Anda di halaman 1dari 52

ALASAN PERINGAN PIDANA

STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 130/Pid.B/2023/PN Plk

Disusun Sebagai Kelengkapan Tugas Akhir


Mata Kuliah Penerapan Asas-Asas Hukum Pidana
Kelas B

Oleh : Kelompok 3

AGUNG MUHAMMAD 223012015


FAHMI ALAMSYAH 2230122050
HAFIZ SYAFRUDIN 2230122012
MICHELLE MARIA RENATA DE FRETES 2230122042
MUHAMMAD RAFLY DWITAMA 2230122027
NADILA ACHMAD 2230122028
NAFHAN ADHYAKSA 2230122043
RIKA MUARA 2230122060

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM


ADHYAKSA
JAKARTA
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................................... i

A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1

B. Pokok Permasalahan ............................................................................................ 2

C. Tujuan Penelitian .................................................................................................. 2

D. Pembahasan ........................................................................................................... 3

1. Putusan Pengadilan Negeri Palangkaraya Nomor 130/Pid.B/2023/PN Plk,


terkait Kesalahan (Kesengajaan/Kealpaan) ........................................................ 3

2 . Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Palangkaraya Nomor


130/Pid.B/2023/PN Plk, terkait Sifat Melawan Hukum (wederechtelijk) ......... 6

3 . Putusan Nomor 130/Pid.B/2023/PN Plk, jenis delik yang dilakukan oleh


Terdakwa ............................................................................................................ 7

4 . Teori Dasar Hukum Peringan Pidana Pasal 56 KUHP....................................... 9

5 .Dasar -Dasar Peringan Pidana..................................................................... 15

6 . Bentuk -Bentuk Pidana, Tujuan Pemidanaan, Pertanggungjawaban Pidana, dan


Doktirn Peringan Pidana “Keberlakuan Hukum,dan Asas-Asasnya ................ 37

E. Penutup ................................................................................................................ 42

a . Kesimpulan....................................................................................................... 43

b . Saran ................................................................................................................ 43

Tabel Elemen Data: Tindak Pidana Kepolisian Republik Indonesia (2020-2023)..48

i
A. Latar Belakang

Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Palangkaraya Nomor

130/Pid.B/2023/PN Plk tentang perkara tindak pidana pencurian dengan

pemberatan, dapat disimpulkan latar belakang alasan peringan pidana Pasal 56

sebagai berikut:

1. Terdakwa Udin bin Basri terbukti bersalah melakukan tindak pidana

pencurian dengan pemberatan berupa menggelapkan pupuk milik PT

MAPA sebanyak 2 kali masing-masing 1 ton senilai total Rp12.000.000.

2. Perbuatan terdakwa diancam pidana penjara paling singkat 1 tahun

berdasarkan Pasal 363 KUHP tentang pencurian dengan pemberatan.

3. Dalam persidangan, terdakwa mengakui perbuatannya dan menyesali

perbuatannya serta berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

4. Terdakwa merupakan seorang yang belum pernah dihukum sebelumnya

dan masih berusia relatif muda yaitu 19 tahun.

5. Terdakwa melakukan pencurian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya

karena berasal dari keluarga kurang mampu.

6. Nilai barang yang dicuri terdakwa relatif kecil yaitu berupa pupuk senilai

Rp12.000.000.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Majelis Hakim

memutuskan untuk menerapkan alasan peringan pidana Pasal 56 KUHP dan

menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama 6 bulan penjara. Dengan demikian

Majelis Hakim telah memberikan pidana di bawah ancaman pidana minimal

dalam Pasal 363 KUHP yaitu 1 tahun penjara.

1
Mengacu dari fakta dan data di atas, maka kami merasa tertarik untuk

menuangkan dalam bentuk penulisan Tugas Akhir pada Mata Kuliah Penerapan

Asas-asas Hukum Pidana dengan judul “ALASAN PERINGAN PIDANA

STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 130/Pid.B/2023/PN Plk.

B. Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka kami mengajukan pokok

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan

Negeri Palangkaraya Nomor 130/Pid.B/2023/PN Plk terkait dengan

penerapan alasan peringan pidana Pasal 56 KUHP?

2. Bagaimana penggunaan Pasal 56 KUHP dalam Putusan Pengadilan Negeri

Palangkaraya Nomor 130/Pid.B/2023/PN Plk? Apakah penggunaan Pasal

56 KUHP sudah sesuai dengan rumusan dalam KUHP di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan tersebut di atas, maka kami

menyampaikan tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan Majelis Hakim dalam

Putusan Pengadilan Negeri Palangkaraya Nomor 130/Pid.B/2023/PN Plk

terkait dengan penerapan alasan peringan pidana Pasal 56 KUHP.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai penggunaan Pasal 56

KUHP dalam Putusan Pengadilan Negeri Palangkaraya Nomor

130/Pid.B/2023/PN Plk.

2
D. Pembahasan

Berdasarkan pokok permasalahan dan tujuan penelitian yang telah

ditentukan sebelumnya, maka pembahasan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri

Palangkaraya Nomor 130/Pid.B/2023/PN Plk terkait penerapan alasan

peringan pidana Pasal 56 KUHP.

Dalam putusan ini, Majelis Hakim memutuskan untuk menerapkan alasan

peringan pidana Pasal 56 KUHP terhadap terdakwa Udin bin Basri dengan

pertimbangan sebagai berikut:

a. Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencurian dengan

pemberatan yang diancam pidana minimal 1 tahun penjara berdasarkan

Pasal 363 KUHP.

b. Dalam persidangan, terdakwa mengakui perbuatannya dan menyesali

perbuatannya.

c. Terdakwa belum pernah dihukum dan masih berusia relatif muda yaitu 19

tahun.

d. Terdakwa melakukan pencurian untuk memenuhi kebutuhan hidup karena

berasal dari keluarga kurang mampu.

e. Nilai barang yang dicuri terdakwa relatif kecil yaitu berupa pupuk senilai

Rp12.000.000.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Majelis Hakim memandang perlu

untuk memberikan keringanan pidana bagi terdakwa dengan menerapkan Pasal 56

KUHP.

3
Penggunaan Pasal 56 KUHP dalam Putusan Pengadilan Negeri

Palangkaraya Nomor 130/Pid.B/2023/PN Plk.

Pasal 56 KUHP merupakan ketentuan yang memberikan kewenangan

kepada hakim untuk memberikan pidana di bawah minimum khusus dalam hal-hal

yang meringankan. Dalam putusan ini, Majelis Hakim telah menerapkan Pasal 56

KUHP sesuai dengan rumusannya dalam KUHP.

Penerapan Pasal 56 KUHP tersebut telah tepat dan sesuai dengan fakta-

fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, yaitu kondisi terdakwa yang

masih relatif muda dan belum pernah dihukum sebelumnya. Dengan demikian,

penggunaan Pasal 56 KUHP telah sejalan dengan asas keadilan dan tujuan

pemidanaan di Indonesia.

Uraian:

Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Palangkaraya Nomor

130/Pid.B/2023/PN Plk, Keberlakuan Hukum Pidana (Tempus Delicti & Locus

Delicti) adalah sebagai berikut:

a. Tempus Delicti: Pada konsideran perkara disebutkan bahwa tindak pidana

penggelapan terjadi pada hari Rabu tanggal 08 Februari 2023 sekitar jam

12.00 Wib. Jadi Tempus Delicti dari perkara ini adalah tanggal 08

Februari 2023 sekitar jam 12.00 Wib.1

b. Locus Delicti: Pada konsideran perkara disebutkan bahwa tindak pidana

penggelapan terjadi di Jalan Tumbang Talaken Km. 83 Afdeling VI PT.

MAPA Kel. Mungku Baru Kec Rakumpit Kota Palangka Raya, Prop.

1 Mahrus Ali, Dasar- Dasar Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2012).

4
Kalimantan Tengah. Jadi Locus Delicti dari perkara ini adalah di Jalan

Tumbang Talaken Km. 83 Afdeling VI PT. MAPA Kel. Mungku Baru

Kec Rakumpit Kota Palangka Raya, Prop. Kalimantan Tengah.2

Demikian Keberlakuan Hukum Pidana (Tempus Delicti & Locus Delicti)

dari putusan Pengadilan Negeri Palangkaraya Nomor 130/Pid.B/2023/PN Plk

tersebut3.

a. Kesalahan (Kesengajaan/Kealpaan)

Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Palangkaraya Nomor

130/Pid.B/2023/PN Plk, terkait Kesalahan (Kesengajaan/Kealpaan) dapat

dianalisis sebagai berikut:

1. Terdakwa Udin Bin Basri didakwa melanggar Pasal 374 jo Pasal 56

KUHP tentang tindak pidana "Membantu melakukan Penggelapan

dalam Jabatan".4

2. Unsur-unsur dari Pasal 374 KUHP yang harus terpenuhi adalah:

a. Barang siapa

b. Dengan sengaja membantu melakukan memiliki dengan melawan

hak suatu barang yang sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang

lain

c. Barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan

d. Dilakukan oleh orang yang memegang barang itu berhubung

dengan pekerjaannya/jabatannya atau karena mendapat upah uang

2 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana (Jakarta: Rajawali Pers, 2010).


3 Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana
Indonesia Studi Kasus Tentang Penerapan Dan Perkembangannya Dalam Yuriprudensi
(Bandung: Alumni, 2002).
4 Usfa, Tongat, and Fuad, Pengantar Hukum Pidana (Malang: UMM Press, 2004).

5
3. Berdasarkan fakta persidangan dan keterangan saksi-saksi serta

pengakuan terdakwa, maka terdakwa terbukti dengan sengaja

membantu menggelapkan pupuk milik PT MAPA untuk kemudian

dijual tanpa seijin. Jadi terdapat unsur kesengajaan di sini.

4. Oleh karena itu Majelis Hakim menyatakan terdakwa terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penggelapan

sebagaimana didakwakan.

Kesimpulan: Kesalahan yang dilakukan terdakwa adalah kesengajaan,

karena terbukti dengan sengaja membantu menggelapkan pupuk milik korban

untuk dijualbelikan tanpa seijin.

2. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Palangkaraya Nomor

130/Pid.B/2023/PN Plk, terkait Sifat Melawan Hukum (wederechtelijk)

dapat dianalisis sebagai berikut:

a. Terdakwa Udin Bin Basri didakwa melanggar Pasal 374 jo Pasal 56

KUHP tentang tindak pidana "Membantu melakukan Penggelapan dalam

Jabatan".

b. Unsur "melawan hukum" termasuk dalam rumusan Pasal 374 KUHP, yaitu

"dengan sengaja memiliki dengan melawan hukum".

c. Berdasarkan fakta persidangan, terdakwa terbukti membantu

menggelapkan pupuk milik PT MAPA yang seharusnya dikirim ke mitra

perusahaan, namun diturunkan di tengah jalan dan dijual tanpa seijin.

d. Perbuatan terdakwa jelas melawan hukum karena:

1) Tanpa izin memiliki barang orang lain

6
2) Mengambil keuntungan dari penjualan barang tersebut untuk

kepentingan pribadi.

3) Merugikan pemilik barang yaitu PT MAPA

e. Oleh karena itu, Majelis Hakim berpendapat perbuatan terdakwa

memenuhi unsur "melawan hukum" sebagaimana dimaksud dalam Pasal

374 KUHP.

Kesimpulan: Perbuatan terdakwa memiliki sifat melawan hukum

(wederrechtelijk) karena tanpa izin memiliki dan menjual barang milik orang lain

untuk kepentingan pribadi sehingga merugikan pemilik barang.

3. Berdasarkan putusan Nomor 130/Pid.B/2023/PN Plk, jenis delik yang

dilakukan oleh Terdakwa UDIN Bin BASRI adalah penggelapan dalam

jabatan.

Hal ini dapat dilihat dari pertimbangan hukum Majelis Hakim yang

menyatakan bahwa Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana “Membantu melakukan Penggelapan dalam jabatan”,

sebagaimana dakwaan Pasal 374 Jo pasal 56 KUHP.

Pasal 374 KUHP mengatur mengenai tindak pidana penggelapan dalam

jabatan, yang unsur-unsurnya adalah:

a. Memiliki dengan melawan hak suatu barang

b. Barang tersebut seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain

c. Barang tersebut ada dalam tangannya bukan karena kejahatan

d. Dilakukan oleh orang yang memegang barang itu karena jabatannya atau

karena mendapat upah

7
Dalam kasus ini, Terdakwa UDIN Bin BASRI terbukti memiliki dan

menjual pupuk milik PT MAPA tanpa seijin yang berhak. Terdakwa adalah

karyawan borongan PT MAPA yang bertugas memuat dan membongkar pupuk.

Dengan demikian, Terdakwa telah melakukan penggelapan terhadap barang yang

berada dalam tangannya karena jabatannya, sehingga termasuk jenis delik

penggelapan dalam jabatan menurut Pasal 374 KUHP.

Berdasarkan putusan Nomor 130/Pid.B/2023/PN Plk terhadap perkara

Terdakwa UDIN Bin BASRI, unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan kepada

Terdakwa adalah sebagai berikut:

1. Unsur Barang Siapa

Terdakwa UDIN Bin BASRI sebagai subyek hukum yang didakwa

melakukan tindak pidana. Identitas Terdakwa sesuai dengan keterangan

dalam Berita Acara Pemeriksaan dan dilampirkan KTP atas nama

Terdakwa.

2. Unsur Dengan Sengaja Membantu Memiliki Barang Milik Orang Lain

Terdakwa terbukti membantu memiliki pupuk milik PT MAPA sebanyak

2 kali masing-masing 1 ton tanpa izin yang berhak.

3. Unsur Barang Bukan Karena Kejahatan

Pupuk berada dalam penguasaan Terdakwa karena Terdakwa bekerja

sebagai karyawan borongan PT MAPA.

8
4. Unsur Dilakukan Karena Jabatan

Terdakwa memiliki kesempatan untuk menguasai pupuk karena

jabatannya sebagai karyawan borongan PT MAPA yang bertugas memuat

dan membongkar pupuk.

Dengan demikian, berdasarkan fakta persidangan, perbuatan Terdakwa

memenuhi seluruh unsur tindak pidana penggelapan dalam jabatan sebagaimana

diatur dalam Pasal 374 KUHP.

Tabel jumlah perkara pidana pada Mahkamah Agung dan pengadilan di

Indonesia tahun 2021:

Instansi Diterima Diputus Sumber

Pengadilan Seluruh Indonesia 330.260 323.940 Laporan Tahunan MA 2021

Pengadilan Tinggi 10.283 12.001 Laporan Tahunan MA 2021

Mahkamah Agung 5.440 5.742 Laporan Tahunan MA 2021

Hakim Ad Hoc MA 3 3 Laporan Tahunan MA 2021

Sumber: Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2021

4. Teori Dasar Hukum Peringanan Pidana Pasal 56 KUHP

Alasan Peringan Pidana:

Tujuan pemidanaan saat ini tidak dapat hanya dilihat sebagai aspek

pembalasan (absolut) ataupun aspek pencegahan (relatif). mengungkapkan

perkembangan tujuan pidana sebagai berikut:

9
a. Dilihat dari aspek Perlindungan terhadap kejahatan, maka tujuan pidana

adalah penanggulangan kejahatan;

b. Dilihat dari aspek Perlindungan terhadap pelaku, maka tujuan pidana

adalah Perbaikan si Pelaku (mengubah tingkah laku).

c. Dilihat dari aspek Perlindungan terhadap Penyalahgunaan Sanksi/Reaksi,

maka tujuan pidana adalah mengatur/membatasi kesewenangan penguasa

dan warga masayarakat.

d. Dilihat dari aspek Perlindungan terhadap keseimbangan kepentingan/nilai

yang terganggu, maka tujuan pidana adalah memelihara/memulihkan

keseimbangan masyarakat.

Alasan peringanan pidana dalam sistem peradilan pidana Indonesia, dapat

dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu: 5

a. Umum

1) Keadaan belum dewasa Sejak berlakunya Undang-Undang No 11

Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak maka usia anak

sebagai pelaku tindak pidana yang dapat diajukan ke sidang anak

adalah telah mencapai umur 12 tahun tetapi belum mencapai umur 18

tahun6. Dengan berlakunya undang-undang ini maka ketentuan Pasal

45 KUHP yang mengatur tentang usia anak belum dewasa yang

umurnya belum 16 tahun sebagai pelaku tindak pidana tidak berlaku

lagi. Selain itu dalam Pasal 47 KUHP alasan pengurangan pidana atas

5 Barda Nawawi Arif, Seberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum
Pidana (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, n.d.).
6 Warih Anjari, “Eksistensi Delik Dan Implementasi Asas Legalitas Hukum Pidana Materiil

Indonesia,” Masalah-Masalah Hukum, no. 4 (2017).

10
dasar pelaku belum cukup umur yakni maksimum hukuman utama

dikurangi sepertiga sudah tidak berlaku lagi dan diganti dengan

ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada Pasal 81 ayat (2) menjadi

pengurangan seperdua dari ancaman pidana maksimum yang

diancamkan bagi orang dewasa7. Dan jika tindak pidana yang

dilakukan anak merupakan tindak pidana yang diancam hukuman mati

atau penjara seumur hidup maka terhadap anak diterapkan pidana

maksimal 10 tahun penjara (Pasal 81 ayat 6)8.

2) Percobaan Tindak Pidana Pasal 53 ayat (2) KUHP: “Maksimum

hukuman utama bagi kejahatan dikurangi dengan sepertiganya dalam

hal percobaaan”. KUHP tidak memberikan definisi apakah yang

dimaksud dengan percobaan tetapi KUHP hanya memberikan batasan

atau ketentuan mengenai syarat-syarat supaya percobaan dapat

dihukum. Berdasarkan Pasal 53 KUHP percobaan pada kejahatan

dapat dihukum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a) Niat sudah ada untuk berbuat kejahatan.

b) Perbuatan berwujud permulaan pelaksanaan

c) Delik tidak selesai di luar kehendak pelaku

7 Sovia Hasanah, “Arti Asas -Asas Hukum Pidana Dalam Hukum Pidana,”
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5b07770d798f2/arti-asas-
personalitas-atau-asas-nasionalitas-aktif-dalam-hukum-pidana, 2023.
8 Galuh Faradhilah Yuni Astuti, “Relevansi Hukum Pidana Dalam Pembaharuan Hukum

Pidana Di Indonesia (Studi Pada Suku Tengger Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo
Jawa Timur),” Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, 2015.

11
Menurut arti kata sehari-hari yang diartikan percobaan yaitu menuju ke

suatu hal, akan tetapi tidak sampai pada hal yang dituju itu, atau hendak berbuat

sesuatu, sudah dimulai akan tetapi tidak selesai, misalnya bermaksud membunuh

dan telah melakukan suatu perbuatan permulaan pelaksanaan berupa mengangkat

atau mengarahkan moncong senapan tetapi korbannya tidak sampai mati karena

ada kekuatan atau daya baik pisik maupun psikis yang menghalangi sehingga

tidak terjadi akibat yang dimaksud, kekuatan pisik misalnya pada waktu senapan

diarahkan ke korban tiba-tiba ada saudara korban yang merampas senapan

tersebut dan tidak jadilah aksi pembunuhan itu9. Atau malah kekuatan itu dapat

saja datangnya dari kekuatan alam, misalnya pada waktu mengarahkan

senapannya, tanah yang dipijak oleh pelaku tiba-tiba longsong dan pelaku

terjatuh10. Kekuatan psikis dapat pula menghalangi pelaku dan mengurungkan

niatnya untuk mem- bunuh, misalnya pada waktu pelaku akan mengarahkan

senapannya kepada seseorang tiba-tiba di belakang pelaku ada seekor macan

sehingga ia ketakutan dan lari menyelamatkan diri hingga gagallah rencana pelaku

untuk membunuh korbannya11. Kesemuanya merupakan delik tidak selesai di luar

kehendak pelaku walaupun telah dilakukan perbuatan permulaan pelaksanaan.

Tetapi walaupun demikian terhadap pelaku tetap dapat dipertanggungjawabkan

sebagai percobaan pembunuhan dengan dakwaan melanggar Pasal 340 KUHP jo

Pasal 53 KUHP dengan ancaman hukuman menurut Pasal 53 ayat (2) KUHP

maksimum hukuman utama dikurangi sepertiga.

9 Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Dalam Perspektif Pembaharuan (Malang: UMM Press,
2012).
10 Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Peringan Pidana (Jakarta: Pradnya Paramita, 2007).
11 Sudarto, Hukum Pidana I, 1990.

12
3) Perbantuan tindak pidana Pasal 57 KUHP :

a) Selama-lamanya hukuman pokok bagi kejahatan dikurangi

dengan sepertiganya dalam hal membantu melakukan kejahatan.

b) Jika kejahatan itu diancam dengan hukuman mati atau hukuman

penjara seumur hidup maka dijatuhkan hukuman penjara

selamalamanya lima bekas tahun. Menurut Pasal 56 KUHP

pembantuan ada dua jenis yakni :

a. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan (Pasal 56 ke-1

KUHP).

b. Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan dengan

memberikan kesempatan, sarana atau keterangan (Pasal 56

ke-2 KUHP). Dilihat dari perbuatannya, pembantuan

bersifat accessoir artinya untuk adanya.

Pasal 56 KUHP merupakan ketentuan umum yang mengatur tentang

peringanan pidana. Pasal ini memberikan kewenangan kepada hakim untuk

meringankan pemidanaan dari ancaman pidana yang tercantum dalam undang-

undang apabila terdapat alasan pembenar atau alasan pemaaf. pembantuan harus

ada orang yang melakukan kejahatan (harus ada orang yang dibantu), tetapi dilihat

dari pertanggungjawabannya tidak accessoir, artinya dipidananya pembantu tidak

tergantung pada dapat tidaknya si pelaku dituntut atau dipidana. Pada prinsipnya

KUHP menganut sistem bahwa pidana pokok untuk pembantu lebih ringan dari

pembuat. Prinsip ini terlihat di dalam Pasal 57 ayat (1) dan (2) bahwa

maksimum pidana pokok untuk pembantuan dikurangi sepertiga, dan

13
apabila kejahatan diancam pidana mati atau penjara seumur hidup maka

maksimum pidana untuk pembantu ialah 15 tahun penjara. Khusus Pasal

305, 306, 308 KUHP, dan Pasal 341, 342 KUHP .

Diluar KUHP - Kooperatif, terus terang, menyesal dll Alasan peringanan

pidana yang merupakan alasan yuridis ini antara lain : Percobaan (Pasal 53

KUHP); Pembantuan (Pasal 56 KUHP); Pertanggungjawaban pidana bagi Anak;

dan pengembalian kerugian keuangan negara sebagaimana Pasal 4 UU No. 31

Tahun 199912. Pasal 56 KUHP mengatur tentang peringanan pidana. Dalam teori

dasar hukum peringanan pidana, terdapat beberapa hal yang perlu dipahami.

Berikut ini adalah penjelasan mengenai teori dasar hukum peringanan pidana

Pasal 56 KUHP13.

Alasan peringanan pidaba dapat dibagi menjadi dua kategori ketika

dievaluasi dalam konteks sistem peradilan pidana Indonesia, khususnya:

1) Faktor yuridis merupakan alasan yang bersumber dari faktor objektif

terhadap suatu perbuatan pidana.Faktor-faktor yuridis ini dapat

ditemukan diantaranya.

2) Faktor non yuridis pada aspek non yuridis alasana peringan pidana

yang didasarkan pada aspek subjektif ketika terjadinya perbuatan

pidana ialah keadaan melekat pada pelaku pada saat tindak pidana

12 Kesuma, Derry Angling, and Yuli Asmara Triputra, “Dekontruksi Terhadap Asas Legalitas,
Perimbangan Perlindungan Terhadap Kepentingan Pelaku Dan Korban Tindak Pidana,”
Jurnal Saburai 1, no. 1 (2018).
13 Muchamad Ikhsan, “Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana : Studi Komparatif Asas Legalitas

Hukum Pidana Indonesia Dan Hukum Pidana Islam (Jinayah),” Jurnal Serambi Hukum 11, no.
1 (2017).

14
terjadi14, dasar melaksanakan dan mempertimbangkan aspek subjektif

tersebut ialah pasal 97 ayat 1 undang-undang nomor 8 tahun 1981

tentang hukum acara pidana, ditegaskan bahwa untuk surat

putusan pemidanaan hal yang harus dimuat diantaranya aturan perundang-

undangan yang merupakam sumber ketika membuat putusan

maupun keadaan meringankan maupun memberatkan bagi

terdakwa15, hal demikian merupakan prinsip majelis hakim guna

mencermati perilaku jahat atau jahat bagi subjek tindak pidana guna

menimbang ringan atau beratnya penjatuhan pidana seperti telah

disebutkan dalam pasal 8 ayat 2 undang-undang nomor 48 tahun

2009 tentang kekuasaan kehakiman(Sutanti, 2012).

5. Dasar - dasar Diperingannya Pidana bagi pembuat

Menurut Jonkers (Zainal Abidin Farid, 2007;493), bahwa sebagai unsur

peringanan atau pengurangan pidana yang bersifat umum adalah:

a. Percobaan untuk melakukan kejahatan (Pasal 53 KUHP)

b. Pembantuan (Pasal 56 KUHP)

c. Strafrechtelijke minderjatingheld , atau orang yang belum cukup umur

(Pasal 45 KUHP).

Titel ketiga KUHP hanya menyebut butir c, karena yang disebut pada butir

a dan butir b bukanlah dasar peringanan pidana yang sebenarnya16. Pendapat

Jonkers tersebut sesuai dengan pendapat Hazewinkel Suringa (Zainal Abidin

14 I Made Pasek Diantha, Metologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Terori Hukum
(Jakarta: Prenada Media Grup, 2017).
15 Hasanah, “Arti Asas -Asas Hukum Pidana Dalam Hukum Pidana.”
16 Arif, Seberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana.

15
Farid, 2007;493), yang mengemukakan percobaan dan pembantuan adalah bukan

suatu bentuk keadaan yang memberikan ciri keringanan kepada suatu delik

tertentu, tetapi percobaan dan pembantuan merupakan bentuk keterwujudan yang

berdiri sendiri dan tersendiri dalam delik. Jonkers (1946:169) menyatakan bahwa

ketentuan Pasal 53 (2) dan (3) serta Pasal 57 (2) dan (3) KUHP bukan dasar

pengurangan pidana menurut keadaan-keadaan tertentu, tetapi adalah penentuan

pidana umum pembuat percobaan dan pembantu yang merupakan pranata hukum

yang diciptakan khusus oleh pembuat undang-undang. Kalau di Indonesia masih

terdapat suatu dasar peringanan pidana umum seperti tersebut dalam Pasal 45

KUHP, maka di Belanda Pasal 39 oud WvS yang mengatur hal yang sama, telah

dihapuskan pada tanggal 9 Novermber 1961, staatsblad No. 402 dan 403 dan

dibentuk kinderststrafwet (Undang-Undang Pokok Tentang Perlindungan Anak)

yang memerlukan karangan tersendiri17.

Pasal 45 KUHP yang sudah ketinggalan zaman itu memberikan wewenang

kepada hakim untuk memilih tindakan dan pemidanaan terhadap anak yang belum

mencapai usia 16 tahun18, yaitu mengembalikan anak itu kepada orang tuanya

atau walinya tanpa dijatuhi pidana atau memerintahkan supaya anak-anak itu

diserahkan kepada pemerintah tanpa dipidana dengan syarat-syarat tertentu

ataupun hakim menjatuhkan pidana19. Jikalau kemungkinan yang ketiga dipilih

oleh hakim, maka pidananya harus dikurangi sepertiganya, misalnya seorang anak

17 Hwian Christianto, “Pembaharuan Makna Asas Legalitas,” Jurnal Hukum Dan Pembangunan
3 (2007).
18 Anjari, “Eksistensi Delik Dan Implementasi Asas Legalitas Hukum Pidana Materiil

Indonesia.”
19 Ikhsan, “Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana : Studi Komparatif Asas Legalitas Hukum

Pidana Indonesia Dan Hukum Pidana Islam (Jinayah).”

16
SMP menghilangkan nyawa anak SMA yang berusia 13 tahun20. Kalau hakim

hendak menjatuhkan pidana tertinggi, maka pidana tertingginya adalah 15 tahun

dikurangi 5 tahun sama dengan 10 tahun penjara21. Perlu juga dijelaskan bahwa

pidana yang dijatuhkan oleh hakim tidaklah perlu tertinggi, tetapi hakim dapat

memilih pidana yang paling ringan yaitu 1 hari menurut Pasal 12 (2) KUHP

sampai pidana maksimium yang ditentukan didalam Pasal 338 KUHP yang

dikurangi sepertiganya, dengan kata lain pidana terendah adalah 1 hari dan yang

tertinggi adalah 10 tahun penjara. Hanya hakim perlu memperhatikan bunyi Pasal

27 Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang memerintahkan Hakim

memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat serta

memperhatikan tujuan pemidanaan yang dianut di Indonesia yaitu membalas

sambil mendidik.

Dasar-dasar yang Menyebabkan Diperingannya Pidana Khusus

Disebagain tindak pidana tertentu, ada pula dicantumkan dasar peringan

tertentu, yang hanya berlaku khusus terhadap tindak pidana yang di sebutkan itu

saja, dan tidak berlaku umum untuk segala macam tindak pidana22. Dasar

peringan pidana khusus ini tersebar di dalam pasal – pasal KUHP23.

Untuk dapatnya dinyatakan suatu tindak pidana sebagai lebih ringan tentu

ada pembandingnya24. Dalam tindak pidana lebih ringan inilah ada unsur yang

20 Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Piddana Dan Asas Hukum Pidana Viktimologi (Jakarta:
PT. Jambatan, 2003).
21 Pujiyono, Hukum Pidana Sub-Culture Kehidupan Hukum Di Indonesia (UNDIP, n.d.).
22 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana (Jakarta: Balai Lektur, 2001).
23 Anjari, “Eksistensi Delik Dan Implementasi Asas Legalitas Hukum Pidana Materiil

Indonesia.”
24 Mudzakkir at Al, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Politik, Hukum Pidana Dan

Sistem Pemidanaan (Jakarta: Kementerian Hukum dan Ham, 2010).

17
menyebabkan diperinganya pidana terhadap si pembuatnya. Tindak pidana

bandinganya atau pembandinganya itu ada 2 (dua), yaitu ;

a. Pertama, biasanya pada tindak pidana dalam bentuk pokok, di sebut juga

bentuk biasa atau bentuk standard (eenvoudige delicten;

b. Kedua, pada tindak pidana lainya (serta bukan termasuk bentuk pokok),

tapi perbuatanya serta syarat – syarat lainnya sama.

1. Syarat Peringanan Pidana :

Pasal 56 KUHP menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi

agar seseorang dapat memperoleh peringanan pidana. Syarat-syarat

tersebut antara lain :

a) Pelaku tindak pidana harus mengakui perbuatannya

b) Pelaku tindak pidana harus menunjukkan sikap yang baik dan

bertobat

c) Pelaku tindak pidana harus membayar ganti rugi kepada korban

2. Bentuk Peringanan Pidana :

Peringanan pidana dapat berupa pengurangan masa pidana,

pengurangan jenis pidana, atau penghapusan pidana. Pengurangan

masa pidana dapat dilakukan dengan mengurangi masa tahanan

yang harus dijalani oleh pelaku tindak pidana. Pengurangan jenis

pidana dapat dilakukan dengan mengganti pidana penjara dengan

pidana kurungan atau pidana denda. Penghapusan pidana dapat

dilakukan dengan menghapuskan pidana yang dijatuhkan kepada

pelaku tindak pidana.

18
3. Tujuan Peringanan Pidana :

Tujuan peringanan pidana adalah untuk memberikan kesempatan

kepada pelaku tindak pidana untuk memperbaiki diri dan kembali

menjadi anggota masyarakat yang baik25. Dengan memberikan

peringanan pidana, diharapkan pelaku tindak pidana dapat belajar

dari kesalahan yang telah dilakukan dan tidak mengulangi

perbuatan yang sama di masa depan.

4. Keputusan Peringanan Pidana :

Keputusan mengenai peringanan pidana diambil oleh hakim

berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang diatur dalam Pasal

56 KUHP26. Hakim akan mempertimbangkan faktor-faktor seperti

pengakuan pelaku tindak pidana, sikap pelaku tindak pidana

setelah melakukan tindak pidana, dan pembayaran ganti rugi

kepada korban27.

5. Pengaruh Peringanan Pidana Terhadap Masyarakat :

Peringanan pidana dapat memberikan pengaruh terhadap

masyarakat. Dengan memberikan kesempatan kepada pelaku

tindak pidana untuk memperbaiki diri, diharapkan masyarakat

dapat melihat bahwa sistem hukum tidak hanya bertujuan untuk

menghukum, tetapi juga untuk memperbaiki dan mendidik pelaku

25 Soerjono Soekanto, Kedudukan Dan Peranan Hukum Pidana Di Indonesia (Jakarta: Kurnia
Esa, 1982).
26 Sudarto, Hukum Pidana I.
27 Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Peringan Pidana.

19
tindak pidana agar tidak mengulangi perbuatan yang sama di masa

depan.

6. Kritik Terhadap Peringanan Pidana :

Meskipun peringanan pidana memiliki tujuan yang baik, terdapat

juga kritik terhadap penerapan peringanan pidana28. Beberapa

kritik tersebut antara lain bahwa peringanan pidana dapat

memberikan kesan bahwa pelaku tindak pidana tidak mendapatkan

hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, dan bahwa

peringanan pidana dapat memberikan kesempatan kepada pelaku

tindak pidana untuk melanjutkan kegiatan kriminalnya.29

7. Relevansi Pasal 56 KUHP :

Pasal 56 KUHP memiliki relevansi yang penting dalam sistem

hukum pidana di Indonesia. Dengan adanya Pasal 56 KUHP,

pelaku tindak pidana diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri

dan kembali menjadi anggota masyarakat yang baik30. Hal ini

sejalan dengan tujuan pemidanaan yang tidak hanya menghukum,

tetapi juga mendidik pelaku tindak pidana agar tidak mengulangi

perbuatan yang sama di masa depan.31

28 Samsuddin at al., Hukum Adat Dan Modernisasi Hukum (Jakarta: Gunung Agung, 1988).
29 Otje S Salman, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer (Bandung, 2002).
30 Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia Studi

Kasus Tentang Penerapan Dan Perkembangannya Dalam Yuriprudensi.


31 Hazairin, Demokrasi Pancasila (Jakarta: Tinta Mas, 1970).

20
Menurut Loebby Loqman, terdapat 3 (tiga) teori yang mendasari

peringanan pidana, yaitu :

a. Teori Absolut (vergeldings theorien)

Teori absolut berorientasi pada pembalasan. Dalam teori ini, pidana

dijatuhkan semata-mata sebagai pembalasan yang setimpal atas perbuatan

jahat pelaku. Peringanan pidana dapat diberikan apabila terdapat keadaan

yang dapat mengurangi kesalahan pelaku. Dasar pijakan dari teori ini

adalah pembalasan.Inilah dasar pembenar dari penjatuhan penderitaan

berupa pidana itu pada penjahat.Negara berhak menjatuhkan pidana karena

penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak

dan kepentingan hukum (pribadi, masyarakat, atau negara) yang telah

dilindungi.Oleh karena itu, harus diberikan pidana yang setimpal dengan

perbuatan (berupa kejahatan) yang dilakukannya 32. Tindakan pembalasan

di dalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah, yaitu:

1. Ditujukan pada penjahatnya (sudut subjektif dari pembalasan);

2. Ditunjukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam

dikalangan masyarakat (sudut objektif dari pembalasan). 33

Bila seseorang melakukan kejahatan, ada kepentingan hukum yang

terlanggar. Akibat yang timbul, tiada lain berupa suatu penderitaan baik

fisik maupun psikis, ialah berupa perasaan tidak senang, sakit hati,

amarah, tidak puas, terganggunya ketentraman batin. Timbulnya perasaan

seperti ini bukan saja bagi korban langsung, tetapi juga pada masyarakat

32Diantha, Metologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Terori Hukum.


33 Eddy O.S Hiariej, Asas Legalitas Dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana (Jakarta:
Erlangga., 2009).

21
pada umumnya34. Untuk memuaskan dan atau menghilangkan penderitaan

seperti ini (sudut subjektif), kepada pelaku kejahatan harus diberikan

pembalasan yang setimpal (sudut objektif), yakni berupa pidana yang tidak

lain suatu penderitaan pula. Oleh sebab itulah, dapat dikatakan bahwa teori

pembalasan ini sebenarnya mengejar kepuasan hati, baik korban dan

keluarganya mapun masyarakat pada umumnya.

b. Teori Relatif atau Teori Tujuan (doel theorien)

Teori relatif berorientasi pada prevensi (pencegahan). Menurut teori ini,

penjatuhan pidana bukan pembalasan atas perbuatan jahat, melainkan

untuk mencegah timbulnya kejahatan di masa mendatang. Peringanan

pidana diberikan agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya. Teori ini

berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan

tata tertib (hukum) dalam masarakat.Tujuan pidana ialah tata tertib

masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan

pidana.Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan,

dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara.Ditinjau dari

sudut pertahanan masyarakat, pidana merupakan suatu yang terpaksa perlu

diadakan. Menurut teori ini pemidanaan bukanlah untuk memuaskan

tuntutan absolut dari keadilan.Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai

nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan

masyarakat.Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau

pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana,

34Anwar, Yesmil, and Adang, Pembaruan Hukum Pidana “ Reformasi Hukum Pidana” (Jakarta:
PT Grasindo, 2008).

22
tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat, sehingga dasar

pembenaran dari teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana

dijatuhkan bukan quia peccatum est(karena orang membuat kejahatan)

melainkan ne peccetur (supaya orang jangan melakukan kejahatan).16

Perbedaan ciri-ciri pokok atau karakteristik antara teori pembalasan dan

teori tujuan dikemukakan pula secara terperinci oleh Karl O. Christiansen

sebagai berikut:

1. Pada teori pembalasan:

a) Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;

b) Pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak

mengandung saranasarana untuk tujuan lain misalnya untuk

kesejahteraan masyarakat;

c) Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;

d) Pidana melihat kebelakang ia merupakan pencelaan yang murni

dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau

memasyarakatkan kembali si pelanggar.

2. Pada teori tujuan:

a) Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);

b) Pencegahan bukan tujuan akhir, tetapi hanya sebagai sarana untuk

mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;

c) Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan

kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang

memenuhi syarat untuk adanya pidana;

23
d) Pidana harus diterapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk

pencegahan kejahatan; dan

e) Pidana dapat mengandung unsur pencelaan maupun unsur

pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu

pencegahan kejahataan untuk kepentingan kesejahteraan

masyarakat. Mengenai teori tujuan ini untuk pencegahan kejahatan,

biasa dibedakan antara istilah prevensi umum (general deterrence)

dan prevensi khusus (special deterrence). Dengan prevensi umum

dimaksudkan pengaruh pidana terhadap masyarakat pada

umumnya, artinya pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh

pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat

pada umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana. Sedangkan

dengan prevensi khusus dimaksudkan pengaruh pidana terhadap

terpidana. Jadi pencegahan kejahatan itu ingin dicapai dengan

mempengaruhi tingkah laku si terpidana untuk tidak melakukan

tindak pidana lagi. Ini berarti pidana bertujuan agar si terpidana itu

berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi

masyarakat35.

3. Teori Gabungan (vernegings theorien)

Teori gabungan memadukan pembalasan dan pencegahan

dalam penjatuhan pidana. Dua unsur tersebut dipandang sama

pentingnya dalam penjatuhan pidana maupun peringanan pidana.

35 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan
Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana (Jakarta: Kencana Prenada Media., 2006).

24
Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan

asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan

itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat

dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu:

a) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi

pembalasan itu tidak boleh melampau batas dari apa yang

perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib

masyarakat. Teori ini didukung oleh Pompe dan Zevenbergen.

b) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan dari tata

tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana

tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan

terpidana (Schravendijk, 1955:218). Pendukung teori ini

adalah Thomas Aquino dan Vos.

Bentuk-Bentuk Pidana.

Berdasarkan ketentuan yang ada di KUHP menyangkut tentang sangsi

pidana atau jenis pemidanaan hanya terdapat 2 macam hukuman pidana, yaitu

pidana pokok dan pidana tambahan. Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pida-

na (KUHP) berbunyi sebagai berikut: Pidana terdiri atas:

a. Hukuman pokok (hoofd straffen) :

1. Pidana Mati

2. Pidana penjara

3. Pidana kurungan

4. Pidana denda

25
b. Hukuman tambahan (bijkomende straffen) :

1. Pencabutan hak-hak tertentu

2. Perampasan barang-barang tertentu

3. Pengumuman Putusan Hakim

Pidana pokok adalah hukuman yang dapat dijatuhkan terlepas dari

hukuman hukumanhukuman lain. Sedangakan pidana tambahan adalah hukuman

yang hanya dapat dijatuhkan bersama-sama dengan hukuman pokok. Jenis pidana

yang dapat dijatuhkan dalam pidanaanak, sebagaimana diatur dalam Pasal 71 UU

No. 11 Tahun 2012, yakni :

1. Pidana Pokok

a. Pidana Peringatan ;

b. Pidana dengan syarat :

a) Pembinaan diluar lembaga

b) Pelayanan masyarakat; atau

c) Pengawasan

d) Pelatihan kerja;

e) Pembinaan dalam lembaga; dan

f) Penjara

2. Pidana Tambahan :

a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau

b. Pemenuhan kewajiban adat. Contoh pidana untuk tindak pidana umum

dan tindak pidana khusus 36:

36 Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2008).

26
Tindak Pidana Umum (Pasal 340 KUHP) “

Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu merampas

nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana

mati atau pidana seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu, paling

lama dua puluh tahun37.

C. Tujuan Pemindanaan

Menurut Hukum Positif Tujuan diadakan pemidanaan diperlukan untuk

mengetahui sifat dan dasar hukum dari pidana38.Franz Von List mengajukan

problematik sifat pidana di dalam hukum yang menyatakan bahwa

"rechtsguterschutz durch rechtsguterverletzung" yang artinya melindungi

kepentingan tetapi dengan menyerang kepentingan.Dalam konteks itu pula

dikatakan Hugo De Groot "malum passionis (quod ingligitur) propter malum

actionis" yaitu penderitaan jahat menimpa dikarenakan oleh perbuatan jahat 39.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas tampak adanya pertentangan mengenai

tujuan pemidanaan, yakni antara mereka yang berpandangan pidana sebagai

sarana pembalasan atau teori absolut (retributive/vergeldings theorieen) dan

mereka yang menyatakan bahwa pidana mempunyai tujuan yang positif atau teori

tujuan (utilitarian/doeltheorieen), serta pandangan yang menggabungkan dua

tujuan pemidanaan tersebut (teori gabungan/verenigings theorieen).

Muladi mengistilahkan teori tujuan sebagai teleological theories dan teori

gabungan disebut sebagai pandangan integratif di dalam tujuan pemidanaan

37Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Piddana Dan Asas Hukum Pidana Viktimologi.
38 Satjipto Rahardjo, Sisi - Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesi, 2nd ed. (Jakarta: PT. Kompas
Media Nusantara, 2006).
39 Kesuma, Angling, and Triputra, “Dekontruksi Terhadap Asas Legalitas, Perimbangan

Perlindungan Terhadap Kepentingan Pelaku Dan Korban Tindak Pidana.”

27
(theological retributivism) yang beranggapan bahwa pemidanaan mempunyai

tujuan yang plural, yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan harus

menimbulkan konsekuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan, keadilan tidak

boleh melalui pembebanan penderitaan yang patut diterima untuk tujuan

penderitaan itu sendiri dan pandangan retributivist yang menyatakan bahwa

keadilan dapat dicapai apabila tujuantersebut dilakukan dengan menggunakan

ukuran berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, misalnya bahwa penderitaan pidana

tersebut tidak boleh melebihi ganjaran yang selayaknya diperoleh pelaku tindak

pidana. Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana merupakan suatu proses

dinamis yang meliputi penilaian secara terus-menerus dan seksama terhadap

sasaran-sasaran yang hendak dicapai dan konsekuensi-konsekuensi yang dapat

dipilih dari keputusan tertentu terhadap hal-hal tertentu pada suatu saat. Muladi

dalam konteks itulah maka mengajukan kombinasi tujuan pemidanaan yang

dianggap cocok dengan pendekatan-pendekatan sosiologis, ideologis dan yuridis

filosofis dengan dilandasi oleh asumsi dasar, bahwa tindak pidana merupakan

gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan

masyarakat yang mengakibatkan kerusakan individual ataupun masyarakat,

dengan demikian maka tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan

individual dan sosial (individual and social damages) yang diakibatkan oleh

tindak pidana.

Perangkat tujuan pemidanaan tersebut adalah:

a. Pencegahan (umum dan khusus);

b. perlindungan masyarakat;

28
c. memelihara solidaritas masyarakat;

d. Pengimbalan/pengimbangan.

Dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan, KUHP tidak mencantumkan

dengan tegas dalam rumusannya mengenai tujuan dari dijatuhkannya suatu sanksi

pidana.

Sedangkan pada Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2013 yang dibuat

oleh Tim RUU KUHP Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM)

Republik Indonesia dalam Pasal 54 dirumuskan sebagai berikut:

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum

demi pengayoman masyarakat;

b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga

menjadi orang yang baik dan berguna;

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan

keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan

d. Membebaskan rasa bersalah terpidana. Sehingga, dari uraian tersebut di

atas, dapat diketahui bahwa tujuan pemindanaan dalam hukum positif

adalah untuk melakukan pencegahan terjadinya tindak pidana agar

terjaminnya perlindungan dan terpeliharanya kedamaian di dalam

masyarakat.

D. Pertanggungjawaban Pidana

Menurut Hukum Positif Pertanggungjawaban pidana berkaitan dengan

subjek tindak pidana.Pada saat penyusunan undang-undang hukum

pidana.Kesalahan merupakan unsur utama dari pertanggungjawaban pidana dan

29
pertanggungjawaban pidana berkaitan dengan kekurangmampuan bertanggung

jawab, masalah pertanggungjawaban terhadap akibat yang tidak dituju/tidak

dikehendaki/tidak sengaja. Pertanggungjawaban pidana mengandung di dalamnya

pencelaan atau pertanggungjawaban subjektif dan objektif. Secara objektif

pembuat telah melakukan tindak pidana menurut hukum yang berlaku (asas

legalitas) dan secara subjektif si pembuat patut dicela atau dipersalahkan atau

dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya itu sehingga ia

patut dipidana.

Van Bammelen menambahkan dengan menyatakan bahwa: “yang

dipertanggungjawabkan adalah perbuatan dan pelakunya, yaitu pembuat

dipertanggungjawabkan karena pembuat adalah orang yang mampu bertanggung

jawab. Pertanggungjawaban pidana bagi pembuat selalu berhubungan dengan

kemampuan bertanggung jawab, sehingga pembuat dapat

dipidana.Pertanggungjawaban pidana tidak hanya terdapat kesalahan tetapi juga

terdapat kemampaun bertanggung jawab”.

Maksud dari pendapat Van Bammelen tersebut adalah orang yang dapat

dipertanggungjawabkan selain mempunyai kesalahan, orang itu juga selalu orang

yang mampu bertanggung jawab. Dalam hal kewajiban bertanggung jawab si

pembuat kejahatan dapat diberikan peringanan pidana, pemberatan pidana dan

bahkan penghapusan pidana berdasarkan beberapa alasan yang berkaitan dengan

pelakunya.Karena pembentukan undang-undang bertujuan untuk mencapai

keadilan yang setinggi-tingginya.

30
Ada banyak hal, baik yang bersifat subjektif maupun objektif, yang

mendorong dan mempengaruhi seseorang mewujudkan suatu tingkah laku yang

pada kenyataannya dilarang oleh undang-undang. Adapun dasar alasan tersebut,

yaitu: alasan Peringanan Pidana Dari sudut luas berlakunya, dasar-dasar

diperingankannya pidana terhadap si pembuat dalam undang-undang dibagi dalam

tiga alasan berikut:

a. Menurut KUHP :

Belum Berumur 16 Tahun Tentang hal yang memperingan

(mengurangkan) pidana dimuat dalam Pasal 45, 46 dan 47 KUHP. Akan

tetapi sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang

Peradilan Anak (diundangkan tanggal 3 Januari 1997 dan berlaku sejak

tanggal 3 Januari 1998), ketiga pasal itu tidak berlaku. Namun, baik

kiranya untuk mengetahui ketiga pasal tersebut. Menurut Pasal 45, hal

yang memperingan pidana ialah sebab si pembuat merupakan seorang

anak yang umurnya belum mencapai 16 (enam belas) tahun. Inilah satu-

satunya dasar yang memperingan pidana umum yang yang ditentukan

dalam Bab III Buku I. Terhadap seorang yang belum dewasa yang dituntut

pidana karena melakukan suatu perbuatan ketika umurnya belum 16 tahun

maka hakim dapat menentukan salah satu diantara tiga kemungkinan,

yaitu:

a) Memerintahkan agar anak itu dikembalikan kepada orang tuanya,

walinya, atau pemeliharanya tanpa pidana apa pun;

31
b) Memerintahkan agar anak itu diserahkan kepada pemerintah, tanpa

pidana apapun, ialah apabila perbuatan yang dilakukannya berupa

kejahatan atau salah satu pelanggaran Pasal 489, 490, 492, 496,

497, 503, 505, 514, 517-519, 526, 531, 532, 536, dan 540 dan

belum lewat 2 tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan

kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut diatas dengan

putusan yang telah menjadi tetap;

c) Menjatuhkan pidana. Kemungkinan yang pertama dan kedua

adalah berupa tindakan. Pada kemungkinan kedua menyerahkan

anak itu pada pemerintah dapat dipilih oleh hakim, dalam dua hal,

yaitu: Dalam hal anak itu melakukan kejahatan dan dalam hal anak

itu melakukan pelanggaran, terhadap pasal-pasal tersebut diatas

dan pelanggaran yang mana belum lewat 2 tahun

(pengulangan)sejak dijatuhi pidana dengan putusan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap.

Apabila hakim memerintahkan anak itu diserahkan pada

pemerintah, menurut Pasal 46 maka ia:

a) Dimasukan pada rumah pendidikan Negara untuk menerima

pendidikan dari pemerintah, atau dikemudian hari dengan cara

lain; atau

b) Diserahkan pada: seorang tertentu yang bertinggal di

Indonesia; atau suatu badan hukum, yayasan, atau lembaga

amal yang berkedudukan di Indonesia untuk

32
menyelenggarakan pendidikannya atas tanggungan

pemerintah, atau dikemudian hari dengan cara lain, kedua hal

ini dijalankan sampai anak itu berumur 18 tahun.

Selanjutnya jika hakim memilih yang ketiga

menjatuhkan pidana dalam hal ini (menurut pasal 47) terdapat

dua kemungkinan berikut:

1) Dalam hal tindak pidana yang tidak diancam pidana mati

atau pidana penjara seumur hidup,maka hakim menjatuhkan

pidana yang berat atau lamanya adalah maksimum pidana

pokok yang dicantumkan pada tindak pidana yang

dilakukannya itu dikurangi sepertiganya.

2) Dalam hal kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau

penjara seumur hidup,maka tidak dapat dijatuhi pidana

mati atau pidana penjara seumur hidup, tetapi hakim

menjatuhi pidana penjara selama-lamanya lima belas (15)

tahun. Sementara itu pidana tambahan pencabutan hak-hak

tertentu dan pengumuman putusan hakim tidak dapat

dijatuhkan (pasal 47 ayat 3). Adapun maksud ketentuan ini

adalah memberi perlindungan hukum kepada terpidana

anak bagi nasib dan kehidupannya di masa depan.

b. Menurut UU No. 3 Tahun 1997:

Anak yang umurnya Telah mencapai 8 Tahun Tetapi Belum 18 Tahun dan

Belum Pernah Kawin. Terdapat beberapa Perbedaan ketentuan mengenai

33
hal peringanan pidana menurut KUHP dengan UU No. 3 tahun 1977,

antara lain:

a. Batasan anak yang dapat diperingan pidananya dalam hal

melakukan tindak pidana, menurut KUHP ialah belum berumur

16 tahun, sedangkan menurut UU No. 3 tahun 1977 ialah telah

berumur 8 tahun tetapi belum berumur delapan belas (18) tahun

dan belum pernah kawin.

b. Jenis pidana pokok yang dapat dijatuhkan menurut KUHP ada

tiga jenis, yaitu pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana

denda. Sementara itu, menurut UU No. 3 tahun 1977 ada empat

jenis, yaitu selain tiga (3) jenis pidana pokok tersebut ditambah

pidana pengawasan.

c. Jenis pidana tambahan yang dapat dijatuhkan menurut KUHP

ialah hanya pidana perampasan barang tertentu, juga pidana

pembayaran ganti rugi.

d. Batasan dapat dijatuhkannya pidana dengan bersyarat menurut

KUHP ialah dalam hal hakim menjatuhkan pidana penjara paling

lama satu (1) tahun; pidana kurungan atau pidana denda pasal I4

huruf a. Sementara itu, menurut UU No. 3 tahun 1977 hakim

boleh menjatuhkan pidana dengan bersyarat hanyalah mengenai

pidana penjara saja yang paling lama dua (2) tahun, dan tidak

pada pidana kurungan dan pidana denda (pasal 29).

34
e. Menurut KUHP, dalam hal hakim menjatuhkan pidana denda dan

denda tidak dibayar, maka diganti dengan kurungan pengganti

denda yang lamanya minimum satu (1) hari dan maksimum enam

(6) bulan, dan dalam hal ada pemberatan pidana dapat

diperpanjang menjadi paling lama delapan (8) bulan (pasal 30).

Menurut UU No.3 tahun 1977 bila denda tidak dibayar, diganti

dengan wajib latihan kerja paling lama 90 hari yang tiap hari

tidak lebih dari 4 jam latihan kerja (pasal 28), dan tidak dapat

diperpanjang dengan alasan apapun.

f. Terhadap anak belum berumur enam belas (16) tahun yang

melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau

pidana penjara seumur hidup, menurut KUHP hanya dapat

dipidana penjara selamalamanya 15 tahun. Namun, menurut UU

No. 3 tahun 1977 terhadap anak nakal telah berumur dua belas

(12) tahun tetapi belum berumur 18 tahun melakukan tindak

pidana yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur

hidup, hanya dapat dipidana penjara paling lama 10 tahun.

g. Anak nakal yang dilakukan tindak pidana yang diancam dengan

pidana mati atau pidana seumur hidup menurut KUHP, tidak

ditentukan batas umur minimalnya untuk dapat dijatuhkan pidana

penjara maksimum 15 tahun. Sementara itu, menurut UU No. 3

tahun 1977, ditentukan batas umur minimalnya ialah telah

berumur 12 tahun untuk dapat dipidana penjara maksimum 10

35
tahun. Di sebagian tindak pidana tertentu, ada pula dicantumkan

dasar peringan tertentu, yang hanya berlaku khusus terhadap

tindak pidana yang disebutkan itu saja, dan tidak berlaku umum

untuk segala macam tindak pidana. Dasar peringan pidana khusus

ini tersebar di dalam pasal-pasal KUHP. 3) Perihal Percobaan

Kejahatan dan Pembantuan Kejahatan Menurut (Pasal: 53 ayat 2

dan 57 ayat 1 KUHP) kepada si Pembuat yang gagal atau tidak

selesai dalam melakukan kejahatan, ancaman pidananya

dikurangi sepertiga dari ancaman maksimum pada kejahatan yang

dilakukan.

Dengan demikian, berdasarkan ketiga teori tersebut, peringanan pidana

Pasal 56 KUHP bertujuan untuk mewujudkan keseimbangan antara unsur

pembalasan, pencegahan, serta kepentingan masyarakat dan pelaku. Pertimbangan

Hakim dalam peringanan pidana yaitu, keadaan pribadi pelaku. Dalam Putusan

Nomor 130/Pid.B/2023/PN Plk Halaman 23, bahwa Putusan Nomor

130/Pid.B/2023/PN Plk selama persidangan Majelis Hakim telah mengamati serta

memperhatikan tingkah laku terdakwa di persidangan, atas pertanyaan yang

diajukan oleh Majelis Hakim, Penuntut Umum serta Penasihat Hukum, terdakwa

dapat menjawab secara baik dan dapat berbuat layaknya manusia normal (bukan

yang dimaksud oleh Pasal 44 ayat (1) KUHP karena kurang sempurnanya akal

atau karena sakit berubah akal) sehingga dapatlah disimpulkan bahwa terdakwa

adalah manusia normal yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya di

muka hukum. Serta, dalam persidangan Majelis Hakim juga tidak menemukan

36
adanya alasan pemaaaf atau alasan pembenar, sebagaimana diatur dalam pasal 49

KUHP s/d Pasal 51 KUHP, yaitu sewaktu terdakwa melakukan tindak pidana

penggelapan dalam pekerjaan yang dilakukan secara berlanjut bukan karena

adanya “daya paksa atau overmacht atau menjalankan perintah undang-undang

ataupun menjalankan perintah jabatan” yang semuanya itu dapat menghapus sifat

melawan hukumnya perbuatan, karena itu terdakwa harus dinyatakan tetap

bersalah dan dijatuhi pidana setimpal dengan perbuatannya yaitu akibat

perbuatannya, upaya pelaku untuk memperbaiki kerugian serta

Pandangan masyarakat.

6. Doktrin peringanan pidana (pidana yang lebih ringan)

Adalah konsep dalam hukum pidana yang memungkinkan hakim untuk

menjatuhkan pidana yang lebih ringan dari ancaman pidana yang ditentukan

dalam undang-undang.

Beberapa doktrin peringanan pidana dalam hukum pidana Indonesia antara lain:

1. Teori monodualistis dari Pompe

Menurut teori ini, pemberian pidana harus disesuaikan dengan sifat tindak

pidana dan keadaan si pembuat. Jika ada alasan yang meringankan, hakim

boleh memilih jenis pidana yang lebih ringan.

Teori monodualistis dari Pompe mengenai peringanan pidana :

a. Teori ini dikemukakan oleh seorang sarjana hukum pidana Belanda

bernama Pompe.

37
b. Menurut Pompe, penjatuhan pidana oleh hakim harus memperhatikan

dua hal, yaitu perbuatan/tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa,

dan pribadi/keadaan dari terdakwa itu sendiri.

c. Dalam menilai perbuatan, hakim harus melihat sifat, berat-ringannya,

dan akibat dari tindak pidana yang dilakukan.

d. Sedangkan dalam menilai pribadi/keadaan terdakwa, hakim harus

mempertimbangkan latar belakang, kondisi, dan motivasi terdakwa

melakukan tindak pidana.

e. Jika setelah mempertimbangkan dua hal tersebut terdapat alasan yang

meringankan, hakim diperbolehkan memilih jenis pidana yang lebih

ringan dari ancaman pidana yang seharusnya.

f. Tujuannya agar pidana yang dijatuhkan sesuai dengan rasa keadilan

dan tujuan pemidanaan.

g. Dengan demikian, teori ini memungkinkan adanya peringanan pidana

jika memang terdapat alasan meringankan berdasarkan penilaian

hakim terhadap perbuatan dan pribadi terdakwa.

2. Asas subsidiary dari hazewinkel-Suringa

Asas ini menyatakan bahwa penjatuhan pidana harus bermanfaat bagi

terpidana dan masyarakat. Jika dengan pidana ringan tujuan pemidanaan

sudah tercapai, pidana berat tidak perlu diberikan.

a. Asas subsidiary dalam hukum pidana dikemukakan oleh seorang

sarjana hukum Belanda bernama Hazewinkel-Suringa.

38
b. Inti dari asas ini adalah bahwa tujuan utama dari pemberian pidana

adalah untuk mencegah terjadinya tindak pidana di masa mendatang.

c. Oleh karena itu, sebelum menjatuhkan pidana, hakim harus

mempertimbangkan apakah pidana tersebut akan bermanfaat bagi

pemidanaan si pelaku dan juga untuk melindungi kepentingan

masyarakat.

d. Jika ternyata tujuan pemidanaan sudah dapat dicapai dengan pidana

yang lebih ringan, maka tidak perlu lagi menjatuhkan pidana yang

lebih berat.

e. Misalnya jika pelaku sudah menunjukkan penyesalannya, kecil

kemungkinan mengulangi perbuatannya, dan dengan pidana ringan

masyarakat sudah merasa terlindungi, maka pidana berat tidak

diperlukan lagi.

f. Dengan kata lain, asas subsidiary ini memungkinkan adanya

peringanan pidana jika pidana ringan dinilai sudah cukup efektif untuk

mencapai tujuan pemidanaan.

g. Tujuannya adalah agar penjatuhan pidana tetap rasional dan

bermanfaat bagi pelaku maupun masyarakat.

39
3. Teori limitatif-retributif dari Muladi dan Barda Nawawi Arief

Pidana harus dibatasi dan proporsional dengan berat ringannya kejahatan.

Pidana yang kurang proporsional dengan tingkat kesalahan tidak dapat

dibenarkan.

a. Teori ini dikemukakan oleh dua pakar hukum pidana Indonesia, yaitu

Muladi dan Barda Nawawi Arief.

b. Inti dari teori ini adalah bahwa pemberian pidana harus dibatasi dan

proporsional dengan tingkat kesalahan atau kejahatan yang dilakukan

oleh terdakwa.

c. Artinya, pidana yang dijatuhkan tidak boleh melampaui batas

kewajaran dan keseimbangan dengan berat-ringannya kejahatan.

d. Jika pidana yang diberikan terlalu berlebihan dan tidak seimbang

dengan besarnya kesalahan, maka hal itu tidak dapat dibenarkan

menurut teori ini.

e. Tujuannya adalah untuk menegakkan keadilan, agar pelaku kejahatan

tidak dipidana secara berlebihan di luar batas kepatutan dan keadilan.

f. Oleh karena itu, menurut teori ini, penjatuhan pidana yang kurang

proporsional dengan kesalahan pelaku dapat dianggap sebagai dasar

untuk meringankan pidana.

40
4. Asas keserasian dalam KUHP

Hakim wajib mempertimbangkan adanya hal-hal yang memberatkan dan

meringankan sebelum menjatuhkan pidana. Pidana harus sesuai dengan

keadaan dan tindakan si pembuat.

a. Asas keserasian diatur dalam Pasal 27 KUHP yang menyatakan bahwa

hakim wajib memperhatikan hal-hal yang memberatkan dan

meringankan sebelum menjatuhkan putusan.

b. Maksud asas ini adalah agar pidana yang dijatuhkan sesuai dan serasi

dengan perbuatan dan keadaan pribadi si pelaku.

c. Hakim harus mempertimbangkan apakah ada alasan yang dapat

meringankan pelaku, seperti umur yang masih muda, tindakan

dilakukan tanpa direncanakan, atau dipengaruhi orang lain.

d. Jika memang ada alasan meringankan tersebut, hakim dapat

menggunakan asas keserasian ini sebagai dasar untuk memberikan

pidana yang lebih ringan.

e. Tujuannya adalah agar pidana sesuai dengan rasa keadilan dan tujuan

pemidanaan, dengan mempertimbangkan keadaan yang meringankan

dari pelaku tindak pidana.

f. Dengan demikian, asas keserasian memberi keleluasaan kepada hakim

untuk meringankan pidana demi keadilan dan kemanfaatan, sejalan

dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

41
PENUTUP

a. Kesimpulan

Peringan pidana adalah salah satu bentuk hukuman yang diberikan kepada

pelaku tindak pidana. Tujuan dari peringan pidana adalah untuk memberikan efek

jera kepada pelaku tindak pidana agar tidak mengulangi perbuatannya di masa

mendatang. Selain itu, peringan pidana juga dapat digunakan sebagai alternatif

hukuman yang lebih ringan daripada hukuman pidana lainnya, seperti pidana

penjara atau denda.

Pada putusan di atas berdasarkan fakta persidangan, keterangan saksi-

saksi, dan pengakuan terdakwa, dapat disimpulkan bahwa terdakwa dengan

sengaja membantu menggelapkan pupuk milik PT MAPA untuk dijual tanpa

seijin. Hal ini menunjukkan adanya unsur kesengajaan dalam tindakan terdakwa.

Oleh karena itu, Majelis Hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penggelapan sebagaimana

didakwakan.

B. Alasan peringanan pidana bagi terdakwa Udin dalam Putusan Nomor

130/Pid.B/2023/PN Plk didasarkan pada faktor usia terdakwa yang masih

muda (19 tahun), pengakuan dan penyesalannya, serta kondisi ekonominya

yang kurang mampu.

C. Penggunaan alasan peringanan pidana Pasal 56 KUHP dalam putusan

tersebut sudah tepat dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

yang berlaku di Indonesia.

42
b. Saran

1. Perlu adanya sosialisasi yang lebih luas mengenai ketentuan peringanan

pidana dalam KUHP kepada masyarakat agar memiliki pemahaman yang

benar.

2. Penerapan asas keserasian dalam pemberian pidana sebaiknya lebih

dimaksimalkan agar pidana yang dijatuhkan sesuai dengan keadaan pelaku

dan rasa keadilan masyarakat.

43
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Al, Mudzakkir at. Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Politik, Hukum

Pidana Dan Sistem Pemidanaan. Jakarta: Kementerian Hukum dan Ham,

2010.

Ali, Mahrus. Dasar- Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Anwar, Yesmil, and Adang. Pembaruan Hukum Pidana “ Reformasi Hukum

Pidana.” Jakarta: PT Grasindo, 2008.

Arif, Barda Nawawi. Seberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan

Hukum Pidana. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, n.d.

Christianto, Hwian. “Pembaharuan Makna Asas Legalitas.” Jurnal Hukum Dan

Pembangunan 3 (2007).

Diantha, I Made Pasek. Metologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi

Terori Hukum. Jakarta: Prenada Media Grup, 2017.

Gofar, Fajrimei A. Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri#1: Asas Legalitas

Dalam Rancangan KUHP. Jakarta: ELSAM, 2005.

Hazairin. Demokrasi Pancasila. Jakarta: Tinta Mas, 1970.

Hiariej, Eddy O.S. Asas Legalitas Dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana.

Jakarta: Erlangga., 2009.

Huda, Chairul. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan Tinjauan Kritis Terhadap

Teori Pemisahan Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta:

Kencana Prenada Media., 2006.

44
Marpaung, Leden. Asas Teori Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika,

2008.

Mulyadi, Lilik. Kapita Selekta Hukum Piddana Dan Asas Hukum Pidana

Viktimologi. Jakarta: PT. Jambatan, 2003.

Prasetyo, Teguh. Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Pujiyono. Hukum Pidana Sub-Culture Kehidupan Hukum Di Indonesia. UNDIP,

n.d.

Rahardjo, Satjipto. Sisi - Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesi. 2nd ed. Jakarta: PT.

Kompas Media Nusantara, 2006.

Salman, Otje S. Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer. Bandung, 2002.

Samsuddin at al. Hukum Adat Dan Modernisasi Hukum. Jakarta: Gunung Agung,

1988.

Sapardjaja, Komariah Emong. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam

Hukum Pidana Indonesia Studi Kasus Tentang Penerapan Dan

Perkembangannya Dalam Yuriprudensi. Bandung: Alumni, 2002.

Satochid Kartanegara. Hukum Pidana. Jakarta: Balai Lektur, 2001.

Soekanto, Soerjono. Kedudukan Dan Peranan Hukum Pidana Di Indonesia.

Jakarta: Kurnia Esa, 1982.

Soepomo. Bab-Bab Tentang Hukum Peringan Pidana. Jakarta: Pradnya Paramita,

2007.

Sudarto. Hukum Pidana I, 1990.

Tongat. Dasar-Dasar Hukum Pidana Dalam Perspektif Pembaharuan. Malang:

UMM Press, 2012.

45
Usfa, Tongat, and Fuad. Pengantar Hukum Pidana. Malang: UMM Press, 2004.

ARTIKEL DALAM JURNAL/KARYA ILMIAH

Anjari, Warih. “Eksistensi Delik Dan Implementasi Asas Legalitas Hukum Pidana

Materiil Indonesia.” Masalah-Masalah Hukum, no. 4 (2017).

Astuti, Galuh Faradhilah Yuni. “Relevansi Hukum Pidana Dalam Pembaharuan

Hukum Pidana Di Indonesia (Studi Pada Suku Tengger Kecamatan Sukapura

Kabupaten Probolinggo Jawa Timur).” Fakultas Hukum Universitas Negeri

Semarang, 2015.

Christianto, Hwian. “Pembaharuan Makna Asas Legalitas.” Jurnal Hukum Dan

Pembangunan 3 (2007).

Ikhsan, Muchamad. “Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana : Studi Komparatif

Asas Legalitas Hukum Pidana Indonesia Dan Hukum Pidana Islam

(Jinayah).” Jurnal Serambi Hukum 11, no. 1 (2017).

Kesuma, Derry Angling, and Yuli Asmara Triputra. “Dekontruksi Terhadap Asas

Legalitas, Perimbangan Perlindungan Terhadap Kepentingan Pelaku Dan

Korban Tindak Pidana.” Jurnal Saburai 1, no. 1 (2018).

Sapardjaja, Komariah Emong. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam

Hukum Pidana Indonesia Studi Kasus Tentang Penerapan Dan

Perkembangannya Dalam Yuriprudensi. Bandung: Alumni, 2002.

46
ARTIKEL DALAM INTERNET

Hasanah, Sovia. 2018. Arti Asas -asas hukum pidana dalam Hukum Pidana.

[online] tersedia pada.

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5b07770d798f2/arti-

asas-personalitas-atau-asas-nasionalitas-aktif-dalam-hukum-pidana.

Diakses 10 Oktober 2023.

KAMUS/ENSIKLOPEDIA

Kamus Besar Bahasa Indonesia. [online] di https://kbbi.kemdikbud.go.id/.

Kamus Hukum Online Indonesia. [online] di https://kamushukum.web.id/.

47
ELEMEN DATA : TINDAK PIDANA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA

TAHUN SIFAT SUMBER


KODE ELEMEN SATUAN
2020 2021 2022 2023 2024 DATA DATA
Kepolisian
Tindak
Republik
001 Pidana 4.239,00 4.913,00 4.617,00 4.392,00 - Kasus Tahunan
Indonesia
Konvensional
Daerah
Kepolisian
Pencurian
Republik
001.01 dengan 335,00 370,00 540,00 419,00 - Kasus Tahunan
Indonesia
Pemberatan
Daerah
Kepolisian
Pencurian
Republik
001.02 dengan 63,00 48,00 35,00 31,00 - Kasus Tahunan
Indonesia
Kekerasan
Daerah
Kepolisian
Pencurian
Republik
001.03 Kendaraan 148,00 106,00 183,00 77,00 - Kasus Tahunan
Indonesia
Bermotor
Daerah
Kepolisian
Pencurian Republik
001.04 581,00 695,00 854,00 607,00 - Kasus Tahunan
Biasa Indonesia
Daerah
Kepolisian
Aniaya Republik
001.05 44,00 286,00 n/a 0,00 - Kasus Tahunan
Ringan Indonesia
Daerah

48
Kepolisian
Republik
001.06 Aniaya Berat 30,00 36,00 n/a 0,00 - Kasus Tahunan
Indonesia
Daerah
Kepolisian
Republik
001.07 Penganiayaan 74,00 322,00 450,00 394,00 - Kasus Tahunan
Indonesia
Daerah
Kepolisian
Republik
001.08 Pembunuhan 13,00 26,00 11,00 12,00 - Kasus Tahunan
Indonesia
Daerah
Kepolisian
Republik
001.09 Perkosaan 22,00 16,00 14,00 6,00 - Kasus Tahunan
Indonesia
Daerah
Kepolisian
Republik
001.10 Perzinahan 28,00 37,00 34,00 44,00 - Kasus Tahunan
Indonesia
Daerah
Kepolisian
Kesusilaan / Republik
001.11 59,00 56,00 48,00 38,00 - Kasus Tahunan
Cabul Indonesia
Daerah
Kepolisian
Penggelapan / Republik
001.12 397,00 421,00 360,00 572,00 - Kasus Tahunan
Fidusa Indonesia
Daerah

49
Kepolisian
Penipuan /
Republik
001.13 Perbuatan 561,00 617,00 1.046,00 1.068,00 - Kasus Tahunan
Indonesia
Curang
Daerah
Kepolisian
Republik
001.14 KDRT 81,00 80,00 75,00 123,00 - Kasus Tahunan
Indonesia
Daerah

50

Anda mungkin juga menyukai