Anda di halaman 1dari 17

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL……………………………………………. ...... i
DAFTAR ISI………………………………………………………….. ii
BAB 1. PENDAHULUAN…………………………………………….. 1
1.1. Latar Belakang……………………………………………. 1
1.2. Rumusan Masalah………………………………………… 3
1.3. Metode Penulisan………………………………………… 3
BAB II. PEMBAHASAN …………………………………….......... 4
2.1. Terminologi Etika Pancasila ………….………………… 4
2.2. Terminologi Filsafat Pancasila ………………………… 11
2.2. Perbandingan Etika Pancasila dengan Filsafat Pancasila… 12
BAB III. KESIMPULAN………………………………………………. 15
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………….......... 16

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa dari masyarakat intemasional,
memiliki sejarah serta prinsip dalam hidupnya yang berbeda dengan bangsa-
bangsa lain di dunia. Tatkala bangsa Indonesia akan mencapai fase nasionalisme
modern, diletakkanlah prinsip-prinsip dasar filsafat sebagai suatu asas dalam
hidup berbangsa dan bernegara. Para pendiri negara menyadari akan pentingnya
dariasar filosofi ini, kemudian melakukan suatu penyelidikan yang dilakukan oleh
badan yang akan meletakkan dasar filsafat bangsa dan negara yaitu BPUPKI.
Bangsa Indonesia tidak mungkin memiliki kesamaan pandangan hidup dan
filsafat hidup dengan bangsa Inggris misalnya, karena bangsa Inggris ditakdirkan
tidak pernah dijajah, sedang bangsa Indonesia beberapa kali dijajah oleh bangsa
asing. Sejak zaman dahulu kala bangsa Indonesia mengakui zat yang mutlak yaitu
Tuhan, yang dapat dibuktikan melalui fakta sejarah misalnya zaman Megalitikum
ditemukan peninggalan yang berupa menhir, punden berundak-undak di Pasemah
yaitu wilayah antara Palembang dan Jambi, setelah zaman itu di Muntilan
peninggalan candi Borobudur, di Yogyakarta candi Prambanan, zaman Majapahit
berkembang toleransi agama Tantrayana, di Sumatra peninggalan kerajaan
Samudra Pasai dan lain sebagainya. Kenyataan pandangan hidup yang merupakan
filsafat hidup bangsa Indonesia ini jelas tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan
bangsa dalam membentuk negara.
Demikian pula humanisme atau kemanusiaan (sila II), telah melekat pada
bangsa Indonesia. Pengakuan atas sifat kodrat manusia sebagai individu dan
makhluk sosial, telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala.
Zaman Sriwijaya telah mengakui bahwa di dunia terdapat bangsa lain yang
sederajat, hal ini dibuktikan dalam kitab Iching, yaitu kerjasama dengan bangsa
lain seperti Cina, Birma di universitas Nalanda. Terjadinya kerjasama melalui

1
akulturasi budaya dengan bangsa India, Arab yang sampai sekarang terjadi suatu
percampuran etnis yang mewujudkan bangsa Indonesia sekarang ini1.
Dalam mewujudkan suatu bangsa atau nasionalisme (sila III), bangsa
Indonesia meletakkan pada prinsip yang dimilikinya sendiri yang disadari sebagai
karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu dalam mewujudkan suatu
bangsa sejak pergerakan 1908, Sumpah Pemuda 1928 sampai Proklamasi 17
Agustus 1945 bangsa Indonesia meletakkan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
Demikian juga dalam mewujudkan persamaan (sila IV) dan keadilan
dalam hidup bersama (sila V), zaman dahulu telah dikenal adanya tradisi "Pepe',
musyawarah adat, kekerabatan walaupun tidak seperti demokrasi versi Barat,
namun unsur itu telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak zaman dahulu.
Prinsip-prinsip dasar itu ditemukan oleh para peletak dasar negara tersebut
yang diangkat dari filsafat hidup bangsa Indonesia, yang kemudian diabstraksikan
menjadi suatu prinsip dasar filsafat negara yaitu Pancasila. Hal inilah sebagai
suatu alasan ilmiah rasional dalam ilmu filsafat, bahwa salah satu lingkup
pengertian filsafat adalah fungsinya sebagai suatu pandangan hidup suatu
masyarakat atau bangsa tertentu2.
Berdasarkan suatu kenyataan sejarah tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa filsafat Pancasila sebagai suatu pandangan hidup bangsa Indonesia,
merupakaan suatu kenyataan objektif yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat Indonesia. Dalam pengertian inilah maka diistilahkan bahwa bangsa
Indonesia sebagai kausa materialis dari Pancasila.
Secara ilmiah harus disadari bahwa suatu masyarakat, suatu bangsa
senantiasa memiliki suatu pandangan hidup atau filsafat hidup masing-masing,
yang berbeda dengan bangsa lain di dunia. Pemahaman ini dapat mencerminkan
bahwa dalam Pancasila termuat filsafat moral yang mengandung etika Pancasila
dan dapat diartikan sebagai refleksi kritis perkembangan moralitas bangsa
Indonesia.

1
Ismaun, 1981, Pancasila sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia, Carya Remaja,
Bandung, h. 23.
2
Kaelan, 2009, Filsafat Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, h. 2.

2
Dalam kaitan dengan filsafat Pancasila sebagai suatu pandangan hidup
bangsa Indonesia dan etika pancasila sebagai refleksi kritis perkembangan
moralitas bangsa Indonesia mempunyai kedudukan penting dan strategis dalam
pembentukan suatu prinsip dasar filsafat negara. Sehingga fokus kajian dalam
penulisan ini adalah terkait uraian tentang perbandingan etika Pancasila dengan
filsafat Pancasila.

1.2 Rumusan Masalah


Dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan suatu pertanyaan
berkiatan dengan bagaimana penjelasan tentang perbandingan etika Pancasila
dengan filsafat Pancasila.

1.3. Metode Penulisan


Penulisan ini dikategorikan sebagai penelitian hukum normatif3 yang
difokuskan pada bahan-bahan hukum kepustakaan, baik terhadap bahan hukum
primer maupun bahan hukum sekunder. Pendekatan penelitian ini dilakukan
melalui pendekatan konseptual (conceptual approach)4 dan pendekatan undang-
undang (statuta approach)5. Pendekatan konseptual diterapkan untuk menemukan
pengertian yang dibutuhkan berkaitan dengan etika Pancasila dan filsafat
Pancasila. Selanjutnya pendekatan perundang-undangan diterapkan untuk
mendapat ketentuan hukum yang melandasi penelitian yang dilakukan.6

3
I. Widisuseno, 2014. Azas Filosofis Pancasila Sebagai Ideologi Dan Dasar Negara.
Humanika, 20(2), 62-66.
4
F. Fuad, 2016. Falsafah Hukum Pancasila, Reaktualisasi Staatsfundamentalnorm. Lex
Jurnalica, 13(3), 146185.
5
Y. P. Semadi, 2019. Filsafat Pancasila Dalam Pendidikan Di Indonesia Menuju Bangsa
Berkarakter. Jurnal Filsafat Indonesia, 2(2), 82-89.
6
N. M. Aziz, 2012. Urgensi Penelitian Dan Pengkajian Hukum Dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 1(1),
17-31.

3
Sebagai bahan hukum primer7 dari penelitian ini berasal dari penelitian
terhadap peraturan perundang-undangan terkait. Peraturan perundang-undangan
yang dimaksudkan, seperti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Bahan hukum sekunder8 yang digunakan antara lain diperoleh dari bahan
pustaka di bidang pendidikan Pancasila dan filsafat ilmu, yang berkaitan dengan
kajian penulisan. Telaah kepustakaan dilakukan dengan cara menguraikan konsep
dari bahan hukum sekunder. Sehingga akan menciptakan urain terkait
perbandingan etika Pancasila dengan filsafat Pancasila yang akan menjadi fokus
penulisan.

7
M. O. C. Wiguna, 2021. Pentingnya Prinsip Kebijaksaanaan Berdasarkan Pancasila
Dalam Kehidupan Hukum Dan Demokrasi Indonesia. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, 15(1),
133-148.
8
D. Heryansyah, 2014. Tanggung jawab pemuda terhadap masa depan Pancasila. Jurnal
Hukum Ius Quia Iustum, 21(4), 607-631.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Terminologi Etika Pancasila


Etika Pancasila adalah refleksi kritis untuk merumuskan prinsip-prinsip
kelayakan (kebaikan) dalam mengambil keputusan tindakan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia berdasarkan kualifikasi isi
arti sila-sila Pancasila. Prinsip-prinsip kelayakan hidup tersebut didasarkan pada
pertimbangan nilai-nilai hidup berke-Tuhanan, berkemanusiaan, berpersatuan,
berkerakyatan, dan berkeadilan sosial yang secara normatif telah dirumuskan di
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Refleksi kritis Etika Pancasila meliputi tiga bidang. Pertama, Etika
Pancasila melakukan refleksi kritis tentang norma dan nilai moralitas yang telah
dijalani atau dianut oleh warga bangsa Indonesia selama ini agar dapat
dirumuskan menjadi prinsip-prinsip kelayakan hidup sehari-hari, misalnya nilai-
nilai yang terkandung di dalam benda-benda peninggalan bersejarah, karya sastra,
cerita rakyat.
Kedua, Etika Pancasila melakukan refleksi kritis tentang situasi khusus
kehidupan berbangsa dan bernegara dengan segala keunikan dan kompleksitasnya
seperti telah dirumuskan di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945. Ketiga, refleksi kritis tentang berbagai paham
yang dianut oleh manusia atau kelompok masyarakat tentang bidang-bidang
khusus kehidupan, misalnya paham tentang manusia, Tuhan, alam, masyarakat,
sistem sosial politik, sistem ekonomi, sistem kerja, dsb.
Selain itu terdapat pemahanan terkait tiga teori etika yang berhubungan
dengan refleksi kritis terhadap bagaimana menilai perilaku yang baik secara
moral, yaitu9:
1. Etika Deontologi

9
A. S. Keraf, 2006. Etika Lingkungan, cetakan ketiga. Penerbit Buku KOMPAS, Jakarta,
h. 9, 15, 22.

5
Etika deontologi dalam perspektifnya terhadap perilaku
seseorang menekankan pada motivasi, kemauan yang baik, dan watak
yang kuat untuk melakukannya sebagai kewajiban. Etika deontologi
menganggap bahwa perilaku / tindakan itu dikatakan baik jika memang
baik menurut pertimbangan dari dalam dirinya sendiri dan wajib
dilakukan. Apabila perilaku itu buruk, maka buruk pula secara moral
dan bukanlah kewajiban yang harus dilakukan. Contohnya adalah
tindakan menghargai sesama dan alam merupakan tindakan yang baik
secara moral, maka manusia wajib melakukannya.
2. Etika Teleologis
Etika teleologis menilai suatu perilaku baik jika bertujuan baik
dan menghasilkan sesuatu yang baik atau akibat yang baik, dan buruk
jika sebaliknya. Etika teleologis bersifat situasional (sesuai dengan
situasi tertentu) dan subjektif. Teori ini menganggap perilaku yang baik
bisa berubah sesuai dengan kondisi yang menghasilkan baik pada saat
itu. Suatu tindakan dapat dibenarkan oleh teori ini walau melanggar
norma dan nilai moral sekalipun.
Etika teleologis berdasarkan kepentingannya menggolongkan
penilaian suatu tindakan secara moral menjadi dua, yakni : pertama
adalah egoisme etis. Egoisme etis menilai baik atau buruknya suatu
perilaku berdasarkan akibat bagi pelakunya, dan dibenarkan mengejar
kebahagiaan bagi dirinya sendiri. Kedua adalah utilitarianisme, yang
menganggap baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan akibatnya
bagi banyak orang. Hal yang paling menonjol dari utilitarianisme
adalah manfaat bagi sebanyak mungkin orang yang terlibat dalam
tindakan tersebut.
3. Etika Keutamaan
Etika keutamaan (virtue ethics) adalah teori etika yang
mengutamakan pengembangan karakter moral pada setiap individu.
Karakter-karakter moral yang dimaksud adalah nilai dan keutamaan
moral, seperti kesetiaan, kejujuran, ketulusan, dan kasih sayang. Etika

6
keutamaan menganggap orang bermoral atau berperilaku baik
berdasarkan pribadi moralnya, yang terbentuk oleh pembelajaran dari
kenyataan sepanjang hidupnya. Orang yang bermoral bukanlah orang
yang bertindak secara moral baik pada situasi saat itu saja, melainkan
orang berkepribadian moral yang utama atau menonjol, berprinsip, dan
berintegritas yang tinggi.
Etika keutamaan menekankan pada cerita-cerita masyarakat
tertentu yang patut untuk dicontoh perilaku baiknya secara moral.
Perilaku baik secara moral tersebut merupakan teladan yang baik, dan
itulah perilaku yang benar menurut etika keutamaan.
Etika Pancasila adalah Etika Keutamaan yang tersusun dari nilai-nilai dan
keutamaan moral bagi bangsa Indonesia. Nilai-nilai ke-Tuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan terbentuk oleh pembelajaran dari kenyataan
sepanjang sejarah kebangsaan Indonesia yang panjang. Nilai-nilai Pancasila
merupakan buah hasil pikiran-pikiran dan gagasan dasar bangsa Indonesia tentang
kehidupan yang dianggap baik dalam menghadapi diri sendiri, sesama dan
lingkungan hidup, serta ketaatan pada Tuhan. Nilai-nilai Pancasila adalah tata
nilai yang mendukung tata kehidupan sosial dan tata kehidupan kerohanian
bangsa yang memberi corak, watak, ciri khas masyarakat dan bangsa Indonesia
yang membedakannya dengan masyarakat dan bangsa lain.
Etika Pancasila adalah Etika Teleologis yang berisi pedoman bagi warga
bangsa Indonesia dalam usaha untuk mencapai tujuan hidup berbangsa dan
bernegara di masa depan. Permasalahan bangsa Indonesia dalam menyesuaikan
diri dengan masa modernisasi di masa depan yang penting mendapat perhatian
adalah pengembangan sistem nilai Pancasila. Nilai-nilai Pancasila yang
substansial adalah nilai-nilai utama yang tetap akan menjadi kepribadian bangsa
sepanjang masa. Implementasi nilai-nilai Pancasila di dalam Pembukaan Undang-
undang Dasar Negara tahun 1945 akan menjadi pedoman pokok secara umum
kolektif untuk semua warga bangsa dan negara Indonesia. Implementasi nilai-nilai
Pancasila di dalam peraturan-peraturan resmi kenegaraan harus selalu

7
menampung perubahan sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman modern.
Penjelasan selanjutnya termuat dalam table berikut ini:
Aliran Etika dan Karakteristiknya
Aliran Orientasi Watak Nilai Keterangan
Etika Keutamaan Keutamaan/ Disiplin, Etika keutamaan
Kebajikan Kejujuran, Belas Pada umumnya
kasih, dll dianut oleh
moralitas yang
didasarkan pada
agama
Etika Teologis Konsekuensi/akibat Kebenaran dan Hasil dari aliran
kesalahan etika ini: Efoisme
didasarkan pada etis dan
tujuan akhir Utilitariarisme
Etika Kewajiban/keharusan Kelayakan, Pandangan etika
Deontologis Kepatutan dan yang
Kepantasan mementingkan
kewajiban,
perbuatan baik
yang dilakukan
tanpa pamrih

Pengertian Etika sebagai refleksi kritis moralitas perlu dibedakan dengan


pengertian moralitas. Pengertian Etika di satu sisi dapat disamakan dengan
moralitas dan di sisi lain merupakan refleksi kritis terhadap moralitas. Pemahaman
ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Etika dalam Pengertian Moralitas.
Moralitas secara etimologis berasal dari kata latin mos
(jamaknya mores) yang berarti adat istiadat atau kebiasaan. Etika secara
etimologis berasal dari kata Yunani ethos (jamaknya: ta etha), yang
berarti adat istiadat atau kebiasaan. Etika dan moralitas secara

8
etimologis sama-sama berarti adat kebiasaan yang dibakukan dalam
bentuk aturan (baik perintah atau larangan) tentang bagaimana manusia
harus hidup baik sebagai manusia. Keduanya berbicara tentang nilai dan
prinsip moral yang dianut oleh masyarakat tertentu sebagai pedoman
dan kriteria dalam berperilaku sebagai manusia.
Moralitas adalah kebiasaan hidup yang baik dalam
bermasyarakat lalu dibakukan dalam bentuk kaidah, aturan, atau norma
yang disebarluaskan, dipahami dan diajarkan secara lisan dalam
masyarakat. Kaidah, aturan atau norma ini pada dasarnya menyangkut
baik atau buruknya perilaku manusia. Kaidah ini menentukan apa yang
baik harus dilakukan dan apa yang buruk harus dihindarkan. Etika
dalam pengertian moralitas sering dipahami sebagai ajaran yang
berisikan aturan tentang bagaimana manusia hidup dengan baik. Etika
dalam pengertian moralitas juga dipahami sebagai ajaran yang berisikan
perintah dan larangan tentang baik-buruknya perilaku manusia, yaitu
perintah yang harus dipatuhi dan larangan yang harus dihindari.
Kaidah, norma, aturan ini sesungguhnya ingin mengungkapkan,
menjaga, dan melestarikan nilai tertentu, yaitu apa yang dianggap baik
dan penting oleh masyarakat. Etika juga berisikan nilai-nilai dan
prinsip-prinsip moral yang harus dijadikan pegangan dalam berperilaku.
Etika memberi kriteria bagi penilaian moral tentang apa yang harus
dilakukan dan tentang apakah suatu tindakan dan keputusan dinilai
sebagai baik atau buruk secara moral. Jadi Etika secara lebih luas
dipahami sebagai pedoman bagaimana manusia harus hidup dan
bertindak sebagai orang yang baik. Etika memberi petunjuk, orientasi,
arah untuk hidup secara baik sebagai manusia10.
2. Etika dalam Pengertian Filsafat Moral
Etika dipahami juga dalam pengertian yang berbeda dengan
moralitas. Etika dimengerti sebagai refleksi kritis tentang bagaimana

10
Ibid, h. 2-3.

9
manusia harus hidup dan bertindak dalam situasi konkret, yaitu situasi
khusus tertentu. Etika adalah filsafat moral, yaitu cabang filsafat yang
membahas dan mengkaji secara kritis persoalan benar dan salah secara
moral (baik dan buruk), tentang bagaimana harus bertindak baik dalam
situasi konkret.
Manusia membutuhkan Etika dalam pengertian yang kedua,
berupa refleksi kritis untuk menentukan pilihan, sikap, dan bertindak
benar secara moral (baik) sebagai manusia. Refleksi kritis ini
menyangkut tiga hal. Pertama, refleksi kritis tentang norma dan nilai
yang diberikan oleh Etika dan moralitas dalam pengertian pertama,
yaitu tentang norma dan nilai yang dianut selama ini.
Kedua, refleksi kritis tentang situasi khusus yang dihadapi
dengan segala keunikan dan kompleksitasnya. Ketiga, refleksi kritis
tentang berbagai paham yang dianut oleh manusia atau kelompok
masyarakat tentang apa saja, misalnya paham tentang manusia, Tuhan,
alam, masyarakat dan sistem sosial politik, sistem ekonomi, kerja, dsb.
Refleksi kritis yang ketiga ini penting untuk menentukan pilihan dan
prioritas moral yang akan diutamakan, baik dalam hidup sehari-hari
maupun dalam situasi tertentu11.
Etika atau filsafat moral adalah suatu studi atau disiplin filsafat
yang memperhatikan pertimbangan-pertimbangan mengenai
pembenaran dan celaan, pertimbangan-pertimbangan mengenai
kebenaran atau kesalahan, kebaikan atau keburukan, aturan-aturan,
tujuan-tujuan atau keadaan-keadaan. Etika adalah usaha manusia untuk
memakai akal budi dan daya pikiran untuk memecahkan masalah
bagaimana seseorang harus hidup apabila ingin menjadi baik12.

11
Ibid. h. 4.
12
F. M. Suseno, 1993. Etika Sosial, Buku Panduan Mahasiswa PBI-PBVI. Gramedia.
Jakarta h. 17.

10
2.2 Terminologi Filsafat Pancasila
Filsafat pancasila dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis dan rasional
tentang pancasila Sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa, dengan
tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya yang mendasar dan
menyeluruh. Pancasila dikatakan sebagai filsafat, karena pancasila merupakan
hasil permenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh the founding fathers
Indonesia, yang dituangkan dalam suatu sistem.13
Definisi filsafat pancasila secara umum adalah hasil berfikir atau
pemikiran yang sedalam-dalamnya dari bangsa indonesia yang dianggap,
dipercaya dan diyakini sebagai kenyataan, norma-norma dan nilai-nilai yang
benar, adil, bijaksana, dan paling sesuai dengan kehidupan dan kepribadian
bangsa indonesia. Filsafat Pancasila kemudian dikembangkan oleh Soekarno sejak
1955 sampai kekuasaannya berakhir pada 1965. Pada saat itu, Soekarno selalu
menyatakan bahwa pancasila merupakan filsafat asli indonesia yang diambil dari
budaya dan tradisi indonesia, serta merupakan akulurasi budaya india (hindu-
budha), barat (kristen), dan arab (islam). Selain itu adanya filsafat pancasila
menurut Soeharto yang telah mengalami indonesianisasi. Semua sila dalam
pancasila adalah asli diangkat dari budaya indonesia dan selanjutnya dijabarkan
menjadi lebih rinci kedalam butir-butir pancasila.
Filsafat pancasila dapat digolongkan sebagai filsafat praktis sehingga
filsafat Pancasila tidak hanya mengandung pemikiran yang sedalam-dalamnya
atau tidak hanya bertujuan mencari, tetapi hasil pemikiran yang berwujud filsafat
Pancasila tersebut dipergunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari (way of life
atau welltansecahuum) agar hidup bangsa Indonesia dapat mencapai kebahagiaan
lahir dan batin, baik didunia maupun diakhirat.14
Kesatuan sila-sila Pancasila pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan
kesatuan yang bersifat formal logis saja namun juga meliputi kesatuan dasar
ontologis, dasar epistemologis serta dasar aksiologis dari sila Pancasila.
Sebagaimana dijelaskan bahwa kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat

13
Kaelan, op.cit.
14
Ibid.

11
hierarkhis dan mempunyai : bentuk piramidal, digunakan untuk menggambarkan
hubungan hierarkhis sila-sila dalam Pancasila dalam urut-urutan luas (kuantitas)
dan dalam pengertian inilah hubungan kesatuan sila-sila Pancasila itu dalam arti
formal logis.
Selain kesatuan sila-sila Pancasila itu hierarkhis dalam hal kuantitas juga
dalam hal isi sifatnya yaitu menyangkut makna serta hakikat sila-sila Pancasila.
Kesatuan yang demikian ini meliputi kesatuan dalam hal dasar ontologis, dasar
epistemologis serta dasar aksiologis dari sila-sila Pancasila. Secara filosofis
Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat memiliki, dasar ontologis, dasar
epistemologis dan dasar aksiologis sendiri yang berbeda dengan sistem filsafat
yang lainnya misalnya materialisme, liberalisme, pragmatisme, komunisme,
idealisme dan lain paham filsafat di dunia.

2.3 Perbandingan Etika Pancasila dengan Filsafat Pancasila


Perbandingan etika Pancasila dengan Filsafat Pancasila terletak pada suatu
kesatuan sistem filsafat. Konsep pelaksanaan Pancasila yang bersifat subjektif
dapat tercapai melalui tahap-tahap pemilikan pengetahuan nilai-nilai Pancasila,
ketaatan, dan kesadaran berPancasila dan membawa konsekuensi bahwa perlunya
dirumuskan dalam suatu sistem Etika Pancasila. Sistem Etika Pancasila adalah
sistem Etika dalam pengertian sebagai Filsafat Moral, sehingga dapat diartikan
sebagai refleksi kritis perkembangan moralitas bangsa Indonesia.
Etika Pancasila adalah jenis Etika keutamaan yang menjadikan nilai-nilai
Pancasila sebagai sumber nilai. Etika Pancasila mempunyai sifai deontologis.
Etika Pancasila mensyaratkan kesadaran berPancasila sebagai pendorong
mengambil keputusan tindakan. Etika Pancasila juga mempunyai sifat teleologis.
Etika Pancasila menentukan masa depan bangsa Indonesia tetap berkepribadian
Pancasila sebagai tujuan.
Etika atau filsafat moral adalah suatu studi atau disiplin filsafat yang
memperhatikan pertimbangan-pertimbangan mengenai pembenaran dan celaan,
pertimbangan-pertimbangan mengenai kebenaran atau kesalahan, kebaikan atau
keburukan, aturan-aturan, tujuan-tujuan atau keadaan-keadaan. Etika adalah usaha

12
manusia untuk memakai akal budi dan daya pikiran untuk memecahkan masalah
bagaimana seseorang harus hidup apabila ingin menjadi baik.
Sedangkan, Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat memiliki dasar
ontologis, dasar epistemologis dan dasar aksiologis sendiri yang berbeda dengan
sistem filsafat yang lainnya. Pemahaman filsafat memiliki dasar ontologis, dasar
epistemologis dan dasar aksiologis dijelaskan sebagai berikut:
1. Dasar Antologis Sila-sila Pancasila
Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang
memiliki hakikat mutlak, oleh karena itu hakikat dasar ini juga disebut
sebagai dasar antropologis. Subjek pokok pendukung sila-sila Pancasila
adalah manusia.
2. Dasar Epistemologis Sila-sila Pancasila
Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu sistem
pengetahuan. Kalau manusia merupakan basis ontologi Pancasila maka
dengan demikian mempunyai implikasi terhadap bangunan
epistemologis dari Pancasila. Terdapat tiga persoalan yang mendasar
dalam epistemologis, yaitu pertama tentang sumber pengetahuan
manusia, kedua tentang teori kebenaran pengetahuan manusia, ketiga
tentang watak pengetahuan manusia.
Pancasila mendasarkan pada pandangannya bahwa ilmu
pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan
pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religius dalam
upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak
dalam hidup manusia.
3. Dasar Aksiologis Sila-sila Pancasila
Pada hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, hanya nilai macam
apa saja yang ada serta bagaimana hubungan nilai tersebut dengan
manusia. Menurut Notonegoro, nilai-nilai tersebut dibedakan menjadi
tiga macam, yaitu:
a. Nilai Material
Segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia.

13
b. Nilai Vital
Segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan suatu
aktivitas atau kegiatan.
c. Nilai Kerohanian
Segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia yang dapat
dibedakan atas empat tingkatan sebagai berikut :
– Nilai kebenaran
Nilai yang bersumber pada akal, rasio, budi atau cipta manusia.
– Nilai keindahan/estetis
Nilai yang bersumber pada perasaan manusia.
– Nilai kebaikan/moral
Nilai yang bersumber pada unsur kehendak (will,wollen,karsa)
manusia.
– Nilai religius
Nilai kerohanian tertinggi dan bersifat mutlak yang berhubungan
dengan kepercayaan dan keyakinan manusia serta bersumber pada
wahyu Tuhan Yang Maha Esa.

14
BAB III
KESIMPULAN

Perbandingan etika Pancasila dengan Filsafat Pancasila terletak pada suatu


kesatuan sistem filsafat. Konsep pelaksanaan Pancasila yang bersifat subjektif
dapat tercapai melalui tahap-tahap pemilikan pengetahuan nilai-nilai Pancasila,
ketaatan, dan kesadaran berPancasila dan membawa konsekuensi bahwa perlunya
dirumuskan dalam suatu sistem Etika Pancasila. Sistem Etika Pancasila adalah
sistem Etika dalam pengertian sebagai Filsafat Moral, sehingga dapat diartikan
sebagai refleksi kritis perkembangan moralitas bangsa Indonesia. Filsafat moral
adalah suatu studi atau disiplin filsafat yang memperhatikan pertimbangan-
pertimbangan mengenai pembenaran dan celaan, pertimbangan-pertimbangan
mengenai kebenaran atau kesalahan, kebaikan atau keburukan, aturan-aturan,
tujuan-tujuan atau keadaan-keadaan. Sedangkan, Pancasila sebagai suatu kesatuan
sistem filsafat memiliki dasar ontologis, dasar epistemologis dan dasar aksiologis
sendiri yang berbeda dengan sistem filsafat yang lainnya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Aziz, N. M., 2012. Urgensi Penelitian Dan Pengkajian Hukum Dalam


Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jurnal Rechts Vinding:
Media Pembinaan Hukum Nasional, 1(1), 17-31.
Fuad, F., 2016. Falsafah Hukum Pancasila, Reaktualisasi Staatsfundamentalnorm.
Lex Jurnalica, 13(3), 146185.
Heryansyah, D. 2014. Tanggung jawab pemuda terhadap masa depan
Pancasila. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 21(4), 607-631
Ismaun, 1981, Pancasila sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia, Carya Remaja,
Bandung.
Kaelan, 2009, Filsafat Pancasila, Paradigma, Yogyakarta.
Keraf, A. S., 2006. Etika Lingkungan, cetakan ketiga. Penerbit Buku KOMPAS,
Jakarta.
Semadi, Y. P., 2019. Filsafat Pancasila Dalam Pendidikan Di Indonesia Menuju
Bangsa Berkarakter. Jurnal Filsafat Indonesia, 2(2), 82-89.
Suseno, F. M., 1993. Etika Sosial, Buku Panduan Mahasiswa PBI-PBVI.
Gramedia. Jakarta.
Widisuseno, I., 2014. Azas Filosofis Pancasila Sebagai Ideologi Dan Dasar
Negara. Humanika, 20(2), 62-66.
Wiguna, M. O. C. 2021. Pentingnya Prinsip Kebijaksaanaan Berdasarkan
Pancasila Dalam Kehidupan Hukum Dan Demokrasi Indonesia. Jurnal
Ilmiah Kebijakan Hukum, 15(1), 133-148.

16

Anda mungkin juga menyukai