S1 2015 283082 Chapter1
S1 2015 283082 Chapter1
Perenial
Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan di Indonesia)
ARISTO HERBAWONO
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
1
Macaryus, S. (2010). Serpih-serpih Pandangan Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: Universitas
Sarjanawiyata Tamansiswa
2
Ohmae, Kenichi dalam Budiyanto, F.X. (1991). Dunia Tanpa Batas. Jakarta: Binarupa Akasara
1
Taman Siswa dalam Pusaran Globalisasi Pendidikan (Studi Mengenai Relevansi Konsep Pedagogis
Perenial
Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan di Indonesia)
ARISTO HERBAWONO
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Taman Siswa, yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 3 Juli
tahun 1922 pada masa kolonialisme, merupakan salah satu pergerakan nasional bagi
rakyat Indonesia melalui jalur pendidikan. Hal ini dikarenakan, tujuan Taman Siswa
sendiri adalah menciptakan manusia Indonesia yang merdeka, tidak bergantung pada
penjajah, baik segi fisik, mental, ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Sehingga
benar-benar menciptakan individu yang mandiri, serta menciptakan individu yang
luhur, memiliki jiwa nasionalisme, agar mampu „mengkontrol‟ keadaan di era
kolonialisme.
Berdirinya Taman Siswa sendiri tidak lepas dari keresahan batin yang
dirasakan oleh Ki Hadjar Dewantara terhadap keadaan masyarakat Indonesia pada
masa kolonialisme. Pendidikan yang diajarkan oleh institusi-institusi pendidikan
kolonial, bagi Ki Hadjar Dewantara adalah mendoktrin manusia-manusia Indonesia
untuk berpaham dan berkiblat pada Barat. Sehingga hanya menciptakan individu
yang individualis, intelektualis, materialis, dan profit oriented, namun tidak peduli
pada bangsanya sendiri. Hal ini dapat dilihat pada saat Taman Siswa didirikan,
banyak masyarakat Indonesia sendiri yang mencemooh keberadaannya (pro kolonial).
2
Taman Siswa dalam Pusaran Globalisasi Pendidikan (Studi Mengenai Relevansi Konsep Pedagogis
Perenial
Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan di Indonesia)
ARISTO HERBAWONO
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Padahal, visi dan misi Taman Siswa memiliki nilai-nilai yang luhur, dan yang paling
utama, mengentaskan masyarakat Indonesia dari jerat kolonialisme, sehingga
menciptakan individu-individu yang mandiri, tidak bergantung pada penjajah.
3
Jalaluddin ; Idi, Abdullah. (2012). Filsafat Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
3
Taman Siswa dalam Pusaran Globalisasi Pendidikan (Studi Mengenai Relevansi Konsep Pedagogis
Perenial
Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan di Indonesia)
ARISTO HERBAWONO
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
mereka yang tidak mampu mendapatkan akses untuk menempuh pendidikan. Dalam
konteks ini, terjadi fenomena reproduksi sosial secara berulang-ulang di dalam proses
pendidikan.
4
Prasetyo, Eko. (2006). Orang Miskin Dilarang Sekolah. Yogyakarta: Resist Book
4
Taman Siswa dalam Pusaran Globalisasi Pendidikan (Studi Mengenai Relevansi Konsep Pedagogis
Perenial
Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan di Indonesia)
ARISTO HERBAWONO
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
5
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/09/3/129864/Angka-Putus-Sekolah-di-
Indonesia-masih-Tinggi
5
Taman Siswa dalam Pusaran Globalisasi Pendidikan (Studi Mengenai Relevansi Konsep Pedagogis
Perenial
Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan di Indonesia)
ARISTO HERBAWONO
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Selain itu, kasus yang sangat relevan dengan fenomena globalisasi adalah
masuknya doktrinasi ideologi asing yang mengandung unsur-unsur individualisme ke
dalam kurikulum pendidikan sekolah-sekolah baik dasar hingga menengah atas. Salah
satunya, saya kutip pernyataan yang pernah diungkapkan oleh Prof. Sri-Edi Swasono,
bahwa di dalam mata pelajaran (terutama pendidikan moral atau kewarganegaraan),
selalu mengajarkan tentang „hak‟, „berhak‟, dan „milik pribadi‟ tanpa menyentuh
„kewajiban sosial‟6. Asas kebersamaan dan kekeluargaan, yang merupakan salah satu
falsafah dari ideologi pancasila justru dikesampingkan. Sehingga, yang terjadi adalah
anak didik bangsa Indonesia, terutama pemuda mengalami fenomena krisis identitas,
yang hanya menjadi pengikut ideologi asing.
“Di muka bumi ini tidak ada satu pun yang menimpa orang-orang tak berdosa
separah sekolah. Sekolah adalah penjara. Tapi dalam beberapa hal, sekolah
lebih kejam daripada penjara. Di penjara, misalnya, Anda tidak dipaksa
membeli dan membaca buku-buku karangan para sipir atau kepala penjara”.
Cukup fenomenal pernyataan dari Shaw ini, mengingat di jenjang sekolah, siswa
baru, atau tiap ajaran baru, sekolah mengharuskan siswa membeli buku-buku paket
untuk bahan pembelajaran, sekaligus sebagai syarat kelancaran metodologi
pengajaran. Padahal, biaya sekolah baik uang pembangunan maupun SPP saja sudah
membebani orang tua (baca: golongan menengah ke bawah). Sekarang, ditambah
dengan beban biaya-biaya buku dan seragam yang tentunya menguntungkan bagi
pihak-pihak tertentu dan yang utama, sekolah juga mengambil keuntungan darinya
(tender). Apabila ditarik kesimpulan, dapat dikatakan bahwa hegemoni pasar sudah
masuk hingga ranah pendidikan. Sekolah menjadi sarana komersialisasi dan profit
oriented.
6
Swasono, Sri-Edi. (2004). Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan. Jakarta: UNJ-Press.
7
Prasetyo, Eko. (2006). Orang Miskin Dilarang Sekolah. Yogyakarta: Resist Book
6
Taman Siswa dalam Pusaran Globalisasi Pendidikan (Studi Mengenai Relevansi Konsep Pedagogis
Perenial
Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan di Indonesia)
ARISTO HERBAWONO
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
7
Taman Siswa dalam Pusaran Globalisasi Pendidikan (Studi Mengenai Relevansi Konsep Pedagogis
Perenial
Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan di Indonesia)
ARISTO HERBAWONO
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Majelis Luhur Taman Siswa memiliki latar belakang historis yang sangat
kuat. Pada masa kolonialisme, Taman Siswa memiliki peranan penting, yaitu
melawan penjajahan melalui jalur pendidikan. Mengapa pendidikan? Menurut sang
tokoh utama pendiri Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara, pendidikan merupakan
salah satu sarana untuk mengentaskan masyarakat dari jerat kolonial. Dengan
pendidikan, maka masyarakat akan sadar dan dapat mengatasi keadaan yang ada di
sekitarnya. Selain itu, menurut beliau, sekolah-sekolah yang ada pada masa itu tidak
memuaskan rakyat. Hal ini diikarenakan sistem pengajaran beraliran barat yang
diterapkan pemerintah kolonial pada masa itu bersifat intelektualistik dan
materialistik semata, tanpa memahami budaya-budaya luhur bangsa. Sehingga, bagi
Ki Hadjar Dewantara, penting untuk mendirikan suatu institusi pendidikan non-
kolonial, yang tentunya juga mengajarkan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Dengan
demikian, Taman Siswa merupakan salah satu aset historis pendidikan nasional yang
dimiliki bangsa Indonesia.
8
Taman Siswa dalam Pusaran Globalisasi Pendidikan (Studi Mengenai Relevansi Konsep Pedagogis
Perenial
Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan di Indonesia)
ARISTO HERBAWONO
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10
Macaryus, S. (2010). Serpih-serpih Pandangan Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: Universitas
Sarjanawiyata Tamansiswa
9
Taman Siswa dalam Pusaran Globalisasi Pendidikan (Studi Mengenai Relevansi Konsep Pedagogis
Perenial
Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan di Indonesia)
ARISTO HERBAWONO
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
D. Tinjauan Pustaka
Taman Siswa merupakan salah satu institusi pendidikan yang bertahan sejak
era kolonial hingga sekarang. Pada masa berdirinya, Taman Siswa juga tidak
langsung diterima keberadaannya oleh masyarakat lokal, bahkan mendapat
kecaman.Terutama mereka yang „tunduk‟ pada pemerintah kolonial. Namun, seiring
berjalannya waktu, banyak masyarakat yang mendukung keberadaan Taman Siswa,
mereka inilah yang ingin lepas dari belenggu pemerintahan kolonial.
11
Macaryus, S. (2010). Serpih-serpih Pandangan Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: Universitas
Sarjanawiyata Tamansiswa
12
Lih. Kompas, 2 Mei 2012
10
Taman Siswa dalam Pusaran Globalisasi Pendidikan (Studi Mengenai Relevansi Konsep Pedagogis
Perenial
Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan di Indonesia)
ARISTO HERBAWONO
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
pendidikan Indonesia yang telah diajarkan oleh para pendiri Taman Siswa, terutama
Ki Hadjar Dewantara.
Penelitian terkait Taman Siswa yang lain pernah dilakukan oleh Khoirotun
Nisa (Skripsi, 2009) dengan judul “Pengaruh Administrasi Kesiswaan dalam
Meningkatkan Jumlah Animum Pendaftar di SMA Taman Siswa Mojokerto”. Dari
hasil penelitiannya disebutkan, bahwa keadaan SMA Taman Siswa di Mojokerto
tersebut cenderung stabil, dikarenakan memiliki tenaga pengajar yang memadai (65
pengajar dan 4 staf) dan jumlah murid yang cukup (850 siswa) di tahun ajaran
2008/2009. Hal ini dikarenakan manajemen yang baik dengan didukung administrasi
kesiswaan dan animo pendaftar di SMA Taman Siswa Mojokerto yang juga baik.
Namun, nasib berbeda justru dialami oleh berbagai sekolah Taman Siswa
yang nyaris „mati‟ alias mati suri, bahkan banyak pula yang sudah „mati‟. Data dari
Majelis Luhur Taman Siswa mengungkapkan, bahwa 300 sekolah Taman Siswa
mengalami mati suri, dan hanya sekitar 30% sekolah Taman Siswa yang layak
beroperasi. Hal ini, menurut alumni UST (Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa)
Tri Suparyanto mengatakan, persoalan yang membelit Taman Siswa lebih pada
masalah internal, terutama dalam hal manajerial. Namun, tentu saja masalah eksternal
lebih mudah dilihat, karena banyaknya sekolah-sekolah baru yang dipandang lebih
11
Taman Siswa dalam Pusaran Globalisasi Pendidikan (Studi Mengenai Relevansi Konsep Pedagogis
Perenial
Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan di Indonesia)
ARISTO HERBAWONO
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
E. Kerangka Pemikiran
13
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/05/18/225097/Sekolah-Swasta-
Mati-karena-Kepala-Daerah
14
Macaryus, S. (2010). Serpih-serpih Pandangan Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: Universitas
Sarjanawiyata Tamansiswa
12
Taman Siswa dalam Pusaran Globalisasi Pendidikan (Studi Mengenai Relevansi Konsep Pedagogis
Perenial
Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan di Indonesia)
ARISTO HERBAWONO
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Apabila didasari oleh konsep Freire ini, di dalam sistem pendidikan kita tentu sudah
menjurus pada ranah dehumanisasi, seperti para guru yang mengajar hanya
berpedoman pada kurikulum, mengajar hanya sebagai ajang untuk memenuhi
kewajiban pencarian nafkah semata, tanpa mempelajari konsep among yang diajarkan
oleh Ki Hadjar Dewantara. Contoh fenomena yang terjadi adalah berbagai kasus
sepele yang dialami oleh para siswa, seperti tidak membawa buku tidak
15
Freire, Paulo. (2003). “Pendidikan yang membebaskan, pendidikan yang memanusiakan” dalam
Omi Intan Naomi (Ed) Menggugat Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar (hal. 435)
13
Taman Siswa dalam Pusaran Globalisasi Pendidikan (Studi Mengenai Relevansi Konsep Pedagogis
Perenial
Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan di Indonesia)
ARISTO HERBAWONO
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
diperbolehkan masuk kelas, tidak memiliki buku paket atau seragam tidak boleh
masuk sekolah, dan sebagainya.
E.3. Perenialisme
Perenialisme merupakan salah satu paham filsafat yang berusia sangat tua,
yang mana penamaannya berasal dari tulisan Augostino Steuco (1497-1548) berjudul
De perenni philosophia libri X (1540). Istilah Perenialisme sendiri berasal dari bahasa
latin, yakni dari kata perenis atau perennial, yang berarti tumbuh terus atau hidup
terus dari waktu ke waktu. Perenialisme adalah sebuah ideologi yang mengkritisi
modernisasi, karena modernisasi dinilai telah menunjukkan berbagai dampak
negatifnya dalam berbagai aspek16. Dalam hal pendidikan, terutama modernisasi,
yang tentu terbawa dengan masuknya globalisasi, menyebabkan pendidikan dijadikan
sebagai aset ekonomi oleh pihak-pihak tertentu, yang mana seharusnya pendidikan
pada hakekatnya tidak boleh ada kepentingan-kepentingan ekonomi di dalamnya.
16
Wora, Emanuel. 2006. Perenialisme, Kritik atas Modernisme dan Postmodernisme. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius
14
Taman Siswa dalam Pusaran Globalisasi Pendidikan (Studi Mengenai Relevansi Konsep Pedagogis
Perenial
Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan di Indonesia)
ARISTO HERBAWONO
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
ajaran atau tradisi-tradisi yang sudah ada di masa lalu dengan harapan dapat
membawa perubahan di masa sekarang. Sehingga Perenialisme sering pula disebut
dengan Mazhab Tradisionalisme. Perenialisme sangat erat korelasinya dengan
keadaan Taman Siswa saat ini. Karena mereka berusaha tetap mempopulerkan ajaran-
ajaran luhur dari para pendiri konsep pendidikan nasional, terutama Ki Hadjar
Dewantara, demi merubah konsep pendidikan nasional yang condong ke arah
kapitalisme dan individualistik tanpa memegang teguh nilai-nilai dan moral yang
dijunjung tinggi oleh para leluhur.
Dalam buku karya Emanuel Wora yang berjudul Perenialisme : Kritik atas
Modernisme dan Postmodernisme disebutkan pula bahwa Perenialisme memiliki
unsur teologis yang kuat. Filsafat Perenial melihat bahwa wujud-wujud di dunia ini
berkarakter hierarkis. Tiap-tiap struktur hierarkis yang ada dalam realitas dunia selalu
saling terkait satu sama lain, yang mana kemudian memuncak pada realitas Ilahi.
Berbeda dengan Filsafat Materialis17 yang memiliki pandangan bahwa realitas adalah
sesuatu yang paling sejati, sehingga hal-hal yang tak dapat dirumuskan seperti
teologi, etika, dan estetika dianggap tidak sejati atau tidak ada. Secara garis besar,
17
Emanuel Wora dalam bukunya menjelaskan bahwasannya Filsafat Materialis dapat disebut sebagai
antitesis daripada Filsafat Perenial.
15
Taman Siswa dalam Pusaran Globalisasi Pendidikan (Studi Mengenai Relevansi Konsep Pedagogis
Perenial
Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan di Indonesia)
ARISTO HERBAWONO
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Filsafat Materialis memandang alam semesta sebagai suatu pola mekanistik, sehingga
tidak memberi tempat bagi realitas yang transenden18.
Konsep Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire dalam pendidikan tentu lebih
bersifat Perenial. Ciri khasnya tidak lain adalah untuk mengentaskan manusia
menjadi manusia sejati. Manusia yang dalam rasionalitasnya Habermas tidak hanya
memiliki rasionalitas kognitif-instrumental, namun juga rasionalitas moral.
Rasionalitas moral hanya muncul atas dasar kesadaran masyarakat akan humanisasi,
dan kepercayaan atas realitas Ilahi. Ki Hadjar Dewantara memahami bahwasannya
karakteristik bangsa Indonesia adalah percaya atas keberadaan Sang Pencipta dan
kentalnya gotong royong, karena memiliki kesamaan nasib atas apa yang menimpa
mereka pada masa kolonialisme. Dan yang paling utama, konsep pedagogis Ki Hadjar
Dewantara maupun Paulo Freire tidak akan tertiup hilang seiring bertiupnya zaman,
abadi. Seperti Filsafat Perenial sebagai suatu filsafat yang abadi, sebagaimana yang
disepakati oleh para Perenialis.
18
Wora, Emanuel. 2006. Perenialisme, Kritik atas Modernisme dan Postmodernisme. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius
16
Taman Siswa dalam Pusaran Globalisasi Pendidikan (Studi Mengenai Relevansi Konsep Pedagogis
Perenial
Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan di Indonesia)
ARISTO HERBAWONO
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Dengan kesamaan tujuan, yaitu prinsip pendidikan yang merata hingga pada
titik pendidikan untuk kaum tertindas, dapat dilihat bahwa nilai yang diusung kedua
tokoh ini bersifat etis-humanistik, sebagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam
filsafat perenial. Berbeda dengan konsep filsafat materialis yang lebih pada nilai
mekanis-pragmatis, sehingga menciptakan gap antara tubuh dan pikiran. Pada
umumnya memang filsafat perenial mulai dilupakan disebabkan dominasi filsafat
materialisme. Karena di era modern, manusia telah mulai melupakan hakekatnya
sebagai manusia. Terutama di belahan dunia barat yang memang nilai-nilai perenial
sudah terlupakan, berbeda dengan di belahan dunia timur yang nilai-nilai perenial ini
masih terjaga melalui agama maupun budaya, walaupun realitasnya juga didominasi
oleh materialisme.
17
Taman Siswa dalam Pusaran Globalisasi Pendidikan (Studi Mengenai Relevansi Konsep Pedagogis
Perenial
Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan di Indonesia)
ARISTO HERBAWONO
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Seperti konsep “alam hidup manusia adalah alam hidup perbulatan” misalnya, yang
pada kenyataannya manusia modern telah „sukses‟ memisahkan dirinya dengan alam.
Padahal menurut Ki Hadjar Dewantara, manusia yang dapat menyatu dengan alam
adalah manusia bahagia. Korelasi pemikiran Ki Hadjar Dewantara, Paulo Freire
dengan filsafat perenial adalah sebagai berikut :
Ki Hadjar Dewantara
“Pendidikan yang
Memanusiakan Manusia” Perenialisme
“Sebuah Pemahaman
Filsafat tentang Fenomena
Masa Lampau yang
Memiliki Nilai-nilai yang
Paulo Freire Abadi, seperti etika, moral,
teologi, dan estetika”
“Dehumanisasi, Fenomena
antara Menindas dan
Ditindas”
18
Taman Siswa dalam Pusaran Globalisasi Pendidikan (Studi Mengenai Relevansi Konsep Pedagogis
Perenial
Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan di Indonesia)
ARISTO HERBAWONO
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Dalam perspektif Giddens, salah satu dari empat dimensi globalisasi adalah
ekonomi kapitalisme, dimana pengaruh besar dalam suatu sistem ekonomi dikuasai
oleh pemodal (baca: korporasi) hingga pasar bebas. Dalam hal ini, korporasilah yang
berhak menguasai suatu aset-aset tertentu yang dinilai dapat mendulang profit yang
besar. Implikasinya, tidak sedikit masyarakat lokal yang menjadi „korban‟, dengan
kata lain hanya memperoleh keuntungan yang minimal, bahkan bertendensi pada
kerugian yang dialami golongan rakyat banyak. Kasus semacam ini banyak terjadi di
negara-negara berkembang, khususnya Indonesia. Dalam perspektif Giddens ini,
dapat dinilai bahwa globalisasi sarat akan nilai-nilai materialisme, karena memang
didominasi oleh belahan dunia barat yang memang nilai-nilai perenialnya tak
terlestarikan seperti belahan dunia timur. Yang paling mudah kita lihat adalah
bagaimana korporasi asing ini mengeksploitasi secara berlebihan „karya Tuhan‟ di
Indonesia, hingga alampun telah didominasi oleh manusia. Berbeda dengan nilai-nilai
filsafat perenial yang menempatkan alam dengan manusia sebagai suatu sistem yang
hierarkis.
19
Ibid, hlm 3.
19
Taman Siswa dalam Pusaran Globalisasi Pendidikan (Studi Mengenai Relevansi Konsep Pedagogis
Perenial
Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan di Indonesia)
ARISTO HERBAWONO
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
F. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus (case study). Studi kasus
sendiri merupakan pendekatan yang paling banyak dilakukan pada penelitian
kualitatif. Data-data studi kasus dapat diperoleh dari semua pihak yang bersangkutan
dengan objek penelitian (Nawawi, 2003), sehingga data tidak terbatas dari data
lapangan saja melainkan data literatur juga dibutuhkan.
20
Strauss, Anselm. 2003. Dasar-dasar penelitian kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
20
Taman Siswa dalam Pusaran Globalisasi Pendidikan (Studi Mengenai Relevansi Konsep Pedagogis
Perenial
Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan di Indonesia)
ARISTO HERBAWONO
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
khususnya terhadap informan murid. Hal ini dilakukan agar informan yang tergolong
masih muda dan labil (14-16 tahun) lebih rileks ketika interview.
Data yang dipaparkan di penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan hasil dari interview atau wawancara langsung
terhadap informan yang terkait dengan Taman Siswa. Dengan kata lain, data primer
merupakan data yang diperoleh dari hasil lapangan.
F.4. Informan
Pengurus dari Majelis Luhur Taman Siswa, adalah informan yang terkait
dengan seluruh kegiatan Taman Siswa serta memahami seluk beluk dari
metode dan kegiatan Taman Siswa itu sendiri. Dalam hal ini adalah ketua
21
Taman Siswa dalam Pusaran Globalisasi Pendidikan (Studi Mengenai Relevansi Konsep Pedagogis
Perenial
Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan di Indonesia)
ARISTO HERBAWONO
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
harian Majelis Luhur Taman Siswa, selaku pemantau pusat dari Perguruan
Taman Siswa. Ketua harian Taman Siswa sendiri terdiri darilima orang.
b. Murid
c. Guru / Pamong
Guru memiliki peran yang krusial di dalam proses pendidikan, seperti halnya
dengan peran murid dalam proses pendidikan. Dapat dikatakan, peran guru
dan murid dalam proses pendidikan merupakan suatu relasi resiprokal.
Proses pendidikan tidak akan berjalan dengan adanya murid namun tidak ada
guru, begitu pula sebaliknya.Guru, yang kemudian dalam istilah Taman
Siswa disebut Pamong berperan penting dalam perkembangan peserta didik.
Sehingga dengan adanya data dari perwakilan Pamong, kita dapat
mengetahui bagaimana metode-metode pengajaran yang diterapkan di dalam
sekolah Taman Madya, sekaligus aplikasi konsep pedagogis Ki Hadjar
Dewantara.
22
Taman Siswa dalam Pusaran Globalisasi Pendidikan (Studi Mengenai Relevansi Konsep Pedagogis
Perenial
Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan di Indonesia)
ARISTO HERBAWONO
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Terakhir yaitu studi dokumentasi, yang mana data bersifat literatur atau
kepustakaan (library research). Dalam metode dokumentasi, yang diamati adalah
21
Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
23
Taman Siswa dalam Pusaran Globalisasi Pendidikan (Studi Mengenai Relevansi Konsep Pedagogis
Perenial
Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan di Indonesia)
ARISTO HERBAWONO
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
benda mati, bukan benda hidup22. Data-data dalam metode ini berupa jurnal, catatan,
buku, surat kabar, majalah, maupun media lainnya yang terkait relevansinya dengan
objek penelitian. Tahap terakhir kemudian penulis mensinergikan data-data yang
bersifat primer (lapangan) dan sekunder (dokumentasi).
G. Sistematika Penulisan
Dalam skripsi ini, sistematika penulisan dibagi menjadi 5 bab. Bab pertama
adalah pendahuluan, yang menjelaskan perihal pemilihan judul dan teknik-teknik
penelitian. Bab kedua sekilas mengenai topik permasalahan yang dibahas dalam
22
Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
24
Taman Siswa dalam Pusaran Globalisasi Pendidikan (Studi Mengenai Relevansi Konsep Pedagogis
Perenial
Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan di Indonesia)
ARISTO HERBAWONO
Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
penelitian ini. Bab ketiga dan keempat merupakan pembahasan mengenai topik
permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Dan bab kelima adalah bab terakhir
yang merupakan kesimpulan dari seluruh pembahasan.
25