh besar kalor yang dilepaskan oleh kondensor adalah 0,84


kW, sedangkan laju aliran panas yang dibawa oleh udara yang keluar
dari kondensor AC adalah sebesar 1122,738 kJ/menit. Potensi udara
panas keluar kondensor AC diilustrasikan pada psychrometric chart
seperti tergambar pada gambar 4.
Garis AB pada gambar 4 merupakan ilustrasi proses pemanasan
udara, garis BC merupakan ilustrasi garis penyerapan uap air oleh
udara dan C merupakan ilustrasi titik maksimal potensi penyerapan
uap air oleh udara pada kondisi adiabatik. Potensi penyerapan uap air
maksimal dari udara panas kondensor AC berdasarkan pembacaan
psychrometric chart adalah 2 g/kg udara kering. Potensi penyerapan
uap air maksimal udara yang keluar dari kondensor AC dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan (Rahmanto, 2011) : ( )
Dengan momodifikasi persamaan tersebut dengan cara menggati nilai
perubahan entalpi dengan potensi penyerapan uap air maksimal tiap
kilogram udara kering, sehingga diperoleh nilai 91,76 gram uap air
per menit.

Kesimpulan Berdasarkan hasil peneltian yang diperoleh maka dapat disimpulkan


bahwa udara panas yang dilepaskan oleh kondensor dapat
dimanfaatkan terutama untuk proses pengeringan bahan yang suhu
pengeringannya kurang dari 60oC. Adapun potensi penyerapan uap
air oleh udara panas yang dilepaskan oleh kondensor secara teori
adalah 2 g/kg udara kering atau 91,76 gr uap air per menit.

Anda mungkin juga menyukai