Anda di halaman 1dari 20

KEWENANGAN, KUALIFIKASI DAN STANDART KOMPETENSI PENGAWAS DAN

KEPALA SEKOLAH DALAM MELAKSANAKAN SUPERVISI


A. Pengawas Sekolah
Pendidikan di Indonesia tersusun dengan instrument serta komponen yang
memiliki fungsi dan perannya masing-masing, komponen pendidik maupun tenaga
kependidikan diharapkan dapat mampu berkolaborasi dengan baik sesuai ketentuan
dan regulasi yang telah ditetapkan. Salah satu tenaga kependidikan adalah pengawas
sekolah yang memiliki peran dan tugas penting sebagai mitra kerja satuan pendidikan
dalam menjalankan proses pendidikan.
Pengawas sekolah adalah jabatan fungsional yang mempunyai ruang lingkup
tugas, tanggung jawab dan wewenang untuk melaksanakan kegiatan pengawasan
akademik dan manajerial pada satuan pendidikan. Untuk melaksanakan rangkaian
tugas tersebut, seorang pengawas/ supervisor sekolah dipersyaratkan untuk memiliki
kualifikasi, standart kompetensi dan kewenangan sebagai pengawas/supervisor yang
akan diuraikan berikut ini.
1. Kualifikasi pengawas/Supervisor Sekolah
2. Standart
Pengawas sekolah memiliki peran yang sangat strategis dalam peningkatan kualitas
di satuan pendidikan terutama dalam melakukan penjaminan mutu yang berkualitas, oleh
karena itu untuk menjadi pengawas dalam satuan pendidikan, diPersyaratkan memiliki
kualifikasi akademik yang terdiri atas kualifikasi umum dan kualifikasi khusus. Kualifikasi
umutn diperuntukkan bagi semua pengawas dalam satuan pendidikan dengan ketentuan
sebagai berikut :
a) Memiliki pangkat/golonan minimal penata/lllc.
b) Berusia maksimal 50 Tahun terhitung mulai tanggal pengangkatan sebagai pengawas
dalam satuan pendidikan.
c) Menniliki pengalatnan sebagai guru, wakaur atau kepala sekolah berprestasi.
d) Lulus seleksi sebagai pengawas pada satuan pendidikan
Kualifikasi khusus yang dipersyaratkan untuk menjadi seorang pengawas sesuai
dengan jenjang satuan pendidikan sebagai berikut :
a. Pengawas TK/RA/BA, SD/MI
1. Pendidikan Minimal SI Kependidikan dengan keahlian pendidikan ke-TK/ SD-an.
2. Memiliki sertifikat sebagai Guru TK/ SD dengan pengalaman kerja minimal 8
tahun atau kepala sekolah TK/ SD berpengalaman kerja minimal 4 tahun.
b. Pengawas pendidikan khusus (PLB)
1. Pendidikan minimal SI kependidikan dalam rumpun ma ta pelajaran pendidikan
khusus.
2. Memiliki sertifikat sebagai guru PLB dengan pengalaman kerja minimal 8 tahun
atau kepala sekolah PLB berpengalaman kerja minimal 4 tahun.
c. PengawasSMP/MTS
1. Pendidikan minimal S2 kependidikan dengan berbasis SI Kependidikan atau
SI non kependidikan plus akta dalam rumpun mata pelajaran MIPA, IPS
Bahasa, Olahraga, Seni budaya, Bimbingan dan konseling sesuai dengan
kurikulum yang berlaku.
2. Memiliki sertifikat sebagai guru SMP/ MTS dengan pengalaman kelja
minimal 8 tahun atau kepala sekolah SMP/ MTS berpengalaman kerja
minimal 4 tahun.
d. Pengawas SMA/ MA
1. Pendidikan minimal S2 kependidikan berbasis SI kependidikan atau SI non
kependidikan plus akta dalam rumpun mata pelajaran MIPA, IPS, Bahasa,
Olahraga, Seni budaya, Bimbingan dan konseling sesuai dengan kurikulum yag
berlaku.
2. Memiliki sertifikat sebagai guru SMA/MA dengan pengalaman kerja minimal 8
tahun atau kepala sekolah SMA/MA berpengalaman kerja minimal 4 tahun.
e. Pengawas SMK/MAK
1. Pendidikan minimal S2 kependidikan berbasis SI kependidikan atau SI non
kependidikan plus akta dalam rumpun mata pelajaran MIPA, IPS, Bahasa,
Olahraga, Seni budaya, Bimbingan dan konseling sesuai dengan kurikulum yag
berlaku.
2. Memiliki sertifikat sebagai guru SMA/MA dengan pengalaman kerja minimal 8
tahun atau kepala sekolah SMK/MK berpengalaman kerja minimal 4 tahun.
Kualifikasi akademik yang sudah ditentukan tersebut dijadikan dasar
dalam melaksanakan rekrutment atau seleksi calon pengawas dalam satuan
pendidikan dalam arti untuk mengikuti penjaringan sebagai pengawas sekolah
harus memenuhi kualifikasi tersebut untuk selanjutnya mengikuti sleksi sesuai
déngan alur penjaringan yang telah di tentukan.

2. Standart Kompetensi Pengawas/ Supervisor Sekolah


Guru yang diangkat dalam jabatan sebagai pengawas yang di sebut sebagai pengawas
sekolah diberikan tugas untuk melakukan penilaian atas kinerja kepala sekolah dan guru serta
memberikan penilaian atas kinerja tersebut. Kegiatan penilaian dan pembinaan dilaksanakan
dalam benttik supervisi akademik maupun supervisi manajerial, selain itü pengawas sekolah
juga diberikan tugas untuk melakukan kegiatan pembimbingan dan pelatihan professional
kepada guru yang menjadi binaannya, sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan nasional
Nomor 12 Tahun 2007 tentang standar kompetensi pengawas sekolah yang mencakup: I)
kompetensi kepribadian; 2) kompetensi supervisi manajerial; 3) kompetensi supervisi
akademik; 4) kompetensi evaluasi pendidikan; 5) kompetensi penelitian pengembangan; dan
6) kompetensi sosial.
3. Pelaksanaan Supervisi oleh Pengawas sekolah
Pelaksanaan supervisi oleh pengawas sekolah dijelaskan oleh Nurdila (2015),
pengawasan pendidikan adalah kedudukan yang strategis dan penting dalam peningkatan
kualitas atau mutu proses pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Oleh karena itü para
supervisor pendidikan dalam hal ini pengawas sekolah diwajibkan untuk memiliki
kompetensi yang professional dalam melaksanakan kegiatan supervisi pembelajaran
(instructional supervision)' kemampuan profesional oleh pengawas akan sangat
berpengaruh dalam peningkatan kualitas pembinaan guru di sekolah yang bermuara pada
peningka tan kompetensi peserta didik. Oleh karena itü perlu upaya terus untuk
meningkatkan kualitas kinerja supervisor sekolah untuk memudahkan proses
pelaksanaan supervisi seacara bertanggungjawab
Pelaksanaan kegiatan pengawasan dapat menerapkan berbagai teknik supervisi
individual maupun kelomP0k dalam kegiatan supervisi nıanajerial. Bentuk Teknik
supervisi individual dimaksudkan adalahpelaksanaan supervisi yang diberikan 'kepada
seorang Kepala Sekolah atau personil lainnya yang mempunyai masalah khusus dan
bersifat perorangan sehingga dibutuhkan perlakuan sesuai dengan keunikan dari
permasalahan yang dihadapinya. Sedangkan teknik supervisi kelompok adalah proses
pelaksanaan program supervisi yang ditujukan pada dua, beberapa orang atau beberapa
Kepala sekolah yang diduga, berdasarkan atas hasil analisis kebutuhan, yanc memilikj
masalah serta kebutuhan atau kelemahan-kelemahan yang sama lalü dikelompokkan atau
dikumpulkan menjadi satu dalam sebuah kelompok kemudian diberkan layanan supervisi
sesuai dengan permasalahan atau kebutuhan yang mereka hadapi. Pelaksanaan Supervisi
pembelajaran itü dimaksudkan untuk membantu mengembangkan kemampuan
professional guru bukan untuk menilai kinerja guru dalam mengelolal pebelajaran.
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa fungsi pengawasan
atau supervisi dalam pendidikan tidak sekedar memberikan kontrol atau melihat segala
bentuk proses kegiatan yang telah dilaksanakan berdasarkan atas rencanâ yang telah
disusun, tetapi lebih kepada bentuk kegiatan dengan fungsi yang lebih luas mencakup
penentuan kondisi atau syarat personal maupun material yang dibutuhkan agar tercipta
proses kegiatan belajar mengajar/pembelajaran menjadi efektif dan prodüktif. Bentuk
supervisi yang dilakukan oleh kepala sekolah dan Pengawas sekolah dalam kegiatan
proses pembelajaran dikenal dengan nama supervisi pembelajaran. Secara konseptual,
supervisi pembelajaran merupakan serangkaian proses kegiatan untuk membantu guru
dalam mengembangkan segenap potensinya dalam mengelola proses kegiatan
pembelajaran demi tercapaianya tujuan pembelajaran.
B. Kepala Sekolah
Kepala sekolah sebagai leader atau pemimpin dalam satuan pendidikan atau
sekolah memiliki kewenangan untuk menjalankan peran sebagai motivator, fasilitator,
mediator controller yang memegang kendali dalam proses pelaksanaan pendidikan di
sekolah binaan atau tempat tugasnya.
1. Kualifikasi Kepala Sekolah
Kompetensi yang dipersyaratkan untuk menjadi kepala sekolah harus menguasai 5
dimensi sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 13 tahun 2007 tentang standar kepala sekolah/madrasah yaitu: seorang
kepala sekolah diharapkan memiliki kompetensi kepribadian, manajerial,
kewirausahaan, supervisi dan kompetensi social. Dengan kompetensi tersebut
diharapkan kepala sekolah dapat memiliki kemampuan maksimal dalam mengelola,
mengembangkan sekolah, memberdayakan potensi diri secara optimal, sehingga
dapat memacu peningkatan kinerja sekolah yang dipimpinnya kearah peningkatan
mutu, relevansi dan daya saing pendidikan yang semakin meningkat.
Sekolah sebagai satuan pendidikan yang mencetak insan generasi muda
diharapkan dapat membekali peserta didik untuk memiliki kemampuan bersaing
secara sehat, berfikir kritis, kreatif, inovativ, yang ditunjang dengan kemamptłan
dan keterampilan berkomunikasi yang baik dengan rasa percaya diri yang tinggi
serta semangat bekerjasama baik secara internal mauapun eksternal. Oleh karena itu
sangat
dibutuhkan seorang kepala sekolah Yang visioner dan memiliki kemampuan
yang unggul dâlam tata kelolď akuntabilitas dan pencitraan publik secara mandiri dan
bertanggungjawab.
2. Kewenangan Kepala Sekolah profesionalisme kepala sekolah sangat berpengaruh dałam
kinerja yang ditunjukkan. Sebagai pemegang otoritas tertinggi di sekolah, segala bentuk
kebijakan dan perilakunya akan menentukan ketercapaian tujuan program di sekolah. Jabatan
sebagai kepala sekolah adalah bentuk tugas tambahan Yang diberikan kepada guru untuk
fiîengelola dan memimpin keseluruhan proses dan substansi manajemen pendidikan di
sekolah.Kewenangan kepala sekolah Sebagai leader dan manager pendidikan di sekolah,
diwajibkan mempertanggungjawabkan keseluruhan keberhasilan dan kemajuan dałam proses
pendidikan pada sekolah yang dipimpinnya. Selain iłu seorang Kepala Sekolah juga di
haruskan untuk memiliki kemampuan dałam melaksanakan tugas nya sebagai edukator,
manager, administrator, supervisor, leader, innovator dan motivator yang disingkat menjadi
(EMASLIM) dengan rincian penjelasan sebagai berikut:
a. Peran Kepala Sekolah Sebagai Educator
Dałam menjalankan perannya, Kepala Sekolah perlu memiliki strategi untuk
meningkatkan profesionalisme tenaga kepefididikan di sekolah yang
dipimpin. Strategi tersebut antara lain menciptakan iklim sekolah yang
kondusif, memberi masukan kepada warga sekolah, memberikan dorongan
positif kepada tenaga kependidikan, dan mengadakan program akselerasi
bagi peserta didik yang cerdas diatas normal.
b. Peran Kepala Sekolah Sebagai Manager
Dałam rangka melakukan perannya sebagai manajer, Kepala Sekolah harus
mampu mengelola dan memiliki strategi yang tepat untuk memberdayakan
tenaga kependidikan melalui kerja sama, memberi kesempatan kepada
tenaga kependidikan dałam peningkatan profesi, dan mendorong partisipasi
seluruh tenaga kependidikan dałam program sekolah.
c. Peran Kepala Sekolah Sebagai Administrator
Peran dan tanggung jawab Kepala Sekolah sebagai administrator secara
spesifik adalah dalam hal pengelolaan: kurikulum, administrasi peserta didik,
administrasi sarana dan prasarana, administrasi kearsipan, dan administrasi
keuangan.
d. Peran Kepala Sekolah Sebagai Leader
Peran Kepala Sekolah sebagai seorang pemimpin harus mampu memberikan
petunjuk dan pengawasan guna meningkatkan kemampuan tenaga
kependidikan, menciptakan kerjasama dalam suasana penuh
persaudaraan„ menciptakan komunikasi dua arah, mengambil keputusan
bersama dan mendelegasikan wewenang, seta mampu mengorganisir
organisasi yang dipimpinya,
e. Peran Kepala Sekolah Sebagai Innovator
Dalam ajaran agama Islam sebenarnya kita selalu iminta untuk berinovasi.
Inti dari ajaran agama tersebut: Kalau hari ini sama dengan kemarin, maka
kamu akan menjadi orang yang merugi, kalau hari ini lebih baik dari dari
kemarin kamu adalah orang yang beruntung, tetapi kalau hari ini lebih buruk
dari yang kemarin maka celakalah kamu ( Hadis Nabi Muhamad, SAW ).
Dengan berpegang pada hadist ini maka baik langsung maupun tidak
langsung seseorang mesti berinovasi Terkait dengan inovasi tersebut maka
sebagai Kepala Sekolah harus memiliki, kreativitas, mau mengambil resiko,
memberikan ide-ide dan memunculkan sesuatu yang baru yang berupa
inovasi-inovasi sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan mutu
pendidikan di sekolahe
f. Peran Kepala Sekolah Sebagai Motivator
Peran Kepala Sekolah sebagai motivator dapat ditumbuhkan melalui
pengaturan lingkungan fisik, pengaturan suasana kerja, disiplin, dorongan,
penghargaan secara efektif, dan penyediaan sarana pembelajaran yang
memadai. Melalui perannya sebagai motivator akan mampu meningkatkan
kinner pendidik dan tenaga kependidikan.
g. Peran Kepala Sekolah Sebagai Supervisor
Supervisi dilaksanakan untuk mengetahui proses pelaksanaan kegiatan yang
dilaksanakan oleh guru dalam pembelajaran yang dilakukan secara berkala
oleh kepala sekolah. Bentuk kegiatan supervisi dilaksanakan dengan
kegiatan kunjungan kelas untuk mengamati proses pembelajaran secara
langsung di dalam kelas dengan tujuan untuk mengetahui efektivitas
pemilihan media dan pengunaan metode yang bisa mendukung pencapaian
tujuan pembelajaran dan meningkatkan keaktifan peserta didik. Berdasarkan
hasil supervisi ini, dapat diketahui kelemahan dan kekuatan dari guru dalam
melaksanakan proses belajar mengajar, tingkat penguasaan kompetensi,
sehingga dapat dibantu untuk peningkatan kualitas guru dengan mencarikan
solusi atas berbagai kelemahan dan memelihara serta mempertahankan
berbagai kekuatan atau keunggulan yang dimiliki dalam melaksanakan
proses pembelajaran.

3. Supervisi oleh Kepala Sekolah


Pelaksanan kegiatan supervisi oleh kepala sekolah dilakukan dalam 4 tipe
supervisi berdasarkan atas pelaksanaanya. Keempat tipe tersebut dapat dituliskan
sebagai berikut a) supervisi yang bersifat korektif yaitu kegiatan supervisi yang
lebih menekankan pada proses atau usaha untuk mencari-cari kesalahan orang yang
disupervisi (guru-guru); b) supervisi yang bersifat preventif yaitu kegiatan supervisi
yang menekankan pada usaha untuk melindungi guru-guru dari berbuat salah guna
mencegah terjadinya permasalahan atau ketidak tercapaian tujuan pembelajaran .
Guru-guru selalu diingatkan untuk tidak melakukan kesalahan dengan memberikan
mereka batasan- batasan, peringatan atau larangan-larangan terhadap berbagai
bentuk kegiatan. Dalam hal ini bisa dilaksanakan dalam bentuk informasi tentang
pedoman dalam bertindak; c) supervisi yang bersifat konstruktif yaitu tipe supervisi
jenis ini berorientasi ke masa depan, membangun, menolong guru-guru untuk selalu
melihat ke depan, untuk selalu belajar dari pengalaman, melihat hal-hal yang baru,
dan secara antusias mengusahakan perkembangan; dan d) supervisi yang bersifat
kreatif yaitu kegiatan supervisi yang menekankan pada usaha menumbuh-
kembangkan daya kreativitas guru, meningkatkan kemampuan guru dalam
berinovasi dengan peran kepala sekolalŕ sebagai pendorong atau membimbing
pelaksanaan kegiatan.
Usaha yang harus dilakukan oleh Kepala Sekolah sebagai supervisor adalah
sebagai berikut;
a) Membangkitkan dan merangsang guru-guru dan pegawai sekolah di dalam
menjalankan tugasnya masing-masing dengan sebaik- baiknya;
b) Berusaha mengadakan dan melengkapi alat-alat perlengkapan sekolah termasuk
media instruksional yang diperlukan bagi kelancaran dan keberhasilan proses
belajar mengajar;
c) Bersama guru-guru berusaha mengembangkan, mencari, dan menggunakan
metode-metode mengajar yang lebih sesuai dengan tuntunan kurikulum yang
sedang berlaku;
d) Membina kerja sama yang baik dan harmonis di antara guru-guru dan pegawai
sekolah lainnya;
e) Berusaha mempertinggi mutu dan pengetahuan guru guru dan pegawai sekolah,
antara lain dengan mengadakan diskusi-diskusi kelompok, menyediakan
perpustakaan sekolah, dan atau mengirim mereka mengikuti penataran-penataran,
seminar sesuai bidangnya masing-masing; dan
f) Membina hubungan kerja sama antara sekolah dengan instansi-instansi dałam
rangka peningkatan mułu pendidikan para siswa.
Kepala sekolah menjalankan perannya sebagai supervisor pada layanan
bimbingan dan konseling dengan memberikan pendampingan dan arahan dari proses
perancangan dan penyusunan program layanan, pelaksanaan layanan, hingga evaluasi
dan tindak lanjut layanan BK.
Pada proses assessment sebagai dasar penyusunan layanan BK, kepala sekolah
menjadi salah satu kompnen penting, karena kebijakan yang diberikan akan menjadi
pertimbangan penyusunan program layanan tersebut, lebih lanjut dałam pelaksanaan
layanan kepala sekolah akan mendampingi, memfasilitasi dan mensupervisi sepanjang
pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling.
Kepala sekolah melakukan pendampingan dałam pelaksanaan layanan
dimaksudkan terlibat dałam proses pelaksanaan layanan BK yang bersifat kolaboratif
profesional, selanjutnya kepala sekolah memfasilitasi pelaksanaan layanan BK
dimaksudkan memberikan ruang gerak pelaksanaan layanan sesuai dengan ketentuan
dana rah kinerja bimbingan dan konseling, sementara kepala sekolah juga harus
melaksanakan tindakan supervisi, yakni memastikan palayanan bimbingan dan
konseling berjalan dengan baik serta mencapai visi, misi, dan tujuan pelayanan
bimbingan dan konseling di sekolahnya.

SRUCTURED PEER SUPERVISION

A. Konsep Structured Peer Supervision (SPS )


Benshoff (1992) mendefinisikan Sructured peer supervisi sebagai pengaturan
timbal balik di mana rekan-rekanlbekerja sama untuk saling menguntungkan dengan
menekankan umpan balik dan mendorong para guru BK untuk belajar mandiri dan evaluasi
diri (Benshoff, JM 1992). Ketika mengeksplorasi perbedaan antara supervisi individu dan
supervisi teman sebaya, Akhurst et al (2006) mencatat bahwa sebagian besar penelitian
bidang supervisi dąn pelatihan psikologi memfokuskan pada supervisisatu Iawan satu
(diadik) dengan pelatih (supervisor) yang lebih berpengalaman. Akhurst et al mencatat
bahwa, sementara Sructured peer supervision kurang mendapat perhatian penelitian secara
luas sebagai model supervisi dalam konteks profesional tetapi lebih dihargai oleh praktisi
dalam bidang yang sesuai.
Selanjutnya Black et al (2003) menyatakan bahwa model teman sebaya
memberikan kontribusi yang unik dalam pengembangan pembelajaran siswa. Guru BK
juga menghargai manfaat penilaian sejawat namun dengan adanya umpan balik rekan
kadang dianggap kurang menyenangkan sehingga berdampak pada keengganan guru BK
untuk mengikuti kegiatan berlatih supervisi. Berbagai 'modell supervisi/konsultasi rekan
diperkenalkansehingga supervisi rekan sebaya menjadi lebih Popular. Pelaksanaan
supervisi dipimpin oleh pemimpin ahli dalam proses (bukan ‘rekan’ dalam arti murni) atau
tanpa pemimpin (‘rekan’ dalam arti murni). Kegiatan supervisi merupakan tanggung jawab
bersama an tara peserta, konselor,dan siappapun yang ada dalam Icelompok tersebut,
(Wagner & Smith 1979; Boders, 2012).
Ada tiga ‘bentuk’ supervisi/konsultasi sejawat yaitu hubungan diadik (dua teman
sebaya), triadik (tiga teman sebaya), dan kelompok (empat sampai sebelas rekan).
a) Dalam formulir pengawasan/konsultasi sejawat model hubungan dyadic, rekan-rekan
bertemu berpasangan. Peran supervisor dan supervisee (yang disupervisi) bergantian
baik dalam satu sesi atau sesi berturut-turut (Benshoff &Paisley,1996; Houston,
1990).
b) Dalam formulir pengawasan/konsultasi sejawat model hubungan triadic, rekan-rekan
bertemu bertiga. Peran teman sebaya bervariasi. satu rekan dapat mengambil peran
sebagai supervisor dan dua lainnya dalam satu sesi sebagai yang disupervi dan
satunya sebagai klien, Fokus dalam model' ini tertuju pada satu orang yang
disupervisi dan terjadwal setiap minggu untuk focus tertentu dan membagi waktu
secara merata antara kedua supervisi (Lawson et al., 2009); atau rekan bisa berganti
peran sebagai supervisor, supervisi dan pengamat baik dalam sesi atau dari satu sesi
ke sesi berikutnya. Dan begitu seterusnya dan akhirnya pengamat memberikan
umpan balik, (Hawkins & Shohet, 1989).
c) Dalam formulir pengawasan sebaya/konsultasi group, rekan sejawat bertemu dalam
kelompok empat sampai sebelas. Mereka dapat disebut sebagai l grupl profesional,
supervisor dan yang disupervisi bertemu secara teratur sebagai kelompok untuk
memberikan umpan balik dan saling mengawasi' (Kassan, 2010, hal.l) tanpa
membedakan kekuatan dalam anggota kelompok (Counseman & Webe r' 2004;
Proctor 2009) dan setiap anggota memiliki tanggung jawab yang sama dalam proses,
hasil, dan keputusan kelompok (Marks & Hixon, 1986). Anggota kebanyakan dar i
bidang pekerjaan yang sama, dengan kesamaan tingkat pengetahuan dan pengalaman,
sehingga dapat saling mendukung, dan saling membantu satu sama lain dengan
mengatur kembali, memperbaharui, dan menghubungkan dunia eksternal dan internal
mereka (Kobolt, 1994; Orga, 1997a).
Model ini populer di kalangan peserta pelatihan dalam model pengembangan
(Lenihan & Kirk, 1992; Corey, Haynes, Moulton, & Muratori, 2010) dan bahkan lebih
populer di kalangan praktisi praktisi di daerah/regional (Bailey et al., 2014) serta
sebagai tambahan untuk supervisi individu (Lenihan & Kirk, 1992; Lewis, Greenburg,
& Menetas, 1988; Kasan, 2010). Pelaksanaan supervisi ini secara berkesinambungan di
instansi dan atau sekolah (Corey et al., 2010; Hare & Frankena, 1972) untuk
mengembangkan professional guru BKdan ini sebagai persyaratan pembaruan
keanggotaan profesional/ asosiasi (Hawkins & Shohet, 2012; Bernard & Goodyear,
2014).
DalamSupervisi/konsultasi sejawat yang berfungsi dengan baik, kelompok,
dan anggota kelompok memiliki keinginan yang tulus untuk meningkatkan
kemampuan dan keterampilan (Chaiklin & Munson, 1983) dan dibawah
kepemimpinan yang visioner, supervisor, dan dalam proses dinamika kelompok
(Counselman & Weber, 2004; Proktor, 2008).
Berikut ini diuraikan secara singkat jenis-jenis dalam model SPS
A. Model supervisi/konsultasi sejawat dyadic
Model Remley et al. (1987) tidak memiliki pemimpin. Tujuannya adalah
untukmeningkatkan keterampilan konselor dan memberikan dukungan timbal balik
danafirmasi. Peran anggota adalah Ikonsultanl, masingmasing berkonsultasilain dengan
meninjau kaset dan studi kasus. Pertemuan awal terdiripengenalan dan Penetapan
tujuan, diikuti oleh dua sesi presentasi kasus lisan bergantian, kemudian empat sesi
ulasan kaset, satu sesi diskusi artikel jurnal, dan evaluasi pada titik tengah dan akhir.
Structured Peer Consultation Model (SPCM) seperti yang dikemukakan oleh
Benshoff (1992), (1989), (1993a); Benshoff dan Paisley (1996), didasarkan pada model
Remley et al. (1987). Para guru BK disupervisi dengan tujuan untuk mempersiapkan
konselor profesional. Dengan konselor yang profesional mereka beraltih supervisi
model SPCM dan selanjutnya guru bk profesional (supervisor) memberikan umpan
balik dan bantuan ekstra dalam pengembangan keterampilan dalam konseling serta
bagaimana menerapkan keterampilan tersebut secara efektif dengan klien mereka.
Dalam model ini, penekanannya adalah untuk memberikan konsultasi kepada
masing-masingdan saling membantu untuk mencapai tujuan yang ditentukan sendiri.
Kegiatan mencakup kegiatan pengawasan tradisional seperti menetapkan tujuan,
meninjau rekaman dan konsultasi kasus, diskusi konselingorientasi teoretis, eksplorasi
masalah konseling yang relevan pemeriksaan pendekatan individu untuk bekerja
denganklien. Model ini memberikan struktur yang jelas dan rinci tentang proses
konsultasi teman untuk merijaga teman sebaya untuk fokus padatugas konsultasi
khusus dan memungkinkan modifikasi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
dan gaya masing-masing.
B. Model supervisi/konsultasi sejawat triadic
Dalam modefini, rekan-rekan bergiliran menyajikan dan memberikan umpan balik, dan
sering mengambil peran itu dari seorang komentator atau memberikan umpan balik
dari perspektif tertentu. Model Spice and Spice (1976) memiliki tujuan untuk
menyempurnakan keterampilan konselor dalam mempresentasikan pekerjaan sebagai
guru BK, umpan balik kritis, keterlibatan dalam dialog yang bermakna, dan
pendalaman proses di sini dan saat ini. Keberadaan pemimpin hanya ketika bekerja
dengan siswa untuk mengajari mereka tentang model. Jika tidak, anggota berputar
peran sebagai komentator, supervisorj dan fasilitator melalui sesi supervisi sejawat
berturut-turut. Pembawa acara menjelaskan/menunjukkan rekaman video sesi
konseling, yang ditinjau sebelum sesi oleh komentator yang berbagi pengamatan dan
mendorong diskusi tentang poin-poin yang dianggap paling penting. Fasilitator
berfokus pada saat ini dan dişini untuk be dialog untuk memperdalam profesi konselor.
Model Lawson et al. (2009) fokus tunggal dengan seorang pemimpin yang
merupakan supervisor/ (supervisor-in-training). Anggota mengambil peran atau
perspektif berdasarkan Borders (1991) dan Wilburdkk. (1991) atau teknik tindakan
lainnya, seperti yang diminta. Setelah mendalami rekaman video maka selanjutnya
mem berikan umpan balik tentang peran/perspektif dan tugas mereka. Supervisor
kemudian memfasilitasi diskusi sebagai moderator dan pengamat proses, merangkum
umpan balik dan menyarankan cara-cara di mana umpan balik dapat diterapkan dalam
Model Stinchfield et al. (2007). Model Reflektif dari Pengawasan Triadik (RMTS).
bertujuan untuk mendorong para konselor melaksanakan refleksi dengan berdiskusi.
Pemimpin menginstruksikan anggota mengenai proses dan kemudian memfasilitasi
proses. Anggota memiliki figa peran bergilir: peran sebagai supervisor, peran reflektif,
dan peran pengamat-reflektor. Biasanya, Süpervisi menyajikan rekaman sesi dan
mendiskusikan- nya dengan supervisor sementara teman yang lain berperan sebagai
pengamat-reflektor. Selanjutnya melaksanakan diskusi sesi supervisi antara rekan dan
supervisor, sedangkan rekan dalam peran reflektif hanya mendengarkan dan dalam
keadaan diam Supervisor kemudian memproses peran reflektif dengan supervisee
sementara rekan mengamati (lihat juga, Stinchfield, Hill, &Kleist, 2010).
Peran Sructured peer supervision dalam membantu pengembangan klinis
peserta pelatihan. Misalnya, Seligman (1978) menemukan bahwa supervisi teman
sebaya membantu meningkatkan tingkat empati, rasa hormat, keaslian dan konkrit.
Dengan supervisi yang mendasarkan pada pendekatan dan filosofis psikologi konseling
humanistik, aliran Rogerian maka dapat memberikan dampak pada diri guru BK
merasa gembira dan nyaman dan menyenangkan (Rogers 2004). Demikian juga
pelaksanaan supervisi berbasis humanistik dapat meningkatkan profesional guru BK
dan dampaknya para guru BK akan merasa senang di supervisi.
Wagner dan Smith (1979) juga mencatat bahwa partisipasi dalam supervisi
teman sebaya dapat menghasilkan I kepercayaan diri yang lebih besar, peningkatan
arah diri, penetapan tujuan yang lebih baik danarahan dalam sesi konseling,
penggunaan model yang lebih besar sebagai pengajaran dan pembelajaran teknik, dan
meningkatkan partisipasi bersama dan kooperatifl. Kualitas ini, semua konsisten
dengan kerangka epistemologis psikologi konseling sebagai respon untuk
meningkatkan pelatihsan supervisi teman sebaya.
Berbagai 'model' supervisi/konsultasi teman sebaya (rekan) diperkenalkan dan
berdampak pada supervise rekan menjadi lebih populer, Hal ini tentunya memberikan
dampak positif pada pelaksanaan supervisi itu sendiri. Pelaksanan supervisi model ini
dilakukan oleh pemimpin yang profesional dan dengan demikian maka proses berjalan
dengan baik dan benar (bukan 'rekanl dalam arti murni) atau tanpa pemimpin ( ‘rekan’
dalam arti murniakal). Tanggungjawab pemimpin dan peserta dalam supervisi berfokus
pada tujuan, tugas dan strukturyang sesuai dengan pedoman (Misalnya, Wagner &
Smith, 1979; Boders, 2012).
B. Langkah-langkah pelaksanaan Sructured peer supervision
Langkah-langkah structured peer supervision menrut ramsey 1987 adalah
sebagai berikut :
1. Sesi kesatu : Informasi Latar Belakang danPenetapan Tujuan Peer supervisor
pertama-tama konselor menjelaskan mengapa berlatih supervisi dan mengapa
memilih pendekatan serta memberi informasi tujuan yang ingin diharapakan
melalui pelatihan ini
2. Sesi kedua : Kasus yang dipresentasikan
Setiap konselor menyajikan studi kasus singkat. Kasus yang dipilih untuk
dipresentasikan harus yang terkait dengan salah satu masalah yang menjadi
menjadi salah satu yang dianggap paling sulitbagi konselor
3. Sesi ketiga: Ulasan Kaset untuk Konselor Pertama
Satu konselor mengambil peran sebagai supervisor dengan yang lain
mengambil alih peran supervisi.
4. Sesi keempat : Ulasan untuk Konselor Kedua
Rekaman audio atau rekaman video konselor kedua ditinjau dan dievaluasi.
5. Sesi kelima ; Diskusi dari Bacaan
Konselor berbagi informasi dan mendiskusikan reaksi dan pemikiran tentang
artikel jurnal yang telah mereka baca
6. Sesi keenam : Evaluasi pertama
Rekan-rekan menyelesaikan beberapa tugas selama sesi ini: (a) meninjau
individu tujuan dan sasaran dan membuat revisi seperlunya, (b) meninjau
rekan proses supervisi dan keefektifannya selama ini, (c) mendiskusikan
masalahmasalah terkini yang dihadapi oleh masing-masing konselor (m•asalah
klien, kesulitan khusus untuk bekerja) situs atau populasi klien), dan (d)
bertukar kaset audio 01- kaset video untuk diteliti kembali
7. Sesi ke tujuh dan ke delapan : Rekaman Kedua
Sesi ini klien yang ditinjau tidak harus dengan klien yang sama yang dibahas
sebelumnya.
8. Sesi ke sembilan : Presentasi Kasus dan Isu Saat Ini
Konselor mendiskusikan masalah konseling saat ini, klien yang sulit (konselor/
presentasi), dan isu-isu dałam konseling yang menjadi kepentingan bersama
9. Sesi ke sepuluh : Evaluasi
Teman Sebaya mengevaluasi pedoman yang ada di supervisor
C. Keunggulan dan kelemahan model SPS
Keunggulan
Semakin banyak bukti empiris yang mendukung kontribusi potensial dari
structured peer supervision dałam bidang terapi Yang berbeda, dengan kedua peserta
pelatihan dan berlatih terapis• Namun, sebagian besar bukti yang dikumpulkan
ditinjaU efektivitas model berbeda karena sistem pengumpulan data' apakah dengan
cara santai atau informal dan atau sepenuhnya berdasarkan kesaksian pribadi (Avent et
al., 2015).
1. Studi Bailey et al. (2014); Corey dkk. (2010); Hawkins dan Shohet
(2012); Remley dkk. (1987); Houts (1980); Kasan (2010)' menyimpulkan
bahwa peserta dałam structured peer supervision memiliki : peningkatan
pertumbuhan dan morał Yang mendalam, harga diridan kemandirian,
otonomi' resolusi konflik; lebih besarkesadaran akan kekuatan dan
kelemahan seseorang, keterbatasan pekerjaan; lebih toleran terhadap
perbedaan; jaringan yang lebih besar, pembelajaran danmenguasai teknik
klinis; pengembangan profesional berkelanjutan; berkurangnya
ketergantungan pada otoritas; Peserta puas dengan pengalaman
merekadalam memenuhi tujuan individu yang berkaitan dengan kasus-
kasus sulit, etika danmasalah profesional, dan mengatasi isolasi praktik
swasta.
2. Penelitian Kassan (2010) dilakukan melalui wawancara terhadap 34
psikoterapis (24 wanita, 10 pria) dari 20 teman sebaya yang berbeda
kelompok, terutama psikoanalis dan dari New York, yang telah
menghadiri kelompok mereka dari 1- lebih dari 30 tahun, ditemukanyang
paling dilaporkan merasa aman untuk hadir, memperoleh komunitas,
kolegialitas, dan koneksi ke rekan-rekan lain dalam kelompok,
menghargai kebebasan dan kesetaraan, dan sebagian besar tidak bias dan
tidak berada dalam kelompok.
3. Studi Hamlin dan Timberlake (1982); Lewis dkkAl. (1988); Marks dan
Hixon (1986); Schreiber dan Frank(1983); Wendorf dkk. (1985),
menunjukkan bahwa supervisi structured peer supervision: memberikan
wawasan lingkungan yang menarik bagi pelajar. Berdasarkan kaji ulang
pengalaman di mana para praktisi menyatakan bahwa model ini
bermanfaat untuk pendidikan yang berkelanjutan. Validasi menunjukan
bahwa terdapat peningkatan reflektifitas dan opsi dari berbagai kerangka
kerja; mengembangkan kesadaran yang lebih besar tentang kontra-
transferensi dan proses paralel; dan tidak memiliki kompromi dengan
otoritas.
4. Penelitian Seligman (1978); Wagner dan Smith (1979); Hansen dkk.
(1982); Benshoff dan Paisley (1996);cStoltenberg (1981), menujukan
bahwa praktisi yang melaksanakan model structured peer supervision
mengalami meningkatkan empati, rasa hormat, keaslian, konkrit,
kepercayaan diri, pengarahan diri sendiri, tujuan pengaturan, penggunaan
model, partisipasi gotong royong dalam sesi supervisi, ketegasan,
dukungan, .tanggung jawab untuk pengembangan diri; berkurangnya
ketergantungan pada otoritas; sedang berlangsung pengembangan
profesional; dihargai: dukungan, dorongan, kekurangan evaluasi,
kesetaraan dan kebebasan; peningkatan repertoar keterampilan dan teknik
tertentu.
5. Studi Bailey et al. (2014); Corey dkk. (2010); Hawkins dan Shohet (2012);
orga dkk. (2001); Remley dkk. (1987); Houts (1980); Rempah dan Rempah
(1976); Kasan (2010), menyimpulkan bahwa peserta dalam structured peer
supervision memiliki: peningkatan dalam perkembangan moral, harga diri
dan kemandirian, otonomi, resolusi konflik; lebih beşar kesadaran akan
kekuatan dan kelemahan seseorang, keterbatasan pekerjaan; lebih toleran
terhadap perbedaan; jaringan yang lebih besarı pembelajaran dan
menguasai teknik klinis; pengembangan profesional berkelanjutan;
berkurangnya ketergantungan pada otoritas;
6. Borders (2012); Hein and Lawson (2008, 2009); Hein, Lawson, and
Rodriguez (2011, 2013); Lawson, Hein, and Stuart (2009, 2010);
Stinchfield, Hill, and Kleist (2010), meneliti model TRIADIC. Mereka
melaporkan bahwa baik supervisor maupun supervisee, menghargai
peluang untuk belajar, banyak dan perspektif yang beragam saat menerima
supervisor dan dengan umpan balik, menjadi lebih mudah untuk memahami
7. Studi empiris Model Supervisi Sejawat Dyadicoleh Benshoff (1993a);
Benshoff dan Paisley (1996) mencatat bahwa peserta merasa sesi tersebut
sangat membantu dalam memberikan dukungan, dorongan, dan ide-ide
praktisı dan membantu mereka berkembang keterampilan konsultasi
mereka.

Kelemahan
Studi Meyerstein (1977) menyimpulkan bahwa beberapa peserta pelatihan
dipelatihan tingkat dasar menolak supervisi teman sebaya karena mereka percaya bahwa
mereka tidak dapat belajar dari rekan-rekan lainnya.
1. Studi empiris Model Supervisi Sejawat Dyadicoleh Benshoff (1993a); Benshoff dan
Paisley (1996), menunjukkanbahwa peserta kurang puas dengan kemampuan rekan
mereka untukmensupervisi mereka.
2. Penelitian Borders (2012); Hein dan Lawson (2008,2009); Hein dkk. (2011, 2013);
Lawson, Hein, dan Getz (2009) model triadik supervisi/konsultasi teman
mencatatbahwa supervisor kadang-kadang merasa tidak nyaman memberikan umpan
balik, terutama kepada rekan-rekan mereka; pasangan yang tidak cocok supervisi,
yang berkaitan dengan berbagai tingkat keterampilan konseling, tingkat
perkembangan atau kepribadian. Dengan demikian, diperlukan supervisor yang
mampu memberikan umpan balik yang tepat.
3. Studi Hawkins dan Shohet (1989); Marks dan Hixon(1986), menunjukkan bahwa
tidak adanya supervisor dapat mengubah dinamika kelompok dan berfungsinya
kelompok sebaya, yang mungkin berdampak negatif terhadap pembelajaran karena
koalisi dapat terbentuk mencegah memfasilitasi komunikasi antar instansi,
mengurangi kepercayaan satu sama lain, dan menolak pengungkapan diri.
4. Counselman dan Weber (2004) menyimpulkan bahwa ketakutan akan keberadaan
dikritik dapat menyebabkan grup menjadi 'terlalu baik l menyebabkan kurangnya
tantangan, mengganggu pembelajaran dan pertumbuhan pribadi, konflik diabaikan,
dan tidak ada kontrak selain untuk kerahasiaan sedangkan Donnellan (1981); Orga
(1996) menyarankan bahwa kebutuhan kelompok .mungkin mendominasi diskusi
dengan akibat dan mengorbankan tugas supervisi.
5. Studi Goldberg (1981); Kasan(2010); Counselman dan Weber (2004) menemukan
bahwa kurangnya pelatihan, struktur kelompok atau tidak ada perhatian yang
diberikan pada proses/tugas dapat mengakibatkan: kelompok menjadi kelompok
gosip/obrolan/diskusi/ terapi sesi, keterampilan klinis mungkin tidak cukup untuk
menangani pengawasan masalah, prosesnya bisa memudar, kolusi biasa terjadi,
sesikurang teliti, anggota mungkin merasa kehilangan semangat/dikritik, Meskipun
ada peningkatan dukungan untuk konsultasi rekan/supervisor sebagai terapis, dan
antusias mereka tentang pengalaman supervisj teman sebaya, tetapi penelitian
tentang efek supervisi teman sebaya terhadap perkembangan berkelanjutan konselor
menunjukkan kesulitan dan ketepatan dalam mengidentifikasi dampak model ini.
Dengan demikian, diperlukan penelitian lebih lanjut yang akan: mengidentifikasi dan
mengukur kontribusi unik dari supervisi teman, / pengalaman konsultasi untuk
pengembangan terapis; membandingkan model konsultasi teman dan supervisi
tradisional terhadap masing-masing dan menentukan kontribusi masing-masing dan
jenis pengalaman untuk pengembangan terapis yang berkelanjutan; atau focus pada
hasil model supervisi teman Avent dkk. (2015).
6. Gaie Houston (1985) (dikutip dalam Hawkins & Shohet, 2006,hal.166) menyatakan
bahwa kurangnya fasilitator dari luar untuk mengawasi prosesnya dapat
mengakibatkan masalah, dan akan muncul subyektivitas dan merasa 'Kami semua
sangat luar biasal, serta menujukan egonya sperti katakata berikut ini 'Siapa
supervisor terbaikl, Idalam menangani pasien'.
D. Rolle Model pelaksanaan Sructured peer supervision
Rolle Model pelaksanaan Sructured peer supervision yaitu penasihat harus
memilih supervisor sebaya yang tertarik untuk mengevaluasi dan menyempurnakan
keterampilan konseling mereka. Penting bahwa kedua belah pih ak merasa nyaman dalam
hubungan dan bebas untuk mengeksp10rasi konseling tanpa takut dikritik keras.
Structured peer supervision akan memberikan pengalaman yang berbeda, pelatihan
pendidikan, gaya konseling, dan strategi klinis ke dalam proses komunikasi. Meskipun
kepercayaan adalah elemen yang paling penting, faktor tambahan yang tercantum di
bawah iniyang harus diperhatikan dalam memilih teman sejawat dalam structu red peer
supervision:
a) Tingkat pelatihan dan pengalaman teman sejawat.
Konselor akan jarang menemukan teman kerja yang memiliki tingkat keahlian sama
persis. Kedua konselor harus menyadari, bagaimanapun, bahwa konselor yang lebih
berpengalaman memiliki banyak keuntungan dalam mensupervisi teman sebaya
dibandingkan dengan yang kurang berpengalaman. Seorang supervisor teman dengan
pelatihan dari lulusan pascasarjana yang ekstensif mungkin menawarkan pengetahuan
yang lebih luas daripada lulusan baru, tetapi lebih sedikit konselor berpengalaman
yang bisa membawa teori dm ide yang didapat baru-baru inidi sekolah pascasarjana.
Peer supervisor yang lebih berpengalaman mungkin lebih mampu mendiskusikan
banyak pengalaman pribadi mengenai suatu masalah, tetapi dengan teman sebaya
kurang berpengalaman agak sulit memberikan dan membawa perspektif baru.
b) Landasan teoritis structured peer supervision.
Ketika teman sejawat berbagi orientasi konseling yang sama, maka waktu yang
dibutuhkan lebih sedikit untuk menyesuaikan gaya khusus setiap konselor. Structured
peer supervision dengan filosofi konseling yang berbeda, bagaimanapun, mungkin
memotivasi satu sama lain untuk mengartikulasikan pendekatan yang digunakan
dengan klien dan memberikan wawasan baru dari perspektif yang berbeda.
Berdasarkan temuan penelitian, Friedlander dan Ward (1984) menyarankan bahwa
konselor pemula mendapat manfaat lebih dari supervisor kognitif-perilaku, dan
berorientasi pada tugas, sedangkan konselor yang lebih berpengalaman bekerja lebih
baik déngan psikodinamik.
c) Setting kerja dari struct red peer supervision.
Seorang supervisor dipilih di antara konselor yang dapat memberikan kerangka umum
tentang pedoman dan menjadi panutan siapa teman yang dapat ditemui dan bisa
dijadwalkan dengan mudah. Namun, perlu diperhatikan bahwa konselor dari tempat
yang berbeda akan memberikan saran yang obyektif dan pandangan yang berbeda
dibandingkan dengan konselor dari tempat kerja yang sama
d) Jenis kelamin rekan sejawat. 'Penelitian Worthington arid Stern (1985) menemukan
bahwa supervsi yang dilakukan berdasarkan jenis kelamin tidak berdampak pada
keberhasilan dalam supervisi. Namun sebaliknya Orlinsky dan Howard (1980),
berdasarkan temuan penelitianya bawa konselor dengan jenis kelamin yang sama
mereka akan merasakan hubungan yang lebih dekat dan memberikan lebih banyak
pengaruh kepada supervisee mereka daripada konselor yangmensupervisi dari jenis
kelamin Iain.
E. Pemanfaatan hasil SPS dalam program BK
Kebanyakan konselor setuju bahwa metode yang efektif untuk meningkatkan
ketrampilan konseling adalah untuk mengevaluasi praktek mereka secara teratur.
Supervisi diusulkan sebagai metode yang diasumsikan dapat digunakan untuk
memantau pekerjaan seseorang (Meyer, 1978; Yager & Park, 1986)• Hal ini sesuai
dengan temuan Meyer 1978 ) bahwa konselor sangat diuntungkan dengan adanya umpàn
balik.
Structured peer supervision dalam bimbingan dan konseling dimaksudkan
sebagai pedoman untuk supervisi. Model supervisi yang bersifat pengembangan
dianjurkan untuk diikuti sesuai langkah-langkah yang telah diuraikan sesuai urutan
seperti yang disajikan dalam siklus pertama. Setiap sesi berlangsung selama 1 jam.
Setelah penyelia sejawat bekerja melalui model sepuluh langkah, mereka melakukan
evaluasi dan membuat modifikasi yang diperlukan untuk mengakomodasi kebutuhan dan
gaya tertentu (Theodore P. Remley, Jr. James M. Benshoff Carol a. Mowbray: 1987).
Adapun langkah-langkah model sebagai berikut :
1. Sesi kesatu: Informasi Latar Belakang dan Penetapan Tujuan Peer supervision
pertama-tama menjelaskan tentang bentuk pendekatan. Untuk berkomunikasi
secara efektif setiap konselor hendaknya memahami makna khusus konsep konsep
tertentu yang berlaku untuk yang lain. Pada pelaksanaan model ini diawali dengan
diskusi yang mencakup tentang teori dan filosofi konseling seperti: (a) pengaruh
utama pendidikan sekolah terhadap siswa (b) pengalaman pelatihan lain yang telah
mempengaruhi praktik konseling mereka, (c) teori dan posisi filosofis yang muncul
sebagai hasil dari pengalaman mengikuti konseling (d) filosofi umum kehidupan,
(e) deskripsi proses yang biasanya terjadi ketika mereka menasihati klien, dan (f)
pengalaman apa saja yang dapat memunculkan sebuah ide yang telah
mempengaruhi pemikiran mereka.
Pada tahap awal peer supervision, peserta harus mengklarifikasi tujuan yang
ingin dicapai oleh setiap individu selama waktu yang terbatas.Bisa dibilang,
masing-masing akan memasuki supervisi dengan dua atau tiga tujuan umum. yang
dapat disempurnakan pada pertemuan pertama. Sebuah penilaian diriketerampilan
konseling harus diselesaikan oleh setiap teman sebaya. Konselor menggunakan
skala penilaian yang disarankan oleh Boyd (1978), atau evaluasi perilaku Objektif
proses yang ditawarkan oleh Holahan dan Galassi (1986) dan dua-duanya terkait
dengan kemungkinan teknologi yang mungkin bisa dipertimbangkan.
Untuk memperoleh hasil yang obyektif diperlukan alat Penilaian dan
evaluasi, meskipun merena swelain meningkatkan Obyektivitas juga membatasi
fokus pengawasan dalam Sesi Untuk pengembangan keterampilan konseling.
Alasannya, penetapan tujuan adalah hal yang efektif apabila itu dirancang untuk
memenuhi kebutuhan pribadi. Selama wawancara pertama, beberapa pertanyaan
yang disampaikan adalah sebagai berikut: (a) Apakah setiap orang memiliki
pemahaman yang jelas? Dan tujuan orang Iain? (b) Bagaimana peer supervision
akan membantu mencapai tujuan? (c) Strategi apa yang dapat membantu mencapai
tujuan? (d) Apakah ada yang spesifik? perubahan individu ingin melihat terjadi
selama pengawasan rekan? iTugas terakhir dari sesi pertama ini adalah adanya
kesepakatan (kontrak) para konselor selama sembilan sesi dalam peeř supervision.
Yang penting keduanya antara supervisor dengan konselor membuat komitmen
yang kuat untuk proses ini selama waktu tertentu. Selama sesi ke-10, mereka akan
mengevaluasi pengalaman mereka dan memutuskan apakah akan melanjutkan atau
mengakhiri sesi ini. Akhir sesi pertama, setiap konselor menyetujui akan membawa
rekaman audio atau rekaman video sesi klien ke pertemuan peer supervision
berikutnya.
2. Sesi kedua: Kasus Presentasi Studi
Setiap konselor menyajikan studi kasus singkat. Kasus yang dipilih untuk
prasentasi harus menjadi salah satu yang konselor alami dari beberapa
kesulitan.Ada banyak keuntungan dalam menjadwalkan studi kasus lebih
didahulukan. Studi kasus dalam bentuk persentasi merupakan perangkat standar
yang harus menjadi panduan untuk semua konselor. Studi kasus juga bisa menjadi
dasar untuk; berinteraksi yang relatif Ilamanľ dan tidak mengancam' memberikan
pilihan kesempatan bagi rekan sejawat untuk membangun kepercayaan dan
mengembangkan hubungan baik.
Sebuah presentasi studi kasus dan diskusi menggunakan langkah-langkah
berikuti ini: (a) meninjau data pribadi; (b) meringkas riwayat konseling klien
termasuk masalah yang dialami, jumlah sesi dengan klien, pencapaian hingga saat
ini, dan faktor penghambat (jika ada); (c) nyatakan masalah terkini untuk konselor
(yaitu, apa yang membuat kasus ini terjadi?, (d) mengizinkan rekan sejawat untuk
mengajukan pertanyaan atau membuat pengamatan; (e) mendiskusikan masalah
klien; dan (f) mengembangkan strategi baru untuk memecahkan masalah dan untuk
bekerja lebih efektif dengan klien. Di akhir sesi kedua, konselor akan bertukar
kaset audio atau kaset video untuk ditinjau sebelum sesi berikutnya.
3. Sesi ketiga: Ulasan Kaset untuk Konselor Pertama
Satu konselor mengambil peran sebagai supervisor dengan yang lain mengambil alih
peran yang disupervisi. Selanjutnya konselor mengulas kaset dengan berbagai cara
agar memperoleh data yang obyektif. Untuk kegiatan pada fase ketiga ini segala
aktivitasnnya diserahkan pada superviseen agar dapat mengontrol arah dan fokus
kegiatan ini Supervisor dalam Peer supervision, memiliki tanggung jawab untuk
terbuka dan langsung dalam berbagi reaksi positif dan negatif terhadap sesuatu yang
disupervisi dengan sebuah teknik. Tujuan utama dari sesi review rekaman ini adalah
untuk memunculkan ide-ide baru tentang bagaimana bekerja lebih efektif dengan klien.
Sebagai upaya dalam pembukaan yang baik supervisor melakukan pengamatan atau
bertanya tentang tujuan dan arahintervensi konseling (dicatat dari review rekaman dan
terkait dengan orientasi teoretis dari orang yang disupervisi). Informasi tambahan yang
mungkin perlu dijelaskan tentang latar belakang klien, riwayat, presentasi masalah,
atau detail Penting lainnya yang tidak dapat diidentifikasi sewaktu analisis rekaman.
Supervisor harus menunjukkan masalah yang dihadapi klien ini dan mungkin ingin
memfokuskan Pengawasan pada pemahaman bersama tentang solusi untuk penentuan
terapeutik. Meskipun tujuan dari setiap sesi review ini seharusnya uiltuk membantu
orang yang disupervisi dalam meningkatkan keterampilan konseling khusus, konselor
dapat membahas masalah atau konflik teoretis yang muncul selama pengawasan.
4. Sesi keempat: Ulasan rekaman untuk Konselor Kedua
Rekaman audio atau rekaman video konselor kedua ditinjau dan dievaluasi. Di akhir
sesi ini, konselor harus memilih masalah:pertemuan berikutnya yang ingin mereka
dalami lebih jauh. Sebelum pertemuan berikutnya, masing-tnasing akan setuju untuk
membaca dua artikel jurnal pada topik yang dipilih.
5. Sesi kelima: Diskusi
Konselor berbagi informasi dan mendiskusikan reaksi dan pemikiran tentang artikel
jurnal yang telah mereka baca. Masing-masing secara informal menyajikan synopsis
artikel, memberikan perhatian khusus pada ide, konsep, atau teknik yang sangat
menarik atau menggugah pikiran. Penekanan utama harus pada reaksi konselor
terhadap bacaan. Selama waktu yang tersisa, konselor dapat secara singkat menyajikan
kasus masalah untuk diskusi. Konselor mungkin ingin saling memperbarui
pengalaman mereka dalam mencoba masukan dari Sesi ketiga dan keempat dengan
klien mereka.
6. Sesi keenam: Evaluasi
Rekan-rekan menyelesaikan beberapa tugas selama sesi ini: (a) mengkaji individu,
tujuan dan sasaran serta membuat revisi seperlunya, (b) mengkaji proses supervisi dan
keefektifannya selama ini, (c) mendiskusikan masalahmasalah terkini yang dihadapi
oleh masing-masing konse10r (masalah klien, khusus kesulitan untuk bekerja) situs
atau populasi klien), dan (d) bertukar kaset audio 01- kaset video untuk diteliti
kembali.
7. Sesi ketujuh dan kedelapan: Rekaman Kedua
Sesi ini klien yang dikaji atau dianaalisis tidak harus dengan klien yang sama pada
pembahasan sebelumnya.
8. Sesi kesembilan: Presentasi Kasus dan Isu Saat Ini
Konselor mendiskusikan masalah konseling saat ini, klien yang sulit (kasus
presentasi), dan isu-isu dalam konseling yang menjadi kepentingan bersama.
Seperti di Sesi kelima, konselor mungkin ingin memberikan "laporan kemajuan"
pada klien disajikan dalam sesi mereview rekaman sebelumnya.
9. Sesi kesepuluh: Evaluasi
Teman Sebaya mengevaluasi pengaturan supervisi. Konselor harus menilai
kemajuan menuju pencapaian tujuan dan sasaran yang digariskan di awal dan titik
tengah. Evaluasi dipandang sebagai latihan yang bermanfaat karena sejumlah
alasan:
1) Hal ini memungkinkan kesempatan untuk membandingkan dan
mengkontraskan harapan tentang supervisi.
2) Menyediakan format untuk meninjau tahapan dalam model supervisi.
Teman sebaya dapat mendiskusikan apakah perubahan atau adaptasi
dengan yang ada model dapat meningkatkan efektivitas supervisi
3) Membantu menentukan apakah hubungan teman sebaya telah meningkat
pengembangan pribadi dan profesional seperti yang diantisipasi.
Keüntungan yang dibuat selama supervisi dapat ditinjau dengan maksud
untuk mengeksplorasi strategi untuk pemeliharaan atau peningkatan
keterampilan.
4) Proses evaluasi membantu dalam mempengaruhi proses dan hubungan teman
sebaya dengan supervisor dalam menutup kegia tan supervisi.

Anda mungkin juga menyukai