Anda di halaman 1dari 25

STUDI PENGARUH PELAKSANAAN MENTORING TERHADAP WORK

ENGAGEMENT GENERASI Z DI INDONESIA: PERAN MEDIASI


PERCEIVED ORGANIZATIONAL SUPPORT DAN WORK
MEANINGFULNESS

Judika Debora (1906387543)


Kezia L.H Pakpahan (1906387625)
Wendy Juan Ardli (1906366135)

Universitas Indonesia

Abstract: Indonesia has a relatively high level of employee engagement (81%) compared to the global
and Asia Pacific averages. However, 30% of all Indonesian employees report receiving no relevant
training or development activities to maintain quality performance, including generation Z. This study
investigates the impact of mentoring on job engagement as mediated by perceived organizational support
and job meaning. The research data was gathered from 180 generation Z permanent employees in the
Indonesian private sector. According to the findings of the study, mentoring influences work engagement,
while perceived organisational support and work meaningfulness partially mediate the relationship
between the independent and dependent variables.

Abstrak: Indonesia memiliki tingkat engagement karyawan yang relatif tinggi (81%) dibandingkan rata-
rata global dan Asia Pasifik (77%). Namun, 30% dari keseluruhan karyawan Indonesia melaporkan
bahwa mereka tidak mendapatkan kegiatan pelatihan dan pengembangan yang relevan untuk menjaga
kualitas kinerja, termasuk pula halnya bagi generasi Z. Penelitian ini menganalisis pengaruh mentoring
terhadap work engagement yang dimediasi oleh perceived organizational support dan work
meaningfulness. Data penelitian dikumpulkan dari 180 karyawan tetap generasi Z yang bekerja di sektor
swasta di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mentoring berpengaruh terhadap work
engagement, sementara perceived organizational support dan work meaningfulness memediasi hubungan
variabel independen dan dependen secara parsial.

Kata kunci: Mentoring, Perceived Organizational Support, Work Meaningfulness, Work


Engagement, Generasi Z
1. PENDAHULUAN
Berdasarkan riset Mercer (2021) tentang engagement karyawan di Indonesia dan Asia
Pasifik, jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik, Indonesia
memiliki tingkat engagement karyawan yang relatif tinggi (81%) dan angka tersebut berada di
atas rata-rata global dan Asia Pasifik (77%).

Gambar 1. Perbandingan Engagement Karyawan Indonesia dengan Berbagai Negara Asia Pasifik
Sumber: Mercer (2021)

Sementara itu, karyawan Indonesia secara umum dapat dikatakan unggul dalam hal
persepsi bahwa karyawan tersebut merasa didukung dalam hal pengembangan profesional oleh
atasannya (78%) dan diberikan umpan balik yang membantunya meningkatkan kinerja (82%)
jika dibandingkan dengan rata-rata global, masing-masing sebesar 73% dan 74%.

Gambar 2. Persepsi Dukungan Atasan dari Negara-Negara Asia Pasifik


Sumber: Mercer (2021)

Akan tetapi, riset yang sama juga menunjukkan bahwa 30% dari keseluruhan karyawan
Indonesia melaporkan bahwa mereka tidak mendapatkan kegiatan pelatihan dan pengembangan
yang relevan untuk menghasilkan kinerja dengan kualitas tinggi dalam bekerja. Selain itu, hanya
ada 60% dari keseluruhan karyawan Indonesia yang memiliki pemahaman yang tinggi tentang
berbagai kemungkinan jalur karier yang dapat mereka tempuh dalam kariernya di perusahaan
tempat mereka bekerja. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun secara umum engagement
karyawan Indonesia dapat dikatakan tinggi, perusahaan perlu memberikan dukungan karier yang
lebih luas kepada karyawan agar dapat menjadi lebih engage baik dengan pekerjaan maupun
perusahaan tempat mereka bekerja.
Salah satu faktor eksternal yang berpengaruh terhadap work engagement secara
keseluruhan dalam lingkungan perusahaan adalah perbedaan antara satu generasi dengan
generasi lainnya. Generasi Z, yang lahir dalam rentang tahun 1995 hingga 2010 (Francis &
Hoefel, 2018) dan menjadi generasi termuda dalam angkatan kerja saat ini, dinilai memiliki
engagement yang lebih rendah dibandingkan generasi-generasi sebelumnya. Berdasarkan studi
dari Gallup (2022), karyawan generasi Z lebih mungkin untuk tidak merasa engaged
dibandingkan karyawan lainnya yang lebih senior, dengan hanya 31% di antara mereka yang
merasa engaged terhadap tempat kerjanya. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan persentase
karyawan dari generasi Y atau milenial (32%), generasi X (32%), dan generasi baby boomers
(33%) yang merasa engaged terhadap tempat kerjanya (Pendell & Vander Helm, 2022). Di sisi
lain, 54% karyawan generasi Z tidak merasa engaged terhadap tempat kerjanya, dan angka
tersebut lebih tinggi dibandingkan karyawan dari generasi Y atau milenial (51%), generasi X
(49%), dan generasi baby boomers (50%) yang merasa tidak engaged terhadap tempat kerjanya.
Data-data tersebut, selain menunjukkan perbedaan tingkat engagement karyawan dari setiap
generasi di dalam tempat kerja, secara tidak langsung juga menunjukkan bahwa jika dikaitkan
dengan konsep work engagement itu sendiri, generasi Z juga sangat mungkin untuk merasakan
engagement yang rendah terhadap pekerjaannya.
Dalam meningkatkan work engagement karyawan, khususnya dari generasi Z,
perusahaan dapat memberdayakan karyawan dengan menyelenggarakan berbagai program
upskilling. Program-program tersebut bertujuan untuk meningkatkan kapabilitas karyawan dan
membekali mereka dengan berbagai keahlian yang relevan terhadap pekerjaan mereka. Pada
umumnya, program-program upskilling diselenggarakan perusahaan dengan menggunakan
sumber daya dari internal perusahaan, seperti dengan mengoptimalkan peran para supervisor dan
direksi. Namun demikian, perusahaan juga dapat menggandeng pihak eksternal sebagai mitra
dalam pengembangan program upskilling untuk karyawan. Selain itu, program upskilling juga
dapat diimplementasikan dengan menggunakan pendekatan hubungan interpersonal antara
karyawan dengan atasan yang terkait, misalnya melalui mentoring. Pelaksanaan mentoring untuk
meningkatkan kapabilitas karyawan diyakini sebagai salah satu faktor terpenting yang dapat
mempengaruhi perkembangan karier karyawan. Hal tersebut dibuktikan dalam hasil kajian dari
Gartner Research yang mengemukakan bahwa karyawan yang memiliki seorang mentor lima
hingga enam kali lebih berpeluang untuk promosi dibandingkan rekan kerjanya yang tidak
memiliki mentor (Alexander, 2012, dalam Mondy & Martocchio, 2016).
Meningkatnya kecenderungan banyak perusahaan untuk memberikan kesempatan
mentoring kepada karyawan tentunya dapat menarik minat angkatan kerja muda, terutama
generasi Z. Generasi Z merupakan generasi yang menghargai tinggi perkembangan karier
mereka dan memahami pentingnya hal tersebut untuk kesejahteraan individunya, sebagaimana
ditunjukkan oleh hasil penelitian Gallup (2022) yang mengemukakan bahwa generasi tersebut 17
persen lebih mungkin untuk mencari kesempatan pengembangan karier dibandingkan generasi
sebelumnya (Pendell & Vander Helm, 2022). Berdasarkan hasil penelitian yang sama, 37 persen
responden dari kalangan karyawan muda, yang mencakup generasi milenial muda dan generasi
Z, menjadikan kesempatan yang lebih besar untuk pengembangan karier profesional mereka
sebagai alasan mereka untuk bergabung dalam suatu perusahaan. Sebagai perbandingan, hanya
20 persen responden dari generasi sebelumnya yang beralasan demikian dalam memutuskan
untuk mengambil pekerjaan di suatu perusahaan (Pendell & Vander Helm, 2022).
Pelaksanaan mentoring antara karyawan sebagai mentee dan manajer sebagai mentor
menawarkan berbagai hal yang dapat memperkaya pengalaman, pemahaman, dan keahlian
mentee dalam menyikapi berbagai hal yang ada dalam perusahaan, baik terkait pekerjaan
maupun di luar pekerjaannya. Selain membekali para mentee dengan berbagai know-how
pendukung kinerja, mentoring juga tidak jarang menawarkan tugas-tugas baru yang menantang
kepada para mentee, sebagaimana dikemukakan oleh Noe, Hollenbeck, Gerhart, dan Wright
(2016) pada paragraf-paragraf sebelumnya. Kondisi tersebut sesuai dengan teori Herzberg (1968)
tentang job enrichment, yakni inisiatif dalam mendesain ulang suatu pekerjaan yang bertujuan
memberikan kesempatan yang lebih luas kepada karyawan untuk merasakan tanggung jawab,
pencapaian, dan pengakuan (Dessler, 2018). Dalam kaitannya dengan mentoring, job enrichment
tersebut dapat membantu karyawan sebagai mentee dalam membuat suatu pekerjaan menjadi
lebih bermakna (work meaningfulness). Penelitian terdahulu telah mengkaji variabel work
meaningfulness sebagai konsekuensi dari pelaksanaan mentoring. Dalam penelitian Lin, Cai, dan
Yin (2021), dikemukakan bahwa terdapat efek mediasi dari work meaningfulness yang turut
meningkatkan work engagement sebagai hasil dari pelaksanaan mentoring. Selain itu, penelitian
Panda, Sinha, dan Jain (2022) juga mengemukakan hal serupa, yakni terdapat hubungan positif
antara job meaningfulness dengan tingkat engagement karyawan.
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat diketahui bahwa secara umum, pelaksanaan
mentoring dalam perusahaan dapat membantu karyawan untuk lebih terhubung dengan
pekerjaannya serta perusahaan tempatnya bekerja. Hal tersebut pada akhirnya dapat berdampak
positif bagi perusahaan itu sendiri karena dengan tingkat work engagement yang lebih tinggi,
mereka akan terus berupaya meningkatkan tingkat kinerja demi kemajuan perusahaan. Selain itu,
tingginya tingkat work engagement dapat memicu karyawan untuk merasakan tanggung jawab
yang lebih besar dalam berkontribusi terhadap perkembangan perusahaan (Yang, Liu, & Xu,
2021). Meningkatnya tingkat work engagement juga merupakan konsekuensi dari berbagai
kegiatan dalam pelaksanaan mentoring yang dapat memunculkan work meaningfulness dalam
diri karyawan sebagai mentee. Penelitian ini akan menganalisis pengaruh pelaksanaan mentoring
terhadap tingkat work engagement karyawan melalui faktor perceived organizational support
dan work meaningfulness. Selain itu, penelitian ini juga akan sepenuhnya meneliti seluruh faktor
yang telah ditentukan dari sudut pandang karyawan sebagai mentee.

2. KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS


2.1. Mentoring dan Work Engagement
Dessler (2018) mendefinisikan mentoring sebagai suatu kegiatan yang melibatkan
proses pemberian nasihat, masukan, dan bimbingan terhadap pengembangan karier
karyawan oleh orang-orang yang lebih berpengalaman. Penggunaan istilah mentoring
seringkali dilakukan secara bergantian dengan coaching, tetapi keduanya berbeda dalam hal
orientasi dan fokus (Beardwell & Thompson, 2017). Menurut Noe (2020), mentoring
berorientasi pada pengembangan karier jangka panjang dan berfokus pada pembekalan
berbagai keahlian yang tidak hanya berguna untuk pekerjaan seseorang saat ini, tetapi juga
di masa depan seiring berkembangnya karier. Sementara itu, coaching berorientasi jangka
pendek dan berfokus pada pembekalan berbagai keahlian yang berguna bagi seseorang
dalam mengerjakan pekerjaannya saat ini, sesuai dengan kebutuhan organisasi atau
perusahaan. Menurut Allen, Eby, Poteet, Lentz, dan Lima (2004), mentoring berkaitan erat
dengan berbagai indikator keberhasilan karier seseorang, termasuk di antaranya kepuasan
karier dan kepuasan kerja (job satisfaction). Meningkatnya kepuasan kerja akan
meningkatkan engagement karyawan baik terhadap pekerjaan maupun perusahaan.
Karyawan yang memiliki mentor juga lebih mungkin untuk mendapatkan promosi, gaji yang
lebih tinggi, serta pengaruh yang lebih besar dalam perusahaan (Allen, Eby, Poteet, Lentz,
& Lima, 2004; Noe, Hollenbeck, Gerhart, & Wright, 2016).
Berbagai penelitian yang membahas work engagement telah menunjukkan bahwa
sumber daya pekerjaan, dalam hal ini otonomi, supervisory coaching, dan umpan balik
terhadap kinerja, merupakan salah satu faktor pendorong utama terhadap peningkatan work
engagement (Lin, Cai, & Yin, 2021). Hal ini dikarenakan sumber daya pekerjaan, termasuk
di antaranya supervisory coaching, dapat mendorong pertumbuhan pribadi karyawan, serta
pembelajaran dan perkembangannya (Bakker & Demerouti, 2008). Pernyataan tersebut
berkaitan erat dengan teori organizational support, dan mengingat mentoring merupakan
salah satu bentuk supervisory coaching yang umum dilaksanakan di tempat kerja, peneliti
beranggapan bahwa pelaksanaan mentoring memiliki manfaat terhadap pengembangan
karyawan. Selain itu, penelitian Schaufeli, Salanova, Gonzalez-Roma, dan Bakker (2002)
mengemukakan bahwa dukungan sosial dan kesempatan belajar dari rekan kerja dan atasan
memiliki pengaruh positif terhadap work engagement karyawan.
H1: Mentoring berpengaruh positif terhadap work engagement

2.2 Mentoring dan Perceived Organizational Support


Perceived organizational support dapat didefinisikan sebagai tingkatan sejauh mana
karyawan meyakini bahwa perusahaan menghargai kontribusi mereka dan mempedulikan
kesejahteraan mereka dalam bekerja (Eisenberger, Huntington, Hutchison, & Sowa, 1986;
Robbins & Judge, 2017). Konsep perceived organizational support pertama kali
diperkenalkan oleh Eisenberger, Huntington, Hutchison, dan Sowa (1986) sebagai konsep
utama dari teori organizational support. Berdasarkan teori organizational support,
karyawan mengembangkan persepsi umum mengenai sejauh mana perusahaan menghargai
kontribusi mereka dan memperhatikan kesejahteraan mereka (Eisenberger & Stinglhamber,
2011). Teori organizational support pada dasarnya merupakan penerapan dan
pengembangan dari teori lainnya, yakni teori social exchange. Jika dikaitkan dengan teori
social exchange, di antara perusahaan dan karyawan muncul suatu hubungan yang bersifat
timbal balik dan transaksional (Cropanzano & Mitchell, 2005). Dukungan organisasi yang
diberikan akan mendorong karyawan untuk mengerahkan upaya yang lebih besar demi
kemajuan perusahaan karena adanya rasa tanggung jawab dan rasa terima kasih kepada
perusahaan (Eisenberger, Shanock, & Wen, 2020).
Perceived organizational support dapat dianggap sebagai suatu sumber daya
pekerjaan yang menjadi variabel penting yang mempengaruhi work engagement (Jin &
McDonald, 2017). Perceived organizational support dapat memungkinkan karyawan untuk
bersikap optimis sehingga dapat meningkatkan work engagement mereka secara efektif.
Rhoades dan Eisenberger (2002) mengemukakan bahwa perceived organizational support
dapat meningkatkan work engagement karyawan. Selain itu, peran mediasi perceived
organizational support juga diidentifikasi dalam penelitian Kurtessis, Eisenberger, Ford,
Buffardi, Steward, & Adis, 2017). Penelitian tersebut menjelaskan bahwa dukungan karier
yang diberikan atasan kepada karyawan akan memberikan kepuasan emosional dalam diri
karyawan sehingga muncul perceived organizational support yang kemudian mendorong
peningkatan work engagement. Ketika atasan membantu karyawan sebagai untuk
bersosialisasi dengan perusahaan dan pekerjaannya serta menyediakan sumber daya yang
sesuai dengan kebutuhan, karyawan akan merasakan bahwa perusahaan mendukung mereka
sehingga timbul kewajiban untuk membalas budi terhadap perlakuan tersebut. Hasilnya,
work engagement mereka pun meningkat.
H2a: Mentoring berpengaruh positif terhadap perceived organizational support
H2b: Mentoring berpengaruh positif secara tidak langsung terhadap work engagement
melalui perceived organizational support

2.3 Mentoring dan Work Meaningfulness


Hubungan antara mentoring dengan work meaningfulness didasarkan pada teori two-
factor oleh Herzberg (1959) yang menyatakan bahwa karyawan lebih termotivasi dalam
bekerja dengan dipengaruhi oleh faktor instrinsik dalam pekerjaan, seperti work
meaningfulness (Noe, Hollenbeck, Gerhart, & Wright, 2016). Work meaningfulness sendiri
dapat muncul ketika salah satu dari lima faktor motivasi yang dikemukakan oleh Herzberg
(1959) dapat terpenuhi, yang mencakup pencapaian, pengakuan, pertumbuhan, tanggung
jawab, dan kinerja dalam melaksanakan pekerjaan secara menyeluruh. Lebih lanjut, menurut
Noe, Hollenbeck, Gerhart, dan Wright (2016), mentoring dapat memberikan dukungan
karier, pelatihan, perlindungan dari mentor, dan penugasan yang menantang kepada
karyawan. Pemberian dukungan-dukungan tersebut memungkinkan terpenuhinya faktor-
faktor motivasi, seperti misalnya bimbingan karier yang memungkinkan pertumbuhan karier
karyawan dan job enrichment yang memberikan tanggung jawab lebih kepada karyawan
sehingga timbul kebermaknaan dalam bekerja. Kemudian, kebermaknaan psikologis yang
dihasilkan dari pekerjaan secara tidak langsung berpengaruh terhadap peningkatan
engagement karyawan dalam pekerjaannya. Secara spesifik, peningkatan engagement
karyawan yang didorong oleh kebermaknaan terjadi ketika muncul persepsi bahwa mereka
memiliki peran yang bermanfaat dan berharga dalam perusahaan.
H3a: Mentoring berpengaruh positif terhadap work meaningfulness
H3b: Mentoring berpengaruh positif secara tidak langsung terhadap work engagement
melalui work meaningfulness

2.4 Perceived Organizational Support dan Work Engagement


Perceived organizational support dapat mendorong timbulnya perilaku yang
diharapkan dari deskripsi pekerjaan yang dilakukan karyawan (in-role performance),
bahkan dapat mendorong karyawan untuk mengerahkan upaya melebihi kinerja yang
seharusnya dan berkontribusi terhadap kemajuan perusahaan (extra role performance)
(Kurtessis, Eisenberger, Ford, Buffardi, Steward, & Adis, 2017; Rhoades & Eisenberger,
2002). Perceived organizational support juga dapat membantu mengurangi tingkat
absenteeism karyawan dalam perusahaan (Eisenberger, Huntington, Hutchison, & Sowa,
1986). Dalam kaitannya dengan pengaruh perceived organizational support terhadap
kesejahteraan karyawan, khususnya secara mental, perceived organizational support
berkaitan erat dengan meningkatnya kesejahteraan termasuk job satisfaction (Kurtessis,
Eisenberger, Ford, Buffardi, Steward, & Adis, 2017), dan dapat secara langsung mengurangi
stres karyawan (Eisenberger, Shanock, & Wen, 2020). Temuan dari penelitian-penelitian
tersebut mendasari peneliti untuk merumuskan pandangan bahwa perceived organizational
support berkaitan dengan work engagement. Dengan demikian, hipotesis yang dapat
dirumuskan terkait hubungan antara kedua variabel tersebut adalah sebagai berikut.
H4: Perceived organizational support berpengaruh positif terhadap work engagement.
2.5 Work Meaningfulness dan Work Engagement
Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang menjelaskan bahwa work
meaningfulness merupakan representasi dari sumber daya pekerjaan, jika dikaitkan dengan
teori organizational support. Penelitian Rosso, Dekas, dan Wrzesniewski (2010) dan Steger
dan Dik (2010) menjelaskan bahwa karyawan memiliki kemampuan untuk merasakan work
meaningfulness yang mencakup pemenuhan hak, otonomi, kepuasan kerja, dan kemampuan
mereka untuk mempelajari berbagai hal. Selain itu, penelitian Idris, Dollard, dan Tuckey
(2015) mengemukakan bahwa kemampuan karyawan untuk belajar dan kebebasan yang
diberikan kepada mereka untuk mengeksplorasi berbagai kemungkinan dalam bekerja dapat
meningkatkan engagement karyawan. Jika dikaitkan dengan teori self-determination (Deci
& Ryan, 1985), pemenuhan kebutuhan psikologis, termasuk di antaranya peningkatan work
meaningfulness, merupakan salah satu aspek intrinsik yang dapat meningkatkan motivasi
karyawan dalam bekerja. Hal ini didukung pula oleh pendapat Britt, Adler, dan Bartone
(2001) bahwa meaningfulness merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Hal tersebut
menunjukkan bahwa secara tidak langsung, work meaningfulness dapat membantu
karyawan untuk memotivasi dirinya dalam bekerja. Dengan demikian, peneliti dapat
merumuskan hipotesis sebagai berikut.
H5: Work meaningfulness berpengaruh positif terhadap work engagement

3. METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian konklusif yang bertujuan untuk menguji
hipotesis atau menemukan jawaban terkait pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan pada
awal proses penelitian (Cooper & Schindler, 2014). Kemudian, penelitian ini juga merupakan
penelitian kausal (causal research) dengan mentoring sebagai variabel independen dan work
engagement karyawan sebagai variabel dependen. Secara khusus, jenis penelitian kausal yang
dilaksanakan dalam proses penelitian ini termasuk dalam causal-explanatory study yang
dirancang untuk menentukan hubungan antara satu atau lebih variabel dengan variabel lainnya
(Cooper & Schindler, 2014).

3.2 Data Penelitian


Dalam mengumpulkan data, penelitian ini menggunakan metode single cross-sectional
yang memungkinkan peneliti untuk mengambil data sebanyak satu kali dalam periode tertentu
dan pada sampel tertentu pula (Cooper & Schindler, 2014). Data yang diperoleh dari proses
penelitian ini terbagi menjadi data primer dan data sekunder. Dalam penelitian ini, data primer
diperoleh dari pengisian kuesioner oleh responden yang menggambarkan opini mereka
terhadap indikator yang diuji dalam penelitian. Data primer dikumpulkan melalui kuesioner
terstruktur yang diisi secara mandiri oleh responden (self-administered questionnaire).
Kuesioner disusun dengan menggunakan skala Likert 1-5 dengan kategori sangat tidak setuju
(1) sampai sangat setuju (5) secara daring melalui Google Form dan disebarkan secara
tertutup. Sementara itu, data sekunder diperoleh melalui tinjauan literatur dari berbagai
sumber yang relevan dengan penelitian, khususnya dari berbagai buku teks dan artikel jurnal.

3.3 Teknik Pengambilan Sampel


Dalam pengambilan sampel penelitian, peneliti menggunakan metode non-probability
sampling dengan menerapkan metode purposive sampling. Non-probability sampling dapat
didefinisikan sebagai suatu desain pengambilan sampel dimana elemen-elemen dalam
populasi tidak memiliki probabilitas yang melekat pada terpilihnya mereka sebagai subjek
sampel (Sekaran & Bougie, 2016), sedangkan purposive sampling merupakan salah satu jenis
non-probability sampling yang menggunakan penetapan kriteria untuk menentukan sampel
(Cooper & Schindler, 2014). Metode non-probabililty sampling melalui purposive sampling
diterapkan dengan menetapkan kriteria spesifik untuk menyaring responden yang dapat
memberikan informasi yang diperlukan dalam proses penelitian. Dengan menggunakan
metode tersebut, penelitian ini menyasar pada karyawan tetap yang bekerja di perusahaan
swasta di seluruh Indonesia dengan masa kerja paling sedikit satu tahun dan memiliki atasan
langsung. Penentuan minimal jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini mengacu
pada acuan baku dalam metode Structural equation modeling (SEM) menurut Bentler dan
Chou (1987), yakni sebanyak lima kali (5n) dari jumlah seluruh parameter dalam kuesioner
penelitian. Dengan parameter sebanyak 36 parameter, maka jumlah minimum responden yang
dibutuhkan adalah sebanyak 180 responden.

3.4 Teknik Analisis Data


Dalam penelitian ini, data primer yang telah diperoleh dianalisis dengan menggunakan
metode structural equation method (SEM). Penggunaan metode SEM bertujuan untuk
menganalisis hubungan di antara berbagai variabel yang diuji dalam penelitian ini, yakni
mentoring, perceived organizational support, work meaningfulness, dan work engagement.
Dengan menggunakan metode SEM, hubungan antara variabel laten dengan variabel indikator
dan hubungan antar variabel laten dalam penelitian dapat dianalisis secara menyeluruh.
Peneliti menggunakan perangkat lunak SmartPLS 4 untuk memanfaatkan metode SEM.

3.5 Operasionalisasi Variabel


Dalam penelitian ini, variabel mentoring diukur dengan menggunakan instrumen
penelitian Ben Salem dan Lakhal (2018) yang diadaptasi dari instrumen penelitian Scandura
dan Ragins (1993) yang berisikan sembilan item pertanyaan serta dikategorikan menjadi tiga
dimensi, yaitu vocational support, psychological support, dan role modeling. Kedua, variabel
perceived organizational support diukur dengan menggunakan instrumen yang diadaptasi dari
penelitian Rhoades, Eisenberger, dan Armeli (2001) yang terdiri atas delapan item
pengukuran variabel perceived organizational support, dan berdasarkan instrumen
pengukuran dalam penelitian tersebut, peneliti juga melakukan modifikasi dengan
menggunakan skala Likert 1-5 menggantikan skala Likert 1-7. Selanjutnya, variabel work
meaningfulness diukur dengan menggunakan instrumen penelitian Steger, Dik, dan Duffy
(2012) yang terdiri atas sepuluh item pertanyaan yang dikategorikan ke dalam tiga dimensi,
yakni positive meaning, meaning making through work, dan greater good motivations.
Terakhir, variabel work engagement diukur dengan menggunakan versi sembilan item dari
Utrecht Work Engagement System oleh Schaufeli dan Bakker (2004) yang dikategorikan
menjadi tiga dimensi, yaitu vigor (semangat), dedikasi, dan absorpsi. Adapun tabel
operasionalisasi variabel penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.

4. HASIL
4.1 Profil Responden
Jumlah sampel yang menjadi bahan penelitian ini berjumlah 180 responden dengan
waktu pengumpulan data selama kurang lebih tiga minggu, dengan model pengambilan data
primer yang dikumpulkan melalui survey. Dalam hal ini, dengan menggunakan model Structural
Equation Modeling (SEM), jumlah responden penelitian yang ditujukan adalah sebanyak 5 kali
dari jumlah indikator untuk maximum likelihood (Hair et al., 2010), dengan jumlah demografi
yang dapat dipaparkan dalam tabel berikut. Dapat dilihat bahwa responden terdiri dari
perempuan dan laki-laki, dengan indikasi bahwa laki-laki berjumlah 56.67% sedangkan
perempuan berjumlah 43.33%, dengan juga dibagi berdasarkan daerah domisili responden yang
berdomisili dari Jakarta (28.89%), Bekasi (13.33%), Tangerang (12.78%), Surabaya (8.89%),
Bogor (6.67%), Semarang (6.11%), Karawang (5.56%) dan daerah domisili lainnya (17.78%).

Karakteristik Demografis Jumlah Total Responden Persentase


Laki-laki 102 56.67%
Jenis Kelamin 180
Perempuan 78 43.33%
Jakarta 52 28.89%
Bekasi 24 13.33%

Tangerang 23 12.78%

Surabaya 16 8.89%
Domisili 180
Bogor 12 6.67%

Semarang 11 6.11%

Karawang 10 5.56%

Daerah lainnya 32 17.78%


Tabel x. Karakteristik Demografis
Sumber: Olahan Peneliti (2023)

4.2 Analisis Kecocokan Model


Goodness of fit adalah ukuran seberapa baik model yang dinyatakan akan menghasilkan
matriks kovarians antar item indikator (Malhotra, 2010). Terdapat absolute fit, incremental fit,
dan parsimony fit indices pada goodness of fit. Absolute fit dapat digunakan untuk
menggambarkan keefektifan model melalui reproduksi sampel yang diamati, kecocokan model
ini ditunjukkan melalui nilai parameter standardized root mean square residual (SRMR) ≤
0,05. Incremental fit indices menilai kecocokan sebuah model dengan data sampel
dibandingkan dengan beberapa model alternatif yang berfungsi sebagai model dasar. Model null,
yang didasarkan pada premis bahwa variabel yang diamati tidak berkorelasi, adalah model dasar
yang paling banyak digunakan. Incremental fit indices yang umum digunakan, termasuk normed
fit index (NFI) dengan nilai berkisar antara 0-1 dengan nilai ≥ 0,9 dapat
diterima.

Hasil Pengukuran Ukuran Kecocokan Keterangan


yang baik

SRMR 0,039 ≤ 0,05 Good Fit

NFI 0.864 ≥ 0.90 Marginal Fit

Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai SRMR kurang dari 0,05 dan nilai NFI berada
pada rentang antara 0,8 dan 0,9. Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai SRMR dan NFI
memiliki kecocokan yang baik. Oleh karena itu, sampel penelitian memiliki ketepatan dalam
mengukur kondisi aktual statistik.

4.3 Uji Validitas dan Reliabilitas


Pengujian validitas dan reliabilitas hasil pengukuran dalam penelitian ini dilaksanakan
dengan mengacu pada standar confirmatory factor analysis (CFA) olah Hair, Sarstedt, Hopkins,
dan Kuppelweiser (2014) serta teori Fornell dan Larcker (1981). Berdasarkan standar CFA
tersebut, suatu indikator dapat dikatakan valid jika nilai standardized factor loading (SLF) tidak
kurang dari 0,7. Sementara itu, Fornell dan Larcker (1981) mengemukakan bahwa hasil
pengukuran dapat dikatakan valid dan reliabel jika nilai Average Variance Extracted (AVE)
lebih tinggi dari 0,5. Terkait dengan reliabilitas variabel, mengacu pada standar pada aplikasi
SmartPLS, suatu variabel dapat dikatakan reliabel jika nilai Cronbach’s Alpha lebih tinggi dari
0,7 dan Composite Reliability (CR) lebih tinggi dari 0,7. Adapun hasil pengujian validitas dan
reliabilitas setiap variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Variabel Indikator SLF Cronbach’s CR AVE Hasil


Alpha

Mentoring ME1 0,880 Valid Reliabel

ME2 0,776 Valid Reliabel

ME3 0,794 Valid Reliabel

ME4 0,790 Valid Reliabel

ME5 0,808 0,931 0,942 0,645 Valid Reliabel

ME6 0,792 Valid Reliabel

ME7 0,779 Valid Reliabel

ME8 0,789 Valid Reliabel

ME9 0,816 Valid Reliabel

Perceived POS1 0,816 Valid Reliabel


Organizational
Support POS2 0,802 Valid Reliabel

POS3 0,807 Valid Reliabel

POS4 0,805 Valid Reliabel


0,918 0,933 0,637
POS5 0,790 Valid Reliabel

POS6 0,794 Valid Reliabel

POS7 0,779 Valid Reliabel

POS8 0,789 Valid Reliabel

Work WM1 0,813 0,937 0,946 0,638 Valid Reliabel


Meaningfulness
WM2 0,785 Valid Reliabel

WM3 0,789 Valid Reliabel


WM4 0,796 Valid Reliabel

WM5 0,813 Valid Reliabel

WM6 0,805 Valid Reliabel

WM7 0,782 Valid Reliabel

WM8 0,803 Valid Reliabel

WM9 0,790 Valid Reliabel

WM10 0,808 Valid Reliabel

Work WE1 0,781 Valid Reliabel


Engagement
WE2 0,794 Valid Reliabel

WE3 0,833 Valid Reliabel

WE4 0,798 Valid Reliabel

WE5 0,759 0,931 0,942 0,645 Valid Reliabel

WE6 0,811 Valid Reliabel

WE7 0,813 Valid Reliabel

WE8 0,830 Valid Reliabel

WE9 0,804 Valid Reliabel


Tabel x. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas
Sumber: Olahan Peneliti (2023)

Jika mengacu pada kedua teori tersebut, maka semua variabel dalam penelitian ini telah
valid dan reliabel karena memiliki nilai AVE lebih dari 0,5, nilai CR lebih dari 0,7, dan nilai
Cronbach’s Alpha lebih dari 0,7. Secara rinci, variabel mentoring memiliki sembilan indikator
yang semuanya valid karena memiliki nilai loading factor lebih dari 0,7. Variabel perceived
organizational support memiliki delapan indikator yang juga valid seluruhnya karena memiliki
nilai loading factor lebih dari 0,7. Selanjutnya, variabel work meaningfulness memiliki sepuluh
indikator yang semuanya valid karena memiliki nilai loading factor lebih dari 0,7. Terakhir,
variabel work engagement memiliki sembilan indikator yang semuanya valid karena memiliki
nilai loading factor lebih dari 0,7.
4.4 Analisis Model Struktural
Analisis model struktural yang dilakukan peneliti mencakup tiga tahapan, yakni
pengukuran inner model, pengujian hipotesis penelitian dan analisis mediasi. Pertama, dalam
melakukan pengukuran inner model, peneliti mengacu pada nilai koefisien determinasi R-square
(R2) yang bernilai dari nol sampai dengan satu. Jika nilai R-square semakin mendekati satu,
maka kemampuan variabel-variabel independen dalam memberikan informasi guna memprediksi
variabel dependen sudah dapat dikatakan baik, dan begitu pula sebaliknya. Kemudian, dalam
melakukan pengujian hipotesis, peneliti melihat pada nilai t-value dan signifikansinya pada
persamaan struktural. Oleh karena persamaan struktural dalam penelitian ini adalah persamaan
two-tailed, maka hubungan antar variabel dapat dikatakan signifikan
jika nilai t-value pada persamaan struktural tersebut ≥ 1,96 atau ≤
-1,96 dengan signifikansi kurang dari 0,05.
Sementara itu, dalam melakukan analisis mediasi, peneliti menggunakan metode Sobel
Test dengan mengacu pada perbandingan antara signifikansi hubungan langsung antara variabel
independen dengan variabel dependen dan hubungan tidak langsung yang melibatkan variabel
mediasi. Dalam penelitian ini, terdapat dua variabel mediasi, yakni perceived organizational
support dan work meaningfulness. Berdasarkan teori Baron dan Kenny (1986), suatu variabel
memiliki pengaruh mediasi terhadap hubungan antara dua variabel lainnya jika nilai t-value
antara variabel independen dan mediasi signifikan, nilai t-value antara variabel mediasi dan
variabel dependen signifikan, serta hubungan antara variabel independen dan variabel dependen
menjadi tidak lagi signifikan dengan adanya variabel mediasi. Jenis hubungan mediasi
berdasarkan teori tersebut dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yakni full mediation (hubungan
langsung tidak signifikan sedangkan hubungan tidak langsung signifikan), partial mediation
(hubungan langsung dan hubungan tidak langsung signifikan), dan no mediation (hubungan
langsung signifikan sedangkan hubungan tidak langsung tidak signifikan).

R-square Adjusted R-square

Perceived Organizational 0,857 0,856


Support

Work Meaningfulness 0,890 0,889

Work Engagement 0,893 0,891


Tabel x. Hasil Pengukuran Inner Model
Sumber: Olahan Peneliti (2023)
Berdasarkan hasil pengukuran inner model di atas, diketahui bahwa nilai R-square atau
koefisien determinasi dari variabel perceived organizational support adalah sebesar 0,857 dan
nilai R-square variabel work meaningfulness sebesar 0,893. Secara parsial, hasil tersebut
menunjukkan bahwa variabel perceived organizational support dapat dijelaskan oleh variabel
mentoring sebesar 85,7% dan sisanya oleh variabel lainnya. Sementara itu, variabel work
meaningfulness dapat dijelaskan oleh variabel mentoring sebesar 89% dan sisanya oleh variabel
lainnya. Secara bersama-sama, diketahui bahwa nilai R-square dari variabel work engagement
adalah sebesar 0,893 dan hal tersebut menunjukkan bahwa variabel tersebut dapat dijelaskan
oleh ketiga variabel lainnya sebesar 89,3 persen, sedangkan 10,7% lainnya dapat dijelaskan oleh
variabel lain di luar penelitian ini.

Hipotesis Hubungan T-value Analisis

H1: Mentoring berpengaruh ME → WE 4,346 Terima H1


positif terhadap work
engagement

H2a: Mentoring berpengaruh ME → POS 116,646 Terima H2a


positif terhadap perceived
organizational support

H3a: Mentoring berpengaruh ME → WM 145,085 Terima H3a


positif terhadap work
meaningfulness

H4: Perceived organizational POS → WE 3,665 Terima H4


support berpengaruh positif
terhadap work engagement.

H5: Work meaningfulness WM → WE 3,752 Terima H5


berpengaruh positif terhadap
work engagement.
Tabel x. Hasil Uji Hipotesis Penelitian
Sumber: Olahan Peneliti (2023)

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis di atas, ditunjukkan bahwa setiap hipotesis yang
dirumuskan dalam penelitian ini diterima, dengan perincian sebagai berikut. Pertama, hasil
pengujian menunjukkan bahwa mentoring berpengaruh positif terhadap work engagement.
Kedua, hasil pengujian menunjukkan bahwa mentoring berpengaruh positif terhadap perceived
organizational support. Ketiga, hasil pengujian menunjukkan bahwa mentoring berpengaruh
positif terhadap work meaningfulness. Keempat, hasil pengujian menunjukkan bahwa perceived
organizational support berpengaruh positif terhadap work engagement. Terakhir, hasil pengujian
menunjukkan bahwa work meaningfulness berpengaruh positif terhadap work engagement.

Analisis Jalur T-value Direct T-value Indirect Analisis

ME → POS → WE 4,346 3,675 Partially mediated

ME → WM → WE 4,346 3,757 Partially mediated


Tabel x. Hasil Analisis Mediasi
Sumber: Olahan Peneliti (2023)

Berdasarkan hasil analisis mediasi di atas, diketahui bahwa kedua peran mediasi terhadap
hubungan antara mentoring dengan work engagement oleh masing-masing variabel mediator,
yakni perceived organizational support dan work meaningfulness dapat diterima. Oleh karena
semua hipotesis yang telah dirumuskan diterima berdasarkan hasil pengujian, maka model akhir
penelitian ini tidak berubah dari model yang diajukan peneliti pada awal penelitian.

5. DISKUSI DAN IMPLIKASI


Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam pengaruh pelaksanaan kegiatan
mentoring terhadap work engagement karyawan yang ditengahi atau distimulasi oleh adanya
persepsi mengenai dukungan organisasi (perceived organizational support) dan kebermaknaan
kerja (work meaningfulness). Penelitian ini menguji total tujuh hipotesis yang diajukan, dan dari
semua hipotesis tersebut, semuanya diterima dan dibuktikan dengan hasil pengujian yang telah
dipaparkan sebelumnya. Dalam pengujian hipotesis pertama, hasil pengujian menunjukkan
adanya pengaruh positif mentoring terhadap work engagement. Hasil tersebut sejalan dengan
berbagai penelitian terdahulu, seperti penelitian Baran (2017), Wang, Chen, Duan, dan Du
(2018), dan Yang, Liu, dan Xu (2022). Kegiatan mentoring secara umum membekali karyawan
sebagai mentee dengan dukungan vokasional atau dukungan terkait karier dan pekerjaan,
dukungan psikologis, dan kesempatan untuk menjadikan mentor sebagai role model atau tolok
ukur bagi karyawan (Ben Salem & Lakhal, 2018). Penelitian-penelitian tersebut telah
membuktikan bahwa pelaksanaan mentoring dapat menjadi inisiatif yang berguna bagi
perusahaan untuk meningkatkan work engagement karyawannya, salah satunya dengan
membekali mereka dengan berbagai keahlian dan kapabilitas yang berguna untuk karier mereka
dalam jangka panjang, termasuk pula halnya dalam menjamin kesejahteraan karier dan
psikologis karyawan.
Hasil pengujian hipotesis kedua menunjukkan adanya pengaruh positif mentoring
terhadap perceived organizational support yang juga memediasi pengaruh mentoring terhadap
work engagement karyawan. Temuan tersebut sejalan dengan penelitian Yang, Liu, dan Xu
(2022) serta beberapa penelitian lainnya seperti penelitian Gupta, Agarwal, dan Khatri (2016)
dan penelitian Ali, Rizavi, Ahmed, dan Rasheed (2018). Perceived organizational support
merupakan suatu perasaan emosional yang selalu muncul dalam proses hubungan interpersonal
antara karyawan sebagai mentee dan atasan sebagai mentor, khususnya dalam proses mentoring
(Yang, Liu, & Xu, 2022). Penyediaan kegiatan mentoring oleh perusahaan terhadap karyawan
merupakan bentuk inisiatif perusahaan untuk menyediakan sumber daya pekerjaan (Jin &
McDonald, 2017) yang terbukti dapat mempengaruhi work engagement karyawan secara positif
(Gupta, Agarwal, & Khatri, 2016). Timbulnya perceived organizational support dapat
mendorong peningkatan kinerja karyawan dalam menjalankan tugas sesuai dengan tanggung
jawabnya (in-role performance) (Kurtessis, Eisenberger, Ford, Buffardi, Steward, & Adis, 2017),
dan dapat mendorong karyawan untuk bekerja di luar peran asli mereka (extrarole performance)
(Ali, Rizavi, Ahmed, & Rasheed, 2018) yang gilirannya dapat meningkatkan percepatan progres
perusahaan dalam mencapai tujuannya. Penelitian tersebut juga mendukung temuan peneliti
mengenai adanya pengaruh positif perceived organizational support terhadap work engagement.
Hasil pengujian hipotesis ketiga menunjukkan adanya pengaruh positif mentoring
terhadap work meaningfulness yang juga memediasi pengaruh mentoring terhadap work
engagement karyawan. Temuan tersebut sejalan dengan penelitian Lin, Cai, dan Yin (2021)
meskipun memiliki perbedaan konteks, yakni temuan dalam penelitian ini yang mengacu pada
sudut pandang karyawan sebagai mentee, bukan pada sudut pandang atasan sebagai mentor. Jika
dalam penelitian Lin, Cai, dan Yin (2021) work meaningfulness dari kegiatan mentoring dapat
timbul karena adanya perasaan berkontribusi terhadap kemajuan, perkembangan, dan
keberhasilan karyawan lain sebagai mentee, yang sejalan pula dengan penelitian Hu, Wang,
Yang, dan Wu (2014), timbulnya work meaningfulness dari mentee lebih dikarenakan adanya
pembelajaran yang diterima sehingga dapat mengembangkan persepsi kebermaknaan kerja, dan
selanjutnya dapat meningkatkan work engagement (May, Gilson, & Harter, 2004). Penelitian
tersebut juga mendukung temuan peneliti mengenai adanya pengaruh positif work
meaningfulness terhadap work engagement.

6. KETERBATASAN PENELITIAN DAN SARAN


6.1 Keterbatasan Penelitian
Hasil dari penelitian ini dapat memberi kontribusi terhadap perkembangan keterikatan
karyawan melalui program mentoring, tetapi penulis menyadari adanya beberapa keterbatasan
dalam proses penulisan. Pertama, responden penelitian ini mayoritas berasal dari tujuh kota
besar di Indonesia, hanya terdapat 17,78% responden yang berasal dari daerah di luar kota-
kota tersebut. Responden didominasi oleh karyawan yang tinggal di Jakarta sehingga lebih
menggambarkan kondisi pada tujuh kota tersebut. Hal ini menyebabkan hasil penelitian belum
menggambarkan kondisi yang sesungguhnya di Indonesia. Selanjutnya, data terkait mentoring
hanya diperoleh dari pihak karyawan dimana data dari perusahaan juga dapat menggambarkan
kondisi kegiatan mentoring. Selain itu, peneliti hanya mengukur persepsi karyawan secara
kuantitatif sehingga timbul keterbatasan dalam pembahasan mendalam terkait hasil uji
statistik penelitian. Kelebihan dari penelitian kualitatif adalah adanya pemahaman yang
mendalam mengenai pendapat karyawan terhadap bentuk nyata program mentoring yang
mereka alami di perusahaan dapat memberikan gambaran menyeluruh terhadap penelitian.

6.2 Penelitian Selanjutnya


Penelitian ini membuktikan bahwa semua hipotesis yang disusun oleh peneliti
signifikan. Pada penelitian selanjutnya, sebaiknya menambahkan variabel independen lain
yang berhubungan dengan perilaku kerja. Variabel mediator juga dapat ditambahkan ke dalam
model penelitian, seperti positive orientation dan career satisfaction. Penelitian ini memiliki
cakupan penelitian yang terlalu luas, sebaiknya cakupan penelitian lanjutan dapat dibatasi
terhadap wilayah geografi yang lebih kecil. Terakhir, kualitas jawaban responden dapat
dipastikan dengan melibatkan reverse item. Peneliti dapat mengecek konsistensi jawaban
melalui adanya reverse item pada instrumen penelitian.
Daftar Referensi
Ali, F.H., Rizavi, S.S., Ahmed, I., & Rasheed, M. (2018). Effects of perceived organizational
support on organizational citizenship behavior–sequential mediation by well-being and
work engagement, Journal of the Punjab University Historical Society, 31(1), 111-131.
Attridge, M. (2009). Measuring and managing employee work engagement: A review of the
research and Business Literature. Journal of Workplace Behavioral Health, 24(4), 383–
398. https://doi.org/10.1080/15555240903188398
Bakker, A. B., & Albrecht, S. (2018). Work engagement: Current trends. Career Development
International, 23(1), 4–11. https://doi.org/10.1108/cdi-11-2017-0207
Bakker, A. B., & Demerouti, E. (2008). Towards a model of work engagement. Career
Development International, 13(3), 209–223. https://doi.org/10.1108/13620430810870476
Bakker, A. B., Schaufeli, W. B., Leiter, M. P., & Taris, T. W. (2008). Work engagement: An
emerging concept in occupational health psychology. Work & Stress, 22(3), 187–200.
https://doi.org/10.1080/02678370802393649
Baran, M. (2017). The importance of mentoring in employee work engagement – based on
research of company employees in Poland. International Journal of Contemporary
Management, 16(2), 33–56. https://doi.org/10.4467/24498939ijcm.17.009.7522
Beardwell, J., & Thompson, A. (2017). Human Resource Management: A contemporary
approach (8th ed.). Pearson Education.
Ben Salem, A., & Lakhal, L. (2018). Mentoring Functions Questionnaire: Validation among
Tunisian successors. Journal of Management Development, 37(2), 127–137.
https://doi.org/10.1108/jmd-12-2016-0272
Christian, M. S., Garza, A. S., & Slaughter, J. E. (2011). Work engagement: A quantitative
review and test of its relations with task and contextual performance. Personnel
Psychology, 64(1), 89–136. https://doi.org/10.1111/j.1744-6570.2010.01203.x
Cooper, D. R., & Schindler, P. S. (2014). Business Research Methods (12th ed.).
McGraw-Hill/Irwin.
Cropanzano, R., & Mitchell, M. S. (2005). Social Exchange theory: An interdisciplinary review.
Journal of Management, 31(6), 874–900. https://doi.org/10.1177/0149206305279602
Dessler, G. (2018). Human Resource Management (16th ed.). Pearson.
Dimock, M. (2022, April 21). Defining generations: Where millennials end and generation Z
begins. Pew Research Center. Retrieved February 9, 2023, from
https://www.pewresearch.org/fact-tank/2019/01/17/where-millennials-end-and-
generation-z-begins/
Dua, A., Ellingrud, K., Lazar, M., Luby, R., & Pemberton, S. (2022, October 19). How does gen
Z see its place in the working world? with trepidation. McKinsey & Company. Retrieved
February 8, 2023, from https://www.mckinsey.com/featured-insights/sustainable-
inclusive-growth/future-of-america/how-does-gen-z-see-its-place-in-the-working-world-
with-trepidation
Eisenberger, R., & Stinglhamber, F. (2011). Perceived organizational support: Fostering
enthusiastic and productive employees. American Psychological Association.
Eisenberger, R., Huntington, R., Hutchison, S., & Sowa, D. (1986). Perceived Organizational
Support. Journal of Applied Psychology, 71(3), 500–507. https://doi.org/10.1037/0021-
9010.71.3.500
Eisenberger, R., Shanock, L. R., & Wen, X. (2020). Perceived organizational support: Why
caring about employees counts. Annual Review of Organizational Psychology and
Organizational Behavior, 7(1), 101–124. https://doi.org/10.1146/annurev-orgpsych-
012119-044917
Gupta, V., Agarwal, U.A., & Khatri, N. (2016). The relationships between perceived
organizational support, affective commitment, psychological contract breach,
organizational citizenship behaviour and work engagement. Journal of Advanced
Nursing, 72(11), 2806-2817.
Hu, C., Wang, S., Yang, C. C., & Wu, T. Y. (2014). When mentors feel supported: Relationships
with mentoring functions and protégés’ perceived organizational support. Journal of
Organizational Behavior, 35(1), 22–37.
Jin, M. H., & McDonald, B. (2016). Understanding employee engagement in the public sector:
The role of immediate supervisor, perceived organizational support, and learning
opportunities. The American Review of Public Administration, 47(8), 881–897.
https://doi.org/10.1177/0275074016643817
Kurtessis, J.N., Eisenberger, R., Ford, M.T., Buffardi, L.C., Stewart, K.A., & Adis, C.S. (2017).
Perceived organizational support: a meta-analytic evaluation of organizational support
theory. Journal of Management, 43(6), 1854-1884.
Lee, M. C., Idris, M. A., & Delfabbro, P. H. (2017). The linkages between hierarchical culture
and empowering leadership and their effects on employees’ work engagement: Work
meaningfulness as a mediator. International Journal of Stress Management, 24(4), 392–
415. https://doi.org/10.1037/str0000043
Lin, L., Cai, X., & Yin, J. (2021). Effects of mentoring on work engagement: Work
meaningfulness as a mediator. International Journal of Training and Development, 25(2),
183–199. https://doi.org/10.1111/ijtd.12210
Madgavkar, A., Schaninger, B., Maor, D., White, O., Smit, S., Samandari, H., Woetzel, J.,
Carlin, D., & Chockalingam, K. (2023, February 2). Performance through people:
Transforming Human Capital into competitive advantage. McKinsey & Company.
Retrieved February 9, 2023, from
https://www.mckinsey.com/mgi/our-research/performance-through-people-transforming-
human-capital-into-competitive-advantage
Malhotra, N. K. (2010). Marketing research: An applied orientation. London: Pearson.
Mawhinney, T., & Betts, K. (2019, August 30). Understanding generation Z in the workplace.
Deloitte SUS. Retrieved February 9, 2023, from
https://www2.deloitte.com/us/en/pages/consumer-business/articles/understanding-
generation-z-in-the-workplace.html
May, D. R., Gilson, R. L., & Harter, L. M. (2004). The Psychological Conditions of
Meaningfulness, Safety and Availability and the Engagement of the Human Spirit at
Work. Journal of Occupational and Organizational Psychology, 77(1), 11-37,
http://doi.org/10.1348/096317904322915892
Mondy, R. W., & Martocchio, J. J. (2016). Human Resource Management (14th ed.). Pearson.
Noe, R. A. (2020). Employee training & development (8th ed.). McGraw-Hill Education.
Noe, R. A., Hollenbeck, J. R., Gerhart, B., & Wright, P. M. (2016). Fundamentals of Human
Resource Management (6th ed.). McGraw-Hill Education.
Panda, A., Sinha, S., & Jain, N. K. (2021). Job meaningfulness, employee engagement,
supervisory support and job performance: A moderated-mediation analysis. International
Journal of Productivity and Performance Management, 71(6), 2316–2336.
https://doi.org/10.1108/ijppm-08-2020-0434
Pendell, R., & Vander Helm, S. (2022, November 11). Generation Disconnected: Data on Gen Z
in the Workplace. Gallup. Retrieved February 8, 2023, from
https://www.gallup.com/workplace/404693/generation-disconnected-data-gen-
workplace.aspx
Rhoades, L., & Eisenberger, R. (2002). Perceived organizational support: A review of the
literature. Journal of Applied Psychology, 87(4), 698–714. https://doi.org/10.1037/0021-
9010.87.4.698
Rhoades, L., Eisenberger, R., & Armeli, S. (2001). Affective commitment to the organization:
The contribution of perceived organizational support. Journal of Applied Psychology,
86(5), 825–836. https://doi.org/10.1037/0021-9010.86.5.825
Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2017). Organizational Behavior (17th ed.). Pearson Education.
Scandura, T. A., & Ragins, B. R. (1993). The effects of sex and gender role orientation on
mentorship in male-dominated occupations. Journal of Vocational Behavior, 43(3), 251–
265. https://doi.org/10.1006/jvbe.1993.1046
Schaufeli, W. B., Salanova, M., González-Romá, V., & Bakker, A. B. (2002). The Measurement
of Engagement and Burnout: A Two Sample Confirmatory Factor Analytic Approach.
Journal of Happiness Studies, 3(1), 71–92. https://doi.org/10.1023/a:1015630930326
Sekaran, U., & Bougie, R. (2016). Research methods for business: A skill-building approach
(7th ed.). Wiley.
Steger, M. F., Dik, B. J., & Duffy, R. D. (2012). Measuring Meaningful Work: The Work and
Meaning Inventory (WAMI). Journal of Career Assessment, 20(3), 322–337.
https://doi.org/10.1177/1069072711436160
Yang, F., Liu, P., & Xu, S. (2021). How does mentoring influence protégés’ work engagement?
roles of perceived organizational support and family-like employee-organization
relationship. Chinese Management Studies, 16(1), 197–210. https://doi.org/10.1108/cms-
10-2019-0364
Lampiran 1. Operasionalisasi Variabel Penelitian

Anda mungkin juga menyukai