Anda di halaman 1dari 35

Pengaruh Internal Communication terhadap Employee

Engagement di Perusahaan X

Oleh:

Martinus Anugrah (111111139)


Kelas A

Fakultas Psikologi
Universitas Airlangga
2015

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Perekonomian global dunia semakin meningkat, hal ini juga tidak lepas dari

perusahaan-perusahaan yang semakin maju. Setiap perusahaan yang ada di dunia


berusaha dan bersaing untuk meningkatkan produktivitasnya. Dari hal tersebut
dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek dalam perusahaanlah yang menjadi
pemegang kunci agar dapat berkembang. McPherson (dalam Peters dan Waterman,
1982) berpendapat bahwa karyawan adalah salah satu aset dari perusahaan yang
vital dalam proses pengembangan organisasi. Karyawan dengan kinerja dan
performa yang baik dapat membantu meningkatkan produktivitas perusahaan. Ada
banyak hal yang dapat mempengaruhi kinerja seorang karyawan, seperti kepuasan
kerja, komitmen kerja, dan masih banyak lagi (Balakrishan dan Masthan, 2013).
Hal-hal tersebut menjadi perhatian khusus dalam perusahaan sebagai cara
meningkatkan kinerja perusahaanya.
Dalam era global sekarang ini, perkembangan sumber daya manusia dalam
setting industri dan organisasi berkembang pesat. Sumber daya manusia yang
dikelola dengan baik akan menghasilkan perusahaan dengan kinerja yang baik pula.
Namun, masih banyak permasalahan yang muncul dalam bidang sumber daya
manusia yang salah satunya adalah organisasi tidak dapat mempertahankan sumber
daya manusia yang dimilikinya. Terdapat beberapa masalah yang dikarenakan

pengelolaan sumber daya manusia yang kurang baik, seperti ketidakpuasan kerja,
penurunan kerja, ketidakhadiran (abseinteism), dan turnover (Mangkunegara,
2005:117). Maka dari itu semua, perusahaan berusaha untuk mengelola sumber
daya manusianya dengan baik. Dengan mengacu pada hal-hal tersebut, setiap
organisasi berusaha untuk memikirkan cara yang tepat untuk mempertahankan
sumber daya manusianya.
Terdapat banyak cara atau strategi untuk menciptakan lingkungan kerja
yang kondusif demi mempertahankan karyawan dalam perusahan. Kepuasan kerja
karyawan menjadi salah satu strategi dan perhatian khusus dalam organisasi.
Namun sekarang ini kepuasan kerja belum cukup menunjang performa dari setiap
karyawan seperti yang dilansir pada artikel JCG (The Jakarta Consulting Group,
2015). Setiap karyawan diharuskan memiliki rasa engagement, keterlibatan kerja,
komitmen, keingingan berkontribusi, dan rasa memiliki terhadap pekerjaan dan
organisasinya tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap anggota
karyawan harus memiliki rasa keterikatan dengan perusahaannya atau yang dikenal
dengan istilah employee engagement.
Jika seorang karyawan memiliki keterikatan kerja (employee engagement)
yang baik, karyawan tersebut akan memiliki komitmen kerja yang baik pula. Hal
tersebut juga diungkapkan oleh Balakrishan dan Masthan (2013) bahwa employee
engagement dapat dideskripsikan sebagai bentuk rasa emosional dari karyawan dan
komitmennya pada kesuksesan organisasinya. Pada dasarnya setiap karyawan yang
engage akan berusaha meningkatkan performa dan kinerjanya untuk mencapai
setiap tujuan organisasinya (Balakrishan dan Masthan, 2013). Seperti yang

disampaikan oleh Haudan (dalam Adnjani dan Prianti, 2009) bahwa rasa
engagement menciptakan lingkungan kerja yang kompetitif sehingga orang akan
berusaha tidak pernah ketinggalan untuk bertanding dalam rangka mewujudkan
tujuan organisasi. Jadi, setiap karyawan akan ikut bertanding dan tidak akan pernah
tertinggal satu pertandingan pun sampai goal atau tujuan dari perusahaan tercapai.
Setiap organisasi seharusnya dapat meningkatkan rasa engagement dari
karyawannya kearah yang lebih nyata, guna menunjang performa perusahan.
Dengan demikian setiap manajer atau atasan harus mampu mengarahkan setiap
karyawan untuk berkontribusi penuh untuk perusahaan dengan dimulai dari proses
employee engagement. Menurut Stephania (2012), karyawan akan berusaha
memberikan yang terbaik untuk mendukung keberhasilan perusahaannya, dimana
hal tersebut merupakan salah satu dari keberhasilan engagement. Dengan demikian
karyawan akan menjadi loyal terhadap perusahaan, lebih produktif dan
bersemangat akan pekerjaanya (Adnjani dan Prianti, 2009). Setiap karyawan yang
terikat (engaged) pada perusahaan akan bekerja tidak hanya komitmen saja namun
juga dikarenakan adanya passion pada pekerjaanya (Balakrishan dan Masthan,
2013). Dapat disimpulkan bahwa rasa engagement akan memiliki dampak yang
positif bagi performa karyawan dan perusahaan itu sendiri, karena dapat
menciptakan sebuah energi positif dan passion dalam menunjukkan kinerja yang
terbaik untuk perusahaan (Keenan 2007, dalam Adnjani dan Prianti, 2009).
Setiap perusahaan sekarang ini sudah memasuki bentuk kompetisi baru
yaitu kompetisi dalam hal talent dan skill dari Human Resources. Dengan
pengelolaan HR yang baik dapat membentuk rasa kesetiaan pada karyawan. Maka

dari itu pengelolaan employee engagement menjadi perhatian yang khusus dalam
organisasi sekarang ini. Karena setiap perusahaan akan berusaha untuk mengikat
karyawannya baik fisik, jiwa, maupun pemikirannya (Balakrishan dan Masthan,
2013). Menurut penelitian yang terdahulu oleh Harter et al (2002, dalam The
Oxford Handbook of Happiness, 2013) bahwa karyawan yang terikat (engaged)
secara konsisten akan bekerja dengan maksimal dan selalu meningkatkan
perfomanya dalam bekerja.
Konsep mengenai keterikatan kerja (employee at work) pertama kali disusun
oleh Kahn (1990, dalam Balakrishan dan Masthan, 2013) yaitu, memanfaatkan diri
sebagai anggota dari organisasi dalam pekerjaan mereka dengan melibatkan diri
secara fisik, kognitif, dan emosional selama dalam perannya bekerja. Sedangkan
menurut survei yang dilakukan oleh AON-Hewitt (2013) bahwa karyawan yang
engage akan berbicara hal-hal yang positif dari perusahaannya, akan meningkatkan
kesetiaan terhadap organisasi, dan meningkatnya pula dorongan motivasi untuk
bekerja lebih ekstra demi mencapai keberhasilan perusahaan. Dapat disimpulkan
dari konsep diatas bahwa keterikatan karyawan dapat menjadi indikator sebuah
perusahaan yang sehat dan baik.

AON-Hewitt's Survey, (2013)

Menurut survei AON-Hewitt (2013) bahwa tingkat engagement pada


karyawan masih rendah terutama di Asia. Di Indonesia, tingkat engagement
karyawan sebesar 71 persen jauh lebih tinggi daripada di Jepang. Namun karyawan
yang tergolong higly-engage hanya sebesar 15 persen. Masih banyak pegawai yang
belum memiliki rasa keterikatan dengan perusahan. Pada penelitian sebelumnya
yang dilakukan pada PT. Primatexco Indonesia (Akbar, 2013) bahwa masih banyak
karyawan yang tidak memiliki rasa engage, akibatnya banyak karyawan yang masih
sibuk dengan membuka akun facebook atau twitter. Sekitar 65 persen pelanggaran
adalah keterlambatan kerja. Angka yang cukup tinggi untuk sebuah pelanggaran
dimana terlambat dalam memulai pekerjaan akan mempengaruhi kinerja pekerjaan
yang lainnya di perusahaan. Pada penelitian tersebut (Akbar, 2013) ditemukan
bahwa rasa antusias dari karyawan terlihat sangat rendah dimana karyawan lebih

sibuk bermain game diatas meja komputer mereka. Dapat disumpulkan bahwa
karyawan yang tidak engage dengan perusahaan akan menurunkan kinerja
perusahaan itu sendiri, maka dari itu setiap perusahaan diharuskan untuk
meningakatkan rasa keterikatan karyawan.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi rendahnya employee
engagement disuatu perusahaan. Menurut Federman (2009:37-47), terdapat 9 faktor
yang mempengaruhi keterikatan karyawan di dalam perusahaan yaitu: 1)
kebudayaan (culture), 2) indikator sukses (success indicators), 3) pengertian
prioritas (priority setting), 4) komunikasi (communication), 5) inovasi (innovation),
6) penguasaan bakat (talent enhancement), 7) peningkatan bakat (talent
enhancement), 8) insentif (incentive and acknowledgement), 9) pelanggan
(costumer-centered). Berdasarkan 9 faktor diatas komunikasi termasuk dalam
faktor yang dapat mempengaruhi rendahnya employee engagement dalam
perusahaan.
Komunikasi adalah salah satu aspek penting dalam perusahaan. Dengan
melalui komunikasi yang baik, tujuan perusahaan akan tercapai. Komunikasi dan
organisasi tidak dapat pisahkan, karena dengan komunikasi akan terjadi sebuah
interaksi dalam perusahaan. Komunikasi yang terjadi dalam perusahaan menjadi
kunci penting dalam berjalannya sebuah perusahaan. Komunikasi dalam
perusahaan juga dapat dikatakan sebagai komunikasi internal, dimana hanya terjadi
dilingkup organisasi itu saja. Menurut Larkin dan Larkin (1994) terdapat tiga cara
komunikasi dengan karyawan yaitu: komunikasi secara langsung oleh supervisors,
face-to-face communication, dan komunikasi mengenai pekerjaan.

Komunikasi internal dapat dikatakan sebagai sarana pertukaran informasi


dalam organisasi. Pertukaran informasi yang dilakukan oleh pihak manajemen,
pemegang saham, dan karyawan yang ada di perusahaan (Adnjani dan Prianti,
2009). Komunikasi internal memiliki 2 bagian yaitu; penyedia informasi dan
fasilitas terciptanya rasa komunitas dalam organisasi (Friedle dan Vercic, 2011).
Komunikasi internal ini berfokus pada menghubungkan antar individu karyawan,
kelompok-kelompok, dan organisasi yang menjadi fasilitator dalam menciptakan
kerjasama yang spontan (Balakrishan dan Masthan, 2013). Pada studi yang
dilakukan Guest dan Conway (2002) bahwa komunikasi itu sangat penting karena
berhubungan langsung dengan pekerjaan sehari-hari, instruksi-instruksi pekerjaan
atau feedback yang diterima karyawan terhadap pekerjaannya. Dapat disimpulkan
bahwa perusahaan dapat meningkatkan komitmen karyawan dengan meningkatkan
kualitas dari komunikasi didalam perusahaan. Dapat dikatakan bahwa komunikasi
internal dalam perusahaan akan membantu performa dari karyawan dalam
menyelesaikan pekerjaannya.
Berdasarkan penjelasan diatas, bahwa komunikasi internal dapat membantu
meningkatkan keterikatan karyawan dalam perusahaan. Dengan meningkatkan
kualitas komunikasi internal dapat pula meningkatkan rasa engage pada karyawan.
Masih sangat sedikit penelitian yang berfokus pada internal communication dan
employee engagement (Karanges, et. Al., 2015). Terdapat penelitian yang
dilakukan pada Singapore Airlines (Chong, 2007) mengatakan bahwa dialok secara
face-to-face antara karyawan dengan para staf dapat meningkatkan brand image
yang baik dihadapan kostumer. Menurut Pounsford (2007) bahwa penggunaan

strategi komunikasi internal seperti storytelling, komunikasi informal, dan


pelatihan dapat menunjang employee engagement didalam perusahaan.
Walau masih sedikitnya penelitian mengenai pengaruh komunikasi internal
terhadap employee engagement, namun kebanyakan studi dilakukan pada kalangan
atasan seperti manajer dan supervisor. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk
meneliti mengenai pengaruh komunikasi internal terhadap employee engagement
pada karyawan di perusahaan.

1.2

Identifikasi Masalah
Employee engagement menjadi bahasan yang menarik untuk diteliti. Sejalan

dengan sulitnya mencari dan mempertahankan pegawai yang berkualitas. Namun


masih terdapat intensitas turnover dalam diri karyawan karena rendahnya
engagement (Stephanie dan Gustomo, 2015). Pada penelitian sebelumnya employee
engagement menjadi salah satu latar belakang turnover (Stephanie dan Gustomo,
2015). Ketidakterikatan karyawan masih menjadi hal yang sulit untuk dipecahkan
di semua perusahaan di dunia dan masih ditakuti oleh semua perusahan. Seperti
pada penelitian yang dilakukan pada tahun 2013 sekitar tujuh puluh persen
karyawan di Amerika tidak engage atau terikat dengan pekerjaanya (Gallup, 2013).
Para karyawan tidak menunjukkan performa yang kurang baik karena mereka
merasa tidak terikat secara emosional dengan pekerjaanya. Sekitar 38 persen dari
90.000 koresponden di dunia tidak merasa engage dengan pekerjaan mereka
menurut Towers Perrin Gobal Workforce Report (2007-2008).

Di Indonesia pun employee engagement menjadi salah satu perhatian


khusus. Tingkat engagement di Indonesia masih rendah yaitu sebesar 15% (AON
Hewitts Survey, 2013). Hal tersebut juga menjadi salah satu latar belakang
penelitian ini dan masih minim dibicarakan di dunia sumber daya manusia. Menurut
Seigts et al. (2006) bahwa salah satu yang membuat karyawan engage adalah clarity
atau kejelasan dalam komunikasi. Komunikasi yang seperti apakah yang dapat
menunjang engagement karyawan? Apakah komunikasi internal juga menjadi salah
satu penunjang employee engagement dalam diri karyawan? Oleh karena itu,
peneliti merasa perlu untuk mencari tahu komunikasi internal dan employee
engagement serta menganalisis pengaruhnya pada karyawan di perusahaan.

1.3

Batasan Masalah
Untuk penelitian ini, peneliti akan mencari tahu tentang pengaruh

komunikasi internal terhadap employee engagement pada karyawan di perusahaan.


Agar dapat diperoleh arah pembahasan yang baik sehingga tujuan penelitian dapat
dicapai, maka penulis membatasi ruang lingkup permasalahan yang akan dikaji
meliputi:
1. Internal Communication
Komunikasi internal dapat dikatakan sebagai komunikasi atau
proses pertukaran informasi yang terjadi didalam organisasi atau
perusahaan (Balakrishan dan Masthan, 2013). Jadi, dapat disimpulkan
bahwa komunikasi internal adalah proses komunikasi dan pertukaran
informasi antar karyawan dan bagian-bagian yang ada didalam perusahaan.

2. Employee Engagement
Menurut Khan (1990) employee engagement adalah keterikatan
karyawan secara fisik, kognitif, dan secara emosional dengan pekerjaannya
(Albrecht, 2010: 4). Karyawan yang engage akan memberikan seluruh
energi dan pikirannya kepada pekerjaan yang diberikan.

3. Karyawan yang bekerja di Perusahaan


Partisipan pada penelitian ini adalah karyawan yang bekerja di
perusahaan

1.4

Rumusan Masalah
Dalam merumuskan masalah, penulis mengemukakan pertanyaan yang

berkaitan dengan latar belakang diatas, antara lain:

Bagaimana dimensi komunikasi internal yang dimiliki perusahaan ?

Bagaimana dimensi employee engagement pada karyawan di


perusahaan?

Bagaimana pengaruh komunikasi internal terhadap employee


engagement pada karyawan di perusahaan?

1.5

Tujuan Penelitian
Ada tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :

Mengetahui komunikasi internal yang ada didalam perusahaan.

Mengetahui rasa employee engagement pada karyawan di


perusahaan.

Mengetahui pengaruh komunikasi internal terhadap employee


engagement pada karayawan di perusahaan

1.6

Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

Manfaat Teoritis
Sebagai tambahan ilmu untuk dihubungkan dengan pengetauan
teoritis yang didapatkan dibangku kuliah agar dapat diaplikasikan
didunia kerja

Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai evaluasi bagi pegawai
organisasi untuk menentukan strategi yang baik dalam melakukan
rekrutmen pegawai.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Employee Engagement
Employee engagement adalah kondisi atau keadaan dimana karyawan

bersemangat, passionate, energetic, dan berkomitment dengan pekerjaanya


(Maylett &Warner, 2014). Konsep engagemetn dapat mengacu pada keterlibatan
individu dan kepuasan kerja yang setingkat dengan antusiasme untuk bekerja.
Schaufeli, dkk. (2002) mendefinisikan employee engagement sebagai
Engagement is a positive, fulfilling, work-related state of mind that is
characterized by vigor, dedication, an absorption. Rather than a momentary
and specific state, engagement refers to a more persistent and pervasive
affective-cognitive state that is not focused on any particular object, event,
individual, or behavior. Vigor is characterized by high levels of energy and
mental resilience while working, the willingness to invest effort in ones
work, and persistence even in the face of difficulties. Dedication refers to
being strongly involved in ones work and experiencing a sense of
significance, enthusiasm, inspiration, pride, and challenge. Absorption, is
characterized by being fully concentrated and happily engrossed in ones
work, whereby time passes quickly and one has difficulties with detaching
oneself from work.

Menurut Schaufeli (2002), employee engagement dapat dikatakan sebagai


keadaan mental yang positif dari karyawan terhadap pekerjaanya. Keadaan mental
yang positif tersebut dapat ditandai dengan salah satunya adalah dedikasi terhadap
pekerjaanya. Engagement bukanlah sebuah tahap yang spesifik dan bersifat
sementara, namun engagement mengacu pada keadaan yang bersifat menetap dan
berada pada tingkat afeksi dan kognitif. Definisi ini juga didukung oleh Khan
(1990) bahwa seorang karyawan akan terikat secara pikiran, fisik, dan emosional

dengan pekerjaanya (Albrecht, 2010:21). Jadi dapat disimpulkan bahwa seorang


karyawan yang engage dengan pekerjaannya akan fokus dan konsentrasi penuh
dengan pekerjaannya sampai selesai dan mencapai tujuan organisasi (Macey et al,
2009).
Seperti yang didefinisikan oleh Schaufeli bahwa karakteristik employee
engagement dapat dilihat dari vigor, dedikasi, dan absorption. Karyawan yang
memiliki keterikatan secara positif dengan pekerjaanya akan menunjukkan keadaan
keterikatan kerja secara psikologis berupa; (1) energi yang besar, (2) antusiasme,
(3) passion, (4) vigor, dan akan memunculkan motivasi internal dimana mau
bekerja dengan penuh semangat dalam mencapai target organisasi (Bakker et al,
2008). Terdapat dua karakteristik dimana seorang karyawan yang memiliki rasa
engagement yang tinggi menurut Albrecht (2010:21) yaitu: (1) keadaan mental
positif dimana karyawan berenergi besar dan ada dorongan motivasi dalam diri
individu, dan (2) karyawan secara alami atau tanpa paksaan dalam berkontribusi
dalam pekerjaannya maupun tujuan organisasi.
Penelitian yang dilakukan secara kualitatif oleh Schaufeli, dkk. (2001,
dalam Bakker, 2010) menemukan bahwa karyawan yang engaged memiliki energy
yang tinggi dan memiliki efikasi diri yang terbentuk dari berbagai peristiwa yang
mempengaruhi dirinya. Didasari oleh sikap positif dan level aktif mereka, karyawan
yang engaged akan membuat umpan balik positif bagi mereka sendiri untuk
keperluan

apresiasi,

rekognisi,

dan

kesuksesan.

Berbagai

subjek

yang

diwawancarai mengindikasikan antusiasme dan energy mereka juga muncul di luar


pekerjaan, misalnya saat berolahraga, melakukan hobi dan pekerjaan sukarela.

Karyawan yang engaged bukanlah manusia super yang tidak merasa kelelahan
setelah bekerja seharian. Mereka tetap measa kelelahan, namun kelelahan mereka
dideskripsikan sebagai suatu kepuasan karena hal ini berkaitan dengan pencapaian
positif (Bakker, 2010).

2.1.1

Komponen-komponen Employee Engagement


Ada empat komponen utama dalam membentuk engagement menurut

Macey et al (2009:20-24) yaitu:


1. Feelings of urgency
2. Feelings of being focused
3. Feelings of intensity
4. Feeling of enthusiasm

2.1.1.1 Urgency
Urgensi disini dapat dikatan sebagai dorongan internal yang besar dalam
diri karayawan yang mengarah pada pekerjaannya. Menurut Macey et al (2009)
urgensi dapat didefinisikan sebagai kekuatan fisik, energi emosional, keaktifan
dalam kognitif atau yang dikenal dengan vigor. Pengertian vigor dalam hal ini
adalah berupa resiliensi mental dan persistensi karyawan dalam menghadapi
kesulitan dalam pekerjaan, sehingga dapat bangkit lagi karena adanya dorongan
untuk mencapai tujuan organisasi. Urgensi ini adalah komponen inti dalam
membangun engagement (Macey et al, 2009:20), dalam hal ini juga membangun
kepercayaan diri karyawan dalam mencapai tujuan organisasi.

2.1.1.2 Focus
Seorang karyawan yang engage dengan pekerjaanya pasti akan fokus
dengan pekerjaannya (Macey et al, 2009; Balakrishan dan Masthan, 2013). Fokus
yang dimaksud sebagai komponen engagement adalah dimana setiap karyawan
pasti akan memberikan perhatian penuh pada pekerjaan yang ada didepan matanya
dan segara menyelesaikannya. Penyelesaian pekerjaan yang dimaksud adalah
perasaan secara psikologis dalam menyelesaikannya bukan secara fisik karena
pekerjaan itu sebuah tanggung jawab (Macey et al, 2009).
Fokus dari seorang karyawan akan pekerjaanya adalah dimana seorang
karyawan secara konsisten absorbed pada satu pekerjaan. Seorang karyawan yang
absorbed dengan pekerjaannya akan sulit berpindah atau tidak fokus pada
pekerjaanya karena sudah fokus dan konsisten dengan pekerjaannya (Jackson et al,
2003). Fokus dapat menjadi sarana pendorong engagement dalam pekerjaan dimana
lebih berkonsentrasi terhadap pekerjaan sehingga jika ada distraksi dari luar
karyawan tidak mudah terganggu.

2.1.1.3 Intensity
Fokus tidak dapat berdiri sendiri dalam melihat karyawan yang engage,
dimana intensitas juga menjadi salah satu komponen engagement. Intensitas dalam
hal ini adalah seberapa besar intensitas terhadap konsenstrasi dalam pekerjaanya
(Macey et al, 2009:22). Dalam hal ini juga intensitas dapat dijadikan sebagai
indikator level dari kemampuan karyawan dalam bekerja. Jadi dapat disimpulkan
jika karyawan memiliki kemampuan yang seimbang dengan tuntutan pekerjaannya

maka energi dan fokusnya akan diberikan penuh pada pekerjaanya (Macey et al,
2009). Sedangkan jika kemampuan karyawan melebihi tuntutan pekerjaan yang
diberikan maka karyawan tersebut akan bosan dan intensitasnya akan beralih pada
hal yang lain.
Khan juga berpendapat bahwa karyawan dengan rasa engage akan lebih
memberikan pikiran, emosi, dan kognitifnya pada pekerjaanya (Macey et al, 2009).
Jadi dapat dikatakan bahwa karyawan yang engage adalah karayawan yang
memiliki intensitas yang tinggi dengan memiliki fokus dan urgensi serta
menggunakan kemampuan dan pengetahuannya dalam menyelesaikan sebuah
pekerjaan.

2.1.1.4 Enthusiasm
Antusiasme adalah keadaan psikologis secara positif dimana dipengaruhi
oleh kebahagian dan energi positif, dalam hal ini energi positif merupakan salah
satu pendorong positive well-being dalam pekerjaan (Cascio & Boudreau, 2008).
Menurut Macey et al (2009) karyawan yang antusias akan menunjukkan
keaktifannya dalam bekerja dan akan terlibat dalam setiap pekerjaan. Karyawan
yang memiliki rasa engage yang tinggi akan memunculkan passion dalam setiap
pekerjaanya dimana perasaan itu dapat dikatakan sebagai antusiasme dalam
pekerjaan.

2.2. Internal Communication


Komunikasi internal dalam organisasi terjadi antara manajer dengan
karyawan (Mishra et al, 2014). Menurut Balakrishan dan Masthan (2013)
komunikasi internal adalah proses pertukaran informasi baik secara informal dan
formal antara pihak manajemen dan karyawan. Komunikasi dalam organisasi
berfokus untuk menghubungkan karyawan secara individu, kelompok, dan secara
organisasi untuk merealisasikan pemahaman yang sama (Hatch, 1964). Jadi
komunikasi internal dalam organisasi adalah sebagai penyambung dan penyedia
informasi bagi pegawai yang ada dan terlibat dalam organisasi.
Bill Trahant (2008) mengemukakkan bahwa ada korelasi positif antara
komunikasi karyawan yang efektif dengan performa perusahaan yang baik, dengan
demikian dapat dikatakan bahwa komunikasi yang efektif dalam perusahaan dapat
meningakatkan performa dari organisasi itu sendiri. Manajemen atau perusahaan
dapat meningkatkan komitmen dalam diri karyawan dengan meningkatkan kualitas
komunikasi dalam perusahaan (Guest and Conway, 2002). Heron (Balakrishan dan
Masthan, 2013) juga menambahkan bahwa sharing informasi dengan karyawan
dapat menciptakan kondisi lingkungan yang jujur dan terbuka dalam organisasi.
Setiap perusahaan diharapkan untuk meningakatkan kualitas komunikasi
internalnya, karena dapat meningkatkan performa organisasi khususnya
produktivitas dan profit (Gallup, 2012). Jadi, dapat disimpulkan bahwa komunikasi
internal sangat krusial untuk kesuksesan organisasi dan keberadaan organisasi itu
sendiri (Mishra et al, 2014). Komunikasi internal juga dapat menciptakan rasa
engage pada karyawan dan meningkatkan intelektual dan kreativitas dalam

organisasi (Mishra et al, 2014). Karyawan yang engage akan meningkatkan


keterlibatan karyawan dalam organisasi dimana dapat tercapai dengan
meningkatkan peran komunikasi internal (Vos and Shoemaker, 2005).

2.2.1 Komunikasi Internal dalam Organisasi


Kualitas dari komunikasi internal dalam organisasi berhubungan langsung
dengan beberapa dimensi dalam perusahaan (Vos and Shoemaker, 2005), yaitu:
1. Organizational Structure
Komunikasi internal dalam organisasi bisa terhambat karena
tanggung jawab dan power kurang jelas.
2. Organizational Culture and Leadership Style
Organisasi dapat menciptakan budaya keterbukaan dan lebih banyak
dialog

didalam

organisasi.

Kepempinan

juga

dibutuhkan

untuk

mendengarkan ide-ide dari karyawan dan memastikan setiap karyawan


memahami target organisasi dengan komunikasi internal.
3. Communicative Skills
Kemampuan komunikasi harus dimiliki setiap anggota organisasi
seperti pengetahuan tentang prosedur meeting, bagaimana cara membuat
presentasi yang baik, membuat sebuah laporan agar dapat meningkatkan
komunikasi internal organisasi.
4. Information System
Sistem informasi juga sebagai salah satu pendukung dari komunikasi
internal.

5. Organization Strategy
Strategi organisasi juga menjadi salah satu sarana komunikasi
internal dimana pihak manajemen memberikan informasi secara jelas
kepada karyawan.

2.3

Hubungan

Antara

Internal

Communication

dengan

Employee

Engagement
Pada periode sekarang ini masih sedikit penelitian mengenai internal
communication dengan employee engagement (Balakrishan dan Masthan, 2013).
Tuntutan bisnis dalam perusahaan sekarang ini semakin meningkat, oleh karena itu
memiliki dan mempertahankan karyawan yang cakap menjadi salah satu tugas
organisasi. Setiap organisasi sudah dibekali strategi yang baik untuk
mempertahankan karyawannya seperti dengan meningkatkan engagement.
Sebelumnya, peneliti telah menjelaskan mengenai bahwa salah satu cara
untuk meningkatkan rasa engagement yaitu dengan komunikasi internal yang baik
(Balakrishan dan Masthan, 2013). Teori ini teori dari Federman (2009:37-47),
terdapat 9 faktor yang mempengaruhi keterikatan karyawan di dalam perusahaan
yaitu: 1) kebudayaan (culture), 2) indikator sukses (success indicators), 3)
pengertian prioritas (priority setting), 4) komunikasi (communication), 5) inovasi
(innovation), 6) penguasaan bakat (talent enhancement), 7) peningkatan bakat
(talent enhancement), 8) insentif (incentive and acknowledgement), 9) pelanggan
(costumer-centered). Komunikasi internal yang baik dapat meningkatkan
keterbukaan dalam organisasi dan sebagai penyedia informasi bagi karyawan

(Heron, dalam Balakrishan dan Masthan, 2013). Komunikasi internal juga dapat
meningkatkan keterlibatan karyawan dalam organisasi (Adnjani dan Prianti, 2009),
karena dengan komunikasi internal yang baik dapat menciptakan suasana kerja
yang kondusif.

2.5 Hipotesis
Berdasarkan uraian teori diatas maka dapat disimpulkan rumusan hipotesis
pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
H0: Tidak ada pengaruh komunikasi internal terhadap employee
engagement.
Ha: Ada pengaruh Komunikasi internal terhadap employee engagement.

2.4 Kerangka Konseptual

Federman, 2009
1. Kebudayaan
2. Indikator
Sukses
3. Prioritas

Employee Engagement

4. Inovasi

(Y)

Karyawan
5. Manajemen
Bakat
6. Talent
Enhancement
7. Insentif
8. Insentif

9. Komunikasi

Komunikasi
Internal
(X)

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Tipe Penelitian


Penelitian ini menggunakan paradigma positivist social science (Neuman,
2006), yang merupakan metode yang terorganisasi untuk mengkombinasikan
logika deduktif dengan observasi empiris dari perilaku individu dengan tujuan
menemukan dan mengkonfirmasi sebuah kemumgkinan sebab akibat yang nantinya
dapat digunakan untuk memprediksi pola umum dari aktivitas manusia. Metode
penelitian ini akan menggunakan metode penelitian kuantitatif-eksplanatoris
(Neuman, 2006). Penulis memilih metode ini karena sesuai dengan tujuan
penelitian yaitu untuk mencari pengaruh komunikasi internal terhadap employee
engagement. Penelitian eksplanatoris merupakan penelitian yang bertujuan untuk
menguji prediksi dari teori yang sudah ada, memperkaya suatu teori, memperluas
teori dengan topik baru, mendukung atau menolak prediksi dan penjelasan,
menghubungkan permasalahan yang ada dengan prinsip umum, dan menentukan
penjelasan terbaik untuk menjelaskan sebuah konsep. Instrument pengumpulan
data yang digunakan adalah survey. Teknik survey merupakan salah satu penelitian
kuantitatif dimana penulis menanyakan pertanyaan yang sama kepada banyak
subjek kemudian mencatat jawaban mereka (Neuman, 2006).

3.2 Identifikasi Variabel Penelitian


Variabel adalah konsep yang telah operasional, yang dapat diamati dan
dapat diukur sehingga terlihat adanya variasi (Zainuddin, 2008). Sejalan dengan hal
itu Neuman (2003) menyatakan bahwa variabel adalah karakteristik atau fenomena
apapun yang dapat membedakan satu organisme dengan organisme yang lain, satu
situasi eksperimen dengan situasi eksperimen yang lain, atau suatu lingkungan
dengan lingkungan yang lain.
Dalam penelitian ini terdapat satu variabel bebas (independent variable) dan
satu variabel terikat (dependent variabel) yang akan diukur, yaitu :

1. Variabel bebas atau variabel independen (X)


Variabel bebas merupakan variabel yang dipandang sebagai sebab
munculnya variabel terikat (Kerlinger, 2006). Variabel inilah yang
menetukan arah atau perubahan tertentu pada variabel terikat, namun
berada kedudukan yang terlepas dari pengaruh variabel terikat. Variabel
bebas pada penelitian ini adalah komunikasi internal

2. Variabel terikat atau variabel dependen (Y)


Variabel terikat merupakan variabel yang diamati variasinya sebagai
hasil yang diprediksi berasal dari variabel bebas (Kerlinger, 2006).
Variabel ini juga disebut variabel output, konsekuen atau variabel yang
dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel

independen. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah keterikatan


employee engagement.

3.3 Definisi Operasional Variabel Penelitian


Neuman menyatakan bahwa definisi operasional adalah sebuah definisi
yang spesifik mengenai suatu instrumen pengukuran. Fungsi dari definisi
operasional itu sendiri adalah agar variabel dalam penelitian lebih mudah untuk
diukur dan diamati, sehingga terkadang definisi operasional merujuk pada
indikator-indikator tertentu dalam suatu variabel (Zainuddin, 2008). Dalam
penelitian ini, definisi operasional dari variabel-variabel adalah sebagai berikut :

3.3.1 Internal Communication


Komunikasi internal dalam organisasi terjadi antara manajer dengan
karyawan (Mishra et al, 2014). Menurut Balakrishan dan Masthan (2013)
komunikasi internal adalah proses pertukaran informasi baik secara informal dan
formal antara pihak manajemen dan karyawan. Komunikasi dalam organisasi
berfokus untuk menghubungkan karyawan secara individu, kelompok, dan secara
organisasi untuk merealisasikan pemahaman yang sama (Hatch, 1964). Jadi
komunikasi internal dalam organisasi adalah sebagai penyambung dan penyedia
informasi bagi pegawai yang ada dan terlibat dalam organisasi.

3.3.2 Employee Engagement


Menurut Schaufeli (2002), employee engagement dapat dikatakan sebagai
keadaan mental yang positif dari karyawan terhadap pekerjaanya. Keadaan mental
yang positif tersebut dapat ditandai dengan salah satunya adalah dedikasi terhadap
pekerjaanya. Engagement bukanlah sebuah tahap yang spesifik dan bersifat
sementara, namun engagement mengacu pada keadaan yang bersifat menetap dan
berada pada tingkat afeksi dan kognitif. Definisi ini juga didukung oleh Khan
(1990) bahwa seorang karyawan akan terikat secara pikiran, fisik, dan emosional
dengan pekerjaanya (Albrecht, 2010:21).

3.4 Subjek Penelitian


3.4.1 Populasi
Populasi didefinisikan sebagai keseluruhan objek yang akan diteliti
(Neuman, 2006). Selain itu populasi dapat didefinisikan sebagai kelompok subjek
yang hendak dikenai generalisasi hasil penelitian (Azwar, 2010). Azwar (2010)
juga menuliskan bahwa sebagai populasi, kelompok subjek ini harus memiliki ciriciri atau karakteristik-karakteristik bersama yang membedakan dari kelompok
subjek yang lain.
Populasi penelitian ini adalah karyawan yang bekerja di perusahaan X di
Surabaya.

3.4.2 Metode Pengambilan Sampel


Menurut Azwar (2010) sampel adalah sebagian dari populasi. Sampel harus
memiliki ciri-ciri yang sama dengan populasi. Hal ini dikarenakan kesimpulan
penelitian didasarkan pada data kelompok populasi. Maka dari itu, sangatlah
penting untuk menggunakan sampel yang merepresentasikan populasi. Suatu
metode pemilihan sampel yang ideal mempunyai sifat-sifat seperti:
1. Dapat menghasilkan gambaran yang dapat dipercaya dari seluruh populasi
yang diteliti.
2. Dapat menentukan presisi dari hasil penelitian dengan menentukan
penyimpangan baku (standar) dari tasiran yang diperoleh.
3. Sederhana sehingga mudah dilaksanakan.
4. Memberikan keterangan sebanyak mungkin dengan biaya serendah-

rendahnya.
Teknik pengambilan sampel yang akan digunakan oleh penulis adalah
teknik cluster sampling. Metode ini merupakan salah satu jenis pemilihan sampel
secara acak yang menggunakan beberapa tingkatan dan biasanya digunakan untuk
mencapai daerah penelitian yang luas (Neuman, 2006). Populasi awal akan dibagi
kedalam beberapa subpopulasi yang memiliki kriteria sama dengan populasi.
Bagian inilah yang disebut dengan cluster. Setelah itu, penulis akan memilih secara
acak cluster manakah yang akan digunakan untuk penelitian.

3.5 Teknik Pengumpulan Data


Agar data yang dibutuhkan untuk penelitian ini sesuai dengan tujuan
penelitian, penelitian ini akan menggunakan metode kuisioner. Kuesioner adalah
suatu dokumen yang berisikan pertanyaan-pertanyaan dan jenis item lainnya yang
dirancang untuk memperoleh informasi yang tepat untuk dianalisis (Neuman,
2003). Metode ini dipilih dengan anggapan berikut ini (Hadi, 2000):
1. Subjek merupakan orang-orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri
2. Apa yang dinyatakan oleh subjek kepada penulis adalah benar dan dapat
dipercaya
3. Interpretasi subjek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya
adalah sama dengan penulis
Skala Likert merupakan bagian dari skala respon. Penskalaan respon adalah
prosedur penempatan ketujuh jawaban pada suatu kontinum kualitatif sehingga titik
angka pilihan jawaban tersebut menjadi nilai atau skor yang diberikan masingmasing jawaban (Azwar, 2004). Penskalaan model Likert merupakan metode
penskalaan pernyataan sikap yang menggunakan distribusi respon sebagai dasar
penentuan nilai skalanya (Azwar, 2010). Untuk melakukan penskalaan dengan
metode ini, sejumlah pernyataan sikap telah ditulis berdasarkan kaidah penulisan
pernyataan dan didasarkan pada rancangan skala yang telah ditetapkan.

3.5.1. Instrumen Employee Engagement


Pada penelitian ini, penulis menggunakan alat ukur Utrecht Work
Engagement Scale dari Bakker dan Schaufeli (2003). Skala UWES mengukur

ketiga dimensi dari work engagement dalam teori Bakker dan Schaufeli (2003),
yaitu vigor, dedikasi dan absorption. Alat ukur ini terdiri dari 17 item dan memiliki
dua versi pendek yang terdiri dari sembilan dan enam item. Penulis memilih untuk
menggunakan versi aslinya yang berjumlah 17 item karena versi ini memiliki
reliabilitas yang lebih tinggi dibandingkan kedua versi pendeknya.
Proses adaptasi alat ukur ini dimulai saat penulis menerjemahkan skala
UWES milik Bakker dan Schaufeli (2003). Skala ini menggunakan bahasa Belanda
sebagai bahasa aslinya. Namun, skala ini telah diterjemahkan kedalam berbagai
bahasa seperti, Inggris, Spanyol, Africa, Jerman, Perancis dan juga Jepang. Penulis
menggunakan skala dalam bahasa Inggris sebagai skala asli. Penulis
menerjemahkan item tersebut ke dalam Bahasa Indonesia dibantu oleh penerjemah
berpengalaman. Setelah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, item-item
dalam skala tersebut dilakukan back translation yang bertujuan untuk memeriksa
kesesuaian arti terjemahan. Setelah proses ini selesai, penulis mencari beberapa
orang rater untuk melihat kesesuaian penggunaan kata dalam terjemahan yang ada.
Jika terdapat kata-kata yang kurang sesuai, penulis melakukan revisi terlebih
dahulu. Skala UWES ini menggunakan skala Likert dengan tujuh pilihan jawaban,
yaitu:
1. Tidak Pernah

:0

2. Hampir Tidak Pernah

:1

3. Jarang

:2

4. Kadang-kadang

:3

5. Sering

:4

6. Sangat Sering

:5

7. Selalu

:6

Skala ini berlaku untuk seluruh item dalam skala UWES. Hal ini
dikarenakan seluruh item dalam skala ini bersifat favorable. Tingkat employee
engagement pada subjek dapat diketahui dengan cara mencari nilai rata-rata dari
nilai total seluruh item yang ada. Semakin tinggi nilai subjek, semakin tingi pula
tingkat employee engagementnya (Schaufeli, dkk, 2002; Schaufeli & Bakker,
2004).
Tabel 3.1. Blue Print Skala UWES
No. Dimensi

Nomor Item

Jumlah Persentase

1.

Vigor

1,4,8,12,15,17

35,5%

2.

Dedication

2,5,7,10,13

29,4%

3.

Absorption 3,6,9,11,14,16

35,3%

Jumlah

17

100%

3.5.2 Instrumen Internal Communication


Instrumen untuk pengukuran internal communication diadaptasi dari
(Balakrishan dan Masthan, 2013) yang diterjemahkan dengan bahasa Indonesia.

3.7 Analisis Data

Analisis data merupakan bagian yang penting dalam metode ilmiah, karena
dengan analisa data tersebut dapat dimaknai dan berguna untuk menjawab masalah
dalam penelitian serta menguji. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan
analisis korelasi dimana berfungsi untuk membuktikan hipotesis yang ada. Dua
variabel dikatakan memiliki korelasi saat terdapat sebuah hubungan yang dapat
diprediksi antara keduanya (Clark-Carter, 2004). Penggunaan metode analisis
korelasional ini sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu untuk mengetahui
pengaruh internal communication terhadap employee engagement.
Penulis akan melakukan perhitungan statistik menggunakan SPSS.
Penerimaan hipotesis akan didasarkan pada kriteria sebagai berikut :
a. Jika taraf signifikansi < 0,5 maka Ho ditolak dan Ha diterima
b. Jika taraf signifikansi > 0,5 maka Ho diterima dan Ha ditolak

DAFTAR PUSTA

Adnjani, M. D. dan Prianti, D. D. (2009). Internal Communication Towards


Employee

Engagement

Inside

Sultan

Agung

Islamic

University

(UNINSULA). Jurnal Ilmiah Komunikasi (Makna) Vol. 1, 1-14.


Akbar, M. R. (2013). Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Employee
Engagement (Studi Pada Karyawan Pt.Primatexco Indonesia Di Batang).
Journal of Social and Industrial Psychology 2, 1-9.
Albrecht, S. L. (2010). Handbook of Employee Engagement : Perspectives, Issues,
Research and Practice. Massachusetts: Edwar Elgar Publishing, Inc.
Azwar, S. (2011). Penyusunan skala Psikologi, Edisi I. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Balakrishan, C and Masthan, D. (2013). Impact Of Internal Communication On
Employee Engagement: A Study At Delhi International Airport.
International Journal of Scientific and Research Publication, Volume 3,
Issue 8, 1-13.
Chong, M. (2007). The Role Of Internal Communication And Training In Infusing
Corporate Values And Delivering Brand Promise : Singapore Airlines's
Experience. Corporate Reputation Review, 201-212.
Clark-Carter, D. (2004). Quantitative Psychological Research: A Student's
Handbook, 2nd Edition. East Sussex: Psychology Press.
David, Susan, Ilona Boniwell, Amanda Conley Ayers. (2013). The Oxford
Handbook of Happiness. Oxford: Oxford University Press.

Federman, B. (2009). Employee Engagement : A Roadmap For Creating Profits,


Optimizing Performance, and Increasing Loyalty. San Fransisco: JosseyBass A Wiley Imprint.
Friedle, J. and Vercic, A. T. . (2011). Media References Of Digital Natives Internal
Communication: A Pilot Study. Public Relations Review, 8486.
Gallup.

(2012).

Employee

Engagement.

Diakses

dari

http://www.gallup.com/consulting/52/employee-engagement.aspx
Guest, E. D. and Conway, N. (2002). Communicating The Psychological Contract:
An Employer Perspective. Human Resources Management Journal, 22-38.
Hatch, A. S. (1964). Improving Boss-Man and Man-Boss Communication
Managers Role in Organizational Communication. Psychological Review.
100 (68-90)
Jackson, S. E., & Schuler, R. S. (2003). Managing Human Resources Through
Strategic Partnership (8th ed.) (p. 286). Cincinnati, OH: South-Western.
Karanges, E, Johnston K., Beatson A., Lings I. (2015). The Influence Of Internal
Communication On Employee. Public Relations Review 41, 129-131.
Kerlinger. (2006). Asas-Asas Penelitian Behavioral. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Larkin, T. J. dan S. Larkin. (1994). Communicating Change, Winning Support For
New Business Goals. New York: McGraw-Hill.
Mangkunegara, A. P. (2005). Perilaku dan Budaya Organisasi, Cetakan Pertama.
Bandung: PT. Refika Aditama.

Mishra, K., Boynton, L., Mirsha, A. (2014). Driving employee engagement: The
expanded role of internal communications. International Journal of
Bussiness Communication Vol. 51, 183-202
Neuman, W.L. (2006). Social research methods: qualitative and quantitative
approach (4th ed.). New York: Allyn & Bacon.
Peters, T., dan Waterman, R. H. (1982). In search of excellence: Lessons from
America's best-run companies. London: Harper & Row.
Pounsford, M. (2007). Using Storytelling, Conversation And Coaching To Engage.
Strategic Communication Management, 32-35.
Schaufeli, W. B., & Bakker, A. B. (2004). Job demands, job resources, and their
relationship with burnout and engagement: A multi-sample study. Journal
of Organizational Behavior, 293315.
Stephania, M. (2012). Hubungan Persepsi Perawat terhadap Gaya kepemimpinan
Transformasional dan Keterikatan Pekerja (Employee Engagement) di Unit
Rawat Inap Rumah Sakit Puri Mandiri Kedoya. Jakarta: Tidak
dipublikasikan.
Trahant, B. (2008). Six Communication Secrets of Top-Performing Organizations.
The Public Managers
Vos, M., Shoemaker, H. (2005). Integrated Communication: Concern, internal and
marketing communication. Netherlands: LEMMA
Zainudin, M. M. . (2008). Metodologi Penelitian Pendekatan Praktis dan Aplikatif.
Bandung: PT. Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai