Universitas Indonesia
Abstract: Indonesia has a relatively high level of employee engagement (81%) compared to the global
and Asia Pacific averages. However, 30% of all Indonesian employees report receiving no relevant
training or development activities to maintain quality performance, including generation Z. This study
investigates the impact of mentoring on job engagement as mediated by perceived organizational support
and job meaning. The research data was gathered from 180 generation Z permanent employees in the
Indonesian private sector. According to the findings of the study, mentoring influences work engagement,
while perceived organisational support and work meaningfulness partially mediate the relationship
between the independent and dependent variables.
Abstrak: Indonesia memiliki tingkat engagement karyawan yang relatif tinggi (81%) dibandingkan rata-
rata global dan Asia Pasifik (77%). Namun, 30% dari keseluruhan karyawan Indonesia melaporkan
bahwa mereka tidak mendapatkan kegiatan pelatihan dan pengembangan yang relevan untuk menjaga
kualitas kinerja, termasuk pula halnya bagi generasi Z. Penelitian ini menganalisis pengaruh mentoring
terhadap work engagement yang dimediasi oleh perceived organizational support dan work
meaningfulness. Data penelitian dikumpulkan dari 180 karyawan tetap generasi Z yang bekerja di sektor
swasta di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mentoring berpengaruh terhadap work
engagement, sementara perceived organizational support dan work meaningfulness memediasi hubungan
variabel independen dan dependen secara parsial.
Gambar 1. Perbandingan Engagement Karyawan Indonesia dengan Berbagai Negara Asia Pasifik
Sumber: Mercer (2021)
Sementara itu, karyawan Indonesia secara umum dapat dikatakan unggul dalam hal
persepsi bahwa karyawan tersebut merasa didukung dalam hal pengembangan profesional oleh
atasannya (78%) dan diberikan umpan balik yang membantunya meningkatkan kinerja (82%)
jika dibandingkan dengan rata-rata global, masing-masing sebesar 73% dan 74%.
Akan tetapi, riset yang sama juga menunjukkan bahwa 30% dari keseluruhan karyawan
Indonesia melaporkan bahwa mereka tidak mendapatkan kegiatan pelatihan dan pengembangan
yang relevan untuk menghasilkan kinerja dengan kualitas tinggi dalam bekerja. Selain itu, hanya
ada 60% dari keseluruhan karyawan Indonesia yang memiliki pemahaman yang tinggi tentang
berbagai kemungkinan jalur karier yang dapat mereka tempuh dalam kariernya di perusahaan
tempat mereka bekerja. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun secara umum engagement
karyawan Indonesia dapat dikatakan tinggi, perusahaan perlu memberikan dukungan karier yang
lebih luas kepada karyawan agar dapat menjadi lebih engage baik dengan pekerjaan maupun
perusahaan tempat mereka bekerja.
Salah satu faktor eksternal yang berpengaruh terhadap work engagement secara
keseluruhan dalam lingkungan perusahaan adalah perbedaan antara satu generasi dengan
generasi lainnya. Generasi Z, yang lahir dalam rentang tahun 1995 hingga 2010 (Francis &
Hoefel, 2018) dan menjadi generasi termuda dalam angkatan kerja saat ini, dinilai memiliki
engagement yang lebih rendah dibandingkan generasi-generasi sebelumnya. Berdasarkan studi
dari Gallup (2022), karyawan generasi Z lebih mungkin untuk tidak merasa engaged
dibandingkan karyawan lainnya yang lebih senior, dengan hanya 31% di antara mereka yang
merasa engaged terhadap tempat kerjanya. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan persentase
karyawan dari generasi Y atau milenial (32%), generasi X (32%), dan generasi baby boomers
(33%) yang merasa engaged terhadap tempat kerjanya (Pendell & Vander Helm, 2022). Di sisi
lain, 54% karyawan generasi Z tidak merasa engaged terhadap tempat kerjanya, dan angka
tersebut lebih tinggi dibandingkan karyawan dari generasi Y atau milenial (51%), generasi X
(49%), dan generasi baby boomers (50%) yang merasa tidak engaged terhadap tempat kerjanya.
Data-data tersebut, selain menunjukkan perbedaan tingkat engagement karyawan dari setiap
generasi di dalam tempat kerja, secara tidak langsung juga menunjukkan bahwa jika dikaitkan
dengan konsep work engagement itu sendiri, generasi Z juga sangat mungkin untuk merasakan
engagement yang rendah terhadap pekerjaannya.
Dalam meningkatkan work engagement karyawan, khususnya dari generasi Z,
perusahaan dapat memberdayakan karyawan dengan menyelenggarakan berbagai program
upskilling. Program-program tersebut bertujuan untuk meningkatkan kapabilitas karyawan dan
membekali mereka dengan berbagai keahlian yang relevan terhadap pekerjaan mereka. Pada
umumnya, program-program upskilling diselenggarakan perusahaan dengan menggunakan
sumber daya dari internal perusahaan, seperti dengan mengoptimalkan peran para supervisor dan
direksi. Namun demikian, perusahaan juga dapat menggandeng pihak eksternal sebagai mitra
dalam pengembangan program upskilling untuk karyawan. Selain itu, program upskilling juga
dapat diimplementasikan dengan menggunakan pendekatan hubungan interpersonal antara
karyawan dengan atasan yang terkait, misalnya melalui mentoring. Pelaksanaan mentoring untuk
meningkatkan kapabilitas karyawan diyakini sebagai salah satu faktor terpenting yang dapat
mempengaruhi perkembangan karier karyawan. Hal tersebut dibuktikan dalam hasil kajian dari
Gartner Research yang mengemukakan bahwa karyawan yang memiliki seorang mentor lima
hingga enam kali lebih berpeluang untuk promosi dibandingkan rekan kerjanya yang tidak
memiliki mentor (Alexander, 2012, dalam Mondy & Martocchio, 2016).
Meningkatnya kecenderungan banyak perusahaan untuk memberikan kesempatan
mentoring kepada karyawan tentunya dapat menarik minat angkatan kerja muda, terutama
generasi Z. Generasi Z merupakan generasi yang menghargai tinggi perkembangan karier
mereka dan memahami pentingnya hal tersebut untuk kesejahteraan individunya, sebagaimana
ditunjukkan oleh hasil penelitian Gallup (2022) yang mengemukakan bahwa generasi tersebut 17
persen lebih mungkin untuk mencari kesempatan pengembangan karier dibandingkan generasi
sebelumnya (Pendell & Vander Helm, 2022). Berdasarkan hasil penelitian yang sama, 37 persen
responden dari kalangan karyawan muda, yang mencakup generasi milenial muda dan generasi
Z, menjadikan kesempatan yang lebih besar untuk pengembangan karier profesional mereka
sebagai alasan mereka untuk bergabung dalam suatu perusahaan. Sebagai perbandingan, hanya
20 persen responden dari generasi sebelumnya yang beralasan demikian dalam memutuskan
untuk mengambil pekerjaan di suatu perusahaan (Pendell & Vander Helm, 2022).
Pelaksanaan mentoring antara karyawan sebagai mentee dan manajer sebagai mentor
menawarkan berbagai hal yang dapat memperkaya pengalaman, pemahaman, dan keahlian
mentee dalam menyikapi berbagai hal yang ada dalam perusahaan, baik terkait pekerjaan
maupun di luar pekerjaannya. Selain membekali para mentee dengan berbagai know-how
pendukung kinerja, mentoring juga tidak jarang menawarkan tugas-tugas baru yang menantang
kepada para mentee, sebagaimana dikemukakan oleh Noe, Hollenbeck, Gerhart, dan Wright
(2016) pada paragraf-paragraf sebelumnya. Kondisi tersebut sesuai dengan teori Herzberg (1968)
tentang job enrichment, yakni inisiatif dalam mendesain ulang suatu pekerjaan yang bertujuan
memberikan kesempatan yang lebih luas kepada karyawan untuk merasakan tanggung jawab,
pencapaian, dan pengakuan (Dessler, 2018). Dalam kaitannya dengan mentoring, job enrichment
tersebut dapat membantu karyawan sebagai mentee dalam membuat suatu pekerjaan menjadi
lebih bermakna (work meaningfulness). Penelitian terdahulu telah mengkaji variabel work
meaningfulness sebagai konsekuensi dari pelaksanaan mentoring. Dalam penelitian Lin, Cai, dan
Yin (2021), dikemukakan bahwa terdapat efek mediasi dari work meaningfulness yang turut
meningkatkan work engagement sebagai hasil dari pelaksanaan mentoring. Selain itu, penelitian
Panda, Sinha, dan Jain (2022) juga mengemukakan hal serupa, yakni terdapat hubungan positif
antara job meaningfulness dengan tingkat engagement karyawan.
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat diketahui bahwa secara umum, pelaksanaan
mentoring dalam perusahaan dapat membantu karyawan untuk lebih terhubung dengan
pekerjaannya serta perusahaan tempatnya bekerja. Hal tersebut pada akhirnya dapat berdampak
positif bagi perusahaan itu sendiri karena dengan tingkat work engagement yang lebih tinggi,
mereka akan terus berupaya meningkatkan tingkat kinerja demi kemajuan perusahaan. Selain itu,
tingginya tingkat work engagement dapat memicu karyawan untuk merasakan tanggung jawab
yang lebih besar dalam berkontribusi terhadap perkembangan perusahaan (Yang, Liu, & Xu,
2021). Meningkatnya tingkat work engagement juga merupakan konsekuensi dari berbagai
kegiatan dalam pelaksanaan mentoring yang dapat memunculkan work meaningfulness dalam
diri karyawan sebagai mentee. Penelitian ini akan menganalisis pengaruh pelaksanaan mentoring
terhadap tingkat work engagement karyawan melalui faktor perceived organizational support
dan work meaningfulness. Selain itu, penelitian ini juga akan sepenuhnya meneliti seluruh faktor
yang telah ditentukan dari sudut pandang karyawan sebagai mentee.
3. METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian konklusif yang bertujuan untuk menguji
hipotesis atau menemukan jawaban terkait pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan pada
awal proses penelitian (Cooper & Schindler, 2014). Kemudian, penelitian ini juga merupakan
penelitian kausal (causal research) dengan mentoring sebagai variabel independen dan work
engagement karyawan sebagai variabel dependen. Secara khusus, jenis penelitian kausal yang
dilaksanakan dalam proses penelitian ini termasuk dalam causal-explanatory study yang
dirancang untuk menentukan hubungan antara satu atau lebih variabel dengan variabel lainnya
(Cooper & Schindler, 2014).
4. HASIL
4.1 Profil Responden
Jumlah sampel yang menjadi bahan penelitian ini berjumlah 180 responden dengan
waktu pengumpulan data selama kurang lebih tiga minggu, dengan model pengambilan data
primer yang dikumpulkan melalui survey. Dalam hal ini, dengan menggunakan model Structural
Equation Modeling (SEM), jumlah responden penelitian yang ditujukan adalah sebanyak 5 kali
dari jumlah indikator untuk maximum likelihood (Hair et al., 2010), dengan jumlah demografi
yang dapat dipaparkan dalam tabel berikut. Dapat dilihat bahwa responden terdiri dari
perempuan dan laki-laki, dengan indikasi bahwa laki-laki berjumlah 56.67% sedangkan
perempuan berjumlah 43.33%, dengan juga dibagi berdasarkan daerah domisili responden yang
berdomisili dari Jakarta (28.89%), Bekasi (13.33%), Tangerang (12.78%), Surabaya (8.89%),
Bogor (6.67%), Semarang (6.11%), Karawang (5.56%) dan daerah domisili lainnya (17.78%).
Tangerang 23 12.78%
Surabaya 16 8.89%
Domisili 180
Bogor 12 6.67%
Semarang 11 6.11%
Karawang 10 5.56%
Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai SRMR kurang dari 0,05 dan nilai NFI berada
pada rentang antara 0,8 dan 0,9. Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai SRMR dan NFI
memiliki kecocokan yang baik. Oleh karena itu, sampel penelitian memiliki ketepatan dalam
mengukur kondisi aktual statistik.
Jika mengacu pada kedua teori tersebut, maka semua variabel dalam penelitian ini telah
valid dan reliabel karena memiliki nilai AVE lebih dari 0,5, nilai CR lebih dari 0,7, dan nilai
Cronbach’s Alpha lebih dari 0,7. Secara rinci, variabel mentoring memiliki sembilan indikator
yang semuanya valid karena memiliki nilai loading factor lebih dari 0,7. Variabel perceived
organizational support memiliki delapan indikator yang juga valid seluruhnya karena memiliki
nilai loading factor lebih dari 0,7. Selanjutnya, variabel work meaningfulness memiliki sepuluh
indikator yang semuanya valid karena memiliki nilai loading factor lebih dari 0,7. Terakhir,
variabel work engagement memiliki sembilan indikator yang semuanya valid karena memiliki
nilai loading factor lebih dari 0,7.
4.4 Analisis Model Struktural
Analisis model struktural yang dilakukan peneliti mencakup tiga tahapan, yakni
pengukuran inner model, pengujian hipotesis penelitian dan analisis mediasi. Pertama, dalam
melakukan pengukuran inner model, peneliti mengacu pada nilai koefisien determinasi R-square
(R2) yang bernilai dari nol sampai dengan satu. Jika nilai R-square semakin mendekati satu,
maka kemampuan variabel-variabel independen dalam memberikan informasi guna memprediksi
variabel dependen sudah dapat dikatakan baik, dan begitu pula sebaliknya. Kemudian, dalam
melakukan pengujian hipotesis, peneliti melihat pada nilai t-value dan signifikansinya pada
persamaan struktural. Oleh karena persamaan struktural dalam penelitian ini adalah persamaan
two-tailed, maka hubungan antar variabel dapat dikatakan signifikan
jika nilai t-value pada persamaan struktural tersebut ≥ 1,96 atau ≤
-1,96 dengan signifikansi kurang dari 0,05.
Sementara itu, dalam melakukan analisis mediasi, peneliti menggunakan metode Sobel
Test dengan mengacu pada perbandingan antara signifikansi hubungan langsung antara variabel
independen dengan variabel dependen dan hubungan tidak langsung yang melibatkan variabel
mediasi. Dalam penelitian ini, terdapat dua variabel mediasi, yakni perceived organizational
support dan work meaningfulness. Berdasarkan teori Baron dan Kenny (1986), suatu variabel
memiliki pengaruh mediasi terhadap hubungan antara dua variabel lainnya jika nilai t-value
antara variabel independen dan mediasi signifikan, nilai t-value antara variabel mediasi dan
variabel dependen signifikan, serta hubungan antara variabel independen dan variabel dependen
menjadi tidak lagi signifikan dengan adanya variabel mediasi. Jenis hubungan mediasi
berdasarkan teori tersebut dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yakni full mediation (hubungan
langsung tidak signifikan sedangkan hubungan tidak langsung signifikan), partial mediation
(hubungan langsung dan hubungan tidak langsung signifikan), dan no mediation (hubungan
langsung signifikan sedangkan hubungan tidak langsung tidak signifikan).
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis di atas, ditunjukkan bahwa setiap hipotesis yang
dirumuskan dalam penelitian ini diterima, dengan perincian sebagai berikut. Pertama, hasil
pengujian menunjukkan bahwa mentoring berpengaruh positif terhadap work engagement.
Kedua, hasil pengujian menunjukkan bahwa mentoring berpengaruh positif terhadap perceived
organizational support. Ketiga, hasil pengujian menunjukkan bahwa mentoring berpengaruh
positif terhadap work meaningfulness. Keempat, hasil pengujian menunjukkan bahwa perceived
organizational support berpengaruh positif terhadap work engagement. Terakhir, hasil pengujian
menunjukkan bahwa work meaningfulness berpengaruh positif terhadap work engagement.
Berdasarkan hasil analisis mediasi di atas, diketahui bahwa kedua peran mediasi terhadap
hubungan antara mentoring dengan work engagement oleh masing-masing variabel mediator,
yakni perceived organizational support dan work meaningfulness dapat diterima. Oleh karena
semua hipotesis yang telah dirumuskan diterima berdasarkan hasil pengujian, maka model akhir
penelitian ini tidak berubah dari model yang diajukan peneliti pada awal penelitian.