Anda di halaman 1dari 13

SPIROMETRI

Pendahuluan
Spirometri adalah pemeriksaan untuk menilai fungsi paru yang dilakukan dengan mengukur
udara yang dapat diinspirasi dan diekspirasi. Spirometri biasa dilakukan terhadap pasien yang dicurigai
Asma, PPOK, TBC, atau pasien dengan keluhan yang melibatkan Sistem Respirasi.
Hasil pemeriksaan spirometri bisa menunjukkan adanya masalah paru akibat Obstruksi Saluran
Napas (Asma, PPOK), Retriksi Jaringan Paru (Pneumonia, TBC, Abses, Tumor), atau penyakit dari
luar paru yang mengganggu kerja paru.
Fungsi Spirometri :
1. Screening dan alat diagnostik penyakit paru.
2. Menilai derajat keparahan penyakit paru.
3. Menilai respon terhadap terapi yang diberikan.
4. Monitoring efek paparan pekerjaan atau lingkungan terhadap sistem respirasi.
Terdapat 3 pengukuran dasar pada Spirometri yaitu :
1. Volume
2. Waktu
3. Kecepatan aliran udara.

Indikasi
Indikasi Spirometri :
1. Diagnosis
a. Mengevaluasi gejala, tanda, dan hasil laboratorium yang abnormal.
b. Mengukur efek penyakit atau gangguan tertentu terhadap fungsi paru.
c. Melakukan screening pada individu yang berisiko mengalami penyakit paru.
d. Menilai risiko preoperatif.
e. Menilai prognosis penyakit terhadap fungsi paru.
2. Monitoring.
a. Menilai respon terapi yang diberikan.
b. Menilai efek samping obat yang toksik terhadap paru.
c. Memantau perjalanan penyakit.
d. Memantau penyakit paru eksaserbasi akut.
e. Memantau paparan agen/bahan toksik terhadap sistem respirasi.
3. Evaluasi disabilitas.
a. Menilai fungsi paru pada pasien yang menjalani Rehabilitasi.
b. Menilai fungsi paru untuk kepentingan Medikolegal.
c. Menilai risiko untuk kepentingan asuransi.
d. Menilai prognosis penyakit pasien yang komorbid dengan penyakit neuromuskular
seperti amyloid lateral sclerosis (ALS), Sindrom Guillain Barre, dll.
4. Indikasi lain.
a. Penelitian dan studi klinis
b. Survei epidemiologi
c. Pembuktian suatu hipotesis
d. Penilaian fungsi paru prakerja untuk pekerjaan yang berisiko mengganggu sistem pernapasan.
e. Menilai status kesehatan sebelum memulai aktivitas fisik yang berisiko terhadap fungsi paru.
Spirometri dilakukan untuk menilai fungsi paru terhadap pasien dengan keluhan :
1. Batuk lama
2. Sering mengeluarkan dahak di pagi hari
3. Hemoptisis
4. Mudah lelah/sesak saat beraktivitas ringan.
5. Mudah lelah saat beraktivitas fisik yang tidak sesuai dengan usianya.
6. Perokok.

Interpretasi Spirometri
1. Istilah
VC (Vital Capacity). Volume udara Ekspirasi Maksimal setelah Inspirasi Maksimal tanpa
melakukan paksaan.
SVC (Slow Vital Capacity). Volume udara Ekspirasi Maksimal setelah Inspirasi Maksimal yg
dilakukan perlahan. Sebagai pemeriksaan tambahan jika dicurigai ada obstruksi saluran
napas. Nilai SVC dapat digunakan untuk mengetahui VC.
FVC (Forced Vital Capacity). Volume udara ekspirasi dengan kecepatan dan usaha maksimal
sampai tuntas setelah inspirasi penuh. Volumenya diperkirakan 4 ltr.
FEV (Forced Expiratory Volume). Volume ekspirasi paksa dalam t detik dari Inspirasi Maksimal.
FEV1 (Forced Expiratory Volume 1 Second). Volume Ekspirasi FEV pada detik pertama.
Volumenya diperkirakan 3 ltr. FEV1 digunakan untuk mengklasifikasikan keparahan
penyakit paru obstruktif. FEV1 diperkirakan. 70-80 % : Normal, <70% : PPOK
FEV1/FVC Ratio : Perbandingan nilai FEV1 dan FVC.
Pada dewasa : FEV1/FVC adalah >0,70 atau 70%.
Pada anak-anak : FEV1/FVC adalah >0,80 atau 80%. Hal ini karena diameter bronkus anak
relatif lebih lebar, sedangkan volume paru lebih kecil, sehingga waktu ekspirasi menjadi
lebih pendek (pengosongan paru lebih cepat). Pada anak hingga usia 8 thn, lebih tepat
menggunakan FEV0,75.
FEVt (Forced Expiratory Volume time). Volume Ekspirasi Maksimal dari detik 0 sampai detik (t)
pada manuver Ekspirasi paksa.
FET (Forced Expiratory Time). Waktu yang dibutuhkan hingga akhir ekspirasi, diukur dari 0 dtk
hingga n dtk akhir ekspirasi. Atau awal inspirasi setelah ekspirasi. Atau durasi selama pasien
melakukan mouthpiece. Dari ketiga nilai ini diambil yang tertinggi.
IVC (Inspiratory Vital Capacity). Volume Maksimum udara yang dapat diinhalasi setelah
melakukan ekspirasi penuh.
FIVC (Forced Inspiratory Vital Capacity). Volume Inspirasi terbesar yang didapatkan segera
setelah melakukan Ekspirasi Paksa.
IC (Inspiratory Capacity). Volume udara yang dapat diinspirasi setelah melakukan ekspirasi
normal dan sebanding dengan TV+IRV.
ERV (Expiratory Reserve Volume). Volume udara Ekspirasi Maksimal setelah melakukan
Ekspirasi Normal.
IRV (Inspiratory Reserve Volume). Volume udara Inspirasi Maksimal setelah melakukan Inspirasi
Normal.
RV (Residual Volume). Volume udara yang tertinggal di dalam paru setelah melakukan Ekspirasi
maksimal. RV menjaga agar paru tidak kolaps.
FRC (Functional Residual Capacity). Volume udara yang tertinggal di paru setelah melakukan
ekspirasi pada pernapasan normal, yaitu ERV+RV. Volume udara ini masih dapat diekspirasi.
Beda dengan Residual Volume (RV), yang merupakan volume udara yang tersisa di paru
setelah akhir ekspirasi dan secara fisiologis tidak dapat dikeluarkan.
TLC (Total Lung Capacity). Total volume udara yang dapat mengisi paru pada inspirasi
maksimal. pada orang dewasa yang sehat dapat mencapai 6000 ml, yaitu
TV+ERV+IRV+RV.
PEF (Peak Expiratory Flow). Volume aliran terbesar yang dapat dikeluarkan dari FEV pada
inflasi paru maksimal. Untuk menilai usaha Ekspirasi yang mampu dikeluarkan pasien. PEF
diukur dengan liter/detik.
FEF/MEFR (Forced Expiratory Flow / Mid-Expiratory Flow Rate Ratio). Kecepatan aliran udara
yang dikeluarkan pada pertengahan ekspirasi paksa, yaitu pada 25%, 50%, dan 75% dari
FVC.
MEFV(Maximal Expiratory Flow Volume). Kurva yang menggambarkan Ekspirasi Paksa pada
Grafik Flow Volume.
Spirogram adalah grafik hasil Pemeriksaan Spirometri V volume (Liter), T waktu (Sekon), K
kecepatan (Lit/dtk).

2. Pelaksanaan
3. Kriteria Hasil Spirometri
Interpretasi hasil spirometri dilakukan setelah mengambil 3x uji Spirometri.
Kriteria yang digunakan sebagai syarat dapat digunakannya hasil spirometri adalah:
 Awal yang eksplosif (tidak ada tahanan atau kurva sigmoid) dengan back-extrapolated
volume < 150 ml atau 5% dari FVC. Back-extrapolated volume adalah penilaian mengenai
tahanan saat melakukan manuver.
 Manuver dilakukan dengan inspirasi dan ekspirasi maksimal
 Tidak ada penutupan glotis atau penghentian aliran udara pada saat melakukan manuver,
misalnya melakukan manuver dengan ragu-ragu atau memblok mouthpiece
 Tidak ada batuk terutama pada detik pertama, atau adanya tanya bocor
Untuk mendapatkan hasil yang dapat diinterpretasi, maka manuver harus memenuhi end test criteria,
yaitu:
 Dewasa: durasi ekspirasi ≥ 6 detik dengan volume ekspirasi <50 ml pada 2 detik terakhir
 Anak-anak >10 tahun: durasi ekspirasi ≥ 6 detik
 Anak-anak <10 tahun: durasi ekspirasi ≥ 3 detik
 Untuk anak-anak, tidak diperbolehkan ada perubahan volume ≥0,025 liter dalam waktu 1 detik
(plateau).
 Untuk anak usia ≤ 3-4 tahun, apabila laju ekspirasi berhenti pada >10% dari peak expiratory
flow (PEF), maka dapat dikategorikan sebagai terminasi prematur [2,17-19]
Ekspirasi paksa dapat menyebabkan bronkokonstriksi, sehingga harus ada ≥ 30 detik istirahat di antara
tiap manuver. Pada beberapa pasien, terutama pasien asthma, diperlukan istirahat beberapa menit.
Inspirasi penuh dapat menyebabkan bronkodilatasi, sehingga penting untuk tetap menjalankan tes
sampai tidak ada peningkatan hasil.[2]
Interpretasi Hasil Spirometri

Terdapat 2 tipe spirogram, yaitu volume-time dan flow-volume. Spirogram volume-time adalah kurva
volume terhadap waktu, di mana axis X menunjukkan waktu, dan axis Y menunjukkan volume
(menunjukkan FEV1 dan FVC). Sementara itu, spirogram flow-volume adalah kurva aliran udara
inspirasi dan ekspirasi terhadap volume, dengan axis X menunjukkan volume dan axis Y
menunjukkan flow atau aliran udara (menunjukkan PEF dan FVC).[20]
Normalnya, pada saat inspirasi, grafik Y akan turun menjauhi sumbu O, sedangkan saat ekspirasi,
grafik Y akan naik menjauhi sumbu O.[20]
Tabel 1. Interpretasi Hasil Spirometri

Normal Obstruksi Restriksi Kombinasi


>80% nilai Lebih atau kurang dari <80% nilai <80% nilai
FEV1 prediksi 80% nilai prediksi prediksi prediksi
>80% nilai <80% nilai <80% nilai
FVC prediksi >80% nilai prediksi prediksi prediksi
FEV1/FVC atau
FEV1/VC >70% <70% >70% <70%

Normal
Hasil normal pada pemeriksaan spirometri dipengaruhi oleh:
 Usia: fungsi paru dapat mengalami peningkatan sampai usia 25 tahun, kemudian menurun
seiring dengan pertambahan usia.
 Jenis kelamin: laki-laki dan perempuan usia prepubertas biasanya memiliki fungsi paru yang
sama. Namun, pada masa post pubertas, dada yang bidang dan volume thorax yang lebih cepat
mengalami pertumbuhan, menyebabkan laki-laki memiliki volume paru yang lebih besar pula.
 Tinggi badan: tinggi badan berbanding lurus dengan ukuran paru, semakin tinggi maka ukuran
paru akan semakin besar.
 Berat badan: berat badan dapat mempengaruhi fungsi paru, semakin tinggi berat badan maka
fungsi paru juga akan meningkat. Hal ini terjadi sampai pasien mengalami obesitas, setelah ini
fungsi paru akan menurun.
 Etnis: faktor etnis mempengaruhi fungsi paru. Pada etnis Polinesia, India, Jepang, Pakistan, dan
Afrika, hasil referensi akan dikalikan 0,90. Hal ini disebabkan karena bentuk tubuh dan
perbedaan nutrisi pada mereka yang berasal dari negara berkembang.
 Kebiasaan merokok: akan menyebabkan penurunan fungsi paru dibandingkan mereka yang
tidak merokok. Hal ini harus disesuaikan kembali dengan interpretasi hasil, karena pada hasil
spirogram semua yang mengalami penurunan akan dinyatakan abnormal.[21]
Rasio FEV1/FVC ≥0,7 atau ≥70% dan FVC ≥80% dari nilai prediksi dapat dijadikan acuan umum
untuk menyatakan bahwa hasil spirometri normal.[21]
Obstruktif
Penyakit paru obstruktif ditandai dengan adanya penurunan aliran udara karena adanya penurunan
diameter jalan napas oleh kontraksi otot polos, inflamasi, mucus plugging, atau kolaps saluran napas
karena emfisema. Pada spirogram post bronkodilator, pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) akan menunjukkan:
 Kurva volume-time menunjukkan FVC yang tetap normal, tetapi FEV1 akan turun secara
signifikan, sehingga rasio FEV1/FVC menurun di bawah lower limit of normal range (<LLN)
atau < 0,70
 Kurva flow-volume loop terlihat konkaf pada ekspirasi [10,22,23]
Intinya, pasien dengan PPOK tidak akan menunjukkan perbaikan FEV1/FVC setelah pemberian
bronkodilator.[23]
Pada penyakit paru obstruktif, terjadi peningkatan TLC, yang klinisnya terlihat pada pasien PPOK
dengan rongga dada yang terlihat lebih besar (barrel chest). Pada keadaan ini, TV tetap sama, namun
IRV menurun sedangkan ERV dan RV meningkat. Sehingga apabila dilakukan perhitungan FVC maka
hasilnya akan tetap normal atau menurun, namun FRV meningkat. Hal ini disebabkan oleh adanya
penurunan aliran darah ke paru karena adanya obstruksi, serta air trapping yang menyebabkan
hiperinflasi dan peningkatan FRC.[24,25]
Asthma merupakan penyakit obstruktif, namun bersifat reversibel sehingga hasil spirometri dapat
normal pada mereka yang sedang tidak mengalami eksaserbasi atau pasca pemberian bronkodilator.
spirometri pada asthma post bronkodilator menunjukkan:
 FEV1 (atau FVC) meningkat ≥12% dan ≥ 200ml
 Karena asthma bersifat reversibel, maka setelah pemberian bronkodilator atau tidak dalam
serangan, fungsi paru dapat normal[23,26]
Pemeriksaan spirometri pada pasien dengan asthma dilakukan sebelum menginisiasi terapi dan ketika
dilakukan terapi rumatan. Pada pasien yang diindikasikan untuk mendapatkan terapi bronkodilator,
maka disarankan untuk memberikan bronkodilator short-acting 6-8 jam sebelum melakukan
pemeriksaan.[23]
Diagnosis tidak dapat ditegakkan hanya dengan 1 kali pemeriksaan spirometri, hal ini harus
dikonfirmasi dengan manifestasi klinis lainnya, dan apabila memadai dilakukan spirometri serial.[23]
Lower limit of normal range (LLN) adalah preferensi cut off untuk mengidentifikasi nilai abnormal
pada pemeriksaan spirometri. Untuk PPOK, dinyatakan rasio FEV1/FVC <0,70, atau nilai FEV1
<80% post pemberian bronkodilator dimana cut off ini dinyatakan sebagai LLN. Sedangkan untuk
asthma, cut off untuk rasio FEV1/FVC adalah <0,75-0,80 untuk menyatakan adanya obstruksi saluran
napas.[7,8,27,28]
Restriksi
Gangguan restriksi ditandai dengan penurunan volume paru karena penyakit paru interstitial atau
penyakit dari luar paru yang menyebabkan jaringan paru menjadi lebih “kaku”, seperti pada penyakit
dinding dada (kyphoscoliosis), gangguan neurologis, space occupying lesions (SOL), ankylosing
spondylitis, dan obesitas. [10,21]
Kekakuan pada jaringan paru mengganggu komplians dan kapasitas paru, sehingga nilai TLC akan
menurun, namun TV dapat tetap normal, dengan IRV, ERV, dan RV akan menurun. Sehingga, FVC
akan menurun dan FRC juga akan menurun. Hasil spirogram akan memperlihatkan:
 Grafik flow-volume: shifting grafik ke kanan bila dibandingkan dengan grafik normal. Hal ini
karena TLC dan RV menurun, sehingga VC juga menurun. Pada bagian ekspirasi, kurva ini
dapat menjadi konveks.
 Grafik volume-time: FVC menurun <80% nilai prediksi. Namun, FEV1 tidak terlalu
berpengaruh seperti pada penyakit paru obstruktif, bahkan dapat normal atau menurun sedikit.
Rasio FEV1/FVC tidak terlalu mengalami gangguan, dapat normal atau menurun sedikit,
karena tidak ada obstruksi aliran udara.[10,21]
Namun, hasil ini tetap bergantung pada kerja sama pasien. Apabila pada saat melakukan manuver
FVC, pasien melakukan terminasi ekspirasi lebih cepat atau gagal mengambil napas dalam yang
maksimal, maka rasio FEV1/FVC juga akan meningkat.[10]
Campuran
Pasien dengan penyakit paru restriktif dapat disertai dengan penyakit obstruktif. Pada keadaan ini
dapat terlihat pola spirometri campuran, dengan nilai FVC dan rasio FEV1/FVC yang di bawah LLN.
Dalam hal ini, diagnosis tidak dapat ditegakkan hanya dengan pemeriksaan spirometri, tetapi perlu
adanya pemeriksaan lain yang menunjukkan adanya penyakit paru restriktif, serta rujukan ke
laboratorium khusus yang dapat mengukur Total Lung Capacity (TLC) dan gas transfer.[10]
Menurunnya nilai VC dan FEV1/VC di bawah LLN akan mengarahkan diagnosis menjadi gangguan
obstruktif atau campuran. Dalam hal ini, TLC dibutuhkan untuk membedakan keduanya. Pada
campuran, FVC, FEV1, dan rasio FEV1/FVC seluruhnya mengalami penurunan. [8,20]
Respon Terhadap Bronkodilator
Pada terapi bronkodilator, dinyatakan memberikan respon terhadap terapi apabila terdapat peningkatan
FEV1 dan atau FVC ≥200 ml dan ≥12. [8,27]
Pemeriksaan ini dilakukan terutama sebagai baseline pada pasien yang dicurigai atau memiliki
penyakit paru obstruktif. Pemeriksaan ini dilakukan 15-20 menit setelah inhalasi salbutamol atau agen
inhalasi yang disarankan lainnya. Apabila salbutamol dan levosalbutamol dikontraindikasikan pada
pasien tersebut, maka dapat dilakukan inhalasi ipratropium 30 menit sebelum dilakukan spirometri.
Bronkodilator ini harus diberikan dengan metered dose inhaler (MDI) yang idealnya
menggunakan spacer, alternatif lain dapat menggunakan nebulisasi atau dry powder inhaler.[8]

Pedoman Klinis
Pedoman klinis spirometri adalah sebagai bagian dari pemeriksaan fungsi paru. Pemeriksaan
spirometri membutuhkan kerja sama pasien serta kemampuan operator untuk menjelaskan,
mendorong, dan memberi contoh prosedur spirometri.[1-4]

Pemeriksaan spirometri dilakukan untuk membantu menilai efek penyakit pada fungsi paru,
responsivitas jalan napas, memantau perjalanan penyakit atau hasil intervensi yang telah diberikan,
menilai risiko preoperatif, dan menentukan prognosis untuk berbagai kondisi paru,
seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).[1,5-8]
Pemeriksaan spirometri membutuhkan manuver khusus yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan
intrathorakal, intrakranial, dan intraabdominal, sehingga berbagai kontraindikasi pada pemeriksaan ini
harus diperhatikan. Pasien dengan kontraindikasi relatif perlu dirujuk dan kelanjutan tindakan perlu
didiskusikan dengan dokter spesialis yang sesuai. Keputusan terkait perlunya pemeriksaan harus
didasarkan rasio manfaat dan risiko.[9]

Hasil yang didapatkan pada pemeriksaan spirometri harus dijelaskan kepada pasien. Selain itu, pasien
juga harus dijelaskan mengenai kemungkinan terapi serta rujukan ke dokter spesialis apabila
diperlukan dengan pemeriksaan spirometri.[1,2,10,11,16]
Kontra Indikasi
Kontraindikasi pemeriksaan spirometri diterapkan berdasarkan, efek samping yang ditimbulkan dari
manuver yang diperlukan pada prosedur pemeriksaan. Pada saat melakukan manuver Forced
Expiratory, terjadi peningkatan tekanan intrathorakal, intraabdominal, dan intrakranial. Hal ini dapat
berefek pada organ-organ intrakranial, intraabdominal dan intrathorakal, curah balik vena dan tekanan
darah sistemik, serta dinding dada.[1]
Kontraindikasi pada pemeriksaan spirometri dapat dibagi menjadi kontraindikasi absolut dan relatif.
Kontraindikasi absolut adalah kontraindikasi yang dapat menyebabkan trauma, cedera, sampai dengan
kematian pada pasien apabila spirometri tetap dilakukan. Kontraindikasi relatif adalah kontraindikasi
yang menyebabkan seorang operator memerlukan pendapat klinisi lain untuk menentukan apakah
pasien dengan kontraindikasi tersebut dapat melakukan pemeriksaan spirometri.[9,10]

Kontraindikasi Absolut
Kontraindikasi absolut antara lain:

 Infeksi aktif, misalnya tuberkulosis yang telah dikonfirmasi dengan pemeriksaan bakteriologis
sampai pasien telah mendapatkan terapi selama 2 minggu
 Kondisi yang apabila dilakukan ekspirasi paksa akan memberikan konsekuensi serius,
misalnya aneurisma aorta yang tidak stabil dan pneumothorax pada saat akan dilakukan
pemeriksaan spirometri[10]
Kontraindikasi Relatif
Kontraindikasi relatif dapat disebabkan oleh adanya peningkatan kebutuhan miokardium atau
perubahan tekanan darah dengan status kardiovaskular yang tidak stabil:

 Riwayat infark miokard dalam 1 minggu terakhir


 Hipotensi atau hipertensi sistemik yang berat
 Aritmia atrial atau ventrikular yang signifikan
 Gagal jantung yang tidak terkompensasi
 Hipertensi pulmonal yang tidak terkontrol
 Cor pulmonale akut
 Emboli paru yang tidak stabil secara klinis
 Riwayat mengalami sinkop yang terjadi karena ekspirasi yang dipaksa atau batuk

Kontraindikasi relatif karena peningkatan tekanan intrakranial atau intraokular:

 Aneurisma serebral
 Operasi kraniotomi dalam 4 minggu terakhir

 Riwayat benturan keras yang baru terjadi dengan gejala sisa yang masih ada

 Riwayat operasi mata dalam 1 minggu

Kontraindikasi relatif karena peningkatan tekanan pada sinus dan telinga tengah:

 Riwayat operasi sinus atau telinga tengah, atau infeksi telinga tengah dalam 1 minggu
Kontraindikasi relatif karena peningkatan tekanan intrathorakal dan intraabdominal:

 Riwayat pneumothorax

 Operasi pada area thorax dalam 4 minggu terakhir

 Operasi pada area abdomen dalam 4 minggu terakhir

 Kehamilan yang sudah aterm

 Hemoptisis yang tidak diketahui penyebabnya

Kontraindikasi relatif untuk kontrol infeksi:

 Infeksi pernapasan atau sistemik yang aktif atau baru dicurigai, termasuk tuberkulosis

 Kondisi fisik tertentu yang berisiko menyebabkan transmisi infeksi, seperti hemoptisis dan lesi
atau perdarahan pada area oral[1,2,8]

Spirometri harus dihentikan apabila pasien mengeluh adanya nyeri atau sinkop pada saat melakukan
manuver pemeriksaan. Pada pasien-pasien dengan kontraindikasi relatif, disarankan untuk melakukan
pemeriksaan spirometri di laboratorium khusus untuk pemeriksaan fungsi paru dimana operator lebih
berpengalaman dan memiliki akses cepat ke fasilitas gawat darurat apabila diperlukan.[1,11]

Spirometri merupakan tes yang sangat membutuhkan kerja sama dan partisipasi pasien, sehingga
apabila pasien tidak mampu untuk mengerti terhadap arahan atau tidak mau mengikuti arahan yang
diberikan operator, maka hasil tes akan menjadi submaksimal.[1]

Edukasi Dan Inform Consent


Edukasi pasien pada pemeriksaan spirometri dilakukan dari awal melakukan tes. Pada
pemeriksaan ini, pasien harus diedukasi dengan baik mengenai prosedur pemeriksaan, karena apabila
pasien tidak diedukasi dan diberikan dorongan dengan baik, maka hasil tes spirometri tidak akan
optimal. Setelah melakukan pemeriksaan, pasien perlu diinformasikan mengenai hasil tes. Pasien juga
harus dijelaskan mengenai kemungkinan terapi, prognosis, serta kemungkinan rujuk ke dokter spesialis
apabila diperlukan.

, PPOKpenyakit paru obstruktif dengan adanya penurunan aliran udara karena penurunan
diameter jalan napas oleh kontraksi otot polos, inflamasi, mucus plugging, atau kolaps saluran napas.
Spirometri juga bisa menunjukkan gangguan restriksi dengan penurunan volume paru karena penyakit
paru interstitial atau penyakit dari luar paru yang menyebabkan jaringan paru menjadi lebih kaku.

Komplikasi
Komplikasi spirometri berkaitan dengan prosedur yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial, intratorakal, dan intraabdomen. Namun, hal ini dapat diminimalkan dengan
melakukan screening kontraindikasi pada pasien yang akan menjalankan prosedur spirometri.[1,9]
Pemeriksaan spirometri tidak menimbulkan nyeri, namun pada beberapa orang akan mengalami pusing
setelah melakukan tes ini. Komplikasi lain yang dapat terjadi pada pemeriksaan spirometri adalah:

 Cataract detachment pada pasien post operasi katarak


 Ruptur aneurisma aorta, terutama aneurisma yang berukuran besar (> 6 cm)
 Ruptur membran timpani atau nyeri telinga pada pasien post operasi telinga dan infeksi telinga

 Pada ibu yang sedang hamil, pemeriksaan spirometri dapat meningkatkan


risiko preeklampsia, persalinan prematur, dan penyakit saluran napas bagi ibu dan fetus.
Pemeriksaan spirometri pada ibu hamil yang normal sebenarnya tidak terlalu dianjurkan,
karena pada kehamilan normal seharusnya fungsi paru tidak mengalami gangguan
 Nyeri pleuritik dan sesak pada pasien post drainase efusi pleura
 Pada pasien hemoptisis, manuver spirometri dapat menyebabkan perdarahan bertambah parah
dan berisiko aspirasi pada lobus yang tidak mengalami perdarahan
 Pemeriksaan spirometri yang terlalu cepat pada pasien dengan riwayat infark miokard dapat
menyebabkan infark bertambah parah atau kematian
 Pada pasien dengan hipertensi tidak terkontrol, pemeriksaan spirometri dapat berisiko
menyebabkan kerusakan pembuluh darah, memicu angina, dan memicu transient ischaemic
attack, stroke, kejang, ataupun ensefalopati. Pasien yang baru memulai terapi antihipertensi
dapat mengalami pusing atau sinkop pada saat melakukan manuver spirometri
 Pada pasien pneumothorax, pemeriksaan spirometri meningkatkan risiko terjadinya kolaps paru
dan nyeri dada[1,9]

Teknis Spirometri
Teknik spirometri dilakukan untuk mengukur udara yang dapat diinspirasi dan diekspirasi untuk
menilai fungsi paru. Beberapa aktivitas harus dihindari sebelum melakukan pemeriksaan fungsi paru
ini, misalnya merokok, menggunakan vape atau shisha 1 jam sebelumnya, mengonsumsi alkohol 8 jam
sebelumnya, serta berolahraga berat 1 jam sebelumnya.[1,9]
Persiapan Pasien
Sebelum melakukan spirometri, perlu dilakukan pendataan mengenai usia, berat badan, dan tinggi
badan pasien. Usia yang dimaksud adalah usia saat melakukan spirometri dari tanggal lahir, dengan
desimal 1 angka di belakang koma. Selain itu, tinggi badan dan berat badan ditulis dengan 1 angka di
belakang koma dengan meminta pasien terlebih dahulu melepaskan sepatu dan aksesoris yang
digunakan sebelum dilakukan pengukuran. Dari tinggi badan dan berat badan, dilakukan
pengukuran body mass index (BMI) dengan satuan kg/m2.[1,2]
Jenis kelamin dan etnis perlu dilaporkan, karena hal ini juga menjadi faktor yang dapat mempengaruhi
prediksi ukuran paru. Hal ini bertujuan untuk menjaga akurasi pemeriksaan.[1]
Terdapat beberapa aktivitas yang harus dihindari sebelum melakukan pemeriksaan fungsi paru dengan
spirometri, yaitu:
 Merokok atau menggunakan vape atau shisha dalam 1 jam sebelum melakukan tes fungsi paru
untuk menghindari bronkokonstriksi akut karena inhalasi asap
 Mengonsumsi intoksikan, misalnya alkohol, dalam 8 jam sebelum melakukan tes untuk
menghindari gangguan koordinasi dan efek samping yang ditimbulkan dari intoksikan tersebut

 Melakukan olahraga berat dalam 1 jam sebelum melakukan tes untuk menghindari exercise-
induced bronchoconstriction
 Menggunakan pakaian yang terlalu ketat atau yang dapat membatasi ekspansi dada dan
abdomen yang maksimal untuk menghindari restriksi eksternal

 Pasien yang menggunakan gigi palsu dapat tetap menggunakannya pada saat pemeriksaan,
karena melepaskan gigi palsu akan meningkatkan FVC sampai dengan 0,080 liter dan hal ini
dapat menyebabkan bias hasil pemeriksaan
 Pasien yang menggunakan bronkodilator disarankan untuk menunda penggunaanya apabila
tujuan tes adalah untuk mengetahui kondisi paru yang mendasari. Namun, apabila tujuannya
untuk mengetahui keberhasilan terapi, maka bronkodilator tidak perlu ditunda

 Pada pasien dengan riwayat torakotomi, penyembuhan tendon dan otot pasca operasi sampai
mencapai fungsi normalnya membutuhkan waktu sekitar 4-6 minggu, sehingga jangka waktu
ini perlu diperhatikan pada mereka yang akan melakukan spirometri

 Pada pasien yang baru menjalankan operasi kraniotomi, pemeriksaan spirometri harus ditunda
sampai 3-6 minggu pasca operasi

 Pasien dengan emboli paru boleh melakukan pemeriksaan spirometri apabila pasien sudah
berada dalam terapi antikoagulan minimal 2 minggu, karena dengan terapi antikoagulan risiko
kematian berkurang dari 30% menjadi 1-2%
 Pada pasien dengan efusi pleura, spirometri disarankan dilakukan dalam 24 jam setelah
melakukan drainase cairan efusi. Pada pasien-pasien ini perlu diinformasikan pula bahwa
pemeriksaan spirometri akan memberikan rasa tidak nyaman seperti sesak dan nyeri pleuritik.
 Pada pasien dengan riwayat infark miokard disarankan untuk melakukan tes fungsi paru 1
bulan setelah serangan infark miokard[1,9]
Operator harus mencatat tipe dan dosis obat yang sedang digunakan, baik obat inhalasi, oral, atau
injeksi yang dapat merubah fungsi paru dan kapan terakhir penggunaan obat tersebut. Operator juga
harus mencatat apabila pasien batuk, bersin, sesak, atau terlihat sianosis pada saat dilakukan
pemeriksaan.[1]
Peralatan
Spirometri membutuhkan spirometer yang telah dikalibrasi dengan baik sebelum melakukan tes atau
setiap hari. Apabila menggunakan in-line filter pada spirometri, maka harus dilakukan rekalibrasi.
Apabila terdapat perubahan faktor kalibrasi ≥6% atau bervariasi lebih dari +/-2SD dari mean,
bersihkan spirometri sesuai ketentuan pabrik dan kalibrasi ulang.[1,2]
Sebelum melakukan pemeriksaan, spirometri harus dipastikan berada pada zero level. Alat-alat yang
dibutuhkan adalah:
 Spirometer dan PFT (Pulmonary Function Test) kit
 Face mask
 Syringe untuk kalibrasi, terbentuk dari 3 liter metal silinder dengan piston dengan rubber seal
 Monitor suhu atau barometrik

 Selang spirometri dari bahan plastik yang selalu diganti dan dibersihkan
 Stadiometer dan timbangan untuk mengukur tinggi badan dan berat badan

 Bangku dengan pegangan

 Tempat sampah infeksius

 Tempat untuk PFT kit

 Tempat untuk selang bersih

 Sarung tangan non latex untuk alat pelindung diri pemeriksa

 Tissue

 Baterai 9 volt (untuk weather station)[8]


PFT (Pulmonary Function Test) kit terdiri dari:
1. Mouthpiece
2. Klip hidung dengan padding, penggunaan klip hidung pada beberapa pasien akan memberikan
rasa tidak nyaman dan mempengaruhi hasil spirometri, sehingga penggunaan klip hidung lebih
direkomendasikan pada mereka yang diperkirakan dapat mengalami nasal leakage pada saat
pemeriksaan
3. Filter [8]
Kontrol Infeksi
Setiap selesai melakukan pemeriksaan, operator harus mencuci tangan. Selain itu, seluruh filter
bakteri-virus harus dibuang sendiri oleh pasien pada akhir test. Untuk pasien yang infeksius, spirometri
dilakukan pada urutan akhir dan alat-alat yang digunakan harus dilepaskan dan disterilisasi atau
diganti sebelum digunakan kembali.[2]
Posisi Pasien
Posisi pasien pada pemeriksaan spirometri adalah duduk tegak. Tidak ada perbedaan udara yang dapat
dikeluarkan pada posisi duduk dibandingkan dengan posisi berdiri selama pasien duduk dengan tegak.
Saat duduk tegak, telapak kaki flat pada lantai dengan tungkai tidak disilangkan.[2,8]
Gunakan kursi dengan pegangan, untuk mencegah pasien jatuh karena pusing, goyang/oleh, atau
pingsan akibat melakukan ekspirasi maksimal. Pasien tidak boleh memfleksikan leher pada saat
pemeriksaan karena dapat meningkatkan resistensi jalan napas.[2,8]
Prosedural
Sebelum memulai prosedur, pemeriksa perlu memastikan bahwa pasien memahami manuver yang
harus dilakukan selama pemeriksaan spirometri. Prosedur pemeriksaan spirometri adalah sebagai
berikut:
1. Pemeriksan mencuci tangan

2. Persiapkan pasien dan minta pasien cuci tangan atau menggunakan hand sanitizer
3. Konfirmasi identitas pasien, seperti nama, usia, jenis kelamin, dan etnis

4. Ukur berat dan tinggi badan

5. Tanyakan aktivitas yang pasien lakukan sebelum pemeriksaan yang bisa mempengaruhi hasil

6. Tanyakan obat-obatan yang digunakan dan apakah ada kontraindikasi melakukan spirometri

7. Catat gejala pada sistem respirasi


8. Instruksikan dan demonstrasikan prosedur pemeriksaan

9. Pastikan pasien memahami instruksi dan bersedia melakukan pemeriksaan

10. Lakukan manuver

11. Ulangi instruksi jika diperlukan, sambil menyemangati pasien

12. Ulangi manuver setidaknya 3 kali, biasanya tidak melebihi 8 kali pada pasien dewasa[1]
Instruksi Prosedur Spirometri
Pasien harus diberikan instruksi sejelas-jelasnya, yang harus disertai demonstrasi, terkait prosedur
pemeriksaan, yaitu:
 Tunjukkan cara memakai mouthpiece dan noseclip
 Tunjukkan postur yang baik pada pasien dengan kepala sedikit dielevasi

 Lakukan inspirasi hingga terasa sangat penuh

 Ekspirasi dengan usaha maksimal hingga terasa sangat kosong

 Inspirasi dengan usaha maksimal hingga terasa sangat penuh[1]


Manuver Prosedur Spirometri
Manuver pemeriksaan spirometri meliputi:
 Pasien memposisikan diri dengan postur yang tepat

 Pasang nose clip dan mouthpiece, dan tutup bibir dengan rapat di sekitar mouthpiece
 Bernapas secara normal

 Lakukan inspirasi secara komplit dan cepat dengan perhentian <2 detik pada total lung
capacity (TLC)
 Ekspirasi dengan usaha maksimal hingga tidak ada lagi udara bisa dikeluarkan sambil tetap
berada di postur yang tegap

 Inspirasi dengan usaha maksimal hingga terasa sangat penuh[1]


Inspirasi Maksimal
Pasien harus diberitahu bahwa inspirasi maksimal akan menyebabkan rasa tidak nyaman. Cara
mengetahui bahwa pasien telah melakukan inspirasi maksimal adalah respon mengangkat alis atau
jarak kedua mata seperti “melebar” dan terkadang kepala dapat sedikit bergetar. Apabila pasien terlihat
nyaman, maka kemungkinan besar pasien tersebut belum melakukan inspirasi maksimal. Dalam hal
ini, operator berperan memberikan dorongan kepada pasien.[1]
Ekspirasi Maksimal
Pada saat inflasi maksimal, pasien harus diminta untuk membuang udara inspirasi dengan kencang,
bukan hanya dengan “ditiup”. Untuk memastikan bahwa pasien sudah melakukan usaha maksimal,
operator harus mengobservasi pasien dan display pada komputer. Sistem pada spirometri harus
memberikan signal apabila pasien sudah mencapai plateau atau forced expiratory time (FET) sudah
mencapai 15 detik.[1,10]
Inspirasi Maksimal Setelah Paksaan Ekspirasi
Saat menyelesaikan ekspirasi paksa, pasien harus tetap mempertahankan mouthpiece, dan operator
harus mendorong untuk mulai melakukan inspirasi total sampai paru terasa penuh dengan udara. Hal
ini dilakukan untuk mengukur inspiratory vital capacity (IVC).[1,2,16]
Vital Capacity (VC)
Untuk mengukur vital capacity (VC), pasien menarik napas dalam sebanyak mungkin secara perlahan,
dan kemudian dihembuskan dengan tenang selama mungkin sampai dirasakan tidak ada udara yang
tertinggal. Nose clip dibutuhkan untuk VC, karena udara dapat “bocor” keluar karena aliran yang
rendah.[2]
Pada pengukuran VC, udara inspirasi dapat diinhalasi secara perlahan (Slow Inspiratory Vital
Capacity/SIVC). Metode ini lebih dianjurkan untuk mengukur VC, terutama pada penyakit paru
obstruktif.[16]
Spirometri Pada Pasien Yang Menggunakan Bronkodilator
Pertama, dilakukan spirometri prebronkodilator untuk mengetahui FEV1 dan FVC yang dapat dicapai
tanpa pemberian bronkodilator. Kemudian bronkodilator diberikan sesuai dengan jenis dan dosis yang
telah dianjurkan. Post bronkodilator dilakukan ≥3 kali tes dengan nilai FEV1 dan FVC yang
memenuhi kriteria.[1]
Dari seluruh nilai FEV1 dan FVC yang didapatkan, diambil nilai yang terbesar pada pre dan post
bronkodilator. Kemudian rasio FEV1/FVC dihitung dengan angka tersebut.
Tes Reversibilitas
Tes reversibilitas biasanya dilakukan pada saat melakukan diagnosis asthma. Spirometri dilakukan
setelah bronkodilator diberikan (15-30 menit sebelum dilakukan tes). Perbaikan fungsi paru
didefinisikan dengan minimal perbaikan FEV1 12% dari baseline dan 200 ml. Apabila terdapat
peningkatan ≥ 400 ml pada FEV1 post bronkodilator, sangat sugestif asthma. Tapi apabila peningkatan
FEV1 tidak mencapai angka ini, maka belum tentu diagnosis asthma dapat dieksklusi.[2]

Follow Up
Follow up pada pemeriksaan spirometri dilakukan tergantung dari interpretasi hasil spirometri. Apabila
hasil spirometri normal, maka follow up dilakukan berdasarkan faktor risiko pasien. Apabila
diperlukan, pasien dapat dirujuk ke dokter spesialis berdasarkan dugaan diagnosis yang didapatkan.
Pasien harus diinformasikan mengenai interpretasi hasil spirometri dan apakah hal tersebut normal
atau tidak. Apabila tidak, maka pasien harus dijelaskan dan diberikan terapi awal sesuai dengan
kompetensi dokter.[1]

Anda mungkin juga menyukai