Petunjuk
1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.
1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian
UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan
saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta
tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran
atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh
Universitas Terbuka.
18-12-2023, Tangerang
Nama Mahasiswa
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
1.Pasal 281 ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak
asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Dalam pasal ini dijelaskan bahwa negara atau pemerintah berkewajiban untuk melindungi masyarakat dari
segala ancaman termasuk pandemi serta menyediakan fasilitas saat pandemi bahkan pasca pandemi. UUD itu
pun diperkuat dengan pasal (8)UU HAM, kemudian pasal (7) UU kesehatan yang menyatakan bahwa
pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh setiap masyarakat,
kemudian pasal (9) UU kesehatan menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat.
Sumber : https://jurnal.stkipkusumanegara.ac.id/index.php/citizenshipvirtues/article/download/902/542/3427
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
2. A. Dari kasus diatas menurut saya termasuk kategori budaya politik partisipan. Budaya politik partisipan :
tingkat kesadaran masyarakat yang tinggi dan aktif dalam segala proses politik seperti pemilihan umum, aksi
protes/demostrasi, ruang diskusi politik.
B. Ada beberapa faktor yang membuat budaya politik partisipan tidak berkembang pada era orde baru
diantaranya:
- kontrol politik yang ketat
Pada masa orde baru kontrol politik sangat ketat,bahkan oposisi pun dibungkam sedemikian rupa agar tidak
berkutik, bahkan pembuatan partai baru pun harus disetujui oleh pemerintah sehingga membuat budaya
politik partisipan sulit untuk berkembang.
- pembatasan kebebasan berpendapat.
Pemerintahan di orde baru sangat anti dengan kritik bahkan tak segan untuk membungkam media masa,
organisasi masyarakat sipil bahkan individu yang berani untuk mengritik pemerintah.
Keterbatasan kebebasan politik dan represi terhadap oposisi membuat masyarakat enggan terlibat secara aktif
dalam proses politik.
Sumber : MEMBANGUN KARAKTER BUDAYA POLITIK DALAM BERDEMOKRASI - Neliti
https://media.neliti.com/media/publications/53625-ID-membangun-karakter-budaya-politik-dalam.pdf
3.A) Fenomena yang melibatkan praktik-praktik politik identitas seperti yang dilakukan oleh Donald Trump
di Amerika Serikat dan Marine Le Pen di Perancis telah menjadi perhatian dan kajian dari berbagai ilmuwan,
salah satunya adalah Stuart Hall.
Stuart Hall, seorang intelektual asal Jamaika yang dikenal sebagai salah satu pendiri School of Cultural
Studies di Birmingham, Inggris, memberikan kontribusi besar dalam memahami politik identitas dan budaya.
Kritik dan Pemikiran Stuart Hall:
1.Konstruksi Identitas
Hall menekankan bahwa identitas bukanlah sesuatu yang sudah ada sejak awal, tetapi merupakan hasil dari
konstruksi sosial dan budaya.
Dalam konteks politik identitas yang melibatkan Trump dan Le Pen, Hall menyoroti bagaimana identitas
etnis, agama, dan budaya dibangun secara sengaja untuk mencapai tujuan politik tertentu.
Praktik-praktik ini seringkali memanfaatkan ketidaksetaraan dan ketegangan sosial untuk memperkuat naratif
identitas.
2. Polarisasi dan Pengkotakan Masyarakat
Hall kritis terhadap praktik politik yang menggunakan identitas sebagai alat untuk membangun polarisasi
dalam masyarakat.
Trump, dengan deportasi etnis Hispanik dan retorika anti-imigran, serta Le Pen dengan kebijakan
diskriminatif terhadap imigran dan Muslim, secara sengaja menciptakan perpecahan dan ketegangan antar-
grup dalam masyarakat.
Hall melihat ini sebagai strategi politik yang dapat merusak tatanan sosial dan kohesi masyarakat.
3. Dominasi Budaya dan Hegemoni
Konsep hegemoni dari Hall menggambarkan cara kelompok dominan dapat mengendalikan naratif dan nilai-
nilai yang mendominasi budaya masyarakat. Praktik politik identitas oleh Trump dan Le Pen sering kali
menciptakan hegemoni kelompok tertentu dengan menetapkan norma-norma yang mendukung agenda
mereka, sehingga merendahkan atau mengecualikan kelompok minoritas.
4. Pentingnya Pemahaman Budaya dan Konteks Lokal
Hall menekankan pentingnya memahami konteks budaya dan sosial lokal dalam menganalisis politik
identitas.
Praktik-praktik politik identitas yang dilakukan oleh Trump di Amerika Serikat dan Le Pen di Perancis tidak
dapat dipahami tanpa mempertimbangkan sejarah, ketegangan sosial, dan dinamika budaya masing-masing
negara.
5. Peran Media dan Representasi
Hall menyoroti peran media dalam membentuk representasi identitas.
Ia membahas bagaimana media memainkan peran penting dalam membentuk citra imigran, Muslim, dan
kelompok minoritas lainnya, yang dapat memperkuat stereotip dan menciptakan persepsi yang bias.
Pemikiran Stuart Hall mengajarkan kita untuk melihat politik identitas sebagai konstruksi yang kompleks,
terkait erat dengan kekuasaan, budaya, dan struktur sosial.
Kritiknya terhadap penggunaan politik identitas yang divisif dan diskriminatif memberikan pemahaman yang
mendalam tentang dampak dan implikasi dari praktek-praktek ini dalam masyarakat modern.
6.Kritik terhadap Essentialisme
Stuart Hall menolak pandangan essentialis terkait identitas, yang menganggap identitas sebagai sesuatu yang
tetap dan tidak berubah.
Ia berpendapat bahwa identitas bersifat dinamis dan terus berkembang dalam respons terhadap perubahan
sosial, politik, dan budaya.
Dalam konteks Trump dan Le Pen, kritiknya mencakup penolakan terhadap pandangan yang mereduksi
identitas kelompok tertentu menjadi stereotip atau generalisasi yang statis.
7. Pertautan Identitas dan Kekuasaan
Hall menyoroti pertautan antara identitas dan kekuasaan. Praktik politik identitas yang dilakukan oleh Trump
dan Le Pen dapat dilihat sebagai upaya untuk mempertahankan atau memperoleh kekuasaan politik dengan
memanipulasi identitas kelompok. Identitas digunakan sebagai alat untuk memobilisasi dukungan dan
memperkuat basis politik.
8. Pentingnya Dialog dan Pertukaran Budaya
Hall mendorong adanya dialog dan pertukaran budaya sebagai sarana untuk memahami dan menghargai
keragaman identitas.
Politik identitas yang bersifat inklusif, menurut Hall, harus menciptakan ruang bagi pertemuan dan
pertukaran antar-kelompok. Sebaliknya, politik identitas yang eksklusif dapat memperdalam jurang antar-
grup dan memperburuk konflik sosial.
9. Kontribusi Pemikiran Poskolonial
Pemikiran Hall juga terkait dengan konteks poskolonial, di mana identitas seringkali menjadi poin konflik
akibat sejarah kolonialisme dan imperialisme.
Kritiknya mencakup pemahaman bahwa identitas tidak dapat dipisahkan dari dinamika kekuasaan global dan
sejarah hubungan antarbangsa, yang dapat mempengaruhi cara politik identitas diimplementasikan.
10. Aksi Bersama untuk Keadilan Sosial
Hall mendorong aksi bersama untuk keadilan sosial di tengah dinamika identitas yang kompleks.
Menurutnya, pemahaman terhadap perbedaan identitas harus digabungkan dengan tekad bersama untuk
mencapai masyarakat yang lebih adil dan inklusif.
11. Konteks Historis dan Sosial
Stuart Hall menekankan pentingnya memahami praktik politik identitas dalam konteks historis dan sosial
yang lebih luas.
Dalam konteks Trump dan Le Pen, pemahaman terhadap sejarah, termasuk kolonialisme, perang dunia, dan
perkembangan sosial, menjadi penting untuk menjelaskan akar dari pandangan identitas yang diusung oleh
kedua tokoh tersebut
12. Peran Budaya Populer:
Pemikiran Hall mencakup peran budaya populer dalam membentuk dan mereproduksi identitas.
Politik identitas dapat ditemukan dalam naratif-naratif budaya, seperti media massa dan hiburan.
Hall menekankan bahwa pemahaman terhadap identitas tidak dapat terpisah dari produksi budaya dan reproduksi
makna melalui media.
13. Pengaruh Neoliberalisme
Hall juga mengkaji pengaruh neoliberalisme terhadap politik identitas.
Dalam era neoliberal, identitas sering diarahkan oleh logika pasar, di mana kepentingan ekonomi dan
komersial dapat mendominasi pembentukan identitas.
Hal ini dapat terlihat dalam praktik politik yang menciptakan polarisasi untuk mencapai keuntungan politik
atau dukungan elektoral.
14. Pertimbangan Feminis
Pemikiran Hall mempertimbangkan pandangan feminis terhadap politik identitas, dengan menyoroti
bagaimana identitas gender dan peran perempuan dapat dipolitisasi.
Kritiknya mencakup pemahaman terhadap peran gender dalam politik identitas, termasuk bagaimana
pandangan patriarki dapat membentuk dan membatasi identitas perempuan.
15. Pentingnya Kritik dan Refleksi
Hall mendorong adanya kritik dan refleksi terus-menerus terhadap praktik politik identitas.
Dalam hal ini, masyarakat dan akademisi diharapkan untuk terus mengevaluasi dampak politik identitas
terhadap keadilan sosial, hak asasi manusia, dan inklusivitas masyarakat
16. Pendekatan Multikulturalisme
Stuart Hall turut mengembangkan konsep multikulturalisme sebagai alternatif untuk melihat dan menghargai
keragaman identitas.
Konsep ini menekankan pentingnya pengakuan terhadap beragam identitas dan budaya sebagai aset positif
dalam masyarakat.
Dalam kritiknya terhadap politik identitas yang eksklusif, Hall mendorong pendekatan yang mempromosikan
dialog antarbudaya dan pengakuan hak setiap individu untuk mengekspresikan identitasnya.
17. Aktivisme dan Gerakan Sosial
Hall mendukung peran aktivisme dan gerakan sosial dalam menentang praktik politik identitas yang
merugikan.
Melalui partisipasi aktif dalam gerakan sosial, masyarakat dapat menuntut perubahan kebijakan yang lebih
inklusif dan adil.
Pemikiran ini menggambarkan harapannya terhadap aksi kolektif sebagai alat untuk mengubah arah politik
yang merugikan.
18. Pemikiran Postmodern
Pemikiran Hall dapat dihubungkan dengan pendekatan postmodern yang menolak narasi tunggal dan
menekankan kompleksitas identitas.
Dalam konteks politik identitas yang diusung oleh Trump dan Le Pen, pemikiran postmodern menyoroti
konstruksi naratif politik dan keberagaman interpretasi terhadap realitas sosial.
19. Pemahaman Terhadap Rasa Takut dan Kebingungan
Hall memahami bahwa politik identitas sering kali muncul dalam konteks rasa takut dan kebingungan di
tengah perubahan sosial dan ekonomi yang cepat.
Praktik politik identitas yang meremehkan atau menyalahkan kelompok tertentu dapat dianggap sebagai
respons terhadap rasa ketidakpastian dan kecemasan yang muncul dalam masyarakat.
20. Kolaborasi dan Solidaritas Lintas-Identitas
Dalam menghadapi politik identitas yang polarisatif, Hall menegaskan pentingnya kolaborasi dan solidaritas
lintas-identitas.
Masyarakat perlu membangun aliansi dan kemitraan antar-kelompok untuk mengatasi pembagian dan
perpecahan yang mungkin muncul akibat praktik politik identitas yang eksklusif.
Melalui kritik-kritik tersebut, Stuart Hall menyediakan landasan konseptual untuk melihat praktik politik
identitas secara kritis dan memahami kompleksitas hubungan antara identitas, kekuasaan, dan perubahan
sosial.
Pemikirannya mengajak kita untuk tidak hanya memahami identitas sebagai kategori statis, tetapi sebagai
wilayah dinamis yang terus berubah dalam interaksi kompleks dengan konteks sosial dan politik
Referensi:
1. Hall, S. (1996). Introduction: Who Needs 'Identity'? In S. Hall & P. du Gay (Eds.), Questions of Cultural
Identity (pp. 1-17). Sage Publications.
2. Hall, S. (1997). Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. Sage Publications.
3. Hall, S., & Gieben, B. (1992). Formations of Modernity. Polity Press.
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
4.a) Fungsi legislatif sebagai pengawas eksekutif memiliki sejumlah hak yang dirancang untuk memastikan
keseimbangan kekuasaan dan pencegahan penyalahgunaan oleh badan eksekutif.
Hak-hak ini memainkan peran penting dalam menjaga prinsip checks and balances di dalam sistem politik.
Berikut adalah beberapa hak yang dimiliki oleh fungsi legislatif sebagai pengawas eksekutif:
1. Hak Pengawasan dan Penggantian Pemimpin Eksekutif
Legislatif memiliki hak untuk mengawasi dan menilai kinerja pemerintahan eksekutif.
Dalam beberapa sistem politik, ini dapat mencakup prosedur impeachment atau mosi tidak percaya terhadap kepala
pemerintahan atau pejabat eksekutif tertentu jika dianggap telah melakukan pelanggaran atau tidak memenuhi
tugasnya.
2. Pengesahan Anggaran dan Kontrol Keuangan
Legislatif memiliki hak untuk menyetujui anggaran pemerintah dan mengontrol pengeluaran keuangan
Hak ini memberikan legislator kendali terhadap sumber daya finansial pemerintah, memastikan bahwa penggunaan
dana publik sesuai dengan kebijakan dan program yang telah disetujui.
3. Pemeriksaan dan Investigasi
Fungsi legislatif memiliki hak untuk melakukan pemeriksaan dan investigasi terhadap kebijakan dan tindakan
pemerintah.
Pemeriksaan ini dapat mencakup pertanyaan-pertanyaan kepada pejabat eksekutif, mendapatkan informasi, dan
mengadakan penyelidikan jika diperlukan.
4. Hak Membentuk dan Merevisi Undang-Undang
Legislatif memiliki hak untuk mengusulkan, membahas, dan mengesahkan undang-undang.
Dengan mengendalikan pembentukan dan perubahan undang-undang, fungsi legislatif dapat memberikan arah dan
batasan terhadap kebijakan dan tindakan eksekutif.
5. Konfirmasi dan Persetujuan
Di beberapa sistem politik, legislator memiliki hak untuk mengonfirmasi atau menolak penunjukan pejabat eksekutif
tertentu, seperti menteri atau duta besar
Persetujuan ini dapat membantu memastikan bahwa pejabat eksekutif memiliki kualifikasi dan dukungan yang
memadai.
6. Hak Pertanyaan dan Debat
Legislatif memiliki hak untuk mengajukan pertanyaan dan berpartisipasi dalam debat tentang kebijakan dan tindakan
eksekutif.
Ini memberikan wadah untuk pengungkapan pandangan dan evaluasi terhadap kinerja pemerintah.
7.Pelaporan Rutin
Legislatif memiliki hak untuk menerima laporan rutin dari pemerintah tentang berbagai aspek kebijakan dan
pelaksanaan program-program tertentu. Ini memungkinkan legislator untuk tetap up-to-date dan memahami tindakan
eksekutif.Hak-hak ini mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi dan pengawasan yang ditanamkan dalam sistem
politik pasca reformasi di Indonesia
Perubahan amandemen pada UUD 1945 telah memperkuat peran dan hak fungsi legislatif, memberikan landasan bagi
sistem politik yang lebih demokratis dan terbuka.
Referensi:
B). Dalam konteks masa pasca reformasi di Indonesia, perubahan dalam sistem politik dan penyelenggaraan fungsi
legislatif menjadi sorotan utama.
Amandemen pada Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah memberikan dampak signifikan terhadap
pelaksanaan fungsi legislatif yang kini lebih bersifat demokratis. Salah satu aspek yang penting adalah pengawasan
atau kontrol yang dilakukan oleh legislatif terhadap badan eksekutif.
Dalam menjawab pertanyaan ini, saya akan membahas praktek penggunaan hak-hak yang dimiliki oleh legislatif dalam
pengawasan eksekutif, memberikan contoh konkret dari sumber media massa baik cetak maupun online yang relevan
dan kredibel, serta menyertakan tautan (link) sumber online tersebut.
Media massa memainkan peran yang sangat penting dalam memberikan informasi kepada masyarakat mengenai
praktek pengawasan legislatif terhadap eksekutif.
Pengaruh positif media massa dalam proses pengawasan legislatif mencakup beberapa aspek kunci
1. Meningkatkan Transparansi:
Media massa bertindak sebagai agen transparansi dengan menyajikan informasi secara terbuka kepada masyarakat.
Liputan media membantu mengungkapkan proses dan hasil dari pengawasan legislatif terhadap eksekutif, sehingga
masyarakat dapat memahami lebih baik kebijakan dan tindakan pemerintah.
Contoh:
Berita yang melaporkan hasil dari hak interpelasi legislator terhadap Menteri Pendidikan, menjelaskan secara
transparan pertanyaan yang diajukan dan tanggapan yang diberikan.
2. Memberikan Ruang untuk Diskusi Publik:
Melalui liputan dan analisisnya, media massa menciptakan ruang untuk diskusi dan debat publik mengenai kebijakan
pemerintah.
Masyarakat dapat memberikan tanggapan dan pandangan mereka terhadap praktek pengawasan legislatif, yang pada
gilirannya dapat membentuk opini publik.
Contoh:
Artikel yang memberikan ruang bagi para ahli dan tokoh masyarakat untuk memberikan pandangan mereka terkait
pembentukan panitia angket oleh DPR dalam kasus kebijakan kesehatan.
3. Menekankan Pentingnya Akuntabilitas:
Melalui pemberitaannya, media massa menekankan pentingnya akuntabilitas pemerintah terhadap rakyat.
Dengan menyoroti proses pengawasan legislatif, media membantu menciptakan tekanan terhadap badan eksekutif
untuk bertanggung jawab atas kebijakan dan tindakan mereka.
Contoh:
Liputan yang menyoroti pembentukan panitia angket sebagai langkah untuk memastikan akuntabilitas dan evaluasi
kebijakan kesehatan.
4. Mendorong Keterlibatan Masyarakat
Informasi yang disajikan oleh media massa memotivasi keterlibatan masyarakat dalam urusan politik.
Dengan mengetahui bagaimana legislatif menggunakan hak-haknya, masyarakat dapat lebih proaktif dalam
menyuarakan pandangan dan tuntutan mereka terhadap pemerintah.
Contoh:
Artikel yang mengundang partisipasi masyarakat dalam memberikan tanggapan terhadap hasil hak interpelasi terhadap
Menteri Pendidikan.
Tantangan dalam Representasi Media Massa
Namun, perlu diakui bahwa ada tantangan dalam representasi media massa terhadap praktek pengawasan legislatif.
Beberapa tantangan tersebut meliputi:
1. Potensi Bias dan Sensasionalisme
Media massa dapat memiliki kecenderungan untuk memilih berita atau sudut pandang tertentu yang dapat menciptakan
bias atau sensasionalisme.
Hal ini dapat memengaruhi persepsi masyarakat terhadap praktek pengawasan legislatif.
2. Keterbatasan Waktu dan Ruang
Media massa sering kali harus merangkum informasi dalam waktu dan ruang yang terbatas.
Hal ini dapat menyebabkan ketidaklengkapannya dalam menyajikan konteks dan informasi yang lebih mendalam
mengenai praktek pengawasan legislatif.
3. Polarisasi Opini:
Beberapa media massa dapat menjadi cermin dari polarisasi opini politik.
Pemberitaan yang cenderung mengikuti orientasi politik tertentu dapat memengaruhi pandangan masyarakat terhadap
efektivitas pengawasan legislatif. Saran untuk Meningkatkan Efektivitas Pengawasan Legislatif
Untuk meningkatkan efektivitas pengawasan legislatif dan memastikan representasi media massa yang seimbang,
beberapa langkah dapat diambil:
1. Pelibatan Lembaga Pemeriksa Independen
Memastikan adanya lembaga pemeriksa independen yang dapat memberikan evaluasi dan opini objektif terhadap
kinerja pemerintah.
Media massa dapat berperan dalam menyampaikan hasil-hasil pemeriksaan tersebut kepada masyarakat.
2. Pelatihan Jurnalis Politik
Memberikan pelatihan khusus kepada jurnalis yang meliput politik untuk memahami secara mendalam proses
legislatif, sehingga mereka dapat menyajikan informasi yang lebih akurat dan berimbang.
3. Pendekatan Kolaboratif
Mendorong pendekatan kolaboratif antara lembaga legislatif, eksekutif, dan media massa untuk meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas.
Dialog terbuka antara pihak-pihak terkait dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif.