Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kecambah Kacang Hijau


Kacang hijaun (Phaseolus radiatus L.) merupakan
salah satu jenis kacang-kacangan yang banyak dibudidayakan
di Indonesia. Kacang hijau mempunyai beberapa kelebihan
dibandingkan dengan kacang-kacangan lainnya, kacang hijau
memiliki kandungan antitripsin yang rendah dan mudah
dicerna. Kecambah yang terbuat dari kacang hijau disebut
tauge (Maulana, 2010). Tauge atau kecambah merupakan hasil
perkecambahan dari biji-bijian yang direndam dengan air
selama beberapa hari. Tauge tergolong jenis sayuran yang
memiliki ukuran kecil dibandingkan dengan jenis sayuran lain.
Tauge atau kecambah kacang hijau memiliki kandungan gizi
yang lebih tinggi dibandingkan dengan biji kacang hijau
karena pembentukan asam-asam amino esensial yang
merupakan penyusun protein (Surya, 2010). Kacang hijau
merupakan sumber protein nabati, kandungan protein kacang
hijau cukup tinggi yaitu 19,04-25,32% (Fleming, 1978 dalam
Anggrahini, 2007).
Kacang hijau mempunyai kelebihan dibandingkan
dengan jenis kacang-kacangan yang lain, yaitu kandungan
nutrisi didalam kacang hijau mudah dicerna, mempunyai
kandungan tripsin inhibitor yang rendah. Asam fitat
merupakan zat anti nutrisi yang terkandung dalam kacang
hijau selain tripsin inhibitor. Asam fitat memiliki sifat dapat
mengikat mineral dan protein sehingga tidak dapat diserap
oleh tubuh. Salah satu cara untuk mengurangi kandungan anti
nutrisi dalam kacang hijau dan meningkatkan kandungan

11
gizinya adalah dengan dilakukan perkecambahan (Anggrahini,
2007).
Kacang hijau (Phaseolus radiatus) merupakan sumber
antioksidan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Kandungan
gizi kacang hijau (Phaseolus radiatus) sebelum
dikecambahkan berbentuk tidak akif (terikat), setelah
mengalami perkecambahan bentuk gizi tersebut aktif sehingga
dapat meningkatkan daya cerna bagi manusia. Kacang hijau
mempunyai nilai gizi yang tinggi dan dapat digunakan
sembagai sumber vitamin dan mineral. Vitamin yang
terkandung dalam tauge adalah vitamin C, thiamin, riboflavin,
niasin, asam pantothenik, vitamin B6, float, kolin, β-karoten,
vitamin A, vitamin E (α-tokoferol), dan vitamin K. Mineral
yang terkandung dalam tauge adalah kalsium (Ca), besi (Fe),
tembaga (Cu), magnesium (Mg), fosfor (P), potasium (K),
sodium (Na), zinc (Zn), mangan (Mn), dan selenium (Se)
(Aditiya, 2010). Kekurangan vitamin E (α-tokoferol) pada
hewan dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat,
degenerasi embrio, tingkat penetasan telur yang rendah,
degenerasi dan pelepasan sel epitel germinatif dari testis dan
terjadinya kemandulan, menurunkan produksi prostaglandin
oleh mikrosom dari testis, otot dan limpa, memacu kematian
dan kerusakan syaraf (Lehninger, 1982; dalam Maftuh 2013).

a. Kacang hijau b. Kecambah kacang hijau


Gambar 2. Kacang hijau dan kecambah kacang hijau

12
Perkecambah dapat meningkatkan nilai gizi kacang
hijau terutama beberapa kandungan vitamin pada kacang
hijau. Berdasarkan penelitian Anggrahini (2007) menunjukkan
bahwa dalam perkecambahan kacang hijau akan memproduksi
vitamin E atau α-tokoferol setelah perkecambahan selama 36-
48 jam karena pada waktu inkubasinya 0-24 jam menunjukkan
bahwa α-tokoferol belum diproduksi. Kandungan α-tokoferol
pada perkecambahan selama 36 jam sebesar 0,21 µg/g
kecambah kacang hijau dan pada waktu inkubasi 48 jam
sebesar 0,53 µg/g kecambah kacang hijau. Proses
perkecambahan juga dapat menurukan kandungan lemak pada
kacang hijau. Lemak digunakan sebagai sumber energi dan
sintesis α-tokoferol selama proses perkecambahan, sehingga
kandungan lemak menurun selama proses perkecambahan.
Vitamin E merupakan senyawa yang berfungsi sebagai
antioksidan. Antioksidan merupakan zat yang dalam jumlah
sedikit mampu mempengaruhi secara langsung proses oksidasi
lemak sehingga dapat menghambat terbentuknya off flavor
(Gunston dan Norris, 1983 dalam Anggrahini, 2007).
Kecambah kacang hijau mempunyai beberapa
kandungan antioksidan. Kandungan antioksidan terbanyak
yang terkandung dalam kecambah kacang hijau adalah
fitosterol dan vitamin E selain fenol dan mineral lainnya.
Fitosterol banyak terkandung dalam minyak nabati yang
mempunyai sifat hipokolestromia. Fitosterol secara kimiawi
berfungsi sebagai antioksidan, scavenger radikal bebas, dan
secara fisik sebagai penstabil membran (Ferretti, et al., 2010).
Kandungan fitosterol dalam kecambah kacang hijau 23mg/100
gr (USDA, 2009).

13
2.2 Ayam Petelur dan Ayam Kampung (Jawa) Super
2.2.1 Ayam Petelur
Klasifikasi ayam petelur menurut Achmanu dan
Muherlien (2011) sebgai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Aves
Ordo : Galliformes
Famili : Phasianidae
Genus : Gallus
Species : Gallus domesticus

Gambar 3. ISA-Brown
(http://www.chickensales.com.au/isa-brown-for-sale-st-ives-
nsw-2075-id1409628900/)

ISA-Brown merupakan jenis ayam hasil persilangan


antara ayam rhode island whites dan rhode island reds. ISA-
Brown termasuk ayam petelur tipe medium yang memiliki
produktivitas yang cukup tinggi yaitu mampu menghasilkan
telur sebanyak 351 butir per tahun dengan berat telur rata-rata
sebesar 63,2 g dan mampu mencapai puncak produksi sebesar
95% (Hendrix, 2007). Ayam petelur strain ISA-Brown dibagi
dalam 3 tahap fase produksi. Fase 1 pada umur 18-50 minggu,
fase II pada umur 50-70 minggu dan fase III umur >70
minggu. Fase I ayam mulai bertelur pada umur 18 minggu,

14
bobot badan 1500 g dan kebutuhan protein 17,00%. Selama 32
minggu dari periode 18-50 minggu diharapkan ayam mencapai
puncak produksi ±90-95%, bobot badan sampai ±1955 g dan
berat telur naik dari 43 g/butir menjadi 63 g/butir (ISA, 2008).
Fase pemeliharaan ayam petelur berdasarkan kebutuhan zat
makanannya ada tiga yaitu fase starter mulai umur 0-6
minggu, fase grower mulai umur 6-18 minggu dan fase layer
di atas umur 18 minggu (NRC, 1994).

2.2.2 Ayam Hasil Persilangan


Ayam kampung lebih memilik ketahanan tubuh
terhadap penyakit-penyakit tertentu dan mempunyai daya
adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan, kelemahan ayam
kampung diantaranya adalah pertumbuhan dan dewasa
kelaminnya lambat, produksi rendah, lamanya selang waktu
bertelur (Solihati, Idi, Setiawan, Asmara, dan Sujana, 2006).
Ayam kampung memiliki banyak kelebihan dibanding ayam
ras yaitu memiliki adaptasi yang tinggi terhadap iklim tropis
Indonesia, lebih tahan penyakit, rasa daging dan telurnya
disukai, dan biaya produksinya lebih murah dibanding ayam
ras. Ayam hasil persilangan adalah hasil persilangan pejantan
ayam lokal dengan betina ISA-Brown yang pada umur 8
minggu pertumbuhannya hampir sama dengan umur 5-6 bulan
ayam kampung pada umumnya. Persilangan merupakan
perkawinan antar ternak yang tidak mempunyai hubungan
kerabat (Abun dan Saefulhadjar, 2007).
Ayam hasil persilangan adalah keturunan antara ayam
lokal jantan dan ayam petelur betina, untuk sementara ayam
hasil persilangan. Tujuan utama pengembangbiakan ayam
hasil persilangan ini adalah untuk menghasilkan ayam
pedaging yang diharapkan dapat mensubtitusi tingginya

15
permintaan daging ayam kampung. Keunggulan ayam ini
dapat diproduksi dalam jumlah banyak dengan umur yang
seragam dan memiliki pertumbuhan yang lebih cepat
dibandingkan ayam lokal. Umur 60 hari memiliki rata-rata
bobot badan 0,85 kg, sedangngkan ayam kampong hanya 0,50
kg (Muryanto, 2005). Penerapan teknologi persilangan antara
ayam lokal dan ayam strain adalah untuk meningkatkan
produktivitas, hal tersebut dilakukan karena produktivitas
ayam kampung/ ayam lokal rendah.
Keunggulan lain dari ayam hasil persilangan pejanatan
ayam lokal dengan betina ISA-Brown adalah mudah
beradaptasi dengan lingkungan dan apabila diusahakan dalam
jumlah besar tidak menutup kemungkinan dapat mendukung
program pencukupan daging ayam dimasyarakat.
Pemeliharaan ayam hasil persilangan sampai umur 2-2,5 bulan
kemudian ayam hasil persilangan pejanatan ayam lokal dengan
betina ISA-Brown dapat dipanen, sehingga pemeliharaannya
tidak membutuhkan waktu yang relatif lama. pemeliharaan
yang relatif singkat menjadikan pengembangbiakan ayam hasil
persilangan pejanatan ayam lokal dengan betina ISA-Brown
tidak memberikan dampak negatif secara teknis terhadap
kelestarian genetik ayam jawa. Ayam petelur yang digunakan
untuk persilangan dapat digunakan sebagaimana funsinya
yaitu sebagai penghasil telur konsumsi apabila permintaan
ayam hasil persilangan berkurang (Pramono, 2011).

Gambar 4. DOC ayam hasil persilangan

16
2.3 Pakan Ayam Petelur
Konsumsi pakan dan kebutuhan protein ayam petelur
dipengaruhi oleh temperatur lingkungan, tahap produksi,
perkandangan, pemotongan paruh, kepadatan kandang, air
minum, tingkat penyakit dalam kandang dan kandungan energi
dalam pakan (Wahju, 2004).

Tabel 1. Kebutuhan Zat Makanan Ayam Petelur


Kebutuhan sesuai umur pertumbuhan (minggu)
Zat Makanan
0-6 mgg 6-12 12-18 >18
(starter) (grower) (pre-layer) (layer)
Energi metabolis (Kkal/kg) 2800 2800 2850 2850
Protein kasar (%) 17,00 15,00 14,00 16,00
Arginin (%) 0,94 0,78 0,62 0,72
Gyisin + Serine (%) 0,66 0,54 0,44 0,50
Histidine (%) 0,25 0,21 0,16 0,18
Isoleucin (%) 0,57 0,47 0,37 0,42
Leucine (%) 1,00 0,80 0,65 0,75
Lysine (%) 0,80 0,56 0,42 0,49
Methionine (%) 0,28 0,23 0,19 0,21
Methionin + Cystine (%) 0,59 0,49 0,39 0,44
Phenylalanine (%) 0,51 0,42 0,34 0,38
Phenylalanin + Tyrosin (%) 0,94 0,78 0,63 0,70
Threonine (%) 0,64 0,53 0,35 0,44
Tryptophan (%) 0,16 0,13 0,10 0,11
Valine (%) 0,59 0,49 0,38 0,43
Lemak (%) 1,00 1,00 1,00 1,00
Kalsium (%) 0,90 0,80 0,80 1,80
Non phytate Phospor (%) 0,40 0,35 0,30 0,35
Pottasium (%) 0,25 0,25 0,25 0,25
Sodium (%) 0,15 0,15 0,15 0,15
Chlorine (%) 0,12 0,11 0,11 0,11
Magnesium (mg) 570,0 470,0 370,0 370,0
Sumber : National Research Council (NRC), (1994).

Kuantitas dan kualitas pakan yang diberikan


menentukan produksi serta kualitas telur baik secara
fisik/ekternal maupun secara kimiawi/internal. Produksi dan
kualitas telur akan tercapai secara maksimal apabila kualitas

17
pakan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan dan tata
laksana pemeliharaan (Tugiyanti dan Iriyanti, 2012).

2.4 Feed Additive


Feed additive merupakan bahan makanan tambahan
non gizi yang ditambahkan dalam pakan dalam jumlah yang
relatif sedikit dengan jumlah tidak lebih dari 1%, serta dapat
berpengaruh terhadap karakteristik pakan, kesehatan,
performa, dan kualitas produk ternak (SNI, 2006), feed
additive dapat berupa flavoring agent, antibiotik, enzim,
antioksidan, hormon, probiotik dan antikoksidan. Aditif pakan
merupakan produk yang digunakan sebagai imbuhan pakan
dengan tujuan untuk meningkatkan nafsu makan, daya cerna,
dan daya tahan tubuh, mengurangi tingkat stres, memacu
pertumbuhan, dan memperbaiki kualitas karkas ayam
pedaging (Purnomo, 2013).
Feed additive merupakan bahan pakan tambahan yang
diberikan pada ternak melalui pencampuran pakan dan
merupakan pakan pelengkap yang bukan zat makanan.
Pemberian feed additive mulai berkembang dengan adanya
feed additive herbal. Feed additive herbal merupakan feed
additive yang bahan dasarnya diperoleh dari alam. Aditif
tersebut dikalangan peternak lebih dikenal sebagai jamu-
jamuan dan merupakan fitobiotik. Fitobiotik merupakan
additive pakan murni yang berasal dari tanaman (tumbuh-
tumbuhan) (Wahju, 2004).

2.4.1 Vitamin E
Vitamin E merupakan vitamin yang larut dalam lemak
yang terdiri dari campuran dan substansi tokoferol tokotrienol.
Penambahan vitamin E dalam pakan diperlukan karena

18
vitamin E tidak dapat disintesis oleh tubuh. Fungsi vitamin E
dalam reproduksi adalah untuk perkembangan embrio,
meningkatkan kematangan sperma pada pejantan dan
meningkatkan kesuburan organ reproduksi pada betina (Dutta-
Roy et al., 1994 dalam Fauziah, dkk., 2013). Kandungan
lemak dalam pakan akan mempengaruhi penyerapan vitamin E
dalam tubuh. Vitamin E diabsorbsi bersama lipid dalam pakan.
Penyerapan vitamin E disebarkan ke Hati dalam bentik misel,
dimana misel tersebut serupa dengan misel asam lemak yang
terdiri dari campuran monogliserida dan asam lemak rantai
panjang. Tinggi rendahnya penyerapan vitamin E ditentukan
oleh banyaknya lipid yang diserap oleh tubuh dalam bentuk
misel dan garam-garam empedu (Fauziah, dkk., 2013).
Ketersediaan vitamin E dapat membantu proses
metabolisme nutrien pakan lainnya, seperti karbohidrat,
protein dan lemak sehingga dapat lebih mudah diserap oleh
tubuh (Sihaloho, dkk., 2013).
Kebutuhan vitamin E dalam pakan unggas bervariasi
dan tergantung pada konsentrasi dan jenis lemak dalam pakan,
konsentrasi selenium, adanya pro-oksidan dan antioksidan.
Kebutuhan vitamin untuk ayam adalah 10 IU vitamin E per kg
pakan (1 IU = 0,67 mg dl-α-tokoferil asetat) untuk ayam
berumur enam minggu, 5 IU/kg pakan untuk ayam berumur
lebih dari 6 minggu (NRC, 1994). Vitamin E merupakan salah
satu nutrisi penting dalam pakan unggas, defisiensi vitamin E
menyebabkan berbagai macam gangguan pada unggas.
Gangguan tersebut diantaranya adalah distrofi otot yang
mempengaruhi otot lurik, pecahnya membran eritrosit yang
mempengaruhi sirkulasi sel darah merah, diathesis eksudatif
(pengumpulan cairan dibawah jaringan kulit, dada, sayap dan
leher) yang mempengaruhi dinding kapiler. Kekurangan

19
vitamin E dapat menyebabkan lapisan lemak teroksidasi yang
dapat menyebabkan kerusakan mitokondria dan mikrosom
hati, penumpukan ceroid dalam jaringan adiposa dan
encephalomalacia tocerbellar (pelunakan otak) pada ayam.
Kekurangan vitamin E dapat mengganggu perkembangan bulu
ayam (Rengaraj and Hong, 2015).
Vitamin E dalam sistem metabolisme berfungsi
sebagai antioksidan biologis dan menjaga struktur lipida dalam
mitokondria terhadap kerusakan oksidatif, serta berperan
dalam reaksi fosforilasi normal, sintesis asam askorbat, dan
metabolisme sulfur asam amino (Wahju, 2004). Vitamin E
merupakan antioksidan kuat yang berfungsi melindungi zat
nutrisi seperti vitamin A dan asam lemak tidak jenuh-ganda
dari kerusakan oksidasi (Anggordi, 1995 dalam Sihaholo,
dkk., 2013).

2.4.2 Pengaruh Vitamin E dalam Pakan terhadap Fertilitas


Ayam
Vitamin E (α-tokoferol) merupakan senyawa
kompleks yang terdapat dialam dan disintesis dalam tanaman
terutama banyak terdapat dalam buah-buahan.vitamin adalah
suatu senyawa yang dapat berfungsi sebagai antioksidan.
Antioksidan adalah zat yang dalam jumlah sedikit mampu
mampu mempengaruhi secara langsung proses oksidasi lemak
(Guston dan Noris, 1983 dalam Anggrahini, 2007). Menurut
Leray, et al (1985) dalam Fajrin, Buwono, dan Sriati (2012),
fungsi vitamin E sebagai antioksidan mempunyai peran untuk
mencegah asam lemak teroksidasi. Asam lemak berfungsi
sebagai prekursor dari prostaglandin. Prostaglandin diperlukan
untuk mempercepat proses pematangan gonad pada ikan.
Vitamin E (α-tokoferol) dapat mengurangi hambatan

20
perkembangan embrio sehinga dapat meningkatakan derajat
penetasan (Yulfiperius, 2009).
Vitamin E berperan sebagai antioksidan yang
diperlukan untuk menghindari perioksidasi dari asam lemak
yang terdapat dalam asam linoleat atau asam lemak tak jenuh
ganda yang terkandung dalam pakan. Vitamin E sebagai
antioksidan berperan untuk mencegah pemecahan asam
linoleat yang berdampak pada volume dan konsentrasi sperma
dalam semen, daya tetas dan melindungi ayam terhadap
encephalomlacia (pelunakan pada otak atau kerusakan pada
selubung myelin sel saraf), selain defisiensi vitamin E
encephalomlacia dibabkan karena defisiensi selenium.
Interaksi vitamin E dan selenium dalam pakan berperan untuk
pemeliharaan fungsi reproduksi dan mengurangi oksidasi serta
pengaruh radikal bebas (Rengaraj and Hong, 2015).
Vitamin E berfungsi untuk meningkatkan fertilitas,
pertumbuhan embrio dan sebagai antioksidan. Vitamin juga
berfungsi untuk melindungi embrio dari kerusakan jaringan
yang disebabkan oleh radikal bebas serta meningkatkan daya
tahan tubuh sampai menetas. Vitamin E berperan sebagai
antioksidan yang berfungsi melindungsi membran jaringan
dari peroksida lipid serta radikal bebas. Vitamnin E sebagai
antioksidan mampu menangkal radikal bebas dan
menghentikan tahap awal pembebasn 1 atom hindrogen dari
gugus hidroksil kemudian berikatan dengan 1 radikal bebas
(Sihaloho, Suthama dan Sukamto, 2013). Fungsi vitamin E
selain sebagai antioksidan juga berfungsi untuk meningkatkan
kekebalan tubuh dari serangan bakteri patogen. Bakteri asam
laktat menghasilkan komponen atimokrobia yaitu asam
organik (asam laktat dan asam asetat), karbondioksida,

21
hidrogen peroksida, diasetil, reuterin, dan bakteriosin
(Amezquita dan Brashears, 2002).
Vitamin E dapat mempertahankan spermatogenesis
pada ternak jantan dari kerusakan dan menjaga zigot pada
ternak betina. Fertilitas dapat terjadi apabila spermatozoa
bertemu dengan sel telur dan kemudian kedua sel tersebut
akan berkembang menjadi suatu embrio (Kismiati, 1999 dalam
Sihaholo, dkk., 2013). Sekema penambahan dan kekurangan
vitamin E dalam pakan terhadap unggas jantan dan betina
(Rengaraj and Hong, 2015), sebagai berikut:

Unggas Jantan Unggas Betina


 Menjaga volume semen
 Menjaga konsetrasi sperma  Menjaga produksi telur
 Menjaga daya hidup sperma  Menjaga berat telur
 Menjaga pergerakan sperma  Menjaga komposisi telur
 Menjaga daya tempung semen  Menjaga fertilitas telur
 Mengurangi oksidasi lemak  Menjaga daya tetas telur
dalam sperma  Mengurangi oksidasi lemak
dalam telur
Penambahan
nn
Vitamin E dalam Pakan

Unggas Jantan Unggas Betina


 Mempengaruhi volume semen Kekurangan  Mempengaruhi produksi telur
 Mempengaruhi konsetrasi sperma  Mempengaruhi berat telur
 Mempengaruhi daya hidup sperma  Mempengaruhi komposisi telur
 Mempengaruhi pergerakan sperma  Mempengaruhi fertilitas telur
 Mempengaruhi daya  Mempengaruhi daya tetas telur
tampung semen  Meningkatkan oksidasi lemak
 Meningkatkan oksidasi lemak dalam telur
dalam sperma

Gambar 5. Pengaruh utama penambahan vitamin E dalam


pakan terhadap fungsi fertilitas unggas jantan dan betina.

22
2.5 Inseminasi Buatan
Inseminasi Buatan (IB) dapat dilakukan melalui dua
cara, yaitu intravagina dan intrauterine. Teknik inseminasi
buatan melalui intrauterine sangat bermanfaat meningkatkan
fertilitas semen yang mempunyai daya hidup spermatozoa
yang rendah seperti pada semen beku dan semen yang telah
disimpan. Teknik inseminasi buatan yang umum digunakan
pada unggas adalah teknik inseminasi buatan intravagina,
teknik tersebut selain dapat meningkatkan fertilitas,
pelaksanaannya relatif mudah, semen yang digunakan dalam
bentuk segar sehingga masih memiliki tingkat mortalitas yang
tinggi (Rahayu, Suherlan dan Supriatna, 2005). Inseminasi
buatan pada ayam kampung menggunakan semen cair yang
diperbanyak volumenya dengan menambahkan pengencer
(Lubis, Dasrul, Hamdan dan Fauziah, 2012).
Teknik Inseminasi Buatan (IB) membutuhkan semen
yang dikumpulkan dalam jumlah sperma yang cukup. Ayam
lokal yang berumur antara 10-20 bulan memiliki kualitas dan
fertilitas yang baik. Kualitas semen dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya adalah individu pejantan, bangsa/jenis
ayam, umur, pakan, operator penampung/kolektor, frekuensi
penampungan dan kontaminasi dengan carairan transparan
(Sastrodihardjo dan Resnawati, 2002 dalam Rahayu, dkk.,
2005). Volume semen pada ayam kampung per ejakulasi
berkisar antara 0,2-0,35 ml/ejakulasi. Derajat keasamaan (pH)
semen ayam lokal adalah 7-7,5. Warna dan konsistensi semen
menentukan konsentrasi sperma. Konsentrasi sperma tinggi
jika semen yang dihasilkan kental dan berwarna putih keruh,
sedangkan kosentrasi sperma rendah jika semn yang
dihasilkan encer dan berwarna bening (Sopiyana, Iskandar,
Susanti, dan Yogaswara, 2006). Faktor lain yang dapat

23
mempengaruhi keberhasilan IB adalah dosis dan interval IB.
Interval dan dosis IB menentukan tingkat fertilitas telur.
Keberhasilan inseminasi buatan diukur dari fertilitas telur yang
ditetaskan. Ferttilitas merupakan persentase telur yang
memiliki perkembangan embrio dari jumlah telur yang
ditetaskan tanpa memperhatikan telur tersebut menetas atau
tidak (Sinabutar, 2009).

2.6 Fertilitas Telur Hasil Persilangan


Fertilitas telur dapat ditentukan dengan melakukan
peneropongan atau candling, peneropongan telur tetas pada
uumnya dilakukan pada hari ke -4 dan ke-18. Faktor. Faktor
yang mempengaruhi fertilitas antara lain : ransum, umur
ternak, kesehatan ternak, rasio jantan dan betina, lama
penyimpanan telur, dan kebersihan telur (Septiwan, 2007).
Faktor lain yang mempengaruhi fertilitas adalah abnormalitas
sperma, produksi telur, teknik IB, iklim, bangsa, cahaya dan
sistem kandang (Rahayu, dkk., 2005). Menurut King’ori
(2011) faktor nutrien yang mempengaruhi fertilitas adalah
kekurangan vitamin E dalam pakan, kekurangan vitamin E
dapat menyebabkan telur menjadi tidak fertil.

2.7 Daya Tetas


Vitamin E, Selenium dan karotenoid merupakan
antioksidan alami yang berperan penting dalam proses
reproduksi unggas dengan menjaga kekurangan antioksidan
dalam sperma dan jaringan embrio. Penambahan antioksidan
berperan untuk menjaga penampilan produktif dan reproduksi
unggas secara komersial. Proses penetasan merupakan waktu
yang rentan terhadap oksidasi lipid, sehingga diperlukan
antioksidan untuk perkembangn embrio yang dapat

24
meningkatkan daya tetas. Tingginya kandungan karotenoid
dalam embrio ayam dapat menurunkan kerentanan jaringan
untuk perioksidasi lipid. Komposisi telur termasuk selenium,
vitamin E dan karotenoid dapat mempengaruhi ekspresi gen
dalam perkembangan embrio didalam sel telur, yang
berdampak pada perkembangan ayam setelah menetas (Surai,
Sparks and Speake, 2006).
Daya tetas merupakan angka yang menunjukkan tinggi
rendahnya kemampuan telur untuk menetas. Daya tetas
dipengaruhi oleh tingkat fertilitas. Daya tetas adalah
perbandingan jumlah telur yang menetas dengan jumlah telur
yang fertil. Daya tetas dapat dipengaruhi oleh bobot telur,
bobot telur yang terlalu besar atau terlalu kecil dapat
mempengaruhi daya tetas (Dewanti, Yuhan, dan Sudiono,
2014). Faktor lain yang dapat mempengaruhi daya tetas adalah
nutrisi dan genetik (Pratiwi, dkk., 2013). Daya tetas telur
dipengaruhui oleh kelangsungan hidup embrio. Kelangsungan
hidup embrio tersebut dipengaruhi oleh fertilitas, temperatur
dan kelembapan sebelum dan selama penetasan, imbangan
CO2 dan O2 dalam mesin tetas dan energi yang bersumber
dari kuning telur (Blakely dan Bade, 1992).

2.8 Kematian Embrio


Perkembangan embrio selama penetasan banyak
mengalami kematian. Kematian embrio dapat disebabkan
karena terjadi defisiensi vitamin dan mineral pada pakan
induk, sehingga metabolisme dan perkembangan embrio
menjadi tidak optimal. Penambahan vitamin A dan E
diharapkan akan dapat mempengaruhi perkembangan embrio
(Pratiwi, dkk., 2013). Antioksidan yang terkandung dalam
vitamin E berperan penting untuk mencegah kerusakan

25
embrio yang disebabkan oleh radikal bebas (Kusumasari,
Mangisah, dan Eatiningdriati, 2013).
Candling merupakan cara yang dapat dilakukan untuk
melihat perkembangan emrio didalam telur tetas. Embrio yang
normal memiliki ciri-ciri antara lain pembuluh darah nampak
jelas, terjadi beberapa gerakan tubuh jika dirangsang oleh
cahaya candling, secara umum penampilannya sehat.
Perkembangan embrio dipengaruhi oleh suhu, kelembapan,
komposisi udara dalam mesin tetas, posisi dan pembalikkan
telur serta sanitasi (Ernst, et al., 2004).

2.9 Bobot Tetas


Bobot tetas dipengaruhi oleh bobot telur, semakin
besar bobot telur makan akan menghasilkan bobot tetas yang
besar pula (Petek, 2003). Semakin tinggi bobot telur akan
menghasilkan bobot tetas yang lebigh tinggi. Hubungan antara
bobot telur dan bobot Day Old Chick (DOC), dapat dilihat
pada tabel 2.

Tabel 2. Hubungan Antara Bobot Telur Terhadap Bobot DOC


Bobot Telur (g) Bobot DOC (g)
45-49 29,3
50-54 32,3
55-59 34,6
60-64 37,7
65-69 41,1
Sumber : French (1997).

Faktor lain yang dapat mempengaruhi bobot tetas


adalah banyaknya penguapan cairan dari dalam telur yang
dipengaruhi oleh suhu penetasan, kelembapan dan lama

26
penetasan.lama penetasan yang rendah karena semakin tinggi
suhu penetasan dan rendahnya kelembapan menyebabkan
banyak cairan yang menguap sehingga bobot tetas akan
menurun sedangkan lama penetasan akan bertambah yang
mengakibatkan penurunan bobot tetas yang disebabkan
banyak cairan dalam telur tetas yang menguap (Bachari,
2006).

27
28

Anda mungkin juga menyukai