Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Disusun dalam rangka tugas mata kuliah Kegaluhan


“Indentifikasi daerah Cilacap dengan Kerajaan Galuh hubungan
kesejarahan”

Disusn Oleh:
Suyanto Priambodo
Nim: 7011230141

MATA KULIAH KEGALUHAN

UNIVERSITAS GALUH CIAMIS


FAKULTAS TIEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmatNya sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai, tidak lupa kami ucapkan banyak terima
kasih kepada dosen mata kuliah Kegaluhan Ibu Gea Rahmawati, Spd. MPd selaku
dosen Kegaluhan yang telah memberi banyak pelajaran dan pengetahuan tentang
sejarah kegaluhan.

Dan kami ucapkan juga kepada temen-temen mahasiswa yang telah memeberi
banyak bantuan dan sumbang sih dan kontribusinya baik materi dan pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik dan lebih sempurna.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin


masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam makalah ini, oleh karena itu kami
mohon dengan sangat saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.

Cilacap, 9 Oktober 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .…………………………………………………….. i

DAFTAR ISI …………………………………………………………….. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakanng n ……………………………………………. 1


B. Tujuan ………………………………………………………… 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Kesejarahan …………………………………………………… 4
A.1 Sejarah penamaan Cilacap ………………………………….. 4
A.2 Sejarah penamaan Galuh ………………………………….. 9
A.3 Sejarah penamaan Ciamis ………………………………….. 11

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ………………………………………………….. 12
B. Saran …………………………………………………………… 13
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mahasiswa diberi tugas untuk mengindentifikasi kedua wilayah antara


daerah Cilacap dengan Kerajaan Galuh Purba terhadap hubungan dan proses
interaksi baik dari segi sejarah maupun seni budaya dan potensi alam.

Indentifikasi daerah Cilacap dengan Kerajaan Galuh Purba adalah dua daerah
yang saling berdeketan atau bertetangga satu sama lain yang mempengaruhi
interaksi sosial.

Interaksi sosial merupakan proses hubungan dinamis yang terjadi antara kedua
daerah baik antar indivindu antar kelompok maupun antar wilayah yang terwujud
kerja sama ataupun persangan.

Dari indentifikasi yang dilakukan terhadap ke dua daerah telah terjadi


pembentukan peradaban dan karakter selama proses interaksi keduanya,
selanjutnya bagaimana terjadinya pembentukan peradaban dan karakter yang
terjadi, terutama terhadap masyarakat indivindu, kelompok dan kerja sama daerah
ditinjau dari kesejarahan, seni budaya dan potensi alam kedua daerah yang berbeda.

Indentifikasi potensi alam merupakan sumber daya alam kedua wilayah


sehubungan dengan proses interaksi kerja sama maupun persaingan.

Kedua daearah memiliki kesejarahan yang berbeda pula namun karena andanya
proses interaksi sosial, maka kedua daearah akan terbentuk sejarah baru atau
peradan baru akibat dari proses interaksi sosial dan kerja sama keduanya

Daerah Cilacap dan dearah Kerajaan Galuh memiliki seni budaya yang
berbeda pula sehingga karena terjadi interaksi sosial seperti diuraikan diatas, maka
terjadi pembentukan seni budaya baru (gabungan / kombinasi) dari proses inetraksi
sosial kedua daerah tersebut diatas.

Selanjutnya mahasiswa diberi tugas untuk menguraikan / menjelasakan terjadinya


proses interaksi sosial, baik dampak maupun akibatnya yang terjadi dari proses
perjalanan pembentukan maupun perubahan peradaban manusia berkaitan dengan
akal atau pikiran, sehingga dapat menunjukan pada pola pikir, perilaku serta karya
seni sekelompok manusia.
Penjelmaan dari pikiran dan pola pikir dalam aspek kesejarahan, peradaban
seni budaya dan potensi alam, tentu dapat dirasakan oleh orang banyak pada masa
sekarang, berupa peninggalan sejarah, seni budaya dan potensi alam serta perilaku
sekelompok masyarakatnya.

B. Tujuan
Manusia cenderung akan memberikan sebuah nama saat menduduki suatu
tempat, pemberian nama tersebut bertujuan agar tempat yang ditempati itu dapat
terindentifkasi menjadi patokan, dan memudahkan hubungan komunikasi antar
sesama manusia (Darheni, 2010) karena “nama” dapat berfunsi sebagai unit
pengenal. Menurut Darheni (2010), terdapat dua pengalaman yang
dipertimbangkan manusia dalam memberi nama pada suatu tempat, yaitu:
1. Pertimbangna yang dihasilkan oleh proses, ciri atau sifat yang ditunujkan
oleh alam dan nama dari hasil rekayasa mamusia.
2. Pertimbangkan yang didasarkan pada gagasan, harapan, citas-cita dan citra
rasa manusia terhadap tempat tersebut agar sesuai dengan apa yang
dikehendakai

Selain mempelajari masalah nama, juga mengkaji sejarah penamaan, serta


korelasi nama dengan kondisi alam atau sumber daya yang dimiliki sebuah unsur
geografi (BRKP, 2003).

Nama suatu tempat dari masa kemasa mungkin akan berbeda karena penamaan
suatu tempat ini bergantung dari pengalaman dan pertimabngan dari manusia yang
menduduki tempat tersebut. Oleh karena itu, untuk sampai pada bentuk nama suatu
tempat yang ada pada saat ini memerlukan proses dan waktu yang panjang adalah
nama dari salah satu kabupaten di Jawa Tengah yaitu Kabupaten Cilacap dan salah
satu kabupaten di Jawa Barat yaitu Kabupaten Galuh

Kabupaten Cilacap terletak di perbatasan wilayah antara Propinsi Jawa


Barat dan Jawa Tengah sebelah selatan. Dalam peta Propinsi Jawa Tengah,
Kabupaten Cilacap berada diujung barat daya, berbatasan dengan Kabupaten
Ciamis, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran, Propinsi Jawa Barat, yang
memiliki budaya dan bahasa Sunda, sehingga Kabupaten Cilacap memiliki 2
budaya sekaligus yaitu Jawa dan Sunda.
Kabupaten Galuh terletak di perbatasan wilayah antar Propinsi Jawa Tengah
dan Jawa Barat sebelah selatan, Dalam peta Propinsi Jawa Barat, Kabupaten Galuh
berada diujung timur daya, berbatasan dengan Kabupaten Cilacap, Kota Banjar dan
Kapupaten Pengandaran, Kabupaten Galuh telah berubah nama menjadi Kabupaten
Ciamis pada tahun 1916 pada masa Bupati Raden Tumenggung Sastra Winata.

Penamaan tempat dapat menggambarkan suatu sejarah peradaban yang


terkandung di dalamnya. Sejak awal penamaan Kabupaten Cilacap dan Kabupaten
Galuh sekarang berubah menjadi Kabupaten Ciamis bahkan mungkin sebelumnya,
ada kemungkinan sudah terjalin hubungan antara masyarakat Sunda dan
masyarakat Jawa di wilayah tersebut karena hubungan antara masyarakat Sunda
dan masyarakat Jawa di wilayah Cilacap dan wilayah Ciamis/Galuh masih terjalan
dengan sangat baik hingga kini. Oleh karena itu, tujuan dari makalah ini untuk
mendiskripsikan melalui perspektif kesejarahan, serta mengetahui cerminan gejala
kebudayaan Sunda khususnya Kabupaten Ciamis (Galuh) dan Jawa Tengah
khususnya Kabupaten Cilacap dalam mendokumentasikan sejarah dari proses
penamaan yang sesuai dengan budaya masyarakatnya.

Metode Penelitian

Sejarah penamaan Kabupaten Cilacap

Metode ini menggunakan evidensi dari sumber-sumber yang didapat dari


hasil studi pustaka / literatur, yakni berupa sumber dari catatan-catatan pustaka
yang telah dihimpun oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Cilacap
tahun 2011, serta cerita rakyat yang berkaitan dengan sejarah “Cilacap” yang telah
dihimpun oleh Badan Pendidikan, Pelatihan, Arsip, dan Perpustakaan Daerah
Pemerintah Kabupaten Cilacap, serta sumber referensi lainnya yang berasal dari
hasil metode literatur buku yang terkait dengan sejarah penamaan Kabupaten
Cilacap. Dengan demikian, metode ini dalam pengumpulan data adalah metode
studi pustaka / literatur. Selanjutnya, metode yang digunakan dalam penganalisisan
data adalah metode kualitatif, yaitu mendeskripsikan “Cilacap” berdasarkan
perspektif sejarah berdasarkan data yang telah dikumpulkan melalui studi pustaka /
literatur.
Sumber-sumber refenrensi lainnya yang membahas mengenai sejarah penamaan
Kabupaten Cilacap, penulis dapat merunut historis penamaan Kabupaten Cilacap,
yang akan dikaitkan dengan tinjauan kebahasaan.

Sejarah penamman Kabupaten Galuh

Metode yang sama digunakan dalam penelusuran sejarah penamaan


Kabupaten Ciamis atau Kabupaten Galuh yakni berupa sumber dari catatan pustaka
yang dihimpun oleh Dinas Pariwisata dan kebudayaan Kabupaten Ciamis dalam
tahun 1984 (Sudaryat 2009), serta sumber lain yang berasal dari hasil metode
literatur buku yang terkait dengan sejarah penamaan Kabupaten Galuh.

Menurut Sudaryat (2009:10) penamaan tempat memiliki tiga aspek, yaitu:


Aspek Perwujudan, aspek kemasyarakatan, aspek kebudayaan. Ketiga aspek
tersebut sangat berpengaruh terhadap cara penamaan tempat dalam kehidupan
masyarakat. Sistem penamaan tempat adalah cara atau aturan memberikan nama
tempat pada waktu tertentu yang bisa disbeut dengan toponimi (Sudaryat,
2009:10). Dilihat dari asal usul kata atau etimiloginya kata toponimi berasal dari
bahasa Yunani Topoi = “tempat” dan onama =”nama”, sehingga secara harfiah
toponimi bermakna”nama tempat” dalam hal ini toponimi diartikan sebagai
pemberian nama-nama tempat (Sudaryat, 2009:10)

BAB II PEMBAHASAN

A. Kesejarahan
A. 1. Sejarah Penamaan Cilacap
Berdasarkan studi pustaka / literatur yang diperoleh dari Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan Kabupaten Cilacap tahun 2011, serta cerita rakyat yang berkaitan
dengan sejarah toponimi “Cilacap” yang telah dihimpun oleh Badan Pendidikan,
Pelatihan, Arsip, dan Perpustakaan Daerah Pemerintah Kabupaten Cilacap,serta
sumber-sumber refenrensi lainnya yang membahas mengenai sejarah Kabupaten
Cilacap, penulis dapat merunut historis penamaan Kabupaten Cilacap, yang akan
dikaitkan dengan tinjauan kebahasaan.
Perspektif Sejarah
Berdasarkan sumber kesejarahan, pada abad ke-4 Masehi, wilayah Cilacap
merupakan wilayah Kerajaan Tarumanegara yang membentang dari Selat Sunda.
Pada abad ke-8 Masehi, adanya pembagian wilayah Tarumanegara menjadi dua
sehingga wilayah Cilacap masuk ke dalam wilayah kerajaan Galuh. Wilayah
Galuh membentang dari Sungai Citarum sampai Sungai Pamali di utara dan
Sungai Serayu di selatan Cilacap. Tarumanegara menguasai wilayah Cilacap
antara abad IV-VII dan Galuh antara abad VII-XV. Dalam kedudukannya sebagai
kerajaan, Galuh berakhir sekitar abad ke-16 atau awal abad ke-17, beriringan
dengan berakhirnya Kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan Pajajaran
(Zuhdi, 1991). De Haan (1910, hlm. 68) menyatakan bahwa wilayah kekuasaan
Galuh mencangkup Banyumas dan Segara Anakan. Wilayah itu berkembang
hingga meliputi Cilacap, Majenang, Dayeuhluhur, dan Pegadingan. Berdasarkan
data laporan tanggal 29 Februari 1809 yang ditunjukkan oleh de Haan (1910),
berisi laporan bahwa wilayah kekuasaan Galuh mencangkup Imbanegara, Pasir
Panjang, Janggala, Kawasen, Cikembulan, Madura, dan Nusa Kambangan.
Masyarakat ketika itu menggunakan bahasa Sunda dalam komunikasi sehari-
sehari. Masyarakat Sunda pun masih tetap bertahan dan menetap di wilayah
Kabupaten Cilacap meski masa kekuasan Galuh di Cilacap sudah digantikan oleh
kekuasan Mataram. Hal ini terbukti hingga saat ini masih banyaknya penutur
bahasa Sunda di wilayah Kabupaten Cilacap, yang dapat hidup berdampingan
dengan masyarakat Jawa.

Sejak tahun 1629, kerajaan Mataram di Jawa menguasai Galuh.


Penguasaan ini berakhir pada tahun 1705, dan pemerintah Hindia Belanda muncul
menguasai Mataram sampai tahun 1942 (Zuhdi, 1991). Adanya kekuasaan
Mataram terhadap wilayah Kabupaten Cilacap menjadikan adanya infiltrasi
orang Jawa di wilayah Cilacap terus berlangsung sampai kini. Ketika wilayah
Cilacap berada di bawah kekuasaan Mataram, orang Jawa banyak yang
bermukim di Kawasan dan Cikembulan, yang berasa di sekitar aliran sungai
Citandui. Semakin lama, semakin banyak orang-orang Jawa bermukin di wilayah
ini, dan persebarannya menuju utara (de Haan, 1910).
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa adanya tiga kerajaan
besar yang telah menguasai Cilacap, yaitu dua kerajaan besar di Pasundan,
Tarumanegara dan Galuh, dan satu kerajaan besar di Jawa, Mataram. Tinjauan
sejarah tersebut diperlukan sebagai informasi awal yang dapat digunakan dalam
penelusuran toponimi “Cilacap”.

Nama “Cilacap” yang digunakan saat ini belum dikenal pada masa
kerajaan Tarumanegara, Galuh, dan Mataram. Pada masa kerajaan Mataram,
wilayah Kabupaten Cilacap saat ini lebih dikenal dengan nama Handaunan (saat
ini Donan). Berdasarkan data dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kabupaten Cilacap (2011), Handaunan disebut sebagai cikal bakal Cilacap
berdasarkan Prasasti Salingsingan yang bertarih 2 Mei 880

Masehi. Zaman kerajaan Mataram Hindu (Mataram I) telah menyebut nama


Raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala yang bertahta sekitar tahun 856—882
Masehi, dan nama Handaunan. Hal ini menandakan bahwa cikal bakal Cilacap
telah memiliki usia lebih dari 1.123 tahun.

Berdasarkan sumber dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten


Cilacap (2011), nama “Cilacap” adalah nama baru (relatif muda dibanding
Donan) bagi kabupaten ini. Dalam naskah Bhujangga Manik tahun 1500 telah
menyebut Donan Kalicung (saai ini Donan-Kalipucang), dan dalam peta
François Valentijn tahun 1726, tetapi nama Cilacap belum disebut. Nama
“Cilacap” baru disebut dalam peta Raffles dalam buku A Map of Java
mencantumkan nama “Chelachap” dan Donan. Peta Raffles tersebut dibuat pada
zaman Pemerintahan Inggris di Jawa dan dilampirkan dalam buku History of Java
yang pertama kali terbit pada tahun 1817. Berdasarkan data tersebut dapat
disimpulkan bahwa nama “Cilacap” baru muncul antara tahun 1726 (peta
François Valentijn) dan 1817 (peta Raffles).

Berdasarkan sumber dari Arsip Sejarah Kabupaten Cilacap (1975),


Handaunan (Donan) dahulu masih merupakan daerah hutan yang masih
berbahaya karena masih banyak binatang-binatang buas dan masih sangat wingit,
yang kemudian pada akhir abad ke XIV kedatangan rombongan dari Banyumas
yang dipimpin oleh Raden Bei Tjakradimedja I yang menuju ke pantai selatan,
setelah sampai di daerah sekitar Adireja menyusuri pantai yang merupakan
sebuah teluk. Rombongan itu berhenti di tempat yang sudah buntu, di sebuah
ujung dari lekukan pantai selatan. Ujung lekukan pantai di teluk itu menyerupai
mata bajak (Jw-Wluku) yang orang menyebutnya “cacab”. Daerah inilah yang
kemudian menjadi titik mula dari pembukaan hutan Donan di bawah pimpinan
Raden Bei Tjakradimedja I yang menurut kabar romongan itu sampai di tempat
tersebut pada hari Senen Pahing 27 tahunnawu kapitu mangsane, atau pada hari
Senin Pahing tanggal 1 Januari 1839. Rombongan pembuka hutan Donan itu
membuat gubung-gubung sederhana di daerah ujung pantai yang dikenal sebagai
“tjongot wetan” untuk beberapa waktu lamanya. Sejak masa pemerintahah Raden
Bei Tjakradimedja I, daerah Donan berangsur-angsur menjadi daerah yang ramai
dan dapat dikatakan menjadi sebuah kota hingga nama “Donan” saat itu mulai
dikenal juga dengan nama “Tlacap”.

Perspektif Linguistik
Berdasarkan perspektif kebahasaan nama “Cilacap” berasal dari awalan
ci-, kependekan dari kata cai ‘air’ dari bahasa Sunda, dan tlacap atau lacap ‘suara’
atau ‘bunyi- bunyian’ dari bahasa Jawa. Tlacap atau lacap juga berarti lancip atau
tanah yang menjorok ke laut, yang sama artinya dengan kata congot (dalam
bahasa Jawa).

Arti dari kata tlacap atau lacap dan congot tersebut berkaitan dengan masa
sejarah pembukaan hutan Donan, yang menjadi cikal bakal Cilacap. Rombongan
pembuka hutan Donan menyebut daerah ujung dari lekukan pantai selatan yang
menyerupai mata bajak, tempat romongan itu berhenti, disebut dengan “cacab”.
Rombongan pembuka hutan Donan itu kemudian membuat gubuk-gubuk
sederhana di daerah ujung pantai yang dikenal sebagai tjongot wetan untuk
beberapa waktu lamanya. Oleh karena itu, awal mula “Cilacap” juga terkenal
memiliki daerah ujung pantai yang terkenal dengan nama congot wetan. Ci
berarti air dan lacap berarti tanah lancip yang menjorok ke (air) laut sehingga
“Cilacap” berarti tanah lancip yang menjorok ke air laut.

Sementara ada pula yang mengatakan, “Cilacap” berasal dari kata


cacab, yang dikenal oleh masyarakat Cilacap hingga kini sebagai cara menanam
satu tanaman di lahan yang berair. Cara ini dikenal dengan “mencacab”. Kata
cacab tersebut berasal dari bahasa Jawa, yang berarti mengarung, mencebur
dalam air (Kamus Jawa Kuna Indonesia, 2011). Oleh karena itu, dapat diketahui
bahwa apabila tlacap, lacap, atau cacab adalah asal kata dari kata “Cilacap”,
maka dalam pemberian nama “Cilacap” masyarakat Cilacap, terutama masyarakat
Jawa yang ada di Kabupaten Cilacap, memandang bahwa “air” adalah hal yang
penting dalam kehidupan mereka karena nama dapat menjadi sebuah harapan,
cita-cita, dan doa dari pemberi nama bagi tempat yang dinamainya tersebut.

Selanjutnya, imbuhan ci- yang digunakan sebagai awalan nama “Cilacap”


tersebut dapat menjadi indikasi bahwa dahulu pada proses penamaan “Cilacap”
tersebut terpengaruh oleh kultural masyarakat Sunda. Ci dalam bahasa Sunda
berarti air. Masyarakat Sunda sangat erat kaitannya dengan sistem penamaan
tempat, baik nama kampung, desa, kecamatan, kota, kabupaten, maupun nama
sungai, jalan, air terjun, dan gunung, yang menggunakan istilah yang
berhubungan dengan air (hidrografis). Oleh karena itu, awalan ci- pada nama
“Cilacap” dapat menjadi indikasi bahwa adanya hubungan kultural masyarakat di
Kabupaten Cilacap dengan masyarakat Sunda.

Apabila meninjau kembali sejarah Cilacap, pada mulanya wilayah Cilacap


ini merupakan wilayah kekuasan dua kerajaan besar di Pasundan, yaitu
Tarumanegara dan Galuh, sebelum masa kekuasaan kerajaan Mataram di Jawa
menduduki wilayah Kabupaten Cilacap. Oleh karena itu, orang-orang Sunda
yang ada sejak zaman kerajaan Pasundan menduduki wilayah Cilacap masih
menetap di wilayah tersebut hingga kini. Oleh karena itu, adanya penggunaan
awalan ci- pada nama “Cilacap” menandakan orang Sunda yang ada di Cilacap
turut andil dalam pemberian nama tersebut karena awalan ci- pada “Cilacap” itu
merupakan bentuk pengaruh yang erat dari kultural masyarakat Sunda. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa toponimi “Cilacap” menyimpan
cerminan kebudayaan yang ada di dalamnya, yaitu adanya dua budaya
sekaligus, yakni budaya Jawa dan budaya Sunda, yang ada di Kabupaten Cilacap
mulai sejak kerajaan- kerajaan di Pasundan dan kerajaan di Jawa yang menguasai
wilayah Cilacap, hingga masa kolonial Hindia Belanda. Kehidupan yang terjalin
rukun masyarakat Cilacap, yang terdiri dari masyarakat Jawa dan Sunda tersebut
dapat terjalin hingga saat ini. Kehidupan rukun tersebut dapat terlihat dari
pemberian nama “Cilacap” yang menggunakan dua unsur kata, dari dua bahasa
yang berbeda, yaitu awalan ci- ‘air’ dalam bahasa Sunda dan tlacap, lacap, atau
cacab dalam bahasa Jawa. Berdasarkan kedua sumber di atas, baik dari Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Cilacap (2011) maupun Arsip Sejarah
Kabupaten Cilacap (1975), dapat ditarik kesimpulan bahwa nama “Handauan”
(saai ini Donan) adalah cikal bakal dari terbentuknya wilayah Kabupaten
Cilacap. Ketika pembukaan hutan Donan pada tahun 1839, yang dipimpin
oleh Raden Bei Tjakradimedja I, wilayah Kabupaten Cilacap ini sudah
dididatangi oleh Pemerintah Hindia-Belanda dan Raden Tumenggung
Tjakrawedana I adalah Bupati pertama Kabupaten Cilacap, yang diangkat oleh
Pemerintah Hindia Belanda cq. Gubernur Jenderal sebagai Adipati “Tlacap”
pada tanggal 6 Juli 1856. Jabatannya berakhir pada Februari 1873 karena
meninggal secara mendadak. Bukti lain sudah adanya pemerintah Hindia
Belanda di Cilacap, yaitu pada peta François Valentijn (1726) sudah disebut
nama- nama sungai di Cilacap dan pada peta Raffles (1817) sudah mulai disebut
nama “Chelachap” dan Donan.

A.2. Sejarah penamaan Galuh

Adapun kata “galuh” secara bahasa mengandung tiga makna. Pertama,


kata galuh (bhs. Sanskerta; galu) berarti “permata yang paling baik”. Kedua, kata
galuh (bhs. Sanskerta) berasal dari kata aga berarti “gunung” dan lwah berarti
“bengawan, sungai, laut” (Danadibrata, 2009: 203). Ketiga, kata galuh sering
dimaknai sebagai galeuh (bhs. Sunda) yang berarti “bagian di jero tangkal kai nu
pang teuasna” (Danadibrata, 2009: 202). Arti-arti kata tersebut jelas sangat
simbolis dan sarat muatan makna yang sangat dalam.

Selanjutnya, nama galuh pun mengacu pada nama kerajaan dan nama
kabupaten. Nama ”galuh” muncul dalam panggung sejarah sejak berdirinya
Kerajaan Galuh. Kerajaan ini didirikan oleh seorang tokoh Sunda bernama
Wretikandayun pada awal abad ke-7 M. Wretikandayun semula berkuasa di
daerah Kendan (Kendan termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan Tarumanagara).
Sejak awal abad ke-7 pamor kerajaan itu makin memudar, terutama masa
pemerintahan Raja Tarusbawa (raja Tarumanagara terakhir, 669-670 M.). Kondisi
itu dimanfaatkan oleh Wretikandayun untuk melepaskan Kendan dari kekuasaan
Tarumanagara. Upaya Wretikandayun berhasil tanpa menimbulkan konflik
dengan penguasa Tarumanagara. Oleh karena Kendan tidak memadai sebagai
pusat pemerintahan, maka Wretikandayun memindahkan pusat pemerintahannya
ke daerah Karangkamulyan sekarang. Daerah itu dibangun menjadi pusat
Kerajaan Galuh. Sementara itu, Tarusbawa mendirikan Kerajaan Sunda sebagai
kelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara.

Kemudian terjadi perundingan antara Wretikandayun dengan Tarusbawa


mengenai wilayah kekuasaan masing-masing. Perundingan sampai pada
kesepakatan bahwa sungai Citarum menjadi batas wilayah kedua kerajaan. Daerah
sebelah barat Citarum menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda, dan daerah
sebelah timur Citarum menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Galuh.

Ketika Kerajaan Galuh diperintah oleh Sanjaya (723-732 M.), sang raja
menjadi menantu Raja Sunda Tarusbawa. Hal itu menyebabkan terjadinya
penggabungan kedua kerajaan menjadi Kerajaan Sunda-Galuh, sehingga Kerajaan
Galuh makin berkembang. Pada abad ke-13, Kerajaan Galuh berpusat di Kawali.
Kerajaan Galuh mencapai kejayaan terutama pada masa pemerintahan Maharaja
Niskala Wastu Kancana (1371-1475 M.).

Pada akhir abad ke-16 M. Kerajaan Mataram berupaya untuk menguasai


Kerajaan Galuh. Tahun 1595 Kerajaan Galuh jatuh ke dalam kekuasaan Kerajaan
Mataram. Pada awal pemerintahan Sultan Agung sebagai raja Mataram (1613),
status Kerajaan Galuh diubah menjadi setingkat dengan kabupaten. Hal itu
ditandai oleh pengangkatan Adipati Panaekan menjadi Wedana Mataram di
Galuh.

Pada zaman penjajahan Belanda pangkat wedana setingkat dengan bupati. Dengan
demikian, sejak awal abad ke-17 itulah, Galuh menjadi kabupaten, Kabupaten
Galuh, dengan bupati pertama Adipati Panaekan.

Kabupaten Galuh pernah mengalami perpindahan ibukota beberapa kali,


yaitu dari Panaekan ke Gara Tengah (Cineam), kemudian pindah lagi ke Barunay
(Imbanagara). Pemindahan ibukota Kabupaten Galuh dari Gara Tengah ke
Barunay terjadi tanggal 12 Juni 1642 M. (14 Mulud tahun Hé).

Pada awal abad ke-19 ibukota Kabupaten Galuh dipindahkan lagi ke Cibatu,
kemudian ke Burung Diuk. Setelah kota Ciamis berdiri, ibu kota Kabupaten Galuh
dipindahkan ke kota Ciamis (masa pemerintahan Bupati Wiradikusumah, 1815-
1819)

A.3 Sejarah penamaan Ciamis

Tahun 1916 nama Kabupaten Galuh diganti dengan nama Kabupaten


Ciamis, secara topinimi, tidak ditemukan makna yang membanggakan dibalik kata
“Ciamis”

Kata Ciamis berasal dari “ci” dsn “amis”. Kata “ci” singkatan dari cai yang berarti
air. Kata “amis” memiliki 2 arti, Pertama amis (bhs Sunda) berarti manis (berkaitan
dengan rasa). Kedua amis )bhs Jawa) berarti anyir (berkaitan dengan aroma
penciuman). Malah Danadibrata (2009:19,420) mengartikan kata “amis”sebagai
“bau mabek, bau pisan” (bau sekali, sangat bau). Namun Hardjasaputra (t,th:4)
berpendapat bahwa kata “amis” dalam Ciamis, bukan “amis dalam bahasa Sunda
yang berarti rasa manis. Sumber tradisional yang memuat data Kerajaan Galuh
menunjukan bahwa” amis” dalam nama Ciamis adalah “amis” dalambahasa Jawa
yang berarti “anyir” itu.

Sebutan “anyir” itu berkaitan dengan tragedi berdarah. Setidaknya adatiga


momentum peristiwa berdarah yang berkaitan dengan sejarah (Sunda) Galuh.
Pertama adalah peristiwa Perang Bubat (1357). Kedua, pada akhir abad ke-16 M
Kerajaan Mataram berupaya menguasai Kerjaan Galuh. Terjadilah konflik antara
kedua belah pihak, sehingga di beberapa daerah Galuh terjadi tragedi “banjir
darah”. Tahun 1595 Kerajaan Galuh jatuh ke dalam kekuasaan Kerajaan Mataram.

Ketiga, ketika Galuh jatuh ke dalam kekuasaan Kompeni (mulai akhir tahun 1705),
terjadi lagi tragedi berdarah di Ciancang (Utama) tahun 1739 yang dikenal dengan
sebutan “Bedah Ciancang” (Hardjasaputra, t.th:2)

Dengan demikian, kata “amis” dalam kata Ciamis lebih tertuju pada arti bau
amis darah manusia, korban dalam tragedi. Katanya sebutan “amis” yang
ditunjukan pada darah manusia itu dilontarkan oleh utusan penguasa Mataram
ketika mengontrol daerah Galuh tidak lama setelah di Galuh terjadi tragedi “banjir
darah” Oleh karena itu, sebutan “ciamis” pada awalnya lebih merupakan cemoohan
dari pihak Mataram terhadap pihak Galuh.
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Penamaan “Cilacap” melalui proses dan waktu yang sangat panjang. Nama
“Cilacap” yang ada pada saat ini merupakan nama yang relatif lebih muda dari nama
“Handauan” (saat ini Donan). Donan adalah bakal cikal terbentuknya Cilacap.
Nama “Cilacap” di dalamnya terkandung dua budaya yang berbeda, yaitu budaya
Sunda dan budaya Jawa. “Cilacap” berasal dari kata ci kependekan dari cai “air”
dalam bahasa Sunda, dan tlacap atau lacap yang berarti suara, bunyi-buyian, atau
tanah yang menjorok ke (air) laut, dalam bahasa Jawa. Bahkan, ada pula yang
mengatakan berasal dari kata cacab dalam bahasa Jawa yang berarti cara menanam
ke dalam air. Untuk mengetahui asal mula pembentukan nama “Cilacap” tersebut
dilakukan melalui perspektif sejarah yang berkaitan dengan linguistik. Berdasarkan
pustaka / literatur, dapat diketahui bahwa masyarakat Cilacap terdiri dari
masyarakat Sunda dan masyarakat Jawa, yang telah hidup berdampingan sejak
jaman Kerajaan Tarumanegara dan Kerjaan Galuh di Pasundan serta Kerjaan
Mataram di Jawa.
Nama “Galuh” merupakan nama simbolik yang memiliki tiga makna.
Pertama kata galuh (bhs Sansekerta; galu) berarti “permata yang paling baik”.
Kedua, kata galuh (bhs Sansekerta) berasal dari kata aga berarti “gunung” dan lwah
berarti “bengawan, sungai, laut”. Ketiga, kata galuh sering diartikan sebagai galeuh
(bhs Sunda) yang berarti “bagian di jero tangkal kai nu pang teusna”.
Selanjutnya nama galuh mengacu pada nama Kerajaan dan anam
Kabupaten. Nama “galuh” muncul dalam panggung sejarah sejak berdirinya
Kerajaan Galuh, pada masa Raja Wretikandayun abad ke-7 M.
Kata “Ciamis” berasal dari “ci” dan “amis”. Kata “ci” singkatan dari “cai”
artinya air. Dan kata “amis” memiliki dua arti. Pertama amis (bhs Sunda) berarti
manis (berkait dengan rasa). Kedua “amis” (bhs Jawa) berarti “anyir” (berkait
dengan aroma penciuman).
Kata “anyir” berkaitan dengan tiga tragedi berdarah, momentum peristiwa
berdarah yang berkaitan dengan sejarah (Sunda) Ciamis/Galuh. Pertama tragedi
peristiwa Perang Bubat (Tahun 1357). Kedua tragedi peristiwa “banjir darah”
konflik antar Kerajaan Galuh dengan Kerajaan Mataram (Jawa kuno) tahun 1595.
Ketiga tragedi peristiwa Kerajaan Galuh jatuh kedalam kekuasaan Kompeni akhir
tahun 1705. Dan tragedi berdarah lagi di Ciancang tahun 1739 yang disebut dengan
“ Bedah Ciancang” (Hardjasaputra, t.th:2)
Denagn demikian, kata “amis” dalam kata Ciamis lebih tertuju pada arti bau
amis darah manusia, korban dalam tragedi peristiwa peperangan. Sebutan kata
“amis” ditujukan pada darah manusia yang dilontarkan oleh utusan raja Mataram
ketika mengontrol ke daerah Galuh saat terjadi tragedi “banjir darah” sehingga
sebutan “ciamis” lebih merupakan cemoohan dari pihak raja Mataram terhadap raja
Galuh.

B. Saran

Sudah pasti makalah masih banyak kekurangan, oleh karena itu mohn saran
yang bersifat membangun agar makalah ini dapat lebih baik dan sempurna dalam
penyususnannya.

Kesimpulan yang kami ambil berdasarakan sumber pustaka dan literatur ada saat
ini, tentu masih banyak sumber pustaka dan literatur yang lain, mungkin pustaka
dan literatur yang lain akan berpadangan atau berpendapat beda, untuk itu mohon
masukan agar dalam membuat kesimpulan lebih mengedapankan pendekatan
empirik dan akurasi yang lebh baik.
Daftar Pustaka

Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP).2003. Buku Panduan Survei Toponimi Pulau-pulau di
Indonesia. Jakarat
Darheni, Nani.2010. Lesikon Atifitas Mata dalam Toponimi di Jawa Barat: Kajian Etnosemantik.
Linguistik Indonesia Tahun ke-28 No.1, Februari, Hlm.55-67. De Haan, F 1910, Priangan I & III: de
Prenger-Regentschapperi onder het Nederlansch Besteur tot 1811.
Dinas Pariwisata, dan Kebudayaan Kabupaten Cilacap.2011, Sejarah Kabupaten Cilacap. Lembaga
Basa dan Sastra Sunda )LBBS).1995 Kamus Umum Basa Sunda. Bandung: Tarate Tim Penyususn
Sejarah Cilacap.1975. buku Sejarah Cilacap. Cilacap: Pemerintah Kabupaten Daerah Tk.II. Yulius, I R
Suhelmi dan M Ramdhan. Indentifikasi Pulau dimuara Sungai Berdasarkan Kaidah Toponimi. Forum
Geografi. Vol.28 No.1 Juli 2014, P.43-56. Kamus Jawa Kuno Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama. Danadibrata, R.A 2009 Kamus bahasa Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama
Hardjasaputra, A Sobana, t th Ciamis Kembalikan lagi ke Galuh

Anda mungkin juga menyukai