Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH PELAKSANAAN HUKUM INDONESIA

“TELAAH UU NOMOR 3 TAHUN 2020


TENTANG PERUBAHAN ATAS UU NOMOR 4 TAHUN 2009
TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA”

A. Latar Belakang
Proses pembuatan suatu produk hukum tidak pernah nirkepentingan. Sebab, produk
hukum tertentu pasti mengatur aktor-aktor yang memiliki kepentingan. Mahfud MD (2020)
menerangkan bahwa salah satu jenis hukum yang sudah pasti dipengaruhi kepentingan, terutama
kepentingan politik, adalah hukum yang mengatur mengenai hubungan kekuasaan atau
gezagverhouding.
Meskipun demikian, dengan meluasnya paradigma good governance, hubungan
kekuasaan tidak hanya terbatas di ranah negara saja. Paradigma good governance mensyaratkan
peran aktif masyarakat, baik masyarakat ekonomi maupun masyarakat sipil, dalam tata kelola
kekuasaan, bukan hanya negara saja (Pratikno, 2005). Implikasinya, pengaruh kepentingan
politik dalam proses pembuatan hukum tidak hanya terbatas pada Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara saja.
Salah satu hukum di luar tata kelola pemerintahan yang tidak nirkepentingan adalah
hukum pertambangan. Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba) telah
disahkan pada 12 Mei 2020. RUU yang menuai kontroversi ini dicurigai telah disusupi oleh
kepentingan-kepentingan politik di baliknya. Oleh karena itu, melalui makalah ini, permasalahan
terkait RUU Minerba akan dibahas dengan menggunakan kacamata politik hukum.

B. Rumusan Masalah
a. Apakah latar belakang dari dibentuknya Undang-Undang No. 3 Tahun 2020?
b. Pasal-pasal apa saja yang bermasalah dalam undang-undang tersebut?
c. Bagaimana seharusnya pengaturan atau isi dari pasal yang bermasalah tersebut jika
dikaitkan dengan tujuan negara dan/atau konstitusi?
C. Tujuan
a. Mengetahui latar belakang dibentuknya Undang-Undang No.3 Tahun 2020
b. Mengetahui pasal-pasal yang bermasalah dalam undang-undang tersebut
c. Mengetahui pengaturan atau isi seharusnya dari pasal yang bermasalah jika dikaitkan
dengan tujuan negara dan/atau konstitusi
BAB II
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Pembentukan UU Nomor 3 Tahun 2020


Latar belakang dibentuknya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan
atas Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, yang pertama adalah
karena adanya penyesuaian pembagian kewenangan usaha pertambangan Minerba sehubungan
dengan terbitnya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, khususnya terhadap
kewenangan. Hal inilah yang memerlukan penyesuaian dari sisi pemberian Izin Usaha
Pertambangan dalam UU Minerba agar tidak terjadi tumpang tindih kewilayahan antara
kabupaten dengan provinsi dalam memberikan izin. Kedua, UU Nomor 4 tahun 2004 masih
terdapat banyak kekurangan, salah satunya adalah yang mengatur bahwa Pemerintah Daerah juga
mendapat andil dalam mengelola pertambangan di daerahnya menurut potensi dan caranya
masing-masing. Hal ini dapat menimbulkan “ego sektoral”, dimana daerah hanya akan fokus
pada profit dan perekonomian daerahnya masing-masing. Apalagi daerah-daerah dengan sektor
pertambangan yang kuat dan melimpah, dimana sektor tersebut menjadi alat pendongkrak
pemasukan daerah. Padahal setiap daerah belum tentu memiliki pemasukan dari sektor
pertambangan yang dapat mendongkrak pemasukan daerah.
Alasan ketiga adalah undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara masih belum dapat menjawab perkembangan,
permasalahan, dan kebutuhan hukum dalam penyelenggaraan pertambangan mineral dan
batubara, sehingga perlu dilakukan perubahan agar dapat menjadi dasar hukum yang efektif,
efisien, dan komprehensif dalam penyelenggaraan pertambangan mineral dan batubara
(Jogloabang, 2020). Ini menjadi salah satu pokok latar belakang diadakannya revisi UU Minerba
karena kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara itu mempunyai peranan penting
dalam memberikan nilai tambah secara nyata bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan
pembangunan daerah secara berkelanjutan, tetapi penyelenggaraannya masih terkendala
kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, perizinan, perlindungan terhadap
masyarakat terdampak, data dan informasi pertambangan, pengawasan, dan sanksi, sehingga
penyelenggaraan pertambangan mineral dan batubara kurang berjalan efektif dan belum dapat
memberi nilai tambah yang optimal. Keempat, Untuk mewujudkan pelaksanaan kegiatan
pertambangan yang memenuhi persyaratan teknis dan lingkungan (Sustainable Mining)
(Dpr.go.id, 2020). Karena sebagian besar Izin Pertambangan belum memenuhi aspek kesehatan,
sosial, ekonomi, dan lingkungan sehingga perlu penekanan lanjut terkait dengan Izin Usaha
Pertambangan
Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
Ridwan Djamaluddin dalam Keterangan Pemerintah terhadap pengujian Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), Rabu (21/10/2020), dalam persidangan
keempat yang digelar MK untuk tiga perkara sekaligus, yakni Perkara Nomor
59/PUU-XVIII/2020, Nomor 60/PUU-XVIII/2020, dan Nomor 64/PUU-XVIII/2020 juga
menyebutkan bahwa untuk menilai suatu cabang produksi yang penting bagi negara, termasuk
salah satunya mengenai pengelolaan pertambangan berkelanjutan dan bertanggung jawab yang
seharusnya memberi nilai tambah bagi kemakmuran rakyat, sepenuhnya dilakukan Pemerintah
dengan DPR.

B. Pasal- Pasal Bermasalah


Pasal 1 ayat (13a)
Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB) mengatur mekanisme perizinan yang lebih
mudah dan sederhana. Namun, pasal ini dinilai dapat membuka ruang rente baru. Dimana
nantinya akan membuka celah antara pejabat dan pengusaha melakukan lobi-lobi politik. Surat
Izin Penambangan Batuan (SIPB) nantinya diterbitkan oleh gubernur. Hal ini dikeluhkan oleh
pemerintah kabupaten/kota, karena mereka disini tidak memiliki kewenangan, tetapi banyak
menerima dampak lingkungan dan sosial. Selain itu, pemerintah daerah juga mengeluhkan
terjadinya kerusakan infrastruktur seperti jalan yang rusak akibat aktivitas tambang, terutama
angkutan material tambang seperti batubara, pasir dan batu. Kondisi yang demikian tidak
seimbang dengan bagi hasil atau pendapatan yang diterima oleh daerah (Djafar, 2020).
Pasal 1 ayat (28a)
Perubahan UU minerba pasal 1 ayat 28 a dianggap membuka peluang yang besar bagi
pihak perusahaan untuk melakukan pertambangan seluas-luasnya meliputi kekayaan alam
laut,darat, dan dalam bumi. Hal ini dikhawatirkan menjadi kebebasan yang dapat mengganggu
kegiatan masyarakat karena merujuk pada revisi uu tersebut seluruh ruang lingkup kegiatan
masyarakat dapat berpeluang menjadi wilayah pertambangan. Dapat ditakutkan pula UU ini
dijadikan senjata dalam merebut wilayah pemukiman atau wilayah kegiatan masyarakat untuk
dijadikan wilayah pertambangan. Kemudian terjadi eksploitasi alam yang berlebihan juga
memicu kerusakan lingkungan. Sehingga kestabilan ekosistem dan sumber daya alam di
Indonesia juga akan terancam

Pasal 4 ayat (2)


Perubahan redaksi pada Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 2009 dalam UU Nomor 3 Tahun
2020 dinilai menghilangkan hak dan peran pemerintah daerah dalam hal penguasaan mineral dan
batubara. Pasalnya, pada perubahan tersebut tertulis bahwa penguasaan mineral dan batubara
diselenggarakan oleh pemerintah pusat yang sebelumnya merupakan wewenang pemerintah
daerah. Dengan begitu, segala bentuk pengelolaan pertambangan mineral dan batubara berada di
bawah kendali pemerintah pusat sepenuhnya. Perpindahan wewenang ini dapat menimbulkan
masalah bagi daerah yang memiliki potensi pertambangan mineral dan batubara.
Masalah yang timbul akibat pemindahan hak kuasa atas tambang mineral dan batubara kepada
pemerintah pusat adalah yang pertama, sentralisasi atas penguasaan tambang minerba. Dengan
adanya sentralisasi, eksploitasi minerba akan dilakukan secara bebas dan besar-besaran tanpa
melihat daerah yang terdampak. Hal ini disebabkan kondisi sosial, ekonomi, politik, bentang
alam, dan budaya setiap daerah berbeda. Dengan adanya sentralisasi, pemerintah pusat
cenderung tidak memperhatikan aspek di atas sehingga dapat menimbulkan konflik antara
masyarakat dan negara.
Kedua, Sentralisasi mengubah peran pemerintah pusat yang tadinya hanya menjadi regulator,
kini juga menjadi aktor. Dengan begitu, aktor-aktor di pemerintah pusat yang pro eksploitasi
alam diberikan kesempatan dan kebebasan untuk bermain di dalam proses penyelenggaraan
kegiatan pertambangan minerba. Hal ini tentu sangat merugikan masyarakat dan merusak
lingkungan daerah terdampak pertambangan minerba. Hak hidup layak masyarakat dan alam
sekitar tambang menjadi terancam karena tidak ada jaminan bahwa hak mereka akan dipenuhi
oleh pemerintah pusat. Sebagai aktor sekaligus regulator, bukan tidak mungkin pemerintah pusat
akan secara bebas memberikan izin pertambangan tanpa memperhatikan analisis risiko bagi
lingkungan serta kehidupan sosial-kemasyarakatan.
Ketiga, pengalihan penguasaan tambang akan menghilangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
sektor tambang. Tambang sebagai potensi ekonomi daerah akan diambil alih penguasaannya oleh
pemerintah pusat. Dengan begitu, keuntungan dari produksi hasil tambang yang seharusnya
dimiliki pemerintah daerah menjadi milik pemerintah pusat. Sebagai gantinya, pemerintah
daerah diberi ‘hadiah’ berupa pengeluaran ekstra dalam rangka restorasi lingkungan pasca
kegiatan penambangan.

Perubahan Ketentuan Pasal 22


Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 memuat perubahan ketentuan pada pasal 22 yang
sebelumnya diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang mineral dan batubara.
Dalam Pasal 22 tersebut diuraikan beberapa ketentuan yang menjadi kriteria penentuan Wilayah
Pertambangan Rakyat atau WPR. Terdapat perubahan dalam pasal 22 huruf b yang semula
mensyaratkan bahwa WPR harus mempunyai cadangan primer logam atau batu bara dengan
kedalaman maksimal 25 meter kini telah berubah menjadi maksimal 100 meter. Tidak hanya itu,
pasal 22 huruf d yang awalnya mengatur bahwa luas maksimal Wilayah Pertambangan Rakyat
adalah 25 hektar, juga berubah menjadi maksimal 100 hektar.
Di satu sisi, perluasan wilayah pertambangan rakyat memberikan kesempatan kepada
masyarakat lokal untuk mengambil manfaat dari adanya pertambangan di daerah mereka. Namun
disisi lain, kita juga menghadapi ancaman serius terhadap lingkungan apabila pengelolaan WPR
ini tidak dilakukan dengan baik. Wilayah Pertambangan Rakyat yang semakin luas dan
dikhawatirkan tidak diimbangi dengan pengetahuan yang cukup tentang cara mengelola
pertambangan oleh masyarakat sekitar membuka peluang besar terjadinya kerusakan lingkungan
yang dapat berimplikasi pula pada masyarakat sekitar.
Pasal 42 dan 42A
Adanya perubahan pasal 42 dan penambahan pasal 42A memberikan kemudahan bagi
perusahaan tambang untuk menguasai lahan dalam waktu yang lama. Dalam pasal 42 UU Nomor
4 Tahun 2009, waktu maksimal yang diberikan untuk eksplorasi adalah 3 tahun untuk mineral
logam; 1 tahun untuk mineral bukan logam; 1 tahun untuk batuan; dan 2 tahun untuk batubara.
Pasal tersebut dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 diubah menjadi 8 tahun untuk mineral logam; 3
tahun untuk mineral bukan logam; 7 tahun untuk mineral bukan logam jenis tertentu; 3 tahun
untuk batuan; dan 7 tahun untuk batubara. Hal tersebut ditambah dengan aturan pada pasal 42A
yang memungkinkan adanya perpanjangan waktu eksplorasi pada pertambangan mineral logam
dan batu bara selama 1 tahun setiap kali persyaratan telah terpenuhi. Jaringan Advokasi Tambang
(JATAM) menilai waktu eksplorasi yang diperpanjang menyebabkan rentan terjadi land banking
(Huzaini, 2020). Tidak hanya itu, hal tersebut juga dikhawatirkan memicu terjadinya privatisasi
tanah yang bertentangan dengan semangat reforma agraria.

Pasal 47
Pada pasal 47 UU Nomor 3 Tahun 2020, terdapat perubahan kecil yang berimplikasi
besar terhadap kegiatan pertambangan di Indonesia. Adanya perubahan dari kata “dapat”
menjadi “dijamin” mencerminkan keberpihakan Pemerintah terhadap perusahaan tambang. Kata
“dapat” berarti ada dua kemungkinan, yakni disetujui atau ditolak. Namun, ketika kata “dijamin”
digunakan terkesan ada kepastian yang diberikan kepada perusahaan tambang dalam melakukan
perpanjangan jangka waktu kegiatan Operasi Produksi, misalnya bagi pertambangan mineral
logam dijamin memperoleh perpanjangan selama 2 x 10 tahun.

Dihapusnya Pasal 83 ayat (2) dan (4) UU Minerba Lama


Penghapusan Pasal 83 ayat (2) dan ayat (4) dalam UU Mineral dan Batubara yang lama
menjadi kontroversi. Kedua ayat dalam pasal tersebut dengan jelas mengatur tentang Batasan
Luas Wilayah Izin Usaha Perambangan Khusus (WIUPK) yakni untuk produksi pertambangan
mineral logam maksimal 25 ribu hektar (ayat 2) dan produksi pertambangan batubara maksimal
15 ribu hektare (ayat 4). Penghapusan pasal ini dinilai lebih menguntungkan pihak oligarki
dibandingkan memihak terhadap kepentingan rakyat kecil. Selain pengerjaan UU Minerba yang
terkesan buru-buru, penghapusan Pasal 83 ayat (2) dan ayat (4) cenderung menyediakan jaminan
dan memfasilitasi dengan istimewa kepentingan para pengusaha tambang dengan dihapusnya
batasan maksimal luas wilayah izin usaha mereka. Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi
dan Pertambangan (PUSHEP), Bisman Bhaktiar, menyatakan bahwa dengan luas wilayah yang
tidak dikurangi, UU ini tidak adil dan tidak sesuai dengan asas proporsionalitas dan pemerataan
pengelolaan sumber daya alam. Oleh karena itu, selain dinilai menguntungkan pihak oligarki
penghapusan Pasal 83 ayat (2) dan ayat (4) UU Mineral dan Batubara yang lama juga dinilai
membahayakan keseimbangan ekosistem dan lingkungan hidup.

Pasal 162 dan 164


Pasal ini menunjukkan bahwa keberpihakan dari pembentukan UU Minerba adalah
kepada kaum pengusaha, yang merasa bahwa kegiatan usaha mereka dihalangi oleh para penolak
tambang. Adapun Pasal 164 mengatur soal sanksi tambahan bagi orang yang dimaksud dalam
Pasal 162. Sanksi tambahan itu berupa perampasan barang yang digunakan dalam melakukan
tindak pidana, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, dan/atau kewajiban
membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana. Kemungkinan terjadi kriminalisasi.
Menguntungkan pihak pengusaha dan memberikan kepastian hukum ke pengusaha sehingga
tidak memberikan kepastian hukum ke masyarakat yang terdampak tambang.

Pasal 169A
Pasal 169 A UU Nomor 3 Tahun 2020 mengatur tentang perpanjangan kontrak karya
(KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) tanpa melalui lelang.
KK dan PKP2B diberi jaminan perpanjangan otomatis 2x10 tahun tanpa harus mengurangi
perluasan wilayahnya. Padahal, UU yang lama mengatur kawasan harus dikembalikan kepada
negara setiap habis kontrak dan dilelang ulang. Pasal dalam UU anyar ini dinilai membuka celah
perpanjangan sejumlah perusahaan raksasa minerba yang akan selesai masa kontraknya. Selain
itu, penciutan lahan seperti pada UU yang lama, justru dihapus. Banyak lahan konsesi
KK/PKP2B yang dibiarkan terlantar tanpa ada aktivitas penambangan, Pemasukan untuk negara
tidak optimal (Djafar, 2020).
Pasal 169B ayat (5)
Dalam pasal 169B ayat (5), pemegang KK dan PKP2B dalam mengajukan permohonan
IUPK sebagai kelanjutan Operasi Produksi Kontrak/Perjanjian dapat mengajukan permohonan
wilayah di luar WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi kepada menteri untuk menunjang
kegiatan usaha pertambangan. Pasal ini dianggap memberikan keistimewaan bagi pemegang
IUPK untuk mendapatkan konsesi tambahan.
BAB III
KESIMPULAN

Berangkat dari permasalahan sejumlah pasal yang terkandung dalam Undang-undang


Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Mineral dan Batubara, penulis sampai pada kesimpulan bahwa UU ini perlu untuk ditinjau ulang
karena dianggap tidak memiliki muatan pengetahuan yang komprehensif yang kemudian bisa
menyebabkan hilangnya legitimasi publik. Hal ini ditengarai karena UU ini tidak memiliki
politik hukum yang jelas, bertentangan dengan semangat reformasi dan lingkungan, adanya
ketidakpastian hukum, dan sebagainya. Permasalahan pada UU ini bisa saja disebabkan oleh
proses penyusunan yang terburu-buru dan tertutup ataupun memang disusupi oleh
kepentingan-kepentingan politis.
Oleh karena adanya sejumlah permasalahan yang melekat pada UU ini, penulis memiliki
beberapa catatan yang bisa ditempuh agar UU ini menjadi lebih baik. Pertama, mengajukan
judicial review ke Mahkamah Konstitusi agar kembali diuji baik secara formil maupun materil.
Kedua, melakukan pengkajian ulang pada aspek kepastian hukum mengingat dalam beberapa
pasal pada UU ini memuat ketentuan pidana yang berpotensi mengkriminalisasi. Kepastian
hukum sangat diperlukan agar menjamin hak asasi seseorang terlindungi sekaligus menjaga
ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat. Ketiga, adanya kriteria dan batas yang jelas
mengenai wilayah yang dapat ditambang. Mengacu pada pasal 1 ayat 28A yang mengatur
mengenai wilayah hukum pertambangan yang mana definisi pada pasal a quo mengancam ruang
hidup masyarakat karena seluruh kegiatan mulai dari penyelidikan hingga pertambangan masuk
dalam ruang hidup masyarakat. Hal ini dapat mengancam lahan milik masyarakat sekaligus bisa
merusak lingkungan. Kemudian yang keempat yaitu pelibatan pemerintah daerah. UU Minerba
baru ini mengatur semua kewenangan perizinan tak lagi ada di pemerintah daerah, melainkan
ditarik ke pusat. Sentralisasi ini tentu tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah dan bisa
memicu terjadinya konflik agraria.
Sebagai penutup, tidak dapat dipungkiri bahwa tidak ada UU yang sempurna dan dalam
proses pembentukan UU sangat rentan disusupi oleh kepentingan-kepentingan politis. Akan
tetapi, penulis meyakini bahwa UU yang baik adalah UU yang memiliki muatan pengetahuan
yang komprehensif dan membawa kebermanfaatan bagi masyarakat.
Daftar Pustaka

Djafar, Ismet.(2020). POKOK-POKOK PERMASALAHAN DALAM REVISI UU


MINERBA (UU No.4/2009 Menjadi UU No. 3/2020). Diakses pada 16 Mei
2021: https://pushep.or.id.
Dpr.go.id. (2020). Program Legislasi Nasional. Diambil 16 Mei 2021, dari dpr.go.id website:
https://www.dpr.go.id/prolegnas/deskripsi-konsepsi2/id/25
Huzaini, M. D. P. (2020). Sejumlah Catatan Jatam Soal Draf Revisi UU Minerba. Diambil dari
Hukumonline.com pada 29 Mei 2021 website:
https://new.hukumonline.com/berita/baca/lt5e131eaddb44b/sejumlah-catatan-jatam-soa
l-draf-revisi-uu-minerba?page=2
Isnaeni, D. (2014). IMPLIKASI YURIDIS KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH
DALAM PEMBERIAN IJIN USAHA PERTAMBANGAN MENURUT
UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014. Yurispruden, 1. No 1, 35–46.
Jogloabang. (2020). UU 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Minerba. Diambil 16 Mei 2021, dari Jogloabang.com website:
https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-3-2020-perubahan-uu-4-2009-pertambangan-
minerba
MD, M. M. (2020). Politik Hukum di Indonesia. Rajawali Pers.
Pratikno. (2005). Good Governance dan Governability. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, 8(3),
231-248. https://journal.ugm.ac.id/jsp/article/view/11043
Pujianti, S. (2020). Pemerintah: Perubahan UU Minerba Dilakukan Guna Memperbaiki
Kontribusi Sektor Pertambangan. Diambil 16 Mei 2021, dari mkri.id website:
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=16679
Wulandari, R. P., & Fahrozi, M. H. (2021). Politik Hukum Pengalihan Izin Pertambangan
pada
Pemerintah Pusat Terhadap Kewenangan Pemerintah Daerah. Jurnal Sosial dan
Budaya Syar'i, 8(1). http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/salam/index

Anda mungkin juga menyukai