Anda di halaman 1dari 416

Didedikasikan kepada khalayak media masa depan, khususnya:

Laurence, Alexander, William, Noah, Chaia, Alice, Miranda, Anarosa dan Ava, semua

Teori
Komunikasi
Massa McQuail

Edisi
6
Buku
1

Denis McQuail
Salemba Humanika ®SAGE
Teori Komunikasi Massa Mcquail, Edisi 6 Buku 1
Mcquail’s Mass Communication Theory, 6th ed.
Denis McQuail

Penerjemah: Putri Iva Izzati

Direktur Penerbitan dan Produksi: Edward Tanujaya


Koordinator Penerbitan dan Produksi: Ariyanto
Supervisor Penerbitan: Aulia Novianty Copy Editor:

Deressi Opi M.
Tata Letak: P. Moeloek
Desain Ulang Sampul: Deka Hasbiy

Hak Cipta © 2011, Penerbit Salemba Humanika


Jl. Raya Lenteng Agung No. 101 Jagakarsa,
Jagakarsa, Jakarta 12610
(021)781 8616 (021 ) 78 1 8486
Telp. http:/1 www.penerbitsalemba.com
Faks. info@penerbitsalemba.com
Website
Copyright © 2010 by SAGE Publications Asia-Pacific Pte
(ISAGE E-mail Ltd
33 Pekin Street, #02-01 Far East Square, Singapore 048763

All rights reserved. No part of this book may be reproduced, in any form or by any means, electronic or mechanical or
transmittal including photocopying, recording or by any information storage retrieval system, without permission in writing
from the publisher.

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun, baik
secara elektronik maupun mekanik, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan menggunakan sistem penyimpanan lainnya,
tanpa izin tertulis dari Penerbit.

UNDANG-UNDA
UNDANG-UNDANGNOMOR
NGNOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA ___ ____________________ ________________
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk
itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait seb sebagaimana
agaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

McQuail, Denis

Teori Komunikasi Massa McQuail/Denis McQuail

—Jakarta: Salemba Humanika, 2011 2 jil., 392 him., 19 x


26 cm

ISBN. 978-602-8555-40-1 (Jilid Lengkap)


ISBN. 978-602-8555-32-6 (Jilid 1)

1. Komunikasi 2. Komunikasi Massa


I. Judul II. Denis McQuail
Daftar Isi

Prakata ix
Bagaimana Menggu
Menggu nakan Buk u Ini xi

BAGIAN 1 PENDAHULUAN
PENDAHULUAN 1
1
Pengenalan
Pengenalan terhadap Buk u 3
Objek Studi 4
Struktur Buku ' 5
Tema dan Isu dalam Komunikasi Massa 8
Cara Menggunakan Buku 11
Batasan Cakupan dan Perspektif 11
Berbagai Jenis Teori 15
llmu Komunikasi dan Studi Komunikasi Massa 17
Tradisi Analisis Alternatif: Struktural, Behavioral, dan Kultural 21
Kesimpulan 22
Bacaan Selanjutnya 23
Bacaan Daring 23

2
Munculn ya Media
Media Ma
Massa
ssa 25
Dari Permulaan Hingga Media Massa 26
Media Cetak: Buku 27
Media Cetak: Surat Kabar 30
Media Cetak Lainnya 34
Film sebagai Media Massa 35
Penyiaran 37
Musik Rekaman 41
Revoiusi Komunikasi: Media Baru versus Media Lama 42
Perbedaan di Antara Media 45
Kesimpulan 50
Bacaan Selanjutnya 50
Bacaan Daring 51

BAGIAN
BAG IAN 2 TEORI 53
3
Kons ep dan Model Komun ikasi Massa
Massa 55
Perspektif Awal terhadap Media dan Masyarakat 56
Konsep ‘Massa’ 60
Proses Komunikasi Massa 61
Khalayak Massa 63
vi Daftar Isi
Media Massa sebagai Lembaga Masyarakat 64
Budaya Massa dan Budaya Populer 65
Munculnya Paradigma Dominan dalam Teori danPenelitian 69
Sebuah Alternatif, Paradigma Kritis 72
Empat Model Media Massa 76
Kesimpulan 82
Bacaan Selanjutnya 83
Bacaan Daring 83

4
Teori Media dan Masyarakat 85
Media, Masyarakat, dan Budaya: Hubungan dan Konflik 86
Komunikasi Massa sebagai Proses pada TingkatMasyarakat: Mediasi
Hubungan dan Pengalaman Sosial 89
Kerangka Rujukan dalam Menghubungkan Media dengan Masyarakat 92
Tema I: Kekuasaan dan Ketidaksetaraa
Ketidaksetaraan n/ 94
Tema II: Integrasi Sosial dan Identitas / 97
Tema III: Perubaha
Perubahan n dan Perkembangan Sosial 100
Tema IV: Ruang dan Waktu / 101
Teori Media—Masyarakat I: Masyarakat Mkssa 103
Teori Media—Masyarakat II: Marxisme dah Ekonomi Politik 104
Teori media—Masyarakat III: Fungsionalis
Fungsionalismeme 107
Teori Media—Masyarakat IV: Konstruksionisme
Konstruksionisme Sosial 110
Teori Media—Masyarakat V: Determinisme TeknologiKomunikasi 111
Teori Media—Masyarakat VI: Masyarakat Informasi 114
Kesimpulan 117
Bacaan Selanjutnya 118
Bacaan Daring 118

5
Komun ikasi Massa
Massa dan Budaya 12
121
1
Komunikasi dan Budaya 122
Permulaan: Mazhab Frankfurt dan Teori Budaya Kritis 125
Rehabilitasi Nama Populer 128
Gender dan Media Massa 131
Komersialisasi 135
Teknologi Komunikasi dan Budaya 137
Media Massa dan Budaya Postmodern 141
Kesimpulan 144
Bacaan Selanjutnya 144
Bacaan Daring 145

6
Media
Media Baru—Teori Baru? 147
Media Baru dan Komunikasi Massa 148
Apa yang Baru daridari Media Baru? 150
Tema Utama dari Teori Media Baru 154
Menerapkan Teori Media pada Media Baru 155
Pola Baru Lalu Lintas Informasi 159
Pembentukan Komunitas yang Dimediasi Komputer 162
Partisipasi Politik, Media Baru, dan Demokrasi 165
Teknologi dari Kebebasan? 167
Daftar Isi vii
Penyeimbang atau Pemecah Belah yang Baru? 171
Kesimpulan 173
Bacaan Selanjutnya 174
Bacaan Daring 175

7
Teori Normatif Media
Media dan Masyarakat
Masyarakat 17
177
7
Sumber Kewajiban Normatif 178
Media dan Kepentingan Publik 180
Isu-isu Utama bagi Teori Sosial Media 182
Pendekatan Awal terhadap Teori: Pers sebagai ‘Pilar Keempat’ 185
Komisi Kebebasan Pers Tahun 1947 dan Teori Tanggung Jawab Sosial 187
Profesionalisme dan Etika Media 190
Empat Teori Pers dan Setelahnya 193
Alternatif Penyiaran
Penyiaran Layanan Publik 196
Media Massa, Masyarakat Sipil, dan Ranah Publik 198
Respons terhadap Ketidakpuasan atas Ranah Publik 201
Pandangan Alternatif 202
Teori Normatif Media: Empat Model 204
Kesimpulan 205
Bacaan Selanjutnya 205
Bacaan Daring 206

BAGIAN
BAG IAN 3 STRUKTUR 209
8
Struktur Media
Media dan Kinerja: Prinsip dan Akuntabilitas 21
211
1
Kebebasan Media sebagai Prinsip 212
Kesetaraan Media sebagai Prinsip 216
Keragaman Media sebagai Prinsip 217
Kebenaran dan Kualitas Informasi 221
Tatanan Sosial dan Solidaritas 226
Tatanan Budaya 228
Makna Akuntabilitas 229
Dua Model Alternatif Akuntabilitas 231
Jalur dan Hubungan Akuntabilitas 232
Kerangka Akuntabilitas 234
Kesimpulan 238
Bacaan Selanjutnya 239
Bacaan Daring 240

9
Ekonom i dan Penguasaan
Penguasaan Media
Media 24
243
3
Media ‘Bukan Bisnis Biasa’ 244
Basis Struktur Media dan Tingkat Analisis 247
Beberapa Prinsip Ekonomi Struktur Media 248
Kepemilikan dan Kontrol 254
Kompetisi dan Konsentrasi 256
Pengelolaan Media Massa 261
Peraturan Media Massa: Model Alternatif 263
Pergeseran Paradigma Kebijakan Media 268
Sistem Media dan Sistem Politik 270
Kesimpulan 274
viii Daftar Isi
Bacaan Selanjutnya 274
Bacaan Daring 275

10 Komun ikasi Massa


Massa Global 27
277
7
Asal Mula Globalisasi 278
Tenaga Penggerak: Teknologi dan Uang 280
Struktur Media Global 281
Kepemilikan dan Kontrol Media Multinasional 283
Variasi Media Massa Global 284
Ketergantungan
Ketergantunga n Media Internasional 286
Imperialisme Budaya dan Sesudahnya 287
Proses Transnasionalisasi Media 291
Aliran Berita Internasional
Internasional 293
Perdagangan Global dalamBudaya Media 297
Menuju Budaya Media Global? 299
Pengelolaan Media Global 301
Kesimpulan 303
Bacaan Selanjutnya 303
Bacaan Daring 304

Glosarium G-1
Referensi R-1
Indeks 1-1

Prakata

Edisi ini merupakan perbaikan dan penyatuan dari edisi sebelumnya dibangun dengan keyakinan yang
lebih besar atas proposisi yang menyatakan bahwa komunikasi massa berkembang dan menjadi semakin

rumit daripada menjadi semakin usang. Perkiraan awal mengenai kematian komunikasi massa ini
berdasarkan keyakinan bahwa 'media baru' yang muncul
muncul pada akhir abad ke-20 pada akhirnya akan
terbukti mengungguli segala bentuk media massa tradisional (terutama surat kabar dan siaran televisi).
Hipotesis itu sendiri tidak sejalan dengan pelajaran dari sejarah media yang telah menunjukkan kekuatan
dari berbagai bentuk media yang berbeda, beradaptasi dan bertahan dalam lingkungan baru. Saat ini
merupakan giliran media massa tradisional untuk beradaptasi dengan teknologi baru dalam kondisi sosial,
ekonomi, dan budaya yang telah berubah. Kegigihan komunikasi massa sebagai sebuah proses serta
berbagai akumu
akumulasi
lasi teori dan penelitian dasar yang teru
terus-menerus
s-menerus relevan dengan masa sekarang.
Walaupun demikian, secara berkesinambungan memiliki jenis dan arah kekuatan sosial yang dominan
terutama yang berada di bawah pengaruh globalisasi dan modernisasi/perkembangan. Dengan cara yang
serupa di mana segala bentuk media menjadi mirip, teori media baru dan lama juga menjadi serupa.
Meskipun terdapat perkiraan bahwa komunikasi massa akan berkembang dan bertahan, perubahan

yang terus terjadi di dalam spektrum media komunikasi publik secara mendasar semakin cepat dan terbuka
untuk dapat diamati semua orang. Perubahan ini melampaui kapasitas buku semacam ini untuk
mengimbangi apa yang terjadi di dunia nyata. Akan tetapi, tujuan buku ini seperti sebelumnya bukanlah
untuk mencatat segala perubahan media, tetapi untuk menyediakan dasar teoretis yang teguh untuk
mengamati dan memahami apa yang terjadi di sekitar kita. Bukti-bukti untuk semua hal ini terutama
datang dari aliran temuan penelitian akademis di bidang media dan komunikasi yang muncul terus-
menerus yang selalu dipandu dan diawasi oleh teori, tetapi juga agak lamban munculnya. Perubahan

utama yang terjadi dalam edisi ini dimotivasi oleh tujuan menguji relevansi berkelanjutan atas teori lama
dan teori yang baru, dan jika memungkinkan kepada sebagian besar teori. Sering kali buku ini melaporkan
mengenai efek dan signifikansi media baru yang sangat berguna bagi tujuan yang kedua.
Proses revisi semacam ini tergantung tidak hanya pada mengamati dan menguji teori baru serta bukti
empiris baru, hal ini juga melibatkan kontak yang berkelanjutan dengan pihak lain yang berkecimpung
secara aktif dengan bidang penelitian yang terkait. Saya sangat beruntung memiliki pengalaman terus-
menerus untuk bertukar ide dan untuk belajar hal-hal baru dari rekan kerja, kawan, dan para siswa. Saya
tidak dapat membayar semua utang ini, tetapi saya ingin menyebutkan beberapa orang, tempat, dan
peristiwa yang sangat membantu saya dalam perjalanan ini. Saya telah banyak dibantu, terima kasih
kepada Karin Raeymackers untuk akses yang tersedia ke perpustakaan komunikasi University of Ghent
yang memiliki koleksi jurnal-jurnal internasional terbaru yang cukup langka. Saya juga menghargai
hubungan yang reguler dengan co-editor dan pihak lain yang berkaitan dengan European Journal of

Communication, terutama Els de Bens, Peter Golding, dan Liesbet van Zoonen. Seminar berkala yang
diselenggarakan oleh EJC merupakan pengalaman belajar yang sangat penting. Hubungan yang berlanjut
dengan Euromedia Research
Prakata

Group, untuk partisipasi di dalam berbagai pertemuan dan publikasi yang juga menjadi sumber lain yang
berharga (terlalu banyak nama untuk disebutkan). Sumb
S umber
er lain yang juga mendorong adalah kesempatan
untuk berpartisipasi dalam Sekolah Musim Panas doktoral tahunan yang diselenggarakan oleh European
Communication Research Association (ECREA) yang telah berlangsung selama lima tahun terakhir di
University of Tartu, Estonia. Saya juga diuntungkan oleh undangan untuk mengajar atau memberikan
kuliah di sejumlah universitas. Ucapan terima kasih atas kehormatan ini saya sampaikan kepada Prof.
Takesato Watanabe di Doshisha University, Kyoto. Saya juga memiliki utang yang sama kepada Helena
Sousa dari University of Minho, Portugal; Josef Trappel dari University of Zurich; Elena Vartanova dari
Moskow University, Fakultas Jurnalisme; Miquel de Moragas Spa dari Autonomous University Barcelona;
Miroljub Radoikovich dari University of Belgrade; Konca Yumlu dari Ege University, Izmir; Vita Zelce dan
Inta Brikse dari University of Latvia. Menyebutkan nama-nama selalu terasa sedikit tidak menyenangkan
karena saya harus melewatkan banyak nama, tetapi
t etapi saya akan menyebutkan penghargaan saya atas kontak
yang diperbarui dengan rekan-rekan lama, Jay Blumler dan hubungan saya dengan para Saudara Sejiwa,
Cliff Christians, Ted Glasser, Bob White dan Kaarle Nordenstreng, terutama karena buku 'abadi' kita
mengenai teori normatif media akhirnya muncul, dan lebih dari sekadar basa-basi untuk mengatakan
bahwa buku ini
i ni tidak akan dapat muncul
muncul tanpa inisiatif, kegigihan, dan antusiasm
antusiasmee M
Mila
ila Steele dari Sage
Publications. Saya berharap buku ini memenuhi pengharapannya yang tinggi. Buku ini mungkin edisi
terakhir, di tangan saya paling tidak, tetapi jika komunikasi massa akan bertahan, demikian pula teori
komunikasi massa.
Prakata ini ditulis selama kunjungan dari para cucu yang telah terbentuk menjadi khalayak masa
depan media massa. Untuk alasan ini, saya mendedikasikan buku ini kepada mereka semua, meminjam ide
dari Hanno Hardt. Terakhir, terima kasih banyak untuk istri saya, Rosemary yang membuat banyak hal
menjadi mungkin.

Eastleigh, Hampshire, Inggris Raya, November 2009


Bagaimana Menggunakan Buku Ini

Teks ini paling baik digunakan oleh para pembaca sebagai sumber untuk belajar mengenai topik
tertentu. Ada beberapa cara untuk melakukan ini. Tabel isi menyediakan panduan awal atau peta untuk
buku ini,
i ni, dan setiap bab dimul
dimulai
ai dengan daftar subbab untuk menuntun diri Anda sendiri di buku ini.
Indeks subyek di akhir buku mencakup semua kata-kata kunci dan topik dan juga dapat digunakan untuk
penelitian awal.
Setiap bab memiliki kotak-kotak untuk membantu Anda mendalami latar belakang, relevansi dan
penelitian atas tema dan teori yang dibahas dalam buku. Simbol-simbol di samping kotak-kotak tersebut
membantu arah Anda, sehingga dapat dengan cepat menemukan rangkuman, ringkasan, pengecekan
nama, dan lebih jauh lagi dengan kutipan kunci dan informasi tambahan.

Teori: Kotak ini akan memberikan poin-poin gambaran atas proposisi teoretis yang penting,

■ membantu menyatukan pemahaman Anda akan tema dan teori yang utama.

I Informasi: Kotak ini menambahkan informasi tambahan yang penting terhadap diskusi. Tabel dan
daftar memberikan Anda informasi ekstra untuk membantu membumikan teori dengan data-data
empiris.
Rangkuman: Gunakan ini sebagai referensi mudah untuk merangkum banyak tema dan prinsip
kunci ketika Anda membaca.
59 Kutipan: Kata-kata dari para pemikir terkenal dan tulisan yang akan memperjelas dan
menekankan prinsip yang penting dan akan membantu Anda mengakrabkan dengan beberapa
hasil penelitian komunikasi massa.
O Pertanyaan: Pertanyaan kunci yang mencerminkan rangkuman dari bagian utama dan poin debat
atas isu utama dalam teori.
Penelitian: Contoh-contoh penelitian yang akan membantu Anda memahami cara-cara bagaimana

eg pertanyaan teoretis dapat dijawab secara empiris.


Bacaan selanjutnya: Tujuan penting dari buku ini adalah menyediakan panduan untuk studi
selanjutnya.
selanjutnya. Setiap bab diakhiri dengan
de ngan daftar catatan buku bacaan lebih lanjut di mana penelitian
yang dibahas dapat lebih didalami secara mendetail.
Bacaan daring: Semua bacaan yang ditandai dengan tetikus (mouse) dapat diakses secara gratis di
■'I laman (www.sagepub.co.uk/mcquail6)
www.sagepub.co.uk/mcquail6 ). Artikel-artikel ini membahas isu dan teori secara
mendetail dan memberikan tautan yang berharga untuk sumber lain yang relevan. Glosarium:
*
Pada akhir buku Anda akan menemukan daftar kata-kata dari semua konsep kunci yang
dijelaskan dalam buku. Daftar kata-kata ini ditandai dengan cetak tebal dan dengan tanda bintang
pada margin untuk membantu melakukan pengecekan silang dengan cepat.
Bagian 1
Pendahulua
n
Pengenalan
Pengenalan terhadap buk u
Muneulnya media massa
1
Pengenalan terhadap Buku
Objek
Objek studi 4
Struktur buku 5
Tema dan isu dalam komu nikasi massa 8
Cara memperlakuk an buk u 11

Batasan cakupan dan perspektif 11


Berbagai jenis teori 15
llmu komuni kasi dan studi komunik asi massa 17
Tradisi analisis
analisis alternatif:
alternatif: strukt ural, behavioral,
behavioral, dan kultur al 21
Kesimpulan 22
4 Pendahuluan

Objek Studi
Studi
Istilah ‘komunikasi massa’ (mass communication) dicetuskan sebagaimana juga ‘media
massa’ (mass media) pada awal abad ke-20 untuk menggambarkan apa yang kemudian

merupakan fenomena sosial baru dan ciri utama dari dunia baru yang muncul yang
dibangun pada fondasi industrialisme dan demokrasi populer. Zaman tersebut ditandai
dengan perpindahan ke kota-kota serta melewati perbatasan dan juga pergulatan antara
kekuatan perubahan, dan penindasan, serta konflik antara monarki dan negara bangsa.
Media massa (dalam bentuk jamak) merujuk kepada alat untuk berkomunikasi secara
terbuka yang terorganisir dalam jarak jauh, dan kepada banyak orang dalam waktu
singkat. Mereka lahir ke dalam konteks dan konflik di era peralihan ini dan secara terus-
menerus dihubungkan dengan tren dan perubahan masyarakat dan budaya, seperti
yang dialami pada tingkat personal maupun masyarakat dan ‘sistem dunia’.
Media massa awal (surat kabar, majalah, fonogram, film, dan radio) berkembang
dengan pesat hingga menjadi seperti yang kita kenali bentuknya pada saat ini dengan
perubahan utama pada skala dan diversifikasi, ditambah dengan munculnya televisi

pada pertengahan abad ke-20. Secara serupa, apa yang kita anggap sebagai ciri utama
dari komunikasi massa pada tujuh puluh tahun yang lalu atau lebih, masih sama
sebagaimana yang kita anggap saat ini: kemampuan mereka untuk menjangkau seluruh
populasi dengan cepat dan dengan informasi, opini, dan hiburan yang sama; ketakjuban
universal yang sama; rangsangan mereka akan harapan dan ketakutan dengan ukuran
yang sama; hubungannya dengan sumber-sumber kekuasaan di masyarakat; dan asumsi
akan dampak dan pengaruh mereka yang besar. Tentu saja terdapat banyak perubahan
yang terjadi dalam spektrum ketersediaan media dan dalam banyak aspek yang
mencakup bentuk dan isinya. Salah satu tujuan dari buku ini adalah untuk mencatat dan
mengukur perubahan-perubahan yang terjadi.
Kita perlu memahami bahwa komunikasi massa yang digambarkan tidak lagi
menjadi satu-satunya alat komunikasi pada tingkat masyarakat (maupun global).

Teknologi baru telah berkembang yang terdiri atas jaringan potensial cadangan
komunikasi. Komunikasi massa dalam artian skala besar, merupakan konten publik
yang mengalir satu arah yang terus berkuasa, tidak lagi hanya dimiliki oleh media
massa ‘tradisional’. Media-media ini dilengkapi oleh media baru (terutama Internet dan
teknologi mobile) serta jenis-jenis konten dan aliran baru yang juga dibawa pada saat
yang bersamaan. Perbedaannya yang utama adalah pada karakternya yang lebih luas
jangkauannya,
jangkauannya, kurang terstruktur, dan sering kali bersifat interaktif, seperti
s eperti privat dan
individualis.
Bagaimanapun perubahan yang terjadi, signifikansi media massa dalam
masyarakat kontemporer tidak diragukan lagi, baik dalam ranah politik, budaya,
kehidupan sosial sehari-hari, maupun ekonomi. Dalam kaitannya dengan politik, media
massa memberikan arena debat dan seperangkat saluran untuk membuat kebijakan,

kandidat, fakta, dan ide relevan yang terkenal, seperti menyediakan alat bagi para
politisi, kelompok kepentingan, dan agen pemerintah untuk melakukan publisitas dan
Pengenalan terhadap Buku 5

menanamkan pengaruh. Dalam kaitannya dengan budaya, media massa bagi sebagian
besar orang merupakan sumber utama representasi
representasi dan ekspresi bu
budaya,
daya, dan
merupakan sumber utama gambaran realitas sosial dan sumber untuk membentuk dan
menjaga identitas sosial. Kehidupan sosial sehari-hari secara kuat dipolakan oleh
rutinitas penggunaan media dan dipengaruhi oleh konten-konten media, seperti
bagaimanaa cara kita menghabiskan waktu luang, gaya hidup yang berpengaruh,
bagaiman berpengaruh, ttopik
opik
apa yang diperbincangkan, dan segala model perilaku yang ditawarkan bagi segala hal.
Secara berangsur-angsur, media telah tumbuh dengan memiliki nilai ekonomi, dengan
semakin besar dan mendunianya korporasi media yang mendominasi pasar media,
dengan pengaruhnya yang meluas ke industri-industri olahraga, wisata, waktu luang,
makanan dan pakaian, dan dengan kesalingterhubungan dengan telekomunikasi dan
semua sektor ekonomi berbasis informasi.
Untuk semua alasan di atas, fokus kita terhadap komunikasi massa tidak terbatas
kepada media massa saja, tetapi juga berkaitan dengan segala aspek proses asli, tidak
mempedulikan teknologi atau jaringan macam apa yang terlibat, hingga kepada segala
jenis dan proses komunikasi yang luas yang disampaikan kepada publik secara teknis.
Kata-kata publik’ di sini tidak hanya berarti terbuka bagi semua khalayak dan pengirim
pesan tertentu, tetapi juga berhubungan dengan informasi dan budaya yang menjadi
kepentingan dan keprihatinan masyarakat, tanpa menunjuk kepada satu individu
tertentu. Tidak ada batasan yang jelas antara apa yang bersifat pribadi dan publik, tetapi
perbedaan secara kasar dapat dibuat. Buku ini dirancang untuk berkontribusi kepada
studi publik dan memahami komunikasi massa dalam semua bentuknya dan untuk
menyediakan ikhtisar ide dan penelitian yang dipandu oleh tema dan isu yang
dirangkum di bawah ini.

Struktur Buku
Isi buku dibagi ke dalam dua puluh bab, dikelompokkan menjadi delapan
subkelompok. Bagian penting yangpertama adalah “Teori” ( theory) (II), memberikan
gambaran atas ide yang paling mendasar dan juga paling umum mengenai komunikasi
massa dengan referensi tertentu kepada banyak hubungan yang ada antara media dan
kehidupan sosial budaya. Bagian ini diawali dengan rangkuman singkat sejarah media
massa dan masyarakat. Perbedaan mendasar dari berbagai perspektif media,
keberagaman topik yang ditawarkan, dan berbagai cara untuk menggambarkan
permasalahan yang bergantung pada nilai dari si pengamat. Subjek semacam ini tidak
dapat dengan sederhana dipelajari sebagai satu-satunya perangkat metode yang
‘objektif’.
Terdapat beberapa jenis teori yang akan dijelaskan dalam bab ini, tetapi pada
dasarnya sebuah teori adalah proposisi umum yang berdasarkan pada pengamatan dan

argumen logis yang menyatakan bahwa hubungan antara fenomena yang diamati
adalah untuk menjelaskan atau memperkirakan hubungan, dan sejauh ini hal tersebut
Pengenalan terhadap Buku 6

dimungkinkan. Tujuan utama dari teori adalah untuk memaknai realitas yang diamati
serta untuk memandu sekumpulan bukti-bukti yang ada dan sekaligus
mengevaluasinya. Sebuah konsep (lihat Bab 3) merupakan istilah inti di dalam teori
yang merangkum aspek penting dari permasalahan yang dipelajari dan dapat
digunakan untuk mengumpulkan dan menerjemahkan bukti-bukti. Konsep
membutuhkan definisi yang hati-hati. Model adalah perwakilan selektif dalam bentuk
verbal atau bagan, dari aspek-aspek proses komunikasi massa yang dinamis. Model
dapat juga menggambarkan hubungan ruang dan waktu antar-elemen di dalam sebuah
proses.
Bagian ‘Teori’ memiliki bahasan yang terpisah dari ‘masyarakat’ dan ‘budaya’
walaupun pemisahan ini bersifat buatan karena yang masing-masing tidak dapat berdiri
tanpa yang lain. Akan tetapi dengan persetujuan bersama, ‘masyarakat’ umumnya
merujuk pada segala bentuk hubungan sosial, mencakup segala bentuk kekuasaan dan
otoritas (pemerintah) hingga persahabatan dan hubungan keluarga sebagaimana seluruh
aspek materi kehidupan. ‘Budaya’ merujuk pada ide, keyakinan, identitas, segala bentuk
ekspresi simbolik, termasuk bahasa, seni, informasi dan hiburan, serta kebiasaan dan
adat. Terdapat dua komponen lainnya. Satu yang berhubungan dengan norma dan nilai
diterapkan pada perilaku organisasi media. Di sini, teori berhadapan dengan apa yang
seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan oleh media, alih-alih hanya membahas apa
dan mengapa mereka melakukan sesuatu. Tidaklah mengherankan bila terdapat
beragam pandangan
pandangan atas masalah ini, terutama
terutama atas klaim
klaim yang kuat
kuat bahwa m
media
edia bebas
dari aturan dan kontrol atas nama kebebasan berpendapat dan ekspresi artistik, serta
pendapat publik yang kuat mengenai tanggung jawab media.
Bagian yang kedua membahas konsekuensi perubahan media terhadap teori,
terutama karena munculnya media baru yang interaktif, misalnya Internet yang
merupakan bentuk ‘media massa’ jika dilihat dari ketersediaannya, tetapi tidak terlalu
berkaitan dengan ‘komunikasi
‘komunikasi massa,’
massa,’ seperti yang sebelumn
sebelumnya
ya telah dijelaskan. Isu
yang dihadapi di sini adalah apakah ‘media baru’ membutuhkan teori baru yang
berbeda dari yang berlaku pada saat ini kepada ‘komun
‘komunikasi
ikasi massa’,
massa’, dan apakah
komunikasi massa sedang mengalami kemunduran.
Bagian ‘Struktur’ (structure ) (bagian III) berhubungan dengan tiga topik utama.
Pertama, bagian ini membahas keseluruhan sistem media dan bagaimana sistem ini
umumnya dijalankan di tingkat nasional. Konsep intinya adalah bahwa ‘lembaga media
yang diterapkan kepada media baik sebagai cabang industri yang patuh hukum
ekonomi, maupun sebagai institusi sosial yang memenuhi kebutuhan masyarakat dan
tunduk pada persyaratan hukum dan peraturan dalam beberapa tingkatan dipandu oleh
kebijakan publik. Media tidak biasanya berbisnis ‘berdasarkan kepentingan publik’,
sekaligus bebas dari kewajiban-kewajiban hukum tertentu. Topik kedua berkaitan
dengan pengamatan terperinci atas pengharapan normatif dari media sebagai bagian
dari publik, pemerintah, dan khalayak dengan rujukan tertentu terhadap prinsip dan
standar kinerja mereka. Standar seperti apa yang harus diterapkan, bagaimana kinerja
media dapat diukur, dan dengan cara apa media dapat dikatakan bertanggung jawab?
Pendahuluan

Bagian ketiga melihat pada fenomena media global yang semakin tumbuh, serta ‘sistem
Pengenalan terhadap Buku 7

dunia dari media yang berasal baik dari teknologi produksi dan penyiaran baru
yang berbasis komputer, maupun dari tren masyarakat global yang lebih besar.
‘Organisasi’ (organization) (bagian IV) (yang akan dibahas pada buku 2) berfokus
pada inti dari produksi media, baik berupa sebuah firma maupun departemen di dalam

sebuah firma yang lebih besar dan yang berkaitan dengan beragam pengaruh yang
membentuk produksi. Di dalamnya termasuk tekanan dan permintaan dari luar batasan
organisasi, persyaratan atas rutinitas produksi massal’ berita dan budaya, serta
kecenderungan pribadi dan profesional dari para ‘komunikator massa’. Terdapat
beberapa teori dan model yang mencoba
mencoba menjelaskan konsistensi yang teramati dalam
proses seleksi dan pembentukan ‘konten’ secara internal sebelum disiarkan.
‘Konten (content) (bagian V) (yang akan dibahas pada buku 2) dibagi ke dalam dua
bab; bab yang pertama terutama membahas
membahas mengenai
mengenai pendekatan dan metode untuk
untuk
melakukan
melakukan analisis konten. Terlepas dari gambaran sederhana dari label ya ng diberikan
secara internal terhadap hasil keluaran media, tidaklah mudah sama sekali untuk
menggambarkan konten dengan cara yang informatif karena tidak ada persetujuan akan
di mana ‘makna sesungguhnya’ dapat ditemukan, baik di antara para produsen,
penerima, dan teks dari ‘pesan’ itu sendiri. Bab yang kedua, teori serta bukti
dikumpulkan untuk menjelaskan beberapa konsistensi yang dapat diamati pada konten
itu sendiri dengan rujukan tertentu dari genre berita.
Pada bagian ‘Khalayak’ (audience) (bagian VI) (yang akan dibahas pada buku 2),
‘khalayak’ merujuk pada seluruh dari banyak lapisan pembaca, pendengar, dan
penonton yang menerima konten media atau merupakan target dari penyiaran media.
Tanpa adanya khalayak tidak mungkin ada komunikasi massa, dan khalayak memiliki
peranan dinamis dalam membentuk aliran dan efek dari media. Lagi-lagi, analisis
khalayak merupakan tugas yang sangat banyak dan dapat dilakukan untuk berbagai
tujuan yang berbeda. Analisis ini lebih dari sekadar ‘pengukuran’ khalayak atas nama
kepentingan industri media dan telah berevolusi melalui berbagai jalur teoretis yang
penting. Teori khalayak berkaitan tidak hanya dengan pertanyaan ‘mengapa’ dari
penggunaan media, tetapi juga berkaitan dengan penyebab dan hubungannya dengan
kehidupan sosial dan budaya. ‘Penggunaan media telah menjadi saling terhubung
dengan aktivitas lain, sehingga kita tidak dapat lagi memperlakukannya dengan cara
terisolasi dari faktor-faktor pengalaman kita yang lain. Pertanyaan kunci yang harus
dijawab adalah apakah media telah berevolusi sedemikian rupa melampaui tingkatan
komunikasi massa, sehingga sebuah konsep yang berdasarkan gambaran dari penerima
media pasif masih layak dipertimbangkan.
Pertanyaan dari ‘Efek’ (effect ) media (bagian VII) (yang akan dibahas pada buku 2)
berada pada bagian awal
awal dan kesimpu
kesimpulan
lan buku dan merupakan pusat dari kekhawatiran
kekhawatiran
sosial dan budaya terhadap media massa. Efek ini terus-menerus melahirkan teori yang
berbeda dan menimbulkan
menimbulkan ketidaksepaham
ketidaksepahaman.
an. Jalan alternatif kepada tujuan untuk
untuk
mengukur sebuah efek masih berupa kerangka kasar. Perbedaan dari jenis-jenis efek
dapat dijelaskan, terutama perbedaan antara efek yang disengaja dan yang tidak
disengaja serta antara dampak jangka pendek terhadap individual dan dampak jangka
panjang terhadap kebudayaan dan masyarakat. Wilayah utama dari teori dan penelitian
8 Pendahuluan

efek media masih cenderung berfokus pada satu sisi pada efek yang berpotensi
berbahaya pada kehidu
kehidupan
pan sosial budaya, dari konten media populer
populer terutama yang
melibatkan tayangan seks dan kekerasan, dan di sisi lain terhadap pengaruh media atas
pengetahuan dan opini publik. Bab-bab ini diatur berdasarkan hal tersebut.

Tema dan Isu dalam Komun


Ko munikasi
ikasi Massa
Isi dari buku ini merupakan suntingan dari sejumlah tema umum yang berulangkali
terjadi pada diskusi mengenai asal mula sosial, signifikansi dan efek dari komunikasi,
baik pada tingkatan personal maupun pada tingkatan masyarakat secara keseluruhan.
keseluruhan.
Pada titik ini kita dapat mengidentifikasi tema-tema utama sebagai berikut:

• Waktu. Komunikasi berlangsung pada waktu dan tempat dan sangatlah penting
kapan dan seberapa lama komunikasi itu terjadi. Teknologi komunikasi secara stabil
melakukan peningkatan kecepatan, sehingga volume informasi dapat disiarkan dari
satu titik ke titik lain. Teknologi juga mampu menyimpan informasi untuk

dikembalikan lagi pada waktu lain. Konten media massa secara spesifik berguna
sebagai penyimpan memori bagi masyarakat dan kelompok-kelompok di dalamnya,
dan memori ini dapat secara selektif dikembalikan atau dihapus.
• Tempat. Komunikasi dibuat di tempat tertentu dan mencerminkan ciri-ciri konteks
di mana komunikasi terjadi. Hal tersebut berfungsi untuk mendefinisikan tempat
bagi para pendudu
penduduknya,
knya, dan juga untuk membangun identitas. Hal ini juga
menghubungkan berbagai tempat, mengurangi jarak yang memisahkan individu,
negara, dan budaya. Tren besar dalam komunikasi massa dikatakan memiliki efek
yang mengubah budaya lokal (delokalisasi), dan membangun sebuah ‘kawasan’
global baru yang semakin lama dianggap semakin akrab oleh masyarakat.
• Kekuatan. Hubungan sosial dibangun dan didorong oleh kekuatan, yaitu ketika
keinginan sebuah partai dilawan oleh yang lain, baik itu secara sah maupun tidak,
atau oleh pengaruh di mana kemauan dari pihak lain diikuti. Komunikasi semacam
itu tidak memiliki kekuatan yang memaksa, tetapi merupakan komponen tetap dan
alat yang sering kali digunakan untuk menunjukkan kekuasan, baik secara efektif
maupun tidak. Meskipun adanya perhatian yang sifatnya sukarela terhadap media
massa, pertanyaan akan kekuatan mereka terhadap khalayak tidaklah pernah
hilang.
• Realitas sosial. Asumsi di balik sebagian besar teori komunikasi massa adalah bahwa
kita menempati dunia ‘nyata’ dari kondisi dan peristiwa yang dapat diketahui.
Media menyediakan laporan dan refleksi realitas ini kepada kita dengan tingkatan
akurasi, keutuhan, atau kepercayaan yang bermacam-macam. Konsep ‘kebenaran’
sering kali diterapkan sebagai standar untuk konten berita dan fiksi, seberapa pun
sulitnya untuk menggambarkan dan mengukurnya.
Makna. Sebuah tema tertentu yang secara terus-menerus muncul berkaitan dengan
penafsiran ‘pesan’ atau konten media massa. Sebagian besar teori media massa
Pengenalan terhadap Buku 9

bergantung
bergantung pada asumsi
asumsi yang dibuat
dibuat mengenai makna yang mereka bawa, baik dilihat
dari sudut pandang pengirim, penerima, maupun pengamat netral. Sebagaimana yang
telah dibahas sebelumnya, tidak adanya sumber makna yang tunggal serta tidak ada
satu cara yang pasti untuk menyatakan makna yang dimaksud, menimbulkan potensi
munculnya perselisihan dan ketidakpastian yang tidak berujung.
Hubungan sebab-akibat dan determinisme. Secara alamiah, teori selalu mencoba menjawab
pertanyaan sebab dan akibat, baik dengan memberikan proposisi yang menghubungkan
beberapa pengamatan
pengamatan atau secara langsung
langsung memberikan
memberikan pertanyaan untuk
untuk menen
menentukan
tukan
apakah satu faktor menyebabkan faktor lainnya. Pertanyaan mengenai sebab muncul
tidak hanya berhubungan dengan konsekuensi pesan media terhadap individu, tetapi
juga berhubungan
berhubungan dengan pertanyaan historis mengenai
mengenai munculnya
munculnya lembaga media
pada mulanya dan alasan mengapa mereka memiliki ciri konten dan karisma tertentu.
Apakah media menyebabkan dampak tertentu pada masyarakat ataukah mereka hanya
hasil dan cerminan dari kekuatan sosial yang lebih awal dan lebih besar?
Mediasi. Sebagai alternatif terhadap ide sebab-akibat, kita dapat menganggap bahwa
media menyediakan peristiwa, hubungan, saluran, tempat, dan panggung untuk

sirkulasi informasi dan ide. Dengan cara media, makna dibentuk sementara kekuatan
sosial dan budaya bekerja secara bebas menurut beragam logika dan tanpa hasil yang
dapat diprediksi. Proses mediasi secara tidak terelakkan, memengaruhi atau mengubah
makna yang diterima dan terdapat kecenderungan yang meningkat agar realitas’
disesuaikan dengan permintaan terhadap presentasi media daripada sebaliknya.
Identitas. Hal ini merujuk pada makna bersama yang berasal dari kebudayaan,
masyarakat, tempat, atau kelompok sosial dan melibatkan banyak faktor, termasuk
kebangsaan, bahasa, pekerjaan, etnis, agama, kepercayaan, gaya hidup, dan lain- lain.
Media massa dihubungkan dengan banyak aspek berbeda dari pembentukan,
pemeliharaan, dan penghancuran identitas. Mereka dapat mendorong ataupun
merefleksikan perubahan sosial dan menggiring pada integrasi maupun disintegrasi.
Perbedaan budaya. Di hampir setiap kesempatan, studi tentang isu yang berkaitan dengan

media mengingatkan kita bagaimana kinerja komunikasi massa dan lembaga media—
meskipun adanya kesamaan-kesamaan di seluruh dunia dipengaruhi oleh perbedaan
budaya di tingkat individu,
individu, subkelompok,
subkelompok, bangsa, dan seterusnya. Produksi
Produksi dan
penggunaan media massa merupakan praktik sosial yang bertahan dari kecenderungan
umum dari teknologi dan konten yang diproduksi massal. Pemerintahan. Istilah ini
merujuk pada semua alat di mana media-media diatur dan dikontrol oleh peraturan,
hukum, undang-undang, dan kode, seperti yang diatur oleh manajemen pasar. Terdapat
evolusi yang terjadi terus-menerus yang berkaitan dengan perubahan teknologi dan
masyarakat.
Pendahuluan

Ketika kita membahas isu yang akan dibahas dalam buku ini, kita merujuk pada
masalah yang lebih spesifik yang menyebabkan perselisihan di wilayah publik. Masalah
ini berhubungan dengan pertanyaan mengenai bagaimana opini publik terbentuk,
mengenai apakah pemerintah dapat diharapkan untuk mengeluarkan kebijakan yang
sifatnya mencegah atau memperbaiki, atau mengenai bagaimana media sendiri
mungkin memiliki tanggung jawab. Tidak semua isu merupakan hal yang problematik
dalam artian yang negatif, tetapi mereka melibatkan pertanyaan mengenai tren terbaru
atau mendatang yang signifikan secara baik atau buruk. Tidak ada daftar masalah yang
sangat lengkap, tetapi yang ada di bawah ini terdiri atas isu utama yang muncul yang
sebagian besar telah akrab bagi pembaca. Mereka
M ereka tidak hanya berfungsi sebagai contoh
isi buku, tetapi juga sebagai pengingat akan signifikansi topik media di masyarakat dan
potensi relevansi teori untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut. Isu-isu
ini dibagi menurut wilayah yang mereka tempati.

Hubungan dengan politik dan negara

• Kampanye dan propaganda politik.


• Partisipasi warga negara dan demokrasi.
• Peranan media dalam kaitannya dengan perang dan terorisme.
• Pengaruhnya dalam pembuatan kebijakan luar negeri.
• Mendukung atau melawan sumber kekuasaan.

Isu kebudayaan

• Globalisasi konten dan pergerakannya.


• Mempromosikan kualitas kehidupan berbudaya dan produksi budaya.
• Efek terhadap identitas sosial dan budaya.

Permasalahan sosial

• Definisi realitas dan mediasi atas pengalaman sosial.


• Terkait dengan kejahatan, kekerasan, pornografi, dan penyimpangan.
• Hubungannya dengan tatanan maupun kekacauan sosial.
• Promosi atas informasi masyarakat.
• Penggunaan dan kualitas waktu luang.
• Ketidaksetaraan sosial dan budaya.

Pertanyaan normatif

• Kebebasan berbicara dan berekspresi.


• Ketidaksetaraan sosial budaya: kelas, etnis, gender, dan seksualitas.
• Norma, etika, dan profesionalisme media.
• Akuntabilitas media dan tanggung jawab sosial.

Permasalahan ekonomi
Pengenalan terhadap Buku i f

• Derajat pemusatan.
• Komersialisasi konten.
• Penjajahan global dan ketergantungan.

Cara Menggunakan Buku


Buku ini ditulis sebagai narasi yang berkelanjutan yang diikuti dengan logika tertentu.
Buku ini dimulai dengan sejarah singkat media, diikuti dengan ikhtisar umum dari
konsep utama dan teori yang berkaitan dengan hubungan antara komunikasi massa di
satu sisi dan masyarakat serta kebudayaan di sisi lain. Setelah itu, urutan konten
mengikuti aturan dari sumber’ dalam bentuk organisasi media massa, atas konten yang
mereka produksi dan sebarkan, hingga penerimaan oleh khalayak dan beragam efek
yang mungkin muncul. Hal ini sepertinya sulit disarankan dalam pandangan mengenai
bagaimanaa kita seharu
bagaiman seharusnya
snya mendekati subjek, walaupun
walaupun bukan itu tuju
tujuannya.
annya.
Karena karakter yang beragam atas isu-isu yang disampaikan dan kerumitan dari
masing-masing isu, hanya dimungkinkan untuk memberikan penilaian yang singkat.
Setiap bab dimulai dengan pengenalan ringkas dari topik utama yang akan dibahas. Di
dalam bab, isi buku dibagi ke dalam subbagian tertentu. Topik tidak dijelaskan menurut
tema dan isu secara ringkas itu, tetapi mencerminkan beragam fokus teori dan
penelitian yang telah dilakukan untuk menguji teori. Secara umum, pembaca akan
menemukan definisi dari konsep-konsep yang relevan, sebuah penjelasan atas topik,
penilaian singkat atas bukti yang relevan dari penelitian dan penilaian secara
keseluruhan terhadap permasalahan yang ada. Setiap bab diakhiri dengan ikhtisar
singkat dari kesimpulan yang ada. Istilah kunci dirangkum ke dalam teks di dalam
‘kotak’ yang memberikan fokus dan untuk membantu dalam mengingat.

Batasan
Batasan Cakupan d an Persp
Perspektif
ektif
Walaupun buku ini memiliki cakupan bahasan yang sangat luas dan dimaksudkan
untuk dapat diterapkan kepada fenomena komunikasi massa secara umum, alih-alih
hanya pada satu negara tertentu, maka penerapan dari tujuan yang dimaksud menjadi
terbatas dalam berbagai cara. Pertama, penulis memiliki latar belakang lokasi,
kebangsaan, dan budaya yang membentuk pengalaman, pengetahuan, dan sudut
pandangnya.
Terdapat banyak lingkup untuk melakukan penilaian subjektif dan sangat sulit untuk menghindarinya,
bahkan ketika mencob
mencobaa untuk menjadi objektif. Kedua, ‘fenomena
‘fenomena komunikasi massa itu sendiri tidak
bebas dari konteks budaya
budaya di mana fenomena
fenomena tersebut diamati, me
meskipun
skipun adanya kesam
kesamaan
aan teknolo
teknologi
gi dan
kecenderungan untuk keseragaman bentuk organisasi media serta perilaku dan konten media itu sendiri.
Walaupun sejarah lembaga media massa menggambarkannya sebagai ‘temuan dari Barat’ yang telah
diterima sebagai bagian dari proses ‘modernisasi’ dari Amerika dan Eropa kepada seluruh dunia, terdapat
Pendahuluan

sejarah alternatif dan penyebaran yang jauh dari proses satu arah atau deterministik. Singkatnya, teori
semacam ini memiliki bias ‘barat’ yang tidak dapat dielakkan. Isi teori sebagian besar berasal dari sumber
barat, terutama
terutama di Eropa dan
dan Amerika Utara dan ditulis
ditulis dalam
dalam bahasa Inggris,
Inggris, dan pe
penelitian
nelitian yang
yang menguji
menguji
ide-ide yang ada juga berasal dari lokasi yang sama. Hal ini tidak berarti bahwa teori tersebut menjadi

tidak valid di tempat-tempat lain, tetapi berarti bahwa kesimpulan yang ada bersifat perkiraan, dan ide
alternatif perlu dibentuk dan diuji.
Karekteristik dari hubungan antara media dan masyarakat tergantung pada kondisi waktu dan
tempat. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, buku ini sebagian besar membahas tentang media
massa dan komunikasi massa di negara ‘maju’ yang modern yang sebagian besar merupakan negara
demokrasi dengan paham ekonomi pasar bebas (atau campuran) yang tergabung ke dalam perangkat
ekonomi dan politik internasional yang lebih luas yang mencakup pertukaran, kompetisi, dan juga
dominasi atau konflik. Sangat mungkin bahwa media massa diperlakukan secara berbeda oleh masyarakat
yang memiliki karekteristik ‘nonbarat’, terutama masyarakat yang tidak terlalu individualis dan lebih
bersifat komunal,
komunal, tidak sekul
sekuler,
er, dan lebih religius.
religius. Terdapat tradisi serta
serta teori dan praktik
praktik media yang lain,
lain,
bahkan jika teori media barat telah menjadi bagian dari proyek hegemoni media global. Perbedaannya
Perbedaannya
bukan hanya pada perkemban
perkembangan
gan ekonomi yang lebih maju atau lebih terbelakang, lebih besar karena
perbedaan budaya dan pengalaman sejarah yang ada. Masalahnya menjadi semakin besar daripada
sekadar permasalahan elemen etnosentrisme yang tidak dapat dihindari karena hal tersebut juga ada pada
tradisi penelitian sosial yang umumnya berakar pada pemikiran barat. Alternatif terhadap ilmu sosial yang
ditawarkan oleh kajian budaya juga kurang lebih memiliki karakter kebarat-baratan pula.
Walaupun tujuannya adalah untuk penilaian terhadap teori dan bukti seobjektif mungkin, studi
komunikasi massa tidak dapat terhindar dari pertanyaan akan nilai, serta konflik sosial politik. Seluruh
masyarakat memiliki tekanan laten ataupun terbuka, serta perselisihan yang sering kali meluas ke wilayah
internasional. Media tidak dapat menghindar untuk terlibat pada perselisihan ini karena para produsen
dan penyebar makna dari peristiwa dan konteks kehidupan sosial berasal dari pribadi maupun publik.
Dari pernyataan ini, kita tidak dapat mengharapkan studi komunikasi massa yang netral yang secara
ilmiah memeriksa informasi tentang efek atau makna dari sesuatu yang sangat kompleks sebagaimana
pula mengatur proses intersubjektif. Dengan alasan yang sama, sering kali sulit untuk membangun teori
mengenai komunikasi massa dengan cara yang terbuka bagi pengujian empiris.
!
Pengen
alan
terhada
p Buku
Media 13
sentris

Media kulturalis Media materialis

Kulturalis Materialis

Masyarakat kulturalisMasyarakat materialis

Masyarakat sentris

Gambar 1.1 Dimensi dan jenis-jenis teori media. Empat pendekatan besar dapat
diidentifikasi menurut dua dimensi: media sentris ( media-centric) versus masyarakat
sentris (society-centric)-, serta kulturalis (culturalist) versus materialis ( materialist)

Tidak mengherankan bila wilayah teori media juga dicirikan dengan berbagai
perspektif yang berbeda. Pendekatan yang cenderung berbeda antara aliran kiri
(progresif atau liberal) dan kanan (konservatif) terkadang dapat dipahami. Teori aliran
kiri (leftist theory) misalnya, sangat kritis terhadap kekuatan media yang berada di
tangan negara atau perusahaan besar, sementara para teoritikus dari aliran konservatif
menunjuk kepada ‘bias liberal’ dari pemberitaan atau kerusakan yang dilakukan oleh
media terhadap nilai-nilai tradisional. Terdapat pula perbedaan antara teori yang
bersifat kritis dengan teori yang bersifat terapan yang tidak harus
harus berkaitan dengan
aliran politik. Lazarsfeld (1941) menggambarkan hal ini sebagai orientasi kritis melawan
administratif. Teori kritis menyingkap permasalahan yang tersembunyi dan
menyalahkan praktik media serta menghubungkannya secara menyeluruh dengan isu-
isu sosial yang dipandu oleh nilai-nilai tertentu. Teori yang bersifat terapan bertujuan
untuk memahami proses komunikasi untuk memecahkan masalah praktis penggunaan
komunikasi massa secara lebih efektif (Windahl dan Signitzer, 2007). Bagaimanapun,
kita dapat membedakan dua kubu variasi teori yang lainnya.
Salah satu hal inilah yang membedakan antara pendekatan ‘media sentris’ ( media-
centric) dengan ‘masyarakat sentris’ (society-centric). Pendekatan yang pertama
memberikan lebih banyak otonomi dan pengaruh atas komunikasi dan berkonsentrasi
pada ranah aktivitas media itu sendiri. Teori media sentris ini melihat media massa
Pendahuluan
sebagai penggerak utama dalam perubahan sosial yang didorong maju oleh
perkembangan yang sangat menggiurkan dari teknologi komunikasi. Teori ini juga lebih
memperhatikan konten media tertentu dan potensi akibat dari berbagai jenis media yang
berbeda (cetak, audiovisual,
audiovisual, interaktif, dan sebagainya). Teori masyarakat
masyarakat sentris secara
umum memandang media sebagai cerminan kekuatan politik dan ekonomi. Teori untuk
media adalah penerapan khusus dari teori sosial yang lebih besar (Golding dan
Murdock, 1978). Baik masyarakat disetir maupun tidak oleh media, memang benar
bahwa teori komun
komunikasi
ikasi massa iitu
tu sendiri sangat dipengaruhi
dipengaruhi dan cenderung
cenderung merespons
merespons
setiap perubahan besar dari struktur dan teknologi media.
Pendekatan yang kedua, yaitu garis horisontal yang membagi antara para
teoritikus yang memiliki kepentingan (serta keyakinannya) terletak pada lingkup
kebudayaan dan ide, dan mereka yang menekankan kekuatan serta faktor materi.
Pembagian ini diperkirakan mirip dimensi tertentu lainnya: humanis versus ilmiah;
kualitatif versus kuantitatif; dan subjektif versus objektif. Sementara semua perbedaan
ini merefleksikan kebutuhan akan pembagian kerja dalam wilayah yang luas serta faktor
multidisipliner dari studi media, mereka juga sering kali melibatkan ide yang saling
bersaing dan berlawan
berlawanan
an tentang
t entang bagaimana cara mengajukan
mengajukan pertanyaan
pertanyaan,, melakukan
melakukan
penelitian, dan memberikan penjelasan. Dua alternatif ini tidak terikat satu sama lain,
dan di antara mereka dapat diidentifikasi empat perspektif yang berbeda atas media dan
masyarakat (Gambar 1.1).

Keempat tipe perspektif ini dapat dirangkum sebagai berikut:

1. Perspektif media kulturalis. Pendekatan ini mengambil perspektif anggota khalayak


dalam hubungannya dengan genre atau contoh budaya media tertentu (misalnya
acara reality-show atau jaringan sosial) dan mendalami makna subjektif dari
pengalaman dalam konteks tertentu.
2. Pendekatan media materialis. Penelitian dalam tradisi ini menekankan pada
pembentukan konten media dan karenanya juga menekankan pada efek potensial
dari karekteristik media yang berkaitan dengan teknologi dan hubungan sosial dari
penerimaan dan produksi yang dihubungkan dengan hal tersebut. Pendekatan ini
juga menekankan pengaruh dari konteks struktural
struktural dan dinami
dinamika
ka atau produksi
produksi
tertentu.
3. Perspektif sosial kulturalis. Pada intinya pandangan ini menaruh media dan
pengalaman media di bawah kekuatan yang lebih besar dan dalam yang
memengaruhi masyarakat dan individu. Isu sosial dan budaya juga dianggap lebih
mendominasi daripada isu ekonomi dan politik.
4. Perspektif sosial materialis. Pendekatan ini biasanya dihubungkan dengan pandangan
materialis.
kritis terhadap kepemilikan dan kontrol media yang pada akhirnya membentuk
ideologi dominan yang disiarkan atau didukung oleh media.

Sementara perbedaan masing-masing pendekatan ini masih dapat dipahami di


dalam struktur penelitiannya masing-masing, terdapat kecenderungan penggabungan
di antara aliran yang berbeda. Meskipun demikian, berbagai topik dan pendekatan
tersebut melibatkan perbedaan filsafat dan metodologi yang penting, sehingga tidak
dapat begitu saja diabaikan.
Pengenalan terhadap Buku 16

Berbagaii Jenis Teori


Berbaga Teori
Jika teori dipahami tidak hanya sebagai sebuah sistem proposisi
proposisi yang mengikat, tetapi
juga sebagai seperangkat ide yang sistematis
sistematis dapat membantu
membantu memahami
memahami fenomena,
memandu tindakan, atau memprediksikan akibat, maka kita dapat membedakan
setidaknya lima macam teori yang relevan terhadap komunikasi massa. Teori-teori
tersebut, yaitu: teori sosial ilmiah, budaya, normatif, operasional, dan sehari hari.
Teori sosial ilmiah (social scientific theory) menawarkan pernyataan umum
mengenai ciri-ciri, kinerja, dan efek dari komunikasi massa berdasarkan pengamatan
terhadap media dan sumber lain secara sistematis dan objektif yang dapat diuji dan
dibuktikan atau ditolak melalui metode yang serupa. Saat ini, terdapat teori besar
semacam itu yang memenuhi sebagian besar isi dari buku ini. Bagaimanapun, teori
semacam ini sangat fleksibel dan tidak dikembangkan dengan jelas atau konsisten. Teori
ini juga mencakup spektrum yang sangat luas, mulai dari pertanyaan besar mengenai
masyarakat hingga aspek mendetail dari pengiriman dan penerimaan pesan oleh
individu. Teori semacam ini juga diambil dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda,
terutama sosiologi, psikologi, dan politik. Beberapa teori ‘ilmiah’ berusaha memahami
apa yang terjadi, beberapa dengan mengkritik dan yang lainnya dengan penerapan
praktis dalam proses informasi atau persuasi publik.
Teori budaya (cultural theory) memiliki karakter yang lebih beragam. Dalam
beberapa hal,
hal, teori ini bersifat
bersifat evaluatif
evaluatif yang menco
mencoba
ba membedakan artefak
artefak kebudayaan
kebudayaan
berdasarkan standar nilai tertentu. Terkadang
Terkadang tujuannya berkebalikan,
berkebalikan, mencoba
melawan kelas hierarki karena dianggap tidak relevan dengan karekteristik budaya
yang sesungguhnya. Ranah lain dari produksi budaya telah membuat kumpulan teori
budaya sendiri yang terkadang memiliki tujuan estetika atau etika, dan terkadang
dengan tujuan sebagai kritik sosial. Teori semacam ini dapat diterapkan kepada film,
bacaan, televisi, seni grafis, dan bermacam
bermacam-macam
-macam bentuk media lainnya.
lainnya. Sementara
teori budaya menuntut argumen, koherensi dan konsistensi yang jelas, komponen

intinya itu sendiri sering kali lebih imajinatif dan ideal. Mereka melawan tuntutan untuk
pembuktian atau pengujian berdasarkan pengamatan. Meskipun demikian, tetap ada
kesempatan bagi gabungan antara pendekatan budaya dan ilmiah untuk permasalahan
media.
Jenis teori yang ketiga dapat digambarkan sebagai
sebagai teori normatif
normatif (normative theory)
karena berkaitan dengan meneliti atau menyarankan bagaimana media seharusnya
beroperasi jika nilai sosial tertentu diamati atau dilakukan. Teori semacam ini biasanya
berasal dari filosofx
filosofx atau ideologi sosial masyarakat
masyarakat tertentu. Teori semacam ini
ini penting
karena memainkan peranan dalam membentuk dan mengesahkan lembaga media dan
Pendahuluan

berpengaruh besar pada pengharapan yang berkaitan dengan media yang dimiliki agen sosial lain serta
khalayak media itu sendiri. Berbagai penelitian mengenai media massa dibuat dengan maksud agar dapat
menerapkan kinerja media yang memiliki norma sosial dan budaya. Teori normatif masyarakat berkaitan
dengan media itu sendiri yang biasanya ditemukan dalam hukum, undang-undang, kebijakan media, kode

etik, dan isi dari debat publik. Sementara itu, teori itu sendiri tidak bersifat ‘objektif ’, tetapi dapat
dipelajari melalui metode ilmu sosial yang ‘objektif’ (McQuail, 1992).
Jenis yang keempat dapat digambarkan sebagai teori operasional (operational theory) karena merujuk
digambarkan
pada ide praktis yang dikumpulkan dan diterapkan oleh praktisi media dalam perilaku kerja media
mereka sendiri. Kebijakan praktis yang serupa dapat ditemukan di sebagian besar latar organisasi dan
profesional. Dalam hal media, teori operasional memberikan solusi untuk tugas yang mendasar, termasuk
bagaimanaa memilih berita, menyenangkan
bagaiman menyenangkan khalayak, merancang
merancang iklan yang efektif, menjaga nilai yang
menjadi batasan di masyarakat, dan berhubungan secara efektif dengan sumber berita dan masyarakat.
Pada saat tertentu, teori ini dapat tumpang tindih dengan teori normatif, misalnya hal-hal yang berkaitan
dengan etika jurnalistik dan kode praktik.
Pengetahuan semacam itu juga berhak dinamakan teori karena biasanya terpola dan
berkesinambungan,
berkesinambungan, bahkan jika jarang dikodekan, dan berpengaruh
berpengaruh terhadap perilaku.
perilaku. Hal ini menjadi

jelas dalam studi komunikator


komunikator dan organisasi mereka (misalnya Elliot, 1972; Tuchman,
Tuchman, 1978; Tunstall,
1993). Kats (1977) membandingkan
membandingkan peranan peneliti yang berkaitan dengan produksi media dengan para
teoritikus musik atau filsafat ilmu yang dapat melihat keteraturan yang bahkan musisi ataupun ilmuwan
sendiri tidak menyadarinya.
Akhirnya, terdapat pula teori penggunaan media yang berdasarkan logika sehari- hari, merujuk pada
pengetahuan yang kita miliki berdasarkan pengalaman kita dengan media. Pengalaman ini
memungkinkan kita untuk memaknai apa yang terjadi, kita dapat mencocokkan apa yang ada di media
dengan kehidupan sehari-hari, untuk memahami bagaimana konten tersebut dimaksudkan untuk ‘dibaca
sebagaimana kita ingin membacanya, untuk mengetahui perbedaan antara jenis-jenis dan genre media,
dan masih banyak lagi. Berdasarkan hal itu, ‘teori’ tersebut memiliki kemampuan untuk membuat pilihan
yang konsisten, membentuk pola selera, membangun gaya hidup, dan identitas. Teori ini juga mendukung
kemampuan untuk membuat penilaian kritis. Semua ini pada akhirnya membentuk apa yang
sesungguhnya ditawarkan media kepada khalayaknya dan mengatur, baik arah maupun batasan
pengaruh media. Misalnya, hal ini memungkinkan kita untuk membedakan antara ‘realitas’ dan ‘fiksi’,
untuk ‘menafsirkan hal yang tersirat,’ atau untuk memahami tujuan dari teknik persuasi iklan dan
propaganda lainnya, untuk bertahan dari berbagai impuls yang berpotensi berbahaya yang dipancing oleh
media. Bekerjanya teori berdasar logika ini dapat dilihat dalam norma penggunaan media yang dipahami
dan dituruti oleh orang-orang. Definisi sosial yang dimiliki media massa tidak dibentuk oleh para ahli
teori media atau pembuat undang-undang, atau bahkan produsen media itu sendiri,
tetapi didapat dari pengalaman dan praktik khalayak dari waktu ke waktu. Sejarah
media dan kemungkinannya di masa depan lebih bergantung pada teori yang sangat
tidak pasti ini dibandingkan dengan teori lainnya.
18 Pendahuluan

Ilmu Komunikasi
Komu nikasi d an Studi Komunik asi Massa
Komunikasi massa merupakan satu topik di antara banyak ilmu sosial dan hanya satu
bagian dari lingku
lingkup
p penelitian dari komunikasi
komunikasi manu
manusia.
sia. Di bawah istilah ‘ilmu

komunikasi’ (communication science), wilayah ini menurut Berger dan Chaffee (1987:17)
adalah ‘ilmu yang mencoba memahami produksi, pengolahan, dan efek dari sistem
simbol dan sinyal dengan membangun teori yang dapat diuji, mengandung generalisasi
yang sah yang menjelaskan fenomena yang berkaitan dengan produksi, pengolahan,
dan efek.’ Walaupun definisi inilah yang paling umum menggambarkan sebagian besar
penelitian komunikasi, pada kenyataannya definisi ini sangat bias terhadap satu model
penelitian tertentu—studi kuantitatif dari perilaku komunikatif serta sebab-akibatnya.
Definisi tersebut terutama tidak cukup untuk membahas ciri-ciri dari ‘sistem simbol’
dan kepentingannya, proses di mana makna diberikan dan diterima dalam konteks
sosial budaya yang berbeda-beda. Pendekatan alternatif yang lain terhadap studi
komunikasi massa digambarkan dengan ringkas pada bagian kesimpulan di bab ini.
Kesulitan dalam mendefinisikan ruang lingkup ini juga muncul karena

perkembangan teknologi yang mengaburkan batasan antara komunikasi publik dan


privat serta komunikasi antarpribadi dengan komunikasi massa. Sangatlah sulit pada
saat ini untuk mendapatkan satu definisi ‘ilmu komunikasi’ yang disetujui bersama
untuk sejumlah alasan keadaan tertentu, tetapi alasan yang mendasar adalah karena
tidak pernah ada definisi dari konsep inti komunikasi yang disetujui bersama. Istilah ini
dapat merujuk kepada berbagai hal, terutama: tindakan atau proses penyebaran
informasi; pemberian atau penerimaan makna; pertukaran informasi, ide, citra, atau
emosi; proses penerimaan, persepsi, dan respons; pengupayaan pengaruh; segala bentuk
interaksi. Untuk semakin memperumit masalah, komunikasi dapat dilakukan dengan
sengaja atau tidak, dan bermacam-macam saluran dan konten yang potensial sangat
tidak terbata
t erbatas.
s.
Sebagai tambahan, tidak ada ‘ilmu komunikasi’ yang bebas nilai dan dapat berdiri

sendiri karena asal mula studi komunikasi berawal dari banyak disiplin ilmu dan
berbagai isu yang muncul, termasuk
termasuk permasalahan
permasalahan ekon
ekonomi,
omi, hukum
hukum,, politik, etika, serta
serta
budaya. Studi komunikasi
komunikasi merupakan
merupakan studi interdisipliner
interdisipliner dan mengadopsi
mengadopsi berbagai
pendekatan dan metode (lihat McQuail, 2003b).
Cara yang lebih mudah untuk menentukan topik komunikasi massa dalam
wilayah penelitian komunikasi yang lebih besar adalah berdasarkan tingkatan
organisasi sosial yang berbeda tempat terjadinya komunikasi. Berdasarkan kriteria ini,
komunikasi massa dapat dilihat sebagai salah satu proses komunikasi di tingkat
masyarakat, pada puncak piramida distribusi dari jaringan komunikasi lain berdasarkan
kriteria tersebut
(Gambar 1.2). Jaringan komunikasi merujuk pada seluruh perangkat titik yang saling terhubung (orang
atau tempat) yang memungkinkan penyiaran dan pertukaran informasi di antara mereka. Sebagian besar

komunikasi massa adalah jaringan yang menghubungkan banyak penerima kepada satu sumber,
sementara teknologi media baru biasanya menyediakan berbagai macam hubungan interaktif.
Pengenalan terhadap Buku 19

Pada tingkat piramid yang semakin ke bawah mengindikasikan adanya peningkatan jumlah kasus
yang ditemukan, dan setiap tingkat mewakili seperangkat masalahnya sendiri bagi penelitian dan
pembuatan teori. Dalam sebuah masyarakat modern yang terintegrasi, sering kali akan ada satu jaringan
komunikasi publik yang besar yang biasanya tergantung pada media massa yang dapat menjangkau dan

melibatkan semua warga pada derajat yang beragam. Walaupun sistem media itu sendiri juga sering kali
terbagi-bagi menurut wilayah dan faktor sosial atau demografis lainnya.
Media massa bukanlah satu-satunya alat untuk jaringan komunikasi efektif yang meluas di
masyarakat. Teknologi alternatif (nonmedia massa) untuk mendukung jaringan setingkat masyarakat yang
sekarang sudah ada (terutama jaringan transportasi fisik, infrastruktur telekomunikasi, dan sistem pos),
tetapi biasanya kekurangan elemen sosial setingkat masyarakat dan peranan publik sebagaimana yang
dimiliki media massa. Pada zaman dahulu (dan di beberapa tempat hingga saat ini masih ada) jaringan
publik setingkat masyarakat disediakan oleh gereja atau negara atau oleh organisasi politik berdasarkan
keyakinan bersama dan biasanya berupa rantai hubungan yang hierarkis. Hal ini meliputi ‘puncak’ hingga
ke ‘dasar’ dan memiliki berbagai alat komunikasi yang mencakup publikasi formal hingga kontak
personal.
Jaringan komunikasi
komunikasi alternatif
alternatif dapat diaktifkan
diaktifkan di bawah keadaan luar biasa tertentu untuk

menggantikan media massa, misalnya dalam kasus bencana alam, kecelakaan besar, atau pecah perang,
atau keadaan darurat lainnya. Di masa lalu, berita dari mulut ke mulut hanyalah satu-satunya cara,
sementara saat ini telepon selular dan Internet dapat secara efektif dikaryakan untuk menghubungkan
populasi yang besar. Bahkan, tujuan awal dari pembuatan Internet di Amerika pada tahun 1970-an adalah
untuk menyediakan sistem komunikasi alternatif jika ada peristiwa serangan nuklir.
Pada level di bawah level keseluruhan masyarakat, terdapat beberapa macam jaringan komunikasi.
Satu jenis meniru hubungan sosial dari masyarakat yang lebih luas di tingkat wilayah, kota besar, ataupun
kota kecil dan mungkin memiliki sistem media yang konsisten (pers lokal, radio, dan sebagainya). Lainnya
diwakili oleh organisasi kerja yang kaku yang mungkin tidak memiliki lokasi sendiri, tetapi terintegrasi di
dalam batasan organisasinya sendiri yang di dalamnya arus komunikasi terjadi. Jenis ketiga diwakili oleh
lembaga, misalnya pemerintah, pendidikan, hukum, agama, atau jaminan sosial. Aktivitas dari lembaga
sosial selalu beragam dan membutuhkan banyak korelasi dan komunikasi, mengikuti bentuk dan pola
yang sudah baku. Jaringan yang dilibatkan pada kasus ini terbatas untuk mencapai tujuan tertentu
(misalnya pendidikan, memelihara tatanan, perputaran informasi ekonomi, dan sebagainya) dan mereka
tidak terbuka terhadap partisipasi lain. Di bawah level ini, terdapat lebih banyak jenis jaringan
komunikasi, berdasarkan karekteristik yang dimiliki bersama dari kehidupan sehari-hari: lingkungan
(seperti lingkungan tempat tinggal), hobi (misalnya musik), kebutuhan (misalnya pengawasan terhadap
anakkecil), atau aktivitas (misalnya olahraga). Pada level ini, pertanyaan kunci berkaitan dengan ikatan
emosional dan identitas serta kerja sama dan pembentukan norma. Pada kelompok yang lebih kecil
(misalnya keluarga) dan pada level antarpribadi, perhatian biasanya diberikan untuk membentuk
percakapan dan pola interaksi, pengaruh, afiliasi (derajat ikatan emosional), dan kontrol normatif. Pada
tingkatan intrapersonal, penelitian komunikasi berfokus pada pengolahan informasi (misalnya perhatian,
persepsi, pembentukan sikap, pemahaman, mengingat kembali, dan belajar), pemberian makna dan efek
tertentu (misalnya pada pengetahuan, opini, identitas diri, dan sikap).
Pola yang terlihat rapi ini menjadi rumit oleh berkembangnya ‘globalisasi’ di dunia sosial di mana
komunikasi massa juga turut andil dalam hal ini. Terdapat ‘tingkat’ komunikasi yang lebih tinggi dan
pertukaran yang harus dipertimbangkan yang melewati dan bahkan mengabaikan batasan-batasan
20 Pendahuluan

negara, berkaitan dengan semakin meningkatnya pilihan aktivitas (ekonomi, politik, ilmiah, publisitas,
olahraga, hiburan, dan lain-lain). Organisasi dan lembaga kurang dibatasi dengan batas negara, dan
individu juga dapat memenuhi kebutuhan komunikasi mereka di luar masyarakat mereka sendiri dan di
luar lingkungan sosial terdekat mereka. Di satu sisi, hubungan yang dahulu kuat antara pola interaksi

sosial personal dalam waktu dan ruang yang sama dengan sistem komunikasi di sisi lain sudah semakin
melemah, dan kebudayaan serta pilihan informasi yang kita miliki menjadi semakin luas.
Ini merupakan satu alasan mengapa ide terhadap ‘jaringan masyarakat’ baru telah semakin
berkembang
berkembang (lihat Castells, 1996; van Dijk, 1999;
1999; juga di Bab 6). Perkembangan
Perkembangan semacam itu juga berarti
bahwa jaringan yang semakin meningkat tidak membatasi
membatasi tingkatan masyarakat yang lain, sebagaimana
sebagaimana
yang dijelaskan pada Gambar 1.2. Alat komunikasi hibrida yang baru (baik publik maupun privat)
memungkinkan jaringan komunikasi terbentuk dengan mudah tanpa harus memiliki kesamaan ruang,
waktu, ataupun pengetahuan personal. Di masa lalu, sangat mungkin untuk mencocokkan teknologi
komunikasi
komunikasi tertentu
t ertentu dengan tingkatan organisasi sosial tertentu yang sudah digambarkan dengan televisi
di tingkat paling tinggi, pers, dan radio di tingkatan wilayah atau kota, sistem internal, telepon, dan surat
pada tingkat lembaga, dan seterusnya. Teknologi
Teknologi komunikasi yang semakin canggih dan penyebarannya
yang semakin luas berarti bahwa hal seperti ini tidak lagi mungkin. Internet misalnya, saat ini mendukung

komunikasi virtual di semua tingkatan. Internet juga mendukung jaringan yang menghubungkan
tingkatan sosial ‘puncak’ dengan ‘dasar’ dan sifatnya vertikal (dua arah) atau diagonal, bukan hanya
horizontal. Misalnya, situs politik dapat memberikan akses kepada pemimpin dan elit politik, seperti
kepada masyarakat di tingkat grass root, memungkinkan pola aliran yang sangat luas. Bagaimanapun
untuk saat ini, fungsi komunikatif di tingkat masyarakat atas media massa tradisional, seperti surat kabar,
televisi, dan radio tidak terlalu mengalami perubahan yang besar, walaupun monopoli mereka atas
komunikasi publik yang semakin meningkat kini mendapat perlawanan.
Pengenalan terhadap Buku 21

Semakin sedikit kasus

/JaringanX
/ masyarakat \
/ luas (misalnya \
/ komunikasi \
/ massa) \
Tingkatan proses / \
komunikasi / Lembaga/org
Lembaga/organisasi
anisasi \
/ (misalnya sistem politik atau \
/ lembaga bisnis) \
/ Antarkelompok atau perkumpulan \

/ (misalnya komunitas lokal) \

/ Intrakelompok (misalnya keluarga) \


/ Antarperson
Antarpersonal
al (misalnya pasangan, suami istri) \

/ Intrapersona
Intrapersonall (misalnya pengolahan informasi) \

Semakin banyak kasus

Gambar 1.2 Piramida jaringan komunikasi: komunikasi massa adalah satu di antara beberapa proses
komunikasi sosial

Pertanyaan bagi penelitian dan teori mengenai jaringan


dan proses komunikasi

9 • Siapa yang terhubung kepada siapa dalam jaringan yang mana dan untuk
tujuan apa?
■ • Apa pola dan aliran komunikasi yang terjadi?
• Bagaimana komunikasi itu terjadi? (saluran, bahasa, kode)
• Jenis konten apa yang diamati?
• Apa hasil dari komunikasi
komunikasi tersebut, disengaja atau tidak disengaja?
22 Pendahuluan

Meskipun dengan adanya kompleksitas yang semakin berkembang pada jaringan


masyarakat, setiap tingkatan menunjukkan adanya pertanyaan-pertanyaan serupa bagi teori
dan penelitian komunikasi. Pertanyaan-pertanyaan ini diajukan pada Kotak 1.1.

Tradisi Analisis Alternatif: Struktural, Behavioral, dan


Kultural
Sementara pertanyaan yang diajukan di tingkatan yang berbeda sebenarnya serupa satu sama
lain. Pada praktiknya, terdapat bermacam-macam konsep berbeda yang terlibat, dan realitas
komunikasi juga sangat berbeda dari satu tingkatan ke tingkatan yang lain (misalnya
percakapan yang terjadi antara dua anggota keluarga terjadi berdasarkan ‘aturan’ yang
berbeda, aturan yang mengatur siaran berita kepada khalayak luas, acara kuis di televisi atau
rantai komando dalam sebuah organisasi pekerjaan). Untuk alasan semacam ini, setiap ‘ilmu
komunikasi’ haruslah dibangun berdasarkan beberapa teori dan bukti yang berbeda-beda,
diambil dari beberapa tradisi ‘disiplin’ ilmu (dahulu, terutama sosiologi dan psikologi,
sekarang termasuk ekonomi, sejarah, sastra, kajian film, dan lain sebagainya). Dengan cara ini,
konsep yang paling dalam dan lama akan memisahkan komunikasi antarpribadi dengan
komunikasi massa, masalah yang menyangkut kebudayaan dengan perilaku, dan perspektif
lembaga dan sejarah dari perspektif budaya atau perilaku. Mudahnya, terdapat tiga
pendekatan alternatif yang utama: struktural, behavioral, dan kultural.
Pendekatan struktural (structural ) sebagian besar diambil dari sosiologi, tetapi juga
mengambil dari perspektif sejarah, politik, hukum, dan ekonomi. Titik awalnya adalah lebih
kepada ‘masyarakat sentris’ daripada ‘media sentris’ (dapat dilihat pada Gambar 1.1), dan
objek penelitian utamanya adalah sistem media dan organisasi media serta hubungannya
kepada masyarakat yang lebih luas. Sejauh ini pertanyaan yang muncul mengenai konten
media, fokusnya adalah pada efeknya terhadap struktur sosial dan sistem media dalam pola
berita atau hiburan.
hiburan. Misalnya, sistem media komersial cenderung berkonsentra
berkonsentrasi
si lebih pada
hiburan, sementara media publik cenderung lebih banyak menampilkan informasi dan budaya
tradisional. Sejauh pertanyaan yang muncul mengenai penggunaan dan efek media,
pendekatan ini menekankan konsekuensi komunikasi massa terhadap lembaga sosial lainnya.
Hal ini termasuk, misalnya, pengaruh pemasaran politik terhadap pemilihan umum atau
manajemen berita dan humas dalam kebijakan pemerintah. Fenomena media yang sangat
dinamis ini terletak pada pemegang kekuasaan, pada penerapan teknologi yang terorganisir
secara ekonomi dan sosial. Pendekatan struktural terhadap analisis media lebih terhubung
pada kebutuhan manajemen dan juga kebijakan media yang terbentuk.
Pendekatan behavioral (behavioural) berakar pada psikologi dan psikologi sosial, tetapi juga
memiliki pengaruh dari sosiologi. Secara umum, objek penelitiannya adalah
23 Pendahuluan

perilaku individu, terutama yang berkaitan dengan perilaku memiliki, mengolah, dan
merespons pesan komunikasi. Penggunaan media massa secara umum dianggap
sebagai bentuk tindakan rasional yang memiliki motivasi dengan fungsi dan kegunaan
tertentu bagi individu, dan juga memiliki konsekuensi objektif tertentu. Pendekatan
psikologis lebih banyak menggunakan metode penelitian eksperimental pada subjek
individu. Bagian sosiologisnya berfokus pada perilaku anggota populasi sosial tertentu
dan menerapkan analisis multivarian (multivariate analysis) terhadap survei dengan data
yang representatif yang dikumpulkan dalam kondisi yang alamiah. Individu
dikelompokkan menurut variabel posisi sosial tertentu, kepribadian dan perilaku, serta
variabel yang dapat dimanipulasi secara statistik. Dalam studi mengenai organisasi,
biasanya dilakukan
dilakukan pengamatan terhadap partisipan.
partisipan. Pendekatan ini sering kali
ditemukan dalam kaitannya dengan studi persuasi, propaganda, dan periklanan.
Komunikasi utamanya dipahami sebagai sebuah penyiaran.
Pendekatan kultural (cultural) berasal dari studi-studi humanistik dari ilmu
antropologi dan bahasa. Memiliki potensi yang sangat besar, pendekatan ini umumnya
diterapkan untuk mempertanyakan makna dan bahasa, sampai pada detail terkecil dari
konteks sosial dan pengalaman budaya tertentu. Studi media adalah bagian dari kajian
budaya yang lebih besar cakupannya.
cakupannya. Pendekatan ini lebih kepada ‘media sentris’
(walaupun tidak secara khusus), dan sensitif terhadap perbedaan antara media dan latar
dari penyiaran dan penerimaan media, lebih tertarik pada pemahaman akan konten dan
situasi tertentu daripada menggeneralisasi. Metode pendekatan yang menerapkan
analisis kualitatif dan mendalam dari manusia dan lingkungan sosial menandakan
praktik dan analisis serta penafsiran ‘teks’. Pendekatan kultural mengambil
mengambil lebih banyak
teori yang bermacam-macam, termasuk feminisme, filsafat, semiotika, psikoanalisis,
film, dan teori sastra. Umumnya, tidak ada penerapan langsung bagi pendekatan
kultural, walaupun hasilnya dapat menyingkap banyak temuan penting bagi produsen
dan perencanaan media. Pendekatan ini membantu memahami dengan lebih utuh

% i~
s

■'simpulan
Bab ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran singkat dari keseluruhan wilayah penelitian yang di
% dalamnya termasuk studi humanistik dan ilmu komunikasi massa. "'as bahwa batasan di
antara berbagai topik ini tidak secara jelas ada, tetapi tergantung Perubahan teknologi
dan masyarakat. Meskipun demikian, terdapat komunitas 'rang berbagi seperangkat
pemahaman, konsep, dan alat analisis yang akan 'H dalam pada bab-bab selanjutnya.

\
Bacaan Selanjutnya
Devereux, E. (2007) Media Studies: Key Issues and Debates. London: Sage.
Seperangkat bab-bab orisinal yang beragam terhadap topik-topik penting dalam penelitian
dengan bahan ajaran serta rujukan tambahan.

Grossberg, L., Wartella, E., dan Whitney, D. C. (1998) Media Making. Thousand Oaks, CA:
Sage.
Presentasi menyeluruh mengenai bidang studi media massa dari berbagai perspektif yang
berbeda-beda—sosiologis,
berbeda-beda—sosiologis, kultural, dan industri media.

McQuail, D. (ed.) (2002) Reader in Mass Communication Theory. London: Sage.


Sekumpulan bacaan kunci klasik dan modern yang diatur dalam bagian-bagian yang
konsisten terhadap bagian yang utama dari buku ini dan mendukung isi yang serupa
dengan edisi ini.

Silverstone, R. (1999) Why Study the Media? London: Sage.


Sebuah pernyataan yang jelas dan ringkas mengenai signifikansi media dalam masyarakat.

Masih valid, meskipun terjadi perubahan


p erubahan dalam dekade terakhir.

Bacaan Daring
Castells, M. (2007) ‘Communicative power and counter power dalam the network
net work
society’, International Journal of Communication, 1: 238-266. Sreberny, A. (2004)
‘Society, culture, and media: thinking comparatively’, dalam J.D.H. Downing, D.
McQuail, P. Schlesinger, dan E. Wartella (ed.), The Sage Handbook of Media Studies, him. 83-103. Thousand
Oaks, CA: Sage.
Pengenalan terhadap Buku 25
2
Munculnya Media
Massa
Dari permulaan hing ga media massa 26
Media
Media cetak: buku 27
Media
Media cetak: sur at kabar 30
Media
Media cetak lainnya 34
Film sebagai media massa 35
Penyiaran 37

Musik r ekaman 41
Revolusi
Revolusi k omunik asi: media baru
baru
versus media lama 42
Munculnya Media Massa 27
Perbedaan di antara
antar a media 45
Kesimpulan 50
Tujuan dari bab ini adalah untuk menjelaskan perkiraan susunan perkembangan media
massa saat ini. Selain itu juga untuk menunjukkan perubahan besar yang terjadi dan
menjelaskan dengan singkat kondisi waktu dan tempat di mana media yang berbeda-
beda mendapatkan definisinya masing-masing
masing-masing berdasarkan kegunaan mereka bagi
khalayak dan peranan mereka dalam masyarakat. Definisi-definisi ini cenderung
terbentuk pada awal sejarah media itu sendiri dan kemudian beradaptasi menurut
media baru dan kondisi yang berubah. Hal ini merupakan proses yang berkelanjutan.
Bab ini mencakup beberapa pembahasan terhadap dua dimensi utama dari media:
dimensi yang pertama berhubungan dengan kebebasan dan lainnya berhubungan
dengan kondisi penggunaan.

Dari
Dari Perm
Permui
uiaa
aan
n Hin
ingg
gga
a Me
Medi
diaaM
Massa
assa
Kita telah membedakan antara proses komunikasi massa dengan media sesungguhnya

yang memungkinkan proses tersebut terjadi. Peristiwa komunikasi manusia yang


berjarak waktu dan tempat,
t empat, jauh lebih tua daripada bentuk-bentuk media massa yang
y ang
kini digunakan. Proses ini penting bagi penyelenggaraan masyarakat yang terdahulu
yang berlangsung pada rentang waktu yang lama dan kemudian meluas ke wilayah
yang lebih besar. Bahkan elemen dari penyebaran ide skala besar (massal) terjadi sangat-
28 Pendahuluan

sangat lampau, yaitu pada penyebaran mengenai kesadaran dan kewajiban politik serta
agama. Pada awal Abad Pertengahan, gereja di Eropa memiliki alat yang terperinci dan
efektif untuk memastikan penyiaran tersampaikan kepada semua orang tanpa kecuali.
Peristiwa ini dapat disebut sebagai komunikasi massa, walaupun sebagian besarnya

bebas dari bentuk ‘media’,


‘media’, seperti pen
pengertian
gertian kita saat ini, terlepas
terlepas dari adanya teks yang
yang
berkaitan dengan agama. Ketika media independen muncu muncull dalam bentuk cetak,
penguasa gereja dan negara bereaksi dengan kepanikan akan munculnya potensi
kehilangan kontrol yang diwakili media, dan pada kesempatan yang semakin terbuka
untuk menyebarkan ide-ide yang baru dan menyimpang. Propaganda hitam yang
dilancarkan pada masa perang agama yang terjadi pada abad ke-16 sudah cukup
menjadi bukti. Hal tersebut merupakan peristiwa bersejarah ketika teknologi
komunikasi massa, yaitu pers cetak memperoleh definisi sosial dan budaya tertentu
yang tidak dapat ditarik kembali.
Dalam mengisahkan sejarah media massa, kita berhadapan dengan empat elemen
utama yang signifikan dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas, yaitu:

• tujuan, kebutuhan, atau penggunaan komunikasi tertentu;


• teknologi untuk berkomunikasi kepada massa dengan adanya jarak;
. bentuk-bentuk organisasi sosial yang menyediakan keahlian dan kerangka untuk
mengatur produksi dan distribusi;
• bentuk-bentuk
bentuk-bentuk peraturan
peraturan dan kontrol.
kontrol.
Elemen-elemen tersebut tidak memiliki hubungan yang kaku antara satu sama lain dan
sangat bergantung pada keadaan waktu dan tempat. Terkadang sebuah teknologi
komunikasi diterapkan karena kebutuhan atau penggunaan yang sudah terlebih dulu
ada, seperti teknologi cetak menggantikan salin tangan atau telegraf menggantikan
perpindahan fisik dari pesan penting. Namun, terkadang teknologi seperti film atau
siaran radio yang muncul mendahului adanya kebutuhan yang jelas. Kombinasi elemen-
elemen di atas yang sesungguhnya terjadi biasanya tergantung baik pada faktor bahan
maupun ciri dari iklim sosial budaya yang sulit dijelaskan. Meskipun demikian, sangat
mungkin bahwa pada derajat tertentu dari kebebasan berpikir, berekspresi, dan
bertindak merupakan
merupakan kondisi utama yang palin
paling
g penting bagi perkembangan
perkembangan media
cetak dan media lainnya, walaupun tidak demikian pada saat penemuan awal. Teknik
percetakan dan penggunaan huruf yang dapat digeser-geser telah diketahui dan
diterapkan di China dan Korea jauh sebelum Gutenberg yang dianggap sebagai penemu
mesin cetak (dari Eropa) pada pertengahan abad ke-15 (Gunaratne, 2001).
Secara umum, jika suatu masyarakat semakin terbuka, semakin muncul
kecenderungan untuk mengembangkan teknologi komunikasi kepada potensi
tertingginya, terutama dalam artian tersedia secara universal dan digunakan secara luas.
Rezim yang lebih tertutup atau represif biasanya akan membatasi perkembangan atau
menetapkan batasan yang ketat terhadap penggunaan teknologi media. Teknologi
percetakan tidak diperkenalkan di Rusia hingga awal abad ke-17, sebagaimana juga di
Kesultanan Usmani hingga tahun 1726. Pada rangkuman selanjutnya mengenai sejarah
dan karekteristik media yang berbeda-beda, sudut pandang ‘Barat’ dan seperangkat
Munculnya Media Massa 29

nilai diterapkan karena kerangka lembaga media massa awalnya secara umum berada
di Barat (Eropa dan Amerika Utara) dan di sebagian besar wilayah di seluruh dunia
mengambil dan menerapkan teknologi yang sama dengan cara yang serupa. Meskipun
demikian, tidak ada alasan mengapa media massa perlu mengikuti hanya satu cara di

masa depan yang selalu terpusat pada model Barat. Ada beragam kemungkinan dan
sangat mungkin bahwa perbedaan budaya akan mengalahkan kepentingan teknologi.
Sejarah media telah menunjukkan beberapa perbedaan yang penting di dalam
masyarakat, misalnya keragaman yang luas dari pembaca buku dan surat kabar, atau
pada tingkatan dan kecepatan penyebaran Internet.
Pada halaman selanjutnya, masing-masing media masa dicirikan berdasarkan
teknologi serta bentuk bahannya, format dan genre, kegunaan, serta pengaturan
lembaganya.

Medi
Medi a Ce
Cetak:
tak: Buku
B uku
Sejarah media modern dimulai dengan buku yang dicetak—merupakan semacam
revolusi,
revolusi, ttetapi
etapi awalnya hanyalah
hanyalah alat teknis untuk mereproduksi serangkaian teks yang
sama atau mirip dari yang telah disalin dengan tangan secara manual. Berangsur-angsur
barulah
barulah percetakan membawa perubahan isi—tulisan yang lebih sekular, praktis, dan
populer (terutama dalam bahasa asli), seperti pamflet dan buletin agama serta politik
Pendahuluan

yang berperan dalam perubahan pada abad pertengahan. Di masa-masa awal, hukum dan pengumuman
juga dicetak oleh penguasa dan pihak kerajaan. Oleh karena itu, terjadi sebuah revolusi masyarakat di
mana percetakan memiliki andil yang besar (Eisenstein, 1978).
Pada dahulu kala, buku merupakan buah karya penulis terkenal yang menulis fiksi dan nonfiksi yang

diperbanyak dan disebarkan untuk dibaca atau diceritakan kembali. Di Barat misalnya, budaya buku hilang
setelah akhir kekaisaran Romawi hingga kemudian dibangkitkan kembali berkat kegiatan para biarawan,
walaupun memang beberapa buku dibuat untuk alasan religius atau pelajaran.
Pada awal abad pertengahan, buku tidak dipandang sebagai alat komunikasi, alih-alih buku
merupakan tempat untuk menyimpan kata-kata bijak dan terutama bagi tulisan yang berkaitan dengan
agama yang harus disimpan dan dijaga agar tidak tercemar, di sekeliling inti teks yang sifatnya religius
dan filsafat itu terdapat buku-buku yang berisi informasi ilmiah dan praktis. Saat itu, bentuk buku pada
umumnya adalah kumpulan volume dari halaman-halaman yang terpisah dan dijilid dengan sampul yang
tebal (dikenal dengan nama kodeks), mencerminkan kebutuhan untuk penyimpanan yang aman dan untuk
dibaca dengan keras di kelas yang juga merupakan kebutuhan perjalanan dan transportasi. Buku
dimaksudkan untuk tahan lama dan untuk disebarkan di lingkaran tertentu. Buku modern merupakan
keturunan langsung dari model ini dan penggunaannya pun serupa. Bentuk alternatif dari gulungan kertas

atau perkamen sudah tidak digunakan lagi, terutama ketika bentuk cetak menggantikan tulisan tangan dan
menggunakan mesin pres yang lembarannya rata. Hal ini memastikan keunggulan format buku dari abad
pertengahan tersebut, bahkan jika bentuknya diperkecil.
Elemen penting lain yang terus berlanjut antara tulisan dan percetakan adalah perpustakaan, sebuah
tempat penyimpanan koleksi buku. Konsep ini tetap serupa juga penataannya, paling tidak sampai
munculnya data digital. Perpustakaan juga mencerminkan dan mengonfirmasi ide buku sebagai sebuah
catatan atau rujukan hasil karya yang permanen. Karakter perpustakaan tidak banyak berubah dengan
adanya teknologi percetakan, meskipun dengan adanya teknologi ini makin banyak perpustakaan pribadi
bermunculan.
bermunculan. Perkembangan
Perkembangan terakhir dari perpustakaan
perpustakaan adalah bahwa saat ini perpustakaan
perpustakaan bukan
dianggap sebagai media saja, tetapi juga sebagai media massa. Perpustakaan sering kali dibuat sebagai alat
untuk menyampaikan informasi kepada publik dan bahkan semenjak pertengahan abad ke-19 dinilai
sebagai alat yang penting untuk pencerahan masyarakat.
Penerapan teknologi percetakan yang sukses untuk mereproduksi teks menggantikan tulisan tangan
pada sekitar pertengahan abad ke-15 hanyalah langkah awal dari kemunculan yang saat ini kita sebut
sebagai ‘institusi media’, sebuah perangkat yang teroganisir dari aktivitas dan peranan yang saling
terhubung yang mengarah pada tujuan tertentu dan diatur dengan seperangkat peraturan dan prosedur.
Percetakan berangsur-angsur menjadi alat dan cabang kegiatan jual-beli yang baru (Febvre dan Martin,
1984). Mesin cetak kemudian berubah dari para pedagang kepada penerbitan dan dua fungsinya
berangsur-angsur
berangsur-angsur menjadi
menjadi penting. Hal
Hal yang sama
sama pentingnya
pentingnya
Munculnya Media Massa 29

adalah ide dan peran dari ‘penulis’ yang disebabkan oleh manuskrip teks awal yang biasanya tidak
ditulis oleh orang yang hidup.
Perkembangan yang lebih lanjut adalah peranan dari penulis profesional, semenjak akhir abad ke-16
yang biasanya didukung oleh pembaca yang kaya. Masing- masing perkembangan ini mendesak

munculnya pasar dan perubahan buku menjadi sebuah komoditas. Walaupun percetakan saat itu memiliki
kapasitas yang kecil jika dibandingkan dengan percetakan modern, penjualannya seiring waktu mencapai
volume yang besar. Febvre dan Martin (1984) memperkirakan bahwa mulai 1.500 hingga 15.000 judul buku
telah diterbitkan. Selama abad ke-16, lebih dari satu juta kopi Alkitab terjemahan Luther telah dicetak.
Terdapat pertumbuhan volume perdagangan buku dengan kegiatan ekspor-impor antarnegara yang
memiliki industri percetakan, terutama Prancis, Inggris, Jerman, dan Italia. Bahkan, banyak dari
karekteristik umum media modern sudah dapat terlihat sejak akhir abad ke-16, termasuk bentuk awal dari
pembacaan di depan umum. Permulaan adanya hak cipta adalah dalam bentuk adanya keistimewaan yang
diberikan pada para pencetak untuk teks-teks tertentu. Muncul pula berbagai bentuk praktik monopoli,
misalnya Stationers’ Company di London yang sebenarnya memudahkan adanya sensor, tetapi juga
menawarkan keamanan untuk penulis dan menjaga standar (Johns, 1998).
Sejarah kemudian mencatat bahwa buku merupakan salah satu komoditas yang tumbuh dengan

stabil, baik volume maupun jumlah konten dan juga pergulatan bagi kebebasan pers dan hak cipta bagi
penulis. Hampir di mana-mana yang dimulai

Buku sebagai media dan lembaga:


lembaga: c iri-ciri utama

Aspek media
• Teknologi huruf cetak yang dapat digeser-geser.
d igeser-geser.
• Halaman yang dijilid, bentuk kodeks.
• Salinan yang banyak.
• Untuk bacaan personal.
• Pengarang individu.

Aspek kelembagaan
kelembagaan
• Sebagai bentuk komoditas.
• Penyebaran di pasar.
• Keragaman bentuk dan konten.
• Dianggap sebagai bentuk kebebasan publikasi.
• Tunduk pada batasan hukum tertentu.
30 Pendahuluan

dari awal abad ke-16 hingga seterusnya, pemerintah dan gereja menerapkan sensor
ketat bagi materi cetak, meskipun tidak seefektif seperti yang diterapkan oleh negara
penganut totalitarian modern. Bentuk ekspresi kebebasan yang paling awal disuarakan
terhadap lisensi pemerintah disampaikan oleh penulis Inggris John Milton dalam

sebuah traktat yang diterbitkan pada tahun 1644 ( Areopagitica). Kebebasan pers sejalan
Areopagitica
dengan kebebasan demokrasi politik dan kebebasan pers hanya dapat tercapai jika
demokrasi menang. Hubungan semacam ini masih berlanjut hingga saat ini.
Ciri utama buku, baik sebagai media maupun lembaga dirangkum dalam Kotak
2.1. Ciri-ciri umum ini saling terhubung dalam ide mengenai buku, seperti yang telah
diketahui sejak abad ke-16. Ciri-ciri buku sebagai ‘media berhubungan dengan
teknologi, bentuk, dan cara penggunaan, serta lembaga produksi dan distribusi yang
lebih luas.

Medi
Medi a Cetak:
Cetak: Surat Kabar

Hampir dua ratus tahun setelah penemuan mesin cetak munculah apa yang kita kenal
saat ini sebagai prototipe surat kabar yang dapat dibedakan dari pamflet, buletin yang
mulai ada sejak akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17. Pendahulu dari surat kabar ini
sepertinya adalah surat alih-alih buku—buletin yang tersebar melalui sistem layanan
pos yang terutama berisi tentang peristiwa baru yang berkaitan dengan kegiatan
perdagangan dan jual-beli internasional (Raymond, 1999). Aktivitas ini merupakan
perluasan dari aktivitas yang lama dilakukan oleh pemerintah dengan tujuan
diplomatik, komersial, maupun pribadi. Surat kabar awal ditandai dengan
kemunculannya yang berkala dengan basis komersial (dijual untuk umum) dan
karakternya terbuka. Jadi, surat kabar tersebut digunakan untuk informasi, rekaman,
iklan, isu pengalihan, dan juga gosip.
Surat kabar komersial pada abad ke-17 tidak diindetifikasi dengan satu sumber

tertentu, tetapi merupakan kumpulan yang dibuat oleh penerbit-pencetak. Bentuk


lainnya yang sah (misalnya yang diterbitkan oleh kerajaan atau pemerintah)
menunjukkan beberapa ciri-ciri yang mirip, tetapi juga merupakan suara dari penguasa
dan berfungsi sebagai alat pemerintah. Surat kabar komersial adalah varian yang
membentuk sebagian besar lembaga surat kabar, dan perkembangannya dapat dilihat
dalam sejarah sebagai sebuah peristiwa besar dalam sejarah komunikasi— menawarkan
layanan pada pembaca yang tidak dikenal alih-alih sebagai instrumen propaganda
pemerintah.
Surat kabar dianggap sebagai bentuk inovasi yang lebih baik daripada buku yang
dicetak, yaitu penemuan bentuk literatur, sosial, dan budaya baru. Bahkan, jika saat itu
hal tersebut belum disadari. Keunggulannya adalah jika dibandingkan dengan bentuk
komunikasi budaya yang lain, terletak pada orientasinya kepada pembaca individu dan

kepada realitas, kegunaannya, sifatnya yang sekular, dan cocok bagi kebutuhan kelas
yang baru: pelaku bisnis yang berbasis di kota kecil. Kebaruannya bukan hanya pada
teknologinya atau cara penyebarannya, tetapi juga pada fungsinya bagi kelas tertentu dalam perubahan
Munculnya Media Massa 31

iklim sosial politik yang lebih liberal.


Sejarah surat kabar kemudian dapat dikatakan sebagai sebuah perjuangan, berkembang, dan bergulat
untuk tujuan kebebasan, atau sebagai sebuah sejarah perkembangan ekonomi dan teknologi yang
berkelanjutan.
berkelanjutan. Fase paling penting dalam sejarah percetakan yang masuk ke dalam definisi modern surat

kabar dijelaskan dalam paragrafberikut. Meskipun sejarah nasionalyang terpisah terlalu banyak dan
berbeda- beda untuk menceritakan satu kisah yang sama, elemen-elemen
elemen-elemen yang disebutkan sering kali
saling berbaur dan berinteraksi, dan semuanya memainkan peranan yang penting dalam perkembangan
lembaga pers. Karekteristik utama dari surat kabar dirangkum dalam Kotak 2.2.

^ Surat kabar sebagai media ■ dan iembaga

Aspek media
• Kemunculannya yang berkala dan sering.
• Teknologi percetakan.

Isi dan rujukan menurut tema tertentu.


• Dibaca oleh individu atau kelompok.

Aspek kelembagaan
kelembagaan
• Khalayak perkotaan yang sekular.
• Cenderung bebas, tetapi disensor sendiri.
• Berada dalam ranah publik.
• Bentuk komoditas.
• Berbasis komersial.

Awalnya, surat kabar adalah lawan, baik nyata maupun potensial dari pemerintah berkuasa,
terutama yang berkaitan dengan persepsi diri. Gambaran yang kuat dalam sejarah pers merujuk pada
kekerasan yang dilakukan terhadap para pencetak, penyunting, dan wartawan. Pergulatan demi
kebebasan berpendapat sering kali merupakan bagian dari pergerakan hak-hak kebebasan, demokrasi, dan
warga negara yang lebih besar yang ditekankan dalam mitologi jurnalisme itu sendiri. Peranan yang
dilakukan oleh pers bawah tanah di bawah pendudukan asing atau diktator juga dirayakan. Penguasa
yang sah juga sering membenarkan persepsi diri pers ini dengan mengganggap mereka sebagai pihak yang
menyulitkan dan menyebalkan (walaupun
Pendahuluan

sering kali menjadi lembek dan dalam perlindungan terakhir, sangat rentan terhadap kekuasaan).
Bagaimanapun, surat kabar pada awalnya tidak secara umum bekerja melawan pemerintah, dan
terkadang malah bekerja untuk pemerintah (Schroeder, 2001). Pada saat itu, seperti saat ini, surat
kabar sering kali diidentifikasikan berdasarkan pembaca yang dituju.

Terdapat perkembangan yang stabil menuju pers yang merdeka, meskipun terdapat
kemunduran dari waktu ke waktu. Kemajuan ini sering kali berupa lebih canggih dalam hal metode
yang diterapkan untuk mengontrol pers. Aturan hukum menggantikan kekerasan, kemudian beban
fiskal diberikan (dan kemudian berganti). Saat ini, pembentukan lembaga pers di dalam sistem pasar
berfungsi sebagai bentuk kontrol, dan surat
s urat kabar modern sebagai
s ebagai sebuah per
perusahaa
usahaan
n bisnis y
yang
ang
besar, rentan terhadap berbagai bentuk tekanan daripada pendahulunya
pendahulunya di masa lalu. Surat kabar
tidak menjadi media massa yang sesungguhnya hingga abad ke-20, dalam artian menjangkau
sebagian besar populasi sebagai khalayak secara berkala dan masih terdapat perbedaan yang cukup
besar dalam pembacaan
pembacaan sura
suratt kabar antarnegara (lihat Kotak 2.3). Secara beran
berangsur-angsu
gsur-angsur,
r, terdapat
penurunan tingkat pembaca surat kabar di seluruh dunia selama dekade terakhir, walaupun tingkat
melek huruf meningkat yang disebabkan oleh kemunculan Internet (Kiing dan lain-lain, 2008). Sudah
menjadi kebiasaan dan masih berguna untuk membedakan antara beberapa tipe atau genre surat
kabar tertentu (juga jurnalisme) walaupun tidak ada satu pun klasifikasi yang dapat cocok ke semua

Persentase
Persentase non pembaca dalam
dalam pop ulasi
orang dewasa di beberapa negara Eropa ■ w (2004/5) (Elvestad
dan B lekesaune,
lekesaun e, 2008:
2008: 432)
432)

negara atau rentang waktu. Penjelasan di bawah ini akan menggambarkan varian yang utama.

I
Norwegia 4 Polandia 30
Swiss 9 Prancis 39
Estonia 17 Spanyol 49
Jerman 19 Yunani 66
Britania Raya 26

Pers partai politik


Pendahuluan

Salah satu bentuk awal dari surat kabar adalah surat kabar partai politik yang dimaksudkan untuk
melakukan tugas aktivasi, informasi, dan organisasi. Surat kabar partai (yang diterbitkan oleh atau
untuk partai) telah kehilangan bentuk pers yang komersial, baik sebagai ide maupun perusahaan
bisnis yang mengun
menguntungkan.
tungkan. Meskipun demikian, ide untuk
untuk pers partai masih dipertimbangkan
dipertimbangkan

sebagai komponen
Munculnya Media Massa 33

politik demoratis. Surat kabar semacam ini bertahan di Eropa (dan di beberapa tempat lain), biasanya
cenderung bebas dari pengaruh negara (walaupun biasanya diberikan subsidi), diproduksi secara
profesional, serius, dan bertujuan membentuk opini publik. Keunikannya terletak pada ikatan
emosialnya dengan para pembaca dengan cara berbagi loyalitas partai, perhatiannya kepada

kelompok, dan fungsinya sebagai kendaraan bagi tujuan politik. Contohnya, seperti pers pelopor’
(vanguardpress) pada saat pergerakan revolusi Rusia, surat kabar partai politik dari beberapa negara
Skandinavia (terutama dari negara demokratis) dan pers partai yang sah dari rezim komunis
terdahulu.

Pers bergengsi
Surat kabar borjuis pada akhir abad ke-19 merupakan titik tertinggi dalam sejarah pers dan banyak
berkontribusi
berkontribusi pada pemahaman
pemahaman modern kita mengenai
mengenai bagaimana seharusnya
seharusnya surat kabar. Fase
‘borjuis’ dalam sejarah pers ini yang terjadi dari tahun 1850 hingga pergantian abad merupakan hasil
dari berbagai peristiwa dan kejadian. Termasu
Termasuk
k di dalamnya: kemenangan liberalisme dan hilangnya
sensor langsung dan beban fiskal, pembentukan bisnis profesional; serta banyak perubahan sosial dan
teknologi yang mendukung munculnya pers nasional maupun lokal yang memiliki informasi dengan
kualitas yang tinggi.
Pers elit ini bebas dari pengaruh negara dan dari kepentingan tertentu, dan sering kali dianggap
sebagai institusi politik dan sosial yang besar (terutama sebagai pembentuk opini dan suara dari
‘kepentingan nasional’).
nasional’). Pers ini cenderung menunjukkan
menunjukkan tanggung jawab sosial dan etika
et ika yang tinggi
t inggi
(dalam praktik yang secara mendasar seragam) dan pers ini mendorong munculnya profesi jurnalis
yang berdedikasi pada pelaporan
pelaporan peristiwa secara objektif. Banyak negara yang masih memiliki satu
atau lebih surat kabar yang mempertahankan tradisi ini. Melalui konsensus bersama, surat kabar yang
masih dianggap memiliki status ‘elit’ mencakup surat kabar, seperti New York Times, The Times
(London), Le Monde, El Pais, NRC Handelsblad (The Netherlands). Pengharapan yang ada saat ini
mengenai bagaimana kualitas surat kabar mencerminkan nilai profesional dari pers bergengsi, dan
memberikan dasar untuk mengkritik media yang menyimpang dari nilai ideal karena terlalu partisan,
atau terlalu sensasional, atau terlalu komersial. Pers bergengsi saat ini memiliki posisi yang lebih baik
daripada yang lain untuk bertahan dari tekanan karena nilai kepentingan mereka terhadap elit politik
dan ekonomi. Walaupun untuk melakukan hal tersebut diperlukan untuk mempercepat
perubahannya ke bentuk digital.

Pers populer
Jenis surat kabar yang terakhir ini telah ada kurang lebih selama satu abad, tanpa banyak mengalami
perubahan karakter yang utama. Surat kabar inilah yang benar-
benar bersifat
bersifat ‘massaP yang
yang dibuat
dibuat untuk diju
dijual
al kepada massa
massa di perkotaan industri dan
dirancang untuk dibaca oleh hampir semua orang. Perusahaan semacam ini pada

dasarnya bersifat komersial (alih-alih proyek politik atau profesional) dan


dimungkinkan dengan adanya kemajuan teknologi dalam hal jumlah dan konsentrasi
34 Pendahuluan

populasi, penyebaran literasi, ongkos yang murah bagi pembaca, dan jumlah yang besar
dari penghasilan iklan. Secara umum, pers populer selalu mengkhususkan diri dalam
kisah-kisah yang bersifat ‘kepentingan manusia (Hughes, 1940) dengan gaya peliputan
dan penulisan yang dramatis dan sensasional yang mencakup kriminalitas, bencana,

krisis, skandal, perang, dan para selebriti. Meskipun tidak secara khusus menaruh
perhatian pada politik, surat kabar semacam ini sering kali memainkan peranan politis
pada saat-saat penting bagi masyarakat. Karena biasanya berbentuk lebih kecil, istilah
‘tabloid’ telah secara luas dipakai bagi jenis surat kabar semacam ini, dan isinya disebut
dengan istilah ‘tabloidisasi’ (tabloidization) (Connell, 1998). Istilah ini berarti proses untuk
menjadi lebih sensasional, dangkal, dan tidak bertanggung jawab.

Pers lokal dan regional


Di banyak negara, surat kabar yang paling penting adalah surat kabar lokal dan
regional. Bentuk-bentuknya terlalu beragam untuk digambarkan sebagai satu jenis
tertentu. Pers semacam ini bisa jadi serius atau populer, harian atau mingguan,
perkotaan atau pedesaan dengan sirkulasi yang besar atau kecil. Ciri utama yang
dimiliki pers semacam ini adalah seperangkat nilai berita yang relevan terhadap
pembaca lokal; memiliki pendekatan yang sifatnya dua arah (meskipun ada beberapa
pengecualian); dan ketergantungan terhadap sokongan dari para pengiklan lokal.
Beberapa surat kabar lokal gratis, sementara yang lainnya tidak dan pada umumnya
mereka terancam oleh berita dan iklan online. Status sebagai surat kabar yang gratis
biasanya sebagian besar berisi iklan, dan saat ini kategori surat kabar semacam ini
dipertanyakan, meskipun ada yang menganggap mereka benar-benar surat kabar
ataupun bukan.

Medi
Medi a Cetak
Cetak Lainnya
Lain nya
Pers cetak memunculkan berbagai bentuk publikasi selain buku dan surat kabar. Di
dalamnya termasuk drama, lagu, artikel, cerita berseri, puisi, pamflet, komik, laporan,
prospektus, peta, poster, musik, brosur, surat kabar dinding, dan masih banyak lainnya.
Hal utama yang paling penting barangkali adalah majalah berkala (mingguan atau
bulanan)
bulanan) yang muncul sangat beragam dan dengan sirkulasi yang besar dari awal abad
ke-18 dan seterusnya. Pada awalnya, media tersebut hanya bertujuan pada kepentingan
domestik dan budaya dari kalangan atas, dan akhirnya berkembang ke pasar massa
yang memiliki nilai komersial yang tinggi dan mencakup jumlah yang besar. Majalah
berkala ini masih mendominasi
mendominasi ranah personal dan domestik dan mendukung
mendukung
serangkaian
Munculnya Media Massa 35

kepentingan, aktivitas, dan pasar yang luas. Pada awal abad ke-20, majalah semacam ini
lebih seperti media massa daripada sekarang, dan penyebaran serta dampaknya yang
tidak pasti menjadikannya diabaikan oleh penelitian komunikasi.
Komentar-komentar ini berlaku pada masa komersial. Di banyak negara, masih

ada pembentukan opini yang signifikan atau pers politik berkala yang sering kali
memiliki pengaruh yang melampaui jumlah sirkulasinya. Pada masa-masa penting di
beberapa masyarakat,
masyarakat, majalah
majalah tertentu memiliki peranan sosial, politik, dan bu
budaya
daya
yang penting. Dalam kondisi tekanan politik atau dominasi komersial, majalah
‘alternatif’ semacam ini sering kali menjadi alat yang penting bagi perlawanan dan
ekspresi gerakan minoritas (lihat Downing, 2000; Huesca, 2003; Gumucio-Dagron, 2004).

Film sebagai Medi


MediaaM
Massa
assa
Film bermula pada akhir abad ke-19 sebagai teknologi baru, tetapi konten dan fungsi
yang ditawarkan masih sangat jarang. Film kemudian berubah menjadi alat presentasi

dan distribusi dari tradisi hiburan yang lebih t ua, menawa


menawarkan
rkan cerita, panggung,
panggung, musik,
drama, humor, dan trik teknis bagi konsumsi populer. Film juga hampir menjadi media
massa yang sesungguhnya dalam artian bahwa film mampu menjangkau populasi
dalam jumlah besar dengan cepat, bahkan di wilayah pedesaan. Sebagai media massa,
film merupakan bagian dari respons terhadap penemuan waktu luang, waktu libur dari
kerja, dan sebuah jawaban atas tuntutan untuk cara menghabiskan waktu luang
keluarga yang sifatnya terjangkau dan (biasanya) terhormat. Film memberikan
keuntungan budaya bagi kelas pekerja yang telah dinikmati oleh kehidupan sosial
mereka yang cukup baik. Dinilai dari pertumbuhannya yang fenomenal, permintaan
yang dipenuhi oleh film sangatlah tinggi. Dari elemen penting yang disebutkan di atas,
bukanlah teknologi ataupun
ataupun iklim po
politik,
litik, tetapi kebutuhan
kebutuhan individu
individu yang dipenuhi
dipenuhi oleh
filmlah yang paling penting. Hal yang paling jelas adalah mereka yang kabur dari

realitas yang membosankan ke dunia yang glamor, keinginan yang kuat untuk terjebak
di dalamnya, pencarian tokoh idola dan pahlawan, keinginan untuk mengisi waktu
luang dengan aman, murah, dan dengan bersosialisasi. Dalam makna yang seperti ini,
tidak banyak hal yang berubah.
Pencirian film sebagai ‘bisnis pertunjukan’ dalam bentuk baru bagi pasar yang
meluas bukanlah keseluruhan ceritanya. Terdapat tiga elemen penting lainnya dalam
sejarah film. Pertama, penggunaan film untuk propaganda sangatlah signifikan,
terutama jika diterapkan untuk tujuan nasional atau kebangsaan, berdasarkan
jangkauannya
jangkauannya yang luas, sifatnya yang riil, dampak emosional,
emosional, dan popula
popularitas.
ritas. Dua
elemen lain dalam sejarah film adalah munculnya beberapa sekolah seni film (Huaco,
1963) dan munculnya gerakan film dokumenter. Film semacam ini berbeda dari yang
umum karena memiliki daya tarik bagi minoritas atau memiliki elemen realisme yang

kuat (atau keduanya). Keduanya memiliki hubungan, sebagian tidak disengaja dengan
film sebagai propaganda karena keduanya cenderung muncul pada saat adanya krisis sosial (social crisis).
Masih ditemukan adanya elemen propaganda ideologis yang terlihat samar di banyak film hiburan
36 Pendahuluan

populer, bahkan dalam masyarakat yang cenderung ‘bebas’ dari politik. Hal ini mencerminkan
percampuran dari berbagai kekuatan: percobaan yang hati-hati atas kontrol sosial; penerapan nilai
konservatif atau populis yang sembrono; beragam cara pemasaran dan iklan menerobos masuk ke ranah
hiburan; dan pengejaran bagi daya tarik massa. Walaupun adanya dominasi fungsi hiburan dalam sejarah
film, film sering kali menampilkan kecenderungan pembelajaran atau propagandis. Film cenderung lebih
rentan daripada media lain terhadap gangguan dari luar dan sering kali tunduk pada tekanan untuk
seragam karena terlalu banyak modal yang terlibat. Hal ini merupakan cerminan situasi bahwa setelah
kejadian serangan 11 September pemerintah Amerika Serikat melakukan rapat dengan para pemimpin
industri film untuk membicarakan bagaimana film dapat berkontribusi atas ‘perang terhadap terorisme’
yang baru saja diumumkan.
Perubahan besar dalam sejarah film, yaitu ‘Amerikanisasi’ (American
Americanization
ization) terhadap industri film
dan budaya film dalam tahun-tahun setelah Perang Dunia I (Tunstall, 1977); munculnya televisi dan
pemisahan film dari biskop. Pertumbuhan yang menurun, tetapi cenderung berkembang, industri film
Eropa pada saat itu (dipercepat oleh Perang Dunia II) barangkali berkontribusi terhadap homogenisasi
budaya film dan penyatuan ide mengenai definisi film sebagai sebuah media dengan Hollywood sebagai
model yang dominan. Televisi mengambil sebagian besar dari khalayak penonton film, terutama khalayak
keluarga, dan meninggalkan sedikit khalayak dari kalangan anak muda. Televisi juga mengambil atau
mengalihkan aliran dokumenter sosial dari perkembangan film dan memberikannya kepada televisi yang
biasanya muncul
muncul pada progr
program
am jurnalistik,
jurnalistik, laporan
laporan khusu
khusus,
s, dan program ‘skan
‘skandal
dal publi
publik’.
k’. Bagaimanapun,
Bagaimanapun,
program tersebut tidak memiliki efek yang sama seperti film seni atau nilai estetika film. Walaupun film
seni diuntungkan dengan adanya ‘demasifikasi’ dan pengkhususan dari media film. Pada dua generasi
pertama para penonton film, pengalaman menonton film tidak dapat dipisahkan dengan jalan- jalan yang
biasanya dilakukan
dilakukan dengan teman dan biasanya di tempat
tempat yang leb
lebih
ih besar dari rumah.
rumah. Sebagai tambahan,
tambahan,
bioskop yang
yang gelap menawarkan
menawarkan gabungan antara privasi
privasi dengan kenyam
kenyamanan
anan yang memberi
memberikan
kan dimensi
lain terhadap pengalaman menonton ini. Sebagaimana dengan televisi di kemudian hari, ‘pergi ke bioskop’
sama pentingnya dengan kegiatan menonton film.
Pemisahan antara film dengan bioskop merujuk kepada banyak cara bagaimana film dapat ditonton,
setelah pertunjukan awal di bioskop. Hal ini termasuk penyiaran televisi, penyiaran kabel, rekaman video,
dan penjualan atau penyewaan DVD, televisi satelit, dan saat ini Internet digital jaringan pita lebar, serta
penerimaan telepon genggam. Perkembangan-perkembangan ini memiliki potensi dampak tertentu, yaitu
membuat film tidak lagi sebagai pengalaman publik bersama dan lebih kepada pengalaman pribadi.
Mereka mengurangi ‘dampak’ awal dari ekspos terhadap massa atas film tertentu. Mereka mengubah
kendali pemilihan kepada khalayak dan
Munculnya Media Massa 37

memungkinkan adanya pola baru untuk mengulang tontonan dan menyimpannya.


Teknologi baru ini juga memungkinkan untuk melayani banyak pasar khusus dan
memudahkan untuk menyediakan permintaan atas konten kekerasan, horor, atau
pornografi. Teknologi ini juga memperpanjang waktu hidupnya film. Meskipun
kebebasan memiliki dampak yang membuat film kurang sebagai ‘media massa’, film
tidak dapat secara penuh mengklaim hak atas politik dan ekspresi diri secara artistik,
dan sebagian besar negara membatasi sistem untuk melisensi, menyensor dan
menguasai.
Walaupun media film telah dinomorduakan terhadap televisi, film juga menjadi
lebih menyatu dengan media lain, terutama penerbitan buku, musikpop, dan televisi.
Film telah mendapatkan peran yang besar, (Jowett dan Linton, 1980) walaupun
berkurangnya
berkurangnya khalayak mereka sendiri sebagai sebuah pajangan bagi media lain dan
sebagai sumber kebudayaan yang darinya menghasilkan buku, kartun strip, lagu, dan
bintang
bintang televisi, serta seri
serial.
al. Oleh karena
karena itu, film adalah sebu
sebuah
ah pencipta budaya
budaya massa.
Bahkan, menurunnya penonton film kemudian dikompensasikan oleh para penonton
film domestik yang dijangkau oleh televisi, rekaman digital, kabel, dan saluran satelit.

Karakter utama dirangkum dalam Kotak 2.4.

Media film dan lembaga: ciri-

Aspek media
2.4 ciri ut ama

• Saluran penerimaan audiovisual.


• Pengalaman pribadi terhadap konten publik.
• Daya tarik universal yang luas.
» Memiliki format dan genre internasional.

Aspek kelembagaan
kelembagaan

Ketundukan terhadap kontrol sosial.


• Organisasi dan distribusi yang rumit.
• Biaya produksi yang tinggi.
• Bentuk distribusi yang beragam.

Penyiaran
Televisi dan radio telah memiliki kurang lebih sembilan puluh dan enam puluh tahun
lebih sejarah sebagai media massa, dan keduanya tumbuh dari teknologi yang ada
sebelumnya—telepon, telegraf, fotografi bergerak atau diam, dan rekaman suara. Di
Pendahuluan

balik perbedaan
perbedaannya
nya dalam hal penggunaan
penggunaan dan konten yang jelas terlihat, radio dan televisi dapat
diperlakukan bersama-sama sehubungan dengan sejarah mereka. Radio merupakan teknologi yang
mencari kegunaan daripada sebagai respons terhadap permintaan layanan atau konten baru, dan demikian
pula televisi. Menurut Williams (1975: 25), ‘tidak seperti semua bentuk teknologi komunikasi sebelumnya,
radio dan televisi adalah sistem yang dirancang bagi proses abstrak penyebaran dan penerimaan dengan
sedikit atau tanpa konten yang jelas.’ Keduanya hanya meminjam dari media yang telah ada sebelumnya,
dan bentuk konten mereka yang populer datang dari film, musik, cerita, teater, berita, dan olahraga.
Ciri utama dari radio dan televisi adalah besarnya peraturan, kontrol, atau lisensi oleh penguasa yang
awalnya datang dari kebutuhan teknis, kemudian dari campuran antara pilihan demokratis, kepentingan
negara, kenyamanan ekonomi, dan budaya lembaga yang bebas. Ciri yang kedua dari radio dan televisi
adalah pola distribusi yang terpusat dengan pasokan datang dari pusat kota tanpa adanya arus timbal
balik. Barangkali karena kedekatan mereka dengan kekuasaan
kekuasaan,, radio dan televisi sulit mendapatkan
mendapatkan
kebebasan yang sama, seperti yang dimiliki pers, untuk mengekspresikan pandangan dan tindakan dengan
kebebasan berpolitik. Penyiaran dianggap terlalu memiliki pengaruh yang kuat untuk jatuh ke tangan
kepentingan tertentu tanpa batasan jelas dalam melindungi publik dari bahaya atau manipulasi yang
potensial.

Televisi secara terus-menerus berevolusi dan akan sangat berisiko untuk mencoba merangkum ciri-
cirinya dalam hal efek dan tujuan komunikasi. Awalnya, penemuan genre utama dari televisi bermula dari
kemampuannya untuk menyiarkan banyak gambar dan suara secara langsung, dan kemudian bertindak
sebagai ‘jendela dunia’ dalam waktu yang riil. Bahkan, studio produksi melakukan siaran langsung
sebelum munculnya teknik rekaman video yang efisien. Kemampuan ini secara simultan telah dibatasi
untuk konten tertentu, termasuk acara olahraga, siaran berita, dan beberapa jenis hiburan. Apa yang Dayan
dan Katz (1992) cirikan sebagai ‘peristiwa media’ (misaln
( misalnya
ya kunjungan kenegaraan, Olimpia
O limpiade,
de, penobatan,
atau demonstrasi politik yang besar) sering kali mendapatkan peliputan langsung yang penting.
Kebanyakan konten televisi tidak langsung, walaupun tujuannya adalah untuk menciptakan ilusi adanya
realitas yang sedang berlangsung. Ciri utama yang kedua dari televisi adalah rasa akrab keterlibatan
personal yang dianggap tumbuh antara penonton dan pembawa acara, atau aktor dan penonton di layar.
Status televisi sebagai media yang paling besar dalam hal jangkauan dan waktu yang dihabiskan dan

popularitasnya tidaklah berubah selama lebih dari tiga puluh tahun dan bahkan bertambah bagi khalayak
global. Meskipun demikian, saat ini muncul bukti adanya penurunan khalayak, walaupun perbedaan
signifikan antarnegara terhadap dominasi waktu luang masih sama, sebagaimana yang ditunjukkan dalam
rangkuman pada Kotak 2.5.
Walaupun terdapat fakta bahwa televisi secara umum menolak memainkan peranan politik otonomi
dan biasanya dianggap sebagai media hiburan, televisi memiliki peranan penting dalam politik modern.
Televisi dianggap sebagai sumber
Munculnya Media Massa 39

utama berita dan informasi bagi sebagian besar orang dan saluran utama komunikasi antara politisi
dan warga negara, terutama saat masa pemilihan. Dalam peranan

2.5
Negara

Perbedaan dalam hal menghabiskan waktu dengan televisi, tahun 2000 dan tahun
2007

Jumlah menit menonton perhari

2000 2007
Amerika Serikat 299 297
Britania Raya 234 233
Italia 238 239
Prancis 219 214
Belanda 166 194
Norwegia 163 154
Republik Ceko 19 194
Jerman 233 203
Irlandia 185 185

(sumber: International Television Expert Group, www.ip-network.com)


www.ip-network.com)

sebagai pemberi informasi publik yang tidak informal, televisi secara umum tetap dapat dipercaya.

Peranan lain adalah sebagai pengajar bagi anak-anak di sekolah dan orang dewasa di rumah. Televisi juga
merupakan satu-satunya saluran iklan terbesar di hampir semua negara, dan hal ini membantu
mengonfirmasi fungsi hiburan massanya. Dalam kaitannya dengan distribusi, siaran televisi di banyak
negara telah terbagi-bagi ke dalam saluran yang berbeda-beda. Akan tetapi, pola umum yang ada di
beberapa saluran
saluran (nasional) sangat dominan terhadap khalayak dan keuan
keuangan.
gan. Sebuah ciri yang bertahan
dari daya tarik televisi terletak pada fakta
f akta bahwa televisi merupaka
merupakan
n media yang menyatukan orang untuk
berbagi pengalam
pengalaman
an yang sama dalam masyarak
masyarakat
at yang terbagi-bagi dan individu
individual,
al, tidak hanya di
lingkup keluarga. Ciri-ciri utama dari siaran televisi dan radio dirangkum dalam Kotak 2.6.
Radio menolak mati karena munculnya televisi dan diuntungkan oleh beberapa ciri-ciri penting.
Persaingan dengan televisi membawa kepada derajat pembedaan yang hati-hati. Pengawasan yang ketat
terhadap sistem radio nasional mulai mengendur setelah munculnya televisi dan fase-fase ‘pembajakan’, di
mana para pengusaha amatir dan profesional membangun stasiun radio ilegal. Radio tidak lagi menjadi

suara nasional dan lebih bebas untuk mencoba dan mengekspresikan musik dan suara baru yang berasal
dari minoritas maupun bersifat menyimpang. Sebagai sebuah media, radio memiliki lebih banyak saluran,
sehingga memiliki akses yang lebih
40 Pendahuluan

2.6
2.6 Televisi sebagai media dan lembaga:

Aspek media
• Memiliki konten yang sangat beragam.
• Saluran audiovisual.
• Dianggap bersifat domestik, dekat, dan personal.
• Intensitas rendah dan pengalaman keterlibatan.

Aspek kelembagaan
kelembagaan
• Teknologi dan organisasi yang rumit.
• Tunduk pada aturan dan kontrol sosial.
• Berkarakter nasional dan internasional.
• Dapat dilihat orang banyak.

banyak dan beragam. Produksi radio lebih mudah dan fleksibel daripada televisi, dan juga
j uga murah serta
fleksibel bagi khalaknya. Tidak ada batasan tempat di mana radio dapat didengarkan atau batasan waktu
karena mendengarkan dapat digabung dengan aktivitas rutin lainnya. Mereka memiliki kemungkinan
untuk berinteraksi dengan khalayaknya melalui telepon dan dapat mengakomodasi beragam genre.
Bahkan, radio telah tumbuh sejak munculnya televisi, bahkan jika radio tidak lagi dapat mengklaim
khalayak massanya seperti pada masa jayanya pada tahun 1940-an. Ciri utama yang dibahas dirangkum
pada Kotak 2.7.

Radio sebagai media dan lembaga:


lembaga: c iri-ciri utama

Aspek media
• Hanya memiliki daya tarik suara.
• Penggunaannya mudah dan dapat dibawa ke mana-mana.
• Kontennya beragam, tetapi lebih banyak musik.
• Potensial untuk partisipasi dua arah.
• Penggunaannya yang akrab dan personal.

Aspek kelembagaan
kelembagaan
• Kebebasan relatif.
• Lokal dan tersebar.
• Produksinya murah.
Munculnya Media Massa 41

Musik Rekaman
Relatif sangat sedikit perhatian yang diberikan kepada musik sebagai media massa
dalam teori dan penelitian. Mungkin karena dampaknya terhadap masyarakat tidaklah

jelas, tetapi juga tidak ada berhentinya


berhentinya kemungkinan
kemungkinan yang ditawarkan penerus
penerus
teknologi rekaman dan reproduksi/penyebaran. Rekaman musik bahkan tidak memiliki
label yang nyaman untuk menggambarkan perwujudan media yang banyak, walaupun
istilah fonogram sudah disarankan (Burnett, 1990,1996) untuk media yang meliputi
musik yang diakses melalui pemutar kaset, pemutar CD, VCR, siaran, dan kabel, dan
seterusnya.
Rekaman dan pemutaran musik dimulai sekitar tahun 1880 dan rekaman cukup
cepat menyebar, berdasarkan daya tarik yang luas dari lagu dan melodi populer.
Popularitas dan penyebaran mereka dihubungkan dengan piano (serta alat musik lain)
yang sudah ada di rumah. Kebanyakan konten radio sejak awal terdiri atas musik, dan
terlebih lagi semenjak munculnya televisi. Meskipun berangsur-angsur terdapat
kecenderungan bagi fonogram untuk menggantukan pembuatan musik pribadi, tidak

pernah ada jarak yang besar antara musik yang termediasi-massa dan pribadi, dan
kesenangan langsung khalayak dari menyaksikan pertunjukan musik langsung (konser,
paduan suara, band, tarian, dan seterusnya). Fonogram membuat segala jenis musik
lebih dapat diakses lebih banyak di setiap waktu dan di berbagai tempat, tetapi sulit
untuk membedakan perubahan yang mendasar dari karakter umum pengalaman musik
populer, meskipun adanya perubahan dalam genre dan gaya.
Meskipun demikian, terdapat perubahan besar dalam karakter fonogram sejak
awalnya. Perubahan pertama adalah tambahan rekaman fonogram bagi siaran musik
radio yang secara besar meningkatkan jumlah dan jenis musik yang tersedia dan
memperluasnya kepada lebih banyak orang daripada akses yang dimiliki gramofon atau
kotak musik (jukebox). Perubahan radio dari media untuk keluarga ke media individu
pada masa revolusi pasca-perang adalah perubaha besar yang kedua yang membuka

pasar baru anak muda yang kemudian menjadi industri rekaman yang tumbuh dengan
cepat. Setiap perkembangan setelah itu—pemutar kaset portabel, walkman Sony, CD,
video musik, dan iPod—memberikan lebih banyak variasi yang masih berdasarkan
khalayak muda yang mendominasi. Hasilnya adalah industri media massa yang sangat
saling terhubung dengan pemilikan yang terkonsentrasi dan antarnegara (Negus, 1992).
Meskipun demikian, media musik memiliki dimensi radikal dan kreatif yang signifikan
yang berkembang, meskipun semakin tumbuhnya komersialisasi (Frith, 1981).
Tumbuhnya pengunduhan musik dan berbagi melalui Internet menambah macetnya
distribusi dan secara serius menantang kekuatan pemilik musik.
Sementara signifikansi budaya dari musik menerima perhatian secara sporadis,
hubungannya dengan peristiwa sosial politik telah diketahui dan terkadang dirayakan
atau ditakuti. Semenjak munculnya industri berbasis anak muda pada tahun 1960-an,
musik populer yang termediasi dikaitkan dengan idealisme anak muda dan masalah
politik untuk menerima hedonisme dan degenerasi hingga penggunaan obat terlarang,
42 Pendahuluan

kekerasan, dan sikap antisosial. Musik juga memiliki peranan dalam berbagai gerakan
Munculnya Media Massa 43

nasionalis independen, misalnya lagu prates dan nasionalisme yang merupakan elemen
penting dalam perjuangan kemerdekaan Irlandia dari Inggris. Kemudian, berakhirnya
kekuasaan Soviet terhadap Estonia digambarkan sebagai ‘revolusi nyanyian karena
musik memungkinkan masyarakat untuk menyatu dan mengekspresikan aspirasi
mereka terhadap perbaikan kekuasaan dan budaya nasional yang ditekan. Sementara
konten musik tidak pernah mudah untuk diatur, penyebarannya pada umumnya berada
di tangan lembaga yang mapan dan jika terdapat kecenderungan adanya penyimpangan
akan tunduk kepada sanksi tertentu. Dalam tiap kasus, kebanyakan musik pop
mengekspresikan dan merespons alih-alih mempertahankan nilai konvensional dan
kebutuhan personal tanpa tujuan atau potensi berbahaya. Poin mengenai musik ini
dirangkum dalam Kotak 2.8.

Musik rekaman
2.8 (fonogr am) sebagai media dan lembaga: cir i-cir i utama

Aspek media

• Hanya berupa suara.


• Kepuasan pribadi dan emosional.
• Utamanya memiliki daya tarik terhadap anak muda.
• Penggunaannya yang dapat berpindah dan fleksibel.

Aspek institusional
institusional

• Peraturan yang kendur.


• Internasionalisasi
Internasionalisasi yang tinggi.
• Memiliki teknologi dan dasar yang beragam.
• Terhubung dengan industri media besar.
• Fragmentasi organisasi.

Inti dari budaya anak muda. .

Revol
Revolusi
usi Kom unikasi:
uni kasi: Medi
Mediaa Ba
Baru
ru
versus
versu s Media Lama
Lama
Istilah ‘media baru’ (new media) telah digunakan sejak tahun 1960-an dan telah
mencakup seperangkat teknologi komunikasi terapan yang semakin berkembang dan
beragam. Editor dari bu
buku
ku Handbook of New Media (Lievrouw dan Livingstone, 2006)
menunjuk pada kesulitan untuk menyebutkan apa saja yang termasuk dalam ‘media
baru. Mereka
Mereka memilih untuk
untuk mendefinisikannya
mendefinisikannya dengan
dengan cara yang berb
berbeda,
eda,
44 Pendahuluan

menghubungkan antara teknologi informasi dan komunikasi (ICT) dengan konteks sosial yang
berhubungan
berhubungan yang menyatu
menyatukan
kan tiga elemen:
elemen: alat dan artefak teknologi; aktivitas,
aktivitas, praktik,
praktik, dan
penggunaan; dan tatanan serta organisasi sosial yang terbentuk di sekeliling alat dan praktik tersebut.
Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, sebagian besar definisi juga berlaku pada media lama,
walaupun artefak, penggunaan, dan penataannya berbeda. Sejauh ciri utama dari media baru yang paling
utama adalah kesalingterhubungan, aksesnya terhadap khalayak individu sebagai penerima maupun
pengirim pesan, interaktivitasnya,
interaktivitasnya, kegunaannya yang beragam sebagai karakter yang terbuka, dan sifatnya
yang ada ‘di mana-mana’ (delocatedness ) (lihat Bab 6).
Bahasan utama kita pada buku ini adalah dengan komunikasi massa yang sangat dekat dengan
media lama, sehingga sepertinya akan menjadi usang karena media baru. Bagaimanapun, seperti yang
telah dibahas sebelumnya, komunikasi massa bukanlah proses yang terbatas pada media massa atau sudah
mengalami penurunan. Teknologi media baru juga membawa aktivitas komunikasi massa. Liiders (2008)
berpendapatt bahwa perbedaan antara media massa dan media personal tidak terhapus,
berpendapa terhapus, tetapi menjadi
labil. Meskipun demikian, munculnya media baru dilihat oleh sebagian orang sebagai perlawanan
terhadap komunikasi massa yang merupakan sebuah ide yang sudah lama muncul di teori kritis (lihat
Enzensberger, 1970). Dua kekuatan utama perubahan awalnya adalah komunikasi satelit dan pemanfaatan
komputer. Kunci untuk kekuatan komputer yang besar sebagai sebuah mesin komunikasi terletak pada
proses digitalisasi
digitalisasi yang memungkinkan
memungkinkan segala bentuk informasi dibawa dengan efisien dan saling berbau
berbaur.
r.
Pada prinsipnya, tidak lagi ada kebutuhan untuk berbagai media berbeda yang telah disebutkan
sebelumnya. Karena, semuanya dapat dimasukkan ke dalam jaringan komunikasi komputer dan pusat
penerimaan yang sama (misalnya di rumah). Sejauh ini, hal tersebut belum terjadi karena merupakan
proses yang berangsur-angsur jika hal itu memang akan terjadi. Akan tetapi, kita telah melihat tanda-tanda
dari banyak surat kabar yang berpindah ke bentuk digital. Seiring dengan teknologi berbasis komputer,
terdapat pula berbagai inovasi yang dalam beberapa hal mengubah aspek komunikasi (Carey, 2003). Alat
baru penyiaran oleh kabel,
k abel, ssatelit,
atelit, dan radio telah sangat banyak meningkatkan kemampuan
kemampuan penyiaran
penyiaran..
Bentuk-bentuk penyimpanan yang baru, termasuk perekam video pribadi, CD-ROM, CD, DVD, iPod, dan
seterusnya juga memperluas kemungkinan, dan bahkan alat pengontrol jarak jauh juga turut andil.
Meskipun tidak secara langsung mendukung komunikasi massa, kemungkinan baru untuk pembuatan

media secara pribadi (camcorder, komputer pribadi, printer, kamera, telepon genggam,
genggam, dan lain-lain)
lain-lain) telah
memperluas lingkungan media dan menjembatani antara komunikasi publik dan pribadi, dan antara ranah
profesional dengan amatir. Akhirnya, kita harus mencatat jenis baru dari quasi-media", termasuk
permainan komputer dan alat realitas virtual yang tumpang-tindih dengan media dalam hal kebudayaan
dan kepuasan penggunaan.
Dampak dari semua ini bagi media massa masih jauh dari jelas, walaupun yang pasti adalah bahwa
media tradisional juga mendapat keuntungan besar dari inovasi media baru dan juga mendapatkan
pesaing baru. Dampak yang kedua adalah kita
Pendahuluan

dapat menyimpulkan bahwa revolusi komunikasi telah secara umum mengubah ‘keseimbangan
kekuatan’ dari media kepada khalayak, dalam hal mereka lebih memiliki pilihan untuk memilih dan
lebih menggunakan media yang tersedia secara aktif. Komunikasi massa tradisional pada intinya
bersifat satu arah, sementara bentuk baru komunikasi
komunikasi secara pokok adalah interaktif. Komunikasi
massa memiliki beberapa hal sebelum tidak menjadi massal dan tersentralisasi.

Internet
Melampaui semua hal tersebut, sangat berguna untuk membedakan antara dampak dari penyiaran
yang lebih canggih dan munculnya media baru semacam itu. Hal yang pertama berarti memiliki
kecepatan, kapasitas, dan efisiensi yang lebih besar, sementara yang kedua membuka kemungkinan
baru bagi konten, penggunaan,
penggunaan, dan efek. Klaim statu
statuss paling utama sebagai medi
mediaa baru dan mungkin
mungkin
juga sebagai media massa adalah Internet. Meskipun
Meskipun demikian, ciri-ciri massal
massal bukanlah karekteristik
utamanya. Pada awalnya, Internet dimulai sebagai alat komunikasi nonkomersial dan pertukaran data
di antara profesional, tetapi perkembangan selanjutnya adalah Internet sebagai penyedia barang dan

berbagai jasa, dan sebagai alternatif


alternatif bagi alat komunikasi
komunikasi pribadi dan antarpribadi
antarpribadi (Castells,
(Castells, 2001).
Media ini belum matang maupun memiliki definisi yang jelas yang sejalan dengan penilaian Lievrouw
(2004:12) yang menyatakan bahwa ‘belum terdapat bentuk aplikasi yang sangat hebat (killer application)
dari interaksi daring.’ Walaupun demikian, kita juga dapat melihat aplikasi mesin pencari dan situs
jaringan sosial sebagai aplika
aplikasi
si yang unik dan dominan.
dominan. Pada awalnya, penyebaran berlangsun
berlangsung
g
paling cepat di Amerika Utara dan Eropa bagian Utara. Di Amerika, penyebaran dirasakan paling
tinggi pada tahun 2001, sekitar 60% hingga 70% populasi (Rainie dan Bell, 2004), tetapi dengan aliran
yang lebih berkelanjutan. Angka-angka yang lebih baru menunjukkan penetrasi yang tinggi di rumah
tangga di negara- negara lain (Kung dan lain-lain, 2008). Penggunaan sesungguhnya bervariasi dalam
jumlah
jumlah dan jenis dan tumpang tindih dengan penggunaan media lainnya (misalnya musik, film, dan
radio). Beberapa aplikasi Internet, misalnya berita online, merupakan
merupakan perluasan dari jurnalisme
jurnalisme surat
s urat
kabar, walaupun berita online itu sendiri juga semakin berkembang ke arah yang baru dengan

kemampuan baru atas konten dan bentuk (misalnya di mana anggota masyarakat dapat berperan juga
sebagai jurnalis).
Klaim Internet untuk status medianya berdasarkan teknologi yang canggih, perilaku
penggunaan, jumlah konten dan layanan, dan citra yang penting. Bagaimanapun, Internet tidak
memiliki status kelembagaan yang jelas dan tidak dimiliki, dikontrol, atau diatur oleh satu lembaga
tertentu, tetapi hanya merupakan jaringan yang terhubung secara internasional yang beroperasi
menurut aturan tertentu. Berbagai organisasi, tetapi terutama badan penyedia layanan daa
telekomunikasi, berkontribusi terhadap kinerjanya (Braman dan Roberts, 2003). Internet semacam itu
tidak ada di manapun sebagai sebuah entitas yang sah dan tidak tunduk pada perangkat hukum
nasional
Munculnya Media Massa 45

tertentu (Lessig, 1999). Klotz (2004) mengatakan bahwa tidak ada paradigma hukum
baru bagi dunia maya yang sudah diketahui, walaupun masih terlalu awal un
untuk
tuk
menyimpulkan bahwa tidak akan pernah ada kerangka hukum yang jelas. Pada saat
penulisan ini, pada tahun 2009, masih demikian adanya. Bagaimanapun, mereka yang
menggunakan Internet haruslah tunduk pada peraturan dan undang-undang negara di
mana mereka tinggal, juga pada peraturan internasional (Gringras, 1997). Kita kembali
ke pertanyaan mengenai Internet di Bab 6 dan di bagian lain, tetapi saat ini kita dapat
mencatat karekteristik utamanya sebagai media massa. Ciri utama dari Internet
dirangkum pada Kotak 2.9 tanpa membedakan antara aspek ‘media’ dan ‘lembaga’
karena yang pertama sangat banyak dan yang kedua belum berkembang.

Perb
Perbedaa
edaan
n di
d i Antara
Ant ara Medi
Mediaa
Sekarang lebih mudah untuk membedakan antara beragam media satu dengan lainnya
daripada sebelumnya. Hal ini sebagian dikarenakan beberapa bentuk media saat ini

disebarkan melalui berbagai saluran penyiaran yang berbeda, mengurangi bentuk unik
asli dan pengalaman menggunakannya. Hal yang kedua, semakin menyatunya
teknologi karena digitalisasi hanya dapat memperkuat oleh kecenderungan ini. Surat
kabar sudah

Internet
Internet sebagai
sebagai
2.9 media: ciri-ciri utama

Teknologi berbasis komputer.


Karakternya hibrida, tidak berdedikasi, fleksibel.

Potensi interaktif.
Fungsi publik dan privat.
Peraturan yang tidak ketat. Kesalingterhubungan.
Ada di mana-mana/tidak
mana-mana/tidak tergantung lokasi. Dapat
Dapat
diakses individu sebagai komunikator. Media
komunikasi massa dan pribadi.

dapat diakses sebagai teks di Internet dan sistem telepon juga mengantarkan konten
media, terutama melalui Internet. Batasan yang jelas dari rezim peraturan antara media
sudah mengabur, baik mengenali maupun mendorong persamaan yang semakin jelas
antarmedia berbeda. Hal yang ketiga, kecenderungan globalisasi mengurangi
kekhususan dari varian konten dan lembaga media tertentu. Hal yang keempat, tren
yang berlanjut menuju integrasi perusahaan media global dan nasional telah mendorong
Pendahuluan

penyatuan media yang berbeda di bawah satu atap, mendorong konvergensi dengan cara berbeda.
Meskipun demikian, pada dimensi tertentu, perbedaan jelas masih ada. Terdapat beberapa
perbedaan nyata dalam hal konten, juga terdapat bukti bahwa media dinilai berbeda dalam hal
karateristik fisik dan psikososial (lihat Kotak 6.4, Bab 6). Media mengubah banyak dalam hal
kepercayaan dan kredibilitas, walaupun temuan beragam dari waktu ke waktu. Sekarang kita hanya
melihat pada dua pertanyaan. Pertanyaan pertama, seberapa bebaskah media dalam hubungannya
dengan masyarakat yang lebih luas. Pertanyaan yang kedua, apakah guna media dan bagaimana
media memahami kegunaan dari sudut pandang anggota khalayak individu?

Dimensi kebebasan versus kontrol


Hubungan antara media dan masyarakat memiliki dimensi material, politik, dan normatif atau sosio-
kultural. Inti dari dimensi politik adalah pertanyaan mengenai kebebasan dan kontrol. Isu normatif
yang utama adalah mengenai bagaimana media cenderung menggunakan kekuasaan yang mereka
miliki. Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, kebebasan hampir total sebetulnya dimiliki oleh

buku untuk berbagai alasan di mana klaim terhadap politik, agama, ilmu, dan seni juga turut andil.
Situasi ini tidak terbantahkan di masyarakat yang bebas, walaupun buku telah kehilangan beberapa
potensi menyimpangnya sebagai hasil dari marjinalisasi yang relatif (pembacaan buku adalah bentuk
minoritas dari penggunaan media). Pengaruh buku juga masih diakui, tetapi harus dimediasikan dalam
jumlah
jumlah yang besar melalui media atau lembaga
lembaga lain yang lebih populer
populer (pendidikan, politik,
politik, dan Iain-
lain).
Pers surat kabar mendasarkan klaim sejarahnya atas kebebasan bekerja sebetulnya lebih kepada
fungsi oplitik untuk menyatakan pendapat dan menyebarkan informasi politik dan ekonomi. Akan
tetapi, surat kabar juga merupakan perusahaan bisnis besar yang memberikan kebebasan untuk
memproduksi dan menyebarkan produknya (informasi) adalah kondisi yang diperlukan bagi kinerja
yang sukses di pasar. Siaran televisi dan radio juga secara umum memiliki izin dan praktik kebebasan
politik yang terbatas, sebagian karena akses yang lebih baik kepada ranah spektrum yang langka

(meskipun adanya pengumuman atas ‘berakhirnya kelangkaan’) dan sebagian karena dampak dan
kekuatan yang dipercaya mereka miliki untuk memengaruhi. Akan tetapi, mereka juga sering kali
diharapkan untuk menggunakan kemampuan informatif mereka untuk mendukung proses
demokratis dan melayani kebutuhan publik dengan cara lain. Meskipun demikian, tren saat ini bagi
kekuatan pasar memiliki pengaruh yang lebih besar untuk melakukan penyiaran daripada kontrol
politik maupun tanggung jawab sosial secara sukarela.
Beragam media baru (new media) yang penyiarannya menggunakan kabel, satelit, atau jaringan
telekomunikasi masih menunggu definisi yang jelas terhadap kebebasan politik mereka yang layak.
Media baru yang utama ini adalah Internet. Kebebasan
Munculnya Media Massa 47

dari kontrol mungkin diakui sebagai hak privasi atau fakta bahwa ini merupakan media yang tidak
mendiskriminasi distribusi massal, tetapi diantarkan langsung kepada pengguna secara khusus. Mereka
juga disebut
disebut sebagai ‘pembawa umum’
umum’ yang menghindari
menghindari kontrol
kontrol atas konten karena mereka
mereka terbuka bagi
semua dan berimbang yang terutama untuk keperluan bisnis dan personal daripada masalah publik.
Mereka juga semakin menambah tugas komunikasi yang sama sebagaimana media dengan kekuasaan
editorial yang sudah ada. Status yang tidak jelas dari sebagian besar media baru ini masih menjadi bahan
perdebatan karena secara defacto mereka sangat bebas, tetapi juga menimbulkan ketakutan akan
penyalahgunaan.
Perbedaan antarmedia yang berkaitan dengan kontrol politik (kebebasan berarti peraturan yang lebih
sedikit dan pengawasan yang renda) mengikuti pola umum. Dalam praktiknya, hal ini berarti bahwa
semakin dekat media apapun untuk beroperasi sebagai media massa, semakin ia mendapat perhatian dari
pemerintah dan politisi karena hal tersebut memengaruhi kinerja kekuasaan. Secara umum, aktivitas di
ranah fiksi, fantasi, atau hiburan lebih memungkinkan untuk lolos dari perhatian daripada aktivitas yang
menyentuh langsung pada realitas peristiwa dan situasi yang sedang terjadi.
Pada dasarnya, semua media komunikasi publik memiliki potensi radikal dalam arti berpotensi
menyimpang dari sistem kontrol sosial. Mereka dapat menyediakan akses untuk suara baru dan perspektif

dari tatanan yang ada; bentuk baru organisasi dan protes yang disediakan untuk mereka yang
dinomorduakan atau dikecewakan. Meskipun demikian, perkembangan kelembagaan dari media yang
sukses biasanya berujung pada hilangnya potensi radikal awal, sebagian dikarenakan efek samping
komersialisasi, sebagian lagi dikarenakan penguasan takut gangguan dari masyarakat (Winston, 1986).
Menurut Beniger (1986), logika yang mendorong teknologi komunikasi baru selalu menuju kontrol yang
semakin meningkat. Generalisasi ini sekarang diuji dengan rujukan terhadap Internet dan sepertinya
disahkan.
Dimensi normatif (normative) dari kontrol yang bekerja menurut prinsip serupa, walaupun terkadang
dengan konsekuensi berbeda bagi media tertentu. Misalnya, film yang umumnya terhindar dari kontrol
politik langsung, sering kali tunduk pada sensor pribadi dan pengawasan konten, berdasarkan potensi
yang berbahaya bagi anak muda (terutama yang berkaitan dengan kekerasan, kriminalitas, atau seks).
Pembatasan yang meluas diterapkan pada televisi karena akar budaya dan moral yang sama. Ini adalah

media yang sangat populer dan memiliki dampak emosional yang kuat terhadap banyak orang, sehingga
perlu diawasi menurut ‘kepentingan publik’.
Bagaimanapun, semakin banyak aktivitas komunikasi yang memiliki tujuan mendidik atau serius,
atau bertujuan artistik dan kreatif, maka semakin bebas dari batasan normatif yang ada. Terdapat alasan
rumit untuk ini, tetapi juga merupakan fakta bahwa ‘seni’ dan konten dengan tingkat keseriusan yang
tinggi biasanya tidak diminati banyak khalayak dan dilihat sebagai marjinal dalam hal kekuatan.
Derajat kontrol media oleh negara atau masyarakat sebagian tergantung pada kelayakan untuk
menerapkannya. Media yang paling diatur biasanya adalah media yang memiliki distribusi dan paling
mudah diawasi, seperti siaran radio, atau televisi
Pendahuluan

nasional yang terpusat, atau distribusi film lokal. Buku dan media cetak biasanya lebih mudah diawasi
atau ditekan. Hal yang sama berlaku untuk radio lokal. Sementara, penerbitan pribadi dan fotokopi
serta semua cara mereproduksi suara dan gambar telah membuat sensor langsung sangat tumpul dan
instrumen yang tidak efektif.
Kesulitan dalam menerapkan kebijakan nasional untuk mengusir komunikasi luar negeri yang
tidak diinginkan adalah konsekuensi lain dari teknologi baru yang mempromosikan lebih banyak
kebebasan. Sementara, media baru umumnya meningkatkan janji akan kebebasan komunikasi,
kekuatan kontrol lembaga yang terus berlanjut, termasuk pasar melalui arus penerimaan yang riil
tidak seharusnya diremehkan. Hal ini menjadi lebih jelas bahwa Internet sangat sulit dikontrol, seperti
yang dipercaya sebelumnya, karena semua arus dapat dimonitor dan dilacak dan beberapa negara
secara efektif memblokade situs dan konten yang tidak mereka sukai dan menghukum para
penggunanya. Terdapat pula sensor pribadi yang dilakukan penyedia layanan dalam menghadapi
ancaman atau ketidakpastian hukum.
Isu utama yang muncul pada bagian ini dirangkum di Kotak 2.10 yang membahas kontrol sosial,
dengan rujukan khusus kepada dua aspek: jenis atau tipe kontrol dan motif.

Dimensi penggunaan dan penerimaan


Kesulitan meningkat dalam membedakan saluran media berdasarkan isi dan fungsi yang merusak
definisi sosial media yang dahulu stabil. Surat kabar misalnya, saat ini

Kontrol so sial media

Jenis kontrol
• Sensor terhadap konten.
• Batasan hukum.
• Kontrol terhadap infrastruktur.
• Alat eknomi.
• Peraturan sendiri (self-regulation) atau sensor sendiri (selfcensorship).

Motif untuk kontrol


• Ketakutan atas penyimpangan politik.
• Untuk alasan moral atau buadya.
• Melawan kejahatan dunia maya.
• Keamanan nasional.
Munculnya Media Massa 49

merupakan media hiburan atau sebagai panduan konsumen karena sebagai sumber informasi mengenai
peristiwa politik dan sosial. Sistem televisi kabel dan satelit tidak lagi terbatas untuk menawarkan program
umum untuk semua orang. Meskipun demikian, sedikit gambaran dan definisi yang dominan atas apa
yang terbaik bagi media, muncul dan bertahan sebagai hasil tradisi, kekuatan sosial, dan bias atas
teknologi tertentu.
Misalnya televisi, walaupun banyak perubahan dan tambahan terkait produksi, penyiaran, dan
penerimaan secara umum masih merupakan media hiburan keluarga, bahkan jika keluarga tidak lagi
menontonnya bersama-sama, masih merupakan fokus kepentingan publik dan pengalaman bersama di
sebagian besar masyarakat. Media ini masih memiliki karakter kolektif dan domestik yang masih bertahan.
Kondisi tradisional dari kehidupan masyarakat (ruang, kondisi, dan waktu bersama) dapat dipengaruhi
oleh hal ini, walaupun tren adalah teknologi atas penggunaan individu dan pengkhususan konten.
Penyebaran yang diharapkan atas radio digital dan televisi cenderung menguatkan tren yang kedua,
seiring dengan tren demografi yang berupa satu orang per-rumah tangga, lebih banyak perceraian, dan
anak-anak yang lebih sedikit.
s edikit.
Pertanyaan mengenai penggunaan media di Kotak 2.11 menunjukkan adanya tiga dimensi
penerimaan media yang umumnya hanya diterapkan pada media tradisional: baik di dalam atau di luar
rumah; baik sebagai pengalaman individu atau bersama; dan baik merupakan hal publik atau pribadi.
Televisi umumnya berbagi, domestik, dan publik. Surat kabar, walaupun ada perubahan konten biasanya
sesuai dengan jenis yang berbeda. Karakternya jelas adalah publik, tetapi kurang bersifat domestik dan
penggunaannya pribadi. Saat ini radio merupakan banyak hal, tetapi sering kali cenderung privat, tidak
secara eksklusif domestik dan lebih individual penggunaannya daripada televisi. Baik buku dan fonogram
musik juga mengikuti pola yang serupa. Secara umum, perbedaan yang ada menjadi kurang tajam sebagai
hasil dari perubahan teknologi pada arah kemungkinan penerimaan yang menuju proliferasi dan
konvergensi.
Media digital yang baru telah menambah ketidakpastian mengenai media mana yang baik untuk
tujuan seperti apa, tetapi juga menambahkan dimensi keempat yang dapat membedakan media, yaitu
derajat interaktivitas. Semakin interaktif media adalah mereka yang memungkinkan adanya motivasi dan
respons secara berkesinambungan dari pengguna. Sementara video permainan, CD-ROM, Internet, dan
saluran telepon

Dimensi penggunaan media: pertanyaan


pertanyaan yang munc ul

• Di dalam atau di luar rumah?


• Pengalaman individu atau bersama?
• Penggunaan publik atau pribadi?
• Interaktif atau tidak?
50 Pendahuluan
merupakan contoh yang nyata di mana interaksi adalah normanya, kabel multi-kanal
atau televisi satelit juga meningkatkan potensi interaktivitas, seperti rekaman dan
fasilitas pengulangan kembali dari VCR rumahan. Interaktivitas telah dibangun dari
kemungkinan
kemungkinan reaksi sederhana terhadap penciptaan dan distribusi konten, sama
s ama seperti
situs jejaring sosial.

Kesimpulan
Bab ini menawarkan komentar terhadap evolusi media massa dari permulaan
percetakan di akhir abad pertengahan hingga masa informasi teknologi dan masyarakat
informasi saat ini. Bab ini menceritakan tidak sebagai narasi dengan tanggal dan
deskripsi peristiwa, tetapi berupa gambaran singkat dari media massa dan bentuk
utamanya dalam susunan yang kronologis. Bab ini juga membahas karekteristik utama
mereka dalam kapasitasnya untuk berkomunikasi, kegunaan bagi khalayak, dan
penilaian oleh masyarakat luas. Walaupun perbedaan utamanya menurut jenis
teknologi tertentu, kepentingan yang sama juga terikat pada faktor sosial, kultural, dan

sosial. Beberapa teknologi bertahan dari pergulatan evolusi, dan beberapa yang lain
tidak (tidak dibahas di sini). Hal yang sama berlaku bagi beragam penggunaan media.
Tidak ada logika yang menentukan. Perlu dicatat, fakta bahwa semua media yang
digambarkan masih ada hingga saat ini dan tumbuh dengan cara mereka sendiri,
walaupun adanya prediksi yang berulang bahwa satu media besar akan mengalahkan
pesaing yang lemah. Mereka menemukan cara untuk beradaptasi terhadap kondisi yang
berubah serta
serta pesaing-pesaing
pesaing-pesaing baru.
baru.

Bacaan Selanjutnya
Briggs, A. dan Burke, P. (2005) A Social History of the Media:
Media: from Gutenberg to th
the
e

Internet, ed. 2. Oxford: Polity Press.


Ikhtisar yang menyeluruh terhadap perkembangan utama dalam masyarakat dan
media selama era modern yang ditulis oleh dua sejarawan.
s ejarawan.

McLuhan, M. (1962) The Gutenberg Galaxy. Toronto: University of Toronto Press.


Buku yang berkembang mengenai bagian revolusioner yang dimiliki oleh pers cetak
dalam mengubah kebudayaan dan masyarakat Eropa. Dengan kualitas literatur yang
baik dan banyak pembahasan serta contoh yang imajinatif.

Williams, R. (1975) Television, Technology, and Cultural Form. London: Fontana.


Analisis asii oleh seorang ilmuwan Inggris terkemuka mengenai konsekuensi
teknologi terhadap budaya dengan referensi tertentu mengenai televisi. Masih
mewarisi status.

Bacaan Daring
Flichy, P. (2006) ‘New media history’, dalam L. Lievrouw dan S. Livingstone (ed.).
The Handbook of New media, him. 187-204. London: Sage.
Gunaratne, S. A. (2001) Paper, printing, and the printing press , Gazette, 63 (6):

Munculnya Media Massa 51

459-479.
Lehman-Wilzig, S. dan Cohen-Avigdor, N. (2004) ‘The natural life cycle of new media
evolution’, New Media and Society, 6 (6): 707-730.
Rossler, P. (2001) ‘Between online heaven and cyber hell: the farming of “the
Internet” by traditional media coverage in Germany’, New Media and Society, 2
(1): 7-28.
Stober, S. (2004) ‘What media evolution is: a theoretical approach to the history of
new media’. European Journal of Communication, 19 (4): 483-505.

i
Bagian
2 Teori
3 Konsep dan model komunikasi massa
4 Teorimediadanmasyarakat
5 Komunikasimassa
danbudaya
6 Mediabaru—teori baru?
7 Teori normatif media dan masyarakat
Bagian
2 Teori
Konsep dan model komunikasi
massa Teori media dan
masyarakat Komunikasi massa dan
budaya Media baru—teori baru?
Teori normatif media dan
masyarakat
3
Konsep dan Model Komunikasi
Massa
Perspektif awal terhadap media dan masyarakat 56
Konsep ‘massa’ 60
Proses kom unik asi massa 61
Khalayak massa 63
Media
Media massa sebagai lembaga masyarakat 64
Budaya massa dan budaya popu ler 66
Munculn ya paradigm a domin an dalam teori dan penelitian 69
Sebuah alternatif, paradigma kri tis 72
Empat model media massa 76
Kesimpulan 82
Bab ini akan menjelaskan konsep dasar bagi studi komunikasi massa (mass
communication) dan menjelaskan asal mula studi ini yang berkaitan dengan bagaimana
hubungan antara media massa dan masyarakat telah berkembang selama seabad
terakhir. Walaupun media baru bermunculan dan kondisi sosial ekonomi saat ini sangat
berbeda, ada kesinambungan
kesinambungan dan banyak isu yang dihadapi oleh para ahli teori dan
peneliti media awal yang masih sama dan terkadang dalam bentuk yanglebih parah.
Ikhtisar dari konsep ini menyediakan kerangka yang dapat diterapkan pada isu yang
ada di Bab 1. Pada bagian kedua dari bab ini, pembahasan lebih difokuskan pada
perspektif alternatif yang utama serta metode yang diterapkan dengan rujukan tertentu
atas perbedaan antara penelitian kritis dan terapan, serta antara penelitian sebab-akibat
(kuantitatif) dengan pendekatan kultural (kualitatif). Terakhir, bab ini merangkum
empat model yang telah dikembangkan untuk framing (framing) dan mempelajari
proses komunikasi massa, masing-masing dengan biasnya sendiri, tetapi juga dengan
keuntungannya yang berbeda-beda. Alternatif yang ada tidak begitu bersifat saling
melengkapi.
Persp
Persp ektif
ekti f Awal terhadap
t erhadap Medi
Mediaa dan Masyarakat
Masyarakat
Abad ke-20 dapat digambarkan sebagai zaman pertama media massa’. Abad ini juga
ditandai dengan berubahnya ketakjuban maupun ketakutan atas pengaruh media

massa. Walaupun terjadi perubahan yang besar dalam lembaga dan teknologi media
serta dalam masyarakat sendiri dan juga munculnya ‘ilmu komunikasi’, perdebatan
publik mengenai signifikansi sosial yang potensial dari ‘media’ sepertinya tidak terlalu
berubah.. Pe
berubah Penggambar
nggambaran
an mengenai isu ya
yang
ng muncul selama dua
d ua atau tiga dekade awal
pada abad ke-20 lebih dari sekadar kepentingan sejarah, dan pemikiran awal
memberikan poin rujukan untuk memahami masa kini. Terdapat tiga set ide yang
merupakan kepentingan khusus sejak awal. Ide yang pertama berkaitan dengan
pertanyaan mengenai kekuasaan (power) dari alat baru komunikasi; ide yang kedua
merupakan pertanyaan mengenai integrasi (integration) sosial atau disintegrasi yang
mungkin disebabkan oleh media; dan ide yang tiga merupakan pertanyaan mengenai
pencerahan (enlightenment) publik yang mereka dorong atau mereka hilangkan. Topik-
topik inilah yang dibahas secara mendalam pada Bab 4.

Kekuatan media massa


Keyakinan terhadap kekuatan media massa awalnya berdasarkan penelitian atas
jangkauan
jangkauan serta dampak media yang besar, terutama
terutama yang berkaitan dengan pers surat
kabar (newspaper) yang baru dan populer. Menurut DeFleur dan Ball-Rokeach (1989),
sirkulasi surat kabar di Amerika Serikat mencapai puncaknya pada tahun 1910,
walaupun hal tersebut terjadi kemudian di Eropa dan bagian lain dunia. Pers populer
umumnya didanai oleh iklan (advertising) komersial. Kontennya dicirikan
Konsep dan Model Komunikasi Massa 57

dengan kisah berita (news) sensasinal dan kontrolnya sering kali terkonsentr
t erkonsentrasi
asi di ttangan
angan para ‘baron’
pers yang berkuasa. Pada masa Perang Dunia I, terjadi mobilisasi pers dan film di sebagian besar
Eropa dan Amerika Serikat pada negara-negara yang saling berperang. Hasilnya, tidak diragukan
bahwa terdapat
terdapat po
potensi
tensi pengaru
pengaruh
h media terhadap ‘m
‘massa’,
assa’, jika
jika diatur d
dan
an diarahkan dengan efektif
efektif..
Citra ini kemudian dikuatkan dengan apa yang terjadi di Uni Soviet dan Nazi di Jerman, saat
media ditekan menjadi layanan propaganda (propaganda) yang mewakili elit partai yang berkuasa.
Penunjukkan media berita dan hiburan (entertainment) oleh para sekutu di Perang Dunia II
menghilangkan semua keraguan mengenai nilai propaganda mereka. Sebelum abad tersebut berjalan
separuhnya, telah ada pandangan yang kuat bahwa publisitas massa sangat efektif dalam membentuk
opini dan memengaruhi perilaku: efeknya juga berlaku pada hubungan dan persekutuan
internasional. Peristiwa yang lebih baru yang termasuk di dalamnya jatuhnya komunisme, perang
Balkan, dua Perang Teluk, dan ‘perang terhadap terorisme’ meneguhkan bahwa media merupakan
komponen pokok dan bergejolak dalam perjuangan kekuatan internasional manapun, di mana opini
publik merupakan salah satu faktornya. Kondisi kekuatan media yang efektif secara umum termasuk
pada kemampuan industri media nasional dalam menjangkau sebagian besar populasi, tingkat
kesepahaman dalam pesan yang disebarkan (ke manapun arahnya), dan penilaian atas kredibilitas
dan kepercayaan media oleh khalayak.
Sementara pada saat ini, terdapat lebih banyak pengetahuan dan skeptisisme mengenai
‘kekuatan’ komunikasi massa yang langsung, tidak adanya keraguan terhadap media massa dalam
ranah periklanan, public relations, dan kampanye (campaign) politik. Politik secara rutin dilakukan
(dan juga diketahui) berdasarkan asumsi bahwa presentasi media yang baik merupakan hal yang
sangat vital bagi kesuksesan di semua kondisi normal.

Komunikasii dan integrasi sosial


Komunikas
Para ahli teori sosial di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 sangat sadar akan ‘perubahan besar’
yang terjadi, ketika aktivitas sosial yang lebih lambat, tradisional, dan komunal tersingkir oleh

kehidupan
kehidupa n yang cepat, sekular, dan urban dalam jumlah yang besar. Kebanyakan dari topik penelitian
sosiologi di Eropa dan Amerika Utara pada saat itu membahas mengenai kesadaran diri kolektif atas
masalah-masalah yang timbul karena perubahan dari skala kecil ke skala besar dan dari masyarakat
rural ke urban. Teori sosial saat itu mengemukakan kebutuhan akan bentuk baru integrasi
berhadapan
berhadapan dengan masalah yang disebabkan oleh industriali
industrialisasi
sasi dan urbanisasi.
urbanisasi. Kriminalitas,
Kriminalitas,
prostitusi, kemiskinan, dan ketergantungan dihubungkan dengan meningkatnya anonimitas, isolasi,
dan ketidakpastian dalam kehidupan modern.
Meskipun perubahan fundamental terjadi dalam bidang sosial dan ekonomi, perubahan tersebut
memungkinkan untuk menunjuk surat kabar, film, dan bentuk- bentuk budaya (culture) populer
lainnya (musik, buku, majalah, dan komik) sebagai kontributor potensial, baik terhadap kriminalitas
individu dan turunnya nilai moral maupun terhadap terserabutnya akar dan hilangnya keterikatan
terhadap masyarakat (community). Di Amerika Serikat, imigrasi dalam jumlah skala besar dari Eropa
pada dua dekade pertama pada abad ke-20 menandai permasalahan mengenai kohesi dan integrasi
sosial. Hal ini diterangkan dalam penelitian Chicago
Chicago School of Sociology dan tulisan Robert Park. G.H.
Mead, Thomas Dewey, dan lainnya (Rogers, 1993). Hanno Hardt (1979, 1991) merekonstruksi inti dari
58 Teori

teori awal mengenai komunikasi dan integrasi sosial, baik di Eropa maupun Amerika Utara.
Hubungan antara media massa populer dengan integrasi sosial mudah dinilai sebagai hal yang
negatif (lebih banyak kriminalitas dan rendahnya nilai moral) dan individualistik (kesendirian,
hilangnya nilai-nilai kolektif), tetapi kontribusi positif terhadap kohesi dan komunitas juga diharapkan
dari komunikasi modern. Media massa merupakan kekuatan potensial bagi kohesi jenis baru yang
mampu menghubungkan individu-individu yang tersebar ke dalam pengalaman bersama di tingkat
nasional, kota, dan lokal. Mereka juga dapat mendukung poitik demokrasi baru dan pergerakan
reformasi sosial. Hal yang tidak kalah penting adalah kontribusi media massa, terutama film untuk
membuat hidup yang sulit terasa lebih mudah.
Bagaimana pengaruh media ditafsirkan sering kali tergantung pada sikap {attitude) pribadi si
pengamat terhadap masyarakat modern, serta tingkat optimisme atau pesimisme di dalam sudut
pandang sosial mereka. Pada awal abad ke-20, pada saat (atau barangkali dikarenakan)
terjadinyakonfliknasionalisme, revolusi, dan sosial sedang tinggi-tingginya juga terjadi kemajuan
dalam pemikiran, demokrasi, serta perkembangan di bidang ilmiah dan teknologi.
Pada masa saat ini, keadaan telah berubah, meskipun intinya masih sama. Masih terdapat
kekhawatiran mengenai kelemahan terhadap ikatan yang menyatukan individu kepada masyarakat,
kurangnya nilai dan norma yang dijunjung bersama, kurangnya partisipasi sipil dan sosial, dan
menurunnya apa yang disebut sebagai kapital (modal) sosial (Putnam, 2000). Ikatan serikat dengan
politik, agama, dan keluarga semuanya nampak telah semakin melemah dengan pasti. Masalah
integrasi muncul dalam kaitan dengan kelompok etnik yang baru dan migran yang datang ke negara-
negara industri dari pedesaan dan masyarakat yang secara budaya sangat jauh. Terdapat tuntutan
komunikasi untuk menyediakan identitas (identity) dan kebutuhan mengekspresikan
baru bagi media komunikasi
diri bagi kelompok minoritas baru dan lama di dalam masyarakat yang lebih besar sebagaimana
berkontribusi
berkontribusi untuk harmoni
harmoni sosial. Efek Internet yang menyebabkan sikap individualisme sangat
berlawanan
berlawanan dengan ef
efek
ek kohesi positif yang dibawa media tradisional, seperti surat kabar dan siaran
s iaran
televisi (Sunstein, 2006).

Komunikasii massa sebagai pendidik massa


Komunikas
Semangat pada awal abad ke-20 (modern dan berpikiran maju) mendukung tiga set ide mengenai
komunikasi massa—bahwa media dapat menjadi kekuatan potensial untuk pencerahan publik,
meningkatkan dan meneruskan institusi baru dari sekolah universal, perpustakaan publik, dan
pendidikan populer. Secara umum, para pembaharu politik dan sosial melihat potensi positif dalam
media, dan media juga memandang diri mereka sendiri telah membuat kontribusi bagi kemajuan
dengan menyebarkan informasi (information) dan ide, menyingkap korupsi politik dan menyediakan
kesenangan yang tidak terlalu berbahaya bagi masyarakat pada umumnya. Di banyak negara, jurnalis
menjadi lebih profesional dan menerapkan kode (code) etik serta praktik kerja yang baik.
Tugas demokratikpers dalam memberikan informasi kepada masyarakat baru yang telah
diberdayakan sangat diakui. Lembaga radio yang baru muncul pada tahun 1920- an dan 1930-an,
terutama di Eropa sering kali diberikan misi kebudayaan, pendidikan, dan informatif pada publik
sebagaimana juga tugas untuk mempromosikan identitas nasional dan persatuan. Setiap media massa
Konsep dan Model Komunikasi Massa 59

baru dipuji karena kegunaann


kegunaannya
ya di bidang pendidikan dan budaya, sekaligus
sekaligus ditakuti
ditakuti karena
pengaruhnya yang mengganggu. Potensi teknologi komunikasi untuk mendorong pencerahan telah
dibangkitkan sekali lagi dalam kaitannya dengan teknologi komunikasi yang terbaru, yaitu teknologi
yang berbasis komputer dan telekomunikasi (misalnya Neuman, 1991). Lebih banyak ketakutan
daripada harapan yang saat ini disuarakan mengenai peran pencerahan dari media massa besar,
seiring dengan semakin meningkatnya pencarian keuntungan yang mereka lakukan dalam pasar yang
semakin kompetitif di mana hiburan memiliki nilai jual yang lebih tinggi daripada pendidikan atau
seni. Penyiaran (broadcasting) publik kembali dilindungi dari kekuatan pasar atas dasar kontribusi
mereka terhadap pengetahuan publik dan solidaritas sosial. Argumen semacam itu juga muncul bagi
layanan publik sejenis di dunia maya (cyberspace).

Media sebagai masalah atau kambing hitam


Meskipun terdapat harapan maupun ketakutan, seiring dengan berlalunya dekade tidak juga
mengubah kecenderungan opini publik, baik untuk menyalahkan media (lihat Drotner, 1992) maupun

untuk menuntut agar mereka melakukan lebih dalam memecahkan penyakit sosial. Ada serangkaian
kejadian yang menakutkan berkaitan dengan media, kapan pun terjadi masalah sosial yang tidak
dapat dijelaskan maupun diselesaikan. Elemen yang selalu ada adalah persepsi negatif terhadap
media, terutama kecenderungan untuk menghubungkan penggambaran media akan kejahatan,
kekerasan, dan seks dengan semakin meningkatnya kekacauan sosial. Gelombang ketakutan ini
disebut sebagai ‘kepanikan moral’ (moral panic), sebagian karena kejadian-kejadian tersebut
berdasarkan sedikit bukti
bukti bahwa ada penyebab media
media atau te
terdapat
rdapat efek yang
yang sebenarnya
sebenarnya terjadi.
Penyakit baru juga ditemukan di hadapan media, terutama fenomena, seperti protes dan demo
politik yang rusuh, xenofobia (ketakutan terhadap orang/budaya asing), atau bahkan menurunnya
demokrasi dan meningkatnya apatisme dan sinisme
politik. Gangguan terhadap individu kini termasuk depresi, materialistis, obesitas (atau
kebalikannya), dan kelelahan. Objek terkini dari gelombang ketakutan ini adalah

Internet yang dituduh mendorong pedofilia, pornografi (pornography), kekerasan, dan


kebencian sebagaimana menolong organisasi teroris dan kejahatan internasional.
Anehnya, biasanya media itu sendiri yang menyoroti dan menambah pandangan-
pandangan ketakutan ini, barangkali karena terlihat meneguhkan kekuatan media, tetapi
lebih karena mereka sudah secara populer dipercayai dan juga bernilai berita.

Konsep
Kon sep ‘Massa’
‘Massa’
Campuran antara prasangka (prejudice) populer dan pembentukan teori sosial mengenai
media telah membentuk dasar untuk melawan penelitian yang telah dilakukan, hipotesis
yang telah diformulasikan dan diuji, dan teori yang lebih akurat mengenai komunikasi

massa yang telah dibangun. Sementara interpretasi mengenai arah pengaruh media
massa (positif maupun negatif) menunjukkan banyak perbedaan, elemen paling tetap
dalam perkiraan publik terhadap media merupakan persetujuan sederhana akan
60 Teori

pengaruhnya yang besar. Sebaliknya, persepsi ini berutang banyak pada berbagai makna
dari istilah ‘massa. Walaupun konsep ‘masyarakat massa’ (mass society) tidak terbentuk
hingga pasca-Perang Dunia II, ide pokoknya beredar sejak sebelum akhir abad ke-19.
Istilah kunci ‘massa ini sebetulnya adalah penyatuan dari sejumlah konsep yang penting
untuk memahami bagaimana proses komunikasi biasanya dipahami hingga saat ini.
Penggunaan awal dari istilah ini biasanya membawa asosiasi negatif. Istilah ini
awalnya merujuk pada gerombolan atau ‘orang biasa’ yang biasanya dipandang tidak
berpendidikan,
berpendidikan, tak acuh,
acuh, dan berpotensi irasional
irasional sulit dikontrol dan bahkan kasar (jika
( jika
massa ini berubah menjadi gerombolan pengacau atau perusuh) (Bramson, 1961).
Meskipun demikian, istilah ini juga dapat digunakan dalam arti positif, terutama dalam
tradisi sosialis di mana massa dikonotasikan dengan kekuatan dan solidaritas pekerja
biasa yang dibentu
dibentuk
k demi tujuan kolektif atau ketika melawan
melawan ketertindasan. Istilah
‘dukungan massa’ (mass support), ‘gerakan massa’ (mass movement), dan ‘aksi massa’ (mass
action) adalah contoh-contoh ketika kumpulan orang banyak yang bertindak bersama-
sama dilihat sebagai hal yang positif. Seperti yang diungkapkan oleh Raymond Williams
(1961:289): “tidak ada massa, hanya cara-cara dalam memandang masyarakat sebagai
massa.”
Terlepas dari referensi politisnya, istilah ‘massa’ ketika diterapkan kepada
sekumpulan orang memiliki dampak yang kurang menyenangkan. Istilah tersebut
menyiratkan sekumpulan individu tidak jelas yang tidak memiliki kepribadian. Satu arti
dalam kamus standar mendefinisikan kata tersebut sebagai ‘kesatuan di mana
individualitas hilang’ (Shorter Oxford English Dictionary). Definisi ini dekat dengan makna
yang diberikan para ahli sosiologi awal terhadap istilah khalayak (audience). Khalayak
media populer yang besar dan terlihat serupa inilah yang menjadi contoh
Konsep dan Model Komunikasi Massa 61

paling jelas dari konsep ini. Ciri utama yang diberikan kepada massa terdapat di Kotak
3.1 yang termasuk di dalamnya adalah ciri-ciri objektif dan subjektif.


Konsep massa:
massa: cir i-ciri teoretis

• Terdiri atas sekumpulan besar orang.


• Isinya serupa.
• Umumnya dipersepsikan negatif.
• Tidak memiliki struktur atau tatanan internal.
• Merupakan cerminan dari masyarakat massa yang lebih luas.

Proses Komun ikasi Massa


Istilah komunikasi massa mulai digunakan pada akhir tahun 1930-an, tetapi ciri-ciri
utamanya telah dikenal sebelumnya dan tidak berubah sejak saat itu, bahkan jika media
itu sendiri telah menjadi tidak terlalu massal. Media massa awal cukup beragam dalam
jumlah
jumlah dan cara beroperasi,
beroperasi, misalnya film populer
populer dapat dilihat sebagai gambaran
rumah di pedesaan, seperti gedung metropolitan. Pers surat kabar bervariasi dari mulai
harian perkotaan yang populer hingga mingguan di kota kecil. Meskipun demikian, kita
dapat memahami bentuk umum dari komunikasi massa menurut karekteristik tertentu
yang sudah diperkenalkan pada Bab 1.
Ciri paling utama dari media massa adalah bahwa mereka dirancang untuk
menjangkau banyak orang. Khalayak potensial dipandang sebagai sekumpulan besar dari

konsumen yang kurang lebih anonim, dan hubungan antara pengirim dan penerima
dipengaruhi olehnya. ‘Pengirim’ sering kali merupakan lembaga itu sendiri atau seorang
komunikatorprofesional (jurnalis, presenter, produser, penghibur, dan lain-lain) yang
dipekerjakan oleh lembaga tersebut. Jika bukan, maka suara masyarakat yang
mendapatkan atau membeli akses kepada saluran media (pengiklan, politisi,
pengkhotbah, pengacara, dan sebagainya). Hubungan tersebut secara tidak terhindarkan
bersifat satu arah, satu sisi, dan tidak personal dan terdapat jarak sosial dan fisik
antarpengirim dan penerima. Pengirim biasanya memiliki kekuasaan yang lebih besar,
kehormatan, atau keahlian daripada penerima. Hubungan ini tidak hanya asimetris,
tetapi juga tujuannya sudah diperhitungkan dan manipulatif. Biasanya komunikasi ini
tidak ada standar moral, berdasarkan layanan yang dijanjikan atau diminta untuk
beberapa kontrak
kontrak tidak tertulis
tertulis dengan tanpa kewajiban
kewajiban timbal b
balik.
alik.

Konten simbolis atau pesan dari komunikasi massa biasanya ‘hasil’ yang
terstandardisasi (produksi massal) dan dipergunakan kembali serta diulang dalam
bentuk yang
yang identik. Alirannya
Alirannya biasanya sangat bersi
bersifat
fat satu arah. Konten
Konten ini umu
umumnya
mnya
telah kehilangan keunikan dan keasliannya karena reproduksi dan penggunaan yang berlebihan. Pesan
media adalah produk kerja dengan nilai tukar di pasar media dan nilai guna bagi penerimanya, yaitu para
konsumen media. Pada intinya, hal ini merupakan komoditas dan tidak seperti bentuk lain dari konten
simbolis dari komunikasi manusia.
Satu definisi awal (Janowitz, 1968) berbunyi seperti ini: ‘Komunikasi massa terdiri atas lembaga dan
teknik dari kelompok tertentu yang menggunakan alat teknolo
t eknologi
gi (pers, radio, film, dan sebagainya) untuk
menyebarkan
menyebarkan konten simbolis kepada khalayak yang besar, heterogen, dan sangat
s angat tersebar.’ Dalam definisi
ini dan yang serupa dengan ini, kata ‘komunikasi’ ( communication) sering disamakan dengan ‘transmisi’
(transmission ), seperti pandangan pengirim daripada makna utuh yang mencakup pengertian respons,
berbagi, dan interaksi. Definisi ini
ini juga dibatasi
dibatasi oleh penyamaan dari proses kom
komunikasi
unikasi ma
massa
ssa dengan alat
penyiaran. Bagaimanapun, keduanya tidaklah sama. Kita dapat melihat bahwa media baru dapat melayani
baik komunikasi
komunikasi massa
massa maupun
maupun komunikasi
komunikasi individu
individu yang perso
personal.
nal.
Kita juga dapat melihat bahwa media massa yang sesungguhnya juga memiliki fungsi yang tidak
dapat disamakan dengan komunikasi massa (misalnya sebagai alat untuk mengisi waktu, sebagai teman,
dan sebagainya). Terdapat pula kegunaan serupa dari teknologi yang sama maupun jenis hubungan
termediasi lain melalui jaringan yang sama. Misalnya, bentuk dan teknologi dasar dari komunikasi ‘massa’
adalah sama, seperti yang digunakan surat kabar lokal atau radio, seperti yang juga dapat digunakan
dalam pendidikan. Media massa juga dapat digunakan untuk tujuan individu, pribadi, maupun organisasi.
Media yang sama yang membawa pesan publik kepada khalayak yang besar untuk tujuan publik juga
dapat membawa pesan pribadi, promosi, daya tarik yang dermawan, iklan-iklan bebas kondisi, dan
berbagai jenis informasi dan budaya. Poin ini terutama relevan di saat mun
munculnya
culnya konvergensi
(convergence ) teknologi komunikasi, ketika batasan antara publik dan privat serta komunikasi skala besar
dan individual semakin mengabur.
Komunikasi massa pada mulanya lebih merupakan sebuah ide daripada realitas. Istilah ini terdiri atas
kondisi dan proses yang secara teoretis memungkinkan, tetapi

Proses komunikasi massa: ciri-ciri teoretis

• Distribusi dan penerimaan konten dalam skala besar.


• Aliran satu arah.
• Hubungan yang asimetris antara pengirim dan penerima.
• Hubungan yang tidak personal dan anonim dengan khalayak.
• Hubungan dengan khalayak yang bersifat jual-beli atau diperhitungkan
di perhitungkan..
• Terdapat standardisasi dan komodifikasi konten.
Konsep dan Model Komunikasi Massa 63

jarang ditemukan
ditemukan dalam bentuk yang sebenarnya.
sebenarnya. Ketika hal ini sepertinya terjadi,
sering kali malah kurang massal dan tidak terlalu dikontrol oleh teknologi daripada
yang terlihat di permukaan. Karekteristik yang menjelaskan konsep dijabarkan dalam
Kotak 3.2. Semua ini memiliki dasar objektif, tetapi konsepnya sebagai keseluruhan

sering kali digunakan dengan cara yang subjektif dan kurang akurat.

Khalaya
Khal ayak
k Massa
Herbert Blumer (1939) adalah yang pertama mendefinisikan massa secara formal sebagai
jenis baru dari bentukan sosial dalam masyarakat
masyarakat modern,
modern, dan memba
membandingkannya
ndingkannya
dengan bentuk lain, terutama kelompok, kerumunan, dan publik. Dalam kelompok (group)
publik.
kecil, semua anggota saling mengenali satu sama lain, sadar akan keanggotaan mereka,
berbagi nilai yang sama, memiliki struktur hubungan
hubungan tertentu yang selalu stabil,
s tabil, dan
berinteraksi untuk mencapai tujuan tertentu. Kerumunan (crowd) umumnya jumlahnya
lebih besar, tetapi terbatas dalam lingkup yang dapat diamati dalam ruang tertentu.

Bagaimanapun, kerumunan ini bersifat sementara dan jarang sekali terbentuk kembali
dengan komposisi yang sama. Kerumunan mungkin memiliki derajat identitas yang
tinggi dan berbagai ‘rasa yang sama, tetapi biasanya tidak ada struktur atau tatanan
moral serta komposisi sosial. Mereka dapat bertindak, tetapi tindakannya sering kali
memiliki karakter yang emosional dan tidak rasional.
Bentuk ketiga yang dinamai Blumer sebagai publik ( public) biasanya relatif besar,
sangat tersebar, dan tahan lama. Publik cenderung terbentuk sekitaran isu atau masalah
dalam kehidupan umum, dan tujuan utamanya adalah untuk membangun kepentingan
atau opini dan untuk mencapai perubahan politik. Ini adalah elemen esensial dalam
politik demokrasi, berdasarkan nilai ideal dari diskusi rasional di dalam sistem politik
terbuka dan sering kali terdiri atas bagian populasi yang lebih terdidik. Bangkitnya
publik adalah ciri dari demokrasi liberal modern dan berhubungan dengan munculnya

surat kabar ‘borjuis’ atau kepartaian sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Istilah ‘massa’ mengambil beberapa ciri dari khalayak baru film dan radio (dan
dalam beberapa hal termasuk pers populer) yang tidak dicakup oleh ketiga konsep
tersebut. Khalayak baru biasanya lebih besar daripada kelompok, kerumunan, maupun
publik. Khalayak ini sangat tersebar, dan anggotanya biasanya tidak kenal satu sama
lain maupun tidak dikenali oleh siapa pun yang menghadirkan khalayak ini. Khalayak
ini kurang memiliki kesadaran diri dan tidak ada identitas pribadi, serta tidak mampun
bertindak bersama dengan cara yang teratur
teratur untuk
untuk mengamankan
mengamankan tujuan. Hal ini
ditandai dengan komposisi yang berubah di dalam batasan yang juga berubah.
Khalayak tidak bergerak dengan sendirinya, tetapi lebih kepada ‘bertindak karena’ (dan
sehingga menjadi objek manipulasi). Khalayak umumnya heterogen dalam hal yang
terdiri atas sejumlah besar orang dari berbagai strata sosial dan kelompok demografi,

tetapi juga homogen dalam hal pilihan objek ketertarikan tertentu dan menurut persepsi
64 Teori

► Khalayak
Khalayak massa:
massa: c iri teoretis utama

• Memiliki sejumlah besar penonton, pembaca, dan Iain-lain.


Sangat tersebar.
• Non-interaktif dan hubungan
hubungan yang anonim bagi satu
s atu sama lain.
• Komposisinya heterogen.
• Tidak teratur atau bertindak sendiri.
• Objek pengaturan atau manipulasi media.

mereka yang ingin melakukan manipulasi. Ciri utama khalayak massa dirangkum
dalam Kotak 3.3.
Khalayak media massa bukanlah satu-satunya bentukan sosial yang dapat
dicirikan seperti ini karena kata-kata ‘massa terkadang diberikan kepada konsumen,
seperti dalam istilah ‘pasar massa’ atau kepada sekelompok besar pemilih (‘pemilihan
massal’). Bagaimanapun, penting bahwa kesatuan semacam ini juga sering kali
berhubungan
berhubungan dengan khalayak media dan bahwa media massa juga digunakan untuk
mengatur perilaku konsumen dan politik.
Di dalam kerangka konsep yang digambarkan, penggunaan media diwujudkan
sebagai bentuk ‘perilaku massa’ yang pada akhirnya mendorong penerapan metode
‘penelitian massa’—terutama survei skala besar dan metode lain untuk merekam
jangkauan
jangkauan dan respons khalayak terhadap
terhadap apa yang ditawarkan.
ditawarkan. Logika yang komersial
komersial
dan teratur atas penelitian khalayak dilengkapi dengan landasan teoretis. Sepertinya
masuk akal dan juga praktis untuk membahas khalayak media dengan cara kuantitatif.
Bahkan, metode penelitian ini cenderung hanya menguatkan perspektif konsep yang
bias (memperlakukan khalayak sebagai pasar massa). Penelitian terhadap rating dan
jangkauan
jangkauan pers serta penyiaran
penyiaran mengu
menguatkan
atkan pandan
pandangan
gan atas khalayak sebagai konsumen
pasar massa.

Medi
Mediaa Massa
Massa s ebagai
ebagai Lembaga Masyarakat
Meskipun adanya perubahan teknologi, komunikasi massa terus bertahan di dalam
keseluruhan kerangka lembaga media massa. Hal ini merujuk secara luas kepada
seperangkat organisasi media dan aktivitasnya, bersama-sama dengan aturan kerja
formal dan informal dan terkadang hukum dan kebijakan yang diatur masyarakat. Ini
mencerminkan pengharapan dari publik sebagai kesatuan dan dari lembaga sosial
lainnya (seperti politik, pemerintah, hukum, agama, dan ekonomi). Lembaga media
secara berangsur-angsur berkembang di sekitar aktivitas utama dari publikasi
(publication)
publication
Konsep dan Model Komunikasi Massa 65

dan penyiaran. Mereka juga saling tumpang tindih dengan lembaga lainnya, terutama ketika
mereka memperluas aktivitas komunikasi publiknya. Mereka juga secara internal dibagi-bagi
menurut jenis teknologi (cetak, film, televisi, dan sebagainya) dan sering kali ke dalam masing-
masing jenis (seperti pers atau penyiaran lokal versus nasional). Media juga berubah seiring
waktu dan berbeda dari satu negara dengan negara lain (lihat Bab 9). Meskipun demikian,
terdapat beberapa ciri umum sebagai tambahan terhadap aktivitas utama memproduksi dan
mendistribusikan pengetahuan (informasi, ide, kebudayaan) atas nama mereka yang ingin
berkomunikasi
berkomunikasi dan men
menjawab
jawab tuntutan
tuntutan individu
individu serta kolektif.
Meskipun mudah untuk menemukan keseluruhan perangkat media massa yang merujuk
sebagai sebuah institusi dalam ungkapan, seperti “efek media” atau “tanggung jawab media
terhadap masyarakat”, daiam sebuah masyarakat yang bebas tidak ada institusi formal media
yang berfokus pada kesehatan, pendidikan, keadilan, atau militer. Meskipun demikian, media
secara terpisah maupun bersama-sama cenderung membentuk lembaga yang diakui dan
tertanam dalam masyarakat yang lebih luas. ‘Pers’ merupakan contoh yang baik untuk ini.
Tidak adanya definisi atau batasan formal, tetapi biasanya termasuk di dalamnya surat kabar,
majalah, jurnalis, editor, dan pemilik media. Tidak ada aturan formal dari luar, tetapi terdapat

kode etik dan perilaku sukarela. Pers menerima beberapa tanggung jawab publik dan sebagai
gantinya mendapatkan hak dan keutamaan, terutama jaminan kebebasan. Media lain, misalnya
penyiaran, membangun identitas lembaga mereka sendiri. Terdapat banyak persamaan antara
media untuk mengesahkan sebuah referensi atas ‘lembaga media’, konsep utama yang ciri-
cirinya ditunjukkan dalam Kotak 3.4.

Lembaga media massa:


ciri-ciri t eoretis
eoretis utama

• Aktivitas intinya adalah produksi dan


d an distribusi informasi dan budaya.
• Media mendapatkan fungsi dan tanggung jawab dalam 'ranah publik' yang

diawasi oleh lembaga.


• Kontrol pada umumnya bersifat regulasi sendiri dengan batasan yang ditentukan
oleh masyarakat.
• Batasan keanggotaan tidak jelas.
• Media pada prinsipnya bebas dan bersih dari kekuatan politik dan ekonomi.

Budaya
Bud aya Massa
Massa dan Budaya Populer
Konten yang umumnya mengalir melalui saluran yang baru dibuat untuk khalayak massa yang
baru, awalnya adalah campuran
campu ran cerita, gambar, informasi,
informa si, ide, hiburan,
66 Teori


Konsep dan Model Komunikasi Massa 67

dan tontonan. Meskipun demikian, konsep tungggal dari ‘budaya media' (mass culture) secara umum
digunakan untuk merujuk kepada semua ini (lihat Rosenberg dan White, 1957). Budaya massa
memiliki referensi yang lebih luas dalam hal selera, kesukaan, cara, dan gaya dari orang-orang banyak
(atau sebagian besar daripadanya). Dulu massa memiliki konotasi negatif, terutama karena asosiasinya
dengan pilihan budaya yang dianggap ‘tidak berpendidikan, dianggap non-diskriminatif, atau dengan
khalayak kelas rendah.
Istilah ini telah usang sekarang, sebagian karena perbedaan kelas kurang tajam atau jelas terlihat,
dan istilah ini tidak lagi memisahkan antara minoritas dari kalangan profesional terpelajar dari
mayoritas kelas pekerja yang besar, miskin, dan kurang terpelajar. Hal ini juga yang membuat hierarki
‘selera budaya’ tidak lagi diterima secara luas.
Bahkan dalam mode busana, ide akan budaya massa sebagai fenomena ‘kelas bawah’ tidak
secara empiris dibenarkan karena merujuk pada pengalaman budaya noremal dari semua orang pada
saat tertentu (Wilensky, 1964). Saat ini, istilah ‘budaya populer’ umumnya lebih disukai karena istilah
ini dengan sederhana berarti apa yang sebagian atau banyak orang sukai. Istilah ini juga memiliki
konotasi dengan apa yang populer di kalangan anak muda. Beberapa perkembangan terakhir dalam
kajian budaya (culture study) dan media (sebagaimana dalam masyarakat) telah mengarah kepada

penilaian yang positif atas budaya populer. Bagi beberapa ahli teori media (misal, Fiske, 1987), fakta
bahwa populari
popularitas
tas merupakan
merupakan nilai b
berharga
erharga dalam hal politik
politik maupun
maupun budaya.
budaya.

Definisi dan perbedaan


Percobaan untuk mendefinisikan budaya massa sering kali dengan membandingkannya (secara
negatif) dengan bentuk tradisional dari budaya (simbolis). Wilensky misalnya, membandingkannya
dengan istilah ‘budaya tinggi’ yang merujuk kepada dua karekteristik produk:

(1) bahwa budaya ini diciptakan oleh, dan di bawah pengawasan dari, elit budaya yang bekerja dengan nilai-nilai
estetika, sastra, atau ilmiah... (2) standar kritik yang bebas dari konsumen produknya secara sistematis diterapkan...
‘budaya massa’ akan merujuk pada produk budaya yang diproduksi hanya bagi pasar massa. Ciri-ciri yang berhubungan
yang tidak terkandung daJam definisi adalah standardisasi produk dan perilaku massa atas penggunaannya. (1964:176,
tekanan asli)

Budaya massa juga dibedakan dari bentuk budaya sebelumnya yang berupa budaya tradisional
yang memang datang dari masyarakat dan biasanya muncul lebih awal (atau bebas) dari media massa
dan produksi budaya yang massal. Budaya tradisional yang asli (terutama yang berupa pakaian,
kebiasaan, lagu, cerita, tarian, dan seterusnya) secara luas ditemukan
ditemukan kembali di Eropa
Er opa pada abad ke-
19. Sering kali hal ini merupakan alasan yang dihubungkan dengan munculnya nasionalisme atau
sebagai bagian dari pergerakan ‘seni dan kerajinan serta reaksi romantisme melawan
68 Teori

industrialisasi. Penemuan kembali (oleh kalangan menengah ini) berlangsung pada saat budaya
tersebut hilang dengan cepat dari kelas pekerja dan petani karena perubahan sosial. Budaya
tradisional awalnya dibuat dengan tidak mementingkan diri sendiri, menggunakan bentuk, tema,
bahan, dan pengekspresian
pengekspresian yang tradisional,
tradisional, dan sering kali disatukan
disatukan ke dalam kehidupan sehari-
hari. Kritik terhadap budaya massa sering kali berupa penyesalan atas hilangnya integritas dan
kesederhanaan seni tradisional, dan isu ini masih ada ketika budaya produksi massal belum dapat
dikalahkan. Kelas pekerja baru industri perkotaan di Eropa Barat dan Amerika Utara merupakan
konsumen pertama budaya massa baru setelah dipisahkan dari akar budaya tradisional. Tidak
diragukan bahwa media massa mengambil beberapa aliran budaya populer dan menerapkannya ke
dalam kondisi kehidupan urban untuk mengisi celah budaya yang disebabkan oleh industrialisasi,
tetapi kritik intelektual biasanya hanya dapat melihat kerugian budaya. Ciri-ciri utama dari budaya
massa dirangkum dalam Kotak 3.5.

Ide atas budaya massa: ciri-ciri utama

• Bentuk dan isinya nontradisional.


• Ditujukan untuk konsumsi massa.
• Diproduksi massal dan tidak asii.
• Citranya jelek.
• Komersial.
• Homogen.

Pandangan lain terhadap budaya massa


Munculnya budaya massa memiliki lebih dari satu interpretasi. Bauman (1972) misalnya, mengambil
isu yang menyatakan bahwa media komunikasi massa menyebabkan budaya massa dan berpendapat
bahwa mereka lebih seperti sebuah alat untuk membentuk sesuatu yang terjadi dalam setiap kasus
kasus
sebagai hasil dari meningkatnya homogenitas kultural dalam masyarakat nasional. Menurut
pandangannya, apa yang sering kali dirujuk sebagai ‘budaya massa’ lebih pantas hanya merupakan
budaya yang universal
universal atau terstandardisasi.
terstandardisasi. Beberapa ciri dari komunikasi
komunikasi massa berkontribusi
berkontribusi pada
proses standardisasi, terutama ketergantungan terhadap pasar, supremasi organisasi skala besar, dan
penerapan teknologi baru untuk produksi budaya. Pendekatan yang lebih objektif ini membantu
meredakan beberapa konflik yang mencirikan perdebatan tentang budaya massa. Dalam beberapa
tindakan, ‘masalah budaya massa’ mencerminkan kebutuhan untuk memenuhi kemungkinan
teknologi baru bagi reproduksi simbolis (Benjamin, 1977) yang menantang pemikiran atas kesenian
yang sudah mapan. Isu
Konsep dan Model Komunikasi Massa 69

budaya massa diatasi dalam lingkup sosial dan politik, tanpa terselesai
t erselesaikan
kan dalam kaitannya dengan
estetika.
Meskipun terdapat pencarian akan konsepsi yang bebas nilai dari budaya massa, isu yang
muncul tetap bermasalah secara konseptual dan ideologis. Sebagaimana yang diperlihatkan oleh
Bourdieu (1986) dan yang lainnya, konsep yang berbeda mengenai nilai budaya secara kuat
dihubungkan dengan perbedaan kelas sosial. Kepemilikan modal ekonomi biasanya setara dengan
kepemilikan ‘modal budaya’, di mana dalam kelas masyarakat dapat juga ‘diuangkan’ dengan
keuntungan material. Sistem nilai berdasarkan kelas pernah dengan kuat memelihara superioritas
budaya ‘tinggi’ dan tradisional melawan sebagian besar budaya populer di media massa. Dukungan
bagi sistem nilai semacam
semacam itu (walau
(walaupun
pun mun
mungkin
gkin tidak untuk
untuk sistem kelas) telah melemah
melemah,, walaupun
isu pembedaan kualitas budaya masih ada sebagai aspek perdebatan berkelanjutan atas kebijakan
budaya dan media.
Terakhir, kita mengingat bahwa, seperti yang diterangkan di atas, ‘budaya populer’ telah secara
luas ‘dinilai kembali’ oleh para teoritikus sosial dan budaya dan tidak lagi dipermasalahkan. Budaya
pop tidak lagi dinilai sebagai tidak orisinal, kreatif, atau tidak bernilai dan sering kali dipuji atas
makna, kepentingan budaya, serta nilai ekspresifnya.

Menilai kembali konsep massa


Ide mengenai massa atau masyarakat massa selalu merupakan pernyataan yang abstrak,
mengemukakan pandangan kritis atas tren budaya kontemporer. Hari ini, barangkali terdapat lebih
banyak teori dan kurang relevansinya.
relevansinya. Meskipun
Meskipun demikian, beberapa penyakit dan ketidakpuasan
ketidakpuasan
yang dahulu masih ada hingga saat ini, terkadang dengan nama yang baru. Termasuk di dalamnya
adalah kesepian dan perasaan terisolasi; merasa tidak berdaya secara ekonomi, politik, dan
lingkungan yang berada di luar kontrol kita sendiri; perasaaan tidak memiliki kepribadian dalam
dunia modern, sering kali diperparah dengan teknologi informasi; penurunan dalam hal kebersamaan;
dan hilangnya rasa aman.

Apa yang barangkali lebih jelas saat ini adalah bahwa media massa dapat menjadi bagian dari
solusi permasalahan. Tergantung pada siapa dan di mana kita berada, mereka menawarkan cara
untuk mengatasi kesulitan dalam masyarakat besar, memahami keadaan yang berbahaya, dan
menengahi hubungan kita dengan kekuatan yang lebih besar. Media saat ini sepertinya tidak terlalu
‘masif berjarak dan satu arah, serta lebih responsif dan partisipatif.
Akan tetapi, tugas mereka juga tidak selalu menguntungkan. Mereka dapat mengerahkan
kekuatan tanpa bertanggung jawab dan menghancurkan kehidupan individu dengan mengganggu privasi
secara agresif dengan melakukan stereotip (stereotyping ) dan stigmatisasi, dan dengan informasi yang
menyesatkan secara sistemik. Ketika mereka menyetujui suatu isu, hanya terdapat sedikit toleransi
akan
penyimpangan, dan ketika mereka memutuskan untuk mendukung penguasa, maka
tidak ada pengadilan
pengadilan naik banding. Mereka dapat merendahkan
merendahkan sekaligus mendukung

proses demokrasi politik. Mereka bahkan memiliki karekteristik penguasa lalim yang
dermawan dengan berubah menjadi baik, tidak berubah, buas, dan irasional. Dengan
alasan-alasan ini, sangat penting untuk menjaga ingatan yang panjang untuk apa yang
70 Teori

dianggap sebagai pernyataan yang sudah lama.

Muncul nya Para


Munculnya Paradi
digma
gma Dominan dala
d alam
m
Teori dan Penelit
Penelitian
ian
Ide mengenai media dan masyarakat dan beragam subkonsep ‘massa’ yang telah
dijelaskan sebelumnya, membantu membentuk kerangka penelitian ke dalam
komunikasi massa yang digambarkan sebagai ‘dominan dalam lebih dari satu
pengertian. ‘Paradigma dominan menggabungkan pandangan media massa yang kuat
di dalam masyarakat massa dengan praktik penelitian tertentu dari ilmu sosial yang
lahir, terutama survei sosial, pengalaman psikologi-sosial, dan analisis statistik.
Pandangan dasar mengenai masyarakat dalam paradigma dominan secara pokok
bersifat normatif.
normatif. Pandangan
Pandangan ini mengasum
mengasumsikan
sikan jenis-jenis ‘masyarakat
‘masyarakat baik’ yang
berfungsi
berfungsi dengan normal,
normal, misalnya demokratis (pemilih
(pemilihan,
an, hak memilih
memilih,, perwakilan),
perwakilan),

liberal (sekular, pasar bebas, individualistis, kebebasan berpendapat), pluralistik


(kompetisi yang terlembaga antara partai dan kepentingan), konsensual dan teratur
(damai, terintegrasi secara sosial, adil, sah), dan juga berpengetahuan. Perspektif liberal
pluralis tidak melihat ketidaksetaraan sosial sebagai masalah yang penting atau tidak
adil, selama tekanan dan konflik dapat diselesaikan oleh lembaga yang ada.
Kebaikan atau keburukan potensial atau yang nyata dari media massa secara
umum dinilai menurut model ini sama dengan pandangan ideal dari masyarakat Barat.
Kontradiksi dalam pandangan mengenai masyarakat dan jaraknya terhadap realitas
sosial sering kali diabaikan. Sebagian besar peneliti awal mengenai media dalam
masyarakat negara berkembang atau negara dunia ketiga dipandu dengan asumsi
bahwa masyarakat
masyarakat ini secara berangsur-angsur
berangsur-angsur menyatu ke dalam model Barat yang
sama (lebih maju dan progresif). Penelitian awal komunikasi juga terpengaruh oleh

pernyataan bahwa model masyarakat yang liberal, pluralis, dan adil terancam oleh
bentuk alternatif totalitarian (komu
(k omunisme),
nisme), di mana media massa dibelokkan menjadi
alat untuk menekan demokrasi. Kesadaran akan alternatif ini membantu
mengidentifikasi dan menguatkan norma yang digambarkan. Media sering kali melihat
diri mereka sendiri sebagai pemeran utama dalam mendukung dan mengemukakan
nilai-nilai ‘kehidupan Barat’. Sejak kepunahan komunisme yang sebenarnya, musuh lain
telah muncul, misalnya terorisme internasional yang terkadang dihubungkan (oleh
media dan penguasa) dengan fundamentalisme agama, atau gerakan ekstrimis’, atau
revolusioner yang lain.

Asal mula fungsionalisme


fungsionalisme dan
dan ilmu informasi
Elemen teoretis dari paradigma dominan tidak diciptakan khusus untuk media massa, tetapi

umumnya diambil dari sosiologi, psikologi, dan berbagai ilmu informasi terapan lainnya. Hal ini
terjadi terutama pada dekade setelah Perang Dunia II, ketika terjadi hegemoni (hegemony) Amerika
Utara yang tidak ada lawannya, baik terhadap ilmu sosial maupun media massa (Tunstall, 1977).
Konsep dan Model Komunikasi Massa 71

Seiring dengan kematangan teorinya, sosiologi menawarkan kerangka analisis fungsional terhadap
media dan lembaga lainnya. Las well (1948) merupakan yang pertama memformulasikan pernyataan
yang jelas mengenai ‘fungsi’ komunikasi dalam masyarakat yang berarti tugas pokok ditampilkan

untuk pemeliharaannya (lihat Bab 4). Asumsi dasarnya adalah bahwa komunikasi bekerja untuk
tujuan integrasi, keberlanjutan, dan tatanan masyarakat, walaupun komunikasi massa juga berpotensi
memiliki dampak disfungsional (merusak dan berbahaya). Walaupun banyak daya tarik intelektual
yang berkurang, bahasa fungsi telah terbukti sulit dihindari dalam diskusi mengenai media dan
masyarakat.
Elemen teoretis kedua yang berpengaruh dalam paradigma dominan yang memandu penelitian
media berakar dari teori informasi, seperti yang dikembangkan oleh Shannon dan
da n Weaver (1949) yang
berkaitan dengan efesiensi teknis dari saluran komunikasi dalam membawa
membawa informasi. Mereka
membentuk model untuk menganalisis penyiaran informasi yang memandang komunikasi sebagai
sebuah proses yang berurutan. Proses ini dimulai dengan sumber (source) yang memilih sebuah pesan
(message) yang kemudian disebarkan (transmitted) dalam bentuk sinyal (signal), melalui saluran komunikasi
(communication channel) kepada penerima (receiver) yang mengubah sinyalnya kembali menjadi pesan

kepada sebuah tujuan (destination). Model ini dirancang untuk menjelaskan perbedaan antara pesan
yang dikirim dan pesan yang diterima, perbedaan ininii merupakan hasil dari noise atau gangguan yang
memengaruhi saluran. Model ‘penyiaran ini secara tidak langsung berkaitan dengan komunikasi
massa, tetapi dipopulerkan sebagai cara yang fleksibel untuk memahami proses komunikasi manusia
dengan rujukan tertentu terhadap efek pesan yang disiarkan.
Pilar ketiga dari paradigma ini ditemukan dalam pengembangan metodologi pada abad
pertengahan. Kombinasi kemajuan dalam ‘tindakan mental’ (terutama yang terjadi pada sikap
individu dan yang lainnya) dan dalam analisis statistik yang muncul untuk menawarkan cara yang
baru dan kuat untuk mendapatkan
mendapatkan gambaran dan pen
pengetahuan
getahuan yang dapat dipercaya
dipercaya dari proses dan
keadaan terdahulu yang tersembunyi. Metode ini dianggap mampu untuk menjawab pertanyaan
mengenai pengaruh media massa dan keefektifan mereka dalam persuasi dan perubahan perilaku.
Kontribusi tambahan terhadap paradigma adalah status tinggi ‘behaviorisme’ dalam psikologi dan

metode eksperimen tertentu; sering kali berdasarkan pada satu versi atau teori stimulus-respons
(stimulus-response) yang lain. Perkembangan ini sangat sejalan dengan syarat-syarat model penyiaran.
Bias paradigma dalam mempelajari efek media dan
masalah sosial
Menurut Rogers (1986: 7), model penyiaran (transmission model) adalah ‘perubahan tunggal yang
paling penting dalam sejarah ilmu komunikasi’ dan ‘menuntun para ilmuwan komunikasi kepada
pendekatan linear, berorientasi pada efek komunikasi manusia dalam dekade setelah tahun 1949’.
Rogers juga mencatat bahwa hasil tersebut mendorong para ilmuwan komunikasi ke dalam ‘jalan
buntu intelektual dalam memfokuskan
memfokuskan terutama pada efek komunikasi, terutama komun
komunikasi
ikasi massa
(1986: 88). Rogers dan yang lain telah lama mengetahui adanya cacat dalam model ini, dan pemikiran
terbaru mengenai penelitian komunikasi telah sering kali memperdebatkan model ini. Meskipun

demikian, pendekatan sebab akibat linear adalah apa yang banyak orang inginkan, dan masih
demikian hingga kini, dari penelitian komunikasi, terutama mereka yang melihat komunikasi hanya
72 Teori

sebagai sebuah
sebuah alat yang ef
efisien
isien untuk menyebarkan pesan ke banyak orang, baik dalam bentuk iklan,
propaganda politik, atau informasi publik.
Fakta bahwa komunikasi biasanya tidak terlihat seperti itu dari sudut pandang penerima, atau

bekerja sebagaimana
sebagaimana yang diperlihatkan,
diperlihatkan, telah lama diteliti.
diteliti. Bahan teoretis bagi model-model
model-model
komunikasi yang berbeda sebenarnya telah muncul sejak awal—berdasarkan pemikiran awal oleh
beberapa ahli ilmu sosial (dari Amerika Utara), terutama G.H. Mead, C.H. Cooley, dan Robert Park.
‘Model’ semacam itu akan mewakili komunikasi sebagai sesuatu yang intinya adalah sosial dan
interaktif yang berkaitan dengan berbagi makna bersama dan bukan dampaknya (lihat Hardt, 1991).
Terhadap latar belakang ini, alur yang diambil oleh penelitian media massa ‘umum’ cukup jelas.
Penelitian pada umumnya berkaitan dengan pengukuran efek media massa, baik disengaja maupun
tidak. Tujuan utama penelitian dalam paradigma dominan adalah peningkatan efektivitas komunikasi
untuk tujuan yang sah (misalnya iklan atau informasi publik), atau penilaian apakah media massa
merupakan penyebab dari masalah sosial (seperti kriminalitas, kekerasan, atau bentuk penyimpangan
lainnya, demikian juga dengan keresahan sosial). Jejak dari model sebab akibat linear, secara luas
ditemukan dalam penelitian dan temuan yang terkumpul di sekeliling ‘kegagalan’ penelitiannya yang

secara berlawanan mendukung hal tersebut. Alasan utama dari kegagalan untuk menemukan efek
diperkirakan adalah peranan mediasi dari kelompok sosial dan hubungan personal. Menurut Gitlin
(1978), dari penelitian ‘gagal’ (baca: tidak ada efek yang terukur) muncul pesan kesehatan positif
untuk melakukan sistem ‘pengawasan dan penyeimbangan’ (check and balance) terhadap status quo dan
juga sebuah
sebuah pembu
pembuktian
ktian atas tradisi
tradisi penelitian
penelitian empiri
empiris.
s.
Kotak 3.6 merangkum ide yang dibahas dalam bagian sebelumnya. Elemen- elemen paradigma
menyatukan beberapa karakter pembahasan: jenis masyarakat yang menerapkannya; beberapa ide
mengenai tujuan dan karakter umum dari komunikasi massa; asumsi mengenai efek media; ditambah
pembenaran atas peranan penelitian.
Konsep dan Model Komunikasi Massa 73

Paradigma
Paradigma dominan dalam
dalam komunik asi massa
massa:: asumsi-asumsi
asumsi-asumsi
utama
3.6 •

Masyarakat yang secara ideal menganut


liberalisme-pluralisme.
• Media memiliki fungsi yang jelas dalam masyarakat.
m asyarakat.
• Efek media terhadap khalayak bersifat langsung dan linear.
• Hubungan kelompok dan perbedaan individu mengubah efek media.
• Penelitian kuantitatif dan analisis variabel.
• Media dipandang baik sebagai sebuah masalah
m asalah sosial yang potensial
maupun sebagai alat untuk melakukan
m elakukan persuasi.
• Behaviorisme dan metode kuantitatif sangat dominan.

Sebuah
Sebuah Alternatif,
Alternati f, Pa
Paradigm
radigm a Kritis
Kritik terhadap paradigma dominan juga memiliki beberapa elemen, dan di bawah ini
merupakan kesatuan gambar yang dirajut dari pendapat-pendapat yang berbeda yang
tidak selalu saling kompak. Secara khusus, terdapat bentuk teori dan metodologi kritis
yang berbeda dari keberatan normatif. Dari sudut pandang pragmatis, model penyiaran
sederhana tidak berlaku untuk sejumlah alasan: sinyal tidak dengan sederhana
menjangkau khalayak, atau mereka yang dituju; pesan tidak dipahami sebagaimana
ketika pesan dikirim; dan selalu terdapat banyak gangguan dalam saluran yang
mengubah pesannya. Terlebih, hanya sedikit komunikasi yang sebenarnya tidak
termediasi; apa yang lolos dari media massa biasanya disaring melalui saluran lain atau
dengan cara kontak personal (lihat diskusi mengenai ‘pengaruh personal’ dan ‘aliran
dua-langkah’). Semua ini melemahkan ide akan media yang sangat berkuasa. Ide awal
mengenai media sebagai jarum hipodermik (hypodermic syringe) atau ‘peluru ajaib’
(magic bullet) yang selalu akan mendapatkan efek yang diinginkan, lambat laun terbukti
tidak demikian (Chaffee dan Hochheimer, 1982; DeFleur dan Ball-Rokeach, 1989).
Selama beberapa dekade, menjadi jelas bahwa media massa tidak memiliki efek
langsung yang dulu dikaitkan dengan mereka (Klapper, 1960). Bahkan, selalu sulit
untuk membuktikan adanya efek substansial.

Pandangan lain terhadap masyarakat dan media


Sebagian besar ‘paradigma alternatif’ berdasarkan pada pandangan yang berbeda akan
masyarakat, satu yang tidak menerima tatanan liberal-kapitalis ada sebagai sesuatu

yang adil, atau tidak dapat dihindari, atau yang terbaik yang dapat diharapkan bagi
umat manusia. Demikian juga tidak menerima model kehidupan sosial utilitarian yang
74 Teori

rasional-kalkulatif sebagai hal yang cukup atau diinginkan, atau model komersial sebagai satu-satunya
cara untuk menjalankan media. Terdapat ideologi (ideology) alternatif, idealis, dan terkadang utopis, tetapi
tidak ada sebuah model ideal sistem sosial yang bekerja di manapun. Meskipun demikian, terdapat dasar
kesamaan yang cukup untuk menolak ideologi tersembunyi dari pluralisme dan fungsionalisme
konservatif.
Tidak ada kekurangan kritik terhadap media itu sendiri dari awal abad ke-20, terutama yang
berhubungan
berhubungan dengan komersialisme, standar kebenaran
kebenaran,, dan kelayakan yang rendah yang dikontrol oleh
para pelaku monopoli yang korup, dan seterusnya. Inspirasi ideologi yang asli untuk alternatif yang
membumi adalah sosialisme, Marxisme (Marxism), atau semacamnya. Rangsangan pertama yang
signifikan diberikan oleh para imigran dari Mazhab Frakfurt (Frankfurt School) yang pergi ke Amerika
Serikat pada tahun 1930-an dan membantu mempromosikan pandangan alternatif dari budaya populer
komersial yang dominan (Jay, 1973; Hardt, 1991; lihat Bab 5). Kontribusi mereka adalah untuk memberikan
dasar intelektual yang kuat untuk melihat proses komunikasi massa sebagai sesuatu yang manipulatif dan
sangat menekan (lihat Bab 5). Kritik mereka berhubungan dengan politik dan budaya. Ide dari C. Wright
Mills berkaitan dengan masyarakat massa yang menyatakan sebuah pandangan alternatif yang jelas atas
media mengambil dari tradisi radikal asli Amerika Utara yang secara kuat menyingkap kesalahan liberal
dari kontrol pluralis.
Pada tahun 1960-an dan tahun 1970-an, paradigma alternatif terbentuk di bawah pengaruh ‘ide 1968’,
menggabungkan berbagai macam gerakan antiperang dan kebebasan sebagaimana pula neo-Marxisme.
Isu-isu tersebut di antaranya mengenai demokrasi pelajar, feminisme, dan antipenjajahan. Komponen
utama dari dan yang mendukung paradigma alternatif adalah sebagai berikut. Pertama adalah bentuk
ideologi canggih dalam konten media yang memungkinkan peneliti untuk ‘mengodekan pesan ideologis
dari hiburan dan berita yang ada di media massa (yang cenderung mengesahkan struktur kekuasaan yang
mapan dan menolakoposisi). Pendapat yang meyatakan bahwa pemaknaan yang menempel pada konten
media dan mengarahkan pada dampak yang dapat diprediksi dan diukur telah ditolak. Alih-alih, kita
harus melihat makna sebagai sesuatu yang dikonstruksikan dan pesan sebagai sesuatu yang dikodekan
menurut situasi sosial dan kepentingan mereka terhadap khalayak yang menerimanya.
Kedua, karakter politik dan ekonomi dari struktur dan organisasi media secara nasional dan
internasional telah ditelaah kembali. Lembaga-lembaga ini tidak lagi diambil berdasarkan nilai nominal,
tetapi dapat diukur dalam kaitannya dengan strategi operasional mereka yang jauh dari netral atau non-
ideologis. Seiring dengan perkembangan paradigma kritis, paradigma ini telah beralih dari fokus yang
eksklusif terhadap penomorduaan kelas pekerja kepada pandangan yang lebih luas atas dominasi jenis
lain, terutama yang berkaitan dengan remaja, subkultur alternatif, gender, dan etnisitas.
Ketiga, perubahan-perubahan ini telah dicocokkan dengan giliran untuk menjadi penelitian yang
sifatnya lebih ‘kualitatif’ baik ke dalam budaya, tulisan, atau etnografi dari penggunaan media massa.
Inilah yang sering kali dirujuk sebagai giliran ‘linguistik’ semenjak hal ini mencerminkan ketertarikan
yang baru dalam mempelajari hubungan
Konsep dan Model Komunikasi Massa 75

antara bahasa dan masyarakat (sosiolinguistik) dan keyakinan bahwa mediasi simbolis realitas
sebenarnya lebih berpengaruh dan terbuka untuk dipelajari daripada realitas itu sendiri. Hal ini
berhubungan
berhubungan dengan ketertarikan dalam menyingkap
menyingkap makna
makna ideologis yang tersembu
tersembunyi,
nyi, seperti
yang telah dijelaskan di atas. Inilah yang menyediakan rute alternatif terhadap pengetahuan dan
membangun sebuah kaitan kembali kepada rute yang telah diabaikan dari teori-teori sosiologi, yaitu
interaksionisme simbolis dan fenomenologi yang menekankan peranan individu dalam
mengemukakan dan membangun lingkungan pribadi mereka sendiri (lihat Jensen dan Jankowski,
1991). Bagian ini merupakan pengembangan lebih umum dari kajian budaya, di mana di dalamnya
komunikasi massa dapat dipandang dalam perspektif baru. Menurut Dahlgren (1995), tradisi kajian
budaya ‘melawan
‘ melawan delusi-diri ilmiah’ atas paradigma dominan, tetapi ada tekanan
t ekanan yang tidak dapat
dihindari antara analisis tekstual dan sosio-institusional.
Hubungan komunikasi antara negara-negara dunia pertama dan dunia ketiga, terutama dalam
hal perubahan teknologi juga mendorong cara baru pemikiran atas komunikasi massa. Misalnya,
hubungan ini tidak lagi dilihat sebagai masalah transfer pencerahan akan demokrasi dan
pertumbuhan ke negara ‘terbelakang’. Setidaknya, hal tersebut dapat diyakini dalam dominasi
ekonomi dan kultural. Terakhir, walaupun teori tidak mesti berujung pada tujuan kritis, ‘media baru
telah mendorong penilaian kembali atas pemikiran awal mengenai efek media, seandainya jika model
komunikasi massa satu arah tidak lagi dapat dipertahankan. Poin utama dari perspektif ini dirangkum
dalam Kotak 3.7.

Paradigma
Paradigma alternatif:
alternatif: ciri-ciri utama

• Pandangan kritis terhadap masyarakat dan penolakan atas netralitas nilai.


• Penolakan terhadap model penyiaran komunikasi.
• Pandangan nondeterministik atas teknologi dan pesan media.
me dia.
• Penerapan perspektif interpretif dan konstruksionis.
• Metodologi kualitatif.
• Lebih memilih teori-teori budaya atau ekonomi politik.
• Perhatian yang lebih terhadap ketidaksetaraan dan sumber oposisi dalam masyarakat.

Perbandingan paradigma
Perspektif alternatif bukanlah sekadar berlawanan dari paradigma dominan atau pernyataan oposisi
terhadap pandangan mekanistik dan terapan komunikasi. Paradigma
76 Teori

ini berdasarkan pandangan yang lebih utuh atas komunikasi sebagai sesuatu yang dibagi dan ritual alih-
alih hanya sebuah ‘penyiaran’. Paradigma ini sebagai komplementer sekaligus alternatif. Ia menawarkan
kemungkinan praktis untuk diteliti, tetapi menurut agenda yang berbeda. Paradigma ini terutama bernilai
dalam memperluas jumlah metode dan pendekatan atas budaya populer dan segala aspeknya. Interaksi
dan keterlibatan pengalaman media dan pengalaman sosio-kultural merupakan inti dari semua ini.
Walaupun diskusi ini telah menampilkan dua versi yang besar, dapat diperdebatkan bahwa baik
pendekatan alternatif’ maupun ‘dominan keduanya membawa dua elemen penting, yaitu ‘kritis’
(dimotivasi oleh pertimbangan yang kuat terhadap nilai media), dan ‘interpretatif’ atau ‘kualitatif’
(berkaitan dengan pemahaman). Potter dan lain- lain (1993) menyatakan tiga kali lipat bagian dari
paradigma utama ilmu komunikasi: pendekatan ‘ilmu sosial’ di mana pertanyaan empiris mengenai media
diteliti dengan metode kuantitatif; sebuah pendekatan interpretatif, menggunakan metode kualitatif dan
menekankan pada pemberian makna potensial atas media; dan pendekatan ‘analisis kritis’ berdasarkan
teori kritik sosial, terutama dari perspektif kiri atau ekonomi politik. Fink dan Gantz (1996) menemukan
skema yang berguna dalam analisis konten (content analysis) terhadap penelitian komunikasi yang
diterbitkan. Meyrowitz (2008) berpendapat bahwa ada narasi dasar mengenai pengaruh media dan hal itu
mendasari pendekatan semacam ini yang telah digambarkan. Ia menamai naratif sebagai narasi
‘kekuasaan, ‘kesenangan, dan ‘pola’. Narasi pertama berhubungan dengan ide mengenai kekuasaan dan
perlawanan terhadap kekuasaan dan terutama kepada paradigma dominan. Narasi kedua (‘kesenangan’)
merujuk pada faktor budaya dan pilihan personal dalam kaitannya dengan pengaruh. Narasi ketiga
(‘pola’) mencari penjelasan akan pengaruh kepada struktur dan jenis media yang merupakan bagian dari
‘teori media’ (medium theory) yang akan dijelaskan di bagian lain dalam bab ini.
Menyisikan isu klasifikasi ini, jelas bahwa paradigma alternatif terus berevolusi di bawah pengaruh
perubahan teori (dan mode) dan juga perubahan perhatian masyarakat dalam kaitannya dengan media.
Walaupun nilai relatif teori postmodern cenderung menurunkan perhatian mengenai manipulasi
ideologis, komersialisme, dan masalah sosial, isu-isu baru pun muncul. Hal ini berkaitan dengan
lingkungan, identitas kolektif dan personal, kesehatan dan risiko, kepercayaan dan kebenaran. Sementara
isu lama, seperti rasisme, propaganda perang, dan ketidaksetaraan tidak serta-merta menghilang juga.
Perbedaan pendekatan antara paradigma dominan dan alternatif sangat berakar, dan keberadaannya
menekankan sulitnya memiliki ‘ilmu komunikasi’ yang satu. Perbedaan yang juga berakar dari sifat alami
komunikasi yang berkaitan dengan ideologi, nilai, dan ide tidak dapat terhindari dari yang
diinterpretasikan di dalam kerangka ideologis. Sementara, pembaca buku ini tidak diwajibkan untuk
memilih antara dua paradigma utama ini, mengetahui keduanya akan membantu memahami keragaman
(diversity) teori dan ketidaksetujuan akan ‘fakta-fakta’ yang berkaitan dengan media massa.
Empat Model
Mod el Media Massa
Massa
Definisi asli atas komunikasi massa sebagai proses bergantung pada ciri objektif
produksi, reproduksi, dan distribusi massa yang dimiliki oleh beberapa media berbeda.
Definisi ini kurang lebih berdasarkan teknologi dan organisasi dan mengesampingkan
pertimbangan manusia. Keabsahannya telah lama dipertanyakan, terutama sebagai hasil
dari pandangan bertentangan yang telah dibahas, dan baru-baru ini karena adanya fakta

bahwa teknologi produksi massal yang orisinal dan bentuk


bent uk pabrikan telah usang oleh
perubahan sosial dan teknologi. Kita harus mempertimbangkan alternatif, walaupun
tidak perlu inkonsisten atas model (perwakilan) proses komunikasi publik. Setidaknya,
Konsep dan Model Komunikasi Massa 77

ada empat model yang diketahui, terlepas dari pertanyaan mengenai bagaimana ‘media
baru’ seharusnya
seharusnya dikonseptualisas
dikonseptualisasikan.
ikan.

Model penyiaran
Pada inti dari paradigma dominan dapat ditemukan sebuah pandangan tertentu
mengenai komunikasi sebagai proses penyiaran dari informasi dalam jumlah yang telah
ditetapkan, pesan yang ditentukan oleh pengirim atau sumber. Definisi sederhana atas
komunikasi massa adalah percobaan untuk menjawab pertanyaan, ‘Siapa mengatakan
apa, kepada siapa, melalui saluran apa, dan dengan efek apa?’ Hal ini menampilkan
urutan linear yang telah disebutkan sebelumnya yang secara umum dibangun ke dalam
definisi standar akan bentuk alamiah dari komunikasi massa. Beberapa teori awal
mengenai komunikasi massa (lihat, misalnya McQuail dan Windahl, 1993) adalah
percobaan untuk memperluas dan meningkatkan versi sederhana dari proses ini.
Barangkali versi awal yang paling lengkap dari model komunikasi massa sejalan dengan
£—

ciri-ciri yang dijelaskan sebelumnya dan konsisten dengan paradigma dominan yang
ditawarkan oleh Westley dan MacLean (1957).
Pencapaian mereka adalah menemukan bahwa komunikasi massa melibatkan
analisis akan peranan komunikator yang baru (misalnya jurnalisme profesional dalam
organisasi media profesional) antara ‘masyarakat’ dan ‘khalayak’. Oleh karena itu,
urutannya
urutannya tidak
t idak sesederhana, seperti (1) pengirim (sender), (2) pesan (message), (3) saluran
saluran
(channel), (4) penerima potensial (potential receiver), tetapi lebih kepada (1) peristiwa dan
‘suara’ di masyarakat (event and ‘voice in society), (2) peranan saluran/ komunikator
(channel/communicator role), (3) pesan (message), (4) penerima (receiver). Versi yang direvisi
ini menampilkan bukti bahwa komunikator massa biasanya tidak menciptakan ‘pesan’
atau komunikasi. Alih-alih, mereka menyampaikan kepada khalayak potensial pilihan
berita dari mereka sendiri mengenai
mengenai peristiwa yang terjadi dalam lingkungan,
lingkungan, atau
mereka memberikan akses terhadap pandangan dan suara dari mereka (misalnya
pembela opini, pengiklan, aktor, dan penulis) yang ingin menjangkau publik yang lebih
luas. Terdapat tiga ciri penting dari model utuh, seperti yang digambarkan oleh Westley
dan MacLean: pertama, menekankan pada pemilihan
peran dari komunikator massa; yang kedua adalah fakta bahwa pemilihan dilakukan menurut
penilaian apa yang menurut khalayak menarik; dan yang ketiga adalah bahwa komunikasi tidak
memiliki tujuan yang melampaui tujuan terakhir ini. Media sendiri biasanya tidak bertujuan untuk
mempersuasi, atau mendidik, atau bahkan untuk menyampaikan informasi.
Menurut model ini, komunikasi massa merupakan proses yang mengatur diri sendiri dan
dipandu oleh ketertarikan dan permintaan khalayak yang hanya dapat diketahui oleh pilihan dan
respons dari apa yang ditawarkan. Proses semacam itu tidak lagi dapat dilihat sebagai linear karena

secara kuat dibentuk oleh ‘umpan balik’ dari khalayak, baik kepada media maupun kepada
komunikator
komuni kator aslinya. Pandangan ini melihat media massa sebagai
s ebagai sesuatu yang terbuka dan melayani
secara netral dalam masyarakat sekular, berkontribusi terhadap kinerja lembaga sosial lainnya.
78 Teori

Pandangan ini juga menggantikan kepuasan khalayak sebagai tindakan atau performa efisien
terhadap transfer informasi. Bukanlah sebuah ketidaksengajaan bahwa model ini berdasarkan sistem
media pasar bebas Amerika. Model ini tidak akan berjalan dengan sempurna dalam sistem media

yang diatur pemerintah atau bahkan lembaga penyiaran publik Eropa. Akan sangat naif bahwa ide
mengenai pasar bebas ini mungkin tidak mencerminkan kepentingan khalayak atau juga melakukan
propaganda tertentu.

Model ritual atau ekspresif


Model penyiaran masih merupakan perwujudan sempurna akan kinerja rasional dan umum dari
beberapa media dalam beberapa fungsinya (terutama media berita dan iklan). Bagaimana
Bagaimanapun
pun,, model
ini tidak utuh dan menyesatkan sebagai sebuah perwakilan dari banyak aktivitas media dan
keragaman proses komunikasi yang ada. Satu kelemahannya adalah komunikasi yang hanya sebatas
pada penyiaran. Model komunikasi ini menurut James Carey (1975: 3),

yang paling umum dalam kebudayaan kita dan digambarkan dengan istilah, seperti mengirim, menyiarkan, atau
memberikan informasi kepada orang lain. Model ini terbentuk dari metafora geografi atau transportasi... Inti dari ide
komunikasi adalah penyebaran sinyal atau pesan terus- menerus untuk tujuan penga wasan.

Model ini menggambarkan keterlibatan, hubungan sebab-akibat, dan aliran satu arah. Carey
menekankan pada pandangan alternatif komunikasi sebagai ‘ritual’ di mana

komunikasi berhubungan dengan istilah, seperti pertukaran, partisipasi, asosiasi, kesamaan, dan kepemilikian
keyakinan bersama... Pandangan ritual ini tidak ditujukan untuk perluasan pesan dalam ruang, tetapi pemeliharaan
masyarakat seiring waktu; bukan tindakan membagi informasi, tetapi representasi dari keyakinan bersama (1975: 8)
Alternatif ini dapat juga disebut sebagai model komunikasi yang ‘ekspresif’ karena penekanannya
juga pada kepuasan intrinsik
intrinsik si pengirim (atau penerima)
penerima) alih-alih hanya sebuah tujuan instrumental.
instrumental.
Komunikasi ritual atau ekspresif bergantung pada pemahaman dan emosi bersama. Model ini bersifat
khusus, utuh, (dan pada akhirnya) dekoratif, daripada menekankan pada kegunaan dan sering kali

membutuhkan beberapa elemen ‘performa agar komunikasi dapat dilangsungkan. Komunikasi


dilakukan demi kesenangan sebagaimana juga demi tujuan berguna lainnya. Pesan komunikasi ritual
biasanya tersembunyi
tersembunyi dan ambigu, tergantung asosiasi dan simbol yang ttidak
idak dipilih oleh partisipan
tapi disediakan oleh budaya. Media dan pesan biasanya sulit dipisahkan. Komunikasi ritual juga
relatif abadi dan tidak berubah.
Walaupun dalam kondisi alami, komunikasi ritual bukanlah menjadi alat, tetapi memiliki
dampak bagi masyarakat (seperti intergrasi) atau untuk hubungan sosial. Dalam beberapa kampanye
komunikasi yang terencana, misalnya dalam politik atau iklan, prinsip komunikasi ritual terkadang
diambil alih dan dieksploitasi (menggunakan simbol yang kuat, daya tarik tersembunyi atas nilai
budaya, kebersamaan,
kebersamaan, mitos, tradisi, dan sebagainya). Ritual
Ritual berperan dalam menyatukan dan
menggerakkan sentimen serta tindakan. Contoh model dapat digunakan dalam ranah seni, agama,
dan perayaan serta festival publik.
Konsep dan Model Komunikasi Massa 79

Komunikasi sebagai pertunjukan dan perhatian: model


Komunikasi
publisitas

Selain model penyiaran dan ritual, terdapat tiga perspektif yang menangkap aspek penting lain dari
komunikasi massa. Model ini dapat dinamakan model publisitas (publicity model). Sering kali tujuan
utama dari media massa bukanlah untuk menyiarkan informasi tertentu atau untuk menyatukan
publik dalam satu kebudayaan, keyakinan, atau nilai tertentu, tetapi hanya untuk menarik perhatian
secara visual dan suara. Untuk itu, media memiliki satu tujuan ekonomi tertentu, yaitu untuk
mendapatkan pendapatan dari khalayak (karena perhatian sama dengan konsumsi, yaitu untuk tujuan
praktis), dan tujuan tidak langsung adalah untuk menjual (kemungkinan adanya) perhatian dari
khalayak kepada pengiklan. Sebagaimana Elliott (1972:164) menunjukkan (secara implisit mengadopsi
model penyiaran sebagai norma), ‘komunikasi massa sepertinya bukan komunikasi sama sekali’
dalam artian sebagai ‘pertukaran makna yang telah ditentukan. Model ini lebih berorientasi kepada
penonton (spectatorship)\dan khalayak media lebih sering menjadi penonton daripada partisipan atau
penerima informasi. Faktanya adalah dari adanya perhatian lebih utama daripada kualitas perhatian

(yang mana lebih jarang dapat diukur dengan layak).


Meskipun mereka yang menggunakan media massa untuk kepentingan mereka sendiri
mengharapkan efek (seperti persuasi atau penjualan) melampaui perhatian
atau publisitas, mendapatkan tujuan tersebut merupakan tujuan jangka pendek dan sering kali
diperlakukan sebagai ukuran kesuksesan atau kegagalan. Strategi publisitas dari konglomerat media
massa biasanya ditujukan untuk mendapatkan perhatian maksimum atas produk terbaru mereka di
sebanyak mungkin media dan dalam berbagai bentuk (wawancara, berita, foto, munculnya tamu, situs
jejaring sosial,
sosial, dan sebagainya)
sebagainya).. Tujuan tersebu
tersebutt digambarkan dengan
dengan tujuan untuk
untuk ‘mencapai komu
komunikasi
nikasi
ke dalam pikiran’ (Turow, 2009:201). Beberapa penelitian mengenai efek media berkaitan dengan
pertanyaan akan citra dan kesadaran
kes adaran.. Fakta keterkenalan lebih penting daripada konten adalah apa yang
disebut dan menjadi kondisi yang penting dari selebriti (celebrity). Secara serupa, kekuatan media untuk
mengatur agenda politik dan lainnya adalah sebuah contoh proses menarik perhatian. Banyak upaya

dalam produksi media dimaksudkan sebagai alat untuk mendapatkan dan menjaga perhatian dengan
menarik mata, merangsang emosi, mendorong ketertarikan. Ini adalah satu aspek atas apa yang
digambarkan sebagai ‘logika media’ (media logic) dengan isi (substance) pesan yang terkadang
dinomorduakan dari alat presentasi (Altheide dan Snow, 1979, 1991).
Tujuan mencari perhatian juga berhubungan dengan satu persepsi penting mengenai media oleh
para khalayaknya yang menggunakan media massa untuk mengalihkan dan mengisi waktu. Mereka
bertujuan
bertujuan menghabiskan waktu dengan media untuk lari dari kenyataan sehari-hari.
sehari-hari. Hubungan
Hubungan antara
pengirim dan penerima menurut model pertunjukan dan perhatian ini tidak harus pasif atau tidak ada
keterlibatan, tetapi netral secara moral dan sendirinya dan tidak melibatkan perpindahan atau
pembentukan makna.
Ide bahwa komunikasi sebagai sebuah proses pertunjukan dan perhatian memiliki beberapa ciri
tambahan yang tidak berlaku pada model ritual atau penyiaran:

« Mencari perhatian adalah proses yang sangat berisiko. Waktu yang dihabiskan mengikuti satu tampilan
oleh satu orang tidak dapat diberikan kepada yang lain, dan waktu khalayak yang tersedia adalah
terbatas, walaupun waktu dapat diperpanjang dan perhatian dapat dilemahkan. Secara kontras, tidak

80 Teori

ada batasan yang dapat diukur dari jumlah 'makna' yang dikirim dan didapatkan atau kepuasan yang
dapat diambil dari berpartisipasi dalam proses komunikasi ritual.
• Komunikasi dalam model pertunjukan—perhatian hanya ada di masa sekarang. Tidak ada masa lalu,

dan masa depan hanya merupakan keberlanjutan atau perpanjangan masa kini. Pertanyaan akan
sebab-akibat berkaitan dengan penerima tidak muncul.
• Mendapatkan perhatian adalah tujuannya dan dalam jangka pendek bebas nilai dan tidak bermakna.
Bentuk dan teknik dapat mengalahkan konten pesan itu sendiri.

Tiga hal yang disebutkan di atas merupakan ciri yang mendasari, ketertarikan, kompetitif, realitas/kefanaan
dan objektivitas, yaitu ciri-ciri komunikasi massa, terutama dalam lembaga media komersial.
Mengodekan dan menafsirkan diskursus media: sebuah model
penerimaan
Terdapat versi lain dari proses komunikasi yang melibatkan model yang lebih radikal daripada dua
jenis yang sebelumnya.
sebelumnya. Model ini sangat bergantung
bergantung pada penerapan perspekti
perspektiff kritis yang
digambarkan di atas, tetapi dapat juga dipahami sebagai pandangan komunikasi massa dari posisi
beragam penerima yang tidak memaknai
memaknai atau mem
memahami
ahami pesan,
pesan, seperti yan
yang
g dikirim atau disebarkan.
Model ini berakar pada teori kritis (critical theory), semiologi (semiology), dan analisis wacana
(discourse analysis). Model ini lebih berada pada wilayah budaya daripada ilmu sosial. Model ini
dihubungkan dengan munculnya ‘analisis penerimaan’ (reception analysis) (lihat Holub, 1984; Jensen
dan Rosengren, 1990). Model ini melawan metodologi penelitian ilmu sosial empiris sebelumnya dan
juga kajian human
humanistik
istik mengenai
mengenai konten karena keduanya gagal menjelaskan
menjelaskan ‘kekuatan khalayak’
dalam memaknai pesan.
Inti dari ‘pendekatan penerimaan’ adalah untuk menemukan pemahaman dan pembentukan
makna (diambil dari sisi media) dengan penerima. Pesan media selalu terbuka dan bermakna banyak
(polisemi) dan ditafsirkan menurut konteks dan budaya si penerima. Di antara analisis awal mengenai
penerimaan adalah teori kritis yang dibangun oleh Stuart Hall (1974/1980) yang menekankan pada
tingkat transformasi melalui mana pesan media lewat dari sumbernya hingga penerima serta
pemaknaannya. Hall menerima premis bahwa makna yang dimaksudkan dibangun (dikodekan) ke
dalam konten simbolis dengan cara yang terbuka sekaligus tertutup yang sulit dihindari, tetapi pesan
yang dimaksudkan tersebut memiliki kemungkinan untuk ditolak atau ditafsirkan kembali.
Benar bahwa komunikator memilih untuk menafsirkan pesan untuk tujuan ideologi dan lembaga
tertentu, dan untuk memanipulasi bahasa dan media untuk tujuan tersebut (pesan media diberikan
sebuah “makna utama” atau apa yang disebut sebagai “sudut pandang”). Hal yang kedua, penerima
tidak berkewajiban untuk menerima pesan sebagaimana ia dikirimkan, tetapi dapat melawan
pengaruh ideologis dengan menerapkan pemaknaan oposisi, menurut pengalaman dan pandangan
mereka masing-masing. Hal ini disebut sebagai ‘penafsiran diferensial’ (differntial decoding).
Dalam model milik Hall mengenai proses encoding dan decoding, ia menggambarkan program
televisi (atau teks sejenis) sebagai wacana yang bermakna (meaningful discourse). Teks ini dikodekan
menurut struktur makna dari organisasi produksi media massa dan pendukungnya, tetapi ditafsirkan
menurut struktur makna dan kerangka pengetahuan berbeda dari khalayak yang beragam. Jalur
tahapan model ini pada prinsipnya sederhana. Komunikasi dibuat di dalam institusi media yang
Konsep dan Model Komunikasi Massa 81

kerangka maknanya cenderung untuk meneguhkan struktu


st rukturr kekuatan
kek uatan yang dominan. Pesan tertentu
‘dikodekan, sering kali dalam bentuk
bentuk konten genre (genre) yang telah mapan (misalnya ‘berita’, ‘musik
pop’, ‘laporan olahraga’, ‘opera sabun’ (soap opera), serial detektif) yang memiliki nilai nominal dan

panduan bagi penerima untuk memaknainya. Media didekati oleh khalayak mereka dalam hal
‘struktur makna’ yang berasal dari ide dan pengalaman khalayak.
Sementara hasilnya adalah makna yang ditafsirkan tidak mesti (atau sering kali) berhubungan
dengan makna sebagaimana yang dibuat (walaupun adanya pengantar genre konvensional dan sistem
bahasa bersama),
bersama), poin palin
paling
g signifikan aadalah
dalah bahwa
bahwa penafsiran dapat sam
samaa sekali berbeda
berbeda dari yang
yang
dimaksudkan di awal. Penerima dapat membaca yang tersirat dan bahkan membalik makna pesan
awal. Jelas bahwa model ini dan teori yang berkaitan memiliki beberapa prinsip utama: keragaman
makna dari konten media; keberadaan komunitas yang memiliki keragaman penafsiran; dan dominasi
penerima dalam menentukan makna. Sementara penelitian efek awal mengakui adanya persepsi
selektif, hal ini dilihat sebagai batasan terhadap atau kondisi dari model penyiaran, alih-alih sebagai
bagian dari perspektif yan
yang
g berbeda.

Perbandingan
Diskusi mengenai model yang berbeda-beda ini menunjukkan ketidakmampuan satu jenis konsep
atau definisi komunikasi massa apa pun yang terlalu bergantung pada apa yang disebut sebagai
karekteristik atau bias teknologi dari reproduksi dan penyebaran berulang. Manusia menggunakan
teknologi dengan lebih beragam dan lebih memiliki tujuan daripada yang dulu diperkirakan. Dari
empat model, terangkum dalam perbadingan pada Gambar 3.1, model penyiaran secara umum
diambil dari konteks lembaga yang terdahulu—pendidikan, agama, pemerintah—dan hanya cocok
bagi aktivitas media yang bertuju
bertujuan
an untu memberikan instruksi informasi
informasi atau propaganda. Model
ekspresi atau ritual lebih baik untuk mengambil elemen yang berkaitan dengan seni, drama, hiburan,
dan banyak kegunaan simbolis dari komunikasi. Model ini juga berlalu pada banyak partisipan
khalayak baru dan format ‘realitas’ TV. Model publisitas

Tujuan dari
Model Pengirim Penerima

Model penyiaran Transfer makna Proses kognitif


Model ritual atau Kinerja Pengalaman bersama
ekspresif

Model publisitas Pertunjukan Penonton yang memberikan


kompetitif perhatian
Model penerimaan Mengutamakan Perbedaan dalam membangun
makna/ menafsirkan
pengodean

Gambar 3.1 Perbandingan empat model proses komunikasi massa: setiap model memiliki
perbedaan tujuan pada bagian pengirim atau penerima

82 Teori

atau pertunjukan-perhatian mencerminkan tujuan media dalam menarik khalayak (rating


tinggi dan jangkauan luas) untuk tujuan prestis atau pendapatan. Model ini mencakup
sektor besar aktivitas media yang terlibat dalam periklanan atau PR, secara langsung atau
tidak langsung. Model ini juga diterapkan kepada aktivitas manajemen berita dan media
yang ‘dibelokkan oleh pemerintah untuk kepentingan mereka sendiri. Model penerimaan
mengingatkan kita bahwa kekuatan media untuk membentuk, mengekspresikan, atau
menangkap adalah dibuat-buat karena khalayak pada akhirnya akan dibuang.

Kesimpulan
Konsep dan model dasar untuk studi komunikasi massa yang telah dibahas pada bab ini
dikembangkan atas dasar ciri khusus yang menandakannya (skala, kesinambungan, satu
arah, dan seterusnya) dan di bawah kondisi peralihan ke masyarakat yang sangat teratur
dan terpusat pada abad ke-20. Tidak segala hal berubah, tetapi saat ini kita menghadapi
kemungkinan teknologi baru komunikasi yang tidak masif atau satu arah, dan terdapat
pergeseran dari masifikasi dan sentralisasi masyarakat awal. Permasalahan ini akan dibahas
lagi pada Bab 6.
Perubahan-perubahan ini telah diketahui pada teori komunikasi massa, walaupun
perubahannya masih berhati-hati dan banyak kerangka konsep yang muncul untuk
komunikasi massa masih relevan. Kita masih memiliki politik massa, pasar massa, dan
konsumsi massa. Media telah memperluas jumlah mereka dalam dimensi global. Keyakinan
pribadi dalam kekuatan publisitas, public relations, propaganda, dan lainnya masih secara
luas dipegang oleh mereka yang memiliki kekuasaan politik dan ekonomi. ‘Paradigma
dominan yang muncul pada awal penelitian komunikasi masih ada karena paradigma
tersebut cocok dalam kondisi kinerja media kontemporer dan memenuhi kebutuhan
industri media, pengiklan, dan agen publikasi. Para pelaku propaganda media masih yakin
dengan kapasitas manipulatif media dan sifat ‘massa’ yang lemah. Pendapat mengenai
perpindahan atau pergerakan informasi masih hidup dan berkembang.
Sejauh pembahasan mengenai pilihan model, kita tidak dapat begitu saja memilih
model yang satu dan mengabaikan model yang lain. Semuanya relevan bagi tujuan yang
berbeda-beda.
berbeda-beda. Model penyiaran dan perhatian adalah perspektif yang masih dipilih oleh
industri media dan para pelaku persuasi, sementara model ritual dan pemaknaan
disebarkan bagai bagian dari perlawanan terhadap dominasi media sebagaimana juga
untuk menyoroti proses yang melatarbelakanginya. Tidak ada pihak dari konflik
pandangan ini yang mampu mengerdilkan satu sama lain karena semua model ini
mencerminkan beberapa aspek dari proses komunikasi.
Empat model yang dibandingkan dalam Gambar 3.1 yang merangkum poin yang
dibuat dalam teks dan menyoroti fakta bahwa setiap model menempatkan jenis
hubungan antara pengirim dan penerima yang melibatkan persepsi yang disetujui
bersama terhadap
terhadap karakter
karakter dan tu
tujuan
juan intinya.
intinya.
Konsep dan Model Komunikasi Massa 83

Bacaan Selanjutnya
Dervin B., Grossberg, L., O’ Keefe, B.J. dan Wartella, E. (ed.) (1989) Rethinking

Communication. Vol. 1: Paradigm Issues. Newbury Park, CA: Sage. Mengandung


seperangkat pemyataan penting oleh para ahli teori
t eori terkemuka.

McQuail, D. dan Windahl, S. (1993) Communication Models for the Study of Mass
Communication. London: Longman.
Penilaian yang praktis dan evaiuasi terhadap model utama yang dituntun atau
diambil dari penelitian media massa selama dekade awal.

Meyrowitz, J. (2008) ‘Power, pleasure, and patterns: intersecting narratives of media


influence’, Journal of Communication, 58 (4): 641-63.
Cara baru dalam mengklasifikasikan dan membandingkan
mem bandingkan pendekatan alternatif
terhadap studi komunikasi.

Bacaan Daring
Ball-Rokeach, S.J. (1985) The origins of individual media-system dependency’,
Communication Research. 12 (4): 485-510.
Fenton, N. (2007) ‘Bridging the mythical divide: political economy and cultural studies
approaches to the analysis of media’, daiam E. Devereux (ed.), Media Studies,
him. 7-21. London: Sage.
Jankowski, N.W. (2006) ‘Creating community with media: history, theories, and
scientific investigations’, dalam L. Levrouw dan S. Livingstone (ed.), Handbook of
New Media, him. 55-74. London: Sage.
Teori Media dan Masyarakat 4
Media, masyarakat, dan budaya: hubungan dan konflik 86
Komunik asi massa sebagai
sebagai proses pada tingkat
masyarakat; mediasi hubu ngan dan pengalaman sosial 89
Kerangka ruj ukan dalam menghub ungk an media dengan masyarakat 93
Tema I: kekuasaan dan ketidaks etaraan 94
Tema II:
II: integr asi sos ial dan identit as 97

Tema III:
III: perubahan dan perkembangan sosial 10
100
0
Tema IV
IV:: ruang dan waktu 10
101
1
Teori I media—masyarakat: masyarakat massa 10
103
3
Teori media—masyarakat II:
II: marxi sme dan ekonomi pol iti k 10
104
4
Teori media—masyarakat III:
III: fung sio nalis me 10
107
7
Teori media—masyarakat IV IV::
konstr uksioni sme sosial 110
110
Teori media—masyarakat V: determinisme teknologi komunikasi 111
Pada bab ini, kita akan lebih memperhatikan ide mengenai hubungan antara media
massa dan masyarakat dan menyimpan dampak budaya untuk pembahasan Bab 5,
walaupun masyarakat dan budaya tidak terpisahkan dan tidak akan ada tanpa
kehadiran yang lain. Memperlakukan masyarakat terlebih dulu juga menyatakan secara
tidak langsung mengenai keunggulan bagi masyarakat yang masih dipertanyakan
karena media dan apa yang mereka produksi dapat dianggap sebagai bagian dari
‘budaya’. Bahkan, sebagian besar teori media berhubungan, baik dengan ‘budaya’
maupun ‘masyarakat’ bersama-sama dan harus dijelaskan hubungan antara keduanya.
Untuk tujuan saat ini, wilayah ‘masyarakat’ merujukpada dasar materi (sumber daya
ekonomi dan politik serta kekuasaan), pada hubungan sosial (dalam masyarakat
nasional, komunitas, keluarga, dan lain sebagainya), dan kepada norma sosial yang
diatur secara sosial (baik formal maupun informal). Wilayah ‘budaya’ merujuk pada
aspek penting lain dari kehidupan sosial, terutama ekspresi, makna, dan praktik simbolik
(kebiasaan sosial, cara dalam melakukan berbagai hal, dan juga kebiasaan pribadi).
Sebagian besar bab ini menjelaskan teori utama atau pandangan teoretis yang telah
dikembangkan untuk memahami bagaimana media bekerja dan menjelaskan produksi
budaya umu
umumm di mana mereka terlibat. Sebagian besar teori ini membentuk
membentuk asumsi
bahwa keadaan materi dan sosial merupakan
merupakan penentu yang utama, tetapi juga terdapat

86 Teori

bagian untuk memahami


memahami pengaruh independen bahwa ide dan budaya dapat memiliki
giliran mereka terhadap kondisi material. Sebelum teori media dan masyarakat dibahas,
isu utama atau tema luas yang memberikan kerangka penelitian kepada komunikasi

massa dibutuhkan. Kerangka umum atau referensi untuk melihat hubungan antara
media dan masyarakat juga disampaikan. Pertama-tama, kita akan kembali dengan
lebih detail kepada teka-teki hubungan antara budaya dan masyarakat.

Media,
Medi a, Masyarakat,
Masyarakat, dan Bud aya:
aya:
Hubun
ubungan
gan dan
dan Konflik
Konfl ik
Komunikasi massa dapat dianggap sebagai fenomena ‘masyarakat’ dan ‘budaya’.
Lembaga media massa merupakan bagian dari struktur masyarakat, dan infrastruktur
teknologinya adalah bagian dari dasar ekonomi dan kekuatan, sementara ide, citra, dan
informasi disebarkan oleh media jelas merupakan aspek penting dari budaya kita

(dalam kaitannya dengan penggambaran di atas).


Dalam mendiskusikan masalah ini, Rosengren (1981b) menawarkan tipologi
sederhana di mana terdapat dua proposisi berlawanan yang ditabulasi-silang: ‘struktur
sosial memengaruhi budaya: dan kebalikannya, ‘budaya memengaruhi struktur sosial.’
Hal ini menghasiJkan empat pilihan utama yang tersedia untuk menggambarkan
hubungan antara media massa dan masyarakat, seperti yang diperlihatkan dalam
Gambar 4.1.
Teori Media dan Masyarakat 87

Struktur sosial memengaruhi budaya

Ya Tidak

Kesalingtergantungan Idealisme (pengaruh media


Ya
(pengaruh dua-arah) yang kuat)

Budaya
memengaruhi
struktur sosial

Materialisme (media Otonomi (tidak ada hubungan


Tidak
ketergantungan) khusus)

Gambar 4.1 Empat jenis hubungan antara budaya (konten media) dan masyarakat

Jika kita menganggap


menganggap media massa sebagai sebuah
sebuah aspek dalam
dalam masyarakat
masyarakat (da
(dasar
sar atau struktu
struktur),
r),
maka terdapat pilihan materialisme (materialism ). Terdapat tubuh teori yang penting yang memandang
budaya tergantung
tergantung pada struktur
struktur ekonomi dan kekuasaan dari
dari masyarakat.
masyarakat. Teori
Teori ini berasum
berasumsi
si bahwa
siapa pun yang memiliki atau mengontrol media, dapat memilih atau membatas apa yang mereka
lakukan. Ini merupakan inti dari posisi Marxist.
pilihan idealisme (idealism)
Jika kita membahas media dari sisi konten (lebih ke aspek budaya), maka pilihan
yang muncul. Media diasumsikan memiliki pengaruh signifikan yang potensial, tetapi ide dan nilai yang
dibawa oleh media (dalam kontennya) yang dilihat sebagai penyebab utama perubahan sosial, tidak
peduli siapa pemilik dan pengontrolnya. Pengaruhnya dianggap bekerja melalui motivasi dan tindakan
individu. Pandangan ini menuntun kepada keyakinan yang kuat terhadap beragam efek media yang
potensial, baik maupun buruk. Contoh-contohnya termasuk promosi media mengenai perdamaian dan
pemahaman internasional (atau memiliki efek yang berlawanan) dari nilai-nilai dan perilaku baik yang
pro maupun antisosial; dan pencerahan atau sekularisasi dan modernisasi masyarakat tradisional. Bentuk
idealisme atau ‘mentalisme’ terkait media jug a berada di balik pandangan yang berubah dalam bentuk
media dan Leknologi, dapat mengubah cara kita mendapatkan pengalaman
88 Teori

dengan cara yang penting dan bahkan hubungan kita dengan orang lain (sebagaimana teori McLuhan
1962,1964).
Dua pilihan yang tersisa, yaitu kesalingtergantungan dan otonomi, memiliki perkembangan

teoretis yang kurang penting, walaupun ada banyak dukungan logika dan bukti bagi keduanya.
Kesalingtergantungan (interdependence) menyiratkan bahwa media massa dan masyarakat secara terus-
menerus berinteraksi dan memengaruhi satu sama lain (seperti masyarakat dan budaya). Media
(sebagai industri budaya) merespons tuntutan dari masyarakat akan informasi dan hiburan, dan pada
saat yang bersamaan merangsang inovasi dan berkontribusi terhadap perubahan iklim sosial budaya
yang menyebabkan kebutuhan baru dalam berkomunikasi. Ahli sosiologi Prancis Gabriel Tarde yang
menulis sekitar tahun 1900, membayangkan pengaruh yang saling terjalin terus-menerus:
‘perkembangan teknologi memungkinkan adanya surat kabar, surat kabar mempromosikan
terbentuknya publik yang lebih luas, dan mereka dengan meningkatkan loyalitas anggotanya,
menciptakan jaringan luas yang saling tumpang tindih dan kelompok yang berubah’ (Clark, 1969).
Hari ini, berbagai pengaruh sangat erat satu sama lain, dan masing-masing diperlukan, walaupun
bukan kondisi yang cukup bagi satu sama lain. Dari sudut pandang ini, kita harus
harus menyim
menyimpulkan
pulkan

bahwa media dengan ssetara


etara dapat dianggap membentuk
membentuk atau mencerm
mencerminkan
inkan perubahan
perubahan sosial dan
masyarakat.
Pilihan otonomi (autonomy) dalam hubungan antara budaya dan masyarakat tidak harus
bertentangan dengan pandangan iini,
ni, kecuali ditafsirkan secara harfiah
harfiah.. Setidaknya sangat mungkin
mungkin
bahwa masyarakat
masyarakat dan media
media massa
massa dapat saling mandi
mandiri
ri satu sama
sama lain h
hingga
ingga satu titik.
titik. Masyarakat
Masyarakat
yang secara budaya mirip terkadang memiliki sistem media yang berbeda. Posisi otonomi juga
mendukung mereka yang skeptis terhadap kekuatan media untuk memengaruhi ide, nilai, dan
perilaku, misalnya dalam mempromosikan keseragaman, merangsang ‘modernitas’, atau merusak
identitas budaya dari negara miskin atau lemah. Terdapat perbedaan pandangan mengenai seberapa
banyak otonomi yang dapat dimiliki
dimiliki media dalam hubungannya dengan masyarakat. Perdebatan ini
terutama relevan terhadap tesis utama dari ‘internasionalisasi’ atau ‘globalisasi’ (globalization) yang
menyiratkan konvergensi dan homogenisasi dari budaya dunia sebagai hasil dari media. Posisi

otonomi akan menyatakan bahwa budaya media asing adalah palsu dan tidak menyentuh budaya
lokal secara signifikan. Serupa juga dengan penjajahan budaya (cultural imperialism) yang tidak terjadi
hanya karena pilihan atau bertentangan dengan keinginan dari budaya yang ‘dijajah’ (lihat Bab 10).

Hasil yang belum jelas


Karena banyak isu yang akan didiskusikan, terdapat lebih banyak teori daripada bukti yang nyata dan
pertanyaan yang muncul dikarenakan diskusi ini sangat luas untuk dibuktikan oleh penelitian
empiris. Menurut Rosengren (1981b: 254) yang menyurvei bukti tersebar yang dapat ia temukan,
penelitian hanya memberikan ‘bukti yang belum
jelas, terkadang bahkan berlawanan,
berlawanan, mengenai hubungan antara struktur sosial, nilai
masyarakat seperti yang diantarai oleh media, dan opini masyarakat’. Pengukuran ini
bahkan valid hingga tiga puluh tahun
t ahun kemudian yang menyatakan bahwa tidak ada
satu teori tunggal yang mampu menjelaskan semua keadaan.
Teori Media dan Masyarakat 89

Sepertinya, media dapat berguna untuk menekan sebagaimana untuk


membebaskan, untuk menyatukan sebagaimana juga memecah belah masyarakat, untuk
mempromosikan sebagaimana menahan perubahan. Apa yang juga menarik untuk

dibahas dalam teori ini adalah ambiguitas dari peran yang diberikan kepada media.
Mereka sering kali ditampilkan bersifat ‘progresif’ dalam hal reaksioner’ menurut
pandangan mana yang dianut, dominan (pluralis), atau alternatif (kritis atau radikal).
Walaupun terdapat ketidakpastian, hanya sedikit keraguan bahwa media, baik sebagai
pembentuk maupun cerminan masyarakat, merupakan kurir utama mengenai
masyarakat, dan di sekeliling pengamatan inilah perspektif teoretis alternatif paling baik
dilaksanakan.

Komuni
Kom unikasi
kasi Massa
Massa sebagai
sebagai Proses pada Ting
Tingkat
kat
Masyarakat: Mediasi Hubungan dan Pengalaman Sosial
Asumsi pokok yang berhubungan dengan pertanyaan mengenai masyarakat dan
budayanya, merupakan bahwa Iembaga media intinya memperhatikan
budayanya, memperhatikan produksi
produksi dan
distribusi pengetahuan dalam pengertian yang paling luas. Pengetahuan semacam ini
pengetahuan
memungkinkan kita untuk memahami pengalaman kita akan dunia sosial, bahkan jika
pengambilan makna’ terjadi dengan cara yangotonomi dan beragam. Informasi, gambar,
dan ide yang tersedia oleh media barangkali bagi sebagian besar orang adalah sumber
utama kesadaran akan masa lalu bersama (sejarah) dan terhadap lokasi sosial saat ini.
Media juga merupakan toko kenangan dan peta di mana kita berada dan siapa diri kita
(identitas) dan juga menyediakan bahan untuk petunjuk di masa depan. Sebagaimana
yang disebutkan dalam ringkasan, media dalam skala yang luas bekerja untuk
membentuk persepsi dan definisi kita akan realitas sosial dan kenormalan bagi tujuan
kehidupan sosial bersama, dan merupakan sumber utama standar nilai dan moral.

Hal pertama yang harus ditekankan adalah tingkatan di mana media yang berbeda
telah berada di antara diri kita sendiri dan segala pengalaman hidup yang melampaui
lingkungan personal terdekat dan pengamatan indra perasa kita secara langsung.
Mereka juga menyediakan kita dengan poin utama dalam kontak dengan Iembaga
masyarakat di mana kita tinggal. Dalam masyarakat sekular dalam hal nilai dan ide,
media massa cenderung rnengambil alih’ dari pengaruh awal sekolah, orangtua, agama,
saudara, dan teman. Dampaknya adalah kita menjadi sangat bergantung pada media
akan sebagian besar ‘lingkungan simbolik kita’ (gambaran yang ada di kepala kita),
seberapa pun kita dapat membentuk versi pribadi kita sendiri. Medialah yang mungkin
mendorong elemen yang dijunjung bersama, karena kita cenderung berbagi sumber
90 Teori

media dan ‘budaya media’ yang sama. Tanpa tingkatan persepsi atas realitas bersama, apa pun
asalnya, tidak akan ada kehidupan sosial yang terorganisir. Hjarvard (2008) menggambarkan sebuah
teori perubahan sosial dan budaya di mana media berangsur- angsur berkembang dalam sejarah

hingga kemudian muncul pada abad ke-19 sebagai lembaga sosial yang mandiri. Akhir-akhir ini,
media telah berkembang lebih jauh menjadi alat untuk menyatukan lembaga sosial yang lain.

Konsep mediasi
Pernyataan-pernyataan ini dapat dirangkum ke dalam konsep mediasi kontak dengan realitas sosial.
Mediasi (mediation) melibatkan beberapa proses yang berbeda. Sebagaimana yang telah disebutkan
sebelumnya, mediasi melibatkan perpanjangan tangan pihak kedua (atau ketiga) atas versi peristiwa
dan kondisi yang tidak dapat kita amati secara langsung
langsung bagi diri kita sendiri. Pernyataan yang kedua,
mediasi merujuk pada upaya aktor dan lembaga lain dalam masyarakat untuk mengontak kita demi
tujuan mereka sendiri (atau kepentingan kita sendiri). Hal ini berlaku pada politikus dan pemerintah,
pengiklan, pendidik, ahli, dan segala bentuk penguasa. Mediasi merujuk pada cara tidak langsung di
mana kita membentuk persepsi kita akan kelompok dan budaya yang bukan milik kita sendiri. Elemen
pokok dalam mediasi sebagaimana yang digambarkan di sini adalah keterlibatan beberapa alat
teknologi antara indra kita dan hal-hal yang ada di luar kita.
Mediasi juga melibatkan beberapa bentuk hubungan (relationship). Hubungan yang dimediasi
melalu media massa akan lebih berjarak, kurang personal, dan lemah daripada ikatan personal
langsung. Media massa tidak memonopoli arus informasi yang kita terima atau mereka mencampuri
hubungan sosial kita yang lebih luas, tetapi kehadiran mereka yang sangat luas memang tidak dapat
dipungkiri. Versi awal dari ide ‘mediasi realitas’ memang didorong untuk mengasumsikan pembagian
antara ranah publik di mana pandangan akan realitas yang dibagi secara luas, dikonstruksikan dengan
cara pesan media massa, dan ranah personal di mana individu dapat berbicara dengan bebas dan
langsung.
langsung. Perkembangan
Perkembangan teknologi tterbaru
erbaru telah mengesampingkan pembagian sederhana ini, karena
pembagian komunikasi yang lebih besar dan demikian pula kontak kita dengan orang lain dan realitas
lingkungan kita dimediasi melalui teknologi (telepon, komputer, faks, surat elektronik, dan lain-lain)
walaupun dalam basis individu dan privat. Dampak dari perubahan ini masih tidak jelas dan masih
dapat ditafsirkan secara berbeda-beda.
Thompson (1993, 1995) menyarankan tipologi interaksi untuk menjelaskan konsekuensi teknologi
komunikasi yang baru yang telah memisahkan interaksi sosial dan pertukaran simbolok
daripertukaran orang biasa. Ia menyatakan (1993:35) bahwa ‘telah memungkinkan bagi lebih banyak
individu untuk mendapatkan informasi dan konten simbolik melalui bentuk interaksi termediasi’. Ia
membedakan dua tipe interaksi di samping interaksi langsung. Salah satunya yang ia sebut sebagai
‘interaksi termediasi’, melibatkan beberapa media teknis, seperti kertas, kabel elektronik, dan
seterusnyayang memungkinkan informasi atau konten simbolik untuk ditransmisikan antara individu
yang terpisah jarak dan waktu. Pihak yang melakukan interaksi termediasi harus menemukan
informasi kontekstual lebih sedikit daripada dalam kontak langsung.
Jenis lain disebut ‘interaksi mediasi semu’ (mediated quasi-interaction) dan merujuk pada
hubungan yang dibangun oleh media komunikasi massa. Terdapat dua ciri utama yang penting.
hubungan yang dibangun oleh media komunikasi massa. Terdapat dua ciri utama yang penting.

Teori Media dan Masyarakat 91

Dalam hal ini, pertama partisipan tidak berorientasi sebagai satu pihak tertentu (baik sebagai pengirim
maupun penerima), dan bentuk simbolik (konten media) diproduksi bagi khalayak luas yang tidak
terbatas. Kedua, interaksi ini bersifat monologis (daripada dialogis), dalam artian bahwa aliran

komunikasi bersifat satu arah alih-alih dua arah. Juga, tidak ada respons langsung yang dapat
diharapkan dari penerima. Thompson berpendapat bahwa ‘media telah menciptakan jenis ranah
publik (public sphere) jenis baru yang ciri-cirinya tidak memiliki keruangan dan nondialogis’ (1993:42)
dan jangkauannya global.

Metafora mediasi
Secara umum, istilah mediasi dalam artian media mencampuri antara kita dengan realitas tidak lebih
dari sebuah metafora, walaupun hal ini menunjukkan beberapa peranan media dalam
menghubungkan kita dengan pengalaman lain. Istilah yang sering digunakan untuk mendeskripsikan
peran ini mencerminkan tujuan yang berbeda, yaitu interaktivitas (interactivity) dan efektivitas
(effectiveness). Mediasi dapat berarti banyak hal, mulai dari memberikan informasi secara netral,
melalui negosiasi, hingga percobaan manipulasi dan kontrol. Variasi yang dapat ditangkap oleh
sejumlah gambaran komunikasi yang menyatakan ide berbeda-beda mengenai bagaimana media
dapat menghubungkan kita dengan realitas. Hal ini disampaikan pada kotak 4.1.
Beberapa gambaran ini ditemukan dalam definisi media itu sendiri—terutama dalam dampak
yang lebih positif dari pandangan kita akan dunia yang lebih luas, menyediakan integrasi dan
kesinambungan
kesinambungan dan menghubun
menghubungkan
gkan ssatu
atu orang dengan lainnya. Bahkan ide penyaringan sering kali
diterima dalam artian positif, memilih dan menafsirkan suplai informasi yang dapat menjadi tidak
dapat diatur dan kacau. Berbagai versi proses mediasi mencerminkan perbedaan interpretasi peranan
media dalam proses sosial. Secara khusus, media dapat memperluas pandangan kita dengan cara yang
terbuka atau mereka dapat membatasi dan mengontrol kesan yang kita miliki. Kedua, mereka dapat
memilih antara peranan yang netral dan pasif dengan peranan yang aktif dan partisipatif. Ada dua
dimensi utama yang bervariasi, yaitu keterbukaan versus kontrol, dan netralitas versus menjadi
partisipan yang aktif. Gambaran beragam yang dibahas tidak merujuk pada kemungkinan media baru
yang interaktif, di mana ‘penerima dapat menjadi ‘pengirim’ dan menggunakan media dalam interaksi
dengan lingkungannya. Bagaimanapun, menjadi jelas bahwa media online baru dapat
dapat memenuhi
memenuhi

I •
Metafor
Metafor a peranan media

Sebagai jendela peristivva dan pengalaman yang


memperluas pandangan kita, memungkinkan kita untuk melihat apa yang
terjadi, tanpa gangguan dari pihak lain.
• Sebagai cermin peristiwa di masyarakat dan dunia yang melibatkan
cerminan akurat (walaupun dengan kemungkinan gambaran yang terdistorsi)
walaupun sudut pandang dan arah cermin ditentukan oleh orang lain, dan
kita tidak bebas melihat apa yang kita inginkan.
• Sebagai penyaring, palang pintu (gatekeeper), atau portal yang bertindak
memilih bagian pengalaman untuk perhatian khusus dan menutup
pandangan dan suara lain, baik disengaja maupun tidak.
• Sebagai petunjuk, pemandu, atau penerjemah menunjukkan arah dan

memberikan makna apa yang membingungkan atau tidak utuh.


• Sebagai forum atau pijakan presentasi informasi dan ide kepada khalayak,
sering kali dengan kemungkinan adanya respons dan umpan balik.
• Sebagai kontributor yang meneruskan dan membuat informasi tidak
tersedia bagi semua orang.
• Sebagai pembicara atau partner yang memiliki informasi dalam percakapan
yang merespons pertanyaan dalam cara interaktif semu.

sebagian besar peran yang diberikan maupun tambahan, sebagaimana yang dijelaskan
pada Bab 6 dengan rujukan kepada portal (portal) Internet.

Kerangk
Kerangk a Ruju
Rujukan
kan dalam Me
Mengh
nghubu
ubu ngkan Media
dengan Masyarakat
Merupakan suatu ide umum bahwa komunikasi massa berada di antara ‘realitas’ dan
persepsi serta pengetahuan kita yang merujuk pada sejumlah proses spesifik pada
berbagai level analisis yang berbeda. Model milik Westley dan MacLean (1957)
menunjukkan beberapa elemen tambahan yang dibutuhkan bagi kerangka rujukan yang
lebih detail. Hal yang terpenting dalam ide ini adalah bahwa media dicari oleh pembela
lembaga sebagai saluran untuk menjangkau publik secara umum (atau kelompok
tertentu) dan untuk mengomunikasikan perspektif mereka mengenai peristiwa dan
kondisi. Hal ini benar adanya bagi para politikus yang bersaing dan pemerintah,
pengiklan, pemuka agama, pemikir, penulis, seniman, dan seterusnya. Kita diingatkan
bahwa pengalaman
pengalaman selalu dim
dimediasi
ediasi oleh
oleh lemba
lembaga
ga di masyar
masyarakat
akat (termasuk
(termasuk
Teori Media dan Masyarakat 93

keluarga), dan apa yang terjadi adalah bahwa mediator baru (komunikasi massa) telah ditambahkan agar
dapat memperluas, berkompetisi, menggantikan, dan bahkan melawan upaya Iembaga sosial lainnya.
Gambaran sederhana dari proses ‘dua langkah’ (atau lebih) dari kontak termediasi dengan realitas

dipersulit dengan fakta bahwa media massa tidak sepenuhnya agen bebas dalam hubungannya dengan
keseluruhan masyarakat. Mereka tunduk pada kontrol formal dan informal oleh Iembaga yang
berkepentingan
berkepentingan dalam membentuk persepsi pu
publik
blik akan realitas. Tuju
Tujuan
an mereka tidak perlu sama dengan
tujuan menyampaikan ‘kebenaran’ objektif mengenai realitas. Pandangan abstrak dari mediasi realitas
berdasarkan model Westley dan MacLean, tetapi juga mencerminkan
mencerminkan poin-poin ini, seperti yang
digambarkan dalam Gambar 4.2. Media menyediakan bagi khalayaknya, penyedia informasi, gambar,
cerita, dan kesan, terkadang menurut kebutuhan yang telah ada sebelumnya, terkadang dipandu oleh
tujuan mereka sendiri (misalnya mendapatkan keuntungan atau pengaruh), dan sering kali mengikuti
motif Iembaga sosial lainnya (misalnya iklan, propaganda, memproyeksikan gambaran yang disukai,
mengirimkan informasi). Keragaman motivasi yang ada dalam pemilihan dan arus gambaran realitas’, dapat
kita lihat bahwa mediasi bukanlah proses yang netral. ‘Realitas’ akan selalu diseleksi dan dikonstruksi
dikonstruksi dan
akan ada beberapa bias yang konsisten. Hal ini akan mencerminkan terutama kesempatan yang berbeda

untuk mendapatkan akses media dan juga pengaruh ‘logika media’ dalam membangun realitas.

(Kontak yang tidak termediasi dengan sumber di


N
masyarakat) s

/ \
\

/ \

i
REALITAS i i
(Peristiwa dan MASYARAKAT

kekuatan sosial MEDIA -< ------


---------------
---------►► KHALAYAK/PUBLIK
yang jauh) Sumber dan
pendukung I I
I
k
\
(Komunikasi dan (Aliran konten dan
\

\
\ interaksi) respons khalayak) /
/ }
\
\

Pe
Pengalaman
ngalaman pribadi l angsung dengan realitas

Gambar 4.2 Kerangka rujukan bagi teori pembentukan mengenai media dan
masyarakat: media berada di antara pengalaman pribadi dan peristiwa serta kekuatan
sosial yang lebih jauh (berdasarkan Westley dan MacLean, 1957)
94 Teori

Gambar 4.2 juga mewakili fakta bahwa pengalaman tidak selalu atau sepenuhnya
dimediasi oleh media massa. Terdapat beberapa saluran kontak langsung dengan
lembaga sosial (misalnya partai politik, organisasi pekerja, dan gereja). Terdapat pula

kemungkinan pengalaman pribadi langsung terhadap beberapa peristiwa jarak jauh


yang dilaporkan dalam media (misalnya kriminalitas, kemiskinan, penyakit, perang,
dan konflik). Sumber informasi yang beragam (termasuk kontak personal dengan orang
lain, dan melalui Internet) mungkin tidak sepenuhnya mandiri satu sama lain, tetapi
menyediakan beberapa pengecekan atas kelayakan dan reliabilitas dari ‘interaksi
termediasi semu’.

Tema utama dari teori masyarakat massa


Isu dan tema utama yang dibahas dalam buku ini sudah diperkenalkan pada Bab 1 dan
juga Bab 3 di bawah j udul ‘Perspektif awal terhadap media dan masyarakat’. Sekarang
kita kembali untuk membahasnya secara lebih mendalam. Teori yang tersedia untuk
kita terpisah-pisah dan selektif, terkadang tumpang tindih atau tidak konsisten, sering
kali dituntun oleh ideologi dan asumsi yang saling bertentangan mengenai masyarakat.
Pembentukan teori tidak mengikuti pola yang sistematis dan logis, tetapi menjawab
permasalahan nyata dan keadaan bersejarah. Sebelum menggambarkan beberapa teori
yang sudah dibentuk, sangat berguna untuk melihat tema besar yang membentuk
perdebatan selama ‘zaman pertama media massa’, terutama yang berkaitan dengan
kekuasaan, integrasi, perubahan sosial, dan ruang/waktu.

Tema I: Kekuasaan dan Keti daksetaraan

Media selalu berhubungan dalam satu dan lain hal dengan struktur kekuatan politik
dan ekonomi yang kuat. Nyatanya, media yang memiliki nilai ekonomi adalah objek
kompetisi bagi kontrol dan akses. Kedua, mereka tunduk kepada peraturan politik,
ekonomi, dan hukum. Ketiga, media massa secara umum dipandang sebagai instrumen
efektif bagi kekuasaan dengan kapasitas potensial untuk membawa pengaruh dengan
berbagai cara. Keempat,
Keempat, kekuatan media massa
massa tidak dengan rata tersedia un
untuk
tuk semua
kelompok atau kepentingan. Kotak 4.2 memperkenalkan tema kekuatan media dengan
memberi nama bagi jenis-jenis efek, baik disengaja maupun tidak disengaja yang
dilekatkan kepada media massa.
Dalam diskusi mengenai kekuatan media, dua model biasanya berlawanan satu
sama lain: model yang pertama adalah model media dominan (model of dominant media)
dan model yang kedua adalah model media pluralis (pluralis
(pluralistt media) (lihat Gambar 4.3).

Model yang pertama adalah yang melihat media sebagai kekuatan yang mewakili
lembaga kuat lainnya. Organisasi media dalam pandangan ini, sering kali dimiliki atau
dikontrol oleh sejumlah kecil kepentingan yang berkuasa yang memiliki jenis dan t uju
ujuan
an

Teori Media dan Masyarakat 95

yang
Tujuan atau efek
efek hipo tetis dari k ekuatan media massa

• Menarik dan mengarahkan perhatian publik.


Memersuasi opini dan keyakinan.


• Memengaruhi perilaku.
• Memberikan definisi realitas.
• Memberikan status dan pengesahan.
• Memberikan informasi dengan cepat dan luas.

serupa. Mereka menyebarkan pandangan yang terbatas dan seragam mengenai dunia yang dibentuk oleh
perspektif dari kepentingan yang berkuasa.
Khalayak dibatasi atau dikondisikan untuk menerima pandangan akan dunia yang ditawarkan
dengan respons kritik yang sedikit. Hasilnya adalah untuk meneguhkan atau mengesahkan struktur
kekuatan yang mapan dan untuk menghentikan perubahan dengan menyaring suara alternatif.

Model pluralis adalah, di hampir segala bidang, merupakan kebalikannya yang memungkinkan lebih
banyak keragaman
keragaman dan kemungkinan.
kemungkinan. Ti
Tidak
dak ada elit yang

Dominan Pluralis
Sumber Kelas penguasa atau elit Kepentingan politik, sosial,
masyarakat dominan budaya, dan kelompok yang
saling bersaing
Media Di bawah kepemilikan yang Banyak jenis dan mandiri satu
terkonsentrasi dari jenis yang sama lain
seragam
Produksi Terstandar, rutin Kreatif, bebas, orisinal

Isi dan Selektif dan ditentukan Pandangan yang beragam


pandangan dari ‘atas’ dan saling bersaing tergantung
permintaan khalayak
dunia

Khalayak Tidak mandiri, pasif, teratur Terbagi-bagi, selektif, reaktif, dan


dalam skala besar aktif
Efek Kuat dan meneguhkan Banyak, tanpa arah yang
tatanan sosial yang mapan konsisten atau dapat
diperkirakan,, tetapi sering kali
diperkirakan
tanpa efek

Gambar 4.3 Dua model berlawanan dari kekuatan media (yang biasa kita temukan adalah campuran
antara keduanya)
Teori Media dan Masyarakat 97

dominan atau satu, dan perubahan serta kontrol demokratis mungkin terjadi. Khalayak yang beragam
memiliki permintaan dan dapat bertahan dari persuasi dan bereaksi pada apa yang ditawarkan media.
Secara umum, model ‘dominan berhubungan dengan pandangan baik p esimisme konservatif mengenai
‘kebangkitan massa’ dan juga kritik terhadap sistem kapitalisme yang dikecewakan oleh kegagalan
terjadinya revolusi. Model ini konsisten dengan pandangan media sebagai alat penjajahan budaya’ atau
alat propaganda politik. Pandangan pluralis adalah versi ideal mengenai bagaimana tujuan liberalisme
serta pasar bebas. Sementara model-model ini digambarkan secara berlawanan, mungkin untuk
menggambarkan versi campuran keduanya, di mana kecenderungan terhadap dominasi massa atau
monopoli ekonomi tunduk pada batasan dan kekuatan-lawan dan ‘dilawan oleh khalayak mereka. Dalam
masyarakat bebas manapun, kelompok minoritas dan oposisi harus dapat mengembangkan dan
memelihara media alternatif mereka sendiri.
Pertanyaannya adalah apakah media menjalankan kekuasaan berdasarkan hak dan kepentingan
mereka sendiri. Bagaimanapun, kemungkinannya ada dan ditemukan dalam penggambaran secara fiksi
maupun fakta dari penguasa media. Terdapat beberapa kasus pemilik media menggunakan posisi mereka
untuk mengembangkan tujuan politik atau keuangan atau untuk meningkatkan status mereka sendiri.
Terdapat bukti yang jelas atas efek terhadap opini dan tindakan publik. Sering kali, kekuatan mandiri dari
media dapat menyebabkan efek berbahaya yang tidak disengaja. Hal ini berhubungan, misalnya dengan
melemahnya demokrasi politik, budaya, dan moral dan penyebab dari tekanan dan bahaya personal,
terutama dalam pencarian keuntungan.
keuntungan. Intinya, mereka berupaya menjalankan kekuasaan tanpa tanggung
jawab

A Kek uatan
uat an medi
m edia
a massa:
mas sa:
■ O pertanyaan yang muncul

• Apakah media di bawah


bawah kontrol?
• Jika demikian, siapa yang mengontro! media dan untuk kepentingan apa?
• Versi realitas sosial milik siapa yang disiarkan?
• Seberapa efektif media dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya?
• Apakah media massa mendukung
mendukung kesetaraan dalam masyarakat
masyarakat atau tidak?
• Bagaimana akses terhadap media dibagi atau diberikan?
• Bagaimana media menggunakan kekuatan mereka untuk memengaruhi?
• Apakah media memiliki kekuatan
kekuatan mereka sendiri?
dan menggunakan tameng kebebasan pers untuk menghindari pertanggungjawaban.
Diskusi mengenai efek media ini memunculkan sejumlah pertanyaan yang dirangkum
dalam Kotak 4.3.

Tema II: Integrasi Sosial dan Identitas


Dua perspektif mengenai media
Ahli teori komunikasi massa sering kali berbagi kepentingan dengan sosiolog mengenai
bagaimanaa tatanan sosial dipelihara dan dalam keterikatan masyarakat
bagaiman masyarakat dari berbagai
macam unit sosial. Media awalnya dihubungkan dengan masalah urbanisasi, mobilitas
sosial, dan menurunnya komunitas tradisional. Mereka cenderung berhubungan
dengan kekacauan sosial yang meningkatkannya kejahatan, kekacauan, dan nilai moral
yang rendah. Sejumlah teori dan penelitian media awal berfokus pada pertanyaan

mengenai integrasi. Misalnya, Hanno Hardt (2003) menggambarkan perhatian dari para
ahli teori Jerman pada abad ke-19 dan awal abad-20 dengan peranan pers dalam
masyarakat yang sifatnya menyatukan. Fungsi utama dari pers yang ia sebutkan
dijelaskan pada
Kotak 4.4.

Fungsi sosi al pers awal


awal
■ yang diketahui

I •


Mengikat masyarakat menjadi satu.
Memberikan kepemimpinan bagi masyarakat.
Menolong membangun 'ranah publik .
1

• Menyediakan pertukaran ide antara pemimpin dan massa.


• Memuaskan kebutuhan informasi.
• Memberikan cermin an atas masyarakat itu sendiri.
• Bertindak sebagai kesadaran dari masyarakat.

Komunikasi massa (mass communication) adalah sebuah proses yang sering kali
utamanya dianggap sebagai individualistis, tidak personal, dan terisolasi, sehingga
mendorong solidaritas serta rasa kebersamaan yang lebih rendah. Kecanduan televisi
telah dikaitkan dengan nonpartisipasi dan menurunnya modal sosial’ dalam kaitannya
dengan berpartisipasi dalam aktivitas sosial dan memiliki rasa kebersamaan (Putnam,
2000). Media membawa pesan mengenai apa yang baru dan tren dalam hal barang, ide,
teknik, dan nilai dari kota ke negara dan dari kelas sosial atas ke bawah. Mereka juga
Teori Media dan Masyarakat 99

menggambarkan sistem nilai alternatif yang berpotensi melemahkan nilai-nilai


tradisional.
100 Teori

Pandangan alternatif mengenai hubungan media massa dan integrasi sosial ini juga beredar,
berdasarkan karakter lain dari komunikasi
komunikasi massa. Komun
Komunikasi
ikasi massa memiliki
memiliki kapasitas
kapasitas untu
untuk
k
menyatukan individu yang tersebar di dalam khalayak yang lebih besar, atau menyatukan pendatang
baru ke dalam komunitas urban dan imigran ke dalam negara baru dengan menyediakan seperangkat
nilai, ide, dan informasi dan membantu membentuk identitas (Janowitz, 1952; Clark, 1969; Stamm,
1985; Rogers, 1993). Proses ini dapat membantu menyatukan masyarakat modern berskala besar yang
beragam, daripada
daripada proses lama yan
yang
g melibatkan mekanisme
mekanisme agama, keluarga, atau kelompok
kelompok kontrol.
Dengan kata lain, media massa pada prinsipnya mampu mendukung atau melemahkan kohesi sosial.
Hal ini terlihat berlawanan dengan yang satu menekankan pada kecenderungan sentrifugal
(centrifugal ) sementara yang lainnya merupakan kecenderungan sentripetal ( centripetal ) walaupun
nyatanya dalam masyarakat yang kompleks, kedua kekuatan tersebut bekerja pada saat yang
bersamaan dan
dan kecenderungan
kecenderungan salah
salah satu menyeimbangkan
menyeimbangkan kecenderungan
kecenderungan yang lain
lain..

Ambivalensi mengenai
mengenai integr
integrasi
asi sosial
Pertanyaan utama yang muncul (dalam hal kekuatan) bagi teori dan penelitian dapat dipetakan ke
dalam dua dimensi yang bersilangan. Salah satu dimensi merujuk kepada arah: baik sentrifugal atau
sentripetal. Dimensi yang pertama merujuk pada rangsangan kepada perubahan sosial, kebebeasan,
individualisme, dan fragmentasi (fragmentation).
fragmentation

Pandangan optimis
1 2
Kebebasan, Integrasi,
keragaman solidaritas

Efek Efek
sentrifugal sentripetal

4
Tidak ada norma, Dominasi,
kehilangan identitas keseragaman
Pandangan pesimis Gambar 4.4 Empat versi dampak
komunikasi massa terhadap integrasi sosial
Teori Media dan Masyarakat 101

Dimensi yang kedua merujuk pada efek dalam bentuk persatuan, tatanan, kohesi, dan
integrasi sosial. Baik integrasi maupun disintegrasi sosial dapat dinilai dengan cara yang
berbeda, tergantung
tergantung pada pilihan dan sudut pandang. Kontrol sosial
s osial yang diinginkan
diinginkan
seseorang merupakan batasan kebebasan bagi orang lain; individualisme seseorang
adalah isolasi bagi orang lain. Sehingga, dimensi kedua dapat digambarkan sebagai
normatif, terutama dalam penilaian kedua kecenderungan yang berlawanan dari kinerja
media massa ini. Pertanyaan yang mewakilinya adalah apakah efek terhadap isu ini
semestinya dilihat dengan optimisme atau pesimisme (McCormack, 1961; Carey, 1969).
Sementara kritik awal dari komunikasi massa (misalnya C.W. Mills) menekankan
bahaya dari integrasi berlebihan
berlebihan dan konformitas sosial, efek individu
individualisme
alisme dari media
baru telah dipandan
dipandang
g oleh kritik sosial sebagai sesuatu yang memiliki efek merusak
(misalnya Sunstein, 2006).
Dengan memaknai kondisi yang rumit ini, akan membantu untuk berpikir
mengenai dua versi teori media—sentrifugal dan sentripetal—masing-masing dengan
posisinya sendiri dalam dimensi evaluasi, sehingga dalam efek terdapat empat posisi
teoretis berbeda yang berkaitan dengan integrasi sosial (lihat Gambar 4.4), yaitu:

1. kebebasan, keragaman. Ini adalah versi optimis dari kecenderungan media yang
memiliki efek perpecahan terhadap masyarakat yang juga dapat membebaskan.
Media menyebarkan ide dan informasi baru dan juga mendorong pergerakan,
perubahan, dan modernisasi.
2. Integrasi, solidaritas. Versi optimis dari efek berlawanan komunikasi massa sebagai
solidaritas.
penyatu masyarakat, menekankan kebutuhan akan kepemilikan identitas,
kebersamaan, dan kewarganegaraan, terutama pada kondisi perubahan sosial.

Pertanyaan mengenai
mengenai media dan int egrasi

• Apakah media massa


m assa meningkatkan atau menurunkan tingkat kontrol sosial
dan konformitas?
• Apakah media memperkuat atau memperlemah lembaga sosial yang
berpengaruh, seperti keluarga, partai politik, komunitas lokal, gereja, serikat
dagang?
• Apakah media membantu atau menghindar dari pembentukan kelompok
yang beragam dan identitas berdasarkan pada subkultur, opini, pengalaman
sosial, tindakan sosial, dan seterusnya?
• Apakah media massa mempromosikan kebebasan individu dan pilihan
identitas?
• Apakah media online memiliki bias melawan integrasi?
3. Tidak ada norma, kehilangan identitas. Pandangan pesimis dari kebebasan yang luas

102 Teori

akan menimbulkan perpecahan, kehilangan keyakinan, tercerabut dari masyarakat,


dan hilangnya kohesi serta modal sosial.
4. Dominasi, keseragaman. Masyarakat dapat menjadi terlalu terintegrasi da n terlalu

teratur, mendorong pada pengawasan dan konformitas pusat dengan media massa
sebagai alat yang melakukannya.

Versi efek komunikasi massa terhadap integrasi ini memberikan kita sejumlah
pertanyaan (Kotak 4.5) yang harus dijawab oleh masyarakat yang berbeda pada waktu
yang berbeda dan tidak mungkin ada jawaban yang berlaku bagi semua.

Tema
Tema III:
III: Perubaha
Perub ahan
n dan Perk
Perkembangan
embangan Sos ial
Pertanyaan utama yang berasal dari diskusi sebelumnya adalah apakah komunikasi
massa harus dilihat sebagai penyebab atau efek dari perubahan sosial. Kapan pun
media membawa pengaruh, mereka juga menyebabkan perubahan; pilihan terhadap
sentralisasi atau persebaran sosial adalah dua jenis perubahan yang telah dibahas.
Sebagaimana yang telah kita lihat, tidak ada jawaban sederhana yang dapat diharapkan,
dan teori yang berbeda menawarkan versi alternatif dari hubungan. Hal yang menjadi
isu adalah cara alternatif dalam menghubungkan tiga elemen dasar: (l)teknologi
komunikasi dan bentuk serta konten media; (2) perubahan dalam masyarakat (struktur
sosial dan tatanan kelembagaan); dan (3) distribusi keyakinan, ide, nilai, dan praktik
kepada populasi. Semua dampak media massa ini adalah pertanyaan potensial terhadap
perubahan sosial, tetapi teori yang paling relevan adalah isu ‘determinisme teknologi’
dan potensi untuk menerapkan media massa pada proses perkembangan. Isu pertama
merujuk pada efek dari perubahan media komunikasi masyarakat. Isu kedua merujuk
pada pertanyaan yang lebih praktis mengenai (dan bagaimana) media massa dapat
diterapkan kepada perkembangan ekonomi dan sosial (sebagai mesin perubahan atau
mempercepat modernitas). Pertanyaan mengenai perubahan dan perkembangan
disampaikan pada Kotak 4.6.
Kisah mengenai kemunculan media sebagaimana dibahas pada Bab 2, cenderung
menggambarkan media sebagai kekuatan yang umumnya progresif, terutama karena
hubungan antara demokrasi dan kebebasan berekspresi dan antara media dan
terbukanya pasar dan liberalisasi perdagangan. Bagaimanapun, terdapat narasi lain
yang dapat dipertimbangkan. Misalnya, teori kritis secara umum memandang media di
masa modern sebagai konformis dan reaksioner. Pada awal abad ke-20, misalnya di
Nazi Jerman dan Rusia Soviet, media digunakan sebagai alat perubahan, walaupun
dengan tingkat kesuksesan yang beragam.
Isu ‘modernisasi’ dan perkembangan di negara Dunia Ketiga mendapatkan
banyak perhatian pada awal-awal pascaperang
pascaperang Dunia II, ketika komunikasi
komunikasi massa
dipandang, terutama di AS sebagai alat yang kuat untuk menyebarkan norma ideal
Amerika ke seluruh dunia dan pada saat yang bersamaan memmbantu melawan
komunisme. Akan

Teori Media dan Masyarakat 103

9
Pertanyaan mengenai perubahan dan perkembangan

• Apa yang dapat diperankan


diperankan media dalam perub
perubahan
ahan sosial yang


besar?
• Apakah media umumnya progresif
progresif atau konserva
konservatif
tif dalam kinerja mereka?
• Dapatkah media diterapkan sebagai ‘mesin perubahan’ dalam konteks perkembangan?
• Seberapa banyak perubahan yang disebabkan media karena teknologi alih-alih karena konten?
• Apakah media menyebarkan
menyebarkan inovasi dengan efek
efektif?
tif?

tetapi, media juga dianggap sebagai alat efektif untuk perkembangan sosial ekonomi,
konsisten dengan semangat pasar bebas. Beberapa efek diperkirakan mengikuti dari
impor sukarela konten media massa AS. Termasuk di dalamnya: pendapat, nilai, dan
praktik konsumen atas demokrasi, ide akan kebebasan, dan literasi (lihat Lerner, 1958).
Kemudian, terdapat penanaman modal yang besar dalan proyek komunikasi yang
dirancang untuk menyebarkan banyak inovasi sosial dan teknis (Rogers dan Shoemaker,
1973). Hasilnya sulit dievaluasi dan upaya yang digambarkan secara berangsur-angsur
menjadi berulang atau mustahil dikejar dalam dunia yang berubah.
Pada tahun-tahun terakhir, perubahan terbesar yang diasosiasikan dengan media
massa mungkin merupakan perubahan dari komunisme di Eropa setelah tahun 1985.
Peranan media dalam peristiwa ini masih diperdebatkan, walaupun proses glasnost
memberikan media peranan dalam perubahan internal di dalam Uni Soviet, dan ketika
dimulai, sepertinya hal tersebut menjadi semakin besar.

Tema
Tema IV: Ruang d an Wakt
Waktuu
Komunikasi sering kali dikatakan memiliki dimensi ruang dan waktu dan juga
‘menjembatani’ ketidaksinambungan pengalaman kita yang disebabkan jarak dan
waktu. Terdapat juga berbagai aspek untuk mendapatkan proposisi ini. Komunikasi
memungkinkan adanya perpanjangan aktivitas manusia dan persepsi lintas jarak dalam
beberapa cara. Hal yang paling
paling jelas dalam bentuk transportasi
transportasi kita diambil dari satu
tempat ke tempat lain, dan kontak, pengalaman, serta cakrawala kita berkembang.
Komunikasi simbolik dapat mencapai sesuatu dengan efek yang sama tanpa harus
berpindah
berpindah secara fisik. Kita juga disediakan dengan peta dan petunjuk ke tempat-
tempat dan rute dalam ruang yang sebenarnya. Lokasi aktivitas kita digambarkan
oleh jaringan komunikasi dalam bentuk diskursus dan sebagian besar diekspresikan dalam bahasa dan
bentuk ekspresi lainnya.
lainnya. Hampir semua bentuk komunikasi
komunikasi simbolik (buku, seni, musik, surat
surat kabar, film,
dan lain-lain) diidentifikasikan dengan lokasi tertentu dan memiliki jangkauan penyiaran yang dapat

dikhususkan secara geografis. Proses komunikasi massa secara umum digambarkan dalam istilah
keruangan, dengan rujukan terhadap pasar media tertentu, wilayah peredaran atau penerimaan, jangkauan
khalayak, dan seterusnya. Pada saat yang bersamaan, berakhirnya batasan biaya dan kapasitas oleh
penyiaran elektronik berarti bahwa komunikasi tidak lagi terikat pada wilayah tertentu, dan pada
prinsipnya menjadi lokal.
Unit sosial dan politik tergantung wilayah dan menggunakan berbagai komunikasi untuk
melambangkan fakta ini. Komunikasi selalu diawali pada satu titik dan diterima pada titik atau pada
banyak titik lain. Jembatan dibangun
dibangun dan jarak fisik seakan b
berkuran
erkurang
g karena kemudahan komunikasi
komunikasi dan
penerimaan. Internet menciptakan beragam jenis ‘jarak maya’ dan peta baru untuk melakukannya,
terutama yang menunjukkan kesalingterhubungan jaringan. Teknologi baru memungkinkan pesan untuk
dikirim ke tempat yang jauh. Penjelasannya dapat berlanjut terus, tetapi kekayaan dari tema keruangan ini
dapat dihargai.

Hal yang sama dapat dikatakan dalam sesuatu yang berhubungan dengan waktu. Perkembangbiakan
dan percepatan saluran untuk penyiaran dan perubahan komunikasi membuat kontak langsung dengan
sumber dan tujuan lain dan sehari-hari menjadi mungkin. Kita tidak lagi harus menunggu berita atau
menunggu untuk mengirimnya, dari manapun. Secara efektif, tidak ada batasan waktu atas informasi yang
dapat dikirim dan menerima apa yang ingin kita terima. Teknologi penyimpanan dan akses
memungkinkan kita untuk mengabaikan batasan waktu dalam sebagian besar perilaku komunikasi. Hal
yang kurang hanyalah lebih banyak waktu untuk melakukan semua ini. Secara berlawanan, walaupun
teknologi baru memudahkan kita untuk menyimpan ingatan dan informasi yang kita inginkan, informasi
dan budaya sepertinya menjadi lebih cepat usang dan ketinggalan jaman. Batasannya semakin
ditingkatkan oleh kapasitas manusia untuk memproses lebih banyak dan lebih cepat. Masalah informasi
membeludakyang telah lama ada tiba pada pengalaman sehari-hari. Apa pun biaya dan keuntungannya,
sulit untuk menyangkal karakter revolusioner dari perubahan baru ini. Proposisi kunci mengenai hal ini

akan dirangkum pada Kotak 4.7.

Efek media berkaitan dengan ruang dan waktu: proposisi


kunci

• Media telah menghapus jarak.


• Dunia maya menjadi perpanjangan jarak yang sebenarnya.
• Media bertindak sebagai pengumpul ingatan.
• Jarak antara penyiaran teknis dengan kapasitas penerimaan manusia meluas
me luas dengan pesat.
Teori Media dan Masyarakat 105

Teori Media—Masyarakat I: Masyarakat Massa


Pada bab ini dan selanjutnya, beberapa pendekatan teoretis yang penting mengenai
tema ini akan dibahas. Mereka menjelaskan kurang lebih dalam urutan kronologis dari
pembentukan dan jarak dari optimisme ke pesimisme, dari kritis ke netral. Hal pertama
yang harus dibahas, yaitu teori masyarakat massa (mass society theory) yang dibangun di
sekeliling konsep ‘massa’ yang telah dibahas pada Bab 3. Teori ini menekankan
kesalingtergantungan lembaga yang menjalankan kekuasaan dan juga intergrasi media
kepada sumber kekuasaan sosial dan otoritas. Konten sering kali melayani kepentingan
politik dan ekonomi dari pemegang kekuasaan. Media tidak dapat diharapkan untuk
menawarkan definisi kritis atau alternatif kepada dunia dan mereka cenderung
membentuk akomodasi dalam ketergantungan publik pada takdir mereka.
Model ‘media dominan’ yang digambarkan di atas mencerminkan pandangan
masyarakat massa. Teori masyarakat massa memberikan keutamaan kepada media
sebagai faktor penyebab. Ide dasarnya adalah bahwa media menawarkan pandangan
mengenai dunia, sebuah lingkungan semu atau pengganti yang merupakan alat
potensial untuk melakukan manipulasi terhadap masyarakat, tetapi juga membantu
mereka bertahan dalam situasi yang sulit. Menurut C. Wright Mills (1951: 333), ‘di
antara kesadaran dan keberadaan, berdirilah komunikasi yang pengaruhnya seperti
kesadaran yang dimiliki manusia atas keberadaan mereka.’
Secara berlawanan, masyarakat massa dihancurkan dan dikontrol secara terpusat.
Media dilihat secara signifikan berkontribusi pada kontrol di masyarakat yang dicirikan
oleh banyaknya jumlah, jarak dengan lembaga, isolasi atas individu, dan kurangnya
intergrasi kelompok lokal. Mills (1951,1956) juga menunjuk pada menurunnya keaslian
teori demokrasi klasik dan penggantinya dengan menggeser sejumlah orang yang tidak
dapat membentuk atau menyadari tujuan mereka sendiri dalam tindakan politik.
Penyesalan ini telah diperkuat akhir-akhir ini dengan argumen mengenai menurunnya
‘ranah publik’ atas debat dan politik demokrasi dalam skala besar yang telah
berdampak pada media massa komersia
komersiall (Dahlgren,
(Dahlgren, 1995, 20
2005).
05).
Walaupun istilah ‘masyarakat massa’ tidak lagi populer, ide bahwa kita hidup
dalam masyarakat massa terdiri atas sejumlah komponen yang saling berkaitan secara
bebas. Termasu
Termasuk
k di dalamnya nostalgia (atau harapan)
harapan) bagi banyak alternatif
‘komunitarian’ kepada masa individualistik saat ini, sebagaimana sikap kritis terhadap
kekosongan, kesepian, stres, dan konsumerisme yang hidup dalam masyarakat pasar
bebas. Ketidakacu
Ketidakacuhan
han publik yang semakin meluas terhadap demokra
demokrasi
si politik dan
kurangnya partisipasi ini juga sering menyebabkan penggunaan media massa yang sinis
dan maipulatif oleh politikus dan partai.
Keragaman dan banyaknya jumlah bentuk media baru dan lama sepertinya
merendahkan validitas teori masyarakat massa dalam penggambarannya atas media
sebagai salah satu batu pondasi dari masyarakat massa. Secara khusus, media elektronik
baru memuncul
memunculkan
kan pandan
pandangan
gan optimistik terhadap m
masyaraka
asyarakatt menjadi semacam

106 T eori

apa yang dapat melawan tesis pokok masyarakat massa. Kontrol monopoli relatif dari
munculnya media massa baru, saat ini ditantang oleh munculnya media online yang lebih
banyak menjangkau banyak kelompok, gerakan, dan juga individu. Tantangan ini bukan cuma
kekuatan ekonomi dari media lama, tetapi juga jaminan akses kepada khalayak nasional pada
pilihan waktu mereka sendiri. Terdapat sisi gelap dari pendangan ini, karena Internet juga
terbuka bagi alat kontrol baru dan pengawasan (surveillance) atas populasi online yang mereka
miliki dan tidak kebal dari kontrol konglomerat media. Ide pokoknya disampaikan pada Kotak
4.8.

Te
Teori
ori masyaraka
masyarakatt m assa mengena
mengenaii m edia:
proposisi utama

• Masyarakat diatur secara terpusat dan dalam skala besar.


• Publik menjadi terpecah-belah.
• Media tersentralisasi, dengan penyiaran satu arah.
• Masyarakat menjadi bergantung pada media untuk mengetahui identitas mereka.
• Media digunakan untuk manipulasi dan kontrol.

Teorii Media—Masya
Teor Media—Masyarakat
rakat II:
Marxism
Ma rxism e dan E
Ekono
konomi
mi Politik
Polit ik
Meskipun Karl Marx hanya mengenai pers sebelum menjadi media massa
sesungguhnya, tradisi analisi Marxist terhadap media dalam masyarakat kapitalis masih
terus relevan. Terdapat beberapa jenis analisis media modern yang terinspirasi dari
Marxist, muncul di masa kini ke dalam ‘teori ekonomi politik kritis’ (critical political
economy theory) (Murdock dan Golding, 2005).
Pertanyaan akan kekuasaan adalah inti dari penafsiran Marx mengenai media

Teori Media dan Masyarakat 107

massa. Meskipun beragam, pertanyaan ini selalu menekankan fakta bahwa pada
akhirnya media merupakan instrumen bagi kelas penguasa untuk mengontrol. Teks
berikut diambil
diambil dari German Ideology milik Marx yang berbunyi:

Lapisan yang memiliki alat dan bahan produksi pada saat yang bersamaan memiliki kontrol
terhadap alat produksi mental, sehingga secara umum mereka yang tidak memiliki alat mental
produksi akan tunduk kepadanya (dikutip dari Murdock dan Golding, 1977: 15).

Teori Marxist mendorong hubungan langsung antara kepemilikan ekonomi dan


penyebaran pesan yang meneguhkan legitimasi dan nilai dari masyarakat kelas.
108 T eori

Pandangan ini didukung pada masa modern dengan bukti kecenderungan adanya konsentrasi
kepemilikan media massa oleh pengusaha kapitalis (misalnya Bagdikian, 1998; McChesney, 2000) dan oleh
banyak bukti yang berhubungan
berhubungan dari kecenderungan
kecenderungan konservatif dalam konten media yang teratur
(misalnya Herman dan Chomsky, 1988).
Versi perbaikan dari teori media Marxist di abad ke- 20 lebih berkonsentrasi pada i’de daripada
struktur materi. Mereka menekankan pada ideologi efek media (media effect) terhadap kepentingan kelas
penguasa dalam ‘mereproduksi’ hubungan yang intinya adalah eksploitatif dan manipulatif, dan dalam
mengesahkan dominasi kapitalisme dan mengesampingkan kelas pekerja. Louis Althusser (1971)
menggambarkan proses ini sebagai ‘aparat ideologi negara’ ( ideological state apparatuses) (yaitu segala
bentuk sosialisasi) yang dibandingkan dengan aparat penekan negara’ (seperti tentara dan polisi),
memungkinkan negara kapitalis untuk bertahan tanpa harus melakukan kekerasan secara langsung.
Konsep hegemoni Gramsci (1971) berhubungan dengan kecenderungan ini. Marcuse (1964) menafsirkan
media bersama dengan elemen lain dari sistem produksi massal, seperti yang terlibat dalam ‘penjualan’
atau mendorong sistem sosial secara keseluruhan yang diinginkan dan represif pada saat yang bersamaan.
Secara keseluruhan, pesan dalam teori Marxist adalah sama, tetapi pertanyaannya masih belum

terjawab. Bagaimana mungkin kekuatan media dilawan atau dihindari? Apa posisi media yang tidak jelas
dalam kepemilikan kapitalis atau dalam kekuasaan negara (seperti surat kabar mandiri atau penyiaran
publik)? Kritik terhadap media massa dalam tradisi Marxist bergantung baik pada alat untuk penyiaran
propaganda dan manipulasi (misalnya Herman dan Chomsky, 1988; Herman, 2000) maupun
menggantungkan harapan mereka pada bentuk pemilikan kolektif atau media alternatif sebagai lawan
kekuatan media dari kelas pemodal. Penerus kontemporer dari teori Marxist ditemukan dalam teori
ekonomi politik.
Teori ekonomi politik (political economy theory) adalah pendekatan kritik sosial yang berfokus pada
hubungan antara struktur ekonomi dan dinamika industri media dan konten ideologis media. Dari sudut
pandang ini, lembaga media dianggap sebagai bagian dari sistem ekonomi dengan hubungan erat kepada
sistem politik. Konsekuensinya terlihat dalam berkurangnya sumber media yang independen, konsentrasi
kepada khalayak yang lebih besar, menghindari risiko, dan mengurangi penanaman modal pada tugas

media yang kurang menguntungkan (misalnya laporan investigasi dan pembuatan film dokumenter). Kita
juga menemukan pengabaian sektor khalayak potensial yang lebih kecil dan miskin, dan sering kali
terdapat media berita yang tidak seimbang.
Kekuatan utama dari pendekatan ini terletak pada kapasitasnya untuk membuat proposisi yang
dapat diuji secara empiris mengenai tujuan pasar walaupun jumlahnya sangat banyak dan rumit, sehingga
melakukan pengujian secara empiris tidaklah mudah. Meskipun pendekatan yang berpusat pada aktivitas
media sebagai sebuah proses ekonomi mengarah pada komoditas (produk media atau konten), terdapat
varian pendekatan ekonomi politik yang menyarankan bahwa produk utama media
adalah khalayak. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa mereka menyampaikan perhatian khalayak
kepada pengiklan dan membentuk
membentuk perilaku mereka dengan cara tertentu (Smythe, 1977). Apa yang dijual
oleh media komersial kepada klien mereka adalah kurang lebih jaminan dari jumlah konsumen potensial
yang banyak tergantung pada profil yang sesuai dengan pasar. Perspektif ini lebih sulit diterapkan kepada
iklan online, dan khususnya pada mesin pencari (search engine) sebagai kendaraan utama bagi periklanan
(Bermejo, 2009).
Saat ini, pendekatan ekonomi politik diterapkan pada kasus Internet. Fuchs (2009) berdasarkan ide
Smythe menyatakan bahwa kunci dari ekonomi Internet terletak pada komodifikasi pengguna yang
memiliki akses gratis yang menyampaikan target bagi pengiklan dan agen publikasi, seperti menyediakan
konten kepada penyedia jaringan dan pemilik situs tanpa biaya. Dalam kasus situs yang populer, seperti
MySpace dan YouTube perbedaannya adalah dengan komunikasi massa tidak begitu jelas.
Relevansi teori ekonomi politik telah sangat ditingkatkan dengan beberapa tren dalam bisnis dan
teknologi media (barangkali juga didorong oleh runtuhnya analisis Marx). Pertama, terdapat pertumbuhan
konsentrasi media (media concentration) di seluruh dunia dengan lebih banyak kekuatan kepemilikan yang
terkonsentrasi di segelintir tangan dan kecenderungan penggabungan antara industri perangkat keras dan

lunak (Murdock, 1990; McChesney, 2000; Wasko, 2004). Kedua, terdapat pertumbuhan ekonomi informasi
secara global (Melody, 1990; Sussman, 1997), melibatkan konvergensi yang semakin meningkat antara
telekomunikasi dan penyiaran. Ketiga, terdapat penurunan sektor publik media massa dan kontrol
telekomunikasi kepada publik secara langsung (terutama di Eropa bagian Barat), di bawah judul
‘deregulasi’, privatisasi’, atau ‘liberalisasi’ (McQuail dan Siune, 1998; van Cuilenburg dan McQuail, 2003).
Keempat, terdapat perkembangan masalah atas ketidaksetaraan

Teori
Teori ekonomi

• Kontrol
4.9 politik krit is: proposi si utama

ekonomi dan logika selalu menentukan.


• Struktur media selalu cenderung menuju monopoli.

Integrasi global kepemilikan media berkembang.
• Konten dan khalayak dijadikan komoditas (komodifikasi).
• Keragaman yang sesungguhnya menurun.
• Oposisi dan suara alternatif dipinggirkan.
• Kepentingan publik dalam komunikasi dikesampingkan demi kepentingan pribadi.
• Akses terhadap keuntungan komunikasi di
disebarkan
sebarkan secara tidak me
merata.
rata.
110 Teori

informasi. Istilah digital divide (jurang digital) merujuk pada ketidaksetaraan akses
dalam menggunakan fasilitas komunikasi canggih (Norris, 2002), tetapi juga terdapat
perbedaan dalam kualitas potensi penggunaan. Proposisi utama dari teori ekonomi

politik (lihat Kotak 4.9) tidak berubah sejak dulu, tetapi lingkup penerapannya menjadi
lebih luas (Mansell, 2004).

Teor
Teorii Media—Masya
Media—Masyarakat
rakat III:
III: Fungsi
Fung sional
onalism
ism e
Teori fungsionalis (functionalist theory) menjelaskan praktik sosial dan lembaga yang
berkaitan dengan kebutuhan masyarakat dan individu (Merton, 1957). Masyarakat
Masyarakat
dipandang sebagai sistem yang berjalan dari subsistem atau bagian yang saling
berhubungan,
berhubungan, masing-masing mem
memiliki
iliki kontribu
kontribusi
si yang penting bagi keberlanjutan
keberlanjutan dan
keteraturan. Media dapat dilihat sebagai satu bagian dari sistem ini. Kehidupan sosial
yang teratur membutuhkan pemeliharaan terus-menerus yang kurang lebih akurat,

konsisten, mendukung, dan gambaran utuh dari pekerjaan masyarakat, serta


lingkungan sosial. Hal ini dilakukan dengan merespons tuntutan individual dan
lembaga dengan cara yang konsisten, sehingga media mencapai keuntungan yang tidak
disengaja bagi masyarakat keseluruhan.
Teori ini menggambarkan media sebagai sesuatu yang berjalan dan mengoreksi
diri sendiri. Meskipun pembentukannya nonpolitis, teori ini cocok terhadap konsep
pluralis dan sukarela dari mekanisme fundamental kehidupan sosial dan memiliki bias
bahwa media sering kali dilihat sebagai alat memelihara
memelihara masyarakat
masyarakat daripada sebagai
sumber perubahan.
Walaupun fungsionalisme awalnya berasal dari sosiologi, pendekatan ini bertahan
kepada bentuk media baru (misalnya Luhmann, 2000) dan masih berperan besar dalam
memberikan kerangka dan menjawab pertanyaan penelitian mengenai media.

Pendekatan ini masih berguna dengan tujuan menggambarkan dan menawarkan bahasa
untuk membahas hubungan antara media massa dengan masyarakat dan memiliki
seperangkat konsep yang sulit digantikan. Terminologi ini memiliki keuntungan karena
dipahami secara luas oleh para komunikator massa dan khalayaknya.

Menentukan fungsi sosial media


Menurut Laswell (1948), fungsi utama dari komunikasi dalam masyarakat adalah
pengawasan terhadap lingkungan, hubungan dengan bagian masyarakat dalam
merespons lingkungan, dan penyiaran warisan budaya. Wright (1960) mengembangkan
skema dasar untuk menggambarkan banyak efek media dan menambahkan hiburan
sebagai fungsi media yang keempat. Hiburan mungkin merupakan bagian dari budaya
yang disiarkan, tetapi juga memiliki aspek lain, yaitu menyediakan penghargaan bagi
individu, relaksasi, dan mengurangi tekanan yang mempermudah seseorang untuk bertahan dari masalah
hidup di dunia nyata dan bagi masyarakat untuk menghindari perpecahan (Mendelsohn, 1966). Dengan

Teori Media dan Masyarakat 111

tambahan elemen kelima, yaitu mobilisasi— dirancang untuk mencerminkan penggunaan yang meluas
dari komunikasi massa kepada politik dan propaganda komersial—kita dapat menyebutkan seperangkat
ide berikut mengenai tugas (fungsi) media dalam masyarakat:

Informasi

• Menyediakan informasi mengenai peristiwa dan kondisi dalam masyarakat dan dunia.
• Menunjukkan adanya hubungan kekuatan.
• Memberikan sarana bagi inovasi, adaptasi, dan pertumbuhan.

Korelasi

• Menjelaskan, menafsirkan, dan memberikan komentar atas makna peristiwa dan informasi.
• Menyediakan dukungan untuk kekuasaan dan norma yang mapan.
• Sosialisasi.
• Mengatur aktivitas yang terpisah.
• Membangun konsensus.

Mengatur tatanan prioritas dan melambangkan status relatif.


Keberlanjutan

• Mengekspresikan budaya dominan dan memahami perkembangan kultur dan subkultur yang baru.
• Mendorong dan memelihara kesamaan nilai.

Hiburan

• Menyediakan kesenangan, pengalihan, dan sebagai alat relaksasi.


• Mengurangi tekanan sosial.

Mobilisasi

• Mengampanyekan tujuan sosial di ranah politik, perang, perkembangan ekonomi, pekerjaan, dan

terkadang agama.
Kita tidak dapat memberikan peringkat urutan bagi fungsi-fungsi di atas atau melabeli mana yang lebih
sering muncul atau terjadi. Hubungan antara fungsi (atau tujuan) dengan konten media tidaklah pasti
karena satu fungsi tumpang tindih dengan yang lain, dan konten yang sama dapat melayani fungsi yang
berbeda. Seperangkat pernyataan yang meru
merujuk
juk pada fungsi untuk masyaraka
masyarakatt dan kebutuhan untuk
membentuk kembali agar mempertimbangkan perspektif baik atas media itu sendiri (pandangan mereka
atas tugas mereka sendiri) ataupun pengguna individual dari media massa, seperti teori dan penelitian
‘uses and gratifications’. Fungsi media dapat merujuk baik lebih atau kurangnya pada tugas dari objektif
media (seperti berita atau editorial) maupun dari pengguna media (seperti mendapatkan informasi dan
hiburan).
Di antara ‘fungsi bagi masyarakat’ yang umum, sebagian besar persetujuan dicapai dalam ide bahwa
media merupakan kekuatan bagi integrasi sosial (telah dibahas sebelumnya). Studi konten media juga

sering menemukan bahwa media massa yang umum cenderung konformis dan mendukung, alih-alih
mengkritik nilai dominan. Dukungan ini berupa, menghindari kritik mendasar bagi lembaga utama, seperti
bisnis, sistem keadilan
keadilan,, dan politik demokrasi; memberikan akses yang berbeda kepada ‘kelas atas’; dan

112 Teori

secara simbolik memberikan penghargaan kepada mereka yang sukses menurut jalur kebaikan dan kerja
keras yang disetuju
disetujui,
i, sementara secara simbol
s imbolik
ik menghukum mereka y
yang
ang gagal atau menyimpang.
menyimpang. Dayan
dan Katz (1992) berpendapat bahwa peristiwa sosial yang besar yang digambarkan di televisi (upacara

kenegaraan, tayangan olahraga yang besar) sering kali menarik banyak penonton di seluruh dunia dan
membantu merekatkan ikatan sosial yang hilang. Salah satu efek dari apa yang disebut sebagai ‘peristiwa
media’ (media event) adalah untuk menggambarkan status seorang terkemuka dan isu di masyarakat. Hal
yang lain dalam hubungan sosial: ‘pada hampir seluruh peristiwa, kita melihat komunitas dan kelompok
muncul dari masyarakat yang cenderung terpecah belah’ (1992: 214).
Dalam observasi ini, tidak mengherankan bahwa penelitian efek gagal mendukung proposisi bahwa
media massa, atas perhatian mereka kepada kriminalitas, sensasi, kekerasan dan peristiwa menyimpang,
merupakan penyebab utama dari kriminalitas dan kekacauan sosial dan bahkan individual. Semakin
seseorang berpegang pada teori fungsionalis media, semakin kurang logis untuk mengharapkan efek
disintegrasi sosial. Meskipun demikian, pendekatan teoretis ini dapat diaplikasikan dalam kasus tertentu.
Semua sistem sosial berisiko gagal atau eror dan istilah ‘disfungsional’ digunakan untuk melabeli efek yang
sepertinya memiliki karakter negatif. Media yang memiliki tujuan yang kurang jelas terhadap masyarakat,
lebih rentan terhadap disfungsi daripada lembaga

4 Teori
Teori fungsionalis media:
media:
■ I w proposisi utama

• Media adalah lembaga dalam masyarakat.


• Mereka menjalankan tugas yang diperlukan dalam hal mengawasi, menata, dan menyatukan.
• Fungsinya dapat dilihat pada efek media.
• Manajemen tekanan.
• Ada pula efek berbahaya
berbahaya yang tidak diseng
disengaja
aja yang dikelompokkan seba
sebagai
gai disfungsi.
lainnya dan sulit dikoreksi. Bagaimanapun, apa yang fungsional dan tidak selalu dapat

diperdebatkan secara subjektif. Misalnya, kritik media terhadap penguasa menjalankan


peranan yang berguna sebagai anjing penjaga, tetapi dari sudut pandang lain mereka
merendahkan otoritas dan kesatuan nasional. Ini adalah kelemahan yang mendasar dari
fungsionalisme. Proposisi kunci dari teori ini dapat ditemukan di Kotak 4.10.

Teori Media—Masyarakat IV:


Konstr uksionisme
uksio nisme Sosial
Sosial
Konstruksionisme sosial (constructionism social) adalah istilah yang abstrak terhadap
sebuah kecenderungan yang luas dan berpengaruh dalam ilmu sosial. Dikenal mula-
mula terutama karena publikasi buku Berger dan Luckman yang berjudul The Social

Construction of Reality (1967). Bahkan dasar intelektualnya lebih dalam lagi, dari
interaksionisme simbolik milik Blumer (1969) dan fenomenologi dari sosiolog Alfred
Schutz (1972). Menurut teori ini, ide mengenai masyarakat sebagai sebuah realitas

Teori Media dan Masyarakat 113

objektif yang menekan individu dilawan dengan pandangan alternatif (yang lebih
liberal) bahwa sturktur, kekuatan, dan ide mengenai masyarakat dibentuk oleh manusia,
secara terus-menerus dibentuk dan diproduksi ulang dan juga terbuka untuk diubah
dan dikritik. Ada penekanan secara umum terhadap kemungkinan untuk tindakan dan
juga pilihan
pilihan dalam
dalam memahami
memahami real
realitas!
itas! Realita
Realitass sosial harus
harus dibuat
dibuat dan diberikan makna
makna
(ditafsirkan) oleh aktor manusia. Ide umum ini telah diformulasikan dalam berbagai
bentuk, menurut
menurut ide teoretis
t eoretis lainnya, dan mewakili perubahan
perubahan paradigma besar dalam
ilmu manusia pada akhir abad ke-20.
Mereka juga memiliki daya tarik tersendiri pada siswa komunikasi massa dan
berada di pusat pemikiran mengenai
mengenai proses pengaruh media yang menjadi bahan
perdebatan. Ide umumnya adalah bahwa media massa memengaruhi apa yang
dipercaya sebagian besar orang sebagai realitas merupakan hal yang kuno dan
ditempelkan dalam teori propaganda dan ideologi (misalnya peranan media dalam
memproduksi ‘kesadaran palsu’). Promosi yang tidak dipikirkan oleh media mengenai

nasionalisme, patriotisme, keseragaman sosial, dan sistem kepercayaan dapat


ditafsirkan sebagai contoh konstruksi sosial. Teori kritis lain berpendapat bahwa
kemungkinan ideologi semacam itu dapat dilawan, menekankan pada kemungkinan
untuk menafsirkan ulang pesan hegemoni. Meskipun demikian, penekanan dalam teori
kritis pada media sebagai produsen sangat efektif dari pandangan realitas yang selektif
dan bias.
Terlepas dari pertanyaan akan ideologi, banyak perhatian kepada konstruksi sosial
yang bekerja dalam hubungan dengan media massa berita, hiburan, dan budaya pop,
serta dalam pembentukan opini publik. Dalam hal berita, kurang lebih terdapat
kesepahaman antara ilmuwan media bahwa gambaran ‘realitas’ yang diberikan di berita
adalah konstruksi selektif yang dibuat dari bagian-bagian informasi yang nyata dan
pengamatan yang
114 Teori

disatukan dan diberikan makna melalui kerangka, sudut pandang, atau perspektif tertentu.
Persyaratan genre berita dan rutinitas pengolahan berita juga dibuat. Konstruksi sosial merujuk
pada proses di mana peristiwa, orang, nilai, dan ide pertama-tama dibentuk atau ditafsirkan
dengan cara tertentu dan prioritas, terutama oleh media massa, membawa pada konstruksi
(pribadi) atas gambaran besar realitas. Di sini, ide ‘framing’ dan ‘skemata’ {schemata)
memainkan peranannya. Proposisi inti disampaikan pada Kotak 4.11.

4.11 Konstruksionisme sosial:


proposisi utama

• Masyarakat adalah realitas yang dikonstruksikan alih-alih tetap.


• Media menyediakan bahan untuk produksi realitas tersebut.
• Makna adalah apa yang ditawarkan oleh media, tetapi dapat dinegosiasikan atau

ditolak.
• Media secara selektif mereproduksi makna tertentu.
• Media tidak dapat memberikan penilaian objektif terhadap realitas sosial (semua
fakta merupakan hasil penafsiran).

Teorii Media—Masya
Teor Media—Masyarakat
rakat V:
Determinisme Teknologi Komunikasi
Masih terdapat tradisi yang aktif
akt if dalam mencari hubungan antara teknologi komun
komunikasi
ikasi
dominan yang merupakan ciri utama dan sudah tua dari masyarakat daripada semua
tema yang digambarkan sebelumnya. Menamakan pemikiran ini sebagai ‘determinis’

tidak membenarkan banyaknya perbedaan dan perselisihan, tetapi terdapat elemen


bersama, yaitu ‘media-sentris’.
bersama, ‘media-sentris’. Terdapat
Terdapat juga kecenderungan
kecenderungan untu
untuk
k berkonsentrasi pada
potensi (atau bias terhadap) perubahan sosial dari teknologi komunikasi tertentu dan

Teori Media dan Masyarakat 115

untuk menomorduakan variabel lain. Jika tidak, akan ada kesamaan di antara teori-teori
tersebut.
Sejarah teknologi komunikasi manapun bersaksi pada percepatan penemuan dan
materi serta dampak lainnya, dan beberapa ahli teori mencoba untuk mengidentifikasi
fase penting ini. Rogers (1986) misalnya, menemukan perubahan besar pada peneman
tulisan yang memulainya percetakan pada abad ke-15, permulaan era telekomunikasi
pada pertengahan abad ke-19, dan era interaktif pada tahun 1946 ketika komputer
ditemukan. Schement dan Curtis (1995) memberikan kita serangkaian waktu yang
mendetail, dimulai dari masa pra-sejarah hingga modern, dari penemuan teknologi
komunikasi yang dikelompokkan berdasarkan pembagian ‘konseptual/institusional’
116 Teori

(seperti tulisan), atau pengolahan dan penyebaran (seperti komputer dan satelit). Sejarah
menunjukkan beberapa kecenderungan, terutama pergeseran dalam hal lebih cepat, lebih tersebar,
jangkauan
jangkauan yang lebih luas, dan fleksibilitas yang lebih besar. Mereka mendasari
mendasari kapasitas
kapasitas komun
komunikasi
ikasi
untuk melewati batasan ruang dan waktu. Masalah ini dibahas lebih detail pada Bab 5 dengan rujukan
kepada faktor budaya dan sosial yang membentuk evolusi teknologi media.

Mazhab Toronto
Ahli teori pertama yang penting dalam tradisi ini adalah ahli sejarah ekonomi dari Kanada, H.M. Innis
yang menemukan ‘Mazhab Toronto’ (Toronto School) mengenai pemikiran media pada periode setelah
s etelah
Perang Dunia II. Innis (1950,1951) memberikan karekteristik dari penerus budaya masa lalu kepada
model komunikasi yang dominan, masing-masing memiliki bias dalam kaitannya dengan bentuk
masyarakat. Misalnya, ia menyebutkan perubahan dari batu ke lembaran papirus yang menyebabkan
perubahan kekuatan dari kerajaan kepada pemuka agama. Pada masa Yunani kuno, tradisi oral dan

huruf yang fleksibel mendukung penemuan dan keberagaman, dan mencegah munculnya pemuka
agama yang memonopoli pengetahuan. Pondasi dan ketahanan Kekaisaran Roma dibantu oleh
budaya menulis dan mendokumentasikan
mendokumentasikan Iembaga birokratis legal yang mampu memerintah
memerintah hingga
provinsi yang jauh. Percetakan, pada gilirannya menantang monopoli birokrasi penguasa dan
mendorong individualisme dan nasionalisme.
Terdapat dua prinsip utama dalam pemikiran Innis. Prinsip pertama, yaitu dalam lingkup
ekonomi, komunikasi mendorong monopoli produksi dan distribusi pengetahuan oleh kelompok atau
kelas tertentu. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan yang mendorong perubahan atau membawa
pada munculnya kompetisi atas bentuk komunikasi yang lain yang kemudian mendorong
keseimbangan kembali. Hal ini juga dapat berarti bahwa teknologi komunikasi baru menyisikan
kekuatan sosial yang lama. Prinsip kedua, dimensi paling penting dari kekuasaan adalah ruang dan
waktu, dan beberapa alat komunikasi lebih cocok daripada yang lainnya (inilah yang disebut bias

komunikasi), sehingga kekaisaran dapat bertahan seiring waktu (misalnya Mesir Kuno) atau dapat
meluas (misalnya Roma), tergantung pada bentuk komunikasi yang dominan.
McLuhan (1962) mengembangkan teori ini dan menawarkan pandangan baru ke dalam
konsekuensi dari munculnya media cetak (lihat juga Eisenstein, 1978) walaupun tujuan utamanya
adalah menjelaskan signifikansi media elektronik bagi pengalaman manusia tidak begitu tercapai
(McLuhan
(McLuhan 1964) (lihat juga Bab 5). Mengenai percetakan, McLuhan menulis: perpanjangan tipografik
yang dibawa manusia kepada nasionalisme, industrialisme dan pasar massa, serta literasi dan
pendidikan universal.’
Gouldner (1976) menafsirkan perubahan pokok dalam sejarah politik modern yang berkaitan
dengan teknologi komunikasi. Ia menghubungkan munculnya ‘ideologi’
Teori Media dan Masyarakat 117

yang didefinisikan sebagai bentuk khusus dari wacana rasional, dengan percetakan dan surat kabar,
dengan maksud (pada abad ke-18 dan abad ke-19) bahwa hal ini merangsang suplai penafsiran dan
ideologi (ide). Ia kemudian menggambarkan media radio, film, dan televisi sebagai penyebab menurunnya
ideologi karena perubahan dari ‘simbolisme konseptual kepada ikon, menampilkan perbedaan antara
‘aparat budaya’ (para cendekiawan) yang memproduksi ideologi, dan ‘industri yang sadar’ yang
mengontrol publik massa yang baru. Hal ini mengantisipasi adanya ‘penurunan ideologi’ sebagai hasil dari
jaringan baru informasi berbasis komputer.
komputer. Proposisi
Proposisi utama dari determinisme teknologi media
sebagaimana yang disebutkan pada kotak 4.12.

► 4.12 Determinisme
Determinisme teknologi media


media:: pr oposisi utama

Teknologi komunikasi sangat penting bagi masyarakat.


m asyarakat.
• Setiap teknologi memiliki bias terhadap bentuk, konten, dan

penggunaan komunikasi tertentu.


• Urutan penemuan dan penerapan teknologi komunikasi memengaruhi arah dan k ecepatan
perubahan sosial.
• Revolusi komunikasi mendorong revolusi sosial.

Menjauh dari determinisme media


Saat ini, sebagian besar pengamat berhati-hati pada penjelasan faktor tunggal dari
perubahan sosial dan tidak terlalu percaya pada efek mekanistik yang langsung dari
teknologi baru. Efek hanya terjadi jika penemuan muncul, berkembang, dan diterapkan
dan biasanya untuk penggunaan umum pada mulanya yang kemudian ditambah dan

terdapat perubahan penggunaan menurut kapasitas teknologi dan kebutuhan


masyarakat. Perkembangan selalu dibentuk oleh konteks budaya dan sosial (Lehmann-
Wilzig dan Cohen-Avigdor, 2004; Stober, 2004). Tidak lagi masuk akal untuk berpikir
bahwa ada media dominan
dominan yang tunggal dengan perlengkapan yang unik. Hal ini
mungkin dibenarkan dalam kasus buku atau dalam beberapa hal, yaitu telegraf dan
telepon. Saat ini, berbagai jenis media baru saling melengkapi dengan media lama yang
tidak hilang juga. Pada waktu yang bersamaan, argumen bahwa media semakin bersatu
dan terhubung untuk membentuk jaringan yang utuh, memiliki kekuatan dan dampak
yang besar (Neuman, 1991). Barangkali juga benar bahwa bentuk media baru dapat
memiliki bias sosial atau budaya tertentu (lihat Bab 6) yang membuat efek tertentu
semakin jelas. Kemungkinan ini akan dibahas pada bagian selanjutnya.
118 Teori

Teori Media—Masya
Media—Masyarakat
rakat VI: Masyarakat
Masyarakat Inform
Info rmasi
asi
Asumsi bahwa perubahan sosial revolusioner sebagai hasil dari teknologi komunikasi
massa yang baru telah ada untuk beberapa lama, walaupun hal tersebut bukannya tidak
mengundang kritik (misalnya Leiss, 1989; Ferguson, 1992; Webster, 1995,2 002). Ferguson
(1986) memperlakukan ‘determinisme teknologi yang baru ini sebagai sebuah sistem
keyakinan (belief system) yang cenderung bekerja sebagai sebuah ramalan yang terpenuhi
sendiri (self-fulfillingprophecy). Istilah revolusi komunikasi, bersamaan dengan
‘masyarakat informasi’ (information society), saat ini diterima sebagai penggambaran
objektif atas waktu dan masyarakat yang sekarang muncul.
Istilah ‘masyarakat informasi’ berasal dari Jepang pada tahun 1960-an (Ito, 1981)
walaupun akar sejarahnya dapat dilacak hingga konsep masyarakat ‘pasca-industrial’
yang disampaikan oleh Daniel Bell (1973). Penelitian Bell merupakan tradisi yang
menghubungkan jenis masyarakat dengan tingkatan kesuksesan ekonomi dan
perkembangan sosial. Ciri utama dari masyarakat pasca-industrial ditemukan pada
kemunculan dalam bidang layanan ekonomi yang relatif terhadap industri atau
pertanian dan karenanya juga pada sebagian besar pekerjaan berbasis informasi.
Pengetahuan teoretis (ilmiah, keahlian, berdasarkan data) menjadi faktor utama dalam
ekonomi, melampaui pabrik dan tanah yang menjadi dasar kekayaan. Secara
berhubungan,
berhubungan, ‘kelas baru’
baru’ bermun
bermunculan
culan berdasarkan kepemilikan pengetahuan
pengetahuan dan
kepemilikan keahlian pribadi.
pribadi. S
Sebagian
ebagian besar tren pasca-ind
pasca-industrial
ustrial yang diamati terlihat
semakin cepat dalam seperempat terakhir abad ke-20. Produksi dan distribusi dalam
segala bentuk informasi, terutama yang menggunakan teknologi berbasis-komputer,
telah menjadi sektor besar dalam ekonomi.
Terlepas dari bukti yang menggunung terhadap signifikansi informasi dalam
ekonomi dan masyarakat kontemporer, tidak ada persetujuan atau kejelasan mengenai
konsep ‘masyarakat informasi’. Melody (1990; 26-7) menggambarkan masyarakat
informasi sebagai mereka yang telah menjadi ‘tergantung pada jaringan informasi
elektronik yang rumit serta aktivitas komunikasi’. Van Cuilenburg (1987) menaruh ciri
utama, yaitu peningkatan yang pesat dalam produksi dan arus informasi, sebagian
besar karena dampak dari berkurangnya
berkurangnya ongkos karena sistem kompu
komputerisasi.
terisasi.
Bagaimanapun, ia juga memperhatikan kapasitas relatif kita untuk mengolah,
menggunakan, atau bahkan menerima lebih banyak dari suplai informasi yang
meningkat. Sejak saat itu, ketidakseimbangan ini telah menjadi semakin besar.
Pengurangan ongkos penyiaran berlanjut untuk mendorong proses perkembangan
dengan cepat. Terdapat
Terdapat penurunan sensitivitas terhadap jarak, seperti ongkos, dan juga
peningkatan kecepatan, volume, dan interaktivitas komunikasi.
Meskipun kepentingan tren sedang berjalan, tetapi belum mapan karena belum
terdapat perubahan revolusioner dalam masyarakat, sebagaimana yang berlawanan

dengan langkah selanjutnya dalam perkembangan kapitalisme (Schement dan Curtis,


1995: 26). Apa yang hilang adalah bukti perubahan dalam hubungan sosial (Webster,
1995). Beberapa komentator menekankan pada peningkatan ‘interkoneksi’ masyarakat

Teori Media dan Masyarakat 119

sebagai hasil dari tren masyarakat informasi’. Van Dijk (1999) menyatakan bahwa masyarakat modern
sedang dalam proses menjadi masyarakat berjaringan: ‘sebuah bentuk masyarakat yang secara meningkat
mengatur hubungannya dalam jaringan media yang berangsur-angsur menggantikan atau melengkapi

jaringan sosial melalu


melaluii hubungan secara langsung
langsung (face-to-face)’. Struktur jaringan masyarakat kontras
dengan masyarakat masa yang hierarkis dan memiliki inti pusat dan sisi luar atau yang secara umum
mengikuti model organisasi birokratis tradisional yang merupakan tipikal masyarakat industri pada abad
ke-19 dan abad ke-20. Ini memperlihatkan tumpang tindihnya lingkaran komunikasi yang dapat memiliki
jarak vertikal maupun
maupun h
horizontal.
orizontal. Jaringan semacam itu dapat membatasi
membatasi sekaligus
sekaligus juga menghubungkan.
menghubungkan.
Media massa tradisional menampilkan struktur serupa dan paling utuh.
Ide akan kesalingterhubungan berhubungan dengan aspek masyarakat kontemporeryang menarik
banyak komentar, dan merupakan tingkatan ketergantungan yang tinggi terhadap satu sama lain. Hal ini
bukanlah ide yang baru karena
k arena merupakan dasar dari teori
t eori sosial
s osial lama milik Durkheim
Durkheim yang berkaitan
dengan pembagian kerja. Akan tetapi, terdapat perubahan kualitatif yang diperdebatkan pada zaman ini,
sebagai hasil dari pergerakan terus-menerus dari teknologi informasi ke dalam setiap aspek kehidupan,
terutama ketika mesin canggih menggantikan agen manusia. Satu aspek yang ditekankan oleh Gidden

(1991) adalah derajat di mana kita menaruh kepercayaan kepada sistem canggih untuk memelihara kondisi
normal kehidupan. Kita juga hidup dengan kesadaran yang semakin meningkat akan adanya berbagai
risiko (kesehatan, lingkungan, ekonomi, militer) yang diambil dari peredaran informasi kepada publik dan
juga diatur oleh referensi terhadap informasi. Giddens juga merujuk
merujuk pada dunia global sebagai s esuatu
esuatu
yang ‘di luar kontrol—dunia yang melarikan diri’ (1999: 2). Sebagai tambahan, terlihat bahwa ‘budaya’
masyarakat kontemporer dalam pengejaran mental dan simbolik secara tradisional dan kebiasaan untuk
melewatkan waktu luang dari kewajiban, secara luas didominasi oleh layanan informasi yang sangat luas
dari media massa.
Dimensi yang diketahui, meskipun tidak terlihat dari konsep ‘masyarakat informasi’ adalah fakta
bahwa hal
hal ini telah membentu
membentuk
k bagian dari kesadaran-diri kontemporer,
kontemporer, dan dalam
dalam beberapa
beberapa versi hampir
hampir
merupakan pandangan hidup yang baru. Misalnya, de Mue (1999) membandingkan perubahan yang
terjadi pada perkembangan mekanis pada abad ke-17 dan abad ke-18. Ia menulis:

Sementara pandangan dunia mekanis dicirikan oleh asumsi akan kemampuannya untuk dianalisis, keteraturan, dan
pengendalian pandangan dunia informasionis dicirikan oleh asumsi akan kemampuan menggabungkan berbagai hal,
aplikasi dengan mesin, dan manipulasi... secara mendasar hal tersebut mengubah pengalaman manusia serta evaluasi dan
asosiasi dengan realitas.

Bagi yang lain, informasi melambangkan pandangan baru akan perubahan dan masa depan dengan
cakrawala tidak terbatas, kurang lebih dalam model yang sudah kita miliki. Media massa mapan
memainkan peranan penting dalam memublikasikan pandangan ‘eforia’ dan utopia terhadap potensi
media baru (lihat Rossler, 2001).
Perspektif ini membawa beberapa ideologi, cenderung mengesahkan beberapa tren pada waktunya
(misalnya keyakinan terhadap ilmu dan teknologi sebagai solusi masalah) dan untuk menghapus yang
lain, terutama politik ideologi mengenai kelas dan ketidaksetaraan). Dengan menekankan pada alat dan

proses komunikasi serta dimensi kuantitatifdari perubahan, hubungan dengan posmtodernisme


(postmod
postmodernism
ernism) dapat terjadi. Dengan ini semakin jelas bahwa penafsiran yang beragam menjadi mungkin.
Meskipun adanya pemahaman yang tersebar, konsep masyarakat informasi didominasi oleh
pemahaman ekonomi, sosiologi, geografi, dan teknologi. Dimensi budaya juga relatif diabaikan, terlepas
dari pengakuan atas volume produksi informasi dan simbolik yang besar, dan kecuali kita melihat
pemikiran posmtodernisme untuk mengisi celah ini. Munculnya ‘masyarakat informasi’ yang mencakup
semua aspek kehidupan sehari-hari mungkin lebih mudah diperlihatkan daripada realitas dari masyarakat
informasi.
Jelas bahwa ekonomi informasi’ lebih besar daripada media massa itu sendiri, dan teknolo
teknologi
gi
informasi yang primer yang terlibat bukanlah berupa produksi dan distribusi materi cetak bagi publik
secara umum atau penyebaran massal oleh penyiaran atau rekaman elektronik. Dapat diperdebatkan
bahwa lahirnya ‘zaman informasi’ walaupun
walaupun dilamban
dilambangkan
gkan oleh komunikasi
komunikasi massa, menand
menandai
ai jalur
sejarah yang baru dan terpisah. Tentunya, media massa telah dibangun sebelum revolusi informasi dan
dapat dianggap sebagai bagian dari zaman industri daripada penerusnya. Terdapat suara awal yang
memperkirakan kematian media massa karena munculnya teknologi informasi baru yang dikatakan akan
membuat mereka usang (misalnya Maisel, 1973).
Konsep masyarakat informasi tidak diterima secara luas dalam membantu analisis, dengan alasan
yang telah dijelaskan. Masalah intinya adalah kurangnya dimensi politik yang terbuka karena hal tersebut
sepertinya tidak memiliki akar pada tujuan politik,

Teori
Teori masyarakat informasi: pr oposisi utama

• Pekerjaan informasi menggantikan pekerjaan industri.


• Produksi dan arus informasi menjadi semakin cepat.
• Masyarakat dicirikan oleh kesalingterhubungan yang meningkat.
• Aktivitas yang beragam
beragam semakin menyatu dan konve
konvergen.
rgen.
• Ada peningkatan
peningkatan ketergantungan terh
terhadap
adap sistem yang kompleks.
• Tren globalisasi semakin cepat.
• Batasan waktu dan ruang semakin berkurang.
• Konsekuensi menjadi terbuka terhadap penafsiran alternatif, baik positif maupun negatif.
• Terdapat peningkatan risiko kehilangan kontrol.
• Teori masyarakat massa adalah ideologi lebih dari sekadar teori.
Teori Media dan Masyarakat 121

hanya sebagai sebuah logika teknokratisme sendiri yang tidak dapat dihindari (van Dijk,
1999). Dengan hal seperti ini, mungkin mereka menyesuaikan semangat yang paling
penting pada masanya dalam lingkaran intelektual dan populer di ‘Barat’. Cukup jelas

bahwa dalam beberapa konteks, ide masyaraka


masyarakatt informasi telah digunakan untu
untukk
kebijakan publik dengan tujuan teknokratik bagi negara bangsa atau wilayah (Mattelart,
2003). Konsensus umum mengenai pentingnya perubahan yang terjadi pada teknologi
komunikasi tidak dibarengi dengan persetujuan mengenai dampak sosialnya. Hassan
(2008) percaya bahwa ide masyarakat informasi intinya mendukung ideologi ekonomi
neo-liberal yang mengambil keuntungan dari kesalingterhubungan di tingkat global.
Beberapa isu ini akan kembali dibahas pada Bab 6 yang berhubungan dengan
perkembangan media. Bagaimanapun, poin teoretis tertentu dirangkum pada Kotak
4.13.

Kesimpulan
Perspektif teoretis mengenai hubungan antara media dan masyarakat sangat beragam
dalam berbagai aspek, menekankan penyebab yang berbeda dan jenis perubahan dan
menunjuk pada berbagai jalur yang berbeda di masa depan. Mereka semua tidak dapat
didamaikan karena melambangkan posisi filosofis alternatif dan pilihan metodologis
yang saling bertentangan. Meskipun demikian, kita dapat memaknai mereka dalam
artian memahami dimensi utama pendekatan masing-masingyang menawarkan pilihan
perspektif dan metode. Pertama, terdapat perbedaan yang kontras antara pandangan
yang kritis dengan yang lebih positif terhadap perkembangan isu. Walaupun penelitian
ilmiah mencari tingkatan objektivitas (objectivity) dan netralitas, hal ini tidak mencegah
salah satu untuk menyetujui atau menolak kecenderungan yang dimaksudkan oleh teori
tersebut. Dalam Marxisme, teori ekonomi politik dan teori masyarakat massa memiliki

komponen kritik di dalamnya. Secara kontras, fungsionalisme mengambil pandangan


yang positif sejauh menyangkut kinerja media. Teori masyarakat informasi terbuka
terhadap pandangan baik kritis maupun positif, sementara konstruksionisme sosial dan
determinisme teknologi bersifat terbuka.
Kedua, terdapat perbedaan antara pandangan yang sosio-sentris dengan media-
sentris. Kita dapat melihat media baik tergantung pada masyarakat dan sebagai
cerminannya, atau sebagai pembentuk dan pendorong utama. Teori media-sentris yang
utama adalah yang berkaitan dengan teknologi komunikasi dan masyarakat informasi.
Terdapat beberapa variabel Iain yang dapat dipertimbangkan, terutama yang berkaitan
dengan pendekatan dan metode penelitian. Metode humanistik, kualitatif, dan
spekulatif dapat dipilih, alih-alih metode penelitian ilmiah tradisional yang objektif
(lihat Rosengren, 1983).

Pembahasan ini tidak lengkap tanpa beberapa teori yang berkaitan dengan
budaya yang akan dibahas pada Bab 5, tetapi memberikan
memberikan beberapa ide mengenai
mengenai
struktur umum dari pemikiran mengenai media massa dan masyarakat.

122 Teori

Bacaan Selanjutnya
Curran, J. dan Gurevitch, M. (2005) Mass Media and Society, ed. 4. London: Hodder

Arnold.
Sebuah buku yang dapat diandalkan, terdiri atas dua puluh bab yang secara berkala
diperbarui mengenai beragam aspek hubungan media-masyarakat. Kuat secara
teoretis dan memiliki pendekatan yang kritis. Bab-bab inti adalah dari Livingstone,
Murdock dan Golding, Curran, Hesmondhalgh dan Garnham.

Hassan, R. (2008) The Information Society. Cambridge: Polity Press. Penelitian yang
mendalam ini menyelamatkan konsep-konsep yang membosankan dan selalu
s elalu
diserang serta mengembalikan nilainya sebagai alat untuk memahami efek
digitalisasi yang berlangsung.

Bacaan Daring
Comer, J. (2007) ‘Media, power, and culture’, dalam E. Devereux (ed.), Media Studies,
him. 211-230. London: Sage.
Hermes, J. (2007) ‘Media representation of social structure: gender’, dalam E. Devereux
(ed.), Media Studies, him. 191-210. London: Sage.
Klaehn, J. (2002) ‘A critical review and assessment of Herman and Chomsky’s
propaganda model’, European Journal of Communication, 17 (2): 147-183.
Webster, F. (2002) The information society revisited’, dalam L. Lievrouw dan S.
Livingstone (ed.), The Handbook of New Media, him. 443-457. London: Sage.
Teori Media dan Masyarakat 119
5
Komunikasi Massa dan
Budaya
Komunikasi dan budaya 122 Permulaan: Mazhab Frankfurt
dan teori budaya kritis 125
Rehabilitasi nama popu ler 128 Gender
Gender dan m edia massa 131
Komersialisasi 135 Teknologi komunikasi dan budaya 137

Media
Media massa dan budaya post modern 14
141
1
Kesimpulan 144
Bab ini membahas lebih dalam mengenai dimensi ‘budaya dari teori yang telah dibahas
pada Bab 4 dan memperkenalkan beberapa perspektif tambahan. Kerangka umum dari
‘mediasi’ tetap relevan, tetapi ada pergeseran fokus mengenai apa yang dimediasikan
(makna tertentu) dan proses di mana makna diberikan dan diterima (terkadang disebut
sebagai ‘signifikasi’). Sejakawal penelitian komunikasi massa, perspektif‘kulturalis’
yang berbeda mengenai media massa telah dibentuk, terutama di bawah pengaruh
kajian humaniora (sastra, linguistik, filsafat) yang dibedakan dari ilmu sosial yang
menekankan pada ilmu komunikasi ‘umum’. Dalam beberapa hal, dua tradisi tersebut
bergabung,
bergabung, walaupun
walaupun masih ada perbedaan substansi dala
dalam
m pemikiran
pemikiran dan metode.
Buku ini dan juga bab ini, utamanya ditulis dari perspektif ilmu sosial, tetapi juga
bertujuan
bertujuan untuk mendapatkan keuntungan
keuntungan dari pemah
pemahaman
aman dan ide pendekatan
‘kulturalis’.
Pendekatan kulturalis mengambil semua aspek produksi, bentuk, dan penerimaan
teks dan wacana yang mengelilingi mereka. Sementara media massa tidak dapat
dihindari lagi berada dalam jangkauan kajian budaya, pendekatan ini memiliki referensi
yang lebih luas, dan hanya ada sedikit teori dan masalah yang tumpang tindih.
Sebagaimanaa yang akan diperlihatkan, budaya tidak hanya dapat didefinisikan melalu
Sebagaiman melaluii
Komunikasi Massa dan Budaya 127

teks, tetapi berkaitan juga dengan pola kehidupan dan pemikiran, demikian juga
dengan seluruh aktivitas manusia. Singkatnya, teori ‘media-budaya’ ( media-cultural
theory) berkaitan tidak hanya dengan konten media massa, tetapi juga dengan konteks

produksi dan penerimaan dan semua praktik yang melingkupinya.

Komunikasi dan Budaya


James Carey (1975) mengaju
mengajukan
kan alternatif terhadap pandan
pandangan
gan dominan atas
komunikasi sebagai penyiaran dalam bentuk model ‘ritual’, dan ia juga mendukung
pendekatan komunikasi dan masyarakat di mana budaya diberikan tempat yang lebih
utama. ‘Kehidupan sosial lebih dari sekadar kekuasaan dan perdagangan... termasuk
juga di dalamnya berbagi pengalaman estetika, ide agama, nilai pribadi, dan perasaan,
serta pendapat intelektual—sebuah tatanan ritual’ (Carey, 1988: 34). Oleh karena itu, ia
mendefinisikan komunikasi sebagai ‘sebuah proses simbolik di mana realitas
diproduksi, dipelihara, diperbaiki, dan diubah’ (1988: 23).
Untuk menelaah lebih lanjut pertanyaan mengenai hubungan antara komunikasi
massa dan budaya dalam hal ini, kita perlu lebih tepat mengenai apa yang menjadi objek
studi itu sendiri. Hal ini menjadi sulit, karena banyak pengertian ‘budaya’ itu sendiri
yang digunakan yang mencerminkan kerumitan dari fenomena ini. Budaya
didefinisikan oleh Carey sebagai proses, tetapi dapat juga merujuk pada atribut bersama
sekelompok manusia (seperti lingkungan fisik, alat-alat, agama, kebiasaan dan praktik,
atau cara hidup). Budaya juga merujuk pada teks dan artefak simbolik (misalnya karya
seni dan arsitektur) yang dilambangkan dengan makna tertentu dan untuk orang-orang
dengan ciri-ciri budaya tertentu pula.

Menuju pendefinisian budaya


Tidak mungkin memberikan definisi yang pasti kepada budaya. Karena, istilah ini mencakup begitu
banyak hal dan penggunannya sangat beragam.
beragam. Akan tetapi, jika kita menyarikan poin inti dari
berbagai penggunaan yang berbeda ini, terasa bahwa budaya harus
harus memiliki semua karekteristik
berikut, yaitu sesuatu yang sifatnya kolektif dan dibagi bersama orang lain (tidak ada budaya
individual murni). Budaya harus memiliki bentuk ekspresi simbolik, baik disengaja maupun tidak.
Budaya juga memiliki pola, tatanan, atau kebiasaan, dan karenanya memiliki dimensi evaluatif
(meskipun hanya tingkat kesamaan dengan pola budaya yang telah ditentukan). Terdapat
kesinambungan
kesinambungan yang di
dinamis
namis dari waktu ke waktu (budaya hidup dan berubah, memiliki sejarah, dan
berpotensi
berpotensi memiliki masa depan), Barangkali karakter paling umum dan penting dari budaya adalah
komunikasi karena budaya tidak dapat berkembang, bertahan, meluas, dan sukses tanpa komunikasi.
Akhirnya, untuk mempelajari budaya kita perlu untuk dapat mengenali dan menemukannya, dan
pada intinya terdapat tiga tempat untuk mencarinya: di dalam masyarakat, dalam benda-benda (teks,

artefak), dan dalam praktik manusia (perilaku sosial yang terpola). Ciri-ciri utama ini dirangkum
dalam Kotak 5.1.
Terdapat beberapa efek yang nyata untuk studi komunikasi massa karena segala aspek produksi

128 Teori

dan penggunaan media massa memiliki dimensi budaya. Kita dapat befokus pada orang sebagai
produsen teks media yang bermakna budaya, atau sebagai pembaca teks yang mengambil makna
budaya dengan dampak
dampak bagi keseluruhan kehidupan sosial.
sosial. Kita dapat berfokus pada teks dan artefak
itu sendiri (film, buku, surat kabar, artikel) dan kepada bentuk simbolik serta makna yang mungkin
ada. Kita dapat mempelajari praktik pembuat produk media atau fokus pada pengguna media.
Komposisi dan perilaku khalayak media (praktik di sekeliling pilihan dan penggunaan media) selalu
terpola secara budaya, sebelum, sesudah, dan selama pengalaman dengan media.

Ciri-ciri utama kebudayaan

• Dibentuk dan dipraktikkan secara kolektif.


• Terbuka kepada ekspresi simbolik.

Tertata dan dinilai secara berbeda-beda.
• Memiliki pola yang sistematis.
• Dinamis dan berubah-ubah.
• Memiliki batas keruangan.
• Dikomunikasikan dari waktu ke waktu dan di mana-mana.

Tema-tema teori media-kebudayaan


Wilayah yang luas ini dapat dipersempit dengan mengidentifikasi pertanyaan dan isu
teoretis yang utama, sebagaimana yang disampaikan berikut ini.

1. Kualitas dari budaya massa. Pertanyaan ‘budaya’ yang pertama dalam agenda teori media adalah
mengenai kualitas dari budaya massa baru yang dimungkinkan oleh komunikasi massa. Topik ini
telah dibahas, dan sebagaimana yang kita lihat, kecenderungan awal adalah untuk melihat
budaya massa dengan cara negatif. Hal ini selalu melibatkan masyarakat sebagai massa—ben
massa—bentuk
tuk
baru kolektivitas
kolektivitas sosial
sosial yang sebaliknya
sebaliknya sering
sering kali dianggap
dianggap tidak memiliki
memiliki budaya
budaya sendiri.
2. Karakter dasar dari budaya populer. Munculnya ‘budaya media’ yang berbeda juga merangsang
pemikiran kembali mengenai sifat alamiah ‘budaya populer’ yang saat ini dilihat tidak hanya
sebagai alternatif murahan atau diproduksi massal untuk konsumsi massal, tetapi sebagai cabang
baru kreativitas dan kesenangan
kesenangan budaya yang vital (Schudson, 1991; McGuigan
McGuigan,, 1992). Isu
mengenai budaya massa juga merangsang munculnya teori budaya kritis yang di antara yang lain
telah diperluas untuk membahas isu gender dan subkultur dalam kaitannya dengan komunikasi
massa. Hal yang melekat dalam debat mengenai budaya massa adalah pertanyaan abadi
mengenai kualitas dan bagaimana hal tersebut dapat dikenali atau didefinisikan.
3. Dampak teknologi. Tema pokok ketiga yang berhubungan dengan konsekuensi potensial dari
teknologi baru itu sendiri terhadap pengalaman makna pada dunia modern yang muncul.
Teknologi komunikasi memiliki banyak implikasi terhadap cara kita mengetahui dunia sosial kita
sendiri dan posisi kita di dalamnya. Sebelum penemuan media audiovisual, pengalaman budaya
diantarai oleh kontak langsung, upacara keagamaan, penampilan publik, atau teks cetak (bagi

Komunikasi Massa dan Budaya 129

minoritas). Pengalaman budaya yang termediasi dapat diakses untuk hampir semua hal dalam
berbagai bentuk
bentuk yang dapa
dapatt mengubah
mengubah makna dan bagiannya yang penting.
4. Ekonomi politik dan budaya. Terdapat aspek ekonomi politik dari pengaturan produksi budaya

yang diwakili oleh industri media massa. Kita mengenali media sebagai ‘industri dengan
kesadaran, disetir oleh logika ekonomi, sebagaimana juga oleh perubahan budaya. Aspek
pentingnya adalah ‘komodifikasi’ budaya dalam bentuk perangkat lunak’ yang diproduksi oleh
dan untuk ‘perangkat keras’ komunikasi yang keduanya dijual dan dipertukarkan dalam pasar
yang luas.
5. Globalisasi. Bersamaan dengan perubahan teknologi dan ‘marketisasi’ (marketization) muncul pula
peningkatan yang stabil dalam produksi dan distribusi budaya secara internasional (yang disebut
juga sebagai ‘Amerikanisasi’).
‘Amerikanisasi’). Tema globalisa
globalisasi
si mencakup
mencakup serangkaian perdebatan mengenai
ongkos dan keuntungan, atau hanya dampak bagi konten dan bentuk budaya yang telah ada.
Apakah globalisasi membawa homogenisasi, diversifikasi, atau hibridisasi? Dapatkah bentuk-
bentuk budaya
budaya minoritas
minoritas bertaha
bertahan
n atau yang
yang baru akan
akan terbentuk?
130 Teori

6. Identitas. Hal ini berkaitan dengan tema lain dari teori media-budaya, berhubungan dengan identitas
budaya yang dapat didefinisikan pada berbagai
berbagai tingkat, di mulai dari nasion
nasional
al atau etnis, hingga lokal
dan liguistik. Budaya secara umum (dalam pengertian teks media) yang diproduksi oleh industri media
besar, sering kali memil
memiliki
iki bentuk
bentuk yang global, bahkan jika bentuknya
bentuknya muncul dalam varian dan
bahasa lokal atau nasiona
nasional.
l. Komunikasi
Komunikasi penting bagi identitas, dan media massa (termasu
(termasuk
k Internet)
dapat berbahaya, sebagaimana pula berguna bagi indentitas. Di beberapa bagian dunia, terdapat
pencarian alat-alat melalui kebijakan publik untuk mengamankan bentuk keragaman budaya yang
bernilai..
bernilai
7. Gender. Isu identitas budaya terjadi pada minoritas yang didefinisikan dalam bentuk selain lokasi,
agama, atau etnisitas bersama. Subkultur berdasarkan gender atau orientasi seksual adalah contohnya,
tetapi ada berbagai dasar lain untuk pembentukan identitas budaya.
8. Ideologi. Pertanyaan terakhir, tetapi tidak kalah penting adalah bagaimana berbagai macam ideologi
diwujudkan dalam produksi budaya dan bagaimana hal tersebut ‘dibaca’ dalam teks media dan
efeknya terhadap khalayak. Perhatian khusus diberikan kepada makna yang tersembunyi yang berakar
dari konteks kultural atau bahasa atau sistem kode yang bekerja. Poin-poin ini dirangkum dalam kotak

5.2.

Tema-tema
Tema-tema teori media-budaya

5.2 Kualitas budaya massa dan basis untuk daya tarik


populer.
Efek teknologi komunikasi.
Komodifikasi dan marketisasi budaya.
Globalisasi.
Keragaman dan identitas budaya.
Identitas budaya.
Gender dan subkultur.
Ideologi dan hegemoni yang melekat pada bentuk-bentuk budaya.

Permu
Permulaa
laan:
n: Ma
Mazha
zhab
b Frankfur t dan Teori
Teori Budaya Kritis
Krit is
Kritik sosial yang berkaitan dengan munculnya budaya massa dimulai setidaknya sejak
pertengahan abad ke-19, dan pada pertengahan abad ke-20 terjadi di Inggris dengan
munculnya teori kritis (critical theory) yang lebih radikal (dan populis) seperti yang
disampaikan oleh Richard Hoggart, Raymond Williams, dan Stuart Hall. Hentakan awal
dari kritik ini adalah untuk menyerang akar komersial dari perendahan nilai budaya
Komunikasi Massa dan Budaya 131

dan untuk membela konsumen kelas pekerja dari budaya massa sebagai korban alih- alih penjahatnya.
Tujuannya adalah untuk menebus orang-orang yang memiliki ‘selera rendah,’ sehingga kualitas budaya
massa yang rendah sering kali dipersalahkan. Di Amerika Utara pada waktu yang kira-kira bersamaan,
perdebatan serupa terjadi (lihat Rosenberg dan White, 1957) dengan tuduhan yang disampaikan dengan
elok terhadap banalitas budaya massa. Sejak saat itu, ‘budaya massa’ itu sendiri telah diselamatkan dari
stigma kualitas rendah, walaupun dalam hal ini konsep awal dari budaya massa telah diabaikan.
Untuk pengembangan yang lebih luas terhadap ide mengenai komunikasi massa dan karakter
‘budaya massa’ di dalam sebuah kerangka internasional, berbagai perdebatan nasional mengenai kualitas
budaya barangkali menjadi kuran
k urang
g berpengaruh,
berpengaruh, daripada seperangkat ide yang berutang banyak pada
pemikiran neo-Marxisme yang dikembangkan dan disebarkan pada masa-masa pascaperang. Istilah teori
kritis merujuk pada tradisi panjang dan beragam ini yang berutang kepada penelitian para ilmuwan
emigran pasca-tahun 1933 dari Marxis School of Applied Social Research di Frankfurt. Anggota paling
penting dari kelompok ini adalah Max Horkheimer dan Theodor Adorno, tetapi Leo Lowenthal, Herbert
Marcuse, dan Walter Benjamin juga memiliki peran yang penting (lihat Jay, 1973; Hardt, 1991).
Pada mulanya, sekolah ini didirikan untuk mempelajari kegagalan nyata dari perubahan sosial
revolusioner sebagaimana yang diprediksikan oleh Marx. Dalam penjelasan atas kegagalan ini, mereka
melihat kepada kapasitas ‘suprastruktur’ (terutama ide dan ideologi yang ditampilkan di media) untuk
menumbangkan materi dan kekuatan sejarah dari perubahan ekonomi (dan juga janji atas Pencerahan).
Sejarah (sebagaimana yang ditafsirkan oleh Marx) telah ‘salah jalan’ karena ideologi dari kelas dominan
telah mendasari kondisi ekonomi, terutama dengan mempromosikan ‘kesadaran palsu’ di antara kelas
pekerja. Komoditas (commodity) adalah instrumen utama dari proses ini. Teori komodifikasi (theory of
commodification) berasal dari buah karya Marx berjudul Grundrisse, di mana ia menyataka
menyatakan
n bahwa objek
dikomodifikasi dengan memperoleh nilai tukar, daripada hanya memiliki nilai guna secara intrinsik.
Dengan cara yang serupa, produk budaya (dalam bentuk gambaran, ide, dan simbol) diproduksi dan dijual
di pasar media sebagai sebuah komoditas. Produk-produk ini dapat dipertukarkan oleh konsumen untuk
kepuasan fisik, kesenangan, dan ilusi terhadap tempat kita di dunia, sering kali berakibat pada
ketidakjelasan struktur masyarakat yang asli dan subordinasi yang ada di dalamnya (kesadaran palsu).
Mercuse (1964) memberikan deskripsi ‘berdimensi satu’ kepada masyarakat konsumsi massa yang
ditemukan dalam perdagangan, periklanan, dan egalitarian yang palsu. Media dan ‘industri budaya’
sebagai sebuah kesatuan dikaitkan dengan kuat dalam kritik ini. Banyak dari ide yang diluncurkan pada
tahun 1940-an oleh Adorno dan Horkheimer (1972, terjemahan) yang mengandung serangan yang tajam
dan pesimistik terhadap budaya massa. Kritiknya adalah terhadap keseragaman, pemujaan terhadap
teknik, sifatnya yang monoton, eskapisme dan produksi kebutuhan palsu,
berkurangnya
berkurangnya pilihan individu bagi konsumen, dan hilangnya semua pilihan ideologis (lihat
( lihat Hardt,
1991:40). Menurut Shills (1957), pandangan Mazhab Frankfurt (Frankfurt School) yang paling sinis
terhadap budaya massa bukan hanya antikapitalis, tetapi juga anti-Amerika, dan umumnya
mencerminkan dampak pertama dari media massa modern kepada sekelompok intelektual Eropa
yang salah tempat. Dalam beberapa hal, kritik terhadap budaya massa sangat dekat dengan versi
berbeda dari teori masya
masyarakat
rakat massa
massa kontemporer.
kontemporer.
132 Teori

Ideologi dan resistensi


Saat ini, teori budaya kritis telah meluas melampaui pembahasan awal mengenai dominasi ideologi,
walaupun dalam satu dan lain cara studi ideologi dalam budaya media masih menjadi hal pokok.
Begitu pula signifikansi budaya media bagi pengalaman kelompok tertentu dalam masyarakat, seperti
anak muda, kelas pekerja, etnis minoritas, dan kelompok marginal lainnya. Penelitian dan teori
terhadap topik- topik ini dipelopori oleh Centre for Contemporary Cultural Studies di University of
Birmingham pada tahun 1970-an. Stuart Hall, orang yang paling dikaitkan dengan penelitian dari
sekolah ini, menulis bahwa pendekatan kajian budaya:

berlawanan dengan cara basis suprastruktur (base-superstructure) dalam membentuk hubungan antara kekuatan ideal
dan material, terutama ketika basis didefinisikan oleh kekuatan ekonomi’ dalam makna yang sederhana.... Studi ini
mendefmisikan budaya sebagai alat dan nilai yang berada di antara kelompok dan kelas sosial yang berbeda,
berdasarkan kondisi dan hubungan dan sejarah mereka, di mana mereka ‘mengatasi’ dan merespons kondisi
keberadaan mereka (dikutip dari Gurevitch dan kawan-kawan, 198 2: 267)

Pendekatan kritis yang diasosiasikan dengan Mazhab Birmingham (Birmingham School) juga
bertanggung
bertanggung jawab terhadap pergeseran penting dari pertanya
pertanyaan
an ideologis yang menempel pada teks
media kepada pertanyaan bagaimana ideologi ini ditafsirkan oleh khalayaknya. Stuart Hall (1974/1980)
menyodorkan model encoding-decoding dari wacana media yang menjelaskan mengenai teks media
yang berada di antara produsennya yang memberikan kerangka makna dengan cara tertentu dan
khalayaknya yang menafsirkan makna menurut situasi sosial dan kerangka interpretasi yang berbeda-
beda.
Ide ini terbukti merupakan rangsangan yang cukup untuk memikirkan ulang teori ideologi serta
kesadaran palsu. Mereka mendorong penelitian yang berpotensi terhadap penafsiran berbeda’
(misalnya Morley, 1980) dengan pandangan, terutama untuk mencari bukti resistensi kelas pekerja
terhadap pesan media yang dominan. Hasil langsungnya memang mengecewakan, tetapi secara tidak
langsung teori ini efektif dalam memberdayakan kembali khalayak dan mengembalikan optimisme
kepada studi media dan budaya. Penelitian ini juga membawa pandangan yang lebih luas terhadap
Komunikasi Massa dan Budaya 133

pengaruh sosial dan budaya yang mengantarai pengalaman media, terutama etnisitas, gender, dan
kehidupan sehari-hari (Morley, 1986,1992). Fakta utama dari teori budaya kritis dirangkum dalam
Kotak 5.3.

► 5.3
Poin-poin teori budaya kritis: pr oposi utama

• Budaya massa merupakan bentuk yang rendah dalam masyarakat kapitalis.


• Budaya massa memproduksi kesadaran palsu.
• Komodifikasi adalah proses utamanya.
• Budaya massa melambangkan ideologi hegemoni.
• Ideologi dapat ditafsirkan secara berbeda-beda dan bahkan secara berlawanan.

Budaya pop dapat dibedakan dari budaya massa.


m assa.

Rehabil
Rehabilitasi
itasi Nama
Nama Populer
Popul er
Media massa secara umum bertanggung jawab atas apa yang kita sebut sebagai ‘budaya
massa’ (mass culture) atau ‘budaya populer’ (popular culture), dan mereka ‘menjajah’
bentuk budaya lain dalam prosesnya.
prosesnya. Budaya simbolik
simbolik yang paling lu
luas
as disebarkan dan
dinikmati pada masa kini adalah apa yang mengalir secara berlebihan dari media,
seperti film, televisi, surat kabar, fonogram, video, dan seterusnya. Sangat sulit
mengharapkan bahwa arus banjir ini dapat dibendung, dikembalikan atau dimurnikan,

atau memandang budaya besar di masa kini sebagai sebuah turunan cacat perdagangan
dari modal yang tadinya bersih.
Bahkan lebih sedikit lagi kemungkinan untuk memisahkan selera elite dari selera
massa karena hampir semua orang tertarik kepada beberapa elemen yang beragam dari
budaya media yang populer.
populer. Selera dapat berbeda dan berbagai kriteria
kriteria penilaian dapat
diterapkan, tetapi setidaknya kita harus menerima budaya media di masa kini sebagai
sebuah fakta yang tidak diragukan dan memperlakukannya dalam istilahnya sendiri.
Istilah ‘budaya massa sepertinya akan masih beredar, tetapi bentuk alternatif dari
‘budaya populer’ (yang intinya berarti ‘budaya yang populer’—dinikmati oleh banyak
orang) menjadi pilihan dan tidak lagi membawa asosiasi yang buruk. Budaya pop dalam
hal ini adalah produk persilangan dari upaya yang banyak dan tiada henti untuk
berekspresi dengan cara kontemporer
kontemporer yang bertuju
bertujuan
an menjangkau orang dan menjaring
pasar, dan sebuah tuntutan yang aktif dari orang-orang yang disebut Fiske (1987)
sebagai ‘makna dan kesenangan’.

134 Teori

Kekuatan (semiotika) masyarakat


Istilah ‘rehabilitasi nama populer’ bergantung banyak pada teori penafsiran yang disampaikan oleh

Hall. Menurut teori ini, produk budaya yang sama dapat ‘dibaca’ dengan cara yang berbeda. Bahkan
jika terdapat makna dominan
dominan tertentu yang disisipkan di dalamnya. Fiske (1987) mendefinisikan teks
media sebagai hasil dari pemaknaan dan kesenangan khalayaknya. Ia mendefinisikan keragaman
makna dalam teks sebagai ‘polisemi’ (polysemy). Istilah ‘intertekstualitas’ sebagian merujuk pada
kesalingterhubungan makna lintas media dan pengalaman budaya lainnya. Contoh untuk kedua
istilah tersebut
tersebut diberikan oleh ffakta
akta bahwa sebuah fenomena budaya, seperti
s eperti penyanyi pop Madonn
Madonnaa
dapat menarik, tetapi dalam artian yang berbeda, misalnya untuk remaja perempuan dan pria
berumurr pembaca ma
berumu majalah
jalah Playboy (Schwichtenberg, 1992).
Terdapat pemaknaan yang benar-benar berbeda atas sebagian besar konten media populer
dalam subkultur yang berbeda yang membuka jalan untuk menghindar dari kontrol sosial yang
potensial. Fiske (1987: 126) menulis:

Makna utama dalam televisi secara umum adalah melayani kepentingan dari kelas dominan; makna lain dibentuk
dalam hubungan dominasi-subordinasi... kekuatan semiotika dari kelas bawah untuk membuat makna mereka sendiri
setara dengan kemampuan mereka untuk menghindari, melawan, ata u bernegosiasi dengan kekuatan sosial ini.

Bagi Fiske, kebaikan utama dari budaya populer adalah kepopulerannya, baik secara harfiah
‘kepada rakyat’ dan bergantung pada ‘kekuatan rakyat’. Ia menulis: ‘popularitas di sini adalah ukuran
atas kemampuan bentuk budaya untuk melayani keinginan konsumennya.... Agar komoditas budaya
menjadi populer, mereka harus mampu memenuhi beragam keinginan dari orang di mana mereka
menjadi populer sebagaimana juga kepentingan produsennya’ (1987: 310). Budaya populer harus
relevan dan responsif terhadap kebutuhan atau akan gagal, dan kesuksesan (di pasar) mungkin
menjadi ujian yang baik bahwa budaya merupakan keduanya (dalam praktiknya, kriteria kesuksesan
menggantikan segala kualitas intrinsik yang kurang efektif). Fiske menolak argumen bahwa jalur
pembagian modal budaya mengikuti jalur pembagian modal ekonomi (Bourdieu, 1986). Alih-alih ia
berpendapat
berpendapat bahwa terdapat dua ekonomi, yaitu otonomi
otonomi relatif dengan satu budaya dan otonomi
relatif dengan sosial. Bahkan jika sebagian besar orang dalam kelas masyarakat disubordinasikan,
mereka memiliki derajat kekuatan semiotika dalam ekonomi budaya, yaitu kekuatan untuk membentuk
makna menurut keinginan mereka sendiri.

Pertanyaan yang tidak terjawab


Meskipun penilaian kembali atas budaya populer telah dilakukan dan muncul postmodernisme (yang
dibahas selanjutnya), beberapa tuduhan kritis seperti yang
dibuat oleh penganut Mazhab Frankfurt masih tetap ada. Sebagian besar konten yang ditawarkan media,
baik yang populer dan sukses secara komersial masih terbuka kepada penolaka
penolakan
n yang ssama
ama seperti lebih
bersifat elit dan kuran
kurangnya
gnya pencerahan.
pencerahan. Budaya media sering kali menampilkan
menampilkan satu atau lebih dari
batasan-batasan berikut,
batasan-batasan berikut, yaitu keragamannya,
keragamannya, pengulangan,
pengulangan, tidak menuntut
menuntut macam-macam,
macam-macam, temanya
terbatas, dan seragam. Banyak contoh yang ditemukan dalam konten populer yang bias secara ideologi,
kejam, dan tidak intelek. Produksinya diatur oleh logika komersial yang besar karena sebagian besar

Komunikasi Massa dan Budaya 135

budaya populer
populer diproduksi oleh perusahaan
perusahaan besar dengan fokus yang utama terhadap keuntungan
keuntungan
mereka, alih-alih untuk memperkaya kehidupan budaya masyarakat. Khalayak dipandang sebagai
konsumen yang dapat dimanipulasi dan diatur. Formula dan produk populer cenderung digunakan terus
hingga usang, kemudian dibuang ketika tidak lagi menguntungkan, apa pun yang diminta khalayak dalam
ekonomi budaya’. Tidak banyak dukungan empiris terhadap teori yang menyatakan bahwa teks media
dimaknai dengan cara yang berlawanan (Morley, 1997: 124).
Tidak mengherankan bila ‘populisme budaya’ yang baru memproduksi kritik terhadap mereka
sendiri (McGuigan, 1992; Ferguson dan Golding, 1997). Gitlin (1997) memandang studi budaya baru ini
sebagai proyek populis yang hanya membalikkan hierarki lama dari nilai budaya tanpa
menumbangkannya. Dalam pandangannya, pendekatan ini menjadi antipolitis yang sebetulnya bukan
merupakan tujuan sesungguhnya. Alih-alih melawan kapitalisme, studi ini malah meneguhkan logika
kapitalisme (1997: 32).
Argumen secara umum ‘mengabaikan ketidaksetaraan semiotika yang terus berlanjut di mana
minoritas yang berpendidikan dan berkecukupan memiliki akses, baik kepada budaya populer maupun
budaya ‘tidak popu
populer’
ler’ (seperti musik klasik, sastra, dan seni avant-garde modern). Mayoritas masih

terbatas pada bentuk populer dan benar-benar tergantung pada pasar media komersial (Gripsrud, 1989).
Terdapat risiko dalam kritik melawan klaim yang berlebihan dan bermasalah terhadap budaya
populer dan tidak banyak pencerahan yang dihasilkan dari perdebatan ini. Satu cara untuk keluar dari
kebuntuan ini tanpa harus kembali ke masa lalu adalah menggunakan konsep gaya hidup (lifestyle ) yang
mempelajari perubahan dan keragaman dari kehidupan sosial kontemporer, terutama ketika modal
budaya disebarkan
disebarkan semakin lu
luas
as dan merata melalui
melalui sistem pendidikan.
pendidikan. Misalnya, Andersson
Andersson dan Jansson
(1998) dalam penelitian mengenai penggunaan media di Swedia, mengidentifikasi fenomena ‘gaya hidup
budaya progresif ’ yang menggabun
menggabungkan
gkan ketertarikan atas budaya populer dan tradision
tradisional.
al. Kelompok
sosial yang diteliti menggabungkan modal budaya kelas atas dengan sumber ekonomi yang terbatas. Gaya
G aya
hidup ini diidentifikasi baik oleh preferensi dan gaya penggunaan media. Gayanya sangat eklektik,
terpisah-pisah, dan santai. Kita tidak mengetahui seberapa jauh pengamatan ini dapat digeneralisasikan,
tetapi mereka menyatakan bahwa massa yang baru memproduksi paradigma budaya baru.

Ide akan ‘kualitas’ budaya media massa yang tersedia masih menjadi agenda penerapan teori media,
bahkan jika maknanya
maknanya telah bergeser
bergeser karena masih
masih ada isu
136 Teori

kebijakan yang relevan dan juga perhatian publik mengenai kualitas. Kualitas tidak lagi
merujuk secara khusus kepada derajat keseragaman terhadap sistem budaya tradisional,
tetapi dapat didefinisikan dalam kaitannya dengan kreativitas, orisinalitas, keragaman
identitas budaya, dan bermacam etika dan prinsip moral (Schroder, 1992) yang
bergantung pada perspek
perspektif
tif siapa yang dipilih
dipilih.. Tentu saja, seperti yang disam
disampaikan
paikan
oleh pendukung budaya populer, kualitas juga harus diukur oleh kepuasan dan
kesenangan yang diberikan dan hal ini dapat ditunjukkan dengan kesuksesan di pasar
walaupun secara kasar. Hal ini tentunya tidak lagi dapat diasumsikan bahwa yang
paling menarik adalah yang kualitasnya paling rendah, tetapi dinamika ekonomi
material dari produksi budaya tidak dapat dengan mudah dibedakan dari ekonomi
budaya semiotika’,
s emiotika’, hal ini juga jelas dari penelitian terhadap makna dan pengukuran
kualitas budaya, bahwa tidak ada sumber tunggal atas definisi objektif dan kriteria yang
berbeda diterapkan,
diterapkan, misalnya oleh produser
produser media profesional,
profesional, khalayak, kritikus
kritikus sosial
atau budaya, dan manajer media (Ishikawa, 1996). Tidak ada teori budaya populer yang
disetujui bersama, tetapi poin perdebatan yang relevan dicatat sebagai proposisi pada

Kotak 5.4.

Perdebatan mengenai budaya populer: poin


perdebatan utama

• Budaya populer mewakili kekuatan rakyat.


• Popularitas merupakan kualitas tersendiri.
• Budaya populer memiliki daya tarik universal.
• Budaya populer penting bagi identitas banyak subkelompok.
• Budaya populer merupakan budaya yang dikomodifikasi.

Gender
Gender dan Media Massa
Hermes (2007: 191) berpendapat bahwa kita perlu memahami bagaimana media menampilkan
gender karena ‘konstruksi feminitas dan maskulinitas merupakan bagian dari ideologi dominan’.
Selain hal ini, ia juga menunjukkan bahwa media masih menawarkan contoh dan panduan perilaku
umum dan kita harus dapat menafsirkan pesan-pesan ini. Satu wilayah di mana teori perbedaan
budaya dalam pemaknaan teks media telah membuat kemajuan penting, bekerjasama dengan
penelitian feminis berkaitan dengan gender. Sementara studi komunikasi, bahkan dari
kecenderungan kritik yang radikal, telah menjadi ‘buta-gender’ (barangkali lebih kepada tidak
ingin memperhatikan). Saat ini, seseorang dapat berbicara mengenai ‘proyek studi media mengenai
budaya feminisme’ (van Zoonen, 1994; Gallagher, 2003). Hal ini menjadi lebih dalam dan luas
daripada agenda aslinyayang terbatas, seperti representasi wanita

Komunikasi Massa dan Budaya 137

di media yang direndahkan, dan stereotip dan sosialisasi peranan seksual yang masih menjadi ciri-
ciri konten media. Perhatian pada saat ini juga melampaui isu pornografi dalam konten media yang
penting bagi para feminis (dan yang lainnya), tidak hanya karena mereka menghina dan secara
simbolik merendahkan, tetapi juga karena mereka dapat merangsang munculnya perkosaan dan
kekerasan.
Saat ini, jumlah penelitian media yang berkaitan dengan gender sangat banyak, dan
walaupun sebagian penelitian ini dipelopori oleh teori yang merujuk kepada kelas sosial dan ras,
penelitian semacam ini juga memiliki dimensi-dimensi lain. Hal ini termasuk mengambil dari teori
psikoanalisis milik Freud serta ide-ide Jacques Lacan dan Nancy Chodorow. Fokus utama mereka
adalah pada peranan gender dalam ‘memposisikan penonton dalam kaitannya dengan gambar pria
dan wanita (baik dalam film, televisi, foto). Alur penelitian yang lain berfokus pada peran yang
dimainkan oleh media dalam menyiarkan ideologi patriarkis sehubungan dengan posisi wanita
dalam masyarakat. Terdapat banyak hubungan dengan wilayah studi feminis yang lebih luas
(Long, 1991; Kaplan, 1992).
Menurut van Zoonen (1994), pada awalnya sebagian besar penelitian media yang berkaitan
dengan gender, termasuk teori psikoanalisis yang secara
s ecara impli
implisit
sit mengikuti efek model penyiaran
berdasarkan reaksi langsung
langsung dari penerima terh
terhadap
adap rangsangan
rangsangan pesan. Ia menyatakan
menyatakan bahwa saa
saatt
ini muncul paradigma baru, karakter intinya kulturalis yang menawarkan cara baru memahami
bagaimanaa media berkaitan dengan gender. Pada inti dari pendekatan baru ini adalah ide ‘gender
bagaiman
sebagai wacana, seperangkat deskripsi dan perlakuan kultural yang saling tumpang tindih dan
berlawanan
berlawanan yang merujuk
merujuk pada perbedaan jenis kelamin (1994: 40). Inti yang kedua adalah
penekanannya terhadap konstruksi makna dan identitas secara aktif oleh pembaca teks media.
Secara umum, perspektif baru penelitian feminis ini menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
bagaimanaa wacana gender
bagaiman ge nder dilambangkan dalam teks media? Bagaimana khalayak menggunakan
menggunakan
dan menafsirkan teks media yang berisi gender? Bagaimana penerimaan khalayak berkontribusi
terhadap konstruksi gender di tingkat identitas individual?
Pertanyaan mengenai gender ini menyentuh hampir semua aspek hubungan media dan
budaya. Pertanyaan yang paling utama barangkali
barangkali adalah pertanyaan mengenai definisi gender.
Van Zoonen (1991: 45) menulis bahwa makna gender ‘tidak pernah diberikan, tetapi beragam
menurut budaya dan latar sejarah tertentu... dan tunduk pada perjuangan dan negosiasi yang
panjang dan terus-menerus’. Sebagian dari isu adalah bagaimana perbedaan gender dilambangkan
(lihat Goffman, 1976; Hermes, 2007). Aspek umum lain dari perjuangan adalah melampaui
perbedaan nilai dalam masyarakat yang terikat pada maskulinitas dan femininitas.
Konten gender juga dapat dipelajari pada tahap produksi karena sebagian besar pilihan dan
produksi media dilakukan oleh pria. Dalam hal ini, perhatian juga harus diberikan kepada ‘berita
yang sejak lama melanggengkan peranan pria, dan bentuk dan konten yang dominan (politik,
ekonomi, olahraga) berorientasi pada khalayak pria. Tema yang berlanjut pada kritik feminisme
adalah ketiadaannya wanita secara relatif dalam berita dan isolasi mereka ke dalam topik-topik
tertentu. Gallagher
(2003) mengutip studi internasional berskala besar (oleh Media Watch, 1995) yang
menunjukkan bahwa hanya 17% subjek berita adalah perempuan dengan persentase yang lebih
rendah jika berkaitan dengan politik dan bisnis.
Hal ini telah berubah, dan salah satu komponen kritikkontemporer dari ‘penurunan media
berita adalah dugaan pendangkalan, personalisasi, dan sensasionalisme (.sensationalism ) yang
pendangkalan, personalisasi,
sering disamakan dengan feminisasi. Media berita, baik televisi dan pers secara aktif mencari
ketertarikan khalayak wanita dan juga terlibat dalam kompetisi ekstrim dengan khalayak massa
yang sulit dijaring.
Studi khalayak media dan penerimaan konten media menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang relatif besar berdasarkan gender dalam penggunaan media serta makna yang
terikat kepada aktivitasnya. Beberapa genre secara jelas menarik gender tertentu. Sejumlah besar
bukti dapat dinilai dengan perbedaan pola dalam peranan sosial oleh pengalaman sehari-hari dan
perhatian terhadap pria dan wanita, dan dengan cara gender membentuk ketersediaan dan
penggunaan waktu. Hal ini juga berkaitan dengan peranan kekuasaan di dalam keluarga dan sifat
alamiah dari hubungan antara pria dan wanita atau wanita dalam keluarga secara luas (Morley,
1986).
Berbagai jenis konten media (serta produksi dan penggunaannya) juga dihubungkan dengan
ekspresi dari identitas bersama berdasarkan gender (Ferguson, 1983; Radway, 1984) dan dengan
kesenangan serta makna yang didapat secara berbeda- beda (Ang, 1985). Terdapat perbedaan yang
mengakar secara psikologis antara laki-laki dan perempuan (Williamson, 1978). Dalam
mempertimbangkan hal ini, penting untuk mengingat peringatan van Zoonen bahwa konteks
terus-menerus berubah dan bahwa ‘kode yang diberi makna menjadi lambang femininitas adalah
spesifik secara budaya dan sejarah dan akan selalu ambigu atau tidak konsisten’ (1994: 149).
Pendekatan berbasis gender juga menimbulkan pertanyaan apakah pemilihan media dan
pemaknaan dapat menyediakan alat perubahan atau elemen resistensi bagi wanita dalam situasi
sosial yang secara umum masih terdiri atas ketidaksetaraan. Potensi untuk pemaknaan yang
berlawanan
berlawanan serta resistensi telah menarik untuk menjelaskan mengapa wanita sepertinya tertarik

pada konten media yang memiliki pesan patriarkal yang nyata (seperti ^iksi roman) dan untuk
membantu mengevaluasi kembali makna dari ketertarikan ini (Radway, 1984). Seseorang dapat
mengatakan secara singkat bahwa budaya media yang berbeda secara gender, apa pun penyebab
dan bentuknya, memunculkan respons yang berbeda-beda, dan perbedaan gender memicu cara
alternatif dalam memaknai media.
Feminisme adalah proyek politis sekaligus budaya dan studi feminisme dalam media yang
tidak terelakkan lagi terperangkap dalam debat yang lebih luas di dalam kajian media budaya
mengenai signifikansi politik atau bukan dari budaya populer. Hal ini berakar dari perhatian yang
besar yang diberikan kepada genre popu
populer,
ler, seperti opera sabun dan acara bincang-bincang
bincang-bincang yang
ditujukan bagi khalayak wanita. misalnya van Zoonen (2004) mengutip bukti yang menunjukkan
bahwa kumpulan
kumpulan ketertarikan yang terbentuk di sekelilin
sekeliling
g opera sabun popu
populer
ler dapat memainkan
peran yang signifikan dalam menghubungkan secara aktif mayoritas orang kepada isu publik
sekarang ini. Pendapat para peneliti awal dalam isu ini sangat jelas, terutama ketika konten populer
(roman, kisah anak, majalah wanita) dipandang sebagai stereotip dan membawa ideologi patriarkal
dan konservatif atau menjadi kaki tangan dari seksualitas pria. Banyak hal telah berubah di media,

Komunikasi Massa dan Budaya 139

dengan lebih banyak konten wanita dan untuk wanita tanpa batasan mengenai seksualitas wanita
(misalnya McRobbie, 1996). Penelitian media juga berubah melalui 'rehabilitasi genre populer
(misalnya Radway, 1984; Ang, 1991).
Bagaimanapun, masih ada ketegangan yang dibawa oleh teori dan penelitian feminis dalam
kaitannya dengan tujuan politik dari gerakan ini. Tidak semua pihak yakin terhadap relevansi
perubahan media dan teori budaya populer yang baru. Van Zoonen misalnya, menekankan
kebutuhan untuk membedakan antara berita dan hiburan. Dalam berita, menurutnya ‘dibenarkan
untuk mengharapkan perwakilan politikus wanita yang layak, etis, dan kurang lebih akurat dalam
media berita politik’ (1994: 152). Ia tidak menerapkan kriteria yang sama kepada budaya populer
yang merupakan wilayah dari ‘kumpulan mimpi, fantasi, dan ketakutan. Tanpa bermaksud tidak
setuju, Hermes (1997) mengambil sudut pandang yang lebih positif terhadap peranan potensial dari
budaya populer,
populer, yaitu
yaitu konsep ‘kew
‘kewarganegaraan
arganegaraan budaya.
budaya. Ia menu
menulis
lis (1997: 86):
86):

Elemen penting dari teori mengenai ranah publik adalah logika... penelitian budaya populer (dipandu oleh teori
posmodernis dan feminisme) berpendapat bahwa emosi dan perasaan merupakan hal yang penting untuk
kehidupan kita sehari-hari. Jika demokrasi dikatakan dapat membuka diskusi di antara banyak pihak mengenai
bagaimana mendapatkan kehidupan terbaik bagi sebanyak mungkin orang, maka tidak masuk akal untuk
mengatur penyimpanan eksklusif bagi argumen logika dalam teoritisasinya. Kita perlu memikirkan kembali
kewarganegaraan sebagai kewarganegaraan budaya dan menerima bahwa siapa yang berada pada demokrasi
massa menggunakan banyak logika berbeda untuk membentuk kehidupan mereka.

Bermacam-macam poin yang dibahas dirangkum dalam Kotak 5.5, berupa proposisi mengenai
media dan gender:

Gender
Gender dan media: proposisi

• Media memarginalkan perempuan di ranah publik.


• Media menjual stereotip femininitas dan maskulinitas.
m askulinitas.
• Produksi dan konten media bias gender.
• Penerimaan media berdasarkan gender.
• Sudut pandang wanita menawarkan kriteria kualitas alternatif.
• Personal bersifat politis.
• Media menawarkan model yang positif dan suportif sebagaimana juga yang negatif.
Komersialisasi
Menempel dengan kritik awal budaya massa dan masih hidup di lingkaran luar diskusi

(tentunya dalam konteks kebijakan media), merupakan ide mengenai ‘komersialisme’


(commercialism ) (kondisi) atau ‘komersialisasi’ (commercialization ) (proses). Walaupun
terdengar kuno dalam era yang didominasi oleh kriteria komersial, istilah ini
mengekspresikan
mengekspresikan ide yang masih relevan dengan dinamika industri media saat ini, dan
dengan perubahan media-budaya,
media-budaya, dan berhubungan
berhubungan dekat dengan kritik komodifikasi.
Kritik terhadap komersialisasi biasanya sulit untuk diselesaikan dengan rehabilitasi
yang populer, karena popularitas biasanya merupakan kondisi yang perlu untuk
kesuksesan komersial dan untuk menolak yang satu berarti menolak yang lain pula.
Sementara pada satu tingkat, istilah ‘komersialisme’ dapat merujuk secara objektif
pada aturan pasar bebas tertentu, istilah ini juga menggambarkan konsekuensi bagi jenis
konten media yang diproduksi massal dan dipasarkan sebagai komoditas, dan terhadap
hubungan antara pemasok dan konsumen media. Istilah ‘komersial’ berlaku sebagai

kata sifat bagi sejumlah perlengkapan media, mengidentifikasi hubungan dari


pengejaran kompetitif di pasar yang luas (Bogart, 1995). Terlepas dari membeludaknya
materi iklan (propaganda komersial), konten komersial menurut perspektif ini, biasanya
lebih berorientasi untuk
untuk kesenangan dan hiburan (eskapisme), lebih dibuat - buat, tidak
t idak
menuntut dan konformis, serta jiplakan dan terstandardisasi. Picard (2004)
menghubungkan tren komersialisasi surat kabar dengan penurunan kualitas (lihat
Kotak 5.6). Bukti yang mendukung pandangannya dapat ditemukan dalam McManus
(1994).
Ada banyak komentar terhadap ‘tabloidisasi’ (tabloidization ) surat kabar seiring
dengan semakin ketatnya kompetisi. Proses serupa di televisi juga mendorong banyak
bentuk baru acara ‘reality show’ yang berkutat pada topik-topik ‘human interest’ dan
dramatis dalam beragam format. Istilah ‘tabloidisasi’ datang dari
bentuk surat
surat

Komersialisasi 5.6 surat kabar: kutipan inti

Konten utama dari surat kabar saat ini adalah berita yang
dikomersialkan dan dirancang untuk menarik khalayak yang luas, untuk
menghibur, paling ekonomis, dan perhatian orang yang dapat dijual ke
pengiklan. Hasilnya adalah artikel yang dapat menyinggung kemudian
diabaikan dan diganti dengan yang lebih dapat diterima dan menghibur bagi
sejumlah besar pembaca; cerita yang mahal pembuatannya juga diabaikan dan
yang menciptakan risiko keuangan juga dibuang. Hal ini berujung pada
homogenisasi konten surat kabar, hanya meliput isu yang aman, dan
berkurangnya jumlah opini dan ide yang dikemukakan. (Picard, 2004: 61)

Komunikasi Massa dan Budaya 141

kabar yang lebih kecil dan populer di beberapa negara. Umumnya, sebagaimana yang disampaikan Langer
(2003), permasalahannya adalah akses (siapa yang ada di berita) dan representasi (bagaimana mereka
digambarkan). Connel (1998) membahas mengenai varian Inggris, mengartikan istilah tersebut yang berati
bahwa wacana berita yang ‘sensasional’ telah menggantikan wacana berita ‘rasionalis’
‘rasionalis’ dengan penekanan
yang kuat pada naratif. Bird (1998) mengamati ‘tabloidisasi’ dari berita televisi Amerika dan mengambil
kesimpulan dari studi khalayak bahwa terdapat tren yang nyata ke arah personalisasi dan dramatisasi yang
membuat berita lebih menjangkau orang banyak, tetapi mengakibatkan pendangkalan atas apa yang
dipelajari orang dari berita. Istilah infotainment’ secara luas digunakan untuk ini (Brants, 1998).
Meskipun benar bahwa pengaturan pasar yang serupa dapat dengan mudah mendukung pasokan
dan konsumsi produk budaya yang berkualitas dan beragam, kritik terhadap perdagangan memiliki
dimensi yang berbeda. Dapat dikatakan bahwa hubungan komersial dalam komunikasi secara intrinsik
membuat jarak dan berpotensi eksploitatif. Varian komersial dari hubungan komunikatif tidak
mendukung pembentukan keterikatan timbal balik atau mendorong identitas dan komunitas bersama.
Sifatnya yang kalkulatif dan utilitarian, mencerminkan ciri pokok dari ‘penyiaran’ atau ‘publisitas’
daripada model komunikasi ‘ritual’ di masyarakat. Masalah yang mendasar adalah bahwa keuntungan
menjadi motif yang berlebihan.
Sedikit masuk akal untuk berpendapat bahwa pengaturan pasar bebas yang menyokong media cetak
selama 500 tahun dan produksi budaya audiovisual selama 100 tahun secara intrinsik ‘berbahaya bagi
kebudayaan. Konsep yang lebih sempit dari ‘komersial’ sebagai sebuah ekspresi kritis dimunculkan dan
komponennya telah diketahui. Komponen utama dari konsep komersialisasi yang masih banyak dikritik
ini akan dirangkum di Kotak 5.7 dalam bentuk seperangkat proposisi yang diperkaya dengan kritik.

Kritik terhadap komersialisasi: proposisi

• Mendorong pendangkalan dan tabloidisasi.


• Menyebabkan pemilihan konten disetir oleh pasar.
• Melibatkan eksploitasi konsumen yang lemah.
• Mempromosikan perilaku konsumtif kepada budaya dan kehidupan.
k ehidupan.
• Mengurangi integritas budaya dari konten media.
• Mendorong terlalu bergantung pada iklan dan hilangnya k emandirian.
Teknologi
knol ogi Komunika
Komuni kasi
si dan Budaya
Kemajuan yang dilakukan McLuhan (1964) daripada Innis adalah pengamatannya pada
proses di mana kita mendapatkan pengalaman mengenai dunia melalu media
komunikasi yang berbeda dan bukan hanya pada hubungan antara komunikasi dan
struktur kekuatan sosial. Ia menyatakan bahwa semua media (yang dimaksud adalah
semua yang memiliki makna budaya dan dapat dimaknai seperti itu) adalah
perpanjangan dari manusia, yaitu perpanjangan dari indra kita. Seperti yang lain, ia

142 Teori

memusatkan perhatian pada dampak dari pergeseran komunikasi oral yang murni
kepada bahasa tulis (sekitar 5.000 SM). Sebagian besar pengalaman budaya masih
berupa oral hingga akhir-akhir ini. McLuhan juga berfokus pada bagaiman
bagaimanaa kita
mendapatkan pengalaman mengenai dunia, bukan apa yang kita alami (bukan
kontennya). Setiap media yang baru melampaui batasan pengalaman yang diraih oleh
media sebelumnya dan berkontribusi terhadap perubahan di masa depan. McLuhan
secara tepat melihat media-media yang berbeda bekerja sama, sementara barangkali
dengan kurang yakin ia memprediksikan terciptanya ‘desa global’ di mana informasi
dan pengalaman tersedia dengan bebas untuk dibagi ke semua orang. Meyrowitz (1985)
menyodorkan teori media massa dan perubahan sosial yang berutang pada Marshall
McLuhan (dengan bantuan dari Irving Goffman). Tesis Meyrowitz (1985) adalah bahwa
media elektronik yang ada di mana-mana secara mendasar mengubah pengalaman
sosial dengan memecah pembagian-penbagian antara jarak sosial yang umum ada di
masa lalu. Menurutnya, pengalaman manusia secara tradisional terpisah ke dalam
segmen peranan dan situasi sosial dan secara tajam terbagi antara wilayah privat
(‘belakang panggung’)
panggung’) dan publik (‘di atas panggung’).
panggung’). Segmentasi (segmentation) yang
ada berdasarkan usia, gender, dan status sosial, dan ‘dinding’ yang tercipta di antara
zona pengalaman sangatlah tinggi. Televisi terlihat menaruh segala aspek pengalaman
sosial dalam programnya untuk semua orang, tanpa dibeda-bedakan. Tidak adal lagi
rahasia, misalnya mengenai kedewasaan, seks, kematian, atau kekuasaan.
Proposisi yang umum adalah bahwa ketika indra kita semakin terlibat dalam
proses pemaknaan (seiring dengan media yang semakin ‘keren’, atau tanpa konflik,
berbeda dari
dari media ‘panas’),
‘panas’), maka pengalam
pengalamannya
annya akan semakin
semakin dekat dan par
partisipatif.
tisipatif.
Menurut pandangannya, mengalami dunia dengan membaca teks cetak adalah
mengisolasi dan tidak terlibat (mendorong perilaku rasional, individual). Menonton
televisi bersifat melibatkan, walaupun tidak terlalu informasitf, dan juga kondusif dari
sikap yang kurang rasional dan kalkulatif. Tidak ada bukti (atau kontra bukti) yang
pernah disampaikan, dan ide yang digambarkan McLuhan sendiri hanyalah persepsi
atau ‘analisis’. Sebagaimana yang ia inginkan, mereka merangsang banyak spekulasi di
zaman di mana media audiovisual telah banyak mengambil alih media cetak.
Mazhab Toronto (lihat Bab 4) merupakan motif utama yang mendorong cabang
teori baru yang disebut ‘teori medium’ (medium theory). Dalam konteks ini, medium
merupakan semua kendaraan untuk mengangkut makna dengan karekteristik yang penting dalam
kaitannya
kaitannya dengan
de ngan teknologi, bentuk, cara penggunaan,
penggunaan, alat untuk mengodekan, atau definisi sosial. Teori
ini mencakup banyak hal, dimulai dari mengambil dan meneruskan percetakan hingga ke media
elektronik sekarang. Terdapat bentuk ketekunan lunak’, di mana media diberikan ciri memiliki bias
tertentu terhadap konten, penggunaan,
penggunaan, dan
da n efek tertentu.
tertentu. Pendekatan ini terbukti lebih berguna daripada
ketekunan ‘keras’ dalam mengidentifikasi pengaruh yang lebih samar di mana media digunakan, misalnya
dalam komunikasi politik dan dalam melihat perbedaan antara media lama dan baru.
Teori teknologi komunikasi lain yang paling relevan berfokus pada kemungkinan pengaruh pada
bentuk atau konten
k onten pesan media dan karenanya juga pada makna yang disediakan. Meskipun demikian,
tidak ada efek teknologi-budaya yang dapat dibangun kecuali teknologi itu sendiri adalah juga merupakan

Komunikasi Massa dan Budaya 143

artefak budaya, dan tidak ada cara untuk masuk ke dalam lingkaran. Teori yang kita miliki hanya sekadar
deskripsi atas pola yang diamati atas makna kultural yang ditawarkan media massa yang mungkin
dipengaruhi oleh beragam karekteristik, tidak hanya teknologi dari media yang ada. Pandangan umum
mengenai proses di mana teknologi yang berubah dapat memengaruhi budaya media digambarkan dalam
Gambar 5.1. Barangkali, poin yang paling penting adalah penggambaran bahwa teknologi tidak memiliki
dampak langsung terhadap praktik budaya; efek mereka dimediasi melalui lembaga yang relevan, dalam
hal ini adalah media massa. Stober (2004) memberikan teori sejarah yang evolusioner mengenai proses
penemuan dan penyebaran teknologi komunikasi yang baru, berdasarkan kebutuhan untuk kelembagaan,
tetapi menekankan bahwa perubahan tergantung pada penemuan pengembangan media lama. Analisis
serupa mengenai perubahan terkait Internet dilembangkan oleh Lehmann-Wilzig dan Cohen-Avigdor
(2004) yang mengidentifikasi sejumlah tingkatan melalui jalur mana evolusi terjadi.
Dalam mencoba mengukur pengaruh teknologi terhadap budaya (media), kita dapat
mengembangkan pandangan bias yang diperkenalkan oleh Innis dan mengenali beberapa kecenderungan
yang mengikuti dari karekteristik teknologi media tertentu (serta perkembangan institusionalnya). Kita
dapat menyebutkan lima jenis bias media, sebagaimana berikut tanpa kehabisan kemungkinan. Menurut
McLuhan, terdapat bias terhadap pengala man inderawi, sehingga kita mungkin mengalami kehidupan
pengalaman
kurang lebih melalui metafora visual (lihat Hartley, 1992) atau kurang lebih dengan cara keterlibatan dan
partisipatif. Kedua, terdapat bias bentuk dan representasi dengan pesan yang dilambangkan atau
ditafsirkan secara kuat (sebagaimana dalam bentuk cetak), misalnya foto (Barthes, 1967). Ketiga, yaitu bias
konten pesan, misalnya realisme atau polisemi dalam bentuk yang terbuka atau tertutup (dimensi lain juga
mungkin). Keempat, ada bias kontekspenggunaan dengan media menawarkan penerimaan yang privat atau
individual,
individual, sementara yang lain lebih k
kolektif
olektif atau bersama. Kelima, ada bias hubungan, memban
membandingkan
dingkan
hubungan satu arah dengan interaktif.
Bias tidak berarti determinisme, tetapi mengandung pilihan terhadap pengalaman tertentu dan cara
mediasi. Ellis (1982) membandingkan siaran televisi dengan film
144 Teori

Penerapan
Masyarakat Teknologi terhadap Penggunaan lama
dan konteks baru kegunaan berubah
lama

Penggunaan
baru
terbentuk

Proses berkelanjutan Muncul bentuk budaya


perubahan teknologi dan dan makna baru
budaya

Lembaga

Gambar 5.1 Urutan interaktif dari perubahan komunikasi dan teknologi dan komunikasi
beradaptasi
budaya; teknologi muncul dari masyarakat dan berefek kepada masyarakat
tergantung pada bentuk penerapannya.

bioskop, dan member


memberikan
ikan ilustrasi instruktif
instruktif mengenai
mengenai bagaimana
bagaimana bias media (yang
tidak disengaja) dapat bekerja dengan samar, tetapi sistematis dan beragam
memengaruhi konten dan cara persepsi serta penerimaan. Perbandingan diperlihatkan
dalam Kotak 5.8. Perbedaan yang ditunjukkan bukan hanya karena teknologi, tetapi
karena banyak faktor. Sementara banyak hal berubah dalam dekade terakhir,
perbandingan ini secara umum masih valid.

5.8
Contoh bias media: perbandingan
perbandingan ciri u mum tertentu
dari televisi dan film (Ellis, 1982) FILM BIOSKOP

SIARAN TELEVISI
Konten dan bentuk
Tidak ada narator Ada narator
Membedakan fakta Hanya fiksi atau sifatnya kabur
dan khayalan
Komunikasi Massa dan Budaya 145

(Bersambung )

Realistis Mimpi
Domestik, akrab Eksotik
Kesimpulan yang Logis, berurutan
terbuka
Kesannya langsung Tidak langsung, sejarah
masa kini
Sikap netral Mengambil posisi tertentu
Terkesan Norma! Tegang dan stres
dan aman
Asp ek khal
k halayak
ayak
Khalayak permanen Khalayak sewaktu-waktu
ada
Keterlibatannya Sangat menyita perhatian
rendah
Intim Berjarak, terdapat
campur tangan

Salah satu dari sedikit efek teknologi komunikasi di mana ada persetujuan secara luas adalah
tren internasionalisasi komunikasi massa. Pertanyaan mengenai efek budaya potensial yang mengalir
dari tren ini sangat diperdebatkan. Pergerakan menuju budaya media global yang memiliki beberapa
sumber yang paling terkenal adalah meningkatnya kapasitas untuk menyiarkan suara dan gambar
(bergerak) dengan ongkos yang murah ke seluruh dunia, mengatasi batasan waktu dan ruang.
Penyebab yang kuat juga adalah munculnya bisnis media global (dan pasar global untuk produk
media) yang menyediakan kerangka organisasi dan mendorong kekuatan globalisasi. Tidak ada satu
pun kondisi ini yang hadir tiba-tiba, atau bahwa ide mengenai budaya transnasional itu sendiri
adalah baru (ide ini sudah ada sebelum ide nasional), tetapi apa yang mungkin baru adalah
meningkatnya potensi komunikatif transkultural dari gambar dan musik. Perubahan yang relevan
dalam struktur industri media dan aliran media global, terutama yang berhubungan dengan televisi
telah diteliti dengan mendalam, tetapi konsekuensi budayanya kurang lebih terbuka bagi
pengamatan dan mendorong spekulasi dan kritik terhadapnya. Proses ‘transnasionalisasi’ budaya
yang diasumsikan akan memiliki banyak makna dan akan dibahas secara lebih detail pada Bab 10.
Media Massa dan Budaya Postmodern
Ide mengenai ‘kondisi postmodern’ (Harvey, 1989) menjaring banyak imajinasi dari para
ahli teori sosial dan budaya, dan teori ini masuk ke dalam teori masyarakat informasi
(lihat Bab 4). Meskipun jangkauannya luas, konsep ini kompleks dan sulit dipahami, dan
melibatkan beberapa ide yang relevan terhadap media massa. Dampak politiknya
adalah bahwa ‘proyek pencerahan’ telah mencapai kesimpulan sejarahnya, terutama
penekanan terhadap kemajuan material, egalitarianisme, pembaruan sosial, dan
penerapan alat birokrasi untuk mencapai tujuan sosial yang telah ditetapkan. Sekarang

146 Teori

menjadi usang untuk merujuk zaman kita sebagai ‘postmodern ( postmodern) dalam

artian harfiah sebagai masa setelah periode ‘modern


‘ modern’’ yang dicirikan dengan perubahan
sosial yang cepat, industrialisasi dan sistem pabrik, kapitalisme, bentuk birokrasi
organisasi, dan pergerakan politik massal.
Dalam aspek ini, istilah tersebut menyatakan kronologis yang jelas dan perbedaan
konseptual dari ‘modernisme’. Sebagaimana yang disampaikan Morley (1996), hal ini
menimbulkan beberapa kesulitan karena istilah ‘modern’ berasal dari abad ke-5 (dalam
bentuk Latin) dan telah mendapatkan pengertian yang lain semenjak itu. Dalam
pengertiannya yang sekarang, biasanya merujuk pada ciri umum dari masyarakat dan
kebudayaan di abad ke-19 dan awal abad ke-20, tanpa ada batasan khusus
khusus tertentu. Ahli
teori terkemuka dari ‘modernisasi’ (tanpa secara eksplisit membuat klaim), menulis
sekitar seabad yang lalu, barangkali adalah sosiolog dari Jerman, Max Weber yang
konsep intinya dalam analisis mengenai perubahan sosial adalah ‘rasionalisasi’. Dalam

hal ini, kita dapat juga meyakini modernisme sebagai istilah yang awalnya berasal dari
barat (Eropa).
(Eropa).
Sebagai sebuah filsafat sosio-kultural, postmodernisme ( postmoder
postmodernism)
nism)
melemahkan ide mengenai kebudayaan sebagai sesuatu yang tetap dan hierarkis. Pada
saat itu, konsep ini mendorong bentuk budaya yang sementara menyenangkan dan
menarik daripada bersifat logika. Budaya postmodern berubah-ubah, tidak logis,
kaleidoskopik, dan hedonistik. Postmodern mendorong emosi daripada logika. Budaya
media massa memiliki keuntungan menarik bagi inderawi sebagaimana juga dikaitkan
dengan kebaruan dan perubahan. Banyak karakter dari budaya media populer
(komersial) mencerminkan elemen postmodernisme. Video musik di televisi dipandang
sebagai layanan televisi postmodern pertama (Kaplan, 1987; Grossberg, 1989; Lewis,
1992). Ide lama mengenai kualitas seni dan pesan yang serius tidak dapat

dipertahankan, kecuali oleh penguasa dan dilihat sebagai ‘borjuis’ yang pasti.
Hal ini merupakan seperangkat ide yang kuat yang lebih jauh daripada
menyediakan pertahanan bagi ‘budaya massa’ yang dulu berbahaya dan direndahkan.
Ide ini merupakan representasi yang baru terhadap situasi yang telah mengubah
beberapa alat
alat kritik bu
budaya
daya melawan diri mereka sendiri (misalnya
(misalnya klaim untuk
berbicaraatas
berbicaraatas nama massa). Ia juga mendap
mendapatkan
atkan kekuatan baik dari pergeseran nil
nilai-
ai- nilai sosial dan dari
evaluasi kembali atas budaya populer dan juga kemungkinan bahwa ada revolusi budaya di dalam media
massa yang mengarah pada estetika baru. Televisi dan musik populer telah menjadi seni yang dominan
pada saat itu dan telah menunjukkan inovasi serta kekuatan untuk perubahan.
Ide postmodernisme menjadi mudah untuk dicirikan dalam istilah budaya daripada sosial semenjak
ciri masyarakat ‘modern’ ada, barangkali lebih didorong jika seseorang berpikir seberapa besar dunia
diatur oleh pasar finansial global yang beroperasi dengan logika seragam dan tidak dapat dihentikan.
Istilah ‘postmodern merujuk kepada etika atau semangat yang dominan pada saat itu, dan tren estetika
dan budaya tertentu. Docherty (1993) menafsirkan postmodernisme budaya dan filsafat sosial sebagai

Komunikasi Massa dan Budaya 147

respons atas penilaian dari aspirasi revolusioner pasca-tahun 1968 pada gilirannya, didasarkan pada

premis akan kematian kapitalisme dan kelahiran utopia baru. Mimpi ini pada awalnya ditemukan pada
ide kemajuan material, logika, dan pencerahan yang ditempelkan kepada ide masyarakat modern.
Bila dilihat seperti ini, postmodernisme merupakan pengalihan dari ideologi politik, hilangnya
kepercayaan terhadap Tuhan dan ilmu pengetahuan. Ia membentuk Zeitgeist (semangat zaman) dalam
artian bahwa kita tidak lagi berbagi keyakinan atau komitmen dan ada kecenderungan terhadap
hedonisme, individualisme, dan hidup di masa kini. Hal ini sesuai dengan karakter lain dari
postmodernisme oleh Lyotard (1986) hingga efek bahwa tidak ada lagi narasi besar, kerangka penjelasan
yang terorganisir atau proyek inti untuk kemanusiaan. Estetika budaya dari postmodernisme melibatkan
penolakan terhadap tradisi dan pencarian akan kebaruan, penemuan, kesenangan sementara, nostalgia,
keriaan, imitasi, dan inkonsistensi. Jameson (1984) merujuk pada modernisme sebagai ‘logika kultural dari
kapitalisme akhir’ walaupun tidak ditemukan logika di sana. Gitlin (1989) menyebutkan bahwa
postmodernisme secara spesifik berada di Amerika Utara, mengambil banyak karekteristik dari budaya

Amerika.
Grossberg dan kawan-kawan (1998) menghubungkannya terutama dengan proses komersialisasi atas
segalanya. Tentunya, etos postmodern lebih mendukung perdagangan daripada perspektif budaya awal
karena perlawanan terhadap kapitalisme direndahkan dan perdagangan dapat dilihat sebagai respons atas
keinginan konsumen atau secara aktif mempromosikan perubahan dalam mode, gaya, dan produk.
Bagaimanapun, terdapat ruang lingkup bagi optimisme sosial dan budaya sebagaimana juga pesimisme
yang berada dalam jangkauan pemikiran postmodernisme. Ien Ang juga menekankan kebutuhan untuk
membedakan antara konservatif dan postmodernisme kritis sebagai sikap intelektual. Ia menulis: ‘yang
pertama menyerah pada sikap ‘apa pun itu’... [tetapi] yang kedua, postmodernisme kritis dimotivasi oleh
pemahaman mendalam terhadap batasan dan kegagalan dari apa yang disebut Habermas sebagai
‘proyeksi modernitas yang tidak selesai” (1998: 78).
Bentuk periklanan kontemporer, terutama dalam televisi, menampilkan sebagian besar karakter

budaya yang disebutkan di atas. Penelitian Jean Baudrillar


Baudrillard
d (1983) membantu
membantu kita memahami esensi dari
budaya postmodern, t erutamaa konsepnya mengenai simalacrum, merujuk pada fakta bahwa perbedaan di
postmodern, terutam
antara bayangan dan realitas tidak lagi penting. Media massa menyediakan pasokan yang tidak terbatas
pada gambaran realitas semu yang melayani, alih-alih pengalaman dan menjadi sulit dibedakan dari
kenyataan itu sendiri. Ide ini dengan baik ditunjukkan oleh film Truman Show (1997) di mana keseluruhan
plot berubah menjadi situasi nyata seseorang di mana kehidupan yang dijalaninya di dalam sebuah plot
opera sabun yang panjang di dalam sebuah komunitas imajiner. Ide mengenai konvergensi atas gambaran
dan realitas juga dinyatakan dalam alat realitas virtual yang menggantikan simulasi kehidupan nyata.
Konsep ini mendapatkan penerimaan yang meningkat dari munculnya bentuk dan kegunaan baru dari
Internet dan telepon mobile. Poster (2006: 138) berpendapat bahwa kita harus menggunakan konsep
postmodernisme bagi kajian budaya media baru walaupun, ‘dalam hal yang membuatnya cocok untuk
dianalisis tanpa pertunjukan perayaan atau senyuman sarkas’.
Daya tarik dari konsep postmodernisme didasarkan pada bantuannya untuk menghubungkan
banyak kecenderungan buatan dalam media (termasuk media baru),
baru), dan dijumlahkan dari esensi logika

148 Teori

media baru. Hal ini juga berguna sebagai istilah untuk menghubungkan beragam perubahan sosial

(misalnya fragmentasi dari struktur kelas, penurunan ideologi politik, dan globalisasi). Akan tetapi
terlepas dari substansinya yang sedikit, tidak ada analisis yang dapat dilakukan dan makna intrinsik yang
tetap. Dengan cara ini, hal ini terdengar seperti karikatur. Postmodernisme bukanlah sebuah badan teori
yang logis, tetapi beberapa proposisi dapat diambil dari situ, sebagaimana yang ditunjukkan pada Kotak
5.9.

Postmodernisme: beberapa
beberapa proposis i

• Era rasionai-linear modern telah lewat.


• Tidak ada lagi ide besar yang teratur dan dapat diandalkan mengenai budaya dan
masyarakat.
• Tidak ada nilai budaya yang pasti.
• Pengalaman dan realitas bersifat ilusi dan
d an sebentar.
• Kualitas baru dalam budaya adalah kebaruan itu sendiri, campuran, humor, dan kejutan.
• Budaya komersial merupakan budaya postmodern.
Kesimpulan
Bab ini merangkum serangkaian isu budaya yang luas yang berhubungan dengan
media massa. Sekarang, tidak mungkin untuk membedakan antara ranah ‘budaya’ dan
media, seperti yang dulu dapat dilakukan. Hal ini berlaku kepada seluruh istilah
‘budaya yang digunakan, termasuk reproduksi simbolik, artefak yang digunakan,

kehidupan sosial sehari-hari, dan semua ritual masyarakat. Media adalah inti dari
keseluruhan teori yang rumit yang harus didefinisikan kembali. Pada masa-masa awal
kesadaran-diri akan media (paruh pertama abad ke-20) masih mungkin untuk
memperdebatkan mengenai ‘efek’ radio, televisi, film, dan seterusnya, terhadap sesuatu
yang disebut ‘budaya’ yang biasanya merujuk pada seperangkat nilai atas objek,
praktik, hubungan, dan ide. Saat ini, formulasi ini telah ketinggalan zaman, walaupun
ada kesempatan untuk mengamati pergeseran budaya di saat perkembangan teknologi
yang disebut sebagai ‘media baru’. Bagaimanapun, penghapusan model kausal tidak
mengurangi jumlah pertanyaan yang dapat diajukan, atau menghalangi munculnya
jawaban yang diberikan oleh metode dan cara lain serta dari metode baru.
baru. Masih ada
jalur pemikiran kritis yang dapat diterapkan kepada apa yang diamati.
diamati. Masih ada
banyak ciri baru yang bermasalah (demikian juga yang positif) dari budaya di zaman
media untuk dipelajari dan diperdebatkan.
Komunikasi Massa dan Budaya 149

Bacaan Selanjutnya
Carey, J.W. (1975/2002) ‘A cultural approach to communication’. Dicetak ulang di D.
McQuail (ed.). Reader in Mass Communication Theory, him. 36-45.London: Sage.
Pernyataan yang jernih dan elok dari pandangan alternatif terhadap komunikasi atas
model penyebaran informasi dominan yang membantu penelitian komunikasi massa
awal.

Fiske, J. (1987) Television Culture. London: Routledge.


Bacaan awal yang berpengaruh dan populer mengenai perspektif kajian budaya
dengan banyak definisi yang jernih dan ilustrasi yang masih bernilai.

Hardt, H. (1993) Critical Communication Studies. London: Routledge. Catatan atas


munculnya teori kritis di Amerika Serikat di bawah pengaruh para anggota dari
Mazhab Frankfurt.
Bacaan Daring
Hermes, J. (2007) ‘Media representations of social structure: gender’, dalam E.
Devereux (ed.), Media Studies, him. 191-210. London: Sage.
Kellner, D. (1997) ‘Overcoming the divide: cultural studies and political economy’,
dalam M. Ferguson dan P. Golding (ed.), Cultural Studies in Question, him. 102-
120. London: Sage.
McGuidan, J. (1997) ‘Cultural populism revisited’, dalam M. Ferguson dan P.
Golding (ed.), Cultural Studies in Question, him. 138-154. London: Sage. Vyncke,
P. (2002) ‘Lifestyle segmentation’, European Journal of Communication, 17 (4): 445-
464.


6
Media Baru—Teori Baru?

Media
Media baru dan komu nik asi massa 14
148
8
Apa yang
y ang bar u dari
d ari media
med ia baru
b aru ? 150
Tema utama dari teori media baru 15
154
4
Menerapkan
Menerapkan teori media pada media baru 15
155
5
Pola baru lalu lint as inf ormas i 15
159
9
Pembentukan
Pembentukan komunitas yang dimediasi kompu ter 16
162
2
Partisipas i pol iti k, media baru, dan demokr asi 16
165
5

Media Baru—Teori Baru? 151

Teknolog i dari kebebasan? 16


167
7
Penyeimbang atau pemecah belah yang baru? 17
171
1
Kesimpulan 173

Teori yang berkaitan dengan media massa harus terus-menerus ditelaah dalam hal
teknologi baru dan aplikasinya. Pada Bab 2, kita mengenali datangnya jenis media baru
yang memperluas dan mengubah seluruh spektrum kemungkinan sosio-teknologi bagi
komunikasi publik. Belum ada perubahan utuh yang terjadi, dan masih terlalu awal
untuk memperkirakan seberapa jauh dan cepat proses perubahan akan terjadi. Asumsi
dasar pada bab ini adalah bahwa media bukan hanya sekadar teknologi terapan untuk
menyiarkan konten simbolik tertentu atau menghubungkan partisipan ke dalam
diskusi. Media juga melambangkan seperangkat hubungan sosial yang berinteraksi
dengan karakter dari teknologi baru. Teori baru juga hanya dibutuhkan jika terdapat
perubahan mendasar dalam bentuk organisasi sosial dari teknologi media, dalam
hubungan sosial yang dipromosikan, atau dalam apa yang disebut Carey (1998) sebagai
‘struktur dominan dari selera dan perasaan’.

Medi
Mediaa Baru
Baru dan Kom
Komuni
unikasi
kasi Ma
Massa
ssa
Media massa telah berubah begitu banyak, dimulai dari awal abad ke-20 yang bersifat
satu-arah, arus yang serupa kepada massa yang seragam. Terdapat alasan sosial,
152 Teori

ekonomi,, dan tteknologi


ekonomi eknologi atas pergeseran ini yang c ukup
ukup nyata. Kedua, teori masyarakat
massa, sebagaimana dibahas pada Bab 4, juga menunjukkan munculnya jenis
masyarakat baru yang berbeda dari masyarakat massa yang dicirikan dengan jaringan
komunikasi interaktif yang rumit. Dalam keadaan ini, kita perlu menilai kembali tujuan
utama dari teori sosial budaya dari media.
'Media baru’ yang dibahas di sini adalah berbagai perangkat teknologi komunikasi
yang berbagi ciri yang sama yang mana selain baru dimungkinkan dengan digitalisasi
dan ketersediaannya yang luas untuk penggunaan pribadi sebagai alat komunikasi.
Sebagaimana kita lihat ‘media baru’ sangat beragam dan tidak mudah didefinisikan,
tetapi kitatertarik media baru dan penerapannya yang dalam berbagai wilayah
memasuki ranah komunikasi massa atau secara langsung/tidak langsung memiliki
dampak terhadap media massa ‘tradisional’. Fokus perhatian terutama pada aktivitas
kolektif bersama yang berjudul ‘Internet’, terutama pada penggunaan publik, seperti
berita daring, iklan, aplikasi
aplikasi penyiaran (termasuk
(termasuk mengunduh musik, dan lain-lain
lain-lain),
),
forum dan aktivitas diskusi
diskusi,, World Wide Web (WWW), pencarian informasi, dan potensi
pembentukan komunitas tertentu. Kita tidak terlalu berfokus dengan e-mail pribadi,
permainan game, dan beberapa layanan pribadi lainnya di Internet.
Secara umum, media baru telah disambut (juga oleh media lama) dengan
ketertarikan yang kuat, positif, dan bahkan pengharapan serta perkiraan yang bersifat
eforia, serta perkiraan yang berlebihan mengenai signifikansi mereka (Rossler, 2001).
Kita masih berada pada tahap ini, walaupun secara berangsur-angsur mulai muncul
suara lain, dan terdapat ketakutan sekaligus optimisme mengenai konsekuensi media
baru yang luas, terutama karena tidak adanya kerangka regulasi
regulasi atau kontrol yang
dibentuk.
dibentuk. Ide
Media Baru—Teori Baru? 153

mengenai dampak media baru melampaui kenyataannya, dan bahkan saat ini penelitian mengenai hal ini
masih belum terlalu banyak kemajuan. Tujuan utama dari bab ini adalah membuat perkiraan awal
mengenai isu yang ada dan untuk menilai teori serta dampak yang sesungguhnya terjadi. Pembahasan
yang lain adalah mengenai dampak terhadap media massa lain dan sifat alamiah dari komunikasi massa
itu sendiri.
Sebagai petunjuk awal terhadap topik ini, sangat berguna untuk melihat hubungan antara media
personal dengan media massa, sebagaimana yang dikonsepkan oleh Marika Luders (2008) dan
digambarkan pada Gambar 6.1. Asumsi dasarnya adalah bahwa perbedaan antara komunikasi massa dan
personal tidak lagi jelas karena teknologi yang sama dapat digunakan untuk kedua tujuan tersebut.
Perbedaannya hanya dapat dipahami dengan mengenalkan dimensi sosial, berkaitan dengan jenis aktivitas
dan hubungan sosial yang terlibat. Alih-alih konsep ‘media, Luders memilih istilah ‘bentuk media’ yang
merujuk pada aplikasi khusus dari teknologi Internet, seperti berita daring, jejaring sosial, dan lain-lain. Ia
menulis (2008: 691):

Perbedaan antara media personal dan media massa dapat digambarkan sebagai perbedaan jenis keterlibatan yang
diperlukan dari pengguna. Media personal lebih simetris dan mensyaratkan pengguna untuk berperan aktif, baik sebagai
penerima maupun produsen pesan.

Dimensi utama kedua yang relevan adalah ada atau tidak adanya konteks kelembagaan atau
profesional berupa produksi media massa pada umumnya. Di antara keduanya, dua dimensi yang bersifat
simetris dan melembaga terletak pada jenis hubungan berbeda antara media personal dan media massa.
Elemen tambahan

Konten lembaga/profesiona
lembaga/profesionall
Interaksi simetris )k Interaksi termediasi
yang termediasi semu, asimetris

(Komunikasi
antarpribadi
antarpribadi yang
formal/profesional) MEDIA
MASSA

MEDIA
PERSONAL
(Media alternatif)

Konten yang tidak profesional/lembaga


Gambar 6.1 Dua aksis model hubungan antara media massa dan media personal
(Luders, 2008)

154 Teori

adalah perbedaan yang dibuat oleh Thompson (1993) antara komunikasi yang (secara
teknis) termediasi dan termediasi semu, sebagaimana yang dibahas pada Bab 4.

Apa
Ap a yan
y ang
g Baru
Bar u d ari Med
Medii a Baru?
Bar u?
Aspek paling mendasar dari teknologi informasi dan komunikasi (TIK) barangkali
adalah fakta digitalisasi, proses di mana semua teks (makna simbolik dalam bentuk yang
telah direkam dan dikodekan) dapat dikurangi menjadi kode biner dan dapat
mengalami proses produksi, distribusi, dan penyimpanan yang sama. Konsekuensi
potensial yang paling terkenal dari lembaga media adalah konvergensi antara semua
bentuk media
media dalam kaitannya
kaitannya dengan pengaturan,
pengaturan, distribu
distribusi,
si, penerimaan,
penerimaan, dan regulasi
regulasi
mereka. Sebagaimana yang telah kita lihat, banyak bentuk media massa yang bertahan,
mempertahankan identitas mereka, dan bahkan terus berkembang. Lembaga media
massa umum juga bertahan sebagai elemen penting dari kehidupan sosial publik,
barangkali dikuatkan karena posisinya yang penting bagi politik dan perdagangan
perdagangan..
‘Media elektronik baru’ dapat dilihat awalnya sebagai tambahan atas spektrum yang
sudah ada alih-alih sebagai pengganti. Di lain pihak, kita harus mempertimbangkan
bahwa digitalisasi dan konvergensi dapat memiliki konsekuensi yang lebih
revolusioner.
Jika kita melihat pada ciri utama lembaga media,
media, sebagaiman
sebagaimanaa digambarkan pada
Kotak 3.4, sepertinya Internet secara khusus telah menyimpang dari tiga penggambaran
dari enam poin yang disebutkan. Pertama, Internet tidak hanya berkaitan dengan
produksi dan distribusi pesan, tetapi juga dapat disetarakan dengan pengolahan,
pertukaran, dan penyimpanan. Kedua, media baru merupakan lembaga komunikasi
publik juga privat, dan diatur (atau tidak) dengan layak. Ketiga, kinerja mereka tidak
seteratur sebagaimana media massa yang profesional dan birokratis. Terdapat
perbedaan signifikan yang menekankan fakta bahwa hubungan media baru dengan
media massa adalah pada penyebarannya yang luas, secara prinsip tersedia untuk
semua jenis komunikasi, dan setidaknya bebas dari kontrol.
Percobaan untuk mencirikan media baru, terutama sebagaimana yang
dilambangkan oleh Internet, telah dihambat oleh keragaman penggunaan dan
pengawasan sebagaimana juga ketidakpastian masa depan mereka. Komputer yang
diterapkan pada komunikasi telah memproduksi banyak kemungkinan varian, tidak
ada satu pun yang dominan. Postmes dan kawan-kawan (1998) menggambarkan
komputer sebagai teknologi komunikasi yang ‘secara unik tidak berdedikasi’. Dalam
pemikiran yang sama, Poster (1999) menggambarkan inti dari Internet sebagai ‘tidak
berkarakter’,, tidak hanya karena keragaman serta ketidakpastiannya
berkarakter’ ketidakpastiannya di masa depan,
tetapi juga karena karakternya yang secara esensial postmodern. Ia juga menunjuk pada
perbedaan utama dari penyiaran dan percetakan sebagaimana yang ditunjukkan pada
Kotak 6.1.

Media Baru—Teori Baru? 155

Perbedaan media baru dari media lama: kutipan kunci

Internet menggabungkan radio, film, dan televisi dan menyebarkannya


melalui teknologi ‘tekan’ (push):

media baru mengabaikan batasan percetakan dan model penyiaran dengan (1) memungkinkan
terjadinya percakapan antar-banyak pihak; (2) memungkinkan penerimaan secara simultan,
perubahan dan penyebaran kembali objek-objek budaya; (3) mengganggu tindakan komunikasi
dari posisi pentingnya, dari hubungan kewilayahan dari modernitas; (4) menyediakan kontak
global secara instan; dan (5) memasukkan subjek modern/akhir modern ke dalam mesin aparat
yang berjaringan (Poster, 1999:15)

Secara lebih singkat, Livingstone (1999: 65) menulis: “apa yang baru mengenai Internet barangkali
adalah kombinasi dari interaktivitas dengan ciri yang inovatif bagi komunikasi massa—jenis konten yang
tidak terbatas, jangkauan khalayak, sifat global dari komunikasi.” Pandangan ini menyarankan
penambahan alih-alih penggantian. Sebuah penilaian dibuat lima tahun sesudah ini oleh Lievrouw (2004)
menggarisbawahi pandangan umum bahwa ‘media baru telah menjadi ‘semakin umum’ (mainstream),
rutin, dan ‘banal’. Penelitian mengenai komunikasi politik membahas mengenai ‘normalisasi’ Internet yang
berarti adaptasi Internet terhadap kebutuhan
kebutuhan untuk bentuk mapan dari kampan
kampanye
ye (Vaccari, 2008b). Benar
bahwa penerapan dan penggunaan tidak menjadi eforia dari hype klaim awal dan pandangan untuk
masyarakat atau pengharapan untuk keuntungan, tetapi masih terlalu awal untuk membuat penilaian.
Beberapa ciri kunci inovasi Internet belum dipelajari secara layak. Salah satunya adalah konsep baru
dan realitas dari portal Web. Kalyanaraman dan Sundar (2008: 239) menunjukkan bahwa ‘salah satu ciri
unik dari World Wide Web sebagai media massa terletak pada fakta bahwa sumber pesan tidak dibedakan
dari penerima pesan’. Hasilnya adalah portal yang membantu mengambil dan menyaring banyak
informasi yang tersedia. Bagaimanapun, konsep ini masih abstrak dan belum ada teorinya. Para penulis ini
mengajukan klasifikasi awal dari portal yang berdasarkan ide metafora, sebagaimana yang digunakan
pada Bab 4 (Kotak 4.1). Mereka mengajukan lima metafora yang mencakup fungsi utama dari Web bagi
sumber dan penerima. Poin- poin ini dirangkum dalam Kotak 6.2. Tujuannya adalah untuk mendapatkan
klarifikasi makna dan fungsi dari portal dengan penelitian empiris lebih lanjut dari perkembangan
kerangka ini.
6 ■»
0 Metafora untuk portal Internet:
Internet: ciri-ciri utama
(berdasarkan Kalyanaraman dan Sundar, 20
2008)
08)

Gateway. Pintu terhadap akses informasi di Web atau akses ke Web itu sendiri.
Billboard: Membantu meningkatkan kesadaran akan dan keyakinan
pada situs lain di portal sebagaimana situs luar.
Jaringan: Tempat yang tersedia bagi pengguna dengan kesamaan
minat dan saling memamerkan minat satu sama lain.
Niche: Memenuhi peran khusus bagi pengguna secara umum atau
yang ditargetkan.
Merek. Sumber online tanpa henti yang menawarkan beberapa atau
perangkat tertentu dari fungsi transaksi.

Secara umum, perbedaan antara media baru dan lama dapat dijelaskan secara lebih mendetail jika
kita mempertimbangkan peranan utama dan hubungan yang ditemukan di dalam Iembaga media
tradisional, terutama yang berkaitan dengan kepengarangan (dan performa), publikasi, produksi dan
distribusi, serta penerimaan. Singkatnya, dampak utamanya adalah sebagai berikut.
Untuk pengarang, terdapat peningkatan kesempatan jika menulis di Internet, penerbitan sendiri,
‘blogging, dan tindakan otonomi serupa yang dapat dihitung sebagai publikasi. Bagaimanapun, status dan
penghargaan terhadap pengarang, sebagaimana yang dipahami hingga kini, bergantung pada signifikansi
dan lokasi dari publikasi dan derajat serta jenis perhatian publik yang diterima. Menulis surat atau puisi
pribadi atau memotret, bukanlah pengarang yang sebenarnya. Kondisi penghargaan serta kepercayaan
publik belum berubah dengan adanya teknologi baru, dan kondisi memiliki khalayak yang luas dan
popularitas yang tersebar barangkali menjadi lebih sulit diraih. Tidak mudah untuk menjadi terkenal di
Internet, tanpa kerja sama dengan media massa tradisional. Semakin meningkat pula kesulitan dalam

memelihara hak cipta (copyright) sebagaimana juga yang muncul dari kompetisi dengan pasokan ‘konten
gratis’.
Bagipenerbit, perannya berlanjut, tetapi menjadi semakin ambigu dengan alasan yang serupa dengan
yang dialami pengarang. Hingga saat ini, sebuah penerbitan umumnya adalah firma bisnis atau Iembaga
publik nirlaba. Media baru membuka bentuk publikasi alternatif dan memberikan kesempatan dan
tantangan bagi penerbitan tradisional. Penerbit tradisional berfungsi sebagai penjaga pintu (gatekeeping),
intervensi editorial dan pengesahan pengarang dapat ditemukan pada beberapa jenis publikasi Internet,
tetapi tidak pada hal lainnya.
Sementara peranan khalayak, ada kemungkinan besar untuk perubahan, terutama yang mengarah
pada otonomi yang lebih besar dan kesetaraan dalam hubungan sumber dan pemasok. Anggota khalayak
tidak lagi merupakan bagian dari massa,
Media Baru—Teori Baru? 157

tetapi anggota dari jaringan yang dipilh sendiri, atau publik khusus, atau individu. Sebagai tambahan,
keseimbangan aktivitas khalayak bergerak dari penerimaan kepada pencarian, konsultasi, dan berinteraksi
dengan lebih personal. Sebagai hasilnya, istilah ‘khalayak’ perlu ditambah dengan istilah yang tumpang
tindih dengan ‘pengguna’ dengan konotasi yang berbeda. Selain hal ini, masih terdapat bukti
keberlanjutan dari khalayak massa dan masih ada tuntutan dari khalayak untuk penyaringan dan petunjuk
editorial.. Rice (1999: 29) menyatakan paradoks dari jenis pilihan beragam yang dihadapi khalayak: ‘sat ini
editorial
individu harus membuat lebih banyak pilihan, harus memiliki pengetahuan lebih dulu, dan harus lebih
berusahaa untuk
berusah untuk mengintegrasika
mengintegrasikan
n dan memaknai
memaknai komunikasi.
komunikasi. Interaktivitas
Interaktivitas dan pilihan bukanlah
keuntungan
keuntungan unive
universal;
rsal; banyak orang yang tidak memiliki tenaga, keinginan,
keinginan, kebutuhan, atau latihan untuk
terlibat dalam proses semacam itu.
Komen-komen ini tidak lengkap tanpa referensi terhadap perubahan peran dalam hubungan kepada
ekonomi media. Untuk sebagian hal, media massa dibiayai oleh penjualan produk kepada khalayak dan
dibayar oleh pengiklan atas kesempatan mendapatkan perhatian khalayak terhadap pesan mereka.
Internet memperkenalkan banyak kesulitan dan perubahan dengan jenis baru hubungan dan bentuk-
bentuk komodifikasi.
komodifikasi. Hal ini dibahas
dibahas di tempat
tempat lain, terutama
terutama pada Bab 9.
Sejauh mengenai hubungan antara berbagai peranan yang berbeda, kita dapat mengajukan sesuatu
yang lebih fleksibel dan bebas, terutama yang berkaitan dengan pengarang dan khalayak. Rice (1999: 29)
menyatakan bahwa ‘batasan antara penerbit, produsen, distributor, konsumen, dan pengamat konten
sudah semakin kabur.’ Hal ini menyebabkan keraguan terhadap kelayakan ide dari sebuah institusi
sebagai sebuah organisasi sosial yang memiliki praktik dan norma bersama. Dalam kegagalan, kita akan
lebih memperhatikan munculnya perpecahan, lembaga khusus aktivitas media yang lebih rumit. Hal ini
akan berdasarkan baik pada teknologinya maupun pada penggunaan dan konten tertentu (misalnya
berkaitan dengan jurnalisme (journalism ) berita, film hiburan, bisnis, olahraga, pornografi, pariwisata,
pendidikan, profesi (profession), dan sebagainya) tanpa identitas lembaga bersama. Dengan ini, media
massa akan hilang. Kotak 6.3 berisi efek hipotesis utama dari media baru.

Perubahan utama yang berkaitan dengan munculnya media


baru

• Digitalisasi dan konvergensi atas segala aspek media.


• Interaktivitas dan konektivitas jaringan yang makin meningkat.
me ningkat.
• Mobilitas dan delokasi untuk mengirim dan menerima.
• Adaptasi terhadap
terhadap peranan publika
publikasi
si dan khalayak.
• Munculnya beragam bentuk baru 'pintu' (gateway) media.
• Pemisahan dan pengaburan dari 'lembaga media'.
158 Teori

Tema Utama dari Te


Teor
orii Media
Medi a Bam
Dalam Bab 4, media massa disoroti atas empat masalah luas: berhubungan dengan

kekuasaan dan ketidaksetaraan, integrasi sosial dan identitas, perubahan sosial dan
perkembangan, serta ruang dan waktu. Hingga suatu titik, perspektif teoretis pada media
perkembangan,
baru masih dapat dibahas dalam tema yang sama. Bagaimanapun
Bagaimanapun,, menjadi lebih jelas
bahwa beberapa
beberapa isu dalam teori terdahu
terdahulu
lu tidak cocok dalam situ
situasi
asi media baru.
baru. Dalam
kaitannya dengan kekuasaan misalnya, lebih sulit untuk menghubungkan media baru
dengan kepemilikan dan praktik kekuaaan. Kepemilikan mereka tidak secara jelas
diidentifikasikan dan tidak ada monopoli akses atas arus informasi dan konten supaya
dapat dengan mudah dikontrol. Komunikasi tidak bergerak dalam pola vertikal atau
terpusat dari atas’ atau ‘pusat' masyarakat. Pemerintah dan hukum tidak mengontrol
atau mengatur Internet dalam cara yang hierarkis sebagaimana yang mereka lakukan
pada ‘media lama (Collins, 2008). Terdapat pula alasan untuk beranggapan bahwa jika
Internet menjadi lebih sukses, maka akan jatuh ke tangan para konglomerat media,

meniadakan kebebasannya (Dahlberg, 2004). Terdapat alasan untuk menganggap media


baru berkontribusi
berkontribusi mengontrol
mengontrol kekuatan dari penguasa
penguasa pusat, terutama
terutama melalu
melaluii
pengawasan pengguna.
Saat ini, terdapat kesetaraan yang lebih besar untuk akses yang tersedia sebagai
pengguna, penerima, penonton, atau partisipan di dalam pertukaran jaringan. Tidak lagi
mungkin untuk mencirikan ‘arah’ dominan atau bias pengaruh dari arus informasi
(sebagaimana dengan pers dan berita televisi) walaupun isu derajat kebebasan yang
tersedia di saluran baru masih jauh dari selesai. Breen (2007) melaporkan ketakutan
bahwa Internet mungkin berkembang
berkembang melampau
melampauii fase keterbu
keterbukaan
kaan dan demokrasi,
kemudian menjadi layanan multi tahap dengan akses yang lebih baik kepada mereka
yang mampu membayar lebih untuk memproduksi dan menyediakan konten, atau
membayar lebih untuk menerima konten yang lebih bernilai.

Dalam kaitannya dengan integrasi dan identitas, wilayah konseptualnya kurang lebih
sama dengan yang ada sebelumnya. Isu yang masih sama adalah apakah media baru
merupakan kekuatan untuk memecah atau menyatukan masyarakat. Pengaturan dasar
dari Internet dan sifat
s ifat penggunaannya
penggunaannya mengarah pada efek perpecahan sosial (Sunstein,
2006). di sisi lain, Internet membuka jalan untuk hubungan serta jaringan tidak langsung
yang baru yang menyatu dengan cara yang berbeda dan lebih mengikat (Slevin, 2000).
Fokus lama mengenai media massa yang menjadi masalah bagi negara, biasanya
berkaitan dengan wilayah yang dilayani media massa. Mungkin berupa wilayah, kota,
atau zona administrasi politik lainnya. Identitas dan kesatuan secara luas didefinisikan
secara geografis. Pertanyaan kuncinya tidak lagi terbatas pada hubungan sosial yang
dahulu serta identitas.
Rasmussen (2000) berpendapat bahwa media baru memiliki efek kualitatif yang
berbeda terhadap integrasi
integrasi ssosial
osial dalam jaringan
jaringan masyarakat
masyarakat modern yang mengam
mengambil
bil
dari teori modernisasi Giddens (1991). Kontribusi pokoknya adalah untuk menjembatani
jurang lebar yang terbuka antara dunia publik
publik dan privat, antara ‘dunia
‘dunia kehidupan dan
dunia sistem serta organisasi. Jurang ini juga dapat bertambah akibat dari jalan tol

Media Baru—Teori Baru? 159

elektronik baru. Kontras dengan televisi, media baru dapat memainkan peranan
langsung dalam proyek kehidupan individual. Mereka juga mempromosikan
keragaman penggunaan dan partisipasi yang lebih besar. Singkatnya, media baru
membantu merekatkan kembali individu setelah efek ‘tercerai-berai’ akibat dari efek
modernisasi.
Bagaimanapun, barangkali lebih besar kemungkinan media partisipan yang secara
setara atau cocok untuk memengaruhi perubahan sosial karena mereka lebih terlibat dan
fleksibel dan kaya informasi. Hal ini konsisten dengan model yang lebih canggih dari
proses perubahan. Beberapa media baru juga lebih mandiri dalam infrastrukturnya.
Masalahnya, bagaimanapun, tidak terletak pada sifat teknologi, tetapi pada hambatan
materi berkelanjutan terhadap akses. Proses perkembangan mungkin masih harus
mendului posisi media baru, sebagaimana media lama harus memiliki khalayak untuk
mendapatkan efek.
Banyak yang telah ditulis mengenai media baru yang melampaui batasan ruang
dan waktu. Bahkan, ‘media lama’ baik dalam menjembatani ruang, walaupun barangkali
kurang baik dalam kaitannya dengan pembagian budaya. Mereka lebih cepat daripada
perjalanan dan transportasi fisik yang muncul sebelum mereka. Akan tetapi, kapasitas
mereka terbatas dan teknologi penyiaran membutuhkan pabrik yang tetap dan biaya
yang banyak untuk mengatasi jarak. Mengirim dan menerima pesan sangat terpaku
pada lokasi fisik (di kantor, rumah,
rumah, dan sebagainya)
s ebagainya) teknologi baru telah membebaskan
kita dari banyak hambatan, walaupun masih ada alasan sosial dan budaya lain mengapa
aktivitas komunikasi masih membutuhkan lokasi yang tetap. Internet, meskipun tidak
terhambat jarak, tetapi secara luas masih terstruktur menurut wilayah, terutama batasan
negara dan bahasa (Halavais, 2000) walaupun ada juga faktor baru dalam geografinya
(Castells, 2001). Komunikasi terkonsentrasi di AS dan Eropa, dan arus lintas batas
cenderung menggunakan bahasa Inggris. Seberapa jauh batasan waktu telah diatasi
lebih tidak pasti, kecuali berkaitan dengan kecepatan penyiaran yang lebih besar,

menghindar dari jadwal waktu yang tetap, dan kemampuan untuk mengirimkan pesan
ke siapapun di manapun kapan pun (tetapi tanpa jaminan adanya penerimaan atau
respons). Kita masih tidak memiliki akses yang lebih baik ke masa lalu atau ke masa
depan atau lebih banyak waktu untuk komunikasi, dan waktu yang dihemat oleh
fleksibilitas yang baru dihabiskan dengan cepat pada tuntutan interkomunikasi yang
baru.

Menerapkan
Menerapkan Teor
Teorii Medi
Mediaa pada Medi
Mediaa Baru
Sebagaimana yang diamati oleh Rice dan kawan-kawan (1983: 18) beberapa waktu lalu,
pernyataan bahwa ‘saluran komunikasi yang barangkali merupakan variabel di dalam
proses komunikasi yang sama pentingnya dengan sumber, pesan, penerima, dan umpan
balik mungkin telah diabaikan
diabaikan.. Merujuk pada penelitian Mazhab
Mazhab Toronto (lihat
( lihat Bab 4),
mereka menambahkan bahwa ‘tidak perlu seorang determinis teknologi untuk
percaya bahwa media mungkin adalah variabel fundamental dalam proses komunikasi’. Meskipun

160 Teori
demikian, masih sangat sulit untuk mengidentifikasi karekteristik ‘utama’ dari media manapun, dan dasar
untuk membedakan antara media lama dan baru masih belum solid.
Masalah utamanya terletak pada fakta bahwa dalam pengalaman sebenarnya, sulit untuk
membedakan saluran atau media dari konten yang dibawanya atau penggunaan yang dihasilkan darinya
atau konteks penggunaannya (misalnya, rumah, kantor, atau tempat umum). Masalah sama yang
menyebabkan masalah pada penelitian terdahulu kepada keuntungan relatif dan kapasitas dari media
‘tradisional’ yang berbeda sebagai saluran komunikasi. Bagaimanapun, hal ini tidak berarti bahwa tidak
ada perbedaan penting atau ketidaksinambungan yang muncul antara media lama dan baru. Pada saat ini,
kita dapat melakukan lebih banyak daripada membuat kesimpulan yang kredibel. Quortrup (2006)
menyimpulkan bahwa ‘teori media’ tidak dapat menangani kasus media digital yang baru karena mereka
memiliki fitur yang tidak terbatas dan tidak ada satu pun yang pasti. Ia menganggap hal ini sebagai fitur
paling penting dari ‘media baru’. Mereka dicirikan oleh kompleksitas dan fungsi dasar mereka adalah
untuk mengelola kompleksitas sosial. Maka, kita dapat memahami media baru dalam hubungannya
dengan ‘teori kompleksitas’ yang terletak di suatu tempat di antara teori tatanan atau teori sistem (. system
theory) dan teori kekacauan (chaos theory).
Rice (1999) berpendapat bahwa tidak terlalu menguntungkan untuk mencoba mencirikan tiap media
menurut sifat-sifat khususnya. Alih-alih, kita harus mempelajari sifat-sifat media pada umumnya dan
melihat bagaimana media baru ‘bekerja’ dalam hal ini. Perbandingan media cenderung ‘mengidealisasikan
sifat-sifat tertentu media (misalnya komunikasi tatap muka atau keunggulan buku tradisional) yang
mengabaikan paradoks dari dampak positif dan negatif. Keragaman kategori ‘media baru’ dan sifat mereka
yang terus berubah memberikan batasan yang jelas bagi pembentukan teori mengenai ‘dampak’ mereka.
Bentuk-bentuk teknologi berlipat ganda, tetapi sering kali sifatnya sementara. Walaupun demikian, kita
dapat mengidentifikasi lima kategori utama ‘media baru’ yang sama-sama memiliki kesamaan saluran
tertentu dan kurang lebih deibedakan berdasarkan jenis penggunaan, konten, dan konteks, seperti berikut
ini:

• Media komunikasi antarpribadi (interpersonal communication media). Meliputi telepon (yang semakin mobil)

dan surat elektronik (terutama untuk pekerjaan, tetapi menjadi semakin personal). Secara umum,
konten bersifat pribadi dan mudah dihapus dan hubungan yang tercipta dan dikuatkan lebih penting
daripada informasi yang disampaikan.
• Media permainan i nteraktif (interactive play media). Media ini terutama berbasis komputer dan video game,
ditambah peralatan realitas virtual. Inovasi utamanya terletak pada interaktivitas dan mungkin
dominasi dari kepuasan proses’ atas penggunaan!
• Media pencarian i nformasi (information search media). Ini adalah kategori yang luas, tetapi Internet/WWW
merupakan contoh yang paling penting, dianggap sebagai perpustakaan dan sumber data yang ukuran,
aktualitas, dan aksesibilitasnya belum pernah ada sebelumnya. Posisi mesin pencari telah menjadi
sangat penting sebagai
Media Baru—Teori Baru? 161

alat bagi para pengguna sekaligus sebagai sumber pendapatan untuk Internet. Di samping Internet, telepon
(mobile) juga semakin menjadi saluran penerimaan informasi, sebagaimana juga teleteks yang disiarkan
dan layanan data radio.
• Media partisipasi kolektif (collective participatory media). Kategorinya khususnya meliputi penggunaan
Internet untuk berbagi dan bertukar informasi, gagasan, dan pengalaman, serta untuk mengembangkan
hubungan pribadi aktif (yang diperantarai komputer). Situs jejaring sosial termasuk di dalam kelompok
ini. Penggunannya berkisar dari yang murni peralatan hingga afektif dan emosional (Baym, 2002).
• Substitusi media penyiaran (substitution of broadcasting media). Acuan utamanya adalah penggunaan media
untuk menerima atau mengunduh konten yang di masa lalu biasanya disiarkan atau disebarkan
dengan metode lain yang serupa. Menonton film dan acara televisi atau mendengarkan radio dan
musik adalah kegiatan utama.

Keragaman yang ditunjukkan oleh pengelompokan ini menyulitkan untuk memperoleh ringkasan
yang berguna tentang ciri-ciri media yang unik dari media baru atau yang dapat berlaku untuk semua
kategori. Fortunati (2005) menekankan

Karekteristik
Karekteristik kunci untuk membedakan
membedakan media lama dengan media
baru dari perspektif p engguna

• Interaktivitas (interactivity): sebagaimana ditunjukkan oleh rasio respons atau inisiatif dari
sudut pandang pengguna terhadap ‘penawaran’ sumber atau pengirim.
• Kehadiran sosial (atau sosiabilitas) (social presence or sociability): dialami oleh pengguna,
berarti kontak personal dengan orang lain dapat dimunculkan oleh penggunaan media (Short
dan kawan-kawan, 1976; Rice, 1993).
• Kekayaan media (media richness): jangkauan di mana media dapat menjembatani kerangka

referensi yang berbeda, mengurangi ambiguitas, memberikan lebih banyak petunjuk,


melibatkan lebih banyak indra, dan lebih personal.
• Otonomi (autonomy): derajat di mana seorang pengguna merasakan kendali atas konten dan
penggunaan, mandiri dari sumber.
• Unsur bermain-main (playfulness): kegunaan untuk hiburan dan kesenangan, sebagai lawan
dari sifat fungsi dan alat.
• Privasi (privacy): berhubungan dengan kegunaan media dan/atau konten tertentu.
• Personalisasi(personalization): derajat di mana k onten dan penggunaan menjadi personal dan
unik.
162 Teori
kecenderungan paralel dari ‘mediatisasi’ (mediatization) Internet dan ‘Internetisasi’ media massa
sebagai cara untuk memahami proses konvergensi mutual (lihat juga Luders, 2008). Persepsi subjektif
dari karekteristik media baru menunjukkan variasi yang luas di antara orang-orang. Dalam satu
penelitian tentang perbedaan yang teramati dari komunikasi tatap muka, misalnya Peter dan
Valkenburg (2006), melihat perbedaan- perbedaan dalam faktor dapat dikontrol atau tidak,
ketimbalbalikan (reciprocity), atau keluasan dan kedalaman, tetapi tidak menemukan konsensus yang
jelas mengenai citra Internet. Serangkaian kriteria yang berbeda relevan untuk perbandingan dengan
komunikasi massa. Kotak 6.4 menunjukkan dimensi atau variabel tertentu yang telah diperkirakan
membantu dalam membedakan media lama dengan media baru, seperti yang terlihat dari perspektif
‘pengguna individu.

Makna dan pengukuran interaktivitas


Walaupun interaktivitas (interactivity) sering disebutkan sebagai sifat yang menggambarkan media

baru, ia dapat memiliki makna yang berbeda dan telah ada banyakliteratur tentang topik ini (Kiousis,
2002). Kiousis tiba pada ‘definisi operasionaT dari interaktivitas dengan merujuk pada empat
indikator: kedekatan (kedekatan sosial dengan orang lain); aktivasi pengindraan; kecepatan yang
diamati; dan kehadiran jarak jauh. Dalam definisi ini, lebih banyak tergantung pada persepsi
pengguna daripada kualitas media yang objektif. Downes dan McMillan (2000) menyebutkan lima
dimensi interaktivitas sebagai berikut:

• arah komunikasi;
• fleksibilitas waktu dan peran yang dipertukarkan;
• memiliki kesadaran akan ruang dalam lingkungan komunikasi;
• tingkat pengendalian (pada lingkungan komunikasi);
• tujuan yang diamati (pertukaran dan persuasi yang terarah).

Dari sini jelas bahwa kondisi interaktivitas bergantung pada lebih dari sekadar teknologi yang dipakai.
Percobaan awal untuk mengonseptualisasikan Internet sebagai media massa oleh Morris dan
Ogan (1996) mendekati dari sudut pandang khalayak. Mereka menempatkan konsep penggunaan dan
kepuasan, derajat dan jenis keterlibatan, dan derajat kehadiran sosial dalam agenda, tetapi tidak
mampu meraih kesimpulan yang kuat mengenai karekteristik pokok Internet sebagai sebuah media.
Lindlof dan Schatzer (1998) menawarkan pandangan mengenai Internet yang diambil dari etnografi
khalayak, memberi komentar tentang keragaman bentuknya yang mencakup kelompok baru, mailing
list, ruang simulasi, website, dan sebagainya. Dalam pandangan mereka, komunikasi yang
diperantarai komputer (computer-mediated communication) berbeda dengan penggunaan media lain
karena sifatnya sementara, multimodal, dengan sedikit penggunaan kode perilaku pengaturan, dan
memungkinkan ‘manipulasi
konten oleh pengguna akhir’ pada tingkat tinggi. Mereka memperhatikan bahwa
kondisi ketidakrelevanan lokasi sumber ‘menawarkan kemungkinan-kemungkinan baru
kehidupan sipil, pembelajaran bersama-sama, dan kontak antarbudaya yang bebas dari
batas-batass geografi, tetapi juga membuka ruang-ruang
batas-bata ruang-ruang untuk konten seksual yang
gamblang, wicara berdasarkan kebencian, penyebaran rumor, dan iklan alkohol yang

Media Baru—Teori Baru? 163

ditujukan kepada anak-anak.’


Walaupun kita dapat mencirikan media baru menurut potensinya, hal ini tidak
sama seperti verifikasi empiris (lihat diskusi mengenai komunitas). Kasusnya adalah

potensi sosiabilitas dan interaktivitas. Meskipun benar bahwa komputer


menghubungkan seseorang dengan orang lain, pada tahap penggunaannya melibatkan
perilaku soliter, pilihan dan respons individualistis, dan anonimitas yang jamak (lihat
Turner dan kawan-kawan, 2001; Baym, 2002). Hubungan yang tercipta atau
termediasikan oleh mesin-mesin komunikasi baru sering kali bersifat sementara,
dangkal, dan tanpa komitmen. Mereka tidak terlalu dianggap sebagai penawar bagi
individualisme, ketidakberakaran, dan kesendirian yang diasosiasikan dengan
kehidupan modern dibandingkan perkembangan logis menuju bentuk interaksi sosial
yang dapat dicapai hingga keteraturan, sebagaimana dahulu.

Pola Baru Lalu Lintas


Lin tas Info
Informasi
rmasi
Cara lain yang berguna untuk mempertimbangkan dampak perubahan yang kita bahas
adalah dengan memikirkannya dalam hubungan dengan jenis-jenis alternatif lalu lintas
informasi (information traffic) dan keseimbangan di antara mereka. Dua ahli
telekomunikasi Belanda, Bordewijk dan van Kaam (1986) telah mengembangkan model
yang membantu memperjelas dan menyelidiki perubahan yang terjadi. Mereka
menggambarkan empat pola komunikasi dasar dan menunjukkan bagaimana
hubungannya satu sama lain. Pola itu diberi label ‘ allocution, ‘percakapan, ‘konsultasi’,
‘registrasi’.

Allocution
Dengan allocution (kata yang berasal dari kata Latin untuk pidato jenderal Roma kepada
pasukannya), informasi disebarkan dari pusat secara bersamaan kepada banyak
penerima periferi dengan kesempatan umpan balikyang terbatas. Pola ini berlaku bagi
beberapa situasi komunikasi
komunikasi yang akrab, mulai dari perkuliahan,
perkuliahan, khotbah g
gereja,
ereja, atau
konser (di mana pendengar atau penonton secara fisik berada di dalam auditorium)
hingga situasi penyiaran di mana pesan radio atau televisi diterima pada saat yang
bersamaan oleh banyak individu yang tersebar. Karekteristik
Karekteristik lain adalah bahwa waktu
dan tempat komunikasi ditentukan oleh pengirim atau di ‘pusat’. Walaupun konsep ini
berguna untuk membandingkan
membandingkan model-model
model-model alternatif, jurang antara komunikasi
komunikasi
pribadi dan komunikasi massa yang nonpersonal sangat lebar dan tidak
dapat dijembatani oleh satu konsep tunggal. Kasus ‘khayalak yang berkumpul’ cukup berbeda dengan
‘khalayak yang tersebar’.
t ersebar’.
164 Teori
Percakapan dan pertukaran
Dengan percakapan, individu (dalam sebuah jaringan komunikasi potensial) berinteraksi secara

langsung antara satu dan yang lain, melewati sebuah pusat atau perantara dan memilih rekan mereka
sendiri, juga waktu, tempat, dan topik komunikasi. Pola ini berlaku pada beragam situasi di mana
interaktivitas dimungkinkan, termasuk pertukaran surat pribadi atau surat elektronik. Percakapan
yang dimediasi secara elektronis bagaimanapun biasanya membutuhkan sebuah pusat atau penengah
(misalnya telepon atau penyedia layanan), bahkan jika tidak ada peranan aktif atau pemula dalam
peristiwa komunikasi.
Karekteristik dari pola percakapan adalah fakta bahwa semua pihak setara dalam pertukaran.
Pada prinsipnya lebih daripada dua pihak dapat terlibat (misalnya pertemuan kecil, konferensi
telepon, atau kelompok diskusi yang diperantarai komputer). Bagaimanapun pada titik tertentu, skala
partisipasi yang meningkat berujung pada penyatuan dengan situasi alokutif.

Konsultasi
Konsultasi mengacu pada serangkaian situasi komunikasi yang berbeda di mana individu (pada
periferi) mencari informasi di pusat penyimpanan informasi—bank data, perpustakaan, karya rujukan,
cakram komputer, dan sebagainya. Kemungkinan semacam itu volumenya semakin meningkat dan
jenisnya semakin beragam. Pada prinsipnya,
prinsipnya, pola ini juga diterapkan pada penggunaan
penggunaan surat kabar
tradisional
tradisional yang berbasis cetak (jika tidak dianggap sebagai media massa alokutif) karena waktu dan
tempat konsultasi dan juga topiknya ditentukan oleh penerima di periferi dan bukan oleh pusat.

Registrasi
Pola lalu lintas informasi yang disebut sebagai ‘registrasi’ ( registration ) sesungguhnya adalah pola

konsultasi yang berkebalikan, di mana pusat meminta dan menerima informasi dari partisipan di
periferi. Hal ini berlaku kapan pun pencatatan pusat disimpan oleh individu dalam sebuah sistem dan
pada semua sistem pengawasan. Hal ini berhubungan, misalnya dengan pencatatan otomatis di pusat
pertukaran panggilan telepon, dengan sistem alarm elektronis, dan dengan registrasi otomatis
penggunaan perangkat televisi dalam penelitian khalayak ‘people-meter’ atau dengan tujuan-tujuan
Media Baru—Teori Baru? 165

membebankan biaya kepada konsumen. Hal itu juga mengacu pada penyusunan kekhususan
pelanggan e-commerce, untuk tujuan-tujuan pengiklanan dan penargetan. Akumulasi informasi di
pusat sering terjadi tanpa referensi pada, atau sepengetahuan dari individu. Meskipun pola ini

sepanjang sejarah bukanlah hal baru, kemungkinan refistrasi telah sangat meningkat karena
komputerisasi dan koneksi telekomunikasi yang diperluas. Secara khas dalam pola ini, pusat memiliki
kendali yang lebih atas individu di periferi untuk menentukan konten dan terjadinya lalu lintas
komunikasi.

Tipologi yang Terintegrasi


Empat pola ini melengkapi dan membatasi (atau tumpang tindih) satu sama lain. Para pencipta model
ini telah menunjukkan bagaimana pola-pola ini dapat dihubungkan berkaitan dengan dua variabel
utama: dari kontrol informasi pusat versus individual; dan dari kontrol waktu dan pilihan topik
sentral versus individual (lihat gambar 6.2). Pola allocution di sini berlaku pada media ‘lama’
komunikasi massa pada umumnya, dan secara luas sama dengan model transmisi—khususnya
penyiaran, di mana persediaan konten yang terbatas disediakan untuk khalayak massa. Pola
konsultasi telah dapat tumbuh tidak hanya karena telepon dan media telematika baru, tetapi karena
penyebaran peralatan rekaman gambar dan suara dan semata-mata peningkatan jumlah saluran
sebagai hasil dari kabel dan satelit. Media baru juga secara berbeda

Kontrol gud ang informasi


informasi
p usat Individual

Allocution
Registrasi
Pusat

Kontrol waktu \
dan pilihan T

subjek
Konsultasi
Individual Percakapan

Gambar 6.2 Tipologi lalu lintas informasi. Hubungan informasi dibedakan sesuai
dengan kapasitas untuk mengendalikan suplai dan pilihan konten; trennya adalah
dari mode allocutory ke konsultatif atau percakapan (Bordewijk dan van Kaam, 1986)
166 Teori
meningkatkan potensi ‘komunikasi percakapan atau komunikasi interaktif antara
individu-individu yang terpisah jauh. Seperti yang telah diperhatikan, ‘registrasi’
menjadi lebih praktis sekaligus sering terjadi, meskipun hal ini bukan pengganti bagi
jenis lalu lintas komunikasi
komunikasi lain. Hal
H al tersebut dapat dipandang
dipandang sebagai perpanjangan
perpanjangan
kekuatan pengawasan di era elektronik.
Anakpanah yang tertera pada Gambar 6.2 mencerminkan penyebaran ulang lalu
lintas informasi dari pola allocutory ke percakapan dan konsultatif. Secara umum, hal ini
mengimplikasikan pergeseran luas keseimbangan kekuatan komunikatif dari pengirim
ke penerima, meskipun hal ini dapat diimbangi dengan pertumbuhan registrasi dan
perkembangan lebih jauh jangkauan dan daya tarik media massa. Pola allocutory belum
betul-betull berkurang volumenya, tetapi
betul-betu t etapi telah mengambil
mengambil bentuk-bentuk
bentuk-bentuk baru dengan
penyediaan skala kecil untuk khalayak yang tersegmentasi berdasarkan kepentingan
atau keperluan informasi {‘narrowcasting). Akhirnya, kita dapat menyimpulkan dari
gambar ini bahwa pola arus informasi tidak secara tajam berbeda seperti yang terlihat,
tetapi dapat saling tumpang tindih dan menyatu untuk alasan teknologi maupun sosial.
Teknologi yang sama (misalnya, infrastruktur telekomunikasi) dapat menyediakan
rumah tangga dengan fasilitas untuk tiap-tiap dari empat pola yang digambarkan.
Cara menggambarkan perubahan yang sedang terjadi ini mendorong kita untuk
mempertimbangkan lagi relevansi teori media dewasa ini mengenai ‘efek’. Sepertinya,
kebanyakan dari ini hanya berlaku pada mode ‘allocutory, di mana model transmisi
masih tetap valid. Untuk situasi-situasi lain, kita perlu model yang interaktif, ritual atau
ditentukan oleh pengguna. Bahkan demikian, saat ini kita tidak punya teori atau
penelitian yang memadai untuk menyelidiki perubahan-perubahan yang mungkin
dalam cara media baru dipraktikkan.

Pembentukan Komunitas yang Dimediasi Komputer


Gagasan tentang ‘komunitas’ telah lama memiliki posisi yang penting dalam teori sosial,
khususnya sebagai alat untuk menilai dampak perubahan sosial dan sebagai penetral
gagasan mengenai massa. Pada pemikiran yang lebih awal, komunitas merujuk pada
sekelompok orang yang berbagi tempat (atau ruang yang terbatas), sebuah identitas
serta norma-norma, nilai-nilai, praktik budaya tertentu, dan biasanya cukup kecil untuk
saling mengenai atau berinteraksi. Komunitas jenis ini biasanya menunjukkan beberapa
sifat pembedaan berdasarkan status dan para anggotanya, dan dengan hal tersebut
menunjukkan hierarki dan bentuk organisasi yang informal.
Media massa tradisional dipandang sebagai ambivalen dalam relasi mereka
dengan komunitas biasa (lokal). Di satu sisi, besarnya skala mereka dan masuknya nilai-
nilai dan budaya dari luar dianggap menggerogoti komunitas lokal yang berdasarkan
interaksi personal. Di sisi lain, media dalam bentuk yang diadaptasi secara lokal dapat
melayani dan menguatkan komunitas dalam kondisinya yang terbaik. Meskipun itu
merupakan istilah lain bagi ‘komunitas’ (community), diamati juga bahwa media

Media Baru—Teori Baru? 167

berskala kecil yang disiarkan secara massal (publi


(publikasi
kasi khu
khusus
sus atau radio lokal) dapat membantu
membantu
menopang ‘komunitas dengan kesamaan minat’. Perkiraan umumnya adalah bahwa semakin besar
skala distribusi, semakin buruk bagi kehidupan sosial lokal dan komunitas, tetapi bahkan penilaian ini
ditantang oleh bukti perilaku antarpribadi yang terlokalisasi secara terus-menerus. Hal yang tidak
kurang relevannya adalah fakta bahwa media massa sering menyediakan topik percakapan untuk
diskusi dan membantu mencairkan kehidupan sosial di dalam lingkungan keluarga, tempat kerja, dan
bahkan antar-orang
antar-orang asin
asing.
g.
Dengan latar belakang ini, terdapat perdebatan terus-menerus tentang dampak- dampak tiap
inovasi media yang berhasil. Pada tahun 1960-an dan tahun 1970-an, kemunculan televisi kabel
disambut tidak hanya sebagai cara untuk lari dari batasan- batasan dan kemunduran televisi siaran
massal, tetapi sebagai alat positif untuk penciptaan komunitas. Sistem kabel lokal dapat saling
menghubungkan rumah-rumah dalam satu lingkungan dengan suatu pusat lokal. Penyusunan acara
dapat ditentukan dan dibuat oleh penduduk lokal (Jankowski, 2002). Banyak layanan bantuan dan
informasi ekstra dapat ditambahkan dengan ongkos rendah. Khususnya akses dapat diberikan kepada
serangkaian luas suara dan kelompok dan bahkan individu, dengan pengeluaran yang terbatas.
Bandwidth yang terbatas dari televisi tidak lagi menjadi batasan praktis besar, dan televisi dengan
kabel menjanjikan untuk mendekati berlimpahnya media cetak, setidaknya dalam teori.
Gagasan tentang ‘komunitas berjaringan’ dan ‘kota berjaringan’ menjadi populer (lihat Dutton,
dan kawan-kawan, 1986) dan eksperimen dilakukan di banyak negara untuk menguji potensi televisi
kabel. Ini adalah ‘media baru’ pertama yang diperlakukan secara serius sebagai alternatif terhadap
media massa ‘gaya lama’. Pada akhirnya, eksperimen sebagian besar dihentikan dan gagal memenuhi
harapan, memunculkan ungkapan ‘cable fable. Harapan-harapan yang lebih utopis didasarkan pada
landasan yang salah, khususnya asumsi bahwa versi mini yang berdasarkan komunitas dari media
profesional berskala besar cukup diinginkan oleh orang-orang yang hendak dilayani oleh mereka.
Masalah keuangan dan organisasi sering kali banyak jumlahnya. Distribusi kabel tidak menjadi
alternatif bagi media massa, tetapi utamanya hanya sebuah alat lain distribusi massal, walaupun
dengan ruang untuk akses lokal di beberapa titik. Apa yang menonjol tentang visi kabel ini adalah
fakta bahwa ‘komunitas’ fisik telah ada, tetapi potensinya belum terpenuhi, yaitu bahwa
antarkomunikasi yang lebih baik seharusnya diwujudkan.

Komunitas virtual
Serangkaian harapan baru tentang komunitas berkembang seputar komunikasi yang termediasikan
komputer (Computer Mediated Communication—CMC). Gagasan intinya adalah bahwa ‘komunitas
virtual’ (virtual community) yang dapat dibentuk oleh sejumlah berapapun individu melalu Internet
atas dasar pilihan mereka sendiri
168 Teori
atau sebagai tanggapan terhadap suatu rangsangan (Rheingold, 1994). Lindlof dan Schatzer (1998)
mendefinisikan komunitas virtual sebagai komunitas yang ‘didirikan secara sengaja oleh orang-orang yang
memiliki kepentingan-kepentingan yang sama yang sering kali berkisar seputar teks atau ungkapan
tertentu yang diambil dari tempat - tempat non-CMC, seperti opera sabun dan tokoh-tokoh mereka’.
Beberapa sifat komunitas sungguhan dapat diperoleh, termasuk interaksi, tujuan yang sama,
kesadaran akan identitas dan kepemilikan, beragam norma, dan aturan tidak tertulis (‘netiquette’, misalnya)
dengan kemungkinan akan penolakan dan pengucilan. Ada juga ritus, ritual, dan bentuk-bentuk
ungkapan. Komunitas-komunitas online seperti ini memiliki keuntungan tambahan pada prinsipnya,
terbuka, dan mudah diakses, sementara komunitas sungguhan sering kali sulit dimasuki. Meskipun
gagasan tradisional tentang komunitas berguna sebagai titik tolak untuk teori tentang dampak media baru,
bentuk-bentuk
bentuk-bentuk asosiasi yan
yang
g dibuat mungkin
mungkin oleh media
media baru sangat mungkin menjadi jeni
jeniss yang berbeda
berbeda..
Bentuk-bentuk itu mungkin tidak pasti, cair, dan kosmopolitan alih-alih lokal (Slevin, 2000).
Telah ada banyak penelitian empiris tentang ‘komunitas’ online, biasanya berdasarkan kepentingan
yang sama, misalnya fandom (fandom) suatu grup musik; atau berdasarkan karekteristik yang sama,
misalnya orientasi seksual atau situasi kesehatan atau sosial tertentu (lihat Jones, 1997,1998; Lindlof dan
Schatzer, 1998). Kondisi khas pembentukan komunitas virtual tampaknya melibatkan status minoritas,
persebaran anggota secara fisik, dan tingkat intensitas kepentingan. Dapat diapresiasi bahwa CMC
menawarkan kemungkinan terhadap komunikasi interaktif dan termotivasi yang tidak tersedia di media
massa atau lingkungan fisik terdekat. Penelitian Turner dan kawan-kawan (2001) tentang komunitas
dukungan kesehatan online menunjukkan bahwa kontak tatap muka dan online tidak eksklusif dan
memiliki interaksi yang bertimbal balik.
Para pendukung gagasan komunitas online biasanya sadar bahwa istilah lebih merupakan metafora
(Watson, 1997) daripada hal yang sesungguhnya. Di sisi lain, ‘hal yang sesungguhnya’ itu sendiri sering
kali agak memperdaya dan kadang-kadang bersifat mitos. Jones (1997:17) mengutip pandangan Benedict
Anderson (1983) bahwa ‘Komunitas harus dibedakan bukan dengan asli/palsunya, tetapi dengan gaya di
mana mereka digambarkan. Jones menulis: ‘komunitas Internet digambarkan dengan dua cara yang tidak
mendukung bagi komunitas manusia.’ Pertama adalah signifikansinya yang sering kali tidak ada, dan yang
lain adalah fakta bahwa terdapat bentuk keterhubungan yang tidak bertujuan dan tidak disengaja
mengenai pengalaman. Istilah ‘komunitas semu’ (pseudo-c
pseudo-community) yang diambil dari Beniger (1987),
ommunity)
digunakan untuk mengungkapkan keraguan mengenai keaslian komunitas virtual.
Fakta mediasi oleh mesin cenderung mengurangi kesadaran akan keterhubungan dengan orang lain.
Bahkan para pendukung komunitas virtual, seperti Rheingold (1994), menyadari bahwa identitas online
sering kali tidak asli atau diungkapkan. Mereka adalah ‘persona
‘persona ya
yang
ng diadopsi yang sering
s ering kali dirancang
untuk menutupi aspek-aspek identitas, misalnya usia atau gender (Jones, 1997: 107). Partisipasi dalam
banyak diskusi
diskusi online dan interaksi pada intinya adalah anonim, dan hal ini sering
kali menjadi bagian dari pertunjukan. Baym (2002) berkomentar atas kurangnya
informasi mengenai partisipasi maupun salah informasi. Ciri nilai yang tidak pasti
adalah hadirnya ‘penyusup yang bukan partisipan sama sekali.
Klaim atas istilah ‘komunitas’ dalam pengertiannya yang mapan, dirusak oleh
kurangnya transparansi dan keaslian dari kelompok yang dibentuk dengan cara
komunikasi yang dimediasikan komputer. Hal yang tidak kalah penting adalah
kurangnya komitmen ‘anggota’. Postman (1993) mengkritik adopsi dari metafora

Media Baru—Teori Baru? 169

komunitas karena kurangnya elemen esensial dari akuntabilitas dan kewajiban bersama.
Walaupun komunikasi yang dimediasikan komputer menawarkan kesempatan baru
untuk melintasi batasan sosial dan budaya, hal itu juga secara tidak langsung
menguatkan batas-batas yang sama. Mereka yang ingin menjadi bagian dari komunitas
dalam cyberspace harus menyesuaikan diri dengan norma-norma dan aturannya agar
dapat diakui dan diterima.

Parti
Partisip
sipasi
asi Politik,
Polit ik, Medi
Mediaa Baru,
Baru, dan Demo
Demokrasi
krasi
Media massa pers dan siaran awal secara luas dipandang menguntungkan (bahkan
perlu) bagi berjalannya politik yang demokratis. Keuntungan berasal dari arus informasi
tentang peristiwa publik kepada semua warga negara dan terbukanya politikus dan
pemerintah bagi sorotan dan kritik publik. Bagaimanapun, dampak negatif juga terlihat
karena dominasi saluran oleh sedikit suara, lazimnya ‘arus vertikal’, dan tingginya
komersialisme pasar media yang mengakibatkan pengabaian peran komunikasi
demokratis. Organisasi dan bentuk-bentuk komunikasi massa biasa membatasi akses
dan menurunkan partisipasi aktif dan dialog.
Media elektronik baru secara luas disambut sebagai cara yang potensial untuk lari
dari politik ‘top-down yang opresif dari demokrasi massa, di mana partai politik yang
terorganisasi secara ketat membuat kebijakan secara sepihak dan memobilisasi
dukungan di belakang mereka dengan perundingan dan masukan akar rumput yang
minimal. Mereka menyediakan alat untuk penyediaan informasi politik dan gagasan
yang sangat dibedakan, akses yang hampir tidak terbatas dalam teori untuk semua
suara, dan banyak umpan balik dan perundingan antara pemimpin dan pengikut.
Mereka menjanjikan forum-forum baru bagi perkembangan kelompok kepentingan dan
pembentukan opini. Mereka memungkinkan dialog berlangsung antara politikus dan
warga negara yang aktif tanpa campur tangan mesin partai yang tak terhindarkan.
Coleman (1999) menunjukkan ‘peran media baru dalam layanan subversif dari ekspresi
bebas di bawah persyaratan kontrol otoriter alat-alat
alat-alat komunikasi’
komunikasi’ yang tidak kalah
penting. Tidak mudah bagi pemerintah untuk mengendalikan akses pada dan
penggunaan Internet oleh warga negara yang berbeda pendapat, tetapi juga bukannya
hal tersebut tidak mungkin.
Bahkan, ‘politik lama’ dikatakan dapat bekerja lebih baik (dan lebih demokratis)
dengan bantuan poling elektronik instan dan alat-alat kampanye baru. Gagasan
tentang ranah publik dan masyarakat sipil (civil society) yang dibahas di mana-mana telah menstimulasi
gagasan bahwa media baru secara ideal sesuai untuk menempati ruang masyarakat sipil di antara ranah

pribadi dan ranah kegiatan negara. Gagasan ideal tentang ranah publik sebagai arena terbuka bagi
percakapan publik, debat, dan pertukaran gagasan terlihat dapat dipenuhi oleh bentuk-bentuk komunikasi
(khususnya Internet) yang memungkinkan warga negara mengekspresikan pandangan mereka dan saling
berkomunikasi
berkomunikasi juga den
dengan
gan para pem
pemimpin
impin politik me
mereka
reka tan
tanpa
pa meninggalkan
meninggalkan rumah
rumah masing-masing.
masing-masing.
Argumen untuk menyambut politik baru’ yang berlandaskan media baru cukup beragam dan
melibatkan perspektif yang berbeda-beda. Dahlberg (2001) menggambarkan tiga model dasar. Pertama,
terdapat model ‘libertarianisme-cyfoer’ (cyber-libertarianism) yang menginginkan pendekatan terhadap
politik berdasarkan model pasar konsumen. Survei, pemungutan suara, dan televoting cocok untuk
pandangan ini, menggantikan proses yang lebih lama. Kedua, terdapat pandangan ‘komunitarian’
(communitarian) yang mengharapkan keuntungan datang dari partisipasi dan masukan akar rumput yang
lebih besar dan penguatan komunitas politik lokal. Ketiga, terdapat keuntungan yang dirasakan atas
‘demokrasi keterlibatan’ yang dimungkinkan dengan meningkatlan teknologi untuk interaksi dan

pertukaran ide dalam ranah publik (Coleman, 2001).


Bentivegna (2002) telah merangkum keuntungan potensial dari Internet kepada politik ke dalam
enam atribut utama, sebagaimana ditunjukkan dalam Kotak 6.5. Ia juga menggambarkan keterbatasan dan
hambatan utama yang sejauh ini menghalangi adanya perubahan demokratis. Dalam pandangannya
‘jurang antara realitas politik dengan warga negara belum berkurang, partisipasi dalam kehidupan politik
masih tetap... stabil’ (2002: 56). alasan yang disebutkan termasuk: ‘informasi berlebihan’ yang membatasi
penggunaan efektif yang dapat dibuat darinya; fakta bahwa Internet menciptakan gaya hidup pribadi
alternatif kepada publik dan kehidupan politik dalam

Keuntungan teoritsi dari Internet


Internet bagi politik demokrasi

• Ruang untuk interaktivitas sebagaimana juga arus satu


s atu arah.
• Kehadiran komunikasi vertikal dan horizontal, mempromosikan kesetaraan.
• Hilangnya perantara, berarti berkurangnya peran jurnalisme untuk melakukan mediasi pada
hubungan antara warga negara dan politikus.
• Ongkos yang rendah bagi pengirim dan penerima.
• Kontak yang langsung bagi dua belah pihak.
• Hilangnya batasan terhadap kontak.
Media Baru—Teori Baru? 171
bentuk komunitas
komunitas virtual ya
yang
ng dibahas di atas;
atas; suara-suara
suara-suara sumbang
sumbang yang m
mengganggu
engganggu
diskusi yang serius; kesulitan banyak orang untuk menggunakan Internet. Sebagai
tambahan, ada banyak fakta yang memperlihatkan bahwa media baru cenderung
digunakan umumnya oleh minoritas kecil yang sudah memiliki ketertarikan dan

keterlibatan politik (Davis, 1999; Norris, 2000). Jika adapun, kemungkinan media baru
dapat memperlebar jurang antara partisipan aktif, dan mereka sisanya.
Terdapat kecenderungan yang tumbuh untuk meremehkan kemungkinan
keuntungan terhadap ranah publik dalam hal pengalaman (Downey dan Fenton, 2003).
Penelitian Scheufele dan Nisbet (2002) mengenai Internet dan warga negara, mendapat
kesimpulan bahwa terdapat ‘peran yang sangat sedikit bagi Internet dalam
mempromosikan perasaan secara efektif, pengetahuan, dan partisipasi’. Terdapat pula
bukti bahwa organisasi politik yang ada secara umu
umum
m gagal untuk menggun
menggunakan
akan
potensi Internet, tetapi malah beralih ke cabang mesin propaganda yang lain. Vaccari
(2008a) berbicara mengenai proses ‘normalisasi’ sesudah pengharapan yang tinggi.
Stromer-Galley (2000) telah menemukan, misalnya bahwa manajer kampanye tidak
terlalu menginginkan interaksi yang berisiko, problematis, dan membebani. Mereka

menggunakan Internet umumnya sebagai kendaraan untuk ‘infomersial’. Hal ini


tentunya, diterapkan juga
juga di luar kasus politik. Crogan (2008) telah menunjukan bahwa
Internet mempromosikan cara melihat dunia sebagai ‘target’, menawarkan akurasi dan
efektivitas yang lebih baik, dibandingkan dengan media massa lama. Dengan
melakukan ini, mereka sebenarnya menguatkan ‘model transportasi’ yang sangat
dikaitkan dengan media massa awal.

Teknologi
eknol ogi dari Kebebasan?
Kebebasan?
Judul dari bagian ini membentuk judul dari penelitian berpengaruh oleh Ithiel de Sola
Pool (1983) yang merayakan alat komunikasi elektronik karena penghindaran yang
mereka tawarkan dari apa yang dianggap sebagai beban tidak sah dari sensor dan
peraturan siaran radio dan televisi. Inti dari argumennya adalah bahwa kasus yang
paling logis (walaupun diperdebatkan) bagi kontrol negara atas media adalah
kekurangan spektrum dan kebutuhan untuk mengalokasikan akses kesempatan dalam
kondisi semi-monopoli. Era baru yang muncul dapat menjamin kebebasan yang
dinikmati oleh media cetak dan media umum (telepon, surat, kabel) kepada semua
media publik. Distribusi oleh kabel, saluran telepon, gelombang radio baru, dan satelit
dengan cepat menggeser klaim bagi peraturan yang muncul dari kelangkaan. Lebih
jauh, ‘model konvergen komunikasi yang tumbuh membuat
membuat pengaturan satu jenis
media dan bukan yang lainnya semakin tidak mungkin sekaligus tidak logis.
Kebebasan yang telah diklaim sebagai sifat media baru (khususnya Internet)
bukanlah kebebasan
kebebasan yang persis sama, seperti
seperti yang diklaim oleh
oleh Pool atas media secara
umum. Pada intinya, Pool menginginkan kebebasan pasar dan ‘kebebasan negatif’
(tidak ada campur tangan pemerintah) dari Amandemen Pertama (First

Amandement)
Amandemen t) untuk diterapkan pada semua media. Citra kebebasan yang melekat pada Internet lebih
172 berhubu
Teori
berhubungan
ngan pada kapasitasnya
kapasitasnya yang besar dan sedikitnya struktur,
struktur, organisasi dan manajem
manajemen
en yang
mencirikan tahun-tahun awalnya ketika Internet merupakan taman bermain yang dapat diakses secara
bebas oleh semua pendatang dengan banyak penggunaan disub
disubsidi
sidi oleh institusi akademik atau badan

publik lain. Castells (2001: 200) menulis bahwa ‘jenis komunikasi yang berkembang di Internet adalah yang
berhubungan
berhubu ngan dengan ekspresi bebas dalam semua bentuknya...
bentuknya... sumbernya
sumbernya yang terbuka, kebebasan
berkomentar,
berkomentar, penyiaran yang terde
terdesentralisa
sentralisasi,
si, interaksi yang spontan...
spontan... yang menemukan
menemukan ekspresi mereka
dalam Internet’. Pandangan ini sesuai dengan aspirasi para pendirinya. Sistemnya dapat digunakan oleh
semua orang, bahkan jika motif asli penciptaannya bersifat strategis dan militer, sedangkan motif
selanjutnya dalam hal promosi dan ekspansi terutama bersifat ekonomis dan demi kepentingan operator
telekomunikasi.
Sistem tersebut telah dan dapat mempertahankan resistensi terbangun di dalam dirinya sendiri untuk
berusaha mengendalikan
mengendalikan atau mengelola
mengelola dirinya sendiri. Sis
Sistem
tem itu tampaknya tidak dimiliki
dimiliki atau dikelola
dikelola
oleh siapapun secara khusus, tidak dimiliki oleh wilayah atau yurisdiksi manapun. Pada praktiknya,
konten dan penggunaan yang dihasilkannya tidak mudah
mudah dikendalikan atau diberi sangsi, bahkan di mana
yurisdiksi dapat ditetapkan. Dalam hal ini, sistem tersebut memiliki banyak sifat media yang umum,

seperti surat dan telepon. Berlawanan dengan visi Pool tentang kebebasan, dan tidak seperti misalnya
eksperimen awal dengan videotex, tidak ada biaya untuk akses sebagai penerima dan pengirim.
Secara relatif dibandingkan sebagian besar media, Internet tetap bebas dan tidak memiliki peraturan.
Bagaimanapun,
Bagaimanapun, telah ada kecenderungan
kecenderungan yang jelas seiring dengan kesuksesan
kes uksesannya
nya atas kebebasannya
kebebasannya yang
dibatasi (misalnya Undang-Undang Komunikasi 1996 di Amerika Serikat, kemudian dalam Patriot Act
tahun 2001; Gromback, 2006). Seiring Internet semakin menjadi media massa dengan penetrasi tinggi dan
potensi untuk menjangkau segmen penting pasar konsumen, ada taruhan besar dalam regulasi dan
manajemen. Sebagaimana Lessig (1999:19) menunjukkan: “arsitektur ruang cyber membuat pengaturan
perilaku menjadi sulit, karena mereka yang ingin Anda kendalikan dapat saja berlokasi di manapun... di
dalam Jaringan”. Bagaimanapun, alat-alatnya tersedia lewat kontrol arsitektur dan kode yang mengatur
arsitektur itu. Cyberspace itu semakin lama semakin menjadi media untuk perdagangan (penjualan barang-
barang sekaligus penyediaan informasi)
informasi) sehingga keamanan finansial harus
harus dicapai. Hal itu juga telah

menjadi bisnis besar. Hamelink (2000: 141) berpendapat bahwa meskipun tidak seorangpun memiliki
jaringan dan tidak ada badan pengatur
pengatur pusat, ‘memungkinkan
‘memungkinkan bagi sejumlah
sejumlah pemain industri untuk
memiliki semua peralatan teknis yang dibutuhkan untuk mengakses dan menggunakan jaringan. Ia
mengantisipasi masa depan yang dekat ketika ‘pengelolaan dan akses terhadap cyberspace akan berada di
tangan sedikit penjaga gerbang (gatekeepers)... yang dikendalikan oleh sekelompok kecil pemimpin pasar’
(2000: 153). Sepuluh tahun kemudian, prediksi ini akan dikonfirmasikan.
Seiring Internet memasuki semakin banyak rumah dengan keluarga biasa dibandingkan dengan
perkantoran dan universitas, tuntutan untuk memberlakukan
kriteria ‘kepantasan’ dan juga alat untuk pengawasan juga tumbuh, terlepas dari kesulitan-kesulitan
yurisdiksi. Seperti dengan media awal yang dulu pernah diklaim sebagai dampak sosial yang besar,
tuntutan untuk kontrol tumbuh dan hambatan- hambatan praktis untuk kontrol ternyata tidak terlalu
sulit. Semakin banyak klaim akuntabilitas sah dan normal terhadap media publik muncul (misalnya

tentang kekayaan intelektual, fitnah, privasi). Anarki yang tampaknya muncul dari banyak penyedia
layanan dan penyedia konten membuka jalan menuju situasi pasar yang lebih terstruktur. Tekanan
yang berhasil diberikan kepada penyedia layanan untuk bertanggung jawab atas apa yang muncul
dalam layanan mereka, bahkan jika kontrolnya mendadak dan sering kali memiliki efek ‘meredakan.

Media Baru—Teori Baru? 173


Akan ada lebih sedikit konten gratis’ dari nilai pasar apapun. Manajemen sistem juga akan harus lebih
transparan sekaligus lebih efisien.

Arti kontrol yang baru?


baru?
Saat ini, polisi dan dinas intelijen lebih memusatkan perhatian pada keperluan pengawasan dan
kontrol, khususnya dalam hal kejahatan yang berpotensi lintas batas, pornografi anak, terorisme,
ketidakpuasan domestik, dan banyak kejahatan cyber jenis baru. Sepuluh tahun memasuki abad ke 21,
terdapat daftar pengecualian
pengecualian kebebasan yang terus bertambah di dalam Internet yang bervariasi dari
satu yurisdiksi nasional dan berkorelasi dengan tingkat kebebasan umum (atau tidak adanya
kebebasan) pada tiap negara. Situasi setelah deklarasi ‘perang terhadap teror’ sejak tahun 2001 telah
mempermudah pemerintahan dan pihak-pihak berwenang untuk mengimplementasikan larangan-
larangan pada kebebasan di dalam Jaringan (net), seperti halnya di dalam banyak ranah lain (Foerstal,
2001; Braman, 2004). Secara keseluruhan, kecenderungan yang digambarkan berujung pada modifikasi
besar citra Internet yang anarkis dan terbuka, meskipun hal ini mungkin ssekadar
ekadar merefleksikan awal
‘normalisasi’ yang telah diperlihatkan sebelumnya sehubungan dengan media lain. Situasinya terlalu
awal dan terlalu berubah-ubah untuk dinilai, tetapi tidak terlalu awal untuk mengatakan bahwa
bahkan alat komunikasi
komunikasi yang paling bebas tidak dapat lolos dari beroperasinya
beroperasinya berbagai ‘hukum’
‘hukum’
kehidupan sosial. Hal ini termasuk hukum komunikasi itu sendiri (yang mengikat partisipan bersama-
sama dalam suatu harapan atau kewajiban bersama), dan khususnya hukum ekonomi dan tekanan
sosial.
Visi yang lebih mengerikan dari masa depan menunjukan potensi kontrol sosial melalui alat
elektronik yang jauh melampaui semua yang tersedia di zaman industrial, kecuali jika kekuatan yang
sangat besar dapat digunakan. Pengawasan dan pelacakan lalu lintas informasi dan kontak
antarpribadi semakin meningkat, berdasarkan pada pola ‘registrasi’ (registration) dari lalu lintas
komunikasi yang terkomputerisasi di atas. Jansen (1988: 23-4) menulis, potensi baru untuk secara
sistematis mengikis privasi di rumah dan hubungan antarpribadi: ‘sekali kabel ditempatkan,
Electronic Panopticon (merujuk pada model dari Jeremy Bentham, penjara dengan sayap yang
teradiasi
f 174 Teori
dari titik pengamatan pusat) bekerja secara otomatis. Hanya diperlukan pengawasan minimal dari Menara.’
Rheingold (1994: 15) menulis: ‘Internet dapat juga menjadi penjara yang tidak kasat mata. Komunitas
virtual adalah ilusi hiper-realitas dari kemajuan teknis sebagai sebuah tempat berlindung dari kehancuran
komunitas manusia’. Pandangan ini tidak dibagi secara universal atau telah disadari. Green (1999)

misalnya, memandang ketakutan ini sebagai deterministik teknologi dan satu sisi. Ia menunjuk pada
potensi media baru, sebagaimana yang dijelaskan di atas, untuk membalik arah pengawasan dan
mengungkapkan impuls demokratis dengan cara mengakses ke pusat kekuasaan.
Sesuatu yang masih hilang dalam kasus Internet adalah perselisihan atas pemahaman makna
‘kemerdekaan dalam konteks ini (Chalaby, 2001). Kebebasan
K ebebasan dari pengawasan dan ‘hak atas privasi
privasi’’ adalah
jenis-jenis kebebasan, menjaga anonimitas, bukannya publikasi. Baik jenis-jenis kebebasan ini (maupun yang
lain) adalah penting, tetapi potensi dan penggunaan sesungguhnya dari Internet sangat beragam bagi
semua bentuk kebebasan untuk dapat diklaim. Kebebasan berbicara dan berekspresi, sebagaimana yang
dibangun untuk media lain, memiliki beberapa keterbatasan atas hak orang lain, kebutuhan masyarakat
dan realitas tekanan sosial. Tidak realistis untuk mengharapkan Internet menikmati kebebasan yang telah
dibatasi kepada media lain dan dianggap sebagai hal yang sah.
Dalam penilaian yang paling realistis terhadap perkembangan teknologi komunikasi yang lebih

meyakinkan adalah keadaan dystopia, paling tidak dalam penolakan atas perbaikan yang cepat. Penafsiran
sejarah atas inovasi komunikasi dari Beniger (1986), menyatakan bahwa sejak awal abad ke-19 menyatakan
bahwa mereka cocok dalam pola kemungkinan peningkatan manajemen dan kontrol, bukan peningkatan
kebebasan. Ia menggunakan istilah ‘kontrol revolusi’ untuk menggambarkan revolusi komunikasi. Apapun
potensinya, kebutuhan akan perdagangan, industri, militer, dan birokrasi telah berbuat banyak untuk
mempromosikan perkembangan dan menentukan bagaimana inovasi sebenarnya diterapkan.
Peneliti lain mengenai inovasi komunikasi (Winston, 1986) mengetahui bahwa sebagian besar
teknologi baru memiliki potensi inovatif, tetapi implementasi sebenarnya selalu bergantung pada dua
faktor. Pertama adalah operasi ‘pengejaran atas kebutuhan sosial’ yang mengatur derajat dan bentuk
pengembangan penemuan. Kedua adalah ‘hukum penekanan potensi radikal’ yang bertindak sebagai rem
atas inovasi untuk menjaga status quo sosial atau perusahaan. Secara umum, ia mendukung teori ‘budaya’
alih-alih determinisme teknologi. Carey (1998) mengambil posisi serupa mengenai ‘media baru’,

berpendapat
berpendap at bahwa ‘globali
‘globalisasi,
sasi, Internet, dan komunikasi
komunikasi komputer
komputer semua di bawah kontrol teknologi dan
sejarah. Penentuan akhir dari bentuk-bentuk baru adalah yang ditentukan oleh politik.’
Media Baru—Teori Baru? 175

Penyeim
Penyeimbang
bang atau Pe
Pemecah Belah yang Baru?
Baru ?
Retorika yang melingkupi media baru sering kali mewujudkan klaim bahwa media
elektronik membantu memproduksi masyarakat yang setara sekaligus liberal.
Keuntungan terbesarnya adalah akses yang tersedia untuk semua yang ingin berbicara,
tidak diperantarai oleh kepentingan penguasa yang mengontrol konten media cetak dan
saluran penyiaran. Anda tidak harus kaya dan berkuasa untuk ada di World Wide Web.
Potensi media baru untuk menerabas saluran institusi mapan juga terlihat
meningkatkan kesempatan bagi orang banyak dan mengurangi ketergantungan mereka
akan beragam sumber informasi dan pengaruh yang monopolistik. Jika semua rumah
memiliki teknologi dan tren ekspansi menuju ke arah tersebut, maka akses universal
kepada produk informasi dan budaya dalam bentuk ‘videotopia’ akan ikut serta. Suara
politik mendorong kita untuk mengembangkan ‘jalan bebas hambatan elektronik1 ke
dalam rumah, perpustakaan, sekolah, dan tempat kerja dan melihat ini sebagai tindakan
program emansipasi sebagaimana pula kebutuhan untuk kemajuan ekonomi (Mattelart,
2003).
Kritik tidak diam begitu saja terhadap prospek ini. Sekolah ekonomi politik tidak
melihat alasan untuk mengubah pandangan mengenai dunia menurut pada keuntungan
utama dan ‘jalan bebas hambatan elektronik’ yang akan menjadi firma telekomunikasi
dan elektrik yang besar (Sussman, 1997; McChesney, 2000; Wasko, 2004). Media baru
tidak berbeda dari media lama dalam hal pengklasifikasian sosial atas kepemilikan dan
akses. Hal ini lebih baik daripada pencapaian pertama dan kemudian peningkatan
teknologi dan selalu di atas yang miskin. Mereka secara berbeda diberdayakan, dan jika
adapun selalu bergerak ke depan. Jurang sosial dan informasi makin melebar alih-alih
menyempit dan ada bangkitnya ‘diskriminasi informasi’ sebagaimana juga ‘diskriminasi
sosial’. Sebagian besar terbuat dari ‘celah digital’ sebagai penerus dari ‘jurang informasi’
yang dulu diperkirakan sebagai hasil dari hadirnya televisi (Norris, 2000; Castells, 2001;
Hargittai, 2004). Kondisi sejarah berperan dalam membentuk dampak teknologi baru,
tidak hanya di negara berkembang, tetapi juga di bekas negara komunis, seperti Rusia
(Rantanen, 2001; Vartanova, 2002). Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Selwyn (2004),
akses kepada saluran tidak sama, seperti penggunaan yang sebenarnya. Bahkan
penggunaan diatur menurut keahlian yang tersedia yang tidak terdistribusi secara
merata, mendorong pada tingkat kedua dari ‘celah digital’ yang tidak dapat ditaklukan
oleh teknologi dan belum diukur.
Terdapat juga kontroversi dalam kaitannya dengan gender. Walaupun adanya
kemajuan secara umum yang didapatkan wanita dalam kaitannya dengan informatisasi
pekerjaan, terdapat klaim yang kuat bahwa komputer memiliki bias pria. Beberapa
para ahli teori feminisme (misalnya Ang dan Hermes, 1991) melawan semua gagasan bahwa terdapat
perbedaan pokok antara pria dan wanita dalam hubungannya dengan kenyamanan terhadap teknologi
komputer. Bagaimanapun, menurut Turkle (1988), masalahnya bukanlah bahwa komputer memiliki bias
pria, tetapi bahwa ‘komputer dikonstruksi secara sosial sebagai pria’. Diskusi serupa menyertai difusi
Internet. Van Zoonen (2002) telah menggambarkan wacana di mana Internet secara beragam dipandang

176 Teori

sebagai terkonstruksi sebagai wanita, atau pria, atau bahkan oleh para ‘feminis-cyber’ terbuka kepada
definisi gender yang baru dan campuran. Penelitiannya sendiri menunjukkan bahwa baik gender dan

teknologi merupakan konsep yang terlalu multidimensional untuk dinilai dalam satu ukuran. Sejauh yang
berhubungan dengan penggunaan
berhubungan penggunaan Internet,
Internet, ketidakseimbangan
ketidakseimbangan awal
awal atas penggu
pengguna
na wanita
wanita telah tum
tumbang,
bang,
bahkan jika masih
masih ada beberapa perbedaan
perbedaan (Singh, 2001; Rainie dan Bell, 2004).
(Singh,
Benar bahwa jaringan, lingkaran, dan hubungan di antara pengguna teknologi baru yang
berdasarkan telekomunikasi
telekomunikasi dan komputer
komputer tidak mengikuti
mengikuti batasan negara sebagaimana yang dilakukan
media massa lama. Maka dari itu, akan kurang cocok untuk menerapkan model pusat-periferi kepada
komunikasi massa yang mencerminkan beragam derajat ketergantungan negara dan wilayah yang lebih
kecil dan miskin kepada ‘sedikit produsen besar’ yang memproduksi informasi dan berita. Pemilikan
teknologi yangtepat membuka pintu bagi kesempatan baru atas informasi dan interkomunikasi, tidak
tergantung pada ‘tingkat perkembangan’ tempat tinggal seseorang. Beberapa jurang dan hambatan
terhadap perkembangan mungkin dapat diatasi.
Walaupun demikian, ketidakseimbangan besar dari kapasitas komunikasi masih ada, dan

pengecualian berlaku hanya pada minoritas kecil untuk tujuan tertentu. Penelitian dasar belum dilakukan
untuk menunjukkan sifat dan jangkauan ketidakseimbangan global. Akan tetapi, terdapat cukup data dan
petunjuk untuk menganggap bahwa konten informasi yang disediakan teknologi baru dan tingkatan
partisipasi dalam konsultasi dan pertukaran informasi secara kuat mendukung negara dan wilayah yang
‘memiliki’ (dan terutama wilayah ‘Anglo-Saxon’). Ongkos teknologi dan penggunaannya terus
mendukung keuntungan khusus yang sama, sebagaimana penanaman modal dalam infrastruktur dan
sistem manajemen. Lebih banyak media baru menjadi lebih menarik secara ekonomi, maka tren ini akan
semakin ditekankan.
Pada masa-masa awal media massa, terdapat juga keyakinan bahwa jangkauan komunikatif dan
kekuatan radio dan televisi dapat membantu menjembatani jurang perkembangan sosial dan ekonomi.
Kenyataannya
Kenyataannya terbukti berbeda, dan media massa dalam bentuk transnasion
transnasional
al sering kali bertindak lebih
bagi masyaraka
masyarakatt dan budaya asli mereka daripada bagi yang
yang seharusnya
seharusnya menerima bantuan di negara

‘Dunia Ketiga’. Kecenderungan yang sama untuk melihat teknologi sebagai pengubah dunia masih tetap
ada (Waisbord, 1998). Sulit untuk melihat bagaimana situasinya berbeda, meskipun terdapat potensi yang
lebih besar bagi ‘pengguna’ dan penerima media baru untuk mengklaim akses dan mengambil alih
penekanan budaya. Cara perkembangan teknologi komunikasi baru sepertinya mendukung nilai dan
bentuk budaya
budaya barat sec
secara
ara spesifik,
spesifik, termasuk
termasuk individualisme
individualisme dan kebebasan personal
personal mereka.
mereka.
Kesimpulan
Perjalanan kepada teori media baru tidak mendapatkan kesimpulan, walaupun
mendapatkan argumen kuat untuk perbaikan teori. Meskipun demikian, komunikasi
publik terus berlanjut sebagaimana biasanya. Nilai utama dari liberalisme, demokrasi,
pekerjaan, Hak Asasi Manusia, dan bahkan etika komunikasi berevolusi alih-alih runtuh
pada awal abad ke-21. Bahkan, masalah lama yang disebabkan nilai-nilai semacam itu
masih terjadi, seperti perang, ketidakadilan, ketidaksetaraan, kriminalitas, dan keinginan.
Pertanyaan yang semakin spesifikyang diajukan
diajukan di bab ini adalah apakah ide dan kerangka
yang dikembangkan untuk menilai dan menguji pertanyaan mengenai komunikasi masih
sesuai.

Media Baru—Teori Baru? 177

Terdapat beberapa alasan untuk mengandaikan bahwa mungkin hal tersebut tidak
terjadi. Terdapat tren yang pasti ke arah ‘demasifikasi’ dari media lama seiring

berkembangbiaknya salura
berkembangbiaknya s aluran
n dan pondasi untuk
untuk penyiaran yang menghab
menghabiskan
iskan ‘khalayak
massa’ dan menggantikannya dengan khalayak yang lebih khusus dan jumlahnya kecil-
kecil. Media baru khususnya Internet, membuat gagasan tentang ‘surat kabar personal’
(yang disebut Daily Me) di mana konten diramu berdasarkan selera dan keinginan individu
yang secara realistis mungkin (meskipun permintaannya sedikit). Semakin hal ini terjadi
dan dapat diterapkan ke radio dan televisi juga, media massa akan semakin berkurang
menyediakan basis pengetahuan dan pandangan yang sama, atau bertindak sebagai
‘perekat masyarakat’. Hal ini disesalkan sebagai kehilangan dari bagian terbesar
masyarakat yang demokratis dan berkeadilan sosial (Sunstein, 2006). Beberapa bukti pada
berita online menunjuk pada tren yang bersifat lokal, tetapi juga ada potensi globalisasi
yang terbuka. Pada saat yang sama terdapat bukti yang semakin banyak yang
menunjukkan bahwa setidaknya dalam hal berita, masih ada kebutuhan yang teramati akan

reliabilitas berita, dan kepercayaan yang dimiliki beberapa sumber berita dan komentator
(dalam media konvensional) tidak dapat dihabiskan atau diganti dengan mudah. Hal yang
sama berlaku pada politikus dan partai. Terlepas dari aktivitas pinggiran, sulit untuk
menemukan bukti peningkatan politik atau politikus alterbatif. Alasan yang kurang lebih
sama berlaku. Mungkin terdapat penurunan keterikatan terhadap politik, tetapi sepertinya
tidak ada alasan untuk melabeli ini kepada media baru atau untuk melihat mereka sebagai
sebuah penawar racun.
Dapat diperdebatkan bahwa tidak ada yang namanya ‘lembaga media’ lagi, tetapi
merupakan berbagai macam elemen-elemen yang saling terhubung dengan lemah.
Terdapat kekuatan baru yang bekerja dan tren baru yang barangkali tidak terbuka untuk
menangkap konsep dan formula yang akrab. Meskipun demikian, karakter dasar dari
peranan media di publik dan kehidupan pribadi masih belum berubah. Media baru secara

berangsur-angsur
berangsur-angsur semakin diterima sebagai media massa dengan alasan bahwa kegunaan
mereja memperlihatkan banyak fitur dari media massa lama, terutama jika diperlakukan
oleh pemiliknya sebagai pengiklan massal dan sebagai panggung’ bagi konten media,
seperti musik dan film. Sebagaimana yang dilaporkan Webster dan Lin (2002), terdapat
keteraturan yang muncul dalam perilaku penggunaan Web yang sesuai
178 Teori

dengan pola media massa yang familiar, seperti konsentrasi terhadap sejumlah kecil situs
populer oleh khalayak yang jumlahnya sangat besar.

Bukti sejauh ini tidak mendukung pandangan bahwa media baru memiliki efek
deterministik yang kuat terhadap perubahan dalam jangka waktu yang singkat atau
bahkan menengah; media baru ttidak
idak memproduksi
memproduksi letupan kebebasan yang berarti atau
secara serius menghilangkan kebebasan komunikasi (freedom of communication) yang telah
ada. Meskipun demikian, ada wilayah dengan potensi perubahan yang membutuhkan
pengawasan. Salah satunya adalah mengurangi batasan sosial (dan budaya) yang
didukung oleh pembentukan jaringan baru individu yang saling terhubung. Sementara
yang lain adalah perubahan formasi komunikasi politik dalam makna yang luas
sebagaimana makna ‘allocutive’ yang dulu kurang baik. Terakhir, masih ada isu
peningkatan perpecahan yang potensial dalam keuntungan media baru sebagai hasil dari
ketidaksetaraan sosial ekonomi yang mendasar.

Bacaan Selanjutnya
Castells, M. (2001) The Internet Galaxy. Oxford: Oxford University Press. Pendukung
utama teori masyarakat jaringan yang menjelaskan mengenai
men genai Internet, sebagaimana
yang dilakukan McLuhan terhadap media cetak dan televisi dengan hasil yang masih
baik untuk memandu penelitian dan isu-isu yang muncul.

Havalais, A. (2009) Search Engine Society. Cambridge: Polity Press. Penelitian yang
informatif dan mendalam dari fenomena besar signifikan yang terabaikan dari Internet.

Lessig, L. (199) Code and other Laws of Cyberspace. New York: Basic Books.
Penilaian yang menyeluruh dan fundamental atas sifat Internet, terutama dari sudut
pandang sosial-legal dengan banyak pandangan kepada kesamaan dan perbedaannya
dari media lain. Kisah yang sifatnya memperingatkan alih-alih visioner yang belum
usang atau terlampaui.

Morris, M. dan Ogan, C. (1994) The Internet as a mass medium’, Journal of


Communication, 46 (1): 39-50.
Barangkali adalah percobaan pertama untuk membuat penilaian yang saling terkait
terhadap konsekuensi Internet bagi komunikasi massa pada tingkat awal
perkembangannya,
perkembangannya, dan masih relevan hingga kini.
Bacaan Daring
Baym, N. (2006) ‘Interpersonal life online’, dalam L. Lievrouw dan S. Livingstone
L ivingstone
(ed.) The Handbook of New Media, him. 35 54. London: Sage.

Bentivegna, S. (2006) ‘Rethinking politics in the age of ICTs’, European Journal of


Communication, 21 (3): 331-344.
Fortunati, L. (2005) ‘Mediatizing the net and intermediatizing the media’, The
International Communication Gazette, 71 (5): 373-391.

Media Baru—Teori Baru? 179

Luders, M. (2008) ‘Conceptualising personal media’, New Media and Society, 10 (5):
683-702.
7
Teori Normatif Media dan Masyarakat

Sumber kewajiban normatif 178


Media dan kepentingan publik 180
Isu-isu utama bagi
bagi teori sos ial media 182
Pendekatan awal terhadap teori: pers sebagai ‘pilar keempat’ 185
Komisi kebebasan pers tahun 1947 dan teori tanggung jawab sosial 187
Profesionalisme dan etika media 190
193
Empat teori pers dan setelahnya
Al
Alter
ter natif
nat if penyi
pen yi aran layanan
lay anan p ubli
ub lik
k 196
Media massa, masyarakat sipil, dan ranah publik 198

Respons terhadap ketidakpuasan atas ranah publik 201


Pandangan altern
altern atif 202
Teori
Teori normatif media: empat model 204
Kesimpulan 205
Media massa diyakini tidak hanya memiliki efek objektif tertentu pada masyarakat,
tetapi juga memiliki tujuan sosial. Hal ini berarti bahwa beberapa efek yang telah
diamati adalah disengaja dan dinilai secara positif. Ini termasuk efek penyebaran
informasi, mengungkapkan suara dan pandangan yang berbeda, membantu
pembentukan opini publik atas suatu isu, dan memberikan sarana debat. Aktivitas
hiburan dan budaya di media juga dapat dihitung sebagai tujuan yang disetujui, di
mana terdapat efek yang disengaja yang biasanya dapat kita ketahui siapa yang ada di
belakangnya.
belakangnya. Dalam hal ini utama
utamanya
nya adalah mereka yang memiliki atau
mengendalikan media dan bekerja di dalamnya, sebagaimana juga pihak-pihak yang
diberikan saluran komunikasi oleh media, termasuk pemerintah, penguasa, dan
komunikator individual. Tidak mengherankan bila terdapat banyak opini berbeda
(publik, swasta, dan institusi) mengenai apa yang seharusnya dilakukan atau tidak
dilakukan media dan seberapa baik kinerja mereka, tetapi tidak
t idak diragukan kalau banyak
hal yang diharapkan. Ketika kita berbicara mengenai teori normatif (normative theory),
kita merujuk pada gagasan hak dan tanggung jawab yang mendasari pengharapan akan

182 Teori

keuntungan media bagi individu dan masyarakat.


Pada bab ini, kita akan membahas gagasan mengenai bagaimana pengaturan

media seharusnya atau sebenarnya yang diharapkan, dan bertindak bagi kepentingan
publik (public interest) yang luas atau demi kebaikan masyarakat sebagai sebuah
kesatuan. Tujuan positif dari aktivitas media tidak selalu atau tidak jelas terlihat, dan
terkadang harus disimpulkan dari pernyataan mengenai apa yang tidak seharusnya
mereka lakukan, sehingga kita mulai dengan pertanyaan mengenai sumber.

Sumber Kewajib
Kewajib an Normatif
Poin-poin ini cukup jelas, tetapi apa yang kurang jelas adalah masalah yang terkandung
di dalamnya. Kesulitan utamanya adalah bahwa ‘media’ dalam masyarakat bebas,
sebagian besar tidak memiliki kewajiban untuk membawa tujuan bernilai positif yang

telah ditetapkan dan diterima begitu saja. Mereka tidak dijalankan oleh pemerintah,
maupun bekerja atas nama masyarakat. Kewajiban formal mereka sebagian besar sama
dengan warga negara lain dan organisasi di dalam masyarakat, sehingga secara umum
digambarkan secara negatif. Mereka diwajibkan untuk tidak berbuat hal yang
berbahaya. Di luar hal tersebut,
tersebut, media bebas untuk menetapkan peran mereka di
masyarakat, baik di pemerintahan, kepentingan khusus, individu, atau bahkan ahli teori
media. Walaupun demikian, dalam sejarah banyak konstitusi dan perilaku institusi
media yang memiliki kewajiban tidak tertulis untuk beberapa alasan dihargai dalam
praktiknya. Terdapat juga beberapa sumber tekanan dari luar yang tidak bisa diabaikan.
Teori normatif media (normative theory of media) meliputi baik tujuan yang ditetapkan
secara internal maupun klaim dari luar mengenai bagaimana seharusnya mereka
berperilaku..
berperilaku
Teori Normatif Media dan Masyarakat 183

Di antara sumber-sumber pengharapan normatif yang paling mendasar adalah barangkali yang
berasal dari konteks sejarah yang memben
membentuk
tuk peranan Iembaga media. Di sebagian besar negara

demokrasi, hal ini berarti hubungan dekat antara Iembaga politik demokratis dengan peranan media
sebagai pembawa berita dan pembentuk opini. Hubungan ini biasanya dibangun secara konstitusional
(terkecuali Jerman) dan tidak dapat dipaksa, tetapi keduanya tidak ada yang wajib. Rujukan secara luas
dapat ditemukan di teori sosial dan politik. Berkaitan dengan ini adalah orientasi yang lebih luas terhadap
jurnalisme
jurnalisme dalam kehidupan
kehidupan publik di masyarakat
masyarakat nasional dan komun
komunitas
itas internasional.
internasional. Hal ini juga
secara melekat secara mendalam pada kebiasaan dan peraturan sebagaimana di dalam ekspresi klaim dan
aspirasi profesional.
Kedua, terdapat klaim atas media sebagai sebuah keseluruhan oleh publik umum dan diungkapkan
baik sebagai opini
opini pub
publik
lik atau yang lebi
lebih
h tidak dapat dihindari
dihindari oleh publik
publik sebagai khalayak
khalayak dari publikasi
publikasi
media tertentu. Dalam hal ini, pandangan publik mengenai apa yang seharusnya dilakukan media, jika hal
ini secara jelas diungkapkan, memiliki karakter yang lebih mengikat. Hal ini mencerminkan fakta bahwa
media terikat ke dalam hubungan pasar dengan konsumen dan klien, di mana yang kedua (misalnya

pengiklan) juga memiliki pengaruh atas perilaku media. Terdapat dua sumber pengaruh lainnya dengan
kekuatan yang bervariasi. Salah satunya adalah negara dan agen pemerintah. Keadaan memengaruhi
bagaimanaa media independen dapat menjadi pandangan dari pemerintah
bagaiman pemerintah yang selalu memiliki sejumlah
kapasitas untuk
untuk menghukum atau memberi penghargaan. Tidak biasa untuk media besar dan mapan yang
tidak melihat kepentingan pribadi dalam menghormati keinginan dan kepentingan sah dari negara
(misalnya dalam hal keteraturan sosial atau darurat nasional), bahkan jiha hak mereka untuk mengkritik
tertahan.
Sumber pengaruh lainnya lebih tersebar, tetapi sering kali efektif. Ia berasal dari banyak kepentingan,
terutama ekonomi, tetapi juga budaya dan sosial yang dipengaruhi oleh media massa, terutama dalam hal
berita dan informasi. Individu berkuasa dan organisasi dapat diluka
dilukaii oleh berita dan mungkin
memerlukannya juga untuk

Sumber pengharapan normatif terhadap media

• Teori sosial dan politik mengenai pers.


• Teori profesional dan praktik jurnalisme.
• Publik sebagai warga negara.
• Publik sebagai khalayak.
• Pasar media.
• Negara dan agen-agennya
agen-agennya..
• Partai yang berkepentingan dalam masyarakat yang dipengaruhi media.
184 Teori

membantu tujuan mereka. Untuk alasan ini, mereka tutup mata atas perilaku media
demi keamanan mereka sendiri atau untuk mencoba memengaruhinya. Semua ini

menghasilkan lingkungan dari pengharapan dan pengamatan yang memiliki pengaruh


kumulatif. Kotak 7.1 memberikan rangkuman sumber utama pengharapan normatif
terhadap perilaku dan kinerja media.

Medi
Mediaa dan Kepe
Kepenti
nti ngan Publik
Publi k
Satu cara untuk merangkum situasi yang muncul dari banyaknya tekanan terhadap
media yang membawa keuntungan tertentu adalah dengan mengatakan adanya
‘kepentingan publik’ dalam bagaimana perilaku media itu sendiri. Konsep ini
sederhana, namun juga sangat ditantang dalam teori sosial politik. Gagasan mengenai
kepentingan publik memiliki akar sejarah dalam mengidentifikasi masalah-masalah ini

yang memerlukan beberapa kontrol publik secara kolektif dan arah bagi kebaikan
masyarakat dan negara, misalnya pembangunan dan pemeliharaan jalan dan saluran
air, peraturan mengenai berat, ukuran, dan mata uang, penyediaan kebijakan, dan
keamanan. Di masa yang lebih modern, istilah tersebut digunakan terhadap manajemen
dan kepemilikan sarana publik, seperti air, bahan bakar, listrik, dan telepon. Hal-hal ini
tidak dapat dengan mudah dibiarkan jatuh ke tangan swasta atau terserah aturan pasar
(Held, 1970; Napoli, 2001).
Jika diterapkan kepada media massa
massa,, makna sederhananya adalah bahwa media
membawa sejumlah tugas penting dan pokok dalam masyarakat kontemporer dan
menjadi kepentingan umum agar tugas-tugas tersebut dijalankan dengan baik. Hal ini
juga menyiratkan bahwa kita haru
haruss memiliki sistem media yang beroperasi menurut
menurut
prinsip pemerintahan yang juga mengatur masyarakat, terutama yang berkaitan dengan

keadilan, kebenaran, demokrasi, dan gagasan yang mengatur nilai sosial dan budaya
yang diinginkan. Secara jelas menurut kepentingan publik bahwa media tidak
menyebabkan masalah sosial maupun serangan ekstrim. Akan tetapi, ide mengenai
kepentingan publik juga melibatkan pengharapan positif, sebagaimana dalam
penerapan bidang yang asli.
Gagasan sederhana ini tidak membawa kita ke dalam praktik yang nyata. Masalah
pertama yang dihadapi adalah bahwa kontrol publik, bahkan dalam hal kepentingan
publik dari semua media tidak konsisten dengan kebebasan berekspresi, sebagaimana
yang biasanya dipahami. Terlebih lagi, media biasanya dibangun tidak hanya untuk
melayani kepentingan publik semacam itu, tetapi untuk mengikuti tujuan yang mereka
tetapkan sendiri. Tujuan ini terkadang berkaitan dengan hal budaya, profesional, atau
politik, tetapi tujuan utamanya adalah membuat bisnis yang menguntungkan.

Terkadang tujuan tersebut memang dipakai dua-duanya. Hal ini menunjuk pada
masalah kunci dalam menentukan apa itu kepentingan publik dan siapa yang harus
menentukannya. Selalu ada beragam versi yang saling bertentangan mengenai apa yang
baik bagi masyarakat secara keseluruhan,
keseluruhan, dan ada juga dukungan terhadap pandangan

Teori Normatif Media dan Masyarakat 185

bahwa lebih
lebih baik media tidak mengejar tujuan normatif apa
apapun
pun.. Alih-alih media
media-media
-media
seharusnya dibebaskan melakukan apa yang mereka mau di dalam koridor hukum. Ketika media bekerja

dengan dasar komersial, sebagaimana yang telah mereka lakukan, pandangan media akan apa itu
kepentingan publik cenderung sama dengan apa yang disukai oleh publik. Hal ini menggeser tanggung
jawab atas
atas norma, etika,
etika, dan n
nilai
ilai atas masyaraka
masyarakat.
t.
Kesulitan dalam menangani konsep kepentingan publik selalu berkaitan dengan signifikansinya
yang tinggi. Dalam hal ini, Blumler (1998: 54-5) membuat tiga poin k
kunci.
unci. Pertama, sebagaiman
sebagaimanaa dalam hal
pemerintah, terdapat pertanyaan mengenai kekuasaaan juga kekuatan: ‘dalam komunikasi, media
diletakkan secara serupa. Pembenaran atas kebebasan mereka, peranan mereka yang luas dalam
masyarakat, politik, dan budaya, serta tempat mereka dalam tatanan peraturan tergantung pada
kepentingan publik yang seharusnya mereka layani’. Secara singkat, kekuatan media, seperti juga
pemerintah, harus digunakan dengan cara yang sah yang tidak jauh dari gagasan mengenai tanggung
jawab. Kedua, Blumler berpendapat bahwa ‘kualitas hebat tertentu terlekat pada gagasan mengenai
kepentingan publik. Hal itu berbeda dari dan dalam istilah kebijakan berada di atas kepentingan pribadi.

Hal ini melibatkan perspektif jangka panjang dari klaim mengenai penerus generasi dan masa depan
masyarakat berada di dalamnya sebagaimana pula kebutuhan masyarakat’. Ketiga, gagasan mengenai
kepentingan publik harus bekerja dalam dunia yang tidak sempurna dan tidak murni’. Hal ini berarti akan
ada tekanan, kompromi, dan improvisasi menurut kondisi yang terjadi.
Held (1970) menggambarkan dua versi utama atas apa yang merupakan kepentingan publik dan
bagaimanaa isinya dapat
bagaiman dapat dibuat. Per
Pertama
tama adalah pandanga
pandangan ‘mayoritarian’ (majoritarian ), di mana suatu isu
n ‘mayoritarian’
harus diselesaikan dengan cara pemilihan bersama. Dalam kasus media, hal ini cenderung menyamakan
kepentingan publik dengan ‘memberikan publik apa yang mereka mau’, menyenangkan mayoritas
konsumen di pasar media. Ada cara lain untuk menafsirkan posisi mayoritarian. Misalnya, Morrison dan
Svennevig (2007) mencari verifikasi empiris atas gagasan mengenai kepentingan publik dengan cara
meneliti maknanya bagi publik Inggris. Mereka menemukan konsensus yang luas bahwa beberapa hal
yang merupakan ‘kepentingan sosial’ untuk diliput media dan mengaitkannya dengan konsepsi yang

mendasari solidaritas sosial. Pandangan yangberlawanan dengan ini disebut ‘unitarian’ atau ‘absolutis’
karena kepentingan publik ditentukan oleh rujukan dari beberapa nilai atau ideologi dominan tunggal.
Hal ini akan mengarah pada sistem paternalistik di mana keputusan mengenai apa yang baik ditentukan
oleh penjaga atau para ahli. Di antara model kepentingan publik pasar bebas dengan paternalistik,
terdapat beberapa alternatif, tetapi tidak ada yang memberikan panduan yang jelas. Cara lainnya adalah
pendekatan yang melibatkan debat dan pembuatan keputusan demokratis di satu sisi dan di sisi lain,
penentuan yudisial ad-hoc mengenai apa yang merupakan kepentingan publik atau bukan dalam kasus
tertentu. Sebagaimana yang akan kita lihat selanjutnya, terdapat beberapa cara yang berbeda di mana
akuntabilitas media kepada masyarakat dalam kaitannya dengan kepentingan publik dapat dicapai atau
setidaknya dikejar.
186 Teori

Apapun argumen mengenai konsep kepentingan publik, cukup jelas bahwa media
massa di manapun tunduk pada kontrol yang luas dan peraturan hukum dan alat
formal serta informal lainnya yang berupaya membuat media melakukan apa yang
diinginkan 'masyarakat’ atau menghindarkan mereka dari melakukan apa yang tidak
diinginkan. Alat dan konten kontrol yang sebenarnya bervariasi dari satu sistem media
nasional ke yang lainnya, dipengaruhi oleh penentu politik, budaya, dan ekonomi.
Mereka juga bervariasi dari satu media ke yang lain dan jarang sekali konsisten atau
utuh secara internal.
Terlepas dari teori yang ada dalam praktik politik, hukum, dan peraturan media
terdapat cukup banyak persetujuan terhadap komponen utama dari kepentingan publik
dalam kaitannya dengan media massa melebihi persyaratan minimum, yaitu tidak
membahayakan publik. Untuk menilai dari banyak kasus di mana kepentingan publik
harus ditentukan, persyaratan utama dari media dituliskan di dalam Kotak 7.2. Poin-
poin ini merangkum pengharapan normatif yang berkaitan, terutama pada struktur dan
konten media dalam negara-negara demokrasi model barat.

Kriteria utama
7.2 kepentingan
kepentingan pub lik b agi media

Struktur
• Kebebasan publikasi.
• Pluralitas kepemilikan.
• Jangkauan yang luas (hampir universal).
• Keberagaman saluran dan bentuk.

Konten
• Keberagaman informasi, opini, dan budaya.
• Mendukung tatanan publik dan hukum.
• Informasi dan budaya yang berkualitas tinggi.
• Mendukung sistem politik demokratis (ranah publik).
• Menghormati kewajiban internasional dan Hak Asasi Manusia.
M anusia.
• Menghindari hal-hal yang berbahaya bagi masyarakat dan individu.

Isu-isu
Isu-is u Utama bagi Teori Sosi al Medi
Mediaa
Sekarang kita berkonsentrasi pada jenis-jenis masalah utama yang mengemuka dalam
perdebatan mengenai hubungan antara media dan masyarakat. Wilayah teori normatif
dapat dipetakan dalam kaitannya dengan isu yang muncul mengenai struktur, perilaku,

Teori Normatif Media dan Masyarakat 187

atau kinerja media. Secara keseluruhan, isu-isu tersebut berhubungan dengan isi Kotak
7.2 dan dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut. Pertama, terdapat isu-isu yang

berkaitan dengan
dengan bagaimana
bagaimana sistem
sistem media disusun
disusun dan kondisi cara
cara kerjanya:
kerjanya:
• Kebebasan publikasi. Secara luas disetujui bahwa media seharusnya bebas dari kontrol pemerintah dan
publikasi.
kepentingan penguasa lainnya. Sehingga, cukup bagi mereka untuk melaporkan dan mengungkapkan
berita secara bebas dan mandiri dan memenuhi kebutuhan
kebutuhan khalayak mereka. Kebebasan secara pokok
terdiri atas tiadanya sensor atau pengesahan secara berlebihan, atau hukuman sesudah peristiwa
publikasi yang tidak melanggar hukum. Masyarakat juga harus bebas dalam menerima media pilihan
mereka sendiri.
• Pluralitas kepemilikan. Di sini, norma yang ada melarang konsentrasi kepemilikan dan monopoli
kontrol, baik oleh pemerintah maupun industri media swasta. Prinsipnya adalah bahwa sistem media
tidak boleh didominasi oleh sekelompok kepentingan yang mengontrol.
• Pasokan universal. Dalam model kegunaan publik, jaringan komunikasi masyarakat harus menjangkau
semua warga negara dengan ongkos yang sama kepada konsumen, kewajiban untuk menyediakan
jangkauan penyiaran jatuh ke tangan negara.
jangkauan negara. Tujuan utama
utama dari sistem penyiaran
penyiaran publ
publik
ik adalah untuk
memenuhi kriteria ini.
• Keberagaman saluran dan bentuk. Idealnya, struktur media juga memiliki banyak jenis media yang
berbeda dan saluran-saluran
saluran-saluran yang terpisah untuk memaksimalkan
memaksimalkan kesempat
kesempatan
an untuk memenu
memenuhi
hi
kebutuhan komunikasi publik yang luas. Warga negara seharusnya memiliki akses sebagai pengirim
dan penerima di media yang mencerminkan ide mereka dan memenuhi kepentingan dan kebutuhan
mereka. Jenis-jenis media yang berbeda (misalnya pers dan penyiaran)
penyiaran) harus berada di bawah kontrol
yang berbeda.
• Keragaman konten informasi, opini, dan budaya. Diharapkan bahwa sistem media secara keseluruhan
harus memperlihatkan serangkaian keluaran yang mencerminkan keragaman masyarakat, terutama
dalam dimensi wilayah, politik, etnik, kebudayaan, dan seterusnya. Saluran media seharusnya terbuka
pada pergerakan dan ide baru dan memberikan akses yang cukup untuk kelompok minoritas.

Kelompok isu yang kedua berkaitan dengan jenis layanan (pasokan konten) yang dapat
diharapkan jika ‘kepentingan publik’ dilayani. Elemen-elemen kuncinya termasuk:

• Dukungan untuk memelihara tatanan publik dan keamanan negara. Meskipun media pada umumnya tidak
diminta untuk melakukan pekerjaan polisi atau pihak berwenang lainnya yang seharusnya dilakukan
media kritis terhadapnya, terdapat pandangan yang diyakini secara luas dalam negara-negara
demokrasi bahwa terdapat batasan yang sah bagi kebebasan media dan beberapa hal di mana mereka
memiliki tugas untuk membantu kekuasaan. Gambaran keadaan di mana isu-isu ini muncul biasanya
merupakan sesuatu yang ekstrim dan melibatkan ancaman eksternal yang besar, perang, bencana,
konflik internal yang ekstrim, atau tindakan terorisme yang kejam. Klaim terhadap media untuk
mendukung keteraturan publik, bagaimanapun dapat meluas kepada kejahatan biasa. Kewajiban yang
disebutkan di atas juga mungkin berlaku bagi semua warga negara.
• Kualitas pasokan budaya. Isu-isu yang berada pada kategori ini sangat beragam, mulai dari pertanyaan
mengenai moral dan kepatutan hingga masalah selera budaya dan estetika. Secara umum, media
diharapkan untuk menghormati, jika tidak mendukung, nilai dan standar moral yang dominan dari
masyarakat mereka sendiri dan memberikan ekspresi, walaupun tidak secara kuat, atas nilai-nilai

budaya tradision
tradisional
al dan seni serta bahasa nasiona
nasionall atau lokal. Kualitas
Kualitas dalam budaya media dapat
diukur berdasarkan berbagai standar dan perspektif. Hal tersebut mencakup dukungan atas produksi

kreatif dan orisinal, dan kesempatan bagi kesenian dan budaya minoritas untuk diungkapkan.
• Dukungan kepada proses demokratis. Judul ini merujuk pada serangkaian pengharapan positif mengenai
kontribusi utama media massa terhadap kinerja Iembaga politik dan sosial lainnya. Kontribusi ini
dibuat melalui penyiaran yang utuh, adil, dan dapat diandalkan mengenai masalah publik, membantu
mengungkapkan sudut pandang yang beragam, memberikan akses bagi banyak suara di masyarakat,
memfasilitasi partisipasi warga negara dalam kehidupan sosial dan politik, dan seterusnya.
• Memenuhi tanggung jawab Ha k As asi Manusia internasional. Meskipun media umumnya adalah Iembaga
Asasi
nasional, mereka dapat memiliki jangkauan liputan secara internasional dan memiliki efek terhadap
komunitas internasional yang lebih luas. Serangkaian isu potensial muncul, termasuk kualitas
peliputan terhadap negara lain, potensi hasutan kebencian terhadap orang asing, atau terlibat dalam
propaganda perang. Sisi positifnya adalah terdapat beberapa alasan untuk mengharapkan media
melaporkan secara konstruktif mengenai masalah yang berkaitan dengan perkembangan, bencana, dan

keadaan darurat luar negeri, serta terhadap isu global mengenai kesehatan dan lingkungan.
Terdapat kategori ketiga mengenai isu larangan, di mana media diharuskan menghindari
berbagai jenis
jenis bahaya, bia
biasanya
sanya yang tidak
tidak disengaja.
disengaja. Persyaratan tambahan yang utama
adalah sebagai berikut:

• Menghormati hak-hak individu. Media sering kali melanggar hak-hak individu secara negatif, bahkan
ketika hak-hak ini dilindungi baik oleh hukum maupun opini publik. Isu yang paling sering muncul
berkaitan dengan reputasi pribadi (fitnah
(f itnah dan pencemaran nama baik), hak atas privasi dan martabat
pribadi. Hak kepemilikan (misalnya hak cipta), dan hak anonimitas dari terdakwa. Tidak dapat
dihindari, terdapat batasan yang diperselisihkan mengenai kapan sesuatu yang dianggap sebagai
pelanggaran hak pribadi, dibenarkan oleh kepentingan publik yang lebih besar. Hal ini muncul,
misalnya, dalam kasus skandal politik, atau masalah kriminal (misalnya mengekspos pedofilia), atau
ketika pesohor publik terlibat. Bagaimanapun, banyak perilaku media yang tidak dapat dibenarkan
atau disebut
sebagai melindungi kepentingan publik. Media juga sering kali mengejutkan atau
menyerang kelompok atau individu tertentu, menyebabkan kesulitan dan kerugian
yang tidak langsung.
• Kerugian terhadap masyarakat. Ketakutan sering kali diungkapkan mengenai efek
umum dan jangka-panjang terhadap masyarakat sebagai hasil dari publikasi media,
bahkan jika tidak ada kerugian yang disengaja. Kesejahteraan anak-anak atau
kelompok lemah lainnya barangkali terlibat, atau dorongan diberikan kepada
kriminalitas, kekerasan, dan perilaku yang dianggap antisosial lainnya, misalnya
minum-minum, penggunaan obat terlarang, atau seks bebas.
Kerugian terhadap individu. Daftar yang terpisah disimpan untuk peristiwa tertentu
yang menyebabkan kerugian bagi individu yang disebabkan oleh penghasutan
tindakan yang berbahaya oleh orang lain atau orang yang bersangkutan. Terdapat
beberapa kasus yang didokumentasikan
didokumentasikan dengan baik mengenai media yang
berperan dalam menstimulasi
menstimulasi kejahatan atau bunuh diri dan ada argumen
argumen yang

Teori Normatif Media dan Masyarakat 189

berkelanjutan
berkelanjutan akan representasi
representasi tertentu, misalnya
misalnya pornografi kekerasan,
kekerasan, dapat
mengarah pada imitasi, atau efek yang membahayakan. Kasus-kasus imitasi dari

tindakan terorisme termasuk dalam kategori ini.


Tentu saja, terdapat isu-isu lain di mana konten dapat dipuji atau dikritik berdasarkan
kepentingan publik. Konten yang dikritik termasuk yang berkaitan dengan isu
kesehatan (misalnya iklan rokok), masalah hukum (misalnya penghinaan terhadap
pengadilan), dan menyerang publik dengan menampilkan konten yang berbau
kekerasan, hujatan, atau pornografi. Contoh-contoh ini cukup untuk menekankan poin
bahwa media, barangkali lebih dari lembaga sosial lainnya yang bekerja di bawah
tatapan publisitas dan diawasi oleh seluruh masyarakat sebagaimana mereka
mengawasi masyarakat. Bagaimana dan seperti apa hasilnya pengawasan publik
terhadap pengawas publik ini terjadi akan dibahas kemudian.

Pend
Pendekata
ekatan
n Awal
Aw al terhadap Teori
Teori : Pers sebagai
‘Pilar Keempat’
Keempat’
Media pertama adalah media cetak, dan kebebasan yang paling signifikan adalah yang
didapatkan dan sampai sekarang masih diklaim oleh dan untuk media cetak. Dengan
alasan ini, istilah ‘teori pers’ sering kali digunakan untuk hubungannya dengan berita
dan jurnalisme secara umum. Dalam arti yang penting, dalam waktu dan tempat yang
dibahas oleh diskusi ini (sebagian besar demokrasi
demokrasi model barat pada abad ke- 20), teori
yang paling dianggap mengenai pers adalah teori kebebasan pers (theory of press freedom).
Teori-teori lain adalah kualifikasi atau rancangan terbatas bagi tujuan kebaikan bersama.
Dalam hal ini, kita dapat mengatakan bahwa teori ‘orisinal’ dari pers berkaitan dengan
peran jurnalisme dalam proses politik, sebagaimana dikemukakan oleh berbagai
pemikir liberal, termasuk Thomas Paine, John Stuart Mill, Alexis de Tocqueville, dan banyak lainnya. Istilah
‘Pilar Keempat’ (fourth estate) disebutkan oleh Edmund Burke di Inggris pada akhir abad ke-18 untuk

merujuk pada kekuasaan politik yang dimiliki pers, setara dengan ketiga ‘pilar’ lainnya dalam kehidupan
di Inggris: Tuhan, Gereja, dan Majelis Rendah (Lord, church, and commons). Kekuatan pers muncul dari
kemampuannya untuk memberikan atau menahan publisitas serta dari kapasitas informatifnya. Kunci
kebebasan pertama adalah untuk melaporkan dan berkomentar terhadap perundingan, majelis, dan
tindakan pemerintah. Kebebasan ini adalah landasan dari perwakilan demokrasi dan kemajuan. Semua
pergerakan revolusioner
revolusioner dan reformis dari abad ke-18 hingga saat
s aat ini menuliskan kebebasan pers di panji-
panji mereka dan memanfaatkannya untuk membantu tujuan mereka (Hardt, 2003).
Dalam hal ini, terutama Anglo-Amerika, tradisi pemikiran kebebasan pers secara erat dikaitkan
dengan ide kebebasan individu dan dengan filsafat politik liberal dan utilitarian. Dukungan politik untuk
kebebasan pers ditemukan dalam argumen melawan sensor dan penindasan terhadap opini. Argumen
terkenal dari John Stuart Mill mengenai kebebasan pers pada tahun 1859, seperti yang dikutip dalam Kotak
7.3.

Joh n

Kejahatan
Stuart
7.3 Mill (1859)
(1859) mengenai kebebasan pers: kut ipan kun ci

yang ganjil dalam membungkam pengungkapan opini adalah yang


merampok manusia, generasi penerus sebagaimana juga generasi saat ini,
mereka yang menolak opini lebih dari yang menerimanya. Jika opini tersebut benar, mereka
dihalangi dari kesempatan menukar kesalahan dengan kebenaran; jika hal tersebut salah,
mereka kehilangan keuntungan yang besar, persepsi yang jernih dan impresi yang lebih hidup
atas kebenaran, dibuat oleh benturan dengan kesalahan. (Mill,
( Mill, 1991/1859).

Ide-ide ini kemudian bekerja dalam gagasan mengenai mekanisme ‘pembenaran sendiri’ yang
merupakan kebenaran yang diungkapkan dengan bebas pasti akan mengalahkan kesalahan ketika
keduanya dipublikasikan secara bebas. Ide utamanya berawal dari pamflet John Milton, Areopagit
Areopagitica
ica (1644)
yang melawan lisensi pers di Inggris. Cara terkenal lainnya dalam mengungkapkan gagasan serupa
muncul dalam istilah ‘pasar bebas ide’, pertama kali digunakan pada tahun 1918 oleh seorang hakim
Amerika. Walaupun digunakan secara metafora, istilah ini memiliki efek tidak beruntung dalam
menghubungkan kebebasan pers dengan gagasan pasar bebas secara literal.
Konteks sejarah dari perjuangan kebebasan pers hampir tanpa terkecuali merupakan pertentangan
antara publikasi dengan penguasa; pertama adalah gereja, dan
Teori Normatif Media dan Masyarakat 191

kemudian pemerintah dalam banyak aspek. Tidak mengherankan bahwa kebebasan


pers utamanya didefinisikan sebagai kebebasan dari larangan. Ini adalah makna yang

diberikan secara legal di Amerika Serikat, di dalam Amandemen Pertama Konstitusi


Amerika Serikat (1791), dengan efek bahwa ‘Kongres tidak boleh membuat hukum...
yang memperpendek, mengurangi kebebasan berbicara, atau kebebasan pers’. Secara
kontras, konstitusi yang diperbaiki di banyak negara lain telah merujuk pada jaminan
hak bagi warga negara. Misalnya, Pasal 7 dari Konstitusi Belanda 1848 menyatakan:
‘tidak ada seorangpun yang perlu izin untuk mempublikasikan pemikiran atau perasaan
melalui pers cetak, terlepas dari tanggung jawab semua orang di dalam hukum’.
Pada awal abad ke-20, jelas bagi para pembaharu bahwa kebebasan pers dalam
kaitannya dengan ekonomi dan yang diungkapkan dalam istilah yang negatif untuk
menolak campur tangan pemerintah, gagal untuk menyuarakan makna utuh atas
kebebasan berekspresi yang mencakup beberapa gagasan kesempatan yang realistis
akan akses kepada saluran publikasi. Alih-alih menjadi kendaraan untuk memajukan

kebebasan dan demokrasi, pers semakin menjadi (terutama dalam negara-negara Anglo-
Amerika) alat untuk menghasilkan uang dan propaganda untuk kelas kapitalis yang
baru dan berkuasa, terutama bagi
bagi para ‘baron pe
pers’.
rs’.
Pada awal abad ke-20, ancaman terhadap kebebasan dari monopoli media yang
semakin meningkat tidak jugahilang (McChesney, 2000; Baker, 2007) meskipun adanya
ekspansi konten dan saluran media. Janji kebebasan dari Internet belum juga dipenuhi,
dan rentan di hadapan penjajahan media besar dari sebagian besar situs yang sukses
dan bukti yang kelas bahwa pemerintah tidak toleran terhadap kebebasan-kebebasan
yang baru.

Komi
Ko misi
si Kebebasa
K ebebasan
n Pers Tahu
Tahunn 19
1947
47 dan Te
Teor
orii
Tanggun g Ja
J awab Sosial
Sebagai respons atas kritik yang meluas terhadap persurat kabar Amerika, terutama
karena sifatnya sensasional dan komersial juga karena ketidakseimbangan politik dan
kecenderungan monopoli. Komisi swasta untuk menyelidiki ini dibentuk pada tahun
1942 dan dilaporkan pada tahun 1947 (Hutchins, 1947). Pendirinya adalah penerbit
Henry Luce, dan dikelola di bawah kepemimpinan yang berkarakter dari Robert
Hutchins, rektor Universitas Chicago (Blanchard, 1977). Tujuan dari komisi ini adalah
untuk meneliti wilayah dan keadaan di mana pers Amerika Serikat sukses atau gagal;
untuk mengetahui apakah kebebasan berekspresi dibatasi atau tidak, baik oleh tekanan
sensor pemerintah dari pembaca atau pengiklan atau oleh kebodohan pemilikinya atau
dari sifat penakut manajemennya’.

Komisi tersebut membentuk sebuah tonggak penting bagi masa kini untuk
beberapa alasan. Ia merupakan
merupakan pelopor bagi penelitian dan laporan serupa, sering kali
diawali oleh pemerintah untuk melihat kegagalan media untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dan kemungkinan untuk melakukan reformasi. Di Amerika Serikat, semenjak saat itu tidak ada

192 Teori

penelitian publik yang sama mengenai pers, tetapi beberapa komisi telah melihat masalah spesifik yang
muncul dari aktivitas media, terutama dalam hubungannya dengan kekerasan, pornografi, dan keresahan

masyarakat.
Kedua, komisi tahun 1947 barangkali adalah peristiwa pertama sejak kebebasan pers yang dicapai
ketika kebutuhan intervensi pemerintah untuk membenarkan kesalahan pers dipertimbangkan, dan ini
berada pada pusat kapitalisme.
kapitalisme. Ketiga, hal ini bertindak sebagai contoh yang berpengaru
berpengaruh
h untuk negara-
negara lain, terutama di dalam periode reformasi dan rekonstruksi setelah Perang Dunia II. Keempat,
penemuan penelitian berkontribusi pada substansi atas pembentukan teori selanjutnya dan kepada praktik
akuntabilitas, walaupun tidak ada bukti nyata bahwa penelitian itu memang memperbaiki pers pada saat
itu.
Penemuan dari komisi tersebut (Hutchins, 1947) penting bagi pers untuk kegagalannya yang berulang
dan untuk terbatasnya akses yang diberikan kepada suara di luar lingkaran minoritas yang berkuasa dan
memiliki keistimewaan. Laporan itu memunculkan gagasan tanggung jawab sosial (social responsibility)
dan memberikan standar jurnalistik yang harus dipelihara oleh pers. Pers yang bertanggung jawab harus

‘memberikan laporan yang utuh, jujur, menyeluruh, dan cerdas atas peristiwa sehari-hari dalam konteks
yang bermakna’. Pers harus ‘bertindak sebagai forum pertukaran komentar dan kritik’, dan menjadi
‘pembawa pendapat publik’. Ketiga, pers harus memberikan ‘gambaran yang representatif atas kelompok
yang membentuk masyarakat’ dan juga memberikan dan menjelaskan ‘tujuan dan nilai dari masyarakat’.
Penelitian tersebut mengkritik sensasionalisme pers dan pencampuran berita dengan opini editorial.
Secara umum, komisi tersebut mendukung konsep Iembaga pers yang beragam, objektif, informatif,
dan independen yang akan menghindarkan dari penyerangan atau mendorong kriminalitas, kekerasan,
atau kekacauan. Tanggung jawab sosial harus dilakukan dengan kontrol-diri, bukan dengan campur
tangan pemerintah. Bagaimanapun yang terakhir tidak juga hilang. Penafsiran Siebert dan kawan-kawan
(1956) mengenai tanggung jawab sosial menempatkannya di bawah konsep kebebasan positif ‘kebebasan
untuk’ alih-alih ‘kebebasan dari’. Mereka menulis (1956: 95): ‘teori tanggung jawab sosial berpendapat
bahwa pemerintah mestinya tidak hanya mengizinkan
mengizinkan kebebasan; tetapi juga harus secara aktif

mempromosikannya... maka bilamana diperlukan, pemerintah harus bertindak untuk melindungi


kebebasan warga negaranya.’ Tindakan pemerintah yang dimaksud meliputi perundangan untuk melarang
‘pelanggaran yang buruk’, dan juga ‘memasuki bidang komunikasi untuk menambah media yang ada’.
‘Teori tanggung jawab sosial’ (theory of social responsibility) melibatkan pandangan tentang
kepemilikan media sebagai bentuk kepercayaan atau pengawasan publik, alih- alih sebagai waralaba
swasta yang tidak terbatas. Salah satu anggota komisi, William Hocking (1947:169) menulis: ‘hak pers
untuk bebas tidak terpisahkan dari hak rakyat untuk memiliki pers yang bebas. Akan tetapi, kepentingan
publik melampaui titik
Teori Normatif Media dan Masyarakat 193

tersebut; saat ini merupakan hak untuk memiliki pers yang layak’, dan dari dua hak tersebut, ia
menambahkan: ‘hak bagi publik sekarang untuk mengambil preseden’. Hal ini merupakan dasar bagi

tuntutan untuk tanggung jawab. Dasar yang lain diambil dari fakta bahwa kepemilikan komunikasi massa
modern (terutama
(terutama surat kabar dan penyiaran) yang telah terkonsentrasi tinggi, memberikan kekuatan yang
besar kepada sejumlah kecil orang. Kekuatan ini membawa tanggung jawab untuk melakukannya dengan
kehati-hatian dan penghormatan bagi orang Iain. Ide ini berpengaruh, tidak hanya terhadap pers, tetapi
juga terhadap legitimasi peratu
peraturan
ran pemerintah atas penyiaran
penyiaran,, terutama di Amerika Serikat. Hingga
pergerakan deregulasi pada tahun 1980-an, Komisi Komunikasi Federal AS (FCC) sering kali bertindak
berdasarkan asumsi bahwa penyiaran adalah kepercayaan publik, tundu
tunduk
k kepada penilaian dan bahkan
pelarangan. Prinsip-prinsip dasar dari teori ini dijelaskan di Kotak 7.4.

Teori
Teori tanggung jawab

• Media memiliki
7.4 sosial: proposis i utama

tanggung jawab terhadap masyarakat dan kepemilikan


media adalah kepercayaan dari publik.
• Media berita harus jujur, akurat, berimbang, objektif, dan relevan.
• Media harus bebas, mengatur diri sendiri.
• Media harus mengikuti kode etik yang disetujui dan perilaku profesional.
• Di dalam situasi tertentu, pemerintah mungkin perlu campur tangan untuk mengamankan
kepentingan publik.

Tradisi tanggung jawab sosial yang menerima dasar filosofisnya dari Komisi Amerika tahun 1947
sesungguhnya dipraktikkan dengan determinasi dan efek yang lebih di negara-negara selain Amerika
Serikat, khususnya di Eropa Barat pada dua atau tiga dasawarsa sesudah Perang Dunia II. Impulsnya
adalah tiga kali lipat: harapan untuk membuat awal yang baru setelah perang, kebangkitan politik dan
lebih ‘progresif’, dan pengalaman gelombang fokus pers yang membangkitkan ketakutan akan monopoli
media swasta.
Picard (1985) menemukan istilah ‘teori demokrasi sosial pers’ untuk menggambarkan model
‘kesejahteraan sosial’ Eropa tentang media massa dalam periode ini. Di sejumlah negara (terutama Inggris
dan Sedia), penyelidikan publik tentang kondisi media dilaksanakan (lihat misalnya Royal Commission on
The Press, 1977). Penyelidikan ini mengamati keragaman dan konsentrasi pers, dan dalam beberapa kasus,
subsidi diperkenalkan untuk mempertahankan serangkaian surat kabar yang bersaing dan khususnya
untuk membantu publikasi minoritas dan kaum
194 Teori

miskin. Tujuan besarnya tentunya adalah sehatnya demokrasi. Kepentingan publik


ditafsirkan sebagai pembenaran berbagai bentuk campur tangan negara dalam apa yang

sebelumnya merupakan pasar bebas, meskipun campur tangan yang sungguh- sungguh
dijaga sesedikit mungkin. Uni Eropa hingga taraf tertentu mewarisi peranan negara
bangsa: Uni Eropa telah melakukan
melakukan penyelidikan dalam tingkat keragaman dan
konsentrasi kepemilikan media, dan setidaknya telah memikirkan perlunya langkah
bersama untuk
untuk melindungi nilai-nilai demokratis
demokratis yang penting
penting ini, meskipun
meskipun tidak ada
tindakan yang dilakukan. Kemauan politik untuk menegakkan tanggung jawab sosial
terhadap klaim pasar dan kekuatan media yang mapan tidak cukup kuat.

Profesionalisme
Profesion alisme dan Etika
Eti ka Me
Media
dia
Tanggapan lain yang signifikan terhadap kegagalan pers surat kabar massa, khususnya

komersialisme tapi juga kemandirian politiknya, adalah perkembangan profesionalisme


dari jurnalisme. Hal ini mengambil berbagai bentu, termasuk pengaturan ke dalam
asosiasi, pembentukan dewan pers (press council), dan pengambilan
pengambilan prinsip praktik yang
baik dalam bentuk kode praktik dan etika. Perkembangan
Perkembangan historis jurn
jurnalisme
alisme dan
bentuk-bentuk
bentuk-bentuk institusional
institusional yang diambil berada di luar jangkauan
jangkauan diskusi ini.
Walaupun demikian, makna pentingnya besar bagi isi dan implementasi teori normatif.
Dewan pers biasanya bersifat sukarela atau setidaknya nonpemerintah, badan yang
menengahi publik dan media massa (lihat Sonninen dan Laitila, 1995; Bertrand, 2003).
Fungsi utamanya adalah menyelesaikan keluhan dari pihak manapun yang dipengaruhi
oleh media, tetapi khususnya media cetak (penyiaran memiliki bentuk - bentuknya
sendiri yang terpisah). Fungsi ini menyiratkan keperluan untuk memiliki kode standar
atau prinsip dengan apa rujukan dapat dibuat, dan secara umum dewan pers

merupakan instrumen pengaturan-sendiri bagi pers yang mengakui tanggung jawab


terhadap publik.
Sebuah kode etik jurnalistik mengacu pada serangkaian prinsip perilaku
profesional yang dipungut dan dikendalikan oleh para jurnalis sendiri. Gerakan untuk
mengodifikasikan praktik jurnalistik telah mulai di Amerika sebelum Laporan Komisi
Hutchin tahun 1947, dan salah satu dari kanon jurnalisme awal diterbitkan oleh
American Society of Newspapers Editors pada tahun 1923. Kode perilaku diperkenalkan
di Eropa kurang lebih pada saat yang sama, terutama di Prancis, Swedia, dan Finlandia
dan pada akhirnya hampir di semua negara (Laitila, 1995).
Fenomena mencerminkan proses umum profesionalisasi jurnalisme, tetapi juga
harapan industri media untuk melindungi diri dari kritik, dan khususnya dari ancaman
campur tangan luar dan pengurangan otonomi. Kajian tentang kode itu sendiri dapat

memberikan kesan yang menyesatkan tentang apa jurnalisme sesungguhnya, tetapi


isinya menyediakan gagasan yang bagus tentang apa yang sebaiknya dilakukan
jurnalisme.
jurnalisme. Setidaknya kode itu mengungkap
mengungkapkan
kan nilai-nilai
nilai-nilai yang dinyatakan jurnalis
jurnalis
secara publik sebagai garis besar pekerjaan mereka. Sampai taraf itu, kode tersebut

Teori Normatif Media dan Masyarakat 195

membangun suatu bentuk teori normatif. Meskipun demikian, kode sering kali sedikit lebih banyak
daripada kumpulan rekomendasi praktis yang berbeda yang tidak mengungkapkan satu pun gagasan

yang terorganisasi tentang sifat alami masyarakat, maupun keseluruhan tujuan sosial dari lembaga. Untuk
mengungkapkan hal ini dibutuhkan beberapa penafsiran.
Sekian banyak kode yang berbeda mencerminkan perbedaan dalam konvensi dan tradisi negara yang
bersangkutan
bersangkutan dan dalam pengaruh negatif kepentingan partai yang berbeda—penerbit,
berbeda—penerbit, editor, jurnalis,
jurnalis,
atau badan pengaturan eksternal. Sebagian besar kode berfokus pada pasokan iinformasi
nformasi yang terpercaya
dan pada menghindari gangguan, tekanan, bias, sensasi, dan gangguan pada privasi (Harris,1992). Akan
tetapi, beberapa kode bertindak lebih jauh dengan menyatakan pandangannya mengenai peranan
jurnalisme
jurnalisme yang lebih
lebih besar di ma
masyarakat.
syarakat.
Studi komparatif mengenai kode jurnalistik di 31 negara Eropa yang dilakukan oleh Laitila (1995)
menunjukkan bahwa terdapat banyak prinsip yang berbeda, walaupun ia mengklasifikasikannya ke dalam
enam jenis akuntabilitas, yaitu kepada publik; kepada sumber dan bahan rujukan; kepada negara; kepada
perusahaan; untuk integritas profesional; dan untuk perlindungan terhadap status dan kesatuan profesi.
Laitila menemukan tingkat persetujuan yang tinggi terhadap beberapa prinsip tertentu. Terdapat enam
tingkatan, semuanya dengan beberapa tingkatan relevansi kepada masyarakat yang lebih luas yang
ditemukan hampir pada ke-31 kode yang diteliti. Poin-poin ini dirangkum dalam kotak 7.5.

7

F" Prinsip-
Prinsip-prinsip
prinsip dalam kode jurnalistik yang ■ sering ditemukan

Kebenaran informasi.
• Kejernihan informasi.
• Perlindungan terhadap hak-hak publik.
• Tanggung jawab daiam pembentukan opini publik.
• Standar dalam mengumpulkan dan melaporkan informasi.
• Menghormati integritas sumber.

(Sumber. Laitila, 1995)

Beberapa pembagian spesifik tertentu yang umum (terdapat dilebih dari 70 persen kode) termasuk:
pelarangan diskriminasi berdasarkan ras, etnis, agama, dan seterusnya; penghormatan terhadap privasi;
dan pelarangan terhadap penyogokan dan bentuk- bentuk lainnya.
Kode hampir selalu dibentuk secara nasional, tetapi selalu ada pergerakan untuk mengenali
signifikansi berita yang lebih luas di dunia. Dengan bantuan dari Unesco, seperangkat ‘prinsip
internasional ataas etika profesional jurnalisme’ dibentuk (Traber dan Nordenstreng, 1993) yang menarik
perhatian terhadap permasalahan tambahan. Hal ini termasuk gagasan akan ‘hak terhadap informasi’ dan
kebutuhan untuk menghormati nilai-nilai universal dan keragaman budaya. Terdapat juga penekanan
terhadap kebutuhan jurnalisme untuk mempromosikan Hak Asasi Manusia, perdamaian, kebebasan
bangsa, kemajuan
kemajuan sosial, da
dan
n demokra
demokrasi
si (lihat Nordenstren
Nordenstreng,
g, 1998).
Walaupun isi dari kode jurnalisme sering kali mencerminkan sistem nilai barat, beberapa elemen
kunci juga diterjemahkan ke dalam konteks budaya lain. Hafez (2002) membandingkan kode jurnalisme di

196 Teori

Eropa dengan kode di Afrika utara, Timur tengah, dan muslim di Asia. Ia menyimpulkan bahwa ‘terdapat
konsensus internasional dari standa kebenaran dan objektivitas harus menjadi nilai sentral dalam nilai

jurnalisme’.
jurnalisme’. Ia mencatat bahwa di negara-negara muslim,
muslim, terdapat kurangnya penekanan atas kebebasan
dan lebih terhadap privasi terdapat pencarian terus-menerus akan standar praktik jurnalistik yang sah
secara internasional (Herrscher, 2002; Perkins, 2002). Walaupun traktat Hak Asasi Manusia internasional,
seperti dari PBB dan juga konvensi Eropa atas Hak Asasi Manusia yang berkonsentrasi pada penekanan
hak atas kebebasan berekspresi, mereka juga memiliki potensi untuk menghukum penyalahgunaan
kebebasan media jika media mendukung diskriminasi, kebencian, kekerasan, sebagaimana yang mereka
lakukan dulu di Yugoslavia dan Ruanda.
Untuk menghadapinya, sepertinya terdapat cukup banyak persamaan dalam apa yang diterima
secara formal oleh jurnalis-jurnalis di negara yang berbeda sebagai standar yang layak. Dalam artian ini
terdapat sesuatu, seperti badan teori normatif yang sama untuk diterapkan ke dalam kehidupan sehari-
hari. Di sebagian besar kode, terdapat lebih sedikit perhatian terhadap tujuan jurnalisme yang lebih besar
di masyarakat. Penekanan yang terdahulu di hampir semua negara adalah terhadap standar objektivitas

(netral), jurnalisme independen, dan informatif (secara faktual benar).


Mancini (1996) berkomentar terhadap tidak terhubungnya kesetiaan yang diproklamasikan dan
tersebar secara luas terhadap teori jurnalisme liberal dengan praktik yang sebenarnya di banyak negara.
‘Jurang’ antara teori dan praktik ditemukan dalam dua poin utama. Satu yang berkaitan dengan peranan
investigatif, kritik, dan dukungan dari jurnalis yang hanya sedikit diperhatikan
diperhatikan di dalam kode. Poin kedua
berhubungan
berhubungan dengan kemandirian
kemandirian dan netralitas jurnalisme,
jurnalisme, di mana pada praktikn
praktiknya
ya sebagian besar
jurnalisme
jurnalisme beroperasi dalam hubungan yang cukup dekat dengan pemerintah, partai politik, kepentingan
ekonomi yang berkuasa, dan jenis kekuasaan lainnya. Pengamatan ini membawa setidaknya pada
kesimpulan bahwa kode junalistik tidak layak dan tidak utuh sebagai teori, dan barangkali juga terhadap
pandangan bahwa mereka seharusnya dianggap sebagai ideologi tertentu dengan tujuan tertentu.
Cukup sedikit organisasi media, terutama dalam penyiaran televisi yang memelihara kode praktik
internal (terkadang dipublikasikan, terkadang tidak) berkaitan dengan isu yang sama dan berbeda untuk

memberikan panduan bagi editor dan produser. Hal ini berbeda dari kode profesional karena utamanya
mereka mengawasi kontrol internal dan akuntabilitas. Terkadang, mereka dirancang untuk menghadapi
keadaan khusus dari media audio visual dengan potensi dampak yang besar. Mereka
juga berperan dalam merespons
merespons isi peraturan
peraturan eksternal yan
yang
g diterapkan tidak hanya
pada jurnalisme, tetapi juga terhadap tampilan fiksi dan drama. Dalam keadaan-
keadaan tersebut, berbagai masalah spesifik tertentu muncul, walaupun pada akhirnya
mereka diambil dari prinsip dasar yang sama dan yang termasuk di dalamnya adalah
kebenaran, keadilan, keterbukaan, penghormatan terhadap orang lain, kelayakan, dan
kebutuhan untuk menghindari konsekuensi publik yang berbahaya.
Di luar wilayah jurnalisme berita, terdapat bukti yang luas dari pengaturan diri
media dalam bentuk kode suka rela yang terutama dirancang untuk melindungi publik
dari keburukan atau melindungi industri dari tekanan luar. Periklanan hampir di mana-

mana tunduk pada berbagai peraturan dan panduan yang diterapkan sendiri. Film dari
awal, pada saat produksinya menjadi subjek atas bentuk-bentuk sensor, dan di banyak
negara tunduk terhadap pengawasan publik dan pengaturan sendiri. Penyiaran televisi
menjadi semakin dibatasi. Jenis-jenis kodifikasi ini hanya mengungkapkan ketakutan

Teori Normatif Media dan Masyarakat 197

terhadap pengaruh media dan ketakutan terhadap ketidaksetujuan publik.


Sumber keprihatinan baru terbuka dengan adanya pertumbuhan yang cepat dan
luas dari jurnalisme weblog (blogging) oleh individu baik di dalam maupun di luar
dinding media yang telah ada. Terdapat sejumlah ketidakpastian mengenai batasan
antara bentuk jurnalistik lama dan baru (Matheson, 2004; Singer, 2005). Masalah tertentu
yang berkaitan dengan standar normatif dapat diharapkan dari aktivitas baru blogging
berita yang tidak menjadi bahan dari segala bentu
bentuk
k akuntabilitas.
akuntabilitas. Kode
K ode etik yang baru
untuk blogging telah diajukan untuk menambahkan komitmen tradisional terhadap
objektivitas dengan norma-norma transparansi, kebebasan, dan interaktivitas (Kuhn,
2007). Bagaimanapun, beberapa struktur kelembagaan biasanya diperlukan untuk
menyokong kode dan sebagian besar bloger menolak kontrol semacam ini.

Empat Teor
Teorii Pers dan Setelahnya
Momen penting dalam perkembangan teori mengenai media (sekali lagi hanya pers
surat kabar) terjadi melalui publikasi buku teks kecil oleh tiga pengarang Amerika
(Siebert dan kawan-kawan, 1956). Hal ini kemudian menggambarkan ‘teori pers’
alternatif yang muncul kemudian, membahas hubungan antara pers dan masyarakat.
Buku ini telah dijual secara luas, diterjemahkan, digunakan dalam pendidikan, dan
diperdebatkan semenjak saat itu (Nordenstreng, 1997), barangkali karena judulnya
dengan klaim yang mengejutkan dan celah dalam literatur media massa yang diisinya.
Buku tersebut juga menjadi bahan penilaian, kritik, dan penolakan secara efektif,
terutama ketika satu dari ‘empat teori’—dari komunisme Soviet—telah menghilang
(Nerone, 1995). Aspek penting dari keseluru
kes eluruhan
han proyek tersebut adalah gagasan bahwa
‘pers selalu mengambil bentuk dan keseluruhan prinsip dari struktur sosial dan politik
di dalam mana mereka beroperasi. Terutama, pers mencerminkan sistem kontrol sosial’
(Siebert dan kawan-kawan, 1956: 1).
Terlepas dari teori Soviet, tiga ‘teori’ lain yang ada, dinamai ‘otoritarian, ‘libertarian’ dan ‘tanggung
sosial’. Apa yang disebut sebagai ‘teori otoritarian’ (authoritarian theory) sebetulnya adalah deskripsi
jawab sosial’.
dari kontrol terhadap pers selama dua atau tiga abad oleh berbagai rezim yang menekan (terutama di
Eropa), situasi di mana AS dengan senang hati melarikan diri dengan cara membebaskan diri dari Inggris.
Otoritarianisme umumnya tidak memiliki konten teoretis, meskipun prinsip dasarnya dirangkum oleh Dr.
Samuel Johnson, penulis Inggris pada abad ke-18, yaitu: ‘setiap masyarakat memiliki hak untuk menjaga
keamanan dan ketertiban publik, dan oleh karena itu memiliki hak untuk melarang propaganda opini yang
memiliki kecenderungan
kecenderungan berbahaya’ (dikutip dalam Siebert dan kawan-kawan, 1956:36). Menurut Johnson,
bukanlah para pemim
pemimpin y ang memiliki hak semacam itu, tetapi hak tersebut menjadi milik
pin pengadilan yang
masyarakat, dan ia menambahkan bahwa pembatasan opini barangkali salah secara moral, tetapi benar
secara politik’. Teori libertarian (libertarian theory) (dalam istilah modern, teori pers bebas) telah dijelaskan
lebih awal pada bab ini.
Buku tersebut diterbitkan pada saat yang kritis ketika Perang Dingin, di mana dua sisi yang
bertarung
bertarung di pusat du
dunia
nia yang masih labil, dan kebebasan serta keterbata
keterbatasan
san media masih
masih men
menjadi
jadi masalah
masalah
utama. Amerika Serikat secara aktif mencoba untuk mengekspor ideologi liberalisme dan pasar bebas

198 Teori

mereka, dan model kebebasan pers yang penting dalam hal ini (Blanchard, 1986). Setidaknya dapat
dikatakan bahwa ‘empat teori’ cocok untuk program ini. Menurut Nerone (1995), sang penulis ‘secara tidak
kritis menerima mistifikasi ideologis yang diajukan oleh pemilik media untuk menjelaskan keberadaan
mereka sendiri. Mitos kebebasan pers dalam pelayanan terhadap masyarakat muncul karena hal tersebut
menjadi kepentingan dari pemilik media untuk dipelihara’.
Sebagaimanaa yang ditunjukkan oleh Nerone
Sebagaiman N erone (1995), teori libertarian mengidentifikasi kebebasan pers
sangat dekat dengan hak properti—kepemilikan alat publikasi—mengabaikan halangan ekonomi terhadap
akses dan menyalahgunakan kekuatan penerbitan monopolistik. Kedua, kebebasan pers sering kali
dipandang sebagai konsep negatif—kebebasan dari pemerintah. Sebagai alternatif, versi yang lebih positif
atau afirmatif akan menyediakan konsep tersebut dengan ide akan tujuan dan keuntungan positif yang
mungkin memerlukan campur tangan sosial tertentu. Sebagaimana Glasser (1986: 93) menulis:

Dari perspektif konsep negatif akan kebebasan, pers tidak memiliki kewajiban untuk memperluas kebebasannya atau untuk
mengakomodasi kebebasan pihak lain.... Dari perspektif pemahaman afirmatif... secara kontras, kebebasan dan tanggung
jawab berdiri bersebelahan... (dan) kemampuan individu untuk mendapatkan keuntungan dari kebebasan harus
dimasukkan ke dalam kondisi definitif dari kemerdekaan.

Ketiga, sebagaimana yang telah kita bahas, teori libertarian tidak diterapkan dengan baik ke media
selain pers cetak atau fungsi media selain jurnalisme. Teori ini memiliki banyak referensi terhadap opini
dan keyakinan, tidak terlalu banyak membahas mengenai informasi dan isu-isu kemerdekaan yang muncul
dalam kondisi terbaru dari masyarakat informasi, termasuk akses, kerahasian, privasi, hak properti, dan
seterusnya kecuali untuk menganggap bahwa pasar yang akan menyediakan. Keempat, teori ini tidak jelas
mengenai siapa yang untung atau diuntungkan dari hak atas kebebasan. Jika yang memiliki hak adalah
pemilik surat kabar, apa hak dari editor, jurnalis, dan bahkan publik? Terdapat banyak poin yang
diperselisihkan, termasuk pertanyaan di manakah batasan kebebasan dapat ditentukan. Dititik manakah
negara secara sah dapat campur tangan untuk melindungi kepentingan ‘esensial’? Contoh sejarah
menunjukan bahwa negara biasanya menganut perspektif otoritarian bila mereka pikir mereka
membutuhkannya dan dapat lolos dengannya, menurut gagasan Dr. Johnson mengenai hak politik (lihat di
atas). Kritik terhadap Patriot Act AS 1991 (Gronbeck,2004) menyatakan bahwa undang-undang tersebut
secara signifikan membatasi kebebasan konstitusional tradisional dari jurnalisme Amerika.
Walaupun terdapat pembatasan ini dan yang lainnya, buku Empat Teori mempromosikan bukan
hanya serangan balik dan perdebatan, tetapi juga percobaan untuk menulis kembali atau memperluas
empat ‘teori’ (Nordenstreng,1997). Beberapa komentator, termasuk McQuail (1983), Altschull (1984), dan
Hatchen (1981) menyatakan bahwa kita perlu memiliki kategori untuk ‘teori perkembangan’
berdampingan
berdampingan dengan jenis-jenis teori liberal dan Marxis. Ini akan memu
memunculkan
nculkan fakta bahwa masyarak
masyarakat
at
mengalami perubahan dari keterbelakangan dan kolonialisme kepada kemerdekaan yang sering kali
kekurangan uang, infrastruktur, keahlian, dan khalayak untuk memelihara sistem media pasar bebas yang
luas. Versi yang lebih positif dari teori media dibutuhkan yang berfokus pada bangsa dan tujuan
perkembangan, sebagaimana kebutuhan untuk otonomi dan solidaritas dengan negara lain dalam situasi
yang serupa. Dalam keadaan ini, sah bagi pemerintah untuk mengalokasikan sumber daya secara selektif
dan untuk membatasi kebebasan jurnalistik dalam beberapa hal. Tanggung jawab sosial didahulukan dari
pada hak dan kebebasan media. Pada praktiknya, banyak sistem media di negara berkembang masih
termasuk ke dalam jenis ‘otoritarian. De Smaele (1999) telah menguji penerapan keempat teori terhadap
kasus perkembangan yang lain, yaitu pasca-demokratisasi media Soviet.

Teori Normatif Media dan Masyarakat 199

Sementara percobaan masih dibuat untuk meningkatkan karakterisasi asli dari teori pers (misalnya
Ostini dan Fung, 2002), tujuan memformulasikan ‘teori pers’ secara konsisten dan koheren dengan cara ini

cepat lambat akan gagal. Satu alasan utama adalah karakter barat yang utama dan lokasi sejarah dari
model asli yang telah ditentang oleh beberapa penulis, menawarkan alternatif untuk budaya nonbarat
(misalnya Gunaratne, 2005; Yin, 2008). Alasan lain adalah karena teori yang dibuat lebih banyak mengenai
masyarakat daripada media. Pengalaman atas perubahan sosial (misalnya ketika rezim penindas telah
tumbang) menunjukkan bahwa media secara cepat beradaptasi kepada keadaan baru (Gunther dan
Mugham, 2000). Hal tersebut sebagian juga berakar dari kerumitan dan tidak koherennya sistem media,
sehingga tidak mungkin mencocokkan satu teori pers dengan satu jenis masyarakat. Pendekatan ini tidak
dapat mengatasi keragaman media serta perubahan teknologi dan waktu. Teori ini juga sedikit sekali
membahas mengenai musik, film, atau sebagian besar program televisi yang berkaitan dengan hiburan,
fiksi, olahraga, dan permainan. Di sebagian
besar negara sekarang ini, media tidak terdiri atas satu sistem tunggal dengan filsafat
atau logika tertentu. Apa yang ingin dibagi oleh media, jika ada adalah keterikatan

terhadap ‘logika media’ mereka sendiri yang berkaitan dengan komunikasi alih-alih
konten, tujuan, atau efek. Hal ini tidak membatalkan pencarian akan teori normatif,
tetapi perlu mencari jalan lain. Selangkah lebih jauh dari model normatif media dibuat
oleh Hallin dan Mancini (2004) yang alih-alih mengajukan sebuah tipologi baru
hubungan antara media dan politik berdasarkan analisis komparatif terhadap sistem
(lihat Bab 9). Bagaimanapun, penilaian yang lebih simpatik oleh Christian dan kawan-
kawan (2009) bertujuan menyelamatkan proyek umum dari teori pers normatif dengan
mengaitkannya secara lebih terbuka dengan kebutuhan masyarakat dan persyaratan
demokrasi politik. Kinerja jurnalisme dalam pandangan ini tidak dapat dihindari lagi
bersifat normatif
normatif dan implikasinya juga harus dihadapi, terutama
terutama dalam upaya untuk
mempromosikan peran positif jurnalisme dalam kaitannya dengan pengharapan publik
dan standar profesional.

Alter
Al ter n ati
at i f Penyi
Pen yiaran
aran L ayan
ayanan
an Publ
Pub l i k
Sebagaimana yang telah kita bahas, teori libertarian diketahui sulit untuk mengatasi
penyiaran secara umum dan dengan model penyiaran publik secara khusus, bahkan
dalam perwujudannya yang terbatas di Amerika. Hal ini terjadi karena model ini
memberikan keutamaan terhadap kebutuhan masyarakat atau kebutuhan kolektif dari
masyarakat, alih-alih terhadap hak individual, kebebasan konsumen, atau kekuatan
pasar. Alasan awal untuk campur tangan pemerintah dalam penyiaran, bermula sejak
tahun 1920-an, utamanya berdasarkan pada kebutuhan untuk mengatur kegunaan
transmisi spektrum gelombang yang terbatas, baik untuk kepentingan industri maupun

konsumen. Di Amerika, sistem perizinan operator swasta diadopsi, melibatkan


peraturan oleh FCC, bukan hanya masalah teknis, tetapi juga masalah sosial dan politik.
Di dalamnya mencakup kebutuhan untuk menyediakan (secara lokal) informasi yang
relevan, keseimbangan, dan keadilan dalam masalah politik dan kontroversial, dan

200 Teori

secara umum keragaman. Jejak-jejak signifikan dari kebijakan ini masih ada.
Bagaimanapun, istilah penyiaran publik’ di Amerika Serikat secara umum merujuk

pada jaringan minoritas yang umumnya dibayai oleh penonton dan pendengar secara
sukarela dan yang memilih untuk mengejar tujuan budaya tertentu.
Di banyak negara lain, penyiaran layanan publik (public service broadcasting)
merujuk pada sistem yang dibentuk oleh hukum dan umumnya dibiayai oleh dana
publik (sering kali berupa izin yang wajib dibayar oleh rumah tangga) dan diberikan
keluasan editorial dan kinerja yang mandiri. Alasan umum untuk sistem semacam ini
adalah mereka harus melayani kepentingan publik dengan memenuhi kebutuhan
komunikasi yang penting bagi masyarakat dan warganya, sebagaimana ditentukan dan
dinilai dengan cara sistem politik demokratis.
Teori Normatif Media dan Masyarakat 201

Tidak ada ‘teori’ penyiaran layanan publik yang diterima secara umum, dan berbagai varian nasional
memiliki versi yang berbeda mengenai alasan dan logika kerjanya. Pembangunan umum dari media

audiovisual pada tahun-tahun belakangan dan ekspansi lingkup pasar media, baik secara global maupun
nasional, telah menciptakan krisis bagi lembaga yang beroperasi dalam cara yang konsensual selama
bertahun-tahun.
bertahun-tahun. Terdapat banyak pemikiran kembali akan tujuan dan bentuk-bentuk (lihat Blumler, 1992;
Hoffman-Riem, 1996; Atkinson dan Raboy, 1997; Bardoel dan d’Haenens, 2008; Enli, 2008). Isu utama yang
belum terselesaikan
terselesaikan adalah jangkau
jangkauan
an di mana media layanan publik harus
harus didorong dan diizinkan untuk
memperluas operasi online mereka (Trappel, 2008). Pada praktiknya, mereka telah melakukan hal tersebut
dan membantu menyediakan lebih banyak ruang terbuka publik di dunia maya dan menawarkan alternatif
terhadap komersialisasi yang bertumbuh dan banyak sekali. Keberatan datang terutama dari lawan yang
komersial yang menganggap bahwa hal ini merupakan kompetisi yang tidak adil.
Jika ada teori
t eori yang mirip, maka tujuan tersebut terdiri atas tujuan tertentu yang diasumsikan hanya
dapat diraih secara layak dengan bentuk kepemilikan atau regulasi publik. Tujuan yang terjadi kembali
pada sistem yang berbeda tercatat dalam Kotak 7.6. Secara umum, tujuan-tujuan ini adalah cara meraih

kepatuhan dengan pengharapan akan melayani ‘kepentingan publik’, sebagaimana yang dijelaskan
sebelumnya.
Teori penyiaran publik juga berhubungan dengan bentuk-bentuk organisasi yang diperlukan untuk
meraih tujuan yang ditetapkan. Secara khusus, teori tersebut melibatkan pandangan bahwa pasar bebas
yang dibiarkan begitu saja akan gagal

7.6 Tujuan utama penyiaran layanan publik

• Cakupan geografi yang universal (baik penerimaan maupun penyiaran).


• Keragaman dalam menyediakam semua bentuk selera, kepentingan, dan kebutuhan,
sebagaimana juga mencocokkan serangkaian opini dan keyakinan.
• Menyediakan layanan bagi minoritas khusus.
• Perhatian terhadap budaya, bahasa, dan identitas nasional.
• Melayani kebutuhan sistem politik.
• Menyediakan informasi yang seimbang dan tidak memihak atas isu atau konflik.
• Memiliki perhatian khusus terhadap ‘kualitas’, sebagaimana digambarkan dalam beragam
cara.
• Menaruh kepentingan publik di atas tujuan finansial.
202 Teori

memuaskan kriteria yang ada karena barangkali tidak menguntungkan untuk berbuat
demikian. Oleh karena itu, teori juga
j uga berpendapat bahwa
bahwa sistem efektif untuk melayani
kepentingan publik harus memenuhi kondisi struktural tertentu. Sistem penyiaran
publik harus memiliki:

• kontrak atau misi pembuatan;


• pembiayaan publik hingga taraf tertentu;
• kemandirian dari pemerintah;
• mekanisme akuntabilitas terhadap masyarakat dan publik umum;
• mekanisme akuntabilitas terhadap khalayak.

Kelemahan utama dari 'teori’ penyiaran publik terletak pada dua sumber tekanan.
Pertama adalah antara kemandirian yang diperlukan dengan akuntabilitas yang
diperlukan untuk uang yang diterima dan tujuan yang dicapai atau yang gagal. Sumber
kedua adalah antara mencapai tujuan yang ditentukan oleh konsumen dalam pasar
media (dan khalayak) yang lebih luas. Bila tanpa tujuan kepentingan publik, maka tidak
ada alasan untuk dilanjutkan, tetapi bila tanpa khalayak, tujuan pelayanan publik tidak
dapat dicapai. Sebagai efeknya, terdapat sumber tekanan ketiga. Kompetisi yang kuat
dalam pasar global dan semakin meningkatnya ketergantungan terhadap pasar untuk
menyediakan layanan publik bagi semua telah melemahkan posisi penyiaran publik di
hadapan lawan predator dan mengurangi kapasitasnya untuk bersaing secara seimbang.
Layanan publik juga masih dikenali sebagai salah satu dari sedikit benteng melawan
kegagalan pasar media, sebagaimana yang dijamin oleh keragaman media dan juga
sebagai instrumen kebudayaan publik dan kebijakan informasi. Meskipun terdapat
berbagai batasan, model ini sepertinya memberikan hasil yang dijanjikan (Curran dan
da n
kawan-kawan, 2009). Gripsrud (2007: 483) menyimpulkan bahwa ‘di Eropa, penyiaran
televisi telah menjadi salah satu, jika bukan yang paling utama, Iembaga yang paling
penting dalam ranah publik nasional (di luar parlemen) selama kurang lebih lima puluh
tahun terakhir, menyediakan informasi esensial dan serangkaian kebudayaan yang luas
l uas
bagi masyarakat dan juga memberikan forum bersama yang terpusat
terpusat bagi keseluruhan
negara-bangsa’. Apapun kelemahan teori ini, konsekuensi praktiknya cukup nyata.

Medi
Mediaa Massa, Masyarakat
Masyarakat Sipil
Sip il,, dan Ranah Pub
Publilik
k
Terutama sejak diterjemahkannya buku Jurgen Habermas yang berjudul, The Structural
transformation of The Public Sphere (1962) ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1989,
terdapat lebih banyak rujukan terhadap konsep ranah publik dalam kaitannya dengan
peranan media massa di kehidupan politik. Secara umum, ranah publik merujuk pada
gagasan ‘keruangan’ yang menyediakan arena terbuka atau forum yang kurang lebih
otonom untuk debat publik. Akses untuk ruang ini bebas dan kemerdekaan berkumpul,
berserikat, dan berpendapa
berpendapatt dijamin. ‘Ruang’
‘Ruang’ tersebu
tersebutt terletak di antara ‘dasar’ dan
‘puncak’ masyarakat, dan ada mediasi di antara keduanya. Dasar juga dapat dianggap

Teori Normatif Media dan Masyarakat 203

sebagai ruang pribadi dari kehidupan warga individu, sementara institusi politik berada di pusat atau
puncak dari kehidupan publik.
Kondisi masyarakat sipil adalah terbuka dan plural, di mana terdapat lebih banyak atau sedikit agen
sukarela dan otonom di antara warga dengan negara yang memberikan keamanan bagi individu. Terdapat
juga proses demokrasi politikyang
politikyang layak, pengadaan bagi keadilan dan perlindungan
perlindungan Hak Asasi Manusia.
Walzer (1992: 89) menulis mengenai esensi ‘dari ruang asosiasi manusia yang bebas dan juga perangkat
jaringan yang berhubun
berhubungan—dibentuk
gan—dibentuk demi keluarga, keyakinan, kepentingan
kepentingan,, dan ideologi yang
memenuhi ruangan ini’. Gagasan mengenai masyarakat sipil berlawanan dengan ‘masyarakat massa’ yang
dianalisis oleh Mills (1956) dan juga berlawanan dengan berbagai sistem totalitarian. Media ketika diatur
dengan cara yang layak, terutama jika terbuka, bebas, dan beragam dapat dianggap sebagai satu dari
institusi perantara paling penting dalam masyarakat sipil.
Dalam penelitian Habermas mengenai bangkitnya demokrasi, secara sejarah versi pertama dari ranah
atau ruang publik terutama diwakili oleh kedai kopi pada abad ke-18 atau kelompok debat di mana
partisipan aktif di kehidupan politik bertemu, berdiskusi, dan membentuk proyek politik. Peranan
pentingnya adalah untuk mengawasi pemerintah atas opini publik yang disiarkan dan berpengaruh. Alat
utama komunikasinya adalah melalui percakapan pribadi secara langsung, perkumpulan publik, dan
media cetak skala kecil. Pembentukan ruang publik ini berutang banyak pada kondisi kapitalisme dan
kebebasan ekonomi dan individualisme, dan bentuk pertama dari ruang publik digambarkan sebagai
ruang publik yang ‘borjuis’, mencerminkan dasar kelasnya. Pembangunan selanjutnya mencakup
bangkitnya kepentingan korporat baru dan substitusi komunikasi
komunikasi massa secara umu
umum
m terhadap diskusi
diskusi
antarpribadi sesama elit. Habermas secara umum pesimis mengenai konsekuensi demokrasi di masa
modern

Habermas
Habermas mengenai
mengenai ranah publik: kutipan kunci

Sehubungan dengan penjajahan ranah publik oleh pasar yang penting, apa yang saya pikirkan
adalah (bahwa)... di bawah tekanan pemilik saham yang haus akan keuntungan yang tinggi,
campurtangan terhadap
terhadap kepentingan fungsional dari ekonomi pasar ke dalam ‘logika internal’ dari
produksi dan presentasi pesan yang membawa pada kesalahan penempatan yang tersembunyi
dari satu kategori komunikasi terhadap kategori yang lain: isu wacana politik menjadi berasimilasi
dan terserap ke dalam model dan konten hiburan. Selain personalisasi, dramatisasi peristiwa,
penyederhanaan masalah yang rumit, dan polarisasi yang gamblang atas konflik yang
mempromosikan privatisasi sipil dan emosi antipolitik (Habermas, 2006: 422)
204 Teori

karena publik lebih dapat dimanipulasi oleh media daripada membantu membentuk opini dengan cara
yang rasional. Pandangan ini dirangkum dalam kutipan yang diberikan di Kotak 7.7.
Meskipun banyak kritik oleh para ahli yang lain terhadap idealisasi bentuk masa lalu dan elitis dari
kehidupan politik (misalnya Curran, 1990), gagasan mengenai ranah publik telah ditemukan bernilai di
bawah kondisi
kondisi kapitalisme
kapitalisme yang matang
matang (lihat Dahlgren,
Dahlgren, 1995,
1995, 2001).
Pengharapan positif berkaitan dengan peranan media di ranah publik telah sering diungkapkan
dalam hubungannya dengan media baru. Dahlgren (2005) menyebutkan cara yang berbeda di mana
Internet dapat membantu: meningkatkan hubungan langsung antara pemerintah dan warga negara;
memberikan panggung dan saluran untuk pengacara dan aktivis; menyelenggarakan forum sipil untuk
debat dan diskusi; dan juga menambah lebih banyak cabang baru jurnalisme yang beragam. Rasmussen
(2008) menggambarkan perbedaan dengan ranah publik politik, dan secara khusus membedakan antara
‘media fokus’ (media of focus) yang memungkinkan
memungkinkan elit menampilkan
menampilkan gagasan mereka di masyarakat secara
luas dan ‘keragaman media’ (media of diversity) yang mewakili apa yang terjadi di semua tingkatan ranah
publik. Pertama umumnya adalah media massa yang lebih tua, sementara yang kedua adalah yang
berbasis Internet. Sebagai tambahan,
tambahan, berbagai kritik terhadap menurunnya
menurunnya standar jurnalistik
jurnalistik
mengarahkan pada dan menguatkan standar tradisioanl berupa standar informatif, tanggung jawab, dan
perlindungan terhadap kepentingan publik (misalnya Patterson, 1994; Falllows, 1996; Blumler dan
Kavanagh, 1999). Dalam konteks ini, kita dapat menempatkan gagasan pers sebagai sebuah institusi di
masyarakat, sebagaimana yang diinterpretasikan kembali oleh Cook (2006). Dengan demikian, ia
bermaksud
bermaksud bahwa terdapat
t erdapat pola perilaku dan norma yang benar-benar berhasil dalam mengaitkan media
berita dengan pemerintah
pemerintah,, terutama pada masyarakat
masyarakat demokratis
demokratis barat. Peraturan
Peraturan dan norma yang
mendasarinya sering kali informal, tetapi berkekuatan besar karena kebiasaan dan penerapannya. Menurut
pandangan ini, keseluruhan prosedur pembuatan hukum dan pemerintahan secara dekat bergantung pada
media berita dengan satu pihak yang memengaruhi dan membatasi pihak yang lain, melalui negosiasi
mutual. Ke dalaman dan kekuatan Iembaga berarti bahwa media berita yang baru lebih mungkin
beradaptasi
beradaptasi terhadap in
institusi
stitusi daripada
daripada sebaliknya.
sebaliknya.
Di Eropa, telah ada proyek politik selama beberapa dekade untuk membangun seperangkat Iembaga
demokratis lintas bangsa yang praktis, termasuk parlemen dan Mahkamah Agung, dan tujuan dari ranah
publik yang mendukung yang meluas melewati batasan negara yang telah dicita-citakan oleh para
teoritikus dan pembuat kebijakan (Lauristin, 2007). Kuncinya sering kali terletak di tangan media massa,
sebagaimana juga dengan ranah publik nasional. Terdapat banyak rintangan, belum lagi fakta bahwa tidak
ada media Eropa yang spesifik untuk berbicara dan hampir semua media berorientasi nasional dan
memiliki tujuan utama yang tidak dapat dipenuhi dengan melakukan proyek ini (European Journal of
Communication, 2007). Kotak 7.8 merangkum kontribusi di mana media diharapkan untuk menciptakan
ranah publik yang demokratis.
Teori Normatif Media dan Masyarakat 205

Cara-cara
Cara-cara media dalam menduk ung ranah publ ik

7.8
• Memperluas ruang untuk debat.
• Mengedarkan informasi dan gagasan
sebagai dasar untuk opini publik.
• Saling menghubungkan warga dengan pemerintah.
• Menyediakan informasi yang bergerak.
• Menantang monopoli pemerintah dalam hal politik.
• Memperluas kebebasan dan keragaman publikasi.

Respons terhadap Ketidakpuasan atas Ranah


Ranah Publi
Publikk
Terlepas dari potensi media baru, salah satu solusi untuk masalah yang ada yang
telah diajukan datang dari komunitas jurnalis (Amerika) itu sendiri, di bawah nama
jurnalisme
jurnalisme ‘publ
‘publik’
ik’ (public journalism) atau ‘sipil’ (Glasser dan Craft, 1997; Schudson,
1998; Glasser, 1999; Haas dan Steiner, 2006). Premis dasar dari pergerakan jurnalisme
publik adalah bahwa jurnalisme memiliki tujuan, yaitu harus berusaha meningkatkan
kualitas kehidupan sipil dengan mendorong partisipasi dan debat. Schudson
menggambarkannya berdasarkan ‘model perwalian’ alih-alih model pasar atau
pembelaan. Ia menulis (1998:136): ‘dalam model perwalian, jurnalis harus menyediakan
berita menurut apa yang mereka yakini sebagai
s ebagai kelompok profesional, harus diketahui
oleh masyarakat’. Dari sini kita dapat melihat dasar pengesahan bagi profesionalisme
jurnalis,
jurnalis, alih-alih dalam
dalam teori yang lebih politik.
politik.
Schudson menyatakan, ‘Jurnalis adalah profesional yang memegang kepercayaan
masyarakat’. Menurut Glasser dan Craft, jurnalisme publik membutuhkan pergeseran
dari ‘jurnalisme informasi’ (journalism of information) kepada ‘jurnalisme percakapan’
(journalism of conversation). Publik tidak hanya membutuhkan informasi, tetapi juga
keterlibatan dalam berita sehari-hari yang mengundang diskusi dan perdebatan. Harus
jelas bahwa jurnalisme publik membagi perusahaan dengan tradisi netralitas
netralitas dan
pelaporan objektif, tetapi hal tersebut tidak menjadi jurnalisme pembelaan atau yang
dipolitisasi. Alat untuk mencapai tujuan dari ‘pergerakan’ baru masih tetap
diperselisihkan karena media itu sendiri secara struktural tidak berubah dan masih
diragukan, apakah versi tugas profesional ini dapat benar-benar melebihi batasan sistem
pasar bebas yang kompetitif dan melawan tujuan dasar apatisme politik dan sinisme.
Penilaian atas apa yang sudah benar-benar diraih oleh jurnalisme publik tidak terlalu
menggembirakan. Penelitian evaluatif survei dari Massey dan Haas (2002) mengenai
topik tersebut menyimpulkan bahwa hanya terdapat dampak praktis yang sedikit,
bahkan jika gagasan tersebut
tersebut masih disetujui oleh beberapa pihak. Bagaimanapun
Bagaimanapun,, topik
ini juga

206 Teori

telah dikritik karena meremehkan otonomi esensial dari jurnalisme (McDevitt, 2003) dan
parateoritikus libertarian secara kuat menentang. Gerakan jurnalisme publik sepertinya
tidak memilki banyak pengikut di Eropa. Perhatian lebih berfokus pada kebutuhan
untuk memperkuat media layanan publik yang telah ada dan media nonkomersial
lainnya dan juga pada potensi untuk mengontrol media baru untuk meningkatkan
partisipasi demokratis (van Dijk, 1996; Brants dan Siune, 1998).

Pandangan
Pandangan Alternatif
Alt ernatif
Ketidakpuasan dengan media yang mapan juga disuarakan dalam bentuk yang sama
sekali berbeda, bebas dari sistem yang mapan. Terdapat beberapa komponen teori
aliternatif yang dalam satu dan lain hal terpisah dari teori pers ‘arus utama’
sebagaimana yang sudah dijelaskan, tetapi harus terdapat catatan yang diambil
terhadap dua perspektif teoretis yang berbeda mengenai peranan media yang bernama
‘teori emansipatoris’ (emancipatory theory), dan ‘komunitarianisme’ ( communitarianism).

Teori media emansipatoris


Satu cabang dari teori kritis yang mengadopsi janji akan ‘media baru’ yang pertama,
terutama karena potensi untuk komunikasi skala kecil dan grass-root di saluran yang
independen dari media massa dominan. Gagasan ‘ counterculturaV dari tahun 1960- an
yang anarkis dan individualis alih-alih komunis, mendukung gerakan semacam itu dan
teknologi baru yang muncul kemudian, seperti televisi kabel interaktif, CCTV, menyalin,
merekam, dan memutar ulang sepertinya menaruh potensi bagi kemerdekaan

komunikasi di tangan rakyat dan di luar tangan monopoli penerbit (Enzensberger,


1970). Prinsip dasarnya dalam menyatukan koalisi yang lemah di sini merujuk pada
partisipasi, interaksi, skala yang kecil, penempatan, otonomi dan keragaman budaya,
emansipasi, dan menolong diri sendiri. Penekanannya sering kali pada proses
berkomunikasi
berkomunikasi alih-alih konten yang
yang ditentukan
ditentukan sendiri oleh individu.
individu.
Ide-ide mengenai media baru dan berskala kecil ini umumnya diterapkan kepada
masyarakat demokratis yang kaya dan yang memiliki banyak media. Sebagian besar
dunia tidak seperti ini. Masih terdapat ruang bagi teori yang membahas kondisi
perjuangan atas hak-hak dasar. John Downing (2000) menciptakan istilah ‘komunikasi
pemberontakan (rebellious communication) untuk merujuk pada media yang bekerja
dalam cara yang positif untuk tujuan politis dalam situasi tertindas. Media semacam itu
bekerja dengan cara yang positif dalam tradisi kritis. Termasu
Termasuk
k di dalamnya melayani

tujuan politik, mulai dari emansipasi wanita hingga menggulingkan rezim penindas
atau borjuis dan termasuk manifestasi publikasi ‘alternatif’, seperti samizdat di Uni
Soviet,
dan media mikro grass-root di negara berkembang atau dalam situasi pendudukan asing atau

Teori Normatif Media dan Masyarakat 207

penguasa otoriter. Menurut Downing (2000: xi), mereka ‘secara umum melayani dua tujuan: (a) untuk
mengutarakan oposisi secara vertikal dari wilayah bawahan secara langsung terhadap struktur
kekuasaan dan perilakunya; (b) untuk membangun dukungan, solidaritas, dan jaringan secara lateral
melawan kebijakan. Mereka sering kali dirangsang oleh dan membantu membangun ‘gerakan sosial
baru’ dan secara umu
umum
m memiliki kesamaan bahwa ‘mereka melanggar aturan seseorang,
s eseorang, walaupun
jarang sekali melakukannya
melakukannya dalam semua hal’. Sebagian besar pembuatan
pembuatan teori awal mengenai
signifikansi Internet telah berkembang secara esensial bersamaan dengan pemikiran emansipatoris.

Teori komunikasi dan media


Perkembangan yang relatif baru dalam menyatakan istilah ‘komunitarianisme’ yang menekankan
kembali ikatan sosial antarmanusia, kontras dengan sifat individualisme libertarian modern
(MacIntyre, 1981; Sandel, 1982; Rorty, 1989; Taylor, 1989). Teori ini menekankan tugas yang diemban
masyarakat sekaligus hak yang diklaim. Dalam kaitannya dengan media, hubungan media dengan
khalayak berciri mutual, terutama ketika mereka berbagi identitas dan lokasi sosial yang sama (dalam
komunitas yang sesungguhnya). Satu pendukung pemikiran komunitarian menekankan pada etika
penting media untuk terlibat dalam dialog dengan publik yang dilayaninya (Christians, 1993). Dalam
beberapa hal tuntutannya adalah untuk kembali ke bentuk sosial
s osial organik, di mana pers memain
memainkan
kan
peranan integratif, ekspresif, dan artikulatif. Persekutuan dan bukannya kepentingan pribadi, menjadi
cara untuk maju.
‘Dalam model komunitarian menurut Nerone (1995: 70-1):

tujuan dari peliputan bukanlah kepandaian, tetapi perubahan sipil. Pers memiliki tangkapan yang lebih besar dari
sekadar meningkatkan teknologi dan memperbaiki kinerja... pertanyaannya adalah pada norma pekerjaan... dalam
pandangan dunia komunitarian, media berita harus merangsang pemikiran filosofis di tengah masyarakat. Warga
negara kuat yang dibentuk oleh norma komunitas menjadi tujuan pers. Berita menjadi agen pembentukan komunitas.

Teori komunitarian pers dalam beberapa hal cukup radikal. Dalam beberapa hal lain sifatnya
reaksioner dan antilibertarian, walaupun semangatnya adalah kesukarelaan. Kesan konservatifnya
berakar dari penekanann
penekanannya
ya yang kuat terhadap etika otorita
otoritatif
tif dan kebutuh
kebutuhan
an untuk mendorong
hubungan aktif di antara satu sama lain. Barangkali adil untuk mengatakan bahwa komunitarianisme
lebih diterima di tradisi radikal Amerika daripada di Eropa atau dalam masyarakat komunal bentuk
lain di Asia dan Afrika. Seperti jurnalisme publik, teori ini sepertinya tidak bergerak jauh dari asalnya.
Teori Normatif Medi
Mediaa: Empat Model
Sangat sulit untuk menemukan kerangka yang ekonomis dan disetujui yang
mengandung banyak ragam teori yang dijelaskan di bab ini, tetapi kita dapat
mengajukan empat model teori normatif berbeda yang melingkupi wilayah ini. Istilah
‘model’ yang digunakan secara bebas di sini merujuk pada perangkat yang saling

terhubung dari ciri tertentu (baik gagasan maupun pengaturan) dari sebuah sistem
media yang memiliki prinsip normatif tunggal yang mendasarinya. Mereka secara tidak
terhindarkan saling tumpang tindih, tetapi masing-masing memiliki logika internalnya
sendiri. Semuanya dapat dirangkum sebagai berikut:

208 Teori

• (liberal-pluralist or market model). Model ini


Model pluralis liberal atau pasar (liberal-pluralist
berdasarkan teori pers bebas asli (libertarian)
(libertarian) sebagaimana
sebagaimana yang dijelaskan di atas

yang mengidentifikasi kebebasan pers dengan kebebasan untuk memiliki dan


mengoperasikan alat publikasi tanpa izin atau campur tangan dari negara. Teori ini
menekankan individual serta kebutuhan mereka, dan mendefinisikan kepentingan
publik sebagai apa yang menarik menurut publik. Ranah publik dilayani oleh
pengoperasian ‘pasar bebas ide’. Akuntabilitas terhadap masyarakat dan individu
lain juga diraih dengan cara pasar media dan beberapa bentuk pengaturan diri yang
minimal dengan peranan minimal untuk negara.
• Model tanggung jawab sosial atau kepenting
kepentingan
an publik (social responsibility
responsibility or public
interest model). Di sini, hak kebebasan penyiaran dibarengi dengan kewajiban
terhadap masyarakat yang lebih luas yang melebihi kepentingan pribadi. Gagasan
kebebasan positif’ yang digambarkan melibatkan beberapa tujuan sosial. Media
yang bertanggung jawab akan memelihara standar yang tinggi dengan pengaturan

sendiri, tetapi campur tangan pemerintah jyga dilibatkan. Mekanisme akuntabilitas


terhadap masyarakat dan publik juga ada. Penyiaran layanan publik dapat
dimasukkan ke dalam model ini.
• (professional model). Pilihan akan peranan bagi masyarakat dan
Model profesional (professional
pengawal standar nilai termasuk ke dalam model ‘pers’ itu sendiri dan dalam
profesi jurnalisme. Mereka adalah penerus dari buah perjuangan akan kebebasan
dan demokrasi di masa lalu dan masih menjadi penjamin yang terbaik dari
kepentingan publik, karena fokus utama mereka adalah melayani kebutuhan publik
akan informasi dan komentar dan menyediakan panggung untuk mengutarakan
berbagai pandangan yang berbeda. Otonomi
Otonomi lembaga dan profesional dari
jurnalisme
jurnalisme juga jaminan terb
terbaik
aik bagi pengawasan yang layak terhadap mer
mereka
eka yang
berkuasa.
• Model media alternat
alternatif
if (alternative media model). Model ini mewakili serangkaian
(alternative
media non-arus utama yang memiliki tujuan dan permulaan yang berbeda.
Meskipun demikian, terdapat beberapa nilai bersama, terutama penekanan pada
skala yang kecil dan organisasi grass-root, ditambah oposisi terhadap kekuasaan
negara dan industri (dalam beberapa kasus). Model ini menolak rasionalitas secara
universal sebagaimana pula kompetensi dan efisiensi profesional birokrasi yang
ideal. Model ini menekankan hak bagi subkultur dengan nilai mereka sendiri dan
mendukung pemahaman lintas subjek serta pemahaman komunitas yang
sesungguhnya.
Kesimpulan
Tujuan dari bab ini adalah menjelaskan ide teoretis utama yang diungkapkan berkaitan
dengan apa yang seharusnya dilakukan media terhadap masyarakat, alih-alih dari apa
yang mereka sebenarnya lakukan. Disebut teori normatif karena menjelaskan beberapa

Teori Normatif Media dan Masyarakat 209

norma dan standar tertentu (kriteria baik buruk) dan menerapkannya ke dalam
tindakan media, dan terutama untuk menjelaskan berbagai pengharapan yang berkaitan

dengan struktur, perilaku, dan kinerja media. Pengharapan semacam itu biasanya telah
diungkapkan oleh mereka yang berhadapan dengan media dan opini publik. Teori-teori
adalah cara untuk memberikan kerangka yang lebih jelas pada ide-ide ini.
Menurut sifatnya, teori normatif adalah objektif dan hanya memiliki persetujuan
terbatas antara perspektif berbeda yang dijelaskan. Persetujuan biasanya hanya
terhadap beberapa hal yang mana tidak seharusnya dilakukan media, misalnya
menyebarkan informasi yang sesat atau mendorong kriminalitas dan kekerasan. Teori
normatif mencakup perspektif dari dalam dan luar media, walaupun lebih banyak dari
luar. Media secara umum tidak suka diberitahu apa yang seharusnya mereka lakukan
dan tidak terlalu bersimpati terhadap teori semacam ini.

Bacaan Selanjutnya
Christians, C.G., Glasser, T.L., McQuail, D., Nordenstren
Nordenstreng,
g, K. dan White, R.A. (2009)
Normative Theories of the Media: Journalism in Democratic Societies. Urbana, IL:
University of Illinois Press.
Penulis mencoba menjelaskan peranan jurnalisme dalam masyarakat demokratis
dengan mendalami dasar filosofis serta realitas politik yang membentuk pendekatan
normatif, satu yang berkaitan dengan apa yang seharusnya dilakukan jurnalisme
kepada dan untuk masyarakat. Titik awalnya adalah merevisi pandangan dari karya
klasik empat teori pers yang saat ini telah
te lah ketinggalan zaman.

Habermas, J. (2006) ‘Political communication in media society’, Communication


Theory, 16 (4): 411-26.
Pernyataan yang singkat dan sesuai zaman mengenai ide utama dari teori mengenai
ranah publik yang berkaitan dengan komunikasi massa oleh penulis terkenal dari
gagasan semacam itu.
Hallin, D.C. dan Mancini, P. (2004) Comparing Media System: Three Models of Media
and Politics. Cambridge: Cambridge University Press.
Penulis mengambil pendekatan alternatif terhadap teori normatif media- masyarakat
yang berhubungan dengan menyelidiki secara detail pengaturan yang dibuat dalam
praktik antara aktor politik dan media yang mendukung politik demokratis di sejumlah
negara demokrasi barat. Hal ini mengarah pada tiga jenis atau tipe dasar atas
negara yang diteliti agar dapat dikelompokkan. Karya ini telah banyak didiskusikan
dan diuji dalam penelitian.

Nerone, J.C. (ed.) (1995) Last Rights: Revisiting Four Theories of the Press.
Urbana, IL: University of Illinois Press.
Beberapa penulis terkenal secara kritis menelaah pengenalan standar terhadap teori
normatif dari perspektif berbeda, menjelaskan permulaan dan konteksnya, tetapi juga

210 Teori

memperlihatkan kelemahan dan celah-celah yang ada. Prinsip dasar bagi teori
normatif saat ini juga ditekankan.

Bacaan Daring
Bardoel, J. dan d' Haenens, L. (2008) ‘Re-inventing public service broadcasting:
promises and problems’, Media, Culture, and Society, 30 (3): 295-317. Christians, C.
(2004) ‘Ethical and normative perspectives’, dalam J.D.H. Downing, D. McQuail, P.
Schlesinger, dan E. Wartella (ed.), The Sage Handbook of Media Studies, him. 19-40.
Thousand Oaks, CA: Sage. Gunaratne, S.A. (2002) Freedom of the
t he press: a world
system perspective’, Gazette, 64 (4): 342-369.
Laitila, T. (1995) ‘Journalistic codes of ethics in Europe’, Journal of Communication.
10 (4): 513-526.
Teori Normatif Media dan Masyarakat 207
Bagian
3
Struktur
Struktur media dan kinerja: prinsip dan
akuntabilitas
akuntabilitas Ekonomi dan penguasaan media
Komunikasi massa global
8
Struktur Media dan Kinerja: Prinsip
dan Akuntabilitas
Kebebasan media sebagai prin sip 21
212
2
Kesetaraan media sebagai prin sip 21
216
6
Keragaman media sebagai prin sip 21
217
7
Kebenaran dan kualit as info rmasi 22
221
1
Tatanan sosial dan solidaritas 226

Tatanan bud aya 228


Makna
Makna akuntabil itas 22
229
9
Dua model alternatif akuntabi litas 23
231
1
Jalur d an hubungan akuntabilitas 232
Kerangka akuntabilitas 234 Kesimpulan
238
Bab ini membahas mengenai standar dan kriteria kualitas yang diaplikasikan terhadap
216 Struktur

operasi media massa untuk sebagian besar dari sudut pandang di luar masyarakat dan
‘kepentingan publik’ yang dijelaskan sebelumnya. Teori normatif yang digambarkan
pada bab sebelumnya telah berkembang seiring waktu dan tempat, serta penerapan
yang tergantung waktu, tempat, dan keadaan. Tidak ada perangkat kriteria yang unik
dalam melayani kepentingan publik. Bagaimanapun, kriteria yang sama sering kali juga
diterapkan oleh publik sebagai khalayak dan profesional di dalam lembaga media itu
sendiri. Kriteria pasar, terutama yang berkaitan dengan nilai uang, pilihan konsumen,
dan keuntungan sering kali tumpang tindih dengan kriteria normatif sosial, misalnya
khalayak berita yang umumnya menghargai sumber berita alternatif yang terpercaya
dengan informasi yang tidak bias.
Walaupun terdapat keragaman teori normatif, terdapat sejumlah kecil nilai dasar
yang biasanya sangat dijunjung tinggi jika berkaitan dengan komunikasi publik, dan
nilai-nilai ini menyediakan kerangka untuk permbahasan pada bagian pertama bab ini.
Semuanya dapat dirangkum ke dalam topik berikut: kebebasan, kesetaraan, keberagaman,
kebenaran, dan kualitas informasi, serta tatanan sosial dan solidaritas.
Tujuan utamanya adalah untuk menjelaskan dengan singkat mengapa masing-
masing dari nilai-nilai ini penting dan apakah maknanya berkaitan dengan apa yang
biasa dilakukan oleh media. Kita perlu untuk dapat menjelaskan nilai
nilai dalam ‘keluaran’
yang kurang lebih konkrit atau dapat diamati jika kita ingin menilai kualitas media,
terlibat dalam perdebatan mengenai isu yang dijelaskan pada Bab 7, atau menjaga
media agar bertanggung jawab atas tindakan mereka. Tugas ini diperumit dengan fakta
bahwa nilai-nilai diterapkan pada tingkatan kinerja media yang berbeda. Untuk tujuan
saat ini, kita dapat membedakan antara tiga tingkatan: struktur, perilaku, dan kinerja.
Struktur (structure) merujuk pada semua hal yang berkaitan dengan sistem media,
termasuk bentuk organisasi dan keuangan, kepemilikan, bentuk peraturan,
infrastruktur, fasilitas distribusi, dan seterusnya. Perilaku (conduct) merujuk pada cara
pengoperasian pada tingkat organisasi, termasuk metode memilih dan memproduksi
konten, pembuatan keputusan editorial, kebijakan pasar, hubungan yang dibangun
dengan agen lain, prosedur untuk akuntabilitas, dan seterusnya. Kinerja (performan
performance
ce)
merujuk pada konten: apa yang sebenarnya disiarkan kepada khalayak. Nilai utama
yang dijelaskan sebelumnya memiliki rujukan yang berbeda pada tiap tingkat, dan
sebagian besar dari kita berkonsentrasi pada struktur dan kinerja alih-alih perilaku.

Kebebasan Media sebagai Prinsip


Kebebasan memiliki klaim yang jelas untuk dianggap sebagai prinsip dasar dari teori
komunikasi publik manapun, dari mana keuntungan lain mengalir. Sebagaimana yang
telah kita lihat, pengejaran akan kebebasan berekspresi dan publikasi menjadi tema inti
dalam sejarah pers dan secara dekat terhubu
t erhubung
ng dengan demokrasi. Meskipun
Meskipun demikian,
terdapat versi dan aspek yang berbeda dari kebebasan, dan kata tersebut

Struktur Media dan Kinerja: Prinsip dan Akuntabilitas 217

tidak menjelaskan dirinya sendiri, seperti yang telah kita lihat. Kebebasan adalah kondisi, alih-alih kriteria
dari kinerja, sehingga diterapkan terutama kepada struktur media. Ketika hak kebebasan ada, kita tidak
dapat dengan mudah membedakan antara satu penggunaan yang dipilih secara bebas terhadap kebebasan
berekspresi dan yang lain di dalam batasan hukum, walaupu
walaupun
n kita menilai penggunaan ini berdasarkan
nilai lain.
Kita harus membedakan antara kebebasan media (atau pers, sebagaimana sering disebut) dan
kebebasan berekspresi, walaupun terkadang maknanya sama. Kebebasan berekspresi adalah hak yang
lebih luas. Hal tersebut merujuk pada substansi atau konten dari apa yang dikomunikasikan (opini, ide,
informasi, seni, dan sebagainya), sementara pers merujuk pada satu ‘wadah’ utama, alat, atau kendaraan
untuk menjalankan publikasi. Zeno-Zencovich (2008) mengibaratkannya dengan perbedaan antara anggur
(isinya) dengan botolnya. Poin pentingnya adalah bahwa dalam hukum dan peraturan, penjagaan
kebebasan cenderung ditransfer dari isi kepada alatnya. Menurut Zeno- Zencovich (2008: 7), ‘makna
kebebasan pers sebagai kebebasan politik yang dinikmati oleh individu dan kelompok di mana mereka
tergabung telah hilang dan menjadi terikat kepada orang yang dapat dianggap marginal terhadap
penyebaran pemikiran! Ini merupakan serangan implisit terhadap hak pemilik media untuk mengklaim

semua hak atas kebebasan berdasarkan kepemilikan media sebagai alat publikasi.
Beragam keuntungan potensial terhadap individu dan masyarakat yang diberikan kebebasan,
sebagai tambahan terhadap nilai intrinsik dari hak atas kebebasan berekspresi membantu menunjukkan
kriteria lain yang relevan terhadap penilaian yang dapat diterapkan. Keuntungan-keuntungan ini
dijelaskan dalam Kotak 8.1.

Keuntungan publik yang utama dari kebebasan media

• Pengamatan publik yang sistematis dan independen terhadap mereka yang memiliki
kekuasaan dan pasokan yang layak akan informasi yang dapat diandalkan mengenai aktivitas

mereka (hal ini merujuk pada peran ‘watchdocf atau peranan kritis milik pers).
• Rangsangan terhadap sistem dan kehidpan sosial demokratis yang aktif dan memiliki
informasi.
• Kesempatan untuk mengungkapkan ide, keyakinan, dan pandangan mengenai dunia.
• Pembaruan dan perubahan terus-menerus akan budaya dan masyarakat.
mas yarakat.
• Peningkatan dalam jumlah dan keragaman dari kebebasan yang tersedia.
218 Struktur

Kebebasan pada tingkat struktur


Kebebasan komunikasi memiliki dua aspek, yaitu menawarkan serangkaian suara dan respons
terhadap berbagai kebutuhan atau tuntutan. Untuk mengetahui keuntungan dari kebebasan
berekspresi dan publikasi,
publikasi, dibutuhkan
dibutuhkan beberapa kondisi tertentu.
tertentu. Harus ada akses terhadap salu
saluran
ran
berekspresi danjuga kesempatan untuk menerima berbagai jenis informa
informasi.
si. Kondisi struktural utama
untuk kebebasan media efektif adalah sebagai berikut:

• ketiadaannya sensor, perizinan, atau kontrol lain oleh pemerintah sehingga terdapat hak yang
bebas rintangan untuk menerbitkan dan menyiarkan berita dan opini, serta tidak adanya
kewajiban untuk menerbitkan apa yang tidak diinginkan;
• Hak dan kesempatan yang setara untuk warga negara untuk memiliki akses kepada saluran
ekspresi dan publikasi sebagaimana akses sebagai penerima ('hak untuk berkomunikasi');
• Kemandirian yang nyata dari kontrol berlebihan dan campur tangan pemilik dan kepentingan
politik atau ekonomi dari luar;
• sistem yang kompetitif dengan batasan terhadap konsentrasi media dan lintas kepemilikan;
• kebebasan media berita untuk mengambil informasi dari sumber yang relevan.

Kondisi-kondisi struktural ini meninggalkan banyak isu yang belum selesai. Terdapat beberapa
konflik potensial serta tidak konsistennya persyaratan yang ada ini. Pertama, kebebasan komunikasi
publik tidak pernah bisa mutlak, tetapi harus diketahui batasannya yang terkadang dibuat oleh
kepentingan pribadi orang lain atau oleh tujuan kolektif masyarakat yang lebih tinggi. Pada
praktiknya, ‘tujuan yang lebih tinggi’ biasanya didefinisikan oleh negara atau pemegang kekuasaan
lainnya, terutama dalam masa-masa perang atau krisis. Kedua, terdapat konflik kepentingan yang
potensial di antara pemilik atau pengendali saliran media dan mereka yang menginginkan akses
kepada saluran, tetapi tidak memiliki kekuatan (atau hak yang sah) untuk mengamankannya (baik
sebagai pengirim atau penerima). Ketiga, kondisi yang disebutkan menempatkan kontrol kebebasan
di tangan mereka yang memiliki media publikasi dan tidak mengetahui hak atas kebebasan publikasi

bagi mereka yang bekerja di media (misalnya jurna


jurnalis,
lis, produser,
produser, dan lain-lain). Keempat, barangkali
akan ada ketidakseimbangan antara apa yang ingin dikatakan komunikator dan apa yang ingin
didengar oleh orang lain: kebebasan seseorang untuk mengirim mungkin tidak sama dengan
kebebasan orang lain untuk memilih. Terakhir, barangkali perlu bagi pemerintah atau penguasa untuk
campur tangan terhadap struktur media untuk mengamankan kebebasan yang dalam praktiknya
tidak disampaikan oleh sistem yang tidak terbatas (misalnya dengan menyelenggarakan penyiaran
publik atau kepemilikan yang diatur). Sejumlah masalah yang ada diatasi dengan menerapkan
peraturan dan persetujuan atas perilaku yang bukan merupakan kewajiban atau hak.
Struktur Media dan Kinerja: Prinsip dan Akuntabilitas 219

Terdapat banyak percobaan untuk mengukur derajat kebebasan pers dalam sistem media
nasional, biasanya untuk tujuan agar dianggap murni dari mempromosikan demokrasi dan
melindungi kepentingan jurnalis. Becker dan kawan-kawan (2007) menyediakan ikhtisar dan penilaian
atas indikator utama yang digunakan sebagaimana pula hasilnya. Pengukuran paling awal dibuat oleh
US Freedom House dan kebebasan didefinisikan sebagai ‘lingkungan sah atas media, proses politik
yang memengaruhi peliputan dan faktor ekonomi yang memengaruhi akses terhadap informasi’.
Rating biasanya berdasarkan baik pada perlindungan sah terhadap kemerdekaan media maupun
terhadap penerapan hukum dan pengalaman yang sesungguhnya dari jurnalis. Keduanya sering kali
tidak cocok. Pengukuran semacam itu biasanya digunakan untuk menunjukkan tren seiring waktu
dan untuk menyediakan perbandingan antara sistem media yang sesungguhnya.

Kebebasan pada tingkat kinerja


Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, tidak mudah untuk mengukur kebebasan konten media

karena kebebasan berkomunikasi dapat digunakan dengan beragam cara atau bahkan
disalahgunakan, sejauh hal tersebut tidak menimbulkan bahaya yang sesungguhnya. Meskipun
demikian, keuntungan yang diharapkan dari kebebasan publikasi, sebagaimana yang dirangkum
dalam Kotak 8.1 memberikan beberapa indikasi akan kriteria dan pengharapan tambahan. Misalnya,
dalam hal berita dan informasi (jurnalisme), media diharapkan menggunakan kebebasannya untuk
mengikuti kebijakan editorial yang aktif dan kritis dan untuk menyediakan informasi yang terpercaya
dan relevan. Media bebas tidak seharusnya konformis secara berlebihan dan harus ditandai dengan
keragaman opini dan informasi. Mereka seharusnya melakukan fungsi investigasi dan watchdog role
atas nama publik (lihat Waisbord, 2000). Hal ini tidak menghalangi mereka untuk berpihak atau
terlibat dalam pembelaan, tetapi mereka tidak boleh begitu saja menjadi instrumen propaganda.
Sistem media bebas dicirikan oleh inovasi dan kemandirian. Kriteria yang serupa diterapkan pada
wilayah budaya dan hiburan. Kondisi kebebasan harus mengarah pada orisinalitas, kreativitas, dan

keragaman yang luas. Media bebas akan dipersiapkan jika diperlukan untuk menyerang pandangan
yang kuat dan kontroversial dan menyimpang dari persetujuan dan dari hal yang biasa. Semakin
banyak kualitas konten yang disebutkan
disebutkan tersebut tidak ada, semakin kita dapat mengira bahwa
kondisi struktural dari kebebasan media tidak terpenuhi atau bahwa media tidak menggunakan
kebebasan mereka, sebagaimana yang dianggap oleh pendukung awal dari kebebasan pers.
Elemen utama yang dibahas sekarang dapat dinyatakan sebagai komponen yang terhubung
secara logis, sebagaimana dirangkum dalam Gambar 8.1. Beberapa elemen muncul lagi dalam
kaitannya dengan nilai-nilai lain, terutama oleh keragaman.
220 Struktur

PRINSIP KEBEBASAN

KEMANDIRIAN AKSES TERHADAP SALURAN

TERHADAP SALURAN KERAGAMAN KONTEN


Kondisi struktural: Mengarah
Mengarah pada nilai kinerja dari:

KEHANDALAN; SIKAP PILIHAN; PERUBAHAN;


KRITIS; ORISINALITAS RELEVANSI

Gambar 8.1 Kriteria kebebasan dalam struktur dan kinerja media

Kesetaraan Media sebagai Prinsip


Prinsip kesetaraan dihargai dalam masyarakat demokratis, walaupun harus
diterjemahkan ke dalam makna yang lebih spesifik ketika diterapkan ke dalam media
massa. Sebagai sebuah prinsip, hal tersebut mendasari beberapa pengharapan normatif
yang sudah pernah dirujuk.

Kesetaraan pada tingkat struktur


Dalam hubungan antara komunikasi dengan kekuatan politik, kesetaraan pada tingkat
struktur harus mengarah pada kepentingan yang berbeda atau berlawanan dalam
masyarakat yang memiliki kurang lebih kesempatan akses media yang sama untuk
mengirim maupun menerima. Dalam praktiknya, hal ini yang paling sulit disadari,
walaupun ada langkah-langkah yang diambil melalui kebijakan publik untuk
membenarkan beberapa ketidaksetaraan. Lembaga penyiaran publik adalah salah satu

alat yang mendukung ini. Kebijakan publik dapat juga membatasi monopoli media dan
menyediakan dukungan bagi media yang berkompetisi. Kesetaraan mendukung
kebijakan dalam pasokan universal dalam penyiaran dan telekomunikasi dan berbagi
ongkos layanan dasar. Ketidaksetaraan juga menyatakan bahwa prinsip normal dari
pasar bebas seharusnya beroperasi secara bebas, adil, dan transparan.

Kesetaraan pada tingkat kinerja


Kesetaraan berarti bahwa tidak ada keutamaan khusus yang diberikan oleh media
kepada pemilik kekuasaan dan bahwa akses kepada media harus diberikan kepada
kompetitor bisnis dan secara umum kepada opini, perspektif, atau klaim yang
berlawanan
berlawanan atau menyimp
menyimpang,
ang, sebagaimana posisi yang mapan.
mapan. Dalam hubungannya
dengan klien

Struktur Media dan Kinerja: Prinsip dan Akuntabilitas 221

Kesetaraan

Akses Keragaman Objektivitas

1 1 1
' t
Terbuka/setara r i * y

Perubahan Jangkauan Keadilan

Gambar 8.2 Kesetaraan sebagai prinsip kinerja media bersama dengan konsep yang
berhubungan

bisnis media, kesetaraan membutuhkan


membutuhkan semua pengiklan ya
yang
ng sah harus diperlaku
diperlakukan
kan
dengan sama (tarif dan kondisi). Kesetaraan akan mendukung pengharapan akan akses
yang adil dalam istilah yang sama bagi suara alternatif (prinsip beragam dalam bentuk
lain) yang memenuhi kriteria yang relevan. Secara singkat, kesetaraan membutuhkan
ketiadaan diskriminasi atau bias dalam jumlah dan bentuk akses yang tersedia untuk
pengirim atau penerima, sejauh hal tersebut dapat dilakukan. Pertimbangan akan
kesetaraan membawa
membawa kita ke dalam wilayah objektivitas yang dibahas secara lebih detail
pada bagian selanjutnya, sebagaimana juga ke dalam topik yang beragam (sebagai
berikut). Kesempatan nyata atas kesetaraan media akan lebih bergantung
bergantung pada tingkat
t ingkat
pembangunan sosial ekonomi masyarakat dan kapasitas sistem medianya. Akan ada
cukup ruang dalam saluran yang mandiri secara mutual dan berbeda bagi berbagai
bentuk kesetaraan yang akan dikenali dalam praktik. Meskipun
Meskipun demikian, baik
kesejahteraan ekonomi yang tinggi maupun sistem yang luas merupakan kondisi yang
cukup bagi kesetaraan. Di Amerika Serikat misalnya, jika kedua kondisi tersebut
tercapai, tetap tidak ada kesetaraan komunikasi dalam penggunaan media yang
sebenarnya atau keluaran dalam masyarakat yang memiliki informasi dengan setara
(Entman, 2005; Curran dan kawan-kawan, 2009). Alasannya mungkin terletak pada fakta
bahwa masyarakat
masyarakat menghargai
menghargai kebebasan akan kesempatan melebihi kesetaraan
ekonomi maupun sosial. Subprinsip utama yang berkaitan dengan nilai kesetaraan
dapat digambarkan dalam Gambar 8.2.

Keragaman Media sebagai Prinsip


Prinsip keragaman (juga diidentifikasi sebagai keuntungan utama dari kebebasan dan
dihubungkan dengan konsep akses dan kesetaraan) sangat penting karena

222 Struktur

mendukung proses normal dari perubahan progresif dalam masyarakat. Hal ini mencakup pergantian
berkala dari elit
elit penguasa, sirku
sirkulasi
lasi kekuatan dan bisnis,
bisnis, dan menyeimb
menyeimbangkan
angkan kekuatan dari kepentingan
kepentingan
yang berbeda di mana bentuk demokrasi pluralistik seharusnya dilakukan. Keragaman berdiri sangat dekat
dengan kebebasan sebagai konsep kunci dalam diskusi teori media manapun (Glasser, 1984). Secara umum,
hal tersebut mengasumsikan bahwa semakin banyak dan semakin berbeda saluran komunikasi publik yang
ada membawa keragaman maksimal dari konten (yang berubah) kepada beragam khalayak yang luas,
maka akan semakin baik. Seperti ini, keragaman terlihat sebagai arah nilai yang hampa mengenai apa yang
seharusnya dikomunikasikan. Tentunya hal ini adalah penafsiran yang tepat karena keragaman,
sebagaimana juga kebebasan, memiliki konten yang netral. Konsep ini merupakan perkiraan dari
keragaman, pilihan, dan perubahan dalam dirinya sendiri. Meskipun demikian, terserah pada masyarakat
untuk memutuskan nilai mana yang harus dianut sistem media, misalnya etnisitas, politis atau agama, dan
sebagainya. Keragaman dalam apa yang ditawarkan media juga secara jelas merupakan keuntungan
langsung bagi khalayak dan dapat menjadi cerminan dari akses terhadap saluran publikasi yang luas.
Walaupun adanya perkiraan umum atas keragaman, bisa jadi muncul terlalu banyak hal baik yang
mengarah pada perpecahan dan masyarakat yang terbagi-bagi, sebagaimana yang diperingatkan oleh
Sunstein (2001, 2006), dengan rujukan terhadap Internet.
Keuntungan utama yang diharapkan dari keragaman terhadap masyarakat dirangkum dalam Kotak
8.2.

^ Keuntungan publik yang utama yang ■ Emdiharapkan dari


keragaman

• Membuka jalan bagi perubahan sosial dan budaya, terutama jika mengambil bentuk
memberikan akses kepada suara baru yang lemah atau marginal.
• Menyediakan pengecekan terhadap penyalahgunaan kebebasan (misalnya jika pasar bebas
mengarah pada konsentrasi kepemilikan).
• Memungkinkan minoritas untuk memelihara keberadaan mereka yang terpisah di dalam
masyarakat yang lebih luas.
• Membatasi konflik sosial dengan meningkatkan kesempatan akan pemahaman di antara
kelompok dan kepentingan yang berpotensi saling berlawanan.
• Secara umum menambahkan kekayaan dan keragaman kehidupan budaya dan sosial.
• Memaksimalkan keuntungan dari ‘pasar bebas ide’.

Kesetaraan pada tingkat struktur


Persyaratan struktural utama untuk keragaman sistem media kurang lebih sama dengan kesetaraan.
Seharusnya terdapat banyak (atau cukup) badan atau produsen media yang berbeda dan independen
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam penjelasan mengenai keragaman pasokan, jangkauan
di mana alternatif nyata yang ditawarkan dapat dicatat menurut beberapa alternatif pengukuran.
Sistem media harus terdiri atas beberapa jenis media yang berbeda (seperti pers, radio, atau televisi).
Sistem ini harus mencerminkan keragaman geografis dengan media untuk populasi nasional, regional,
atau lokal. Media juga harus mencerminkan struktur masyarakat yang relevan menurut bahasa, etnik
atau identitas budaya, politik, agama, atau kepercayaan. Bagaimanapun, terdapat bukti bahwa

Struktur Media dan Kinerja: Prinsip dan Akuntabilitas 223

meningkatnya jumlah saluran dan pilihan (sebagaimana yang terjadi di Eropa setelah deregulasi
televisi) tidak dengan langsung meningkatkan keragaman konten, alih-alih malah lebih banyak muncul
konten campuran yang sama (van der Wurf, 2004).
Dua varian dasar dari prinsip ‘keragaman sebagai perlakuan yang setara’ telah diidentifikasi.
Menurut satu versi, kesetaraan sesungguhnya harus berupa: semua orang menerima tingkat
pengadaan konten yang sama dan memiliki kesempatan yang sama untuk akses sebagai pengirim
pengirim.. Hal
ini berlaku, misalnya ketika partai yang berkompetisi menerima waktu yang sama dalam sebuah
pemilihan, atau di negara-negara (misalnya Kanada, Swiss, atau Belgia) di mana kelompok bahasa
yang terpisah menerima layanan media terpisah yang setara. Versi alternatif atau yang lebih biasa
berarti ‘keadilan’ atau layak, alokasi dari akses dan perlakua
perlakuan.
n. Keadilan secara umu
umum
m dinilai menurut
menurut
prinsip perwakilan proporsional. Maka, pasokan media seharusnya secara proporsional mencerminkan
distribusi sesungguhnya dari apapun yang relevan (kelompok sosial, keyakinan politik, dan
sebagainya) di masyarakat, atau mencerminkan beragam distribusi dari tuntutan atau kebutuhan
khalayak. Variabel struktur dasar lainnya adalah apakah keragaman diraih melalui kepemilikan
berbagai salur
s aluran
an yang berbeda (misalnya
( misalnya judul surat kabar) untuk kepentingan yang berbeda (yang
disebut sebagai keragaman eksternal) atau memiliki suara-suara yang berbeda di dalam saluran yang
sama (keragaman internal).
Ketidaklayakan pembagian struktural formal di dalam sistem media yang komersial telah
ditunjukkan oleh Glasser dan kawan-kawan (2008). Ia membandingkan keragaman yang didukung
oleh pluralisme liberal (terutama pasar) yang diberikan dari atas dan mencerminkan pembagian
kekuasaan dan posisi sosial yang tidak setara dengan jenis yang benar-benar dibutuhkan dalam
masyarakat multikultural. Hal ini membutuhkan media yang secara efektif diberikan kepada mereka
yang lemah dan kurang beruntung dengan kesetaraan kesempatan untuk berkomunikasi mewakili diri
mereka sendiri.
224 Struktur

Kesetaraan pada tingkat kinerja


Perbedaan pasokan (konten) media harus diperkirakan berkaitan dengan perbedaan sumber atau
kepada mereka yang menjadi penerima akhir. Intinya, konten yang disediakan oleh sistem media
harus sesuai dengan keseluruhan kebutuhan informasi, komunikasi, dan kebudayaan yang ada di
masyarakat. Bahkan, keragaman kinerja sebaiknya dinilai dalam kaitannya dengan keluaran organisasi
media tertentu—judul surat kabar, stasiun televisi, dan seterusnya. Pertanyaan mengenai keragaman
konten budaya dapat dinilai menurut berbagai dimensi. Tercakup di dalamnya: genre, selera, gaya,
atau format dalam budaya dan hiburan; berita dan topik informasi yang diliput; sudut pandang
politik, dan seterusnya. Kemungkinan untuk penilaian ini tidak terbatas, tetapi sebagian besar
pertanyaan mengenai keragaman terkait dengan satu atau lebih dari kriteria berikut: cerminan
perbedaan sosial dan budaya; akses yang setara pada semua suara; dan pilihan yang luas bagi
konsumen. Kriteria utama untuk mengukur keragaman dirangkum dalam Kotak 8.3.

Persyaratan utama atas norma keragaman bagi


strukt ur dan kinerja

• Media harus mencerminkan berbagai realitas sosial, ekonomi, dan budaya


di masyarakat (dan komunitas) dalam struktur dan konten mereka di mana
mereka beroperasi dengan cara yang kurang lebih berimbang.
• Media harus menawarkan kesempatan yang kurang lebih sama kepada
suara dari beragam minoritas sosial dan budaya yang menjadi bagian dari
masyarakat.
• Media harus bertindak sebagai panggung untuk kepentingan- kepentingan
dan sudut pandang yang berbeda di dalam masyarakat atau komunitas.
• Media harus menawarkan pilihan konten yang relevan dalam suatu waktu

dan juga menawarkan keragaman seiring waktu dalam jenis yang berkaitan
dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat atau komunitas.

Seiring dengan kebebasan berekspresi, keragaman yang utuh merupakan bentuk


ideal yang sulit dicapai. Terdapat juga beberapa ketidakselarasan dan masalah dalam
persyaratan normatif ini. Derajat keragaman yang mungkin ada dibatasi oleh kapasitas
saluran media dan oleh pilihan editorial yang harus dibuat. Semakin media
Struktur Media dan Kinerja: Prinsip dan Akuntabilitas 225

mencerminkan masyarakat secara proporsional, maka semakin banyak minoritas yang


proporsional,
akan dikecualikan dari media massa karena proporsi akses yang sedikit akan dibagi di

antara banyak pihak dengan sumber daya sosial dan ekonomi yang tidak setara. Secara
serupa, melayani secara layak kelompok dominan serta pengharapan dan selera yang
konsisten di media massa akan membatasi kesempatan untuk menawarkan seragam
pilihan yang luas atau perubahan. Bagaimanapun, jangkauan yang utuh dari berbagai
media minoritas yang berbeda di dalam masyarakat dapat membantu mengimbangi
keterbatasan media massa ‘tradisional’. Sehingga, keragaman struktur dapat
mengimbangi kurangnya keragaman dalam saluran yang dominan. Sepertinya dalam
hal ini, Internet telah berkontribusi terhadap keragaman, walaupun tuduhan ghetto-isasi
minoritas’ bukanlah solusi yang ideal. Sebagai catatan kaki untuk diskusi ini, penting
untuk diingat bahwa keragaman bukanlah nilai yang diperlukan, kecuali jika
berhubungan
berhubungan dengan beberapa kriteria atau
atau dimensi
dimensi yang signifikan. Karppingen
Karppingen (2007)
mengkritik ‘pluralisme naif’ dalam ‘keragaman politik’ media. Terlalu banyak

keragaman dapat menimbulkan disfungsi bagi ranah publik, jika hal tersebut mengarah
pada keterpecahbelahan sosial.

Kebenaran
Kebenaran dan Kualitas Informa
Inform asi
Klaim sejarah bagi kebebasan berkomunikasi secara kuat dikaitkan dengan nilai
kebenaran dalam satu dan lain hal. Hal yang terpenting dalam komunikasi publik (cetak)
di masa-masa awal adalah: kebenaran agama sebagaimana yang dijaga oleh gereja yang
mapan; kebenaran agama personal menurut kesadaran individu; kebenaran ilmiah;
kebenaran hukum; dan kebenaran sejarah (kenyataan sosial dan ekonomi), terutama jika
hal tersebut memengaruhi pemerintah dan bisnis. Walaupun makna kebenaran dan

nilainya berbeda-beda menurut konteks dan topik yang ada, terdapat kepentingan
(terkadang kebutuhan) yang disetujui bersama untuk memiliki akses terhadap
‘pengetahuan’ (informasi) yang dapat diandalkan dari sumber yang terpercaya yang
sesuai dengan realitas pengalaman, dan yang relevan serta berguna dalam berbagai
penerapan. Meskipun pengharapan bahwa media harus menyediakan informasi dengan
kualitas yang cukup memiliki dasar yang sifatnya lebih praktis daripada filosofis atau
normatif, hal tersebut tidak kurang penting dalam pemikiran modern mengenai standar
media daripada prinsip kebebasan, kesetaraan, atau keragaman.
Keuntungan yang berasal dari pasokan pengetahuan yang terpercaya tidak perlu
diragukan lagi, terutama jika seseorang mempertimbangkan keadaan yang sebaliknya:
kebohongan, kesesatan informasi, propaganda, penghinaan, takhayul, atau
ketidakacuhan. Akan tetapi, penting untuk dicatat bahwa argumen-argumen utama

dalam memiliki struktur media dapat membantu memproduksi informasi berkualitas


tinggi (dan kebenaran), sebagaimana disampaikan pada Kotak 8.4.

226 Struktur

Keuntungan dari kualitas informasi


(kebenaran media)

► ri
• Berkontribusi pada masyarakat yang terdidik dan
para buruh yang berkeahlian.
• Menyediakan dasar untuk pembuatan keputusan yang demokratis (pemilihan umum yang
kritis dan memiliki informasi yang cukup).
• Melindungi dari propaganda dan daya tarik yang irasional.
• Memperingatkan akan bahaya.
• Memenuhi kebutuhan publik sehari-hari akan informasi.

Konsep objektivitas

Konsep paling inti dari teori media yang berkaitan dengan kualitas informasi barangkali adalah
objektivitas, terutama jika berhubungan dengan informasi berita. Objektvitas adalah bentuk tertentu
dari praktik media (sebagaimana yang digambarkan di bawah ini) dan juga merupakan sikap tertentu
dari tugas pengumpulan, pengolahan, dan penyebaran informasi. Konsep ini tidak seharusnya
dikaburkan dengan gagasan kebenaran yang lebih Juas, walaupun konsep ini adalah bagian darinya.
Ciri utamanya adalah penerapan posisi keterlepasan dan netralitas terhadap objek peliputan. Kedua,
terdapat upaya untuk menghindari keterlibatan: tidak berpihak dalam perselisihan atau menunjukkan
bias. Ketiga, objektivitas
objektivitas membu
membutuhkan
tuhkan keterikatan yang kuat terhadap akurasi dan jenis kebenaran
media yang lain (seperti relevansi dan keutuhan). Konsep ini juga mengasumsikan tidak adanya
agenda tersembunyi atau layanan terhadap pihak ketiga. Proses pengamatan dan peliputan
seharusnya tidak dikotori oleh subjektivitas atau dicampuri dengan realitas yang dilaporkan. Dalam
beberapa hal
hal konsep ini memiliki
memiliki keterkaitan,
keterkaitan, setidaknya
setidaknya dalam
dalam hal teori dengan
dengan gagasan rasiona
rasionall dari

komunikasi yang tidak terdistorsi’ milik Habermas (1962/1989).


Versi mengenai standar ideal dari praktik peliputan ini menjadi standar yang utama bagi
peranan jurnalis profesional (Weaver dan Wilhoit, 1986). Konsep ini berhubungan dengan prinsip
kebebasan karena kemerdekaan adalah kondisi yang cukup untuk keterlepasan dan kebenaran. Di
bawah beberapa kondisi (misalnya peninda
penindasan
san politik, krisis, perang, dan aksi polisi
polisi),
), kebebasan
untuk meliput hanya dapat dihasilkan sebagai ganti dari jaminan akan objektivitas. Di sisi lain,
kebebasan juga mencakup hak untuk menjadi bias atau partisan.
Hubungan dengan kesetaraan juga kuat: objektivitas membutuhkan sikap yang adil dan tidak
diskriminatif kepada sumber dan objek pelaporan berita yang semuanya harus diperlakukan dengan
setara. Sebagai tambahan, sudut pandang yang berbeda mengenai satu isu yang diperselisihkan harus
diperlakukan sebagai pendirian dan relevansi yang setara, dan lainnya menjadi sama.

Struktur Media dan Kinerja: Prinsip dan Akuntabilitas 227

Dalam hubungan yang berkembang dalam lingkungan kerja media, objektivitas merupakan hal
yang krusial. Agen negara dan pendukung kepentingan yang berbeda mampu untuk berbicara secara

langsung kepada khalayak terpilih melalui media tanpa adanya distorsi atau campur tangan dari
penjaga pintu dan tanpa mengompromikan kemandirian saluran. Karena persetujuan yang telah
mapan mengenai objektivitas, saluran media dapat memberi jarak antara konten media mereka
dengan iklan yang mereka bawa, dan para pengiklan dapat melakukan hal yang serupa dalam konten
editorial. Opini editorial juga dapat dibedakan dari berita.
Secara umum khalayak media terlihat memahami prinsip kinerja objektif dengan baik, dan
praktiknya membantu meningkatkan kepercayaan publik dan kebenaran baik dalam informasi dan
juga opini yang ditawarkan media. Media itu sendiri menemukan
menemukan bahwa objektivitas
objektivitas memberikan
memberikan
nilai pasar yang lebih luas dan tinggi bagi produk berita mereka. Akhirnya, karena standar objektivitas
objektivitas
memiliki nilai yang sangat luas, ia sering kali digunakan dalam klaim dan penyelesaian yang
menyangkut bias atau perlakuan yang tidak adil. Sebagian besar media berita modern menyimpan
banyak klaim objektivitas mereka dalam berbagai makna yang berbeda. Kebijakan untuk penyiaran

yang di banyak negara membutuhkan dengan alat yang berbeda-beda, persyaratan- persyaratan
objektivitas dalam sistem penyiaran publik mereka, terkadang sebagai kondisi dari kemandirian
mereka terhadap pemerintah.

Kerangka objektivitas penelitian


penelitian dan teori
Satu versi dari komponen objektivitas dijelaskan oleh Westerstahl (1983) di dalam konteks penelitian
mengenai tingkat objektivitas yang ditunjukkan oleh sistem penyiaran Swedia. Versi ini (Gambar 8.3)
memperlihatkan bahwa objektivitas harus berhadapan dengan nilai, sebagaimana dengan fakta dan
bahwa fakta juga
juga haru
haruss memiliki dam
dampak
pak yang evaluatif.
evaluatif.
Dalam skema ‘faktualitas’ (/ actuality) ini merujuk, pertama pada bentuk peliputan yang
berkaitan dengan peristiwa dan pernyataan yang dapat diperiksa
diperiksa terhadap sumber dan ditampilkan
bebas dari komentar atau setidaknya dipisahkan
dipisahkan dari komentar
komentar apapun.
apapun. Faktualita
Faktualitass melibatkan
melibatkan
beberapa ‘kriteria kebenaran
kebenaran yang lain: keutuhan
keutuhan laporan, akurasi, dan niat untuk tidak menyesatkan
menyesatkan
atau menyembunyikan hal yang relevan (kepercayaan yang baik). Aspek utama yang kedua dari
faktualitas adalah ‘relevansi’. Hal ini lebih sulit untuk didefinisikan maupun diraih dalam cara yang
objektif. Konsep ini berkaitan dengan proses seleksi, alih-alih kepada bentuk presentasi dan
mensyaratkan pemilihan itu terjadi menurut prinsip yang jelas dan koheren dari apa yang penting
bagi penerima yang dituju dan/atau bagi masyarakat
masyarakat (Nordenstreng,
(Nordenstreng, 1974). Secara umum,
umum, apa yang
memengaruhi sebagian besar orang secara cepat dan kuat akan dianggap sebagai hal yang paling
relevan (meskipun mungkin ada jurang di antara apa yang dianggap publik sebagai kepentingan dan
apa yang dianggap para ahli sebagai signifikan).

228 Struktur

Faktualitas
Ketidakberpihakan

Kebenaran i Relevansi Seimbang Netralitas


I
Informatif

Gambar8.3 Komponen kriteria objektivitas (Westerstahl, 1983)

Menurut skema Westerstahl, keadilan merupakan sikap netral’ dan harus diraih melalui kombinasi
keseimbangan (penekanan waktu/tempat yang sama/proporsional) di antara penafsiran, sudut pandang,
atau versi peristiwa yang saling berlawanan dan netralitas dalam penyajian.
Skema dalam Gambar 8.3 memberikan elemen ekstra, yaitu ‘keadaan informatif’ yang penting bagi
makna objektivitas yang lebih utuh. Rujukannya adalah kepada kualitas konten informasi yang mungkin
meningkatkan kesempatan untuk mendapatkan informasi kepada khalayak: diperhatikan, dipahami,
diingat, dan sebagainya. Ini adalah sisi pragmatis dari informasi yang sering kali diremehkan atau
diabaikan dalam teori normatif, tetapi esensial kepada gagasan yang lebih utuh dari kinerja informasi
yang baik.
Persyaratan utama untuk kualitas informasi adalah sebagai berikut:

• Media massa harus menyediakan pasokan yang menyeluruh atas berita yang relevan serta latar
belakang informasi
informasi men
mengenai
genai peri
peristiwa
stiwa yang terjadi
terjadi di masyaraka
masyarakatt dan sekeliling
sekeliling dunia.
dunia.
• Informasi harus objektif dalam artian memiliki bentuk yang faktual, akurat, jujur, utuh, dan jujur
terhadap realitas, dan dapat diandalkan dalam artian dapat diperiksa dan memisahkan antara fakta

dengan opini.
• Informasi harus berimbang dan adil (tidak memihak), melaporkan sudut pandang alternatif dan
penafsiran dengan cara yang sedapat mungkin tidak sensasional atau tidak bias.
Struktur Media dan Kinerja: Prinsip dan Akuntabilitas 229

Keterbatasan objektivitas

Beberapa kesulitan potensial dilekatkan dalam norma-norma ini, terutama karena ketidakpastian
mengenai apa yang membangun pasokan informasi yang cukup atau relevan, dan mengenai sifat
dasar dari objektivitas’ (Hemanus, 1976; Westerstahl, 1983; Hackett, 1984; Ryan, 2001). Sering kali
diperdebatkan bahwa aturan-aturan objektivitas mengarah pada bentuk bias yang baru dan kurang
nyata. Hal ini dapat memberikan keuntungan terhadap keteraturan dan keuangan yang baik atau
partai dominan yang berkaitan dalam perselisihan, apapun posisi nilai intrinsik yang diambil.
Beberapa akan mendukung keberimbangan atas niat buruk, tetapi konsep ini tidak membantu untuk
menemukan jalur mana yang diambil. Terdapat juga kemungkinan ketidakselarasan dengan klaim atas
kebebasan media (yang tidak membedakan antara ungkapan ‘benar’ dan ‘salah’) dan keragaman (yang
menekankan pada keanekaragaman dan ketidakselarasan realitas). Kita juga dapat mencatat bahwa
kriteria semacam itu lebih cocok untuk totalitas informasi media di dalam masyarakat, alih-alih untuk
saluran atau sektor tertentu. Tidak semua media secara sama diharapkan oleh khalayak mereka sendiri

untuk menyediakan informasi yang utuh dan objektif atas topik yang ‘serius’.
Objektivitas (dan standar faktualitas yang berkaitan dan seterusnya) tidak secara utuh dianggap
sebagai hal yang penting, bernilai, atau bahkan mungkin dicapai. Akan tetapi,
tet api, ada sejumla
sejumlah
h kekuatan
kek uatan
dalam argumen Lichtenberg (1991: 230) yang menyatakan bahwa ‘sejauh kita bertujuan untuk
memahami dunia, kita tidak dapat maju tanpa berasumsi, baik kemungkinan maupun nilai
objektivitas’. Ryan (2001) menilai dan merespons kritik terhadap objektivitas, sebagian berdasarkan
definisi objektivitas yang mengenali konflik akan opini dan fakta dan masalah verifikasi dan
penafsiran. Kemudian ia menyatakan (Ryan, 2006) bahwa kritik terhadap pendekatan objektif telah
melemahkan daya tariknya terhadap jurnalis karena kontribusinya terhadap kegagalan peliputan
media berita AS dalam perang Irak dengan membuka pintu untuk berita-berita dan editorial pro-
perang. Masalah yang dikaitkan dengan objektivitas, dan terutama ketidakmungkinan untuk
menghindari semua bias dalam berita, dibahas kemudian dalam hubungannya dengan konsep ‘berita.

Perdebatan mengenai standar informasi yang layak telah memunculkan perpecahan antara
mereka yang menekan pers untuk kualitas informasi yang maksimal (standar berita yang utuh) dan
mereka yang mendukung standar minimum yang lebih realistis (versi ‘alarm maling’, terutama dalam
tajuk utama dan artikel pendek). Standar yang terakhir ini akan memperingatkan masyarakat hanya
kepada hal-hal yang penting dan isu-isu yang relevan serta hal yang berbahaya pada saat itu. Bennet
(2003), salah seorang pendukung standar berita yang utuh, mengkritik pandangan minimal
berdasarkan bahwa peringatan itu sering tidak berbun
berbunyi.
yi. Pandangan alternatifnya adalah bahwa
jumlah
jumlah dan beban berita itu kurang
k urang penting jika dibandi
dibandingkan
ngkan dengan keragamannya, memberikan
memberikan
masyarakat kesempatan yang nyata untuk memahami peristiwa dan mengevaluasi tindakan alternatif
(Porto, 2007).
Tatanan
atanan Sosi al dan Solidaritas
Soli daritas
Kriteria normatif yang termasuk dalam topik ini adalah kriteria yang berhubungan
dengan integrasi dan keselarasan masyarakat, seperti dipandang dari perspektif yang
berbeda (atau bahkan berlawanan).
berlawanan). Di satu sisi, terdapat kecenderu
kecenderungan
ngan yang cukup
konsisten terhadap mereka yang memiliki kekuasaan untuk mengawasi media
komunikasi publik bagi dukungan yang tersirat dalam tugas memelihara ketertiban. Di

230 Struktur

sisi lain, masyarakat pluralistik tidak dapat dianggap memiliki tatanan dominan tunggal
yang harus dipelihara dan media massa memiliki tanggung jawab yang berbeda dan
terbagi-bagi, terutama jika berkaitan dengan kelompok sosial dan subkultur alternatif
dan kepada pengungkapan atas konflik dan ketidaksetaraan di sebagian besar
masyarakat. Masalah juga muncul mengenai seberapa jauh media dapat mendukung
oposisi atau mereka yang berpotensi subversif (sebagaimana dilihat dari atas’). Prinsip
relevan yang berkaitan dengan media sangat bercampur dan tidak cocok secara mutual,
tetapi dapat dinyatakan dalam sesuatu sebagai berikut.

Perspektif

Dari ‘atas’ Dari ‘bawah’

Kontrol/ Solidaritas/
Sosial kepatuh an keterikatan

Wilayah

Konformitas/ Otonomi/

Budaya hierarki identitas

Gambar 8.4 Ide yang berkaitan dengan media massa dan keteraturan tergantung
pada siapa yang memerintahkan dan bentuk perintah apa yang terlibat

Konsep keteraturan yang digunakan di sini merupakan cara yang cukup elastis
untuk diterapkan pada sistem simbolik (budaya), misalnya agama, seni, dan adat,
sebagaimana juga kepada bentuk-bentuk tatanan sosial (komunitas, masyarakat, dan
struktur hubungan yang mapan). Perbedaan yang luas ini juga dilintasi oleh perbedaan
perspektif—dari atas’ dan dari ‘bawah’. Perbedaan ini secara esensial dalam satu sisi
berada di antara otorita
otoritass masyarakat
masyarakat yang mapan, dan individu dengan kelompo
kelompok
k
minoritas di sisi lain. Perbedaan ini juga kurang lebih berhubungan dengan perbedaan
antara keteraturan dalam artian kontrol dan keteraturan dan dalam artian solidaritas
dan
kesatuan; keteraturan pertama adalah ‘dipaksa dan keteraturan lainnya adalah sukarela. Gagasan-
gagasan mengenai keteraturan ini dapat dilihat dalam Gambar 8.4.
Sistem sosial yang rumit dan praktis ini akan memperlihatkan semua sub-aspek keteraturan
yang ditunjukkan di sini. Akan ada mekanisme kontrol sosial sebagaimana keterikatan sukarela,
sering kali dengan cara keanggotaan dari komponen kelompok di masyarakat. Akan ada pula makna
bersama dan definisi pengalama
pengalaman,
n, sebagaimana
sebagaimana pula pemisahan identitas dan pengalaman
pengalaman yang

Struktur Media dan Kinerja: Prinsip dan Akuntabilitas 231

sesungguhnya. Budaya bersama dan pengalaman solidaritas cenderung akan saling menguatkan.
Hubungan antara komunikasi massa dan konsep-konsep yang berbeda ini dibahas dalam berbagai
teori media dan masyarakat yang berbeda, meskipun demikian konsisten secara logis (lihat Bab 4).
Teori fungsionalis memberikan tujuan tersembunyi kepada media massa untuk mengamankan
keberlanjutan dan kesatuan tatanan sosial (Wright, 1960) dengan mempromosikan kerja sama dan
konsensus nilai-nilai sosial dan budaya.
Teori kritis (critical theory) umumnya menafsirkan media massa sebagai agen dari kelas penguasa
yang dominan, dari pemegang kekuasaan yang memaksakan definis mereka sendiri atas situasi dan
nilai-nilai, dan untuk mengesampingkan atau membubarkan oposisi. Media sering kali dianggap
melayani tujuan
tujuan dan kepe
kepentingan
ntingan yang saling berselisih dan menawarkan versi alternatif dari tatanan
sosial yang sesungguhnya atau yang diinginkan. Pertanyaan mengenai Atas perintah siapaV harus
dijawab terlebih dahulu. Teori normatif (normative theory) yang relevan tidak dapat dikaitkan hanya
dengan gangguan keteraturan (misalnya konflik, kriminalitas, atau penyimpangan), tetapi juga harus
dihubungkan dengan kegagalan tatanan yang mapan, sebagaimana yang dipersepsikan oleh
kelompok sosial budaya yang marginal atau minoritas.

Pengharapan dan norma yang berkaitan dengan keteraturan


Dari perspektif kontrol sosial, norma yang relevan sering kali diterapkan untuk menyerang
penggambaran yang positif dari kekerasan, kekacauan, dan penyimpangan atau untuk mendukung
akses yang istimewa dan dukungan simbolik yang positif bagi lembaga ‘pemerintah’ yang mapan
serta para penguasa—hukum, gereja, sekolah, polisi, militer, dan seterusnya. Subprinsip yang kedua
(dalam solidaritas) melibatkan pemahaman bahwa masyarakat terdiri atas banyak subkelompok yang
berbeda berdasarkan identitas
identitas dan kepentingan yang berbeda. Dari perspektif
perspektif ini, pengharapan
pengharapan
normatif yang praktis dari media massa adalah bahwa mereka harus secara simpatik memberikan
alternatif dan menyediakan akses dan dukungan simbolik untuk kelompok dan pandangan minoritas
yang relevan. Secara umu
umum,
m, posisi tteoreti
eoretiss (normatif)
(normatif) akan melibatkan sebuah
sebuah pandangan yang nyata
dan orientasi yang empatik terhadap kelompok sosial dan situasi yang marginal, berjarak, atau
menyimpang dari sudut pandang masyarakat nasional yang dominan.
Untuk merangkum serangkaian sudut pandang normatif yang beragam terkait
dengan tatanan sosial:

• Dalam kaitannya dengan publik relevan yang mereka layani (pada tingkat nasional
atau lokal, atau sebagaimana yang didefinisikan oleh kelompok atau kepentingan),
media harus menyediakan saluran interkomunikasi dan dukungan.
• Media dapat berkontribusi pada integrasi sosial dengan lebih memperhatikan
kelompok-kelompok dan individu yang lemah atau kurang beruntung.
• Media tidak boleh meremehkan kekuatan hukum dan keteraturan dengan
mendorong atau secara simbolik mendukung kriminalitas atau kekacauan sosial.
• Dalam kaitannya dengan keamanan nasional (misalnya perang, ancaman perang,
subversif asing, atau terorisme), kebebasan media dapat dibatasi oleh kepentingan
nasional.

232 Struktur

• Mengenai masalah moral, kesopanan, dan selera (terutama dalam hal


penggambaran mengenai seks dan kekerasan dan penggunaan bahasa yang kasar),
dalam beberapa tingkatan, media harus mengontrol norma akan apa yang diterima
publik secara luas dan menghindarkan dari tindakan yang menyebabkan
penghinaan terhadap publik.

Tatanan
Tatanan Bud
B udaya
aya
Wilayah ‘budaya’ tidak mudah dijelaskan atau dipisahkan dari wilayah ‘sosial’, tetapi
dalam hal ini umumnya merujuk pada konten simbolik yang disebarkan. Teori media
normatif biasanya dikaitkan dengan masalah ‘kualitas’ budaya (dari konten media) atau
dengan ‘keaslian’ dalam hubungannya dengan pengalaman kehidupan nyata. Subdivisi
dari ranah budaya untuk tujuan saat ini atas representasi dalam kerangka normatif,
mengikuti jalur yang sama yang berlaku di wilayah sosial: antara budaya mapan dan
‘dominan, dan serangkaian kemungkinan alternatif atau subkultur. Pada praktiknya
yang pertama melibatkan pandangan budaya yang hierarkis menurut nilai budaya dan
artefak yang ‘disahkan oleh lembaga budaya yang mapan, relatif akan dibandingkan
secara lebih istimewa dengan nilai dan bentuk budaya ‘alternatif’.

Norma kualitas budaya


Teori normatif (normative theory) sering kali dinyatakan dalam kebijakan budaya yang
luas yang dapat mendukung berbagai jenis kualitas budaya di media massa. Pertama,
teori ini sering kali melindungi warisan budaya ‘sah’ dari bangsa atau masyarakat,

terutama dalam pendidikan dan ilmu pengetahuan, seni, dan literatur. Kedua, teori ini
mendukung varian kelompok regional, lokal, atau kelompok minoritas dari ekspresi
budaya berdasarkan keaslian,
keaslian, identita
identitas,
s, dan alasan-alasan
alasan-alasan positif. Ketiga, beberapa teori
teori
menjelaskan mengenai kesamaan hak bagi semua ekspresi dan selera budaya, termasuk
‘budaya populer’.
Walaupun terdapat diskusi yang panas mengenai kemungkinan tanggung jawab
budaya dari media massa,
massa, terdapat sedikit sekali persetu
persetujuan
juan mengenai apa yang harus
dilakukan terhadapnya, dan kurang adanya tindakan yang jelas. Prinsip kualitas
budaya merupakan
merupakan hal yang semakin diinginkan
diinginkan,, tetapi jarang dipaksa untuk
dilakukan. Jarang sekali terdapat konsensus mengenai kriteria kualitas budaya
mengenai tindakan yang dapat dilakukan. Meskipun demikian, kita dapat
mengidentifikasi prinsip-prinsip yang paling sering muncul sebagai berikut:

• Konten media harus mencerminkan dan mengekspresikan bahasa dan budaya


kontemporer
kontemporer (artefak dan cara hidup) dari orang-orang yang dilayani media (secara
nasional, regional, dan lokal); konten tersebut harus relevan dengan pengalaman
sosial yang ada.

Struktur Media dan Kinerja: Prinsip dan Akuntabilitas 233

• Beberapa prioritas harus diberikan kepada peranan mendidik dari media dan
ekspresi serta keberlanjutan dari warisan budaya negara yang terbaik.
• Media harus mendorong kreativitas budaya dan orisinalitas serta produksi
pekerjaan yang berkualitas tinggi (menurut
(menurut kriteria estetika, moral,
moral, intelektual,
intelektual, dan
pekerjaan).
• Pasokan budaya harus beragam, mencerminkan tuntutan, dan termasuk tuntutan
untuk ‘budaya populer’ dan hiburan.

Makna
Makna Akun
Akuntabil
tabilitas
itas
Tidak mudah untuk mendefinisikan ‘akuntabilitas’ (accountability) dalam artian yang
utuh (lihat McQuail, 2003a). Feintuck (1999: 120) menawarkan definisi legalnya dalam
dua bagian. Salah satunya adalah ‘kondisi pemberian penilaian atas tindakan seseorang,
baik kepada publik secara langsung
langsung maupun melalu
melaluii otoritas publik’.
publik’. Kedua, hal
tersebut berarti, ‘bersedia menerima sanksi jika ditemukan melanggar beberapa
persyaratan atau pengharapan yang terkait dengan pelaksanan kekuasaan’. Hal ini
berguna, tetapi tujuannya
tujuannya di sini untuk memperluas
memperluas lingkup
lingkup penerapannya, mengingat
bahwa aktivitas media
media tidak termasuk
termasuk dalam lingkup
lingkup sah dari kekuasaan
kekuasaan publik. Sering
Sering
kali istilah ‘akuntabilitas’ diganti dengan ‘answerability (kemampujawaban), terutama
jika yang kedua berarti harus menjelaskan atau membenarkan tindakan seseorang.
Tetapi ada beberapa cara yang berbeda di mana hal ini dapat terjadi. Pritchard (2000: 3)
menulis bahwa esensi akuntabilitas terletak dalam proses penamaan, penyalahan, dan
pengakuan. Hal ini pada intinya untuk mengidentifikasi masalah, menyebutkan media
yang bertanggung jawab, dan mengklaim permintaan maaf atau kompensasi. Rujukan
intinya adalah pada proses penyelidikan publik di mana aktivitas publik dari media
(tindakan publikasi) dilawan dengan pengharapan
pengharapan yang sah dari masyarakat. Hal yang
kedua telah dibahas sebelumnya dan dapat dinyatakan dalam kriteria yang telah
dijelaskan. Kita mendefinisikan akuntabilitas media (media accountability) secara kasar sebagai berikut:

Akuntabilitas media adalah proses yang sukarela maupun tidak di mana media menjawab secara langsung atau tidak
langsung kepada masyarakat dan mereka yang terkena dampak langsung dari kualitas dan/atau konsekuensi publikasi.

Karena kompleksitas dan sensitivitas isu yang muncul, jelas bahwa kita tidak berhadapan dengan
mekanisme kontrol sosial atau peraturan yang sederhana atau tunggal. Berbagai elemen yang
berkontribusi
berkontribusi kepada akuntabilitas
akuntabilitas merupakan
merupakan bagian dari operasi normal
normal dari media di masyarakat
terbuka manapun. Agar konsisten dengan prinsip inti dari teori normatif, proses akuntabilitas media harus
memenuhi empat kriteria umum:

Mereka harus menghargai hak-hak kebebasan publikasi.


• Mereka harus menghindari atau membatasi keburukan yang muncul dari publikasi terhadap individu
sebagaimana terhadap masyarakat.
• Mereka harus mempromosikan aspek positif publikasi alih-alih hanya sekadar membatasi.

234 Struktur

• Mereka harus terbuka dan transparan.

Kriteria pertama dari keempat kriteria tersebut mencerminkan keutamaan dari persyaratan kebebasan
berekspresi dalam demokrasi.
demokrasi. Kriteria kedua menyatakan bahwa kewajiban terhadap ‘masyaraka
‘masyarakat’
t’
merupakan kewajiban pertama untuk individu yang memiliki hak-hak, kebutuhan, dan kepentingan.
Kriteria ketiga menekankan pada dialog dan interaksi antara media dengan lembaga lain di masyarakat.
Kriteria keempat menyatakan bahwa kontrol internal oleh media tidaklah cukup. Kesulitan mendasar
untuk memenuhi keempat kriteria ini terletak pada tekanan yang tidak dapat dihindari antara kebebasan
dan akuntabilitas karena kebebasan total tidak mengenai kewajiban untuk bertanggung jawab atas
tindakan kepada orang lain di dalam batasan hukum yang normal. Biasanya, hukum konstitusional dalam
demokrasi meniadakan batasan apa pun atas ‘kebebasan pers’, sehingga lingkup yang sah untuk
menghindari akuntabilitas sangatlah luas (lihat Dennis dan kawan-kawan, 1989).
Presentasi atas kasus ini berdasarkan asumsi adanya ‘kepentingan publik’ (public interest),
sebagaimana yang dibahas sebelumnya. Kedua, hal ini mengasumsikan bahwa media cukup penting bagi

masyarakat untuk pembenaran atas tanggung jawab mereka dan bahwa akuntabilitas yang efektif tidak
perlu tidak konsisten dengan kebebasan dasar. Kebebasan melibatkan beberapa elemen tanggung jawab
kepada orang lain dan dibatasi oleh hak orang lain.
Merupakan sesuatu yang berguna untuk membedakan antara konsep akuntabilitas dan tanggung
jawab. Tanggun
Tanggung
g jawab meruju
merujuk
k pada kewajiban
kewajiban dan pengharap
pengharapan
an yang ditujukan
ditujukan pada media.
Akuntabilitas di sisi lain, utamanya merujuk pada proses di mana media dapat dinilai. Sebagaimana yang
dinyatakan Hodges (1986):
Isu tanggung jawab adalah sebagai berikut: untuk kebutuhan sosial, seperti apa kita mengharapkan
jurnalis untuk merespons? Isu akuntabilitas: bagaimana ma syarakat dapat meminta jurnalis untuk
u ntuk
dinilai berdasarkan kinerja tanggung jawab yang diberikan kepada mereka? Tanggung jawab
berkaitan dengan penggambaran
penggambaran perilaku yang layak dan akuntabilitaslah
akuntabilitaslah yang melakukannya.

Dalam membahas proses akuntabilitas, sangat berguna untuk membedakan antara

tanggung jawab dalam kaitannya dengan derajat paksaan yang terlibat. Beberapa dari
proses tersebut bersifat sukarela, beberapa merupakan kontrak antara media dengan
khalayak atau klien, dan yang lainnya ditentukan oleh hukum. Tekanan untuk dapat
dinilai dapat berupa moral atau sosial alih-alih legal. Secara umum, semakin sukarela
suatu proses, maka mekanisme akuntabilitasnya semakin lunak atau bersifat pilihan,
dan semakin sedikit konflik dengan kebebasan yang terlibat. Model akuntabilitas yang
lunak adalah yang tidak melibatkan penalti keuangan atau yang lainnya, tetapi biasanya
melibatkan proses penyelidikan, penjelasan, atau permintaan maaf secara verbal. Media
cenderung menghindari keputusan atau penalti eksternal untuk alasan-alasan yang
jelas: karena hal tersebu
tersebutt merupakan
merupakan mekanisme pengatu
pengaturan
ran sendiri yang lazim dari
akuntabilitas. Hal ini mungkin lebih cocok untuk isu komunikasi, di mana biasanya
tidak ada kerugian fisik atau materi.

Struktur Media dan Kinerja: Prinsip dan Akuntabilitas 235

Ans werabi
wer abilili ty Liability
Dasar moral/sosial V Dasar hukum
Sukarela V Paksaan
Bentuk verbal V Keputusan formal
Kerja sama V Saling berlawanan
V
Penalti nonmateri Penalti materi
Rujukan terhadap kualitas V Rujukan terhadap keburukan

Gambar 8.5 Dua model


m odel akuntabilitas yang dibandingkan (McQuail, 2003a: 205)

Dua Model Alternatif Akuntabilitas


Agar akuntabilitas dapat dijalankan, harus terdapat respons terhadap apa yang

dilakukan media (publikasi), dan media harus mendengarkan. Akuntabilitas berarti


menjawab kepada seseorang mengenai sesuatu menurut kriteria tertentu dan dengan
derajat tanggung jawab yang beragam dari media. Penggabungan beberapa ide ini, akan
memungkinkan untuk membentuk dua model alternatif akuntabilitas, yaitu model
liability dan model answerability (kemampujawaban).
Model liability menekankan pada potensi keburukan dan bahaya yang mungkin
muncul dari publikasi media, baik berbahaya kepada individu maupun masyarakat
(misalnya bahaya terhadap moral atau keteraturan publik). Tindakan yang dilakukan
menurut model ini melibatkan penalti material yang dipaksa oleh hukum publik atau
pribadi.
Secara kontras, model answerability adalah bentuk yang nonkonfrontasional dan
menekankan pada perdebatan, negosiasi, kesukarelaan, dan dialog sebagai alat yang

terbaik untuk menjembatani perbedaan yang muncul antara media dan kritik terhadap
media atau yang dipengaruhi oleh mereka. Alat untuk menilai utamanya secara verbal
alih-alih putusan formal, dan penalti yang ada juga akan berupa verbal (misalnya
permintaan maaf, pembenaran, atau jawaban yang dipublikasikan) alih-alih material.
Selalu sulit untuk menilai keseimbangan antara keburukan pribadi (individu)
(misalnya reputasi tokoh masyarakat) dan kemungkinan keuntungan publik (misalnya
ekspos terhadap skandal atau penyalahgunaan). Pada praktiknya, akan ada efek yang
‘menenangkan’ atas publikasi ketika muncul penalti material yang besar sebagai akibat
dari peristiwa publikasi. Bahaya terbesar adalah kepada penerbit kecil yang
memberikan keuntungan besar kepada perusahaan media kaya yang mampu
menanggung risiko kerugian secara finansial dalam meraih khalayak. Model
‘answerability secara umum paling konsisten dengan ide demokrasi partisipan dan

paling mendorong ekspresi keberagaman, kemandirian, dan kreativitas. Ciri utama dari
dua model tersebut dirangkum dalam Gambar 8.5.

236 Struktur

Jalur da
d an Hubungan Akuntabil
Akuntabil itas
Menurut definisi, akuntabilitas melibatkan hubungan antara media dan beberapa pihak
lainnya. Kita dapat mengenali dua tingkatan akuntabilitas yang berbeda,yaitu internal
dan eksternal. Tingkatan pertama melibatkan serangkaian kontrol di dalam media,
seperti tindakan publikasi yang spesifik (misalnya artikel berita atau program televisi)
dapat menjadi tanggung jawab dari organisasi media dan pemiliknya. Isu penting yang
muncul dalam hal ini berkaitan dengan derajat otonomi atau kebebasan bereskpresi bagi
mereka yang bekerja di media (misalnya jurnalis, penulis, editor, dan produser).
Terdapat tekanan antara kebebasan dan tanggung jawab ‘di dalam lingkup’ media yang
terlalu sering diselesaikan dengan cara yang menguntungkan bagi pemilik media.
Dalam kasus apa pun, kita tidak dapat bergantung pada kontrol internal atau
manajemen untuk memuaskan kebutuhan sosial yang luas akan akuntabilitas. Kontrol
internal dapat menjadi terlalu ketat (melindungi organisasi dari tuntutan), sehingga
membentuk sensor internal atau terlalu banyak diarahkan pada melayani kepentingan
organisasi media alih-alih masyarakat.
Di sini, kita membahas hubungan ‘eksternal’ antara media dan pihak-pihak yang
dipengaruhi atau yang berkepentingan dengan publikasi. Hubungan ini sangat beragam
dan saling tumpang tindih, sebagaimana dapat kita lihat dari daftar sederhana rekanan
potensial yang utama yang ditunjukkan oleh Gambar 8.6. Hubungan akuntabilitas yang
rutin muncul adalah antara media dengan:
• khalayak mereka sendiri;
• rekanan, misalnya pengiklan, sponsor, atau pendukung;
• mereka yang memasok konten, termasuk sumber berita dan produsen hiburan, olahraga, dan
kebudayaan;
• mereka yang menjadi subjek peliputan, baik sebagai individu maupun kelompok (disebut sebagai
‘rujukan’);
• pemilik dan pemegang saham bisnis media;
• pembuat hukum dan peraturan pemerintah sebagai pelindung atas kepentingan publik;
• lembaga sosial yang dipengaruhi media atau bergantung pada media untuk operasi normal mereka;
• opini publik yang di sini disebut sebagai ‘masyarakat secara keseluruhan’;
• beragam tekanan dan kepentingan kelompok yang
yang dipengaruhi
dipengaruhi oleh publikasi.
publikasi.
Rekanan

Struktur Media dan Kinerja: Prinsip dan Akuntabilitas 237

Gambar 8.6 Lini akuntabilitas antara media dan agen eksternal yang berhubungan dengan publikasi
Kerangka Akuntabilitas
Dengan beragamnya isu dan tuntuan potensial, tidak mengherankan bila terdapat
berbagai jenis
jenis proses. Sebagai ta
tambaha
mbahan,
n, media yang b
berbeda
erbeda tunduk pada ‘rezim’
‘rezim’ yang
berbeda atau tidak sama sekali (Bab 9). Keseluruhan
Keseluruhan proses produksi massa melibatkan
melibatkan
penilaian yang rutin dan berkelanjutan, baik secara internal untuk mengantisipasi
masalah maupun eksternal setelah publikasi oleh pihak-pihak berkepentingan yang
berbeda. Sebagian besar aktivitas ini termasuk lingkup model ‘answerability
termasuk ke dalam lingkup
yang telah dijelaskan sebelumnya. Bagaimanapun, semakin banyak muncul isu yang
bermasalah dan tuntutan
tuntutan yang kuat yang ditolak oleh media. Dalam hal ini, akan
semakin banyak prosedur koersif yang terlibat. Umumnya, proses akuntabilitas dalam
kasus- kasus semacam ini membutuhkan prosedur formal dan perlengkapan dari
putusan luar dari pihak ketiga. Di sini juga terlalu banyak ruang untuk keragaman
karena bentuk- bentuk putusan dapat bermula dari sistem keadilan, di mana
penyerangan
penyerangan legal terjadi (misalnya fitnah) hingga sistem sukarela yang dilakukan oleh
media itu sendiri.
Karena keragaman ini, sangat berguna untuk berpikir dalam kaitannya dengan
sejumlah kecil dasar ‘kerangka akuntabilitas’ yang masing-masing mewakili alternatif
meskipun tidak secara eksklusif, pendekatan terhadap akuntabilitas, dan masing-
masing memiliki wacana, logika, bentuk, dan prosedurnya sendiri. Kerangka dalam hal
ini melibatkan beberapa elemen umum tertentu: harus terdapat hubungan antara ‘a gen

238 Struktur

media dan ‘pengklaim’ dari luar, sering kaJi melibatkan pihak ketiga sebagai pembuat
keputusan; terdapat beberapa prinsip atau kriteria perilaku yang baik; dan terdapat

aturan, prosedur, serta bentuk penilaian tertentu. Kita dapat mendefinisikan kerangka
akuntabilitas sebagai berikut:

Kerangka akuntabilitas merupakan kerangka rujukan di mana pengharapan yang berkaitan dengan
perilaku dan tanggung jawab muncul dan tuntutan dinyatakan. Kerangka juga menunjukkan atau
mengatur cara bagaimana tuntutan tersebut ditangani.

Menurut contoh dari Dennis dan kawan-kawan (1989), empat kerangka


akuntabilitas dominan yang paling umum dalam hal ini dapat diidentifikasi ke dalam
bagian-bagian
bagian-bagian berikut: hukum dan peraturan (law and regulation), pasar/keuangan
(financia
financial/market
l/market), tanggung jawab publik (public responsibility), dan tanggung jawab
profesional (profession
(professional
al responsibility).
responsibility). Secara singkat, kita dapat menggambarkannya
melalui rujukan pada instrumen dan prosedur tertentu; isu yang paling cocok; derajat
tekanan yang terlibat; dan keuntungan serta kerugian relatif yang dimilikinya.

Kerangka hukum dan peraturan


Kerangka yang pertama merujuk pada semua kebijakan publik, hukum, dan peraturan
yang memengaruhi struktur dan operasi media. Tujuan utamanya haruslah untuk
menciptakan dan memelihara kondisi interkomunikasi yang bebas dan luas di dalam
masyarakat dan untuk meningkatkan produk publik, sebagaimana juga membatasi keburukan
potensial untuk mengesahkan kepentingan publik dan pribadi.
Mekanisme dan prosedur utama biasanya terdiri atas dokumen pengaturan yang berkaitan dengan
apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan media, bersamaan dengan peraturan formal dan prosedur
untuk menjalankan pasoka regulasi apa pun. Isu utama yang dibahas yang termasuk topik ini
berkaitan baik dengan hal yang dianggap sebagai
s ebagai keburukan bagi individu atau terhadap hal lain di
mana media (terutama elektronik) dapat diatur atau dinilai.
Sementara keuntungan bagi pendekatan atas akuntabilitas ini yang pertama adalah adanya
kekuatan yang besar untuk memaksakan klaim. Terdapat juga kontrol demokratis dengan cara sistem
politik, atas tujuan dan alat sebagai pemeriksaan terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang
memaksa. Keterbatasan apa pun atas kebebasan, seperti dalam lingkup peraturan apa pun, dibentuk
dengan jelas. Kerugian dan keterbatasannya cukup besar, terutama karena konflik potensial antara
tujuan perlindungan akan kebebasan publikasi dan pembuatan media yang akuntabel. Ketakutan
akan penalti bekerja secara serupa dengan sensor (sebelum dipublikasikan), bahkan jika hal ini tidak
sah. Hukum dan peraturan lebih mudah diterapkan kepada struktur (misalnya pertanyaan akan
kepemilikan) daripada kepada konten, saat kebebasan berekspresi muncul dan ketika ketentuan yang
ada sulit dilakukan. Secara umum, hukum dan peraturan sering kali tidak efektif, sulit diterapkan,

tidak terduga efek jangka panjang dan luasnya, dan sulit diubah atau dihilangkan ketika mereka telah
usang. Mereka juga dapat menjadi bagian dari sistem yang memiliki kepentingan pribadi (misalnya
dalam hal subsidi atau perizinan).

Struktur Media dan Kinerja: Prinsip dan Akuntabilitas 239

Kerangka pasar

Pasar tidak selalu dilihat sebagai mekanisme akuntabilitas publik yang signifikan, tetapi pada
praktiknya pasar merupakan alat yang penting untuk menyeimbangkan antara kepentingan media
dan produser dengan kepentingan rekanan serta khalayak (konsumen). Mekanisme (mechanism)
adalah proses normal dari permintaan dan pasokan di dalam pasar bebas (dan kompetitif) yang secara
teori mendorong kinerja mana yang ‘baik’ dan membuang kinerja yang ‘buruk’. Berbagai jenis
penelitian khalayak dan pasar memberikan bukti yang merupakan tambahan terhadap penjualan atas
respons publik hingga apa yang ditawarkan media.
Pada prinsipnya, serangkaian isu dibahas oleh akuntabilitas pasar ( market accountability)
walaupun fokus utamanya adalah pada aspek ‘kualitas’ komunikasi, sebagaimana yang dilihat oleh
konsumen. Kualitas berhubungan tidak hanya dengan konten, tetapi juga kualitas teknis. Pasar
seharusnya mendorong peningkatan dengan cara kompetisi. Tidak ada paksaan yang dilibatkan dalam
kontrol melalui kekuatan pasar yang merupakan salah satu keuntungan dari pendekatan ini. Hukum

permintaan dan penawaran harus memastikan bahwa kepentingan produsen dan konsumen tetap
seimbang. Sistem ini bersifat mengatur sendiri dan membenarkan sendiri tanpa perlu adanya kontrol
atau peraturan dari luar.
Keterbatasan pasar barangkali menerima lebih banyak perhatian daripada keuntungannya. Dari
satu perspektif kritis, masalah utama media adalah bahwa mereka terlalu ‘komersial’ yang berarti
dijalankan untuk tujuan keuntungan alih-alih komunikasi dan kurang memiliki standar kualitas. Dari
sudut pandang ini, pasar tidak dapat bekerja sebagai pemeriksa. Terdapat argumen lain yang
melawan pasar sebagai alat untuk pemeriksaan, tanpa mengambil pendirian secara prinsip. Satu fakta
adalah bahwa pasar jarang merupakan sesuatu yang sempurna dan keuntungan teoretis dari
kompetisi tidak tercapai. Ketika monopoli
monopoli swasta terbentuk, tidak ada penyeimbang
penyeimbang yang efektif akan
praktik media yang hanya mencari keuntungan jangka pendek secara maksimal. Pemikiran pasar
cenderung mendefmisikan kebebasan dan kualitas media dalam kaitannya dengan kebebasan dan

kesejahteraan pemilik media.

Kerangka tanggung jawab publik


Hal ini merujuk pada fakta bahwa organisasi media juga merupakan lembaga sosial yang memenuhi
beragam tingkat
t ingkat kesukarel
kesukarelaan
aan dan komitmen yang eksplisit dengan beberapa tugas publik penting
yang melampaui tujuan keuntungan langsung dan memberikan pekerjaan. Dennis dan kawan-kawan
(1989) menggunakan istilah model ‘penggadaian’ (fiduciary) untuk merujuk pada gagasan serupa atas
media yang mendapatkan kepercayaan atas nama publik. Lainnya telah menulis ‘model perwalian’
(trustee model) media berdasarkan gagasan yang serupa, tetapi biasanya merujuk pada penyiaran
publik (Hoffmann-Riem, 1996; Feintuck, 1999). Opini publik dalam masyarakat yang terbuka secara
umum mengharapkan media (secara utuh) melayani kepentingan publik dalam hal informasi,
publisitas, dan budaya, baik mereka mengakuinya maupun tidak. Jika media dianggap gagal, mereka
dapat diminta pertanggungjawabannya melalui opini publik atau penjaga kepentingan publik lainnya,
termasuk politikus.
Mekanisme dan prosedur umumnya terdiri atas aktivitas kelompok penekan, termasuk lembaga

240 Struktur

konsumen media dan survei opini publik di mana opini publik secara umum diungkapkan. Di
sejumlah negara, terdapat beragam bentuk pers atau lembaga penyiaran dan prosedur untuk keluhan

publik yang diadopsi secara sukarela oleh industri media sebagai alat untuk memenuhi tuntutan dari
masyarakat. Pemerintah terkadang membentuk komisi dan penyelidik untuk menilai kinerja.
Beberapa media beroperasi sebagai kepercayaan publik atas dasar nirlaba untuk melayani kebutuhan
informasi publik atau tujuan sosial. Volume debat publik, penilaian dan kritik yang besar yang sering
kali dibawa oleh media (atau beberapa bagian darinya) adalah alat kontrol informal yang penting.
Keuntungan utama dari kerangka tanggung jawab publik yang berkembang mencakup fakta
bahwa kebutuhan masyarakat dapat diun
diungkapkan
gkapkan dengan cara yang langsung
langsung dengan klaim yang
dibuat, kepada media untuk menyediakan kebutuhan ini. Sebagai tambahan, secara intrinsik bagi
kerangka ini adalah ide hubungan interaktif berkelanjutan yang terjadi antara media dengan
masyarakat. Publik dapat menjawab kembali kepada media mengenai peranan mereka sebagai warga
negara atau anggota kelompok kepentingan atau minoritas tertentu (tidak hanya sebagai konsumen
atau individu yang memiliki hak yang sah), dan media berada di bawah tekanan untuk menjawab dan

memiliki alat untuk melakukan hal tersebut. Model akuntabilitas ini secara definitif sangat terbuka
dan demokratis sebagaimana juga bersifat sukarela dan sehingga melindungi kebebasan.
Terdapat juga beberapa batasan dari kelemahan nyata dari karakter sukarela ini yang disebutkan.
Beberapa media menolak status perwalian dan akan menggunakan kebebasan mereka secara tidak
bertanggung
bertanggung jawab. Tidak ada sistem akuntabilitas yang nyata di ssini,
ini, kecuali
kecuali dalam hubungannya
hubungannya
dengan penyiaran publik dan bekerja dengan lebih baik di beberapa negara dan tradisi daripada yang
lainnya. Tren menuju globalisasi (kontrol multinasional media) dan konsentrasi media yang
melemahkan model ini.

Kerangka tanggung jawab profesional


Kerangka ini merujuk pada profesionalitas yang muncul dari penghargaan diri dan pembangunan
etika dari profesional yang bekerja di media (misalnya jurnalis, pengiklan, humas) yang menentukan
standar kinerja mereka sendiri. Hal ini juga dapat diterapkan kepada asosiasi pemilik, editor,
produser, dan seterusnya yang bertujuan melindungi kepentingan industri melalui pengaturan
sendiri.
Mekanisme dan prosedur secara umum terdiri atas seperangkat prinsip yang terpublikasi atau
kode perilaku yang diadopsi oleh anggota kelompok profesional media, bersama dengan prosedur
untuk mendengarkan dan menilai keluhan dan tuntutan melawan tindakan media tertentu. Isu-isu
tersebut dapat merupakan semua hal yang berkaitan dengan kode etik atau perilaku, tetapi biasanya
berhubungan
berhubungan dengan keburukan dan bahaya yang disebabkan oleh individu atau kelompo
kelompok.
k.
Pembangunan profesionalisme media sering kali didukung pemerintah dan lembaga publik lainnya
dan dibantu oleh peningkatan pendidikan dan pelatihan.
Keuntungan adalah sistem akuntabilitas (sejauh ini hanya satu) yang secara umum bekerja karena
sifatnya sukarela dan berada dalam kepentingan pribadi media dan profesional. Sistem ini memiliki
keuntungan karena sifatnya yang nonkoersid dan mendorong peningkatan diri secara sukarela
sebagaimana pula kontrol pribadi. Pada praktiknya, ada beberapa batasan tertentu. Penerapannya
sempit dan biasanya tidak melakukan tekanan secara kuat terhadap media yang berkuasa. Biasanya

Struktur Media dan Kinerja: Prinsip dan Akuntabilitas 241

tidak cukup independen dari media itu sendiri dan juga sangat terpisah-pisah cakupannya (Fengler,
2003). Secara umum, profesionalisme tidak secara kuat dibentuk di dalam media dan karyawan

memiliki otonomi yang realitf kecil dalam kaitannya dengan manajemen dan pemilik.
Penilaian komparatif
Jelas bahwa dalam masyarakat
masyarakat yang terbuka
terbuka akan ada banyak proses akuntabilita
akuntabilitass yang
tumpang tindih, tetapi tidak memiliki sistem yang utuh dan tidak ada ‘kerangka’
tunggal yang layak untuk tugas itu sendiri atau yang secara superior unik terhadap
yang lain. Terdapat banyak celah (isu kinerja yang tidak dihadapi dengan layak), dan
beberapa media tidak menerima
menerima tanggung
tanggung jawab kecuali apa yang dipaksakan oleh
kekuatan pasar.
Keragaman bentuk dan alat akuntabilitas dapat dianggap sebagai ciri yang positif,
bahkan jika hasil keseluruhannya
keseluruhannya tidak memu
memuaskan.
askan. Secara umum
umum menurut
menurut prinsip
keterbukaan, kita harus memiliki bentuk akuntabilitas yang transparan, sukarela,

berdasarkan hubungan yang aktif, dan dialog serta debat. Kontrol


K ontrol eksternal alternatif,
kekuatan hukum, dan ancaman hukuman barangkali efektif dalam jangka pendek dan
terkadang merupakan satu-satunya cara untuk mencapai tujuan. Akan tetapi, dalam
jangka panjang
panjang mereka berlawanan
berlawanan dengan seman
semangat
gat masyarakat
masyarakat yang terbuka.
terbuka.

Kesimpulan
Bab ini menjelaskan prinsip normatif utama yang diterapkan terhadap kinerja media
serta standar yang secara luas diterima untuk dijalankan. Prinsip-prinsip ini berasal dan
bermula
bermula dari badan teori sosial politik yang telah dibahas pada Bab 7. Mereka juga
sering kali didukung oleh kekuatan pasar, opini publik, tekanan kelompok, hukum, dan

pemerintah. Proses akuntabilitas yang telah dibahas dengan singkat, walaupun mereka
meningkatkan kesempatan akan penerapan standar yang telah dibahas, tidak boleh
disalahartikan dengan alat kontrol pemerintah atau pihak lain. Mereka tidak sesuai
dengan kebebasan media, tetapi merupakan komponen yang tidak terhindarkan dari
lingkungan operasi normal media di masyarakat yang terbuka.
Perubahan yang terus-menerus dalam media belum secara mendasar mengubah
konten dari norma yang dijelaskan, tetapi mereka memengaruhi kekuatan relatif dan
prioritas di antara mereka. Secara khusus, peningkatan jumlah saluran media alternatif
mengurangi tekanan media yang dianggap ‘dominan’ (misalnya surat kabar nasional
atau penyiaran televisi) untuk memenuhi peranan publik yang dipahami. Barangkali
terdapat lebih sedikit ketakutan akan monopoli media, meskipun terdapat
kecenderungan konsentrasi karena potensi kompetisinya lebih besar. Lebih banyak

saluran media juga menjanjikan keragaman yang lebih banyak, walaupun kualitas
keragamannya belum terjamin. Media Internet yang baru tentunya menyajikan
keragaman yang besar, sebagaimana pula jenis layanan komunikasi yang baru. Media
ini juga sepertinya bebas dari tekanan untuk mengikuti beberapa norma yang ada,
walaupun media ini mencontohkan nilai kebebasan dan kesetaraan juga keragaman.

242 Struktur

Media ini menjadi semakin diinginkan dalam hubungannya dengan isu-isu sosial dan
budaya dan keterandalannya sebagai sumber
s umber informasi. Media ini juga terletak di luar
mekanisme kontrol apa pun dan dalam praktiknya terhindar dari sebagian besar bentuk
akuntabilitas yang digambarkan, terlepas dari akuntabilitas pasar. Hal ini tidak berarti
bahwa media ini akan selalu ‘tanpa aturan (Lessig, 1999) atau selalu mampu
menghindar dari akuntabilitas.
Meskipun kurang jelasnya kerangka peraturan secara nasional maupun
internasional, terdapat banyak peristiwa di mana Internet ‘harus bertanggung jawab’
atas beragam isu, bahkan jika hal tersebut kurang efektif. Opini publik menciptakan
tekanan untuk merespons keluhan yang bekerja melalui pasar layanan Internet. Banyak
dari pengguna Internet yang mengirim pesan dan konten lain (termasuk juga media
yang mapan) menerapkan standar mereka sendiri dan metode pengaturan sendiri.
Bloger individual juga terbuka bagi pembenaran sendiri. Akan tetapi, hal ini menunjuk
pada satu masalah dalam cara pembentukan lebih banyak sistem akuntabilitas dari
beragam agen yang terlibat (Verhulst, 2006: 340). Selain hal tersebut, tentunya
tentunya terlalu
banyak akuntabilitas
akuntabilitas sistematis
sistematis yang melawan janji kebebasan dan keragaman yang
merupakan keuntungan utama dari Internet.

Bacaan Selanjutnya
Bertrand, J.C. (2003) An Arsenal for Democracy.
Democracy. Creskill, NJ: Hampton Press.
Katalog yang sistematis dan menjelaskan berbagai varian pengaturan formal dan
informal serta instrumen di mana masyarakat menuntut tanggung jawab penilaian
media. Buku sumber yang banyak dikutip dan bersifat lintas budaya.

Feintuck, M. dan Variey, M. (2006) Media Regulation, Public Interest, and the Law,
ed. 2. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Penelitian asli dan menyeluruh terhadap berbagai isu sosial-legal yang muncul
karena kinerja media massa. Walaupun umumnya berdasarkan pengalaman di
Inggris, potensi penerapannya cukup luas karena perhatiannya pada prinsip- prinsip
dasar.

Napoli, P. (2001) Fondations of Communications Policy. Creskill, NJ: Hampton Press.


Penelitian yang sistematis dan informatif atas prinsip-prinsip dasar dari kebijakan
media berdasarkan situasi di AS, tetapi relevan dengan sistem komunikasi
demokratis lainnya.

Struktur Media dan Kinerja: Prinsip dan Akuntabilitas 243

v 7| Dari
Bacaan Daring
ng Bar, F. dan Sandvig, C. (2008) ‘US communication policy after convergence’,
Media, Culture, and Society, 30 (4): 531-550.
McDonald, D.G. dan Dimmick, J. (2003) The conceptualization and measurement of diversity’,
Communication Research, 30 (1): 60-79.
McQuail, D. (1992) Media Performance: Mass Communication and the Public Interest, him. 237-373.
London: Sage. (Part VII on mass media, order and social control).
Puppis, M. (2008) 'Natinal media regulation in an area of free trade', European Journal of
Communication, 23 (4): 405-424.
van Cuilenburg, J.J. dan McQuail, D. (2003) ‘Media policy paradigm shifts’, European Journal of
Communication, 18 (2): 181-207.
Verhulst, S. (2006) ‘The regulation of digital content’, dalam L. Lievrouw dan S. Livingstone (ed.), The
Handbook of New Media, him. 329-349. London: Sage.
Struktur Media dan Kinerja: Prinsip dan Akuntabilitas
241
Ekonomi dan Penguasaan 9
Media

Media
Media ‘bu kan bisn is biasa’ 24
244
4
Basis strukt ur media dan tingkat analisis
analisis 24
247
7
Beberapa
Beberapa prinsip ekonomi struktu r media 24
248
8
Kepemilikan
Kepemilikan dan kontr ol 25
254
4
Kompetisi dan konsentrasi 25
256
6
Pengelo laan media massa 261
Peratur
Peratur an media massa: model alternatif 26
263
3
Pergeseran paradigma kebij akan media 26
268
8
Sistem media dan sistem pol iti k 27
270
0
Kesimpulan 274
Sejauh ini, media didiskusikan lebih sebagai institusi masyarakat, bukan sebagai
industri. Kini, media semakin menjadi industri tanpa meninggalkan bentuknya sebagai
institusi masyarakat; dan pemahaman tentang prinsip-prinsip utama struktur dan
dinamika media menuntut analisis ekonomi, selain politik dan sosial-budaya. Meski
media tumbuh sebagai respons terhadap kebutuhan sosial dan budaya individu dan
masyarakat, media pada umumnya dikelola sebagai perusahaan bisnis. Kecenderungan
menuju ke arah ini semakin meningkat pada tahun-tahun belakangan dengan beberapa
alasan, khususnya karena signifikansi ekonomis dan industrial seluruh sektor
komunikasi dan informasi. Diasosiasikan dengan hal tersebut adalah makin banyaknya
privatisasi perusahaan-perusahaan telekomunikasi negara dan perpanjangan kegiatan
mereka secara nasional dan internasional. Pergeseran pada perekonomian pasar bebas
di negara-negara bekas komunis merupakan faktor tambahan. Bahkan, media yang
dikelola sebagai badan publik semakin menjadikan media sebgai subjek bagi disiplin
ilmu finansial dan beroperasi dalam lingkungan yang penuh persaingan.
Sebuah buku tentang teori komunikasi massa bukanlah tempat untuk kajian yang
menyeluruh tentang hal-hal tersebut, tetapi tidaklah mungkin untuk memahami
implikasi sosial budaya media massa tanpa sedikitnya terdapat sketsa tentang kekuatan
248 Struktur

- kekuatan politik dan ekonomi yang bekerja membentuk institusi media. Regulasi
publik, kontrol, dan perekonomian media mewujudkan prinsip-prinsip umum tertentu
yang menjadi milik ranah teori, dan sasaran pada bab ini adalah untuk menjelaskan
prinsip-prinsip ini dengan menghindari perincian tentang situasi dan kondisi lokal dan
temporer.

Medi
Mediaa ‘Bu
‘Bukan
kan Bisnis
Bisni s Biasa’
Kunci bagi karakter institusi media yang tidak biasa adalah bahwa aktivitasnya tidak
terpisahkan secara ekonomi maupun politik, sekaligus sangat tergantung dari teknologi
yang terus-menerus berubah. Aktivitas ini melibatkan produksi barang dan layanan
yang sering kali bersifat pribadi (konsu
(konsumsi
msi bagi kepuasan pribadi individu) dan publik
(dipandang perlu bagi bekerjanya masyarakat sebagai keseluruhan dan juga pada ranah
publik). Karakter publik media diturunkan terutama dari fungsi politik media dalam
demokrasi, tetapi juga dari fakta bahwa informasi, budaya, dan gagasan dianggap
sebagai kepemilikan kolektif. Seperti benda-benda publik lain, misalnya udara dan sinar
matahari, kegunaan media tidak mengurangi ketersediannya untuk yang lain.
Secara lebih khusus dalam sejarah media massa tumbuh dengan citra yang kuat
dan meluas sebagai pemain penting dalam kehidupan publik dan secara esensial ada
dalam ranah publik. Tentu saja, dulu dan kini hal tersebut benar bagi surat kabar, tetapi
hal tersebut berlaku secara berbeda bagi kebanyakan media massa baru. Apa yang
dilakukan atau tidak dilakukan media berpengaruh bagi masyarakat, dan hal ini telah
dicerminkan dalam sistem gagasan yang kompleks tentang apa yang sebaiknya
dilakukan atau tidak dilakukan media (lihat Bab 7 dan Bab 8). Hal tersebut juga
tercermin
Gambar 9.1 Media merupakan titik pusat dari tiga macam pengaruh yang saling tumpang tindih

Ekonomi dan Penguasaan Media 249

dalam berbagai mekanisme untuk mendukung, melindungi, atau membatasi media atas nama apa
yang seharusnya merupakan ‘kepentingan publik’. Terlepas dari hal ini, media secara umum harus
beroperasi secara keseluruhan
keseluruhan atau sebagian menurut dikte ekonomi pasar. Bahkan dalam aspek ini,
media dapat menarik perhatian pemerintah untuk alasan yang sama yang membuat bisnis pribadi
menjadi subjek berbagai bentuk regulasi hukum dan ekonomi.

Perspektif teoretis alternatif


Tidak mengejutkan bila tidak ada deskripsi objektif yang disetujui tentang institusi media yang dapat
dipisahkan dari berbagai situasi nasional/sosial di mana media tersebut beroperasi. Satu pilihannya
adalah mengaplikasikan perspektif ekonomis/ industri (lihat Tunstall, 1991) yang meninjau beragam
karekteristik yang berbeda- beda dari media sebagai perusahaan ekonomi, antara media yang
berbeda-beda
berbeda-beda dan konteks yang juga berbeda-beda. Sebuah perspektif alterna
alternatif
tif ditawarkan oleh teori
teori

politik-ekonomi kritis. Perspektif ini menyediakan konsep yang diturunkan khususnya dari kritik
politik-ekonomi
kapitalisme dengan rujukan pada proses konsentrasi dan komersialisasi. Kemungkinan utama ketiga
adalah mengamati struktur media menurut kepentingan publik (public interest) atau perspektif kebijakan,
dan dengan mempertimbangkan kriteria perilaku normatif dan kinerja yang telah didiskusikan pada
dua bab terakhir. Ada kemungkinan keempat, yaitu memandang institusi media dari sudut pandang
internal atau profesional media. Tiap perspektif ini akan digunakan sebagai sumber untuk beberapa
tujuan pada halaman-halaman berikut ini.
250 Struktur

Kita dapat merepresentasikan posisi unik media sebagai titik pusat tiga kekuatan
utama—politik, ekonomi, dan teknologi—dan dengan demikian membutuhkan modus
analisis alternatif (Gambar 9.1).

Pertanyaan-pertanyaan
Pertanyaan-pertanyaan utama yang harus dijawab oleh teori
Sebuah analisis teoretis hanya mungkin jika isu-isu atau permasalahan umum tertentu
diidentifikasi terlebih dahulu. Pada tingkat deskriptif, kita terutama berfokus pada
pertanyaan tentang perbedaan
perbedaan.. Bagaimana media berbeda antara yang satu dan yang lain
dalam hubungannya dengan politik dan ekonomi? Bagaimana dan mengapa perekonomian
dan regulasi media tidak sama dengan bisnis biasa dan layanan publik biasa? Bagaimana dan
mengapa institusi media nasional bervariasi dalam struktur dan kontrolnya? Aspek
perbandingan terakhir ini adalah penting karena media tidak sekadar bisnis yang berespons

terhadap kekuatan ekonomi, tetapi institusi sosial dan budaya yang juga berakar dalam
(biasanya secara nasional).
Terdapat juga teori yang relevan terkait dengan dinamika masa kini industri media,
khususnya tren akan ekspansi, diversifikasi, dan penggabungan media, terutama atas dasar
peluang-peluang teknologi baru dan perekonomian baru. Terdapat tren

Pertanyaa
Pertanyaan
n un tuk teori yang m uncul dari
bidang ekonomi dan pengelolaan

9

Bagaimana dan mengapa sistem media nasional berbeda dalam struktur dan
■ kontrolnya?
• Apa sebab dan akibat dari konsentrasi media?
• Apa sebab dan akibat dari internasionalisasi?
• Apa bobot relatif penggabungan teknologi sebagai kekuatan bagi perubahan
media?
• Bagaimana kinerja media yang dipengaruhi oleh sumber-sumber finansial?
Bagaimana media tertentu menjadi berbeda dalam kaitannya dengan ekonomi dan
politik?
• Bagaimana dan mengapa sistem media nasional berbeda dalam struktur dan
kontrolnya?
• Apa sebab dan akibat dari konsentrasi media?

Apa sebab dan akibat dari internasionalisasi?
• Apa bobot relatif penggabungan teknologi sebagai kekuatan bagi perubahan
media?
• Bagaimana kinerja media yang dipengaruhi oleh sumber-sumber finansial?

Ekonomi dan Penguasaan Media 251

menuju konsentrasi, integrasi, dan internasionalisasi aktivitas media. Di sini, empat


pertanyaan utama muncul. Pertama, apa akibat yang mungkin dari konsentrasi media
dan apakah tren yang ditunjukkan dijalankan atas nama kepentingan publik? Kedua,
apa konsekuensi internasionalisasi media bagi media dan masyarakat? Ketiga, seberapa
jauh perubahan media digerakkan oleh teknologi dan seberapa jauh oleh kekuatan
ekonomi, politik, dan sosial? Keempat, ekspansi komunikasi berdasarkan media melalui
telekomunikasi, khususnya telepon genggam dan Internet telah membangkitkan isu- isu
regulasi sekaligus menciptakan tekanan bagi regulasi yang sebelumnya tidak ada.
Secara khusus, sistem telekomunikasi semakin menjadi wahana untuk menyebarkan
konten yang asal mulanya disiarkan, seperti film, musik, dan televisi. Ini merupakan
satu contoh dari penggabungan teknologi dengan semua media terdigitalisasi dan pada
prinsipnya saling terhubung.
Pertanyaan-pertanyaan utama untuk teori diajukan dalam Kotak 9.1.

Basis Struktur
Strukt ur Medi
Mediaa dan T
Ting
ingkat
kat Ana
Anali
lisis
sis
Latarnya dapat disiapkan dari hal yang mengingatkan kita akan sifat-sifat utama sistem
media yang berkembang berdasarkan ekonominya. Istilah sistem media’ (media system)
mengacu pada serangkaian media massa aktual dalam suatu masyarakat nasional,
terlepas dari fakta bahwa mungkin tidak ada hubungan formal antarelemen-elemennya.
Kebanyakan dari sistem media dalam pengertian ini adalah hasil kebetulan dari
pertumbuhan historis dengan satu teknologi baru yang diikuti teknologi baru lain yang
dikembangkan dan berujung pada pemakaian media yang ada. Terkadang, suatu sistem
media saling terkait berkat suatu logika politik-ekonomi bersama, seperti halnya media
usaha bebas (free enterpris
e nterprisee) di Amerika Serikat atau media yang dijalankan oleh negara
seperti di Cina. Banyak negara memiliki sistem ‘campuran’ dengan elemen pribadi dan
publik, dan hal ini dapat diorganisasikan secara baik sesuai dengan serangkaian prinsip
kebijakan media nasional yang menimbulkan derajat tertentu integrasi. Terkadang, ada
satu kementerian komunikasi atau badan regulator komunikasi yang menambahkan
satu komponen lain yang ‘sistemik’ (Robillard, 1995). Media juga dapat diperlakukan
sebagai sistem koheren oleh khalayak atau pengiklan mereka, dan tentu saja istilah
‘media’ sering digunakan dalam pengertian kolektif ini.
Di dalam sistem media, jenis-jenis tertentu yang berbeda ditemukan berdasakan
teknologi media yang berbeda: cetak, televisi, radio, rekaman musik, Internet,
telekomunikasi, dan seterusnya. Namun, jenis-jenis ini sering dibagi-bagi lagi menjadi
‘bentuk media’ yang berbeda-beda, misalnya media cetak menjadi buku, majalah, atau
surat kabar. Pengelompokkan ini dapat juga disebut sebagai ‘sektor’ media, khususnya
dalam wacana kebijakan atau untuk tujuan-tujuan analisis ekonomi, tetapi pembagian
ini sering kali arbitrer dan ad hoc sehingga kesatuan ‘sektor’ itu sering kali menyesatkan,
sama seperti kesatuan sistem tersebut secara keseluruhan. Terdapat banyak faktor yang
membedakan sekaligus mengintegrasikan (khususnya melalui sistem distribusi

252 Struktur

bersama atau terpisah). Contohnya,


Contohnya, media film dapat mengacu pada sinema, video, dan DVD ya ng
disewakan atau dijual, siaran televisi atau saluran berbayar, dan seterusnya. Ini semua merupakan
alat-alat distribusi yang berbeda, sering kali berupa organisasi dan bisnis yang berbeda, meskipun
biasanya terdapat
t erdapat suatu bentuk integrasi vertikal. Kita
K ita perlu
perlu membedakan satu unit analisis yang
lain: unit firma atau perusahaan yang mungkin menjadi bagian penting suatu sektor atau memiliki
saham yang meminta batas-batas jenis atau lokasi media (firma multimedia, sering kali juga
multinasional). Sebagian produk media dapat dipan dang sebagai bagian dari ‘genre’ tertentu
(contohnya berita internasional, fiksi roman tis, dan lain-lain) dan akhirnya sebagai produk khusus
(sebagai film, buku, lagu, dan sebagainya) demi tujuan analisis, mandiri dari media atau sektor.
Komponen sistem media yang (kurang-lebih) utama diperlihatkan dalam Kotak 9.2. Sebuah elemen
baru yang
yang agak berbeda telah ditamb
ditambahkan
ahkan dalama
dalama bentuk
bentuk portal Internet, khususnya
khususnya yang mem
memiliki
iliki
banyak pengguna dan banyak jenis konten yang disesuaikan
disesuaikan.. Contoh utamanya
utamanya meliputi Yahoo,
Yahoo,
Google, AOL, dan BBC. Seperti yang disiratkan dalam persyaratan penggunaannya, portal
merupakan gerbang menuju ranah yang lebih luas dan memiliki fungsi-fungsi seleksi dan kontrol
yang biasa (Kalyanaraman dan Sundar, 2008).


Struktur m edia dan
dan t ingkat analisis
analisis

• Media internasional.
• Sistem media (semua media nasional).
• Firma multimedia (dengan saham besar pada beberapa media).
• Sektor media (surat kabar, buku, televisi, film, musik, dan lain-lain).
• Saluran media unit (nama surat kabar, stasiun televisi, dan lain-lain).
• Genre tertentu.
• Produk media unit (buku, film, lagu, dan lain-lain).
• Portal Internet.

Beberapa
Beberapa Pri
Prinsip
nsip Ekonomi Struk
Struktur
tur Media
Pasar media yang berbeda dan sumber pemasukan
Menurut Picard (1989: 17), “Suatu pasar terdiri atas para penjual yang menyediakan barang atau
layanan yang sama, atau barang-barang dan layanan yang hampir dapat saling menggantikan,
kepada sekelompok konsumen yang sama.” Secara umum, pasar dapat didefinisikan berdasarkan
tempat, orang-orang, jenis pemasukan, dan sifat produk atau layanannya. Arus utama media surat
kabar, radio, dan televisi dapat

Ekonomi dan Penguasaan Media 253

I
254 Struktur

dikelompokkan menurut lini fundamental pembagian ekonomi antara pasar konsumen


konsumen (consume
(consumerr
market) untuk layanan dan produk media dan pasar iklan (advertising
(advertising market) di mana layanan dijual
kepada para pengiklan dalam bentuk akses kepada khalayak, meskipun sering kali tidak ada
pemisahan antara keduanya karena surat kabar, misalnya menyediakan kedua jenis pasar pada saat
yang bersamaan. Kita dapat memperhatikan bahwa di dalam pasar konsumen ada pembagian lain:
antara pasar produk ‘satuan’ (one-off), seperti buku, video, lagu, dan surat kabar yang dijual secara
langsung kepada konsumen dan pasar bagi layanan media yang berkelanjutan, seperti televisi kabel,
atau siaran televisi, atau media online. Di samping itu, ada sumber-sumber pemasukan lain selain dua
sumber yang telah disebutkan di atas. Sumber-sumber ini mencakup sponsor, penempatan produk,
dan PR, sekaligus dana publik dan dukungan dari penyokong pribadi, lembaga nonprofit, dan tidak
lupa dukungan langsung dari khalayak, seperti dalam kasus surat kabar Jerman, Tageszeitung.
Internet telah menambahkan kerumitan lebih jauh karena sumber-sumber pemasukan baru
muncul, termasuk ongkos untuk online, pembayaran situs Web, dan subsidi dari pihak yang
memproduksi. Internet juga menggerogoti perekonomian media yang lebih lama dengan

menyediakan banyak konten tanpa bayaran dan rentan terhadap pembajakan. Korban pertama dari
periklanan di Internet tampaknya adalah surat kabar, baik lokal maupun nasional. Dampak ini
tampaknya tidak dapat dicegah sejauh terkait dengan ‘khalayak massa’ berita. Jatah semua periklanan
yang diambil oleh media online tumbuh dengan mantap sejak pergantian abad dan dalam kategori
tersebut terdapat beberapa jenis yang berbeda, khususnya display, pencarian, dan iklan baris. Hal ini
memunculkan beberapa masalah teoretis dan praktis. Masalah praktis yang paling mendesak adalah
bagaimanaa mendapatkan suatu takaran nilai penggun
bagaiman penggunaan
aan ‘khalayak’ untuk dapat menentukan beban
biaya kepada pengiklan. Bermejo (2009) telah mengumpulkan
mengumpulkan cerita tentang upaya-upaya
upaya-upaya berbeda
untuk menakar khalayak yang berakhir dengan konsep ‘kunjungan’ (visit) atau ‘klik’ (click) sebagai
indikator kekerapan penggunaan. Namun, hal ini tidak memberikan petunjuk tentang waktu yang
dihabiskan pada suatu situs, dan alat penentu harga lain pun harus ditemukan untuk menentukan
beban biaya bagi merekayang ingin menempatkan iklan atau pesan di lokasi lain, khususnya mesin

pencari yang telah menjadi pusat ketertarikan besar berkat popularitas dan kemampuannya dalam
mendapatkan keuntungan (Machill dan kawan-kawan, 2008). Masalah teoretis yang disebutkan di
atas berhubungan khususnya dengan dampak bagi ‘komodifikasi’ konten dan dengan para khalayak
(Bermejo, 2009).

Iklan versus pendapatan (dari) konsumen: implikasi


Perbedaan antara dua sumber pendapatan utama—penjualan produk langsung dan iklan—masih
merupakan alat yang berguna bagi analisis perbandingan dan untuk menjelaskan sifat dan
kecenderungan media. Pembedaan itu melintasi perbedaan antara
jenis media, meskipun
meskipun beberapa media tidak terlalu cocok untu
untuk
k iklan, sementara yang lain dapat
beroperasi sama di kedua pasar (khususnya
(khususnya televisi, radio, surat kabar, majalah,
majalah, dan Internet). Terdapat
Terdapat
beberapa media yang pendapatannya
pendapatannya hanya dari iklan tanpa pendapatan dari konsumen—misaln
konsumen—misalnya
ya surat
kabar gratis, majalah promosi, dan banyak televisi.
Pembedaan di atas juga memiliki signifikansi non ekonomi. Khususnya, biasanya diyakini (dari
perspektif profesional dan kepentingan publik atau kritis) bahwa semakin tinggi ketergantungan terhadap

Ekonomi dan Penguasaan Media 255

iklan sebagai sumber pendapatan, semakin rendah pula kebebasan konten dari kepentingan pengiklan dan
bisnis secara umum.
umum. Picard (2004) mencatat bahwa industri surat kabar Amerika menerima lebih dari 80%
pendapatannya berasal dari iklan dan bahwa iklan merupakan rata-rata 60% dari kontennya. Hal ini tidak
langsung berarti rendahnya kebebasan, tetapi mungkin menyiratkan lebih rendahnya kredibilitas sebagai
sumber informasi, jika konten berita berhubungan dengan apa yang diiklankan dan lebih rendahnya
otonomi kreatif. Pada kasus ekstrem media yang seluruhnya didanai atau disponsori oleh iklan, konten
tersebut sulit dibedakan dari iklan, propaganda, atau PR itu sendiri. Terdapat sedikit keraguan tentang
jenis pengaruh
pengaruh umu
umum
m tertentu, sepe
seperti
rti bias terhadap
terhadap kaum
kaum muda dan
dan kelompok
kelompok berpendapatan
berpendapatan tinggi, dan
preferensi pada media yang netral, alih-alih yang dipolitisasi (Tunstall dan Machin, 1999).
Dari perspektif ekonomi, pengoperasian di pasar yang berbeda membangkitkan pertimbangan-
pertimbangan lain. Pertimbangan pertama adalah persoalan pendanaan karena ongkos media yang
didukung iklan biasanya tertutupi sebelum jalannya produksi. Sementara dalam pasar konsumen,
pendapatan harus mengikuti pengeluaran. Kedua, terdapat kriteria dan metode yang berbeda untuk
menilai kinerja pasar. Media berbasis iklan dinilai menurut jumlah dan jenis konsumen (siapa mereka, di
mana mereka tinggal) yang dicapai melalui pesan-pesan tertentu (misalnya sirkulasi, pembaca, dan rating).
Langkah-langkah ini diperlukan untuk menarik calon pengiklan dan untuk menetapkan tarif yang dapat
dibebankan. Kinerja pasar konten media yang langsung dibayar oleh konsumen dinilai oleh pendapatan
yang diterima dari penjualan dan langganan terhadap layanan itu. Rafz'ngkepuasan (kualitatif) dan
popularitas bisa jadi relevan bagi kedua pasar, tetapi lebih berpengaruh lagi bagi pasar pendapatan
konsumen.
Kinerja dalam satu pasar dapat memengaruhi kinerja pasar lain, di mana media berjalan di dalam
keduanya. Misalnya, peningkatan dalam penjualan surat kabar (yang memproduksi pendapatan
konsumen) dapat berujung pada tarif iklan yang lebih tinggi, bila peningkatan tersebut tidak menyebabkan
komposisi sosial-ekonomi yang lebih rendah daripada tingkat rata-rata dengan efek kebalikan terhadap
taris iklan unit. Sesuatu yang juga jelas bahwa perbedaan berbasis pendapatan dapat menyebabkan jenis-
jenis kesempatan yang berbeda atau kerentanan terhadap
t erhadap kondisi ekonomi yang lebih luas. Media
M edia yang
sangat bergantung pada iklan lebih peka akan dampak negatif dari jatuhnya perekonomian umum,
daripada media yang menjual (biasanya berbiaya rendah) produk-produk kepada konsumen individu. Hal
terakhir ini juga
dapat berada di posisi yang lebih baik untuk memangkas ongkos kala menghadapi jatuhnya
permintaan (tetapi hal ini tergantung dari struktur ongkos produksi).

Jangkauan dan keragaman pasar media


Perbedaan di antara dua pasar berinteraksi dengan sifat-sifat pasar media. Seperti yang telah diamati
di atas, komposisi sosial khalayak yang dijangkau (dan ‘terjual kepada pengiklan) penting karena
perbedaan dalam daya beli dan dalam jenis barang yang diiklankan. Ada logika dalam media massa

berbasis iklan yang mendukung bercampurnya pola cita rasa media dan konsumsi (keragaman yang
lebih rendah). Hal ini dikarenakan khalayak yang homogen sering kali lebih cost-effective bagi
pengiklan, daripada pasar yang heterogen dan terpencar (kecuali pasar yang sangat besar untuk
produk massal). Ini merupakan satu alasan bagi keberlangsungan hidup surat kabar gratis yang
menyediakan liputan lengkap tentang suatu daerah tertentu dengan homogenitas yang relatif tinggi

256 Struktur

(Bakker, 2002). Bagaimanapun, terkadang terdapat hal yang berharga dalam keragaman, ketika suatu
media dapat secara akurat menyajikan pasar ceruk yang kecil namun menguntungkan. Ini merupakan
satu dari potensi-potensi Internet dan saluran (nonmassa) khusus lainnya.
Hubungan antara upaya mendapatkan pasar massa dan homogenitas khalayak jauh lebih kabur
dalam Internet. Karena, kapasitas Internet yang sangat besar memungkinkannya untuk menjangkau
khalayak yang luar biasa beragam dengan konten yang sangat beragam pula, ditunjang pula oleh
perekonomian yang mendukung. Hal ini tidak langsung berarti bahwa awal mula dari era baru
penyediaan media yang beraneka dan tanpa tingkatan. Sesuatu yang mungkin, bahkan sangat
mungkin, bahwa akan ada tren sumber-sumber premium yang berbayar, seperti halnya dengan
penyiaran kabel dan satelit. Inovasi besar Internet sebagai media iklan dalam kapasitasnya untuk
secara akurat mengidentifikasi dan menjangkau banyak pasar yang berserakan bagi produk dan
layanan tertentu, berdasarkan data yang diperoleh secara online.

Bersaing demi pendapatan


Sejajar dengan hal ini, telah diajukan secara lebih umum bahwa ‘persaingan demi sumber pendapatan
tunggal mengakibatkan keseragaman yang sifatnya mengikuti’ (Tunstall, 1991:182). Tunstall
menyatakan bahwa hal ini merupakan alasan bagi kualitas yang dianggap ‘bercita rasa rendah’ (atau
sekadar ‘keseragaman yang mengikuti’) dalam jaringan televisi Amerika Utara yang hampir
seluruhnya didanai dari iklan konsumen massa (lihat DeFleur dan Ball-Rokeach, 1989). Hal yang sama
juga berlaku pada standar yang konon rendah dalam tabloid Inggris yang bersaing demi pasar (kelas
yang lebih rendah) yang hampir sama. Tunstall juga berpendapa
berpendapatt bahwa jenis pasar besar yang tidak
dibeda-bedakan ini memaksimalkan kekuatan yang berkuasa (misalnya dengan ancaman penarikan
iklan atau sekadar tekanan). Tentu saja, satu manfaat yang dipegang oleh sektor publik dalam televisi
Eropa adalah bahwa situasi di mana semua penyiaran bersaing untuk sumber pendapatan yang sama

menjadi terhindarkan (misalnya Peacock, 1986). Namun iklan itu sendiri pun semakin beragam,
memungkinkan dukungan bagi serangkaian luas konten media. Persaingan media yang berbeda
untuk pendapatan iklan yang sama dapat mendorong keberagaman. Derajat dan jenis persaingan
adalah variabel pengubah yang penting. Kebergantungan terhadap iklan seperti itu tidak perlu
mengakibatkan keseragaman.
Pada awal abad ke-21, tanda tanya terbesar dalam wilayah ini adalah mengenai kemungkinan
iklan di Internet. Ada pertumbuhan yang cepat dalam penggunaan media baru ini untuk iklan,
meskipun belum jelas bahwa pendapatan yang dihasilkan cukup untuk membuat banyak pelaksanaan
media di Internet menjadi sesuatu yang menguntungkan. Meskipun demikian, beberapa perkiraan
menunjuk pada dampak- dampak yang mengkhawatirkan terhadap media mapan, khususnya surat
kabar yang bergantung pada jenis iklan yang tampaknya paling sesuai dengan media baru— terutama
iklan baris, pribadi, properti, khusus (specialized ), dan pekerjaan. Ancaman ini bagi masa depan surat
kabar dapat menjadi lebih terasa daripada beralihnya para pembaca kepada pesaing elektronik.

Ekonomi dan Penguasaan Media 257

Struktur biaya media


Isu struktur biaya media dicatat sebelum ini sebagai variabel dalam keuntungan ekonomis media.
Salah satu kekhususan media massa tradisional dibandingkan usaha ekonomi lain adalah potensi
ketidakseimbangan antara ‘biaya tetap’ (fixed cost) dan ‘biaya variabel’ (variable cost) produksi. Biaya
tetap mengacu pada hal-hal seperti tanah, bangunan fisik, perlengkapan, dan jaringan distribusi. Biaya
variabel mengacu pada materi, ‘program lunak’ (low taste), dan (sesekali) tenaga kerja. Semakin tinggi
rasio biaya tetap terhadap biaya variabel, makin rentan bisnis tersebut terhadap lingkungan pasar
yang berubah, dan media massa tradisional biasanya memiliki rasio tinggi dengan investasi modal
besar yang harus
harus dipero
diperoleh
leh kemba
kembali
li selanjutnya
selanjutnya dari pendapatan
pendapatan penjualan
penjualan dan iklan.
iklan.
Sifat produk media biasa adalah bahwa produk tersebut memiliki biaya ‘salinan pertama (first-
copy) yang tinggi. Sebuah surat kabar harian atau cetakan pertama film membawa beban biaya tetap,
sementara biaya marginal salinan tambahan secara cepat menurun. Hal ini membuat media
tradisional, seperti surat kabar menjadi rentan akan fluktuasi permintaan dan dalam pendapatan iklan,
dan meninggikan nilai skala ekonomi, serta menciptakan tekanan menuju terbentuknya grup-grup.
Hal tersebut juga mendorong adanya pemisahan produksi dari distribusi karena hal yang terakhir ini
sering kali melibatkan biaya tetap yang tinggi (misalnya sinema, jaringan kabel, satelit,
dan transmiter). Biaya tetap yang tinggi juga memunculkan hambatan besar bagi calon pemain baru dalam
bisnis media. Di bawah rezim otoriter
otoriter,, kerentanan
kerentanan ekonomi surat kabar memudahkan pemerintah untuk
mengancam media tersebut dengan campur tangan suplai dan distribusi yang sangat mahal.
Dalam hal ini pula, media baru yang ‘tanpa beban’ membuka ketidakpastian baru bagi media besar.
Secara umum, tampaknya biaya tetap dapat menjadi lebih rendah dibandingkan dengan yang dikeluarkan
oleh media tradisional dengan biaya awal yang jauh lebih rendah dan dengan demikian keleluasaan yang
lebih besar untuk memasuki pasar. Walaupun demikian, biaya produksi konten dengan nilai tinggi
bersaing demi popularitas besar dalam pasar internasion
internasional,
al, seperti film dan permainan
permainan (game) akan terus
berada di bawah
bawah tekanan yan
yang
g semakin naik. Fak
Faktor-
tor- faktor baru juga diperken
diperkenalkan
alkan ke dalam pasar media
media
dengan munculnya format- format baru dan situs-situs Web, seperti jejaring sosial, e-Bay, dan hadirnya
konten yang diproduksi pengguna. Pembagian antara biaya tetap dan variabel kurang relevan bagi
perkembangan-perkembangan baru. Singkatnya, Kotak 9.3 berisi daftar kesimpulan utama yang ditarik
dari kajian pasar media.

y.3 Prinsip-prins
Prinsip-prins ip ekonomi pasar
pasar media
• Media masih dibedakan menurut kepemilikan struktur biaya tetap atau variabel.
• Pasar media memiliki karakter pemasukan yang makin berlipat ganda, khususnya

berdasarkan platform Internet.


berdasarkan
• Media berbasis pendapatan iklan lebih rentan terhadap pengaruh eksternal yang tidak
diinginkan atas konten.
• Media berbasis pendapatan konsumen rentan terhadap menipisnya dana.

258 Struktur

• Sumber-sumber pendapatan yang berbeda membutuhkan pengukuran kinerja pasar yang


berbeda.
• Di mana pasar majemuk berlaku, kinerja satu pasar dapat memengaruhi
m emengaruhi kinerja yang lain.
• Iklan dalam media khusus dapat mempromosikan keragaman suplai.
• Jenis iklan tertentu mendapatkan manfaat dari konsentrasi pasar khalayak.
• Persaingan demi sumber pendapatan yang sama berujung pada keseragaman.
Kepemilikan
Kepemilikan dan Kontr ol
Hal fundamental bagi pemahaman struktur media adalah persoalan kepemilikan dan
bagaimanaa kekuasaan kepemilikan dijalankan.
bagaiman dijalankan. Kepercayaan bahwa kepemilikan sangat
menentukan sifat media tidak sekadar teori Marxis (Marxist theory), tetapi merupakan
aksioma logis yang dirangkum ke dalam ‘hukum kedua jurnalisme’ milik Altschull
(1984): ‘konten media selalu mencerminkan kepentingan mereka yang membiayainya’.
Tidak mengherankan bila terdapat beberapa bentuk kepemilikan media yang berbeda,

dan kekuatan kepemilikan dapat dijalankan dengan berbagai cara.


Sebagaimana yang tersirat dalam pernyataan Altschull, bukan hanya kepemilikan
yang penting, tetapi pertanyaan yang lebih besar mengenai siapa yang sesungguhnya
membayar untuk produk media. Walaupun ada pemilik media yang secara pribadi
membayar untuk konten khusus atau yang berpengaruh, sebagian besar pemilik hanya
menginginkan keuntungan, dan sebagian besar media dibiayai dari berbagai sumber
yang berbeda. Termasuk di dalamnya adalah serangkaian investor swasta (di antaranya
perusahaan media lain), pengiklan, konsumen, dan berbagai pemberi subsidi, baik
publik maupun swasta dan pemerintah. Biasanya, alur pengaruh kepemilikan sering
kali tidak langsung dan rumit dan jarang sekali hanya merupakan satu-satunya alur.
Sebagian besar media termasuk ke dalam satu dari tiga kategori kepemilikan:
perusahaan komersial, badan swasta nirlaba, dan sektor publik. Bagaimanapun, masing-

masing kategori ini memiliki pembagian yang berbeda. Untuk kepemilikan media akan
relevan jika perusahaan tersebut publik atau swasta, jaringan besar/ konglomerat media,
atau perusahaan kecil yang mandiri. Hal yang juga berpengaruh adalah apakah
perusahaan media dimiliki oleh ‘raja media’ atau ‘mogul’, dilambangkan sebagai
keinginan menaruh kepentingan pribadi dalam kebijakan editorial (Tunstall dan Palmer,
1991). Badan nirlaba dapat menjadi lembaga yang netral, dirancang untuk menjaga
kemandirian kerja (misalnya surat kabar Guardian), atau badan dengan tugas budaya
atau sosial tertentu, misalnya partai politik, gereja, dan seterusnya. Kepemilikan publik
juga memiliki
memiliki berbagai bentuk, dimulai dari administrasi
administrasi negara langsung
langsung untu
untuk
k
memerinci dan memperkaya konstruksi yang dirancang untuk memaksimalkan
kemandirian pembuatan keputusan akan konten.

Efek kepemilikan
Bagi teori komunikasi massa, poin yang hampir selalu paling penting adalah keputusan
terakhir publikasi. Teori liberal berdasarkan pada asumsi bahwa kepemilikan dapat

Ekonomi dan Penguasaan Media 259

dipisahkan secara efektif dari kontrol atau keputusan editorial. Keputusan yang lebih
besar (penjatahan
(penjatahan)) mengen
mengenai
ai sumber, strategi bisnis, dan semacamn
semacamnya
ya diambil oleh
pemilik atau badan kepemilikan, sementara editor dan pembuat keputusan yang lain
dibiarkan bebas untuk mengambil keputusan profesional mengenai konten yang
merupakan wilayah keahlian mereka. Di beberapa situasi dan negara, terdapat
pengaturan lembaga perantara
(misalnya pengaturan editorial) yang dirancang untuk menjaga integritas kebijakan editorial dan
kebebasan jurnalis. Dengan kata lain, profesionalisme, kode perilaku, reputasi publik (karena media selalu
di bawah pengawasan publik), dan logika (bisnis) seharusnya menyelesaikan masalah yang berkaitan
dengan pengaruh pemilik.
Keberadaan sistem ‘check and balancebagaiman
bagaimanapun
apun,, ttidak
idak dapat mengaburkan
mengaburkan sejuml
sejumlah
ah fakta
fakt a nyata
dari kerja media. Salah satunya adalah pada akhirnya media komersial harus membuat keuntungan untuk
dapat bertahan, dan hal ini sering kali melibatkan keputusan
keputusan yang secara langsung memengaruhi
memengaruhi konten
ko nten
(misalnya memangkas biaya, menutup, merumahkan karyawan, berinvestasi atau tidak, dan

menggabungkan operasi). Media yang dimiliki secara publik juga tidak terhindar dari logika ekonomi
yang serupa. Faktanya, sebagian besar media swasta memiliki kepentingan pribadi dalam sistem
kapitalisme dan cenderung memberikan dukungan kepada para pembelanya yang nyata, yaitu partai
politik konservatif. Dukungan yang luar biasa oleh editorial surat kabar AS mengenai kandidat presiden
Partai Republik selama bertahun-tahun (Gaziano, 1989) dan fenomena serupa di beberapa negara Eropa,
sepertinya bukanlah hasil dari kesempatan atau kebijaksanaan alami para editor.
Terdapat banyak cara yang tersamar di mana terjadi kecenderungan yang serupa, belum termasuk
dalam tekanan potensial dari pengiklan. Kepemilikan publik dianggap untuk menetralkan atau
menyeimbangkan tekanan-tekanan tersebut, meskipun hal tersebut juga berarti mengikuti alur editorial
tertentu (meskipun salah satu dari bentuk netralitas). Kebijaksanaan konvensional dari teori liberal
menyatakan bahwa solusi terbaik atau satu- satunya untuk masalah semacam itu terletak pada keragaman
kepemilikan swasta. Situasi ideal adalah di mana banyak perusahaan kecil atau menengah bersaing satu

sama lain untuk kepentingan publik dengan menawarkan serangkaian ide, informasi, dan jenis budaya.
Kekuasaan yang ada seiring dengan kepemilikan belum tentu buruk, tetapi akan buruk jika terkonsentrasi
atau digunakan secara selektif untuk membatasi atau menolak akses. Posisi ini meremehkan tekanan
fundamental antara kriteria ukuran dan keuntungan pasar serta kriteria kualitas dan pengaruh sosial
budaya. Mereka juga tidak dapat dengan mudah didamaika
didamaikan
n (Baker, 2007).
2007). Isu konsentrasi terletak pada
jantungperdebatan
jantungperdebatan teore
teoretis.
tis. Propo
Proposisi
sisi kunci
kunci mengena
mengenaii kepemilikan dan kontrol
kontrol disamp
disampaikan
aikan di Kotak 9.4.
Kepemilikan dan kontrol media

• Kebebasan pers mendukung hak pemilik untuk memutuskan konten.


• Bentuk kepemilikan tidak dapat menghindar dari pengaruh terhadap konten.
• Keragaman kepemilikan dan kompetisi bebas adalah perlawanan
p erlawanan yang tangguh melawan
penyalahgunaan
penyalahgunaan kekuasaan kepemilikan.
• Biasanya terdapat mekanisme ‘check and balance’ di dalam sistem untuk membatasi

260 Struktur

pengaruh dari pemilik yang tidak diinginkan.


d iinginkan.
Kompetisi dan
d an Konsentrasi
Konsentrasi
Teori struktur media banyak berfokus pada pertanyaan mengenai keseragaman dan
keragaman. Sebagian besar teori sosial berkaitan dengan ‘kepentingan publik’ yang
menempatkan nilai atas keragaman, dan terdapat juga dimensi ekonomi yang terlibat,
yaitu monopoli versus kompetisi. Kompetisi bebas, sebagaimana yang telah dibahas,
harus mengarah pada keragaman dan perubahan struktur media, walaupun sejumlah
kritik menunjukkan adanya efek kebalikan
kebalikan:: hal tersebut mengarah pada monopoli atau
setidaknya oligopoli (tidak diinginkan baik secara ekonomi maupun sosial) (Lacy dan
Martin, 2004). Dalam pembahasan mengenai ekonomi media, terdapat tiga aspek utama
terhadap pertanyaan ini: kompetisi intermedia, kompetisi intramedium, dan kompetisi
interfirm. Kompetisi intermedia bergantung pada apakah produk dapat menggantikan
satu sama lain (misalnya berita di Internet dengan berita di televisi atau di surat kabar)

dan apakah iklan dapat diganti dari satu media ke media lainnya. Substitusi tersebut
dimungkinkan, tetapi hanya terjadi hingga titik tertentu. Selalu ada semacam ‘ceruk’ di
mana media tertentu memiliki keuntungan (Dimmick dan Rothenbuhler, 1984). Semua
jenis media juga sepertinya dapat menawarkan
menawarkan keuntungan tertentu kepada pengiklan:
dalam bentuk pesan, waktu, jenis khalayak, konteks penerimaan, dan seterusnya
(Picard, 1989). Munculnya Internet menantang semua media dalam beberapa hal secara
bersamaan (lihat Kiing
Kiing dan kawan-kawan,
kawan-kawan, 2008).
2008).

Konsentrasi horizontal versus konsentrasi vertikal


Secara umum karena unit dari sektor media yang sama lebih siap untuk disubstitusi
daripada antar-media, fokus perhatian sering kali ditujukan pada kompetisi intramedia
(misalnya satu surat kabar dengan yang lain di pasar yang sama, secara geografis atau
yang lainnya). Inilah di mana konsentrasi
k onsentrasi cenderun
cenderung
g terbentuk—di dalam sektor media
yang sama (hal ini mungkin juga merupakan bagian dari hasil kebijakan publik untuk
membatasi monopoli lintas media). Secara umum, konsentrasi media telah dibedakan
menurut bentuk ‘horizontal’ atau ‘vertikal’. Konsentrasi vertikal ( vertical concentration)
merujuk pada pola kepemilikan yang meluas melalui tingkatan yang berbeda dari
produksi dan distribusi (misalnya studio film yang memiliki jaringan bioskop) atau
secara geografi (surat kabar nasional membeli surat kabar lokal).
Sementara kecenderungan konsentrasi vertikal berlanjut, terdapat juga tren menuju
‘disagregasi’ (disaggregation) aktivitas media, terutama pemisahan aktivitas produksi
dari distribusi. Hal ini dipercepat dengan adanya Internet karena terdapat banyak portal
yang saling berkompetisi dan hampir tidak ada untuk kapasitas produksi. Hierarki
model lama dari kontrol perusahaan media besar memberikan jalan untuk model
jaringan yang
y ang tidak terstruktur
terstruktur di mana pengatur
pengaturan
an pasar menyetir hubungan
hubungan antara
bagian-bagian
bagian-bagian organisasi, alih-alih ‘perintah dan kendali’ secara langsu
langsung
ng (Collins,
2008). Hal ini berlaku pada kekuatan tertentu dari Internet.

Ekonomi dan Penguasaan Media 261

Konsentrasi horizontal (horizontal concentration) merujuk pada gabungan (merger) di dalam pasar
yang sama (misalnya antara dua lembaga surat kabar lokal atau nasional yang saling bersaing atau
antara jaringan telepon dengan kabel). Kedua proses ini terjadi dalam skala besar di sejumlah negara,
walaupun efeknya mungkin berubah oleh pilihan media yang terus-menerus serta munculnya media
baru. Keragaman sering
s ering kali dilindungi
dilindungi oleh kebijakan publik melawan ‘‘kepemilikan
kepemilikan lintas media’
(media berbeda yang dimiliki dan dijalankan oleh perusahaan yang sama, terutama di dalam pasar
geografis yang sama). Media juga dapat terlibat dalam konsentrasi horizontal melalui penggabungan
perusahaan di industri yang berbeda, sehingga surat kabar atau saluran televisi dapat dimiliki oleh
bisnis nonmedia (lihat Murdock, 1990). Hal ini tidak secara langsung mengurangi keragaman media,
tetapi dapat menambah kekuatan media massa dan memiliki dampak yang lebih luas bagi periklanan.

Jenis lain dari efek konsentrasi

Seperangkat perbedaan relevan yang lain berdasarkan jenis konsentrasi (de Ridder, 1984)
berhubungan dengan tingkat di mana hal tersebut terjadi. De Ridder membedakan antara tingkatan
berhubungan
penerbit (pemilik), editorial, dan khalayak. Tingkatan pertama merujuk pada peningkatan kekuasaan
dari pemilik (misalnya pertumbuhan jaringan besar dari surat kabar yang berbeda di AS dan Kanada)
atau terhadap stasiun televisi (seperti di Italia setelah adanya deregulasi). Unit-unit yang membentuk
perusahaan media seperti itu dapat tetap mandiri secara editorial (sejauh yang berkaitan dengan
keputusan konten) walaupun rasionalisasi bisnis dan organisasi kerap mengarahkan pada pembagian
layanan tertentu dan mengurangi perbedaan di antara mereka. Dalam kasus apa pun, terdapat
pertanyaan berbeda, baik kepada konsentrasi editorial yang diukur dengan jumlah judul yang
mandiri maupun yang muncul berkaitan dengan konsentrasi kepemilikan. Derajat kemandirian
editorial sering kali sulit diukur. Dampak Internet terhadap dua tipe konsentrasi ini pun belum dapat
diukur secara utuh. Secara de facto, terdapat peningkatan jumlah portal dan pemilik, tetapi juga

terdapat kecenderungan adanya pembentukan korporasi oleh para pengusaha besar dan sukses,
misalnya Google dan AOL-Time Warner.
Isu ketiga, yaitu konsentrasi khalayak, merujuk pada konsentrasi pangsa pasar yang juga
membutuhkan untuk dinilai secara terpisah. Perubahan yang cukup kecil dari kepemilikan dapat
secara besar meningkatkan konsentrasi khalayak (dalam kaitannya dengan proporsi yang ‘dikontrol’
oleh kelompok penerbit). Sejumlah besar judul surat kabar independen tidak dengan sendirinya
membatasi kekuatan media atau meyakinkan adanya banyak pilihan yang nyata, jika sebagian besar
khalayak terkonsentrasi pada satu atau dua judul atau dilayani oleh satu atau dua perusahaan.
Kondisi sistem ini tentunya tidak terlalu beragam. Terdapat dua alasan untuk membahas konsentrasi.
Terdapat sedikit keraguan bahwa Internet telah meningkatkan keragaman khalayak dengan
menambah banyak ceruk kecil khalayak baru, tetapi juga terdapat kepentingan untuk dapat meraih
khalayak yang lebih luas.

Konsentrasi khalayak dapat diraih tanpa kepemilikan. Konglomerat media besar mencari pasar
untuk produk yang melintasi batasan media dan kepemilikan. Tujuannya adalah untuk
memaksimalkan jangkauan pada kelompok target yang dituju. Eksekutif media menyebut ini
‘achieving a good share of mind’ (meraih sekumpulan pikiran yang baik) (Turrow, 2009: 201). Semua
bentuk ekspos yang mengarah pada tujuan ini, termasuk penyebutan informal atau penampilan di

262 Struktur
situs media sosial, seperti YouTube sering kali mendatangkan keuntungan.

Derajat konsentrasi
Derajat konsentrasi media biasanya diukur hingga sampai seberapa jauh perusahaan besar
mengendalikan produksi, kepegawaian, distribusi, dan khalayak. Walaupun tidak terdapat batasan di
mana seseorang dapat mengatakan bahwa derajat mana yang dianggap tidak diinginkan, menurut
Picard (1989: 334) aturan ambang batas penerimaan adalah ketika empat perusahaan paling besar di
industri mengendalikan lebih dari 50% pasar atau delapan perusahaan terbesar mengendalikan lebih
dari 70%. Terdapat contoh dari beberapa media di mana ambang tersebut terlampaui atau hampir
tercapai, misalnya surat kabar harian di AS, pers nasional harian di Inggris, Jepang, dan Prancis,
televisi di Italia, dan industri fonogram internasional. Konsentrasi dalam pasar mesin pencari (besar)
masih belum diatur, tetapi telah jauh melampaui tingkatan pada pers tradisional dengan Google

mendominasi penggunaan dan pendapatan iklan (Machill dan kawan-kawan, 2008).


Situasi konsentrasi dapat beragam dari satu kompetisi sempurna hingga satu monopoli
sempurna dengan tingkatan yang beragam di antaranya. Media yang berbeda memenuhi berbagai
tempat dalam ruang ini untuk berbagai alasan. Kompetisi murni sangat jarang terjadi, tetapi tingkat
kompetisi yang cukup tinggi terjadi di banyak negara dalam industri penerbitan buku atau majalah.
Televisi dan surat kabar nasional secara umum merupakan pasar oligopoli, sementara monopoli
murni untuk saat ini pun sangat jarang. Kasus monopoli ‘natural’ yang tidak biasa pernah sekali
ditemukan, misalnya dalam kabel dan telekomunikasi. ‘Monopoli natural’ (natural monopoly)
monopoly) adalah di
mana konsumen dilayani dengan baik berdasarkan ongkos dan efisiensi dengan hanya satu pemasok
(biasanya dibarengi dengan tindakan untuk melindungi konsumen). Sebagian besar monopoli
semacam itu telah hilang dalam gelombang privatisasi dan deregulasi telekomunikasi.
Alasan untuk peningkatan konsentrasi media dan integrasi aktivitas adalah sama dengan

cabang bisnis yang lain, terutama pencarian akan skala ekonomi dan kekuatan pasar yang lebih besar.
Dalam hal media, yaitu berkaitan dengan keuntungan dari operasi yang terintegrasi secara vertikal
karena keuntungan yang besar dapat dibuat dari distribusi daripada dari produksi. Terdapat juga
insentif untuk perusahaan media yang memiliki media dengan aliran keuangan yang stabil, seperti
yang dimiliki oleh saluran televisi konvensional dan surat kabar harian (Tunstall, 1991). Kontrol
produksi dan distribusi piranti lunak dapat sangat berguna untuk perusahaan elektronikyang
memerlukan untuk membuat penanaman modal yang besar dalam inovasi produk (misalnya bentuk
rekaman) yang permulaannya bergantung pada pasokan besar piranti lunak.
Terdapat juga peningkatan keuntungan dalam layanan bersama dan kemampuan
menghubungkan sistem distribusi serta pasar yang berbeda. Secara umum, hal ini disebut sebagai
‘sinergi’ (synergy). Sebagaimana yang disebutkan oleh Murdock (1990: 8): 'dalam sistem budaya yang
dibangun di sekitar 'sinergi' tidak berarti berbeda; hal tersebut berarti komoditas dasar yang sama
muncul di pasar yang berbeda dan dalam beragam bentuk'. Dalam lingkungan semacam ini, spiral
yang menuju konsentrasi secara terus-menerus diterapkan karena satu-satunya cara untuk bertahan
adalah dengan bertumbuh. Proses penyatuan dari Single European Market sejak tahun 1993 telah
berperan dalam efek spiral ini. Sering kali batasan nasional
nasional terhadap pertumbuhan
pertumbuhan di dalam satu
negara (karena peraturan antimonopoli atau pemilikan lintas media) merangsang terbentuknya

Ekonomi dan Penguasaan Media 263

monopoli lintas negara (Tunstall, 1991). Pembentukan World Trade Organization (WTO) pada tahun
1994 untuk mengimplementasikan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) menandai fase baru

dalam transnasionalisasi media. Media secara umum diartikan sebagai bisnis dan saat ini lebih sulit
untuk membenarkan campur tangan publik pada media nasional (Pauwels dan Loisen,
2003) . Secara umum, jelas bahwa globalisasi dan penyetiran 'pasar bebas' telah saling menguatkan,
terutama karena didorong oleh motif ekonomi dan komersial.

Isu-isu kebijakan yang muncul


Tren terhadap konsentrasi media yang lebih besar secara nasional dan internasional, memunculkan
tiga jenis masalah kebijakan publik. Jenis pertama berkaitan dengan penetapan harga. Jenis kedua
berkaitan dengan produk, dan jenis yang terakhir
t erakhir berkaitan den
dengan
gan posisi kompetitor. Isu penetapan
harga yang utama berhubungan dengan perlindungan konsumen: semakin kuatnya monopoli,
semakin besar kekuatan penyedia jasa untuk menetapkan harga. Masalah produk yang utama
berkaitan dengan konten monopoli-pasokan layanan media, terutama pertanyaan akan kualitas dan
pilihan yang layak, baik bagi konsumen maupun calon penyedia konten. Isu yang ketiga, berkaitan
dengan kompetitor, merujuk pada mengeluarkan kompetitor sebagai hasil dari skala ekonomi atau
keuntungan dalam pasar periklanan dari cakupan yang kepadatannya tinggi atau penggunaan
kekuatan flnansial untuk terlibat dalam 'kompetisi yang merusak'.
Untuk semua alasan yang diberikan, terdapat banyak penelitian yang ditujukan pada
konsekuensi dari konsentrasi (baik atau buruk), terutama terhadap sektor surat kabar, di mana
konsentrasinya paling besar (lihat Picard dan kawan-kawan, 1988). Hasil dari penelitian ini secara
umum tidak memiliki kesimpulan, sebagian dikarenakan kerumitan atas fakta konsentrasi yang
biasanya merupakan
merupakan satu aspek dari situasi pasar
pasar yang dinamis.
dinamis. Baker (2007)
(2007) telah memperingati
memperingati nilai
nilai
yang terbatas dan relevansi dari banyak studi empiris mengenai efek konsentrasi, terutama studi
statistik yang banyak
terjadi pada akhir tahun 1980-an. Umumnya,
Umumnya, kerangka waktunya terlalu singkat untuk diungkapkan dan
peristiwa kunci yang mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan terlalu sporadis untuk ditangkap.
Sebagai tambahannya, risiko penyalahgunaan tidak dapat diukur secara tepat, tetapi membutuhkan
penilaian evaluatif. Sebagian besar perhatian berfokus pada dampak dari konten dengan rujukan tertentu
terhadap kelayakan informas
informasii dan berita lokal, kinerja dari fungsi politis dan pembentukan
pembentukan opini media, derajat
akses terhadap suara yang berbeda, dan derajat serta jenis pilihan dan keragaman.
keragaman. Meskipun menurut
definisinya konsentrasi media selalu mengurangi pilihan dalam berbagai hal, sangat mungkin bahwa
keuntungan monopoli dapat dikembalikan kepada konsumen atau komunitas dalam bentuk media yang
lebih baik, bagaimanapun definisinya (juga merupakan penilaian atas nilai) (Lacy dan Martin,
2004) . Lebih mungkin bahwa keuntungan dari konsentrasi akan disalurkan kepada pemilik saham yang
pada dasarnya adalah tujuan utama di balik konsentrasi (Squires, 1992; McManus, 1994).
Poin utama mengenai kompetisi dan konsentrasi media dalam bagian ini dirangkum pada Kotak 9.5.

264 Struktur
Konsentrasi dan kompetisi

Konsentrasi dapat ditemukan pada tiga tingkat: intermedia dan dalam intramedium (di dalam
wilayah) dan interfirm.
• Konsentrasinya dapat berbentuk horizontal atau vertikal.
• Konsentrasi dapat diamati di dalam organisasi dalam tiga tingkat: pemilik/penerbit, editorial,
dan khalayak.
• Derajat konsentrasi dapat diukur dalam: nilai pangsa pasar, peranan khalayak, dan peranan
saluran.
• Efek konsentrasi sulit untuk diukur melebihi dari indikator peningkatan dalam kekuatan pasar
atau berkurangnya keragaman.
• Konsentrasi dianggap berlebihan ketika tiga atau empat perusahaan mengontro) lebih dari
50% pasar.
• Konsentrasi disetir oleh kompetisi yang berlebihan, pencarian sinergi, dan keuntungan yang

sangat tinggi.
• Beberapa jenis dan derajat konsentrasi dapat menguntungkan konsumen.
• Efek yang tidak diinginkan dari konsentrasi yang berlebihan adalah hilangnya keragaman,
harga yang tinggi, dan akses media yang terbatas.
• Konsentrasi dapat dilawan dengan peraturan dan dengan mendorong kompetitor baru kepada
pasar.
Peng
Pengelol
elolaa
aan
n Medi
Mediaa Massa
Massa
Cara di mana media dikontrol oleh masyarakat demokratis mencerminkan kepentingan
untuk bisnis (secara utuh), politik, kehidupan sosial, dan budaya sehari-hari, serta
kekebalan mereka yang relatif terhadap peraturan pemerintah. Beberapa kontrol,
keterbatasan, dan resep dibutuhkan, tetapi prinsip kebebasan (atas pendapat dan pasar)
membutuhkan pendekatan yang hati-hati, meskipun minim terhadap kontrol
pengaturan. Masuk akal untuk menggunakan istilah 'pengelolaan' dalam konteks ini
untuk menggambarkan keseluruhan perangkat hukum, pengaturan, aturan, dan
persetujuan yang melayani tujuan kontrol dalam kepentingan umum yang mencakup
industri media. Pengelolaan merujuk pada proses di mana serangkaian aktor yang
berbeda bekerjasama untuk tujuan yang berbeda dengan aktor
ak tor yang diambil dari pasar
dan lembaga masyarakat sipil sebagaimana dari pemerintah, sehingga hal ini merujuk
tidak hanya pada aturan yang formal dan mengikat, tetapi juga terhadap berbagai
mekanisme informal, internal, dan eksternal terhadap media di mana mereka disetir
kepada beragam tujuan (yang sering
s ering tidak k
konsisten
onsisten).
). M
Meskipu
eskipun
n adanya 'bias melawan
kontrol', terdapat sekumpulan luas dari bentuk nyata atau potensial atas kontrol media.
Karena, keragaman wilayah yang dicakup tidak pantas untuk berbicara mengenai
sistem pengolahan, walaupun terdapat beberapa prinsip umum dan keteraturan yang
ditemukan di banyak bentuk yang sama di banyak negara. Intinya, pengolahan
memerlukan seperangkat standar atau tujuan yang digabungkan dengan beberapa
prosedur yang ketat untuk memaksa atau mengaturnya. Secara umum, pengelolaan
membutuhkan pendekatan yang kurang hierarkis, biasanya dengan elemen kuat dari

Ekonomi dan Penguasaan Media 265

pengaturan sendiri. Menurut Collins (2006), keterlepasan dari hierarki umumnya disetir
oleh peningkatan kompleksitas sistem yang dipertanyakan. Hal ini secara khusus
diterapkan pada Internet karena tidak adanya kontrol pemerintah secara langsung,
kerangka hukum yang tidak jelas, dan perpaduan antara penggunaan pribadi dan
publik.

Tujuan dan bentuk pengelolaan


Beragam bentuk pengelolaan yang berlaku pada media massa mencerminkan
keragaman tujuan dari kontrol untuk aktor yang berbeda. Tercakup di dalamnya:

• perlindungan kepentingan negara dan tatanan publik yang esensial, termasuk


perlindungan dari bahaya pada publik;
• penjagaan hak dan kepentingan individual;
• memenuhi kebutuhan industri media untuk lingkungan kerja yang stabil dan
mendukung;
• promosi kebebasan dan nilai-nilai komunikasi serta budaya lainnya;
• mendorong munculnya inovasi teknologi dan perusahaan ekonomi;
• pengaturan standar teknis dan infrastruktur;
• pemenuhan tanggung jawab internasional, termasuk kepatuhan terhadap Hak Asasi Manusia;
• mendorong akuntabilitas media.

Jelas bahwa tujuan yang luas semacam itu membu


membutuhkan
tuhkan seperangkat
seperangkat mekanisme
mekanisme dan prosedur
prosedur yang
beragam dalam lingkup
lingkup terbatas tindakan pemerintah yang langsung.
langsung. Bahasan dalam Bab 8 mengenai
mengenai
empat kerangka akuntabilitas media (hukum, pasar, tanggung jawab publik, dan profesionalisme)
memberikan gambaran mengenai alternatif utama yang tersedia. Cakupan yang kompleks ini dapat

dipetakan menurut dua dimensi yang berbeda, yaitu eksternal versus internal, dan formal versus informal,
sebagaimana yang digambarkan dalam Gambar 9.2. Bentuk utama dari pengelolaan dikelompokkan ke
dalam empat jenis, masing masing dengan mekanisme yang cocok untuk penerapannya.
Pengelolaan diterapkan ke dalam berbagai tingkatan. Pertama, kita dapat membedakan antara level
internasional, nasional, regional, dan lokal menurut cara sistem media dijalankan. Pada praktiknya,
peraturan internasional telah dibatasi hanya pada lingkup teknis dan organisasi, tetapi cakupan kontrolnya
telah berkembang, terutama ketika media menjadi semakin internasional (lihat Bab 10). Masalah Hak Asasi
Manusia dan bahaya publik yang potensial semakin meningkatkan perhatian. Potensi propaganda media
untuk mengobarkan kebencian antaretnis dan internasional telah menjadi perhatian dunia karena
peristiwa bencana
bencana di Balkan, Timur Tengah, Afrika, dan di tempat lain sebagaiman
sebagaimanaa juga tugas yang sulit
untuk membangun kembali media setelah konflik (lihat Price dan Thompson, 2002). Sebagian besar bentuk
pengelolaan bekerja pada tingkat nasional, tetapi beberapa

Formal Informal

266 Struktur

Hukum dan peraturan Kekuatan pasar;


yang diterapkan melalui kelompok lobi; opini
Eksternal
pengadilan dan badan publik; penilaian dan
pengaturan publik kritik

Manajemen; pengaturan sendiri Profesionalisme; kode etik dan


Internal oleh industri; budaya organisasi perilaku

Gambar 9.2 Bentuk utama pengelolaan media


Ekonomi dan Penguasaan Media 267

negara dengan struktur federal atau regional menyerahkan tanggung jawab mengenai
media dari pusatnya.
Hal yang relevan untuk dicatat di sini adalah perbedaan antara struktur, perilaku,
dan kinerja yang telah dibahas sebelumnya, dan di mana peraturan dapat diterapkan
kepada sistem media, perusahaan, atau organisasi tertentu atau beberapa aspek dari
konten. Sebagai aturan umum, kontrol dapat diterapkan secara lebih siap ketika titik
penerapannya semakin jauh dari konten karena akan ada sedikit kesempatan untuk
melanggar kebebasan berekspresi. Di sini, struktur berkaitan terutama pada kondisi
kepemilikan, kompetisi, infrastruktur, layanan universal, atau kewajiban lainnya.
Termasuk di dalamnya permasalahan utama dari penyiaran publik. Perilaku berkaitan
dengan hal-hal seperti kemandirian editorial, hubungan dengan sumber dan
pemerintah, sistem pengadilan, pengaturan sendiri secara formal, dan akuntabilitas.
Tingkat kinerja mencakup semua hal yang berkaitan dengan konten dan layanan
terhadap khalayak yang sering kali merujuk pada kemungkinan bahaya atau serangan.
Proposisi utama yang berkaitan dengan pengelolaan media dalam sistem media yang
relatif bebas diberikan dalam Kotak 9.6.


Pengelolaan media: proposisi utama

• Media yang berbeda membutuhkan bentuk pengelolaan yang berbeda.


• Kontrol lebih dapat dibenarkan bagi media massa daripada media skala-
kecil karena skala efek yang mungkin muncul.
• Kontrol dapat diterapkan secara lebih sah kepada struktur daripada kepada
konten.
• Baik sensor prapublikasi maupun hukuman atas publikasi itu sendiri tidak
konsisten dengan kebebasan dan demokrasi.
• Pengaturan sendiri umumnya lebih disukai daripada kontrol eksternal atau
hierarkis.

Peraturan
Peraturan Medi
Mediaa Massa:
Massa: Model Alternatif
Untuk alasan sejarah dan alasan lainnya, media berbeda telah tunduk pada berbagai
jenis dan derajat peraturan.
peraturan. Perbedaann
Perbedaannya
ya berkaitan dengan empat faktor utama:
pertama, kekuatan klaim media atas kebebasan, terutama yang berhubungan dengan

konten dan pengunaan pada umumnya; kedua, derajat di mana terdapat kemungkinan
terjadinya bahaya bagi publik; ketiga, untuk alasan alokasi yang adil; dan terakhir,
kepraktisan relatif dari peraturan yang efektif. Tiga model telah diidentifikasi (Pool,
1983) dan

r
268 Struktur
digarisbawahi. Model-model ini masih membantu menjelaskan perbedaan utama dalam tingkatan di
mana pemerintah dapat melakukan campur tangan, walaupun mereka menjadi kurang penting,
terutama karena adanya deregulasi dan konvergensi teknologi. Ciri-ciri utama dari masing-masing
model dibandingkan dalam Gambar 9.3.

Model pers bebas


Model dasar untuk pers adalah kebebasan dari peraturan dan kontrol apa pun dari pemerintah yang
dapat memaksa sensor atau membatasi kebebasan publikasi. Pers bebas sering kali diabadikan sebagai
prinsip dalam konstitusi nasional dan piagam internasional, misalnya Konvens i Eropa tentang Hak
Asasi Manusia (European Convention on Human Rights—ECHR, pasal 10) atau piagam PBB (Pasal
19). Bagaimanapun, model pers bebas sering kali diubah atau diperluas oleh kebijakan publik untuk
menjamin kepentingan publik yang mengharapkan pers yang bebas dan mandiri. Alasan utama untuk
fokus kebijakan publik terhadap surat kabar adalah tren menuju konsentrasi, walaupun sebagai hasil
dari kompetisi bebas, secara efektif mengurangi akses kepada saluran dan pilihan pers bagi warga.
Karena hal ini, pers sering kali menerima beberapa perlindungan legal, sebagaimana pula
keuntungan ekonomi. Keduanya menyiratkan beberapa elemen pengawasan dan penyelidikan publik,
bagaimanapun
bagaimanapun murah hatinya. Keuntungan ekonomi dapat bermula
bermula dari keringanan pajak dan giro
untuk pengaturan subsidi dan pinjaman. Dapat juga terdapat hukum antikonsentrasi dan peraturan
melawan kepemilikan asing. Negara memiliki peranan yang cukup aktif dalam evolusi media surat
kabar pada masa kini di beberapa negara Eropa Mediterania, di dalam kerangka Pers Bebas (Free
Press) (Aguado dan kawan-kawan, 2009). Menarik untuk dilihat bagaimana hal ini berhubungan
dengan ‘model mediterania’ (Mediterranean model) dari hubungan pers-politik yang akan dijelaskan
nanti. Model kebebasan pers (press freedom model) diterapkan kurang lebih serupa dengan penerbitan
buku (yang merupakan asal muasalnya) dan kepada jenis media cetak lainnya. Secara otomatis
otomatis juga
berlaku pada musik, walaupun tanpa adanya hak istimewa tertentu. Tindakan hukum masih dapat
diambil melawan pers atas penyerangan tertentu, misalnya fitnah.

Model penyiaran
Secara kontras, penyiaran radio dan televisi dan secara tidak langsung banyak pemancar audiovisual
lain yang tunduk dari awal pada pembatasan dan pengarahan tingkat tinggi, sering kali melibatkan
kepemilikan publik secara langsung. Alasan awal bagi pengaturan penyiaran utamanya bersifat teknis
atau memastikan alokasi yang adil atas
Ekonomi dan Penguasaan Media 269

spektrum yang terbatas serta dari kontrol monopoli. Bagaimanapun, peraturan menjadi sangat terlembaga,
setidaknya hingga tahun 1980-an ketika teknologi baru dan iklim opini yang baru membalik trennya.
Konsep umum dari layanan publik terletak pada inti dari model penyiaran (broadcasting model)
walaupun ada beberapa varian dan juga bentuk yang lebih lemah ataupun lebih kuat (seperti di Eropa).
Penyiaran layanan publik dalam bentuk yang mapan (seperti di Inggris) secara umum memiliki beberapa
ciri tertentu yang didukung oleh kebijakan dan peraturan. Model penyiaran dapat melibatkan berbagai
bentuk peraturan
peraturan.. Biasanya, terdapat
terdapat hukum media khusus untuk mengatur industri dan sering kali
beberapa bentuk birokrasi layana
layanan
n publik
publik untuk menerapkan hukum tersebut. Sering juga, layanan
produksi dan distribusi dapat dilakukan oleh perusahaan pribadi yang mendapatkan keringanan dari
pemerintah dan mengikuti beberapa panduan pengawasan secara hukum.
Penurunan kekuatan model penyiaran telah ditandai dengan meningkatnya kecenderungan pada
‘privatisasi’ dan ‘komersialisasi’ penyiaran, terutama di Eropa (lihat McQuail dan Siune, 1998; Steemers,
2001; Bardoel dan d’Haenens, 2008; Enli, 2008). Hal ini telah berkembang secara nyata, transfer saluran dan
operasi media dari kepemilikan publik menjadi swasta, meningkatnya level keuangan dari iklan, dan
pemberian izin bagi kompetitor komersial yang baru untuk saluran penyiaran publik. Pembatasan yang
baru terhadap aktivita
aktivitass (misaln
(misalnya
ya online) telah diberlakukan untuk alasan melindungi media lain atas
kompetisi tidak sehat dari media yang disubsidi. Ujian atas kepentingan publik harus memenuhi segala
macam itu. Walaupun cenderung menurun, model penyiaran tidak menunjukkan tanda-tanda akan
ditinggalkan. Secara umum, model ini bekerja dengan baik pada pasar khalayak (dibantu oleh keamanan
finansialnya), tetapi nilainya bagi masyarakat sipil juga makin diakui. Keuntungan lainnya adalah jaminan
atas akses yang layak dan adil pada semua partai politik dalam proses demokratis dan kecenderungannya
terhadap akses istimewa bagi kepentingan ‘nasional’.

Cetak Penyiaran Ang ku


kutan
tan bi asa
Peraturan

infrastruktur Tidak ada Tinggi Tinggi


Peraturan konten Tidak ada Tinggi Tidak ada

Akses pengirim Terbuka Terbatas Terbuka


Akses penerima Terbuka Terbuka Terbatas

Gambar 9.3 Tiga model pengaturan yang dibandingkan

Model angkutan biasa


Model utama yang ketiga dari peraturan yang mendahului penyiaran biasanya disebut dengan model
angkutan biasa (common carter model) karena umumnya berhubungan dengan layanan komunikasi,
seperti surat, telepon, dan telegraf yang murni hanya untuk distribusi dan terbuka bagi semua
kalangan sebagai layanan yang universal
universal.. Motif utama untuk regulasi adalah penerapan yang efisien
dan manajemen dari apa yang disebut sebagai ‘monopoli alami’ (natural monopoly) dalam kepentingan
efisiensi dan konsumen. Secara umum, media pengangkut biasa telah melibatkan banyak peraturan
mengenai infrastruktur dan eksploitasi ekonomi, tetapi hanya sedikit peraturan kurang penting
mengenai konten. Hal ini sangat nyata bedanya dengan penyiaran yang dicirikan dengan peraturan

270 Struktur
konten tingkat tinggi, bahkan ketika infrastruktur makin berada di tangan swasta.
Meskipun ketiga model tersebut masih berguna untuk menjelaskan dan memaknai pola
pengaturan media yang berbeda, ingatan akan sistem yang saling terpisah ini semakin dipertanyakan.
Tantangan utama datang dari konvergensi teknologi di antara model-model komunikasi yang
membuat pemisahan peraturan antara media cetak, penyiaran, dan telekomunikasi yang semakin
bersifat buatan dan arbitrer (Iosifides
(Iosifides,, 2002). Alat distribusi
distribusi yang sama, terutama satelit dan
telekomunikasi dapat digunakan untuk mengantarkan ketiga jenis media (dan yang lainnya). Saat ini,
sistem kabel sering kali diizinkan secara legal untuk menawarkan layanan telepon, penyiaran dapat
membawa surat kabar, dan jaringan telepon dapat menyediakan televisi serta layanan media lainnya.
Untuk saat ini, logika politik dan peraturan masih bertahan, tetapi tidak akan bertahan lama.

Status hibrida Internet


Internet telah berkembang dalam semangat kebebasan de facto dari segala jenis kontrol (Castells, 2001)
dan pada masa-masa awalnya dianggap sebagai media 'pengangkut biasa', menggunakan sistem
telekomunikasi
telekomunikasi untuk menyiarkan dan menukarkan pesan dan informasi. Hingga kini, praktik Internet
masih bebas, bahkan lebih daripada pers karena menawarkan akses yang terbuka bagi semua calon
pengirim pesan. Meskipun demikian, kebebasan Internet tidak dilindungi hukum formal dan terlihat
sangat rapuh. Hal ini dapat dilihat dari fungsi komersialnya yang semakin bertumbuh, ketakutan akan
penggunaan dan juga efek, sebagaimana pula adaptasi dengan fungsi-fungsi lain, termasuk penyiaran.
Statusnya masih tidak jelas jika dikaitkan dengan ketiga model yang telah dijelaskan sebelumnya.
Salah satu ciri penting dari Internet adalah bahwa media ini tidak secara spesifik diatur pada
tingkat nasional dan tidak secara jelas termasuk ke dalam wilayah hukum manapun. Internet juga sulit
diatur karena karakternya yang transnasional, keragaman fungsinya, serta karakternya yang tidak
jelas (Akdeniz
(Akdeniz dan kawan
kawan-kawan,
-kawan,
Ekonomi dan Penguasaan Media 271

Sinkronisasi -< ------------------------- Tidak sin


sinkronisasi
kronisasi
Tunda
Q.

A
Telepon Pos

Kepemilikan swasta Biaya Kepemilikan publik Biaya


umum Monopoli umum Monopoli

_
r
o
o
C
L

1 f Penyiaran Cetak
CO
C/D
C/D Kepemilikan swasta fidusia Kepemilikan swasta Ex
cu
lisensi Oligopoli ante otonomi Kompetitif

Gambar 9.4 Rezim kebijakan di masa lalu yang mengatur komunikasi platform
Sumber. Bar dan Sandvig (2008: 535)

2000; Verhulst, 2002). Terdapat beragam badan pengendali dan pengaturan sendiri pada
tingkat nasional dan internasional, tetapi tanggung jawab dan kekuasaan mereka
terbatas (Hamelink, 2000; Slevin 2000). Sebagian besar beban pengaturan jatuh ke tangan
penyedia layanan Internet yang hak dan kewajiban hukumnya juga tidak didefinisikan
secara jelas (Braman dan Roberts, 2003). Ketidakpastian terkadang dapat melindungi
kebebasan, tetapi juga memperlambat perkembangan dan membuka jalan untuk kontrol
dari luar.
Terdapat kemungkinan yang semakin meningkat bahwa Internet akan menjadi
terlalu penting untuk ditinggalkan dalam kondisi yang setengah diatur. Collins (2008)
berargumen
berargumen melawan tiga mitos
mitos pengelolaan
pengelolaan Internet: pertama,
pertama, bahwa pasar dapat
mengambil
mengambil sebagian besar keputusan;
keputusan; kedua, bahwa pengelolaan sendiri itu efekt
efektif
if dan
ada di mana-mana; dan ketiga, bahwa pengelolaannya secara esensial berbeda dari
media-media lama. Ia menunjuk pada banyak contoh dari elemen-elemen yang muncul
dari kontrol eksternal secara nasional dan internasional. Khususnya, bahwa Internet
bukan lagi media tunggal dan tidak membutuhkan
membutuhkan sistem peraturan tunggal. Lebih
lanjut, ia menulis bahwa 'pengelolaan Internet dan media lama (siaran pers dan
sebagainya) menyatu seiring dengan media lama mengikuti struktur Internet yang
terpisah-pisah, ketika mereka bergerak dari struktur integrasi vertikal yang bersejarah'
(Collins, 2008:355). Hal ini merujuk terutama pada hal-hal, seperti pemisahan produksi
dari penyiaran dan mendelegasikan banyak aspek dari proses produksi dan pemasaran
ke pihak lain.

272 Struktur

Sistem pengaturan yang berbeda, seperti yang dirangkum dalam Gambar 9.3,
memiliki hubungan dengan tipologi lalu lintas informasi yang digambarkan
sebelumnya pada Bab 6. Model penyiaran berhubungan dengan alokusi (alamat
langsung), model surat kabar lebih kepada konsultasi, dan model pengangkut biasa
kepada Internet (ditambah dengan sistem telepon). Jalur alternatif dalam menjelaskan
perbedaan antarsistem yang mengelola empat media komunikasi tradisional yang
utama dinyatakan oleh Bar dan Sandvig (2008) yang juga membantu menjelaskan posisi
khusus Internet. Hal ini dijelaskan dalam Gambar 9.4 dan berdasarkan situasi media di
AS.
Gambar 9.4 merangkum perbedaan kunci antara media dalam dua dimensi
utama—pola massa versus antarpribadi dan kontak instan versus termediasi yang
penting bagi kebijakan peraturan publik. Prinsip struktur dan kebijakan dirangkum di
bawah masing-masing
masing-masing empat jenis media yang diterapkan di AS, tetapi saat ini juga
diterapkan secara luas di dunia sebagai hasil dari privatisasi dan deregulasi.
Pengecualian utama berhubungan dengan penyiaran yang sering kali memiliki elemen
kepemilikan dan kontrol publik. Poin paling utama untuk diperhatikan adalah bahwa
Internet dapat muncul pada keempat kuadran, tergantung penggunaan serta bagaimana
ia dikelompokkan. Internet dapat termasuk penyiaran, pertukaran, konsultasi, atau
media pribadi. Karena tidak memiliki klasifikasi yang jelas, tidak ada sistem tunggal
yang melayani tujuan regulasi dan kebijakan yang juga membantu tujuan komunikasi,
tidak peduli teknologinya. Perbedaan antara penggunaan pribadi dan publik juga masih
menjadi kepentingan yang utama.

Perg
Pergesera
eseran
n Paradigma
Paradigm a Kebijakan Media
Tren menuju konvergensi model peraturan untuk media yang berbeda merupakan
bagian dari pola yang lebih besar dari perubahan dalam pendekatan kebijakan media.
Beberapa elemen ini telah dibahas, termasuk percobaan awal untuk membuat media
massa lebih akuntabel bagi masyarakat, dan yang lebih baru, pengaruh globalisasi dan
tren 'deregulasi' serta privatisasi media. Menurut van Cuilenburg dan McQuail (2003),
dalam kurun waktu lebih dari seabad dalam perkembangan komunikasi, kita dapat
mengenali tiga fase utama kebijakan komunikasi di berbagai bagian dunia.
Hal pertama yang dapat dijelaskan adalah fase munculnya kebijakan industri
komunikasi yang berlangsung dari akhir abad ke-19 hingga Perang Dunia II. Tidak ada
tujuan kebijakan yang utuh, lebih dari melindungi kepentingan strategis pemerintah
dan bangsa, dan mempromosikan perkembangan industri dan ekonomi dari sistem
komunikasi yang baru (sistem telepon, kabel, telegraf nirkabel, radio, dan seterusnya).
Fase utama yang kedua dapat digambarkan sebagai salah satu layanan publik
(public service). Fase ini dimulai dengan dikenalinya kebutuhan untuk mengatur
penyiaran, tetapi kali ini dengan kesadaran baru akan signifikansi sosial media ini bagi
kehidupan politik, sosial, dan budaya. Komunikasi dipandang lebih dari sekadar

Ekonomi dan Penguasaan Media 273

Tujuan utama/kepentingan publik

r> Kesejahteraan
Kesejahteraan sosial
Kesejahteraan f
■■ s

politik Kesejahteraan
ekonomi

, k

Wilayah dan
dan nilai/kri teria

a r -\
Kebebasan y i
a Pilihan
k
it Aks es d m Persaingan
il u Identitas o
o Keragaman -b
l Interaksi
nPe
o
Perkembangan
rkembangan L owongan
P Informasi a
i k kerja Konsumerisme
s Kualitas E
Kontrol/akuntabilitas o Inovasi
S Kores
V

V
iV

1
= - i- 'l: .t, r=-p_.

Gambar 9.5 Paradigma kebijakan komunikasi baru (van Cuilenberg dan McQuail, 2003: 202)

teknologi. Ide baru akan 'kesejahteraan komunikasi' diperkenalkan yang lebih jauh dari sekadar
persyaratan pengontrolan alokasi dari frekuensi yang langka. Kebijakan ini bersifat positif dalam
mempromosilan tujuan budaya dan sosial tertentu, dan juga negatif dalam kaitannya dengan melarang
keburukan tertentu bagi 'masyarakat'. Untuk pertama kalinya, pers berada di dalam lingkup kebijakan
publik yang bertujuan membatasi kekuatan monopoli pemilik dan memelihara standar' di hadapan
tekanan komersial. Fase ini mencapai puncaknya di Eropa pada tahun 1970-an dan relatif menurun sejak
saat itu, walaupun elemen-elemen pentingnya masih ada.
Fase ketiga dari kebijakan yang saat ini terbentuk merupakan hasil dari banyak tren yang telah
dibahas sebelumnya, tetapi terutama dari tren internasionalisasi, digitalisasi, dan konvergensi. Peristiwa
kuncinya adalah pergerakan ke panggung utama telekomunikasi (Winseck, 2002). Periode di mana
sekarang kita berada adalah fase inovasi yang intens, pertumbuhan, dan kompetisi di tingkat global.
Kebijakan masih tetap ada, tetapi paradigma baru didasarkan pada tujuan dan nilai yang baru pula.
paradigma
Kebijakan masih dipandu terutama oleh tujuan politik, sosial, dan ekonomi, tetapi sudah ditafsirkan dan
diatur ulang. Tujuan ekonomi mengalahkan tujuan sosial dan politik. Konten dari masing-masing nilai
juga telah didefinisikan kembali,
kembali, sebagaimana yang ditunjukkan dalam Gambar
Gambar 9.5. Prinsip-prinsip kun
kunci
ci
yang merangkum kebijakan

dalah kebebasan, layanan, dan akses universal, serta akuntabilitas litannya dengan
peraturan-diri media dengan sorotan selain JOO; Napoli, 2001; Verhulst, 2006). Beberapa
tahun kemudian, n direvisi ini tampak sebagai penafsiran valid atas peristiwa, tetapi ,et
tidak dapat dijelaskan dengan baik dengan jenis-jenis masalah baru xaat komunikasi dan
kurangnya alat yang efektif untuk mengamankan iik atau mencegah keresahan, kecuali
oleh tindakan-tindakan yang secara .nembatasi dan bersifat mundur.

<edi
<ediaa dan
dan Sistem Politik
Polit ik
Banyak dari diskusi yang telah disebutkan sebelumnya tentang peraturan dan kebijakan media, seperti
bab sebelumnya tentang teori normatif media menin
meninggalkan
ggalkan sedikit keraguan tentang kaitan yang
kompleks dan berpengaruh antara media massa dan sistem politik nasional (dan bahkan negara itu
sendiri) bahkan di mana secara formal tidak ada atau ada sedikit hubungan. Ini tidak untuk menyatakan
bahwa posisi media selalu di bawah politiku
politikuss atau pemerintah.
pemerintah. Kaitan antara keduan
keduanya
ya sering kali
dicirikan dengan konflik dan kecurigaan.
Kaitan antara sistem media dan politik menunjukkan perbedaan antarbudaya yang besar (Gunther
dan Mugham, 2000). Meskipun demikian, dalam tiap kasus hubungannya memiliki relasi dengan struktur,
perilaku, dan kinerja. Pertama ada badan hukum, peraturan, dan kebijakan di tiap negara yang telah
dirundingkan melalui sistem politik dan yang menjamin hak dan kebebasan dan menyusun kewajiban
dan batasan, bahkan terhadap media yang paling bebas dalam ranah publik. Di banyak negara, terdapat
sektor publik media (biasanya penyiaran) yang secara mutlak dikendalikan oleh pemerintah dan terdapat
beragam cara bagaimana manajemen
manajemen organisasi ini dimasuki
dimasuki kepentingan politik, bahkan di mana media
itu memiliki otonomi.
Para pemilik media swasta secara umum memiliki kepentingan finansial dan strategis yang
menimbulkan upaya untuk memengaruhi pengambilan keputusan politik. Tidak jarang mereka memiliki
posisi ideologis yang terbuka dan bahkan ambisi politik tersendiri. Dukungan surat kabar untuk partai
politik lebih lazim dan terkadang partai politik mengendalikan surat kabar. Untuk alasan-alasan pemilu,
para politikus sering kali diwajibkan untuk meminta dukungan media yang besar, sehingga arus
pengaruh sifatnya dua arah.
Pada tingkat kinerja, konten dari kebanyakan media harian masih sering didominasi oleh politik,
tetapi biasanya bukan karena politik itu mempesona dan layak diberitakan bagi publik. Meskipun warga
negara memang perlu diberikan informasi dan diberi saran dalam jangka waktu yang lama, mereka tidak
betul-betull membutuh
betul-betu membutuhkan
kan apa yang setiap hari ditawarkan.
ditawarkan. Alasannya
Alasannya adalah sebagian ada pada
keuntungan bagi media berita dalam hubungannya dengan komoditi pokok yang bebas dan sebagian lagi
pada upaya besar yang diciptakan oleh kepentingan politik (dalam pengertian terluas)

Ekonomi dan Penguasaan Media 275

untuk memperoleh akses kepada publik demi tujuan-tujuan mereka yang berbeda. Hal tersebut juga
berasal dari kaitan yang telah lama ada pada institusi
institusi politik dan media yang tidak mudah
m udah dipatahkan.
Politik tidak dapat berjalan tanpa media dan jenis (berita) media yang kita miliki pasti akan susah payah
tanpa politik.
Ada banyak upaya untuk menganalisis hubungan di atas. Buku Siebert dan kawan- kawan Four
Theories of The Press (1956) (dibahas dalam Bab 7) masih menawarkan prinsip dasar yang memandu
kebanyakan upaya itu. Hal ini disajikan dalam bentuk kutipan dalam Kotak 9.7.

Prinsip dasar hubungan media dan masyarakat

Pers selalu mengambil bentuk dan pola struktur sosial politik di mana ia beroperasi. Khususnya,
pers mencerminkan sistem kontrol sosial di mana hubungan individu dan institusi disesuaikan.
(Siebert dan kawan- kawan, 1956: 1)

Hallin dan Mancini (2004) menyarikan tiga model fundamental hubungan antara sistem media
dengan sistem politik nasional berdasarkan penelitian tentang tujuh belas negara demokrasi barat. Model
pertama dinamai 'liberal' atau 'Atlantik Utara'; kedua, 'korporat demokratis 1 atau 'Eropa Utara'; dan ketiga,
'pluralis yang terpolarisasi' atau 'Mediteran'. Label-label itu menunjukkan latar geografis model yang pada
gilirannya mencerminkan pengaruh sejumlah faktor ekonomi dan budaya yang penting dengan akar
sejarah yang panjang. Dalam kotak 9.8, sebuah perbandingan ringkasan diberikan dari beberapa aspek
kunci tiap model yang diturunkan dari beberapa variabel utama yang diteliti. Dalam penyajian ini, istilah
'paralelisme' (parallelism) memiliki arti bahwa media cenderung menjadi terstruktur dan berjajar menurut
parallelism
partai-partai dan ideolog yang saling bersaing di dalam negara yang bersangkutan. ' Clientelisme'
(Clientilism ) artinya media dimasuki kepentingan luar dan bekerja untuk tujuan tersebut secara sukarela
atau demi uang, sehingga menjauh dari norma-norma perilaku legal-rasional (Roudikova, 2008).
Batasan dari proposal ini adalah dasar yang sempit dari sistem demokratis serupa di mana ia berada,
walaupun sejak saat itu telah diterapkan pada penelitian di banyak negara lain dan terbuka bagi
penyesuaian
penyesuaian dan penambahan.
penambahan. Model ini juga cenderung bias terhadap pers surat kabar. Umumnya, kasus
manapun cenderung menyimpang dari salah satu jenis tipe ke derajat yang lebih tinggi atau rendah, dan
mengurangi nilai dari tipologi. Meskipun demikian, model tersebut telah membuktikan nilainya sebagai
titik awal analisis. Walaupun penelitian yang dijelasan tidak meneliti 'demokrasi baru' yang bargabung
dengan Eropa setelah jatuhnya komunisme sekitar 1990, Jakubowicz (2007)

276 Struktur

Q Tiga model sistem hubungan media-


media-politi
politi k
9

(Hallin dan Mancini, 2004)


► Liberal Korporat Pluraiis yang
demokratis terpolarisasi
Peranan negara Lemah Kuat (sejahtera) Kuat
terhadap media
Konsensus atau Campuran Lebih banyak Lebih
polarisasi politik konsensus terpolarisasi
Profesionalisasi Rendah Tinggi Sedang
jurnalisme
Paralelisme pers Rendah Sedang Tinggi
- politik
Keberadaan Rendah Rendah Tin i
clientelisme

berpendapatt hal tersebut


berpendapa tersebut berguna untuk menjelaskan apa yang terjadi. Ia menyimpulkan
menyimpulkan bahwa
sekelompok negara yang bisa jadi sangat berbeda ini paling mendekati model Mediteran karena sebagian
besar dicirikan oleh demokratisasi
demokratisasi yang terlamba
terlambat,
t, otoritas hukum
hukum rasional yang lemah, sering kali negara
yang otoriter, paralelisme politik, dan kehidupan politik yang menggemparkan. Jakubowicz menyatakan
bahwa pada akhirnya
akhirnya negara-negara ini mungkin akan melangkah ke bentuk korporat demokratis, tetapi
tidak mungkin meraih kondisi sistem liberal.
Isu-isu tentang hubungan antara media dan negara tidak dapat diselesaikan hanya dengan rujukan
pada model-model yang umum. Pertanyaan yang muncul sehubungan dengan mengapa di masa modern

media arus utama dalam demokrasi bebas tampaknya cenderung mencerminkan alih-alih menantang arah
kebijakan pemerintahan pada masanya. Mengapa mereka begitu siap memerankan 'pengendali sosial' yang
disebut oleh Sieber dan kawan-kawan, bukannya peran watchdog dan kritik yang dielu-elukan dalam
ideologi jurnalistik? Ada beberapa macam jenis yang sebagian dari jenis-jenis tersebut diajukan pada Bab
11. Bennett (1990) telah mengedepankan teori yang didukung dengan baik tentang hubungan antara
kekuatan pemerintah dan negara di satu sisi, dan pers di sisi lain, seperti yang ada di AS. Teori itu
berpegang bahwa jurnalis
jurnalis yang bertanggung jawab secara umum membatasi
membatasi pemahaman mereka tentang
peran penting mereka dalam hubungan dengan negara di mana isu-isu konflik muncul, sehingga
menyajikan atau mengindeks kisaran pandangan pemerintah dan aktor-aktor institusional lainnya.
Mereka tidak memiliki kewajiban untuk menyajikan sudut pandang minoritas atau 'ekstrim1, atau
mencerminkan suara 'opini publik' yang independen. Teori yang didukung oleh sebuah penelitian tentang
liputan New York times mengenai pendanaan AS untukpemberontakan di Nikaragua. Selanjutnya, kasus-

kasus

Ekonomi dan Penguasaan Media 277

lain telah dipelajari, khususnya perang Irak yang dimulai pada tahun 2003 (Bennett dan kawan-kawan,
2007). Ilustrasi yang meyakinkan tentang pengaruh indeks diberikan oleh Bennett dan kawan-kawan (2007)
dalam kasus publikasi foto-foto penyiksaan Abu Ghraib pada tahun 2004. Pemerintah menolak
menggunakan kata penyiksaan', dan lebih suka menggunakan ’penyalahgunaan wewenang 1 atau
'kesalahan perlakuan' (mistreatment), dan hal ini secara berlebihan diikuti oleh media arus utama AS. Teori
'indeks' memberikan penjelasan yang meyakinkan tentang fenomena ini, sebagaimana yang dijelaskan oleh
Bennet dan kawan-kawan, dalam Kotak 9.9.

9.9 Gagasan
Gagasan pokok t eori indeks

Prinsip inti sistem pers arus utama di AS nampaknya adalah seperti ini: berita arus utama secara
umum tetap ada di dalam ranah konsensus resmi dan di dalam konflik yang dipertunjukkan
melalui pernyataan publik dari pejabat pemerintah penting yang mengatur wilayah kebijakan dan
proses pengambilan keputusan yang menjadi berita. Jurnalis mengukur berita berdasarkan
prinsip kekuatan dinamis ini... proses pengukuran yang tersirat dan berjalan terus-menerus ini
yang dilakukan oleh korps pers, menciptakan sistem penimbangan dari apa yang masuk menjadi
berita, seberapa besar keutamaannya, berapa lama peliputannya, dan siapa yang berbicara
dalam cerita itu (Bennett dan kawan-kawan, 2007: 49)

Walaupun alasan yang dijelaskan dalam Kotak 9.9 sesuai dengan prinsip demokratis karena jurnalis
pada utamanya mencerminkan perspektif perwakilan yang terpilih, hal tersebut juga memberikan hal
terakhir ini kekuasaan besar untuk menggambarkan pandangan mereka sendiri tentang opini publik, dan
dengan demikian bertindak tanpa banyak kekangan dari pers. Apa yang hilang tampaknya adalah peran
media untuk berbicara atas nama publik atau memberikan informasi secara independen. Proses yang
disebut 'indeks' jelas ada di negara-negara lain, sebagian karena dalam beberapa hal itu adalah
konsekuensi
konsekuensi ketergantun
ketergantungan
gan j urnalis
urnalis terhadap praktik objektivitas yang memerlu
memerlukan
kan baik 'keseimbangan'
maupun akses mudah pada sumber-sumber yang dapat dipercaya yang secara umum memunculkan 'ahli'
yang dipercaya dan pihak yang berwenang. Di negara-negara dengan sistem penyiaran publik yang
mapan, sistem-sistem ini cenderung mengikuti versi logika 'indeks' walaupun dengan cakupan bagi
keragaman. Bagaimanapun, situasi yang tepat tergantung pada budaya politik yang ada. Di Jepang
misalnya, penyiaran publik menjaga informasi secara berimbang, tetapi pers surat kabar arus utama,
terlepas dari keragaman
politik, menjalankan bentuk kartel berita (klub pers kasha) yang mempertahankan
hubungan yang nyaman dengan kekuasaan dan secara umum bertindak sebagai saluran
informasi yang disediakan oleh pemerintah dan institusi-institusi lainnya (Gamble dan
Watanabe, 2004). Di Rusia, terdapat banyak bukti bahwa media sangat tergantung pada
pemerintah dan dukungan komersial, dengan clientelisme (clientilism) yang hampir

terlembaga yang meracuni jurnalisme (Stromback dan Dimitrova, 2005; Roudikova,


2008) . Becker (2005) mendukung
mendukung pandangan yang sangat pesimis
pesimis mengenai kebebasan
media di bawah Putin, tetapi juga menekankan kebutuhan untuk membeda-bedakan
antara rezim yang kurang lebih otoriter di dunia, sebagaimana juga di antara negara
yang menganggap dirinya demokratis.

Kesimpulan
Bab ini memberikan ikhtisar mengenai ciri utama ekonomi medai dan sistem peraturan
umum (pengelolaan). Keduanya menunjukkan ciri yang penting dibandingkan dengan
sektor industri serta wilayah institusional lain. Kunci terhadap perbedaan di kedua
kasus adalah karakter media yang ganda, baik sebagai perusahaan komersial maupun
elemen kunci dalam kehidupan politik, budaya, dan sosial di masyarakat. Mereka tidak
dapat sepenuhnya diserahkan kepada pasar atau diatur secara tertutup. Walaupun
trennya adalah menuju kebebasan yang lebih besar, akan ada batasan untuk tindakan
mereka.
Sejauh pembahasan mengenai pengelolaan, ciri yang paling umum dan penting
adalah sebagai berikut. Media massa hanya dapat diatur dengan cara yang tidak
langsung atau minim oleh pemerintah. Bentuk pengelolaan sangat bervariasi, baik
internal maupun eksternal, formal maupun informal. Hal terpenting barangkali adalah
bentuk formal dan informal.
informal. Bentuk-bentuk peraturan yang berbeda diterapkan kepad
kepadaa
teknologi distribusi yang berbeda pula. Bentuk-bentuk pengelolaan akarnya berasal dari
sejarah dan budaya politik dari masing-masing masyarakat bangsa.

Bacaan Selanjutnya
Baker, E. (2007) Media Concentration and Democracy. Cambridge: Cambridge
University Press.
Kinerja otoritas mapan dalam menghadapi isu-isu krusial untuk demokrasi yang
muncul dari komersialisasi media massa. Berdasarkan pengalaman di AS, tetapi juga
relevan untuk sistem media berbasis pasar yang lain.
Kung, L. Picard, G. Dan Towse, R. (ed.) (2008) The Internet and the Mass Media,
M edia,
him. 86-101.
Sekumpulan bab oleh penulis-penulis yang berbeda tentang
t entang berbagai aspek dampak
Internet terhadap media massa yang ada, khususnya pasar dan

Ekonomi dan Penguasaan Media 279

industri media, isu pengaturan, dan organisasi media. Dijelaskan secara ringkas dan empiris. Rujukan
utamanya adalah kondisi di Eropa.

Terzis, G. (2007) European Media Governance: National and Regional Dimensions. Bristol, UK: Intellect.
Buku sumber dengan banyak penulis dengan berbagai artikel dan bab-bab tinjauan regional tentang
sistem media di tiga puluh dua negara.

Turow, J. (2009) Media Today: An Introduction to Mass Communication, ed.


3 New York: Routledge.
Sumber informasi yang sangat mudah diakses dan bagus tentang proses dan industri media
kontemporer. Meskipun berdasarkan kondisi AS, relevansinya besar untuk memahami berjalannya
media global.

Bacaan
Bacaan Daring
Darin g
Albarran, A. (2004) ‘Media economics’, dalam J.D.H. Downing, D. McQuail, P.
Schlesinger dan E. Wartellan (ed.). The Sage Handbook of Media Studies, him.
291-308. Thousand Oaks, CA: Sage.
Croteau, D. dan Haynes, W. (2007) The media industry: structure, strategy, and
debatess’, dalam E. Devereux (ed.), Media Studies, him. 32-54. London: Sage.
Fengler, S. dan Russ-Mohl, S. (2008) ‘Journalists and the information-attention
markets: towards on economic theory of journalism’, Journalism, 9 (6): 667-690.
Fuchs, C. (2009) ‘Information and communciation technologies and society: a
contribution to the critique of the political economy of the Internet’, European
Journal of Communication, 24 (1): 69-87.
Mansell, R. (2004) ‘Political economy, power, and the media’, New Media and
Society, 6 (1): 96-105.
10
Komunikasi Massa
Global
Asall mul
Asa m ul a gl
glob
obali
ali sas i 278
Tenaga penggerak: teknologi dan uang 280
282 Struktur
Struktur media global
global 281
Kepemilikan dan kontrol media mult inasional 283
Variasi media massa global 284
Ketergantungan media internasional 286
Imperialisme budaya dan sesudahnya 287
Proses transnasionalisasi media 291
Al
Alir
ir an beri
b eri ta int
i ntern
ern asion
asi on al 293
Perdagangan global dalam budaya media 297
Menuju budaya media global? 299
Pengelolaan media global 301

Kesimpulan 303
Kecepatan pergerakan internasionalisasi telah semakin meningkat karena peningkatan
dalam teknologi distribusi dan kebutuhan ekonomi yang baru. Media massa
dipengaruhi, seperti juga hal lainnya oleh fenomena umum globalisasi. Mereka berada
dalam posisi khusus, baik sebagai objek maupun agen dari proses globalisasi itu sendiri.
Mereka juga menjadi alat kita untuk menjadi sadar akan globalisasi. Perubahan
teknologi telah menjadi penyebab yang sangat nyata dan langsung dari perubahan ini,
tetapi ekonomi juga memainkan peranan yang penting. Kita melihat pada proses
internasionalisasi kepemilikan media dan konten yang mengalir melalui saluran media.
Ada beberapa alasan untuk memberikan bab yang berbeda untuk aspek
Komunikasi Massa Global 283

komunikasi massa yang ini. Salah satunya adalah fakta bahwa karakter global dari
media massa menjadi sangat problematis sesudah Perang Dunia II. Masalah muncul
dari perjuangan ideologis antara pasar bebas Barat dan komunis Timur,
ketidakseimbangan ekonomi dan sosial di antara negara-negara berkembang dan
mapan, ditambah dengan pertumbuhan konsentrasi media global yang mengancam
kebebasan berkomunikasi. Isu dominasi budaya dan ekonomi oleh media terhadap
negara berkembang dan dampaknya pada budaya minoritas di mana-mana
membutuhkan perhatian khusus. Kita telah mencapai titik di mana perubahan kualitatif
dapat mengarah pada media global yang lebih nyata, melibatkan media independen
yang melayani khalayak lintas batas negara. Hal ini berarti kemunculan media
internasional semacam itu dengan khalayak mereka sendiri, dan bukan hanya
internasionalisasi konten dan organisasi media. Internet mengambil posisi utama dalam
skenario masa depan mengenai komunikasi internasional dan juga memunculkan
pertanyaan mengenai pengelolaan media global ke dalam fokus yang lebih tajam.

Asal
As al Mul
Mu l a Glob
Glo b ali
al i sasi
sas i
Buku dan percetakan pada mulanya adalah internasional karena mereka mendahului
zaman dari adanya negara bangsa dan melayani kehidupan budaya, politik, dan
komersial yang meluas hingga ke Eropa dan seterusnya. Banyak buku-buku cetakan
awal yang berbahasa Latin atau diterjemahkan dari bahasa lain dan surat kabar paling
awal sering kali dikumpulkan dari surat kabar yang beredar secara luas di Eropa. Surat
kabar, film, atau stasiun radio pada awal abad ke-20 bentuknya sama dengan yang
berada di New York hingga New South Wales, dari Vladivostok
Vladivostok hingga Valparai
Valparaiso.
so.
Meskipun demikian, surat kabar yang kemudian berkembang menjadi institusi nasional
dan batasan nasional secara umum menandai peredaran media cetak. Karakter nasional
dari media massa awal dikuatkan oleh eksklusifitas bahasa sebagaimana pula faktor
budaya dan politik. Ketika film ditemukan
ditemukan,, media ini sangat terbatas di dalam batasan
negara, setidaknya hingga setelah perang tahun 1914-1918. Penyebarannya kemudian,
terutama dalam bentuk film Hollywood, merupakan contoh nyata pertama akan media
massa transnasional (Olson, 1999). Ketika radio secara luas diperkenalkan
pada tahun 1920-an, sekali lagi ia menjadi media nasional yang esensial, tidak hanya karena kata-katanya
diucapkan dalam berbagai bahasa yang berbeda, tetapi juga karena penyiarannya secara umum hanya
ditujukan untuk melayani wilayah nasional.
Dengan perbandingan, saat ini kita terus-menerus diingatkan akan seperti apa media internasional
sekarang dan bagaimana arus berita dan budaya mengitari globe dan membawa kita ke dalam sebuah 'desa
global' {global village) yang tunggal, sebuah istilah yang ditemukan oleh McLuhan (1964). Surat kabar besar
dari pertengahan abad ke-19 dan seterusnya telah dilayani dengan baik oleh agen berita yang berkuasa dan
terorganisir dengan baik yang menggunakan sistem telegraf internasional dan berita dari luar negeri
adalah komoditas pokok bagi banyak surat kabar di seluruh dunia. Ciri utama dari situasi geopolitik,

284 Struktur

terutama nasionalisme itu sendiri dan juga imperialisme, mendorong ketertarikan terhadap peristiwa
internasional, terutama ketika perang dan konflik memberikan salinan berita yang baik (hal ini terjadi
sebelum abad ke- 19, misalnya Wilke, 1995). Pada awal abad ke-20, pemerintah mulai menemukan
keuntungan media untuk tujuan propaganda internasional maupun domestik. Sejak Perang Dunia II,
banyak negara menggun
menggunakan
akan radio untuk
untuk memberikan layanan informasi dan budaya ke seluruh dunia
yang dirancang untuk mempromosikan citra nasional yang positif, mempromosikan budaya nasional, serta
memelihara kontak dengan warga negara asing.
Rekaman musik awal juga memiliki karakter semi-internasional, pertama dikarenakan repertoar
klasik, dan kedua karena meningkatnya penyebaran lagu populer Amerika, terkadang diasosiasikan
dengan film musikal. Selalu ada tekanan yang potensial atau nyata antara keinginan untuk memelihara
hegemoni nasional, budaya, dan politik, serta keinginan untuk berbagi inovasi teknologi dan budaya dari
mana saja. Minoritas nasional juga menuntut identitas budaya di hadapan dominasi budaya imperialis
dalam artian sebenarnya (misalnya di dalam Kerajaan Inggris, Austria, dan Rusia). Amerika Serikat

menjadi pendatang baru dalam peran imperalis. Terutama setelah Perang Dunia II, AS mengejar kebijakan
dalam memajukan penetrasi medianya di seluruh dunia, bukan hanya dalam bentuk sistem kepercayaan
mengenai struktur media yang diinginkan dalam masyarakat—kombinasi dari pasar bebas, pendapat yang
bebas, dan netralitas
netralitas po
politik
litik yang
yang seolah-olah
seolah-olah nyata dengan
dengan kontradiksi yang tidak dapat dihindari.
dihindari.
Televisi barangkali masih menjadi pengaruh kuat yang tunggal dalam mempercepat proses
globalisasi media, sebagian dikarenakan sama, seperti film bioskop, karakter visualnya membantu
melewati batasan bahasa. Pada masa-masa awalnya, jangkauan penyiaran teresterial terbatas pada
perbatasan nasional
nasional di sebagian besar negara. Kini,
K ini, kabel, satelit, dan alat transmi
transmisi
si lainnya secara umum
telah mengatasi keterbatasan ini. Bentuk baru dari internasionalisasi adalah Internet yang tidak harus
mempertimbangkan batasan nasional sama sekali, bahkan jika bahasa, budaya, dan hubungan sosial
memastikan bahwa perbatasan masih membentuk aliran konten.
Tenaga Pengg
Penggerak:
erak: Teknol
Teknol ogi dan Uang
Uang
Teknologi tentunya memberikan dorongan yang kuat bagi globalisasi. Kedatangan
televisi satelit pada akhir tahun 1970-an mematahkan prinsip independensi nasional
dalam ranah penyiaran dan menyulitkan bahkan mustahil untuk memberikan
perlawanan yang efektif terhadap penyiaran televisi dan penerimaan dari luar wilayah
nasional.
nasional. Akan
A kan tetapi, hingga batasan di mana satelit menjangkau khalayak global secara
langsung dengan konten dari luar sering kali dilebih-lebihkan dan masih relatif kecil,
bahkan di wilayah seperti Eropa. Ada bentuk alat penyebaran lain yang bekerja dalam
arah yang sama, misalnya dengan menghubungkan sistem kabel dan secara fisik
membawa CD dan DVD. Akan tetapi, jalur utamanya adalah dengan mengekspor
konten yang disalurkan melalui media berbasis nasional.
Meskipun teknologi adalah kondisi yang diperlukan untuk globalisasi yang luas,
dan media global yang sesungguhnya dari Internet menggambarkan hal ini dengan
jelas, tenaga penggerak yang paling cepat dan bertahan lama di balik globalisasi adalah
ekonomi (dan remnya adalah budaya). Televisi dibangun berdasarkan model penyiaran
radio sebagai layanan berkelanjutan yang setidaknya ada pada saat malam hari, dan
kemudian pada siang hari, dan akhirnya berlangsung selama 24 jam. Biaya untuk

Komunikasi Massa Global 285


mengisi waktu penyiaran dengan materi asli atau domestik selalu melampaui kapasitas
organisasi produksi, bahkan di negara-negara makmur. Hampir tidak mungkin mengisi

jadwal tanpa
tanpa pengulangan
pengulangan acara aatau
tau men
mengimpor
gimpor secara besar-besa
besar-besaran.
ran.
Ekspansi televisi sejak tahun 1980-an, dimungkinkan oleh teknologi penyiaran
yang baru, efisien, dan juga murah, telah digerakkan oleh motif komersial dan
mendorong tuntutan akan impor. Hal ini juga merangsang industri produksi
audiovisual baru di banyak negara yang pada gilirannya mencari pasar baru. Penerima
utama dan pengekspor utama adalah AS yang memiliki produksi hiburan populer yang
besar dan berlebih, dan pembuka kepada banyak
banyak pasar yang dilindungi oleh keakrab
keakraban
an
budaya dari produk-produknya
produk-produknya,, terutama yang dihasilkan dari film Amerika selama
beberapa dekade. Bahasa Inggris merupakan
merupakan keuntungan tambahan meskipun bukan
yang utama karena sebagian besar ekspor televisi selalu disulih suara atau diberi teks
terjemahan ketika disiarkan.
Komponen penting dari komunikasi massa internasional adalah iklan yang

berhubungan
berhubu ngan dengan globalisasi dari ban
banyak
yak produk pasar dan men
mencerminkan
cerminkan karakter
internasional dari banyak agen periklanan serta dominasi pasar oleh sejumlah
perusahaan kecil. Pesan iklan yang sama muncul di banyak negara, dan terdapat juga
efek internasionalisasi secara tidak langsung di media yang membawa iklan. Hal yang
terakhir dari kekuatan yang mempromosikan globalisasi adalah ekspansi yang besar
dan privatisasi infrastruktur serta bisnis telekomunikasi (Hills, 2002). Penyebab utama
dari globalisasi media dirangkum dalam Kotak 10.1.
Komunikasi Massa Global 286

Penyebab globalisasi media


I • Lebih banyak teknologi yang hebat untuk penyiaran jarak jauh.
Perusahaan komersial.
• Hasil dari hubungan perdagangan dan diplomatik.
• Kolonialisasi dan imperialisme dari masa lalu maupun masa kini.
• Ketergantungan ekonomi.
• Ketidakseimbangan geopolitik.
• Periklanan.
• Ekspansi telekomunikasi.

Strukturr Medi
Struktu Mediaa Glob
Global
al
Sebagai latar belakang bagi diskusi ini, sangat berguna untuk memiliki ikhtisar atas
'sistem media global' {global media system)
system),, sejauh mana hal ini dapat dilakukan karena
tidak adanya pengaturan formal yang melampaui batasan nasional. Cara yang paling
mudah untuk memulai adalah dengan banyaknya negara yang terpisah yang
berinteraksi dan berkomunikasi
berkomunikasi satu sama lain. Jalur aliran dan pertukaran
pertukaran antarnegara
mengikuti beberapa pola yang reguler dan dapat diperkirakan (meskipun berubah-
ubah), dan hal ini membantu kita membayangkan struktur semacam ini. Negara
melibatkan sejumlah besar dan beragam faktor yang secara umum membentuk
keseluruhan 'struktur'. Faktor utamanya adalah ukuran (wilayah dan populasi), tingkat
perkembangan ekonomi, bahasa, sistem politik, dan budaya. Ukuran negara

memengaruhi semua aspek media, tetapi populasi menyediakan baik dasar ekonomi
bagi produksi domestik maupun
maupun target pasar yang besar untuk ekspor negara lain.
Bahasa dan budaya mendorong aliran tertentu antarnegara dengan kesamaan mutual
dan juga membatasi apa yang memungkinkan, sebagaimana pula batasan politik dan
ideologis. Kekuatan ekonomi adalah penentu utama dominasi pada keseluruhan
perangkat hubungan. Dunia media juga dikelompokkan secara wilayah. Tunstall (2007:
330) menunjuk pada empat tingkatan. Di bawah tingkat global adalah tingkatan negara
bangsa, nasional,
nasional, dan lokal. Meskipun demikian, media sebagian besar masih diatur
pada tingkat nasional.
Sebagian besar teori dan penelitian telah mendalami struktur dasar yang telah
dibahas, tetapi ide pengaturan utamanya adalah pola pusat-periferi dari hubungan
antarnegara (Mowlana, 1985). Negara yang memiliki posisi pusat juga memiliki media

yang paling mapan, makmur, dan besar secara populasi. Negara periferi {peripheral

Komunikasi Massa Global 287


nation) memiliki karakter yang berkebalikan. Tentu saja terdapat juga posisi tengah- tengah. Negara pusat
lebih mungkin memiliki aliran yang lebih besar ke negara lain yang arus baliknya tidak seimbang.

Pertukaran mutual lebih besar kemungkinannya di antara negara yang berhubungan 'dekat' secara
geografis, budaya, atau ekonomi. Negara periferi tidak mengekspor konten media, tetapi kapasitas mereka
untuk mengimpor juga dibatasi oleh kurangnya perkembangan. Hal ini terkadang membawa pada
berbagai bentuk mencuku
mencukupi-diri
pi-diri daripada yang dinikmati oleh negara pusat yang kaya. Keadaan yang
mendasari struktur media global, mengatur situasi bagi pembentukan teori, perdebatan, dan penelitian
mengenai realitas dan ketertarikan atas globalisasi. Pada mulanya sekitar tahun 1960-an, pemikiran
didominasi oleh dominasi ekstrim Amerika Serikat, terutama hiburan Hollywood dan kantor berita global.
Uni Soviet merupakan pesaing utamanya, bersama dengan Cina dan keseluruhan negara komunis lainnya.
Dunia Ketiga memberikan sekumpulan besar negara periferi, walaupun terdapat banyak variasi. Dengan
hampir berakhirnya komunisme dan perkembangan pesat di sebagian besar Asia dan Amerika Latin,
struktur dunia terlihat agak berbeda. AS masih mendominasi sebagai produsen hiburan internasional,
tetapi bagian besar dari populasi dunia saat ini tinggal di subkontinen India atau Cina atau negara-negara
besar lainnya, termasuk
termasuk Jepang, Brazil, Indon
Indonesia,
esia, Nigeria, dan Meksiko yang pada umumnya
umumnya mencukupi
diri dalam hal media. Tunstall (2007: 6) menyimpulkan bahwa 'dari kesepuluh negara ini secara bersama-
sama, barangkali tidak lebih dari 10 persen dari waktu khalayak mereka yang dihabiskan dengan media
asing'. Produsen media terbesar saat ini (tidak harus selalu eksportir) adalah AS, Cina, Meksiko, Mesir,
Brazil, dan India. Tunstall menambahkan bahwa negara yang medianya paling global yang melakukan
paling banyak impor, 'jatuh ke dalam tiga kategori: 1, negara miskin yang berpopulasi sedikit; 2, negara
kecil dengan tetangga yang besar dan memiliki bahasa bersama; dan 3, negara-negara Eropa yang kaya,
tetapi kecil yang mengimpor dari beragam sumber'. Pertanyaan utama yang muncul dari struktur sistem
media global ditampilkan dalam Kotak 10.2.

Struktur media global: pertanyaan


pertanyaan utama yang muncul

• Bagaimana pola dari dominasi dan ketidakseimbangan aliran media?


• Apa penyebab dari pola yang teramati tersebut?

9
• Bagaimana dampak dari struktur yang diamati?
d iamati?
• Bagaimana dinamika dan arah dari perubahan?
• Bagaimana seharusnya kita mengevaluasi tren globalisasi media?
m edia?


288 Struktur

Kepemilikan dan Kontrol Media Multinasional


Fase terkini dari 'revolusi komunikasi’ (communication revolution) ditandai dengan
adanya fenomena baru konsentrasi media, baik transnasional maupun multimedia,
mengarah pada industri media global yang semakin didominasi oleh sejumlah kecil
perusahaan media yang sangat besar (Chalaby, 2003). Dalam beberapa kasus,
pembangunan ini merupakan pencapaian dari jenis tradisional dari media ’mogul 1
(Tunstall dan Palmer, 1991) walaupun dengan nama yang baru. Meskipun adanya citra
tinggi dari media mogul yang sangat berlebihan, kemungkinan tren akan menuju pola
kepemilikan dan operasi yang impersonal, sebagaimana yang sesuai dengan perusahaan
global yang besar. Perkembangan media dalam pasar yang bangkit, misalnya di
Amerika Selatan dan India telah memunculkan media mogul serta perusahaan
multimedia nasional mereka sendiri, sering kali dengan investasi asing (lihat Chadha

dan Kavoori, 2005).


Beberapa jenis konten media menawarkan diri mereka sendiri kepada kepemilikan
global dan kontrol produksi serta distribusi. Hal ini mencakup berita, film, rekaman
musik populer, serial televisi, dan buku. Tunstall (1991) merujuk hal ini sebagai media
’yang unik1, kontras dengan arus kas’ media surat
surat kabar dan stasiun televisi
televisi yang secara
umum bertahan dari kepemilikan multinasional. Produk 'unik' dapat lebih mudah
dirancang bagi produk internasional dan menawarkan diri mereka sendiri kepada
pemasaran dan distribusi yang fleksibel untuk jangka waktu yang lebih lama. 'Berita'
adalah produk pertama yang 'dikomodifikasi' melalui agen berita internasional yang
besar. Sebagai hasilnya,
hasilnya, inilah
inilah yang menjadi
menjadi pemasok
pemasok berita 'grosiran'
'grosiran' sebagai komoditas
komoditas
dan mudah untuk melihat mengapa media berita nasional merasa lebih nyaman dan
ekonomis untuk 'membeli1 berita mengenai seluruh dunia daripada harus

mengumpulkannya sendiri.
Bangkitnya agen berita global pada abad ke-20 dimungkinkan oleh adanya
teknologi (telegraf dan sistem telepon) dan dirangsang oleh perang, perdagangan,
imperialisme, dan ekspansi industri (Boyd-Barret, 1980, 2001; Boyd-Barret dan Rantanen,
1998). Keterlibatan pemerintah cukup umum terjadi. Untuk alasan-alasan ini, agen pers
besar di era setelah Perang Dunia II adalah Amerika Utara (UPI dan Associated Press),
Inggris (Reuters), Prancis (AFP), dan Rusia (Tass). Semenjak itu, dominasi AS relatif
menurun dengan hampir jatuhnya UPI, sementara agen yang lain bertumbuh (misalnya
DPA di Jerman, Xinhua di Cina, dan Kyodo di Jepang). Tass digantikan oleh Itar-Tass
yang masih menjadi agen negara.
Menurut Tunstall (2007) meskipun adanya dominasi media Amerika secara umum,
Eropa telah menjadi produsen dan konsumen terbesar dari berita asing. Paterson (1998:
79) menulis bahwa tiga agen berita televisi yang sebagian besar berasal dari berita
internasional dan digunakan para penyiar di seluruh dunia adalah Reuters, World
Television News (WTN), dan Associated Press Television News (APTV). Tunstall dan
Machin (1999: 77) merujuk pada 'duopoli berita dunia’ virtual yang dikendalikan oleh

Komunikasi Massa Global 289

Associated Press di AS, dan Reuters di Inggris. AFP di Prancis dan DPA di Jerman serta
EFE Spanyol juga merupakan pemain besar. Jelas bahwa kekuasaan dibentuk oleh
kekuatan domestik dari organisasi media yang bersangkutan dalam hal ukuran pasar,
derajat konsentrasi, dan sumber daya ekonomi. Bahasa Inggris juga memberikan
keuntungan tambahan.
Contoh paling utama dari internasionalisasi kepemilikan, produksi, dan distribusi
media adalah industri musik populer (perkembangan dalam lima puluh tahun terakhir)
dengan proporsi yang besar dari beberapa pasar yang utama berada di tangan
perusahaan 'lima besar'. Setelah merjer Bertelsmann dan Sony pada tahun 2004, terdapat
empat perusahaan dominan lainnya, yaitu Sony, Warner, Universal, dan EMI. Sekitar
sepertiga penjualan rekaman di seluruh dunia berada di tangan Amerika (Turow,
2009) . Periklanan memberikan contoh lain dari konsentrasi dan internasionalisasi yang
tinggi. Menurut Tunstall (2007), sekitar enam agen super yang besar memiliki sebagian
besar dari pengeluaran periklanan di seluruh dunia. Agen periklanan juga cenderung
mengendalikan penelitian pasar, pembelian media, dan perusahaan PR. Sebagaimana
komentar Thussu (2009: 56), 'cap Barat, atau lebih spesifik Anglo-Amerika, sangat
terlihat dalam periklanan global' dengan tren yang mengarah pada pemberian merek
global. Sebagian besar perhatian tertuju pada perusahaan multimedia berbasis AS yang
beroperasi
beroperasi secara global, misalnya
misalnya AOL-Time Warner, Disney, NBC-Vivendi,
NBC-Vivendi,
Bertelsmann, News Corporation, Sony, dan sebagainya, tetapi saat ini hanya sedikit
konglomerat multimedia lain di dunia.
Globalisasi dan konsentrasi perusahaan media besar juga cenderung mengarah
pada pembentukan kartel, dan perusahaan-perusahaan yang sangat besar saling bekerja
sama sekaligus berkompetisi dalam berbagai cara. Perusahaan-perusahaan juga bekerja
sama dengan berbagi pendapatan, produksi bersama, pembelian film secara bersama-
sama, dan membagi-bagi pasar lokal. Walaupun kisahnya menjadi semakin rumit
dengan bangkitnya perusahaan media di Jepang dan Eropa, tidak diragukan lagi bahwa
Amerika Serikatlah yang paling diuntungkan dari ekspansi global pasar media.
Menurut Chan-Olmstead dan Chang (2003), perusahaan media Eropalah yang paling
tidak berkembang menjadi bentuk internasional.
Vari
Variasi
asi Media Massa
Massa Global
Glo bal
Komunikasi massa global adalah fenomena multifaset yang mengambil berbagai
bentuk. Di dalamnya
dalamnya mencaku
mencakup:
p:

• Transmisi ataudistribusi langsung saluran media atau publikasi utuh dari satu negara
kepada khalayak di negara lain. Termasuk di dalamnya penjualan surat kabar dan
buku kepada asing (terutama
(terutama dalam bentuk
bentuk khusus), saluran televisi satelit
satelit tertentu,
tertentu,
dan layanan penyiaran radio yang disponsori secara internasional.

290 Struktur

• Media internasional khusus tertentu, misalnya MTV Eropa, CNN Internasional, BBC World, TVCinq,
Televisora del Sur, Al-Jazeera, dan seterusnya, ditambah dengan agen-agen berita internasional.
• Bermacam-macam bentuk konten (film, musik, program televisi, artikel jurnalistik, dan seterusnya)
yang diimpor untuk memenuhi keluaran media domestik.
• Format dan genre asing yang diadaptasi atau dibuat ulang untuk menyesuaikan dengan khalayak
domestik.
• Artikel berita internasional, baik mengenai negara lain maupun yang dibuat di negara lain yang
muncul di media lokal.
• Konten lain-lain, misalnya peristiwa olahraga, iklan, dan gambar yang berasal dari luar negeri.
• World Wide Web (WWW) dalam berbagai bentuk yang saling tumpang tindih dengan beberapa bentuk
di atas.

Jelas dari bentu


bentuk-bentuk
k-bentuk di atas, bahwa tidak
t idak ada garis pembatas
pembatas yang jelas antara konten media yang

'global' dengan yang 'lokal'. Komunikasi massa hampir secara definisi berpotensi 'global' walaupun banyak
negara memiliki pasokan media yang umumnya lokal. AS merupakan salah satu contoh, tetapi budaya
media Amerika memiliki banyak pengaruh dari budaya asing melalui perdagangan dan imigrasi. Hal ini
secara tidak langsung menjadi global dengan orientasi sebagian besar produksinya sendiri kepada pasar
dunia.
Meskipun banyak perwujudan dari globalisasi media, terdapat pula sedikit outlet media (saluran,
publikasi, dan seterusnya) yang sesungguhnya berhadapan dengan sejumlah besar khalayak asing secara
langsung (bahkan jika jangkauan rumah tangga yang potensial sudah besar, seperti yang ditunjukkan
Chalaby (2003)). Sebagian besar produk tertentu yang sukses (misalnya film atau program TV yang laris,
rekaman musik, program olahraga) akan mendapatkan khalayak seluruh dunia pada akhirnya. Hal ini
menyiratkan bahwa negara pengekspor' masih memiliki kapasitas yang cukup untuk memengaruhi
pengalaman media nasional' dari negara 'penerima'. Kita masih harus mempertimbangkan seberapa jauh

konten 'asing' yang tunduk pada pengendalian 'gatekipping di wilayah impor (misalnya diedit, disaring dan
diseleksi, disulih suara atau diterjemahkan, dan diberikan konteks yang akrab). Mekanisme utama dari
pengendalian' biasanya bukanlah kebijakan atau hukum, atau bahkan ekonomi (yang sering kali
mendorong impor), tetapi tuntutan penonton akan konten media mereka sendiri dalam bahasa mereka
sendiri. Terdapat hambatan alamiah, yaitu bahasa dan budaya yang melawan globalisasi (Biltereyst, 1992).
Ekonomi dapat membatasi, sebagaimana juga merangsang impor. Secara umum, semakin makmur suatu
negara, bahkan jika populasinya kecil, semakin banyak kesempatan untuk melakukan otonomi media.
Bentuk globalisasi sangat beragam dan arti istilahnya sangat fleksibel. Beberapa arti ini ditunjukkan dalam
Kotak 10.3.

Komunikasi Massa Global 291

Makna globalisasi media

I •
• Peningkatan kepemilikan oleh perusahaan media global.
Meningkatnya kesamaan sistem media di seluruh dunia.
• Produk berita dan hiburan yang sama atau serupa ditemukan di seluruh
dunia.
• Khalayak dapat memilih media dari negara lain.
• Tren homogenisasi dan westernisasi budaya.
• Hilangnya kontekstualisasi pengalaman media berdasarkan wilayah dan
budaya.
• Pengurangan kemandirian komunikasi nasional dan lebih banyak aliran
komunikasi yang bebas.

Ketergantu
Ketergantungan
ngan Media Internasional
Menurut para ahli teori dependensi (dependency theory), kondisi yang diperlukan untuk
menghentikan hubungan yang bersifat ketergantungan adalah dengan memiliki
kecukupan-diri (self-sufficiency) dalam hal informasi, ide, dan budaya. Mowlana (1985)
mengajukan model di mana dua dimensinya adalah penentu utama dari derajat
komunikasi yang sifatnya bergantung atau otonomi. Model tersebut mewakili urutan
akrab, dimulai dari pengirim (1) ke penerima (4), diperantarai oleh produksi yang
berbasis teknologi (2) dan sistem distribusi
distribusi (3). Dalam komunikasi
komunikasi interna
internasional,
sional,
berlawanan
berlawanan dengan situasi media nasional
nasional secara umum,
umum, empat tahapan dari

permulaan, produsi, distribusi, dan penerimaan dapat (dan sering kali) secara wilayah,
organisasi, dan budaya terpisah dari satu sama lain. Produk media dari satu negara
umumnya diimpor dan tergabung ke dalam sistem distribusi yang cukup berbeda dan
menjangkau khalayak yang bukan sebenarnya mereka tuju. Secara serupa, terutama
dalam kaitannya dengan film dan televisi, keseluruhan permulaan dan produksi dari
produk berlangsung di satu negara dan disalurkan ke negara lain. Inilah mengapa
‘Utara’ sering kali dihubungkan dengan ‘Selatan dalam kaitannya dengan media.
Proses yang umumnya luas dan terputus-putus ini tergantung pada dua jenis
keahlian (dan juga perlengkapan), satu yang berhubungan dengan piranti keras, dan
lainnya dengan piranti lunak. Produksi piranti keras mencakup kamera, studio, pabrik
percetakan, komputer, dan seterusnya. Produksi piranti lunak mencakup tidak hanya
konten yang sebenarnya, tetapi juga kinerja dari hak, manajemen, norma, dan rutinitas

profesional yang menjalankan praktik organisasi media (pengetahuan). Distribusi piranti


keras merujuk pada pemancar, hubungan satelit, transportasi, penangkap sinyal di
rumah, alat perekam, dan seterusnya. Distribusi piranti lunak termasuk

292 Struktur
publikasi, manajemen, pemasaran, dan penelitian. Kedua tahap produksi dan distribusi
dipengaruhi oleh variabel di dalam dan luar media—pada sisi produksi oleh situasi
kepemilikan, dan konteks sosial budaya, dan pada sisi distribusi oleh ekonomi dari pasar
media tertentu.
Model tersebut kemudian menggambarkan kondisi ketergantungan pada arus
komunikasi dari negara yang maju kepada negara miskin. Hal yang terakhir sering kali
tergantung dalam keempat jenis utama piranti keras dan lunak, dan masing-masing
dapat dikendalikan oleh negara asalnya. Kecukupan-diri dalam hal media hampir tidak
mungkin, tetapi ada beberapa derajat ketidakcukupan yang ekstrim, dan selalu tidak
mungkin untuk ‘mengejar’ ketertinggalan. Sebagaimana yang pertama kali ditunjukkan
oleh Golding (1977), pengaruh potensial yang ada seiring
s eiring dengan ketergantungan media
tidak terbatas pada konten yang bersifat budaya atau ideologis; pengaruh itu juga
melekat pada standar dan praktik profesional, jurnalistik dan nilai berita
profesional, termasuk etika jurnalistik
(news value). Poin-poin ini juga dapat dijelaskan dalam kaitannya dengan pola pusat-
periferi yang sudah dibahas di atas.
Situasi komunikasi global adalah kompleksitas yang semakin meningkat sebagai
hasil dari pasar yang baru, media baru, dan perubahan peruntungan ekonomi serta
realitas geopolitik, tetapi beberapa bentuk ketergantungan akan terus berlanjut dengan
pola yang berbeda bagi media yang berbeda. Bagaimanapun secara keseluruhan,
kerangka tersebut kurang dapat menjelaskan daripada yang sebelumnya. Dalam sistem
arus komunikasi global yang baru muncul dan masih belum jelas ini, kemungkinan
bahwa negara bangsa akan menjadi
menjadi unit analisis
analisis yang kurang penting. Lebih
Lebih sulit untuk
menunjuk informasi dan budaya ke negara asalnya. Produksi dan pemasaran
multinasional dalam kendali perusahaan besar dan aliran media multilateral akan
membangun pola dominasi dan dependensi mereka sendiri.

Imperialisme Budaya
B udaya dan Sesudahnya
Sesudahnya
Di masa segera setelah Perang Dunia II, ketika penelitian komunikasi sebagian besar
dimonopoli Amerika, media massa secara umum dipandang sebagai salah satu saluran
modernisasi yang menjanjikan (misalnya westernisasi) dan terutama sebagai alat yang
kuat untuk mengatasi sikap tradisional (Lerner, 1985). Dari perspektif ini, aliran media
massa dari negara kapitalis Barat atau negara maju ke negara berkembang dipandang
bagus, baik untu
untuk
k penerimanya
penerimanya dan juga berguna dalam melawan model modernisasi
modernisasi
alternatif yang berdasarkan sosialisme, perencanaan, dan kontrol pemerintah. Jenis arus
media yang dibayangkan bukanlah berupa propaganda atau instruksi langsung, tetapi
hiburan biasa (ditambah iklan dan berita) yang diduga mempertontonkan gaya hidup
yang mewah dan lembaga sosial
s osial demokrasi liberal yang bekerja. Banjirnya media cetak,
film, musik, dan televisi Amerika memberikan contoh utama dan pengujian bagi teori
ini.
Hal ini tidak diragukan lagi merupakan cara memandang arus komunikasi global secara etnosentris,

Komunikasi Massa Global 293

dan pada akhirnya menghasut reaksi kritis dari akademisi dan aktivis politik dan juga dari penerima akhir.
Dengan segera, isu ini tidak terhindarkan lagi untuk terlibat dalam polemik Perang Dingin dan pergerakan
perlawanan sayap- kiri dalam situasi semi-kolonial (terutama di Amerika Latin). Bagaimanapun, tidak
seperti upaya propaganda internasional di masa lalu, ‘imperialisme media’ ( media imperialism) yang baru
nampak dijalankan oleh permintaan yang dimohon khalayak massa atas budaya populer sehingga lebih
mungkin untuk ‘sukses’. Tentu saja, bukan khalayak yang melakukan pilihan langsung, tetapi perusahaan
media domestik yang memilih atas nama khalayak untuk alasan ekonomi alih-alih ideologi.
Sebagian besar isu seputar komunikasi massa global memiliki hubungan langsung atau tidak
langsung dengan tesis ‘imperialisme budaya’ (cultural imperalism) atau gagasan yang lebih terbatas, yaitu
‘imperalisme media’ (lihat di bawah). Kedua konsep tersebut menyatakan upaya yang disengaja untuk
mendominasi, menyerang, atau menumbangkan ‘ranah budaya’ yang lain dan menyarankan derajat koersi
dalam hubungan tersebut. Hubungan ini tentunya sangat tidak setara dalam hubungannya dengan
kekuasaan. Hal ini juga menyiratkan beberapa jenis keseluruhan pola budaya dan ideologis dalam apa
yang disiarkan yang mana sering kali dimaknai memiliki ‘nilai barat’, terutama nilai-nilai individualisme,

sekularisme, dan materialisme.


Bagaimanapun, hal tersebut juga memiliki konten politis sekaligus budaya yang secara esensial
merupakan kasus pertama yang diajukan untuk proyek global kapitalisme Amerika (Schiller, 1969). Dalam
kasus hubungan dengan Amerika Latin yang sudah dibahas sebelumnya, gagasan mengenai proyek
‘imperialisme’ Amerika kepada dunia, terutama pada tahun 1960-an dan tahun 1970-an bukanlah khayalan
belaka (Dorfman dan Mattelart, 1975). Para ahli teori kritis tidak selalu setuju dengan apakah hal tersebut
merupakan tujuan ekonomi dari kontrol pasar global, atau tujuan budaya dan politik dari ‘westernisasi’
dan antikomunisme yang mengambil preseden, walaupun kedua aspek tersebut memang berhubungan.
Para ahli teori ekonomi politik (kritis) menekankan pada dinamika ekonomi dari pasar media global yang
bekerja secara
s ecara membabi buta untuk membentuk arus komoditas media. Tidak mengherankan, dinamika
semacam itu mendukung model pasar bebas dan secara umum mempromosikan kapitalisme barat.
Kritik terhadap imperialisme media global secara umum dilawan dengan kelompok gabungan

pendukung pasar bebas atau para pragmatis yang melihat ketidakseimbangan arus sebagai ciri yang wajar
dari pasar media. Dalam pandangan mereka, globalisasi menguntungkan bagi semua dan tidak semestinya
problematis (misalnya Pool, 1974; Hoskins dan Mirus, 1988; Noam, 1991; Wildman, 1991). Hal tersebut
bahkan lebih
lebih bersifat sem
sementara
entara atau berkebalikan dalam situasi
situasi tertentu
tertentu.. Biltereyst (1995)
(1995) menggambarkan
menggambarkan
situasi tersebut ke dalam dua paradigma dominan yang saling berlawanan yang dinamai dependensi
(dependency) dan aliran bebas (free flow). Dalam pandangannya, kedua paradigma tersebut bersandar pada
dasar empiris yang terlihat lemah. Model dependensi kritis secara umum berdasarkan bukti kuantitas
294 Struktur
arus dan interpretasi yang terbatas dari kecenderungan ideologis konten. Tidak ada penelitian
mengenai efek yang dikemukakan. Para ahli teori aliran bebas cenderung mengasumsikan adanya
efek yang minimal karena keterlibatan khalayak yang secara sukarela dan mereka membuat asumsi
yang besar dan tidak beralasan mengenai netralitas budaya dan kesucian ideologis dari konten yang
diperdagangkan secara global. Mungkin juga untuk memandang globalisasi media yang berjalan
sebagai proses yang tidak memiliki tujuan akhir dan tidak ada efek yang nyata (setara dengan proses
‘otonomi budaya’ yang dibahas dalam Bab 4). Secara sederhana globalisasi ini hanya hasil yang tidak
terencana dari perubahan politik, budaya, dan teknologi saat ini.
Jika proses komuni
komunikasi
kasi massa global diberi kerangka dari sudut
sudut pandang masyarakat nasional
sebagai penerima akhir menurut tesis imperialisme media, terdapat setidaknya empat proposisi untuk
dipertimbangkan. Proposisi ini dirangkum dalam Kotak 10.4 dan akan dibahas lebih lanjut dalam bab
ini. Bagaimanapun, terdapat pergeseran pemikiran mengenai globalisasi yang bergerak dari perspektif
yang sangat negatif terhadap imperialisme media. Pergeseran ini bukan kembali kepada ‘optimisme’
terhadap fase modernisasi, tetapi lebih kepada cerminan gagasan postmodern dan teori budaya baru
yang menghindari penilaian normatif atas teori terdahulu.

Imperialisme
Imperialisme media: pr oposisi utama

• Media global mempromosikan hubungan saling ketergantungan alih- alih pertumbuhan


ekonomi.
• Ketidakseimbangan dalam arus konten media massa merendahkan otonomi budaya atau
menghambat pertumbuhannya.
• Hubungan yang tidak setara dalam arus berita meningkatkan kekuatan global relatif dari
negara-negara penghasil berita yang besar dan makmur dan mengganggu pertumbuhan
identitas nasional dan citra- diri yang layak.
• Arus media global memunculkan negara dengan homogenisasi atau sinkronisasi budaya
yang mengarah pada bentuk dominan dari budaya yang tidak memiliki hubungan spesifik
dengan pengalaman nyata sebagian besar masyarakat.

Globalisasi yang dievaluasi kembali


Tesis imperialisme budaya telah cukup banyak diabaikan oleh kecenderungan saat ini untuk
membangun banyak isu yang serupa di dalam istilah ‘globalisasi’ (Sreberny- Mohamafi, 1996; Golding
dan Harris, 1998). Sebagaimana yang telah kita lihat, ada

Komunikasi Massa Global 295

tantangan yang kuat terhadap kritik media massa populer dan pesimisme budaya secara umum. Hal ini
juga memengaruhi
memengaruhi pemikiran mengenai efek pertukaran budaya global, walaupun
walaupun mungkin tidak
mengenai aliran global berita. Tentunya, kita sering menemukan pandangan yang positif bahkan bersifat
perayaan dari keadaan inklusif global yang dibawa oleh media massa. Ranah simbdlik bersama dapat
diperluas, dan batasan ruang dan waktu yang dikaitkan dengan sistem media yang terbagi-bagi secara
nasional dapat dihindari. Globalisasi budaya bahkan dapat terlihat baik jika dibandingkan dengan
etnosentrisme, nasionalisme, dan xenofobia yang mencirikan beberapa sistem media nasional. Era baru
perdamaian internasional (‘tatanan dunia baru’) yang semestinya dimulai oleh berakhirnya Perang Dingin
dianggap membutuhkan kehadiran yang signifikan dari para ahli media internasional (Ferguson, 1992).
Konsekuensi dari ‘perang terhadap teror’ belum dapat terlihat, tetapi indikasi awal dari hiburan global
sebagaimana juga berita yang sepertinya memiliki efek yang terpolarisasi, kembali kepada pembagian
global sebagaimana yang terjadi ketika Perang Dingin.
Sebagian besar proposisi yang muncul dari tesis imperialisme media cenderung memberikan
kerangka pada komunikasi massa global sebagai proses sebab-akibat, pengirim kepada penerima. Hingga

batasan tersebut,
tersebut, kritik menggunakan
menggunakan bahasa yang sama dengan ‘ahli teori pembangunan’
pembangunan’ yang asli.
Terdapat konsensus umum bahwa model ‘transportasi’ bagaimana media bekerja ini tidak terlalu cocok
diterapkan di luar kasus-kasus tertentu dari komunikasi yang terencana. Jika tidak ada yang lain, kita perlu
lebih memperhatikan partisipasi aktif khalayak dalam membentuk ‘makna’ apa pun yang diambil dari
media massa (Liebes dan Katz, 1990).
Terjadi perdebatan bahwa media barangkali membantu proses pertumbuhan, penyebaran,
penciptaan, dan kreativitas budaya; dan tidak hanya sekadar merendahkan budaya yang ada. Sebagian
besar teori dan bukti yang mendukung
mendukung pandangan bahwa ‘invasi’ media-budaya terkadang dapat dilawan
media-budaya
atau didefinisikan kembali menurut budaya dan praktik lokal. Sering kali ‘internasionalisasi’ yang terlibat
adalah pilihan- sendiri dan bukan hasil dari imperialisme. Lull dan Wallis (1992) menggunakan istilah
‘transkulturasi’ untuk menggambarkan proses ‘interaksi budaya yang termediasi’ di mana musik Vietnam
disilangkan dengan gaya Amerika Utara untuk menghasilkan hibrida budaya yang baru. Ada banyak

contoh proses yang serupa. Ahli teori cenderung melihat globalisasi diiringi oleh proses ‘glokalisasi’
menurut saluran internasional, seperti CNN dan MTV, menyesuaikan dengan keadaan wilayah yang
dilayaninya (Kraidy, 2001). Penggabungan beragam format dan standar kinerja ke dalam produksi lokal
merupakan aspek lain dari proses ini (Wasserman dan Rao, 2008).
Terdapat perdebatan mengenai proses yang umum dan barangkali tidak dapat dilawan dari
‘deteritorialisasi’ budaya yang sedang terjadi (Tomlinson, 1999). Kedua, ‘pemaknaan’ alternatif dari konten
‘asing’ yang sama, sebagaimana yang kita lihat cukup dimungkinkan. ‘Kekuatan semiotika’ (semiotic power)
juga dapat dilakukan dalam konteks ini, dan konten media dapat ditafsirkan secara berbeda menurut
menurut
budaya penerim
penerimanya
anya (Liebes dan Katz, 1986). Pandanga
Pandangan
n ini mungkin terlalu optimistik
optimistik untuk
untuk
menanggung beban yang berat, dan buktinya juga belum terlalu kuat. Konten budaya
asing dapat juga diterima dengan sikap yang berbeda dan lebih terpisah (Biltereyst,
1991) daripada budaya media buatan-rumah. Meskipun adanya daya tarik dari budaya
media global, perbedaan bahasa masih menjadi halangan nyata untuk pengalihan’
budaya (Biltereyst, 1992). Bukti-bukti
Bukti-bukti terkait penerimaan
penerimaan berita asing (terlepas dari
ketersediaannya) masih sangat terpisah-pisah, tetapi ada bukti-bukti lain dan teori yang
baik untu
untuk
k mendukung pandangan bahwa peristiwa berita asing diberi kerangka oleh

296 Struktur

khalayak tidak hanya berhubungan dengan kemungkinan relevansinya terhadap tanah

air, tetapi juga berdasarkan situasi pribadi. Mereka dipahami atau ‘ditafsirkan menurut
konteks sosial dan budaya yang lebih akrab (Jensen, 1998).
‘Masalah’ kerusakan budaya potensial dari transnasionalisasi media mungkin
dilebih-lebihkan. Secara global, banyak budaya regional, nasional (dan subnasional)
yang penting di Eropa dan wilayah lain yang masih kuat dan bertahan. Khalayak
mungkin dapat bertoleransi atas beberapa praktik budaya yang berbeda dan tidak
konsisten (misalnya lokal, nasional, subkelompok, dan global) tanpa harus saling
menghancurkan satu sama lain. Media dapat memperluas pilihan budaya dengan cara
yang kreatif, dan internasionalisasi dapat bekerja secara kreatif. Relativitas masalah ini
tidak menghapuskannya, dan ada beberapa situasi di mana kehilangan budaya benar-
benar terjadi.
terjadi.
Perspektif yang direvisi dan lebih positif mengenai globalisasi ini berdasarkan

pada pengamatan bahwa arus media internasional secara umum adalah respons dari
tuntutan, dan harus dipahami dalam kaitannya dengan keinginan dan kebutuhan
penerima dan bukan hanya sekadar motif dari pemasok saja. Fakta ini tidak dengan
sendirinya membatalkan kritik terhadap imperialisme media dalam batasan pasar media
global. Banyak ciri-ciri situasi media di dunia yang menegaskan kekuatan aparat dan
etos kapitalis yang lebih besar terhadap media di hampir semua tempat, tidak
menyisakan tempat untuk sembunyi.

Proses Transnasionalisasi
Transnasionali sasi Media
Media
Di bawah judul ini kita melihat proses di mana konten dan pengalaman khalayak

menjadi global. Ini merupakan proses efek (effect process) (jika ada) dengan dua tahapan:
pertama, transformasi konten; dan kedua, dampaknya terhadap khalayak. Dalam
analisisnya mengenai aliran televisi internasional, Sepstrup (1989) menyarankan agar
kita membedakan aliran sebagai berikut:

• nasional —di mana konten asing (bukan yang diproduksi lokal) disebarkan ke sistem
televisi nasional;
• bBilateral —di mana konten yang berasal dari dan ditujukan untuk satu negara
diterima secara langsung di negara tetangga;
• multilateral —di mana konten diproduksi atau disebarkan tanpa tujuan dari
khalayak negara tertentu.
Dalam kasus nasional (national), semua konten didistribusikan oleh media lokal, tetapi beberapa produk
berasal dari asing (film, p
program
rogram T
TV,
V, berita, dan lain-lain).
lain-lain). Kasus
Kasus bilateral (bilateral) utamanya merujuk pada
transmisi atau penerimaan lintas batas secara langsung, di mana khalayak di negara tetangga secara rutin
dijangkau. Hal ini umum terjadi, misalnya dalam kasus AS dan Kanada, Inggris dan Irlandia, Belanda dan
Belgia. Tipe multilateral (multilateral) mencakup semua contoh saluran media yang terbuka secara
internasional (MTV, CNN, dan lain-lain). Jenis pertama dari internasionalisasi sejauh ini adalah yang paling

Komunikasi Massa Global 297

penting dalam hal volume aliran dan jangkauan kepada khalayak, dan pada saat yang bersamaan,

sebagaimana yang telah kita ketahui, berpotensi terbuka untuk dikontrol oleh negara.
Model efek transnasionalisasi (model of transnationalizing effect) yang diajukan oleh Sepstrup (1989)
berdasarkan karakterisasi
karakterisasi ini dibuat kembali dalam Gamba
Gambarr 10.1. Hal ini menunjukkan hubungan antara
tiga negara bangsa, di mana X adalah produsen besar dan pengekspor konten media, sementara Y dan Z
adalah importir. Terdapat tiga jalur utama dari efek transnasionalisasi: nasional, bilateral, dan multilateral.
Jenis yang pertama beroperasi berdasarkan impor dan merupakan
merupakan proses di mana sistem media nasiona
nasionall
diinternasionalisasi melalui konten pinjaman. Langkah selanjutnya dari proses ini, jika ada adalah sistem
nasional yang menjadi agen untuk memengaruhi khalayaknya dalam arah 'internasional', baik arah yang
baik ataupun buruk. Supaya hal ini terjadi,. konten tidak hanya ditransmisikan,
ditransmisikan, tetapi juga harus diterima
dan direspons dengan cara yang positif. Hanya jika hal ini terjadi maka kita dapat berbicara mengenai
proses internasionalisasi yang memengaruhi budaya dan masyarakat.
Pada dua proses lainnya, kasus aliran bilateral (transmisi lintas perbatasan langsung) sering kali

terjadi ketika negara-negara yang bertetangga memiliki banyak kesamaan dalam hal budaya, pengalaman,
dan biasanya bahasa. Kasus aliran multilateral dari satu negara ke banyak negara secara langsung semakin
menjadi penting dengan tumbuhnya Internet yang memfasilitasi aliran multilateral secara berlipat ganda.
Semakin konten disaring melalui sistem media nasional, semakin mereka menjadi tunduk pada
penyeleksian dan adaptasi, diberi kerangka dan konteks ulang untuk menyesuaikan dengan selera, sikap,
dan pengharapan lokal. Kemungkinan adanya 'bentrok budaya' dikurangi. Perubahan ini lebih besar jika
negara penerima ini sudah mapan, baik secara budaya maupun ekonomi. Proses transformasi (dalam
penyiaran) akan kurang berpengaruh jika sudah ada kesamaan budaya antara negara asal dengan negara
penerima (sehingga akan ada ruang yang lebih sedikit bagi perubahan budaya). Perubahan juga terbatas
jika negara penerima tersebu
tersebutt miskin dan masih muda, jarak budayan
budayanya
ya jauh, dan kesempatan untuk
menerima pengaruh rendah (dalam bentuk gagasan atau jenis perilaku yang baru).
Arah dari semua efek transnasionalisasi terlihat sangat dapat diprediksi dari struktur sistem dua
dunia sebagaimana yang dijelaskan di atas, walaupun derajat efek komunikasi massa itu sendiri sangat
tidak pasti. Kedatangan dan pertumbuhan Internet juga memperluas kemungkinan akses terhadap
informasi global dan sumber budaya. Saat ini, akses juga dimungkinkan tanpa adanya ketergantungan
kepada
298 Struktur

Gambar 10.1 Internasionalisasi televisi: tiga jenis aliran (McQuail dan Windahl,
1993:225,, berdasarkan teori Sepstrup, 1989)
1993:225

berbagai penjaga pintu yang selalu membatasi dan mengendalikan aliran konten di
media yang lebih tradisional. Para penjaga pintu ini bekerja baik pada ujung pengirim
maupun penerima dalam saluran distribusi. Internet (dan WWW) adalah media
internasional yang asli dan berpotensi membuka sumber-sumber baru yang banyak bagi
semua. Bagaimanapun, masih ada fakta lain bahwa 'konten' Internet didominasi oleh
para produsen 'barat' (dan bahasa Inggris), bagaimanapun beragamnya dan akses
bergantung
bergantung pada peralatan yang mahal, biaya yang tinggi bagi rakyat miskin,
miskin, dan
bahasa, serta keahlian lainnya.
Alii r an Ber i t a Int
Al In t ern
er n asio
asi o n al
Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, globalisasi berita berawal secara kuat
dengan munculnya agen berita internasional pada abad ke-19 (lihat Boyd-Barrett dan

Rantanen, 1998), dan berita adalah produk media pertama yang secara efektif
dikomodifikasi untuk perdagangan internasional. Alasan untuk ini tidaklah benar-
benar jelas,
jelas, walaupun
walaupun sejarah m
media
edia massa
massa menu
menunjukkan
njukkan kepen
kepentingan
tingan yang awa
awall dan

Komunikasi Massa Global 299

konstan dari layanan informasi yang ada saat ini untuk menarik khalayak. 'Berita' telah menjadi
kurang lebih terstandardisasi dan genre universal sebagai komponen media cetak dan elektronik, dan

ada pula 'kisah berita'. Kisah berita dapat bernilai sebagai informasi yang berharga atau dapat
memuaskan keingintahuan serta human interest, di manapun berita tersebut didengar.
Pemuatan berita di televisi telah meningkatkan daya tarik lintas budaya dari berita dengan
mengisahkan berita melalui gambar yang dapat diberi tulisan dalam bahasa apa pun atau dengan
sudut pandang bagaimanapun. Agensi film berita televisi mengikuti jejak agen berita cetak. Gambar
mungkin dapat mengisahkan cerita dengan baik, tetapi kata-kata memperjelas makna yang
dimaksudkan. Film berita televisi, seperti juga berita cetak yang didasarkan pada prinsip 'objektivitas'
jurnalistik
jurnal dirancang untuk menjamin keterandalan dan kredibilitas peristiwa. Meskipun berita
istik yang dirancang
asing' internasional pada awalnya berkonsentrasi pada politik, perang, diplomasi, dan perdagangan,
terdapat ekspansi yang besar pada lingkup berita internasional dengan rujukan tertentu pada
olahraga, bisnis pertunjukan dunia, keuangan, pariwisata, gosip ( gossip) selebriti, mode, dan lain
sebagainya.

Perdebatan mengenai ketidakseimbangan aliran berita antara Utara dan Selatan ini meledak
pada tahun 1970-an dan menjadi sangat dipolitisasi, terjebak dalam polemik Perang Dingin. Sebuah
percobaan dibuat oleh negara-negara yang mengalami ketergantungan media untuk menggunakan
Unesco sebagai alat untuk menuju informasi dunia dan tatanan komunikasi baru (NWICO) yang akan
membentuk panduan normatif bagi peliputan internasional (lihat Hamelink, 1994; Carlsson, 2003).
Sebuah klaim juga dibuat untuk kontrol atas peliputan berdasarkan kesetaraan, kemandirian dan
keadilan. Permintaan-permintaan ini secara kuat ditolak oleh pembela prinsip 'aliran-bebas' (terutama
pasar bebas), terutama para pemerintah negara barat dan kepentingan pers barat (lihat Giffard, 1989).
Sebuah penelitian internasional membuat rekomendasi untuk panduan yang baru (McBride dan
kawan-kawan, 1980). tetapi sebagian besar diabaikan dan jalur melalui Unesco juga ditutup (lihat
Hamelink, 1998). Fase baru percepatan liberalisasi komunikasi, secara nasional dan internasional, dan
perubahan geopolitik lain secara umum mengakhiri perdebatan, walaupun keadaan yang mendasar

belum banyak
banyak berubah
berubah..
Sepanjang perjalanan, bagaimanapun, banyak sorotan oleh penelitian dan debat publik terhadap
struktur yang sebenarnya dari aliran berita dan dinamikayang mendasari industri berita global. Secara
berulang-ulang
berulang-ulang dikonfirmasikan
dikonfirmasikan bah
bahwa
wa berita (baik pers
pers maupun
maupun televisi) di negara-negara
negara-negara maju
maju umumnya
umumnya
tidak memberikan banyak ruang untuk berita asing (kecuali publikasi khusus atau elit). Berita asing
umumnya diberikan kepada peristiwa di negara lain yang besar, dekat dan kaya, atau terhubung oleh bahasa
dan budaya. Secara sempit juga berfokus pada kepentingan negara penerima. Sebagian besar berita asing
sering kali dapat dijelaskan oleh perhatian terhadap sejumlah kecil krisis yang sedang terjadi (misalnya
konflik Timur Tengah) yang relevan bagi negara mapan. Bagian besar dari dunia secara fisik ditemukan
absen secara sistematis atau benda kecil dalam 'peta' dunia yang tersirat yang direpresentasikan oleh jagat
raya

300 Struktur
dari lokasi peristiwa berita (misalnya Gerbner dan Marvanyi, 1977; Womack, 1981; Rosengren, 2000). Secara
khusus, negara berkembang hanya mungkin memasuki kerangka berita negara maju jika peristiwa yang

terjadi mengancam ekonomi atau kepentingan strategis dari 'penguasa besar'. Alternatifnya adalah berita
dibuat ketika masalah dan bencana sangat besar menjangkau kepentingan khalayak di tempat yang jauh
dan aman.
Alasan terhadap ‘bias’ pemilihan berita internasional yang masih ada saat ini tidak sulit dicari atau
dipahami. Alasan pertama adalah mereka merupakan hasil dari organisasi aliran berita oleh agensi dan
masing-masing penjaga pintu media berita. Penengah utamanya adalah konsumen berita biasa yang
biasanya tidak terlalu tertarik pada peristiwa di tempat yang jauh. Agensi mengumpulkan
mengumpulkan berita asing'
dengan pandangan apa yang akan menarik bagi khalayak lokal dan editor berita asing di media lokal juga
menerapkan perangkat kriteria yang serupa. Hasilnya adalah untuk menghilangkan berita-berita dari
tempat yang jauh yang tidak dramatis atau relevan secara langsung kepada negara penerima.
Terdapat banyak penelitian mengenai faktor yang membentuk struktur berita asing. Hal yang paling
dasar adalah fakta bahwa aliran berita mencerminkan pola hubungan ekonomi dan politik, sebagaimana
kedekatan geografi dan kesamaan budaya (Rosengren, 1974; Ito dan Koshevar, 1983; Wu, 2003). Aliran
berita secara positif
positif berkorela
berkorelasi
si dengan bentuk-bentuk
bentuk-bentuk lain dari transaksi antarnegara.
antarnegara. Kita perlu atau ingin
tahu mengenai belahan-belahan dunia yang mana kita berdagang dengannya, atau yang mana kita
berteman atau bermusuhan dengan mereka. Faktor utama lain yang penting adalah kekuasaan: kita perlu
tahu mengenai negara lebih berkuasa mana yang dapat memengaruhi
memengaruhi kita. Terdapat penjelasan yang lebih
rinci mengenai pemilihan berita asing. Galtung dan Ruge (1965) menyatakan bahwa pemilihan adalah hasil
dari tiga faktor: organisasional yang berhubungan dengan ketersediaan dan distribusi berita; berkaitan dengan
genre, berhubungan dengan apa yang biasanya dianggap sebagai kepentingan khalayak berita; dan faktor
sosial-budaya yang umumnya merujuk pada nilai dari topik yang dipilih.
Analisis lain dari pola perhatian terhadap berita asing sebagian besar mengonfirmasi keabsahan dari
poin-poin ini. Berita akan cenderung tidak mengurusi negara-negara yang jauh dan secara politik tidak
penting (kecuali dalam beberapa krisis sementara) dengan non-elit atau dengan gagasan, struktur, dan
lembaga. Proses jangka panjang (misalnya perkembangan atau dependensi) tidak mudah dijadikan berita,
sebagaimana yang dipahami dengan normal. Bagaimanapun, kita harus mengingat bahwa sebagian besar
kajian mengenai berita berfokus pada konten yang 'serius' (misalnya politik dan ekonomi) serta 'berita
langsung' (hard news). Perhatian kurang diberikan kepada wilayah yang barangkali secara kuantitatif dan
dalam hal lain lebih penting, khususnya mengenai olahraga, musik, hiburan, gosip selebriti, dan peristiwa
humaniora lainnya yang dapat dengan mudah menjadi 'berita'. Berita yang paling dinikmati masyarakat
didominasi oleh topik-topik semacam itu dan mereka cenderung memiliki karakter yang internasional,
mencerminkan budaya media global.
Komunikasi Massa Global 301

Penelitian baru-baru ini mengenai berita internasional terkait dengan peristiwa 11 September telah
menimbulkan keraguan mengenai keteguhan kecenderungan yang digambarkan. Penelitian ini yang

dilakukan oleh Arcetti (2008) terhadap empat negara (AS, Prancis, Pakistan, dan Italia), meneliti sumber
yang diambil dalam liputan berita mengenai peristiwa tertentu. Penelitian ini menunjukkan bahwa masing-
masing saluran media memiliki pola sumber sendiri-sendiri yang berbeda, mayoritas berasal dari sumber
negara mereka sendiri. Kedua, terdapat sedikit bukti atas agenda media negara asing yang diimpor karena
pemilihan berita dibuat berdasarkan perspektif domestik (negara sendiri). Ketiga, pemain lemah dalam
sistem berita, misalnya Pakistan yang sebetulnya memiliki pola sumber yang lebih beragam daripada
media Amerika, sehingga tidak ada dominasi media asing yang terjadi. Secara keseluruhan, penelitian ini
membahas baik mengenai efek globalisasi dan homogenisasi.
Di antara pengharapan terhadap Internet terdapat harapan akan memperluas akses dan memperkaya
aliran berita internasional hanya dengan karakter kapasitas yang sepertinya tidak terbatas dan
ketersediaannya yang terbuka dari sumber- sumber di seluruh dunia. Indikator pertama dari hasilnya tidak
terlalu menjanjikan. Misalnya, satu penelitian melihat pada penentu berita pada situs AS yang paling sering

dikunjungi—CNN.com dan nytimes.com—dan jika mungkin diperbandingkan dengan bentuk cetaknya


(Wu, 2007). Hasilnya menunjukkan bahwa berita online diikuti hampir dengan pola yang sama, seperti
berita tradisional
tradisional dan faktor yang berhubu
berhubungan
ngan adalah sama, terutama
terutama pola perdagangan,
perdagangan, agen berita,
kedekatan geografis, dan budaya. Penjelasan utamanya adalah bahwa tekanan ekonomi membuat sebagian
besar berita online tergantung pada agen berita.
Studi lain oleh Chang dan kawan-kawan (2009) mencapai pada kesimpulan yang konsisten, kali ini
berdasarkan studi pada berita online di lima belas negara. Fokus utamanya adalah pada hubungan antara
negara pusat dan periferi, sebagaimana ditunjukkan oleh lokasi hyperlink pada teks berita online. Hal ini
menunjukkan dari mana editor mendapatkan sumbernya. Hasilnya menunjukkan bahwa negara pusat
memiliki hyperlink datang yang lebih banyak, terutama AS dan Inggris. Bukti-bukti juga menunjukkan
bahwa negara-negara
negara-negara pusat, yaitu AS, Inggris, Jepang, dan Kanada salin
saling
g terhubung dengan baik. Polanya
sangat akrab, tetapi yang paling penting adalah kegagalan AS untuk memiliki hyperlink yang signifikan

dengan negara periferi dalam penelitian tersebut, kecuali Afrika Selatan. Secara kontras, Inggris memiliki
hubungan yang nyata dengan hampir semua negara periferi. Media Inggris, terutama BBC, cenderung
mengirimkan hyperlink ke situs negara yang diliput di dalam berita. Hal ini setidaknya menunjukkan
bahwa harapan yang disebutkan di atas tidak sepenuhnya kosong,
kosong, jika keinginan dan sumber daya
ekonominya ada.
Rangkuman dari faktor-faktor yang relevan dari aliran berita disajikan dalam Kotak 10.5.
302 Struktur

Faktor
Faktor yang memengaruhi
memengaruhi pemilihan dan aliran berita
internasional

• Kejadian peristiwa di luar negeri dengan relevansi atau kepentingan lokal.


• Waktu peristiwa dan siklus berita.
• Operasi agen berita internasional.
• Nilai berita jurnalistik.
• Pola geografi, perdagangan, dan diplomasi.
• Kesamaan budaya antarnegara.

Perd
Perdagangan
agangan Global
Glob al dalam Bud
Budaya
aya Media
Terdapat ekspansi besar-besaran dalam produksi dan transmisi televisi di luar AS sejak
tahun 1970-an, meninggalkan AS yang relatif kurang dominan dalam hal media global
daripada tiga puluh tahun yang lalu. Hal ini berarti bahwa lebih banyak negara dapat
memuaskan kebutuhan mereka sendiri dari produksi lokal. Sreberny-Mohamamadi
(1996) mengutip temuan yang menunjukkan tingkat produksi lokal yang tinggi.
Misalnya, India dan Korea memproduksi sekitar 92% program televisi mereka, dan 99%
tontonan sehari-hari warga India adalah konten lokal. Akan tetapi, masih ada tingkat
penetrasi yang tinggi, teru
t erutama
tama dalam film dan drama televisi Amerika yang hampir ada
di mana-mana dan diadaptasi dari format internasional, biasanya AS, kepada situasi
lokal. Fenomena 'Bollywood' menggambarkan proses ini dengan baik. Sreberny-
Mohammadi memperingatkan atas interpretasi berlebihan terhadap bukti 'proses

menjadi pribumi' (indigenization ) ini karena sebagian besar diproduksi oleh perusahaan
besar yang bekerja berdasarkan logika yang sama sebagai mantan penjahat dalam
imperialisme budaya.
Pada latar belakang kasus Eropa, terdapat sejarang panjang ketidakpuasan
(biasanya oleh elit budaya) mengenai ancaman 'Amerikanisasi' terhadap nilai budaya
dan bahkan peradaban. Dampak dari Perang Dunia II adalah dominasi media Amerika
yang nyata, tetapi negara miskin masih membatasi impor film dan mendukung
pertumbuhan film nasional dan industri televisi. Secara umum, layanan televisi
dibangun berdasarkan model layanan publik nasional yang memberikan prioritas untuk
mempromosikan dan menjaga identitas budaya nasional.
Sikap yang lebih baru di Eropa Barat dalam mengimpor konten audiovisual
dibentuk oleh tiga faktor utama, terlepas dari ekspansi dan privatisasi. Salah satunya

adalah proyek politik budaya dari Eropa yang lebih bersatu (lihat bawah). Hal kedua

Komunikasi Massa Global 303

adalah tujuan menciptakan pasar internal Eropa yang lebih luas, di mana industri audiovisual Eropa
seharusnya memiliki posisi yang dominan. Ketiga, terdapat keinginan untuk mengurangi defisit
perdagangan yang besar dalam produk media. Semua tujuan ini direndahkan oleh aliran konten
transatlantik satu arah. Menurut Tunstall dan Machin (1999), percobaan untuk memperluas pasar secara
umum menguntungkan pengekspor Amerika dengan menciptakan pasar tunggal dan membuka
kompetisi.
Perpaduan motif dan argumen budaya serta ekonomi mengacaukan isu yang sesungguhnya, tetapi
Uni Eropa menerima prinsip pasar terbuka. Kompromi selanjutnya memungkinkan prinsip-prinsip pasar
bebas dan kemandirian
kemandirian budaya untuk bertahan,
bertahan, walaupun tanpa banyak efek praktis dari peristiwa
peristiwa
tersebut.
tersebut. Uni Eropa menjaga beberapa kebijakan yang memberikan perlindungan kepada industri film dan
televisi Eropa (terutama yang bernama Directive on Television Without Frontiers yang memberikan hak
istimewa bagi produksi Eropa), tetapi defisit perdagangan dalam produk semacam itu terus berlanjut
(Dupagne dan Waterman, 1998).
Walaupun impor media ke Eropa pada dasarnya muncul dari daya tarik umum produk kepada
khalayak media, jelas juga bahwa di negara manapun, program televisi paling populer (rating tertinggi)
hampir selalu merupakan buatan lokal (bahkan jika diambil dari format media internasional). Misalnya di
Inggris, pada bulan April 2009, tidak ada satu pun produksi Amerika dalam 100 peringkat top program
jaringan di televisi
t elevisi Inggris. Impor Amerika
A merika yang paling laris biasanya muncul nomor dua dalam pilihan,
tetapi juga terdapat sejumlah besar konten impor yang digunakan untuk mengisi jadwal siang hari atau
malam hari dengan sedikit penonton atau untuk stok saluran televisi kabel baru yang berbiaya rendah.
Praktik paket kumpulan konten yang dijual secara bersama-sama yang sebenarnya tidak terlalu diinginkan
juga mengarah pada pasokan yang berlebihan.
berlebihan. Harga eskpor AS selalu disesuaikan kepada situasi pasar
tertentu, dan ada faktor 'diskon budaya' yang bekerja berhubungan dengan harga bagi derajat kesamaan
budaya antara eksportir
eksportir dengan importir (semakin ren
rendah
dah kesamaan, semakin rendah
rendah harganya) (Hoskins
dan Mirus, 1988).
Konten impor dari AS sebagian besar jatuh ke dalam kategori drama dan fiksi dan mencerminkan
biaya tinggi
t inggi dari produksi sendiri di negara-negara lain daripada daya tarik atau kualitas hebat produk
yang bersangkutan. Saluran satelit transnasional (multilateral) yang paling terkenal, misalnya CNN dan
MTV juga memiliki kesuksesan yang terbatas dalam menjangkau khalayak massa di Eropa dan telah
dipaksa untuk
untuk melokalkan konten dan penyiaran
penyiaran,, dan menyesuaikan konten dan format untuk
untuk mengikuti
persyaratan lokal. Munculnya televisi digital telah memberikan momentum bagi transnasionalisasi, tetapi
halangan utamanya bukan bersifat teknologis (Papathanossopolous, 2002). Kisah MTV Eropa, sebagaimana
yang diceritakan Roe dan Meyer (2000) adalah penanda apa yang terjadi secara umum seiring waktu
terhadap saluran televisi satelit transnasional yang mengungguli 'invasi' Eropa pada tahun 1980-an dan
tahun 1990-an. MTV pada awalnya sangat sukses dalam mendapatkan khalayak anak muda yang baru
bagi musik pop Anglo-Ameri
Anglo-Amerika.
ka. Bagaimanapun
Bagaimanapun,, salur
saluran
an kompetisi di Jerman, Belanda, dan tempat lain
memaksa MTV
untuk merespons dengan kebijakan regionalisasi, mempekerjakan bahasa 'lokal', tetapi
tidak mengubah musik secara signifikan. Proses ini berlanjut, dan pelajarannya adalah
meskipun bahasa Inggris merupakan aset karena merupakan bahasa musik pop, hal ini
bukan secara umu
umum
m menjadi keuntungan
keuntungan bagi
bagi penyajian saluran.

304 Struktur

Karena buku ini mengenai media massa, maka secara umum mengabaikan bentuk-

bentuk lain dari globalisasi budaya, walaupun sering kali berhubungan


berhubungan dengan media
dan sebaliknya. Negara-negara kaya selalu meminjam elemen budaya dari negara-
negara jajahan, dependen, dan rekan dagang dalam bentuk gagasan, rancangan, mode,
flora, dan banyak lagi. Kelompok imigran juga mengambil budaya asli mereka ketika
mereka bergabung dengan negara-negara kaya. Saat ini, penyebaran budaya simbolik
terjadi melalui media, periklanan, dan pemasaran, sering kali melalui pencarian produk
baru untuk memenuhi tuntutan gaya hidup konsumen.
konsumen. H
Hal
al ini bekerja dalam dua arah
(pusat dan periferi). Moorti (2003) menggambarkan kasus impor motif India kepada
budaya mode Amerika, terutama bindi (tanda merah) dan cincin hidung.
hidung. Simbol-
Simbol- simbol
semacam itu diadopsi oleh wanita Amerika sebagai pernyataan mode dan juga penanda
dari gaya hidup kosmopolitan dan eksotisme, tanpa ada yang berubah dalam hubungan
hierarki antara wanita kulit putih dengan wanita Asia. Moorti menyebut hal ini sebagai
'kanibalisme simbolik' (symbolic cannibalism) dan contoh umum bagi komodifikasi alih-
alih multikulturalisme yang sesungguhnya. Hal ini juga merupakan contoh bagi
peniruan postmodern. Banyak contoh serupa yang dapat ditemukan.

Menuj
Menujuu Budaya Medi
Mediaa Glob
Global?
al?
Berbagai tema yang sama selalu muncul dalam debat dan penelitian mengenai
globalisasi media terkait identitas budaya. Budaya media yang diimpor dianggap
menghambat perkembangan budaya asli dari negara penerima, atau bahkan banyak
budaya lokal dan regional di dalam sebuah negara. Sering kali masalah yang dihadapi
dihubungkan dengan negara lebih kecil yang terletak dalam bayang-bayang negara
yang dominan, sebagaimana kasus Kanada dengan AS, atau Irlandia dengan Inggris.
Hal yang mendasari isu di atas adalah 'sistem kepercayaan' kuat yang menyatakan
bahwa budaya adalah perlengkapan
perlengkapan kolektif yang berharga dari bangsa dan tempat,
dan juga sangat rapuh terhadap pengaruh asing. Nilai yang dilekatkan pada budaya
nasional berakar pada ide yang berkembang selama abad ke-19 dan abad ke-20, di mana
pergerakan kemerdekaan nasional sering kali dihubungkan dengan erat oleh penemuan
kembali tradisi budaya nasional yang penting (misalnya di Yunani, Irlandia, dan
Finlandia). Jarangnya korelasi antara batasan negara yang baru terbentuk (sering kali
diciptakan) dengan pembagian budaya 'alamiah' dari orang-orang, tidak berbuat banyak
untuk mengubab retorika mengenai nilai intrinsik dari budaya nasional.
Situasi serupa muncul dalam kasus minoritas nasional yang terperangkap di
dalam negara bangsa yang lebih besar dan dengan otonomi yang terbatas. Terdapat
sejumlah kebingungan mengenai makna dari identitas nasional atau budaya walaupun
dalam kasus

Komunikasi Massa Global 305

tertentu biasanya jelas mengenai apa yang terlibat. Schlesinger (1987) menyarankan pendekatan melalui

sebuah konsep umum dari 'identitas kolektif. Identitas kolektif dalam hal ini, berlangsung di dalam kurun
waktu dan tahan terhadap perubahan, walaupun kemampuan bertahan juga dibutuhkan sehingga dapat
diekspresikan, dikuatkan, dan disiarkan secara sadar. Untuk alasan ini, memiliki akses dan dukungan dari
media komunikasi yang relevan sangatlah penting. Televisi, khususnya, dapat memainkan peranan
penting dalam mendukung identitas nasional, melalui bahasa dan representasi. Castello (2007), mengambil
dari pengalaman Catalan, membuat kasus yang meyakinkan bagi pandangan bahwa negara
membutuhkan fiksinya sendiri dan maka dari itu, kebijakan budaya yang membantunya berkembang.
Satu konsekuensi budaya dari globalisasi media barangkali terlewat karena sangat jelas: munculnya
budaya media global semacam ini (lihat Tomlinson,
Tomlinson, 1999). Internasionalisasi
Internasionalisasi media barangkali mengarah
pada homogenisasi atau sinkronisasi budaya'. Menurut Hamelink (1983:22), proses ini 'menyatakan bahwa
keputusan terkait perkembangan budaya di suatu negara dibuat berdasarkan kepentingan dan kebutuhan
negara pusat yang berkuasa. Mereka kemudian dipaksa secara samar, tetapi sangat efektif tanpa
menghiraukan kebutuhan adaptif dari negara dependen1. Sebagai hasilnya, budaya menjadi kurang
penting dan kohesif dan juga kurang eksklusif.
Tema budaya, gaya, gambar, dan penampilan yang diedarkan dan dikonsumsi secara global melalui
komunikasi massa (dan media baru) tidak kekurangan contoh. Budaya media global dicirikan oleh
penekanannya pada kebaruan, mode, pesohor di segala bidang, anak muda, dan seks. Sering kali bintang
dari budaya pesohor tertentu sangat global; sering kali mereka lokal, tetapi fenomenanya tetap sama.
Bukan kebetulan, media internasional diberikan penghargaan (atau disalahkan) untuk mempromosikan
budaya semacam ini. Tren ini ditemukan sama banyaknya, baik di berita maupun hiburan
hiburan.. Menurut
Thussu (2009), globalisasi televisi yang terjadi karena model dorongan-pasar Amerika mengarah pada
sirkulasi dunia dari 'infotainmen1 dengan standar nilai berita yang sama dan sering kali berita yang sama
dengan sumber yang sama, di mana pun. Model berita 24 jam misalnya, telah menyebar di seantero

Efek
Efek budaya dari
dari globalisasi: efek potensia
potensiall

• Sinkronisasi budaya.
• Meiemahkan budaya nasional, regional, dan lokal.
• Komodifikasi simbol-simbol budaya.
• Meningkatnya multikulturalisme.
• Hibridisasi dan evolusi bentuk budaya.
• Munculnya 'budaya media' global.
• Hilangnya teritorial budaya.

Komunikasi Massa Global 306

dunia. Meskipun budaya media global semacam itu terlihat bebas-nilai, kenyataannya

mengandung cukup banyak nilai-nilai kapitalisme barat, termasuk individualisme dan


konsumerisme, hedonisme, dan komersialisme. Ini mungkin akan menambah pilihan
budaya dan cakrawala yang terbuka bagi beberapa orang, tetapi juga menantang
menantang dan
menjajah ranah budaya lokal yang sebelumnya ada, asli, tradisional, dan minoritas.
Hipotesis efek utama dari globalisasi dirangkum dalam Kotak 10.6.

Peng
Pengelol
elolaa
aan
n Me
Medi
diaa Glob
Global
al
Dengan tiadanya pemerintah global, komunikasi internasional tidak tunduk pada sistem
kontrol pusat atau konsisten manapun. Kekuatan pasar bebas dan kemandirian nasional
berpadu untuk menjaganya tetap seperti ini. Meskipun
Meskipun demikian, terdapat perangkat

luas yang cukup dari kontrol dan peraturan internasional yang membatasi media
berbasis nasional
nasional.. Terutama
Terutama sebagai hasil dari kerja sama sukarela untuk
untuk kebutuhan
atau keuntungan bersama (O Siochru dan kawan-kawan, 2003). Sebagian besar,
peraturan semacam itu dirancang untuk memfasilitasi media global dalam hal teknis
dan perdagangan, tetapi beberapa elemen yang berkaitan dengan masalah normatif
tidaklah mengikat.
Asal mula pengelolaan global ditemukan dalam persetujuan yang dirancang untuk
memfasilitasi layanan pos internasional, melalui Universal Post Union pada
pertengahan abad ke-19. Pada waktu yang kurang lebih sama (1865), International
Telegraph Union dibentuk untuk membantu mengoordinasikan interkoneksi dan
membangun persetujuan mengenai tarif dengan tambahan kemudian atas tanggung
jawab terhadap spektrum radio. Pada kedua kasus
k asus tersebu
t ersebutt pada saat itu, pemerintah

dan monopoli negara memainkan peranan penting. Setelah Perang Dunia II, PBB
menyediakan arena untuk berdebat mengenai media massa dengan rujukan tertentu
kepada kebebasan berekspresi (dijamin oleh piagam tersebut), aliran bebas komunikasi
antarnegara dan masalah kemandirian. Pada tahun 1078, sebuah percobaan dibuat di
Unesco atas permintaan dari negara-negara Dunia Ketiga untuk memperkenalkan
deklarasi media yang menyatakan sejumlah prinsip bagi perilaku media internasional,
terutama yang berhubungan dengan propaganda perang dan pemberitaan yang buruk.
Tentangan dari negara barat dan media pasar bebas menyebabkan kegagalan usaha
tersebut, tetapi usaha ini kemudian membawa sejumlah isu yang baru dan kontroversial
bagi agenda perdebatan dan berkontribusi
berkontribusi terhadap pengakuan
pengakuan sejumlah
sejumlah hak dan
kewajiban komunikasi. Masih ada traktat internasional, termasuk Deklarasi PBB dan
Konvensi AS dan Eropa mengenai HAM yang menawarkan untuk membahas kembali

kesalahan yang disebabkan penyalahgunaan komunikasi.


Pergeseran paradigma yang terjadi menuju deregulasi dan privatisasi ditambah
dengan 'revolusi komunikasi' yang baru berdasarkan komputer dan telekomunikasi,
menutup jalur menuju peraturan normatif internasional yang lebih besar. Akan tetapi,
pergeseran yang sama meningkatkan kebutuhan akan kerja sama teknis, administratif,

Komunikasi Massa Global 307

dan ekonomi dalam serangkaian isu. Hal yang paling baru adalah perkembangan Internet telah

menstimulasi kebutuhan akan peraturan internasional, tetapi kali ini dengan referensi kepada konten
sebagaimana kepada struktur.
Saat ini, badan-badan berikut memainkan berbagai peranan kunci dalam sistem pengelolaan yang
berkembang:
berkembang:

• International Telecommunication Union (ITU) (dinamai ulang), dikelola oleh sekumpulan delegasi
yang dinominasikan oleh pemerintah nasional, mengurusi standar teknis telekomunikasi, alokasi
spektrum, orbit satelit, dan hal-hal lainnya.
• World Trade Organization memiliki kekuatan yang besar dalam masalah ekonomi dan lambat laun
semakin bercampur tangan terhadap media, seiring perusahaan yang tumbuh semakin besar dan
semakin komersial. Isu yang utama adalah perdagangan bebas dan proteksi dengan implikasi terhadap
batasan kemandirian nasional dalam kaitannya dengan
de ngan kebijakan media. Kebijakan Uni
U ni Eropa untuk
untuk
melindungi penyiaran sangatlah rentan, sebagaimana pula penyiaran publik secara umum (Puppis,
2008). Terlepas dari Uni Eropa, organisasi perdagangan regional lainnya, misalnya North American
Free Trade Association (NAFTA) juga mengurusi isu media.
• United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (Unesco), cabang dari PBB yang
berdiri pada tahun 1945, memiliki
memiliki kompetensi
kompetensi yang luas dalam
dalam masalah budaya d
dan
an pendidikan,
pendidikan, tetapi
memiliki kekuasaan yang kecil dan tidak memiliki fungsi media secara spesifik yang jelas.
Bagaimanapun, badan ini aktif dalam masalah kebebasan berekspresi dan Internet.
• World Intellectual Property Organization (WIPO) dibangun pada tahun 1893, memiliki tujuan utama
menyelaraskan aturan dan prosedur yang relevan dalam mengatasi perselisihan antara pemilik hak,
pencipta, dan pengguna.
• International Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN) adalah tambahan paling baru
dari badan-badan pengelolaan. ICANN adalah badan swasta sukarela yang memiliki tujuan mewakili
komunitas pengguna Internet. Dimulai pada tahun 1994 setelah privatisasi World Wide Web dan
fungsi utamanya untuk mengalokasikan alamat dan nama domain, ditambah beberapa fungsi
manajemen server. Badan ini memiliki kekuatan yang kecil untuk mengatasi secara langsung masalah-
masalah sosial dan lainnya yang muncul berkaitan dengan Internet. Secara formal, badan ini
bertanggung
bertanggung jawab kepada Departemen Perdagangan AS, tetapi upaya-upaya
upaya-upaya dilaku
dilakukan
kan untuk
membuat pengelolaannya lebih bersifat internasional.

Terdapat banyak badan lain yang mengurusi berbagai isu terkait media internasional. Banyak yang
mewakili kepentingan industri, termasuk para penerbit, jurnalis, dan produser. Terdapat juga banyak
Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) yang mewakili kepentingan 'masyarakat sipil'. Untuk berbagai
alasan, peraturan yang efektif masih sangat terbatas bagi isu teknis dan ekonomi, alih-alih isu budaya dan
sosial dengan kemungkinan pengecualian atas kebebasan berkomunikasi. Meskipun
demikian, ada banyak lambang yang tersebar dari pertumbuhan internasionalisme dan

yang dapat diperdebatkan, kebutuhan untuk kerangka analisis yang lebih cocok
daripada yang ditawarkan oleh sekumpulan negara bangsa.

Kesimpulan
308 Struktur
Komunikasi massa global adalah kenyataan, dan sejak paruh kedua dari abad ke- 20
selalu ada penguatan yang stabil terhadap kondisi globalisasi. Kondisi tersebut adalah

keberadaan pasar bebas produk media; keberadaan dan penghargaan untuk 'hak atas
informasi' yang efektif, dan selanjutnya pada kebebasan politik dan kebebasan
berpendapat;
berpendapat; dan teknologi yang dapat menaw
menawarkan
arkan saluran
saluran transmisi yang cepat,
berkapasitas
berkapasitas tinggi, dan murah
murah,, lintas batas, dan jarak jauh. Meskipun demikian,
kemungkinan yang nyata untuk melakukan pengiriman atau penerimaan global dan
kemungkinan hal itu mengambil alih tergantung pada masalah yang lebih umum,
terutama yang berkaitan dengan sistem media nasional dan derajat keterhubungan
dengan sistem lain.
Secara berlawanan, negara yang memiliki ketiga kondisi yang disebutkan, yaitu AS
adalah yang paling tidak diuntungkan oleh media massa yang datang dari luar
negaranya sendiri. Hal ini tidak berlaku pada sektor di mana AS mengimpor 'budaya'
dari seluruh dunia bersamaan dengan produk lain. Alatnya tersedia, tetapi keinginan

dan motivasinya tidak ada. Negara yang paling diuntungkan dengan pengalaman nyata
media internasional adalah yang kecil dan cukup kaya, baik untuk menjaga
pertumbuhan budaya nasional maupun menikmati buah campuran dari masyarakat
informasi global. Harus ada penghargaan atas hasil ini, atau kebutuhan yang menekan
bagi komunikasi massa global untuk menyejahterakan dan harapan utama bagi hal ini
sekarang terletak pada Internet dan World Wide Web serta pengembangan lebih lanjut
dari digitalisasi.
Kondisi komunikasi global untuk menjadi komponen yang lebih signifikan dari
komunikasi publik (berlawanan dengan elemen penting dari pasar media) akan menjadi
pergerakan menuju tatanan politik global dan beberapa bentuk pemerintahan
internasional.

Bacaan Selanjutnya
Boyd-Barret, O. dan Rantanen, T. (ed.) (1998) The Globalization of News. London:
Sage.
Masih menjadi panduan yang berharga untuk fakta dan isu fundamental dari aliran
berita global dengan rujukan tertentu terhadap kinerja agen berita dunia.
Chadha, K. dan Kavoori, A. (2005) ‘Globalization and national media system:
mapping interactions in policies markets and formats’, in J. Curran and M.
Gurevitch (ed.), Mass Media and Society, ed. 4, him. 84-103. London: Arnold.
Buku ini menyediakan penjelasan yang jernih mengenai tesis bahwa globalisasi dan
media adalah intim dan saling terhubung yang didukung oleh literatur yang luas.

O Siochru, S. dan Girand, B., dengan Mahan, A. (2002) Global Media Governance.
Lanham, MD: Rowman and Littlefield.
Penjelasan dan ikhtisaryang padat mengenai beragam agen dengan tanggung jawab

Komunikasi Massa Global 309


peraturan media internasional.

Thussu, D. (2009) News as Entertainment, London: Sage.


Penilaian dan evaluasi yang menarik terhadap budaya dan konten pembuatan berita
di seluruh dunia, dengan rujukan tertentu pada kemunculannya ke dalam bentuk
hiburan populer (infotainment).

Tunstall, J. (2007) The Media Were American. Oxford: Oxford University Press.
Penulis kembali meneliti tesisnya sendiri terhadap kajian awal yang berpengaruh
mengenai hegemoni media global Amerika. Penelitiannya melaporkan penurunan
yang signifikan pada dominasi media global, terutama karena kesuksesan Eropa
dalam berita dan kesuksesan besar ekonomi dalam memasok kebutuhan media
mereka sendiri. Masih terdapat wilayah besar kekuatan AS.

Bacaan Daring
Arcetti, C. (2008) ‘News coverage of 9/11 and the demise of the media flows,
globalization and localization hypotheses’, The International Communication
Gazette, 70 (6): 463-485.
Biltereyst, D. (1991) ‘Resisting American hegemony: a comparative analysis of the
reception of domestic and US fiction’, European Journal of Communication,
6(4): 469-497.
Chang, T.-K., Himelboim, L. dan Dong, D. (2009) ‘Open global networks, closed
international flows’, The International Communication Gazette, 71 (3): 137-159.
Ferguson, M. (1992) The mythology about globalization’, European Journal of
Communication, 7 (1): 69-93.
Sinclair, J. (2004) ‘Globalization, supranational institutions, and media’, dalam J.D.H.
Downing, D. McQuail, P. Schlesinger, dan E. Wartella (ed.), The Sage Handbook
of Media Studies, him. 65-82. Thousand Oaks, CA: Sage.
Glosarium

Akuntabilitas media (media accountability). Istilah yang kompleks untuk gagasan dan proses yang terkait
untuk memahami bahwa media dapat dan harus bertanggung jawab atas kualitas, alat, dan konsekuensi
atas aktivitas penerbitan mereka kepada masyarakat secara umum dan/atau kepentingan lain yang
mungkin terpengaruh. Hal ini membawa akuntabilitas ke dalam konflik potensial dengan kebebasan.
Gagasan akuntabilitas media terkadang, meskipun tidak perlu, dihubungkan dengan gagasan tanggung
jawab sosial. Hal ini mengasumsikan beberapa hubungan mutual antara pengirim dan penerima media. Hal
ini juga secara dekat terkait dengan ide kepentingan publik dalam media.

Amandemen Pertama (First Amandement). Amandemen Pertama dari Konstitusi Amerika Serikat ditetapkan
pada tahun 1791 dan melarang campur tangan atau peraturan Kongresional (misalnya pemerintah federal)
atas kebebasan berbicara, agama, pers, dan sebagainya. Amandemen ini telah menjadi persetujan singkat
yang mencakup semua hal mengenai kebebasan brekspresi dan beropini di AS, sering kali melibatkan
media massa. Banyak negara-negara lain memiliki kelengkapan konstitusional yang serupa, meskipun
biasanya diekspresikan sebagai hak warga negara. Cara Amandemen Pertama diformu
diformulasikan
lasikan cenderung
mengidentifikasi pemerintah sebagai musuh utama kebebasan dan secara kuat mengaitkan media yang
bebas dengan pasar be
bebas.
bas.

Analisis penerimaan (reception analysis). Sebuah alternatif kepada penelitian khalayak tradisional (terkait
dengan penghitungan dan efek) yang mengambil perspektif khalayak alih-alih dari media dan mengamati
pengaruh kontekstual langsung atas penggunaan media dan penafsiran serta makna dari keseluruhan
pengalaman sebagaimana yang dilihat oleh penerima. Metode etnografi dan kualitatif menjadi syarat dari
analisis ini.

Analisis wacana (discourse analysis). Diterapkan pada semua bentuk penggunaan bahasa dan bentuk
tekstual, tetapi gagasan intinya adalah komunikasi terjadi melalui bentuk 'teks dan pembicaraan 1 yang
disesuaikan dengan lokasi sosial, topik, dan jenis partisipan tertentu. Hal ini terkadang dikenal sebagai
’komunitas interpretatif. ’Analisis wacana kritis’ menyelidiki dominasi yang dilakukan dan dinyatakan
melalui bentuk linguistik yang merupakan kendaraan untuk membawa sentimen dan ideologi yang
dominan secara sosial.

Berita (news). Bentuk utama di mana informasi terkini mengenai peristiwa publik dibawa oleh media dari
semua jenis. Terdapat perbedaan yang besar dari tipe dan format sebagaimana pula perbedaan lintas-

budaya, tetapi
t etapi ciri yang menjelaskan
menjelaskan biasanya adalah berkaitan dengan waktu, relevansi, dan reliabilitas
(nilai kebenaran). Lihat juga jurnalis
jurnalisme.
me.
Budaya (culture). Dalam konteks sekarang, konsep ini memiliki rujukan utama kepada artefak simbolik
yang diproduksi oleh industri media, tetapi juga memiliki rujukan yang lebih luas kepada kebiasaan,

G-2 Glosarium
praktik, dan makna yang dihubungkan dengan proses komunikasi massa (produksi dan penerimaan).
Terkadang digunakan untuk merujuk pada kerangka yang lebih luas dari keyakinan, ideologi, dan
seterusnya, dari masyarakat ('superstructure') yang menyediakan konteks operasi media.

Budaya media (mass culture). Pada masanya (kira-kira tahun 1930-1970), istilah ini menggambarkan 'budaya
culture).
massa' yang secara umum berarti bentuk yang 'lebih rendah' dari hiburan dan fiksi yang menarik bagi
mayoritas yang tidak berpendidikan dan 'tidak berbudaya' yang berlawanan dengan 'budaya tinggi' dari
mayoritas. Perubahan budaya dan persepsi baru atas budaya populer telah mengubah maknanya dan
membuatnya secara umum tidak perlu atau tidak diinginkan. Ketika masanya, konsep ini lebih ideologis
(mendukung nilai budaya elit) daripada valid secara empiris karena semua kecuali minoritas yang kecil
cenderung berpartisipasi dalam setidaknya beberapa aspek 'budaya massa'.

Dewan pers (press council). Istilah umum yang secara luas digunakan untuk badan semi-publik yang
memutuskan berdasarkan keluhan dari publik mengenai perilaku pers, dalam masyarakat di mana
kebebasan pers dijamin. Dewan pers biasanya mewakili kepentingan media dan publik. Mereka tidak
berurusan
berurusan dengan pelanggaran kriminal dan tidak memiliki
memiliki kekuatan untuk menghuku
menghukum.
m. Sanksi utama

mereka adalah publisitas dan meminta si pelanggar' untuk meminta maaf melalui publikasi. Dewan pers
merupakan salah satu alat yang penting untuk akuntabilit
akuntabilitas
as media.

Digital divide. Istilah yang saat ini banyak digunakan untuk mendaftar ke berbagai ketimpangan dibuka oleh
meningkatnya sarana digital berbasis komputer komunikasi. ketidaksetaraan yang berasal baru dari biaya
peralatan yang relatif besar, ketergantungan pada infrastruktur muka dan keterampilan yang lebih tinggi
diperlukan untuk berkomunikasi. ini muncul ketidaksetaraan antara orang, kelompok sosial, dan
masyarakat nasional untuk sebagian besar mengikuti garis patahan akrab.

Dunia maya (cyberspace). Saat ini, istilah ini secara luas digunakan untuk merujuk pada ruang metaforik
yang ditempati oleh World Wide Web (WWW) dan Internet. Pertama kali diciptakan oleh William Gibson
pada tahun 1984 untuk menggambarkan dunia sibernetika (cybernetics). Konsep ini tidak memiliki makna
yang pasti, tetapi dalam penggunaan yang kontemporer, dunia maya dibayangkan oleh penduduknya
sebagai tempat yang bebas dari batasan ruang yang nyata, selain hukum dan peraturan. Realitas dari dunia
maya ternyata cukup berbeda dari yang dibayangkan oleh penciptanya, dan tentunya tidak secara teknis di
luar jangkauan peraturan sebagaimana yang dulu diasumsikan.

Efek media (media effect). Konsekuensi atau hasil dari bekerjanya, atau ekspos terhadap, media massa, baik
disengaja maupun tidak disengaja. Efek-efek ini dapat dicari pada berbagai level analisis sosial. Ada banyak
jenis efek, tetapi biasanya dibedakan setidaknya antara efek behavioral, sikap (atau akfektif), dan kognitif.
jenis efek, tetapi biasanya dibedakan setidaknya antara efek behavioral, sikap (atau akfektif), dan kognitif.
Efek dibedakan dari 'efektivitas' yang berkaitan dengan efisiensi dari mencapai tujuan komunitas tertentu.

Ekonomi politik (political economy). Istilah asli bagi ekonomi teoretis, tetapi terkadang digunakan oleh para
ahli teori kritis yang menganut tradisi neo-Marxis untuk merujuk pada pandangan umum mengenai media
dan masyarakat di mana faktor materi (ekonomi) memainkan peranan yang menentukan dan di mana
politik pada umumnya mengenai kekuatan ekonomi.

Fandom (fandom). Fenomena yang distimulasi sebagai respons terhadap selebriti media, menyiratkan
keterikatan yang intens kepada dan keterlibatan dalam pencapaian dan kehidupan personal dari pelakon

Glosarium G-3
bintang,
bintang, terutama dalam mu
musik
sik dan budaya popu
populer.
ler. Sering kali dipersepsikan
dipersepsikan sebagai dihubungkan
dihubungkan
dengan irasionalitas dan kehilangan kontak dengan realitas.

Fitnah (libel). Merujuk pada pelanggaran hukum (pada umumnya) dari menghina seseorang yang
terpublikas melalui rujukan yang menjelekkan yang merusak reputasi seseorang atau membahayakan
materi kepada kepentingan mereka atau kedua-duanya. Kebenaran atau hal yang sebaliknya dari rujukan
yang menjelekkan itu tidak relevan secara langsung, meskipun dapat dianggap legal, tergantung pada
yuridiksinya.

Fonogram (phonogram). Sebuah istilah yang nyaman, meskipun tidak sering digunakan, bagi semua bentuk
musik rekaman dan yang diputar oleh pribadi yang aslinya (hampir-hampir) hanya tersedia melalui
'gramofon' yang dahulunya adalah 'fonografdan kemudian menjadi 'pemutar-rekaman'. Istilah ini
mencakup rekaman, kaset, dan cakram dari segala jenis.

Fragmentasi (fragmentation). Dalam kaitannya dengan khalayak media, merujuk pada penurunan umum
khalayak massa dari surat kabar dan saluran televisi yang dominan, disebabkan oleh penggandaan bentuk-

bentuk media baru dan saluran televisi. Ada banyak khalayak yang lebih kecil dan lebih sementara.
Fragmentasi telah dianggap mengurangi kekuatan media massa secara umum, meskipun banyaknya
khalayak yang lebih kecil tidak dapat diartikan terdapat keragaman nyata yang lebih besar.

Framing (framing). Istilah dengan dua makna utama. Makna pertama merujuk pada cara di mana konten
berita umumnya
umumnya dibentuk dan diberikan konteks
konteks oleh jurnalis
jurnalis di dalam
dalam kerangka rujukan
rujukan yang
yang familiar dan
menurut beberapa struktur makna yang tersembunyi. Kedua, makna yang berkaitan dengan efek framing
terhadap publik. Khalayak dianggap mengadopsi kerangka rujukan yang ditawarkan oleh jurnalis dan
untuk melihat dunia dengan cara yang serupa. Proses ini berkaitan dengan priming dan agenda-setting.

Gaya hidup (lifestyle). Gagasan ini memiliki sejarah yang panjang dalam penelitian pasar komersial dan
memiliki kedekatan dengan teori selera dan latar belakang keluarga yang dikembangkan oleh Pierre
Bourdieu. Konsep ini merujuk pada pola konsumsi pribadi dan selera dari segala jenis yang secara umum
dipilih sendiri, tetapi juga sama dengan orang lain. Mereka
M ereka dapat secara relatif independen dari kelas sosial
dan kondisi material meskipun mereka cenderung dibentuk oleh sejumlah faktor eksternal, di mana
pendapatan merupakan salah satunya, bersamaan dengan usia, pendidikan, latar belakang sosial, dan sudut
pandang. Gaya hidup dapat merupakan cara mengungkapkan identitas individual, tetapi bagi media hal ini
dapat menjadi cara untuk membangun dan mengatur pasar konsumen.

Genre (genre). Intinya hanya istilah untuk semua jenis atau kategori konten media yang utama. Istilah ini
juga dapat diterapkan untuk subkategori tertentu dari tema atau plot dalam fiksi, film, drama, dan
sebagainya. Genre berguna untuk analisis karena banyak genre melambangkan ‘aturan perlambangan
(encoding)' tertentu yang dapat dimanipulasi oleh para produsen dan juga ‘aturan penafsiran (decoding)'
tertentu yang memungkinkan khalayak untuk mengembangkan pengharapan yang layak serta ‘membaca’
teks sebagaimana yang dimaksudkan.

Globalisasi (globalization). Proses keseluruhan di mana lokasi produksi, transmisi, dan penerimaan konten
media tidak lagi terbatas secara geografis, sebagian karena hasil dari teknologi, tetapi juga melalui struktur
serta organisasi media internasional. Banyak konsekuensi budaya diprediksikan muncul, terutama konten

G-4 Glosarium
yang tidak lagi lokal serta menurunnya kualitas budaya lokal. Hal ini mungkin dianggap positif ketika
budaya lokal diperkaya melalui impuls baru dan hibridisasi kreatif yang terjadi. Sering kali mereka
melalui impuls
dianggap negatif karena menjadi ancaman terhadap identitas, otonomi, dan integritas budaya. Media baru
secara luas dianggap mempercepat proses globalisasi.

Gosip (gossip). Bentuk berita yang dicirikan oleh rujukannya kepada kepribadian dan ketidakpastian asal
mula serta reliabilitasnya. Habitat utamanya adalah dalam perbincangan pribadi, tetapi ia menyediakan
basis untuk genre media yang umumnya
umumnya ditemukan dalam surat kabar dan majalah
majalah.. Di sini, konten
berfokus pada selebriti (umumnya yang kaya dan terkenal). Berbeda dari rumor yang sering kali berkaitan
dengan berita yang sangat signifikan dan bergerak lebih cepat dan lebih utuh di dalam populasi yang
relevan. Lihat juga human interest.

Hak cipta (copyright). Cara yang secara esensial merupakan pengakuan atas hak kepemilikan dari pengarang
dalam karya mereka sendiri yang dipublikasikan. Hal ini dicapai jauh setelah penemuan teknologi cetak.
Isu hak cipta (lebih luasnya, hak kekayaan intelektual) telah dirumitkan dengan perluasan klaim hak cipta
terhadap kategori baru 'kepengarangan' dan bentuk baru media dan publikasi dan republikasi, terutama

dalam bentuk elektronik. Internet mengubah sifat penerbitan dan telah membuka wilayah yang luas dan
diperselisihkan.

Hibridisasi (hybridization). Proses di mana bentuk budaya baru dibangun dari elemen-elemen yang terpisah,
terutama kombinasi dari bentuk asing atau impor dan budaya lokal atau tradisional. Dihubungkan dengan
globalisasi.

Hiburan (entertainment). Menggambarkan cabang utama dari produksi dan konsumsi media, melingkupi
serangkaian format yang secara umum berbagi kualitas, misalnya menarik, menghibur, mengalihkan, dan
‘mengeluarkan orang dari diri mereka sendiri’. Konsep ini juga merujuk pada proses pengalihan itu sendiri,
dan dalam pemaknaan seperti ini dapat juga berhubungan dengan genre yang biasanya tidak dianggap
sebagai menghibur, misalnya berita, iklan, atau pendidikan. Sering kali dipersepsikan bermasalah ketika
kecanduan kepada hiburan tidak mencakup kegunaan informasi dari media atau ketika model ‘hiburan’
menginvasi ranah konten realitas—terutama berita, informasi, dan politik, sebagaimana nampak semakin
meningkat. Istilah ‘infotainment ’ telah diciptakan untuk menggambarkan hasilnya.

Human interest. Jenis format berita yang berfokus pada tindakan dan konsekuensi pribadi, menggunakan
gaya dramatis, humor, atau naratif, dan biasanya berkaitan dengan hal yang dekat dengan emosi dan
pengalaman sehari-hari. Dihubungkan pula dengan komersialisasi dan juga tabloiditisasi.
Hype. Istilah baru untuk fenomena berita lama. Digambarkan sebagai gelombang baru yang terjadi di mana
topik pada saat tertentu menerima peliputan berita yang berlebihan dan terus-menerus dari semua media
pada saat yang bersamaan. Dimulai dengan peristiwa berita tunggal yang sangat jelas dan menarik bagi
khalayak dan dikejar-kejar melampaui signifikansi objektifnya atau nilai informasi dan melampaui
kehidupan normal dari peristiwa semacam itu, dengan para jurnalis yang mencari lebih banyak informasi
untuk menjaganya tetap hidup. Kondisi agar hype ini terjadi dapat
baru yang kurang penting hanya untuk
mencakup relatif kurangnya item yang bernilai berita. Fenomena yang berhubungan adalah 'jurnalisme
paket', di mana semua media tanpa kenal lelah mengejar berita yang sama dengan cara yang kurang lebih
sama.

Glosarium G-5
Identitas (identity). Karakterisasi spesifik dari orang, tempat, dan seterusnya oleh diri sendiri maupun orang
lain, menurut ciri biografi, sosial, budaya, atau yang lain. Komunikasi adalah kondisi yang diperlukan
untuk membentuk dan memelihara identitas. Melalui pernyataan yang sama, hal ini dapat melemahkan
atau merendahkannya. Komunikasi massa adalah salah satu di antara beberapa faktor yang berkontribusi.

Ideologi (ideology). Umumnya merujuk pada beberapa sistem keyakinan yang terorganisir atau seperangkat
nilai yang disebarkan atau dikuatkan melalui komunikasi. Meskipun media massa biasanya tidak secara
sengaja merencanakan untuk menyebarkan ideologi, pada paraktiknya sebagian besar konten media (dari
semua jenis) melakukannya secara implisit dengan secara selektif menekankan nilai dan norma tertentu.
Hal ini dirujuk sebagai 'pemaknaan yang utama' dalam teori coding dan decoding. Sering kali hal ini
mencerminkan
mencerminkan budaya nasional yang menyediakan konteks bagi sistem
s istem media, tetapi juga posisi kelas dan
pandangan dari mereka yang memiliki, mengontrol, dan membuat media.

Imperialisme budaya (cultural imperialism). Ungkapan umum untuk kecenderungan para eksportir media
global (terutama dari AS) untuk mendominasi konsumsi media di negara lain yang lebih kecil dan miskin,
dan dengan demikian membawa budaya dan nilai-nilai mereka sendiri kepada para khalayak di tempat

lain. Bukan hanya konten yang diekspor, tetapi juga teknologi, nilai produksi, ideologi profesional, dan
kepemilikan. Analoginya adalah dengan imperialisme sejarah di mana caranya adalah dengan kekuatan
militer dan ekonomi. Secara tersurat maupun tersirat, diasumsikan bahwa imperialisme budaya mengarah
pada ketergantungan, hilangnya otonomi, dan menurunnya budaya nasional atau lokal. Beberapa
pandangan muncul mengenai apakah proses ini terencana dan mengenai derajat apakah pada ujung
penerimanya bersifat sukarela atau tidak. Konsep ini cukup mentah, tetapi memiliki kepentingan yang kuat.

Informasi (information). Dalam artian yang luas, konten (pesan) dari semua komunikasi yang bermakna
adalah informasi. Secara lebih sempit (tetapi masih longgar), informasi biasanya merujuk pada data faktual
yang dapat diverifikasi dan sehingga reliabel mengenai 'dunia nyata'. Ini termasuk opini sebagaimana
laporan mengenai fakta mengenai dunia. Bahkan secara lebih sempit dan tepat, informasi dapat disamakan
dengan 'data' yang dikomunikasikan yang memungkinkan (atau dapat) perlakuan diskriminasi dalam

beberapa wilayah
wilayah reali
realitas
tas sehingga
sehingga 'mengurangi
'mengurangi ketidakpastian
ketidakpastian bagi penerimanya.
penerimanya.
Infotainment. Istilah yang diciptakan untuk menangkap informasi dan hiburan yang saling bercampur yang
mencirikan televisi massa di akhir abad kedua puluh. Jenis-jenis ini nampak secara khusus dapat diterapkan
kepada bentuk-bentuk berita yang ditakuti akan dihasilkan dari privatisasi pernyiaran yang meluas di
Eropa dan peningkatan kompetisi bagi khalayak massa. Istilah ini secara umum digunakan secara
merendahkan, dengan implikasi 'pembodohan' dan pengurangan yang tidak dapat dihindari dan
kedangkalan secara kuat dari berita dan informasi. Konsep ini memiliki analogi dengan gagasan
tabloiditisasi yang memengaruhi surat kabar. Dengan rujukan kepada komunikasi politik, konsep ini juga
berkaitan dengan
dengan kemenangan
kemenangan logika media atas logika partai.

Interaktivitas (interactivity). Kapasitas untuk komunikasi dua arah yang timbal balik yang dapat
dihubungkan dengan medium atau hubungan komunikasi. Interaktivitas memungkinkan adanya
penyesuaian mutual, orientasi bersama, kendali yang lebih baik dan efisiensi yang lebih besar dalam
sebagian besar hubungan serta proses komunikasi. Ciri tunggal yang paling utama dari 'media baru' adalah
derajat interaktivitasnya yang semakin dimungkinkan dengan adanya digitalisasi.

G-6 Glosarium
Internet (Internet). Sistem jangkauan dunia (worldwide) dari jaringan yang saling terhubung, menggunakan
infrastruktur telekomunikasi yang saat ini mendukung sejumlah besar jenis pertukaran komunikasi berbasis
komputer, termasuk konsultasi basis data, Website dan laman situs, interaksi perbincangan, surat
elektronik, berbagai jenis jual beli elektronik, dan transaksi keuangan. Internet secara berangsur-angsur
mengambil alih banyak fungsi dari media massa 'tradisional' (misalnya iklan, berita, dan informasi). Akses
kepada Internet masih dibatasi oleh ongkos kepada pengguna, ditambah dengan batasan bahasa, budaya,
dan literasi komputer.

Jaringan (network). Seperangkat titik yang saling terhubung yang dapat berupa orang, tempat, organisasi,
mesin, dan seterusnya. Dalam komunikasi, Internet berfokus pada aliran informasi melalui 'jalur' jaringan
dengan rujukan tertentu pada kapasitas membawa dan interaktivitasnya, dan tentunya kepada siapa atau
apa yang terhubung secara kurang lebih kuat dan eksklusif. Dibandingkan dengan jenis lain dari kumpulan
orang yang terorganisir, jaringan kurang bersifat hierarkis dan lebih fleksibel dan informal. Istilah
'masyarakat jaringan' diciptakan oleh ahli teori (misalnya Castells dan van Dyke) sebagai cara alternatif
untuk mengungkapkan realitas dari masyarakat informasi.

Jurnalisme (journalism). Secara harfiah, hal ini merujuk pada produk atau karya profesional dari 'pekerja
berita'. Sebagai produk,
produk, hal ini biasanya berarti laporan
laporan informasi dari peristiwa
peristiwa yang baru atau sedang
terjadi yang memiliki kepentingan terhadap publik. Dalam artian ini, jurnalisme merupakan kata lain untuk
'berita', dengan banyak ciri yang khusus dan akrab, terutama tujuan untuk menjadi yang paling baru,
relevan, kredibel, dan menarik untuk khalayak yang terpilih. Sebagai sebuah proses kerja, jurnalisme
memiliki konotasi yang bercampur, mencerminkan ketidakpastian mengenai status profesi. Ada beberapa
gaya dan mazhab jurnalisme yang dibedakan oleh tujuan dan khalayak serta juga oleh budaya media
nasional.

Jurnalisme publik
publik (public journalism). Gerakan dari dalam profesi jurnalistik (terutama di AS) untuk
melawan kritik terhadap standar jurnalistik dengan memajukan berbagai tujuan publik yang praktis
terhadap berita. Tujuan-tujuan ini melibatkan penemuan dan pemenuhan kebutuhan dan kepentingan dari

khalayak terdekat yang dilayani oleh medium tertentu. Informasi atas nilai praktis akan ditekankan dan
jurnalis akan terlibat
jurnalis terlibat secara ak
aktif
tif dalam permasalahan
permasalahan publik.
publik.

Kajian budaya (culture study). Cabang teori dan penelitian yang tumpang tindih dengan wilayah media dan
komunikasi, tetapi memiliki rujukan yang lebih luas dengan semua bentuk pengalaman budaya dan
ekspresi simbolik. Studi ini dibedakan berdasarkan orientasi kritis dan humanistik dan juga memiliki fokus
yang kuat pada 'budaya populer', terutama anak muda. Studi ini berasal dari Inggris, tetapi lingkupnya saat
ini adalah internasional, sangat beragam dan independen dari studi media dan komunikasi. Lihat Mazhab
Birmingham.

Kampanye (campaign). Upaya terencana untuk memengaruhi opini, perilaku, sikap, dan pengetahuan
publik atas beberapa tujuan, orang, lembaga, atau topik tertentu dengan menggunakan media yang berbeda
selama jangka waktu yang spesifik. Jenis kampanye yang utama adalah iklan, politik, informasi publik, dan
penggalangan dana. Kampanye publik biasanya diarahkan pada tujuan yang disetujui secara sosial. Mereka
sering kali didasarkan pada penelitian dan tunduk pada evaluasi kesuksesan.

Glosarium G-7
Kebebasan informasi (atau komunikasi) (freedom of information or communication). Kebebasan informasi
memiliki makna yang luas yang mencakup semua aspek ekspresi publik dan penyiaran dari serta akses
kepada semua bentuk konten. Hal ini telah dikembangkan sebagai Hak Asasi Manusia yang seharusnya
dijamin secara internasional dan bukan hanya di dalam masyarakat. Dalam pengertian yang sempit, hal ini
biasanya meruju
merujuk
k pada hak pub
publik
lik untuk mengakses
mengakses informasi
informasi mengenai
mengenai kepentingan publik atau relevansi
yang dipegang oleh berbagai jenis otoritas atau agen berwenang.

Kekuasaan (power). Istilah yang terbuka bagi banyak penafsiran, tetapi gagasan dasarnya adalah rujukan
kepada kapasitas untuk mendapatkan kepatuhan dari orang lain, bahkan melawan keinginan mereka
(semisal polsi atau kekuatan militer). Dalam arti ini, konsep ini tidak memiliki relevansi langsung bagi
komunikasi karena tidak ada efek yang dapat dipastikan. Bagaimanapun, kita dapat membicarakan
kemungkinan dari mendapatkan kepatuhan dengan beberapa tujuan komunikatif (dalam hubungan dengan
informasi dan opini) dan istilah 'pengaruh' secara luas diterapkan kepada komunikasi massa dengan
kepatuhan didapatkan melalui kekuatan argumen atau imbalan psikologis tertentu.

Kepanikan moral (moralpanic). Istilah ini pertama kali diterapkan oleh kriminolog Jock Young pada ekspresi
yang tiba-tiba dari keresahan dan ketakutan massa yang sering kali tidak rasional yang ditujukan pada
'gelombang kriminalitas' atau yang dianggap sebagai bukti lain dari kekacauan dan kegagalan sosial
(termasuk seks bebas dan imigrasi). Media terlibat melalui kecenderungan mereka untuk memperkuat
'kepanikan' semacam itu. Mereka juga terkadang menjadi objek kepanikan moral, ketika keresahan pada
efek mereka yang berbahaya tiba-tiba muncul (misalnya dalam bentuk gelombang kriminalitas, bunuh diri,
atau kerusuhan). Media baru, misalnya permainan komputer dan Internet, cenderung menciptakan
beberapa derajat kepanikan
kepanikan atas keburukan yang dituduhkan atas mereka kepada pengguna
pengguna mereka (yang
muda).
Kepentingan publik (public interest)
interest).. Mengungkapkan ide pengharapan dari, dan klaim terhadap media
massa berdasarkan kebaikan yang luas dan berjangka-panjang bagi masyarakat, dapat diungkapkan secara
sah dan dapat mengarah pada batasan struktur atau aktivitas media. Konten atas apa yang merupakan
'kepentingan publik' mengambil berbagai bentuk. Penafsiran yang paling minim adalah bahwa media harus

memenuhi kebutuhan khalayak mereka, tetapi pertimbangan etika, ideologi, politik, dan legal dapat
mengarah pada definisi yang lebih kuat. Ekspresi atas kepentingan publik juga mengambil berbagai cara,
termasuk melalui opini publik, politikus, kritik, dan banyak kelompok kepentingan Iain yang dipengaruhi
oleh komunikasi publik. Lihat juga akuntabilitas media.

Khalayak (audience). Semua orang yang benar-benar dijangkau oleh konten media tertentu atau 'saluran'
media. Khalayak dapat juga merupakan 'target' yang dibayangkan atau kelompok penerima yang
ditujukan. Khalayak dapat saling tumpang tindih dengan kelompok sosial yang nyata atau publik. Khalayak
dapat didefinisikan menurut media atau konten yang relevan, atau dalam artian komposisi sosial, lokasi,
atau waktu dalam satu hari. Khalayak media bukanlah satuan yang pasti dan mungkin hanya dapat
diketahui setelah peristiwa sebagai abstraksi statistik (misalnya rating), dengan kemungkinan pengulangan
kembali yang diketahui. Ini merupakan pandangan yang umum 'dari media', tetapi ada perspektif alternatif

yang valid mengenai khalayak sebagai unit sosial budaya kolektif.

Kode (code). Makna yang paling umum untuk perangkat hukum, peraturan, atau panduan. Ketika
diterapkan kepada media massa, umumnya merujuk pada seperangkat standar yang diterapkan dalam

G-8 Glosarium
regulasi-sendiri atas konten dan perilaku, misalnya dalam kaitannya dengan jurnalisme. Kode profesional
telah diadopsi oleh asosiasi jurnalis nasional dan internasional. Kode juga dibuat dan diterapkan dalam
penyiaran dan pertunjukan film, meliputi hal-hal, seperti tampilan kekerasan, iklan, materi seksual,
gambaran kekerasan, rasisme, penghinaan, dan sebagainya. Makna kode yang baru (tetapi berhubungan)
telah diperkenalkan untuk menggambarkan petunjuk yang tepat yang dituliskan ke dalam program
komputer yang dapat digunakan untuk membatasi kebebasan penggunaan dan mengawasi konten (Lessig,
1999).

Komersialisasi (commercialization). Proses di mana struktur dan konten media mencerminkan tujuan mencari
untung dari industri media dan terlalu diatur oleh pertimbangan pasar. Rujukan utamanya biasanya pada
konsekuensi budaya, dan hal ini selalu merupakan konotasi yang negatif. Konten media yang
terkomersialisasi dipercaya dalam berbagai tingkat selalu kurang independen, 'tidak otentik', terstandar,
dan bersifat stereotip cenderung bersifat sensasional dan personal. Konsep ini mendukung materialisme dan
st ereotip,, cenderung
konsumerisme. Selain itu juga dianggap kurang kreatif dan terpercaya. Media komersial dituduh kurang
memiliki independensi yang utuh dari pemilik dan pengiklan. Dalam beberapa konteks proses ini juga
dirujuk sebagai 'Amerikanisasi', berdasarkan impor konten Amerika yang terlibat, biasanya digabungkan
dengan standar dan nilai produksi Amerika. Lihat periklanan
periklanan,, tabloditisasi, dan komodifikasi.
tabloditisasi,

Komodifikasi (commodification). Istilah ini berasal dari teori Marxis yang semua entitasnya memiliki nilai
tukar material. Dalam hubungannya dengan media, terdapat dua aspek utama. Aspek pertama adalah
perlakukan dari semua pesan media sebagai 'produk' yang dibeli atau dijual dalam pasar media, tanpa
rujukan kepada kriteria nilai yang lain. Aspek yang kedua adalah bahwa khalayak dapat diperlakukan
sebagai komoditas untuk dijual oleh media kepada pengiklan perkepala, berdasarkan rating dan kriteria
pasar lainnya. Lihat Marxisme
Marxisme..

Komunikasi yang di Mediasi Komputer (Computer-mediated Communication-CMC). Transaksi komunikasi


apapun yang terjadi melalui komputer, baik daring ( online) maupun luring (offline), tetapi terutama yang
pertama. Ciri-cirinya termasuk: interaktivitas dalam situasi di mana partisipan tidak bersama secara fisik;

dan kemungkinan untuk anonimitas dan penyamaran saat berkomunikasi. CMC dapat menyalahi batasan
sosial dan fisik yang biasanya membatasi potensi kita untuk berkomunikasi dengan orang lain. Tidak semua
fitur CMC menguntungkan. Kita lebih terekspos pada komunikasi yang tidak diinginkan dengan orang
lain. Mediasi komputer mengurangi karakter personal dari pengalaman, dan kesamaan atau komunitas
yang dicapai dalam dunia maya dapat bersifat ilusi. Komunikasi yang di mediasi komputer yang terhubung
dengan jaringan juga lebih terbuka pada berbagai bentuk pengawasan.
Komunitas virtual (virtual community). Menggambarkan kelompok atau asosiasi pribadi yang dekat yang
dibentuk secara online oleh para partisipan dalam pertukaran dan diskusi di Internet. Komunitas virtual
dianggap memiliki banyak ciri dari komunitas yang sesungguhnya, termasuk identifikasi, keterikatan,
norma dan pandangan bersama, meskipun tanpa adanya kontak fisik atau pengetahuan pribadi yang
sesungguhnya atas anggota lain. Lihat masyarakat.

Konsentrasi media (media concentration). Bersatunya organisasi media untuk membentuk unit yang lebih
besar melalui
melalui integrasi perusah
perusahaan
aan vertikal atau horizontal.
horizontal. Hal pertama meru
merujuk
juk pada bergabungnya
bergabungnya
berbagai uru
urutan
tan dalam proses media (misalnya
(misalnya produksi
produksi kertas, percetakan,
percetakan, penerbitan,
penerbitan, dan penju
penjualan
alan

Glosarium G-9
buku).
buku). Hal yang kedua meruju
merujuk
k pada konglo
konglomerasi
merasi perusahaan
perusahaan pada tingkat yang sama dalam urutan.
urutan.
Keduanya mengarah pada monopoli yangs semakin kuat dan diversitas yang semakin rendah. Konsentrasi
dapat terjadi di dalam pasar nasional yang sama atau transnasional. Rujukan utamanya adalah pada
konsentrasi kepemilikan, meskipun kemungkinan ada level konsentrasi yang beragam dari proses kerja
yang berbeda dalam media konglomerat.

Konstruksionisme (constructionism). Sebuah pendekatan terhadap studi makna dan efek media bersandar
pada asumsi bahwa tidak ada versi yang secara unik benar dan tetap dari 'dunia nyata'. Realitas hanya
dapat dipahami dan dikomunikasikan melalui versi yang dipersepsikan yang secara selektif yang
bergantung
bergantung pada sikap, kepentingan,
kepentingan, pengetahuan,
pengetahuan, dan pengalam
pengalaman
an dari pihak yang berperse
berpersepsi.
psi. Efek
komunikasi mengenai beberapa aspek 'realitas' akan bergantung pada negosiasi makna antara partisipan
dalam kondisi saat itu. Tidak masuk akal untuk mencari efek langsung dalam artian transfer makna dari
sumber ke penerima.

Konvergensi (convergence). Proses menjadi satu atau menjadi serupa. Biasanya diterapkan kepada
konvergensi teknologi media sebagai hasil dari digitalisasi (komputerisasi). Ciri fisik yang membeda-
bedakan media tidak lagi berarti, setidaknya untuk
untuk tujuan produksi, pengolahan,
pengolahan, dan transmisi. Tren
kontemporer dari konvergensi telah digunakan sebagai argumen untuk deregulasi media karena sebagian
besar rezim pengatur
pengatur terhubungan
terhubungan dengan teknologi tertentu (misalnya percetakan,
percetakan, penyiaran,
penyiaran, kabel,
proyeksi, dan sebagainya). Meskipun adanya potensi pada 'ujung' penerimaan untuk konvergensi pada
peralatan tunggal, diversifikasi nampak semakin meningkat.

Logika media (media logic). Biasanya merujuk pada seperangkat nilai yang saling terkait yang dipercaya oleh
produsen untuk membangun praktik yang baik (sukses) dan profesionalisme untuk media tertentu dan
tujuan tertentu, atau diyakini oleh pengamat untuk bekerja secara tidak sadar. Meskipun media yang
berbeda (misalnya radio, film, surat kabar) mu
mungkin
ngkin memiliki logika yang berbeda, ada beberapa
komponen pokok yang serupa, terutama: personalisasi, sensasionalisme (daya tarik kepada perasaan dan
emosi), drama dan aksi, konflik, pertunjukan, dan tempo tinggi. Atribut ini dianggap memperluas daya

tarik dan meningkatkan perhatian dan keterlibatan. Istilah ini biasanya digunakan oleh kritik dengan
implikasi bahwa logika media mendukung bentuk daripada substansi dan konflik dengan tujuan untuk
menjadi informatif, atau sebaliknya membawa makna atau refleksi yang mendalam. Dalam hubungannya
dengan politik dianggap bahwa logika media dikurangi dari substansi dan keyakinan.

Marxisme (Marxism). Teori masyarakat berdasarkan karya Karl Marx. Menurutnya, kemajuan manusia
terjadi pada basis konflik antara 'kelas' yang sukses yang kekuatan dominannya tergantung pada
kepemililkan faktor produksi yang utama (misalnya tanah, bahan mentah, modal, atau buruh). Kelas
dominan mengeksploitasi kelas lain untuk memaksimalkan keuntungan dan hasil. Relevansinya terhadap
komunikasi massa terletak pada proposisinya bahwa media adalah aset ideologis yang dapat digunakan
untuk mempertahankan atau menyerang untuk posisi kelas yang dominan. Dalam era Marx dan di
kemudian hari, media massa dimiliki dan dijalankan berdasarkan kepentingan kelas dominan. Hal ini
masih menjadi isu untuk diselesaikan.

Masyarakat (community). Bentuk ideal dari kelompok orang di mana para anggotanya berbagi batasan
ruang, identitas, dan interaksi. Komunitas pada umumnya merupakan kelompok sosial yang besar dan

G-10 Glosarium
bertahan berdasarkan tempat
tempat tinggal, tetapi dapat juga dibentuk berdasarkan beberapa identitas
identitas signifikan
yang lain. Dalam bentuknya yang ideal, komunitas dicirikan oleh kesamaan kesukaan dan dukungan dan
kesetaraan yang relatif antaranggota yang mengutamakan kesejahteraan bersama daripada keinginan
individual.

Masyarakat informasi (information society). Istilah yang secara luas digunakan untuk menggambarkan
masyarakat kontemporer dalam artian apa yang dianggap sebagai kekuatan atau sumber yang paling
utama dari kekuatan produktif, yaitu informasi dari segala jenis. Pembenaran untuk asumsi ini diambil dari
ketergantungan yang nampak dari sebagian besar kehidupan modern, baik secara material maupun budaya
pada produksi, penanganan, dan penerapan informasi dan pada operasi dari jaringan komunikasi yang
kompleks. Sektor teknologi informasi dan komunikasi nampak menjadi sumber utama bagi kemakmuran
dalam masyarakat yang secara ekonomi maju.

Masyarakat massa (mass society). Bentuk masyarakat yang secara teoretis diidentifikasikan sebagai yang
didominasi oleh sejumlah kecil elit yang saling terhubung mengendalikan kondisi kehidupan orang banyak,
sering kali melalui cara-cara persuasi atau manipulasi. Istilah ini pertama kali diterapkan pada pasca-
perang AS oleh kritik radikal (terutama C. Wright Mills) dan juga oleh para ahli teori politik kepada
masyarakat Eropa yang jatuh di bawah kekuasan fasisme dan komunisme. Bentuk yang berskala besar dan
terpusat dari organisasi sosial adalah bentuk yang biasa, disertai perasaan anomi dan ketidakberdayaan.
Media massa merupakan instrumen yang diperlukan untuk mencapai dan memelihara masyarakat massa.

Masyarakat sipil (civil society). Istilah ini telah secara luas digunakan dalam teori sosial mutakhir yang
merujuk pada bentuk organisasi sosial yang menawarkan alternatif untuk totalitarianisme atau kontrol
pemerintah yang berlebihan. Aspek utamanya adalah keberadaan 'wilayah' menengah antara kehidupan
pribadi dengan negara, di mana asosiasi dan organisasi kolektif sukarela yang independen dapat berjalan
secara bebas. Kondisi awal untuk kebebasan berkumpul dan berekspresi, termasuk cara yang diperlukan di
mana media merupakan salah satu yang sangat penting. Media yang bebas kemudian dapat dianggap
sebagai lembaga masyarakat sipil. Lihat juga ranah publik.

Mazhab Birmingham (Birmingham School). Nama yang digunakan untuk melambangkan sejumlah penulis
yang dikaitkan dengan Pusat Kajian Budaya Kontemporer (Centre for Contemporary Cultural Studies—CCCS)
di University of Birmingham, Inggris yang dibangun pada pertengahan tahun 1960-an. Penemu awalnya
adalah Richard Hoggart yang bekerja sama dengan Stuart Hall. Hasil karya mazhab ini merupakan
pengaruh yang besar yang pertama pada studi mengenai budaya populer dan yang kedua pada
pengembangan kajian budaya kritis, termasuk analisis penerimaan dan studi media feminis.
Mazhab Toronto (Toronto School). Menggambarkan sejumlah karya yang umumnya diambil dari teori
Marshall McLuhan, dan pada gilirannya diambil dari ilmuwan yang lebih mula dari University of Toronto,
sejarawan ekonomi Harold Innis. Pada intinya adalah bentuk dari determinisme teknologi komunikasi yang
meyakini efek sosial dan budaya yang penting kepada bentuk dominan dan kendaraan komunikasi,
mandiri dari konten yang sebenarnya.

Mediatisasi (mediatization). Proses melalui mana media massa memengaruhi area lain dalam masyarakat,
terutama institusi dengan peranan publik, misalnya politik, hukum, kesehatan, pendidikan, atau agama.

Glosarium G-11
Pengamatan menyaraknkan bahwa banyak aktivitas publik yang saat ini dilakukan dengan pandangan
yang tinggi mengenai bagaimana mereka dapat mendapatkan akses kepada publisitas dalam kaitan yang
mendukung dan dengan dampak yang maksimal. Istilah ini menyiratkan bahwa aktivitas dapat sering kali
terdistorsi dengan jadwal, prioritas, dan makna yang diadaptasikan kepada persyaratan dari media dan
kepada logika media.

Mesin pencari (search engine). Sistem penarik informasi terkomputerisasi yang dibangun oleh penyedia
layanan Internet (Internet service provider—ISP) bertujuan memberikan akses yang mudah bagi pengguna
untuk mencari informasi atau konten spesifik pada jagad raya materi yang telah didigitalisasi dan tersedia
dalam 'dunia maya'. Komponen kunci dari sistem ini adalah program pencari yang sangat hebat yang
'merangkak' di antara data di WWW, mengikuti tautan. Nilai tambah dari situs mesin pencari adalah
menyediakan indeks, berdasarkan kata kunci, dan memberikan peringkat hasil pencarian sebagaimana pula
aksesibilitas. Secara teori, pencarian seharusnya netral, tetapi tidak dapat dihindarkan untuk terdistorsi oleh
beberapa hal, termasuk yang bersifat komersial
komersial karena mereka sangat populer
populer dan menguntungkan.
menguntungkan.
Mereka juga sangat termonopoli dengan hanya satu perusahaan, Google yang memiliki lebih dari separuh
pasar mesin pencarian secara total. Faktor lain yang menghambat adalah hanya relatif sebagian kecil dari
jagad raya Web yang (dapa
(dapat)
t) dicari.

Nilai berita (news value). Kriteria yang diterapkan oleh jurnalis dan editor dalam organisasi berita untuk
menentukan apakah akan membawa item tertentu dalam berita atau tidak. Dalam media komersial, 'nilai'
konsensusnya adalah apakah item yang terkait akan menarik bagi khalayak atau tidak. Bagaimanapun, ada
sumber nilai yang lain, termasuk penilaian signifikansi intrinsik atau tekanan dari kepentingan
berpengaruh
berpengaruh dari sela
selain
in khalayak.
khalayak.

Objektivitas (objectivity). Istilah yang secara teoretis dipertanyakan yang diterapkan kepada berita,
meskipun dalam akal sehat’ istilah ini merangkum sejumlah kualitas yang bertujuan pada kepercayaan dan
reliabilitas pada bagian khalayak berita. Hal ini termasuk akurasi faktual, kurangnya bias, pemisahan fakta
dari komentar, transparansi sumber, dan tidak memihak. Alasan untuk kontroversi atas istilah ini berasal

terutama dari pandangan bahwa objektivitas yang sesungguhnya tidak dapat diraih dan sangat
menyesatkan untuk berpikir sebaliknya. Secara singkat, semua berita dikatakan ideologis, dan objektivitas
dianggap oleh kritik sebagai ideologi lain. Persyaratan objektivitas memungkinkan sumber untuk
memanipulasi berita dan hanya bertindak untuk menutupi bias, baik disengaja maupun tidak.

Opera sabun (soap opera). Istilah konvensional untuk serangkaian luas drama televisi dan radio dalam
bentuk serial (berlangsu
(berlangsung
ng lama dan berkala). Istilah ini berasal dari masa awal radio komersial Amerika.
Meskipun ada variasi, beberapa ciri utama dari opera sabun adalah latar realistis kontemporer dari aksinya,
keberlanjutan karakter dan plot yang terhubung dengan isu pada saat itu, berfokus pada hubungan
personal yang saling bercampur dari karakter-karakter yang ada, klaim yang kuat pada identifikasi dan
'kecanduan' dari khalayak, dan daya tarik tertentu kepada khalayak wanita dalam latar keluarga.

Pendekatan uses and gratification. Satu versi dari teori dan penelitian fungsional individual yang mencoba
menjelaskan penggunaan media dan kepuasan yang diambil dari mereka dalam kaitannya dengan motif
dan kebutuhan yang dipersepsikan sendiri dari anggota khalayak. Ini juga satu versi dari teori 'khalayak
aktif1 dan telah diterapkan pada studi efek media berdasarkan pandangan bahwa efek apa pun harus

G-12 Glosarium
konsisten dengan kebutuhan khalayak.

Pengawasan (surveillance). Istilah ini memiliki dua makna dalam studi media. Salah satunya merujuk pada
'fungsi' media berita bagi khalayak dalam menyediakan pandangan mengenai peristiwa di dunia. Makna
yang lain merujuk pada kapasitas yang terbangun di dalam media daring baru yang memungkinkan akses
oleh pihak ketiga (oleh penyedia layanan, mesin pencari, beberapa otoritas) kepada semua transaksi
komunikasi. Penggunaan media-media ini tidak lagi menjamin privasi.
Penjaga pintu {gatekeeping). Istilah umum untuk peran seleksi awal dan proses editorial lanjutan atas
peliputan peristiwa dalam organisasi berita. Media berita harus memutuskan ‘peristiwa apa yang diangkat
melalui ‘pintu’ media berdasarkan ‘nilai beritanya’ dan kriteria lain. Pertanyaan kuncinya terkait kriteria
yang diaplikasikan serta bias sistematis yang telah diamati dalam pelaksanaan peran. Lihat juga portal.

Penyiaran (broadcasting). Transmisi sinyal radio dan televisi melalui udara dari pemancar terestrial yang
tetap dan dengan jangkauan yang terbatas, sebelum munculnya sistem kabel dan satelit dari tahun 1970-an
hingga kini. Penyiaran ditujukan sebagai penerimaan terbuka oleh semua yang berada di dalam jangkauan
transmisi dan umumnya dibiayai baik oleh periklanan atau oleh perangkat penerima atau lisensi rumah

tangga. Penyiaran dulunya dan masih sampai sekarang, dikelola oleh rezim yang legal dan mengatur
sesuatu yang dirancang untuk mengalokasikan perizinan dan mengawasi kinerja. Penyiaran merupakan
media besar yang hampir satu-satunya dimiliki publik atau pemerintah dalam masyarakat nonsosialis.
Lihat penyiar
penyiaran
an layanan
layanan publik.
publik.

Penyiaran layanan publik ( public service broadcasting). Sistem penyiaran (yang umumnya Eropa) yang
broadcasting).
dibiayai publik dan dioperasikan secara nirlaba untuk memenuhi beragam kebutuhan komunikasi publik
dari warga. Pada awalnya, hampir semua kebutuhan (misalnya termasuk hiburan) dan pembenaran bagi
sistem ini terletak pada ciri 'monopoli alami' dari distribusi penyiaran. Pembenaran ini tidak lagi sah, dan
sistem ini bertahan karena kepentingan publik secara umum dan karena dapat memenuhi kebutuhan
komunikasi tertentu yang cenderung diabaikan dalam sistem komersial karena tidak menguntungkan.
Termasuk di dalamnya layanan universal, kebutuhan khusus dari minoritas tertentu, jenis tambahan

pendidikan tertentu, dan layanan kepada sistem politik demokratis dengan memberikan beberapa derajat
keterbukaan dan akses yang beragam, mendukung tujuan internasional secara umum dan memenuhi
kebutuhan spesifik dari politikus dalam pemilihan dan proses pemerintahan.

Periklanan (advertising). Publisitas yang dibayar di media untuk barang atau jasa yang ditujukan kepada
konsumen. Periklanan memiliki beragam tujuan termasuk penciptaan kesadaran, pembuatan citra produk,
pembentukan asosiasi yang positif, dan mendoron perilaku konsumen. Terdapat banyak kategori
periklanan yang berbeda yang terhubung dengan bentuk media yang berbeda (terklasifikasi, tampilan,
pribadi, dan sebagainya). Untuk beberapa media besar, periklanan memberikan bagian penghasilan yang
besar. Semu
Semuaa konten iklan berbagi fakta, yaitu dibayar oleh sumbern
sumbernya.
ya. Periklanan telah menjadi
kontroversial untuk beberapa alasan, terutama sebagai berikut: umumnya iklan tidak diinginkan oleh
penerimanya; memiliki efek yang mendistorsi terhadap hubungan antara media dan khalayaknya;
kontennya bersifat stereotip dan menyesatkan; hadirnya iklan memengaruhi konten non-iklan. Efektivitas
umum dari iklan untuk tujuannya kurang lebih diterima, tetapi bukti tertentu dari kesuksesan atau alasan
untuk kesuksesan sulit didapatkan. Iklan menyatu ke dalam industri penelitian pasar yang sangat besar,
public relations,
relations, iklan
iklan viral, dan pemasaran
pemasaran..

Glosarium G-13
Peristiwa media (media event). Gagasan spesifik yang dibuat oleh Dayan dan Katz (1992) walaupun gagasan
'peristiwa semu' telah digunakan (Boorstin, 1961) untuk merujuk pada peristiwa yang diciptakan oleh
media atau peristiwa kecil tanpa substansi yang berutang atas signifikansi mereka kepada perhatian media
atau 'hype'. Konsep Dayan dan Katz mengidentifikasi genre media tertentu yang mereka katakan unik
terhadap televisi. Agar sebuah peristiwa yang ada di televisi dapat dihitung sebagai 'peristiwa media', ada
beberapa kondisi yang harus dipenuh
dipenuhi,
i, yaitu peristiwa yang tidak biasa dari simbolik yang kuat atau
kepentingan sejarah, misalnya penobatan raja atau kunjungan kenegaraan; liputan langsung; sponsor media
ekstra; tingkat perencanaan yang tinggi; ketakjuban dan upacara yang disajikan; penekanan pada perayaan
nasional; dan menarik bagi khalayak yang sangat besar (terkadang internasional).

Pilar keempat (fourth estate). Istilah yang oleh sejarawan Thomas Carlyle dikaitkan dengan ahli polemik
abad kedelapan belas Edmund Burke dan dapat diterapkan kepada galeri pers dari Majelis Rendah Inggris.
Burke menyatakan bahwa kekuatan pers setidaknya setara dengan ketiga pilar wilayah’ yang lain—raja-
raja, rakyat, dan para penguasa gereja. Ini menjadi istilah konvensional bagi jurnalis dalam peranan mereka
sebagai reporter dan watchdog dari pemerintah.

Pornografi (pornography). Digunakan secara bebas untuk menggambarkan konten media yang melibatkan
deskripsi atau tampilan tema dan tayangan seksual yang eksplisit yang melampaui batasan yang umumnya
diterima oleh publik dengan rujukan pada penghinaan atau yang dipersepsikan sebagai keburukan
(terutama pada anak-anak dan wanita yang menjadi korban dalam beberapa bentuk pornografi).
Diasumsikan bahwa tujuan utama dari pornografi media (sebagaimana yang disebarkan pada khalayak)
adalah rangsangan seksual. Publikasi pornografi didefinisikan secara berbeda sebagai sebuah kejahatan
(atau tidak) dalam yurisdiksi yang berbeda.

Portal (portal). Dapat diterapkan pada salah satu dari beberapa jenis titik akses ke dalam ’dunia maya 1
(ketika mencoba terhubung) atau dari sana (ketika mencari informasi). Secara umum adalah pintu masuk ke
Internet dengan rujukan utama adalah salah satu dari yang berikut: penyedia media yang besar, misalnya
Yahoo atau Google; mesin pencari tertentu; situs jejaringsosial misalnya YouTube; situs yang spesifik untuk
jejaringsosial

jenis konten tertentu; komunitas atau jaringan.


jaringan. Portal Internet secara kualitati
kualitatiff berbeda dari pintu masuk
yang disediakan oleh media massa sebelumnya karena mereka memungkinkan aliran dua arah.

Posmodernisme (postmodernism). Teori (budaya) masa kini yang luas yang mendukung pandangan bahwa
zaman ideologi' sudah lewat seiring dengan 'masyarakat industri' dan bentuknya yang masif dari organisasi
sosial dan kontrol serta dedikasi kepada rasionalitas. Alih-alih kita hidup dalam masa dari keragaman yang
tidak terstruktur, ketidakpastian, kontradiksi, kreativitas yang fleksibel, dan kebebasan individual dari
aturan yang mengganggu dan batasan sosial. Telah menjadi populer untuk mengenali pertumbuhan yang
sangat banyak dari bentuk media massa sebagai esensi dari budaya postmodern populer. Baik kondisi
material dari masyarakat kontemporer maupun bentuk organisasi media massa tidak memperlihatkan
tanda yang jelas dari posmodernisme. Sebagaimana sebagian besar teori budaya kritis awal, pemikiran
postmodern dapat mendukung beragam pandangan yang optimis dan pesimis.

Prasangka (prejudic
prejudicee). Istilah yang diterapkan baik kepada sikap publik maupun publikasi media yang
melibatkan pandangan yang negatif secara sistematis mengenai atau perlakuan negatif terhadap (biasanya)
beberapa kelompok
kelompok atau kategori sosial. Hal yang sering kali menjadi target prasangka adalah etnis
minoritas atau kelompok buangan, misalnya homoseksual, imigran asing, kaum cacat mental, dan

G-14 Glosarium
sebagainya. Media telah dituduh menyebabkan prasangka, terkadang secara tidak disengaja, dan juga
disebut memiliki kapasitas untuk melawan prasangka.

Profesi (profession). Merujuk pada anggota dari pekerjaan tertentu yang memelihara standar kinerja teknis
tertentu dan dengan etika melalui cara dari prosedur pengaturan sendiri. Profesi melibatkan pelatihan yang
diakui, dan kendali atas masuk ke dalam profesi dipelihara oleh badan profesi yang bertanggung jawab.
Ada banyak perdebatan mengenai status jurnalisme secara khusus sebagai profesi. Dalam beberapa kriteria,
jurnalisme
meskipun tidak semua, jurnalis dapat mengklaim status profesinya.

Propaganda (propaganda). Proses dan produk dari upaya yang disengaja untuk memengaruhi perilaku dan
propaganda
opini kolektif melalui penggunaan beragam cara komunikasi dengan sistematis dan satu-sisi. Propaganda
dilakukan berdasarkan kepentingan sumber atau pengirim dan bukan si penerima. Hampir pasti dalam
beberapa hal,
hal, bahwa informa
informasinya
sinya menyesatkan atau tidak benar-benar
benar-benar jujur dan bahkan
bahkan dapat benar-benar
benar-benar
bohong, sebagaimana
sebagaimana jenis penyesatan informasi tertentu
tertentu.. Propaganda juga dapat bersifat agresif secara
psikologis dan mendistorsi representasi realitas. Efektivitasnya bervariasi, lebih tergantung pada konteks
dan kepribadian target khalayak ketimbang karekteristik 'pesan'. Lihat periklana
periklanan
n dan kampanye.

Public relations. Saat ini merupakan referensi kepada semua bentuk pengaruh yang dibawa oleh
komunikator profesional berbayar atas nama sejumlah 'klien' dan utamanya dirancang untuk
memproyeksikan citra yang baik dan melawan pandangan negatif yang mungkin ada. Alatnya sangat
beragam, berkisar dari komunikas
komunikas langsung
langsung hingga memberikan hadiah dan kenyamanan. Public
Public relations
sering kali merupakan sumber pasokan media berita atau mencoba memengaruhi berita dengan cara lain.
Lihat juga periklanan dan propagan
propaganda.
da.

Publik (public). Sebagai sebuah kata benda yang merujuk pada badan umum dari warga yang bebas dari
masyarakat tertentu atau ruang geografis yang lebih kecil. Konotasinya secara kuat dipengaruhi oleh teori
demokratik karena kebebasan dan kesetaraan (hak) secara umum hanya tersedia dalam demokrasi.
Anggota publik yang asli dalam demokrasi bebas untuk berserikat, berkumpul, berorganisasi, dan
mengekspresikan diri mereka sendiri dalam semua subjek dan pemerintah pada akhirnya bertanggung
jawab pada keinginan 'publik secara keseluruhan'
keseluruhan' berdasarkan prosedur
prosedur yang disetujui.
disetujui. Gagasan besar
mengenai apa yang membentuk publik adalah satu alasan mengapa komunikas publik memiliki klaim yang
jelas terhadap pengaman
pengamanan demokrasi. Lihat juga kepentingan publik dan ranah
an dan penghormatan pada demokrasi.
publik.
Publikasi (publication
publication). Tindakan mempublikasikan; sehingga melintasi batasan antara ekspresi publik dan
privat. Publikasi biasanya melibatkan keputusan yang jelas untuk mengungkapkan ide dalam cara yang
pasti atau formal melalui pers, pidato publik, poster, dan sebagainya. Ekspresi publik dibatasi kepada
diskusi pribadi atau lingkaran yang telah ditentukan. Ciri-cirinya, yaitu memiliki signifikansi legal dan
praktis, terutama dalam hubungan dengan kerahasiaan, privasi, kejahatan, atau pelanggaran potensial.
Media baru telah mengaburkan perbedaan antara apa yang sebenarnya dan secara sadar bersifat publik dan
apa yang dianggap demikian karena dapat diakses oleh orang lain. Publikasi juga menjadi lebih mudah
bagi individu
individu jika mere
mereka
ka memilihnya.
memilihnya.

Ranah publik (public sphere).


sphere). 'Ruang' konseptual yang ada di dalam masyarakat di luar lingkaran kehidupan
pribadi yang dekat serta dinding yang melindungi institusi dan organisasi untuk mengejar tujuan mereka

Glosarium G-15
sendiri (meskipun terkadang juga untuk publik). Dalam ruang ini, kemungkinannya ada bagi perkumpulan
publik dan perdebatan yang mengarah pada pembentukan opini publik dan gerakan serta partai politik
yang dapat menjaga kepentingan publik agar dapat dipertanggungjawabkan. Media saat ini barangkali
merupakan lembaga utama dari ranah publik, dan 'kualitas'-nya akan bergantung pada kualitas media. Jika
mengambil titik ekstrim, beberapa kecenderungan struktural tertentu dari media, termasuk konsentrasi,
komersialisasi, dan globalisasi adalah berbahaya untuk ranah publik.

Segmentasi (segmentation ). Proses mengklasifikasi khalayak potensial untuk tujuan produksi dan
penyampaian konten menurut kategori yang relevan, biasanya berupa sosiodemografis atau psikografis
(misalnya gaya hidup dan selera). Konsep ini memainkan peranan penting dalam perencanaan dan
pembiayaan
pembiayaan iklan di semua media. Meskipun terkadang dianggap sebagai tren yang
y ang bertentangan dengan
komunikasi massa, ia juga dapat dianggap sebagai bentuk yang lebih dapat dikendalikan dan lebih efektif
dari komunikasi massa. Lihat fragmenta
fragmentasi.
si.

Semiologi (semiology). 'ilmu dari sistem tanda', atau 'penandaan'. Awalnya ditemukan dalam studi linguistik
umum oleh Ferdinand de Saussure yang dikembangkan ke dalam metode untuk analisis sistematis dan
interpretasi semua teks simbolis. Sistem tanda diatur di dalam sistem budaya dan ideologi yang lebih luas
yang pada akhirnya menentukan makna. Elemen kunci dari semiologi adalah gagasan bahwa lambang
(bermakna) manapun (dari semua jenis) memiliki elemen konseptual yang membawa makna sebagaimana
juga manifestasi
manifestasi fisik
fisik (kata-kata, gam
gambar,
bar, dan sebagainya).

Sikap (attitude). Sebuah kepribadian evaluatif dari seseorang terhadap sebuah 'objek' apapun (orang,
gagasan, kelompok, negara, kebijakan, dan lain-lain). Untuk tujuan pengukuran, sikap dipandang sebagai
seperangkat mental yang dapat dibangkitkan melalui pertanyaan verbal mengenai konsep-konsep yang
berkaitan dengan objek penelitian. Sikap dapat memilik
memilikii arah dan kekuatan yang beragam (positif atau
negatif) dan skala sikap telah dibentuk untuk merekam variasi ini. Secara umum, sikap dianggap sebagai
kecenderungan yang relatif dalam dan mendasar, terhubungan dengan kepribadian dan resisten terhadap
perubahan oleh media massa. Sikap tunggal secara umum terhubung dengan sikap lain yang berkaitan

secara konsisten.
Skemata (schemata). Merujuk pada kerangka atau naskah yang sudah dibentuk sebelumnya yang biasanya
tersedia bagi jurnalis untuk melaporkan kasus atau peristiwa yang terisolasi. Skema adalah panduan untuk
berkomunikasi
berkomunikasi dan memaha
memahami
mi karena menyediakan konteks dan penalaran yang lebih luas.
Bagaimanapun, skema juga memperkenalkan beberapa kesimpulan, tetapi menerapkan kerangka makna
yang ada. Khalayak juga memiliki skema mereka sendiri untuk memaknai informasi berita yang datang.
Lihat framing.
Sosialisasi (socialization). Proses umum dari pembentukan sosial dari anak muda di bawah pengaruh yang
disebut sebagai agen sosialisasi—secara tradisional adalah keluarga, lingkungan tempat tinggal, sekolah
dan agama, dan sekarang media massa.

Stimulus-respons (stimulus-response). Proses psikologis di mana subjek eksperimen belajar untuk


menampilkan beberapa tindakan sebagai respons dari stimulus pesan yang telah dihubungkan dengan
tindakan yang dipermasalahkan. Proses ini mendasari sejumlah besar teori pembelajaran yang diterapkan
dalam penelitian awal mengenai efek komunikasi dan media. Belum terbukti menjadi panduan yang baik

G-16 Glosarium
bagi realitas.
realitas.

Surat kabar (newspaper). Secara tradisional, surat kabar merujuk pada bentuk media cetak yang muncul
berkala (biasanya tidak kurang
kurang dari sekali seminggu),
seminggu), mengandung (setidaknya) laporan
laporan yang reliabel dari
peristiwa terkini atau yang sedang terjadi mengenai kepentingan umum dan ditawarkan untuk dijual ke
publik. Ciri yang terkait biasanya adalah sifat independen atau transparan dari kepemilikan dan
penyuntingan dan wilayah geografis dari cakupan dan sirkulasi. Beragam bentuk telah muncul, termasuk
'surat kabar gratis’ yang dibayar oleh iklan dan yang lebih baru lagi adalah surat kabar elektronik’ yang
ditawarkan secara online dan tidak memiliki batasan waktu dan lokasi sebagaimana surat kabar tradisional.

Tabloditisasi (tabloidization). Istilah yang diambil dari format tabloid yang umum bagi surat kabar yang
bersifat sensasional
sensasional (misalnya gosip dan penjual
penjual skandal), untuk merujuk pada proses yang dituduhkan
dituduhkan
atas ’pembodohan’
’pembodohan’ atau ’merendahkan
’merendahkan pasar' dari pers yang lebih s erius di banyak negara. Penyebab utama
yang diyakini adalah komersialisasi dan kompetisi yang kuat bagi pembacanya. Proses ini juga
memengaruhi berita televisi dan format ’aktual' secara umum, terutama di AS, dan menyebabkan
keresahan pada menurunnya standar jurnalistik, bangkitnya pengabaian publik dan risiko kebingungan
antara fiksi dan realitas (misalnya infotainment).

Tanggung jawab sosial (social responsibility). Dilekatkan pada media massa dalam teori normatif tertentu
mengenai pers dan berdasarkan proposisi mengenai kebutuhan masyarakat (demokratis). Melibatkan
kewajiban tidak tertulis terhadap masyarakat dan anggotanya yang juga implisit dalam kebebasan
publikasi selain prinsip moreal umum yang berhubungan dengan kebenaran dan keadilan.

Teori kritis (critical theory). Istilah umum untuk versi akhir dari Marxis mengenai peranan yang dimainkan
oleh media massa dalam memelihara ideologi dominan atau hegemoni. Asal mulanya biasanya ditemukan
dalam hasil penelitian dari Mazhab Frankfurt, tetapi ada beberapa varian, terutama dalam bentuk budaya
dan ekonomi politik. Varian pertama telah dihubungkan dengan strukturalis dan pemahaman teks yang
bersifat semiologi
semiologi (secar
(secaraa umu
umum
m hermeneutika)
hermeneutika) dan juga dengan analisis penerimaan khalayak dan etnografi.

Sementara yang kedua umumnya terlibat dengan isu struktur dan kepemilikan dan kontrol media. Teori
kritis sering kali dianggap sebagai alternatif bagi pendekatan empiris, behavioris, atau 'ilmiah' dari studi
media massa. Teori ini secara definisi bersifat normatif melibatkan gagasan akan bentuk alternatif dan lebih
baik dari masyaraka
masyarakatt dan sis
sistem
tem media.

Teori medium (medium theory). Jenis teori


t eori yang mengaitkan pengaruh kausal
kausal dengan karakter intrinsik
intrinsik dari
media komunikasi tertentu, secara menonjol melalui teknologi dan kemampuannya untuk membawa
makna. Meskipun determinisme teknologi sejauh ini merupakan bentuk yang umum yang diambil oleh
teori medium, masing-masing medium memiliki atribut lain di samping teknologi yang memengaruhi
bagaimanaa hal ini akan diterapkan kepada tujuan komuni
bagaiman komunikatif
katif dan juga bagaimana
bagaimana hal ini akan
dipersepsikan dan secara nyata dialami. Media terbangun di dalam latar institusional tertentu dan latar
budaya yang memiliki efek yang independen dari teknologi. Teori medium adalah yang paling sering
diidentifikasikan dengan Mazhab Toronto.
Toronto.

Teori normatif (normative theory). Merujuk pada teori mengenai bagaimana media seharusnya bekerja, alih-
alih teori yang mencoba menggambarkan dan menjelaskan bagaimana mereka sesungguhnya bekerja atau

Glosarium G-17
memprediksikan hasil dari bagaimana media bekerja (terutama efek). Jenis teori yang kedua mungkin
digambarkan sebagai teori objektif atau ilmiah. Teori normatif diterapkan terutama pada hubungan antara
media dan masyarakat dan berkaitan dengan klaim di bagian media, terutama dalam kaitannya dengan
kebebasan mereka, dan juga klaim di bagian masyarakat. Lihat tanggung jawab sosial.

Referensi

Aday, S., Slivington


S livington,, M. dan Herbert, M. (2005) 'Embedding the tr
truth:
uth: a cross-cultural
cross-cultural analysis of objectivity
and TV coverage of the Iraq war; Harvard International Journal of Press/Politics, 10 (1): 3-21.
Adorno, T. dan Horkheimer, M. (1972) 'The culture industry: enlightenment as mass deception', dalam The
enlightenment
Dialectic of Enlightenment. New York: Herder and Herder.
Aguado, G., Sanmarti, J.M. dan Magallon, R. (2009) 'The effect of the state on the evolution of print media in
European Mediterranean countries', International Journal of Communication, 3: 780-807.
Akdeniz, Y., Walker, C. dan Wall, C. (2000) The Internet, Law and Society. London: Longman.
Alali, A.O. dan Eke, K.K. (ed.) (1991) Media Coverage Television. Newbury Park, CA: Sage.
Coverage of Television.
Alasuutari, P. (1992) "'I'm ashamed to admit it but I have watched Dallas": the moral hierarchy of television
programmes; Media, Culture
Culture and Society,
Society, 14 (1): 561-582.
Alasuutari, P (ed.) (1999) Rethinking the Media Audience. London: Sage.
Alberoni, F. (1972) 'The "powerless elite": theory and sociological research on the phenomenon of the stars',
dalam D.McQuail (ed.), Sociology of Mass Communication, him. 75-98. Harmondsworth: Penguin.
Allen, R.C. (ed.) (1987)
( 1987) Channels of Discourse. London: Allen and Unwin.
Allen, R.C. (1989) "'Soap opera"; audiences and the limits of genre’, dalam F. Seiter et al. (ed.), Remote
Control, him. 4-55. London: Routledge.
Allor, M. (1988) 'Relocating the site of the audience1, Critical Studies in Mass Communication, 5 (3): 217-233.
Althaus, S. (2003) 'When news norms collide, follow the lead: new evidence for press independence',
Political Communication, 20 (4): 381-414.
Althaus, S.L, dan Tewkesbury (2000)' Patterns of Internet and traditional news media use in a networked
community; Political Communication, 17 (1): 21-45.
Althaus, S.L. dan Tewkesbury, D. (2002) Agenda-setting and the "New News": patterns of issue importance
among readers of the paper and online versions of the NYT; Communication Research, 29 (2): 180- 207.
Altheide, D.L. (1974) Creating Reality. Beverly Hills, CA: Sage.
Altheide, D.L. (1985) Media Power.
Power. Beverly Hills, CA: Sage.
Altheicje, D.L, dan Snow, R.P. (1979) Media Logic.
Logic. Beverly Hills, CA: Sage.
Altheide, D.L. dan Snow, R.P. (1991) Media Worlds
Worlds in the Postjou
Postjournalism
rnalism E
Era.
ra. New York: Aldine de Gruyter.

Althusser, L. (1971) 'Ideology and ideological state apparatuses; in Lenin and Philosophy and Other Essays.
London:: New Left.
London

G-18 Glosarium

bersifat semiologi T er: the Role of the News Media in Human Affairs. New York:
etnografi. Semer
1 issue on media bias, 46 (12).
media. Teori 1c
aib torture photographs: news frames, visual culture and
'ilmiah' dari st
0
^ .
alternatif da'
.dm and the news media' dalam S. Cottle (ed.), News, Public London
London:: Sage. munities.
London: Verso.
Teori me
dari me. .nitt, R.S. dan Jacobowitz, R.S. (1996) 'Stressful life events and television jn Research, 23 (2):
teori
makn? '‘o x, 243-260. jon, A. (1998)' Media use and the progressive cultural lifestyle1, Nordicom Review,
bae J-
teori
d-- A) Concepts
Concepts in Film
Film Theory
Theory.. New York: Oxford University Press. j) Watching Dallas': Soap
Opera and the Melodramatic Imagination. London: Methuen. vi991) Desperately Seeking the Audience.
London: Routledge.

I. dan Hermes, J. (1991) 'Gender and/in media consumption; dalam J. Curran and M. Gurevitch (ed.),
Society, him. 307-328. London: Arnold.
Media and Society,
Arcetti, C. (2008) 'News coverage of 9/11 and the demise of the media flows, globalization and localization
hypothesis; International Communication Gazette, 70 (6): 463-485.
Armstrong, C.L. (2004) 'The influence of reporter gender on source selection in newspaper stories; Journalis
Journalism
m
and Mass Communication Quarterly, 81 (2): 463-485.
Asp, K. (1981)' Mass media as molders of opinion and suppliers of information; in C.G. Wilhoit and H. de Back
(ed.), Mass Communication
Communication Review Yearbook, vol. 2, him. 332-354. Beverly Hills, CA: Sage.
Yearbook,
Atkinson, D. dan Raboy, M. (ed.) (1997) Public Service Broadcasting: the Challenges of the Twenty-First Century.
Paris: Unesco.
Austin, P.J. (1992) 'Television that talks back: an experimental validation of a PSI scale1, Journal of Broadcasting
Broadcasting
and Electronic Media, 36 (1): 173-181.

Avery, R. (1979) Adolescents' use of the mass media; American Behavioral


Behavioral Scientist, 23: 53-70.
Scientist,
Babrow, A.S. (1988) 'Theory and method in research on audience motives; Journal of Broadcast
Broadcasting
ing and E
Electronic
lectronic
Media, 32 (4): 471-487.
Baehr, H. (1996) Women in Television. London: University of Westminster Press.
Baerns, B. (1987) 'Journalism versus public relations in the Federal Republic of Germany; dalam D.L. Paletz
(ed.), Political Communication Research, him. 88-107. Norwood, NJ: Ablex.
Bagdikian, B. (1988) The Media Monopoly. Boston: Beacon.
Bailyn, L. (1959) Mass media and children: a study of exposure habits and cognitive effects', Psychological
Monographs,, 73: 1-48.
Monographs
Baker, C.E. (1994) Advertisin
Advertisingg and a Democratic Press. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Democratic
Baker, C.E. (2007) Media Concentraion
Concentraion and
and Democracy. Cambridge: Cambridge University Press.
Democracy.
Baker, R.K. dan Ball, S. (ed.) (1969) Violence and the Media. Washington, DC: Government Printing
Office.
Bakker, P. (2002)' Free daily newspapers - business models and strategies; International Journal on Media
t, 4 (3): 180-187.
Management,
Managemen

Referensi R-3

Ball-Rokeach, S.J. (1985) 'The origins of individual media-system dependency; Communication Research, 12 (4):
485-510.
Ball-Rokeach, S.J. (1998) A theory of media power and a theory of media use: different stories, questions and
ways of thinking1, Mass Communicat
Communication
ion and Society, 1 (2): 1-40.
Society,
Ball-Rokeach, S.J. (2001) 'The politics of studying media violence: reflections 30 years after the Violence
Commission', Mass Communicat
Communication
ion and Society, 4 (1): 3-18.
Society,
Ball-Rokeach, S.J. dan DeFleur, M.L. (1976) A dependency model of mass media effects; Communication
Research, 3: 3-21.
Bandura, A. (1986) Social Foundations of Thoughtand Actions: a Social Cognitive Theory. Englewood Cliffs, NJ:
Prentice-Hall.
Bandura, A. (2002)' Social cognitive theory of mass communication; dalam J. Bryant dan D. Zillman (ed.), Media
Effects: Advances in Theory and Research, 2nd edn, him. 121-154. Hillsdale, NJ: Erlbaum.
Bantz, C.R. (1985) 'News organizations: conflict as crafted cultural norm', Communication, 8: 225-244.
Bantz, C.R., McCorkle, S. dan Baade, R.C. (1980) 'The news factory; Communication Research, 7 (1): 45-68.
Bar, F. dan Sandvig, C. (2008) 'US communication policy after convergence', Media, Culture, and Society, 30 (4):
531-550.
Bardoel, J. (2002) 'The Internet, journalism and communication policies; Gazette, 65 (1): 501-511.
Bardoel, J. dan d'Haenens, L. (2008) 'Reinventing public service broadcasting: promise and problems', Media,
Culture and Society, 30 (3): 295-317.
Barker, M. (2003) Assessing the "quality" in qualitative research; European Journal of Communication, 18 (3): 315-
335.
Barnes, B.E. dan Thomson, L.M. (1994)' Power to the people (meter): audience measurement technology and
media specialization; dalam J.S. Ettema and D.C. Whitney (ed.),Audiencemaking: How the Media Create the
Audience, him. 75-94. Thousand Oaks, CA: Sage.
Barthes, R. (1967) Elements of Semiology. London: Cape.
Barthes, R. (1972) Mytholog
Mythologies.
ies. London: Cape.
Barthes, R. (1977) Image, Music, Text: Essays, selected and translated by Stephen Heath. London: Fontana.
Barwise, T.P. dan Ehrenberg, A.S.C. (1988) Television and its Audience. Newbury Park, CA: Sage.
Bass, A.Z. (1969) 'Refining the gatekeeper concept', Journalism Quarterly,
Quarterly, 46: 69-72.
Baudrillard, J. (1983) Simulations. New York: Semiotext(e).
Bauer, R.A. (1958) ’The communicator and the audience; Journal of Conflict Resolution, 2 (1): 67-77. Juga dalam
L.A. Dexter dan D.M. White (ed.), People, Society and Mass Communication, him. 125-139. New York: Free
Press.
Bauer, R.A. (1964) 'The obstinate audience’, American Psycholo
Psychologist,
gist, 19: 319-28.
Bauer, R.A. dan Bauer, A. (1960) America, mass society and mass media; Journal of Social Issues,
Issues, 10 (3): 366.
Bauman, Z. (1972) A note on mass culture: on infrastructure’, dalam D. McQuail (ed.), Sociology of Mass
Communication, him. 61-74. Harmondsworth: Penguin.
Baym, N.K. (2002) 'Interpersonal life online; dalam L.A. Lievrouw and S. Livingstone (ed.), The Handbook of New
Media, him. 62-76. London: Sage.
Becker, J. (2004) 'Lessons from Russia: a neo-au
neo-authoritarian
thoritarian media system', European Journal of Communication, 19
(2): 139-64.
Becker, L. (1982) 'The mass media and citizen assessment of issue importance; dalam D.C. Whitney et al.

R-4 Referensi

(ed.), Mass Communication


Communication Review Yearbook, vol. 3, him. 521-36. Beverly Hills, CA: Sage.
Yearbook,
Becker, L., Vlad, T. dan Nusser, N. (2007) An evaluation of press freedom indicators', International
Communication Gazette, 69 (2): 5-28.
Behr, R.L. dan Iyengar, S. (1985) 'TV news, real world cues and changes in the public agenda; Public Opinion
Quarterly, 49 (1): 38-57.
Bell, A. (1991) The Language of News Media. Oxford: Blackwell.
Bell, D. (1973) The Coming of Post-Industrial Society. New York: Basic Books.
Beniger, J.R. (1986) The Control Revolution. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Beniger, J.R. (1987) 'Personalization of mass media and the growth of pseudo-community; Communication
Research, 14 (3): 352-371.
Benjamin, W (1977) 'The work of art in an age of mechanical reproduction; in J. Curran et al. (ed.), Mass
Communication and Society, him. 384-408. London: Arnold.
Bennett, WL. (1990) 'Towards a theory of press-state relations in the US; Journal of Communication, 40
Communication,
(2) : 103-25.
Bennett, W .L. (2003) 'The burglar alarm that just keeps ringing: a response to Zaller', Political Communication,
20 (2): 131-138.
Bennett, WL. dan Entman, R.M. (ed.)
( ed.) (2000) Mediate Politics.. Cambridge: Cambridge University Press.
Mediatedd Politics
Bennett, WL. dan Iyengar, S. (2008) A new era of minimal effects? Changing foundations of political
communication, Journal of
of Commun
Communication
ication,, 58 (4): 707-371.
Bennett, WL., Lawrence, R.G. dan Livingstone, S. (2007) When the Press Fails. Chicago: Chicago University
Press.
Bennett, WL., Pickard, VW, lozzi, D.P., Schroeder, C.L, Lago, T. dan Caswell, C.E. (2004) 'Managing the public
sphere: journalistic constructions of the great globalization debate’, Journal of Communication,
Communication, 54 (3): 437-
455.
Benson, R. dan Neveu, E. (2005) Bourdieu and the Journalistic Field. Cambridge: Polity Press.
Benthall, J. (1993) Disasters, Relief and the Media. London: LB. Taurus.
Bentivegna, S. (2002) 'Politics and the new media’, dalam L.A. Lievrouwand S. Livingstone (ed.), The Handbook
of New Media, him. 50-61. London: Sage.
Bentivegna, S. (2006) 'Rethinking politics in the world of ICTs', European Journal of Communication, 21
(3) : 331-344.
Berelson, B. (1948) 'Communication and public opinion; dalam W Schramm (ed.), Communications in Modern
Society. Urbana, IL: University of Illinois Press.
Berelson, B. (1949) 'What missing the newspaper means', dalam RE Lazarsfeld and F.M. Stanton (ed.),
Communication Research 1948-9, him. 111-129. New York: Duell, Sloan and Pearce.
Berelson, B. (1952) Content Analysis in Communication Research. Glencoe, IL: Free Press.
Berelson, B. (1959) 'The state of communication research', Public Opinion Quarterly, 23 (1): 16.
Berger, A.A. (1992) Popular Genres. Newbury Park, CA: Sage.
Berger, C.R. dan Chaffee, S.H. (1987) 'The study of communication as a science; dalam C.R.Berger dan S.H.
Chaffee (ed.), Handbook of Communication Science, him. 15-19. Beverly Hills, CA: Sage.
Berger, R dan Luckmann, T (1967) The Social Construction of Reality. Garden City, NJ: Anchor.
Berkowitz, D. (1990)' Refining the gatekeeping concept for local television news', Journal of Broadcasting
Broadcasting an
andd
Electronic Media, 34 (1): 55-68.

Referensi R-5

Berkowitz, D. (1992) 'Non-routine and news work1, Journal of Communication,


Communication, 42 (1): 82-94.
Berkowitz, L. (1984) 'Some effects of thoughts on anti- and prosocial influence of media events: a cognitive
neoassociationistic analysis; Psychological Bulletin, 95 (3): 410-427.
Bermejo, E (2009) Audience manufacture in historical perspective: from broadcasting to Google; New Media and
Society, 11 (1/2): 133-154.
Bertrand, C-J. (2003) An Arsenal
Arsenal for Democ
Democracy:
racy: Media Accoun
Accountancy
tancy Systems. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum.
Systems.
Biltereyst, D. (1991) 'Resisting American hegemony: a comparative analysis of the reception of domestic and
US fiction', European Journal of Communication, 6 (4): 469-497.
Biltereyst, D. (1992) 'Language and culture as ultimate barriers?; European Journal of Communication, 7
(4) : 517-540.
Biltereyst, D. (1995) 'Qualitative audience research and transnational media effects: a new paradigm?; European
Journal of Communication,
Communication, 1100 (2): 245-270.
Biocca, EA. (1988a)' The breakdown of the canonical audience 1, dalam J. Anderson
Anderson (ed.), Communication
Yearbook 11, him. 127-132. Newbury Park, CA: Sage.
Biocca, EA. (1988b) 'Opposing conceptions of the audience; dalam J. Anderson (ed.), Communication Yearbook
11, him. 51-80. Newbury Park, CA: Sage.
Bird, S.E. (1998) An audience perspective on the tabloidisation of news; The Public, 5 (3): 33-50.
Bird, S.E. dan Dardenne, R.W (2009) 'Rethinking news and myth as storytelling; in K. Wahljorgensen and T.
Hanitsch (ed.), The Handbook of Journalism Studies, him. 205-17. London: Routledge.
Blanchard, M.A. (1977)' The Hutchins Commission, the press and the responsibility concept1, Journali
Journalism
sm
Monographs,, 49.
Monographs
Blanchard,, M.A. (1986) Exporting theFirstAmendment thePress-Government Crusade of1945-1952. New York:
Blanchard
Longman.
Blau, P. dan Scott, W (1963) Formal Organizations. London: Routledge and Kegan Paul.
Blumer, H. (1933) Movies and Conduct.
Conduct. New York: Macmillan.
Blumer, H. (1939) 'The mass, the public and public opinion; dalam A.M. Lee (ed.), New Outlines of the Principles
of Sociology. New York: Barnes and Noble.
Blumer, H. (1969) Symbolic Interactionism. New York: Prentice-Hall.
Blumer, H. dan Hauser, P.M. (1933) Movies, Delinquency
Delinquency and
and Crime. New York: Macmillan.
Blumler, J.G. (1985) 'The social character of media gratifications; dalam K.E. Rosengren et al. (ed.), Media
Gratification Research: Current Perspectives, him. 41-59. Beverly Hills, CA: Sage.
Blumler, J.G. (ed.) (1992) Television and the Public Interest. London: Sage.
Blumler, J.G. (1998) 'Wrestling with public interest in organized communications; dalam K. Brants, J. Hermes
and L. van Zoonen (ed.), The Media in Question, him. 51-63. London: Sage.
Blumler, J.G. dan Gurevitch, M. (1995) The Crisis of Public Communication. London: Routledge.
Blumler, J.G. dan Katz, E. (ed.) (1974) The Uses of Mass Communications. Beverly Hills, CA: Sage.

Blumler, J.G. dan Kavanagh, D. (1999) 'The third age of political communication: influences and fears; Political
Communication, 16 (3): 209-230.
209-230.

Blumler, J.G. dan McQuail, D. (1968) Television in Politics: Its Uses and Influence. London: Faber.
Boczkowski, P. (2004) Digitizing the News. Cambridge, MA: MIT Press.

R-6 Referensi

Bogart, L. (1979) Press and Public. Hillsdale, NJ: Erlbaum.


Bogart, L. (1995) Commercial Culture. New York: Oxford University Press.
Bogart, L. (2004) 'Reflections on content quality in newspapers; Newspaper Research journal, 25 (1): 40-53.
Boorstin, D. (1961) The Image: a Guide to Pseudo-Events in America. New York: Atheneum.
Bordewijk, J.L. dan van Kaam, B. (1986) 'Towards a new classification of tele-information services; Intermedia,14
(1): 1621. Originally published in Allocutie. Baarn: Bosch and Keuning, 1982.

Bourdieu, P. (1986) Distinction: a Social Critique of the Judgement of Taste. London: Routledge.
Boyd-Barrett, O. (1980) The International News Agencies. London: Constable.
Boyd-Barrett, O. (2001) 'National and international news agencies', Gazette, 62 (1): 5-18.
Boyd-Barrett, O. dan Rantanen, T. (ed.) (1998) The Globalization of News. London: Sage.
Braman, S. (2004) 'Technology', dalam J.D.H. Downing, D. McQuail, P. Schlesinger and E. Wartella (ed.), The
Sage Handbook of Media Studies, him. 123-44. Thousand Oaks, CA: Sage.
Braman, S. dan Roberts, S. (2003) Advantage ISP: terms of service as media law; New Media and Society, 5 (4):
522-48.

Bramson, L. (1961) The Political Context of Sociology. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Brants, K. (1998) 'Who's afraid of infotainment?', European Journal of Communication, 13 (3): 315-36.

Brants, K. dan Siune, K. (1998) 'Politicisation in decline', in D. McQuail and K. Siune (ed.), Media Policy,
Policy, him.
128-143. London: Sage.
Breed, W (1955) 'Social control in the newsroom: a functional analysis; Social Forces, 33: 326-355.

Breed, W (1956) Analysing news: some questions for research; Journalis


Journalism
m Quarterly,
Quarterly, 33: 467-477.

Breen, M. (2007) 'Mass media and new media technologies', dalam E. Devereux (ed.), Media Studies,
Studies, him. 55-77.
London: Sage.
Brodasson, T (1994) 'The sacred side of professional journalism; European Journal of Communication, 9
(3) : 227-248.
Brown, J.R. (ed.) (1976) Children and Television. London: Collier-Macmillan.
Brown, J.R. dan Linne, O. (1976) 'The family as a mediator of television's effects; dalam J.R. Brown(ed.), Children
and Television, him. 184-98. London: Collier-Macmillan.
Brunsdon, C. (2000) The Feminist, the Housewife and the Soap Opera. Oxford: Oxford University Press.
Bryant, J. dan Miron, D. (2002) 'Entertainment as media effect', dalam J. Bryant and D. Zillman (ed.), Media
Effects: Advances in Theory and Research, 2nd edn, him.
him. 549-582.
549-582. Hillsdale,
Hillsdale, NJ: Erlbaum.
Erlbaum.

Bryant, J. dan Zillmann, D. (ed.) (1986) Perspectives on Media Effects. Hillsdale, NJ: Erlbaum.

Bryant, J. dan Zillmann, D. (ed.) (2002) Media Effects:


Effects: A
Advances
dvances in Th
Theory
eory and Research
Research, 2nd edn. Hillsdale,
Hillsdale, NJ:
Erlbaum.

Buckingham, D. (2002) 'The electronic generation? Children and new media; dalam L. Lievrouw dan S.
Livingstone (ed.), The Handbook of New Media, him. 77-89. London: Sage.
Bucy, E.P. (2003)' Media credibility between on-air and online news; Journalism and Mass
Mass Communication
Communication

Referensi R-7

Quarterly 80 (2): 274-284.


Burgelin, O. (1972) ‘Structural analysis and mass communication; dalam D. McQuail (ed.), Sociology of Mass
Communications, him. 313-328. Harmondsworth: Penguin.
Burgelman, J.C. (2000)' Regulating access in the information society: the need for rethinking public and
universal service; New Media and Society, 2 (1): 51-66.
Burnett, R. (1990) Concentration and Diversity in the International Phonogram Industry. Gothenburg: University of
Gothenburg.
Burnett, R. (1996) The Global Jukebox. London: Routledge.
Burns, T. (1969) ’Public service and private world; dalam P. Halmos (ed.), The Sociology of Mass Media
Communicators, him. 53-73. Keele: University of Keele.
Burns, T. (1977) The BBC: Public Institution and Private World. London: Macmillan.
Calvert, C. (1997) 'Free speech and its harms: a communication theory perspective; Journal of Commun
Communication,
ication, 47
(1): 1-19.
Cantor, M. (1971) The Hollywood Television Producers. New York: Basic Books.
Cantor, M. (1994) ’The role of the audience in the production of culture 1, dalam J.S. Ettema
Ettema dan D.C.
Whitney (ed.), Audiencema king, him. 159-170. Thousand Oaks, CA: Sage.
Audiencemaking,
Cantor, J. (2002) 'Fright reactions to mass media’, dalam J. Bryant and D. Zillmann (ed.), MediaEffects,
MediaEffects,
him. 287-306. Mahwah, NJ: Erlbaum.
Cantril, H„ Gaudet, H. dan Hertzog, H. (1940) The Invasion from Mars. Princeton, NJ: Princeton University
Press.
Cappella, J.N. (2002)' Cynicism and social trust in the new media environment; Journal of Communication,
Communication, 52 (1):
229-241.
Cappella, J.N. dan Jamieson, K.H. (1997) The Spiral of Cynicism: the Press and the Public Good. New York: Oxford
University Press.
Carey, J.W (1969) 'The communication revolution and the professional communicator; dalam P. Halmos (ed.),
The Sociology of Mass Media Communicators, him. 23-38. Keele: University of Keele.
Carey, J.W (1975) A cultural approach to communication’, Communication, 2: 1-22.
Carey, J.W (1988) Communication as Culture. Boston: Unwin Hyman.
Carey, J.W (1998) 'Marshall McLuhan: genealogy and legacy; Canadian Journal of Communication, 23: 293-306.
Carey, J.W (2003) 'New media and TV viewing behaviour; NHK Broadcasting Studies, 2: 45-63.
Carlson, M. (2007) 'Order versus access: news search engines and the challenge to traditional journalistic roles,
Media, Culture, Society, 29 (6): 1014-1030.
Culture, and Society,
Carlsson, U. (2003) 'The rise and fall of NWICO 1, Nordicom Review, 24 (2): 31-67.
Carlsson, U. dan von Feilitzen, C. (ed.) (1998) Children, Media, and Violence. Paris: Unesco.
Carragee, K. dan Roefs, W (2004) 'The neglect of power in recent framing research', journal of Communication, 54
Communication,
(2): 214-233.
Cassidy, WP. (2005) 'Variations on a theme: the professional role conceptions of print and online newspaper
alists', Journali
journalists',
journ Journalism
sm and M
Mass
ass Commun
Communication
ication Quarterly
Quarterly,, 82 (2): 264-280.
Castello, E. (2007) 'The production of television fiction and nation-building; European Journal of Communication,
22 (1): 49-64.
Castells, M. (1996) The Information Age. Vol. I: The Rise of the Network Society. Oxford: Blackwell.
Castells, M. (2001) The Internet Galaxy. Oxford: Oxford University Press.

R-8 Referensi

Castells, M. (2007) 'Communication power and counter power in the network society; Internat
International
ional Journal of
Communication, 1: 238-266.
Chadha, K. dan Kavoori, A. (2005) 'Globalization and national media systems: mapping interactions in policies,
markets and formats; dalam J. Curran dan M. Gurevitch (ed.), Mass Media and Society, 4th edn. him. 84-
103. London: Hodder Arnold.
Chaffee, S.H. (1975) 'The diffusion of political information; dalam S.H. Chaffee (ed.), Political Communication,
him. 85-128. Beverly Hills, CA: Sage.
Chaffee, S.H. (1981) 'Mass media effects: new research perspectives', dalam C.G. Wilhoit dan H. de Back (ed.),
Mass Communication
Communication Review Yearbook, vol. 2, him. 77-108. Beverly Hills, CA: Sage.
Yearbook,
Chaffee, S.H. dan Hochheimer, J.L. (1982) 'The beginnings of political communication research in the US:
origins of the limited effects model', dalam E.M. Rogers dan F. Balle (ed.), The Media Revolution in
in America
and Europe, him. 263-83. Norwood, NJ: Ablex.
Chaffee, S.H. dan Roser, C. (1986)' Involvement and the consistency of knowledge, attitudes and behavior',
Communication Research, 3: 373-399.
Chalaby, J. (2001) 'New media, new freedoms, new threats', Gazette, 62 (1): 19-29.
Chalaby, J. (2003) 'Television for a new global order', Gazette, 65 (6): 457-472.
Chang, T.-K., Himelboim, L, dan Dong, D. (2009) 'Open global networks, closed international flows',
International Communication Gazette, 71 (3): 137-159.
Chan-Olmstead, P. dan Chang, B.-H. (2003) 'Diversification strategy of global media conglomerates', Journal of
Media Economics,
Economics, 16 (4): 213-233.
Chibnall, S. (1977) Law and Order News. London: Tavistock.
Christians, C. (1993) Good News: Social Ethics and the Press. New York: Oxford University Press.

Christians, C„ Glasser, T, McQuail, D., Nordenstreng, K. and R. White (2009) Normative Theory of the Press.
Urbana, IL: Illinois University Press.
Clark, T.N. (ed.) (1969J
( 1969J On Communication and Social Influence: Collected Essays of Gabriel Tarde. Chicago: Chicago
University Press.
Clauson, R.A. and Trice, R. (2001)' Poverty as we know it: media "portrayals" of the poor', Public Opinion
Quarterly, 64: 53-64.
Clausse, R. (1968) 'The mass public at grips with mass communication', International Social Science Journal, 20 (4):
625-43.
Cohen, A. (2001) 'Between content and cognition: on the impossibility of television news; in K.
Renckstorf, D. McQuail and N. Jankowski (ed.), Television News Research: Recent European Approaches and
Findings, him. 185-98. Berlin: Quintessence.
Cohen, B. (1963) The Press and Foreign Policy. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Cohen, E.L. (2002) 'Online journalism as market-driven journalism 1, Journal of Broadcasting
Broadcasting and
and Electronic
Electronic Media
Media,,
46 (4): 532-48.
Cohen, J. (2001) 'Defining identification: a theoretical look at the identification of audiences with media
characters', Mass Communicat
Communication
ion and S
Society,
ociety, 4 ((3):
3): 245-64.

Cohen, S. (1972) Folk Devils and Moral Panics. London: McGibbon and Kee.
Cohen, S. and Young, J. (ed.) (1973) The Manufacture of News. London: Constable.
Coleman, S. (1999) 'The new media and democratic politics; New Media and
and Society, 1 (1): 67-74.

Referensi R-9

Coleman,, S. (ed.) (2000) Televised Election Debates: International Perspectives. New York: St Martin's Press.
Coleman
Coleman, S. (2001) 'The transformation of citizenship' in B. Axford and R. Huggins (ed.), New Media and Politics,
him. 109-26. London: Sage.
Coleman, S. (2005) ' Newmediation and direct representation: reconceptualizing representation in the digital
age’, New Media and Society, 7 ((2):
2): 177-98.
Collins, R. (2006) 'Internet governance in the UK', Media, Culture Society, 28 (3): 337-58.
Culture and Society,
Collins, R. (2008) 'Hierarchy or homeostasis? Hierarchy, markets and networks in UK media and
communications governance1, Media, Culture andd Society, 3300 (3): 295-317.
Culture an
Comstock, G. (ed.) (1988) Public Communication and Behavior. New York: Academic.
Comstock, G ; Ehaffee, S., Katzman, N„ McCombs, M. dan Roberts, D. (1978) Television and Human Behavior.
New York: Columbia University Press.
Connell, I. (1998) 'Mistaken identities: tabloid and broadsheet news discourses', The Public, 5 (3): 11- 31.
Conway, J.C. dan Rubin, A.M. (1991) 'Psychological predictors of television viewing motivation; Communication
Research, 18 (4): 443-463.
Cook, T.E. (2006) 'The news media as a political institution: looking backward and looking forward; Political
Communication, 23 (2): 159-172.
Cooper, E. dan Jahoda, M. (1947) 'The evasion of propaganda; Journal of Psychology,
Psychology, 23: 15-25.
Cottle, S. (ed.) (2003) News, Public Relations and Power. London: Sage.
Craft, J. dan Wanta, W (2004)' Women in the newsroom: influences of female editors and news reporters on the
news agenda; Journalism and Ma
Mass
ss Communication
Communication Quarterly, 81 (1): 124-138.
Crogan, P. (2008) 'Targeting, television and networking’, Convergence, 14 (4): 375-385.
Curran, J. (1990) ’The new revisionism in mass communication research: a reappraisal 1, European Journal of
Communication, 5 (2/3): 135-164.
Curran, J., Douglas, A. dan Whannel, G. (1981)' The political economy of the human interest story; dalam A.
Smith (ed.), Newspapers and Democracy, him. 288-316. Cambridge, MA: MIT Press.
Curran, J., Iyengar, S., Lund, A.B. dan Salovaara-Moring, I. (2009) 'Media system, public knowledge and
democracy: a comparative study', European Journal of Communication, 24 (1): 5-26.
Curran, J. dan Seaton, J. (1997) Power without Responsibility, 5th edn. London: Fontana.
Dahlberg, L. (2001) 'Democracy via cyberspace; New Media and Society, 3 (2): 157-177.
Dahlberg, L. (2004) 'Cyber-publics and corporate control of online communication 1, Javnost, 11 (2): 77-93.
Dahlgren, P. (1995) Television and the Public Sphere. London: Sage.
Dahlgren, P. (2001) 'The transformation of democracy' in B. Axford and R. Huggins (ed.), New Media and
Politics, him. 64-88. London: Sage.
Dahlgren, P. (2005) 'The internet, public sphere and political communication; Political Communication, 22 (2):
147-162.
Dahlgren, P. dan Sparks, C.S. (ed.) (1992) Journalism and
and Popular C
Culture.
ulture. London: Sage.
Dalessio, D. (2003) An experimental examination of readers’ perceptions of media bias; Journal
Journalism
ism and Mass
Mass
Communication Quarterly, 80 (2): 282-294.
DAlessio, D. dan Allen, M. (2000) 'Media bias in presidential elections: a meta-analysis, Journal of
Communication, 50 (1): 133-156.
DAngelo, P. (2002) 'News framing as a multiparadigmatic research programme: a response to Entman', Journal
of Communication, 52 (4): 870-888.

R-10 Referensi

Darnton, R. (1975) 'Writing news and telling stories; Daedalus, Musim semi: 175-194.
Davis, A. (2003) 'Public relations and news sources; dalam S. Cottle (ed.) News, Public Relations and Power, him.
27-42. London: Sage.
Davis, D.K. (1999) 'Media as public arena', dalam R.C. Vincent dan K. Nordenstreng (ed.), Towards Equity in
Global Communication. Cresskill, NJ: Hampton.
Davis, D.K. dan Robinson, J.P. (1986) 'News story attributes and comprehension; dalam J.P. Robinson dan M.
Levy (ed.), The Main Source, him. 179-210. Beverly Hills, CA: Sage.
Davis, D.K. adannd Robinson, J.P. (1989) 'Newsflowand democratic society’, dalam G. Comstock (ed.), Public
Communication and Behavior, vol. 2. Orlando, FL: Academic.
Davison, W.P. (1983) 'The third person effect', Public Opinion Quarterly, 47 (1): 1-15.
Dayan, D. dan Katz, E. (1992) Media Events. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Deacon, D. (2007) 'Yesterdays news and todays technology; European Journal of Communication, 22 (1): 5-25.
Dearing, J.W dan Rogers, E.M. (1996) Agenda-Setting. Thousand Oaks, CA: Sage.
Agenda-Setting.
Dee, J.L. (1987) 'Media accountability for real-life violence: a case of negligence or free speech?; Journal of
Communication, 38 (1): 106-132.
DeFleur, M.L. (1970) Theories of Mass Communication, 2nd edn. New York: McKay.
DeFleur, M.L. dan Ball-Rokeach, S. (1989) Theories of Mass Communication, 5th edn. New York: Longman.
Delia, J.G. (1987) 'Communication research: a history; dalam S.H. Chaffee dan C. Berger (ed.), Handbook of
Communication Science, him. 20-98. Newbury Park, CA: Sage.
and D. Eason (ed.), Critical Perspectives on Media
Deming, C.J. (1991) ’Hill Street Blues as narrative1, in R. Avery and
and Society, him. 240-264. New York: Guilford Press.
de Mue, J. (1999) 'The informatization of the world view; Information, Communication and Society, 2 (1): 69-94.
Dennis, E„ Gilmor, D. dan Glasser, T. (ed.) (1989) Media Freedom
Freedom and A
Accountability. New York:
ccountability.
Greenwood Press.
de Ridder, J. (1984) Persconcentratie in Nederland. Amsterdam: Uitgeverij.
de Saussure, E (1915/1960) Course in General Linguistics. English trans. London: Owen.
Des Forges, A. (2002) 'Silencing the voices of hate in Rwanda', dalam M. Price dan M. Thompson (ed.),
Forging Peace, him. 236-58. Edinburgh: Edinburgh University Press.
de Smaele, H. (1999) 'The application ofWestern models to the Russian media system; European Journal of
Communication, 14 (2): 173-189.
Deuze, M. (2002) ' National news cultures', Journali
Journalism
sm and M
Mass
ass Communicat
Communication
ion Quarterly, 79 (1): 134-149.
Quarterly,
Deuze, M. (2003) 'The web and its journalisms; New Media and Society, 5 (4): 203-230.
Deuze, M. (2005) 'Popular journalism and professional ideology: tabloid reporters and editors speak out, Media,
Culture and Society, 27 (6): 801-822.
Deuze, M. (2007) Media Work.
Work. Cambridge: Polity Press.
De Vreese, C. (2006)' Media message flows and interpersonal communication; Communication Research, 33 (1):
19-37.
De Waal, E. dan Schoenbach, K. (2008) 'Presentation style and beyond: how print newspapers and online news
expand awareness of public affairs; Mass Communication Society, 11 (2): 161-176.
Communication and Society,

Dimitrova, D.V, Kaid, L.L., Williams, A.P dan Trammell, K.D. (2005) 'War on the web: The immediate news
framing of Gulf War II; The Harvard International Journal of Press/Politics, 10 (1): 22-44.

Referensi R-11

Dimmick, J. dan Coit, P. (1982) 'Levels of analysis in mass media decision-making; Communication Research, 9(1):
3-32.
Dimmick, J. dan Rothenbuhler, E. (1984) 'The theory of the niche: quantifying competition among media
industries; Journal of Communication,
Communication, 34 (3): 103-119.
Docherty, T (ed.) (1993) Postmodernism. New York: Harvester Wheatsheaf.
Wheatsheaf.
Domingo,
Domingo, D. dan Heinonen, A. (2008) 'Weblogs and journali
journalism:
sm: a typology to explore the blurring boundaries;
boundaries;
Nordicom Review, 29 (1): 3-15.
Dominick, J.R., Wurtzel, A. dan Lometti, G. (1975) 'TV journalism as show business: a content analysis of
eyewitness news', Journalis
Journalism
m Quarterly, 52: 213-218.
Quarterly,
Donohew, L., Palmgreen, P. dan Rayburn, J.D. (1987) 'Social and psychological origins of media use: a lifestyle
analysis; Journal of
of Broadcas
Broadcasting
ting and
and Electron
Electronic
ic Media, 31 (3): 255-278.
Donohue, G.A., Tichenor, P dan Olien, C.N. (1975) 'Mass media and the knowledge gap', Communication
Research, 2: 3-23.
Doob, A. dan McDonald, G.E. (1979) 'Television viewing and the fear of victimization: is the relationship
causal?; Journal of Social Psychology and Personality,
Personality, 37:170-179. Reprinted dalam G.C. Wilhoit and H. de
Bock (ed.), Mass Communication
Communication R
Review
eview Yearbook, vol. 1,1980, him. 479^488. Beverly Hills, CA: Sage.
Yearbook,
Dorfman, A. dan Mattelart, A. (1975) How to Read Donald Duck: Imperialist Ideology in the Disney Comic. New
York: International General.
Downes, F.J, dan McMillan, S.J. (2000) ' Defining interactivity: a qualitative identification of key dimensions',
New Media and Society, 2 (2): 157-179.
Downey, J. dan Fenton, N. (2003) ' New media, counter publicity and the public sphere' New Media and Society,
5 (2): 185-202.
Downing, J. (2000) Radical Media: Rebellious Communication and Social Movements. Thousand Oaks, CA: Sage.
Downing, J.D. dan Husband, C. (2005) Ethnicity and Media. London: Sage.
Dreier, P. (1982) 'The position of the press in the US power structure', Social Problems, 29 (3): 298-310.
Drotner, K. (1992) 'Modernity and media panics; dalam M. Skovmand dan K. Schroder (ed.), Media Cultures,
him. 42-62. London: Routledge.
Drotner, K. (2000) 'Less is more: media ethnography and its limits', dalam I. Hagen dan J. Wasko (ed.),
Consuming Audiences7., him. 165-188. Cresskill, NJ: Hampton.
Druckman, J.M. (2005)' Media matter: how newspapers and TV news cover the campaign and influence voters',
Political Communication, 22 (4): 463-482.
Dupagne, M. dan Waterman, D. (1998) 'Determinants of US TV fiction imports in West Europe 1, Journal of
Broadcasting and Electronic Media, 42 (2): 208-220.
Dutton, W.H., Blumler, J.G. dan Kraemar, K.L. (ed.) (1986) Wired Cities: Shaping the Future of Communications.
Boston: Chapman Hall.
Eastman, S.T. (1979)'Uses of television and consumer lifestyles: a multivariate analysis', Journal of Broadcasting,
Broadcasting,
23 (3): 491-500.
Eastman, S.T. (1998) 'Programming theory under strain: the active industry and the active audience', dalam
M.E. Roloff dan G.D. Paulson (ed.), Communication Yearbook 21, him. 323-377. Thousand Oaks, CA: Sage.
Eco, U. (1977) A Theory of Semiotics. London: Macmillan.
Eco, U. (1979) The Role of the Reader. Bloomington, IN: University of Indiana Press.
Einsiedel, E. (1988) 'The British, Canadian and US pornography commissions and their use of social research',

R-12 Referensi

Communication, 38 (2): 108-121.


Journal of Communication,
Eisenstein, E. (1978) The Printing Press as an Agent of Change, 2 vols. New York: Cambridge University Press.
Elliott, P. (1972) The Making of a Television
Television Series: a C
Case
ase Study in the Production
Production of Cultu
Culture.
re. London: Constable.
Ellis, J. (1982) Visible Fictions. London: Routledge and Kegan Paul.
Elvestad, E. dan Blekesaune, A. (2008) ' Newspaper readers in Europe: a multilevel study of individual and
national differences', European Journal of Communication, 23 (4): 425-448.
Engwall, L. (1978) Newspapers as Organizations. Farnborough: Saxon House.
Enli, G. (2008) 'Redefining public service broadcasting; Convergence, 14 (1): 103-120.
Entman, R.M. (1989) Democracy without Citizens: Media and the Decay of American Politics. New York: Oxford
University Press.
Entman, R.M. (1991) 'Framing US coverage of the international news: contrasts in narratives oftheKAL and Iran
air incidents', Journal of
of Commun
Communication,
ication, 41 (4): 6-27.
Entman, R.M. (1993) ' Framing: towards clarific
clarification
ation of a fractured paradigm', Journal of Communication,
Communication, 43 (4):
51-58.
Entman, R.M. (2005) 'Media and democracy without party competition', dalam J. Curran dan M. Gurevitch
(ed.), Mass Media and Society,
Society, him. 4th edn, 251-270. London: Hodder Arnold.
Entman, R.M. (2007) 'Framing bias: media in the distribution of power', Journal of Communication,
Communication, 57 (1): 163-
173.
Enzensbergei-, H.M. (1970)' Constituents of a theory of the media; New Left Review, 64:13-36. Juga dalam
D. McQuail (ed.), Sociology of Mass Communications, him. 99-116. Harmondsworth: Penguin.

Ericson, R.V, Baranek, P.M. dan Chan, J.B.L. (1987) Visualizing Deviance. Toronto: University ofToronto Press.
Esser, F, Reinemann, C. dan Fan, D. (2000) 'Spin doctoring in British and German election campaigns; European
Communication, 15 (2): 209-240.
Journal of Communication,
Ettema, J. dan Glasser, T (1998) Custodians of Conscience: Investigative Journalism and Public Virtue. New York:
Columbia.
Etzioni, A. (1961) Complex Organizations. Glencoe, IL: Free Press.
Eurobarometer No. 51 (1999). Brussels: The European Commission.
European Commission (1999) Images of Women in the Media. Luxembourg: European Commission. European
Communication (2007): (4). Special issue on the European Public Space.
Journal of Communication

visual; in J. Evans and S. Hall (ed.), Visual culture: a Reader, him. 11-19. London:
Evans, J. (1999) ' Cultures of the visual;
Sage.
Fallows, J. (1996) Breaking the News. New York: Pantheon.
Febvre, L. dan Martin, H.J. (1984) The Coming of the Book. London: Verso.
Feintuck, M. (1999) Media Regulation,
Regulation, Public
Public In
Interest
terest and the Law. Edinburgh: University of Edinburgh Press.
Fengler, S. (2003) 'Holding the news media accountable: a study of media reporters and media criticism in the
US', Journalism and Mass
Mass Commun
Communication
ication Quarterl
Quarterly,
y, 80 (4): 818-832.
Fengler, S. dan Russ-Mohl, S. (2008) 'Journalists and the information-attention markets: towards an economic

theory of journalism; Journalis m, 9 (6): 667-690.


Journalism,
Ferguson, M
Ferguson, M.. (1983) Forever Feminine: Women’s Magazines and the Cult of Femininity. London: Heinemann.
Ferguson, M. (1986) 'The challenge of neo-technological determinism for communication systems of industry

Referensi R-13

and culture; dalam M. Ferguson (ed.), New Communication Technologies and the Public Interest, him. 52-70.
London: Sage.
Ferguson, M. (ed.) (1992) 'The mythology about globalization; European Journal of Communication, 7: 69-93.
Ferguson, M. dan Golding, P. (ed.) (1997) Cultural Studies in Question. London: Sage.
Ferguson, D.A. dan Perse, E.M. (2000) 'The WWW as a functional alternative to television; Journal of
Broadcasting and Electronic Media, 44 (2): 155-175.
Festinger, L.A. (1957) A Theory of Cognitive Dissonance. New York: Row Peterson.
Findahl, O. (2001) 'News in our minds', dalam K. Renckstorf, D. McQuail dan N. Jankowski (ed.), Television
News Research: Recent European Approaches and Findings, him. 111-128. Berlin: Quintessence.

Findahl, O. dan Hoijer, B. (1981) 'Studies of news from the perspective of human comprehension; dalam G.C.
Wilhoit dan H. de Back (ed.), Mass Communication
Communication Review Y
Yearbook,
earbook, vol. 2, him. 393-403. Beverly Hills, CA:
Sage.
Findahl, O. dan Hoijer, B. (1985) 'Some characteristics of news memory and comprehension; Journal of
Broadcasting and Electronic Media, 29 (4): 379-398.
Fink, E.J. dan Gantz, W (1996) A content analysis of three mass communication research traditions: social
science; interpretive studies; and critical analysis', Journal
Journalism Communication Quarterly, 73 (1):
ism and Mass Communication
114-134.
Finn, S. (1997) 'Origins of media exposure: linking personality traits to TV, radio, print and film use',
Communication Research, 24 (5): 507-529.
Fishman, J. (1980) Manufactu
Manufacturing
ring News. Austin, TX: University of Texas Press.
Fishman, M. (1982) 'News and non-events: making the visible invisible; dalam J.S. Ettema dan D.C. Whitney
(ed.), Individuals in Mass Media Organizations, him. 219-240. Beverly Hills, CA: Sage.

Fiske, J. (1982) Introduction to Communication Studies. London: Methuen.


Fiske, J. (1987) Television Culture. London: Methuen.
Fiske, J. (1989) Reading the Popular. Boston: Unwin and Hyman.

Fiske, J. (1992) 'The cultural economy of fandom; dalam L. Lewis (ed.), The Adoring Audience, him.
30-49. London: Routledge.
Fitzsimon, M. dan McGill, L.T (1995) 'The citizen as media critic', Media Studiesjourna
Studiesjournal,
l, Spring: 91- 102
.

Fjaestad, B. dan Holmlov, P.G. (1976) 'The journalist's view; Journal of Communic
Communication,
ation, 2:
2: 108-114. Flanagan, A.J.
dan Metzger, M.J. (2000)' Perceptions of Internet information credibility', Journalism and Mass Communic
Communication
ation
Quarterly, 77: 525-540.
Flanagan, A.J. dan Metzger, M.J. (2007) Perceived credibility of web and web-based information , New Media
and Society, 9 (2): 319-342.
Flegel, R.C, dan Chaffee, S.H. (1971) 'Influences of editors, readers and personal opinion on reporters;
Journalism
Journalis Quarterly,, 48: 645-651.
m Quarterly
Foerstal, H.N. (2001) From Watergate to Monicagate: Ten Controversies in Modern Journalism and Media.
Westport, CT: Greenwood Press.

Fortunati, L. (2005) ' Mediatizing the net and intermediatizing the media', International Communication Gazette,
67 (6): 29-44.
Frank, R.E. dan Greenberg, B. (1980) The Public's View of Television. Beverly Hills, CA: Sage.

R-14 Referensi

French, J.R.P dan Raven, B.H. (1953) 'The bases of social power; dalam D. Cartwright dan A. Zander (ed.),
Group Dynamics, him. 259-269. London: Tavistock.
Frick, EC. (1959)' Information theory; dalam S. Koch (ed.), Psychology: a Study of a Science, him. 611-636. New
York: McGraw-Hill.
Friedson, E. (1953) 'Communications research and the concept of the mass', American Sociological
Sociological Review,
Review, 18 (3):
313-317.
Frissen, V (1992) ' Trapped in electronic cages? Gender and new information technology; Media, Culture
Culture and
Society, 14; 31-50.
Frith, S. (1981) Sound Effects. New York: Pantheon.
Fuchs, C. (2009) 'Information and communication technologies and society: a contribution to the critique of the
political economy of the internet', European Journal of Communication, 24 (1): 69-87.
Gallagher, M. (1981) Unequal Opportunities: the Case of Women and the Media. Paris: Unesco.
Gallagher, M. (2003) 'Feminist media perspectives; dalam A.N. Valdivia (ed.), A Companion
Companion to Media Studies,
Studies,
him. 19-39. Oxford: Blackwell.
Galtung, J. dan Ruge, M. (1965) 'The structure of foreign news', Journal of Peace Research, 1: 64-90. Juga dalam J.
Peace Research,
Tunstall (ed.), Media Sociology,
Sociology, him. 259-298. London: Constable.
Gamble, A. dan Watanabe, T. (2004) A Public Betrayed.
Betrayed. Washington, DC: Regnery Publishing.
Gamson, W dan Modigliani, A. (1989) 'Media discourse and public opinion on nuclear power: a constructivist
approach', American Journal of Sociology, 95: 1-37.
Gandy, O. (1982) Beyond Agenda Setting. Norwood, NJ: Ablex.
Gans, H. J. (1957)' The creator-audience relationship in the mass media; dalam B. Rosenberg dan D.M. White
(ed.), Mass Culture,
Culture, him. 315-324. New York: Free Press.
Gans, H.J. (1979) Deciding What's News. New York: Vintage.
Gasher, M. dan Klein, R. (2007) 'Mapping the geography of on-line news', Canadian Journal of Communication, 33
(2): 193-211.
Gaziano, C. (1983)' The "knowledge gap": an analytical review of media effects', Communication Research, 10 (4):
447-486.
Gaziano, C. (1989)' Chain newspaper homogeneity and presidential endorsements 1971-1988’, Journalis
Journalism
m
Quarterly, 66 (4): 836-845.
Gaziano, C. (1997) 'Forecast 2000: widening knowledge gaps; Journalis
Journalism
m and Mass Commun
Communication Quarterly,, 74
ication Quarterly
(2): 237-264.
Gaziano, C. dan McGrath, K. (1987) 'Newspaper credibility and relationships of newspaper journalists to
communities; Journalism Quarterly
Quarterly,, 64 (2): 317-328.
Geiger, K. dan Sokol, R. (1959) 'Social norms in watching television, American Journal of Sociology
Sociology,, 65
(3) : 178—181.
Geraghty, C. (1991) Women and Soap Operas. Cambridge: Polity Press.
Gerbner, G. (1964) ' Ideological perspectives and political tendencies in news reporting; Journalism Quarterly,
Quarterly,
41: 495-506.
Gerbner, G. (1969)' Institutional pressures on mass communicators', dalam P. Halmos (ed.), The Sociology of
Mass Media
Media Commu
Communicators
nicators,, him. 205-248. Keele: University of Keele.
Gerbner, G. (1973)' Cultural indicators: the third voice; dalam G. Gerbner, L. Gross danW. Melody (ed.),
Communications Technology and Social Policy, him. 553-573. New York: Wiley.

Referensi R-15

Gerbner, G. dan Gross, L. (1976) 'Living with television: the violence profile; Journal of Communication,
Communication, 26 (2):
173-99.
Gerbner, G., Gross, L., Morgan, M. and Signorielli, N. (1984) 'The political correlates of TV viewing; Public
Opinion Quarterly, 48: 283-300.
Gerbner, G., Gross, L., M organ, M. dan Signorielli, N. (2002) 'Growing up with television: ccultiva
ultivation
tion processes
dalam J. Bryant dan D. Zillmann (ed.), Media Effects
Effects, him. 19-42.
19-42. Mahwah,
Mahwah, NJ: Erlb
Erlbaum
aum..
Gerbner, G. danMarvanyi, G. (1977) 'The many worlds of the world's press', Journal of
Communication, 27 (1): 52-66.
Giddens, A. (1991) Modernity and Self-I
Self-Identity
dentity.. Oxford: Polity Press.
Giddens, A. (1999) Runaway World: How Globalisation is Shaping our Lives. London: Profile Books.

Gieber, W (1956) Across the desk: a study of 16 Telegraph editors', Journalis


Journalism Quarterly, 33: 423-433.
m Quarterly,

Gieber, W. dan Johnson, W (1961) 'The City Hall beat: a study of reporter and source roles', Journalism
Quarterly, 38: 289-297.

Giffard, C.A. (1989) UNESCO and the Media. White Plains, NY: Longman.
Gilboa, E. (2002) 'Global communication and foreign policy1, Journal of Communication
Communication,, 52 (4): 731- 48.
Gilboa, E. (2005) 'The CNN effect: the search for a communication theory of international relations', Political
Communication, 22 (1): 27-44.
Gitlin, T. (1978) 'Media sociology: the dominant paradigm; Theory and Society, 6: 205-253. Reprinted dalam G.C.
Wilhoitand
Wilhoitand H. de Back (ed.) (1981), Mass Communication
Communication Review Yearbook, vol. 2, him. 73-122. Beverly Hills,
Review
CA: Sage.
Gitlin, T (1980) The Whole World Is Watching: Mass Media in the Making and Unmaking of the New Left. Berkeley,
CA: University of California Press.
Gitlin, T. (1989) 'Postmodernism: roots and politics', dalam I. Angus dan S. Jhally (ed.), Cultural Politics in
Contemporary America, him. 347-360. New York: Routledge.
Gitlin, T (1997) 'The anti-political populism of cultural studies', dalam M. Ferguson dan P. Golding (ed.),
Cultural Studies in Question, him. 25-38. London: Sage.
Glasgow Media Group (1976) Bad News. London: Routledge and Kegan Paul.
Glasgow Media Group (1980) More Bad News.
News. London: Routledge and Kegan Paul.
Glasgow Media Group (1985) War and Peace News. Milton Keynes: Open University Press.
Glasser, T.L. (1984) 'Competition among radio formats; Journal of Broadcasting,
Broadcasting, 28 (2): 127-142.

Glasser, T.L. (1986) ’Press responsibility and First Amendment values; dalam D. Eliott (ed.), Responsible
Journalism,
Journalism, him. 81-89. Newbury Park, CA: Sage.
Glasser, T.L. (ed.) (1999) The Idea of Public Journalism. New York: Guilford Press.
Glasser, T.L. (2009) 'Journalism and the second-order effect', Journalism, Z: 326-328.
Journalism,
Glasser, T.L. dan Craft, S. (1997) 'Public journalism and the search for democratic ideals'. Stanford, CA:
Stanford University Department of Communication.
Glasser, T.L., Awad, I. dan Kim, J.W (2009) 'The claims of multiculturalism and journalism's promise of
diversity', Journal of Communication, 59 (1): 57-78.
Glenn, TC., Sallot, L.M. dan Curtin, P.A. (1997) 'Public relations and the production of news', in Communication
Yearbook 20, him. 111-15. Thousand Oaks, CA: Sage.

R-16 Referensi

Glynn, C.J., Hayes, A.F. dan Shanahan, J. (1997) 'Perceived support for one's opinion and willingness to speak
out, Public Opinion Quarterly, 61 (3): 452-463.
452-463.
Goff, P. (1999) The Kosovo Wars and Propaganda. Zurich: International Press Institute.
Goffman, E. (1974) Frame Analysis: an Essay on the Organization of Experience. New York: Harper and Row.
Goffman, E. (1976) Gender Advertisements. London: Macmillan.
Golding, P (1977) 'Media professionalism in the Third World: the transfer of an ideology; dalam J. Curran, M.
Gurevitch dan J. Woollacott (ed.), Mass Communication
Communication and Society, him. 291-308. London: Arnold.
Society,
Golding, P. (1981) 'The missing dimensions: news media and the management of change', dalam E. Katz dan T
Szecsk (ed.), Mass Media Social Change. London: Sage.
Media and Social
Golding, P dan Elliott, P. (1979) Making the
the News. London: Longman.
Golding, P. dan Harris, P (1998) Beyond Cultural Imperialism. London: Sage.
Golding, P. dan Middleton, S. (1982) Images of Welfare: Press and Public Attitudes to Poverty. Oxford: Blackwell.
Golding, P dan Murdock, G. (1978) 'Theories of communication and theories of society; Communication Research,
5 (3): 339-356.
Golding, P. dan van Snippenburg, L. (1995) 'Government communications and the media1, in Beliefs in
Government, vol. 30. London: Oxford University Press.
Goldstein, K. dan Freedman, P (2002) 'Lessons learned: campaign advertising in the 2000 elections; Political
Communication, 19 (1): 5-28.
Goodhart, G.J., Ehrenberg, A.S.C. dan Collins, M. (1975) The Television Audience: Patterns of Viewing. Westmead:
Saxon House.
Gouldner, A. (1976) The Dialectic of Ideology and Technology. London: Macmillan.
Grabe, M.E., Karnhaus, R. dan Yelyan, N. (2009) 'Informing citizens: how people with different levels of
education process TV, newspaper and Web news', Journal of Broadca
Broadcasting and Electronic Media, 53
sting and
(1) : 90-111.
Grabe, M.E., Zhou, S., Lang, A. dan Boll, P.D. (2000) 'Packaging TV news: the effects of tabloids on information
processing and evaluative response; Journal of Broadca
Broadcasting
sting an
andd Electronic
Electronic Media, 44
(4) : 581-598.
Grabe, M.E., Zhao, S. dan Barnett, B. (2001) 'Explicating sensationalism in TV news: content and the bells and
whistles of form',
f orm', Journal of Broadca
Broadcasting
sting and Electronic Media, 45 (2): 635-655.
and Electronic
Graber, D. (1976a) 'Press and television as opinion resources in presidential campaigns; Public Opinion
Quarterly, 40 (3):
( 3): 285-303.
Graber, D. (1976b) Verbal Behavior and Politics. Urbana, IL: University of Illinois Press.
Graber, D. (1981) 'Political language; dalam D.D. Nimmo dan D. Sanders (ed.), Handbook of Political
Communication, him. 195-224. Beverly Hills, CA: Sage.
Graber, D. (1984) Processing the News. New York: Longman.
Graber, D. (1990) 'Seeing is remembering: how visuals contribute to TV news', Journal of Communication,
Communication, 40 (3):
134-155.
Gramsci, A. (1971) Selections from the Prison Notebooks. London: Lawrence and Wishart.
Green, S. (1999) A plague on the panopticon: surveillance and power in the global information society;
Information, Communication, and Society, 2 (1): 26-44.
Greenberg, B.S. (1964) 'Person-to-person communication in the diffusion of a news event', Journali
Journalism
sm Quarterly,
41: 489-494.

Referensi R-17

Greenberg, B.S. (ed.) (2002) Communication and Terrorism: Public and Media Responses to 9/11. Cresskill, NJ:
Hampton.
Greenberg, B.S., Hofschire, L. dan Lachlan, K. (2002)' Diffusion, media use and interpersonal communication
behavior1, dalam B. Greenberg (ed.), Communication and Terrorism: Public and Media Responses to 9/11, him.
3-16. Cresskill, NJ: Hampton.
Gringras, C. (1997) The Laws of the Internet. London: Butterworths.
Gripsrud, J. (1989) 'High culture revisited', Cultural Studies, 3 (2): 194-197.
Gripsrud, J. (2007) 'Television and the European public sphere; European Journal of Communication, 22
(4) : 479-492.
Groebel, J. (1998) 'The UNESCO global study on media violence1, dalam U. Carlsson dan
dan C. von Feilitzen (ed.),
Children and Media Violence, him. 155-180. Goteborg: University of Goteborg.
Gronbeck, B.E. (2006) 'The USA Patriot Act: coming to terms with silenced voices; Javnost, 11 (2): 37-48.
Gross, L.P. (1977) 'Television as a Trojan horse’, School Media Quarterly, Musim Semi: 175-180.
Grossberg, L. (1989) 'MTV: swinging on the (postmodern) star; dalam I. Angus dan S. Jhally (ed.), Cultural
Politics in Contemporary Politics, him. 254-268. New York: Routledge.
Grossberg, L. (1991) 'Strategies of Marxist cultural interpretation, dalam R. Avery dan D. Easton (ed.), Critical
Perspectives in Contemporary Politics, him. 254-268.
Grossberg, L., Wartella, E. dan Whitney, D.C. (1998) Media Making: Mass Media in a Popular Culture. Thousand
Oaks, CA: Sage.
Grossman, M.B. dan Kumar, M.J. (1981) Portraying the President. Baltimore, MD: Johns Hopkins University
Press.
Gumucio-Dagron, A. (2004) Alternative media’, dalam J.D.H. Downing, D. McQuail, P. Schlesinger dan E.
Wartella (ed.), The Sage Handbook of Media Studies, him. 41-64. Thousand Oaks, CA: Sage.
Gunaratne, S.A. (2001) ’Paper, printing and the printing press; Gazette, 63 (6): 459-479.
Gunaratne, S.A. (2002) 'Freedom of the press: a world system perspective; Gazette, 64 (4): 342-369.
Gunaratne, S.A. (2005) The Duo of the Press: a Humanocentric Theory. Creskill, NJ: Hampton.
Gunter, B. (1987) Poor Reception: Misunderstanding and Forgetting Broadcast News. Hillsdale, NJ: Erlbaum.
Gunter, B. (1999)' Television news and the audience in Europe’,
E urope’, The European Journal of Communication Research,
24 (1): 5-38.
Gunter, B. dan Winstone, P. (1993) Public Attitudes to Television. London: Libbey.
Gunther, A.C. (1998) 'The persuasive press inference: effects of the media on perceived public opinion’,
Communication Research, 25 (5): 486-504.
Gunther, A.C. dan Christen, C. T. (2002) Projection or persuasive press? Contrary effects of personal opinion
and perceived news coverage on estimates of public opinion; Journal of Commun
Communication,
ication, 52 (1): 177-195.
Gunther, A.C. dan Mugham, R. (2000) Democracy and the Media. Cambridge: Cambridge University Press.
Gurevitch, M., Bennet, T„ Curran, J. dan Woollacott, J. (ed.) (1982) Culture, Society and the Media. London:
Methuen.
Gurevitch, M. dan Levy, M. (1986) 'Information and meaning: audience explanations of social issues; dalam
J.P Robinson
Robinson dan M. Levy
Levy (ed.), The Main Source, him. 159-175. Beverly Hills, CA: Sage.
Haas, T. dan Steiner, L. (2006) 'Public journalism', Journalism, 7 (2): 238-254.
Habermas, J. (1962/1989) The Structural Transformation of the Public Sphere. Cambridge, MA: MIT Press.
Habermas, J. (2006)' Political communication in media society: does democracy still enjoy an epistemic

R-18 Referensi

dimension? The impact of normative theory on empirical research; Communication Theory, 16 (4): 411-
426.
Hachten, W.A. (1981) The World News Prism: Changing Media, Changing Ideologies. Ames, IA: Iowa State
University Press.
Hackett, R.A. (1984) ’Decline of a paradigm? Bias and objectivity in news media studies', Critical Studies in
Communication,, 1: 229-259.
Mass Communication
Hafez, K. (2002) 'Journalism ethics revisited: a comparison of ethics codes in Europe, North Africa, the
Middle East and Muslim Asia; Political Communication, 19 (3): 225-250.
Hagen, I. (1999) ' Slaves of the ratings tyranny? Media images of the audience 1, dalam P. Alasuu
A lasuutari
tari (ed.),
( ed.),
Rethinking the Media Audience, him. 130-150. London: Sage.
Hagen, I. (2000) 'Modern dilemmas: TV audiences, time use and moral evaluation', dalam I. Hagen dan J.
Wasko (ed.), Consuming Audiences? Production and Reception in Media Research, him. 231-247. Cresskill,
NJ: Hampton.
Halavais, A. (2000) 'National borders on the world wide web; New Media and Society, 2(1): 7-28.
Halavais, A. (2009) Search Engine Society. Cambridge: Polity Press.
Hall, A. (2003) 'Reading realism: audiences' evaluations of the reality of media texts', Journal of
Communication, 53 (4): 624-641.
Hall, S. (1974/1980)' Coding and encoding in the television discourse', dalam S. Hall et al. (ed.), Culture,
Media, Language,
Language, him. 197-208. London: Hutchinson.
eff ect; dalam J. Curran et al. (ed.), Mass Communication
Hall, S. (1977) 'Culture, the media and the ideological effect; Communication
and Society, him. 315-348. London: Arnold.
Hallin, D.C. (1992) ' Sound bite news: TV coverage of elections 1968-1988',
1968-1988', Journal of Communication, 42 (2): 5-
Communication,
24.
Hallin, D.C. dan Mancini, P. (1984) ’Political structure and representational form in US and Italian TV news’,
Theory and Society, 13 (40): 829-850.
Hallin, D.C. dan Mancini, P. (2004) Comparing Media Systems. Cambridge: Cambridge University Press.
Halloran, J.D., Elliott, P. dan Murdock, G. (1970) Communications and Demonstrations. Harmondsworth:
Penguin.
Hamelink, C. (1983) Cultural Autonomy in Global Communications. Norwood, NJ: Ablex.
Hamelink, C. (1994) The Politics of Global Communication. London: Sage.
Hamelink, C. (1998) 'New realities in the politics of world communication; The Public, 5 (4): 71-74.
Hamelink, C. (2000) The Ethics of Cyberspace. London: Sage.
Handel, L. (1950) Hollywood Looks at its Audience. Urbana, IL: University of Illinois Press.
Hanitsch, T. (2007)'Deconstructing journalism culture: toward a universal theory', Communication Theory, 17:
367-385.
Harcup, T dan O'Neill, D. (2001) 'What is news? Galtung and Ruge revisited', Journalism Studies,
Studies, 2 (2): 261-279.
Hardt, H. (1979) Social Theories of the Press: Early German and American Perspectives. Beverly Hills, CA: Sage.
Hardt, H. (1991) Critical Communication Studies. London: Routledge.
Hardt, H. (2003) Social Theories of the Press, 2nd edn. Lanham, MD: Rowman and Littlefield.
Hargittai, E. (2004) 'Internet access and use in context', New Media and Society, 6(1): 115-121.
Hargittai, E. dan Hinnant, A. (2008) 'Digital inequality; Communication Research, 35 (5): 600-621.
Hargrave, A.M. dan Livingstone, S. (2006) Harm and Offence in Media Content. Bristol: Intellect.

Referensi R-19

Hargrove, T. dan Stempel, G.H. Ill (2002) 'Exploring reader interest in news', Newspaper Research journal, 23 (4):
46-51.
Harris, N.G.E. (1992) 'Codes of conduct for journalists', dalam A. Belsey dan R. Chadwick (ed.), Ethical Issues in
Journalism,
Journalism, him. 62-76. London: Routledge.
Hartley, J. (1992) The Politics of Pictures. London: Routledge.
Hartman, P. dan Husband, C. (1974) Racism and Mass Media. London: Davis Poynter.
Harvey, D. (1989) The Condition of Postmodernity. Oxford: Blackwell.
Hassan, R. (2008) The Information Society. Cambridge: Polity Press.
Hawkes, T. (1977) Structuralism and Semiology. London: Methuen.
Hawkins, R.P. dan Pingree, S. (1983) 'TV's influence on social reality, dalam E. Wartella et al. (ed.), Mass
Communication Review Yearbook, vol. 4, him. 53-76. Beverly Hills, CA: Sage.
Hebdige, D. (1978) Subculture: the Meaning of Style. London: Methuen.
Hedinsson, E. (1981) Television, Family and Society: the Social Origins and Effects of Adolescent TV Use. Stockholm:
Almqvist and Wiksell.
Heeter, C. (1988) 'The choice process model', dalam C. Heeter dan B.S. Greenberg (ed.), Cable Viewing, him. 11-
32. Norwood, NJ: Ablex.
Heinderyckx, F. (1993) 'TV news programmes in West Europe: a comparative study; European Journal of
Communication, 8 (4): 425-450.
Held, V (1970) The Public Interest and Individual Interests. New York: Basic Books.
Heilman, H. (2001) 'Diversity: an end in itself?; European Journal of Communication Research, 16 (2): 281-308.
Hellsten, L, Leydesdorp, L. dan Wouters, P. (2006) ' Multiple presents: how search engines rewrite the past',
New Media and Society, 8 (6): 901-924.
Hemanus, P. (1976) 'Objectivity in news transmission', Journal of Communication, 26: 102-107.
of Communication,
Herman, E. (2000) 'The propaganda model: a retrospective; Journalism Studies,
Studies, 1 (1): 101-111.
Herman, E. dan Chomsky, N. (1988) Manufactu
Manufacturing
ring Cons
Consent:
ent: the P
Political
olitical Economy
Economy of Mass M
Media.
edia. New York:
Pantheon.
Hermes, J. (1995)
( 1995) Reading Women's Magazines. Cambridge: Polity Press.
Hermes, J. (1997) 'Gender and media studies: no woman, no cry', dalam J. Corner, P Schlesinger dan R.
Silverstone (ed.), International Media Research, him. 65-95. London: Routledge.
Hermes, J. (1999)' Media figures in identity construction’, dalam P. Alasuutari (ed.), Rethinking the Media
Audience, him. 69-85. London: Sage.
Hermes, J. (2007) ’Media representations of social structure: gender; dalam E. Devereux (ed.), Media Studies,
Studies,
him. 191 210. London: Sage.
Herrscher, R.A. (2002) A universal code of journalism ethics: problems, limitations and purposes; Journal of
Ethics, 17 (4): 277-289.
Mass Media Ethics,
Herzog, H. (1944) ’What do we really know about daytime serial listeners?', dalam PE Lazarsfeld (ed.), Radio
Research 1942-3, him. 2-23. New York: Duell, Sloan and Pearce.
Hessler, R.C. dan Stipp, H. (1985) 'The impact of fictional suicide stories on US fatalities: a replication;
Americanjournal
Americanjournal of S
Sociology,
ociology, 90 (1): 151-167.
gton, A. (1985) News, Newspapers and Television. London: Macmillan.
Hetherington,
Hetherin
Hills, J. (2002) The Struggle for the Control of Global Communication. Urbana, IL: University of Illinois Press.
Himmelweit, H.T., Vince, P. dan Oppenheim, AX (1958) Television and the Child. London: Oxford University

R-20 Referensi

Press.
Hindman, D.B. and Wiegand, K. (2008) 'The Big Three's prime time decline', Journal of Broadcasting
Broadcasting and
Electronic Media, 52 (1): 119-135.
Hirsch, P.M. (1977) 'Occupational, organizational and institutional models in mass communication; dalam P.M.
Hirsch et al. (ed.), Strategies for Communication Research, him. 13-42. Beverly Hills, CA: Sage.
Hirsch, PM. (1980) 'The "scary world" of the non-viewer and other anomalies: a reanalysis of Gerbner et al.'s
findings in cultivation analysis, Part 1; Communication Research, 7 (4): 403-456.
Hirsch, P.M. (1981) 'On not learning from one's mistakes, Part II', Communication Research, 8 (1): 3- 38.
Hjarvard, S. (2008) '"The mediatization of society": a study of media as agents of social and cultural change',
Nordicom Review, 29 (1): 105-134.
Hobson, D. (1982) Crossroads: the Drama of Soap Opera. London: Methuen.
Hobson, D. (1989) 'Soap operas at work', dalam F. Seiter et al. (ed.), Remote Control, him. 130-149. London:
Routledge.
Hocking, WE. (1947) Freedom of the Press: a Framework of Principle. Chicago: University of Chicago Press.
Hodges, L. W (1986)' Defining press responsibility: a functional approach; dalam D. Elliot (ed.), Responsible
m, him. 13-31. Beverly Hills, CA: Sage.
Journalism,
Journalis
Hoffmann-Riem, W (1996) Regulating Media. London: Guilford Press.
Hoffner, C.H., Plotkin, R.S. et al. (2001) ’The third-person effects in perceptions of the influence of TV violence;
Journal of Communication,
Communication, 51 (2): 383-399.
Hoijer, B. (2000) Audiences' expectations and interpretations of different TV genres; dalam I. Hagen dan J.
Wasko (ed.), Consuming Audiences? Production and Reception in Media Research, him. 189-208. Cresskill, NJ:
Hampton.
Hoijer, B. (2008)' Ontological assumptions and generalization in qualitative (audience) research 1, European
Communication, 23 (3): 275-294.
Journal of Communication,
Holden, R.T (1986) 'The contagiousness of aircraft hijacking; American Journal of Sociology,
Sociology, 91 (4): 876-904.
Holub, R. (1984) Reception Theory. London: Methuen.
Horsti, K. (2003) 'Global mobility and the media: presenting asylum seekers as a threat', Nordicom Review, 24 (1):
41-54.
Horton, D. dan Wohl, R.R. (1956) 'Mass communication and parasocial interaction; Psychiatry, 19: 215-229.
Horvath, C.W (2004) 'Measuring TV addiction', Journal of Broadcast
Broadcasting
ing and Electronic Media, 48 (3): 378-398.
Electronic
Hoskins, C. dan Mirus, R. (1988) 'Reasons for the US dominance of the international trade in television
programmes', Media, Culture
Culture an Society,, 10: 499-515.
andd Society
Hovland, C.L, Lumsdaine, A.A. dan Sheffield, ED. (1949) Experiments in Mass Communication. Princeton, NJ:
Princeton University Press.
Huaco, G.A. (1963) The Sociology of Film Art. New York: Basic Books.
Huesca, R. (2003) 'From modernization to participation: the past and future of development communication in
media studies; in A.N. Valdivia (ed.), A Companion
Companion to Med
Media
ia Stu
Studies,
dies, him. 50-71. Oxford: Blackwell.
Huesmann, L.R. (1986) 'Psychological processes prompting the relation between exposure to media violence
and aggressive behavior by the viewer; Journal of Social
Social Issues, 42 (3): 125-139.
Issues,
Hughes, H.M. (1940) News and the Human Interest Story. Chicago: University of Chicago Press.
Hughes, M. (1980) 'The fruits of cultivation analysis: a re-examination of some effects of TV viewing; Public
Opinion Quarterly, 44 (3): 287-302.

Referensi R-21

Hutchins, R. (1947) Commission on Freedom of the Press. A Free and Responsible Press. Chicago: University of
Chicago Press.
Innis, H. (1950) Empire and Communication. Oxford: Clarendon Press.
Innis, H. (1951) The Bias of Communication. Toronto: University of Toronto Press.
Iosifides, P. (2002) 'Digital convergence: challenges for European regulation1, The Public, 9 (3): 27-48.
Isfati, Y. and Cappella, J.N. (2003) 'Do people watch what they do not trust? Exploring the association between
news media, skepticism and exposure; Communication Research, 30 (5): 504-529.
Ishikawa, S. (ed.) (1996) Quality Assessment of Television. Luton: Luton University Press.
Ito, Y. (1981) 'The "Johoka Shakai" approach to the study of communication in Japan 1, in G.C. Wilhoit
Wilhoit and H. de
Bock (ed.), Mass Communication
Communication R
Review
eview Yearbook, vol. 2. Beverly Hills, CA: Sage.
Yearbook,
Ito, Y dan Koshevar, LJ. (1983) 'Factors accounting for the flow of international communications; Keio
Communication Review, 4: 13-38.
Iyengar, S. (1991) Is Anyone Responsible? Chicago: University of Chicago Press.
Iyengar, S. dan Kinder, D.R. (1987) News That Matters: Television and American Opinion. Chicago: University of
Chicago Press.
Iyengar, S. dan Simon, A. (1997) 'News coverage of the Gulf crisis and public opinion; dalam S. Iyengar dan R.
Reeves (ed.), Do the Media Govern?, him. 248-257. Thousand Oaks, CA: Sage.
Iyengar, S., Hahn, K.S., Bonfadelli, H. dan Marr, M. (2009)"' Dark areas of ignorance" revisited: comparing
al affairs knowledge in Switzerland and the United States; Communication Research, 36 (3): 341-
international
internation
358.
Jackson, C„ Brown, J.D. dan Parden, C.J. (2008) A TV in the bedroom: implications
implications for viewing habits and risk
behaviors;
behaviors; Journal of Broadcast
Broadcasting Electronic Media, 52 (3): 349-367.
ing and Electronic
Jakubovicz,
Jakubovicz, K. (2007) 'The Eastern European/post
European/post commu
communist
nist media model countries;
countries; in G. Terzis (ed.),
European Media Governance, him. 303-314. Bristol: Intellect.
Jameson, F. (1984) 'Postmodernism:
'Postmodernism: the cultural logic of late capitalism
capitalism’,
’, New Left Review, 146 (Juli— Agustus):
53-92.
Jamieson,, J.H. dan Waldman,
Jamieson (2003) The Press Effect. New York: Basic Books.
Waldman, P (2003)
Jamieson,, P, Jamieson
Jamieson Jamieson,, K.H. dan Romer, D. (2003)' The responsible reporting of suicide in print journalism;
journalism;
American Behavioral
Behavioral Scientist, 46 (112): 1643-1660.
Scientist,
Jankowski, N. (2002) 'Creatin
'Creating
g Community
Community with media' dalam L. Lievrouw
Lievrouw dan S. Livingstone
Livingstone (ed.), The
Handbook of New Media, him. 34-49. London: Sage.
Janowitz, M. (1952) The Community Press in an Urban Setting. Glencoe, IL: Free Press.
communication;; in International Encyclopedia of the Social Sciences, vol. 3,
Janowitz, M. (1968) The study of mass communication
him. 41-53. New York: Macmillan.
Janowitz, M. (1975) 'Professional journalism: the gatekeeper and advocat e, Journalism Quarterly, 52
'Professional models in journalism:
(4): 618-626.
Jansen, S.C. (1988)
(1988) Censorship. New York: Oxford University Press.
Jay, M. (1973)
(1973) The Dialectical Imagination. London: Heinemann.
Jenkins, H. (2004)
(2004) The Cultural Logic of Media Convergence. New York: New York University Press.
Jenkins, H. and
and Deuze, M
M.. (2008) 'Convergence
'Convergence culture; Convergence, 14 (1): 5-12.
culture;
Jensen, J. (1992) 'Fando
'Fandom
m as pathology:
pathology: the consequences characterization; dalam L.A, Lewis (ed.), The
consequences of characterization;
Adoring Audience
Audience,, him. 9-23. London: Routledge.

R-22 Referensi

Jensen, K.B. (1986)


(1986) Making Sense News. Aarhus: Aarhus University Press.
Sense of the News.
Jensen, K.B. (1991)
(1991) 'When iiss meaning? Commun
Communication
ication theo
theory,
ry, pragmatism and mass
mass media reception;
reception; dalam J.
Anderson (ed.), Communication Yearbook 14, him. 3-32. Newbury Park, CA: Sage.
Jensen, K.B. (1998) 'Local empiricism,
empiricism, global theory: prob
problems
lems and potentials of compar
comparative
ative research on news
reception; The European Journal of Communication Research, 23 (4): 427-445.
Jensen, K.B. (2001) 'Local empiricism,
empiricism, global theory: prob
problems
lems and potentials of compar
comparative
ative research on news
reception; dalam K. Renckstorf, D. McQuail dan N. Jankowski (ed.), Television News Research: Recent
European Approaches and Findings, him. 129-147. Berlin: Quintessence.
Jensen, K.B. dan Jankowski, N
N.. (ed.) (1991)
(1991) A Handbook
Handbook of Qu
Qualitativ Methodologies. London: Routledge.
alitativee Methodologies.
Jensen, K.B. dan Rosengren, traditionss in search of the audience', European Journal of
Rosengren, K.E. (1990) 'Five tradition
Communication, 5 (2/3): 207-238.
Jhally, S. dan Livant, B. (1986)' Watching as working:
working: the valorizatio
valorization
n of audience consciou sness; Journal of
c onsciousness;
Communication, 36 (2): 124-163.
Johansson,, T. dan Miegel
Johansson Miegel,, F. (1992) Do the Right Thing. Stockholm: Almqvist and Wiksell.
Johns, A. (1998)
(1998) The Nature of the Book. Chicago: Chicago University Press.
Johnson, T.J, dan Kaye, B.K. (2002)
( 2002) 'I heard it through
through the internet: examining
examining factors that
t hat determine online
credibility among politically motivated internet users; dalam A.V Stavros (ed.), Advance
Advancess in
Communications and Media Research, vol. 1, him. 181-202. Hauphage, NY: Nova.
Johnstone, J.W L., Slawski, E.J. dan Bowman, W .W. (1976) The News People. Urbana, IL: University of Illinois
Press.
Jones, S.G. (ed.)
(ed.) (1997) Virtual Culture: Identity and Communication in Cybersociery. London: Sage. Jones, S.G. (ed.)
(1998) Cybersociety 2.0: Revisiting Computer-Mediated Communication and Community. London: Sage.
Jowett, G. dan Linton,
Linton, J.M
J.M.. (1980) Movies as Mass Communication. Beverly Hills, CA: Sage.
Mass Communication.
Jowett, G. dan O'Donnell
O'Donnell,, V (1999) Propaganda and Persuasion, 3rd edn. Beverly Hills, CA: Sage.
Kahn, R. dan Kellner, D. (2004)' New media and Internet activism: from the battle of Seattle to Bloggery;
New Media and Society, 6(1): 87-95.
Kalyanaraman, S. dan Sundar, S.S. (2008) 'Portrait of the portal as a metaphor: explicating web portals for
communication research; Journalism and Mass Communication Quarterly, 65 (2): 239-256. Kaminsky, S.M. (1974)
Communication Quarterly,
American Film
Film Genres. Dayton, OH: Pflaum.
Genres.
Kaplan, E.A. (1987) Rocking Around the Clock: Music Television, Postmodernism and Consumer Culture. London:
Methuen.
Kaplan, E.A. (1992) 'Feminist critiques and television', in R.C. Allen (ed.), Channels of Discourse Reassembled,
him. 247-283. London: Routledge.
Karppingen, K. (2007) Against naive pluralism in media politics: on implications of radicalpluralist approach to
the public sphere; Media, Culture andd Society, 29 (3): 495-508.
Culture an
Katz, D. (1960) 'The functional approach to the study of attitudes', Public Opinion Quarterly, 24:163- 204.
Katz, E. (1977) Social Research and Broadcasting: Proposals for Further Development. London: BBC. Katz, E. (1983)
'Publicity and pluralistic ignorance: notes on the spiral of silence', dalam E. Wartella et al.
(ed.), Mass Communication
Communication Review Ye
Yearbook,
arbook, vol. 4, him. 89-99. Beverly Hills, CA: Sage.
Katz, E„ Adoni, H. dan Parness, P. (1977) 'Remembering the news: what the picture adds to the sound’,
Journalism
Journalism Quarter
Quarterly,
ly, 54: 231-239.
Katz, E„ Blumler, J.G. dan Gurevitch, M. (1974) 'Utilization of mass communication by the individual; in J.G.

Referensi R-23

Blumler and E. Katz (ed.), The Uses of Mass Communication, him. 19-32. Beverly Hills, CA: Sage.
Katz, E„ Gurevitch, M. dan Haas, H. (1973) 'On the use of mass media for important things; American
Sociological Review, 38: 164-181.
Katz, E. dan Lazarsfeld, P.F. (1955) Personal Influence. Glencoe, L: Free Press.
Katz, E., Lewin, M.L. dan Hamilton, H. (1963) 'Traditions of research on the diffusion of innovations;
Sociologicall Review, 28: 237-252.
American Sociologica
Katz, J.E. dan Rice, R.E. (2002) Social Consequences of Internet Use: Access, Involvement and Interaction.
Cambridge, MA: MIT Press.
Kaye, B.K. dan Johnson, T.J. (2002) 'Online and in the know: uses and gratifications of the web for political
information; Journal of Broadc
Broadcasting
asting and
and Electron
Electronic
ic Media, 46 (1): 54-71.
Kellner, D. (1992) The Persian Gulf War. Boulder, CO: Westview.
Kelman, H. (1961) 'Processes of opinion change; Public Opinion Quarterly, 25: 57-78.
Kepplinger, H.M. (1983) 'Visual biases in TV Campaign coverage; dalam E. Wartella et al. (ed.), Mass
Communication Review Yearbook, vol. 4, him. 391-405. Beverly Hills, CA: Sage.
Kepplinger, H.M. (1999) 'Non-verbal communication; dalam H.-B. Brosius dan C. Holtz-Bacha (ed.), The
German Communication Yearbook. Cresskill, NJ: Hampton.
Kepplinger, H.M. (2002) ' Mediatization of politics: theory and data; Journal of Communication, 52 (4): 972-986.
Communication,
Kepplinger, H.M. dan Habermeier, J. (1995) 'The impact of key events on the presentation of reality; European
Journal of Communication,
Communication, 10 (3): 371-390.
Kepplinger, H.M. dan Koecher, R. (1990) 'Professionalism in the media world?; European Journal of
Communication, 5 (2/3): 285-311.
Kerner, O. et al. (1968) Reportof the National Advisory Committee on Civil Disorders. Washington, DC: Government
Printing Office.
Kingsbury, S.M. dan Hart, M. (1937) Newspapers and the News. New York: Putnam.
Kiousis, S. (2001) 'Public trust or mistrust? Perceptions of media credibility in the information age; Mass
Communication and Society, 4 (4): 381-403.
Kiousis, S. (2002) 'Interactivity: a concept explication; New Media and
and Society, 4 (3): 329-54.
Kitzinger, J. (2007) 'Framing and frame analysis' dalam E. Devereux, E. (ed) Media Studies,
Studies, him. 134- 161.
Klaehn, J. (2002) A critical review and assessment of Herman and Chomsky's "Propaganda Model'", European
Journal of Communication, 17 (2): 147-182.
Communication,
Klapper, J. (1960) The Effects of Mass Communication. New York: Free Press.
Klotz, R.J. (2004) The Politics of the Internet. Lanham MD: Rowman and Littlefield.
Knight, A., Geuze, C. dan Gerlis, A. (2008) Who is a journalist?’, Journalism Studies,
Studies, 9 (1): 117-131.
Knobloch, S. dan Zillmann, D. (2002) 'Mood management via the digital juke box’, Journal of
of Communication,
Communication, 52
(2): 351-366.
Kracauer, S. (1949) 'National types as Hollywood represents them; Public Opinion Quarterly, 13: 53-72.
Kraus, S. dan Davis, D.K. (1976) The Effects of Mass Communication on Political Behavior. University Park, PA:
Pennsylvania State University Press.
Kraus, S., Davis, D.K., Lang, G.E. dan Lang, K. (1975) 'Critical events analysis; dalam S.H. Chaffee (ed.), Political
Communication Research, him. 195-216. Beverly Hills, CA: Sage.
Kramar, M. (1996) 'Family communication patterns, discourse behavior and child TV viewing; Human
Communication Research, 23 (2): 251-277.

R-24 Referensi

Krcmar, M. dan Vierig, E.V (2005) 'Imitating life, imitating television’, Communication Research, 32 (3): 267-294.
Krippendorf, K. (2004) Content Analysis, 2nd edn. Thousand Oaks, CA: Sage.
Krotz, F. dan von Hasebrink, U. (1998)' The analysis of people-meter data: individual patterns of viewing
behavior and
and viewers' cultural
cultural background', The European Journal of Communication Research, 23
background',
(2) : 151-174.
Krugman, H.E. (1965)' The impact of television advertising: learning without involvement; Public Opinion
Quarterly, 29: 349-356.
Kubey, R.W. dan Csikszentmihalyi, M. (1991) Television and the Quality of Life. Hillsdale, NJ: Erlbaum.
Kuhn, M. (2007) 'Interactivity and prioritizing the human: a code of blogging ethics’, Journal of Mass Media
Ethics, 22 (1): 18-36.
Kumar, C. (1975) 'Holding the middle ground; Sociology, 9 (3): 67-88. Reprinted in J. Curran etal. (ed.), Mass
Communication and Society, him. 231-48. London: Arnold.
Kung, L„ Picard, R.G. dan Towse, R. (ed.) (2008) The Internet and the Mass Media. London: Sage.
Lacy, S. dan Martin, H.J. (2004) ’Competition,
’Competition, circulatio
circulation
n and advertising;
advertising; Newspaper Research Journal, 25 (1): 18-
39.
Laitila, T (1995) 'Journalistic codes of ethics in Europe; European Journal of Communication, 10 (4): 513-526.
Lang, G, dan Lang, K, (1981) 'Mass communication and public opinion: strategies for research 1, dalam M.
Rosenberg dan R.H. Turner (ed.), Social Psychology: Sociological Perspectives, him. 653-682. New York: Basic
Books.
Lang, G. dan Lang, K. (1983) The Battle for Public Opinion. New York: Columbia University Press.
G .E. (1953) ’The unique perspective of television and its effect; American Sociological
Lang, K. dan Lang, G.E. Sociological Review,
Review,
18 (1): 103-112.
Langer, J. (2003) 'Tabloid television and news culture; dalam S. Cottle (ed.), News, Public Relations and Power,
him. 135-152. London: Sage.
Lanzen, M.M., Dozier, D.M. dan Horan, N. (2008)’Constructing gender stereotypes through social roles in
prime time TV’, Journal of Broadcastin
Broadcastingg and El
Electronic
ectronic Media, 52 (2): 200-214.
LaRose, R. dan Eastin, M.S. A social cognitive theory of internet uses and gratifications:
gratifications: towards a new model
of media attendance’, Journal of
of Broadcas
Broadcasting
ting and
and Electron
Electronic
ic Media, 48 (3): 358-377.
Lasswell, H. (1927) Propaganda Techniques in the First World War. New York: Knopf.
Lasswell, H. (1948) ’The structure and function of communication in society’, dalam L. Bryson (ed.), The
Communication of Ideas, him. 32-51. New York: Harper & Row.
Lauristin, M. (2007) ’The European public sphere and the social imaginary of the "New Europe"; European
Communication, 22 (4): 397-412.
Journal of Communication,
Lazarsfeld, RE (1941) 'Remarks on administrative and critical communication research studies', Philosophy and
Social Science, IX (2).
Lazarsfeld, RE, Berelson, B. dan Gaudet, H. (1944) The People's Choice. New York: Duell, Sloan and Pearce.
Lazarsfeld, RE dan Stanton, F. (1944) Radio Research 1942-3. New York: Duell, Sloan and Pearce.
Lazarsfeld, PE dan Stanton, F (1949) Communication Research 1948-1949. New York: Harper & Row.
Lehmann, LA. (2005) 'Exploring the transatlantic divide over Iraq; The Harvard International Journal of
Press/Politics', 10 (1): 63-89.
Lehmann-Wilzig, S. dan Cohen-Avigdor, N. (2004)' The natural life cycle of new media evolution', New Media
and Society, 6 (6): 707-730.

Referensi R-25

Leiss, W. (1989) 'The myth of the information society', dalam I. Angus dan S. Jhally (ed.), Cultural Politics in
Contemporary America, him. 282-298. New York: Routledge.
Lemert, J.B. (1989) Criticizing the Media. Newbury Park, CA: Sage.
Lerner, D. (1958) The Passing of Traditional Society. New York: Free Press.
Lessig, L. (1999) Code and Other Laws of Cyberspace. New York: Basic Books.
Levy, M.R. (1977) 'Experiencin
'Experiencing
g television news', Journal of Communication, 27:112-17.
Communication,
Levy, M.R. (1978) 'The audience experience with television news; Journali
Journalism Monographs, 55.
sm Monographs,
Levy, M.R. dan Windahl, S. (1985) 'The concept of audience activity; in K.E. Rosengren et al. (ed.), Media
Gratification Research, him. 109-122. Beverly Hills, CA: Sage.
Lewis, G.H. (1981) 'Taste cultures and their composition: towards a new theoretical perspective; in E. Katz and
T Szecsko (ed.), Mass Media
Media and Social
Social Change,
Change, him. 201-217. Newbury Park, CA: Sage.
Lewis, G.H. (1992) 'Who do you love? The dimensions of musical taste', dalam J. Lull (ed .), Popular Music and
Communication, 2nd edn, him. 134-151. Newbury Park, CA: Sage.
Lichtenberg, J. (1991) 'In defense of objectivity; dalam J. Curran dan M. Gurevitch (ed.), Mass Media and Society,
Society,
him. 216-231. London: Arnold.
Lichter, S.R. dan Rothman, S. (1986) The Media Elite: America's New Power Brokers. Bethesda, MD: Adler and
Adler.
Liebes, T dan Katz, E. (1986) 'Patterns of involvement in television fiction: a comparative analysis', European
Journal of Communication,
Communication, 1 (2): 151-172.
Liebes, T. dan Katz, E. (1990) The Export of Meaning: Cross-Cultural Readings of Dallas'. Oxford: Oxford
University Press.
Liebes, T. dan Livingstone, S. (1998)'European soap operas', European Journal of Communication, 13 (2): 147-180.
Liebes, T. dan Riback, R. (1994) 'In defense of negotiated readings: how moderates on each side of the conflict
interpret Intifada news', Journal of Communication, 44 (2): 108-124.
Communication,
Lievrouw, L.A. (2004) 'What's changed about new media?; New Media and Society, 6 (1): 9-15.
Lievrouw, L.A. dan Livingstone, S. (ed.) (2002) The Handbook of New Media. London: Sage.
Lievrouw, L.A. dan Livingstone, S. (ed.) (2006) The Handbook of New Media, 2nd edn. London: Sage.
Lind, R.A. dan Salo, C. (2002)' The framing of feminists and feminism in news and public affairs programs in
US electronic media', Journal of Communication,, 52 (1): 211-228.
Communication
Lindlof, TR. (1988) 'Media audiences as interpretive communities; dalam J. Anderson (ed.), Communication
Yearbook 11, him. 81-107. Newbury Park, CA: Sage.
Lindlof, T.R. dan Schatzer, J. (1998) 'Media ethnography in virtual space: strategies, limits and possibilities;
Journal of Broadcasting
Broadcasting and Electronic
Electronic Media, 42 (2): 170-189.
Linne, O. (1998) 'What do we know about European research on violence in the media?; dalam U. Carlsson dan
C. von Feilitzen (ed.), Children and Media Violence, him. 139-154. Goteborg: University of Goteborg.
Lippmann, W (1922) Public Opinion. New York: Harcourt Brace.
Livingstone, S. (1988) 'Why people watch soap opera: an analysis of the explanations of British viewers;
European Journal of Communication, 31 (1): 55-80.
Livingstone, S. (1999) 'New media, new audiences?', New Media and Society, 1 (1): 59-66.
Livingstone, S. (2002) Young People and New Media. London: Sage.
Livingstone, S. (2003) 'The changing nature of audiences: from the mass audience to the interactive media user;
in A.N. Valdivia (ed.), A Companion
Companion to Med
Media
ia Studies, him. 337-359. Oxford: Blackwell.
Studies,

R-26 Referensi

Livingstone, S. (2007) 'From family television to bedroom culture: young people's media at home; dalam E.
Devereux (ed.), Media Culture,
Culture, him. 302-321. London: Sage.
Livingstone, S. (2009) 'On the mediation of everything; Journal of Communication,
Communication, 59
59 (1): 1-18.
Livingstone, S. dan Bennett, W.L. (2003) 'Gatekeeping, indexing and live-event news: is technology altering the
construction of news?’, Political Communication, 20 (4): 363-380.
Livingstone, S. dan Lunt, P. (1994) Talk on Television: Audience Participation and Public Debate. London:
Routledge.
Long, E. (1991) 'Feminism and cultural studies; dalam R. Avery dan D. Eason (ed.), Cultural Perspectives on
Media and Society,
Society, him. 114-125. New York: Guilford Press.
Lowery, S.A. dan DeFleur, M.L. (ed.) (1995) Milestones in Mass Co
Communic
mmunication
ation Research,
Research, 3rd edn. New York:
Longman.
Lowry, D.J., Nio, T.C.J. dan Leitner, D.W (2003)' Setting the public fear agenda 1, Journal of Communication,
Communication, 53
(1): 61-67.
Lubbers, M., Scheeper, P dan Wester, F. (1998) 'Minorities in Dutch newspapers 1990-5; Gazette, 60 (5): 415-431.
Luders, M. (2008) ’ Conceptualizing personal media; New Media and Society, 10 (5): 683-702.
Luhmann, N. (2000) The Reality of the Mass Media. Cambridge: Polity Press.
Lull, J. (1982) 'The social uses of television; dalam D.C. Whitney etal. (ed.),Mass Communication Review Yearbook,
vol. 3, him. 397-409. Beverly Hills, CA: Sage.
Lull, J. (ed.) (1992) Popular Music and Communication. Newbury Park, CA: Sage.
Lull, J. dan Wallis, R. (1992) 'The beat of Vietnam', dalam J. Lull (ed.), Popular Music and Communication, him.
207-236. Newbury Park, CA: Sage.
Lyotard, F. (1986) The Postmodern Condition: a Report on Knowledge. Manchester: Manchester University Press.
McBride, S. et al. (1980) Many Voices,
Voices, One World. Report by the International Commission for the Study of
World.
Communication Problems. Paris: Unesco; London: Kogan Page.
McChesney, R. (2000) Rich Media, Poor Democracy. New York: New Press.
McCombs, M.E. dan Shaw, D.L. (1972) 'The agenda-setting function of the press', Public Opinion Quarterly, 36:
176-187.

McCombs, M.E. dan Shaw, D.L. (1993) 'The evolution of agenda-setting theory: 25 years in the marketplace of
ideas’, Journal of Communication,
Communication, 4433 (2): 58-66.
McCormack, T. (1961) 'Social theory and the mass media; Canadian Journal of Economics and Political Science, 4:
479-489.
McCoy, M.E. (2001) 'Dark alliance: news repair and institutional authority in the age of the Internet; Journal of
Communication, 1 (1): 164-193.
McDevitt, M. (2003) 'In defence of autonomy: a critique of the public journalist critique', Journalism of
Communication, 53 (1): 155-164.
McDonald, D.G. (1990) 'Media orientation and television news viewing; Journali
Journalism Quarterly, 67 (1): 11-20.
sm Quarterly,
McDonald, D.G. dan Dimmick, J. (2003) 'The conceptualization and measurement of diversity’, Communication
Research, 30 (1): 60-79.
McGinnis, J. (1969) The Selling of the President. New York: Trident.

McGranahan, D.V dan Wayne, L. (1948) 'German and American traits reflected in popular drama; Human
Relations, 1 (4): 429-455.
McGuigan, J. (1992) Cultural Populism. London: Routledge.

Referensi R-27

McGuire, WJ. (1973)' Persuasion, resistance and attitude change; dalam I. de Sola Pool etal. (ed.), Handbook of
Communication, him. 216-252. Chicago: Rand McNally.
McGuire, WJ. (1974) 'Psychological motives and communication gratifications; dalam J.G. Blumler and E. Katz
(ed.), The Uses of Mass Communications, him. 167-196. Beverly Hills, CA: Sage.
MacIntyre, J.S. (1981) After Virtue.
Virtue. Notre Dame, IN: Notre Dame University Press.
McLeod, D.M. dan Detember, B.H. (1999) 'Framing effects of television news coverage of social protest', Journal
of Communication, 49 (3): 3-23.
McLeod, D„ Detember, B.H. dan Eveland, W P (2001) 'Behind the third-person effect: differentiating perceptual
process for self and other', Journal of
of Communication, 51 (4): 678-696.
Communication,
McLeod, J.M, dan McDonald, D.G. (1985) 'Beyond simple exposure: media orientations and their impact on
political processes; Communication Research, 12 (1): 3-32.
McLeod, J.M., Daily, I., Guo, Z., Eveland, WP, Bayer, J., Yang, S. dan Wang, H. (1996) 'Community integration,
local media use and democratic processes; Communication Research, 23 (2): 179-209.
McLeod, J.M., Kosicki, G.M. dan Pan, Z. (1991)' On understanding and not understanding media effects; dalam
J. Curran dan M. Gu
Gurevitch
revitch (ed.), Mass Media and
and Society, him. 235-266. London: Arnold.
Society,
McLuhan,
McLuhan, M . (1962) The Gutenberg Galaxy. Toronto: Toronto University Press.
McLuhan,
McLuhan, M . (1964) Understanding Media. London: Routledge and Kegan Paul.
McManus, J.H. (1994) Market-D
Market-Driven
riven Journalism:
Journalism: Le
Lett the Cit
Citizen
izen Bewa
Beware.
re. Thousand Oaks, CA: Sage.
McMasters, PK. (2000) ' Unease with excess; Media Studies
Studies Journal, Fall: 108-112.
McNair, B. (1988) Images of the Enemy. London: Routledge.
McQuail, D. (1977) Analysis of Newspaper Content. Royal Commission on the Press, Research Series 4. London:
HMSO.
McQuail, D. (1983) Mass Communicat
Communication
ion Theo
Theory:
ry: an Introduction. London: Sage.
Introduction.
McQuail, D. (1984)' With the benefit of hindsight: reflections on uses and gratifications research; Critical Studies
in Mass Communication, 1: 177-193.
McQuail, D. (1992) Media Performance
Performance:: Mass Com
Communicat
munication
ion and th
thee Public Interest. London: Sage.
McQuail, D. (1997) Audience Analysis.
Analysis. Thousand Oaks, CA: Sage.
McQuail, D. (2003a) Media Accountabilit
Accountabilityy and Fr
Freedom
eedom of P
Publication.Oxford: Oxford University Press.
ublication.Oxford:
McQuail, D. (2003b) 'Making progress in a trackless, weightless and intangible space: a response to Keith Roe;
Communications, 27: 275-284.
McQuail, D. (2006) 'The mediatization of war; International Communication Gazette, 68 (2): 107-118.
McQuail, D., Blumler, J.G. dan Brown, J. (1972) 'The television audience: a revised perspective; dalam D.
McQuail (ed.), Sociology of Mass Communication, him. 135-165. Harmondsworth: Penguin.
McQuail, D. dan Siune, K. (1998) Media Policy: Convergence, Concentration and Commerce. London: Sage.
McQuail, D. dan Windahl, S. (1993) Communication Models for the Study of Mass Communication, 2nd edn.
London: Longman.
McRobbie, A. (1996) More! New sexualities in girls' and women's magazines', dalam J. Curran, D. Morley dan V
Walkerdine (ed.), Cultural Studies and Communications, him. 172-194. London: Arnold.
Maccoby, E. (1954) 'Why do children watch TV?; Public Opinion Quarterly, 18:239-244.
Machill, M., Beiler, M. dan Zenker, M. (2008) 'Search-engine research: a European-American overview and
systematization of an interdisciplinary and international research field', Media, Culture and Society, 30 (5):
591-608.

R-28 Referensi

Machill, M., Kohler, S. dan Waldhauser, M. (2007)' The use of narrative structures
structures in TV news; European Journal
of Communication, 22 (2): 185-205.
Machlup, F. (1962) The Production and Distribution of Knowledge in the United States. Princeton, NJ: Princeton
University Press.
Maisel, R. (1973) The decline of mass media', Public Opinion Quarterly, 37:159-170.
Mancini, P. (1996)'Do we need normative theories of journalism?' Paper, Joan Shorenstein Center on Press,
Politics and Public Opinion, JFK School of Government, Harvard University.
Manheim, J.B. (1998) 'The news shapers: strategic communication as a third force in newsmaking', dalam
D. Graber, D. McQuail dan P Norris (ed.), The Politics of News: the News of Politics, him. 94-109.
Washington, DC: Congressional Quarterly Press.
Mansell, R. (2004) 'Political economy, power and the new media; New Media and Society, 6(1): 96-105.
Marcuse, H. (1964) One-Dimensional Man. London: Routledge and Kegan Paul.
Martel, M.U. dan McCall, G.J. (1964) 'Reality-orientation and the pleasure principle; dalam L.A. Dexter dan
D.M. White (ed.), People, Society and Mass Communication, him. 283-333. New York: Free Press.
Massey, B.L. dan Haas, T (2002) 'Does making journalism more public make a difference? A critical review of
evaluative research on public journalism; Journalism and Ma
Mass
ss Communication 79 (3): 559-586.
Communication Quarterly, 79
Matheson,, D. (2004)' Weblogs and the epistemology of the
Matheson t he news: ssome
ome trends in online journalism; New Media
and Society, 6 (4): 443-468.
Mattelart,
Mattelar A.. (2003) The Information Society. London: Sage.
t, A
Mazzoleni, G. (1987b) 'Media logic and party logic in campaign coverage: the Italian general election of 1983;
European Journal of Communication, Z (1): 55-80.
Studies Journal (1993) 'The media and women without apology; Special Issue, 7 (1/2).
Media Studies
Media Watch (1995) Women's Participation in the News: Global Media Monitoring Project. Toronto: Media Watch.
Melody, WH. (1990) 'Communications policy in the global information economy; dalam M.F. Ferguson (ed.),
Public Communication: the New Imperatives, him. 16-39. London: Sage.
Mendelsohn, H. (1964) 'Listening to radio; dalam L.A. Dexter dan D.M. White (ed.), People, Society and Mass
Communication, him. 239-248. New York: Free Press.
Mendelsohn, H. (1966) Mass Entertainment
Entertainment.. New Haven, CT: College and University Press.
Mermin, J. (1999) Debating War and Peace: Media Coverage of US Interventions in the Post Vietnam Era. Princeton,
NJ: Yale University Press.
Merton, R.K. (1949) 'Patterns of influence', in Social Theory and Social Structure, him. 387-470. Glencoe, IL: Free
Press.
Merton, R.K. (1957) Social Theory and Social Structure. Glencoe, IL: Free Press.
Messner, M. dan Distow, M.W. (2008) 'The source cycle: how traditional media and weblogs use each other as
sources; Journalism Studies, 9 (3): 447-463.
Metzger, M.J. et al. (2003)'Credibility forthe 21st century', dalam P.J. Kalbflesch (ed.), Communication Yearbook
27, him. 292-335. Mahwah, NJ: Erlbaum.
Meyer, R (1987) Ethical Journalism. New York: Longman.
Meyer, T. (2002) Mediated Politics.
Politics. Cambridge: Polity Press.
Meyrowitz, J. (1985) No Sense of Place. New York: Oxford University Press.
Meyrowitz, J. (2008) ' Power, pleasure, patterns: intersecting narratives of media influence; Journal of
Communication, 58 (4): 641-663.

Referensi R-29

Middleton, R. (ed.) (2000) Reading Pop: Approaches to Textual Analysis in Popular Music. Oxford: Oxford
University Press.
Mill, J.S. (1991/1859) On Liberty. Oxford Universi
U niversity
ty Press.
Mills, C.W (1951) White Collar. New York: Oxford University Press.
Mills, C.W (1956) The Power Elite. New York: Oxford University Press.
Modleski, T (1982) Loving with a Vengeance: Mass-Produced Fantasies for Women. London: Methuen.
Molotch, H.L. dan Lester, M.J. (1974) 'News as purposive behavior; American Sociologica
Sociologicall Review, 39:101- 11 2 .
Monaco, J. (1981) How to Read a Film. New York: Oxford University Press.
Montgomery,, K.C. (1989) Target: Prime-Time. New York: Oxford University Press.
Montgomery
Moores, S. (1993) Interpreting Audiences. London: Sage.
Moorti, S. (2003) 'Out of India: Fashion culture and the marketing of ethnic style’, in A.N. Valdivia (ed.), A
Companion to Media Studies, him. 293-310. Oxford: Blackwell.
Morgan, M. dan Shanahan, J. (1997) ’Two decades of cultivation research: an appraisal and meta-analysis;
Communication Yearbook 20, him. 1-46.
Morley, D. (1980) The Nation wide Audience: Structure and Decoding. BFI TV Monographs no. 11. London:
British Film Institute.
Morley, D. (1986) Family Television. London: Comedia.
Morley, D. (1992) Television, Audiences and Cultural Studies. London: Routledge.
Morley, D. (1996) 'Postmodernism: the rough guide; dalam J. Curran, D. Morley dan V Walkerdine (ed.),
Cultural Studies and Communication, him. 50-65. London: Arnold.
Morley, D. (1997) 'Theoretical orthodoxies: textualism, constructivism and the "new ethnography" in
cultural studies; dalam M. Ferguson dan P Golding (ed.), Cultural Studies in Question, him. 121-137.
London:: Sage.
London
Morris, M. dan Ogan, C. (1996) 'The internet as mass medium', Journal of Communication,
Communication, 46 (1): 39-50.
Morrison, D. dan Tumber, H. (1988) Journalists at War. London: Sage.
Morrison, D. dan Svennevig, M. (2007) 'The defence of the public interest and the intrusion of privacy',
Journalism,
Journalism, 8 (1): 44-65.
Moscovici, S. (1991) 'Silent majorities and loud minorities', dalam J. Anderson (ed.), Communication Yearbook
14, him. 298-308. Newbury Park, CA: Sage.
Mowlana, H. (1985) International Flows of Information. Paris: Unesco.
Moy, P., Domke, D. dan Stamm, K. (2001) 'The spiral of silence and public opinion on affirmative action;
Journalism
Journalism and Ma
Mass
ss Commun
Communication
ication Quarterly
Quarterly,, 78 (1): 7-25.
Moy, P, Scheufele, D.A. dan Holbert, R.L. (1999) 'TV use and social capital: testing Putnam's time displacement
hypothesis; Mass Communication
Communication and Soc
Society,
iety, 2 (1/2): 27-46.
Moy, P., Torres, M„ Tanaka, K. dan McClusky, R. (2005) 'Knowledge or trust?1 Investigating linkages between
media reliance and participation; Communication Research, 32 (1): 59-86.
Munson, W (1993) All Talk: the Talkshow in Media Culture. Philadelphia: University of Temple Press.
Murdock, G. (1990) 'Redrawing the map of the communication industries; dalam M. Ferguson (ed.), Public
Communication, him. 1-15. London: Sage.
Murdock, G. dan Golding, P (1977) 'Capitalism, communication and class relations; dalam J. Curran et al. (ed.),
Mass Communication
Communication and Society, him. 12-43. London: Arnold.
Society,
Murdock, G. dan Golding, P. (2005) 'Culture, communications and political economy’, dalam J. Curran dan M.

R-30 Referensi

Gurevitch
Gurevitch (ed.), Mass Media Society, him. 60-83. London: Hodder Arnold.
Media and Society,
Murdock, G. dan Phelps, P. (1973) Mass Media
Media and the Secondary School. London: Macmillan.
Secondary
Murphy, D. (1976) The Silent Watchdog. London: Constable.
Murray, C., Parry, K„ Robinson, P. dan Goddard, P (2008) 'Reporting dissent in war-time 1, European Journal of
Communication, 23 (1): 7-27.
Mutz, D.C. dan Soss, J. (1997)
( 1997) 'Reading public
public opinion: the influence of news coverage on perceptions
perceptions of public
public
sentiment; Public Opinion Quarterly, 61 (3): 431-451.
Napoli, PM. (2001) Foundations of Communication Policy. Creskill, NJ: Hampton.
Negus, K. (1992) Producing Pop. London: Arnold.
Nerone, J.C. (ed.) (1995) Last Rights: Revisiting Four Theories of the Press. Urbana, IL: University of Illinois Press.
Neuman, W .R. (1991) The Future of the Mass Audience. Cambridge: Cambridge University Press.
Neuman, WR. dan Pool, I. de Sola (1986) 'The flow of communication into the home; dalam S. Ball- Rokeach
dan M. Cantor (ed.), Media, Audience
Audience an
andd Social Structu
Structure,
re, him. 71-86. Newbury Park, CA: Sage.
Newbold, C. (2002)' The moving image’, dalam C. Newbold, O. Boyd-Barrett dan H. van den Bulk (ed.), The
Book, him. 101-162. London: Arnold.
Media Book,
Newcomb, H. (1991) 'On the dialogic aspects of mass communication; dalam R. Avery dan D. Easton (ed.),
Critical Perspectives on Media and Society, him. 69-87. New York: Guilford Press.
Newhagen, J.E. dan Reeves, B. (1992) 'The evening's bad news; Journal of Communication,
Communication, 42 (2): 25- 41.
Newman, P. (2003) 'If only they knew what nice people we are, Political Communication, 20 (1): 79-85.
Nightingale, V (2003)’The cultural revolution in audience research; inA.N. Valdivia (ed.), A Companion
Companion to Media
Studies, him. 360-381. Oxford: Blackwell.
Noam, E. (1991) Television in Europe. New York: Oxford University Press. Noble, G. (1975) Children in Front of
the Small Screen. London: Constable.
Noelle-Neumann, E. (1973) 'Return to the concept of powerful mass media; Studies of Broadcasting, 9:
66 -11 2 .

Noelle-Neumann, E. (1974) 'The spiral of silence: a theory of public opinion; Journal of Communication,
Communication, 24:24-51.
Noelle-Neumann, E. (1984) The Spiral of Silence. Chicago: University of Chicago Press.
Noelle-Neumann, E. (1991) 'The theory of public opinion: the concept of the spiral of silence; in J. Anderson
(ed.), Communication Yearbook 14, him. 256-287. Newbury Park, CA: Sage.
Noin, D. (2001) 'Bias in the news: partisanship and negativity in media coverage of Presidents G. Bush and Bill
Clinton', Harvard Journal of Press/Politics, (6) 3: 31-46.
Nordenstreng, K. (1974) Informational Mass Communication. Helsinki: Tammi.
Nordenstreng, K. (1997) 'Beyond the four theories of the press; dalam J. Servaes dan R. Lie (ed.), Media and
Politics in Transition. Leuven: Acco.
Nordenstreng, K. (1998) 'Professional ethics: between fortress journalism and cosmopolitan democracy', dalam
K. Brants, J. Hermes dan L. van Zoonen (ed.), The Media in Question, him. 124-34. London: Sage.
Norris, P. (2000) A Virtuous
Virtuous Circle. New York: Cambridge University Press.
Norris, P. (2002) Digital Divide. New York: Cambridge University Press.
Norris, P dan Sanders, D. (2003) 'Message or medium? Campaign learning during the 2000 British General
Election; Political Communication, 20 (3): 233-262.
Norris, P., Curtice, J., Sanders, D., Scammell, M. dan Semetko, H. (1999) On Message: Communicating the
Campaign. Thousand Oaks, CA: Sage.

Referensi R-31

Norstedt, S. A., Kaitatzi-Whitlock, S., Ottoson, R. and Riegert, K. (Z000)' From the Persian Gulf to Kosovo -war
journalism
journalism and propaganda;
propaganda; European Journal of Communication, 15 (3): 383-404.
Ogden, C.K. and Richards, LA. (1923) The Meaning of Meaning (reprinted 1985). London: Routledge and Kegan
Paul.
Olen, J. (1988) Ethics in Journalism. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Oliver, M.B. (2003) 'Race and crime in the media: research from a media effects perspective', in A.N. Valdivia
(ed.), A Companion to Media Studies, him. 421-36. Oxford: Blackwell.
Olson, S.R. (1999) Hollywood Planet. Global Media: the Competitiv
Competitivee Advantage
Advantage of Narrative Transparency.
Transparency.
Mahwah, NJ: Erlbaum.
Oltean, O. (1993) 'Series and seriality in media culture', European Journal of Communication, 8 (1): 5-31.
Osgood, K„ Suci, S. and Tannenbaum, P (1957) The Measurement of Meaning. Urbana, IL: University of Illinois
Press.
0 Siochru, S. and Girard, B„ with Mahan, A. (2003) Global Media Governance-, a Beginner's Guide. Lanham, NJ:
Rowman and Littlefield.
Ostini, J. and Fung, A.Y (2002) ’Beyond the four theories of the press: a new model of national media systems;
Mass Communication
Communication and Society, 5 (1): 41-56.
Society,
Padioleau, J. (1985) Le Monde et le Washington Post. Paris: PUF.
restriction; Journali
Paek, H.-J., Lambe, J.L. and McLeod, D.M. (2008) Antecedents to support for content restriction; Journalism
sm and
Mass Communication
Communication Quarterly
Quarterly,, 85 (2): 273-90.
Paletz, D.L. and Dunn, R. (1969)' Press coverage of civil disorders: a case-study of Winston Salem; Public
Opinion Quarterly, 33: 328-45.
Paletz, D.L. and Entman, R. (1981) Media, Power,
Power, Politics. New York: Free Press.
Politics.
Palmgreen, P and Rayburn, J.D. (1985) An expectancy-value approach to media gratifications; in K.E.
Rosengren et al. (ed.), Media Gratification
Gratification Research, him. 61-72. Beverly Hills, CA: Sage.
Research,
Pan, Z. and Kosicki, G.M. (1997) 'Priming and media impact on the evaluation of the President's media
performance', Communication Research, 24 (1): 3-30.
Papathanossopolous, S. (2002) European Television in the Digital Age. Cambridge: Polity Press.
Park, R. (1940/1967) 'News as a form of knowledge; dalam R.H. Turner (ed.), On Social Control and Collective
Behavior, him. 32-52. Chicago: Chicago University Press.
Pasek, J., Kensler, K., Romer, D. dan Jamieson, K.H. (2006) America's media use and community engagement',
Communication Research, 33 (3): 115-135.
Pasti, S. (2005) 'Two generations of Russian journalists', European Journal of Communication, 20 (1): 89-116.
Paterson, C. (1998)' Global battlefields; dalam O. Boyd-Barrett dan T. Rantanen (ed.), The Globalization of News,
him. 79-103. London: Sage.
Patterson, T (1994) Out of Order. New York: Vintage.
Patterson,, T. ((1998)'
Patterson 1998)' Political roles
roles of the journalist; dalam D. Graber, D. McQuail dan P. Norris (ed.),
( ed.), The Politics
of News: the News of Politics, him. 17-32. Washington, DC: Congressional Quarterly Press.
Pauwels, C. dan Loisen, J. (2003)' The WTO and the Audiovisial sector; European Journal of Communication, 18
(3): 291-314.
Peacock, A. (1986) Report of the Committee on Financing the BBC. Cmnd 9824. London: HMSO.
(1931-1935)) Collected Papers, edited by C. Harteshorne dan P. Weiss, vols II and V Cambridge, MA:
Peirce, C.S. (1931-1935
Harvard University Press.

R-32 Referensi

Pekurny, R. (1982) 'Coping with television production; dalam J.S. Ettema and D.C. Whitney (ed.), Individuals in
Mass Media Organizations, him. 131-143. Beverly Hills, CA: Sage.
Organizations,
Perkins, M. (2002) 'International law and the search for universal principles of media ethics; Journal of Mass
Media Ethics,
Ethics, 17 (3): 193-208.
Perse, E.M. (1990) Audience selectivity and involvement in the newer media environment’, Communication
Research, 17: 675-697.
Perse, E.M. (1994) 'Uses of erotica; Communication Research, 20 (4): 488-515.
Perse, E.M. (2001) Media Effects
Effects and Society. Mahwah, NJ: Erlbaum.
Perse, E.M. dan Courtright, J.A. (1992)' Normative images of communication media: mass and interpersonal
channels in the new media environment’, Human Communication Research, 19: 485-503.
Perse, E.M. dan Dunn, D.G. (1998) ’The utility of home computers and media use: implications of multimedia
and connectivity; Journal of Broadcasting
Broadcasting and Electronic
Electronic Media, 42 (4): 435-456.
Peter, J. dan Valkenberg, P .N. (2006) 'Individual differences in perception of internet communication; European
Communication, 21 (2): 213-226.
Journal of Communication,
Peters, A.K. dan Cantor, M.G. (1982) 'Screen acting as work; dalam J.S. Ettema dan D.C. Whitney (ed.),
Individuals in Mass Media Organizations, him. 53-68. Beverly Hills, CA: Sage.
Peterson, R.C, dan Thurstone, L.L. (1933) Motion Pictures
Pictures an Attitudes. New York: Macmillan.
andd Social Attitudes.
Petty, R.E. dan Cacioppo, J.T. (1986)'The elaboration likelihood model of persuasion; dalam L. Berkowitz (ed.),
Advances in Experi
Experimental
mental Soc
Social
ial Psych
Psychology,
ology, him. 132-205. San Diego: Academic.
Petty, R.E., Priester, J.R. dan Brinol, P. (2002)' Mass media attitude change: implications of the elaboration
likelihood model of persuasion', dalam J. Bryant dan D. Zillmann (ed.), Media Effects,
Effects, him. 155-198.
Mahwah, NJ: Erlbaum.
Pfau, M., Haigh, M., Gettle, M„ Donnelly, M„ Scott, G., Warr, D. dan Wittenberg, E. (2004) 'Embedding
journalists
journalists in military combat
combat units: impact on story frames and tone; Journalism and Mass Communication
Communication
Quarterly, 81 (1); 74-88.
Phillips, D.P. (1980) Airplane accidents, murder and the mass media', Social Forces, 58 (4): 1001-1024..
Phillips, D.P. (1982) 'The impact of fictional TV stories in adult programming on adult fatalities; American
Sociology, 87: 1346-5139.
Journal of Sociology,
Picard, R.G. (1985) The Press and the Decline of Democracy. Westport, CT: Greenwood Press.
Picard, R.G. (1989) Media Economics.
Economics. Newbury Park, CA: Sage.
Picard, R.G. (2004) 'Commercialism and newspaper quality; Newspaper Research journal, 25 (1): 54- 65.
Picard, R.G., McCombs, M., Winter, J.P. dan Lacy, S. (ed.) (1988) Press Concentration and Monopoly. Norwood,
NJ: Ablex.
Plaisance, PL. dan Skewes, E.A. (2003) 'Personal and professional dimensions of news work: exploring links
between journalists'
journalists' valu
values
es and roles;
roles; journalis
journalism
m and Mass C
Commun
ommunication Quarterly, 20 (4): 833-848.
ication Quarterly,
Pool, I. de Sola (1974) Direct Broadcasting and the Integrity of National Cultures. New York: Aspen Institute.
Pool, I. de Sola (1983) Technologies of Freedom. Cambridge, MA: Belknap.
Pool, I. de Sola dan Shulman, I. (1959) 'Newsmen's fantasies, audiences and newswriting', Public Opinion
Quarterly, 23 (2): 145-158.
Porat, M. (1977) The Information Economy: Definitions and Measurement. Washington, DC: Department of
Commerce.
Porto, M.P. (2007)' Frame diversity and citizen competence: towards a critical approach to news quality; Critical

Referensi R-33

Studies in Mass Communication, 24 (4): 303-231.


Poster, M. (1999) 'Underdetermination', New Media and Society, 1 (1): 12-17.
Culture and new media: a historical view', dalam L.A. Lievrow dan S. Livingstone (ed.), The
Poster, M. (2006)' Culture
Handbook of New Media, him. 134-140. London: Sage.
Postman, N. (1993) Technopoly: the Surrender of Culture to Technology. New York: Vintage.
Postmes, T., Spears, R. dan Lea, M. (1998) 'Breaching or building social boundaries? Side-effects of computer
mediated communication; Communication Research, 25 (6): 689-715.
Potter, WJ., Cooper, R. dan Dupagne, M. (1993) 'The three paradigms of mass media research in mass
communication journals', Communication Theory, 3: 317-335.
Price, M. dan Thompson, M. (2002) Forging Peace. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Priest, S.H. (2001) A Grain of Truth. Lanham, MD: Rowman and Littlefield.
Pritchard, D. (2000) Holding the Media Accountable. Bloomington, IN: University of Indiana Press.
Propp, V (1968) The Morphology of Folk Tales. Austin, TX: University of Texas Press.
Puppis,
Puppis, M. (2008)' Nation
National
al media regulation in the era of ffree
ree trade; European Journal of Communication, 23 (4):
405-424.
Putnam, D. (2000) Bowling Alone. New York: Simon and Schuster.
Quandt, T. dan Singer, J.B. (2009) 'Convergence and cross-platform content production; dalam K. Wahl-
Jorgenson dan T Hanitsch (ed.), The Handbook of Journalism Studies, him. 130-44. London: Routledge.
Quortrup, L. (2006) 'Understanding new digital media: medium theory or complexity theory, European Journal
of Communication, 21 (3): 345-356.
Radway, J. (1984) Reading the Romance. Chapel Hill, NC: University of North Carolina Press.
Rainie, L. dan Bell, P. (2004) 'The numbers that count 1, New Media and Society, 6(1): 44-54.
Rakow, L. (1986) 'Rethinking gender research in communication; Journal of Communication,
Communication, 36 (1): 11-26.
Rantanen, T (2001) 'The old and the new: communications technology and globalization in Russia', New Media
and Society, 3 (1): 85-105.
Rasmussen, T (2000) Social Theory and Communication Technology. Aldershot: Ashgate.
Rasmussen, T. (2008) 'The internal differentiation of the political public sphere', Nordicom Review, 29 (1): 73-85.
Ravi, N. (2005) 'Looking beyond flawed journalism; Harvard International Journal of Press/ Politics, 10 (1): 45-62.
Ray, M.L. (1973) 'Marketing communication and the hierarchy of effects; dalam P. Clarke (ed.), New Models for
'Marketing
Communication Research, him. 147-176. Beverly Hills, CA: Sage.
Raymond,
Raymond, JJ.. (ed.) ((1999)
1999) News, Newspapers and Society in Early Modern Britain. London: Cass.
Real, M. (1989) Supermedia. Newbury Park, CA: Sage.
Reese, S.D. (1991) 'Setting the media's agenda: a power balance perspective’, dalam J. Anderson (ed.),
Communication Yearbook 14, him. 309-340. Newbury Park, CA: Sage.
Reese, S.D. dan Ballinger, J. (2001) 'The roots of a sociology of news: remembering Mr. Gates and social control
in the newsroom; Journalism and Ma
Mass
ss Communication
Communication Qu
Quarterly
arterly,, 78 (4): 641-658.
Reese, S.D., Grant, A. dan Danielian, L.H. (1994) 'The structure of news sources on television: a network
analysis of "CBS News"; "Nightline"; "McNeil/Lehrer" and "This Week With David Brinkley"; Journal of
Communication, 44 (2): 64-83.
Reese, S.D,, Rutigliano, L., Hyun, K. dan Jeong, J. (2007) 'Mapping the blogosphere; Journalism, 8 (3): 235-261.
Renckstorf, K. (1996) ’Media use as social action: a theoretical perspective’, dalam K. Renckstorf, D. McQuail
dan N. Jankno wski (ed.), Media Use as
J anknowski as Social Action
Action,, him. 18-31. London: Libbey.

R-34 Referensi

Rheingold, H. (1994) The Virtual Community. London: Seeker and Warburg.


Rice, R.E. (1993) ’Media appropriateness: using social presence theory to compare traditional and new
organizational media; Human Communication Research, 19: 451-484.
Rice, R.E. (1999) Artifacts and paradoxes in new media’, New Media and Society, 1 (1): 24-32.
Rice, R.E. et al. (1983) The New Media. Beverly Hills, CA: Sage.
Rivers, WL. dan Nyhan, M.J. (1973) Aspen Papers
Papers on Government andd the Media. New York: Praeger.
Government an
Robillard, S. (1995) Television in Europe: Regulatory Bodies. European Institute for the Media. London: Libbey.
Robinson, J.P. (1972) 'Mass communication and information diffusion; dalam EG. Kline dan P.J. Tichenor (ed.),
Current Perspectives in Mass Communication Research, him. 71-93. Beverly Hills, CA: Sage.
Robinson, J.P. (1976) 'Interpersonal influence in election campaigns: 2-step flow hypotheses; Public Opinion
Quarterly, 40: 304-319.
304-319.
Robinson, J.P. dan Davis, D.K. (1990) 'Television news and the informed public: an information processing
approach', Journal of Communication,
Communication, 40 (3): 106-119.
Robinson, J.R dan Levy, M. (1986) The Main Source. Beverly Hills, CA: Sage.
Robinson,, P. (2001) 'Theorizing
Robinson 'Theorizing the influence of media on world politics; European Journal of Communication,
16 (4): 523-544.
Roe, K. (1992) 'Different destinies - different melodies: school achievement, anticipated status and
adolescents' tastes in music; European Journal of Communication, 7 (3): 335-538.
Roe, K. dan de Meyer, G. (2000) 'MTV: one music - many languages; dalam J. Wieten, G. Murdock dan P.
Dahlgren (ed.), Television Across Europe, him. 141-157. London: Sage.
Rogers, E.M. (1962) The Diffusion of Innovations. Glencoe, IL: Free Press.
Rogers, E.M. (1976) 'Communication and development: the passing of a dominant paradigm; Communication
Research, 3: 213-240.
Rogers, E.M. (1986) Communication Technology. New York: Free Press.
Rogers, E.M. (1993) 'Looking back, looking forward: a century of communication research; dalam P. Gaunt
(ed.), Beyond Agendas: New Directions in Communication Research, him. 19-40. New Haven, CT:
Greenwood Press.
Rogers, E.M. and Dearing, J.W (1987) Agenda-setting research:
research: Where has it been? Where is it going? dalam
J. Anderson (ed.),
(ed.), Communication Yearbook 11, him. 555-594. Newbury Park, CA: Sage.
Rogers, E.M. dan Kincaid, D.L. (1981) Communication Networks: Towards a New Paradigm for Research. New
York: Free Press.
Rogers, E.M. dan Shoemaker, F. (1973) Communication of Innovations. New York: Free Press.
Rogers, E.M. dan Storey, D. (1987) 'Communication campaigns', dalam C.R. Berger dan S.H. Chaffee (ed.),
Handbook of Communication Science, him. 817-846. Beverly Hills, CA: Sage.
Rogers, E.M., Dearing, J.W. dan Bergman, D. (1993) 'The anatomy of agenda-setting research', Journal of
Communication, 43 (2): 68-84.
Romer, D., Jamieson, K.H. dan Ady, S. (2003) 'TV news and the cultivation of fear of crime; Journal of
Communication, 53 (1): 88-104.
Romer, D„ Jamieson, R.E. dan Jamieson, K.H. (2006) Are news reports of suicide contagious?’, Journal of
Communication, 56 (2): 253-270.
Rorty, R. (1989) Contingency, Irony and Solidarity. Glencoe, IL: Free Press.
Rosenberg, B. dan White, D.M. (ed.) (1957) Mass Culture.
Culture. New York: Free Press.

Referensi R-35

Rosengren, K.E. (1973) ’News diffusion: an overview', Journal


Journalism
ism Quarterly, 50: 83-91.
Quarterly,
Rosengren, K.E. (1974) 'International news: methods, data, theory; Journal of Peace Research, II: 45-56.
Peace Research,
Rosengren, K.E. (1976) 'The Barseback "panic1". Unpublished research report, Lund University, Lund, Sweden.
Rosengren, K.E. (ed.) (1981a) Advances in
in Content Analy
Analysis.
sis. Beverly Hills, CA: Sage.
Rosengren, K.E. (1981b) 'Mass media and social change: some current approaches; dalam E. Katz dan T.
Szecsko (ed.), Mass Media
Media and Social
Social Change, him. 247-263. Beverly Hills, CA: Sage.
Change,
Rosengren, K.E. (1983)'Communication research: one paradigm or four?; Journal of Communication, 33
Communication,
(3) : 185-207.
Rosengren, K.E. (1987) 'The comparative study of news diffusion; European Journal of Communication,
2 (2):136-57.
Rosengren, K.E. (2000) Communication: an Introduction. London: Sage.
Rosengren, K.E. dan Windahl, S. (1972) 'Mass media consumption as a functional alternative; dalam D.
McQuail (ed.), Sociology of Mass Communications, him. 166-194. Harmondsworth: Penguin.
Rosengren, K.E. dan Windahl, S. (1989) Media Matter.
Matter. Norwood, NJ: Ablex.
Rositi, E (1976) 'The television news programme: fragmentation and recomposition of our image of society', in
News and Current Events on TV Rome: RAI.
Ross, S.M. (2008) Beyond the Box: Television and the Internet. Malden, MA: Blackwell.
Rossler, P. (2001)' Between online heaven and cyberhell: the framing of "the internet" by traditional media
coverage in Germany; New Media and Society, 3 (1): 49-66.
Rossler, P. dan Brosius, H.-B. (2001) 'Talk show viewing in Germany; Journal of Communication,
Communication, 51 (1): 143-163.
Rosten, L.C. (1937) The Washington Correspondents. New York: Harcourt Brace.
Rosten, L.C. (1941) Hollywood: the Movie Colony,
Colony, the M
Movie
ovie Makers. New York: Harcourt Brace.
Makers.
Rothenbuhler,
Rothenbuhler, E.W. (1987) 'The living room celebration of the Olympic Games; Journal of Communication, 38 (4):
Communication,
61-68.
Rothenbuhler, E.W. (1998) Ritual Communication. Thousand Oaks, CA: Sage.
Rothenbuhler,
Rothenbuhler, E.W., Mullen,
M ullen, L.J., DeCarell,
DeCarell, R. dan Ryan, C.R. (1996) 'Community,
'Community, commu
community
nity attachment and
involvement; Journalism and
and Mass Co
Communica
mmunication Quarterly, 73 (2): 445-466.
tion Quarterly,
Roudikova, N. (2008) 'Media political clientilism - a lesson from anthropology', Media, Culture and Society, 30
(1): 41-59.
Royal Commission on the Press (1977) Report. Cmnd 6810. London: HMSO.
Rubin, A.M. (1984) 'Ritualized and instrumental television viewing 1, Journal of Communication,
Communication, 34 (3):
67-77.
Rubin, A.M., Perse, E.M. dan Powell, E. (1990) 'Loneliness, parasocial interaction and local TV news viewing;
Communication Research, 14 (2): 246-268.
Ryan, M. (2001) 'Journalistic ethics, objectivity, existential journalism, standpoint epistemology, and public
alism; Journal of Mass Media E
journalism;
journ Ethics,
thics, 16 (1): 3-22.
Ryan, M. (2006) 'Mainstream news media, an objective approach and the march to war in Iraq; Journal of Mass
Ethics, 21 (1): 4-29.
Media Ethics,
Ryan, J. dan Peterson, R.A. (1982) 'The product image: the fate of creativity in country music song writing’,
dalam J.S. Ettema dan D.C. Whitney (ed.), Individuals in Mass Media Organizations, him. 11-32. Beverly
Hills, CA: Sage.
Sabal, R. (1992) 'Television executives speak about fan letters to the networks; in L.A. Lewis (ed.), The Adoring

R-36 Referensi

e, him. 185-188. London: Routledge.


Audience,
Audienc
Saenz, M.K. (1994) 'Television viewing and cultural practice', dalam H. Newcomb (ed.), Television: the Critical
View, 5th edn, him. 573-586. New York: Oxford University Press.
Sandel, M. (1982) Free Speech and the Limits of Justice. Cambridge: Cambridge University Press.
Schement, J. dan Curtis, T (1995) Tendencies and Tensions of the Information Age. New Brunswick, NJ:
Transaction.
Scheufele, D.A. (1999) 'Framing as a theory of media effects', Journal of Communication, 49 (1): 103- 122.
of Communication,
Scheufele, D.A. dan Nisbet, M.C. (2002)' Being a citizen online: new opportunities and dead ends; Harvard
Press/Politics, 7 (3): 55-75.
Journal of Press/Politics,
Scheufele, B. (2008) 'Discourse analysis; dalam W Donsbach (ed.), The International Encyclopedia of
Communication. Oxford: Blackwell.
Schiller, H. (1969) Mass Communicat
Communication
ion and A
American
merican E
Empire.
mpire. New York: Kelly.
Schlesinger, P. (1978) Putting Reality' Together: BBC News. London: Constable.
Schlesinger, P. (1987) 'On national identity', Social Science Information, 25 (2): 219-64.
Schlesinger, P., Murdock, G. dan Elliott, P. (1983) Televising Terrorism. London: Comedia.
Schmid, A.P. dan de Graaf, J. (1982) Violence as Communication. Beverly Hills, CA: Sage.
Schoenbach, K., de Waal, E. dan Lauf, E. (2005)'0nline and print newspapers: their impact on the extent of
the perceived public agenda', European Journal of Communication, 20 (1): 245-258.
Schoenbach, K. dan Lauf, E. (2002) 'The "trap" effect of television and its competitors; Communication
Research, 29 (6): 564-583.
Schramm, W. (1955) 'Information theory and mass communication’, Journalism Quarterly,
Quarterly, 32: 131— 146.
Schramm, W„ Lyle, J. dan Parker, E. (1961) Television in the Lives of Our Children. Stanford, CA: Stanford
University Press.
Schroder, K.C. (1987) 'Convergence of antagonistic traditions?', European Journal of Communication, 2 (1): 7-
31.
SchrOder, K.C. (1992)' Cultural quality: search for a phantom? 1, dalam M. Skovmand dan K.C. Schroder
Schroder
(ed.), Media Cultures:
Cultures: Reappr
Reappraising
aising T
Transnation
ransnational
al Medi
Media,
a, him. 161-180. London: Routledge.
Schroeder, T. (2001) 'The origins of the German Press', dalam B. Dooley dan S. Baran (ed.), The Politics of
Information in Early Modern Europe. London: Routledge.
Schudson,, M. (1978) Discovering the News. New York: Basic Books.
Schudson
Schudson, M. (1991) 'The new validation of popular culture 1, dalam R.K. Avery dan D. Eason (ed.), Critical
Perspectives on Media and Society, him. 49-68. New York: Guilford Press.
Schudson, M. (1998) 'The public journalism movement and its problems', dalam D. Graber, D. McQuail dan
P. Norris (ed.), The Politics of News; the News of Politics, him. 132-49. Washington, DC: Congressional
Quarterly Press.
Schultz, J. (1998) Reviving
Reviving the Fourth Estate. Cambridge: Cambridge University Press.
Schulz, W (1988) 'Media and reality'. Unpublished paper for Sommatie Conference, Veldhoven, The
Netherlands.
Schulz, W (1997) 'Changes of the mass media and the public sphere 1, The Public, 4 (2): 57-70.
Schulz, W (2004) 'Reconstructing mediatization as an analytic concept', European Journal of Communication, 19
(1): 87-102.
Schutz, A. (1972) The Phenomenology of the Social World. London: Heinemann.

Referensi R-37

Schwalber, C.B., Silcode, B.W. dan Keith, S. (2008)' Visual framing of the early weeks of the US led invasion
of Iraq', Journal of
of Broadcasting
Broadcasting and
and Electronic Media, 52 (3): 448-465.
Electronic
Schweiger, W. (2000) 'Media credibility: experience or image?; European Journal of Communication, 15 (1): 37-
60.
Schweitzer, E.J. (2005)' Election campaigning online: German party websites in the 2002 National Election,
European Journal of Communication, 20 (3): 327-351.
Schweitzer, E. (2008) 'Innovation or normalization in E -campaigning?’, European Journal of Communication,
23 (4): 449-470.
Schwichtenberg, C. (1992) Music video', dalam J. Lull (ed.), Popular Music and Communication, him. 116-133.
Newbury Park, CA: Sage.
Segrin, C. dan Nabi, R.L. (2002) 'Does TV viewing cultivate unrealistic expectations about marriage?', Journal of
Communication, 52 (2): 247-263.
Seiter, E. (2000) Television and New Media Audiences. New York: Oxford University Press.
Seiter, E, Borchers, H. dan Warth, E.M. (ed.) (1989) Remote Control. London: Routledge.
Selwyn, N. (2004) 'Reconsidering political and popular understanding of the digital divide', New Media and
Society, 6 (3): 341-362.
Semetko, H.A. (2004) 'Political communication1, dalam J.D.H.
J.D.H. Downing,
Downing, D. McQuail,
McQuail, P Schlesinger
Schlesinger dan
E. Wartella (ed.), The Sage Handbook of Media Studies, him. 351-374. Thousand Oaks, CA: Sage.
Sepstrup, P. (1989) 'Research into international TV flows; European Journal of Communication, 4 (4): 393-408.
Servaes, J. (1999) Communication for Development. Cresskill, NJ: Hampton.
Shannon, C. dan Weaver, W (ed.) (1949) The Mathematical Theory of Communication. Urbana, IL: University of
Illinois Press.
Schoenbach, K., de Waal, E. dan Lauf, E. (2005)' Online and print newspapers: their impact on the extent of the
perceived public agenda; European Journal o/Communication, 20 (1): 245-258.
Schoenbach, K. dan Lauf, E. (2002) ' The "trap" effect of television and its competitors; Communication Research,
29 (6): 564-583.
Schramm, W. (1955) ’Information theory and mass communication1, Journalism Quarterly,
Quarterly, 32: 131 — 146.
Schramm, W, Lyle, J. dan Parker, E. (1961) Television in the Lives of Our Children. Stanford, CA: Stanford
University Press.
Schroder, K.C. (1987) ’Convergence of antagonistic traditions?’, European Journal of Communication, 2 (1): 7-31.
Schroder, K.C. (1992) 'Cultural quality: search for a phantom?’, dalam M. Skovmand dan K.C. Schroder (ed.),
Media Cultures:
Cultures: Reappr
Reappraising
aising Transnationall Media, him. 161-80. London: Routledge.
Transnationa
Schroeder, T. (2001) 'The origins of the German Press', dalam B. Dooley dan S. Baran (ed.), The Politics of
Information in Early Modern Europe. London: Routledge.
Schudson, M. (1978) Discovering the News. New York: Basic Books.
Schudson, M. (1991) 'The new validation of popular culture’, dalam R.K. Avery dan D. Eason (ed.), Critical
Perspectives on Media and Society, him. 49-68. New York: Guilford Press.
Schudson, M. (1998) 'The public journalism movement and its problems', dalam D. Graber, D. McQuail dan P.
Norris (ed.), The Politics of News; the News of Politics, him. 132-149. Washington, DC: Congressional
Quarterly Press.
Schultz, J. (1998) Reviving the Fourth Estate. Cambridge: Cambridge University Press.
Schulz, W. (1988) 'Media and reality'. Unpublished paper for Sommatie Conference, Veldhoven, The

R-38 Referensi

Netherlands.
Schulz, W. (1997) 'Changes of the mass media and the public sphere 1, The Public, 4 (2): 57-70.
Schulz, W. (2004)' Reconstructing mediatization as an analytic concept; European Journal of Communication, 19
(1): 87-102.
Schutz, A. (1972) The Phenomenology of the Social World. London: Heinemann.
Schwalber, C.B., Silcode, B.W. dan Keith, S. (2008)' Visual framing of the early weeks of the US led invasion of
Iraq1, Journal of Broadcasti
Broadcasting Electronic Media, 52 (3): 448-465.
ng and Electronic
Schweiger, W. (2000) 'Media credibility: experience or image?; European Journal of Communication, 15 (1): 37-60.
Schweitzer, E.J. (2005) 'Election campaigning online: German party websites in the 2002 National Election,
European Journal of Communication, 20 (3): 327-351.
Schweitzer, E. (2008)' Innovation or normalization in E-campaigning?; European Journal of Communication, 23 (4):
449-470.
Schwichtenberg, C. (1992) 'Music video; dalam J. Lull (ed.), Popular Music and Communication, him. 116-133.
Newbury Park, CA: Sage.
Segrin, C. dan Nabi, R.L. (2002) 'Does TV viewing cultivate unrealistic expectations about marriage?', Journal of
Communication, 52 (2): 247-263.
Seiter, E. (2000) Television and New Media Audiences. New York: Oxford University Press.
Seiter, E, Borchers, H. dan Warth, E.M. (ed.) (1989) Remote Control. London: Routledge.
Selwyn, N. (2004) 'Reconsidering political and popular understanding of the digital divide', New Media and
Society, 6 (3): 341-362.
Semetko, H.A. (2004) ' Political communication; dalam J.D.H. Downing, D. McQuail, P Schlesinger dan
E. Wartella (ed.), The Sage Handbook of Media Studies, him. 351-74. Thousand Oaks, CA: Sage.
Sepstrup, P. (1989) 'Research into international TV flows; European Journal of Communication, 4 (4): 393-408.
Servaes, J. (1999) Communication for Development. Cresskill, NJ: Hampton.
Shannon, C. dan Weaver, W. (ed.) (1949) The Mathematical Theory of Communication. Urbana, IL: University of
Illinois Press.
Shelton, P dan Gunaratne, S.A. (1998)'01dwine in a newbottle: public journalism, developmental journalism
and social responsibility', dalam M.E. Roloff dan G.D. Paulson (ed.), Communication Yearbook 21, him. 277-
321. Thousand Oaks, CA: Sage.
Shen, M.C.H. (1999) Current-Affairs Talkshows: Public Communication Revitalized on Television. Amsterdam:
University of Amsterdam.
Shibutani, T. (1966) Improvised News. New York: Bobbs Merrill.
Shils, E. (1957)
( 1957) 'Daydreams
'Daydreams and nightmares: reflections on the criticism of mass culture', Sewanee.Review, 65 (4):
nightmares:
586-608.
Shoemaker, P.J. (1984) 'Media treatment of deviant political groups', journalis
journalism Quarterly, 61 (1): 66- 75,82.
m Quarterly,
Shoemaker, P.J. (1991) Gatekeeping. Thousand Oaks, CA: Sage.
Shoemaker, P.J. dan Reese, S.D. (1991) Mediating the Message. New York: Longman.
Message.
Shoemaker, PJ, et al. (2001) 'Individual and routine forces in gatekeeping; Journalism and Mass Communication
Communication
Quarterly, 78 (2): 233-246.
Short, J„ Williams, E. dan Christie, B. (1976) The Social Psychology of Telecommunications. New York: Wiley.
Siebert, E, Peterson, T. dan Schramm, W. (1956) Four Theories of the Press. Urbana, IL: University of Illinois
Press.

Referensi R-39

Sigal, L.V (1973) Reporters and Officials. Lexington, MA: Lexington.


Sigelman, L. (1973) 'Reporting the news: an organizational analysis', American Journal of Sociology,
Sociology, 79: 132-151.
Signorielli,, N. dan Morgan, M. (ed.) (1990) Cultivation Analysis. Newbury Park, CA: Sage.
Signorielli
Singer, B.D. (1970) 'Mass media and communications processes in the Detroit riots of 1967', Public Opinion
Quarterly, 34: 236-245.
Singer, J.B. (2005)
( 2005) 'The political J-Blogger
J-Blogger,, journalism, 6 (2): 173-98.
journalism,
Singer, J.B. (2007) 'Contested autonomy: professional and popular claims on journalism norms', journalis
journalism
m
Studies, 8 (1): 79-95.
Singh, S. (2001) ' Gender and the use of the Internet at home', New Media and Society, 3 (4): 395-416.
Slack, J.D. dan Wise, J.M. (2002) ' Cultural studies and technology; dalam L. Lievrouw dan S. Livingstone (ed.),
The Handbook of New Media, him. 485-501. London: Sage.
Slater, M.D., Romer, D. dan Long, M. (2006) ' TV dramas and support for controversial policies 1, Journal of
Communication, 56 (2): 235-252.
Slevin, J. (2000) The Internet and Society. Cambridge: Polity Press.
Smith, A. (1973) The Shadow in the Cave. London: Allen and Unwin.
Smith, J.A. (1999) War and Press Freedom. New York: Oxford University Press.
Smith, P. dan Bell, A. (2007) 'Unravelling the web of discourse analysis', in E. Devereux (ed.), Media Studies,
Studies,
him. 78-100. London: Sage.
Smith, S.L., Nathanson, A.I. dan Wilson, B.J. (2002) 'Prime-time television: assessing violence during the most
popular viewing hours Journal of Commun
Communication,
ication, 52 (1): 84-111.
Smith, S.W, Smith, S.L., Pieper, K.M., Yoo, J.H., Ferris, A.L., Downs, E. dan Bowden, B. (2006) Altruism on
American television', Journal of Communication,, 56 (4): 707-727.
Communication
Smythe, D.W. (1977) 'Communications: blindspot of Western Marxism', Canadian Journal of Political and Social
Theory, 1:120-127.
Sonninen, P. dan Laitila, T. (1995) 'Press councils in Europe', dalam K. Nordenstreng (ed.), Reports on Media
Ethics, him. 3-22. Tampere: Department of Journalism and Mass Communication.
Snow, N. dan Taylor, P.M. (2006) 'The revival of the propaganda state, International Communication Gazette,
68 (5/6): 389-407.
Sotirovic, M. (Z001) 'Media use and perceptions of welfare', Journal of Communication,
Communication, 51 (4): 750- 774.
Sparks, C. dan Campbell, M. (1987) 'The inscribed reader of the British quality press; European Journal of
Communication, 2 (4): 455-472.
Spilerman, S. (1976) 'Structural characteristics and severity of racial disorders; American Sociological
Sociological Review, 41:
771-792.
Squires, J.D. (1992) 'Plundering the newsroom', Washington Journalism Review, 14 (10): 18-24.
Sreberny-Mohammadi, A. (1996) 'The global and the local in international communication’, dalam J. Curran
dan M. Gurevitch (ed.), Mass Media and
and Society, him. 177-203. London: Arnold.
Society,
Stamm, K.R. (1985) Newspaper Use and Community Ties: Towards a Dynamic Theory. Norwood, NJ: Ablex.
Stamm, K.R., Emig, A.G. dan Heuse, M.B. (1997) ’The contribution of local media to community involvement’,
Journalism
Journalism and Ma
Mass
ss Commun
Communication Quarterly,, 74 (1): 97-107.
ication Quarterly
Star, S.A. dan Hughes, H.M. (1950) 'Report on an education campaign: the Cincinnati plan for the UN;
American Sociologica
Sociologicall Review, 41: 771-792.
Steemers, J. (2001) 'In search of a third way: balancing public purpose and commerce in German and British

R-40 Referensi

public service broadcasting', Canadian Journal of Communication, 26 (1): 69-87.


Steiner, G. (1963) The People Look at Television. New York: Knopf.
Steiner, L. (2009) 'Gender in the newsroom', dalam K. Wahl-Jorgenson dan T. Hanitsch (ed.), The Handbook
ofjournalism Studies, him. 116-129. London: Routledge.
Stober, R. (2004) 'What media evolution is: a theoretical approach to the history of new media; European Journal
of Communication, 19 (4): 483-505.
Stone, G.C. (1987) Examining Newspapers. Beverly Hills, CA: Sage.
Stromback, J. (2008) 'Four phases of mediatization: an analysis of the mediatization of politics; The International
Press/Politics 13 (4): 228-247.
Journal of Press/Politics
Stromer-Galley, J. (2000) 'On-line interaction and why candidates avoid it; Journal of Commun
Communication,
ication,
50 (4): 111-132.
Stromer-Galley, J. (2002) 'New voices in the public sphere: a comparative analysis of interpersonal and online
political talk; Javnost, 9 (2): 23-42.
Sundae, S.S. dan Ness, C. (2001) ’Conceptualizing sources in online news', Journal of Commun
Communication,
ication,
51 (1): 52-72.
Sunstein, C. (2001) republic.com. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Sunstein, C. (2006) republic, com.2.0. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Sussman, G. (1997) Communication, Technology and Politics in the Information Age. Thousand Oaks, CA: Sage.
Sussman, G. dan Galizio, L. (2003)' The global reproduction of American politics; Political Communication, 20 (3):
309-328.
Swanson, D. dan Mancini, P. (ed.) (1996) Politics, Media and Modern Democracy. Westport, CT: Praeger.
Tai, Z. dan Chang, T-K. (2002) 'The globalness and the pictures in their heads: a comparative analysis of
audience interest, editor perceptions and newspaper coverage; Gazette, 64 (3): 251-265.
Takahiro, S. (2004)' Lessons from the Great Hanshin Earthquake; dalam NHK, Disaster Reporting and the Public
Nature of Broadcasting, him. 25-157. Tokyo: NHK Broadcasting Culture Research Institute. Tannenbaum, P.H,
dan Lynch, M.D. (1960) ’Sensationalism: the concept and its measurement’, Journalism Quarterly,
Quarterly, 30: 381-393.
Taylor, C. (1989) Sources of the Self the Making of the Modern Identity. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Taylor, D.G. (1982) 'Pluralistic ignorance and the spiral of silence; Public Opinion Quarterly, 46: 311— 355.
Taylor, P. (1992) War and the Media. Manchester: Manchester University Press.
Taylor, W.L. (1953)’Cloze procedure: anew tool for measuring readability journalism Quarterly, 30:415- 433.
Tewkesbury, D. (2003) 'What do Americans really want to know? Tracking the behavior of news readers on the
Internet’, Journal of Commun
Communication,
ication, 53 (4): 694-710.
Tewkesbury, D. dan Althaus, S.L. (2000) 'Differences in knowledge acquisition among readers of the paper and
online versions of a national newspaper; Journalism and Mas
Masss Commun
Communication
ication Quarterly, 77: 457-479.
457-479.
Thompson, J. (2000) Political Scandals. Cambridge: Polity Press.
Thompson, J.B. (1993) 'Social theory and the media; dalam D. Crowley dan D. Mitchell (ed.), Communication
Theory Today, him. 27-49. Cambridge: Polity Press.
Thompson, J.B. (1995) The Media and Modernity. Cambridge: Polity Press.
Thoveron, G. (1986) 'European televised women', European Journal of Communication, 1 (3): 289-300.
Thrall, A.T. (2006) 'The myth of the outside strategy: mass media news coverage of interest groups', Political
Communication, 23 (2): 407-420.
Thrift, R.R. (1977)- 'How chain ownership affects editorial vigor of newspapers; Journalism Quarterly, 54: 327-
Journalism

Referensi R-41

331.
Thussu,, D.K. (2000) ’Legitimizing "hum
Thussu "humanitarian
anitarian intervention"
intervention"?? CN
CNN,
N, NATO A
And
nd The Kosovo Crisis; European
Journal of Communication,
Communication, 15 (3): 345-362.
Thussu, D.K. (2009) The News as Entertainment: the Rise of Global Infotainment. London: Sage.
Thussu, D, dan Freedman, J. (ed.) (2003) War and the Media. London: Sage.
Tichenor, P.J., Donahue, G.A. dan Olien, C.N. (1970) ’Mass media and the differential growth in knowledge;
Public Opinion Quarterly, 34: 158-170.
Tomlinson, J. (1999) The Globalisation of Culture. Cambridge: Polity Press.
Traber, M. dan Nordenstreng, K. (1993) Few Voices, Many Worlds. London: World Association for Christian
Communication.
Trappel, J. (2008) 'Online media within the public service realm? Reasons to include online into the public
service mission’, Convergence, 14 (3): 313-322.
Trenaman, J.S.M. (1967) Communication and Comprehension. London: Longman.
Trenaman, J.S.M. dan McQuail, D. (1961) Television and the Political Image. London: Methuen.
Tuchman, G. (1978) Making News:
News: a Stu
Study
dy in th
thee Construc
Construction
tion of Reality. New York: Free Press.
Reality.
Tuchman, G., Daniels, A.K. dan Benet, J. (ed.) (1978) Hearth and Home: Images of Women in Mass Media. New
York: Oxford University Press.
Tumber, H. (1982) Television and the Riots. London: British Film Institute.
Tumber, H. dan Palmer, J. (2004) Media at War:
War: the Iraq C
Crisis.
risis. London: Sage.
Tumber, H. dan Waisbord, S. (2004) 'Political scandals and media across democracies', American Behavioral
Behavioral
Scientist, 47 (8): 1031-1039.
Tunstall, J. (1970) The Westminster Lobby Correspondents. London: Routledge and Kegan Paul.
Tunstall, J. (1971) Journalists at
at Work. London: Constable.
Tunstall, J. (1977) The Media Are American. London: Constable.
Tunstall, J. (1991) A media industry perspective; dalam J. Anderson (ed.), Communication Yearbook 14, him. 163-
industry
186. Newbury Park, CA: Sage.
Tunstall, J. (1993) Television Producers. London: Routledge.
Tunstall, J. (2007) The Media Were American. Oxford: Oxford University Press.
Tunstall, J. dan Machin, D. (1999) The Anglo-American Media Connection. Oxford: Oxford University Press.
Tunstall, J. dan Palmer, M. (ed.) (1991) Media Moguls.
Moguls. London: Routledge.
Turkle, S. (1988) 'Computational reticence: why women fear the intimate machine; dalam C. Kramarae (ed.),
Technology and Women s Voices: Keeping in Touch, him. 41 62. London: Routledge.
Turner, G. (2004) Understanding Celebrity. London: Sage.
Turner, J.W, Grube, J.A. dan Myers, J. (2001) 'Developing an optimal match within online communities: an
exploration of CMC support communities and traditional support; Journal of Communication,
Communication, 51 (2): 231-
251.
Turow, J. (1989) 'PR and newswork: a neglected relationship', American Behavioral Scientist,, 33: 206- 212.
Behavioral Scientist
Turow, J. (1994) 'Hidden conflicts and journalistic norms: the case of self-coverage1, Journal of Communication,
Communication,
44 (2): 29-46.
Turow, J. (2009) Media Today: an Introdu
Introduction Communication, 3rd edn. New York and London:
ction to Mass Communication,
Routledge.
Twyman, T. (1994)' Measuring audiences; dalam R. Kent (ed.), Measuring Media Audiences, him. 88-104. London:

R-42 Referensi

Routledge.
Vaccari, C. (2008a)'Italian parties' websites in the 2006 election; European Journal of Communication, 23 (1): 69-77.
Vaccari, C. (2008b) 'From the air to the ground: the Internet in the 2004 US presidential election campaign; New
Media and Society,
Society, 10 (4): 647-665.
Valentino, N.A., Buhr, IA. dan Beckmann, WN. (2001) 'When the frame is the game: revisiting the impact of
"strategic" campaign coverage in citizens' information retention; Journalism and Mass Communication
Communication
Quarterly, 78 (1): 93-112.
Valkenberg, P, Cantor, J. dan Peeters, A.L. (2000) 'Fright reactions to TV', Communication Research, T1 (1): 82-94.
van Aelst, P., Maddens, B., Noppe, J. dan Fiers, S. (2008) 'Politicians in the news: media or party logic?;
European Journal of Communication, 23 (2): 193-210.
Van Belle, D.A. (2003) 'Bureaucratic responsiveness to news media: comparing the influence of the NYT and
network TV news coverage on US foreign and civil allocations', Political Communication, 20
(3) : 263-285.
van Cuilenberg, J.J. (1987) 'The information society: some trends and implications; European Journal of
Communication, 2 (1): 105-121.
van Cuilenburg, J.J., de Ridder, J. dan Kleinnijenhuis, J. (1986) A theory of evaluative discourse; European
Journal of Communication, 1 (1): 65-96.
Communication,
van Cuilenburg,
Cuilenburg, J.
J.J.
J. dan McQuail, D. (2003) 'Media policy paradigm shifts', European Journal of Communication,
shifts',
18 (2): 181-207.
van der Wurf, R. (2004) ' Supplying and viewing diversity: the role of competition and viewer choice in Dutch
broadcasting;
broadcasting; European Journal of Communication, 19 (2): 215-237.
Van Dijk, J.A.G.M. (1992) De Netwerk Maatschappij. Houten, NL: Bohm Staffen von Loghum.
van Dijk, J.A.G.M. (1996) 'Models of democracy: behind the design and use of new media in politics', The
Public, 3 (1): 43-56.
van Dijk, J.A.G.M. (1999) Network Society: Social Aspects of New Media. London: Sage.
van Dijk, T. (1983) 'Discourse analysis: its development and application to the structure of news', Journal of
Communication, 33 (3): 20-43.
van Dijk, T. (1985) Discourse and Communication. Berlin: de Gruyter. van
Dijk, T. (1991) Racism and the Press. London: Routledge.
Van Gorp (2005) 'What is the frame? Victims and intruders in the Belgian press coverage of the asylum
issue', European Journal of Communication, 20 (4): 484-507. van Zoonen, L. (1988) 'Rethinking women and the
news , European Journal of Communication, 3 (1): 35 52.
van Zoonen, L. (1991) 'Feminist perspectives on the media; dalam J. Curran dan M. Gurevitch (ed ,),Mass
Media and Society,
Society, him. 33-51. London: Arnold, van Zoonen, L. (1992) 'The women's movement and the
media: constructing a public identity; European Journal of Communication, 7 (4): 453-476. van Zoonen, L. (1994)
Feminist Media Studies. London: Sage.
van Zoonen, L. (2002) ' Gendering the Internet: claims, controversies and cultures; European Journal of
Communication, 17 (1): 5-24. van Zoonen, L. (2004) 'Imagining the fan democracy; European Journal of
Communication, 19 (1): 39-52.
Vartanova, E. (2002) 'The digital divide and the changing political/media environment of postsocialist
Russia', Gazette, 64 (5): 449-645.
Vasterman, R (2005) 'MediaHype - self-reinforcing news waves; European Journal of Communication, 19 (4):

Referensi R-43

508-530.
Verhulst, S.G. (2002) About scarcities and intermediaries: the regulatory paradigm shift of digital content
reviewed; dalam L.A. Lievrouw dan S. Livingstone (ed.), The Handbook of New Media, him. 432-447.
London: Sage.
Verhulst, R (2006) 'The regulation of digital content; dalam L.A. Lievrow dan S. Livingstone (ed.) , The
Livingst one (ed.),
Handbook of New Media, him. 329-349. London: Sage.
Vidmar, N. dan Rokeach, M. (1974) Archie Bun
Bunker's
ker's bigotry: a study of selective
select ive perception andexposure;
Communication, 24: 36-47.
Journal of Communication,
Vincent, R.C. (2000) A narrative analysis of the US press coverage of Slobodan Milosevic and the Serbs in
Kosovo', European Journal of Communication, 15 (3): 321-344.
Visvanath, K. dan Finnegan, J.R. (1996)' The knowledge gap hypothesis 25 years later; in Communication
Yearbook 19, him. 187-227.
Voltmer, K. (2000) ' Constructing political reality in Russia. Izvestya - between old and new journalistic
practices; European Journal of Communication, 15 (4): 469-500. von Feilitzen, C. (1976) 'The functions served by
the mass media; dalam J.W Brown (ed.), Children and Television, him. 90-115. London: Collier-Macmillan. von
Hasebrink, U. (1997)' In search of patterns of individual media use, dalam U. Carlsson (ed.), Beyond Media
Uses and Effects, him. 99-112. Goteborg: University of Goteborg, Nordicom.
Vyncke, P (2002) 'Lifestyle segmentation; European Journal of Communication, 17 (4): 445-464. Wackwitz, L.
(2002)' Burger on Miller: obscene effects and the filth of the nation’, Journal of Communic
Communication,
ation, 52 (1): 196-210.
Waisbord, S. (1998)' When the cart of media is put before the horse of identity: a critique of technology-
centered views on globalization; Communication Research, 25 (4): 377-398.
Waisbord, S. (2000) Watchdog Journalism in South America. New York: Columbia.
Walgrave, S. dan van Aelst, P. (2006) 'The contingency effect of the mass media's agenda setting; Journal of
Communication, 56 (1): 88-109.
Wall, M. (2005) ' Blogs of war', Journalis
Journalism,
m, 6 (2): 153-72.
Wallis, R. dan Baran, S. (1990) The World of Broadcast News. London; Routledge.
Walzer, M. (1992) ' The civil society argumen
argument;
t; dalam C. Mouffe (ed.), Dimensions of Radical Democracy. London:
Verso.
Warner, W.L. dan Henry, W.E.
W. E. (1948)’The radio day-time serial: a symbolic analysis; Psychological Monographs,
37 (1): 7-13, 55-64.
Wartella, E., Olivarez, A. dan Jennings, N. (1998) 'Children and television violence in the United States', dalam
U. Carlsson dan C. von Feilitzen (ed.), Children and Media Violence, him. 55 62. Goteborg: University of
Goteborg.
Wasko, J. (2004) 'The political economy of communication1, dalam J.D.H. Downing,
Downing, D. McQuail, P. Schlesinger
dan E. Wartella (ed.), The Sage Handbook of Media Studies, him. 309-330. Thousand Oaks, CA: Sage.
Wasserman, H. dan Rao, S. (2008) 'The glocalization of journalism ethics; Journalism, 9 (2): 163-181.
Watson, N. (1997)' Why we argue about virtual community: a case study of the Phish. Net fan community;
dalam S.G. Jones (ed.), Virtual Culture, him. 102-132. London: Sage.
Weaver, D. (1996) 'Journalists in comparative perspective; The Public, 3 (4): 83-91.
Weaver, D. (ed.) (1998) The Global Journalist. Cresskill, NJ: Hampton.
Weaver, D. dan Wilhoit, C.G. (1986) The American Journalist. Bloomington, IN: University of Indiana Press.
Weaver, D. dan Wilhoit, C.G. (1992) 'Journalists: who are they really?’, Media Studies Journal, 6 (4): 63-80.
Studies Journal,

R-44 Referensi

Weaver, D. dan Wilhoit, C.G. (1996) The American journalist in the 1990s: US News People at the End of an Era.
Mahwah, NJ: Erlbaum.
Weber, M. (1948) ’Politics as a vocation; dalam H. Gerth dan C.W Mills (ed.), Max Weber: Essays. London:
Routledge and Kegan Paul.
Weber, M. (1964) Theory of Social and Economic Organization. Ed. T Parsons. New York: Free Press.
Webster, F. (1995) Images of the Information Society. London: Routledge.
Webster, E (2002) ’The information society revisited’, dalam L.A. Lievrouw dan S. Livingstone (ed.), The
Handbook of New. Media, him. 22-33. London: Sage.
Webster, J.G. (2005) ’Beneath the veneer of fragmentation—TV audience polarization in a multi-channel
world1, Journal of Communication, 55 (2): 366-382.
Communication,
Webster, J.G. dan Lin, S.-F. (2002) ’The internet audience: web use as mass behavior’, Journal of
of Broadcasting
Broadcasting and
Electronic Media, 46 (1): 1-12.
Webster, J.G. dan Phalen, RE (1997) The Mass Audience: Rediscovering the Dominant Model. Mahwah, NJ:
Erlbaum.
Webster, J.G. dan Wakshlag, J.J. (1983) A theory of TV program choice; Communication Research, 10
(4) : 430-446.
Weibull, L. (1985) 'Structural factors in gratifications research’, dalam K.E. Rosengren, P. Palmgreen dan L.
Wenner (ed.), Media Gratification
Gratification Research Perspectives,, him. 123-147. Beverly Hills, CA: Sage.
Research:: Current Perspectives
R-45 Referensi

Westerstahl, J. (1983) 'Objective news reporting', Communication Research, 10 (3): 403-424.


(1983) 'Objective
Westerstahl, J. dan Johansson, F. (1994) 'Foreign news: values and ideologies', European Journal of
Communication, 9 (1): 71-89.
Westley, B. dan MacLean, M. (1957) A conceptual model for mass communication research; Journalism
Quarterly, 34: 31-38.
White, D.M. (1950) 'The gatekeeper: a case-study in the selection of news; Journalis
Journalism Quarterly, 27: 383-390.
m Quarterly,
Wildman, S.S. (1991) 'Explaining trade in films and programs; Journal of Communication,
Communication, 41:190-192.
Wilensky, H. (1964) 'Mass society and mass culture: interdependence or independence? 1 American
Sociological Review, 29 (2): 173-197.
Wilke, J. (1995) Agenda-setting in a historical perspective: the coverage of the American revolution in the
German press (1773-83); European Journal of Communication, 10 (1): 63-86.
Williams, R. (1961) Culture and Society. Harmondsworth: Penguin.
Williams, R. (1975) Television, Technology and Cultural Form. London: Fontana.
Williamson, J. (1978) Decoding Advertisements. London: Boyars.
Wilson, B.J. dan Smith, S. (2002) 'Violence in children's TV programming: assessing the risks; Journal of
of
Communication, 52 (1): 5-35.
Windahl, S., Signitzer, B. dan Olson, J. (2007) Using Communication Theory, 2nd edn. London: Sage.
Winseck, D. (2002) 'Wired cities and transnational communications', dalam L.A. Lievrouw dan S.
Livingstone (ed.), The Handbook of New Media, him. 393-409. London: Sage.
Winston, B. (1986) Misunderstan
Misunderstanding
ding Med
Media.
ia. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Wober, J.M. (1978) 'Televised violence and the paranoid perception: the view from Great Britain; Public
Opinion Quarterly, 42: 315-321.
Wodack, R. dan Meyer, M. (ed.) (2001) Methods of Critical
Critical Discourse Analysis. London: Sage.
Analysis.
Wolfenstein, M. dan Leites, N. (1947) An analysis of themes and plots in motion pictures; Annals of the
the
American Academy
Academy of Political
Political an
andd Social Sc
Sciences, 254::41-48.
iences, 254
Wolfgram, M.A. (2008) 'Democracy and propaganda: Nato's war in Kosovo; European Journal of
Communication, 23 (2): 153-171.
Womack, B. (1981) Attention maps of ten major newspapers; Journalis
Journalism Quarterly, 58 (2): 260-265.
m Quarterly,
Woodall, G. (1986) 'Information processing theory and television news', dalam J.P. Robinson dan M. Levy
(ed.), The Main Source, him. 133-58. Beverly Hills, CA: Sage.
Wright, C.R. (1960) 'Functional analysis and mass communication; Public Opinion Quarterly, 24: 606- 620.
Wright, C.R. (1974) Functional analysis and mass communication revisited , dalam J.G. Blumler dan E. Katz
(ed.), The Uses of Mass Communications, him. 197-212. Beverly Hills, CA: Sage.
Wu, H.D. (2003) 'Homogeneity around the world? Comparing the systemic determinants of international
news flow between developed and developing countries', Gazette, 65 (1): 9-24.
Wu, H.D. (2007) A brave new world for international news? Exploring the determinants of foreign news on
US websites', International Communication Gazette, 69 (6): 539-552.
Wu, H.D., Sylvester, J. dan Hamilton, J.M. (2002) 'Newspaper provides balance in Palestinian/ Israeli
reports', Newspaper Research journal, 23 (2): 6-17.
Wu, W, Weaver, D., Owen, D. dan Johnstone, J.W.L. (1996) 'Professional rules of Russian and US journalists: a
comparative study; Journalis
Journalism
m and Mass C
Commun
ommunication
ication Quarterly, 73 (3): 534-548.
Quarterly,
Yang, J. (2003) ' Framing the Nato airstrikes on Kosovo across countries: comparison of Chinese and US

newspaper coverage', Gazette, 63 (3): 231-249.


Yay, H„ Ranasubranuanian, S. dan Oliver, M.B. (2008) 'Cultivation effect on quality of life indicators; Journal of
Broadcasting and Electronic Media, 52 (2): 247-267.
Yin, J. (2008) 'Beyond the four theories of the press: a new model of the Asian and the world press', journalism
Communication Monographs, 10 (1): 4-62.
Yoon, Y (2005) 'Legitimacy, public relations and media access; Communication Research, 32 (6): 762- 793.
Zaller, J.R. (1997) A model of communication effects at the outbreak of the Gulf War', dalam S. Iyengar dan R.
Reeves (ed.), Do the Media Govern?, him. 296-311. Thousand Oaks, CA: Sage.
Zeno-Zencovich, V. (2008) Freedom of Expression. London: Routledge.
Zillmann, D. (1980) Anatomy of suspense’, dalam PH. Tannenbaum (ed.). The Entertainment Functions of the
Media. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum.
Zillmann, D. (2002) ' Exemplification theory of media influence’, dalam J. Bryant dan D. Zillmann (ed.), Media
Effects, 2nd edn, him. 19-42. Hillsdale, NJ: Erlbaum.
Zillmann, D. dan Brosius, H.B. (2000) Exemplification in Communication. Mahwah, NJ: Erlbaum.
Zillmann, D. dan Bryant, J. (1994) ’Entertainment as media effect' dalam J. Bryant dan D. Zillmann (ed.), Media
Effects, 1st edn, him. 447-459. Hillsdale, NJ: Erlbaum.
Zoch, L.M. dan van Slyke Turk, J. (1998) 'Women making news: gender as a variable in source selection and
use, 75 (4): 776-788.
R-50 Referensi
Indeks
Abu Ghraib, 269 Ad hoc, 243 AFP, 279 Aguado, Berger, 17,110
260 Akdeniz, 262 Bermejo, 245
Akuntabilitas, 207, 209, 210, 227-229, 231, 235 Bertrand, 190
Akuntabilitas media, 228 Bias konten pesan, 138
Akuntabilitas pasar, 233, 237 Biaya tetap, 248, 249
Al-Jazeera, 281 Biaya variabel, 248
Alexis de Tocqueville, 186 Biltereyst, 281, 284, 286, 287, 300
Allocution, 159,161 Bird, 136
Altschull, 195, 250 Blanchard, 187, 194 Blumler, 181,
Amandemen Pertama, 167 197, 200 Bogart, 135 Bordewijk,
Amerikanisasi, 36 159,161 Bourdieu, 129 Boyd, 279,
Analisis multivarian, 22 289, 299 Braman, 45, 169, 263
Anderson, 164 Bramson, 60 Brants, 202 budaya
Andersson, 130 populer, 227 Burgelman, 266
Ang, 133, 134, 142, 171
Antarpribadi, 17, 18 C.W. Mills, 99 C. Wright Mills, 104
Arcetti, 292, 300 Carey, 99,122, 144, 148, 170
Areopagitica, 30, 186 Carlsson, 290
Associated Press, 279 Castells, 19, 23, 155, 168, 171, 174, 262
Associated Press Television News, 279 Chadha, 279, 299 Chalaby, 279, 281,170
Atkinson, 197
Avigdor, 114, 138
Bagdikian, 105 Baker, 187, 251,255,270 Bakker,
247 Ball, 56, 72, 83, 247 Bandwidth, 163 Bar, 263,
264 Bardoel, 197, 206,261 Barret, 279, 299
Barthes, 138
Baym, 157, 159, 164, 175
BBC, 281, 292
Becker, 213
Bell, 45, 172
Beniger, 164, 170
Bennet, 223
Bennett, 268, 269
Bentivegna, 166, 175

1-2 Indeks

Chang, 280, 292, 300 Dorfman, 284


Check and balance, 251 Downes, 158

Ch
Chom
omsk
sk , 105,
105, 106,1
106,119
19 Do
Downe
wne , 16
1677
Christia
Christian,
n, 196 Downin , 35
Downin
Clark, 87,98 DPA, 279

Clien
Clienteli
telisme
sme,, 26
2688 Du a ne
ne,, 294
CNN,
CNN, 281
281,, 286
286,, 288,
288, 292,
292, 294 D sto ia
ia,, 170
Cohen, 114, 138
Coleman, 165,166 ECHR, 260
Collins, 154, 252, 257, 263 Edmund Burke, 186
Connel, 136 Efek media, 87, 97,105,108, 110
Cook, 200 Efek spiral, 255

countercultural, 202 Eisenstein, 113


Craft, 201 Ekspresi, 86, 102
Crogan, 167 Elliot, 16
Curran, 198, 200, 215 Ellis, 138,139

Curtis, 112, 115 Enli, 197, 261


Cyberspace, 165,168 Entman, 215
Enzensberger, 43, 202
d’Haenens, 197, 206, 261
Dagron, 35 Faktualitas, 221, 223
Dahlberg, 154, 166 Falllows, 200

Dahll ren, 104


Dah 104,, 200 Fan
Fandom
dom,, 164
Daily Me, 173 Febvre, 28, 29

Daniel Bell, 114 Feintuck, 227, 234, 237


Davis, 167 Fengler, 235
Dayan, 38,109 Fenton, 167
de facto, 253, 262 Fer uson
uson,, 114, 286, 300, 130, 133, 145
DeFleur, 56, 72, 247 Fiske, 128,129,144
de Mue, 116 Foerstal, 169
Dennis, 228, 232, 234 Fortunati, 157, 175
de Ridder, 253 Four Theories of The Press, 267
Desa lob
lobal,
al, 275 Fra mentasi
mentasi,, 99
De Smaele, 195 Framing, 56, 111
Dewan pers, 190 Frith, 42
Di ital divi
divide,
de, 107 Fu
Fuchs,
chs, 106
Dimitrova,
Dimitrova, 270 Fun , 195
Dimmick, 252
Disagregasi,
Disagregas i, 252 G.H. Mead, 58, 71
Docherty, 142 Gabriel Tarde, 87

Gallagher, 132, 133 Galley, 167

Indeks 1-3

Galtung, 291 Hemanus, 223


Gamble, 269 Henry Luce, 187
Gaziano, 251 Herbert Marcuse, 126
Gerbner, 290 Herman, 105, 106, 119
Giddens, 154 Hermes, 131, 132, 134, 145, 171
Giffard, 290 Gitlin, Hills, 276
130, 142 Hjarvard, 90
Glasser, 194, 201, 205, 216, 217 Globalisasi, 88, 117, Hocking, 188
273-278, 281, 282, 284-287, 289, 292, 294-296, 298, 299 Hodges, 228
Goffman, 132, 137 Hoffman, 197
Golding, 14, 105, 118, 130, 145, 283, 285 Hoffmann, 234
Horkheimer, 126
Gouldner, 113 Hoskins, 284, 294
Gramsci, 105
Green, 170 Huesca, 35
Gringras, 45 Hughes, 34

Gripsrud, 130,198 Hutchins, 187, 188

Gromback, 168
ICANN, 298 Idealisme, 87
Gronbeck, 195
Identitas, 9, 58, 59, 63, 65, 76, 150, 153, 154, 162, 164
Grossberg, 141, 142
Ien Ang, 142
Guardian, 250
Imperialisme media, 284-287 Innis, 137, 138 Institusi
Gumucio, 35
media, 28 Interaksi mediasi semu, 91 Interaktivitas,
Gunaratne, 27, 51, 195, 206 Gunther, 195, 266
153
Gurevitch, 127 Gutenberg, 27, 51
International Telecommunication Union, 297

Haas, 201 International Telegraph Union, 297

Habermas, 198, 199, 205, 220 Intrakelompok, 20

Hackett, 223 Intrapersonal, 19

Hafez, 192 Iosifides, 262


Halavais, 155 Ishikawa, 131

Hallin, 196, 206, 267 Ithiel de Sola Pool, 167

Hamelink,168, 263, 290, 296 Ito, 291,114

Hanno Hardt, 97
Hardt, 144, 126, 127,186
Hargittai, 171
Harris, 285,191
Hartley, 138
Harvey, 141
Hassan, 117, 118
Hatchen, 195
Held, 180, 181

1-4 Indeks

Jacques Lacan,
Lacan, 132 164,166 Kondisi posmodern, 141 Konsentrasi
Jakubowicz,
Jakubowicz, 268 horisontal, 252, 253 Konsentrasi vertikal, 252
Janies Carey,
Carey, 122 Konstruksionisme sosial, 110, 111 Koshevar, 291
Jameson,, 142
Jameson Kraidy, 286 Krisis sosial, 36 Kuhn,193 Kulturalis,
Jankowski, 163
163 13,14 Kiing, 32,45, 252, 270 Kyodo, 279
Janowitz, 98 Jansen,
169 Jansson, 130 Jay, Lacy, 252, 256 Laitila,
126 190,191,206 Langer,
Jean Baudrillard,
Baudrillard, 143 136 Lauristin, 200
Jensen, 287 John
John Layanan publik, 242, 261, 264
Downing, 202 John Lazarsfeld, 13 Lehmann,
Milton, 30,186 Johns, 114,138 Leiss, 114
29 Leo Lowenthal, 126
John Stuart
Stuart Mill, 186 Lerner, 283, 101
Jones, 164 Jowett, 37 Lessig, 45, 168,174
Jurgen Habermas,
Habermas, 198 Ju
Jurnalisme
rnalisme Lewis, 141
informasi, 201 Jurnalisme Libertarianisme-cyber, 166
percakapan, 201 Jurnalisme Lichtenberg, 223 Liebes, 286
publik, 201, 202, 203 Lievrouw, 43, 44, 51, 150, 175
Lindlof, 158, 163, 164
Kalyanaraman, 151, 152, 244
Kanibalisme simbolik, 295
Kaplan, 132,141 Karl Marx,
105 Kats, 16
Katz, 286, 38, 109
Kavanagh, 200
Kavoori, 279, 299
Kebebasan, 210-216, 218-220, 223, 226, 228, 233, 235
Kebebasan komunikasi, 173
Kecukupan-diri, 282 Kekuatan
semiotika, 286 Kepanikan
moral, 59
Kepentingan publik, 177, 178, 180-185, 188, 189, 196-
198, 200, 204 Kesalingtergantungan, 87, 88
Kesetaraan, 210, 214, 215, 217, 219, 220
Kiousis, 158 Klotz, 45 Kodeks, 28, 29
Komunikasi massa, 3-9,11-15,17,19- 22,53,55-58, 60-
62, 64, 67-82 Komunikasi pemberontakan, 202
Komunitarian, 166 Komunitarianisme, 202, 203
Komunitas semu, 164 Komunitas virtual, 163,

Indeks 1-5

Linton, 37 Media sentris, 13, 21, 22


Livingstone, 43, 51, 150,175 Mediasi, 9, 89-91
Loisen, 255 Long, 132 Mediatisasi, 157
Louis Althusser, 105 Luckman, Melody, 106, 115
110 Luders, 158 Luhmann, 108 Mendelsohn, 108
Lull, 286 Luther, 29 Lyotard, Mercuse, 126
142 Merton, 107
Meyer, 294
Machill, 245, 254 Machin, 279, Mill, 186
293 MacIntyre, 203 MacLean, Mills, 99, 104
93, 94 Madonna, 129 Maisel, Mirus, 284, 294
117 Model, 6
Makna, 86, 89, 92, 108, 111 Model kebebasan pers, 260 Model konvergen, 167
Mancini, 192, 196, 206, 267 Model mediterania, 260 Model penyiaran, 261
Mansell, 107 Marcuse, 105 Model perwalian, 234 Model transportasi, 167
Marika Luders, 149 Martin, 28, Mohamafi, 285 Monopoli alami, 262 Monopoli
29, 252, 256 Marvanyi, 290 natural, 254.
Massey, 201 Moorti, 295
Masyarakat sentris, 13, 14,21 Morley, 127,130,133,141
Masyarakat sipil, 165,166 Morris, 158, 174
Materialis, 13, 14 Materialisme, Morrison, 181
87 Matheson, 193 Mattelart, Mowlana, 277, 282
284,117, 171 Max Horkheimer, MTV, 281, 286, 288, 294
126 Max Weber, 141 Mugham, 195, 266
Mayoritarian, 181 Mazhab Murdock, 14, 105, 106, 118, 253, 255
Birmingham, 127 Mazhab
Toronto, 112, 155 McBride, 290
McChesney, 105, 106,171,187
McCormack, 99
McDevitt, 202 McGuigan,
124,130 McLuhan, 275, 87,
113, 137, 138 McManus, 135,
256 McMillan, 158
McQuail, 16, 17, 23, 195, 205,
206, 261, 264, 265, 271
McRobbie, 134
Media-sentris, 112, 118
Media baru, 25, 26, 43, 44, 47,
49
Media massa, 1, 4-9,11-13, 15,
16,18,19, 21, 23

1-6 Indeks

MySpace, 106 Rainie, 45, 172

NAFTA, 298 Nancy Ranah publik, 90, 91, 98, 104


Rantanen, 279, 289, 299, 171
Chodorow, 132 Napoli,
Rao, 286
180, 266 Negara periferi,
Rasmussen, 154
277, 278 Negus, 42
Nerone, 193, 194, 203,206 Registrasi, 159, 160, 162, 169

Netiquette, 164 Neuman, Reuters, 279

59, 114 Nilai berita, 283, Revolusi komunikasi, 279, 297

296 Nisbet, 167 Noam, 284 Rheingold, 163,164, 170 Rice, 153,
Nordenstreng, 191-193, 195, 205, 221 155-157 Richard Hoggart, 125 Riem,
Norris, 167, 171 197, 234 Robert Hutchins, 187 Robert
Park, 58, 71 Roberts, 45, 263
Objektvitas, 220 Ogan, 158, 174 Robillard, 243 Roe, 294
Olmstead, 280 Olson, 274 O Siochru, Rogers, 98, 102, 112 Rokeach, 56, 72,
297, 299 Ostini, 195 83, 247 Rorty, 203 Rosenberg, 126
Rosengren, 86, 89, 118, 290, 291
Palmer, 279 Rossler, 116, 148 Rothenbuhler, 252
Papathanossopolous, 294 Paralelisme, Roudikova, 268, 270
268 Pasar iklan, 245 Pasar konsumen,
245, 246 Pasca-demokratisasi, 195
Paterson, 279 Patriot Act, 168
Patterson, 200 Pauwels, 255 Peacock,
248
Pendekatan behavioral, 21 Pendekatan
struktural, 21 Pengawasan, 100,104,108
Penjajahan budaya, 88, 96 Pers
pelopor, 33 Peter, 158
Picard, 135, 189, 244, 246, 252, 254, 255, 270
Pilar Keempat, 185,186
Playboy, 129 Pool, 284, 260 Portal, 92 Porto,
223
Postmodernisme, 116,130,141-143
Poster, 143, 150, 151
Postman, 165
Postmes, 150
Praktik simbolik, 86
Prasangka, 60

Price, 258
Pritchard, 227
Puppis, 298
Putnam, 98

Quortrup, 156

Indeks 1-7
Ruge, 291 Ryan,223 Tabloidisasi, 34, 135, 136
Tabloidization, 34 Tageszeitung,
Samizdat, 203 Samuel Johnson, 194 Sandel, 203 245
Sandvig, 263, 264 Schatzer, 158, 164 Schement, 112, Tanggung jawab sosial, 177, 188-190, 193, 204
115 Scheufele, 167 Schiller, 284 Schlesinger, 295, 300 Tass, 279 Taylor, 203
Schroder, 131 Schroeder, 32 Schudson, 124, 201 Televisora del Sur, 281
Schwichtenberg, 129 Selwyn, 171 Sensasionalisme, Teori budaya, 15
133 Sentrifugal, 98, 99 Sentripetal, 98, 99 Sepstrup, Teori dependensi, 282
287, 288, 289 Shills, 127 Shoemaker, 102 Siebert, 188, Teori emansipatoris, 202
193, 194, 267 Signitzer, 13 Sinergi, 255, 256 Singer, Teori fungsionalis, 225
193 Singh, 172 Teori kebebasan pers, 185
Sistem media, 242-244, 258, 266, 267, 270, 271 Teori kompleksitas, 156
Sistem media global, 277, 278 Teori komunikasi massa, 240, 250
Sistem totalitarian, 199 Teori komunitarian pers, 203
Siune, 202 Teori kritis, 13, 225
Slevin, 154, 164, 263 Teori liberal, 250
Smythe, 106 Teori libertarian, 194, 196
Sonninen, 190 Teori Marxis, 250
Sosiabilitas, 157, 159 Teori Marxist, 105
Squires, 256 Teori masyarakat sentris, 14
Sreberny, 285, 293 Teori medium, 137
Stamm, 98 Teori modernisasi, 154
Stationers’ Company, 29 Steemers, 261 Steiner, 201 Teori normatif, 15,16,178,182,190,192,196,204-
Stober, 114, 138 Stromback, 270 206,210, 225, 226 Teori operasional, 16 Teori
Stromer, 167 Stuart Hall, 125, 127 otoritarian, 193 Teori pers, 185, 193-196, 202, 204,
Sundar, 151, 152, 244 Sunstein, 58, 205 Teori pers normatif, 196 Teori sosial ilmiah, 15
99, 154, 173, 216 Sussman, 106,171 Theodor Adorno, 126 Thomas Dewey, 58 Thomas
Svennevig, 181 Paine, 186

Thompson, 91, 258 Thussu, 280, 296, 300


Tomlinson, 286, 296 Traber, 191 Trappel,
197 Truman Show, 143 Tuchman, 16
Tunstall, 16, 36, 241, 246, 247, 250, 254, 2
277-280, 293, 300
Turkle, 171
Turner, 159,164
Turow, 280
Turrow, 254
TVCinq, 281

Undang-Undang Komunikasi, 168 UPI,


279

Vaccari, 151,167 Valkenburg, 158

1-8 Indeks

Valparaiso, 274 Van Cuilenburg, 115 van


Cuilenburg, 264 van Dijk, 19 van Kaam,
159, 161 Van Zoonen, 171 van Zoonen,
132, 133 Vartanova, 171 Verhulst, 237,
238, 263, 266 Vladivostok, 274

Waisbord, 172, 213 Wallis, 286


Walter Benjamin, 126 Walzer,
199 Wasko, 106,171
Wasserman, 286 Watanabe,
270 Waterman, 294 Watson,
164 Weaver, 220 Weblog, 193
Webster, 114,115,119
Westley, 93, 94 White, 126
Wildman, 284 Wilhoit, 220
Wilke, 275 Williams, 38, 51
Williamson, 133 Wilzig,
114,138 Windahl, 13
Winseck, 265 Winston, 170
WIPO, 298 Womack, 290

World Television News, 279 World


Wide Web, 148, 151, 171 Wright, 104,
108,225 Wu, 291, 292 Xinhua, 279

Yin, 195 YouTube, 106

Anda mungkin juga menyukai