Anda di halaman 1dari 16

DAYA DIURETIK TUMBUHAN BELALAI GAJAH

(Clinacanthus nutans (Burm.fil.) Lindau)

Ruqiah Ganda Putri Panjaitan, Afandi, Syarifah Ditha Aprilia


Pendidikan Biologi FKIP Universitas Tanjungpura Pontianak
Email: ruqiah.gpp@fkip.untan.ac.id

Abstrak

Latar belakang: Pemanfaatan Clinacanthus nutans dipercaya oleh masyarakat Tionghoa


dapat mengatasi hipertensi, sehingga untuk membuktikan ada tidaknya daya tersebut pada
Clinacanthus nutans adalah dengan melakukan uji aktivitas diuretik. Tujuan: untuk
mengetahui adanya daya diuretik pada Clinacanthus nutans. Metode: Pengujian ini
menggunakan tikus putih jantan galur Sprague Dawley dengan berat badan 200-250 gram
yang berumur 2-2.5 bulan sebanyak 35 ekor tikus yang dibagi menjadi 7 kelompok.
Kelompok pertama atau tanpa perlakuan, kelompok kedua dengan pemberian aquades 2.8
ml/200 g berat badan, kelompok ketiga dan keempat dengan pemberian furosemid 0.72
mg/200 g berat badan dan 1.44 mg/200 g berat badan, kelompok kelima, keenam dan
ketujuh dengan pemberian ekstrak Clinacanthus nutans dosis 75 mg/kg berat badan, 150
mg/kg berat badan, dan 300 mg/kg berat badan. Pengujian ini menggunakan metode
Cumming. Pengumpulan urin dilakukan selama 24 jam, kemudian diukur volume urin, pH
urin, serta kadar natrium dan kalium dalam urin tikus. Hasil penelitian: hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pada tanpa perlakuan, pemberian aquades, furosemid 0.72 mg/200 g
berat badan dan 1.44 mg/200 g berat badan, pemberian ekstrak Clinacanthus nutans 75
mg/kg berat badan, 150 mg/kg berat badan, dan 300 mg/kg berat badan didapat volume urin
secara berturut-turut 13.01±0.07 ml; 13.77±0.17 ml; 15.78± 0.39 ml; 18.13±0.23 ml;
14.05±0.06 ml; 16.78±0.12 ml; 17.98±0.09 ml (p<0.5). Hasil pH urin secara berturut-turut
7.02±0.04; 7.11±0.02; 7.21±0.02; 7.58±0.18; 7.15±0.03; 7.37±0.03; 7.44±0.02 (p>0.5).
Hasil kadar natrium pada urin secara berturut-turut 1.06±0.03 mEq/ml; 1.14±0.03 mEq/ml;
2.17±0.09 mEq/ml; 4.01±0.069 mEq/ml; 1.34±0.08 mEq/ml; 1.49±0.02 mEq/ml; 1.77 ±0.05
mEq/ml (p<0.5). Adapun hasil kadar kalium pada urin secara berturut-turut 0.5±0.03 mEq/ml;
0.57±0.018 mEq/ml; 0.98±0.023 mEq/ml; 1.88±0.04 mEq/ml; 0.6±0.02 mEq/ml; 0.76±0.021
mEq/ml; 0.87±0.032 mEq/ml (p<0.5). Kesimpulan: Dapat disimpulkan bahwa ekstrak
Clinacanthus nutans pada dosis 300 mg/kg berat badan memiliki kemampuan meningkatkan
volume urin yang mendekati volume urin dengan pemberian furosemid 1.44 mg/200 g berat
badan. Ekstrak Clinacanthus nutans pada dosis 75 mg/kg berat badan memiliki pH urin
yang mendekati pH urin dengan pemberian aquades dan furosemid 0.72 mg/200 g berat
badan. Pada pemberian ekstrak Clinacanthus nutans pada dosis 75 mg/kg berat badan
memiliki kadar kalium pada urin yang mendekati kadar kalium urin dengan pemberian
aquades.

Kata Kunci: Clinacanthus nutans, Daya Diuretik, Urin

PENDAHULUAN
Hipertensi merupakan faktor risiko utama untuk penyakit kardiovaskular dan penyakit ginjal
kronis, penyebab utama kematian secara global (Pulipati, Mares, & Bakris, 2021). Hipertensi
atau tekanan darah tinggi merupakan suatu keadaan dimana setelah dua kali pengukuran
secara terpisah terjadi peningkatan tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan/atau diastoliknya
≥90 mmHg (Li et al., 2018; Nuraini, 2015; Mills, Stefanescu, He, 2020). Jika dibiarkan maka
penyakit ini dapat mengganggu fungsi dari organ yang lainnya seperti jantung dan ginjal
yang termasuk organ vital (Paramita et al., 2017). Gejala yang dapat ditimbulkan pada
penderita hipertensi yaitu nyeri dada, masalah penglihatan, telinga berdenging, kelelahan,
kebingungan, sakit kepala, rasa berat di tengkuk, vertigo, mimisan, dyspnea/sesak napas,
peningkatan frekuensi urin, mual, sleep apnea, detak jantung tidak teratur (Hafsa et al., 2018;
Saputra & Fitria, 2016). Faktor penyebab terjadinya hipertensi yaitu usia, riwayat keluarga,
kelebihan berat badan/obesitas, tidak aktif secara fisik, menggunakan tembakau, terlalu
banyak garam (natrium) dalam makanan yang dikonsumsi, terlalu sedikit kalium dalam
makanan yang dikonsumsi, terlalu banyak mengkonsumsi alkohol (Sharma, Beria, Gupta,
Manokaran, & Reddy, 2019). Hipertensi sering terjadi pada penderita penyakit ginjal kronis
(Ku, Lee, Wei, & Weir, 2019).

Penanggulangan hipertensi sangat diperlukan untuk mengontrol tekanan darah dan mencegah
terjadinya komplikasi. Penanggulangan hipertensi dapat dilakukan dengan non-farmakologis
seperti upaya penurunan berat badan dan pembatasan asupan garam. Adapun penanggulangan
secara farmakologis seperti terapi dengan obat antihipertensi, salah satunya yaitu diuretika
(Saputra & Fitria, 2016). Diuretik merupakan obat yang dapat meningkatkan produksi urin
karena adanya ekskresi air dan elektrolit oleh ginjal (Kalabharathi et al., 2015; Kehrenberg &
Bachmann, 2022). Terjadinya penumpukan cairan dalam jaringan tubuh disebabkan
ketidakmampuan ginjal melepas natrium dan air yang dikeluarkan bersamaan. Diuretik dapat
digunakan untuk mengobati edema, gagal jantung, hipertensi (Kehrenberg & Bachmann,
2022). Diuretik dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu diuretik loop, diuretik
thiazide, dan diuretik hemat kalium (Al-Saadi, Al-Kharusi, & Abdulrahman, 2020; Ellison,
2019; Pareek, Ram, & Messerli, 2022).

Diuretik digunakan untuk memperbaiki komposisi dan volume cairan dalam tubuh, yang
mengatasi hipertensi (Elmahdy, Allehyani, Shehata, & Alanazi, 2021; Mulyani, Rosa, &
Huriah, 2015). Mekanisme kerja dari obat diuretik dalam menurunkan tekanan darah yaitu
dengan membantu fungsi ginjal dalam menyaring, membuang garam dan air, yang nantinya
akan mengurangi volume cairan di dalam tubuh sehingga menurunnya juga tekanan darah
(Pratiwi, 2017; Saputra & Fitria, 2016). Hipertensi umumnya diobati dengan menggunakan
obat-obatan sintetis seperti furosemid (Nurihardiyanti, Yuliet, & Ihwan, 2015; Pathmanathan,
Wardana, Widianti, 2019; Susilowati, 2019; Susilowati & Nur’aini, 2022). Furosemid
merupakan salah satu diuretik loop yang dapat menurunkan reabsorbsi natrium yang
dihasilkan dari ginjal. Furosemid dapat menghambat co-transporter Na-K-Cl luminal di
lengkung Henle dengan cara mengikat ke saluran transportasi klorida. Dalam hal ini,
peningkatan kadar Na, Cl, dan K tetap dalam urin (Tamas et al., 2022). Penggunaan
furosemid dalam jangka panjang diketahui dapat menyebabkan gangguan keseimbangan
elektrolit (kehilangan natrium dan kalium yang berlebihan), penipisan volume sehingga
kemungkinan dapat menyebabkan serangan jantung aritmia dan hipotensi, hipomagnesemia
pada beberapa pasien terutama pada pasien dengan defisiensi magnesium, glucose
intolorence juga mempunyai peran penting dalam proses terjadinya hiperglikemia (Eid et al.,
2020; Lestari & George, 2019; Swandayani, 2015).

Selain penanggulangan secara non-farmakologis dan farmakologis, adapun penanggulangan


hipertensi dengan terapi menggunakan obat herbal yaitu menggunakan bahan alami seperti
tanaman obat secara tradisional maupun tanaman yang sudah teruji secara klinis/preklinis
(Disi, Anwar, & Eid, 2016; Saputra & Fitria, 2016; Swastini, 2021). Pada penelitian ini
pemanfaatan tumbuhan yang berkhasiat obat dapat dilihat dari kebiasaan masyarakat
Tionghoa dalam memanfaatkan tumbuh-tumbuhan untuk hipertensi dengan memanfaatkan
tumbuhan belalai gajah (Clinacanthus nutans). Clinacanthus nutans termasuk dalam anggota
famili Acanthaceae. Tanaman ini populer dan tersebar luas di negara tropis seperti Thailand,
Malaysia, Indonesia, Afrika, Brasil, dan Amerika Tengah (Alam et al., 2016; Yoe, Yap, Koh,
Ng, & Chye, 2016).

Tumbuhan belalai gajah dipercaya masyarakat Tionghoa sebagai ramuan obat tradisional.
Masyarakat Tionghoa dikenal sejak zaman dahulu sudah memanfaatkan tumbuhan yang
berkhasiat obat untuk pengobatan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Tedi, Fadly, & Dahlia (2017) bahwa telah lebih dari 3000 tahun, obat tradisional Cina
menjadi bagian dari budaya dan telah puluhan abad menyebar luas keseluruh penjuru dunia,
salah satunya yaitu di Indonesia. Adapun dalam penelitian Yassir & Asnah (2018); Xiong,
Sui, Ahmed, Wang, & Long (2020) bahwa pengguna tumbuhan obat terbesar di dunia salah
satunya yaitu negara Indonesia dan negara Asia lainnya seperti India dan Cina yang telah
berlangsung ribuan tahun lalu. Secara ilmiah tumbuhan belalai gajah memiliki potensi dalam
pengobatan seperti antikanker, antidiabetes, antibakteri, anti-inflamasi, anti-peradangan saraf,
antimikroba, antitumor dan antioksidan, antibiotik dan antiapoptosis (Afizan et al., 2019;
Azam et al., 2020; Azemi, Mokhtar, & Rasool, 2020; Hanafiah et al., 2019; Kong & Sani,
2018; Lim et al., 2020; Lin, Chen, Lung, & Chen, 2021; Ong, Herr, Sun, & Lin, 2022; Panya
et al., 2020).

Penelitian sebelumnya mengenai pengujian Clinacanthus nutans menurut Dewinta, Mukono,


& Mustika (2020) mengatakan bahwa daun dari Clinacanthus nutans dengan dosis 75 mg/kg
berat badan secara signifikan pada tikus galur Wistar model diabetes dapat menurunkan kadar
glukosa darah. Adapun menurut Nurulita, Dhanutirto, & Soemardji (2008) mengatakan
bahwa ekstrak air daun Clinacanthus nutans dengan dosis 150 mg/kg berat badan dapat
mengakibatkan turunnya kadar glukosa darah pada mencit diabetes dengan induksi aloksan.
Sehingga dapat menjadi penunjang penggunaan sebagai antidiabetes di masyarakat. Menurut
Nizar, Andriane, & Trisnadi (2022) bahwa ekstrak air daun Clinacanthus nutans dengan
dosis 75 mg/kgBB efektif dalam menurunkan kadar glukosa darah pada tikus model diabetes.

Penggunaan obat tradisional ini dinilai lebih aman untuk digunakan jika dibandingkan
dengan obat modern yang beredar di pasaran karena tumbuhan obat yang bersifat alami tidak
mengandung zat kimia berbahaya seperti zat-zat yang bisa bersifat toksik atau racun pada
tubuh sehingga obat tradisional untuk mengatasi hipertensi memiliki efek samping yang
relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan efek samping dari obat modern untuk mengatasi
hipertensi dan juga mudah diperoleh di sekitar lingkungan tempat tinggal bahkan
dibudidayakan di rumah dan pengolahannya juga tidak rumit sehingga dapat diolah sendiri di
rumah tanpa memerlukan peralatan khusus, sehingga tidak memerlukan biaya yang besar.
Hal ini didukung penelitian Ekor (2014); Moreira, Teixeira, Monteiro, Oliveira, &
Paumgartten (2014); Singh, Mishra, Singh, Goswami, Singh, & Tiwari (2015) menyatakan
bahwa pemanfaatan tumbuhan obat untuk pengobatan hipertensi sangat umum digunakan
karena tidak ada efek sampingnya, mudah didapat, dan biaya yang murah.

Dalam penelitian ini peneliti melakukan uji aktivitas diuretik tumbuhan belalai gajah untuk
membuktikan ada tidaknya kandungan pada tumbuhan belalai gajah yang dapat mengatasi
hipertensi.

BAHAN DAN METODE

Tahap ekstraksi
Tumbuhan belalai gajah dibeli di pasar tradisional yang ada di Pontianak. Daun dan batang
tumbuhan belalai gajah yang telah dibersihkan, disiangi, dan didapat berat basahnya 2.743
kg. Selanjutnya, daun dan batang tumbuhan belalai gajah dikeringkan pada ruangan terbuka
dan didapat berat kering sampel 486 gram. Tumbuhan belalai gajah kemudian diekstraksi
secara maserasi menggunakan etanol teknis 96%. Proses ekstraksi dilakukan selama 3 x 24
jam dengan penggantian setiap 24 jam, kemudian maserat hasil perendaman sampel disaring
menggunakan kertas saring sehingga didapat maserat pertama, kedua, dan ketiga. Ketiga
maserat tersebut digabung dan dipekatkan dan dari hasil pemekatan diperoleh berat ekstrak
53.572 gram dengan rendemen 11.02%.

Hewan coba
Tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley dengan berat badan 200-250
gram yang berumur 2-2.5 bulan sebanyak 35 ekor tikus diperoleh dari laboratorium Pusat
Studi Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sebelum percobaan, semua
tikus diaklimatisasi selama 7 hari dengan diberi pakan standar dan minum ad libitum. Setelah
dilakukan aklimatisasi kemudian semua tikus diamati kesehatannya dengan cara menimbang
bobot badan setiap harinya di waktu yang sama. Penelitian ini telah mendapat persetujuan
Komisi Etik Penelitian Kesehatan Universitas Respati, Yogyakarta dengan diterbitkannya
Ethical Clearance nomor 214.3/FIKES/PL/X/2021.

Pengujian aktivitas diuretik tumbuhan belalai gajah


Tikus yang digunakan dibagi menjadi 7 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 5
ekor tikus. Kelompok I tidak diberi sediaan uji (tanpa perlakuan). Kelompok II yaitu
pemberian aquades dengan dosis 2.8 ml/200 g berat badan. Kelompok III yakni pemberian
furosemid dengan dosis 0.72 mg/200 g berat badan. Dosis pemberian furosemid mengacu
pada Wardani (2016). Kelompok IV dengan pemberian furosemid dosis 1.44 mg/200 g berat
badan. Kelompok V, VI, dan VII dengan pemberian ekstrak tumbuhan belalai gajah dengan
dosis 75 mg/kg berat badan, 150 mg/kg berat badan, dan 300 mg/kg berat badan. Dosis
pemberian ekstrak tumbuhan belalai gajah mengacu pada (Dewinta et al., 2020). Pengujian
diuretik mengikuti metode Cumming (Panjaitan & Bintang, 2014). Tikus dipuasakan selama
±18 jam, kemudian ditimbang bobot badannya. Pemberian sediaan uji didahului dengan
pemberian aquades sebanyak 4 ml/200 g berat badan per oral (loading dose). Setelah 30
menit pemberian loading dose, diberikan sedian uji sesuai dengan kelompoknya. Semua
kelompok perlakuan diberikan secara oral pada masing-masing tikus dengan menggunakan
sonde lambung. Setelah pemberian sedian uji, tikus dimasukkan ke dalam kandang individu
(1 kandang 1 ekor tikus). Parameter yang diukur adalah volume urin, pH urin, kadar natrium,
dan kadar kalium.

Pengukuran volume urin, pH urin, kadar natrium, dan kadar kalium


Pengumpulan urin dilakukan selama 24 jam, kemudian diukur volume urin, pH urin, kadar
natrium, dan kadar kalium pada urin tikus. Untuk penentuan pH urin dengan menggunakan
pH meter. Adapun penentuan kadar natrium dan kalium dalam urin diukur dengan
menggunakan Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) pada panjang gelombang 589.0 nm
untuk natrium dan 766.5 nm untuk kalium. Prosedurnya bagaimana (cantumkan, urin
diapaka???hubungi Pak Yuli minta prosedurnya).

Analisis Data
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 7 perlakuan
dengan 5 ulangan. Data urin dianalisis menggunakan ANOVA, dilanjutkan data yang berbeda
nyata pada taraf 5% diuji lanjut dengan Duncan New Multiple Range Test menggunakan
program SPSS versi 25.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Diuretik merupakan obat yang dapat meningkatkan laju produksi urin, ekskresi natrium,
mengatur volume dan komposisi cairan dalam tubuh. Diuretik digunakan dalam berbagai
penyakit seperti gagal jantung kongestif, sindrom nefritik, sirosis, gagal ginjal, hipertensi, dan
toxemia (Kateel, Rai, Kumar, 2014). Aktivitas dan aksi dari diuretik dapat ditentukan
berdasarkan pengeluaran urin (Fekadu et al., 2017). Parameter yang digunakan dalam
penelitian aktivitas diuretik ekstrak tumbuhan belalai gajah ini adalah volume, pH, kadar
natrium, dan kadar kalium dalam urin tikus, dan rata-rata volume, pH, kadar natrium, dan
kadar kalium urin tikus disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Rata-Rata dan Standar Deviasi Volume, pH, Kadar Natrium, dan Kadar Kalium
Urin Tikus Tanpa Perlakuan, Aquades (2.8 ml/200 g berat badan), Furosemid (0.72 mg/200 g
berat badan dan 1.44 mg/200 g berat badan), Ekstrak Tumbuhan Belalai Gajah (75 mg/kg
berat badan, 150 mg/kg berat badan, dan 300 mg/kg berat badan).
Parameter
Kelompok Volume urin pH urin Na urin K urin
(ml) (mEq/ml) (mEq/ml)
Tanpa Perlakuan 13.01a ± 0.07 7.02a ± 0.04 1.06a ± 0.03 0.5a ± 0.03
Aquades 2.8 ml/200 g berat badan 13.77b ± 0.17 7.11ab ± 0.02 1.14b ± 0.03 0.57b ± 0.018
Furosemid 0.72 mg/200 g berat badan 15.78d ± 0.39 7.21b ± 0.02 2.17f ± 0.09 0.98e ± 0.023
Furosemid 1.44 mg/200 g berat badan 18.13f ± 0.23 7.58d ± 0.18 4.01g ± 0.069 1.88f ± 0.04
Ekstrak Tumbuhan Belalai 14.05c ± 0.06 7.15b ± 0.03 1.34c ± 0.08 0.6b ± 0.02
Gajah 75 mg/kg berat badan
Ekstrak Tumbuhan Belalai 16.78e ± 0.12 7.37c ± 0.03 1.49d ± 0.02 0.76c ± 0.021
Gajah 150 mg/kg berat badan
Ekstrak Tumbuhan Belalai 17.98f ± 0.09 7.44c ± 0.02 1.77e ± 0.05 0.87d ± 0.032
Gajah 300 mg/kg berat badan
Keterangan: - Angka yang tertera setelah simbol ± menunjukkan nilai standar deviasi (SD).

- Angka yang diikuti dengan huruf berbeda (a,b,c,d,e,f,g) menunjukkan beda nyata
berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%

Hasil volume urin tikus pada pemberian ekstrak tumbuhan belalai gajah dengan dosis 300
mg/kg berat badan sebesar 17.98 ml. Hasil volume urin dari perlakuan tersebut mendekati
hasil volume urin yang dihasilkan pada kelompok pemberian furosemid dosis 1.44 mg/200 g
berat badan sebesar 18.13 ml. Kelompok pada pemberian ekstrak tumbuhan belalai gajah
dengan dosis 75 mg/kg berat badan dan 150 mg/kg berat badan sebesar 14.05 ml dan 16.78
ml. Pada pemberian furosemid dosis 0.72 mg/200 g berat badan sebesar 15.78 ml. Sedangkan
volume urin tanpa perlakuan dan aquades dosis 2.8 ml/200 g berat badan sebesar 13.01 ml
dan 13.77 ml.
Berdasarkan analisis statistik yang didapat bahwa volume urin pada kelompok tanpa
perlakuan, pemberian aquades 2.8 ml/200 g berat badan, furosemid dosis 0.72 mg/200 g berat
badan, ekstrak tumbuhan belalai gajah dengan dosis 75 mg/kg berat badan dan 150 mg/kg
berat badan berbeda nyata (p<5%). Akan tetapi volume urin pada kelompok ekstrak
tumbuhan belalai gajah dengan dosis 300 mg/kg berat badan jika dibandingkan dengan
kelompok pemberian furosemid dosis 1.44 mg/200 g berat badan tidak berbeda nyata
(p>5%). Sehingga, diduga bahwa sediaan ekstrak tumbuhan belalai gajah dosis 300 mg/kg
berat badan tersebut memiliki aktivitas diuretik loop (diuretik kuat) sebagaimana halnya
furosemid dosis 1.44 mg/200 g berat badan. Menurut Nurihardiyanti, Yuliet, & Ihwan (2015),
furosemid merupakan obat diuretik yang sering digunakan sebagai standar pembanding pada
pengujian aktivitas diuretik.

Rata-rata pH urin pada kelompok tanpa perlakuan, aquades 2.8 ml/200 g berat badan,
furosemid 0.72 mg/200 g berat badan, dan ekstrak tumbuhan belalai gajah 75 mg/kg berat
badan, saling mendekati dengan kategori pH urin asam. Sedangkan pH urin pada kelompok
ekstrak tumbuhan belalai gajah dosis 150 mg/kg berat badan dan 300 mg/kg berat badan
mendekati pH urin pada kelompok furosemid dosis 1.44 mg/200 g berat badan dengan
kategori pH urin normal. Menurut Nurihardiyanti, Yuliet, & Ihwan (2015), nilai derajat
keasaman (pH) urin pada tikus dapat dikatakan normal jika berada di antara 7.30-8.

Berdasarkan analisis statistiknya, pH urin tikus pada kelompok aquades 2.8 ml/200 g berat
badan tidak berbeda nyata dengan tanpa perlakuan, furosemid dosis 0.72 mg/200 g berat
badan, dan ekstrak tumbuhan belalai gajah dengan dosis 75 mg/kg berat badan. Akan tetapi
pH urin tikus pada kelompok furosemid dosis 0.72 mg/200 g berat badan dan ekstrak
tumbuhan belalai gajah dengan dosis 75 mg/kg berat badan berbeda nyata (p<5%) dengan
kelompok tanpa perlakuan. Pada kelompok ekstrak tumbuhan belalai gajah dengan dosis 150
mg/kg berat badan dan 300 mg/kg berat badan juga tidak berbeda nyata. Sementara
furosemid dosis 1.44 mg/200 g berat badan berbeda nyata (p<5%) dengan tanpa perlakuan,
aquades 2.8 ml/200 g berat badan, furosemid dosis 0.72 mg/200 g berat badan, ekstrak
tumbuhan belalai gajah dengan dosis 75 mg/kg berat badan, 150 mg/kg berat badan, dan 300
mg/kg berat badan.

Peningkatan pada volume urin juga mengakibatkan peningkatan ekskresi elektrolit. Diuretik
pada umumnya mampu meningkatkan ekskresi volume urin, natrium, dan kalium
(Andriyanto, Poniman, Sutisna, & Manalu, 2013). Kadar kalium memiliki pengaruh terhadap
tekanan darah jika terjadi peningkatan pada kadar natrium dalam tubuh, akan tetapi jika di
dalam tubuh kadar natrium dalam keadaan normal atau kurang maka tidak terdapat pengaruh
apapun terhadap tekanan darah. Gabungan dari keduanya yaitu kadar kalium dan natrium
memiliki hubungan yang bermakna dengan tekanan darah jika dibandingkan hanya kadar
kalium atau natrium saja (Tulungnen, Sapulete, & Pangemanan, 2016).

Pada Tabel 1, kelompok pemberian aquades 2.8 ml/200 g berat badan kadar natrium yang
terdapat dalam urin tikus sebesar 1.14 mEq/ml. Kelompok pemberian furosemid dosis 0.72
mg/200 g berat badan dan 1.44 mg/200 g berat badan, didapat kadar natriumnya sebesar 2.17
mEq/ml dan 4.01 mEq/ml. Sedangkan pada kelompok ekstrak tumbuhan belalai gajah dengan
dosis 75 mg/kg berat badan, 150 mg/kg berat badan, dan 300 mg/kg berat badan kadar
natrium dalam urin tikus masing-masing sebesar 1.34 mEq/ml, 1.49 mEq/ml, dan 1.77
mEq/ml. Berdasarkan analisis statistiknya, kadar natrium urin tikus pada kelompok tanpa
perlakuan, aquades 2.8 ml/200 g berat badan, furosemid dosis 0.72 mg/200 g berat badan dan
1.44 mg/200 g berat badan, ekstrak tumbuhan belalai gajah dengan dosis 75 mg/kg berat
badan, 150 mg/kg berat badan, dan 300 mg/kg berat badan berbeda nyata (p<5%).

Dengan meningkatnya kadar natrium maka terjadi pula peningkatan kadar kalium pada urin.
Pada kelompok pemberian ekstrak tumbuhan belalai gajah dengan dosis 75 mg/kg berat
badan, 150 mg/kg berat badan, dan 300 mg/kg berat badan kadar kalium dalam urin tikus
sebesar 0.6 mEq/ml, 0.76 mEq/ml, dan 0.87 mEq/ml. Kadar kalium pada perlakuan tesebut
cenderung mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan kadar kalium pada kelompok
pemberian aquades 2.8 ml/200 g berat badan yaitu 0.57 mEq/ml. Sehingga diduga pada
kelompok pemberian ekstrak tumbuhan belalai gajah dengan kadar kalium yang mengalami
peningkatan, maka pengeluaran natrium juga mengalami peningkatan. Didukung dari
pernyataan Tulungnen et al. (2016), kalium dapat menurunkan tekanan darah dengan khasiat
yang dimilikinya sebagai diuretik yang menyebabkan terjadinya peningkatan pengeluaran
natrium dan cairan. Keseimbangan dari natrium dan kalium memiliki peran penting dalam
menjaga volume darah. Meskipun sebagian besar terfokuskan pada natrium, akan tetapi
keseimbangan kalium juga sangat penting untuk regulasi tekanan darah dan memodulasi efek
natrium pada tekanan darah. Asupan kalium yang tinggi dapat menurunkan tekanan darah
dengan pengembangan keseimbangan dari natrium (Burnier, 2019).

Akan tetapi kadar kalium dalam urin pada kelompok pemberian ekstrak tumbuhan belalai
gajah tersebut tidak sebesar kadar kalium yang terdapat dalam urin pada kelompok pemberian
furosemid dosis 0.72 mg/g berat badan dan 1.44 mg/g berat badan yaitu 0.98 mEq/ml dan
1.88 mEq/ml. Pada pengukuan kadar kalium, kelompok tanpa perlakuan menunjukkan paling
rendah dibanding perlakuan lainnya yaitu 0.50 mEq/ml. Dilihat dari analisis statistiknya,
kadar kalium urin tikus pada kelompok pemberian aquades 2.8 ml/200 g berat badan dan
ekstrak tumbuhan belalai gajah dengan dosis 75 mg/kg berat badan tidak berbeda nyata.
Sementara pada kelompok pemberian aquades 2.8 ml/200 g berat badan dan ekstrak
tumbuhan belalai gajah dengan dosis 75 mg/kg berat badan berbeda nyata (p<5%) dengan
kelompok tanpa perlakuan, furosemid dosis 0.72 mg/g berat badan dan 1.44 mg/g berat
badan, ekstrak tumbuhan belalai gajah dengan dosis 150 mg/kg berat badan dan 300 mg/kg
berat badan.

Berdasarkan parameter pecobaan yang telah diukur untuk melihat potensi ekstrak tumbuhan
belalai gajah sebagai diuretik ternyata memperlihatkan tidak berbeda nyata dengan pemberian
furosemid pada pengukuran volume urin dan pH. Meskipun pada pengukuran kadar natrium
dan kadar kalium menunjukkan perbedaan nyata. Akan tetapi pada pemberian ekstrak
tumbuhan belalai gajah pada setiap parameter mengalami peningkatan jika dibandingkan
dengan tanpa perlakuan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ekstrak tumbuhan belalai gajah
memiliki potensi sebagai diuretik.

KESIMPULAN

Kesimpulan pada penelitian ini adalah ekstrak Clinacanthus nutans pada dosis 300 mg/kg
berat badan memiliki kemampuan meningkatkan volume urin yang mendekati volume urin
dengan pemberian furosemid 1.44 mg/200 g berat badan. Ekstrak Clinacanthus nutans pada
dosis 75 mg/kg berat badan memiliki pH urin yang mendekati pH urin dengan pemberian
aquades dan furosemid 0.72 mg/200 g berat badan. Pada pemberian ekstrak Clinacanthus
nutans pada dosis 75 mg/kg berat badan memiliki kadar kalium pada urin yang mendekati
kadar kalium urin dengan pemberian aquades.

DAFTAR PUSTAKA

Afizan NM, Rahman NA, Nurliyana MY, Afiqah MNFNN, Osman MA, Hamid M, et al.
Antitumor and antioxidant effect of Clinacanthus nutans Lindau in 4 T1 tumor bearing mice.
BMC Complementary and Alternative Medicine. 2019; 19 (340): 8.
Alam A, Ferdosh S, Ghafoor K, Hakim A, Juraimi AS, Khatib A, et al. Clinacanthus nutans:
a review of the medicinal uses, pharmacology and phytochemistry. Asian Pacific Journal of
Tropical Medicine. 2016; 9(4): 402.

Al-Saadi TD, Al-Kharusi A, Abdulrahman A. Utilization of beta-blockers and diuretics in


treating heart failure patients in sultan qaboos university hospital. European Journal of
Medical and Health Sciences. 2020; 2(2): 2.

Andriyanto, Poniman, Sutisna A, Manalu W. Evaluasi aktivitas diuretik ekstrak etanol buah
belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi) sebagai diuretik alami: kadar natrium, kalium, dan pH
urin. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. 2013; 11(1): 54.

Azam AA, Ismail IS, Kumari Y, Shaikh MF, Abas F, Shaari K. The anti-neuroinflammatory
effects of Clinacanthus nutans leaf extract on metabolism elucidated through 1H NMR in
correlation with cytokines microarray. Plos One. 2020: 22.

Azemi AK, Mokhtar SS, Rasool AHG. Clinacanthus nutans leaves extract reverts endothelial
dysfunction in type 2 diabetes rats by improving protein expression of eNOS. Hindawi. 2020:
8.

Burnier, M. Should we eat more potassium to better control blood pressure in hypertension?.
Nephrol Dial Transplant. 2019; 34: 187.

Dewinta NR, Mukono IS, Mustika A. Pengaruh pemberian ekstrak dandang gendis
(Clinacanthus nutans) terhadap kadar glukosa darah pada tikus wistar model diabetes
melitus. Jurnal Medik Veteriner. 2020; 3(1): 78.

Disi SS, Anwar MA, Eid AH. Anti-hypertensive herbs and their mechanisms of action: part
1. Frontiers in Pharmacology.2016; 6: 2.

Eid PS, Ibrahim DA, Zayan AH, Elrahman MMA, Shehata MAA, Kandil H, et al.
Comparative effect of furosemide and other diuretics in the treatment of heart failure: a
systematic review and combined meta-analysis of randomized controlled trials. Heart Failure
Reviews. 2020: 6.

Ekor M. The growing use of herbal medicines: issues relating to adverse reactions and
challenges in monitoring safety. Frontiers in Pharmacology. 2014; 4: 177.
Ellison DH. Clinical pharmacology in diuretic use. CJASN. 2019; 14: 1248.

Elmahdy MF, Allehyani NM, Shehata NM, Alanazi MO. Diuretics increase blood creatinine
in the treatment of hypertension. Medico-legal Update. 2021; 21 (2): 780.

Fekadu N, Basha H, Meresa A, Degu S, Girma B, Galeta B. Diuretic activity of the aqueous
crude extract and hot tea infusion of Moringa stenopetala (Baker f.) Cufod. Leaves in rats.
Journal of Experimental Pharmacology. 2017; 9: 73.

Hafsa K, Ahsan AS, Summaiya I, Zarghoona W, Sana N, Maham R, et al. Prevalence of


clinical signs and symptomps of hypertension: a gender and age based comparison.
Symbiosis. 2018; 5(2): 7.

Hanafiah RM, Kamaruddin KAC, Saikin NAA, Alwani WN, Yakop MF, Lim V, et al.
Antibacterial properties of Clinacanthus nutans extracts against Porphyromonas gingivalis
and Aggregatibacter actinomycetemcomitans: an in-vitro study. Journal of International
Dental and Medical Research. 2019; 12(2): 404.

Kalabharathi HL, Shruthi SL, Vaibhavi PS, Puspha VH, Satish AM, Sibgatullah M. Diuretic
activity of ethanolis roots extract of Mimosa pudica in albino rats. Journal of Clinical and
Diagnostic Research. 2015; 9(12): 5.

Kateel R, Rai MS, Kumar A. Evaluation of diuretic activity of gallic acid in normal rats.
Journal of Scientific and Innovative Research. 2014; 3(2): 219.

Kehrenberg MCA, Bachmann HS. Diuretics: a contempory pharmacological classification?.


Naunyn-Schmiedeberg’s Archives of Pharmacology. 2022; 395: 619.

Kong HS, Sani AN. Antimicrobial properties of the acetone leaves and stems extracts of
Clinacanthus nutans from three different samples/areas against pathogenic microorganisms.
International Food Research Journal. 2018; 25(4): 1701.

Ku E, Lee BJ, Wei J, Weir MR. Hypertension in CKD: core curriculum 2019. AJKD. 2019;
74 (1): 120.

Lestari MI, George YWH. The use of furosemide in critically ill patients. Crit Care Shock.
2019; 22(4): 208.
Li F, Guo H, Zou J, Chen W, Lu Y, Zhang X, et al. The association of urinary sodium and
potassium with renal uric acid excretion in patients with chronic kidney disease. Kidney &
Blood Pressure Research. 2018; 43: 1312.

Lim SE, Almakhmari MA, Alameri SI, Chin S, Abushelaibi A, Mai C, et al. Antibacterial
activity of Clinacanthus nutans polar and non-polar leaves and stem extracts. Biomedical &
Pharmacology Journal. 2020; 13(3): 1173.

Lin CM, Chen HH, Lung CW, Chen HJ. Recent advancement in anticancer activity of
Clinacanthus nutans (Burm.fil.) Lindau. Hindawi. 2021: 11.

Mills KT, Stefanescu A, He J. The global epidemiology of hypertension. HHS Public Access.
2020; 16(4): 1.

Moreira DL, Teixeira SS, Monteiro MHD, De-Oliveira ACAX, Paumgartten FJR. Traditional
use and safety of herbal medicines. Rev Bras Farmacogn. 2014; 24: 250.

Mulyani S, Rosa EM, Huriah T. Pengaruh ekstrak daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi
L.) terhadap penurunan tekanan darah tikus putih jantan (Rattus novergicus) hipertensi.
Muhammadiyah Journal of Nursing. 2015: 178.

Nizar RZE, Andriane Y, Trisnadi S. Scoping review: efek daun belalai gajah (Clinacanthus
nutans) tehadap penurunan kadar glukosa darah pada tikus model diabetes. Bandung
Conference Series: Medical Science. 2022; 2(1): 818.

Nuraini B. Risk factors of hypertension. Jurnal Majority. 2015; 4(5): 10-17.

Nurihardiyanti, Yuliet, Ihwan. Aktivitas diuretik kombinasi ekstrak biji pepaya (Carica
papaya L) dan biji salak (Salacca zalacca varietas zalacca (Gaert.)Voss) pada tikus jantan
galur wistar (Rattus norvegicus L). GALENIKA: Journal of Pharmacy. 2015; 1(2): 106.

Nurulita Y, Dhanutirto H, Soemardji AA. Penapisan aktivitas dan senyawa antidiabetes


ekstrak air daun dandang gendis (Clinacanthus nutans). Jurnal Natur Indonesia. 2008; 10(2):
103.

Ong WY, Herr DR, Sun GY, Lin TN. Anti-inflammatory effect of phytochemical
components of Clinacanthus nutans. Molecules. 2022; 27 (3607): 11.
Panjaitan RGP, Bintang M. Peningkatan Kandungan Kalium Urin Setelah Pemberian Ekstrak
Sari Buah Belimbing Manis (Averrhoa carambola). Jurnal Veteriner. 2014; 15(1): 110.

Panya A, Pundith H, Thongyim S, Kaewkod T, Chitov T, Bovonsombut S, et al. Antibiotic-


antiapoptotic dual function of Clinacanthus nutans (Burm. f.) Lindau leaf extracts against
bovine mastitis. Antibiotics. 2020; 9 (429): 1.

Paramita S, Isnuwardana R, Nuryanto MK, Djalung R, Rachmawatiningtyas DG, Jayastri P.


Pola penggunaan obat bahan alam sebagai terapi komplementer pada pasien hipertensi di
puskesmas. Jurnal Sains dan Kesehatan. 2017; 1(7): 120.

Pareek A, Ram VS, Messerli FH. Diuretics in hypertension- a reappraisal. Cardiology Society
on India Hypertension Reviews. 2022: 126.

Pathmanathan AL, Wardana NG, Widianti GA. Overview of drugs used for the treatment of
hypertension for elderly patients in Sanglah general hospital, Denpasar, Bali. Intisari Sains
Medis. 2019; 10(2): 184.

Pratiwi D. The overview knowledge of hypertension patient toward to hypertension disease


and antihypertension drug ACE-inhibitor and diuretic. Journal of Pharmacy Science. 2017; 1:
41.

Pulipati VP, Mares JW, Bakris GL. Optimizing blood pressure control without adding anti-
hypertensive medications. The American Journal of Medice. 2021; 134 (10): 1195.

Saputra O, Fitria T. Khasiat daun seledri (Apium graveolens) terhadap tekanan darah tinggi
pada pasien hiperkolestrolemia. Jurnal Majority. 2016; 5(2): 120-121.

Sharma P, Beria H, Gupta PK, Manokaran S, Reddy AHM. Prevalence of hypertension and
its associated risk factors. Journal of Pharmaceutical Science and Research. 2019; 11(6):
2162-2163.

Singh P, Mishra A, Singh P, Goswami S, Singh A, Tiwari KD. Hypertension and herbal plant
for its treatment: a review. Indian Journal of Research in Pharmacy and Biotechnology. 2015;
3(5): 358.

Susilowati A, Nur’aini NS. Efek diuretik seduhan daun teh hijau (Camellia sinensis L.) pada
mencit jantan galur swiss. Jurnal Ilmiah Manuntung. 2022; 8(1); 121.
Susilowati A. Diuretic effect of the aqueous extract of green tea leaves. Advances in Health
Science Research. 2019; 15: 33.

Swandayani RF. Pengaruh pemberian furosemide dan homecare terhadap nilai HbA1c pada
pasien gagal jantung non-diabetic. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya.
2015; 4(1): 3.

Swastini N. Efektivitas Daun Sirsak (Annona muricata Linn) terhadap penurunan tekanan
darah pada hipertensi. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada. 2021; 10(2): 413.

Tamas P, Kovacs K, Vargany A, Farkas B, Wami GA, Bodis J. Preeclampsia subtypes:


clinical aspects regarding pathogenesis, signs, and management with special attention to
diuretic administration. European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive
Biology. 2022; 274: 179.

Tedi, Fadly, Dahlia. Identifikasi penggunaan obat tradisional Cina pada pembeli di toko obat
Cina sekitar pasar 16 ilir Palembang. JPP (Jurnal Kesehatan Palembang). 2017; 12(2): 149.

Tulungnen RS, Sapulete IM, Pengemanan DHC. Hubungan kadar kalium dengan tekanan
darah pada remaja di Kecamatan Bolangitang Barat Kabupaten Bolaang Mongondow Utara.
Jurnal Kedokteran Klinik (JKK). 2016; 1(2): 39.

Wardani IGAAK, Adrianta KA. Efektivitas ekstrak etanol daun bayam merah (Amaranthus
tricolor) sebagai diuretik pada tikus putih jantan galur wistar (Rattus novergicus).
Medicamento. 2016; 2(2): 58.

Xiong Y, Sui X, Ahmed S, Wang Z, Long C. Ethnobotany and diversity of medicinal plants
used by the Buyi in eastern Yunnan, China. Plant Diversity. 2020: 2.

Yassir M, Asnah. Pemanfaatan jenis tumbuhan obat tradisional di desa batu hamparan
kabupaten aceh tenggara. Jurnal Biotik. 2018; 6(1): 17.

Yoe BS, Yap YJ, Koh RY, Ng KY, Chye SM. Medicinal Properties of Clinacanthus nutans:
a review. Tropical Journal of Pharmaceutical Research. 2016; 17(2): 375.

Anda mungkin juga menyukai