Anda di halaman 1dari 78

1

Apa Yang Harus Diketahui Oleh Setiap


Orang Advent Mengenai Masalah Tahun

1888
Sebuah tinjauan atas peristiwa dan persoalan yang telah menjadikan
Rapat Besar MAHK Sedunia di Minneapolis, AS, begitu penting dalam sejarah
organisasi Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh

Arnold V. Wallenkampf

Judul Asli : WHAT EVERY ADVENTIST


SHOULD KNOW ABOUT 1888
Penulis : Arnold V. Wallenkampf

Dicetak dan diterjemahkan oleh Indonesia Publishing House di Indonesia


pada tahun 1995.

2
Pengantar

Perdebatan tentang bagaimana pekabaran “Pembenaran Oleh Iman di dalam Kristus”


diterima pada Rapat Gereja MAHK Sedunia (General Conference) tahun 1888 masih bergema.
Sebagian orang cenderung percaya bahwa pekabaran tersebut, yang telah dikumandangkan
dengan jelas oleh E.J. Waggoner dan A.T. jones pada rapat besar di Minneapolis itu, dan
didukung oleh Ellen White, sudah ditolak oleh para utusan rapat. Sebagian lagi percaya bahwa
itu sudah diterima oleh sebagian besar utusan dan telah memulaikan pembangunan rohani
besar yang mendatangkan berkat nyata bagi gereja yang sisa.
Dalam buku kecil ini kita akan melihat sekilas latar belakang yang sebenarnya, kejadian-
kejadian dalam rapat itu, dan hasil-hasilnya. Kemudian akan mengikuti penilaian A.G. Daniells
tentang rapat itu dengan segala akibatnya, serta tugas kita sekarang ini.
Bagian terakhir buku ini menyodorkan suatu tantangan pribadi bagi kita semua yang
sekarang ini menjadi anggota gereja kepada siapa pekabaran Pembenaran Oleh Iman dalam
Kristus itu telah datang pada tahun 1888.
Presentasi ini didasarkan atas sebutan Ellen White, baik pada saat itu maupun setelah
dia mengenang kembali rapat besar itu. Hal itu mengandung banyak kutipan beliau secara
langsung. Dengan demikian pembaca akan mendapatkan ucapan-ucapannya, tak perlu
bergantung pada komentar atau kesimpulan orang lain tentang pandangannya.
Penulis mengharapkan bahwa buku kecil ini akan mengemukakan keterangan
tambahan atas apa yang telah terjadi dalam Rapat Besar General Conference yang telah
banyak diperbincangkan ini, dan agar keterangan ini akan mendorong setiap pembaca kepada
penyerahan yang bersungguh-sungguh pada Allah dan kebenaran-Nya, dibawah tuntunan
Roh Kudus.

3
BAB 1

Dari Yesus Kepada


Bukit-Bukit Gilboa yang Gersang

Dalam dasawarsa 1830-an dan 1840-an, para pengikut William Miller telah
memusatkan perhatian mereka pada Yesus. Mereka membayangkan Dia dalam kedatangan-
Nya yang gemilang dan segera selaku Tuhan diatas segala tuan dan Raja diatas segala raja,
yang datang untuk menjemput mereka menuju istana surgawi yang telah disediakan-Nya bagi
umat kepunyaan-Nya.
Sekelompok kecil orang Advent percaya bahwa setelah peristiwa kekecewaan pada
musim gugur tahun 1844, yang berkembang menjadi Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh, juga
memusatkan perhatian mereka kepada Yesus. Mereka sudah mendapatkan suatu
pengalaman di dalam Dia; mereka memiliki jaminan keselamatan oleh anugerah melalui iman
di dalam Dia. Warisan ini mereka peroleh dari pelbagai Gereja Evangelikal (Injili) dari mana
mereka berasal. Sebagai hasil dari keyakinan ini, mereka menikmati kebahagiaan dan
pengharapan bahagia sementara menantikan dengan bersemangat akan kedatangan Yesus.
Mereka merindukan Dia sebagaimana pengantin perempuan mengharapkan pengantin laki-
laki datang ke pesta pernikahan. Bagi mereka, memikirkan tentang Yesus itu manis seperti
madu.
Hubungan persahabatan yang akrab dengan Yesus ini menyanggupkan mereka
bertahan terhadap kekecewaan yang pahit. Hal ini membarui semangat mereka dan
mendorong mereka untuk kembali bersaksi sesuai dengan nubuatan dalam Wahyu 10:9-11,
serta mengumandangkan pekabaran bahwa Yesus segera datang.
Mereka membayangkan Dia bukan hanya pada kedatangan-Nya yang segera dan mulia
untuk mengumpulkan milik kepunyaan-Nya, tetapi juga membayangkan bahwa sekarang ini
Ia bearada dalam kaabah semawi untuk menjadi Pengantara mereka. Adalah karena kasih
mereka terhadap Yesus dan penghargaan atas apa yang telah dilakukan-Nya bagi mereka
selama kedatangan-Nya yang pertama, dan yang masih dilakukan bagi mereka di dalam
kaabah surgawi, yang membuat kerinduan mereka terhadap-Nya tetap menggebu, meskipun
sesudah mengalami Kekecewaan itu. Dengan tekun umat Masehi Advent Hari Ketujuh yang
mula-mula itu bergantung kepada Yesus.
Tetapi sekalipun saudara-saudara kita yang penyabar ini percaya akan keselamatan oleh
anugerah melalui iman, mereka jarang mengkhotbahkannya. Beban pekabaran mereka untuk
umum ialah segeranya kedatangan Kristus dan keinginan mereka untuk hidup menuruti
hukum-hukum-Nya – termasuk hukum hari Sabat – sementara mereka menantikan Dia.
Mereka tidak melihat keperluan khusus untuk mengkhotbahkan keselamatan oleh iman. Para
pendengar mereka sudah mempercayai hal itu. Sudah menjadi suatu dasar pemikiran yang
tak diragukan bahwa tidak ada keselamatan yang terpisah dari Kristus dan pengorbanan-Nya
atas dosa manusia.

4
Hal ini sudah pasti di kalangan mereka; tidak perlu lagi disebutkan secara khusus. Itulah
sebabnya dalam khotbah-khotbah, dalam buku-buku dan majalah umat Advent yang mula-
mula itu jarang disebutkan tentang pembenaran oleh iman dan keselamatan oleh anugerah.
Sebab yang lain mengapa orang-orang Advent mula-mula jarang membicarakan dan
menulis tentang keselamatan oleh anugerah melalui iman ialah karena mereka membiarkan
para penentang mereka menentukan acara dan menyusun prioritas mereka. Umat Advent
yang mula-mula telah diserang dengan gencar oleh golongan Kristen lainnya. Untuk
mempertahankan sebagian dari kepercayaan mereka – seperti kewajiban yang mengikat
terhadap Sepuluh Hukum, dengan pemeliharaan Sabat hari yang ketujuh – mereka berpaling
kepada Alkitab. Mudah bagi mereka untuk mendapatkan ayat-ayat Alkitab yang mengikat
ketat iman mereka di dalam Yesus kepada penurutan akan seluruh Sepuluh Hukum itu,
termasuk hukum hari Sabat. Dengan bersemangat mereka membacakan dan
mengkhotbahkan dengan berani bahwa ‘’Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu tentu akan
menuruti segala hukum-Ku’’, dan ‘’Barang siapa yang memiliki hukum-Ku dan menurutinya,
dialah itu yang mengasihi Aku.’’ (Yoh 14:15, 21). Demikianlah di dalam perasaan kemenangan
penekanan kasih di kalangan umat Masehi Advent Hari Ketujuh lambat-laun beralih dari kasih
dan persekutuan yang erat dengan Yesus kepada pemeliharaan akan hukum Allah.
Lama kelamaan Yesus mulai memudar dari pandangan dan pemikiran banyak umat
Masehi Advent Hari Ketujuh. Pengalaman kasih secara pribadi yang dialami dengan Yesus
jarang dipikirkan. Pada tahun 1870-an dan 1880-an, banyak orang Advent umumnya sudah
kehilangan pandangan akan Yesus.
Sementara hidup kerohanian mulai layu dan hampir mati di dalam hati orang-orang
Advent ini, Ellen White memperhatikan adanya erosi pengalaman orang Kristen yang sejati.
Diapun mencanangkan amaran. Sejak permulaan tahun 1870-an berulang-ulang dia menaruh
perhatian kepada keadaan yang suam yang menjadi sifat Laodikia, khususnya gereja di Battle
Creek, Michigan.[1] Dalam pidatonya kepada para pendeta dalam tanun 1879, dia
mengemukakan kenyataan bahwa pengalaman Kekristenan telah merosot menjadi sekadar
teori saja, dan bahwa kebenaran agung dan khidmat yang dipercayakan kepada gereja sudah
sering ‘’dihidangkan dalam teori yang dingin.’’ Dia mengamarkan: ‘’Suatu teori kebenaran
tanpa kesalehan yang vital tidak dapat menghapus kegelapan moral yang menyelubungi jiwa
.’’[2]
Dengan menujukan kepada para pendeta, dia berkata: ‘’Banyak orang yang mereka
bawa ke dalam kebenaran sangat kekurangan kesalehan yang sejati. Mungkin mereka
memiliki suatu teori kebenaran, tetapi mereka tidak bertobat dengan sungguh-sungguh. Hati
mereka fana, mereka tidak tinggal dalam Kristus dan Dia di dalam mereka. Adalah tugas
pendeta untuk mengemukakan teori kebenaran; tetapi mereka tidak boleh berhenti dengan
hanya melakukan ini. . . . Hubungan yang vital dengan Gembala Agung itu akan menjadikan
para gembala pembantu sebagai wakil Kristus yang hidup, suatu terang yang sejati bagi
dunia.[3]
Hampir bersamaan waktunya dia menulis: ‘’Saya rindu melihat para pendeta kita lebih
banyak bergantung pada salib Kristus, sementara itu hati mereka sendiri dilunakkan dan

5
dikuasai oleh kasih Juruselamat yang tiada bandingannya itu, yang mendorong pengorbanan
yang kekal itu.’’[4]
Kebanyakan anggota gereja percaya akan kebenaran oleh iman itu sebagai suatu teori
yang abstrak. Mereka menyetujuinya dalam pikiran, tetapi mereka kekurangan pengalaman
yang hidup sebagai sumber kedamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan Kristiani sehari-
hari. Hampir tanpa menyadarinya mereka telah hanyut ke dalam satu pengalaman legalistik,
berpegang teguh pada pengajaran itu tetapi kekurangan pengalaman yang penuh semangat
didalam Yesus sebagai Juruselamat pribadi.
Memudarnya pengalaman Kekristenan secara pribadi diantara banyak anggota itu akan
mengakibatkan kerohanian yang suam semakin bertambah dalam jemaat. Para pemimpin
gereja menyadari kebutuhan akan kebangunan rohani. Dalam majalah Review and Herald
terbitan 21 November 1882, di halaman 1-3, George Butler selaku ketua General Conference
menyerukan jemaat untuk berpuasa dan berdoa dari tanggal 1 hingga 3 Desember. Sebagai
dukungan terhadap seruannya dia memperhatikan bahwa gereja sedang mengalami
‘’kemurtadan dan kemerosotan rohani.’’ Karena itu dia berkata: ‘’Kemajuan pekerjaan ini
sangat terhalang oleh karena keadaan kita yang tidak berserah sebagai umat.’’ Inilah yang
mendorongnya untuk menegaskan: ‘’Kita harus menjadi satu umat yang bertobat.’’
Pada saat berlangsungnya Rapat Genaral Conference di Battle Creek tahun 1886, Ellen
White sedang berada di Swiss. Tetapi kepadanya ditunjukkan penglihatan dari Gereja Battle
Creek, dan oleh malaikat pengawalnya diberitahukan ‘’bahwa ada suatu kebutuhan akan
kebangunan rohani yang besar di kalangan orang-orang yang memikul tanggung jawab-
tanggung jawab di dalam pekerjaan Allah.’’[5]
Ternyata keadaan kerohanian yang memprihatinkan di dalam gereja berlangsung
sampai diadakannya Rapat General Conference di Minneapolis pada tahun 1888. Berulang-
ulang Ellen White menyatakan di halaman-halaman majalah Review and Herald akan
keprihatiannya terhadap gereja. Beberapa dari pernyataan-pernyataannya ini akan
dikemukakan.
Dalam terbitan 15 Februari 1887, dia mengatakan: ‘’Terlalu banyak formalitas dalam
gereja. . . . Mereka yang mengaku dituntun oleh Firman Allah akan dikenal dengan bukti-bukti
iman mereka; namun mereka bagaikan pohon ara yang memamerkan daun-daunnya yang
lebat di muka bumi, tetapi setelah diselidiki oleh Guru itu, kita ditemukan tanpa buah.’’
Dalam edisi 22 Maret 1887, Review datang seruan supaya mengadakan kebangunan
rohani: ‘’Satu kebangunan kesalehan sejati di antara kita adalah kebutuhan kita yang terbesar
dan paling mendesak. Mengusahakannya adalah tugas kita yang pertama. . . . Suatu
kebangunan perlu diharapkan hanya sebagai jawaban kepada doa kita. Sementara anggota-
anggota begitu kekurangan akan Roh Kudus Allah, mereka tidak dapat menghargai khotbah
dari firman itu. . . . Ada orang-orang di dalam gereja yang tidak bertobat.’’
Dia menulis dalam Review terbitan 24 Juli 1888: ‘’Pertanyaan serius harus terulang
kepada setiap anggota gereja kita, Bagaimana kita berdiri di hadapan Allah, sebagai orang-
orang yang mengaku pengikut Yesus Kristus? . . . Kematian rohani telah menimpa umat yang

6
seharusnya menunjukkan ciri-ciri kehidupan, semangat, kemurnian dan penyerahan, oleh
pengabdian yang paling bersungguh-sungguh kepada pekerjaan kebenaran.’’
Banyak peserta yang berkumpul di Minneapolis untuk mengikuti Rapat General
Conference dan Seminar Kependetaan seolah-olah berada dalam keadaan mati rohani. Pada
pagi tanggal 11 Oktober, dalam pembicaraannya yang pertama pada seminar kependetaan
itu, Ellen White berkata: ‘’Saudara-saudara, adalah suatu kebutuhan mutlak untuk kita
mencapai standar yang lebih tinggi dan lebih suci.’’[6]
Seminggu kemudian, dalam renungan pagi pada rapat itu, Ellen White mengatakan
bahwa ‘’Ada banyak pendeta yang tidak pernah bertobat.’’ dan ‘’mereka tidak mengambil
bagian dalam sifat Ilahi; Kristus tidak tinggal di dalam hati mereka oleh iman.’’ Dia
menambahkan bahwa banyak di antara mereka ini memasuki pekerjaan kependetaaan
sehingga pengaruh mereka memerosotkan moral gereja. Sebagai akibatnya, ‘’Terlalu banyak
khotbah tanpa Kristus yang dikhotbahkan.’’

Sebagai ajakan penutup dalam khotbahnya ini ialah: ’’Oh, kiranya kita bertobat! Kita
menginginkan agar para pendeta dan pendeta muda bertobat.’’[7]
Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh, yang telah dimulai sebagai satu kelompok orang-
orang percaya yang sedang menikmati persekutuan yang bergairah dengan Allah dan hanya
bergantung pada Yesus demi keselamatan, sekiranya pada rapat di Minneapolis tahun 1888
itu membarui hubungan mereka dengan Dia. Secara rohani, banyak pendeta yang
mengembara bersama domba gembalaannya di kawasan ‘’ bukit-bukit Gilboa yang gersang’’
sebagai gambaran pengalaman kerohanian yang gersang dari banyak saudara-saudaranya
sesama umat percaya.
Dengan belas kasihan Allah memandang gereja yang dikasihi-Nya; Ia sudah
menyediakan dua orang muda untuk membantu membangunkan dan memulihkan anggota-
anggota gereja-Nya yang sedang sekarat kepada persekutuan yang hidup, berfungsi, dan
dipenuhi Roh dengan Dia.
Rujukan
1. Lihat tulisan E. G. White, Testimonies for the Church (Mountain Veiw, Cal: Pacific Press Pub.
Assn. 1855-1909), jld. 3, hlm. 201; jld 4, hlm. 87,88. Pada akhir dasawarsa 1850-an, Ellen
White telah menggolongkan Gereja MAHK sebagai Laodikia; Baca E. G. White, 1 T 185-195.
2. 4 T 313,314.
3. 4 T 315.
4. 4 T 374,375.
5. E. G. White Manuscript 15, 1888, dikutip A. V. Olson, Thirteen Crisis Years (Washington D.
C.: Review and Herald Pub. Assn, 1891), hlm.305
6. E. G. White Manuscript 6, 1888, dalam tulisan Olson, hlm. 250
7. E. G. White, dalam review and Herald, 8 Oktober 1889, dikutip Olson , hlm. 264-266. BAB 2

7
BAB 2

Isyarat-Isyarat dari Rapat General


Conference di Minneapolis

Rapat besar General Conference 1888 diselengggarakan di Minneapolis pada tanggal 17


Oktober. Seminar kependetaan selama seminggu mendahului acara itu. Ada dua orang muda,
A. T. Jones, 38 tahun, dan E. J. Waggoner, 33 tahun, keduanya wakil redaktur majalah Signs
of the Times, diundang untuk menyampaikan serangkaian pembicaraan pada pertemuan ini.
Jones yang tinggi semampai adalah seorang yang telah bertobat menjadi Advent.
Setelah menemukan pekabaran Advent pada waktu menjalani dinas militer di negara bagian
Washington, dia memanfaatkan waktu luangnya di asrama untuk mempelajari sejarah dan
Alkitab. Dia telah mengumpulkan banyak pengetahuan. Setelah bebas tugas dari dinas militer
dalam tahun 1873, dia dibaptiskan dan mulai mengkhotbahkan pekabaran Advent di pesisir
Barat AS. Dalam bulan Mei 1885 dia menjadi pembantu redaktur majalah Signs.
Waggoner seorang yang berperawakan pendek, anak dari J. H Waggoner, mantan
redaktur Signs. Dia tadinya adalah seorang dokter yang beralih profesi menjadi pendeta; dan
pada tahun 1884 dia menjadi pembantu redaktur Signs yang dipimpin ayahnya. Ketika pada
tahun 1886 pendeta Waggoner diutus ke Eropa untuk menguatkan orang-orang percaya di
sana, Jones dan Waggoner muda sama-sama menjadi wakil redaktur Signs of the Times.
Mereka berdua ini telah mengembangkan pandangan-pandangan teologi yang pasti.
Beberapa di antaranya berbeda dari pemikiran waktu itu di kalangan anggota-anggota MAHK.
Pandangan yang paling nyata dominan ialah kekaguman mereka terhadap Kristus sebagai
satu-satunya kebenaran orang berdosa yang bertobat. Mereka telah diperkenalkan kepada
pandangan ini melalui pergaulan melalui Waggoner tua, seorang pelopor Advent dalam
masalah penebusan dan kebenaran oleh iman. Melalui studi mereka akan kitab-kitab Galatia,
Roma dan Ibrani, maka baik Jones maupun Waggoner sama-sama telah menjadi bersemangat
dengan keelokan dan pesona Yesus yang menyegarkan. Mereka menyadari kebutuhan yang
mendesak akan pemahaman yang lebih tentang pengalaman pembenaran oleh iman di dalam
gereja Advent.[1] Keduanya merasakan suatu beban yang nyata untuk menyebarkan
pengetahuan akan Kristus dan kebenaran-Nya yang menyelamatkan. Selaku redaktur dari
Signs, mereka telah memanfaatkan halaman-halaman majalah itu untuk untuk
mempublikaskan pendapat mereka; mereka mengutarakannya di ruang-ruang kuliah
Healdsburg College dan menyajikannya dalam khotbah-khotbah di wilayah Teluk San
Fransisco.
Selain itu, melalui penelitian sejarah Jones telah sampai pada kesimpulan bahwa salah
satu tanduk dalam Daniel 7 itu melambangkan kerajaan Alemani, bukan Huns. Uriah Smith
yang dikenal dalam gereja sebagai penafsir nubuatan, sejak semula telah mendorong Jones
dalam penelitiannya sejarahnya. Tetapi ketika Jones menarik kesimpulan ini, yang berbeda
dari pendapatnya sendiri, Smith menarik dukungannya.

8
Para pimpinan di Battle Creek merasa bahwa kedua orang ini telah memanfaatkan
kedudukannya secara tidak jujur dengan mengambil kesempatan selaku redaktur untuk
menaburkan pendapat-pendapat mereka kepada orang banyak sebelum menghadapkannya
kepada ‘’saudara-saudara pimpinan,’’ suatu prosedur yang telah dijalani oleh James White
untuk bukunya Life Sketches pada tahun 1880.[2] Lagi pula, cerita tentang Jones dan
Waggoner santer dikalangan peserta rapat bahwa mereka telah mendapat dukungan dari
Ellen White dari anaknya Willy serta orang-orang lain di pesisir Barat, dan bahwa mereka
datang ke Minneapolis untuk memaksakan pendapatnya kepada para utusan. Pendapat
Waggoner dan Jones tentang pembenaran oleh iman mencakup arti dari kata hukum dalam
Galatia. Mereka percaya bahwa istilah itu merujuk kepada Sepuluh Hukum, bukan kepada
hukum upacara. Pandangan umat Masehi Advent Hari Ketujuh pada saat itu ialah bahwa ayat
tersebut hanya dimaksudkan untuk hukum upacara.
Hukum dalam kitab Galatia telah menjadi perbincangan hangat di dalam gereja selama
bertahun-tahun. Pada tahun 1886, George I. Butler, ketua General Conference, bertanya
kepada Ellen White untuk memastikan pengertiannya. Karena tidak menerima jawaban yang
tegas, pada tahun itu juga dia menerbitkan buku The Law in the Book of Galatians (Hukum
Dalam Galatians), di percetakan Review and Herald di Battle Creek. Dalam buku ini dia
merujuk kepada tulisan-tulisan yang dimuat dalam majalah Signs terbitan Oakland, yang
mempertahankan bahwa itu adalah hukum moral. Dalam buku tersebut dia menyangkal
mentah-mentah tentang pemikiran itu.[3]
Tahun berikutnya, tepatnya tanggal 5 April 1887, Ellen White menulis dari kota Basel,
Swiss: ‘’Hati saya susah; karena selama hidup saya tidak dapat mengingat apa yang telah
ditunjukkan kepada saya sehubungan dengan kedua hukum itu.’’[4] Begitu juga dia tidak
mendapat terang tentang identifikasi yang dipersoalkan tentang salah satu dari sepuluh
tanduk dalam Daniel 7.
Dia mengimbau kedua kelompok supaya melupakan semua perbedaan pendapat itu
lalu membuat satu barisan yang bersatu terhadap dunia ini. Dia mengetahui bahwa inti
persoalan mereka tidak membenarkan perpecahan.
Ketika dia menganjurkan suatu diskusi terbuka tentang kedua pertanyaan itu, maka
hilanglah perselisihan. Waggoner dan Jones berhenti mengobarkan pandangan mereka,
kecuali pada tahun 1888 Waggoner mempersiapkan dan menerbitkan buku kecil berjudul The
Gospel in the Book of Galaltians (Injil Dalam Kitab Galatia) sebagai sanggahan terhadap buku
Butler yang diterbitkan dua tahun sebelumnya. Buku ini diberikan kepada mereka yang
memintanya.
Dalam merencanakan seminar kependetaan dan rapat General Conference tahun 1888,
Butler menyarankan kepada W. C. White beberapa pokok bahasan sebagai bahan
perbincangan. Salah satunya dia menyebutkan dengan tegas 10 kerajaan dalam Daniel 7 dan
hukum dalam kitab Galatia.[5] Jones diminta untuk menghadapkan hasil penelitian
sejarahnya tentang Daniel 7, dengan penekanan khusus mengenai 10 tanduk, sebagai
tambahan dari khotbah-khotbahnya tentang Kristus kebenaran kita. Seri nubuatan akan
diberikan dalam seminar kependetaan. Waggoner harus menyampaikan serangkaian

9
renungan sepanjang seminar kependetaan dan rapat General Conference tentang Kristus dan
kebenaran-Nya dalam kaitannya dengan hukum.[7]
Para pimpinan di Battle Creek memperkirakan akan terjadi perdebatan dalam rapat di
Minneapolis itu. Pandangan Waggoner dan Jones mengenai Kristus dan kebenaranNya dalam
hubungannya dengan hukum dalam kitab Galatia itu sangat mengganggung mereka.[7]

Rujukan
1. Seventh-day Adventist Encyclopedia, rev. ed. (1976), hlm. 707,1563, 1564.
2. Perhatikan khususnya hal. 399.
3. R. W. Schwarz, Light Bearers to the Remnant (Mountain View Calif.; Pacific Press Publ.
Assn. 1979) hal. 185-187.
4. Dikutip oleh Eugene Durand, Yours in the Blessed, Uriah Smith (Washington, D. C.: Review
and Herald Publ. Assn., 1980) hlm. 265. Tetapi Sembilan tahun kemudian tidak ada
keragu-raguan. Pada tanggal 6 Juni 1896, dia menulis dari Australia kepada Uriah Smith:
‘’Jadi hukum Taurat itu adalah penuntun yang membawa kita kepada Kristus, supaya kita
dibenarkan karena iman’’ (Galatia 3:24). Dalam ayat ini, melalui rasul itu Roh Kudus
berbicara khususnya tentang hukum moral. Hukum itu menyatakan dosa kepada kita,
dan menyadarkan kita akan kebutuhan kita akan Kristus, Dan supaya lari kepada-Nya
demi keampunan dan damai’’ (E. G. White Selected Messages (Washington, D. C: Review
and Herald Publ. Assn.,1958, 1980), jld. 1, hlm. 234; dikutip oleh Durand, hlm. 265).
5. W. C. White kepada D. T. Jones, 8 April 1890, hlm. 3 dan 6. Pendeta Butler kemudian
mengatakan bahwa dia tidak dapat mengingat bahwa dia telah menganjurkan supaya
kedua masalah ini diperbincangkan. Malahan dia menyesal mengapa hal ini dibesar-
besarkan.
6. Schwarz, hlm. 187.
7. A. W. Spalding Origin and History of Seventh-day Adventist (Washington, D. C.: Review
and Herald Publ. Assn., 1962) jld. 2, hlm. 291, 292.B

10
BAB 3

Pekabaran Tahun 1888

Semua khotbah yang disampaikan oleh Jones dan Waggoner pada seminar
kependetaan dan Rapat General Conference itu tidak dicatat, begitu pula beberapa
khotbah Ellen White. Tetapi kita dapat mengumpulkan inti dari pekabaran mereka itu dari
tulisan-tulisan mereka. Waggoner adalah pembicara utama tentang Kristus dan
kebenaranNya pada rapat besar itu. Salah satu dari bukunya yang diterbitkan tidak lama
sesudah rapat itu, berjudul Christ and His Righteousness (Kristus dan Kebenaran-Nya). Buku
itu mengemukakan semua pembicaraannya.
Seluruh isi buku itu meninggikan kasih Allah dan kemurahan-Nya sebagaimana
dinyatakan dalam diri Yesus. Waggoner menyarankan para pembacanya supaya
‘’memperhatikan Kristus terus-menerus dan dengan tekun.’’ ‘’Kristus harus ‘ditinggikan’ oleh
semua orang yang percaya kepada-Nya sebagai penebus yang sudah disalibkan, yang
kemurahan dan kemuliaan-Nya cukup umtuk memenuhi kebutuhan dunia yang terbesar; itu
berarti bahwa Dia harus ‘ditinggikan’ dalam segala kelembutan dan kuasa-Nya yang luar bisa
sebagai ‘Allah beserta kita,’ agar daya tarik Ilahi-Nya dapat menarik kita semua kepada-
Nya.’’[1]
Jaminan kita akan pengampunan segala dosa kita ‘’terletak pada kenyataan bahwa
pemberi Hukum itu Sendiri seorang yang terhadap-Nya’’ kita sudah memberontak dan kita
hinakan, ‘’adalah menyerahkan Diri-Nya bagi kita.’’ Di dalam Kristus Allah menyerahkan Diri-
Nya, sebagai tebusan kita, ‘’karena janganlah membayangkan bahwa dalam transaksi ini Bapa
dan Anak itu dipisahkan. Mereka adalah satu dalam hal ini sebagaimana dalam hal
apapun.’’[2]
‘’Sungguh suatu pernyataan kasih yang luar biasa! Dia yang Tidak bersalah menderita
bagi orang yang bersalah, bagi yang tidak benar; Sang Pencipta, bagi yang diciptakan;
Pembuat Hukum, bagi yang melanggar hukum; Raja, bagi rakyatnya yang memberontak. . .
Kasih Abadi itu tidak dapat menemukan pernyataan yang lebih besar lagi. Mungkin Tuhan
akan berkata, ‘’Apakah lagi yang dapat dilakukan dalam kebun anggur-Ku, yang belum Aku
lakukan?’’[3]
Kasih Ilahi mencakup segala ciptaan. Melalui kematian-Nya di kayu salib Yesus menebus
seluruh dunia ini. ‘’Dia tidak hanya membayar untuk golongan tertentu, tetapi segenap dunia
yang berdosa. ‘Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini sehingga Ia mengaruniakan
Anak-Nya yang tunggal’ (Yoh 3:16). Yesus berkata, ‘’. . .dan roti yang Kuberikan itu adalah
daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia’’ (Yoh 6:51). ‘Karena waktu kita masih
lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka pada waktu yang ditentukan Allah.’
‘Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk
kita, ketika kita masih berdosa’ (Roma 5:6,8).’’[4]
Setelah kita dibeli dengan darah-Nya, Yesus menerima setiap orang berdosa yang
bertobat sebagaimana adanya, dan menyalutnya dengan jubah kebenaran-Nya sendiri.
Dengan demikian, Ia ‘’tidak menyediakan jubah untuk dosa, tetapi membuang dosa itu
sendiri. Ini menunjukkan bahwa pengampunan dosa lebih dari sekadar formalitas, sesuatu

11
yang lebih dari sekadar memasukkannya dalam buku catatan surga sebagai hasil dari dosa
yang sudah dihapuskan. Pengampunan dosa adalah satu kenyataan; itu adalah sesuatu yang
dapat dijamah, sesuatu yang secara nyata mempengaruhi pribadi orang itu. Sesungguhnya
pengampunan itu membersihkan orang itu dari berdosa; dan setelah bersih dari kesalahan,
dia dibenarkan, disucikan dan secara pasti dia sudah mengalami suatu perubahan yang
radikal. Dia benar-benar adalah seorang yang lain.’’[5] Waggoner menunjukkan bahwa hal ini
sesuai dengan ajaran Rasul Paulus ketika dia menulis: ‘’Jadi siapa yang ada di dalam Kristus,
ia adalah ciptaan yang baru’’ (2 Kor 5:17).
Sebagaimana dipertahankan oleh Waggoner dan Jones, Penebus itu lebih dari hanya
mengampuni dosa. Orang percaya yang telah menerima Yesus sebagai penggantinya dan
memperoleh jaminan keselamatannya belajar mengenal dia sebagai teladannya dan yang
menyanggupkannya untuk menang atas dosa. Kemenangan atas dosa dengan pasti
bergantung pada penjelmaan Kristus.[6]
Melalui penjelmaan, Waggoner menerangkan. ‘’Kristus mengambil rupa manusia untuk
diri-Nya sendiri, agar Dia dapat menebus manusia.’’ Selanjutnya Dia mengatakan, ‘’Tentu Dia
menjadi serupa dengan orang berdosa, karena bagi orang berdosalah Ia telah datang untuk
menebus. Kematian tidak mempunyai kuasa atas orang yang tidak berdosa, sebagaimana
Adam di taman Firdaus; dan kematian itu tidak berkuasa atas Kristus, kalau Tuhan tidak
menanggungkan kepada-Nya segala beban kejahatan kita. Lagipula, kenyataan bahwa Kristus
telah mengambil bagi diri-Nya bentuk daging dari makhluk bukan tidak berdosa, melainkan
manusia yang berdosa, sehingga tubuh yang dimiliki-Nya itu memiliki segala kelemahan dan
kecenderungan jahat terhadap apa sifat manusia berada, yang ditunjukkan dengan
pernyataan bahwa Ia ‘’terbit dari benih Daud menurut daging. ‘Daud memiliki segala nafsu
dari tabiat manusia.’’[7]
Setelah mengutip 2 Korintus 5:21 yang berbunyi ‘’Dia [Kristus] yang tidak mengenal
dosa telah dibuatnya menjadi dosa karena, supaya di dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah,’’
Waggoner memberi komentar: ‘’Ini lebih tegas dari pernyataan bahwa Ia dibuat ‘dalam rupa
manusia berdosa.’ Ia dibuat menjadi dosa. . . . Anak Domba Allah yang tidak bercacat dan
bercela, yang tidak mengenal dosa, telah dibuat menjadi dosa. Tidak berdosa, namun tidak
saja diperhitungkan sebagai berdosa, tetapi benar-benar mengenakan untuk diri-Nya sifat
berdosa itu. Ia dijadikan dosa agar kita dapat dibenarkan.’’[8]
Tetapi walaupun Waggoner memperkenalkan Yesus sebagai seorang yang menjelma
dalam tubuh berdosa; dia berhati-hati untuk menjaga agar tidak menjadikan-Nya sebagai
seorang berdosa. Dia mengatakan:
‘’Setelah membaca sampai di sini, sebagian orang mungkin akan berpikir bahwa kita
menjelekkan tabiat Yesus dengan menurunkan-Nya kepada tingkatan manusia berdosa.
Sebaliknya, kami sungguh meninggikan ‘kuasa Ilahi’ Juruselamat kita yang indah itu, yang
Dia sendiri telah rela turun kepada tingkatan manusia berdosa, agar Ia dapat meninggikan
manusia kepada kemurnian-Nya sendiri yang tidak bercacat itu, yang dipertahankan-Nya di
bawah keadaan yang paling sulit, sifat kemanusiaan-Nya hanya sekadar menyelubungi sifat
Keilahian-Nya. . . .Seluruh kehidupan-Nya dipenuhi pergumulan. Daging itu yang digerakkan
oleh musuh segala kebenaran, akan cenderung untuk berdosa, namun sifat Keilahian-Nya
sesaat pun tidak pernah menyimpan suatu keinginan jahat, dan tidak sejenak pun sifat Ilahi-
Nya itu goyah.’’[9]

12
Waggoner menguatkan hati para pembaca dan pendengarnya dengan penegasan ini:
‘’Anda bisa memiliki kuasa yang sama seperti yang dimiliki-Nya kalau anda mau. Ia
‘dikelilingi dengan kelemahan,’ Namun Ia ‘tidak berbuat dosa,’ karena kuasa Ilahi
senantiasa tinggal di dalam diri-Nya.’’[10]
Waggoner mengutip janji Allah melalui rasul Paulus dalam Efesus 3:14-19, bahwa setiap
orang percaya dapat dikuatkan oleh kehadiran Kristus di dalam hatinya oleh iman melalui Roh
Kudus. Dengan demikian setiap jiwa yang berserah dapat diisi dengan kepenuhan Allah yang
sanggup dan ingin memberi kita kekuatan yang ‘’lebih berlimpah daripada yang kita minta
atau pikirkan.’’ Segenap kuasa Kristus kita miliki dalam diri kita oleh anugerah, karena Dia
menganugerahkannya kepada kita dengan cuma-Cuma. Dengan penuh keyakinan Waggoner
menegaskan bahwa Dia yang lebih perkasa dari setan senantiasa dapat tinggal dalam hati
orang percaya. Demikianlah orang percaya itu bisa memandang serangan setan seperti dari
sebuah benteng yang kuat dan berkata, ‘’Segala sesuatu dapat aku lakukan di dalam Dia
yang menguatkan aku.’’[11]
Pekabaran pembenaran oleh iman yang dikemukakan di Minneapolis pada tahun
1888 benar-benar adalah pekabaran pengharapan dan semangat. Pekabaran ini
menawarkan pengampunan bagi semua orang dan untuk dosa mana pun. Lebih dari itu,
pekabaran ini menyodorkan kemenangan atas dosa. Waggoner menginginkan agar orang-
orang Kristen yang semula lemah supaya bertekad untuk hidup dengan keyakinan dan
kasih akan Allah.
Namun Waggoner memberi amaran bahwa setan tidak membiarkan bekas budak-
budaknya luput tanpa melalui suatu perjuangan. Dia menasehati setiap pengikut Kristus agar
selalu mengingat bahwa Kristus telah membebaskan dia, dan bahwa dia bukan lagi hamba
setan. Tetapi kemenangan menuntut penyerahan yang terus menerus kepada kehendak
Allah, selain dari itu, tidak ada kemenangan.’’[12]
Dalam memberikan resepnya demi kemenangan atas penggodaan, Waggoner kembali
kepada nasihatnya yang mula-mula: Tetapkanlah mata, pikiran dan perasaan pada Yesus.
Dalam salah satu khotbahnya yang dimuat di majalah Signs of the Times terbitan 25 Maret
1889, Waggoner menggunakan ilustrasi dari sejarah untuk menunjukkan bagaimana Yesus
akan menguatkan seorang berdosa yang lemah namun sudah bertobat dalam peperangannya
melawan dosa dan setan.
‘’Tentara Alexander dianggap tidak terkalahkan,‘’ tulisnya. Mengapa? Apakah karena
mereka secara alamiah memang lebih kuat dan lebih berani ketimbang semua musuh
mereka? Bukan; tetapi karena mereka dipimpin oleh Alexander. Kekuatan mereka terletak
pada kepemimpinannya. Mereka pasti sering dikalahkan kalau berada dibawah pemimpin
yang lain. Ketika pasukan Garnisun mundur dan melarikan diri dalam keadaan panik di
hadapan musuh di Winchester, keadaan Sheridan mengubah kekalahan mereka menjadi
kemenangan. Tanpa dia pasukan itu akan menjadi gerombolan yang kebingunan; tetapi
dengan dia selaku komandan mereka menjadi pasukan yang tak terkalahkan. Sekiranya anda
mendengar komentar para tentara itu sesuai pertempuran, yaitu para prajurit yang
bertempur di bawah pimpinan para komandan yang sama itu, anda akan mendengar pujian
bercampur kegembiraan tentang jenderak mereka itu. Mereka kuat karena dia; mereka
diilhami dengan semangat tempur seperti yang dimilikinya.’’

13
Pemikiran orang percaya yang menang tidak sepatutnya pada soal pencobaan dan
kesulitan. Waggoner mengatakan bahwa jika pemikiran seseorang berkutat pada masalah
pencobaan, maka dia tidak akan berdaya melawannya. Sebaliknya, pemikiran orang Kristen
yang menang seharusnya terpusat pada Allah dan kuasa-Nya. Sebagai contoh dalam hal ini
dia mengutip kemenangan Yosafat raja Yehuda yang menang melawan orang-orang Moab
dan Amon serta sekutu mereka yang tercatat dalam 2 Tawarikh 20.
Waggoner mengingatkan para pembacanya bahwa segera setelah Yosafat mendapat
informasi tentang penyerangan musuh, dia menghadap Allah. Sambil berdiri bersama
rakyatnya di pelataran Kaabah, dalam doanya dia dia mencurahkan isi hatinya di hadapan
Allah. Dia berdoa, ‘’Kuasa dan keperkasaan ada di dalam tangan-Mu, sehingga tidak ada orang
yang dapat bertahan melawan Engkau’’ (2 Taw 20:6). Dia berkata kepada Allah demi dirinya
dan rakyat itu bahwa ‘’mata kami tertuju kepada-Mu’’ (ayat 12). Sementara raja dan rakyat
merendahkan diri dihadapan Allah dengan pandangan tertuju kepada-Nya, Allah memberikan
kemenangan kepada mereka atas musuh-musuhnya. Waggoner berkata, ‘’karena apa? Orang
yang dapat memulaikan doanya pada saat membutuhkan dengan mengakui kuasa Allah itu
sudah memperoleh kemenangan dipihaknya. Sebab, perhatikan, bahwa Yosafat bukan hanya
menyatakan imannya terhadap kuasa Allah yang ajaib itu, tetapi dia juga menuntut kekuatan
Allah sebagai miliknya sendiri.’’
Dengan kekuatan sendiri tidak ada orang yang dapat mengalahkan Setan. Tetapi pada
saat pencobaan, setiap orang percaya harus mengenang janji Allah kepada Yosafat, Waggoner
menasihati. ‘’Janganlah kamu takut dan terkejut karena laskar yang besar ini . . . Sebab bukan
kamu yang berperang, melainkan Allah (ayat 15).[13] Waggoner menggambarkan bahwa
orang yang dipenuhi dengan kuasa Roh Kudus dan matanya tertuju kepada Yesus akan
menang melawan dosa. ‘’Betapa luar biasa kemungkinan-kemungkinan yang ada pada orang
Kristen!’’ tegasnya. ‘’ Betapa timggi tingkat kesucian yang dapat diraihnya! Tidak peduli
betapa gencarnya Setan menyerang dia, menyerang bagian tubuhnya yang paling lemah, dia
dapat bernaung di bawah bayang-bayang Mahakuasa, dan dipenuhi dengan kesempurnaan
kekuatan Allah. Seorang yang lebih perkasa dari Setan akan senantiasa bersemayam dalam
hatinya; demikianlah, sementara memandang serangan Setan seakan dari atas banteng yang
kuat, dia dapat berkata, ‘Aku dapat melakukan segala perkara melalui Kristus yang
menguatkan aku.’ ‘’[14]
Menurut Jones dan Waggoner, kemenangan atas dosa tetap berada dalam
pemahaman yang benar akan kebenaran kaabah. Ellen White mendukung pandangan
mereka. Dalam khotbahnya pada hari Sabat pertama rapat besar di Minneapolis pada tanggal
20 Oktober 1888, dia mengatakan, ‘’Sekarang ini Kristus berada dalam kaabah surgawi.
Apakah yang ia sedang lakukan? Mengadakan pendamaian bagi kita, menyucikan kaabah dari
segala dosa umat manusia. Kemudian kita dengan iman harus memasuki kaabah itu bersama
Dia, kita harus memuliakan pekerjaan di dalam kaabah jiwa kita. Kita harus membersihkan
diri dari segala kecemaran. Kita harus ‘menyucikan diri kita dari semua pencemaran jasmani
dan rohani, dan dengan demikian menyempurnakan kekudusan kita dalam takut akan Allah’
(2 Kor 7:1).’’ [15]
Bagi Ellen White, sambutan pribadi terhadap penyucian kaabah surgawi mencakup
penyucian kaabah jiwa setiap umat percaya. Ini tercermin dalam tulisannya dikemudian hari.
Pada tahun 1890 dia menulis: ‘’Kristus sedang menyucikan kaabah surgawi dari segala dosa

14
umat manusia, dan kita harus bekerja selaras dengan Dia di dunia ini, menyucikan kaabah
jiwa dari segala pencemaran moral.’’[16]
Ellen White menyebutkan pemahaman akan pembenaran oleh iman ini sebagai
‘’Pekabaran malaikat ketiga yang sebenarnya.’’[17] Kebenaran ini akan menghimpun satu
umat ‘’yang menuruti perintah Allah dan iman Yesus’’ (Why 14:12) dan melayakkan mereka
untuk menyambut kedatangan Tuhan mereka dengan damai yang membahagiakan. Dia
melambangkan perubahan pemahaman akan pembenaran dan kebenaran oleh iman ini
dengan ungkapan ‘’pesona Kristus yang tiada bandingannya.’’[18].
Jones dan Waggoner secara pribadi telah menangkap bayangan kemuliaan Kristus yang
tiada bandingannya itu. Konsep seperti itu akan membebaskan orang-orang percaya dari
sengatan legalisme. Karena itu mereka dengan gembira membagikannya kepada sesama
utusan rapat General Conference di Minneapolis pada tahun 1888 itu.

Rujukan
1. E.J. Waggoner, Christ and His Righteousness (Pacific Press Publ. Assn ., 1890) [direproduksi
oleh Nashville Southern Publ. Assn., 1972] hlm. 5,6.
2. Ibid, hlm. 45.
3. Ibid, hlm. 45, 46.
4. Ibid, hlm. 71.
5. Ibid, hlm. 66.
6. ‘’Juruselamat sangat menginginkan agar para murid-Nya mengerti untuk maksud apa
Keilahian-Nya disatukan dengan kemanusiaan. Ia datang ke dunia untuk menyatakan
kemuliaan Allah, agar manusia dapat diangkat derajatnya oleh kuasa-Nya yang
memulihkan. Allah dinyatakan dalam Dia agar Ia pun dapat dinyatakan dalam mereka.
Yesus tidak menunjukkan tidak menggunakan kuasa-Nya yang tidak dapat diperoleh
manusia oleh iman kepada-Nya. Kemanusiaan-Nya yang sempurna ialah sesuatu yang
dapat dimiliki oleh para pengikut-Nya, jika mereka mau tunduk kepada Allah sama seperti
Dia. ‘’(E.G. White, Kerinduan Segala Zaman [Bandung: Indonesia Publlishing House, 1980,
cetakan kedua] jld. 2, hlm. 303). ‘’ Kecukupan kita hanya terdapat dalam penjelmaan dan
kematian anak Allah. ‘’(White: Selected Messages, jld. 1, hlm. 302). Dengan mengenakan
sifat daging atau kemanusiaan kita, Yesus menyatukan kemanusiaan dengan Keilahian.
‘’Di dalam Kristus ada penyerahan manusia kepada Keilahian. Ia menyakut Keilahian-Nya
dengan kemanusiaan, dan menempatkan diri-Nya di bawah penurutan kepada Keilahian.
Kristus menghendaki agar kemanusiaan akan menuruti Keilahian. Dalam kemanusiaan-
Nya Kristus menaati segala perintah Bapa-Nya. ‘’(E.G. White dalam majalah Review and
Herald terbitan 9 November 1897).
Adalah Keilahian-Nya, bukan kemanusiaan-Nya, yang menyanggupkan Yesus mengatasi
setiap penggodaan berbahaya yang dihadapkan Setan kepada-Nya.
Penjelmaan Kristus memberi jaminan bahwa kita dapat memilih untuk mengambil bagian
dalam sifat Ilahi (2 Petrus 1:4). Dengan demikian kita juga bisa menjadi pemenang atas
penggodaan dan dosa sebagaimana Yesus selama penjelmaan-Nya atau sementara Ia
berada dalam daging manusia.
7. Waggoner, hlm. 26, 27.
8. Ibid, hlm. 27, 28.

15
9. Ibid, hlm. 28, 29.
10. Ibid, hlm. 29.
11. Ibid, hlm. 29-31.
12. Ibid, hlm. 92-95.
13. Ibid, hlm. 78-80.
14. Ibid, hlm. 30-31.
15. Olson, Thirteen Crisis Years, hlm. 276.
16. E.G. White dalam majalah Review and Herald, 11 Februari 1890.
17. E.G. White dalam majalah Review and Herald, 1 April 1890.
18. Olson, hlm. 53.

16
BAB 4

Dukungan Kuat dari Ellen White

Dengan setulus hati Ellen White mendukung pekabaran pembenaran oleh Iman tahun
1888 itu. Dia mengungkapkan reaksinya ketika mendengar hal itu dari Waggoner dan Jones
pada rapat besar di Minneapolis: ‘’Setiap relung hati saya mengaminkannya.’’[1]
Wajar kalau dia mendukung pekabaran ini, karena dia sendiri telah
mengkhotbahkannya selama bertahun-tahun. Dalam sebuah khotbahnya di kota Rome,
negara bagian New York, AS, pada tanggal 19 Juni 1889, sekitar tujuh bulan setelah rapat
Minneapolis, dia mengatakan: ‘’Kepada saya sudah ditanyakan mengenai hal itu.
Bagaimana pendapat anda tentang terang yang diperkenalkan oleh kedua saudara ini [A.T.
Jones dan E. J. Waggoner]? Padahal saya sudah memperkenalkannya kepada kamu selama
45 tahun belakangan ini, yaitu pesona Kristus yang tiada taranya. Inilah yang [saya] telah
coba tanamkan dalam pikiranmu. Ketika saudara Waggoner mengutarakan pandangan ini
di Minneapolis, itulah pengajaran pertama yang paling jelas mengenai hal ini yang keluar
dari bibir manusia yang pernah saya dengar, di luar perbincangan antara saya dengan
suami saya.’’[2]
Sesungguhnya Ellen White sudah memperkenalkan Yesus sebagai dasar keselamatan
manusia. Hanya sedikit catatan dari tulisan-tulisan dan karyanya sebelumnya yang
menggambarkan hal ini. Pada sebuah acara piknik di Danau Goguac dekat Battle Creek,
Michigan dalam bulan Mei 1870, dia berkata: ‘’Kepadamu saya merekomendasikan Yesus,
Juruselamatku yang indah. Saya memuja-Nya; saya membesarkan Dia. Ah, kalau saja saya
mempunyai lidah yang baka, saya dapat berdiri di hadapan alam semesta lalu, dan berbicara
memuji pesona-Nya yang tiada taranya itu![3]
Sejak waktu itu, khususnya sesudah tahun 1888, ungkapan ‘’pesona tiada tara’’ dari
Yesus muncul berulang-ulang bilamana dia menegaskan tentang perlunya Dia bagi kehidupan
Kekristenan. Sering dia menekankan perlunya hidup yang bersekutu bersama Yesus dan
disalut dengan kebenarannya. Pada tahun 1882 dia menulis: ‘’Tidak cukup untuk percaya
tentang Dia (Yesus); kamu harus percaya kepada Dia. Kamu harus bergantung sepenuhnya
pada anugerah-Nya yang menyelamatkan.’’ Sekali lagi: ‘’Biarlah kesombongan itu disalibkan,
dan jiwa disalut dengan jubah kebenaran Kristus yang tidak ternilai itu.’’[4]
Dalam sebuah renungan pagi untuk para pendeta yang berhimpun pada Rapat General
Conference di Battle Creek, Michigan bulan November 1883, dia meninggikan Yesus dan
kebenaran-Nya sebagai satu-satunya dasar keselamatan umat manusia. ‘’Kecuali kebenaran-
Nya, tidak ada yang melayakkan kita untuk mendapatkan salah satu dari berkat-berkat
anugerah perjanjian. Sudah lama kita menginginkan dan berusaha mendapatkan berkat-
berkat ini, tetapi belum menerimanya karena kita berpendapat bahwa kita dapat
melakukan sesuatu untuk melayakkan diri supaya memperolehnya. Kita belum
memalingkan pandangan dari diri kita sendiri, sambil mempercayai bahwa Yesus adalah
17
Juruselamat yang hidup. Janganlah kita menganggap bahwa jasa dan kebaikan kita
sendirilah yang akan menyelamatkan kita; anugerah Kristuslah satu-satunya harapan
keselamatan kita. . . . Apabila kita mempercayai Allah sepenuhnya, bilamana kita
bergantung pada jasa-jasa Yesus selaku Juruselamat yang suka mengampuni, maka kita
akan menerima segala pertolongan yang kita inginkan.’’[5]
Selanjutnya dia mengatakan: ‘’Sebagian orang tampaknya merasa bahwa mereka harus
berada dalam masa percobaan dan harus membuktikan kepada Tuhan bahwa mereka sudah
berubah, sebelum mereka dapat menuntut berkatNya. Padahal jiwa-jiwa yang kekasih ini
dapat menuntut berkat itu sekarang juga. Mereka harus memiliki kemurahan-Nya, memiliki
Roh Kristus untuk mengatasi kelemahan-kelemahan mereka, kalau tidak mereka tidak dapat
membentuk tabiat Kristen. Yesus ingin agar kita datang kepada-Nya, sebagaimana adanya --
berdosa, malang , dan tidak mampu berdiri sendiri.’’[6]
Di rapat yang sama, dalam pembicaraan yang ditujukan kepada para pendeta pada
perkumpulan pagi tanggal 13 November, dia berkata: ‘’Banyak orang yang melakukan
kesalahan. . . . Mereka berharap akan berhasil melalui usaha sendiri, dan oleh jasa
kebaikan mereka akan memperoleh jaminan kasih Allah. Mereka tidak melatih iman:
mereka tidak percaya bahwa Yesus menerima pertobatan dan kesedihan mereka, karena itu
dari hari ke hari mereka berusaha tanpa memperoleh perhentian dan kedamaian. Bilamana
hati diserahkan sepenuhnya kepada Allah maka kasih akan memancar di dalam jiwa, kuk
Kristus menjadi ringan, dan beban-Nya pun enteng. Kemauan kita tertutup oleh kehendak
Allah, sehingga salib itu menjadi suatu kesukaan.’’[7]
Ellen White percaya bahwa pembenaran oleh iman akan menghasilkan persekutuan
dengan Yesus yang membawa kemenangan atas penggodaan. Ketika dia mendengar
pekabaran Waggoner yang sangat dibutuhkan itu pada rapat di Minneapolis, dengan
sendirinya dia menghargainya. Dia mengharapkan agar pekabaran demikian akan
membangkitkan pengalaman Kekristenan yang mati dari para peserta rapat, dan mereka
pulang dengan anugerah Kristus di hati mereka serta pekabaran-Nya pada bibir mereka.
Pada hari Kamis terakhir rapat besar itu, tepatnya tanggal 1 November 1888, (rapat
berakhir pada hari Minggu tanggal 4 November), dia mengatakan: ‘’Dr. Waggoner telah
berbicara kepada kita dengan cara yang lugas. Ada terang yang indah dalam apa yang
dikatakannya. . . . Saya melihat keindahan kebenaran di dalam penyampaian kebenaran
Kristus sehubungan dengan hukum itu sebagaimana yang doktor ini bentangkan kepada kita.
Kamu mengatakan, banyak di antara kamu, bahwa itulah terang dan kebenaran. Namun kamu
belum menyatakannya di dalam terang ini. . . . Apa yang sudah dikemukakan itu sangat sesuai
dengan terang yang telah Allah berkenan berikan kepada saya selama bertahun-tahun
pengalaman saya.’’[8]
Seusai rapat Minneapolis, Ellen White selalu berbicara mendukung pekabaran Kristus
sebagai kebenaran kita yang telah diutarakan Waggoner dan Jones dengan begitu jelas. Dia
mendukung ‘’terang yang disampaikan oleh kedua orang ini.’’[9] Dalam salah satu
khotbahnya selama seri kebangunan rohani bersama Jones di South Lancaster,
Massachusetts, dalam buku Januari 1889, dia mengatakan bahwa Jones sedang

18
menyampaikan ‘’pekabaran yang dikirim Tuhan kepada manusia saat ini.’’[10] Pada musim
panas berikutnya dia berkata, ‘’ Pekabaran masa kini – yaitu pembenaran oleh iman [yang
dikhotbahkan oleh Waggoner dan Jones] – adalah satu pekabaran dari Allah; pekabaran itu
berisi mandat Ilahi, karena hasilnya adalah menuju kesucian.’’[11]
Dalam tahun 1892 dia menamainya ‘’Seruan nyaring malaikat ketiga yang sudah mulai
dalam penyataan kebenaran Kristus, Penebus yang mengampuni dosa. Inilah permulaan
terang malaikat itu yang kemuliaannya memenuhi segenap bumi.’’[12]
Bagi dia, ‘’pekabaran yang disampaikan . . . oleh A.T. Jones dan E.J. Waggoner adalah
pekabaran dari Allah bagi sidang Laodikia.’’[13] Pada bulan Mei 1895, dia menulis bahwa
Allah memerintahkan Waggoner dan Jones ‘’untuk menyampaikan suatu pekabaran khusus
bagi dunia.’’[14]
Pada tanggal 1 Mei 1895, dalam sebuah surat dari Tasmania yang ditujukan kepada O.A.
Olsen, Ketua General Conference, dia mengenang: ‘’Dalam kemurahan-Nya yang besar Tuhan
telah mengirim suatu pekabaran yang berharga kepada umat-Nya melalui Pendeta Waggoner
dan Pendeta Jones. Pekabaran ini akan lebih memperkenalkan kepada dunia ini Juruselamat
yang ditinggikan, korban karena dosa segenap dunia. Pekabaran ini mengemukakan
pembenaran melalui melalui iman dalam Dia yang pasti; dan mengajak manusia untuk
menerima kebenaran Kristus. . . . Inilah pekabaran yang diperintahkan Allah supaya
disampaikan kepada dunia. Itulah pekabaran malaikat ketiga, yang harus dikumandangkan
dengan suara nyaring, diikuti dengan pencurahan Roh-Nya dengan berlimpah.
‘’Pekabaran Injil anugerah-Nya haruslah diberitakan kepada jemaat dengan cara
yang jelas dan tegas, agar dunia tidak lagi mengatakan bahwa umat Masehi Advent Hari
Ketujuh hanya membicarakan soal hukum dan hukum, tetapi tidak mengajarkan atau
mempercayai Kristus. . . .
‘’Karena itu Allah memberikan kepada hamba-hamba-Nya suatu kesaksian yang
mengemukakan kebenaran sebagaimana yang ada di dalam Yesus, yaitu pekabaran malaikat
ketiga, dengan cara yang jelas dan tegas.’’[15]
Dalam surat yang sama ini dia selanjutnya mengatakan: Allah memberikan kepada
utusan-utusan-Nya apa yang manusia perlukan. Mereka yang menerima pekabaran ini sangat
diberkati, karena mereka melihat berkas-berkas cahaya Matahari Kebenaran itu, dan
kehidupan serta pengharapan muncul di hati mereka. Mereka memandang Kristus.’’[16]
Banyak pernyataan Ellen White serupa yang menegaskan perkenanan Ilahi atas
pekabaran Waggoner dan Jones.
Dia juga berusaha menahan penolakan terhadap pekabaran Pembenaran oleh Iman
yang disampaikan oleh Waggoner dan Jones ini dengan menuding secara tegas bahwa ada
kemungkinan orang-orang itu sendiri diseret jauh dari kebenaran oleh setan. Tetapi sekalipun
kemungkinan kemurtadan di masa mendatang pada pihak mereka tidak akan membatalkan
pekabaran mengenai pembenaran oleh iman yang berasal dari Allah. Dalam dua surat di
tahun 1892 dia menuturkan:

19
‘’Kalaupun para utusan Tuhan itu, setelah dengan berani berdiri mempertahankan
kebenaran pada satu saat, jatuh ke bawah penggodaan lalu menghina Dia yang telah
menugaskan mereka, apakah ini membuktikan bahwa pekabaran itu tidak benar? . . . Dosa
di pihak utusan Allah akan membuat setan bergembira, dan mereka yang sudah menolak
utusan itu serta pekabarannya akan menang; tetapi itu sama sekali tidak membersihkan
orang-orang yang bersalah karena menolak pekabaran kebenaran yang diberikan
Allah.’’[17]
‘’Mungkin saja Pendeta Jones atau Pendeta Waggoner ditaklukan oleh oleh
penggodaan musuh; tetapi kalaupun demikian, hal ini tidak membuktikan bahwa mereka
tidak pernah mendapat pekabaran dari Allah, atau bahwa pekerjaan yang mereka telah
lakukanitu semuanya adalah kesalahan belaka.”[18]
Sayangnya, keprihatinan ini akan membuktikan nubuatan. Tetapi dalam tahun 1888,
dan selama beberapa tahun kemudian, Pendeta Waggoner dan Jones jelas sudah melakukan
pekerjaan Allah dengan mengkhotbahkan pekabaran pembenaran oleh iman, dengan
pengharapan agar seluruh jemaat mau menerimanya sebagai satu pengalaman yang hidup.

Rujukan
1. E.G. White, manuscript 5, 1889.
2. Ibid, dalam buku Olson, hlm.53.
3. White, Testimonies, jld. 2, hlm. 593.
4. Ibid, jld. 5, hlm. 45, 165.
5. White, Selected Messages, jld. 1, hlm. 351.
6. Ibid, hlm. 353.
7. White, dalam majalah Review and Herald, 20 Mei 1884.
8. Olson, Thirtheen Crisis Years, hlm. 303, 304.
9. E.G White, Manuscript 5, 1889.
10. E.G. White, Review and Herald, 5 Mei 1889.
11. E.G. White, Review and Herald, 3 September 1889.
12. E.G. White, Review and Herald, 22 November 1892.
13. E.G. White, surat no. 24, 1892.
14. E.G. White, Testimonies to Ministers (Mountain View, Calif: Pacific Press Publ. Assn.,
1923) hlm. 79.
15. Ibid, hlm. 91-93; juga buku Olson, hlm. 39-40.
16. Ibid, hlm. 95.
17. E.G. White, surat no. 19d, 1892.
18. E.G. White, surat no. 24, 1892. Dalam buku Olson, hlm.119.

20
BAB 5

Apa yang Terjadi Pada Rapat General Conference Tahun 1888?

Rapat General Conference tahun 1888 adalah satu-satunya yang diselenggarakan gereja
kita di Minneapolis, Minnesota. Kejadian-kejadian penting dari kebanyakan rapat-rapat
General Conference, sesudah diadakan di suatu kota tertentu, segera terlupakan. Kalau
begitu, mengapa rapat di Minneapolis ini hampir menjadi pemeo keluarga bagi banyak
anggota MAHK? Apakah sebenarnya yang terjadi pada rapat Minneapolis itu sehingga
membuatnya begitu terkenal?
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Rapat General Conference telah didahului
dengan satu seminar kependetaan; pertemuan itu dimulai tanggal 10 Oktober. Adalah
rencana para pemimpin General Conference agar selama berlangsungnya dua peristiwa ini,
kedua pokok masalah yang telah disebarluaskan oleh Waggoner dan Jones di wilayah pesisir
Barat AS, -- (1) Tanduk-tanduk dalam Daniel, dan (2) Kristus Kebenaran Kita, dalam kaitannya
dengan hukum dalam Kitab Galatia – akan seluruhnya dipaparkan dan dituntaskan.
Pada akhir seminar kependetan itu, ketika Jones berbicara mengenai Daniel 7,
kebanyakan utusan telah menentukan apakah bangsa Huns atau Alemani yang dilambangkan
oleh salah satu dari 10 tanduk itu. Para utusan menamai diri mereka ‘’Huns’’ atau ‘’Alemani,’’
tergantung apakah mereka memihak pada Uriah Smith dan pendirian MAHK selama ini, atau
pada Jones. Jones mengemukakan argumentasinya secara meyakinkan; tidak ada yang dapat
membantah argumentasi dan bukti. Tetapi dia telah menggemparkan banyak orang dengan
ketidaksopanannya menyebut Uriah Smith yang dihormati itu sebagai pribadi yang bodoh,
ketika yang terakhir ini secara gamblang mengakui bahwa dia sekadar mengikuti para penafsir
Alkitab lainnya dalam mengidentifikasi 10 tanduk itu. Pada saat itu Ellen White masih belum
menentukan pendirian, baik terhadap salah satu dari tanduk-tanduk Daniel 7 itu maupun soal
hukum dalam Kitab Galatia. Namun dia menegur Jones atas ucapannya yang kasar itu.[1]
Mengenai pertanyaan apakah bangsa Huns atau Alemani yang melambangkan salah
satu dari 10 tanduk itu, sejarawan Advent terkenal A.W.Spalding menulis: ‘’Untuk
memperdebatkan masalah sejarah yang rumit ini di hadapan sejumlah besar pelajaran
tentang penebusan dan hukum Allah, itu bagaikan menumpuk beberapa mayat dalam sebuah
ruangan sementara nasib pertempuran masih berkecamuk di medan laga. Tetapi bagi Smith
pemilikan ruangan itu tampaknya penting. Itu adalah kamarnya; kalau dia harus mundur dari
tempat ini, mungkin dimana-mana akan diserang.’’[2]
Ketidakcocokan tentang tanduk-tanduk itu adalah permulaan perbedaan pendapat
mengenai doktrin tentang Kristus kebenaran kita. Hal ini menjadi pokok perdebatan selama
rapat besar itu. Dan soal ini melibatkan hukum di dalam Kitab Galatia. Waggoner mengutip
ayat mengenai hukum itu, seperti ‘’penuntun bagi kita’’ dalam Galatia 3:24, yang menunjuk
pada hukum moral. Penafsiran ini tidak cocok dengan penafsiran tradisional MAHK dan telah
ditolak oleh Butler, Smith dan para pemimpin terkemuka lainnya.

21
Pasal yang singkat ini tidak akan berusaha menguber sikap dan reaksi semua peserta
rapat terhadap pekabaran 1888 itu. Sebaliknya itu akan membatasi diri dengan pernyataan
Ellen White tentang bagaimana reaksi para peserta selama rapat berlangsung.
Tetapi pertama-tama adalah pandangan sekilas tentang apa yang terjadi selama rapat
itu. Ini akan menjelaskan beberapa catatan Ellen White yang menyangkut beberapa pimpinan
tertentu dalam pernyataannya. Pada suatu kejadian, ketika para pendeta senior semakin
gelisah dengan penyajian Waggoner, R. M. Kilgore seorang pimpinan dari Selatan merangkap
anggota Komite General Conference, mengusulkan agar pidato Waggoner tentang
pembenaran oleh iman dihentikan sampai Butler yang sedang sakit bisa hadir. Ellen White
yang duduk di mimbar pada acara perkumpulan ini langsung berdiri dan menolak dengan
berkata: ‘’Apakah Tuhan mau pekerjaan-Nya menunggu Pendeta Butler? Tuhan ingin agar
pekerjaan-Nya maju terus dan tak menunggu siapapun.’’[3] Karena tidak ada seorang pun
menyanggah ucapan Ellen White, maka penyajian Waggoner pun dilanjutkan.

Dalam peristiwa yang lain ada sanggahan dari J.H. Morrison terhadap pidato Waggoner.
Para penentang Waggoner telah memilih Morrison untuk mengadakan sanggahan resmi
terhadap waggoner. Marrison selaku Ketua Daerah Lowa Konferens mempertahankan apa
yang senantiasa dipercayai dan diajarkan oleh umat MAHK mengenai pembenaran oleh iman.
Tentu saja secara teknis hal ini benar, tetapi dia gagal untuk menyadari bahwa pengajaran
utama ini, yang dipahami dengan benar dan dialami dengan kehidupan pribadi di dalam
Kristus, telah dikaburkan oleh penekanan yang sama sekali menutupi hukum itu. Walaupun
bersikap tulus dan cermat dalam pidatonya, dia tidak dapat meyakinkan banyak
pendengarnya bahwa ajaran Waggoner itu bukanlah kebenaran masa kini dari Firman Allah.
Tanggapan Jones dan Waggoner terhadap pidato Morrison sederhana dan tidak dibuat-
buat. Mereka memutuskan untuk tidak memberi komentar pribadi, tetapi membatasi
tanggapan mereka pada 16 ayat Kitab Suci. Hadirin merasa terperanjat dan terpukau
sementara pasangan itu berdiri dan membacakan ayat-ayat tersebut. Setelah selesai
membaca, mereka pun duduk. Doa dilayangkan, dan pertemuan pun usai.
Sanggahan unik terhadap pidato Morrison ini menimbulkan kesan yang mendalam dan
tak terlupakan bagi para utusan.[4]
Selama seminar kependetaan dan rapat akbar, Ellen White berbicara hampir 20 kali.
Dalam pembicaraan pertama pada rapat besar, yaitu pada pagi tanggal 18 Oktober, secara
tidak langsung dia menekankan perlunya suatu pengalaman yang hidup dari pembenaran
oleh iman dengan mengingatkan para pendengarnya kepada kata-kata Yesus bahwa ‘’di luar
Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa’’ (Yoh 15:5). Dia mengatakan, ‘’Kita memiliki satu
kebenaran agung dan khidmat yang dipercayakan kepada kita pada zaman akhir ini, tetapi
kalau hanya mempercayai dan menyetujui kebenaran itu tidak akan menyelamatkan kita.
Dasar-dasar kebenaran itu harus dijalin dalam tabiat dan kehidupan kita.’’ Sampai di situ dia
menunjuk kepada ‘’keperluan kita yang besar pada saat ini ialah merendahkan diri kita di
hadapan Allah, agar Roh Kudus dapat turun atas kita.’’
Dia mengatakan bahwa banyak orang hanya memiliki pengetahuan yang semu tentang
kebenaran dan perlu menyelidiki sendiri Kitab Suci untuk ‘’melihat apakah pandangan-

22
pandangan mereka sesuai dengan Firman Allah.’’[5] ‘’ Dalam perbincangannya bersama para
pendeta pada tanggal 21 Oktober, dia menyesali ‘’percakapan dan pemikiran jahat’’ yang
sedang melanda ‘’rapat ini.’’ Dia melanjutkan: ‘’Saya merasa sakit hati mendengar begitu
banyak guyonan dan lawakan di antara orang-orang tua dan muda yang sementara mereka
duduk di meja makan.’’ Dia menyerukan kepada orang-orang muda yang sedang memasuki
pekerjaan kependetaan supaya ‘’waspada terhadap apa yang mereka dengarkan’’ dan
‘’berhati-hati bagaimana kamu menentang kebenaran-kebenaran berharga [pekabaran
tentang pembenaran oleh iman] yang sekarang ini kamu kurang memahaminya.’’[6]
Tepat seminggu setelah pembukaan rapat, yakni tanggal 24 Oktober, dalam pertemuan
para pendeta, Ellen White menyatakan kesedihannya karena rapat itu ‘’sudah hampir
berakhir, tetapi belum ada satu pengakuan yang dibuat; belum ada kesempatan sekalipun
untuk mengundang Roh Allah masuk.’’ Selanjutnya dia mengatakan: ‘’Apakah manfaatnya
kita berhimpun di sini, dan apa gunanya saudara-saudara kita para pendeta datang kemari
jika kehadiran mereka di sini hanya menghalangi curahan Roh Kudus bagi jemaat? Kita telah
mengharapkan bahwa di sini jemaat akan berpaling kepada Tuhan. Barangkali karena kamu
merasa sudah memiliki segala suatu yang kamu inginkan. . . .
‘’Kalau para pendeta tidak mau menerima terang itu, saya mau memberi kesempatan
kepada para anggota jemaat, barangkali mereka dapat menerimanya.’’[7]
Ellen White menanggapi usul Kilgore untuk mengakhiri pidato Waggoner sampai Butler
dapat hadir. Dia berkata, ‘’Di sini Pendeta Smith dan Pendeta Van Horn, yang telah menekuni
kebenaran itu selama bertahun-tahun, namun kita tidak boleh menyinggung masalah ini
karena Pendeta Butler tidak hadir. Pendeta Kilgore, kesedihan hati saya lebih dari pada yang
dapat saya nyatakan pada waktu saya mendengar saudara menyampaikan usul itu, karena
saya telah kehilangan kepercayaan terhadapmu. Sekarang, kita ingin meluruskan apa yang
dikatakan Allah; saya tidak percaya pada semua perasaan yang mengerikan ini. Marilah kita
datang kepada Tuhan untuk mencari kebenaran, gantinya menunjukkan roh pertikaian ini.’’
Dia juga mengemukakan harapan agar J.H. Morrison, yang telah menyampaikan tanggapan
resmi terhadap pidato Waggoner, akan ‘’bertobat dan menyelidiki Firman Allah dengan
kerendahan hati dan dengan Roh Allah.’’
Ellen White sangat menyesalinya bahwa Roh Allah tidak hadir dalam perkumpulan
mereka itu. Belakangan dia mengakuinya dengan perasaan terluka, bahwa ‘’para pendeta
yang datang ke rapat itu dengan roh yang bukan Roh Allah.’’[8] Tidak adanya Roh telah
menjadikan kebenaran itu tidak efektif. Dia menegaskan, ‘’saya telah melihat bahwa jiwa-
jiwa berharga yang seharusnya telah memeluk kebenaran itu sudah berpaling dari padanya
akibat cara dengan mana kebenaran itu diperlakukan, karena Yesus tidak ada di dalamnya.
Inilah yang saya mohon dari kamu selama ini – kita menginginkan Yesus. Apa sebabnya Roh
Allah tidak datang pada perkumpulan-perkumpulan kita?’’[9]
Sebelum rapat berakhir, Ellen White membuat pernyatan lisan kepada ‘’saudara-
saudara yang berkumpul di General Conference.’’ Dalam pernyataan ini dia mengimbau agar
Firman Allah diselidiki lebih mendalam. Dia memulainya dengan mendorong mereka ‘’untuk
melatih roh Kekristenan,’’ bukan mengalah kepada ‘’prasangka yang kuat’’ tetapi ‘’bersedia

23
menyelidiki Kitab Suci dengan pikiran yang tidak bercabang, dengan rasa khidmat dan
keterbukaan. . . .
Janganlah membiarkan masalah pribadi mempengaruhi kata-kata atau petimbangan
kita,’’ katanya. ‘’Selaku orang-orang Kristen kamu tidak berhak untuk memanjakan rasa
permusuhan, kekasaran dan prasangka terhadap Dr. Waggoner, yang telah mengutarakan
pandangannya dengan jelas dan lugas, sebagaimana seharusnya sikap orang Kristen.’’[10]
Mengakhiri pidatonya dia berkata, ‘’Mereka yang belum terbiasa berpikir dan
menyelidiki sendiri mempercayai doktrin-doktrin tertentu karena rekan-rekan sekerja
mereka mempercayainya. Mereka menolak kebenaran tanpa menyelidiki sendiri Kitab Suci
untuk mempelajari apa itu kebenaran. Karena orang-orang terhadap siapa mereka
menaruh kepercayaan menolak terang itu, maka mereka juga menolaknya, tanpa
mengetahui sedang menolak nasihat Allah terhadap mereka. . . . Tidaklah bijaksana bagi
seseorang di antara orang-orang muda ini untuk menentukan keputusan di pertemuan ini, di
mana pertentangan gantinya penyelidikan yang menjadi kesibukan hari ini. Kitab Suci
haruslah menjadi pelajaranmu, maka kamu akan mengetahui bahwa kamu memiliki
kebenaran itu. Bukalah hatimu agar Allah dapat menuliskan kebenaran itu di atas lohnya.’’
Dia mengakhiri pembicaraan ini dengan mengulangi perlawanan terhadap Roh yang
melanda rapat itu. ‘’Bilamana Roh Allah memasuki jiwa, maka kasih akan mengganti
perselisihan, karena Yesus itu kasih. Kalau Roh-Nya dipuja di tempat ini, maka pertemuan kita
akan menjadi bagaikan aliran sungai di padang pasir.’’[11]
Dengan kesedihan yang mendalam Ellen White menganggap bahwa Roh Allah tidak
diizinkan menjadi pemimpin yang tak kelihatan dalam rapat itu. Pengendalian-Nya
seyogianya dapat menghilangkan perselisihan dan memenuhi semua orang dengan kasih
Ilahi. Sejak itu dia mengenang rapat ini dengan kesedihan. Dia menulis: ‘’Saya telah diberi
petunjuk bahwa pengalaman yang mengerikan pada rapat Minneapolis adalah salah satu
bagian paling menyedihkan dalam sejarah umat percaya akan kebenaran masa kini.’’[12]
Rujukan
1. Schwarz, Light Bearers to the Remnant, hlm. 187,188.
2. Spalding, jld. 2, hlm. 292.
3. L.E. Froom, Movement of Destiny (Washington D.C.: Review and Herald Publ. Assn., 1971)
hlm. 246; c.f. White Manuscript no. 9, 1888, in buku Olson, Thirteen Crisis Years, hlm. 302.
4. Ibid, hlm. 246, 247.
5. Baca pembicaraanya dalam buku karangan Olson tersebut, hlm. 263-266.
6. Ibid, hlm. 284, 286, 290.
7. Ibid, hlm. 300, 301.
8. Ibid, hlm. 302, 303.
9. Ibid
10. Ibid, hlm. 303.
11. Ibid, hlm. 310, 311.
12. Dikutip dalam buku Olson, hlm. 43.

24
BAB 6

Roh Kudus Diperlakukan Secara Memalukan

Para penentang pekabaran 1888 di Minneapolis berkumpul di bawah pimpinan George


Butler selaku ketua General Conference. Sekalipun dia tidak hadir karena sakit, dia masih
tetap mengendalikan Komite General Conference dan memimpin mayoritas pendeta pada
rapat itu. Lima tahun kemudian, dalam sebuah tulisan itu di majalah Review and Herald
berjudul ‘’Pribadi,’’ Butler mengakui penolakannya terhadap pekabaran pembenaran oleh
iman yang diperkenalkan oleh Waggoner dan Jones. Dia mengatakan, ‘’Tetapi karena
berbagai alasan yang tidak perlu disebutkan disini, saya tidak bersimpati pada mereka yang
menonjolkan apa yang sekarang saya anggap sebagai terang, di hadapan orang banyak.’’[1]
Dalam salah satu renungan pagi pada rapat itu, Ellen White mengatakan, ‘’Saya tidak
pernah merasa lebih khawatir seperti sekarang ini.’’ Dia mengalamatkannya kepada
penolakan Butler terhadap pekabaran pembenaran oleh iman dan terhadap usul Kilgore yang
mengatakan bahwa karena Butler tidak hadir maka masalah hukum dalam Kitab Galatia itu
jangan diperbincangkan.[2]
Dalam bab ini kita akan menyimak penilaiannya terhadap rapat itu sebagai tinjauan.
Pada hari penutupan rapat itu juga dia menulis sepucuk surat kepada menantunya Mary
bahwa ‘’ kami [anaknya, Will, suami Mary, dan dia sendiri] telah mengalami suasana paling
genting yang pernah dialami di antara sesama anggota.’’ Dia dan Will ‘’harus mengamati
dengan seksama setiap hal, jangan-jangan ada usul yang harus dikemukakan atau keputusan
yang diambil yang ternyata yang akan membahayakan pekerjaan di kemudian hari.’’
Dia melanjutkan: ‘’Ada pikiran seorang yang sakit yang mempunyai kuasa yang
mengatur rapat General Conference, dan para pendeta telah menjadi bayangan dan gema
dari Pendeta Butler, asalkan itu sehat dan demi kebaikan pekerjaan. Kedengkian, pikiran
jahat, dan irih hati telah bekerja bagaikan ragi sampai seluruh adonan itu menjadi khamir. . .
.
‘’Kami pikir Pendeta Butler sudah tiga tahun lebih lama dalam memegang jabatannya,
dan sekarang segala kerendahan hati dan kelembutan sudah lenyap dari dalam dirinya. Dia
mengira jabatannya itu memberi dia suatu wewenang sedemikian rupa sehingga suaranya itu
tidak bisa salah. Adalah sulit untuk membuang hal ini dari pikiran saudara-saudara kita.
Kasusnya akan sulit ditanggulangi, tetapi kita percaya pada Allah. . . . Saya bersyukur kepada
Tuhan karena kekuatan dan kebebasan serta kuasa Roh-Nya untuk menyampaikan kesaksian
saya sekalipun kurang memberi kesan pada pikiran banyak orang dibanding dengan waktu-
waktu yang lampau dalam hidup saya. Nampaknya setan telah berkuasa menghalangi
pekerjaan saya pada suatu tingkat yang mengagumkan, tetapi saya ngeri memikirkan apa
yang akan terjadi dalam pertemuan ini seandainya kami tidak hadir.’’[3] Ini merupakan
reaksinya yang pertama dan spontan terhadap rapat itu dan pelaksanaanya.

25
Pada awal tahun 1889 dia bertemu dengan anggota-anggota jemaat Batle Creek dan
memberikan laporan singkat kepada mereka tentang apa yang telah terjadi di Minneapolis.
Mengenai laporan ini, dia menulis:
‘’Saya memberitahukan kepada mereka tentang posisi yang sulit dimana saya harus
berada, berdiri sendirian dan terpaksa untuk menegur roh yang salah yang telah menguasai
rapat itu. Rasa curiga dan cemburu, prasangka jahat, penolakan akan Roh Allah yang
membujuk mereka. . . . Saya menegaskan bahwa pelaksanaan rapat di Minneapolis itu
adalah suatu hal yang kejam terhadap Roh Allah.’’[4]
Dalam bulan Mei 1890 dia menyinggung penolakan yang terus berlanjut terhadap
pekabaran 1888, yang pertama kali dinyatakan di Minneapolis. Dia menyatakan, ‘’Kristus
menganggap segala pembicaraan yang keras, bernada sombong dan mengolok yang
ditujukan terhadap hamba-hamba-Nya itu sebagai terhadap diri-Nya sendiri.’’[5]
Dalam sepucuk surat yang ditulis tahun 1892, Ellen White menyamakan kekecewaannya
dengan sikap Korah, Datan dan Abiram yang merajalela di Minneapolis, dan mengenai
rencananya untuk meninggalkan rapat itu. Dia menulis:
‘’Ketika saya bermaksud meninggalkan Minneapolis, malaikat Tuhan berdiri di samping
saya dan berkata: ‘Jangan begitu; Allah mempunyai tugas bagimu untuk dilakukan di sini.
Umat ini sedang melakukan pemberontakan Korah, Datan dan Abiram. Aku menaruh
engkau pada posisi yang benar, yang tidak diketahui oleh mereka yang berada dalam gelap;
mereka tidak akan memperhatikan kesaksianmu; tetapi Aku akan besertamu; Anugerah dan
kuasa-Ku akan memelihara engkau. Bukan engkau yang mereka hina, tetapi para utusan
dan pekabaran yang Aku kirim kepada umat-Ku. Mereka telah menunjukkan penghinaan
mereka terhadap Firman Tuhan. Setan telah membutakan mata dan mengacaukan
pertimbangan mereka; dan kecuali setiap jiwa bertobat dari dosa, dari kebebasan yang tidak
disucikan ini dan yang menghina Roh Allah, maka mereka akan berjalan dalam kegelapan.
Aku akan memindahkan kaki dian dari tempatnya kecuali mereka menyesal dan bertobat,
supaya Aku menyembuhkan mereka. Mereka tidak ingin Allah menyatakan Roh-Nya dan
Kuasa-Nya; karena mereka mempunyai roh suka mengejek dan menghinakan Firman-Ku.
Sikap memandang enteng, dan berolok-olok, menganggap sepele dan bercanda dilakukan
setiap hari. Mereka belum berusaha mencari Aku. Mereka berjalan dalam kesenangan hati
mereka sendiri, dan kecuali mereka bertobat, mereka akan mati di dalam kesengsaraan.’ ‘’
‘’Belum pernah saya melihat di antara anggota-anggota kita suatu sikap puas diri dan
ketidaksediaan yang begitu kuat untuk menerima dan mengakui terang sebagaimana yang
telah dinyatakan di Minneapolis. Kepada saya telah ditunjukkan bahwa tidak seorang pun dari
kelompok itu yang menghargai roh seperti yang dinyatakan dalam pertemuan itu akan
kembali memiliki terang untuk memahami nilai kebenaran yang dikirimkan dari surga kepada
mereka sampai mereka membuang kesombongan dan mengaku bahwa mereka tidak
digerakkan oleh Roh Allah, tetapi bahwa pikiran dan hati mereka dipenuhi dengan prasangka.
Tuhan ingin datang dekat pada mereka, memberkati dan menyembuhkan mereka dari
kemurtadan, namun mereka tidak mau mendengarkan. Mereka telah didorong oleh roh yang
sama seperti yang mengilhami Korah,Datan dan Abiram.’’[6]

26
Sulit bagi Ellen White untuk menghapus kenangan yang tidak menyenangkan pada
Rapat General Conference di Minneapolis itu. Dalam tahun 1892, dia juga menulis surat
kepada Uriah Smith dengan nada yang sama:
‘’Saya tidak akan pernah melupakan pengalaman yang kami alami di Minneapolis itu,
atau . . . akan roh yang menguasai orang-orang itu, kata-kata yang dilontarkan, dan tindakan-
tindakan yang dilakukan menuruti kuasa kejahatan.’’
‘’Sebagian orang sudah mengakui . . . yang lain tidak mengaku. . . . Pada pertemuan itu
mereka telah digerakkan oleh roh lain, dan mengetahui bahwa Allah telah mengutus kedua
orang muda itu, yakni Pendeta Jones dan Pendeta Waggoner, untuk membawakan pekabaran
khusus bagi mereka yang telah mereka perlakukan dengan ejekan dan hinaan, tanpa
menyadari bahwa makhluk-makhluk cerdas surgawi sedang memperhatikan mereka dan
mencatat semua kata-kata mereka itu dalam buku surga. . . . Saya tahu pada saat itu Roh Allah
telah dihinakan.’’[7]

Dalam satu pekabaran dari Australia, yang dibacakan pada Rapat General Conference
tahun 1893, Ellen White berkata dengan merujuk kepada rapat besar di Minneapolis:
‘’Pengaruh yang berkembang dari penolakan terhadap terang dan kebenaran di
Minneapolis cenderung memudarkan terang yang diberikan Allah kepada umat-Nya melalui
kesaksian-kesaksian . . .
‘’Pekerjaan yang menentang kebenaran telah maju pesat sementara kita dipaksa untuk
mengarahkan tenaga sebanyak-banyaknya untuk melawan pekerjaan musuh melalui orang-
orang yang berada di barisan kita.’’[8]
Tiga tahun kemudian Ellen White menyampaikan pernyataan mengejutkan ini tentang
Rapat General Conference di Minneapolis: ‘’Musuh itu mempunyai sangat banyak cara (pada
rapat di Minneapolis). . . . Semua yang berhimpun pada rapat itu mempunyai kesempatan
untuk memihak pada kebenaran oleh Roh Kudus, yang diutus oleh Allah dalam arus kasih dan
kemurahan yang begitu berlimpah. . . . Pemandangan yang tampak dalam pertemuan ini
membuat Allah surgawi merasa malu menyebut mereka yang ikut di dalamnya sebagai
saudara-saudara-Nya. Pengamat surgawi itu memperhatikan semuanya, dan itu tertulis
dalam buku peringatan Allah.’’[9]
Mengenai mereka yang menolak untuk menerima Roh Kudus melainkan menyimpan
perasaan yang tidak suci pada rapat di Minneapolis itu, dia mengatakan: ‘’Roh yang sama
itulah yang menggerakkan para penolak Kristus, bercokol di dalam hati mereka; dan
sekiranya mereka hidup pada zaman Kristus, niscaya mereka akan memperlakukan Dia
sama seperti perlakuan orang-orang Yahudi yang tidak ber-Tuhan dan tak percaya itu.’’[10]
Di tempat lain, Ellen White mengungkapkan perasaan yang sama dengan kata-kata ini:
‘’Seluruh alam semesta menyaksikan perlakuan yang memalukan terhadap Yesus Kristus ini,
yang diwakili oleh Roh Kudus. Sekiranya Kristus berada di hadapan mereka, maka mereka
akan memperlakukan Dia dengan cara yang sama seperti perlakuan orang Yahudi terhadap
Kristus.’’[11]

27
Dalam tahun 1897, Ellen White menuliskan kata-kata berikut ini mengenai peristiwa
yang sama: ‘’Allah yang telah dilukai dan dihina akan berbicara, menyatakan dosa-dosa yang
tersembunyi. Sebagaimana para imam dan penguasa, yang penuh dengan amarah dan
kengerian, mencari perlindungan dan melarikan diri pada peristiwa terakhir pada penyucian
Kaabah, begitulah akan terjadi dalam pekerjaan ini di akhir zaman.’’[12]
Penilaian Ellen White tentang rapat Minneapolis tidak membaik sampai bertahun-tahun
sesudah itu. Bahkan menjadi lebih tajam bilamana dia menunjukkan keadaan pemberontakan
terhadap Allah itu. Dia mengingat kembali perkumpulan itu pada umumnya sebagai suatu
kekalahan bagi ‘Allah dan kemajuan dari kebenaran-Nya.”
Dari sejumlah pernyataan yang menyakitkan yang disampaikan oleh hamba-hamba
Tuhan menyatakan bahwa pada rapat di Minneapolis itu Roh Kudus bukan hanya ditolak
tetapi diperlakukan dengan kejam. Kekejaman itu dinyatakan melalui pidato-pidato yang
keras, angkuh dan bernada mengejek terhadap kedua utusan khusus Allah, yaitu Jones dan
Waggoner. Para pembicara itu tidak menyadari bahwa kata-kata mereka yang keras itu
telah tertuju pada Kristus Sendiri.
Bilamana para peserta menghina utusan-utusan Allah itu, berarti mereka menghina
Roh Allah. Setan telah membutakan mata mereka, mereka lalu digerakkan olehnya sama
seperti Korah, Datan dan Abiram yang memberontak terhadap Musa. Digerakkan oleh roh
jahat dan berbicara di bawah pengaruhnya, mereka menghina Roh Kudus. Semua ini dicatat
oleh makhluk-makhluk cerdas surgawi.
Surga merasa malu menyebut para penentang pekabaran 1888 itu sebagai anak-
anaknya. Sebagian di antaranya adalah para pemimpin, seperti Butler dan Smith, yang telah
merebut tempat Allah dalam benak kebanyakan pekerja. Di bawah kepemimpinan mereka,
kebanyakan dari para delegasi rapat besar itu telah melangkah begitu jauh dalam melawan
Roh Kudus, sehingga kalau saja Yesus hadir di sana mereka akan memperlakukan Dia
sebagaimana orang Yahudi zaman dulu lakukan – malah mereka akan menyalibkan-Nya. Di
dalam buku-buku surga, para penolak pekabaran 1888 di Minneapolis itu dicatat sebagai
pembunuh-pembunuh Yesus, karena ‘’buku-buku surga mencatat dosa-dosa yang akan
dilakukan andai kata saja ada kesempatan.’’[13]
Untuk memberi amaran tentang kebutaan rohani yang terdapat pada rapat besar itu,
Ellen White menulis: ‘’Saya tahu, terdapat suatu kebutaan rohani yang menonjol dalam
banyak pikiran banyak orang, sehingga mereka tidak melihat di mana Roh Allah berada, dan
apa yang merupakan pengalaman Kristiani yang benar. Adalah menyakitkan melihat bahwa
mereka ini adalah orang-orang yang menjaga kawanan domba Allah. . . .
‘’Saudara-saudara kita yang menempati kedudukan sebagai pimpinan dalam pekerjaan
dan tugas Allah seharusnya berhubungan erat dengan sumber segala terang agar mereka
tidak menganggap terang sebagai kegelapan, dan kegelapan itu sebagai terang.’’[14]
Keadaan yang berbahaya ini tidak berlangsung karena Roh Kudus sudah ditarik dari
perkumpulan di Minneapolis itu. Roh Kudus hadir dengan kuasa dan mencoba untuk
membalikkan arus. Dalam tahun 1888, Ellen White menulis: ‘’Berkali-kali Roh Tuhan datang

28
kepada perhimpunan itu dengan kuasa yang meyakinkan, walaupun ketidakpercayan di
tunjukkan oleh sebagian hadirin.’’[15] Tetapi Ia telah diperlakukan sebagai tamu yang tidak
disukai. Para peserta menolak untuk mengakui dan menerima Dia, ketika mereka menolak
pekabaran pembenaran oleh iman dengan menuding pekabaran itu dan para pengikutnya
sebagai kefanatikan.’’[16]
Empat belas tahun sesudah rapat di Minneapolis, kedahsyatan pengalaman itu masih
tertinggal dalam ingatan Ellen White. Dia mengenangnya sebagai ‘’suatu pengalaman yang
mengerikan . . . Salah satu bab yang paling menyedihkan dalam sejarah umat yang percaya
pada kebenaran masa kini.’’[17]
Dia mencatat bahwa ‘’Setan benar-benar telah mengaturnya menurut kehendaknya
sendiri’’ dalam rapat Minneapolis itu dengan ‘’mengambil kesempatan dari sifat alami
manusia.’’[18] Doanya adalah ‘’Allah melarang segala sesuatu yang bisa terjadi lagi seperti
yang telah berlangsung di Minneapolis.’’[19]

Rujukan
1. Ditullis pada tanggal 13 Juni 1893, dikutip olson dalam bukunya, Thirteen Crisis Years,
hlm. 92.
2. Dalam buku Olson di atas, hlm. 300, 302.
3. E.G. White, surat no. 82, 1888.
4. E.G. White, Manuscript no. 30, 1889.
5. E.G. White, Review and Herald, 27 Mei 1890.
6. E.G. White, surat no. 2a, 1892. Dikutip sebagian dalam buku Olson, hlm. 43, 44. 7. E.G.
White, surat no. 24, 1892.
8. Buletin General Conference, 1893, hlm. 1. Dalam buku Olson, hlm. 85, 86.
9. E.G. White kepada A. Olson, 31 Mei 1896. Dalam petunjuk khusus bagi pimpinan di
percetakan Review and Herald Offices dan pimpinan pekerjaan di Batle Creek.
10. Ibid
11. E.G.. White kepada ‘’Saudara-saudara yang memangku jabatan-jabatan penting dalam
pekerjaan ini,’’ 16 Jan. 1896 dalam special Testimonies (Kesaksian-kesaksian khusus) E.G.
White, seri A no. 6, hlm. 20.
12. White special Testimonies, seri A no. 7, hlm 54, 55.
13. Komentar-komentar Ellen G. White, The Sevent-day Adventist Bible Commentary, jld. 5,
hlm. 1085.
14. E.G. White, Manuscript 24, 1888.
15. E.G. White, surat no. 51a, 1895, dalam buku Olson, hlm. 44.
16. Lihat tulisan E.G. White, Tetimonies to Ministers, hlm. 96, 97.
17. E.G. White, surat 179, 1902, dalam buku Olson, hlm. 43.
18. E.G. White, surat no 14, 1889.
19. Ibid

29
BAB 7

Mengapa Terjadi Pengkhianatan dan Penyaliban Terhadap Yesus ?

Membingungkan bagi imajinasi seseorang bahwa para utusan ke Rapat Sedunia General
Conference MAHK dapat memperlakukan Roh Kudus dengan cara yang memalukan,
menghina dan melukai Dia, malahan ibarat menyalibkan Yesus dalam Diri pribadi Roh Kudus.
Bagaimana mungkin hal ini terjadi?
Karena para utusan rapat tidak menyelidiki sendiri akan Kitab Suci – yang dengan
segenap hati Ellen White telah memohon kepada mereka supaya semua melakukannya – dan
belum diubahkan oleh pekabaran Alkitab yang menyelamatkan, di bawah pengaruh Roh
Kudus yang membentuk pikiran, maka kekerasan pikiran mereka itu bisa dipahami. Tanpa
pengetahuan pribadi tentang permasalahan itu, maka secara alami pendirian mereka dalam
mengikuti para pemimpin. Diantara mereka yang paling menonjol ialah George Butler dan
Uriah Smith, didukung oleh Morrison dan yang lainnya. Ellen White menulis bahwa pendirian
Butler, yang disampaikan kepada para utusan melalui ‘’telegram dan surat-surat yang
panjang’’ dalam keadaan sakit dari tempat pembaringannya di Battle Creek, adalah ‘’berada
di patok yang lama.’’ Seolah-olah Tuhan tidak hadir dalam rapat itu, dan tidak akan
mengulurkan tangan-Nya pada pekerjaan itu! Tulisnya.[1]
Pada hakikatnya, perubahan biasanya sulit dan menyakitkan – kadang-kadang bahkan
berbahaya. Lebih mudah mencela kalau sesuatu salah dalam proses perubahan dibanding
dengan serangan malapetaka sementara mengikuti pola lama yang sudah terbiasa. Kalau
tidak ada lagi, kelambanan manusia itu sendiri mendorong agar seseorang tetap saja pada
pendirian lama yang sudah dikenal. Butler dan kawan-kawan bermain mulus dengan berdiri
disamping ‘’patok-patok lama.’’ Tetapi kehendak Allah adalah maju!
‘’Suatu ketidaksetiaan untuk meninggalkan pendirian-pendirian lama, dan menerima
kebenaran ini (tentang Kristus kebenaran kita tanpa mengaitkannya dengan hukum dalam
kitab Galatia) menjadi dasar dari umumnya penolakan yang dinyatakan di Minneapolis
terhadap pekabaran Tuhan melalui saudara Waggoner dan Jones. Dengan menimbulkan
pertentangan itu, dalam ukuran yang besar setan berhasil menghalangi jemaat kita akan
kuasa Roh Kudus yang Allah ingin bagikan kepada kita. Musuh itu merintangi mereka dalam
membawa kebenaran kepada dunia ini, sebagaimana para rasul mengumandangkannya
setelah hari Pentakosta. Terang yang seharusnya menerangi seluruh dunia dengan
kemuliaannya telah ditolak, dan dengan tindakan saudara-saudara kita sendiri maka dalam
ukuran besar terang itu sudah dijauhkan dari dunia ini.’’[2]
Uriah Smith adalah otak yang ampuh bagi Butler pada rapat di Minneapolis itu. Dia
adalah salah seorang yang paling terdidik dalam organisasi, seorang redaktur dan guru yang
dihormati. Banyak dari antara para pendeta adalah bekas muridnya di Perguruan Tinggi Battle
Creek, di mana dia menjadi guru Alkitab pertama dan telah menjabat ‘’ketua penyelidikan

30
Alkitab’’ dari tahun 1875 sampai 1882. Kedudukannya di dewan guru telah menarik banyak
mahasiswa ke perguruan tinggi yang baru itu. Sampai tahun 1885, lebih dari 30 orang bekas
mahasiswanya berada dalam pekerjaan Injil Advent. Banyak lagi yang mengikuti kuliah
Alkitabnya. Atas permintaan Komite General Conference, setelah tahun 1873 dia
mengadakan seri ceramah di pelbagai negara bagian untuk melatih para pekerja. Selama
beberapa dasawarsa para pendeta dan juga anggota awam sudah begitu dipengaruhi oleh
pemikirannya.[3]
Lagi pula, rasa tidak senang terhadap Jones dan Waggoner sudah muncul selama
seminar kependetaan berlangsung. Pertama-tama, perbedaan kepribadian antara Jones dan
Waggoner dengan para pimpinan gereja sudah menelorkan benih perselisihan. Baik Jones
maupun Waggoner hanyalah orang muda jika dibandingkan dengan para pimpinan gereja.
Butler berusia 54 tahun, dan Uriah Smith selaku
Sekretaris General Conference berusia 56; A.R. Henry, Bendahara, dan R.M. Kilgore,
salah seorang anggota Komite General Conference, sama-sama berusia 49 tahun.
Selain dari itu, Jones dan Waggoner adalah dua orang yang sangat berbeda, baik secara
fisik maupun pendidikan, dibandingkan dengan rata-rata para pendeta Gereja Masehi Advent
Hari Ketujuh pada waktu itu. Jones, mantan tentara yang bertobat menjadi Advent,
berperawakan jangkung dan kurus, dengan pembawakan yang agak kasar dan kurang sopan.
Namun dia adalah pembicara ulung yang memiliki pikiran yang tajam. Waggoner
berperawakan pendek, gemuk dan sedikit pemalu. Sebagai lulusan perguruan tinggi, otaknya
sarat dengan ilmu pengetahuan. Pengetahuannya itu dia utarakan dengan lidah yang fasih.
Jones dan Waggoner sama-sama membentuk duet yang dinamis untuk meningkatkan
keyakinan Kekristenan mereka.
Banyak di antara para utusan Rapat General Conference Minneapolis menjadi kaki-
tangan dalam dosa karena penolakan akan pekabaran pembenaran oleh iman, melalui
tindakan sesuai dengan hukum dinamika kelompok. Karena banyak dari para pemimpin yang
mereka hormati dan cintai itu menolak pekabaran Minneapolis, maka mereka mengikuti para
pemimpin itu untuk menolak pekabaran ini. Dalam versi lain Ellen White menyatakan hal
tersebut demikian: ‘’Pengaruh pikiran atas pikiran, satu kuasa yang begitu kuat demi
kebaikan bila disucikan, sama kuatnya untuk kejahatan di tangan mereka yang menentang
Allah. . . . Manusia menjadi penggoda bagi sesamanya. Perasaan-perasaan setan yang kuat
dan menyeleweng itu disenangi, yang mereka membuang kuasa yang agung dan
memaksa.’’[4]
Ellen White mengamarkan hal ini dalam pidatonya kepada para pekerja pada rapat
tanggal 1 November. Dia mengatakan, ‘’Ada bahaya yang pasti bahwa sebagian orang yang
mengaku percaya akan kebenaran ini akan didapati dalam keadaan yang sama dengan orang
Yahudi. Mereka mengikuti pandangan orang-orang dengan siapa mereka bergaul.’’[5]
Mengenang rapat di Minneapolis, dalam sepucuk surat yang ditujukan kepada S. N.
Haskell pada tahun 1894, Ellen White menulis: ‘’Orang-orang yang telah dipilih Allah untuk
melakukan tugas khusus sedang dalam bahaya karena jemaat telah melihat kepada manusia
yang seharusnya memandang kepada Allah. Ketika Pendeta Butler menjabat Ketua General

31
Conference, para pendeta telah menempatkan Pendeta Butler dan Pendeta Smith serta
berapa pendeta lainnya di tempat yang sepatutnya hanya untuk Allah sendiri.’’[6]
Meskipun tidak mungkin memaafkan para penjaga jemaat, sebagaimana Ellen White
menyebut mereka, karena mengikuti kepemimpinan manusia bukannya tuntunan Roh Kudus,
maka kesalahan mereka jelas dapat dipahami.
Di gereja pada zaman rasul-rasul, Paulus adalah seorang pemikir Kristen yang luar biasa
kemampuan dan keberaniannya. Dia berani berdiri kokoh sendirian membela kebenaran. Ciri
kemandirian yang berani ini dia nyatakan ketika setelah pengalaman di jalan ke Damaskus itu
dia memutuskan hubungan dengan sahabat-sahabatnya orang Farisi dan menjadi pengikut
orang Nazaret hina. Tetapi pada kunjungannya yang terakhir ke Yerusalem, dia juga
mengecewakan Allah dengan keinginannya untuk menyenangkan hati para pimpinan di
jemaat Yerusalem. Ketika mereka menasihati Paulus supaya menggabungkan diri dengan
empat orang Nazaret dalam mengikuti hukum Musa, Paulus menerima anjuran mereka dan
melakukannya (Kis 21:23-26).
Keteguhan Paulus telah dipengaruhi oleh apa yang kita namai sekarang ini sebagai
kelompok pemikir. Tetapi dalam usaha menyenangkan hati rekan-rekan pendeta dan
saudara-saudaranya, dia melangkah terlalu jauh. Ellen White memberi komentar tentang
permohonan pimpinan itu: ‘’Roh Allah tidak menurunkan petunjuk ini: itu adalah buah-buah
dari sifat pengecut.’’ Paulus, ‘’tidak mendapat hak dari Allah untuk menyetujui sebanyak yang
mereka minta’’. Tetapi ‘’dia dipaksa untuk menyimpang dari arah yang sudah ditentukan
untuk diikutinya,’’ didorong oleh ‘’keinginannya yang besar supaya selaras dengan saudara-
saudaranya’’ dan oleh ‘’rasa hormatnya kepada para rasul yang sudah bersama-sama dengan
Kristus, dan demi Yakobus, saudaranya Tuhan.’’[7]
Petrus seorang menara diantara rasul. Dia jatuh kedalam pencobaan yang sama ketika
mencoba menyenangkan hati orang-orang Yahudi rekan sekepercayaan di Antiokhia di Siria
(Gal 2:9-14). Adalah ironis kalau Paulus jatuh kemudian ke dalam lubang yang sama,
sedangkan dia mencela Petrus begitu tajam karena perubahan pendiriannya di Antiokhia.
Dalam terang kejatuhan ini di pihak, Petrus dan Paulus, mudahlah untuk memahami
bagaimana mayoritas peserta rapat akbar General Conference di Minneapolis mengikuti
pimpinan mereka dalam penolakan pekabaran 1888. Sebenarnya, nasihat Paulus berlaku
untuk kita semua: ‘’Sebab itu siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah
supaya ia jangan jatuh’’ (1 Kor 10:12).
Bukanlah pemikiran yang menyenangkan, namun benar bahwa pada rapat akbar
Minneapolis para pimpinan Gereja MAHK mengulang kembali peranan para pimpinan
Yahudi pada zaman Yesus. Selama penginjilan Kristus di bumi ini, sejumlah besar orang
Yahudi menyukai Dia. Adalah para pemimpin Yahudi kemudian menuntut penyaliban-Nya.
Pada rapat akbar di Minneapolis tahun 1888, saudara-saudara terkemukalah yang
mengujungtombaki perlawanan terhadap pekabaran pembenaran oleh iman. Mereka
perhatikan mayoritas pendeta di sekitarnya dan melalui orang-orang ini banyaklah anggota
awam yang terpengaruh.

32
Adalah senantiasa rencana Allah untuk menuntun umat-Nya melalui para pemimpin.
Allah berbicara kepada Musa dan dia meneruskan kemauan Allah kepada bangsa itu. Zaman
Alkitab bagian akhir, nabi-nabi adalah juru bicaraNya yang khusus. Ketika Paulus dipanggil
menjadi duta besarNya kepada bangsa Kafir, Roh itu menuntun Ananias sebagai wakil gereja
untuk memberikan satu tugas Ilahi kepadanya dan memberitahukan kepada Paulus apa yang
harus dilakukan (Kis 22:10-16) Allah tidak mempunyai rentetan perintah apabila dia
berkomunikasi dangan umat-Nya. Ini dinyatakan dalam Wahyu 1:1. Tetapi kebalikannya itu
juga benar. Bilamana gagal pimpinan, pekabaran Allah terhalang menjangkau manusia.
Karena tindakan saudara kita sendiri sehingga terang itu tidak mencapai umat Allah tahun
1888. (8) Ellen White menulis:
Kalaupun mempunyai pimpinan yang sudah diurapi, pengikutnya tidak bebas dari
tanggung jawab pribadi. Kita tidak mengikuti pimpinan dengan membabi buta. Adalah
kesempatan setiap pengikut untuk belajar mengenal kemauan Allah melalui Firman-Nya
sebagaimana diterangi oleh Roh Kudus. Firman itu diberikan melalui Roh (2 Ptr 1:21).
Dorongan pribadi Roh itu ialah supaya selalu memelihara Firman itu. Roh Kudus ingin
mendorong setiap orang untuk melakukan apa yang benar.
Dalam pertemuan di Minneapolis terdapatlah beberapa orang yang telah mengenal
Firman dan suruhan Roh dan mengikutinya dengan secara mutlak. Bilamana tabir Firman
Allah dibuka kepada mereka oleh penyambung lidah Allah di pertemuan itu, mereka dituntun
Roh Kudus untuk melihat terang. Di antara mereka yang melihat terang itu ialah Ellen White,
yang berdiri teguh mendukung Jones dan Waggoner. Yang lain juga menerima kebenaran
sewaktu takbirnya dibuka kepada mereka. Di antaranya adalah Stephen Haskell. Dia orang
besar dalam iman, kerendahan hati dan kasih akan Allah, dan mereka hilang lenyap dalam
dosa nampaknya sudah digali dari dalam batu gunung New Hampshire. Dia tidak pernah
bimbang dari keteguhan penurutan kepada Firman Allah. Sebagaimana disaksikan dalam
sejarah hidupnya, dia mengenal dorongan halus dari Roh. Nampaknya dia tidak pernah goyah
bahkan kalaupun berdiri sendiri bagi Allah, bila peristiwa itu membutuhkannya. (9) Ada orang
lain seperti dia di Minneapolis, tetapi mereka golongan minoritas.
Pada tanggal 14 Oktober, yaitu beberapa hari dalam rapat akbar, Ellen White menulis
surat kepada Butler yang sedang sakit di Battle Creek ‘’Umumnya roh dan pengaruh para
pendeta yang datang ke pertemuan ini ialah supaya tidak menghormati terang. Saya
menyesal yang musuh itu menguasai pikiranmu dan menuntunmu mengambil pendirian yang
demikian. Mereka akan menjadi jerat bagimu dan menjadi penghalang bagi pekerjaan Tuhan,
jika Tuhan pernah berbicara kepada saya. (10).
Sekiranya mayoritas orang Yahudi tidak diterlantarkan oleh para pemimpin mereka
dan menuntun supaya Kristus disalibkan, Yesus tidak akan disalibkan dengan cara
demikian. Sekiranya mayoritas utusan rapat akbar Minneapolis tidak mengikuti pimpinan
mereka dalam penolakan pekabaran 1888, Ellen White tidak akan mengkiaskan bahwa
Kristus secara lambang sudah disalibkan di dalam rapat akbar itu.
Rapat akbar Minneapolis memberikan satu tantangan kepada kita masing-masing. Kita
perlu mempelajari sendiri dan mengenal kemauan Allah bagi kita melalui Firman-Nya; kita

33
tetap rendah hati dan dapat diajar; menyerah kepada dorongan Allah. Barulah dia
memenuhi janji-janjinya untuk menuntun kita ke jalan yang benar, karena ‘’ia membimbing
orang-orang yang rendah hati menurut hukum, dan ia mengajarkan jalanNya kepada orang-
orang yang rendah hati’’ (Mzm 25: 9; Mzm 23; 32:8; Yes 30:21; Yak 1:5).
Rujukan
1. E.G. White, surat no. 7, 1858.
2. E.G. White, surat no. 96, dikutip dalam bukunya, Selected Messages, jld. 1, hlm. 234, 235.
3. Durand, Yours in the Blessed Hope, hlm. 231, 236.
4. Komentar Ellen G. White, The SDA Bible Commentary, jld. 7, hlm. 973.
5. Olson, Thirteen Crisis Years, hlm. 306.
6. E.G. White, surat no. 27, 1894.
7. E.G. White, The Acts of the Apostles [Kisah Para Rasul], (Mountain view, Calif: Pacific Press
Pub Assn, 1911), hlm. 404, 405.
8. Ibid, Selected Messages, jld. 1, hlm. 235.
9. E.M. Robinson, S.N. Haskell: Man of Action, (Review and Herald Pub Assn, 1967.
10. E.G. White, surat no. 21, 1888.

34
BAB 8

Dosa dan Kesalahan Kelompok

Apakah Allah mengenal dosa kelompok? Apakah Ia menuntut pertanggungjawaban


kelompok atau badan atas dosa demikian? Kalau jawaban atas kedua pertanyaan ini adalah
Ya, apakah Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh, karena sikap dan tingkah laku para utusan ke
Rapat Besar General Conference di Minneapolis pada tahun 1888 itu, telah melakukan dosa
kelompok dan kesalahan kelompok?

Kalau memang Allah mengenal dosa dan kesalahan seperti itu, maka kemurtadan Israel
di Sinai karena menyembah patung lembu itu barangkali dapat dijadikan sebagai suatu contoh
(lihat Keluaran 32). Kasus yang lain lagi mungkin adalah penolakan Israel terhadap
pemerintahan Allah dan meminta seseorang raja pada waktu Samuel menjadi hakim (baca 1
Samuel 31). Masih ada lagi yang menjadi kemurtadan Israel pada zaman Elia (1 Raj. 18:1-29),
dan penolakan Yehuda di bawah pemerintahan raja Zedekia terhadap nasihat Yeremia supaya
menyerah kepada bangsa Babel pada tahun 586 S.M. (baca 2 Raj. 25:2; 2 Taw. 36:11-23; Yer.
21:1-10; bandingkan dengan Yeremia 34). Satu lagi peristiwa dosa kelompok yang nyata ialah
penolakan dan penyaliban Yesus oleh bangsa Yahudi (Mat. 27:20-25).
Dalam semua peristiwa ini, golongan mayoritaslah yang bertindak melawan kehendak
Allah. Tapi dalam semua peristiwa ini mungkin saja ada perorangan yang tidak bergeming
dalam kesetiaan mereka terhadap Allah. Mengenai penyembahan berhala di Sinai, Ellen
White menulis: ‘’Sekelompok besar orang berhimpun di sekitar kemahnya (Harun) dengan
tuntutan, ‘berikanlah ilah-ilah kepada kami yang akan memimpin kami.’ ‘’ Tetapi Ellen White
menambahkan , ‘’Masih ada sebagian yang tetap setia pada perjanjian dengan Allah, tetapi
bagian yang lebih besar dari bangsa itu bergabung dengan kemurtadan.’’[11]
Elia mengira bahwsa dia sendirian berdiri di hadapan Allah. Tetapi Allah
memberitahukan kepadanya bahwa masih ada 7000 orang lagi di Israel yang tetap setia pada
Allah, sekalipun dengan diam-diam, tidak menarik perhatian, dan tidak dikenalnya (baca 1
Raj. 19:28). Salah seorang diantara para pengikut Allah yang setia itu adalah Obaja, yaitu
kepala rumah tangga istana Ahab dan nabi-nabi yang dilindunginya (1 Raj. 18:3, 4, 12, 13).
Dalam salah satu kutukan Yesus yang dikemukakan kepada orang Farisi dan ahli Taurat,
Ia mengatakan kepada mereka: ‘Sebab itu, lihatlah, Aku mengutus kepadamu nabi-nabi,
orang-orang bijaksana dan ahli-ahli Taurat: Separuh diantara mereka akan kamu bunuh dan
kamu salibkan, yang lain akan kamu sesah di rumah-rumah ibadahmu dan kamu aniaya dari
kota ke kota, supaya kamu menanggung akibat penumpahan darah orang yang tidak bersalah
mulai dari Habel, orang benar itu, sampai kepada Zakharia, anak Berekhya, yang kamu bunuh
diantara tempat kudus dan mezbah’’ (Mat. 23:34, 35).
Di dalam ayat ini Yesus menyebutkan orang-orang yang sudah terbunuh ratusan tahun
sebelumnya, yaitu Habel dan Zakharia. Tetapi Ia mempersalahkan para pendengar-Nya

35
karena dosa nenek moyang mereka. Dari ucapan ini tampaknya bahwa Yesus mengenal
dosa kelompok. Tetapi kalimat berikutnya menjelaskan bahwa para pendengar-Nya tidak
dituduh bersalah dalam membunuh para nabi sampai mereka sendiri memaafkan dosa
nenek moyang mereka dengan menolak terang yang diberikan kepada mereka, serta
menolak Kristus dan pengajaran-Nya.
‘’Orang-orang Yahudi sedikit sekali menyadari tanggung jawab besar karena menolak
Kristus. Sejak pertama kalinya ditumpahkan darah orang yang tak berdosa, ketika Habel yang
benar itu terkulai mati ditangan Kain, sejarah yang sama berulang dengan kesalahan yang
semakin besar. Pada setiap zaman para nabi mengangkat suara menentang dosa-dosa para
raja, para penguasa dan masyarakat, berbicara tentang Firman Allah yang diberikan-Nya
kepada mereka dan menuruti kehendak-Nya sekalipun nyawa mereka terancam. Dari
generasi ke generasi hukuman telah bertumpuk bagi para penolak terang dan kebenaran.
Terhadap hal ini musuh-musuh Kristus tidak mau tunduk. Dosa para imam dan penguasa
lebih besar daripada dosa generasi mana pun sebelumnya. Dengan menolak Juruselamat,
mereka bertanggung jawab atas darah semua orang benar yang terbunuh mulai dari Habel
sampai kepada Kristus. Mereka sedang mengisi piala kejahatan sampai melimpah ruah. Lalu
piala itu akan dituangkan ke atas kepala mereka pada penghakiman pembalasan. Terhadap
hal ini Yesus memberi amaran kepada mereka.’’[2]
Sekitar 40 tahun kemudian, kejatuhan Yerusalem telah membawa penderitaan yang
sangat bagi bangsa Yahudi yang pada saat penyaliban Yesus yang ada hanyalah kanak-kanak
dan orang-orang muda. Tetapi penderitaan yang menimpa orang Yahudi pada hari kejatuhan
Yerusalem itu bukanlah akibat dosa orang tua mereka karena telah menyalibkan Yesus,
melainkan akibat dosa mereka sendiri. Ellen White menullis tentang malapetaka ini: ‘’Anak-
anak tidak dihukum karena dosa orang tuanya, tetapi karena dengan pengetahuan akan
terang yang diberikan kepada orang tua mereka anak-anak itu telah menolak terang
tambahan yang diberikan kepada mereka sendiri, sehingga mereka mengambil bagian
dalam dosa orang tua mereka dan menggenapi takaran kejahatan mereka.’’[3]
Tidak satupun dari peristiwa di atas yang mencatat apakah mayoritas dari orang-orang
yang mengaku sebagai umat Allah bergabung dalam dosa kelompok. Tetapi orang-orang
seperti Daniel memohon kepada Allah akan keampunan dosa pribadi dan dosa bangsa {baca
Dan. 9:15-19). Daniel melakukan ini bukan sebagai imam kepala dalam jabatan suci bangsa
Yehuda, melainkan sebagai perorangan.
Sebagaimana Raja Daud berdosa dalam menghitung bangsa Israel sehingga
memungkinkan bagi si jahat untuk menyesah bangsa itu (2 Samuel 24), sebagai pribadi dia
bertobat dan mengakui dosa-dosanya (baca ayat 10). Sebagian orang Yahudi dibawah
pimpinan para imam dan penguasa memilih untuk menyalibkan Yesus, dan sebagian dari
kelompok ini menyesal dan memohon pengampunan Allah karena kita membaca kemudian
bahkan banyak sekali imam yang ‘’setia kepada imannya’’ (Kis. 6:7)

Melalui iman kita diyakinkan bahwa ‘’mereka yang hidup pada masa ini tidak
bertanggung jawab atas perbuatan mereka yang menyalibkan Putra Allah, tetapi jika
dengan segala terang yang menyinari umat-Nya pada zaman dulu, yang digambarkan

36
dihadapan kita, kita berjalan di atas tanah yang sama, menyukai roh yang sama, tidak mau
menerima teguran dan amaran, maka kesalahan kita akan diperberat dengan hebat, dan
hukuman yang telah menimpa mereka juga akan menimpa kita, hanya saja itu akan lebih
besar sebagaimana besarnya terang kita pada zaman ini dibandingkan dengan terang
mereka pada zamannya.’’[4]
Ini demi menjaga prinsip kesetiaan Ilahi dalam penatalayanan. ‘’Setiap orang yang
kepadanya diberi, kepadanya akan banyak dituntut’’ (Luk. 12:48b). ‘’Tetapi tentang Sion
dikatakan: ‘Seorang demi seorang dilahirkan di dalamnya,’ dan Dia, yang Mahatinggi,
menegakkannya. Tuhan menghitung pada waktu mencatat bangsa-bangsa: ‘Ini dilahirkan
disana’” (Mzm. 87:5,6). ‘’Laki-laki dan perempuan akan dihakimi sesuai dengan terang yang
diberikan Allah kepada mereka.” [5]
Ada laki-laki dan perempuan yang tidak pernah benar-benar dewasa dalam kepribadian,
karena kurang kesempatan mengembangkan kesanggupan membuat pilihan. Tidak diragukan
lagi bahwa dulu dan mungkin sampai sekarang ada orang-orang seperti itu di antara pria dan
wanita yang telah bertumbuh ‘’dalam perhambaan yang hina’’ [6]. Bagi orang-orang ini,
majikan-majikan merekalah yang akan bertanggung jawab secara moral, tetapi tidak dapat
digolongkan sebagai dosa atau kesalahan kelompok.
Anggapan tentang dosa kelompok dan akibatnya kesalahan kelompok adalah perlakuan
asing dari Allah terhadap manusia. Ketika Ia menciptakan Adam dan Hawa, Ia
menganugerahkan kepada masing-masing mereka kuasa untuk memilih (Kej. 2:17, 18). Allah
sudah memberi kemampuan otak yang mengagumkan ini kepada setiap anggota umat
manusia. Dosa, dengan kesalahan yang diakibatkannya, berawal dari pemanfaatan pilihan
moral yang bebas dan berakhir pada pertanggungjawaban pribadi di hadapan Allah.
Dalam soal dosa, Allah tidak berurusan dengan kelompok-kelompok manusia atau
dengan komite-komite. Ia tidak menuntut suatu komite agar bertanggung jawab terhadap
semua keputusan yang diambil oleh komite itu sendiri. Allah berurusan dengan perorangan.
Sekalipun suatu komite (rapat), atau suatu jemaat, melalui perwaliannya, mungkin telah
membuat satu keputusan yang salah. Dalam memperhatikan kesalahan dari keputusan
mereka secara kelompok, Allah tetap menuntut pribadi-pribadi tertentu dalam komite itu
yang bertanggung jawab atas suara yang mereka berikan.
Karena dosa itu bersifat pribadi maka demikian juga dengan kesalahan itu, jadi bukan
dosa kelompok ataupun kesalahan kelompok. Maka demikianlah orang-orang terpaut dan
menjadi dikenal dengan dosa itu;[7] orang-orang ‘’menentang kebenaran dan
perwakilannya,’’[8] dan akibatnya mereka akan dibinasakan oleh hadirat Allah.[9]
Seseoranglah yang jatuh kedalam dosa,[10] Dan seseorang yang menutupi dosa-dosanya
tidak akan berbahagia.[11] Bagi seseorang sajalah dosa itu tidak kelihatan begitu jahat;[12]
perorangan saja yang menganggap dosa itu sebagai kebenaran;[13] seseorang saja yang
berusaha menyelubungi dosa dan kesalahan .[14]

Dosa itu lebih bersifat pribadi ketimbang kelompok. Karena itu Allah tidak menuntut
pertanggungjawaban per kelompok, melainkan perorangan. Kalau satu kelompok atau badan
komite membuat suatu rencana yang bertentangan dengan kehendak Allah, maka anggota-

37
anggotanya secara pribadi dapat menyesali atas penyimpangan mereka dari kehendak Allah.
Inilah yang disebutkan dalam Kisah 6:7 telah dilakukan oleh para imam.
Keturunan tidak bertanggung jawab atas dosa-dosa orang yang melahirkan mereka.
Firman Allah mengatakan, ‘’Orang yang berbuat dosa, itulah yang harus mati. Anak tidak akan
turut menanggung kesalahan ayahnya, dan ayah tidak akan turut menanggung kesalahan
anaknya. Orang benar akan menerima berkat kebenarannya, dan kefasikan orang fasik akan
tertanggung atasnya’’ (Yeh. 18:20; bandingkan dengan Yeh. 4:4). Anak-anak kecil ‘’tidak
dihukum karena kesalahan orang tua, kecuali mereka mengambil bagian dalam dosa-dosa
mereka itu.’’[15]
Penegasan telah diberikan dari waktu ke waktu bahwa Gereja Masehi Advent Hari
Ketujuh sudah melakukan dosa kelompok dan membuat kesalahan kelompok pada Rapat
Besar General Conference di Minneapolis pada tahun 1888 dengan menolak pekabaran
pembenaran oleh iman. Sekalipun ada usaha-usaha oleh sebagian utusan rapat agar para
utusan mengambil suara dalam hal ini, namun tidak pernah diadakan pemungutan
suara.[6] Setiap usaha untuk memaksakan pemungutan suara dicegah dengan berhasil oleh
khotbah Ellen White yang diberikan menjelang berakhirnya rapat itu. Dalam masalah ini dia
menyebutkan bahwa sebagian orang ingin ‘’mengambil satu keputusan yang langsung akan
apa pandangan yang benar terhadap masalah yang diperbincangkan ini. . . . Hal ini akan
menyenangkan Ketua [Butler],’’ katanya, yang ‘’telah menganjurkan agar hal ini dituntaskan
dengan segera.’’ Tapi dia menambahkan, ‘’Saya tidak dapat menyetujui usaha tersebut
karena saudara-saudara kita telah dikuasai oleh roh yang mendorong perasaan dan
mengacaukan desakan hati mereka, sehingga mengendalikan pertimbangan mereka.
Sementara berada di bawah semangat demikian besar yang sekarang ada, mereka tidaklah
siap untuk membuat keputusan-keputusan yang aman.’’[17]
Selanjutnya dia mengamarkan bahwa ‘’pekabaran yang berasal dari Ketua saudara-
saudara di Batlle Creek dianggap menghasut kamu supaya membuat keputusan yang terburu-
buru dan mengambil sikap yang ditentukan; tetapi saya memperingatkan kepada saudara-
saudara agar jangan melakukan hal ini. Sekarang ini kamu tidak tenang; ada banyak orang
yang tidak tahu apa yang diyakininya. Berbahaya membuat keputusan atas sesuatu hal yang
dipertentangkan tanpa mempertimbangkan hal itu dengan tenang dari segala segi. Perasaan
yang menggebu akan menjurus kepada tindakan terburu-buru. Sudah tentu banyak orang
yang sudah datang ke pertemuan ini dengan kesan-kesan palsu dan pendapat-pendapat yang
menyimpang. Mereka mempunyai gambaran-gambaran yang tidak berdasarkan kebenaran.
Kalaupun pendirian yang kita miliki terhadap kedua hukum itu adalah benar, Roh Kebenaran
tidak akan menyetujui standar demikian untuk mempertahankannya sebagaimana lebih
banyak lagi di antara kamu akan menerimanya.’’[18]
Gereja tidak pernah secara resmi menolak pengajaran pembenaran oleh iman.
Sekalipun sudah diambil keputusan dalam rapat dan mayoritas menyetujui penolakan
terhadap pekabaran 1888, dosa yang dilakukan bukanlah dosa kelompok, melainkan dosa
setiap orang yang mengangkat suara untuk menentangnya.

38
Di Minneapolis sebagian orang sudah menolak panggilan Allah untuk suatu pengalaman
yang hidup akan pembenaran oleh iman, sedangkan yang lain menerimanya. Peroranganlah
yang menolak pekabaran itu, dan bukan gereja yang bertanggung jawab atas dosa itu.
Tentang mereka yang menolak bujukan Roh Kudus di Minneapolis, Ellen White kemudian
mengatakan, ‘’Dosa yang dilakukan di Minneapolis tetap tercatat di buku surga, tertulis
menentang mereka yang menolak terang, dan itu tetap berada dalam catatan sampai diakui
sepenuhnya, dan para pelanggar berdiri dalam kerendahan hati di hadapan Allah.’’[19]
Kata-kata dan tindakan setiap orang yang mengambil bagian dalam usaha ini akan
tercatat menentang mereka sampai mereka memperbaiki perbuatan yang salah itu.’’[20]
Tuhan akan menghapus pelanggaran mereka yang sejak itu sudah bertobat dengan
sungguh-sungguh; tetapi setiap kali roh yang sama membangunkan jiwa kita, perbuatan yang
dilakukan pada peristiwa itu disokong; dan pelaku perbuatan itu bertanggung jawab kepada
Allah dan harus menjawabnya pada pengadilan takhta-Nya.’’[21]

Kecuali setiap jiwa mau menyesali dosa mereka (di Minneapolis) ini, kebebasan yang
tidak disucikan yang menghinakan Roh Allah, maka mereka akan berjalan dalam kegelapan.
‘Aku akan memindahkan kaki dian dari tempatnya kecuali mereka menyesal dan bertobat,
agar aku menyembuhkan mereka.’ ‘’[22]
Dari keterangan di atas sudah jelas bahwa dosa apapun yang dilakukan dalam rapat
besar di Minneapolis itu bukanlah dosa kelompok, tetapi dosa perorangan dan pribadi.
Dalam pandangan Allah, peroranganlah yang bertanggung jawab atas dosa penolakan
pekabaran pembenaran oleh iman, dan selaku perorangan mereka harus menyesal dan
menerima pengampunan dosa dan penghapusan kesalahan sehingga mereka dipulihkan
kepada kemauan Allah.
Rujukan
1. E.G. White, Para Nabi dan Bapa, (Bandung: Indonesia Publishing House), hlm.
2. Idem, Kerinduan segala zaman II (Idem), hlm.
3. Idem, Kemenangan Akhir, (Idem),hlm.
4. Idem, Review and Herald, 11 April 1893.
5. Idem, Testimonies to Ministers, hlm. 447.
6. Idem, Tulisan-tulisan Permulaan, (Bandung: Indonesia Publishing House), hlm.
7. Idem, Kerinduan Segala Zaman I, hlm.
8. Idem, hlm.
9. Idem, Khotbah di Atas Bukit, hlm.
10. Idem, Pendidikan, hlm.
11. Idem, Testimonies, vol. 2, hlm.
12. Idem, vol. 3, hlm. 361.
13. Idem, vol. 5, hlm. 143.
14. Idem, vol. 4, hlm. 185.
15. Idem, Para Nabi dan Bapa II, hlm.
16. A.T. Jones, The Everlasting Gospel . . ., hlm. 31.

39
17. E.G. White, Manuscripts 15, 1888 dalam buku karangan Olson, Thirtheen Crisis Years, hlm.
394.
18. Idem, hlm. 305.
19. Surat E.G. White no. 19d, 1892 dalam buku Olson, hlm. 89.
20. Surat E.G. White no. 24, 1892.
21. E.G. White kepada O.A. Olsen, 19 Mei 1896, dalam Special Testimonies Concerning the
Work and the Workers in the Pacific Press (Kesaksian Khusus Perihal Pekerjaan dan Para
Pekerja), Oakland 1897, hlm. 134 (E.G. White Estate pagination).
22. Surat E.G. White no. 2a, 1892, dalam buku Olson, hlm. 44.

40
BAB 9

Buntut dari Rapat General Conference di Minneapolis

Dalam suatu pengarahan kepada para pendeta selama berlangsungnya rapat itu, Ellen
White mengatakan, ‘’Jika para pendeta tidak mau menerima terang itu, saya mau memberi
kesempatan kepada jemaat, barangkali mereka bisa menerimanya.’’[1]
Rencana direncanakan ketika A.T. Jones dan Ellen White bergabung dalam suatu seri
Kristus Kebenaran Kita pada bulan Januari 1889 di South Lancaster, Massachusetts.
Melaporkan acara-acara kebaktian ini dalam majalah Review, Ellen White mengatakan bahwa
umat menerima pekabaran itu dengan kegembiraan. Kesaksian umum dari orang-orang yang
hadir ialah ‘’bahwa mereka telah memperoleh pengalaman melebihi apa pun yang telah
mereka ketahui sebelumnya. Mereka menyatakan kegembiraan mereka bahwa Kristus telah
mengampuni dosa-dosa mereka. Hati mereka dipenuhi dengan rasa syukur dan pujian kepada
Allah. Damai yang manis memenuhi hati mereka.’’[2]
Pada acara perkemahan Kansas di Ottawa bulan Mei, Ellen White sekali lagi
menggabungkan diri dengan A.T. Jones dan juga D.T. Jones, Sekretaris umum General
Conference. Di sini penerimaan akan pekabaran 1888 tidak begitu spontan seperti di South
Lancaster. Dalam laporannya di majalah Review, Ellen White menekankan bahwa agen-agen
yang kuat sedang bekerja untuk melawan mereka yang telah diutus dengan pekabaran dari
Allah. Dia memohon kemurahan Allah; dan sebelum pertemuan itu berakhir, dengan
memperhatikan dengan gembira bahwa terang anugerah Allah yang menyelamatkan itu telah
bersinar.’’[3]
Pada acara perkemahan dalam bulan Juni 1889 di Williamsport, Pennsyvalnia, para
anggota yang sudah suam dan mulai murtad ketika itu bangkit kembali ‘’sementara
pekabaran kebenaran masa kini dihadapkan kepada jemaat oleh Saudara Jones dan Saudara
Waggoner, umat itu melihat keindahan baru dalam pekabaran malaikat yang ketiga, mereka
sangat dikuatkan.’’[4]
Tentang acara perkemahan di Rome, New York, Ellen White menulis bahwa dia memikul
suatu beban hati demi jemaat itu, karena ‘’tak satu pun di antara seratus’’ yang memahami
sendiri ‘’kebenaran Alkitab’’ yang menyangkut pembenaran oleh iman ‘’yang begitu penting
bagi kesehjateraan kita masa kini dan selamanya.’’ Sekali lagi disini Tuhan memberi
‘’pekabaran khusus tentang kemurahan dan penghiburan’’ melalui hamba-hamba-Nya yang
sudah diutus.’’[5]
Seorang pekerja bernama S.H. Lane memberikan laporan berikut ini yang menghiburkan
dalam majalah Review dari acara perkemahan di New York itu: ‘’Sister White, Pendeta Jones
dan Pendeta Waggoner berbuat lebih untuk menguatkan semua yang hadir dari pada tentang
penyelidikan akan semua pokok pelajaran yang lain. Hal itu membawa pengharapan dan
kegembiraan bagi setiap hati. Ini dinyatakan dalam beberapa cara. Doa dan kesaksian

41
semuanya membangkitkan semangat, dipenuhi dengan dorongan akan kasih Allah yang
mempertobatkan banyak orang, bukan mengecewakan, untuk mempercayakan tanpa
prasangka. Hampir semua hadirin meninggalkan perkumpulan itu sambil memuji Allah.’’[6]
Sementara kebanyakan orang menerima pekabaran pembenaran oleh iman itu dengan
gembira, sebagian pekerja memandangnya dengan rasa sakit hati dan menanggapinya
dengan perlawanan yang sengit. Mengenai hal ini Ellen White menulis dalam majalah Review:
Ada orang-orang yang tidak melihat kebutuhan akan pekerjaan khusus pada zaman ini.
Sementara Allah bekerja untuk membangkitkan semangat jemaat, mereka berusaha
menyingkirkan pekabaran amaran, tempelakan dan imbauan. Pengaruh mereka tampaknya
menghalau rasa takut umat itu, dan menghalangi mereka agar tidak merasakan keseriusan
zaman ini. Mereka yang melakukan hal ini sedang membunyikan terompet dengan nada
lain yang tidak berarti. Mereka seharusnya menyadari situasi, tetapi mereka sudah terjerat
oleh musuh.’’[7]

Orang-orang lain, khususnya para pekerja muda, mengambil sikap menunggu. Dengan
sendirinya banyak di antara hadirin yang mengambil sikap yang sama. Akhirnya pekabaran
kasih Allah dan kemurahan-Nya tidak disambut sepenuhnya oleh orang-orang percaya. Ellen
White menulis tentang hal ini dalam majalah Review edisi bulan Maret 1890:
‘’Orang-orang muda kita memandang kepada saudara-saudara kita yang lebih tua, dan
sementara mereka itu memperhatikan, bahwa mereka tidak menerima pekabaran tersebut,
melainkan menganggapnya seolah-olah hal itu tidak berpengaruh apa-apa, hal itu
mempengaruhi mereka yang tidak mengetahui akan kebenaran Alkitab supaya menolak
terang itu. Orang yang tidak mau menerima kebenaran ini menjadi penghalang antara terang
dengan umat itu.’’[8]
Jones dan Waggoner bersama-sama dengan Ellen White mengikuti Rapat Besar General
Conference pada musim gugur 1889 di Battle Creek, di bawah pimpinan O.A. Olsen selaku
Ketua G.C. Jones menyampaikan seri pelajaran tentang pembenaran oleh iman yang
membawa terang, kebenaran dan kebahagiaan kepada para pendengar.[9]
Olsen sepenuhnya setuju dengan pekabaran 1888 itu. Walaupun dia berada di Eropa
sampai bulan Mei 1889, namun seminar kependetaan dilangsungkan juga di Battle Creek dari
bulan Januari sampai dengan bulan Maret 1889 dengan A.T. Jones berperan selaku pimpinan.
Karena seminar ini begitu sukses, maka direncanakan pula dua di antara Rapat Besar General
Cinference tahun 1889 dan 1891.
Kedua seminar ini, yang khusus dirancang untuk para evangelis dan pendeta muda,
dimaksudkan untuk menghancurkan pertentangan yang timbul di Minneapolis. Baik Jones
dan Waggoner termasuk di antara penceramah.[10]
Menjelang akhir seminar Alkitab yang kedua dalam bulan Maret 1890, Ellen White
dengan gembira menulis surat kepada anaknya, William, beserta istrinya, Mary, ‘’Kata-kata
yang diucapkan sepenuhnya diterima oleh kebanyakan yang hadir. Orang-orang yang pernah
menghalang-halangi (menolak pekabaran 1888) sekarang tidak berpengaruh. Ada semacam
arus kuat yang bergerak menuju surga.’’

42
Hari berikutnya dia menulis: ‘’Hati saya dipenuhi rasa syukur sambil memuji Allah.
Tuhan telah mencurahkan berkat-Nya kepada kita. Tulang punggung pemberontakan telah
dipatahkan di dalam diri mereka yang datang dari tempat-tempat yang lain.’’[11]
Barangkali di antara para pendeta yang lebih tua yang berada di ladang nampaknya
masih ragu-ragu. Dalam bulan Agustus 1890 Ellen White menulis sebuah artikel di majalah
Review yang menunjukkan bahwa dalam beberapa hal suasana rohani di dalam jemaat
umumnya tidak lebih baik dari keadaan sebelum rapat besar Minneapolis. Dia menulis:
‘’Bagaimana bisa para pendeta kita menjadi perwakilan-perwakilan Kristus, ketika
mereka merasa diri cukup, ketika dengan semangat dan sikap mereka mengatakan, ‘Aku kaya
dan memperkaya diriku serta tidak memerlukan apa-apa.’ ‘’
‘’Sejak berlangsungnya pertemuan di Minneapolis saya sudah melihat keadaan
jemaat Laodikia sekarang dan mendengar tempelakan Allah yang diungkapkan kepada
mereka yang merasa begitu puas; banyak yang menutup mata supaya tidak melihat. Tetapi
sekarang adalah berbahaya menutup mata terhadap terang dan pergi mengembara dari
Kristus sambil merasa tidak memerlukan apa-apa seperti waktu Ia berada di bumi ini.
‘’Mereka yang sadar akan perlunya bertobat kepada Allah dan beriman akan Yesus
Kristus, Tuhan kita, itu akan menyesali diri dan bertobat karena mereka telah mendukakan
Roh Tuhan.’’[12]
Pada seminar Alkitab yang ketiga sekali lagi timbul sikap yang baik, dan mempengaruhi
Rapat General Conference tahun 1891. Pada rapat ini Pendeta Olsen melaporkan bahwa
kesuksesan seminar Alkitab ini lebih besar dari yang diperkirakan. Khususnya seminar itu telah
memperbaiki keadaan kerohanian rapat tersebut. Ellen White menulis:
“Tuhan berada di tengah-tengah kita, dan kita sudah melihat keselamatan-Nya. Saya
belum pernah mengikuti rapat General Conference di mana Roh Tuhan dinyatakan dalam
mempelajari Firman-Nya seperti pada peristiwa itu.”[13]
Berkat Allah begitu pasti menyertai Rapat Besar General Conference ini sehingga
wartawan Review merasa terkesan untuk menulis pada akhir rapat bahwa “Kita sekarang
berdiri dekat dengan janji pencurahan Roh, yaitu hujan akhir dengan mana pekabaran ini akan
berakhir dengan kuasa, dan dipersingkat dalam kebenaran.”[14]
Pada akhir Rapat General Conference tahun 1891, prospek kerohanian ternyata
tampaknya sungguh cerah bagi jemaat. Pendeta O.A. Olsen dan Ellen White berdiri
berdampingan, didukung oleh Jones dan Waggoner dan orang-orang lain yang jumlahnya
makin bertambah, maka pekabaran Kristus dan kebenaran-Nya tampak segera melanda
jemaat.
Pada rapat inilah Dewan Misi Seberang (Foreign Mission Board) yang diketuai oleh
Olsen dan W.C. White selaku sekretaris sepakat mengajak Ellen White supaya pergi ke
Australia pada musim gugur itu juga. Ellen White berharap agar rencana itu tidak
berkembang. Dia meminta nasihat Allah tetapi tidak menerima terang dari pada-Nya. Tetapi
sebagian dari para pekerja mendesak dia supaya pergi. Mereka membesarkan hatinya

43
dengan mengatakan bahwa tidak ada beban baginya di Australia sehingga tidak dapat
mengerahkan tenaga untuk menulis. Karena tidak mendapat terang khusus dari Allah maka
dia menyerah kepada permohonan General Conference.[15]
Bertahun-tahun kemudian dia memahami apa sebabnya Allah tidak memberikan
terang kepadanya mengenai kepergiannya ke Australia di tahun 1891 itu. Pada tahun 1896
dia menulis: “Bahwa saudara-saudara di Battle Creek merasa kami harus berangkat pada
saat itu adalah hasil dari rekayasa manusia, bukan rencana Tuhan. . . . Begitu teganya
mereka melepas kami agar meninggalkan Amerika sehingga Tuhan mengizinkan hal itu
terjadi. Mereka yang sudah bosan dengan kesaksian dibiarkan tanpa orang-orang yang
menyampaikannya. Perpisahan kami dengan Battle Creek akan membiarkan mereka sendiri
yang mereka melakukan kemauan mereka sendiri, yang mereka anggap lebih baik dari jalan
Tuhan. . . .
“Kalau saja anda (O.A. Olsen) telah berdiri pada posisi yang benar, niscaya keputusan
itu tidak akan diambil pada saat itu. Tuhan akan bekerja di Australia dengan cara lain, dan
Battle Creek akan mendapat pengaruh besar sebagai pusat pekerjaan. Di sana kita harus
berdiri bahu membahu, menciptakan suasana yang sehat untuk dirasakan di semua
Konferens. . . .
“Ketika kami berangkat banyak orang merasa lega, tetapi bukanlah demikian dengan
dirimu, dan Tuhan tidak merasa senang, karena Ia telah menetapkan kita untuk berada ‘pada
roda mesin yang bergerak di Battle Creek.’ “[16]
Baik Olsen maupun putra Ellen White sendiri, Will, telah menyetujui rencana para
anggota Komite Daerah bahwa Ellen White harus pergi ke Australia. Mereka tahu bahwa hal
itu akan menjadi berkat bagi perkembangan pekerjaan di Australia, sebagaimana
kunjungannya ke Eropa telah menjadi suatu motivator bagi pekerjaan di sana. Rupanya
sabagian dari anggota komite itu ingin membebaskan Amerika dari pengaruhnya. Dengan
kepergiannya maka pengaruh dari putranya, Will, juga akan tersingkir. Jelas bahwa orang-
orang yang telah menganjurkan dan mendukung rencana tersebut beranggapan bahwa
dengan menyingkirkan keluarga White dari Battle Creek dan dari Amerika, mereka dapat
mencegah arus pekabaran 1888 yang sedang meluap.
Gelora terhadap Allah dan penerimaan pekabaran 1888, yang dinyatakan dalam
seminar-seminar Alkitab dan yang mencapai puncaknya pada Rapat General Conference
1891, telah diikuti dengan pertobatan dan pengakuan oleh banyak orang yang sudah menolak
pekabaran 1888. Pada awal Januari 1891, Uriah Smith yang sudah menjadi “batu sandungan
bagi banyak orang,”[17] mengakui bahwa dia telah mengambil pendirian yang salah di
Minneapolis. George Butler dalam sebuah majalah Review pada tahun 1893 mengaku telah
mengubah sikapnya terhadap pekabaran 1888 maupun terhadap semua petunjuk yang
diberikan Tuhan kepada hamba-hamba-Nya.[18] Dia kembali mengemban tugasnya setelah
kematian istrinya yang lumpuh pada tahun 1901. Hal ini sangat membahagiakan Ellen
White.[19]
Rujukan

44
1. E.G. White, Manuscript 9, 1888 dalam buku Olson, Thirteen Crisis Years, hlm. 301.
2. E.G. White, dalam Review and Herald, 5 Maret 1889.
3. Idem, 23 Juli 1889.
4. Idem, 13 Agustus 1889.
5. Idem, 3 September 1889.
6. S.H. Lane, dalam Review and Herald, 10 September 1889, dikutip dalam buku Olson, hlm.
67.
7. E.G. White, dalam Review and Herald, 13 Agustus 1889, dalam buku Olson, hlm. 61, 62.
8. E.G. White, dalam Review and Herald, 18 Maret 1890, dalam buku A.G. Daniells, Christ Our
Righteousness, (Washington, D.C: Ministerial Ass’n of SDAs, 1941) hlm. 51.
9. E.G. White, Manuscript 10, 1889, dalam buku Olson, hlm. 67, 68.
10. Buku Olson, hlm. 71-80.
11. E.G. White, surat no. 30, 1890, dalam buku Olson, hlm. 75, 76.
12. E.G. White, dalam Review and Herald, 26 Agustus 1890.
13. E.G. White, surat no. 3, 1891, dalam buku Olson, hlm. 82, 83.
14. Review and Herald, 31 Maret 1891, dalam buku Olson, hlm. 84.
15. Arthur L. White, Ellen G. White, The Australian Years (Washington D.C: Review and Herald
Publ Ass’n, 1983), hlm. 14-16.
16. E.G. White, surat no. 127, 1896, dalam buku A.L. White, hlm. 258.
17. Olson, hlm. 97-103.
18. G.I. Butler, dalam Review and Herald, 14 Juni 1891, dalam buku Olson, hlm. 91-93.
19. Ellen G. White, surat no. 77, 1902, dalam buku Olson, hlm. 94.

45
BAB 10

PEKABARAN 1888 TERGUNCANG

Pengakuan Uriah Smith terhadap pekabaran tahun 1888 tidak dengan segenap hati
dan lengkap. Pengakuannya goyah. Penulis otobiografinya. Eugene Durand, mengatakan
bahwa sekalipun Smith menyesali dan mengakui sikapnya yang salah dan mengambil posisi
yang bertentangan dengan rapat besar di Minneapolis itu, dia sebenarnya masih “tetap dalam
opini yang sama.”[1]
Tidak mampunya Smith untuk bergabung sepenuhnya dalam Kristus kebenaran kita
itulah yang sangat menyusahkan hati Ellen White. Pada bulan September 1892 dia menulis
surat kepadanya dari Australia.
“Anda tidak dapat membayangkan sebagaimana penderitaan saya sementara beberapa
di antara saudara-saudara kita mengambil sikap yang saya tahu itu tidak menyenangkan hati
Allah.
“Roh serupa yang dinyatakan di masa lalu menyatakan diri dalam setiap kesempatan,
tetapi ini tidak berasal dari dorongan hati Roh Allah.
“Anda sudah kehilangan satu pengalaman yang penuh kuasa dan kekayaan karena
telah menolak segudang kebenaran indah yang telah disodorkan kepadamu, dan ini masih
terhitung sebagai kerugianmu. Anda tidak berada di tempat yang dikehendaki Allah.
“Banyak pemikiran yang kacau tentang kebenaran Kristus dan pembenaran oleh iman
sebagai akibat dari pendirian anda terhadap pekabaran yang diberikan Allah.
Pembenaran oleh iman dan kebenaran Kristus adalah tema yang harus dihadapkan
kepada dunia yang sedang binasa ini. Dalam hal ini anda boleh membuka hati kepada Yesus!
Suara Yesus, pembagi harta surga yang agung itu, sedang memanggil anda.”[2]
Kebimbangan Smith telah menyebabkan pekabaran 1888 kehilangan baik
momentumnya maupun dampaknya.
Pengakuan Butler dan Smith lalu disusul dengan pengakuan orang-orang lain. Karena
itu Ellen White yang sedang berada di Australia itu bergembira.

Tetapi bersamaan dengan semua pengakuan pribadi terhadap pekabaran 1888 ini,
perlawanan yang hampir tidak masuk akal sekarang timbul untuk menentangnya. Namun ini
jelas dipahami oleh juru kabar Allah itu.
Dalam majalah Review terbitan tahun 1892 Ellen White mengungkapkan isi hatinya
terhadap penolakan pekabaran 1888 itu dengan kata-kata ini:
“Ada kesedihan di surga terhadap kebutaan rohani dari banyak saudara-saudara kita. .
. . Tuhan telah mengangkat jurukabar-jurukabar setelah membekali mereka dengan Roh-Nya.

46
. . . Janganlah seorang pun menanggung resiko akibat menempatkan diri di antara jemaat
dengan pekabaran surga. Pekabaran Allah harus diturunkan kepada umat: dan jika manusia
tidak lagi menyuarakannya maka batu pun akan berbicara. Saya mengimbau setiap pendeta
agar mencari Allah, menolak kesombongan, perselisihan dan keunggulan, lalu merendahkan
hati dihadapan Allah. Apa yang membuat jemaat lemah adalah kekakuan hati,
ketidakpercayaan mereka yang seharusnya beriman.”[3]
Pada tahun 1894, Ellen White berbicara tentang gereja secara keseluruhan dengan kata-
kata ini: “Pekabaran kepada jemaat Laodikia ditujukan kepada kita sebagai satu umat,
pekabaran itu telah diberikan kepada kita sejak lama, tetapi tidak diperhatikan sebagaimana
mestinya. Bilamana upaya pertobatan itu sungguh-sungguh dan mendalam, para anggota
jemaat akan membeli harta surgawi.”[4]
Alasan utama yang menghambat keadaan rohani yang tak diingini di dalam gereja ialah
pengaruh dari beberapa pimpinan yang kuat di Battle Creek yang tidak menerima pekabaran
1888 itu. Di antara mereka terdapat Harmon Lindsay, Bendahara General Conference, dan
A.R. Henry, Pimpinan Percetakan Review and Herald Publishing Association.
O.A. Olsen adalah seorang rohaniwan yang baik hati dengan motivasi murni dan suatu
keinginan untuk melayani Allah. Dia sudah menerima sepenuhnya pekabaran 1888 itu dan
menghargai nasihat Ellen White. Tetapi dia tidak memiliki pertahanan pribadi untuk
menerapkan nasihat tersebut, karena memang dia dikerubungi dengan pendapat dari rekan-
rekan sekerja yang bertentangan. Ternyata dia lebih tertarik untuk mempertahankan
kekompakan di antara orang-orang percaya daripada mengikuti petunjuk Tuhan melalui
pesuruh-Nya yang khusus. Kutipan berikut dari surat Ellen White kepada A. O. Talt tertanggal
27 Agustus 1896 menggambarkan kelemahan Olsen. Dia menulis sebagai berikut:
“Saya sangat sesalkan saudara Olsen. Saya sudah banyak menulis kepadanya mengenai
situasi ini. Dia telah membalas surat-surat saya itu dengan ucapan terimakasih, tetapi tidak
menuruti terang yang diberikan dalam hal ini. Keadaanya diliputi kerahasiaan. Sementara
berpergian dari satu tempat ke tempat yang lain, dia telah menyatukan diri dengan orang-
orang yang roh dan pengaruhnya harus disucikan, dan orang-orang yang menaruh
kepercayaan kepada mereka itu akan tersesat. Namun, sekalipun terang mengenai hal ini
sudah bertahun-tahun ditaruh Tuhan di depannya, dia bertindak bertentangan langsung
dengan terang yang diberikan Tuhan kepadanya itu. Semua ini membingungkan pandangan
kerohaniannya, dan menempatkan dirinya dalam kaitan dengan kepentingan umum dengan
kemajuan yang sehat dari pekerjaan sebagai penjaga yang tidak setia. Dia menuruti satu arus
yang mengganggu pemahaman rohaninya, dan dia sedang menuntun pikiran orang-orang
lain untuk melihat hal itu dalam terang yang keliru. Dia telah memberikan bukti yang tidak
bisa salah bahwa dia tidak menghargai kesaksian-kesaksian yang dianggap Tuhan cocok untuk
memberikan kepada umat-Nya penghargaan yang layak ataupun takaran yang cukup untuk
mempengaruhi tindakannya.

“Kekecewaan saya lebih dari apa yang bisa digoreskan dengan pena. Tak pelak lagi,
Pendeta Olsen telah bertindak seperti Harun dalam kaitan dengan orang-orang ini yang
melawan pekerjaan Allah sejak Rapat GC di Minneapolis. Mereka tidak menyesali tindakan

47
mereka dalam hal penolakan akan terang dan kenyataan. Pernah saya menulis surat kepada
A.R. Henry, tetapi dia tidak menganggapinya sama sekali. Baru-baru ini saya menulis kepada
Harmon Lindsay dan istrinya, tetapi saya menilai dia tidak cukup menghormati hal itu
sehingga tidak menjawabnya.
“Dari terang yang telah Allah berkenan berikan kepada saya, sampai ladang setempat
menunjukkan denyut yang lebih sehat, lebih sedikit perjalanan jauh Pendeta Olson adakan
bersama para pembantu pilihannya, yakni A.R. Henry dan Harmon Lindsay, lebih baiklah bagi
pekerjaan Allah. Ladang-ladang di tempat yang jauh lebih baik tanpa kunjungan-kunjungan
ini. Bibit penyakit pada jantung pekerjaan itu akan meracuni darah, dan dengan demikian
penyakit itu akan menular kepada tubuh yang mereka datangi itu. Namun, sekalipun keadaan
di daerah setempat sakit-sakitan, sebagian orang telah merasakan suatu beban yang berat
untuk menempatkan seluruh badan-badan yang percaya itu di bawah naungan sayap mereka.
...

“Banyak orang yang telah bertindak sebagai penasihat dalam rapat-rapat dan komite-
komite, perlu disingkirkan. Orang lain yang harus menggantikan mereka; karena suara
mereka itu bukanlah suara Allah. . . . Orang-orang ini tidak lagi disebut Israel, melainkan
para penggantinya. Sudah begitu lama mereka memanfaatkan diri sendiri, bukan
dimanfaatkan oleh Roh Kudus, sehingga mereka tidak tahu roh apakah yang mendorong
mereka untuk bertindak. . . !
“Kebutaan rohani yang menguasai pikiran manusia tampaknya semakin penat. Ada
orang-orang yang mengurusi perkara-perkara suci namun tidak bertobat. Semua orang
yang seperti ini seharusnya digantikan oleh orang-orang yang tidak saja mengenal
kebenaran, tetapi juga melakukannya. . . . Akan jauh lebih baik kalau menggantikan
anggota-anggota dewan dan komite daripada mempertahankan mereka sampai bertahun-
tahun lamanya, sehingga mereka menganggap bahwa rencana mereka harus diterima
tanpa pamrih, dan biasanya tidak ada suara yang berlawanan arah.”[5]
Begitulah keadaan kerohanian di antara orang-orang percaya di Amerika pada tahun
1896 itu tidaklah pantas. Dalam suatu pekabaran yang ditulis dari Cooranbong Australia
kepada para pendeta, Ellen White menyatakan keprihatinannya dengan kata-kata ini:
“Sekiranya orang-orang itu tidak melawan Roh Kudus – roh yang sudah lama
mengkhamirkan pengalaman rohani mereka – maka Roh Allah akan menyatakan Diri-Nya di
dalam hati mereka. Roh itu akan mengungkapkan dosa. . . . Ah, sekiranya saya mendapat
berita yang menggembirakan tentang kamauan dan pikiran mereka di Battle Creek itu, yang
berdiri dan mengaku sebagai pimpinan. Sekiranya mereka berpaling dari pengajaran dan
perhambaan setan, di mana mereka yang ditawan begitu lama, saya akan rela menyeberangi
samudera Pasifik yang sangat luas itu untuk memandang wajah-wajah kalian sekali lagi. Tetapi
saya tidak bersemangat untuk bertemu kalian dengan persepsi kalian yang lemah dan pikiran
yang kelabu karena kalian telah memilih kegelapan gantinya terang.”[6]

Percikan kebangunan rohani terlihat di South Lancaster, Massachusetts dalam bulan


Januari 1889 dan pada acara-acara perkemahan di tahun yang sama, berkembang dalam
seminar-seminar kependetaan dan menjadi nyala api yang terang dalam Rapat General

48
Conference tahun 1891. Tetapi nyala api itu memudar dan padam tanpa membakar semangat
jemaat dengan pekabaran oleh iman dan Kristus sebagai kebenaran kita. Ini terjadi sekalipun
hamba Tuhan dengan pasti menyebutkan bahwa “Pembenaran Oleh Iman dan Kebenaran
Kristus adalah dua tema yang harus dihadapkan kepada dunia yang sedang binasa.”[7]
Pada tahun 1889, kebenaran gereja sudah memuakkan bagi Juruselamat kita. Ellen
White menulis: “Ada seekor lalat mati di obat pelumas mata. . . . Kebenaranmu sendiri itu
memuakkan bagi Tuhan Yesus Kristus. (Dikutip dari Wahyu 3:15-18). Kata-kata ini ditujukan
kepada seluruh jemaat dan kepada banyak dari mereka yang memegang posisi terpercaya
dalam pekerjaan Tuhan.”[8]
Tetapi pada Rapat General Conference tahun 1901 muncul gejala suasana rohani yang
lebih sehat di dalam gereja. Ketika perkumpulan gereja diadakan pada Selasa pagi tanggal 2
April, semua bersyukur karena jurukabar Tuhan yang khusus hadir setelah 10 tahun absen.
Sikap terhadap Ellen White dan nasihat-nasihatnya sama sekali berubah dari yang nampak
pada rapat tahun 1888.[9] Saat itu nasihatnya – lebih tepat, imbauannya – telah dilecehkan
dan ditolak nyaris secara terbuka. Hal sangat tidak menyenangkan di kalangan para
pemimpin yang berpengaruh terhadap dirinya dan pekabarannya yang telah melahirkan
rencana sehingga dia pergi ke Australia pada tahun 1891.
Pada rapat tahun 1901 itu nasihatnya dicari dan didengarkan. Ellen White sendiri
melihat adanya persatuan yang mewarnai rapat ini. Dia mengamati, “Nampaknya dalam rapat
ini ada suatu usaha untuk bersatu.” Perasaan dari semua yang hadir digambarkan oleh A. G.
Daniells ketika dia mengatakan bahwa semua merasa bahwa satu-satunya keselamatan
mereka tergantung “dalam penurutan, dalam mengikuti Pemimpin Agung kita,” yang
rencana-rencana-Nya sering diungkapkan kepada para peserta kenferensi melalui Ellen
White.[10]
Arthur White dalam bukunya mengenai riwayat hidup Ellen White mencatat bahwa
pada rapat tahun 1901 ini petunjuk surga melalui Ellen White siap diterima. Contoh yang
menonjol adalah keterbukaan R. S. Donnel terhadap kesaksiannya yang menyangkut
kefanatikan daging kudus yang telah merusak jemaat di Indiana.[11]
General Conference Bulletin terbitan 18 April menyebut Rapat General Conference 1901
itu sebagai “Rapat kita yang Terbaik,” dengan menyatakan bahwa “Tuhan telah berbicara
melalui Sister White untuk membetulkan cara pengaturan yang salah, dan menempelak teori-
teori yang mengacaukan. Mereka yang bersangkutan menanggapinya dengan mengakui
bahwa suara itu datangnya dari surga, dan berjanji akan hidup sesuai itu.”[12] Ellen White
sendiri menyebut kemajuan dari rapat itu dengan mengatakan bahwa “Allah di surga bersama
para malaikat-Nya” berada di tengah-tengah mereka dan bahwa “malaikat-malaikat Allah
sedang bekerja di antara kami.”[13]
Tetapi setahun kemudian Ellen White menulis sebuah artikel di majalah Review dengan
judul “Pentingnya Suatu Kebangunan dan Pembaruan.” Dalam tulisan itu dia menyatakan
bahwa pada umumnya kerohanian perorangan begitu rendah mutunya di dalam gereja. Dia
menegaskan, “Kecuali terjadi pertobatan, tidak lama lagi akan timbul kekurangsalehan
sehingga gereja akan dilambangkan dengan pohon ara yang tidak berubah. Di hati banyak

49
orang jarang terdapat nafas hidup kerohanian. Allah mengharapkan suatu kebangunan rohani
dan pembaruan rohani.”[14] Gereja menerima amaran yang menenangkan ini 14 tahun
setelah rapat di Minneapolis.
Dua tahun kemudian di majalah Review dia menulis dengan nada yang sama. “Dalam
20 tahun terakhir ini ada pengaruh yang tidak suci menuntun orang supaya melihat kepada
manusia, mengikatkan diri dengan manusia supaya mengabaikan Sahabat surgawi mereka.
Banyak yang sudah menjauh dari Kristus. Mereka gagal menghargai Seseorang yang telah
menyatakan: ‘Lihatlah, Aku akan menyertai kamu sampai ujung bumi.’ “[15]
Pada awal abad kedua puluh pengalaman rohani gereja tidak begitu baik. Gereja telah
menolak pekabaran 1888 di Minneapolis, dan selanjutnya menghalangi penerimaan dan
kebangunan rohani, sebagaimana diamati dengan tepat oleh seorang sejarawan gereja.[16]
Seolah-olah dari tahun 1902 hingga 1904 gereja berada dalam bahaya untuk tergelincir
kembali kepada keadaannya serupa yang pernah terjadi sebelum rapat di Minneapolis.

Rujukan
1. Durand, Yours in the Blessed Hope, hlm. 260-263.
2. E.G. White, surat no. 24, 1892, dalam buku Olson, hlm. 105, 106.
3. E.G. White, dalam majalah Review, 26 Juli 1892, dikutip dalam buku karangan Daniells,
hlm. 52.
4. Komentar Ellen G. White, The SDA Bible Commentary, jld. 7, hlm. 961.
5. E.G. White, surat no. 100, 1896.
6. E.G. White, Testimonies to Ministers, hlm. 393-396.
7. Komentar Ellen G. White, The SDA Bible Commentary, jld. 7, hlm. 964.
8. Idem, hlm. 962, 963.
9. Arthur L. White, Ellen G. White: The Early Elsmhaven Years (Washington, D.C.: Review and
Herald Publ. Ass’n, 1981), hlm. 73, 74.
10. Idem, hlm. 89-91.
11. Idem, hlm. 100-107.
12. General Conference Bulletin, 1901, hlm. 395.
13. E.G. White dalam General Conference Bulletin, 1901, hlm. 463.
14. E.G. White, Review and Herald, 25 Febr. 1902.
15. Idem, 18 Febr. 1904, dikutip dalam buku Daniells, hlm. 87.
16. Schwarz, Light Bearers to the Remnant, hlm. 189-195.

50
BAB 11

A.G. DANIELLS MENYAYANGKAN NASIB PEKABARAN TAHUN 1888

Pada saat berlangsungnya Rapat Besar General Conference di Minneapolis itu, A.G.
Daniells yang berusia 30 tahun menjadi seorang pelopor Misionaris Masehi Advent Hari
Ketujuh di Selandia Baru. Ellen White tiba di Australia dalam bulan Desember 1891, dan
Daniells selaku Ketua Konferens Australia, yang kemudian menjadi Konferens Uni Australia,
sudah sering berkomunikasi dengannya. Mereka berdua kembali ke Amerika pada tahun
1900. Tahun 1901 Daniells terpilih menjadi Ketua General Conference. Sejak waktu itu sampai
dengan kematian Ellen White di tahun 1915, Daniells percaya kepada nasihatnya dan sering
kali memanfaatkan hikmatnya yang diilhami surga itu.
Daniells tidak memilih untuk mengikuti nasehat Ellen White oleh sebab Ellen White
selalu setuju dengan dia ataupun menyukai dia. Jauh dari itu. Sering Ellen White bersikap
sangat tegas terhadapnya. Tetapi Daniells senantiasa melihat maksud baiknya dalam
menolong dia, dan dia mendengarkan nasihatnya.
Dalam sepucuk surat kepada seorang ketua konferens yang masa jabatannya sudah
berakhir, Daniells menulis tentang pertolongan yang diberikan Ellen White.
“Kadang-kadang pertolongan diberikan dalam bentuk teguran pedas dari Sister White.
Memang secara alamiah hal ini tidak menyenangkan hati. Saya bisa pastikan, hal itu menyayat
hati. Tidak selamanya saya dapat mengerti semua yang dikatakannya, begitu juga dengan cara
dia menyampaikannya. Tetapi saya tidak berani menolak nasihat itu; dan sementara saya
mempelajari dan mendoakannya serta menyerahkan hati saya sepenuhnya kepada Allah,
terang datang kepada pikiran saya dan semangat memenuhi hati saya, dan senantiasa ada
pertolongan baru bagi tugas-tugas saya.”[1]
Dalam sebuah surat kepada W.C. White, Daniells mengungkapkan sebuah pengalaman
yang dialaminya di tengah-tengah hari-hari yang sulit di tahun 1902.
“Saya begitu terkesan sehingga saya harus setia kepada Roh Nubuat bagaikan jarum
kompas yang mengarah ke kutub; sehingga saya harus melakukan bagian sebagai seorang
manusia yang berdiri di samping hamba Allah untuk menopang tangannya, dan menuntun
umat ini supaya mengakui dan menghargai karunia yang besar ini.
Saya benar-benar dipenuhi dengan pemikiran ini sehingga rasanya menjadi lemas.
Karena saya dipenuhi dengan rasa tanggung jawab yang berat, maka dengan segenap hati
saya berjanji kepada Tuhan bahwa akan tetap setia kepada pekerjaan ini, dan mengerahkan
segala kemampuan saya untuk mencegah apa pun yang akan timbul di dalam gereja ini yang
memudarkan kemuliaan dari karunia ini, dan akan hamba Tuhan yang telah menggunakan
karunia ini selama bertahun-tahun.”[2]
Daniells sudah bertekad akan mengikuti nasihat Tuhan melalui jurukabar-Nya yang
khusus kepada gereja-Nya. Dia bermaksud untuk memadukan pemikir dan tindakan dengan
Roh Nubuat. Dalam sepucuk surat kepada P. T. Magan dan E. A. Sutherland di tahun 1904,
Ellen White sendiri menyaksikan begini:

51
“ Pendeta Daniells adalah seorang yang telah membukitkan kebenaran dari kesaksian-
kesaksian itu, dan dia terbukti setia kepada kesaksian-kesaksian tersebut. Bilamana dia
menemukan dirinya berbeda dengan kesaksian-kesaksian itu, dia rela mengakui kesalahannya
dan menerima terang. Sekiranya semua yang lain berlaku demikian, maka tidak akan didapati
keadaan yang sama sekarang ini. Tuhan telah menempelak Pendeta Daniells bilamana dia
bersalah, dan dia telah menunjukkan pendiriannya di pihak kebenaran dan kekudusan, lalu
membetulkan semua kesalahannya.”[3]
Mengingat akan kesetiaan yang dipilih Daniells terhadap pemikiran Ellen White yang
dituntun Roh itu, timbullah pertanyaan-pertanyaan ini:
Kalau Daniells sudah yakin bahwa Ellen White percaya bahwa mayoritas anggota
Masehi Advent Hari Ketujuh telah menerima pekabaran 1888 sebagai sesuatu pengalaman
pribadi sebelum meninggalnya Ellen White di tahun 1915, akankah dia menulis seperti yang
dibuatnya dalam bukunya berjudul Christ Our Righteousness (Kristus Kebenaran Kita)? Atau
mungkinkah bahwa Daniells memantulkan nada perasaan Ellen White sebelum
meninggalnya?
Kutipan-kutipan berikut memantulkan pemikiran Daniells sehubungan dengan
pekabaran 1888:
“Firman Allah dengan jelas menggambarkan jalan pembenaran Oleh Iman. Tulisan Roh
Nubuat sangat menguatkan dan menjelaskan hal itu. Karena kebutaan hati kita maka kita
telah mengembara jauh dari jalan itu, dan selama bertahun-tahun gagal menerapkan
kebenaran yang hakiki ini. Tetapi sementara itu pemimpin Agung kita mengimbau umat-Nya
supaya masuk ke dalam barisan Injil yang sangat mendasar ini – menerima oleh iman akan
kebenaran Kristus yang dihisabkan untuk menutupi dosa-dosa masa yang silam, dan
menerima kebenaran Kristus yang disalutkan demi menyatakan keadaan Ilahi di dalam daging
manusia.”[4]
“Alangkah menyedihkan, betapa memprihatinkan, bahwa pada saat datangnya
pekabaran tentang pembenaran di dalam Kristus ini, telah berhadapan dengan penolakan
dari pihak orang-orang yang paling tekun dan berarti di dalam pekerjaan Allah! Pekabaran ini
tidak pernah diterima, atau dikumandangkan, maupun diberikan dengan cuma-cuma
sebagaimana harusnya supaya melimpahkan kepada gereja berkat-berkat tak terkira yang
terselubung di dalamnya.”[5]
“Perbedaan dan pertentangan yang timbul di kalangan para pemimpin karena
penolakan terhadap pekabaran pembenaran di dalam Kristus ini telah mengakibatkan suatu
reaksi yang sangat tidak menyenangkan. Kedudukan dan tugas orang-orang menjadi kacau,
dan tidak tahu harus berbuat apa.”[6]
Daniells percaya bahwa banyak di antara orang-orang yang sudah mendengar
pekabaran 1888 tentang Pembenaran Oleh Iman “mendambakan satu pengharapan yang
indah, bahwa pada suatu saat pekabaran ini akan memperoleh penghargaan yang besar di
antara kita, dan itu akan melaksanakan pekerjaan yang membersihkan dan memperbarui
dalam gereja yang mereka percaya bahwa itu telah dikirim oleh Tuhan untuk
dilaksanakan.”[7] Dia yakin bahwa pengajaran-pengajaran ini lambat atau cepat akan
“dipahami, diterima, dan diberi tempat yang pantas.”[8]
Lebih jauh Daniells berkomentar: “Amaran penting yang dikirim melalui Roh Nubuat perihal
sejumlah besar anggota Masehi Advent Hari Ketujuh yang telah kehilangan pandangan akan

52
‘Doktrin Pembenaran Oleh Iman’ telah ditulis dalam tahun 1889. Perubahan waktu apa yang
telah dibuat menurut ukuran anggota-anggota kita yang pada saat itu tidak berpaut atau
mengerti kebenaran yang indah ini, tak seorang pun mau berusaha mengatakannya; namun
kita tahu bahwa setiap orang percaya akan pekabaran malaikat yang ketiga pada saat ini pasti
memiliki konsep yang jelas tentang Doktrin Pembenaran Oleh Iman dan suatu pengalaman
yang kuat dalam catatan yang besar.”[9] Dia prihatin “bahwa banyak yang telah hilang bagi
pekerjaan Allah karena gagal memperoleh pengalaman yang hidup dari kuasa Ilahi – yakni,
Pembenaran Oleh Iman.”[10]
Pada saat diterbitkannya buku Christ Our Righteousness di tahun 1926, Daniells percaya
bahwa Gereja Advent masih mendambakan pengalaman yang Allah ingin perkenalkan di
Minneapolis, tetapi telah dihalangi dengan perlawanan yang keras. Daniells dengan sedih
menulis:
“Pekabaran itu tidak pernah diterima ataupun dikumandangkan maupun diberikan
jalan yang lancar sebagaimana harusnya supaya memberikan kepada gereja berkat-berkat
yang tak terkira yang terselubung di dalamnya.”[11]
LeRoy Froom menyaksikan bahwa Daniells, penasihat rohani Froom menyimpan
kesedihan ini bahkan pada saat-saat hendak menutup ajalnya.[12]

Rujukan
1. Arhtur L. White, Ellen G. White: The Early Elmshaven Years (Washington, D.C.: Review and
Herald Publ. Ass’n, 1981), hlm.
2. A.G. Daniells, dalam buku W.C. White (Mountain View, Calif.: Pacific Press Publ. Ass’n,
1978), hlm.
3. E.G. White, surat no. 255, 1904 etc.
4. Dniells, Christ Our Righteousness, hlm.
5. Idem, hlm. 47.
6. Idem, hlm. 54.
7. Idem, hlm. 28.
8. Idem, hlm. 26.
9. Idem, hlm. 88.
10. Idem, hlm. 89.
11. Idem, hlm. 47.
12. Froom. Movement of Destiny, hlm. 494, 495.

53
BAB 12

TANGGUNG JAWAB KITA SEKARANG INI

Dosa dan kesalahan – sebagaimana juga hubungan dengan Allah – lebih bersifat pribadi
ketimbang kelompok. Itulah sebabnya Gereja Advent tidak melakukan dosa kelompok dan
terlibat dalam kesalahan kelompok pada Rapat Besar General Conference di Minneapolis
tahun 1888. Namun banyak pribadi yang tidak menerima – bahkan sebenarnya mereka
menolak mentah-mentah – pekabaran Pembenaran Oleh Iman.
Tetapi meskipun tidak adanya dosa dan kesalahan kelompok, bukankah tetap ada yang
harus dilakukan oleh gereja sehubungan dengan sikapnya yang suram pada rapat Minneapolis
pada tahun 1888? Ya. Sebagai anggota Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh sekarang ini, kita
bertanggung jawab karena terus salah menggambarkan Rapat Besar General Conference
1888 dan kelanjutannya.
Sejarah membentuk baik bangsa maupun rakyatnya. Dikatakan bahwa tidak menjadi
soal siapa penulis undang-undang negara, yang paling penting adalah siapa yang menulis
sejarahnya. Sejarah suatu bangsa sangat banyak membentuk dan membangun falsafah,
pengalaman dan perkembangan generasi-generasi yang akan datang. Undang-undang suatu
bangsa maupun penafsiran konstitusinya hanyalah pantulan dari pemikiran dan falsafah
bersama. Begitu juga, ‘sejarah dari sebuah pergerakan atau sebuah gereja membangun dan
membentuknya.’
Kalau kita tidak secara benar menyajikan sejarah dari Rapat General Conference 1888
dan akibatnya, maka kita sebagai satu organisasi gereja (denominasi) melestarikan dosa
yang dilakukan pada rapat di Minneapolis tahun 1888 itu. Dengan berbuat demikian, kita
bergabung dengan nenek moyang rohani kita dan benar-benar menyalibkan Kristus dalam
bentuk Roh Kudus. Jika kita mengira bahwa kemungkinan penolakan mula-mula oleh
“beberapa orang”, belakangan berubah menjadi penerimaan yang bersifat umum dan
bersemangat terhadap pekabaran mulia Pembenaran Oleh Iman oleh gereja pada umumnya,
maka tidak diasingkan lagi bahwa kita pun memberi warna yang suram terhadap gambaran
tentang gereja kita – yaitu jemaat Laodikia.
“Dorongan hati untuk menutupi fakta-fakta kelabu berasal dari kebutuhan untuk
memelihara integritas diri. . . . Lebih muda mengikuti persetujuan yang diam-diam dan
membungkam fakta-fakta yang tidak menyenangkan serta membuatnya sulit untuk
mengacaukan keadaan. Tetapi masyarakat dapat tenggelam oleh karena beratnya kejelekan
yang dikubur. . . . Kebenaran-kebenaran harus dinyatakan kalau kita mau mencari
penyelesaian.”[1]
Menyenangkan untuk mencatat bahwa sejarahwan-sejarahwan Advent belum lama ini
menyatakan bahwa rapat Minneapolis menolak pekabaran Kristus dan kebenaran-Nya, yang
diikuti dengan pembaruan yang goyah. Kita memuji Tuhan atas lahirnya hari keterusterangan
yang baru sehubungan rapat Minneapolis dan akibatnya. Damikian juga halnya dengan
penerbitan bahan-bahan Roh Nubuat yang menyinggung soal rapat di Minneapolis itu.

54
Sekarang setiap orang yang mau dapat membacanya, dan setidaknya menyimpulkan bagi diri
sendiri bagaimana rapat Minneapolis itu menerima pekabaran 1888.
Allah ingin supaya semua pengikut-Nya benar dan jujur. Hal ini terutama bagi mereka
yang mengaku memiliki “kebenaran” – yaitu pengertian Alkitabiah yang sebenarnya akan Injil.
Sebagai satu gereja kita memadukan kejujuran dalam perkataan dan perbuatan sesuai
dengan Hukum Kedelapan dan Kesembilan dari Sepuluh Hukum. Kita begitu tekun
mengajarkan dan memelihara kebenaran sehingga seorang anggota gereja kita bahkan bisa
dipecat karena “pelanggaran Hukum Allah, seperti . . . dusta sengaja dan kebiasaan.”[2]
Karena itu merupakan standar keanggotaan gereja, jelaslah bahwa gereja terdiri dari
anggota-anggota yang jujur, dan juga akan mengatakan yang benar tentang apa yang terjadi
di Minneapolis pada tahun 1888.
Allah tidak pernah menuntut agar setiap pengikut-Nya menjadi sangat cerdas, pintar,
bijaksana dan terampil. Ia tahu bahwa para pengikut-Nya berbeda-beda dan memiliki karunia-
Nya dengan kadar yang berbeda pula. Perumpamaan Yesus mengenai talenta menguatkan
hal ini. Tetapi sekalipun mereka mendapat karunia dengan cara yang berbeda, Ia
mengharapkan agar semua anak-anak-Nya menjadi setia. Kesetiaan kepada Yesus mencakup
kejujuran dan kebenaran. Inilah yang Tuhan kita sangat harapkan. Kejujuran dapat terdapat
pada semua tingkat kecerdasan.
Kita semua sudah digali dari suatu dunia yang tenggelam dan dusta dan penipuan.
Tetapi Allah kita bermaksud menyelamatkan kita dari kejahatan yang demikian, agar kita
dilayakkan untuk menjadi warga Kota Suci itu. Di dalamnya tidak terdapat “pendusta, tetapi
hanya mereka yang namanya tertulis dalam Kitab Kehidupan Anak Domba” (Why 21:27).
Begitu juga, dalam satu dunia di mana kepalsuan merajalela, di mana ketidakbenaran
dan segala macam kebohongan adalah hal yang biasa dalam perdagangan. Umat Allah
haruslah berbeda. Mereka harus jujur. Bukan hanya dalam perkataan, tetapi juga dalam
niat, karena tidak mungkin mengatakan kebenaran dengan lidah tetapi masih menipu.
Kepalsuan berisi suatu niat untuk menipu. ”Pandangan mata, gerakan tangan, suatu ekspresi
wajah” akan menelanjangi kepalsuan “sebagaimana dinyatakan dengan kata-kata.”[3]
Pria dan wanita yang berencana untuk berjalan pada jalan yang terbuat dari emas di
dalam Kota Suci Allah harus belajar di dunia ini untuk mencintai dan mengamalkan kejujuran.
Mereka akan memillih untuk mengucapkan kebenaran dari lubuk hati (Mzm 15:2).
Seorang sahabat saya menerima sebuah kartu ucapan selamat ulang tahun dari anak
laki-lakinya yang sudah dewasa. Pada kartu itu tercetak kata-kata pujian yang lazim. Sang ayah
sungguh menghargai apa yang ditambahkan anak itu. Dengan sedikit kata-kata dia
mengatakan kepada ayahnya bahwa dia benar-benar menghargainya karena pengaruh ayah
dalam kehidupan anak itu. Yang paling menggembirakan hati ayahnya ialah sebutan
sederhana ini:
“Ayah, tidak selamanya ayah benar atau melakukan yang benar, tetapi ayah selalu
melakukan apa yang ayah anggap benar dan terbaik dalam perlakuan terhadap kami anak-
anakmu, maupun terhadap orang lain.” Menurut perasaan sang ayah, kata-kata inilah yang
menjadi pujian tertinggi yang bisa diterima dari anaknya. Anak itu telah menyadari kejujuran
ayahnya. Dalam segala perlakuan ayah itu jujur dan bertindak berdasarkan motivasi yang
murni.

55
Allah sendiri lebih peduli dengan motivasi kita ketimbang perbuatan kita yang tidak
selamanya memantulkan maksud kita. Ia menghakimi setiap tindakan “oleh motif yang
menggerakkannya.”[4] “Yang penting bagi Allah bukanlah hasil besar yang kita peroleh,
tetapi motivasi yang mendasari tindakan itu.”[5]
Kejujuran, yang didorong oleh motif-motif yang murni, adalah kebajikan dasar.
Seseorang yang tidak jujur menunjukkan bahwa dia tidak mempunyai prinsip. George
Herbert, penulis berkebangsaan Inggris, pernah menulis begini: “Tunjukkanlah kepada saya
seorang pendusta, maka saya akan tunjukkan kepadamu seorang pencuri.” Menjadi orang
Kristen berarti dengan pertolongan Tuhan akan tetap jujur dan melakukan kebenaran
terhadap Allah dan sesama teman, karena Allah menghendaki “kebenaran dalam batin” (Mzm
51:8). Karena itu, para pengikut-Nya memilih “jalan kebenaran” (Mzm 119:30)
Sebaliknya, dusta dan kepalsuan bermula dari si pemberontak itu, yaitu “bapa segala
dusta” (Yoh 8:44).
Jadi, sebagai putra dan putri Allah dan pecinta kebenaran, tanggungjawab kita sekarang
ini adalah menceritakan yang benar tentang rapat Minneapolis tahun 1888 dan akibatnya.
Tidak ada artinya mengatakan bahwa semua baik-baik saja padahal bukanlah demikian
halnya. Selanjutnya, dengan terus-menerus menyembunyikan kebenaran tentang rapat di
Minneapolis itu, kita menjadi kaki-tangan para penolak pekabaran 1888 tentang pembenaran
oleh iman, sama seperti bangsa Yahudi pada zaman Yesus yang bertanggung jawab atas
dosa-dosa para leluhur mereka dengan melestarikan dosa-dosa ini.
Pernyataan kita yang salah tentang apa yang sebenarnya terjadi di Minneapolis pada
tahun 1888 dan pandangan gereja kita bahwa rapat Minneapolis tahun 1888 menandai suatu
kemenangan besar dalam sejarah kita tidak diragukan lagi telah membentuk pemikiran dan
konsep organisasi gereja kita. Hal itu telah membuat kita merasa nyaman dalam sikap
Laodikia kita, bahwa kita “kaya dan memperkayakan diri dan tidak kekurangan apa-apa,”
padahal yang sebenarnya menurut kesaksian Saksi yang setia dan benar itu kita “melarat dan
malang, miskin, buta dan telanjang” (Why 3:17).
Sekaranglah waktunya untuk mengatakan yang benar tentang 1888 sehingga kita
sanggup melaksanakan pekerjaan yang Allah harapkan umat-Nya lakukan. Dengan meratakan
jalan bagi Sang Raja – oleh setiap anggota dengan menjadi jujur secara pribadi – maka Ia, Raja
kebenaran, dapat menganugerahkan kita kuasa melalui Roh Kudus. Maka kita dapat menjadi
saksi-saksi-Nya untuk menolong mempercepat penyelesaian pekerjaan-Nya di dunia ini
supaya Yesus bisa datang menjemput calon pengantin-Nya.

Rujukan
1. Daniel Galeman, dalam tulisan Elaine Giddings, “The Other Truth” (Kebenaran yang lain),
Adventist Review, 13 Maret 1986.
2. Peraturan Gereja, (1986).
3. E.G. White, Para Nabi dan Bapa I, (Bandung: Indonesia Publishing House, 1976), hlm. 324.
4. Idem, Perumpamaan-perumpamaan Tuhan Yesus (Bandung: Indonesia Publishing House,
1976), hlm. 230.
5. Idem, Testimonies, jld. 2,, hlm. 510-511.

56
BAB 13

PENYESUAIAN KONTRA PERUBAHAN

Semua utusan yang menghadiri Rapat General Conference Minneapolis adalah para
anggota Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh yang terpercaya. Banyak di antara mereka adalah
pimpinan-pimpinan gereja yang dihormati. Mereka mengenal dan menerima pekabaran Allah
untuk zaman kita dengan suatu keyakinan tentang Pembenaran Oleh Iman dan
mempraktikkan cara hidup sebagai orang Advent.
Dalam perumpamaan Yesus tentang Anak yang Terhilang – yang sebenarnya lebih tepat
kalau disebut perumpamaan tentang Dua Anak Terhilang -- anak yang sulung menghidupkan
suatu kehidupan yang baik dan terhormat. Di tengah masyarakat dan gerejanya mungkin dia
dianggap sebagai teladan kebaikan yang sempurna. Dia tinggal di desa dan dengan setia
menolong ayahnya mengolah ladang dan mengerjakan tugasnya. Sebaliknya, adiknya yang
lebih muda terkenal sebagai pemboros. Dia telah lari dari rumah yang baik dan
menghamburkan harta warisannya bersama teman-temannya yang rendahan serta para
pelacur.
Saudara yang lebih tua ini telah melakukan apa yang benar. Dia kelihatan sebagai
seorang anak yang sempurna. Tetapi selain dari pengabdiannya kepada tugas dan standar
keluarga, dia pun sama dekatnya kepada hati dan pemikiran sang ayah seperti halnya adiknya
dulu. Adanya kekurangserasian dengan jiwa ayahnya tidak diketahui. Hal itu tidak didapati
sampai dia menolak untuk bergabung dalam pesta penyambutan adiknya yang sudah
berkelana itu, serta menolak undangan ayahnya dengan berkata, “Telah bertahun-tahun aku
melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa” (Luk. 15:29).
Ungkapan ini menyatakan bahwa selama dia melakukan kehendak bapanya, dia telah
merasa sebagai seorang budak dalam rumah bapanya. Dia sudah bekerja sama bukan atas
dasar cinta kepada orang tuanya dan bukan dengan persekutuan yang bahagia bersama
mereka, melainkan hanya karena dia merasa terpaksa melakukan demikian atas desakan
tugas.
Dalam suratnya kepada jemaat di Galatia dan Roma, Paulus menyampaikan
Pembenaran Oleh Iman dengan sangat jelas. Tetapi dia juga mengulang-ulangi soal
“Penurutan Hukum.” Pada saat ini yang dia maksudkan adalah menuruti kehendak Allah
sebagaimana dinyatakan dalam Hukum-Nya, ditaati bukan dengan pikiran yang berserah,
tetapi karena kuatnya desakan hukum itu.
Marthin Luther menulis tentang hal ini: “Sekarang pekerjaan manusia tidak dilakukan
dengan rela hati; itu bukanlah pekerjaan mereka, melainkan hasil paksaan dengan ancaman
hukum.” Demikianlah rasul itu menyatakan hal itu bukanlah pekerjaan mereka, melainkan
‘pekerjaan hukum,’ oleh sebab apa yang kita perbuat yang bertentangan dengan kemauan
kita itu bukanlah prestasi kita, tetapi adalah hasil dari kekuatan yang mendesak.
“Demikian pula, kata-kata hukum itu tidak mengubah seseorang menjadi benar, tidak
peduli bagaimana manusia melaksanakannya. Sebab sejauh menyangkut kemauan kita, kita
melakukannya semata-mata karena takut akan sangsi dari hukum itu. Kemauan sebenarnya

57
lebih suka berbuat yang sebaliknya, andai kata tidak dipaksa oleh hukum yang mendesak dan
menuntut.”[1]
Orang yang digambarkan dalam kutipan ini sungguh-sungguh melakukan apa yang
benar, sebagaimana yang telah dilakukan oleh sang kakak dalam perumpamaan itu. Dia
menaati hukum Allah. Pelaksanaanya mungkin tidak bercacat seperti pengemudi mobil yang
tetap menjaga batas kecepatan. Tetapi dia masih berbuat dosa karena sikapnya yang
melawan kehendak Allah. Dia sebenarnya seorang budak sama seperti sang kakak, seperti
juga pengemudi yang tetap menuruti peraturan lalu lintas dan tetap menjaga kecepatan
mobilnya. Motivasi penurutan mereka bersifat mementingkan diri. Mereka menurut hanya
supaya tidak mendapat hukuman, atau supaya mendapat penghargaan. Mereka menuruti
hukum itu secara harfiah seperti yang dikatakan Paulus.
Bahkan seorang anggota Advent bisa saja melaksanakan “perbuatan hukum itu” atau
menurut kehendak Allah sebagaimana dinyatakan dalam hukum-Nya, tetapi secara tidak
tulus dan enggan. Bertahun-tahun lalu ketika saya dan teman saya melangkah keluar gereja,
dia mengakui: “Sekiranya saya tidak tahu kalau hari yang ketujuh ini adalah hari Sabat Allah,
pasti saya tidak mau menyucikannya, karena sebenarnya saya tidak menyukainya.” Teman
saya itu adalah seorang budak hukum. Dia belum belajar mengenal Yesus dan Bapa-Nya
sebagai Sahabat dan menikmati hubungan khusus melalui Roh pada hari yang istimewa itu.
Dia mengamalkan cara hidup orang Advent, tetapi tidak menikmati persekutuan dengan
Allah.
Penurutan itu sendiri tidak akan melayakkan kita atau siapa pun untuk bersekutu
dengan Allah bersama dengan para malaikat yang kudus. Baik pelaku hukum yang “karena
terpaksa” maupun seorang legalis. Demikianlah si anak terhilang itu. Tidak ada usaha seorang
yang, sekalipun yang tidak bercacat, bisa mengusahakan keselamatan. Perlu lebih dari itu.
Satu-satunya pengharapan keselamatan orang berdosa tergantung pada kebenaran Kristus.
Ini adalah hasil persekutuan jiwa yang sungguh-sungguh dengan Allah. Persekutuan jiwa
dengan Allah yang demikian itu adalah hasil dari penyerahan hati dan pikiran kita kepada
Allah.
Ilham mengatakan, “Bila kita menyerahkan diri kita kepada Kristus, hati itu dipersatukan
dengan hati-Nya, kemauan dibenamkan dengan kehendak-Nya, pikiran menjadi satu dengan
pikiran-Nya, pemikiran ditaklukan kepada-Nya; kita menghidupkan kehidupan-Nya. Inilah
yang dimaksud dengan disalut dengan kebenaran-Nya.”[2] Inilah maksudnya persekutuan
hati dan jiwa. Dengan demikian Kristus menjadi kebenaran kita.
Yudas yang mengkhianati Yesus adalah seorang murid yang dipercaya. Murid-murid
yang lain tidak meragukan ketulusannya. Mereka menganggapnya sebagai seorang yang
terbaik diantara mereka. Bahkan sampai pada Perjamuan Terakhir, setelah Yesus
menudingnya sebagai pengkhianat dengan memberikan kepadanya roti yang sudah
dicelupkan (lihat Yoh 13:21-30), tidak ada yang menganggap dia bermuka dua.
Simon dari Betania (baca Luk 7:36-48) adalah seorang pengikut Kristus, salah seorang
dari segelintir kaum Farisi yang secara terang-terangan bergabung dengan Yesus. Yesus
adalah sahabtnya. Ia telah menyembuhkannya dari penyakit kusta, dan Simon berharap
bahwa Yesus adalah Mesias yang sudah lama dinanti-nantikan itu. Tetapi dia belum mengenal
Dia sebagai Penebusnya. Meski Simon adalah sahabat dan pengikut Yesus, dia masih asing
dalam kelahiran baru; dosanya tidak diampuni dan prinsip hidupnya belum berubah. Dia

58
masih tergolong orang berdosa, berada di luar persekutuan yang mengubahkan dari Roh
Kudus, Yesus dan Bapa. Walaupun dia sahabat dan pengikut Yesus, dia belum termasuk dalam
keluarga-Nya dan tidak mengambil bagian dalam sifat dan kebenaran-Nya.
Anak yang lebih tua dalam perumpamaan itu, Yudas dan Simon dari Betania, semuanya
adalah kaum konformis. Mereka kelihatan seperti padi, tetapi mereka sebenarnya adalah
padi-padian atau lalang di antara padi. Mereka tampak seperti pengikut Yesus, tetapi
kekurangan pertobatan dengan hidup baru di dalam diri. Seorang konformis bisa saja
kelihatan lebih baik dari orang lain – bahkan dari orang Kristen sekalipun – lebih baik dari
seseorang yang sudah bertobat. Simon kelihatannya lebih baik daripada Maria menurut
pandangan kebanyakan tamu di pestanya itu. Anak sulung itu tampak lebih baik ketimbang
anak yang terhilang. Mungkin saja kita menjadi anggota Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh
yang terhormat dan terpandang tanpa menjadi anak Allah.
Ellen White mengatakan bahkan banyak pendeta dalam rapat Minneapolis tahun
1888 itu yang tidak bertobat dan harus bertobat. Mereka semua setia kepada sistem doktrin
kebenaran yang diatur. Kesetiaan mereka tertuju kepada pekabaran. Kekristenan mereka
bersifat intelektual sesuai dengan pokok kebenaran-kebenaran abstrak yang indah, logis
dan berasal dari surga, ketimbang mempercayakan hidup mereka kepada Seseorang,
sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan. Keselamatan adalah persekutuan paling
erat dengan Yesus sebagaimana rapatnya hubungan pasangan dalam perkawinan.
Para penolak pekabaran pembenaran oleh iman di Minneapolis adalah orang-orang
jujur, dan banyak di antara mereka telah membaktikan diri demi penyebaran kebenaran
Alkitab yang mereka peluk dengan erat. Tetapi Kekristenan yang murni bukanlah semata-
mata pekabaran. Itu adalah satu Pribadi, dan pribadi itu ialah Yesus. Banyak yang hadir
dalam rapat Minneapolis itu yang tidak mengenal Dia, walaupun mereka mengumandangkan
hukum-Nya dengan penuh semangat. Dengan demikian khobath mereka kebanyakan
terpusat pada hukum. Mereka juga tidak mengenal Roh-Nya ketika Ia mencoba berbicara
kepada mereka di rapat Minneapolis.
Tidak diragukan lagi bahwa di dalam gereja – bahkan dalam penginjilan – ada
bahayanya kalau kita cenderung lebih banyak menekankan pada penerimaan dasar
kepercayaan alkitabiah atau penyesuaian dengan cara hidup Advent lebih dari menekankan
pada pertobatan. Hal ini menjadi jurang kejatuhan, karena penyesuaian dengan dasar
kepercayaan yang sudah diterima dan standar gereja itu lebih mudah dilihat dan dapat diukur
dengan pasti. Sebaliknya, pertobatan sering hanya dapat dipahami oleh Allah. Bagi
lingkungan jemaat orang-orang konformis kelihatannya baik, sedangkan bagi Allah
mereka masih seorang asing bagi kemurahan-Nya, dan masih tetap mati dalam
pelanggaran dan dosa.
Dasar kepercayaan yang benar dan cara hidup keduanya itu penting. Tetapi tidak satu
pun dari keduanya yang menentukan apakah orang beragama itu seorang Kristen yang benar-
benar menentukan apakah seorang yang saleh itu adalah orang Kristen yang fungsional atau
tidak. Inti dari Kekristenan sejati melampaui perilaku lahiriah. Perlu dipertimbangkan
motivasi dan sikap seseorang.
Bahkan banyak dari para utusan ke rapat Minneapolis 1888 itu adalah kaum konformis
terhadap sistem keyakinan atau cara hidup Advent. Mereka tidak mengenal Allah. Mereka

59
tampak mempraktikkan kehidupan umat Masehi Advent Hari Ketujuh, tetapi mereka belum
belajar mengenal Yesus sebagai Juruselamat mereka.
Sangat mengejutkan untuk menyadari bahwa adalah mungkin menjadi sahabat
Yesus seperti Yudas dan Simon dari Betania, dan menikmati pergaulan dengan Yesus dan
para pengikut-Nya, tetapi masih belum bersedia bagi kekekalan bersama Dia di dalam
kerajaan-Nya. Begitulah keadaan dari banyak pendeta dalam rapat di Minneapolis itu.

Rujukan
1. “Khotbah tentang Galatia 3:23-29.” Sermons of Marthin Luther (Grand Rapids: Baker Book
House, 1983), jld. 6, hlm. 968, 969.
2. E.G. White, Perumpamaan-perumpamaan Tuhan Yesus, hlm. 227.

60
BAB 14

TANTANGAN TAHUN 1888 BAGI KITA

Mungkin mudah bagi kita, setelah 100 tahun berlalu sejak 1888, untuk mempersalahkan
para pelopor rohani kita karena mereka telah gagal untuk menerima dengan kerelaan hati
akan pekabaran kebangunan jiwa, yaitu pekabaran tentang Kristus kebenaran kita yang
disampaikan kepada mereka oleh Waggoner dan Jones pada rapat di Minneapolis. Para
penentang pekabaran itu berdalih bahwa Waggoner dan Jones tidak menyajikan sesuatu yang
baru. Secara teknis mereka benar untuk mengatakan bahwa sebagai anggota Masehi Advent
Hari Ketujuh mereka sudah terbiasa dengan hal itu, dan mereka telah memiliki kebenaran
Kristus melalui anugerah-Nya. Banyak pula yang telah mengajarkan pekabaran keselamatan
ini kepada orang-orang lain.
Secara teori, setiap anggota Masehi Advent Hari Ketujuh sejak mulanya sudah
menerima dan meyakini keselamatan oleh anugerah melalui iman akan Yesus Kristus. Sebagai
umat Kristen penginjil, orang-orang Advent di tahun 1888 itu tidak lagi menemui kesulitaan
untuk menganut kebenaran dasar keselamatan ini ketimbang kita sekarang. Seperti mereka,
kita juga menerimanya dengan segenap hati, setidaknya dalam teori.
Kesulitannya tidak terletak pada pemahaman intelektual dan penerimaan akan
pembenaran oleh iman tersebut. Itu sudah menjadi dalil di kalangan umat Masehi Advent
Hari Ketujuh. Kesulitannya adalah dalam memelihara dan mengabadikan pengalaman ini di
dalam pikiran dan kehidupan Kristiani sehari-hari. Dalam bukunya Origin and History of
Seventh-day Adventists, A. W. Spalding menyebutkan: “Mudah untuk mengakui, tetapi sulit
untuk menerapkannya.”[1]
Seperti Simon dari Betania, semua hadirin pada rapat Minneapolis itu memandang
Yesus sebagai Sahabat mereka. Sebagaimana Simon, mereka juga menikmati bergaul dengan
para pengikut-Nya.
Tetapi keselamatan tidak terpancar dari persahabatan sekadarnya dengan Yesus.
Juga tidak muncul dari pergaulan dengan Dia. Simon menikmati keduanya, tetapi itu tidak
memberi jaminan kepadanya tentang akan kebenaran Kristus dan anugerah keselamatan itu.
Kata hubungan sering digunakan dengan luas dalam percakapan sekarang ini. Kata itu
juga digunakan di bidang keagamaan, menyangkut hubungan dengan Allah yang
menyelamatkan. Tetapi hubungan itu bukanlah suatu obat mujarab. Secara pribadi maupun
organisasi, atau hampir semua yang semacam itu, melestarikan satu hubungan dengan
seseorang atau lainnya dalam pelbagai cara. Sejak tahun 1920-an Amerika Serikat telah
menjalin satu hubungan, apakah baik atau buruk, dengan Uni Soviet. Begitu pula dengan
ketiga orang pejalan kaki yang menyaksikan seorang malang yang dirampok dan dipukuli di
jalan menuju Yerikho (baca Luk. 10:25-37) itu memelihara satu hubungan dengan dia. Jadi
kata hubungan tidaklah cukup untuk menerangkan kaitan keselamatan dengan Allah.
Hubungan dengan Allah itu saja tidak menjamin keselamatan. Setan sendiri
memelihara suatu hubungan dengan Allah. Keselamatan adalah hasil dari hubungan
persahabatan, atau persekutuan jiwa dengan Allah. Hanyalah hubungan persahabatan

61
antara orang Samaria dengan pejalan kaki yang menderita itulah yang telah menyelamatkan
si korban dari kematian.
Persekutuan ini lebih dari sekadar kebersamaan secara fisik. Tidak selalu itu berarti
bertukar minat dan pengalaman yang serupa, dengan keserasian atau persekutuan jiwa. Anak
sulung dalam perumpamaan tadi, sekalipun tinggal di desa dan mengerjakan apa yang
bapaknya kehendaki, kurang perhatian pada bapaknya dan kurang peduli terhadap adiknya.
Dia tidak ikut bersama ayahnya dalam hal sifat, tujuan, selera, harapan, maksud dan
kerinduan hati. Dalam kenyataan hidup yang paling mendasar si kakak itu tidak mempunyai
persamaan dengan ayahnya. Mereka tidak menikmati persekutuan, sekalipun mereka tinggal
di bawah satu atap.
Sejak anak bungsu itu meninggalkan rumah pergi ke negeri yang jauh dalam upaya
mencari kebahagiaan yang sukar dimengerti, sang ayah tidak henti-hentinya berdoa agar
anaknya itu kelak sadar (baca Luk 15:17) lalu pulang ke rumah. Persekutuan mencakup
kesatuan pemikiran, bukan hanya kebersamaan secara fisik.
Maria, saudara dari Marta dan Lazarus, dan merupakan pasangan Simon pada pesta di
Betania itu, memelihara suatu hubungan yang berbeda dengan Simon. Bagi Simon, Yesus
adalah seorang sahabat yang dikagumi dan dengan bersamanya menikmati persahabatan
sosial. Bagi Maria, Yesus bukan sekadar sahabat. Baginya, Ia adalah Mesias yang rendah hati
dan menderita, bukan untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan Roma, melainkan
untuk membebaskan setiap orang dari perhambaan dosa pribadi. Itulah yang dilakukan Yesus
baginya setelah dia menemukan-Nya sebagai Juruselamat pribadi.
Yesus telah menyambung kembali hubungan yang pernah terputus antara Maria
dengan Bapa Surgawi. Ia telah memulihkannya kepada persekutuan erat dan penuh kasih
dengan Dia, mengajarnya untuk mendambakan dan menikmati persekutuan dengan-Nya.
Bagi Maria, Yesus adalah Seorang yang benar-benar indah – Jalan, Kebenaran, dan Hidup –
yang kepada-Nya tertuju cinta, pengabdian dan kasih sayangnya. Dia tahu bahwa dosa-
dosanya sudah diampuni dan jiwanya telah dibarui dan dijadikan sebagai anggota keluarga-
Nya sendiri.
Tidak seperti seorang legalis, Maria tidak mengharapkan penghargaan surga atas
perbuatannya. Dia menuangkan minyak yang sangat mahal itu ke kaki Yesus demi apa yang
dilakukan Tuhannya itu baginya. Dia hanya menuruti petunjuk Roh Kudus.[2] Tindakannya
meminyaki Yesus adalah pernyataan dari seluruh kasih dan pengabdiannya kepada Yesus dan
keluarga semawi-Nya.
Persekutuan demikian dapat dinikmati oleh orang saleh yang paling cerdas maupun
yang paling hina. Seorang bayi dapat dilahirkan tanpa kesanggupan untuk menerangkan asal-
usul kehidupannya atau proses kelahirannya. Demikianlah “ilmu keselamatan itu tidak dapat
diterangkan; tetapi itu dapat diketahui melalui pengalaman.”[3] Seorang Kristen dapat
menikmati persekutuan dengan Yesus tanpa kesanggupan untuk memahami dan
menerangkan dengan jelas proses dari asal-usulnya. Dia hanya semata-mata dilahirkan ke
dalam kerajaan Allah tanpa menyadari sepenuhnya proses kelahiran baru itu.
Konsep kelahiran baru membingungkan Nikodemus yang cerdas ketika untuk pertama
kalinya dia mendengar hal itu. Tapi kemudian dia sendiri mengalaminya. Pengalaman pribadi
yang murni dalam perkara-perkara Allah melampui pengetahuan intelektual bagi suatu
persekutuan yang bergairah dengan Yesus sebagai pusat kasih sayang seseorang.

62
Persekutuan dengan Allah tidak akan terikat pada satu pemikiran dan emosi. Tidak dapat
tidak, itu akan terpantul dalam sikap seseorang dan mengalir dalam tindakan yang sukarela
untuk menurut kehendak Allah. Persekutuan dengan Yesus yang sedemikian di dunia ini akan
melayakkan kita bagi kekekalan bersama Dia di dalam kerajaan-Nya (baca Yes. 1:19).
Pernah seorang tetangga menceritakan pengalamannya dalam kancah Perang Dunia II
di Eropa. Sebagai seorang Advent yang baru berumur 20 tahun dia bergabung dengan
pasukan penyerbu yang didatangkan dari Afrika Selatan dan diterjunkan menyerang benteng
Eropa di Pantai Salerno di Italia. Rupanya hanya dia sendiri orang Kristen di kesatuannya itu.
Banyak rekannnya yang tidak seperti dia – masih muda, bujangan, yang bisa tewas sewaktu-
waktu – yang menghabiskan waktu senggang mereka untuk bergaul mesum. Saya bertanya
kepadanya, “Apa yang menyanggupkan anda untuk tetap setia kepada prinsip-prinsip Kristiani
dalam situasi yang genting seperti itu?”
Jawabannya spontan dan sederhana: “Saya sudah mempunyai seorang kekasih di
Kansas. Dengan mengenang dia saya tertolong untuk tetap setia kepada standar Kekristenan
saya.”
Sekalipun terpisah ribuan kilometer dari kekasihnya, namun dalam jiwanya dia
bersekutu dengannya. Kesatuan dalam jiwa atau kesetiaan kepada teman wanitanya di
Kansas itulah yang mempengaruhi dia lebih dari persahabatan secara fisik dengan teman-
temannya yang tidak peduli itu. Persekutuan jiwanya dengan seorang gadis yang lugu itu telah
menolong dia untuk lebih bertaut pada prinsip Kekristenannya selama dinas militer di Eropa.
Pengalaman tentara muda ini menggambarkan persekutuan yang anda bisa nikmati
dengan Yesus sekarang juga. Itu adalah suatu persekutuan yang penuh kasih. Seseorang yang
menikmati persekutuan demikian bersama Allah telah mengalami kegenapan kata-kata
Yesus, ketika Ia berkata, “Sesungguhnya kerajaan Allah ada di antara kamu” (Luk. 17:21).
Persekutuan dengan Allah didasarkan atas iman – keyakinan atau kepercayaan
sepenuhnya terhadap Dia. Kepercayaan seperti itu membawa kepada penyerahan diri
sepenuhnya, seperti seorang istri yang penuh kasih menyerahkan dirinya kepada suaminya,
dan sebaliknya. Penyerahan seperti ini akan membawa kesenangan dan kegembiraan yang
menyegarkan bagi keduanya.
Sebagai anggota-anggota Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh yang bergairah secara
rohani, sekarang ini kita akan menikmati, atau setidaknya berusaha, untuk suatu persekutuan
manis dan penuh damai dengan Yesus. Barulah kemudian kita memiliki Pembenaran Oleh
Iman, dan barulah sesudah itu anda dan saya benar-benar menerima, bukannya menolak,
pekabaran 1888 itu.
Persekutuan dengan Allah seperti itu akan mengubah kita. Kebanyakan orang muda
menyukai masakan ibunya. Waktu mereka menikah mungkin saja mereka dapati bahwa
makanan yang disajikan di rumah tangga yang baru itu agak berbeda dari hidangan ibunya.
Mereka tidak begitu peduli dengan beberapa hidangan yang baru. Tapi mereka mencintai istri
mereka dan mau menyenangkan hatinya, maka mereka melahap hidangan yang disediakan
sang istri itu. Sementara menikmati masakan yang baru itu lidah mereka disesuaikan. Pada
mulanya mereka enggan memakannya, tapi kemudian mereka mulai menyenangi semuanya.
Selera mereka berubah. Perubahan selera itu mungkin terjadi karena mereka mencintai istri
mereka dan mau menyenangkan hatinya.

63
Sementara kita sebagai orang-orang Kristen mengasihi Yesus dan Bapa-Nya, kita juga
akan diubahkan – bukan sekadar disesuaikan dengan cara-Nya – melainkan diubahkan di
bawah pengaruh Roh Kudus yang membentuk pikiran. Apa yang pada mulanya tidak kita
sukai mengenai cara Allah seperti yang dinyatakan dalam hukum-Nya, kita akan mulai
mengasihi dan menyukainya setelah diubah oleh kasih Ilahi-Nya. (baca Rm. 12:2; 2 Kor.
3:18).
“Kalau kita izinkan, Ia akan mengidentifikasikan Diri-Nya dengan pemikiran dan tujuan-
tujuan kita, sehingga hati dan pikiran kita serasi dengan kehendak-Nya, agar sementara
mengikut Dia kita seperti hanya mengikuti dorongan hati kita. Kemauan, yang sudah dipoles
dan disucikan , akan mencapai puncak kesenangannya dalam melakukan pekerjaan-Nya.”[4]
Banyak dari utusan rapat di Minneapolis itu kekurangan persekutuan dengan Allah yang
begitu mengubahkan. Walaupun mereka itu pendeta, mereka tidak mengenal-Nya sebagai
sahabat. Ini seharusnya berlaku sebagai amaran bagi kita semua, teristimewa bagi seorang
pendeta atau pekerja bagi jemaat-Nya.
Dalam perumpamaan Yesus tentang Sepuluh Anak Dara, separuh dari mereka yang
sedang menantikan kedatangan pengantin laki-laki tertidur secara rohani. Adalah mungkin –
dan itu terjadi di Minneapolis – para pendeta milik Allah sendiri yang terdapat di dalam jemaat
yang sisa itu dapat tertidur secara rohani. Tetapi Allah bersedia dan sanggup untuk menolong
kita agar bangun secara rohani! Hanya dengan kebangunan rohani kita dapat terhindar dari
bergabung baik dengan orang-orang Yahudi zaman dulu maupun para pelopor rohani kita
pada tahun 1888 dalam menyalibkan Yesus. Para peluhur rohani kita telah melakukan hal
yang sama di Minneapolis pada tahun 1888. Mereka bahkan tidak menyadari apa yang
sedang mereka lakukan. Mereka terperosok kedalamnya karena tidak sepakat dengan
perkara-perkara yang sepele.
Dua tahun sesudah rapat itu Ellen White menyesalkan tingkat kerohanian gereja yang
begitu rendah. “Anggota-anggota gereja kita bukanlah tidak dapat diperbaiki; kesalahan itu
tidak terlalu ditimpakan kepada mereka seperti kepada guru-guru mereka. Para pendeta
tidak memberi mereka makan.”[5] Kesalahan utama dari penolakan pekabaran 1888 tidak
terletak pada jemaat umumnya, melainkan pada para pendeta.
Penyingkapan yang mengejutkan ini haruslah diperhatikan dengan serius oleh setiap
orang di gereja kita sekarang ini yang menjadi pendeta atau guru maupun pemimpin dalam
kedudukan apa pun. Dalam kaitan ini perlu diperhatikan bahwa pekabaran Laodikia yang
pertama dan terutama ditujukan kepada “malaikat jemaat Laodikia” (Why 3:14). Malaikat-
malaikat itu adalah bintang-bintang dari “tujuh jemaat” (Why 1:20). Para pendeta Allah
dilambangkan dengan tujuh bintang. Bintang-bintang surga berada dibawah pengendalian
Allah. Ia memenuhi mereka dengan terang. Ia menuntun dan mengatur gerakan mereka.
Kalau tidak, mereka akan menjadi bintang-bintang yang jatuh. Begitulah keadaannya dengan
para pendeta.”[6]
Untuk memimpin sesuai dengan rencana Allah, para pimpinan umat Allah harus
senantiasa berada di bawah pengendalian Allah melalui Roh Kudus-Nya. Jika tidak, mereka
menjadi bintang-bintang yang gugur, sebagaimana sebagian dari pimpinan Gereja Advent,
mereka jatuh karena pengalaman 1888 itu.
Bisa saja seseorang mengenal betul ajaran-ajaran Alkitab tetapi belum memiliki
pengetahuan yang menyelamatkan dari Allah. Imam-imam Yahudi pada waktu Yesus lahir

64
sudah tahu bahwa Mesias akan dilahirkan di Betlehem, tapi mereka tidak mengenal Allah
atau Roh-Nya. Imam di kaabah yang menggendong Yesus pada saat penahbisan-Nya tidak
mengenal bahwa Dialah Mesias yang telah dijanjikan itu. Namun para gembala, yang
kurang paham akan isi Alkitab yang suci itu, sudah mengenal Allah, maka mereka mengetahui
tentang kelahiran Yesus dari para malaikat. Demikian juga dengan orang-orang Majus yang
hanya secuil mengetahui tentang Kitab Suci. Juga Simeon dan Hana, melalui petunjuk Roh
pada hari itu juga mengetahui bahwa Yesus sudah diurapi sesuai dengan rencana Allah.
Mereka telah membuka pikiran mereka kepada-Nya dan mengundang Roh ke dalam kaabah
jiwa mereka.[7]
Ellen White berulang-ulang mengimbau para pimpinan dan utusan rapat General
Conference di Minneapolis supaya bertobat, agar mereka membuka hati kepada Roh Kudus.
Hanya dengan penerangan-Nya maka ajaran Firman Allah dapat dipahami dengan benar dan
aman. Oleh hadirnya Roh dalam diri seseorang maka dia adalah dan tetap menjadi anak Allah
(baca Rm. 8:9).
Menyadari bahwa sekarang ini kita tidak seluruhnya sempurna sebagai satu umat, Neal
C. Wilson, mantan Ketua General Conference berbicara mengenai “pertobatan yang
sungguh-sungguh” dalam khotbah hari Sabat pada rapat tiga-tahunan Divisi Timur Jauh di
Singapura, 7 November 1987. Dia menandaskan bahwa pembaruan akan bertitik-tolak dari
kebangunan yang sungguh-sungguh; dia memberi tantangan kepada semua pimpinan di Divisi
Timur Jauh dengan mengajukan pertanyaan yang tandas, “Bagaimana jemaat diharapkan
akan berubah kalau pimpinannya tidak berubah?”
Sebagai satu gereja, kita semua perlu memperhatikan tantangan Ellen White yang
disampaikan pada Rapat General Conference 1901 dengan kata-kata ini: “Waktunya sudah
tiba di mana umat ini harus dilahirkan kembali. Mereka yang belum pernah dilahirkan
kembali, dan mereka yang sudah lupa bawa dirinya sudah disucikan dari dosa-dosa lama, . . .
lebih baik bertobat.”[8]
Sekarang ini Allah menginginkan agar masing-masing kita – pria, wanita, orang muda
dan anak-anak – supaya memastikan diri bertobat setiap hari, supaya kita memilih Roh itu
sebagai tamu jiwa kita yang senantiasa hadir.
Rapat General Confence 1888 dan hasilnya menyodorkan imbauan abadi kepada setiap
anggota Masehi Advent Hari Ketujuh. Secara perorangan kita harus merencanakan untuk
mengenal ajaran-ajaran Alkitab di bawah tuntunan Roh Kudus dan menyambut seruan Rasul
Paulus, “Ujilah dirimu sendiri, apakah kamu tetap tegak di dalam iman. Selidikilah dirimu! . . .
bahwa Kristus Yesus ada di dalam diri kamu” (2 Kor. 13:15).
Apakah saya setiap hari menikmati persekutuan dengan Allah oleh membaca Firman di
bawah terang dan tuntunan Roh Kudus dan berhubungan dengan Dia melalui doa dalam
nama Yesus? Atau, apakah kepentingan lain menyita waktu saya sehingga tidak bersekutu
dengan Allah dan Yesus? Hanya jika kita menumbuhkan persekutuan demikian, seperti
prajurit muda dengan kekasihnya di Kansas itu, maka kita akan terlindung sehingga tidak
terjerumus ke dalam dosa yang mengerikan, seperti para leluhur rohani kita di tahun 1888
itu.

Rujukan
1. Spalding, Origin and History, jld. 2, hlm. 81.

65
2. E.G. White mengatakan bahwa Maria “tidak dapat menerangkan apa sebabnya dia
memilih peristiwa itu untuk meminyaki Yesus. Roh Kudus yang telah merencanakan itu
baginya, dan dia mengikuti petunjuk-Nya” (Kerinduan Segala Zaman II, hlm. 193).
3. Idem, hlm. 127.
4. Idem, hlm. 305.
5. E.G. White, Special Testimones, seri A, no. 1, hlm. 46.
6. E.G. White, Gospel Workers (Washington, D.C.: Review and Herald Publ. Ass’n, 1948), hlm.
13, 14.
7. Baca 1 Kor. 3;16; 6:19. “Dari zaman kekekalan Allah bermaksud agar setiap makhluk
ciptaan, mulai dari malaikat serafim yang mulia dan kudus sampai kepada manusia, harus
menjadi kaabah tempat tinggal Pencipta” (Ellen G. White, Kerinduan Segala Zaman I, hlm.
141, 142). “Tetapi jika orang tidak memiliki Roh Kristus, ia bukan milik Kristus” (Rm. 8:9b).
8. E.G. White, dalam General Conference Bulletin, 1901, hlm. 26.

66
Lampiran:

LAODIKIA DAN PERTOBATAN SECARA ORGANISASI


Oleh David J. Newman, Editor Ministry

Surat terbuka saya kepada ketua General Conference (Oktober 1992) menimbulkan
banyak reaksi, kebanyakan setuju, tetapi ada sebagian yang negatif. Pertama-tama, saya perlu
menerangkan betapa saya sangat menghargai kepemimpinan yang sangat baik yang ketua
General Conference adakan untuk gereja ini. Maksud surat terbuka saya itu adalah sebagai
bahan untuk menyoroti hal-hal yang sangat penting.
Kedua, saya perlu menjelaskan mengapa saya mengangkat masalah-masalah peka
seperti itu secara terbuka. Sebagian orang, khususnya beberapa pemimpin, merasa bahwa
penerbitan gereja bukanlah sarana untuk menyiarkan berita-berita buruk. Bahkan beberapa
majalah kita tidak mau memuat surat-surat kepada redaksi sebab mereka tidak menginginkan
sesuatu yang negatif ada dalam majalah mereka. Saya menghargai dan mengerti falsafah
tersebut. Namun sementara itu, saya yakin sewaktu-waktu penerbitan-penerbitan gereja
perlu membicarakan masalah-masalah tertentu, yang mungkin tidak menyenangkan. Alkitab
mencatat banyak hal yang tidak menyenangkan tentang umat Allah.
Allah memberikan suatu pekabaran istimewa (yang sering kita abaikan) kepada gereja
Laodikia: “Tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Laodikia: Inilah firman dari Amin, Saksi
yang setia dan benar, permulaan dari ciptaan Allah. Aku tahu segala pekerjaanmu, engkau
tidak dingin dan tidak panas. Alangkah baiknya jika engkau dingin atau panas! Jadi karena
engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari
mulutku.
“Karena engkau berkata: Aku kaya dan aku telah memperkayakan diriku dan aku tidak
kekurangan apa-apa, dan karena engkau tidak tahu bahwa engkau melarat, dan malang,
miskin, buta dan telanjang, maka Aku menasihatkan engkau, supaya engkau membeli dari
pada-Ku emas yang telah dimurnikan dalam api, agar engkau menjadi kaya, dan juga pakaian
putih, supaya engkau memakainya, agar jangan kelihatan ketelanjanganmu yang memalukan;
dan lagi minyak untuk melumas matamu, supaya engkau dapat melihat.
“Barang siapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar. Sebab itu relakanlah hatimu dan
bertobatlah. Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetuk; jikalau ada orang yang
mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku
makan bersama-sama dengan dia, dan dia bersama-sama dengan Aku. Barang siapa menang,
dia akan Kududukkan bersama-sama dengan Aku di atas takhta-Ku, sabagaimana Akupun
telah menang dan duduk bersama-sama dengan Bapa-Ku di atas takhta-Nya.
“Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-
jemaat” (Wahyu 3:14-22).

67
Sejak tahun 1850-an kita sebagai orang-orang Advent telah mengakui kondisi Laodikia
kita itu, tetapi adakah perbedaan antara pengakuan perorangan terhadap kenyataan ini
dengan pengakuan bersama? Beberapa orang telah berusaha mendidik kita dalam bidang ini,
tetapi kita telah mengabaikan imbauan mereka. Mungkinkah bahwa sebelum pekabaran ini
benar-benar dapat berakar di tingkat perorangan, perlu juga ada pengakuan bersama akan
kebutuhan kita itu? Kita sebagai para pemimpin perlu meluangkan banyak waktu untuk
mempelajari dan menerapkan ayat-ayat ini.

Tanggung Jawab Bersama


Deklarasi Laodikia menyimpulkan dengan pernyataan tersebut bahwa kita harus
mendengarkan apa yang dikatakan oleh Roh itu kepada jemaat-jemaat. Mungkinkah kita
telah salah mengerti akan pekabaran Laodikia selama bertahun-tahun? Adakah kita
cenderung berpikir secara perorangan ketimbang secara kelembagaan? Robert Worley
memberi alasan: “Sudah merupakan anggapan umum bahwa perorangan-perorangan
membentuk lembaga-lembaga. itulah sebabnya obat yang diadakan untuk setiap persoalan
gereja adalah menyingkirkan biang keladinya, apakah itu pendeta, asisten atau wakil, anggota
awam yang tidak puas, atau sekelompok kaum awam yang tidak puas. Kita tidak bertanya
bagaimana lembaga-lembaga membentuk orang-orang. Kita tidak merasakan lembaga-
lembaga itu sebagai kesulitan-kesulitan kita. Kita tidak berpikir secara kelembagaan, tetapi
secara perorangan. Karena alasan inilah maka bilamana seorang pendeta berada dalam
kesulitan, atau seorang anggota awam dianggap sebagai masalah, maka kita menanggungkan
masalah itu atas orang tersebut. Itu menjadi persoalan pribadi atau umum, bukan sebagai
masalah kelembagaan.”[1]
Kita perlu bertanya, bagaimana lembaga-lembaga itu membentuk pribadi-pribadi? Kita
perlu pertanyakan apakah ada tanggung jawab kelembagaan atau secara organisasi bagi
jemaat Laodikia maupun secara perorangan. Ellen White menegaskan bahwa Allah
mengharapkan tanggung jawab bersama sebagaimana juga tanggung jawab perorangan:
“Ketidaktaatan dan kegagalan yang sama yang tampak pada Gereja Yahudi sampai pada taraf
yang lebih tinggi telah menjadi ciri orang-orang yang memiliki terang besar dari surga ini
dalam pekabaran amaran terakhir. Sama seperti mereka, akankah kita membuang-buang
kesempatan dan peluang kita sampai Allah akan mengizinkan penindasan dan penganiayaan
menimpa kita?”[2] ketika bangsa Yahudi menolak Kristus, para pemimpin membuat suatu
keputusan bersama yang dikukuhkan oleh orang banyak (Yohanes 19:6,7,12; Matius 27:25).
Allah menuntut tanggung jawab secara kelompok maupun secara perorangan (Kisah 2:23).
Selanjutnya Ellen White memberi komentar: “Pekabaran Laodikia harus diberitakan
dengan kuasa; karena sekarang pekabaran itu dapat disampaikan. . . . Tidak melihat
kekurangan kita berarti tidak melihat keindahan tabiat Kristus. Bilamana kita menyadari
sepenuhnya akan keadaan kita sendiri yang berdosa, maka kita akan menghargai Kristus. . . .
Tidak melihat perbedaan mencolok antara Kristus dan diri kita sendiri berarti tidak mengenal
diri kita sendiri. Barang siapa tidak mencela dirinya sendiri tidak dapat mengerti arti

68
penebusan. . . . Banyak orang tidak melihat diri mereka sendiri dalam terang hukum Allah.
Mereka tidak membenci sifat mementingkan diri.”[3]
Apakah Ellen White ketika mengatakan, “Pekabaran Laodikia harus diberitakan dengan
kuasa”? Bagaimanakah kita dapat memenuhi mandat ini bila kesulitan jemaat Laodikia
menyangkut ketidaksanggupan mengakui sesuatu permasalahan mendasar di dalam gereja?
Sebagai pemimpin-pemimpin gereja kita percaya bahwa menurut statistik pekerjaan sedang
mengalami kemajuan pesat. Sekalipun pertumbuhan gereja tidak sebesar yang kita harapkan,
tetapi masih tetap memuaskan. Kemajuan-kemajuan kita yang besar di Euro-Asia, Afrika,
Amerika Tengah, dan tempat-tempat lain dapat meninabobokan kita kepada suatu rasa aman
yang palsu. Di bagian-bagian dunia yang lain, mempertahankan keadaan saat ini (status quo)
tampaknya menjadi prioritas utama. Setiap tahun selama hampir 150 tahun berselang, para
pemimpin mengatakan: “Kedatangan Tuhan sudah dekat sekali; usaha-usaha penginjilan
semakin memberi hasil lebih banyak.” Namun Yesus masih belum kembali.

Gereja kita sedang bertumbuh lebih cepat dari pertumbuhan penduduk dunia. Saya
minta pada Don Yost, direktur kearsipan dan statistik untuk General Conference, agar
memberitahukan kepada saya, berdasarkan tingkat pertumbuhan selama 10 tahun terakhir,
kapankah keanggotaan kita akan mencapai lima puluh persen penduduk dunia. Ia coba
menghitung bahwa gereja akan melampui separuh penduduk dunia kira-kira dalam tahun
2118! Berarti masih 125 tahun lagi. Inikah yang Allah tunggu-tunggu? Tidak! Babtisan dalam
dan dari mereka sendiri tidaklah cukup.
“Aku kaya, aku telah makmur, dan aku tidak memerlukan apa-apa.” Kita enggan
mengakui bahwa sesungguhnya kita ini “melarat, dan malang, miskin, buta dan telanjang.”
Bagaimanakah kita dapat mengakui keadaan kita seperti itu, apabila kita sedang mencapai
begitu banyak dalam pertumbuhan gereja? Saya coba tunjukkan bahwa tidak baik memuat
pelbagai statistik dalam surat terbuka saya itu. Penyingkapan saya akan masalah-masalah ini
menimbulkan reaksi negatif. Namun, jika kita sebagai suatu gereja tidak mau mengakui
keperluan kita itu, maka kita tidak pernah akan membuat Allah memulihkan prioritas kita.
Dan Ia akan terus menunggu.

Sempurna Dalam Hal Gaya Hidup


Jika kita mau mengakui dan menyadari keperluan kita itu, niscaya kita akan
membuang hampir semua amunisi yang menyalakan demikian banyak kelompok
pergerakan independen. Ada suatu tingkat kesempurnaan yang Allah harapkan dari umat
yang memberitakan kedatangan-Nya. Tetapi jika umat-Nya, dalam kualitas kehidupan dan
hubungan mereka dengan orang banyak, jelas-jelas tidak dapat dibedakan dari masyarakat
pada umumnya, bagaimanakah mereka dapat bersaksi dengan kuasa akan perkara-perkara
besar yang Allah telah lakukan? Kesempurnaan Kristen tidak pernah akan datang selama
kita memusatkan perhatian atas kemajuan dan terhadap pemeliharaan kita akan hukum,
sambil melalaikan perlunya kita menjadikan Kristus sebagai pusat segala sesuatu. Gaya
hidup yang saleh akan menjadi hasilnya – bukan tujuan yang tertinggi.

69
Generasi terakhir, generasi yang bersaksi tentang kedatangan Kristus, akan merupakan
generasi yang istimewa. Karena ujian-ujian yang belum pernah terjadi sebelumnya yang
gereja bakal alami akan menghasilkan keadaan “tidak bercela” (Wahyu 14:5). Generasi itu
dengan sempurna akan memantulkan tabiat Kristus.[4] Angkatan itu akan berpusat pada
tabiat kasih Allah: “Cahaya terakhir terang kemurahan, pekabaran kemurahan terakhir yang
disampaikan kepada dunia, adalah suatu penyataan tentang tabiat kasih-Nya. Anak-anak
Allah harus menyatakan kemuliaan-Nya. Dalam kehidupan dan tabiat mereka sendiri mereka
harus menyatakan apa yang kasih karunia Allah telah perbuat bagi mereka.”[5] “Dengan
demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu
saling mengasihi” (Yohanes 13:35).
Bagaimana kita menyatakan tabiat kasih Allah itu? Dengan menunjukkan perhatian
mengasihi orang lain seperti yang Allah telah tunjukkan kepada kita; dengan tidak melakukan
sesuatu demi ambisi mementingkan diri, dan dengan kerendahan hati menganggap orang lain
lebih baik daripada kita sendiri (Filipi 2:3); dengan menjadikan diri kita sendiri tak berarti (ayat
7); dengan menjadi suci, cinta damai, mempunyai pertimbangan, takluk, berkemurahan, tidak
memihak, dan bersungguh-sungguh (Yakobus 3:17); dengan memperhatikan orang-orang
miskin dan yang berkekurangan (Yakobus 1:27); dengan bersukacita dalam penderitaan
(Roma 5:3); dengan memberi makan musuh kita (Roma 12:20). Bagaimana kita menghadapi
ketidakadilan, kesusahan, kesulitan, dan kesukaran akan membedakan kita dari mereka yang
hanya sedikit atau sama sekali tidak memiliki iman pada Allah. Tampaknya kita berada jauh
dari pengalaman yang Allah harapkan dari kita.
Bagaimana kita selaku gereja mengakui tanggung jawab kita? Saya tidak menganjurkan
suatu keputusan resmi dari Komite Eksekutif General Conference, ataupun rapat akbar
General Conference. Saya sedang membicarakan mengenai kesepakatan umum di kalangan
para pemimpin gereja di semua tingkat, bahwa kita telah gagal untuk menekankan
pengobatan-Nya; bahwa kita telah gagal menjadikan emas, jubah putih, dan salep pelumas
mata sebagai penekanan kita.
“Iman dan kasih adalah kekayaan yang sejati, emas murni yang dinasihatkan saksi yang
benar itu untuk dibeli oleh orang yang suam. Betapa pun kayanya kita dengan harta duniawi,
segala kekayaan kita tidak akan dapat menyanggupkan kita membeli obat-obat berharga
yang menyembuhkan penyakit rohani yang disebut suam-suam kuku. Kekayaan pengetahuan
dan harta dunia tidak berkuasa melenyapkan kecelaan jemaat Laodikia, atau mengobati
kondisi mereka yang menyedihkan. Mereka itu buta, namun merasa bahwa mereka tidak
kurang apa-apa. Roh Allah tidak menerangi pikiran mereka, dan mereka tidak merasakan
keadaan mereka yang berdosa; itu sebabnya mereka tidak merasakan perlunya
pertolongan.”[6]
Ellen White mengingatkan kita bahwa sementara pertumbuhan gereja dan penarikan
jiwa penting, hal itu tidak menduduki tempat pertama dalam daftar prioritas kita. “Iman
dan kasih adalah kekayaan sejati,” katanya. Inilah obat untuk keadaan kita yang suam-
suam kuku. Namun, jika kita tidak setuju bahwa ada masalah kelembagaan, kesuaman
secara lembaga, sifat Laodikia pada tingkat organisasi, maka kita tidak akan menekankan
iman, kasih, kebenaran Kristus, dan pelumas mata surgawi; kita tidak akan menjadikannya

70
sebagai prioritas kita pada tingkat organisasi. Sebaliknya hal ini menghalangi kita untuk
memberitakan injil sampai kepada kepenuhannya – menyelamatkan dari dosa dan
menghasilkan buah mengalahkan dosa.

Apa yang Bukan Pekabaran Laodikia


Apa sebetulnya inti pengobatan Laodikia? Apakah yang dilambangkan dengan emas,
jubah putih, dan pelumas mata itu? Ada yang mengatakan bahwa itu semua berarti
kesempurnaan tabiat yang lebih saleh, pemeliharaan hukum yang lebih sempurna; yang
penekanannya adalah “tidak bercacat”. Namun, sementara Allah mengatakan, “Aku tahu
perbuatanmu, bahwa kamu tidak dingin atau pun panas,” Ia juga mengatakan bahwa Ia ingin
agar kita menjadi salah satu: dengan kata lain, berada dipihaknya atau bermusuhan dengan
Dia. Kesempurnaan tabiat seperti itu bukanlah yang terutama. Perbuatan kita, apakah itu baik
atau buruk, tidak memusingkan Allah seperti halnya mutu komitmen kita. Dalam banyak
kasus motif di belakang perbuatan itulah yang menentukan moralitasnya. Tindakan yang
tak bermoral selalu amoral, apa pun motifnya; tetapi perbuatan yang tampaknya bermoral
itu bisa bermoral atau tidak bergantung atas motifnya.
Allah mengungkapkan bahwa masalah utama adalah kepuasaan diri. Sebetulnya kita
sedang melakukan yang baik dalam perbuatan kita; kita mencapai banyak hal untuk Tuhan.
Obat yang Ia anjurkan itu agak mengejutkan. Ia tidak mengatakan supaya kita bekerja keras,
mengumpul dan membelanjakan lebih banyak uang untuk pertumbuhan gereja, menaklukkan
setiap dosa. Melainkan Ia mengatakan supaya kita “membeli” dari Dia “emas yang telah
dimurnikan dalam api, agar engkau menjadi kaya, dan juga pakaian putih, supaya engkau
memakainya, agar jangan kelihatan ketelanjanganmu yang memalukan; dan lagi minyak
untuk melumas matamu, supaya engkau dapat melihat.
Allah mengatakan bahwa kita perlu merumuskan kembali ukuran kita terhadap
kesuksesan – yakni emas; mengakui bahwa kita telanjang dan memerlukan pakaian putih;
mengakui kebutaan kita – yaitu sikap berpura-pura bahwa segala sesuatu beres.

Inti Pekabaran Laodikia


Allah memulai daftar-Nya dengan salah satu benda paling berharga yang dikenal pada
zaman itu – ialah emas. Ia memilih lempengan emas yang keras untuk takhta anugerah pada
tabut perjanjian; tabut perjanjian dan semua peralatan kemah sembahyang semuanya dilapisi
dengan emas (Keluaran 25:10,11,31,38). “Anak-anak sion” adalah “setimbang dengan emas”
(Ratapan 4:2). Yerusalem Baru terbuat dari “emas murni” (Wahyu 21:18). Hukum-hukum
Tuhan “lebih indah daripada emas” (Mazmur 19:10). Bilamana Allah menghukum orang jahat
Ia mengatakan bahwa Ia akan membuat “orang lebih jarang dari pada emas tua” (Yesaya
13:12).
Kitab Suci terus-menerus melukiskan emas sebagai logam yang paling indah. Tetapi itu
juga menggambarkan satu unsur yang bahkan lebih penting – yaitu darah Kristus. “Sebab

71
kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari
nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas,
melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak
domba yang tak bernoda dan tak bercacat” (1 Petrus 1:18,19). Pekabaran Laodikia adalah
panggilan untuk memuliakan unsur yang paling berharga di alam semesta, tercurahnya
darah Allah sendiri. Ini berarti bahwa Yesus Kristus, kehidupan-Nya, kematian-Nya, dan
kedatangan-Nya kembali memerlukan rangkulan dan komitmen kasih kita. Jadi Allah
mengatakan “belilah” emas. Satu-satunya yang harus kita pertukarkan ialah diri kita sendiri
yang malang, hati kita yang mementingkan diri.
“Tetapi apakah yang kita serahkan, ketika kita menyerahkan semuanya? Hati yang
dicemari dosa, untuk disucikan Yesus, dibersihkan oleh darah-Nya sendiri, dan diselamatkan
oleh kasih-Nya yang tiada taranya. Namun manusia merasa sukar untuk menyerahkan
semuanya! Saya merasa malu mendengar itu dibicarakan, malu untuk menuliskannya.”[7]
Yesus berkata, “Aku, apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang
datang kepada-Ku” (Yohanes 12:32). Pekabaran Laodikia menuntut untuk menjadikan
Kristus nomor satu dalam segala sesuatu yang kita lakukan.
Sebagaimana kita lihat, Ellen White menyamakan emas dengan iman dan kasih. Dan
ini tetap benar selama fokus iman dan kasih kita adalah Yesus Kristus.
Pakaian putih melambangkan kebenaran Kristus yang dipakaikan pada orang percaya.
Kitab Suci menyebut tentang menerima “pakaian pesta” (Matius 22:1-4) dan “telah
mengenakan Kristus” (Galatia 3:27). Adam dan Hawa berusaha menutupi ketelanjangan
mereka, tetapi memerlukan tindakan Allah untuk benar-benar menutupi mereka (Kejadian
3:21). Kita dapat melaksanakan semua perbuatan baik yang mungkin dapat kita lakukan,
tetapi masih tetap memerlukan tindakan Ilahi untuk memberi kita kredit dengan satu-satunya
perbuatan baik yang berarti – yaitu pekerjaan Kristus (Roma 5:19).
“Jikalau engkau hendak mengumpulkan segala sesuatu yang baik dan kudus serta yang
mulia dan indah pada diri manusia, kemudian menyampaikan hal itu kepada malaikat-
malaikat Allah sebagai sesuatu yang berperan dalam keselamatan jiwa manusia atau dalam
jasa, maka usul itu akan ditolak sebagai pengkhianatan.”[8] Kita perlu lebih banyak
memusatkan perhatian pada Kristus, karena “Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik
kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaannya” (Filipi 2:13).
Unsur ketiga dari resep surgawi untuk kesuaman adalah salep pelumas mata. Sekarang
ini kita memberi obat tetes pada mata supaya kita dapat melihat dengan lebih jelas. Begitulah
Allah memberikan Roh Kudus untuk meyakinkan kita akan dosa dan menuntun kita kepada
segala kebenaran (Yohanes 16:8-11). Bilamana kita membuka hati kita kepada Roh Kudus,
yang tugas utamanya adalah memberitakan tentang Yesus dan mendatangkan kemuliaan
kepada-Nya (ayat 14), maka Roh Kudus menolong kita menjadi jujur dan tulus terhadap
keadaan kita yang sebenarnya. Jadi, kita dituntun untuk mencari obat yang sejati; yaitu
kebenaran Kristus.
Ellen White merangkumkan dalam satu alinea yang mulia akan inti pekabaran Laodikia:
“Pekabaran Laodikia telah mulai berkumandang. Sampaikanlah pekabaran ini dalam segala

72
bentuknya dan kumandangkanlah itu kepada orang-orang di mana saja kesempatan
memungkinkan. Pembenaran oleh iman dan kebenaran Kristus adalah tema-tema yang harus
disajikan kepada dunia yang sedang binasa.”[9]

Bagaimana Melaksanakannya
Jika kita mencari obat yang benar, maka sebagai pimpinan gereja kita akan menjadikan
beban dari komite kita, majelis kita, perhimpunan kita, merupakan suatu penyelidikan dan
pencarian akan kebenaran Kristus gantinya sebagai suatu dorongan untuk pertumbuhan
gereja. Statistik-statistik yang kita buat tidak boleh memantulkan statistik pertumbuhan
gereja, melainkan sedapat mungkin adalah pertumbuhan kualitas. Beban perkumpulan kita
haruslah mengikhtiarkan obat untuk kondisi ke-Laodikia-an kita. Biarlah kita mengadakan
pertemuan para pemimpin dan pendeta sedunia yang agenda satu-satunya adalah untuk
mempelajari pekabaran kepada Laodikia. Kalau hal ini ternyata tidak mungkin, marilah kita
mengadakannya divisi demi divisi, konferens demi konferens. Setelah Yesus naik ke surga,
murid-murid tidak segera memulai penginjilan mereka. Mereka berdoa di ruangan atas
sampai Allah telah menaklukan sifat mementingkan diri mereka dan mereka telah siap untuk
pencurahan Roh Kudus. Barulah mereka mengalami ledakan pertumbuhan gereja.
Apakah yang akan terjadi gantinya menggunakan jam pertama setiap hari dalam suatu
Rapat Tahunan mendengarkan khotbah Firman itu, kita gunakan setiap pagi untuk belajar,
berdoa, dan membagikan? Pada Rapat Tahunan terakhir, George Knight menyajikan
pekabaran menggugah hati yang berpusat pada Kristus. Apakah yang seharusnya terjadi jika
kita dipecah-pecah menjadi kelompok-kelompok kecil untuk memperbincangkan pengertian-
pengertian terhadap pekabaran-pekabarannya untuk diri kita sendiri, dan kemudian untuk
orang-orang yang kita pimpin? Apakah yang terjadi sekiranya kita telah menggunakan satu
jam setiap hari selama acara rapat, untuk doa?

Sukses Sejati
Mengapa gereja mula-mula itu begitu sukses dalam penginjilannya? Sebab secara
kebalikannya, gereja mula-mula itu tidak menjadikan baptisan sebagai prioritasnya. Ketika
perpecahan melanda gereja Korintus, Paulus mengingatkan mereka terhadap
pemecahannya: “Sebab Kristus mengutus aku bukan untuk membaptis, tetapi untuk
memberitakan injil: dan itu pun bukan dengan hikmat perkataan, supaya salib Kristus jangan
menjadi sia-sia” (1 Korintus 1:17). Nah, jangan salah mengerti terhadap saya: baptisan itu
penting. Baptisan-baptisan itu membentuk bagian yang terpadu dan perintah Injil itu. Tetapi
jenis pertumbuhan gereja yang kebanyakan kita rindukan tidak pernah akan terjadi sebelum
kita mengakui keperluan kita akan kebenaran Kristus. Kalau begitu, bagaimana kita
mengatakan apa prioritas kita? Dengan alat pengukur seperti yang Paulus gunakan. Apa yang
kita semua harus perhatikan adalah cara-cara pelaporan kita dan terhadap apakah kita
memberikan sebagian besar waktu pada komite-komite dan kumpulan-kumpulan pekerja.

73
Bilamana kita sebagai pemimpin-pemimpin Uni, Divisi, dan General Conference berkumpul,
apakah titik utama dari perbincangan kita?
Pada gereja yang mula-mula Lukas melaporkan bahwa para pemimpin gereja mulai
tersendat-sendat dalam perincian administratif, dalam menjalankan suatu usaha yang terus
bertambah luas. Orang banyak sedang ditambahkan kepada gereja hari demi hari. Para
pemimpin gereja menjadi begitu sibuk dalam mengorganisir, merencanakan, dan
melaksanakan sehingga mereka mulai melalaikan kewajiban mereka yang paling penting –
yaitu sebagai pemimpin-pemimpin rohani. Jadi Lukas menceritakan bahwa rasul-rasul itu
mengangkat orang-orang yang rohani menjadi pengurus gereja, membebaskan mereka untuk
kewajiban mereka yang paling penting: “berdoa dan pelayanan Firman” (Kisah 6:4). Gereja
mendapati bahwa dalam kegairahannya untuk memenuhi perintah Injil, gereja itu telah
menghadapi risiko melalaikan “Pelayanan Firman Allah” (ayat 2).
Alkitab mengungkapkan bahwa para pemimpin gereja harus dikenal sebagai pria dan
wanita dari Allah, pelajar Alkitab yang serius, memiliki kerohanian yang tinggi, tidak
tenggelam dalam urusan administrasi yang bertele-tele. Berapa banyak waktu setiap minggu
yang benar-benar kita gunakan untuk berdoa, merenung, dan belajar Alkitab? Adakah kita
memimpin melalui keteladanan dalam bidang-bidang ini, atau lebih banyak dengan nasihat?
Inilah sebabnya mengapa pekabaran Laodikia yang begitu berkuasa namun begitu
sukar untuk dilaksanakan. Kekayaan lebih disukai daripada kemiskinan, dan kemajuan lebih
digandrungi daripada kegagalan. Kita bersenang-senang dalam sukses yang dengan mudah
dapat diukur, sambil melupakan apa yang Allah perhitungkan sebagai sukses mungkin amat
berbeda dengan kesimpulan kita (Lukas 12:13-21). Kita tidak suka menganggap diri kita
sebagai orang-orang yang gagal, dan kita tidak perlu tinggal dalam kondisi seperti itu. Ellen
White mendorong kita untuk melihat pengharapan dalam pekabaran Laodikia: “Tetapi
nasihat Saksi Yang Benar tidak menyatakan mereka yang suam-suam kuku sebagai yang
berada dalam keadaan tiada harapan. Masih ada kesempatan untuk mengobati keadaan
mereka, dan pekabaran Laodikia penuh dengan dorongan; karena gereja yang murtad belum
membeli emas iman dan kasih, belum memiliki pakaian putih kebenaran Kristus, supaya
ketelanjangan mereka yang memalukan jangan kentara. Kesucian hati, kesucian motif,
belum menandai mereka yang setengah-setengah hati dan yang sedang berjuang untuk
melayani Allah dan Mamon. Mereka belum membasuh jubah tabiat mereka dan
memutihkannya di dalam darah Anak Domba.”[10]

Apa yang Telah Kita Lakukan Bersama Yesus?


Perhatikan kembali bahwa masalahnya bukan menyangkut sukses kita dalam penarikan
jiwa, memenuhi anggaran-anggaran, atau membangun lembaga-lembaga baru. Sebaliknya,
masalahnya berpusat pada apa yang telah kita lakukan bersama Yesus Kristus. Saya tahu
bahwa saya memerlukan takaran kasih karunia-Nya yang lebih besar dalam kehidupan saya.
Saya perlu menggunakan lebih banyak waktu bersama Dia, lebih banyak waktu memantulkan
kebaikan-Nya, keadilan-Nya, rahmat-Nya, kasih-Nya. Saya rindu melihat kita menyediakan
lebih banyak waktu untuk berdoa, berpuasa, dan belajar Alkitab, dengan penekanan untuk

74
mengenal Yesus lebih baik. Kita memerlukan hujan akhir itu, yaitu pencurahan Roh Kudus.
Tetapi bilamana kita berdoa meminta Roh Kudus, kita perlu memastikan bahwa kita bukan
hanya berdoa demi kemenangan atas dosa atau kemajuan yang lebih besar dalam
penginjilan, tetapi kita berdoa meminta pertolongan Roh Kudus untuk mengangkat salib itu
lebih tinggi, untuk mengkhotbahkan Yesus Kristus dengan lebih baik, untuk bersaksi bagi-Nya
secara lebih baik.
Bilamana Yesus benar-benar sudah menjadi yang terutama dalam hidup kita,
sebagaimana terlihat dalam pembawaan kita, pertobatan kita, pembagian kita akan kasih-
Nya, maka kita menjadikan tema-tema ini sebagai prioritas dalam rapat dan pertemuan kita;
bilamana orang banyak melihat kasih di antara sesama kita; bilamana kita menyesali dosa-
dosa kita; bilamana kita rindu mencerminkan tabiat Kristus secara sempurna; bilamana kita
lebih baik mati daripada mempermalukan Allah; barulah Allah akan menyambut dengan
mencurahkan Roh-Nya dalam kuasa yang sedemikian rupa sehingga penginjilan kita akan
tidak dapat dihitung. Orang banyak akan memperhatikan bahwa kita sudah bersama-sama
dengan Yesus, dan mereka pun akan ingin bersama-sama dengan Dia.
Pekabaran Laodikia terutama bukan pekabaran kepada perorangan, tetapi kepada
suatu jemaat, kepada suatu badan organisasi. Karena itu, meskipun memang orang-orang
secara pribadi yang membentuk tubuh itu, yaitu gereja, tetapi tubuh itu secara
keseluruhanlah yang perlu mengakui keperluannya dan mengubah penekanannya. Inilah yang
gereja gagal lakukan setelah rapat General Conference tahun 1888. Kita harus berhati-hati
agar kita tidak ragu-ragu terhadap isi pekabaran yang dikhotbahkan oleh Jones dan
Waggoner. Beban pekabaran mereka dilukiskan oleh dua gambar yang disuruh oleh James
dan Ellen White yang kami muat dalam edisi bulan Oktober 1992 itu. Gereja Masehi Advent
Hari Ketujuh telah menekankan pemeliharaan hukum di atas pengorbanan Kristus di kayu
Salib. Imbauan Jones, Waggoner, dan Ellen White adalah mengulangi penekanan ini.

Meninggikan Yesus
Kemenangan atas dosa, kesempurnaan tabiat, perubahan gaya hidup, kuasa untuk
bersaksi, hanya datang apabila orang berdosa memandang Kristus ditinggikan di atas salib
sebagai satu-satunya korban yang sempurna. Penerapan pengorbanan-Nya di bait kudus
surgawi bagi kita sekarang ini sesuai dengan penekanan yang kita berikan pada apa yang
Kristus lakukan untuk kita 2000 tahun yang silam. Apa yang Kristus lakukan bagi kita dan apa
yang Ia lakukan dalam diri kita membentuk suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Akan
tetapi, keberhasilan Kristus yang bekerja dalam diri kita selalu didasarkan pada kita yang
memusatkan dan menekankan apa yang telah dilakukan-Nya untuk kita. Jalan yang menuju
kepada kesempurnaan tabiat adalah melalui salib.
“Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan
binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah” (1 Korintus
1:18). “Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain
Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan” (1 Korintus 2:2). “Sebab kamu tahu, bahwa kamu
telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu

75
bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan
darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti anak domba yang tak bernoda dan
tak bercacat” (1 Petrus 1:18,19). “Tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam
salib Tuhan Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia”
(Galatia 6:14).
“Angkatlah salib lebih tinggi, supaya banyak orang dapat memandang, dan melihat serta
hidup. Kristus mati untuk dunia, dan perintah-Nya adalah, ‘Pergilah ke seluruh dunia,
beritakanlah Injil kepada segala makhluk’ (Markus 16:15). Tuhan tidak akan memberi kita
tugas seperti itu tanpa menaruh sumber daya di bawah kekuasaan kita yang cukup untuk
pekerjaan itu.”[11]
Sering pokok pembicaraan yang bersifat doktrin disajikan dengan tidak ada hasil yang
istimewa; karena mengira orang lain menekankan ke atas mereka ajaran-ajaran mereka;
tetapi bilamana kasih Kristus yang tiada taranya itu tinggal, maka kasih karunia-Nya
mempengaruhi hati. Banyak orang yang bersungguh-sungguh mencari terang itu, yang tidak
mengatahui apa yang harus mereka perbuat supaya diselamatkan. Oh, ceritakanlah pada
mereka tentang kasih Allah, tentang korban yang diadakan di salib Golgota untuk
menyelamatkan orang yang akan binasa! Katakanlah kepada mereka supaya meletakkan
kehendak mereka di samping kehendak Allah; dan ‘barang siapa mau melakukan kehendak-
Nya, dia akan tahu entah ajaran-Ku ini berasal dari Allah, entah Aku berkata-kata dari diri-Ku
sendiri” (Yohanes 7:17).”[12]
Kalau kita tidak berhati-hati, panggilan kepada kesempurnaan tabiat dapat
menjatuhkan kita dari penekanan akan kebenaran Kristus. Ellen White menyimpulkan
kesempurnaan tabiat sebagai tindakan spontanitas dari kasih Allah: “ Kasih adalah landasan
kesalehan. Apa pun pengakuan, tidak ada orang yang memiliki kasih yang murni kepada
Allah kecuali dia memiliki kasih yang tidak mementingkan diri untuk saudaranya. Tetapi
kita tidak pernah dapat memiliki roh ini dengan berusaha mengasihi orang lain. Apa yang
diperlukan adalah kasih Kristus dalam hati. Bilamana diri dipadukan dengan Kristus, niscaya
kasih akan terpancar dengan sendirinya. Kesempurnaan tabiat Kristen diperoleh ketika
dorongan untuk menolong dan memberkati orang lain terus-menerus memancar dari dalam
hati – ketika sinar matahari surga memenuhi hati dan dinyatakan dalam raut muka.”[13]
Adakah kita menyatakan tabiat kasih Allah? Adakah ini yang kita maksudkan dengan
kesempurnaan tabiat?
Seruan untuk bertobat kepada jemaat Laodikia ialah membuat kebenaran Kristus itu
menonjol, menjadikan hal ini sebagai penekanan kita. Inilah satu-satunya jalan yang harus
diikuti jika kita menginginkan semua berkat lain yang dijanjikan Allah. Berulang-ulang Ellen
White menekankan pentingnya menjadikan salib itu pusat dalam kehidupan, khotbah,
komite, dan program kita. Salib adalah SATU-SATUNYA jalan agar kita dapat menggerakkan
dunia. “Kristus memaklumkan, ‘Aku, apabila Aku diangkat dari bumi, akan menarik semua
orang datang kepada-Ku.’ Jikalau salib tidak beroleh suatu pengaruh di dalam kebaikannya,
itu akan menciptakan suatu pengaruh. Melalui generasi-generasi yang silih berganti,
kebenaran zaman ini dinyatakan sebagai kebenaran masa kini. Kristus di kayu salib itu adalah

76
pengantara di mana kasih dan kesetiaan akan bertemu, dan keadilan dan damai sejahtera
akan bercium-ciuman. Inilah sarana yang harus menggerakkan dunia ini.”[14]
Demikianlah saya mengimbau kepada semua rekan-rekan pemimpin gereja: Maukah
anda mendengarkan panggilan Ilahi ini, “Sadarlah, dan bertobatlah”? Kalau kita mau
bertobat, maka Kristus berjanji untuk “datang dan makan sehidangan dengan kita.” Bukti
terbesar bahwa kita masih belum bertobat sebagai satu gereja ialah fakta bahwa kita
sekarang masih di sini. Sesudah hampir 150 tahun kita masih berada di sini, gereja yang
diangkat oleh Allah untuk memasyhurkan kedatangan Yesus dengan kuasa besar dalam satu
generasi masih berada di dunia ini. Hanya perlu satu generasi untuk menyelesaikan
pekerjaan yang Allah telah berikan. Ia tidak kekurangan kuasa. Kitalah yang masih menolak
untuk mengosongkan diri kita dan dipenuhi dengan Roh-Nya, dengan demikian
menghalangi gereja ini untuk menyiarkan kemuliaan-Nya ke seluruh dunia. Berapa lama Ia
harus menunggu? Maukah kita mengambil tanggung jawab untuk menyusun kembali
prioritas-prioritas kita?

Mempraktikkan Pertobatan Laodikia


Di sini beberapa anjuran untuk para pendeta dan pemimpin gereja di semua tingkat
mengenai bagaimana melaksanakan pekabaran Laodikia. Ini tidak akan mudah. Ini
memerlukan perubahan besar dalam budaya keorganisasian kita.
1. Secara jujur dan terbuka mengakui bahwa Alkitab dan Roh Nubuat tepat dalam
gambarannya tentang gereja kita yang sedang berada dalam kondisi Laodikia.
2. Secara perorangan melakukan suatu bagian penting setiap hari untuk berdoa dan
belajar Alkitab; berpuasa secara teratur; terus menceritakan apa yang telah dilakukan Yesus
terhadap anda.
3. Bertekad agar rapat-rapat dewan dan komite akan membahas kondisi rohani gereja
dan pada setiap rapat digunakan waktu untuk mempelajari kehidupan Kristus. Biarlah nasihat
dari Ellen White berikut ini diterapkan pada rapat-rapat kita juga. “Alangkah baiknya kalau
kita menggunakan waktu sejam lamanya setiap hari untuk merenungkan kehidupan
Kristus. . . . Kalau kita memikir-mikirkan pengorbanan-Nya yang besar itu untuk kita,
keyakinan kita pada-Nya akan makin menjadi tetap, kasih kita akan dikuatkan, dan kita akan
makin penuh dengan Roh-Nya” (Kerinduan Segala Zaman I, hlm. 70)
4. Periksalah setiap khotbah, setiap pembicaraan, setiap kebaktian, dan tanyakanlah,
sudahkah saya menyatakan Kristus sebagaimana yang digariskan dalam pernyataan berikut
ini? “Jangan sekali-kali sebuah khotbah dikhotbahkan, atau pelajaran Alkitab dalam hal apa
pun disampaikan, tanpa mengarahkan para pendengar kepada ‘Anak domba Allah, yang
mengangkut dosa dunia’ (Yohanes 1:29). Setiap doktrin yang setia menjadikan Kristus sebagai
pusat, setiap prinsip menerima kekuatan firman-Nya” (Testimonies, jld. 6, hlm. 54).
5. Adakanlah jadwal pertemuan sesering mungkin yang tema utamanya adalah
menyatakan Kristus, dan dengarkanlah kesaksian-kesaksian mengenai apa yang telah Yesus
lakukan untuk kelompokmu.

77
6. Periksalah semua bahan penginjilan kita – pelajaran-pelajaran Alkitab, khotbah-
khotbah, traktat-traktat – untuk melihat apakah setiap pelajaran menyampaikan pokok
pelajaran khusus pada salib Kristus.
7. Evaluasilah, paling sedikit setiap tahun, seberapa baiknya kita sudah menyambut
tantangan Laodikia: “ ‘Aku kaya, dan akau telah memperkayakan diriku dan aku tidak
kekurangan apa-apa.’ Tetapi aku tidak menyadari bahwa aku melarat, dan malang, miskin,
buta, dan telanjang” (Wahyu 3:17). Seberapa lebarkah kita telah membukakan pintu dan
membiarkan Kristus masuk? (ayat 20). (Ministry, Februari 1993).

Rujukan
1. Robert C. Worley, A Gathering of Strangers (Philadelphia: Fortress Press, 1983), hlm. 28-
29.
2. Ellen G. White, Testimonies for the Church (Mountain View, Calif: Pacific Press. Pub. Assn.
1948), jilid 5, hlm. 456-457.
3. Idem, Review and Herald, 25 September 1900.
4. Idem, Christ’s Object Lesson (Washington, D.C.: Review and Herald Pub. Assn., 1941), hlm.
69.
5. Ibid, hlm. 415, 416.
6. Idem. Testimonies, jld. 4, hlm. 88.
7. Idem, Steps to Christ (Mountains View, Calif: Pacific Press Pub. Assn., 1956), hlm. 46.
8. Idem, Fair and Works (Nashville, TN.: Southern Pub. Assn., 1979), hlm. 24.
9. Ellen G. White, surat no. 24, 1892
10. Ellen G.White dalam Review and Herald, 28 Agustus 1894.
11. Idem, Testimonies to Southern Africa, hlm. 64.
12. Idem, Colporteur Ministry (Mountain View, Calif.: Pacific Press Pub. Assn., 1953), hlm. 42.
13. Idem, Christ’s Object Lessons, hlm. 384.
14. Idem, The SDA Bible Commentary (Washington, D.C: Review and Herald Pub. Assn., 1957),
Komentar-komentar Ellen G. White, jilid 6, hlm. 1113.

78

Anda mungkin juga menyukai