diterapkannya kebijakan tanam paksa yang dilayangkan oleh van Deventer pada 1901 berupa
program kewajiban moral menyejahterakan jajahan. Politik etis dipelopori oleh Brooshooft yang
merupakan seorang wartawan sekaligus sastrawan Belanda dan Conrad Theodore van Deventer yang
merupakan ahli hukum Belanda. Program yang dimaksud dari pemberlakuan politik etis diantaranya
edukasi, irigasi dan transmigrasi.
Kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel) yang diterapkan oleh Van Den Bosch membawa kesengsaraan
bagi Hindia Belanda. Kewajiban menyediakan 20 persen tanahnya untuk dikuasai Belanda menjadi
hal yang sangat merugikan bagi pemilik tanah. Terlebih apabila tidak memiliki tanah diwajibkan
bekerja kepada Belanda dengan gaji yang sangat kecil. Akibatnya, kualitas hasil tanaman menurun
dan menimbulkan permasalahan kelaparan. Terlebih, kurangnya pangan menimbulkan wabah
penyakit. Di Cirebon dan Grobogan tingkat kematian meningkat sedangkan jumlah penduduk
menurun tajam.
Penyimpangan cultuur procenten (pemberian bonus kepada bupati yang melebihi target) semakin
membuat praktek pemerasan dan perbudakan semakin besar. Pieter Brooshooft selama berkeliling di
Jawa pada 1887 menemukan banyak kesengsaraan yang dialami pribumi Hindia Belanda pada waktu
itu.
Kondisi ini membuat kecaman dari warga Belanda yang menganggap kebijakan Hindia Belanda tidak
manusiawi. Van Deventer dalam majalah De Gids berjudul Eeu Ereschuld atau Hutang Budi
menjelaskan bagaimana kesengsaraan bangsa Indonesia yang hasilnya justru dinikmati Belanda.
Gagasan Van Deventer mendapatkan dukungan dari Ratu Wilhelmina yang menyebutkan dalam
pidatonya mengenai kesengsaraan tanah jajahan tahun 1901. Hasilnya kemudian dibuktikan dengan
kebijakan baru diterapkannya politik etis.
Trias Van Deventer, istilah yang dikenal sebagai bentuk kebijakan politik etis dari Hindia Belanda.
Kebijakan ini meliputi irigasi (pengarian; memperbaiki sistem pertanian), edukasi (pendidikan;
memberikan pendidikan kepada pribumi) dan imigrasi (memindahkan penduduk dengan tujuan
pemerataan wilayah). Namun, pada pelaksanaannya, Trias Van Deventer tidak dapat diharapkan
sesuai istilahnya. Pemerintah kolonial Hindia Belanda masih enggan mengubah kondisi rakyat dan
terus melakukan eksploitasi.
Pada pelaksanaannya, Belanda tidak memberi perlindungan atau bantuan kepada usahawan pribumi
secara sungguh – sungguh. Pada sektor petanian, irigasi hanya dilakukan pada perkebunan yang
memiliki hak utama. Sedangkan pada pendidikan, pelajaran yang diberikan hanya pada pengajaran
tingkat rendah dan tertutup pada golongan priyayi.
Berkat politik etis memunculkan golongan elit baru yaitu kaum terdidik yang kemudian mendirikan
berbagai perkumpulan seperti Budi Utomo, Indische Partij, dan Sarekat Islam. Organisasi inilah yang
kemudian menjadi cikal bakal nasionalisme dan kemerdekaan Indonesia.
Politik Pintu Terbuka adalah sebuah sistem di mana pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya
bagi pihak swasta untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pada periode ini, tanah dan tenaga kerja
dianggap sebagai milik perorangan (pribadi), tanah rakyat dapat disewakan dan tenaga kerja dapat dijual.
Oleh karena itu, terdapat kebebasan dalam memanfaatkan tanah dan tenaga kerja. Tujuan Belanda
menerapkan Politik Pintu Terbuka adalah untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat jajahan. Dalam
mencapai tujuan tersebut, pemerintah Belanda mengeluarkan beberapa undang-undang sebagai
berikut.
Seiring dengan dimulainya pelaksanaan Politik Pintu Terbuka, para pengusaha swasta Barat mulai
berdatangan ke Hindia Belanda. Mereka menanamkan modal dengan membuka perkebunan seperti
perkebunan teh, kopi, tebu, kina, kelapa sawit, dan karet.