Anda di halaman 1dari 127

Bab 14

Menghalalkan Sesuatu yang Haram


Dengan Alasan Maslahat

Syariat Islam telah mewajibkan sebagian


perkara dan mengharamkan perkara lainnya.
Syara’ tidak mengizinkan manusia untuk
merubah, mengganti dan menyelewengkannya.
Allah Swt sebagai Pembuat hukum yang Maha
Bijaksana telah memberikan keringanan
karena mengetahui bahwa manusia kadang-
kadang membutuhkannya. Namun, apabila
syara’ tidak memberikan keringanan maka
manusia tidak boleh berpaling dari hukum itu,
meskipun hawa nafsu dan bisikan setan
menyenanginya dengan dalih maslahat. Siapa
pun yang membolehkan perkara yang jelas-
jelas haram, atau mengharamkan perkara yang
nyata-nyata halal, padahal Allah tidak
memberikan kepadanya keringanan dalam
masalah itu, maka dia terjerumus dalam
kekafiran atau orang bodoh yang fasik.
Banyak orang yang menjadikan maslahat
sebagai dalil bolehnya bergabung dengan
sistem pemerintahan yang menerapkan sistem
jahiliah.
Mereka mengutip definisi maslahat, yang
berarti gambaran tentang suatu perbuatan yang
menghasilkan kemaslahatan atau manfaat yang
terus menerus, baik kepada khalayak atau pun
terhadap individu-individu. Mereka juga
mengatakan bahwa para ulama telah meneliti
syari’at dan penelitian itu telah memberikan
petunjuk kepada mereka bahwa syari’at itu
dibuat untuk kemaslahatan hamba di dunia dan
di akhirat.
Mereka menyebutkan tentang mashalih al-
mursalah dan segala perkara yang bersandar
kepada kaedah tersebut. Namun, mereka
mengatakan bahwa (bolehnya) bergabung
dengan sistem pemerintahan yang menjalankan
sistem jahiliah, tidak didasarkan kepada
mashalih al-mursalah, karena banyak nash
yang secara jelas menyebutkan dengan pasti
berdosanya bergabungnya di dalam sistem
pemerintahan yang menerapkan sistem
jahiliah. Mereka mengambalikan istidlalnya
kepada tarjih perkara yang lebih baik dari dua
kebaikan (khair al-khairaian), atau yang lebih
ringan dari dua keburukan (syarru asy-
syarrain), dan dalam rangka memperoleh
kemaslahatan yang lebih besar dengan
meninggalkan kemaslahatan yang lebih rendah
atau menolak kerusakan yang lebih besar
dengan memilih kerusakan yang lebih ringan.
Mereka mengatakan: Ini adalah jalan di
dalam syari’at yang telah jelas rambu-
rambunya. Islam telah mengharamkan khamar
dan perjudian dengan menyebutkan bahwa
keduanya memberikan manfaat bagi hamba,
akan tetapi manfaat keduanya amat sedikit
yang dikalahkan oleh kerusakan yang lebih
besar, yang ada pada khamar dan perjudian.
Syara’ juga telah mewajibkan peperangan
meskipun peperangan itu berakibat hilangnya
banyak jiwa orang-orang yang beriman dan
menghabiskan harta-harta mereka. Itu
disebabkan -kata mereka- karena perang
memberikan maslahat besar yang dsukai oleh
Rabb tabâraka wa ta’âla. Lagi pula di
dalamnya ada maslahat yang amat besar bagi
hamba.
Di dalam perjalanan sejarah Islam, para
ulama maupun penguasa sangat
memperhatikan metode ini ketika mereka
berjalan dengan (sistem hukum) Islam.
Rasulullah saw meninggalkan aktivitas
meruntuhkan Ka’bah, malah membangunnya
kembali dengan fondasi Nabi Ibrahim. Hal itu
memberikan maslahat yang amat banyak bagi
agama. Justru kerusakan yang ditimbulkan –
jika Ka’bah dihancurkan- jauh lebih besar
dibandingkan dengan merekonstruksiknya..
Rasulullah saw berkata kepada isterinya,
‘Aisyah:

Seandainya bukan karena kaummu adalah


orang-orang yang baru masuk Islam, pasti aku
akan menghancurkan Ka’bah, dan aku akan
membuat pintunya menjadi dua. (HR.
Tirmidzi dan Nasa’i).

Begitulah seterusnya.
Berdasarkan pada pandangan ini mereka
mengatakan: ‘Tidak ada keraguan lagi bahwa
bergabung dengan sistem pemerintahan yang
menerapkan sistem jahiliah mengakibatkan
kerusakan besar. Para penguasa di dalam
sistem ini menerapkan sistem thaghut (selain
hukum Allah), menentang perintah Allah serta
melanggar hukum-hukum-Nya. Firman Allah
Swt:
 ‫ِإِن اْلُح ْك ُم ِإَّالِِهلل‬
Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan
Allah. (QS. Yusuf [12]: 40)
‫ِم ْن َو ِلٍّي َو َال ُيْش ِر ُك ِفي ُح ْك ِم ِه َأَح ًد ا‬
Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi
sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan
(hukum). (QS. al-Kahfi [18]: 26)

Meskipun demikian mereka mengatakan:


‘Sesungguhnya banyak gerakan-gerakan
(Islam) pada sebagian kondisi melihat bahwa
bergabung dengan sistem pemerintahan yang
menerapkan sistem jahiliah dapat memberikan
kepada Islam, kaum Muslim dan gerakan
Islam manfaat yang amat besar. Malah
kadangkala dapat menjatuhkan thaghut dan
menaikkan yang hak’. Kami ingin mengutip
sebagian perkataan mereka dalam masalah ini
agar kita dapat memahami pendapat mereka
secara benar, juga agar kita memahami betapa
jauhnya pendapat mereka dari metode berpikir
yang syar’i pada saat metode berpikir mereka
digugat. Selanjutnya akan membawa implikasi
ditolaknya pendapat mereka. Mereka
mengatakan:
-Bergabung dengan sistem pemerintahan
jahiliah akan menjatuhkan seorang muslim
pada keadaan yang amat kontradiktif. Seorang
muslim dituntut untuk memerangi negeri-
negeri yang menerapkan hukum thaghut, maka
bagaimana mungkin dia turut serta menjadi
orang yang mendukung sistem itu? Allah
merasa heran dengan orang-orang yang
menyatakan bahwa mereka telah beriman,
setelah itu ia menerapkan hukum thaghut.
‫َأَلْم َتَر ِإَلى اَّلِذ يَن َيْز ُعُم وَن َأَّنُه ْم َءاَم ُنوا ِبَم ا ُأْنِز َل ِإَلْيَك َو َم ا ُأْنِز َل‬
‫ِم ْن َقْبِلَك ُيِر يُد وَن َأْن َيَتَح اَك ُم وا ِإَلى الَّطاُغوِت َو َقْد ُأِم ُر وا َأْن َيْك ُفُر وا‬
‫ِبِه َو ُيِر يُد الَّش ْيَطاُن َأْن ُيِض َّلُه ْم َض َالًال َبِعيًد ا‬
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-
orang yang telah mengaku dirinya telah
beriman kepada apa yang telah diturunkan
kepadamu dan kepada apa yang diturunkan
sebelum kamu? Mereka hendak berhakim
kepada thaghut, padahal mereka telah
diperintah mengingkari thaghut itu. Dan
syaithan bermaksud menyesatkan mereka
dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS.
an-Nisa [4]: 60)

-Tatkala mereka mentaati perkara yang


ditetapkan oleh para thaghut itu, mereka telah
melanggar perintah Allah. Mereka
menjadikannya tuhan-tuhan selain Allah
seperti yang Allah sebutkan terhadap keadaan
ahlul kitab.
‫ِن ِهلل ِس‬ ‫ِم‬
‫اَّتَخ ُذ وا َأْحَباَر ُه ْم َو ُر ْه َباَنُه ْم َأْرَباًبا ْن ُدو ا َو اْلَم يَح اْبَن َمْر َيَم‬
‫َو َم ا ُأِم ُر وا ِإَّال ِلَيْع ُبُد وا ِإَلًه ا َو اِح ًد ا‬
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan
rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah, dan juga mereka mempertuhankan al-
Masih putera Maryam; padahal mereka hanya
disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa.
(QS. at-Taubah [9]: 31)

Rasulullah saw telah menjelaskan kepada


Hathim bin ‘Adi makna (ayat) dari ‘mengambil
tuhan-tuhan selain Allah’ yang artinya
mentaati mereka pada saat mereka
menghalalkan apa yang Allah haramkan dan
mengharamkan apa yang Allah halalkan..
-Kami telah mengetahui bahwa para
penguasa yang ada sekarang ini telah
menggunakan orang-orang muslim yang saleh,
yang diminta untuk menjadi menteri, sebagai
ornamen yang menghiasi pemerintahan mereka
yang buruk. Hal itu mereka gunakan untuk
menipu orang-orang-orang awam dan bodoh.
Mereka berkilah: ‘Seandainya kami berada di
dalam kebatilan maka si fulan pasti tidak akan
mau bergabung dengan kami di dalam
pemerintahan’.
-Yang memperparah keadaan adalah
ketika para menteri muslim itu dijadikan
sebagai batu loncatan dikeluarkannya undang-
undang yang dzalim. Itu dilakukan setelah
mereka memperoleh apa yang mereka
inginkan. Kemudian sang menteri itu pun
disingkirkan.
-Bergabung dengan sistem pemerintahan
jahiliah sama artinya dengan memberikan
kepercayaan kepada orang-orang yang dzalim.
Allah Swt memperingatkan kita terhadap hal
itu.
 ‫َو َال َتْر َك ُنوا ِإَلى اَّلِذ يَن َظَلُم وا َفَتَم َّس ُك ُم الَّناُر‬
Dan janganlah kamu cenderung kepada
orang-orang yang zalim yang menyebabkan
kamu disentuh api neraka. (QS. Hud [11]:
113)
-Bergabung dengan sistem pemerintahan
jahiliah berarti memperpanjang umur
kebatilan.
-Kami berpendapat bahwa orang yang
bergabung dengan sistem pemerintahan
jahiliah termasuk kedalam golongan yang
disebut Allah di dalam al-Qur’an:
 ‫َو َمْن َلْم َيْح ُك ْم ِبَم ا َأْنَز َل اُهلل َفُأوَلِئَك ُه ُم اْلَك اِفُر وَن‬
Barang siapa yang tidak memutuskan (perkara
hukum) menurut apa yang diturunkan oleh
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang
yang kafir. (QS. al-Maidah [5]: 44)
 ‫َو َمْن َلْم َيْح ُك ْم ِبَم ا َأْنَز َل اُهلل َفُأوَلِئَك ُه ُم الَّظاِلُم وَن‬
Barang siapa yang tidak memutuskan (hukum)
menurut apa yang diturunkan oleh Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang
zalim. (QS. al-Maidah [5]: 45)
 ‫َو َمْن َلْم َيْح ُك ْم ِبَم ا َأْنَز َل اُهلل َفُأوَلِئَك ُه ُم اْلَف اِس ُقوَن‬
Barang siapa yang tidak memutuskan (hukum)
menurut apa yang telah diturunkan oleh Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang fasik.
(QS. al-Maidah [5]: 47)
Semua yang disebutkan tadi bukan
perkara yang tersembunyi dihadapan para
pemimpin gerakan (Islam) dan para da’inya.
Kejelasan ayat dan penunjukkan dalilnya juga
tidak tersembunyi bagi orang yang
memperhatikan.
Namun mereka berkilah: ‘Meskipun
demikian kami berpendapat bahwa gerakan-
gerakan (Islam) kadang-kadang melihat bahwa
pada sebagian kondisi bergabung dengan
sistem pemerintahan jahiliah akan memberikan
manfaat yang banyak bagi Islam, gerakan dan
kaum Muslim. Bahkan dapat meruntuhkan
para thaghut dan menaikkan yang haq’. Kami
membuat ringkasan kemaslahatan-
kemaslahatan yang bisa diperoleh gerakan
Islam jika bergabung di dalam sistem
pemerintahan jahiliah dalam poin-poin berikut
ini:
1. Menolak berbagai konspirasi jahat yang
ditujukan kepada gerakan Islam dengan
mengamati apa yang sedang berlangsung
dibalik apa yang nampak dan berusaha untuk
menggagalkannya.
2. Memberikan contoh bahwa jamaah mampu
untuk menjadi pemimpin manusia, dan bukan
sekumpulan orang-orang bodoh.
3. Mengembalikan kepercayaan kepada Islam,
bahwa Islam mampu mengatur seluruh urusan
kehidupan, baik yang umum maupun yang
khusus.
4. Menambah kemampuan jamaah dalam
menangani administrasi pemerintahan
5. Pengenalan jamaah terhadap sistem yang
sedang berlaku agar bisa menghindari
kejahatannya.
6. Melatih dan mendidik kader-kader Islam yang
istimewa melalui pengiriman untuk belajar ke
luar negeri yang diatur oleh kementrian.
7. Menciptakan sekelompok orang dari jamaah
yang termasuk dalam golongan publik figur.
Kelompok semacam ini dapat menyelesaikan
banyak persoalan jamaah dan anggota-
anggotanya.
8. Memperkuat posisi orang-orang Islam dan
melemahkan posisi orang-orang kafir.
9. Melatih kader-kader Islam dalam berpolitik
serta menolak permainan (politik).
10. Memanfaatkan kedudukan penguasa untuk
kepentingan jamaah.
11. Jika gerakan-gerakan Islam menolak untuk
menjadi bagian dari sistem maka mungkin
orang yang menggantikan posisi mereka
adalah musuh-musuh Islam yang akan
menggunakan segala kekuatannya untuk
memerangi gerakan Islam atau memusnahkan
Islam dan kaum Muslim.
Kami telah mengungkap pendapat mereka
secara terperinci. Dan kami menolak pendapat
mereka bukan sekedar mengutip saja. Hal itu
dimaksudkan agar hakekat permasalahannya
dapat difahami dengan jelas, dan juga untuk
menunjukkan sejauh mana kelancangan
mereka terhadap agama Allah dengan
mengeluarkan fatwa-fatwa yang membuat
marahnya Pencipta langit dan bumi serta
menyakiti orang-orang yang beriman; tidak
memberikan hak Allah Swt dan tidak terikat
dengan perintah-Nya. Disamping itu juga agar
seorang muslim mengetahui sejauh mana
pertentangan fatwa-fatwa itu dengan hukum-
hukum syara’ yang qath’i yang tidak boleh
dihilangkan dalam keadaan apapun. Juga agar
seorang muslim dapat menyaksikan sendiri
betapa jauhnya mereka dari keterikatan dengan
metode Islam yang benar dalam beristinbath,
bahkan membuat-buat metode baru yang mulai
muncul dimasa-masa kemunduran kaum
Muslim dan terpengaruhnya mereka dengan
metode pemikiran Barat. Juga agar dapat
mengikuti pemikiran-pemikiran mereka secara
lengkap dan detail, sekaligus menjawab
kesalahan-kesalahannya, menolak metode
berpikirnya dan menggugurkan hujjah-hujjah
mereka.
Salah satu contoh hukum syara yang jelas
dan qath’i –yang tidak boleh ada ijtihad
didalamnya- adalah tidak bolehnya melakukan
transaksi dengan cara riba. Allah telah
mengharamkannya dengan tegas berdasarkan
firman-Nya:
‫َو َأَح َّل اُهلل اْلَبْيَع َو َح َّر َم الِّر َبا‬
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba. (QS. al-Baqarah
[2]: 275)
Terdapat juga qarinah-qarinah (indikasi) yang
sesuai dengan hukum syara’ yang qath’i dan
memperkuat pendapat. Allah berfirman:
 ‫َيْمَح ُق اُهلل الِّر َبا َو ُيْر ِبي الَّص َد َقاِت‬
Allah memusnakan riba dan menyuburkan
sedekah. (QS. al-Baqarah [2]: 276)

Allah juga telah memperingatkan orang-orang


yang melakukan transaksi dengan cara riba dan
memberikan kepada mereka peringatan berupa
(sikap) perang.
‫ِق ِم‬ ‫ِذ‬
‫َياَأُّيَه ا اَّل يَن َءاَم ُنوا اَّتُق وا اَهلل َو َذُروا َم ا َب َي َن الِّر َبا ِإْن ُك ْنُتْم‬
‫ َفِإ ْن َلْم َتْف َعُلوا َفْأَذُنوا ِبَحْر ٍب ِم َن اِهلل َو َرُس وِلِه‬ ‫ُمْؤ ِم ِنيَن‬
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum di pungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. (QS. al-Baqarah [2]: 278-279)

Allah menggambarkan orang yang memakan


riba dengan:
‫اَّلِذ يَن َيْأُك ُلوَن الِّر َبا َال َيُقوُموَن ِإَّال َك َم ا َيُقوُم اَّلِذ ي َيَتَخ َّبُطُه الَّش ْيَطاُن‬
 ‫ِم َن اْلَم ِّس‬
Orang-orang yang makan (mengambil) riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran tekanan penyakit gila. (QS. al-
Baqarah [2]: 275)
Rasulullah saw menggolongkan riba ke dalam
kelompok dosa besar dan mensejajarkannya
dengan perbuatan syirik kepada Allah. Beliau
bersabda:

‘Jauhilah tujuh dosa besar’. Mereka (para


sahabat) bertanya: ‘Apakah itu wahai
Rasulullah? Rasul berkata: ‘Syirik kepada
Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan
Allah untuk membunuhnya kecuali karena
menegakkan kebenaran, memakan riba,
memakan harta anak yatim, melarikan diri
dari peperangan, menuduh perempuan baik-
baik dan beriman melakukan zina’. (HR.
Muttafaq ‘alaih).
Meskipun demikian kami telah melihat
mereka menelaahnya berdasarkan metode ini,
yaitu bahwa transaksi riba itu boleh! Kemana
perginya pengharaman yang bersifat qath’i dan
jelas? Dan kemana hilangnya peringatan dan
ancaman? Dengan metode berpikir seperti itu
mereka mengganti hukum-hukum Allah,
merubahnya dan menjadikan hukum syara’ itu
bersifat fleksibel. Metode itu dengan
sendirinya akan meremehkan perkara-perkara
agama dan identitas seorang muslim.
Berhukum dengan apa yang diturunkan
Allah adalah fardlu. Wajib mengesakan Allah
dan hal ini terdapat dalam syahadat mereka.
Meskipun demikian mereka telah menelaah –
berdasarkan metode berpikirnya tadi- bahwa
boleh bagi seorang muslim untuk bergabung
dalam sistem pemerintahan thaghut.
Perhatikanlah apa yang telah dikutip mereka
dalam pembahasan kita kali ini. Kami
menjelaskan betapa mereka yang menyebut
dirinya sebagai para pemimpin gerakan Islam
dan ulamanya telah menyimpang jauh dari
kebenaran, padahal seorang pemimpin tidak
boleh membohongi para pengikutnya. Mereka
juga mengatakan:
-Tidak diragukan lagi bahwa bergabung
dengan sistem pemerintahan jahiliah
menimbulkan kerusakan yang besar. Para
penguasa itu menerapkan sistem thaghut,
menyimpang dari perintah Allah dan
menentang hukum-hukum-Nya.
-Bergabungnya seorang muslim dengan
sistem pemerintahan jahiliah akan
menjerumuskan dirinya dalam keadaan yang
amat kontradiktif. Seorang muslim dituntut
untuk memerangi negeri-negeri thaghut itu.
Jadi, bagaimana mungkin dia menjadi orang
yang menegakkannya?
-Mentaati para thaghut menempatkan
mereka pada pelanggaran perintah Allah.
Tindakan mereka ini sama saja dengan
mengambil tuhan-tuhan selain Allah.
-Para penguasa sekarang ini menggunakan
menteri-menteri dari kalangan muslim yang
saleh sebagai ornamen sistem pemerintahan
mereka yang rusak.
-Penguasa yang ada saat ini mengeluarkan
undang-undang thaghut melalui tangan-tangan
para menteri-menteri muslim itu.
-Bergabung dalam sistem pemerintahan
jahiliah berarti telah memberikan
kepercayaannya kepada orang-orang yang
dzalim.
-Bergabung dengan sistem pemerintahan
jahiliah justru akan memperpanjang umur
kebatilan.
-Orang yang turut serta bergabung dengan
sistem pemerintahan jahiliah termasuk ke
dalam golongan orang-orang yang disebutkan
Allah sebagai kâfirûn, dzâlimûn atau fâsiqûn.
Maka kelancangan apa yang telah mereka
lakukan terhadap agama Allah?! Yang
memperparah adalah bahwa kelancangan
tersebut bukan hanya dengan melanggar
perintah Allah, tetapi juga mengajak orang lain
untuk melanggar perintah Allah. Sungguh hal
ini adalah dosa yang amat besar.
Setelah kami paparkan setiap pelanggaran
syara’ ini, kami bertanya (kepada mereka).
Apa yang dapat mereka raih jika mereka
bergabung dengan penguasa? Kami sudah
menduga sebelumnya, bahwa setelah mereka
memaparkan bahayanya seruan untuk
bergabung dengan penguasa jahiliah, mereka
akan menyebutkan kemaslahatan-
kemaslahatan yang amat besar, dengan
menganggap bahwa syara’ tidak mengetahui
hal itu, dan kecerdikan mereka dapat
menemukannya, sehingga menurut logika dan
metode berpikir yang keliru itu seluruh
kemaslahatan tersebut membolehkan
pelanggaran terhadap syara dan akan
menolong musuh-musuh Allah. Pemikiran
mereka telah melahirkan perkara yang ganjil
(yaitu) menempati posisi sebagai pembuat
syara’ (hukum). Mereka mengeluarkan
produk-produk yang tidak berguna untuk
dakwah, tidak mendekatkan kaum Muslim
pada kebenaran atau pun kemenangan, dan
tidak pula bisa merubah realita yang ada.
Justru reaksi negatif yang akan muncul, dan
hal ini telah dibuktikan berdasarkan realita.
Mereka telah menyebutkan sebelas poin,
yang mereka katakan sebagai kemaslahatan
yang amat besar yang akan diperoleh dengan
bergabung di dalam sistem pemerintahan
jahiliah. Demi Allah, kalian wajib
memperhatikan poin-poin itu dan
merenungkan betapa semua itu hanyalah hasil-
hasil yang remeh (tidak ada artinya)
dibandingkan dengan maksiat besar yang
mereka lakukan. Kami akan memaparkan
poin-poin tersebut disertai dengan komentar.
-Menambah kemampuan jamaah dalam
mengurusi administrasi negara
-Melatih kader-kader Islam dibidang
politik dan permainan-permainannya.
-Melatih dan mendidik kader Islam yang
istimewa melalui pengiriman pelajar ke luar
negeri yang diatur oleh kementrian.
Tiga poin itu berkaitan dengan satu topik.
Seharusnya digabungkan dalam satu poin saja,
kecuali jika memperbanyak poin itu akan
menunjukkan banyaknya faktor yang
mendukung pembicaraan mereka.
Masalah ini tidak berkaitan dengan
banyaknya pembicaraan tetapi berhubungan
dengan kebenarannya. Apakah layak untuk
mendapatkan poin-poin yang seperti itu
menjadikan seorang muslim berhak melanggar
perintah Rabbnya? Apakah tidak ada jalan
lain, jalan yang tidak mengundang kemurkaan
Allah, yang bisa digunakan oleh gerakan-
gerakan Islam untuk melatih anggota-
anggotanya dan menambah kemampuan
mereka? Apakah jalan yang sesuai dengan
syara’ membutuhkan persiapan yang seperti
itu?
Sesungguhnya gerakan-gerakan Islam
ketika terjun dibidang politik harus berjalan
sesuai dengan hukum syara’ dan terikat dengan
metode Rasulullah saw. Tindakan mereka akan
menambah pengalaman dan pemahaman
terhadap realita para penguasa dan sejau mana
keterikatan mereka dengan negara-negara
kafir, menambah pemahaman terhadap
permainan (politik) dan cara-cara mereka yang
penuh tipu daya. Apakah tidak ada jalan bagi
seorang da’i untuk menyeru peminum khamar
meninggalkan kebiasaannya itu selain dengan
masuk ke bar, kemudian turut minum khamar
bersamanya. Kemudian meninggalkan
perbuatan itu untuk meyakinkan peminum
khamar bahwa dia mampu meninggalkannya.
Demi Allah, betapa lemahnya akal yang
melahirkan pemikiran seperti ini! Bagaimana
mungkin dia mengizinkan dirinya mengganti
syari’at Allah!
Mereka juga telah menyebutkan poin-poin
berikut ini:
-Pengenalan gerakan Islam terhadap
sistem yang sedang berlaku agar bisa
menghindari kejahatannya
-Menolak konspirasi dan tipudaya
terhadap gerakan Islam dengan menelaah apa
yang terjadi dibalik apa yang tampak dan
berusaha untuk menggagalkannya.
-Apabila jamaah menolak untuk
bergabung dengan sistem pemerintahan yang
ada maka yang akan menggantikan posisi
mereka adalah musuh-musuh yang akan
menggunakan seluruh kekuatannya untuk
memerangi gerakan Islam dan memusnahkan
Islam dan kaum Muslim.
Tiga poin itu sebenarnya membahas topik
yang sama, yaitu menghindari kejahatan
penguasa dan menolak tipudaya mereka
terhadap Islam dan kaum Muslim. Berdasarkan
kenyataan yang kita alami –tanpa disengaja-
maka kami ingin mereka membuktikan sendiri,
apakah benar mereka dapat menghindarkan
bahaya dari umat dan dari diri mereka sendiri
dengan jalan bergabung di dalam sistem
pemerintahan yang tidak menerapkan apa
Allah turunkan? Mereka telah mengatakan
sendiri dengan lidah-lidah mereka bahwa para
penguasa tidak mengangkat seorang muslim
menjadi menteri kecuali untuk memperpanjang
kekuasaannya; juga agar dapat mengeluarkan
undang-undang dzalim melalui tangan mereka;
dan untuk memperbaiki opini publik terhadap
mereka. Setelah mereka memperoleh apa yang
dibutuhkannya maka para menteri muslim itu
dicampakkan. Maka, dimana potensi dari
kejahatan mereka dan dimana pula penolakan
terhadap tipudaya mereka? Sistem yang
dimasuki oleh (kader-kader) muslim itu tidak
akan menjadi lebih baik dengan kehadiran
mereka, bahkan justru memperburuk citra
mereka dihadapan masyarakat, karena
masyarakat akan menempatkan sikap yang
sama terhadap sistem maupun orang-orang
yang bergabung di dalamnya.
Mereka juga telah menyebutkan dua poin
yang lebih utama kalau dijadikan satu poin
saja.
-Memberikan contoh bahwa jamaah
mampu untuk memimpin manusia
-Memberikan kepercayaan kepada Islam
bahwa Islam mampu untuk mengatur seluruh
urusan kehidupan, baik umum maupun khusus.
Sesungguhnya jamaah tidak akan mampu
memberikan image seperti itu. Sebaliknya,
justru jamaah akan memberikan contoh yang
buruk dan teladan yang tidak layak untuk
ditiru. Hal itu telah dibuktikan berdasarkan
kenyataan. Kalau bukan karena adanya
gerakan Islam yang ikhlas dan sadar yang
tampil menghadapi seruan-seruan ini, dan
ulama kaum Muslim yang pemberani maka
Islam pasti akan hilang dari jiwa-jiwa manusia
(seperti mereka) akibat keterangan-keterangan
yang telah diberikan dan sikap-sikap para
pencetus ide-ide ini yang tekun memperkuat
dan membelanya. Demi Allah, betapa jauhnya
perbedaan di hadapan Allah dan dihadapan
hamba, antara gerakan-gerakan Islam atau
ulama yang berada dalam kubangan sistem
(jahiliah) itu yang menyesaki dadanya
dengansistem yang rusak, dengan gerakan-
gerakan Islam dan ulama yang mengatakan
yang hak dan menegakkannya, yang tidak
takut celaan orang-orang yang mencela,
meskipun dijebloskan kedalam penjara para
penguasa muslim yang menjadi tempat
bergabungnya orang-orang itu. Ingatlah
dengan firman Allah Swt:
 ‫َفاْص ِبْر َك َم ا َص َبَر ُأوُلو اْلَعْز ِم ِم َن الُّر ُس ِل‬
Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang
yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-
rasul telah bersabar. (QS. al-Ahqaf [46]: 35)
 ‫َفاْص ِبْر ِإَّن َو ْعَد اِهلل َح ٌّق‬
Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji
Allah adalah benar. (QS. ar-Ruum [30]: 60).

Maka, apakah sama dua permisalan itu?


Demikian juga mereka telah menyebutkan
tiga poin lain yang dapat digabung menjadi
satu poin. Mereka telah menyebutkan:
-Menciptakan kelompok yang berasal dari
jamaah yang mempunyai pengaruh (public
figure) di masyarakat. Dan orang-orang ini
dapat menyelesaikan banyak sekali problema
jamaah dan para pengikutnya.
-Memperkuat posisi orang-orang Islam
dan melemahkan posisi orang-orang kafir
-Memanfaatkan kedudukan penguasa
untuk kepentingan jamaah.
Poin-poin seperti ini menunjukkan
sesatnya angan-angan orang yang
mengatakannya. Apakah akibat-akibat yang
berbahaya ini berhak mendapatkan ridha
Allah, atau termasuk dalam golongan yang
disebutkan Allah bahwa mereka adalah orang-
orang yang dzalim, fasik dan membela
kedzaliman? Selayaknya gerakan Islam itu
mendapatkan apa yang bisa dicapainya tanpa
harus terjerumus pada perkara semacam ini.
Kami tidak sepakat dengan mereka, bahwa
setiap poin tadi akan tercapai apabila gerakan
Islam melakukan maksiat kepada Allah dan
turut serta dalam sistem pemerintahan yang
jahiliah. Sebaliknya, justru akan berakibat
negatif bagi gerakan, dakwah dan Islam.
Para pencetus ide ini telah menyebutkan
sebelas poin atau sebab-sebab yang
mendorong mereka melakukan hal itu. Dengan
menggunakan metode berpikir mereka -yang
tidak dibolehkan- kami dapat menyebutkan
lebih banyak lagi poin-poin yang merupakan
bahaya-bahaya dan akibat-akibat dari
perbuatan seperti ini, diantaranya:
-Dengan metode seperti ini para pemimpin
gerakan dan para anggotanya belajar untuk
bersikap munafik. Apabila mereka berkumpul
dengan penguasa tempat mereka bergabung di
dalam sistem pemerintahan, maka mereka akan
mengatakan apa yang disukai penguasa. Dan
jika mereka berkumpul dengan manusia, maka
mereka mengatakan perkataan yang lain.
Mereka berusaha untuk meyakinkan
masyarakat bahwa tindakan mereka dengan
mendekatkan diri kepada penguasa dan sistem
pemerintahannya itu tidak lain agar mereka
mampu untuk meraih kekuasaan dan
memegang kendali sistem.
-Pernyataan-pernyataan jamaah menjadi
berubah-rubah, terlalu sepele dan tidak ada
artinya.
-Sistem pemerintahan yang ada dapat
menghitung (kekuatan) gerakan dan para
pengikutnya, menyingkap apa yang ada
didalamnya dan membuka rahasia-rahasianya.
Terkadang jika terjadi perselisihan diantara
anggota-anggota gerakan, penguasa berusaha
untuk memprovokasi dan menambah-nambah
bumbunya agar terbuka kesempatan baginya
untuk memegang kendali gerakan dan
memecah belahnya jika diperlukan.
-Dakwah bagi jamaah ini akhirnya hanya
terbatas pada hukum-hukum yang tidak
membahayakan sistem, seraya berdiam diri
terhadap hukum-hukum prinsipil yang pada
gilirannya akan memberikan gambaran yang
tidak benar tentang dakwah dan Islam.
-Ketika gerakan Islam yang bekerja
dengan penguasa diizinkan untuk mendirikan
lembaga-lembaga tempat mereka menjalankan
aktivitas di dalamnya, mereka akan
menempatkan penguasa pada posisi yang
mengarahkan lembaga-lembaga itu. Itu
memunculkan rasa takut terhadap campur
tangan penguasa di dalamnya, yang pada
akhirnya akan membubarkannya. Akibatnya,
mereka tidak melontarkan hukum-hukum yang
membuat sistem gelisah dan selanjutnya tidak
pernah berpikir untuk keluar dari situasi itu.
-Gerakan Islam yang menerima bergabung
dengan sistem pemerintahan yang menerapkan
hukum jahiliah akan memberikan justifikasi
kepada sistem tersebut untuk memukul
gerakan-gerakan Islam lainnya yang berusaha
melakukan perubahan sesuai dengan metode
Rasulullah saw, dengan mencap siapa saja
yang melawan penguasa adalah fundamentalis-
ekstrimis. sementara orang yang bergabung
dengan penguasa disebut moderat dan
tercerahkan. Sungguh amat mengherankan apa
yang dilakukan para pencetus ide yang
bernuansa toleransi dan opportunis dengan
membuat berbagai tulisan yang
mengisyaratkan bahwa mereka -dengan
metodenya itu- adalah orang-orang yang
moderat, sehingga penguasa dapat
bekerjasama dengan mereka. Dan selain
mereka adalah para ekstrimis.
-Pemahaman jamaah Islam akan berubah
sesuai dengan kondisi yang ada. Contohnya
adalah dibolehkannya tidak mengambil jizyah
dari kafir dzimmi dan bolehnya tidak
menamakan mereka dengan ahlu dzimmah
sehingga tidak membangkitkan kemarahan
mereka. Contoh lainnya seperti pendapat
mereka bahwa demokrasi adalah milik mereka
yang telah dikembalikan kepada mereka.
Begitu pula pendapat mereka yang
mengatakan dibolehkannya transaksi dengan
cara riba, dan pendapat yang mengatakan
bolehnya bergabung dengan sistem
pemerintahan yang tidak menerapkan hukum
Allah. Hal ini berakibat:
-Memperpanjang umur sistem yang batil
-Memperindah image sistem yang ada.
-Menjatuhkan Islam dari jiwa manusia,
karena manusia melihat bahwa Islam tidak
memberikan apapun kepada mereka melalui
sistem ini, terutama setelah para pencetus ide-
ide ini menjanjikan kepada mereka manna wa
salwa (nikmatnya kursi kekuasaan). Selain itu
gerakan-gerakan tersebut menunjukkan kepada
masyarakat bahwa dia seperti juga yang
lainnya tidak mampu menyelesaikan
permasalahan mereka secara tuntas. gerakan-
gerakan itu tidak mampu menjadikan dirinya
sebagai contoh yang perlu diteladani.
Sebaliknya justru memberikan teladan yang
buruk.
-Gerakan telah merusak para anggotanya
tatkala seluruh semangat mereka dicurahkan
untuk membela sepak terjang jamaahnya atau
membela semua yang dikerjakan oleh
penguasa dan memberinya justifikasi.
-Gerakan akan berdiam diri ketika
penguasa memukul dan menangkap para
pengemban dakwah dari gerakan-gerakan lain.
Bahkan kalau perlu menyerang mereka agar
memperoleh keridhaan penguasa atau
bertindak berdasarkan permintaan penguasa.
Contoh untuk kasus ini seperti yang terjadi di
Mesir akhir-akhir ini.
-Orientasi ini menjadikan maslahat
sebagai standar (tolok ukur) perbuatan bagi
jamaah, bukan keterikatan dengan hukum
syara’. Apa yang bisa mendatangkan maslahat,
mereka kerjakan, meskipun melanggar syara’.
Jadi, kemaslahatan itu menurut pandangan
mereka lebih bernilai dari pada syara’.
Demikianlah ...dan masih banyak lagi sebab-
sebab lainnya yang bisa dilekatkan kepada
agama dan dakwah.
Kita telah ungkapkan seluruh poin diatas
berdasarkan fakta, bukan berdasarkan dalil-
dalil syara’, agar kami bisa mengatakan
kepada mereka bahwa metode berpikir mereka
itu -meskipun berdasarkan mazhab mereka-
tidak memberikan apapun kecuali implikasi
yang buruk kepada Islam dan dakwah, serta
metode berpikir yang rusak yang tidak diakui
oleh syara’.
Tidak seperti biasanya, seperti yang biasa
kami pelajari dari syara’, bahwa kami –dalam
perkara ini- menggunakan fakta sebagai dalil
untuk menunjukkan rusaknya sebuah fikrah,
menolak hukum syara’ secara aqli. Jika kami
memulai pembicaraan ini berdasarkan metode
mereka adalah dalam rangka menasehati
mereka dengan perkatan mereka sendiri, dan
menjatuhkan argumentasi mereka dengan
hujjah mereka sendiri. Meskipun demikian
kami memahami, sebagaimana setiap muslim
yang sadar dan ikhlas dalam berdakwah,
bahwa satu-satunya tolok ukur dalam menilai
suatu perbuatan atau perkataan termasuk
menolaknya, adalah syara’ semata. Jika
demikian halnya, maka dalil-dalil syara’ yang
mereka sebutkan dan mereka katakan
memahaminya, maka orang-orang yang
memperhatikan akan memahaminya, bahwa
hal itu cukup untuk menolak pendapat dan
pemahaman mereka. Mungkin mereka
memiliki lebih banyak lagi dalil-dalil. Akan
tetapi dalam kasus ini tidak berkaitan dengan
banyaknya contoh atau dalil, melainkan terkait
dengan metode berpikir.
Kita tidak akan pernah mendengar bahwa
mereka mengetahui metode berpikir mereka
sendiri. Oleh karena itu tidak perlu
mengingatkan mereka akan hal itu. Meskpun
mereka mengetahui metode berpikir mereka,
tetapi mereka tidak akan menggunakannya
dikarenakan sebab-sebab yang telah mereka
sebutkan. Di dalam metoda berpikir mereka
terdapat kelancangan terhadap agama dan
menginjak-injak hukum yang shahih dan
qath’i. Adapun apa yang mereka contohkan
dengan mengutip pendapat sebagian ulama
untuk memperkuat pemikiran mereka,
disamping contoh-contoh itu tidak sesuai
dengan fakta yang mereka serukan, maka
pendapat manusia bukanlah hujjah yang
bernilai di hadapan syara’, tidak termasuk
sebagai dalil dan tidak layak digunakan
sebagai hujjah. Apabila mereka mengatakan:
bahwa si fulan berpendapat demikian,
demikian, maka kami mengatakan kepada
mereka, Allah dan Rasul-Nya berkata dengan
perkataan yang benar, qath’i dan kuat. Apakah
dibenarkan kita menghapus perkataan Allah
dan Rasul-Nya dengan perkataan manusia,
siapapun dia?! Pemikiran maslahat telah
menguasai para pencetus ide ini sehingga
mereka layak disebut sebagai pedagang
dakwah. Akan tetapi pengemban dakwah
adalah pedagang yang berjual beli untuk
memperoleh keuntungan, bukan kerugian.
Rusaknya pemikiran mereka juga tampak
dalam aspek lain, yaitu digunakannya metode
dalam qiyas (analogi) yang tidak diakui oleh
syara’. Metoda qiyas mereka bertumpu pada
filosofi nash-nash syara’ yang bersifat aqli
dalam melakukan tarjih yang mengedepankan
maslahat. Metoda istinbat seperti itu tergolong
baru dan tidak dikenal oleh umat Islam,
sampai-sampai kalangan ulama tidak mengenal
sebelumnya. Mereka mencampakkan istinbat
yang benar yang ditunjukkan Rasulullah saw
dan dipraktekkan oleh seluruh ulama salafus
shâleh dan orang-orang yang mengikuti
mereka. Metoda istinbath syar’i yang benar
justru tidak terlihat mempengaruhi tulisan-
tulisan mereka. Mereka menggunakan metode
yang berasal dari Barat, berupa qiyas aqli dan
menggunakan (kaedah) maslahat. Benarlah
kiranya hadist Rasulullah saw:

Barangsiapa diantara kalian berumur panjang


maka dia akan melihat perbedaan yang
banyak. Dan berhati-hatilah kalian terhadap
perkara-perkara yang baru (syariat).
Sesungguhnya setiap perkara (hukum) yang
baru adalah bid’ah, dan setiap bidah itu
(tempatnya di) neraka. (HR. Tirmidzi dan
Abu Daud)

Mereka mengatakan bahwa Islam


mengharamkan khamar dan perjudian dan
didalamnya disebutkan adanya manfaat bagi
hamba (manusia), akan tetapi manfaatnya
sangat kecil. Maka –menurut mereka- yang
ditarjih adalah kerusakan besar yang terdapat
di dalam khamar dan perjudian.
Syariat Islam juga mewajibkan perang
meskipun perang itu akan membunuh banyak
jiwa orang-orang mukmin dan memusnahkan
harta benda mereka. Sebab, didalam perang
terdapat kemaslahatan besar yang dicintai
Allah tabâraka wa ta’âla, dan didalamnya
juga dijumpai kemaslahatahn besar yang akan
diperoleh manusia.
Rasulullah saw tidak jadi meruntuhkan
Ka’bah, malah membangun kembali dengan
fondasi Nabi Ibrahim, karena hal itu
mengandung kemaslahatan bagi agama.
Kerusakan yang akan muncul dari
meruntuhkan Ka’bah jauh lebih besar dari
pada kemaslahatan yang akan diperoleh jika
bangunan Ka’bah diperbaiki.
Berdasarkan hal itu mereka berpendapat:
Tidak ada keraguan lagi bahwa bergabung
dengan sistem pemerintahan jahiliah juga
terdapat kerusakan besar. Akan tetapi banyak
gerakan Islam melihat bahwa di sebagian
kondisi bergabung dengan sistem
pemerintahan seperti itu justru dapat
memberikan manfaat yang besar bagi gerakan,
Islam dan kaum Muslim. Malah, bisa jadi
mampu menurunkan thaghut dan mengangkat
yang haq.
Mereka telah melontarkan pemikiran-
pemikirannya dari tinjauan lain yang
menunjukkan bahwa metode berpikir mereka
telah menyatu dan mendarah daging di dalam
diri mereka.
Memahami nash dengan cara seperti itu,
lalu mengeluarkan hukum-hukum syara’ yang
bertentangan dengan Islam adalah perkara
yang amat menyakitkan. Kami melihat tren-
nya semakin santer dimasa sekarang ini,
terpengaruh oleh peradaban Barat yang
memuja qiyas maslahiy (qiyas aqli). Padahal,
ulama-ulama kita terdahulu berjalan sesuai
dengan pokok-pokok Islam, terikat dengan
syariat yang diwajibkan oleh tabi’at Islam itu
sendiri, terikat dengan syari’at Allah dalam
setiap perkara dan tidak membolehkan
manusia turut campur dalam perkara tasyri’
(pembuatan hukum). Hal ini akan kami
jelaskan insya Allah.
Kami melihat, jika kaum Muslim
menggunakan metode berpikir bid’ah ini,
berarti mereka telah membuka peluang bagi
diri mereka sendiri untuk membuat hukum,
dan membolehkan hawa nafsu mereka untuk
menilai mana yang manfaatdan mana yang
mudharat yang terkait dengan setiap perbuatan
yang ingin mereka tegakkan. Apabila menurut
akal mereka manfaat suatu perbuatan jauh
lebih besar dari mudharatnya, maka perbuatan
itu harus dikerjakan. Dan jika mudharatnya
lebih besar dari pada manfaatnya -menurut
akal manusia- maka sudah seharusnya
perbuatan itu ditinggalkan. Dengan metode
berpikir bid’ah itu seorang muslim
memposisikan dirinya sebagai musyarri’
karena dia mengukur maslahat dengan akal
dan hawa nafsunya.
Mereka bersandar kepada filosofi nash-
nash dengan gambaran yang telah disebutkan
tadi. Hal itu dapat menghantarkan mereka
kepada pengetahuan terhadap hukum suatu
perbuatan. Metode seperti ini dipraktekkan di
Barat. Dan Barat menjadikan cara berfikir
seperti ini sebagai sandarannya.
Metode ini menempatkan maslahat
sebagai sesuatu yang disembah oleh seorang
muslim, bukan perintah Allah. Alasannya, jika
kemaslahatan berbenturan dengan hukum
syara’ yang jelas penunjukkan dalilnya, maka
justru hukum syara’ yang ditinggalkan, dan
kedudukannya digantikan dengan hukum yang
dibangun berdasarkan maslahat.
Interaksi dengan nash-nash memerlukan
prinsip-prinsip pokok yang khas. Hal itu
menjadikan seorang muslim yang berjalan
dengan Islam tetap (posisinya) sebagai hamba
Allah dan mentaati perintah-Nya. Hukum yang
diistinbath berdasarkan metode yang benar
merupakan hukum Allah Swt. Itu tidak
mungkin tercapai kecuali dengan adanya ‘illat
yang terkandung di dalam nash syara’.
Penetapan (tolok ukur) khair (baik) dan
syar (buruk), hasan (terpuji) dan qabih
(tercela), halal dan haram ada ditangan Allah
semata. Tidak ada hak dan campur tangan
manusia di dalam perkara ini selamanya.
Seandainya manusia berhak, maka pasti Allah
akan memberikan hak itu sejak mula pertama,
dan syari’at tidak mungkin turut campur
menetapkan hukum-hukum yang rinci.
Implikasinya tentu saja seorang muslim hanya
dituntut untuk beriman kepada Allah Maha
Pencipta saja, tetapi tidak dituntut untuk
beriman kepada Allah sebagai Pengatur bagi
segala urusan manusia dan Pengatur bagi
hidupnya.
Ribuan buku yang telah dikarang oleh
kaum Muslim pada masa lalu menggunakan
metode yang syar’i dalam istinbath. Para
fuqaha terdahulu mampu menjawab setiap
permasalahan berdasarkan metode tersebut.
Metode tersebut merupakan metode praktis
yang mudah bagi orang yang telah memiliki
ilmunya dan terikat dengan kaidah-kaidahnya.
Cukuplah kiranya melontarkan satu bukti
untuk menunjukkan rusaknya metode diatas,
yaitu menghasilkan hukum-hukum yang
bertentangan dengan hukum-hukum syara’
yang jelas. Jika metode itu memang benar
maka hukum yang dihasilkannya pasti akan
sesuai dengan hukum syara’. Ini merupakan
argumentasi yang menunjukkan bahwa metode
itu salah dari sisi dzatnya, dan keliru apabila
ditinjau dari produk yang dihasilkannya.
Mungkin beberapa contoh berikut ini bisa
memperjelas perkara ini:
-Seorang pengemban dakwah menurut
syara’ dituntut bersikap terus terang dan
berani, kuat dalam pemikiran, menantang apa
pun yang bertentangan dengan Islam serta
berjuang untuk menjelaskan kepalsuannya,
tanpa memperhatikan resiko dan tidak lagi
mempedulikan situasi. Syara’ menuntut agar
kedaulatan mutlak berada di tangan mabda
(ideologi) Islam, tanpa memperhatikan lagi
apakah sesuai dengan mayoritas manusia atau
bertentangan dengan mereka, sejalan dengan
adat istoadat mereka atau tidak, apakah
manusia menerima atau menolak, atau
mungkin melawannya. Pengemban dakwah
tidak berbasa-basi dengan manusia dan tidak
bermanis muka dengan para penguasa.
Demikianlah keadaan Rasulullah saw di dalam
dakwahnya. Beliau beriman dengan kebenaran
yang beliau serukan, menantang dunia
seluruhnya, tidak memandang -walau sebelah
mata- pada kebiasaan, adat istiadat, akidah,
agama, penguasa atau rakyat, dan tidak
berpaling sedikitpun kecuali kepada dakwah
dan risalah Islam. Ibnu Hisyam telah
menyebutkan tindakan Rasulullah saw tatkala
menjumpai orang-orang Quraisy dengan
menyebut tuhan-tuhan mereka dan
mencelanya, kemudian menganggap bodoh
akal-akal mereka dan menganggap bapak-
bapak (nenek moyang) mereka telah sesat.
Akibatnya mereka membalas beliau dan
sepakat untuk menentang dan memusuhinya.
Demikian kiranya dakwah kaum Muslim saat
ini. Hendaknya dilakukan oleh orang-orang
yang meneladani sikap Rasulullah saw dan
mengikuti firman Allah Swt:
‫ُقْل َه ِذِه َس ِبيِلي َأْد ُعو ِإَلى اِهلل َعَلى َبِص يَر ٍة‬
Katakanlah: ‘Inilah jalan (dakwah)-ku, aku
dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
kamu kepada Allah dengan hujjah yang
nyata’. (QS. Yusuf [12]: 108)

Begitu juga dengan memperhatikan sabda


Nabi saw:

Telah aku tinggalkan kepada kalian sesuatu


yang apabila kalian berpegang teguh kepada
(kedua)nya, maka tidak akan tersesat
selamanya. Perkara yang jelas, yaitu kitab
Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (Sirah Ibnu
Hisyam)

Juga dengan mencontoh salafush shaleh dan


perkataan mereka:

Tidak akan baik akhir perkara ini, kecuali


dengan apa yang membuat awalnya baik.
Adapun sekarang, berdasarkan metode
berpikir yang bid’ah itu, yang tidak diakui
Islam, maka kami melihat ada orang yang
mengatakan: ‘Sesungguhnya maslahat yang
rajih telah menunjukkan bahwa lebih cocok
dan lebih baik apabila kita menyelesaikan
seluruh perkara dengan hikmah, dan
berdakwah dengan cara yang baik’. Hal itu
dilakukan sesuai dengan metode mereka bukan
dengan metode yang syar’i. Mereka
mengatakan juga: ‘Maka apa gunanya dakwah
kalau kita menantang setiap hal yang
bertentangan dengan kita? Apakah kita akan
membuka hati orang lain dengan cara seperti
itu, ataukah kita malah menutupnya? lalu
mengapa kita menunjukkan bahwa apa yang
ada pada diri kita bertentangan secara
diametral dengan apa yang ada pada orang
lain? Bukankan lebih sesuai kalau kita
memperlihatkan bahwa kita memiliki
persamaan dengan selain kita dalam beberapa
perkara yang akan menjadi kunci untuk masuk
kedalam akal-akal dan hati-hati mereka?
Terutama dalam perkara-perkara yang tidak
menunjukkan adanya perbedaan yang besar
antara kita dengan mereka. Apakah merupakan
kemaslahatan bagi dakwah kalau kita
menghadapi penguasa dan mengungkap
persekongkolan mereka melawan umat dan
menyingkapkan seluruh rencana jahat mereka?
Bukankah itu berarti kita akan meminta
mereka menjadi musuh dan membangkitkan
kemarahan mereka kita? Atau kita lebih baik
berusaha mendekati dan menyayangi mereka?
Dari sinilah dimulai perjalanan .... dan
penjelasan yang panjang tentang metode yang
benar dan sikap-sikap yang bisa maraih
keridhaan penguasa dan kesaksian palsu
terhadap perbuatannya, berdiam diri dari
kebatilan, dan sibuk dengan perkara-perkara
remeh yang tidak terbersit dalam diri penguasa
untuk membicarakannya. Mereka mendiamkan
perkara-perkara penting yang wajib
diperhatikan oleh umat. Dan masih banyak lagi
perkataan dan perbuatan yang menjauhkan
mereka dari kebenaran. Setiap perubahan ini
membutuhkan perubahan atas metode
berpikirnya.
- Merupakan hak Allah atas ulama yang
mewarisi (perjuangan) Nabi Muhammad saw
agar menunaikan hak Allah dan selalu berada
di barisan paling depan para mujahid yang
menjelaskan kebenaran, menegakkannya,
menentang penguasa, menyingkap segala
rencana jahat mereka. Dengan kata lain dia
wajib menjadi imam dari ilmu, mihrab dan
hirab. Inilah yang dilakukan oleh generasi
salafush shâleh. Kami melihat bahwa metode
berpikir yang bid’ah itu telah melahirkan
pemahaman yang mengandung bid’ah dan
bertentangan dengan apa yang diberikan oleh
para ulama kita terdahulu. Pemahaman mereka
terlukiskan di dalam perkataannya:
‘Sesungguhnya apabila seorang ‘alim
mengucapkan kalimat yang haq, lalu dia
ditangkap atau dibunuh. Maka siapa yang akan
menggantikan posisinya? Menurut mereka,
kerugian yang diderita umat dari penangkapan
sang ‘alim atau pembunuhannya, jauh lebih
besar daripada manfaat yang akan diperoleh
dengan sikapnya itu. jadi, mengapa kita
menghalangi umat dari kebaikan ‘alim ini?
-Demikian pula pernyataan mereka
dengan turut serta di dalam pemilu. Memang
hal itu dibolehkan, akan tetapi dengan syarat:
calon yang dipilih adalah seorang muslim,
konsisten dengan hukum-hukum Islam, tidak
menerima syari’at kufur bahkan menolaknya,
seraya menawarkan alternatif baginya yaitu
hukum-hukum syar’i, tidak boleh memilih
penguasa yang bukan muslim, atau memilih
penguasa yang kekuasaannya berdiri di atas
dasar selain Islam. Tidak boleh baginya
memberikan mandat kepada orang yang
dipilihnya, bahkan wajib menarik mandatnya
itu atau memberikan mosi tidak percaya,
karena pemerintahannya tidak berdiri diatas
asas Islam. Ini adalah hukum syara’ yang amat
jelas.
Sayangnya, kami melihat bahwa mereka
menggunakan metode berpikir yang bid’ah ini
dan melontarkan pendapat yang membolehkan
seorang muslim untuk mencalonkan orang non
muslim yang tidak konsisten dengan syara’
didalam tasyri’ atau pun di dalam muhasabah
atau memilih penguasa. Mereka membolehkan
mencalonkan seorang nasrani dan bergabung
bersamanya di dalam papan pemilu, dengan
alasan bahwa undang-undang membatasi
jumlah dan kelompok wakil disetiap daerah.
Calon yang nasrani itu toh akan berhasil,
apakah dipilih oleh kaum Muslim atau tidak.
Jadi, lebih baik dalam masalah ini untuk
memilih orang yang menurut pandangan kita
lebih bermanfaat bagi kaum Muslim dari pada
calon itu dipilih oleh kaumnya sendiri dan kita
berada dipihak oposisi.
Demikianlah para penganjur metode
berpikir ini melontarkan pemikiran-pemikiran
mereka yang semakin lama semakin jauh dari
kebenaran.
Maka hendaklah para penganjur metode
berpikir bid’ah dan pemikiran-pemikiran yang
jauh dari pemahaman Islam ini sadar, bahwa
metode berpikir dan pemikiran-pemikiran yang
mereka lontarkan itu tidak berasal dari Islam.
Apa yang telah mereka lakukan mengharuskan
mereka untuk taubat sebenar-benarnya.
Dakwah kepada Islam membutuhkan mereka,
akan tetapi bukan dengan metode berpikir dan
lontaran pemikiran-pemikiran seperti itu.
Mereka harus menjadi para pembela Islam,
bukan pembela sistem yang memerintah
dengan apa yang tidak diturunkan Allah.
Penetapan mana yang manfaat dan mana
yang mafsadat, secara qath’i adalah hanya
milik Allah, Rabb semesta alam. Apa yang
bermanfaat bagi kita dan apa yang berbahaya
bagi kita, tidak ada yang mengetahuinya
kecuali Allah. Seandainya hal itu merupakan
suatu perkara yang manusia mampu
melakukannya, maka pastilah manusia akan
menjadi musyarri’ (pembuat hukum). Dan
pasti manusia tidak membutuhkan lagi agama
dari sisi Allah, yang mengatur seluruh urusan
hidup manusia. Oleh karena itu Islam
menganggap bahwa seorang muslim wajib
terikat dengan syari’at Rabbnya. Apa yang
dituntut oleh syara’ kepada kita untuk
mengerjakannya adalah maslahat bagi kita.
Dan apa yang diperintahkan syara untuk
meninggalkannya maka itu adalah mafsadat.
Kita tidak mengetahui bahwa sesuatu itu
maslahat atau mafsadat kecuali setelah turun
(penjelasan) syara’ dalam masalah itu.
Sebelum itu, kita tidak mampu untuk
menetapkannya. Sebab, akal telah memiliki
patokan yang menjadi dasar untuk
membedakan khair (kebaikan) dan syar
(keburukan), hasan (terpui) dan qabih
(tercela). Dari sinilah kaidah syara’
menyebutkan:

Dimana ada hukum syara’ disana pasti ada


maslahat.

Ada juga kaidah salah yang mereka lontarkan:

Dimana ada kemaslahatan disitulah ada


hukum syara’.

Itulah yang ditunjukkan oleh ayat yang mulia:


‫ِق‬ ‫ِت‬
‫ُك َب َعَلْيُك ُم اْل َتاُل َو ُه َو ُك ْر ٌه َلُك ْم َو َعَس ى َأْن َتْك َر ُه وا َش ْيًئا َو ُه َو َخ ْيٌر‬
 ‫َلُك ْم َو َعَس ى َأْن ُتِح ُّبوا َش ْيًئا َو ُه َو َش ٌّر َلُك ْم َو اُهلل َيْع َلُم َو َأْنُتْم َال َتْع َلُم وَن‬
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal
berperang adalah sesuatu yang kamu benci.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia
amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu
menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk
bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui. (QS. al-Baqarah [2]: 216)

Berdasarkan titik tolak ini kami dapat


memahami firman Allah Swt:
 ‫َو ُيِح ُّل َلُه ُم الَّطِّيَباِت َو ُيَح ِّر ُم َعَلْيِه ُم اْلَخ َباِئَث‬
Dan menghalalkan bagi mereka segala yang
baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk. (QS. al-A’raaf [7}: 157)

Artinya, thayyib (baik) adalah apa yang


dihalalkan oleh Allah. Dan kita tidak
mengetahui bahwa sesuatu itu adalah thayyib
sampai Allah menghalalkannya. Khabits
(buruk) adalah apa yang diharamkan oleh
Allah. Dan kita tidak mengetahui bahwa
sesuatu dikatakan khabits kecuali setelah Allah
mengharamkannya. Ayat ini tidak bisa
diartikan bahwa akal kita mampu menentukan
sesuatu itu thayyib kemudian
menghalalkannya, atau menetapkan sesuatu itu
khabits kemudian mengharamkannya.
Inilah yang mereka maksudkan dengan
perkataan memilih yang lebih baik dari dua
kebaikan; memlih yang lebih baik dari dua
keburukan; menghasilkan kemasalahatan yang
lebih besar dari dua kemaslahatan dengan
meninggalkan yang lebih rendah; dan menolak
kerusakan yang lebih besar dari dua kerusakan.
Ini merupakan perkataan yang keliru dan
didalamnya mengandung bahaya bagi syari’at.
Perkataan tersebut jauh lebih berbahaya dari
pendapat yang membolehkan mashalih al-
mursalah. Itu terjadi karena jika suatu fakta
tidak ada nash syar’i-nya maka mereka harus
merujuk kepada maslahat. Sementara kami
melihat bahwa dengan pendapat mereka ini
telah memberikan izin bagi diri mereka sendiri
untuk mengganti hukum-hukum Allah, dan
memberikan hak kepada akal-akal mereka
untuk menasakhnya. Dengan perkataan
mereka itu sama artinya dengan menghalakan
yang haram dan mengharamkan yang halal,
jika hal ini dikaitkan dengan agama. Ini
merupakan metode yang sangat berbahaya.
Itulah yang menjadi penyebab jauhnya
pendapat-pendapat dan sikap-sikap mereka
dari kebenaran.
Sesungguhnya dengan memperhatikan apa
yang telah kami paparkan kami berpendapat
bahwa kaidah-kaidah mereka itu sesuai satu
sama lain dan berkomitmen untuk turut
campur kedalam masalah tasyri’ yang
merupakan hak Allah. Kaidah-kaidah itu
membolehkan akal dan hawa nafsu mereka
untuk membuat kaidah-kaidah aqliyah yang
tidak sesuai dengan syara’ dalam rangka
meraih apa yang mereka inginkan, bukan apa
yang syara’ inginkan. Dengan demikian qiyas
aqli yang dibangun diatas asas maslahat
merupakan pemimpin mereka dalam setiap
tulisan dan tindakan. Padahal qiyas aqli adalah
perkara penting yang ditolak oleh syara’ atas
kaum Muslim, karena di dalamnya terdapat
penentangan kepada Allah dan berserikat
terhadap-Nya untuk membuat (hukum) syara’.
Metoda itu juga menjauhkan mereka dari
kebenaran, mengikuti hawa nafsu dan
kecenderungan manusia. Pembahasan mereka
berdiri diatas landasan mencari-cari hukum
thaghut. Padahal mereka diperintahkan untuk
kafir kepada (hukum) thaghut. Sebab, thaghut
adalah mencari-cari hukum selain dari apa
yang diturunkan Allah.
Diakhir pembahasan ini dijelaskan
perbedaan antara qiyas aqli dengan qiyas
syar’i untuk menjelaskan kerusakan qiyas aqli
dan perlunya kembali pada qiyas syar’i agar
kita selamat, dan agar kita dapat
menyelamatkan umat kita dan manusia
seluruhnya.
Kaum Muslim telah mempraktekkan
metode tarjih aqli bagi maslahat di dalam
hukum syara’. Mereka mulai membandingkan
kemaslahatan-kemaslahatan yang diakui oleh
hukum syara’ dengan mafsadat yang
mengikutinya, menurut pandangan akal.
Apabila menurut mereka mafsadatnya lebih
banyak, maka mereka pun meninggalkan
hukum syara’ yang merupakan hukum Allah
dalam masalah itu, dan mengambil hukum
alternatif (lain) yang diambil berdasarkan akal
yang –menurut mereka- maslahatnya jauh
lebih banyak. Apabila maslahat pada suatu
hukum syara’ lebih banyak maka hukum
syara’ itu dilaksanakan. Namun, hal itu bukan
karena Allah telah memerintahkannya,
melainkan akal mereka telah menyetujuinya.
Ini adalah metode yang salah dan tidak boleh
dibiarkan. Metode ini meletakkan akal dan
hawa nafsu sebagai sandaran, bukan syara’.
Metode ini memberikan kepada akal peran
menghukumi syari’at Allah, sehingga
menempatkan akal diatas syara’. Hal ini adalah
penetapan hukum wadh’i diluar syara’. Faktor
itu juga yang menyebabkan mereka berani
mengeluarkan pendapat-pendapat yang
bertentangan dengan hukum-hukum syara’,
terutama pendapat yang sedang kita bahas ini.
Jadi, tidak akan mungkin ada perbedaan
pendapat dalam hal, apakah boleh bergabung
dengan sistem pemerintahan yang menerapkan
hukum jahiliah atau tidak? Perbedaan itu
sendiri terdapat di dalam metode berpikir yang
dipakai mereka untuk menghasilkan hukum
yang tidak sesuai dengan syara’, hukum yang
berdasarkan akal, hukum yang tidak
diturunkan Allah, hukum thaghut yang justru
mereka diperintahkan untuk berpaling.
Berdasarkan hal ini kami berpendapat
bahwa metode mereka bertentangan dengan
pemahaman yang benar. Dan fakta telah
menunjukkan kerusakannya. Tidak dibolehkan
kaum Muslim bersandar kepada metode
semacam itu atau mengambil hukum
berdasarkan metode tersebut. Sebab,
penentuan manfaat dan mafsadat secara qath’i
adalah hak Allah, Rabb semesta alam. Tidak
ada yang mengetahui apa yang bermanfaat dan
apa yang berbahaya bagi kita kecuali Allah.
Apabila manusia memiliki hak itu, berarti
dialah yang menjadi musyarri’ (pembuat
hukum). Implikasinya adalah manusia tidak
lagi membutuhkan agama dari Ilahi untuk
mengatur kehidupannya. Islam menganggap
bahwa seorang muslim wajib terikat dengan
syari’at Rabbnya. Apa yang dituntut syara’
untuk dikerjakan, maka hal itu adalah maslahat
bagi kita, dan apa pun yang dituntut untuk
meninggalkannya berarti ada mafsadat bagi
kita. Dan kita tidak mengetahui bahwa didalam
suatu perkara terdapat maslahat atau pun
mafsadatnya kecuali setelah syari’at turun
menjelaskannya. Akan tetapi, sebelum itu
terjadi, akal kita tidak mampu untuk
menetapkannya.
Tatkala manusia membuat syari’at, dapat
dipastikan akan menggunakan metode qiyas
aqli yang mengharuskannya untuk
menyamakan hal-hal yang mirip dan
memberinya hukum yang sama pula.
Kemudian membedakan hal-hal yang berbeda
dan memberinya hukum yang berbeda pula.
Apabila kita memperhatikan syari’at Islam
yang telah dibuat oleh Yang Maha
Mengetahui, maka kita menyaksikan bahwa
kadang-kadang syara’ telah memberikan
hukum yang berbeda terhadap persoalan-
persoalan yang mirip, dan memberikan hukum
yang sama terhadap banyak perkara-perkara
yang berbeda. Fenomena ini tentu
bertentangan dengan qiyas aqli. Terkadang
syara’ memberikan hukum yang tidak bisa
dipahami oleh akal manusia. Ini saja cukup
untuk menggugurkan metode berpikir bid’ah
ini, yang telah dicetuskan oleh sebagian orang-
orang itu.

Bab 15
Tujuan Tidak Menghalalkan Segala
Cara

Sebagian kaum Muslim telah terseret


oleh metode analogi akal (qiyâs aqlî) yang
tidak didasarkan pada ammârah (indikasi-
indikasi) syariat atau ‘illat syar‘iyyah yang
terkandung di dalam nash. Menurut mereka,
analogi akal (qiyâs ‘aqlî) dapat dipahami dari
seluruh nash syariat, tanpa harus ada nash-nash
lain yang menunjukkannya. Analogi suatu
hukum terhadap hukum yang lain semata-mata
ditetapkan karena adanya kesejalanan dengan
akal, tanpa harus ada ‘illat hukum yang
disebutkan oleh syariat, sekaligus berasal dari
proses analisis akal (tarjih) terhadap
kemaslahatan yang terdapat dalam hukum
syariat itu sendiri.
Semua pandangan tadi tidak benar dan
tidak berdasar sama sekali. Dalam pandangan
mereka, syariat Islam seluruhnya bertujuan
untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan,
dan harta. Oleh karena itu, apa saja yang bisa
menjaga lima hal di atas, menurut pandangan
mereka, merupakan kewajiban yang telah
dituntut oleh syariat—kendati tidak secara
langsung didasarkan pada hukum syariat itu
sendiri, atau tidak digali dari ‘illat syar‘iyyah
—karena adanya kemiripan pada dua perkara
di atas. Karena adanya faktor kemiripan pula,
menurut mereka, ketika syariat Islam
membolehkan seorang muslim yang berada
dalam kondisi darurat memakan makanan yang
haram atau meminum khamar, maka ia pun
dibolehkan untuk mengambil riba (bunga
uang/barang) jika ia berada dalam kondisi
yang sama.
Cara berpikir semacam ini jauh dari -
bahkan bertentangan dengan- pemahaman
yang benar. Pada kenyataannya, cara berpikir
demikian adalah rusak, dan tidak layak untuk
dijadikan sandaran ataupun diambil sebagai
acuan dasar. Sebab, analogi akal (qiyâs ‘aqlî)
menetapkan adanya keharusan penyamaan dua
kasus yang serupa atau keharusan pembedaan
dua kasus yang saling berlawanan. Padahal,
pada banyak kasus, kita sering menyaksikan
bahwa, syariat acapkali membedakan dua
perkara meskipun perkara tersebut serupa, atau
menyamakan dua perkara meskipun dua
perkara tersebut tampak bertentangan. Lebih
dari itu, syariat juga sering memberikan
ketetapan-ketetapan hukum yang tidak
selamanya dapat dipahami oleh akal.
Kenyataan ini saja sudah cukup untuk
menggugurkan paradigma dasar metode
berpikir yang mengagung-agungkan akal
pikiran dalam menetapkan sesuatu, tanpa
merujuk kepada bentuk tekstual nash, atau
tanpa bersandar pada kaidah-kaidah ijtihad
syar‘î.

Pembedaan Dua Perkara yang Serupa


Dalam syariat Islam, banyak hal yang
tampak serupa menurut pandangan akal namun
hukumnya berbeda. Misalnya, keutamaan
waktu bagi kaum Muslim. Syariat Islam telah
memuliakan salah satu malam di bulan
Ramadhan, yaitu Lailatul Qadar dibandingkan
dengan malam-malam yang lain. Padahal,
menurut akal manusia, malam satu dengan
malam yang lain, tidak ada bedanya, sehingga
mengharuskan hukum yang sama. Syariat
Islam juga telah membedakan keutamaan
tempat seperti mengutamakan Makkah
dibandingkan dengan Madinah atau
mengutamakan Makkah dan Madinah
ketimbang tempat-tempat yang lain. Padahal,
menurut akal manusia, tempat satu dengan
tempat yang lain di atas muka bumi itu, tidak
ada keistimewaannya. Syariat Islam juga telah
membedakan shalat-shalat yang boleh di-qashr
(disingkat). Syariat memberikan keringanan
(rukhshah) pada shalat yang berjumlah empat
rakaat tetapi tidak memberikan keringanan
pada shalat yang jumlah rakaatnya tiga atau
dua. Syariat telah membedakan antara manî
dengan madzî (cairan alamiah -selain air seni-
yang keluar dari alat kelamin laki-laki pada
saat-saat tertentu). Syariat menetapkan bahwa
manî adalah suci sedangkan madzî adalah
najis, padahal keduanya keluar dari tempat
yang sama. Syariat Islam telah menetapkan
kewajiban mandi karena keluarnya manî, dan
menetapkan batalnya puasa jika manî
dikeluarkan dengan sengaja, tetapi hal ini tidak
berlaku untuk madzî, meskipun keduanya
keluar dari tempat yang sama. Padahal,
menurut akal manusia, jika sama-sama keluar
dari tempat yang sama, maka hukumnya juga
harus sama. Syariat telah menetapkan
kewajikan untuk membasuh pakaian bila
terkena air kencing bayi perempuan dan cukup
memercikan air bila terkena air kencing bayi
laki-laki. Padahal, menurut akal manusia pula,
air kencing bayi, baik laki-laki ataupun
perempuan sama saja. Syariat Islam juga telah
menetapkan kewajiban untuk meng-qadhâ’
puasa bagi wanita haid, tetapi tidak
menetapkan kewajiban bagi mereka untuk
meng-qadhâ’ shalat. Syariat telah menetapkan
hukum potong tangan bagi orang yang mencuri
harta senilai tiga dirham, tetapi tidak
memberlakukan hukuman yang sama bagi
orang yang meng-ghasab (merampas) harta
senilai jutaan dirham. Syariat Islam juga telah
menetapkan adanya ‘iddah bagi wanita yang
ditalak selama tiga kali suci, sedangkan ‘iddah
bagi wanita yang ditinggal mati suaminya
adalah 4 bulan 10 hari, padahal ada unsur
kesamaan dalam dua kasus tersebut.
Semua contoh-contoh diatas
mengandung unsur keserupaan, yang -menurut
akal manusia- mengharuskan ketetapan hukum
yang sama. Kenyataannya, Allah Swt. malah
membedakan hukum satu perkara dengan
perkara lainnya. Ini adalah bukti, bahwa akal
manusia tidak bisa dijadikan rujukan, sekaligus
menunjukkan kelemahan akal, karena tidak
mengetahui hakekat atas suatu perkara.
Seandainya akal dibiarkan untuk
menetapkan hukum pada masalah-masalah
seperti di atas, tentu akan terjadi kesalahan,
dan penetapan hukumnya pun akan
bertentangan dengan hukum yang ditetapkan
oleh syariat. Syariat, telah menetapkan hukum
yang berbeda dengan hukum yang ditetapkan
oleh akal. Dengan demikian, semua hal di atas
menunjukkan bahwa metode analogi semacam
ini adalah keliru.

Menyamakan Dua Perkara yang Berbeda


Sebaliknya, syariat Islam, dalam banyak
hal, juga telah menyamakan hukum atas dua
perkara, yang -menurut akal manusia
tampaknya- kedua perkara itu berbeda.
Meskipun hal ini tidak sejalan dengan metode
analogi akal, namun Allah Swt yang Maha
Mengetahui hakekat segala sesuatu telah
menyamakan hukum keduanya. Misalnya,
syariat Islam telah menetapkan bahwa air dan
tanah, sama-sama boleh digunakan untuk
bersuci, meskipun, secara lahiriah ataupun
zatnya, kedua jenis benda itu berbeda, malah
saling bertentangan sifatnya. Air, misalnya,
memiliki sifat membersihkan, sedangkan tanah
(debu) memiliki sifat mengotori. Syariat Islam
juga telah mengharamkan riba fadhal pada
emas (contohnya pertukaran 1 kg emas 24
karat dengan 1 kg emas 22 karat) dan gandum
(seperti antara 1 kg gandum yang berasal dari
Syam dengan 1 kg gandum Yaman yang
berbeda jenisnya), padahal fakta keduanya
(yaitu emas dan gandum) itu berbeda. Syariat
telah menetapkan sanksi yang sama (meskipun
cara pelaksanaan sanksinya berbeda), yakni
hukuman bunuh, bagi orang yang murtad dan
pezina muhshan. Padahal murtad itu
hakikatnya berbeda dengan zina. Syariat Islam
telah menetapkan bahwa seorang Muslim dan
kafir dzimmî sama-sama terjaga darahnya,
meskipun keduanya berbeda agama. Syariat
Islam juga telah mewajibkan hukuman
cambuk, masing-masing 80 kali, bagi orang
yang menuduh zina dan peminum khamar,
padahal antara minum khamar dengan
menuduh orang lain berzina, keduanya
berbeda.
Demikianlah, banyak fakta yang berbeda
satu sama lain, tidak memiliki kesamaan sama
sekali, tetapi telah diberikan ketetapan hukum
yang sama oleh syariat Islam. Seandainya akal
manusia dibiarkan melakukan analogi terhadap
kasus-kasus tersebut, tentu ia akan menetapkan
hukum yang berlawanan dengan ketetapan
syariat Islam. Kenyataan ini, sekali lagi,
menunjukkan bahwa metode analogi semacam
ini -yang mangagung-agungkan akal manusia-
adalah keliru.
Di luar contoh-contoh tersebut diatas,
syariat Islam telah menetapkan sejumlah
hukum yang acapkali tidak bisa dipahami oleh
akal. Misalnya, syariat telah menghalalkan
jual-beli dan mengharamkan riba, padahal
keduanya mirip. Syariat Islam telah
mensyaratkan persaksian dalam kasus
perzinaan adalah empat orang laki-laki,
sedangkan dalam kasus pembunuhan cukup
dua orang laki-laki, padahal pembunuhan itu
kualitas perkaranya jauh lebih berat
dibandingkan dengan zina. Dalam persaksian
kasus rujuk, saksi harus muslim, sedangkan
dalam persaksian wasiat, saksi boleh dari
orang kafir. Syariat Islam juga telah
mewajibkan seorang laki-laki untuk berlaku
‘iffah (menjaga kehormatan) atau
menundukkan pandangannya terhadap wanita
merdeka, meskipun buruk rupa; baik terhadap
rambut ataupun kulitnya. Padahal biasanya,
seorang laki-laki tidak akan tertarik kepada
wanita semacam ini. Akan tetapi sebaliknya, ia
tidak diwajibkan untuk menundukkan
pandangan terhadap seorang budak wanita,
meskipun budak tersebut cantik dan menarik
hatinya. Syariat Islam telah mewajibkan
seseorang untuk mengusap punggung sepatu
(khuf), bukan pada bagian alasnya. Padahal
membersihkan alas sepatu lebih utama
(menurut akal manusia, karena itulah yang
terkena kotoran/tanah) Dalam konteks ini,
sayyidina ‘Alî ra pernah berkata:

Seandainya agama ini ditetapkan dengan


qiyas (analogi akal), sungguh mengusap alas
sepatu (khuf) adalah lebih utama ketimbang
mengusap punggungnya.

Pernyataan sayyidina ‘Ali di atas telah


cukup untuk membantah bait syair, yang
melecehkan ketetapan syariat Islam, yang
dituturkan oleh seorang penyair terkenal, Abû
al-‘Alâ’ al-Ma‘arî, yang berbunyi demikian:

Tangan cukup didenda dengan lima ratus


dinar
tetapi dipotong hanya karena seperempat
dinar

Maksudnya, tangan yang diciderai oleh


seseorang, didenda dengan lima ratus dinar
bagi penganiayanya. Lalu, bagaimana mungkin
pencuri dipotong tangannya hanya karena
mengutil seperempat dinar? Dengan kata lain,
jika didasarkan pada ketetapan akal, hukum
potong tangan yang ditetapkan oleh syariat
pada kasus pencurian seperempat dinar adalah
tindakan kejam.
Oleh karena itu, seandainya akal diberi
kewenangan untuk menetapkan ‘illat dari
keseluruhan hukum syariat, dari teks nash, atau
dari adanya kesesuaian pada dua buah hukum
sehingga qiyâs (analogi) bisa dilakukan, maka
sesungguhnya akal akan mengharamkan
banyak hal yang telah dibolehkan Allah Swt
dan menghalalkan banyak hal yang telah
diharamkan Allah Swt. Oleh karena itu, qiyâs
tidak boleh dilakukan kecuali sesuai dengan
metode yang telah ditetapkan oleh syariat.
Dengan kata lain, qiyâs syar‘î tidak akan
terjadi kecuali pada nash yang di dalamnya
mengandung ‘illat. Qiyâs tidak boleh
dilakukan pada nash yang tidak mengandung
‘illat syar‘iyyah; qiyâs tidak boleh didasarkan
pada ‘illat ‘aqliyyah (‘illat yang ditetapkan
oleh akal); dan qiyâs pun tidak boleh
ditentukan dengan didasarkan pada ‘illat
syar‘iyyah yang tidak disebutkan atau tidak
ditentukan. Oleh karena itu pula, para fuqaha
membatasi ‘illat hanya pada ‘illat yang digali
dari nash-nash syariat. Mereka menyatakan
bahwa ‘illat kadang-kadang dipahami dari
nash secara jelas (sharâhah), melalui
penunjukkan (dilâlah), lewat penggalian
(istinbâth), atau dengan analogi (qiyâs).
(Dalam konteks ini, anda bisa merujuk pada
berbagai kitab ushul fiqih).
Ketika menetapkan qiyâs, Rasulullah
saw. juga menentukan jenisnya. ‘Abdullah ibn
Zubair pernah menuturkan riwayat demikian:

Seseorang dari suku Khats’am pernah


mendatangi Rasulullah saw dan berkata,
‘Bapakku masuk Islam, sedangkan dia sangat
tua dan tidak dapat berjalan. Padahal haji
telah diwajibkan kepadanya. Apakah aku
harus menghajikannya?’
Rasulullah bertanya, ‘Apakah kamu anak laki-
lakinya yang tertua?’
Orang itu menjawab, ‘Benar’.
Rasulullah saw bersabda: ‘Ketahuilah, jika
bapakmu memiliki utang kemudian engkau
melunasinya, tentu ia tidak akan memiliki
utang lagi’.
Orang itu menjawab, ‘Benar’.
Rasulullah saw bersabda: ‘Oleh karena itu,
berhajilah untuknya’. (HR Imam Ahmad dan
Nasâ’î).

Haji adalah ibadah, sedangkan


meminjam uang termasuk muamalat.
Keduanya berbeda. Akan tetapi, mengerjakan
kewajiban haji dipandang sama dengan
melunasi utang, yakni keduanya sama-sama
harus ditunaikan. ‘Illat tentang kebolehan
seorang anak berhaji untuk bapaknya dalam
keadaan semacam ini esensinya adalah
melunasi utang. Rasulullah saw
mengidentikkan utang kepada Allah
sebagaimana halnya utang kepada seorang
hamba. Keduanya wajib untuk dilunasi.
Seandainya Rasulullah saw tidak
mensyariatkan hukum seperti ini, tentu akal
kita tidak akan berpendapat semacam itu.
Penetapan ‘illat suatu hukum merupakan
petunjuk yang menjelaskan sebab dasar
disyariatkannya hukum tersebut. ‘Illat harus
diikuti manakala sudah ditemukan. Inilah yang
disebut dengan qiyâs (analogi). Rasulullah saw
sendiri, ketika berkomentar tentang kucing
dengan sabdanya:

Sesungguhnya kucing bukan najis.

Beliau menjelaskan ‘illat (alasan penetapan


hukum)-nya, dengan sabdanya:

Sesungguhnya kucing biasa bergaul dengan


kalian. (HR. Bukhari dan Turmudzi).

Oleh karena itu, semua yang biasa


bergaul dengan manusia tidak dikategorikan
sebagai najis, selama tidak ada dalil yang
mengkhususkannya. Rasulullah saw juga
bersabda:

Sesungguhnya izin itu ditetapkannya demi


menjaga pandangan. (HR. Bukhari dan
Muslim).
Artinya, seorang Muslim wajib meminta
izin sebelum ia masuk ke rumah orang lain.
Sebab, rumah memiliki kehormatan dan
dianggap sebagai aurat. Sabda beliau ‘demi
menjaga pandangan’ adalah ‘illat
disyariatkannya izin. Berdasarkan hal ini,
seorang Muslim yang masuk ke dalam
rumahnya sendiri tidak perlu meminta izin.
Sebab, jika ‘illat tidak ada, hukum pun tidak
ada; kecuali jika ada tamu atau ada sebab yang
lain. Sebaliknya, ketika ‘illat ada, hukum pun
berlaku. Dengan demikian, hukum bergantung
pada ada atau tidak adanya ‘illat.
Jadi, qiyâs sebetulnya merupakan perkara
yang cukup rumit. Harus diketahui bahwa
qiyâs hanya merupakan kewenangan bagi
orang yang telah sangat memahami nash-nash
yang ada, hukum-hukum syariat, dan berbagai
fakta yang terjadi. Tidak setiap orang berhak
dan bisa melakukan qiyâs sesuka hatinya
sendiri. Qiyâs hanya merupakan hak bagi
orang yang diberi oleh Allah Swt kecerdasan
pemahaman. Jika tidak demikian, qiyâs hanya
akan merupakan salah satu sarana untuk
menghancurkan Islam dan menjauhkan
hakekat hukum Allah Swt.
Dalam konteks ini, Imam Syafi‘i pernah
berkata: ‘Seseorang tidak boleh melakukan
qiyâs sampai ia memahami Sunnah Nabi,
pendapat para ulama salaf, dan bahasa Arab;
memiliki kecerdasan sehingga ia bisa
membedakan hal-hal yang syubhat; tidak
tergesa-gesa menyimpulkan pendapat; tidak
mengabaikan pendapat orang yang
mengkritiknya, sebab kritik akan membuatnya
waspada dari keteledoran, dan waspada dari
kesalahan yang diyakininya sebagai
kebenaran’. Praktek qiyas memerlukan
pemahaman yang amat cermat dan teliti. Jadi,
tidak sah qiyas untuk menggali hukum kecuali
dilakukan oleh seorang mujtahid.
Apa yang telah kami sebutkan
sebelumnya tidak kami ungkapkan kecuali
mengutip dalil-dalil mereka yang
membolehkan bergabung dengan sistem
pemerintahan kufur, sekaligus dipaparkan
argumentasi penolakan terhadap dalil-dalil
tersebut. Kami juga memaparkan bahwa dalil-
dalil itu tidak bisa dijadikan hujjah dalam
perkara yang sedang dibahas. Kita akan
membahas bagaimana pendapat Islam yang
qath’i yang tidak menerima ijtihad dalam topik
ini?
Syariat dengan akidahnya ditegakkan di
atas landasan iman kepada Allah yang Esa, dan
wajib meng-Esakannya di dalam ibadah.
Ucapan (lâ ilâha) berarti menafikan
ketuhanan, ibadah dan tasyri’ kepada selain
Allah. Dan ucapan (illa Allah) berarti itsbat
(penetapan) semua itu hanya untuk Allah.
Dialah Tuhan yang layak untuk diibadahi dan
layak untuk membuat hukum. Ini
mengharuskan juga beribadah dan tunduk
kepada-Nya, serta mengetahui syari’at-Nya
melalui Rasulullah saw. Inilah yang dikandung
oleh bagian kedua dari ucapan syahadat, yaitu
perkataan (Muhammad Rasulullah). Artinya,
wajib menjadikan Rasulullah saw sebagai satu-
satunya figur yang diikuti dan diteladani dalam
perkara tasyri’.
Ushul fiqih telah membatasi sumber
wahyu agar tasyri’ tidak diambil selain dari
wahyu. Ushul fiqih juga membatasi kaedah-
kaedah istinbath agar tidak ada unsur yang
masuk ke dalam syara’, berupa sesuatu yang
bukan syara’. Oleh karena itu pembahasan
pertama di dalam ushul fiqih adalah bahwa
Hâkim (pembuat hukum) adalah Allah Swt,
dan bahwa hukum itu hanya hak Allah saja.
Tidak ada hukum kecuali syara’ telah
menjelaskannya.
Kemudian datang fiqih yang merupakan
terjemahan praktis untuk beribadah kepada
Allah semata dan tunduk kepada-Nya. Tidak
menerima tasyri’ selain-Nya, dan hanya
berhukum kepada syari’at-Nya semata.
Dan bergabung dengan sistem
pemerintahan yang kufur berarti mengajak
untuk menerima undang-undang buatan
manusia disamping hukum ilahi; menerima
musyarri’ selain Allah, sejajar dengan Allah;
menerima berbilangnya sumber tasyri’... Lalu,
dimana ke-Esaan Yang Disembah, yang
menuntut ke-Esaan dalam peribadatan, baik
dzahir maupun batin?
Tidak dibolehkannya mensyarikatkan
Allah mengharuskan pula tidak boleh turut
serta didalam penetapan hukum-Nya.
Dari pembahasan ini tampak bahwa
syara’ secara keseluruhan mengarahkan tidak
bolehnya bergabung dalam sistem
pemerintahan yang menerapkan aturan
jahiliah.
Sirah dakwah Rasulullah saw
menunjukkan tidak disisakannya satu keraguan
pun terhadap fundamentalnya pemikiran dan
menjauhkannya dari realita yang mungkin bisa
mempengaruhinya. Bahkan, berusaha untuk
mewarnai realita dan memunculkan
perubahan. Dakwah Rasulullah saw tidak
mempedulikan fakta-fakta syirik yang ada di
tengah-tengah orang kafir Makkah, tidak
memperhatikan lagi adat kebiasaan mereka,
tidak memperhitungkan apakah manusia akan
menerima atau menolak dakwahnya, dan tidak
bermanis muka kepada penguasa. Padahal
kondisi Rasulullah saw dan kondisi dakwah di
kota Makkah ketika itu sangat keras.
Rasulullah saw menyerukan (lâ ilaâha illa
Allah) yang merupakan inti Islam secara
keseluruhan, dan penolakan secara total
terhadap selain Islam, baik akidah maupun
syari’at. Berdasar asas ini pula Abu Jahal
bersama tokoh-tokoh Makkah lainnya
melakukan penolakan. Dengan bertumpu
kepada asas ini Rasulullah saw menjalankan
dakwah kepada umat manusia seluruhnya, baik
yang berkulit putih maupun yang berkulit
hitam, hamba sahaya atau pun orang merdeka,
kaya maupun miskin, orang Arab atau selain
Arab, penyembah berhala atau pun ahli kitab.
Rasulullah saw menghadapi mereka dan
berjuang untuk menyampaikannya. Beliau
memulai dengan menyebut tuhan-tuhan
mereka. Mereka membalasnya dengan
pemusuhan. Kemudian mereka menawarkan
kompromi, dan meminta beliau agar tidak
mengganggu mereka. Jika hal ini diterima,
maka mereka juga tidak akan mengganggu
beliau. Mereka menginginkan andai saja
Rasulullah saw bermanis muka kepada
mereka, maka mereka akan melakukan hal
yang sama. Kenyataannya, Rasulullah saw
tidak menuruti keinginan mereka dan memilih
bersikap sabar terhadap penolakan mereka
terhadap dakwahnya, dan gangguan mereka
terhadap sahabat-sahabatnya maupun orang-
orang mukmin lain yang beriman terhadapnya.
Kesabaran merupakan bukti kebenaran dakwah
dan ucapannya. Beliau saw juga menolak
(dengan tegas) syarat yang diajukan bani
Sha’sha’ah tatkala beliau mendatangi mereka
untuk mendapatkan pertolongan mereka
terhadap agamanya disaat-saat dakwah beliau
dalam kondisi kritis. Tidak seorang pun yang
menolong. Mereka bersedia untuk menolong
beliau akan tetapi dengan mengajukan
persyaratan, (yaitu) jika beliau wafat, maka
kekuasaan harus diserahkan kepada mereka.
Saat itu beliau tidak mengatakan adanya celah
(peluang) terbuka yang dapat dimanfaatkan,
setelah setiap jalan yang ada di hadapan beliau
tertutup rapat. Beliau malah mengatakan
kepada mereka -dan kepada kita juga untuk
mengajarkan, memberi petunjuk dan
mengajak-:

‘Perkara (kekuasaan) itu adalah urusan Allah.


Dialah yang memberikannya kepada siapa
saja yang Dia kehendaki’.

Dari hadits tersebut dapat dipahami


bahwa yang memiliki hak untuk menetapkan
hal itu hanya Allah semata. Dia
memberikannya kepada orang yang
dikehendaki-Nya. Tidak ada seorang pun yang
boleh berserikat dengan-Nya dalam perkara
ini. Jadi, hanya Allah saja yang berhak
menyerahkannya kepada orang yang Dia
kehendaki. Manusia dalam hal ini tidak
memiliki hak sedikitpun. Dakwah Rasulullah
saw berjalan hanya bersandar kepada
pemikiran dan taufiq Allah Swt. bahkan
dakwah beliau juga sampai pada tercapainya
tujuan dengan berdirinya Darul Islam di kota
Madinah setelah Allah Swt membuka hati dan
akal orang-orang yang menolong dan
mendukung beliau. Ini merupakan taufiq dari
Allah Swt yang akan diperoleh juga oleh
orang-orang yang bertawakal kepada-Nya,
meminta pertolongan-Nya, memelihara
kejernihan pemikiran dan kecemerlangan
pemahaman, istiqamah dalam perjalanan
(dakwahnya) dan menjaga kebenaran tingkah
lakunya.
Di akhir pembahasan masalah tentang
(larangan) bergabung dengan sistem
pemerintahan yang tidak menjalankan hukum
sesuai dengan apa yang diturunkan Allah,
maka kami ingin memaparkan ayat-ayat dan
hadits-hadits yang mengharamkan dilwatinya
jalan ini; dan menolak setiap alasan atau
penakwilan, karena ayat-ayat tersebut qath’i
dilalah (penunjukkannya bersifat pasti).
Sesungguhnya Undang-undang Dasar
dinegara manapun di dunia, harus berdiri di
atas asas pemikiran tertentu. Kadang-kadang
asasnya demokrasi, bisa juga asas Islam.
Artinya, tidak lahir hukum apapun kecuali
berasal dari akidah dan dasar negaranya.
Didalam sistem demokrasi, hukum-
hukum yang terdapat didalam UUD harus
sesuai dengan asas demokrasi. Bahwasanya
kedaulatan itu berada di tangan rakyat.
Maknanya, rakyatlah yang menyusun
perundang-undangan melalui majelis
(parlemen) yang dipilih rakyat untuk
menjalankan tugas ini, dan disebut dengan
majelis perwakilan. Ada pula kekuasaan
eksekutif yang berfungsi menjalankan
pemerintahan. Lembaga ini menerapkan apa
yang dihasilkan badan legislatif, yang
mewakili rakyat. Untuk menjaga agar
penguasa tetap terikat dengan ketetapan rakyat,
maka majelis perwakilan memiliki wewenang
untuk memberikan mandat kepada pemerintah.
Pemerintahan belum sah kecuali setelah
majelis perwakilan memberikan mandat
kepadanya. Majelis perwakilan juga memiliki
wewenang untuk mengawasi jalannya
pemerintahan, mengkritisinya dan meminta
penjelasan kepadanya. Majelis perwakilan juga
berhak untuk menyampaikan mosi tidak
percaya kepada kabinet, baik secara
keseluruhan atau kepada salah satu menteri
apabila terlepas atau tidak terikat dengan
UUD.
Apa yang dilakukan oleh pemerintahan
semacam itu, asasnya adalah demokrasi bukan
Islam. Islam -sebagaimana yang telah kami
jelaskan sebelumnya- tidak menerima
perbuatan apapun yang tidak berdiri diatas asas
ruhiyah, yaitu iman kepada Allah Swt.
Sebuah sistem juga memiliki asas yang
satu. Bangunannya merupakan satu kesatuan.
Politik yang ingin diterapkan juga satu.
Pemerintah menerapkannya melalui
keberadaan kabinet. Kebijakan politik setiap
departemen harus selaras dengan departemen-
departemen lainnya. Pihak yang merancang
(visi) politik ini adalah pemerintah secara
keseluruhan. Jadi, suara seorang menteri
muslim hanyalah satu diantara suara-suara
lainnya, yang bersama Perdana Menteri
menyusun (sistem) politik yang sesuai dengan
UUD dan asasnya. Ini ditinjau dari segi
perundang-undangan. Dari sisi
pelaksanaannya, maka kenyataannya
menunjukkan jbagaikan auhnya langit dengan
bumi. Seorang menteri yang diangkat untuk
memimpin departemen, tidak akan mampu
keluar dari kungkungan politik pemerintah
yang telah ditetapkan oleh pemimpin negeri
dan kroninya. Tidak ada pilihan lain bagi sang
menteri kecuali menerima jabatan tersebut dan
menjalankan politik yang sudah digariskan;
atau menolak jabatan itu dan dia tidak
memiliki hak untuk menetapkan (kebijakan)
politik departemennya.
Lebih dari itu, tanggungjawab kabinet
adalah tanggung jawab bersama. Artinya, jika
pemerintah ingin menerapkan kebijakan politik
yang akan dijalankannya atau mengambil
keputusan-keputusan yang diperlukan, maka
keputusan-keputusan itu diambil berdasarkan
suara mayoritas. Dengan kata lain, seorang
menteri turut campur ke dalam urusan
departemen lainnya, dan memberikan
pendapatnya dalam keputusan-keputusannya.
Kenyataan ini menempatkan setiap menteri
bertanggung jawab terhadap setiap kebijakan
yang dikeluarkan oleh departemennya atau
departemen lainnya. Dalam kondisi semacam
itu dia wajib membela politik pemerintah dan
seluruh kebijakan lainnya dihadapan publik,
meskipun dia menentang kebijakan itu ketika
berada di dalam sidang kabinet. Dari sini
tampak jelas bahwa seorang menteri muslim
akan menjadi penentang setiap kebijakan yang
bertentangan dengan Islam, dan pembicaraan
seperti ini menunjukkan kedangkalan berpikir.
Seorang menteri tentu saja berbeda faktanya
dengan seorang anggota Dewan Perwakilan.
Dari sisi undang-undang, bukan dari aspek
penerapan, seorang wakil rakyat mewakili
orang-orang yang memilihnya. Kadang-kadang
dia mewakili kaum Muslim dalam sistem
demokrasi. Kadang-kadang mewakili golongan
radikal kiri di dalam sistem kapitalis. Lain
halnya dengan menteri, dia tidak diangkat
untuk menjadi seorang oposan didalam
pemerintah. Jika tidak maka ia akan tetap
berada diluar untuk berhadap-hadapan sebagai
oposan. Di dalam sistem demokrasi orang
yang menentang kebijakan pemerintah akan
berada diluar sistem. Dia tidak boleh masuk di
dalamnya. Apabila dia mesuk secara tidak
sengaja, maka dia akan dikeluarkan dengan
cara paksa. Sebab, tugas pemerintah itu adalah
memerintah dan menerapkan. Pemerintah tidak
menerima adanya kontradiksi di dalam sistem.
Jadi, siapa pun yang menentang kebijakan
politiknya maka dia akan dikeluarkan oleh
Perdana Menteri, atau kabinet secara
keseluruhan; atau terhadapnya disampaikan
mosi tidak percaya dari para wakil rakyat,
walaupun itu ditujukan untuknya seorang.
Pemerintahan harus tetap berjalan.
Perlu diperhatikan bahwa dengan
diangkatnya seorang muslim menjadi menteri
di dalam pemerintahan, berarti dia menerima
UUD yang ada dinegara itu dan asas dari UUD
tersebut. Yang kami maksud oposisi disini
bukan oposan (berlawanan) dengan asas dari
sistem, melainkan oposisi di dalam sistem itu
sendiri, yakni oposisi yang menentang
masalah-masalah cabang, tetapi mengakui
pokoknya.
Lagi pula setiap kebijakan yang telah
diambil dan berkaitan dengan salah satu
departemen yang ada di dalam kabinet, tidak
boleh dijalankan kecuali setelah memperoleh
kesepakatan dan persetujuan yang
ditandatangani oleh tiga pihak, yaitu Presiden,
Perdana Menteri dan Menteri yang
bersangkutan. Ini menunjukkan bahwa seorang
menteri muslim tidak bebas (otonom)
mengelola departemennya, termasuk
mengeluarkan kebijakan-kebijakan praktis
sendiri.
Berdasarkan penjelasan ini tampak
bahwa:
-Hukum-hukum yang diterapkan oleh
pemerintah tidak berdasarkan asas ruhiyah,
yaitu iman kepada Allah, akan tetapi
berdasarkan asas demokrasi, dimana penetapan
tasyri’ berada di tangan rakyat, bukan Allah.
-Sesungguhnya pemerintah itu adalah
kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan untuk
menerapkan undang-undang. Pemerintah,
mulai dari Presiden, dan setiap menteri yang
ada di dalam kabinet, tidak boleh keluar dari
UUD. Jika tidak maka dituduh sebagai
penentang.
-Setiap menteri, termasuk menteri
muslim, tidak membuat kebijakan
departemennya sendiri, akan tetapi
menjalankan politik yang sudah digariskan
oleh negara sebagai satu kesatuan, termasuk
Presidennya.
-Setiap menteri bertanggungjawab
terhadap seluruh kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah, karena UUD telah
menyebutkan bahwa kabinet
bertanggungjawab secara bersama-sama.
Walhasil, masalah ini telah diatur oleh
sistemnya, yang menghalang-halangi siapa pun
yang bersuara sumbang. Tidak dibenarkan
seseorang menyanyi dengan gayanya sendiri.
Inilah fakta yang dipaparkan oleh para
penguasa itu. Banyak sekali ayat yang
menyebutkan tentang haramnya seorang
muslim bergabung didalamnya.
-Allah Swt mewajibkan bahwa hukum
berada ditangan Allah, sebagai asas dari
perundang-undangan. Allah Swt berfirman:
‫َفَال َو َر ِّبَك َال ُيْؤ ِم ُنوَن َح َّتى ُيَح ِّك ُم وَك ِفيَم ا َش َج َر َبْيَنُه ْم ُثَّم َال َيِج ُد وا‬
‫ِفي َأْنُفِس ِه ْم َح َر ًج ا ِم َّم ا َقَض ْيَت َو ُيَس ِّلُم وا َتْس ِليًم ا‬
Maka demi Tuhanmu, mereka pada
hakekatnya tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam
perkara yang mereka perselisikan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati
mereka terhadap putusan yang kamu berikan
dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
(QS. an-Nisa [4]: 65)
‫َو َم ا َك اَن ِلُم ْؤ ِم ٍن َو َال ُمْؤ ِم َنٍة ِإَذا َقَض ى اُهلل َو َرُس وُلُه َأْم ًر ا َأْن َيُك وَن‬
 ‫َلُه ُم اْلِخ َيَر ُة ِم ْن َأْم ِر ِه ْم‬
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin
dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin,
apabila Allah dan Rasu-Nya telah menetapkan
sesuatu ketetapan (hukum) akan ada bagi
mereka pilihan (hukum) yang lain tentang
urusan mereka. (QS. al-Ahzab [33]: 36)
-Allah Swt mewajibkan seorang
penguasa itu muslim.
 ‫َأِط يُعوا اَهلل َو َأِط يُعوا الَّر ُس وَل َو ُأوِلي ْاَألْم ِر ِم ْنُك ْم‬
Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil
amri diantara kamu. (QS. an-Nisa [4]: 59)
-Allah mewajibkan penguasa muslim
untuk memerintah dengan (sistem hukum)
Islam.
‫َو َأِن اْح ُك ْم َبْيَنُه ْم ِبَم ا َأْنَز َل اُهلل‬
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara
(hukum) di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah. (QS. al-Maidah [5]: 49)

Allah Swt memperingatkan penguasa muslim


agar tidak berpaling dari penerapan sebagian
hukum Islam, meskipun hanya satu hukum.
Allah Swt berfirman:
 ‫َو اْح َذ ْر ُه ْم َأْن َيْف ِتُنوَك َعْن َبْع ِض َم ا َأْنَز َل اُهلل ِإَلْيَك‬
Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka,
supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebagian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu. (QS. al-Maidah [5]: 49)

Di sisi lain Allah Swt memerintahkan kaum


Muslim untuk mengangkat senjata melawan
penguasa yang memerintah dengan kekufuran
(yang nyata), melalui sabda Rasulullah saw,
ketika ditanya tentang penguasa yang dzalim:

Apakah kami harus mengangkat senjata,


wahai Rasulullah? Beliau menjawan: ‘Kecuali
kalian melihat kekufuran yang nyata, yang
kalian memiliki buktinya dihadapan Allah’.
(HR. Muslim)

-Allah telah mengharamkan berteman


dekat dengan kroni penguasa dari selain Islam.
Allah Swt berfirman:
 ‫َال َتَّتِخ ُذ وا ِبَطاَنًة ِم ْن ُدوِنُك ْم‬
Janganlah kamu ambil menjadi teman
kepercayaanmu orang-orang diluar
kalanganmu. (QS. Ali Imran [3]: 118)

-Allah Swt memerintahkan kepada kaum


Muslim untuk berhukum dengan sistem hukum
Islam dan mengharamkan mereka untuk
berhukum kepada thaghut. Allah menjelaskan
bahwa barangsiapa yang melakukannya maka
imannya hanyalah perkataan, bukan iman yang
sebenarnya.
‫َأَلْم َتَر ِإَلى اَّلِذ يَن َيْز ُعُم وَن َأَّنُه ْم َءاَم ُنوا ِبَم ا ُأْنِز َل ِإَلْيَك َو َم ا ُأْنِز َل‬
‫ِم ْن َقْبِلَك ُيِر يُد وَن َأْن َيَتَح اَك ُم وا ِإَلى الَّطاُغوِت َو َقْد ُأِم ُر وا َأْن َيْك ُفُر وا‬
‫ِبِه َو ُيِر يُد الَّش ْيَطاُن َأْن ُيِض َّلُه ْم َض َالًال َبِعيًد ا‬
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-
orang yang telah mengaku dirinya telah
beriman kepada apa yang telah diturunkan
kepadamu dan kepada apa yang diturunkan
sebelum kamu? Mereka hendak berhakim
kepada thaghut, padahal mereka telah
diperintah mengingkari thaghut itu. Dan
syaithan bermaksud menyesatkan mereka
dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS.
an-Nisa [4]: 60)

-Allah Swt mengharamkan kaum Muslim


untuk mengangkat pemimpin dari selain
mereka.
‫َياَأُّيَه ا اَّلِذ يَن َءاَم ُنوا َال َتَتَو َّلْو ا َقْو ًم ا َغِض َب اُهلل َعَلْيِه ْم َقْد َيِئُس وا‬
 ‫ِم َن ْاآلِخ َر ِة َك َم ا َيِئَس اْلُك َّف اُر ِم ْن َأْص َح اِب اْلُقُبوِر‬
Hai orang –orang yang beriman, janganlah
kamu jadikan penolongmu kaum yang
dimurkai oleh Allah, sesungguhnya mereka
telah putus asa terhadap negeri akhirat
sebagaimana orang-orang kafir yang berada
dalam kubur berputus asa. (QS. al-
Mumtahanah [60]: 13)
‫ِل‬ ‫ِل‬ ‫ِخ‬ ‫َّلِذ‬
‫َياَأُّيَه ا ا يَن َءاَم ُنوا َال َتَّت ُذ وا اْلَيُه وَد َو الَّنَص اَر ى َأْو َياَء َبْع ُضُه ْم َأْو َياُء‬
‫ِلِم‬ ‫ِد‬ ‫ِم‬ ‫َّل ِم‬
‫َبْع ٍض َو َمْن َيَتَو ُه ْم ْنُك ْم َفِإ َّنُه ْنُه ْم ِإَّن اَهلل َال َيْه ي اْلَق ْو َم الَّظا يَن‬
‫ َفَتَر ى اَّلِذ يَن ِفي ُقُلوِبِه ْم َم َر ٌض ُيَس اِر ُعوَن ِفيِه ْم َيُقوُلوَن َنْخَش ى َأْن‬
‫ُتِص يَبَنا َد اِئَر ٌة َفَعَس ى اُهلل َأْن َيْأِتَي ِباْلَف ْتِح َأْو َأْم ٍر ِم ْن ِع ْنِدِه َفُيْص ِبُح وا َعَلى‬
 ‫َم ا َأَس ُّر وا ِفي َأْنُفِس ِه ْم َناِدِم يَن‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu,
sebagian mereka adalah pemimpin bagi
sebagian yang lain. Barangsiapa di antara
kamu mengambil mereka menjadi pemimpin,
maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberikan petunjuk kepada orang-orang
yang dzalim. Maka kamu akan melihat orang-
orang ada penyakit dalam hatinya (orang-
orang munafik) bersegera mendekati mereka
(Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: ‘Kami
takut akan mendapat bencana’. Mudah-
mudahan Allah akan mendatangkan
kemenangan (kepada Rasul-Nya) atau sesuatu
keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu,
mereka menjadi menyesal terhadap apa yang
mereka rahasiakan dalam diri mereka. (QS.
al-Maidah [5]: 51-52)

Dari sini dengan sendirinya gugur


syubhat yang mengatakan bahwa para
penguasa (muslim yang ada) sekarang ini
bukan dari kalangan yahudi atau nasrani. Yang
benar adalah bahwa mereka termasuk orang-
orang yang mengikuti yahudi dan nasrani.
Barangsiapa yang mengikuti mereka, maka
loyalitas mereka diberikan kepada orang yang
diikuti oleh para penguasa itu.
Allah Swt berfirman:
‫َو اَّلِذ يَن َكَف ُر وا َبْع ُضُه ْم َأْو ِلَياُء َبْع ٍض ِإَّال َتْف َعُلوُه َتُك ْن ِفْتَنٌة ِفي ْاَألْر ِض‬
 ‫َو َفَس اٌد َك ِبيٌر‬
Adapun orang-orang kafir, sebagian mereka
menjadi pelindung (penolong) bagi sebagian
yang lain. Jika kamu (hai kaum Muslim) tidak
melaksanakan apa yang telah diperintahkan
Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan
dimuka bumi dan kerusakan yang besar. (QS.
al-Anfal [8]: 73)

Perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud


dengan tidak bolehnya mengikuti yahudi dan
nasrani bukan berarti boleh mengikuti selain
mereka. Yang dimaksudkan disini adalah
haram mengikuti apa dan siapa saja yang
bertentangan dengan Islam. Haramnya
mengangkat mereka menjadi pemimpin
mengharuskan pula bagi kita berlepas diri dari
pemikiran dan tingkah laku mereka, dan tidak
mengikuti perintah mereka (penguasa) selama
perintahnya dibangun di atas asas kekufuran.
Allah Swt berfirman melalui lisan Nabi
Ibrahim as:
‫ِإَّنا ُبَر آُء ِم ْنُك ْم َو ِم َّم ا َتْع ُبُد وَن ِم ْن ُدوِن اِهلل َكَف ْر َنا ِبُك ْم َو َبَد ا َبْيَنَنا‬
‫َو َبْيَنُك ُم اْلَعَد اَو ُة َو اْلَبْغَض اُء َأَبًد ا َح َّتى ُتْؤ ِم ُنوا ِباِهلل َو ْح َدُه‬
Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu,
dan dari apa yang kamu sembah selain Allah,
kami ingkari (kekafiran)-mu dan telah nyata
antara kami dan kamu permusuhan dan
kebencian buat selama-lamanya, sampai kamu
beriman kepada Allah saja. (QS. al-
Mumtahanah [60]: 4)

Loyalitas itu hanya diberikan kepada


Allah, kepada Rasul-Nya dan kepada orang-
orang mukmin. Allah Swt berfirman:
 ‫َو َمْن َيَتَو َّل اَهلل َو َرُس وَلُه َو اَّلِذ يَن َءاَم ُنوا َفِإ َّن ِح ْز َب اِهلل ُه ُم اْلَغاِلُبوَن‬
Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-
Nya dan orang-orang yang beriman menjadi
penolongnya, maka sesungguhnya pengikut
(agama) Allah itulah yang pasti menang. (QS.
al-Maidah [5]: 56)

Disini juga gugur syubhat perkataan:


‘Sesungguhnya jika kami menerima bergabung
dengan penguasa, maka tidak berarti kami
memberikan loyalitas kepada mereka. Akan
tetapi kami ingin menunjukkan loyalitas
dengan metode (mengalah untuk menang).
Hati kami masih mengingkari apa yang mereka
kerjakan’. Yang benar adalah, bahwa loyalitas
itu sesuatu yang dilakukan oleh anggota badan
dan hati sekaligus. Apa yang dilakukan oleh
penguasa harus diingkari, tatkala menjalankan
(sistem) hukum yang tidak diturunkan Allah,
baik pengingkaran itu dilakukan dengan hati,
lisan ataupun tangan. Serendah-rendahnya
derajat pengingkaran adalah dengan hati.
Lebih rendah dari itu tidak ada lagi iman,
sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah
saw. Orang yang mengambil pendapat
selemah-lemahnya iman, tidak mungkin amal
dan perkataannya sesuai atau mendukung
sistem hukum selain Islam. Dan barangsiapa
yang melakukan hal itu, maka dia telah berlaku
maksiat, meskipun hatinya mengingkari. Dia
bisa menjadi kafir apabila hatinya ridha.
Artinya, orang yang bergabung dengan sistem
pemerintahan yang menjalankan sistem hukum
selain dengan yang diturunkan Allah, maka
minimal dia disebut fasik, dzalim dan maksiat
kepada Allah Swt.

Bab 16
Perbaikan Parsial dan Perubahan Total

Di tengah-tengah kenyataan hidup kaum


Muslim yang menyakitkan ini berdiri gerakan-
gerakan Islam yang melakukan aktitivitas
untuk merubah kenyataan ini, memberikan
alternatif yang baik dan istimewa dengan
pandangan menyeluruh, dengan Daulah
Islamiyah. Di dalam gerakan-gerakan Islam
terdapat dua macam pemikiran: Pertama, yang
menjalankan dakwah serta menegakkan
masyarakat Islam dengan menggunakan
metode perbaikan parsial (ishlâh), dan
berusaha untuk mereformasi hal-hal yang
sudah hancur serta memperbaiki perkara yang
sudah rusak. Kedua, yang menggunakan
metode perubahan mendasar (taghyîr) dan
menganggap bahwa tidak ada gunanya
memperbaiki realita yang kerusakannya ada
pada pangkal (pokoknya). Tidak ada gunanya
proses tambal sulam maupun reformasi parsial.
Perbedaan antara dua kelompok ini
mengakibatkan perbedaan dalam memandang
realita yang ada, dan upaya-upaya untuk
mencari solusinya. Implikasi lainnya adalah
munculnya perbedaan dalam metode gerak dan
jalan dakwah.
Bagaimana hukum syara’ dalam masalah
ini?
Untuk mengetahui apa hukum syara’
dalam perkara ini, maka kita harus mengikuti
metode berpikir Islam, karena tidak mungkin
sampai pada pengetahuan terhadap hukum
syara’ tersebut, kecuali dengan menggunakan
asas ini.
Metode yang diakui syara’ mengharuskan
kita untuk mengetahui realita yang menjadi
tempat aktivitas. Setelah itu baru
memunculkan dalil-dalil syara’ yang
berhubungan dengan fakta tersebut, dan
memahaminya dengan pemahaman yang
sesuai dengan syara’.
Islam adalah agama yang paripurna. Di
dalam Islam dijumpai cara-cara ishlâh
(perbaikan) ketika faktanya memang
membutuhkan ishlâh. Dijumpai pula cara-cara
taghyîr (perubahan total) apabila faktanya
memang membutuhkan taghyîr. Melihat fakta
yang ada sekarang ini, apa yang dituntut
syara’. Apakah ishlâh atau taghyîr .
Yang berhak menetapkan hukum atas dua
keadaan ini hanyalah Allah Swt. Allah-lah
yang membuat dalil-dalil syara’. Meskipun
demikian, yang menentukan jenis dakwah
(apakah ishlâh atau taghyîr) adalah realita
yang ingin ditaghyîr atau diishlâh.
Taghyîr bisa dilakukan terhadap individu,
bisa juga ditujukan untuk merubah keadaan
masyarakat atau merubah kondisi bangsa-
bangsa dan umat. Taghyîr harus dimulai
dengan merubah asas, tempat manusia,
masyarakat atau kondisi dibangun dengan asas
tersebut. Sebab, setiap pemikiran cabang
berasal dari asasnya, termasuk pemahaman-
pemahaman yang membatasi/mengatur tingkah
laku manusia dalam kehidupan ini. Dengan
asas ini serta apa pun yang berkaitan
dengannya (baik berupa pemikiran cabang atau
pun furu’), manusia bisa berbahagia atau
menderita; umat bisa bangkit bisa juga
mundur.
Asas yang menjadi landasan seorang
muslim atau masyarakat Islam adalah akidah
Islam. Setiap perbuatan seorang muslim tidak
boleh menyimpang. Begitu pula aktivitas
Daulah Islamiyah satupun tidak boleh keluar
dari akidah Islam dan segala konsekuensinya.
Adapun ishlâh, adalah perubahan
menyangkut perkara cabang atau furu’, bukan
asasnya. Asas yang ada dibiarkan, tidak
dirubah. Hanya dibersihkan saja. Eksistensi
(dari asas itu sendiri) tetap diakui.
Jika asasnya itu ada, akan tetapi muncul
kotoran-kotoran yang menutupi sebagian
‘baju’nya, berupa pemikiran-pemikiran yang
mendominasinya, maka yang harus dilakukan
dalam kondisi ini adalah ishlâh bukan taghyîr.
Yang dilakukan adalahnupaya untuk
menjernihkan kembali asasnya, lalu
memperkuatnya agar kembali menyinari
perkara-perkara cabang, terutama di dalam
penerapan praktis. Seorang muslim yang
terpengaruh dengan tsaqafah Barat misalnya,
yang harus dilakukan terhadapnya adalah
mensucikan kembali imannya dan
menghilangkan segala kotoran yang
menempel, agar orientasinya jelas dan tingkah
lakunya benar. Terhadap seorang muslim yang
terjerumus dalam perbuatan maksiat, yang
harus dilakukan adalah memperkuat iman,
sehinggah terwujud dorongan yang
memacunya untuk bertakwa, sekaligus
berfungsi sebagai pengendali yang bisa
mencegah dan menjaganya dari tindakan
maksiat. Apa yang dapat diterapkan kepada
individu muslim juga dapat diterapkan kepada
Daulah Islamiyah.
Jika kita ingin mengajak orang kafir
masuk Islam, maka dakwah kita kepadanya
adalah dakwah yang bersifat taghyîr. Karena
asas yang dimilikinya, dan setiap perkara yang
lahir dan terpancar dari asas tersebut adalah
batil. Wajib mengganti asasnya dengan asas
yang benar. Oleh karena itu kita tidak
mengajak orang kafir untuk melakukan shalat
sementara kita masih membiarkan asas kafir
yang dianutnya.
Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah
saw. Ini juga yang ditunjukkan oleh realita.
Allah Swt memberitahukan kepada kita bahwa
Dia tidak akan menerima amal orang-orang
kafir meskipun amal perbuatannya itu baik.
Dan tidak ada seorang kafir pun yang masuk
surga karena amalnya, selama amal
perbuatannya itu tidak dilakukan atas dasar
iman yang dibawa oleh Islam. Allah Swt
berfirman:
‫َو َقِد ْم َنا ِإَلى َم ا َعِم ُلوا ِم ْن َعَم ٍل َفَجَعْلَناُه َه َباًء َم ْنُثوًر ا‬
Dan kami hadapkan segala amal yang mereka
kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu
(bagaikan) debu yang berterbangan. (QS. al-
Furqan [25]: 23)

Begitu juga amal perbuatan seorang muslim


akan gugur apabila dia murtad dan keluar dari
keimanan. Iman wajib menjadi asas setiap
perbuatan/amal.
Apabila kita ingin mengajak seorang
muslim maka dakwah kita kepadanya adalah
dakwah yang bersifat ishlâh, karena asas yang
dimiliki muslim itu benar. Meskipun demikian
kita wajib menjauhkannya dari segala kotoran
yang menempel, yang menyebabkan orientasi
dan konsistensinya melemah. Jadi, selama asas
itu masih ada, maka dia hanya memerlukan
perbaikan yang bisa mengembangkan dan
menguatkannya, menyuburkan dan
mensucikannya. Jika hal itu telah tercapai,
dengan sendirinya dia akan memiliki orientasi
yang benar dan konsistensi yang lurus. Dengan
demikian, seorang muslim yang meminum
khamar, berzina, mencuri atau melakukan
transaksi yang mengandung riba, atau berdiam
diri dari aktivitas dakwah untuk melanjutkan
kehidupan Islam, maka orang semacam ini
memerlukan pengobatan atas imannya. Dia
harus diingatkan kepada Allah yang Maha
Pencipta dan Maha Mengatur, yang wajib
disembah dan ditaati. Wajib baginya untuk
tidak melihat pada kecilnya dosa tetapi kepada
keagungan Pencipta. Ketika al-Khaliq
memerintah dan melarang, maka perintah dan
larangan-Nya itu untuk kebauikan dirinya di
dunia dan akhiratnya. Diingatkan pula bahwa
balasan bagi tindakan maksiat adalah dosa,
yang akan menjerumuskan pelakunya ke
dalam neraka. Dan balasan bagi ketaatan
adalah pahala, yang akan diperolehnya nanti
pada hari kiamat dan berhak memperoleh
rahmat Rabbnya. Ingatannya diarahkan pada
dahsyatnya hari kiamat dan adzab jahanam,
serta nikmatnya surga. Dengan demikian,
keimanannya akan memacunya untuk berbuat
taat dan meninggalkan maksiat. Dengan cara
seperti ini tingkah laku seorang muslim bisa
diluruskan kembali. Oleh karena itu, kita
sekarang ini tatkala berdakwah kepada kaum
Muslim sebagai individu-individu, wajib
memperhatikan bahwa mereka itu adalah
muslim yang harus diperbaiki pemikiran dan
tingkah lakunya.
Sistem pemerintahan suatu negara
berdasarkan kepada UUD. Dan UUD-nya
diambil dari sumber-sumber tertentu yang
dibangun di atas asas tertentu. Dalam perkara
ini kita harus mencermati, apakah asas negara
itu akidah Islam sehingga al-Qur’an dan as-
Sunnah serta apa yang ditunjukkan oleh
keduanya dijadikan sebagai sumber satu-
satunya untuk membuat UUD? Apakah
hukum-hukum yang terdapat di dalam UUD
tidak keluar sedikitpun dari wahyu? Jika
demikian kondisinya, maka negara itu
dianggap Daulah Islamiyah.
Apabila di dalam Daulah Islamiyah
banyak terjadi kerusakan atau dijumpai adanya
keburukan di dalam penerapan, maka terhadap
negara seperti ini harus dilakukan upaya ishlâh
(perbaikan), bukan taghyîr. Kondisi semacam
itu mirip dengan keadaan Daulah Islamiyah
pada masa Turki Utsmani. Daulah Utsmaniyah
saat itu membutuhkan ishlâh. Artinya, tidak
boleh kaum Muslim melakukan khurûj
(pembangkangan) dan bekerjasama dengan
orang-orang Barat kafir untuk
menghancurkannya, seperti yang dilakukan
oleh orang yang dijuluki dengan Syarif
Hussein.
Namun, jika asas negara bukan akidah
Islam, yang merupakan asas UUD, peraturan
dan perundang-undangan lainnya, maka yang
dituntut disini adalah aktivitas taghyîr bukan
ishlâh. Contohnya adalah kondisi negara-
negara tempat kaum Muslim hidup sekarang
ini. Negara-negara itu bukanlah Daulah
Islamiyah, karena peraturan-peraturannya tidak
berasal dari syari’at Islam (meskipun mereka
mengatakan bahwa agama negara adalah
agama Islam). Sebab yang jadi acuan adalah
penerapan bukan sekedar perkataan
(pengakuan).
Jadi, selama peraturan negara-negara yang
memerintah kaum Muslim sekarang ini UUD-
nya tidak berdasarkan al-Qur’an dan as-
Sunnah, maka realita ini memerlukan aktivitas
yang bersifat taghyîr, yaitu merubah secara
fundamental pusat-pusat peraturan dan kaidah-
kaidahnya. Realita seperti ini tidak boleh
diperlakukan dengan upaya ishlâh (perbaikan)
yang bersifat tambal sulam, melainkan dengan
upaya taghyîr yang bersifat total. Perlakuan
apapun terhadap realita seperti ini harus
didasarkan pada asas taghyîr. Selain dari
perlakuan tersebut tidak boleh dilakukan,
karena (tindakan ishlâh) merupakan
pengakuan secara tidak langsung terhadap
eksistensi sistem tersebut. Lagi pula hal itu
bukan tuntutan syara’ yang harus dilakukan
terhadap realita tadi, karena di dalamnya
terdapat penerapan hukum yang bukan berasal
dari Allah.
Oleh karena itu, kami memandang bahwa
jama’ah-jama’ah yang berorientasi
memperbaiki sistem dengan asas ishlâh,
berusaha untuk menyesuaikan diri dengan
sistem tersebut, dan berupaya untuk masuk
menjadi bagiannya, sehingga pemikiran-
pemikiran yang dilontarkan oleh gerakan-
gerakan tadi bersifat parsial, selaras dengan
realita yang ingin diperbaikinya. Bisa
dimengerti, karena targetnya parsial. Gerakan-
gerakan seperti ini berusaha untuk
menciptakan jalur-jalur hubungan pemikiran
yang sama, yang dianggap bisa dijadikan
sebagai titik awal untuk melakukan dialog
antara gerakan-gerakan itu dengan pemerintah.
Pemikiran-pemikiran yang dilontarkan oleh
gerakan-gerakan ini disesuaikan dengan
kondisi negara tempatnya beraktivitas. Mereka
berusaha mewarnainya dengan celupan Islam,
meskipun hanya sebatas kulitnya saja.
Sedangkan substansinya tetap tidak Islami,
agar tampil dengan baju Islam tanpa
menyentuh subtansinya.
Kami juga memandang bahwa para
penganjur taghyîr mempunyai pemikiran-
pemikiran yang sangat berbeda atas realita
yang mereka rubah. Sikap tersebut muncul
karena mereka mengikatkan pemikirannya
dengan asas yang mereka imani, dan menolak
fakta yang ada dari segi asasnya. Selama
asasnya berbeda, maka apa pun yang berasal
dari asas tersebut tertolak, karena gugurnya
asas, meskipun terdapat kemiripan pada
sebagian perakara (cabangnya).
Di dalam benak para pencetus ide taghyîr
terdapat gambaran yang ingin disampaikan
kepada umat manusia. Gambaran ini
membawa mereka kemasa Rasulullah saw.
Mereka mengkritik realita, tempat mereka
hidup dengan kritikan yang menyentuh
asasnya. Pemikiran yang dilontarkan
kelompok ini sama disetiap negeri, karena
kondisi yang diciptakan oleh kafir penjajah
terhadap kaum Muslim sama dan seragam.
Oleh karena itu, solusi terhadap kondisi
tersebut juga sama.
Pada fase pertama penjajahan Barat atas
negeri-negeri kaum Muslim, mereka
menjauhkan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai
sumber satu-satunya bagi perundang-undangan
hidup kita. Itu dilakukan Barat dengan
melakukan pemisahan agama Islam dari
kehidupan dan peraturan kita. Perlakuan itu
berhasil mereka jalankan. Dan hal itu
merupakan bencana bagi kita. Dengan
demikian sangat mengherankan jika saat ini
kita menyaksikan banyak gerakan Islam
berinteraksi -dengan sistem rekaan Barat yang
dibuat didepan mata mereka- dengan asas
ishlâh bukan taghyîr. Sesungguhnya realita
yang ada saat ini tidak akan bisa diperbaiki
dengan cara tambal sulam, meskipun amat
banyak. Dan orang yang tidak memahami
realita tentang sesuatu tidak akan mungkin
mengetahui hukumnya. Dia akan kehilangan
kebenaran atas amal perbuatannya dan
ketepatan meneladani langkah Rasulullah saw.
Orang yang ingin menyeru kepada Allah
sekarang ini tidak bisa mengabaikan hadits
Nabi saw:

Kemudian akan datang Khilafah yang


berdasarkan pada manhaj ke-Nabian. (HR
Imam Ahmad).

Orang yang menginginkan hadirnya


Khilafah yang berdasarkan pada manhaj ke-
Nabian tidak akan memiliki alternatif lain
kecuali meneladani sirah manusia terbaik
(yaitu Muhammad saw), yang usaha-usahanya
menghasilkan buah. Dan dengan taufik Allah
bisa menelurkan sebaik-baik umat yang
dikeluarkan di tengah-tengah manusia.
Sesungguhnya sirah itu adalah satu untaian
dengan sirah para Nabi dan orang-orang yang
mengikuti mereka. Hanya kepada Allah kita
memohon agar kita termasuk di dalam salah
satu mata rantainya. Maka kita juga harus
meneladani sirah Muhammad saw. Masyarakat
lalu meneladani kita, dan bersatu dengan
mereka untuk melaksanakan amal perbuatan
yang paling mulia dan ibadah yang paling
benar (yaitu dakwah Islam).
Bab 17
Apakah Rasulullah saw merestui Najasy
(Setelah Masuk Islam) Menerapkan Sistem
Pemerintahan dengan Syari’at Kufur

Orang yang mengemban dakwah Islam


secara benar dan berusaha mewujudkannya
kembali di dalam realita pemerintahan dan
kehidupan secara ikhlas, baik individu atau
pun partai, tidak mungkin bergabung dengan
sistem pemerintahan kufur. Karena saat yang
sama dia berusaha untuk menghancurkannya.
Bergabung dengan sistem pemerintahan kufur
yang menerapkan peraturan (hukum) dan
perundang-undangan kufur, sama saja dengan
memperkokoh sistem kufur, bukan
menghancurkannya. Argumentasi apa pun
yang dihadirkan untuk menjustifikasi
penyertaannya di dalam sistem pemerintahan
kufur, tidak lain hanya untuk mengkhianati
dirinya sendiri, mengkhianati Allah dan orang-
orang yang beriman. Apalagi setelah nyata
bahwa dalil-dalil itu bertentangan dengan
dalil-dalil syar’i yang qath’i tsubut dan qath’i
dilalah.
Sungguh, merupakan suatu bencana dan
dosa besar apabila seorang pengemban dakwah
mengadopsi maslahat yang diukur dengan
akalnya dan tidak diakui oleh syara’, sebagai
dalil baginya dengan melanggar nash yang
qath’i tsubut dan qath’i dilalah; atau
menggunakan syubhat dalil untuk
menjustifikasi kesertaannya di dalam sistem
pemerintahan kufur yang menjalankan
peraturan yang tidak diturunkan Allah.
Padahal, bergabung di dalam sistem
pemerintahan kufur bertentangan dengan dalil-
dalil yang qath’i tsubut dan qath’i dilalah,
yang jelas-jelas mewajibkan kaum Muslim
untuk berhukum dengan hukum yang
diturunkan Allah, dan mengharamkan
berhukum dengan (hukum) selain yang
diturunkan Allah.
Contohnya adalah mengadopsi kisah
Najasy, yang diumumkan kematiannya oleh
Rasulullah saw kepada para sahabatnya.
Waktu itu beliau saw melakukan shalat
jenazah untuknya. Itu dijadikan sebagai dalil
yang dibuat mereka untuk menjustifikasi
kesertaan mereka di dalam sistem
pemerintahan kufur yang menerapkan hukum
selain dengan yang diturunkan Allah Swt.
Mereka mengatakan bahwa Najasy telah
masuk Islam pada masa Rasulullah saw, dan
tetap memerintah dengan peraturan (kufur)
sebelum dia masuk Islam, padahal aturan itu
bukan aturan Islam. Mereka melontarkan enam
buah hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari,
berkaitan dengan wafatnya, dan shalatnya
Rasulullah atas kematiannya. Tiga hadits
diantaranya diriwayatkan oleh Jabir bin
Abdullah al-Anshari, dan tiga lainnya
diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Keenam
hadits tersebut tidak bisa dijadikan sebagai
dalil yang membolehkan bergabung di dalam
sistem pemerintahan kufur, yang menerapkan
peraturan (hukum) dan perundang-undangan
kufur. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Imam Bukhari meriwayatkan haduts-
hadits ini dengan memasukkan lima hadits di
dalam ‘Bab Meninggalnya Najasy’. Hadits
yang keenam dikeluarkan di dalam ‘Bab al-
Jana’iz’. Keenam hadits itu berkaitan dengan
kematian Najasy, dan pemberitaan Rasulullah
saw kepada para sahabatnya tentang
kematiannya. Beliau menyebut Najasy sebagai
lelaki yang saleh, bahwa dia adalah saudara
mereka. Kemudian Rasulullah saw meminta
kepada mereka (para sahabat) agar
memintakan ampun terhadapnya. Dan
disebutkan juga tentang shalatnya beliau
bersama para sahabat. Ini menunjukkan bahwa
Najasy adalah seorang muslim.
2.Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya
Fathul Baari, syarah Shahih Bukhari,
mengomentari hadits tersebut dengan judul
‘Mautu an-Najasy’. Beliau tidak
menginterpretasikan ke-Islamannya dengan
perkataannya: ‘Tidak jelas, mengapa Bukhari
tidak menjelaskan tentang ke-Islamannya
(Najasy) dan ini adalah topiknya, menjelaskan
tentang kematiannya. Itu karena, kisah yang
menyebutkan ke-Islamannya tidak ada. Jadi
perkara (ke-Islaman)nya tampak jelas dalam
kematiannya yang ditunjukkan karena
mengambil pemahaman dari shalat
(jenazah)nya Rasulullah untuk Najasy, yakni
Najasy ketika itu telah masuk Islam’.
3.Sighat hadits yang dikeluarkan oleh
Bukhari menunjukkan bahwa Rasulullah saw
mengetahui tentang kematian Najasy dan ke-
Islamannya dihari kematiannya melalui
wahyu. Hadits itu menunjukkan bahwa para
sahabat tidak mengetahui kematian dan ke-
Islamannya, kecuali setelah Rasulullah saw
memberitahu mereka tentang hal itu. Di dalam
hadits Jabir berkata, bahwa Rasulullah
bersabda ketika Najasy meninggal:

‘Hari ini telah meninggal seorang laki-laki


saleh, maka berdirilah kalian dan shalatlah
atas saudara kalian Ashhimah’.

Di dalam hadits Abu Hurairah tertulis:

Sesungguhnya Rasulullah saw


memberitahukan kematian Najasy kepada
mereka, penguasa Habsyah pada hari
kematiannya.

Ini menjadi dalil yang menunjukkan bahwa


Rasulullah saw mengetahui kematian dan ke-
Islaman Najasy pada hari meninggalnya,
melalui wahyu. Ucapan Rasulullah saw yang
diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah: ‘Hari ini
telah meninggal seorang laki-laki saleh’. Dan
sabda beliau: ‘Maka berdirilah kalian dan
shalatlah atas saudara kalian Ashhimah’,
menunjukkan bahwa mereka sebelumnya tidak
mengetahui ke-Islaman Najasy. Seandainya
mereka mengetahui hal itu maka tidak
mungkin Rasulullah saw mengucapkan
ungkapan-ungkapan seperti: ‘lelaki saleh’ dan
‘saudara kalian’, karena beliau tidak
mengucapkan ungkapan seperti ini ketika
mengajak mereka untuk menshalatkan salah
seorang sahabat yang meninggal.
4.Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa
Najasy telah masuk Islam menjelang
kematiannya. Namun, tidak menjelaskan kapan
ke-Islamannya. Bentuk kalimatnya
menunjukkan bahwa Rasulullah saw
mengetahui kematian dan ke-Islamannya pada
hari kematiannya, melalui wahyu sebagaimana
yang telah kami sebutkan sebelumnya. Tidak
terdapat berita (khabar) sah yang menyebutkan
bahwa Rasulullah saw telah memberitakan ke-
Islaman Najasy selain pada topik ini.
5.Keenam hadits ini tidak mengandung
pengertian yang menunjukkan bahwa Najasy
yang telah diberitahukan kematiannya oleh
Rasulullah saw kepada sahabat lalu beliau
shalat bersama para sahabat adalah Najasy
yang berkuasa di Habsyah ketika kaum
Muslim berhijrah ke sana. Juga tidak ada
informasi yang menunjukkan bahwa dia adalah
Najasy yang menerima surat (dakwah)
Rasulullah saw dan mengajaknya masuk Islam.
Karena istilah an-Najasy, bukanlah nama
pribadi, melainkan gelar yang diberikan
kepada penguasa yang memerintah Habsyah.
Hal ini disebutkan oleh an-Nawawi, pada jilid
keduabelas dari kitabnya, Syarah Shahih
Muslim; juga disebutkan oleh Ibnu Hajar al-
Asqalani, dalam juz ketiga kitab al-Ishabah.
6.Di dalam juz keduabelas dari kitab
Syarah Shahih Muslim an-Nawawi, disebutkan
bahwa Najasy yang dikirimi surat oleh
Raulullah saw dan diajaknya masuk Islam
pada akhir tahun keenam Hijriah, setelah
beliau kembali dari Perang Hudaibiyah,
bukanlah Najasy yang Rasulullah saw
menshalat jenazahkan. Teksnya berbunyi:

Dari Anas bahwa Nabi saw telah menulis


surat kepada Kisra, kepada Kaisar dan kepada
Najasy, serta kepada setiap Jabbar
(penguasa), mengajak mereka kepada Allah
ta’ala, bukan Najasy yang Nabi saw menshalat
(jenazahkan) atasnya.

Dari hadits ini jelas bahwa Najasy yang


Rasulullah saw menshalat jenazahkan atas
kematiannya bukanlah Najasy yang ada pada
saat kaum Muslim berhijrah ke Habsyah,
untuk hidup dibawah lindungannya, dan bukan
Najasy yang telah dikirimi surat oleh beliau,
melainkan Najasy yang berkuasa setelah
Najasy yang dikirimi Rasulullah saw surat
melalui Amru bin Umayyah adh-Dhamiri,
yang isinya mengajaknya untuk masuk Islam,
tetapi dia tidak menerima seruan Rasul dan
tidak masuk Islam. Karena, seandainya dia
menerima seruan Rasul dan masuk Islam, pasti
Rasulullah saw akan mengabarkan hal itu
kepada para sahabat agar melakukan shalat
jenazah atasnya. Lagi pula pasti Ja’far bin Abu
Thalib dan orang-orang yang berhijrah
bersamanya mengetahui ke-Islamannya.
Mereka kembali kepada Rasulullah saw pada
tahun ketujuh, yaitu setelah penaklukan
Khaibar. Artinya, setelah Rasul mengirimkan
surat kepada Najasy. Seandainya dia masuk
Islam pasti ke-Islamannya memperoleh
sambutan dan kegembiraan dari kaum Muslim,
terutama setelah kemenangan Khaibar. Dan
pasti Rasulullah saw menyampaikan kabar
gembira tentang ke-Islamannya. Sambutan
beliau yang diucapkan kepada Ja’far tidak
hanya:

‘Aku tidak tahu, yang mana dari kedua


perkara ini yang lebih aku senangi, apakah
ditaklukannya Khaibar ataukah kedatangan
Ja’far’. (Sirah Ibnu Hisyam)

Pasti beliau akan menambahkan: ‘atau dengan


masuk Islamnya Najasy’. Namun, beliau tidak
menyebutkan nama Najasy di dalam hadits itu,
meskipun kondisinya menuntut demikian,
seandainya Najasy menerima dakwah beliau
dan masuk Islam.
7.Orang-orang yang berpendapat bahwa
Najasy yang Rasulullah saw menshalat
jenazahkan atas kematiannya, adalah Najasy
yang sama ketika kaum Mulim berhijrah
kesana dan masuk di dalam perlindungannya,
juga merupakan Najasy yang dikirimi
Rasulullah saw surat dan mengajaknya
memeluk Islam pada akhir tahun keenam
Hijriah, maka pendapat tersebut diliputi wahm
(kerancuan). Kerancuan itu muncul terhadap
Najasy yang ada ketika kaum Muslim
berhijrah kesana karena Rasulullah saw telah
memujinya dan menyebutkannya kepada orang
yang akan berhijrah:

‘Bahwa dia adalah raja yang tidak mendzalimi


seorang pun, dan bahwa negerinya adalah
negeri yang benar’. (Sirah Ibnu Hisyam)

Keadaan disana ibarat menjadi tetangga yang


baik bagi kaum Muslim yang berhijrah kesana.
Najasy pun menjamin keberadaan mereka.
Kaum Muslim dengan aman menyembah
Allah, tidak takut kepada siapapun. Najash itu
pula yang menolak untuk menyerahkan kaum
Muslim kepada dua orang utusan Quraisy yang
memintanya. Najasy itu juga yang
bertentangan dengan keinginan para pembesar
gereja dan melindungi mereka dari kedua
utusan tersebut. Dia berkata kepadakaum
Muslim: ‘Kalian berada dalam keadaan aman
dinegeriku. Barangsiapa yang mencela kalian,
maka akan dijatuhkan (hukuman) denda’.
Dialah yang mengomentari jawaban Ja’far
ketika ditanyakan perkara yang dibawa oleh
Rasulullah saw kepada mereka, dengan
mengatakan: ‘Sesungguhnya perkara ini dan
yang dibawa oleh Isa, berasal dari satu
cahaya’. Begitu pula menanggapi jawaban
Ja’far pada hari berikutnya ketika dia bertanya
kepada Ja’far tentang Nabi Isa. Saat uitu dia
mengambil sebatang kayu lalu mengatakan:
‘Demi Allah, tidak berbeda Isa bin Maryam
dengan apa yang telah engkau katakan,
kecuali sebesar kayu kecil ini’. (Sirah Ibnu
Hisyam).

Paparan-paparan sepeerti itulah yang


menuimbulkan wahm (kerancuan dan
persangkaan) bahwa dia telah masuk Islam.
Rasulullah saw tidak memberitakannya bahwa
dia telah masuk Islam. Hal itu dituturkan oleh
Ummu Salamah, isteri Rasulullah saw yang
pada waktu itu termasuk salah satu wanita
yang turut berhijrah ke Habsyah. Ummu
Salamah tidak menyebutkan bahwa dia telah
masuk Islam, tatkala menceritakan tentang
Najasy dan kejadian yang mereka alami di
negeri Habsyah. Ummu Salamah berkata:
‘Ketika kami tiba di negeri Habsyah, dia
(Najasy) menjadi tetangga kami yang terbaik.
Dia menjamin agama kami. Kami pun
beribadah kepada Allah dan kami tidak
disakiti. Bahkan kami tidak mendengar
sesuatu yang kami benci’. Ummu Salamah
berkata lagi: ‘Demi Allah, sesungguhnya kami
dalam keadaan seperti itu ketika datang
kepadanya seorang laki-laki dari Habsyah
yang ingin merebut kerajaannya’. Lebih lanjut
Ummu Salamah berkata: ‘Maka demi Allah,
aku tidak mengetahui bahwa kami pernah
bersedih dengan satu kesedihan yang begitu
mendalam seperti kesedihan kami saat itu.
Merasa takut kalau laki-laki itu mengalahkan
Najasy, maka akan digantikan oleh seorang
laki-laki yang tidak mengetahui hak-hak kami
sebagaimana halnya yang diketahui Najasy’.
Ummu Salamah melanjutkan lagi: ‘Setelah
Allah memenangkan Najasy atas musuhnya
dan mengokohkan kekuasaannya dinegerinya,
maka aku tidak mengetahui lagi kegembiraan
yang lebih besar dari pada itu’. Berkata
Ummu Salamah: ‘Najasy telah kembali dan
Allah telah menghancurkan musuhnya,
mengokohkan kekuasaannya dinegerinya, dan
Habsyah menjadi teratur ditangannya. Kami
disisinya tinggal dirumah yang terbaik sampai
kami datang kepada Rasulullah saw ketika
beliau di Makkah’. (Sirah Ibnu Hisyam).
Hadits Ummu Salamah ini tidak menunjukkan
bahwa Najasy telah memeluk Islam.
Ini dari satu sisi, dari sisi lainnya, seolah-
olah orang yang mengatakan bahwa Najasy
yang dishalatkan jenazahkan oleh Rasulullah
saw adalah Najasy yang memerintah pada saat
kaum Muslim berhijrah kesana, dan
merupakan Najasy yang dikirimi surat oleh
beliau dan diajaknya masuk Islam. Orang-
orang itu seakan-akan belum membaca hadits
Anas bin Malik, yang diriwayatkan Muslim
dalam Shahihnya, yang menyebutkan:

Bahwa Nabi saw telah menulis surat kepada


Kisra, kepada Kaisar dan kepada Najasy serta
kepada setiap penguasa untuk mengajak
mereka kepada Allah ta’ala, dan bukan Najasy
yang Rasulullah saw menshalat jenazahkan
atasnya.

Adapun dua buah surat yang disebutkan


oleh Muhammad Hamidullah dalam kitabnya
al-Watsaa’iq as-Siyaasiyah fi ‘Ahdi an-
Nabawi, yang menyebutkan bahwa Najasy
telah menulis surat kepada Rasulullah saw
yang mejelaskan ke-Islamannya dan persiapan
(kesediaan)nya untuk datang menemui
Rasulullah saw, jika beliau perintahkan.
Bahwa dia telah mengirimkan anaknya yang
bernama Arha bin al-Ashham bin Abhar. Surat
yang pertama itu datang ketika Rasulullah
berada di Makkah. Sedangkan surat yang
kedua telah menyebutkan bahwa Najasy telah
mengirimkan kepada Rasulullah saw melalui
orang-orang yang kembali dari Habsyah, yaitu
para sahabat Rasulullah saw, dan beliau waktu
itu sudah ada di Madinah.
Kedua surat itu tidak disebutkan oleh
kitab-kitab hadits yang shahih. Penulis buku
al-Watsaai‘iq as-Siyaasiyah fi ‘Ahdi an-
Nabawi telah menyebutkan bahwa watsâ’iq itu
diambil dari kitab-kitab sejarah milik Thabari,
al-Qalqasyandi, Ibnu Katsir dan lain-lain.
Pengarangnya tidak menyebutkan bahwa dia
mengambil surat-surat tersebut dari salah satu
kitab hadits. Tentu saja kitab tarikh (sejarah)
tidak bisa dipercaya (tidak dapat disejajarkan
mutunya dengan kitab-kitab hadits), karena
tidak memperhatikan takhrij hadits-haditsnya
sebagaimana yang dijumpai pada kitab-kitab
hadits. Ibaratnya seperti mengumpulkan berita-
berita bagaikan pencari kayu dimalam hari
yang tidak mengetahui benda apa yang
terjamah oleh tangannya, apakah tongkat atau
ular berbisa. Oleh karena itu, kedua surat
tersebut tidak bisa diterima. Lagi pula kedua
surat itu bertentangan dengan hadits Anas,
yang diriwayatkan oleh Muslim, dan
bertentangan dengan riwayat Ummu Salamah
tentang Najasy, dan tentang orang-orang yang
berhijrah ke Habsyah. Bahkan tidak menyebut-
nyebut orang-orang yang berhijrah ke
Habsyah. Orang yang paling akhir kembali
kepada Rasulullah saw adalah Ja’far. Jadi,
berita (khabar) yang mana yang menyebutkan
bahwa Najasy telah masuk Islam, sementara
Ja’far kembali kepada Rasulullah saw pada
tahun ketujuh setelah penaklukan Khaibar, dan
setelah Rasulullah saw mengirimkan surat-
surat kepada para Raja dan Amir. Dengan
demikian, kedua surat ini tidak sah, dan tidak
boleh digunakan untuk beristidlal. Sebab,
keduanya tertolak.
Berdasarkan penjelasan tadi, maka Najasy
yang masuk Islam dan yang Rasulullah
menshalat jenazahkan, bukanlah Najasy yang
ada pada saat kaum Muslim berhijrah
kepadanya, dan bukan Najasy yang beliau
kirimi surat untuk mengajaknya masuk Islam
pada akhir tahun ke enam Hijriah dan awal
tahun ketujuh Hijriah melalui Amru bin
Umayyah adh-Dhamiri. Dia adalah Najasy
yang berkuasa setelah meninggalnya Najasy
yang dikirimi oleh Rasulullah saw surat yang
berisi seruan untuk memeluk Islam.
Najasy yang telah masuk Islam ini telah
menerima kekuasaan pada tahun ke tujuh
Hijriah, karena Rasulullah saw telah
mengirimkan banyak utusannya kepada para
Raja dan Amir. Diantara mereka adalah
Najasy. Hal itu beliau lakukan sekembalinya
dari perang Hudaibiyah, yang terjadi pada
akhir tahun keenam Hijriah, bulan
Dzulqa’idah. Mungkin Najasy ini telah
meninggal pada tahun ketujuh Hijriah, dan
pada tahun itu pula Najasy yang masuk Islam
telah menerima estafet pemerintahan. Dialah
yang Rasulullah saw melakukan shalat jenazah
atasnya, yang waktu kematiannya terjadi
sebelum penaklukkan kota Makkah pada tahun
kedelapan Hijriah, sebagaimana yang
disebutkan oleh Baihaqi dalam kitab Dalâ’ilu
an-Nubuwwah.
Dengan demikian, jarak antara
pengangkatannya menjadi Raja dan ke-
Islamannya, begitu juga dengan kematiannya
sangat singkat. Dia masuk Islam secara
rahasia, dan tidak ada seorangpun yang
mengetahui ke-Islamannya, bahkan Rasulullah
saw sendiri tidak mengetahuinya. Rasulullah
saw diberitahu melalui wahyu tentang
kematiannya, juga ke-Islamannya pada hari
kematiannya itu, sebagaimana yang
ditunjukkan oleh bentuk sighat keenam hadits
Bukhari yang meriwayatkan tentang
kematiannya. Waktu yang singkat yang
dilaluinya sebagai seorang muslim sebelum dia
meninggal tidak memungkinkannya untuk
mengetahui tentang hukum-hukum Islam. Dan
ketidaktahuan Nabi saw terhadap hal itu
menyebabkan beliau tidak sempat
mengirimkan kepadanya utusan yang akan
menjelaskan apa yang harus dikerjakan.
Dengan demikian, hal ini tidak bisa
dijadikan dalil bagi orang yang membolehkan
dirinya untuk bergabung di dalam sistem
pemerintahan kufur yang menjalankan roda
pemerintahan dengan hukum selain yang
diturunkan Allah. Berarti, gugurlah seruannya
dalam perkara ini.

Bab 18
Moderat dan Ekstrem

Serangan Barat terhadap Islam memiliki


beberapa wajah yang berbeda. Serangannya
menyusup ke berbagai bidang, akan tetapi
memiliki tujuan yang sama, yaitu berusaha
untuk menjauhkan Islam dari kehidupan.
Serangan Barat tidak hanya terbatas dengan
memperburuk citra Islam, meruntuhkan negara
Khilafah, menikam hukum-hukum Islam, dan
menyerukan bahwa Islam hanyalah gambar
yang akan hilang dengan berlalunya waktu,
akan tetapi juga mencakup seluruh perkara
yang bisa menjauhkan Islam dari
kepemimpinan dunia sekali lagi. Islam phobia
terus berlangsung. Makar terhadap Islam tidak
akan pernah surut, agar orang-orang yang
awam tidak beranjak dari cengkeraman
mereka, kecuali jika kaum Muslim kembali
memimpin dunia.
Barat memandang bahwa kaum Muslim
adalah umat yang hidup dengan Islam; agama
mereka adalah agama yang bersifat universal,
yang layak bagi seluruh manusia dan mampu
memperbaiki kehidupan manusia. Seluruh jiwa
kaum Muslim akan selalu mencari jalan untuk
bersatu. Barat amat memahami bahwa letak
geografis dari negeri-negeri Islam yang banyak
dan tersebar akan menjadi negara yang
strategis dan bersatu. Keberadaannya
menempati pusat-pusat benua dan terletak
memanjang diatasnya. Negeri-negeri kaum
Muslim memiliki sumberdaya alam yang luar
biasa, melebihi kebutuhan negara-negara
besar, dan mampu mejadikannya sebagai
negara adidaya. Lebih dari itu jumlah kaum
Muslim mencapai sepertiga penduduk dunia.
Cita-cita kaum Muslim, jika Allah
memenangkan mereka, bukanlah untuk
membunuh dan merampas kekayaan negeri-
negeri yang mereka taklukkan, melainkan akan
membukanya secara hati-hati; membebaskan
manusia, dan seluruh umat manusia dari
kebodohan dan kekufuran, kepada hidayah
Islam. Mengarahkan kepada suatu keyakinan
bahwa memasukkan seseorang kedalam Islam
lebih dia cintai daripada dunia dan seisinya.
Islam menghadapi banyak sekali tipu daya
dan makar keji terhadap hukum-hukumnya,
dan terhadap para pengemban dakwahnya
yang ikhlas. Tujuan mereka untuk menjauhkan
pengaruh Islam kepada pengikutnya dan umat
yang lain.
Kalau bukan karena Islam itu adalah
agama Allah yang hak, pasti sudah terhapus
dan hilang dari pengaruhnya yang luar biasa.
Dan kalau bukan karena kehendak Allah yang
akan terus berlaku, juga karena iradah-Nya
yang pasti terjadi, maka kaum Muslim tidak
mungkin tetap memberikan loyalitasnya
kepada agama mereka pada masa yang paling
mundur. Barat telah berhasil membengkokkan
tolok ukur kaum Muslim menyimpang,
pemahaman-pemahaman mereka menjadi
rancu dan pemikiran mereka menjadi rusak.
Pada perang Salib yang pertama Barat melihat
bahwa Islam menancap kuat di dalam jiwa
kaum Muslim, dan realitasnya jauh lebih kuat
dari berbagai usaha untuk melepaskannya.
Oleh karena itu, Barat mengganti strateginya
di dalam perang Salib yang kedua, yang
hingga saat ini kita masih merasakan
bencananya. Pada perang Salib kedua ini,
Barat menjauhkan kaum Muslim dari
agamanya, dan mencegah kaum Muslim untuk
menyebarkanluaskan pemahaman-pemahaman
Islam, keyakinan-keyakinannya, dan standar
pemikirannya. Supaya Barat tetap
mendominasi kaum Muslim secara fisik, maka
Barat pun menciptakan pemikiran-pemikiran
palsu yang dibarengi dengan dominasi secara
fisik. Setelah itu, Barat menempatkan para
peguasa yang telah dicuci dengan politik dan
pemikiran yang rusak. Lalu Barat mengikat
erat eksistensi negeri-negeri Islam (yang
dijajahnya) dengan mengarahkan politik
negara-negara tersebut berjalan dengan
orientasi yang sama, yaitu merealisir
kepentingan-kepentingan Barat. Dunia
dijadikan oleh Barat bagaikan perseroan
terbatas, yang didalamnya terdapat investor
(pemilik modal) dan negara-negara lain
sebagai buruh dan konsumennya. Barat
melengkapi hegemoninya atas dunia dengan
penguasaan di bidang jaringan informasi (dan
komunikasi) raksasa, dan menempatkan
jaringan- jaringan informasi negara lain
berkiblat kepada mereka. Hal itu dilakukan
Barat agar kita tidak membaca melainkan apa
yang mereka tulis, dan tidak mendengar
kecuali apa yang mereka siarkan, serta tidak
menyaksikan kecuali apa yang mereka
tayangkan. Dan kita tidak membicarakan atau
memahami perkara apapun kecuali menurut
perspektif yang mereka inginkan. Ini
merupakan bentuk penjajahan baru yang amat
progresif, lebih berbahaya dan lebih licik dari
penjajahan konvensional.
Penjajahan konvensional berbentuk
penguasaan manusia oleh pihak luar (secara
fisik), sedangkan penjajahan model baru
adalah penguasaan manusia, baik dari dalam
(aspek pemikiran, budaya, ideologi, dan lain-
lain) maupun dari luar (aspek militer, ekonomi
dan politis). Kondisi tersebut menggiring
kaum Muslim agar ketaatan dan loyalitasnya
secara mutlak diberikan hanya kepada
(pemikiran dan peradaban) Barat, sehingga
tidak akan ada satupun yang bisa mengancam
eksistensi penjajah.
Sampai-sampai terhadap agama kitapun,
Barat menginginkan agar kita memahaminya
dengan cara dan metode berpikir mereka. Jika
ada orang yang menyimpang dari cara pandang
mereka, maka mereka akan menggerakkan
media masa untuk menyerang orang tersebut.
Lalu menggambarkan orang tadi dengan image
negatif dan menganggap orang tadi menantang
kemapanan, keluar dari kelaziman, merusak
ijma’, dan mendeskripsikannya sebagai
ekstrimis, teroris, fundamentalis dan radikal,
bahkan menyebutnya sebagai musuh
kemanusiaan dan orang-orang bodoh yang
tidak layak hidup kecuali di dalam (zaman)
kegelapan dan permusuhan, karena orang-
orang itu melontarkan pemikiran yang
menebarkan permusuhan dan provokasi.
Setelah image buruk direkayasa dan
memanipulasi fakta, penguasa (yang menjadi
anjing penjaga kepentingan-kepentingan
Barat) memberangus orang-orang tersebut
karena –menurut mereka- layak untuk
dibungkam. Apa yang dilakukan mereka itu
dengan memanfaatkan kebodohan masyarakat
terhadap berbagai hakekat. Diperkuat dengan
bantuan para ulama (as-sû) yang mendukung
seluruh perilaku Barat.
Namun, apa yang kita saksikan sekarang
ini adalah mulai berdenyutnya kebangkitan di
dalam diri umat. Umat melihat kepada Barat,
penguasa dan ulama (as-sû) dengan pandangan
yang sama. Umat memandang Barat bagaikan
melihat setan, sedangkan para penguasa itu
menjadi murid-muridnya. Para ulama (as-sû)
tidak akan menduduki posisi kecuali jika
mereka melanggar kehormatan agama. Itulah
kebanyakan ulama pada masa kemunduran,
dan fungsi mereka akan berakhir dengan
berakhirnya masa kemunduran itu. Di era
kebangkitan Islam yang sebenarnya, akan
muncul para ulama yag bersih, taqwa dan
jujur.
Sesungguhnya kita sekarang ini berada
pada taha dimana Barat dan para penguasa,
hidup dalam ketakutan yang amat sangat
terhadap kembalinya Islam. Hal itu didasarkan
pada kesaksian kami dimana mereka
menganggap setiap pemikiran Islami yang
dilontarkan merupakan bahaya yang
mengancam kedudukan mereka, sehingga
mereka berusaha untuk mengepungnya dan
menuduhnya dengan berbagai dakwaan.
Mereka menggunakan corong media masa
maupun propaganda, bahkan acapkali
menggunakan lidah-lidah para ulama untuk
menyerangnya. Mereka menggambarkan
gerakan-gerakan Islam yang menuntut
(penerapan sistem) Islam semata sebagai
ekstrimis dan teroris. Di lain pihak para ulama
kaum Muslim, para penulis, baik lokal maupun
nasional, dengan rajin mengarang buku-buku
dan memberikan ceramah-ceramah agar kaum
Muslim menjauhi sikap ekstrem dan
menyerukan sikap moderat. Mereka semuanya
bertolak dari satu perspektif yaitu perspektif
Barat. Seandainya ada ulama muslim yang
terjun kedalam persoalan ini, dan berusaha
untuk menyampaikan kepada pemikiran Barat
itu (pemahaman tentang) syari’at (Islam yang
sebenarnya), maka kami tidak akan
membebani diri sendiri dengan kesulitan
(yakni menulis maupun menyampaikan
ceramah) untuk mengcounter pemikiran
tersebut. Sayangnya, para ulama itu dipandang
sebelah mata oleh umat dan posisi mereka
sama seperti penguasa, bahkan reaksinya
mungkin akan bertentangan dengan apa yang
mereka inginkan. Para ulama itu sendiri
dijauhi oleh umat dengan memunggunginya.
Hal itu disebabkan banyaknya justifikasi yang
mereka lontarkan dan tidak mengandung
kebenaran. Fatwa-fatwa mereka menyimpang
dari pokok-pokok syariat yang telah baku.
Pada akhirnya bukan hanya bertentangan
dengan pemahaman yang Islami, malah
bertentangan dengan nash-nash syara’ yang
telah disepakati umat validitas sumbernya dan
kenyataan praktisnya. Sebagian fatwa itu
bahkan memerintahkan untuk mengerjakan
yang munkar dan melarang yang ma’ruf.
Semoga Allah Swt melindungi kita dari semua
itu. Sikap fanatik yang ditunjukkan oleh para
ulama dengan melontarkan pemikiran-
pemikiran yang pro Barat, yang nota benenya
merupakan pemikiran asing yang disusupkan
ke dalam Islam, itu dilakukan bukan untuk
mencari keridhaan Allah, melainkan untuk
menyenangkan para penguasa dan kroni-
kroninya. Meskipun mereka berusaha
menunjukkan semangat untuk membela kaum
Muslim dan kepentingan dakwah Islam akan
tetapi umat amat memahami kosongnya
pemikiran mereka dan penyimpangan yang
dilontarkan para penggagasnya.
Setelah kami memaparkan realitas kaum
Muslim, para penguasa dan ulamanya saat ini,
serta strategi Barat kafir untuk menghancurkan
Islam dan kaum Muslim, maka kami perlu
menyampaikan hakekat tentang pemikiran
tatharruf wa i’tidal (ekstrem dan moderat).
Pemikiran tersebut harus diungkap dengan
cara pandang Islam, agar kaum Muslim
mengetahui mana yang benar tanpa ada
keraguan lagi, karena perasaan saja tidak
cukup untuk menentukan sikap. Dan kami -
seperti biasanya- akan memberikan solusi bagi
permasalahan ini sesuai dengan pokok-pokok
syariat agar sesuai dengan asas Islam, yaitu
akidah Islam.
Islam datang untuk menjawab seluruh
problematika manusia sebagai satu kesatuan.
Islam menjawab tentang hubungan manusia
dengan dirinya sendiri melalui aturan-aturan
akhlak, (hukum tentang) math’umât (tentang
makanan dan minuman) dan malbûsât (tentang
pakaian); dan menjawab tentang hubungan
manusia dengan sesamanya melalui aturan-
aturan mu’amalât dan uqûbât; juga menjawab
tentang hubungan manusia dengan Rabbnya
melalui aturan-aturan ibadah dan akidah. Islam
merupakan aturan yang integral (menyeluruh)
dan menyelesaikan setiap perbuatan manusia.
Islam adalah pemikiran menyeluruh yang
menjadikannya mampu untuk menjawab setiap
hal yang berkaitan dengan urusan hidup.
Disamping itu, bangunan Islam adalah
bangunan yang paripurna, yang tegak diatas
asas yang memancarkan setiap penyelesaian.
Di atasnyalah dibangun seluruh pemikiran.
Oleh karena itu, pemahaman-pemahaman
Islam, keyakinan-keyakinannya dan tolok
ukurnya, semuanya berasal dari unsur
pemikirannya yang asasi. Islam tegak diatas
asas iman seorang muslim, bahwa Allah
adalah Pencipta dan Pengatur; bahwa manusia
itu lemah, membutuhkan kepada yang lain,
serba kurang dan terbatas; bahwa manusia
tidak mampu memberikan penyelesaian. Allah
Swt telah mengutus Rasul-Nya untuk
mengajarkan kepada manusia siapakah Allah
yang harus disembah, bagaimana beribadah
kepada-Nya, apa yang menjadi
konsekuensinya apabila manusia beribadah,
atau konsekuensinya jika tidak melakukannya,
yakni berupa pahala dan siksa di dalam
kehidupan akhirat. Semua ini menumbuhkan
pada diri seorang muslim tolok ukur bagi
setiap perbuatannya, yaitu halal dan haram.
Fungsi akal manusia bukan untuk
menghukumi (menetapkan hukum) syariat,
tidak pula untuk membuat undang-undang
(sejajar dengan nash), tetapi akal manusia
digunakan untuk memahami apa yang
ditunjukkan oleh nash-nash. Nash-nash itulah
yang mampu memberikan solusi, yaitu nash-
nash yang berasal dari Allah Swt. Tugas
manusia adalah untuk memahami nash-nash
supaya mereka konsisten. Dalam memahami
nash0nash tersebut manusia bisa salah, bisa
juga benar. Meskipun demikian, dalam dua
kondisi itu tetap diberikan pahala, asalkan
tunduk kepada metode ijtihad yang syar’i.
Berdasarkan hal ini kaum Muslim sangat
memperhatikan itsbat (penetapan) nash-nash.
Dari sinilah lahir ilmu hadits. Mereka juga
sangat memperhatikan pemahaman nash-nash
sehingga melahirkan ilmu ushul fiqih. Diantara
kaedah-kaedah ushul fiqih, antara lain:
-Sesungguhnya Allah itu adalah Hakim.
-Asal dari setiap perbuatan dan segala
sesuatu terikat dengan dalil syara’.
-Sesungguhnya, khair (kebaikan) itu
adalah apa yang membuat Allah ridha, dan
syar (buruk) adalah apa yang membuat Allah
murka.
-Sesungguhnya, hasan (terpuji) itu adalah
apa yang dianggap hasan (terpuji) oleh syara’,
dan qabîh (tercela) itu adalah apa yang
dianggap qabîh (tercela) oleh syara.
Seorang muslim yang beriman
menganggap bahwa kebahagiaannya adalah
memperoleh keridhan Allah Swt. Dan
ketenangannya akan muncul apabila hajat
udhuwiyah (kebutuhan fisik) dan gharizah
(naluri)nya dipenuhi berdasarkan imannya
kepada Allah Swt dan keterikatannya dengan
syari’at-Nya. Begitulah, kami melihat bahwa
bangunan Islam yang sempurna dan paripurna,
seluruh pemikirannya itu sejenis, dan berdiri di
atas asas yang satu. Apa yang sesuai dengan
asas itu, diterima, dan apa yang tidak sesuai,
ditolak.
Instrumen-instrumen yang diterapkan
terhadap Islam sebagai sebuah mabda
(ideologi), juga bisa diterapkan terhadap
ideologi kapitalis. Sebab, kapitalis juga adalah
mabda (ideologi). Bangunan pemikirannya
satu sama lain memiliki jenis yang sama, yaitu
bisa diambil seluruhnya atau ditinggalkan
seluruhnya. Pemikiran sekularisme merupakan
asas atas seluruh penyelesaian (masalah)nya,
dan setiap pemikiran kapitalis tegak diatasnya.
Pemikiran sekularisme dibangun berasaskan
ide kompromi, yang menganggap bahwa
manusia itu adalah tuan bagi dirinya sendiri.
Agar dia menjadi tuan bagi dirinya sendiri
maka manusia harus dijauhkan dari segala
pengawasan (kontrol). Dan itu tidak bisa
direalisir kecuali jika dia menggunakan empat
jenis kebebasan. dari sinilah lahirnya ide
tentang kebebasan. Ide tentang kebebasan di
dalam ideologi kapitalis memiliki pemahaman
yang khas. Agar manusia itu menjadi tuan bagi
dirinya sendiri berarti dalam memenuhi
kebutuhannya yang asasi harus sesuai dengan
keinginannya (sendiri), yaitu tidak ada
peraturan yang mengaturnya, baik agama atau
yang lain. Dari sini lahirlah ide tentang
demokrasi. Para penganut ide sekularisme
menganggap bahwa kebahagiaan adalah
apabila dia memperoleh sebanyak mungkin
kesenangan dan kelezatan. Dengan demikian
apa yang dipandang oleh akalnya (karena
akalnya adalah musyarri’) adalah maslahat,
itulah yang menjadi tujuan dari setiap
perbuatannya.
Pemikiran-pemikiran seperti itu bersifat
baku dan menyatu. Tidak menerima
percampuran. Adanya percampuran –menurut
syariat- sama saja dengan syirik, baik syirik
kufur atau syirik maksiat.
Islam tidak menerima demokrasi, karena
demokrasi berarti menempatkan rakyat sebagai
sumber hukum. Di dalam Islam, hukum berada
di tangan syara’. Begitu juga halnya dengan
pemikiran kapitalis. Pemikiran itu akan
memagari Islam agar tidak sampai pada
jenjang kekuasaan. Sebab, ketika Islam telah
memperoleh kekuasaan, pasti akan menghapus
demokrasi dan seluruh pemahaman yang
berasal daripadanya. Oleh karena itu, kami
juga melihat, bahwa Barat akan memerangi
setiap pemikiran Islam yang bersifat mengakar
(ideologis) dan akan memerangi setiap
gerakan-gerakan Islam yang berusaha untuk
sampai pada jenjang kekuasaan. Barat
memandang bahwa gerakan-gerakan itu
merupakan bahaya bagi eksistensi dan
kepentingannya dan akan memusnahkan
(peradab) Barat langsung dari akarnya. Dari
sini kita amat memahami bahwa Barat akan
memeranginya dan memusuhi Islam dan kaum
Muslim, dan memandangnya sebagai musuh
laten. Berdasarkan realitas itu pula Barat
kemudian menempelkan sebutan dengan
bermacam-macam stempel, seperti
fundamentalis, karena gerakan-gerakan ini
bertolak dari perkara pokok (ushul) yang tidak
diakui oleh Barat keberadaannya. Barat juga
menyebutnya sebagai teroris, karena gerakan-
gerakan itu tidak mau berinteraksi dengan
Barat, disebabkan tidak ada perkara yang bisa
mempersatukan keduanya. Barat menyebutnya
juga sebagai radikal, karena dia tidak bermanis
muka terhadap seluruh bentuk pemikiran Barat
dan tidak menghormati eksistensinya. Jika kita
benar-benar memperhatikan, maka kita akan
menyaksikan bahwa apa yang mereka
tuduhkan kepada pihak lain itu sebenarnya
merupakan sifat-sifat diri mereka sendiri.
Justru Baratlah yang fundamentalis, karena
mereka bertolak dari asas yang mereka yakini
kebenarannya dan tidak mau menerima asas
lain sebagai rivalnya. Hal itu amat kontradiktif
dengan pemikirannya yang menggembar-
gemborkan demokrasi, yang katanya
membolehkan pihak-pihak lain sampai kepada
jenjang kekuasaan, selama rakyat yang
memilihnya. Barat juga sebenarnya teroris,
ekstremis dan fundamentalis, karena Barat
tidak menghormati eksistensi politik Islam dan
tidak mau berurusan dengannya, malah tidak
mau bertemu dengannya. Jadi, betapa Barat
telah melanggar mabda (ideologi)nya sendiri
dan menjerumuskan dirinya sendiri kepada apa
yang mereka tuduhkan kepada orang lain.
Maka, demokrasi macam apa ini, yang bisa
menggagalkan pemilu (sekehendaknya, seperti
yang terjadi terhadap FIS di Aljazair), padahal
itu merupakan metode yang menurut
pandangannya menggambarkan kehendak
rakyat. Kenyataannya, justru sikap diktator
pemerintah yang tampak.
Apabila kita ingin menetapkan apakah
suatu fikrah atau pemikiran itu benar atau
salah, maka tidak ada jalan lain kecuali kita
harus mengembalikan kepada asalnya. Setelah
itu kita mencari hukum baginya dan
menghukuminya berdasarkan asal tadi. Kita
tidak boleh mencari hukum-hukum cabang
melalui asal yang lain. Kita misalnya, tidak
boleh mengatakan bahwa kebahagiaan di
dalam Islam berdasarkan perolehan kelezatan
(kenikmatan). Kita juga tidak boleh
mengatakan bahwa seorang muslim beriman
kepada (prinsip-prinsip) kebebasan yang
diyakini oleh Barat, karena Islam tidak
mengakui hal itu dan sama sekali tidak
menerimanya. Barangsiapa menerima Islam
sebagai asas baginya, maka pasti akan rela
terhadap apa pun yang lahir dari Islam. Dia
harus mengambil Islam secara keseluruhan,
karena meninggalkan sebagian dari Islam sama
saja dengan meninggalkan seluruhnya.
‫َأَفُتْؤ ِم ُنوَن ِبَبْع ِض اْلِكَتاِب َو َتْك ُفُر وَن ِبَبْع ٍض َفَم ا َجَز اُء َمْن َيْف َعُل َذِلَك‬
‫ِم ْنُك ْم ِإَّال ِخ ْز ٌي ِفي اْلَحَياِة الُّد ْنَيا َو َيْو َم اْلِق َياَم ِة ُي ُّدوَن ِإَلى َأَش ِّد اْلَعَذ اِب‬
‫َر‬

Apakah kamu beriman kepada sebagian
al-Kitab dan ingkar pada sebagian yang lain?
Tiadalah balasan bagi orang-orang yang
berbuat demikian dari padamu melainkan
kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada
hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa
yang sangat berat. (QS. al-Baqarah [2]: 85)
Berdasarkan hal ini kita menolak
pernyataan yang berasal dari Barat, yang
menyebutkan bahwa Islam adalah agama
moderat, dan bahwa Islam menjauhi
kekerasan. Ini adalah perkataan benar yang
memiliki tujuan batil, karena berasal dari asas
yang rusak.
Kata tatharruf, ghuluw, isrâf atau ifrâth,
memiliki makna syar’i. Apabila seorang
muslim melanggarnya maka dia akan terjatuh
kepada perbuatan haram. Demikian pula
dengan kata i’tidal, iqtishâd, istiqâmah atau
wasathiyah, memiliki makna syar’i, dimana
seorang muslim harus konsisten terhadapnya.
Begitu juga dengan istilah tafrîth dan tasâhul.
Jika kita ingin mengetahui hukum syara’
dalam masalah ini, tidak boleh menggunakan
tolok ukur dan pemahaman kapitalis untuk
memberikan hukum padanya. Sikap seperti itu
diharamkan, karena didalamnya mengandung
sikap mendukung Barat dan pemikirannya, dan
di dalamya terdapat upaya pencarian hukum
selain Islam untuk menghukumi Islam dan
pemahamannya.
Banyak hukum-hukum syara’ yang wajib
dilaksanakan oleh seorang muslim, dan
berdosa jika ditinggalkan. Sementara Barat
memandangnya sebagai sesuatu yang ektrem,
radikal dan perbuatan teror. Contohnya adalah
pemikiran tentang jihad fi sabilillah, pemikiran
tentang upaya mendirikan negara Khilafah,
pemikiran tentang amar ma’ruf nahi munkar
terhadap penguasa, menentang kekufuran dan
menyebarkan dakwah, membuang demokrasi,
haramnya transaksi riba, pakaian wanita, dan
banyak lagi yang lain. Semua itu
mengharuskan seorang muslim bersikap
konsisten kepadanya. Apakah boleh bagi kita
berhukum kepada demokrasi yang
berlandaskan pada pemikiran Barat yang rusak
dan busuk, yang tidak menebarkan kebaikan
bagi para pengikutnya? Maka, bagaimana
mungkin mereka mengembannya kepada
selain mereka? Apakah seorang muslim boleh
mengatakan apa yang mereka katakan?
Kita wajib menolak pemikiran Barat
tentang tatharruf (ekstrem) dan i’tidâl
(moderat). Dan kita wajib menolak campur
tangan Barat terhadap agama kita. Pembahasan
ini pada awalnya tidak bertolak dari cara
pandang syara ‘, akan tetapi kondisi politik
yang berusaha untuk mengarahkan perspektif
umat agar sesuai dengan perspektif Barat.
Pembahasan ini berkaitan dengan dominasi
dan penjajahan akal secara langgeng.
Sudah saatnya kita mengetahui pendapat
dan perspektif Islam terhadap perkara ini,
dalam rangka pelayanan terhadap dakwah dan
taqarrub kepada Allah Swt.
Al-Mughâlât atau al-ghuluw berarti az-
ziyâdah dan mubâlaghah. Mubâlaghah dalam
beragama berarti tasyaddud dan tashallub,
yakni melampaui batas yang dituntut dan yang
telah ditetapkan. Itu disebut juga dengan ifrâth.
Lawan katanya adalah tafrîth, yang berasal
dari fi’il farratha fi al-amr farathan atau
qashsharahu bihi wadhi’ahu wa qaddama
al-‘ajza fîhi. Tafrîth dalam agama berarti
melalaikan hukum-hukumnya dan menyia-
nyiakan haknya, menampakkan kelemahan
dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya.
Dari sini lahir perkataan: lâ ifrâtha walâ
tafrîtha fi al-Islâm.
Adapun iqtishâd sama dengan tawassuth,
i’tidâl, rusyd dan istiqâmah. Orang yang
mu’tadil (pertengahan, normal, proporsional)
dalam agama adalah orang yang istiqâmah di
dalam mengerjakan perintah Allah, dan tidak
menyimpang, baik kearah yang berlebihan atau
lalai. Allah Swt berfirman:
 ‫ِم ْنُه ْم ُأَّمٌة ُمْق َتِص َد ٌة َو َك ِثيٌر ِم ْنُه ْم َس اَء َم ا َيْع َم ُلوَن‬
Diantara mereka ada golongan yang
pertengahan (orang berlaku jujur dan lurus
dan tidak menyimpang dari kebenaran), dan
alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh
kebanyakan mereka. (QS. al-Maidah [5]: 66).

Tafsirnya adalah, bahwa umat ini adalah


umat yang mu’tadilah terhadap perintah
Rabbnya, artinya konsisten dengan batas-batas
yang diperintahkan Allah kepadanya. Al-
Fayyumi di dalam kitabnya al-Misbakhul
Munir: ‘Qashada fi al-amr qashdan ayi
tawassatha, wa thalaba al-asadda wa lam
yujawizu al-hadda’.
Orang yang memperhatikan definisi-
definisi ini memahami bahwa yang dituntut
dari seorang muslim adalah konsisten dengan
batas-batas Allah, dan tidak boleh
melampauinya. Seorang muslim harus
mu’tadil, yaitu lurus terhadap perintah-Nya.
Rasulullah saw bersabda:

Katakanlah, aku beriman kepada Allah,


kemudian istiqamalah. (HR Muslim)

Maksudnya, konsistenlah dengan apa yang


Allah perintahkan kepadamu dan berhentilah
dari apa yang dilarang-Nya. Jadi, kata
istiqamahlah disini berarti bertakwalah. Dari
sini datanglah firman Allah untuk menjelaskan
makna tersebut:
 ‫َو اْسَتِق ْم َك َم ا ُأِم ْر َت‬
Dan tetaplah segaimana diperintahkan
kepadamu. (QS. asy-Syura [42]: 15)
Allah-lah yang memerintah, dan seorang
muslim harus mentaati perintah-Nya. Seorang
muslim tidak akan mengetahui jalan takwa dan
jalan yang lurus, sendirian. Seandainya dia
mengikuti dirinya sendiri, berarti dia telah
mengikuti hawa nafsu. Dan barang siapa
mengikuti hawa nafsunya, berartti dia telah
menyimpang. Oleh karena itu, istiqâmah itu
tidak lain mengikuti apa yang diperintahkan
Allah semata, dan tidak melampauinya, baik
dengan melebih-lebihkan atau pun
melalaikannya. Untuk memahami hal itu harus
kembali kepada asasnya.
Seorang muslim yang beriman kepada
Allah, akan beriman pula bahwa penyelesaian
yang dibawa Islam adalah sesuai dengan
fithrahnya, yang telah Allah fithrahkan
kepadanya. Sebab, penyelesaian-penyelesaian
itu berasal dari al-Khaliq, yang telah
menciptakan fithrah itu sendiri dan
menetapkan khasiat-khasiatnya, serta
menciptakan apa yang baik baginya. Pada
waktu yang sama, seorang muslim juga
beriman bahwa solusi yang disodorkan agama-
agama dan ideologi-ideologi lain adalah
dangkal, salah, menyimpang, menyengsarakan
dan tidak membuat manusia bahagia. Karena
solusi-solusi tersebut adalah buatan manusia
yang bersifat lemah, yang membutuhkan
kepada yang lain, dan penuh dengan
keterbatasan. Akal manusia tidak mampu
mencakup seluruh fakta tentang dirinya
sebagai manusia. Implikasinya, tidak mampu
melahirkan solusi. Agama (samawi) selain
Islam berasal dari Allah, akan tetapi ditujukan
khusus untuk satu kaum, bukan untuk manusia
seluruhnya. Lagi pula tangan-tangan manusia
telah bercampur, untuk merubah dan
menggantinya.
Islam memiliki kelebihan dibandingkan
dengan ideologi-ideologi dan agama-agama
lain. Islam adalah agama dari Allah, mencakup
seluruh perbuatan manusia dan memberikan
kepada manusia solusi (jawaban) yang
menjamin kebahagiaannya di dunia dan di
akhirat. Allah Swt berfirman:
‫ َو َمْن َأْع َر َض َعْن ِذ ْك ِر ي َفِإ َّن‬ ‫َفَم ِن اَّتَبَع ُه َد اَي َفَال َيِض ُّل َو َال َيْشَق ى‬
‫ َقاَل َر ِّب ِلَم َح َش ْر َتِني‬ ‫َلُه َم ِعيَش ًة َضْنًك ا َو َنْح ُش ُر ُه َيْو َم اْلِق َياَم ِة َأْع َم ى‬
‫ َقاَل َكَذ ِلَك َأَتْتَك َءاَياُتَنا َفَنِس يَتَه ا َو َكَذ ِلَك‬ ‫َأْع َم ى َو َقْد ُك ْنُت َبِص يًر ا‬
‫اْلَيْو َم ُتْنَس ى‬
Lalu, barang siapa yang mengikuti
petunjuk-Ku, dia tidak akan sesat dan celaka.
Dan barang siapa yang berpaling dari
peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit, dan kami akan
menghimpunkannya pada hari kiamat pada
keadaan buta. Berkatalah ia: ‘Ya Tuhanku,
mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam
keadaan buta padahal aku dahulunya adalah
seorang yang melihat?. Allah berfirman:
‘Demikianlah telah datang kepadamu ayat-
ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan
begitu pula pada hari ini kamu pun
dilupakan’. Adapun orang yang berjalan
dimuka bumi ini bukan dengan petunjuk Allah
maka dia adalah buta, menyimpang dari
kebenaran, menyimpang dari yang haq. (QS.
Thahaa [20]: 123-126)

Allah telah memelihara untuk kita agama


ini dari kemusnahan. Allah mencegah tangan-
tangan yang akan mengotori untuk merubah
dan memalingkan nash-nash-Nya. Allah Swt
berfirman:
 ‫ِإَّنا َنْح ُن َنَّز ْلَنا الِّذ ْك َر َو ِإَّنا َلُه َلَح اِفُظوَن‬
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan
al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-
benar memeliharanya. (QS. al-Hijir [15]: 9)

Meskipun demikian, Allah Swt tidak


menghalangi penyimpangan pemahaman
manusia. Adanya eksistensi nash dan
terpeliharanya nash, mengandung arti
terpeliharanya hujjah Allah atas manusia.
Sedangkan manusia itu sendiri, maka mungkin
saja menyimpang atau tersesat, atau
mentakwilkan nash-nash dengan sesuatu yang
tidak dikandungnya, menambahi atau
mengurangi. Namun, hal ini masih dalam
batas-batas pemahaman, bukan nash-nash al-
Qur’an. Oleh karena itu wajib bagi seorang
muslim beriman dengan benar, konsisten dan
istiqâmah melaksanakan perintah-perintah
Allah yang Maha Mengetahui, juga berusaha
agar tidak menyimpang darinya seujung
jaripun.
Inilah Islam yang telah baku. Seorang
muslim yang beriman dengan apa yang telah
ditetapkan. Sementara, manusia itu, siapa pun,
tidak akan mampu membuat hukum, meskipun
diberikan kepadanya kecerdasan berpikir,
kedalaman pengalaman dan kekuatan iman.
Dalam proses pembuatan hukum, manusia
harus tunduk kepada nash-nash yang ada,
meskipun dia adalah Abu Bakar ash-Shiddiq
ra. Itulah yang beliau maksudkan dengan
perkataannya pada khutbahnya yang pertama
setelah beliau menerima jabatan Khalifah:
‘Taatlah kalian kepadaku selama aku mentaati
Allah dalam urusan kalian. Seandainya aku
berbuat maksiat, maka tidak ada ketaatan
kepadaku…aku ini tidak lain adalah pengikut,
bukan orang yang membuat-buat (bid’ah)’.
Hal itu merupakan pencerminan dari sabda
Rasulullah saw:

Ikutilah, dan janganlah membuat bid’ah.


Sungguh telah dicukupkan untuk kalian.
Perkara ini kami temukan pada seorang
muslim. Kami tidak menemukan hal seperti ini
pada pemikiran (yang berasal dari) orang lain
yang berusaha menjawab persoalan manusia,
karena keduanya berbeda dengan perbedaan
yang sangat mendasar.
Dengan demikian, kaum Muslim harus
konsisten, tidak mudah menyerah, harus
mengikuti, dan tidak berbuat bid’ah.
Jika kita memperhatikan sikap kaum
Muslim terhadap agama ini, sejak awal
diturunkannya kepada Rasulullah saw hingga
sekarang ini, kami menemukan bahwa
kecintaan kepada Islam pada sebagian kaum
Muslim telah menutupi sesuatu. Sebagian
kaum Muslim memandang bahwa dirinya
mampu menyembah Allah lebih kuat. Lalu ia
memandang remeh ibadah orang-orang lain
yang benar dan konsekwen. Dia melihat bahwa
dalam dirinya terdapat kemampuan untuk
mengerjakan (amal ibadah) jauh lebih banyak
dari apa yang dituntut oleh syara’. Ia
berbendapat agar kehidupannya di dunia diisi
dengan ibadah secara maksimal (dari segi
kuantitas), lalu dia membuat-buat metode baru
yang tidak ada dalilnya, mengikuti keinginan
dan hawa nafsunya. Orang semacam ini telah
menyimpang dari perkara yang seharusnya,
apalagi jika mengajak orang lain untuk
mengikutinya. Barang siapa yang tidak
menyambut ajakannya akan dicap sebagai
orang yang melalaikan ibadah. Kami
menjumpai apa yang dikerjakan atau
dikatakannya itu bersandar kepada dalil-dalil
syara’, dengan pemahaman yang keras dan
pendapat yang ekstrem. Sikap seperti ini
diharamkan, meskipun keluar dari mulut orang
yang mencintai Allah dan agamanya, karena
hal ini merupakan perubahan dan melampaui
batas-batas yang telah ditetapkan oleh syara’.
Allah-lah yang menciptakan kita, dan kita
tidak mampu mengetahui tentang Allah dan
tidak mengetahui hakekat zat-Nya. Kita pun
tidak mengetahui apa yang wajib kita lakukan
dalam ibadah. Allah-lah yang Maha Meliputi
segala sesuatu. Kita adalah orang-orang yang
mengharapkan keridhaan-Nya, maka tidak ada
yang membuat Allah ridha kecuali kita
bersikap istiqâmah terhadap perintah-Nya.
Allah Swt berfirman:
 ‫َأَال َيْع َلُم َمْن َخ َلَق َو ُه َو الَّلِط يُف اْلَخ ِبيُر‬
Apakah Allah yang menciptakan itu tdak
mengetahui (yang kamu lahirkan dan kamu
rahasiakan), dan Dia Maha Halus lagi Maha
Mengetahui. (QS. al-Mulk [67]: 14)

Imam Bukhari telah meriwayatkan dari


‘Aisyah: Rasululah telah melakukan sesuatu
(amal ibadah) dan beliau mengambil rukhshah
di dalamnya. Berita itu sampai kepada
sebagian sahabat, maka seakan-akan mereka
tidak senang. Hal itu sampai kepada
Rasulullah, maka Rasulullah saw marah (yang
terlihat di wajahnya). Beliau memuji Allah,
kemudian bersabda:

Mengapa suatu kaum tidak senang dengan


apa yang aku perbuat (dengan mengambil
rukhshah), maka demi Allah aku akan
mengajarkan kepada mereka tentang Allah
dan sesuatu yang lebih mendekatkan mereka
kepada Allah. (HR Bukhari).

Ini merupakan peringatan agar tidak


berlebih-lebihan dan perintah untuk bersikap
hati-hati. Imam Bukhari menyebutkan bahwa
beliau saw telah bersabda:

Sesungguhnya agama ini mudah, dan


tidak pernah ada seorangpun mendalami
(amal-amal) dalam agama (dan meninggalkan
kelembutan) kecuali dia tidak mampu atau
terputus, kemudian kalah Maka konsistenlah
(dengan kebenaran, tidak berlebih-lebihan dan
tidak pula melalaikan-pen), (dan apabila
kalian tidak mampu untuk melakukan yang
sempurna) maka amalkanlah apa yang
mendekatinya, dan bergembiralah (dengan
pahala dari amal yang terus menerus
dilakukan meskipun sedikit). Maka meminta
tolonglah (agar tetap konsisten dengan
ibadah) dengan waktu-waktu yang efektif
(seperti pagi hari dan awal malam).

Dalam riwayat lain disebutkan:

Dan meminta tolonglah melalui waktu


pagi dan awal malam. Lakukanlah sesuatu
yang pertengahan (tidak ifrath dan tidak
tafrith-pen). (HR Bukhari)

Niat baik bisa menjadi pendorong untuk


bersikap ekstrem dan berlebih-lebihan
sebagaimana yang disebutkan oleh Bukhari
dan Muslim, dari Anas ra. Ada sekelompok
orang yang memberitakan tentang ibadah
Rasullah saw, maka seolah-olah mereka sangat
sedikit dibandingkan dengan apa yang
dilakukan Rasulullah saw, lalu mereka berkata:
‘Dimana posisi kita dibandingkan Nabi saw.
Allah telah mengampui dosa beliau baik yang
dahulu maupun yang sesudahnya’. Lalu
mereka berjanji untuk bangun pada malam hari
(shalat malam) dan puasa pada siang harinya
serta menjauhi wanita. Maka Rasululah saw
bersabda kepada mereka:

‘Apakah kalian kaum yang mengatakan


begini dan begini? Sesungguhnya aku lebih
takut kepada Allah dari pada (rasa takut yang)
kalian (miliki), dan lebih bertakwa kepada-
Nya. namun demikian aku berpuasa dan
berbuka, aku shalat dan aku tidur, dan aku
pun menikahi wanita’.

Dan Rasul mengakhiri sabdanya dengan:

Barangsiapa yang tidak senang kepada


sunnahku maka dia tidak termasuk
golonganku.

Terdapat dalil yang menunjukkan bahwa


Allah tidak menerima amal perbuatan kecuali
apa yang disyariatkan-Nya. Tidak termasuk
taqarrub kepada-Nya apa pun yang menjadi
tambahan dan dibuat-buat oleh manusia. Abu
Daud menyebutkan dalam sunannya, tentang
seorang laki-laki yang bertanya kepada
Rasullah saw. Dia berkata: ‘Wahai Rasululah,
bagaimana dengan orang yang berpuasa
seumur hidupnya? Rasulullah saw bersabda:
Tidak ada puasa yang tidak berbuka.

Imam Ahmad menyebutkan dari


Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda kepada
orang yang memberitahukan kepada beliau
bahwa ibunya telah bernadzar untuk pergi haji
dengan berjalan kaki:

Perintahkan dia untuk berhaji dengan


berkendaraan. Sesungguhnya Allah tidak
membutuhkan pada jalan kakinya.

Imam Bukhari menyebutkan dari Ibnu


Abbas, dia berkata: Ketika Nabi berada
diantara kami, beliau berkhutbah, ketika itu
seorang laki-laki bersikeras untuk tetap berdiri.
Maka Rasulullah saw menanyakan tentang
sikapnya itu. Maka mereka mengatakan: ‘Abu
Israil, dia telah bernadzar untuk selalu berdiri
dan tidak akan duduk, tidak akan berteduh,
dan tidak akan berbicara sedangkan dia
shaum’. Maka Nabi saw bersabda:

Perintahkanlah kepadanya agar


berbicara. Dan hendaklah dia berteduh dan
duduk, serta menyempurnakan shaumnya.

Terdapat juga dalil yang menunjukkan


bahwa jalan yang berlebih-lebihan akan
mengakibatkan pada kehancuran. Imam
Muslim meriwayatkan sabda Rasulullah saw:
Celakalah orang yang berlebih-lebihan.

Hal itu dikatakannya tiga kali. Imam


Ahmad, Nasa’i dan Ibnu Majah meriwayatkan
dengan lafadz:

Wahai manusia, berhati-hatilah, jangan


berlebih-lebihan di dalam agama.
Sesungguhnya orang-orang terdahulu itu
hancur karena berlebih-lebihan dalam agama.

Hal itu ditujukan bagi orang yang


berlebih-lebihan dalam agama. Terdapat juga
kecaman untuk orang-orang yang tasâhul
(meremehkan) agama. Pada dasarnya orang
seperti ini beriman kepada agama, akan tetapi
dia melalaikan berbagai kewajiban dan
bersandar pada angan-angan. Dia mengerjakan
dosa besar, lalu berjanji pada dirinya akan
bertaubat sebelum mati, seolah-olah dia
mengetahui kapan waktu kematiannya. Sikap
seperti ini diharamkan. Seorang muslim wajib
mengambil Islam secara total, dan tidak
besikap ridha kecuali dengan ketaatan. Inilah
manhaj Allah yang lurus.
Sikap ghuluw dan tafrîth telah Allah dan
Rasul-Nya peringatkan, baik terhadap kaum
Muslim selaku individu, maupun terhadap
jama’ah, negara atau pun terhadap ulama.
Kami menyaksikan saat ini banyak sekali para
da’i dan ulama kaum Muslim yang bertolak
dari kecintaan kepada Islam, akan tetapi
mereka ingin memberikan image bahwa agama
ini agama toleran dan mudah, jauh dari kharaj
(kesulitan), lalu mereka berpendapat dengan
perkara yang justru menjauhkannya dari Islam.
Mereka menyimpang dan keluar dari garis
lurus yang Rasulullah telah gariskan. Mereka
meremehkan berbagai hukum. Mereka
melontarkan pendapat-pendapat yang tidak ada
kaitannya dengan nash-nash Islam. Semua itu
dilakukan untuk memberikan kepada Barat
deskripsi tentang Islam, bahwa Islam itu sesuai
dengan waktu dan realita. Mereka berpendapat
perlunya meninggalkan nash-nash syara’ yang
telah disepakati oleh umat untuk diamalkan.
Contoh tentang takwil mereka adalah, bahwa
orang murtad tidak perlu dibunuh meskipun
Rasulullah telah bersabda:

Barang siapa yang mengganti agamanya,


maka bunuhlah dia. (HR. Bukhari dan
Ahmad)

Alasannya, bahwa situasi dan realitas


ketika Rasullullah mengatakan hal itu amat
berbeda dengan situasi dan realitas kita
sekarang ini. Itu dilakukan agar pemikiran ini
sesuai dengan pemikiran Barat yang terkait
dengan kebebasan berakidah. Contoh lainnya
adalah, bahwa wanita menurut pandangan
mereka boleh menjabat sebagai imam (kepala
negara), walaupun Rasulullah saw telah
bersabda:
Tidak akan beruntung suatu kaum yang
menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka
kepada wanita. (HR..Bukhari, Ahmad,
Nasa’i dan Tirmidzi)

Alasannya, bahwa hadist tersebut


diucapkan dalam kesempatan tertentu,
sehingga tidak boleh dijadikan umum. Hal itu
–menurut mereka- dilakukan untuk
memberikan kepada Barat suatu gambaran
bahwa Islam menghormati kaum wanita,
sesuai dengan pemahaman mereka. Contoh
lain lagi adalah, mereka membolehkan
transaksi dengan cara riba. Alasannya, bahwa
riba itu merupakan transaksi internasional
yang amat mendesak, yang tidak bisa
ditinggalkan.
Pernyataan-pernyataan semacam itu
berakibat pada sempitnya hak-hak Islam dan
menonjolkan kelemahannya dalam
pelaksanaan urusan kehidupan. Kelemahan
yang mereka tonjolkan itu hakekatnya
merupakan kelemahan mereka, bukan
kelemahan Islam. Sikap yang ada dibalik
tafrîth sama dengan sikap yang ada dibalik
ifrâth, yaitu kebodohan terhadap agama dan
kebodohan atas manusia. Dua jenis manusia
ini sama-sama menghancurkan agama. Yang
pertama adalah orang yang bersikap ghuluw
(berlebih-lebihan), dan yang kedua adalah
orang yang meremehkan. Keduanya dikuasai
oleh hawa nafsu. Yang pertama ingin mencari
keridhaan nafsunya yang menggebu-gebu, dan
yang kedua menghantarkan dirinya untuk
memperoleh keridhaan manusia, yang jauh
dari ridha Allah.
Kita dalam hal ini wajib bersikap
konsisten dengan perintah Allah, kita tidak
boleh berlebih-lebihan dan tidak boleh pula
meremehkan. Firman Allah Swt:
‫َو َكَذ ِلَك َجَعْلَناُك ْم ُأَّمًة َو َس ًطا ِلَتُك وُنوا ُش َه َد اَء َعَلى الَّناِس َو َيُك وَن‬
‫الَّر ُس وُل َعَلْيُك ْم َش ِه يًد ا‬
Dan demikian (pula) Kami telah
menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil
dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia, dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan
kamu. (QS. al-Baqarah [2]: 143)

Maknanya, Allah telah menetapkan umat


ini sebagai saksi yang adil bagi umat manusia,
sebagaimana pada masa Rasulullah saw.
Dengan fungsinya itu berarti umat ini menjadi
umat terbaik dan paling mulia. Kedudukan
umat ini dihadapan manusia bagaikan puncak
gunung yang menempati posisi yang paling
tinggi dan paling tengah. Kami tidak
menafsirkannya seperti penafsiran Barat, yang
menafsirkannya dengan kompromi. Penafsiran
seperti itu diharamkan, seperti yang telah kami
jelaskan sebelumnya. Akidah tidak mungkin
tegak diatas kompromi. Kompromi (dalam
perkara ini) merupakan kekufuran yang
sebenarnya. Sebab, perkaranya adalah antara
kufur dan iman, antara cahaya dan kegelapan,
antara petunjuk dan kesesatan. Lagi pula di
dalam topik hukum syara’ telah difahami dan
ditetapkan sebelumnya bahwa tidak ada
musyarri’ selain Allah, dan sesungguhnya
tidak ada ganti (alternatif lain) bagi hukum-
hukum Allah. Dan Allah sebaik-baik yang
menghukum.
Inilah persepsi Barat terhadap tatharruf
dan i’tidal. Dan kami telah menjelaskan sikap
Islam terhadap keduanya. Maka, apakah
keduanya dapat dipertemukan? Dibalik
pemikiran yang dilontarkan Barat tiada lain
bermaksud ingin memusnahkan apa pun yang
menjadi bahaya bagi eksistensi dan
penjajahannya. Maka, apakah kita akan turut
menolongnya dan menjadikannya hakim
diantara kaum Muslim. Menolong Barat berarti
menolongnya untuk menguasai kaum Muslim
seluruhnya. Allah Swt berfirman:
 ‫َفِلَذ ِلَك َفاْد ُع َو اْسَتِق ْم َك َم ا ُأِم ْر َت َو َال َتَّتِبْع َأْه َو اَءُه ْم‬
Maka karena itu, serulah (mereka kepada
agama itu) dan tetaplah sebagaimana
diperintahkan kepadamu, dan janganlah
mengikuti hawa nafsu mereka. (QS. asy-Syura
[42]: 15)
‫َفاْسَتِق ْم َك َم ا ُأِم ْر َت َو َمْن َتاَب َمَعَك َو َال َتْطَغْو ا ِإَّنُه ِبَم ا َتْع َم ُلوَن‬
‫ِم‬ ‫ِذ‬ ‫ِص‬
‫ َو َال َتْر َك ُنوا ِإَلى اَّل يَن َظَلُم وا َفَتَم َّس ُك ُم الَّناُر َو َم ا َلُك ْم ْن‬ ‫َب يٌر‬
 ‫ُدوِن اِهلل ِم ْن َأْو ِلَياَء ُثَّم َال ُتْنَص ُر وَن‬
Maka tetaplah kamu pada jalan yang
benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu,
dan (juga) orang yang telah taubat beserta
kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesngguhnya Dia Maha Melihat apa yang
kamu kerjakan. Dan janganlah kamu
cenderung kepada orang-orang yang zalim
yang menyebabkan kamu disentuh api neraka,
dan sekali-kali kamu tiada mempunyai
seorang penolongpun selain dari pada Allah,
kemudian kamu tidak akan diberikan
pertolongan. (QS. Huud [11]: 112-113)

Sesungguhnya, jiwa kita mengemban


kebaikan agama ini, dan sangat menginginkan
sekali untuk menjadikannya berkuasa. Dengan
pertolongan Allah dan taufiq-Nya akan dibuka
akal dan hati, untuk menolong agama ini.
Sesungguhnya kebaikan yang kita inginkan
untuk diri kita, kami sukai pula bagi selain
kita, dan kami memohon kepada Allah agar
menempatkan nasehat kami ini seperti hujan
yang akan menghidupkan jiwa-jiwa. Dan
hanya kepada Allah-lah segala tujuan.

Anda mungkin juga menyukai