Anda di halaman 1dari 24

KONSEP KOMODITI: STUDI KOMPARASI PEMIKIRAN KARL MARX,

WEBERIAN DAN EKONOMI ISLAM


Oleh: Abdul Mujib1, Nikmatul Masruroh2

ABSTRAK
Komoditi melahirkan konsumerisme dalam kehidupan. Manusia yang tidak bisa mengontrol
keinginannya, cenderung menghabiskan uang yang dimiliki untuk membeli komoditi secara
berlebihan. Dalam prakteknya, semakin banyak uang yang dimiliki oleh seseorang maka
semakin banyak komoditi yang ingin ia miliki. Baik komoditi tersebut hanya untuk dia
manfaatkan sendiri ataupun ia jual kembali. Masalah komoditi menjadi persoalan menarik
untuk dikaji, dikaitkan dengan pemikiran-pemikiran ekonomi yang hadir kemudian. Menurut
Campbell, komoditi dimaknai sebagai makanan, logam, atau hal lainnya yang memiliki
substansi fisik tertentu dan investor membeli atau menjual barang melalui kontrak berjangka.
Komoditi juga dimaknai sebagai sesuatu yang umumnya belum diolah, baik yang dapat
diproses maupun dijual kembali. Komoditas diperdagangkan di pasar keuangan seperti biji-
bijian, logam dan mineral. Komoditi ini umumnya diperdagangkan dalam jumlah yang besar.
Presston memberikan definisi komoditi sebagai barang curah dan bahan baku seperti biji-
bijian, logam, hewan ternak, minyak, kapas, kopi, gula dan kakao; yang digunakan untuk
menghasilkan produk konsumen. Komoditas dibeli dan dijual di pasar tunai, dan
diperdagangkan di bursa berjangka dalam bentuk kontrak berjangka. Selain itu, Hill
memberikan pengertian komoditi sebagai sesuatu yang digunakan sebagai bahan baku dalam
produksi barang atau jasa lainnya. Kualitas komoditas mungkin sedikit berbeda satu dengan
lainnya. Komoditas yang diperdagangkan di bursa harus memenuhi standar minimum yang
ditentukan yang dikenal dengan standar mutu. Dari berbagai pengertian komoditi yang
dipaparkan, kita bisa menggaris bawahi bahwa komoditi merupakan barang atau jasa yang
bisa diperjual belikan baik di pasar barang maupun barang uang . Pemikiran tentang
komoditi ini, menjadi kajian tidak hanya dari kaum ekonom tetapi juga kaum agamawan.
Karl Marx melalui “Das Kapital” yang ditulisnya mulai menyoal dan berbicara tentang
komoditi. Pandangan Marx tentang komoditi tentu memiliki perbedaan dan persamaan
dengan kaum agamawan. Oleh karena itu, tulisan ini akan mengupas dan membahas
mengenai pemikiran Karl Marx, Weberian dan pandangan Islam terkait konsep-konsep
komoditi.

Kata Kunci: komoditi, Weberian, Das Kapital


LATAR BELAKANG
Saat ini komoditi dalam kehidupan ekonomi menjadi hal yang diperebutkan. Semua
orang melakukan aktivitas ekonomi hanya untuk mendapatkan sebuah komoditi. Komoditi

1
Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ekonomi Syariah IAIN Jember
2
Dosen Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Jember
diperkenalkan oleh kaum kapitalis sebagai suatu hal yang harus dimiliki oleh manusia. Komoditi
diciptakan oleh manusia guna memenuhi kebutuhan manusia itu sendiri. Namun tentu saja,
penciptaan komoditi ini terbatas, sehingga untuk mendapatkannya manusia harus mengorbankan
sesuatu yang berharga miliknya.3
Pada awalnya kita kenal pertukaran antar komoditi sebagai sistem barter, namun sistem
barter tidak efektif dalam proses pertukaran, karena nilai tukar yang seimbang dan nilai guna
antar barang yang tidak sama. Sehingga pada perkembangan berikutnya, barter tidak digunakan
lagi. Pengganti dari model ini adalah hadirnya uang sebagai alat tukar dalam pembelian dan
penciptaan komoditi. Dalam perekonomian yang berbasis komoditi sebagaimana kapitalisme,
uang memiliki peran penting; yaitu: pertama; uang menjadi alat penyederhana rasio jumlah
pertukaran antara berbagai komoditi yang begitu besar. Kedua; uang dapat menjadi piranti
pertukaran komoditi yang bersifat tidak langsung. Uang artinya memiliki peran yang sangat
fleksibel.4
Komoditi melahirkan konsumerisme dalam kehidupan. Manusia yang tidak bisa
mengontrol keinginannya, cenderung menghabiskan uang yang dimiliki untuk membeli komoditi
secara berlebihan. Dalam prakteknya, semakin banyak uang yang dimiliki oleh seseorang maka
semakin banyak komoditi yang ingin ia miliki. Baik komoditi tersebut hanya untuk dia
manfaatkan sendiri ataupun ia jual kembali. Masalah komoditi menjadi persoalan menarik untuk
dikaji, dikaitkan dengan pemikiran-pemikiran ekonomi yang hadir kemudian. Menurut
Campbell, komoditi dimaknai sebagai makanan, logam, atau hal lainnya yang memiliki
substansi fisik tertentu dan investor membeli atau menjual barang melalui kontrak berjangka.
Komoditi juga dimaknai sebagai sesuatu yang umumnya belum diolah, baik yang dapat diproses
maupun dijual kembali. Komoditas diperdagangkan di pasar keuangan seperti biji-bijian, logam
dan mineral. Komoditi ini umumnya diperdagangkan dalam jumlah yang besar (David L. Scott).
Presston memberikan definisi komoditi sebagai barang curah dan bahan baku seperti biji-bijian,
logam, hewan ternak, minyak, kapas, kopi, gula dan kakao; yang digunakan untuk menghasilkan
produk konsumen. Komoditas dibeli dan dijual di pasar tunai, dan diperdagangkan di bursa
berjangka dalam bentuk kontrak berjangka. Selain itu, Hill memberikan pengertian komoditi

3
Simon Stander, Chapter 3 The Commodity, in Paul Zarembka (ed.) Why Capitalism Survives Crises: The Shock Absorbers
(Research in Political Economy, Volume 25) Emerald Group Publishing Limited. 2009, 71 – 90
4
F. Moseley, Marx’s Theory of Money: Modern Appraisals, (January 2005), 1–242.
https://doi.org/10.1057/9780230523999
sebagai sesuatu yang digunakan sebagai bahan baku dalam produksi barang atau jasa lainnya.
Kualitas komoditas mungkin sedikit berbeda satu dengan lainnya. Komoditas yang
diperdagangkan di bursa harus memenuhi standar minimum yang ditentukan yang dikenal
dengan standar mutu. Dari berbagai pengertian komoditi yang dipaparkan, kita bisa menggaris
bawahi bahwa komoditi merupakan barang atau jasa yang bisa diperjual belikan baik di pasar
barang maupun barang uang.5
Pemikiran tentang komoditi ini, menjadi kajian tidak hanya dari kaum ekonom tetapi juga
kaum agamawan. Karl Marx melalui “Das Kapital” yang ditulisnya mulai menyoal dan berbicara
tentang komoditi. Pandangan Marx tentang komoditi tentu memiliki perbedaan dan persamaan
dengan kaum agamawan. Oleh karena itu, tulisan ini akan mengupas dan membahas mengenai
pemikiran Karl Marx, Weberian dan pandangan Islam terkait konsep-konsep komoditi.

PEMIKIRAN KARL MARX TENTANG KOMODITAS


Komoditas oleh Karl Marx dimaknai sebagai barang yang bisa diperjual belikan di pasar.
Dalam pengertian ini, Marx memberinya makna sebagai apapun yang diproduksi dan untuk
diperjualbelikan itu merupakan komoditas. Tidak nilai guna murni yang dihasilkan namun hanya
nilai jual, diperjualkan bukan digunakan. Maka dari itu menurut Marx, perlu dilakukan
komodifikasi, yaitu proses memberikan nilai ekonomis pada sesuatu yang tidak memiliki nilai.
Dalam hal ini nilai pasar yang menentukan dan menggantikan nilai-nilai sosial lainnya. Karena
jika berada di pasar maka komoditas tidak hanya penting dan berguna tetapi juga berdaya jual.6
Dalam karyanya Kapital jilid I, Karl Marx jelaskan tentang apa itu komoditi. Karena
komoditi merupakan bentuk dasar dari produksi kapitalis, sehingga menjadi sangat penting untuk
menjelaskannya lebih dahulu. Menurut Marx, komoditi adalah benda di luar kita, sesuatu yang
sifat-sifatnya dengan satu sama lain cara memenuhi kebutuhan manusia. Komoditi dapat berupa
barang dan jasa, yang artinya sudah ribuan tahun diproduksi oleh manusia. Nilai dari komoditi
ini menurut Marx dapat dilihat dari dengan dua cara, yaitu pertama sebagai nilai pakai karena
barang dan jasa digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Nilai pakai ini berwujud adalah

5
S . L . T .McGregor . Consumerism, The Common Good and the Human Condition [ Feature Article ]. Journal of Family and
Consumer. 2007, 99, 15–22. https://doi.org/10.1007/s12275-016-5628-4
6
J. C. O Brien, The Chiaroscuro of Perfection , 2010, 2–66.
ketika komoditi tersebut dipakai atau digunakan, sehingga barang dan jasa dapat dijual karena
manusia menggunakan nilai pakai atau nilai guna dari barang tersebut.
Kedua; sebagai nilai tukar. Dalam komoditi memiliki nilai tukar yakni sebagai hubungan
kuantitas, sebagai proporsi atau jumlah yang dipakai untuk mempertukarkan nilai pakai komoditi
tertentu dengan nilai pakai komoditi jenis lainnya. Sebagai contoh, baha satu komoditi sepeda
dapat dipertukarkan karena memiliki nilai yang sepadan dengan 1 komoditi radio atau 10
komoditas kaos. Artinya dalam setiap komoditi pasti memiliki nilai ataupun nilai pakainya
berbeda-beda, karena adanya nilai dalam setiap komoditi tersebutlah yang membuatnya dapat
dipertukarkan dengan komoditi yang lainnya atas dasar ekuivalen.
Dari penjelasan di atas bisa dikatakan bahwa dalam kapitalis, komoditas bisa diartikan
modal berupa barang. Komoditas bisa dimaknai sebagai kapital. Hadirnya uang, sebagai alat
tukar bagi komoditas, semakin banyak uang semakin banyak komoditas yang bisa dihasilkan dan
dijual. Sehingga dalam hal ini Marx membagi kelompok manusia menjadi dua (2)7, yaitu:
Pertama; kelompok kaum kapitalis, yaitu kelompok pemegang modal, kelompok yang
menguasai komoditas lebih banyak
Kedua; kelompok kaum buruh, yaitu kelompok yang tidak memiliki modal,sehingga penguasaan
terhadap komoditas sangatlah rendah.
Dalam teorinya di buku “Das Kapital”, dikatakan perlu dilakukan akumulasi kapital
untuk mengetahui apakah komoditas yang kita beli sesuai dengan adanya nilai tukar dan nilai
guna. Proses akumulasi modal berasal dari sifat nilai lebih, yakni pertama, reproduksi sederhana
yang fokus pada cara keberlanjutan hubungan sosial kapitalis yang diciptakan ulang oleh buruh
yang diupah.8 Kedua, konversi dari nilai lebih ke dalam kapital, yang fokus pada cara dimana
nilai lebih digunakan untuk mengakumulasi kapital.9
Dalam proses produksi yang sederhana, sebuah komoditas ditukar dengan komoditas lain.
Alat dalam pertukaran tersebut adalah uang (commodity-money-commodity). Sementara itu,

7
Terrence, McDonough, The Marxian Theory of Capitalist Stages, in Paul Zarembka (ed.) Transitions in Latin
America and in Poland and Syria (Research in Political Economy, Volume 24), Emerald Group Publishing Limited,
2007, 241 - 280
8
T. Camarinha Lopes, & Serra de Araujo, E. (2013). Marx and Marini on Absolute and Relative Surplus Value.
International Critical Thought, 3(2), 165–182. https://doi.org/10.1080/21598282.2013.787272
9
Alfredo, Saad-Filho, Capital Accumulation And The Composition of Capital, in Paul Zarembka (ed.) Marx's
Capital and Capitalism; Markets in a Socialist Alternative (Research in Political Economy, Volume 19) Emerald
Group Publishing Limited, 2001, 69 - 85
proses akumulasi kapital, komoditas justru sarana untuk menghasilkan uan yang lebih besar
(money-commodity-money) atau dalam rumus yang dibuat Marx: M-C-M’ dimana M’ merupakan
pelipatgandaan uang.10
Pelipatgandaan kapital ini diperoleh dari nilai lebih yang diperoleh dalam proses
produksi. Nilai lebih adalah keuntungan yang diperoleh kapitalis dalam proses produksi.
Penggunaan nilai lebih sebagai kapital atau pengubahan kembali nilai lebih menjadi kapital
dinamakan akumulasi modal. Sehingga kapitalis memiliki peluang untuk melipatgandakan
kapital. Menurut Marx; nilai lebih berasal dari dua hal 11; pertama; constant capital (kapital
konstan atau tetap) yaitu adalah alat-alat produksi dan bahan produksi yang dimiliki dan
disediakan kapitalis untuk proses produksi, seperti mesin produksi, bahan mentah, dan lain-lain.
Kapital konstan tidak mengalami perubahan kuantitatif dari nilai dalam proses produksi.
Kedua;variabel capital (kapital variabel) adalah bagian alat produksi yang diwakili oleh tenaga
kerja yang dalam proses produksi mengalami perubahan nilai.

Komoditas dan Fetishisme


Sebelum beranjak lebih jauh pada produksi nilai lebih dan dampak akumulasi kapital,
menarik untuk mengetahui konsep teori nilai kerja Marx. Menurut Marx, ada dua nilai yang
terkait dengan komoditas, yakni nilai guna dan nilai tukar. Nilai guna adalah nilai dari kegunaan
atau fungsi dari sebuah barang. Sedangkan nilai tukar adalah nilai yang ditambahkan pada
sebuah barang di luar fungsi atau kegunaannya. Karena berada di luar atau independen dari nilai
guna, maka nilai tukar, menurut Marx, hanya bisa dibandingkan dengan yang lainnya lewat
waktu kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah barang. Nilai tukar ini merupakan
kekhasan dari hubungan sosial kapitalis.
Jadi dalam teori nilai kerja, Marx menekankan bahwa nilai komoditas ditentukan oleh
waktu kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan komoditas tersebut. Menurut Turner (1981),
Marx menyimpulkan teori nilai kerja dalam lima poin, yakni: perbedaan dari “kerja yang
berguna” tidak dapat diperbandingkan. Ukuran dari nilai tukar ditentukan oleh kuantitas kerja

10
T. Lewellen, The Anthropology of Development and Globalization: From Classical Political Economy to
Contemporary Neoliberalism: American Anthropologist. https://doi.org/10.1525/aa.2006.108.1.240
11
T.H.E Determination, & Constant, O. F. The Determination of Constant Capital, (2005), 1–23.
seperti diindikasikan dengan durasi jam, hari atau minggu. Marx menyebut kuantitas ini sebagai
“kerja rata-rata sederhana.”, keterampilan kerja dihitung hanya sebagai kerja yang diintensifkan
atau kerja yang digandakan, nilai komoditas berbeda menurut ketersediaan teknologi. Marx
menekankan nilai komoditas ditentukan oleh waktu kerja yang diperlukan untuk
menghasilkan barang di bawah kondisi normal dari waktu produksi, di bawah kapitalisme, kerja
itu sendiri adalah komoditas yang memiliki nilai tukar. Waktu kerja diperlukan untuk produksi,
dan konsekuensinya, reproduksi dari barang, dan fetishisme komoditas. Ini terjadi ketika
masyarakat percaya bahwa produk yang mereka hasilkan memiliki atribut manusia yang
membuatnya mampu berinteraksi dengan masyarakat.
Selanjutnya dalam bukunya Marx melanjutkan dengan ide sebuah komoditi lahir dan
berubah menjadi sesuatu melampaui penginderawian. Misalnya saja “kayu” yang dibentuk
menjadi meja. Tidak hanya berhenti menjadi meja, tetapi meja tersebut berhubungan dengan
komoditas lain. Produk tersebut seolah-olah otonom. “Saya menyebut ini fetishisme yang
melekatkan dirinya sendiri pada produk kerja segera setelah ia diproduksi sebagai komoditas,
dan oleh karena itu tak dapat dipisahkan dari produksi komoditas.”12

Produksi Nilai Lebih dan Keruntuhan Kapitalisme


Dalam masyarakat kapitalis, proletariat menjual tenaga kerjanya untuk kapitalis yang
memiliki alat produksi. Dengan demikian produksi dari nilai lebih terletak pada fakta bahwa
proletariat dipaksa bekerja lebih lama dari yang diperlukan untuk memperoleh nafkah 13 (Turner,
1981). Marx menghitung nilai lebih dari rasio nilai lebih terhadap kapital variabel (s:v) karena
menurutnya hanya variabel inilah yang akan mengalami perubahan nilai dalam proses produksi.
Jika terjadi peningkatan pada nilai lebih sementara kapital variabel tetap maka ini yang
oleh Marx disebut absolute surplus value (nilai lebih absolut). Sementara jika kapital variabel
mengalami penurunan, Marx menyebutnya relatif surplus value (nilai lebih relatif)14. Dalam
12
David NormanSmith, The Spectral Reality Of Value: Sieber, Marx And Commodity
Fetishism, In Paul Zamreka (ed), Marz Capital and Capitalism; Market in Socialist
Alternative, (Research In Political Economy, Vol.19) Emerald group Publishing (2001), 47-
66.
13
Belum ditemukan
14
Cipolla, F. P. The Mechanism of Relative Surplus Value. Review of Radical Political Economics, 50(1), (2018),
116–135. https://doi.org/10.1177/0486613416671045
kedua jenis nilai lebih tersebut, kapitalis sama-sama diuntungkan. Pertama, nilai lebih
didapatkan dari perpanjangan waktu kerja dari para buruh. Semakin banyak waktu kerja, maka
semakin banyak barang yang dihasilkan. Sedangkan pada yang kedua, meskipun jumlah tenaga
kerja berkurang dan investasi diberikan lebih besar pada alat produksi (mesin produksi
misalnya), tapi kerja buruh diintensifkan supaya lebih produktif.
Peningkatan produktifitas ini dilakukan dengan dua cara, yakni mengubah organisasi
proses produksi dan mengaplikasikan teknologi untuk proses produksi (Turner, 1981). 15 Namun
Marx meramalkan proses akumulasi kapital ini nantinya akan memberi jalan bagi kejatuhan
kapitalis itu sendiri. Karena ketika proporsi nilai lebih diinvestasikan ke dalam mesin produksi
(kapital konstan) lebih tinggi dibanding investasi untuk tenaga kerja (kapital variabel) maka
keuntungan dipastikan akan jatuh.
Mesin akan menggantikan tenaga manusia dan pengangguran akan meningkat. Hal ini
akan menciptakan kesadaran kelas dan memicu perjuangan kelas. Kapitalisme runtuh dan akan
digantikan oleh komunisme, struktur masyarakat baru yang lebih manusiawi dimana alat
produksi akan dimiliki secara komunal dan komoditas hanya didasarkan pada nilai guna.16
Salah satu teori menarik yang juga merupakan antitesis dari konsep kapitalis tentang uang
adalah komentar dari Karl Marx yang sangat berguna tentang peran revolusioner uang.
Menurutnya kapitalis terlalu mudah untuk mulai memandang dunia secara berbeda dan lebih
sempit, hanya dari sudut pandang “ mencari uang” ketimbang “memanfaatkan barang”. Marx
mengklaim bahwa kapitalis telah kehilangan tujuan dasar dari aktifitas ekonomi berupa -
menghasilkan dan mempertukarkan barang- dengan memfokuskan uang sebagai awal dan akhir
aktivitas mereka. Uang seakan-akan Tuhan, karena terasa tanpa uang manusia tidak akan
mendapatkan komoditas apapun (Julia, 2015).17 Uang dalam fungsinya sebagai penyimpan nilai
(store of value) adalah cara mengubah daya beli dari masa kini ke masa depan. Dalam fungsi ini
uang dimaksudkan bahwa orang yang mendapatkan uang kadang tidak mengeluarkan seluruhnya
dalam satu waktu, tetapi ia sisihkan sebagian (pen. ditabung) untuk membeli barang dan jasa
yang ia butuhkan di masa yang akan datang, atau disimpan untuk hal-hal yang tidak terduga.18

15
Belum ditemukan
16
T. Camarinha Lopes, & E. Serra de Araujo, Marx and Marini on Absolute and Relative Surplus Value.
International Critical Thought, 3(2), (2013), 165–182. https://doi.org/10.1080/21598282.2013.787272
17
Belum ditemukan
18
R. T. Gray, Hypersign, Hypermoney, Hypermarket: Adam Müller’s Theory of Money and Romantic Semiotics.
New Literary History, (31), (2000), 295–314. https://doi.org/10.2307/20057604
I. PEMIKIRAN WEBERIAN TENTANG KOMODITAS
Weber hadir dalam lintasan sejarah sosiologi membawa paradigma berpikir baru. Melalui
karyanya “Protestan Ethic” Weber memberikan pemikiran baru tentang kehidupan, khususnya
tentang kapitalisme yang didalamnya memuat tentang komoditi. Dalam pemikirannya Weber
mengaitkan antara etika-etika dari kaum agamawan dengan kegiatan ekonomi. Weber berusaha
menemukan hubungan kausal antara keduanya, dalam bentuk survey mengenai hubungan
agama-gama yang paling penting dengan kehidupan ekonomi dan juga dengan stratifikasi sosial
dari lingkungan mereka, sejauh hal itu perlu untuk menemukan poin-poin dalam rangka
perbandingan dengan suatu di dunia Barat.
Hadirnya kaum agamawan dalam kegiatan ekonomi, yaitu kaum Katolik dan kaum
Protestan. Kaum Protestan lebih banyak berperan dalam kegiatan ekonomi daripada kaum
Katolik, khususnya dalam kegiatan bisnis di Jerman. Keterlibatan orang-orang Katolik yang
lebih kecil di dalam kehidupan bisnis modern di Jerman adalah yang paling menonjol, sebab hal
itu berlawanan dengan adanya tendensi yang selama ini diamati bahkan sampai sekarang ini.
Minoritas agama atau nasional yang ada dalam posisi subordinasi terhadap suatu kelompok
penguasa bersifat mungkin digerakkan oleh kekuatan yang khas ke dalam aktivitas ekonomi,
melalui ketidakterlibatan secara sukarela ataupun tidak dari posisi pengaruh politik. Anggota-
anggota yang paling mampu berusaha untuk memuaskan kehendak mereka sendiri untuk
mendapatkan pengakuan atas kemampuan mereka dalam bidang itu , oleh karena tidak ada
kesempatan dalam pekerjaan pemerintahan. Hal ini yang menjadi suatu kenyataan yang terjadi
terhadap orang-orang Polandia di Rusia dan Prusia Timur, yang telah mengalami perkembangan
ekonomi lebih maju dibandingkan dengan yang tinggal di Galicia, di mana mereka telah berada
dalam pengawasan. Hal ini terjadi pula pada orang Hugoenots di Prancis di bawah pemerintahan
Louis XIV, Nonconformis dan Quakers di Inggris dan juga tak kalah pentingnya orang-orang
Yahudi selama 2000 tahun. Tetapi orang-orang Katolik di Jerman tidak dapat menunjukkan
bukti-bukti yang menarik dari hasil kedudukan mereka seperti itu. Tidak seperti orang-orang
Protestan, mereka pada masa-masa yang lalu mengalami perkembangan ekonomi yang secara
khusus menonjol pada masa ketika mereka berada dalam masa penganiayaan, baik di Belanda
maupun di Inggris.19

19
C. Adair-Toteff, Fundamental Concepts in Max Weber’s Sociology of Religion. Fundamental Concepts in Max
Dalam hal ini kaum Protestan secara rasional pemikiran ekonomi dan kegiatan
ekonominya lebih berkembang daripada kaum Katolik. Karena secara prinsipil keagamaan ada
perbedaan antara keduanya.Misalnya memaknai “kenikmatan dalam makan”, menurut kaum
Protestan, makan dengan tujuan mencari “kenikmatan” itu merupakan hal benar dan itu
merupakan motif. Namun tidak demikian dengan kaum Katolik, meraka yang berada di lapisan
bawah sangat senang dengan kenikmatan hidup, sedangkan lapisan tinggi bermusuhan dengan
agama, studi kasus di Prancis.20
Max Weber (1864-1920), pemikir sosial Jerman, mungkin adalah orang yang di
zamannya paling merasa tertantang oleh determinisme ekonomi Marx yang memandang segala
sesuatu dari sisi politik ekonomi. Berbeda dengan Marx, Weber dalam karya-karyanya
menyentuh secara luas ekonomi, sosiologi, politik, dan sejarah teori sosial. Weber
menggabungkan berbagai spektrum daerah penelitiannya tersebut untuk membuktikan bahwa
sebab-akibat dalam sejarah tak selamanya didasarkan atas motif-motif ekonomi belaka. Weber
berhasil menunjukkan bahwa ide-ide religius dan etis justru memiliki pengaruh yang sangat
besar dalam proses pematangan kapitalisme di tengah masyarakat Eropa, sementara kapitalisme
agak sulit mematangkan diri di dunia bagian timur oleh karena perbedaan religi dan filosofi
hidup dengan yang di barat lebih dari pada sekadar faktor-faktor kegelisahan ekonomi atas
penguasaan modal sekelompok orang yang lebih kaya. Kegelisahan teoretis yang sama, bahwa
marxisme klasik terlalu naif dengan mendasarkan segala motif tindakan atas kelas-kelas ekonomi
memiliki dampak besar yang melahirkan teori kritis dan marxisme baru. Aliran ini dikenal
sebagai Mazhab Frankfurt, sebuah kumpulan teori sosial yang dikembangkan di Institute for
Social Research, yang didirikan di Frankfurt, Jerman pada tahun 1923. Mazhab ini terinspirasi
dari pandangan-pandangan Marx, namun tidak lagi menjelaskan dominasi atas dasar perbedaan
kelas ekonomi semata, melainkan atas otoritas penguasa yang menghalangi kebebasan manusia.
Jika fokus marxisme klasik adalah struktur ekonomi politik, maka marxisme baru bersandar pada
budaya dan ideologi. Kritisismenya terasa pada kritik-kritik yang dilontarkan atas ideologi-
ideologi yang bersandar pada pendekatan psikolog klasik Austria, psikoanalisisme Sigmund

Weber’s Sociology of Religion, 4823, (2015), 1–206. https://doi.org/10.1057/9781137454799


20
T. Lewellen, The Anthropology of Development and Globalization: From Classical Political Economy to
Contemporary Neoliberalism: The Anthropology of Development and Globalization: From Classical Political
Economy to Contemporary Neoliberalism. American Anthropologist. (2006).
https://doi.org/10.1525/aa.2006.108.1.240
Freud (1856-1939); tentang kesadaran, cara berfikir, penjajahan budaya, dan keinginan untuk
membebaskan masyarakat dari kebohongan publik atas produk-produk budaya.21
Sosiolog Mazhab Frankfurt Max Horkheimer (1895–1973) dan Theodor Adorno (1903-
1969) membuat landasan instrumental agenda-agenda teoretis mazhab ini. Analisisnya berkenaan
dengan pembedaan antara peradaban barat dan timur, dan bagaimana peradaban barat telah
menyimpang dengan konsep rasionalitas yang bertujuan untuk menaklukkan dan mengatur alam
semesta. Studi-studi yang mereka lakukan berlandaskan pada hal ini, diikuti oleh sosiolog
Jerman-Amerika, Herbert Marcuse (1898-1979). Dalam perkembangannya, sosiolog Frankfurt
termuda, Juergen Habermas, mengubah agenda Mazhab Frankfurt menjadi upaya emanisipatoris
atas rasionalisme pencerahan.
Belakangan, pemikiran Mazhab Frankfurt ini telah mempengaruhi banyak sekali teoretisi
sosial yang memfokuskan kritik pada obyek budaya seperti hiburan, musik, mode, dan
sebagainya yang dinyatakan sebagai industri budaya. Dalam teori kritis atau neo-marxisme ini,
sudah tidak ada lagi determinisme ekonomi dan tak lagi meyakini bahwa kaum miskin (proletar)
akan menjadi agen perubahan sosial, namun bergerak ke kelompok sosial lain, seperti kaum
radikal di kampus-kampus, dan sebagainya. Ini menjadi keyakinan mereka merupakan agen-agen
untuk melakukan transformasi sosial di kemudian hari.
Hingga hari ini, neo-marxisme masih terus berkembang namun tidak banyak menuai
perkembangan teoretis. Tradisinya hidup di studi-studi budaya, namun masih memiliki motif
yang sama yaitu upaya pembukaan tabir dan motif-motif kapitalisme di tengah-tengah
masyarakat. Selain kemunculan teoretisi neo-marxis, pergulatan antar kelas ekonomi menjadi
inspirasi pula bagi lahirnya teori konflik. Sosiolog Jerman, Ralf Dahrendorf, menerangkan
konflik kelas dalam masyarakat industrial pada tahun 1959. Teori ini sangat berbeda dari teori
Marx karena ia menganalisis konflik tanpa memperhitungkan politik ekonomi yang ada (apakah
kapitalisme atau sosialisme). Jika Marx bersandar pada kepemilikan alat produksi, maka
Dahrendorf bersandar pada kontrol atas alat produksi. Dalam terminologi Dahrendorf, pada masa
pos-kapitalisme, kepemilikan akan alat produksi (baik sosialis atau kapitalis) tidak menjamin
adanya kontrol atas alat produksi. Jadi, di luar Marxisme, ia mengembangkan beberapa
terminologi dari Max Weber, antara lain bahwa sistem sosial itu dikoordinasi secara imperatif
melalui otoritas/kekuasaan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa teori Dahrendorf
21
Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretative Sociology, (Berkeley: University of California
Press, 1987),……..
melakukan kombinasi antara fungsionalisme (tentang struktur dan fungsi masyarakat) dengan
teori (konflik) antar kelas sosial. Teori sosial Dahrendorf berfokus pada kelompok kepentingan
konflik yang berkenaan dengan kepemimpinan, ideologi, dan komunikasi di samping tentu saja
berusaha melakukan berbagai usaha untuk menstrukturkan konflik itu sendiri, mulai dari proses
terjadinya hingga intensitasnya dan kaitannya dengan kekerasan. Jadi bedanya dengan
fungsionalisme jelas, bahwa ia tidak memandang masyarakat sebagai sebuah hal yang
tetap/statis, namun senantiasa berubah oleh terjadinya konflik dalam masyarakat. Dalam
menelaah konflik antara kelas bawah dan kelas atas misalnya, Dahrendorf menunjukkan bahwa
kepentingan kelas bawah menantang legitimasi struktur otoritas yang ada. Kepentingan antara
dua kelas yang berlawanan ditentukan oleh sifat struktur otoritas dan bukan oleh orientasi
individu pribadi yang terlibat di dalamnya. Individu tidak harus sadar akan kelasnya untuk
kemudian menantang kelas sosial lainnya.
Sebelumnya, George Simmel (1858–1918), sosiolog fungsionalis Jerman juga telah
mencoba mendekati teori konflik dengan menunjukkan bahwa konflik merupakan salah satu
bentuk interaksi sosial yang mendasar; berkaitan dengan sikap bekerja sama dalam masyarakat.
Dalam hal ini Simmel mungkin salah seorang sosiolog pertama yang berusaha keras untuk
mengkonstruksi sistem formal dalam sosiologi yang diabstraksikan dari sejarah dan detil
pengalaman manusia. Analisisnya tentang efek ekonomi uang dalam perilaku manusia
merupakan salah satu pekerjaannya yang penting.
Jika Simmel membedah teori sosial berdasarkan konfliknya, maka sosiolog konflik
Amerika Serikat, Lewis Coser (1913-2003), bertitik berat pada konsekuensi-konsekuensi
terjadinya konflik pada sebuah sistem sosial secara keseluruhan. Teorinya menunjukkan
kekeliruan jika memandang konflik sebagai hal yang melulu merusak sistem sosial, karena
konflik juga dapat memberikan keuntungan pada masyarakat luas di mana konflik tersebut
terjadi. Konflik justru dapat membuka peluang integrasi antar kelompok.
Di Amerika Serikat, teori konflik muncul menjadi sebuah cabang teoretis oleh karena
ketidaksukaan pada sosiologi fungsionalisme yang berkembang saat itu. C. Wright Mills,
sosiolog Amerika 1960-an mengecam fungsionalisme melalui kritiknya tentang elit kekuasaan di
Amerika saat itu. Perdebatan Mills dan fungsionalisme ini pada dasarnya menunjukkan
bagaimana sosiologi telah berkarib dengan ideologi. Tuduhan yang paling besar adalah
uraiannya tentang karya Parsons yang bermuatan ideologis dan menurutnya sebagian besar
isinya kosong/hampa. Secara metodologi, Mills lebih mirip dengan mazhab Frankfurt atas
kritiknya pada media massa, pemerintahan, dan militer. Salah satu contoh proposisinya yang
kontroversial adalah bahwa menurutnya di Amerika terjadi paradoks demokrasi: bentuk
pemerintahannya adalah demokrasi namun seluruh struktur organisasinya cenderung diubah ke
bentuk oligarkhi, hanya sedikit yang memiliki kekuasaan politik.
Dalam sosiologi, teori konflik berdasar pada asumsi dasar bahwa masyarakat atau
organisasi berfungsi sedemikian di mana individu dan kelompoknya berjuang untuk
memaksimumkan keuntungan yang diperolehnya; secara tak langsung dan tak mungkin dihindari
adalah perubahan sosial yang besar seperti revolusi dan perubahan tatanan politik. Teori konflik
ini secara umum berusaha memberikan kritiknya pada fungsionalisme yang meyakini bahwa
masyarakat dan organisasi memainkan peran masing-masing sedemikian seperti halnya organ-
organ dalam tubuh makhluk hidup.
Dari pemikiran tersebut, Weber melandasi dari kajian-kajian sosiologi yang ia lakukan.
Weber membedakan perilaku sosial ke dalam 4 klasifikasi:
1. Perilaku yang secara rasional diarahkan kepada tercapainya tujuan
2. Perilaku yang didasarkan pada suatu nilai dan suatu keindahan (estetis), nilai politis dan nilai
keagamaan.
3. Perilaku yang menerima orientasi dari perasaan atau emosi seseorang
4. Perilaku yang menerima arahnya dari tradisi
Dari empat klasifikasi tersebut, menjadi dasar konseptual berfikir dari Weber untuk
memahami dan menafsirkan realitas empiris yang beraneka ragam. Weber juga memberikan 4
tipe ideal dari tindakan sosial dalm sosiologinya, yaitu:
1. Rasionalitas instrumental (zweck rationalitat), yaitu merupakan tindakan sosial yang
melandaskan diri kepada pertimbangan- pertimbangan manusia yang rasional ketika
menghadapi lingkungan eksternalnya.
2. Rasionalitas yang berorientasi nilai (Wert rationalitat), yaitu merupakan tindakan sosial
yang rasional, namun yang menyandarkan diri kepada suatu nilai-nilai absolut tertentu.
3. Tindakan tradisional, yaitu merupakan tindakan sosial yang didorong dan beorientasi kepada
tradisi masa lampau.
4. Tindakan afektif, yaitu merupakan suatu tindakan sosial yang timbul karena dorongan atau
motivasi yang sifatnya emosional
Verstehende Weber

Aspek pemikiran Weber yang paling terkenal adalah yang mencerminkan tradisi idealis
yaitu tekanannya pada verstehen (pemahaman subyektif) sebagai metode untuk memperoleh
pemahaman yang paling valid mengenai arti-arti subyektif tindakan sosial atau disebut dengan
introspeksi, yaitu memberikan seseorang pemahaman akan motifnya sendiri atau arti-arti
subyektif dalam tindakan-tindakan orang lain. Dengan kata lain verstehende adalah suatu metode
pendekatan yang berusaha untuk mengerti makna yang mendasari dan mengitari peristiwa sosial
dan historis. Pendekatan ini bertolak dari gagasan bahwa setiap situasi sosial didukung oleh
jaringan makna yang dibuat oleh para aktor yang terlibat di dalamnya.

Tindakan Sosial dan Struktur Sosial


Tulisan-tulisan Weber secara metodologis menekankan pentingnya arti-arti subyektif dan
pola-pola motivasional, karya substansifnya meliputi suatu analisa struktural dan fungsional. Hal
ini dapat dilihat tentang stratifikasi yang memiliki 3 dimensi, studinya mengenai dominasi
birokratik dan pengaruhnya dalam masyarakat modern. Serta ramalannya yang berhubungan
dengan konsekuensi-konsekuensi jangka panjang dari pengaruh etika Protestan.
Struktur sosial dalam perspektif Weber sebagai suatu istilah yang bersifat probabilistic
dan bukan sebagai kenyataan empirik yang terlepas dari individu-individu. Suatu keteraturan
sosial akan diarahkan ke suatu kepercayaan akan validitas keteraturan itu. Realitas akhir yang
menjadi dasar satuan-satuan sosial yang lebih besar adalah tindakan sosial individu dengan arti-
arti subyektifnya. Karena orientasi subyektif individu mencakup kesadaran (tepat atau tidak)
akan tindakan yang mungkin dan reaksi yang mungkin dari orang lain, maka probabilitas-
probabilitas ini mempunyai pengaruh yang benar-benar terhadap tindakan sosial, baik sebagai
sesuatu yang bersifat memaksa maupun sebagai alat untuk mempermudah satu jenis tindakan
daripada lainnya.

Stratifikasi: Ekonomi, Budaya, dan Politik


Weber mengakui pentingnya stratifikasi ekonomi sebagai dasar yang fundamental untuk
kelas. Bagi Weber, kelas sosial terdiri dari semua mereka yang memiliki kesempatan hidup yang
sama dalam bidang ekonomi, yaitu: Sejumlah orang sama-sama memiliki suatu komponen
tertentu yang merupakan sumber dalam kesempatan hidup mereka. Komponen ini secara
eksklusif tercermin dalam kepentingan ekonomi berupa kepemilikan benda-benda dan
kesempata-kesempatan untuk memperoleh pendapatan. Kondisi-kondisi komoditi atau pasar
tenaga kerja.
Bahwa kelas sosial berlandaskan pada dasar stratifikasi yang bersifat impersonal dan
obyektif. Bagi Weber, kekuasaan adalah kemampuan untuk melaksanakan kehendak seseorang
meskipun mendapat tantangan dari orang lain. Partai politik merupakan organisasi dimana
perjuangan untuk memperoleh atau menggunakan kekuasaan dinyatakan paling jelas ditingkat
organisasi rasional. Struktur kekuasaan tidak harus setara dengan struktur otoritas.

Tipe Otoritas dan Bentuk Organisasi Sosia


Hubungan sosial dalam tipe keteraturan menujukkan keanekaragaman yang berbeda-
beda. Weber mengidentifikasikan beberapa tipe yang berbeda, sehingga muncul organisasi dalam
suatu struktur otoritas yang mapan, artinya suatu struktur dimana individu-individu diangkat,
bertanggung jawab untuk mendukung keteraturan sosial. Kalau hubungan itu bersifat asosiatif
(rasional) dan bukan komunal (emosional), meliputi sifat administratif, maka hubungan itu
menunjukkan pada “Organisasi yang Berbadan Hukum”.
Namun bagi Weber yang utama adalah pada landasan keteraturan sosial yang absah.
Artinya bahwa keteraturan sosial dan pola-pola dominasi yang berhubungan dengan itu diterima
sebagai yang benar, baik oleh mereka yang tunduk pada suatu dominasi maupun mereka yang
dominan. Weber mengidentifikasikan 3 dasar legitimasi yang utama dalam hubungan otoritas,
ketiganya dibuat berdasarkan tipologi tindakan sosial. Masing-masing tipe berhubungan dengan
tipe struktur adminstratifnya sendiri dan dinamika sosialnya sendiri yang khusus. Tipe-tipe itu
adalah :
1. Otoritas Tradisional
Tipe ini berlandaskan pada kepercayaan yang mapan pada tradisi yang sudah ada.
Hubungan antar tokoh pemilik otoritas dengan bawahannya adalah pribadi. Weber membedakan
3 otoritas tradisional yaitu ; gerontokrasi, patriakalisme, dan patrimodialisme. Pengawasan dalam
gerontokrasi berada pada tangan orang-orang tua dalam suatu kelompok, dalam patriarkalisme
ada pada satuan kekerabatan individu tertentu pewaris, dan dalam sistem otoritas patrimodial
pengawasan oleh staf administrasi yang ada hubungan pribadi dengan pemimipinnya.

2. Otoritas Karismatik
Otoritas ini didasarkan pada mutu luar biasa yang dimiliki pemimpin sebagai pribadi.
Menurut Weber, istilah ‘kharisma’ akan diterapkan pada mutu tertentu yang terdapat pada
kepribadian seorang, yang berbeda dengan orang biasa yang dianugerahi kelebihan. Kepatuhan
para pengikut tergantung pada identifikasi emosional pemimpin itu sebagai pribadi. Orientasi
kepemimpinan kharismatik biasanya menantang status-quo kebalikan dari kepemimpinan
tradisional.

3. Otoritas Legal-Rasional
Otoritas yag didasarkan pada komitmen terhadap seperangkat aturan yang diundangkan
secara resmi dan diatur secara impersonal. Tipe ini erat kaitannya dengan rasionalitas
instrumental. Jiadi, peraturan berhubungan dengan posisi baik sebagai atasan atau bawahan.
Otoritas legal-rasional diwujudkan dalam organisasi birokratis. Analisa Weber yang
sangat terkenal mengenai birokratis adalah membandingkan birokrasi dalam bentuk-bentuk
administrasi tradisional kuno yang didasarkan pada keluarga dan hubungan pribadi. Weber
melihat birokrasi sebagai suatu bentuk organisasi yang paling efisien, sistematis, dan dapat
diramalkan. Dalam masyarakatnya sendiri, yang dikuasai ketika sedang berada dibawah birokrasi
militer dan birokrasi politik Prusia, ketika melihat perkembangan administrasi industri dan
administrasi politik nasional di negara-negara Barat lainnya, ia mendapat kesan bahwa
perkembangan dunia modern ditandai oleh semakin besarnya pengaruh birokrasi.
Salah satu alasan pokok mengapa bentuk organisasi birokratis itu memiliki efisiensi
adalah karena organisasi itu memiliki cara yang secara sistematis menghubungkan kepentingan
individu dengan tenaga pendorong dengan pelaksana fungsi-fungsi organisasi. Ini dilihat dari
dari pelaksanaan fungsi organisasi yang secara khusus menjadi kegiatan yang utama bagi
pekerjaan pegawai birokrasi.
Dalam mengembangkan dan meningkatkan bentuk organisasi birokratis, orang orang
membangun bagi dirinya suatu “Kandang Besi” dimana pada suatu saat mereka sadar bahwa
mereka tidak bisa keluar lagi dari situ. Proses ini tidak hanya ada pada masyarakat kapitalis
tetapi juga masyarakat sosialis. Menurut Weber bahwa kelak akan muncul seorang pemimpin
karismatik yang akan membuat dobrakan dari cengkraman mesin birokratis yang tanpa jiwa itu
dan tidak memberi tempat kepada perasaan dan cita-cita manusia.

Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme


Analisa Weber dalam bukunya ‘The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism”
memiliki pengaruh ide-ide yang bersifat independen dalam perubahan sejarah. Weber hidup di
Eropa Barat yang sedang menjurus ke arah pertumbuhan kapitalisme modern. Hal ini yang
mendorongnya untuk mencari sebab hubungan antara tingkah laku agama dan ekonomi, terutama
di masyarakat Eropa Barat yang mayoritas beragama Protestan.
Adapun karakteristik dari sifat Spirit Kapitalisme Modern menurut Weber, yaitu:22
1. Adanya usaha-usaha ekonomi yang diorganisir dan dikelola secara rasional di atas landasan-
landasan dan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan berkembangnya pemilikan atau kekayaan
pribadi.
2. Berkembangnya produksi untuk pasar.
3. Produksi untuk massa dan melalui massa.
4. Produksi untuk uang.
5. Adanya Anthusiasme, etos dan efisiensi yang maksimal uang menuntut.
Bahwa kapitalisme modern merupakan bersumber didalam agama Protestan, yang hal ini
merupakan Wirischaflsethik. Spirit kapitalisme modern adalah Protestanisme yaitu merupakan
aturan-aturan agama protestan tentang watak dan perilaku penganut-penganutnya di dalam
kehidupan sehari-hari.
Weber menunjukkan bahwa spirit protestan didalam etika praktis sehari-hari. Menurut
Weber etika protestan mewujudkan diri sebagai suatu pengertian tertentu tentang Tuhan, dimana
Tuhan dianggap sebagai Yang Maha Esa, Maha Pencipta, dan Penguasa Dunia. Akibat konsepsi
mengenai Tuhan tersebut, maka penganut agama protestan menganggap kesenangan adalah

22
Max Weber, The Protestan Ethic And The Spirit Of Capitalism, (New York: Charles Scirbner’s Son, 1958),….
merupakan sesuatu yang tidak baik, sebaliknya untuk mengagungkan Tuhan orang harus
berhemat.23
Inti dari spirit kapitalisme modern adalah menganggap bahwa bekerja keras adalah
merupakan calling atau suatu panggilan suci bagi kehidupan manusia. Spirit protestan juga
menganut paham bahwa membuat atau mencari uang dengan jujur merupakan aktivitas yang
tidak berdosa. Itulah pembuktian pertama secara analitis dari Weber tentang hubungan antara
spirit kapitalisme modern identik dengan spirit protestan, bahwa agama berpengaruh pada faktor
ekonomi. Pembuktian kedua ditunjukkan Weber bahwa sejak zaman reformasi, negara-negara
yang menganut agama protestan sebagai mayoritas adalah negara-negara yang lebih maju
ekonominya. Pembuktian ketiga Weber ditunjukkan bahwa di Jerman, penduduknya yang
menganut agama protestan secara ekonomi lebih kaya dibanding dengan penganut agama non
protestan.24
Demikian Weber secara bertahap menunjukkan bahwa setiap sekte dalam protestan itu
nyatanya memiliki kecenderungan yang sama dalam menunjang kehadiran Kapitalisme Modern,
sehingga dengan demikian ia memperkuat pendapatnya dengan menstudi semua penganut
Protestan di negara-negara Jerman, Inggris, Belanda, Amerika, dan lain-lain sebagaimana ajaran
agama itu mendorong kehadiran kapitalisme.

II. PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM TENTANG KOMODITAS


Ekonomi Islam hadir sejak masa Rasulullah SAW, ketika beliau menanamkan nilai-nilai
etis dalam setiap kegiatan ekonomi, yaitu konsumsi, produksi dan distribusi. Namun, sejak
adanya great gap panjang sehingga literatur-literatur Islam diterjemahkan ke dalam bahasa-
bahasa Eropa. Pada saat itulah gema ekonomi Islam tidak terdengar. Akan tetapi, terjadinya
depresi dan resesi yang membawa dampak munculnya teori ekonomi Keynesian, New Klasik
dan New Keynesian sampai akhirnya muncul ekonomi modern, ternyata model dan konsep-
konsep ekonomi tersebut belum bisa menjadi senjata ampuh dalam menyelesaikan masalah-
masalah ekonomi yang terjadi saat ini. Kasus kemiskinan, pengupahan, pengangguran,
konsumerisme dan kemungkinan terjadinya krisis masih menjadi bayang-bayang ketakutakan
23
M. Michael Rosenberg, Generally Intended Meaning, The' Avarage' Actor and Max Weber's Interpretive
Sociology. Vol. 13, No.1 (January, 2013), 39-63. https://jstor.org/stable/24579964
24
Robert H. Nelson, Lutheranism and The Nordic Spirit of Social Democracy: A Different Protestan Ethic. Arush
University, (2017), 324. DOI: 10.2307/j.ctv62hgm7
bagi sebagian negara, khususnya negara berkembang. Perlu sistem ekonomi yang bisa membawa
kesejahteraan namun memiliki dampak moral yang positif. Sehingga lahirlah ekonomi Islam,
memiliki dasar filosofi dari al Qur’an dan Hadits. Hampir sama ketika Protestan menjadi kiblat
dari sistem ekonomi, ekonomi Islam pun saat ini mulai menjadi kiblat dan mulai menjadi kajian
ekonomi yang tersendiri.
Berbagai pemikiran tentang ekonomi dalam Islam hadir dalam rangka memberikan
rambu-rambu buat umat Muslim agar tidak jauh dari apa yang diajarkan. Maka dari itu ekonomi
Islam harus dipahami secara holistik tidak parsial, karena jika hanya dipahami secara parsial
maka tidak bisa memahami ekonomi Islam secara esensial dan filosofi. Salah satu pemikiran
ekonomi Islam yang sering banyak dibicarakan tentang komoditas.
Keberadaan komoditas menuntut adanya pertukaran yang harus terjadi antara orang satu
dengan orang yang lain. Pertukaran dimaknai dengan transfer barang satu dengan barang lainnya
atau dengan uang. Jadi, semua transaksi komersial atau bisnis yang melibatkan transfer dari satu
barang ke barang lainnya – mungkin satu komoditas dengan komoditas lainnya atau satu
komoditas dengan uang – disebut pertukaran.
Pada awalnya pertukaran menggunakan barter, yakni komoditas satu ditukar dengan
komoditas yang lain. Namun pada abad ke 6 Masehi, uang koin telah pula dikenal oleh
masyarakat dalam berbagai bentuk dan pecahan beredar di antara mereka yang kemudian
menjadi masyarakat modern. Para pedagang Arab yang sering berhubungan dengan negeri-
negeri lain tidak saja mengetahui koin tersebut melainkan juga menggunakannya dalam transaksi
bisnis mereka. Meski demikian, barter masih digunakan dan sejumlah besar transaksi masih
dilakukan dengan cara barter ini terutama sektor pertanian. Secara singkat, itulah situasinya
ketika Nabi Muhammad SAW sedang sibuk menegakkan suatu negeri di al Madinah. Namun,
dalam transaksi barter tersebut, Rasulullah melarang adanya riba dan ketidakadilan dalam barter.
Maka dari itu, Rasulullah kemudian mengganti sistem pertukaran dengan menggunakan uang.
Uang sebagai alat tukar, uang bukan sebagai komoditas. Sehingga uang tidak bisa
diperjualbelikan. Sehingga, Islam tidak mengenal uang sebagai spekulasi. Dalam Islam yang
dikenal hanyalah uang sebagai alat tukar atau transaksi dan uang sebagai alat untuk berjaga-
jaga.25

25
A. M. Gillis, Money and Power. Humanities, 21(4), (2000), 44. https://doi.org/10.1006/exnr.2000.7395
Maka dari itu, Islam melarang adanya bisnis spekulatif. Spekulasi merupakan fenomena
pembelian sesuatu pada harga yang murah dengan harapan dapat menjualanya di masa yang akan
datang dengan harga mahal. Jika harga suatu objek di masa yang akan datang diharapkan lebih
tinggi daripada harga saat ini, maka seorang pembeli di masa yang akan datang. Begitu pula, jika
harga di masa yang akan datang diperkirakan lebih rendah daripada harga saat ini, maka
spekulan akan menjual barangnya sekarang dalam rangka menghindari penjualan pada harga
murah di masa yang akan datang. Jenis bisnis ini ditolak oleh Islam. Khususnya menahan bahan
makanan utama karena ingin menaikkan harga secara artifisial (yang disebut juga menimbun
atau hoarding), amat dikutuk oleh Nabi Muhammad.

Modal Dalam Islam


Modal memainkan peranan penting dalam produksi, karena produksi tanpa modal akan
menjadi sulit dikerjakan. Jika orang tidak menggunakan alat dan mesin dalam pertanian,
melainkan menambang dan melakukan pekerjaan manufaktur selalu dengan tangan mereka saja,
maka produktivitas akan menjadi sangat rendah. Demikianlah manusia senantiasa menggunakan
peralatan dalam kerja produktif mereka. Bahkan orang-orang primitif pun menggunakan panah
untuk berburu serta pancing dan jala untuk mencari ikan. Dengan tumbuhnya ilmu dan teknologi,
maka manusia pun menemukan mesin-mesin berat lagi kompleks untuk membantunya dalam
semua bidang produksi, seperti pertanian, pertambangan, manufaktur, transportasi, dan
komunikasi. Di abad modern, produksi tanpa bantuan modal amat sulit dibayangkan.
Pembangunan ekonomi di negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Perancis,
Inggris, terjadi karena penggunaan modal secara ekstensif.26
Modal menempati posisi penting dalam proses pembangunan ekonomi maupun dalam
penciptaan lapangan kerja. Selain meningkatkan produksi, employment juga akan meningkat jika
barang-barang modal seperti bangunan dan mesin diproduksi dan jika kemudia digunakan untuk
produksi lebih lanjut. Ayat-ayat terkait dengan pentingnya modal dalam produksi, antara lain:
Q.S an Nahl: 5-8, Q.S. an Nahl ayat 66, Q.S an Nahl: 80. Ayat-ayat tersebut merujuk berbagai
manfaat binatang ternak dan kuda sebagai faktor produksi seperti transportasi, produksi susu,
wool dan kulit binatang.
26
Donald S. Swenson, Society, Spirituality, and The Sacred: A Social Scientific Introduction, (University of Toronto
Press, 2009), 432.
‘Umar, seorang sahabat besar Nabi dan khalifah kedua dari Khulafaur Rasyidun, sering
menasehati para penerima jatah maupun gaji dari negara, sering menasehati para penerima jatah
maupun gaji dari negara agar mereka membeli kambing atau ternak lainnya, agar mereka dapat
meningkatkan modal serta meninggalkan harta bagi anak-anaknya jika ia meninggal kelak.

Konsepsi Kepemilikan Dalam Islam


Kepemilikan harta adalah hubungan antara manusia dan harta yang ditentukan oleh syara
dalam bentuk perlakuan khusus terhadap harta tersebut, yang memungkinkan untuk
mempergunakannya secara umum hingga ada larangan untuk menggunakannya. Secara bahasa
kepemilikan berarti penguasaan manusia atas harta dan penggunaannya secara pribadi. Adapun
secara istilah, kepemilikan adalah pengkhususan hak atas sesuatu tanpa orang lain, dan ia berhak
untuk menggunakannya sejak awal, kecuali ada larangan syar’i. Larangan syar’i, misalnya
keadaan gila, keterbelakangan akal (idiot), sebelum cukup umur ataupun cacat mental, dan
sebagainya (Chaudhry, 2012).27
Secara etimologi, kata “milik” berasal dari bahasa arab al-milk, yang berarti penguasaan
terhadap sesuatu. Secara terminologi, definisi al-milk sebagaimana dikemukakan ulama fiqh
adalah pengkhususan sesorang terhadap suatu benda yang memungkinkannya untuk bertindak
hukum terhadap benda itu selama tidak adanya halangan syara’.28
Dari definisi tersebut dapat ditarik suatu pengertian umum bahwa yang dimaksud dengan
kepemilikan adalah penguasaan manusia atas harta yang dapat dipergunakannya untuk
memenuhi kepentingan pribadinya selama tidak ada aturan syara’ yang melarangnya.
Pembagian harta menurut boleh-tidaknya dimiliki adalah sebagai berikut.29
1. Harta yang tidak dapat dimiliki dan dihak milikkan orang lain. Contoh harta jenis ini
adalah barang publik, seperti jalan umum, jembatan, dan taman kota. Harta ini tidak boleh
dimiliki secara individu sebab bermanfaat bagi kepentingan masyarakat secara luas dan
biasanya barang publik ini disediakan oleh pemerintah.

27
Muhammad Sharif Chaudhry, Fundamental of Islamic Economic System. (Jeddah: t.p, 2015),…
28
M.A, Mannan. Islamic Economics, Theory and Practice (Jeddah: t.p, 1997), 57-74.
29
Al Owaihan, Abdullah, Ali Abbas J., Abdurrahman Al-Aali. “Islam Perspective On Profit Maximation”. Journal
of Business Ethics. Vol.117, No.3 (October 2013), 467-475. Springer
2. Harta yang tidak bisa dimiliki, kecuali dengan ketentuan syariat. Termasuk dalam harta
jenis ini adalah warisan, wasiat, harta waqaf, harta baitul mal, harta ziswaf, dan
sebagainya. Harta ini dapat diperoleh jika suatu individu termasuk dalam kelompok yang
berhak untuk menerimanya.
3. Harta yang dapat dimiliki dan dihakmiliki kepada orang lain. Harta inilah yang merupakan
hak milik pribadi setiap orang. Harta ini boleh diperjualbelikan sebab telah dimiliki
seutuhnya oleh sang pemilik harta.
Para ulama fiqh menyatakan empat cara pemilikan harta yang diisyaratkan Islam 30, yaitu:
1. Melalui penguasaan terhadap harta yang belum dimiliki seseorang atau badan hukum.
Harta ini masih bersifat bebas untuk dimiliki seseorang atau badan hukum, pasir di
sungai/gunung merapi, tambang, dan sebagainya;
2. Melalui transaksi yang dilakukan dengan pihak lain, seperti jual beli, hibah, dan wakaf;
3. Melalui peninggalan seseorang, seperti menerima harta warisan ataupun wasiat;
4. Diperoleh berdasarkan hasil yang telah dimilikinya selama ini, misalnya buah dari pohon
yang ditanam di kebun atau anak hewan ternah yang lahir.
Pemilikan secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Al-milk al-tamm (milik sempurna), yaitu materi dan manfaat harta itu dimiliki oleh
seseorang, misalnya seseorang memiliki rumah maka ia berkuasa penuh terhadap rumah
itu dan ia boleh memanfaatkannya secara bebas;
2. Al-milk an-naqish (milik yang tidak sempurna), yaitu seseorang hanya menguasai materi
harta, tetapi manfaatnya dikuasai orang lain, seperti rumah yang diserahkan kepada orang
lain untuk disewa.
Kekhasan konsep Islam mengenai hak milik pribadi terletak pada kenyataan bahwa
dalam Islam, legitimasi hak memilik bergantung pada moral yang dikaitkan padanya
(Hutoro, 2007). Islam berbeda dari kapitalisme dan sosialisme dalam menetapkan hak milik
karna tidak satupun dari keduanya yang berhasil menempatkan individu selaras dalam suatu
mosaik sosial. Hak milik pribadi merupakan dasar kapitalisme sedangkan penghapusannya
merupakan sasaran pokok ajaran sosial. Pemilikan kekayaan yang tidak terbatas dalam
kapitalisme pasti tidak luput dari kecaman bahwa ia turut bertanggung jawab terhadap
30
M.Nur Rianto Al Arif, Ekonomi Syariah: Teori dan Praktik (Bandung: Pustaka Setia, 2015),….
kesenjangan pembagian kekayaan dan pendapatan secara mencolok karena dalam
perkembangan ekonomi sesungguhnya hampir dimana saja ia telah meningkatkan kekuasaan
dan pengaruh perserikatan perusahaan.
Perusahaan yang memonopoli harga dan produksi serta perudahaan yang mempunyai hak
memonopoli. Hak milik yang tidak ada batasnya ini telah membuat si kaya menjadi kaya dan
si miskin menjadi lebih miskin. Islam memelihara keseimbangan antara hal-hal berlawanan
yang terlalu di lebih-lebihkan. Tidak hanya dengan mengakui hak milik pribadi, tetapi juga
dengan menjamin pembagian kekayaan yang seluas-luasnya dan paling bermanfaat melalui
lembaga-lembaga yang didirikannya, serta melalui peringatan-peringatan moral. Hal ini akan
menjadi lebih jelas jika kita menerangkan ketentuan-ketentuan pokok serta delapan ketentuan
khusus syariat mengenai hak milik kekayaan pribadi dan metode penggunaannya.31

III. KESIMPULAN
Secara definisi tentang komoditas menurut Marx, Weber dan Islam memiliki persamaan,
yaitu benda dan jasa yang diperjualbelikan. Komoditi dipahami sebagai sesuatu yang harus
diproduksi. Akan tetapi dari ketiga pemikiran ini memiliki fokus dan konsentrasi kajian berbeda-
berbeda terkait komoditas. Khususnya jika komoditas dikaitakan dengan modal dan uang.
Perdebatan terjadi jika dikatakan apakah komoditas bisa menjadi modal dan apakah uang juga
menjadi komoditas

IV. REFERENSI

Adair-Toteff, C. (2015). Fundamental Concepts in Max Weber’s Sociology of Religion.


Fundamental Concepts in Max Weber’s Sociology of Religion, 4823, 1–206.
https://doi.org/10.1057/9781137454799

Al Arif, M.Nur Rianto. 2015. Ekonomi Syariah: Teori dan Praktik (Bandung: Pustaka Setia)

Al Owaihan, Abdullah, Abbas J. Ali, Abdurrahman Al-Aali. (2013). Islam Perspective On Profit
Maximation. Journal of Business Ethics. Vol.117, No.3 (October 2013), pp 467-475.
Springer
31
Sukron Kamil, Ekonomi Islam, Kelembagaan dan Konteks Keindonesiaan. (Jakarta: Rajawali Pers, 2016),…
Brien, J. C. O. (2010). I . The Chiaroscuro of Perfection, 2–66.

Camarinha Lopes, T., & Serra de Araujo, E. (2013). Marx and Marini on Absolute and Relative
Surplus Value. International Critical Thought, 3(2), 165–182.
https://doi.org/10.1080/21598282.2013.787272

Chaudhry, Muhammad Sharif. 2015. Fundamental of Islamic Economic System. Jeddah.

Cipolla, F. P. (2018). The Mechanism of Relative Surplus Value. Review of Radical Political
Economics, 50(1), 116–135. https://doi.org/10.1177/0486613416671045

Determination, T. H. E., & Constant, O. F. (2005). The determination of constant capital, 1–23.

Gillis, A. M. (2000). Money and Power. Humanities, 21(4), 44.


https://doi.org/10.1006/exnr.2000.7395

Gray, R. T. (2000). Hypersign, Hypermoney, Hypermarket: Adam Müller’s Theory of Money


and Romantic Semiotics. New Literary History, (31), 295–314.
https://doi.org/10.2307/20057604

Hutoro, Arif. 2007. Ekonomi Islam: Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi, .Malang:
Bayumedia Publishing.

Kamil, Sukron. (2016) Ekonomi Islam, Kelembagaan dan Konteks Keindonesiaan. Jakarta:
Rajawali Pers.

LEWELLEN, T. (2006). The Anthropology of Development and Globalization: From Classical


Political Economy to Contemporary Neoliberalism:The Anthropology of Development and
Globalization: From Classical Political Economy to Contemporary Neoliberalism.
American Anthropologist. https://doi.org/10.1525/aa.2006.108.1.240

M.A, Mannan. (1997). Islamic Economics, Theory and Practice (Jeddah,),pp 57-74

McDonough, Terrence, (2007), The Marxian Theory of Capitalist Stages, in Paul Zarembka
(ed.) Transitions in Latin America and in Poland and Syria (Research in Political Economy,
Volume 24) Emerald Group Publishing Limited, pp.241 - 280

McGregor , S . L . T . ( 2007 ). Consumerism , the common good and the human condition
[ Feature Article ]. Journal of Family and Consumer. (2007), 99, 15–22.
https://doi.org/10.1007/s12275-016-5628-4

Moseley, F. (2004). Marx’s Theory of Money: Modern Appraisals. Marx’s Theory of Money:
Modern Appraisals, (January 2005), 1–242. https://doi.org/10.1057/9780230523999

Nelson, Robert H.(2017).Lutheranism and The Nordic Spirit of Social Democracy: A Different
Protestan Ethic.Arush University,324. DOI: 10.2307/j.ctv62hgm7

Rosenberg, M.Michael. (2013). Generally Intended Meaning, The' Avarage' Actor and Max
Weber's Interpretive Sociology. Vol. 13, No.1 (January, 2013), pp 39-63.
https://jstor.org/stable/24579964

Saad-Filho, Alfredo, (2001), Capital accumulation and the composition of capital, in Paul
Zarembka (ed.) Marx's Capital and Capitalism; Markets in a Socialist Alternative
(Research in Political Economy, Volume 19) Emerald Group Publishing Limited, pp.69 - 85

Sargent, T. J., & Wallace, N. (1983). 2.

Smith, David Norman, (2001), The Spectral Reality Of Value: Sieber, Marx And Commodity
Fetishism, In Paul Zamreka (ed), Marz Capital and Capitalism; Market in Socialist
Alternative, (Research In Political Economy, Vol.19) Emerald group Publishing p.47-66

Stander, Simon (2009), Chapter 3 The commodity, in Paul Zarembka (ed.) Why Capitalism
Survives Crises: The Shock Absorbers (Research in Political Economy, Volume 25)
Emerald Group Publishing Limited, pp.71 – 90

Swenson, Donald S. (2009). Society, Spirituality, and The Sacred: A Social Scientific
Introduction. University of Toronto Press, 432.

Weber, Max. (1958) The Protestan Ethic And The Spirit Of Capitalism, New York:Charles
Scirbner’s Son.

_________, (1987) Economy and Society: An Outline of Interpretative Sociology . Berkeley:


University of California Press.

Anda mungkin juga menyukai