1
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, “Pendidikan”, diakses dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan#cite_note-1, pada tanggal 15 Oktober 2018 pukul 17.52.
2
Setya Raharja, “Penyelenggaraan Pendidikan Indonesia Nederlandche School (INS) Kayu Tanam
dalam Perpetif Pendidikan Humanis-Religius.” Jurnal Manajemen Pendidikan, No.01/Th
IV/April/2008. Dalam Pendahuluan. 10
untuk rakyat pribumi. Sehingga munculnya sistem pendidikan tidak terlepas dari
politik etis.3
Munculnya pendidikan pada waktu itu tidak semata-mata untuk
mencerdaskan bangsa Indonesia, tetapi lebih mengutamakan pemenuhan
kebutuhan tenaga kerja bagi Belanda. Sistem pendidikan Belanda memberlakukan
perbedaan warna kulit (color line devision) dan beberapa hambatan lainnya.
Sistem pendidikan Belanda pengembangannya disesuaikan dengan status sosial
masyarakat (Eropa, Timur Asing, Tionghoa, dan Bumi Putra atau kelompok
bangsawan kaum priyayi dan rakyat jelata).
Pendidikan pada dasarnya merupakan wadah pembelajaran yang dicari
individu atau kelompok, agar mereka paham akan suatu hal yang sebelumnya
belum pernah mereka ketahui. Pendidikan dalam hal ini terkadang menuntut
orang untuk cepat bisa dan paham akan yang dipelajarinya, padahal jika ditilik
lebih jauh lagi, seharusnya pendidikan menyesuaikan kondisi tiap individu agar si
individu ini bisa mengembangkan kemampuannya dengan baik.
Karena hal inilah kami mengambil dua konsep pendidikan yang diterapkan
pada zaman Belanda dahulu, yaitu yang pertama Taman Siswa yang didirikan
oleh Ki Hajar Dewantara yang sekolah ini tidak hanya mengajarkan siswa dari sisi
kognitif saja, tapi juga afektif, dan psikomotorik. Tanpa mengesampingkan pula
aspek kemanusiaan dari sisi siswa itu sendiri. Kedua, Pendididkan Indonesia
Nederlandche School (INS) Kayu Tanam di Sumatera Barat. Pendidikan ini
berkembang beriringan dengan perjuangan pendidikan Muhammadiyah maupun
Taman Siswa.
3
Trisno Widodo, “Sejarah Pendidikan di Indonesia di Zaman Kolonialisme”, diakses dari
https://www.kompasiana.com/trisno.com/5510b52f813311af36bc6d96/sejarah-pendidikan-di-
indonesia-di-zaman-kolonialisme, pada tanggal 15 Januari 2019 pukul 19:38.
STUDI PUSTAKA
Setya Raharja di dalam jurnalnya yang berjudul “Penyelenggaraan
Pendidikan Indonesia Nederandche School (INS) Kayu Tanam dalam Perpektif
Pendidikan Humanis-Religius”. “Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan tentang
sejarah Pendidikan INS Kayu Tanam, yang didirikan oleh Moh. Syafei era
kolonial Belanda, dan juga impementasi Pendidikan INS Kayu Tanam dilihat dari
perspektif pendidikan humanis-religius. Untuk menguji sejarah dan program
pendidikan INS Kayu Tanam melakukan studi literatur berupa berbagai sumber,
yang diteliti juga sifat pendidikan humanistik dan agama dari beberapa ahli. INS
Kayu Tanam layak mendapatkan apresiasi yang tinggi karena telah
mempraktekkan "proyek berorientasi komunitas" sebelum merumuskannya
menjadi daerah yang sekarang dalam pengembangan pendidikan di Indonesia.
Karena itu, Moh. Sjafei pantas dijuluki sebagai pelopor aliran modern pendidikan
di Indonesia.”4
4
Setya Raharja, “Penyelenggaraan Pendidikan Indonesia Nederlandche School (INS) Kayu Tanam
dalam Perpetif Pendidikan Humanis-Religius.” Jurnal Manajemen Pendidikan, No.01/Th
IV/April/2008. Dalam Abstrak. 9
5
Dyah Kumalasari, “Konsep Pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan Taman Siswa
(Tinjauan Humanis-Religius).” Jurnal Istoria Volume VIII Nomor 1 September 2010. Dalam
Abstrak.47
Jurnal di atas menjelaskan bahwa Ki Hajar Dewantara ingin memajukan
pendidikan bangsa Indonesia. Sama dengan jurnal sebelumnya, bahwa pendidikan
dijaman Ki Hajar Dewantara adalah pendidikan yang membolehkan keturunan
belanda dan priyayi yang bersekolah, sedangkan keturunan pribumi diperintahkan
untuk bekerja. Maka Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa yang
didalamnya mengusung tempat belajar yang menyenangkan untuk peserta didik
segala kalangan. Beliau tidak mengekang peserta didik, justru lebih seperti
mengajak bermain peserta didik agar lebih santai dalam mempelajari pelajaran.
Juga berusaha untuk mengasah kemampuan peserta didik. Hal-hal berikut yang
akan kami coba untuk paparkan dalam pembahasan di paper ini.
6
Henricus Suparlan, “Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya bagi
Pendidikan Indonesia.” Jurnal Filsafat, Vol. 25, No. 1, Februari 2005. Dalam Abstrak. 56
Menggunakan kebudayaan Indonesia dan sedikit mengambil budaya Barat
menjadi salah satu cara untuk mengembalikan pendidikan Indonesia ke arah
mencerdaskan dan memerdekakan bangsa yang sedikit diuraikan dalam
pembahasan paper ini.
Mestika Zed di dalam jurnalnya yang berjudul, “Engku Mohammad
Sjafe’i dan INS Kayutanam” memberikan analisis awal dari pemikiran pendidikan
Mohammas Sjafei, menempatkannya dalam konteks sejarah sosial dan intelektual
masyarakat Indonesia yang lebih besar selama masa kolonial dan sesudahnya.
Gagasan di balik pendirian INS-sekolah yang didirikan oleh Sjafei pada 1920-an
membenarkan dan mengidealkan pendidikan nasional sebagai bentuk perlawanan
intelektual terhadap rezim kolonial Belanda berdasarkan presedensi historis yang
ditemukan dalam ekspansi pendidikan Barat. Studi nya melacak diantaranya: (1)
bagaimana Sjafei mengembangkan filosofi pendidikan sendiri? (2) bagaimana dia
mendefinisikan kembali pengetahuan, pendidikan, sekolah, mengajar dan belajar?
(3) bagaimana dia menantang dan mengubah konsep tradisional pendidikan dan
kurikulum sebagai konten dari keseluruhan proses pembelajaran? (4) gagasan atau
praktik apa dari kontribusi sekolah Sjafei yang hadir dalam pengajaran dan
pembelajaran hari ini? (5) kontribusi apa dari prestasinya yang berguna bagi
pendidikan nasional Indonesia dalam mengembangkan filosofi pendidikan
negara?. Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, akhirnya sampai pada
kesimpulan bahwa dengan satu atau lain cara, seseorang dapat memenuhi syarat
dia sebagai pelopor pendidikan Indonesia modern.7
Jurnal yang ditulis oleh Mestika Zed membahas perihal proses dan
perubahan yang terjadi pada pendidikan zaman Belanda ketika INS Kayutanam
berdiri mencoba untuk melawan model pendidikan tersebut. INS sendiri dalam
jurnal ini ditegaskan sebagai program pendidikan yang membawa masyarakat
dapat menikmati bangku sekolah tanpa memikirkan apakah mereka dari keluarga
kaya atau tidak. Lalu juga dalam jurnal ini dibahas tentang kontribusi atau
gagasan apa saja yang dikemukakan oleh Moh. Sjafe’i di dalam INS untuk
pendidikan Indonesia, tak lupa prestasi apa saja yang sudah di dapatkan program
sekolah tersebut. Serta apakah program pendidikan INS yang didirikan oleh beliau
ini berpengaruh kepada pendidikan di Indonesia saat ini. Keterkaitan pada paper
ini adalah mungkin dibagian model pendidikan dan program pendidikan yang
dikembangkan oleh Moh. Syafei, bahwa mereka sangat mengayomi peserta
didiknya, mereka sangat memperhatikan kesehatan peserta didik. Serta
kemampuan non akademik yang lebih ditonjolkan dalam sekolah tersebut yang
akan disingung di dalam paper ini.
7
Mestika Zed, “Engku Mohammad Sjafe’i dan INS Kayutanam: Jejak Pemikirannya.” Jurnal
Tingkap Vol. VIII, No. 2, Th. 2012. Dalam Abstrak 173.
KERANGKA TEORI
Pendidikan Humanis
Humanisme muncul karena ketidakpuasan terhadap pendekatan
psikoanalisis (ketidaksadaran memainkan tugas penting) dan behavioristik
(tingkah laku manusia).8
“Humanisme adalah cara berfikir bahwa mengemukakan konsep
perikemanusiaan sebagai satu-satunya fokus dan satu-satunya tujuan”.9
Humanisme mengajarkan kepada manusia untuk melupakan siapa yang telah
menciptakannya dan membuat bahwa keberadaan dan identitas merekalah yang
paling penting.10
“Harjana mengatakan Humanisme dipahami sebagai pandangan yang
menekankan pada martabat peran tanggungjawab kemampuan manusia”11.
Pendekatan ini menganggap manusia bermartabat, dapat menentukan sendiri jalan
hidupnya tanpa ada campur tangan orang lain, mampu bertanggung jawab atas apa
yang diperbuatnya. Intinya bahwa pendekatan ini menekankan pada peran
manusia itu sendiri.12
Pendidikan Humanistik, bermakna menekankan pentingnya pelestarian
eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih
berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang. Baik dari segi fisiologis
maupun biologis, artinya manusia mengalami pertumbuhan, perkembangan serta
menua, dan ruhaniah maupun psikologis yang artinya didewasakan, disadarkan
serta disempurnakan.
Jika dilihat dari pandangan islam, Pendidikan Humanis adalah
memanusiakan manusia sesuai perannya sebagai khalifah di bumi. Manusia
dianggap sebagai makhluk yang sempurna. Alasannya terletak dari awal manusia
diciptakan bentuknya, tugasnya yang diberikan selama menjadi khalifah di bumi,
serta kewajiban yang harus dilakukan. Penting bagi manusia untuk
mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya, sehingga tercipta manusia
yang sempurna.
“Pendidikan humanis sebagai pemikiran pendidikan telah berkembang
dengan mengadopsi prinsip-prinsip pendidikan dari dua aliran, yaitu
progresivisme dan ekstensialisme.13
8
Ratna Syifa’a Rachmahana, “Psikologi Humanistik dan Aplikasinya dalam Pendidikan”, el-
Tarbawj, Vol. 1 No. 1, 2008. 99.
9
Zainal Arifin, “Nilai Pendidikan Humanis-Religius”, An-Nuha Vol. 1 No. 2, Desember 2014. 60.
10
Ibid
11
Bayu Fermadi, “Humanisme sebagai Dasar Pembentukan Etika Religius: dalam Perpektif Ibnu
Atha’illah Al-Sakandari”, Islamic Nusantara, Vol. 2 No. 1, Januari-Juni 2018. 74.
12
Ibid.
13
Agus Sutiyo, “Sketsa Pendidikan Humanis Religius”, Insania, Vol. 14 No. 2, Mei-Agustus
2009. 3.
Prinsip progresivisme adalah memandang manusia sebagai subjek yang
bebas dan merdeka. Manusia bertanggungjawab atas hidupnya dan orang lain.
Dalam perspektif pendidikan, peserta didik merupakan pusat dari segalanya,
bukan lagi guru yang berkuasa, karena guru hanya bertindak sebagai fasilitator
dan partner dialog.14
Disisi lain, prinsip pendidikan humanis yang mengacu pada
eksistensialisme menekankan pada keunikan peserta didik sebagai individu, setiap
peserta didik dipandang sebagai individu yang memiliki keunikan yang berbeda
dengan peserta didik lain, memberikan kebebasan atau kemerdekaan dalam diri
individu peserta didik membangun dirinya menjadi seperti apa yang diinginkan.15
Pendidikan Religius
Dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak hanya menciptakan suatu
organisasi untuk mencapai tujuan bersama, namun juga membuat dan
mengembangkan aturan-aturan yang ada. Namun sebenarnya, agama menjadi
dasar pengembangan kehidupan dalam bermasyarakat. Mereka menganggap
bahwa nilai keagamaan mencerminkan kesempurnaan dalam kehidupan sosial.
Walaupun pada kehidupan saat ini nilai keilmuan bersifat ilmiah lebih maju.16
Pendidikan keagamaan dalam pandangan klasik bertujuan untuk
membentuk manusia yang berakhlakul karimah. Ini diperkuat dengan beberapa
ungkapan yang menggambarkan hal tersebut, seperti: Tidak kami utus kami
Muhammad, kecuali untuk memperbaiki akhlak. Jika dilihat pada zaman dahulu,
para Nabi terlahir pada masa jahiliyah, yaitu masa dimana mereka tidak mau
mengikuti ajaran nabi dan tetap berpendirian teguh dalam kebodohan mereka,
dengan menyembah berhala, berperilaku kasar, menindas hak-hak orang lain, dan
lain sebagainya.17
Pendidikan Keagamaan bertujuan membentuk manusia yang berakhlak
mulia, memiliki maksud tidak bertentangan dengan rumusan tujuan pendidikan
dari segi nilai-nilai dan ilmu pengetahuan. Manusia pascamodern menganggap
hidup jika tidak dibarengi dengan adanya nilai-nilai religius (keagamaan) hidup
terasa tidak memiliki makna kebaikan untuk sesama manusia.
Di dalam “Undang-undang sistem Pendidikan Nasional Pasal 30,
dijelaskan bahwa pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik
menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran
agamanya dan atau menjadi ahli ilmu agama. Lebih lanjut ditegaskan di dalam
Penjelasan Umum PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
Pasal 6 ayat 1 buti a, bahwa peningkatan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai
keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual
14
Ibid
15
Ibid. 4
16
Ibid. 5
17
Ibid. 6
ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spiritual tersebut pada
akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang
aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.
Pendidikan Humanis-Religius,
Merupakan sikap yang mengedepankan nilai kemanusiaan dengan nilai
keagamaan secara seimbang. Sikap ini menjadikan manusia sebagai seseorang
yang berbudi luhur dan memiliki sikap religius.
Pendidikan Humanis-Religius adalah usaha sadar yang dilakukan untuk
membentuk manusia yang berbudi luhur, cerdas, terampil baik dalam
berhubungan dengan sesama manusia maupun kepada Tuhan .
Pendidikan Humanis-Religius menekankan kebebasan individu disertai
dengan pendidikan religius sehingga tercipta kehidupan individu dan sosial yang
memiliki kemerdekaan, tanpa meninggalkan nilai keagamaan yang diikuti oleh
masyarakat sekitar, atau menolak nilai ke-Tuhanan.
Dapat diartikan juga bahwa pendidikan humanis religius adalah
menempatkan manusia dalam kedudukan yang tinggi namun tetap tidak
meninggalkan nilai-nilai agama. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa
sesungguhnya pendidikan humanis religius merupakan pengajaran kepada anak
muda dalam mengembangkan potensi yang berorientasi pada manusia seutuhnya
dengan melibatkan aspek tanggungjawab antar manusia dengan Tuhan atas
aturan-aturanNya. Sehingga humanis religius sangat diperlukan agar setiap
indiviud memiliki keshalehan yang sangat dibutuhkan oleh diri sendiri, keluarga,
masyarakat, serta bangsa dan negara.18
Praktik humanis religius sendiri memiliki tujuan agar manusia dapat
memanusiakan dirinya sendiri sehingga seluruh potensinya dapat tumbuh secara
tutuh dan penuh menjadi pribadi yang dapat terus memperbaiki diri dengan
keterlibatan Tuhan sebagai pencipta. Contoh-contoh pendidikan humanis religius
antara lain: peserta didik atau seorang anak muda yang belajar dari pengalaman
hidupnya dan membangun kedisiplinan serta perubahan kearah yang lebih baik,
guru dengan peserta didiknya, orang tua dengan anaknya. Tujuan dari pendidikan
humanis religius ini juga untuk menghargai nilai-nilai agama dan spiritual yang
telah ada, menjunjung tinggi moral manusia, memperkuat semangat, menciptakan
hati yang bersih yang hidup dalam kehidupan yang sederhana.19
18
Ajeng Sarasawati, “ Mengenal Dasar-dasar Humanisme Religious”, diakses dari
https://www.kompasiana.com/ajengardya/592839fbf47a61342328abe6/mengenal-dasardasar-
humanisme-religious, pada tanggal 15 Januari 2019, pukul 19:56.
19
Ibid
Menurut Ibn Khaldun, prinsip humanis religius secara substansial adalah
makna atau nilai-nilai yang terkandung dalam agama (Islam) itu sendiri, yakni:20
1. Prinsip Keadilan (al-adalah), adalah prinsip yang mengajarkan pada
manusia untuk berlaku adil, seimbang, tidak membeda-bedakan antara
manusia yang satu dengan manusia yang lainnya.
2. Prinsip Persamaan/Egalitarian (al-musawah), adalah Islam menegaskan
bahwa kesamaan individu adalah dasar martabar manusia.21 Persamaan
manusia dalam Islam tidak mengenal suku, ras, dan warna kulit.
3. Prinsip Kebebasan Memilih (al-khurriyatul ikhtiar), adalah kebebasan
sebagai nilai Islam ditujukan untuk menjamin hak manusia. Nilai
kebebasan ini bertolah dari asumsi bahwa manusia adalah makhluk
mandiri yang mulia, berpikir, sadar akan dirinya sendiri, berkehendak
bebas, bercita-cita dan merindukan ideal, bermoral.
4. Prinsip Persaudaraan (al-birr wa al-rahmah), nilai persaudaraan dalam
humanisme Islam didasarkan pada kebaikan (al-birr) dan kasih sayang (al-
rahmah). Rasul dan para pengikutnya sangat sayang kepada sesamanya,
meskipun sangat keras terhadap orang kafir yang memusuhi Islam.
Pandangan humanisme religius Ibnu Khaldun tidak terlepas dari
pandangannya yang memandang bahwa manusia adalah makhluk yang utuh,
terdiri dari dimensi jasad dan rohani (roh, akal, dan nafs), memiliki tugas sebagai
khalifah Allah fi al-ardhi dan bertanggungjawab dalam membentuk masyarakat
yang berperadaban maju.
20
Noor Hamid, “Pendidikan Islam dalam Konsep Humanis Religius Perspektif Ibn Khaldun”. An-
Nur Jurnal Studi Islam, Volume ix, Nomor 1, Juni 2017 M/ 1439 H. 31-33.
21
Ali Syari’ati, Humanisme: Antara Islam dan Mazhab Barat, terj. Afif Muhammad, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1996). 63. Lihat Noor Hamid, “Pendidikan Islam dalam Konsep Humanis...”.
An-Nur Jurnal Studi Islam, Volume ix, Nomor 1, Juni 2017 M/ 1439 H. 31
GAMBARAN OBJEK PENELITIAN
Ki Hajar Dewantara, yang bernama asli Suwardi Suryaningrat yang lahir
pada 2 Mei 1879 di Yogyakarta, ia adalah putra dari pangeran di Paku Alam. Pada
3 Juli 1922 beliau mendirikan sekolah yang diberi nama National Onderwijis
Institu Taman Siswa, yang berpusat di balai Pawiyatan (Majelis Luhur) di Jalan
Taman Siswa Yogyakarta dan mempunyai 129 sekolah cabang di berbagai kota
diseluruh Indonesia. Taman Siswa mengajarkan asas keseimbangan (balancing),
yaitu antara intelektualias di satu sisi dan personalitas di sisi yang lain,
maksudnya agar setiap anak didik itu berkembang kecerdasan dan kepribadiannya
secara seimbang.
Mohammad Syafei lahir di Matan Kalimantan Barat tahun 1895. Pada
tanggal 31 Oktober 1926 di Kayu Tanam Sumatera Barat, INS Kayu Tanam pada
mulanya dipimpin oleh ayahnya kemudian diambil alih oleh Moh. Syafei. Sekolah
ini dimulai dengan 75 murid dibagi dalam dua kelas, serta masuk sekolahnya
bergantian karena gurunya hanya satu, yaitu Moh. Syafei sendiri. Dalam INS
Tanam Kayu pengajaran mengutamakan pendidikan keterampilan-kerajinan
dengan mengutamakan menggambar, pekerjaan tangan, dan sejenisnya.
Alasan kami mengangkat dua tokoh utama dalam tulisan ini adalah, karena
selain dari sebagian tugas kuliah juga karena kami ingin mengetahui bagaimana
proses pendidikan di jaman belanda yang diusung oleh dua tokoh berbeda usia
dan juga berbeda daerah tersebut. Bahwa kami menemukan keduanya mempunyai
sedikit perbedaan dalam pelaksanaan pendidikan, namun juga mempunyai
persamaan yang sama. Lembaga yang didirikan oleh keduanya tersebut
mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan pendidikan nasional, yang terdiri
dari mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha
Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan
jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa
tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Konsep Pendidikan Taman Siswa Ki Hajar Dewantara
dan Pendidikan INS Kayu Tanam Mohammad Syafei
Pendidikan adalah kultural untuk membentuk manusia. Kaitan antara
pendidikan dan manusia sangat erat sekali, tidak bisa dipisahkan. Pendidikan
adalah sebuah proses humanisasi, yaitu sebagai media dan proses pembimbingan
manusia muda menjadi dewasa, menjadi lebih manusiawi (humanior). Jalan yang
ditempuh tentu menggunakan massifikasi jalur kultural. Dalam hal ini seharusnya
tidak boleh ada model kapitalisasi pendidikan atau politisasi pendidikan. Karena,
pendidikan secara murni berupa membentuk insan akademis yang berwawasan
dan berkepribadian kemanusiaan.
Disisi lain, pendidikan juga dapat disebut proses religius. Antara pendidik dan
juga peserta didiknya. Maksudnya apa, bahwa pendidikan tidak hanya diisi
dengan materi pengetahuan umum, alam, sosial, dan lain-lain, tapi juga harus
disisipkan nilai keagamaan untuk bekal hidup peserta didik kelak. Bahwa akan
lebih indah jika ilmu pengetahuan berdampingan dengan keagamaan.
Pengajaran pengetahuan adalah sebagian dari pendidikan, yang terutama
dipergunakan untuk mendidik fikiran. Ini diperlukan tidak hanya untuk
memajukan kecerdasan batin, namun juga untuk melancarkan hidup pada
umumnya. Pendidikan fikiran ini sebaiknya dibangun setinggi-tingginya,
sedalam-dalamnya, dan selebar-lebarnya, agar peserta didik kelak dapat
membangun perikehidupan lahir dan batin dengan sebaik-baiknya. Di samping itu
pendidikan jasmani juga penting untuk kesehatan diri dan mendapat keturunan
yang kuat.
22
Dyah Kumalasari, “Konsep Pemikiran Ki Hadjar Dewantara”, Istoria, Vol. VIII No. 1,
September 2010. 53-54.
23
Ibid. 54
Taman Siswa memiliki ciri khas tersendiri, ciri ini disebut dengan
Pancadarma, yaitu:24
1. Kodrat alam, maksudnya manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan
yang bersatu dengan alam. Manusia tidak bisa lepas dari hukum
alam yang ada, kebahagiaan manusia akan tercapai jika manusia
mampu menyelaraskan dirinya dengan hukum alam.
2. Kemerdekaan, maksudnya manusia memiliki kebebasan untuk
menentukan arah hidupnya, namun dengan catatan tidak melanggar
norma-norma yang ada.
3. Kebudayaan, maksudnya manusia dari berbagai suku bersatu
membuat kebudayaan yang ada berkembang kearah yang lebih
berkemajuan.
4. Kebangsaan, maksudnya kesatuan seluruh rakyat dalam suka
maupun duka demi mencapai kebahagiaan lahiriyah maupun
batiniyah seluruhnya, tidak mengandung makna permusuhan tetapi
kemanusiaan yang nyata.
5. Kemanusiaan, maksudnya setiap orang berkewajiban untuk
memiliki keluhuran budi maupun akalnya, jika kewajiban itu
terpenuhi maka akan timbul rasa kasih sayang antar sesama
manusia dan semua makhluk.
Tujuan didirikan Taman Siswa adalah untuk mencetak generasi
penerus bangsa yang memiliki pondasi keimanan yang kuat kepada
pencipta-Nya, memiliki kebebasan lahiriyah maupun batiniyah,
berperilaku baik sesuai dengan norma-norma yang ada, cerdas, terampil
dan berinovasi, bertanggung jawab dan menjunjung tinggi kesejahteraan
dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kebudayaan Taman Siswa mengembangkan “Konsep Trihayu”
yakni seseorang itu jika berbuat hendaknya bermanfaat untuk dirinya
sendiri, orang lain serta bangsanya. Dan konsep yang digunakan pada
kepemimpinan kebudayaan Taman Siswa adalah “Konsep Trilogi
Kepemimpinan”. Terdiri dari Ing Ngarsa sung tuladha (ketika di depan
dapat dijadikan panutan dalam berperilaku), Ing Madya Mangunkarsa
(ketika ditengah mampu menumbuhkan kemauan anggotanya untuk
berjuang), Tut Wuri Handayani (ketika dibelakang mampu mendorong
anggotanya).25
Pendidikan Taman Siswa memiliki karakteristik tersendiri. Dari
segi konsepnya Taman Siswa dapat digolongkan dalam pendidikan
humanis dan sedikit religius. Dikatakan humanis dapat dilihat dari ciri
khas yang telah disebutkan tadi, yaitu Pancadarma yang terdiri dari kodrat
alam, kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan.
24
Ibd.
25
Ibid. 56
Dikatakan sedikit religius karena salah satu tujuan didirikannya Taman
Siswa ini adalah untuk beribadah sebenar-benarnya kepada pencipta-Nya.
Hal lain yang menunjukkan sisi religiusitas dalamTaman Siswa, Ki
Hajar Dewantara dalam pidato pemberian gelar Doktor Honorius Causa
oleh Univerisitas Gajah Mada (Ki Hajar Dewantara, 1964) menyatakan
bahwa: “... Pendidikan tidak bisa dilepas tanpa pendampingan kebudayaan
yang terkandung dalam ketuhanan Yang Maha Esa. Sebab jika pendidikan
diajarkan tanpa pemahaman tentang Ketuhanan Yang Maha Esa maka
intelektualitas manusia akan naik tetapi nafsu juga akan muncul. Sehingga
kehidupan nampak maju tetapi semakin jauh dari nilai kemanusiaan. Hal
ini terjadi jika manusia melupakan Tuhan.”
Artinya, ketika manusia melupakan Tuhan, maka manusia
melupakan dirinya sehingga yang dominan adalah nafsu. Jika nafsu
dominan, maka bencana yang akan muncul.
Penjelasan diatas, mengatakan bahwa antara humanis dan religius
berjalan seimbang sesuai dengan keinginan Ki Hajar Dewantara selaku
pendiri sekolah tersebut. Beliau berusaha tetap membuat masyarakat untuk
berkembang dan maju dengan pendidikan tanpa melupakan agama yang
dianutnya.
Hamid, Noor. “Pendidikan Islam dalam Konsep Humanis Religius Perspektif Ibn
Khaldun”. An-Nur Jurnal Studi Islam, Volume ix, Nomor 1, Juni 2017 M/
1439 H.