Anda di halaman 1dari 4

ARGUMENTASI KRITIS TENTANG GERAKAN TRANSFORMASI KI

HADJAR DEWANTARA DALAM PERKEMBANGAN PENDIDIKAN


SEBELUM DAN SESUDAH KEMERDEKAAN

(Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Filosofi Pendidikan
Nasional)
Dosen Pengampu : Dr. Ujang Jamaludin, M.Pd.

Oleh :
Ai Yanti Fujianti
NIM. 7000001615

PROGRAM PROFESI GURU PRAJABATAN


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
TAHUN 2024
ARGUMENTASI KRITIS TENTANG GERAKAN TRANSFORMASI KI
HADJAR DEWANTARA DALAM PERKEMBANGAN PENDIDIKAN
SEBELUM DAN SESUDAH KEMERDEKAAN

Ki Hadjar Dewantara, atau lebih dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia,


memainkan peran yang tak tergantikan dalam transformasi pendidikan sebelum dan
sesudah kemerdekaan. Analisis kritis terhadap gerakan transformasi Ki Hadjar Dewantara
memberikan gambaran tentang dampaknya yang positif dalam perkembangan pendidikan
Indonesia. Ki Hadjar Dewantara, yang dikenal sebagai pendiri Taman Siswa, memainkan
peran kunci dalam mengubah paradigma pendidikan di Indonesia, menggeser fokus dari
sistem yang eksklusif dan kolonial menuju inklusifitas dan kemandirian pendidikan.
Sebelum kemerdekaan, sistem pendidikan di Indonesia dipengaruhi oleh paham
kolonial yang memberikan perlakuan tidak setara terhadap masyarakat pribumi. Pada
tahun 1854, masa dimana Indonesia masih dikuasai Belanda, Pendidikan untuk bangsa
Indonesia dimulai. Maka pemerintah Belanda mendirikan sekolah bagi rakyat Indonesia,
akan tetapi sekolah itu hanya ditujukan untuk calon-calon pegawai pemerintahan.
Kemudian untuk menarik perhatian rakyat Indonesia, pada tahun yang sama, Belanda
mendirikan BUMI PUTERA atau dalam bahasa Belanda dinamakan Hollandsch
Inlandsche School (HIS). Bumi Putera merupakan dampak adanya politik etnis yang salah
satunya adalah pendidikan, imigrasi, dan irigasi (Niel, 1997 dalam Siregar, 2016).
Meskipun dampak kebijakan politik etnis memberikan angin segar bagi rakyat Indonesia,
terutama pada bidang pendidikan, namun praktek dilapangan berlangsung diskriminatif
dan materialistis (Siregar, 2016) selain itu pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah
Belanda secara tidak langsung mengurangi jiwa patriotisme, semangat gotong-royong,
berdikari, dan semangat kebangsaan lainnya (Ary Gunawan, 2006 dalam Siregar, 2016).
Salah satu tokoh yang berperan aktif dalam pergerakan pendidikan Indonesia adalah
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal dengan Ki Hadjar Dewantara.
Pandangan Ki Hadjar Dewantara saat itu adalah pendidikan merupakan dasar kebudayaan
nasional agar terhindar dari kebodohan dan bisa membebaskan diri dari jeratan penjajah
saat itu. Namun pendidikan saat itu tidak menumbuhkan benih-benih kebudayaan, lebih
kepada individualistis, materialistis, dan inteletualistis. Selain itu menjadikan rakyat
Indonesia menjadi pribadi yang bergantung pada nasib dan bersikap pasif. Oleh karena
itu, pandangan pertama untuk pergerakan pendidikan nasional, pertama pandangan
mengenai jiwa merdeka secara lahir dan batin, kedua pendidikan adalah usaha
memberikan kebatinan, berkebudayaan menuji keluhuran hidup kemanusiaan, ketiga
Pendidikan sebagai sarana pembaharuan. Pendidikan zaman kolonial tidak sesuai dengan
identitas dan karakteristik bangsa Indonesia, tidak dapat mengadakan peri kehidupan,
tidak dapat menjadikan manusia yang merdeka. Sehingga perlu adanya perubahan
pendidikan yang mengutamakan “intelektualisme” menjadi sistem mengajar yang
menyokong kodrat anak-anak yang berdasarkan “tuntunan” bukan “paksaan” agar
menjadi manusia yang merdeka lahir dan batin. Maka pada tahun 1920-1922 cita-cita
pendidikan yang sesuai dengan identitas dan karakter bangsa Indonesia dimulai, lahirlah
Sekolah Taman Siswa yang memberikan pengajaran sebagai bagian peradaban bangsa
dan di sesuaikan dengan perkembangan zaman. Melalui Taman Siswa, beliau
menciptakan lembaga pendidikan yang membuka pintu pendidikan untuk semua
kalangan, tanpa memandang status sosial atau etnis. Gagasan ini mencerminkan semangat
kesetaraan dan keadilan, sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi
ketidaksetaraan pendidikan pada masa tersebut.
Gerakan transformasi Ki Hadjar Dewantara juga memberikan penekanan pada
kebebasan dan kemandirian dalam pendidikan. Ia memandang bahwa pendidikan
seharusnya tidak hanya menciptakan individu yang cerdas secara akademis tetapi juga
membentuk karakter dan kemampuan hidup mandiri. Pendekatan ini merupakan reaksi
terhadap pendidikan kolonial yang lebih menekankan pada reproduksi kelas intelektual
yang tunduk pada otoritas kolonial. Dengan memajukan gagasan ini, Ki Hadjar
Dewantara menciptakan landasan untuk membentuk generasi yang tidak hanya terampil
secara akademis tetapi juga mampu berpikir kritis dan mandiri.
Sesudah kemerdekaan, gagasan-gagasan Ki Hadjar Dewantara terus memainkan
peran kunci dalam pembentukan dasar-dasar pendidikan nasional Indonesia. Dalam
"Undang-Undang Dasar 1945" serta piagam-piagam pendidikan setelahnya, prinsip-
prinsip kebebasan, inklusivitas, dan kemandirian pendidikan tetap menjadi poin sentral.
Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tercermin dalam semangat pendidikan Indonesia untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana tercantum dalam Preambule UUD 1945.
Namun, perlu diakui bahwa implementasi gerakan transformasi ini tidak berjalan
tanpa hambatan. Kendala ekonomi, infrastruktur, dan resistensi terhadap perubahan dari
pihak-pihak tertentu menjadi tantangan yang harus dihadapi. Meskipun demikian, peran
Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa sebagai agen perubahan pendidikan tetap
signifikan dalam membentuk fondasi pendidikan nasional.
Dalam konteks perkembangan pendidikan setelah kemerdekaan, gerakan
transformasi Ki Hadjar Dewantara terus menjadi pedoman. Berbagai lembaga pendidikan
yang mengadopsi prinsip-prinsipnya terus bermunculan, membuktikan relevansinya
dalam menghadapi dinamika zaman. Pendidikan Indonesia tetap berusaha menciptakan
warga negara yang memiliki keterampilan, pengetahuan, dan karakter yang tangguh,
sebagaimana diinginkan oleh Ki Hadjar Dewantara.
Secara keseluruhan, gerakan transformasi Ki Hadjar Dewantara telah memberikan
kontribusi yang tidak terbantahkan dalam perkembangan pendidikan Indonesia. Dari
mengatasi ketidaksetaraan dan menegaskan hak pendidikan untuk semua, hingga
merumuskan prinsip-prinsip pendidikan progresif yang berfokus pada kebebasan dan
kemandirian, Ki Hadjar Dewantara telah meletakkan dasar untuk mencapai visi
pendidikan yang lebih inklusif dan berkualitas. Meskipun tantangan masih ada, warisan
gerakan transformasi ini terus memotivasi dan membimbing upaya pembangunan
pendidikan di Indonesia. Salah satu kontribusi filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara
terhadap pendidikan di Indonesia adalah dengan munculnya model-model pendidikan
pesantren modern yang sering dikenal dengan MBS (Modern Boarding School). Namun
secara jelas adalah dibangunnya SMA Taruna Nusantara yang benar-benar menerapkan
sistem pagu-ron dari Ki Hadjar Dewantara (Suparlan, 2015).
Pendidikan Nasional merupakan pendidikan yang berlandaskan budaya dan kultur
bangsanya, dan ditujukan untuk keperluan kehidupan seta dapat mengangkat derajat
rakyat dan negerinya. Sehingga setiap orang mampu menjalankan kehidupannya dengan
baik untuk sama-sama mewujudkan kemuliaan setiap manusia di dunia.

DAFTAR PUSTAKA
Siregar, Erwin. 2016. Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda Terhadap Pendidikan Kaum
Bangsawan Di Indonesia. Padangsidimpuan : Stkip Tapanuli Selatan.

Suparlan, Henricus. 2015. Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara Dan Sumbangannya


Bagi Pendidikan Indonesia. Yogyakarta : Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa.

Anda mungkin juga menyukai