Tugas Makalah Matkul Kegaluhan
Tugas Makalah Matkul Kegaluhan
Disusn Oleh:
Suyanto Priambodo
Nim: 7011230141
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmatNya sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai, tidak lupa kami ucapkan banyak terima
kasih kepada dosen mata kuliah Kegaluhan Ibu Gea Rahmawati, Spd. MPd selaku
dosen Kegaluhan yang telah memberi banyak pelajaran dan pengetahuan tentang
sejarah kegaluhan.
Dan kami ucapkan juga kepada temen-temen mahasiswa yang telah memeberi
banyak bantuan dan sumbang sih dan kontribusinya baik materi dan pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik dan lebih sempurna.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesejarahan …………………………………………………… 4
A.1 Sejarah penamaan Cilacap ………………………………….. 4
A.2 Sejarah penamaan Galuh ………………………………….. 9
A.3 Sejarah penamaan Ciamis ………………………………….. 11
A. Kesimpulan ………………………………………………….. 12
B. Saran …………………………………………………………… 13
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indentifikasi daerah Cilacap dengan Kerajaan Galuh Purba adalah dua daerah
yang saling berdeketan atau bertetangga satu sama lain yang mempengaruhi
interaksi sosial.
Interaksi sosial merupakan proses hubungan dinamis yang terjadi antara kedua
daerah baik antar indivindu antar kelompok maupun antar wilayah yang terwujud
kerja sama ataupun persangan.
Kedua daearah memiliki kesejarahan yang berbeda pula namun karena andanya
proses interaksi sosial, maka kedua daearah akan terbentuk sejarah baru atau
peradan baru akibat dari proses interaksi sosial dan kerja sama keduanya
Daerah Cilacap dan dearah Kerajaan Galuh memiliki seni budaya yang
berbeda pula sehingga karena terjadi interaksi sosial seperti diuraikan diatas, maka
terjadi pembentukan seni budaya baru (gabungan / kombinasi) dari proses inetraksi
sosial kedua daerah tersebut diatas.
B. Tujuan
Manusia cenderung akan memberikan sebuah nama saat menduduki suatu
tempat, pemberian nama tersebut bertujuan agar tempat yang ditempati itu dapat
terindentifkasi menjadi patokan, dan memudahkan hubungan komunikasi antar
sesama manusia (Darheni, 2010) karena “nama” dapat berfunsi sebagai unit
pengenal. Menurut Darheni (2010), terdapat dua pengalaman yang
dipertimbangkan manusia dalam memberi nama pada suatu tempat, yaitu:
1. Pertimbangna yang dihasilkan oleh proses, ciri atau sifat yang ditunujkan
oleh alam dan nama dari hasil rekayasa mamusia.
2. Pertimbangkan yang didasarkan pada gagasan, harapan, citas-cita dan citra
rasa manusia terhadap tempat tersebut agar sesuai dengan apa yang
dikehendakai
Nama suatu tempat dari masa kemasa mungkin akan berbeda karena penamaan
suatu tempat ini bergantung dari pengalaman dan pertimabngan dari manusia yang
menduduki tempat tersebut. Oleh karena itu, untuk sampai pada bentuk nama suatu
tempat yang ada pada saat ini memerlukan proses dan waktu yang panjang adalah
nama dari salah satu kabupaten di Jawa Tengah yaitu Kabupaten Cilacap dan salah
satu kabupaten di Jawa Barat yaitu Kabupaten Galuh
Metode Penelitian
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesejarahan
A. 1. Sejarah Penamaan Cilacap
Berdasarkan studi pustaka / literatur yang diperoleh dari Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan Kabupaten Cilacap tahun 2011, serta cerita rakyat yang berkaitan
dengan sejarah toponimi “Cilacap” yang telah dihimpun oleh Badan Pendidikan,
Pelatihan, Arsip, dan Perpustakaan Daerah Pemerintah Kabupaten Cilacap,serta
sumber-sumber refenrensi lainnya yang membahas mengenai sejarah Kabupaten
Cilacap, penulis dapat merunut historis penamaan Kabupaten Cilacap, yang akan
dikaitkan dengan tinjauan kebahasaan.
Perspektif Sejarah
Berdasarkan sumber kesejarahan, pada abad ke-4 Masehi, wilayah Cilacap
merupakan wilayah Kerajaan Tarumanegara yang membentang dari Selat Sunda.
Pada abad ke-8 Masehi, adanya pembagian wilayah Tarumanegara menjadi dua
sehingga wilayah Cilacap masuk ke dalam wilayah kerajaan Galuh. Wilayah
Galuh membentang dari Sungai Citarum sampai Sungai Pamali di utara dan
Sungai Serayu di selatan Cilacap. Tarumanegara menguasai wilayah Cilacap
antara abad IV-VII dan Galuh antara abad VII-XV. Dalam kedudukannya sebagai
kerajaan, Galuh berakhir sekitar abad ke-16 atau awal abad ke-17, beriringan
dengan berakhirnya Kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan Pajajaran
(Zuhdi, 1991). De Haan (1910, hlm. 68) menyatakan bahwa wilayah kekuasaan
Galuh mencangkup Banyumas dan Segara Anakan. Wilayah itu berkembang
hingga meliputi Cilacap, Majenang, Dayeuhluhur, dan Pegadingan. Berdasarkan
data laporan tanggal 29 Februari 1809 yang ditunjukkan oleh de Haan (1910),
berisi laporan bahwa wilayah kekuasaan Galuh mencangkup Imbanegara, Pasir
Panjang, Janggala, Kawasen, Cikembulan, Madura, dan Nusa Kambangan.
Masyarakat ketika itu menggunakan bahasa Sunda dalam komunikasi sehari-
sehari. Masyarakat Sunda pun masih tetap bertahan dan menetap di wilayah
Kabupaten Cilacap meski masa kekuasan Galuh di Cilacap sudah digantikan oleh
kekuasan Mataram. Hal ini terbukti hingga saat ini masih banyaknya penutur
bahasa Sunda di wilayah Kabupaten Cilacap, yang dapat hidup berdampingan
dengan masyarakat Jawa.
Nama “Cilacap” yang digunakan saat ini belum dikenal pada masa
kerajaan Tarumanegara, Galuh, dan Mataram. Pada masa kerajaan Mataram,
wilayah Kabupaten Cilacap saat ini lebih dikenal dengan nama Handaunan (saat
ini Donan). Berdasarkan data dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kabupaten Cilacap (2011), Handaunan disebut sebagai cikal bakal Cilacap
berdasarkan Prasasti Salingsingan yang bertarih 2 Mei 880
Perspektif Linguistik
Berdasarkan perspektif kebahasaan nama “Cilacap” berasal dari awalan
ci-, kependekan dari kata cai ‘air’ dari bahasa Sunda, dan tlacap atau lacap ‘suara’
atau ‘bunyi- bunyian’ dari bahasa Jawa. Tlacap atau lacap juga berarti lancip atau
tanah yang menjorok ke laut, yang sama artinya dengan kata congot (dalam
bahasa Jawa).
Arti dari kata tlacap atau lacap dan congot tersebut berkaitan dengan masa
sejarah pembukaan hutan Donan, yang menjadi cikal bakal Cilacap. Rombongan
pembuka hutan Donan menyebut daerah ujung dari lekukan pantai selatan yang
menyerupai mata bajak, tempat romongan itu berhenti, disebut dengan “cacab”.
Rombongan pembuka hutan Donan itu kemudian membuat gubuk-gubuk
sederhana di daerah ujung pantai yang dikenal sebagai tjongot wetan untuk
beberapa waktu lamanya. Oleh karena itu, awal mula “Cilacap” juga terkenal
memiliki daerah ujung pantai yang terkenal dengan nama congot wetan. Ci
berarti air dan lacap berarti tanah lancip yang menjorok ke (air) laut sehingga
“Cilacap” berarti tanah lancip yang menjorok ke air laut.
Selanjutnya, nama galuh pun mengacu pada nama kerajaan dan nama
kabupaten. Nama ”galuh” muncul dalam panggung sejarah sejak berdirinya
Kerajaan Galuh. Kerajaan ini didirikan oleh seorang tokoh Sunda bernama
Wretikandayun pada awal abad ke-7 M. Wretikandayun semula berkuasa di
daerah Kendan (Kendan termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan Tarumanagara).
Sejak awal abad ke-7 pamor kerajaan itu makin memudar, terutama masa
pemerintahan Raja Tarusbawa (raja Tarumanagara terakhir, 669-670 M.). Kondisi
itu dimanfaatkan oleh Wretikandayun untuk melepaskan Kendan dari kekuasaan
Tarumanagara. Upaya Wretikandayun berhasil tanpa menimbulkan konflik
dengan penguasa Tarumanagara. Oleh karena Kendan tidak memadai sebagai
pusat pemerintahan, maka Wretikandayun memindahkan pusat pemerintahannya
ke daerah Karangkamulyan sekarang. Daerah itu dibangun menjadi pusat
Kerajaan Galuh. Sementara itu, Tarusbawa mendirikan Kerajaan Sunda sebagai
kelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara.
Ketika Kerajaan Galuh diperintah oleh Sanjaya (723-732 M.), sang raja
menjadi menantu Raja Sunda Tarusbawa. Hal itu menyebabkan terjadinya
penggabungan kedua kerajaan menjadi Kerajaan Sunda-Galuh, sehingga Kerajaan
Galuh makin berkembang. Pada abad ke-13, Kerajaan Galuh berpusat di Kawali.
Kerajaan Galuh mencapai kejayaan terutama pada masa pemerintahan Maharaja
Niskala Wastu Kancana (1371-1475 M.).
Pada zaman penjajahan Belanda pangkat wedana setingkat dengan bupati. Dengan
demikian, sejak awal abad ke-17 itulah, Galuh menjadi kabupaten, Kabupaten
Galuh, dengan bupati pertama Adipati Panaekan.
Pada awal abad ke-19 ibukota Kabupaten Galuh dipindahkan lagi ke Cibatu,
kemudian ke Burung Diuk. Setelah kota Ciamis berdiri, ibu kota Kabupaten Galuh
dipindahkan ke kota Ciamis (masa pemerintahan Bupati Wiradikusumah, 1815-
1819)
Kata Ciamis berasal dari “ci” dsn “amis”. Kata “ci” singkatan dari cai yang berarti
air. Kata “amis” memiliki 2 arti, Pertama amis (bhs Sunda) berarti manis (berkaitan
dengan rasa). Kedua amis )bhs Jawa) berarti anyir (berkaitan dengan aroma
penciuman). Malah Danadibrata (2009:19,420) mengartikan kata “amis”sebagai
“bau mabek, bau pisan” (bau sekali, sangat bau). Namun Hardjasaputra (t,th:4)
berpendapat bahwa kata “amis” dalam Ciamis, bukan “amis dalam bahasa Sunda
yang berarti rasa manis. Sumber tradisional yang memuat data Kerajaan Galuh
menunjukan bahwa” amis” dalam nama Ciamis adalah “amis” dalambahasa Jawa
yang berarti “anyir” itu.
Ketiga, ketika Galuh jatuh ke dalam kekuasaan Kompeni (mulai akhir tahun 1705),
terjadi lagi tragedi berdarah di Ciancang (Utama) tahun 1739 yang dikenal dengan
sebutan “Bedah Ciancang” (Hardjasaputra, t.th:2)
Dengan demikian, kata “amis” dalam kata Ciamis lebih tertuju pada arti bau
amis darah manusia, korban dalam tragedi. Katanya sebutan “amis” yang
ditunjukan pada darah manusia itu dilontarkan oleh utusan penguasa Mataram
ketika mengontrol daerah Galuh tidak lama setelah di Galuh terjadi tragedi “banjir
darah” Oleh karena itu, sebutan “ciamis” pada awalnya lebih merupakan cemoohan
dari pihak Mataram terhadap pihak Galuh.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Penamaan “Cilacap” melalui proses dan waktu yang sangat panjang. Nama
“Cilacap” yang ada pada saat ini merupakan nama yang relatif lebih muda dari nama
“Handauan” (saat ini Donan). Donan adalah bakal cikal terbentuknya Cilacap.
Nama “Cilacap” di dalamnya terkandung dua budaya yang berbeda, yaitu budaya
Sunda dan budaya Jawa. “Cilacap” berasal dari kata ci kependekan dari cai “air”
dalam bahasa Sunda, dan tlacap atau lacap yang berarti suara, bunyi-buyian, atau
tanah yang menjorok ke (air) laut, dalam bahasa Jawa. Bahkan, ada pula yang
mengatakan berasal dari kata cacab dalam bahasa Jawa yang berarti cara menanam
ke dalam air. Untuk mengetahui asal mula pembentukan nama “Cilacap” tersebut
dilakukan melalui perspektif sejarah yang berkaitan dengan linguistik. Berdasarkan
pustaka / literatur, dapat diketahui bahwa masyarakat Cilacap terdiri dari
masyarakat Sunda dan masyarakat Jawa, yang telah hidup berdampingan sejak
jaman Kerajaan Tarumanegara dan Kerjaan Galuh di Pasundan serta Kerjaan
Mataram di Jawa.
Nama “Galuh” merupakan nama simbolik yang memiliki tiga makna.
Pertama kata galuh (bhs Sansekerta; galu) berarti “permata yang paling baik”.
Kedua, kata galuh (bhs Sansekerta) berasal dari kata aga berarti “gunung” dan lwah
berarti “bengawan, sungai, laut”. Ketiga, kata galuh sering diartikan sebagai galeuh
(bhs Sunda) yang berarti “bagian di jero tangkal kai nu pang teusna”.
Selanjutnya nama galuh mengacu pada nama Kerajaan dan anam
Kabupaten. Nama “galuh” muncul dalam panggung sejarah sejak berdirinya
Kerajaan Galuh, pada masa Raja Wretikandayun abad ke-7 M.
Kata “Ciamis” berasal dari “ci” dan “amis”. Kata “ci” singkatan dari “cai”
artinya air. Dan kata “amis” memiliki dua arti. Pertama amis (bhs Sunda) berarti
manis (berkait dengan rasa). Kedua “amis” (bhs Jawa) berarti “anyir” (berkait
dengan aroma penciuman).
Kata “anyir” berkaitan dengan tiga tragedi berdarah, momentum peristiwa
berdarah yang berkaitan dengan sejarah (Sunda) Ciamis/Galuh. Pertama tragedi
peristiwa Perang Bubat (Tahun 1357). Kedua tragedi peristiwa “banjir darah”
konflik antar Kerajaan Galuh dengan Kerajaan Mataram (Jawa kuno) tahun 1595.
Ketiga tragedi peristiwa Kerajaan Galuh jatuh kedalam kekuasaan Kompeni akhir
tahun 1705. Dan tragedi berdarah lagi di Ciancang tahun 1739 yang disebut dengan
“ Bedah Ciancang” (Hardjasaputra, t.th:2)
Denagn demikian, kata “amis” dalam kata Ciamis lebih tertuju pada arti bau
amis darah manusia, korban dalam tragedi peristiwa peperangan. Sebutan kata
“amis” ditujukan pada darah manusia yang dilontarkan oleh utusan raja Mataram
ketika mengontrol ke daerah Galuh saat terjadi tragedi “banjir darah” sehingga
sebutan “ciamis” lebih merupakan cemoohan dari pihak raja Mataram terhadap raja
Galuh.
B. Saran
Sudah pasti makalah masih banyak kekurangan, oleh karena itu mohn saran
yang bersifat membangun agar makalah ini dapat lebih baik dan sempurna dalam
penyususnannya.
Kesimpulan yang kami ambil berdasarakan sumber pustaka dan literatur ada saat
ini, tentu masih banyak sumber pustaka dan literatur yang lain, mungkin pustaka
dan literatur yang lain akan berpadangan atau berpendapat beda, untuk itu mohon
masukan agar dalam membuat kesimpulan lebih mengedapankan pendekatan
empirik dan akurasi yang lebh baik.
Daftar Pustaka
Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP).2003. Buku Panduan Survei Toponimi Pulau-pulau di
Indonesia. Jakarat
Darheni, Nani.2010. Lesikon Atifitas Mata dalam Toponimi di Jawa Barat: Kajian Etnosemantik.
Linguistik Indonesia Tahun ke-28 No.1, Februari, Hlm.55-67. De Haan, F 1910, Priangan I & III: de
Prenger-Regentschapperi onder het Nederlansch Besteur tot 1811.
Dinas Pariwisata, dan Kebudayaan Kabupaten Cilacap.2011, Sejarah Kabupaten Cilacap. Lembaga
Basa dan Sastra Sunda )LBBS).1995 Kamus Umum Basa Sunda. Bandung: Tarate Tim Penyususn
Sejarah Cilacap.1975. buku Sejarah Cilacap. Cilacap: Pemerintah Kabupaten Daerah Tk.II. Yulius, I R
Suhelmi dan M Ramdhan. Indentifikasi Pulau dimuara Sungai Berdasarkan Kaidah Toponimi. Forum
Geografi. Vol.28 No.1 Juli 2014, P.43-56. Kamus Jawa Kuno Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama. Danadibrata, R.A 2009 Kamus bahasa Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama
Hardjasaputra, A Sobana, t th Ciamis Kembalikan lagi ke Galuh