Anda di halaman 1dari 23

2

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perkembangan ilmu pengetahuan atau sains senantiasa diiringi dengan perkembangan
dan kemajuan teknologi, khususnya di bidang informasi dan komunikasi telah membawa
pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan peradaban dunia, termasuk Indonesia.
Implikasinya, pada dewasa ini untuk mengakses segala informasi yang berkembang di dalam
masyarakat, terutama informasi di bidang ekonomi dan keuangan, bukanlah sesuatu yang
sulit untuk diperoleh di Indonesia. Hanya dengan menggunakan dan memanfaatkan teknologi
informasi melalui media elektronik, sekali “klik” informasi yang diinginkan akan dengan
mudah diperoleh. Perkembangan teknologi demikian itu tentu secara tidak langsung akan
membawa dampak positif meningkatnya prekonomian masyarakat. Akan tetapi sisi
negatifnya, dengan telah ditemukannya teknologi informasi seperti itu, oleh pihak-pihak yang
tidak bertanggungjawab dimanfaatkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan untuk
kepentingan pribadi maupun kelompoknya atau korporasi secara melawan hukum, seperti
melakukan perbuatan pencucian uang (money laundering). Pelaku kejahatan pencucian uang
dengan memanfaatkan pengetahuannya untuk menerobos sistem keuangan dan perbankan,
uang atau dana atau harta yang dimiliki akan dapat “dibersihkan”, sehingga uang atau dana
atau harta yang tadinya berasal dari kejahatan (perbuatan ilegal) berubah menjadi legal.
Perbuatan melawan hukum demikian itu sudah tentu akan membawa pengaruh negatif
terhadap pembangunan prekonomian bangsa Indonesia dalam rangka mewujudkan
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Dengan demikian benar adanya jika dikatakan, bahwa pelaku kejahatan money laundering
tidak hanya mengancam stabilitas prekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi juga
dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di
Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Mengingat kejahatan money laundering sangat merugikan perekonomian negara,
sehingga digolongkan sebagai perbuatan yang dapat mengancam kewibawan negara,
mengganggu serta mengacaukan sistem perekonomian dan dapat menghambat pembangunan
nasional dalam rangka tercapainya kesejahteraan masyarakat, maka perbuatan demikian itu
perlu dilakukan pemberantasan yang di dalamnya mencakup pula pemberantasan terhadap
asal atau sumber dari harta kekayaan yang hendak di”cuci” tersebut dalam rangka
pengembalian harta kekayaan hasil kejahatan pencucian uang. Hal ini perlu dilakukan, karena
3

kejahatan money laundering tidak berdiri sendiri. Artinya kejahatan ini dilakukan karena
harta kekayaan pelaku berasal dari hasil kejahatan atau tindak pidana tertentu, seperti korupsi,
penggelapan, penyuapan, penipuan, perjudian, illegal logging, trafficking dan lain-lain.
Tindak pidana asal ini disebut dengan predicate crime atau predicate offence. Oleh karena
itu, perlu dilakukan penelusuran terhadap harta kekayaan pelaku yang berasal dari hasil
kejahatan atau tindak pidana tertentu tadi.
Memang pencucian uang mengakibatkan dampak yang buruk pada ekonomi, baik
secara makro maupun mikro karena ia bersifat korosif terhadap sendi-sendi perekonomian.
Pencucian uang secara potensial mengancurkan ekonomi, keamanan dan membawa dampak
sosial. Pencucian uang menyediakan bahan bakar bagi penyelundup narkoba, teroris,
penyelundupan senjata ilegal, menyuap pejabat publik dan lainnya untuk menjalankan dan
memperluas perusahaan kejahatan meeka. Secara makro, baik langsung ataupun tidak
langsung, pencucian uang dapat mengganggu berbagai sistem ekonomi, sistem sosial dan
sistem politik suatu negara.1
Peter J. Quirck, penasihat International Monetary Fund (IMF) untuk departemen
Monetary and Exchange Affairs, dalam tulisannya yang berjudl Money Laundering:
Muddying The Macroeconomy menjelaskan, bahwa tindak pidana pencucian uang
mempengaruhi atau membawa dampak makro ekonomis suatu negara. Karena pencucian
uang merupakan kejahatan bawah tanah dan terjadi dalam skala besar. Para pengambil
kebijakan makro ekonomi harus mempertimbangkan dampak buruk pencucian uang dalam
pembuatan kebijakan ekonominya. Secara fakual, kegiatan pencucian uang sulit untuk
ditindak dan diberantas, tetapi pencucian uang harus diperangi, karena kegiatan itu telah
mendistorsi data ekonomi dan mengkomplikasi upaya pemerintah untuk melakukan
pengelolaan kegiatan ekonomi.2
Di samping itu, kemampuan untuk menentukan secara statistik jumlah mata uang
yang dikeluarkan dan di mana tempat tinggal dari para deposan merupakan kunci untuk
memahami perilaku moneter. Permintaan akan uang ternyata berpindah-pindah dari satu
negara ke negara lain sebagai akibat praktik pencucian uang. Hal itu dapat membuat data
moneter tidak benar. Quirk mengemukakan pula perlunya pertimbangan terhadap dampak
distribusi pendapatan yang ditimbulkan oleh pencucian uang. Sampai batas terntentu,
kegiatan-kegiatan kejahatan mengalihkan pendapatan dari negara high saver kepada low

1
Ivan Yustia dkk. Tindak Pidana Pencucian Uang di Pasar Modal, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010),
hlm. 35.
2
Ibid.
4

saver, dari investasi yang sehat kepada investasi yang berisiko dan berkualitas rendah. Bila
investasi yang masuk ke suatu negara banyak yang berasal dari hasil kejahatan, maka
negara itu akan menghadapi risiko kehilangan stabilitas pertumbuhan.
Pencucian uang juga berdampak buruk pada ekonomi suatu negara secara tidak
langsung (indirect macroeconomic effects). Transaksi-transaksi yang ilegal dapat mencegah
orang melakukan transaksi-transaksi yang legal, karena sistemnya telah terkontaminsasi.
Misalnya, beberapa transaksi yang melibatkan pihak-pihak luar negeri, meskipun
sepenuhnya legal, dilaporkan telah menjadi kurang diminati akibat dijadikan sarana
pencucian uang. Pada umumnya, kepercayaan investor kepada pasar dan efisiensi, telah
terkikis oleh meluasnya perdagangan orang dalam (insider trading), kecurangan (fraud),
dan penggelapan (embezzlement). Quirk berpendapat, bahwa akumulasi dari aset yang
dicuri berkemungkinan besar lebih besar daripada aliran uang pertahunnya, menambah
potensi bagi disabilitasi secara ekonomis merupakan kegiatan-kegiatan yang tidak efisien,
baik secara lintas batas maupun di dalam negeri. Pencucian uang oleh pelaku kejahatan
tidak hanya melibatkan uang, tetapi juga aset, baik yang dijual maupun yang dibeli. Aset
dana tersebut dapat digunakan untuk menyudutkan pasar.3
Studi empiris yang dilakukan Quirk pada tahun 1996 (mengenai hubungan
pertumbuhan PDB-Gross Domestic Product (GDP) dan pencucian uang di 18 negara
industri untuk pertama kalinya) membuktikan, bawha adanya kaitan antara pengurangan
yang sangat signifikan terhadap pertumbuhan GDP dengan peningkatan pencucian uang
hasil kejahatan selama kurun waktu tahun 1983-1990. Aktivitas pencucian uang menjadi
penyebab turunnya pertumbuhan ekonomi suatu negara dan tingginya angka kejahatan.
Fenomena tersebut tetap berlangsung hingga saat ini, walaupun secara faktual industri
keuangan bertumbuh dan berkembang dengan sangat pesat, tetapi tanpa diikuti dengan
pertumbuhan ekonomi yang wajar. Oleh sebab itu, patut dipertanyakan asal dana-dana yang
menglir pada industri keuangan, serta sumber penggerak ekonomi yang menjadi dasar
masuknya dana masyarakat pada industri keuangan. Bila hal itu dibiarkan demikian, sektor-
sektor ekonomi terancam dan bukan tidak mungkin tidak akan runtuh, karena ditopang oleh
dana-dana hasil kejahatan yang setiap saat dapat segera ditarik.4
Dalam perkembangannya, tindak pidana pencucian uang semakin kompleks, melintasi
batas-batas yurisdiksi teritorial suatu negara, dan menggunakan modus operandi yang
semakin variatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan (out financial system), dan

3
Ibid.
4
Ibid.
5

merupakan kejahatan yang terorganisasi (organized crime), white collar crime, corporate
crime dan kejahatan lintas batas (transnational crime), maka dibentuklah, Financial Action
Task Force (FATF) on Money Laundering, oleh negara-negara yang tergabung dalam
kelompok G-7 di Paris pada tahun 1989 yang terdiri atas Kanada, Perancis, Jerman, Italia,
Jepang, Inggris dan Amerika Serikat, yang merupakan sebuah badan pemerintah yang
bertujuan untuk membangun kerjasama internasional dalam menghadapi kejahatan money
laundering tersebut. Salah satu tugas FATF tersebut adalah membuat rekomendasi-
rekomendasi yang dapat membantu pemerintahan negara-negara to implement effective anti-
money laundering programmes.5
Kejahatan terorganisasi (organized crime) mengambil bagian yang sangat besar
terhadap aliran uang haram melalui jalur keuangan. Mafia Italia (Italian Mafia), Yakuza
Jepang (Japanese Yakuza), kelompok-kelompok kartel Kolombia (Colombian Cartels),
perusahaan-perusahaan criminal dari Rusia dan Eropa Timur, kelompok-kelompok etnis
Amerika, dan lain-lain terlibat dalam kegiatan kriminal yang sangat luas. Di samping
perdagangan narkotika dan obat-obat terlarang (drug trafficking), perusahaan-perusahaan ini
juga menghasilkan dana dari kegiatan loan sharking, perjudian gelap (illegal gambling),
kecurangan (fraud), pengggelapan (embezzlement), extortion, prostitusi (prostitution),
perdagangan gelap senjata dan orang (illegal trafficking in arms, and human being), dan
kejahatan-kejahatan lainnya. Acapkali mereka melakukan penyertaan-penyertaan dalam
bisnis-bisnis yang sah yang dapat dimanipulasi baik untuk menutupi dan untuk
menginvestasikan dana-dana yang diperolehnya secara melanggar hukum. 6 Perkiraan yang
paling mutakhir mengemukakan bahwa aktivitas money laundering di seluruh dunia
mencapai kurang lebih US $ 1 Triliun setiap tahun, dan US $ 300-500 miliar dari jumlah itu
merupakan pencucian uang yang berasal dari drug trafficking.7 Mantan Managing Director
IMF, Michel Camdessus, memperkirakan volume dari crossborder money laundering adalah
antara 2-5% dari Gross Domestic Product (GDP) dunia. Bahkan batas terbawah dari kisaran
tersebut yaitu jumlah yang dihasilkan dari kegiatan narcotics trafficking, arms trafficking,
bank fraud, securities fraud, counterfeiting, dan kejahatan yang sejenis itu, yang dicuci di
seluruh dunia setiap tahunnya mencapai jumlah hampir US $ 600 Miliar. 8 Sedangkan
menurut Financial Action Task Force (FATF), perkiraan atas jumlah uang yang dicuci setiap

5
Arief Amrullah, Money Laundering, Cetakan Kedua, Bayumedia, Malang, 2004, hlm. 13.
6
Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Pembiayaan Terorisme,
Cetakan Kedua, Kreatama, Jakarta, 2007, hlm. 9-10.
7
Ibid. hlm. 10
8
Michel Camdessus, dalam ibid.
6

tahun di seluruh dunia dari perdagangan gelap narkoba (illicit drug trade) berkisar antara US
$ 300 Miliar dan US $ 500 Miliar.9
Berdasarkan deskripsi di atas dapat diketahui, bahwa kejahatan pencucian uang adalah
kejahatan yang memiliki karakteristik khusus yang pemberantasannya tidak saja untuk
memburu hasil kejahatan pencucian uang tersebut dengan bertitik tolak pada pemberantasan
terhadap kejahatan asalnya, tetapi juga sekaligus pemberantasan terhadap kejahatan ekonomi.
Dengan demikian diharapkan dalam rangka pemberantasan pencucian uang, bukan saja
pelaku kejahatan asalnya tertangkap tetapi juga kemana aliran dana hasil kejahatnnya
terungkap. Hal ini penting diperhatikan dalam konteks diskorsus pemberantasan pencucian
uang, karena pencucian uang disertai oleh kejahatan asal. Oleh karena itu, penegak hukum
harus bisa mendapatkan dua hal sekaligus, yaitu menangkap pelakunya serta hasil
kejahatannya untuk dikembalikan kepada negara atau yang berhak, juga mengungkap
kejahatan asalnya.
Sehubungan dengan keperluan untuk mengungkap kejahatan asalnya, mutlak harus
dilakukan penelusuran terhadap harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana pada
umumnya yang dilakukan oleh lembaga keuangan melalui mekanisme yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Lembaga keuangan memiliki peranan penting, khususnya
dalam menerapkan prinsip mengenali pengguna jasa dan melaporkan transaksi tertentu
kepada otoritas (financial intelligence unit) dalam hal ini Pusat Pelaporan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) sebagai bahan analisis dan untuk selanjutnya disampaikan kepada
penyidik. PPATK tidak hanya berperan dalam membantu penegakan hukum, tetapi juga
harus mampu menjaga dirinya atau memproteksi sistemnya dari berbagai resiko seperti resiko
akan digunakan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab, dalam hal ini pelaku tindak pidana
money laundering untuk menyimpan uangnya yang didapat dari hasil tindak pidana dengan
tujuan menyamarkan asal usul harta kekayaannya tersebut.
Dalam rangka pemberantasan kejahatan pencucian uang, untuk pertama kali ditetapkan
kebijakan legislasi yang perumusannya diformulasikan dalam Undang-undang (UU) No. 15
Th. 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. UU ini diperbaharui dengan UU No. 25 Th.
2003 tentang Perubahan atas UU No. 15 Th. 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Namun dalam perjalanan waktu, mengingat UU ini dinilai belum optimal, antara lain karena
ternyata masih memberikan ruang timbulnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah
hukum, kurang tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pergeseran beban

9
FATF, dalam Ibid.
7

pembuktian, keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis laporannya,
kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana UU.
Mengingat UU yang disebut terakhir di atas dinilai masih terdapat kelemahan-
kelemahan kebijakan legislasi, kemudian diganti dengan UU No. 8 Th. 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disingkat UU
TPPU). Dalam UU TPPU ini kebijakan legislasi yang ditetapkan antara lain adalah :
1. Redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana Pencucian Uang;
2. Penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana Pencucian Uang;
3. Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administratif;
4. Pengukuhan penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa;
5. Perluasan Pihak Pelapor;
6. Penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa lainnya;
7. Penataan mengenai Pengawasan Kepatuhan;
8. Pemberian kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk menunda Transaksi;
9. Perluasan kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap pembawaan
uang tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean;
10. Pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan
tindak pidana Pencucian Uang;
11. Perluasan instansi yang berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan PPATK;
12. Penataan kembali kelembagaan PPATK;
13. Penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk menghentikan
sementara Transaksi;
14. Penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana Pencucian Uang; dan
15. Pengaturan mengenai penyitaan Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana.

Perlu diketahui, sebelumnya sistem hukum Indonesia belum mengenal tindak pidana
pencucian uang, tetapi negara Barat seperti Amerika, Inggris, dan Prancis telah lama
mengenal pencucian uang yang dikenal dengan istilah Money Laundering. Di Amerika
Serikat, hal ini baru diundangkan pada 1986 dengan adanya Money Laundering Control Act
1986. Sebelum itu, pencucian uang bukanlah kejahatan. Dalam tindak pidana pencucian
uang, setiap perkara akan dihadapkan kepada dua jenis tindak pidana, yaitu tindak pidana
pencuian uang sendiri dan tindak pidana semula yang disebut tindak pidana asal, delik awal,
atau predicate crime.
8

Menyikapi kebenaran substansi dari semua paparan di atas, secara objektif kita
menyetujui jika pencucian uang digolongkan sebagai suatu perbuatan jahat, karena
bertentangan dengan nilai-nilai sosial kemasyarakatan dan keadilan, apa lagi perbuatan
demikian itu berdampak langsung pada negara dalam hal ini kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara (negara sebagai korban) dalam hubungannya dengan tindak pidana
korupsi sebagai kejahatan asalnya. Oleh karena itu secara kriminologis perlu dikaji
bagaimana perspektif atau pandangan kriminologi terhadap kejahatan pencucian uang
dikaitkan dengan tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana asal (predicate offence). Guna
pemahaman komprehensif, sekaligus juga dilakukan kajian secara viktimologis korban dari
kejahatan pencucian uang dikaitkan dengan tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana asal
(predicate offence). Inilah yang menjadi permasalahan dan sekaligus sebagai objek penelitian
dalam usulan penelitian (UP) ini.
Dijadikan permasalahan dan sekaligus sebagai objek penelitian, adalah di samping
untuk mengetahui faktor-faktor penyebab (criminal etiology) dan bagaimana upaya
pencegahannya dan atau penanggulangannya (crime prevention) ditinjau dari perspektif
kriminologi. Juga sekaligus untuk mengetahui aspek korban dari tindak pidana pencucian
uang melalui perspektif viktimologi. Selain itu perlu juga dikemukakan alasan-alasan
mengapa permasalahan penelitian sebagaimana disebutkan di atas diteliti. Dasar
pembenarnya, karena kejahatan pencucian uang dengan tindak pidana korupsi sebagai tindak
pidana asal (predicate offence), pada akhir-akhir ini banyak dilakukan di Indonesia. Hasil
tindak pidana korupsi oleh pelakunya, baik yang berkedudukan sebagai pejabat negara
maupun tidak, berusaha disembunyikan atau disamarkan dengan cara melakukan pencucian
uang. Oleh karena itulah, tindak pidana pencucian uang pada akhir-akhir ini menjadi
perbincangan yang serius berkaitan dengan tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana
asalnya yang terus diungkap oleh aparat peradilan pidana terutama Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Selanjutnya permasalahan penelitian dimaksud, pemecahannya dilakukan
dengan menggunakan teori-teori etiologi kriminal dan konsep-konsep kejahatan sebagai pisau
analisis yang terdapat di dalam disiplin ilmu kriminologi, dan teori-teori serta konsep-konsep
korban kejahatan dalam disiplin ilmu viktimologi. Semuanya itu pada akhirnya akan dicari
kesesuaiannya dengan teori-teori dan konsep-konsep hukum tentang kejahatan dan korban
yang terdapat di dalam disiplin ilmu hukum, khususnya hukum pidana dan hukum acara
pidana.
Mengacu pada seluruh rangkaian paparan di atas, terutama terkait dengan permasalahan
yang hendak diteliti, judul penelitiannya dirumuskan sebagai berikut :
9

“PERSPEKTIF KRIMKINOLOGI DAN VIKTIMOLOGI TERHADAP TINDAK


PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN PREDICATE OFFENCE TINDAK
PIDANA KORUPSI”.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, pembahasan terhadap objek penelitian ini
akan dibatasi dengan menetapkan identifikasi masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah perspektif kriminologi terhadap tindak pidana pencucian uang
dengan predicate offence tindak pidana korupsi?
2. Bagaimanakah perspektif viktimologi terhadap tindak pidana pencucian uang
dengan predicate offence tindak pidana korupsi?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari Penelitian ini adalah :


1. Untuk mengetahui perspektif kriminologi terhadap tindak pidana pencucian uang
dengan predicate offence tindak pidana korupsi.
2. Untuk mengetahui perspektif viktimologi terhadap tindak pidana pencucian uang
dengan predicate offence tindak pidana korupsi.

D. Kegunaan Penelitian

Selain beberapa tujuan penelitian yang hendak dicapai seperti disebukant di atas,
penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut :
1. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan berguna untuk pengembangan ilmu hukum pada
umumnya, khususnya ilmu hukum pidana, kriminologi dan viktimologi, terutama
berkaitan dengan konsep pemikiran secara lebih logis, sistematis dan rasional dalam
meneliti permasalahan tindak pidana pencucian uang dengan predicate offence
tindak pidana korupsi
2. Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan berguna untuk memberikan masukan kepada para praktisi
hukum, baik Polisi, Jaksa, Hakim, dan Pengacara mengenai penegakan hukum di
bidang tindak pidana pencucian uang dengan predicate offence tindak pidana
korupsi.
10

E. Kerangka Pemikiran

Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebagai suatu tindak pidana telah berkembang
sejak dekade 1920-an dan telah menjadi mata rantai penting dalam kejahatan. Pelaku-pelaku
kejahatan menyembunyikan hasil kejahatan dalam sistem keuangan atau dalam berbagai
bentuk upaya lainnya. Tindakan menyembunyikan hasil kejahatan atau dana-dana yang
diperoleh dari tindak pidana dimaksudkan untuk mengaburkan asal usul harta kekayaan. Sifat
dasar kejahatan itu sendiri secara umum, berupaya memperoleh keuntungan keuangan
sebanyak-banyaknya dari kejahatan yang dilakukannya. Sementara, pelakunya berupaya
untuk menjadi sosok yang baik dan tidak ada seorangpun yang diharapkannya beranggapan
bahwa dirinya telah melakukan kejahatan.Oleh karena itu, pelaku kejahatan pencucian uang
akan selalu melakukan berbagai upaya agar keuntungan ataupun dana yang diperoleh dari
hasil kejahatannya tersebut dapat dinyatakan berasal dari aktivitas yang legal. Pencucian uang
misalnya dapat dilakukan dengan cara pembelian aset (property), menyimpan dalam sistem
keuangan, melakukan pembelian instrumen keuangan atau bahkan mendirikan usaha bisnis.
Semua itu dilakukan tujuannya agar keuangan atau harta kekayaannya memiliki landasan
hukum yang kuat, dan pelakunya dapat menikmati keuntungan dari hasil aktivitas kriminal
yang telah dilakukan.
Perkembangan kehidupan manusia yang diwarnai oleh kebaikan dan kejahatan
menyebabkan kejahatan mempunyai eksistensinya sesuai dengan berlansungnya kehidupan.
Ketertiban dan keadilan menjadi ukuran dan dambaan sempurnanya kehidupan. Ketika terjadi
kejahatan, ketertiban menjadi terganggu, dan ketika pelaku kejahatan tidak berhasil diberi
ganjaran pidana yang dinilai setimpal, keadilan menjadi terusik. Hukum kemudian menjadi
faktor pencegah serta sarana untuk mengembalikan ketertiban dan memberikan keadilan serta
memidana mereka yang dinilai bersalah. Kendati demikian tetap saja kejahatan tidak
sepenuhnya dapat dipunahkan. Berbagai faktor kriminogen yang bersifat kompleks, menjadi
penyebab kejahatan tetap terjadi dan terus eksis di dalam masyarakat.
Mengenai bagaimana cara pemberantasannya, masyarakat sepakat secara yuridis hukum
pidana harus ditegakkan untuk melawan dan menghancurkan kejahatan dan memenjerakan
pelakunya. Dengan adanya kesepakatan masyarakat mengenai penegakan hukum dengan cara
pemidanaan, pelaku kejahatan akan berupaya untuk mengindar dari penegakan hukum
dengan menggunakan cara-cara tertentu, kalau bisa mendapatkan keuntungan dari tindakan
penghindaran dirinya tersebut. Bahkan juga dipersiapkan untuk memperlancar tindakan
11

curang lainnya atau mengembangkan dan meningkatkan target keuntungan dari perbuatan
curang di kemudian hari.
Konsep pencucian uang (money laundering) secara harafiah juga diistilahkan dengan
pemutihan uang, pendulangan uang atau disebut dengan pembersihan uang dari hasil
transaksi gelap (legitimazing illegitimate income). Kata money dalam istilah money
laundering berkonotasi beragam, ada yang menyebutnya sebagai dirty money, hot money,
illegal money dan illicit money. Dalam istilah Indonesia juga disebut secara beragam, berupa
uang kotor, uang haram, uang panas atau uang gelap.10 Tampaknya terdapat universalisme
pada konsep uang dalam istilah money laundering atau pencucian uang, yaitu hasil kejahatan
atau uang yang berasal dari kegiatan ilegal. Artinya, hanya uang-uang yang demikian yang
dicuci dalam sitem keuangan.11
Pencucian uang secara umum dapat diartikan sebagai aktivitas perbuatan
memindahkan, menggunakan, atau melakukan perbuatan lainnya atas uang hasil tindak
pidana yang kerap dilakukan oleh kelompok kejahatan (organized crime) maupun individu
yang melakukan tindak pidana korupsi, perdagangan narkotika, dan tindak pidana lainnya
dengan tujuan nmenyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil
tindak pidana tersebut, sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah tanpa
terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari kegiatan yang ilegal. Pencucian uang dimaksudkan
untuk melegalisasikan uang hasil kejahatan yang dimaksudkan ke dalam sistem keuangan,
sehingga kemudian dapat ditarik dan dimasukan kembali tanpa kesulitan.
Jadi secara umum, money laundering merupakan metode untuk menyembunyikan,
memindahkan, dan menggunakan hasil dari suatu tindak pidana, kegiatan organisasi tindak
pidana, tindak pidana ekonomi, korupsi, perdagangan narkotika dan kegiatan-kegiatan
lainnya yang merupakan aktivitas tindak pidana. Melihat pada definisi di atas, maka money
laundering atau pencucian uang pada intinya melibatkan aset (pendapatan/kekayaan) yang
disamarkan sehingga dapat digunakan tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari
kegiatan yang ilegal. Melalui money laundering pendapatan atau kekayaan yang berasal dari
kegiatan yang melawan hukum diubah menjadi aset keuangan yang seolah-olah berasal dari
sumber yang sah/legal.12
Alasan mengapa hasil kejahatan harus dicuci terlebih dahulu? Ini disebabkan karena
kejahatan menghasilkan uang dalam jumlah yang sangat besar, apabila digunakan secara

10
N.H.T. Siahaan, Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005),
hlm. 10.
11
Ivan Yustiavandana dkk, loc.cit.
12
Yesmil Anwar dan Adang, Kriminologi, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 36.
12

langsung akan mengundang kecurigaan terutama aparat penegak hukum. Guna memenuhi
tujuan demikian, pelaku kejahatan melakukan tindakan menyamarkan atau menyembunyikan
hasil kejahatannya agar tidak terdekteksi oleh aparat hukum, sehingga hasil kejahtan tersebut
dapat digunakan secara aman, seakan-akan berasal dari kegiatan yang sah.
Proses pencucian uang tersebut dilakukan melalui kegiatan-kegiatan legal, antara lain
dengan memanfaatkan lembaga-lembaga keuangan khususnya perbankan, atau usaha real
estate, money changer dan usaha lainnya. Pada dasrnya kegiatan tersebut terdiri dari 3 (tiga)
langkah yang masing-masing berdiri sendiri, tetapi seringkali dilakukan bersama-sama yaitu
Placement, Layering dan Integration.13
Placement (penempatan), yaitu upaya menempatkan uang yang dihasilkan dari suatu
aktivitas kejahatan. Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik dari uang tunai melalui
penyeludupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain; atau menggabungkan uang yang
berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah; ataupun
dengan melakukan penempatan uang giral ke dalam sistem perbankan seperti deposito bank,
cek atau melalui real estate atau saham-saham atau juga mengkonversikan ke dalam mata
uang lainnya atau mentranferkan uang ke dalam valuta asing.14
Layering (Pelapisan), yaitu memisahkan uang hasil kejahatan dari sumbernya melalui
beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dan hasil
placement dari suatu tempat atau lokasi tertentu ke tempat lain melalui serangkaian transaksi
yang didesain untuk menyamarkan/mengelabui sumber dana haram tersebut, sehingga
menutup indentias pemilik yang sebenarnya mapun sumber uang haram tersebut. Prasarana
yang digunakan dapat berupa transfer berbagai rekening bank atas nama nasabah yang saling
mengenal satu sama lain antar bank antar negara, atau perusahaan gadungan yang disengaja
dibentuk dan beroperasi di manca negara.15
Integration (penggabungan) yaitu upaya menetapkan suatu landasan sebagai
“legitimate explanation” bagi hasil kejahatan. Dalam hal ini, uang haram yang telah dicuci
melalui placement maupun layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan resmi sesuai
dengan aturan hukum sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas

13
Eddhie Trinugroho, Perkembangan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia, Newsletter No.
58/September 2004, hal 7-8 dan Muhammad Aulia Gislir, Aspek Hukum Praktek Money Laundering Melalui
Sarana Perbankan, Newsletter No. 39/X/Desember/1999, hal 13
14
Ibid.
15
Ibid.
13

kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang dicuci. Pada tahap ini uang yang
telah dicuci dimasukkan kembali ke dalam bentuk yang sesuai dengan aturan hukum.16
Dengan menggunakan metode tersebut, uang hasik kejahatan menjadi sulit dilacak
karena melalui proses legal, uang yang berasal dari kejahatan telah diputihkan sehingga uang
tersebut menjadi seolah-olah berasal dari sumber keuangan yang legal, sehingga pelaku
kejahatan dapat bebas dan aman menggunakannya.
Menyadari sepenuhnya, bahwa kejahatan money laundering bersifat sangat merugikan
masyarakat dan anti sosial, dalam hal ini merugikan keuangan negara dan perekonomian
negara, baik secara makro maupun mikro karena ia bersifat korosif terhadap sendi-sendi
perekonomian, sehingga dapat mengancam serta mengacaukan sistem keuangan dan
perekonomian negara dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat, karenanya
perbuatan demikian itu perlu dilakukan pencegahan dan pemberantasan. Pemberantasan
dimaksud di dalamnya mencakup pula pemberantasan terhadap asal-usul atau sumber dari
harta kekayaan yang hendak di”cuci” tersebut dalam rangka pengembalian harta kekayaan
hasil kejahatan pencucian uang. Hal ini perlu dilakukan, karena kejahatan money laundering
tidak berdiri sendiri. Artinya kejahatan ini dilakukan karena harta kekayaan pelaku berasal
dari hasil kejahatan atau tindak pidana tertentu yang disebut dengan dengan predicate crime
atau predicate offence, seperti korupsi. Oleh karena itu, dalam rangka pemberantasannya
perlu dilakukan penelusuran terhadap harta kekayaan pelaku yang berasal dari hasil kejahatan
atau tindak pidana tertentu tadi.
Berkaitan dengan preficate offence yang dimaksud dalam objek penelitian ini adalah
tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3
UU No. 31 Th. 1999 jo UU No. 20 Th 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketentuan dari masing-masing pasal tersebut formulasi selengkapnya adalah sebagai berikut:
Pasal 2 ayat (1) :
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

Sedangkan Pasal 3 :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
16
Ibid.
14

perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”

Membenarkan substansi pernyataan-pernyataan di atas, secara objektif dapat disetujui,


bahwa pencucian uang adalah suatu kejahatan, karena sesungguhnya ia bertentangan dengan
nilai-nilai sosial kemasyarakatan dan keadilan. Apa lagi perbuatan demikian itu berdampak
langsung pada negara dalam hal ini kerugian keuangan negara atau perekonomian negara
(negara sebagai korban) terlebih tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi. Dan
mengingat kejahatan pencucian uang sering menggunakan sistem keuangan melalui
perbankan, maka sering pula kejahatan ini digolongkan sebagai kejahatan kerah putih (white
collar crime) di bidang perbankan. Mengingat juga kejahatan ini dilakukan oleh orang-orang
yang memiliki pendidikan dan tingkat sosial serta perekonomian yang tinggi, maka
pelakunya digolongkan sebagai pelaku kejahatan kerah putih (white collar criminal). Dalam
pencucian uang antara hasil kejahatan (proceed of crime) dengan tindak pidana asal
(predicate crimes) merupakan satu kesatuan yang sangan erat terkait.
Oleh karena itu secara kriminologis perlu dikaji bagaimana perspektif atau pandangan
kriminologi terhadap kejahatan pencucian uang dikaitkan dengan tindak pidana korupsi
sebagai tindak pidana asal (predicate offence). Hal tersebut sesuai dengan permasalahan
pertama dari objek penelitian ini yang pemecahan atau analisis terhadap permasalahannya
dilakukan dengan menggunakan teori-teori etiologi kriminal dan konsep-konsep kejahatan
yang dimiliki oleh disiplin ilmu kriminologi yang dinilai relevan. Namun sebelum semua itu
dipaparkan, terlebih dahulu dikemukakan definisi kriminologi dan kejahatan menurut konsep
kriminologi.
EH. Sutherland mengatakan : “Criminology is the body of knowledge regarding crime
as a social phenomenon”. Mengacu pada definisinya itu, dinyatakan bahwa subject matter
Kriminologi mencakup hal-hal berikut :
1. Proses-proses pembuatan undang-undang (Processes of making laws);
2. Proses-proses pelanggaran undang-undang (Processes of breaking of laws);
3. Proses-proses reaksi terhadap pelanggaran undang-undang (Processes of reacting
toward of breaking of laws).

Menurut S u t h e r l a n d , proses-proses di atas merupakan 3 (tiga) aspek yang satu


dengan yang lainnya memiliki hubungan causalitas determinant yang saling pengaruh-
mempengaruhi, sehingga dengan adanya ruang lingkup tersebut menurut Sutherland
Kriminologi terdiri atas 3 (tiga) bagian utama, yaitu :
1) Sosiologi Hukum (Sociology of law), adalah suatu ilmu yang berusaha mengadakan
penganalisisan secara ilmiah tentang kondisi-kondisi sosial yang mempengaruhi
15

perkembangan hukum pidana (untuk mengetahui sejaufimana hukum pidana yang


berlaku, ditaati oleh masyarakat);
2) Etiologi Kejahatan (Criminal etiology) adalah suatu ilmu yang berusaha
mengadakan penganalisisan secara ilmiah tentang sebab-sebab terjadinya
kejahatan;
3) Penologi (Penology) sadalah uatu ilmu yang bertugas mempelajari cara pemberian
hukuman (pengontrolan/penendalian kejahatan). Namun penologi bukan menjadi
scope kajian dari hukum pidana, tetapi merupakanmetode penanggulangan
kejahatan yang b e r s i f a t p u n t i f ( h u k u m a n ) . 17

Menurut G. Peter Hoefnagels:


Criminology is empirical science, related in part to the legal norm, which studies crime
and the formal and informal processes of criminalization and decriminalization, the
offense – offender – society situation, the causes and relations between the causes, and
the official and unofficial reactions and responses to crime, criminals and society by
others than offenders.18

Sedangkan menurut Martin L. Haskell dan Lewis Yablonsky mengatakan :


“Krimkinologi adalah studi ilmiah tentang kejahatan dan penjahat mencakup analisis
tentang sifat dan luas kejahatan (juga sebab-sebab kejahatan), perkembangan hukum
pidana dan pelaksanaan peradilan pidana (termasuk pembinaan terhadap pelaku
kejahatan)”.19

Setelah dikemukakan definisi kriminologi yang menurut Stephen Schafer juga


mempelajari efisiensi sistem pemidanaan, karena pemidanaan merupakan reaksi dari
kejahatan, 20 berikut ini dikemukakan pengertian kejahatan yang di dalam Kriminologi
diskursus mengenai pengertian kejahatan ini dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) konsep
(pengertian) ”kejahatan”. Pertama ”menurut hukum” (legal concept (definition) of crime) dan
kedua ”nonhukum” (nonlegal concept (definition) of crime). Konsep kejahatan menurut
hukum di sini lebih mengacu pada hukum pidana yang disebut tindak pidana, delik, atau
criminal offence. Pada intinya adalah perbuatan yang oleh undang-undang hukum pidana
dilarang dilakukan dan diancam dengan pidana. Kata kuncinya adalah ’hukum pidana” tidak
termasuk hukum lainnya. Jika undang-undang hukum pidana tidak menetapkannya sebagai
kejahatan (tindak pidana), maka ia bukanlah kejahatan (terikat oleh asas legalitas atau legality
principle) 21 . Sutherlad dengan menggunakan istilah criminal behavior (perilaku kriminal)

17
Edwind H. Sutherland and Donald R. Cressey, Principles of Criminology (New York: JB. Lippincott
Company , 1960), p. 3.
18
G.Peter Hoefnagels, The Others Side of Criminology (Holland: Kluwer B.V., Deventer, 1973), p. 51.
19
Widiada Gunakaya, Kriminologi Dan Viktimologi, Program Studi Magister Ilmu Hukum (Bandung:
Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 2017), hlm. 7.
20
Ibid.
21
Ibid., hlm. 24.
16

untuk menyebut kejahatan, memberikan pengertiannya dengan sangat terikat pada legality
principle, dikemukakan :
"Criminal behavior is behavior in violation of the criminal law. No-matter what the
degree of immorality, reprehensibility, or indecency of an act, it is not crime unless it is
prohibited by the criminal law".22
Paul W. Tappan, juga demikian, mengatakan :
"Crime is an intentional act in violation the criminal law (statutory or case law),
commited without defense or execuse, and penalized by the state as felony and
misdemenor".23

Senada dengan pendapat kedua beliau di atas, Martin R. Hasskell dan Lewis Yablonsky
mengatakan, kejahatan haruslah berisikan unsur-unsur:
(a) There must be an act or ommision;
(b) The act or ommision must be in violation of a law forbidding or commanding it;
(c) There must be criminal intent (mens rea) or criminal negligence;
(d) There must be a union or joint operation of act and intent, or criminal negliance’
(e) Punisment must be provided by law.24

Definisi kriminologi dan kejahatan sebagaimana dideskripsikan di atas, relevan


digunakan untuk menganalisis kejahatan pencucian uang dengan tindak pidana korupsi
sebagai predicate offence-nya, sehingga dapat diketahui ‘apakah rumusan kejahatan dalam
UU No. 8 Th. 2010 tentang TPPU sudah sesuai ditinjau dari perspeltif kriminologi. Hal ini
perlu dianalisis, karena menurut perspektif kriminologi, kejahatan pencucian uang adalah
kejahatan yang memiliki keterkaitan erat dengan kejahatan lainnya, juga pencucian uang
merupakan salah satu mata rantai dari kejahatan (chain of crime). Umumnya, kejahatan yang
dijalankan secara teratur memiliki lini bisnis, berkegiatan dalam volume besar, melibatkan
dana besar untuk kegiatan operasional dan menghasilkan uang yang sangat besar, sehingga
dikategorikan sebagai kejahatan terorganisasi. Kejahatan terorganisasi adalah kegiatan ilegal
atau kejahatan dalam skala luas, dilakukan secara terus menerus dan dalam jangka waktu
yang panjang oleh sekelompok orang.
Untuk melanggengkan kegiatan ilegal atau kejahatannya, kelompok kejahatan
terorganisasi membutuhkan tempat untuk mengelola uang hasil kejahatan. Sistem keuangan
menjadi tempat favorit pelaku kejahatan untuk melakukan pencucian uang. Jika uang hasil
kejahatan berhasil masuk kedalam sistem keuangan tanpa terdeteksi asal uang, maka uang
tersebut menjadi uang yang legal dan dapat ditarik tanpa kesulitan. Kejahatan yang

22
Edwind H. Sutherland and Donald R. Cressey, cp.cit., hlm. 4.
23
Mulyana Kusumah, Kriminologi dan Masalah Kejahatan (Suatu Pengantar Ringkas), (Bandung:
Armico, 1984), hlm. 20.
24
bid.
17

terorganisasi atau kelompok kriminal yang terorganisasi pasti mencoba memasukan uang
hasil kejahatannya ke dalam sistem keuangan, karena uang hasil kejahatannya sangat besar
dan tidak mungkin dikelola tanpa melalui sistem keuangan.25
Model kejahatan lain yang diyakini juga memiliki kaitan erat dengan pencucian uang
adalah kejahatan kerah putih (white-collar crime). Istilah white collar crime diperkenalkan
oleh kriminolog dan sosiologi EH. Sutherland pada tahun 1939. Sutherland mendefinisikan
kejahatan kerah putih sebagai suatu tindak kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang
memiliki status sosial terhormat dan terpandang dalam kaitannya dengan pekerjaannya. 26
White collar crime secara lebih luas diartikan sebagai suatu perbuatan (atau tidak berbuat)
dalam sekelompok kejahatan yang spesifik yang bertentangan dengan hukum pidana yang
dilakukan oleh pihak profesional, baik oleh individu, organisasi, sindikat kejahatan maupun
yang dilakukan oleh badan hukum. Biasanya, kejahatan tersebut sangat berkaitan dengan
pekerjaanya sehari-hari, dengan tujuan melindungi kepentingan bisnis atau kepentingan
pribadi, untuk mendapatkan uang, harta benda maupun jasa, atau kedudukan dan jabatan
tertentu. 27
Pencucian uang juga mempunyai karakteristik sebagai tindak pidana lintas negara
(transnational crimes). Pencucian uang pada prinsipnya adalah suatu bentuk common crimes
yang telah ada sejak lama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada hal yang
sesungguhnya baru dalam pengertian transnational crimes, kecuali semakin kompleksnya
metode yang dilakukan oleh para pelaku. Pengertian transnational crimes berawal dari
munculnya United Nations Convention Against Transnational Organized Crime yang
dikeluarkan pada Desember tahun 2000 di Palermo, italia. Pengertian transnational crimes
mengacu pada pengertian Organized Criminal Group yang didefinisikan sebagai kumpulan
yang terstruktur yang terdiri dari tiga atau lebih orang yang berdiri dalam periode tertentu
dengan tujuan melakukan kejahatan dan pelanggaran yang serius dalam rangka memperoleh
keuntungan keuangan ataupun materi lainnya. Dalam beberapa kasus, kejahatan lintas negara
senantiasa dilakukan secara terorganisasi dan melibatkan jaringan (network) yang memiliki
kepentingan sama, biasanya kepentingan ekonomi.
Selanjutnya berkaitan dengan faktor penyebab (etiologi kriminal) terjadinya kejahatan
pencucian uang, dikemukakan teori-teori kriminologi yang dinilai relevan. Teori-teori
dimaksud, pertama adalah teori Differential Association dari EH. Sutherland yang

25
Ivan Yustiavanda dkk, op., cit., hlm. 19.
26
Edwin H. Sutherland,White Collar Crime (New York: USA Holt, Rinehart & Winston, 1949).
27
Munir Fuady, Bisnis Kotor, Anatomi Kejahatan Kerah Putih (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hlm.
16.
18

berpendapat, bahwa perilaku kriminal merupakan perilaku yang dipelajari di dalam


lingkungan sosial, artinya semua tingkah laku dapat dipelajari dengan berbagai cara. Oleh
karena itu, perbedaan tingkah laku yang confirm dengan criminal adalah apa dan bagaimana
sesuatu itu dipelajari. Mengingat penekanannya pada proses belajar, maka teori ini disebut
dengan teori proses belajar (learning procces theory). Terdapat 9 (Sembilan) postulat yang
diajukan oleh Sutherland guna memperkuat teorinya tersebut, namun berkaitan dengan
permasalahan pertama dari penelitian ini hanya diaplikasikan 8 (delapan) postulat berikut ini.
1. Kejahatan dipelajari. (kejahatan tidak diwariskan);
2. Kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang-orang lain melalui proses
komunikasi;
3. Bagian pokok dari proses belajar kejahatan, berlangsung di dalam kelompok-
kelompok pribadi yang intim;
4. Proses belajar kejahatan meliputi :
1) teknik-teknik untuk melakukan kejahatan, balk yang rumit maupun yang
sederhana;
2) arah, motif, dorongan, pembenaran dan si.kap-sikap.
5. Arah, motif dan dorongan dipelajari dari penafsiran terhadap undang-undang,
apakah menguntungkan atau tidak;
6. Seseorang menjadi penjahat (delinquen) oleh karena is lebih senang menafsiran
undang-undang sebagai perbuatan pelanggaran hukum daripada perbuatan mentaati
hukum;
7. Pergaulan yang berbeda-beda ditandai oleh seringnya, lamanya, prioritas dan
intensitasnya bergaul terhadap perilaku kriminal;
8. Proses belajar kejahatan berasosiasi pada pola-pola kriminal atau anti kriminal yang
menyangkut semua mekanisme yang terdapat dalam semua proses belajar (secara
negatif mempelajari kejahatan tidak hanya terbatas pada proses peniruan).28
Kedua adalah teori Anomi dari Robert Merton yang mengartikan anomi sebagai
kesenjangan antara sarana (means) dan tujuan atau cita-cita (goals) sebagai hasil
kondisi masyarakat, sehingga penyimpangan tingkah laku atau deviance merupakan
gejala dari suatu struktur masyarakat yang aspirasi budaya yang sudah terbentuk
terpisah dari sarana yang tersedia di masyarakat. Selanjutnya Merton membagi norma-
norma sosial menjadi 2 (dua) jenis, yaitu tujuan sosial (societeal goals) dan sarana-
sarana yang tersedia (acceptable means) untuk mencapai tujuan tersebut.

28
Widiada Gunakaya, op.cit.,hlm. 48. Lihat juga, Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana
Kriminologi & Viktimologi (Jakarta: Penerbit Djambatan, Jakarta, 2007), hlm. 91. Postulasi yang ke 9 tidak
digunakan sebagai pisau analisis, karena postulasi ini berisikan pesan yang tidak membenarkan
kejahatan dilakukan semata-mata karena alasan untuk memenuhi kebutuhan. Postulasi
dimaksud selengkapnya dirumuskan sebagai berikut: “Walaupun kejahatan-kejahatan
merupakan ekspresi atau cerminan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum akan
tetapi tidak dapat dibenarkan jika kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut
dijadikan alasan sebagai tujuan dilakukannya kejahatan, oleh karena perilaku nonkriminalpun
adalah juga merupakan ekspresi dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum tadi”.
19

Konsep anomie Merton adalah sebagai berikut :


“Dalam setiap masyarakat terdapat tujuan-tujuan tertentu yang ditanamkan kepada
seluruh warganya, dan untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat sarana-sarana yang
dapat dipergunakan yang telah ditentukan secara sah”. Ini artinya, secara normatif,
anggota masyarakat dalam rangka mencapai tujuan sosial (social goal) haruslah
dengan menggunakan cara-cara sah yang sudah ditentukan secara formal
(legetimate means). Namun dalam faktanya, anggota masyarakat untuk mencapai
tujuannya tersebut justru menggunakan cara-cara tidak sah (illegetimate means),
sehingga menyebabkan terjadinya penyimpangan perilaku dalam mencapai
tujuannya.29

Lebih lanjut berkaitan dengan permasalahan penelitian kedua, yang pada intinya
mengkaji korban kejahatan pencucian uang dengan predicate offence tindak pidana korupsi,
digunakan teori-teori serta konsep-konsep korban kejahatan dalam disiplin ilmu viktimologi.
Semuanya itu pada akhirnya akan dicari kesesuaiannya dengan teori-teori dan konsep-konsep
hukum tentang korban yang terdapat di dalam disiplin ilmu hukum, khususnya hukum pidana
dan hukum acara pidana. Menurut Arif Gosita “Viktimologi adalah : “Suatu pengetahuan
ilmiah/studi yang mempelajari viktimisasi (criminal) sebagai suatu permasalahan manusia
yang merupakan suatu kenyataan social.”30 Sedangkan menurut J.E. Sahetapy, viktimologi
adalah : “Ilmu atau disiplin yang membahas permasalahan korban dalam segala aspek”.31
Viktimologi yang ontologinya pengetahuan tentang korban kejahatan, secara khusus
mempelajari hubungan dan atau interaksi antara korban dan pelaku kejahatan. Dalam
maknawi yang lebih spesifik dikaji : ‘bagaimana peranan dan kedudukan korban dalam
terjadinya suatu kejahatan di dalam masyarakat’ serta ‘bagaimana reaksi masyarakat terhadap
korban kejahatan’ itu sendiri. Jadi titik eksplanasinya sangat menekankan pada peran korban
kejahatan dalam hal terjadinya suatu kejahatan, sehingga ‘bagaimana proses seseorang
menjadi korban kejahatan’ yang disebut dengan "viktimisasi" menjadi wilayah kajian dari
sains ini. Di dalam perkembangannya, dipelajari pula “viktimisasi structural” yakni
‘bagaimana prosesnya sehingga masyarakat bisa menjadi korban kejahatan’. Viktimisasi
struktural ini bisa terjadi karena peran aktif korban dalam berinteraksi dengan sistem hukum,
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan komunikasi, di samping
hubungan korban dengan kelompok-kelompok tertentu berkaitan dengan aktivitas dalam
rangka merealisasi tujuan hidupnya.

29
Ibid., hlm. 50. Lihatjuga Romli Atmasasmita, Capita Selekta Kriminologi (Bandung: Armico,1983),
hlm. 23.
30
Arif Gosita dalam Widiada Gunakaya, Kriminologi dan …, op.cit., hlm. 62.
31
Ibid.
20

Dikaji dari perspektif viktimologi terhadap permasalahan kedua dari penelitian ini,
karena berhubungan dengan pengertian korban kejahatan pencucian uang secara luas dan
sempit. Dalam pengertian luas, korban dimaksud di sini di samping Negara juga orang yang
menderita atau dirugikan akibat pelanggaran hukum pidana (penal) dalam hal ini UU No. 8
Th. 2010 tentang TPPU jo Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Th. 1999 jo UU No. 20 Th
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), maupun di luar hukum pidana
(nonpenal) yakni korban penyalahgunaan kekuasaan. Korban akibat penyalahgunaan
kekuasaan lazim disebutkan dengan terminologi political victimology. Dan ini merupakan
new victimology yang juga mengkaji korban sebagai akibat pelanggaran terhadap HAM.
Sedangkan dalam pengertian yang sempit, korban diartikan sebagai orang yang menderita
atau dirugikan sebagai akibat dilakukannya kejahatan (tindak pidana) terhadap dirinya.
Demikian pula dilihat dari optik HAM, kejahatan pencucian uang dengan predicate
offence tindak pidana korupsi pada khususnya, menurut Penjelasan Umum UU No. 31 Th.
1999 nyata-nyata dikualifikasikan sebagai pelanggaran HAM, karena melanggar hak-hak
social ekonomi masyarakat. Dengan demikian, masalah kepentingan korban tindak pidana
pencucian uang dengan predicate offence tindak pidana korupsi, sesungguhnya merupakan
bagian dari persoalan HAM. Prinsip universal sebagaimana termuat dalam The Universal
Declaration of Human Right/ UDHR (disahkan oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948),
dan The International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR (diterima oleh Sidang
Umum PBB pada tgl. 16 Desember 1966 dan mulai berlaku pada tgl. 23 Maret 1976) yang
telah diratifikasi oleh Indonesia dan disahkan melalui UU No.12 Th. 2005, mengakui bahwa
semua orang (pelaku maupun korban kejahatan, pen.) adalah sama di depan hukum, dan
berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa perlakuan atau sikap diskriminasi apapun.
Artikel 9 paragraf (5) dari ICCPR telah mengatur prinsip ganti rugi, rumusannya ditetapkan
sebagai berikut : ” anyone who has been the victim of the unlawful arrest or detention shall
have enforceable right to compensation”. Rumusan tersebut kemudian didukung dengan
disahkannya United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, 2002
(Konvensi PBB tentang Menentang terhadap Tindak Pidana Terorganisir Antarnegara). Di
dalam Pasal 25 ditetapkan prinsip bahwa negara-negara nasional hendaknya mengambil
langkah-langkah tepat dalam bentuk sarana-sarana untuk memberikan bantuan serta
perlindungan terhadap korban dari pelanggaran yang tercakup dalam konvensi. Berbagai
prinsip yang ditetapkan di atas mempunyai nilai yang dapat mendukung aspek viktimologis.
Terlebih dapat berfungsi sebagai dasar kebijakan dalam menyusun politik hukum di bidang
21

viktimologi bagi kepentingan korban tindak pidana dan hak-hak korban dari tindakan
perlakuan pelanggaran hukum, khususnya dilakukan oleh aparat hukum atau pemerintah.
Sedangkan kerugian korban tindak pidana dapat dibedakan antara yang bersifat materiel
dan yang bersifat imateriel (misalnya perasaan takut, sakit, sedih, kejutan psikis dan lain-
lain). Korban tipe materiel maka yang harus mengganti atau yang sepantasnya mengganti
adalah pelaku, sedangkan pada korban dengan kerugian imateriel maka masyarakat atau
negara yang harus menyediakannya.

F. Metoda Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode,
sistematika tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum
tertentu dengan jalan menganalisisnya. Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang
mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan
atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.32
Fungsi penelitian dalam rangka mencari kebenaran koherensi adalah mendapatkan
sesuatu yang secara aksiologis merupakan nilai atau ketetapan/aturan sebagai referensi untuk
yang ditelaah. Dalam hal demikian, bukan fakta empiris yang akan diperoleh, melainkan
kesesuaian antara sesuatu yang hendak ditelaah dengan nilai atau ketetapan/aturan atau
prinsip yang dijadikan referensi. Jika terdapat keseuaian diantara kedua hal tersebut, itulah
yang disebut kebenaran dan apabila sebaliknya, tidak ada kebenaran (falsity). 33
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode,
sistematika tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum
tertentu dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan
yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu
pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang
bersangkutan”.34
Penelitian ini dilakukan melalui metode penelitian sebagai berikut :
1. Spesifikasi Penelitian
Di dalam penelitian ini, penting untuk dideskripsikan permasalahan yang menjadi
fenomena yang sekaligus juga menjadi obyek penelitian, dan mengingat aktualitas
dari permasalahan yang diteliti itu memiliki korelasi signifikan dengan fenomena
yang terjadi pada masa sekarang. Oleh karena itu, metode yang dipilih dan
32
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press Tahun 1984), hlm. 43.
33
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, Jakarta, 2005), hlm. 11.
34
Soerjono Soekanto, loc.cit.
22

digunakan dalam mendeskripsikan permasalahan penelitian adalah metode


deskriptif, yang sekaligus juga merupakan spesifikasi dari penelitian ini.
Menurut Moh. Nazir metode deskriptif adalah :
“Suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set
kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.
Sedangkan tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi,
gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta,
sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki”.35

Sedangkan Soerjono Soekanto mengatakan :


“Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti
mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah
terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di dalam
memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru”.36

Menurut Ronny Hanitiyo, penelitian deskriptif adalah :


“Menggambarkan dan menganalisis permasalahan penelitian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang relevan”.37

2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah yuridis normative dilakukan melalui penelitian
kepustakaan atau penelitian data sekunder yang diperoleh dari kepustakaan, karena
data ini bersumber dari bahan-bahan pustaka. Jenis data ini digunakan, karena
penelitiannya adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan,
yakni penelitian dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, 38 berupa bahan
hukum primer, bahan hukum skunder, dan bahan hukum tersier
Di dalam penelitian hukum, Soerjono Soekanto mengatakan bahwa :
”Data sekunder jika dilihat dari sudut kekuatan mengikatnya, digolongkan ke dalam
: bahan hukum primer; bahan hukum sekunder; dan bahan hukum tertier.39

Bertitik tolak pada bahan-bahan hukum tersebut, data sekunder yang digunakan
dalam penelitian ini dikumpulkan dari :

35
Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hlm. 54.
36
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, Jakarta, 1986), hlm. 10.
37
Roni Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian dan Jurimetri (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1998), hlm 32.
38
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Pengantar (Jakarta:Rajawali,
1985), hlm.15.
39
Soerjono Soekanto, ibid., hlm. 49-50. Lihat juga Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian
Hukum Dan Jurimetri (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hlm. 53.
23

a. Bahan hukum primer yang mengikat, berupa UUD 1945 sebagai peraturan
dasar, dan peraturan perundang-undangan yang menyangkut objek penelitian,
yaitu :
1) UUD 1945 amandemen ke empat
2) Undang – Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.
3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang
4) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
b. Bahan hukum sekunder digunakan untuk memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, yaitu berupa RUU, bahan-bahan seminar, simposium,
diskusi panel, hasil karya kalangan hukum, hasil penelitian dan beberapa
literaratur lainnya yang berkaitan dengan materi penelitian.
c. Bahan hukum tertier yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder juga digunakan, seperti kamus dan ensiklopedia yang
berkaitan dengan materi penelitian.
3. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan
perundang-undangan (statute approach). Metode ini digunakan untuk mencari dan
menemukan kesusuain antara permasalahan penelitian dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Artinya penelitian ini menekankan pada ilmu hukum dan
melakukan inventarisasi hukum positif yang berkaitan dengan efektivitas peraturan
perundang-undangan di bidang hukum.40
4. Teknik Pengumpulan Data
Data di dalam suatu penelitian memiliki peranan yang sangat penting, karena data
yang sesungguhnya merupakan fenomena itulah yang akan diteliti dan hendak

40
Peter Mahmud Marzuki, op.cit., hlm. 33.
24

diungkapkan kesahihannya. Hasil suatu penelitian dianggap sahih, data yang diteliti
pun hendaknya harus sahih. Kesahihan data, sangat bergantung sekali dari sumber
data dan dengan cara bagaimana data itu dikumpulkan. Ini berarti, aktivitas
pengumpulan data sangat berkait erat dengan teknik pengumpulan data, dan teknik
ini berhubungan pula dengan sumber data. Sumber data dan teknik pengumpulan
data juga sangat bersesuaian erat dengan permasalahan penelitian. Pengumpulan
data adalah prosedur yang sistematis dan standar untuk memperoleh data yang
diperlukan. Selalu ada hubungan antara teknik pengumpulan data dengan masalah
penelitian.
Teknik atau cara yang digunakan untuk mengumpulkan data terkait dengan
permasalahan penelitian dilakukan dengan cara studi literatur (study of literature),
yakni dengan melakukan penelaahan terhadap literature-literatur yang berkaitan
dengan materi penelitian.
5. Metode Analisa Data
Metode analisis data yang digunakan adalah kualitatif, artinya data yang diperoleh
yang mengarah pada kajian yang bersifat teoritis dalam bentuk asas-asas, konsepsi-
konsepsi, pandangan-pandangan, doktrin-doktrin hukum dan isi kaidah hukum
terlebih dahulu diuraikan secara sistematis, kemudian dilakukan analisis secara
kualitatif. Untuk diperoleh hasil analisis yang menyeluruh, bentuk penganalisisan
datanya dilakukan secara deskriptif dan preskriptif. Maksudnya, penelitian ini tidak
hanya untuk mengungkapkan data sebagaimana adanya, tetapi juga bermaksud
melukiskan realita kebijakan legislasi sebagaimana yang diharapkan. Analisis
kualitatif dengan sifatnya yang demikian itu, selalu bertitik tolak pada analisis
yuridis sistematis dan dilengkapi dengan analisis yuridis emperis, historis dan
komparatif.
Menurut Sunaryati Hartono :
“Dalam melakukan analisa kualitatif yang bersifat deskriptif dan preskriptif,
penganalisaan bertitik tolak dari analisa yuridis sistematis yang untuk
pendalamannya dikaitkan atau dilengkapi dengan analisa yuridis emperis, analisa
historis dan komparatif”.41

41
Sunaryati Hartono, Kembali ke Metode Penelitian Hukum (Bandung: Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran, tanpa tahun), hlm. 38.

Anda mungkin juga menyukai